Academia.eduAcademia.edu

PERKEMBANGAN TEORI HUKUM DARI MASA KE MASA

Oleh Andy Alvian Indratama 11010114410059 SISTEM PERADILAN PIDANA MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO 2014 1

PERKEMBANGAN TEORI HUKUM DARI MASA KLASIK HINGGA PROGRESIF disajikan sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Teori Hukum Prodi Sistem Peradilan Pidana (SPP) Oleh Andy Alvian Indratama 11010114410059 SISTEM PERADILAN PIDANA MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO 2014 Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting. Teori memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih baik. Teori memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan. Terdapat keragu-raguan dari para akademisi tentang tempat dari disiplin teori hukum dengan filsafat hukum, ilmu hukum, hukum normatif dan hukum positif. Ada yang menyamakan antara filsafat hukum dengan teori hukum. Menurut Imre Lakatos, teori adalah hasil pemikiran yang tidak akan musnah dan hilang begitu saja ketika teori lainnya pada dasarnya merupakan keanekaragaman dalam sebuah penelitian. Menurut B.Arief Sidharta : “Teori Ilmu Hukum (rechtstheorie) secara umum dapat diartikan sebagai ilmu atau disiplin hukum yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis  menganalisis  berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya mau pun dalam pengejawantahan praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat. Obyek telaahnya adalah gejala umum dalam tatanan hukum positif yang meliputi analisis bahan hukum, metode dalam hukum dan kritik ideologikal terhadap hokum. Baca B.Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum,Semarang 2000,h.122. JJH Bruggink :” Teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum  dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan Baca HR Otje Salman et.al.”Teori Hukum”, 2002,h.60. Teori hukum yang muncul dari abad keabad dan dari generasi ke genari, tidak hanya memperlihatkan warna kosmologi dan semangat zamannya, tetapi juga memunculkan pergeseran cara pandang sesuai dengan peralihan zaman. maka di samping kita bertemu dengan para pemikir zaman klasik, pemikir abad pertengahan, pemikir zaman modern, dan pemikir kontemporer, tapi serentak itu pula kita berjumpa dengan generasi hukum alam, generasi rasionalisme, generasi historisme, generasi positivisme, generasi sosio-antropologi, generasi realisme, dan generasi-generasi lain sesudahnya. TEORI HUKUM ZAMAN KLASIK Teori hukum sejak filsuf Ionia hingga Epicurus diwarnai cakrawala religiusitas, baik yang bersumber pada mistis (pra abad ke-6 Seb. M) maupun yang bersumber pada religi Olympus (abad ke-5 sampai abad ke-1 Seb. M).  dalam kosmologi era sebelum abad ke-6 Seb. M, ‘yang ilahi’ itu ada dalam alam. Alam sepenuhnya dikuasai oleh kekuatan mistis. karenanya alam dipahami sebagai kekuatan yang mengancam, serba gelap, dan berjalan alamiah. hidup manusia, dengan demikian sepenuhnya tergantung pada nasib. manusia harus tunduk dan rela menerima nasib sesuai aturan alam, yakni lewat seleksi alam. Dalam konsep yunani, keadaan terwsebut menunjuk pada konsep psysis, yakni semua orang tidak sederajak dan olehkarena itu, terdapat orang orang tertentu berada dalam posisi lebih tinggi karena kekuatan / kekuasaannya. Didalam Surya Prakash Sinha, Jurisprudence Legal Philosophy in Nutshell, Minessota : West Publishing Co , 1993. Masuk abad ke-6 yang berlanjut hingga abad ke-1 Seb. M, kosmologi serba mistis berganti kosmologi religi Olympus. Dalam kosmologi ini, ‘yang ilahi’ itu (telah) ada dalam diri manusia, lewat logos (akal).  Logos merupakan akal dewa dewi yang mencerahkan dan menuntun manusia pada pengenalan akan yang ’benar’, ‘baik’, dan ‘patut’. Berkat logos yang mencerahkan itu, dimungkinkan terciptanya suasana keteraturan (nomos). Nomos inilah yang menjadi petunjuk hidup di duian riil. Nomos dapat mengambil bentuk dalam wujud kebiasaan maupun wujud aturan yang menuntun kehidupan umat manusia yang bermartabat. Sebagai kebalikan dari psysis, nomos menekankan pada kesederajatan setiap orang depan hukum, yang berarti memunculkan keharusan setiap orang tunduk pada nomos. Hukum Itu Tatanan Kekuatan: Teori Filsuf Ionia Teori ini adalah bagian dari para filsuf pertama Yunani sebelum abad ke-6 masehi. Generasi ini dikenal sebagai filsuf Ionia, seperti Anaximander, Thales, Heraklitus, dan Empedocles. Sebagai generasi filsuf awal, mereka sangat lekat dengan kosmologi alam(-iah) dan mistis yang melahirkan pandangan bahwa kekuatan merupakan inti tatanan alam. Hukum sebagai tatanan kekuatan, merupakan teori dari barisan para filsuf pertama yunani sebelum abad ke-6 SM. Generasi filsuf ini dikenal sebagai filsuf Ionia, seperti Anaximander, Thales, Heraklitos dan Empedocles. Sebagai generasi filsuf awal, mereka sangat lekat dengan kosmologi alam (-iah) dan mitis. Kosmologi alamiah melahirkan pandangan bahwa kekutan merupakan inti dari tatanan alam. Manusia sebagai bagian dari alam, tidak lebas dari kodrat yang tersebut. Bahkan manusia mewarisi kualitas “ Dionysian “ bawaan yang cenderung liar, menerima kekejaman dan siap menghadapi nasib yang ditimpakan oleh hidup sebagaimana apa adanya. Sedangkan mitis melahirkan konseposi tentang kesatuan alam dan manusia. Karena itu, apapun yang dibuat manusia termasuk hukum, harus mencerminkan dan searah dengan tatanan alam. Teori para filsuf ionia tentang hukum mencerminkan kosmologi diatas. Pertama , hukum merupakan tatanan yang dikuasai logika kekuatan karena memang berasal dan diperuntukan bagi manusia-manusia yang siap bersaing dalam kancah kekejaman dan nasib. Kedua, tidak ada perbedaan antara aturan alam dan aturan buatan manusia. Baik aturan alam maupun aturan manusia dianggap sebagai bagian dari logika alam, yakni logika kekuatan (Heroic Minded) Aturan Alam menjiwai aturan hukum,  Hukum kodrat yang paling operasional dalam alam adalah hukum “survival. Dalam catatan Karl Popper, ide ini sesungguhnya diadopsi dari kosmologi timur kuno yang menganggap dunia sekedar dari unit materi bukan unit moral, lihat : Karl R. Popper, Masyarakat terbuka dan musuh-musuhnya, terjemahan (Uzair Faisal), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002.” . Artinya hukum tidak lebih dan tidak kurang adalah persoalan mengenai bagaimana manusia bisa ada dan tetap ada (survive). Hukum adalah “ rumus-rumus untuk tetap survive “ ( Siapa yang kuat dialah yang menang ! ). Persoalan paling pokok dalam hidup manusia sebenarnya amat sederhana yaitu “ Ada “ atau “ Lenyap “, dan ini berlaku untuk semua makhluk hidup. Hukum Sebagai Tatanan Logos: Teori Kaum Sofis. Sofis (Sophistes) berarti seorang bijaksana atau orang yang memiliki keahlian pada bidang tertentu, meski pada masa pasca Socrates diartikan menjadi Sophistery yaitu orang-orang yang menipu orang lain dengan menggunakan keahlian retorikanya) Dengan latar belakang konsepsi religi Olympus tentang manusia (manusia memiliki jiwa dan raga), filsuf Sofis tidak lagi memandang kekuatan setelanjang barisan filsuf pertama. Dunia materi bukan segala-galanya. Ada unsur lain yang lebih utama: Logos yang dimiliki manusia. Dunia berpusat pada manusia yang punya logos itu, sehingga pun hukum pun juga berpusat pada manusia yang memiliki logos itu. Kaum Sofis memulai kegiatannya pada abad V SM, mereka adalah orang terpelajar yang berkeliling di Polis-polis negeri Yunani untuk megajar pemuda-pemuda yang ingin memainkan perannya dalam Politik Kenegaraan. Pada abad V, kebanyakan Polis Yunani sudah demokratis, artinya sejak abad itu polis bukan lagi kepentingan para sesepuh (res patricia), melainkan telah menjadi kepentingan umum (res publica), orang-orang yang mewakili rakyat memperhatikan kepentingan umum. Dapat dikatakan bahwa polis telah mempunyai aturan yang terang. Keharusan alamiah yang tadinya gelap dan bersifat membalas dendam secara rahasia, sudah berubah artinya menjadi hukum ynag terang melalui undang-undnag polis dan praktek hukum yang sesuai. Theo Huijbers, Loc.Cit.Hlm.20-21 Bagi kaum Sofis, hukum bukan lagi melulu sebagai gejala alam yang telanjang per se. Mereka mengaitkan hukum dengan ‘moral alam’, yakni logos –semacam roh ilahi yang memandu manusia pada hidup yang patut. wujudnya adalah nomos –yang dalam tradisi Yunani menunjuk pada kebiasaan sacral dan penentu segala sesuatu yang baik. Nomos hanya bisa eksis di dalam polis (negara kota di Yunani). Di luar polis hanya ada kekacauan. Esensi nomos sebenarnya soal kepatutan. Nomos menjunjung keadilan, menjamin keamanan, serta mendatangkan kesejahteraan. Karena nomos mengandung moral logos, maka pelanggar terhadap nomos perlu dihukum karena dianggap melakukan kesombongan. Nomos ini menurut Protagoras (salah satu eksponen Sofis), bisa tampil dalam bentuk kebiasaan, dan juga dalam bentuk undang-undang. Oleh karena itu, dalam tradisi Yunani, hukum (nomos) dan UU (nomoi) sangatlah penting untuk menata polis. Hukum Sebagai Tatanan Kebajikan Teori Socrates Socrates sama sekali tidak menyetujui pandangan Ionia dan kaum sofis. Terhadap Filsuf ionia Socrates menampilkan tokoh anti tesis Apollonian yang berwatak rasional, tertib, ramah, dan bermoral. Sedangkan terhadap kaum sofis, ia memancangkan mascot “pribadi berintegritas” yaitu manusia yang menjunjung tinggi satunya kata dan tindakan. Manusia bukanlah “Binatang Urakan” model Dionysian dan bukalah makhluk opurtunis ala Protagoras tetapi manusia, hakikat asasinya adalah wujud logos, dank arena itu kehdiupannya termasuk bidang hukum menerminkan keluhuran logos itu. Bagi Socrates, sesuai dengan hakikat manusia, maka hukum merupakan tatanan kebajikan. Tatanan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan bagi umum. Cara pandang Socrates itu mencerminkan ciripemikir Yunani masa itu yang selalu mengaitkan masala Negara dan hukum dengan aspek moral, yakni keadilan (lih. Dennis Lloyd, The Idea of Law..) Hukum bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat (kontra filsuf Ionia), bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonisme diri (kontra kaum Sofis). Hukum sejatinya adalah tatanan objektif untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum. Pemikiran Socrates itu harus dipahami dalam konteks pemikiran etisnya eudaimonia. Tujuan kehidupan manusia menurut Socrates adalah eudaimonia (kebahagiaan). Tentu menurut Socrates adalah kebahagiaan seperti dipahami orang Yunani, yakni suatu keadaan obyektif yang tidak tergantung pada perasaab subyektif. Bagi bangsa Yunani, eudaimonia berarti kesempurnaan jiwa yang oleh Plato dan Aristoteles diakui sebagai tujuan tertinggi dalam hidup manusia. Eudaimonia (kesempurnaan jiwa) menjadi inti filsafat kebijaksanaan Socrates. Demi mempertahankan filsafatnya, dia bersedia mati dengan meminum hemlock. Dari tiga butir yang menjadi saripati “filsafat kebijaksanaan” Socrates, dua diantaranya relevan diungkapkan di sini. Butir pertama, peningkatan jiwa, kepedulian terhadap kebijaksanaan dan kebenaran, merupakan keutamaan tertinggi (primum et summum bonum) dalam hidup manusia. Butir kedua adalah kebajikan yang tidak lain adalah pengetahuan. Menurut prinsip ini, untuk mengetahui kebaikan adalah dengan melakukan kebaikan. Kejahatan, kekeliruan atau semacamnya muncul karena kurangnya pengetahuan, ketidakacuhan, dan ketiadaan lainnya. Butir kedua ini adalah menyangkut integritas manusia. Hukum Sebagai Sarana Keadilan: Teori Plato Plato mengambil inti ajaran kebijaksanaan Gurunya Socrates dan mengaitkannya dengan hukum. Perbedaannya adalah jika Socrates menempatkan kebijaksanaan dalam konteks mutu pribadi individu warga polis, Plato justru mengaitkan kebijaksanaan dengan tipe ideal Negara polis dibawah pimpinan kaum aristokrat. Perbedaan itu terletak pada perbedaan asumsi tentang peluang kesempurnaan pada manusia. Bagi Socrates secara individual manusai dimungkinkan mencapai kesempurnaan jiwa secara swasembada. Sedangkan bagi Plato, keempurnaan individu hanya mungkin tercipta dalam konteks Negara dibawah kendali para guru moral, para pemimpin yang bijak, para mitra bestari, yakni kaum aristocrat. Menurut Plato kebaikan hanya dapat diterima oleh kaum aristocrat kaena mereka dalah orang-orang bijaksana maka dibawah pemerintahan mereka dimungkinkana danyapartisipasi semua orang dalam gagasan keadilan. Kondisi ini memungkinkan keadilan tercapai secara sempurna. Apabila ini terjadi maka hukum tidak diperlukan. Keadilan dapat tercipta tanpa ada hukum karena yang menjadi penguasa adalah kaum cerdik pandai dan bijaksana yang pasti mewujudkan Theoria (pengetahuan dan pengertian terbaiknya) ini diungkapkan Plato dalam bukunya The Republic. Dengan kata lain aristokrasi sebagai Negara ideal Plato adalah bentuk Negara yang pemerintahannya dipegang oleh kaum bijaksana yaitu para filsuf. Pemerintahan dijalankan dengan berpedoma pada keadilan sesuai dengan ide keadilan orang arif tersebut. Kaum bijak bertindak sebagai guru sekaligus pelayan kepentingan umum berbasis keadilan. Secara riil, Plato merumuskan teorinya tentang hukum, demikian: Hukum merupakan tatanan terbaik untuk menangani dunia fenomena yang penuh situasi ketidakadilan, Aturan-aturan hukum harus dihimpun dalam satu kitab, supaya tidak muncul kekacauan hukum, Setiap UU harus didahului preambule tentang motif dan tujuan UU tersebut. Manfaatnya adalah agar rakyat dapat mengetahui dan memahami kegunaan menaati hukum, Tugas hukum adalah membimbing para warga (lewat UU) pada suatu hidup yang saleh dan sempurna, Orang yang melanggar UU harus dihukum. Tapi itu bukan balas dendam. Karena pelanggaran adalah suatu penyakit intelektual manusia karena kebodohan. Cara mendidik itu adalah lewat hukuman yang bertujuan memerbaiki sikap moral para penjahat. Jika penyakit itu tidak dapat disembuhkan, maka orang itu harus dibunuh. Hukum Itu Rasa Sosial-Etis Teori Aristoteles Aristoteles mengaitkan teorinya tentang hukum dengan perasaan sosial-etis yang bukanlah bawaan alamiah ‘manusia sempurna’ versi Socrates, bukan pula mutu ‘kaum terpilih’ (aristocrat) model Plato. Perasaan sosial-etis ada dalam konteks individu sebagai warga Negara (polis). Berdiri sendiri lepas dari polis, seorang individu tidak saja bakal menuai ‘bencana’, tetapi juga akan cenderung lard an tak terkendai karena bawaan alamiah Dionysian-nya. Oleh sebab itu, hukum seperti halnya polis, merupakan wacana yang diperlukan untuk mengarahkan manusia ada nilai-nilai moral yang rasional. Inti manusia moral yang rasional menurut Aristoteles adalah memandang kebenaran (theoria, kontemplasi) sebagai keutamaan hidup (summum bonum). Dalam rangka ini, manusia dipandu dua pemandu, yakni akal dan moral. Akal (rasio, nalar) memandu pada pengenalan hal yang benar dan yang salah secara nalar murni, serta serentak memastikan mana barang-barang materi yang dianggap baik bagi hidupnya. Jadi akal memiliki dua fungsi, yaitu teoritis dan praksis. Untuk yang pertama, Aristoteles menggunakan kata Sophia yang menunjuk pada kearifan. Untuk yang kedua digunakan akta phronesis yang dalam terminologi Skolatik abad pertengahan  disebut prudentia (prudence). Moral sendiri menurut Aristoteles, memandu manusia untuk memilih jalan tengah antara dua ekstrim yang berlawanan, termasuk dalam menentukan keadilan. Moral memandu pada sikap moderat, sikap yang dalam bahasa sansekerta disebut dengan purata kencana. Dalam konstruksi filosofis mahluk moral yang rasional inilah, Aristoteles menyusun teorinya tentang hukum. Karena hukum menjadi pengarah manusia pada nilai-nilai moral yang rasional, maka ia harus adil. Keadilan hukum identik dengan keadilan umum, yang ditandai dengan hubungan  yang baik antara satu sama lain, tidak mengutamakan kepentingan pribadi tapi juga tidak mengutamakan kepentingan pihak lain, serta ada kesamaan. Di sini tampak kembali apa yang menjadi dasar teori Aristoteles, yakni perasaan ‘sosial-etis’. Tidak mengherankan jika formulasinya tentang keadilan bertumpu pada tiga sari hukum alam yang dianggapnya sebagai prinsip keadilan utama, yaitu: Honeste vivere, alterum non laedere, suum quique tribuere (hidup secara terhormat, tidak mengganggu orang lain, dan memberi kepada tiap orang bagiannya). Hukum dan Kepentingan Individu Teori Epicurus Epicurus membangun teorinya tentang hukum melalui konteks etika epicurunisme di mana tujuan kehidupan adalah kebahagiaan yang hanya mungkin tercipta jika tiada penderitaan jiwa-raga. Segala sesuatu yang dapat menyusahkan jiwa raga harus dihindari begitu juga kesenangan sensual dan indrawi yang mengakibatkan sakit raga dan penderitaan jiwa pun harus dijauhi. Gagasan utamanya adalah gagasan atomistik (individu-individu yang terpisah), yang muncul di tengah peperangan dan pergolakan politik yang melanda polis polis Yunani kala itu, di mana semua peristiwa tersebut dianggap menderitakan raga dan menyengsarakan jiwa. Dari Epicurianisme inilah, hukum (sebagai aturan public), mesti dipandang sebagai tatanan untuk melindungi kepentingan-kepentingan perorangan. Undang-undang diperlukan demi mencegah terjadinya kekerasan dan menghindari ketidakadilan akibat konflik kepentingan individual yang senantiasa muncul. Dengan kata lain, hukum diperlukan untuk mengatur kepentingan-kepentingan individu secara damai demi terjaganya keamanan raga dan kedamaian jiwa. Oleh karena itu, tugas hukum adalah sebagai instrument ketertiban dan keamanan bagi individu-individu yang sama-sama merindukan hidup tenang dan tentram. Dari Teori Epicurus dapat dipahami 3 hal tentang hukum yaitu : Mengingatkan kita bahwa setiap system hukum dibangun dalam konteks realitas tertentu yang mencerminkan situasi atau semangat zaman itu, oleh karena itu setiap analisis terhadap tatanan hukum harus selalu memperhitungkan aspek konteks situasi dibelakang kelahiran tatanan hukum itu. Persoalan hukum bertali-temali dengan struktur dan susunan masyarakat dimana hukum itu muncul. Struktur dan susunan masyarkat itu harus menjadi satuan analisis dalam setiap kajian terhadap hukum. Mendorong untuk melakukan kajian komparasi tentang profil hukum dalam berbagai jenis masyarakat. Bernard T, Teori Hukum, loc.cit, hlm 48-53 TEORI HUKUM ABAD PERTENGAHAN Abad pertengahan merupakan suatu era di mana pemikiran serba Ilahiah (utamanya teologi Kristen) begitu dominan. Manusia dan alam dianggap berada di bawah kendali Alhalik. Sama seperti logos di era sebelumnya. Tokoh-tokoh dalam teoeri hukum ini adalah Agustinus (penghujung terakhir zaman klasik/tahun 400 M) dan Thomas Aquinas (paruh kedua abad pertengahan/Tahun1200 M) tertib manusia, termasuk teori tentang hukum diletakan dalam tatanan ‘cinta kasih dan hidup damai’ yang merupakan jawaban atas campur tangan Ilahi dalam hidup manusia. Hukum Itu Tatanan Hidup Damai: Teori St. Agustinus Serupa dengan nuansa hukum alam zaman Yunani dan Romawi Kuno, St. Agustinus membangun teorinya mengenai hukum di bawah tema keadilan juga. Akan tetapi karena pengalaman pahit pergolakan menjelang keruntuhan kekaisaran Romawi, menyebabkan ia memberi poin tambahan pada unsur hukum alam sebelumnya, yaitu mengenal Tuhan dan hidup saleh, yang merupakan salah satu unsur penting dari keadilan selalin hiudp yang baik, tidak menyakiti siapa pun dan memberi kepada setiap orang apa yang menjadi miliknya. Agustinus mengadopsi zwei zwaarden theorie (teori dua pedang) dari Paus Gelasius yakni pedang kerohanian dan pedang keduniawian. Pemilahan tersebut berdampak bagi pembentukan hukum sebagai berikut: (i) Hukum yang mengatur soal keduniawian (kenegaraan), (ii) Hukum yang mengatur soal keagamaan (kerohanian). Selain itu terdapat juga dua macam kodifikasi hukum: (i) kodifikasi yang diselenggarakan oleh Raja Theodosius dan Raja Justianus, yang merupakan kodifikasi oleh Negara dan dinamakan Corpus Iuris, dan (ii) kodifikasi yang diselenggarakan oleh Paus Innocentius, yang diadakan oleh gereja dan dinamakan Corpus Iuris Canonici. Corpus Iuris terdiri atas empat bagian: Instuten, ajaran yang mengikat seperti undang-undang, maksudnya bila ada hal-hal yang kurang jelas pengaturannya dapat dicari dalam Instuten. Pandecten: penafsiran suatu peraturan oleh para sarjana. Codex: Peraturan atau undang-undang yang ditetapkan oleh raja. Novellen: Tambahan dari suatu peraturan atas undang-undang. Sebagai tokoh agama, Agustinus menempatkan hukum Ilahi (lex aeterna) sebagai cita dan hukum positif yang tidak boleh dilampaui. Jika hukum positif (lex tempralis) melanggar aturan Ilahi itu, maka ia telah kehilangan kualitas hukumnya. Hukum Itu Bagian Tatanan Ilahi: Teori Thomas Aquinas Tidak berbeda jauh dengan Agustinus, Aquinas pun mendasarkan teorinya tentang hukum dalam konteks moral agama Kristen. Hukum diperlukan untuk menegakan moral di dunia. Karena zaman ini merupakan era dominasi agama (yang diawali oleh agama Kristen), maka kehidupan moral dimaksud menunjuk pada ukuran agama tersebut. Imperatif-impertif moral tersebut berpengaruh pula terhadap hukum. Tata hukum harus dibangun dalam struktur yang berpuncak pada kehendak Tuhan. Karena itu, sebagaimana tercerminkan dalam doktrin Thomas Aquinas, konfigurasi tata hukum dimulai dari (i) Lez Aeterna: Hukum dan kehendak Tuhan, (ii) Lex Naturalis: Prinsip umum (hukum alam), (iii) Lex Devina: Hukum Tuhan yang dalam Kitab Suci (iv) Lex Humane: hukum buatan manusia yang sesuai dengan hukum alam. Hukum pada dasarnya merupakan cerminan tatatan Ilahi. Legislasi hanya memiliki fungsi untuk mengklarisfikasi dan menjelaskan tatanan Ilahi itu. Tugas hakim adalah untuk menegakkan keadilan melalui fungsinya menerapkan hukum dalam kaitan dengan pemberlakuan undang-undang. Pemikiran Aquinas ini hanya bisa dipahami dalam konteks kosmologi dan ontology Skolatik. Kosmologi dimaksud adalah mengijinkan penalaran rasional selama batas-batas yang diterapkan oleh wahyu Ilahi tidak dilanggar. Penerapan hukum positif pada kasus riil, harus dibaca sebagai implementasi hukum Ilahi. Dalam konteks itulah Aquinas membedakan antara hukum yang berasal dari wahyu, dengan hukum yang dijangkau oleh akal manusia. Hukum yang berasal dari wahyu disebut ius divinum positivum (hukum Ilahi positif). Sedangkan hukum yang ditemui lewat kegiatan akal, terdiri dari beberapa jenis, yakni (i) Ius naturale (hukum alam), (ii) Ius gentium (hukum bangsa-bangsa), dan (iii) Ius positivum humanum (hukum positif buatan manusia). Dalam system Aquinas, akal berada di atas kehendak. Bagi Aquinas, akal berada di atas kehendak. Akal itu mencerahkan, sedangkan kehendak cenderung naluriah. Itulah sebabnya, hukum yang berintikan iustum (keadilan), mutlak merupakan produk akal. Tentang keadilan Aquinas membedakan dalam tiga kategori: (i) Iustitia distributiva (keadilan distributif), yang menunjuk pada prinsip kepada yang sama diberikan sama, kepada yang tidak sama diberikan yang tidak sama pula. Ini disebut kesaderajatan geometris. (ii) Iustitia commutative (keadilan komutatif atau tukar menukar), menunjuk pada keadilan berdasarkan prinsip aritmetis, yaitu penyesuaian yang harus dilakukan apabila terjadi perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum. (iii) Iustitia legalis (keadilan hukum), yang menunjuk pada ketaatan terhadap hukum. Bagi Aquinas, menaati hukum bermakna sama dengan bersikap baik dalam segala hal (dan diasumsikan hukum itu berisi kepentingan umum), maka keadilan hukum disebut juga sebagai keadilan umum (iustitia generalis). 3. TEORI HUKUM ERA RENAISSANCE Sebagai filsuf, para pemikir zaman modern, terutama era Renaissance, masih juga dipengaruhi kosmologi metafisika. Mereka tetap mengakui adanya hukum alam tapi tidak menjadikanya sebagai perhatian utama. Bagi filsuf-filsuf seperti Jean Bodin (1530-1596), Hugo Grotius (1583-1645), dan Thomas Hobbes (1588-1679) hukum positiflah (buatan manusia) yang menjadi fokus perhatian. Hukum itu Perintah Penguasa Berdaulat Teori Jean Bodin Bagi Bodin, kekuasaan raja adalah kekuasaan tertinggi atas warga dan rakyat. Raja sendiri tidak terikat oleh hukum (summa in cires ac subditos legibusque solute potestas). Sebab jika raja berada di bawah hukum, maka itu akan menghancurkan makna dasar kedaulatan (yang satu, bulat, dan superior). Karena teorinya tentang kedaulatan yang menjurus pada negara, maka Bodin dikenal sebagai penganut doktrin kedaulatan negara. Bagi Bodin, hukum adalah penjelmaan dari kehendak Negara. Negaralah yang menciptakan hukum, dan Negara adalah satu-satunya sumber hukum yang memiliki kedaulatan. Di luar Negara, tidak ada yang berwenang menetapkan hukum. Apakah dengan demikian Bodin menjadi penganjur kekuasaan otoritarian? Dalam teorinya tentang hukum, Bodin terkesan tidak sepenuhnya memihak kekuasaan mutlak. Ia masih berpegang pada cita hukum alam. Hukum (jus) adalah baik dan tanpa perintah. Sedangkan perundang-undangan (leges) dihasilkan dari penerapan kedaulatan orang yang memerintah. Implisit ia membedakan hukum sebagai perundang-undangan, dengan hukum yang bersumber dari moral dan keadilan. Hukum itu Tatanan Keamanan: Teori Thomas Hobbes Thomas Hobbes melihat hukum sebagai kebutuhan dasar bagi keamanan individu. Di tengah orang-orang liar yang suka saling memangsa, hukum merupakan alat yang penting bagi terciptanya masyarakat yang aman dan damai. Tidak ada pengertian adil atau tidak adil. Yang ada, hanya nafsu-nafsu manusia. Dalam keadaan seperti itu, terjadilah bellum omnium contra omnes di mana setiap orang selalu memperlihatkan keinginannya yang sungguh-sungguh egoistis. Watak manusia ala Dionisyan ala filsun Ionia dan individu egoistis Epicurus, seolah hidup kembali dalam teori Hobbes. Jika tidak ada hukum, maka demi mengejar kepentingan diri, mereka akan terlibat dalam war all against all (perang semua melawan semua). Tanpa hukum yang ditegakkan oleh penguasa yang kuat, maka individu-individu akan saling membinasakan (homo homini lupus). Hukum adalah pilihan sadar manusia untuk mengamankan hidup masing-masing terhadap serangan orang lain. Agar efektif, hukum butuh penegak yang kuat, yaitu penguasa yang punya kekuasaan yang besar. Thomas Hobbes juga melihat hukum alam (yang intinya keadilan, kesetaraan, kerendahatian, kemurahatian, dan semua yang sebaiknya dilakukan) sebagai tatanan perilaku yang terdiri dari aturan-aturan bijak. Keluhuran hukum alam menjadi panduan bagi raja dalam ‘mengeluarkan perintah’. Hukum itu Kesadaran Sosialitas: Teori Hugo Grotius Grotius merupakan penganut humanisme awal zaman modern. Ia memandang manusia sebagai oknum pribadi yang bebas serta memiliki hak-hak tertentu. Hal ini berlaku bagi setiap manusia. Hukum sangat dibutuhkan agar tiap orang kembali pada kodratnya sebagai ‘manusia’ sosial yang berbudi. Hukum yang demikian, merupakan ‘pengawal’ dalam sosiabilitas manusia untuk menjamin agar prinsip-prinsip ‘individu sosial’ yang berbudi itu tetap tegak. Prinsip-prinsip yang dimaksud: (1) milik orang lain harus dihormati; (2) kesetiaan pada janji. Kontrak yang harus dihormati (pacta sunt servanda); (3) harus ada ganti rugi untuk tiap kerugian yang diderita; (4) harus ada hukuman untuk setiap pelanggaran. Empat prinsip di atas, merupakan inti hukum alam versi Grotius. Menurutnya hukum ama adalah segala ketentuan yang benar dan baik menurut rasio, tidak mungkin salah, lagipula adil. Bahkan tidak dapat diganggu gugat. Tuhan sendiri tidak dapat mengubaj kebenaran hukum itu. Seandainya Tuhan tidak ada pun, atau tidak memperdulikan manusia, maka hukum alam sebagai hasil akal manusia, dapat memimpin manusia itu sendiri. Tesis ini sekaligus membantah Aquinas dan Althusius yang mengatakan hukum alam itu berasal dari Tuhan. Bagi Grotius, hukum alam berasal dari rasio, bukan dari Tuhan. 4. TEORI HUKUM ERA AUFKLARUNG Kosmologi era Aufklarung diwarnai “kekuasaan” akal atau rasio manusia. Manusia era ini adalah individu yang rasional, bebas dan otonom. Disini muncul teori tentang hukum sebagai tatanan perlindungan hak-hak dasar manusia. Hukum Itu Perlindungan Hak Kodrat Teori John Locke Sebagai penganut hukum alam abad ke-18, locke berpegang pada prinsip hukum alam zaman itu yaitu kebebasan individu dan keutamaan rasio. Ia juga mengajarkan kontrak sosial, serupa dengan Hobbes, perbedaannya dengan Hobbes, Locke menyatakan bahwa yang melakukan kontrak sosial bukanlah orang yang takut dan pasrah melainkan adalah orang-orang yang tertib, elan, dan menghargai kebebasan, hak hidup, dan kepemilikan harta sebagai hak bawaan setiap manusia. Menurut Locke, hak-hak tersebut tidak ikut diserahkan kepada penguasa ketika kontrak sosial dilakukan. Oleh karena itu, kekuasaan penguasa yang diberikan lewat kontrak sosial dengan sendirinya tidak mungkin bersifat mutlak. Rakyat sendirilah yang harus menjadi pembuat hukum. Locke menempatkan kekuasaan legislasi sebagai inti bagi kehidupan politik, sehingga hukum yang dibuat negara pun bertugas untuk melindungi hak-hak dasar tersebut. Hukum Itu Produk Akal Praktis Immanuel Kant Kant dikenal dengan Imperatif kategorisnya di mana ada dua norma yang mendasari prinsip ini: Tiap manusia diperlakukan sama sesuai martabatnya, harus diperlakukan selaku subjek, bukan objek; Manusia harus mendasari tindakannya dengan dalil berdasarkan prinsip semesta. Menurut Kant, dalam kebebasan dan otonominya, tiap-tiap individu cenderung memperjuangkan kemerdekaan yang dimilikinya. Tapi sangat mungkin pelaksanaan kemerdekaan seseorang bisa merugikan kemerdekaan orang lain sehingga untuk menghindarinya dibutuhkan hukum Karena hukum harus berpedoman pada dua prinsip kategoris dimaksud, maka Kant memasukkan hukum dalam bidang “akal praktis”. Hukum merupakan bidang sollen, bukan bidang sein. Akal murni merupakan media untuk melihat “yang ada” (sein) yakni alam, fakta dan semua yang dapat direkam oleh indera. Sedangkan akal praktis merupakan media untuk menangkap bidang “harus” (sollen), yakni norma-norma. Aturan hukum sebagai norma hukum positif, bukanlah bidang keharusan yang otonom. Ia merupakan lembaga keharusan yang heteronom. Hukum Itu Keharusan Teori Cristian Wolff Teori dari Cristian Wolff ini berangkat dari pengandaian bahwa hukum alam, seperti juga hukum lainnya, berbasis kewajiban. Tiada hukum tanpa kewajiban yang mendahului keberadaannya. Wolff mengajukan tiga eselon norma yang menjadi pedoman norma hukum. Pertama norma “tingkat rendah” (mengatur hubungan manusia dengan benda). Prinsip dasar dalam norma ini adalah : Jangan merugikan orang lain (neminem laedere). Kedua, norma “tingkat menengah” (mengatur hubungan antar-orang). Prinsip utama disini ialah Berikan setiap orang menurut haknya (unicuique suum tribuere). Ketiga, norma “tingkat tinggi” (mengatur hubungan manusia dengan Tuhan). Disini berlaku hak dan kewajiban orang untuk berbakti kepada Tuhan (ius pictatis atau ius internum). Prinsip dasar dalam bidang ini ialah bertingkah laku secara luhur dan terhormat (honeste vivere). Hukum dan Lingkungan Fisik Teori Mostesquieu Mostesquieu berpendapat bahwa hukum adalah soal jenis-jenis hukum. Menurutnya, semua makhluk termasuk manusia mempunyai hukumnya sendiri-sendiri. Pertama, hukum alam yang jelas tidak dapat di ubah dan dipertetangkan. Kedua, hukum agama yang berasal dari Tuhan. Ketiga, hukum moral dari ahli filsafat dimana hukum ini dapat dibuat dan diubah. Keempat, hukum politik dan sipil. “hukum sipil” adalah produk produk civil state yang bernuansa non-politik. Montesquieu menganggap bahwa republik sebagai bentuk Negara terbaik karena diperintah oleh rakyat banyak. Rakyat yang memegang kedaulatan, memberikan mandat serta legitimasi kepada orang-orang tertentu untuk memerintah negara. Akan tetapi mandat tersebut rawan untuk disalahgunakan sehingga untuk mencegahnya maka kekuasaaan Negara tidak boleh dimonopoli dan tersentralisasi oleh penguasa atau lembaga politik tertentu, kekuasaan negara perlu dibagi-bagi inilah yang kemudian dikenal dengan konsep pemisahan kekuasaan negara atau trias politica. Pengertian dari trias politica ini adalah pengawasan (check and balance) dari suatu cabang pada cabang yang lain . Perwujudan dari konsep Trias Politica Mostesquieu, adalah adanya pembagian kekuasaan negara kedalam tiga fungsi, legislatif, eksekutif dan yudikatif. Mostesquieu berpendapat, kekuasaan negara dipisahkan secara tegas menjadi tiga, kekuasaan perundang-undangan (legislatif), kekuasaan melaksanakan pemerintahan (eksekutif), kekuasaan kehakiman (yudikatif) yang masing-masing kekuasaan itu dilaksanakan oleh suatu badan yang berdiri sendiri, maka hal ini akan menghilangkan kemungkinan tindakan yang sewenang-wenang dari seorang penguasa. Menurut Mostesquieu dengan adanya lembaga legislatif, kepentingan rakyat dapat terwakili secara baik. Hukum Itu Kehendak Etis Umum Teori Rousseau Rousseau melihat keberadaan sejati manusia sebagai oknum yang memiliki otonomi etis. Menurut Rousseau suatu norma hukum memiliki nilai kewajiban dan absah mengikat, bukan melulu karena diciptakan dengan partisipasi bebas dari manusia yang tunduk padanya. Lebih dari itu ia harus benar-benar mencerminkan kemauan bersama dari orang-orang bebas tersebut. Rakyatlah yang berdaulat, bukan badan legislasi itu sendiri. Jelaslah bahwa hukum merupakan “pribadi moral” dan “pribadi publik” yang berasal dari kontrak sosial dan melindungi kekuasaan bersama disampin kekuasaan dan milik pribadi. Hukum Itu Kaidah Menggapai Simpati Teori David Hume Menurut Hume, tidaklah manusia ditentukan oleh hasrat, bukan oleh rasio. Menurut Hume, segala sesuatu yang memberi kebahagiaan bagi masyarakat, akan dengan sendirinya disambut dengan aprobasi (penerimaan baik). Jadi dapat disimpulkan, hukum bagi Hume merupakan alat pencapaian cita-cita sosial. Cara yang dimaksud Hume adalah melalui prinsip-prinsip hukum alam, yakni keterjaminan kepemilikan, tidak menguasai barang secara berlebihan, perolehannya harus dilakukan secara halal, pemindahannya harus berdasarkan kesepakatan dan berusaha setia pada janji. Hukum Itu Penyokong Kebahagiaan Teori Jeremy Bentham Teori dari Jeremy Bentham ini adalah individualisme utilitarian. Katanya, alam telah menempatkan umat manusia dibawah pemerintahan dua penguasa, yakni suka dan duka. Doktrin Bentham tentang manusia sebenarnya sudah kita temukan pada pemikiran Hume sebelumnya bahwa tindakan manusia terkait dengan hasrat. Pertentangan antara kepentingan sendiri dengan kepentingan bersama, dilakukan Mill dengan mengadu domba naluri intelektual dan naluri non-intelektual dalam diri manusia. Teori Utilitarisme Mill “rata-rata” sesunguhnya lebih berbahaya dari yang disangka orang. Menurut Rawls, dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utalitarisme ala Mill itu, orang-orang akan kehilangan harga diri dan lagi pula pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Susunan dasar masyarakat dimanapun, Kata Rawls selalu ditandai oleh ketimpangan. Ada yang lebih diuntungkan, dan ada yang kurang diuntungkan. Oleh karena itu, hukum sebagai salah satu unsur susunan dasar masyarakat, harus berdasarkan sedemikian rupa berdasarkan dua prinsip. Pertama, menetapkan kebebasan yang sama bagi setiap orang untuk mendapat akses pada kekayaan, pendapatan, makanan dan kebebasan. Kedua, prinsip perbedaan dan prinsip persamaan atau kesempatan. Menurut Rawls, prinsip yang pertama harus berlaku terlebih dahulu sebelum prinsip yang kedua. 5. TEORI HUKUM ABAD KE-19 Situasi zaman abad ke-19 ditandai oleh beberapa kecenderungan utama. Pertama, terjadinya revolusi sosial ekonomi, terutama akibat revolui industri. Kedua, munculnya penolakan terhadap rasionalisme universal abad sebelumnya yang dianggap cenderung mengabaikan ciri khas suatu masyarakat atau bangsa. Ketiga, hampir bersamaan dengan historisme, muncul pada pemikiran evolusionisme yang berusaha melacak perkembangan kebudayaan manusia dari tradisional ke modern. Pemikir utama arus ini adalah Sir Henry Maine dan durkheim. Hukum Itu Kepentingan Orang Berpunya Teori Karl Marx Menurut Marx, hukum adalah alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu. Faktanya hukum melayani kepentingan “orang berpunya”. Karl Marx berupaya menganalisis proses-proses ekonomi dalam intern kapitalis sebagai kompleks krisis yang akan menghancurkan sistem kapitalis itu sendiri yang kemudian akan melahirkan masyarakat sosialis. Dilingkungan Frankfurter Schule, kritik dipakai sebagai nama teori mazhab ini “teori kritis”, membidik masalah positivisme ilmu-ilmu sosial sebagai sasaran kritik. Yaitu, anggapan bahwa bahwa ilmu-ilmu sosial bebas nilai terlepas dari praktek sosial dan moralitas, dapat dipakai untuk prediksi, bersifat objektif dan sebagainya. Kritik bertolak dari sebuah kebutuhan untuk perubahan menuju yang lebih baik. Ada situasi negatif, ada kepentingan untuk seluruh mengatasi situasi itu. Menurut Marx, sejarah manusia merupakan sejarah dari pertentangan kelas. Dizaman feodal, terjadi pertentangan antara kelas bangsawan dengan kelas petani. Dizaman perbudakan, muncul pertentangan antara pemilik budak dengan budaknya. Sedangkan dizaman kapitalisme, kelas pemilik modal melawan buruhnya. Pertentangan kelas itu baru berhenti pada saat terciptanya masyarakat komunis, dimana kelas buruh berkuasa. Semua orang adalah buruh sekaligus majikan. Hasilnya, tidak ada pertentangan kelas di masyarakat. Hukum Itu Jiwa Rakyat Teori Savigny Menurut Savigny, terdapat hubungan organik antara hukum dengan watak atau karakter suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari volkgeist. Oleh karena itu “hukum adat” yang tumbuh dan berkembang dalam rahim volkgeist, harus dipandang sebagai hukum kehidupan yang sejati. Keberatan Savigny terhadap kodifikasi hukum Jerman juga didasarkan pada pertimbangan yang lebih realistis. Menurutnya, kodifikasi hukum selalu membawa serta suatu efek negatif, yakni menghambat perkembangan hukum. Menurut Savigny sejarah itu berjalan terus dan berkembang setiap saat. Memang dalam tesis Savigny, hukum itu sejak awal sejarah melekat ciri nasional. Seperti halnya bahasa, adat istiadat dan konstitusi, ia khas bagi rakyat. Fenomena hukum tidak berdiri sendiri ia disatukan dalam watak rakyat berkat adanya kesatuan pendirian dari rakyat itu sendiri. Roh dari hukum itu adalah Volkgeist. Diletakkan dalam konteks zamannya, teori Savigny ini dapat dilihat sebagai serangan terhadap dua kekuatan yang berkuasa pada zaman itu, yakni : (i). Rasionalisme dari abad ke-18 dengan kepercayaannya pada kekuasaan dan akal dan prinsip-prinsip absolut yang universal yang membuahkan teori-teori hukum nasionalistik tanpa memandang fakta historis lokal, ciri khas nasional, serta kondisi-kondisi sosial setempat, (ii). Kepercayaan dan semangat revolusi prancis yang cenderung anti tradisi, serta telampau mengandalkan kekuatan akal dan kehendak manusia dalam mengkonstruksi gejala-gejala hidup di bawah pesan-pesan kosmopolitannya. Hukum Itu Produk Adaptasi Sosial Teori Henry S. Maine Maine dikenal dengan teorinya Movement from status in contract. Teori evolusi ini dihasilkan dari studi perbandingan yang dilakukannya pada masyarakat Asia. Dari sana, ia temukan dua tipe masyarakat, yakni : (i). Statie Sosietis (Cina dan India), (ii). Progressive Societis (Eropa). Dalam masyarakat yang statis, hukum bertugas meneguhkan hubungan antar status. Sebaliknya, pada mayarakat yang progresif, hukum berfungsi sebagai media kontrak antar prestasi. Teori Maine tidak terlepas dari telaah studi perbandingan mengenai perkembangan sistem hukum yang bervariasi di berbagai belahan dunia. Hukum Itu Moral Sosial Teori Emile Durkheim Teori Durkheim ini, menempatkan hukum sebagai moral sosial. Durkheim sendiri bukanlah tergolong jajaran filsuf klasik yang melulu berurusan dengan persoalan moral. Menurut Durkheim, sistem pembagian kerja menentukan solidaritas sosial. Solidaritas sosial itu sendiri merupakan jenis yang abstrak. Ia merupakan “roh” yang mengikat orang-orang pada “kerangka keyakinan” bersama dalam membangun hidup yang terintegrasi. Dalam konsep Durkheim, hukum sebagai moral sosial pada hakekatnya adalah ekspresi solidaritas sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat. Hukum adalah cerminan solidaritas. Tampaknya, haluan aliran Marx dan Maine yang bernuansa evolusionisme dan ekonomi itu, tertular pula pada Durkheim yang lahir hampir empat dasa wasa kemudian. Ia membangun teorinya tentang hukum di karya utamanya “pembagian kerja”. Baik “hukum yang menindak” maupun “hukum yang memulihkan”, keduanya memiliki tujuan yang sama yakni integrasi sosial. beda jalan, tapi satu tujuan. “Hukum yang menindak” merupakan “jalan” (cara dan strategi) yang ditempuh masyarakat tradisional. Sedangkan masyarakat modern mengambil haluan yang berbeda, yakni lebih memanfaatkan “hukum yang memulihkan”. Keduanya berbeda karena basis ideologinya berbeda. Hukum Itu Tata Hukum Teori Austin Bagi Austin, tata hukum itu nyata dan berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, bukan pula karena cermin keadilan dan logos, tetapi karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari institusi yang berwenang. John Austin sebagai analytical legal positivism-nya, menjadi penganut utama aturan positivisme yuridis. Austin bertolak pada kenyataan bahwa terdapat suatu kekuaaan yang memberikan perintah-perintah, dan ada orang yang pada umumnya menaati perintah-perintah tersebut. Untuk dapat disebut hukum, kata Austin harus memiliki unsur-unsur: (1). Adanya seorang penguasa (souvereighnity), (2). Suatu perintah (Command), (3). Kewajiban untuk menaati (duty), (4). Sanksi bagi mereka yang tidak taat (Sanction). Austin menggantikan ideal keadilan yang secara tradisional dipandang sebagai pokok utama segala hukum dengan perintah seorang yang berkuasa. Aturan yang tidak mengandung keutamaan, tidak layak disebut hukum. Ia lebih tepat dipaksa disebut paksa yang dilegalkan. Memang Hans Kelsen berupaya memberi pendasaran normatif melalui Grundnorm. Sesuai peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku pada jenjang yang lebih tingi berpuncak pada Grundnorm. Tapi apa isi grundnorm itu, tidak menjelaskannya. Hukum Itu Ide Umum Aturan Positif Teori Ernst Bierling Hukum itu, ide umum tata hukum positif itulah inti dari teori dari ajaran hukum. Ajaran hukum umum mencari ide-ide hukum yang berlaku dimana-mana karenanya dianggap universal dan tetap. Tapi ide-ide itu bukan diambil dari isi atau materi hukum positif, tetapi dari aspek formal yuridisnya. Alasannya sederhana. Materi hukum selain cenderung tidak tetap dan berubah-ubah juga karena ia berasal dari sumber-sumber non yuridis. 6. TEORI HUKUM ABAD KE-20 Humanisasi hidup dan berkeadilan sosial tampil sebagai “kekuasaan” baru yang dihadapi manusia di abad ke-20. Persoalan sekitar dua hal itu, sangat beragam. Pertama, tragedi sosial dan kemanusiaan akibat perang dunia I dan II. penindasan kejam dari rezim politik yang totaliter di era Hitler dan Stalin disamping tragedi-tragedi lain tentang kemanusiaan. Kedua, kian meluasnya struktur-struktur sosial, budaya, politik dan ekonomi yang meminggirkan dan menindas kelompok-kelompok periferi. Ketiga, bersamaan dengan kian kuatnya peran negara dan hukum dalam segala aspek kehidupan sosial juga memunculkan beragam sikap. A. Teori Neo-Kantian Dimana Letak Sifat Normatif Dari Hukum ? Ciri khas pemikir Neo-Kantian adalah, mencari suatu pengertian transedental tentang hukum, yaitu sifat normatifnya. Neo-kantian merupakan reaksi terhadap positivisme. Neo-kantian menolak tredo positivisme yang terlampau empiristis. Neo kantian sendiri, terbagi dalam dua varian. Pertama, aliran Marburg yang memberi perhatian pada penalaran logis (menurut logika ilmu alam) dalam teorisasinya. Kedua, aliran Baden yang cenderung memberi perhatian pada nilai-nilai, dan atas refleksi tentang ilmu-ilmu kultural. Hukum Itu Normatif, Karena Kehendak Yuridis Teori Rudolf Stammler Mengenai teorinya tentang kemauan, Stammler beranjak dari asumsi “tindakan bertujuan”. Katanya : “orang mau berbuat sesuatu, pasti untuk mengejar suatu tujuan”. Jadi tujuan menentukan perbuatan. Bagi Stammler, perbuatan merupakan “materi dari kemauan”, sedangkan tujuan adalah “bentuk”. Kata Stammler, apa yang dikehendaki manusia dalam kehidupan sosial adalah hidup bersama yang teratur. Untuk menjamin hidup (bersama) yang teratur itu, dibutuhkan “perbuatan”, yakni peraturan segala yang terdapat dalam kehidupan bersama tersebut. Dalam teori Stammler, jelas kiranya bahwa hidup bersama yang teratur, menghendaki adanya hukum sebagai penjamin keteraturan. Kehendak akan hukum itulah yang oleh Stammler disebut “kehendak yuridis”. Hukum merupakan kehendak yuridis manusia. Kehendak itu memicu kesadaran bersama (bukan orang perorang) suatu masyarakat manusia untuk membentuk peraturan-peraturan hukum. Kata Stammler tanpa hubungan-hubungan yuridis yang mengikat semua tiap orang, maka kehidupan akan cenderung ditentukan mau dan caranya orang per orang. Kehidupan seperti ini, lambat laun akan mengarah kepada kekacauan sehingga manciderai cita-cita kehidupan berama, yakni hidup damai dan teratur. Hukum Itu Normatif karena Grundnorm Teori Hans Kelsen Kelsen bertolak dari dualisme Kant antara “bentuk” dan “materi”. Kelsen mengamini perbedaan antara bidang “ada” (sein) dan bidang “harus” (sollen) sebagai suatu unsur dari pengetahuan manusia. Bidang sein berhubungan dengan alam dan fakta, sedangkan bidang sollen justru berkaitan dengan kehidupan manusia. Menurut Hart, secara umum pengertian Austin memang tepat, sebab benarlah bahwa pemerintah yang disebut hukum, dikeluarkan oleh seorang yang berkuasa dan bahwa perintah-perintah itu biasanya ditaati. Hukum Itu Normatif, Karena Nilai Keadilan Teori Gustav Radbruch Dalam mengkonstruksi teorinya, Radbruch bertolak dari tesis mashab Baden yakni kebudayaan. Bagi Radbruch yang mengikuti Lask, kebudayaan itu adalah nilai-nilai manusia. Baik pengetahuan, seni, moralitas maupun hukum adalah bagian dari kebudayaan. Menurut Radbruch gagasan hukum sebagai gagasan kultural tidak bisa formal. Sebaliknya, ia terarah pada rechtsidee yakni keadilan. Tuntutan akan keadilan dan kepastian menurut Radbruch merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum. Sedangkan finalitas mengandung unsur raltivitas karena tujuan keadilan untuk menumbuhkan nilai kebaikan bagi manusia, lebih sebagai suatu nilai etis dalam hukum. Bila tujuan hukum adalah kemajuan negara, maka tujuan itu menghasilkan tujuan hukum kolektif. Wolfgang Friedmann menyebut semboyan-semboyan yang dilekatkan dalam tiga subjek itu adalah kemerdekaan, bangsa, dan peradaban. Radbruch mengakui selalu terjadi pertentangan antara tiga aspek tersebut. Dalam negara sistem hukum kolektif maka kemungkinan timbul pertentangan antara finalitas dan keadilan. Menurut keadilan, orang itu harus dihukum, tetapi finalitas tidak menginginkannya. Radbruch mengakui adanya hukum alam yang mengatasi hukum positif, yaitu: (i). Setiap individu harus diperlakukan menurut keadilan didepan pengadilan, (ii). Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar, dan (iii). Harus ada keseimbangan antara pelanggaran dan hukuman. B. Teori Dari Kubu Neo-Positivisme Hukum Itu cermin Rasionalitas dan Otoritas Weber membuat deskripsi-deskripsi analitis tentang tahap-tahap perkembangan hukum. Weber menggunakan ukuran “tingkat rasionalitas” dan “model kekuasaaan” untuk mengkonstruksi teorinya tentang hukum. Disini ada tiga tingkat rasionalitas, yakni : (i). Substantif-irasional, (ii). Subtantif dengan sedikit kandungan rasional, (iii). Rasional penuh. Weber juga menggunakan tipe otorites (model kekuasaan), sebagai basis teorinya mengenai hukum. Tipe pertama adalah tipe kharismatik. Tipe kedua, tipe tradisional yang bertumpu pada kepercayaan menurut tradisi terhadap orang yang dianggap layak memimpin masyarakat. Sedangkan tipe ketiga adalah otoritas yang rasional. Masing-masing tipe otoritas itu, menentukan model penyelenggaraan hukum ( baik law-making, law-finding maupun law-enforcement). Rheinstein yang mengedit dan menerjemahkan karya Weber menurunkan tipologi Weber secara singkat, demikian : Irasional, yaitu tanpa oleh aturan-aturan umum Formal : dipandu oleh hal-hal yang diluar kontrol/kemampuan akal Substantif : dipandu oleh reaksi terhadap kasus individual Substantif dipandu oleh prinsip-prinsip dari suatu sistem ideologi disamping hukum itu sendiri Formal : Secara ekstrinsik, yaitu dengan menganggap bahwa suatu kepentingan itu berasal dari kejadian-kejadian eksternal yang dapat diamati oleh indera Secara logis, yaitu dengan mengungkapkan aturan-aturan dengan penggunaan konsep-konsep abtrak yang diciptakan oleh pemikiran hukum itu sendiri dari dipahami sebagaimana suatu sistem yang lengkap. Rasional, yaitu dengan dipandu oleh aturan-aturan umum : Menurut Weber, hukum barat yang berkembang sejauh ini adalah hukum yang paling rasional ditangani oleh ahli-ahlinya yang profesional dibidang kehakiman dan kepengacaraan. Hukum Itu Tatanan Karya Sosial Teori Leon Dugit Duguit menempatkan solidaritas sosial sebagai dasar konstruksi teori tentang hukum. Solidaritas sosial itu, membangkitkan dua rasa, yaitu : (i). Rasa keharusan sosial, (ii).Rasa keadilan. Dari dua keharusan itulah hukum lahir. Nama hukum itu adalah “hukum karya sosial”. Menurut Duguit kekuasaan dalam negara sebenarnya tidak lain daripada suatu alat yang diciptakan individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu untuk mempertahankan supremasinya kepada orang lain. “hukum karya sosial” menurut Duguit (harus) bersifat objektif. Pemerintah tidak boleh menyisipkan agenda sendiri dalam hukum yang dibuatnya sekalipun dengan selubung hukum publik. Itulah sebabnya, Duguit menolak secara radikal penggolongan hukum  ke dalam hukum publik dan hukum privat. Baik negara maupun masyarakat menurut Duguit harus tunduk pada satu hukum, yakni “hukum karya sosial”. Duguit merumuskan ketentuan tentang “solidaritas karya”-nya dalam bentuk perintah-perintah. Perintah-perintah tersebut adalah : Hormati tiap perbuatan kehendak individu yang ditentukan oleh tujuan solidaritas sosial. Setiap individu harus menjauhkan diri dari tiap perbuatan yang tujuannya bertentangan dengan solidaritas sosial. Jangan berbuat sesuatu untuk mengurangi solidaritas sosial (yang terbangun lewat pembagian kerja). Hukum Itu Aturan Yang Hidup Teori Eugen Ehrlich Ehrlich membangun teorinya tentang hukum dengan beranjak dari ide masyarakat. Menurut Ehrlich masyarakat adalah ide umum yang dapat dignakan untuk menandakan sebuah hubungan sosial, yakni keluarga, desa, lembaga sosial, negara, bangsa, sistem ekonomi dunia dan lain sebagainya. Hukum adalah “hukum sosial”. Ia lahir dalam dunia pengalaman manusia yang bergumul dengan kehidupan sehari-hari. Kebiasaan itu lambat laun mengikat dan menjadi tatanan yang efektif. Hukum Itu Gejala Sosial Teori Theodor Geiger Geiger membedakan dua macam norma. Yang satu “norma yang sebenarnya”. Dan yang lain adalah norma “yang tidak sebenarnya”. Menurut Geiger, realitas suatu norma (“norma yang sebenarnya”) terletak dalam kenyataan bahwa norma itu terjelma dalam tingkah laku anggota-anggota masyarakat, dan (pasti) tiap orang akan bersaksi bila norma itu dilanggar. Hukum harus dipandang sebagai kenyataan-kenyataan sosial yang dinamis juga. Sebagai seorang positivis yang rekatuf radikal, Geiger cenderung menyangkal peran modal dalam hukum. Hiduo bersama dalam masyarakat modern menurut Geiger, makin kurang dilandasi pertimbangan-pertimbangan moral. Hukum Itu Proses Penguatan Teori Maurice Hauriou Teori Hauriou berporos pada peran institusi untuk meneguhkan niat orang menaati hukum. Hauriou memulai uraiannya dari gambaran tentang manusia. Mula-mula ia menyesuaikan diri begitu saja dengan perkembangan itu, tetapi sudah menjadi sadar akan diri sendiri, ia ikut dalam perkembangan realitas itu secara sadar dan bebas. Menurut Hauriou, hidup bersama manusia dimulai dengan organisasi-organisasi bebas. Itu terjadi melalui seorang yang kuat yang merebut kekuasaan. Kekuasaan itu digunakannya untuk menciptakan damai dan untuk memelihara kepentingan-kepentingan bersama. Dalam tahap yang kedua, orang-orang sampai pada keyakinan bahwa hidup bersama bertujuan untuk mewujudkan nilai-nilai lintas individual. Kekuasaan menyangkut dua hal, yaitu : Kecakapan untuk mengerti dan memahami ide-ide normatif itu dan merumuskannya, Kewibawaan dan kehendak yang kuat. Hukum Itu Kenyataan Normatif Teori George Gurvitch Ide sentral dalam teori Gurvitch ialah kenyataan normatif. Menurut Gurvitch sejumlah orang baru mencapai kelompok yang riil bila mereka mengalami kelompoknya sebagai suatu “kita”. “Aku” dan “engkau” menjadi bersatu sebagai “kita”. Kenyataan normatif yaitu perwujudan keadilan dalam realitas empiris, merupakan dasar material hubungan-hubungan sosial antara manusia. Hubungan antara “hukum sosial asli” dan masyarakat merupakan hubungan saling membangun. Dapat disimpulkan bahwa hidup bersama dan “hukum sosial asli” saling melahirkan dan saling memenuhi. Oleh karena hidup bersama fungsional menyangkut segala segi kehidupan manusia maka dari itu hukum timbul dari kehidupan bersama itu dapat menjadi wasit dalam memecahkan segala masalah yang timbul. Hukum sosial adalah hukum pemerintah lokal, hukum serikat-serikat ekonomis, hukum kelompok-kelompok sosial dan lain sebagainya. Dengan konstatasi, Gurvitch hendak mengatakan prioritas hukum harus diberikan kepada hukum dan masyarakat yang bukan negara. Hukum Itu Mekanisme Integrasi Teori Talcott Parsons Parsons menempatkan hukum sebagai salah satu sub-sistem, dalam sistem sosial yang lebih besar. Disamping hukum, terdapat sistem lain yang memiliki logika dan fungsi yang berbeda-beda. Sub sistem yang dimaksud adalah budaya, politik dan ekonomi. Politik bersangkut paut dengan kekuasaan dan kewenangan. Ekonomi menunjuk pada sumber daya materil yang dibutuhkan untuk menopang hidup sistem. Empat sistem tersebut selain sebagai realitas yang melekat pada masyarakat juga serentak merupakan tantangan yang harus dihadapi tiap unit kehidupan sosial. Hukum Itu Keseimbangan Kepentingan Teori Roscoe Pound Pragmatisme Amerika merupakan basis ideologi teori pound tentang keseimbangan kepentingan. Bagi Pound hukum tidak boleh mengawang dalam konsep-konsep logis analitis maupun tenggelam dalam ungkapan-ungkapan teknis yuris yang terlampau ekslusif. Pound mengajukan tiga kategori kelompok kepentinga, yaitu kepentingan umum, sosial dan kepentingan pribadi. Kepentingan yang terdiri dari kepentingan umum terbagi atas dua, yaitu : Kepentingan-kepentingan negara sebagai badan hukum dalam mempertahankan kepribadian dan hakikatnya Kepentingan-kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan-kepentingan sosial. Sementara yang tergolong kepentingan pribadi/kepentingan perorangan adalah : Pribadi, Kepentingan-kepentingan dalam hubungan rumah tangga/domestik, Kepentingan substansi meliputi perlindungan hak milik, kebebasan menyelesaikan warisan, kebebasan berusaha dan mengadakan kontrak dan hak untuk mendapatkan keuntungan yang sah, pekerjaan serta hak untuk berhubungan dengan orang lain. Kepentingan sosial meliputi enam jenis kepentingan : Pertama, kepentingan sosial dalam soal keamanan umum. Kedua, kepentingan sosial dalam soal keamanan institusi sosial, meliputi : Perlindungan hubungan-hubungan rumah tangga dan lembaga-lembaga politik serta ekonomi yang sudah lama diakui dalam ketentuan-ketentuan hukum Keseimbangan antara kesucian perkawinan dan hak untuk bercerai. Perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan antara suami isteri terhadap hak bersama untuk menuntut ganti rugi karena perbuatan yang tidak patut Keseimbangan antara perlindungan lembaga-lembaga keagamaan dan tuntutan akan kemerdekaan bersama Menyangkut kepentingan keamanan lembaga-lembaga politik, maka perlu ada keseimbangan antara jaminan kebebasan berbicara dan kepentingan  keselamatan negara. Ketiga, kepentingan-kepentingan sosial menyangkut moral umum. Keempat, kepentingan sosial menyangkut pengamanan sumber daya sosial. Kelima, kepentingan sosial menyangkut kemajuan sosial. Keenam, kepentingan sosial menyangkut kepentingan individual. Apa yang dibutuhkan oleh hukum dan kehidupan sosial adalah hakim yang membantu pembuat undang-undang sebagai pemikir pembantu, dan tidak hanya menaruh perhatian kepada kata-kata dan perintah-perintah. Fokus utama pound dengan konsep sosial engineering adalah interest, balancing dan karenanya yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat kearah yang lebih maju. Bagi pound, antara hukum dan masyarakat terdapat hubungan dan fungsional. Hukum sebagai sarana social engineering, bermakna penggunaan hukumsecara sadar untuk mencapai tertib ataua keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan  yang diinginkan. Secara sistematis, 6 (enam) langkah yang harus dilakukan dalam mewujudkan hukum sebagai sarana perubahan sosial, yaitu : Mempelajari efek sosial yang nayta dari lembaga-lembaga serta ajaran-ajaran hukum Melakukan studi sosiologis dalam rangka mempersiapkan perundang-undangan untuk mempelajari pelaksanaannya dalam masyarakat serta efek yang ditimbulkan, untuk kemudian dijalankan Melakukan studi tentang bagaimana peraturan hukum menjadi efektif Memperhatikan sejarah hukum Pentingnya melakuakn penyelesaian individual berdasarkan nalar, bukan berdasarkan peraturan hukum semata Mengusahakan secara lebih efektif agar tujuan-tujuan hukum tercapai. C. Teori Dari Kubu Realisme Hukum Realisme hukum sendiri bercabang dua, yakni realisme hukum Amerika dan realisme hukum Skandinavia. Realisme hukum Amerika menempatkan empiris dalam sentuhan pragmatis. Realisme hukum Skandinavia menempatkan empirisme dalam sentuhan psikologi. Hukum Itu Perilaku Hukum Teori Oliver Holmes Oliver Holmes dan Jerome Frank hukum yang termuat dalam aturan-aturan hanya suatu generalisasi mengenai dunia ideal. Tapi menurut Holmes seorang pelaksana hukum sesungguhnya menghadapi gejala-gejala hidup secara realistis. Aturan-aturan hukum dimata Holmes, hanya menjadi salah satu factor yang patut dipertimbangkan dalam keputusan yang berbobot. Faktor moral, soal kemanfaatan dan keutamaan kepentingan social, misalnya menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam mengambil keputusan “yang berisi”. Solusi yang bebobot tidak bias diharapkan dari legalisme yang mematrikan aturan sebagai tempat satu-satunya bagi hakim untuk mengadili. Dalam legalisme, hakim hanya menjadi corong wet. Hakim hanya bias menerapkan UU secara mekanis. Egalisme, menyebabkan aturan jadi “berhala” kehidupan jadi kaku, kenyataan yang kaya nuansa dilihat pakai “kacamata kuda”, kebenaran dan keadilan hanya menjadi persoalan legal-tidak legal. Kearifan dan akal sehat terdorong kebelakang. Itulah legalisme. Hukum itu Rasa Wajib/Takut Teori Alf Ross Ross menempatkan hukum dalam kerangka fisio-fisis. Menurut Ross semua gejala yang muncul dalam pengalaman tentang hukum harus diselidiki sebagai gejala psiko-fisis. Menurut Ross, suatu aturan hukum dirasa mewajibkan karena ada hubungan antara perbuatan yuridis dan sanksinya. Menurut Ross, timbulnya hukum sebagai aturan yang bersifat wajib dapat diterangkan menurut empat tahap : Tahap pertama adalah adanya paksaan aktual Tahap kedua dimulai, bila orang-orang mulai takut akan paksaan Tahap yang ketiga adalah situasi dimana orang-orang sudah mulai menjadi biasa dengan cara hidup yang sedemikian, dan alam kelamaan mulai memandang cara hidup itu sebagai sesuatu yang seharusnya Tahap yang terakhir adalah situasi hidup bersama dimana norma-norma kelakuan ditentukan oleh instansi-instansi yang berwibawa. Jadi, keharusan yuridis memang unsure realitas dalam mana kita hidup. D. Teori dari Kubu Neo-Maxis Hukum itu Kepentingan Orang Berkuasa Teori Ralf Dahrendorf Pembentukan kelas yang dibahas Dahrendorf lebih didasarkan kekuasaan daripada kepemilikan sarana-sarana produksi. Dalam masyarakat industri modern pemilik sarana produksi tidak sepenting mereka yang memiliki kekuasaan. Menurut Dahrendorf, adanya pertentangan soal legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan antar kelas itu. Terdapat tiga unsur utama yang menentukan strata social dalam suatu masyarakat, yakni dimensi, prestise, privilese dan dimensi kekuasaan. Tekanan yang diberikan oleh fungsional dan konflik mengenai stratifikasi social memperlihatkan perbedaan yang cukup mencolok. Pokok pikiran teori fungsional mengenai struktur social : (1)    Stratifikasi adalah struktur social yang memiliki nilai-nilai dan tradisi bersama yang digunakan sebagai dasar untuk integrasi dan stabilitas nasional (2)    Penyebaran kekuasaan, privile dan prestise dalam masyarakat pada dasarnya bersifat adil merupakan keharusan dan berguna bagi kesejahteraan individu di satu pihak dan bagi masyarakat di lain pihak (3)    Penggunaan kekuasaan untuk mempertahankan sistem privilese yang ada dalam masyarakat minimal (4)    Institusi-institusi yang ada dalam masyarakat mengandung nilai-nilai consensus dan melaksanakan kebijaksanaan yang mengandung kebaikan bersama (5) Penghargaan yang tidak merata untuk posisi-posisi masyarakat membantu mempertahankan dan meningkatkan kepentingan lapisan atas (6)    Posisi-posisi individu dalam masyarakat pada dasarnya memberikan kesempatan yang sama dalam mecapai motivasi, latihan dan saluran-saluran perkembangan bagi mereka. Hukum itu Kepentingan Kaum Lelaki Teori Feminist Legal Theory Bagi teori ini, hukum merupakan tatanannya kaum adam yang meminggirkan kaum hawa. Sifat hukum yang bias itu, berdimensi structural. Menurut Plato, jika laki-laki hidup dengan baik, maka setelah meninggal ia akan berdiam bidang tempatnya berasal-sebuah tempat yang melimpah berkat dan kesukaan. Sebaliknya, jika hidupnya jahat maka ia akan berubah menjadi perempuan. Perempuan. Perempuan merupakan laki-laki jahat yang telah meninggal. Gagasan tentang perempuan yang lemah terus dipertahankan dan disebarkan hamper oleh semua ahli filsafat, termasuk para tokoh agama terkemuka. Menurut FLT, mayoritas tatanan hukum dibangun atas pandangan dunia yang bias itu. FLT berupaya melawan realitas yang tidak adil ini. Pada aras pengajaran, FLT memperkenalkan “pendekatan hukum berperspektif perempuan”. Pada praktek, FLT “mengkomunikasikan” hasil telaahannya dalam upaya mengoreksi keadaan dan menemukan cara terbaik untuk melakukan reformasi bangunan hukum secara keseluruhan. E. Teori dari Kubu Eksistensialis Eksistensialisme bertolak dari eksistensi manusia sebagai kenyataan dasar dari semua pikiran. Munculnya eksistensialisme merupakan reaksi terhadap rasionalisme Aufklarung. Hukum itu Wujud Eksistensi dan Sosialitas Teori Werner Maihofer Teori Maihofer tentang hukum bertitik tolak dari kegandaan ontologi manusia yakni sebagai individu eksistensial dan sebagai pribadi warga social. Keberadaan manusia akan hidup masyarakat menghasilkan hukum alam institusional yang meliputi semua peraturan tentang fungsi orang dalam masyarakat. Maihofer mengaku sebagai seorang penganut eksistensialisme Heidegger. Bagi Heidegger manusia merupakan Dasein. Heidegger lebih lanjut menjelaskan keberadaan Dasein tidaklah seperti keberadaan benda-benda, melainkan apa yang disebut Heidegger sebagai faktisitas. Memang dalam beberapa aliran eksistensialisme manusia dilukiskan sebagai suatu subjek individual yang harus memperkembangkan diri secara otentik, yakni sesuai dengan kepribadiannya. Menurut Maihofer, ia dapat menyetujui jalan pikiran ini seandainya tidak terdapat faktor lain dalam kehidupan manusia daripada keterbatasan individualnya. Pada dasarnya, demikian Maihofer, tiap orang selalu insyaf bahwa orang lain berada sebagai pribadi, sebagai orang-orang yang memiliki pusat hidup sendiri. Sebagai eksistensi yang hidup bersama, manusia memerlukan Negara dan hukum. F. Teori dari Kubu Aliran Hukum Alam Abad ke-20 Norma-norma hukum harus dijaga sedemikian rupa agar tetap mencerminkan prinsip-prinsip etika, humanisasi hidup dan keadilan. Hukum yang konkret ini adalah hukum yang sesuai dengan situasi hidup yang sebenarnya, entah relasi hidup antara orang entah situasi konkret individual warga negaranya. Hukum itu Keinsyafan Keadilan Teori W.A.M. Luypen Menurut Luypen, apa yang disebut tatahukum belum tentu dapat disebut hukum. Sebab bias terjadi, terdapat tatahukum yang tidak mewajibkan, yakni kalau tatahukum itu tidak menurut norma-norma keadilan. Bagi Luypen  yang menganut fenomenologi eksistensial, kedua pandanaan ektrim itu ditolak. Dari perspektif fenomenologi eksistensial seperti dianut Luypen manusia dipandang sebagai subyek yang memiliki solidaritas dan sejarah. Menurut Luypen, isi norma-norma itu sendiri bersifat kontekstual menurut ruang dan waktu, wujudnya adalah rasa keadilan, ya rasa perikemanusiaan. Relativitas isi hukum dengan apa yang ia sebut “lima sumber sejarah”, yakni : (i). Kenyataan bahwa realitas sosial bermacam-macam dan berubah-ubah, (ii). Adanya aneka ragam rintangan yang dalam tiap situasi harus diatasi untuk memenuhi syarat-syarat nilai dalam situasi demikian, (iii). Pelajaran yang diperolehdari pengalaman praktis mengenai pemenuhan sarana untuk mewujudkan suatu nilai dalam suatu situasi konkrit, (iv). Adanya penentukan prioritas terkait dengan tingkatan urgensi dari kebutuhan sosial yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa histories kontemporer, dan (v). keanekaragaman nilai yang beberapa diantaranya berhubungan dengan kebutuhan manusia universal, sedangkan bagian yang lain melekat pada kondisi-kondisi sejarah yang khas yang menimbulkan norma-norma khusus bagi tiap masyarakat dan tiap situasi. Lebih lanjut menurut Reainach, meski bidang hukum begitu dekat dengan bidang etis, namun keduanya tetap berbeda dalam beberapa aspek : (i). Norma-norma hukum berasal dari suatu perjanjian, sedangkan norma-norma etis melekat pada manusia sebagai pribadi, (ii). Hak-hak yuridis dapat diserahkan kepada orang lain, sedangkan hak-hak etis tidak berpindah, (iii). Hak-hak yuridis dapat hilang kalau tidak digunakan, sedangkan hak-hak etis tidak dapat dihilangkan karena melekatmpada pribadi manusia, (iv). Bidang hukum hanya meliputi bidang kehidupan ekstern, sedangakan bidang etis meliputi juga batin manusia. Hukum itu Perlu Tafsiran Kontekstual Teori Francois Geny Francois Geny menganggap hukum analitis sebagai corong aturan belaka, ditampilak sebagai dunia penuh kreativitas oleh Geny. Menurut Geny, adalah libre recherché scientifique yang bertopang pada tiga prinsip : (i). otonomi kemauan, (ii). Kepentingan umum, (iii), keseimbangan kepentingan. Dari metode inilah Geny lalu membangun teori tentang metode penafsiran hukum. Teori yang serah dengan teori penafsiran Geny ini dating dari Carlos Cossio. Menurut Cassio pada dasarnya keputusan pengadilan terdiri dari tiga unsure utama, yakni : (i). struktur logis yang diturunkan dari suatu kerangka aturan, (ii). Kesatuan isi dari suatu situasi yang disebabkan oleh suatu keadaan khusus, (iii). Penilaian yuridis yang diberikan oleh hakim pada dua unsure ini dalam suatu situasi tertentu. Geny menempatkan penafsiran hukum dalam kerangka pandangan yang menyeluruh tentang hukum. Prinsip-prinsip hukum alam (yang sebagian telah terserap dalam sens commun) itu, menurut Geny harus menjadi dasar hukum positif. Prinsip-prinsip hukum alam menjadi garapan ilmuwan hukum itu, memang hanya berfungsi sebagai pedoman bagi (materi/isi) undang-undang. 7.  TEORI HUKUM DI MASA TRANSISI HUKUM RESPONSIF Teori Nonet-Selznick Nonet-Selznick mengajukan model hukum responsif. Perubahan sosial dan keadilan sosial membutuhkan tatanan hukum yang responsif. Nonet dan Salznicklewat hukum responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Kompetensi sebagai tujuan berfungsi sebagai norma kritik, maka tatanan hukum responsif menekankan : (i). keadilan substansif sebagai dasar legitimasi hukum, (ii). Peraturan merupakan sub-ordinasi dari prinsip kebijakan, (iii) pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat bagi kemaslahatan ,masyarakat, (iv). Penggunaan diskresi sangat dianjurkan dalam pengambilan keputusan hukum dengan tetap berorientasi pada tujuan, (v). Memupuk sistem kewajiban sebagai ganti sistem paksaan, (vi). Moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam menjalankan hukum, (vii). Kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas dalam melayani masyarakat, (viii). Penolakan terhadap hukum harus dilihat sebagai gugatan terhadap legitimasi hukum, (ix). Akses partisipasi publik dibuka lebar dalam rangka integrasi advokasi hukum dan sosial. Hukum represif lebih mengarah pada pelayanan kekuasaan dan menafikan aspirasi publik. Ini jelas terlihat dalam cirri utamanya : (i). kekuasaan politik mengatasi institusi hukum sehingga kekuasaan Negara menjadi dasar legitimasi hukum, (ii). Penyelenggaraan hukum dijalankan menurut perspektif penguasa dan pejabat, (iii). Peraturan-peraturan yang diskriminatif, (iv). Alas an pembuatannya bersifat ad-hoc sesuai keinginan arbiter penguasa, (v). kesempatan bertindak bersifat serba meresap sesuai kesempatan, (vi). Pemaksaan serba mencukupi tanpa batas yang jelas, (vii). Moralitas yang dituntut dari masyarakat adalah pengendalian diri, (viii). Kepatuhan masyarakat harus tanpa syarat dan ketidakpatuhan dihukum sebagai kejahatan, (ix). Partisipasi masyarakat diizinkan lewat penundukan diri sedangkan kritik dipahami sebagai pembangkangan. Tipe tatanan hukum otonom memperlihatkan ciri : (i).  Hukum terpisah dan kekuasaan yang mengimplikasikan penolakan terhadap kekuasaan, (ii). Tata hukum mengacu pada “model aturan”, (iii). Prosedur dipandang sebagai inti hukum, (iv). Loyalitas pada hukum bermakna sama dengan kepatuhan pada hukum positif, (v). diskresi sangat dibatasi karena dapat merongrong integritas proses hukum, (vi). Formalisme dan legalisme menjadi landasan pertimbangan utama, (vii). Kritik terhadap aturan hukum positif harus dilaksanakan melalui proses legislasi. Hukum responsif merupakan sebuah tatanan atau sistem yang inklusif, dalam arti mengaitkan diri dengan sub-sistem sosial non-hukum, tak terkecuali dengan kekuasaan. Hukum responsif menurut Nonet-Selznick merupakan suatu upaya dalam menjawab tantangan untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Hukum Progresif Teori Satjipto Raharjo Teori hukum progresif, tidak terlepas dari gagasan prof Satjipto Raharjo. Menurutnya, pemikiran hukum kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut maka manusia menjadi penentu dari titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukanlah merupakan isntitusi yang lepas dari kepentingan manusia. Peraturan yang buruk, tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan. Seperti diketahui Rahardjo, bagi konsep hukum yang progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada diluar dirinya. Menurut Rahardjo, antara hukum progresif dengan legal realizm juga memiliki kemiripan logika, yaitu dalam hal hukum tidak dilihat dari kacamata logika internal hukum itu sendiri.Karena hukum progresif menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia atau rakyat sebagai titik orientasinya, maka ia harus memiliki kepekaan pada persoalan-persoalan yang timbul dalam hubungan-hubungan manusia. Karakter hukum progresif yang menghendaki kehadiran hukum dikaitkan dengan pemberdayaan sebagai tujuan sosialnya, menyebabkan hukum progresif juga dekat dengan sosial enginering dari Rouscou pound. Progresif juga memiliki kedekatan ide dengan teori-teori hukum alam, yaitu kepedulian pada apa yang oleh Hans Kelsen disebut metayuridical. Teori-teori hukum alam sejak Socrates hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori hukum alam mengutamakan The search for justice. Pada dasarnya, diskresi ditempuh karena dirasakan sarana hukum kurang efektif dan terbatas sifatnya dalam mencapai tujuan hukum dan sosial. Menghadapi kondisi transisional dimana persoalan saling berhimpitan, serba darurat, dan penuh komplikasi, maka aparat penegak hukum dituntut melakukan langkah-langkah terobosan dalam melakukan penegakan, tidak sekedar menerapkan peraturan yang hitam putih. Berdasarkan teori ini keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat proses logis formal. Keadilan justru diperoleh lewat institusi, karenanya, argument-argumen logis formal “dicari” sesudah keadilan ditemukan untuk membingkai secara yuridis-formal keputusan yang diyakini adil tersebut. Oleh karena itu konsep hukum progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Dalam masalah penegakan hukum, terdapat 2 (dua) macam tipe penegakan hukum progresif : Dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakan hukum progresif. Idealnya, mereka terdiri dari generasi baru profesional hukum yang memiliki visi dan filsafat yang mendasari penegakan hukum progresif. Kebutuhan akan semacam kebangunan di kalangan akademisi, intelektual dan ilmuan serta teoritisi hukum Indonesia. 1