TUGAS: TEORI HUKUM
DOSEN: Prof. HIKMAHANTO JUWANA, SH, LLM, Ph.D
Oleh
KAROLINA MARGARETA
NIM : 19010029
SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER
JAKARTA
2019
TEORI HUKUM
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketika manusia hidup berdampingan satu sama lain, maka berbagai kepentingan akan saling bertemu. Sebagai mahluk sosial (zoon politicon), manusia dalam berinteraksi satu sama lain seringkali tidak dapat menghindari adanya bentrokan-bentrokan kepentingan (conflict of interest) di antara mereka. Pertemuan kepentingan antara manusia yang satu dengan yang lain ini, tak jarang, menimbulkan pergesekan ataupun perselisihan. Kenyataan ini menjadikan manusia mulai berpikir secara rasional.
Ada sebuah ungkapan “ubi societas ibi ius”, yaitu di mana ada masyarakat maka di situ ada hukum. Hukum itu lebih tua usianya dari manusia, karena jauh sebelum ada manusa Tuhan sudah menetapkan sunnatulloh (hukum alam) yang mengatur alam semesta, semisal bagaimana bumi dan planet-planet lain berjalan mengikuti garis edarnya mengitari matahari. Kemudian ketika Tuhan menciptakan Adam dan Hawa yang diyakini sebagai manusia pertama, yang akan menghuni dan mengelola isi bumi, Tuhan juga sudah melengkapinya aturan hukum tertentu, seperti hukum perkawinan. Sebagai contoh ketika mereka akan menikahkan anak-anaknya yaitu Habil dan Qobil harus diselang seling dengan saudara perempuannya.1
Di berbagai komunitas (masyarakat) adat, hal ini menjadi pemikiran yang cukup serius. Perselisihan yang ditimbulkan bisa berakibat fatal, apabila tidak ada sebuah sarana untuk mendamaikannya. Perlu sebuah mediator atau fasilitator untuk mempertemukan dua buah kepentingan yang bergesekan tersebut. Tujuannya adalah agar manusia yang saling bersengketa (berselisih) tersebut sama-sama memperoleh keadilan dan untuk melindungi kepentingan manusia dalam mempertahankan hak dan kewajibannya. Langkah awal ini dipahami sebagai sebuah proses untuk menuju sebuah sistem (tatanan) hukum.2
1 https://yusrinfadilah.blogspot.com/2019/ diakses tanggal 25 Oktober 2019
2 Muhammad Zainal. 2019. Pengantar Sosiologi Hukum. Deeppublish Publisher, CV Budi Utama, halaman 2-3
Bottom of Form
Top of Form
Bottom of Form
Terbukti, kemudian mereka mengangkat pemangku (tetua) adat, yang biasanya mempunyai ‘kelebihan’ tertentu untuk ‘menjembatani’ berbagai persoalan yang ada. Dengan kondisi ini, tetua adat yang dipercaya oleh komunitasnya mulai menyusun pola kebijakan sebagai panduan untuk komunitas tersebut. Panduan tersebut berisikan aturan mengenai larangan, hukuman bagi yang melanggar larangan tersebut, serta bentuk-bentuk perjanjian lain yang sudah disepakati bersama.
Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting. Teori memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum masalah yang kita bicarakan secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori, dengan demikian memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan masalah yang dibicarakannya. Teori juga bisa mengandung subyektivitas, apalagi berhadapan dengan suatu fenomen yang cukup komplek seperti hukum. Oleh karena itulah muncul berbagai aliran dalam ilmu hukum, sesuai dengan pandangan oleh orang-orang yang bergabung dalam aliran-aliran tersebut.3
1.2 Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang diangkat dalam makalah teori hukum ini adalah:
1) Bagaimana sejarah teori hukum?
2) Bagaimana pandangan tokoh hukum mengenai dogmatik hukum dan filsafat hukum serta teori hukum yang berkembang dan berlaku dalam masyarakat?
3 Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, Ilmu Hukum, Cet 6, Citra Aditya Abadi, Bandung, 2006, Hal 259
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Teori Hukum
Sejalan dengan kemajuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang makin lama makin luas, makin sibuk, makin ramai dan lain-lain, orang mulai merasa tidak cukup puas dengan hukum-hukum yang tidak tertulis saja, baik dalam hubungan-hubungan hidupnya sehari-hari atau dalam hubungan pemerintahan. Perbedaan tempat dan waktu menimbulkan perbedaan-perbedaan yang terlampau besar. Sehingga di dalamnya tidak ada kepastian hukum atau keseragaman hukum. Oleh karena itu, dalam perkembangannya manusia mulai membutuhkan hukum dalam bentuk tertulis dan kemudian dibuatlah hukum tertulis.
Hukum tertulis untuk pertama kalinya yang dikenal dalam sejarah adalah Undang-Undang Hamurabi, pada zaman kerajaan Babilonia, pada sekitar tahun 1950 SM. Jadi undang-undang pertama kali bukan lahir di Eropa. Tetapi ada juga pendapat yang mengatakan bahwa mula-mula ahli-ahli hukum Romawilah yang menghendaki bahwa peraturan-peraturan hukum itu hendaknya dituliskan. Bukan itu saja, malahan lebih jauh himpunan peraturan-peraturan hukum itu ditetapkan dengan pasti dalam Kitab-kitab Undang-Undang (kodifikasi) dan hanya himpunan undang-undanglah yang hendaknya dianggap satu-satunya sumber hukum.
Tanpa hukum, kehidupan manusia akan liar, siapa yang kuat dialah yang menang. Hakekatnya hukum sendiri dapat dibedakan antara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis atau hukum undang-undang dan hukum kebiasaan. Lahirnya hukum tertulis itu pasti baru pada saat orang-orang sudah mulai mulai pandai menulis dan membaca, sedang hukum undang-undang tatkala dalam masyarakat itu telah terbentuk negara dan disusun badan perundang-undangannya walaupun masih bersifat sederhana sekali.
Teori hukum adalah disiplin hukum yang secara kritikal dalam perspektif interdisipliner menganalisis berbagai aspek dari hukum secara tersendiri dan dalam keseluruhannya, baik dalam konsepsi teoritikalnya maupun dalam pengolahan praktikalnya dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan penjelasan yang lebih jernih tentang bahan-bahan hukum tersaji.
Pokok kajian teori hukum:
1. Analisis hukum yaitu upaya pemahaman tentang struktur sistem hukum, sifat dan kaidah hukum, pengertian dan fungsi asas-asas hukum, unsur-unsur khas dari konsep yuridik (subyek hukum, kewajiban hukum, hak, hubungan hukum, badan hukum, tanggunggugat). Ajaran metode yaitu metode dari ilmu hukum (dogmatik hukum), metode penerapan hukum (pembentukan hukum dan penemuan hukum), teori perundang-undangan, teori argumentasi yuridik (teori penalaran hukum).
2. Ajaran ilmu (epistemologi) dari hukum dengan mempersoalkan karakter keilmuan ilmu hukum. Kritik ideologi yaitu kritik terhadap kaidah hukum positif, menganalisis kaidah hukum positif, menganalisis kaidah hukum untuk menampilkan kepentingan dan ideologi yang melatarbelakangi aturan hukum positif (undang-undang).
Dalam teori hukum terdapat dua aliran, yakni:
1. Teori hukum empiris, bertujuan untuk bekerja dari perspektif eksternal, artinya dari titik berdiri pengamat yang mengobservasi sehingga diharapkan menghasilkan perodik penelitian yang murni dan obyektif. Aliran ini mengacu pada teori kebenaran korespondensi.
2. Teori hukum kontemplatif bertolak dari titik berdiri partisipan yang obyektivitasnya intersubyektivitas. Aliran ini mengacu pada teori kebenaran pragmatik. Sosiologi hukum kontemplatif (verstehende soziologie).
Dianut pendirian bahwa untuk dapat mengatakan sesuatu secara bermakna tentang masyarakat dan kaidah-kaidah hukum yang berperan penting di dalamnya, maka orang harus menjadi bagian dari masyarakat itu dan akrab dengan kaidah hukum yang berfungsi di dalamnya. Ini berarti bahwa penelitian sosiologis tentang hukum harus bertolak dari titik berdiri internal, yakni dari sudut perspektif partisipan pada masyarakat dan kehidupan hukumnya yang menjadi objek telaah.
Jenis sosiologi ini mengacu kepada teori kebenaran pragmatik. Produk penelitiannya dituangkan ke dalam proposisi baik informatif maupun normatif dan evaluatif. Kesahihan ilmiah kegiatan penelitian dan produknya dikaji melalui diskursus intersubjektif.
Dari sudut pandang teori hukum, ilmu hukum dibagi atas tiga lapisan utama, yaitu dogmatik hukum, teori hukum (dalam arti sempit), dan filsafat hukum. Ketiga lapisan tersebut pada akhirnya memberi dukungan pada praktek hukum, yang masing-masing mempunyai karakter yang khas dengan sendirinya juga memiliki metode yang khas. Persoalan tentang metode dalam ilmu hukum merupakan bidang kajian teori hukum (dalam arti sempit). Dengan pendekatan yang obyektif seperti tersebut di atas dapatlah ditetapkan metode mana yang paling tepat dalam pengkajian ilmu hukum.4
2.2 Dogmatik Hukum
Dogmatik Hukum memiliki konotasi pejoratif dengan Ajaran hukum (rechtsleer) atau Kemahiran hukum (rechtskunde) yang merupakan cabang dari ilmu hukum yang berkenaan dengan obyek-obyek (pokok-pokok pengaturan) dari hukum, bahkan lebih luas yg berkenaan dengan tata hukum (rechtsbestel) secara keseluruhan. Dogmatik hukum mengumpulkan dan menelaah pokok-pokok pengaturan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan penjelasan tunggal tentang pokok telaah yang diteliti.
Kegunaan dari dogmatik hukum adalah upaya menemukan dan mengumpulkan bahan empirikal sampai ke sudut-sudut terjauh dari hukum, yaitu dengan cara penataan dan pengolahan secara sistematikal, dengan menampilkan gambaran secara menyeluruh terikhtisar dan kejernihan dari apa yang tampaknya merupakan suatu kesemerawutan dari pengumpulan bahan yang belum lengkap atau tercerai berai. Maka Dogmatik hukum mempresentasikan secara global dan terpadu (sintetikal) tingkat keadaan hukum, sehingga para juris akan merujuk kepadanya, begitu pembacaan biasa atas undang-undang tidak lagi cukup untuk penyelesaian masalah-masalah yang di hadapi. Objek kajian dogmatik hukum adalah menggali sumber-sumber hukum formal dalam arti luas yakni perundang-undangan, putusan pengadilan, traktat-traktat, asas-asas hukum, kebiasaan, dan memandang hukum secara terisolasi seolah-olah tercabut dari sumber kehidupannya yang sesungguhnya.
4Bernard Arief Sidharta, “Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum”, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 119
Dogmatik hukum pada dasarnya melihat hukum sebagai sebuah kemandirian murni dengan suatu daya hidup (levenskracht) sendiri terlepas dari peristiwa-peristiwa kemasyarakatan. Instrumen kerjanya adalah sistematisasi berdasarkan kaidah – kaidah logikal.
Jadi Dogmatik Hukum (rechtsdogmatiek) atau ajaran hukum (rechtsleer) yaitu dalam arti sempit, bertujuan untuk memaparkan, mensistematisasi juga menjelaskan (verklaren) hukum positif yang berlaku (vigerende positiefrecht). Walaupun demikian, Dogmatik Hukum bukanlah ilmu netral yang bebas nilai. Tidak karena hukum itu saling terkait antara nilai-nilai dan kaidah–kaidah. Bukankah dalam asasnya sangat mungkin memaparkan nilai–nilai dan kaidah–kaidah sebagai ketentuan–ketentuan faktual secara sepenuhnya netral dan objektif, melainkan secara sadar mengambil sikap berkenan dengan butir-butir yang di diperdebatkan. Sehingga orang tidak hanya mengatakan bagaimana hukum dapat diinterpretasikan melainkan juga bagaimana hukum harus diinterpretasikan.
Dogmatik Hukum memaparkan dan mensistematisasi hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu dan pada suatu waktu tertentu dari suatu sudut pandang normatif. Sudut pandang normatif ini dapat berupa yuridik internal maupun ekstra yuridik. Bahwa sebuah pasal undang–undang tertentu harus dipandang sudah dihapuskan secara diam–diam karena ia bertentangan dengan ketentuan dalam sebuah undang–undang yang lebih baru, berdasarkan asas hukum yang umum bahwa undang–undang yang baru harus selalu didahulukan ketimbang undang–undang yang lama (lex posterior derogat legi priori).
Jadi Dogmatik Hukum mempelajari aturan–aturan hukum itu sendiri dari suatu sudut pandang atau pendekatan teknikal. Dogmatik Hukum bertujuan untuk atau memberikan sebuah penyelesaian konkret, atau membangun suatu kerangka yuridik-teknikal, bagi semua masalah konkret, atau membangun suatu kerangka yuridik-teknikal yang didasarkan pada sejumlah masalah yang ada atau yang ada kemudian harus dapat memperoleh penyelesaian yang yuridik.
2.3 Filsafat Hukum
Filsafat adalah penelitian yang menelaah pertanyaan sejauh mana orang dapat memperoleh dan mengembangkan pengetahuan tentang hukum dan bahan-bahan terberi dan gagasan-gagasan yang terkait, apa kriteria untuk keilmiahan dari pengetahuan tersebut. Penggolongan ke dalam bagian-bagian dari berbagai jenis pengetahuan tentang hukum.
Filsafat Hukum adalah filsafat umum yang di terapkan pada hukum atau gejala– gejala hukum. Dalam filsafat pertanyaan–pertanyaan yang sering dibahas dalam hubungan dengan makna, landasan, struktur dan sejenisnya dari kenyataan. Dalam filsafat hukum pertanyaan–pertanyaan ini difokuskan secara yuridikal. Dalam kepustakaan, Filsafat Hukum didefenisikan;
a. Sebagai sebuah disiplin spekulatif, yang berkenan dengan penalaran–penalaran tidak selalu dapat diuji secara rasional, dan yang menyibukan diri dari latar belakang dengan pemikiran (I. Tammelo).
b. Sebagai disiplin yang mencari pengetahuan tentang hukum yang “benar” hukum yang adil (J. Schmidt H. Kelsen).
c. Sebagai sebuah refleksi atas dasar–dasar dari kenyataan (yuridikal), suatu bentuk dari berpikir sistematikal yang hanya akan merasa puas dengan hasil–hasil yang timbul dari dalam pemikiran (kegiatan berpikir) itu sendiri dan yang mencari suatu hubungan teoritikal terefleksi yang didalamnya gejala-gejala hukum dapat dimengerti dan dipikirkan (D. Meuwissen)
d. Sebagai disiplin yang mencari pengetahuan tentang hakekat (sifat) dari keadilan.
2.4 Perbedaan Dogmatik Hukum dan Teori Hukum
1. Dogmatik hukum mempelajari aturan-aturan hukum itu dari suatusudut pandang teknikal maka teori hukum merupakan refleksi terhadapteknik hukum ini.
2. Dogmatik hukum berbicara tentang hukum, teori hukum berbicaratentang cara yang dengannya ilmuwan hukum berbicara tentang hukum.
3. Dogmatik hukum mencoba lewat teknik-teknik interprestasi tertentumenerapkan teks undang-undang yang pada pandangan pertama tidakdapat diterapkan pada suatu masalah konkret, maka teori hukum mengajukan pertanyaan tentang dapat digunakannya teknik-teknik interprestasi, tentang sifat memaksa secara logis dari penalaran interprestasi dan sejenisnya lagi.
2.5 Perbedaan Filsafat Hukum dengan Dogmatik Hukum
Dogmatik hukum obyeknya adalah hukum positif, yaitu peraturan perundang undangan dan yurisprudensi. Dogmatik hukum adalah teorinya hukum positif, mempelajari hukum positif dan yurisprudensi, dengan demikian sifatnya adalah praktis dan konkrit. Pertanyaan dogmatik hukum hanya dapat dijawab dengan menunjuk pada peraturan perundang undangan, sedangkan pertanyaan filsafat hukum hanya dijawab secara teoritiks abstraksi, obyeknya adalah segala sesuatu yang berhubungan hukum dan gejala hukum.
2.6 Apakah Teori Hukum Dapat Berdiri Sendiri atau Merupakan Ilmu Pengetahuan, atau Merupakan Bagian Dari Filsafat Hukum?
Teori hukum tidak terlepas dari masyarakatnya dan masyarakat tidak terlepas dari idiologinya. Catatan : Hal tersebut di atas adalah sama dengan yang diutarakan oleh Hart maupun Haverson. Kita tak dapat mempelajari hukum itu sendiri sehingga kita mencarinya dalam What the Law Does Not Says.
Ilmu hukum dipengaruhi oleh masyarakatnya dan masyarakat dipengaruhi oleh idiologinya. Kenyataan bahwa meskipun ada perbedaan-perbedaan idiologi di Negara-negara Barat, Timur dan Negara-negara berkembang, maka yang mempersatukan adalah para Jurist. Apabila idiologi-idiologi tersebut hampir bersamaan maka mudah untuk mempersatukan, akan tetapi apabila perbedaan tersebut jauh, maka sulit mempersatukan, akan tetapi bagaimanapun tipisnya untuk mempersatukan idiologi-idiologi tersebut. Sebagai contoh : adalah Treaty of Rome (1958) Semua yang dapat bergabung dalam pasaran bersama Eropa adalah Negara-negara yang idiologinya hampir bersamaan (Jerman, Perancis, dan Italia) sedangkan Inggris karena idiologinya berbeda sulit untuk masuk gabung tersebut, akhirnya dan dengan mencari benang penghubung tersebut, maka Inggris akhirnya masuk dalam gabungan tersebut (sejak 1973). Dan ternyata dapatnya mempersatukan idiologi yang berbeda adalah tergantung dari pimpinan.
Maka juga untuk Indonesia mempersatukan idiologi hukum haruslah ada di tangan penguasa (yang arif dan intelektual). Idiologi masyarakat mempengaruhi idiologi hukumnya; kalua masyarakatnya beridiologi “hanya menurut saja” maka hukumnya akan menjadi statis. Sedangkan apabila masyarakatnya berkompetisi maka hukumnya akan menjadi dinamis dan ini menjadikan masyarakatnya akan menjadi suatu masyarakat yang maju. Contoh lain adalah India : mula-mula mereka bermasyarakat sistim kasta yang rigid. Lalu diperkenalkan dengan nilai baru melalui konstitusi, dengan kebebasan beragama dan mengeluarkan pendapat, sehingga timbul kegoncangan-kegoncangan dalam masyarakat. Akhirnya dapat diselesaikan melalui pimpinan dalam hal ini adalah Pengadilan yang mengatasinya. Contoh di Indonesia : Bidang KB, yang semula mempunyai nilai tertentu dalam masyarakat Indonesia, maka sekarang telah dirobah dengan nilai yang baru dan inipun melalui tangan penguasa.
Sukar untuk teori hukum termasuk filsafat ataukah termasuk sains. Austin mengatakan bahwa peraturan tidak keluar dari filsafat sedangkan peraturan dari para penguasa adalah termasuk hukum, jadi termasuk sains, dan Austin dalam bukunya yang berjudul Lectures on Jurisprudence menyebut juga filsafat positif. Juga demikianhalnya dengan Kelsen (General Theory of Law and State), dimana dikatakannya bahwa grundnorm nya adalah suatu sains, dan dia menyatakan dirinya sebagai positivist, padahal dengan cara dia menerangkan tentang grundnorm, menunjukkan bahwa dia telah berfilsafat.
Bapak dari filsafat positivist, adalah COMTE. Menurut Hampstead kedua-duanya dipakai baik sebagai filsafat maupun sebagai sains. Sulit untuk dipisahkan apakah teori hukum tersebut termasuk filsafat saja ataukah sains, sehingga kalau kita perhatikan, dimana teori hukum tersebut menjelaskan tentang hukum itu sendiri, maka ini disebut sebagai sains, akan tetapi apabila dibicarakan hukum sebagai alat perkembangan atau penghambat, maka kita telah berfilsafat. Seperti yang diutarakan oleh NORTHROP adalah bahwa : Systim of norm adalah positif dan ini adalah sains. Hukum sebagai social kontrol ini adalah filsafat. Sebagai contoh : Pasal 115 KUHAP, dimana diatur tentang seorang tertuduh yang dapat didampingi oleh pembelanya pada waktu dia diperiksa; apabila diuraikan tentang peraturan itu sendiri maka ini termasuk sains, sedangkan apabila kita bicara tentang apakah pembela mendampingi sitertuduh pada waktu diperiksa, ialah tentang apakah mungkin ini dilakukan, apa yang harus dipersiapkan (tentang ketrampilan si pembela) dalam mendampingi pasal tersebut, bagaimana efeknya terhadap perkembangan KUHAP maka ini kita telah masuk dalam bidang filsafat. Contoh : Umpamanya di dunia biologi. Clone – membuat orang yang persis sama dengan seseorang dengan mempergunakan cara penguraian gene-2 (Gene splitcing) Dalam cara pembuatan clone itu sendiri adalah termasuk sains, sedangkan kalau berbicara tentang pengaruh clone ini terhadap masyarakat, maka ini termasuk filsafat. Tingkat – 2 proses hukum :
- Policy formulation
- Rule – making
- Implementation
- Dispute resolution
Hampstead berkeinginan untuk mengemukakan bahwa teori hukum itu jika dianggap merupakan science atau pengetahuan akan menyebabkan kajiannya terlalu sempit, karena menurut Hampstead teori hukum dapat berkembang karena bersifat interdisipliner karena hukum tidak dapat dilepaskan dengan masyarakat.
Pendapat ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Lord Radeliffe (1981: 92), yang menyatakan: “you will not mistake my meaning or suppose that I depreciate one of the great humane studies if I say that we cannot learn law by learning law. If it is to be anything more than just a technique it is to be so much more than itself: a part of history, a part of economics and sociology, a part of ethics and philosophy of life”.
Catatan: Hampstead menanggapi apakah teori hukum (legal theory) merupakan science atau bagian dari filsafat yang mengatakan harus diakui hal ini tidak mudah, karena walaupun ada beberapa sarjana yang dapat kita kategorikan bahwa teori hukum sebagai science sehingga oleh karenanya bersifat rasional atau pun merupakan bagian dari ajaran mazhab hukum positif sebagaimana dianut oleh Agus Comte, John Austin, maupun oleh Hans Kelsen tetapi apabila dikaji lebih lanjut ternyata tidaklah murni merupakan sains yang terlepas dari kajian filsafat. Misalnya, pendapat Kelsen dengan teori hukumnya yang terkenal bernama “Teori Hukum Murni (reine rechts lehre)” yang mengemukakan bahwa konsep hukum adalah ajaran hukum positif yang terkenal dengan Stufen Bow Theorie. Ternyata apabila kita perhatikan Kelsen memulai teorinya dengan Ground Norm atau yang dikenal dengan hukum dasar, yang intinya bersifat dasar-dasar hukum seperti keadilan, keseimbangan, perlindungan. Semua itu merupakan konteks filsafat. Demikian pula jika teori hukum semata-mata sebagai sains yang berarti eksistensinya pada kekuatan rasionalitas, maka teori hukum ini sendiri tidak dapat menjelaskan bahwa mengapa hukum (hokum positif) memerlukan suatu pembenaran dari hal-hal yang bersifat irrasional atau di luar hukum positif itu sendiri, sehingga berdasarkan hal tersebut di atas teori hukum tidaklah dapat dianggap sebagai suatu hal yang berdiri sendiri melainkan memerlukan suatu pendekatan yang bersifat sintesis. Atau dengan kata lain teori hukum tidak dapat melepaskan dari filsafat hukum. Contoh dalam bidang lain misalnya dalam lapangan biologi di mana teori tentang clone atau gen splitcing, hal ini dapat dianggap murni sebagai sains tetapi di dalam kenyataan, aktualisasi dari pengadaan klon, untuk dapat eksis seperti misalnya mengadakan percobaan (eksperimen) tentang klon tersebut apakah bisa dilakukan atau tidak akan terbentur dengan persoalan rasa keadilan, etika, moralitas yang semua itu justru menyebabkan teori tentang gen, yang murni sebagai sains tidak lepas dari pandangan filsafat, apakah klon dapat dilakukan atau tidak minimal pada manusia.
2.7 Teori Teokrasi
Teori tentang hukum alam yang telah di jelaskan merupakan bagian dari Filsafat hukum, yang bertujuan menemukan jawaban atas pertanyaan “dari manakah asalnya hukum dan mengapa kita harus tunduk pada hukum”?
Pada masa lampau di Eropa para ahli fikir (filosof) menganggap dan mengajarkan, bahwa hukum itu berasal dari Tuhan YME, dan oleh karena itulah maka manusia diperintahkan Tuhan harus tunduk pada hukum.
Perintah-perintah yang datang dari Tuhan itu dituliskan dalam kitab suci. Tinjauan mengenai Hukum dikaitkan dengan kepercayaan dan agama, dan ajaran tentang legitimasi kekuasaan hukum didasarkan atas kepercayaan dan Agama.
Adapun Teori-teori yang mendasarkan berlakunya Hukum atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa dinamakan Teori Ketuhanan (Teori Teokrasi)
Berhubung peraturan-peraturan itu ditetapkan Penguasa Negara, Maka oleh penganjur Teori Teokrasi diajarkan, Bahwa oleh penganjur teori teokrasi diajarkan, bahwa para penguasa negara itu mendapat kuasa dari Tuhan; seolah-olah para Raja dan penguasa lainnya merupakan wakil Tuhan. Teori ini diterima umum hingga zaman Renaissance.
Dalam perkembangannya, sistim teokrasi cenderung mengarah ke arah politik praktis. Jauh dari apa yang semula dirumuskan oleh Yosefus. Teokrasi yang berkembang di kemudian hari semakin menjurus ketreskeiokrasi (pemerintahan oleh agama) atau hierokrasi (pemerintahan oleh imam), karena yang dipersoalkan adalah siapa yang berkuasa mewakili TUHAN. Inilah yang membuat para ahli politik modern cenderung “mengutuk” bentuk-bentuk teokrasi karena dianggap melegalkan bentuk-bentuk kekuasaan atas nama TUHAN.
Para ahli modern membandingkan model teokrasi Yosefus dengan apa yang ada dalam masyarakat-masyarakat primitif, seperti pernah diterapkan dalam masyarakat Mesir Kuno, Tibet bahkan dalam masyarakat Indian Amerika, dimana sistim masyarakat dikendalikan oleh para “putra langit” atau “putra dewa”, yang kemudian disejajarkan dengan istilah ben Elohim (Anak atau Putra TUHAN) yang disandang oleh Raja Daud dan keturunannya, hingga oleh Yesus sendiri.
Teokrasi kemudian dianggap sebagai sistim yang gagal ketika disamakan dengan penerapan syariat Islam di Timur Tengah, seperti Taliban di Afghanistan, al-Shabab di Somalia atau sistim kerajaan Arab Saudi. Menurut para kritikus kontemporer, teokrasi semacam itu adalah bentuk teokrasi yang membungkam hak-hak sipil dan bahkan mengebiri hak-hak asasi manusia (HAM). Pada akhirnya, mereka berkesimpulan bahwa teokrasi sangat bertentangan dengan demokrasi dan HAM. Akibatnya, stigma negatif terhadap teokrasi pun terus tertanam hingga kini.
Kesimpulan ini didasarkan pada pandangan bahwa teokrasi adalah sistim pemerintahan yang mengedepankan siapa yang berkuasa. Padahal, dalam rumusan Yosefus, sistim teokrasi merupakan sistim penggembalaan umat Israel, sebagai bangsa pilihan TUHAN. Yosefus tidak berbicara tentang siapa yang berkuasa sebagai wakil TUHAN, tetapi bagaimana menjalankan amanat TUHAN dalam kehidupan umat. Artinya, klaim bahwa teokrasi adalah sistim yang gagal adalah klaim yang didasarkan pada sudut pandang teokrasi yang melenceng dari teokrasi yang sesungguhnya digambarkan dalam perjalanan sejarah bangsa Israel dalam Alkitab.
Alkitab menggambarkan perkembangan sejarah Israel, dimana bangsa itu ternyata banyak mengadopsi sistim pemerintahan yang beragam, mulai dari zaman Musa, para hakim, raja-raja hingga sistim raja wilayah pada zaman Herodes. Alkitab menggambarkan sikap terbuka para TUHAN terhadap sistim pemerintahan baru di setiap perjalanan sejarah umat-NYA, misalnya ketika Musa menerima saran dalam hal pembagian kekuasaan militer atau teguran TUHAN kepada Samuel untuk mengakomodasi tuntutan umat dalam penerapan sistim kerajaan.
2.8Teori Perjanjian
Pada zaman Renaissance timbul teori yang mengajarkan, bahwa dasar hukum itu ialah akal atau rasio manusia (aliran Rasionalisme).
Menurut aliran rasionalisme ini, Bahwa raja dan penguasa Negara lainya memperoleh kekuasaanya itu bukan dari Tuhan, tetapi dari rakyatnya. Pada abat pertengahan diajarkan bahwa kekuasaan raja itu berasal dari suatu perjanjian antara raja dengan rakyatnya yang menaklukan dirinya kepada raja itu dengan syarat-syarat yang di sebutkan dalam perjanjian itu.
Kemudian setelah itu dalam Abad ke-18 Jean Jacques Rousseau memperkenalkan teorinya. Menurut teori ini, negara terbentuk karena sekelompok manusia yang semula masing-masing hidup sendiri-sendiri mengadakan perjanjian untuk membentuk organisasi yang dapat menyelenggarakan kepentingan bersama. Teori ini didasarkan pada suatu paham kehidupan manusia dipisahkan dalam dua jaman yaitu pra negara (jaman alamiah) dan negara. Penganjur teori perjanjian masyarakat antara lain :
a) Hugo de Groot (Grotius) :
Negara merupakan ikatan manusia yang insaf akan arti dan panggilan kodrat. Negara berasal dari suatu perjanjian yang disebut “pactum” dengan tujuan untuk mengadakan ketertiban dan menghilangkan kemelaratan. Grotius merupakan orang yang pertama kali memakai hukum kodrat yang berasal dari rasio terhadap hal–hal kenegaraan. Dan ia menganggap bahwa perjanjian masyarakat sebagai suatu kenyataan sejarah yang sungguh–sungguh pernah terjadi.
b) Thomas Hobbes :
Suasana alam bebas dalam status naturalis merupakan keadaan penuh kekacauan, kehidupan manusia tak ubahnya seperti binatang buas di hutan belantara (Homo homini lupus) sehingga menyebabkan terjadinya perkelahian atau perang semua lawan semua (Bellum omnium contra omnes atau The war of all aginst all). Keadaan tersebut diakibatkan adanya pelaksanaan natural rights (yaitu hak dan kekuasaan yang dimiliki setiap manusia untuk berbuat apa saja untuk mempertahankan kehidupannya) yang tanpa batas. Dalam keadaan penuh kekacauan, lahirlah natural law dari rasio manusia untuk mengakhiri pelaksanaan natural rights secara liar dengan jalan mengadakan perjanjain. Menurut Thomas Hobbes, perjanjian masyarakat hanya ada satu yaitu “Pactum Subjectionis”, dalam perjanjian ini terjadi penyerahan natural rights (hak kodrat) kepada suatu badan yang dibentuk (yaitu body politik) yang akan membimbing manusia untuk mencapai kebahagiaan umum, hak yang sudah diserahkan kepada penguasa (raja) tidak dapat diminta kembali dan raja harus berkuasa secara mutlak. Melalui teorinya, Thomas Hobbes menghendaki adanya bentuk monarki absolut.
c) John Locke :
Melalui bukunya yang berjudul “Two treaties on civil Government”, ia menyatakan : suasana alam bebas bukan merupakan keadaan penuh kekacauan (Chaos) karena sudah ada hukum kodrat yang bersumber pada rasio manusia yang mengajarkan bahwa setiap orang tidak boleh merugikan kepentingan orang lain. Untuk menghindari anarkhi maka manusia mengadakan perjanjian membentuk negara dengan tujuan menjamin suasana hukum individu secara alam. Perjanjian masyarakat ada 2 yaitu :
Pactum Unionis : Perjanjian antar individu yang melahirkan negara.
Pactum Subjectionis : Perjanjain anatara individu dengan penguasa yang diangkat dalam pactum unionis, yang isinya penyerahan hak–hak alamiah.
Dalam pactum sujectionis tidak semua hak–hak alamiah yang dimiliki manusia diserahkan kepada penguasa (raja) tetapi ada beberapa hak pokok (asasi) yang meliputi hak hidup, hak kemerdekaan/kebebasan, hak milik yang tetap melekat pada diri manusia dan hak tersebut tidak dapat diserahkan kepada siapapun termasuk penguasa. Dan hak–hak tersebut harus dilindungi dan dijamin oleh raja dalam konstitusi (UUD). Melalui teorinya John Locke menghendaki adanya bentuk monarkhi konstituisonal,dan ia anggap sebagai peletak dasar teori hak asasi manusia.
d) Jean Jacques Rousseau
Melalui bukunya yang berjudul “Du Contract Social”, Jean Jacques Rousseau menyatakan : menurut kodratnya manusia sejak lahir sama dan merdeka, tetapi agar kepentingannya terjamin maka tiap–tiap orang dengan sukarela menyerahkan hak dan kekuasaannya itu kepada organisasi (disebut negara) yang dibentuk bersama–sama dengan orang lain. Kepada negara tersebut diserahkan kemerdekaan alamiah dan di bawah organisasi negara, manusia mendapatkan kembali haknya dalam bentuk hak warga negara (civil rights). Negara yang dibentuk berdasarkan perjanjian masyarakat harus dapat menjamin kebebasan dan persamaan serta menyelenggarakan ketertiban masyarakat. Yang berdaulat dalam negara adalah rakyat, sedangkan pemerintah hanya merupakan wakilnya saja, sehingga apapila pemerintah tidak dapat melaksanakan urusannya sesuai dengan kehendak rakyat, maka rakyat dapat mengganti pemerintah tersebut dengan pemerintah yang baru karena pemerintah yang berdaulat dibentuk berdasarkan kehendak rakyat (Volonte general). Melalui teorinya tersebut, J.J. Rousseau menghendaki bentuk negara yang berkedaulatan rakyat (negara demokrasi). Itulah sebabnya ia dianggap sebagai Bapak kedaulatan rakyat (demokrasi).
Demekian menurut Teori ini, bahwa Hukum itu adalah kemauan orang seluruhnya yang telah mereka serahkan kepada suatu organisasi (yaitu negara) yang telah terlebih dahulu mereka bentuk dan diberi tugas menbentuk hukum yang berlaku di masyarakat. Orang menaati hukum, karena orang sudah berjanji mentaatinya.
2.9 Teori Kedaulatan Negara
Pada abad ke-19, teori perjanjian masyarakat ini di tentang oleh teori yang mengatakan, bahwa kekuasaan hukum tidak dapat didasarkan atas kemauan bersama seluruh masyarakat. Hukum itu ditaati karena negaralah yang menghendakinya; hukum adalah kehendak negara dan negara itu mempunyai kekuatan (power) yang tidak terbatas.
Teori ini dinamakan Teori Kedaulatan Negara, yang timbul pada abad memuncaknya ilmu-ilmu pengetahuan alam.
Pengajar teori kedaulatan negara yaitu Hans Kelsen dalam buku “Reine Rechtslehre” mengatakan bahwa; hukum itu ialah tidak lain daripada “kemauan negara: (Wille des Ststes).
Namun demikian, Hans Kelsen mengatakan bahwa orang taat kepada hukum bukan karena negara menghendakinya, tetapi orang taat kepada hukum karena ia merasa wajib mentaatinya sebagai perintah Negara. hukum ditaati karena Negara menghendakinya, hukum adalah kehendak Negara dan Negara punya kekuasaan tak terbatas.
Adapun Kelsen (Reine Recthslehre: I), menyatakan ada dua hal yang penting bagi seseorang yang mempelajari Teori Hukum : pertama untuk memahami unsur unsur penting dari teori hukum (teori hukum murni), kedua untuk merumuskan teori tersebut agar dapat mencakup masalah-masalah dan institusi-institusi hokum terutama berkaitan dengan tradisi dan suasana hukum sipil, anglo saxon. Teori hukum umum menurut Kelsen adalah berguna untuk menerangkan hukum positif sebagai bagian dari suatu masyarakat tertentu. Jadi teori ini berusaha untuk menerangkan secara ilmiah tentang tata hukum tertentu yang menggambarkan komunitas hukum terkait (misalnya: hukum Perancis, hukum Amerika dan lain-lain). Ini berarti teori hukum umum bekerja secara analisis komparatf dari sejumlah hukum positif yang berbeda-beda. Kajian utama dari teori hukum umum adalah norma-norma hukum, unsur-unsur hukum (norma tersebut), interrelasinya (hubungan antara berbagai tata hukum), tata hukum sebagai satu kesatuan, strukturnya termasuk hukum dalam pluralitas tata hukum positif. Disebut teori hukum murni karena teori ini tidak boleh dicemari oleh motif-motif yang menggambarkan keinginan atau kepentingan baik individu atau kelompok dari sipembentuk undang-undang. Jadi titik beratnya adalah substansi serta analisis struktur hukum positif, bukan kepada kondisi-kondisi atau penilaian moral atau politik menyangkut tujuannya. Kedua hal tersebut di di latar belakangi oleh dua hal yang menjadi pertimbangan entitas (realita), yaitu:
1. Antara hukum disatu pihak yang dipandang hanya sebagai norma (rechts als norm) dan hukum hukum sebagai kenyataan (rechts als feit) dengan masing-masing metode pendekatan juridische dogmatisch disatu pihak berhadapan dengan metode jurisdische histories in ruime zjin di lain pihak ;
2. Hukum bersifat non analitical dan hukum bersifat analytical.
Secara terminologi teori hukum dikenal dengan beberapa istilah (Hampstead: 20) yaitu:
1. Legal theory
2. Jurisprudence
3. Legal history
Ad.1). Legal theory adalah suatu teori hukum yang memfokuskan kajiannya bahwa hukum yang dianggap eksis adalah apa yang ada di dalam undang-undang, sedangkan di luar undang-undang dapat dianggap bukan/bagian dari hukum. Istilah legal theory banyak lebih mengacu pada pandangan positivistik. Pada posisi demikian ini para praktisi hukum (jurist als medespeler) kurang atau tidak menyukai teori hukum (legal theory) karena dianggap sangat terbatas dan sempit sifatnya.
Ad.2). Jurisprudence adalah suatu teori hukum yang lebih meletakkan pada suatu dasar pemikiran bahwa hokum dan masyarakat bersifat dialektika fungsional. Yaitu antara hukum dan masyarakat tidak dapat dilepaskan satu dan lainnya dan saling pengaruh mempengaruhi. Pemikiran ini dikemukakan oleh L.A. Hart maupun W.
Ad.3). Legal history adalah suatu teori yang berdasarkan pemikiran tentang teori hukum erat hubungannya dengan ideologi (legal ideology) dari masyarakat pendukungnya yang berarti bahwa teori hukum sangat erat hubungannya dengan sejarah hukum. Pendapat ini salah satunya adalah Hampstead.
2.10 Teori Kedaulatan hukum
Prof. Mr H. Krabbe dari Universitas Leiden menentang teori Kedaulatan Negara ini. Dalam bukunya yang berjudul “Die Lehre der Rechtssouveranite” (1906), beliau mengajarkan, bahwa sumber hukum adalah “rasa keadilan”.
Menurut Krabe, Hukum hanyalah apa yang memenuhi rasa keadilan dari orang terbanyak yang ditundukan padanya. Suatu peraturan-perundangan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan dari jumlah terbanyak orang, tidak dapat mengikat. peraturan-perundangan yang demikian bukanlah “hukum”, walaupun dia masih ditaati atau di paksaan.
Hukum itu ada, karena anggota masyarakat mempunyai perasaan bagaimana seharusnya hukum itu. Hanyalah keadaan yang timbul dari perasaan-hukum anggota sesuatu masyarakat, mempunyai kewibawaan/kekuasaan. Teori yang timbul pada abad ke-20 ini dinamakan teori Kedaulatan Hukum.
BAB III
PENUTUP
Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting. Teori memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih baik. Teori memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan. Terdapat keragu-raguan dari para akademisi tentang tempat dari disiplin teori hukum dengan filsafat hukum, ilmu hukum, hukum normatif dan hukum positif. Ada yang menyamakan antara filsafat hukum dengan teori hukum.
Teori hukum merupakan ilmu disiplin tersendiri diantara dogmatik hukum dan filsafat hukum, yang mempunyai perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoretisnya maupun dalam penerapan praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang hukum dalam kenyataan kemasyarakatan.
Sebagai mahluk sosial dalam kehidupan sehari-sehari selalu berinteraksi dengan sesama manusia yang akan mengalami berbagai macam perselisihan, karenanya diperlukan aturan-aturan atau hukum, yang akan mengatur suatu perbuatan. dan atau melarang suatu perbuatan.
Semakin modern peradaban diharapkan memiliki sistem hukum yang lebih bagus sehingga masyarakat yang berada dalam negara tersebut merasa aman dan tentram diayomi oleh tatanan hukum yang berlaku.
PAGE \* MERGEFORMAT 17