Makalah Agama - Vedanta
Makalah Agama - Vedanta
Makalah Agama - Vedanta
Kelas XI B3
Oleh:
I Putu Angga Giriarta (21)
I Putu Tirtayasa Wijana (27)
Ida Bagus Putu Reyndra Clerent (29)
Made Bagus Widya Candra Kirana (35)
Ni Luh Ratih Deviyanti(42)
Sang Bagus Aldryaswarya (47)
i
Kata Pengantar
Segala puji saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
karunia dan kasih sayang-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Walaupun belum sempurna, karena kami sendiri masih dalam tahap pembelajaran.
Dalam makalah ini kami mengambil judul "Vedanta Sebagai Bagian Dari
Sad Darsana". Dengan adanya makalah ini kami berharap teman-teman dapat
menyadari bahwa pentingnya mengetahui dan mengamalkan ajaran-ajaran dari
Vedanta dalam ajaran Agama Hindu.
Kami menyadari bahwa tulisan yang kami selesaikan ini tidak terlepas dari
kesalahan. Untuk itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran demi mencapai
kesempurnaan makalah yang akan kami buat di masa yang akan datang.
ii
DAFTAR ISI
Halaman
COVER/SAMPUL...............................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................
1. Latar Belakang...........................................................................................
2. Rumusan Masalah.....................................................................................
3. Tujuan........................................................................................................
BAB II ISI.............................................................................................................
1. ...................................................................................................................
2. ...................................................................................................................
3. ...................................................................................................................
BAB III PENUTUP...............................................................................................
1. Kesimpulan................................................................................................
2. ...................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Sad Darsana, atau enam aliran filsafat ortodoks dalam tradisi Hindu,
menawarkan kerangka intelektual yang mendalam tentang cara memahami
realitas, tujuan hidup, dan hubungan antara individu dan alam semesta. Keenam
aliran ini—Nyaya, Vaisheshika, Samkhya, Yoga, Mimamsa, dan Vedanta—
berbeda dalam metode dan perspektif, tetapi semuanya mengakui otoritas Veda
sebagai sumber kebenaran. Di antara keenam aliran tersebut, Vedanta memiliki
posisi yang istimewa karena pendekatannya yang menekankan aspek spiritual, dan
sering dianggap sebagai puncak pemikiran filosofis Hindu.
Kajian mengenai Vedanta dalam konteks Sad Darsana ini bertujuan untuk
menyoroti peran penting Vedanta sebagai komponen integral dalam sistem filsafat
Hindu. Dengan mempelajari bagaimana Vedanta berkontribusi dalam
memperkaya pemahaman Sad Darsana, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan wawasan yang lebih luas mengenai hubungan antara filsafat, agama,
dan spiritualitas dalam kebudayaan Hindu.
iv
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi Vedanta
Wedanta (Vedanta) yang disebut juga Uttara Mimamsa merupakan sistem
filsafat yang bersumber langsung pada Weda.Wedanta berarti “bagian akhir
Weda“.Bagian akhir Weda disebut dengan istilah upanisad yang artinya “duduk
dekat dengan guru” dalam rangka menerima ajaran-ajaran rahasia Tuhan melalui
seorang guru. Sumber filsafat Vedanta dari kitab-kitab; Upanisad, Bhagavad-gita
dan Brahma-sutra, yang ketiganya disebut Prastana-traya.
v
Sarwam Khalwidam Brahma : Sesungguhnya semua ini adalah Brahman.
Satya Jnanam Anantam Brahma : Brahman adalah pengetahuan dan tak
terbatas
Brahmawid Brahmaiwa Bhawati : Yang mengetahui Brahman adalah
Brahman
Santam Siwam Adwaitam : Brahman adalah kedamaian, keberuntungan
dan tanpa dualitas
Ayam Atma Santah : Atman ini adalah keheningan
Asanggo Ayam Purusa : Purusa ini tak tersentuh
Santam, Ajaram, Amrtam, Abhayam, Param : Brahman ini adalah
kedamaian, tanpa usia tua, abadi, tanpa kekuatan, dan tertinggi.
4. Brahman-Maya-Jiwa
Brahman dalam konsep Wedanta bersifat mutlak dan tunggal adanya,
menjadi roh setiap kehidupan. Beliau merupakan penyebab material dan
instrumental dari alam semesta, dan diantara Brahman dan alam semesta tidak ada
bedanya, beliau adalah alam semesta itu sendiri. Brahman mengembangkan
dirinya menjadi alam semesta guna lila dan kridaNya, namun beliau tetap utuh
dan tidak berubah. Brahman merupakan paramarthika satta (realitas mutlak), alam
dunia adalah wyawaharika satta (realitas relatif), dan obyek-obyek dari mimpi
adalah prathibasika satta (realitas yang nyata).
Maya merupakan karana sarira dari Brahman, namun demikian maya
merupakan sakti (kekuatan) dari Brahman. Maya memiliki 2 kekuatan, yaitu daya
menyelubungi (awarana sakti) dan daya pemantulan (wiksepa sakti). Inilah yang
menyebabkan tersembunyinya yang nyata dan membuat yang tidak nampak
menjadi nyata. Jiwa atau roh dalam diri manusia diselubungi oleh lima lapisan
yang disebut Panca Kosha yaitu : anna maya, prana maya, mano maya, wijnana
maya, dan ananta maya (badan fisik).
Anna maya kosa merupakan lapisan makanan yang terdiri dari unsur :
tanah,air, api, yang berada pada cakra- cakra terbawah yaitu muladhara,
swadisthana, dan manipur cakra. Lapisan kedua yaitu prana maya kosha
merupakan lapisan nafas (prana) terletak pada anahata dan wisudha cakra. Lapisan
vi
berikutnya yaitu manomaya kosha dan wijnana maya kosha merupakan
pembentuk jiwa antah karana yang terdiri dari empat kesatuan yaitu jiwa
kecerdasan terdiri dari dua aspek yaitu budhi dan manas, kesadaran ego
(Ahamkara) dan Chitta berada pada Ajna Chakra dan sedikit diatas cakra ini. Dan
yang terakhir yaitu ananda maya kosha berada di tengah- tengah kepala
(Sahasram) cakra yang merupakan tempat atma dari lapisan jiwa terakhir.
Demikianlah panca kosha sebagai selubung dari atma.”Di dalam lapisan
pertama Iswara memanifestasikan diri menjadi keanekaragaman kesadaran
terhadap wujud misalnya hitam atau putih, pendek atau tinggi, tua atau muda. Di
dalam lapisan prana maya kosha, Dia merasa hidup merasa lapar dan haus, sakit
dan sehat. Di dalam lapisan mental dia berfikir dan memahami. Dan di dalam
lapisan anandam Dia berbahagia dan ingin tinggal di dalam kebahagiaan abadi.
Demikianlah Iswara yang mengenakan lima lapisan kain pembungkus walau Dia
menembus segalanya kelihatan seperti terbatas dibatasi oleh kelima lapisan
selubung jiwa tersebut. Sang jiwa atau roh pribadi harus mengatasi seluruh lapisan
ini dengan meditasi dan menjadi satu dengan Roh tertinggi untuk mencapai
pembebasan.
Jiwa atau roh pribadi memiliki tiga keadaan kesadaran, yaitu keadaan jaga,
mimpi, keadaan tidur terlelap, dan yang terakhir adalah keadaan turiya atau
keadaan supra sadar, turiya menjadi saksi dari tiga keadaan lainnya, yang tiada
lain adalah Brahman sendiri. Manusia hendaknya mengatasi tiga keadaan lainnya
dengan keadaan turiya dan mempersamakan diri dengannya untuk mencapai
penyatuan. Melalui filsafat wedanta, wicara (pencarian), perenungan dan meditasi
pada Brahman maka semua hayalan akan lenyap.
vii
gita. Ketiga kitab tersebut sering pula disebut prasthana traya grantha (naskah suci
yang dapat dipercaya). Ketiga aliran pemikiran yang mengalir dari Wedanta
darsana tetap berpegang pada otoritas Weda dalam kerangka pembahasan yang
berbicara tentang Brahman, Alam, dan roh. Namun dalam konteks ajaran Hindu
ketiganya tidaklah dianggap sebagai aliran pemikiran yang terpisah dan
bertentangan, namun lebih dianggap sebagai tangga perjalanan spiritual, dari
Dwaita (dualisme) → Wisista dwaita (monisme terbatas) → Adwaita (monisme
murni). Pada akhir puncak spiritualitas manusia akhirnya pasti menjadi seorang
kewala adwaitin.
a) Filsafat Adwaita
Sri Sankara merupakan yang melahirkan bentuk akhir dari filsafat adwaita,
walaupun yang pertama mensistematis filsafat ini adalah parama guru dari
Sankara, yaitu Rsi Gaudapada melalui karya beliau Mandukya Karika. Sri
Sankara memberikan sentuhan akhir dan sempurna melalui ulasan beliau tentang
Brahma Sutra yang dikenal dengan Sariraka Bhasya. Filsafat Adwaita dari
Sankara merupakan filsafat yang mutlak, menyatakan bahwa seluruhnya
merupakan Brahman, dan perbedaan hanyalah khayalan. Hal ini tersimpul Dalam
salah satu sloka, yaitu ‘ Brahma Satyam Jagan Mithya, Jivo Brahmaiva Na
Aparah’ yang berarti Hanya Brahmanlah yang nyata, dunia ini tidak nyata, dan
jiwa atau roh pribadi sama dengan Brahman.
Brahman tertinggi adalah tak berpribadi, tanpa guna dan atribut (nirguna),
tanpa wujud (Nirakara), tanpa ciri-ciri tertentu (Nirwisesa), abadi dan bukan
pelaku dan perantara (akrta). Beliau adalah subyek penyaksi dan tidak akan
pernah menjadi obyek, Beliau adalah tuggal, tak dapat digambarkan, karena
penggambaran akan membentuk perbedaan. Itu pula sebabnya dalam kitab
Upanisad disebutkan : Neti, Neti (bukan ini dan bukan itu). Bentuk kalimat
negatif dalam upanisad ini bukanlah menyatakan ketiadaan, tapi Beliau adalah
kesemestaan, tidak terbatas, memenuhi segala, tak berubah, ada dengan
sendirinya, pengetahuan dan kebahagiaan itu sendiri. Nirguna Brahman dari
Sankara menjadi Saguna Brahman (berpribadi) hanya karena disebabkan
penyatuannya dengan maya. Saguna dan Nirguna Brahman bukanlah dua
viii
Brahman yang berbeda atau bertentangan, Beliau adalah satu dari dua titik
pandang yang berbeda. Nirguna merupakan yang lebih tinggi dipandang dari
sudut transedental (Paramarthika), sedangkan Saguna dari sudut pandang relatif
(Vyavaharika).
Atman adalah sang diri yang nyata (Swatah siddha), Jiwa atau roh pribadi
hanyalah kenyataan yang relatif dan kepribadiannya akan berakhir, apabila ia
tidak lagi menjadi subyek upadhi yang tidak nyata atau kondisi terbatas yang
disebabkan oleh awidya. Selama roh pribadi menyamakan diri dengan badan dan
indriyanya, ia berpikir, berbuat, dan menikmati, itu berarti ia masih berada dalam
kondisi avidya. Pada saat ia terlepas dari awidya, maka baru menyadari akan
kesejatiannya yang tiada lain adalah Brahman yang mutlak, sepertihalnya ether
dalam sebuah periuk yang pecah, maka ia menyatu dengan semesta.
Alam semesta pula bukanlah suatu hayalan, namun merupakan kenyataan
yang relatif (Vyavaharika satta), yang merupakan hasil dari maya dan awidya.
Brahman yang nyata tampak sebagai alam yang berubah melalui maya. Maya
merupakan daya misterius dari Brahman yang tak terbayangkan,
menyembunyikan yang nyata.
Pembebasan atau kelepasan dari samsara atau proses tumimbal lahir
merupakan penyatuan dari roh pribadi dalam Brahman, melalui pembebasan dari
kesalah dugaan yang salah bahwa roh pribadi berbeda dengan Brahman. Karma
dan bhakti merupakan proses menuju jnana. Sankara menganjurkan teori
penampakan atau pelapisan (adhyasa), seperti halnya tali yang dibayangkan bagai
ular pada saat senja.demikian pula alam dan badan ditumpangkan pada Brahman.
Apabila manusia mampu memperoleh pengetahuan tentang tali maka bayangan
tentang ular akan lenyap, demikian pula apabila manusia memperoleh
pengetahuan tentang Brahman, maka hayalan tentang alam dan badan akan hilang.
Terlepasnya mithya jnana atau pengetahuan palsu akan mengantarkan manusia
dalam kecemerlangan dan kemuliaan Ilahi yang murni.
b) Filsafat Wisistadwaita
Pendiri filsafat wisistadwaita adalah Rsi Ramanuja, disebut filsafat
wisistadwaita karena penanaman pengertian adwaita atau kesatuan dengan
Brahman, dengan wisesa atau atribut. Sehingga dianggap sebagai filsafat monisme
ix
terbatas. Hanya Brahman yang ada, sedangkan yang lainnya merupakan
perwujudan atau atributnya, Beliau merupakan satu keseluruhan yang komplek
walau kenyataannya satu. Apabila Sri Sankara menganggap bahwa segala bentuk
perwujudan dianggap tidak nyata dan sementara, sifatnya hanyalah hasil dari
awidya atau kegelapan, maka menurut Sri Ramanuja atribut itu nyata dan tetap,
namun bergantung pada pengendalian satu Brahman.
Filsafat Wisistadwaita merupakan Waisnawaisme yang mengakui
kejamakan, Brahman atau Narayana hidup dalam kejamakan bentuk dari roh-roh
(cit) dan materi (acit). Ramanuja mensistemasir filsafat dari waisnawaisme dan
disebut sebagai Sri Waisnawaisme, karena Sri atau Dewi Laksmi dibuat memiliki
fungsi penting dalam pembebasan roh. Ramanuja menyamakan Tuhan dengan
Narayana yang bersemayam di Waikuntha dengan Saktinya yaitu Laksmi sebagai
Dewi kemakmuran, yang merupakan Ibu Tuhan, dialah yang memohonkan
pembebasan dari para pemuja.
Brahman adalah segalanya namun bukan pula bersifat serba sama, karena
dalam dirinya tekandung kejamakan yang menyebabkan dirinya benar- benar
mewujudkan diri dalam alam yang beraneka warna. Brahman dianggap berpribadi
, mengatur segalanya, maha kuasa dari alam semesta, dihidupi dan diresapi oleh
jiwaNya, sehingga tidak ada tempat untuk membedakan antara Saguna dan
Nirguna. Brahman meresapi segalanya dan merupakan intisari dari roh, yang
merupakan antaryamin atau pengatur batin yang menjadi satu dengan roh. Ia
merupakan hakekat dari kebenaran (Satya), kecerdasan, dan kebahagiaan
(ananda), dimana materi dan roh bergantung kepadanya. Beliau adalah penopang
alam semesta dan roh (adhara), serta penguasa dan pengendali (Niyanta). Jiwa
atau roh merupakan yang dikendalikan (Niyama/sesa).
Alam dan berbagai perwujudan material keberadaan dan rohroh pribadi,
bukanlah maya yang tidak nyata tetapi bagian nyata dari hakekat Brahman dan
merupakan badan dari Brahman. Materi adalah nyata yang merupakan substansi
tanpa kesadaran yang mengalami evolusi (parimana), karenanya ia bersifat abadi
namun bergantung dan dikendalikan oleh kehendak Tuhan. Ia membentuk obyek
pengalaman bagi roh-roh. Prakrti memiliki 3 guna, yaitu sattwa, rajas, dan tamas,
sedangkan suddha tattwa hanya memiliki sifat satwa, suddha tattwa merupakan
x
substansi yang membentuk badan Tuhan dan disebut dengan Nitya WibhutiNya.
Alam yang berwujud merupakan Lila WibhutiNya.
Roh merupakan prakara dari Tuhan yang lebih tinggi dari materi karena
merupakan kesatuan sadar yang menjadi inti dari Tuhan. Roh berjumlah tiada
batas, bersifat sadar dan tidak berubah, tidak terbagi. Roh benar-benar pribadi dan
secara abadi berbeda dengan Tuhan, ia muncul dari Brahman dan tidak pernah di
luar Brahman sepertihalnya percikan api dari sumber api. Roh menurut Ramanuja
digolongkan menjadi 3, yaitu : Nitya (abadi), Mukta (bebas), dan Baddha
(terbelenggu). Roh yang abadi, selamanya bebas dari belenggu hidup dengan
Tuhan (Narayana) di Vaikuntha, roh yang terbebaskan sekali waktu mengalami
samsara tetapi telah mencapai pembebasan, sedangkan roh terbelenggu terjerat
samsara dan berjuang untuk mencapai pembebasan. Roh yang terbelenggu oleh
samsara memperoleh badannya sesuai dengan karma masa lalu, yang berjalan dari
kelahiran ke kelahiran berikutnya hingga mencapai pembebasan akhir atau moksa.
Moksa dalam konsep Wisistadwaita berarti berlalunya belenggu dari
kesulitan hidup duniawi menuju semacam surga (Waikuntha), disitu ia akan ada
selamanya dalam kebahagiaan pribadi bersama Tuhan, namun tetap tidak pernah
menjadi identik dengan Tuhan. Pembebasan akhir ini dicapai hanya dengan
bhakti, karunia Tuhan datang melalui kepatuhan (prapatti) atau penyerahan diri
secara mutlak. Pembebasan diri melalui bhakti, berkembang dua konsep, yaitu
(markata nyaya) atau teori kera, bahwa seorang bhakta harus seperti anak kera
yang harus mengusahakan dirinya tetap bergantung pada induknya (roh pribadi –
Narayana), dan yang kedua adalah (marjara nyaya) atau teori anak kucing,
penyerahan diri ketika dibawa induknya tanpa usaha bagi dirinya sendiri.
3. Filsafat Dwaita
Filsafat dwaita dikembangkan oleh Sri Madhwacarya yang bersumber dari
kitab Upanisad, Brahma Sutra, dan Bhagawad Gita atau yang disebut dengan
Prasthana Traya (tiga kitab). Filsafat dwaita merupakan dualis tak terbatas,
waisnawaisme Sri Madhwacarya sering pula disebut dengan sad-waisnawaisme
untuk membedakannya dengan Sri-Waisnawaisme dari Ramanujacarya. Filsafat
dwaita membuat bembedaan yang mutlak antara Tuhan, obyek yang begerak dan
xi
obyek yang tidak bergerak, pembedaan mutlak merupakan prinsip dasar dari
filsafat dwaita (Atyanta bheda darsana), disebut dengan Panca Bheda, yaitu :
1. Perbedaan Tuhan dengan roh pribadi.
2. Perbedaan antara Tuhan dengan materi.
3. Perbedaan antara roh pribadi dengan materi.
4. Perbedaan antara satu roh dengan yang lainnya.
5. Perbedaan antara materi yang satu dengan lainnya.
Hari atau Wisnu merupakan perwujudan yang tertinggi, alam adalah nyata
dan perbedaan adalah kebenaran. Alam dan roh bergantung pada Wisnu, roh
mempunyai derajat keunggulan dan kerendahan. Bhakti atau kepatuhan tanpa
kesalahan akan membawa manusia pada moksa atau pembebasan, yang
merupakan kenikmatan roh pribadi terhadap kebahagiaan. Pemujaan Sri Krsna
seperti yang diajarkan dalam kitab Bhagawata Purana merupakan intisari dari
ajaran Madhwacarya. Menurut Madhwacarya, realitas obyektif terdiri dari dua,
yaitu yang berdiri sendiri (sawatantra) dan yang bergantung (paratantra). Realitas
yang berdiri sendiri hanyalah Tuhan, sebagai keberadaan tertinggi. Realitas yang
bergantung terdiri dari 2, yaitu : roh-roh yang sadar (cetana) dan kesatuan yang
tidak sadar (acetana) seperti materi dan waktu.
Madhwacarya menerima klasifikasi roh menurut Ramanuja yang
digolongkan menjadi 3, yaitu : Nitya (abadi), Mukta (bebas), dan Baddha
(terbelenggu). Roh yang abadi, selamanya bebas dari belenggu hidup dengan
Tuhan (Narayana) di Vaikuntha, roh yang terbebaskan sekali waktu mengalami
samsara tetapi telah mencapai pembebasan, sedangkan roh terbelenggu terjerat
samsara dan berjuang untuk mencapai pembebasan. Roh yang terbelenggu oleh
samsara memperoleh badannya sesuai dengan karma masa lalu, yang berjalan dari
kelahiran ke kelahiran berikutnya hingga mencapai pembebasan akhir atau moksa.
Roh yang terbelenggu juga dibagi menjadi 2, yaitu :
1). Mereka yang layak dipilih untuk moksa (mukti yoga)
2). Mereka yang tidak layak untuk pembebasan. Mereka yang tidak layak
untuk pembebasan dapat digolongkan menjadi 2, yaitu : mereka yang selamanya
terikat siklus samsara (nitya-samsarin), dan mereka yang nasibnya ada di neraka,
wilayah kegelapan yang membutakan (tamo-yogya).
xii
Wisnu atau Narayana merupakan penyebab pertama yang berpribadi,
penguasa atas kecerdasan alam semesta, Beliau tinggal di Vaikuntha bersama-
sama dengan laksmi. Beliau mewujudkan diri melalui berbagai wyuha dan melalui
Awatara. Wisnu merupakan antaryamin (pengendali batin dari semua roh),
menjadi pencipta, pemelihara, dan pelebur alam semesta. Laksmi merupakan
perwujudan dari daya enerji penciptaanNya.
Wisnu adalah penyebab efisien, bukan penyebab material dari alam semesta,
karena prakrti merupakan penyebab material alam, semua obyek badan, organ roh
dibuat oleh prakrti, dan Tuhan memberikan energi prakrti melalui Laksmi.
Awidya menjadi energi prakrti yang mengaburkan daya-daya spiritual dan roh-roh
pribadi, yang membentuk selubung yang menyembunyikan yang tertinggi. Mahat,
ahamkara, budhi, sepuluh indriya, obyek indriya, dan lima unsur dasar merupakan
modifikasi dari prakrti dalam wujud halus. Oleh karenanya perbedaan alam
dengan Tuhan adalah mutlak, alam bukan khayalan dan perubahan bentuk dari
Tuhan.
Bhakti merupakan cara untuk mencapai pembebasan, melalui karunia dari
Wisnu dan pemujaan merupakan langkah awal dari karunia Wisnu. Roh-roh
pribadi diselamatkan dengan pengetahuan yang bergantung pada Tuhan, dan
pengetahuan yang benar berasal dari mencintai Tuhan. Para sisya spiritual
mempersiapkan diri dengan mempelajari Weda, mengendalikan indriya, dan
penyerahan diri sepenuhnya. Penyangkalan, kepatuhan dan pengenalan langsung
melalui meditasi membawa pada pencapaian kelepasan. Pemuja Wisnu
teridentifikasi dengan :
1. Menandai badan dengan simbol-simbolnya (Ankana).
2. Pemberian nama Tuhan pada anak-anak (Namakarana).
3. Menyanyikan kemuliaannya (Bhajana).
4. Mengingat- nama Tuhan secara terus-menerus (Smarana).
xiii
BAB II
KESIMPULAN
Vedanta, sebagai salah satu dari Sad Darsana atau enam aliran filsafat Hindu
yang ortodoks, menempati posisi yang penting dalam sistem filsafat India.
Sebagai "akhir dari Veda," Vedanta tidak hanya menyajikan pandangan metafisik
dan spiritual yang mendalam, tetapi juga menghubungkan konsep-konsep inti
dalam Veda dengan tujuan hidup yang lebih tinggi. Melalui berbagai alirannya
seperti Advaita, Vishishtadvaita, dan Dvaita, Vedanta menawarkan pandangan
yang kaya mengenai hubungan antara individu (Atman) dan realitas tertinggi
(Brahman), serta tentang cara memahami realitas dari berbagai perspektif yang
berbeda.
Sebagai bagian integral dari Sad Darsana, Vedanta memperkuat kerangka
filsafat Hindu dengan menghadirkan pemahaman yang holistik, yang tidak hanya
bersifat intelektual tetapi juga spiritual. Kontribusinya dalam mengembangkan
konsep-konsep seperti karma, moksha, dan dharma memperlihatkan bahwa
Vedanta tidak hanya relevan sebagai ajaran filsafat, tetapi juga sebagai panduan
etis dan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Kesimpulannya, Vedanta bukan
hanya sekadar salah satu aliran filsafat, tetapi juga esensi dari pencarian manusia
akan kebenaran dan kedamaian batin, menjadikannya bagian yang esensial dalam
Sad Darsana dan sistem filsafat Hindu secara keseluruhan.
xiv
BAB III
PENUTUP
Vedanta, sebagai salah satu dari Sad Darsana atau enam aliran
filsafat Hindu yang ortodoks, menempati posisi yang penting dalam sistem
filsafat India. Sebagai "akhir dari Veda," Vedanta tidak hanya menyajikan
pandangan metafisik dan spiritual yang mendalam, tetapi juga
menghubungkan konsep-konsep inti dalam Veda dengan tujuan hidup
yang lebih tinggi. Melalui berbagai alirannya seperti Advaita,
Vishishtadvaita, dan Dvaita, Vedanta menawarkan pandangan yang kaya
mengenai hubungan antara individu (Atman) dan realitas tertinggi
(Brahman), serta tentang cara memahami realitas dari berbagai perspektif
yang berbeda.
Sebagai bagian integral dari Sad Darsana, Vedanta memperkuat
kerangka filsafat Hindu dengan menghadirkan pemahaman yang holistik,
yang tidak hanya bersifat intelektual tetapi juga spiritual. Kontribusinya
dalam mengembangkan konsep-konsep seperti karma, moksha, dan
dharma memperlihatkan bahwa Vedanta tidak hanya relevan sebagai
ajaran filsafat, tetapi juga sebagai panduan etis dan praktis dalam
kehidupan sehari-hari. Kesimpulannya, Vedanta bukan hanya sekadar
salah satu aliran filsafat, tetapi juga esensi dari pencarian manusia akan
kebenaran dan kedamaian batin, menjadikannya bagian yang esensial
dalam Sad Darsana dan sistem filsafat Hindu secara keseluruhan.
xv
DAFTAR PUSTAKA
Siwananda, Sri Swami. 2003. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya. Paramitha.
Suamba, IB Pt. 2003. Dasar-Dasar Filsafat India. Denpasar . Program Magister
Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI.
Sudadi, Drs. 1998. Dasar-Dasar Filsafat. Denpasar. Materi Kuliah UNHI
xvi