936-Article Text-1801-1-10-20190405
936-Article Text-1801-1-10-20190405
936-Article Text-1801-1-10-20190405
e-ISSN 2656-5498
Diterima Januari 2019; disetujui Maret 2019; tersedia secara online April 2019
Abstract
Mendanau Island and Batu Dinding Island are part of small island groups that have a high diversity and density of
mangroves. Based on administratively, Mendanau Island is located in the coastal area of Simpang Pesak District,
Belitung Regency, which consist of one large island (Mendanau Island) and 1 small island (Batu Dinding Island). The
lack of data about potential, diversity, and community structure of mangroves on the north coast of Mendanau Island
and Batu Dinding Island, therefore this research is needed as a database for planning, sustainability management of
mangroves at the coastal area and small island. The data of mangrove vegetation was taken by purposive sampling
method, with using line transect plot (LTP). Ilustration of sampling design is each line transect have 3 plot / kuadratic
transect sized 10 m x 10 m (capling), 5 m x 5m (sapling), 1m x 1 m (seedling). The result showed that there are 12
(twelve) mangrove species were found: jenis S. alba, R. apiculata, R. stylosa, R. mucronata, B. gymnorhiza, X.
granatum, L. littorea. S. hydrophyllacea, S. taccada, H. tiliaceus, Pandanus, dan I. pes-caprae. Mangrove community
structure and mangrove condition on the North Coast of Mendanau Island, at several observation stations, was damaged
(poor conditions), while the status of the mangrove conditions on Pulau Batu Dinding was still relatively good.
PENDAHULUAN
Kabupaten Belitung adalah kabupaten Induk yang memiliki potensi pulau – pulau kecil dengan potensi
pemanfaatan sumberdaya hayati laut yang cukup tinggi, seperti pulau Batu Dinding dan Pesisir Utara Pulau Mendanau.
Secara adminstrasi 2 pulau ini termasuk dalam wilayah kecamatan Selat nasik, yang terletak antara 2030'-4015' Lintang
Selatan dan 104020'-106000' Bujur Timur.
Salah satu sumberdaya laut yang cukup potensial pemanfaatannya di Pesisir Utara Pulau Mendanau dan Pulau
Batu Dinding adalah ekosistem mangrove. Secara ekologis mangrove mempunyai beberapa fungsi, antara lain sebagai
peredam gelombang mencegah terjadinya abrasi, penahan lumpur, perangkap sedimen, daerah asuhan (nursery
grounds), daerah mencari makan (feeding grounds), daerah pemijahan (spawning grounds) serta penghasil kayu untuk
bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang dan bahan baku kertas (Bengen, 2002).
Menurut Dahuri (2002), secara umum mangrove cukup tahan terhadap berbagai gangguan dan tekanan
lingkungan. Namun demikian, permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove berasal
dari keinginan manusia untuk mengkonversi area hutan mangrove menjadi areal pemukiman, tambak dan pertanian.
Selain itu, meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan
mangrove. Jika eksploitasi berlangsung terus menerus, dapat menyebabkan kematian dan berkurangnya luas hutan
mangrove di pesisir utara pulau Mendanau dan Pulau Batu Dinding Kabupaten Belitung Timur.
Pulau Mendanau dan sekitarnya merupakan salah satu kawasan yang terpilih sebagai sentral etalase kelautan
Pulau Belitung, dimana kelestarian ekosistem mangrove harus dijaga dan dikelola secara optimal.Informasi lengkap
mengenai Status kondisi dan struktur komunitas mangrove di Pesisir Utara Pulau Mendanau dan Pulau Batu Dinding
saat ini belum terlaporkan dengan baik dan masih sangat terbatas. Oleh karena itu perlu dilakukan riset-riset terkait
sumberdaya mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menilai status kondisi komunitas mangrove
berdasarkan variabel komposisi, indeks ekologi dan nilai penting struktur komunitas vegetasi mangrove yang dikaitkan
dengan parameter lingkungan perairan di Wilayah Pesisir Utara Pulau Mendanau dan Pulau Batu Dinding Kabupaten
Belitung. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan arah kebijakan Pemerintah Daerah
Kabupaten Belitung dalam mengelola sumber daya pesisir secara berkesinambungan dengan mengutamakan konservasi
dan kelestarian ekosistem mangrove sebagai perwujudan pengembangan etalase kelautan.
12
Volume 13 Nomor 1, April 2019
Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan p-ISSN 1978-1652
e-ISSN 2656-5498
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di wilayah pesisir utara Pulau Mendanau dan Pulau Batu Dinding, Kabupaten Belitung.
Studi pendahuluan dilakukan selama Bulan April – Agustus 2010. Adapun lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1.
Metode Penelitian
a. Penentuan Stasiun Pengamatan
Stasiun pengamatan ditentukan berdasarkan purposive sampling method, yakni penentuan lokasi sampling yang
dipilih harus berdasarkan keterwakilan area contoh, serta merujuk pada beberapa pertimbangan dan kemampuan
peneliti dalam menjangkau stasiun pengamatan. Letak dan posisi geografis stasiun penelitian tersaji pada Tabel 1.
13
Volume 13 Nomor 1, April 2019
Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan p-ISSN 1978-1652
e-ISSN 2656-5498
14
Volume 13 Nomor 1, April 2019
Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan p-ISSN 1978-1652
e-ISSN 2656-5498
Ci =
BA
A
dimana :
Ci = penutupan jenis atau dominasi jenis
BA = basal area (πdbh2 /4)
A = luas total area pengambilan contoh
f. Basal area
Basal area adalah daerah yang ditutupi oleh batang pohon mangrove.Basal area juga merupakan asumsi untuk
mengetahui besar penutupan kanopi pohon mangrove.Semakin besar basal area maka semakin besar pula penutupan
kanopi pohon.Basal area didapatkan dari pengukuran batang pohon secara melintang. Diameter batang tiap spesies
tersebut kemudian diubah menjadi basal area dengan menggunakan rumus:
𝜋𝐷𝐵𝐻²
𝐵𝐴 =
4
dimana :
BA = basal area
DBH = diameter pohon mangrove setinggi dada
π = 3,1416
f. Penutupan Relatif (RCi)
Penutupan relatif jenis atau dominasi jenis (Ci) adalah perbandingan antara luas daerah penutupan jenis-i dan luas
total area penutup untuk seluruh jenis, atau perbandingan antara jumlah total individu jenis-i (Ci) dan jumlah total
dominasi seluruh individu (∑C);
Ci
RCi = x100%
C
dimana :
RCi = Penutupan relatif jenis
∑Di = Jumlah total dominasi seluruh individu
Nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 – 300..Nilai penting ini memberikan gambaran mengenaiperanan dari
suatu jenis mangrove dalam suatu ekosistem.
15
Volume 13 Nomor 1, April 2019
Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan p-ISSN 1978-1652
e-ISSN 2656-5498
dimana :
H’ = indeks Shannon-Wienner
N = jumlah total spesies
ni = jumlah individu tiap spesies ke-i
Menurut Wilham dan Dorris (1986), klasifikasi indeks keanekaragaman Shannon-Wienner adalah sebagai berikut :
H' < 1 = indeks keanekaragaman rendah
1 ≤ H' ≤ 3 = indeks keanekaragaman sedang
H'> 3 = indeks keanekaragaman tinggi
Tabel 3 diatas menunjukkan bahwa nilai suhu, salinitas dan pH perairan cenderung tinggi, dan pH tanah
tergolong rendah dimana beberapa jenis tumbuhan mangrove (misalnya Sonneratia sp, Rhizophora sp, Bruguiera sp,
umumnya dapat beradaptasi pada lingkungan tersebut dengan memiliki daun yang tebal dan kuat yang berfungsi untuk
mengatur keseimbangan garam, kemudian pada daun terdapat sel khusus yang berfungsi untuk menyimpan garam serta
daunnya juga memilki struktur stomata khusus untuk mengurangi terjadinya penguapan (Bengen, 1999).
16
Volume 13 Nomor 1, April 2019
Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan p-ISSN 1978-1652
e-ISSN 2656-5498
Suhu perairan dari seluruh stasiun pengamatan berkisar antara 29 - 36oC dengan nilai rata-rata 32,5oC, dimana
nilai tersebut termasuk nilai yang tinggi untuk suatu suhu perairan. Hal ini di sebabkan juga oleh efektivitas pemanasan
massa air secara langsung, namun demikian kisaran ini ternyata masih dalam kisaran suhu rata-rata perairan
tropis.Kondisi suhu perairan pada enam stasiun ini diduga cocok bagi produksi daun mangrove dan memicu
pertumbuhan yang optimal bagi komunitas mangrove di daerah pesisir. Hal ini didukung oleh pendapat Supriharyono
(2000) Suhu yang baik untuk kehidupan mangrove tidak kurang dari 20 oC, sedangkan kisaran musiman suhu tidak
melebihi 5oC, suhu yang tinggi (< 40oC) cenderung tidak mempengaruhi pertumbuhan dan kesuburan mangrove.
Suhu udara dari keseluruhan stasiun yang diamati berkisar 28 – 38,5oC, adanya perbedaan rentang nilai ± 10oC,
diduga disebabkan karena adanya variasi waktu pengukuran dan kerapatan kanopi mangrove sehingga mempengaruhi
suhu lokal pada saat melakukan pengukuran.Setyawan (2008) menambahkan bahwa sinar matahari, suhu dan
kelembaban udara sangat berpengaruh terhadap kenaekaragaman spesies di suatu habitat, adanya perbedaan suhu
perairan tergantung pada limit waktu pemanasan massa air oleh radiasi sinar matahari selain itu bisa juga dipengaruhi
oleh posisi matahari, letak geografis, musim, serta kondisi cuaca dan awan pada saat melakukan pengukuran.
pH perairan pada seluruh lokasi penelitian berkisar antara 6 - 7,8. Menurut Effendi (2003) sebagaian besar
biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 - 8,5. Nilai pH perairan tertinggi terdapat
pada Stasiun 2 dan Stasiun 4 yaitu sebesar 7,8 dan nilai pH terendah terdapat pada Stasiun I sebesar 6. Perbedaan nilai
pH perairan yang terukur diduga dipengaruhi oleh letak stasiun pengamatan, dimana Stasiun I terletak di daerah lahan
terbuka pasca penambangan pasir kuarsa yang lokasinya berdekatan dengan perairan tawar sehingga mendapatkan
pengaruh masukan bahan organik, selain itu diduga karena adanya proses pengadukan oleh arus antara pH perairan
dengan kandungan pH tanah yang rendah, menyebabkan nilai pH yang terukur lebih rendah dari pH netral artinya
kondisi perairan pada stasiun I bersifat asam.
pH tanah Hasil pengukuran pH tanah di lokasi penelitian berkisar 2.5 – 6. Menurut Arief (2003) secara umum
pH tanah pada ekosistem mangrove tidak banyak berbeda, yaitu antara 4,6 - 6,5. Nilai pH tanah terendah terdapat pada
Stasiun 1 dan pH tanah tertinggi ditunjukkan pada Stasiun 4. Kisaran nilai pH tanah tersebut sangat wajar dengan
kondisi tanah mangrove di daerah tropis khususnya di wilayah Bangka Belitung yang cenderung asam. Menurut
pendapat Setyawan (2002), tanah mangrove umumnya bersifat netral hingga sedikit asam karena aktivitas bakteri
pereduksi belerang dan adanya sedimentasi tanah lempung yang asam, aktivitas bakteri pereduksi belerang ditunjukkan
oleh tanah gelap, asam dan berbau busuk.
Salinitas merupakan faktor utama yang paling menetukan pertumbuhan, zonasi dan penyebaran mangrove di
suatu daerah (Bengen, 2002).Kisaran nilai salinitas di Perairan Pesisir Utara Pulau Mendanau dan Pulau Batu Dinding
berkisar antara 32 – 35o/oo.Menurut Dahuri (2003) nilai salinitas optimum untuk tumbuhan mangrove adalah 35o/oo,
artinya kisaran nilai berdasarkan hasil pengamatan berada pada kisaran normal /ideal bagi kelangsungan hidup
ekosistem mangrove.Hal ini juga didukung oleh pendapat Bengen (1999), yang menyatakan bahwa mangrove dapat
hidup pada perairan bersainitas payau (20–22‰) hingga asin (mencapai 38‰). Menurut Dahuri et al. (2008) perbedaan
nilai salinitas perairan disebabkan karena adanya perubahan penggunaan lahan di darat yang dapat mengakibatkan
terjadinya modifikasi masukan air tawar, masukan nutrien dan sedimen sehingga akan mengubah kadar garam yang ada.
Nilai salinitas stasiun 3, 4, dan 6 cenderung homogen, yaitu 33 o/oo. Menurut Widodo (2004), pada musim timur (Juni-
Oktober), wilayah perairan laut Pulau Belitung dipengaruhi oleh arus dari timur, dimana salinitas perairan bersifat
polihaline (32 – 34 ‰).
Tipe substrat pada masing-masing stasiun pengamatan cenderung bervariasi, yaitu pasir, lumpur, pasir
berlumpur serta pecahan karang. Adanya perbedaan ini diduga disebabkan karena adanya perbedaan karakteristik
habitat dan kondisi oseanografi yang cenderung fluktuatif. Dahuri (2008) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang
menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove yaitu suhu, pasokan nutrien, kestabilan substrat, suplai
airtawar dan salinitas. Tabel 3, menunjukkan bahwa stasiun 3, 5, 6 cenderung homogen yaitu, dominan fraksi lumpur
dengan jenis dominan yang tercatat adalah dari famili Rhizophoraceae. Menurut Noor et al. (1999), Rhizophora
apiculata dapat tumbuh subur pada habitat yang substratnya terkandung lumpur dan kaya akan bahan organik,
sedangkan tipe substrat pada stasiun 1, dan 2 yaitu pasir, dan tipe substrat pada stasiun 4 adalah pecahan karang. Jenis
mangrove yang ditemukan merupakan spesies yang toleran terhadap substrat pasir, hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Noor et al., (1999) bahwa jenis Rhizophora stylosa tumbuh pada habitat yang beragam di daerah
pasang surut, lumpur, pasir dan batu. Menyukai pematang sungai pasang surut, tetapi juga sebagai jenis pionir di
lingkungan pesisir atau pada bagian daratan dari mangrove. Satu jenis relung khas yang bisa ditempatinya adalah tepian
mangrove pada pulau/substrat karang.
Komposisi dan Struktur Komunitas Mangrove
Berdasarkan hasil identifikasi dilapangan, ditemukan 8 jenis mangrove sejati dari 5 famili yang teridentifikasi di
keseluruhan stasiun pengamatan, meliputi Rhizophoraceae (R. apiculata, R. mucronata, R. stylosa, B. gymnorrhiza),
Sonneratiaceae (S. alba), Meliaceae (X. granatum), Combretaceae (L. littorea), Rubiaceae (S. hydrophyllaceae).
Disamping itu ada juga ditemukan 4 jenis mangrove asosiasi dari 4 famili, yaitu Malvaceae (H. tiliaceus),
Convolvulaceae (I. pescaprae), Pandanaceae (Pandanus sp.), Goodeniaceae (S. tacada).
17
Volume 13 Nomor 1, April 2019
Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan p-ISSN 1978-1652
e-ISSN 2656-5498
Jenis- jenis mangrove yang tumbuh lebih banyak pada Stasiun 1 untuk kategori semai, belta, dan pohon
cenderung berbeda. Jenis mangrove S. alba, R. stylosa, dan B. gymnorrhiza ditemukan sebagai vegetasi yang tumbuh
lebih banyak pada Stasiun 1 untuk kategori pohon dengan indeks nilai penting dan nilai kerapatan berturut-turut sebesar
173.02% (140 ind/ha), 46.60% (40 ind/ha), 32.04% (40 ind/ha). Pada stadium pertumbuhan belta ditemukan jenis H.
tiliaceus, R. stylosa dan X. granatum dengan nilai penting dan kerapatan secara berturut-turut sebesar 78.36% (480
ind/ha), 37.48% (240 ind/ha), dan 11,17% (80 ind/ha). Semai yang ditemukan pada Stasiun I lebih bervariasi dimana
terdapat 3 jenis yang paling mendominasi yaitu dari jenis B. gymnorrhiza dengan INP sebesar 39.29% (2.000 ind/ha), R.
apiculata dan Pandanus sp. dengan nilai penting dan kerapatan yang sama yaitu sebesar 33.04% (1.500 ind/ha),
sedangkan indeks nilai penting dan kerapatan terendah pada kategori semai yakni jenis S. alba sebesar 20.54% (500
ind/ha). Kerapatan tegakan pohon secara keseluruhan berjumlah 260 ind/ha, kemudian total kerapatan tegakan belta
berjumlah 480 ind/ha dan total kerapatan semai sebesar 8.000 ind/ha.
18
Volume 13 Nomor 1, April 2019
Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan p-ISSN 1978-1652
e-ISSN 2656-5498
Total keseluruhan kerapatan pohon pada Stasiun 1 lebih rendah dibandingkan dengan total kerapatan belta dan
semai. Berdasarkan informasi masyarakat setempat, kondisi ini diduga disebabkan oleh terjadinya kematian mangrove
pada tingkat pohon, baik karena kegiatan eksploitasi beberapa jenis hutan mangrove (Rhizophora sp) yang berlebihan
maupun akibat dampak pencemaran pesisir dan laut oleh kegiatan pasca penambangan pasir kuarsa yang dilakukan pada
tahun 2002 yang menyebabkan tingginya sedimentasi. Setyawan (2005) menambahkan secara tradisional masyarakat
lokal menggunakan kayu mangrove untuk memasak, membangun rumah dan perahu secara lestari, namun
bertambahnya penduduk menyebabkan penggunaan sumberdaya alam (mangrove) secara lestari sulit dipertahankan,
akan tetapi tingginya nilai total kerapatan belta dan semai bila dibandingkan dengan total kerapatan pohon pada Stasiun
1 merupakan indikator bahwa terjadi regenerasi yang baik untuk menggantikan mangrove yang berusia tua dimana
sebagian besar komunitas mangrove telah mengalami kematian sehingga dapat diramalkan bahwa kondisi mangrove
pada masa yang akan datang relatif stabil apalagi didukung oleh parameter lingkungan mangrove yang tidak berubah
secara dinamis.
Jenis-jenis mangrove yang ditemukan pada Stasiun 1 untuk stadium pertumbuhan semai, belta, dan pohon
cenderung berbeda, kondisi ini diduga terkait pada faktor substrat dan parameter fisika kimia yang diukur pada lokasi
penelitian, tipe substrat pada Stasiun 1 berdasarkan pengamatan secara visual yaitu berpasir. Jenis S. alba kategori
pohon tumbuh dominan di bagian terdepan zonasi mangrove yang berhadapan langsung dengan laut, hal ini
mengindikasikan bahwa jenis mangrove S. alba memiliki peranan yang sangat penting dalam menyusun struktur
vegetasi mangrove di daerah tersebut didukung oleh faktor lingkungan yang sesuai untuk kelangsungan hidup S. alba.
Semai jenis S. alba ditemukan dalam jumlah populasi yang sedikit pada Stasiun 1 hal ini diduga disebabkan oleh letak
S. alba yang paling dekat dengan laut memungkinkan sulitnya melakukan regenerasi pada tingkat semai karena
hempasan gelombang yang terlalu tinggi, Tomlinson (1986) mengatakan daerah yang paling dekat dengan laut sering
ditumbuhi jenis S. alba dan Avicennia alba Blume. Berbeda halnya dengan kategori belta yang didominasi oleh
tumbuhan asosiasi jenis Hibiscus tiliaceus, kondisi ini menandakan bahwa mangrove tumbuh tipis pada Stasiun I,
karena pada titik ini sudah mencapai wilayah daratan. Bengen (2002) menyatakan Hibiscus tiliaceus tumbuh di daratan
dengan frekuensi penggenangan massa air secara musiman dimana salinitas berkisar antara 0 - 10‰.
Secara umum, saat ini kondisi hutan mangrove pada Stasiun 1 dan sekitarnya sudah mulai terganggu dan dapat
dikatakan berada dalam kondisi yang buruk serta dapat dikelompokkan ke dalam tipe mangrove yang memiliki
kerapatan jarang, hal ini berdasarkan dari penambahan nilai kerapatan kategori pohon dan kategori belta (sapling)
sebesar 740 ind/ha, dimana hasil perhitungan nilai kerapatan tersebut berjumlah <1.000 pohon/ha. Penilaian kriteria ini
adalah berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup No. 201 tahun 2004, yaitu bahwa hutan mangrove dengan kerapatan
sebesar ≥1.500 pohon/ha, dengan penutupan tajuk (canopy) sebesar >75% adalah termasuk dalam kondisi sangat baik,
sedangkan kerapatan antara 1.000-1.500 pohon/ha, dengan penutupan tajuk antara 50-75% adalah termasuk kondisi
sedang, serta lebih kecil dari 1.000 pohon/ha, dengan penutupan tajuk kurang dari 50% adalah jarang dan dalam kondisi
tidak baik (buruk). Kerusakan ekosistem mangrove pada Stasiun 1 lebih disebabkan oleh adanya tekanan ekologis yang
diduga semakin tinggi akibat dampak dari kegiatan manusia baik secara langsung maupun secara tidak langsung oleh
karena itu perlu dilakukan kegiatan konservasi pada daerah sekitar Stasiun 1.
19
Volume 13 Nomor 1, April 2019
Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan p-ISSN 1978-1652
e-ISSN 2656-5498
Jenis – jenis mangrove yang tumbuh lebih banyak pada Stasiun 2 untuk kategori semai, belta, dan pohon
cenderung berbeda. Jenis X. granatum pada kategori pohon memilki jumlah populasi yang relatiflebih banyak
dibandingkan dengan jenis L. littorea.Jenis X. granatum memilki indeks nilai penting sebesar 154.2% (20 ind/ha),
sementara L. littorea memililki indeks nilai penting sebesar 145.8% (20 ind/ha). Jenis mangrove S. taccada dan B.
gymnorrhiza ditemukan sebagai vegetasi yang tumbuh dominan pada kategori belta dengan indeks nilai penting dan
kerapatan secara berturut-turut sebesar 132.21% (400 ind/ha), 67.79% (320 ind/ha). Pada stadium pertumbuhan semai
hanya ditemukan 1 jenis mangrove yang relatif lebih banyak jumlah populasinya pada stasiun 2, yaitu dari jenis
mangrove B. gymnorrhiza dengan nilai penting sebesar 200% (500 ind/ha). Kerapatan tegakan pohon secara
keseluruhan pada Stasiun 2 berjumlah 40 ind/ha, kemudian total kerapatan tegakan belta berjumlah 720 ind/ha dan total
kerapatan semai sebesar 500 ind/ha.
Pohon X. granatum memiliki indeks nilai penting tertinggi pada Stasiun 2, artinya jenis mangrove ini memilki
peranan yang sangat penting dalam menyusun struktur vegetasi mangrove di daerah tersebut.Noor (1999) menyatakan
bahwa jenis X. granatum merupakan tumbuhan mangrove minor yang umumnya tumbuh pada arah daratan, jauh dari
fluktuasi genangan pasang surut.Jenis mangrove ini diduga lebih mampu bertahan hidup dan juga mampu beradaptasi
pada kawasan mangrove yang mengalami kerusakan akibat adanya konversi lahan mangrove.Dampak dari kegiatan
manusia ini ternyata telah merubah zonasi mangrove pada Stasiun 2 dan mengakibatkan ketebalan mangrove semakin
tipis dan semakin berkurangnya komposisi dan keanekaragaman jenis mangrove di daerah tersebut karena daya dukung
lingkungan yang semakin menurun. Menurut Dahuri (2008), Konversi Lahan Mangrove merupakan dampak dari
kegiatan manusia yang memberikan sumbangan terbesar bagi kerusakan ekosistem mangrove di wilayah pesisir.
Pada kategori semai dan belta ditemukan jenis yang sama tumbuh dominan yaitu jenis B. gymnorhiza.
Tumbuhnya jenis mangrove B. gymnorrhiza ini merupakan indikator wilayah yang sudah masuk kedaratan. Tabel 4.3
menunjukkan INP tertinggi kategori semai yaitu jenis B. gymnorrhiza sebesar 200% terdapat pada Stasiun 2 Hal ini
dikarenakan pada lokasi tersebut hanya ditemukan 1 jenis B. gymnorrhiza yang bisa tumbuh sementara jenis-jenis
lainnya tidak bisa tumbuh akibat kondisi lingkungan yang kurang mendukung oleh karena itu nilai INP mutlak bernilai
200%.
Nilai total kerapatan tegakan pohon lebih rendah dibandingkan dengan kerapatan tegakan semai dan belta.
Kondisi ini disebabkan karena ada beberapa jenis mangrove tertentu khususnya populasi Rhizophora sp
menghilang/tidak ditemukan lagi di daerah tersebut akibat adanya penebangan pohon mangrove untuk pembukaan lahan
baru.sehingga jenis mangrove tersebut tidak memilki peluang besar untuk melakukan regenerasi kembali dengan baik.
Jika melihat nilai kerapatan untuk tingkat semai, kondisi mangrove pada Stasiun 2 dimasa yang akan datang,
diramalkan hanya memilki tingkat kerapatan mangrove jarang dan berada dalam kondisi yang cukup mengkhawatirkan
(buruk) jika tidak dilakukan upaya konservasi dan rehabilitasi pada Stasiun2.
Jenis -jenis mangrove yang paling mendominasi pada Stasiun 3 untuk kategori semai, belta, dan pohon
cenderung sama karena termasuk famili Rhizhoporaceae yaitu jenis R. mucronata dan R.apiculata. Pada Stadium
pertumbuhan pohon ditemukan 3 jenis mangrove yang tumbuh relatif lebih banyak yaitu R. apiculata, R. mucronata dan
S. hydrophyllacea dengan indeks nilai penting secara berturut-turut sebesar 144.80% (120 ind/ha), 97.92% (60 ind/ha),
30.26% (20 ind/ha). Jenis mangrove R. mucronata, R. apiculata, dan S. hydrophyllacea ditemukan sebagai vegetasi
yang tumbuh lebih banyak pada kategori belta dengan indeks nilai penting dan nilai kerapatan tegakan berturut-turut
20
Volume 13 Nomor 1, April 2019
Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan p-ISSN 1978-1652
e-ISSN 2656-5498
sebesar 123.11% (3.600 ind/ha), 71.96% (2.160 ind/ha), 2.66% (80 ind/ha). Pada stadium pertumbuhan semai
ditemukan beberapa jenis mangrove yang sama dengan jenis-jenis mangrove yang ditemukan pada kategori belta dan
pohon dimana populasi jenis lebih banyak ditemukan pada Stasiun 3 seperti R. mucronata, S. hydrophyllacea, dan R.
apiculata dengan indeks nilai penting dan kerapatan secara berturut-turut sebesar 135.71% (15.000 ind/ha), 36.43%
(2.000 ind/ha), dan 27,86% (500 ind/ha). Kerapatan tegakan pohon secara keseluruhan berjumlah 220 ind/ha, kemudian
total kerapatan tegakan belta berjumlah 5920 ind/ha dan total kerapatan semai sebesar 17.500 ind/ha.
Di sekitar kawasan Stasiun 3 ditemukan tebangan mangrove yang digunakan untuk jalan perahu nelayan serta
bangunan dermaga bahkan ada juga sekelompok jenis mangrove yang mengalami kematian akan tetapi dalam jumlah
yang relatif rendah, namun demikian kegiatan ini dampaknya belum mempengaruhi eksistensi mangrove, karena
masyarakat setempat saat ini sudah mulai peduli terhadap peran dan manfaat dari hutan mangrove, oleh karena itu
kegiatan tersebut harus mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah setempat agar keberadaan mangrove di pesisir
Utara Pulau Mendanau dan sekitarnya tetap terjaga dan lestari.
Pada stasiun 3 jenis R. apiculata memilki indeks nilai penting dan kerapatan tertinggi dibandingkan dengan
Stasiun 1, dan Stasiun 2, akan tetapi jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan Stasiun 4, 5, dan 6, ini berarti bahwa
R.apiculata memilki peranan yang sangat penting dalam menyusun struktur vegetasi di kawasan tersebut. Hal ini diduga
disebabkan karena daya dukung lingkungannya sangat besar untuk perkembangan petumbuhan jenis R.apiculata.dan
juga letak stasiun 3 sangat strategis karena berada jauh dari kawasan pemukiman penduduk sehingga terhindar dari
pengaruh masukan limbah dari darat dan laut. Pada Stasiun 3 ditemukan jenis S. hydrophyllacea dalam jumlah yang
rendah, baik untuk kategori semai, belta dan pohon. Nooret al. (1999) juga mengatakan bahwa jenis mangrove S.
hydrophyllacea merupakan jenis yang langka secara global dan endemik di Indonesia oleh karena itu perlu dilestarikan
populasinya.
Komunitas mangrove pada Stasiun 3 saat ini dapat dikatakan tergolong usia generasi muda, hal ini disebabkan
karena total keseluruhan kerapatan tegakan pohon lebih rendah dari total keseluruhan kerapatan tegakan populasi belta
dan semai, kondisi ini berarti daya regenerasi permudaan pada stadium pertumbuhan pohon sangat baik terlihat adanya
kompetisi/persaingan hidup antara pohon,belta dan semai yang terdapat pada Stasiun 3. Menurut Setyawan (2005),
Pohon-pohon yang telah mapan pada umumnya mampu beregenerasi dengan jumlah yang melimpah. Berdasarkan SK
Menteri No. 201 Tahun 2004, kondisi mangrove pada Stasiun 3 tergolong baik (bagus) dan dapat tergolong mangrove
yang memilki kerapatan lebat, dimana total keseluruhan tegakan pohon ditambahkan dengan tegakan belta berjumlah
6.140 ind/ha.
Pada Stasiun 4 hanya ditemukan 2 jenis mangrove yaitu S. alba dan R. apiculata dari 2 famili yang berbeda yaitu
Rhizophoraceae dan Sonneratiaceaedengan nilai kerapatan tegakan yang sama yaitu sebesar 140 ind/ha akan tetapi
indeks nilai pentingnya berbeda. Jenis mangrove S. alba kategori pohon merupakan jenis yang memilki populasi lebih
banyak pada Stasiun 4 dengan INP sebesar 191,3%. Hal ini menandakan bahwa S. alba merupakan spesies yang paling
berperan penting pada kawasan tersebut dan merupakan spesies yang memilki daya adaptasi yang tinggi dalam
menahan hempasan gelombang besar ditambah lagi dengan kondisi ekosistem mangrove di sekitar yang kurang baik
dengan kerapatan tajuk jarang.
21
Volume 13 Nomor 1, April 2019
Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan p-ISSN 1978-1652
e-ISSN 2656-5498
Pada Stasiun 4 hanya terdapat 1 jenis vegetasi mangrove kategori belta yang ditemukan lebih banyak
dibandingkan dengan jenis lainnya yaitu jenis R. apiculata dengan INP tertinggi sebesar 200% (100 ind/ha) hal ini
disebabkan karena pada lokasi ini hanya terdapat 1 spesies maka nilai penting mutlak bernilai 200%. Pada tingkat
semai, jenis S. alba masih menunjukkan nilai penting tertinggi yakni sebesar 129.17% (2.500 ind/ha), sedangkan INP
terendah yaitu dari jenis R. apiculata yakni sebesar 70.83% (1.500 ind/ha).
Total keseluruhan kerapatan tegakan pohon sebesar 280 ind/ha, kemudian total kerapatan tegakan belta sebesar
320 ind/ha dan total keseluruhan nilai kerapatan tingkat semai pada Stasiun 4 sebesar 4.000 ind/ha, hal ini menandakan
bahwa struktur vegetasi mangrove di daerah tersebut tergolong masih muda, hal ini dikarenakan adanya regenerasi yang
baik pada tingkat belta dan semai untuk menggantikan mangrove yang berusia tua yang sebagian besar telah mengalami
kematian, sehingga dengan melihat total populasi semai yang ada, bisa diramalkan bahwa kondisi mangrove pada masa
yang akan datang cukup baik apalagi didukung oleh parameter lingkungan mangrove yang tidak berubah secara
dinamis.
Secara umum kerapatan vegetasi strata pohon dan belta pada Stasiun 4 kurang dari 1000 ind/ha. Berdasarkan
kriteria yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI No. 201 Tahun 2004 tentang kriteria
Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove, kawasan hutan mangrove pada Stasiun 4 dapat dikategorikan
sebagai kawasan hutan mangrove yang mulai terganggu dan mulai mengalami kerusakan. Kerusakan ekosistem
mangrove pada Stasiun 4 lebih disebabkan oleh adanya tekanan ekologis yang diduga akan semakin tinggi akibat
dampak dari kegiatan manusia baik secara langsung maupun secara tidak langsung seperti adanya eksploitasi hutan
mangrove yang sering terjadi di Pulau Batu Dinding, Jika eksploitasi berlangsung secara terus menerus maka akan
menyebabkan terjadinya kematian dan degradasi hutan mangrove di wilayah sekitar Stasiun 4.
Hasil analisis yang dilakukan di daerah ini menunjukkan, bahwa secara keseluruhan mangrove di daerah ini
memiliki kerapatan yang relatif baik, yakni untuk klasifikasi pohon secara keseluruhan sebesar 580 ind/ha, kemudian
belta 320 ind/ha, serta semai (seedling) sebesar 14.500 ind/ha. Pada klasifikasi pohon, jenis vegetasi mangrove yang
tumbuh dominan adalah R. mucronata, yakni 400 ind/ha, dengan nilai penting sebesar 163.48% sementara INP terendah
pada stasiun 5 yaitu dari jenis R. apiculata sebesar 24.6% dengan nilai kerapatan tegakan terendah sebesar 40 ind/ha.
Pada klasifikasi belta (sapling), jenis R. apiculata juga menunjukkan nilai kerapatan yang tinggi, yakni sebesar 240
ind/ha (125.17%) sedangkan nilai kerapatan terendah yaitu jenis R. mucronata sebesar 80 ind/ha (78.83%). Pada tingkat
semai, jenis R. mucronata memilki nilai penting tertinggi yakni sebesar 98.02% (8.500 ind/ha) kemudian diikuti dengan
jenis R. apiculata dengan INP sebesar 71.03% (4.500 ind/ha) dan INP terendah untuk kategori semai yaitu dari jenis S.
alba sebesar 30.34% (1.500 ind/ha).
Berdasarkan SK Menteri No. 201 Tahun 2004, kondisi mangrove pada Stasiun 5 tergolong baik (bagus) dan
dapat tergolong mangrove yang memilki kerapatan lebat dengan pengelompokan usia tua. Hal ini disebabkan karena
nilai kerapatan tegakan pohon jauh lebih besar dari pada nilai kerapatan tegakan untuk kategori belta. Setyawan (2006)
menyatakan pohon-pohon yang telah mapan pada umumnya mampu beregenerasi dengan jumlah yang melimpah serta
Setyawan (2002) menambahkan jika total kerapatan maupun nilai penting untuk kategori belta tidak jauh berbeda
dengan pohon diperkirakan kelestarian jenis-jenis pohon akan bertahan dalam waktu yang lama selama kondisi
lingkungan tidak mengalami perubahan yang drastis.
22
Volume 13 Nomor 1, April 2019
Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan p-ISSN 1978-1652
e-ISSN 2656-5498
Pada Stadium pertumbuhan pohon ditemukan jenis mangrove yang tumbuh lebih banyak yaitu R. mucronataR.
apiculata, dan S. alba dengan indeks nilai penting secara berturut-turut sebesar 115.08% (280 ind/ha), 101.54% (260
ind/ha), 57.61% (80 ind/ha). Jenis mangrove R. apiculata, R. mucronata ditemukan sebagai vegetasi yang tumbuh
dominan pada kategori belta dengan indeks nilai penting dan kerapatan tegakan berturut-turut sebesar 89.71% (1.200
ind/ha), 84.65% (1.200 ind/ha) sedangkan nilai penting terendah terdapat pada jenis R. stylosa yakni sebesar 25.65%
(160 ind/ha). Pada stadium pertumbuhan semai ditemukan jenis R. apiculata, R. mucronata yang mendominasi pada
Stasiun VI dengan indeks nilai penting dan kerapatan secara berturut-turut sebesar 86.84% (7.000 ind/ha), 36.43%
(5.000 ind/ha) sementara populasi jenis yang paling sedikit ditemukan untuk kategori semai pada Stasiun VI yaitu jenis
R. stylosa dengn INP sebesar 70,17% (5.000 ind/ha). Kerapatan tegakan pohon secara keseluruhan berjumlah 680
ind/ha, kemudian total kerapatan tegakan belta berjumlah 2.560 ind/ha dan total kerapatan semai sebesar 19.000 ind/ha.
Pada kategori belta dan pohon, jenis R. apiculata dan R. mucronata merupakan jenis yang tumbuh dominan pada
Stasiun VI, Hal ini menandakan bahwa R. mucronata merupakan jenis yang paling berperan penting dalam penyusunan
struktur vegetasi mangrove karena didukung oleh tipe substrat pasir berlumpur cocok untuk kehidupan R. apiculata
apalagi dari jenis R. mucronata. kondisi ini diduga juga karena daerah ini merupakan habitat yang sesuai untuk tumbuh
familiRhizophoraceae pada zonasi mangrove terdepan dengan adaptasi yang tinggi terhadap hempasan gelombang dan
salinitas yang tinggi, berdasarkan sampling di lapangan, famili Rhizophoraceae khususnya jenis R.mucronata dan R.
apiculata paling banyak ditemukan sehingga jenis mangrove tersebut tumbuh lebat dan rapat.
Total kerapatan pohon pada Stasiun 6 jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan total kerapatan belta, kondisi
ini diduga penyebabnya adalah tingginya tegakan untuk klasifikasi belta R. apiculata, R.mucronata sudah hampir
mencapai sekitar 20 meter, perakaran mangrove yang sangat rapat, serta kanopi tutupan tajuknya yang relatif tinggi,
sehingga terjadi kompetisi dalam memperoleh ruang untuk mempertahankan hidup dan berkembang. Sementara pada
kategori semai, kembali jenis R. apiculata menjadi jenis yang dominan Hal ini mencerminkan bahwa kompetisi dalam
memperoleh sinar matahari untuk melakukan proses fotosintesa adalah sangat tinggi, sehingga jumlah semai jenis ini
relatif rendah.
Berdasarkan SK Menteri No. 201 Tahun 2004, kondisi mangrove pada Stasiun 6 tergolong baik (bagus) dan
dapat tergolong mangrove yang memilki kerapatan lebat dengan pengelompokan usia tua. Hal ini disebabkan karena
nilai kerapatan tegakan pohon jauh lebih besar dari pada nilai kerapatan tegakan untuk kategori belta dan semai, yaitu
sebesar 680 ind/ha.
Jika melihat perbandingan jumlah kerapatan pohon, belta, dan semai antar stasiun pengamatan di dua lokasi
penelitian dapat dikatakan bahwa pada stasiun 1, dan 2 di pesisir Utara Pulau Mendanau dan pada stasiun 4 di Pulau
Batu Dinding perlu dijadikan kawasan konservasi atau pusat rehabilitasi, hal ini dikarenakan daerah-daerah tersebut
kurang memilki persediaan semai (seedling) sehingga diperlukan suatu perlindungan untuk melindungi vegetasi yang
ada. Sementara dari perbandingan antara pohon, belta dan semai pada Stasiun 3, 5 dan 6. maka daerah ini dirasa cocok
untuk menjadi daerah pembibitan. Tingginya kerapatan pada kategori semai ini didukung oleh kondisi substrat yang
kaya bahan organik, gelombang yang agak tenang dan faktor-faktor lingkungan lain yang sesuai untuk tumbuhnya
semai di daerah tersebut.
23
Volume 13 Nomor 1, April 2019
Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan p-ISSN 1978-1652
e-ISSN 2656-5498
Indeks keanekaragaman jenis pada 6 Stasiun pengamatan berkisar antara 0.299 – 0.912, menurut Wlham dan
Dorris (1986) dalam Odum (1993) apabila klasifikasi indeks keanekaragaman Shannon-Wienner H’ < 1 maka
keanekaragaman jenis pada seluruh stasiun pengamatan dikategorikan rendah, kondisi ini diduga karena adanya tekanan
ekologis yang tinggi serta pengambilan sampel hanya sebatas 100 m sehingga zonasi dan kenekaragaman jenis yang
ditemukan sangat rendah. Indeks keseragaman berkisar antara 0.617 – 0.912, menurut Krebs (1989) dalam Odum
(1993), apabila E > 0.6 maka keseragaman spesies tinggi artinya sebaran individu setiap spesies hampir merata dan
seragam pada seluruh stasiun pengamatan.Indeks dominansi seluruh stasiun pengamatan berkisar antara 0.137 – 0.502,
menurut Simpson (1949) dalam Odum (1993) pengelompokan indeks dominansi (0 < C < 0.5) menunjukkan tidak ada
individu yang paling mendominasi pada seluruh stasiun pengamatan karena jenis-jenis mangrove yang ditemukan
cenderung seragam.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, A. 2003. Hutan Mangrove. Cetakan pertama. Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI).
.
Bengen, D. G. 1999. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Bengen, D. G. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB: Bogor. 63 hal.
Brower J. E. dan J. H. Zar. 1989. Field and Laboratory Methods for General Ecology. W. M. Brown Company Publ.
Dubuque Lowa.
24
Volume 13 Nomor 1, April 2019
Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan p-ISSN 1978-1652
e-ISSN 2656-5498
Dahuri, R., J. Rais, S. Putra Ginting dan M.J. Sitepu. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu. P.T.Pradnya Paramita: Jakarta. 305 hal.
Kepmen LH No. 201. 2004. Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove.Deputi MENLH. Jakarta. 10
halaman.
Kitamura S, C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of Mangrove in Indonesia: Bali and Lombok.
Denpasar : JICA/ISME. The Development of Sustainable Mangrove Management Project.
Kusmana C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Bogor: PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor.
Marinda A. 2006. Struktur Komunitas dan Zonasi Mangrove di Perairan Teluk Gilimanuk Taman Nasional Bali Barat
Provinsi Bali.Skripsi (tidak dipublikasikan).
Noor YR, Khazali, Suryadiputra IN. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia Bogor: Wetlands International.
220 hal.
Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Saparinto C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Edisi Pertama, Cetakan kesatu. Semarang: Dahara
Prize. 236 hal.
Setyawan A. D, A. Susilowati dan Sutarno. 2002. Biodiversitas Genetik, Spesies dan Ekosistem Mangrove di Jawa.
Cetakan pertama. Surakarta: Kelompok Kerja Biodiversitas Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret.
Setyawan A D. 2008. Biodiversitas Ekosistem Mangrove di Jawa; Tinjauan Pesisir Utara dan Selatan Jawa Tengah
(Kumpulan Jurnal). Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS).
Setyawan A. D. 2006. Permasalahan Konservasi Ekosistem Mangrove di Pesisir Kabupaten Rembang Jawa
Tengah.Jurnal Biodiversitas 7(2).Hal.159-163.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
25
Volume 13 Nomor 1, April 2019
Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan p-ISSN 1978-1652
e-ISSN 2656-5498
Lampiran 1.Indeks nilai penting dan kerapatan tegakan semai, belta, dan pohon, pada setiap stasiun pengamatan di pesisir Utara Pulau Mendanau dan Pulau Batu Dinding.
INP (%) K (ind/ha)
Stasiun Nama Botani Nama Lokal Famili
Semai Belta Pohon Semai Belta Pohon
I Mangrove Sejati
Bruguiera gymnorrhiza(L) Lam Tancang Rhizophoraceae 39.29 25.13 32.04 2000.00 160.00 40 .00
Rhizophora apiculataBlume Bakau Rhizophoraceae 33.04 14.92 23.53 1500.00 80.00 20.00
Rhizophora mucronataLamk Bakau gede Rhizophoraceae - 16.57 24.80 - 160.00 20.00
Rhizophora stylosaGriff Bakau merah Rhizophoraceae 26.79 37.48 46.60 1000.00 240.00 40.00
Sonneratia alba( J). Sim Perepat Sonnertiaceae 20.54 - 173.02 500.00 - 140.00
Xylocarpus granatumKoen Nyirih Meliaceae - 11.17 - - 80.00 -
Mangrove Asosiasi
Hibiscus tiliaceusL Waru laut Malvaceae 26.79 78.36 - 1000.00 480.00 -
Ipomoea pes-caprae(L) Sweet Katang Convolvulaceae 20.54 - - 500.00 - -
Pandanus sp Parkinson Pandan Laut Pandanaceae 33.04 - - 1500.00 - -
Scaevola taccada(Gaertn.) Roxb Bako-bakoan Goodeniaceae - 18.44 - - 160.00 -
Total 200.00 200.00 300.00 8000.00 480.00 260.00
II Mangrove Sejati
Bruguiera gymnorrhiza(L) Lam Tancang Rhizophoraceae 200 67.79 - 500.00 320.00 -
Xylocarpus granatumKoen Nyirih Meliaceae - - 154.2 - - 20.00
Lumnitzera littorea(Jack) Voight Kedukduk Combretaceae - - 145.8 - - 20.00
Mangrove Asosiasi
Scaevola taccada(Gaertn.) Roxb Bako-bakoan Goodeniaceae - 132.21 - - 400.00 -
Total 200.00 200.00 300.00 500.00 720.00 40.00
III Mangrove Sejati
Rhizophora apiculata Blume Bakau Rhizophoraceae 27.86 71.96 144.80 500.00 2160.00 120.00
Rhizophora mucronataLamk Bakau gede Rhizophoraceae 135.71 123.11 97.92 15000.00 3600.00 60.00
Rhizophora stylosaGriff Bakau merah Rhizophoraceae - 2.33 27.04 - 80.00 20.00
Scyphiphora hydrophyllaceaGaertn.F Duduk rambat Rubiaceae 36.43 2.66 30.26 2000.00 80.00 20.00
Total 200.00 200.00 300.00 17500.00 5920.00 220.00
IV Mangrove Sejati
Rhizophora apiculata Blume Bakau Rhizophoraceae 70.83 200 108.70 1500.00 320.00 140.00
Sonneratia alba( J). Sim Perepat Sonnertiaceae 129.17 - 191.30 2500.00 - 140.00
Total 200.00 200.00 300.00 4000.00 320.00 280.00
V Mangrove Sejati
Rhizophora apiculata Blume Bakau Rhizophoraceae 71.03 125.17 24.59 4500.00 240.00 40.00
Rhizophora mucronataLamk Bakau gede Rhizophoraceae 98.02 74.83 163.48 8500.00 80.00 400.00
Sonneratia alba( J). Sim Perepat Sonnertiaceae 30.34 - 111.93 1500.00 - 140.00
Total 200.00 200.00 300.00 14500.00 320.00 580.00
VI Mangrove Sejati
Rhizophora apiculataBlume Bakau Rhizophoraceae 86.84 89.71 101.54 7000.00 1200.00 260.00
Rhizophora mucronataLamk Bakau gede Rhizophoraceae 42.99 84.65 115.08 7000.00 1200.00 280.00
Rhizophora stylosaGriff Bakau merah Rhizophoraceae 70.17 25.65 26.77 5000.00 160.00 60.00
Sonneratia alba( J). Sim Perepat Sonnertiaceae - - 57.61 - - 80.00
Total 200.00 200.00 300.00 19000.00 2560.00 680.00
Keterangan; (-): Tidak ditemukan Jenis Mangrove, tanda cetak tebal (bold) menandakan nilai tertinggi pada setiap stasiun pengamatan
26
Volume 13 Nomor 1, April 2019