IBADAH

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 7

IBADAH ADALAH HIKMAH PENCIPTAAN

Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan kepada kita bahwa Dia

menciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah kepada-Nya. Allâh Subhanahu

wa Ta’ala berfirman:

‫َو َم ا َخ َلْقُت اْلِج َّن َو اِإْل ْنَس ِإاَّل ِلَيْعُبُدوِن‬

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah

kepada-Ku. [Adz-Dzâriyât/51:56]

Oleh karena itu Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberikan ujian dengan perintah

ibadah, melaksanakan perintah, dan menjauhi segala larangan-Nya. Allâh Azza wa

Jalla berfirman:

‫اَّلِذ ي َخ َلَق اْلَم ْو َت َو اْلَحَياَة ِلَيْبُلَو ُك ْم َأُّيُك ْم َأْح َس ُن َع َم اًل‬

(Allâh) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di

antara kamu yang lebih baik amalnya. [Al-Mulk/67: 2]

Maka semua yang berakal, dari kalangan jin dan manusia, semenjak dewasa

sampai meninggal dunia dia berada dalam ujian dan cobaan. Kalau kita memahami

hal ini, maka alangkah pentingnya kita mengetahui makna ibadah dan cakupannya,

sehingga kita bisa mengisi hidup kita dengan ibadah sehingga bisa meraih ridha Allâh

Azza wa Jalla.

TA’RIF IBADAH SECARA BAHASA DAN ISTILAH

Ibadah secara bahasa adalah ketundukan dan kerendahan atau kepatuhan, seperti

perkataan bangsa Arab, “Tharîq mu’abbad” artinya jalan yang merendah karena

diinjak oleh telapak kaki. Atau seperti perkataan “ba’îr mu’abbad” artinya onta yang
patuh. Az-Zajaj rahimahullah (wafat 311 H), seorang ahli bahasa Arab, berkata,

“Ibadah dalam bahasa maknanya ketaatan disertai ketundukan”. (Lisânul ‘Arab, bab:

‘abada) Ar-Raghib al-Ash-bihani rahimahullah (wafat 425 H), seorang ahli bahasa

Arab, berkata, “’Ubudiyah adalah menampakkan ketundukan, sedangkan ibadah lebih

tinggi darinya, karena ibadah adalah puncak ketundukan”. (Mufradât Alfâzhil Qur’ân,

hlm. 542)

Sedangkan, ibadah secara istilah, para ulama telah menjelaskannya dengan

ungkapan yang berbeda-beda, namun intinya sama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

rahimahullah (wafat 728 H) berkata, “Ibadah adalah satu istilah yang menghimpun

seluruh apa yang dicintai dan diridhai oleh Allâh, baik berupa perkataan dan

perbuatan, yang lahir dan yang batin.” (Al-‘Ubudiyah, hlm: 23, dengan penelitian:

Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi hafizhahullâh) Penjelasan Syaikhul Islam Ibnu

Taimiyah ini mencakup seluruh jenis ibadah dalam agama Islam.

CAKUPAN IBADAH

Ibadah dalam agama Islam mencakup ibadah mahdhah dan ibadah ghairu

mahdhah.

1. Ibadah Mahdhah Ibadah mahdhah adalah perbuatan-perbuatan dan perkataan-

perkataan yang asalnya memang merupakan ibadah, berdasarkan nash atau

lainnya yang menunjukkan perkataan dan perbuatan tersebut haram

dipersembahkan kepada selain Allâh Azza wa Jalla . Dalam kitab ad-Dînul

Khâlish, 1/215, disebutkan pengertian ibadah mahdhah, “Segala yang

diperintahkan oleh Pembuat syari’at (yaitu: Allâh Subhanahu wa Ta’ala -pen),

baik berupa perbuatan atau perkataan hamba yang dikhususkan kepada

keagungan dan kebesaran Allâh Azza wa Jalla .”


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Wudhu adalah

ibadah, karena ia tidak diketahui kecuali dari Pembuat syari’at, dan semua

perbuatan yang tidak diketahui kecuali dari Pembuat syari’at, maka itu adalah

ibadah, seperti shalat dan puasa, dan karena hal itu juga berkonsekuensi pahala.”

[Al-Mustadrak ‘ala Majmû’ al-Fatâwâ, 3/29; Mukhtashar al-Fatâwâ al-Mishriyah,

hlm. 28] Maka semua perbuatan atau perkataan yang ditunjukkan oleh nash atau

ijma’ atau lainnya, atas kewajiban ikhlas padanya, maka itu adalah ibadah dari

asal disyari’atkannya, sedangkan yang tidak demikian maka itu bukan ibadah dari

asal disyari’atkannya, namun bisa menjadi ibadah dengan niat yang baik,

sebagaimana penjelasan berikutnya. Ibadah mahdhah ini mencakup hal-hal

sebagai berikut:

a. Ibadah hati yaitu keyakinan dan amalan Ibadah hati yang terbagi menjadi dua

bagian:

1) Qaulul qalbi (perkataan hati), dan dinamakan i’tiqâd (keyakinan;

kepercayaan). Yaitu keyakinan bahwa tidak ada Rabb (Pencipta; Pemilik;

Penguasa) selain Allâh, dan bahwa tidak ada seorangpun yang berhak

diibadahi selain Dia, mempercayai seluruh nama-Nya dan sifat-Nya,

mempercayai para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari

Akhir, taqdir baik dan buruk, dan lainnya.

2) ‘Amalul qalbi (amalan hati), di antaranya ikhlas, mencintai Allâh Subhanahu

wa Ta’ala , mengharapkan pahala-Nya, takut terhadap siksa-Nya, tawakkal

kepada-Nya, bersabar melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan

larangan-Nya dan lainnya.

b. Ibadah perkataan atau lisan Di antaranya adalah mengucapkan kalimat tauhid,

membaca al-Qur’an, berdzikir kepada Allâh dengan membaca tasbîh, tahmîd, dan
lainnya; berdakwah untuk beribadah kepada Allâh, mengajarkan ilmu syari’at,

dan lainnya.

c. Ibadah badan Di antaranya adalah melaksankan shalat, bersujud, berpuasa, haji,

thawaf, jihad, belajar ilmu syari’at, dan lainnya. d.Ibadah harta Di antaranya

adalah membayar zakat, shadaqah, menyembelih kurban, dan lainnya.

2. Ibadah Ghairu Mahdhah Ibadah ghairu mahdhah adalah perbuatan-perbuatan dan

perkataan-perkataan yang asalnya bukan ibadah, akan tetapi berubah menjadi ibadah

dengan niat yang baik.

Namun, jika perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan ini dilakukan

dengan niat yang buruk akan berubah menjadi kemaksiatan, dan pelakunya

mendapatkan dosa. Seperti, melakukan jual beli untuk mendapatkan harta dengan niat

untuk melakukan maksiat; makan minum agar memiliki kekuatan untuk mencuri;

mempelajari ilmu yang mubah, seperti kedokteran atau teknik, dengan niat untuk

mendapatkan pekerjaan yang dengan pekerjaan itu dia bisa melakukan perbuatan

maksiat. ] Y

Jika seseorang melakukan perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan ini

dengan tanpa niat yang baik atau niat buruk, maka perbuatan tersebut tetap pada

hukum asalnya, yaitu mubah. Ibadah ghairu mahdhah ini mencakup hal-hal sebagai

berikut:

a. Melaksanakan wâjibât (perkara-perkara yang diwajibkan) dan mandûbât

(perkara-perkara yang dianjurkan) yang asalnya tidak masuk ibadah, dengan

niat mencari wajah Allâh

Misalnya: Mengeluarkan harta untuk keperluan diri sendiri, seperti makan,

minum, dan sebagainya, dengan niat menguatkan badan dalam melaksanakan

ketaatan kepada Allâh. Berbakti kepada orang tua dengan niat melaksanakan
perintah Allâh. Memberi nafkah kepada anak dan istri dengan niat

melaksanakan perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Mendidik anak dan

membiayai sekolahnya dengan niat agar mereka bisa beribadah kepada Allâh

dengan baik. Menikah dengan niat menjaga kehormatan diri sehingga tidak

terjatuh ke dalam zina. Memberi pinjaman hutang dengan niat menolong dan

mencarai pahala Allâh. Memberi hadiah kepada orang dengan niat mencari

wajah Allâh. Memuliakan tamu dengan niat melaksanakan perintah Allâh.

Memberi tumpangan kepada seorang yang tua agar sampai ke tempat

tujuannya dengan niat mencari wajah Allâh.

Di antara dalil yang menunjukkan hal itu sebagai ibadah adalah hadits

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫ ِإَذ ا َأْنَفَق الَّرُجُل َع َلى َأْهِلِه َيْح َتِس ُبَها َفُهَو َلُه َص َد َقٌة‬: ‫َع ْن َأِبي َم ْسُعوٍد َع ِن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل‬

Dari Abu Mas’ûd Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa

sallam , Beliau bersabda, “Jika seorang laki-laki mengeluarkan nafkah kepada

keluarganya yang dia mengharapkan wajah Allâh dengan-Nya, maka itu

shadaqah baginya”. [HR. Al-Bukhâri, no. 55]

b. Meninggalkan muharramât (perkara-perkara yang diharamkan) untuk mencari

wajah Allâh Azza wa Jalla Termasuk dalam hal ini adalah meninggalkan riba,

meninggalkan perbuatan mencuri, meninggalkan perbuatan penipuan, dan

perkara-perkara yang diharamkan lainnya.

Jika seorang Muslim meninggalkannya karena mencari pahala Allâh,

takut terhadap siksa-Nya, maka itu menjadi ibadah yang berpahala. Namun

jika seorang Muslim meninggalkan suatu perbuatan maksiat karena tidak

mampu melakukannya, atau karena takut terhadap had dan hukuman, atau
tidak ada keinginan, atau sama sekali tidak pernah memikirkannya, maka dia

tidak mendapatkan pahala.

Dalilnya adalah hadits:

‫ ِإَذ ا َأَر اَد َع ْب ِد ي َأْن َيْع َم َل‬:‫ ” َيُق وُل ُهَّللا‬: ‫ َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل‬:‫َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة‬

،‫ َو ِإْن َتَر َك َها ِم ْن َأْج ِلي َفاْكُتُبوَها َلُه َح َس َنًة‬،‫ َفِإْن َع ِم َلَها َفاْكُتُبوَها ِبِم ْثِلَها‬،‫ َفَال َتْكُتُبوَها َع َلْيِه َح َّتى َيْع َم َلَها‬،‫َس ِّيَئًة‬

‫ َفِإْن َع ِم َلَها َفاْكُتُبوَها َلُه ِبَع ْش ِر َأْم َثاِلَها ِإَلى َس ْبِع ِم اَئِة‬،‫َو ِإَذ ا َأَر اَد َأْن َيْع َم َل َحَس َنًة َفَلْم َيْع َم ْلَها َفاْكُتُبوَها َلُه َحَس َنًة‬

‫“ ِض ْع ٍف‬

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam

bersabda, “Allâh berfirman: Jika hamba-Ku berkeinginan melakukan

keburukan, maka janganlah kamu menulisnya sampai dia melakukannya. Jika

dia telah melakukannya, maka tulislah dengan semisalnya. Dan jika dia

meninggalkannya karena Aku, maka tulislah satu kebaikan untuknya. Jika dia

berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, maka tulislah

satu kebaikan untuknya. Jika dia telah melakukannya, maka tulislah baginya

sepuluh kalinya sampai 700 kali”. (HR. Al-Bukhâri, no. 7501)

c. Melakukan mubâhât (perkara-perkara yang dibolehkan) untuk mencari wajah

Allâh Subhanahu wa Ta’ala Di antaranya tidur, makan, menjual, membeli, dan

usaha lainnya dalam rangka mencari rezeki.

Semua ini dan yang semacamnya hukum asalnya adalah mubah. Jika

seorang Muslim melakukannya dengan niat menguatkan diri untuk

melaksanakan ketaatan kepada Allâh, maka hal itu menjadi ibadah yang

berpahala. Dalil adalah hadits Abu Mas’ud dan Sa’ad yang telah lewat.

Demikian juga perkataan Mu’adz bin Jabal, ketika ditanya oleh Abu Musa al-

Asy’ari, “Bagaimana engkau membaca al-Qur’an?” Beliau Radhiyallahu anhu

menjawab:
‫ َفَأْح َتِس ُب َنْو َم ِتي َك َم ا َأْح َتِس ُب َقْو َم ِتي‬،‫ َفَأْقَر ُأ َم ا َكَتَب ُهَّللا ِلي‬، ‫ َفَأُقوُم َو َقْد َقَض ْيُت ُج ْز ِئي ِم َن الَّنْو ِم‬، ‫َأَناُم َأَّوَل الَّلْيِل‬

Aku tidur di awal malam, lalu aku bangun dan aku telah memberikan

bagian tidurku, lalu aku membaca apa yang Allâh takdirkan untukku.

Sehingga aku mengharapkan pahala pada tidurku, sebagaimana aku

mengharapkan pahala pada berdiri (shalat) ku”. [HR. Al -Bukhâri, no. 4341]

Anda mungkin juga menyukai