Komunitas Perspektif Sosiologis: Juwandi, S.Psi., M.Si
Komunitas Perspektif Sosiologis: Juwandi, S.Psi., M.Si
Komunitas Perspektif Sosiologis: Juwandi, S.Psi., M.Si
Pendahuluan
Dunia, kehidupan, semesta jagad raya kita ini begitu kompleks, menampakkan
banyak hal. Ada debu, pasir, kerikil, batu hingga benda-benda langit. Dari yang lebih kecil
Anda bisa menunjuk semut, laba-laba, kucing, sampai yang terbesar gajah. Juga yang
tidak pernah tuntas dipahami: manusia, dengan pikiran, emosi, tindakannya, dari suku
yang masih tinggal di belantara hutan hingga mereka yang menyesaki perkotaan.
Pertanyaannya adalah bagaimana kita memandang semua itu? Atau secara filosofis,
bagaimana kita memandang dunia, realitas, fenomena, gejala, juga diri kita sendiri? Ini
adalah pertanyaan dasar tentang paradigma yang akan menentukan cara-cara yang kita
gunakan untuk memahaminya. Barangkali banyak di antara Anda yang tidak menyadari
saat Anda membaca hasil penelitian, baik dalam skripsi, tesis, disertasi atau jurnal ilmiah,
saat itu Anda sedang bersentuhan dengan cara pandang tertentu dalam memandang
dunia, yakni paradigma.
Paradigma
Paradigma adalah gambaran dasar tentang objek yang diteliti, yang menentukan
tentang apa yang semestinya dipelajari, pertanyaan apa yang diajukan, bagaimana
mengajukannya, dan aturan dalam menafsirkan jawabannya. Paradigma merupakan
konsensus terluas dalam ilmu yang membedakan antara suatu komunitas ilmiah dengan
komunitas lainnya. Dari Kuhn Anda akan menangkap bahwa paradigma menyerupai
institusi, paham, atau ajaran yang dijaga, dipegang teguh, dipraktikkan, dan dibela oleh
penganutnya. Dalam kenyataannya memang demikian. Cakrawala ilmu pengetahuan
tidak pernah sepi dari kabut perdebatan dan ketegangan. Dalam area yang lebih sempit,
Anda dapat mengambil contoh ketegangan psikoanalisis dan humanistik, atau yang lebih
sempit lagi silang pendapat antara Freud dan Jung. Bila yang pertama adalah perbedaan
antar mazhab (school of tought), maka yang kedua perselisihan sesama mazhab. Itu akan
terus terjadi sampai muncul apa yang disebut Kuhn sebagai shifting paradigm
(pergeseran paradigma), yakni ketika paradigma lama mulai ditinggalkan dan memeluk
yang baru. Awal kemunculan paradigma baru lebih keras lagi perdebatannya.
Paradigma pada dasarnya landasan filsafat, nalar pikir atau konsepsi tentang
realitas yang membentuk, mendasari, mengarahkan cara menyelidiki realitas, fenomena,
atau gejala, termasuk manusia sebagai subject matter disiplin ilmu sosial. Ini adalah
perkara yang bukan saja mendasar tapi juga rumit, kompleks dalam ranah ilmu sosial
Mengapa paradigma menjadi bahasan yang sangat serius dalam ranah keilmuan? Bila
paradigma atau konsepsi Anda tentang realitas berbeda dengan saya, maka cara yang
kita gunakan untuk mengetahuinya pun juga akan berbeda.
Bila Anda memandang penyakit karena gangguan makhluk halus, Anda akan
meminta air kepada dukun. Dan bila saya melihatnya sebagai akibat dari virus atau
bakteri saya akan meminta obat kepada dokter. Meskipun penyakitnya sama tapi cara
pandangnya lain akan lain pula pula tindakannya. Demikian juga dalam ranah keilmuan.
Ada paradigma, nalar, landasan filsafat, konsepsi yang mempengaruhi prosedurnya,
yakni paradigma. Paradigma itulah yang membentuk paradigma teoritis (theoretical
paradigm), atau bisa juga disebut sebagai perspektif, cara, atau sudut pandang. Dari sana
teori dibangun.
Perspektif Sosiologis
Sosiolog bergantung pada teori untuk menjelaskan bagaimana dunia sosial dan
bagaimana mereka mengorganisir ide tentang dunia sosial itu bekerja. Teori itu sendiri
adalah analisis dan pernyataan tentang bagaimana dan mengapa fakta berhubungan
satu sama lain. Dalam sosiologi, teori membantu kita memahami bagaimana fenomena
sosial terkait satu dengan yang lain (Stolley, 2005). Ada tiga perspektif atau paradigma
teoritis utama dalam sosiologi, yakni struktuctural functinalism, social conflict, dan
symbolic interactionism.
Struktuctural Functinalism
Social Conflict
Konflik sosial atau social conflicy theory fokus pada persaingan antar kelompok,
sedangkan fungsionalis fokus pada keseimbangan dan stabilitas dalam sistem sosial.
Para teoritikus social conflict, memandang masyarakat terdiri dari hubungan sosial yang
dicirikan dengan ketidaksetaraan (inequality) dan perubahan (change).
Menurut teori konflik sosial, kelompok terus bersaing untuk mendapatkan sumber
daya yang tidak terdistribusi secara merata, seperti kekayaan dan kekuasaan, dengan
masing-masing kelompok berusaha mendapatkan keuntungan dari kepentingan diri
mereka sendiri. Dalam skenario ini, satu atau beberapa kelompok mengontrol sumber
daya dengan mengorbankan orang lain. Jadi teoritikus konflik melihat struktur sosial
dengan bertanya, “Siapa yang diuntungkan?” Konflik antar kelompok yang konstan ini
juga menghasilkan perubahan sosial.
Teori konflik sosial tidak muncul bersama sosiologi. Seperti dikemukakan Randall
Collins, sebagian besar sejarah dunia adalah sejarah konflik. Perspektif ini muncul
berulang kali ketika para pemikir sosial menulis tentang apa yang terjadi di masyarakat
dan mengapa di balik peristiwa (Collins, 1994). Dalam tradisi ini, para sosiolog melihat
materi sejarah dan pola-pola perubahannya.
Menurut perspektif ini, masyarakat dan struktur sosial yang lebih besar harus
dipahami dengan mempelajari interaksi sosial yang didasarkan pada berbagi
pemahaman, bahasa, dan simbol-simbol. Simbol adalah sesuatu yang bermakna,
mewakili, atau menandakan sesuatu yang lain dalam budaya tertentu. Simbol bisa apa
saja: gerak tubuh, kata-kata, objek, atau peristiwa yang mewakili sejumlah hal: ide, emosi,
peristiwa, dan sebagainya.
Bagi Weber konsep atau pemahaman subjektif adalah pusat untuk menjelaskan
perilaku manusia. Kita harus bisa menerima posisi orang lain secara mental untuk bisa
memahami tindakannya. Dari sudut pandang kita sendiri, kita mungkin tidak mengerti
mengapa orang bertindak dengan cara tertentu, apa arti perilaku itu bagi mereka, atau
bahwa tujuannya itu berguna baginya.
Ketiga perspektif sosiologis itu selanjutnya dapat dipakai sebagai kerangka atau
konsepsi dasar untuk memahami komunitas. Hasilnya, tentu bergantung perspektif yang
dipakai: apakah fungsionalisme struktual, konflik sosial, atau interaksionisme simbolik.
Apapun itu, dalam memahami dunia sosial, masyarakat, ataupun komunitas, seringkali
tak cukup hanya dengan mengandalkan satu perspektif saja. Atau, bisa jadi, dalam
kelompok sosial tertentu, satu perspektif lebih tepat untuk dipakai dibanding perspektif
yang lain. Betapapun, dunia manusia terlampau kompleks.
Komunitas
Konsep komunitas punya sejarah panjang dan menjadi sentral di banyak literatur
sosiologi. Dalam kehidupan sehari-hari, stilah komunitas digunakan mengungkapkan
gagasan umum pengalaman dan minat bersama. Arti populer sekarang ini, bukan hanya
untuk gagasan tradisional tentang lokalitas dan lingkungan bersama, tapi juga ide-ide
solidaritas dan hubungan antara orang-orang yang berbagi karakteristik atau identitas
sosial yang serupa. Misalnya, komunitas kulit hitam, komunitas waria, dan sebagainya.
Para Sosiolog abad 19 yang berpengaruh seperti Mark, Durkhim dan Weber
mengganggap transformasi sosial (social transformation) dari komunitas dalam berbagai
bentuknya menjadi hal yang fundamental dari sosiologi dan teori sosiologi. Thomas
Bender (1978) memandang bahwa gangguan tatanan sosial tradisional yang terkait
dengan industralisasi, urbanisasi dan kebangkitan kapitalisme, perlu memberi fokus
perhatian yang signifikan pada transformasi sosial komunitas dan kehidupan komunal.
Sosiolog kontemporer sendiri tetap, pada intinya, suatu disiplin yang sebagian
besar berkaitan dengan definisi dan kegigihan komunitas sebagai bentuk organisasi
sosial, eksistensi sosial, dan pengalaman sosial yang merefleksikan keintiman,
kehangatan, cinta, tradisi dan semacamnya. Maka, sosiologi komunitas menjadi kajian
tersendiri yang memang sejak awal kelahiran sosiologi telah menjadi sumber dominan
daalam penyelidikan sosiologis.
Sosiologi Komunitas
Simpulan
Referensi
Capra, F. (1996). The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems. New
York: Anchor Books.
Kuhn, T.S., (1970). The Structure of Scientific Revolutions. Chicago, University of Chicago
Press.
Creswell, J.W., (2007). Qualitative Inquiy and Research Design: Choosing Among Five
Approaches. Sage Publication.
Denzim, N.K.,dan Lincoln, Y.S., (1994). The Sage Handbook of Qualitative Research.
Thousand Oaks: Sage Publications.
Guba, E. G. (1990). The Alternative Paradigm Dialog. In: E. G. Guba (ed.), The Paradigm
Dialog.Newbury Park, CA: Sage.
Kuhn, T.S., (1970). The Structure of Scientific Revolutions. Chicago, University of Chicago
Press.
Patton, M. Q., (1990). Qualitative Evaluation and Research Methods. Edisi: Second,
Newbury Park, CA: Sage.
Stolley, K.S. (2005). The Basics of Sosiology. London: Greenwood Press.