Komunitas Perspektif Sosiologis: Juwandi, S.Psi., M.Si

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 9

3 Komunitas Perspektif Sosiologis

Juwandi, S.Psi., M.Si


The historian of science may be tempted to exclaim
that when paradigms change, the world itself changes with them
~Thomas Kuhn

Materi dan Tujuan


Seseorang tidak akan berbuat melebihi apa yang ada dalam pikirannya. Hanya dengan
memahami pikirannya menjadi lebih mungkin bagi Anda memahami tindakannya.
Demikian halnya dalam ranah kelimuan. Ada cara pandang tertentu terhadap dunia-
realitas yang mendasari bagaimana ilmuan memahami objek kajiaannya. Pertemuan ke-
3 ini akan memberi landasan konseptual sebagai dasar untuk dapat memahami materi
selanjutnya. Bagian ini akan menjawab seputar pertanyaan bagimana sosiologi
memandang dunia sosial (masyarakat-komunitas). Setelah mempelajari materi ini, Anda
akan mampu (a) menjelaskan dengan bahasa Anda sendiri apa itu paradigma; (b)
menjelaskan ragam perspektif sosiologis, dan komunitas dalam perspektif sosiologi.

Pendahuluan

Dunia, kehidupan, semesta jagad raya kita ini begitu kompleks, menampakkan
banyak hal. Ada debu, pasir, kerikil, batu hingga benda-benda langit. Dari yang lebih kecil
Anda bisa menunjuk semut, laba-laba, kucing, sampai yang terbesar gajah. Juga yang
tidak pernah tuntas dipahami: manusia, dengan pikiran, emosi, tindakannya, dari suku
yang masih tinggal di belantara hutan hingga mereka yang menyesaki perkotaan.
Pertanyaannya adalah bagaimana kita memandang semua itu? Atau secara filosofis,
bagaimana kita memandang dunia, realitas, fenomena, gejala, juga diri kita sendiri? Ini
adalah pertanyaan dasar tentang paradigma yang akan menentukan cara-cara yang kita
gunakan untuk memahaminya. Barangkali banyak di antara Anda yang tidak menyadari
saat Anda membaca hasil penelitian, baik dalam skripsi, tesis, disertasi atau jurnal ilmiah,
saat itu Anda sedang bersentuhan dengan cara pandang tertentu dalam memandang
dunia, yakni paradigma.

Paradigma

Paradigma dapat dipahami sebagai konstelasi konsep-konsep, keyakinan, nilai-


nilai, persepsi, teknik, dan praktek yang membentuk visi tertentu tentang realitas (Capra,
1996; Kuhn, 1970); atau pandangan dunia, perspektif umum, keyakinan dasar yang
memandu tindakan dalam mengurai kompleksitas dunia nyata (Creswell, 2007; Patton,
1990; Denzim & Lincoln, 1994). Dapat pula didefinisikan sebagai sistem kepercayaan
dasar yang memandu penyelidikan, berisi asumsi-asumsi tentang realitas (ontologi),
pengetahuan tentang realitas (epistemologi) dan cara-cara yang digunakan untuk
mengetahuinya (metodologi) (Guba, 1990). Thomas Kuhn (1970) dalam karya
monumentalnya, The Structure of Scientific Revolutions, menggambarkan paradigma
sebagai struktur komunitas (community structure) yang terdiri dari orang-orang yang
berbagi paradigma, yakni ilmuan, ahli, praktisi, termasuk mereka yang diharapkan
menjadi penerus paradigma yang mereka anut. Paradigma juga berisi komitmen
penganutnya (constellation of group commitments) dan contoh yang dipraktikkan dan
diajarkan (shared examples), yakni cara kerja ilmiah, nilai, hukum, teori, metode dan
turunannya. Kuhn mendefinisikan paradigma sebagai berikut:

A paradigm is a fundamental image of the subject matter within a science. It


serves to difeny what should be studied, what qeustion should be asked, how
they should be asked and what rules should be followed in interpretating the
answer obtained. The paradigms is the broadest unit of consensus within a
science and serves to defferenciate on scientific community (or
subcommunity) from another. It subsumes, defines, and interrelates the
exemplars, theories, methods and instrument, that exist within it.

Paradigma adalah gambaran dasar tentang objek yang diteliti, yang menentukan
tentang apa yang semestinya dipelajari, pertanyaan apa yang diajukan, bagaimana
mengajukannya, dan aturan dalam menafsirkan jawabannya. Paradigma merupakan
konsensus terluas dalam ilmu yang membedakan antara suatu komunitas ilmiah dengan
komunitas lainnya. Dari Kuhn Anda akan menangkap bahwa paradigma menyerupai
institusi, paham, atau ajaran yang dijaga, dipegang teguh, dipraktikkan, dan dibela oleh
penganutnya. Dalam kenyataannya memang demikian. Cakrawala ilmu pengetahuan
tidak pernah sepi dari kabut perdebatan dan ketegangan. Dalam area yang lebih sempit,
Anda dapat mengambil contoh ketegangan psikoanalisis dan humanistik, atau yang lebih
sempit lagi silang pendapat antara Freud dan Jung. Bila yang pertama adalah perbedaan
antar mazhab (school of tought), maka yang kedua perselisihan sesama mazhab. Itu akan
terus terjadi sampai muncul apa yang disebut Kuhn sebagai shifting paradigm
(pergeseran paradigma), yakni ketika paradigma lama mulai ditinggalkan dan memeluk
yang baru. Awal kemunculan paradigma baru lebih keras lagi perdebatannya.

Paradigma pada dasarnya landasan filsafat, nalar pikir atau konsepsi tentang
realitas yang membentuk, mendasari, mengarahkan cara menyelidiki realitas, fenomena,
atau gejala, termasuk manusia sebagai subject matter disiplin ilmu sosial. Ini adalah
perkara yang bukan saja mendasar tapi juga rumit, kompleks dalam ranah ilmu sosial
Mengapa paradigma menjadi bahasan yang sangat serius dalam ranah keilmuan? Bila
paradigma atau konsepsi Anda tentang realitas berbeda dengan saya, maka cara yang
kita gunakan untuk mengetahuinya pun juga akan berbeda.
Bila Anda memandang penyakit karena gangguan makhluk halus, Anda akan
meminta air kepada dukun. Dan bila saya melihatnya sebagai akibat dari virus atau
bakteri saya akan meminta obat kepada dokter. Meskipun penyakitnya sama tapi cara
pandangnya lain akan lain pula pula tindakannya. Demikian juga dalam ranah keilmuan.
Ada paradigma, nalar, landasan filsafat, konsepsi yang mempengaruhi prosedurnya,
yakni paradigma. Paradigma itulah yang membentuk paradigma teoritis (theoretical
paradigm), atau bisa juga disebut sebagai perspektif, cara, atau sudut pandang. Dari sana
teori dibangun.

Perspektif Sosiologis

Sosiolog bergantung pada teori untuk menjelaskan bagaimana dunia sosial dan
bagaimana mereka mengorganisir ide tentang dunia sosial itu bekerja. Teori itu sendiri
adalah analisis dan pernyataan tentang bagaimana dan mengapa fakta berhubungan
satu sama lain. Dalam sosiologi, teori membantu kita memahami bagaimana fenomena
sosial terkait satu dengan yang lain (Stolley, 2005). Ada tiga perspektif atau paradigma
teoritis utama dalam sosiologi, yakni struktuctural functinalism, social conflict, dan
symbolic interactionism.

Struktuctural Functinalism

Fungsionalime struktural adalah paradigma sosiologis paling awal, berakar pada


kemajuan ilmiah ilmu fisika pada abad ke-19. Berdasarkan kemajuan tersebut, Herbert
Spencer (1820-1903) mendekati kajian struktur sosial melalui analogi organik (organic
analogy) yang menekankan pada evolusi manusia. Dengan cara itu, Spencer melihat
masyarakat mirip dengan tubuh. Seperti halnya berbagai organ dalam tubuh yang
bekerja sama untuk menjaga agar seluruh sistem berfungsi, berbagai bagian dari
masyarakat, seperti pemerintahan, ekonomi, pendidikan dan sebagainya, bekerja sama
untuk menjaga agar seluruh masyarakat berfungsi dan diatur. Spencer juga melihat
kesamaan cara tubuh dan masyarakat dalam berevolusi.

Spencer dipengaruhi sosiolog Perancis, Emile Durkheim (1858-1919). Durkheim


mengambil analogi organik dan memurnikannya menjadi perspektif yang akan menjadi
fungsionalisme struktural, atau fungsionalisme. Paradigma ini memandang masyarakat
sebagai sistem kompleks dari bagian-bagain yang salin terkait yang bekerja sama untuk
menjaga stabilitas (Parson, 1951, Turner dan Maryanski, 1979). Berdasarkan perspektif ini
(1) bagian-bagian dari sistem sosial saling bergantung (2) sistem yang sehat dianalogikan
dengan sistem keseimbangan tubuh yang sehat, normal (3) ketika terganggu, bagian-
bagin sistem mengatur ulang dirinya, dan menyesuikan diri untuk menghadirkan sistem
ke keadaan keseimbangan (Walaca dan Wolf, 1999). Setiap perubahan dalam masyarakat
terjadi dengan cara yang terstuktur dan evolusioner.
Durkheim menyadari bahwa masyarakat mempengaruhi tindakan manusia, tapi
masyarakat adalah sesuatu yang berada di luar diri individu. Masyarakat, menurut
Durkheim harus dipahami dan dipelajari dalam apa yang disebut sebagai fakta sosial
(social facts). Fakta sosial ini termasuk, hukum, moral, nilai, keyakinan keagamaan, adat
istiadat, mode, ritual, dan berbagai aturan budaya dan sosial yang mengatur kehidupan
sosial. Durkheim memandang fakta sosial itu sebagai penyusun struktur masyarakat. Ia
tertarik pada bagaimana fakta sosial ini terkait satu sama lain, dan juga fungsi dari bagian-
bagian sistem sosial dan bagaimana masyarakat bisa tetap stabil atau berubah.
Fungsionalisme sangat berpengaruh dalam sosiologi.

Social Conflict

Konflik sosial atau social conflicy theory fokus pada persaingan antar kelompok,
sedangkan fungsionalis fokus pada keseimbangan dan stabilitas dalam sistem sosial.
Para teoritikus social conflict, memandang masyarakat terdiri dari hubungan sosial yang
dicirikan dengan ketidaksetaraan (inequality) dan perubahan (change).

Menurut teori konflik sosial, kelompok terus bersaing untuk mendapatkan sumber
daya yang tidak terdistribusi secara merata, seperti kekayaan dan kekuasaan, dengan
masing-masing kelompok berusaha mendapatkan keuntungan dari kepentingan diri
mereka sendiri. Dalam skenario ini, satu atau beberapa kelompok mengontrol sumber
daya dengan mengorbankan orang lain. Jadi teoritikus konflik melihat struktur sosial
dengan bertanya, “Siapa yang diuntungkan?” Konflik antar kelompok yang konstan ini
juga menghasilkan perubahan sosial.

Teori konflik sosial tidak muncul bersama sosiologi. Seperti dikemukakan Randall
Collins, sebagian besar sejarah dunia adalah sejarah konflik. Perspektif ini muncul
berulang kali ketika para pemikir sosial menulis tentang apa yang terjadi di masyarakat
dan mengapa di balik peristiwa (Collins, 1994). Dalam tradisi ini, para sosiolog melihat
materi sejarah dan pola-pola perubahannya.

Karya-karya Mark (1818-1883) sering dianggap sebagai penyedia akar sosiologis


dari pespektif konflik. Mark mengamati adanya ketidaksetaraan di seluruh masyarakat
kapitalis yang sedang tumbuh. Menurutnya, ekonomi kapitalis, menghasilkan kelas-kelas
sosial yang terus menerus bersaing untuk mendapatkan sumber daya masyarakat yang
terbatas. Mark melihat pemilik pabrik yang kaya yang mendapatkan kekayaannya dari
buruh pabrik yang dibayar sedikit, bekerja keras, berbahaya, dan seringkali di tempat
yang tidak sehat. Ada perjuangan berkelanjutan antara kaum borjuis-kaya dan kaum
proletar-miskin. Hasilnya adalah konflik sosial dan perubahan, sebab yang tak memiliki
sumber daya menentang pemegang sumber daya. Gagasan tentang social conflict terus
berkembang bukan hanya soal ketidaksetaraan dalam sumber daya dan kekuasaan, tapi
juga ketidaksetaraan ras, termasuk gender yang menjadi dasar teori feminis.
Symbolic Interactionism

Interaksionisme simbolik berfokus pada pola interaksi individu. Meski sosiolog


yang bekerja pada tradisi interaksi simbolik mengakui ada struktur masyarakat yang
lebih besar dan penting dalam membentuk kehidupan kita, mereka menunjukkan bahwa
masyarakat sebenarnya diciptakan oleh orang-orang yang berinteraksi bersama setiap
hari. Interaksi kecil inilah yang sebenarnya membentuk struktur sosial yang lebih besar
yang menjadi fokus para fungsionalis dan teoritikus konflik teori.

Menurut perspektif ini, masyarakat dan struktur sosial yang lebih besar harus
dipahami dengan mempelajari interaksi sosial yang didasarkan pada berbagi
pemahaman, bahasa, dan simbol-simbol. Simbol adalah sesuatu yang bermakna,
mewakili, atau menandakan sesuatu yang lain dalam budaya tertentu. Simbol bisa apa
saja: gerak tubuh, kata-kata, objek, atau peristiwa yang mewakili sejumlah hal: ide, emosi,
peristiwa, dan sebagainya.

Dalam pandangan interaksionisme simbolik, kita dapat berinteraksi dengan orang


lain karena kita membuat simbol dan belajar menafsirkan arti simbol simbol itu dalam
interaksi, sehingga kadang disebut sebagai teori interpretatif. Perubahan sosial terjadi
saat orang mengembangkan pemahaman bersama bahwa perubahan perrlu terjadi dan
berinteraksi untuk membuat perubahan itu terjadi. Interaksionisme simbolik sebagian
besar didasarkan pada karya sosiolog Jerman, Max Weber. Tak seperti sosiolog lain yang
fokus pada hubungan struktural yang besar, Weber tertarik dengan bagaimana individu
berinteraksi, menafsirkan, memahami situasi yang dihadapi, dan berpartisipasi dalam
interakasi.

Bagi Weber konsep atau pemahaman subjektif adalah pusat untuk menjelaskan
perilaku manusia. Kita harus bisa menerima posisi orang lain secara mental untuk bisa
memahami tindakannya. Dari sudut pandang kita sendiri, kita mungkin tidak mengerti
mengapa orang bertindak dengan cara tertentu, apa arti perilaku itu bagi mereka, atau
bahwa tujuannya itu berguna baginya.

Tiga Perspektif Sosiologis

Paradigma Level analisis Asumsi Pertanyaan Bagaimana


teoritis perubahan terjadi
Fungsionalismne makro Masyarakat Bagaimana Evolusioner,
struktural sebagai sistem masyarakat menyeimbangkan
yang saling beroperasi? kembali sistem.
terkait yang
bekerja
bersama-sama
untuk menjaga Apa fungsi dari
stabilitas. bagian-bagian
yang berbeda.
Konflik sosial makro Masyarakat Siapa yang Revolusioner,
adalah relasi diuntungkan konflik antar
sosial yang Apa sumber kelompok yang
dipaksakan, konflik antar berlomba untuk
dicirikan dengan kelompok? mendapatkan
ketidaksetaraan Bagaimana sumber daya.
dan perjuangan terselesaikan?
antar kelompok
Interaksionisme Mikro Masyarakat Bagaimana Mendefinisikan
simbolik tercipta dari individu ulang situasi.
interaksi sehari- berienterkasi.
hari.
Sumber: Kathy S. Stolley. The Basics of Sosiology (2005).

Komunitas Perspektif Sosiologis

Ketiga perspektif sosiologis itu selanjutnya dapat dipakai sebagai kerangka atau
konsepsi dasar untuk memahami komunitas. Hasilnya, tentu bergantung perspektif yang
dipakai: apakah fungsionalisme struktual, konflik sosial, atau interaksionisme simbolik.
Apapun itu, dalam memahami dunia sosial, masyarakat, ataupun komunitas, seringkali
tak cukup hanya dengan mengandalkan satu perspektif saja. Atau, bisa jadi, dalam
kelompok sosial tertentu, satu perspektif lebih tepat untuk dipakai dibanding perspektif
yang lain. Betapapun, dunia manusia terlampau kompleks.

Komunitas

Konsep komunitas punya sejarah panjang dan menjadi sentral di banyak literatur
sosiologi. Dalam kehidupan sehari-hari, stilah komunitas digunakan mengungkapkan
gagasan umum pengalaman dan minat bersama. Arti populer sekarang ini, bukan hanya
untuk gagasan tradisional tentang lokalitas dan lingkungan bersama, tapi juga ide-ide
solidaritas dan hubungan antara orang-orang yang berbagi karakteristik atau identitas
sosial yang serupa. Misalnya, komunitas kulit hitam, komunitas waria, dan sebagainya.

Toennies (1963) menggunakana istilah gemeinschaft yang berarti komunitas


untuk menggambarkan ikatan sosial tradisional, characterized by the importance of
intimate relationships such as family, kin, and friendship; moral closeness/unity; and
religion. Seperti Toennies, Durkheim juga tertarik dengan solidaritas (solidarity), yakni
ikatan antara orang-orang dan apa yang menyatukan mereka. Solidaritas ini semakna
dengan gemeinschaft. Durkheim merasakan bahwa dalam komunitas tradisional, ikatan
sosial dicirikan dengan solidaritass mekanis (mechanical solidarity), yakni bergantung
pada kesamaan, berbagi nilai dan keyakinan, sedikit pembagian kerja, dan perbedaan
pribadi diminimalkan.

Durkheim membandingkannya dengan solidaritas organis (organic solidarity),


dimana ikatan sosial didasarkan pada perbedaan, dalam bentuk pembagian kerja.
Solidaritas organis terbentuk dari pembagian kerja masyarakat industri yang
menghasilkan ikataan sosial yang baru. Menurut Durkheim, individu di kota menjadi tidak
terlalu terikat dengan masalah bersama, tapi saling ketergantungan dalam spesialisasi
peran. Dalam masyarakat kota, industri, kapitalis, seringkali bahkan antar tetangga atau
orang yang bekerja dalam satu perusahaan belum tentu saling mengenal dan tak
memiliki ikatan bersama yang bersifat emosional, sebab yang penting bergerak
berdasarkan spesialisasi peran.

Para Sosiolog abad 19 yang berpengaruh seperti Mark, Durkhim dan Weber
mengganggap transformasi sosial (social transformation) dari komunitas dalam berbagai
bentuknya menjadi hal yang fundamental dari sosiologi dan teori sosiologi. Thomas
Bender (1978) memandang bahwa gangguan tatanan sosial tradisional yang terkait
dengan industralisasi, urbanisasi dan kebangkitan kapitalisme, perlu memberi fokus
perhatian yang signifikan pada transformasi sosial komunitas dan kehidupan komunal.

Sosiolog kontemporer sendiri tetap, pada intinya, suatu disiplin yang sebagian
besar berkaitan dengan definisi dan kegigihan komunitas sebagai bentuk organisasi
sosial, eksistensi sosial, dan pengalaman sosial yang merefleksikan keintiman,
kehangatan, cinta, tradisi dan semacamnya. Maka, sosiologi komunitas menjadi kajian
tersendiri yang memang sejak awal kelahiran sosiologi telah menjadi sumber dominan
daalam penyelidikan sosiologis.

Sosiologi Komunitas

Pertanyaan pokok dalam sosiologi komunitas mencakup difinisi dan karakteristik


komunitas, dasar bagi integrasi dan pengalamanya, keunikan, fungsi, dan tugasnya, unit-
unit dari struktur sosial dalam komunitas, interaksi dan hubungan antar strukturnya,
basis sosial ekonomi struktrur sosial komunitas, hubungan dan berbedaan antar struktur
internal komunitas dengan struktur sosial makro di luar komunitas, hubungan antar
pengalaman dan perilaku individu dengan pengalamaan dan perilaku komunal, sebab
dan proses transformasi, dan adaptasi dalam menghadapi perubahan sosial.

Dari sanalah kemudiaan secara spesifik muncul kajian komunitas (community


study), yang dalam sosiologi disebut sebagai sosiologi komunitas, dimaksudkan untuk
menunjukkan apa yang khas dari suatu komunitas, cara kerjanya, secara holistik,
sehingga diperoleh pemahaman menyeluruh tentang sifat dari komunitas. Sosiologi
komunitas pada dasarnya memandang komunitas dalam perspektif sosiologis, yakni
bahwa latar belakang sosial kita atau komunitas sebagai institusi sosial yang kita berada
di dalamnya mempengaruhi sikap, pandangan, dan cara hidup kita yang membedaknnya
dengan komunitas yang lain. Atau dalam pengertian lain, bagaimana suatu komunitas
terbentuk dan membangun pengalamannya.

Mengentahui bagaimana sosiologi memandang dunia akan memberi sejumlah


manfaat dan perspektif. Sosiologi memberi pemahaman tentang masalah sosial dan pola
perilaku. Ini membantu kita mengidentifiaksi aturan sosial yang mengatur hidup kita,
bagaimana aturan itu dibuat, dipelihara, diubah, diwariskan antar generasi. Sosiologi juga
membantu kita memahami cara kerja sistem sosial yang kita hidup di dalamnya. Artinya,
bukan hanya tentang perilaku dan hubungan, tapi juga bagaimana dunia sosial yang kita
ada di dalamnya turut mempengaruhi diri kita. Disana ada struktur sosial dan proses
sosial yang seringkali tidak disadari. Padahal manausia adalah produk sosial (social
product). Selain itu, sosiologi membantu kita memahami mengapa kita memandanag
dunia dengan cara-cara tertentu, demikian juga dalam tindakan. Dunia sosial membanjiri
kita dengan beragam pesan, lewat orang tua, guru, tokoh masyarakat dan sebagainya.
Sosiologi membantu kita meriksa jenis pesan, sumbernya, dan bagaimana serta
mengapa mereka mempengaruhi kita. Sosiologi membantu kita memahami kesaaman
internal, dan antar budaya dan masyarakat. Sosiologi membantu kita memahami secara
ilmiah mengapa dan bagaimana masyarakat berubah.

Simpulan

Sebelum dunia sosial (masyarakat, komunitas) dikaji, ada landasan filsafat,


konsepsi dasar yang disebut sebagai paradigma, yang berfungsi sebagai perspektif atau
paradigma teoritis dalam memandang objek kajian. Di antara perspektif itu adalah
fungsionalisme struktural, konflik sosial, dan interkasionisme simbolik. Artinya, apa,
bagaimana, dan mengapa suatu objek kajian, tak dapat dilepaskan dari perspektif yang
dipakai. Ini menandakan bahwa dalama memahami sesuatu bukan hanya diperlukan
banyak perspektif tapi juga sikap kritis dalam menilai perspektif itu sendiri. Termasuk,
perspektif dalam memahami komunitas■

Referensi

Capra, F. (1996). The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems. New
York: Anchor Books.
Kuhn, T.S., (1970). The Structure of Scientific Revolutions. Chicago, University of Chicago
Press.
Creswell, J.W., (2007). Qualitative Inquiy and Research Design: Choosing Among Five
Approaches. Sage Publication.
Denzim, N.K.,dan Lincoln, Y.S., (1994). The Sage Handbook of Qualitative Research.
Thousand Oaks: Sage Publications.
Guba, E. G. (1990). The Alternative Paradigm Dialog. In: E. G. Guba (ed.), The Paradigm
Dialog.Newbury Park, CA: Sage.
Kuhn, T.S., (1970). The Structure of Scientific Revolutions. Chicago, University of Chicago
Press.
Patton, M. Q., (1990). Qualitative Evaluation and Research Methods. Edisi: Second,
Newbury Park, CA: Sage.
Stolley, K.S. (2005). The Basics of Sosiology. London: Greenwood Press.

Anda mungkin juga menyukai