Psikologi Kritis
Psikologi Kritis
Psikologi Kritis
Audith M Turmudhi
(Dimuat di majalah ilmiah “Kalam”, Yogyakarta, nomor 5 vol. III tahun 1993;
kemudian dimuat di buku “Membangun Paradigma Psikologi Islami”,
Kritik Empiris
Teori adalah abstraksi yang bersifat umum dan formal dari hasil-hasil
temuan lapangan. Dalam psikologi, teori-teori itu sering merupakan abstraksi dan
generalisasi dari suatu sampel penelitian terhadap perilaku sejumlah manusia di
suatu masyarakat dan kebudayaan tertentu. Suatu teori juga dibangun di atas
landasan postulat dan asumsi-asumsi tertentu yang seringkali berbeda antara
satu dan lain teori (Suriasumantri, 1984). Dengan demikian pada gilirannya kita
bisa mempersoalkan apakah suatu teori mampu menjelaskan suatu kenyataan
lapangan tertentu atau dapat berlaku dalam kenyataan lapangan dengan setting
budaya yang berbeda dari budaya asal teori tersebut dirumuskan. Demikian juga
terhadap konsep-konsep yang mendasari teori tersebut, dan metode penerapan
teori tersebut.
Kritik Epistemologis
Epistemologi (filsafat pengetahuan) adalah pembahasan logis tentang apa
yang mungkin diketahui oleh manusia, dan bagaimana cara manusia
mendapatkan pengetahuan. Epistemologi, yang merupakan inti sentral setiap
pandangan dunia (world view) ini menyibukkan diri dengan pertanyaan-
pertanyaan mengenai apa sumber-sumber pengetahuan; apa hakekat,
jangkauan, dan wilayah pengetahuan; bahkan tentang apakah memang
dimungkinkan manusia memperoleh pengetahuan; dan kalau iya sampai pada
tahap mana pengetahuan yang dapat dianggap manusia (Sahakin & Sahakin,
1965). Tercakup di dalam epistemologi adalah pembahasan mengenai filsafat
ilmu yang secara spesifik mengaji hakekat pengetahuan ilmiah.
Kritik Ideologis
Badri, Malik B., Dilema Psikolog Muslim, (Terjemahan Siti Zaenab Luxfiati),
Hjelle, Larry A. & Ziegler, Daniel J., Personality Theories: basic Assumtions,
Company, 1981
1969
Schenkman, 1965
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984
http://wangmuba.wordpress.com/2009/01/06/kritik-teori-psikologi/
Oleh:
Rahmat Aziz, M.Si
Pengantar
Ada perbedaan cukup tajam antara Ziauddin Sardar dan Ismail Raji al-
Faruqi tentang gerakan Islamisasi ilmu. Menurut Sardar, islamisasi
harus berangkat dari pandangan dunia (world view) yang Islami dan
paradigma keilmuannya, sedang bagi Faruqi gerakan Islamisasi dimulai
dari adanya kritik terhadap ilmu-ilmu modern dengan menggunakan
Islam sebagai analisisnya, setelah itu baru diadakan sintesis. Kedua
pandangan diatas mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri.
Pandangan pertama sangat ideal dalam tatanan teoritis tapi lemah
dalam aplikasi karena memerlukan waktu yang sangat lama,
sedangkan pandangan kedua unggul dalam aplikasi karena bisa
langsung menjawab persoalan-persoalan umat saat ini tapi lemah
dalam dataran teoritis karena bisa terjebak dalam gerakan
westernisasi ilmu.
Menurut Djamaluddin Ancok & Fuad Nashori, dari kedua pandangan
diatas diperkirakan pandangan kedualah yang akan memenangkan
pertarungan. Hal ini bisa terlihat dari banyaknya kalangan ilmuwan
yang sudah melakukan seperti saran Faruqi. Salah satu diantaranya
adalah kalangan ilmuwan psikologi. Para ilmuwan psikologi saat ini
merasakan adanya beberapa kelemahan mendasar dari teori-teori
psikologi modern sehingga perlu mengajukan satu alternatif psikologi.
inilah yang kemudian memuncul alternatif psikologi Islami.
Pustaka
Ancok, D., & Nashori, F., 1994, Psikologi Islami, Solusi Islam atas
Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Faruqi, I.R., 1982, Islamization of Knowledge, General Principles &
Workplan, Virginia: International Institute of Islamic Thought
Kuhn, T., 1970, The Structure of Scientific Revolution, Chicago: The
University of Chicago Press
Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, Bandung:
Mizan
Nashori, F., 1994, Membangun Paradigma Psikologi Islami, Yogyakarta:
Sipress
Sardar, Z., 1986, Masa Depan Islam, (terjemahan), Bandung: Pustaka Salman
http://azirahma.blogspot.com/2008/12/membangun-psikologi-islami-oleh-rahmat.html
Psikologi Islam, "Istana" yang Belum
Berdiri
Psikologi Islam, "Istana" yang Belum Berdiri
By Ghozali
Belum genap lima belas tahun usia Psikologi Islam di Indonesia berdiri. Sejak
kelahirannya pada simposium tahun 1994 di Solo yang dibidani oleh Psikolog-
psikolog muslim yang genial dan terampil dengan semangat li i`lai kalimatillah, telah
menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Betapa tidak, sekitar 40-an lebih,
buku-buku referensi telah diterbitkan plus membludaknya animo ilmuwan maupun
akademisi yang telah menjadikan material psikologi keislaman sebagai obyek dalam
penelitian mereka, seperti berupa jurnal maupun hasil penelitian untuk internal
kampus (skripsi, tesis bahkan disertasi) dan lain-lain, baik di PTN maupun PTS yang
ada.
Namun, di sisi yang lain, tidak sedikit kalangan yang mencibir kemampuan dan
keilmiahan Psikologi Islam, baik dari kalangan psikologi arus utama (istilah Dennis
Fox --mengacu pada Psikologi Modern) dengan alasan tidak bisa diverifikasi secara
ilmiah. Atau adanya kecurigaan sebagian kalangan bahwa disiplin Psikologi Islam
kelak dapat menimbulkan kekhawatiran akan munculnya “sengketa lahan”. Benarkah
demikian? Jawabnya, bisa ya dan bisa tidak.
Jika jawabnya “iya” karena banyak intelektual Islam sendiri, ketika mereka
menyoroti dasar-dasar keislaman yang dijadikan landasan teori Psikologi Islam,
masih terkesan rapuh dan cenderung asal comot, bahkan lebih parahnya lagi, ada
sebagian yang menganggap kehadiran tokoh-tokoh Psikologi Islam ini karena “aji
mumpung” atau diuntungkan oleh “peluang”. Bahkan, pada tahap anggapan yang
menyedihkan, ada seorang ilmuan agama yang hanya karena menyusun buku-buku
kejiwaan islam yang nyaris “garing” kajian psikologinya dijadikan sebagai “imam”
Psikologi Islam Indonesia. Bisa jadi, hal tersebut karena faktor sedikitnya ilmuwan
serupa sebagai pesaing yang intens dan mau ambil bagian dalam proyek Islamisasi
psikologi di nusantara ini. Padahal kalau dikritisi secara mendalam, ilmuan yang
“terlanjur” dijadikan kiblat tersebut ternyata belum, atau bahkan tidak mampu
membangun karakter sebuah teori keilmuan dalam Psikologi Islam, seperti bangunan
epistemologi dan metodologinya.
Namun, jika jawabnya “tidak”, langkah bijak untuk menyikapi tuduhan dan
kecurigaan diatas, setidaknya ada dua hal yang perlu kita ambil langkah. Pertama;
defensif-proaktif yaitu sebuah langkah bertahan-berkreasi dengan menciptakan
karya ilmiah, tidak patah semangat dan kalau perlu menganggap “angin lalu” atas
tuduhan dan kecuriagaan tersebut. Tentu saja karya ilmiah yang kita akan bangun
harus memiliki kekokohan teori yang tahan banting dari goncangan dan terjangan
ombak kritik dan tuduhan. Memang, untuk mewujudkan upaya tersebut, tugas
ilmuwan Psikologi Islam dalam menformulasi ajaran agama “yang terserak” yang
bersumber dari Alqur`an, Hadits maupun dari khazanah (turrats) keilmuwan seperti
filsafat maupun tasawuf hingga menjadi sebuah teori yang kokoh bukanlah
pekerjaan mudah. Apalagi kemudian bangunan teori tersebut dituntut tidak hanya
utuh, namun juga bersifat praksis sehingga merangsang adanya tindak lanjut
penelitian bagi pengembangan landasan Psikologi Islam yang bisa dirasakan
manfaatnya oleh peradaban manusia di planet bumi ini. Demikian juga bukan tugas
yang ringan, yaitu upaya mereformulasi teori-teori Psikologi Barat sehingga sesuai,
paling tidak mampu memberikan “suntikan” nilai-nilai idealisme Islam.
Dalam sejarah perkembangan modern Indonesia, sebenarnya langkah-langkah
tersebut telah dilakukan oleh “tokoh-tokoh” Psikologi Islam, seperti Hanna Djumhana
dan Fuad Nashori, yang pernah mencoba mereformulasikan melalui karya-karyanya
yang berjudul “Integrasi Psikologi dengan Islam” dan “Paradigma Psikologi Islam”.
Kemudian diikuti oleh beberapa tokoh lain yang datang kemudian. Namun,
mereformulasikan bangunan “Psikologi Islam” memang membutuhkan kemampuan
ekstra, setidaknya kemampuan ilmu alat seperti ilmu mantiq (logika) dan Bahasa
Arab yang kuat untuk dapat mengakses khazanah Islam klasik seperti yang
dilakukan oleh Abdul Mujib. Langkah kreatif Abdul Mujib tersebut patut diapresiasi
dengan segala kelemahannya. Sebagai contoh, teori kepribadian (personality) coba
ditariknya dari pendulum dasar teori psikologi Barat yang bersifat das sein ke titik
ekstrem yang berlawanan das solen. Meskipun upaya tersebut tidak lepas dari
kelemahan sebagai hal yang tidak realistis yang belum menawarkan sebuah konsep
tentang manusia seutuhnya berlandaskan pada coidentia oppositorum, tetapi sebagai
proses “ijtihad intelektual” yang mencoba mendayung dari bentangan paradigma
Barat dan Islam, perlu kita berikan ruang apresiasi yang layak.
Tanpa bermaksud menggurui para ilmuan muslim yang berupaya keras membangun
Psikologi Islam, analog sederhana antara psikologi modern dan Psikologi Islam
diibaratkan seperti tender sebuah proyek bangunan (rumah) yang memiliki karakter
perbedaan yang besar. Psikologi modern (Barat) seperti bangunan rumah yang
berarsitektur amatiran (tokoh/teoritikus Barat), dan bahan material (teori-teori)
bukan dari bahan yang bermutu, namun mereka memiliki banyak tukang (ilmuwan
konstruktif) yang berpengalaman dan profesional serta beberapa gelintir mandor
(ilmuwan tukang kritik). Sehingga “bangunan rumah” tersebut dalam waktu 1 x 24
jam dapat diselesaikan meski hanya berukuran kecil dan kurang kokoh. Walaupun
kecil, rumah itu sudah mampu memberikan manfaat bagi segelintir orang, yang
melindunginya dari terik matahari dan dinginnya malam ketika hujan tiba.
Sementara Psikologi Islam ibarat rumah yang berarsitektur paling profesional
(konsepsi Alquran dan Hadist seperti tentang hakikat manusia) dengan rancangan
maket (miniatur) sebuah istana yang kokoh yang dapat menampung ribuan orang,
dengan bermodalkan bahan-bahan material pilihan dan berkualitas tinggi. Namun
hingga saat ini, bangunan itu masih belum bisa berdiri, bahkan para Mandor masih
sibuk berwacana tentang fondasi (epistemologi dan metodologinya). Hal ini
disebabkan karena rasio antara mandor (ilmuwan + tukang kritik) dan tukangnya
(ilmuwan konstruktif) lebih banyak mandornya. Sehingga tidak mengherankan
apabila tender-tender yang ada selama ini selalu dimenangkan oleh Psikologi
Modern.
Sebagai orang yang pernah mengenyam studi Psikologi Modern di S-1 dan
menganalisisnya dengan berbagai konsepsi keislaman, saya optimistis bahwa pada
saatnya nanti, ketika “tukang” yang ada mulai berpengalaman, diikuti dengan
munculnya “tukang-tukang” baru yang profesional serta didukung oleh mandor-
mandor yang kooperatif dan realistis, maka tidak lama lagi istana megah nan kokoh
itu akan berdiri tegak dengan taman yang indah, dilengkapi dengan paku bumi anti
gempa, kawat penangkal petir yang kuat dan mampu menampung ribuan orang
serta fasilitas yang mewah dan sarana yang lengkap.
Kedua, menjadikan kritikan tersebut sebagai bahan refleksi untuk mengidentifikasi
kelemahan-kelemahan yang ada sebagai acuan untuk perbaikan dan pengembangan
di masa mendatang.
Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terhambatnya
perkembangan Psikologi Islam sehingga terkesan “jalan ditempat”, dapat diuraikan
sebagai berikut:
Pertama; masih adanya kesenjangan antara teori dan praktek. Sekitar delapan tahun
lalu, Riyono mengidentifikasi kelemahan ini, meski selama itu banyak perkembangan
namun masih belum mencapai taraf cukup, apalagi ideal. Menurutnya, perbincangan
Psikologi Islam selama ini baru menyentuh tataran filosofis dan belum masuk dalam
metodologi ilmiah (sains). Jika wacana ini mandeg dalam kancah perdebatan
filosofis, maka sulit diharapkan manfaat praktisnya. Apalagi metodologi ilmiah adalah
jembatan yang mampu menerjemahkan filosofi ke ajang praktik dan amalan
keseharian. Hanya dengan jalan itulah, ilmu Psikologi Islam bisa dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat banyak (Riyono, 1998).
Kedua, adanya polarisasi kemampuan dan keahlian ilmuwan Psikologi Islam, Di satu
sisi mereka mewakili ilmuwan psikologi murni, umumnya mereka sangat expert
dibidangnya, menguasai teori-teori psikologi dan sangat berpengalaman dalam
wilayah praksisnya, namun kurang memiliki atau bahkan sama sekali tidak memiliki
basis pengetahuan keagamaan yang kuat. Akibatnya, kalangan ini sangat
menggelikan sekali ketika mereka mengomentari atau memberi penilaian tentang
aspek-aspek material dalam keislaman. Disisi lain, ilmuan agama murni seperti
mereka yang memiliki latar belakang pendidikan agama, namun mereka tidak
memiliki pengetahuan psikologi yang memadai. Akibatnya pula, seringkali ide-ide
kajian keislamannya yang dikaitkan dengan kajian psikologi tidak memiliki relevansi
(tidak nyambung), kalupun ada, analisa psikologinya tidak detail dan kurang
menyentuh persoalan yang diangkat. Sehingga distingsi tersebut terkesan sangat
kaku, parsial bahkan jauh dari idealisme Islamsasi sains.
Idealnya, paling tidak menurut pengamatan penulis, ilmuwan yang memiliki basis
pengetahuan psikologi harus diimbangi dengan penguasaan wawasan keagamaan
yang memadai. Sebaliknya, ilmuwan agama yang concern dengan disiplin filsafat dan
tasawuf seharusnya dilengkapi dengan penguasaan pisau analisis psikologi Barat
yang tajam.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mungkinkah hal tersebut bisa diraih?
Jawabannya bisa saya tegaskan: why not gitu loch!!! Paling tidak, kehadiran Program
Studi Timur Tengah dan Islam (PSTTI) Universitas Indonesia yang membuka jurusan
Kajian Islam dan Psikologi (KIP) menjadi ”sumbu” obor Psikologi Islam yang suatu
saat dapat menyala dan menerangi gelapnya psikologi Barat. Wallah a`lamu bish
-shawab.
H. Fuad Nashori
Puasa Bicara
Pengantar
Urutan Pengembangan Psikologi Islami
Dibutuhkan Akumulasi Modal: Manusia, Waktu, Usaha
Metode-metode Pengembangan Psikologi Islami
Apa yang Diperjuangkan Psikologi Islami?
Penutup
INTISARI
Tulisan ini bertujuan untuk mengomentari sejumlah isu yang berkembang dalam
pergumulan pengembangan wacana psikologi Islami. Penulis berpandangan bahwa
sekalipun terbuka terhadap urutan kerja pengembangan psikologi Islami, yang paling
direkomendasikannya adalah melakukan perumusan teori dulu, merisetnya dan baru
setelah itu mengaplikasikannya.
Isu berikutnya yang ditanggapinya adalah upaya-upaya mensinkronkan antara ayat-
ayat qauliyah (wahyu, al-Qur’an dan al-Hadits) dengan ayat-ayat kauniyah
(pengalaman empiris). Menurutnya, pengembangan psikologi Islami hendaknya tetap
memprioritaskan pengembangan ilmu yang berdasarkan ayat-ayat qauliyah, tetapi
tetap memberi peluang untuk melakukan pola-pola pengembangan psikologi dengan
bertitik tolak dari isu-isu yang berkembang dalam dunia psikologi.
Pengantar ^
Penulis memperoleh berbagai pertanyaan dari banyak kalangan berkaitan dengan pengembangan
psikologi Islami. Ada sekian banyak isu, mulai dari yang bersifat teoritis-paradigmatis, alasan
pengembangan psikologi Islami, ciri khas psikologi Islami, teori-teori khusus psikologi Islami,
aplikasi psikologi Islami hingga ke pengembangan kurikulum dan bahkan pengembangan organisasi
yang berkomitmen pada psikologi Islami. Di antara berbagai isu yang sampai ke penulis, ada
beberapa hal yang ingin penulis tanggapi, di antaranya urutan pengembangan psikologi Islami,
perlunya mengakumulasi berbagai modal untuk mengoptimumkan pengembangan psikologi Islami,
langkah-langkah akomodatif untuk pengembangan psikologi Islami. Pertimbangan penulis dalam
menanggapi isu-isu tersebut adalah intensitas isu dan kemampuan penulis untuk menanggapinya.
Salah satu persoalan penting dalam setiap mazhab psikologi adalah temuan apa yang bisa
disumbangkan dalam memahami dan mengembangkan diri manusia. Kemampuan memahami diri
manusia secara baru dapat diperoleh melalui perumusan teori dan penelitian terhadap realitas
empiris. Pengembangan diri manusia dilakukan dengan berbagai upaya aplikasi dari teori-teori yang
telah dirumuskan dan diriset, yang dilakukan dengan training, konseling, terapi, dan seterusnya.
Penulis memahami sepenuhnya bahwa di tengah kehidupan yang sangat pragmatis seperti saat ini,
tuntutan akan adanya aplikasi psikologi Islami sungguh sangat besar. Penulis mendengar ungkapan
semacam itu, baik dari generasi tua dan terutama generasi muda. Ungkapan ini ternyata antara lain
dicermati oleh Hanna Djumaha Bastaman (2005) dalam tulisan yang berjudul “Dari KALAM Sampai
Ke API”. Beliau bermaksud mengangkat kembali keresahan yang terjadi pada sekelompok generasi
muda peminat psikologi Islami. “Mengapa perkembangan psikologi Islami sangat lambat?” Demikian
ungkapan yang disampaikan sejumlah peminat psikologi Islami dari kalangan generasi muda. Lebih
lanjut mereka mempertanyakan: “mengapa lebih banyak berputar pada dataran teoritis dan kurang
menggarap wilayah aplikatif?”
Betul adanya, jangan sampai teori melulu. Arahkan psikologi Islami ke aplikasi! Tuntutan semacam
itu, semestinya kita dukung dan kita perjuangkan bersama-sama. Suatu kajian atau suatu mazhab
memang harus menunjukkan nilai aplikasi dari wacana yang dikembangkannya. Kalau tidak, ia akan
jadi wacana yang tidak membumi.
Dalam pemahaman penulis, gerakan pengembangan psikologi Islami adalah usaha bersama dari
banyak orang yang memiliki komitmen untuk menghadirkan sumbangan Islam bagi kemanusiaan.
Pengembangan psikologi Islami perlu melibatkan banyak orang di mana orang-orang yang berminat
terhadapnya bekerja, berjalin berkelindan, dalam mengembangkan psikologi Islami sesuai dengan
minat dan kemampuannya. Harus ada orang yang bekerja dalam aplikasi, tapi juga harus ada yang
berupaya dalam merumuskan teori-teori, dan menelitinya.
Penulis sepenuhnya sadar bahwa sebagaimana ilmu-ilmu atau mazhab-mazhab ilmu yang lainnya,
psikologi Islami harus didukung seperangkat teori yang kuat. Teori yang kuat menandakan adanya
fondasi keilmuan yang kuat. Oleh karena itu, tidak bisa tidak, psikologi Islami harus menguatkan
aspek teoritisnya. Penulis sendiri, dalam beberapa tahun terakhir, berupaya melakukan peran
tersebut. Penulis sendiri juga berupaya melakukan riset, beberapa di antaranya adalah tentang
mimpi dan kreativitas, dengan harapan teori yang dirumuskan lebih kokoh. Sementara orang lain
yang lebih canggih dalam aplikasi, diharapkan memperkuat barisan pengembang psikologi Islami
lewat berbagai jalan praktis seperti training, konseling, terapi, dan sejenisnya.
Urutan kerja yang penulis pernah sampaikan dalam berbagai macam kesempatan adalah
merumuskan teori, menelitinya, dan setelah itu mengaplikasikannya. Bila urutan kerja ini dipakai,
maka pengembang psikologi Islami terlebih dahulu merumuskan toeri, yang ciri-cirinya adalah logis
dan objektif (bisa diukur). Setelah teori dirumuskan sesuai dengan ciri-ciri di atas, maka ia siap
untuk diriset. Di sini peneliti membuat hipotesis. Bila hasil penelitian sesuai dengan teori yang
dibangun, maka jadilah ilmu yang kokoh dan selanjutnya siap untuk diaplikasikan.
Urutan kerja di atas tidaklah bersifat mutlak. Bila ada kesesuaian antara teori dan hasil riset, maka
hasil riset itu membenarkan teori atau mengukuhkan kebenaran teori, dan selanjutnya siap
diaplikasikan. Namun, bila ternyata tidak ada kesinkronan di antara keduanya, yaitu hasil penelitian
berbeda dengan teori/hipotesis yang dirumuskan, maka sebagaimana disarankan oleh Noeng
Muhadjir (1997), yang mestinya kita lakukan adalah gerak mondar-mandir antara perumusan teori
dan riset. Cek lagi teorinya, bila perlu dirumuskan ulang terhadap teori yang sudah dirumuskan, lalu
digunakan untuk memahami realitas yang terjadi dalam kehidupan. Dari sini pengembang psikologi
Islami melakukan penggalian data empiris hingga ditemukan ilmu yang kokoh bangunannya.
Setelah teori dan hasil riset selaras, saatnya untuk mengaplikasikannya.
Seorang pengembang psikologi Islami bisa juga mengembangkan psikologi Islami dengan berangkat
terlebih dahulu dari penelitian. Dalam hal ini, pengembang psikologi Islami melakukan penelitian
tanpa membuat hipotesis terlebih dahulu. Ia melakukan apa yang biasa dilakukan para peneliti
kualitatif. Ia hadir, bertanya dan mengamati perilaku responden, sampai ke ceruk-ceruknya, tanpa
membuat perkiraan-perkiraan terlebih dahulu. Kalau pilihan ini ditempuh, penulis mengusulkan agar
yang diteliti bukan hanya responden-reponden pada umumnya, tapi perlu juga untuk dicari
responden khusus yang memiliki keimanan yang kuat. Pertimbangan yang utama adalah keimanan
merupakan unsur yang amat penting yang mampu membedakan seseorang dari yang lain.
Tidak kurang dari itu, seorang pengembang psikologi Islami juga bisa memulai pengembangan
psikologi Islami dari aplikasi. Dengan aplikasi yang sudah diterjuninya, seseorang dapat memotret
dan menghayati realitas kehidupan. Dengan berbagai pengalaman mengaplikasikan suatu
pandangan, maka ia akan memperoleh insight apa yang penting dan tidak penting yang
berpengaruh terhadap kehidupan seseorang. Agar aplikasi ini terarah, ada baiknya bila seorang
pengembang psikologi Islami terlebih membuka diri untuk menerima kritik teori atas rancangan-
rancangan/modul-modul aplikatifnya. Hal ini ditempuh agar aplikasi memang memiliki paradigma
psikologi Islami.
Dengan sikap akomodatif sebagaimana yang telah penulis sampaikan di atas, penulis tetap
merekomendasikan langkah berupa pengembangan psikologi Islami dengan terlebih dahulu
melakukan perumusan teori, dilanjutkan riset, dan baru aplikasi. Urutan kerja yang lain
dimungkinkan, dengan tetap berpegangan pada prinsip bahwa setiap langkah didahului atau
dibingkai oleh paradigma psikologi Islami, yaitu meletakkan pandangan dunia Islam tentang
manusia sebagai landasannya.
Berkaitan dengan pengembangan psikologi Islami menjadi paradigma keilmuan yang kokoh, penulis
berpendapat bahwa memang dibutuhkan waktu yang cukup, usaha yang keras, dan tetap
mengharap pertolongan Allah ‘Azza wa jalla supaya wacana psikologi Islami terus berkembang
maju. Perlu dipahami bahwa perkembangan suatu konsep atau suatu aliran berpikir mensyaratkan
adanya akumulasi hasil pemikiran, hasil penelitian, dan hasil penerapan yang dilakukan banyak
orang. Aliran-aliran psikologi moderen (psikoanalisis, behaviorisme, humanistik, transpersonal)
membutuhkan waktu lima puluh hingga seratus tahun untuk bisa diterima sebagai aliran utama
dalam psikologi.
Secara alamiah psikologi Islami harus berada dalam jalur sunnatullah (hukum Allah), yaitu ia
tumbuh dan berkembang dengan membutuhkan waktu. Psikologi Islami sendiri memiliki nama
psikologi Islami “baru” sekitar sebelas tahun lalu, saat terbitnya buku Psikologi Islami: Solusi Islam
atas Problem-problem Psikologi (Djamaludin Ancok & Fuad Nashori, 1994) yang segera disusul oleh
Simposium Nasional Psikologi Islami di Surakarta (1994) atau --sebagaimana dijelaskan oleh
Bastaman (2005-a)—baru tiga belas tahun yang lalu yaitu saat diterbitkan Jurnal Pemikiran
Psikologi Islami KALAM (1992),. Sebelumnya, memang telah dilakukan upaya menghasilkan
psikologi Islami, yaitu dengan dilakukannya International Symposium on Islam and Psychology di
Riyadh (1978) dan terbitnya The Dilemma of Muslim Psychologist karya Malik B. Badri (1979). Itu
pun isunya tidak benar-benar kuat sehingga sebagai gerakan ia belum mampu melibatkan banyak
orang untuk mengkaji dan mengembangkannya lebih lanjut. Itu artinya psikologi Islami lengkap
dengan namanya baru berusia sepuluh tahun lebih sedikit. Menurut kami, dibutuhkan waktu sekitar
10-20 tahun lagi agar aliran psikologi yang diproklamasikan sebagai mazhab kelima di Jombang
(1997) ini benar-benar diakui oleh “masyarakat psikologi di dunia umumnya dan di Indonesia
khususnya.”
Lebih dari sekadar waktu, yang lebih utama adalah usaha dengan sungguh-sungguh. Dengan usaha
yang sungguh-sungguh insya Allah hasilnya akan nyata. Suatu keadaan akan berubah (tepatnya
diubah oleh Tuhan) bila manusia berupaya mengubahnya. Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidak
akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali bila mereka berupaya mengubah keadaan mereka.
Masih menurut-Nya, setiap urusan semestinya ditangani dengan kesungguhan atau dalam bahasa
sekarang secara profesional. Allah berfirman: Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain (Alam Nasyroh, 94, ayat 7). Dari sini kami
berpandangan bahwa menjadi tuntutan bagi kita yang selama ini memilih psikologi Islami sebagai
minat kajian untuk secara bersungguh-sungguh melakukan upaya terobosan untuk
mengembangkan terus wacana psikologi Islami.
Langkah yang dapat ditempuh bermacam-macam, seperti mengadakan dan mengikuti kegiatan
ilmiah (seminar, simposium, lokakarya, konferensi, temu ilmiah), terlibat atau menangani lembaga
yang bergerak dalam pengembangan psikologi Islami (misalnya Asosiasi Psikolog Muslim
Internasional, Asosiasi Psikologi Islami Indonesia, Ikatan Mahasiswa Muslim Psikologi Indonesia),
terlibat dalam penelitian psikologi Islami, ikut serta menulis pemikiran psikologi Islami dalam
bentuk artikel, karya tulis ilmiah, maupun buku. Tentu juga sampai mengaplikasikan ilmu yang
dimiliki dan menyebarkannya ke masyarakat. Penjelasan yang lebih komprehensif tentang apa yang
perlu dilakukan untuk pengembangan psikologi Islami, dapat dibaca dalam buku Agenda Psikologi
Islami (Fuad Nashori, 2002). Bila kesungguhan ini ada di hati kita, insya Allah perkembangan dan
perbaikan berjalan secara lancar.
Siapa yang harus melakukannya? Terhadap pertanyaan ini, sepandapat dengan Bastaman (2005)
penulis berpandangan bahwa generasi muda, dengan rentang masa depannya yang lebih panjang,
diharapkan dapat berperan lebih aktif dalam pengembangan psikologi Islami, baik pada fase
perumusan teori, penelitian, maupun fase penerapan. Dengan semangat yang lebih berkobar,
dengan tenaga yang lebih penuh, generasi muda peminat psikologi Islami diharapkan terlibat dalam
berbagai fase pengembangan psikologi Islami.
Sekalipun demikian, baik generasi muda, generasi tengah baya, maupun generasi yang lebih tua,
diharapkan melakukan peran yang dapat dimainkan. Penulis percaya bahwa ilmu –dalam hal
psikologi Islami, dapat mencapai bentuknya yang lebih sempurna, dengan mengakumulasi berbagai
pemikiran, penelitian, dan aplikasi.
Berkaitan dengan pengembangan teori psikologi Islami, kita berhadapan dengan tuntutan agar
pengetahuan yang didasarkan pada pandangan dunia Islam (yang berasal dari kitab suci, alam
semesta, maupun diri manusia) dikonstruksi sehingga dapat digolongkan sebagai ilmu yang kokoh.
Contoh realitas yang patut dikonstruksi adalah orang-orang yang dekat dengan baitullah merasa
tentram dan ingin lagi mengunjunginya. Bagaimana meneorikan fakta ini?
Menurut penulis, tantangan pengembangan teori ini sangat berat, karena lemahnya kreativitas di
kalangan akademisi psikologi khususnya dan akademisi dunia ketiga umumnya serta belum adanya
usaha untuk keluar tradisi lemah di atas. Sepemahaman kami, sangat jarang (kalau tidak boleh
dikatakan tidak ada) dosen atau mahasiswa psikologi yang menunjukkan teorinya yang orisinal.
Hampir semuanya mengatakan menurut ini menurut itu. Saatnya telah tiba untuk merumuskan
teori psikologi Islami.
Berkaitan dengan pengembangan teori psikologi Islami ini, ada satu hal yang sebenarnya menjadi
sejenis kesepemahaman antar pengkaji psikologi Islami, yaitu meletakkan kitab suci atau wahyu
(al-Qur’an dan al-Hadits) sebagai sumber pengembangan ilmu. Perbedaan utama antara sains Islam
atau studi Islam dengan sains sekuler adalah posisi kitab suci. Sains Islam jelas-jelas meletakkan
wahyu (al-Qur’an dan al-hadits) sebagai sumber untuk perumusan ilmu. Baik Abdul Mujib (2005)
maupun Hanna Djumhana Bastaman (2005-a) berpandangan sepaham bahwa ayat-ayat kauniyah,
wahyu, atau al-Qur’an dan al-Hadists adalah sumber penting bagi pengembangan psikologi Islami.
Penulis sendiri --walaupun dilihat dari latar belakang keilmuan lebih dekat dengan sudut pandang
Hanna Djumhana Bastaman (2005-a)-- tetap meletakkan wahyu sebagai sumber utama
pengembangan ilmu. Oleh karena dalam berbagai kesempatan penulis mengusulkan agar
dikembangkan pola objektivikasi teori dan rekonstruksi teori dalam pengembangan psikologi Islami.
Penjelasan tentang dua hal ini penulis sampaikan dalam buku Potensi-potensi Manusia (Nashori,
2005). Objektivikasi adalah usaha untuk menjadikan pandangan yang berasal dari al-Qur’an dan al-
hadits sebagai pandangan bersama manusia, yang diwujudkan dalam suatu rumusan teori yang
dapat diukur. Sebagai contoh adalah tafakkur, yaitu berpikir mendalam tentang segala sesuatu yang
ditandai usaha untuk mengkaitkan seluruh keadaan dan kejadian dengan Sang Pencipta.
Rekonstruksi teori adalah usaha untuk menata ulang berbagai pandangan yang berasal dari
pemahaman terhadap wahyu dengan apa yang ditemukan dari berbagai pemikiran dan temuan ilmu
pengetahuan moderen. Sebagai contoh, dalam konsep psikologi Barat, tidur yang berkualitas adalah
tidur yang nyenyak dengan waktu yang cukup. Pandangan ini kalau direkonstruksi akan
menghasilkan pandangan bahwa seseorang akan tidur dengan berkualitas bila ia memperoleh
kesempatan untuk berada dalam naungan Tuhan, yang ditandai oleh diperolehnya mimpi-mimpi
yang benar.
Dalam tulisannya yang berjudul “Pengembangan Psikologi Islami dengan Pendekatan Studi Islam”,
Abdul Mujib (2005) berpandangan bahwa pola-pola yang sejauh ini direkomendasikan Hanna
Djumhana Bastaman (2005-b), di antaranya similarisasi, paralelisasi, komplementasi dan
komparasi, ditinggalkan. Penulis sendiri berpandangan bahwa pola-pola sebagaimana yang
direkomendasikan oleh Bastaman tetap kita perlukan sebagai proses mengakrabkan para peminat
psikologi Islami dengan wacana integrasi Islam dan psikologi. Dalam pandangan penulis, langkah-
langkah berupa kritik teori terhadap psikologi Barat, ayatisasi (atau similarisasi), pararelisasi,
komplementasi, dan komparasi berguna untuk mengantarkan kita pada terwujudnya psikologi
Islami. Dengan keimanan yang dimilikinya, penulis yakin bahwa hal semacam ini akan
menghadirkan adanya ilham atau insight bagi peminat psikologi Islami untuk bertanya tentang
bagaimana pandangan Islam tentang manusia. Sekalipun demikian, para pengguna pola
similarisasi, paralelisasi, komplementasi dan komparasi, hendaknya menyadari sejak awal bahwa
pola-pola tersebut adalah pola antara, bukan pola ideal.
Salah satu isu yang sering disampaikan oleh sejumlah orang kepada penulis adalah untuk apa
psikologi Islami dimunculkan? Apa psikologi yang ada selama ini tidak cukup untuk menjadikan
manusia lebih mengenal dan mengembangkan dirinya?
Secara garis besar, psikologi Islami dimaksudkan untuk melakukan pemberda-yaan manusia
sehingga kualitas hidup manusia meningkat. Psikologi Islami akan mengingatkan kepada kita bahwa
manusia harus dipahami sebagai makhluk yang multi dimensi. Hanya dengan mengerti hal inilah
dimungkinkan bagi kita untuk mengembangkan manusia. Dalam perspektif psikologi Islami,
manusia bukan semata makhluk fisik, psikologis (kognitif, afektif), social, tapi juga moral-spiritual.
Sejauh ini alat yang digunakan psikologi moderen untuk memahami kebenaran tentang siapa
sesungguhnya manusia adalah indra, akal budi, dan belum menggunakan alat yang melekat pada
manusia, yaitu qalbu dan yang lurus dengan fitrah manusia dan berada di luar diri manusia, yaitu
wahyu. Resiko dari tidak digunakannya wahyu dan qalbu adalah kegagalan dalam memahami
manusia.
Dalam perspektif psikologi Barat moderen pada umumnya, hal-hal yang bersifat spiritual kurang
mendapat perhatian yang memadai. Padahal dalam perspektif Islam, manusia tidak terlepas dari
hal-hal yang bersifat spiritual (Allah, malaikat, jin, setan/iblis). Jelas bahwa manusia diciptakan
Allah sang penentu hidup manusia. Hal-hal semacam ini diabaikan sehingga ketika muncul gejala-
gejala spiritual, aliran psikologi Barat gagal untuk memahaminya dan karenanya gagal dalam
menanganinya. Sebagai contoh apa yang dikatakan psikologi Barat bila ada seorang pemikir besar
yang sangat populer kemudian memilih jalan sufi dengan hidup di desa yang jauh dari keramaian?
Fenomena ini akan sulit dijelaskan oleh psikologi Barat secara spiritualistik. Dalam pandangan
mereka hal itu dilakukan karena adanya kepuasan dengan hidup secara baru. Dalam perspektif
Islam, semua itu dilakukan untuk memperoleh derajat yang lebih tinggi dalam hal hubungan
mereka dengan Allah ‘Azza wa jalla. Contoh yang lain lagi adalah fenomena senyum Amrozi.
Bagaimana mungkin seseorang yang menerima vonis dihukum mati bisa tersenyum. Senyum
Amrozi ini sering ditafsirkan sebagai senyum orang yang sudah tidak dapat mengendalikan
kesadarannya. Dalam perspektif psikologi Islami, sebagaimana diungkapkan Achmad Mubarok
(2005), senyum Amrozi berdimensi spiritual, berdimensi vertikal. Ia adalah ungkapan kemenangan
atas perjuangan membela kebenaran melawan terorisme kuat Amerika Selanjutnya, alat yang
melekat pada diri manusia yang perlu diberdayakan adalah qalbu. Dengan qalbu yang bersih, tajam,
dan bercahaya dimungkinkan bagi seseorang untuk memahami kebenaran-kebenaran atau
pengetahuan yang bersifat hakiki maupun yang tak tampak oleh mata. Dengan qalbu yang tajam
dimungkinkan bagi profesional psikologi untuk memahami kondisi psikologis klien atau mitranya
secara efektif. Pertemuan/proses konseling dalam upaya memahami keadaan mereka tidak harus
dilakukan dalam beberapa kali. Dengan menembus dada atau jantung mereka terbentang
pengetahuan tentang mereka melalui satu dua kali pertemuan.
Dengan ketajaman qalbu yang tingkat tinggi berkembang kemampuan-kemam-puan yang lebih
tinggi, di antaranya adalah pengetahuan parapsikologis (prekognisi, retrokognisi, clairvoyance)
maupun kekuatan parapsikologis (psikokinetik, bilocation, dsb). Muhammad SAW dan Khidhir
adalah contoh manusia yang sangat intuitif!
Yang menjadi persoalan adalah peradaban moderen sangat ini tidak kondusif untuk
mengembangkan kemampuan qalbu itu. Lembaga-lembaga pendidikan yang ada di peradaban
milenium ketiga ini selalu mengasah kemampuan akal budi dan melupakan pengasahan intuisi.
Kami yakin bahwa apabila qalbu dihidup-hidupkan dalam diri manusia, maka manusia akan
berkembang lebih baik dan lebih optimal. Dengan cara inilah pemberdayaan manusia dapat lebih
dioptimalkan.
Persoalan yang lain berkaitan dengan tidak berkembangnya hati nurani atau qalbu manusia adalah
adanya penghalang yang sengaja dilakukan manusia sehingga menjadikan hati nurani tidak atau
kurang berfungsi secara optimal. Secara spiritual, hal ini dijelaskan oleh Ibnu Katsir. Ahli tafsir ini
berpandangan bahwa hati nurani tidak berfungsi karena hati kita diselubungi oleh bintik-bintik atau
noda-noda hitam. Noda hitam ini adalah dosa-dosa yang dilakukan manusia terhadap sesamanya
maupun terhadap Allah. Bila bintik hitam ini terus bertambah, maka hati nurani semakin tidak
berfungsi. Ia seperti barang bening dan bercahaya, namun karena cahayanya dihalangi oleh bintik
hitam, maka ia tidak memancar keluar. Bila seseorang menginginkan cahaya itu menampak keluar,
maka proses pertama adalah menghilangkan bintik hitam; dan selanjutnya mempertajam cahaya
itu dengan perbuatan baik terhadap Allah dan sesama.
Alat di luar diri manusia yang lurus dengan fitrah manusia adalah wahyu Allah. Wahyu berisi potret
tentang siapa manusia. Lebih dari itu, ia pun berisi petunjuk bagaimana kita memperlakukan
manusia. Dengan wahyu kita juga memperoleh pengetahuan tentang rentang perkembangan hidup
manusia, sifat asal manusia, kemungkinan-kemungkinan manusia (fujur dan takwa), hal-hal yang
dapat menja-dikannya melenceng dari sifat aslinya, dan tentu cara-cara untuk tetap berada dalam
jalur yang lurus dan benar.
Penutup ^
Penjelasan-penjelasan di atas adalah beberapa pokok pikiran yang dimaksudkan untuk merespon
sejumlah isu yang berkembang berkaitan dengan pengambangan wacana psikologi Islami. Sebagian
isu-isu yang ditanggapi telah dibicarakan oleh Hanna Djumhana Bastaman dan Abdul Mujib yang
ditulis dalam Jurnal Psikologi Islami edisi 1 (2005).
Demikian.
Daftar Pustaka
Ancok, Djamaludin & Suroso, Fuad Nashori. 1994. “Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem
Psikologi”. (Pustaka Pelajar, Yogyakarta).
Bastaman, Hanna Djumhana. 2005-a. Dari KALAM Sampai Ke API. Jurnal Psikologi Islami, I, (i), hal. 5-15.
Bastaman, Hanna Djumhana. 2005-b. Integrasi Psikologi dengan Islam. Cetakan Keempat. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Mubarok, Achmad. 2005. Pencegahan Terorisme dengan Islamic Indigenous Psychology. Jurnal Psikologi Islami, I,
(i), hal. ……..
Muhadjir, Noeng. “Metodologi Riset Psikologi Islami”. Dalam Rendra Krestyawan (ed.), Metodologi Penelitian
Psikologi Islami” (Pustaka Pelajar, Yogya, 2000).
Mujib, Abdul. Pengembangan Psikologi Islam Melui Pendekatan Studi Islam. Jurnal Psikologi Islami, I, (i), hal. 16-
30.
Nashori, H. Fuad. “Proses Kreatif Penulis Muslim” (Laporan Penelitian, LP, UII, Yogyakarta, 2004).
Nashori, H. Fuad. “Hubungan antara Kualitas Tidur dan Kualitas Mimpi dengan Prestasi Belajar Mahasiswa”
(Laporan Penelitian, LP & Ditjen Dikti Depdiknas, Yogyakarta, 2004).
http://www.pikirdong.org/psikologi-islami/sos06rpsi.php
By†Pizaro
Mahasiwa Bimbingan dan Penyuluhan Islam
Ketua Umum Forum Komunikasi MahasiswaBimbngan dan Penyuluhan Islam/ BK Islam Se
Indonesia
[2] C.AQadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Penerjemah Hasan Basari
(Jakarta: Obor, 2002), h.
60.
[15] Ibnu Hazm yang berbicara tentangmimpi dengan filsafat Islam menjelaskan
jenis-jenis mimpi yangterklasifikasikan menjadi tiga jenis. Pertama, ada yang
berasal dari setan,yaitu sesuatu yang berasal kerancuan dan kebingungan yang
tidak sewajarnya.Kedua, ada yang mimpi berasal dari kata jiwa, yaitu mimpi yang
menyibukkanseseorang pada saat terjaga sehingga ia melihatnya dalam mimpi, baik
karenatakut terhadap musuh atau bertemu sang kekasih atau bebas dari ketakutan,
atauyang sejenisnya. Ketiga mimpi yang terjadi karena dominasi
karakteristiktertentu, semisal mimpi berlumuran darah karena dominasi warna
merah. Dan terakhir,mimpi yang langsung datangnya dari Allah yang jiwanya bersih
dari noda badandan bebas pikiran-pikiran yang kotor, sehingga Allah memberikan
petunjuk atasberbagai misteri yang belum terjadi. Muhammad Utsman Najati, Jiwa
dalam
Pandangan Para Filosof Muslim. Penerjemah Gazi Shaloom S.Psi (Bandung:Pustaka
Hidayah, 2002), h. 186.
[18] Ibid.,
h. 229-230.
[21] Najati,Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim,h. 197. Bandingkan juga
dengan intensitas paradoksal Frankl. Suatu bentukterapi yang menertawai diri
sendiri untuk memecahkan gangguan jiwa. Koeswara, Logoterapi, h. 129-132.
http://health.groups.yahoo.com/group/psikologiislami_uin/message/1292