Artikel Ilmiah
Artikel Ilmiah
Artikel Ilmiah
BUDIDAYA TERPADU
UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)
DAN NILA GESIT (Oreochromis spp)
PADA TAMBAK SALINITAS RENDAH
PENDAHULUAN
Budidaya terintegrasi/terpadu pada IMTA mengacu pada budidaya beberapa
spesies secara intensif dalam satu wadah yang dihubungkan oleh nutrient dan transfer
energi melalui air (Anonim, 2010). Udang vaname (Litopenaeus vannamei )
merupakan salah satu jenis udang introduksi yang banyak diminati, karena memilik i
berbagai keunggulan dan sejak diperkenalkan udang ini sebagai salah satu komoditas
budidaya unggulan, kinerja perudangan nasional tampak menunjukkan produksi udang
yang signifikan. Proyeksi produksi udang vaname meningkat rata-rata sebesar 16%
dengan kenaikan sebesar 209% selama periode 2009-2014 yaitu dari 244.650 ton
pada 2009 menjadi 511.000 ton pada tahun 2014, sementara udang windu meningkat
sebesar 13% dengan kenaikan sebesar 182% selama periode 2009-2014 yaitu dari
103.450 ton pada 2009 menjadi 188.000 ton pada tahun 2014 (Nurdjana, 2010).
Produktivitas budidaya udang terutama udang windu di Indonesia mencapai
puncaknya pada tahun 1991-1994. Setelah priode tersebut, jumlah produksi udang
budidaya semakin menurun. Hal ini karena terjadinya kegagalan panen sebagai akibat
penurunan kualitas lingkungan dan merebaknya bermacam-macam penyakit semakin
sering terjadi. Keadaan yang hampir sama juga terjadi di beberapa negara penghasil
udang budidaya. Sebagai ikan yang tergolong euryhaline, ikan nila merah dapat
dibudidayakan di perairan tawar, payau, dan laut baik di kolam, tambak dan KJA
(Cholik et al, 1990; Pirzan et al., 1992; Tonnek et al, 1993). Di sisi lain, jumlah
kebutuhan konsumsi udang masyarakat internasional semakin meningkat.
Keterbatasan jumlah pasokan dan peningkatan jumlah kebutuhan menyebabkan harga
udang semakin naik. Kondisi ini merupakan peluang yang sangat baik bagi negara
penghasil udang, khususnya Indonesia untuk dapat meningkatkan jumlah produksi
udangnya (Ariyanto, 2004).
Selain itu udang vaname bersifat euryhaline (Haliman dan Adijaya, 2003)
dimana dapat dipelihara di daerah perairan pantai dengan kisaran salinitas 1-40 ppt
(Bray et al. 1994). Mc Grow dan Scarpa (2002) menyatakan bahwa udang vaname
dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebar dari 0,5–45 ppt. Kemampuan ini
memberi peluang petambak udang dapat mengembangkan komoditas ini di perairan
daratan (Inland water). Selama ini, usaha budidaya vaname umumnya dilakukan di
daerah perairan bersalinitas tinggi atau di tambak-tambak estuari.
Kegiatan budidaya udang vaname sekarang ini tidak hanya dilakukan di air payau
tetapi telah berkembang sampai ke air tawar. Budidaya udang vaname di tambak air
tawar telah dipraktekkan di beberapa negara seperti Thailand, Amerika (Florida, Texas,
Arizona dan Alabama) dan Amerika Latin (Panama dan Ekuador) (Sugama, 2002). Di
Indonesia prospek untuk budidaya udang vaname di tambak salinitas rendah/air tawar
sangat menjanjikan mengingat di beberapa daerah, tambak yang berjarak 2-3 km dari
pantai bersalinitas rendah bahkan 0 ppt sangat luas. Selain itu budidaya udang di air
tawar bertujuan untuk mencegah terjangkitnya penyakit terutama virus dan bakteri
penyebab kematian udang (Sugama, 2002).
Beberapa usaha yang dilakukan untuk meningkatkan produksi pada budidaya
udang adalah peningkatan produktivitas tambak melalui sistem budidaya terpadu
antara udang vaname dengan ikan nila di tambak. Keunggulan sistem terpadu ini
adalah efisiensi penggunaan lahan secara bersamaan dengan komoditas yang berbeda
tapi saling menguntungkan. Selain dari itu sistem polikultur diharapkan dapat
memberikan nilai tambah kepada petani dan terutama mengurangi resiko kegagalan
panen petani.
10% dari dosis awal dengan interval waktu setiap 2 minggu untuk mempertahankan
pakan alami dalam tambak.
Parameter yang diamati adalah : kualitas air meliputi; pH, suhu, salinitas dan DO
diamati setiap 3 hari sedangkan TSS, BOT, turbiditas, total ammonia nitrogen – TAN,
nitrit, nitrat, dan phosphat. Plankton diidentifikasi jenis dan dihitung jumlahnya.
Parameter biologi yang diukur meliputi pertumbuhan udang, nila dilakukan setiap 10
hari. Sintasan rasio konversi pakan, produksi dihitung pada akhir penelitian dan
dianalisis dengan deskriptif.
bobot rata-rata 14,7 gram, sedangkan benur F1 dari induk asal Hawai pada umur
pemeliharaan yang sama dapat mencapai ukuran rata-rata 20 gr.
Produksi udang vaname yang diperoleh pada peneltian ini disajikan pada tabel 1.
Pada tabel tersebut tampak bahwa hasil yang diperoleh pada kegiatan ini masih
tergolong rendah. Rendahnya produksi yang diperoleh pada kegiatan ini disebabkan
karena tingkat kelangsungan hidup udang yang diperoleh yaitu petak A 9,87% dan
petak B 8,41%. Apabila kelangsungan hidup udang rendah, maka produksi pasti akan
rendah meskipun ukuran akhir rata-rata udang agak besar. Begitu pula sebaliknya
apabila kelangsungan hidup udang tinggi maka produksi akan meningkat meskipun
ukuran udang agak kecil. Sintasan udang vaname yang rendah pada kegiatan ini
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kualitas benih yang kurang baik, proses
adaptasi benih dari salinitas 33 ppt ( hatchery) ke salinitas tambak 2 ppt sangat
mengadung resiko, meskipun adaptasi dilakukan secara perlahan lahan dengan waktu
selama 7 hari. Selain itu faktor transportasi tokolan udang vaname perlu mendapat
perhatian yang serius, meskipun telah diupayakan semaksimal mungkin resiko
pengangkutan dengan mengurangi kepadatan sampai 1000 ekor/kantong dengan
waktu pengangkutan 2 jam masih tetap memperlihatkan kondisi udang lemah pada
saat penebaran.
Tabel 1. Pertumbuhan, sintasan laju pertumbuhan harian dan produksi udang Vaname
dan ikan nila gesit serlama pemeliharaan
Pertumbuhan ikan nila selama 95 hari masa pemeliharaan diperoleh pada petak
A 285,30 g/ekor dan petak B 264,70 g/ekor. Hasil penelitian lebih rendah dari hasil
yang diperoleh Mangampa (2010) yang mendapatkan pertumbuhan dan sintasan ikan
nila pada penelitian polikultur udang windu, udang vaname, nila merah dan rumput
laut secara semi intensif yaitu petak A 343,55 g/ekor dan petak B 311,53 g/ekor.
Perbedaan pertumbuhan yang diperoleh disebabkan karena adanya perbedaan sistem
budidaya yang diterapkan dan jenis spesies yang dipelihara. Sintasan ikan nila yang
diperoleh pada akhir penelitian tergolong rendah yaitu petak A 23,5% sedangkan
petak B 35,40%. Rendahnya sintasan ikan nila yang diperoleh pada penelitian ini
disebabkan banyaknya ikan predator seperti ikan gabus yang didapatkan pada saat
panen dilakukan, selain itu diduga karena kulitas benih kurang bagus yang ditandai
dengan ukauran benih yang tidak seragam, kondisi lemah warna pucat saat
penebaran. Salah ciri benih ikan nila yang baik adalah warna cerah, ukuran seragam
dan pergerakannya lincah. Produksi ikan nila yang diperoleh pada kegiatan ini
termasuk rendah yaitu petak A 63,0 kg dan petak B 93,7 kg. Hal ini disebabkan rendah
sintasan samapai akhir pemeliharaan. Apahwa apabila kelangsungan hidup ikan
rendah, maka produksi pasti akan rendah meskipun ukuran akhir rata-rata ikan agak
besar. Begitu pula sebaliknya apabila kepadatan ikan tinggi maka produksi akan
meningkat meskipun ukuran ikan agak kecil.
Peubah kualitas air merupakan faktor pendukung dalam kehidupan udang dan
ikan selama pemeliharaan. Hasil pengukuran peubah kualitas air yang diperoleh
selama 105 hari pemeliharaan disajikan pada Tabel 3.
Peubah A B Sungai
Suhu (oC) 28,5-30 29-30 28-29
pH 8,5-9,0 8,5-9,5 7,0-7,5
Salinitas (ppt) 0,0-3,0 0,0-3,0 0,0-2,0
Oksigen terlarut (Mg/L) 5,0-3,0 4,5-2,7 6,0-5,5
Amoniak (Mg/L) 0,0327-0,2112 0,0258-0,3427 0,0067-0,02216
BOT (Mg/L) 10,7-32,47 11,35-46,23 7,0-31,12
Nitrit (Mg/L) 0,0217-0,2520 0,02515-0,0413 ttd-0,0856
Parameter kualitas air yang diperoleh selama pemeliharan berkisar antara 29-30
o
C (Tabel 3). Menurut. Cholik dan Poernomo (1987) kisaran suhu yang terbaik untuk
pertumbuhan dan kehidupan udang yaitu 28 -30oC, namun udang masih dapat hidup
pada suhu 18 -36oC., dimana pada tingkat suhu air 36oC udang sudah tidak aktif.
Sedangkan menurut Suprapto, (2005) kisaran suhu optimal untuk pertumbuhan udang
vanamei yaitu 27-31 oC, namun masih bisa tahan sampai toleransi 10 oC.
Derajat keasaman merupakan parameter kualitas air yang penting dalam rangka
pertumbuhan dan sintasan organisme yang dipelihara. Nilai kisaran pH air yang
diperoleh selama penelitian yaitu 8,5-9,5, namun dapat ditoleransi hingga niai pH 9.
Suptapto, (2005). Udang vaname dapat tumbuh dengan baik, nilai pH standar adalah
7,5-8,5 (Anonim, 2003). Selajutnya Buwono (1993) menyatakan bahwa, nilai pH
berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan udang vaname. Nilai pH yang rendah
menyebabkan kulit udang lembek dan udang sulit ganti kulit. Nilai pH 6,4 laju
pertumbuhan harian udang menurun 60%.
Salinitas air berpengaruh terhadap tekanan osmotik air, semakin tinggi salinitas
semakin besar pula teknan osmotik dari lingkungan. Hasil pengukuran salinitas pada
air sumber dan tambak selama penelitin adalah 0,0-3,0 ppt. (Tabel 3). Udang
vaname dapat tumbuh baik pada kisaran salinitas 15-25 ppt bahkan beberapa
pengamatan bahwa udang vannamei masih dapat tumbuh dengan baik pada salinitas
kurang dari 5 ppt asalkan peroses adaptasi awal dilakukan secara hati-hati (Somardjati
dan suriawan, 2006). Sedangkan menurut Mc Graw dan Scarpa (2002) bahwa udang
vaname dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebar dari 0,5-45 ppt.
Oksigen merupakan parameter mutu air yang penting bagi kehidupan biota
perairan. Perubahan kadar oksigen yang derastis dapat menimbulkan kematian bagi
biota perairan. Kisaran oksigen terlarut diperoleh selama pengamatan berkisar 3,0-5,5
ppm (Tabel 3). Selanjutnya kandungan oksigen rendah pada saat pagi hari dimana
aktivitas fotosintesis belum optimal. Menurut Boyd (1990) jika tidak ada senyawa
beracun konsentrasi oksigen minimal 2 ppm sudah cukup untuk mendukung kehidupan
jasad perairan secara normal..
Kisaran amoniak yang diperoleh untuk semua perlakuan selama penelitian
berkisar antara 0,0258-0,3427 dan berfluktuasi sejalan dengan waktu pemeliharaan di
tambak (Tabel 3 ). Buwono (1993) yang menyatakan bahwa kadar amoniak yang
tinggi akan bersifat racun apabila pH air tinggi. Total amoniak yang baik bagi
kehidupan udang dewasa adalah kurang dari 3 ppm dan bagi kehidupan benur kurang
dari 1 ppm. Sementara Samocha dan Lawrence (1993) dalam Hermia (2004)
mengemukakan bahwa kandungan amoniak untuk juvenil udang vannamei berkisar
antara 0,4 – 2,31 ppm. Konsentrasi NH3 yang relatif aman untuk udang Penaeus sp
adalah di bawah 0,1 mg/L (Liu, 1989). Lin dan Chen (2001) melaporkan bahwa nilai
LC50 amoniak untuk juvenil udang vaname pada perendaman 24, 48, 72 dan 96 jam,
salinitas 35 ppt yakni 2,78; 2,18; 1,82 dan 1,60 mg/L.
Nitrit merupakan salah satu indikator adanya pencemaran oleh senyawa
organik, nitrit merupakan senyawa yang dijumpai dalam jumlah yang kecil diperairan
yang masih alami. Kandungan nitrit yang diperoleh selama penelitian berkisar antara
0,0217-0,2520 ppm (Tabel 3). Menurut Buwono (1993) bahwa batas toleransi udang
terhadap kandungan nitrit dalam air adalah 0,25 ppm dan optimal 0 ppm
Kandungan bahan organik total yang diperoleh selama penelitian berkisar antara
10,7-546,23 ppm (Tabel 3.) Nilai kandungan bahan organik yang diperoleh pada
penelitian ini termasuk cukup baik, Hal ini disebabkan oleh adanya pergantian air yang
dilakukan secara rutin setiap menjelang periode pasang air laut. Konsentrasi BOT
yang masih baik untuk kehidupan ikan adalah 0,1-50 ppm. Cole, (1988). Berdasarkan
hal tersebut diatas menunjukkan kandungan BOT dalam penelitian ini masih layak
untuk budidaya udang vannamei.. Beberapa nilai optimun parameter air yang
mendukung budidaya udang tertera pada Tabel 4.
KESIMPULAN
Dari hasil kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa budidaya udang vaname dan
nila gesit sistem terpadu didapatkan pertumbuhan berat udang vaname dan ikan nila
petak A dan B masing-masing udang vaname yaitu 14,12.g/ekor dan 17,52 g/ekor
sedangkan ikan nila yaitu 285,30.g/ekor dan 264,70g/ekor. Produksi udang vaname
dan ikan nila pada masing-masing petak A dan B yaitu. 58,20 kg dan 47,70 kg
sedangkan produksi ikan nila masing-masing 63,00 kg petak A dan 93, 70 kg petak B.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwijaya, D., Sapto, P.R., Sutikno, E., Sugeng dan Subiyanto, 2003. Budidaya udang
vaname (Litopenaeus vannamei) sistem tertutup yang ramah lingkungan.
Departemen Kelautan dan Perikanan, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air
Payau Jepara 29 hal
Haliman, R.W., dan Adijaya S. D. 2005. Udang vannamei, Pembudidayaan dan
Prospek Pasar Udang Putih yang Tahan Penyakit. Penebar Swadaya. Jakarta.
75 hal.
Anonim, 2005. Membangun kembali udang Indonesia. Sinar Tani. Edisi Mei 2005. No.
3098. Tahun XXXV. Hal 11-17 Litopenaeus vannamei sebagai alternatif budidaya
udang saat ini. PT. Central Protein Prima (Charoen Pokphand Group) Surabaya
18 hal.
Anonim. 2010. Integrated Multitrophic Aquaculture.
http://en.wikipedia.org/wiki/Aquaculture. Akses April 2010
Boyd, C. E., 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Departement of Fisheries
and Allied. Aquaculture. Alabama Agricultural Experiment Station. Auburn
University. Alabama. 480 pp.
Bray, W. A., Lawrence, A. L., and Leung Trujillo JR 1994. The effect of salinity on
growth and survival of Penaeus vannamei, with observations on in the interaction
of IHHN virus and salinity. Aquaculture 122: 133-146..
Cholik, F. dan A. Poernomo. 1987. Pengelolaan mutu air tambak untuk budidaya
udang Windu Intensif. Dalam Kumpulan makalah Seminar Teknologi Budidaya
udang Intensif. PT. Kalori Kreasi Bahang. Jakarta
Cholik, F. Rachmansyah, dan S.Tonnek., 1990. Pengaruh padat penebaran terhadap
produksi nila merah (Oreochromis niloticus) di KJA. J.Penel.Budidaya
Pantai(8)2:57-62.
Cole, G.A., 1988. Texbook at limnology. Third Edition. Wave land press. Inc. Illionis,
USA. 401 P.
Lin, Y.C dan Chen. J.C. 2001. Acute toxicity of ammonia on Litopenaeus vannamei
boone juveniles at different salinity levels. Journal of Experimental Marine
Biology and Ecology 259 (1): 109 – 119 p
Liu, C.I. 1989. Shrimp disease, prevention and treatment. In: Akiyama D.M, eds.
Proceeding of the Southeast Asia Shrimp Farm Management workshop.
USA:Soybeans, America Soybean Association, Singapura. pp 64-74.
Mc Graw, W.J. and J.Scarpa. 2002. Determining ion concentration for Litopenaeus
vannamei culture in freshwater. Global Aquaculture. Advocate. 5 (3) : 36-37.
Nurdjana, M.L. 2010. Program Peningkatan Produksi Perikanan Tahun 2009-2014
dalam rangka Feed The Word. Disampaikan pada Seminar Nasional Feed The
Word. Jakarta Convention Center. 28 Januari 2010. 44 hlm.
Pirzan, A.M., S. Tahe, dan A. Ismail. 1992. Polikultur udang windu, Penaeus monodon
dan nila merah, Oreochromis niloticus di tambak. J. pene. Budidaya Pantai
8(2):63-70.
Soemardjati, W dan Suriawan, A. 2006. Petunjuk teknis budidaya udang vaname
(Litopenaeus vannamei) di Tambak. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Payau Situbondo. 30
hal.
Suprapto, 2005. Petunjuk teknis budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei).
CV Biotirta. Bandar Lampung. 25 hal.
Suharyanto
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang dosis
pemberian pakan ikan rucah (Clupea sp) yang tepat untuk pertumbuhan dan laju
sintasan kepiting bakau. Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi tambak percobaan
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Marana, Maros selama 40 Hari. Media
percobaan yang digunakan adalah akuarium berukuran 60 x 40 x 40 cm. Perlakuan
yang diaplikasikan adalah pemberian dosis pakan rucah jenis ikan tembang
(Clupea sp) yang berbeda yakni A; 10% per hari, B; 15% per hari, C; 20% per hari
dan D; 25% per hari, masing-masing dengan 3 kali ulangan. Krablet yang
digunakan dalam penelitian ini adalah krablet 10 yang diperoleh dari panti benih,
berukuran bobot dan lebar karapas rata-rata masing-masing adalah 5,9 + 0,2 mm
dan 0,06 + 0,02 g, dan ditebar dalam setiap akuarium pemeliharaan dengan
kepadatan 25 individu/akuarium. Variabel yang diamati adalah laju pertumbuhan
bobot, lebar karapas, dan laju sintasan kemudian data yang diperoleh dihitung
dan diuji menggunakan analisis ragam dengan pola rancangan acak lengkap. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dosis pemberian pakan yang tepat adalah 20-25%
dari total biomass dan berbeda nyata dengan dosis 10 % dan 15% terhadap laju
pertumbuhan dan laju sintasan kepiting bakau (P<0,05).
Abstract: The aim of this experiment was to find out information of suitable
dosage of trash fish (Clupea sp) fed on the growth and survival rate of mud crabs.
The research was conducted in the Marana brackishwater pond research station of
Research Institute for Coastal Aquaculture, Maros, South Sulawesi for 40 days.
Tvelve aquaria of 60 x 40 x 40 cm were used in this experiment using Completely
Randomized Design, Treatments tested were four different dosage i.e. A; 10%, B;
15%, C; 20% and D; 25% of total biomass per days given twice a day, each with
three replication. Twentyfive pieces crablets of 5,9 + 0,2 mm in carapace width
and 0,06 + 0,02 g in body weigth were stocked in each aquarium. The result
showed that suitable feeding dosage was 20-25% of total biomass and
significantly different with 10% and 15% on the growth and survival rate of mud
crab (P<0,05).
PENDAHULUAN
Kepiting bakau (Scyla serrata), merupakan satu di antara jenis biota laut yang
potensial untuk dibudidayakan di tambak, karena kepiting bakau merupakan jenis
krustase yang bersifat “eurihaline” (Nontji, 1986), dapat hidup pada salinitas 9 – 39 ppt
(Chande dan Mgaya 2003) dan habitat hidup yang disenangi kepiting bakau adalah
dasar lumpur berpasir (Coleman, 1991), sehingga mampu beradaptasi pada perairan
tambak.
Masalah utama dalam budidaya kepiting bakau di tambak adalah mendapatkan
krablet yang sehat dan berkualitas. Krablet sehat dan berkualitas akan menghasilkan
kepiting bakau dewasa yang sehat dan berkualitas pula. Untuk mendapatkan kepiting
bakau yang berkualitas diperlukan pakan dengan kandungan nutrien yang memadai dan
proporsional. Sampai saat ini pemeliharaan kepiting bakau di tambak masih
menggunakan ikan rucah sebagai pakan utama (Suharyanto et al., 2006; Suharyanto et
al., 2007; Suharyanto dan Tahe, 2007;). Untuk itu, kepiting bakau memiliki prospek
cukup baik dan potensial dibudidayakan di tambak, sementara itu, teknologi budidaya
kepiting bakau di tambak belum banyak dikaji.
Untuk mengantisipasi kebutuhan teknologi, maka Balai Riset Perikanan Budidaya
Air Payau Maros telah merintis kegiatan percobaan tentang aspek budidaya kepiting
bakau di tambak sejak tahun 2005. Untuk mengembangkan budidaya kepiting bakau di
tambak, diperlukan data dan informasi khususnya yang berkaitan dengan kegiatan
untuk mendapatkan pertumbuhan dan produksi yang optimal serta efisien dalam biaya
poroduksi satu di antaranya adalah aspek pengelolaan pakan.
Penelitian dalam aspek pengelolaan pakan dalam budidaya kepiting bakau masih
sangat langka, sementara pengelolaan pakan merupakan kegiatan yang sangat
menentukan performasi hasil budidaya. Huet (1971) menyatakan, bahwa pertumbuhan
ikan sangat dipengaruhi oleh faktor internal dari ikan itu sendiri seperti genetik, umur,
ketahanan terhadap penyakit, dan kemampuan memanfaatkan pakan, kemudian faktor
eksternal seperti kualitas dan kuantitas pakan, oksigen dan ruang gerak. Sementara itu
Ishiwata (1969) dalam Sugama et al. (1986) menyatakan, bahwa meningkatnya dosis
dan frekuensi pemberian pakan pada ikan dapat memperbaiki laju pertumbuhan. Hal ini
diduga berkaitan dengan waktu yang dibutuhkan ikan untuk mencerna makanan.
Kemudian Juwana dan Romimohtarto (2000) melaporkan, bahwa makanan untuk benih
kepiting bakau dan rajungan berupa cacahan ikan rucah, daging kerang, dan rebon,
serta untuk menghindari kanibalisme maka diberikan makanan dengan frekuensi yang
lebih banyak. Selanjutnya Suharyanto dan Tjaronge (2007), menyatakan bahwa
frekuensi pemberian pakan untuk pembesaran dan sintasan rajungan adalah 2-3 kali
sehari.
Namun demikian dosis pemberian pakan yang tepat merupakan informasi yang
perlu segera diketahui sehingga kegiatan tersebut perlu diperhitungkan dalam
pengelolaan pakan, karena akan mempengaruhi kebutuhan tenaga yang menciri pada
meningkatnya biaya operasional budidaya (Rachmansyah dan Usman, 1993). Oleh
karena itu, upaya pengkajian yang perlu dilakukan adalah percobaan pendahuluan
pemeliharan kepiting bakau dengan pemberian dosis pakan rucah yang berbeda,
sehingga data yang diperoleh dapat dijadikan acuan guna pengembangan budidaya
kepiting bakau pada masa yang akan datang. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan informasi tentang dosis pemberian pakan yang tepat untuk pertumbuhan
dan sintasan kepiting bakau.
2,5
2
Bobot (g)
1,5
0,5
0
Awal 10 20 30 40
Lama pemeliharaan (Hari)
30
25
Lebar karapas (mm)
20
15
10
0
Awal 10 20 30 40
Lama pemeliharaan (Hari)
Perbedaan laju pertumbuhan bobot dan lebar karapas kepiting bakau diduga
disebabkan oleh perbedaan daya cerna pakan di dalam saluran pencernaan yang
berkaitan dengan jumlah pakan yang dibutuhkan dan peluang waktu untuk mencerna.
Menurut Barrington (1957) dalam Carlos (1988) menyatakan, bahwa frekuensi
pemberian pakan pada ikan akan meningkatkan laju aliran makanan di dalam saluran
pencernaan. Dalam hal ini frekuensi pemberian pakan yang dilasanakan adalah dua kali
sehari pagi dan sore hari dan disesuaikan dengan dosis yang diberikan. Jumlah pakan
yang diberikan lebih banyak sore hari yakni dengan perbandingan 40% pagi hari dan
sore hari 60%, karena kepiting bakau aktif makan dalam malam hari. Hal ini
memungkinkan karena perlakuan pemberian dosis pakan 25% jumlah pakan relatif
lebih banyak dengan perlakuan 20%, 15%, dan perlakuan 10%, artinya setiap 12 jam
diberikan pakan sebanyak 10% pada pagi hari dan pada sore hari 15% dari total
biomass. Dengan demikian pakan selalu tersedia dan kesempatan kepiting bakau untuk
makan waktunya adalah setiap 12 jam.
Dari perbedaan pemberian dosis pakan tersebut, membuktikan bahwa
pemberian dosis pakan 25% sehari, pertumbuhannya relatif lebih cepat jika
dibandingkan dengan perlakuan pemberian dosis pakan 20%, 15% dan 10% sehari.
Dilihat dari kebiasaan dan cara makan, kepiting bakau memakan bangkai binatang dan
bahan organik lainnya (Chen, 1976 dalam Yunus, 1994). Cara makan kepiting bakau
termasuk lambat, artinya kepiting bakau memakan dengan jalan mencabik-cabik
makanan sedikit demi sedikit dengan capitnya dan baru kemudian dimasukkan ke dalam
mulutnya. Tidak seperti ikan yang dapat langsung menyambar dan menelan ke dalam
perutnya.
Hasil pengamatan setiap pemberian pakan, terlihat bahwa kepiting bakau sangat
rakus dan aktifitas makan tidak dipengaruhi oleh waktu artinya kepiting bakau cukup
respon terhadap pakan meskipun diberikan pada malam hari. Hal ini terlihat pada setiap
pemberian pakan banyak kepiting bakau yang mendekati dan memakan pakan ikan
rucah setelah diberi pakan. Kejadian yang sama juga terlihat pada malam hari.
Kemudian hasil pengamatan pada saat penyiponan tidak terlihat adanya pakan yang
tersisa, hanya kotoran yang selalu dijumpai. Hal ini membuktikan bahwa kepiting bakau
membutuhkan waktu sekitar 4,8 – 12 jam untuk mencerna pakan yang dimakan. Lain
halnya dengan udang dan ikan, pada udang windu dan ikan kuwe membutuhkan waktu
12 jam (Atmomarsono et al., 1987; Rachmansyah dan Usman, 1993), kemudian pada
ikan baronang 8 jam (Pongsapam et al., 1993). Dari kenyataan tersebut, pada rajungan
pemberian pakan yang efektif dan efisien adalah 2-3 kali sehari (Suharyanto dan
Tjaronge, 2007).
Pengamatan laju sintasan setiap minggu menunjukkan penurunan, artinya setiap
minggu selalu dijumpai kematian kepiting bakau. Laju sintasan kepiting bakau selama
penelitian tersaji pada Tabel 1 dan Gambar 3, laju sintasan tertinggi pada akhir
penelitian sebesar 32,0 + 2,6 % diperoleh perlakuan pemberian dosis pakan 25%
sehari, kemudian perlakuan pemberian dosis pakan 20% sehari sebesar 24,0 + 2,3 %,
walaupun tidak berbeda nyata (P>0,05), tetapi perbeda nyata terhadap perlakuan 15%
dan 10% (P<0,05). Selanjutnya perlakuan pemberian dosis pakan 15% sehari dan
10% sehari yakni masing-masing sebesar 20,2 + 1,6 % dan 16,0 + 2,8 % walaupun
tidak berbeda nyata antar keduanya. Rendahnya laju sintasan pada perlakuan
pemberian dosis pakan 15% dan 10% sehari disebabkan padat tebar yang terlalu tinggi
dan sedikitnya makanan yang tersedia, sehingga setiap dapat makanan saling berebut.
Karena kompetisi dalam mendapatkan makanan tersebut, maka saling berkelahi,
sehingga ada anggota badan yang patah yang mengakibatkan luka. Karena luka
menjadikan kepiting bakau tersebut lemah sehingga akan dimangsa oleh kepiting bakau
yang lebih sehat dan kuat, sehingga timbul kanibalisme.
Tabel 1. Pertumbuhan bobot, lebar karapak dan sintasan kepiting bakau selama
percobaan
Peubah Perlakuan
A B C D
(10%) (15%) (20%) (25%)
Bobot awal (g) 0,06 + 0,02 0,06 + 0,02 0,06 + 0,02 0,06 + 0,02
Rata-rata bobot akhir (g) 2.0 + 0,6 a 1,8 + 0,3a 1.9 + 0.5 a 2.4 + 0,9a
Pertambahan bobot mutlak
(g) 1.94 + 0,58 a
1,74 + 0,28 a
1.84 + 0,48 a
2.34 + 0.88 a
Laju pertumbuhan bobot
Harian (mm/hari) 0,05 a 0,04 a
0,05 a
0,06 a
Lebar awal (mm) 5,9 + 0,9 5,9 + 0,9 5,9 + 0,9 5,9 + 0,9
Rata-rata lebar akhir (mm) 22,6 + 1,4 a 29,6 + 1,8 b 34,1 + 1,4 b 35,0 + 1,7 b
Pertambahan lebar mutlak
(mm) 16,7 + 0,5 a 23,7 + 0,9 b 28,2 + 0,5 b 29,1 + 0,8 b
120
100
Sintasan (%)
80
60
40
20
0
Awal 10 20 30 40
Lama Pemeliharaan (Hari)
Rendahnya laju sintasan pada perlakuan pemberian dosis pakan 15% dqn 10 %
yang diperoleh diduga disebabkan oleh sifat kanibalisme pada kepiting bakau yang
cukup tinggi yang masih melekat pada dirinya. Disamping sifat kanibalisme rendahnya
laju sintasan pada penelitian ini diduga karena besarnya variasi ukuran kepiting bakau
yang dipelihara. Hal tersebut terlihat, bahwa setiap pengamatan selalu dijumpai bobot
dan lebar karapas yang sangat bervariasi. Sebagai contoh pada pengambilan sampel
hari ke 28 ukuran bobot minimum 0,3 g dan maksimumnya 1,4 g dari seluruh hewan
uji yang ditimbang. Menurut Supito et al, (1998) perbedaan ukuran merupakan salah
satu penyebab kanibalisme dimana individu ukuran besar pada kondisi lapar memakan
individu ukuran yang lebih kecil. Hal ini dapat dilihat sering dijumpai kepiting yang mati
akibat kanibalisme dengan ciri-ciri anggota tubuh seperti kaki-kaki, capit dan dagingnya
sudah tidak ada lagi dan hanya karapas yang masih ada.
Timbulnya sifat kanibalisme disamping faktor internal seperti faktor genetik, juga
faktor eksternal seperti lingkungan salah satunya adalah kompetisi dalam mendapatkan
makanan. Kompetisi dalam mendapatkan makanan dapat menimbulkan cacat pada
kepiting bakau dan dapat menyebabkan kematian. Tanda-tanda klinis yang bisa dilihat
adalah pergerakan kepiting bakau menjadi lambat, keseimbangan tubuh sudah mulai
labil, nafsu makan mulai menurun, luka pada bagian tubuh karena bagian kaki atau
capit yang lepas. Dari gejala-gejala tersebut maka rajungan yang lain timbul sifat
kanibalisme. Sifat kanibalisme kepiting bakau akan timbul bila ada kepiting bakau yang
molting atau luka. Kepiting bakau yang sedang molting atau luka akan menimbulkan
aroma khas bagi kepiting bakau yang lain atau yang lebih besar untuk mendekat dan
memangsanya. Sifat kanibalisme dapat dihindari dengan jalan memberikan frekuensi
pemberian pakan yang banyak ( Juwana dan Romimohtarto, 2000).
Kematian kepiting bakau pada masing-masing perlakuan disamping disebabkan
oleh sifat kanibalisme, juga diduga disebabkan stres. Stres pada kepiting bakau
mengakibatkan nafsu makan berkurang sehingga kondisi tubuh lemah yang pada
akhirnya akan mengalami kematian. Salah satu penyebab stres adalah perubahan
lingkungan khususnya kandungan nitrit. Stres kepiting bakau pada penelitian ini diduga
sebagai akibat dari kandungan nitrit yang cukup tinggi yakni 0,6138 + 0,3498 mg/L
pada perlakuan pemberian dosis pakan 10%, kemudian perlakuan 15% sebesar
0,7489+ 0,5130 mg/L, selanjutnya perlakuan 20% sebesar 0,7663 + 0,4898 mg/L
dan pemberian dosis pakan 25% sebesar 0,4806 + 0,5362 mg/L. Hasil tersebut cukup
tinggi, hal ini disebabkan kurangnya sinar matahari yang masuk ke dalam akuarium
karena penelitian ini dilakukan di dalam laboratorium, sehingga nitrogen tidak
termanfaatkan oleh fitoplankton. Padahal unsur nitrogen dalam suatu perairan
merupakan unsur penting dalam prores pembentukan protoplasma. Menurut Schmittou
(1991), konsentrasi nitrit sebesar 0,1 mg/L dapat menyebabkan stress pada organisme
akuatik. Bila konsentrasinya mencapai 1,00 mg/L dapat menyebabkan kematian.
Tabel 2. Hasil rata-rata pengukuran kualitas air harian pada masing-masing perlakuan
selama penelitian
Perlakuan
Peubah A B C D
(10%) (15%) (20%) (25%)
Suhu (oC) 25,7±0,7 25,7±0,7 25,7±0,7 25,7±0,7
Salinitas (ppt) 37,4±6,9 37,8±7,2 39,6±2,0 40,0±1,7
pH 7,9±0,2 7,9±0,2 7,9±0,2 7,9±0,2
Oksigen (mg/L) 6,0±0,5 5,9±0,5 6,1±0,4 6,0±0,5
Amoniak (mg/L) 0,1452±0,1209 0,1534±0,0522 0,2215±0,1021 0,2245±0,0593
Nitrit/ (mg/L) 1,3059±1,0853 1,3423±1,0667 1,0704±0,8702 1,4357±1,0555
BOT/ (mg/L) 26,70±8,39 25,30±9,12 27,26±5,96 23,39±3,28
DAFTAR PUSTAKA
Atmomarsono, M. , N.N. Paligi, Zafran, dan A. Hamid. 1987. Pengaruh pemberian
ransum kerang terhadap produksi biomass udang windu (Penaeus monodon). J.
Penelitian Budidaya Pantai. 3(1): 36-42.
Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Departement of Fisheries and
Allied Aquacultures. Alabama Agricultural Experiment Station. Auburn University.
Alabama. 480 pp.
Chande, A. I., and Y.D. Mgaya. 2003. The fishery of Portunus pelagicus and species
diversity of portunid crabs along the coastal of Dar es Salaam, Tanzania. Western
Indian Ocean. J. Mar. Sci. 2(1): 75 – 84
Cholik, F., Rachmansyah, S. Tonnek. 1990. Pengaruh Padat Penebaran Terhadap
Produksi Nila merah, Oreochromis niloticus Dalam Keramba Jaring Apung di Laut.
J. Penel. Budidaya Pantai. 6(2): 87-96.
Carlos, M.H. 1988. Growth and survival of bighead carp (Aristichthys nobilis) fry fed at
different intake levels and feeding frequencies. Aquaculture. 68: 267-276
Coleman, N. 1991. Encyclopedia of Marine Animals. Angus & Robertson, An Inprint of
Harper Collins Publishers. Australia, 324 pp
Effendi, M.I. 1979. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hal
Huet, M. 1971. Texbook of fish culture: Breeding and cultivation of fish. Fishing News
Book Ltd., London. 436 pp
Juwana, S. dan K. Romimohtarto. 2000. Rajungan, Perikanan, cara Budidaya dan Menu
masakan. Penerbit Djambatan, Jakarta. 47 hal.
Koesbiono. 1981. Biologi Laut. Fakultas Perikanan. Institut Pertanaian Bogor. Bogor.
150 hal.
MENLH (Menteri Negara Lingkungan Hidup). 2004. Baku Mutu Air Laut. Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup. No. 51 Tahun 2004. 11 hal.
Nontji, A. 1986. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. 367 hal.
Pongsapan, D.S., S. Tonnek dan Rachmansyah. 1993. Penelitian frekuensi pemberian
pakan pada budidaya ikan baronang (Siganus gutatus) dalam keramba jaring
apung di laut. J. Penelitian Budidaya Pantai. 10(2): 87-94.
Abstrak: Telah dilakukan penelitian prevalensi penyakit viral WSSV pada beberapa
jenis ikan di areal pengembangan budidaya udang di kabupaten. Pangkep yang
bertujuan untuk melihat sejauh mana penyakit virus WSSV dapat menginfeksi jenis
jenis ikan dan mengetahui bulan rawan penyakit WSSV di perairan kkabupaten
Pangkep. Penelitian dilakukan di sepanjang perairan saluran petambak di Desa
Bontolangkasa Kecamatan Minasa Te’ne Kabupaten Pangkep. Pengambilan sampel
dilakukan secara rutin dari bulan Februari 2011 sampai Desember 2011. Sampel
ikan diawetkan didalam botol yang berisi alkohol 70% untuk selanjutnya dilakukan
uji PCR dengan metode standar (Lightner,1996) di Laboratorium Kesehatan ikan
dan Lingkungan Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau. Hasil
penelitian diperoleh jumlah koleksi sampel 67 ekor yang terdiri dari berbagai jenis
ikan, udang dan kepiting. Prevalensi rata-rata kejadian WSSV di kabupaten
Pangkep di peroleh 43,2 %.
PENDAHULUAN
Sistem usaha budidaya udang windu di tambak semakin berkembang sejalan
dengan meningkatnya teknologi budidaya yang ditujukan untuk meningkatkan produksi
akan tetapi produksi udang windu dari tahun ke tahun mengalami penurunan akibat
serangan penyakit baik pada usaha perbenihan maupun pada pembesaran di tambak.
Dengan meningkatnya sistem budidaya ini maka timbul berbagai kendala yaitu
penyakit yang disebabkan merosotnya mutu lingkungan ini terjadi karena adanya
pembuangan bahan organik dari sisa-sisa pakan, sekresi ikan, kelimpahan plankton
yang tidak menguntungkan serta adanya limbah air buangan dari saluran/sungai
(Chanratchacool et al, 1995).
Hasil survei tim Riset pemetaan dan daya dukung lahan budidaya perikanan
pesisir BPPBAP menunjukkan bahwa di Kabupaten Pangkep dijumpai tambak seluas
12.199,30 ha. Meskipun semua luasan tambak tersebut tidak tergolong baik untuk
peruntukan tambak namun hampir semua aktif digunakan untuk pertambakan.
Produktivitas rata-rata tambak Kabupaten Pangkep sebesar 622 kg/ha/musim yang
merupakan produksi total dari udang windu yang dipolikulturkan dengan ikan bandeng.
Sampai sekarang udang merupakan komoditas bernilai ekonomis tinggi, dilihat dari
kandungan gizi dan harga satuan per Kg yang tinggi. Namun dalam beberapa tahun
terakhir produksi udang terus mengalami penurunan yang disebabkan dari berbagai
hal. Mulai dari belum tersedianya bibit unggul, harga pakan yang tinggi dan
keberadaan agen agen penyakit di areal tambak (Brata, dkk.2010) Permasalahan yang
METODOLOGI
Pengambilan sampel dilakukan setiap bulan secara rutin pada kabupaten
Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan. Sampel yang diambil adalah jenis jenis ikan dan
crustacean lainnya di saluran air yang kemungkinan bisa masuk ke dalam area
pertambakan, ditangkap menggunakan jala atau alat penagkap lainnya. Organ yang
diambil untuk sampel crustacean meliputi kaki renang, kaki jalan, insang, ekor
(Lightner, 1996). Sedang untuk ikan berupa sirip atau ekor dengan sedikit daging.
Selanjutnya sampel tersebut disimpan dalam botol sampel yang sudah diisi pengawet
berupa alkohol 70%. Sampel selanjutnya dibawa ke lab BRPBAP maros untuk diperiksa
keberadaan virus WSSV. Sampel ikan atau udang diekstraksi untuk memperoleh
genom wssv, sampel ditimbang seberat 0,3 gr selanjutnya diperiksa dengan mesin
PCR untuk mereplikasi genom wssv. Dan alat elektroforesis digunakan untuk melihat
keberadaan gen WSSV yang telah di lipatgandakan dengan mesinPCR. Kit IQ 2000
digunakan untuk proses ekstraksi dan PCR untuk setiap sampel. Tingkat kejadian
WSSV di Sulawesi Selatan dihitung berdasarkan nilai prevalensi serangan terhadap
jumlah semua sampel (Fernando et al, 1972)
Tambahkan 200µl
TE buffer untuk
melarutkan genom
Metode PCR
Sampel untuk PCR : jumlah sampel semua ditambah 3. Tambahan 2 untuk control (+)
dan (-), tambahan 1 untuk koreksi pemipetan.
Buat larutan IQ 2000 First PCR
Campur 7,5µl dan 0,5µl berdasarkan jumlah sampel total di dalam ependorf
Campur 14µl dan 1µl IQ Zyme sesuai jumlah sampel dalam ependorf
Elektroforesis
Tuang di tray
dan tunggu
keras
Hasil PCR di running menggunakan agarose dengan voltase 150 volt. Hasil PCR dapat
dilihat di atas sinar UV.
Tabel 1. Tingkat prevalensi secara umum selama penelitian pada Kab Pangkep
Dari data diatas didapatkan bahwa bulan di awal dan akhir tahun mempunyai
tingkat prevalensi yang rendah sampai sedang. Di bulan Desember, Februari, April dan
Juni di dapatkan prevalensi 0%. Sedang pada bulan Maret 20% dan pada bulan Mei
33,3%. Tingkat prevalensi WSSV tertinggi di peroleh antara bulan Juli-November.
Bahkan bulan Agustus dan September diperoleh tingkat prevalensi 100%, meskipun di
bulan Oktober di peroleh tingkat prevalensi yang rendah berupa 16,6%.
Dari hasil pemeriksaan PCR, organisme yang sering menunjukkan hasil positif
adalah jenis crustacean liar. Hal ini sesuai dengan peryataan Hosein, 2001 yang
menyatakan udang dan kepiting liar hasil tangkapan dari laut sering terdeteksi positif
WSSV. Pada crustacean liar yang menujukkan hasil positif, tidak semua menunjukkan
adanya tanda bintik putih pada karapas hanya kelemahan pada gerakan. Spesies ikan
yang sering menunjukkan hasil positif adalah mujair (oreochromis) dan ikan beseng
beseng (marosa therina jadigesi) yang ditangkap di Kab. Pangkep. Dalam 5 bulan
sampling, ikan mujair menunjukkan hasil yang positif dan ikan beseng selama 3 bulan
berturut turut menunjukkan hasil positif. Kejadian WSSV pada ikan adalah hal yang
baru, selama ini WSSV hanya menyerang golongan crustacean dan menimbulkan
tingkat pathogenitas yang tinggi. Pada ikan WSSV menunjukkan hasil positif, meskipun
belum diketahui bagaimana tingkat pathogenitasnya. Ikan dapat sebagai carier
penyakit WSSV dan menyebarkannya di lingkungan pertambakan. Jika hal ini terjadi
terus menerus maka akan menjadi tantangan berat pada pembudidaya udang pada
kawasan Sulawesi Selatan pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Prevalensi kejadian WSSV pada bulan 6-9 berkaitan dengan kondisi lingkungan
yang kurang baik (musim pancaroba). Dimana pada bulan bulan tersebut adalah
puncak musim kemarau. Kondisi suhu udara yang sangat dingin di malam hari dan
panasnya udara disiang hari hal ini dapat sebagai stresor alami bagi organisme air
sehingga lambat laun terjadi penurunan tingkat kekebalan tubuh, demikian juga
dengan tingginya angka penguapan dan rendahnya curah hujan sehingga
menyebabkan tingkat salinitas di perairan meningkat. Penurunan tingkat kekebalan
tubuh memicu masuknya penyakit, salah satunya WSSV. Sesuai dengan hasil penelitian
Peng et all. (1998) menyebutkan infeksi WSSV sangat patogenik pada udang yang
diberikan stressor, hal ini karena mekanisme pertahanan udang tidak dapat mencegah
dan menahan perbanyakan virus WSSV saat kondisi stress.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,2002. Inctruction Manual Detection and Prevention System for White Spot
Syndrome Virus (WSSV), Taiwan 18 ppAquaculture Vol IV (1) 2004, 4247.
Austin, B. 1987. Marine Microbiologsy. Cambridge University Press. Cambridge 222 p
Boyd,C.E. 1982. Water Quality Mangement for Pond Fish Culture. Elseivier Publishing
Company.
Chanratchakool, P., Limsuwan, C. 1998. Application of PCR and Formalin treatment to
prevent White Spot Diseases in Shrimp. p:287-289. In Flegel TW. (Ed.).
Advences in shrimp biotechnology. National Center for Genetic Engineering and
Biotechnology, Bangkok.
Cowan, S.T. 1974. Cowan and Steels . Manual for Identification of medical Bacteria
Second edition Cambridge Uninersity Press cambridge
Fernando, C.H., J.I Furtado, A.V. Gussy, G. Hanek and S,A. Kakonge, 1972. Methods
for the study of fresh water fish parasite. University of Waterloo. Biology series 5
GH .1995. Purification and genomic analysis of baculovirus associated with white spot
Hatai,K and S. Egusa 1978. Studies of the Pathogenic Fungus associated with Black gill
diseases of kurrma prawn penaeus Javanicus II. Some of the note on the BG-
Fusari.
Hosein, M.S., A. chakraboty, B. Joseph, S.K. Otta, and C Karunasagar. 2001. Detection
of new host for WSSV of shrimp using nested PCR. Aquaculture, 198, 1-11in
Penaeid prawns/shrimps of the Americas and Indopacific. p:57-80.
In Shariff, M., R.P.Subasinghe, and J.R. Arthur (Eds), Diseases in Asian Aquaculture I.
Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila, Philippines.In Persian).
Inouye K, Miwa S, Oseko N, Nakano H, Kimura T, Momoyama K, Hiraoka M .1994.
Mass
Lightner, D.V., T.A. Bell, R.M. Redman, L.L. Mohley, J.M. atividad, A. Rukyani, and
Poernomo. 1992. A review of some major diseases of economic significance
microscopic evidence of the caustive virus. Fish Pathol. 29: 146158.Moreton Bay
region of Australia. Dis. Aquat. Org. 27: 5358.
Muliani, Nurhidayah, and M.I.Madeali. 2005. Deteksi White Spot Syndrome Virus
(WSSV) pada Induk Udang Windu penaeus monodon dengan Teknik Polymerase
Chain Reaction (PCR). Prosiding seminar Nasional dan Kongres Biologi XIII dalam
rangka Luxtrum X fakultas Biologi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. p.151-
157
Peng, S.E., Lo, C.F., Liu, K.F., & Kou, G.H. 1998. The Trasition from pre patern-patern
infection of White Spot disease Syndrom Virus in Penaeus Monodon Trigered by
period excition. Fish Pathology, 33 (4): 10, 395-400
Spann, L.M. and R.J.G. Lester.1996. Baculovirus of Metapenaeus bennettae from the
Spot Syndrome Disease in Farmed Penaeus indicu in Iran.Applied Fisheries &
syndrome (WSBV) of Penaeus monodon. Dis. Aquat. Org 23:239242.
PENDAHULUAN
Berbagai penelitian dan kajian tentang pemanfaatan probiotik telah dilakukan
oleh kelompok peneliti. Eksplorasi bakteri dari alam sebagai sumber probiotik dan
biokontrol telah banyak dikaji dari air laut dan sedimen (Muliani et al., 2003) koral
(radjasa et al., 2005) hatchery (Haryanti et al., 2000) daun mangrove (Muliani et al.,
2004) tambak udang (Muliani et al, 2006). Probiotik adalah jenis bakteri yang
ditambahkan kedalam lingkungan untuk perbaikan mutu lingkungan. Ada dua manfaat
yang diharapkan dari aplikasi bakteri ini yaitu; (1) meningkatkan populasi bakteri non
patogenik, (2) sebagai dekomposer bahan organik menjadi mineral dan mengubah
senyawa beracun menjadi tidak beracun, seperti senyawa amonia dan nitrit yang
beracun menjadi senyawa nitrogen bebas melalui proses nitrifikasi dan denitrifikasi.
Selain itu, probiotik juga mengontrol terjadinya blooming alga sehingga dapat menjaga
stabilnya nilai pH tambak, menurunkan kadar BOD dan menjaga ketersediaan oksigen
bagi udang. Suatu fungsi yang cukup penting dan sebaiknya dimiliki probiotik yaitu
dapat menekan perkembangan pathogen dalam tambak (Muliani, dkk., 2008)
Parameter kualitas air pada petakan tambak merupakan cerminan dari faktor
fisik, kimia dan biologi perairan, dimana parameter tersebut harus dapat dikelola
dengan baik, sehingga dapat mendukung terhadap pertumbuhan udang (Boyd, 1991).
Untuk mencegah terjadinya penyakit pada kegiatan budidaya, saat ini sudah
dikembangkan beberapa metode, diantaranya probiotik atau persaingan antara faktor-
faktor biologis. Alternatif yang sering dilakukan adalah vaksinasi atau indikasi
kekebalan. Selain vaksin juga dilakukan tindakan pemberian imunostimulan berupa
vitamin C.
Vitamin C merupakan bahan yang dapat meningkatkan keragaan benih yang
dapat berfungsi sebagai stimulan untuk sistem pertahanan tubuh non spesifik sehingga
merupakan suatu komponen penting untuk meningkatkan kekebalan non spesifik
(Secombes, 1994). Sedangkan vaksin adalah suspensi patogen hidup yang sudah
dilemahkan atau dimatikan, bagian dari patogen atau substrat yang merupakan produk
patogen yang bersifat antigenik, imunogenik dan protektif apabila masuk ke dalam
tubuh akan merangsang timbulnya antibody (ab) yang menyebabkan udang tahan
terhadap patogen tersebut (Kamiso, 1996).
Aplikasi mengenai beberapa imunostimulan pada bidang budidaya perairan masih
berada dalam tahap pengembangan dan penyempurnaan. Oleh karena itu penelitian ini
dilakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh udang windu terhadap serangan
penyakit serta sejauh mana parameter kualitas air dapat berpengaruh pada budidaya
udang windu.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di tambak Instalasi Percobaan BPPBAP Maranak, Maros.
Tambak yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 12 petak dengan luas 500m2.
Air yang digunakan berasal dari sumur bor yang dimasukkan ke tandon 1-3,
diendapkan selama 5 hari selanjutnya dialirkan ke saluran hingga masuk ke petakan
penelitian. Aplikasi dolomite dilakukan dua kali seminggu setelah pergantian air dimulai
dari penebaran hingga panen dengan dosis 5-10 ppm. Tokolan yang digunakan adalah
PL 42 dengan kepadatan 4 ekor per m2 dengan pola traditional plus. Pemberian pakan
dimulai saat penebaran dalam jumlah 10% bobot biomassa per hari dan menurun
sesuai dengan pertambahan umur udang. Untuk persiapan penebaran, tokolan
direndam terlebih dahulu dengan bakterin kemudian setiap dua minggu dirangsang
kekebalannya melalui pemberian pakan dengan penambahan bakterin sebanyak 2,4
ml/kg pakan serta penambahan vitamin C komersial turunan polyphospat dengan dosis
0,05 ppm. Pakan yang diberikan adalah pakan komersil dan probiotik dilakukan secara
bergiliran yaitu BL 542, BT 951dan terakhir MY 1112. Pengamatan kualitas air
dilakukan pada tandon (T) dan masing masing perlakuan yaitu perlakuan A
menggunakan bakterin, perlakuan B menggunakan probiotik, perlakuan C
menggunakan probiotik dan bakterin dan perlakuan D adalah control tanpa perlakuan.
Pengukuran beberapa parameter meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut dan derajat
keasaman dilakukan setiap 2 kali sehari sedangkan pengukuran terhadap bahan
organik terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, amoniak, dan alkalinitas dilakukan setiap 2 minggu
sekali di laboratorium Kualitas Air BPPBAP. Data hasil pengamatan parameter kualitas
air dianalisis secara dekriftif dengan bantuan grafik.
Grafik suhu
DO (ppm)
Kisaran nilai oksigen yang diperoleh selama penelitian adalah 2,0-6,7 ppm.
Angka tersebut masih masuk dalam kisaran layak untuk pemeliharaan udang, sesuai
dengan Haliman dan Adijaya (2005) Kisaran tertinggi di dapatkan di tambak aplikasi
probiotik dengan angka 4,7-6,7 ppm sedangkan kisaran terendah di peroleh di tandon
dengan angka 2,0-4,3 ppm. Penggunaan probiotik dapat meningkatkan kualitas air
(Atmomarsono et al., 2010). Tambak aplikasi probiotik dan bakterin didapatkan angka
DO 4,8-6,4 ppm, dan tambak kontrol didapatkan kisaran 4,9-6,3 ppm.
Grafik DO (ppm)
pH
Nilai derajat keasaman air yang didapatkan berkisar antara 7,0-8,0. Kisaran ini
cukup baik untuk pertumbuhan udang windu. PH air yang baik untuk partumbuhan
udang adalah 7,5-8,5. Kisararan tambak A menunjukkan 7,5-7,8; tambak B
menunjukkan 7,7-8,0; tambak C menunjukkan 7,6-7,8 dan tambak D menunjukkan
kisaran 7,5-8,0. Keempat tambak menunjukkan kisaran yang baik dan stabil untuk
pertumbuhan udang windu.
Grafik pH
Salinitas
Hasil pengukuran salinitas yang didapatkan selama penelitian berkisar pada 20-
36 ppt. pada tambak A dan B di dapatkan kisaran 20-36 ppt; tambak C pada kisaran
21,4-36 dan pada tambak D di dapatkan kisarn 21,5-36. Kisaran tersebut masih dapat
mendukung kehidupan udang karena udang windu merupakan organisme yang bersifat
euryhaline yang dapat hidup dan menyesuaikan diri terhadap perubahan salinitas
dengan rentang yang cukup besar. Kisaran salinitas yang baik untuk pertumbuhan
udang adalah 27-32 ppt (Wardoyo,1975). Pada stadia larva-jouvenile udang akan
tumbuh normal pada salinitas 25-30 ppt, stadia jouvenile sampai dewasa udang akan
tumbuh normal pada salinitas 15-25 ppt dan pada udang dewasa, ideal nya pada
salinitas 28-32 ppt (Wardoyo dan Djokosetyanto, 1998).
Alkalinitas
Kisaran alkalinitas yang diperoleh selama penelitian adalah 119-201,7ppm.
Pada tambak A di dapatkan kisaran 127,9-163,3 ppm; pada tambak B didapatkan hasil
144,8-165,75 ppm; pada tambak C didapatkan rentang hasil 122,9-176,38 ppm dan
pada tambak D didapatkan rentang hasil 119-182,9 ppm. Pada ke empat tambak
menunjukkan kisaran yang layak untuk pertumbuhan udang. Nilai alkalinitas untuk
pertumbuhan optimal udang adalah 90-150ppm.
Grafik alkalinitas
BOT
Dari kisaran BOT yang diperoleh selama penelitian adalah 0,114-30,95ppm. Pada
tambak A didapatkan rentang 5,47-24,08ppm; pada tambak B didapatkan rentang
4,44-21,53ppm; ditambak C didapatkan rentang 3,45-26,54ppm dan ditambak D di
dapatkan rentang 1,9-25,52ppm. Grafik BOT pada tambak A, B, C dan D terlihat
menurun di awal 2 bulan pertama dan 2 minggu terakhir, namun yang bisa
mempertahankan kelandaian grafik adalah tambak yang menggunakan probiotik.
Kandungan bahan organik yang berlebihan dapat meningkatkan populasi dan
mikroorganisme pathogen. Kandungan BOT yang melebihi 20 ppm selain dapat
meningkatkan kemungkinan serangan vibrio, meningkatkan juga kemungkinan
serangan virus (Atmomarsono,dkk. 2010)
Grafik BOT
Amonia
Hasil pengukuran kadar ammonia yang diperoleh selama penelitian adalah
0,0079-2,5941 ppm. Pada tambak A di dapatkan rentang ammonia 0,0079-0,4605
ppm, tambak B di dapatkan 0,01-0,6013 ppm, tambak C 0,0139-0,6813ppm. Pada
tambak D di dapatkan kisaran 0,0157-0,7059 ppm. Pada awal grafik setiap tambak
menunjukkan nilai kadar amoniak yang relative normal namun di akhir penelitian setiap
tambak menigkat cukup signifikan kadar amoniaknya. Nilai ini tergolong cukup tinggi,
karena menurut Byod (1982) batas pengaruh yang mematikan dapat tejadi bila bila
konsentrasi amoniak dalam air sekitar 0,1-0,3 ppm. Ammonia bisa berada dalam
perairan akibat dari sisa pemupukan yang berlebih, kotoran udang dan jasad renik
dalam pembusukan bahan organic
Grafik Ammonia
Nitrit
Hasil pengukuran kadar nitrit selama penelitian adalah 0,0005-0,1796ppm.
Tambak A mempunyai kisaran 0,0011-0,0404 ppm, tambak B mempunyai kisaran
0,0035-0,0312ppm, tambak C mempunyai kisaran 0,0006-0,0497 ppm dan tambak D
mempunyai kisaran 0,0006-0,359 ppm. Dari awal hingga akhir penelitian, kadar nitrit
berada pada batas aman pertumbuhan udang. Hal ini sesuai dengan pendapat Boyd
(1990) yang menyatakan bahwa kandungan nitrit yang aman untuk pembesaran
udang windu adalah 4,5 ppm
Nitrat
Selama penelitian nilai nitrat diperoleh pada kisaran 0,0043-0,9638 ppm. Tambak
A menunjukkan kisaran 0,0158-0,4848 ppm, tambak B menunjukkan 0,0055-
0,2378ppm, tambak C menunjukkan angka 0,0332-0,7995 ppm dan tambak D
menunjukkan 0,0043-0,5089 ppm. Ke empat tambak menunjukkan kisaran angka
normal untuk pertumbuhan udang. Tsai dan Chen (2002) melaporkan bahwa
konsentrasi nitrat yang masih bisa diterima dalam kegiatan budidaya perikanan adalah
<20ppm. Kadar nitrat ideal untuk pertumbuhan organisme berkisar antara 2-3,5 ppm.
Grafik nitrat
Fosfat
Kisaran nilai fosfat yang diperoleh selama penelitian antara 0-0,2518 ppm. Pada
tam bak A di peroleh kisaran antara 0,0073-0,0964ppm, pada tambak B berkisar
antara 0,0058-0,0847ppm, pada tambak C berkisar antara 0,0123-0,0755ppm pada
tambak D berkisar antara 0,0166-0,1339ppm. Konsentrasi fosfat menunjukkan
kecenderungan meningkat di pertengahan kemudian menurun dan menigkat di akhir
penelitian. Boyd (1999) menyatakan bahwa sisa pakan, feces udang dan bahan
organik lainnya akan didekomposisi oleh mikroorganisme menjadi nutrient organik
seperti fosfat, ammonia dan karbondioksida. Peningkatan fosfat dapat meningkatkan
populasi fitoplankton.
Grafik fosfat
KESIMPULAN
1. Hasil penelitian diperoleh kisaran parameter kualitas air yang meliputi suhu (27,7-
33,5⁰C), oksigen terlarut (2-6,7 ppm), pH (7,5-8), salinitas (20-36 ppt), alkalinitas
(119-201,7ppm), Bahan organik terlarut (0,114-30,95ppm), amoniak (0,0079-
2,5941ppm), nitrit (0,0005-0,1796ppm), nitrat (0,0043-0,9638ppm), phosphate (0-
0,2518ppm) kisaran parameter diatas masih berada dalam kondisi layak untuk
sintasan dan pertumbuhan udang windu di tambak.
2. Pada petak tambak yang diberikan bakterin memberikan pengaruh nyata pada
peningkatan DO, stabilnya pH dan alkalinitas, ammonia yang rendah, kadar nitrit,
nitrat dan fosfat yang masih berada diambang batas pemeliharaan udang.
3. Pemberian probiotik memberikan pengaruh nyata pada peningkatan DO, stabilnya
pH, penurunan kadar BOT, penurunan kadar ammonia, stabilnya kadar nitrat dan
fosfat
4. Perlakuan kombinasi probiotik dan bakterin memberikan pengaruh pada tingginya
kadar DO, pH, alkalinitas, nitrit, nitrat dn fosfat yang stabil dan dalam batas kualitas
air untuk pemeliharaan udang.
DAFTAR PUSTAKA
Atmomarsono, M. Muliani. Bunga, R.T. 2010. Aplikasi Bakteri Probiotik untuk
Meningkatkan Sintasan dan Produksi Udng windu di Tambak. Prosiding FITA
(269-278)Birmingham Alabama.
Boyd, C.E. 1982. Water quality management for pond fish culture. Amsterdam :
Elseiver.
Boyd, C.E. 1990, Water Quality in Ponds for Aquaculture,. Birmingham Publishing Co,
Boyd, C.E. 1991, Water quality and Aeration in Shrimp Farming. Auburn University,
Alabama. Brimingham Publishing Co, Birmingham, Alabama.
Boyd, C.E. 1999. Code of practice for responsible shrimp farming. Department of
fisheries and allied aquaculture; Auburn University
Budidaya Tambak. Balai Penelitian Budidaya Pantai, Maros.
Countries. AIT. Bangkok.
Haliman dan Adijaya. 2005. Pembudidayaan dan Prospek Pasar Udang Putih yang
Tahan Penyakit.Udang Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta
Haryanti., K. Sugama., S. tsamura., and T. Nisijima. 2000. Vibriostatic bacterium
isolated from seawater: potentially as probiotik agen in the rearing op penaeus
monodon larvae. Ind. Fish. Res. J. 6:26-32
Kamiso, H.N., 1996. Metode Pencegahan Hama dan Penyekit Ikan Karantina Dengan
Menggunakan Vaksin, Makalah disampaikan pada seminar Hama dan Penyakit
Ikan Karantina. 13 Desember 1996. Cipanas Bogor. 18 hal
Muliani, A. Suwanto, dan Y. Hala. 2003. Isolasi dan karakterisasi bakteri asal laut
Sulawesi untuk biokontrol penyakit vibriosis pada larva udang windu. Hayati. 10:
6-1
Muliani, Nurbaya, dan Bunga Rante Tampangallo Pengaruh Rasio Bakteri Probiotik
Terhadap Perubahan Kualitas Air dan Sintasan Udang Windu,(Penaeus monodon)
Dalam Akuarium J. Ris. Akuakultur vol 3 No 1. Tahun 2008 : 33-42
Muliani., Nurbaya., A. Tompo dan M. Atmomarsono. 2004. Eksplorasi bakteri fitosfer
dari tanaman mangrove sebagai bakeri probiotik pada budidaya udang windu
penaeus monodon. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 2:47-57
Muliani., Nurbaya., dan M. Atmomarsono. 2006a. Penapisan bakteri yang diisolasi dari
tambak udang sebagai kandidat probiotik pada budidaya udang windu. J. Ris.
Akuakultur. 1:73-85
Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. Third Edition. W.B. Sounders Company.
Pescod. M.B. 1973. Investigation of Rational Effluent Stream Standards for Tropical
Philadelphia.
Purwanta, Wahyu., Mayrina Firdayati. 2002. PENGARUH APLIKASI MIKROBA
PROBIOTIK PADA KUALITAS. Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol. 3 No. 1: 61-
6Pusat Studi Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan. Institut Pertanian Bogor.
Radjasa, O.K., T. Martens, H.P. Grassert, A. Sabdono, M. Simon and T. Bahtiar. 2005.
Antibacterial property of a coral associated bacterium Pseudomonas luteoviolceae
against shrimp pathogenic vibrio harveyi (in vitro study). Hayati 12 : 71-81
Scombes, C.J. 1994. Enhancement of Fish Phagocyte Activity. Fish and Shellfish
Immmunology, 4 : 421-436.
Tsai, S.J. and J.C. Chen. 2002. Acute toxicity of nitrate on penaeus monodon juvenils
at different salinity level aquaculture, 213 : 163-170
Wardoyo, S.T.H. 1975. Pengelolaan Kualitas Air (Water Quality Management).
PENDAHULUAN
Udang windu (Peneus monodon) dan rumput laut (Gracillaria sp) merupakan
salah satu komoditas utama dalam revitalisasi perikanan budidaya karena, teknologi
dikuasai dan berkembang di masyarakat, peluang pasar ekspor tinggi. Serapan pasar
dalam negeri cukup besar, permodalan relatif rendah, penyerapan tenaga kerja tinggi.
Udang windu merupakan komoditas asli Indonesia yang harus terus dikembangkan
meskipun akhir-akhir ini produksinya menurun akibat serangan penyakit. Budidaya
terintegrasi/terpadu pada IMTA mengacu pada budidaya beberapa spesies secara
intensif dalam satu wadah yang dihubungkan oleh nutrient dan transfer energi melalui
air (Anonim, 2010). Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu
jenis udang introduksi yang banyak diminati, karena memiliki berbagai keunggulan
dan sejak diperkenalkan udang ini sebagai salah satu komoditas budidaya unggulan,
kinerja perudangan nasional tampak menunjukkan produksi udang yang signifikan.
Proyeksi produksi udang vaname meningkat rata-rata sebesar 16% dengan kenaikan
sebesar 209% selama periode 2009-2014 yaitu dari 244.650 ton pada 2009 menjadi
511.000 ton pada tahun 2014, sementara udang windu meningkat sebesar 13%
dengan kenaikan sebesar 182% selama periode 2009-2014 yaitu dari 103.450 ton
pada 2009 menjadi 188.000 ton pada tahun 2014 (Nurdjana, 2010).
Budidaya udang di Indonesia sudah dimulai sejak beberapa dekade ke belakang,
dengan menggunakan metode yang sederhana. Perkembangan budidaya udang
meningkat secara pesat sejak tahun 1980, dimana pada saat itu mulai berkembang
budidaya udang semi intensif sedangkang budidaya sistem intensif pertama kali
diterapkan pada sekitar tahun 1984. Budidaya udang intensif tersebut pertama kali
berkembang di Jawa, khususnya Jawa Barat kemudian berkembang ke daerah Bali,
Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Lombok dan Sumbawa (Poernomo, 1988).
Produktivitas budidaya udang terutama udang windu di Indonesia mencapai
puncaknya pada tahun 1991-1994. Setelah priode tersebut, jumlah produksi udang
budidaya semakin menurun. Hal ini karena terjadinya kegagalan panen sebagai akibat
penurunan kualitas lingkungan dan merebaknya bermacam-macam penyakit semakin
sering terjadi. Keadaan yang hampir sama juga terjadi di beberapa negara penghasil
udang budidaya. Sebagai ikan yang tergolong euryhaline, ikan nila merah dapat
dibudidayakan di perairan tawar, payau, dan laut baik di kolam, tambak dan KJA
(Cholik et al, 1990; Pirzan et al., 1992; Tonnek et al, 1993). Semua nutrien limbah
budidaya yang jumlahnya lebih banyak daripada nutrien yang diretensi, akan
dimanfaatkan oleh ikan-ikan tersebut. Pola budidaya ikan semacam ini dikenal sebagai
Trophic Level Based Aquaculture (TLBA) atau Akuakultur Berbasis Trophic Level
(Harris, 2006). Di sisi lain, jumlah kebutuhan konsumsi udang masyarakat
internasional semakin meningkat. Keterbatasan jumlah pasokan dan peningkatan
jumlah kebutuhan menyebabkan harga udang semakin naik.
Beberapa usaha yang dilakukan untuk meningkatkan produksi pada budidaya
udang adalah peningkatan produktivitas tambak melalui sistem budidaya terpadu
antara udang windu ikan nila dan rumut laut di tambak. Hasil penelitian ini
mengindikasikan bahwa rumput laut sangat potensial untuk mereduksi limbah nutrien
dari daerah pantai dan budidaya rumput laut, G. lemaneiformis skala besar mampu
mengontrol eutropikasi di perairan pantai di China. Sebagai ikan yang tergolong
euryhaline, ikan nila merah dapat dibudidayakan di perairan tawar, payau, dan laut
baik di kolam, tambak dan KJA (Cholik et al, 1990; Pirzan et al., 1992; Tonnek et al,
1993) Keunggulan sistem terpadu ini adalah efisiensi penggunaan lahan secara
bersamaan dengan tiga komoditas yang berbeda tapi saling menguntungkan. Selain
dari itu sistem polikultur diharapkan dapat memberikan nilai tambah kepada petani dan
terutama mengurangi resiko kegagalan panen petani.
disekat dengan waring hitam 25% (1250 m2) posisi dekat pinrtu pemasukan air.
dengan kepadatan 1500 ekor/petak. Rumput laut ditebar dengan metode dasar
dengan kepadatan 0,2 kg/m2 waktu pemeliharaan ± 3 bulan. Pemberian pakan
komersil untuk ikan diberikan sejak awal penebaran sedangkan udang windu diberi
pakan setelah 1 bulan pemeliharaan dengan dosis dan frekuensi sesuai dengan berat
biomas ikan dan udang. Pemupukan susulan dosis 10% dari dosis awal dengan
interval waktu setiap 2 minggu untuk mempertahankan pakan alami dalam tambak.
Parameter yang diamati adalah: kualitas air meliputi; pH, suhu, salinitas dan DO
diamati setiap 3 hari sedangkan TSS, BOT, turbiditas, total ammonia nitrogen – TAN,
nitrit, nitrat, dan phosphat. Plankton diidentifikasi jenis dan dihitung jumlahnya.
Parameter biologi yang diukur meliputi pertumbuhan udang, nila merah dan rumput
laut dilakukan setiap 10 hari. Sintasan rasio konversi pakan, produksi dihitung pada
akhir penelitian dan dianalisis dengan deskriptif.
Tabel 1. Pertumbuhan, sintasan, laju pertumbuhan dan produksi udang windu dan
ikan nila selama 95 hari pemeliharaan
Petak
Uraian/Variabel
A B
1. Udang Windu ;
- Luas petak (m2) 5000 5000
- Lama pemeliharaan ( hari) 90 90
- Padat penebaran (ekor) 25,000 25,000
- Berat awal (g/ekor) 0,07 0,07
- Berat akhir (g/ekor) 18,35 21,23
- Laju pertumbuhan harian (%) 6,17 6,33
- Sintasan (%) 20,69 24,50
- Produksi (kg) 100,3 87,50
2. Ikan Nila
- Lama pemeliharaan ( hari) 90 90
- Padat penebaran (ekor) 1.500 1.500
- Berat awal (g/ekor) 2,0 2,0
- Berat akhir (g/ekor) 158 183,3
- Sintasan (%) 7,00 9,93
- Produksi (kg) 11,5 18,2
Pertumbuhan ikan nila gesit yang dipelihara selama 95 hari didapatkan berat
rata-rata pada perak A 158,00 g/ekor dan petak B didapatkan hasil yang lebih tinggi
yaitu 183,3 g/ekor.
salinitas yang lebih rendah atau yang lebih tinggi namun pertumbuhannya sangat
lambat dan kualitasnya tidak baik.
Kualitas air mempunyai peranan penting sebagai pendukung kehidupan dan
pertumbuhan udang windu. Hasil pengamatan terhadap beberapa peubah kualitas air
yang meliputi suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut, amoniak, nitrit, nitrat, fosfat, dan
BOT di sajikan pada Tabel 3. Rendahnya kualitas air pada media pemeliharaan dapat
mengakibatkan rendahnya tingkat pertumbuhan, dan sintasan hidup udang yang
dipelihara.. Kualitas air merupakan media pemeliharaan selama penelitian masih
berada pada kisaran yang layak bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang
windu kecuali kadar salinitas yang rendah pada awal pemeliharaan. Menurut
Poernomo dan Cholik (1988) bahwa kualitas air yang layak untuk budidaya udang
windu adalah salinitas optimal 10 – 25 ppt , suhu 26– 30 0C (toleransi 26 – 32 0C).
Suhu air sangat berkaitan erat dengan oksigen terlarut dalam air dan laju konsumsi
hewan air. Suhu berbanding terbalik dengan kosentrasi jenuh oksigen terlarut., tetapi
berbanding lurus dengan laju konsumsi oksigen hewan air dan laju reaksi kimia dalam
air. Pada suhu tiinggi, tekanan parsial oksigen dalam udara diatas permukaan rendah,
akibatnya adalah kosentrasi jenuh oksigen terlarut dalam air lebih mudah tercapai.
(Cholik dan Poernomo, 1987 ). Kisaran kualitas air yang diperoleh berkisar 29 – 30,5
0
C. Suhu air mempunyai peranan penting dalam mengatur aktivitas udang seperti
halnya hewan air linnya.
Peubah A B
Suhu (oC) 28,9-30,9 28,1-30,9
pH 8,0-8,5 7,5-8,5
Salinitas (ppt) 5,0-36 5,0-35
Oksigen terlarut (Mg/L) 3,2-4,4 3,0-4,2
Amoniak (Mg/L) Ttd – 0,7579 Ttd – 0,8885
BOT (Mg/L) 32,46 – 56,06 26,48 – 55,41
Nitrit (Mg/L) 0,0031 – 0,2003 0,0034 – 0,4968
Nitrat (Mg/L) 0,0480 – 1,2323 0,0408 – 0,1740
Posfat 0,0640 – 0,1742 0,1282 – 0,1882
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Integrated Multitrophic Aquaculture
http://en.wikipedia.org/wiki/Aquaculture. Akses April 2010
Bardach, J.E., J.H. Ryther, and W. O. Mclarney. 1972. Aquaculture: The farming and
husbandry of freshwater and marine organisms. Wiley-Interscience Pub., New
York. 868 p
Buwono, I. B. 1993. Tambak Udang Windu Sistem Pengelolaan Berpola Intensif.
Kanasius. Jakarta 186. hal
Cholik, F. dan A. Poernomo., 1987. Pengelolaan mutu air tambak untuk budidaya
udang Windu Intensif. Dalam Kumpulan makalah Seminar Teknologi Budidaya
udang Intensif. PT. Kalori Kreasi Bahang. Jakarta
Cholik, F. Rachmansyah, dan S.Tonnek., 1990. Pengaruh padat penebaran terhadap
produksi nila merah (Oreochromis niloticus) di KJA. J.Penel.Budidaya
Pantai(8)2:57-62.
Hadie (1995). Hadie, W., S. Rejeki dan L. E. Hadie. 1995. Pengaruh pemotongan
tangkai mata (ablasi) terhadap pertumbuhan juvenil udang galah
(Macrobarnchium rosembergii). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol.
1(1):37-44
Harris E. 2006. Akuakultur berbasis “Trophic Level”: Revitalisasi untuk ketahanan
pangan, daya saing ekspor dan kelestratian lingkungan. Orasi Ilmiah Guru Besar
tetap Ilmu Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor. 65 hal.
Lin, Y.C dan J.C. Chen. 2001. Acute toxicity of ammonia on Litopenaeus vannamei
boone juveniles at different salinity levels. Journal of Experimental Marine
Biology and Ecology. Elsevier Science Ltd. ISSN 0022-0981.259 (1): 109 – 119 p
Liu, C.I. 1989. Shrimp disease, prevention and treatment. Di dalam: Akiyama D.M,
PENDAHULUAN
Pada proses budidaya lobster air tawar ini, masih dijumpai beberapa kendala
yang menghambat proses produksi. Salah satu kendala produksi lobster adalah begitu
banyak jenis pakan yang biasa dipakai oleh peternak pembudidaya sehingga sulit
untuk menentukan pakan dengan kualitas yang baik sesuai kebutuhan lobster air
tawar, dan tingginya biaya pakan yang berkisar antara 60 - 70% dari total biaya
produksi (Haris 2006). Tingginya biaya pakan ini disebabkan salah satunya oleh
semakin meningkatnya harga tepung ikan yang merupakan sumber utama protein
pakan (Sudradjat, 2010). Berdasarkan kondisi tersebut, maka diperlukan upaya
pengembangan pakan berbahan baku sumber protein lokal yang mudah diperoleh,
harganya relatif murah, dan memiliki kandungan nutrisi yang sesuai sebagai pengganti
tepung ikan.
Saat ini komponen pakan buatan untuk ikan didominasi oleh penggunaan tepung
ikan sebagai sumber protein utama. Hal ini dikarenakan, tepung ikan memiliki
kandungan nutrisi yang sangat cocok dengan kebutuhan ikan budidiya, terutama profil
asam amino esensialnya. Pada nilai konversi pakan sekitar 1,5 maka diperlukan
sebanyak 0,5-0,75 kg tepung ikan atau setara dengan 1,8-3 kg ikan rucah (kadar air
75%) untuk memproduksi 1 kg ikan. Hal ini menyebabkan akuakultur yang berbasis
pakan buatan dengan tepung ikan sebagai sumber protein utamanya, tergolong
kegiatan yang tidak menguntungkan secara ekologis. Oleh karena itu perlu adanya
alternatif sumber protein pakan yang memiliki performansi nilai nutrisi yang relatif
setara dengan tepung ikan atau dapat memenuhi kebutuhan ikan budidaya untuk
tumbuh sacara optimum.
Di dalam pakan ikan, selain protein, komponen yang juga cukup penting adalah
sumber energi yang dapat berasal dari lemak dan karbohidrat, khususnya untuk ikan
herbivora dan omnivore (Huisman 1987; Bagarinao 1995). Karbohidrat merupakan
sumber energi yang lebih murah dibandingkan protein. Keong mas (Pomaceae
canaliculata) juga merupakan sumber protein yang murah dan kaya akan kalsium.
Berdasarkan uji proksimat ,kandungan nutrisi tepung keong mas yaitu protein
54,26%, lemak 3,92%, karbohidrat 30,45%, abu 4,07%, dan serat 1,80%
(Kamaruddin et al., 2005). Sedangkan kandungan nutrisi bekicot yaitu protein
53,56%; lemak 1,89%; kadar abu 4,82%; serat kasar 5,28%; dan kadar air 19,42%
(Anomin 2000). Dengan melihat potensi maupun kandungan nutrisi ke dua bahan
tersebut, maka dilakukan penelitian pemanfaatan dalam pakan pembesaran lobster air
tawar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan bekicot dan keong mas
sebagai pakan terhadap respon biologi lobster air tawar.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan dilaksanakan di Balai Benih Ikan Maros. Wadah yang
digunakan adalah aquarium berukuran 60 x 45 x 35 cm3 sebanyak 9 buah masing-
masing di bungkus plastik hitam untuk menghindari lobster agar tidak stress atau
gangguan dari luar dan di isi air dengan ketinggian 25 cm, dilengkapi dengan selang
dan batu aerasi, serta shelter berupa pipa PVC berukuran 3/4 inch yang berfungsi
sebagai tempat persembunyian Lobster. Hewan uji yang digunakan adalah lobster air
tawar jenis Capit Merah berumur ±1 bulan, dengan bobot rata ±1,5-2 g yang diperoleh
dari petani lobster di kota Maros. Padat penebaran adalah 5 ekor setiap wadah, dosis
untuk pakan pellet yaitu 3%, sedangkan untuk pakan bekicot dan keong mas yaitu
19% setara dengan 3% berat kering karena kadar air masing-masing sekitar 80%.
Komposisi nutrisi bahan baku lokal yang digunakan pakan (pellet) sebagai kontrol
(Tabel 1), sementara formulasi pakan pellet dan komposisi nutrisi masing-masing
pakan perlakuan dapat dilihat pada (Tabel 2).
Kandungan (%)
Bahan
Air Abu lemak Protein S.Kasar BETN
T. Ikan 6,34 16,65 4,90 60 1,50 17,82
B. Kopra 3,5 7,58 6,62 21,97 11,39 52,44
Polar 9,34 3,53 3,53 18,28 13,12 61,54
Kelulusan hidup adalah persentase jumlah organisme yang hidup dalam kurun
waktu tertentu yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus Effendi (1979),
sebagai berikut :
Nt
S= x 100%
No
Dimana :
S = Tingkat Kelulusan Hidup (%)
Nt = Jumlah hewan uji pada akhir penelitian (ekor)
No = Jumlah hewan uji pada awal penelitian (ekor)
Tabel 3. Sintasan lobster air tawar selama penelitian dengan perlakuan jenis pakan
pellet, bekicot dan keong mas
Tabel tersebut terlihat bahwa sintasan tertinggi diperoleh dari perlakuan C yaitu
100% dari hasil analisis sidik ragam menunjukkan perbedaan yang nyata antara
perlakuan A dan B (P<0,05), sedangkan terendah diperoleh dari perlakuan A dan B
sama yaitu 96,67% dan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P>0,05)
kedua pakan perlakuan tersebut. Hasil ini sama dengan yang dilaporkan oleh
Kurniawan dan Hartono (2009); Wijanto dan Hartono (2006) dan Setiawan (2010)
memperoleh tingkat kelangsungan hidup antara 80-100%, masing-masing
menggunakan pakan komersial, dengan perlakuan dosis dan frekwensi pemberian
pakan. Tingginya sintasan yang diperoleh disebabkan karena pada awal sampai akhir
penelitian wadah ditutup dengan menggunakan waring hitam sehingga lobster tidak
bisa lolos, sesuai sifat biologi lobster bisa merayap pada dinding wadah budidaya,
selain itu juga jarang ditemukan lobster yang mati akibat gagal molting. Selain itu
diduga karena kebutuhan protein lobster cukup dari semua pakan perlakuan (Tabel 2).
Seperti yang dilaporkan Kusman, (2006) protein yang umumnya diperlukan oleh
lobster air tawar adalah 20–40 % dari seluruh nilai gizi pakan.
Dari tabel (Tabel 3) terlihat bahwa laju pertumbuhan spesifik tertinggi diperoleh
dari perlakuan C yaitu sekitar 4,73% hal ini menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0,05) antara perlakuan A dan B, yang terendah diperoleh dari perlakuan A yaitu
sekitar 2,37%, meskipun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) dengan
perlakuan B. Kandungan protein pada perlakuan C (pellet lokal), berbeda dengan
pakan perlakuan A dan B itu adalah pakan segar (bekicot dan keong mas), perbadaan
jumlah proteinnya cukup besar yaitu pellet 31, 29%, sedangkan pakan segar yaitu
sekitar 53-54%. Meskipun protein pakan pellet rendah bila dibandingkan dengan
protein ke dua pakan segar (bekicot dan keong mas), tetapi dari Tebel 3, terlihat
bahwa untuk mendukung pertumbuhan (Gambar 1) lobster dibutuhkan komposisi
nutrisi pakan yang seimbang antara protein, lemak, serat kasar, dan karbohidrat. Hasil
yang diproleh dari penelitian ini lebih bagus bila dibandingkan dengan hasil penelitian
Kamaruddin dan Daris (2011) memperoleh laju pertumbuhan spesifik lobster tertinggi
yaitu sekitar 0,64% dan yang terendah diperoleh yaitu sekitar 0,26% dengan bobot
awal lobster yang digunakan rata-rata 4,90 g. Hal ini diduga karena adanya
perbedaan bobot awal lobster yang digunakan dalam penelitian, karena semakin kecil
ukuran lobster, maka tren pertumbuhan hariannya, semakin besar, bila dibandingkan
dengan lobster yang sudah besar.
Gambar di atas terlihat adanya peningkatan yang cukup drastis pada perlakuan A
terutama pada sampling ke II yaitu sekitar 2%, meskipun terjadi penurunan kembali
pada sampling ke III hampir sama dengan perlakuan lainnya, sedangkan perlakuan
lainnya B, C dan D tidak memperlihatkan peningkatan yang menonjol sampai sampling
ke IV, meskipun sampling ke IV perlakuan A terjadi penurunan yang cukup rendah
yaitu -0,4%, setelah memasuki sampling ke VIII terjadi peningkatan pada perlakuan B
yaitu sekitar 1%, meskipun terjadi penurunan kembali pada sampling ke IX yang
hampir sama dengan perlakuan lainnya. Terjadinya peningkatan dan penurunan yang
cukup drastis pada perlakuan A dan B, diduga karena tidak ada keseimbangan
komposisi nutrisi kedua jenis pakan segar tersebut. Sebagaimana yang dilaporkan oleh
Wiyanto dan Hartono (2006), pakan buatan yang dapat diberikan pada lobster air
tawar dengan kandungan protein lebih dari 40 % yang berasal dari bahan hewani dan
nabati, serta memiliki kandungan nutrisi yang lengkap. Sementara perlakuan C (pellet)
proteinnya rendah bila dibandingkan dengan pakan perlakuan A dan B, tetapi ada
keseimbangan antara perotein, lemak, serat kasar dan karbohidat.
Efisiensi pakan merupakan salah satu indikator tingkat pemanfaatan pakan
terhadap hewan yang dibudidayakan, efisiensi pakan lobster selama penelitian dapat
dilihat pada (Tabel 3). Dari tabel di atas terlihat bahwa tingkat efisiensi pakan tertinggi
diperoleh dari perlakuan C yaitu sekitar 0,19%, dari hasil analisis sidik ragam
menunjukkan perbedaan yang nyata antar semua perlakuan. Sedangkan efisiensi
pakan yang terendah diperoleh dari perlakuan A yaitu sekitar 0,02%, meskipun tidak
berbeda nyata dengan perlakuan B. hasil ini jauh lebih rendah bila dibandingkan yang
diperoleh Kamaruddin dan Daris (2011) yang memperoleh tingkat efisiensi pakan
tertinggi yaitu 0,52% dengan menggunakan pakan pellet lokal. Dengan demikian
bahwa pemanfaatan protein sebagai sumber energy tidak efisien dan efektif, hal ini
terlihat pada perlakuan pakan A dan B (bekicot dan keong mas) mempunyai protein
yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan pakan Perlakuan C (pellet), tetapi
menunjukkan tingkat efisiensi pakan yang cukup rendah. Hal ini pada respon
pertumbuhan lobster tertinggi diperoleh dari perlakuan C. Dengan demikian lobster
mempunyai keterbatsan untuk mencerna protein, untuk kebutuhan sel-sel tubuhnya
karena dari sifat biolgi lobster herbivore yang cendrung carnivor secara alamia
biasanya memanfaatkan protein yang berasal dari tumbuhan.
Selama kegiatan penelitian suhu air diperoleh antara 28-30ºC, hal ini sesuasi
yang dianjurkan oleh Setiawan (2010) bahwa suhu yang ideal untuk pertumbuhan
lobster adalah 24-31ºC, dan selanjutnya dikatakan bahwa suhu di bawah atau diatas
angka tersebut sangat membahayakan kehidupan lobster air tawar, begitu pula
dengan derajat keasaman (pH) yang ideal untuk lobster air tawar ada pada kisaran 6–
8. Amoniak merupakan hasil dari buangan kotoran yang jika dibiarkan dalam waktu
lama akan terakumulasi dan menjadi racun bagi lobster, kadar amoniak dalam air
maksimun 0,01 ppm. Untuk menghindari peningkatan kadar amoniak dalam wadah
pemeliharaan, dilakukan penyiponan setiap hari sebanyak 50%, kemudian di
tambahkan air yang baru.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian tentang penggunaan pakan segar dan pakan pellet maka
dapat disimpulkan yaitu: penggunaan pakan segar (bekicot dan keong mas) tidak
memberikan respon pertumbuhan yang lebih baik bila dibandingkan dengan dengan
penggunaan pakan pellet lokal, meskipun pakan kedua pakan segar tersebut
proteinnya cukup tinggi, tetapi tidak ada keseimbangan komposisi nutrisi lainnya
seperti lemak dan karbohidat. Begitu pula dengan tingkat efisiensi pakan jauh lebih
tinggi perlakuan pakan bila dibandingkan dengan pakan segar
Saran-saran
Dalam budidaya lobster pemanfaatan pakan segar sebaiknya diproses terlebih
dahulu menjadi tepung, selanjutnya dibuat dalam formulasi pakan yang ditambahkan
dengan bahan baku lainnya, sehingga pakan segar tersebut dapat dijadikan sebagai
sumber protein, kemudian dicetak dalam bentuk pellet.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2000. Budidaya Bekicot (Achanita spp). http://www. Ristek.go.id. Diakses
Mei 2011
Bagarinao TU. 1995. Biology of milkfish. Philippines Tigbauan, Iloilo: Trading and
Information Division Techno-Transfer Section, Aquaculture Departement
Southest Asian, Fisheries Development Center.
Effendie, A. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Harris E. 2006. Akuakultur berbasis “Trophic Level”: Revitalisasi untuk ketahanan
pangan, daya saing ekspor dan kelestratian lingkungan. Orasi Ilmiah Guru Besar
tetap Ilmu Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor. 65 hal.
Huisman EA. 1987. Principles of fish production. Department of Fish Culture and
Fisheries, Wageningen Agricultural University, Wageningen, Netherlands. 170p.
Kamaruddin dan Lukman. D 2011. Pemanfaatan bahan baku lokal dalam pakan
pembesaran Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus). Laporan Hasil Penelitian
Balai Benih Ikan Maros. 9 hal
Kamaruddin, Usman, dan Makmur, 2005. Pemanfaatan Keong Mas (Pomaceae sp.)
Sebagai Substitusi Tepung Ikan Dalam Pakan Ikan. Warta Penelitian Perikanan
Indonesia
Kurniawan, T dan Hartono, R, 2009. Pembesaran Lobster Air Tawar Secara Cepat.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Kusman, 2006. Pembenihan Lobster Air tawar : Meraup Untung dari Lahan Sempit.
AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Setiawan, C. 2010. Jurus Sukses Budi Daya Lobster Air Tawar, Agro Media
Pustaka, Jakarta.
Schulz. C, U. Knaus, M. Wirth, and B. Rennert. 2005. Effect of Varying Dietary
Fatty Acid Profile on Growth Performance, Fatty Acid, Body an Tissue
Composition of Juvenile Pike Perch (Sander lucioperca). Aquaculture nutrition,
II: 403-413.
Sudradjat, A. 2010. Aquaculture of milkfish (Bandeng)) in Indonesia: Grow-out
culture. In: Liao, C.I & Leano, E.M (Eds.), Milkfish Aquaculture in Asia. National
Taiwan Ocean University, The Fisheries Society of Taiwan, Asian Fisheries Society
and World Aquaculture Society, p. 17-30.
Takeuchi, T. 1988. Laboratory work-chemical evaluation of dietary nutrients. In:
Watanabe, T. (ed.) Fish Nutrition and Mariculture. JICA Kanagawa International
Fisheries Training Centre, Tokyo, pp. 179-233.
Wiyanto dan Hartono, 2006. Lobster Air Tawar Pembenihan & pembesaran. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Abstrak: Suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis dan
kelimpahan serta indeks biologi plankton pada penggunaan jenis pupuk organik
pada budidaya udang di tambak telah dilakukan. Penelitian ini dilaksanakan
selama 90 hari dengan menggunakan 12 petak tambak ukuran 500 m2. Perlakuan
yang dicobakan adalah penggunaan jenis pupuk organik yaitu perlakuan A =
Pupuk kandang + jerami + jerami, perlakuan B = Pupuk organik komersil,
perlakuan C = Pupuk organik cair, dan perlakuan D tanpa pemupukan (kontrol).
Setiap perlakuan dibuat ulangan 3 kali. Pemberian pupuk organik dilakukan
sebelum penebaran hewan uji dengan dosis sebanyak 3 ton/ha. Hewan uji yang
digunakan adalah tokolan udang windu dengan kepadatan 2 ekor/m2. Peubah
yang diamati adalah Komposisi dan jenis, indeks keragaman, indeks keseragaman,
indeks dominansi plankton setiap dua minggu. Peubah kualitas air yang diukur
meliputi oksigen terlarut, suhu, salinitas dan pH setiap 3 hari. Sedangkan
parameter NH3-N, NO2-N, NO3-N, PO4-P, Si dan BOT setiap dua minggu. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perlakuan jenis pupuk organik berpengaruh nyata
(P<0,05) terhadap kelimpahan individu plankton. Kelimpahan individu plankton
tertinggi diperoleh pada perlakuan A (campuran rumput laut, jerami dan pupuk
kandang) yaitu 208 ind./L. dan terendah diperoleh pada perlakuan C (pupuk
cair)yaitu 68 ind./L. Fitoplankton didominasi dari Kelas Bacillariophyceae,
sedangkan zooplankton didominasi dari Kelas Krustacea.
PENDAHULUAN
Pupuk organik merupakan salah satu jenis pupuk yang dapat dimanfaatkan
untuk meningkatkan kesuburan tanah mengingat sifat pupuk organik yang sangat
menonjol yaitu mengandung unsur hara makro dan mikro. Soepardi (1983)
mengemukakan bahwa pupuk kandang selain hara makro seperti N, P dan K, pupuk
kandang juga mengandung unsur hara mikro seperti Zn, Bo, Mn, Cu dan Mo. Menurut
Setyamidjaya (1986) pupuk organik merupakan pupuk yang digunakan untuk maksud
memperbaiki struktur tanah, daya meresapkan air hujan, daya mengikat air, ketahanan
terhadap erosi. Selanjutnya dikatakan bahwa terbentuknya humus , pupuk organik
juga memperbaiki kehidupan biologi tanah dan mineral (unsur hara) dan hasil proses
mineralisasi humus. Lebih lanjut Syarief (1985) mengemukakan bahwa pupuk
organik memiliki kesanggupan melepaskan zat hara secara berangsur-angsur sesuai
dengan tingkat perombakannya sehingga kelestarian zat hara dalam perairan dapat
terjaga. Selanjutnya dikatakan bahwa pupuk kandang merupakan pupuk yang berasal
dari campuran kooran ternak dan urine serta sisa-sisa mkanan yang tidak dihabiskan
dan umumnya berasal dari ternak sapi, ayam, kerbau, kuda, babi dan kambing.
Keberadaan plankton di tambak di samping berfungsi sebagai pakan udang
dapat pula berperan sebagai salah satu dari parameter ekologi yang dapat
menggambarkan kondisi suatu perairan. Menurut Dawes (1981) Salah satu ciri khas
organisme fitoplankton yaitu merupakan dasar dari mata rantai pakan di perairan.
Oleh karena iru kehadiran plankton di suatu prairan dapat menggambarkan
karasteristik suatu perairan apakah berada dalam keadaan subur atau tidak.
Kelimpahan fitoplankton di suatu perairan dipengaruhi oleh bebera paparameter
lingkungan dan karasteristik fisiologinya. Komposisi dan kelimpahan fitoplankton akan
berubah pada berbagai tingkatan sebagai respon tehadap perubahan-perubahan
kondisi lingkungan baik fisik, kimia maupun biologi (Reynolds et al., 1984. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu pemupukan susulan pada budidaya
udang vanamei (L. vannamei) terhadap komposisi jenis dan kelimpahan individu
fitoplankton.
Bahan Cara
Penelitian ini menggunakan tambak ukuran 500 m2 sebanyak 12 petak yang
telah diisi air yang bersumber dari laut dengan ketinggian lebih kurang 70 cm.
Perlakuan yang dicobakan adalah penggunaan jenis pupuk organik yaitu perlakuan A =
rumput laut + jerami + pupuk kandang kotoran sapi, perlakauan B = pupuk organik
komersial, perlakuan C = pupuk organik cair dan perlakuan D = tanpa pupuk (kontrol).
Masing-masing perlakuan diulang 3 kali.
Peubah yang diamati adalah jenis dan kelimpahan plankton setiap 2 minggu
dengan mwnyaring dan memadatkan contoh air tambak sebanyak 100 l menjadi 100
ml dengan menggunakan plankton net ukuran mesh size 60 mikron (No. 25).
Identifikasi plankton dilakukan sampai tingkat genera dengan bantuan buku Newell
and Newell (1963) dan Yamaji (1976). Kelimpahan plankton dalam contoh air
selanjutnya dihitung di bawah mikroskop dengan menggunakan alat Bantu SRC
(Sedgwick rafter counter cell) dengan modifikasi rumus APHA (2005).
T P V 1
N = ---- x ----- x ----- x -----
L p v W
n
H´ = - Σ pi ln pi
i=1
C = ∑ [ ni/N ] 2
Kualitas air diamati meliputi parameter suhu, pH, salinitas, oksigen terlarut, dan
alkalinitas dilakukan secara in situ setiap 3 hari, sedangkan parameter nitrat, nitrit,
amonia, posfat, bahan organik dan silikat dianalisis dilaboratorium.
Tabel 1. Rataan jumlah jenis, kelimpahan individu dan Indeks biologi plankton selama
penelitian
Perlakuan
Parameter Plankton
A B C D
Jumlah Jenis 24 21 16 21
Jumlah Individu (ind./L) 208 99 68 70
Indeks Keragaman 0,9251 0,9114 0,7668 0,7285
Indeks Keseragaman 0,6784 0,7229 0,7030 0,4293
Indeks Dominansi 0,4195 0,4520 0,5381 0,3387
Indeks biologi yang dianalisis dalam penelitian ini terdiri dari indeks
keanekaragaman (H’), indeks kesragaman (E), dan indeks dominasi (D) jenis plankton.
Indeks biologi ini berfungsi untuk mengevaluasi komunitas plankton antara perlakuan.
Nilai indeks biologi plankton yang diperoleh selama penelitian tertera pada Tabel 1.
Nilai indeks keragaman yang diperoleh selama penelitian masing-masing pada
perlakuan A = 0,9251, perlakuan B = 0,9114, perlakuan C = 0,9668 dan perlakuan D
= 0,7285. Berdasarkan penilaian Stin (1981) menunjukkan bahwa secara umum
komunitas plankton pada keempat perlakuan ini dalam keadaan tidak stabil atau
sedang mengalami gangguan faktor lingkungan. Ketidak stabilan komunitas plankton
pada ketiga perlakuan disebabkan adanya beberapa genera fitoplankton yang memiliki
jumlah individu lebih besar dibanding dengan genera lainnya yaitu Navicula dan
Nitzschia.
Indeks keseragaman plankton untuk semua perlakuan tertera pada Tabel 1 yaitu
perlakuan A = 0,6784, perlakuan B = 07229, perlakuan C = 0,7030 dan perlakuan D
= 0,429. Nilai indeks keseragaman pada perlakuan A, B, dan C ini menunjukkan
bahwa keseragaman antara genera relatif merata atau jumlah individu pada masing-
masing genera relatif sama, kecuali pada pada perlakuan D rendah yang menunjukkan
genera yang diperoleh tidak memiliki jumlah individu yang seragam (Lind, 1979). Hal
ini menunjukkan bahwa kondisi habitat tambak perlakuan A, B, dan C dihuni oleh
jenis plankton yang relatif serasi untuk pertumbuhan dan perkembangan masing-
masing genera, sedangkan pada perlakuan D memiliki pertumbuhan individu yang
tidak serasi diantara genera yang ada.
Indeks dominasi plankton yang diperoleh selama penelitian yaitu perlakuan A =
0,4195, perlakuan B = 0,4520, perlakuan C = 0,5381 dan perlakuan D = 0,3387
(Tabel 1). Berdasarkan nilai tersebut diatas menunjukkan bahwa keempat perlakuan
menunjukkan dalam struktur komunitas tidak ada genera yang mendominasi genera
lainnya. Hal ini mencerminkan sruktur komunitas plankton pada semua perlakuan
dalam keadaan stabil.
Kualitas Air
Kualitas air mempunyai peranan penting kaena merupakan salah satu factor
pendukung untuk pertumbuhan dan reproduksi fitoplankton suatu perairan. Hasil
pengamatan kualitas air selama penelitian tertera pada Tabel 3. Suhu air yang
teramati selama penelitian untuk semua perlakuan berkisar 27-30,1oC. Berdasarkan
data tersebut menunjukkan secara kesuluruhan semua perlakuan suhu airnya masih
layak untuk mendukung kehidupan fitoplankton. Menurut Effendi (2003) bahwa
kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton adalah 20-30oC. Secara umum
kisaran kandungan Salinitas untuk semua perlakuan pada Tabel 2 hampir sama yaitu
berkisar 6,9-30 ppt. Tingginya fluktuasi salinitas yang terjadi kerena selama penelitian
melewati musim kemarau yang memiliki salinitas rendah dan musim kemarau yang
memiliki salinitas tinggi.
Kandungan oksigen untuk semua perlakuan adalah berkisar 2,5-5,4 ppm.
Oksigen yang agak rendah diperoleh pada waktu subuh hari karena wadah
pemeliharaan tidak menggunakan kincir. Sedangkan oksigen tinggi terjadi pada siang
hari waktu poses fotosintesis oleh fitoplankton sedang berlangsung. Kisaran
kandungan oksigen yang diperoleh masih dalam batas yang dapat ditolerir oleh
organisme perairan seperti zooplankton. Menurut Pescod (1973) bahwa organisme
akuatik dapat hidup pada kadar oksigen terlarut lebih 2 ppm.
Hasil pengamatan pH air media percobaan untuk semua perlakuan berkisar
7,7-9,5 masih layak untuk pertumbuhan plankton. Odum (1971) menyatakan bahwa
perairan dengan pH antara 6-9 merupakan perairan dengan kesuburan yang tinggi dan
tergolong produktif karena memiliki kisaran pH yang dapat mendorong proses
pembongkaran bahan organik yang ada dalam perairan menjadi mineral-mineral yang
dapat diasimilasikan oleh fitoplankton. Menurut Effendi (2003) sebagian besar biota
akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5.
Unsur hara nitrogen dan fosfor merupakan insur hara utama yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan fitoplankton , sehingga merupakan factor pembatas bagi
fitoplankton. Unsur hara nitrogen yang dibutuhkan fitoplankton adalah dalam bentuk
N-NO3 dan NH4, sedangkan fosfor dalam bentuk ortofosfat (PO4-P). Konsentrasi nitrat
yang diperoleh pada masing-masing perlakuan adalah perlakuan A = 0,052-0,79 ppm,
Perlakuan B = 0,003-0,93 ppm, perlakuan C = 0,012-0,90 ppm dan perlakuan D =
0,01-0,67 ppm. Menurut Mackentum (1969) untuk pertumbuhan optimal fitoplankton
memerlukan kandungan nitrat 0,9-3,5 ppm. Secara umum semua perlakuan memiliki
kandungan nitrat rendah diduga karena telah dimanfaatkan oleh fitoplankton yang
memiliki nilai kelimpahan lebih tinggi. Konsentrasi fosfat yang diperoleh selama
penelitian pada semua perlakuan tergolong rendah sampai sedang yakni masing-
masing pada perlakuan A = 0,027-0,213 ppm, perlakuan B = 0,034-0,143 ppm,
perlakuan C = 0,008-0,124 ppm, dan perlakuan D = 0,009-0,126 ppm. Berdasarka
Perlakuan
Peubah kualitas air
A B C D
Suhu (oC) 27-30,1 27,8-29,9 27-30,9 27,1-30,3
Salinitas (ppt) 7,43-29 6,9-30 7,0-30 6,9-30
pH 8-9,5 7,7-9,0 7,9-9,9 7,8-9,0
Alkalinitas (mg/L) 111,46-188,1 110,07-209 114,25-179,6 103,1-179,7
Oksigen terlarut 3,36-5,2 3,2-5,13 2,5-5,4 2,9-5,1
(mg/L)
NO2-N ( mg/L 0,009-0,082 0,014-0,043 0,017-0,48 0,02-0,04
NO3-N (mg/L) 0,052-0,79 0,003-0,93 0,012-0,90 0,02-1,003
NH3-N (mg/L) 0,003-0,58 0,028-0,76 0,035-10,83 0,01-0,67
BOT (mg/L) 28,02-50,64 25,98-52,14 28,99-49,44 27,71-52,68
PO4-P (mg/L) 0,027-0,213 0,034-0,143 0,008-0,124 0,009-0,126
SiO2 (mg/L) 0,010-0,36 0,009-0,36 0,014-0,41 0,009-0,55
KESIMPULAN
1. Jumlah jenis dan individu plankton tertinggi diperoleh pada perlakuan A dan
terendah pada perlakuan C.
2. Perolehan Fitoplankton didominasi oelh Kelas Bacillariophyceae dan zooplankton
didominasi oleh Kelas Krustacea
3. Fitoplankton yang memiliki individu tertinggi adalah jenis Nitzschia dan Navicula,
sedangkan zooplankton adalah jenis Kopepoda dan Acartia.
DAFTAR PUSTAKA
Amin,M., S. Amini dan Suwardi. 1994. Pengaruh beberapa jenis pupuk dan dosis
pupuk organik terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang windu,
Penaeus monodon pada bak tewrkontrol. Risalah Seminar Hasil Penelitian
Budidaya Pantai. Hal 43-49.
Amin, M. 2010. Dinamika plankton pada budidaya udang windu (Penaeus monodon
Fabricius) yang menggunakan jenis pupuk organik di tambak. Prosiding Forum
Inovasi Teknologi Akuakultur 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perlakuan
A B C D
Fitoplankton
Amphora X - - -
Anabaena X - - -
Bacteriastrum X - - -
Centropyxis - - X -
Cerataulina X - - -
Ceratium - X - -
Chaetoceros - - X X
Crococcus - X - -
Coscinodiscus - X X X
Cyclotella - - - X
Elakatotrix - - - -
Eutreptia - - X X
Gyrosigma X - - X
Lemanea X - - -
Navicula X X X X
Nitzschia X X X X
Oscillatoria X X X X
Pleurosigma X X X X
Polydora X X - X
Protoperidinium - X - -
Skeletonema - X X -
Thallasionema X X X X
Zooplankton
Acartia X X X x
Apocyclopas X X - x
Brachionus X X - x
Copepoda X X X x
Labidocera X X X x
Microsetella - - - x
Nitocra - - - -
Oithona X X X X
Onychocamptus X X - -
Schmackeria X X X X
Temora X X - X
Tortanus x x x x
Keterangan : X = Ada
- Tidak ada
Suharyanto
Abstrak: Triptofan merupakan salah satu jenis asam amino esensial yang
berfungsi sebagai prekusor serotonin (5-hydroxytryptamine, 5-HT). Injeksi
serotonin pada ikan karnivora, dapat menghambat sifat agresif diantaranya
kanibalisme.Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data dan informasi
tentang dosis yang tepat triptofan yang dicampur dalam pakan rucah (Sardinella
sp) dan pengaruhnya terhadap tingkat kanibalisme udang windu (Penaeus
monodon). Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium basah Instalasi tambak
percobaan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maranak, Maros selama 28
hari. Wadah percobaan adalah akuarium berukuran 60 x 40 x 40 cm sebanyak 12
buah. Tokolan udang windu yang digunakan untuk penelitian ini, berukuran 1,4 ±
0.1 cm panjang dan bobot rata-rata adalah 0,01 ± 0.01 g, Setiap akuarium
ditebar tokolan udang windu sebanyak 25 individu. Perlakuan yang di aplikasikan
adalah dosis triptofan yang berbeda dan dicampur dalam pakan rucah sebanyak
(A): 0 %, (B): 0,5 %, (C): 1,0 % dan (D): 1,5 % dari total biomass masing-masing
dengan 3 ulangan. Data tingkat kanibalisme, pertumbuhan dan laju sintasan
dianalisis menggunakan analisis ragam dengan pola rancangan acak lengkap
(RAL). Selama penelitian diberi makan 2 kali sehari dengan dosis 15 % dari total
biomass. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kanibalisme terendah
didapatkan pada penambahan 1,5 % tryptophan (4,0 ± 1,4%) dan berbeda nyata
(P<0,05) dengan kontrol (12,4 ± 2,3%). Sintasan tertinggi didapatkan pula pada
penambahan 1,5 % tryptophan (79,0 ± 3,0%) dan tidak berbeda nyata (P>0,05)
dengan kontrol (69,2 ± 1,3%). Sementara itu laju pertumbuhan udang windu
relatif sama diantara perlakuan dan tidak berbeda nyata (P>0,05). Berdasarkan
hasil penelitian ini, disimpulkan bahwa penambahan 0,5 - 1,5 % triptofan dalam
pakan rucah dapat menekan tingkat kanibalisme dan meningkatkan kelangsungan
hidup udang windu selama penelitian.
PENDAHULUAN
Udang windu (Penaeus monodon) merupakan satu di antara komoditas
perikanan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Beberapa tahun terakhir produksi udang
windu mengalami penurunan secara drastis disebabkan serangan penyakit. Di Sulawesi
Selatan banyak tambak-tambak udang windu yang tidak berproduksi lagi dan
ditinggalkan oleh pemiliknya, akibat wabah penyakit yang belum teratasi. Selain
penyakit kegagalan budidaya udang windu juga disebabkan karena kanibalisme
terutama pada budidaya udang windu secara tradisional yang tidak mengindahkan
prinsip budidaya satu diantaranya adalah persiapan tambak dan pemberian pakan.
Hewan uji yang digunakan adalah benih udang windu PL-10 yang ditokolkan
terlebih dahulu pada tambak ukuran 10 x 5 m selama 25 hari. Tokolan udang windu
yang digunakan untuk penelitian ini berukuran 1,4 ± 0.1 cm panjang dan bobot rata-
rata adalah 0,01 ± 0.01 g, dan ditebar dalam setiap akuarium pemeliharaan dengan
kepadatan 25 ekor.
Sampling dilakukan tiap 7 hari selama 28 hari yaitu pertumbuhan meliputi
panjang dan bobot dengan cara mengambil 10 individu udang windu menggunakan
seser. Pertumbuhan lebar karapas diukur dengan menggunakan mistar dengan
ketelitian 0,1 mm. Selanjutnya pertumbuhan berat diukur dengan timbangan digital
(AND GF 1200) dengan ketelitian 0,1 g. Laju pertumbuhan berdasarkan rumus dari
Zonneveld et al., (1991) sebagai berikut:
Gr: {(Wt-Wo)/(t)}
Laju sintasan dihitung pada akhir penelitian, dengan cara menghitung jumlah
yang hidup pada masing-masing perlakuan. Laju sintasan tokolan udang windu
dihitung berdasarkan rumus dari Effendi (1979) sebagai berikut:
S:Nt/Nox100 %
KA - KH - KMBAK
TK = ---------------------- x 100
KA
Tabel 1. Pertumbuhan bobot, laju sintasan dan tingkat kanibalisme tokolan udang
windu selama percobaan
mutlak (g)
Laju sintasan (%) 69,2 ± 1,3 a 77,2 ± 1,2 a 74,4 ± 2,9 a 79,0 ± 3,0 a
Tingkat kanibalisme (%) 12,4 ± 2,3 a 6,8 ± 3,4 b 5,6 ± 1,6 b 4,0 ± 1,4 b
*Nilai yang diikuti superscript serupa dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata (p>0,05)
Menurut pengamatan Van Damme et al., (1989), pada larva dan juvenil ikan
mas, Cyprinus carpio, korban kanibalisme dapat dibedakan menjadi 2 tipe: kanibalisme
tipe I, yaitu korban dimangsa hanya pada bagian ekor dan badan saja sementara
bagian kepalanya dibuang, Kanibalisme tipe II yaitu, mangsa dimakan bisa mulai dari
kepala (IIa) atau dari ekor (IIb) lalu ditelan dan dicerna (IIa). Pada pengamatan di
krablet rajungan ini, umumnya ditemukan kanibalisme tipe I. udang windu yang lebih
besar dan sehat selalu mengalahkan dan memangsa yang lebih kecil dan lemah. Hal
yang sama juga dilaporkan pada ikan kerapu lumpur (Hseu et al. 2003). Tetapi
kadang-kadang mangsa yang diterkam dari arah ekor, ada yang dapat melepaskan
diri, namun umumnya telah mengalami luka sehingga tidak mampu bertahan hidup
lama. Namun Hseu et al., (2003) melaporkan bahwa pada ikan kerapu Epinephelus
coioides tidak ditemukan adanya ikan mati karena luka akibat bekas gigitan. Hal ini
bisa terjadi karena ukuran ikan pada penelitian tersebut relatif lebih besar daripada
yang dipakai oleh Hseu et al., (2003). Pada penelitian ini, juga sering ditemukan
antara mangsa dan pemangsa mati bersama, dan ini umumnya terjadi jika ukuran
udang windu hampir sama mereka terlihat saling menjepit.
Laju sintasan udang windu tertinggi pada penelitian ini didapatkan pada
perlakuan penambahan triptofan 1,5 % sebesar 79,0 ± 3,0%, selanjutnya perlakuan
0,5% triptofan sebesar 77,2±1,2%, 1,0% triptofan sebesar 74,4 ± 2,9% dan 0%
sebesar 69,2 ± 1,3% walaupun hasilnya tidak berbeda nyata (P>0,05) Hal ini
menunjukan bahwa tingkat kanibalisme udang windu masih cukup tinggi terutama
pada perlakuan kontrol. Secara umum, laju sintasan udang windu yang diperoleh pada
penelitian ini relatif rendah, hal ini disebabkan selama penelitian berlangsung tidak
dilakukan pengelompokan ukuran (size grading). Kematian udang windu tertinggi 10-
15% pada setiap bak perlakuan terjadi pada minggu pertama peneltian, di mana peran
triptofan dalam pakan yang dimakan belum optimal. Hal yang relatif sama juga
dilaporkan oleh Hseu et al. (2003) dan Kamaruddin et al., (2006). Rendahnya laju
sintasan pada setiap perlakuan juga sebagai akibat dari kandungan nitrit yang cukup
tinggi (Tabel 2), yakni sebesar 0,2874±0,4773 - 0,4674±0,3727 mg/L, menurut
Schmittou (1991), konsentrasi nitrit sebesar 0,1 mg/L dapat menyebabkan stress pada
organisme akuatik. Bila konsentrasinya mencapai 1,00 mg/L dapat menyebabkan
kematian. Dengan konsentrasi nitrit yang cukup tinggi tersebut udang windu sebagian
besar mengalami stres, karena stres aktifitas kehidupannya juga mengalami gangguan.
Penambahan triptofan dalam pakan ikan rucah ini hingga 1,5 % belum
memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan bobot udang windu
(P>0,05) dan masih relatif sama dengan pakan kontrol (tanpa penambahan
triptophan). Sementara Hseu et al., (2003) melaporkan hasil bahwa juvenil ikan
kerapu E. coioides yang diberi tambahan triptofan 1% dalam pakannya cenderung
memiliki ukuran ikan yang lebih kecil dibandingkan tanpa penambahan triptofan. Pada
pengamatan yang dilakukan oleh Hseu et al. (2003) menunjukkan penambahan
triptofan hingga 1% dalam pakan cenderung menurunkan konsumsi pakan juvenil ikan
kerapu E. coioides. Sementara pada penelitian ini, jumlah konsumsi pakan udang
windu masih cenderung relatif sama diantara perlakuan, kecuali pada perlakuan
dengan penambahan 0,5% triptofan relatif lebih rendah, namun konsumsi pakan
meningkat lagi pada penambahan triptofan 1%. Fenomena ini belum diketahui dengan
jelas.
0,16
0,14
0,12
0,1
Bobot (g)
0,08
0,06
0,04
0,02
0
Awal 7 14 21 28
Waktu pemeliharaan (hari)
Hasil pegukuran kualitas air tersaji pada Tabel 2, unsur nitrogen dalam suatu
perairan merupakan unsur penting dalam prores pembentukan protoplasma. Hasil
pengukuran unsur tersebut menunjukan bahwa kandungan nitrit cukup tinggi yakni
0,2874±0,4773 - 0,4674±0,3727 mg/L. Tingginya kandungan nitrit disebabkan tidak
termanfaatkannya nitrit tersebut oleh fitoplankton karena kurangnya sinar matahari
yang masuk ke dalam bak-bak penelitian, sehingga proses fotosistesis terganggu.
Padahal kandungan nitrogen sangat diperlukan karena unsur nitrogen dalam suatu
perairan merupakan unsur penting dalam prores pembentukan protoplasma. Menurut
Schmittou (1991), konsentrasi nitrit dalam suatu perairan tidak boleh melebihi 0,1
mg/L, jika melebihi dari 0,1 mg/L maka proses metabolisme organisme tersebut akan
terganggu.
Kandungan amoniak pada masing-masing perlakuan yang tersaji pada Tabel 2,
masih dalam batas kewajaran bagi kehidupan rajungan. Kandungan amoniak pada
penelitian ini cukup rendah, amoniak yang timbul dalam penelitian ini berasal dari
kotoran udang windu yang dikeluarkan dari tubuhnya. Menurut Boyd (1990), Amoniak
di alam berasal dari pupuk, kotoran ikan dan dari pelapukan mikrobial dari senyawa
nitrogen. Menurut MENLH., (2004), kandungan amoniak air laut untuk biota laut
adalah 0,3 mg/L. Lebih dari 0,3 mg/L sudah bersifat toksik. Boyd (1990) menyatakan,
bahwa kandungan amoniak meningkat dalam air menyebabkan ekskresi amoniak oleh
ikan menurun dan kandungan amoniak dalam darah serta jaringan meningkat.
Hasilnya adalah pH darah meningkat dan berpengaruh buruk terhadap reaksi katalis
enzim dan stabilitas membran. Amoniak tinggi di dalam air juga meningkatkan
konsumsi oksigen oleh jaringan, merusak insang, dan mengurangi kemampuan darah
untuk mengangkut oksigen. Sedangkan suhu, pH, dan oksigen terlarut masih dalam
kisaran yang layak untuk kehidupan rajungan.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, C.F. , N.R. Liley and B.B.Gorzalka 1996. PCPA increases aggression in male
firemouth cichlids. Pharmacology 53: 328-330.
Chamberlain, B., F.R. Ervin, R.O. Pihl, and S.N. Young. 1987. The effect of raising or
lowering tryptophan levels on aggression in vervet monkeys. Pharmacol.
Biochem. Behav. 28:503-510.
Cleare, A.J., Bond, A.J., 1995. The effect tryptophan depletion and enhancement on
subjektive and behavioural aggression in normal male subjects.
Psychopharmacology 118, 505-511.
Dahuri, R., 2004. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu.
Penerbit Praduga Paramita. Jakarta. 328 pp.
Denbow, D..M., Hobbs, F.C., Hylet, R.M. Graham, P.P., Potter, L.M., 1993.
Supplemental dietary L-tryptophan effects on growth, meat quality, and brain
catecholamine and indoleamine concentrations in turkey. Br. Poult. Sci 34, 715-
724.
Fernstronm, J..D., Wurtman, R.J., 1971. Brain serotonin content: physiological
dependence on plasma tryptophan levels. Science 173, 149-152.
Hseu, J.R., F.I. Lu, H.M. Su, L.S. Wang, C.L. Tsai, P.P. Hwang., 2003. Effect of
exogenous triptophan on cannibalism, survivaland growth in juvenile grouper.
Taiwan Fishseries Research Institute, Tainan Branch, Tainan, Taiwan.
Aquaculture 12, 251-264.
Juwana, S. 2002. Crab culture technique at RDCO-LIPI, Jakarta, Indonesia 1994 –
2001. Proceedings Workshop on Mariculture in Indonesia. Mataram, Lombok
Island. Research Center for Oceanogrphy, Institute of Marine Research
Norwegian Bergen – Norway. 144 pp.
Kamaruddin, Usman, dan Rachmansyah. 2006. Pengaruh penambahan triptopan
terhadap tingkat kanibalisme, sintasan dan pertumbuhan juwana ikan kerapu
macan, Epinephelus fuscoguttatus. Makalah disampaikan dalam seminar nasional
dan temu bisnis ikan kerapu di Den Pasar Bali Tanggal 21-22 November 2006. 10
pp.
Koesbiono. 1981. Biologi Laut. Fakultas Perikanan. Institut Pertanaian Bogor.
Bogor. 150 pp.
Leathwood, P.D., 1987. Tryptophan availability and serotonin synthesis. Proc. 46,
143-156.
Maler, L., and Ellis, W.G., 1987. Inter-male aggressive signals in weakly electric fish
are modulated by monoamines. Behav. Brain. Res. 25, 75-81.
Munro, A.D., 1986. Effects of melatonin, serotonin, and naloxone on aggression in
isolated cichlid fish (Aequiidens pulcher). J. Pineal Res. 3, 257-262.
Reid, G.K. 1961. Ecology of Inland water estuaries. Rein hald Published Co. New
York. 375 pp.
Savory, C.J. Mann, J.S., Macleod, M.G., 1999. Incidence of pecking damage in
growing bantams in relation to food form, group size, stocking density, dietary
tryptophan concentrations and dietary protein source. Br. Poult. Sci. 40, 579-584.
Schmittou, H.R. 1991. Budidaya keramba: Suatu metode produksi ikan di
Indonesia. FRDP. Puslitbang Perikanan. Jakarta. Indonesia. 126 pp.
Shea, M.M., Douglass, L.W., Meneh, J.A., 1991. The intraction of dominance status
and supplemental triptophan on aggression in Gallus domesticus males.
Pharmacol. Biochen. Behav. 38, 587-591.
Suharyanto dan S. Tahe. 2005. Pengaruh padat tebar berbeda terhadap pertumbuhan
dan sintasan kepiting rajungan (Portunus pelagicus) di tambak. Laporan
Penelitian. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros. 11 pp.
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini budidaya udang windu semakin menurun, baik budidaya dengan
teknologi intensif, semi-intensif mapun tradisional, bahkan hampir semua tambak
udang windu intensif dan semi intensif tidak beroperasi lagi. Tidak beroperasinya
tambak udang intensif berdampak buruk kepada produksi udang nasional yang
semakin menurun, dimana pasokan udang untuk ekspor hanya dipasok dari tambak
udang tradisional yang produksinya sangat rendah.
Permasalahan utama penurunan produksi udang tambak adalah serangan
penyakit, penurunan mutu lingkungan, dan kesalahan dalam penerapan teknologi
(Atmomarsono dan Mansyur. 1997). Disamping itu keterbatasan pengetahuan dan
keterampilan pembudidaya dan diperkirakan sekitar 80% pembudidaya tambak
tergolong menerapkan teknologi tradisional. Dampak negatif penurunan lingkungan
budidaya dirasakan juga oleh pembudidaya udang tradisional yang juga sering
mengalami kegagalan. Hal ini membawa dampak yang cukup serius terhadap
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan di tambak percobaan Takalar sebanyak 6 petak tambak
masing-masing berukuran 4000 m2 digunakan dalam penelitian ini. Persiapan petakan
tambak dimulai dengan pengeringan dan pengolahan tanah dasar. Untuk
meningkatkan pH tanah dilakukan pemberian kapur 1 ton /ha. Pakan alami
ditumbuhkan dengan pemupukan Urea sebanyak 150 kg/ha dan TSP sebanyak 75
kg/ha. Selama pemeliharaan dilakukan pemberian pupuk susulan sebanyak 10%
setiap dua minggu sekali dari pemupukan awal. Pemupukan susulan dilakukan untuk
mempertahankan ketersediaan pakan alami. Penambahan air tambak dilakukan dua
hari sekali. Percobaan dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL). Perlakuan yang dicoba dalam penelitian ini adalah padat penebaran udang
vaname dan udang windu yaitu: A = Rumput laut 500 kg/petak dan vanname 10.000
ek/petak; B = rumput laut 500 kg/petak dan udang windu 10.000 ekor/petak; dan C
= rumput laut 500 kg/petak dan campuran udang windu 5.000 ekor/petak dan
vaname 5.000 ekor/petak. Setiap perlakuan yang dicoba di ulang dua kali. Benih
rumput laut diperoleh dari tambak Takalar, sedangkan udang vaname dan udang
windu diperoleh dari panti benih.
Pengukuran parameter kualitas air yang meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut
dan pH dilakukan secara insitu, sedangkan amoniak, Bahan Organik Total, nitrat dan
fosfat dilakukan setiap 30 hari. Sampel kualitas air dengan menggunakan botol sampel
kemudian dimasukkan dalam cool box yang berisi es batu dan selanjutnya dibawa
untuk dianalisis di Laboratorium kualitas air, Balai Penelitian dan Pengembangan
Perikanan Budidaya Air Payau (BalitbangBAP). Data hasil pengamatan parameter
kualitas air di analisis secara deskriptif dengan bantuan tabel dan grafik
Tabel 1. Kisaran rata-rata parameter kualitas air (suhu, salinitas dan pH) selama
penelitian
Perlakuan
Parameter
A B C
Hasil pengamatan salinitas air tambak polikultur udang vaname, udang windu
dan rumput laut selama pemeliharaan terlihat bahwa pada petak (A) diperoleh kisaran
salinitas 34-48,5 ppt, petak (B) kisaran salinitas sebesar 33-50 ppt, dan petak (C)
kisaran salinitas sebesar 33–49 ppt, kisaran salinitas pada ke tiga petakan relatif sama
pada konsentrasi salinitas tinggi, Hal ini disebabkan karena masa pemeliharaan
dilakukan pada musim kemarau sehingga meningkatkan penguapan. Suhu yang tinggi
akan menyebabkan salinitas air meningkat, karena terjadi pengentalan akibat
penguapan (Mangampa, et al., 2007). Tingginya salinitas air tambak diduga
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan udang váname,
udang windu dan rumput laut selama pemeliharaan. Udang váname, udang windu dan
rumput laut dapat tumbuh baik/optimal pada kisaran kadar garam 15 – 25 ppt
(Mangampa, et al.,2007). Watanabe (2000) dalam Stickney (2000) mengemukakan
bahwa udang vaname dapat bertahan hidup pada kisaran dari 0–50 ppt. Komoditas
udang memiliki sifat euryhaline yang tinggi dan mampu bertahan pada kisaran
salinitas 0 – 50 ppt dan kisaran suhu 22 – 32oC (Pillay,1993). Kisaran nilai pH air yang
diperoleh pada ketiga petak yaitu petak (A) 7,5 – 9,0, petak (B) 7,5 – 8,5, dan petak
(C) 7,5 – 8,5. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa pH air media budidaya udang
pada petak B dan C cukup optimal, dimana standar pH untuk budidaya udang yaitu
7,5 – 8,5 (Anonim, 2003).
Hasil pemantauan suhu dan oksigen selama 24 jam dapat dilihat pada Gambar
1a dan 1b. Sedangkan hasil pemantauan salinitas dan pH selama 24 jam dapat dilihat
pada Gambar 2a dan 2b.
9
8 32
Suhu air (oC)
7 31
O2 (mg/L)
6 30
5 29
4 28
3 27
2 26
1 25
0
3
3
3
3
AM
3
3
:0
3:0
7:0
1:0
7:0
9:0
1:0
5:0
9:0
3:0
5:0
03
03
3
03
03
03
AM
03
03
03
03
03
:0
11
:00
3:
7:
1:
7:
9:
1:
5:
9:
3:
5:
11
00
3:
:03
:0
Waktu Waktu
11
11
49
Salinitas (ppt)
48.5
8.68
8.66 48
8.64
pH
47.5
8.62
8.6 47
8.58
3
3
3
3
3
AM
3
3
3:0
7:0
:0
1:0
7:0
9:0
1:0
5:0
9:0
3:0
5:0
3
03
03
03
03
03
AM
03
03
03
03
03
11
:00
:0
3:
7:
1:
7:
9:
1:
5:
9:
3:
5:
11
00
:03
3:
:0
Waktu
11
Waktu
11
b. Amoniak (NH3) ;
Kisaran amoniak pada ketiga perlakuan cukup variatif yang menunjukkan pola
naik turun dan cenderung naik pada masa akhir penelitian. Kisaran amoniak yang
diperoleh selama penelitian yaitu perlakuan A = 0,0334 mg/L, B = 0,03135 mg/L dan
C = 0,0362 mg/L
Kadar amoniak yang standard untuk budidaya udang vanamei < 0,1 mg/L
(Anonim, 2003). Konsentrasi NH3 lebih dari 1,0 mg/L dapat menyebabkan kematian
udang, sedangkan konsentrasi lebih dari 0,1 mg/L berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan udang (Boyd dan Fast, 1992 dalam Mangampa,et al., 2007). Pola
penyebaran ammoniak ke tiga perlakuan dapat dilihat pada Gambar 3
0.1
NH3-N (mg/L)
0.08
NH3-N A
0.06
NH3-N B
0.04
0.02 NH3-N C
0
1 2 3
Waktu (bln)
Menurut Cholik dan Ahmad (1981) bahwa kualitas air terutama amonia
merupakan penyebab yang secara tidak langsung dapat menurunkan sintasan.
Konsentrasi NH3 yang relatif aman untuk udang Penaeus sp adalah di bawah 0,1 mg/L
(Liu, 1989). Lin dan Chen (2001) melaporkan bahwa nilai LC50 amoniak untuk juvenil
udang vaname pada perendaman 24, 48, 72 dan 96 jam, salinitas 35 ppt yakni 2,78;
2,18; 1,82 dan 1,60 mg/L.
c. Nitrat (NO3 ):
Hasil pengamatan dalam air tambak pada ketiga perlakuan memperlihatkan pola
penyebaran yang hampir sama selama pemeliharan dan masih dapat ditoleransi
dengan rata-rata perlakuan masing masing : A = 0,0117 mg/L, B = 0,0621 mg/L da C
= 0,01625 mg/L . Nitrat adalah bentuk nitrogen utama dalam perairan alami dan
sangat diperlukan oleh pertumbuhan akuatik (algae), sangat mudah larut dalam air
bersifat stabil (Effendi, 2000). Pola penyebaran NO3 dalam perairan ke tiga perlakuan
dapat dilihat pada Gambar 4. Kadar NO3 pada ketiga perlakuan cukup layak dan
sangat diperlukan karena merupakan bentuk nitrogen yang dapat dimanfaatkan oleh
plankton dalam pertumbuhannya . Menurut Clifford (1994) bahwa konsentrasi NO3
yang optimal untuk budidaya udang berkisar 0,4 -0,8 mg/L.
0.08
N03-N (mg/L)
0.06 N03-N A
0.04 N03-N B
0.02 N03-N C
0
1 2 3
Waktu (Bln)
d. Phosphat:
Konsentrasi phosphat selama penelitian menunjukkan pola penyebaran yang
relatif sama antara ketiga perlakuan (Gambar 5) dengan nilai kisaran rata-rata masing-
masing perlakuan yaitu : A = 0,0407, B= 0,06395 dan C= 0,04505, namun pada bulan
ke dua dan ke tiga sudah menurun walaupun ada pemupukan susulan setiap dua
minggu sekali. Konsentrasi fosfat selama penelitian tergolong tingkat kesuburan
sedang berdasarkan kriteria Joshimura (1983 dalam Effendie, 2000), perairan dengan
tingkat kesuburan rendah kadar fosfatnya berkisar 0 – 0,02 mg/L, tingkat kesuburan
sedang berkisar 0,021 – 0,05 mg/L, dan kesuburan tinggi berkisar 0,051 – 0,1 mg/L.
0.08
PO4-P (mg/L)
0.06 PO4-P A
0.04 PO4-P B
0.02 PO4-P C
0
1 2 3
Waktu (Bln)
50
BOT (mg/L)
40 BOT (mg/L) A
30
20 BOT (mg/L) B
10 BOT (mg/L) C
0
1 2 3
Waktu (bln)
Pertumbuhan, sintasan dan produksi rumput laut, udang vaname dan udang
windu
Rumput laut
Laju pertumbuhan Gracillaria verrucosa dengan padat penebaran udang
vannamei dan udang windu yang berbeda. Pada percobaan ini Laju Pertumbuhan
Harian (LPH) pertumbuhan rumput laut selama 50 hari pengukuran antar perlakuan A
= 1,98 %; B = 1,99% dan C = 2,48%. Pertumbuhan yang dicirikan oleh pertambahan
bobot dari penebaran awal dan di ukur setiap 10 hari, mengalami pertumbuhan yang
relatif sama. Pada percobaan ini pertumbuhan rumput laut agak lambat, hal ini
disebabkan adanya perubahan kualitas air yang semakin tinggi khususnya salinitas
yang mencapai 50 ppt.
Tabel 2. Rata-rata sintasan, pertumbuhan dan produksi udang vaname dan udang
windu pada setiap perlakuan.
Peubah Perlakuan
A B C
Kepadatan (ekor/4000m2) 10.000 10.000 5.000/5.000
Lama Pemeliharaan (hari) 110 110 110
Berat Awal (g) 0,0014 0,15 0,0014/0,15
Berat Akhir (g) 9,83 9,55 10,55/12,45
Pertumbuhan mutlak (g) 9,828 9,4 10,548/12,448
Sintasan (%) 48,85 52,61 54,15/59,61
Produksi (kg/ha) 118,75 127,5 71,25 (udang
vaname) dan 46,125
(udang windu)
Keterangan:
A = 500 kg rumput laut + 10.000 ekor udang vannamei
B = 500 kg rumput laut + 10.000 ekor udang windu
C = 500 kg rumput laut + 5.000 ekor udang vannamei + 5.000 ekor udang windu
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini dapat terlaksana berkat bantuan sdr Sapar, Ilham, Krisno, selaku
teknisi lapangan dan sdr(i) Sutrisyani, Rohani, Kurnia, Sarijanna, dan Gaffar atas
bantuannya dalam menganalisis kualitas air di Laboratorium, untuk itu diucapkan
terima kasih, semoga penelitian ini dapat bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwijaya, D., Sapto P.R., E. Sutikno, Sugeng dan Subiyanto, 2003. Budidaya udang
vaname (Litopenaeus vannamei) sistem tertutup yang ramah lingkungan.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air
Payau Jepara 29hal.
Andreansyah, L. 1987. Peranan masukan sarana produksi dari usaha budidaya
polikultur bandeng-udang windu di desa Karanganyar Kabupaten Sidoardjo, Jawa
Timur. Karya Ilmiah Fak.Perikanan IPB. 66 hal.
Anonim, 2003. Litopenaeus vannamei sebagai alternative budidaya udang saat ini. PT.
Central Proteinaprima (Charoen Pokphand Group) Surabaya. 16 hal.
Atmomarsono, M. dan A. Mansyur. 1997. Shrimp disease outbrek : A result of poor
zonation in coastal area. P. 81-86. in Noor, A. and A. Tahir (Eds). Proceeding,
International Seminar on the sea and its environment, Ujung Pandang
Cholik, F., dan T. Ahmad. 1981. Studi pendahuluan pengaruh starvasi terhadap
pertumbuhan dan produksi udang putih (Penaeus merguensis de Man ). Bulletin
Penelitian Perikanan . Majalah Ilmiah Perikanan Indonesia. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Vol 1 (2) : 209 – 217.
Clifford, H.C., 1994. Management of ponds stocked with Blue Shrimp Litopenaeus
stylirostris. In Print, Proceedings of the 1st Latin American Congress on Shrimp
Culture, Panama City, Panama, 101- 109 p
Effendi, H. 2000. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya lingkungan
perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan , FPIK- IPB. Bogor. 258
hal.
PENDAHULUAN
Abalon merupakan kelompok moluska laut yang di Indonesia dikenal dengan
sebutan “kerang mata tujuh” atau “siput lapar kenyang” dimana beberapa jenis bernilai
ekonomis penting. Sebagian besar jenis abalon dinilai ekonomis penting karena tekstur
dagingnya yang baik dan dan kualitas cangkangnya yang bagus untuk perhiasan
(Setyono, 2008). Permintaan dunia akan abalon meningkat sejalan dengan
meningkatnya kebutuhan akan variasi sumber protein serta perkembangan industri
perhiasan dan akuarium. Peningkatan kebutuhan dunia akan komoditi ini dalam dua
dasawarsa terakhir telah memicu perkembangan budidaya abalon dimana-mana
(Litaay, 2005). Salah satu jenis abalon tropis yang bernilai ekonomis penting dan
memiliki prospek yang baik untuk dibudidayakan di Indonesia adalah abalon jenis
Haliotis asinina.
Haliotis asinina merupakan salah satu jenis abalon tropis yang mempunyai
ukuran maksimum lebar cangkang 100 mm (Jarayabhand & Paphavasit, 1996 dalam
Fermin & Buen, 2000). H. asinina dapat mencapai ukuran pasar 50-60 mm selama 1
tahun (McNamara & Johnson, 2005 dalam Fermin & Buen, 2000). Salah satu
permasalahan yang muncul dalam budidaya abalon adalah rendahnya laju
pertumbuhan abalon (Moriyama et al., 2009; Naidoo et al., 2006; Genade et al., 1988)
sehingga dibutuhkan waktu yang relatif lama agar abalon mencapai ukuran pasar.
Berbagai pendekatan tengah dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu
dari budidaya abalon.
Abalon merupakan jenis siput laut herbivora atau pemakan tumbuhan. Makanan
pokoknya adalah siput jenis-jenis mikro-alga bentik termasuk Thalassiosira, Navicula,
Cocconeis, Amphora, Platymonas, Melosira, Nitzchia dan Chaetoceros simplex dan
beberapa jenis Cyanobancteria. Selain mikro-alga (diatom), siput dewasa juga
memakan jenis-jenis rumput laut (makro-alga) lunak seperti Laurencia, Ulva, Hypnea,
Kappaphycus dan Gracilaria untuk jenis abalon tropis, Hymenocladia, Macrocystis,
Ecklonia, Nereocystis, Laminaria dan Eisenia untuk abalon sub-tropis (Setyono, 2009).
Penggunaan pakan buatan untuk abalon dalam bentuk pelet kering sudah
banyak digunakan dalam budidaya abalon dibeberapa negara seperti jepang, cina,
australia, kanada, chili, korea, meksiko, new zealand, afrika selatan dan amerika
serikat (Britz, 1996).
Komponen utama yang penting dalam membuat pakan buatan adalah bahan
sumber protein. Protein merupakan komponen yang penting bagi pertumbuhan abalon
dan merupakan komponen yang cukup mahal dalam komposisi bahan pakan (Fleming
et al., 1996 dalam Bautista-Teruel et al., 2003). Sumber protein yang sering digunakan
dalam pakan abalon adalah tepung ikan, tepung kedelai dan kasein (Guzman & Viana,
1998). Kombinasi silase isi perut abalon dan tepung kedelai sebagai sumber protein
dalam pakan abalon menghasilkan pertumbuhan yang cukup baik untuk abalone
Haliotis fulgens (Guzman & Viana, 1998). Pertumbuhan abalon Haliotis fulgens yang
diberi pakan kasein sebagai sumber protein menghasilkan pertumbuhan yang optimal
(Viana et al., 1993). Namun, dikarenakan harga kasein yang cukup mahal sehingga
penggunaan kasein sebagai sumber protein dalam budidaya abalon kurang
menguntungkan (Bautista-Teruel et al., 2003). Tepung ikan merupakan komponen
tunggal sumber protein yang dapat mendukung pertumbuhan optimal abalon,
sedangkan penggunaan tepung kedelai dan kasein sebagai sumber protein dalam
pakan abalon harus dikombinasikan dengan sumber protein lain untuk menghasilkan
pertumbuhan optimal abalon (Fleming et al., 1996 dalam Bautista-Teruel et al., 2003).
Salah satu kendala yang dihadapi oleh pengusaha budidaya abalon di Indonesia
adalah belum tersedianya pakan buatan untuk budidaya abalon. Oleh karena itu, perlu
suatu kajian dan penelitian komprehensif mengenai pakan buatan sehingga budidaya
abalon tropis di Indonesia dapat optimal.
Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah untuk mempelajari pertumbuhan
abalon tropis (Haliostis asinina) yang diberi pakan buatan dengan komposisi
perbandingan sumber protein yang berbeda.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Laboratorium Nutrisi UPT Loka Pengembangan Bio
Industri Laut Mataram selama 56 hari mulai dari bulan Agustus sampai dengan
November 2011. Biota yang digunakan dalam penelitian ini adalah anakan abalon
tropis (Haliotis asinina) yang diperoleh dari laboratorium produksi UPT Loka
Pengembangan Bio Industri Laut Mataram dengan ukuran rata-rata panjang cangkang
20,10 ± 0,81 mm dan berat 1,42 ± 0,22 gram. Sebelum digunakan, abalon di
aklimatisasi selama satu minggu dalam wadah plastik bervolume air laut 100L yang
dilengkapi dengan sistem aerasi dan diberi pakan rumput laut (Gracilaria sp) dan pelet.
Sampel awal daging anakan abalon disimpan dalam freezer untuk dilakukan analisa
proksimat.
Wadah penelitian menggunakan wadah plastik bervolume 15L. Sebanyak 15
wadah plastik digunakan dalam penelitian ini dan disusun diatas rak kayu. Untuk
memastikan ketersediaan oksigen maka setiap wadah dilengkapi dengan sistem aerasi
serta dilengkapi dengan shelter berupa potongan pipa. Setiap wadah di isi air laut
sebanyak 10L dan 15 ekor anakan abalon. Anakan abalon diberi pakan sebanyak 3-5%
dari total berat. Pemberian pakan dilakukan sekali dalam satu hari berkisar pukul 14.00
sampai dengan pukul 15.30 WITA. Sisa pakan dan kotoran yang terdapat dalam wadah
pemeliharaan dibersihkan dengan penyiponan setiap hari.
Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) 5 perlakuan dengan
tiga kali ulangan. Perlakuan dalam percobaan ini adalah perbedaan komposisi
perbandingan sumber protein pakan yaitu (A) 100% tepung ikan, (B) 75% tepung
ikan : 25% tepung kedelai, (C) 50% tepung ikan : 50% tepung kedelai, (D) 25%
tepung ikan : 75% tepung kedelai dan (E) 100% tepung kedelai. Penyusunan formulasi
pakan menggunakan metode pedoman protein dimana susunan komposisi pakan
diperhitungkan berdasarkan kandungan protein bahan pakan yang digunakan.
Kandungan protein pakan yang dibuat adalah 32%. Sumber protein adalah tepung ikan
dan tepung kedelai, sumber karbohidrat adalah dedak padi dan tepung terigu, sumber
lemak adalah minyak ikan. Sedangkan gelatin dan rumput laut digunakan sebagai
binder. Proses pembuatan dan formulasi pakan yang digunakan dalam penelitian ini
mengacu pada Bautista-Teruel & Millamena (1999) dan Bautista-Teruel et al., (2003)
yang dimodifikasi sesuai dengan bahan baku lokal yang tersedia. Masing-masing
formulasi pakan tersaji dalam Tabel 1.
Bahan Formulasi
(g/100gram) A B C D E
Tepung ikan 32 24 16 8 0
Tepung kedelai 0 12 24 46 48
Rumput laut 10 10 10 10 10
Dedak padi 23 19 15 11 7
Tepung terigu 20 20 20 20 20
Gelatin 6 6 6 6 6
Minyak ikan 1 1 1 1 1
Vit&Mineral* 5 5 5 5 5
Dicalcium Fosfat 2,95 2,95 2,95 2,95 2,95
Na. Benzoat 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05
Jumlah 100 100 100 100 100
* Vitamin dan mineral, merk komersial.
Untuk mengetahui nilai nutrisi pakan pelet yang dibuat maka dilakukan analisa
proksimat di Laboratorium Kimia Analitik Universitas Mataram. Analisa proksimat terdiri
dari uji protein, lemak, karbohidrat, abu dan air. Pengujian kadar protein berdasarkan
metode kjeldahl (Sudarmadji et al., 1997), pengujian kadar lemak berdasarkan metode
soxhlet (Sudarmadji et al., 1997), pengujian kadar karbohidrat berdasarkan metode
gravimetris (Sudarmadji et al., 1997), pengujian kadar abu dan kadar air berdasarkan
metode pemanasan (Sudarmadji et al., 1997).
Pengukuran anakan abalon meliputi panjang cangkang dan penimbangan berat
tubuh yang dilakukan setiap 14 hari. Pengukuran panjang cangkang dilakukan
menggunakan digital caliper dan penimbangan berat tubuh dilakukan menggunakan
timbangan digital. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah pertumbuhan
panjang cangkang, pertumbuhan berat, laju pertumbuhan harian dan tingkat
kelangsungan hidup abalon. Pertumbuhan panjang cangkang dihitung menggunakan
rumus Bautista-Teruel & Millamena (1999) :
Laju pertumbuhan harian dihitung menggunakan rumus Zonneveld et al. (1991) dalam
Rusdi (2010) :
Hasil analisa proksimat dari masing-masing jenis pakan yang digunakan dalam
penelitian ini tersaji pada Tabel 3.
Parameter
Formulasi Protein Lemak Karbohidrat
Abu (%) Air (%)
(%) (%) (%)
A 32,77 11,57 4,31 16,14 42,42
B 32,75 10,47 4,60 14,06 43,85
C 32,00 11,98 5,46 12,50 40,74
D 33,12 11,83 3,09 10,45 42,84
E 32,25 11,54 3,30 9,05 41,84
Tabel diatas menunjukan bahwa kandungan protein pakan yang dibuat antara
32,00% – 33,12%. Menurut Hahn (1989) dalam Viana et al. (1996), abalon
membutuhkan kadar protein dalam pakan sekitar 30%. Hal yang sama dilaporkan oleh
Bautista-Teruel & Millamena (1999), bahwa pemberian pakan dengan kandungan
protein 32% menghasilkan pertumbuhan berat yang baik yaitu sebesar 347% pada
abalon Haliotis asinina. Kandungan lemak pakan yang dibuat berkisar antara 10,47% -
11,83%. Lemak merupakan komponen lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
abalon (Bautista-Teruel et al., 2011). Lemak berfungsi sebagai sumber energi yang
paling besar di antara protein dan karbohidrat (Kordi, 2010). Mai et al. (1995),
melaporkan bahwa kandungan lemak pakan 3,11% menghasilkan pertumbuhan yang
baik pada abalon Haliotis tuberculata. Thongrod et al. (2003), menyatakan bahwa rasio
lemak terhadap karbohidrat 1,3% : 47,8% menghasilkan pertumbuhan yang baik pada
abalon Haliotis asinina.
Hasil pengamatan menunjukan bahwa perbandingan komposisi sumber protein
yang berbeda menghasilkan tingkat pertumbuhan yang berbeda pula. Tingkat
pertumbuhan dapat dilihat dari pertambahan ukuran panjang cangkang, berat dan laju
pertumbuhan harian. Hasil analisa statistik menunjukan bahwa perlakuan perbedaan
komposisi sumber protein tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap
pertumbuhan panjang cangkang, berat dan laju pertumbuhan harian abalon, tetapi
berpengaruh nyata (p˂0,05) terhadap tingkat kelangsungan hidup abalon (Tabel 4).
Tabel 4. Data pertumbuhan panjang cangkang, berat, laju pertumbuhan harian dan
tingkat kelangsungan hidup abalon selama 56 hari pemeliharaan
Formulasi
Parameter
A B C D E
Panjang 21,03±0,43 20,19±0,67 20,19±0,47 20,09±0,58 19,02±0,18
cangkang awal
(mm)
Panjang 24,03±0,96 22,22±0,24 21,61±1,08 21,15±0,90 20,80±0,13
cangkang akhir
(mm)
Pertumbuhan 14,19±3,0a 10,10±3,45a 6,97±2,84a 5,28±2,29a 9,36±0,67a
panjang
cangkang (%)
Berat awal 1,72±0,07 1,43±0,14 1,43±0,14 1,40±0,17 1,13±0,03
(gram)
Berat akhir 2,38±0,46 1,72±0,08 1,67±0,29 1,63±0,24 1,35±0,02
(gram)
Pertumbuhan 37,45±20,56a 21,37±14,7a 15,47±9,28a 15,60±8,83a 19,12±3,15a
berat (%)
Laju 11,81±6,93a 5,11±3,39a 4,16±2,89a 3,92±2,42a 3,86±0,58a
pertumbuhan
harian (μgram)
Tingkat 42,22±6,28a 40,00±5,44a 53,33±9,42a 73,33±5,44b 71,11±3,13c
kelangsungan
hidup(%)
30
5 E
0
0 14 28 42 56
Lama Pemeliharaan (hari)
2 A
Berat (gram)
B
1,5
C
1
D
0,5 E
0
0 14 28 42 56
Lama Pemeliharaan (hari)
15
A
10
B
C D E
5
0
Pakan
1993). Kekurangan lain dari sumber protein yang berasal dari tanaman adalah adanya
kandungan anti nutrisi yang dapat menghambat pertumbuhan (Francis et al., 2001).
Menurut Handajani dan Wahyu (2010), kacang kedelai mengandung anti nutrisi berupa
anti tripsin yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan pada ikan, namun hampir
semua anti trispin dapat dirusak oleh panas dimana lebih dari 95% aktifitas anti tripsin
dapat dirusak dengan perlakuan panas dalam waktu 15 menit pada suhu 1000C.
Tabel 5 menunjukan hasil analisa proksimat daging abalon pada saat awal
perlakuan dan setelah diberi pakan buatan. Dari tabel tersebut diketahui bahwa
kandungan protein daging abalon cenderung mengalami peningkatan setelah diberikan
pakan buatan dan cenderung menurun pada kandungan lemak, karbohidrat dan abu.
Menurut Setyono (2010), daging abalon banyak diminati konsumen karena kelezatan
rasanya dan kandungan nutrisi yang baik. Tidak hanya mengandung protein yang
tinggi, juga daging abalon dapat mencegah tubuh dari masalah sakit jantung, stroke,
osteoporosis dan alzheimer. Hasil pengamatan visual pada cangkang abalon yang
diberi pakan buatan menyebabkan warna cangkang abalon menjadi hijau kebiruan.
Menurut Bautista-Teruel & Millamena (1999), perbedaan warna cangkang tersebut
disebabkan karena pigment warna yang terdapat pada beberapa komposisi pakan
(tepung ikan, rumput laut dan lainnya) sehingga berpengaruh terhadap warna
cangkang abalon.
Kualitas media air pemeliharaan berperan penting dalam menentukan kelayakan
habitat selama pemeliharaan. Hasil pengamatan air selama pemeliharaan meliputi suhu,
salinitas, pH dan DO yang tersaji pada tabel 6.
Parameter Kisaran
Suhu (0C) 24 - 27
Salinitas (ppt) 34 - 35
pH 7,4 – 7,7
DO (mg/L) 3,15 – 4,59
KESIMPULAN
Komposisi sumber protein pakan yang berbeda tidak menyebabkan perbedaan
yang nyata (p>0,05) terhadap pertumbuhan panjang, berat dan laju pertumbuhan
harian, namun berbeda nyata (p˂0,05) terhadap tingkat kelangsungan hidup abalon.
DAFTAR PUSTAKA
Adelina., Ing Mokoginta., Ridwan, A dan Dedi, J. 2000. Pengaruh Kadar Protein Dan
Rasio Energi Protein Pakan Berbeda Terhadap Kinerja Pertumbuhan Benih Ikan
Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum). J.II.Pert.Indo. Vol 9 (2): 31-36.
Rusdi, I., Bambang, S dan Riani, R. 2010. Penerapan Berbagai Jenis Pakan Makroalga
Terhadap Perkembangan Gonad Abalon Haliotis squamata. Prosiding Seminar
Nasional Perikanan Indonesia 2010, 154-160.
Rusdi, I., Riani, R dan Bambang, S. 2010. Studi Pertumbuhan Larva Abalon Haliotis
squamata (REEVE, 1846) Dengan Prosentase Pergantian Air Yang Berbeda.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2010, 161-166.
Setyono, D. E. D. 2008. Biologi dan Ekologi Abalon. Oceana Volume XXXIII, 4: 1-13.
Setyono, D. E. D. 2009. Abalon: Biologi dan Reproduksi. Jakarta, LIPI Press.
Setyono, D. E. D. 2010. Abalon: Teknologi Pembenihan. Jakarta, ISOI.
Sudarmadji, S., Bambang, H dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan
Makanan dan Pertanian. Yogyakarta, Liberty.
Susanto, B., Ibnu, R., Suko, I dan Riani, R. 2010. Pemeliharaan Yuwana Abalon
(Haliotis squamata) Turunan F-1 Secara Terkontrol Dengan Jenis Pakan Berbeda.
Jurnal Riset Akuakultur, Vol 5 (2): 199-209.
Viana, M. T., Lus, M. L and Alfredo, S. 1993. Diet Development for Juvenile Abalone
Haliotis fulgens Evaluation of Two Artificial Diets and Macroalgae. Aquaculture
117: 149-156.
Viana, M. T., Lus, M. L., Zaul Garcia-Esquivel and Elda, M. 1996. The Use of Silage
Made from Fish and Abalone Viscera as an Ingredient in Abalone Feed.
Aquaculture 140: 87-98.
Thanuthong, T., David, S. F., Elizabet, M., Shyamalie, D. S., David Cameron-Smith and
Giovanni, M. T. 2011. Fish Oil Replacement in Rainbow troutDdiets and Total
Dietary PUFA Content: II) Effects on Fatty Acid Metabolism and in vivo Fatty Acid
Bioconversion. Aquaculture 322-323: 99-108.
Thongrod, S., Tamtin, M., Chairat, C., Boonyaratpalin, M., 2003. Lipid to Carbohydrate
Ratio in Donkey's ear Abalone (Haliotis asinina Linne) Diets. Aquaculture 225,
165–174.
Watanabe, T., Juadee, P., Shuichi, S and Toshio, T. 1993. Replacement of Fish Meal by
Alternative Protein Sources in Rainbow Trout Diets. Nippon Suisan Gakkaishi, 59
(9): 1573-1579.
1
jurusan perikanan dan kelautan Universitas Nusa Cendana Kupang
2
Jurusan Kimia Fakultas FKIP Universitas Nusa Cendana Kupang
Abstrak: Mortalitas yang tinggi pada larva teripang pasir selama proses
pemeliharaan masih sering terjadi, salah satu penyebabnya adalah keberadaan
hama dan penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat bakteri
patogen dari tahap auricularia pada teripang pasir untuk selanjutnya digunakan
dalam proses peningkatan survival rate melalui kegiatan biokontrol. Isolasi
menggunakan media TCBS Agar yang kemudian dilanjutkan dengan uji biokimia.
Dari hasil isolasi dan identifikasi ditemukan lima jenis bakteri yaitu Vibrio harveyi,
Vibrio vulnificus, Aeromonas caviae, Vibrio hollisae, Klebsiella terrigena.
PENDAHULUAN
Teripang atau mentimun laut (Sea Cucumber) merupakan salah satu sumberdaya
hayati laut yang mendapat perhatian karena hewan ini merupakan produk perikanan
yang potensial. Selain karena nilai ekonomisnya yang tinggi teripang juga mempunyai
kandungan gizi yang tinggi : kandungan protein 43,1%, lemak 2,2%, kadar air 27,1%,
kadar abu 27,6% (Rustam, 2006). Teripang juga dimanfaatkan sebagai bahan baku
obat-obatan karena mengandung asam lemak tidak jenuh yang penting untuk
kesehatan jantung (Martoyo et al., 2006). Permintaan pasar akan produk teripang
terutama teripang pasir (Holothuria scabra) semakin meningkat dari tahun ke tahun
sehingga mendorong peningkatan upaya eksploitasi (Darsono, 1994). Namun produksi
teripang masih bergantung pada hasil tangkapan dari alam, sehingga produksi sulit
untuk ditingkatkan. Selain itu penangkapan teripang secara terus-menerus
dikhawatirkan akan menyebabkan populasi teripang di alam menurun. Dari hasil
pengamatan di beberapa lokasi penangkapan teripang seperti Perairan Kepulauan
Seribu, Maluku, Karimun Jawa, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Pulau
Bunaken menunjukkan bahwa peningkatan produksi teripang dengan cara
penangkapan tidak dapat dilanjutkan karena dapat mengurangi populasi jenis hewan
ini (Panggabean, 1987; Nuraini et al., 1992). Oleh karena itu perlu dilakukan upaya
menjaga kelestarian teripang di alam melalui usaha budidaya.
Dalam kegiatan budidaya, terdapat aspek yang harus diperhatikan salah satunya
adalah keberadaan hama dan penyakit yang dapat menurunkan hasil produksi. Larva
teripang merupakan tahap kehidupan yang paling rentan pada biota teripang. Pada
tahap tersebut, teripang masih memiliki bentuk yang sangat sederhana (zooplankton)
sehingga kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada faktor luar. Kemampuan
teripang untuk bereproduksi sebenarnya sangat tinggi dan mortalitas individu dewasa
juga kecil (Tuwo dan Nessa, 1992). Jadi rendahnya populasi teripang pasir selain
disebabkan oleh tingginya eksploitasi, juga karena mortalitas larva dan juvenil
(Costelleo, 1988). Selama periode ini, larva yang hidup secara planktonik akan menjadi
korban berbagai organisme seperti bakteri atau virus karena pada fase ini tingkat
pertahanan teripang terhadap bakteri patogen sangat rendah (Darsono, 1999),
sedangkan juvenil yang bergerak pasif di dasar perairan menjadi sasaran predator,
seperti hewan dari kelompok crustaseae dan organisme bentik lainnya. Penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Vibrio disebut vibriosis. Vibriosis adalah penyakit oppurtunistik
dari tahap larva dari banyak moluska bivalve. Serangan bakteri ini dapat
menyebabkan kematian dengan cepat, pada budidaya ikan windu, kematian mencapai
90% (1-3 hari), pada larva udang windu (Rukyani, 1993), sedangkan kematian
masal yang disebabkan oleh penyakit infeksi bakteri vibrio mencapai 90 – 100%
(rata-rata 93,3%) selama 21 hari terjadi pada stadia larva dan juvenil ikan kerapu
(Mahardika & Zafran, 2004).
Sementara itu jenis bakteri patogen yang terdapat pada larva teripang pasir yang
mati belum diketahui, sehingga diperlukan penelitian untuk mengetahui jenis bakeri
patogen yang terdapat pada larva teripang pasir (Holothuria scabra) yang dibudidaya
di UPT. LPBIL LIPI Mataram, agar penanganan terhadap kasus infeksi dapat segera
diatasi melalui perubahan teknik pemeliharaan atau kontrol kualitas air menggunakan
bakteri maupun bioaktif alami.
METODE PENELITIAN
Pengambilan sampel dan isolasi bakteri
Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif yang mengisolasi
kelompok bakteri patogen dengan waktu penelitian Juli – September 2011. Identifikasi
berdasarkan morfologi, fisiologi dan uji biokimia bakteri tersebut menurut (Holt et al.,
1994). Sampel larva teripang yang mati dan berada di dasar bak pemeliharaan larva
pada tahap auricularia (hari ke 3 – hari ke 10) diambil secara aseptik dengan
menggunakan saringan bertingkat (200 µm dan 100 µm) yang telah disterilisasi
dengan alkohol 70 % dan dibilas dengan aquadest steril, selanjutnya diamati dibawah
mikroskop untuk melihat perbedaan larva teripang pasir yanng sehat dan yang mati
atau terinfeksi bakteri dengan perbesaran 400X. Sampel larva teripang yang telah
diambil dengan kepadatan 130 sel/ml dibilas dengan aquadest steril kemudian digerus
dalam cawan petri yang telah dicuci dengan alkohol 70 %. Dilakukan pengenceran
hingga 10-7 dengan mengambil 1 mL sampel yang dimasukkan kedalam 9 mL air laut
steril dan larutan NaCl fisiologis steril yang dihomogenasikan dengan forteks, kemudian
sebanyak 100 µL dari hasil pengenceran 10-1, 10-3, 10-5 dan 10-7 ditanamkan pada
media thiosulphate citrate bile salt sucrose agar (TCBSA; Pronadisa; media selektif
untuk Vibrionaceae) dalam cawan petri steril. Koloni yang tumbuh pada media TCBS
agar diamati dengan melihat bentuk koloni, warna, tepian dan elevasinya, setelah itu
dimurnikan dengan media Marine Agar (MA) untuk selanjutnya dilakukan uji biokimia.
40 oC. Kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30o C dengan menggunakan
inkubator HAMMERT dan diikuti identifikasi bakteri merujuk pada Holt et al., (1994).
A B
a
Gambar 1. Larva fase auricularia normal (a) dan yang terinfeksi bakteri (b)
Tabel 1. Morfologi dan karakteristik biokimia isolat bakteri yang terdapat pada larva
teripang pasir
Isolat Bakteri
Karakteristik
AL1911 AL2911 AL3911 NF1911 NF2911
Gram stain - - - - -
Gas from glucose - + - - +
H2S - + - - -
Indole - - - - -
Motility + + + + +
Metil red - - + - -
Voges proskauer - - - - -
Catalase - - + - -
Oksidase + + + + -
Growth on TCBSA G G Y Y Y
Growth on NaCl:
1% - - Nt + Nt
6% - - Nt + Nt
8% - - Nt + Nt
Isolat Bakteri
Karakteristik
AL1911 AL2911 AL3911 NF1911 NF2911
Gram stain - - - - -
Gas from glucose - + - - +
H2S - + - - -
Indole - - - - -
Motility + + + + +
Metil red - - + - -
Voges proskauer - - - - -
Catalase - - + - -
Oksidase + + + + -
Growth on TCBSA G G Y Y Y
Growth on NaCl:
1% - - Nt + Nt
6% - - Nt + Nt
8% - - Nt + Nt
Growth at :
2 oC - - Nt - Nt
30 oC + - Nt - Nt
40 oC + - Nt - Nt
Glucose + + - - +
Lactose - - - - -
Sucrose + + + - -
Mannitol - - - - -
Maltosa + + + - +
Sukrosa + + + - -
Arginin - - - - -
Ramnose - - - - -
Lysine - - - - -
decarboxylase
Urease + + - - -
Citrate utilization - - - - -
ONPG hydrolysis - - - - -
Vibrio Vibrio Aeromonas Vibrio Klebsiella
harveyi vulnificus caviae hollisae terrigena
Ket : Nt (tidak diujikan); G (Hijau); Y (kuning)
Sumber : Holt et al., (1994)
Vibrio harveyi
Memiliki nama sinonim : Lucibacterium harveyi, Beneckea harveyi,
Achromobacter harveyi, Pseudomonas harveyi, Photobacterium harveyi, Vibrio
carchariae, Vibrio trachuri; (Thompson, 2002). Tumbuh pada media Marine agar (MA)
dengan koloni warna putih agak orange, ukuran koloni besar, menyebar dan
permukaan halus mengkilap., Bentuk sirkular (melingkar), Elevasi cembung serta
pinggiran rata. Koloni pada mediaTCBS berwarna hijau kecil. Uji biokimia positif pada
uji glukosa (tidak terbentuk gas), oksidase, maltose, sukrosa, motility, urease, dan
tumbuh pada suhu 30oC dan 40oC. Vibrio harveyi adalah bakteri yang bersifat
fakultatif anaerob yang hidup di air laut secara bebas dan tidak membentuk hubungan
simbiosis, tetapi bakteri ini merupakan patogen yang umum terhadap banyak biota laut
serta dapat bertahan hidup dalam konsentrasi oksigen yang rendah (Miller, 2005).
Vibrio harveyi patogen terhadap ikan dan invertebrata, termasuk hiu, kuda laut,
lobster, dan udang. Patogenisitas tergantung pada konsentrasi sel bakteri V. harveyi
pada waktu yang diberikan. Penyakit yang disebabkan oleh V. harveyi yaitu eye –
lesion, gastro-enteris dan luminous vibriosis yang merupakan penyebab utama
kematian pada udang. Kontaminasi bakteri ini bisa menyebar ke semua jalan hingga
telur dan bak larva. V. harveyi tidak patogen pada manusia (Lightner, 1993; Austin dan
Zhang, 2006).
Vibrio vulnificus
Tumbuh pada media Marine agar (MA) berwarna putih agak orange dengan
ukuran koloni kecil, dan permukaan halus mengkilap, Bentuk sirkular (melingkar),
Elevasi cembung serta pinggiran rata. Koloni pada media TCBS berwarna hijau besar.
Uji biokimia positif untuk uji glukosa dan terbentuk gas dari glukosa, oksidase,
maltose, sukrosa, motility, urease, tumbuh pada uji NaCl 3 % dan terbentuk H2S.
Bakteri ini ditemukan hidup di daerah lingkungan laut seperti daerah estuari, air payau
dan daerah pesisir. Merupakan bakteri yang keberadaanya tidak dikaitkan dengan
limbah organik atau pencemaran tetapi V. Vulnificus keberadaannya dihubungkan
dengan V.cholerae yang merupakan agen penyebab penyakit cholera pada menusia
(Oliver dan kaper, 2001; Oliver, 2005). Jika terinfeksi bakteri ini dapat mengakibatkan
penyakit cellulitis dan septicemia dan dapat terjadi jika kita memakan daging seafood,
terutama yang masih mentah atau setengah matang dengan gejala muntah, sakit
perut, diare akut, gastroenteris dan blistering dermatitis. Bakteri ini hidup dengan
memfermentasi laktosa baik dalam keadaan aerobik maupun anaerobik dan tergolong
jenis parasit oportunistik. Walaupun infeksi Vibrio vulnificus tergolong cukup
berbahaya, namun infeksi oleh bakteri ini tidak pernah terjadi secara meluas. Kasus-
kasus infeksi oleh Vibrio vulnificus ditemukan secara sporadik di daerah-daerah pantai
Amerika Serikat, New Zealand, dan Jepang. Infeksi Vibrio vulnificus di Amerika Serikat
95% terjadi saat laut hangat antara Bulan Mei dan Oktober (James et al., 2006).
Aeromonas caviae.
Memiliki nama sinonim Aeromonas punctata. Hidup secara aerobik maupun
anaerobik dan ditemukan dalam air limbah, air tawar, air payau dan binatang. Ciri
morfologi koloni bakteri pada media Marine Agar (MA) berwarna coklat muda dengan
bagian tengah terdapat berwarna hitam dengan ukuran koloni kecil, dan permukaan
halus mengkilap, bentuk bulat, elevasi cembung serta pinggiran rata. Sedangan
pertumbuhan pada media TCBS berwarna kuning kecil. Uji glukosa negatif, sedangkan
uji positif terdapat pada uji maltose, surosa, katalase, oksidase, NaCl 3%, motile, dan
Methyl Red. Infeksi Aeromonas caviae kronis pada manusia mengakibatkan penyakit
gantroenteristis, wound infection dan bacteremia, biasanya ditandai dengan bentuk
ulcerous dari penyakit dimana pada lesi kulit terdapat perdarahan fokal dan nampak
peradangan. Dermis dan epidermis keduanya luruh dan otot dibawahnya mengalami
kematian jaringan kemudian infeksi biasanya menjadi sistemik dan hemorage pinpoin
(petechiae) bisa terjadi di seluruh peritoneum dan otot (Monfor dan Baleux,
1990).Infeksi aeromonas terkadang berasosiasi dengan infestasi oleh protozoa parasit
Epistylis sp, Faktor stress lingkungan yang berhubungan dengan kondisi kualitas air
yang buruk, terlibat dalam perkembangan penyakit. Faktor-faktor ini meliputi
temperatur air yang tinggi, level ammonia dan nitrit yang tinggi, ketidakseimbangan
pH, dan level oksigen terlarut yang rendah. Banyaknya parasit, kepadatan yang terlalu
tinggi, kadar bahan organik yang tinggi dalam air, aktivitas pemijahan, aktivitas rough
handling dan transportasi juga dapat meningkatkan resiko penyakit. tahapan serius
terhadap paparan stress, seperti kekurangan oksigen yang disebabkan oleh toksisitas
nitrit, sering diikuti oleh infeksi Aeromonas dalam satu minggu (Camus et al., 1998).
Vibrio hollisae
Memiliki nama sinonim Grimontia hollisae. Tumbuh pada media Marine Agar (MA)
berwarna coklat muda dengan ukuran koloni sedang, dan permukaan halus
mengkilap., Bentuk sirkular (melingkar), Elevasi cembung serta pinggiran rata. Koloni
bakteri pada media TCBS berwarna kuning besar. Uji positif hanya terdapat pada
motility dan tumbuh pada media NaCl 1%, 6% dan 8%. Bakteri ini dapat
menyebabkan penyakit gastroenteris, bacteremia dan diare pada manusia yang
terinfeksi melalui konsumsi makanan jenis kerang dan ikan yang terkontaminasi
(Carnahan et al., 1994). Menghasilkan heat-labile enterotoxin (Holt et al., 1994)
Klebsiella terrigena
Merupakan kelompok bakteri Enterobacteriaceae yang tumbuh pada media
Marine agar (MA) berwarna coklat muda dengan ukuran koloni sedang, dan
permukaan halus mengkilap., Bentuk sirkular (melingkar), Elevasi berbentuk seperti
tombol, pinggiran rata dan permukaannya kasar. Koloni pada media TCBS berwarna
kuning besar. Uji biokimia negatif untuk oksidase sehingga tidak termasuk dalam
genus Vibrio sp, sedangkan uji positif ditunjukkan pada uji glukosa (tanpa gas),
maltose, NaCl 1%, 6% dan 8% dan motile. Sebagaian besar diisolasi dari tanah dan
air, jarang terdapat pada manusia. Klebsiella terringena tidak menunjukkan hubungan
dengan penyakit pada manusia, kecuali pada jenis Klebsiella pneumonia dan K.
oxytoca. Kedua jenis bakteri tersebut merupakan bakteri patogen oportunistik yang
ditemukan di lingkungan dan permulaan mukosa mamalia. Paling bertanggungjawab
terhadap terjadinya infeksi nosocomal dan faktor virulence (Izard et al., 1981).
Anggota dari genus Klebsiella bersifat aeorobik. Menghasilkan toksin ekstraseller
kompleks yang telah ditunjukkan dapat mematikan dan mengakibatkan pembesaran
paru-paru pada mencit, biasanya mengungkapkan 2 jenis antigen pada permukaan sel
mereka. Yang pertama adalah lipopolisakarida (O antigen), yang lain adalah
polisakarida kapsul (K antigen). Kedua antigen berkontribusi pada patogenisitas
(Straus, 1987)
Vibriosis, seperti patogen yang lain, masuk dalam unit pembenihan atau
pemeliharaan dengan 3 jalur utama : sumber air laut, calon induk dan stok pakan
alami (alga). Pengaruh faktor lingkungan sangatlah penting, karena penyakit timbul
hanya jika keseimbangan toleransi bergeser ke arah yang menguntungkan bakteri
patogen. Faktor musim juga bisa menjadi penyebab tercemarnya lingkungan yang
ada, dimana pada pergantian musim kemarau ke musim hujan infeksi bakteri lebih
sering ditemukan. Vibriosis dapat dikontrol dengan pengaturan air dan sanitasi yang
teliti untuk mencegah masuknya Vibrio pada budidaya biota laut (Baticados et al.,
1990) dan mengurangi stress yang terjadi pada biota (Ligtner, 1993). Pemilihan
tempat yang tepat untuk kolam, desain kolam dan preparasi kolam juga sangat
penting (Nash et al., 1992). Pemberian bakteri prebiotik secara langsung pada air atau
makanan biota juga dapat mencegah Vibriosis, seperti yang dilaporkan oleh
Jaravanicpaisal dan Chuaychuwong (1997) dengan menggunakan Lactobacillus sp.
sebagai bakteri prebiotik pada larva udang windu (P. monodon).
KESIMPULAN
Berdasarkan dari hasil uji fisologis dan uji biokimia yang dicocokkan dengan
kunci identifikasi yang digunakan, kelima isolat yang diisolasi dari larva teripang pasir
(Holothuria scabra) antara lain isolat AL1911 adalah Vibrio harveyi, isolat AL2911
adalah Vibrio vulnificus, isolat AL3911 adalah Aeromonas caviae, isolat NF1911 adalah
Vibrio hollisae dan isolat NF2911 adalah Klebsiella terrigena. Vibriosis, seperti patogen
yang lain, masuk dalam unit pembenihan atau pemeliharaan dengan 3 jalur utama :
sumber air laut (lingkungan), calon induk dan stok pakan alami (alga).
UCAPAN TERIMAKASIH
Kami sampaikan terimakasih kepada Prof.Dr.Ir.D.E.D.Setyono, M.Sc. atas
dukungan dan bantuanya kepada kami, sehingga tulisan ini dapat terselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Austin B, and Zhang XH. 2006 . Vibrio harveyi: a significant pathogen of marine
vertebrates and invertebrates. Lett Appl Microbiol.
Baticados, M. C. L., Lavilla-Pitogo, C. R., Cruz-Lacierda, E. R., de la pena, L. D. and
Sunaz, N. A.. 1990. Studies on the Chemical Control of Luminous Bacteria Vibrio
harveyi and V. splendidus isolate from desease Panaeus Monodon Larvae and
Rearing Water. Dis. Aquat. Org. 9: 133-139 43(2):119-24
Camus, A. C., R. M. Durborow, W. G. Hemstreet, R. L. Thune dan J. P. Hawke. 1998.
Aeromonas Bacteria Infection-Motile Aeromonad Septicemia. SRAC Publication
No. 478.
Carnahan, AM; J. Harding; D. Watski and S, Hansman. 1994. Identification of Vibrio
hollisae with severe gastroenteristis after consumption of raw oyster. J. Clin
Microbiol 32(7): 1805 – 1806
Costelloe J.. 1988. Reproductive cycle, development and recruitment of two
geographically separated populations of the dendrochirote holothurian Aslia
lefevrei. Marine Biology 99,535-545.
Darsono, P., 1994, Usaha Pembenihan Untuk Pelestarian Sumberdaya Teripang,
Oseana, 19 (4), Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakartaha, hal. 13-21
Darsono, P., 1999, Perkembangan Pembenihan Teripang Pasir Holonthuria scabra di
Indonesia. Usaha Pembenihan Untuk Pelestarian Sumberdaya Teripang, Oseana,
24 (3), Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakartaha, hal. 35-45
Holt, J. G., N. R. Krieg, Piter H. A. S., J. T Staley, S. T. Williama. 1994. Bergey's Manual
of Determinative Bacteriolog, Ninth Edition. Lippincott William and Wilkins,
Baltimore.
Izard, D.; Ferragut, C., Gavini, F., Kersters, K., de Ley, J., Leclerc, H. (1 April 1981).
"Klebsiella terrigena, a New Species from Soil and Water". International Journal
of Systematic Bacteriology 31 (2): 116–127
James, William D.; Berger, Timothy G.2006. Andrews' Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. Saunders Elsevier
Jaravanichpaisal, P and Chuaychuwong. 1997. The Use of Lactobacillus sp. as
Treatment of Vibriosis In Panaeus monodon (giant tiger shrimp). J. Aq., 151.
Ligtner, D. V. 1993. Disease of Cultured Peneid Shrimp. In: J. P. McVey (ed.) CRC
Handbook of Marineculture, Second edition, Volume 1, Crustacean Aquaculture.
CRC Press Inc., Boca Raton, FL. P. 393-486.
PENDAHULUAN
Kementerian Kelautan dan Perikanan masih menempatkan udang sebagai
komoditas unggulan perikanan budidaya selama 2010-2014. Selama periode 2010-
2014 produksi udang diharapkan meningkat 74,75% atau dari 400 ribu ton menjadi
699 ribu ton yang terdiri atas udang vaname dan udang windu. Industri budidaya
udang windu secara intensif dan transportasi udang windu ke seluruh dunia diketahui
berhubungan erat dengan meningkatnya kejadian infeksi penyakit yang menyerang
udang windu selama dua dekade ini (Saulnier et al. 2000).
Udang windu (Penaeus monodon) merupakan salah satu jenis udang asli
berasal dari diperairan Indonesia. Udang ini digemari oleh seluruh dunia dan memiliki
nilai ekonomis yang cukup tinggi, bahkan menjadi komoditas primadona dari
Indonesia. Akan tetapi sejak tahun 1995 produksi jenis udang ini mengalami
penurunan oleh karena adanya serangan penyakit pada areal pertambakan dan panti
perbenihan (Yanto, 2006). Penyakit yang paling sering menyerang panti
benih/hatchery adalah vibriosis.
Bakteri vibrio berpendar adalah salah satu penyebab penyakit yang cukup
banyak menyerang hewan budidaya seperti udang (Baticados et al. 1990;
Karunasagar et al. 1994; Moriarty 1998; Zhang and Austin 2000), Vibrio harveyi
merupakan bakteri yang membutuhkan sodium klorida untuk hidupnya, berbentuk
curve-rod dan termasuk dalam kelompok bakteri gram negative yang banyak
ditemukan pada lingkungan perairan (Farmer et al., 2005) serta dapat memendarkan
cahaya sendiri pada kondisi tertentu. Spesies bakteri ini terdistribusi secara luas pada
lingkungan akuatik dan diketahui menjadi penyebab utama penyakit kunang-kunang
pada organisme laut maupun payau. Selain sebagai penyebab utama, sering kali juga
bertindak sebagai agen oportunistik pada infeksi sekunder (Saulnier et al., 2000b).
Menurut data produksi udang windu dunia yang dirilis oleh FAO, terlihat adanya
penurunan produksi dari 730.404 ton pada tahun 2003 menjadi 715.447 ton pada
tahun 2004. Penurunan produksi juga terjadi pada tahun 2005 (674.954 ton) dan
tahun 2006 (658.221 ton) (FAO, 2006). Penurunan produksi ini disebabkan adanya
serangan berbagai penyakit baik penyakit infeksius maupun noninfeksius, yang
menyerang larva di panti benih maupun juvenil udang yang dipelihara di tambak. Oleh
karena itu perlu dicari metode-metode dalam usaha untuk pengendalian penyakit,
salah satu cara adalah dengan jalan meningkatkan daya pertahanan udang .
Pencegahan dan pengendalian penyakit menjadi prioritas dalam
mempertahankan kelangsungan industri budidaya udang. Untuk mengatasi hal
tersebut salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kekebalan
non spesifik udang terhadap serangan penyakit dengan menggunakan
immunostimulan.
Pencegahan penyakit melalui berbagai penggunaan immunostimulan telah
banyak dilakukan, namun hingga sekarang belum meminimalkan terjadinya serangan
penyakit secara mendadak. Beberapa pengendalian yang banyak beredar di pasaran
untuk penanggulangan penyakit udang windu adalah dengan menggunakan probiotik
pasaran seperti Bio Ps, EM6 dan salah satu produk yang baru dicoba pada udang
windu adalah sozo yang mampu mempertahankan keseimbangan ekosistem air dan
dapat menetralisisr racun di dalam air tambak.
TUJUAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan
immunostimulan bakterin dan zoso untuk pencegahan penyakit pada budidaya udang
windu di tambak.
air hanya penambahan air 2 kali seminggu sampai akhir penelitian. Sedangkan
perlakuan penggunaan bakterin dan kontrol dilakukan pergantian air 2 kali seminggu
hingga akhir penelitian. Pengukuran parameter kualitas air dilakukan selama penelitian
yang meliputi: suhu, pH, BOT, DO, salinitas, NH3-N sedangkan pengukuran
pertumbuhan, sintasan dan produksi udang windu dilakukan pada akhir penelitian.
Tabel 1. Sintasan dan Pertumbuhan Udang Windu Pada Akhir Penelitian di Instalasi
Tambak Percobaan Marana, Maros
Parameter A B C
Suhu (oC) 27,0 – 29,7 27,5 – 30,1 29,4 - 30,2
Oksigen terlarut 3,7 – 6,4 3,2 – 6,3 4,0 - 6,4
(ppm)
pH 7,2 - 8,5 7,4 – 8,2 7,2 - 8,5
Salinitas (ppt) 17 – 30 17 – 29 16 – 30
Amonia (ppm) 0,010 – 0,120 0,015 – 0,128 0,0105-0,0151
BOT (ppm) 28,35 - 32,89 32,99 – 34,09 28,54 - 35,80
KESIMPULAN
- Imunostimulan bakterin produksi BRPBAP dan sozo pada budidaya udang
windu berpengaruh terhadap respon imun dan tingkat kelangsungan hidup dan
pertumbuhan udang windu.
- Imunostimulan bakterin lebih baik dibanding sozo untuk pencegahan penyakit
pada budidaya udang windu
- Parameter kualitas air selama penelitian masih berada pada kisaran yang layak
untuk pertumbuhan dan sintasan udang windu
SARAN
Disarankan pada pembudidaya udang windu di tambak menggunakan
imunostimulan bakterin produksi BRPBAP untuk meningkatkan sintasan dan memacu
pertumbuhan udang windu
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad , T.1991. pengelolaan peubah mutu air dalam Tambak udang intensif.
Direktorat Jenderal perikanan. Maros. 39 hal
Adiwijaya, D., Erik.S dan Dwi,S. 2003. Produktivitas Pada Budidaya Udang
Windu Sistem Tertutup. Peluang Usaha Untuk Mencari Nilai Tambah Bagi
Petambak, Balai BPAP. Pertemuan UPT Budidaya Air Payau dan Laut Ditjen
Perikanan Budidaya, Jepara
Boyd, C.E. 1982. Water quality management for pond fish culture. Elsevier Science
Publishers. 318 p.
Baticados. MCL., CR Lavilla-Pitogo, ER Cruz-Lacierda, LD de la Pena, NA Sunaz. 1990.
Studies on the chemical control of luminous bacteria Vibrio harveyi and V.
splendidus isolated from diseased Penaeus monodon larvae and rearing water.
Diseases of Aquatic Organism, 9: 133-139.
Chelossi E, Vezzulli L, Milano A, Branzoni M, Fabiano M, Riccardi G, Banat IM. 2003.
Antibiotic resistance of benthic bacteria in fish-farm and control sediments of the
Western Mediterranean. Aquaculture 219, 83–97.
Effendi,H. 2000. Telaah Kualitas Air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.
Bogor.
Farmer, J. J. & Hickman-Brenner, F. W. (1992). The genera Vibrio and
Photobacterium. P:2952–3011. In Balows, A. (Ed). The Prokaryotes – a
Handbook on the Biology of Bacteria: Ecophysiology, Isolation, Identification,
Applications. New York: Springer
Hepher, B. 1990. Nutrition of pond fishes. Cambridge University Pres, New York.
388p.
Karunasagar, I., Pai, R., Malathi, G.R., Karunasagar, I. 1994. Mass mortality of
Penaeus monodon larvae due to antibiotic-resistant Vibrio harveyi infection.
Aquaculture 128:203–209
Kesarcodi-Watson A, Kaspar H, Lategan MJ, Gibson L. 2008. Probiotics in aquaculture:
The need, principles and mechanisms of action and screening processes.
Aquaculture 274: 1–14
Kusnendar, E. 2003. Kebijakan pemerintah dalam merevitalisasi usaha budidaya
udang. Makalah pada Seminar Workshop Revitalisasi Budidaya Tambak Udang di
Indonesia, Surabaya, 27 Agustus 2003. 31 halaman.
Moriarty. D.J.W. 1998. Control of luminous Vibrio species in penaeid aquaculture
ponds. Aquaculture 168: 351-358
Midelan A, Redding T. 2000. Environmental Management for Aquaculture. Kluwer
Akademic Publishers, Netherlands. 223.p
Saulnier, D., Avarre, J.C., Le Moullac, G., Ansquer, D., Levy, P., Vonau, V. 2000a.
Rapid and sensitive PCR detection of Vibrio penaeicida, the putative etiological
agent of Syndrome 93 in New Caledonia. Dis. Aquat. Org. 40: 109–115.
Saulnier, D., Haffner, P., Goarant, C., Levy, P., Ansquer, D. 2000b. Experimental
infection models for shrimp Vibriosis studies: a review. Aquaculture 191:133–
144.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Alih bahasa:
Bambang Sumantri. Gramedia Pusaka Utama, Jakarta. 748 hal.
Zhang, X.-H., Austin, B. 2000. Pathogenicity of Vibrio harveyi to salmonids. J. Fish Dis.
23:93–102
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dosis pakan buatan yang
tepat terhadap pertumbuhan dan sintasan lobster air tawar dan diharapkan
pemanfaatan pakan yang sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Penelitian ini
dilaksanakan di Balai Benih Ikan Maros. Wadah yang digunakan dalam penelitian
adalah akuarium kaca yang berukuran 60 x 45 x 45 cm, dilengkapi dengan aerasi
dan selter yang terbuat dari pipa paralon yang berdiameter ¾ inci yang berukuran
panjang 10 cm sebanyak 10 potong dalam setiap akuarium. Hewan uji yang
lobster air tawar jenis capit merah dengan berat rata-rata 4,90 g/ekor. Padat
penebaran yang digunakan adalah 10 ekor setiap akuarium. Hasil penelitian ini
nenunjukkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi diperoleh dari perlakuan B (3%)
yaitu 86,67%. Hal ini menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap
semua pelakuan. Laju pertumbuhan spesifik lobster selama penelitian yang
tertinggi diperoleh dari perlakuan A yaitu sekitar 0,64+0,26% dan yang terendah
diperoleh dari perlakuan C yaitu sekitar 0,26+0,04%. Dari hasil tersebut terlihat
adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) antara perlakuan, perlakuan A dengan
perlakuan C, tetapi tidak berbeda dengan perlakuan B dan perlakuan D (P>0,05).
Tingkat konsumsi pakan yang tertinggi diperoleh dari perlakuan D, yaitu sekitar
82,85% menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dengan perlakuan yang
lain.
Kata Kunci: Pakan berbahan baku lokal, dosis pakan dan lobster air tawar
PENDAHULUAN
Pada kegiatan budidaya secara intensif, pakan merupakan salah satu faktor
kunci keberhasilan kegiatan budidaya perikanan, karena kontribusinya dapat mencapai
70 % dari total biaya produksi (Harris 2006) terutama untuk biaya komponen protein
pakan (Bender et al., 2004). Saat ini komponen pakan buatan untuk ikan didominasi
oleh penggunaan tepung ikan sebagai sumber protein utama. Hal ini dikarenakan,
tepung ikan memiliki kandungan nutrisi yang sangat cocok dengan kebutuhan ikan
budidiya, terutama profil asam amino essensialnya. Pada nilai konversi pakan sekitar
1,5 maka diperlukan sebanyak 0,5-0,75 kg tepung ikan atau setara dengan 1,8-3 kg
ikan rucah (kadar air 75%) untuk memproduksi 1 kg ikan. Hal ini menyebabkan
akuakultur yang berbasis pakan buatan dengan tepung ikan sebagai sumber protein
utamanya, tergolong kegiatan yang tidak menguntungkan secara ekologis. Oleh karena
itu perlu adanya alternatif sumber protein pakan yang memiliki performansi nilai nutrisi
yang relatif setara dengan tepung ikan atau dapat memenuhi kebutuhan ikan budidaya
untuk tumbuh sacara optimum.
Pakan merupakan kebutuhan pokok dalam usaha budidaya lobster air tawar, di
mana komposisi pakan tersebut harus memenuhi kebutuhan nutrisi untuk
pertumbuhan dan sintasan, dalam usaha budidaya lobster pakan buatan sangat
penting, mengingat pakan alami yang susah untuk di kultur dan membutuhkan waktu
yang cukup lama serta kandungan nutrisi yang tidak lengkap, jenis pakan buatan atau
pellet yang diberikan adalah pellet komersil seperti pellet untuk udang windu atau
udang galah. Dosis pemberian pakan buatan untuk lobster air tawar harus sesuai
dengan kebutuhan lobster, menurut Patasik (2004) jumlah pakan yang kurang
mengakibatkan terganggunya proses pertumbuhan lobster, sementara itu pakan yang
berlebihan mengakibatkan pemborosan karena tidak termakan oleh lobster, disamping
itu pakan akan membusuk dan biasa menjadi sumber penyakit, sehingga di upayakan
tepat dosis dan tepat waktu pemberiannya.
Salah satu kendala yang dihadapi pada budidaya lobster air tawar saat ini
adalah belum diproduksi secara komersial pellet khusus untuk pembesaran cherax.
Meskipun sering di temukan pada buku mengenai dosis pemberian pakan untuk lobster
air tawar di kalangan petani yaitu 3% dari bobot tubuh lobster. Namun nilai tersebut
belum bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan minimnya kajian ilmiah tentang
penentuan dosis pemberian pakan buatan. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian
mengenai pemanfaatan bahan baku lokal untuk pembesaran cherax melalui penetapan
dosis pakan yang tepat.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Balai Benih Ikan (BBI) Bantimurung Kabupaten
Maros. Wadah yang digunakan dalam penelitian adalah akuarium kaca yang
berukuran 60 x 45 x 45 cm masing-masing dibungkus dengan plastik hitam untuk
menghindari lobster stress akibat gangguan dari luar dan ditutupi dengan waring hitam
pada bagian atas supaya tidak bisa lolos serta di lengkapi dengan aerasi dan selter
yang terbuat dari pipa paralon yang berdiameter ¾ inci yang berukuran panjang 10
cm sebanyak 10 potong dalam setiap akuarium sebagai tempat perlindungan atau
persembunyian lobster. Hewan uji yang digunakan adalah lobster air tawar jenis capit
merah Cherax quadricarinatus yang diperoleh dari salah seorang petani lobster di Kota
makassar, yang berukuran panjang 4 - 5 cm dan berat rata-rata individu 4,90 g. Padat
penebaran yang digunakan adalah 10 ekor setiap akuarium. Rancangan percobaan
yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3
ulangan sehingga didapatkan 12 unit percobaan. Perlakuan yang yang dimaksud
adalah perlakuan A dengan dosis 2,5%, perlakuan B dengan dosis 3,0 %, perlakuan C
dengan dosis 3,5 % dan perlakuan D dengan dosis 4,0% dari biomassa hewan uji.
Pakan uji yang digunakan berasal dari bahan baku lokal, seperti pada (Tabel 1),
kemudian diformulasi (Tabel 2). Cara pemberian pakan yaitu menebarkan pakan
secara merata pada wadah agar kesempatan memperoleh pakan bagi hewan uji sama.
Waktu pemberian pakan yaitu dua kali sehari, pagi (08.00) sebanyak 40 % dan sore
(16.00) sebanyak 60 % . Hewan uji dipelihara selama 60 hari.
Tepung Ikan 40
Bungkil Kopra 30
Polar 28
Vitamin 1
Mineral 1
Total 100
Total potein 31,29
Total lemak 2,88
Serat kasar 5,63
Kadar abu 16,45
BETN 20,48
Perlakuan
Parameter yang diamati
A (2,5%) B (3%) C (3,5%) D (4%)
Sintasan (%) 76,67+32,15a 86,67+11,55b 53,33+15,28c 73,33+15,28ad
Laju pertumbuhan 0,64+0,26a 0,34+0,21ab 0,26+0,04c 0,35+0,06ab
spesifik (%/hari)
Tingkat konsumsi pakan 61,67+22,75a 71,53+6,97b 73,19+12,53c 82,85+19,20d
(%)
Efisiensi pakan (%) 0,52+0,04a 0,23+0,13b 0,18+0,06c 0,22+0,05bd
Ket: Huruf yang sama di belakang angka pada masing-masing baris menunjukkan tidak
berbeda nyata, (P>0,05)
Anonium (2003); Anonim (2007); Sukma dan Suharjo (2003) memperoleh tingkat
kelangsungan hidup antara 80-100%, masing-masing menggunakan pakan komersial,
dengan perlakuan dosis dan frekwensi pemberian pakan. sementara penelitian ini
menggunakan pakan lokal yang diformulasi sendiri (Tabel 1), dimana bahan baku
tersebut diperoleh dari daerah Sulawesi selatan yang telah diproksimat masing-masing
bahan tersebut (Tabel 2).
Laju pertumbuhan spesifik lobster selama penelitian yang tertinggi diperoleh dari
perlakuan A yaitu sekitar 0,64+0,26% dan yang terendah diperoleh dari perlakuan C
yaitu sekitar 0,26+0,04%. Dari hasil tersebut terlihat adanya perbedaan yang nyata
(P<0,05) antara perlakuan, perlakuan A dengan perlakuan C, tetapi tidak berbeda
dengan perlakuan B dan perlakuan D. hal ini menunjukkan bahwa perlakuan A
memberikan respon pertumbuhan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
perlakuan B dan D, tidak berbeda nyata (P<0,05). Meskipun tingkat konsumsi pakan
terlihat paling rendah bila dibandingkan dengan perlakuan yang lain yaitu sekitar
61,67+22,75% tetapi tingkat episiensi pakan menunjukkan hasil yang paling tinggi
yaitu sekitar 0,52+0,04%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat konsumsi pakan tidak
mutlak memberikan pertumbuhan, tetapi bagaimana kemampuan lobster
memanfaatkan atau mencerna pakan untuk pertumbuhannya. Seperti yang
dilaporkan Patasik (2004) bahwa ketersediaan pakan dan kemampuan lobster untuk
memanfaatkan atau mencerna pakan akan menentukan pertumbuhan lobster.
Saran
Dari kegiatan ini disarankan untuk melihat kebutuhan energy yang optimal
untuk pertumbuhan lobster.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2003. Lobster Akurium 10 Bulan Kembali Modal. Trubus 401-April
2003/XXXIV.
Anonim. 2007. Pemberian Pakan yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Rasio
Konversi Pakan Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus).
.http://fpk.unair.ac.id/webo/umum/bab%20I-IV.docx . Diakses Januari 2011.
Bender, J., R. Lee, M. Sheppard, K. Brinkley, P. Philips, Y. Yeboah and R.C. Wah. 2004.
A waste effluent treament system based on microbial mats for black sea bass
Centropristis striata recycled water mariculture. Aquaculture Eng. p. 31, 73--82.
Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta.
Gazper, V. 1991. Metode Rancangan Percobaan. Untuk ilmu-ilmu Pertanian ilmu Teknik
dan Biologi. CV. Armico. Bandung.
Harris E. 2006. Akuakultur berbasis “Trophic Level”: Revitalisasi untuk ketahanan
pangan, daya saing ekspor dan kelestratian lingkungan. Orasi Ilmiah Guru Besar
tetap Ilmu Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor. 65 hal.
Kusman, 2006. Pembenihan Lobster Air tawar : Meraup Untung dari Lahan Sempit.
AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Lukito. 2007. Panduan Lengkap Lobster Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta.
Patasik, S. 2004. Pembenihan Lobster Air Tawar Lokal Papua. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Schulz. C, U. Knaus, M. Wirth, and B. Rennert. 2005. Effect of Varying Dietary
Fatty Acid Profile on Growth Performance, Fatty Acid, Body an Tissue
Composition of Juvenile Pike Perch (Sander lucioperca). Aquaculture nutrition,
II: 403-413.
Sukmajaya, Y. Suharjo. I. 2003. Lobster Air Tawar Komoditas Prospektif. AgroMedia
Pustaka. Jakarta.
Takeuchi, T. 1988. Laboratory work-chemical evaluation of dietary nutrients. In:
Watanabe, T. (ed.) Fish Nutrition and Mariculture. JICA Kanagawa International
Fisheries Training Centre, Tokyo, pp. 179-233.
Watanabe, T. 1988. Fish Nutrition of Mariculture. JICA. Texsbook The General
Aquaculture Course. Departement of Aquatic Biosciences. Tokyo University of
Fisheries.
Wiyanto, R.H dan Hartono R. 2006. Pembenihan dan Pembesaran Lobster Air Tawar.
Penebar Swadaya. Jakarta.
PENDAHULUAN
Keberhasilan dalam usaha pemeliharaan di tambak tidak hanya ditentukan oleh
akhir(panen), tetapi ditentukan pula oleh tingkat kecepatan pertumbuhan bobot dan
mortalitas hewan budidaya. Salah satu faktor yang menunjang laju pertumbuhan dan
mortalitas udang budidaya di tambak, khususnya sistem tradisional atau semi intensif
adalah tingkat padat penebaran hewan peliharaan yang disesuaikan dengan
ketersediaan pakan alami yang sesuai dan mencukupi.. Menurut Boyd (1979), salah
satu faktor yang mempengaruhi tingkat produksi kolam budidaya adalah ketersediaan
makanan alami. Untuk menantisipasi kemampuan lahan dan ketersediaan pakan di
tambak perlu dilakuakan penelitian tingkat penebaran yang optimal pada
pemeliharaan udang windu dengan sistim berpindah dari satui petak kepetak lainnya
selama waktu tertentu. Sistem pemeliharaan ini diharapkan pertumbuhan dan
kelulusan hidup udang windu di tambak akan didukung oleh mutu air yang baik dan
ketersediaan pakan alami yang berkesinambungan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan tambak ukuran 500 m2
sebanyak 6 petak. Hewan uji yang digunakan adalah udang windu dengan berat awal
rata-rata 0,003 g/ekor. Pemberian pupuk organik kotoran sapi dilakukan setelah
pengeringan dasar tambak dengan dosis masing-masing 50 kg/petak atau setara
dengan 1 ton/ha. Penambahan pupuk anorganik (urea dan SP36) masing-masing
dengan dosis 7,5 kg dan 3,75 kg dilakukan setelah satu minggu pemasukan air.
Perlakuan yang dicobakan adalah pemberian padat tebar udang windu yang berbeda,
yaitu perlakuan A = 1.500 ekor/petak, perlakuan B = 1.000 ekor/petak, dan perlakuan
C = 500 ekor/petak, masing-masing diulang 2 kali. Peubah yang diamati setiap 2
minggu adalah komposisi jenis, kelimpahan individu plankton dan indeks biologi
plankton selama 90 hari pemeliharaan. Pengambilan contoh plankton dari setiap unit
dengan menyaring dan memadatkan contoh air tambak sebanyak 100 l menjadi 100 ml
dengan menggunakan plankton net ukuran mesh size 60 mikron (No. 25). Identifikasi
plankton dilakukan sampai tingkat genera dengan bantuan buku Newell and Newell
(1963), Yamaji (1976) dan Stafford (1999). Parameter penunjang yang diukur adalah
kualitas air meliputi suhu, oksigen terlarut, salinitas, pH dan alkalinitas setiap 3 hari
serta NO2-N, NO3-N, PO4-P, NH4-N dan BOT setiap 2 minggu.
T P V 1
N= ---- x ----- x ----- x -----
L p v W
n
H´ = - Σ pi ln pi
i=1
H′
E = ---------
H′ maks
C = ∑ [ ni/N ]
Kualitas air diamati meliputi parameter suhu, pH, salinitas, oksigen terlarut, dan
alkalinitas dilakukan secara in situ, sedangkan parameter nitrat, nitrit, posfat dan
bahan organik dianalisis dilaboratorium.
Kelas Bacillariophyceae yang memiliki jenis jumlah individu yang tertinggi pada semua
perlakuan dibanding dengan kelas Cyanophyceae. Beberapa genera dari fitoplankton
yang jumlah individunya tinggi dan menyebar pada semua perlakuan seperti Nitzschia
dan Pleurosigma dari kelas bacillariophyceae serta Oscillatoria dari kelas
Cyanophyceae. Ketiga jenis fitoplankton tersebut memiliki kemampuan berkembang
dan daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan tambak. Jenis zooplankton yang
individunya didapatkan dalam jumlah banyak dan merata di semua unit perlakuan
adalah Acartia dari Kelas Krustacea. Jenis Acartia ini termasuk sub kelas Kopepoda
juga disering didapatkan di tambak-tambak budidaya udang Vanamei dan polikultur
udang windu dan bandeng. (Amin dan Burhanuddin, 2009; Amin dan Tangko, 2010
dan Amin dan Hendrajat, 2011).
Tabel 1. Rataan Jumlah genera, individu dan indeks biologi plankton selama penelitian
Perlakuan
Parameter
A B C
Jumlah Genera 7 7 6
Jumlah individu (ind./L) 320 415 420
Indeks biologi :
Keaneragaman 0,8804 0,8894 0,9467
Keseragaman 0,7373 0,7306 0,7888
Dominasi 0,4207 0,5122 0,4763
Kualitas Air
Kualitas air mempunyai peranan penting karena merupakan salah satu faktor
pendukung untuk pertumbuhan dan reproduksi plankton suatu perairan. Hasil
pengamatan kualitas air elama penelitian disajikan pada Tabel 2. Suhu air yang
teramati pada Tabel 2 semua perlakuan adalah 29,0-32,13. Menurut Effendi (2000)
kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton adalah 20-30oC. Hasil
pengamatan oksigen terlarut selama penelitian pada ketiga perlakuan berkisar 2,0-8,7
ppm. Pescod (1973) menyatakan bahwa organisme akuatik dapat hidup pada kadar
oksigen terlarut 2 mg/L. Kandungan oksigen rendah di tambak terjadi pada subuh
sampai pagi hari karena fitoplankton belum aktif melakukan proses fotosintesis karena
belum ada cahaya matahari. Selanjutnya pengamatan oksigen tertinggi pada siang
dan sore hari yang bersumber proses fotosintesis oleh fitoplankton dengan bantuan
cahaya matahari. Hasil pengamatan pH pada ketiga perlakuan yaitu 7,8-9,5 masih
layak untuk pertumbuhan fitoplankton sesuai yang dikemukakan oleh Boyd (1990)
bahwa kebanyakan perairan alami adalah pH 5-10 dengan frekuensi 6,5-9,0.
Selanjutnya hasil pengamatan salinitas pada kedua perlakuan relatif hampr sama yaitu
berkisar 15-29 ppt karena sumber air yang digunakan adalah dari laut lewat saluran
pemasukan ke tambak. Menurut Sachlan (1982) bahwa nilai salinitas di atas 20 ppt
memungkinkan fitoplankton dapat bertahan hidup , memperbanyak diri dan dapat
aktif melakukan proses fotosintesis.
Konsentrasi nitrat yang diperoleh pada perlakuan A adalah 0,0001-0,2533 ppm,
perlakuan B adalah 0,0015-0,1789 ppm. serta perlakuan C adalah 0,0001-0,7645 ppm.
Menurut Mackentum (1969) untuk pertumbuhan fitoplankton memerlukan kandungan
nitrat 0,9-3,5 ppm. Rendahnya kandungan nitrat terutama pada semua perlakuan
diduga karena telah dimanfaatkan oleh fitoplankton. Hasil pengukuran nitrit pada
semua perlakuan berkisar adalah 0,0035-0,5102 ppm. Hasil pengukuran fosfat pada
perlakuan A 0,0030-1,2598, ppm, perlakuan B 0,1880-0,7758 ppm dan perlakuan C
adalah 0,01170-1,0243 ppm. tergolong rendah. Menurut Bruno et al., 1979 dalam
Wijaya et al., (1994) bahwa pertumbuhan optimal fitoplankton dibutuhkan kandungan
ortofosfat 0,27-5,51 ppm. Rendahnya kandungan fosfat pada ketiga perlakuan ini juga
diduga telah dimanfatkan oleh fitoplankton sebagai unsur hara yang diperlukan untuk
perkembangannya. Kandungan amonia untuk seluruh perlakuan adalah 0,0008-1,3418
ppm. Sedangkan kandungan BOT adalah 15,94-40,41 ppm.
Perlakuan
Parameter air
A B C
Suhu (oC) 29,1-33,1 29,1-32,9 29,0-32,13
Oksigen terlarut (mg/L) 2,0-7,9 2,5-8,7 2,5-8,6
pH 7,8-9,5 7,8-9,5 7,5-9,3
Salinitas (ppt) 15-29 18-29 18-29
Alkalinitas (mg/L) 71,06-192,28 91,96-183,92 83,6-179,74
NO2-N (mg/L) 0,0033-0,1465 0,005-0,1929 0,0059-0,5102
NO3-N (mg/L) 0,0001-0,2533 0,0015-0,1789 0,0001-0,7645
PO4-P (mg/L) 0,0030-1,2598 0,0188-0,7858 0,0117-1,0243
NH3-N (mg/L) 0,0008-1,3418 0,0008-1,0593 0,0008-1,1207
BOT (mg/L) 15,94-36,06 22,01-37,61 17,29-40,41
KESIMPULAN
1. Plankton yang diperoleh selama penelitian terdiri dari fitoplankton adalah 5
genera, sedangkan zooplankton 2 genera
2. Jumlah jenis plankton yang didapatkan pada perlakuan A, B masing-masing 7
genera dan C adalah 6 genera, Sedangkan kelimpahan individu plankton yang
didapatkan pada perlakuan A,B dan C masing-masing 320, 415 dan 420 (
ind./L)
3. Kumunitas plankton pada semua perlakuan tergolong labil dan cenderung terjadi
dominansi antar jenis plankton.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, M. dan Burhanuddin. 2009. Pengamatan kondisi plankton pada polikultur udang
windu (Penaeus monodon) dan bandeng (Chanos chanos) dengan rumput
laut (Gracillaria verrucosa) di tambak. Prosiding Forum Inovasi Teknologi
Akuakultur 2009. Pusat Riset Perikanan Budidaya Badan Riset Kelautan dan
Perikanan. hal 581-587.
Amin, M. dan Tangko, A.M. 2010. Kondisi kualitas air dan plankton pada tambak
budidaya udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) dengan sistem modular
di tambak Prosiding Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2010, 2-3
Desember 2010. Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M)
Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Hal. 400-408.
Amin, M. dan E.A. Hendrajat. 2011. Pengamatan populasi Kopepoda ada pemeliharaan
Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). dengan waktu awal pemberian
pakan berbeda di tambak. Prosiding Seminar Nasional Kelautan VII Universitas
hang-Tuah Surabaya, 18 Juli 2011. Hal B2-50 – B2-55.
APHA (American Public Health Association), 2005. Standard Methods For Examination
of Water and Wastewater. APHA, 800 I Street, New York. p.10-167.
Basmi, H.J. 2000. Planktonologi. : Sebagai indicator kualitas perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu kelauan, Institut Pertanian Bogor. 60 hlm.
Boyd, C.E., 1979. Water quality management for ponds fish culure. Elsevier Scientific.
Publishing Company, Amsterdam. The Netherlands.
Boyd, C.E., 1990. Water quality in pond for aquaculture. Alabama Agricultural
Experiment Station Auburn University. Birmingham Publishing Co. Alabama. 482
p.
Effendi, H., 2000. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya lingkungan
perairan. Jurusan Sumberdaya Perairan dan Kelautan. IPB. Bogor. 258 hlm.
Legendre, L. and Legende. P. 1983. Numerial Ecology. Elsvier Scientific Publ. Co.
New York. p.419.
Mackenthum, K.M. 1969. The practice of water pollution biology. United State
Departement if inerior, Federal Water Pollution Control Administration, Division
of Technical Support. P.278.
Dawes, C. J., 1981. Marine Botany. A Wiley Interscience Publ. : 628 p.
Masson, C.V. , 1981. Biology of Water Pollution. Longman Scientificand Technical
Longman Singapore PublisherPtc. Ltd. Singapore.
Newell, G. E. and Newell. R..C. 1977. Marine Plankton aPractical Guide 5 th. Edition.
Hutchinson of London. 244 p.
Odum, E. P., 1971. Fundamental Ecology. Third Edition. W. B. Saunders, Co.
Philadelphia, London. p.574.
Raynolds, C.S., Tundisi, J.G. and .Hino, K. 1984. Observation on a Metalimnetic
Phytoplankton Population in A Stably Stratiffied Tropical Lake. Arch. Hydrobyol.
Argentina 97 : 7 – 17.
Sachlan, M., 1982. Planktonoloi. Correspondence Course Centre.Direktorat Jenderal
Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta. 57 hlm.
Stafford, 1999. A Guide to Phytoplankton of Aquacultur Ponds. Collection, Analysis and
Identification Manager DPI Publications Department of Primery Industries GPO
Box 46. Brisbane Old 40001. P. 57.
Stirn,J., 1981. Manual methodsin Aquatic Environment Research. Part 8. Ecological
Assesment of Pollution Effect. FAO Rome. 70 p.
Widjaja, F., Suwingyo, S., Yulianda, F., dan Effendi, H. 1994. Komposisi jenis,
Kelimpahan dan Penyebaran Plankton Laut di Teluk Pelabuhan Ratu Jawa Batar..
Lapoan Penelitian Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. 28 hlm.
Yamaji, I., 1976. Illustration of the marine plankton of Japan. Hoikusha Publising Co.
Ltd.
369 p.
Tabel Lampiran 1. Komposisi jenis dan rataan jumlah individu plankton yang
diperoleh selama penelitian
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Perlakuan
Jenis Plankton --------------------------------------------------------------------------
A B C
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Fitoplankton
Kelas Bacillariophyceae
1.Chaetoceros 9 14 18
2.Biddulphia 1 2 -
3.Nitzschia 54 45 54
4.Pleurosigma 50 32 16
Kelas Cyanophyceae
5.Oscillatoria 34 44 38
Zooplankton
Kelas Krustacea
6.Acartia 147 189 266
Kelas Rotatoria
7.Brachionus 25 89 28
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jumlah 320 415 420
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Giman, Mahmiah
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan atau Laboratorium Kimia Universitas Hang Tuah
Jl. Arif Rahman Hakim 150 Surabaya. Hp 085648153336 / 031-8832964
Abstrak: Untuk meningkatkan kwalitas produksi garam krosok agar bisa menjadi
produk yang bisa masuk dalam ranah industri perlu dilakukan upaya pemurnian.
Salah satu alternatif upaya itu adalah berupa pemurnian garam dengan metode
penambahan bahan kimia (ion sejenis) ke dalam larutan garam pekat, sehingga
akan terbentuk kristal kembali yang lebih bersih dan murni. Metode pemurnian
dengan penambahan ion sejenis ini dilakukan dengan terlebih dahulu membentuk
gas asam klorida yang terbuat dari asam sulfat murni (reagen grade) dengan
garam krosok dalam suatu chamber, dan gas yang terbentuk dialirkan ke larutan
garam pekat yang sudah disaring. Oleh karena secara ekonomi asam sulfat murni
masih dianggap mahal, maka perlu dicarikan alternatifnya yaitu dengan mengganti
dari asam sulfat yang murni oleh asam sulfat teknis yang lebih murah. Dari
pemurnian yang diperoleh ternyata penggunaan asam sulfat dengan derajat
kemurnian teknis memberikan hasil yang baik dan kemurnian yang cukup tinggi.
PENDAHULUAN
Teknologi memurnikan garam yang selama ini diterapkan oleh industri garam
pada umumnya masih menggunakan metode fisik seperti pencucian, sentrifugasi, dan
dehidrasi sehingga pengotor garam yang bisa dihilangkan sebatas pengotor fisik
seperti lumpur, koloid tanah, dan lain-lainnya. Oleh karena itu teknologi pemurnian
garam dengan metode penambahan bahan kimia (metode ion sejenis) perlu dilakukan
untuk melengkapi metode fisik. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan metode
tersebut dalam skala laboratorium dapat menghasilkan garam dengan kemurnian lebih
dari 97%.
Prinsip pemurnian garam dengan metode kimia adalah sebagai berikut; membuat
larutan garam krosok jenuh (45%) yang dibeli dari petani garam kemudian disaring
dengan kertas saring tertentu, hingga diperoleh larutan garam jenuh yang betul-betul
jernih ( di petani garam larutan ini disebut sebagai air tua ). Selanjutnya larutan ini
dialiri gas asam klorida murni (yang sudah dicuci), maka akan terbentuk endapan
garam sodium klorida yang murni. Pengaliran gas dihentikan bila di dalam larutan
garam jenuh tersebut tidak terbentuk endapan garam lagi. Garam dipisahkan dari
filtratnya dengan penyaringan, dan kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu
105°C, dengan tujuan untuk menghilangkan sisa uap air atau uap gas yang
mengikutinya ( Keenan C.W, et all, 1989, Jolly W.L., 1985).
Pada pemurnian di atas semua bahan kimia yang meliputi asam sulfat, asam
klorida dan perak nitrat dalam tingkat kemurnian reagen grade, sehingga masih dirasa
sangat mahal dalam perspektif ekonomi. Oleh karena itu dalam penelitian ini dicoba
dengan memanfaatkan asam sulfat dalam kemurnian skala teknis (sekitar 70%) dan
dengan harga yang relatif murah. Dengan demikian apakah akan diperoleh hasil
pemurnian dengan tingkat kemurinian yang sama dengan ketika menggunakan asam
sulfat murni atau tidak, maka perlu dilakukan penelitian ini.
METODE PENELITIAN
Pemurnian garam dalam skala laboratorium
Kegiatan rancang bangun pemurnian garam krosok dengan metode penambahan
ion sejenis telah kami lakukan secara skala laboratorium di laboratorium kimia
Universitas Hang Tuah Surabaya.
a
f
e
250 ml
c d
Keterangan gambar 1:
a. Labu alas bulat berisi garam dapur krosok
b. Corong pemisah berisi H2SO4 pekat (teknis)
c. Pembakar spiritus
d. Botol pencuci gas berisi HCl pekat
e. Corong biasa yang terbalik (harus tercelup larutan mulutnya)
f. Beaker glass berisi larutan garam dapur (45%) yang akan dimurnikan dan sudah
disaring.
Prosedur Kerja :
1. Susun alat pemurnian garam rakyat seperti terlihat pada gambar 1.
2. Buat larutan garam rakyat dengan cara melarutkan 45 gr garam kasar (yang
berasal dari pasar) dalam 100 ml air dalam beaker glass
Analisis Ekonomi
Proses pemurnian yang telah kami lakukan secara laboratorium memerlukan
bahan-bahan kimia dengan harga sebagai berikut:
1. Garam krosok (160 gr) Rp. 160,00
2. Asam sulfat pekat teknis (80 ml) Rp. 2.000,00
3. Asam klorida pekat pa (10 ml) Rp. 2.500,00
4. Bahan bakar spirtus (50 ml ) Rp. 500,00
Jumlah Rp. 5.160,00
DAFTAR PUSTAKA
Giman. 2010. Teknologi Tepat Guna untuk pemurnian garam Rakyat. Proseding
Seminar Kelautan 6. UHT . 24 April 2010. Surabaya.
Jolly William L. 1989. Modern Inorganic Chemistry. 3rd Ed. New York: McGraw-Hill Book
Comp.
Keenan Charles W, Donald C. K., Jesse H.Wood. 1989. General College Chemistry.6th
Ed. Knoxville: Harper & Row Publs Inc.
Tatang S Soerawidjaja. 2010. Kajian Teknis garam dan produk-produk turunannya.
Seminar merekonstruksi garam rakyat dalam perspektif teknis, social, dan
kelembagaan. Universitas Trunojoyo, Bangkalan, Madura, 5 Juli.
Mahmiah, Giman
Jurusan Oseanografi, Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan, Universitas Hang Tuah
Email : [email protected]
Abstrak: Uji skrining fitokimia tumbuhan mangrove jenis Avicennia marina yang
diperoleh dari kawasan Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) dilakukan dengan
menggunakan metode ekstraksi maserasi dan uji penggolongan senyawa-senyawa
metabolit sekunder menggunakan reagen yang spesifik. Hasil skrining
menunjukkan adanya senyawa golongan fenolat, terpenoid, dan saponin.
Sedangkan steroid tidak teridentifikasi pada uji skrining tersebut. Pelarut metanol
cocok adalah metanol
PENDAHULUAN
Wilayah Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) merupakan bentang alam yang
relative datar dengan kemiringan 0-3° dan rata-rata ketinggian pasang-surut 1,67
meter. Kawasan ini terbentuk dari hasil pengendapan sistem sungai yang ada di
sekitarnya dan dipengaruhi oleh laut. Kondisi daerah delta dengan tanah alluvial yang
sangat dipengaruhi oleh sistem laut ini merupakan habitat yang baik bagi tumbuhnya
ekosistem mangrove (Anonim, 1991).
Mangrove yang banyak tumbuh dan tersebar di kawasan Pamurbaya adalah jenis
Avicennia marina. Secara etnobotani, tumbuhan mangrove tersebut banyak
dimanfaatkan masyarakat sekitar seperti bagian buah mangrove A. marina dibuat
sebagai sirup mangrove, dan kulit kayu dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami
untuk tekstil. Selain itu bagian daun, kayu, dan akar juga banyak dimanfaatkan
sebagai ramuan untuk meredakan nyeri, diare, dll. Pemanfaatan bagian tumbuhan
tersebut dikarenakan tumbuhan mangrove secara kemotaksonomi menghasilkan
senyawa-senyawa metabolit sekunder seperti golongan alkaloid, terpenoid, steroid,
flavonoid, dan alkaloid. Senyawa-senyawa metabolit sekunder tersebut bergantung
pada iklim dan habitat tumbuhan mangrove tumbuh. Saat ini data-data empiris
tentang senyawa metabolit sekunder A. marina yang hidup di kawasan PAMURBAYA
belum banyak diketahui.
Atas dasar etnobotani dan kemotaksonomi yang dimiliki tumbuhan mangrove
jenis A. marina dan inilah, maka dilakukan skrining fitokimia senyawa metabolit
sekunder dari beberapa bagian tumbuhan tersebut seperti daun dan kulit kayu.
Skrining fitokimia ini digunakan sebagai kajian awal untuk mengisolasi senyawa-
senyawa metabolit sekunder yang aktif . Adapun metode meliputi metode ekstraksi
dan uji skrining bagian tumbuhan menggunakan reagen yang khas untuk masing-
masing golongan senyawa metabolit sekunder.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Sampel tumbuhan mangrove A. marina diperoleh dari kawasan mangrove
PAMURBAYA tepatnya di Wonorejo Rungkut Surabaya. Sedangkan penelitian dilakukan
di Laboratorium Kimia – Gedung Growth Center Universitas Hang Tuah.
Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bagian daun dan kulit
kayu tumbuhan A. marina yang diperoleh dari Wonorejo, Rungkut Surabaya. Bahan-
bahan kimia yang dibutuhkan untuk keperluan ekstraksi meliputi pelarut organik teknis
yang sudah didestilasi seperti n-heksana, aseton, etil asetat, dan metanol. Uji skrining
fitokimia menggunakan pereaksi yang khas untuk masing-masing golongan senyawa
seperti FeCl3, reagen Meyer, reagen Liebermann-Burchard, dan HCl pekat.
Metode
Ekstraksi dilakukan dengan beberapa pelarut organik dengan berbeda kepolaran.
Metode yang digunakan adalah metode maserasi. Sebanyak 3 g serbuk sampel kering
bagian daun dan kulit kayu A. marina dimaserasi dengan 20 ml pelarut organik yang
berbeda kepolarannya. Dari ekstraksi tersebut akan diketahui pelarut organik yang
cocok untuk proses isolasi senyawa-senyawa metabolit sekunder.
Prosedur skrining fitokimiasenyawa-senyawa metabolit sekunder dari tumbuhan
mangrove A. marina sebagai berikut:
a. Alkaloid
Sebanyak 2 ml ekstrak Aseton ditambahkan beberapa tetes H2SO4 2 M dan
dikocok sehingga terpisah dua lapisan. Lapisan asam yang terdapat dibagian atas
dipipet ke dalam tabung reaksi lain, lalu ditambahkan pereaksi Meyer’s. Adanya
alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya endapan putih.
b. Terpenoid dan Steroid
Sebanyak 2 ml ekstrak n-heksana diekstraksi dengan dietil eter dan fraksi yang
larut dalam dietil eter dipisahkan. Fraksi yang larut dalam dietil eter ditambahkan
CH3COOH glasial dan H2SO4 pekat. Larutan dikocok perlahan dan dibiarkan
selama beberapa menit. Steroid memberikan warna biru atau hijau, sedangkan
triterpenoid memberikan warna merah atau violet.
c. Senyawa fenolat
Sebanyak 2 ml ekstrak metanol masing-masing di tambahkan dengan pereaksi
FeCl3 1%. Uji positif ditunjukkan oleh terbentuknya warna hijau, biru atau ungu.
d. Saponin
Empat gram ekstrak kasar ditambahkan air panas, kemudian ditambahkan
beberapa tetes HCl pekat. Uji positif ditunjukkan oleh terbentuknya busa
permanen ± 15 menit (Darwis, 2000).
Skrining fitokimia merupakan tahap awal yang harus dilakukan untuk mengetahui
golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada sampel tumbuhan dan
mengetahui pelarut organik yang paling cocok untuk proses ekstraksi selanjutnya. Hasil
dari proses ini, selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar untuk mengisolasi senyawa-
senyawa metabolit sekunder yang berpotensi sebagai senyawa bioaktif. Adapun
metode yang digunakan pada proses skrining fitokimia meliputi metode ekstraksi
maserasi dan uji penentuan golongan senyawa metabolit sekunder menggunakan
reagen tertentu.
Berdasarkan hasil maserasi yang dilakukan selama 3x 24 jam terhadap bagian
daun dan kulit kayu tumbuhan mangrove A. marina menggunakan bergagai pelarut
yang berbeda kepolaran, dapat diketahui bahwa ekstrak dari tiap-tiap bagian
tumbuhan menunjukkan hasil sama seperti ditunjukkan pada tabel 1.
Data hasil pengamatan di atas menunjukkan bahwa hasil ekstrak terutama pada
bagian daun menunjukkan adanya warna hijau dari klorofil. Warna kuning pada hasil
ekstraksi memberikan informasi adanya senyawa fenolat yang terkandung dalam hasil
ekstraksi. Jika ditinjau berdasarkan kepolarannya, terlihat pada ekstrak n-heksan
hanya melarutkan senyawa-senyawa metabolit sekunder yang bersifat non polar,
sedangkan pada ekstrak aseton dan etil asetat memperlihatkan warna yang sama
sehingga diindikasikan senyawa metabolit sekunder yang terekstrak juga memiliki
golongan yang sama. Dari ekstrak metanol terlihat warna yang lebih pekat
dibandingkan dengan ekstrak aseton dan etil asetat karena metanol merupakan pelarut
paling polar diantara pelarut-pelarut organik yang telah digunakan untuk proses
ekstraksi dan mengindikasikan bahwa senyawa-senyawa metabolit sekunder lebih
banyak terekstrak.
Proses selanjutnya adalah skrining fitokimiauntuk menentukan golongan senyawa
metabolit sekunder seperti terpenoid, steroid, fenolat dan saponin yang terdapat pada
sampel A. marina. Hasil uji fitokimia pada tumbuhan mangrove jenis A. marina
disajikan pada tabel 2.
HO HO
Stigmasterol
Taraxerol
OH
OH
HO
OH
OH O
Kuersetin
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil uji skrining fitokimia dari tumbuhan mangrove Avicennia
marina yang diperoleh dari kawasan Pantai Timur Surabaya (PAMURBAYA) tidak
menunjukkan adanya steroid tetapi positif adanya golongan-golongan senyawa
metabolit sekunder seperti senyawa fenolat, terpenoid, dan saponin. Pelarut organik
yang sesuai untuk proses ekstraksi adalah metanol.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Pemerintah Daerah Tk. II Kotamadya Surabaya, (1991), Fakta dan Analisis
Rencana Detail Tata Ruang Kota Surabaya Unit Pengembangan Pantai Timur
Surabaya, Surabaya.
Kristanti, A.V., Aminah, N.A., Tanjung, M., Kurniadi, B., (2008), Buku Ajar FITOKIMIA,
FMIPA Universitas Airlangga, Airlangga University Press, Surabaya.
Mahera, S.A., Ahmad, V.U., Saifullah S.M., Mohammed, F.V., Ambreen, K., (2011),
Steroid and Triterpenoids from Grey Mangrove Avicennia marina, Pak J. Bot, Vol
43 (2) : 1417-1422
Zhu, F., Chen, X., Yuan, Y., Huang, M., Sun, H., Xiang, W, (2009), The Chemical
Investigation of the Mangrove Plant Avicennia marina and its Endophytes, The
Open Natural Product Journal, Vol. 2 :24-32