LP Spinal Cord Injury (KMB Fayya)

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN SPINAL CORD INJURY

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners


Keperawatan Medokal Bedah

Oleh :
ROKHIMAHTUL FAYYADHAH

40221039

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KOTA KEDIRI
2021

1
LAPORAN PENDAHULUAN
SPINAL CORD INJURY

A. Definisi
Spinal Cord Injury (SCI) dapat didefinisikan sebagai kerusakan atau
trauma sumsum tulang belakang yang dapat mengakibatkan kehilangan atau
gangguan fungsi yang mengakibatkan berkurangnya mobilitas atau perasaan
(sensasi).
Spinal cord injury (SCI) terjadi ketika sumsum tulang belakang rusak,
sehingga mengakibatkan hilangnya beberapa sensasi dan kontrol motorik.
Spinal cord injury (SCI) adalah suatu tekanan terhadap sumsum tulang
belakang yang mengakibatkan perubahan, baik sementara atau permanen, di
motorik normal, indera, atau fungsi otonom. Efek dari spinal cord injury
tergantung pada jenis luka dan tingkat dari cedera. Akibat yang ditimbulkan
karena cedera SCI bervariasi, dan yang terparah bisa sampai mengakibatkan
hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan
berkemih.
Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan
lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas,
kecelakakan olahraga dsb (Arifin cit Sjamsuhidayat, 1997).

B. Etiologi
a. Kecelakaan lalu lintas/jalan raya
b. Injuri atau jatuh dari ketinggian.
c. Kecelakaan karena olah raga. Di bidang olahraga, tersering karena
menyelam pada air yang sangat dangkal
d. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra.
e. Pergerakan yang berlebih: hiperfleksi, hiperekstensi, rotasi berlebih, stress
f. lateral, distraksi (stretching berlebih), penekanan.
g. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis seperti
spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit

2
dan mengakibatkan cedera progresif terhadap medulla spinalis dan akar;
mielitis akibat proses inflamasi infeksi maupun noninfeksi; osteoporosis
yang disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertebrata; siringmielia;
tumor infiltrasi maupun kompresi; dan penyakit vaskuler.
C. Tanda dan Gejala
a. Nyeri pada area spinal atau paraspinal
b. Nyeri kepala bagian belakang, pundak, tangan dan kaki
c. Kelemahan/penurunan/kehilangan fungsi motorik (kelemahan,
paralisis)
d. Penurunan/kehilangan sensasi (mati rasa/hilang sensasi nyeri, kaku,
parestesis, hilang sensasi pada suhu, posisi, dan sentuhan)
e. Paralisis dinding dada menyebabkan pernapasan diafragma
f. Shock dengan kecepatan jantung menurun
g. Priapismus
h. Kerusakan kardiovaskuler
i. Kerusakan pernapasan
j. Kesadaran menurun
Tanda spinal shock (pemotongan komplit rangsangan), meliputi: Flaccid
paralisis di bawah batas luka, hilangnya sensasi di bawah batas luka,
hilangnya reflek-reflek spinal di bawah batas luka, hilangnya tonus
vasomotor (hipotensi), inkontinensia urine dan retensi feses (apabila
berlangsung lama akan menyebabkan hiperreflek/paralisis spastic.

D. Klasifikasi
Holdsworth membuat klasifikasi cedera spinal sebagai berikut: Cedera
fleksi: cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior,
kemudian dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra
sehingga mengakibatkan wedge fracture (teardrop fracture). Cedera seperti ini
dapat dikategorikan sebagai cedera yang stabil; Cedera fleksi-rotasi: beban
fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior (terkadang
juga dapat melukai prosesus artikularis) lalu, cedera ini akan mengakibatkan

3
terjadinya dislokasi fraktur rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture
korpus vertebra. Cedera ini digolongkan sebagai cedera yang paling tidak
stabil; Cedera ekstensi: cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum
longitudinalis anterior dan menimbulkan herniasi diskus. Biasanya terjadi
pada daerah leher. Selama kolumna vertebra dalam posisi fleksi, maka cedera
ini masih tergolong stabil; Cedera kompresi vertikal (vertical compression):
cedera kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra
dan dapat menimbulkan burst fracture; Cedera robek langsung (direct
shearing): cedera robek biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh
pukulan langsung pada punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser,
fraktur prosesus artikularis serta ruptur ligamen.

E. Patofisiologi
Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus
terbanyak cedera spinal cord mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera
dapat terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi pada tulang
belakang.
Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah tulang sederhana,
kompresi, kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada cedera spinal
cord dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan atau
tanpa gangguan peredaran darah, dan perdarahan. Kerusakan ini akan
memblok syaraf parasimpatis untuk melepaskan mediator kimia, kelumpuhan
otot pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat dan akut
anestesi. Iskemia dan hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi rektum serta
kandung kemih. Gangguan kebutuhan gangguan rasa nyaman nyeri, oksigen
dan potensial komplikasi, hipotensi, bradikardia dan gangguan eliminasi.
Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada lokasi
yang terkena: jika terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan mengalami
tetraplegia dengan kehilangan fungsi pernapasan atau sistem muskular total;
jika cedera mengenai saraf C-4 dan C-5 akan terjadi tetraplegia dengan
kerusakan, menurunnya kapasitas paru, ketergantungan total terhadap aktivitas

4
sehari-hari; jika terjadi cedera pada C-6 dan C-7 pasien akan mengalami
tetraplegia dengan beberapa gerakan lengan atau tangan yang memungkinkan
untuk melakukan sebagian aktivitas sehari-hari; jika terjadi kerusakan pada
spinal C-7 sampai T-1 seseorang akan mengalami tetraplegia dengan
keterbatasan menggunakan jari tangan, meningkat kemandiriannya;
pada T-2 sampai L-1 akan terjadi paraplegia dengan fungsi tangan dan
berbagai fungsi dari otot interkostal dan abdomen masih baik; jika terjadi
cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya, maka orang tersebut akan
kehilangan fungsi motorik dan sensorik, kehilangan fungsi defekasi dan
berkemih.

F. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosa pada penderita spinal cord injury,
diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang yang meliputi: sinar-x spinal:
untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislokasi),
untuk reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi; CT scan untuk
menentukan tempat luka/jejas, mengidentifikasi tulang yang terluka dan
tekanan pada cord, mengevaluasi gangguan struktural, CT- Scan berguna
untuk mempercepat skrining dan menyediakan informasi tambahan jika hasil
dari sinar-x kurang akurat untuk mengetahui status patahan dan spinal yang
cedera; MRI: untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal, edema dan
kompresi; Foto rontgen thorak: ditujukan untuk mengetahui keadaan paru
klien, (contoh : adakah perubahan pada diafragma, atelektasis); AGD (analisa
gas darah): digunakan untuk menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan
upaya ventilasi.

G. Komplikasi
Efek dari cedera kord spinal akut mungkin mengaburkan penilaian
terhadap cedera lain yang menyertai dan mungkin juga mengubah respon
terhadap terapi. Berat serta jangkauan cedera penyerta yang berpotensi didapat

5
dari penilaian primer yang sangat teliti dan penilaian ulang yang sistematik
terhadap pasien setelah cedera kord spinal. Dua penyebab kematian utama
setelah cedera kord spinal adalah aspirasi dan syok.
Beberapa komplikasi yang mungkin ditimbulkan dari cedera saraf
tulang belakang adalah: tekanan darah perubahan - dapat ekstrim (otonom
hyperreflexia), disebabkan karena menurunnya curah jantung, komplikasi
imobilitas dapat disebabkan karena tidak berfungsinya salah satu anggota
tubuh sehingga pasien diharuskan tirah baring yang lama sehingga dapat
menyebabkan dekubitus atau kontraktur; deep vein thrombosis, ini dapat
terjadi karena kurangnya sistem koagulasi dalam darah, sehingga terdapat
trombus, karena pergerakan, maka dapat menyebabkan trombus tersebut lepas
dan menjadi emboli, kemudian melalui pembuluh darah mengikuti aliran
darah dan berkumpul di suatu tempat; infeksi paru dapat terjadi jika ada
cedera lain yang menyertai, atau ada kompresi pada cervikalis sehingga fungsi
paru terganggu atau menjadi minimal; kulit breakdown terjadi bila terjadi
robekan pada kulit punggung; kontraktur, terjadi karena pasien immobilisasi;
peningkatan risiko cedera pada daerah kebas tubuh disebabkan karena orang
tersebut kehilangan sensasi (mati rasa) sehingga meskipun orang tersebut
terluka oleh benda tajam pada daerah kebas tidak akan merasakan sakit;
peningkatan risiko kerusakan ginjal karena terjadi disfungsi berkemih
sehingga pasien tidak dapat mengeluarkan sisa metabolisme dalam tubuh
melalui urin; meningkatnya risiko infeksi saluran kemih karena banyak bakteri
dan jamur pada saluran kemih; kehilangan kontrol kandung kemih disebabkan
karena cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya; kehilangan kontrol usus
disebabkan karena cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya; hilangnya
sensasi disebabkan oleh cederanya spinal L1 dan L2 atau dibawahnya;
kehilangan fungsi seksual (impotensi pria) karena cedera spinal L1 dan L2
atau dibawahnya; muscle spasticity disebabkan karena C-1 sampai C-3
mengalami cedera; pain, karena diskontinuitas antara tulang dan jaringan;
kelumpuhan otot pernapasan, karena cederanya spinal C1 sampai C3, dan C4
sampai C5 ; kelumpuhan (paraplegia, quadriplegia), tergantung pada tempat

6
atau lokasi terjadinya cedera; aspirasi terjadi karena tidak berfungsinya sistem
pernapasan dan pencernaan; shock, biasanya terjadi karena perdarahan pada
pasien, jika kehilangan darah terus menerus, pasien akan menjadi hipotensi,
dan untuk mengkompensasi, jantung bekerja lebih keras, memompa lebih
cepat sehingga terjadi takikardi pada nadi, namun volume darah dalam tubuh
tetap sedikit, sehingga darah hanya digunakan untuk otak, apabila tubuh sudah
tidak dapat mengkompensasi lagi, nadi akan menjadi semakin lemah dan
sampai tak teraba dan untuk bagian perifer tubuh menjadi dingin (akral), dan
terjadilah shock hipovolemik.

H. Penatalaksanaan
Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral
dalam posisi lurus: pemakaian kollar leher, bantal pasir atau kantung IV untuk
mempertahankan agar leher stabil, dan menggunakan papan punggung bila
memindahkan pasien; melakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang
meliputi penggunaan Crutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada
tengkorak, tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien dengan
fraktur servikal stabil ringan; pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau
insersi batang Harrington) untuk mengurangi tekanan pada spinal bila pada
pemeriksaan sinar-X ditemui spinal tidak aktif.
Intervensi bedah = Laminektomi, dilakukan bila: deformitas tidak dapat
dikurangi dengan fraksi, terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal
servikal, cedera terjadi pada region lumbar atau torakal, status neurologis
mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau
dekompres medulla. (Diane C. Braughman, 2000 ; 88-89)
Tindakan-tidakan untuk mengurangi pembengkakan pada medula
spinalis dengan menggunakan glukortiko steroid intravena

I. Penatalaksanaan Keperawatan
Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada neurologis,
kemungkinan didapati defisit motorik dan sensorik di bawah area yang

7
terkena: syok spinal, nyeri, perubahan fungsi kandung kemih, perusakan
fungsi seksual pada pria, pada wanita umumnya tidak terganggu fungsi
seksualnya, perubahan fungsi defekasi; kaji perasaan pasien terhadap
kondisinya; lakukan pemeriksaan diagnostik; pertahankan prinsip A-B-C
(Airway, Breathing, Circulation) agar kondisi pasien tidak semakin
memburuk.

J. Pathway

8
9
K. Anatomi Fisiologi

L. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Riwayat kesehatan
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status
kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah
kejadian.
2) Pemeriksaan fisik
a) Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene
stokes, biot, hiperventilasi, ataksik)

10
b) Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh
PTIK
c) Sistem saraf :
 Kesadaran : GCS
 Fungsi saraf kranial : Trauma yang mengenai/meluas ke
batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
 Fungsi sensori-motor : Adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri,
gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia,
hiperalgesia, riwayat kejang.
d) Sistem pencernaan
 Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks
menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk,
mudah tersedak. Jika pasien sadar : Tanyakan pola makan?
 Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan
cairan.
 Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
e) Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik :
hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan
otot.
f) Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan :
disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf
fasialis.
g) Psikososial : data ini penting untuk mengetahui dukungan yang
didapat pasien dari keluarga.
b. Diagnosa
1) Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kerusakan
tulang punggung, disfungsi neurovaskular, kerusakan sistem
muskuloskeletal.
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
perfusi ventilasi dan perubahan membran alveolar kapiler.

11
3) Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk membersihkan sekret yang menumpuk.
4) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan fungsi
motorik dan sesorik.
5) Resiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
penurunan immobilitas, penurunan sensorik.
6) Gangguan BAK berhubungan dengan penurunan isyarat kandung
kemih atau kerusakan kemampuan untuk mengenali isyarat
kandung kemih sekunder terhadap cedera medulla spinalis.
7) Konstipasi berhubungan dengan kurangnya kontrol sfingter
volunter sekunder terhadap cedera medulla spinalis di atas T11 atau
arkus refleks sakrum yang terlibat (S2-S4).
8) Nyeri berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera
psikis dan alat traksi
9) Risiko tinggi cidera berhubungan dengan stimulasi refleks sistem
saraf simpatis sekunder terhadap kehilangan kontrol otonom.
10) Risiko tinggi aspirasi yang berhubungan dengan kehilangan
kemampuan untuk menelan.
11) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan ketidakmampuan menelan sekunder terhadap
paralisis.
12) Kurang perawatan diri (mandi, gigi, berpakaian) yang berhubungan
dengan paralisis.
13) Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang proses
penyakit dan prosedur perawatan

12
Daftar Pustaka

1. Chulay, Marianne and Burns, Suzanne.2005.AACN Essentials of Critical Care


Nursing.United States of America: McGraw-Hill
2. Doengoes, M. E.1999.Rencana Asuham Keperawatan Pedoman untuk
3. Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.Edisi 3. Jakarta ; EGC
4. Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8
Vol. 3 . Jakarta : EGC.
5. Carpenito, Lynda Juall. 2001. Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC
6. Doengoes, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk
perencanaan dan Pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC
www.Asia-spinalinjury.org
7. Ns.Dedex Oktaviana.Jam 15.10.Tanggal 23 Maret 2010.Hari Selasa.
http://dedexdox.blogspot.com/
8. http://portal.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx?
x=Work+Out&y=cybermed%7C0%7C0%7C7%7C198
9. http://tulus-andi.blogspot.com/asuhan-keperawatan-spinal cord injury

13
10. Jam 15.59.23 Maret 2010.Laporan Pendahuluan pada Cedera Medulla
Spinalis.http://www.scribd.com/doc/28667692/askep-spinal-cord-injury-
cedera-medulaspinals?secret_password=&autodown=doc

14

Anda mungkin juga menyukai