Kel 2 Gadar Bu Jasma

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL & BASIC LIFE


SUPPORT

“TRIASE LEVEL 2”

DOSEN PEMBIMBING

Ns. Jasmawati, S.Kep.,M.Kes

Oleh :

1. Afifa Riski Amalia ( P07224219002 )


2. Defi Nurwahidah Putri ( P07224219007 )
3. Eline Bettrillia Armanto ( P07224219013)
4. Ferika Rafaris ( P07224219018)
5. Leni Anjarwati ( P07224219023)
6. Nurhardiani H.S ( P07224219029)
7. Sarina Nanda Suci Paramitha (P07224219034)
8. Wihel Ananda Putri (P07224219042)

PROGRAM STUDI D III KEBIDANAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN


KALIMANTAN TIMUR

1
TAHUN 2021

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Triase level 2 ( Kuning ) ialah kode warna kuning diberikan kepada pasien
yang memerlukan perawatan segera, namun masih dapat ditunda karena ia
masih dalam kondisi stabil. Pasien dengan kode kuning masih memerlukan
perawatan di rumah sakit dan pada kondisi normal akan segera ditangani.
Triage 2 Pasien dengan kondisi baik yang tidak mengancam jiwa, tetapi
memiliki potensi ancaman terhadap fungsi anggota tubuh, sehingga
memerlukan tindakan/intervasi medis yang cepat dengan waktu tunggu 0-5
menit.

B. Jenis – Jenis

Jenis-jenis Triase Ada beberapa jenis triase antara lain triase bencana,
triase militer, triase ED, triase ICU dan triase telepon23. Ada beberapa
perbedaan antara triase ED dan triase Bencana. Pada triase IGD, setiap pasien
dinilai sesuai dengan kebutuhan klinis pasien, sedangkan pengkategorian
pasien dalam triase bencana juga bergantung pada keterbatasan sumber daya
dan korban jiwa lainnya.

Jenis pasien dalam kategori kuning merupakan prioritas kedua (area


tindakan) yang juga membutuhkan pertolongan segera. Hanya saja, pasien
yang termasuk kategori ini tidak dalam kondisi kritis.

Dalam triase level ini perlu menentukan apakah pasien berada dalam
kondisi darurat yang memerlukan penanganan segera. Untuk itu, digunakan 3
pertanyaan penyaring:

a. Apakah kondisi pasien merupakan situasi berisiko tinggi?

b. Apakah pasien dalam kondisi kebingungan, letargik, atau mengalami


disorientasi?

2
c. Apakah pasien berada dalam kondisi nyeri hebat atau distress?

Yang dimaksud sebagai kondisi berisiko tinggi adalah pasien yang


kondisinya dapat segera menurun dengan cepat atau pasien dengan gejala yang
mengarah pada kondisi yang membutuhkan penanganan yang sensitif waktu,
misalnya stroke atau infark miokard. Contoh kondisi berisiko tinggi adalah
sebagai berikut:

a. Pasien dengan nyeri dada yang mengarah pada dugaan sindrom koroner
akut, tetapi kondisinya stabil

b. Pasien stroke yang tidak memenuhi kriteria ESI level 1

c. Kehamilan ektopik denganj kondisi hemodinamik stabil

d. Pasien imunokompromais yang datang dengan demam

e. Pasien dengan tendensi bunuh diri

C. Contoh Kasus

Contohnya seperti pasien dengan patah tulang di beberapa tempat, patah


tulang paha atau panggul, luka bakar luas, dan trauma kepala. Pada kasus,
patah tulang paha didiagnosis menggunakan rontgen (sinar-X) atau CT scan.
Sebelum mulai menentukan pengobatan patah tulang paha, dokter akan melihat
dulu jenis patah tulang paha yang di alami. Jenis-jenis patah tulang paha
tersebut meliputi:

- Fraktur transversal, yaitu patah tulang berupa garis horizontal lurus.

- Fraktur miring, yaitu bentuk retakannya miring.

- Fraktur spiral, yaitu bentuk retakannya berupa garis yang mengelilingi


poros femur, mirip seperti desain lampu barbershop.

- Fraktur kominutif, yaitu patah tulang yang menyebabkan tulang remuk.

- Fraktur majemuk, yaitu patah tulang menembus kulit sehingga disebut


juga dengan patah tulang terbuka.

3
Karena tergolong kuat, kasus patah tulang paha cenderung jarang terjadi.
Namun sekalinya kejadian, patah tulang paha membutuhkan waktu lebih dari 6
bulan sampai benar-benar sembuh.Setelah tulang paha kembali stabil dan tidak
bergeser pasca operasi, dokter biasanya akan merekomendasikan terapi fisik.
Terapi fisik ini ditujukan agar otot-otot di sekitar tulang menjadi kuat seperti
sedia kala. Latihan ringan juga dapat mengembalikan fleksibilitas dan fungsi
normal kaki, terutama pada bagian paha.

Berikut ini berbagai jenis pengobatan patah tulang paha, yaitu:

1.Operasi

Operasi intramedullary nailing paling banyak dipilih untuk mengatasi


patah tulang paha. Operasi ini dilakukan dengan memasukkan sebuah batang
ke dalam tulang paha, lalu bagian atas dan bawahnya 'dikunci' dengan sekrup
untuk menahan tulang. Tujuan dari operasi intramedullary nailing adalah
untuk menahan tulang paha yang patah tetap pada tempatnya sampai sembuh.

2. Pemberian obat-obatan tertentu

Sebelum dan sesudah operasi, dokter akan meresepkan berbagai jenis obat
pereda nyeri seperti: Paracetamol,Obat non-steroid antiinflamasi
(NSAIDs),Gabapentinoid,Penenang otot,Opioid,Obat nyeri oles (topikal)

D. Penanganan Kasus

1. Infus terlebih dahulu

2. Membersihkan daerah diduga patah

3. Lalu melakukan ronsen, dan kemudian pasang spalak

4. Konsultasi dengan dokter apakah harus segera melakukan pasang


pen/gips

E. Tatalaksana Kegawatdaruratan pada Fraktur Ekstrimitas


Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk
mempertahankan kehidupan pasien dan yang kedua adalah mempertahankan

4
baik anatomi maupun fungsi ekstrimitas seperti semula. Adapun beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam penanganan fraktur yang tepat adalah (1) survey
primer yang meliputi Airway, Breathing, Circulation, (2) meminimalisir rasa
nyeri (3) mencegah cedera iskemia-reperfusi, (4) menghilangkan dan
mencegah sumber- sumber potensial kontaminasi.
1. ) Survey Primer
Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan
adalah mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway,
Breathing, Circulation, Disability Limitation, Exposure).
1. A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah
kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan
nafas oleh adanya benda asing atau fraktus di bagian wajah. Usaha
untuk membebaskan jalan nafas harus memproteksi tulang cervikal,
karena itu teknik Jaw Thrust dapat digunakan. Pasien dengan gangguan
kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan
airway definitif.

2. B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita


harus menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi
dari paru paru yang baik, dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber
mengatakan pasien dengan fraktur ektrimitas bawah yang signifikan
sebaiknya diberi high flow oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask
dengan reservoir bag.

3. C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus


diperhatikan di sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac
output. Pendarahan sering menjadi permasalahan utama pada kasus
patah tulang, terutama patah tulang terbuka. Patah tulang femur dapat
menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3 – 4 unit darah dan
membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang terbaik adalah
menggunakan penekanan langsung dan meninggikan lokasi atau
ekstrimitas yang mengalami pendarahan di atas level tubuh.

5
Pemasangan bidai yang baik dapat menurunkan pendarahan secara
nyata dengan mengurangi gerakan dan meningkatkan pengaruh
tamponade otot sekitar patahan. Pada patah tulang terbuka, penggunaan
balut tekan steril umumnya dapat menghentikan pendarahan.
Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting disamping
usaha menghentikan pendarahan.

4. D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi


singkat terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat
cedera spinal.

5. E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring


dengan cara menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah
pakaian dibuka, penting bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak
hipotermia.
Pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma
muskuloskeletal seperti fraktur adalah imobilisasi patah tulang dan
pemeriksaan radiologi.
1. Imobilisasi Fraktur
Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang
cedera dalam posisi seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang
berlebihan pada daerah fraktur. hal ini akan tercapai dengan melakukan
traksi untuk meluruskan ekstrimitas dan dipertahankan dengan alat
imobilisasi. pemakaian bidai yang benar akan membantu menghentikan
pendarahan, mengurangi nyeri, dan mencegah kerusakan jaringan lunak
lebih lanjut. Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan di bawah
fraktur.
Fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction
splint. traction splint menarik bagian distal dari pergelangan kaki atau
melalui kulit. Di proksimal traction splint didorong ke pangkal paha
melalui ring yang menekan bokong, perineum dan pangkal paha. Cara

6
paling sederhana dalam membidai tungkai yang trauma adalah dengan
tungkai sebelahnya.
Pada cedera lutut pemakaian long leg splint atau gips dapat
membantu kenyamanan dan stabilitas. Tungkai tidak boleh dilakukan
imobilisasi dalam ekstensi penuh. Fraktur tibia sebaiknya dilakukan
imobilisasi dengan cardboard atau metal gutter, long leg splint. jika
tersedia dapat dipasang gips dengan imobilisasi meliputi tungkai
bawah, lutut, dan pergelangan kaki.

2. Pemeriksaan Radiologi
Umumnya pemeriksaan radiologis pada trauma skeletal merupakan
bagian dari survey sekunder. jenis dan saat pemeriksaan radiologis yang
akan dilakukan ditentukan oleh hasil pemeriksaan, tanda klinis, keadaan
hemodinamik, serta mekanisme trauma. foto pelvis AP perlu dilakukan
sedini mungkin pada pasien multitrauma tanpa kelainan hemodinamik
dan pada pasien dengan sumber pendarahan yang belum dapat
ditentukan.

2.) Survey Sekunder


Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal
adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah
mencari cedera cedera lain yang mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak
satupun terlewatkan dan tidak terobati.
Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus
mengambil riwayat AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past
Medical History, Last Ate dan Event (kejadian atau mekanisme kecelakaan).
Mekanisme kecelakaan penting untuk ditanyakan untuk mengetahui dan
memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh pasien, terutama jika kita
masih curiga ada cedera yang belum diketahui saat primary survey, Selain
riwayat penting juga untuk mencari informasi mengenai penanganan
sebelum pasien sampai di rumah sakit.

7
Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk
dievaluasi adalah (1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan
dan infeksi, (2) fungsi neuromuskular (3) status sirkulasi, (4) integritas
ligamentum dan tulang. Cara pemeriksaannya dapat dilakukan dengan
Look, Feel, Move. Pada Look, kita menilai warna dan perfusi, luka,
deformitas, pembengkakan, dan memar. Penilaian inspeksi dalam tubuh
perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan eksternal aktif, begitu pula
dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang pucat dan tanpa pulsasi
menandakan adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas yang bengkak
pada daerah yang berotot menunjukkan adanya crush injury dengan
ancaman sindroma kompartemen. Pada pemerikasaan Feel, kita
menggunakan palpasi untuk memeriksa daerah nyeri tekan, fungsi
neurologi, dan krepitasi. Pada periksaan Move kita memeriksa Range of
Motion dan gerakan abnormal
Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi
bagian distal dari fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada ujung jari
kemudian membandingkan sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika
hipotensi mempersulit pemeriksaan pulsasi, dapat digunakan alat Doppler
yang dapat mendeteksi aliran darah di ekstremitas. Pada pasien dengan
hemodinamik yang normal, perbedaan besarnya denyut nadi, dingin, pucat,
parestesi dan adanya gangguan motorik menunjukkan trauma arteri. Selain
itu hematoma yang membesar atau pendarahan yang memancar dari luka
terbuka menunjukkan adanya trauma arterial
Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan mengingat
cedera muskuloskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf dan
iskemia sel syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja sama
pasien. Setiap syaraf perifer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya perlu
diperiksa secara sistematik:
Tujuan penanganan fraktur selanjutnya adalah mencegah sumber –
sumber yang berpotensi berkontaminasi pada luka fraktur. Adapun beberapa
cara yang dapat dilakukan adalah mengirigasi luka dengan saline dan
menyelimuti luka fraktur dengan ghas steril lembab atau juga bisa diberikan

8
betadine pada ghas. Berikan vaksinasi tetanus dan juga antibiotik sebagai
profilaksis infeksi. Antibiotik yang dapat diberikan adalah:
1. Generasi pertama cephalosporin (cephalotin 1 – 2 g dibagi dosis 3 -4 kali
sehari) dapat digunakan untuk fraktur tipe I Gustilo
2. Aminoglikosid (antibiotik untuk gram negatif) seperti gentamicin (120
mg dosis 2x/hari) dapat ditambahkan untuk tipe II dan tipe III klasifikasi
Gustilo.
3. Metronidazole (500 mg dosis 2x/hari) dapat ditambahkan untuk
mengatasi kuman anaerob.

Pemberian antibiotik dapat dilanjutkan hingga 72 jam setelah luka


ditutup. Debridement luka di kamar operasi juga sebaiknya dilakukan
sebelum 6 jam pasca trauma untuk menghindari adanya sepsis pasca trauma.
Reduksi, Reposisi dan imobilisasi sesuai posisi anatomis dapat
menunggu hingga pasien siap untuk dioperasi kecuali ditemukan defisit
neurovaskular dalam pemeriksaan. Apabila terdapat indikasi untuk reposisi
karena defisit neurovaskular, maka sebaiknya reposisi dilakukan di UGD
dengan menggunakan teknik analgesia yang memadai.
Ada beberapa pilihan teknik analgesia untuk managemen pasien
fraktur ekstrimitas bawah di UGD. Untuk pasien yang mengalami isolated
tibia atau ankle fractures, Inhaled Nitrous oxide dan Oxygen (Entonox)
mungkin berguna untuk manipulasi, splintage dan transfer pasien.
Dalam strategi meredakan nyeri akut yang sekiranya berat dalam
patah tulang digunakan srategi “Three Step Analgesic Ladder” dari WHO.
Pada nyeri akut, sebaiknya di awal diberikan analgesik kuat seperti Opioid
kuat13. Dosis pemberian morfin adalah 0.05 – 0.1 mg/kg diberikan
intravena setiap 10/15 menit secara titrasi sampai mendapat efek analgesia.
Terdapat evidence terbaru di mana pada tahun terakhir ini Ketamine juga
dapat dipergunakan sebagai agen analgesia pada dosis rendah (0.5 – 1
mg/kg). Obat ini juga harus ditritasi untuk mencapai respon optimal agar
tidak menimbulkan efek anastesi. Efek menguntungkan dari ketamine
adalah ketamine tidak menimbulkan depresi pernafasan, hipotensi, dan

9
menimbulkan efek bronkodilator pada dosis rendah. Kerugian ketamine
adalah dapat menimbulkan delirium, tetapi dapat dicegah dengan
memasukkan benzodiazepine sebelumnya (0.5 – 2 mg midazolam intravena)
Peripheral nerve blocks juga menjadi pilihan baik dilakukan
tunggal maupun kombinasi dengan analgesik intravena. Yang umumnya
digunakan adalah femoral nerve block.

10
REFRENSI

https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/broken-leg/symptoms-
causes/syc-20370412

11

Anda mungkin juga menyukai