Proyek Inovasi Terapi Mirror

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 19

PROYEK INOVASI

MIRROR THERAPY PADA PASIEN STROKE


STASE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

DOSEN PEMBIMBING
Ns. Titan Ligita, MSN., Ph.D

DISUSUN OLEH :

Ridho Fadila Alfajri I4051201004 Lufy Afiestasari I4052201002


Muhammad Pondi I4052201007 Ismaniar Nurwianti I4051201020
Annisa Pirlaily I4052201014 Eliza Andriani I4051201014
Atrasina Azyyati I4051201012 Mikha I4052201005
Nur ‘Aina Surya I4051201030

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2020

Kata Pengantar
Alhamdulillah, segala puji kami panjatkan atas ke hadirat Allah SWT, atas luasnya
limpahan rahmat dan hidayah-Nya hingga akhirnya makalah “Proyek Inovasi Mirror
Therapy pada Pasien Stroke” ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.Penulisan makalah
proyek inovasi ini disusun untuk memenuhitugas stase Keperawatan Gawat Darurat Profesi
Ners Universitas Tanjungpura.Dalam pembuatan makalah proyek inovasi ini tidak lepas dari
bantuan dan dorongan dari beberapa pihak Penyusun mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr Garuda Wiko, S.H., M.Si., FCBARb selaku Rektor UniversitasTanjungpura


2. dr. Muhammad Asroruddin, Sp.M selaku Dekan Falkutas Kedokteran
UniversitasTanjungpura
3. Dr. Suriadi, MSN., Ph.D selaku Ketua Jurusan Keperawatan UniversitasTanjungpura
4. Sukarni, S.Kep., Ners., M.Kep selaku Ketua Program Profesi Ners
KeperawatanUniversitas Tanjungpura
5. Ns. Suhaimi Fauzan, M.Kep, selaku Dosen Koordinator Stase Keperawatan Gawat
Darurat Universitas Tanjungpura
6. Ns. Titan Ligita, MSN, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Kelompok kami

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini


penuhketerbatasan dan masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu, saran yang
konstruktifmerupakan bagian yang tak terpisahkan dan senantiasa kami harapkan
demipenyempurnaan makalah ini. Penyusun berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaatbagi banyak pihak.

22 Desember 2020

Penyusun

Daftar Isi
BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Terjadi perubahan pada trend penyakit beberapa puluh tahun belakangan ini.
Dulu, penyakit lebih didominasi oleh penyakit infeksi dan sekarang cenderung ke arah
penyakit metabolik. Penyakit metabolik yang sering dijumpai saat ini antara lain
hipertensi, diabetes melitus, dan stroke (Ramadany, dkk, 2013). Stroke masih menjadi
salah satu masalah utama kesehatan, bukan hanya di Indonesia namun di dunia.
Berdasarkan penelitian menyatakan bahwa 1 diantara 6 orang di dunia akan mengalami
stroke di sepanjang hidupnya. Stroke sebesar 10% dari seluruh kematian di dunia
merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit jantung koroner (13%) dan
kanker (12%) di negara – negara maju, sedangkan dari seluruh jumlah kematian di
Indonesia disebabkan oleh stroke (7,9 %) (Mutiarasari, 2019).
Insiden stroke di seluruh dunia sebesar 15 juta orang setiap tahunnya,
sepertiganya meninggal dan sepertiganya mengalami kecacatan permanen. Sekitar
795.000 pasien stroke baru atau berulang terjadi setiap tahunnya. Sekitar 610.000 adalah
serangan pertama dan 185.000 adalah serangan berulang. Angka kematian akibat stroke
ini mencapai 1 per 18 kematian di Amerika Serikat. Kurun waktu 5 tahun, lebih dari
setengah pasien stroke berusia > 45 tahun akan meninggal. Data World Health
Organization (WHO) menunjukkan bahwa kematian sebesar 7,9 % dari seluruh jumlah
kematian di Indonesia disebabkan oleh stroke. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
(Rikesda, 2013) bahwa prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan sebesar 7 per 1000 penduduk dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau
gejala sebesar 12,1 per 1000 penduduk (Mutiarasari, 2019).
Stroke adalah gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan defisit
neurologis mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragi sirkulasi saraf otak. Terdapat
dua jenis stroke yaitu stroke hemoragik dan stroke nonhemoragik. Stroke non-hemoragik
disebut juga stroke iskemik (non-hemorrhagic stroke, NHS). 80 % stroke adalah stroke
iskemik. Stroke iskemik merupakan stroke yang disebabkan oleh sumbatan akibat bekuan
darah, penyumbatan arteri baik satu maupun banyak yang mengarah ke otak, atau
embolus yang terlepas dari jantung atau arteri ekstrakranial (yang berada diluar
tengkorak) yang menyebabkan sumbatan di arteri intrakranial (yang berada didalam
tengkorak), penyebab ini banyak terjadi hampir 85% dari kasus stroke iskemik (Nurarif
dan Kusuma, 2016; Elim, dkk, 2016).
Kelumpuhan lengan atau tungkai sering terjadi setelah stroke dan sering
menyebabkan masalah pada aktivitas sehari-hari seperti berjalan, berpakaian, atau makan.
Mirror therapy adalah terapi rehabilitasi di mana cermin ditempatkan di antara lengan
atau tungkai sehingga citra anggota tubuh yang tidak terpengaruh yang bergerak
memberikan ilusi gerakan normal pada tungkai yang terkena. Dengan pengaturan ini,
berbagai wilayah otak untuk gerakan, sensasi, dan nyeri dirangsang (Thieme, 2018).
Terapi cermin adalah bentuk baru dari rehabilitasi stroke yang menggunakan refleksi
cermin dari tangan yang tidak terkena sebagai pengganti tangan yang terkena untuk
meningkatkan latihan gerakan. Mekanisme terapi cermin tidak diketahui tetapi
diperkirakan melibatkan perubahan dalam organisasi otak (Rossiter, 2015).
Dalam terapi cermin, pasien duduk di depan cermin yang diorientasikan sejajar
dengan garis tengahnya yang menghalangi pandangan anggota tubuh (yang terkena),
diposisikan di belakang cermin. Saat melihat ke cermin, pasien melihat pantulan anggota
tubuh yang tidak terpengaruh yang diposisikan sebagai anggota tubuh yang terkena.
Pengaturan ini cocok untuk menciptakan ilusi visual di mana gerakan atau sentuhan ke
anggota tubuh yang utuh dapat dianggap mempengaruhi anggota tubuh yang mengalami
paretik atau nyeri. MT telah digunakan untuk mengobati pasien yang menderita stroke,
sindrom nyeri regional kompleks, dan sindrom nyeri lainnya seperti cedera saraf perifer
dan setelah intervensi bedah (Rothgangel, 2011).

1.2 Tujuan
a. Untuk mengetahui konsep penyakit stroke
b. Untuk mengetahui definisi Mirror Therapy
c. Untuk mengetahui prosedur Mirror Therapy
d. Untuk mengetahui mekanisme kerja Mirror Therapy pada pasien stroke

BAB II
Tinjauan Teori

2.1 Stroke
2.1.1 Definisi
Stroke adalah gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan karena gangguan
peredaran darah otak yang disertai dengan timbulnya gejala dan tanda yang sesuai
dengan daerah otak yang terganggu, baik yang terjadi secara mendadak (dalam
beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) (Hidayah, 2019).
Stroke merupakan sindrom defisit neurologis disebabkan adanya gangguan
vaskuler sehingga mencederai jaringan otak. Stroke dapat diakibatkan adanya
iskemia yang disebabkan trombus atau emboli yang menghambat aliran darah
atau ruptur pembuluh darah dengan perdarahan ke jaringan otak (Porth & Matfin,
2009).

2.1.2 Etiologi
Stroke dibagi menjadi dua yaitu stroke iskemik (non-hemoragik) dan stroke
hemoragik (Nurarif, 2016).
a. Stroke Iskemik (Non Hemoragik) yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang
menyebabkan aliran darah keotak sebagian atau keseluruhan terhenti, 80%
stroke adalah stroke iskemik.
Stroke Iskemik dibagi menjadi 3 jenis yaitu :
a) Stroke Trombotik : Proses terbentuknya gumpalan darah yang terbentuk
didalam pembuluh darah arteri dan vena (thrombus) .
b) Stroke Embolik : Tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.
c) Hipoperfusion Sistemik : Berkurangnya aliran dalah ke seluruh bagian
tubuh karena adanya gangguan denyut jantung.
b. Stroke Hemoragik, adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh
darah otak, Hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita
hipertensi.
Stroke Hemoragik ada 2 jenis yaitu :
a) Hemoragik Intraserebral : Perdarahan yang terjadi dalam jaringan otak.
b) Hemoragik Subaraknoid : Perdarahan yang terjadi pada ruang sempit
antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak
(subaraknoid)
2.1.3 Faktor Risiko
Menurut Porth & Matfin (2009) dan Nurarif (2016), faktor risiko yang
dapat berkontribusi terjadinya stroke terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Tidak dapat dimodifikasi (Non-reversible)
Adapun faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi pada stroke adalah usia,
jenis kelamin, ras, dan keturunan.
a) Jenis kelamin
Pria lebih sering ditemukan menderita stroke dibanding wanita
b) Usia
Semakin tinggi usia, semakin tinggi pula risiko terkena stroke
c) Keturunan
Adanya riwayat keluarga terkena stroke
b. Dapat dimodifikasi (Reversible)
Faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi atau diubah antara lain
hipertensi, hiperlipidemia, merokok, diabetes, penyakit jantung, penyakit
karotis, gangguan koagulasi, obesitas atau ketidakaktifan, konsumsi alkohol
berlebihan dan kokain.

2.1.4 Patofisiologi
Setiap kondisi yang menyebabkan perubahan perfusi darah pada otak akan
menyebabkan keadaan hipoksia. Hipoksia yang berlangsung lama dapat
menyebabkan iskemik otak. Iskemik yang teriadi dalam waktu yang singkat
kurang dari 10—15 menit dapat menyebakan defisit sementara dan bukan defisit
permanen. Sedangkan iskemik yang teriadi dalam waktu lama dapat
menyebabkan sel mati permanen dan mengakibatkan infark pada otak.
Setiap defisit fokal permanen akan bergantung pada daerah otak mana yang
terkena. Daerah otak yang rerkena akan menggambarkan pembuluh darah otak
yang terkena. Pembuluh darah yang paling sering mengalami iskemik adalah
arteri serebral tengah dan arteri karotis interna. Defisit fokal permanen dapat tidak
diketahui iika klien pertama kali mengalami iskemik otak total yang dapat
teratasi.
Jika aliran darah ke tiap bagian otak terhambat karena trombus atau emboli,
maka mulai teriadi kekurangan suplai oksigen ke jaringan orak. Kekurangan
oksigen dalam satu menit dapat mentuniukkan geiala yang dapat pulih seperti
kehilangan kesadaran. Sedangkan kekurangan oksigen dalam waktu yang lebih
lama menyebabkan nekrosis mikroskopik neuron-neuron. Area yang mengalami
nekrosis disebut infark.
Gangguan peredaran darah otak akan menimbulkan gangguan pada
metabolisme sel-sel neuron, di mana sel-sel neuron tidak mampu menyimpan
glikogen sehingga kebutuhan metabolisme tergantung dari glukosa dan oksigen
yang terdapat pada arteri-arteri yang menuiu otak.
Perdarahan intrakranial termasuk perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid
atau ke dalam jaringan otak sendiri. Hipertensi mengakibatkan timbulnya
penebalan dan degeneratif pembuluh darah yang dapat menyebabkan rupturnya
arteri serebral sehingga perdarahan menyebar dengan cepat dan menimbulkan
perubahan setempat serta iritasi pada pembuluh darah otak.
Perdarahan biasanya berhenti karena pembentukan trombus oleh fibrin
trombosit dan oleh tekanan jaringan. Setelah 3 minggu, darah mulai direabsorbsi.
Ruptur ulangan merupakan risiko serius yang teriadi sekitar 7—10 hari setelah
perdarahan pertama.
Ruptur ulangan mengakibatkan terhentinya aliran darah ke bagian tertentu,
menimbulkan iskemik fokal, dan infark jaringan otak. Hal tersebut dapat
meninlbulkan gegar otak dan kehilangan kesadaran, peningkatan tekanan cairan
serebrospinal (CSS), dan menyebabkan gesekan otak (otak terbelah sepaniang
serabut). Perdarahan mengisi ventrikel atau hematoma yang merusak jaringan
otak.
Perubahan sirkulasi CSS, obstruksi vena, adanya edema dapat
meningkatkan tekanan intrakranial yang membahayakan iiwa dengan cepat.
Peningkatan tekanan intrakranial yang tidak diobati mengakibatkan herniasi
unkus atau serebelum. Di samping itu, teriadi bradikardia, hipertensi sistemik,
dan gangguan pernapasan.
Darah merupakan bagian yang merusak dan bila teriadi hemodialisa, darah
dapat mengirirasi pembuluh darah, meningen, dan otak. Darah dan vasoaktif yang
dilepas mendorong spasme arteri yang berakibat menurunnya perfusi serebral.
Spasme serebri atau vasospasme biasa teriadi pada hari ke-4 sampai ke-l0 setelah
teriadinya perdarahan dan menyebabkan konstriksi arteri otak. Vasospasme
merupakan komplikasi yang mengakibatkan terjadinya penurunan fokal
neurologis, iskemik otak, dan infark (Batticaca, 2008).

2.1.5 Klasifikasi
Adapun jenis-jenis stroke terbagi menjadi dua menurut Batticaca (2008),
yaitu
a. Stroke iskemik (infark atau kematian jaringan)
Stroke iskemik sering terjadi pada usia 50 tahun atau lebih dan terjadi pada
malam hingga pagi hari
a) Trombosis pada pembuluh darah (thrombosis of cerebral vessels)
b) Emboli pada pembuluh darah otak (embolism of cerebral vessels)
b. Stroke hemoragik (perdarahan)
Serangan stroke hemoragik sering terjadi pada usia 20 - 60 tahun dan
biasanya timbul setelah beraktivitas fisik atau karena psikologis (mental).
a) Perdarahan intraserebral (parenchymatous hemorrhage). Gejalanya:
 Tidak jelas, kecuali nyeri kepala hebat karena hipertensi.
 Serangan teriadi pada siang hari, saat beraktivitas, dan emosi atau
marah
 Mual atau muntah pada permulaan serangan.
 Hemiparesis atau hemiplegia teriadi seiak awal serangan.
 Kesadaran menurun dengan cepat dan meniadi koma (6.5%, teriadi
kurang dari 1/2 jam—2 iam ; < 2% teriadi screlah 2 jam—19 hari).
b) Perdarahan subarakhnoid (subarachnoid hemorrhage) Gejalanya:
 Nyeri kepala hebat dan mendadak.
 Kesadaran sering terganggu dan sangat bervariasi.
 Ada geiala atau tanda Ineningeal.
 Apiledema teriadi bila ada perdarahan subarakhnoid karena pecahnya
aneurisma pada arteri komunikans anterior atau arteri karotis interna

2.1.6 Manifestasi Klinis


Smeltzer & Bare (2010) menjabarkan tanda dan gejala yang dapat muncul
pada pasien stroke adalah:
a. Kebas atau kelemahan pada wajah, lengan, atau kaki, khususnya pada satu
sisi tubuh
b. Kebingungan atau perubahan status mental
c. Kesulitan bicara atau memahami pembicaraan
d. Gangguan visual
e. Kesulitan berjalan, mengambang, atau kehilangan keseimbangan ataupun
koordinasi
f. Nyeri kepala yang mendadak hebat

2.1.7 Komplikasi
Satyanegara (2011) memaparkan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien
stroke antara lain:
a. Komplikasi Dini ( 0 – 48 jam pertama)
Edema serebri, defisit neurologis (kelainan fungsional otak) cenderung
memberat, dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, herniasi
(kondisi ketika jaringan otak dan cairan otak (cerebrospinal fluid) bergeser
dari posisi normalnya), dan akhirnya menimbulkan kematian infark miokard,
penyebab kematian mendadak pada stroke stadium awal.
b. Jangka Pendek ( 1 – 14 Hari )
a) Pneumonia akibat immobilisasi lama
b) Infark Miokard (kematian sel miokardium akibat orises iskemik yang
berkepanjangan)
c) Emboli Parucenderung terjadi 7-14 hari pasca stroke, sering kali terjadi
pada saat penderita mulai mobilisasi
c. Jangka Panjang
a) Infark Miokard
b) Gangguan Veskuler lain : Penyakit Veskuler Perifer

2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik


Menurut Muttaqin (2008), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
adalah:
a. Diagnostik
a) Fototoraks
Dapat memperlihatkan keadaan jantung serta mengidentifikasi
kelainan paru yang potensial mempengaruhi proses manajemen dan
memperburuk prognosis.
b) Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti
perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber
perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskular
c) Lumbal pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan lumbal
menunjukkan adanya hemoragi pada subaraknoid atau perdarahan pada
intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukkan adanya proses
inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada
perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya
warna
likuor masih normal (xantokrom) sewaktu hari-hari pertama
d) CT scan
Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi
henatoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, dan posisinya
secara pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal,
kadang pemadatan terlihat di ventrikel, atau menyebar ke permukaan
otak
e) MRI
MRI (Magnetic Resonance Imaging) menggunakan gelombang
magnetik untuk menentukan posisi dan besar/luas terjadinya perdarahan
otak. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi
dan infark akibat dari hemoragik.
f) USG Doppler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem
karotis).
g) EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan
dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik
dalam jaringan otak
b. Laboratorium
a) Pemeriksaan darah rutin
b) Pemeriksaan darah lengkap
 Gula darah sewaktu
 Kolesterol, ureum, kreatinin, asam urat, fungsi hati, enzim
SGOT/SGPT/CPK dan Profil lipid (trigliserid, LDL-HDL serta
total lipid)
 Waktu protrombin
 APTT
 Kadar fibrinogen
 D-dimer
 INR
 Viskositas plasma

2.2 Mirror Therapy


2.2.1 Definisi
Mirror therapy merupakan terapi yang mengandalkan dan melatih
pembayangan atau imajinasi motorik pasien, dimana cermin akan memberikan
stimulasi visual kepada otak untuk pergerakan anggota tubuh yang mengalami
hemiparese (Usman, 2019). Mirror therapy merupakan bentuk citra motorik pada
cermin yang digunakan untuk menyampaikan rangsangan visual ke otak melalui
observasi dari bagian tubuh yang tidak terpengaruh. Gerakan anggota tubuh yang
bermasalah dapat dirangsang melalui isyarat visual yang berasal dari sisi
berlawanan dari tubuh (Stroke Engine, 2013).
Mirror therapy atau terapi cermin adalah intervensi terapeutik yang
berfokus pada pergerakan anggota badan yang tidak bermasalah, bentuk citra
cermin digunakan untuk menyampaiakan rangsangan visual ke otak melalui
pengamatan terhadap bagian tubuh yang tidak terpengaruh karena melakukan
serangkaian gerakan (Sengkey & Pandeiroth, 2014). Terapi cermin memiliki
pengaruh terhadap peningkatan kekuatan otot. Terapi cermin merupakan terapi
yang sederhana, murah dan efektif dalam memperbaiki fungsi motorik baik
ektremitas atas dan ektremitas baawah serta aktivitas kehidupan sehari-hari
(Lidwina dalam Muslim, Setiawan, & Azzam, 2017).

2.2.2 Prosedur
Prosedur umum terapi cermin adalah pasien duduk di depan cermin yang
diorientasikan sejajar dengan garis tengahnya yang menghalangi pandangan
anggota tubuh yang terkena yang diposisikan dibelakang cermin. Saat melihat ke
cermin, pasien melihat pantulan anggota tubuh yang tidak terpengaruh yang
diposisikan sebagai anggota tubuh yang terkena. Pengaturan ini cocok untuk
menciptakan ilusi visual dimana gerakan atau sentuhan ke anggota tubuh yang
utuh dapat dianggap mempengaruhi anggota tubuh paretik. Setelah itu, pasien
melakukan gerakan anggota tubuh yang tidak cacat sambil mengamati pantulan
cerminnya yang ditumpangkan di atas anggota tubuh yang cacat (tak terlihat)
(Sengkey & Pandeiroth, 2014).
a. Terapi cermin untuk ekstremitas atas
Penderita stroke duduk, dan sebuah cermin diratakan untuk berpotongan
dengan tubuh pasien di bidang sagital setinggi dada. Ini biasanya dilakukan
dengan meletakkan cermin diatas meja dengan tangan diletakkan di atas meja
di kedua sisi cermin. Bagian reflektif cermin menghadap ke sisi yang tidak
terpengaruh. Saat pasien melihat ke cermin, yang pasien lihat hanyalah sisi
yang tidak terpengaruh. Cermin menghalangi pandangan dari sisi tubuh yang
tidak terpengaruh. Pasien menatap ke cermin yang memantulkan tangan
“baik”. ketika tangan yang “baik” digerakkan, cermin memberikan ilusi
bahwa tangan yang “buruk” sedang bergerak dengan sempurna. Penderita
stroke mencoba meniru gerakan lengan dan tangan yang “baik” ke lengan
hemiparese. Meskipun penderita stroke hanya melihat pantulan tangan yang
“baik”, namun gerakannya terlihat simetris.

b. Terapi cermin untuk ekstremitas bawah


Penderita stroke bisa duduk lama diatas alat atau duduk dikursi.
Keuntungan menggunakan alas adalah ekstremitas bawah lebih mudah
dilihat. Keuntungan menggunakan kursi adalah lebih nyaman untuk
beberapa pasien. Dalam kedua posisi tersebut, cermin ditempatkan diantara
kaki pasien untuk memotong tubuhnya dibidang sagital menghadap sisi
yang tidak terpengaruh. Pasien diinstruksikan untuk melakukan plantar dan
dorsofleksi pada pergelangan kaki sisi yang tidak terkena, dan pada saat
yang sama mencoba melakukan gerakan yang sama pada sisi yang terkena.
Kecepatan gerakan bisa disesuaikan masing-masing individu. Untuk kedua
kestremitas atas dan bawah dosisnya adalah 30 menit sehari, dan 5 hari
seminggu selama 4 minggu.

Penjelasan kepada pasien sebelum melakukan mirror therapy(Pratiwi, 2017):


a. Informasikan kepada pasien untuk berkonsentrasi penuh saat melakukan
latihan,
b. Latihan terdiri atas 2 sesi, masing-masing sesi selama 15 menit dengan
istirahat selama 5 menit diantara masing-masing sesi
c. Informasikan kepada pasien untuk melihat pantulan tangan kanan di
cermin, bayangkan seolah-olah itu adalah tangan kiri (jika yang mengalami
paresis tangan kiri, atau sebaliknya). Pasien tidak diperbolehkan melihat
tangan yang berada pada balik cermin.
d. Lakukan gerakan secara bersamaan (simultan) pada kedua anggota gerak.
Gerakan diulang sesuai instruksi.
e. Jika pasien tidak bisa menggerakkan tangan yang sakit, anjurkan pasien
untuk lebih berkonsentrasi dan bayangkan seolah-olah mampu
menggerakkan sambil tetap melihat bayangan di cermin.
BAB III

Pembahasan

3.1. Abstrak Jurnal Utama


ABSTRAK
Stroke adalah penyakit atau kelainan fungsional otak dalam bentuk kelumpuhan saraf
akibatterhambatnya aliran darah ke otak. Berdasarkan data Rekam Medikal Kumpulan
Puskesmas 2016, ada67 kasus. Sedangkan pada 2017 ada 81 kasus stroke 25 penyihir di
antaranya pasien rawat jalan yangmengalami kelemahan pada tungkai dan tidak pernah
menerima terapi cermin. Penelitian ini adalahuntuk menyelidiki "efek terapi cermin pada
kemampuan gerak pada pasien stroke di PuskesmasKumpulan pada tahun 2018.
Penelitian ini menggunakan metode kuasi-eksperimental One GroupPretest-postest.
Terapi cermin dilakukan 5-10 menit, sekali sehari, 5 kali seminggu selama 4
minggu.Sampel dalam penelitian ini adalah 11 responden. Penelitian ini telah dilakukan
dari 5 Februari hingga3 Maret 2018. Hasil uji statistik diperoleh nilai 0,000 yang dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruhyang signifikan antara terapi cermin terhadap
kemampuan gerak pada pasien stroke di KumpulanKesehatan Masyarakat tahun 2018.
Disarankan terapi cermin sebaiknya digunakan sebagai salah satuterapi nonfarmakologis
pada pasien dengan ekstremitas lemah baik melalui penyediaan olehkesehatan.
Kata Kunci : Terapi Cermin, Kemampuan Gerak, Stroke

3.2. Metode Jurnal Utama


Dalam jurnal penelitian utama yang dipilih kelompok mengenai terapi cermin
terhadap pasien stroke, penelitian ini dilakukan menggunakan desain quasi-eksperimen
yaitu One Group Pretest-postest. Rancangan ini hanya menggunakan satu kelompok
subyek, pengukuran dilakukan sebelum (pretest) dan sesudah (postest) perlakuan. Alat
pengumpulan data berupa lembar observasi kemampuan gerak sebelum (pre) dan
sesudah (post), dan cermin untuk melakukan terapi. Jumlah populasi pada penelitian ini
berjumlah 25 orang dan sampel pada penelitian ini adalah 11 responden. Terapi cermin
dilakukan selama 5 – 10 menit, sekali dalam sehari, 5 kali dalam seminggu dan
dilakukan dalam waktu 4 minggu (Arif, Mustika, & Primal, 2019).

3.3. Hasil Jurnal Utama


Dari hasil penelitian pada jurnal utama didapatkan bahwa terdapat perbedaan
pada 11 responden yang dilakukan penelitian meliputi perubahan pada rerata sudut axis
pergelangan tangan, siku, lengan, pergelangan kaki serta lutut sebelum dan sesudah
dilakukan pemberian terapi cermin. Didapatkan pula hasil uji statistik dengan nilai p
value 0,000 dimana terapi cermin dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
kemampuan gerak pada pasien stroke di wilayah kerja Puskesmas Kumpulan tahun 2018.
Pada pasien stroke yang mengalami kekakuan dan keterbatasan gerak
dikarenakan adanya kerusakan saraf, terapi cermin dapat dijadikan sebagai alternatif
untuk melatih gerakan pada tangan, siku, lengan dan kaki yang mengalami kekakuan
menggunakan anggota gerak yang normal sebagai bayangan dan mengikutinya secara
berangsur-angsur sehingga dapat mengalami perubahan (Arif, Mustika, & Primal, 2019).
3.4. Pembahasan
Dalam penelitian yang dilakukan Arif, Mustika, & Primal (2019), terapi cermin
yang dilakukan berpengaruh signifikan terhadap kemampuan gerak pada pasien stroke.
Peneliti berasumsi bahwa melatih gerakan tangan dan kaki yang sakit dengan
menggunakan cermin yang memantulkan bagian tangan dan kaki yang normal memberi
dampak pada bagian yang sakit akan berangsur mengikuti gerakan tangan dan kaki
normal. Ketika pasien melihat gerakan di cermin, memberikan pemberitahuan ke otak
dari mata untuk melakukan pergerakan seperti tangan dan kaki yang normal. Hal ini
dilakukan secara rutin, sehingga memberi pengaruh positif pada bagian yang kaku dan
sakit. Gerakan yang awalnya masih kaku perlahan mengalami perubahan walaupun
sedikit demi sedikit.
Hasil serupa juga didapatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Setiyawan, Lely
& Harti (2019). Peneliti membandingkan terapi cermin dan range of motion (ROM) pada
pasien stroke. Hasil yang didapatkan adalah latihan terapi cermin lebih efektif dibanding
ROM pada ekstremitas pasien stroke. Hal ini disebabkan terapi cermin dapat
meningkatkan sensori, mengurangi defisit motorik, dan meningkatkan pemulihan
ekstremitas yang mengalami hemiparesis. Pasien membayangkan gerakan pada bagian
yang normal sehingga mengaktifkan area otak yang mengontrol gerakan, yaitu korteks
premotor, korteks motorik primer, dan lobus parietal. Terapi cermin dapat melatih
bayangan atau imajinasi motorik pasien, dimana cermin memberikan stimulasi visual
kepada otak untuk melakukan pergerakan pada anggota tubuh yang mengalami
kelemahan.
Penelitian yang dilakukan oleh Agusman & Kusgiarti (2017) mendukung bahwa
mirror therapy memiliki dampak positif pada kekuatan otot pasien stroke yang
mengalami hemiparesis. Sebanyak 10 orang pasien stroke non-hemoragik diberikan
terapi cermin dan didapatkan hasil terapi cermin berpengaruh pada kekuatan otot pasien
stroke. Mirror Therapy adalah bentuk rehabilitasi/ latihan yang mengandalkan dan
melatih pembayangan atau imajinasi motorik pasien, dimana cermin akan memberikan
stimulasivisual kepada otak (saraf motorik serebral yaitu ipsilateral atau kontralateral
untukpergerakan anggota tubuh yang hemiparesis) melalui observasi dari pergerakan
tubuhyang akan ditiru seperti cermin oleh bagian tubuh yang mengalami gangguan
(Wang, et al dalam Agusman & Kusgiarti, 2017).
Terapi cermin yang dicetuskan oleh Ramachandran memberikan efek ilusi pasien
dengan bekerja pada mekanisme korteks di otak. Pasien melakukan pergerakan pada
tangan atau kaki yang sehat sambil melihat pantulannya di cermin. Hal ini secara tidak
langsung memberikan feedback positif pada korteks motorik bahwa terdapat pergerakan
pada tangan atau kaki yang mengalami paralisis. Mekanisme korteks ini berhubungan
dengan aktivasi neuro cermin (mirror neurons), di mana juga aktif ketika melihat orang
lain melakukan aktivitas motorik. Mirror neurons ditemukan di area ventral dan korteks
premotor inferior yang dihubungkan dengan proses observasi dan meniru pergerakan dan
pada korteks somatosensori dohubungkan dengan observasi sentuhan. Area korteks ini
dapat aktif karena terapi cermin. Terapi cermin tidak hanya dilakukan pada pasien
rehabilitasi stroke, tetapi juga pada pasien cerebral palsy, sindrom nyeri regional
kompleks (CRPS), phantom limb pain, dan fraktur (Najiha, Alagesan, Rathod, &
Paranthaman, 2015).

BAB IV
Penutup

4.1 Kesimpulan

Stroke merupakan penyakit penyebab kematian nomor 3 setelah jantung koroner dan
kanker, penyakit stroke ini disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak yang
menyebabkan defisit neurologis mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragi
sirkulasi saraf otak. Salah satu terapi komplomenter yang dapat diaplikasikan pada
pasien stroke yaitu Mirror Therapy, terapi ini berfukus pada pergerakan anggota badan
yang tidak bermaslaah atau yang masih berfungsi, dengan menggunakan cermin,
bermanfaat untuk menyampaikan rangsangan visual ke otak melalui pengalamatan
terhadap bagian tubuh yang tidak terpengaruh karena melakukan serangkaian gerakan.
Terapi ini merupakan terapi non farmakologi, dengan dibuktikan hasil penelitian yaitu
bermanfaat dan memiliki efektititas setelah diberikan terapi mirror, pasien memiliki
kemampuan gerak, terapi cermin dapat meningkatkan sensori, mengurasi defisit motorik
dan meningkatkan pemulihan ekstremitas yang mengalami hemiparesis.

4.2 Saran

Setelah membaca makalah Proyek Inovasi yang berjudul “ Mirror Therapy Pada
Pasien Stroke” ini diharapkan dapat memambah ilmu pengetahuan dalam pendidikan
keperawatan khususnya di bidang keperawatan gawat darurat dan kritis, serta dapat di
aplikasikan dibidang pelayanan kesehatan rumah sakit oleh tenaga kesehatan khususnya
perawat dalam mengembangkan dan menerapkan kepada pasien yang mengalami penyakit
stroke.

Daftar Pustaka
Agusman, F. & Kusgiarti, E. (2017). Pengaruh Mirror Therapy terhadap Kekuatan Otot
Pasien Stroke Non-Hemoragik di RSUD Kota Semarang. Jurnal SMART
Keperawatan STIKES Karya Husada Semarang, volume 4(1). ISSN: 2503-0388.
Arif, M., Mustika, S. & Primal, D. (2019). Pengaruh Terapi Cermin terhadap Kemampuan
Gerak pada Pasien Stroke di Wilayah Kerja Puskesmas Kumpulan Kabupaten
Pasaman Tahun 2019. Jurnal Kesehatan Perintis. Volume 6 (1). E-ISSN : 2622-
4135
Elim, C., Tubagus, V., dan Ali, R.H.. Hasil pemeriksaan CT scan pada penderita stroke non
hemoragik di Bagian Radiologi FK Unsrat/SMF Radiologi RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado periode Agustus 2015 – Agustus 2016. Jurnal e-Clinic (eCl),
Volume 4, Nomor 2.
Muslim, D.N.A., Setiawan, A., & Azzam, R. (2017). Pengaruh Mirror Therapy Terhadap
Kekuatan Otot Ekstremitas Atas Pada Pasien Stroke Iskemik Di Rsud Majalaya
Kabupaten Bandung. Universitas Muhammadiyah Jakarta
Mutiarasari, D. (2019). Ischemic Stroke: Symptoms, Risk Factors, And Prevention. Medika
Tadulako, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 6 No. 1. hal 60-73.
Najiha, A., Alagesan, J. & Rathod, V. & Paranthaman, P. (2015). Mirror Therapy: A Review
Of Evidences. International Journal of Physiotherapy and Research. 3(3). 1086-90.
10.16965/ijpr.2015.148. ISSN 2321-1822. DOI: 10.16965/ijpr.2015.148
Nurarif, A.H., dan Kusuma, H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan Penerapan
Diagnosa Nanda Nic Noc dalam berbagao kasus Edis Revisi Jilid I. Jogja
:Medication. ISBN : 978-602-72002-5-8.
Prasetyo, D. A. (2017). Efektivitas Mirror Therapy terhadap Peningkatan Kekuatan
Menggenggam pada Pasien Post Stroke dengan Hemiparesis Di RS Tk. II Dr.
Soepraoen Malang (Doctoral dissertation, University of Muhammadiyah Malang).
Pratiwi, A. (2017). Prosedur Mirror Therapy Pada Pasien Stroke. In Proceeding Seminar
Nasional Keperawatan (Vol. 3, No. 1, pp. 157-163).
Ramadany, A. F., Pujarini, L. A., dan Candrasari, A. Hubungan Diabetes Melitus Dengan
Kejadian Stroke Iskemik Di Rsud Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2010. Biomedika,
Volume 5 Nomor 2, hal.11-16.
Rossiter, H. E. (2015). Cortical Mechanisms of Mirror Therapy After Stroke.
Neurorehabilitation and neural repair, 29 (5): 444-452.
Rothgangel, A. S. (2011). The Clinical Aspects of Mirror Therapy in Rehabilitation: A
Systematic Review of The Literature. International Journal of Rehabilitation
Research, 34 (1):1-13.
Sengkey, L. S., & Pandeiroth, P. (2014). Mirror therapy in stroke rehabilitation. JURNAL
BIOMEDIK: JBM, 6(2).
Setiyawan, S., Nurlely, P.S, & Harti, A.S. (2019). Pengaruh Mirror Therapy terhadap
Kekuatan Otot Ekstremitas pada Pasien Stroke di RSUD dr. Moewardi. Jurnal
Kesehatan Masyarakat. Volume 7 (1). https://doi.org/10.31596/jkm.v6i2.296
Stroke Engine. (2013). Mirror therapy, http://www.strokengine.ca/intervention/mirr or-
therapy/
Thieme, H. (2018). Mirror Therapy for Improving Motor Function After Stroke. Cochrane
Library.
Usman, A.M. (2019). Efektifitas pemberian mirror therapy pada klien post stroke : a
Literature review. IJONHS Volume 4 Nomor 2

Anda mungkin juga menyukai