Bab 1-3 Yang Baru

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Gangguan jiwa merupakan manifestasi dari bentuk penyimpangan perilaku akibat

adanya distrosi emosi sehingga ditemukan ketidakwajarn dalam bertingkah laku.

Hal itu terjadinya karena menurunnya semua fungsi kejiwaan. Gangguan jiwa

adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih fungsi jiwa. Gangguan jiwa

adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya emosi, proses berpikir,

perilaku, dan persepsi (penangkapan panca indera). Gangguan jiwa ini

menimbulkan stress dan penderita bagi penderita (dan keluarganya) (Stuart, 2016

dalam Sutejo 2017).

Fenomena gangguan jiwa pada saat ini mengalami peningkatan yang sangat

signifikan, dan setiap tahun diberbagai belahan dunia jumlah penderita gangguan

jiwa bertambah. Berdasarkan data dari World Health Organisasi (WHO) dalam

yosep (2013), ada sekitar 450 juta orang yang terdiri atas 150 juta mengalami

depresi, 90 juta gangguan zat dan alkohol, 38 juta epilepsy, 25 juta skizofrenia

serta 1 juta melakukan bunuh diri. WHO menyatakan setidaknya ada satu dari

empat orang didunia mengalami masalah mental, dan masalah gangguan

kesehatan jiwa yang ada diseluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat

serius untuk kita cermati.

1
2

Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka perlunya deteksi dini terkait kesehatan

jiwa dimasyarakat agar masalah gangguan jiwa di masyarakat tidak terjadi

peningkatan. Hasil riset kesehatan dasar (2013) menunjukan adanya penurunan

jumlah gangguan jiwa berat dan gangguan mental emosional secara nasional

dibandingkan dengan riset kesehatan dasar tahun 2007. Deteksi dini kesehatan

jiwa perlu dilakukan untuk meningkatkan derajad kesehatan jiwa masyarakat agar

individu yang sehat akan tetap sehat, individu yang berisiko tidak mengalami

gangguan jiwa dan individu yang mengalami gangguan jiwa mendapatkan

pelayanan yang tepat (Livana et al, 2018).

Menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa,

kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara

fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari

kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan

mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya (Sutejo, 2017).

Kesehatan jiwa juga memiliki masalah ODGJ dan ODMK. Orang dengan

gangguan jiwa (ODGJ) didefinisikan sebagai orang yang mengalami gangguan

dalam pikiran, perilaku, perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan

gejala dan atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan

penderita dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.

Berbeda dengan ODMK yang baru berpotensi memiliki gangguan jiwa. Orang

Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) didefinisikan sebagai orang yang memiliki

masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan, dan perkembangan, dan atau kualitas

hidup sehingga memiliki resiko mengalami gangguan jiwa (Sutejo, 2017).


3

Undang-undang nomer 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa pasal 86 setiap

orang yang sengaja melakukan pemasungan, penelataran, kekerasa atau menyuruh

orang lain untuk melakukan pemasungan penelataran, kekerasan terhadap ODMK

dan ODGJ. Banyak ODGJ dimasyarakat ,menimbulkan dampak atau

kecendrungan pada keluarga untuk melakukan tindakan pemasungan. Hasil

Riskesdas (2018) didapatkan ODGJ skizofrenia yang pernah dipasung dihitung

dari perkotaan 10,7, perdesaan 17,7, dan Indonesia 14. Untuk ODGJ yang

dipasung 3 bulan terakhir dihitung dari perkotaan 31,1, perdesaan 31,1, Indonesia

31,5.

Skizofrenia adalah suatu psikosis fungsional dengan gangguan utama pada proses

pikir, efek atau emosi. Skizofrenia adalah sindrom etiologi yang tidak diketahui

dan ditandai dengan distur gangguan kognisi, emosi, persepsi, pemikiran, dan

perilaku. Pada skizofrenia, kesadaran dan kemampuan intelektual biasanya tetap

terpelihara, walaupun kemunduran kognitif dapat berkembang dikemudian hari

(Sutejo, 2017).

Skizofrenia merupakan masalah dunia. World health organization (WHO 2016)

dikutip dalam Nurlaili et al (2019) menyatakan sekitar 21 juta penduduk dunia

mengalami skizofrenia atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk. Menurut

RISKESDAS (2018) provinsi yang memiliki prevelensi skizofrenia terbesar

adalah bali sebanyak 11%, posisi kedua ditempati oleh Daerah Istimewa

Yogyakarta dengan 10%, ketiga Nusa Tenggara Barat 10%, dan diikuti Aceh dan

Jawa Tengah sebanyak 9%, untuk provinsi lampung jumlah penderita skizofrenia

didapatkan sebesar 6%.


4

Halusinasi merupakan suatu gejala khas skizofrenia yang ditandai dengan

perubahan sensori persepsi : merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,

pengecapan, perabaan, dan penghiduan. Pasien merasakan stimulus yang

sebenarnya tidak ada. Individu dengan skizofrenia tidak dapat membedakan antara

stimulus internal dan eksternal. Individu seolah-olah melihat atau mendengar

suatu yang pada kenyataannya tidak ada. Menurut hasil penelitian Shawyer, dkk

(2008) kutip dalam Suryani(2013) individu yang mengalami halusinasi dapat

berbahaya bagi diri sendiri maupun orang lain karena halusinasinya terkadang

menyuruhnya untuk melakukan kekerasan. Carpenter (2004) kutip dalam Suryani

(2013) mengemukakan hasil penelitiannya menunjukan banyak sekali diantara

penderita skizofrenia yang tetap mengalami halusinasi sekalipun mereka sedang

mendapat obat-obatan anti psikotik.

Hasil penelitian yang di lakukan pada tahun 2006, diperoleh hasil karateristik

halusinasi dari penderita skizofrenia. Jenis halusinasi terbanyak yang dialami

penderita adalah halusinasi pendengaran (74,13%). Penyebab halusinasi yang

paling dominan adalah stress berat (56,89%) dan umumnya terjadi pada saat

penderita sedang sendiri atau menyendiri (87,93%).

Halusinasi adalah perasaan tanpa adanya suatu rangsangan (objek) yang jelas dari

luar diri klien terhadap panca indra pada saat klien dalam keadaan sadar atau

bangun. Halusinasi terbagi dalam 5 jenis, yaitu halusinasi penglihatan, halusinasi

penghidu, halusinasi pengecap, halusinasi perabaan, dan halusinasi pendengaran.


5

Halusinasi pendengaran adalah halusinasi yang paling sering dialami oleh

penderita gangguan mental , misalnya mendengar suara melengking, mendesir,

bising, dan dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Individu merasa suara itu tertuju

padanya, sehingga penderita sering terlihat bertengkar atau berbicara dengan suara

yang didengarnya (Wuri and Marisca, 2017). Halusinasi pendengaran adalah

mendengar suara-suara atau kebisingan, palingan sering suara orang. Suara

berbentuk kebisingan yang kurang keras sampai kata-kata yang jelas berbicara

tentang klien, bahkan sampai percakapan lengkap antara dua orang atau lebih

(Muhith, 2015).

Keliat dan Akemat (2014) dikutip dalam Nurlaili et al (2019) menjelaskan ada 4

cara mengontrol halusinasi dalam standar asuhan keperawatan generalis,dan

pertama teknik menghardik, kedua patuh minum obat, ketiga bercakap-cakap,

keempat melakukan aktivitas terjadwal, dan salah satu tekhnik distraksi yang akan

dilaksanakan teknik menghardik, dengan suara yang keras dan mengatakan

“pergi… pergi… kamu suara palsu saya tidak mau dengar”. Nurlaili et al (2019)

Berpendapat bahwa distraksi menghardik dengan suara keras dapat mengurangi

halusinasi. Distraksi menghardik adalah tindakan mandiri tanpa menghadiri orang

lain. Berdasarkan penjelasan diatas, distraksi menghardik dapat menjadi pilihan

pertama untuk menurunkan halusinasi pasien karena tidak memerlukan kehadiran

orang lain.

Gangguan halusinasi dapat juga diatasi dengan terapi farmakologi dan

nonfarmakologi. Terapi nonfarmakologi lebih aman digunakan karena tidak

menimbulkan efek samping seperti obat-obatan, karena terapi nonfarmakologi


6

menggunakan proses fisiologis Salah satu terapi nonfarmakologi yang efektif

adalah mendengarkan musik. Musik disini memiliki kekuatan untuk mengobati

penyakit dan meningkatkan kemampuan pikiran seseorang. Ketika music

diterapkan menjadi sebuah terapi, musik dapat meningkatkan, memulihkan, dan

memelihara kesehatan fisik, mental, emosional, sosial, dan spiritual (Wury and

Marisca, 2017).

Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa masalah halusinasi pasien harus

ditangani segera. Penelitian ini dilakukan dengan pengkombinasian terapi teknik

menghardik dengan terapi musik klasik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui

gambaran tentang “pengaruh tehnik menghardik dengan terapi musik klasik”

terhadap halusinasi pasien. Jenis penelitian ini adalah menggunakan rancangan

kuantitatif.

1.2 Rumusan Masalah

Menurut RISKESDAS (2018) provinsi yang memiliki prevelensi skizofrenia

terbesar adalah bali sebanyak 11%, posisi kedua ditempati oleh Daerah Istimewa

Yogyakarta dengan 10%, ketiga Nusa Tenggara Barat 10%, dan diikuti Aceh dan

Jawa Tengah sebanyak 9%, untuk provinsi lampung jumlah penderita skizofrenia

didapatkan sebesar 6%. Hasil penelitian yang di lakukan pada tahun 2006,

diperoleh hasil karateristik halusinasi dari penderita skizofrenia. Jenis halusinasi

terbanyak yang dialami penderita adalah halusinasi pendengaran (74,13%).

Penyebab halusinasi yang paling dominan adalah stress berat (56,89%) dan

umumnya terjadi pada saat penderita sedang sediri atau menyendiri (87,93%).
7

Halusinasi merupakan suatu gejala khas skizofrenia yang ditandai dengan

perubahan sensori persepsi : merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,

pengecapan, perabaan, dan penghiduan. Pasien merasakan stimulus yang

sebenarnya tidak ada. Individu dengan skizofrenia tidak dapat membedakan antara

stimulus internal dan eksternal. Individu seolah-olah melihat atau mendengar

suatu yang pada kenyataannya tidak ada. Rumusan masalah pada penelitian ini

adalah bagaimana cara menurunkan tingkat halusinasi pendengaran pada pasien

halusinasi sebelum dan sesudah diberikan tehnik menghardik dan terapi musik

klasik di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Mengidentifikasi dan menganalisa pada pasien halusinasi pendengaran terhadap

penerapan tehnik menghardik dan terapi musik klasik di ruang Melati Rumah

Sakit Jiwa Provinsi Lampung

1.3.2 Tujuan Khusus

1) Mengetahui tanda gejala terjadinya halusinasi sebelum dilakukan tehnik

menghardik dan terapi musik klasik.

2) Mengetahui tanda gejala terjadinya halusinasi sesudah dilakukan tehnik

menghardik dan terapi musik klasik.

1.4 Manfaat penelitian

Manfaat penelitian ini telah dijelaskan dalam manfaat praktis dan manfaat

pengembangan sebagai berikut:


8

1.4.1 Manfaat praktis

Sebagai acuan untuk mengembangkan pengetahuan dan pengalaman mahasiswa

dan masyarakat dalam penerapan tehnik menghardik dan terapi musik klasik.

1.4.2 Manfaat pengembangan

1) Bagi Perawat

Dapat dijadikan sebagai salah satu referensi ketika ingin melakukan terapi pada

pasien, serta sebagai media perbandingan ketika perawat melakukan asuhan

keperawatan.

2) Rumah Sakit

Sebagai media untuk melakukan penelitian dan pembaharuan terhadap ilmu yang

telah ditetapkan rumah sakit

3) Institusi pendidikan

Sebagai media pembelajaran dan juga media penerapan ilmu yang telah didapat

oleh mahasiswa selama masa perkuliahan.

4) Bagi Pasien

Setelah diberikan tehnik menghardik dan terapi musik klasik diharapkan pasien

gangguan jiwa dapat menerapkan tehnik menghardik dan terapi musik klasik

supaya pada saat mengalami halusinasi dapat mengurangi halusinasi pendengaran.


9
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Terkait

2.1.1 Skizofrenia

1) Pengertian skizofrenia

Istilah skizofrenia berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata yaitu

“schizo” yang berarti perpecahan/split dan “phren” yang berarti mind/pikiran.

Pada taun 1908. Istilah skizofrenia pertama kali dikemukakan oleh psikiater asal

swiss yaitu eugen bleuler (Townsend,2009 dalam Satrio et al 2015). Bleuler

meyakini bahwa skizofrenia terjadi perpecahan antara pikiran, emosi dan perilaku

(Sinaga,2007). Skizofrenia merupakan gangguan neurobiological otak yang

persistem dan seriyus, sindroma secara klinis yang dapat mengakibatkan

kerusakan hidup baik secara individu, keluarga dan komunitas (Stuart,2009

dalam Satrio et al 2015 ). Menurut Keliat (2006) dalam Satrio et al (2015),

skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa yang ditandai dengan penurunan atau

ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realita (halusinasi dan waham), efek

yang tidak wajar atau tumpul, gangguan kognitif (tidak mampu berfikir abstrak)

dan mengalami kesukaran melakukan aktivitas sehari-hari.

Sedangkan menurut Halgin dan Whitbourne 2007, dalam Wahyuni 2010

skizofrenia merupakan kumpulan gejala beruba gangguan isi dan bentuk pikiran,

persepsi, emosi/perasaan, perilaku dan hubungan inter personal. Skizofrenia

merupakan suatu sindrom klinis atau proses penyakit yang mempengaruhi otak

10
11

dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerak dan perilaku yang

aneh dan terganggu (Videbeck,2008 dalam Satrio et al 2015)

2) Penyebab Skizofrenia

Menurut Stuart (2009) dalam Satrio et al 2015, penyebab skizofrenia terdiri atas

biologis, psikologis, sosial dan lingkungan.

a. Biologis

Penyebab skizofrenia dari segi biologis terdiri dari genetik, neurotransmitter,

neurobiologi, perkembangan syaraf otak teori-teori virus menurut Kaplan dan

Saddock (2007) pengaruh faktor genetik terhadap skizofrenia belum

terindektifikasi secara spesifik namun ada Sembilan ikatan kromosom yang

dipercayai untuk terjadinya skizofrenia yaitu 1q, 5q, 6p, 6q, 8p, 10p, 13q, 15q,

dan 22q, menurut Shives (2005), anak dengan orang tua yang salah satunya

mengalami skizofrenia mempunyai resiko 10% dan bila kedua orang tua

mengalami skizofrenia maka anak akan beresiko 40% mengalami skizofrenia

juga.

Individu dengan skizofrenia ditemukan bahwa korteks prefrontal dan konteks

limbik otak tidak berkembang dengan sempurna. Biasanya ditemukan

peningkatan volume otak fungsi yang up normal dan neurokimia yang

menunjukan perubahan pada system neurotransmitter. Fokus pada korteks frontal

mengiplikasikan gejala negatif pada skizofrenia dan sistem limbik (dalam lobus

temporal) mengimplikasikan gejala positif pada skizofrenia serta sistim


12

neurotransmitter menghubungkan kedua daerah tersebut terutama dopamin,

serotonin, dan glutamat (Frisch dan Frisch, 2006).

Menurut teori yang disampaikan bahwa pada masa kehamilan khususnya pada

trimester kedua bila terpapar virus influenza beresiko untuk terjadinya skizofrenia

pada anak (Shives, 2005). Jadi, berdasarkan keterangan diatas bahwa ditinjau dari

faktor biologis, skizofrenia terjadi karena genetik, korteks prefrontal dan korteks

limbik yang tidak berkembang, pengaruh neurotransmitter serta adanya serangan

virus pada masa kehamilan.

b. Psikologi

Penyebab skizofrenia secara psikologis adalah karena keluarga dan perilaku

individu itu sendiri. Faktor keluarga, ibu yang sering cemas, perhatian yang

berlebihan atau tidak ada perhatian, ayah yang jauh atau yang memberikan

perhatian berlebih, konflik pernikahan, dan anak yang didalam keluarga selalu

dipersalahkan (Stuart, 2009). Komunikasi dalam bentuk pesan ganda ini

menyebabkan individu yang menerimanya beresiko untuk mengalami skizofrenia

c. Sosial dan lingkungan

Penyebab skizofrenia secara sosial dan lingkungan adalah status sosial dan

ekonomi. Status sosial dan ekonomi mengacu pada pendapatan, pendidikan dan

pekerjaan individu (Lipson et al, 1996 dalam Videbeck, 2008) menurut Towsend

(2005), banyak hal yang telah dicoba untuk dikaitkan dengan masalah gangguan

jiwa seperti skizofrenia dan salah satu faktornya adalah masalah status sosial.
13

Isaacs (2005) dalam teori keluarga bagian fungsi keluarga yang berkaitan dengan

peran keluarga dalam munculnya skizofrenia adalah keluarga yang sangat

mengekspresikan emosi (high expressed emotion). Pola asuh yang dilakukan oleh

keluarga yang terlalu berlebihan menjadi pemicu terjadinya skizofrenia. Baik itu

pola asuh positif maupun negatif.

3) Tanda Gejala Skizofrenia

Skizofrenia secara umum terdiri dari 2 kategori gejala, yaitu gejala positif dan

gejala negatif (Stuart dan Laraia, 2005 Videbeck, 2008; Townsend, 2009;

Fontaine 2009). menurut Ho, Black, dan Andreasen (2003, dalam Townsend,

2009) gejala positif berhubungan dengan struktur otak yang tampak pada CT scan

dan relatif respon baik terhadap pengobatan, sedangkan gejala negative tidak

hanya sulit diatasi dengan pengobatan dan respon kurang baik terhadap

neuroleptik dibandingkan gejala positif, tetapi juga mengganggu klien karena

menyebakan klien tidak berdaya, malas, dan tidak memiliki motivasi.

4) Perilaku dan Rentang Respons Skizofrenia

Perilaku yang berhubungan dengan masalah-masalah proses informasi yang

berkaitan dengan skizofrenia sering disebut sebagai defisit kognisi. Perilaku ini

meliputi masalah-masalah semua aspek ingatan, perhatian, bentuk, dan jumlah

ucapan (kelainan pikiran formal), pengambilan keputusan, dan delusi ( bentuk dan

isi pikir).
14

Tabel 2.1

Rentang Respon Neurobiologis

Respons adaptif respons maladaptif

pikiran logis. Pikiran kadang Kelainan pikiran


persepsi akurat emosi menyimpang Halusinasi ketidakmampuan
konsitensi. Ilusi Untuk emosi
dengan pengalaman Reaksi emosional berlebih ketidakteraturan isolasi
perilaku sesuai hubungan atau kurang sosial
sosial Perilaku ganjil menarik diri

5) Sumber Koping

Pada individu, sumber koping perlu dikaji dengan pemahaman terhadap pengaruh

gangguan otak pada perilaku. Inteligensia atau kreativitas yang tinggi diperlukan

sebagai kekuatan. Selain itu, orang tua harus aktif mendidik anak-anak dan

dewasa muda mengenai keterampilan koping. Hal ini diperlukan karena mereka

biasanya tidak hanya belajar dari pengamatan, namun berbagai pengetahuan yang

bersumber dari keluarga. Pengetahuan yang bersumber dari keluarga berupa

penyakit, financial yang cukup, ketersediaan waktu dan tenaga, serta kemampuan

untuk memberikan dukungan secara berkesinambungan. (Sutejo, 2017)

6) Mekanisme koping

Mekanisme koping untuk penderita neurobiologis termasuk skizofrenia, terdiri

dari beberapa hal. Adapun perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri

dari pengalaman yang kurang menyenangkan berhubungan dengan respons

neurobiologik yaitu sebagai berikut . (Sutejo, 2017)


15

Regresi merupakan mekanisme koping yang berhubungan dengan masalah proses

informasi dan upaya untuk menanggulangi ansietas, hanya mempunyai sedikit

energi yang tertinggal untuk aktivitas hidup sehari-hari.

Projeksi digunakan untuk menjelaskan kerancuan persepsi.

Menarik diri.

7) Penatalaksanaan Pada Skizofrenia

Menurut Sutejo (2017) penatalaksanaan yang diberikan secara komprehensif pada

pasien dengan skizofrenia adalah dengan obat-obatan antipsikotik (neuroleptik),

efek samping perkinson dapat di tangani dengan obat-obatan antimuskarini

(antikolinergik), ECT di gunakan untuk pengobatan stupor katatonik, penanganan

psikososial termasuk menurunkan kemiskinan pergaulan social (latihan

keterampilan sosial, terapi okupasi), mengurangi ekspresi emosi (terapi keluarga),

terapi perilaku dan danggar kerja yang dinaungi.

2.1.2 Halusinasi

1) Pengertian Halusinasi

Menurut Fontaine, (2009) dalam Satrio et al (2015), halusinasi adalah terjadinya

penglihatan, suara, sentuhan, bau maupun rasa tanpa stimulus eksternal terhadap

organ-organ indera. Sedangkan menurut Towsend (2009), Halusinasi merupakan

suatu bentuk persepsi atau pengalaman indera dimana tidak terdapat stimulasi

terhadap reseptor-reseptornya, halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah

yang mungkin meliputi salah satu dari kelima panca indra. Hal ini menunjukkan
16

bahwa halusinasi dapat bermacam-macam yang meliputi halusinasi pendengaran,

penglihatan, penciuman, perabaan, dan pengecapan. Menurut stuart (2009) dalam

Satrio et al (2015), halusinasi adalah distorsi persepsi palsu yang terjadi pada

respon neurobiologist yang maladaptif, klien mengalami distorsi sensori yang

nyata dan meresponnya, namun dalam halusinasi stimulus internal dan eksternal

tidak dapat diidentifikasi.

2) Jenis Halusinasi

a) Halusinasi pendengaran

Halusinasi dengar merupakan gejala mayoritas yang sering dijumpai pada klien

skizofrenia. Papolos & Papolos (2002, dalam Fortaine, 2009) menyatakan bahwa

halusinasi dan delusi mencapai 90% pada individu dengan skizofrenia dan

halusinasi dengar merupakan masalah utama yang paling sering dijumpai 70%.

Diperkuat oleh Stuart dan Laraia (2005) yang menyatakan bahwa klien

skizofrenia 70% mengalami Halusinasi dengar. Senada dengan pernyataan diatas

Stuart (2009) yang juga menyatakan bahwa halusinasi yang paling sering

diakitkan dengan skizofrenia, sekitar 70% klien skizofrenia mengalami halusinasi

dengar.

Pernyataan diatas menunjukan bahwa presentase halusinasi dengar merupakan

persentase terbesar yang ditemukan pada klien skizofrenia dibandingkan dengan

halusinasi lainnya. Menurut Copel (2007) , halusinasi pendengaran paling sering

terjadi pada skizofrenia, ketika klien mendengar suara-suara, suara tersebut

dianggab terpisah dari pikiran klien sendiri. Isi suara-suara tersebut mengancam
17

dan menghina, sering kali suara tersebut memerintah klien untuk melakukan

tindakan yang akan melukai klien atau orang lain.

Menurut Stuart (2009), pada klien halusinasi dengar tanda dan gejala dapat

dikarakteristik mendengar bunyi atau suara, paling sering dalam bentuk suara,

rentang suara dari suara sederhana atau suara yang jelas, suara tersebut

membicarakan tentang pasien, sampai percakapan yang komplet antara dua orang

atau lebih seperti orang yang berhalusinasi. Suara yang didengar dapat berupa

perintah yang memberintahu pasien untuk melakukan sesuatu, kadang-kadang

dapat membahayakan atau mencederai. Concro dan Lehman (2000, dalam

Videbeck, 2008) menyebutkan bahwa paling sering suara yang didengar adalah

suara orang berbicara pada klien atau membicarakan klien. Suara dapat satu

ataupun banyak dan dapat berupa suara yang dikenal maupun yang tidak dikenal.

b) Halusinasi penciuman

Pada halusinasi penciuman isi halusinasi dapat berupa klien mencium aroma atau

bau tertentu seperti urine atau feces atau bau yang bersifat lebih umum atau bau

busuk atau bau yang tidak sedap (Cancro & Lehman, 2000 dalam Videbeck,

2008). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Stuart (2009) pada halusinasi

penciuman, klien dapat mencium bau busuk, jorok, dan bau tengik seperti darah,

urin, atau tinja, kadang-kadang bau bisa menyenangkan, halusinasi penciuman

biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang, dan demensia.


18

c) Halusinasi penglihatan

Sedangkan pada klien halusinasi penglihatan, isi halusinasi berupa melihat

bayangan yang sebenernya tidak ada sama sekali, misalnya cahaya atau orang

yang telah meninggal atau mungkin sesuatu yang bentuknya menakutkan (Cancro

& Lehman, 2000 dalam Videbeck, 2008). Isi halusinasi penglihatan klien adalah

klien melihat cahaya, bentuk geometris, kartun atau campuran antara gambaran

bayangan yang kompleks, dan bayangan tersebut dapat menyenangkan klien atau

juga sebaliknya mengerikan (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009).

d) Halusinasi pengecapan

Sementara itu pada halusinasi pengecap, isi halusinasi berupa klien mengecap rasa

yang tetap ada dalam mulut, atau perasaan bahwa makanan terasa seperti sesuatu

yang lain. Rasa tersebut dapat berupa rasa logam atau pahit atau mungkin seperti

rasa tertentu. Atau berupa rasa busuk, tak sedap dan anyir seperti darah, urine atau

feces (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009).

e) Halusinasi perabaan

Isi halusinasi perabaan adalah klien merasakan sensasi seperti aliran listrik yang

menjalar keseluruh tubuh atau binatang kecil yang merayap dikulit (Cancro &

Lehman, 2000 dalam Videbeck, 2008). Klien juga mengalami nyeri atau tidak

nyaman tanpa adanya stimulus yang nyata, seperti sensasi listrik dan bumi, benda

mati ataupun dan orang lain (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009)
19

f) Halusinasi chenesthetik

Halusinasi chenesthetik klein akan merasa fungsi tubuh seperti darah berdenyut

melalui vena dan arteri, mencerna makanan, atau bentuk urin (Videbeck, 2008;

Stuart, 2009)

g) Halusinasi kinestik

Terjadi ketika klien tidak bergerak tetapi tetapi melaporkan sensasi gerak tubuh,

gerakan tubuh yang tidak lazim seperti meayang diatas tanah. Sensasi gerakan

sambil berdiri tak bergerak (Videbeck, 2008; Stuart, 2009)

3) Fase Halusinasi

a) Comforting ( halusinasi menyenangkan, cemas ringan)

Klien yang berhalusinasi mengalami emosi yang intense seperti cemas, kesepian,

rasa bersalah, dan takut dan mencoba untuk berfokus pada pikiran yang

menyenangkan untuk menghilangkan kecemasan. Seseorang mengenal bahwa

pikiran dan pengalaman sensori berada dalam kesadaran control jika kecemasan

tersebut bisa dikelola.

Perilaku yang dapat diobservasi : Tersenyum lebar menyeringai tetapi tampak

tidak tepat, Menggerakan bibir tanpa membuat suara, Pergerakan mata yang

cepat , Respon verbal yang lambat seperti asyik, Diam dan tampak asyik
20

b) Comdemning (halusinasi menjijikan, cemas sedang)

Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan. Klien yang berhalusinasi mulai

merasa kehiangan control dan mungkin berusaha menjauhkan diri, serta merasa

malu dengan adanya pengalaman sensori tersebut dan menarik diri dari orang lain.

Perilaku yang dapat diobservasi :

Ditandai dengan peningkatan kerja system saraf autonomic yang menunjukan

kecemasan misalnya terdapat peningkatan nadi, pernafasan dan tekanan darah,

Rentang perhatian menjadi sempit, Asyik dengan pengalaman sensori dan

mungkin kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realitas

c) Controlling (pengalaman sensori berkuasa, cemas berat)

Klien yang berhalusinasi menyerah untuk mencoba melawan pengalaman

halusinasinya. Isi halusinasi bisa menjadi menarik/memikat. Seseorang mungkin

mengalami kesepian jika pengalaman sesori berakhir.

Perilaku yang dapat diobservasi :

Arahan yang diberikan halusinasi tidak hanya dijadikan objek saja oleh klien

tetapi mungkin akan diikitu/dituruti, Klien mengalami kesulitan berhubungan

dengan orang lain, Rentang perhatian hanya dalam beberapa detik atau menit,

Tampak tanda kecemasan berat seperti berkeringat, tremor, tidak mampu

mengikuti perintah.
21

d) Conquering (melembur dalam pengaruh halusinasi, panik)

Pengalaman sensori bisa mengancam jika klien tidak mengikuti perintah dari

halusinasi. Halusinasi mungkin berakhir dalam waktu empat jam atau sehari bila

tidak ada intervensi terapeutik.

Perilaku yang dapat diobservasi :

Perilaku klien tampak seperti dihantui terror dan panic, Potensi kuat untuuk bunuh

diri dan membunuh orang lain, Aktifitas fisik yang digambarkan klien

menunjukan isi dari halusinasi misalnya klien melakukan kekerasan, agitasi,

menarik diri atau katatonia, Klien tidak dapat berespon pada arahan kompleks,

Klien tidak dapat berespon pada lebih dari satu orang.

4) Rentang Respon Neurobiologis

Table 2.2

Rentang respon neurobiologis

Respon adaptif respon maladaptif

1. Pikiran logis 1. Kadang proses 1. Gangguan


2. Persepsi akurat pikir terganggu proses pikir
3. Emosi 2. Ilusi (waham)
konsistensi 3. Emosi 2. Halusinasi
dengan 4. Perilaku tidak 3. RPK
pengalaman biasa 4. Perilaku tidak
4. Perilaku sesuai 5. Menarik diri terorganisir
5. Isolasi sosial
22

5) Etiologi

a) Faktor predisposisi

Menurut Yosep (2010) dalam Damayanti, Iskandar (2014), faktor predisposisi

klien dengan Halusinasi adalah :

(1) Faktor perkembangan

Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan kehangatan

keluarga meyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi,

hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.

(2) Faktor sosiokultural

Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi akan merasa

disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.

(3) Faktor biologis

Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang

berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang

dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stress berkepanjangan

menyebabkan teraktivitasnya neurotransmitter otak.

(4) Faktor psikologis

Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada

penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien


23

dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih

kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.

(5) Faktor genetik dan pola asuh

Penelitian menunjukan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua skizofrenia

cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukan bahwa faktor keluarga

menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

b) Faktor presipitasi

Respon klie terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak

aman, gelisah dan bingung, perilaku menarik diri, kurang perhatian, tidak mampu

mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidakk

nyata.

6) Tanda dan Gejala

Menurut Hamid (2000) dalam Damayanti, Iskandar (2014), perilaku klien yang

terkait dengan halusinasi adalah sebagai berikut :

Bicara sendiri, senyum sendiri, ketawa sendiri, menggerakan bibir tanpa suara,

pergerakan mata yang cepat, respon verbal yang lambat, menarik diri dari orang

lain, berusaha untuk menghindari orang lain, tidak dapat membedakan yang nyata

dan tidak nyata, terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan

darah, perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik,

berkonsetrasi dengan pengalaman sensori, sulit berhubungan dengan orang lain,

ekspresi muka tegang, mudah tersinggung, jengkel, dan marah, tidak mampu
24

mengikuti perintah dari perawat, tanpak tremor dan berkeringat, perilaku panik,

agitasi dan kataton, curiga dan bermusuhan, bertindak merusak diri, orang lain

dan lingkungan, ketakutan, tidak dapat mengurus diri, biasa terdapat disorientasi

waktu, tempat dan orang.

7) Sumber koping

Berdasarkan Stuart dan Laraia (2005) dalam Satrio (2015), sumber koping

merupakan hal yang penting dalam mebantu klien dalam mengatasi stressor yang

dihadapinya. Sumber koping tersebut meliputi asset ekonomi, sosial support, nilai

dan kemampuan individu mengatasi masalah. Apabila individu mempunyai

sumber koping yang adekuat maka ia akan mampu beradaptasi dan mengatasi

stressor yang ada.

Keluarga merupakan salah satu sumber koping yang dibutuhkan individu ketika

mengalami stress. Hal tersebut sesuai dengan videbeck (2008) yang menyatakan

bahwa keluarga memang merupakan salah satu sumber pendukung yang utama

dalam penyembuhan klien skizofrenia. Psikosis atau skizofrenia adalah penyakit

menakutkan dan sangat menjengkelkan yang memerlukan penyesuaian baik bagi

klien dan keluarga.

8) Mekanisme koping

Pada klien skizofrenia, klien berusaha untuk melindungi dirinya dan pengalaman

yang disebabkan oleh penyakitnya. Klien akan melakukan regresi untuk

mengatasi kecemasan yang dialaminya, melakukan proyeksi sebagai usaha untuk

menjelaskan persepsinya dan menarik diri yang berhubungan dengan masalah


25

membangun kepercayaan dan keasyikan terhadap pengalaman internal (Stuart &

Laraia, 2005; Stuart, 2009; dalam Satrio, 2015).

9) Penatalaksanaan Halusinasi

a) Medis

Psikofarmakologis, obat yang lazim digunakan pada gejala hausinasi pendengaran

yang merupakan gejala psikosis pada klien skizofrenia adalah obat anti psikosis.

Adapun kelompok yang umum digunakan adalah Fenotiazin, Klorpromazin,

Flufenazine, Mesoridazin, Perfenazin, Compazine, Promazin, Tioridazin,

Stelazine, Tiotiksen, Clorazil, Loxitane, Moban.

b) Keperawatan

Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)

2.1.3 Tehnik menghardik

Menghardik Halusinasi adalah upaya mengendalikan diri terhadap halusinasi

dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Pasien dilatih untuk mengatakan

“tidak” terhadap halusinasi yang muncul atau tidak memperdulikan halusinasinya.

Kalau ini dapat dilakukan, pasien akan mampu mengendalikan diri dan tidak

mengikuti halusinasi yang muncul. Mungkin halusinasi tetap ada, namun dengan

kemampuan ini pasien tidak akan larut untuk menuruti apa yang ada dalam

halusinasinya. (Muhith, 2015)


26

Tahapan tindakan meliputi: menjelaskan cara menghardik halusinasi,

memperagakan cara menghardik, meminta pasien memperagakan ulang,

memantau penerapan cara ini, dan menguatkan perilaku pasien. (Muhith, 2015)

2.1.4 Terapi musik klasik

1) Musik

Musik adalah sebuah bentuk karya seni yang terdiri dari bunyi-bunyian

instrumental atau vocal ataupun keduanya, yang menghasilkan sebuah karya yang

indah dan harmonis. (Rizkyansyah, 2013)

2) Terapi musik

Terapi musik adalah usaha meningkatkan kualitas fisik dan mental dengan

ransangan suara yang terdiri dari melodi, ritme, harmoni, bentuk dan gaya yang

diorganisir sedemikian rupa hingga tercipta musik yang bermanfaat untuk

kesehatan fisik dan mental. (Eka, 2011) dikutip dalam ( Lestari et al, 2014).

Semua terapi musik mempunyai tujuan yang sama, yaitu membantu

mengekspresikan perasaan, membantu rehabilitasi fisik, memberi pengaruh positif

terhadap kondisi suasana hati, dan emosi, meningkatkan memori, serta

menyediakan kesempatan yang unik untuk berinteraksi dan membangun

kedekatan emosional.

Dengan demikian, terapi musik diharapkan dapat membantu mengatasi stress,

mencegah penyakit dan meringankan rasa sakit (Anugroho, 2012 dikutip dalam

Lestari et al 2014). Jenis musik yang digunakan dalam terapi musik dapat
27

disesuaikan dengan keinginan, seperti musik klasik, intrumentalis, dan slow musik

(Potter, 2005) dikutip dalam ( Lestari et al 2014).

3) Cara kerja terapi musik

Pemberian intervensi terapi musik klasik memperpanjang serat otot, mengurangi

pengiriman impuls neural keotak, dan selanjutnya mengurangi aktivitas otak juga

system tubuh lainnya (Potter and Perry, 2010) dikutip dalam (Prihananda, 2014).

2.2 Evidence Based

Menurut peneitian Siti Nafiatun, Is Susilaningsih, Rusminah mengidentifikasi

penerapan teknik menghardik pada Tn.J yang mengalami masalah halusinasi.

Metode yang digunakan deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus,

sampel yang diambil adalah 1 orang yaitu Tn.J yang mengalami halusinasi di

Wisma Budi Makarti Boyolali pada tanggal 27 Maret 2019. Data diambil dengan

wawancara dan observasi. Hasil yang telah dilakukan teknik menghardik dengan

bimbingan secara konsisten, halusinasi Tn. J berkurang. Teknik menghardik yang

dilakukan secara konsisten dapat menurunkan halusinasi, dalam memberikan

bimbingan menghardik diharapkan secara kontinyu dan konsisten.

Menurut penelitian Is Susilaningsih, Alfiana Ainun Nisa, Nurul Khamaril Astia

menggambarkan tentang penerapan strategi pelaksanaan teknik menghardik untuk

meningkatkan kemampuan Ny. T untuk mengendallikan halusinasi. Metode

penelitian ini adalah penelitian studi kasus tentang penerapan strategi pelaksanaan

: teknik menghardik pada Ny.T dengan masalah gangguan persepsi sensori. Hasil

yang telah dilakukan teknik menghardik dengan meminta Ny.T untuk


28

mendemonstrasikannya. Ny.T mampu mendemonstrasikan dengan benar.

Kemudian penulis member Reinforcement dengan mengacungkan jempol dan

mengatakan “bagus sekali Bu, Bu.T sudah bisa melakukan teknik menghardik

dengan benar. Keberhasilan pencapaian hasil yang maksimal ini didukung oleh

beberapa faktor, seperti faktor internal yaitu pendidikan, umur dan motivasi

memudahkan Ny.T menyerap pengetahuan mengenai cara mengontrol halusinasi

dengan teknik menghardik.

Menurut Wuri Try Wijayanto, Marisca Agustina mengidentifikasi terapi Non

Farmakologi yang dapat digunakan berupa terapi musik klasik. Tujuan penelitian

ini untuk mengetahui efektivitas terapi musik klasik terhadap penurunan tanda dan

gejala halusinasi pendengaran. Jenis penelitian ini menggunakan kuantitatif

menggunakan rancangan quasi eksperimen dengan disain penelitian pre and post

test without control. Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini

menggunakan total populasi dengan 30 responden di RS Jiwa dr. Soeharto

Heerdjan Jakarta. Hasil analisa statistik menggunakan uji paired t test

menunjukan p value sebesar 0,000 artinya terdapat efektifitas pemberian terapi

musik klasik terhadap penurunan tanda dan gejala halusinasi pendengaran. Saran

bagi keluarga pasien yang mengalami halusinasi pendengaran untuk dapat

mengaplikasikan terapi musik klasik dengan bantuan tenaga kesehatan untuk

menngurangi tanda dan gejala halusinasi pendengaran.

Menurut Rafina Damayanti, Jumaini, Sri Utami mengidentifikasi penerapan terapi

musik klasik pada pasien halusinasi pendengaran. Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui efektifitas terapi musik klasik terhadap penurunan tingkat


29

halusinasi pada pasien halusinasi pendengaran. Penelitian ini menggunakan desai

eksperimen quasy dengan desain pretest-posttest dengan kelompok yang dibagi

menjadi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Sampel penelitian ini

adalah 34 orang yang dibagi menjadi 17 orang sebagai kelompok eksperimen dan

17 orang sebagai kelompok kontrol denngan menggunakan teknik purposive

sampling. Istrumen penelitian ini telah diuji validitas dan reabilitasnya. Kelompok

eksperimen diberikan intervensi dengan terapi musik klasik 5 kali dalam 5 hari

selama 10-15 menit. Kemudian data dianalisis menjadi univariat dan bivariat

menggunakan uji wilcoxon dan uji mean-whitney. Hasil penelitian menunjukan

ada perbedaan yang signifikan antara tingkat halusinasi setelah diberikan

intervensi antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan nilai p

0,000 (<0,05). Tingkat halusinasi kelompok eksperimen lebih rendah dari pada

kelompok kontrol setelah diberikan intervensi. Diharapkan terapi musik menjadi

salah satu intervensi keperawatan untuk menurunkan tingkat halusinasi pada

pasien halusinasi pendengaran.


BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian atau disebut juga rancangan penelitian ditetapkan dengan

tujuan agar penelitian dapat dilakukan dengan efektif dan efisien (Sugiyono,

2013). Metode penelitian ini menggunakan jenis metode penelitian terapan

atau disebut dengan applied research, penelitian terapan atau applied

research bertujuan: untuk menerapkan, menguji, dan mengevaluasi

kemampuan suatu teori, yang diterapkan dalam memecahkan masalah-

masalah praktis, penelitian terapan atau applied research umumnya

menggunakan beberapa metode diantaranya metode eksperimen dan survey

(Sugiyono, 2013).

applied research ini dilakukan pada pasien dengan masalah risiko perilaku

kekerasan yang di intervensi dengan penerapan tehnik menghardik dan terapi

musik klasik. Dalam penelitian ini, penulis bermaksud untuk mengetahui

penurunan tingkat halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia diruang

Melati Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung.

3.2 Subyek study kasus

Subjek dalam penelitian ini ada 2 (dua) orang pasien yang mengalami

diagnosa medis skizofrenia dengan masalah keperawatan Halusinasi. Dengan

kriteria sebagai berikut :

30
31

3.2.1 Klien kooperatif, tidak gaduh gelisah, dan dapat diajak komunikasi secara

verbal

3.2.2 Klien dalam keadaan sehat fisik dan jasmani

3.2.3 Klien bersedia menjadi responden.

3.3 Definisi operasional

Definisi operasional adalah uraian tentang bataan variable yang dimaksud, atau

tentang apa yang diukur oleh variable yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010).

Definisi operasional adalah mendefinisikan variable secara operasional

berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan penelitian untuk

melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau

fenomena. Definisi operasional ditentukan berdasarkan parameter yang dijadikan

ukuran dalam penelitian. Sedangkan cara pengukuran merupakan cara dimana

variable dapat diukur dan ditentukan karakteristiknya (Hidayat, 2007).

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala


operasional ukur
Tanda dan Suatu kendala Ceklis dan Lembar Presentase Ordinal
gejala yang dimunculkan observasi observasi 1. Ringan
halusinasi pada pasien (<33%)
halusinasi yang 2. Sedang
terdapat subjektif (33-66%)
dan objektif 3. Berat
(>66%)
32

Kemampuan Kemampuan yang Ceklist Lembar Presentasi Ordinal


latihan ditunjukkan dan observasi 1. Ringan
menghardik dengan latihan observasi (<33%)
menghardik oleh 2. Sedang
klien dalam (33-66%)
melawan 3. Berat
halusinasi (>66%)

Terapi musik Bentuk rawatan Ceklist SOP 1. Ya Nominal


klasik dengan hubungan (dilakukan
timbal balik antara terapi
pasien dengan musik)
terapis yang 2. Tidak
memungkinkan (dilakukan
terjadinya terapi
perubahan dalam musik)
kondisi pasien
selama terapi
berlangsung

3.4 Lokasi dan waktu

Pengambilan data direncanakan di Ruang Melati Rumah Sakit Jiwa Provinsi

Lampung, bulan Maret 2020.

3.5 Instrument penelitian

Penelitian ini menggunakan alat pengkajian halusinasi. Dalam mengumpul data,

untuk mengamati apakah pasien mengalami halusinasi pendengaran peneliti juga

menggunakan format respon untuk melihat dampak setelah pemberian tehnik

menghardik dan terapi musik klasik. Tehnik menghardik dan terapi musik klasik
33

ini juga memiliki standar operasional dan kemampuan pasien terhadap terapi yang

bertujuan agar terapi ini berjalan sesuai dengan ketetapan yang sudah peneliti

rencanakan berdasarkan sumber-sumber terpercaya.

3.6 Penerapan tehnik Menghardik dan terapi musik klasik pada klien dengan

halusinasi pendengaran

Pada penelitian ini terdiri dari dua subjek, yaitu pasien dengan diagnosa halusinasi

pendengaran dan pasien yang kooperatif untuk di bimbing latihan tehnik

menghardik dan terapi musik klasik, dalam melakukan penelitian ini dilakukan

selama 3 hari diruang Melati Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung.

3.7 Pengumpulan data

3.7.1 Alat pengumpulan data

Alat pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan alat pengkajian

halusinasi dalam pengumpulan data untuk mengamati dan mencatat hasil

observasi terhadap variable peneliti.

3.7.2 Proses pengambilan data

Proses pengambilan data pada bulan Maret 2020 dimulai dari mendata klien yang

memenuhi kriteria inklusi untuk dijadikan responden. Lalu dilanjutkan dengan

perkenalan dan penjelasan mengenai tehnik menghardik dan terapi musik klasik

menggunakan media lembar balik. Setelah itu apa bila klien sudah memahami dan

setuju mengenai penjelasan tehnik menghardik dan terapi musik klasik peneliti

memberikan lembar persetujuan berupa inform consent sebagai pernyataan


34

ketersediaan mengikuti penelitian. Kemudian melakukan pengkajian dengan cara

wawancara dan observasi dan melakukan pengkajian terhadap kemampuan klien

sebelum diberikan terapi. Lalu peneliti mengisi kuesioner alat pengkajian perilaku

menyerang dan perilaku kekerasan mengenai kata kunci apakah klien tersebut

masuk ke dalam pencegahan halusinasi tinggi, sedang atau tidak perlu pencegahan

dan juga peneliti melakukan pengukuran kemampuan klien terhadap terapi

sebelum dilakukan penerapan tehnik menghardik dan terapi musik klasik.

Kemudian penerapan tehnik menghardik dan terapi musik klasik mulai diberikan

maret 2020, pada pukul 08.00 WIB, sebelum melakukan tehnik menghardik dan

terapi musik klasik peneliti menjelaskan kembali secara singkat mengenai manfaat

dari tehnik menghardik dan terapi musik klasik tersebut. Setelah tehnik

menghardik dan terapi musik klasik selesai di laksanakan penelitian menanyakan

bagaimana perasaannya setelah melakukan terapi. Dan kemudian klien dibiarkan

istirahat sekaligus peneliti mengobservasi perilaku klien setelah dilakukan tehnik

menghardik dan terapi musik klasik, dilanjutkan peneliti mengisi kuesioner alat

pengkajian halusinasi dan kemampuan tehnik menghardik dan mendengarkan

terapi musik klasik. Selanjutnya pada hari ketiga penelitian, peneliti melakukan

evaluasi dan terminasi akhir kepada kedua klien tersebut.

3.8 Analisa Data

Analisa data dilakukan dengan membandingkan halusinasi pendengaran sebelum

dan sesudah diberikan tehnik menghardik dan terapi musik klasik.


35

Tehnik menghardik dan terapi musik klasik ini diberikan kepada 2 subjek

penelitian. Pelaksanaan dilakukan dengan mengamati tingkah laku dan

kemampuan pada klien sebelum dan sesudah dilakukan tehnik menghardik dan

terapi musik klasik dengan instrument berupa alat pengkajian halusinasi

pendengaran dan kemampuan terhadap terapi.

3.8.1 Penyajian data

Dalam penyajian hasil yang diperoleh baik melalui observasi wawancara maupun

kuesioner disusun dan disajikan dalam bentuk yang mudah dipahami, dalam

penyajian data pada penelitian ini berupa tabel.

3.9 Etika penelitian

Fitrah dan Luthfiyah (2017) mengatakan bahwa etika penelitian dilandaskan

dalam prosedur yang terdiri dari penghormatan terhadap harkat dan martabat

manusia, penghormatan dalam privasi dan kerahasiaan subjek penelitian, keadilan,

dan inklusivitas, serta memperhitungkan pelanggaran terhadap etika, sanksi yang

diberikan sesuai dengan pelanggaran. Dalam (et al, 2010) mengemukakan banyak

prinsip-prinsip etika namun pada penelitian ini peneliti menyesuaikan dengan

situasi keadaan pada lapangan, yaitu terdiri dari :

3.9.1 Prinsip beneficence

Prinsip etika penelitian beneficence menekankan pada kewajiban peneliti untuk

meminimalkan bahaya yang timbul dan memaksimalkan manfaat dari penelitian.

Prinsip etika penelitian beneficence meliputi freedom from harmand discomfort


36

dan protrction from exploitation (polit & beck, 2012). Pada pengambilan data

peneliti berusaha menghindari pertanyaan yang memungkinkan timbulnya

perasaan tidak nyaman atau menstimulasi munculnya perubahan serta emosional

saat wawancara.

3.9.2 Prinsip menghargai martabat manusia (respect human for dignity)

Prinsip etika penelitian menghargai martabat manusia atau respect human for

dignity, dipenuhi oleh peneliti dengan cara memberikan hak untuk menentukan

pilihan (self determination) dan hak mendapatkan penjelasan secara lengkap (full

disclosure) sebelum peneliti menetapkan calon partisipan. Peneliti menemui hak

partisipan dalam menentukan pilihan melalui penjelasan bahwa penelitian bersifat

sukarela dan tidak ada paksaan.

3.9.3 Prinsip keadilan (justice)

Prinsip etika penelitian justice meliputi fair treatment and privacy. Pada prinsip

etika penelitian fair treatment peneliti tidak melakukan diskriminasi dalam

memilih partisipan selama prosedur pengumpulan data. Pada penelitian ini prinsip

keadilan dipenuhi dengan sikap peneliti yang memperlakukan semua partisipan

secara adil dengan tidak membeda-bedakan dan memberi hak yang sama pada

setiap partisipan. Peneliti harus mengenali adat istiadat, budaya, dan aturan yang

berlaku ditempat penelitian (Polit & Beck. 2012)

Anda mungkin juga menyukai