Etika Dalam Bisnis Internasional
Etika Dalam Bisnis Internasional
Etika Dalam Bisnis Internasional
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan
etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari
semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan
etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan
serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat
membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good
conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis dunia
internasional sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok
bisnis serta kelompok yang terkait lainnya.
Hubungan perdagangan dengan pengertian “asing” rupanya masih membekas dalam
bahasa Indonesia, karena salah satu arti “dagang” adalah “orang dari negeri asing”. Dengan
saran transportasi dan komunikasi yang kita miliki sekarang, bisnis internasional bertambah
penting lagi. Berulang kali dapat kita kita dengar bahwa kini kita hidup dalam era globalisasi
ekonomi: kegiatan ekonomi mencakup seluruh dunia, sehingga hampir semua negara
tercantum dalam “pasar” sebagaimana dimengerti sekarang dan merasakan akibat pasang
surutnya pasar ekonomi. Gejala globalisasi ekonomi ini berakibat positif maupun negatif.
Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok sekarang ini menampilkan juga
aspek etis yang baru. Tidak mengherankan jika terutama tahun-tahun terakhir ini diberi
perhatian khusus kepada aspek-aspek etis dalam bisnis internasional. Dalam bab ini kita akan
membahas beberapa masalah moral yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf
internasional.
Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan main yang tidak
mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus diingat dalam praktek bisnis sehari-hari etika
bisnis dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan. Etika bisnis sangat penting
mengingat dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen lainnya. Keberadaan usaha pada
hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bisnis tidak hanya mempunyai
hubungan dengan orang-orang maupun badan hukum sebagai pemasok, pembeli, penyalur,
pemakai dan lain-lain.
1
1.2. Rumusan Masalah
a) Apa yang dimaksud dengan Bisnis Internasioanl?
b) Apa saja norma-norma moral yang umum pada taraf Internasional?
c) Apa saja aspek-aspek etis dari korporasi multinasional?
d) Bagimana masalah dumping dalam Bisnis Internasional?
PEMBAHASAN
2
daya baik sumber daya alam,modal maupun sumber daya manusia. Ketidakmerataan sumber
daya tersebut akan mengakibatkan adanya keunggulan tertentu bagi suatu Negara tertentu
yang memiliki suatu sumber daya tertentu pula. Keadaan inilah yang menuntut
dilaksanakannya bisnis ataupun perdagangan internasional.
Berikut ini yang melatar belakangi terjadinya bisnis internasional :
1) Keterbatasan SDA : SDA yang terbatas mendorong setiap negara melakukan
perdagangan dengan bangsa lain
2) Pergeseran Selera : Era globalisasi membawa dampak perubahan terhadap gaya
hidup setaip bangsa
3) Kemajuan Teknologi : Kemajuan teknologi membuka akses hubungan yang lebih
luas dan kecenderungan negara maju menghasilkan produk yang berteknologi
tinggi dengan memanfaatkan pasar negara berkembang
b. Rigorisme moral
Pandangan kedua memilih arah terbalik. Pandangan ini dapat disebut
“rigorisme moral”, karena mau mempertahankan kemurnian etika yang sama seperti
di negerinya sendiri. Mereka mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri hanya
boleh melakukan apa yang boleh dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak
boleh menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di tempat lain. Mereka
berpendapat bahwa apa yang dianggap baik di negerinya sendiri, tidak mungkin
menjadi kurang baik di tempat lain.
Kebenaran yang dapat ditemukan dalam pandangan regorisme moral ini
adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku moral kita. Norma-norma etis
memang bersifat umum. Yang buruk di satu tempat tidak mungkin menjadi baik dan
3
terpuji di tempat di tempat lain. Namun para penganut rigorisme moral kurang
memperhatikan bahwa situasi yang berbeda turut mempengaruhi keputusan etis.
c. Imoralisme naif
Menurut pandangan ini dalam bisnis internasional tidak perlu kita berpegang
pada norma-norma etika. Kita harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum (dan
itupun hanya sejauh ketentuan itu ditegakkan di negara bersangkutan), tetapi selain
itu, kita tidak terikat norma-norma moral. Malah jika perusahaan terlalu
memperhatikan etika, ia berada dalam posisi yang merugikan, karena daya saingnya
akan terganggu.
Setelah kita mempelajari dua pandangan tentang peranan etika dalam bisnis
internasional ini, perlu kita simpulkan bahwa tidak satu pun di antaranya bisa dipertahankan.
Dalam pandangan “menyesuaikan diri” dapat kita hargai perhatian untuk peranan situasi.
Situasi yang berbeda-beda memang mempengaruhi kualitas etis suatu perbuatan, tetapi tidak
sampai menyingkirkan sifat umum dari norma-norma moral, seperti dipikirkan pandangan
pertama ini. Pandangan kedua, rigorisme moral, terlalu ekstrem dalam menolak pengaruh
situasi, sedangkan mereka benar dengan pendapat bahwa kita tidak meninggalkan norma-
norma moral di rumah, biola kita berangkat bebisnis ke luar negeri. Norma-norma moral
mempunyai sifat universal.
Dalam etika jarang prinsip-prinsip moral bias diterapkan dengan mutlak, karena
kondisi konkret sering kali sangat kompleks. Hal ini dapat diilustrasikan pada bisnis
internasional dengan Afrika Selatan yang mempunyai sistem politik didasarkan pada
diskriminasi ras (Apartheid) bahkan sistem Apartheid ini didasarkan atas Undang-undang
Afrika Selatan sejak 1948.
Kebijakan Apartheid Afrika Selatan menimbulkan kesulitan moral untuk perusahaan
asing yang mengadakan bisnis di Afrika Selatan karena mereka wajib mengikuti sistem
Apartheid. Dalam mencari jalan keluar dari dilema ini banyak perusahaan Barat memegang
pada The Sullivan Principles yang dirumuskan dan dipraktekkan oleh Leon Sullivan. Prinsip-
prinsip Sullivan :
4
a) Leon Sullivan sebagai General Motors tidak akan menerapkan undang-undang
Apartheid.
b) Menghapus undang-undang Apartheid.
5
relatif kecil, hal itu tidak boleh dinilai sebagai dumping. Tidak etis bila menuduh dumping
semata-mata menjadi kedok untuk menyingkirkan saingan dari pasar.
2.4 Aspek-Aspek Etis Dari Korporasi Multinasional
Yang dimaksud dengan korporasi multinasional adalah perusahaan yang mempunyai
investasi langsung dalam dua negara atau lebih. Jadi perusahaan yang mempunyai hubungan
dagang dengan luar negeri, dengan demikian belum mencapai status korporasi multinasional
(KMN), tetapi perusahaan yang memiliki pabrik di beberapa negara termasuk di dalamnya.
Kita semua mengenal KMN seperti Coca-Cola, Johnson & Johnson, AT & T, General
Motors, IBM, Mitsubishi, Toyota, Sony, Philips, Unilever yang mempunyai kegiatan di
seluruh dunia dan menguasai nasib jutaan orang.
Karena memiliki kekuatan ekonomis yang sering kali sangat besar dan karena
beroperasi di berbagai tempat yang berbeda dan sebab itu mempunyai mobilitas tinggi, KMN
menimbulkan masalah-masalah etis sendiri. Di sini kita membatasi diri pada masalah-
masalah yang berkaitan dengan negara-negara berkembang. Tentu saja, negara-negara
berkembang sudah mengambil berbagi tindakan untuk melindungi diri. Misalnya, mereka
tidak mengijinkan masuk KMN yang bisa merusak atau melemahkan suatu industri dalam
negeri. Beberapa negara berkembang hanya mengijinkan KMN membuka suatu usaha di
wilayahnya, jika mayoritas saham (sekurang-kurangnya 50,1%) berada dalam tangan warga
negara setempat.
Karena kekosongan hukum pada taraf internasional, kesadaran etis bagi KMN lebih
mendesak lagi. De George merumuskan sepuluh aturan etis yang dianggap paling mendesak
dalam konteks ini. Tujuh norma pertama berlaku untuk semua KMN, sedangkan tiga aturan
terakhir terutama dirumuskan untuk industri berisiko khusus seperti pabrik kimia atau
instalasi nuklir. Sepuluh aturan itu adalah:
a. Korporasi Multinasional tidak boleh dengan segaja mengakibatkan kerugian
langsung.
Dengan sengaja mengakibatkan kerugian bagi orang lain selalu merupakan
tindakan yang tidak etis. Norma pertama ini mengatakan bahwa suatu tindakan tidak
etis, bila KMN dengan tahu dan mau mengakibatkan kerugian bagi negara biarpun
tidak dengan sengaja atau langsung- menurut keadilan kompensatoris ia wajib
memberi ganti rugi.
6
b. Korporasi Multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada
kerugian bagi negara di mana mereka beroperasi.
Hampir semua kegiatan manusia mempunyai akibat jelek,bisnis tidak
tekecuali. Norma kedua menuntut secara menyeluruh akibat- akibat baik melebihi
akibat- akibat jelek. Norma ini tidak membatasi diri pada segi negatif, tapi
memerintahkan sesuatu yang positif da ditegasakan lagi bahwa yang positif harus
melebihi yang negatif.
c. Dengan kegiatannya, Korporasi Multinasional itu harus memberi konstribusi kepada
pembangunan negara di mana ia beroperasi.
KMN harus menyumbangkan juga pada pembangunan negara berkmbang.
KMN harus bersedia melakukan alih teknologi dan alih keahlian.
d. Korporasi Multinasional harus menghormati Hak Asasi Manusia dari semua
karyawannya.
KMN harus memperhatikan tentang upah dan kondisi kerja di negara
berkembang.
e. Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, Korporasi
Multinasional harus menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama
dengannya, bukan menentangnya.
KMN akan merugikan negara dimana ia beroperasi, jika ia tidak menghormati
kebudayaan setempat.KMN harus menyesuaikan diri dengan nilai- nilai budaya
stempat dan tidak memaksakan nilai-nilainya sendiri.
f. Korporasi Multinasional harus membayar pajak yang “fair”.
Setiap perusahaan multinasional harus membayar pajak menurut tarif yang
telah ditentukan dalam suatu negara. KMN akan mendukung dibuatnya dan
dilaksanakannnya peraturan internasional untuk menentukan pembayaran pajak oleh
perusahaan- perusahaan internasional.
g. Korporasi Multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam
mengembangkan dan menegakkan “background institutions” yang tepat.
Yang dimaksud “background institutions” adalah lembaga- lembaga yang
mengatur serta memperkuat kegiatan ekonomi dan industri suatu negara.
h. Negara yang memiliki mayoritas saham sebuah perusahaan harus memikul tanggung
jawab moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut.
Norma ini mengatakan bahwa tanggung jawab moral harus dipikul oleh
pemilik mayoritas saham.
7
i. Jika suatu Korporasi Multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia wajib
menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman.
Yang membangun pabrik- pabrik berisiko tinggi harus juga merundingka
prosedur- prosedur keamanan bagi mereka yang menjalankan pabrik tersebut. KMN
bertanggung jawab untuk membangun pabrik yang aman dan melatih serta membina
secara sebaik mungkin mereka yang akan mengoperasikan pabrik itu.
j. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang, Korporasi
Multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian rupa, sehingga
dapat dipakai dengan aman dalam negara baru yang belum berpengalaman.
Menurut norma ini prioritas harus diberikan kepada keamanan. Kalau
mungkin, teknologi harus dirancang sesuai dengan kebudayaan dan kondisi stempat,
sehingga terjamin keamanan optimal.
Sepuluh norma tersebut bisa bermanfaat untuk menciptakan suatu kerangka moral
bagi kegiatan- kegiatan KMN
PENUTUP
3.1 Simpulan
Salah satu masalah besar yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika
filosofis adalah relatif tidaknya norma – norma moral.Kami berpendapat bahwa pandangan
yang menganggap norma-norma moral relatif saja tidak bisa dipertahankan. Namun demikian
tidak berarti bahwa norma-norma moral bersifat absolut. Pendangan – pendangan itu dibagi
menjadi beberapa yaitu: Menyesuaikan diri, Rigorisme moral,Imoralisme naif.
Masalah “dumping“ dalam bisnis international. Salah satu topik yang jelas termasuk
etika bisnis international adalah dumping produk karena praktek kurang etis ini secara khusus
berlangsung dalam hubungannya dengan negara lain. Dumping produk bisa diadakan dengan
banyak motif yang berbeda salah satu motifnya adalah bahwa sipenjual mempunyai
persediaan barang yang terlalu besar sehingga ia memutuskan untuk menjual produk yang
bersangkutan tersebut dibawah harga saja daripada produknya sama sekali tidak terjual lebih
baik sekurang – kurangnya sebagian biaya produksi dikembalikan walaupun dengan
demikian dia tetap merugi.
8
Aspek-aspek etis dari korporasi multinasional. Fenomena yang agak baru diatas
panggung bisnis international adalah korporasi international yang disebut juga korporasi
transnasional. Yang dimaksudkan dengannya adalah perusahaan yang mempunyai investasi
langsung dalam dua negara atau lebih. Sepuluh aturan etis yang dianggap paling mendesak
adalah :
a. Korporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian
langsung
b. Korporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat dari pada
kerugian bagi negara dimana mereka beroperasi
c. Dengan kegiatannya korporasi multinasional itu harus memberikan kontribusi
kepada pembangunan negara dimana ia beroperasi
d. Korporasi multinasional harus menghormati Hak Asasi Manusia dari semua
keryawannya
e. Korporasi multinasional harus membayar pajak dengan Fair
f. Korporasi multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam
mengembangkan dan menegakan “ Background institutions “ yang tepat
g. Negara yang memiliki mayoritas saham sebuah perusahaan harus memikul
tanggung jawab moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut
h. Jika suatu korporasi multinational membangun pabrik yang beresiko tinggi ia
wajib menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman Dalam
mengalihkan teknologi beresiko tinggi kepada Negara berkembang korporasi
multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian rupa sehingga
dapat dipakai dengan aman dalam Negara baru yang belum berpengalaman