Wrap Up Hemato SKENARIO 1 Btul

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 22

SKENARIO 1

LEKAS LELAH BILA BEKERJA

Ibu Shinta 35 tahun, memeriksakan diri ke dokter dengan keluhan sering merasa
lekas lelah setelah mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Keluhan ini sudah dialami 3 bulan
terakhir. Sebelumnya tidak pernah mengalami hal seperti ini.
Pada anamnesis tambahan didapatkan keterangan bahwa pola makan bu Shinta tidak
teratur, jarang makan sayur, ikan, maupun daging, hanya tahu/ temped dan kerupuk. Tidak
dijumpai riwayat penyakit yang diderita sebelumnya dan riwayat pengobatan tidak jelas.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
 Wajah terlihat lelah, TD 110/60 mmHg, frekuensi nadi 88 x/menit, frekuensi
pernapasan 20 x/menit, suhu tubuh 36,80C, TB=160 cm, BB=60 kg, konjungtiva
palpebral inferior pucat.
 Pemeriksaan jantung paru dan abdomen dalam batas normal.
 Hasil pemeriksaan darah rutin dijumpai:

Pemeriksaan Kadar Nilai Normal


Hemoglobin (Hb) 10,5 g/dL 12-14 g/dL
Hematokrit (Ht) 47% 37-42%
Eritrosit 6,75x106/µl 3,9-5,3 x 106 / µl
MCV 70 fL 82-92 fl
MCH 20 pg 27-31 pg
MCHC 22 % 32-36 %
Leukosit 6500/ µl 5000-10.000/ µl
Trombosit 300.000/ µl 150.000-400.000/ µl

Dokter mengatakan Ibu Shinta mengalami anemia.

Page 1
SASARAN BELAJAR

LI.1 Memahami dan Menjelaskan Eritropoiesis

LO. 1.1 Memahami dan Menjelaskan definisi eritropoiesis


LO. 1.2 Memahami dan Menjelaskan mekanisme eritropoiesis
LO. 1.3 Memahami dan Menjelaskan morfologi eritrosit
LO. 1.4 Memahami dan Menjelaskan factor-faktor yang di perlukan untuk
eritropoiesis
LO. 1.5 Memahami dan Menjelaskan kelainan morfologi dan jumlah eritropoiesis

LI. 2 Memahami dan Menjelaskan Hemoglobin

LO 2.1 Memahami dan Menjelaskan definisi dan fungsi hemoglobin


LO 2.2 Memahami dan Menjelaskan struktur hemoglobin
LO 2.3 Memahami dan Menjelaskan biosintesis hemoglobin
LO 2.4 Memahami dan Menjelaskan reaksi Antara O2 dan hemoglobin
LO 2.5 Memahami dan Menjelaskan reaksi Antara Fe dan hemoglobin
LO 2.6 Memahami dan Menjelaskan proses distribusi O2 dari paru-paru

LI. 3 Memahami dan Menjelaskan Anemia

LO 3.1 Memahami dan Menjelaskan definisi anemia


LO 3.2 Memahami dan Menjelaskan etiologi anemia
LO 3.3 Memahami dan Menjelaskan klasifikasi anemia
LO 3.4 Memahami dan Menjelaskan manifestasi klinis anemia
LO 3.5 Memahami dan Menjelaskan pemeriksaan laboratorium

LI. 4 Memahami dan Menjelaskan Anemia Defisiensi Besi

LO 4.1 Memahami dan Menjelaskan definisi


LO 4.2 Memahami dan Menjelaskan etiologi
LO 4.3 Memahami dan Menjelaskan patofisiologi
LO 4.4 Memahami dan Menjelaskan diagnosis
LO 4.5 Memahami dan Menjelaskan tata laksana
LO 4.6 Memahami dan Menjelaskan komplikasi
LO 4.7 Memahami dan Menjelaskan pencegahan

Page 2
LI.1 Memahami dan Menjelaskan Eritropoiesis

LO.1.1 Memahami dan Menjelaskan definisi eritropoiesis


Eritropoesis adalah proses pembuatan eritrosit (sel darah merah), pada janin dan
bayi proses ini berlangsung di limfa dan sumsum tulang, tetapi pada orang dewasa terbatas
hanya pada sumsum tulang.

LO.1.2 Memahami dan Menjelaskan mekanisme eritropoiesis

Sel darah berasal dari sel stem hemopoetik pluripoten yang berada pada sumsum
tulang. Sel ini kemudian akan membentuk bermacam macam sel darah tepi. Asal sel yang
akan terbentuk selanjutnya adalah sel stem commited, Sel ini akan dapat meghasilkan Unit
pembentuk koloni eritrosit (CFU-E) dan Unit granulosit dan monosit (CFU-GM).
Pada eritropoesis, CFU-E membentuk banyak sel Proeritroblas sesuai dengan
rangsangan. Proeritroblas akan membelah berkali-kali menghasilkan banyak sel darah
merah matur yaitu Basofil Eritroblas. Sel ini sedikit sekali mengumpulkan hemoglobin.
Selanjutnya sel ini akan berdifferensiasi menjadi Retikulosit dengan sel yang sudah
dipenuhi dengan hemoglobin. Retikulosit masih mengandung sedikit bahan basofilik.
Bahan basofilik ini akan menghilang dalam waktu 1-2 hari dan menjadi eritrosit matur.

1. Rubriblast
Rubriblast disebut juga pronormoblast atau proeritroblast, merupakan sel
termuda dalam sel eritrosit. Sel ini berinti bulat dengan beberapa anak inti
dan kromatin yang halus. Ukuran sel rubriblast bervariasi 18-25 mikron.

Page 3
Dalam keadaan normal jumlah rubriblast dalam sumsum tulang adalah
kurang dari 1 % dari seluruh jumlah sel berinti.
2. Prorubrisit
Prorubrisit disebut juga normoblast basofilik atau eritroblast basofilik.
Ukuran lebih kecil dari rubriblast. Jumlahnya dalam keadaan normal 1-4
% dari seluruh sel berinti.
3. Rubrisit
Rubrisit disebut juga normoblast polikromatik atau eritroblast
polikromatik. Inti sel ini mengandung kromatin yang kasar dan menebal
secara tidak teratur, di beberapa tempat tampak daerah-daerah piknotik.
Pada sel ini sudah tidak terdapat lagi anak inti, inti sel lebih kecil daripada
prorubrisit tetapi sitoplasmanya lebih banyak, mengandung warna biru
karena asam ribonukleat (ribonucleic acid-RNA) dan merah karena
hemoglobin. Jumlah sel ini dalam sumsum tulang orang dewasa normal
adalah 10-20 %.
4. Metarubrisit
Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast
ortokromatik. Ini sel ini kecil padat dengan struktur kromatin yang
menggumpal. Sitoplasma telah mengandung lebih banyak hemoglobin
sehingga warnanya merah walaupun masih ada sisa-sisa warna biru dari
RNA. Jumlahnya dalah keadaan normal adalah 5-10%
5. Retikulosit
Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan
penglepasan inti sel, masih diperlukan beberapa hari lagi untuk
melepaskan sisa-sisa RNA. Sebagian proses ini berlangsung di dalam
sumsum tulang dan sebagian lagi dalam darah tepi. Setelah dilepaskan
dari sumsum tulang sel normal akan beredar sebagai retikulosit selama 1-
2 hari. Dalam darah normal terdapat 0,5 – 2,5% retikulosit.
6. Eritrosit
Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkaf dengan
ukuran diameter 7-8 mikron dan tebal 1,5- 2,5 mikron. Bagian tengan sel
ini lebih tipis daripada bagian tepi. Dengan pewarnaan Wright, eritrosit
akan berwarna kemerah-merahan karena mengandung hemoglobin. Umur
eritrosit adalah sekitar 120 hari dan akan dihancurkan bila mencapai
umurnya oleh limpa.

Eritrosit hidup dan beredar dalam darah tepi (life span) rata-rata selama 120 hari.
Setelah 120 hari eritrosit mengalami proses penuaan kemudian dikeluarkan dari sirkulasi
oleh sistem RES. Apabila destruksi eritrosit terjadi sebelumnya maka proses ini disebut
sebagai Hemolisis.

Page 4
LO 1.3 Memahami dan Menjelaskan morfologi eritrosit

1. Rubriblast :
 Sel besar ( 15-30 µm)
 Inti : besar, bulat, warna merah, kromatin halus
 Nukleoli : 2-3 buah
 Sitoplasma : biru tua, sedikit halo di sekitar inti
2. Prorubrisit :
 Lebih kecil dari rubriblast
 Inti: bulat, kromatin mulai kasar
 Nukleoli (-)
 Sitoplasma: biru, lebih pucat
3. Rubrisit :
 Lebih kecil dari prorubrisit
 Inti: lebih kecil dari prorubrisit, bulat, kromatin kasar dan
menggumpal
 Sitoplasma: pembentukan Hb (+)
4. Metarubrisit :
 Lebih kecil dari rubrisit
 Inti: bulat, kecil, kromatin padat, warna biru gelap
 Sitoplasma: merah kebiruan
5. Eritrosit polikromatik :
 Masih ada sisa-sisa kromatin inti
 Sitoplasmawarna violet / kemerahan / sedikit biru
 Fase ini disetarakan dengan retikulosit
6. Eritrosit :
 Ukuran 6-8 µm
 Sitoplasma kemerahan
 Bagian tengah pucat, karena bentuk bikonkaf
 Bentuk bulat, tepi rata

Morfologi eritrosit
Eritrosit normal berbentuk lempeng bikonkaf dengan diameter ± 7,8 μm, dengan
ketebalan pada bagian yang paling tebal 2,5 μm dan .Normalnya bagian tengah eritrosit
tidak melebihi 1/3 diameternya, dan disebut eritrosit normokhromatik.

o Jika bagian tengah (pucat) melebar dan bagian pinggir eritrosit itu kurang
terwarna, sel ini disebut eritrosit hipokhromatik
o Jika bagian tengah (pucat) menyempit, sel ini disebut eritrosit
hiperkhromatik.

Page 5
 Bersifat elastis, sehingga mampu merubah bentuk untuk dapat masuk ke dalam
kapiler-kapiler yang memiliki diameter kecil.
 Setiap eritrosit diliputi oleh membran plasma (lipoprotein)
 Dibawahnya terdapat cystokel yang terdiri dari 2 lapisan :
o Jala granular vertikal
o Filamentosa horisontal
 Jala-jala terutama tersusun oleh protein kontraktil “spektrin”
o Memelihara bikonkaf
o Efisiensi pengaliran O2 dan CO2
 Umur sel eritrosit ±120 hari
 Volume eritrosit adalah 90 - 95 μm3.Jumlah eritrosit normal pada pria 4,6 - 6,2
juta/μL dan pada wanita 4,2 -5,4 juta/μL.

LO 1.4 Memahami dan Menjelaskan factor-faktor yang di perlukan untuk


eritropoiesis

Proses pembentukan eritrosit (eritropoiesis) memerlukan:


1. Sel induk : CFU-E, BFU-E, Normoblast
2. Bahan pembentuk eritrosit : besi, vitamin B12, asam folat, protein, dll.
3. Mekanisme regulasi: faktor pertumbuhan hemapoietik dan hormon eritropotein

 Besi : untuk produksi heme, dan kira-kira 65% dari besi tubuh ada di dalam
hemoglobin.
 Vitamin B12 (sianokobalamin) : untuk sintesis molekul asam deoksiribonukleat
(DNA) dalam pembentukan sel darah merah.
 Asam folat : untuk sintesis DNA dan meningkatkan pematangan sel darah merah.
 Vitamin C
 Tembaga : katalis dalam pembentukan hemoglobin dan dlam cara ini membantu
untuk membuat sel darah merah.
 Kobalt : mineral dan molekul vitamin B12

Page 6
LO 1.5 Memahami dan Menjelaskan kelainan morfologi dan jumlah eritropoiesis

Variasi Kelainan dari Besar Eritrosit

1. Makrositosis
Keadaan dimana diameter rata-rata eritrosit > 8,5 mikron dengan tebal rata-rata 2,3
mikron. Ditemukan pada anemia megaloblastik, anemi pada kehamilan, anemi
karena malnutrition.
2. Mikrositosis
Keadaan dimana diameter rata-rata eritrosit < 7 mikron dengan tebal rata-rata 1,5-
1,6 mikron. Ditemukan pada anemi defisiensi besi.
3. Anisositosis
Keadaan dimana ukuran besarnya eritrosit bervariasi, jadi terdapat makro, normo,
mikrosit, sedang bentuknya sama. Ditemukan pada anemi kronik yang berat.

Variasi Warna Eritrosit

1. Normokromia
Keadaan dimana eritrosit dengan konsentrasi hemoglobin normal.
2. Hipokromia
Keadaan dimana eritrosit dengan konsentrasi hemoglobin kurang dari normal.
3. Hiperkromia
Keadaan dimana eritrosit dengan konsentrasi hemoglobin lebih dari normal.
4. Polikromasia
Keadaan beberapa warna pada eritrosit, misalnya: basofilik, asidofilik, ataupun
polikromatofilik.

Variasi Bentuk Eritrosit

1. Echnosit : “Crenated Eritrosit “, misalnya eritrosit pada media hipertonik.


Sferosit : Eritrosit dengan diameter < 6,5 mikron tetapi hiperkrom misalnya pada
sferositosis.
2. Leptosit : Misalnya pada hemoglobinopati Ca atau E.
3. Sel target : Bull’s eyo cell ; misalnya pada thalassemia.
4. Ovalosit : Elliptosit, misalnya pada elliptositosis hereditaria.
5. Drepanosit : Sickle Cell, misalnya pada sickle cell anemi.
6. Sehistocyte : Helmet Cell merupakan pecahan eritrosit, misalnya pada anemi
hemolitika.
7. Stomatosit : misalnya pada thalassemia dan anemi pada penyakit hati yang
menahun.
8. Tear drop cell : misalnya pada anemi megaloblastik.
9. Poikilositosis : keadaan dimana terdapat bermacam-macam bentuk eritrosit dalam
satu sediaan hapus, misalnya pada hemopoisis extramedularis. ( Dep Kes RI, 1989 )

Page 7
LI. 2 Memahami dan Menjelaskan Hemoglobin

LO 2.1 Memahami dan Menjelaskan definsi dan fungsi hemoglobin

Hemoglobin adalah zat warna dalam eritrosit yang berfungsi mengangkut O2 dan
CO2. Kadar normal pada laki-laki : 14-18 gr/dl. Untuk perempuan 12-16 gr/dl.

Bayi baru lahir 13,5 ± 3 g/dl


Bayi 3 bulan 11,5 ± 2 g/dl
Anak usia 1 tahun 12 ± 1,5 g/dl
Anak usia sekolah 13 ± 1,5 g/dl

Wanita 12 – 16 g/dl
Pria 14 – 18 g/dl

Fungsi dari hemoglobin


Hemoglobin pada eritrosit vertebrata berperan penting dalam:
 Pengangkutan oksigen dari organ respirasi ke jaringan perifer sedangkan CO2 dari
jaringan k paru-paru.
 pengangkutan karbon dioksida dan berbagai proton dari jaringan perifer ke organ
respirasi untuk selanjutnya diekskresikan ke luar
 menentukan kapasitas penyangga darah.

Page 8
LO 2.2 Memahami dan Menjelaskan struktur hemoglobin

Hemoglobin dewasa (HbA) terdiri dari empat rantai polipeptida ( dua a dan dua b )
masing-masing mengandung satu molekul heme. Sedangkan pada bayi yang masih dalam
kandungan atau yang sudah lahir terdiri dari beberapa rantai beta dan molekul
hemoglobinnya terbentuk dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gama yang dinamakan sebagai HbF.

 Rantai a dan b dari HbA adalah mirip satu


sama lain dalam konfigurasi 3 dimensi dan
pada rantai tunggal dari mioglobin otot,
walaupun urutan asam aminonya berbeda.
 Dalam setiap rantai terjadi 8 heliks-a.
 Heme, suatu kompleks dari satu cincin
porfirin dan satu ion ferro (Fe2+), sesuai
pada celah dari setiap rantai globin dan
berinteraksi dengan 2 residu histidin.

LO 2.3 Memahami dan Menjelaskan biosintesis hemoglobin

Page 9
Sintesis heme terjadi di mitokondria melalui suatu rangkaian reaksi biokimia yang
bermula dengan kondensasi glisin dan suksinil koenzim A oleh kerja enzim kunci yang
bersifat membatasi kecepatan reaksi yaitu asam aminolevulinat sintase membentuk asam
aminolevulinat/ALA. Dalam reaksi ini glisin mengalami dekarboksilasi. Piridoksal fosfat
adalah koenzim untuk reaksi ini yang dirangsang oleh eritropoietin. Dalam reaksi kedua
pada pembentukan hem yang dikatalisis oleh ALA dehidratase, 2 molekul ALA
menyatu membentuk pirol porfobilinogen. Empat dari cincin-cincin pirol ini berkondensasi
membentuk sebuah rantai linear dan mengandung gugus asetil (A) dan propionil (P).
Gugus asetil mengalami dekarboksilasi untuk membentuk gugus metil. Kemudian dua
rantai sisi propionil yang pertama mengalami dekarboksilasi dan teroksidasi ke gugus
vinil, membentuk protoporfirinogen Akhirnya, Jembatan metilen mengalami oksidasi untuk
membentuk protoporfirin IX. Protoporfirin bergabung dengan Fe2+ untuk membentuk
heme. Masing- masing molekul heme bergabung dengan satu rantai globin. Globin
disintesis oleh ribosom, lalu bergabunglah tetramer yang terdiri dari empat rantai globin
dan heme nya membentuk hemoglobin. Pada saat sel darah merah tua dihancurkan, bagian
globin dari hemoglobin akan dipisahkan, dan hemenya diubah menjadi biliverdin. Lalu
sebagian besar biliverdin diubah menjadi bilirubin dan diekskresikan ke dalam empedu.
Sedangkan besi dari heme digunakan kembali untuk sintesis hemoglobin. Pada langkah
terakhir jalur ini, besi (sebagai Fe 2+) digabungkan ke dalam protoporfirin IX dalam
reaksi yang dikatalisis oleh ferokelatase (dikenal sebagai heme sintase).

LO 2.4 Memahami dan Menjelaskan reaksi Antara O2 dan hemoglobin

Hemoglobin mengikat oksigen untuk membentuk oksihemoglobin, oksigen


menempel pada Fe2+ dalam heme. Masing-masing dari keempat atom besi dapat mengikat
satu molekul oksigen secara reversibel. Atom besi tetap berada dalam bentuk ferro,
sehingga reaksi pengikatan oksigen merupakan suatu reaksi oksigenasi.

Dengan reaksi : Hb + O2 ↔ HbO2

Bila tekanan O2 tinggi, seperti dalam kapiler paru, O2 berikatan dengan


hemoglobin. Sedangkan jika tekanan oksigen rendah, oksigen akan dilepas dari hemoglobin
(deoksihemoglobin).
Kurva disosiasi hemoglobin-oksigen adalah kurva yang menggambarkan
hubungan % saturasi kemampuan hemoglobin mengangkut O2 dengan PO2 yang memiliki
bentuk signoid khas yang disebabkan oleh interkonversi T-R. Pengikatan O2 oleh gugus
heme pertama pada satu molekul Hb akan meningkatkan afinitas gugus heme kedua
terhadap O2, dan oksigenase gugus kedua lebih meningkatkan afinitas gugus ketiga, dan
seterusnya sehingga afinitas Hb terhadap molekul O2 ke empat berkali-kali lebih besar
dibandingkan reaksi pertama.

Page 10
Masing-masing dari keempat atom besi dapat mengikat satu molekul O2 secara
reversible. Atom besi tetap berada dalam bentuk ferro sehingga reaksi pengikatan O2
merupakan suatu reaksi oksigenasi bukan oksidasi.
Reaksi ini berlangsung cepat, dan membutuhkan waktu kurang dari 0,01 detik.
Deoksigenasi juga berlangsung sangat cepat. Struktur kuartener hemeoglobin menentukan
afinitasnya terhadap O2. Pada deoksihemoglobin, unit globin terikat erat dalam konfigurasi
Tense(T,tegang) yang menurunkan afinitas molekul terhadap O2. Saat O2 pertama kali
terikat, ikatan yang menahan unit globin terlepas sehingga terbentuk konfigurasi
relaxed(R,rileks). Yang memaparkan lebih banyak tempat pengikatan O2. Hasil akhirnya
adalah peningkatan afinitas terhadap O2 sebesar 500 kali lipat. Di jaringan, reaksi-reaksi ini
berbalik sehingga terjadi pelepasan O2.
Hemoglobin mengikat O2 untuk membentuk oksihemoglobin, O2 menempel pada
Fe2+ di heme. Afinitas hemoglobin terhadap O2 dipengaruhi pH,suhu, dan konsentrasi 2,3
bifosfogliserat(2,3 BPG) dalam sel darah merah. 2,3 BPG dan H+ berkompetisi dengan O2
untuk berikatan dengan hemoglobin deoksigenasi sehiingga afinitas hemoglobin terhadap
O2 berkurang dengan bergesernya posisi empat rantai peptida(struktur kuartener).

Page 11
Bila darah terpajan oleh berbagai macam obat dan agen-agen pengoksidasi lainya
secara in vitro atau in vivo, besi ferro(Fe2+) yang dalam keadan normal terdapat dalam
molekul tersebut akan berubah menjadi besi ferri (Fe3+), yang membentuk methemoglobin.
Methemoglobin berwarna tua,dan kalau jumlahnya besar dalam sirkulasi, methemoglobin
ini akan menimbulkan perubahan warna kehitaman pada kulit yang menyerupai sianosis.
Pada keadaan normal, terjadi sedikit oksidasi hemoglobin menjadi methemoglbi, tetapi
suatu sistem enzim dalam sel darah merah, yakni NADH-ethemoglobin reduktase,
mengubah kembali methemoglobin menjadi hemoglobin. Tidak adanya sistem ini secara
kongenital merupakan salah satu penyebab methemoglbinemia herediter.

LO 2.5 Memahami dan Menjelaskan reaksi Antara Fe dan hemoglobin

Besi diserap dalam bentuk fero (Fe2+). Karena bersifat toksik di dalam tubuh, besi
bebas biasanya terikat ke protein. Besi dapat diambil dari simpanan feritin, diangkut
dalam darah sebagai transferin dan diserap oleh sel yang memerlukan besi melalui proses
endositosis diperantarai oleh resptor (misalnya oleh retikulosit yang sedang membentuk
hemoglobin). Apabila terjadi penyerapan besi berlebihan dari makanan, kelebihan
tersebut disimpan sebagai hemosiderin, suatu bentuk feritin yang membentuk kompleks
dengan besi tambahan yang tidak mudah dimobilisasi segera.

LO 2.6 Memahami dan Menjelaskan proses distribusi O2 dari paru-paru

Proses fisiologis pernafasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke dalam


jaringan-jaringan, dan C02 di keluarkan ke udara dapat dibagi menjadi 3 stadium:
1. Ventilasi
Proses ekspirasi dan inspirasi
2. Transportasi
Mencakup proses difusi gas-gas melintasi membran alveolus-kapiler yang tips
(tebalnya kurang dari 0,5 µm). Kekuatan mendorong untuk pemindahan ini adalah
selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial O2 dalam darah
vena campuran (PVO2) dikapiler paru kira-kira sebesar 40 mmhg. PO2 kapiler lebih
rendah daripada tekanan daram alveolus(PAO2=103mmhg) sehingga 02 mudah
berdifusi ke dalam aliran darah.perbedaan tekanan antara darah 46mmhg dan
PaCO2 yang lebih rendah 40mmhg menyebabkan CO2 berdifusi ke alveolus yang
kemudian dikeluarkan ke atmosfer. Sedangkan O2 dalam darah akan ditransport
dengan cara berikatan dengan Hb.
3. Respirasi sel atau respirasi interna
Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri dari Hb ke dalam plasma dan
berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi kebutuhan jaringan
yang bersangkutan.

Page 12
LI.3 Memahami dan Menjelaskan Anemia

LO 3.1 Memahami dan Menjelaskan definsi anemia

Anemia merupakan keadaan di mana masa eritrosit dan atau masa hemoglobin yang
beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh.
Anemia selalu merupakan keadaan tidak normal dan harus dicari penyebabnya.
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium sederhana berguna dalam
evaluasi penderita anemia.

LO 3.2 Memahami dan Menjelaskan etiologi anemia

Pada dasarnya anemia disebabkan oleh gangguan pembentukan eritrosit di sumsum


tulang (produksi eritrosit menurun), kehilangan eritrosit dari tubuh (perdarahan), proses
peningkatan penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).

Terdapat berbagai macam penyebab anemia, antara lain:


1. Pendarahan hebat yang mendadak (akut) karena kecelakaan, pembedahan, persalinan, atau
pecah pembuluh darah
2. Pendarahan kronik (menahun) karena pendarahan hidung, wasir (hemoroid), maag (ulkus
peptikum), kanker atau polip di saluran pencernaan, tumor ginjal atau kandung kemih
3. Pendarahan menstruasi yang sangat banyak
4. Berkurangnya pembentukan sel darah merah karena kekurangan zat besi, kekurangan
vitamin B12, kekurangan asam folat, kekurangan vitamin C
5. Penyakit kronik yang mengakibatkan meningkatnya penghancuran sel darah merah,
pembesaran limpa, kerusakan mekanik pada sel darah merah
6. Kekurangan G6PD (suatu enzim yang berperan dalam proses pembentukan dan
perombakan sel darah merah dan pencegahan hemolisis pada eritrosit). Kelainan
enzim G6PD menyebabkan proses pembentukan dan perombakan sel darah merah menjadi
tidak normal dan mudah pecah (hemolitik).
7. Penyakit darah, seperti penyakit sel sabit (sel darah merah berbentuk bulan sabut seperti
huruf C) dan thalassemia.

LO 3.3 Memahami dan Menjelaskan klasifikasi anemia

Derajat anemia antara lain ditentukan oleh kadar hemoglobin. Derajat anemia perlu
disepakati sebagai dasar penatalaksanaan kasus anemia.
Klasifikasi derajat anemia yang umum dipakai adalah :

Ringan Sekali Hb 10 g/dl – cut off point


Ringan Hb 8 g/dl – Hb 9,9 g/dl
Sedang Hb 6 g/dl – 7,9 g/dl
Berat Hb < 6 g/dl

Page 13
Klasifikasi anemia yang paling sering dipakai adalah :

1. Klasifikasi Morfologik
Berdasarkan morfologi eritrosit pada pemeriksaan apusan darah tepi atau dengan
melihat indeks eritrosit. Dengan melihat morfologi anemia maka dapat diduga
penyebab anemia tersebut

A. Anemia Hipokromik Mikrositer ( MCV < 80 fl, MCH < 27 pg)


1. Anemia Defisiensi Besi
2. Thalassemia
3. Anemia Akibat Penyakit kronik
4. Anemia Sideroblastik
B. Anemia Normokromik Normositer ( MCV 80-95 fl, MCH 27-34 pg)
1. Anemia Pasca perdarahan Akut
2. Anemia Aplastik- Hipoplastik
3. Anemia hemolitik - terutama bentuk yang didapat
4. Anemia Akibat penyakit kronik
5. Anemia Mieoplastik
6. Anemia pada Gagal Ginjal Kronik
7. Anemia pada mielofibrosis
8. Anemia pada Sindrom mielodisplastik
9. Anemia pada leukimia akut
C. Anemia Makrositer ( MCV > 95 fl)
1. Megaloblastik
1. Anemia Defisiensi Folat
2. Anemia Defisiensi Vitamin 𝐵12
2. Nonmegaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroid
3. Anemia pada sindroma mielodisplastik.
4.
LO 3.4 Memahami dan Menjelaskan manifestasi klinis anemia

Gejala anemia sangat bervariasi, tetapi pada umumnya dapat dibagi menjadi 3
golongan besar, yaitu:
1. Gejala umum anemia
Disebut juga sebagai sindrom anemia, atau anemic syndrome. Gejala umum
anemia adalah gejala yang timbul pada semua jenis anemia pada kadar hemoglobin
yang sudah menurun di bawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ
target dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin. Gejala-
gejala tersebut jika diklasifikasikan menurut organ yang terkena adalah sebagai
berikut:

Page 14
 System kardiovaskular : lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak nafas,
angina pectoris dan gagaljantung
 System saraf : sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-
kunang, kelemahan otot, iritabel.
 Sistem urogenital : gangguan hadidan libido menurun
 Epitel : pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, rambut tipis
dan halus

2. Gejala khas masing-masing anemia


 Anemia defisiensi besi : disfagia, atropi papil lidah, stomatitis angularis
 Anemia defisiensi asam folat : lidah merah (buffy tongue)
 Anemia hemolitik : icterus dan hepatosplenomegali
 Amemia aplastik : pendarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda infeksi

3. Gejala akibat penyakit dasar


Disebabkan karena penyakit yang mendasari anemia misalnya, anemia
defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang

LO 3.5 Memahami dan Menjelaskan pemeriksaan laboratorium

• Complete blood count (CBC)


CBC terdiri dari pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit, ukuran
eritrosit, dan hitung jumlah leukosit. Pada beberapa laboratorium, pemeriksaan
trombosit, hitung jenis, dan retikulosit harus ditambahkan dalam permintaan
pemeriksaan (tidak rutin diperiksa). Pada banyak automated blood counter,
didapatkan parameter RDW yang menggambarkan variasi ukuran sel.
• Pemeriksaan morfologi apusan darah tepi
Apusan darah tepi harus dievaluasi dengan baik. Beberapa kelainan darah tidak
dapat dideteksi dengan automated blood counter.
• Sel darah merah berinti (normoblas)
Pada keadaan normal, normoblas tidak ditemukan dalam sirkulasi. Normoblas dapat
ditemukan pada penderita dengan kelainan hematologis (penyakit sickle cell,
talasemia, anemia hemolitik lain) atau merupakan bagian dari gambaran
lekoeritroblastik pada penderita dengan bone marrow replacement. Pada penderita
tanpa kelainan hematologis sebelumnya, adanya normoblas dapat menunjukkan
adanya penyakit yang mengancam jiwa, seperti sepsis atau gagal jantung berat.
 Hipersegmentasi neutrofi l
Hipersegmentasi neutrofi l merupakan abnormalitas yang ditandai dengan lebih dari
5% neutrofi l berlobus >5 dan/atau 1 atau lebih neutrofi l berlobus >6. Adanya
hipersegmentasi neutrofi l dengan gambaran makrositik berhubungan dengan
gangguan sintesis DNA (defi siensi vitamin B12 dan asam folat).

Page 15
• Hitung retikulosit
Retikulosit adalah sel darah merah imatur. Hitung retikulosit dapat berupa
persentasi dari sel darah merah, hitung retikulosit absolut, hitung retikulosit absolut
terkoreksi, atau reticulocyte production index. Produksi sel darah merah efektif
merupakan proses dinamik. Hitung retikulosit harus dibandingkan dengan jumlah
yang diproduksi pada penderita tanpa anemia. Rumus hitung retikulosit terkoreksi
adalah:
Hitung retikulosit terkoreksi = % retikulosit penderita x hematocrit
45
Faktor lain yang memengaruhi hitung retikulosit terkoreksi adalah adanya
pelepasan retikulosit prematur di sirkulasi pada penderita anemia. Retikulosit
biasanya berada di darah selama 24 jam sebelum mengeluarkan sisa RNA dan
menjadi sel darah merah. Apabila retikulosit dilepaskan secara dini dari sumsum
tulang, retikulosit imatur dapat berada di sirkulasi selama 2-3 hari. Hal ini terutama
terjadi pada anemia berat yang menyebabkan peningkatan eritropoiesis. Perhitungan
hitung retikulosit dengan koreksi untuk retikulosit imatur disebut reticulocyte
production index (RPI).1
RPI = (%retikulosit x hematokrit penderita / 45) Hematokrit Faktor
Faktor koreksi penderita koreksi
Faktor koreksi dapat dilihat pada tabel 1. (%)
40 – 45 1,0
35 – 39 1,5
Tabel 1 : Faktor koreksi hitung RPI 25 – 34 2,0
15 – 24 2,5
<15 3,0

RPI di bawah 2 merupakan indikasi adanya kegagalan sumsum tulang dalam


produksi sel darah merah atau anemia hipoproliferatif. RPA 3 atau lebih merupakan
indikasi adanya hiperproliferasi sumsum tulang atau respons yang adekuat terhadap
anemia.
• Jumlah leukosit dan hitung jenis
Adanya leukopenia pada penderita anemia dapat disebabkan supresi atau infiltrasi
sumsum tulang, hipersplenisme atau defisiensi B12 atau asam folat. Adanya
leukositosis dapat menunjukkan adanya infeksi, infl amasi atau keganasan
hematologi. Adanya kelainan tertentu pada hitung jenis dapat memberikan petunjuk
ke arah penyakit tertentu:
 Peningkatan hitung neutrofi l absolut padainfeksi
 Peningkatan hitung monosit absolut pada mielodisplasia
 Peningkatan eosinofi l absolut pada infeksi tertentu
 Penurunan nilai neutrofi l absolut setelahkemoterapi
 Penurunan nilai limfosit absolut pada infeksi HIV atau pemberian
kortikosteroid

Page 16
 Jumlah trombosit
Abnormalitas jumlah trombosit memberikan informasi penting untuk diagnostik.
Trombositopenia didapatkan pada beberapa keadaan yang berhubungan dengan
anemia, misalnya hipersplenisme, keterlibatan keganasan pada sumsum tulang,
destruksi trombosit autoimun (idiopatik atau karena obat), sepsis, defi siens folat
atau B12. Peningkatan jumlah trombosit dapat ditemukan pada penyakit
mieloproliferatif, defisiensi Fe, infl amasi, infeksi atau keganasan. Perubahan
morfologi trombosit (trombosit raksasa, trombosit degranulasi) dapat ditemukan
pada penyakit mieloproliferatif atau mielodisplasia.
• Pansitopenia
Pansitopenia merupakan kombinasi anemia, trombositopenia dan netropenia.
Pansitopenia berat dapat ditemukan pada anemia aplastik, defisiensi folat, vitamin
B12, atau keganasan hematologis (leukemia akut). Pansitopenia ringan dapat
ditemukan pada penderita dengan splenomegali dan splenic trapping sel-sel
hematologis. Evaluasi kadar hemoglobin dan hematokrit secara serial dapat
membantu diagnostik. Contoh: Pada seorang penderita, Hb turun dari 15 g%
menjadi 10 g% dalam 7 hari. Bila disebabkan oleh ganguan produksi total (hitung
retikulosit = 0) dan bila destruksi sel darah merah berlangsung normal (1% per
hari), Hb akan turun 7% dalam 7 hari.
Penurunan Hb seharusnya 0,07 x 15 g% = 1,05 g%. Pada penderita ini, Hb turun
lebih banyak, yaitu 5 g%, sehingga dapat diasumsikan supresi sumsum tulang saja
bukan merupakan penyebab anemia dan menunjukkan adanya kehilangan darah atau
destruksi sel darah merah.

LI. 4 Memahami dan Menjelaskan Anemia Defisiensi Besi

LO 4.1 Memahami dan Menjelaskan definisi anemia defisiensi besi

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan
besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada
akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Anemia defisiensi besi
merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah, yang ditandai oleh penurunan cadangan
besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi transferin yang rendah, dan konsentrasi
hemoglobin atau nilai hematokrit yang menurun.

Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu:

1) Gejala umum anemia


Disebut juga sebagai sindrom anemia dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila
kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa pucat, badan lemah, lesu,
cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging.

Page 17
Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara
perlahan-lahan sering kali sindrom anemia tidak terlalu mencolok dibandingkan
dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat.

2) Gejala khas akibat defisiensi besi


a. Koilonychia: kuku sendok (spoon nail)  kuku menjadi rapuh, bergaris-garis
vertical dan menjadi cekung sehingga mirip sendok.
b. Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah
menghilang
c. Stomatitis angularis: adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai
bercak berwarna pucat keputihan
d. Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
e. Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia.

3) Gejala penyakit dasar


Dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi
tersebut. Misalnya, pada anemia akibat penyakit cacing tambang dijumpai dyspepsia,
parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna kuning, seperti jerami.

LO 4.2 Memahami dan Menjelaskan etiologi anemia defisiensi besi

Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya asupan besi, gangguan
absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun:

1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:


a. Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker
lambung, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
b. Saluran genitalia (perempuan): menorrhagia.
c. Saluran kemih: hematuria.
d. Saluran nafas: hemoptisis.
2. Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan (asupan
yang kurang) atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang rendah.
3. Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak dalam masa
pertumbuhan, dan kehamilan.
4. Gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan kolitis kronik, atau
dikonsumsi bersama kandungan fosfat (sayuran), tanin (teh dan kopi), polyphenol
(coklat, teh, dan kopi), dan kalsium (susu dan produk susu).

LO 4.3 Memahami dan Menjelaskan patofisiologi anemia defisiensi besi

 Tahap pertama
Disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan berkurangnya
cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi

Page 18
lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme.
Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya
kekurangan besi masih normal.
 Tahap kedua
Dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron limited erythropoiesis
didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoiesis. Dari hasil
pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi
transferin menurun sedangkan total iron binding capacity (TBIC) meningkat dan
free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat.
 Tahap ketiga
Disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi yang menuju
eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb.
Dari gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progresif.
Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.

LO 4.4 Memahami dan Menjelaskan diagnosis anemia defisiensi besi

Penegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dilakukan anamnesis dan


pemeriksaan fisik yang diteliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Secara
laboratorik untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dapat dipakai
kriteria diagnosis anemia defisiensi besi sebagai berikut :
a) Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit: didapatkan anemia hipokromik
mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat.
MCV, MCHC dan MCH menurun. MCV < 70fl hanya didapatkan pada anemia
defisiensi besi dan thalassemia mayor. RDW (red cell distribution width)
meningkat yang menandakan adanya anisositosis. Indeks eritrosit sudah dapat
mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Kadar hemoglobin
sering turun sangat rendah, tanpa menimbulkan gejala anemia yang mencolok
karena anemia timbul perlahan-lahan.
i. Apusan darah menunjukkan anemia hipokromik mirkositer, anisositosis,
poikilositosis, anulosit, sel pensil, kadang-kadang sel target. Derajat
hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda
dengan thalassemia.
ii. Leukosit dan trombosit normal. Retikulosit rendah dibandingkan dengan
derajat anemia. Pada kasus ankilostomiasis sering dijumpai eosinofilia
b) Kadar besi serum menurun <50 mg/dl, total iron binding capacity (TIBC)
meningkat > 350 mg/dl, dan saturasi transferin < 15%.
c) Kadar serum feritin < 20 𝜇𝑔/dl (ada yang memakai < 15 𝜇𝑔/dl, ada juga < 12
𝜇𝑔/dl). Jika terdapat inflamasi maka feritin serum sampai dengan 60 𝜇𝑔/dl masih
dapat menunjukkan adanya defisiensi besi.
d) Protoporfirin eritrosit meningkat (> 100 𝜇𝑔/dl)
e) Sumsum tulang: menunjukkan hyperplasia normoblastik dengan normoblast
kecil-kecil (micronormoblast) dominan.

Page 19
f) Pada lab yang maju dapat diperiksa reseptor transferin: kadar reseptor transferin
meningkat pada defisiensi besi, normal pada anemia akibat penyakit kronik dan
thalassemia.
g) Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s stain) menunjukkan
cadangan besi yang negative (butir hemosiderin negatif)
h) Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defisiensi besi:
antara lain pemeriksaan feses untuk cacing tambang, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan semikuantitatif (Kato-Katz), pemeriksaan darah samar dalam feses,
endoskopi, barium intake atau barium inloop, dan lain-lain, tergantung dari
dugaan penyebab defisiensi besi tersebut.

LO 4.5 Memahami dan Menjelaskan tata laksana anemia defisiensi besi

1. Terapi Kausal : tergantung penyebabnya


Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh
kembali
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh
a. Terapi per oral : merupakan obat pilihan pertama karena efektif,murah dan
aman. Preparat yang tersedia yaitu :
i.Ferrous sulphat (sulfas ferosus) : preparat pilihan pertama ( murah dan efektif).
Dosis 3 x 200 mg
ii.Ferrous gluconate,ferrous fumarat,ferrous lactate dan ferrous succinate, harga
lebih mahal, tetapi efektivitas dan efek samping hampir sama.

Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung kosong, tetapi efek
samping lebih banyak dibandingkan dengan pemberian setelah makan. Efek
samping dapat berupa mual,muntah serta konstipasi. Pengobatan diberikan sampai 6
bulan setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Kalau
tidak,anemia sering kambuh kembali.

b. Terapi parenteral : Pemberian besi secara IM menimbulkan rasa sakit dan


harganya mahal. Kemampuan untuk meningkatkan kadar Hb tidak lebih baik
dibanding peroral.

Indikasi parenteral:
Tidak dapat mentoleransi Fe oral
Kehilangan Fe (darah) yang cepat sehingga tidak dapat dikompensasi dengan Fe
oral.Gangguan traktus gastrointestinal yang dapat memburuk dengan pemberian Fe
oral (colitis ulserativa).

Page 20
Tidak dapat mengabsorpsi Fe melalui traktus gastrointestinal.
Tidak dapat mempertahankan keseimbangan Fe pada hemodialisa
Preparat yang sering diberikan adalah dekstran besi, larutan ini mengandung 50 mg
besi/ml. Dosis dihitung berdasarkan :
Kebutuhan Besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 3

3. Terapi Transfusi
Transfusi sel-sel darah merah atau darah lengkap, jarang diperlukan dalam
penanganan anemia defisiensi Fe, kecuali bila terdapat pula perdarahan, anemia
yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dapat mempengaruhi respon terapi.
Secara umum untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb.

LO 4.6 Memahami dan Menjelaskan komplikasi anemia defisiensi besi

1. Kelainan jantung, seperti gagal jantung dan angina pektoris (angin duduk)
2. Edema akibat hipoproteinemia
3. Stroke

LO 4.7 Memahami dan Menjelaskan pencegahan anemia defisiensi besi

1. Meningkatkan konsumsi Fe  dari sumber alami terutama sumber hewani


yang mudah diserap. Juga perlu peningkatan konsumsi makanan yang mengandung
vitamin C dan A.
2. Pendidikan kesehatan, yaitu:
 Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, dan perbaikan
lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki.
 Penyuluhan gizi: untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu
absorpsi besi.
 Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik
paling sering di daerah tropic.
3. Suplementasi besi: terutama untuk segmen penduduk yang rentan, seperti
ibu hamil dan anak balita  cara paling tepat untuk menanggulangi ADB di daerah
yang prevalensinya tinggi.
4. Fortifikasi bahan makanan  dengan cara menambah masukan besi dengan
mencampurkan senyawa besi kedalam makanan sehari-hari.

Page 21
DAFTAR PUSTAKA

Bakta, I Made. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.


Freund, Mathias. 2002. Atlas Hematologi. Edisi 11. Jakarta:EGC.
Hoffbrand, A.V and Moss, P.A.H 2011. Kapita Selekta Hematologi . Edisi 6. Jakarta:EGC.
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia. Edisi 2. Jakarta: EGC.
http://elhooda.awardspace.info
http://elib.fk.uwks.ac.id

Page 22

Anda mungkin juga menyukai