Formulasi Tablet CTM
Formulasi Tablet CTM
Formulasi Tablet CTM
PENDAHULUAN
Obat adalah semua bahan tunggal atau campuran yang digunakan oleh semua
makhluk untuk bagian dalam maupun bagian luar, guna mencegah, meringankan, maupun
menyembuhkan penyakit. Menurut undang-undang yang dimaksud dengan obat adalah suatu
bahan atau campuran bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menentukan
diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit, luka atau
kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan, termasuk memperindah tubuh
atau bagian tubuh manusia. Sediaan obat dibuat dan disimpan sedemikian rupa dengan
memperhatikan sifat bahan obat yang digunakan, sehingga efektivitas optimal dan sifat tidak
merusaknya, terjamin. Konsentrasi dan jumlah bahan penolong yang digunakan dalam
pembuatannya harus tersatukan dengan bahan aktifnya (Voigt, 1994).
Dewasa ini sediaan tablet semakin popular pemakaiannya dan merupakan sediaan yang
paling banyak diproduksi. Tablet merupakan salah satu sediaan yang banyak mengalami
perkembangan baik formulasi maupun cara penggunaannya. Beberapa keuntungan sediaan
tablet diantaranya adalah sediaan lebih kompak, biaya pembuatannya lebih sederhana,
dosisnya tepat, mudah pengemasannya, sehingga penggunaannya lebih praktis jika
dibandingkan dengan sediaan yang lain (Lachman, et al., 1994).
Tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi.
Sebagian besar tablet dibuat dengan cara pengempaan dan merupakan bentuk sediaan yang
paling banyak digunakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada
serbuk atau granul menggunakan cetakan baja (Ditjen POM, 1995).
Tablet dicetak dari serbuk kering, kristal atau granulat, umumnya dengan penambahan bahan
pembantu, pada mesin yang sesuai, dengan menggunakan tekanan tinggi. Tablet dapat
memiliki bentuk silinder, kubus, batang, atau cakram, serta bentuk seperti telur atau peluru.
Garis tengah tablet pada umumnya 5-17 mm, sedangkan bobot tablet 0,1-1 g (Voigt, 1995).
Metode Pembuatan Tablet
Tablet dibuat dengan 3 cara umum, yaitu granulasi basah, granulasi kering (mesin rol atau
mesin slag) dan kempa langsung. Tujuan granulasi basah dan kering adalah untuk
meningkatkan aliran campuran dan atau kemampuan kempa (Ditjen POM, 1995). Butiran
granulat yang diperoleh, partikel-partikelnya mempunyai daya lekat. Daya alirnya menjadi
lebih baik sehingga pengisian ruang cetak dapat berlangsung secara kontiniu dan homogen.
Keseragaman bentuk granulat menyebabkan keseragaman bentuk tablet (Voigt, 1995).
a. Granulasi basah
Zat berkhasiat, pengisi dan penghancur dicampur homogen, lalu dibasahi dengan larutan
pengikat, bila perlu ditambahkan pewarna. Diayak menjadi granul dan dikeringkan dalam
lemari pengering pada suhu 40-50C. Setelah kering diayak lagi untuk memperoleh granul
dengan ukuran yang diperlukan dan ditambahkan bahan pelicin dan dicetak dengan mesin
tablet (Anief, 1994).
b. Granulasi kering
Metode ini digunakan pada keadaan dosis efektif terlalu tinggi untuk pencetakan langsung,
obatnya peka terhadap pemanasan, kelembaban, atau keduanya (Lachman, et al., 1994).
Setelah penimbangan dan pencampuran bahan, serbuk di slugg atau dikompresi menjadi
tablet yang besar dan datar dengan garis tengah sekitar 1 inci. Kempaan harus cukup keras
agar ketika dipecahkan tidak menimbulkan serbuk yang berceceran. Tablet kempaan ini
dipecahkan dengan tangan atau alat dan diayak dengan lubang yang diinginkan, pelicin
ditambahkan dan tablet dikempa (Ansel, 1989).
c. Kompresi Langsung
Beberapa bahan obat seperti kalium klorida, kalium iodida, amonium klorida, dan metenamin
bersifat mudah mengalir, sifat kohesifnya juga memungkinkan untuk langsung dikompresi
tanpa memerlukan granulasi(Ansel, 1989). Istilah kempa langsung telah lama digunakan
untuk memperkenalkan pengempaan senyawa kristalin tunggal (biasanya garam anorganik
dengan struktur kristal kubik seperti natrium klorida, natrium bromida, atau kalium bromida)
menjadi suatu padatan tanpa penambahan zat-zat lain. Hanya sedikit bahan kimia yang
mempunyai sifat alir, kohesi, dan lubrikasi di bawah tekanan untuk membuat padatan seperti
ini (Siregar dan Wikarsa, 2010).
Sekarang istilah kempa langsung digunakan untuk menyatakan proses ketika tablet dikempa
langsung dari campuran serbuk zat aktif dan eksipien yang sesuai (termasuk pengisi,
disintegran, dan lubrikan), yang akan mengalir dengan seragam ke dalam lubang kempa dan
membentuk suatu padatan yang kokoh. Tidak ada prosedur praperlakuan granulasi basah atau
kering yang diperlukan pada campuran serbuk (Siregar dan Wikarsa, 2010).
Keuntungan metode kempa langsung yaitu :
1. Lebih ekonomis karena validasi proses lebih sedikit
2. Lebih singkat prosesnya. Karena proses yang dilakukan lebih sedikit, maka waktu yang
diperlukan untuk menggunakan metode ini lebih singkat, tenaga dan mesin yang
dipergunakan juga lebih sedikit.
3. Dapat digunakan untuk zat aktif yang tidak tahan panas dan tidak tahan lembab.
4. Waktu hancur dan disolusinya lebih baik karena tidak melewati proses granul, tetapi
langsung menjadi partikel. Tablet kempa langsung berisi partikel halus sehingga tidak melalui
proses dari granul ke partikel halus terlebih dahulu. Modifikasi lanjut dari proses kempa
langsung adalah penggunaan penggerusan pracampur zat aktif keras dengan satu atau lebih
pengisi dan penambahan pengisi dan pengikat lain sebelum campuran akhir dikempa
langsung (Siregar dan Wikarsa, 2010).
Keuntungan tablet dibandingkan dengan sediaan yang lain:
1. Tablet merupakan bentuk sediaan yang utuh dan menawarkan kemampuan terbaik dari
semua bentuk sediaan oral untuk ketepatan ukuran serta variabilitas kandungan yang rendah.
2. Ongkos pembuatannya paling rendah.
3. Sediaan oral yang paling mudah dan murah untuk dikemas serta dikirim.
4.Paling mudah ditelan serta paling kecil kemungkinan tertinggal ditenggorokan.
5.Mempunyai sifat stabilitas mikrobiologis yang paling baik (Lachman, et al., 1994).
BAB I
Monografi Dan Perundang-undangan
I.I Monografi
Klorfeniramin maleat mengandung tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari 100,5 %
C16H19ClN2.C4H4O4 dihitung terhdap zat yang telah dikeringkan. Klorfeniramin maleat
atau CTM, memiliki nama Kimia : 2-[p-kloro--[2 dimetilamino)etil] benzyl piridina maleat
dan memiliki rumus molekul : C16H19ClN2.C4H4O4. Klorfeniramin maleat memiliki berat
molekul sebesar 390,87. Pemerian , berupa serbuk hablur, putih, dan tidak berbau. Larutan
mempunyai pH antara 4 dan 5. Kelarutan : mudah larut dalam air; larut dalam etanol dan
dalam kloroform; sukar larut dalam eter dan dalam benzena (Ditjen POM, 1995).
I.II Perundang-undangan
CTM (klofeniramin maleat) adalah obat golongan antihistamin H1 sebagai obat antialergi
dengan reaksi alergi ringan sampai sedang dan obat untuk anafilataksis. CTM adalah obat
bebas terbatas artinya yaitu obat keras dengan batasan jumlah dan kadar isi berkhasiat dan
harus ada tanda peringatan (P) boleh dijual bebas. Tanda khusus pada kemasan dan etiket
obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam.
Gambar logo obat bebas terbatas
Dosis CTM dalam 1 tablet adalah 4 mg sedangkan pada injeksi adalah 10 mg dalam 1 ampul.
Dosis terapetiknya adalah 4 mg dalam 1 tablet dan jika melebihi dosis tersebut maka akan
menimbulkan efek samping ini menguntungkan bagi pasien yang memerlukan istirahat
namun dirasa mengganggu bagi mereka yang dituntut melakukan pekerjaan dengan
kewaspadaan tinggi karena adanya rasa kantuk yang ditimbulkan setelah penggunaan CTM.
Efek samping lainnya sedasi, gangguan saluran cerna, efek anti muskarinik, hipotensi,
kelemahan otot, tinitus, euphoria, nyeri kepala, stimulasi SSP, reaksi alergi dan kelainan
darah. Jadi aturan pakainya yang harus diperhatikan. Begitu juga dengan dosisnya, karena
sebenarnya satu butir CTM saja sudah cukup. Dosis yang diperlukan untuk menimbulkan
efek kantuk adalah seperempat tablet CTM. Sehingga perlu diingatkan pada masyarakat
bahwa penambahan dosis yang tidak terbatas malah akan menimbulkan efek toksik bagi
tubuh.
BAB II
Analisis Farmakologi
usus dan bronkus. Bronkokonstriksi akibat histamine dapat dihambat oleh AH1. Peninggian
permeabilitas kapiler dan edema akibat histamine, dapat dihambat dengan efektif oleh AH1.
Reaksi anafilaksis dan berbagai reaksi alergi refrakter terhadap pemberian AH1,
karena disini bukan histamine yang berperan tetapi autakoid lain yang dilepaskan. Efektivitas
AH1 melawan reaksi hipersensitivitas berbeda-beda, tergantung beratnya gejala akibat
histamine. Efek perangsangan histamine terhadap sekresi cairan lambung tidak dapat
dihambat oleh AH1. AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek perangsangan
yang kadang-kadang terlihat dengan dosis AH1 biasanya ialah insomnia, gelisah, dan eksitasi.
Dosis AH1 umumnya menyebabkan penghambatan SSP dengan gejala misalnya kantuk,
berkurangnya kewaspadaan, dan waktu reaksi yang lambat. Beberapa obat AH1 juga efektif
untuk menghambat mual dan muntah untuk akibat peradangan labirin atau sebab lain.
Beberapa AH1 bersifat anestetik local dengan intensitas berbeda. Banyak AH1 bersifat mirip
atropine. Efek ini tidak memadai untuk terapi, tetapi efek antikolonergik ini dapat timbul
pada beberapa pasien berupa mulut kering, kesukaran miksi dan impotensi.
II.II Efek Farmakologi
Klorfeniramin adalah derivat klor dengan daya kerja 10 kali lebih kuat dan derajat
toksisitas yang sama. Efek sampingnya sedatif ringan dan sering kali digunakan dalam obat
batuk. Klorfeniramin maleat merupakan antihistamin jenis antagonis reseptor H-1 yang
bekerja dengan cara memblokir reseptor H-1 dengan menyaingi histamin pada resptornya di
otot licin didnding pembuluh darah dan dengan demikian menghindarkan timbulnya reaksi
alergi (Tjay, 2002).
CTM memiliki indeks terapetik (batas keamanan) cukup besar dengan efek samping dan
toksisitas relatif rendah. Untuk itu sangat perlu diketahui mekanisme aksi dari CTM sehingga
dapat menimbulkan efek antihistamin dalam tubuh manusia. Namun sebagaimana sebagian
besar obat yang mempunyai efek samping, obat ini juga mempunyai efek samping
mengantuk sehingga tak jarang obat ini sering dijadikan obat tidur. Sebernarnya kurang tepat
apabila obat ini di jadikan obat kantuk, karena oabat ini mempunyai efek resintensi, artinya
semakin lama kita menggunakan CTM berarti semakin kurang efek kantuknya. Efek samping
lain dari CTM adalah Sedasi, gangguan gastro intestinal, efek muskarinik, hipotensi,
kelemahan otot, tinitus, eufria, sakit kepala, merangsang susunan saraf pusat, reaksi alergi,
kelainan darah.
Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan sistem saraf pusat dengan gejala
seperti kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Efek samping ini
menguntungkan bagi pasien yang memerlukan istirahat namun dirasa menggangu bagi
mereka yang dituntut melakukan pekerjaan dengan kewaspadaan tinggi. Oleh sebab itu,
pengguna CTM atau obat yang mengandung CTM dilarang mengendarai kendaraan. Jadi
sebenarnya rasa kantuk yang ditimbulkan setelah penggunaan CTM merupakan efek samping
dari obat tersebut. Sedangkan indikasi CTM adalah sebagai antihistamin yang menghambat
pengikatan histamin pada resaptor histamin.
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsopsi dengan baik. Efeknya timbul 15-30
menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Tempat utama biotransformasi
AH1 ialah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal. AH1 diekskresi melalui urin
setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.
II.III Dosis
Dosis terapi 4 mg dalam satu tablet dimana AH1 umumnya menyebabkan
penghambatan sistem saraf pusat dengan gejala seperti kantuk, berkurangnya kewaspadaan
dan waktu reaksi yang lambat. Dosis pemakaian CTM adalah sebagai berikut: untuk dewasa
dosisnya, 3 4 kali sehari 0.5 sampai 1 tablet. Untuk anak-anak 6 12 tahun, dosis
pemakaiannya, 0.5 x dosis dewasa. Sedangkan untuk anak-anak 1 6 tahun, dosisnya adalah
0.25 x dosis dewasa. Dalam dosis terapi, AH1 tidak memperlihatkan efek berarti pada sistem
kardiovaskular.
BAB III
Farmasetika
Tablet dibuat dari bahan aktif dan bahan tambahan yang meliputi bahan pengisi, penghancur,
pengikat dan pelicin. Salah satu bahan aktif yang digunakan dalam pembuatan tablet adalah
klorfeniramin maleat. Klorfeniramin maleat kurang menguntungkan jika dibuat secara
granulasi basah karena pada granulasi basah diperlukan adanya air serta pengeringan.
Pembuatan tablet klorfeniramin maleat secara granulasi kering juga kurang mendukung
karena pada proses tersebut diperlukan tekanan yang relatif besar yang akan mempengaruhi
kestabilan klorfeniramin maleat. Oleh sebab itu, metode kempa langsung merupakan metode
pembuatan klorfeniramin maleat yang menguntungkan.
Dalam menghasilkan tablet secara umum yang memenuhi persyaratan, diperlukan bahanbahan penolong yang digunakan pada pembuatan tablet yang diharapkan dapat meningkatkan
sifat aliran dan kompaktibilitasnya.
1. Bahan Tambahan dalam Pembuatan Tablet
Bahan-bahan tambahan dalam pembuatan tablet, umumnya terdiri dari :
1) Bahan Pengisi (Filler/Diluent)
Bahan pengisi dimaksudkan untuk memperbesar volume dan berat tablet. Bahan ini
ditambahkan jika jumlah zat aktif sedikit atau sulit dikempa (Anonim, 1995). Bahan pengisi
ini menjamin tablet memiliki ukuran atau massa yang dibutuhkan (Voigt, 1984). Bahan
pengisi tablet yang umum adalah laktosa, pati, kalsium fosfat dibasa dan selulosa mikrokristal
(Anonim, 1995).
2) Bahan Pengikat (Binder)
Bahan pengikat dimaksudkan agar tablet tidak pecah atau retak, dapat merekat (Lachman
et.,al, 1994). Bahan pengikat ini dimaksudkan untuk memberikan kekompakan dan daya
tahan tablet. Bahan pengikat sangat membantu dalam pembuatan granul, diantara bahan
pengikat yang digunakan adalah mucilage amili, gelatin, gom arab, tragakan, derivate
selulosa dan polivinil pirolidon. Penambahan bahan pengikat tidak boleh terlalu lebih atau
kurang, bila terlalu lebih biasanya akan dihasilkan granul yang keras untuk dibuat tablet atau
sebaliknya bila kurang akan dihasilkan tablet yang cenderung lunak dan rapuh (Banker and
Anderson,1986).
3) Bahan Penghancur (Disintegrant)
Bahan penghancur berfungsi untuk menghancurkan tablet bila tablet kontak dengan cairan.
Hancurnya tablet akan menaikkan luas permukaan dari fragmen-fragmen tablet sehingga
akan mempermudah terlepasnya obat dari tablet .Bahan penghancur ditambahkan untuk
memudahkan pecahnya atau hancurnya tablet ketika kontak dengan cairan saluran
pencernaan. Dapat juga berfungsi menarik air ke dalam tablet, mengembang dan
menyebabkan tablet pecah menjadi bagian- bagian. Fragmen-fragmen tablet itu mungkin
sangat menentukan kelarutan selanjutnya dari obat dan tercapainya bioavailabilitas yang
diharapkan (Banker and Anderson, 1986). Jenis bahan penghancur yang umum digunakan
adalah amilum, derivate selulose, asam alginate, veegum, koalin dan bentonit.
4) Bahan Pelicin (Lubricant)
Berdasarkan fungsinya bahan pelicin dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
a) Lubricant, yang berfungsi untuk mengurangi gesekan antar sisi tablet dengan dinding
ruang cetakan (die) dan antara dinding die dengan punch, sehingga tablet mudah dikeluarkan
dari cetakan.
b) Glidant, yang berfungsi untuk mengurangi gesekan antar partikel yang mengalir dari
hopper ke ruang cetak ( die), sehingga memperbaiki sifat alir serbuk atau granul yang akan
dikempa dan akan berpengaruh pada keseragaman bobot tablet.
c) Anti adherent, yang berfungsi mencegah melekatnya tablet pada die dan permukaan punch.
Sebagai bahan pelicin yang biasa digunakan adalah magnesium stearat, aerosil, talk dan
kalsium stearat. Jumlah pelicin yang digunakan pada pembuatan tablet yang satu dengan
yang lain berbeda-beda mulai dari yang sedikit kira-kira 0,1 % dari berat granul sampai
sebanyakbanyaknya 5% (Ansel, 1989).
Bahan pelicin yang sering digunakan adalah talk konsentrasi 5% tepung jagung konsentrasi
5-10%, koloid-koloid silika seperti cab-o-sil atau siloid atau aerosil dalam konsentrasi 0,253% (Lachman et.,al., 1994).
Pemeriksaan Sifat Fisik Tablet
Pemeriksaan kualitas tablet dilakukan untuk mengetahui mutu fisik dari tablet yang
dihasilkan, pemeriksaan kualitas tablet meliputi :
a. Keseragaman Bobot Tablet
Keseragaman bobot tablet ditentukan berdasarkan banyaknya penyimpangan bobot pada tiap
tablet terhadap bobot rata-rata dari semua tablet sesuai syarat yang ditentukan dalam
Farmakope Indonesia edisi III (Anonim, 1979). Penyimpangan bobot yang dipersyaratkan
oleh Farmakope Indonesia adalah sebagai berikut :
Tablet tidak bersalut harus memenuhi syarat keseragaman bobot yang ditetapkan dengan
menimbang 20 tablet, menghitung bobot rata-rata tiap tablet. Jika ditimbang satu per satu,
tidak ada dua tablet pun yang masing-masing bobotnya menyimpang dari bobot rata-ratanya
lebih besar dari harga yang ditetapkan pada kolom A dan tidak satu tablet pun yang
menyimpang dari bobot rata-ratanya dari harga yang ditetapkan pada kolom.
B. Faktor yang mempengaruhi keseragaman bobot yaitu kondisi peralatan yang digunakan
dalam proses pentabletan, seperti berubahnya pengaruh tekanan (Anonim, 1979).
Tabel 1.Persyaratan penyimpangan bobot (Anonim, 1979)
Bobot rata-rata (mg)
25 mg atau kurang
25 mg 150 mg
151 mg- 300 mg
Lebih 300 mg
b. Kekerasan Tablet
Kekerasan adalah parameter yang menggambarkan ketahanan tablet dalam melawan tekanan
mekanik seperti goncangan, kikisan dan terjadi keretakan tablet selama pembungkusan,
pengangkutan dan pemakaian. Kekerasan ini dipakai sebagai ukuran dari tekanan
pengempaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan tablet adalah tekanan kompresi
dan sifat bahan yang dikempa, kekerasan tablet yang baik antara 4 8 kg (Parrott,1971).
c. Kerapuhan Tablet
Kerapuhan adalah parameter lain dari ketahanan tablet dalam melawan pengikisan dan
goncangan. Besaran yang dipakai adalah % bobot yang hilang selama pengujian. Alat yang
digunakan adalah friabilator tester. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerapuhan antara lain
banyaknya kandungan serbuk (Fines). Kerapuhan di atas 1 % menunjukkan tablet yang rapuh
dan dianggap kurang baik (Banker and Anderson, 1986). Tablet bagus bila tablet yang diuji
tidak boleh berkurang lebih dari 1% dari berat tablet uji (Mohrle, 1989).
d.Waktu Hancur Tablet
Waktu hancur adalah waktu yang dibutuhkan untuk hancurnya tablet dalam medium yang
sesuai sehingga tidak ada bagian tablet yang tertinggal diatas kassa alat pengujian. Faktorfaktor yang mempengaruhi waktu hancur adalah sifat fisika kimia granul dan kekerasan
tablet. Kecuali dinyatakan lain, waktu hancur tablet tidak bersalut tidak boleh lebih dari 15
menit (Anonim,1979). Waktu hancur yang semakin cepat maka semakin cepat pula pelarutan
dari bahan berkhasiat sehingga akan lebih cepat berkhasiat bagi tubuh.
5. Pemeriksaan Keseragaman Kandungan Zat Aktif
Keseragaman kandungan zat aktif dapat diterapkan dengan salah satu dari dua metode, yaitu
keseragaman bobot atau keseragaman kandungan. Tablet memenuhi keseragaman kandungan
zat aktif jika kadar 10 tablet yang diperiksa memberikan hasil dalam batas 92,5% sampai
107,5% dari jumlah yang tertera pada etiket (Anonim, 1995).
III.I Preformulasi
Struktur Kimia dan karakteristik
CTM atau klorofeniramin maleat mengandung gugus klor, 2-dimetilamino-etil benzil dan
gugus piridina maleat.
Bobot Molekul
CTM atau klorfeniramin maleat memiliki berat molekul 390,67 g/mol.
Metode Analitik
prosedur analisis kimia CTM dilakukan menggunakan metode Spektrofotometri dengan
menganalisis serapan cahaya oleh gugus kromofor yang terdapat dalam struktur kimia CTM.
Dari serapan cahaya ini dapat diketahui nilai serapannya (absorbansi). Dengan demikian
dapat diketahui kadar dari tablet CTM yang dibuat dengan cara memplot nilai absorbansi
yang diperoleh pada persamaan regresi linier dari kurva baku CTM.
Bahaya potensial dan Toksikologi
CTM memiliki indeks terapetik (batas keamanan) cukup besar dengan efek samping dan
toksisitas relatif rendah. Untuk itu sangat perlu diketahui mekanisme aksi dari CTM sehingga
dapat menimbulkan efek antihistamin dalam tubuh manusia. Dosis terapi AH1 umumnya
menyebabkan penghambatan sistem saraf pusat dengan gejala seperti kantuk, berkurangnya
kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Efek samping ini menguntungkan bagi pasien
yang memerlukan istirahat namun dirasa menggangu bagi mereka yang dituntut melakukan
pekerjaan dengan kewaspadaan tinggi. Oleh sebab itu, pengguna CTM atau obat yang
mengandung CTM dilarang mengendarai kendaraan. Jadi sebenarnya rasa kantuk yang
ditimbulkan setelah penggunaan CTM merupakan efek samping dari obat tersebut.
Sedangkan indikasi CTM adalah sebagai antihistamin yang menghambat pengikatan histamin
pada resaptor histamin. Efek samping : Sedasi, gangguan saluran cerna, efek anti muskarinik,
hipotensi, kelemahan otot, tinitus, euphoria, nyeri kepala, stimulasi SSP, reaksi alergi dan
kelainan darah. Jadi aturan pakainya yang harus diperhatikan. Begitu juga dengan dosisnya,
karena sebenarnya satu butir CTM saja sudah cukup. Dosis yang diperlukan untuk
menimbulkan efek kantuk adalah seperempat tablet CTM. Sehingga perlu diingatkan pada
masyarakat bahwa penambahan dosis yang tidak terbatas maah akan menimbulkan efek
toksik (racun).
III.II Formulasi : CTM atau klorfeniramin maleat dibuat dalam bentuk tablet yang berisi zat
aktif dan eksipiennya. Yanuar, et.,al, (2003) telah melakukan penelitian yaitu preparasi dan
karakterisasi selulosa mikrokristal dari nata de coco untuk bahan pembantu pembuatan tablet
yang menggunakan nata de coco yang diperoleh dari pasaran. Berdasarkan interpretasi data
spektrum inframerah dan spektrum difraksi sinar-x terlihat bahwa selulosa mikrokristal
mempunyai kemiripan dengan Avicel PH-102 yang sering digunakan sebagai pengisi dalam
tablet CTM dengan rumus empirik (C6H10O5)n sehingga dari menelitian ini memungkinkan
kita untuk menggunakan selulosa mikrokristal dari nata de coco sebagai bahan pembantu
pembuatan tablet. Pada awalnya, selulosa mikrokristal dibuat dari tumbuhan berkayu dan
kapas. Produk komersial selulosa mikrokristal yang ada di pasaran bersumber dari tumbuhan
berkayu, misalnya konifer (Bimte dan Tayade, 2007; Ohwoavworhua dan Adelakun, 2005).
Beberapa laporan penelitian menunjukkan bahwa selulosa mikrokristal dapat dihasilkan dari
kulit kacang kedelai, sekam padi, ampas tebu, kulit kacang tanah, tongkol jagung, bambu
India dan lain-lain (Ejikeme, 2008).
Ada beberapa masalah selama produksi produk selulosa. Masalah ini mencakup polusi yang
terjadi selama proses pulping dan bleaching selama pemurnian serat selulosa dan sejumlah
besar residu cair serta toksin yang dilepaskan dari selulosa (Chen, et al., 2010). Selain itu,
penggunaan kayu sebagai sumber pembuatan selulosa mikrokristal dapat mengurangi
ketersediaan kayu dan menyebabkan penebangan hutan secara besar-besaran. Hal ini dapat
mengakibatkan ketidakseimbangan ekologis. Oleh karena itu, perlu dicari sumber nonkayu
sebagai sumber alternatif untuk mengurangi masalah lingkungan yang disebabkan oleh
penggunaan kayu dalam pembuatan selulosa mikrokristal (Behin, et al., 2008).
Berdasarkan masalah di atas, digunakan nata de coco sebagai alternatif sumber selulosa
mikrokristal karena nata yang merupakan selulosa bakteri mempunyai keunggulan antara lain
kemurnian, daya regang dan daya serap air yang lebih tinggi daripada selulosa tumbuhan
(Chawla, et al., 2008).
Chlorpheniramini Maleas
4 mg
secukupnya
Penyimpanan.
Dosis.
Anak: bayi. 3 sampai 4 kali sehari seperempat tablet. Anak berumur dibawah 12 tahun, 3
sampai 4 kali sehari setengah tablet.
-Formulasi Baru tablet CTM
Formula tablet CTM dengan bahan pengisi selulosa mikrokristal dari nata de coco. Dibuat
formula untuk 1000 tablet, berat pertablet 200 mg dan penampang tablet 9 mm.
Klorfeniramin maleat
Amilum manihot 5 %
Magnesium Stearat
= 182 gram
III.V Pembuatan
1. Dimasukkan g klorfeniramin maleat ke dalam lumpang, kemudian ditambahkan
dengan 10 g amilum manihot, selanjutnya tambahkan 2 g magnesium stearat dan 2 g
talkum sambil digerus.
1.
: putih
-permukaan
: rata
BAB IV
Analisis Kimia
dengan Larutan kaliun iodobismutat encer P. bercak utama yang diperoleh dari larutan
(1) sesuai dengan bercak yang diperoleh dengan larutan (2).
3. Larutan 500 mg dalam 5 ml air, tambahkan 2 ml ammonia P. sari 3 kali, tiap kali
dengan 5 ml kloroform P. uapkan lapisan air hingga kering, tambahkan 0,2 ml asam
sulfat encer P dan 5 ml air. Sari 4 kali, tiap kali dengan 25 ml eter P. uapkan kumpulan
sari eter dengan mengalirkan udara panas; suhu suhu lebur sisa lebih kurang 130.
Amilum
-Evaluasi organoleptik
Bentuknya berupa serbuk sangat halus, putih dan tidak berbau.
-Evaluasi kelarutan
Mudah larut dalam NaOH dan praktis tidak larut dalam air dan asam diluet dan pelarut
organik lainnya (anonim,1995)
Penyimpananya dalam wadah tertutup tertutup rapat. Digunakan sebagai pengikat serbaguna
untuk menghasilkan tablet yang terdesintegrasicepat dan granulasi yang hanya dibuat dengan
menggunakan pati sebagai pengikat internal dan digranulasi dengan air. Pati merupakan
pengabsorsi minyak yang baik. Selain itu dapat digunakan sebagai desintegran yang
membantu hancurnya tablet.
Selulosa Mikrokristal
Evaluasi organoleptik
Selulosa mikrokristal adalah selulosa yang dimurnikan secara parsial, berwarna putih, tidak
berbau, tidak berasa, serbuk kristal yang terdiri atas partikel-partikel yang menyerap. Selulosa
mikrokristal secara komersial tersedia dalam berbagai ukuran partikel dan tingkat
kelembapan sehingga mempunyai sifat dan penggunaan yang berbeda ( Rowe, et al., 2009).
CTM Atau Klorfeniramin Maleat
-Evaluasi organoleptik
Pemerian berupa serbuk hablur, putih, dan tidak berbau.
-Evaluasi kelarutan
Larutan mempunyai pH antara 4 dan 5. Kelarutan : mudah larut dalam air; larut dalam etanol
dan dalam kloroform; sukar larut dalam eter dan dalam benzena (Ditjen POM, 1995).
BAB V
Pengemasan dan Informasi obat
V.I Pengemasan
Seperti baju yang dikenakan manusia, kemasan primer merupakan komponen penting pada
produk farmasi. Bahan kemas primer adalah bahan kemas yang kontak langsung dengan
bahan yang dikemas produk, antara lain : strip/blister, botol, ampul, vial, plastic, dan lainlain. Fungsi utama kemasan adalah sebagai pelindung produk. Kemasan juga sangat vital
untuk mempertahankan kualitas produk. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Kemasan
yaitu sediaan farmasi dan alat kesehatan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi
dan/atau membungkus sediaan farmasi dan alat kesehatan baik yang bersentuhan langsung
maupun tidak. Pengemasan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan dengan
menggunakan bahan kemasan yang tidak membahayakan kesehatan manusia dan/atau dapat
mempengaruhi berubahnya persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sediaan farmasi
dan alat kesehatan.
Kemasan yang digunakan dalam sediaan tablet biasanya menggunakan kemasan Strip/Blister,
begitu pula dengan obat CTM yang mempunyai kemasan yang sama dengan tablet.
Strip/blister merupakan kemasan yang menganut sistem dosis tunggal, biasanya untuk
sediaan padat (tablet, kapsul, kaplet, dan lain-lain) per oral. Kemasan strip dibentuk dengan
mengisi dua rangkaian lapis tipis yang fleksibel dan dapat disegel panas melalui suatu
gulungan perekat yang dipanaskan, atau suatu piring yang dapat bergerak dan dipanaskan.
Produk dijatuhkan ke dalam kantung yang dibentuk sebelum akhirnya disegel. Suatu strip
yang panjang terbentuk, umumnya terdiri dari beberapa bungkusan, tergantung dari kapasitas
mesin kemasannya. Strip berisi kemasan obat dipotong panjangnya sesuai dengan jumlah
kemasan yang diinginkan.
Produk yang disegel antara dua lembaran lapisan tipis itu biasanya mempunyai suatu segel di
sekitar setiap tablet, dan biasanya dipisahkan dari bungkus-bungkus yang berdekatan karena
adanya perforasi.
Bahan kemasan dapat berupa kertas, kertas timah (alumunium foil), plastik/selofan, sendiri
atau dalam bentuk kombinasi. Jika penampilan suatu produk dirasa penting, dapat
menggunakan selofan yang dapat disegel panas atau poliester yang dapat disegel panas.
Apalagi bagian muka dan bagian belakang suatu kemasan dapat menggunakan bahan-bahan
yang tidak sama. Pemilihan bahan yang digunakan tergantung pada tuntutan produk dan
mesin.
Kemasan blister dibentuk dengan melunakkan suatu lembaran resin termoplastik dengan
pemanasan, dan menarik (dalam vakum) lembaran plastik yang lembek itu ke dalam suatu
cetakan. Sesudah mendingin, lembaran dilepas dari cetakan dan berlanjut ke bagian pengisian
dari mesin kemasan.
Blister setengah keras yang terjadi sebelumnya diisi dengan produk, dan ditutup dengan
bahan untuk bagian belakang yang dapat disegel dengan pemanasan. Bahan untuk bagian
belakangnya atau tutupnya, dapat digunakan dari jenis yang bisa didorong atau jenis yang
dapat dikelupas.
Bahan-bahan yang umum digunakan untuk blister yang dapat dibentuk dengan panas adalah
plivinil klorida (PVC), kombinasi PVC/polietilen, polistiren, dan polipropilen. Karena alasan
ekonomi dan karena sifat kerja beberapa mesin, blister pada kebanyakan unit kemasan terbuat
dari PVC. Sebagai tambahan perlindungan terhadap lembab, lapisan poliviniliden klorida
(saran) atau poliklorotrifluoroetilen (aclar) boleh dilaminasikan pada PVC. Daya hambat
lembab dari PVC/aclar lebih unggul dibandingkan dengan PVC yang berlapis saran, terutama
jika lama disimpan pada kelembaban yang sangat tinggi.
Indikasi AH1 berguna untuk pengibatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan mencegah
atau mengobati mabuk perjalanan. AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe eksudatif akut
misalnya pada polinosis dan utkaria. Efeknya bersifat paliatif, membatasi dan menghambat
efek histamine yang dilepaskan sewaktu reaksi antigen-antibodi terjadi. AH1 tidak
Analisis zat aktif dapat dilakukan dengan Spekturm serapan ultraviolet dan
kromatografi lapis tipis.
Uji fisika sediaan tablet CTM adalah uji keseragaman bobot, uji friabilitas tablet , uji
kekerasan tablet, uji waktu hancur.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M. (1994). Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ansel, H.C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi IV. Jakarta: UI Press.
Azwar, Bahar. 2011.Bijak Mengonsumsi Obat Flu.Penerbit Kawan Pustaka : Jakarta.
Banker,G.S dan N.R Anderson.1986. The Theory and Practice of Industrial Pharmacy, Lea
and Febinger. Philadelphia.
Behin, J., Mikaniki, F., dan Fadaei, Z. (2008). Dissolving Pulp (alpha-cellulose) from Corn
Stalk by Kraft Process. Iranian Journal of Chemical Engineering. 5: hal. 14
Bhimte, N.A., dan Tayade, P.T. (2007). Evaluation of Microcrystalline Cellulose Prepared
From Sisal Fibers as aTablet Excipient: A Technical Note. AAPS PharmSciTech. 8 (1) : hal. 1
Chawla, P.R., Bajaj, I.B., Survase, S.A., dan Singhal, R.S. (2008). Microbial Cellulose:
Fermentative Production and Applications.Food Technol. Biotechnol. 47 (2): hal. 108
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Ditjen POM. (1979). Famakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Ejikeme, P.M. (2008). Investigation of the Physicochemical Properties of Microcrystalline
Cellulose from Agricultural Wastes I: Orange Mesocarp. Cellulose. 15: hal. 141-142
Lachman L., Lieberman H.A., Kanig J.L. (1994). Teori dan Praktek Farmasi Industri.
Penterjemah: Suyatni S. Edisi II. Jakarta: UI Press.
Mohrle,R. 1989. Effervescent Tablet in Pharmaceutical Dosage Form Table. New York:
Marcel Dekker Inc.
Ohwoavworhua, F.O., dan Adelakun, T.A. (2005). Some Physical Characteristics of
Microcrystalline Cellulose Obtained from Raw Cotton of Cochlospermum planchonii.
Tropical Journal of Pharmaceutical Research. 4 (2): hal. 501-507
Parrot,E.L.,1971. Pharmaceutical Technology Fundamental Pharmaceutics, 3rd Ed.
Minneapolis: Burger Publishing Company.
Rowe, C., Sheskey, P.J., dan Quinn, M.E. (2009). Handbook of Pharmaceutical Exipients.
Sixth Edition. Chicago: Pharmaceutical Press. hal.131
Siregar, C.J.P., dan Wikarsa, S.(2010). Teknologi Farmasi Sediaan Tablet. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Tjay,T.H., dan Rahardja, K. (2002). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan Dan Efek-Efek
Sampingnya. Edisi Kelima. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Voigt, R. (1994). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Penerjemah : Soendani Noerono
.Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Yanuar, A., Rosmalasari, E., dan Effionora, A. (2003). Preparasi dan Karakterisasi Selulosa
Mikrokristal dari Nata de coco untuk Bahan Pembantu Pembawa Tablet. ISTECS
JOURNAL. Volum IV : hal. 71-78
FARMAKOLOGI
Pharmafemme
Friday, 3 July 2009
ANTI DIABETES
I. Pendahuluan
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan yang
berdampak pada produktivitas dan dapat menurunkan Sumber Daya Manusia.
Penyakit ini tidak hanya berpengaruh secara individu, tetapi sistem kesehatan
suatu negara. Walaupun belum ada survei nasional, sejalan dengan perubahan
gaya hidup termasuk pola makan masyarakat Indonesia diperkirakan penderita
DM ini semakin meningkat, terutama pada kelompok umur dewasa keatas pada
seluruh status sosial ekonomi (Anonim, 2008).
Saat ini upaya penanggulangan penyakit Diabetes Mellitus belum menempati
skala prioritas utama dalam pelayanan kesehatan, walaupun diketahui dampak
negatif yang ditimbulkannya cukup besar antara lain komplikasi kronik pada
penyakit jantung kronis, hipertensi, otak, sistem saraf, hati, mata dan ginjal
(Anonim, 2008).
Diabetes Mellitus merupakan salah satu penyakit degeratif, dimana terjadi
gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein serta ditandai dengan
tingginya kadar gula dalam darah (hiperglikemia) dan dalam urin (glukosuria)
(Anonim, 2008).
Diabetes Mellitus atau kencing manis adalah suatu penyakit yang disebabkan
oleh karena peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemi) akibat
kekurangan hormon insulin baik absolut maupun relatif. Absolut berarti tidak ada
insulin sama sekali sedangkan relatif berarti jumlahnya cukup/memang sedikit
tinggi atau daya kerjanya kurang. Hormon Insulin dibuat dalam pancreas
(Anonim, 2008).
Gejala klinis yang khas pada DM yaitu Triaspoli yaitu:
- polidipsi (banyak minum)
- poli phagia (banyak makan)
- poliuri (banyak kencing),
- disamping disertai dengan keluhan sering kesemutan terutama pada jari-jari
tangan
- badan terasa lemas, gatal-gatal dan bila ada luka sukar sembuh.
- Kadang-kadang BB menurun secara drastis (Anonim, 2008).
II. Tujuan Percobaan
- Untuk mengetahui kadar gula darah puasa pada hewan percobaan
- Untuk mengetahui kadar gula darah pada hewan percobaan setelah pemberian
larutan glukosa
- Untuk mengetahui efek Glibenklamid pada kadar gula darah hewan percobaan
III. Prinsip Percobaan
Pemberian larutan glukosa akan menyebabkan kenaikan kadar gula darah pada
hewan percobaan. Kenaikan kadar gula darah dapat diturunkan dengan
pemberian obat antidiabetes yaitu Glibenklamid. Kadar gula darah diukur
dengan alat glukotest strip pada waktu tertentu.
IV. Tinjauan Pustaka
Insulin merupakan protein kecil yang mengandung dua rantai polipeptida yang
dihubungkan oleh ikatan disulfide. Disintesis sebagai precursor (pro-insulin) yang
mengalami pemisahan proteolitik untuk membentuk insulin dan peptide-C,
keduanya disekresikan oleh sel- pancreas (Mycek, M. J., Harvey, R.A., Champe,
P. C., 2001).
Sekresi insulin diatur tidak hanya oleh kadar glukosa darah tetapi juga oleh
hormone lain dan mediator autonomic. Sekresi insulin umumnya dipacu oleh
ambilan glukosa darah yang tinggi dan difosforilasi dalam sel pancreas. Kadar
adenosine trifosfat (ATP) meningkat dan menghambat saluran K+, menyebabkan
membrane sel depolarisasi dan influks Ca2+, yang menyebabkan pulsasi
eksositosis insulin (Mycek, M. J., Harvey, R.A., Champe, P. C., 2001).
Insulin di rilis dari sel pankreas, pada keadaan basal dengan kecepatan rendah
dan pada keadaan stimulasi sebagai respons terhadap berbagai stimulus,
khususnya glukosa, dengan suatu kecepatan yang lebih tinggi. Stimulan lain
seperti gula lain (misalnya mannose), asam amino tertentu (misal leucine,
arginine), dan juga dikenal aktivitas vagal (Katzung, B. G., 2002).
Hiperglikemia menyebabkan peningkatan kadar ATP intraseluler, sehingga
menutup kanal kalium yang tertantung pada ATP. Penurunan arus keluar dari
kalium melalui kanal tersebut menyebabkan depolarisasi sel B dan terbukanya
kanal kalsium yang tergantung dari voltase (voltage-gated). Hasil peningkatan
kalsium intraselular memicu sekresi hormon tersebut. Mekanisme tersebut jelas
lebih kompleks daripada ringkasan pendek yang diungkapkan di depan, karena
beberapa pembawa pesan (messenger) intyraselular terbukti memodulasi proses
tersebut (cAMP, inositol triphosphate, diacygliserol) dan respon insulin terhadap
peningkatan monofasik glukosa bersifat bifasik (Katzung, B. G., 2002).
Sekali insulin memasuki sirkulasi, maka insulin diikat oleh reseptor khusus yang
terdapat pada membran sebagian besar jaringan. Walaupun demikian, respon
biologis yang dipicu oleh terjadinya kompleks reseptor insulin tersebut, hanya
dapat diidentifikasikan pada beberapa jaringan target saja, misalnya hati, otot,
dan jaringan lemak. Reseptor mengikat insulin dengan spesifitas dan afinitas
yang tinggi dalam rentang pikomolar. Reseptor insulin yang penuh terdiri dari
dua heterodimer, masing-masing mengandung suatu subunit alfa, yang
seluruhnya ekstraseluler dan merupakan situs pengenalan, serta subunit beta
yang membentang membran. Subunit beta mengandung suatu kinase tyrosine
(Katzung, B. G., 2002).
Apabila insulin mengikat subunit alfa yang berada diluar permukaan sel, terjadi
aktivasi kinase tyrosine pada bagian beta. Walaupun bentuk dimerik ab mampu
mengikat insulin, ikatan tersebut terjadi dalam afinitas yang lebih rendah
daripada ikatan yang terbentuk pada bentuk tetramerik aabb. Terjadi fosforilisasi
diri sendiri dari reseptor bagian beta yang menyebabkan peningkatan agregasi
heterodimer ab dan stabilisasi keadaan aktivasi reseptor kinase tyrosine. Telah
diidentifikasi sembilan substrat untuk mengaktifkan reseptor insulin. Proteinprotein pertama yang difosforilasi oleh reseptor kinase tyrosine termasuk protein
pengait (docking), substrat reseptor insulin-1 (IRS-1), yang mempunyai lebih dari
22 situs untuk fosforilisasi tyrosine, dan substrat reseptor insulin-2 (IRS-2)
(Katzung, B. G., 2002).
Setelah fosforilasi tyrosine pada beberapa situs kritis, IRS-1 dan IRS-2 terikat dan
mengaktifkan kinase alin dan mengaktifkan fosforilasi selanjutnya. Jaringan kerja
fosforilasi dalam sel tersebut mewakili pesan insulin yang kedua dan
menyebabkan translokasi beberapa protein seperti transporter glukosa dari situssitus yang etrpisah dalam sel-sel adiposit dan otot untuk memaparkan lokasi
pada pertukaran sel. Akhirnya, kompleks reseptor insulin diinternalisasi (Katzung,
B.G. ,2002).
Diabetes mellitus, penyakit kencing manis adalah suatu gangguan kronis yang
dibicarakan hiperglikemia dan khususnya menyangkut metabolisne glukosa
dalam tubuh. Harapan hidup penderita diabetes rata-rata 5-10 tahun lebih
rendah dan resikonya akan PJP adalah 2-4 kali lebih besar. Penyebabnya adalah
kekurangan hormone insulin yang berfungsi memungkinkan glukosa masuk ke
dalam sel untuk dimetabolisir dan demikian dimanfaatkan sebagai sumber
energi. Akibatnya asalah glukosa bertumpuk di dalam darah dan akhirnya
diekskresi lewat kemih tanpa digunakan. Karena itu produksi kemih sangat
meningkat dan penderita sering berkemih, merasa amat haus, berat badan
menurun dan merasa leleh. Penyebab lainnya adalah menurunya kepekaan
reseptor bagian insulin yang diakibatkan terlalu banyak makan dan kegemukan
(Tan, H.T. dan Kirana Rahardja, 2007)
Rata-rata 1,5-2% dari seluruh penduduk dunia menderita diabetes yang bersifat
menurun. Di Indonesia diperkirakan tiga juta orang. Pankreas adalah suatu organ
lonjong yang terletak di belakang lambung dan sebagian di belakang hati. Organ
ini terdiri dari 98% sel-sel sekresi yang memproduksi enzim-enzim cerna yang
disalurkan ke duodenum, sisanya terdiri dari kelompok sel dengan sekresi intern.
Dalam pancreas terdapat 4 jenis sel endrokin, yakni:
a. Sel alpha memproduksi glikagon.
b. Sel beta menghasilkan insulin
c. Sel D memproduksi somatostatin (antagonis somatoprin)
d. Sel PP memproduksi PP (Pancreatic Polipeptida) yang mungkin berperan dalam
penghambatan sekresi endokrin dalam empedu (Tan, H.T. dan Kirana Rahardja,
2007)
Apa penyebab Diabetes Mellitus ?
DM atau kencing manis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh karena
peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemi) akibat kekurangan hormon
insulin baik absolut maupun relatif. Absolut berarti tidak ada insulin sama sekali
sedangkan relatif berarti jumlahnya cukup/memang sedikit tinggi atau daya
kerjanya kurang. Hormon Insulin dibuat dalam pancreas. Ada 2 macam type DM :
1. DM type I. atau disebut DM yang tergantung pada insulin. DM ini disebabkan
akibat kekurangan insulin dalam darah yang terjadi karena kerusakan dari sel
beta pancreas. Gejala yang menonjol adalah terjadinya sering kencing (terutama
malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM type ini
berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan
memerlukan insulin seumur hidup.
2. DM type II atau disebut DM yang tak tergantung pada insulin. DM ini
disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin
dapat normal, rendah atau bahkan bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk
metabolisme glukosa tidak ada/kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap
tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, 75% dari penderita DM type II dengan
obersitas atau ada sangat kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia
30 tahun.Kegemukan atau obesitas salah satu faktor penyebab penyakit DM,
dalam pengobatan penderita DM, selain obat-obatan anti diabetes, perlu
ditunjang dengan terapi diit untuk menurunkan kadar gula darah serta
mencegah komplikasi-komplikasi yang lain (Anonim, 2008).
Diabetes melitus disebabkan oleh penurunan kecepatan insulin oleh sel-sel beta
Pulau langerhans. Biasanya dibagi dalam dua jenis berbeda : diabetes juvenilis,
yang biasanya tetappi tak selalu, dimulai mendadak pada awal kehidupan dan
diabetes dengan awitan maturitas, yang dimulai di usia lanjut dan terutama
pada orang kegemukan (Guyton, A.C., 1990).
Herediter berperanan penting dalam perkembangan kedua jenis diabetes ini.
Pada beberapa kasus, jenis juvenilis disebabkan oleh predisposisi herediter
terhadap perkembangan antibodi terhadapa sel-sel beta atau dedgenerasi
sederhana pada sel-sel ini. Diabetes jenis awitan maturitas jelas disebabkan oleh
degenerasi sel-sel beta sebagai akibat penuaan yang lebih cepat pada orang
yang lebih rentan daripada yang lain. Obesitas mempredisposisi seseorang
tetrhadapa jenis diabetes ini karena diperlukan insulin dalam jumlah lebih besar
untuk pengaturan metabolisme pada orang kegemukan dibandingkan dengan
orang normal (Guyton, A.C., 1990).
Patofsiologi Diabetes
Sebagian besar patologi diabetes melitus dapat dikaitkan dengan satu dari tiga
efek utama kekurangan insuliun sebagai berikut:
(1) pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh , dengan akibat
peningkatan konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg. Per 100ml.
(2) peningkatan nyata mobilisasi lemak dari daerah-daerah penyimpanan lemak,
menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada
dinding vaskular yang mengakibatka aterosklerosis
(3) pengurangan protein dalam dalam jaringan tubuh (Guyton, A.C., 1990).
Uji antidiabetes dengan metode toleransi glukosa
Hewan percobaan yang telah dikelompokkan secara acak diambil cuplikan
darahnya (T = 0) untuk penentuan kadar glukosa awal, kelompok uji diberi
sediaan uji secara oral, kelompok kontrol diberi air suling dan kelompok
pembanding diberi glibenklamid. Setelah 30 menit kemudian, semua hewan
percobaan diberi larutan glukosa secara oral. Setiap 30 menit cuplikan darah
diambil dari masing-masing hewan percobaan. Setelah darah dalam tabung
sampel mikro disentrifuga, kadar glukosa dalam serumnya ditentukan secara uji
kolorimetri dengan metode enzimatik GOD-PAP (Adnyana, K., E. Yulinah, 2004).
Uji antidiabetes pada mencit diabetes imbasan aloksan
Hewan setelah disuntik dengan aloksan secara intravena dipelihara selama satu
minggu untuk melihat kembali ke keadaan glukosa serum normal. Hewan
percobaan yang telah dikelompokkan secara acak cuplikan darahnya diambil (T
= 0). Hewan kelompok uji diberi sediaan uji, kelompok pembanding diberi
glibenklamid, sedangkan kelompok kontrol diberi air suling selama tujuh hari
berturut-turut. Semua hewan diberi makan dan minum ad-libitum. Pada hari ke1, dilakukan pengambilan serum untuk penentuan kadar glukosa serum pada
pemberian tunggal. Cuplikan darah yang diambil pada hari ke-4 sebelum diberi
sediaan uji digunakan untuk penentuan kadar glukosa serum pada pemberian
berulang (3 hari). Pada hari ke-8, serum diambil untuk penentuan kadar glukosa
serum setelah pemberian sediaan uji 7 hari berturut-turut. Kadar glukosa serum
ditentukan secara uji kolorimetri dengan metode enzimatik GOD-PAP (pada
panjang gelombang 546 nm) (Adnyana, K., E. Yulinah, 2004).
Pada saat ini terdapat 5 macam kelas obat hipoglikemik oral untuk pengobatan
DM tipe II, yaitu sulfonilurea, biguanid, meglitinid, -glukosidase inhibitor, dan
agonis receptor (thiazolidin atau glitazon). Obat hipoglikemik oral diindikasikan
untuk pengobatan pasien DM tipe II yang tidak mampu diobati dengan
melakukan diet dan aktivitas fisik. Biguanid dan thiazolidinedion dikategorikan
sebagai sensitizer insulin, dengan cara menurunkan resistensi insulin.
Sulfonilurea dan meglitinid dikategorikan sebagai insulin secretagogues karena
kemampuannya merangsang pelepasan insulin endogen (Yosef, 2007).
Contoh :
1. Sulfonilurea : sulfonilurea generasi pertama (acetohexamid, clorproramid,
tolbutamid, talazamid) dan generasi kedua (glimepirid, gilipizie, dan
glibenklamid)
2. Meglitinid : nateglinid, repaglinid
3. Biguanid : metformin
4. Thiazolidinedion : pioglitazon dan resiglitazon
5. Alfa glukosidase inhibitor : acarbose dan miglitol (Yosef, 2007).
Farmakologi Antidiabetika oral jenis sulfonil ureum
Antidiabetika oral jenis sulfonil ureum memobilisasi insulin dalam tubuh.
Senyawa ini meningkatkan sekresi insulin sel pulau-pulau langerhans.
Sekaligus insulin yang terikat pada protein plasma yang biologic tidak aktif,
dapat dibebaskan dan dengan demikian diaktifkan kembali. Karena itu semua
kerja sulfonilureum pada prinsipnya adalah efek insulin, maka golongan zat ini
hanya diindikasikan pada diabetes dewasa, dimana produksi insulin tubuh,
setidak-tidaknya masih sebagiannya dipertahankan (Schunak. W., 1990).
Kerja samping terpenting adalah hipoglikemia, yang khusus dapat muncul
setelah pemberian sulfonilureum yang bekerja kuat sehingga dapat terjadi
interaksi obat melalui pendesakan sulfonilureum dari pengikatan protein plasma
maupun kompetisi untuk mekanisme sekresi tubulus (Schunak. W., 1990).
Antidiabetika Oral Kombinasi Metformin dan Glibenklamid
Kombinasi ini sangat cocok digunakan untuk penderita diabetes melitus tipe 2
pada pasien yang hiperglikemianya tidak bisa dikontrol dengan single terapi
(metformin atau glibenklamid saja), diet, dan olahraga. Di samping itu,
kombinasi ini saling memperkuat kerja masing-masing obat, sehingga regulasi
gula darah dapat terkontrol dengan lebih baik (Yosef, 2007).
Kombinasi ini memiliki efek samping yang lebih sedikit, apabila dibandingkan
dengan efek samping apabila menggunakan monoterapi (metformin atau
glibenklamid saja). Metformin dapat menekan potensi glibenklamid dalam
menaikkan berat badan pada pasien diabetes melitus tipe 2, sehingga cocok
untuk pasien diabetes melitus tipe 2 yang mengalami kelebihan berat badan
(80% dari semua pasien diabetes melitus tipe 2 adalah terlalu gemuk dengan
kadar gula tinggi sampai 17-22 mmol/l) (Yosef, 2007).
DM dapat dicegah dengan menerapkan hidup sehat sedini mungkin yaitu dengan
mempertahankan pola makan sehari-hari yang sehat dan seimbang dengan
meningkatkan konsumsi sayuran, buah dan serat, membatasi makanan yang
tinggi karbohidrat, protein dan lemak, mempertahankan BB yang normal sesuai
dengan umur dan tinggi badan (TB) serta olah raga (OR) teratur sesuai umur &
kemampuan (Anonim, 2008).