BAB 6 ahda syihab spei

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI BANI

ABBASIYAH

Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
Sejarah Peradaban Islam

Dosen Pengampu:
Achmad Fuaddin, M.Ag

Oleh:

Muhamad Syihabuddin Baihaqy 2024.01.01.82913

Mohammad Ahda Ali Fahmi 2024.01.01.83047

PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-ANWAR

SARANG REMBANG

2024
PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI BANI
ABBASIYAH

Oleh: Muhamad Syihabuddin Baihaqy & Mohammad Ahda Ali Fahmi

A. Pendahuluan
Dinasti Abbasiyah merupakan kekhalifahan yang melanjutkan
kekuasaan Dinasti Umayyah. Dinasti ini didirikan oleh keturunan Al-
Abbas paman Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah Al-Saffan Ibn
Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Al-Abbas. Pada masa Dinasti
Abbasiyah inilah Islam mencapai masa keemasannya.
B. Pendirian Bani Abbasiyah
Babak ketiga dalam drama besar politik Islam dibuka oleh Abu Al-
Abbas yang berperan sebagai pelopor pendiri Dinasti Abbasiyah. Irak
menjadi panggung drama besar itu. Dalam khotbah penobatannya, yang
disampaikan setahun sebelumnya di Masjid Kuffah, Khalifah Abbasiyah
pertama itu menyebut dirinya as-saffih,1penumpah darah,yang kemudian
menjadi julukannya. Julukan itu merupakan pertanda buruk karena dinasti
yang baru muncul ini mengisyaratkan bahwa mereka lebih mengutamakan
kekuatan dalam menjalankan kebijakannya. Untuk pertama kalinya dalam
sejarah Islam, disisi singgasana khalifah tergelar karpet yang digunakan
sebagai tempat eksekusi. As-saffah menjadi pendiri dinasti Arab Islam
ketiga setelah Khulafa Ar- Rasyidin dan Dinasti Umayyah yang sangat
besar dan berusia lama. Dari 750-1258 M., penerus Abu Al-Abbas
pemegang pemerintahan, meskipun mereka tidak selalu berkuasa. Orang
Abbasiyah mengklaim dirinya sebagai pengusung konsep sejati
kekhalifahan, yaitu gagasan negara teokrasi, yang menggantikan
pemerintahan sekuler (mulk) Dinasti Umayyah. Sebagai ciri khas
keagamaan dalam istana kerajaannya, dalam berbagai kesempatan
seremonial, seperti ketika dinobatkan sebagai khalifah dan pada sholat
Jum’at, khalifah mengenakan jubah (burdah) yang pernah dikenakan oleh
1
Bojena Gajane Stryzewska. Tarikh Al-Islamiyah.Beirut: Al-Maktabah At-Tijariyah, t.th., hlm 360.

1
saudara sepupunya, Nabi Muhammad2. Akan tetapi, masa
pemerintahannya, begitu singkat. As-Saffah meninggal (754-775 M.)
karena penyakit cacar air ketika berusia 30-an.
Saudaranya yang juga penerusnya, Abu Ja’far, yang mendapat
julukan Al-Manshur adalah khalifah terbesar Dinasti Abbasiyah.
Meskipun bukan seorang muslim yang saleh, dialah sebenarnya bukan As-
Saffah, yang benar-benar membangun dinasti baru itu. Seluruh khalifah
yang berjumlah 35 orang berasal dari garis keturunannya.
Masa kejayaan Abbasiyah terletak pada khalifah setelah As-Saffah.
Penulis mengutip Philip K. Hitty3, bahwa masa keemasan (Golden Prime)
Abbasiyah terletak pada 10 khalifah. Hal ini berbeda dengan Badri yatim4,
yang memasukan 7 khalifah sebagai masa kejayaan Abbasiyah, Jaih
Mubarok5, memasukan 8 khalifah sebagai masa kejayaan Abbasiyah.
Begitupula Harun Nasution, hanya memasukan 6 khalifah ke dalam
kategori sebagai yang memajukan Abbasiyah6.
Kesepuluh khalifah tersebut; As-Saffah (750); Al-Manshur (754);
Al-Mahdi (775); Al-Hadi (785); Ar-Rasyid (785); Al-Amin (809); Al-
Ma’mun (813); Al-Mu’tashim (833); Al-Watsiq (842); Al-Mutawakil
(847).
Dinasti Abbasiyah, seperti halnya dinasti lain dalam sejarah Islam,
mencapai masa kejayaan politik dan intelektual mereka segera setelah
didirikan. Kekhalifahan Baghdad yang didirikan As-Saffah dan Al-
Manshur mencapai masa keemasannya antara masa khalifah ketiga, Al-
Mahdi, dan khalifah kesembilan, Al-Watsiq, dan lebih khusus lagi pada
masa Harun Ar-Rasyid dan anaknya, Al-Ma’mun. Karena kehebatan dua
khalifah itulah, Dinasti Abbasiyah memiliki kesan baik dalam ingatan
publik, dan menjadi dinasti paling terkenal dalam sejarah Islam. Diktum
yang dikutip oleh seorang penulis antalogi, Ats-Tsa’alabi bahwa dari para
khalifah Abbasiyah, ”sang pembuka” adalah Al-Manshur, “sang

2
Philip K. Hitty, op. cit., hlm. 288.
3
Ibid., hlm. 297.
4
Badri Yatim, op. cit., hlm. 52
5
Jaih Mubarok, op. cit., hlm. 119
6
Harun Nasution, Islam…, Jilid I, hlm. 69-69

2
penengah” adalah Al-Ma’mun, dan “ sang penutup Al-Mu’tadhid adalah
benar7
C. Sistem Pemerintahan
Jatuhnya Dinasti Umayah yang menelan korban jiwa besar dari
kalangan Dinasti Umayah sekaligus sebagai tonggak awal berdirinya
Dinasti Abbasiyah. Sebagai kekuatan baru yang mulai tumbuh dan
ditegakkan di atas puing-puing kehancuran Dinasti Umayah, menjadikan
langkah awal yang dijalankan oleh pemerintah bani Abbas adalah upaya
pemantapan dan stabilitas daulat Abbasiyah yang mewarisi seluruh
wilayah luas bekas wilayah Dinasti Umayyah.
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Paera
sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:
1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode
pengaruh Persia pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/954 M), disebut masa pengaruh
Turki pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/954 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan
dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini
disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan
dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya
disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas
dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar
kota Baghdad.

Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas mencapai masa


keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul yang kuat dan
merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Disisi lain,
kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga
berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu
7
Philip K. Hitty, op. cit., hlm. 297

3
pengetahuan dalam Islam. Namun, setelah periode ini berakhir,
pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun
filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.

D. Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Ekonomi dan Arsitektur


1. Bidang Ilmu Pengetahuan
Ketika umat Islam di zaman Dinasti Umayyah berhasil melakukan
ekspansi secara besar-besaran baik ke wilayah timur maupun barat,
terdapat jumlah kota yang merupakan kota pusat pengembangan tradisi
ilmiah Yunani, India dan Persia. Diantara kota-kota yang menjadi
pusat pengembangan tradisi ilmiah tersebut antara lain adalah kota
Alexandria di Mesir, Jundisyapur di Irak, Bachtra di Syria, Edessa,
Harran, serta Nisibis. Kota-kota ini kemudian menjadi bagian dari
wilayah Islam.oleh karena itu umat Islam mampu menguasai kota-kota
tersebut dan menjadi bagian penting umat Islam, maka mulailah terjadi
persentuhan antara umat Islam dengan tradisi Ilmiah yang sejak lama
telah berkembang di beberapa kota tersebut diatas. Ini artinya,
pengaruh budaya asing tersebut sudah masuk ke dunia Islam sejak
masa Dinasti Umayyah (abad 7 M). Walaupun secara nyata
pengaruhnya baru nampak pada masa Dinasti Abbasiyah. Umat Islam
yang awalnya banyak melakukan kajian-kanjian yang bersifat
keagamaan kemudian menjadi berkembang kepada kajian-kajian yang
menantang.
Persentuhan umat Islam dengan tempat dan keilmuan yang ada di
wilayah-wilayah itu kemudian lebih nyata dalam bentuk penerjemahan
kedalam bahasa Arab, yang didahului kedalam bahasa Syria,
sebenarnya upaya mengalibahasakan tulisan-tulisan kuno itu telah
dilakukan sejak masa Dinasti Umayyah di Damaskus oleh Walid bin
Abdul Malik. Tetapi, penerjemahan pada masa itu masih bersifat
pribadi, belum secara resmi.8 Khalifah Khalid bin Yazid pernah
mengundang sejumlah pakar untuk menerjemahkan kitab-kitab

8
Ahmad Amin, Dluna al-Islam I (Kairo: Al-Nahdlah, 1933), hlm. 271.

4
astronomi, kedokteran dan ilmu kimia.9 Ilmu-ilmu yang secra lahiriah
tidak termasuk golongan agama.
Sekalipun upaya penerjemahan itu sudah dimulai sejak Bani
Umayyah, tetapi gerakan ilmiah lebih fenomenal kemajuan pada masa
Abbasiyah, yang puncaknya zaman Harun Al-Rasyid dan putranya, Al-
Ma’mun. Khalifah Al-Manshur mendatangkan keluarga Bakhti Yashu,
Dokter Nestoria termashur dari akademi Jundisyapur, ke istananya
untuk menjadi dokter keluarga istana, dan pada akhir abad ke 8 M Abu
yahya bin Al-Batriq menerjemahkan karya-karya besar Galen dan
Hippocrates.
Sejak masa itulah mulai tampak ketertarikan umat Islam pada studi
filsafat, misalnya pada masa Harun Al-Rasyid dan Al-Ma’mun upaya
penerjemahan lebih difokuskan pada karya-karya filsafat Yunani dan
sains lainnya. Hal ini ditambah dengan perintah Al-Ma’mun untuk
mengirim rombongan penerjemah ke Konstantinopel, Roma dan lain-
lain untuk menghimpun buku- buku sains dan filsafat yang berasa pada
umat Islam, dibawa ke Baghdad.10
Demikian juga pada masa Al-Mutawakil, ahli matematika sabia,
Tsabit bin Qurah dan murid-muridnya menerjemahkan karya-karya
Yunani, utamanya dalam bidang geometri dan astronomi, termasuk
juga karya-karya Apollonius dan Archimedes.11 Setelah Tsabit,
anaknya Ibrahin dan Sinan, cucu-cucunya Tsabit dan Ibrahin dan
cicitnya Abdul Faraj melanjutkan penerjemahan dan pengimpunan
yang memperkaya matematika dan atronomi dengan penemuan-
penemuan dan pengamatan-pengamatan mereka sendiri.umat Islam
menganggap keilmuan diatas merupakan keilmuan baru dan penting
untuk dilakukan kajian-kajian, dan selanjutnya ikut mempengaruhi
pola pikir keagamaan mereka.

9
Komisi Nasional Mesir Untuk UNESCO, Islamic and Arab Contribution to the European
Renaissanceu, Terj. Ahmad Tafsir ( Bandung: Pustaka, 1986), hlm. 122.
10
S.I.Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern (Jakarta: Girimukti
Pasaka, 1981), hlm. 10.
11
Muhammad Abdur Rahman Khan, Sumbangan Islam Terhadap Ilmu Pengetahuan dan
Kebudayaan (Bandung: Rosda, 1988), hlm. 14.

5
Pusat penerjemahan karya-karya asing waktu itu adalah Bait Al-
Hikmah, sebuah perpustakaan yang dibangun di zaman Harun Al-
Rasyid dengan nama Khizanah Al-Hikmah.12 Kemudian di zaman
putra Harun Ar-Rasyid, yang bernama Al-Ma’mun, perpustakaan ini
dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi maju dan terkenal,
meskipun ia adalah perpustakaan tapi memainkan fungsi pendidikan.
Penerjemahan merupakan salah satu kegiatan pada Bait Al-Hikmah,
tetapi nampaknya ia merupakan kegatan ilmiah yang paling dominan
pada lembaga ini. Di lembaga inilah buku-buku filsafat dan saikns dari
berbagai bahasa diterjemahkan.
Hasil penerjemahan-penerjemahan tersebut selanjutnay dinikmati
oleh umat Islam terutama dari kalangan intelektualnya dengan
beberapa disiplin yang diminatinya. Yang banyak tertarik untuk
mengkaji secara mendalam filsafat Yunani adaah kalangan Mutazilah
seperti Al-Nazzam, Hudzail al-Allaf, Bisyr bin Mu’tamir dan
seterusnya. Karena itu banyak sekali hasil pemikiran tokoh-tokoh
diatas yanga berkaitan dengan ilmu agama, khususnya kalam, yang
terbiasa oleh filsafat ini. Sehingga teologi Mutazilah dikenal sebagai
teologi rasional.13 Dari hasil penerjemahan ini umat Islam seperti
mendapatkan pencerahan akan keilmuan baru yang mulai dikenalnya
dan kemajuan filsafat dan sains di zaman Abbasiyah tidak bias
dilepaskan dari gerakan penerjemahan awal ini.
Perkembangan dan kemajuan keilmuan bukan saja dibidang filsafat
dan sains dalam Islam tetapi berkembang pula ilmu-ilmu agama pada
masa Abbasiyah, tidak saja ditanadi oleh eksistensi beberapa cabang
ilmu agama dimasa itu, tetapi juga oleh munculnya banyak ulama
terkenal disertai hasil karya monumental mereka yang hingga kini
masih dapat disaksikan dan dimanfaatkan.
2. Bidang Ekonomi

12
Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 109.
13
Tim Penyusun Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam (Jakarta: Ikhtiyar Baru Van Hoeve, 1994),
hlm. 16.

6
Oleh karena sector ekonomi menjadi penopang penting tegaknya
pemerintahan, maka Khalifah Bani Abbasiyah memberikan perhatian
serius, Karena itu, perhatian khusus didalam perkembangan sektor ini
dilakukan terutama pada periode pertama masa pemerintahan
Abbasiyah, Perhatian yang tinggi di sector ekonomi, menjadikan
negara dapat menghasilkan devisa yang banyak untuk kesejahteraan
umum. Tercatat dalam sejarah bahwa penadpatan pada Khalifah Harun
Al-Rasyid telah mencapai 272 juta dirham 4 juta dinar pertahun.14
Prestasi ini pada pemerintahan daulah Abbasiyah merupakan puncak
kemajuan dibidang ekonomi.
Pendapatan negara yang cukup besar pada masa pemerintahan
daulah Abbasiyah tidak terlepas dari peran pemerintah dalam
mengembangkan berbagai sector ekonomi rakyat. Pemerintahan ini
cukup berbeda dengan masa daulah Umayyah yang lebih
mengandalkan perolehan pendapatan negara dan sector ghanimah atau
jizyah sebagai akibat ekspansi. Bahkan pada masa Abbasiyah, sumber
pendapatan negara terbesar adalah dari hasil perekonomian dalam
negeri sebuah prestasi yang membanggakan disektor perekonomian.
Unsur-unsur yang dikembangkan zaman Dinasti Abbasiyah adalah
sebagai begai berikut
a. Pertanian
Pada masa Dinasti Abbasiyah berlangsung
pemerintahannya, para petani dibina dan diarahkan,serta pajak
bumi mereka diringankan. Ini jelas berbeda halnya dengan
pemerintahan Bani Umayyah yang lebih bersikap membebani
rakyat (petani) dengan pajak, penguasa Bani Abbas disebut
sebaliknya.15 Bahkan dibeberapa daerah tertentu mereka
dihapuskan dari beban pajak.para pentane diperlakukan dengan
baik, hak-hak mereka dijaga dan mereka dilindungi dari praktek-
prakter ekonomi yang merugikan.

14
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islami, Juz II, cet. VII (maktabat al-Nadhat al-Mishriyat, 1976),
hlm. 302.
15
Ibid, hlm. 305.

7
b. Perindustrian
Bidang industry juga menjadi perhatian pemerintahan
Abbasiyah. Ada beberapa faktor yang mendukung kemajuan sector
indutri ini, antara lain adalah adanya potensi alam berupa barang
tambang seperti perak, tembaga, biji besi dan lain-lain, serta hasil
pertanian sebagai bahan baku industry, potensi alam wilayah
Abbasiyah cukup menjanjikan untuk mendukung ekonomi Bani
Abbasiyah.
c. Perdagangan
Disektor perdagangan, menunjukan kemajuan yang besar.
Ini tentu mengimbangi dua sektor yang diebut diatas. Ibukota
pemerintahan Abbasiyah Baghdad, menjadi kota pusat perniagaan
atau perdagangan,16 Serta kota transit yang menghubungkan lalu
lintas perdagangan antara barat dan timur.
Perkembangan perekonomian Abbasiyah yang meliputi
beberapa bidang itu menjanjikan pendapatan negara dari dinasti ini
terbilang bagus, yang semuanya dipergunakan untuk kepentingan
negara.
3. Bidang Arsitektur
Arsitektur pada masa Dinasti Abbasiyah menunjukkan
perkembangan yang signifikan dalam desain dan struktur bangunan,
yang menggabungkan elemen-elemen tradisi arsitektur sebelumnya
dengan inovasi baru yang mencerminkan kebesaran dan kemajuan
peradaban Islam pada masa itu. Meskipun sebagian besar warisan
arsitektur Abbasiyah telah hancur akibat serangan Mongol pada tahun
1258 M, namun banyak contoh dan prinsip-prinsip desain arsitektur
dari periode ini yang dapat dilihat sebagai dasar bagi arsitektur Islam
berikutnya.
Arsitektur Abbasiyah dikenal karena mengutamakan fungsi,
kesederhanaan, dan estetika yang sangat dipengaruhi oleh prinsip-

16
Ibid, hlm. 103.

8
prinsip Islam, yang menekankan pada keindahan dan fungsionalitas
tanpa berlebihan. Beberapa ciri khas arsitektur pada masa ini adalah:
a. Penggunaan Ruang yang Efisien
Pada masa Abbasiyah, arsitektur cenderung mengutamakan
penggunaan ruang yang efisien, terutama dalam bangunan-
bangunan publik dan keagamaan. Ruang besar dan terbuka, seperti
di masjid, menjadi pusat perhatian. Pengaturan ruang dalam desain
bangunan sangat penting untuk mendukung kegiatan ibadah dan
sosial
b. Pengaruh Persia dan Yunani
Arsitektur Abbasiyah banyak dipengaruhi oleh peradaban
Persia (khususnya dari Dinasti Sassanid) dan Yunani-Romawi,
yang menciptakan fusi gaya arsitektur yang unik. Bentuk kubah
besar dan penggunaan kolom serta aula terbuka mulai dikenal dan
diterapkan dalam bangunan masjid dan istana.
c. Kubah dan Domes (Kubus dan Kubah)
Salah satu ciri khas arsitektur Abbasiyah adalah
penggunaan kubah sebagai elemen utama, terutama dalam masjid
dan istana. Kubah yang besar tidak hanya memiliki fungsi
struktural tetapi juga simbolis, mewakili keagungan Tuhan dan
kekuasaan khalifah, kubah al-Sakhrah (Dome of the Rock) di
Yerusalem, meskipun lebih terkenal dengan pengaruh Umayyah,
juga memengaruhi gaya kubah yang digunakan pada bangunan
Abbasiyah.
E. Sebab-sebab Kehancuran Dinasti Abbasiyah
1. Faktor Internal
a. Lemahnya semangat patriotism negara, menyebabkan jiwa jihad
yang diajarkan islam tidak berdaya lagi menahan segala amukan
yang dating, baik dari dalam maupun dari luar.
b. Hilangnya sifat amanah dalam segala perjanjian yang dibuat,
sehingga kerusakan moral dan kerendahan budi menghancurkan
sifat-sifat baik yang mendukung negara selama ini.

9
c. Tidak percaya pada kekuatan sendiri. Dalam mengatasi berbagai
pemberontakan, khalifah mengundang kekuatan asing akibanya,
kekuatan asing tersebut memanfaatkan kelemahan khalifah.
d. Fanatik madzab persaingan dan perebutan yang tiada henti antara
Abbasiyah dan Alawiyah menyebabkan kekuatan islam menjadi
lemah, bahkan hancur berkeping-keping.
e. Kemrosotan ekonomi terjadi kerana banyaknya biaya yang
digunakan untuk anggaran tentara, banyaknya pemberontakan dan
kebiasaan para penguasa untuk berfoya-foya,kehidupan para
khalifah dan keluarganya serta pejabat-pejabat negara yang hidup
mewah jenis pengeluaran yang beragam, serta pejabat yang korupsi
dan semakin sempitnya wilayah kekuasaan khalifah karena telah
banyak provinsi yang memisahkan diri.
2. Faktor eksternal
Diintegrasi akibat kebijakan untuk lebih mengutamakan
pembinaan peradaban kebudayaan islam dari pada politik,
provinsi-provinsi tertentu dipinggiran mulai melepaskan dari
genggaman penguasa Bani Abbasiyah mereka bukan sekedar
memisahkan diri dari kekuasaan khalifah, tetapi memberontak dan
berusaha merebut pusat kekuasaan di Baghdad. Hal ini
dimanfaatkan oleh pihak luar dan banyak mengorbankan umat,
yang berarti juga menghancurkan sumber daya manusia.
F. Kesimpulan

Dinasti Abbasiyah merupakan Dinasti yang mampu berdiri dan


berkembang dalam rentang waktu yang cukup lama, dari tahun 750-1258
M. Situasi sosial dan politik menjelang pengangkatan Al-Ma’mun menjadi
Khalifah berada pada situasi yang cukup stabil namun tidak berarti bebas
dari berbagai pemberontakan. Ketika hendak menjadi khalifah, Al-
Ma’mun harus menghadapi pemberontakan sengit dengan saudaranya
yaitu Al-Amin. Akhirnya Al-Ma’mun berhasil menjadi khalifah setelah
meninggalnya Al-Amin. Keadaan pemerintahan yang cukup stabil

10
membuat Al-Ma’mun kembali meneruskan perkembangan ilmu
pengetahuan lebih pesat.

11
Daftar Pustaka

Amin, Ahmad, Dluna al-Islam I (Kairo: Al-Nahdlah, 1933), hlm. 271.


Asari, Hasan, Menyingkap Zaman Keemasan Islam (Bandung: Mizan, 1994).

Fu’adi, Imam, Sejarah Peradaban Islam, ( Yogyakarta: 2011, Cetakan I).

Hasan, Ibrahin Hasan, Tarikh al-Islami, Juz II, cet. VII (maktabat al-Nadhat al-
Mishriyat, 1976

Khan, Muhammad Abdur Rahman, Sumbangan Islam Terhadap Ilmu


Pengetahuan dan Kebudayaan (Bandung: Rosda, 1988).

Komisi Nasional Mesir Untuk UNESCO, Islamic and Arab Contribution to the
European Renaissanceu, Terj. Ahmad Tafsir ( Bandung: Pustaka, 1986).
Komisi Nasional Mesir Untuk UNESCO, Islamic and Arab Contribution to the
European Renaissanceu, Terj. Ahmad Tafsir ( Bandung: Pustaka, 1986).
S.I.Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern
(Jakarta: Girimukti Pasaka, 1981).
S.I.Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern
(Jakarta: Girimukti Pasaka, 1981).
Stryzewska, Bojena Gajane, Tarikh Al-Islamiyah (Beirut: Al-Maktabah At-
Tijariyah)
Supriyadi, Dedy, Sejarah Peradaban Islam, ( Bandung: 2016).

Tim Penyusun Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam (Jakarta: Ikhtiyar Baru Van
Hoeve, 1994).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, ( Jakarta: Kharisma
Putra Utama, 2008).

12

Anda mungkin juga menyukai