Hipertiroid Dalam Kehamilan
Hipertiroid Dalam Kehamilan
Hipertiroid Dalam Kehamilan
penderita hipertiroidisme dalam kehamilan memerlukan perhatian khusus, oleh karena baik
keadaan hipertiroidismenya maupun pengobatan yang diberikan dapat memberi pengaruh
buruk terhadap ibu dan janin.
Faal kelenjar tiroid pada kehamilan normal :
Selama kehamilan faal kelenjar tiroid mengalami peningkatan dan dalam banyak hal
aktifitas kelenjar tiroid menyerupai keadaan hipertiroidisme. Sebelum dikembangkannya
teknik pengukuran kimiawi faal kelenjar tiroid, orang beranggapan bahwa terjadinya struma
dan peningkatan metabolisme basal pada wanita hamil disebabkan karena kelenjar tiroid yang
hiperaktif. Anggapan ini berdasarkan gambaran histologik berupa hipertrofi dan hiperplasi
folikel kelenjar tiroid pada wanita hamil. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa
prevalensi struma selama kehamilan bervariasi secara geografis. Pada suatu studi di
Skotlandia, 70% wanita hamil mengalami struma, lebih banyak dibandingkan dengan wanita
yang tidak hamil (38%). Berbeda dengan penelitian di Islandia, dimana tidak ditemukan
peningkatan kejadian struma selama kehamilan. Juga studi di Amerika Serikat, tidak
menunjukkan peningkatan kejadian struma pada wanita hamil. Dari hasil penelitian diketahui
bahwa hal ini disebabkan karena kandungan yodium di Islandia dan Amerika Serikat lebih
tinggi daripada di Skotlandia.
Menurut Glinoer, kehamilan merupakan suatu keadaan yang unik, dimana faal kelenjar tiroid
dipengaruhi oleh 3 perubahan, yaitu :
1. Terjadi perubahan dalam ekonomi tiroid karena meningkatnya kadar TBG sebagai
respons terhadap peningkatan kadar estrogen. Akibat peningkatan kadar TBG ini akan
terjadi kenaikan kadar Protein Binding Iodine mulai minggu ke 12 yang mencapai 2
kali kadar normal. Juga akan terjadi kenaikan kadar T4 dan T3 didalam serum.
Peningkatan kadar TBG serum selama kehamilan disebabkan karena meningkatnya
produksi TBG oleh sel-sel hati dan menurunnya degradasi TBG perifer akibat
modifikasi oligosakarida karena pengaruh kadar estrogen yang tinggi.
2. Terjadi peningkatan sekresi Thyroid Stimulating Factors (TSF) dari plasenta terutama
Human Chorionic Gonadotropin (HCG). HCG menyerupai TSH, dimana keduanya
merupakan glikoprotein yang mempunyai gugus alfa yang identik. Bukti terbaru
menunjukkan bahwa HCG merupakan suatu Chorionic Thyrotropin dimana aktifitas
biologik dari 1 Unit HCG ekivalen dengan 0,5 uU TSH.
I. Meningkat :
A. Laju metabolisme basal
B. Ambilan yodium radioaktif
C. Respons terhadap TRH
D. Thyroxin Binding Globulin (TBG)
E. Tiroksin
F. Triyodotironin
G. Human Chorionic Thyrotropin/ Gonadotropin
H. Thyroid Stimulating Hormone (TSH)
mulai terjadi pada usia kehamilan 12 minggu sampai 1 bulan post natal. Selama usia
pertengahan kehamilan, didalam cairan amnion dapat dideteksi adanya T4 yang
mencapai puncaknya pada usia kehamilan 25 sampai 30 minggu. Kadar T3 didalam
cairan amnion selama awal kehamilan masih rendah dan berangsur akan meningkat.
Tetrayodotironin (T4) didalam tubuh janin terutama dimetabolisir dalam bentuk
reverse T3 (rT3) , hal ini mungkin disebabkan karena sistem enzimnya belum matang.
Reverse T3 meningkat terus dan mencapai kadar puncak pada usia kehamilan 17
sampai 20 minggu.
Kadar rT3 didalam cairan amnion dapat dipakai sebagai diagnosis prenatal terhadap
kelainan faal kelenjar tiroid janin. Pada saat lahir terjadi peningkatan kadar TSH
karena sekresinya oleh hipofisis meningkat. Kadar TSH neonatus meningkat beberapa
menit setelah lahir 7,5 uU/ml dan mencapai puncaknya 30 uU/ ml dalam 3 jam.
Karena rangsangan TSH akan terjadi kenaikan yang tajam dari kadar T4 total dan T4
bebas didalam serum. Kadar T3 juga meningkat secara dramatis, tetapi sebagian tidak
tergantung dari TSH. Hal ini mungkin disebabkan karena meningkatnya aktifitas
jaringan dalam memetabolisir T4 menjadi T3. Ambilan yodium radioaktif neonatus
meningkat mulai 10 jam setelah lahir yang mencapai puncaknya pada hari kedua dan
menurun sampai batas normal seperti orang dewasa pada hari ke 5 setelah lahir.
Tabel 1 menunjukkan faal kelenjar tiroid ibu dan neonatus
TBG
T4
T3
rT3
(mg/dl)
(ug/dl)
(ng/dl)
(ng/dl)
4,3
7,6
111
40
8,7
14,3
173
54
Neonatus
5,4
11,0
50
136
Tabel 2 menunjukkan tes faal tiroid dari darah ibu dan darah tali pusat bayi pada saat
baru lahir
Tes
Darah ibu
10 16
6 13
2,5 3,5
1,5 3,0
150 250
40 60
36 65
80 360
resin T3 uptake
22
25 35
30 50
12 30
0-6
0 20
TBG (mg/L)
TSH serum (uU/ml)
Hipertiroidisme dalam kehamilan
Patogenesis
2. Zat-zat imun dilepaskan oleh sel-sel folikel kelenjar tiroid sendiri yang menimbulkan
imunitas seluler.
Antibodi ini bersifat spesifik, yang disebut sebagai Thyroid Stimulating Antibody (TSAb)
atau Thyroid Stimulating Imunoglobulin (TSI). Sekarang telah dikenal beberapa
stimulator tiroid yang berperan dalam proses terjadinya penyakit Grave, antara lain :
1. Long Acting Thyroid Stimulator (LATS)
2. Long Acting Thyroid Stimulator-Protector (LATS-P)
3. Human Thyroid Stimulator (HTS)
4. Human Thyroid Adenylate Cyclase Stimulator (HTACS)
5. Thyrotropin Displacement Activity (TDA)
Antibodi-antibodi ini berikatan dengan reseptor TSH yang terdapat pada membran sel
folikel kelenjar tiroid, sehingga merangsang peningkatan biosintesis hormon tiroid.
Bukti tentang adanya kelainan sel T supresor pada penyakit Grave berdasarkan hasil
penelitian Aoki dan kawan-kawan (1979), yang menunjukkan terjadinya penurunan
aktifitas sel T supresor pada penyakit Grave. Tao dan kawan-kawan (1985) membuktikan
pula bahwa pada penyakit Grave terjadi peningkatan aktifitas sel T helper. Seperti
diketahui bahwa dalam sistem imun , sel limfosit T dapat berperan sebagai helper dalam
proses produksi antibodi oleh sel limfosit B atau sebaliknya sebagai supresor dalam
menekan produksi antibodi tersebut. Tergantung pada tipe sel T mana yang paling
dominan, maka produksi antibodi spesifik oleh sel B dapat mengalami stimulasi atau
supresi. Kecenderungan penyakit tiroid otoimun terjadi pada satu keluarga telah diketahui
selama beberapa tahun terakhir. Beberapa hasil studi menyebutkan adanya peran Human
Leucocyte Antigen (HLA) tertentu terutama pada lokus B dan D. Grumet dan kawankawan (1974) telah berhasil mendeteksi adanya HLA-B8 pada 47% penderita penyakit
Grave. Meningkatnya frekwensi haplotype HLA-B8 pada penyakit Grave diperkuat pula
oleh peneliti-peneliti lain. Studi terakhir menyebutkan bahwa peranan haplotype HLA-B8
pada penyakit Grave berbeda-beda diantara berbagai ras. Gray dan kawan-kawan (1985)
menyatakan bahwa peranan faktor lingkungan seperti trauma fisik, emosi, struktur
keluarga, kepribadian, dan kebiasaan hidup sehari-hari tidak terbukti berpengaruh
terhadap terjadinya penyakit Grave. Sangat menarik perhatian bahwa penyakit Grave
sering menjadi lebih berat pada kehamilan trimester pertama, sehingga insiden tertinggi
hipertiroidisme pada kehamilan akan ditemukan terutama pada kehamilan trimester
pertama. Sampai sekarang faktor penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Pada usia
kehamilan yang lebih tua, penyakit Grave mempunyai kecenderungan untuk remisi dan
akan mengalami eksaserbasi pada periode postpartum. Tidak jarang seorang penderita
penyakit Grave yang secara klinis tenang sebelum hamil akan mengalami hipertiroidisme
pada awal kehamilan. Sebaliknya pada usia kehamilan yang lebih tua yaitu pada trimester
ketiga, respons imun ibu akan tertekan sehingga penderita sering terlihat dalam keadaan
remisi. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan sistem imun ibu selama kehamilan.
Pada kehamilan akan terjadi penurunan respons imun ibu yang diduga disebabkan karena
peningkatan aktifitas sel T supresor janin yang mengeluarkan faktor-faktor supresor.
Faktor-faktor supresor ini melewati sawar plasenta sehingga menekan sistem imun ibu.
Setelah plasenta terlepas, faktor-faktor supresor ini akan menghilang. Hal ini dapat
menerangkan mengapa terjadi eksaserbasi hipertiroidisme pada periode postpartum.
Setelah melahirkan terjadi peningkatan kadar TSAb yang mencapai puncaknya 3 sampai
4 bulan postpartum. Peningkatan ini juga dapat terjadi setelah abortus. Suatu survai yang
dilakukan oleh Amino dan kawan-kawan (1979-1980) menunjukkan bahwa 5,5% wanita
Jepang menderita tiroiditis postpartum. Gambaran klinis tiroiditis postpartum sering tidak
jelas dan sulit dideteksi. Tiroiditis postpartum biasanya terjadi 3-6 bulan setelah
melahirkan
dengan
manifestasi
klinis
berupa
hipertiroidisme
transien
diikuti
hipotiroidisme dan kemudian kesembuhan spontan. Pada fase hipertiroidisme akan terjadi
peningkatan kadar T4 dan T3 serum dengan ambilan yodium radioaktif yang sangat
rendah (0 2%). Titer antibodi mikrosomal kadang-kadang sangat tinggi. Fase ini
biasanya berlangsung selama 1 3 bulan, kemudian diikuti oleh fase hipotiroidisme dan
kesembuhan, namun cenderung berulang pada kehamilan berikutnya. Terjadinya tiroiditis
postpartum diduga merupakan rebound phenomenon dari proses otoimun yang terjadi
setelah melahirkan.
.
Pengaruh hipertiroidisme terhadap kehamilan
Hipertiroidisme akan menimbulkan berbagai komplikasi baik terhadap ibu maupun janin
dan bayi yang akan dilahirkan.
Komplikasi-komplikasi tersebut antara lain :
I. Komplikasi terhadap ibu :
A. Payah Jantung
Menyebabkan
perubahan
aktifitas
adenilsiklase
sehingga
2. Sistem simpato-adrenal :
Kelebihan hormon tiroid dapat menyebabkan peningkatan aktifitas
sistem simpato-adrenal melalui cara :
a) Peningkatan kadar katekolamin
b) Meningkatnya kepekaan miokard terhadap katekolamin
Secara klinis akan terjadi peningkatan fraksi ejeksi pada waktu istirahat,
dimana hal ini dapat pula disebabkan oleh kehamilan itu sendiri. Disfungsi
ventrikel akan bertambah berat bila disertai dengan anemia, preeklamsia atau
infeksi. Faktor-faktor risiko ini sering terjadi bersamaan pada wanita hamil.
Davis,LE dan kawan-kawan menyebutkan bahwa payah jantung lebih sering
terjadi pada wanita hamil hipertiroidisme yang tidak terkontrol terutama pada
trimester terakhir.
Krisis tiroid
Salah satu komplikasi gawat yang dapat terjadi pada wanita hamil dengan
hipertiroidisme adalah krisis tiroid. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktorfaktor pencetus antara lain persalinan, tindakan operatif termasuk bedah
Caesar, trauma dan infeksi. Selain itu krisis tiroid dapat pula terjadi pada
pasien-pasien hipertiroidisme hamil yang tidak terdiagnosis atau mendapat
pengobatan yang tidak adekuat. Menurut laporan Davis LE dan kawan-kawan,
dari 342 penderita hipertiroidisme hamil, krisis tiroid terjadi pada 5 pasien
yang telah mendapat pengobatan anti tiroid, 1 pasien yang mendapat terapi
operatif , 7 pasien yang tidak terdiagnosis dan tidak mendapat pengobatan.
Krisis tiroid ditandai dengan manifestasi hipertiroidisme yang berat dan
hiperpireksia. Suhu tubuh dapat meningkat sampai 41oC disertai dengan
kegelisahan, agitasi, takikardia, payah jantung, mual muntah, diare,delirium,
psikosis, ikterus dan dehidrasi.
II. Komplikasi terhadap janin dan neonatus :
Untuk memahami patogenesis terjadinya komplikasi hipertiroidisme pada
kehamilan terhadap janin dan neonatus, perlu kita ketahui mekanisme hubungan
ibu janin pada hipertiroidisme. Sejak awal kehamilan terjadi perubahan-perubahan
faal kelenjar tiroid sebagaimana dijelaskan sebelumnya, sedangkan kelenjar tiroid
janin baru mulai berfungsi pada umur kehamilan minggu ke 12-16. Hubungan ibu
janin dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
TSH tidak dapat melewati plasenta, sehingga baik TSH ibu maupun TSH janin
tidak saling mempengaruhi. Hormon tiroid baik T3 maupun T4 hanya dalam jumlah
sedikit yang dapat melewati plasenta. TSI atau TSAb dapat melewati plasenta dengan
mudah. Oleh karena itu bila kadar TSI pada ibu tinggi, maka ada kemungkinan terjadi
hipertiroidisme pada janin dan neonatus. Obat-obat anti tiroid seperti PTU dan Neo
Mercazole, zat-zat yodium radioaktif dan yodida, juga propranolol dapat dengan
mudah melewati plasenta. Pemakaian obat-obat ini dapat mempengaruhi kehidupan
dan perkembangan janin. Pemakaian zat yodium radioaktif merupakan kontra indikasi
pada wanita hamil karena dapat menyebabkan hipotiroidisme permanen pada janin.
Hipertiroidisme janin dapat terjadi karena transfer TSI melalui plasenta terutama bila
ibu hamil hipertiroidisme tidak mendapat pengobatan anti tiroid. Hipertiroidisme
janin dapat pula terjadi pada ibu hamil yang mendapat pengobatan hormon tiroid
setelah mengalami operasi tiroidektomi, sedangkan didalam serumnya kadar TSI
masih tinggi. Diagnosis ditegakkan dengan adanya peningkatan kadar TSI ibu dan
bunyi jantung janin yang tetap diatas 160 x per menit. Kurang lebih 1% wanita hamil
dengan riwayat penyakit Grave akan melahirkan bayi dengan hipertiroidisme.
Hipertiroidisme neonatus kadang-kadang tersembunyi, biasanya berlangsung selama 2
sampai 3 bulan. Hipertiroidisme neonatus disertai dengan mortalitas yang tinggi.
Komplikasi jangka panjang pada bayi yang bertahan hidup akan mengakibatkan
terjadinya kraniosinostosis prematur yang menimbulkan gangguan perkembangan
otak. Kematian biasanya terjadi akibat kelahiran prematur, berat badan lahir rendah
dan penyakit jantung kongestif. Diagnosis hipertiroidisme neonatus ditegakkan atas
dasar gambaran klinis dan laboratorium. Adanya struma, eksoftalmos dan takikardia
pada bayi yang hiperaktif dengan kadar tiroksin serum yang meningkat sudah cukup
untuk dipakai sebagai pegangan diagnosis. Namun dapat pula terjadi gambaran klinis
yang lain seperti payah jantung, hepatosplenomegali, ikterus dan trombositopenia.
Hipotiroidisme janin dan neonatus
Penggunaan obat-obat anti tiroid selama kehamilan dapat menimbulkan struma dan
hipotiroidisme pada janin, karena dapat melewati sawar plasenta dan memblokir faal
tiroid janin. Penurunan kadar hormon tiroid janin akan mempengaruhi sekresi TSH
dan menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid. Menurut Cooper DS, frekuensi struma
pada neonatus akibat pengobatan anti tiroid pada wanita hamil diperkirakan 10%.
Davis LE dan kawan-kawan melaporkan bahwa dari 36 ibu hamil hipertiroidisme
yang diobati dengan anti tiroid, terdapat 1 kasus neonatus yang mengalami struma dan
hipotiroidisme. Cheron dan kawan-kawan dalam penelitiannya melaporkan bahwa
hanya 1 dari 11 neonatus mengalami struma dan hipotiroidisme setelah ibunya
mendapat terapi PTU 400 mg perhari. Namun walaupun 10 neonatus lainnya berada
dalam keadaan eutiroid, terjadi pula penurunan kadar tiroksin dan peningkatan kadar
TSH yang ringan. Hal ini menunjukkan telah terjadi hipotiroidisme transien pada 10
neonatus tersebut. Penyebab hipotiroidisme janin yang lain adalah pemberian preparat
yodida selama kehamilan. Dosis yodida sebesar 12 mg perhari sudah dapat
menimbulkan hipotiroidisme pada janin. Hipotiroidisme akibat pemakaian yodida ini
akan menimbulkan struma yang besar dan dapat menyumbat saluran nafas janin.
itu
sendiri
dapat
memberikan
gambaran
yang
mirip
dengan
Pemeriksaan fT4I sebagai suatu tes tidak langsung menunjukkan aktifitas tiroid
yang tidak dipengaruhi oleh kehamilan merupakan pilihan yang paling baik. Dari
segi biaya, pemeriksaan ini cukup mahal oleh karena dua pemeriksaan yang harus
dilakukan yaitu kadar fT4 dan T3 resin uptake (ambilan T3 radioaktif). Tetapi dari
segi diagnostik, pemeriksaan inilah yang paling baik pada saat ini.
4. Tes TRH
Tes ini sebenarnya sangat baik khususnya pada penderita hipertiroidisme hamil
dengan gejala samar-samar. Sayangnya untuk melakukan tes ini membutuhkan
waktu dan penderita harus disuntik TRH dulu.
5. TSH basal sensitif
Pemeriksaan TSH basal sensitif pada saat ini sudah mulai populer sebagai tes
skrining penderita penyakit tiroid. Bukan hanya untuk diagnosis hipotiroidisme,
tetapi juga untuk hipertiroidisme termasuk yang subklinis. Dengan pengembangan
tes ini, maka tes TRH mulai banyak ditinggalkan.
6. Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI)
Pemeriksaan kadar TSI dianggap cukup penting pada penderita hipertiroidisme
Grave hamil. Kadar yang tetap tinggi mempunyai 2 arti penting yaitu :
a. Menunjukkan bahwa apabila obat anti tiroid dihentikan, kemungkinan besar
penderita akan relaps. Dengan kata lain obat anti tiroid tidak berhasil
menekan proses otoimun.
b. Ada kemungkinan bayi akan menjadi hipertiroidisme, mengingat TSI
melewati plasenta dengan mudah.
Penatalaksanaan
Oleh karena yodium radioaktif merupakan kontra indikasi terhadap wanita hamil,
maka pengobatan hipertiroidisme dalam kehamilan terletak pada pilihan antara
penggunaan obat-obat anti tiroid dan tindakan pembedahan. Namun obat-obat anti
tiroid hendaklah dipertimbangkan sebagai pilihan pertama.
Obat-obat anti tiroid
Obat-obat anti tiroid yang banyak digunakan adalah golongan tionamida yang
kerjanya menghambat sintesis hormon tiroid melalui blokade proses yodinasi molekul
tirosin. Obat-obat anti tiroid juga bersifat imunosupresif dengan menekan produksi
TSAb melalui kerjanya mempengaruhi aktifitas sel T limfosit kelenjar tiroid. Oleh
karena obat ini tidak mempengaruhi pelepasan hormon tiroid, maka respons klinis
baru terjadi setelah hormon tiroid yang tersimpan dalam koloid habis terpakai. Jadi
waktu yang dibutuhkan untuk mencapai keadaan eutiroid tergantung dari jumlah
koloid yang terdapat didalam kelenjar tiroid. Pada umumnya perbaikan klinis sudah
dapat terlihat pada minggu pertama dan keadaan eutiroid baru tercapai setelah 4-6
minggu pengobatan. Propylthiouracil (PTU) dan metimazol telah banyak digunakan
pada wanita hamil hipertiroidisme. Namun PTU mempunyai banyak kelebihan
dibandingkan metimazol antara lain :
a) PTU dapat menghambat perubahan T4 menjadi T3 disamping menghambat sintesis
hormon tiroid.
b) PTU lebih sedikit melewati plasenta dibandingkan metimazol karena PTU
mempunyai ikatan protein yang kuat dan sukar larut dalam air.
Selain itu terdapat bukti bahwa metimazol dapat menimbulkan aplasia cutis pada
bayi. Oleh karena itu, PTU merupakan obat pilihan pada pengobatan hipertiroidisme
dalam kehamilan. Pada awal kehamilan sebelum terbentuknya plasenta, dosis PTU
dapat diberikan seperti pada keadaan tidak hamil, dimulai dari dosis 100 sampai 150
mg setiap 8 jam. Setelah keadaan terkontrol yang ditunjukkan dengan perbaikan klinis
dan penurunan kadar T4 serum, dosis hendaknya diturunkan sampai 50 mg 4 kali
sehari. Bila sudah tercapai keadaan eutiroid, dosis PTU diberikan 150 mg per hari dan
setelah 3 minggu diberikan 50 mg 2 kali sehari. Pemeriksaan kadar T4 serum
hendaknya dilakukan setiap bulan untuk memantau perjalanan penyakit dan respons
pengobatan. Pada trimester kedua dan ketiga, dosis PTU sebaiknya diturunkan
serendah mungkin. Dosis PTU dibawah 300 mg per hari diyakini tidak menimbulkan
gangguan faal tiroid neonatus. Bahkan hasil penelitian Cheron menunjukkan bahwa
dari 11 neonatus hanya 1 yang mengalami hipotiroidisme setelah pemberian 400 mg
PTU perhari pada ibu hamil hipertiroidisme. Namun keadaan hipertiroidisme maternal
ringan masih dapat ditolerir oleh janin daripada keadaan hipotiroidisme. Oleh karena
itu kadar T4 dan T3 serum hendaknya dipertahankan pada batas normal tertinggi.
Selama trimester ketiga dapat terjadi penurunan kadar TSAb secara spontan,
sehingga penurunan dosis PTU tidak menyebabkan eksaserbasi hipertiroidisme.
Bahkan pada kebanyakan pasien dapat terjadi remisi selama trimester ketiga, sehingga
kadang-kadang tidak diperlukan pemberian obat-obat anti tiroid. Namun Zakarija dan
McKenzie menyatakan bahwa walaupun terjadi penurunan kadar TSAb selama
trimester ketiga, hal ini masih dapat menimbulkan hipertiroidisme pada janin dan
neonatus. Oleh karena itu dianjurkan untuk tetap meneruskan pemberian PTU dosis
obat-obat
anti
tiroid
pada
masa
menyusui
dapat
pula
karena menyebabkan struma dan hipotiroidisme pada janin. Sebagai pengganti dapat
diberikan larutan Lugol 5 tetes 2 kali sehari, tapi tidak boleh lebih dari 1 minggu.
Tindakan operatif
Tiroidektomi subtotal pada wanita hamil sebaiknya ditunda sampai akhir
trimester pertama karena dikawatirkan akan meningkatkan risiko abortus spontan.
Lagipula tindakan operatif menimbulkan masalah tersendiri, antara lain :
a) Mempunyai risiko yang tinggi karena dapat terjadi komplikasi fatal akibat
pengaruh obat-obat anestesi baik terhadap ibu maupun janin.
b) Dapat terjadi komplikasi pembedahan berupa paralisis nervus laryngeus,
hipoparatiroidisme dan hipotiroidisme yang sukar diatasi.
c) Tindakan operatif dapat mencetuskan terjadinya krisis tiroid.
Pembedahan hanya dilakukan terhadap mereka yang hipersensitif terhadap obat-obat
anti tiroid atau bila obat-obat tersebut tidak efektif dalam mengontrol keadaan
hipertiroidisme serta apabila terjadi gangguan mekanik akibat penekanan struma.
Sebelum dilakukan tindakan operatif, keadaan hipertiroisme harus dikendalikan
terlebih dahulu dengan obat-obat anti tiroid untuk menghindari terjadinya krisis tiroid.
Setelah operasi, pasien hendaknya diawasi secara ketat terhadap kemungkinan
terjadinya hipotiroidisme. Bila ditemukan tanda-tanda hipotiroidisme, dianjurkan
untuk diberikan suplementasi hormon tiroid.
Simpulan :
1. Hipertiroidisme dalam kehamilan lebih sering disebabkan oleh penyakit Grave
yang merupakan penyakit otoimun.
2. Diagnosis hipertiroidisme dalam kehamilan secara klinis sulit ditegakkan, oleh
karena itu perlu dibantu dengan pemeriksaan laboratorium penunjang.
3. Pemeriksaan laboratorium yang paling ideal adalah pemeriksaan fT4I, karena tidak
dipengaruhi oleh proses kehamilan.
4. Prioritas penatalaksanaan hipertiroidisme dalam kehamilan adalah dengan
pemberian obat-obat anti tiroid dan PTU merupakan obat pilihan yang paling
aman.
5. Propranolol dan preparat yodida hanya diberikan sebagai tambahan pada keadaan
hiperdinamik dan hipermetabolik yang berat dan tidak boleh diberikan lebih dari 1
minggu.
6. Tindakan operatif hanya dilakukan pada keadaan-keadaan :
Obat
anti
tiroid
tidak
efektif
dalam
mengendalikan
keadaan
hipertiroidismenya
c. Terjadi gangguan mekanik akibat penekanan struma
7. Tindakan operatif sebaiknya ditunda sampai akhir trimester pertama.
8. Terapi dengan yodium radioaktif merupakan kontraindikasi pada wanita hamil
karena dapat menimbulkan hipotiroidisme permanen pada janin.
Daftar pustaka :
1. Cheron RG. Neonatal thyroid function after PTU therapy for maternal Graves
disease. N Engl J Med.1981;304:525-528.
2. Burrow GN, Fisher DA, Larsen PR. Maternal and fetal thyroid function. N Engl J
Med 1994;331:10728.
3. Glinoer D. The Regulation of Thyroid Function in Pregnancy: Pathways of
Endocrine Adaptation from Physiology to Pathology. Endocr Rev.1997;l8(3):404433.
4. Lazarus JH. Hyperthyroidism during pregnancy: etiology, diagnosis and
management. Womens Health 2005;1:97-104
5. Casey BM, Dashe JS, Wells CE, McIntire DD, Leveno KJ, Cunningham FG.
Subclinical
hyperthyroidism
and
pregnancy
outcomes.
Obstet
Gynecol
2006;107:337-41.
6. Glinoer D. Thyroid dysfunction in the pregnant patient. (Chapter 14.) In: Thyroid
disease manager.2007. www.thyroidmanager.org/Chapter14/14-frame.htm
Diposkan oleh Dr. Alwi Shahab,SpPD,K-EMD di 19.31
Label: INFORMASI KEDOKTERAN