FDF
FDF
FDF
Latar Belakang Program pelita VI ditegaskan bahwa program perbaikan gizi bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan sehingga berdampak pada perbaikan atau keadaan status gizi masyarakat oleh karena itu program
perbaikan memberikan prioritas pada penurunan prevalensi masalah gizi utama seperti Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Anemia Gizi besi dan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKY). (Kodyat, 19997) KVA merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia, meskipun KVA tingkat berat (Xeropthalmia) sudah jarang ditemui tapi KVA tingkat subklinis yaitu tingkat yang belum menampakkan gejala nyata masih menimpa masyarakat luas. KVA tingkat subklinis ini hanya dapat diketahui dengan pemeriksaan kadar vitamin A dalam darah yang erat kaitannya dengan tingkat penyakit infeksi dan kematian pada balita. (Depkes, 1995) Perhatian terhadap keadaan gizi anak sekolah sebagai upaya untuk mempersiapkan kualitas sumber daya manusia, melalui peningkatan proses perkembangan intelektual anak dapat diwujudkan dengan intake gizi yang tepat dan adekuat sehingga tumbuh kembang anak dapat berlangsung optimal. Sebaliknya kekurangan zat gizi seperti zat mikro dapat berakibat terhambatnya pertumbuhan organ vital, bahkan bisa menimbulkan cacat bawaan yang sulit diperbaiki. (Hadju, 1998) 1
Hasil survey tahun 1992 di 15 propinsi menunjukkan Indonesia telah berhasil menurunkan prevalensi KVA dari angka Xeropthalmia (1,3 % pada tahun 1978 menjadi 0,33 % pada tahun 1989) Tiga dari 15 propinsi yang di survei prevalensi Xeropthalmia masih menjadi masalah kesehatan (0,5 %) kriteria WHO) adalah SULSEL (2,9 %), MALUKU (0,8 %), SULUT (0,6 %). Dimana prevalensi yang tertinggi adalah 2,9 % pada SULSEL (WHO, 2003) Berdasarkan data yang diperoleh tahun 2004 dari Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu terdapat jumlah balita sebanyak 1835 dan yang mendapat kapsul vitamin A sebanyak 1060 atau 57,7% sedangkan target yang diharapkan yaitu 90%. Menurut keterangan dari petugas kesehatan setempat bahwa sebagian ibu yang balitanya tidak mendapatkan kapsul vitamin A disebabkan karena kurang mengetahui tentang pentingnya atau manfaat mengkonsumsi kapsul vitamin A. Dalam menanggulangi masalah KVA telah dilakukan program pemberian kapsul Vitamin A pada anak balita setiap bulan February dan Agustus pada ibu yang baru melahirkan. Untuk penanggulangan dalam jangka panjang dilakukan program peningkatan konsumsi makanan sumber Vitamin A alamiah (SUVITA) baik dari sayur-sayuran maupun buah-buahan. (Hadju, 1997). Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin mengetahui pengaruh pola konsumsi Suvita sayuran/hewani dan konsumsi kapsul vitamin A terhadap tingkat kecukupan vitamin A pada anak balita tersebut.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan pertanyaan apakah ada pengaruh konsumsi sayuran/hewani dan konsumsi kapsul vitamin A terhadap tingkat kecukupan vitamin A pada anak Balita. C. Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh pola konsumsi sumber vitamin A (Suvita) sayuran/hewani dan konsumsi kapsul vitamin A terhadap tingkat kecukupan vitamin A pada anak Balita. b. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui pengaruh konsumsi sumber vitamin A (SUVITA) sayuran dan hewani terhadap tingkat kecukupan vitamin A pada anak Balita 2. Untuk mengetahui pengaruh konsumsi kapsul vitamin A terhadap tingkat kecukupan vitamin Apada anak Balita D. Manfaat Penelitian 3. Merupakan masukan bagi instansi kesehatan terkait, baik program di instansi tingkat I maupun program lokal di daerah sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan-kebijakan dalam upaya penanggulangan masalah gizi kesehatan masyarakat.
4. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu bacaan yang dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan merupakan referensi bagi peneliti selanjutnya. 5. Penelitian adalah pengalaman berharga bagi peneliti sendiri dalam memperluas wawasan dan pengetahuan, khususnya di bidang gizi kesehatan masyarakat.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Vitamin A a. Bentuk dan Sifat Vitamin A Vitamin A adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan seluruh retinal yang mempunyai aktifitas biologi dari all-trans retinal. Vitamin A, suatu alkohol kristal yang berwarna kuning muda, dinamakan retinal berdasarkan fungsi spesifikasi dalam retina mata. Bentuk yang aktif secara biologi dari Vitamin A adalah berhubungan dengan aldehyde (retina) dan asam (asam retinoat) (krausess 1992 dalam Hadju, 1997) Vitamin A yang merupakan vitamin yang larut dalam lemak adalah istilah umum bagi beberapa campuran kimia yang sejenis. Campuran tersebut terdapat kalau bukan sebagai vitamin A dalam bentuk retinol, adalah sebagai provitamin dalam zat warna karotenoid tanaman. Oleh karena bahan tersebut dapat dirubah menjadi Vitamin A dalam tubuh, jumlah pendahuluan atau provitamin A dalam pangan dinyatakan sebagai nilai Vitamin A Sumber Vitamin A dapat diperoleh dalam dua bentuk yaitu preformed vitamin A atau retinal yang hanya terkandung dalam bahan makanan hewani serta merupakan Vitamin A yang aktif. Dan precusor Vitamin A atau Vitamin A yang dalam tubuh diubah menjadi Vitamin A aktif yang terkandung dalam bahan makanan nabati (Sedioetama, 1991).
Dalam bahan makanan terdapat Vitamin A dalam bentuk karoten sebagai ester dalam Vitamin A dan Vitamin A bebas. Keaktifan biologis karoten jauh lebih rendah dibandingkan dengan Vitamin A bagi masyarakat di negara yang sedang berkembang, maka absorpsi dan ketersediaan karoten perlu di ketahui. Dalam menentukan kadar Vitamin A di dalam bahan makanan perlu di pertimbangkan jumlah Vitamin A yang aktif (bukan provitamin). Perhitungan jumlah Vitamin A dalam diet umumnya digunakan istilah retinal equivalen (RE). Dimana 1 mg RE = 1 mg retinal (3,33 IU) atau 1 mg RE = 6 mg beta karoten (10 IU) (Wibowo, 1997). Sayuran dan buah-buahan yang berwarna hijau atau kuning biasanya banyak mengandung karoten , ada hubungan langsung antara derajat kehijauan sayuran dengan kadar karotennya, sedangkan daun-daunan yang pucat seperti selada dan kol miskin akan karoten (Winarno, 1999). Vitamin A umumnya tahan terhadap panas, asam dan basah. Namun sangat mudah rusak oleh udara apabila dipanaskan pada suhu tinggi dengan udara, sinar dan lemak atau minyak yang sudah tengik (Wibowo, 1999) b. Metabolisme Vitamin A Didalam saluran percernaan, ester Vitamin A dihidrolisa dan retinal yang terbebas diserap dengan proses penyerapan aktif melalui epitel dinding saluran usus halus. Provitamin A diserap sambil di ubah menjadi Vitamin A dalam sel epitel usus. Untuk menghidrolisa ester Vitamin A, 6
diperlukan enzim 5,5 hidrolise. Enzim ini terutama terdapat dalam sel epitel mukosa usus sel hati. Untuk penyerapan karoten diperlukan adanya empedu sedangkan empedu tidak esensil bagi penyerapan preformed Vitamin A. Tapi adanya empedu meningkatkan penyerapan preformed Vitamin A. Setelah diabsorpsi, Vitamin A dijadikan ester kembali dan ditransfer oleh khylomikro melalui ductus thoracicus, masuk kelairan darah. Vitamin A kemudian ditangkap oleh sel-sel parenkim hati. Sebagian Vitamin A disimpan di sel hati dan sebagian lagi dihidrolisa menjadi Retinol dan dikonjugasikan dengan PR BP (Plasma Retinol Binding protein), dan dikeluarkan lagi dari sel. c. Sumber-sumber Vitamin A Vitamin A tidak dapat disintesa dalam tubuh. Vitamin A biasanya didapatkan dari makanan sehari-hari sebagai Vitamin A (Preform Vitamin A), atau sebagai karoten. (Pro Vitamin A) atau campuran dari keduanya. Sumber-sumber Vitamin A dalam makanan terdiri dari : 1. Nabati Pro Vitamin A biasanya dalam bentuk beta-karoten ditemukan dalam pangan seperti jagung kuning, wortel, labu semangka tomat, sayuran berdaun hijau tua, beberapa jenis ceri dan berbagai buah yang dagingnya berwarna kuning dan jingga. Beberapa buah yang terdapat di Asia Tenggara yang menyediakan Vitamin A adalah apricot, mangga, pepaya dan persinion. Sayuran berdaun hijau tua merupakan
sumber Vitamin A yang lebih baik dari pada sayuran yang berwarna muda (Suhardjo dkk, 1995). Pada sayuran hijau yang berwarna tua, warna kuning atau jingga pigmen karotenoid tidak dapat dilihat karena pigmen tersebut diliputi hijau daun pada tanaman tersebut. Daun hijau tua dari banyak tanaman yang biasanya tidak dimakan teratur seperti akar dan buahnya, merupakan sumber yang kaya akan nilai Vitamin A. Penggunaan lebih banyak daun yang empuk seperti daun singkong, kacang polong, labu, semangka, ubi jalar dan daun pepaya harus digalakkan. 2. Hewani Dalam bahan makana hewani sumber Vitamin A biasanya terdapat dalam bentuk retinal seperti susu, mentega, keju, kuning telur, dan hati berbagai jenis ikan yang tinggi kandungan lemaknya. Lemak binatang dan lemak jenuh mempunyai kemampuan lebih besar untuk melarutkan Vitamin A dari pada lemak tidak jenuh atau lemak nabati. 3. Makanan Hasil Fortifikasi Sumber Vitamin A dari hasil fortifikasi adalah margarine, susu kental manis, susu bubuk, makanan bayi (bubur), mie instant seperti indomie sakura dan cheetos.
d. Fungsi Vitamin A Fungsi Vitamin A dalam tubuh mencakup tiga golongan besar yaitu proses melihat, metabolisme umum dan proses reproduksi. Selain itu, Vitamin A juga menaikkan daya tahan tubuh terjadi karena kadar
Vitamin A yang cukup dan serum darah dan meningkatkan respon tubuh untuk memproduksi sel darah putih yang berfungsi dalam sintesa pertahanan tubuh khususnya untuk melawan penyakit infeksi
(Sediaoetama, 1997). e. Interaksi dengan Zat Gizi lain Walaupun peran Vitamin A terhadap metabolisme iron belum jelas, kekurangan Vitamin A pada akhirnya akan mengakibatkan anemia yang dapat dikoreksi dengan supplement Vitamin A, iron rendah. Konsentrasi dari hemoglobin sudah terlihat meningkat pada mereka yang menerima suplementasi Vitamin A dengan monosodium glutamat (MSG) (Krausess 1992 dalam Hadju 1997). Protein berfungsi sebagai antibody dan sistem kekebalan tubuh. Dalam bentuk lipoprotein, protein berpartisipasi dalam transportasi trigliserida, kolesterol, phospholipid dan Vitamin yang larut dalam lemak. Kurangnya asupan energi dan protein pada anak yang sering kali diperberat oleh proses infeksi dan kekurangan gizi lainnya seperti kekurangan Vitamin A dapat menyebabkan kurang kalori protein (KKP). KKP yang berat dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan sebagai akibat dari malnutrisi dan kematian oleh infeksi (Hadju, 1997). 9
Lemak membantu pengangkutan dan absorpsi dari vitamin yang larut lemak termasuk Vitamin A. Makanan yang kaya lemak seperti susu, daging, mentega, keju banyak mengandung Vitamin A. Lemak akan menekan pengeluaran cairan lambung dna memperlambat pengosonan lambung dari makanan. Lemak menambah rasa enak pada makanan dan memproduksi rasa kenyang setelah makan (Hadju, 1997) f. Epidemiology Defisiensi Vitamin A Defisiensi Vitamin A terjadi karena berkurangnya usapan makana yang kaya akan Vitamin A ke dalam tubuh. Difisiensi Vitamin A di dukung oleh penyakit infeksi yang menyebabkan cepat berkurangnya Vitamin A yang tersimpan dalam hati. Pada anak-anak dengan konsumsi yang rendah, infeksi dapat mempercepat terjadinya kekurangan Vitamin A yang ringan (Krausess 1992 dalam Hadju, 1997). Defisiensi Vitamin A dapat di derita oleh semua orang, tetapi golongan yang rawan menderita KVA adalah ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-anak umur 6 bulan sampai dengan 5 tahun (HKI, 1995). Penyakit infeksi yang sering menyerang anak-anak seperti campak, diare, dan ISPA dapat mendukung terjadinya kekurangan Vitamin A. g. Defisiensi Vitamin A Defisiensi Vitamin A diagnosa berdasarkan kadar Vitamin A dalam darah, gejala-gejala xeropthalmia dan anamnesa konsumsi makanan serta kelainan kulit, sukar melihat dalam cahaya yang remang remang (redup) seperti pada senja atau malam hari atau terjadi bercak putih seperti busah 10
sabun pada bagian putih mata. Akan tetapi seorang anak mungkin tidak menunjukkan tanda tanda tersebut, sampai tiba tiba muncul tanda tanda yang nyata, sesudah kekurangannya menjadi sangat berat. Kadar Vitamin A dalam darah pada orang normal adalah 30 uq/dl atau lebih. Kadar 20-30 uq/dl masih dapat diterima meskipun pada tingkat yang dianggap rendah yang mempunyai resiko yang lebih berat untuk timbulnya gejala-gejala defesiensi. Kadar 10-20 uq/dl sudah dianggap avitaminosis yang biasanya disertai gejala-gejala klinis seperti gejala xeropthalmia dan gejala kulit (Sedioetama, 1987). Faktor-faktor penyebab defesiensi Vitamin A adalah multiple, yang disebabkan oleh berbagai faktor penyebab yang dapat dilihat pada bagan berikut :
11
Hygiene kurang
Pekerjaan Sulit
Kebiasaan makan salah Konsumsi Vitamin A dan karoten Absorbsi dan utilities terhambat Defesiensi Vitamin A
Gejala pada mata yang berhubungan dengan defesiensi Vitamin A disebut xeropthalmia dan menurut WHO (1992) disebut kriteria kelainan tersebut menjadi beberapa keadaan yaitu : Buta senja (XN) Barcak bitot (X1B) Kekeringan pada kornea (X2) Ulkus pada kornea < 1/3 permukaan (X3B) Jaringan parut pada kornea (XS) Xeropthalmia fudus (XF) 12
Defesiensi Vitamin A dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat apabila dalam suatu daerah terdapat criteria sebagai berikut: 1. X1B 0,5 % dari populasi yang mempunyai risiko 2. X2 + X3 + X3 0,01 % dari populasi yang mempunyai risiko 3. XS 0,1 % dari populasi yang mempunyai risiko 4. XN 1 % dari populasi yang mempunyai risiko 5. Serum Vitamin A < 10 uq/dl sebanyak 5 % dari populasi yang mempunyai risiko. (WHO, 2003) Defesiensi Vitamin A sering disertai kondisi-kondisi seperti campak, diare, kurang energi protein (KEP), infeksi saluran pernafasan (ISPA) dan investasi parasit yang mempercepat menurunkan status gizi. Gejala lainnya dari kekurangan Vitamin A adalah kurangnya nafsu makan, terlambatnya pertumbuhan, kelainan tulang, karatnisasi serta hilangnya rasa pengecapan (Krausess 1992, dalam Hadju 1997) B. Tinjauan Umum Tentang Konsumsi SUVITA Sayuran / Hewani Program penanggulangan masalah KVA yang paling diprioritaskan adalah konsumsi makanan yang kaya akan vitamin A alamiah yang berasal dari sayur-sayuran dan buah-buahan sebagai sumber nabati dan makanan hewani seperti lemak, susu, hati, mentega, telur dan sebagainya. Pada umumnya sayuran hijau sebagai sumber provitamin A lebih murah disbanding dengan buah-buahan yang berwarna. Tambahan pula banyak
13
sayuran yang tidak merupakan makanan musiman sedangkan buah tersedia musiman dan tidak sepanjang tahun (Sediaoetama, 1987). Pola konsumsi adalah susunan makanan yang dikonsumsi setiap hari untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Husaeni, MA). Konsumsi makanan adalah jumlah total dari makanan yang tersedia untuk dikonsumsi (Hadju, 1997). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh HKI, separuh Balita Indonesia tidak cukup mengkonsumsi vitamin A dari makanan sehari-hari. Padahal kekurangan vitamin A bisa menurunkan kekebalan tubuh terhadap masuknya penyakit. Pada penelitian status vitamin A awal anak kohort di Purwakarta ditemukan prevalensi KVA dari 250 anak yang mengkonsumsi sayuran terdapat 224 anak tidak KVA dan 16 anak KVA (Trawotjo, 1990). Pada penelitian yang dilakukan oleh Noor (1998) mengenai penilaian kembali pengaruh sayuran terhadap status vitamin A ibu-ibu di Jawa Tengah dengan cara menanyakan konsumsi makanan 24 jam terakhir pada ibu. Untuk perbandingan dengan anjuran konsumsi pangan hewani sebesar 15 gr/kapital/hari bahwa rata-rata konsumsi protein hewani penduduk di 15 propinsi masih kurang dari anjuran (Martianto, 1990). Proporsi Rumah Tangga yang mengkonsumsi pangan hewani (ikan dan hasil ternak) meningkat seiring dengan meningkatkanya pendapatan. Disbanding wilayah desa, proporsi rumah tangga kota yang mengkonsumsi
14
pangan hewani relatif lebih tinggi. Pangan hewani umumnya bersifat komplementer dengan pangan lain terutama beras dan kacang-kacangan. Rendahnya intake merupakan salah satu masalah yang dihadapi
sehubungan dengan KVA. Hal ini dapat terjadi karena vitamin A dapat diserap tubuh harus disertai konsumsi lemak, karena vitamin A dalam lemak. Lemak tersebut tidak berarti daging bisa juga dalam santan atau minyak
goreng (muhilal, 1992). Tingkat konfersi menjadi retinol sebahagian tergantung pada hormone tiroid Zn, Fe, status vitamin E. Vitamin A dalam hamper semua bahan makanan nabati dan sayuran berada dalam bentuk pro vitamin A. Hendaknya diperhatikan bahwa status vitamin A sangan tergantung pada kecukupan konsumsi protein dan energi. Banyaknya retinol binding protein dalam plasma malahan sudah digunakan sebagai indicator mall nutrisi protein kalori dan sintetisnya RBP tergantung pada Zn. Vitamin A dalam serum akan menurun selama ada penyakit infeksi terutama kalau diiringi dengan demam.
C. Tinjauan
Umum
Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas dan kuantitas hidangan. Kalau konsumsi baik kualitasnya dan dalam jumlah melebihi kebutuhan tubuh dinamakan konsumsi berlebih. Sebaliknya konsumsi yang kurang, baik kualitas maupun kuantitasnya disebut konsumsi kurang (Sediaeotama, 1987). Untuk menilai mutu makanan bisa dilakukan secara kuantitatif, kualitatif atau kombinasi keduanya. Secara kuantitatif dikerjakan dengan menghitung nilai gizi makanan yang dikonsumsi (WHO, 1977) dalam sehari atau lebih, kemudian disbanding-kan dengan standart kecukupan. Cara ini bisa dikerjakan dilaboratorium dan banyak makan waktu. Sedangkan cara kualitatif dikerjakan dengan membandingkan konsumsi makanan golongan sasaran yang spesifik dengan standart kecukupan yang dianjurkan pada jumlah gizi yang senilai (Roedjito, 1989). Konsumsi vitamin A yang cukup adalah penting guna menyediakan vitamin A untuk keperluan jaringan-jaringan badan, sehingga menyebabkan kegiatan metabolisme dan fungsi-fungsi jaringan berjalan normal. Para ahli telah mengembangkan suatu rekomendasi jumlah zat-zat gizi termasuk vitamin A yang dianggap cukup untuk mempertahankan kesehatan yang disebut dengan istilah RDA (Recommended Allowanced) atau diindonesiakan menjadi K3G (Kecukupan konsumsi kalori dan zat-zat gizi). Untuk menanggulangi kekurangan vitamin A, maka Depkes dan HKI mengadakan program pemberian kapsul vitamin A bagi anak usia 6-59 bulan di Indonesia. Vitamin A dosis tinggi diberikan pada balita dan ibu nifas. Pada balita diberikan dua kali setahun, setiap bulan Februari dan Agustus dengan 16
dosis 100.000 IU untuk anak 6-12 bulan dan 200.000 IU untuk anak 12-59 bulan. (www. Sinar harapan.com,2005). Berdasarkan SK MENKES RI, 16 April 1994, maka kecukupan vitamin A yang dianjurkan (orang/hari) dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel2 Kecukupan Vitamin A yang dianjurkan (Orang/hari) Golongan umur 0 6 bulan 7 12 bulan 1 3 bulan 4 6 bulan 7 9 bulan Pria 10 12 tahun 13 15 tahun 16 19 tahun 20 59 tahun 60 tahun Wanita 10 12 tahun 13 15 tahun 16 19 tahun 20 59 tahun 60 tahun Hamil Menyusui 0 6 bulan 7 12 bulan Vitamin A (RE) 350 350 350 350 407 450 600 600 600 600 500 500 500 500 +200 +350 +300
17
D. Tinjauan umum tentang konsumsi zat gizi 1. Konsumsi energi Kandungan energi makanan ditentukan dengan kalorimetri langsung dengan alat kalorimeter. Tidak semua energi yang tersedia dalam makanan dapat dimanfaatkan tubuh. Kebutuhan energi seseorang menurut FAO/ WHO adalah konsumsi energi dari makanan yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi seseorang bila ia mempunyai ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat aktivitas yang sesuai dengan kesehatan jangka panjang. 18
Energi terbesar yang bersumber dari KH, jadi metabolisme energi bisa dikatakan meyerupai metabolisme karbohidrat . Kekurangan energi terjadi bila konsumsi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi negatif. Akibatnya berat badan kurang dari berat badan seharusnya (ideal). Kelebihan energi ini terjadi bila konsumsi energi melalui makanan melebihi energi yang dikeluarkan. Kelebihan energi ini akan diubah menjadi lemak tubuh. Akibatnya, terjadi berat badan lebih atau kegemukan. 2. Konsumsi protein Konsumsi protein merupakan suatu zat yang sangat penting bagi
tubuh. Karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan zat pengatur. Mutu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang dikandungnya. Protein komplet atau protein dengan nilai biologi tinggi atau bermutu tinggi adalah protein yang mengadung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk kerperluan pertumbuhan (Alamsiar S,2003) Protein dalam darah mempunyai peranan fisiologis yang penting bagi tubuh antara lain : untuk transport zat-zat gizi tertentu dan sebagai cadangan protein tubuh (Nyoman I,dkk,2002) Pencernaan atau hidrolisa protein dimulai dalam lambung. Asam korida lambung membuka gulungan protein (proses denaturasi),sehingga enzim pencernaan dapat memecah ikatan peptida. Karena makanan hanya sebentar tinggal didalam lambung, pencernaan protein hanya terjadi hingga dibentuknya 19
campuran polipeptida, proteose dan pepton. Pencernaan protein selanjutnya di dalam usus halus oleh campuran enzim protease. Metabolisme protein dimulai setelah protein dipecah menjadi asam amino. Asam amino akan memasuki siklsus TCA bila dibutuhkan sebagai sumber energi. Berbeda dengan lemak, protein merupakan sumber glukosa bila karbohidrat tidak mencukupi. Jadi protein dalam jumlah berlebihan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh dapat diubah menjadi lenak tubuh dan dapat menyebabkan kegemukan. 3. Konsumsi Lemak Lemak merupakan sumber zat tenaga kedua setelah karbohidrat,lemak dapat membantu absorbsi vitamin yang larut dalam lemak. Yaitu salah satunya vitamin A. Kekurangan asam lemak tubuh dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan pada bayi dan anak-anak. Bila memakan makanan seimbang temasuk sayur, minyak tumbuh-tumbuhan dan ikan, tidak akan terjadi kekurangan asam lemak esensial . Ada tiga bentuk utama lemak yang didapatkan dalam diet mamalia dan
manusia lainnya: (1). Trigliserida (2). Fosfolipida (3). Steral, terutama kolesterol . Sebagian besar pencernaan trigliserida tejadi dalam usus halus. Enzim utama yang beperan dalam pencernaan lemak adalah lipase. Lipase sebagian besar dibentuk oleh pankreas dan selebihnya oleh dinding usus halus. Hampir separuh dari trigliserida berasal dari makanan dihidrolisa secara sempurna oleh enzim ini menjadi asam lemak dan gliserol. 20
Fosfolipida dicernakan oleh enzim fosfolipase yang dikeluarkan oleh pankreas dangan cara yang sama. Hasil pencernaan adalah asam lemak dan lisofossogliserida. Simpanan lemak dalam tubuh terutama dilakukan dalam sel lemak dalam jaringan adipos. Sel-sel adipos menyimpan lemak setelah makan bilamana kilomikron dan VLDL yang mengandung lemak melewati sel-sel tersebut. Tubuh mempunyai kapasitas tak terhingga dala menyimpan lemak. Namun ,lemak tidak sepenuhnya dapat menggantikan karbohidrat sebagi sumber energi otak , system saraf, dan sel darah merah membutuhkan glukosa sebagai sunber energi. 4. Konsumsi Zn Seng memegang peranan esensial dalam banyak fungsi tubuh sebagai bagian dari enzim atau sebagai kofaktor pada kegiatan lebih dari dua ratus enzim, seng berperan dalam berbagai aspek metabolisme seperti reaksi-reaksi yang berkaitan dengan sintesis dan degradasi, karbohidrat , protein, lipida dan asam nukleat. Enzim yang sama berperan dalam pengeluaran ammonia dan dalam produksi hidroklorida yang diperlukan untuk pencernaan. Seng juga dihubungkan dengan hormon insulin yang dibentuk dalam pankreas, walaupun tidak berperan langsung terhadap kegiatan insulin. Peran penting lain adalah sebagai bagian integral enzim DNA polimerase dan RNA
polimerase yang diperlukan dalam sintesis DNA dan RNA. Dengan demikian, seng berperan dalam pembentukan kulit, metabolisme jaringan ikat dan penyambuhan luka. 5. Konsumsi Fe 21
Fe merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia dan hewan , kebutuhan Fe dianjurkan untuk dikonsumsi agar terhindar dari kemungkinan anemia defisiensi besi. Pencernaan Fe dan Zn hampir menyerupai, absorbsi membutuhkan alat angkut dan terjadi dibagian atas usus halus (duodenum). Ada dua jenis alat angkut protein didalam sel mukosa usus halus yang membantu penyerapan besi yaitu transferin dan feripin. Kekurangan besi pertama dapat dilihat pada tingkat kejenuhan transferin. Dari simpanan besi hngga 50 mg sehari dapat dimobilisasi untuk keperluan tubuh seperti pembentukan hemoglobin. Fertin yang bersirkulasi didalam darah mencerminkan simpanan besi didalam tubuh. Pengukuran feritin didalam serum merupakan indikator penting untuk menilai status besi. Factorfactor yang mempengaruhi absorbsi besi (Fe) adalah salah satunya bentuk besi di dalam makanan berpengaruh terhadap penyerapannya dan tingkat keasaman lambung meningkatkan daya larut besi. 6. Konsumsi vitamin E Vitamin E merupakan antioksidan yang utama dalam lemak dan minyak yang dapat mencegah ketengikan. Vitamin E diserap sehubungan dengan asam lemak dan gliserida, seperti halnya vitamin larut lemak lainnya ,penyerapannya membutuhkan lemak dalam diet dan aktivitas asam empedu. Adapun fungsi yang paling nyata dari vitamin E adalah antioksidan dan anti-free radical, terutama untuk asam lemak tidak jenuh pada fosfolipid 22
dalam membran sel (Mc. Linder ,1985). Vitamin E dapat melindungi vitamin A dan karoten terhadap kerusakan oleh oksidasi. Kekurangan vitamin E dapat dilihat dengan tanda-tanda gangguan dan refleksi otot. E.Tinjauan Umum Tentang Anak Balita Anak balita adalah anak-anak dibawah 5 tahun merupakan kelompok umur yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat sehingga
memerlukan zat-zat gizi yang lebih tinggi setiap kilogram Bbnya. (Hardiansyah,1992) Pada usia 0 1 tahun, kebutuhan belum beraneka ragam, tetapi kebutuhannya perlu segera dipenuhi, sebab bila tidak ia akan memperlihatkan ketidaksenangannya dengan menangis atau dengan gerakan tidak teratur. Namun lamban laun ia belajar membedakan yang satu dengan yang lain. (Ilmu Kesehatan Anak, 1998) Memasuki tahun kedua, secara perlahan anak mulai bisa mengenal lingkungan secara luas. Pada usia ini anak sudah bisa diajarkan gerakangerakan motorik ringan seperti berjalan mundur, menangkap bola, menendang dan lain-lain. (Depkes RI, 1993) Pada tahun ke 3 anak masih tergantung kepada bantuan orang dewasa guna mencukupi kebutuhan vitalnya, namun sifat ketergantungan ini sudah berkurang sedangkan kemampuan berdiri sendiri bertambah cepat. (Sabri, 1993) Pada usia 4 5 tahun anak mampu untuk melakukan kegiatan seharihari untuk dirinya sendiri, mempunyai rasa percaya diri, keberanian sehingga 23
tidak terlalu merepotkan orang lain misalnya memakai dan mengikat tali sepatu. F.Tinjauan Umum Tentang Kapsul Vitamin A Justifikasi suplementasi kapsul vitamin A dosis tinggi (retinal) adalah adanya kenyataan bahwa lemak dapat disimpan dalam tubuh utamanya di hati. Dengan demikian, rendahnya asupan vitamin A dan meningkatkan kebutuhan akan vitamin A dapat diimbangi dengan pemberian suplementasi. Vitamin A dosis tinggi ditujukan pada anak prasekolah, ibu menyusui dan populasi resiko tinggi. Dosis vitamin A yang diberikan harus cukup besar untuk memproteksi namun tidak boleh berlebihan untuk mencegah efek samping. Dosis sebesar 200.000 IU (kurang lebih 60.000 mg) vitamin A untuk anak di atas 1 tahun dapat melindungi anak selama 4-6 bulan dari KVA. Pengalaman menunjukkan bahwa pemberian dosis tinggi ini berjalan dengan aman dan efektif serta tidak memberikan efek samping yang berarti. Efek samping yang dapat terjadi seperti buldging fontanel dan muntah hanya terjadi ringan dan sesaat saja dan juga tidak membutuhkan penanganan. Seluruh ibu yang baru melahirkan juga harus diberikan kapsul dosis tinggi ini dalam waktu 8 minggu setelah melahirkan. Kapsul ini sebaiknya diberikan secepat mungkin setelah melahirkan, oleh karena akan berefek pada kandungan vitamin A pada ASI (Stoltzfus, 1993). Juga pemberian tampaknya memberikan manfaat kepada ibunya sendiri (West et al., 1997). Bayi dan anak yang mengalami infeksi yang berat seperti diare, campak, ISPA dan
24
chickenpox atau mereka yang menderita KEP berat mempunyai risiko tinggi KVA. Mereka harus memperoleh kapsul vitamin A dosis tinggi. Status vitamin A yang adekuat pada ibu akan memberikan perlindungan yang paling aman terhadap terjadinya kekurangan atau kelebihan vitamin A yang berat pada ibu, janin dalam kandungan, dan bayi yang dilahirkan. Pada pola konsumsi normal dimana asupan vitamin A sangat rendah maka dianjurkan agar ibu hamil memperoleh asupan vitamin A sebesar 10.000 IU setiap hari atau 25.000 IU setiap minggu dari diet atau supplement atau keduanya. Dosis yang disebut fisiologi ini mempunyai kelebihan disbanding dengan pemberian dosis tinggi. Studi di Nepal (West et al., 1997) memperlihatkan adanya dampak pemberian vitamin A atau betakaroten secara terpisah terhadap kematian ibu. Hal ini memberikan gambaran bahwa bentuk suplemen adalah relevan. Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan penanggulangan
kekurangan vitamin A, dilakukan kegiatan SOMAVITA (Social Marketing Vitamin A) berupa kampanye peningkatan cakupan penggunaan kapsul vitamin A, dan peningkatan konsumsi makanan kaya vitamin A. Satu kapsul vitamin A yang diberikan setiap enam bulan kepada anak usia mulai 1 tahun hingga 5 tahun, ditambah dengan pemberian makanan yang mengandung vitamin A setiap hari akan menjamin kecukupan vitamin A pada anak balita. Pada Social Marketing Vitamin A, yang ditekankan adalah memberikan motivasi agar orang tua mau melakukan apa yang dianjurkan melalui pesan yang menyentuh hati. 25
26
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan deskriptif untuk memperoleh Informasi tentang kecukupan konsumsi Vitamin A pada anak Balita dengan melihat pola konsumsi SUVITA sayuran/hewani dan cakupan kapsul vitamin A.
B. Populasi Dan Sampel 1. Populasi : Seluruh anak usia Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu. 2. Sampel : Seluruh anak usia Balita yang ada di kelurahan Pagar Dewa Bengkulu yang berada di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu. Besarnya sampel dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut : N. Z2. p . q n= d2. (N-1) + Z2 . p . q Dimana : n N = besar sampel = besar populasi (jumlah balita di kelurahan Pagar Dewa Bengkulu) p = Proporsi sifat tertentu yang diperkirakan terjadinya dalam Populasi (bila tidak diketahui ditetapkan sebesar 0,5) 27
q Z d2
= I p = 0,5 = Standar deviasi normal, digunakan 1,96 = Tingkat kemaknaan digunakan 0,05
Besar sampel (n) untuk kelurahan Pagar Dewa Bengkulu yaitu : 1835 balita x (1.962). . 0.5. 0.5 n n = 0.5 (1835 1) + (1.962). 0.5. 0.5 = 74 sampel
C. Teknik Pengumpulan Data 1. Data Primer Data tentang konsumsi makanan di peroleh dengan menggunakan formulir 24 jam recall,formulir Food Frekuensi,dan checklist untuk mendapat kapsul vitamin A Penilaian food recall 24 jam 1) Subjek diminta mengingat seluruh makanan yang dikonsumsi sebelumnya. 2) Pewawancara mencatat semua makanan yang dikonsumsi Subjek termasuk nama dagang, cara pengolahan dan ukurannya. 3) Untuk membantu subjek mengingat jumlah makanan yang
dikonsumsi maka digunakan Food Model 4) Hasil pengukuran diubah ke gram sebelum peneliti menghitung intake zat gizi 28
Penilaian Food Frekuensi : Diperoleh melalui wawancara langsung terhadap ibu balita dengan instrumen penelitian berupa formulir food frekuensi yang berisi jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi anak selama satu minggu terakhir dengan alternatif jawaban yang tersedia berupa kategori (terlampir) Checklist untuk mendapat kapsul vitamin A. - Responden diminta menjawab pertanyaan yang tertera di kuisioner penelitian dengan memlih jawaban ya atau tidak. - Checlist ini digunakan untuk melihat berapa jumlah balita yang telah mendapatkan kapsul vitamin A. 2. Data Sekunder Diperoleh dari Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Jumlah Balita Balita yang mendapat kapsul vitamin A
D. Instrumen Penelitian Checklist untuk mendapat kapsul vitamin A. Formulir 24 jam recall Food frequensi
E. Pengolahan Data Analisa Data 1. Data diolah secara elektronik dengan komputer program Epi, Info, SPSS dan W. Food 29
W. Food program digunakan untuk menghitung kandungan zat gizi (Vitamin A) dalam makanan dan minuman dari hasil recall 2. Analisa Data Analisa data mengenai konsumsi SUVITA sayuran/hewani digunakan metode VASQ
30
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskemas Pagar Dewa Bengkulu dengan periode pengumpulan data mulai 21 Nopember 2005 05 Desember 2005. Jumlah responden yang terpilih adalah 74 orang. Hasil selengkapnya dari penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel dan narasi sebgai berikut : 1. Karakteristik Responden c. Jenis Kelamin Tabel 5.1 Distribusi Balita berdasarkan jenis kelamin Diwilayah kerja Puskesmas Rappokaling Makassar 2005 Jenis Kelamin Laki Laki Perempuan TOTAL Sumber : Data Primer Pada Tabel 5.1 menunjukkan bahwa dari 74 balita terdapat jenis kelamin yang terbanyak yaitu perempuan sebanyak 41 (55,4 %) dibandingkan dengan laki laki sebanyak 33 (44,6 %). Jumlah 33 41 74 Persen 44,6 55,4 100
31
b. Umur Tabel 5.2 Distribusi balita berdasarkan klasifikasi umur Di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005 Klasifkasi umur 1 tahun 2 tahun 3 tahun 4 tahun Total Jumlah 1 23 19 21 74 Persen 14,9 31,1 25,7 28,4 100
Pada tabel 5.2 menunjukan bahwa dari 74 balita terdapat klasifikasi umur terbanyak yaitu umur 2 tahun sebanyak 23 (31,1%) dan klasifikasi umur terendah yaitu umur 1 tahun sebanyak 11 (14,9%).
Diwilayah kerja Puskesmas Rappokaling Makassar 2005 Pekerjaan PNS Pegawai Swasta Sopir Tukang Becak Tidak Bekerja Tukang Batu Wiraswasta Penjual Ikan TOTAL Sumber : Data Primer Tabel 5.2 Menunjukkan bahwa kepala RT bekerja sebagai Sopir yakni 36 (48,6 %), sedangkan yang paling sedikit yaitu tukang batu, wiraswasta, penjual ikan yakni sebanyak 2 (2,7 %) dan ada kepala RT yang tidak bekerja yakni 1 (1,4 %) di wilayah Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu. Jumlah 4 11 36 16 1 2 2 2 74 Persen 5,4 14,9 48,6 21,6 1,4 2,7 2,7 2,7 100
Distribusi Responden Berdasarkan pekerjaan Ibu RT Diwilayah kerja Puskesmas Rappokaling Makassar 2005 Pekerjaan IRT Wiraswasta Tukang Cuci TOTAL Sumber : Data Primer Pada Tabel 5.3 menunujukkan bahwa pada umumnya Ibu bekerja sebagai IRT sebanyak 67 (90,5 %), sedangkan jenis pekerjaan yang paling sedikit adalah wiraswasta sebanyak 3 (4,1 %). Jumlah 67 3 4 74 Persen 90,5 4,1 5,4 100
Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu Rumah Tangga Diwilayah kerja Puskesmas Rappokaling Makassar 2005 Pendidikan SD SLTP SMA TOTAL Sumber : Data Primer Pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa persentase pendidikan Ibu RT yang tertinggi adalah SLTP yaitu 36 (48,6 %) dan terendah adalah SD yaitu 10 (13,5 %) Jumlah 10 36 28 74 Persen 13,5 48,6 37,5 100
f. Membeli Sayur 35
Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Tempat Membeli Sayur Diwilayah kerja Puskesmas Rappokaling Makassar 2005 Membeli Sayur Pasar Penjual yang lewat Warung TOTAL Sumber : Data Primer Pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita membeli sayuran di pasar sebanyak 41 (55,4 %) dan yang paling sedikit membeli sayuran adalah di warung/ kios yakni sebanyak 14 (18,9%) Jumlah 41 19 14 74 Persen 55,4 25,7 18,9 100
a.
Menerima kapsul vitamin A Tabel 5.7 Distribusi balita yang penah dan tidaknya menerima kapsul vitamin dengan tingkat kecukupan vitamin A Di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005
Total % N %
60 5 65
9 0 9
13,0 0 12,2
69 5 74
Tabel 5.7 menunjukan bahwa dari 69 balita yang menerima kapsul vitamin A dengan tingkat kecukupan vitamin A cukup 60 (87,0%) dan kurang 9(13,0%) sedangkan dari 5 balita yang tidak menerima kapsul vitamin A dengan tingkat kecukupan vitamin A cukup 5 (100%) dan kurang 0 (0%).
b.
Menerima kapsul vitamin A setiap bulan Februari dan Agustus Tabel 5.8 Distribusi balita berdasarkan yang pernah dan tidaknya menerima kapsul 37
Vitamin A setiap bulan Februari dan Agustus Di wilayah kerja Puskesmas Rapokalling Makassar 2005 Menerima kapsul Februari dan Agustus Ya Tidak Total
Sumber:data primer
Total %
54 6 60
8 1 9
62 7 69
Tabel 5.8 menunjukan bahwa dari 69 balita yang menerima kapsul vitamin A setiap bulan Februari dan Agustus dengan tingkat kecukupan vitamin A cukup sebanyak 54(87,1%) dan kurang 8 (12,9%) sedangkan dari 7 balita yang tidak menerima kapsul vitamin A setiap bulan Februari dan Agustus dengan tingkat kecukupan vitamin A cukup 6 (85,7%) dan kurang (14,3%).
C. Menerima kapsul vitamin A biru Tabel 5.9 Distribusi balita berdasarkan yang pernah dan tidaknya menerima kapsul Vitamin biru dengan tingkat kecukupan vitamin A Di daerah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar .2005 38
Total N %
31 29 60
3 6 9
34 35 69
Tabel 5.9 menunjukkan bahwa dari 34 balita yang menerima kapsul vitamin warna biru dengan tingkat kecukupan vitamin A cukup 31 (91,2%) dan kurang 3 (8,8%) sedangkan yang tidak menerima kapsul vitamin A biru dengan tingkat kecukupan vitamin A cukup 29 (86,9%) dan kurang 9(13,1%)
d. menerima kasul vitamin A merah Tabel 5.9 Distribusi balita yang pernah dan tidaknya menerima kapsul vitamin A biru dengan tigkat kecukupan vitamin A Di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005 Tingkat kecukupan vitamin A 39 Total
Cukup
Kurang
55 5 60
6 3 9
61 8 69
Tabel 5.10 menunjukan bahwa dari 61 balita yang menerima kapsul vitamin A merah dengan tingkat kecukupan vitamin A cukup 55(90,2%) dan kurang 6(9,8%) sedangkan dari 8 balita yang menerima kapsul vitamin A merah dengan tingkat kecukupan vitamin A cukup 5(62,5%) dan kurang 3 (37,5%)
3a. menerima kapsul vitamin A berdasarkan klasifikasi umur Tabel 5.11 Distribusi balita yang pernah tidaknya menerima kapsul vitamin A berdasarkan kelompok umur Di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005 Klasifikasi umur 1 tahun 2 tahun 40 3 tahun 4 tahun N Total %
10 1 11
14,5 20 14,8
22 1 23
31,8 20 31,1
19 0 19
27,5 0 25,6
18 3 21
26,1 60 28,3
69 5 74
Tabel 5.11 menunjukkan bahwa dari 69 balita yang menerima kapsul vitamin A dengan klasifikasi umur yang mendapatkan 1 tahun 10(14,5%), 2 tahun 22(31,8%) ,3 tahun 19(27,5%) dan 4 tahun 18(26,1%). Sedangkan yang tidak menerima kapsul vitamin sebanyak 5 balita dengan kualifikasi umur 1
b. Menerima kapsul vitamin A bulan Februari da Agustus berdasarkan klasifikasi umur Tabel 5.12 Distribusi balita yang pernah dan tidak menerima kapsul vitamin A bulan Februari dan Agustus berdasarkan kelomok umur. Di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005 Klasifikasi umur 2 tahun 3 tahun 41 Total 4 tahun N %
1 tahun
10 0 10
16,1 0 16,1
20 2 22
16 3 19
16 2 18
62 7 69
Tabel 5.12 menunjukkan bahwa dari 62 balita yang menerima kapsul vitamin A setiap bulan Februari dan Agustus dengan klasifikasi umur yang mendapatkan 1 tahun 10(16,1%) 2 tahun 20(32,2%) 3 tahun 16 (25,8%) dan 4 tahun 16(25,8%) sedangakan yang tidak menerima kapsul vitamin A setiap bulan Februari dan Agustus sebanyak 7 balita denga kualifikasi umur 1 tahun tidak ada , 2 tahun 22 (31,8%), 3 tahun 19(27,5%) dan 4 tahun 2 (28,5%).
C. Menerima kapsul vitamin A biru berdasarkan klasifikasi umur Tabel 5.13 Distribusi balita yang pernah dan tidaknya menerima kapsul vitamin A biru berdasarkan klasifikasi umur Di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005 Menerima kapsul 1 tahun 2 tahun 3 tahun 4 tahun N % Klasifikasi umur Total
42
N 5 5 10
N 8 14 22
% 23,5 40 31,8
N 13 6 19
N 8 10 18
Tabel 5.13 menunjukkan bahwa dari 34 balita yang menerima kapsul vitamin A biru dengan klasifikasi umur yang mendapatkan 1 tahun 5(14, 7%), 2 tahun 8(23,5%), 3 tahun 13(38,2%) dan 4 tahun 8 (23,5%) sedangkan yang tidak menerima kapsul vitamin A biru sebanyak35 balita dengan klasifikasi umur 1 tahun 5(14,7%),2 tahun 14 (40%),3 tahun 6 (17,1%) dan 4 tahun 10 (28,5%)
d. Menerima kapsul vitamin A merah berdasarkan klasifikasi umur tabel 5.14 distribusi balita yang pernah dan tidaknya menerima kapsul vitamin A merah berdasarkan klasifiksi umur di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005 Menerima kapsul vitamin A merah Ya 1 tahun N 9 % 14,7 Klasifikasi umur 2 tahun N 21 % 34,4 3 tahun N 14 43 % 22,9 4 tahun N 17 % 27,8 61 100 Total N %
Tidak Total
1 1
12,5 16,1
1 22
12,5 31,8
5 19
62,5 27,5
1 18
12,5 26,1
8 69
100 100
Tabel 5.14 menunjukkan bahwa dari 61 balita yang menerima kapsul vitamin A merah denga kualifikasi umur yang mendapatkan 1 tahun 9(14,7%),2 tahun 21 (34,4%),3 tahun 14 (22,9%), 4 tahun 17(27,8%) sedangkan yang tidak menerima kapsul vitamin A merah sebanyak 8 balita dengan klasifikasi umur 1 tahun 1(12,5%),2 tahun 1(12,5%) ,3 tahun 5(62,5%) dan 4 tahun 1 (12,5%)
4.a Konsumsi energi balita tabel 5.15 Distribusi balita berdasarkan konsumsi energi dengan tingkat kecukupan vitamin A Di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005 Konsumsi energi Cukup Kurang Total Tingkat kecukupan vitamn A Cukup % Kurang 2 62 64 100 86,1 86,5 0 10 10 Total N 2 72 74
% 0 13,9 13,5
Tabel 5.15 menunjukan bahwa terdapat 2 balita yang konsumsi energinya cukup terdapat 2(100%)balita yang tingkat kecukupannya cukup 44
dan balita yang tingkat kecukupannya kurang, sedangkan dari 72 balita yang konsumsi energinya kurang tedapat 62 (86,1%) tingkat kecukupannya cukup dan 10(13,9%) kurang.
b. Konsumsi protein Tabel 5.16 Ditribusi berdasarkan konsumsi protein dengan tingkat kecukupan vitamin A di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005 Konsumsi protein Cukup Kurang Total
Sumber: data primer
Cukup 5 4 9
Tabel 5.16 mmenunjukkan bahwa terdapat 43 balita yang konsumsi proteinnya cukup dengan tingkat kecukupan vitamin A cukup 5(11,6%) dan kurang 38 (88,4%) sedangkan dari 31 balita yang konsumsi proteinnya kurang dengan tingkat kecukupan vitamin A cukup 4(12,9%) dan kurang 27(87,1%) 45
c. Konsumsi lemak Tabel 5.17 Distribusi balita berdasarkan konsumsi lemak dengan tingkat kecukupan vitamin A Di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005 Konsumsi lemak Cukup Kurang Total
Sumber :data primer
Tabel 5.17 meunjukkan bahwa terdapat 37 balita yang konsumsi lemaknya cukup dengan tingkat kecukupan vitamin A cukup 2(5,4%) dan kurang 35 (95,6%) sedangkan dari 37 balita yang konsumsi lemaknya kurang dengan tingkat kecukupanvitamin A cukup 7 (18,9%) dan kurang 30(81,1%) c. Konsumsi Zink 46
Dari 74 balita yang mengkonsumsi zink semuanya masuk dalam kategori kurang dengan tingkat kecukupan vitamin A kurang sebanyak 9(12,2%) dan cukup sebanyak 65 (87,8%) d. Konsumsi Fe Dari 74 balita yang mengkonsumsi Fe semuanya masuk dalam kategori kurang dengan tingkat kecukupan vitamin A kurang sebanyak 9(12,2%) dan cukup sebanyak 65(87,8%%)
e. Konsumsi vitamin E Dari 74 balita yang mengkonsumsi vitamin E semuanya masuk dalam kategori kurang dengan tingkat kecukupan vitamin A kurang sebanyak 9(12,2%)dan cukup sebanyak 65(87.8%) 5a. Konsumsi SUVITA sayuran Tabel 5.18 Distribusi balita berdasarkan konsumsi SUVITA sayuran dengan tingkat kecukupan vitamin A Di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005 Konsumsi SUVITA sayuran Cukup Kurang Total
Sumber :data primer
Total %
0 3 3
0 25 4,5
54 9 63
100 75 95,5
54 12 66
Tabel 5.18 menunjukkan dari 54 balita yang mengkonsumsi suvita sayurannya cukup dengan tingkat kecukupan vitamin A cukup sebanyak 0(0%) 47
dan kurang sebanyak 54(100%) sedangkan dari 12 balita yang mengkonsumsi suvita sayuran kurang dengan tingkat kecukupan vitamin A cukup sebanyak 3(45%) dan kurang sebanyak 9(75%)
b. Konsumsi SUVITA hewani Tabel 5.19 Distribusi balita berdasarkan konsumsi SUVITA hewani dengan tingkat kecukupan vitamin A Di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005 Konsumsi SUVITA hewani Cukup Kurang Total
Sumber :data primer
Total N %
0 8 8
0 11,7 11,4
2 60 62
2 68 70
Tabel 5.19 menunjukkan bahwa dari 2 balita yang konsumsi SUVITA hewani cukup dengan tingkat kecukupan vitamin A cukup 0(0%) dan kurang 2( 100%) sedangkan dari 68 balita yang konsumsi SUVITA hewani kurang dengan tingkat kecukupan vitamin A cukup sebanyak 8(11,7%)da kurang 60(88,2%)
48
Tingkat kecukupan vitamin A Tabel 5.20 Distribusi balita brdasarkan tingkat kecukupan vitamin A Di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005 Tingkat kecukupan vitamin A Cukup Kurang Total Jumlah 65 9 74 % 87,8 12,2 100
Tabel 5.20 menunjukkan bahwa dari 74 balita yang tingkat kecukupannya cukup sebanyak 65(87,8%) dan kurang sebanyak 9(12,2%) 7. Status gizi (BB/TB) Tabel 5.21 Distribusi balita berdasarkan ststus gizi (BB/TB) Di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005 Status gizi (BB/TB) Gizi buruk Gizi baik Gizi lebih Total
Sumber:data pimer
Jumlah 2 5 4 74
Tabel 5.21 menunjukkan bahwa dari 74 balita terdapat gizi buruk 2 (2,7%),gizi kurang 5 (6,8%), dan gizi baik 4 (5,4%). 49
50
51
B. PEMBAHASAN 1. Tingkat Kecukupan Vitamin A Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.16 menunjukkan bahwa tingkat kecukupan vitamin A untuk kategori cukup sebanyak 65 (87,8%) Banyak sekali keadaan yang mempengaruhi status vitamin A seseorang. Salah satu faktor yang penting ialah kecukupan asupan vitamin A dan provitamin A. Asupan yang dianjurkan minimal sebesar 180 450 ug retinol dan kesetaraan retinol (RE) dalam sehari bergantung pada usia, jenis kelamin, serta keadaan fisiologis. Sumber vitamin A untuk masyarakat yang beresiko mengalami defisiensi sebagian besar berasal dari buah dan sayuran berwarna kuning dan hijau yang mengandung karotenoid. Bahan pangan ini kerap bersifat musiman. Karena itu untuk membangun cadangan vitamin A, seseorang harus mengkonsumsi buah dan sayuran (sumber vitamin A) ini sebanyak beberapa kali dari jumlah yang dianjurkan (Arisman, MB, 2004). Hal ini didasarkan pada surat Menkes No. 14 tahun 1994, bahwa asupan Vitamin A dikatakan kurang bila jumlah yang dikonsumsi kurang dari 80 % AKG per hari dan dikatakan cukup bila jumlah yang dikonsumsi lebih besar atau sama dengan 80 % AKG perhari. Asupan Vitamin A pada anak Balita di wilayah kerja puskesmas Pagar Dewa Bengkulu cukup, akan tetapi ditinjau dari lokasi penelitian yang merupakan pemukiman kumuh, ini dapat disimpulkan tingkat kecukupan Vitamin A dapat terpenuhi dengan seringnya mengkonsumsi sayuran yang bergolongan S1 seperti bayam, kangkung, daun 52
kelor yang bila dihubungkan dengan daya beli/ harganya yang relatif murah dan terjangkau oleh status sosial ekonomi yangrendah. Sebaiknya bila dilihat konsumsi Suvita Hewani seperti ikan bandeng, ikan cakalang yang berada dalam golongan H3, dimana kandungan Vitamin A-nya lebih sedikit dibandingkan dengan jenis H1 dan H2 yang berasal dari daging dan ikan. Untuk menutupi kekurangan konsumsi daging dagingan dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah konsumsi ikan asing, segar, makanan laut dan konsumsi tempe pada makanan anak balita. Peningkatan konsumsi vitamin A alami telah dilakukan melalui pendidikan gizi, gerakan sadar pangan dan gizi serta pemasaran sosial sumber vitamin A, adapun kendala yang dihadapi adalah berdasarkan penelitiannya Fasli Djalal dimana anak tidak suka diberi sayuran yang dimasak keluarga, anak tersebut suka makan sayuran bila dihidangkan berupa snack. Oleh karena itu perlu diadakannya pendekatan-pendekatan agar ibu mau sekalilgus bersikap dan bertindak untuk selalu menyediakan berbagai variasi msakan maupun penggunaan jenis dan sumber vitamin di dalamnya.
2. Tingkat Kecukupan Konsumsi Vitamin A Melalui Suvita Sayuran Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.14 menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan terhadap 74 smpel yang mempunyai kategori kurang 19 (25,7%) dan kategori cukup 55 (74,3%). Adanya kaonsumsi sayuran yang masih kurang disebabkan karena sedikitnya sayuran yang dikonsumsi oleh anak karena kebiasaan merekea yang kutrang menyukai 53
sayuran, hal lainnya yang mempengaruhi yaitu jumlah sayuran yang dikonsumsi oleh anak dalam porsi yang kecil, sedangkan konsumsi sayuran yang cukup karena sebagian anak sering mengkonsumsi bayam, kangkung, dan telur yang masuk dalam golongan S1. Suvita Sayuran dalam keluarga bukanlah suatu hal yang jarang ditemui dalam susunan makanan sehari-hari (sediaoetomo, 1987). Namun pad umunya anak-anak kurang suka atau bahkan beberap diantaranya tidak suka pad sayuran. Padahal kebiasaan yang kurang baik ini dapat mengakibatkan anak kekurangan vitamin-vitamin yang trdapat dalam sayuran. Pada penelitian Marlinda Pasaka, 2002 didapatkan bahwa konsumsi Suvita Sayuran terbanyak yaitu kategori kurang sedangkan untuk frekuensi konsumsi sayuran hijau yang terbanyak adalah 3 kali seminggu, konsumsi sayuran merah/ kuning dan konsumsi sayuran lain trbanyak adalah jarang. Penelitian lain yang dilakukan oleh Jalal, dkk. Tahun 1999 jelas memperlihatkan bahwa konsumsi makanan nbeta karoten yang bersumber dari tumbuhan mampu meningkatkan konsentrasi serum retinol bagi yang mengalami disiensi Vitamin A ringan. Demikian juga mengenai Xeropthalmia pada anak yang mempunyai kebiasaan makan sayur lebih sedikit dibandingkan dengan anak yang tidak mempunyai kebiasaan makan sayur. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sidin mengenai status gizi anak SD kelas IV Vidi daerah penghasil sayur dan bukan penghasil sayur di kabupaten Bogor, ditemukan bahwa status gizi anak yang diukur berdasarkan ukuran biokimia (kadar Hb dan kadar seum 54
Vitamin A), anak sekolah di daerah penghasil sayuran hijau lebih tinggi secra nyat dibandingkan dengan anak sekolah di daerah bukan penghasil sayuran hijau. 3. Tingkat Kecukupan Konsumsi Vitamin A melalui Suvita Hewani Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.15 dapt dilihat bahwa penelitian yang dilakuakn terhadap 74 sampel yang mempunyai kategori kurang 72 (97,3%) dan kategori cukup 2 (2,7%) kurangnya konsumsi hewani disebabkan karena kemampuan untuk membeli bahan tersebut sangat rendah, di samping itu dapat disebabkan juga oleh jumlah (ukuran) yang dikonsumsi sangat sedikit sehingga tidak nampak pada peningkatan kecukupan Vitamin A Penyebab lainnya dari kurangnya konsumsi suvita hewani juga oleh karena pada umumnya pekerjaan para kepala rumah tangga pada wilayah kerja penelitian sebgaian besar adalah supir sebanyak 36 (48,6%) dimana ratarata penghasilannya berkisar Rp. 450.000 Rp. 750.000 per bulan, sedangkan untuk kebutuhan hidup lainnya juga sangat tinggi. Selain itu untuk membeli sumber pangan hewani dari penjual yang lewat sangat mahal (kurang terjangkau harganya) dan kurang lengkap pilihannya jika dibandingkan dengan membelinya di pasar. Menurut Sedia Oetama tahun 1987, bahwa konsumsi Suvita Hewanidalam susunan hidangan rakyat Indonesia pada umunya sedikit karena lebih mahal harganya. Dalam bahan makanan hewani terutama hati merupakan bagian yang sangat kaya akan vitamin A, sebagian besar dari jumlah konsumsi Vitamin A berasal dari hewani hanya 20%. 55
Sumber pangan Hewani mempunyai keunikan yang meyebabkan kelompok pangan ini tergolong sebagai pangan bermutu tinggi. Keunikan tersebut adalah pangan Hewani mengandung asam amino esensial yang lengkap dan mempunyai nilai cerna protein yang tinggi (Khomsan, Ali, 2004). Upaya-upaya untuk meningkatkan konsumsi pangan hewani biasanya terkendala oleh alas an ekonomi. Penelitian yang dilakukan Matianto tahaun 1990 menemukan bahwa anjuran konsumsi pangan hewani sebesar 15 gram perkapita/ hari di 15 propinsi masih kurang dimana proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi pangan hewani meningkat seiiring dengan meningkatnya pendapatan. 4. Konsumsi kapsul vitamin A dosis tinggi berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A . Pada penelitian ini di ketahui bahwa di wilayah kerja Pagar Dewa Bengkulu menunjukkan bahwa dari 69 balita yang menerima kapsul vitamin A dengan tingkst kecukupan vitamin A 60 (87,0%) dan kurang 9(13,0%) sedangkan dari 5 balita yang tidak menerima kapsul vitamin A dengan tingkat kecukupan vitamin A cukup 5 (100%) dan kurang 0 (0%), ini disebabkan karena para ibu yang didata telah membawa anaknya ke Posyandu untuk mendapatkan kapsul vitamin A sudah diberikan penyuluhan sebelumnya tentang pentingnya pemberian kapsul vitamin A. Program pencegahan KUA dengan pemberian vitamin A yang disertakan dengan upaya perbaikan keadaan sosial dan ekonomi di negara
56
endemis telah berhasil menurunkan angka perolehan KUA parah dan buta akibat kurang gizi. Akan tetapi pada hasil penelitian berdasarkan penerimaan kapsul vitaminA bulan Februari dan Agustus berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A terlihat bahwa yang menerima kapsul vitamin A sebanyak 62 dan tidak menerima kapsul vitamin A sebanyak 7 dari 69 balita, ini disebabkan karena ada sebagian ibu kurang mengerti jika balitanya diberikan kapsul vitamin A bulan Februari maka harus diberikan lagi pada bulan Agustus (2 kali dalam setahun ) Adapun balita yang tidak mendapatkan kapsul vitmain A dosis tinggi sebanyak 5 orang anak balita berdsarkan hasil wawancara dengan ibunya mengatakan mereka tidak pernah mendengar atau mengeahui tentang kapsul vitamin A. Suplementasi secara berkala vitamin A dosis tinggi ditujukan untuk mencegah defisiensi vitamin A beserta akibatnya selama masa tertentu dengan membangun cadangan vitamin tersebut di dalam hati. Pemberian 200.000 Iu vitamin A kepada anak akan memberikan pengaruh pencegahan selama 3 6 bulan, bergantung pada ketergantungan vitamin A dalam bahan pangan dan kecepatan tubuh menggunakan vitamin tersebut. Bedasarkan hasil penelitian tabel 5.9 dapat dilihat bahwa penerimaan kapsul vitamin A biru berdasarkan tingkat kecukupan vitmamin A sebanyak 34 dan yang cukup 31(91,2%),kurang 3(8,8%) sedangakn yang tidak menerima sebanyak 35 dan yag cukup 29 (82,8%),kurang 6(17,1%). 57
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara dapat diketahui bahwa ibu yang tidak memberikan kapsul vitamin A biru tidak mengetahui jika ada pemberian kapsul vitamin A yang di tujukan oleh bayi dan balita. Pada tabel 5.10 dapat dilihat bahwa penerimaan vitamin A merah yang ditujukan pada balita (12-59 bulan) berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A yang menerima sebanyak 61 dari yang cukup 55(90,2%),kurang 6 (9,8%) sedangkan yang tidak menerima sebanyak 8 dari yang cukup
5(62,5%), kurang 3(37,5%). Disini dapat dilihat bahwa ada kecenderungan hanya kelompok balita yang dibawa ke Posyandu. Pada penelitian di Aceh, yang dilakukan pada sekitar 26.000 anak berumur 1 5 tahun ditemukan bahwa pemberian vitamin A takaran tinggi, 200.000 Iu setiap 6 bulan dapat menurunkan angka kematian sekitar 35 %. Adapun pendistribusian kapsul vitamin A pada anak bayi dan balita di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu adalah dimulai dari Dinas kesehatan kota Makassar yang kemudian disalurkan ke Puskesmas, dari Puskesmas tersebut langsung disalurkan ke Posyandu yang melalui kaderkader diberikan kepada masyarakat, khususnya pada ibu-ibu yang mempunyai bayi dan balita. Hal hal yang membuat target cakupan kapsul vitamin A belum tercapai seperti : distribusi kapsul vitamin A yang kurang baik dan dari ibu baliltanya sendiri yang kurang peduli terhadap anaknya. Maka perlu adaya penyuluhan/ promosi pemasaran sosial vitamin A dalam rangka upaya untuk menigkatkan dan mengembangakan pengetahuan dan tindakan ibu agar memberikan vitamin A dipilih dengan cara mudah, 58
murah, dan cepat untuk menjamin agar anak balita di indonesia menderita. 5. Konsumsi Energi, protein, lemak, Zn, Fe, dan vitamin E
tidak
Peran konsumsi makanan yang mengandung cukup energi dan gi\zi esensial penting untuk pertumbuhan balita. Oleh karena itu adanya ketidakseimbangan energi dan zat gizi lain melalui makanan baik dari segi kualtas pada jangka pendek akan mengakin\batkan berat kurang dan dalam jangka panjang akan memperlambat pertumbuhan balita. Kondisi ini disebut kurang energi protein.dari hasil penelitian terlihat bahwa konsumsi makanan yang kurang berupa energi 12 (93,7%), protein 31 (41,9%) ,lemak 37 (50%), Zn 74 (100%) Fe 74 (100%) dan Vitamin E 74 (100%). Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa rata-rata konsumsi zat gizi anak balita rendah. Ini dapat disebabkan karena beberapa faktor yaitu daya beli yang rendah akan sumber pangan dan kebiasaan makan yang salah serta dapat disebabkan juga oleh higiene yang kurang karena lokasi penelitian merupakan salah satu pemukiman kumuh yang berada di kota Makassar. Penyebab lainnya juga dapat disebabkan karena makanan jajanan yang dimakan dari segi kualitas gizinya dan kuantitas gizinya yang kurang. Pada penelitian Fauziah Haris, 2002 yang didaptkan bahwa rata-rata asupan anak Panti Auhan Kecamatan Tallo tersebut rendah hanya sebesar 47% dari AKG untuk energi, 64% untuk protein, 49,3% untuk vitamin A dan 30 % untuk Zat Besi. 59
Bila dibandingkan antara konsumsi energi, konsumsi protein dan konsumsi lemak maka akan terlihat lebih banyak anak balita yang kurang konsumsi energinya, ini dapat disebabkan karena sebagian besar masyarakat pada tempat penelitian tersebut lebih cenderung membeli makanan sumber protein seperti tahu dan tempe yang harganya murah dan dapat dibeli dalam bentuk yang telah jadi seharga Rp. 500 1000/ buah, dibandingkan dengan harus membeli beras yang seharga Rp. 3.000/ liter. Ini yang
membuat konsumsi energinya rendah dan konsumsi proteinnya tinggi. Selain itu tanpa disadari pula masyarakat juga mengkonsumsi makanan sumber lemak seperti seringnya mengkonsumsi makanan makanan gorengan dan buah-buahan yang tinggi kandungan lemaknya. Dari hasil penelitian didapatkan pula bahwa terdapat anak balita sebanyak 2 (2,7%) yang mengalami gizi buruk , 5(6,8%) gizi kurang, 63(85,1%) fgizi baik ,4 (5,4%) gizi lebih. Ini dapat disimpulkan bahwa adanya gizi buruk dapat disebabkan karena anak balita kurang mengkonsumsi makanan-makanan yang bergizi sehingga zat-zat gizi dari makanan yang dikonsumsi tesebut rendah.
60
1.Kesimpulan a. Tingkat kecukupan vitamin A yang menunjukkan pada kategori kurang banyak 9 (12,2%) dan pada kategori cukup sebanyak 65 (87,8%). b. Tingkat kecukupan konsumsi SUVITA sayuran yang cukup berdasarkan tingat kecukupan vitamin A sebanyak 3 (4,5%) dan kurang sebanyak 9(75%). c. Tingkat kecukupan konsumsi SUVITA hewani yang cukup berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A cukup 0 (0%) dan kurang sebanyak 2 (100%) sedangkan dari 68 balita yang mengkonsumsi SUVITA hewan kurang dengan tingkat kecukupan vitamin A sebanyak 8 (11,7%) dan kurang sebanyak 60 (88,2%) d. Konsumsi kapsul vitamin A dosis tinggi di wilayah kerja
Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu menunjukan bahwa yang telah mendapatkan kapsul vitamin A sebanyak 69 balita (93,2%) dan tidak medapatkan kapsul vitamin A sebanyak 5 balita (6,8%) e. Konsumsi energi, protein, lemak , Zn, Fe,dan vitamin E pada balita dan wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu yang berada pada kategori kurang adalah : energi 72(93,7%), protein 31
61
(41,9%), lemak 37(50%), Zn 74 (100%), Fe 74 (100%) dan vitamin E 74(100%) f. Status gizi anak balita yang berada di wilayah kerja pukesmas Pagar Dewa Bengkulu yaitu : gizi buruk 2 (2,7%), gizi kurang 5(6,8%), gizi baik 4 (5,4%) 2. Saran 1. Kepada para ibu agar dapat memberikan makanan sumber zat gizi kepada ana balitanya agar kebutuhan gizi anaknya terpenuhi karena meliha konsuksi zat gizi yang rendah pada anak balita di wilayah kerja puskesmas Rappokaling bila dibandingkan dengan angka kecukupan gizi 2 Anak yang kurang suka pada sayuran dan anak yang konsumsi SUVITA hewaninya kurang dapat dibantu oleh para ibu dengan mencari alternatif lain dalam upaya penigkatan konsumsi vitamin A melalui konsumsi makanan dan lain lain. 3. Perlu adanya penyuluhan tentang pentingnya pemberian kapsul vitamin A pada anak berumur 5 tahun , kegiatan ini sebaiknya dihentikan dengan baik oleh para petugas-petugas kesehatan.
62
DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S Penuntun Diet edisi Baru, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004 Almatsier, S Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003 Berg, Alan, Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional, CV. Rajawali, Jakarta, 1986 Depkes RI, Panduan Survei Cepat Kelainan Gizi, Jakarta, 1996 Hadju, Veny, Diktat Penentuan Status Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar, 1997 Heller Keller Internasional Incoporated, Latar Belakang dan Strategi untuk Mengatasi Masalah Kekurangan Vitamin A, Jakarta, 1992 Hardiansyah. Gizi terapan, Institut Pertanian Bogor, 1992 Ishak, Fahria, Konsumsi Suvita Melalui Sayuran dan Hewani dengan Tingkat Vitamin A pada Anak Sekolah Dasar Kelas IV-V Tamamaung VI, FKM Unhas, Makassar, 2004 Kesuma, Citra, Diktat Dietetika Masyarakat, FKM Unhas, Makassar, 2004 MB, Arsiman. Gizi dalam Daur Kehidupan, EGC, Jakarta, 2004 Moehjis, S, Ilmu Gizi 2 Penanggulangan Gizi Buruk, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2005 Pasaka, Marlinda, Studi Tingkat Kecukupan Vitamin A pada Anak SD Kampus Unhas I dan SD Galangan Kapal, FKM Unhas, Makassar, 2004 Sediaoetama, A. Djaeni, Ilmu Gizi I, Dian rakyat, 1987
63
Suhardjo, Herper J. Laura, Deaton J, Bredy, Driskel A, Judy, Pangan, Gizi dan Pertanian, IU, Press<1985 Suhardjo, Kusharto M. Clara, Prinsip-prinsip Ilmu Gizi, Kanisius, Yogyakarta, 1992 Tawali, A, Dachlan M. Djunaedi, Hadju, Veni, Thaha R. Abd, Pangan dan Gizi DPP Pergizi Pangan Indonesia, Makassar, 2004 Vitahealth, Seluk Beluk Food Suplement, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004 Wibowo, Arief, Vitamin A Sadar Pangan dan Gizi Volume VI, 1997 Winarno, F. G, Kimia Pangan dan Gizi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991 , Diktat Teknologi Pangan dan Gizi, FKM Unhas, Makassar, 2004 , Sadar Pangan dan Gizi Vol 6, 1997
64
DAFTAR ISI
Halaman Judul Lembar Persetujuan . Daftar Isi BAB I. PENDAHULUAN ... A. Latar Belakang . B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian . A. Tujuan Umum . B. Tujuan Khusus. D. Manfaat Penelitian BAB II. TINJAUAN PUSTAKA . A. Tinjauan Umum tentang Vitamin A .. B. Tinjauan Umum tentang Konsumsi Suvita Sayuran / Hewani dan Asupan Zat Gizi Tingkat Kecukupan Vitamin A F. Tinjauan Umum Tentang Anak Balita ... .. .
i ii iii 1 1 3 3 3 3 4 4 4 12 14 16 19 20 21 21 23 24 26 26 26 27 28 28
D. Tinjauan Umum tentang Tingkat Konsumsi Vitamin A terhadap E. Tinjauan Umum Tentang Pola Makan .. G. Tinjauan Umum Tentang Kapsul Vitamin A .................... BAB III. KERANGKA KONSEP .. A. Dasar Penelitian Variabel yang di Teliti B. Pola Pikir Variabel Penelitian .. C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif. BAB IV. METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian . B. Populasi dan Sampel . C. Teknik Pengumpulan Data D. Instrumen Penelitian . E. Pengolahan dan Analisa Data 65
PENGARUH KONSUMSI SUMBER VITAMIN A (SUVITA) TERHADAP TINGKAT KECUKUPAN VITAMIN A PADA ANAK BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAGAR DEWA BENGKULU
PROGRAM SI NON REGULER FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2006
66
DAFTAR ISI JUDULi LEMBAR PENGESAHAN....ii RINGKASAN.....iii KATA PENGANTAR v DAFTAR ISI...viii DAFTAR TABEL ..x BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 B. Rumusan Masalah ...3 C. Tujuan Penelitian .3 Tujuan umum3 Tujuan khusus...3
D. Manfaat Penelitian 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan umum tentang Vitamin A .5 B. Tinjauan umum tentang Konsumsi SUVITA sayuran/hewani.13 C. Tinjauan umum tentang Tingkat konsumsi Vitamin A terhadap tingkat kecukupan Vitamin A..16 D. Tinjauan umum tentang Konsumsi Zat Gizi18 E. Tinjauan umum tentang Anak Balita...20 F. Tinjauan umum tentang Kapsul Vitamin A.21
67
BAB III. KERANGKA KONSEP A. Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti.24 B. Model Hubungan Antar Variabel .25 C. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif. 26 BAB IV. KERANGKA KONSEP A. Jenis Penelitian29 B. Populasi dan Sampel...29 C. Teknik Pengumpulan Data..30 D. Insturument Penelitian 31 E. Pengolahan Data dan Analisis Data32 BAB V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ..33 B. Pembahasan 47 BAB VI . KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 53 B. Saran...54 DAFTAR PUTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
68
DAFTAR TABEL Tabel 5.1 Distribusi Balita berdasarkan jenis kelamin di Wilayah Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005. Tabel 5.2 Distribusi Responden berdasarkan pekerjaan kepala RT di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005 . Tabel 5.3 Distribusi Responden berdasarkan pekerjaan kepala ibu RT di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005. Tabel 5.4 Distribusi Responden berdasarkan pendidikan ibu RT di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005. Tabel 5.5 Distribusi Responden berdasarkan balita yang membeli sayur. Di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005. Tabel 5.6 Distribusi Balita berdasarkan penerimaan kapsul vitamin A.Di
wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005. Tabel 5.7 Distribusi Balita berdasarkan penerimaan kapsul vitamin A.Setiap
bulan Februari dan Agustus di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005. Tabel 5.8 Distribusi Balita berdasarkan penerimaan kapsul vitamin A biru.Di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005. Tabel 5.9 Distribusi Balita berdasarkan penerimaan kapsul vitamin A merah.Di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005. Tabel 5.10 Distribusi Balita berdasarkan Konsumsi Energi .Di wilayah kerja
69
Tabel 5.11
Distribusi Balita
Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005. Tabel 5.12 Distribusi Balita berdasarkan konsumsi lemak.Di wilayah kerja
Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005. Tabel 5.13 Distribusi Balita berdasarkan konsumsi Zink.Di wilayah kerja
Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005. Tabel 5.14 Distribusi Balita berdasarkan konsumsi Fe.Di wilayah kerja
Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005. Tabel 5.15 Distribusi Balita berdasarkan konsumsi vitamin E. Di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005. Tabel 5.16 Distribusi Balita berdasarkan konsumsi SUVITA sayuran. Di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005. Tabel 5.17 Distribusi Balita berdasarkan konsumsi SUVITA hewani.Di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu Makassar 2005. Tabel 5.18 Distribusi Balita berdasarkan Tingkat kecukupan vitamin A. Di
70
RINGKASAN Universitas Hasanuddin Fakultas Kesehatan Masyarakat Gizi Masyarakat Indah Handayani Pengaruh Konsumsi Sumber vitamin A (SUVITA) terhadap tingkat kecukupan Vitamin A Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu
KVA merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia, meskipun KVA tingkat berat (Xeropthalmia) sudah jarang ditemui, tapi KVA tingkat berat (Xeropthalmia) sudah jarang menampakkan gejala nyata yang masih menimpa masyarakat luas. Hasil survei tahun 1992 di 15 propinsi menunjukkan Indonesia telah berhasil menurunkan prevalensi KVA dari angka Xerapthalmia (1.3 % pada tahun 1978 menjadi 0.33 % pada tahun 1989 ) tiga dari 15 propinsi yang disurvei prevalensi Xeropthalmia masih menjadi masalah kesehatan (0.5% , kriteria WHO ) adalah SUL ( 2.9 % ), Maluku (0.8 %), SULUT ( 0.6 % ). Dimana prevalensi yang tertinggi adalah 22.9 % pada SUL SEL (WHO, 2003). Dan berdasarkan data yang diperoleh tahun 2004 dari Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu terdapat jumlah Balita sebanyak 1835 dan yang mendapat kapsul vitamin A sebanyak 1060 atau 57.7 % sedangkan target yang diharapkan yaitu 90 %. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konsumnsi sumber vitamin A (SUVITA) sayuran / hewani dan konsumsi vitamin A terhadap tingkat kecukupan Vitmin A pada Anak Balita. Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Adapun
71
populasinya yaitu seluruh anak usia balita di wilayah kerja Puskesmas Pagar Dewa Bengkulu dan besarnya sample sebanyak 74 sampel
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 74 sampel anak balita yang konsumsi vitamin A setiap bulan Februari dan Agustus sebanyak 62 (83.8%) dan yang tidak menerima sebanyak 12 (16.2%), yang mnerima kapsul vitamin A biru sebanyak 34 (45.9%) dan yang tidak menerima sebanyak 40 (54.1%). Sedangkan anka balita yang konsumsi SUVITA sayurannya cukup sebanyak 55 (74.3%) dan kurang sebanyak 19(15.7%) dan anak balita yang konsumsi SUVITA hewannya cukup sebanyak 2(2.7%) dan kurang sebanyak 72 (97.3%). Adapun tingkat kecukupan vitamin A nya yang kurang sebanyak 9(12.2%) dan cukup sebanyak 65(87.8%). ` Pada akhirnya dengan melihat konsumsi SUVITA sayuran/hewani yang
masih kurang dapat mencari alternative lain dalam upaya peningkatan asupan vitamin A melalui konsumsi makanan dan lain lain, dan perlu diadakan penyuluhan tentang pentingnya pemberian kapsul vitamin A pada anak sampai berumur 5 tahun.
72