MAKALAH Kaitan Membaca Dan Sastra Fix

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Membaca merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan seorang
siswa. Tanpa kegiatan membaca, dapat menghambat terwujudnya cita-cita
untuk maju, sejahtera, dan bahagia. Agar dapat menambah wawasan, dan
pengetahuan tidak bisa hanya membaca tetapi harus mengerti dan
memahami isi dari suatu bacaan.
Sastra adalah bentuk kreasi imajinatif dengan paparan bahasa tertentu
yang menggambarkan dunia rekaan, menghadirkan pemahaman dan
pengalaman tertentu, dan mengandung nilai estetika tertentu yang bisa dibuat
oleh orang dewasa ataupun anak-anak.
Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakup komponen
keterampilan berbahasa dan keterampilan bersastra yang saling terkait yitu
meliputi aspek-aspek: (1) mendengarkan, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4)
menulis (Sufanti, 2010: 13).
Sastra disampaikan melalui kegiatan apresiasi satra. Dalam
melaksanakan apresiasi satra kita dapat melakukan beberapa kegiatan salah
satunya kegiatan apresiasi langsung yaitu membaca. Kepuasan pribadi setelah
membaca karya sastra sangat penting, artinya selain mereka diminta
menguasai keterampilan membaca selanjutnya karya sastra juga berfungsi
mengembangkan wawasan.
Fungsi karya sastra dalam mengembangkan kemampuan berbahasa
dapat disebut sebagai nilai pendidikan. Banyak hasil pendidikan yang
menunjukan keefektipan karya sastra dalam mengembangkan kemahiran
berbahasan. Oleh karena itu penulis mengkaji “Kaitan Membaca dengan
Sastra” untuk mengetahui keterkaitan sastra dengan kemampuan berbahasa
khususnya membaca.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kaitan membaca dan sastra?
2. Bagaimana sastra sebagai landasan pengembangan membaca?
3. Bagaimana pengembangan pembelajaran membaca berdasarkan karya
sastra?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kaitan membaca dan sastra
2. Untuk mengetahui sastra sebagai landasan pengembangan membaca
3. Untuk mengetahui pengembangan pembelajaran membaca berdasarkan
karya sastra
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kaitan Mambaca dengan Sastra


Sastra berfungsi menghibur dan sekaligus juga mendidik, sehingga
paling sedikit ada dua nilai yang diperoleh dari sastra yaitu memahami
kebutuhan akan kepuasan pribadi dan pengembangan kemampuan berbahasa.
Kepuasan pribadi yang diperoleh oleh anak-anak setelah membaca karya
sastra sangat penting artinya sebelum mereka diminta untuk menguasai
keterampilan membaca. Keberhasilan kegiatan membaca tidak mungkin dapat
dicapai apabila anak-anak tertarik pada bacaan yang mereka baca karena
memberikan pengalaman yang menyenangkan. Selanjutnya karya sastra juga
berfungsi memberikan penguatan pada kemampuan berfikir naratif, karena
pada umumnya karya sastra berbentuk cerita bersifat naratif. Karya sastra
juga berfungsi mengembangkan wawasan. Wawasan inilah yang
mengembangkan pemahaman akan kehidupan, yang benar benar dapat
membuat pembaca mencapai kematangan pribadi. Karya sastra juga membuat
pembaca memperoleh pengalaman universal. Dengan membandingkan cerita
yang dibaca dengan cerita-cerita yang lain atau dengan pengalaman hidup
yang sebenarnya, dan dengan menemukan cara hidup bersama dalam
berbagai fenomina kehidupan, pembaca dapat memperoleh pengalaman yang
bersifat universal. (Huck dan Stott lewat Marhaeni 1996-7-8).
Fungsi karya sastra dalam mengembangkan kemampuan berbahasa
dapat disebut sebagai nilai pendidikan. Banyak hasil pendidikan yang
menunjukkan keefektifan karya sastra dalam mengembangkan kemahiran
berbahasa. Misalnya Sokolski, dkk. Menemukan bahwa buku bergambar
yang baik dapat merangsang kapan pikiran dan perasaan anak secara lisan.
Lehman juga menemukan bahwa pembelajaran berdasarkan karya sastra
membina hubungan social antara murid dan antara murid dan guru (Marhaeni,
1996: 91).
Banyak sekali penelitian mengenai pembelajaran membaca
menggunakan karya sastra. Ditemukan bahwa anak anak memperoleh nilai
yang lebih tinggi dalam kosakata dan pemahaman membaca dibandingkan
dengan anak anak yang memperoleh pembelajaran membaca yang tidak
berdasarkan karya sastra.
Sastra Anak-anak dan Pengembangan Keberwacanaan
Keberwacanaan adalah kemampuan menggunakan membaca dan
menulis dalam menunaikan tugas-tugas yang bertalian dengan dunia kerja dan
kehidupan di luar sekolah (Tompkins, 1991:81). Dari pernyataan tersebut
dapat dicirikan bahwa keberwacanaan mengacu pada keterampilan membaca
dan menulis secara efektif. Pengembangan keterampilan membaca dan
menulis telah diamanatkan di dalam kurikulum Pendidikan Dasar khususnya
pendidikan dasar yang diselenggarakan di SD. Melalui pendidikan di SD,
siswa diharapkan memperoleh bekal kemampuan membaca dan menulis.
Dalam kaitan ini mata pelajaran bahasa Indonesia mempunyai peran penting.
Pelajaran bahasa Indonesia berfungsi untuk mengembangkan kemampuan
berkomunikasi mengungkapkan pikiran dan perasaan melalui kegiatan
membaca dan menulis (Kurikulum Pendidikan Dasar 1994).
Pemberian bekal keberwacanaan sangat penting artinya bila dikaitkan
dengan tuntutan pemilikan kemahirwacanaan dalam abad informasi (Periksa
Joni, 1990). Kemahirwacanaan akan terbentuk melalui pengembangan
keberwacanaan, melalui proses pengenalan berhadap wacana tulis, dan
pembentukan kebiasaan atau kegemaran berwacana secara intens yang
dimulai secara formal sejak siswa duduk di kelas satu SD.
Pengembangan keberwacanaan dapat dilaksanakan melalui
pemanfaatan sastra anak-anak sebagai media pembelajaran membaca dan
menulis. Pemanfaatan ini didasarkan pada asumsi bahwa sastra dapat
mengembangkan bahasa anak (Huck, 1987 Ellis, 1989). Secara khusus sastra
dapat mengembangkan kemampuan membaca dan menulis pada anak-anak
(Huck, 1987).
Istilah keberwacanaan merupakan terjemahan “literacy” dalam bahasa
Inggris. Semula, “literacy” diartikan sebagai pengetahuan tentang cara
membaca (keberaksaraan) tetapi kemudian berubah karena tujuan yang
diharapkan bukan sekedar mengenal aksara atau tulisan. Akan tetapi lebih
luas dari itu, literacy mencakup kemampuan membaca dan menulis.
Istilah keberwacanaan (literacy) telah digunakan dalam berbagai cara.
Para guru memperkenalkan komputer pada anak SD dan mengembangkan
keberwacanaan komputer (computer literacy). Hirsch (1987) menyebut jenis
keberwacanaan lain, yaitu keberwacanaan budaya (cultural literacy) sebagai
cara memperkenalkan anak pada gagasan-gagasan ideal dari budaya lama
yang berpengaruh dan membentuk masyarakat saat ini. Bagaimanapun,
keberwacanaan adalah suatu alat atau sarana yang dipakai untuk belajar
tentang dunia dan untuk berperan serta secara penuh dalam masyarakat.
Awal Keberwacanaan
Keberwacanaan adalah suatu proses yang dimulai sebelum pendidikan
dasar dan berlanjut ke masa dewasa. Keberwacanaan digunakan pada saat
anak berumur 5 tahun atau pada saat memasuki taman kanak-kanak sebagai
persiapan untuk pembelajaran membaca dan menulis yang akan dimulai
secara formal pada tingkat pertama.
Implikasi dari hal ini adalah bahwa dalam perkembangan anak-anak
ada saat yang tepat untuk mengajari mereka membaca. Sejak tahun 1970-an
hal ini telah didiskripsikan baik oleh para guru di kelas maupun oleh para
peneliti dalam observasi (Clay, 1989). Anak anak itu sendiri menunjukkan
perilaku bahwa mereka dapat menceritakan kembali cerita cerita, dan isi
surat, membuat suatu tulisan, serta mendengarkan suatu cerita yang dibacakan
keras-keras kepada mereka. Beberapa anak bahkan belajar membaca sendiri.
Perspektif tentang cara anak menjadi berwacana itulah yang disebut
awal keberwacanaan (emergent literacy). Konsep keberwacanaan telah
meluas meliputi aspek-aspek sosial dan budaya, pembelajaran bahasa, serta
pengalaman anak sekaligus pemahaman mereka tentang bahasa tulis yang
disertakan sebagai bagian dari awal keberwacanaan.
Teale dan Sulaby (1989) menggambarkan potret/sosok seorang anak
kecil sebagai pelajar keberwacanaan (literacy) dengan karakteristik sebagai
berikut.
1. Anak-anak sudah mulai belajar membaca dan menulis sejak dini
2. Anak kecil mempelajari fungsi keberwacanaan melalui observasi dan
Pendidikan Guru Sekolah Dasar berperan serta dajani kehidupan nyata
yang menggunakan membaca dan menulis.
3. Kemampuan membaca dan menulis anak berkembang bersamaan dan
berhubungan melalui pengalamananya dalam membaca dan menulis.
4. Anak belajar melalui pelibatan aktif dengan materi-materi wacana dengan
membangun pengertian mereka tentang membaca dan menulis.
Anak kecil dianggap sebagai pelajar aktif yang membentuk
pengetahuan tentang baca tulis dengan dibantu oleh orang tua dan orang lain.
Para pemerhati tersebut membantu anak anak dengan menunjukkan
keberwacanaan melalui membaca dan menuulis, dengan cara terus
memasukkan materi-materi, dan dengan memberi kesempatan anak anak
untuk memusuki dunia baca tulis. Lingkungan sekitar merupakan hal paling
baik, tempat anak memperoleh pengalaman membaca dan menulis dalam
kehidupan sehari-hari mereka dan dapat mengobservasi orang lain yang
terlibat di dalam aktivitas berwacana.
Berlangsungnya pemberwacanaan ditentukan oleh empat komponen.
Jalongo (1992) memberikan proses keberwacanaan atas empat elemen umum
yaitu: (i) pesan tekstual (textual intent), (ii) daya tawar (negotiability), (iii)
bahasa digunakan untuk meningkatkan bahasa (language used to futetune
language), dan (iv) pengambilan risiko (risk taking). Pesan tekstual berarti
bahiwa dalam pemberwacanaan, pesan tertulis tetap menjadi tujuan
komunikasi. Daya tawar berarti bahwa makna pesan tekstual dapat
diinterpretasikan oleh anak dan dipahami pembaca (audience). Bahasa
digunakan untuk meningkatkan bahasa berarti bahwa anak akan
menggunakan lebih banyak bahasa untuk menjelaskan pesan. Pengambilan
risiko terjadi ketika anak menerima tantangan baru dalam berbahasa.
Fungsi Sastra Anak-Anak dalam Pengembangan Keberwacanaan
Sastra dapat mengembangkan kemampuan membaca anak. Penelitian
Thorndike tentang membaca di berbagai negara menunjukkan bahwa
membaca untuk anak (reading aloud) merupakan faktor penting dalam
belajar membaca pada anak. Membacakan cerita atau puisi pada anak dapat
menggerakkan minat anak dalam membaca. Saat anak menikmati buku yang
dibacakan mereka akan termotivasi untuk membaca buku-buku yang lain dari
pengarang yang sama atau dengan tema yang sama (Ellis, 1989:55).
Menyimak cerita juga dapat memotivasi anak untuk mulai belajar
membaca. Anak-anak dapat belajar bahwa membaca memberikan kesenangan
dan mereka akan belajar sendiri. Menyimak cerita dapat memperkenalkan
anak pada pola-pola bahasa dan mengembangkan kosakati serta maknanya.
Pengetahuan tentang struktur cerita dan kemampuan mengantisipasi
apa yang akan dilakukan tokoh dapat membantu anak memprediksi lakuan
dan menentukan makna cerita yang dibacanya. Lebih banyak pengalaman
anak dengan sastra, lebih besar pula kemampuan anak dalam menangkap
makna cerita dan memprediksi apa yang akan terjadi.
Penelitian Hepler terhadap perilaku membaca anak dalam program
pengajaran dengan sastra sebagai landas tumpu (literature based program) di
kelas 5 dan 6 selama satu tahun menghasilkan temuan bahwa anak anak
tersebut membaca sekitar 45 buku per anak dalam satu tahun dengan
rentangan 25- 122 buku. Temuan tersebut dapat dibandingkan dengan
program membaca dasariah (basal) yang hanya memungkinkan membaca
buku bacaan tidak lebih dari 10 buku per anak per tahun. Hanya dengan
membaca buku dalam jumlah cukup banyak kelancaran membaca dapat
terwujud.
Melalui penelitian longitudinal selam empat tahun, Mills melaporkan
temuan bahwa anak kelas 4 yang membaca atau menyimak kemudian
mendiskusikan sastra anak-anak sebagai landas tumpu menulis, secara
signifikan memiliki skor lebih tinggi dalam menulis bebas dari pada anak
dalam kelompok kontrol yang tidak menggunakan sastra dengan cara
tersebut. Anak menulis dan mempelajari cara mendengarkan dan
mendiskusikan sastra bermutu.
Diane DeFord yang telah meneliti tulisan anak anak kelas 1-3
menunjukkan pengaruh metode dan teks pada tulisan anak anak. Dalam
kelompok sastra, anak menghasilkan bentuk bentuk keragaman sastra yang
lebih luas melibatkan cerita buku informasi, lagu, puisi, dan laporan surat
kabar.
Isi cerita anak juga merefleksikan sastra yang telah mereka dengar.
Secara sadar atau tidak, anak memungut kata kata frase-frase, unsur plot,
bahkan pola-pola (intonas) dialog dari buku buku yang mereka kenal.
Peran membaca juga cukup signifikan dalam pengembangan menulis.
Smith menyatakan pengembangan komposisi dalam menulis tidak dapat
dikembangkan dalam menulis saja tetapi menuntut aktivitas membaca dan
kegemaran membaca. Hanya dari bahasa tulis orang lain, anak anak dapat
mengamati dan memahami konvensi serta gagasan secara bersama-sama
(Huck, 1987).

B. Sastra sebagai Landasan Pengembangan Membaca


Program pembelajaran membaca yang berlandaskan sastra
menggunakanberbagai pendekatan dan strategi untuk membantu
perkembangan keterampilaberbahasa. Pembelajarannya bersifat terpadu. yang
rendah diterapkan dalam situasikelas yang bagaimana pun. (Rothlein dan
Meinbach, 1991: 222).
Jadwal membaca tiap hari dapat digambarkan dengan cara di bawah
iniyang merupakan kerangka penerapan program membaca yang
seimbangdan sesuai dengan perkembangan anak di sekolah dasar. Waktu dua
jam(120 menit) dipandang sudah sesuai karena keterampilan
berkumunikasidalam bidang membaca, menulismenyimak, dan berbicara
diajarkansecara terpadu. Namun, penentuan waktu ini bersifat fleksibel, yang
palingpenting adalah bahwa guru harus senantiasa tanggap terhadap
kebutuhan dan minatanak-anak (Roth ein dan Meinbach, 1991 233).
Program membaca yang sesuai dengan perkembangan anak
harusmencerminkan keseimbangan antara kegiatan kelompok besar,
kelompok kecil.dan individual. Keseimbangan juga harus dicapai antara
kegiatan kegiatanyang diarahkan oleh guru dan yang atas keinginan murid.
1. Kegiatan Terarah
Guru memerlukan waktu khusus untuk mengajarkan keterampilan-
keterampilan tertentu kepada sekelompok anak atau seluruh anak di kelas
Keterampilan- keterampilan tertentu harus diperkenalkan dan diajarkan
hanya jika sesuai dengan karya sastra yang sedang didiskusikan. Dalam
keseluruhan program pembelajaran bahasa, kegiatan terarah kadang
kadang berwujud pembelajaran strategi membaca. Pembelajaran strategi
membaca ini memberikan pengutahuan dasar dan meningkatkan
penggunaan bahasa para pembelajar, dan menolong mereka mamadukan
penggunaan strategi strategi membaca secara efisien dan efektif dengan
lebih fleksibel. Murid murid harus terlibat secara aktif dalam kegiatan
membaca dan menulis selama hampir keseluruhan waktu yang disediakan
untuk pembelajaran membaca. Hanya sebagian kecil waktu saja yang
digunakan untuk mengajarkan strategi membaca.
2. Kegiatan Bebas
Anak-anak perlu sekali diberikan kesempatan untuk
memprakarsaikegiatan-kegiatan mereka sendiri dan bertanggung jawab
untuk melaksanakannya. Guru perlu menyiapkan Lembar Catatan Harian
untuk memberikan kesempatan kepada anak anak mencatat kegiatan
mereka sehari hari. Sebagai fasilitator, guru hendaknya memberikan
bimbingan kepada anak anak ketika mereka menentukan kegiatan belajar
mereka sendiri. Memberikan kesempatan kepada anak- anak untuk
membuat keputusan, mengatasi masalah, dan bertanggung jawab atas
kegiatan belajar mereka sendiri dapat mempersiapkan anak anak
menghadapi tuntutan dunia kerja dalam kehidupan yang sebenarnya
(Schweinhart, levat Roth’ein, 1991 223-224).
Kegiatan kegiatan bebas yang dikembangkan oleh anak anak itu harus
diperhitungkan pentingnya kaitan antara sastra dan semua segi kehidupan
Konsep konsep dari bidang studi lain seperti IPA. IPs, dan Matematika.
dapat dipadukan dengan konsep konsep yang diberi penekanan lewa sastra.
musik dan tari dapat juga dikembangkan lewat kegiatan kegiatan yang
telah dirancang dengan baik. Misalnya murid murid menanggapiilustrasi
cerita, membuat ilustrasi hasil karya sastra sendiri. Mendemonstrasikan
suatu peristiwa, dan sebagainya. Kegiatan kegiatan murid juga harus
memberikan dorongan kepada untuk menggunakan buku sebagai murid
rujukan, berpikir secara kritis, memecahkan masalah. menganalisis unsure
unsur cerita, dan lebih memahami jenis jenis karya sastra tertentu.
3. Diskusi Murid Guru
Ketika anak anak sedang melakukan kegiatan wajib atau kegiatan
pilihan secara individual atau kelompok, dapat diadakan diskusi antara
murid dan guru untuk menolong anak anak yang memerlukan peningkatan
dalam hal keterampilan khusus atau pemahaman. Melalui diskusi-diskusi
murid-guru secara individual, guru dapat mengumpulkan informasi
penting murid mengenai minat anak, sikap terhadap kegiatan membaca,
dan perkembangan dalam keterampilan membaca dan keterampilan
berpikir.
Selama diskusi. usahakan agar murid murid tidak merasa takut atau
tertekan dan berikan dorongan kepada mereka agar mengungkapkan
pendapat secara bebas Mereka harus menganggap diskusi sebagai
pengalaman yang menyenangkan.
Diskusi murid-guru tersebut hendaknya mengandung hal-hal berikut
ini (Ro1991: 227 228).
a. Diskusi mengenai bacaan yang telah dibacaoleh murid. Diskusi dapat
difokuskan pada unsur-unsur bacaan, konsep atau permasalahan yang
ada dalam bacaan, pengarang atau jenis karya sastra (genre)
b. Pertanyaan pertanyaan untuk mengevaluasi pemahaman murid
mengenai bacaan yang dibaca. Ajukan pertanyaan-pertanyaan yang
tertuju pada hal-hal tertentu sehingga murid yang bersangkutan terlibat
dalam kegiatan berpikir tingkat tinggi (menganalisis, mensintesis, dan
mengevaluasi). Apabila murid tersebut mengalami kesulitan, ajukan
pertanyaan pertanyaan tambahan untuk memerlukan remediasi.
c. Membaca nyaring bagian bacaan yang dipilih sendiri oleh murid.
Bacaan yang dipilih itu mungkin bagian yang paling disenangi. bagian
yang membuatnya terkejut, bagian yang menyebabkan dia tertawa. dsb.
d. Diskusi mengenai tugas tugas yang telah diselesaikan atau yang sedang
dikerjakan. Diskusi dapat difokuskan pada proses pemilihan kegiatan.
rencana untuk mengatasi hambatan penyelesaian tugas, mi at murid,
dsb.
e. Saran untuk kegiatan membaca selanjutnya dan petunjuk mengenai
pengembangan keterampilan.

C. Pengembangan Pembelajaran Membaca Berdasarkan Karya Sastra


1. Pendekatan untuk Meningkatkan Keterampilan Membaca
Menurutteori Schema, sering membaca buku dengan jumlah banyak
memungkinkan anak mengembangkan pengetahuan, selanjutnya
memudahkan mereka juga dapat bervariasi bacaannya. Mereka akan
memiliki apresiasi terhadap karya sastra dan kemumgkinannya mereka
menjadi pembaca sepanjang hidupnya (North, 1989: 426). Murid-murid
perlu diberi kesempatan untuk membaca karya sastra yang mereka pilih
sendiri, di samping kegiatan membaca dengan pengarahan guru.
Pendekatan-pendekatan yang dapat diterapkan antara lain membaca dalam
hati dalam waktu yang relatif lama tanpa diganggu, kelompok membaca.
2. Model Pegembangan Keberwacanaan Melalui Sastra
a. Model perencanaan pengembangan
Komponen-komponen pembelajaran yang perlu direncanakan
meliputi tujuan pembelajaran, bentuk dan sifat pembelajaran, bahan
pembelajaran serta prosedur pembelajaran (Norton & Norton,
1994:7).Untuk merumuskan tujuan pembelajaran dapat menemukannya
dari tujuan umum pengajaran. Bentuk prmbelajaran dibedakan atas
pembelajaran klasikal kelompok dan individu. Agar epektif dibutuhkan
kerjasama antara murid dan guru meliputi kelompok kecil dan individu.
Aktivitas ini dibedakan menjadi aktivitas jangka pendek, jangka lama,
dan aktivitas pojok belajar.Bahan pembelajaran meliputi nama-nama
buku, referensi, gambar-gambar pendukung media.
b. Strategi pengembangan
Beberapa strategi pengembangan dengan teknik utama latihan
yang didasarkan pada uraian Johnson (1987) dalam Literacy Through
Literature, untuk mendukung agar penerapan strategi bisa dilakukan
diperlukan buku-buku sederhana dan menarik agar anak mudah juga
tertantang membacanya.Dalam memilih dan mengembangkan latihan,
peran guru adalah menjamin tersedianya bahan, yaitu menyajikan cerita
secara lisan dan melalui latihan membimbing dan memberikan
bimbingan individu pada siswa yang nerusaha menerapkan latihan pada
buku latihannya. Jenis strategi diantaranya yaitu:
1) Teknik Cloze
a) Ringkasan Model Burgs (RBM)
RBM dikembangkan dari prosedur klos yang sudah lajim melalui
dua cara; pertama siswa belajar melalui ringkasan bukan dengan
teks asli, kedua kata-kata terpilih digantikan kata kosong awal
kata, RBM juga disajikan sebagai permainan.
b) Tangga cerita (story ladders)
Tangga cerita dibciptakan dengan membuat ringkasan cerita yang
bagian akhir kalimatnya dihapus. Anak ditugaskan mengkreasikan
sendiri lanjutannya tapi bukan kalimat aslinya. Anak akan senang
memprediksi cerita sebelum membaca dan merevisinya setelah
membaca.
2) Teknik skala
Skala penilaian dikembanngkan dengan daftar pasangan kata yang
berlawanan seperti, baik/jahat, hangat/dingin, cepat/lambat dan
berat/ringan. Selanjutnya anak diminta menilai tokoh cerita dengan
skala yang dibuat oleh guru. Latihan ini dapat membantu siswa yang
berekspresi dalam tulisan.
c. Pengajaran Sastra Indonesia
Pengajaran sastra Indonesia merupakan suatu sistem yang
didalamnya mengandung beberapa komponen, maka problematik yang
ada dalam pembelajaran sastra di SD dapat bersumber pada komponen-
komponen berikut ini:
1) Tujuan
Sejak kurikulum SD 1975, kurikulum SD 1984, maupun kurikulum
SD 1994 seperti sekarang. Pelajaran sastra Indonesia selalu
dimasukan kedalam pengajaran bahasa Indonesia, khususnya di SD.
Fungsi pelajaran bahasa Indonesia adalah:
a) sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa
b) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan bahasa
Indonesia dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya
c) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan bahasa
Indoneia untuk meraih dan mengembangkan ilmu pengetehuan
teknologi dan seni.
Tujuan megenai sastra yaitu:
a) Siswa mampu mengenal dan mampu membedakan bentuk-bentuk
puisi, prosa dan drama.
b) Siswa mampu membedakan ragam bahasa sastra dan ragam
bahasa lainnya.
2) Isi materi pelajaran
a) materi pelajaran harus relevan terhadap tujuan intruksional yang
jarus dipakai
b) materi pelakaran haru sesuai taraf kesulitannya dengan
kemampuan siswa
c) materi pelajaran harus dapat menunjang motivasi siswa
d) materi pelajaran harus membantu untuk melihat diri secara aktif,
baik dengan berpikir atau dengan mengadakan kegiatan
e) materi pelajaran harus sesuai dngan prosedur didaktik yang
diikuti
f) materi pelajaran harus sesuai dengan media pengajaran yang
tersedia
Dengan demikian apabila peran guru dan penilaian isi materi
pelajaran itu menyediakan bacaan yang bermutu, memberi
kebenasan kepada anak untuk memilih bacaan yang disukainya.
3) Guru
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam keseluruhan proses
pengajaran satra di kelas, guru dituntut mempu melaksanakan
tugasnya secara propesional. Guru harus memiliki 10 kopetensi
yaitu:
a) Kemampuan menguasai bahan materi bidang study.
b) Kemampuan mengelola program belajar mengajar.
c) Kemampuan mengelola kelas.
d) Kemampuan menggunakan media dan sumber.
e) Penguasaan landasan-landasan pendidikan.
f) Kemampuan mengelola interaksi belajar megajar.
g) Kemampuan menilai kemampuan siswa.
h) Pengenalan fungsi dan program layanan dan bimbingan dan
konseling di sekolah.
i) Pengenalan dan penyelenggaraan admisistrasi sekolah.
j) Pemahaman prinsip-prinsip dan penafsiran hasil-hasil penelitian
guna keperluan pengajaran.
4) Siswa
Siswa merupakan komponen yang sangat penting dalam
pembelajaran sastra. Dalam pengajaran siswa di SD, problem yang
berkaitan dengan siswa yang dapat di identifikasi antara lain
motivasi minat belajar sastra, serta lingkungan belajar siswa.
Timbulnya motivasi dan minat siswa belajar yang rendah tidak
terlepas dari faktor lingkungan siswa, karena lingkungan merupakan
sarana yang sangat mempengaruhi dalam belajar sastra. Tujuan
utama pengajaran sastra hendaknya memberikan kesempatan pada
siswa untuk memperoleh pengalaman bersastra baik secara reseptif
maupun secara produktif. Siswa juga diberi pengetahuan tentang
lukisan, lagu, melukis, selanjutnya bersastra.
5) Bentuk kegiatan belajar mengajar
Kean & Personke (1976:341) mengarahkan bahwa sebaiknya
disekolah dasar, sastra jangan dipandang sebagai suatu subjek yang
harus di ajak terapi sebagai suatu wahana untuk mendapatkan
pengalaman, yang menyenangkan, menyedihkan, lucu, menakutkan
dan lainnya. Dalam kegiatan belajar ada 2 pendekatan; pertama
bertitik tolak pada pandangan bahwa sastra mempunyai kedudukan
yang sama dengan bidang study yang lainnya; kedua bertitik tolak
pada pandangan bahwa sastra sebagai suatu yang kehadirannya
untuk dinikmati dan memberikan kesenangan. Karena kedua
pendekatan itu bertentangan untuk itu yang lebih sesuai adalah
menggabungkan kedua pendekatan tersebut karena muara terakhir
pengajaran sastra adalah terbunanya apresiasi & kegemaran terhadap
sastra yang disadari oleh pengetahuan sastra dan keterampilan
bersastra.
6) Sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana merupakan komponen pengajaran yang tak
kalah penting. Perpustakaan dan kelengkapan koleksi buku-buku
sastra sangat menunjang kelancaran pengajaran sastra. Demikian
pula media dan alat-alat pengajaran yang lengkap sangat
menentukan keberhasilan pembelajaran sastra. Problem yang dapat
di identifikasi adalah sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah-
sekolah SD.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Dengan membaca karya sastra dapat memenuhi kepuasan pribadi
dikarenakan sastra berfungsi menghibur dan sekaligus juga mendidik,
sehingga paling sedikit ada dua nilai yang diperoleh dari sastra yaitu
memahami kebutuhan akan kepuasan pribadi dan pengembangan kemampuan
berbahasa.
Keberhasilan kegiatan membaca tidak mungkin dapat dicapai apabila
anak-anak tidak tertarik pada bacaan yang mereka baca karena tidak
memberikan pengalaman yang menyenangkan. Melalui satra anak menjadi
lebih termotivasi untuk membaca karena bahan bacaannya sesuai dengan
minat mereka.
Jadi kegiatan membaca dengan karya sastra sangat berkaitan erat, saling
berhubungan dan saling berpengaruh.

B. Saran
Sebagai seorang calon pendidik ada beberapa hal yang sapat kita lakukan
diantaranya:
1. Pendidik harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar ketika
memberikan pengajaran kepada anak didiknya.
2. Pendidik harus memastikan bahwa anak-anak didiknya senang, suka, juga
nyaman diajar oleh kita, agar mereka dapat menerima materi dengan baik
dan tidak merasa terpaksa.
3. Belajarlah terus agar menjadi guru yang profesional.
DAFTAR PUSTAKA

http://cutebeee.blogspot.com/2010/10/pengajaran-membaca-dan-sastra-di-sd.html
[diakses pada tanggal 20 Oktober 2014].
http://tyok-profilq.blogspot.com/2010/01/membaca-dan-sastra-anak.html [diakses
pada tanggal 20 Oktober 2014]

Rofi’udin, Ahmad dan Zuhdi, Darmiyati. 2002. Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia di Kelas Tinggi. Malang : Penerbit Universitas Negeri Malang.

Tyok. 2008. Membaca dan Sastra Anak. http://tyok-


profilq.blogspot.com/2010/01/membaca-dan-sastra-anak.html. (21
September 2017)

http://nuritehknologi.blogspot.co.id/2016/05/makalah-membaca-dan-sastra-
anak.html

Anda mungkin juga menyukai