Chapter I, II
Chapter I, II
Chapter I, II
BAB I
PENDAHULUAN
penyakit diabetes, penyakit jantung, stroke dan kanker serta penyakit resiko
lainnya (Astuti, 2019).
Pada penelitian oleh Aridiyah 2015, didapatkan bahwa jumlah ibu dengan
anak stunting yang berpendidikan rendah adalah sebesar 96,7% di desa,
sedangkan untuk dikota sebesar 80%. Pada status pekerjaan ibu dengan anak
stunting yang berada di wilayah desa terbanyak adalah tidak bekerja sebesar 71%
dan di kota sebesar 53,3%.
Menurut United Nations Children's Emergency Fund lebih dari setengah
anak stunting atau sebesar 56% tinggal di ASIA dan lebih dari sepertiga atau
sebesar 37% tinggal di Afrika (Unicef, 2016). Indonesia masih mengalami
permasalahan dalam masalah gizi dan tumbuh kembang anak. UNICEF
mengemukakan sekitar 80% anak stunting terdapat di 24 negara Asia dan Afrika
(Unicef, 2009). Indonesia merupakan negara urutan kelima yang memiliki
prevalensi anak stunting tertinggi setelah India, China, Nigeria dan Pakistan. Saat
ini, prevalensi anak stunting di bawah 5 tahun di Asia Selatan sekitar 38%
berkembang di Asia dan Afrika (Unicef, 2014).
Prevalensi stunting di Indonesia berdasarkan hasil pemantauan status gizi
pada 2017 menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Indonesia cukup tinggi
yakni 29,6% diatas batasan yang ditetapkan WHO yaitu 20% (Kemenkes, 2018).
Pada tahun 2019 di benua Amerika utara-selatan, Afrika dan Asia merupakan tiga
wilayah dengan prevalensi stunting tertinggi didunia. Pada tahun 2019, prevalensi
sebesar 21,3% atau sekitar 140 juta anak umur di bawah 5 tahun mengalami
stunting. Kejadian stunting di Indonesia dikategorikan sangat tinggi oleh WHO
pada tahun 2019 lebih dari 30% (WHO, 2020).
Sedangkan prevalensi di Provinsi SUMUT diketahui anak pendek sebesar
18,6% dan sangat pendek 13,6%. Provinsi SUMUT menempati posisi pertama
sebagai wilayah dengan prevalensi stunting tertinggi pada anak usia 0-23 bulan
jika di bandingkan dengan Provinsi lainnya di Pulau Sumatera ( Balitbangkes,
2018).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018, prevalensi stunting
di Sumut ditemukan 32,4 % balita stunting. Sedangkan tahun 2019, prevalensi di
Sumut 30,11 %. Adapun, 15 kabupaten/kota lokus pencegahan stunting di Sumut
3
yakni Nias, Nias Selatan, Padang Lawas Utara, Mandailing Natal, Simalungun,
Dairi, Nias Barat, Deliserdang, Padang Lawas, Pakpak Bharat, Tapanuli Tengah,
Medan, Langkat, Gunungsitoli dan Nias Utara (Riskesdas, 2018).
WHO menyatakan resolusi target global pada gizi ibu dan anak sebagai
prioritas. Target utamanya bertujuan untuk menurunkan stunting pada anak
sebanyak 40% secara global atau 3,9% penurunan pertahun di antara tahun
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019
menyebutkan bahwa terdapat empat program prioritas pembangunan kesehatan di
Indonesia, salah satunya adalah penurunan prevelansi balita stunting (WHO,
2012).
Upaya kemenkes dalam penurunan angka stunting di Indonesia menjadi 14
persen pada 2024. Terdapat delapan sasaran strategi dalam upaya penurunan
angka stunting yaitu meningkatnya kesehatan ibu, anak dan gizi masyarakat,
meningkatnya ketersediaan dan mutu fasyankes dasar dan rujukan, meningkatnya
pencegahan dan pengendalian penyakit serta pengelolaan kedaruratan kesehatan
masyarakat, meningkatnya akses, kemandirian dan mutu kefarmasian dan alat
kesehatan, meningkatnya pemenuhan SDM Kesehatan dan kompetensi sesuai
standar, terjaminnya pembiayaan kesehatan, meningatnya sinergisme pusat dan
daerah serta meningkatnya tata Kelola pemerintahan yang baik dan bersih,
meningkatnya efektivitas pengelolaan litbangkes dan sistem informasi Kesehatan
untuk pengambilan keputusan (Kemenkes, 2020).
Di Kota Medan terdapat 171 Puskesmas yang tersebar di wilayah Kota
Medan. Berdasarkan Survei Awal Di Puskesmas Amplas terdapat 706 ibu dari
balita yang terdata dalam data pencatatan antropometri e-PBGM tahun 2020 yang
sudah dikumpulkan oleh Tenaga Petugas Gizi UPT Puskesmas Amplas kecamatan
Amplas Kota Medan. Terdapat berbagai macam ukuran tinggi badan pada balita
hingga stunting baik balita berjenis laki-laki maupun perempuan. Tenaga
kesehatan Puskesmas Amplas memiliki jadwal imunisasi pada balita yang
dilakukan selama satu bulan pada hari Senin sampai Jum’at di beberapa posyandu
pada kecamatan Harjosari 1. Dari data diketahui bahwa terdapat ibu yang
memanfaatkan fasilitas upaya puskesmas dalam mendukung pertumbuhan dan
perkembangan anak secara optimal.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stunting
2.1.1 Definisi Stunting
Stunting adalah suatu keadaan gagal tumbuh pada anak balita (bayi
dibawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis yang berdampak anak
dengan postur tubuh pendek dibadingkan dengan teman sebayanya. Seorang balita
mengalami malnutrisi sejak dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi
lahir. Bayi dengan keadaan stunting akan kelihatan jika bayi setelah berumur 2
tahun dengan ditandai gagal tumbuh dan perhitungan sesuai standar WHO dengan
ciri menurunnya dengan cepat gagal tumbuh dan merupakan efek dari
ketidakseimbangan asupan gizi baik dari segi kualitas maupun kuantitas,
tingginya kesakitan, atau merupakan kombinasi dari keduanya. Kondisi tersebut
sering dijumpai di negara dengan kondisi ekonomi kurang. World Health
Organization (WHO) Child Growth Standart menyatakan stunting didefinisikan
berdasarkan perhitungan indeks panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB)
dengan batas (z- score) kurang dari -2 SD ( Handayani, 2020 ).
Menurut Ramayulis, dkk (2018) Stunting atau pendek didefinisikan
sebagai kondisi gagal tumbuh pada bayi (0- 11 bulan) dan anak balita (12-59
bulan) akibat dari kekurangan gizi kronis terutama dalam 1.000 hari pertama
kehidupan sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Anak dengan defisiensi
vitamin A memiliki kecenderungan stunting karena pada masa anak-anak vitamin
A mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sel, apabila terjadi defisiensi
dapat merusak sistem kekebalan tubuh dan dapat meningkatkan risiko infeki
seperti penyakit campak dan diare.
Periode emas atau golden age period merupakan periode yang kritis yang
terjadi satu kali dalam kehidupan anak, karena pada masa ini tidak kurang 100
milyar sel otak siap untuk distimulasi agar kecerdasan seseorang dapat
7
jumlah dan kualitas gizi, serta seringkali tidak beragam. Pada bayi berumur 0-4
bulan cukup mengkonsumsi ASI saja. Asi adalah satu-satunya makanan tunggal
yang penting dalam proses tumbuh kembang. Asupann zat gizi trrbagi menjadi
dua yaitu Zat Gizi Mikro meliputi Karbohidrat yang berperan spesifik bagi
organisme hidup terutama sebagai sumber energi bagi tubuh. Lalu protein, asupan
protein dari makanan sehari-hari jita merupakan sumber utama asam amino yang
sangat penting bagi proses pembangunan didalam tubuh. Lemak sebagai salah
satu kelompok zat gizi sumber energi, lemak dapat menghasilkan lebih dari dua
kali energi yang di hasilkan per gram karbohidrat maupun protein. Dan Zat Mikro
meliputi Vitamin larut air ( Vitamin B kompleks, Riboflavin, Niasin, Asam
pantotenat, Piridoksin, Asam Foalt, Vitamin B12, Vitamin C ) dan Vitamin larut
lemak ( Vitamin A, Vitamin D, Vitamin E, Vitamin K ) dan Mineral (Thahir,
2019).
3. Pola Asuh
Pola asuh dan status gizi sangat dipengaruhi oleh pemahaman orang tua terutama
seorang ibu dalam mengatur kesehatan dan gizi di keluarganya. melakukan
edukasi diperlukan agar dapat mengubah perilaku yang bisa mengarahkan pada
peningkatan kesehatan gizi atau ibu dan anaknya. (Kemenkes, 2018)
4. Konsumsi ASI
Asi merupakan makanan yang baik bagi bayi, terutama pada bayi berusia 0-6
bulan. Asi juga merupakan makanan tunggal yang penting dalam proses tumbuh
kembang. Dan dapat menciptakan hubungan yang erat antara ibu dan bayi.
Pertumbuhan bayi yang diberi ASI biasanya tumbuh lebih cepat tiga bulan
kehidupan pertama. ASI dibutuhkan oleh anak agar kecukupan zat gizinya dapat
terpenuhi sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara normal dan optimal.
ASI memiliki kandungan zat gizi yang sesuai untuk anak. Kandungan zat gizi
dalam ASI diantaranya adalah energi (dengan kontribusi kandungan energi
terbesar berasal dari protein karbohidrat dan lemak), vitamin A, vitamin D,
vitamin B6, Kalsium, Zat besi, dan juga Zinc. Anak yang tidak mendapatkan ASI
eksklusif berisiko untuk terjadi stunting (wiyono, 2016 ).
5. Pengetahuan Ibu
Pengetahuan ibu merupakan penyebab tidak langsung namun sangat berpengaruh
9
terjadinya stunting karena berkontribusi pada makanan apa yang diberikan pada
anak. Intervensi gizi spesifik salah satunya upaya melakukan pencegahan dan
mengurangi penyebab langsung memilki kontribusi 30% dalam upaya perbaikan
gizi (Jalal dan Fasli, 2017).
6. Status Ekonomi
Status sosial ekonomi keluarga seperti pendapatan keluarga, pendidikan orang tua,
pengetahuan ibu tentang gizi, dan jumlah anggota keluarga secara tidak langsung
dapat berhubungan dengan kejadian stunting. Keluarga dengan pendapatan yang
tinggi akan lebih mudah memperoleh akses pendidikan dan kesehatan sehingga
status gizi anak dapat lebih baik (Khorun Ni’mah, 2015).
7. Riwayat Kehamilan
Penelitian yang dilakukan di Cina menunjukkan bahwa faktor ibu merupakan
faktor resiko untuk stunting antara lain ibu dengan anemia dan kurang gizi saat
hamil masing-masing memiliki resiko 2 kali lebih tinggi dibanding dengan ibu
yang tidak mengalami anemia atau kekurangan gizi saat hamil (Nurul Fajrina,
2016).
Hal ini sejalan dengan Hardinsah (2017) mengatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi bayi lahir stunting adalah ibu hamil KEK, anemia, dan HDK,
faktor genetik hanya berperan 20-30% dalam kejadian stunting.
8. Berat Badan Lahir Rendah
Status gizi ibu hamil sangat mempengaruhi keadaan kesehatan dan perkembangan
janin. Gangguan pertumbuhan dalam kandungan dapat menyebabkan berat lahir
rendah (Khorun Ni’mah, 2015).
9. Pelayanan Kesehatan
Selain itu, stunting juga dipengaruhi dengan rendahnya akses terhadap pelayanan
kesehatan, termasuk di dalamnya adalah akses sanitasi dan air bersih.
10. Faktor Lain
Adapun hasil penelitian oleh Asri (2019) salah satu faktor risiko yaitu perilaku
suami merokok. Hasil analisis deskripstif, menunjukan bahwa 80% bapak perokok
baik sebelum dan sejak ibu hamil. Ibu tetap membiarkan bapak merokok
dikarenakan tidak memiliki kekuasaan untuk melarang.
10
kemampuan kognisi dan intelektual yang kurang akan lebih sulit menguasai
ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi karena kemampuan analisis yang
lebih lemah. Adapun yang terjadi pada anak stunting yaitu sulit untuk
berprestasi dalam bidang olahraga dan kemampuan fisik. Dengan demikian,
jika jumlah stunting dalam negara cukup besar maka menjadi permasalahan
bagi prestasi dan kualitas bangsa di masa depan.
3. Lebih mudah terkena penyakit degeneratif
Dampak stunting juga dapat menyebabkan penyakit degenratif yaitu penyakit
yang muncul seiring bertambahnya usia. Anak-anak yang kurang gizi pada
waktu balita, kemudian mengalami stunting maka pada usia dewasa akan
lebih mudah mengalami obesitas dan terserang diabetes mellitus. Seseorang
yang dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya mengalami
kekurangan gizi dapat mengalami masalah pada perkembangan sistem
hormonal insulin dan glukagon pada pankreas yang mengatur keseimbangan
dan metabolisme glukosa. Sehingga, pada saat usia dewasa jika terjadi
kelebihan intake kalori, keseimbangan gula darah lebih cepat terganggu, dan
pembentukan jaringan lemak tubuh (lipogenesis) juga lebih mudah.
Dengan demikian, kondisi stunting juga berperan dalam meningkatkan
beban gizi ganda terhadap peningkatan penyakit kronis di masa depan.
4. Sumber daya manusia berkualitas rendah
Stunting akan menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia usia
produktif dan meningkatkan penyakit kronis degeneratif saat dewasa.
Menurut WHO dampak stunting dibagi menjadi dua kelompak yaitu :
1. Dalam jangka pendek
stunting dapat menyebabkan peningkatan kejadian kesakitan dan
kematian, tidak optimalnya perkembangan kognitif atau kecerdasan,
motorik, dan verbal, serta peningkatan biaya kesehatan.
2. Dampak jangka panjang
postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa, peningkatan risiko obesitas
dan penyakit degeneratif lainnya, menurunnya kesehatan reproduksi, tidak
optimalnya kapasitas belajar. ( Kemenkes RI, 2018)
12
2.1.4 Epidemiologi
Data WHO (2014) mencatat sekitar seperempat atau 24,5% anak balita di
dunia mengalami stunting. Sekitar 80% anak stunting di dunia tinggal di 14
negara. Prevalensi stunting terbesar di dunia yaitu di India dengan prevalensi
stunting 48% (61.723 jumlah anak stunting), prevalensi terbesar kedua yaitu
Nigeria, Pakistan, China. Indonesia adalah negara dengan prevalensi stunting
kelima terbesar dengan prevalensi 36% (7.547 jumlah anak stunting). Berdasarkan
hasil pemantauan status gizi pada 2017 menunjukkan bahwa prevalensi stunting di
Indonesia cukup tinggi yakni 29,6% diatas batasan yang ditetapkan WHO 20 %
(Kemenkes, 2018).
Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara lain di
Asia Tenggara, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%).
Indonesia menduduki peringkat kelima dunia untuk jumlah anak dengan kondisi
stunting. Lebih dari sepertiga anak berusia di bawah lima tahun di Indonesia
tingginya berada di bawah rata-rata ( Sutarto, dkk 2018 ).
Stunting merupakan prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia
yang selanjutnya akan berpengaruh pada pengembangan potensi bangsa.
Berdasarkan data Riskesdas (2013) prevalensi anak balita stunting di Indonesia
pada tahun 2007 sebesar 36,8%, pada tahun 2010 terjadi penurunan sebesar 35,5%
dan pada tahun 2013 terjadi peningkatan menjadi 37,2%. Berdasarkan hasil PSG
Kemenkes (2015) provinsi Nusa Tenggara Timur adalah prevalensi stunting
tertinggi di Indonesia sebesar 41,2%, sedangkan prevalensi stunting di Jawa Barat
sebesar 25,6%. Artinya, pertumbuhan tidak maksimal diderita oleh sekitar 8,9 juta
anak Indonesia, atau satu dari tiga anak Indonesia ( Arsyati, 2019).
Sedangkan di Provinsi SUMUT diketahui prevalensi anak pendek sebesar
18,6% dan sangat pendek 13,6%. Provinsi SUMUT menempati posisi pertama
sebagai wilayah dengan prevalensi stunting tertinggi pada anak usia 0-23 bulan
jika di bandingkan dengan provinsi lainnya di Pulau Sumatera ( Balitbangkes,
2018).
Pada tahun 2018 Kemenkes RI kembali melakukan Riset Kesehatan Dasar
yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan tentang
Prevalensi Stunting. Berdasarkan Penelitian tersebut angka stunting atau anak
13
tumbuh pendek turun dari 37,2% pada Riskesdas 2013 menjadi 30,8%
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018).
2.1.5 Patofisiologi
Kekurangan nutrisi prenatal dan setelah lahir, infeksi sistemik, dan infeksi
usus diduga berkontribusi terhadap kejadian stunting. Perawakan orang tua yang
pendek, indeks massa tubuh orang tua yang rendah, serta kenaikan berat badan
yang kurang selama kehamilan juga dinilai berhubungan dengan berat bayi lahir
rendah, yang merupakan salah satu risiko stunting. Kehamilan pada masa remaja,
saat ibunya sendiri masih dalam masa pertumbuhan, meningkatkan risiko stunting
maternal dan dapat menyebabkan luaran obstetrik yang buruk. Jarak antar
kelahiran yang dekat juga meningkatkan kebutuhan nutrisi pada ibu. Perawakan
ibu yang pendek disertai dengan kondisi anak dengan berat lahir rendah dan
stunting dapat memperparah lingkaran intergenerasi dari stunting ( Prendergast
and Humprey, 2014 ).
Temuan baru menyatakan bahwa environmental enteric dysfunction (EED)
berperan besar dalam patogenesis stunting. EED adalah gangguan umum struktur
dan fungsi usus halus yang sering ditemukan pada anak-anak yang hidup di
lingkungan yang tidak sehat. Mekanisme EED yang menyebabkan terjadinya
gagal tumbuh adalah karena terjadinya kebocoran usus dan tingginya
permeabilitas usus, inflamasi usus, disbiosis dan translokasi bakteri, inflamasi
sistemik, serta malabsorpsi nutrisi ( Owino, et al, 2016 ).
Studi lain menyatakan bahwa PEE suatu inflamasi kronis pada usus halus
diduga berkontribusi besar pada patofisiologi stunting. Perubahan komposisi
mikrobiota di usus diduga menyebabkan kegagalan intervensi gizi dan
berkurangnya respons tubuh terhadap vaksin oral ( Vonaesch, et al 2018 ).
2.1.6 Pencegahan
Stunting adalah gangguan tumbuh kembang anak karena kekurangan masukan
zat gizi, terserang penyakit atau infeksi, maupun stimulasi yang tidak memadai.
Sebenarnya jumlah penderita stunting sudah menurun di Indonesia, tetapi masih di
perlukan upaya yang komphrensif untuk mempercepat penurunan. Stunting lebih
tepat untuk dicegah sehingga promosi kesehatan paling tepat dalam
14
lebih
16
B. GERMAS
Germas berusaha menujukkan masyarakat yang sehat dengan
meninggalkan perilaku yang berakibat buruk pada kesehatan dan juga
meningkatkan perilaku yang baik untuk kesehatan. Germas bersinergi
dalam perilaku hidup bersih dan sehat di tambah dengan peningkatan
infrastruktur berbasis masyarakat.
Berikut tujuh langkah Germas yang dapat menjadi panduan menjalani pola
hidup lebih sehat :
1. Melakukan aktivitas fisik
2. Makan buah dan sayur
3. Mengajarkan masyarakat untuk tidak merokok
4. Tidak mengonsumsi minuman beralkohol
5. Masyarakat melaksanakan cek kesehatan berkala
6. Menjaga kebersihan lingkungan
7. Meningkatkan perilaku masyarakat menggunakan jamban
a. Perilaku Hidup Bersih Sehat ( PBHS )
Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan cerminan pola hidup keluarga
yang senantiasa memperhatikan dan menjaga seluruh anggota keluarga.
PBHS merupakan segala tindakan yang dilakukan dengan sengaja dan
penuh kesadaran yang mengakibatkan dirinya sebagai anggota keluarga
dan seluruh keluarga dapat menjaga kesehatan dan berperan aktif dalam
meningkatkan kesehatan masyarakat. PBHS diselenggarkan karena
kesadaran akan pencegahan merupakan sebuah aktivitas yang lebih baik
daripada mengobati.
b. PBHS di rumah tangga
Dalam PBHS di rumah tangga diajarkan 10 upaya kesehatan yang dapat
digunakan dan untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu,
mau dan mampu mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat serta
berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat. Diharapkan seluruh
anggota keluarga dapat berkontribusi untuk kesehatan masyarakat.
18
Normal -2,0 SD
BB/TB Sangat Kurus < -3,0 SD