Chapter I, II

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 24

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak akibat dari
kekurangan gizi kronis atau keadaan malnutrisi yang berhubungan dengan
ketidakcukupan zat gizi masa lalu yang ditandai dengan TB anak yang lebih
pendek dari anak dengan usia yang sama ( Kemenkes RI, 2018). Menurut WHO,
Stunting adalah kondisi nilai Z-score tinggi badan menurut (TB/U) berdasarkan
standar pertumbuhan mencapai kurang dari -2 standar deviasi (SD) (Margawati,
2018).
Dampak dari defisiensi nutrisi selama 1000 hari pertama kehidupan dapat
menimbulkan masalah stunting pada anak. Masalah pada stunting dapat
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan status
pada anak sehingga pada anak perlu mendapatkan perhatian khusus. Anak yang
mengalami stunting memiliki kemungkinan lebih besar tumbuh menjadi individu
dewasa yang tidak sehat. kurangnya asupan makanan dan adanya penyakit infeksi
salahsatu faktor penyebab angka kejadian stunting tinggi. Faktor lainnya antara
lain usia ibu pengetahuan ibu yang kurang, pola asuh yang salah seperti riwayat
ASI ekslusif selama 6 bulan , status ekonomi, jumlah keluarga, sanitasi higienitas
yang buruk, dan pelayanan kesehatan masyarakat yang belum menyadari anak
pendek merupakan suatu masalah karena anak pendek dimasyarakat terhilat
sebagai anak- anak aktivitas yang normal (Mitra, 2015). Salah satu peran yang
sangat penting dan mendukung dalam proses pertumbuhan dan perkembangan
anak yaitu pengetahuan seorang ibu (wulandini, 2020).
Dampak stunting dibagi menjadi dua yaitu jangka pendek dan jangka
panjang. Dampak jangka pendek yaitu terganggunya perkembangan otak,
kecerdasan, gangguan fisik dan gangguan metabolisme dalam tubuh sedangkan
untuk jangka panjang yaitu menurunnya kemampuan kognitif, dan kekebalan
tubuh sehingga mudah terserang penyakit, adanya resiko yang tinggi untuk
terkena
2

penyakit diabetes, penyakit jantung, stroke dan kanker serta penyakit resiko
lainnya (Astuti, 2019).
Pada penelitian oleh Aridiyah 2015, didapatkan bahwa jumlah ibu dengan
anak stunting yang berpendidikan rendah adalah sebesar 96,7% di desa,
sedangkan untuk dikota sebesar 80%. Pada status pekerjaan ibu dengan anak
stunting yang berada di wilayah desa terbanyak adalah tidak bekerja sebesar 71%
dan di kota sebesar 53,3%.
Menurut United Nations Children's Emergency Fund lebih dari setengah
anak stunting atau sebesar 56% tinggal di ASIA dan lebih dari sepertiga atau
sebesar 37% tinggal di Afrika (Unicef, 2016). Indonesia masih mengalami
permasalahan dalam masalah gizi dan tumbuh kembang anak. UNICEF
mengemukakan sekitar 80% anak stunting terdapat di 24 negara Asia dan Afrika
(Unicef, 2009). Indonesia merupakan negara urutan kelima yang memiliki
prevalensi anak stunting tertinggi setelah India, China, Nigeria dan Pakistan. Saat
ini, prevalensi anak stunting di bawah 5 tahun di Asia Selatan sekitar 38%
berkembang di Asia dan Afrika (Unicef, 2014).
Prevalensi stunting di Indonesia berdasarkan hasil pemantauan status gizi
pada 2017 menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Indonesia cukup tinggi
yakni 29,6% diatas batasan yang ditetapkan WHO yaitu 20% (Kemenkes, 2018).
Pada tahun 2019 di benua Amerika utara-selatan, Afrika dan Asia merupakan tiga
wilayah dengan prevalensi stunting tertinggi didunia. Pada tahun 2019, prevalensi
sebesar 21,3% atau sekitar 140 juta anak umur di bawah 5 tahun mengalami
stunting. Kejadian stunting di Indonesia dikategorikan sangat tinggi oleh WHO
pada tahun 2019 lebih dari 30% (WHO, 2020).
Sedangkan prevalensi di Provinsi SUMUT diketahui anak pendek sebesar
18,6% dan sangat pendek 13,6%. Provinsi SUMUT menempati posisi pertama
sebagai wilayah dengan prevalensi stunting tertinggi pada anak usia 0-23 bulan
jika di bandingkan dengan Provinsi lainnya di Pulau Sumatera ( Balitbangkes,
2018).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018, prevalensi stunting
di Sumut ditemukan 32,4 % balita stunting. Sedangkan tahun 2019, prevalensi di
Sumut 30,11 %. Adapun, 15 kabupaten/kota lokus pencegahan stunting di Sumut
3

yakni Nias, Nias Selatan, Padang Lawas Utara, Mandailing Natal, Simalungun,
Dairi, Nias Barat, Deliserdang, Padang Lawas, Pakpak Bharat, Tapanuli Tengah,
Medan, Langkat, Gunungsitoli dan Nias Utara (Riskesdas, 2018).
WHO menyatakan resolusi target global pada gizi ibu dan anak sebagai
prioritas. Target utamanya bertujuan untuk menurunkan stunting pada anak
sebanyak 40% secara global atau 3,9% penurunan pertahun di antara tahun
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019
menyebutkan bahwa terdapat empat program prioritas pembangunan kesehatan di
Indonesia, salah satunya adalah penurunan prevelansi balita stunting (WHO,
2012).
Upaya kemenkes dalam penurunan angka stunting di Indonesia menjadi 14
persen pada 2024. Terdapat delapan sasaran strategi dalam upaya penurunan
angka stunting yaitu meningkatnya kesehatan ibu, anak dan gizi masyarakat,
meningkatnya ketersediaan dan mutu fasyankes dasar dan rujukan, meningkatnya
pencegahan dan pengendalian penyakit serta pengelolaan kedaruratan kesehatan
masyarakat, meningkatnya akses, kemandirian dan mutu kefarmasian dan alat
kesehatan, meningkatnya pemenuhan SDM Kesehatan dan kompetensi sesuai
standar, terjaminnya pembiayaan kesehatan, meningatnya sinergisme pusat dan
daerah serta meningkatnya tata Kelola pemerintahan yang baik dan bersih,
meningkatnya efektivitas pengelolaan litbangkes dan sistem informasi Kesehatan
untuk pengambilan keputusan (Kemenkes, 2020).
Di Kota Medan terdapat 171 Puskesmas yang tersebar di wilayah Kota
Medan. Berdasarkan Survei Awal Di Puskesmas Amplas terdapat 706 ibu dari
balita yang terdata dalam data pencatatan antropometri e-PBGM tahun 2020 yang
sudah dikumpulkan oleh Tenaga Petugas Gizi UPT Puskesmas Amplas kecamatan
Amplas Kota Medan. Terdapat berbagai macam ukuran tinggi badan pada balita
hingga stunting baik balita berjenis laki-laki maupun perempuan. Tenaga
kesehatan Puskesmas Amplas memiliki jadwal imunisasi pada balita yang
dilakukan selama satu bulan pada hari Senin sampai Jum’at di beberapa posyandu
pada kecamatan Harjosari 1. Dari data diketahui bahwa terdapat ibu yang
memanfaatkan fasilitas upaya puskesmas dalam mendukung pertumbuhan dan
perkembangan anak secara optimal.
4

Berdasarkan uraian latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan


penelitian untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang mempengaruhi kejadian
stunting di Puskesmas Amplas Kelurahan Harjosari 1 Kecamatan Amplas kota
Medan Provinsi Sumatera Utara.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
stunting di Puskesmas Amplas Kelurahan Harjosari 1 Kecamatan Amplas Kota
Medan.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum pada penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian Stunting di Puskesmas Amplas Kota Medan tahun 2020.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan usia
ibu.
2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan
pendidikan ibu.
3. Mengetahui faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan
tinggi badan ibu.
4. Mengetahui faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan
riwayat kehamilan ibu.
5. Mengetahui faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan
pemberian ASI ekslusif.
6. Mengetahui faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan
pengetahuan ibu.
7. Mengetahui faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan
pekerjaan.
8. Mengetahui faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan
status ekonomi.
5

9. Mengetahui faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan


jumlah keluarga.
10. Mengetahui faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan pola
asuh.
11. Mengetahui faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan
asupam gizi.
12. Mengetahui faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan
riwayat beran badan lahir rendah.
13. Mengetahui faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan
pelayanan kesehatan.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritik
1.4.2 Manfaat untuk Masyarakat
Memberikan informasi kesehatan mengenai pentingnya mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stunting sehingga mendukung
pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal.
1.4.3 Manfaat untuk Peneliti
Dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan sebagai
mahasiswa kedokteran sehingga dapat memberikan edukasi kepada masyarakat
pentingnya mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada
balita.
1.4.4 Manfaat Aplikatif
Dari gambaran yang diperoleh dapat diketahui faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kejadian stunting sehingga diberikan informasi serta edukasi yang
dapat diterapkan untuk meminimalisir terjadinya stunting.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stunting
2.1.1 Definisi Stunting
Stunting adalah suatu keadaan gagal tumbuh pada anak balita (bayi
dibawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis yang berdampak anak
dengan postur tubuh pendek dibadingkan dengan teman sebayanya. Seorang balita
mengalami malnutrisi sejak dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi
lahir. Bayi dengan keadaan stunting akan kelihatan jika bayi setelah berumur 2
tahun dengan ditandai gagal tumbuh dan perhitungan sesuai standar WHO dengan
ciri menurunnya dengan cepat gagal tumbuh dan merupakan efek dari
ketidakseimbangan asupan gizi baik dari segi kualitas maupun kuantitas,
tingginya kesakitan, atau merupakan kombinasi dari keduanya. Kondisi tersebut
sering dijumpai di negara dengan kondisi ekonomi kurang. World Health
Organization (WHO) Child Growth Standart menyatakan stunting didefinisikan
berdasarkan perhitungan indeks panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB)
dengan batas (z- score) kurang dari -2 SD ( Handayani, 2020 ).
Menurut Ramayulis, dkk (2018) Stunting atau pendek didefinisikan
sebagai kondisi gagal tumbuh pada bayi (0- 11 bulan) dan anak balita (12-59
bulan) akibat dari kekurangan gizi kronis terutama dalam 1.000 hari pertama
kehidupan sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Anak dengan defisiensi
vitamin A memiliki kecenderungan stunting karena pada masa anak-anak vitamin
A mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sel, apabila terjadi defisiensi
dapat merusak sistem kekebalan tubuh dan dapat meningkatkan risiko infeki
seperti penyakit campak dan diare.
Periode emas atau golden age period merupakan periode yang kritis yang
terjadi satu kali dalam kehidupan anak, karena pada masa ini tidak kurang 100
milyar sel otak siap untuk distimulasi agar kecerdasan seseorang dapat
7

Berkembang secara optimal di kemudian hari. Periode ini terjadi pada


1000 hari pertama, yaitu semenjak kehamilan sampai anak berusia 2 tahun dan
merupakan masa kritis yang berdampak pada perkembangan fisik dan kognisi
anak. Anak yang memiliki awal tumbuh kembang yang baik akan tumbuh
menjadi dewasa yang lebih sehat sehingga nantinya akan memiliki kehidupan
yang lebih baik ( Sugeng dkk , 2019 ). Jika dilihat dari umur balita, ternyata
kejadian stunting banyak terdapat pada usia 12 hingga 59 bulan. Padahal teori
menjelaskan bahwa 90% pertumbuhan otak manusia terjadi sejak janin sampai
sebelum anak berusia lima tahun. Bahkan, 70% pertumbuhan otak itu terjadi di
bawah usia 2 tahun (Fitri, 2018).
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal
lahir, tetapi stunting baru nampak setelah anak berusia 2 tahun. Berdampak pada
tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit, menurunkan produktifitas dan
kemudian menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan
ketimpangan. Anak kerdil yang terjadi di Indonesia sebenarnya tidak hanya
dialami oleh rumah tangga/keluarga yang miskin dan kurang mampu, karena
stunting juga dialami oleh rumah tangga / keluarga yang tidak miskin / yang
berada di atas 40 % tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi (Sutarto, Mayasari
dan Indriyani, 2018).
2.1.2 Faktor Risiko
Seorang balita mengalami malnutrisi sejak dalam kandungan dan pada
masa awal setelah bayi lahir yaitu faktor gizi buruk pada ibu hamil sejak 1000
HPK. Bayi dengan keadaan stunting terlihat setelah bayi berumur 2 tahun dengan
ditandai gagal tumbuh dan perhitungan sesuai standar WHO ( Handayani, 2020).
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya stunting, antara lain :
1. Faktor Host Rentan
Faktor host yang rentan mengalami stunting adalah balita. Faktor ini dapat di
pengaruhi oleh usia balita, jenis kelamin balita, imunitas balita, penyakit infeksi
yang diderita balita, dan status imunisasi balita.
2. Asupan Zat Gizi
Masalah stunting dipengaruhi oleh rendahnya akses terhadap makanan dari segi
8

jumlah dan kualitas gizi, serta seringkali tidak beragam. Pada bayi berumur 0-4
bulan cukup mengkonsumsi ASI saja. Asi adalah satu-satunya makanan tunggal
yang penting dalam proses tumbuh kembang. Asupann zat gizi trrbagi menjadi
dua yaitu Zat Gizi Mikro meliputi Karbohidrat yang berperan spesifik bagi
organisme hidup terutama sebagai sumber energi bagi tubuh. Lalu protein, asupan
protein dari makanan sehari-hari jita merupakan sumber utama asam amino yang
sangat penting bagi proses pembangunan didalam tubuh. Lemak sebagai salah
satu kelompok zat gizi sumber energi, lemak dapat menghasilkan lebih dari dua
kali energi yang di hasilkan per gram karbohidrat maupun protein. Dan Zat Mikro
meliputi Vitamin larut air ( Vitamin B kompleks, Riboflavin, Niasin, Asam
pantotenat, Piridoksin, Asam Foalt, Vitamin B12, Vitamin C ) dan Vitamin larut
lemak ( Vitamin A, Vitamin D, Vitamin E, Vitamin K ) dan Mineral (Thahir,
2019).
3. Pola Asuh
Pola asuh dan status gizi sangat dipengaruhi oleh pemahaman orang tua terutama
seorang ibu dalam mengatur kesehatan dan gizi di keluarganya. melakukan
edukasi diperlukan agar dapat mengubah perilaku yang bisa mengarahkan pada
peningkatan kesehatan gizi atau ibu dan anaknya. (Kemenkes, 2018)
4. Konsumsi ASI
Asi merupakan makanan yang baik bagi bayi, terutama pada bayi berusia 0-6
bulan. Asi juga merupakan makanan tunggal yang penting dalam proses tumbuh
kembang. Dan dapat menciptakan hubungan yang erat antara ibu dan bayi.
Pertumbuhan bayi yang diberi ASI biasanya tumbuh lebih cepat tiga bulan
kehidupan pertama. ASI dibutuhkan oleh anak agar kecukupan zat gizinya dapat
terpenuhi sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara normal dan optimal.
ASI memiliki kandungan zat gizi yang sesuai untuk anak. Kandungan zat gizi
dalam ASI diantaranya adalah energi (dengan kontribusi kandungan energi
terbesar berasal dari protein karbohidrat dan lemak), vitamin A, vitamin D,
vitamin B6, Kalsium, Zat besi, dan juga Zinc. Anak yang tidak mendapatkan ASI
eksklusif berisiko untuk terjadi stunting (wiyono, 2016 ).
5. Pengetahuan Ibu
Pengetahuan ibu merupakan penyebab tidak langsung namun sangat berpengaruh
9

terjadinya stunting karena berkontribusi pada makanan apa yang diberikan pada
anak. Intervensi gizi spesifik salah satunya upaya melakukan pencegahan dan
mengurangi penyebab langsung memilki kontribusi 30% dalam upaya perbaikan
gizi (Jalal dan Fasli, 2017).
6. Status Ekonomi
Status sosial ekonomi keluarga seperti pendapatan keluarga, pendidikan orang tua,
pengetahuan ibu tentang gizi, dan jumlah anggota keluarga secara tidak langsung
dapat berhubungan dengan kejadian stunting. Keluarga dengan pendapatan yang
tinggi akan lebih mudah memperoleh akses pendidikan dan kesehatan sehingga
status gizi anak dapat lebih baik (Khorun Ni’mah, 2015).
7. Riwayat Kehamilan
Penelitian yang dilakukan di Cina menunjukkan bahwa faktor ibu merupakan
faktor resiko untuk stunting antara lain ibu dengan anemia dan kurang gizi saat
hamil masing-masing memiliki resiko 2 kali lebih tinggi dibanding dengan ibu
yang tidak mengalami anemia atau kekurangan gizi saat hamil (Nurul Fajrina,
2016).
Hal ini sejalan dengan Hardinsah (2017) mengatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi bayi lahir stunting adalah ibu hamil KEK, anemia, dan HDK,
faktor genetik hanya berperan 20-30% dalam kejadian stunting.
8. Berat Badan Lahir Rendah
Status gizi ibu hamil sangat mempengaruhi keadaan kesehatan dan perkembangan
janin. Gangguan pertumbuhan dalam kandungan dapat menyebabkan berat lahir
rendah (Khorun Ni’mah, 2015).
9. Pelayanan Kesehatan
Selain itu, stunting juga dipengaruhi dengan rendahnya akses terhadap pelayanan
kesehatan, termasuk di dalamnya adalah akses sanitasi dan air bersih.
10. Faktor Lain
Adapun hasil penelitian oleh Asri (2019) salah satu faktor risiko yaitu perilaku
suami merokok. Hasil analisis deskripstif, menunjukan bahwa 80% bapak perokok
baik sebelum dan sejak ibu hamil. Ibu tetap membiarkan bapak merokok
dikarenakan tidak memiliki kekuasaan untuk melarang.
10

11. Tingkat pendidikan


Pendidikan juga dapat menjadi salah satu faktor risiko kejadian stunting.
Penelitiaan yang dilakukan di Banjarbaru pada anak usia 6-23 bulan menunjukkan
pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor risiko dari kejadian stunting pada
anak. Semakin tinggi tingkat pendidikan akan membuat seseorang lebih mudah
dalam menyerap informasi dan menerapkan dalam kehidupan sehari- hari (
Vaozia dan Nuryanto, 2016).
12. Faktor genetik
Beberapa postur tubuh merupakan refleksi dari faktor genetik ini. Sifat yang di
wariskan memeggang kunci bagi ukuran akhir yang dapat dicapai oleh anak.
Leadaan gizi sebagaian besar menentukan kesanggupan untuk negara berkembang
memperlihatkan perbaikan gizi pada than-tahun terakhir mengakibatkan
perubahan tinggi badan yang jelas ( Gibney, dkk 2008 ).
2.1.3 Dampak Stunting
Kekurangan gizi pada anak berdampak secara akut dan kronis. Anak-anak
yang mengalami kekurangan gizi akut akan terlihat lemah secara fisik. Anak
yang mengalami kekurangan gizi dalam jangka waktu yang lama atau kronis,
terutama yang terjadi sebelum usia dua tahun, akan terhambat pertumbuhan
fisiknya sehingga menjadi pendek (stunted). Adapun beberapa dampak yang
disebabkan oleh terjadinya stunting, antara lain (Dasman, 2019) :
1. Kognitif lemah dan psikomotorik terhambat
Anak yang tumbuh dalam keadaan stunting akan mengalami masalah
perkembangan kognitif dan psikomotor. Jika jumlah anak yang mengalami
kurang gizi, gizi buruk, dan stunting besar dalam suatu negara, maka akan
berdampak pada kualitas sumber daya manusia yang akan dihasilkan.
masalah stunting pada anak hari ini akan berdampak pada kualitas bangsa
masa depan.
2. Kesulitan menguasai sains dan berprestasi dalam olahraga
Anak-anak yang tumbuh dan berkembang tidak proporsional hari ini, pada
umumnya akan mempunyai kemampuan secara intelektual di bawah rata-rata
dibandingkan anak yang tumbuh dengan baik. Generasi yang tumbuh dengan
11

kemampuan kognisi dan intelektual yang kurang akan lebih sulit menguasai
ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi karena kemampuan analisis yang
lebih lemah. Adapun yang terjadi pada anak stunting yaitu sulit untuk
berprestasi dalam bidang olahraga dan kemampuan fisik. Dengan demikian,
jika jumlah stunting dalam negara cukup besar maka menjadi permasalahan
bagi prestasi dan kualitas bangsa di masa depan.
3. Lebih mudah terkena penyakit degeneratif
Dampak stunting juga dapat menyebabkan penyakit degenratif yaitu penyakit
yang muncul seiring bertambahnya usia. Anak-anak yang kurang gizi pada
waktu balita, kemudian mengalami stunting maka pada usia dewasa akan
lebih mudah mengalami obesitas dan terserang diabetes mellitus. Seseorang
yang dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya mengalami
kekurangan gizi dapat mengalami masalah pada perkembangan sistem
hormonal insulin dan glukagon pada pankreas yang mengatur keseimbangan
dan metabolisme glukosa. Sehingga, pada saat usia dewasa jika terjadi
kelebihan intake kalori, keseimbangan gula darah lebih cepat terganggu, dan
pembentukan jaringan lemak tubuh (lipogenesis) juga lebih mudah.
Dengan demikian, kondisi stunting juga berperan dalam meningkatkan
beban gizi ganda terhadap peningkatan penyakit kronis di masa depan.
4. Sumber daya manusia berkualitas rendah
Stunting akan menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia usia
produktif dan meningkatkan penyakit kronis degeneratif saat dewasa.
Menurut WHO dampak stunting dibagi menjadi dua kelompak yaitu :
1. Dalam jangka pendek
stunting dapat menyebabkan peningkatan kejadian kesakitan dan
kematian, tidak optimalnya perkembangan kognitif atau kecerdasan,
motorik, dan verbal, serta peningkatan biaya kesehatan.
2. Dampak jangka panjang
postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa, peningkatan risiko obesitas
dan penyakit degeneratif lainnya, menurunnya kesehatan reproduksi, tidak
optimalnya kapasitas belajar. ( Kemenkes RI, 2018)
12

2.1.4 Epidemiologi
Data WHO (2014) mencatat sekitar seperempat atau 24,5% anak balita di
dunia mengalami stunting. Sekitar 80% anak stunting di dunia tinggal di 14
negara. Prevalensi stunting terbesar di dunia yaitu di India dengan prevalensi
stunting 48% (61.723 jumlah anak stunting), prevalensi terbesar kedua yaitu
Nigeria, Pakistan, China. Indonesia adalah negara dengan prevalensi stunting
kelima terbesar dengan prevalensi 36% (7.547 jumlah anak stunting). Berdasarkan
hasil pemantauan status gizi pada 2017 menunjukkan bahwa prevalensi stunting di
Indonesia cukup tinggi yakni 29,6% diatas batasan yang ditetapkan WHO 20 %
(Kemenkes, 2018).
Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara lain di
Asia Tenggara, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%).
Indonesia menduduki peringkat kelima dunia untuk jumlah anak dengan kondisi
stunting. Lebih dari sepertiga anak berusia di bawah lima tahun di Indonesia
tingginya berada di bawah rata-rata ( Sutarto, dkk 2018 ).
Stunting merupakan prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia
yang selanjutnya akan berpengaruh pada pengembangan potensi bangsa.
Berdasarkan data Riskesdas (2013) prevalensi anak balita stunting di Indonesia
pada tahun 2007 sebesar 36,8%, pada tahun 2010 terjadi penurunan sebesar 35,5%
dan pada tahun 2013 terjadi peningkatan menjadi 37,2%. Berdasarkan hasil PSG
Kemenkes (2015) provinsi Nusa Tenggara Timur adalah prevalensi stunting
tertinggi di Indonesia sebesar 41,2%, sedangkan prevalensi stunting di Jawa Barat
sebesar 25,6%. Artinya, pertumbuhan tidak maksimal diderita oleh sekitar 8,9 juta
anak Indonesia, atau satu dari tiga anak Indonesia ( Arsyati, 2019).
Sedangkan di Provinsi SUMUT diketahui prevalensi anak pendek sebesar
18,6% dan sangat pendek 13,6%. Provinsi SUMUT menempati posisi pertama
sebagai wilayah dengan prevalensi stunting tertinggi pada anak usia 0-23 bulan
jika di bandingkan dengan provinsi lainnya di Pulau Sumatera ( Balitbangkes,
2018).
Pada tahun 2018 Kemenkes RI kembali melakukan Riset Kesehatan Dasar
yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan tentang
Prevalensi Stunting. Berdasarkan Penelitian tersebut angka stunting atau anak
13

tumbuh pendek turun dari 37,2% pada Riskesdas 2013 menjadi 30,8%
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018).
2.1.5 Patofisiologi
Kekurangan nutrisi prenatal dan setelah lahir, infeksi sistemik, dan infeksi
usus diduga berkontribusi terhadap kejadian stunting. Perawakan orang tua yang
pendek, indeks massa tubuh orang tua yang rendah, serta kenaikan berat badan
yang kurang selama kehamilan juga dinilai berhubungan dengan berat bayi lahir
rendah, yang merupakan salah satu risiko stunting. Kehamilan pada masa remaja,
saat ibunya sendiri masih dalam masa pertumbuhan, meningkatkan risiko stunting
maternal dan dapat menyebabkan luaran obstetrik yang buruk. Jarak antar
kelahiran yang dekat juga meningkatkan kebutuhan nutrisi pada ibu. Perawakan
ibu yang pendek disertai dengan kondisi anak dengan berat lahir rendah dan
stunting dapat memperparah lingkaran intergenerasi dari stunting ( Prendergast
and Humprey, 2014 ).
Temuan baru menyatakan bahwa environmental enteric dysfunction (EED)
berperan besar dalam patogenesis stunting. EED adalah gangguan umum struktur
dan fungsi usus halus yang sering ditemukan pada anak-anak yang hidup di
lingkungan yang tidak sehat. Mekanisme EED yang menyebabkan terjadinya
gagal tumbuh adalah karena terjadinya kebocoran usus dan tingginya
permeabilitas usus, inflamasi usus, disbiosis dan translokasi bakteri, inflamasi
sistemik, serta malabsorpsi nutrisi ( Owino, et al, 2016 ).
Studi lain menyatakan bahwa PEE suatu inflamasi kronis pada usus halus
diduga berkontribusi besar pada patofisiologi stunting. Perubahan komposisi
mikrobiota di usus diduga menyebabkan kegagalan intervensi gizi dan
berkurangnya respons tubuh terhadap vaksin oral ( Vonaesch, et al 2018 ).
2.1.6 Pencegahan
Stunting adalah gangguan tumbuh kembang anak karena kekurangan masukan
zat gizi, terserang penyakit atau infeksi, maupun stimulasi yang tidak memadai.
Sebenarnya jumlah penderita stunting sudah menurun di Indonesia, tetapi masih di
perlukan upaya yang komphrensif untuk mempercepat penurunan. Stunting lebih
tepat untuk dicegah sehingga promosi kesehatan paling tepat dalam
14

penanganannya. Penanganan stunting melalui promosi kesehatan dapat dilakukan


dengan cara berikut (Siswantara , 2019) :
1. Memenuhi gizi sejak hamil
Program yang paling baik dengan memberikan perubahan perilaku baik
dengan memberikan perubahan dalam pemberian makanan bergizi untuk
ibu hamil dan menyarankan untuk memeriksakan kesehatan ke dokter atau
bidan. Oleh karena itu, juga diperlukan pemberian informasi melalui
tenaga kesehatan untuk ibu hamil.
2. Pemberian ASI ekslusif kepada bayi
Bayi baru lahir hingga 6 bulan disarankan untuk diberikan ASI ekslusif
oleh ibunya. Kandungan gizi mikro dan makro yang ada dalam ASI dapat
menurunkan peluang terjadinya stunting pada bayi. Selain memberikan
ASI ekslusif perlu didampingi dengan makanan pengganti ASI (MPASI)
sehat.
3. Memantau tumbuh kembang anak
Orang tua terus memantau tumbuh kembang anak, terutama dari tinggi dan
berat badan. Diperlukan peran posyandu sebagai bentuk pemberdayaan
masyarakat di bidang kesehatan dengan dilakukan penyuluhan kesehatan.
Selain tumbuh kembang dapat tercatat masyarakat juga mendapatkan
makanan tambahan dan informasi kesehatan yang berguna bagi mereka.
Diperlukan juga perubahan perilaku yang baik dalam kebersihan
lingkungan.
2.1.7 Peran Penting dalam Pencegahan
Diketahui tokoh yang berperan penting dalam pencegahan stunting, yaitu :
1. Orang tua
Orang tua dengan pendidikan yang lebih rendah lebih banyak berasal dari
keluarga yang sosial ekonomi rendah sehingga diharapkan pemerintah
meningkatkan akses pendidikan untuk keluarga dengan sosial ekonomi
yang kurang. Salah satu penyebab gangguan gizi adalah kurangnya
pengetahuan gizi dan kemampuan seseorang menerapkan informasi
tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat pengetahuan gizi ibu
memengaruhi sikap dan perilaku dalam memilih bahan makanan, yang
15

lebih
16

lanjut akan memengaruhi keadaan gizi keluarganya pentingnya edukasi (


Khoirun Ni’mah 2015 ).
2. Kader posyandu
Kader posyandu mempunyai peran penting dalam memberikan informasi
kepada masyarakat, khususnya tentang kesehatan pada ibu balita. Kader
posyandu juga melakukan kerjasama dengan petugas kesehatan dan lintas
sektor dalam upaya meningkatkan kegiatan posyandu, meningkatkan
kunjungan masyarakat. Upaya yang dapat dilakukan oleh kader posyandu
berkaitan dengan intervensi pencegahan stunting adalah memantau
pertumbuhan balita di posyandu, karena itu merupakan upaya yang
strategis untuk mendeteksi secara dini terjadinya gangguan pertumbuhan.
yang dilakukan pada balita stunting yaitu memberikan konseling pada ibu
balita tentang pemberian makanan, rangsangan motorik, dan bekerjasama
dengan petugas Gizi Puskesmas ( Astuti dkk, 2018 ).
Posyandu berhubungan dengan pengetahuan dan kejadian stunting.
Posyandu merupakan sumber pengetahuan terkait stunting, mengingat di
Posyandu dilakukan penimbangan berat badan setiap bulan dan pengukuran tinggi
badan pada bayi dan balita setiap 6 bulan sekali yang hasilnya dimasukkan pada
grafik tinggi badan menurut umur pada buku KIA, sehingga dapat terdeteksi
kejadian stunting. Penting keterlibatan bidan desa dan petugas gizi Puskesmas
untuk pengisian grafik tinggi badan sesuai umur bayi dan balita sehingga kader
posyandu dan ibu balita memahami pertumbuhan tinggi badan bayi dan balitanya
( Maywita, E. 2018 ).
2.1.8 Program Promosi Kesehatan Pencegahan Stunting di Indonesia
Menurut Siswantara di dalam buku kesehatan masyarakat teori dan aplikasi (
2019 ) terdapat beberapa program promosi yang dapat dilakukan terhadap upaya
pencegahan stunting di Indonesia yaitu :
A. Desa Siaga
Desa siaga merupakan program pemerintah dalam bidang promosi
kesehatan yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat desa yang sehat,
peduli dan tanggap terhadap permasalahan kesehatan di wilayahnya.
17

B. GERMAS
Germas berusaha menujukkan masyarakat yang sehat dengan
meninggalkan perilaku yang berakibat buruk pada kesehatan dan juga
meningkatkan perilaku yang baik untuk kesehatan. Germas bersinergi
dalam perilaku hidup bersih dan sehat di tambah dengan peningkatan
infrastruktur berbasis masyarakat.
Berikut tujuh langkah Germas yang dapat menjadi panduan menjalani pola
hidup lebih sehat :
1. Melakukan aktivitas fisik
2. Makan buah dan sayur
3. Mengajarkan masyarakat untuk tidak merokok
4. Tidak mengonsumsi minuman beralkohol
5. Masyarakat melaksanakan cek kesehatan berkala
6. Menjaga kebersihan lingkungan
7. Meningkatkan perilaku masyarakat menggunakan jamban
a. Perilaku Hidup Bersih Sehat ( PBHS )
Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan cerminan pola hidup keluarga
yang senantiasa memperhatikan dan menjaga seluruh anggota keluarga.
PBHS merupakan segala tindakan yang dilakukan dengan sengaja dan
penuh kesadaran yang mengakibatkan dirinya sebagai anggota keluarga
dan seluruh keluarga dapat menjaga kesehatan dan berperan aktif dalam
meningkatkan kesehatan masyarakat. PBHS diselenggarkan karena
kesadaran akan pencegahan merupakan sebuah aktivitas yang lebih baik
daripada mengobati.
b. PBHS di rumah tangga
Dalam PBHS di rumah tangga diajarkan 10 upaya kesehatan yang dapat
digunakan dan untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu,
mau dan mampu mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat serta
berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat. Diharapkan seluruh
anggota keluarga dapat berkontribusi untuk kesehatan masyarakat.
18

c. PBHS di tempat umum


Tempat umum adalah tempat berkumpul banyak individu. Dengan
menjaga kebersihan dan kesehatan masyarakat pada umunya. Dalam
PBHS di tempat umum yang menjadi sasaran adalah masyarakat
pengunjung serta pengelola tempat-tempat umum. Hal ini agar semua
pihak menjadi lebih tahu serta mempunyai kemauan dan kemampuan
untuk mempraktikkan PBHS serta turut bertanggung jawab mewujudkan
tempat umum yang sehat.
d. PBHS di sekolah
PBHS di sekolah merupakan langkah untuk memberdayakan siswa, guru,
dan masyarakat lingkungan sekolah agar dapat dan mau melakukan
perilaku hidup bersih dan sehat dalam menciptkan sekolah yang sehat.
Sebagian besar kelompok usia sekolah menjaga kebersiha dan kesehatan
sekolah maka kita dapat mewujudkan anak-anak usia sekolah yang lebih
terjaga kesehatannya.
e. PBHS di tempat kerja
Tempat kerja merupakan sebuah tempat manusia melakukan aktivitas
untuk penghasilan. PBHS di tempat kerja berupaya mengajak semua pihak
pekerja dan juga pengelola tempat kerja agar mempunyai pengetahuan
yang baik tentang kesehatan sehingga mereka mempunyai kemampuan
untuk mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat, sehingga
mewujudkan tempat kerja yang sehat.
f. PBHS di institusi kesehatan
PBHS di institusi kesehatan berupaya untuk menjaga kesehatan seluruh
elemen di institusi kesehatan seperti pasien, petugas kesehatan, dan
pengunjung. Institusi kesehatan adalah semua sarana yang di
selenggarakan oleh pemerintah atau swasta atau perorangan yang
digunakan untuk kegiatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat seperti
rumah sakit puskesmas dan klinik swasta. Institusi kesehatan adalah
tempat bertemunya orang sehat dan sakit. Infeksi atau bakteri dan virus
dapat menyebabkan infeksi nosokomial di institusi kesehatan maka
19

institusi diharapkan dapat


20

menekan angka kejadian ini dengan memberdayakan pasien, pengunjung,


dan petugas agar mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan serta
memungkinkan mereka mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
mempratikkan perilaku hidup bersih dan sehat.
2.2 Penilaian Status Gizi
Pemantauan pertumbuhan fisik anak dilakukan dengan menggunakan
parameter di antaranya ukuran antropometrik. Pengukuran antropometri ini
merupakan salah satu cara pengukuran yang dapat dilakukan oleh pihak selain
tenaga kesehatan, seperti kader dan guru PAUD yang sudah dilatih oleh tenaga
kesehatan ( Kusuma dan Hasanah, 2018 ).
Penilaian status gizi melalui pengukuran antropometri termasuk penilaian
yang paling mudah untuk dilakukan, namun sudah bisa memberikan hasil yang
cukup signifikan. Pengukuran antropometri akan menghasilkan tiga macam indeks
antropometri, meliputi :
a. Berat Badan Menurut Umur ( BB/U )
b. Tinggi Badan Menurut Umur ( TB/U)
c. Berat Badan Menurut Tinggi Badan ( BB/TB)
Indikator ini memberikan indikasi masalah gizi yang bersifat kronis sebagai
akibat dari kondisi gizi kurang yang terjadi dalam kurun waktu yang lama.
Keadaan gizi buruk tersebut bisa dipengaruhi oleh faktor ekonomi (kemiskinan),
pola asuh pemberian makan yang kurang baik, maupun perilaku hidup tidak sehat
yang menyebabkan anak menjadi bertubuh pendek. Panjang badan merupakan
istilah pengukuran untuk anak usia 0-24 bulan. Tinggi badan merupakan istilah
pengukuran untuk anak usia di atas 24 bulan (Sari dan Ratnawati, 2018 ).
21

Tabel 2.1 Kategori Status Gizi Balita Berdasarkan Kepmenkes Nomor:


1995/Menkes SK/ XII / 2011 (Kemenkes RI, 2016)
Indikator Status Gizi Z-score
BB/U Gizi buruk < -3,0 SD
Gizi kurang -3,0 SD s/d < -2,0 SD
Gizi Baik -2,0 SD s/d 2,0 SD
Gizi Lebih >2,0 SD
TB/U Sangat Pendek < -3,0 SD

Pendek -3,0 SD s/d < -2,0 SD

Normal -2,0 SD
BB/TB Sangat Kurus < -3,0 SD

Kurus -3,0 SD s/d < -2,0 SD

Normal -2,0 SD s/d 2,0 SD


Gemuk >2,0 SD

Gambar 2.1 Alat Pengukur badan (Kemenkes, 2011)


22

Gambar 2.2 Pengukuran bayi berdiri ( Dinkes Kab. Karanganyar, 2014)


Infrantometer yang disebut juga length board ( alat pengukur badan )
adalah papan yang dirancang untuk ditempatkan diatas permukaan datar dan keras
untuk mengukur panjang badan (berbaring/ telentang) untuk anak kurang dari 2
tahun. Tinggi Badan merupakan parameter paling penting untuk melihat
perkembangan dari keadaan sebelumnya dengan keadaan sekarang jika umur tidak
diketahui dengan tepat. Tinggi badan juga merupakan ukuran kedua yang penting,
karena dengan menghubungkan berat badan terhadap tinggi badan (quac stick)
faktor umur dapat dikesampingkan. Tinggi badan untuk anak kurang dari 2 tahun
sering disebut dengan panjang badan. Saat baru lahir, panjang badan normal bayi
adalah sekitar 45 cm-55 cm, Pada usia 0-3 bulan, panjang badan bayi normalnya
mencapai 55 cm- 60 cm, dengan kenaikan tiap bulannya yang tidak terlalu
signifikan. Pada usia 3-6 bulan, PB bayi normalnya mencapai 60,5 cm-65 cm.
Kenaikan pada 3 bulan kedua ini cukup signifikan. Pada usia 6-9 bulan, PB si
kecil normalnya sekitar 65 cm-71 cm, dengan kenaikan yang sangat signifikan
pada 3 bulan ketiga ini. Hal ini disebabkan karena otot-otot penopang tubuh yang
sudah mulai terstimulasi dengan semakin banyaknya gerakan yang dihasilkan
serta jenis makanan yang sudah mulai beragam sehingga membantu proses
pertumbuhan tulangnya. Pada usia 9-12 bulan, PB si kecil normalnya sekitar 71
cm-75 cm ( Kemenkes, 2011 ).
23

2.3 Kerangka Teori


Berdasarkan tinjauan teoritis diatas, peneliti merumuskan kerangka teori
penelitian sebagai berikut :

Gambar 2.3 Kerangka Teori (Sutarto, 2018)


2.4 Hipotesis Penelitian
1. Adanya faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan usia ibu.
2. Adanya faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan
pendidikan ibu.
3. Adanya faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan tinggi
badan ibu.
4. Adanya faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan riwayat
kehamilan ibu.
5. Adanya faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan
pemberian ASI ekslusif.
6. Adanya faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan
pengetahuan ibu.
24

7. Adanya faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan


pekerjaan.
8. Adanya faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan status
ekonomi.
9. Adanya faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan jumlah
keluarga.
10. Adanya faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan pola
asuh.
11. Adanya faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan asupam
gizi.
12. Adanya faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan riwayat
beran badan lahir rendah.
13. Adanya faktor yang mempengaruhi kejadian stunting berdasarkan
pelayanan kesehatan.
2.5 Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep dalam penelitian yaitu faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian stunting :
Faktor Risiko
Faktor ibu :
Usia ibu
Pendidikan ibu
Pekerjaan
Tinggi badan ibu
Pola asuh
Pengetahuan
Riwayat kehamilan
Faktor balita :
Riwayat BBLR Kejadian
ASI ekslusif Stunting
Asupan gizi
Faktor lain :
Status ekonomi
Jumlah keluarga
Pelayanan Kesehatan

Gambar 2.4 Kerangka Konsep

You might also like