Keterkaitan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning (Pada Ekosistem Terumbu Karang Di Kepulauan Seribu

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 208

KETERKAITAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING

(Caesio cuning) DENGAN KARAKTERISTIK HABITAT


PADA EKOSISTEM TERUMBU KARANG
DI KEPULAUAN SERIBU

RAIMUNDUS NGGAJO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keterkaitan Sumberdaya


Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) dengan Karakteristik Habitat pada Ekosistem
Terumbu Karang di Kepulauan Seribu adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Nopember 2009

Raimundus Nggajo
NIM. C252070344
ABSTRACT

RAIMUNDUS NGGAJO. The Relationships between Yellow Tail Fusilier Fish


Resources (Caesio cuning) and Habitat Characteristics of Coral Reefs Ecosystem
in Seribu Islands. Under direction of YUSLI WARDIATNO and NEVIATY P.
ZAMANI.

Yellow tail fusilier fish (Caesio cuning) is one of the reef fish species as fishing
target that associated with coral reefs in the Seribu Islands water. The purpose of
this research is to determine the yellow tail fusilier fish resources condition and
coral reef ecosystems and to assess yellow tail fusilier fish resources linkage with
habitat characteristics. The research was conducted at Pramuka Island, Panggang
Island, Belanda Island and Kayu Angin Bira Island at Seribu Islands District from
April to June 2009. Each island was taken as many as two points in the fishermen
catchment area. To see the percentage of benthic substrate cover, life-form and the
number of coral genera square transect method, the results are analyzed using the
Coral Point Count with Excell extension (CPCe) version 3.6 program. To see an
abundance of yellow tail fusilier fish resources using Underwater Visual Census
and to know biological condition of yellow tail fusilier fish, samples were taken
from fishermen catches in the research locations. Interconnection yellow tail
fusilier fish resources with habitat characteristics can be shown by benthic
substrate grouping using cluster analysis methods. The result of this research
showed the condition of coral reef ecosystems have 32.27% life-form cover. The
condition of yellow tail fusilier fish resources growth was predicted have become
over fishing, with the growth pattern was alometric and was dominated by
immature fish. Yellow tail fusilier fish resource linkage habitat characteristics
were characterized by the presence of encrusting coral, acropora digitate,
submassive coral, dead coral with algae, soft coral and sand. The recommendation
of management activities are: (1) rehabilitating habitat with encrusting coral,
acropora digitate and submassive coral transplant programs that characterize the
existence of yellow tail fusilier fish. (2) regulating caching effort and determining
of suitable mess size.

Keywords : Ecosystem of coral reefs, yellow tail fusilier fish, habitat linkage,
Seribu Islands
RINGKASAN

RAIMUNDUS NGGAJO. Keterkaitan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning (Caesio


cuning) dengan Karakteristik Habitat pada Ekosistem Terumbu Karang di
Kepulauan Seribu. Dibawah bimbingan YUSLI WARDIATNO dan NEVIATY
P. ZAMANI.
Ikan ekor kuning (Caesio cuning) merupakan jenis ikan konsumsi yang
memiliki nilai ekonomis penting dan merupakan salah satu jenis ikan karang yang
menjadi target penangkapan di perairan Kepulauan Seribu. Habitat ikan ekor
kuning adalah di perairan pantai karang, perairan karang dengan suhu perairan
lebih dari 20 0C. Hidupnya berasosiasi dengan terumbu karang dan dapat
ditemukan di perairan Kepulauan Seribu.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi sumberdaya
ikan ekor kuning dan ekosistem terumbu karang serta mengkaji keterkaitan
sumber daya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat.
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kepulauan Seribu dari bulan
April-Juni 2009. Lokasi pengamatan adalah di Pulau Pramuka (Timur Pramuka
dan Utara Pramuka), Pulau Panggang (Barat Panggang dan Selatan Panggang),
Pulau Belanda (Utara Belanda dan Selatan Belanda) dan Pulau Kayu Angin Bira
(Timur Kayu Angin Bira dan Barat Kayu Angin Bira). Dasar penentuan titik
stasiun pengamatan di setiap pulau berdasarkan pada lokasi tangkapan nelayan
pada daerah terumbu karang.
Pengambilan data untuk persentase tutupan substrat bentik menggunakan
metode transek kuadrat, dan dianalisa menggunakan program Coral Point Count
with Excell extension (CPCe). Untuk data kelimpahan sumberdaya ikan ekor
kuning menggunakan Underwater Visual Cencus, sedangkan untuk data kondisi
biologi ikan ekor kuning menggunakan sampel dari hasil tangkapan nelayan di
lokasi penelitian pada bulan Mei 2009. Analisis yang digunakan untuk
mengetahui keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat
menggunakan cluster analysis berdasarkan pengelompokan substrat bentik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi ekosistem terumbu karang
mempunyai penutupan lifeform 32.27%, sehingga berada pada kategori sedang.
Kondisi sumber daya ikan ekor kuning diduga telah terjadi growth over fishing.
Pola pertumbuhan bersifat Alometrik dan didominasi oleh ikan yang belum
matang (mature) atau belum dewasa (dalam kondisi pertumbuhan). Keterkaitan
sumberdaya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat dicirikan dengan
keberadaan coral encrusting (CE), acropora digitate (ACD), coral submassive
(CS), dead coral with algae (DCA), karang lunak (SC) dan pasir (S).
Bentuk pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ikan ekor kuning di
perairan Kepulauan Seribu secara terpadu dan berkelanjutan yang diusulkan
dalam penelitian ini adalah pengelolaan berbasis ekositem dengan titik penekanan
pada habitat dan sumberdaya ikan ekor kuning antara lain: (1) rehabilitasi habiat
dengan program transplantasi coral encrusting, acropora digitate dan coral
submassive yang menjadi ciri keberadaan ikan ekor kuning pada daerah yang
rusak. (2) pengaturan upaya penangkapan dan ukuran mata jaring.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilimiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KETERKAITAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING
(Caesio cuning) DENGAN KARAKTERISTIK HABITAT
PADA EKOSISTEM TERUMBU KARANG
DI KEPULAUAN SERIBU

RAIMUNDUS NGGAJO

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Penguji luar komisi pada ujian tesis: Ir. Zairion, M.Sc
Judul Tesis : Keterkaitan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning)
dengan Karakteristik Habitat Pada Ekosistem Terumbu Karang
di Kepulauan Seribu
Nama : Raimundus Nggajo
NIM : C 252 070 344

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc
Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan

Prof.Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S

Tanggal Ujian : 13 Nopember 2009 Tanggal Lulus :


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segala limpahan rahmat dan berkat-Nya, sehingga penulisan tesis ini dapat
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan
April-Maret 2009 ini ialah dengan judul “Keterkaitan Sumberdaya Ikan Ekor
Kuning (Caesio cuning) dengan Karakteristik Habitat pada Ekosistem Terumbu
Karang Di Kepulauan Seribu”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc
dan Ibu Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc selaku pembimbing, serta Bapak Ir.
Zairion, M.Sc yang telah banyak memberi saran. Disamping itu, ucapan terima
kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
beserta seluruh staf pengajar dan administrasi Program Studi Ilmu Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan yang telah membantu selama masa studi penulis
di SPL-IPB. Rasa hormat tidak lupa penulis sampaikan kepada Bapak Direktur
Pesisir dan Lautan Ditjen KP3K, DKP beserta seluruh staf, yang telah
memberikan kesempatan dan mendorong saya untuk melanjutkan studi ini, serta
ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Direktur
COREMAP II beserta seluruh staf atas beasiswa yang diberikan. Rasa hormat dan
terima kasih saya sampaikan kepada teman-teman SPL-SANDWICH CORMEP II
Angkatan I atas kebersamaan selama masa studi baik di Bogor maupun di
Xiamen-China. Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada teman-
teman di Yasmin V (Bang Wan, Pak Dokter, brur Budi dan Febry) dan Tim 1000
(brur Jimy, Dedy, Amer dan Jae) serta Harlym dan Tiny yang telah membantu dan
mendukung sejak pelaksanaan penelitian sampai terselesainya penulisan tesis ini.
Ungkapan terima kasih dan rasa cinta juga disampaikan kepada ayahanda
Donatus Mere (Alm), ibunda Helena Wea (Almh), Bapak Andreas Sinyo
Langoday, Mama Maria Afonsa Teren, istri tercinta Maria Filomena Langoday
dan anak AS. Mariano Nggajo Mere serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
kasih sayangnya.
Semoga karya ilimiah ini bermanfaat.

Bogor, Nopember 2009

Penulis
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kekakodo, Flores, NTT pada tanggal 7 Januari 1972,


putra ke delapan dari delapan bersaudara dari pasangan yang berbahagia
Ayahanda Donatus Mere (Alm) dan Ibunda Helena Wea (Almh). Menempuh
pendidikan dasar di Bengga Flores NTT, pendidikan menengah di Kupang NTT,
dan pendidikan diploma (D3) Akademi Teknologi Industri Makasar di Ujung
Pandang Sulawesi Selatan.Menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Teknik
Jurusan Teknik Industri Universitas Sahid Jakarta Tahun 2005 dan pada Tahun
2007 mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Magister
pada Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari
Program COREMAP II Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
Penulis menikah di Kupang pada Tahun 2007 dengan Maria Filomena
Langoday dan dikarunia seorang Putra bernama Andreas Sinyo Mariano Nggajo
Mere. Tahun 1999 – 2002 bekerja sebagai staf di Dinas Pertambangan dan Energi
Pemda Propinsi NTT di Kupang, Tahun 2002 – 2005 bekerja sebagai staf pada
Kantor Perwakilan Pemda NTT di Jakarta dan sejak Tahun 2005 sampai saat ini
sebagai staf pada Direktorat Pesisir dan Lautan, Ditjen KP3K DKP RI di Jakarta.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xiv
1 PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................. 3
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................. 3
1.4 Kerangka Penelitian.................................................................. 4
2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 6
2.1 Parameter Lingkungan.............................................................. 6
2.2 Ekosistem Terumbu Karang ..................................................... 7
2.3 Tipe Dasar Terumbu Karang .................................................... 10
2.4 Sumberdaya Ikan Karang ......................................................... 10
2.5 Klasifikasi Ikan Ekor Kuning ................................................... 12
2.6 Habitat dan Kebiasaan Hidup Ikan Ekor Kuning ..................... 13
2.7 Pertumbuhan............................................................................. 14
2.8 Hubungan Panjang-Berat.......................................................... 14
2.9 Makanan Ikan ........................................................................... 16
2.10 Siklus Hidup dan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ............ 17
2.11 Hubungan Terumbu Karang dengan Komunitas Ikan
Karang ...................................................................................... 19
2.12 Dasar Pengelolaan Terumbu Karang dan Ikan Karang ............ 20
3 METODOLOGI PENELITIAN......................................................... 22
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................... 22
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ........................................................ 22
3.3 Metode Pengambilan Data........................................................ 24
3.3.1 Penentuan titik stasiun .................................................... 24
3.3.2 Parameter lingkungan...................................................... 24
3.3.3 Kondisi terumbu karang.................................................. 24
3.3.4 Sumberdaya ikan ekor kuning......................................... 27
3.3.4.1 Kelimpahan ikan ............................................... 27
3.3.4.2 Kondisi biometeri............................................. 28
3.3.4.3 Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ................. 28
3.3.4.4 Jenis makanan ................................................... 28
3.4 Analisis Data ............................................................................ 29
3.4.1 Persentase tutupan substrat bentik ekosistem
terumbu karang................................................................ 29
3.4.2 Ikan ekor kuning ............................................................. 29
3.4.2.1 Kelimpahan ikan ............................................... 29
3.4.2.2 Kondisi biometeri............................................. 30

x
3.4.2.3 Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ................. 31
3.4.2.4 Jenis makanan ................................................... 31
3.4.3 Pengelompokan habitat ................................................... 32
3.4.4 Keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning
dengan karakteristik habitat ............................................ 32
3.4.5 Rekomendasi pengelolaan ekosistem terumbu karang
dan ikan ekor kuning secara terpadu............................... 33

4 HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................... 34


4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian......................................... 34
4.2 Kondisi Lingkungan Perairan................................................... 36
4.3 Komposisi Substrat Bentik Ekosistem Terumbu Karang ......... 40
4.4 Sumberdaya Ikan Ekor Kuning ................................................ 47
4.4.1 Kelimpahan ikan ............................................................. 47
4.4.2 Kondisi biometrik ........................................................... 48
3.4.2.4 Struktur populasi............................................... 48
3.4.2.4 Pola pertumbuhan ............................................. 49
4.4.3 Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ............................... 51
4.4.4 Jenis makanan ................................................................. 53
4.5 Pengelompokan Habitat Berdasarkan Substrat Bentik............. 55
4.6 Keterkaitan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning dengan
Karakteristik Habitat................................................................. 56
4.7 Rekomendasi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang dan
Sumberdaya Ikan Ekor Kuning ................................................ 59

5 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 62


5.1 Simpulan................................................................................... 62
5.2 Saran ......................................................................................... 62
` DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 63
LAMPIRAN....................................................................................... 70

xi
DAFTAR TABEL

Halaman
1. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian.............................. 22
2. Daftar penggolongan komponen dasar penyusun komunitas
karang berdasarkan lifeform karang dan kodenya ......................... 26
3. Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang
berdasarkan persentase penutupan karang..................................... ...... 29
4. Klasipikasi kematangan gonad ikan laut.............................................. 31
5. Nilai kondisi lingkungan perairan........................................................ 36
6. Kelimpahan ikan ekor kuning .............................................................. 47
7. Sebaran frekuensi panjang ................................................................... 49
8. Sebaran frekuensi berat........................................................................ 49
9. Kisaran panjang ikan dan TKG............................................................ 52

xii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Diagram alir kerangka piker pengelolaan terumbu karang dan
ikan ekor kuning .................................................................................. 5
2. Ikan ekor kuning ................................................................................ 12
3. Peta lokasi penelitian ........................................................................... 23
4. Metode pengamatan terumbu karang dan posisi transek
untuk pengamatan terumbu karang ...................................................... 25
5. Bingkai tetrapod untuk fotografi tutupan karang .................................. 25
6. Metode sensus visual bawah air ikan karang ....................................... 27
7. Persentase tutupan kelompok substrat bentik ..................................... 41
8. Persentase tutupan kelompok karang keras........................................... 41
9. Persentase tutupan kelompok Abiotik................................................... 42
10. Persentase tutupan karang mati beralga dan karang mati ..................... 43
11. Persentase tutupan komponen penyusun lifeform Acropora................. 45
12. Persentase tutupan komponen penyusun lifeform Non
Acropora .............................................................................................. 45
13. Rata-rata persen tutupan lifeform .......................................................... 46
14. Hubungan panjang berat ikan ekor kuning ........................................ 50
15. Persentase jenis makanan dalam isi lambung ikan ekor kuning
kuning .................................................................................................. 53
16. Regresi keterkaitan planktonk dengan kelimpahan ikan...................... 54
17. Dendogram berdasarkan substrat bentik .............................................. 56

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Koordinat stasiun penelitian................................................................. 71
2. Persentase tutupan dan indikator keanekaragaman substrat bentik
di lokasi penelitian ............................................................................... 72
3. Persentase tutupan keanekaragaman genus dan lifeform di lokasi
penelitian.............................................................................................. 73
4. Data kelimpahan ikan ekor kuning, ikan karang lainnya dan
jumlah spesies ikan karang .................................................................. 74
5. Data panjang, berat, TKG dan jenis kelamin ikan ekor...... .......... 81
6. Regresi hubungan panjang berat .......................................................... 82
7. Jumlah induvidu dan persentase jenis makanan dalam isi
lambung ikan ekor kuning ................................................................... 83
8. Regresi hubungan plankton dengan kelimpahan ikan.......................... 84
9. Data ciri dari masing - masing kelompok berdasarkan klaster
habitat terhadap substrat dasar ............................................................. 85

xiv
1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Terumbu karang merupakan ekosistem kompleks dengan keanekaragaman
hayati tinggi, ditemukan di perairan dangkal di seluruh wilayah tropis,
mempunyai fungsi dan manfaat serta arti yang amat penting bagi kehidupan
manusia baik fungsi ekologi yaitu sebagai tempat tinggal, berkembang biak,
mencari makan dan tempat berlindung bagi ribuan jenis ikan, hewan dan biota laut
lainnya, maupun fungsi ekonomi dan sebagai penunjang kegiatan pariwisata yaitu
merupakan sumber perikanan yang tinggi.
Menurut Bengen (2002), terumbu karang merupakan habitat bagi beragam
biota, seperti : (1) beraneka ragam avertebrata (hewan tak bertulang belakang),
terutama karang batu (stony coral), juga berbagai krustasea, siput dan kerang-
kerangan, ekinodermata (bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut dan lili
laut); (2) beraneka ragam ikan: 50-70% ikan karnivora oportunik, 15% ikan
herbivora, dan sisanya omnivora; (3) reptil, umumnya ular laut dan penyu laut;
dan (4) ganggang dan rumput laut, yaitu: alga hijau berkapur, alga koralin dan
lamun.
Ikan karang merupakan organisme dengan jumlah terbanyak dan merupakan
organisme besar yang mencolok pada daerah terumbu karang. Dengan jumlahnya
yang besar dan mengisi terumbu karang, maka dapat terlihat dengan jelas bahwa
ikan karang penyokong hubungan yang ada dalam ekosistem terumbu karang
(Nybakken 1988). Keberadaan ikan-ikan karang sangat dipengaruhi oleh kondisi
kesehatan terumbu karang yang ditunjukkan oleh persentase penutupan karang
hidup (Hutomo 1986).
Chabanet et al. (1997), menyatakan bahwa keanekaragaman dan kekayaan
jenis dari kumpulan ikan karang adalah dihubungkan dengan banyak variabel
karang seperti kompleksitas bangunan (architectural) atau tutupan karang
bercabang, keanekaragaman, kekayaan jenis, kelimpahan, ukuran koloni, tutupan
karang hidup, tutupan karang padat dan tutupan karang pipih/merayap. Menurut
Allen (1999), kelimpahan sumberdaya ikan karang pada suatu lokasi disebabkan
karena tersedianya habitat yang sangat bervariasi di ekosistem terumbu karang.
2

Bentuk dan variasi karang dan tempat berlindung lainnya terkombinasi menjadi
habitat-habitat yang berbeda dengan variasi yang tinggi yang dimanfaatkan oleh
ikan dengan karakteristik yang berbeda pula
Coat dan Bellwood (1991) dalam Bawole (1998), menyatakan bahwa
interkasi antara ikan karang dan terumbu karang sebagai habitatnya dapat
dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu: (1) intekasi langsung sebagai tempat
berlindung dari predator pemangsa terutama bagi ikan-ikan muda; (2) interaksi
dalam mencari makanan yang meliputi hubungan antara ikan karang dan biota
yang hidup pada karang termasuk alga; dan (3) interaksi tidak langsung sebagai
akibat struktur karang dan kondisi hidrologis dan sedimen.
Perairan Indonesia memiliki kurang lebih 132 jenis ikan yang bernilai
ekonomi, 32 jenis diantaranya hidup di terumbu karang. Ditjen Perikanan (1998)
lebih lanjut mengungkapkan bahwa perairan karang Indonesia memiliki paling
sedikit 10 famili utama penyumbang produksi perikanan yaitu Caesionidae,
Holocentridae, Serranidae, Siganidae, Scaridae, Lethrinidae, Priachantidae,
Labridae, Lutjanidae dan Haemulidae. Diantara sepuluh family tersebut,
Caesionidae seperti ikan ekor kuning merupakan kelompok ikan karang yang
dapat dieksploitasi secara komersial.
Ikan ekor kuning merupakan jenis ikan konsumsi yang memiliki nilai
ekonomis penting. Salah satu jenis ikan karang yang dominan dan menjadi yang
target penangkapan di Perairan Kepulauan Seribu adalah ikan ekor kuning. Data
BPS (2008) hasil tangkapan ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu pada tahun
2003 sebanyak 411 ton dan pada tahun 2007 sebanyak 673 ton. Berdasarkan data
tersebut hasil tangkapan ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu mengalami
peningkatan sebesar 262 ton dari tahun 2003 sampai tahun 2007. Peningkatan
hasil tangkapan tersebut didukung oleh peningkatan upaya penengkapan yaitu 70
unit kapal tahun 2003 menjadi 77 unit kapal tahun 2007. Kegiatan penangkapan
yang tidak terkontrol dapat mengarah pada hasil tangkap lebih (over fishing)
sehingga berakibat menurunnya populasi ikan dan mengancam kelestarian
sumberdaya itu sendiri.
Estradivari et al. (2007) menjelaskan kondisi ekosistem terumbu karang
mengalami penurunan, persentase penutupan karang keras adalah 33.2% tahun
3

2005 (kondisi sedang). Porsi terbesar kerusakan terumbu karang adalah akibat
ulah manusia, di antaranya penangkapan ikan yang merusak dan berlebih. Jenis
alat tangkap yang umum digunakan untuk menangkap ikan ekor kuning di
Kepulauan Seribu antara lain adalah bubu dan jaring muroami (Dinas Peternakan,
Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta 2007). Penyebaran alat tangkap
tersebut terutama pada daerah-daerah yang mempunyai kekayaan terumbu karang
yang tinggi.
Menurut Randal et al. (1990), habitat ikan ekor kuning adalah diperairan
pantai karang, perairan karang. Hidupnya berasosiasi dengan terumbu karang dan
dapat ditemukan pada kedalaman 1-60 meter, terkadang ikan ini berenang dengan
membentuk gerombolan besar dan ditemui di dekat tubir. Informasi mengenai
karakteristik habitat setiap sumberdaya sangat dibutuhkan untuk menentukan arah
pengelolaan bagi keberlanjutan dari sumberdaya tersebut. Kajian mengenai
keterkaitan sumbedaya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat pada
ekosistem terumbu karang sangat diperlukan untuk dijadikan sebagai salah satu
dasar dalam merekomendasikan alternatif pengelolaan sumberdaya berbasis
ekosistem di Kepulauan Seribu.

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
yang mendasari penelitian ini adalah :
1. Degradasi ekosistem terumbu karang
2. Menurunnya kelimpahan sumberdaya ikan ekor kuning
3. Belum adanya kajian mengenai keterkaitan antara sumberdaya ikan
ekor kuning dengan karakteristik habitat pada ekosistem terumbu
karang

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Mendiskripsikan kondisi ekosistem terumbu karang.
2. Mendiskripsikan kondisi sumber daya ikan ekor kuning.
3. Menganalisis keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning dengan
karakteristik habitat.
4

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk pengelolaan


eksistem terumbu karang dan ikan ekor kuning (Caesio cuning) secara terpadu
dan berkelanjutan.

1.4 Kerangka Penelitian


Dasar pemikiran dalam melaksanakan penelitian ini adalah secara ekologis
adanya potensi ekosisitem terumbu karang yang merupakan tempat hidupnya
beranekaragam biota laut seperti ikan karang. Menurut Supriharyono (2000),
tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang, memungkinkan ekosistem ini
dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi banyak biota laut.
Apabila terjadi tekanan terhadap terumbu karang maka akan berpengaruh
langsung terhadap biota yang berasosiasi dengannya termasuk ikan ekor kuning.
Terumbu karang sebagian besar adalah substrat dasar yang keras tetapi
merupakan substrat dasar yang secara tipologinya jauh lebih komplek dari yang
lainnya. Terumbu karang menyediakan keanekaragaman bentuk dan ukuran
tempat berlindung yang digunakan ikan karang. Terumbu karang adalah
lingkungan yang terbagi-bagi kedalam habitat-habitat kecil yang sangat bervariasi
yang dimanfaatkan oleh kelompok ikan karang sesuai kesukaannya.
Berdasarkan pada peran dan manfaat terumbu karang tersebut maka
kerangka penelitian untuk melihat keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning
dengan habitatnya dapat dijelaskan dengan tahapan sebagai berikut dan
ditunjukkan pada Gambar 1.
(a) Mengukur parameter lingkungan yang terdiri dari parameter fisika,
kimia dan biologi berupa kedalaman, kemiringan, suhu, kecepatan
arus, kecerahan, salinitas, pH, nitrat, phospat, kekeruhan dan
kelimpahaan plankton.
(b) Mendeskripsikan kondisi sumber daya ikan ekor kuning (Caesio
cuning) berdasarkan kelimpahan, polah pertumbuhan (biometri) dan
kondisi biologi (TKG).
(c) Mendeskripsikan kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan life
form dan persentase tutupan substrat bentik.
(d) Melakukan klaster habitat berdasarkan persentase tutupan substrat
bentik.
5

(e) Menganalisis keterkaitan antara sumberdaya Ikan ekor kuning dengan


karakteristik habitat (kondisi ekosistem terumbu karang).
(f) Merumuskan rekomendasi pengelolaan ekosistem terumbu karang dan
ikan ekor kuning (Caesio cuning) secara terpadu dan berkelanjutan.

Ekosistem Terumbu Karang

Sumberdaya Ikan Ekor Kuning Habitat Kualitas Perairan


(Casio cuning) Terumbu Karang

Deskripsi Kelimpahan, Biometri Bentuk dan Persentase Parameter


dan TKG tutupan Substrat Bentik Lingkungan (Fisika,
Kimia dan Biologi)

Klaster Habitat

Analisis Keterkaitan antara Karakteristik


Habitat dengan Kelimpahan Sumberdaya Ikan
Ekor Kuning

Rekomendasi Pengelolaan Ekosistem Terumbu


Karang dan Ikan Ekor Kuning (Casio cuning)
Secara Terpadu dan Berkelanjutan

Gambar 1 Diagram alir kerangka pikir penelitian


2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Parameter Lingkungan


Keberadaan karang pada suatu perairan ditentukan oleh kondisi lingkungaan
perairan tersebut. Faktor yang paling menentukan dalam mengontrol komposisi
komunitas terumbu karang adalah ketersediaan cahaya, gelombang, sedimentasi,
salinitas dan kisaran pasang surut. Dalam skala yang lebih besar, ketersediaan
nutrient organik, suhu dan bentuk dasar perairan juga merupakan hal yang penting
(Veron 1986)
Faktor lingkungan tersebut di atas saling berhubungan, contohnya
gelombang yang dapat mempengaruhi jumlah sedimen karena terjadinya
pengadukkan di dasar perairan, akibatnya perairan akan menjadi keruh sehingga
dapat mempengaruhi penetrasi cahaya ke dalam perairan. Selain itu, lingkungan
biologis juga dapat mempengaruhi eksistensi terumbu karang, lingkungan biologis
menciptakan kekayaan spesies yang merupaka ciri-ciri terumbu karang (Wolanski
2001).
Kanwisher dan Wainwright (1967) mengatakan bahwa titik kompensasi
binatang karang terhadap cahaya adalah pada intensitas antara 200–700 f.c (atau
umumnya terletak pada kisaran 300–500 f.c). Intensitas cahaya secara umum di
permukaan laut adalah 2500–5000 f.c, Mengingat kebutuhan tersebut maka hewan
karang (coral) umumnya tersebar didaerah tropis.
Cahaya yang masuk ke dalam perairan berubah dengan cepat, baik secara
intensitas maupun komposisinya. Kecerahan perairan terumbu karang dapat
mencapai kedalam 50 meter untuk terumbu-terumbu di daerah lautan terbuka.
Tetapi juga dapat mencapai kurang dari satu meter sesudah terjadinya badai pada
daerah tersebut. Setiap spesies karang mempunyai toleransi tertentu pada tingkat
cahaya maksimum dan minimum. Daerah perairan disekitar muara sungai
merupakan daerah yang kurang baik bagi pertumbuhan karang ditinjau dari
penetrasi cahaya yang biasanya rendah akibat dari banyaknya partikel-partikel
tersuspensi dari air sungai yang masuk ke laut (Lalamentik 1991)
Daerah karang dipengaruhi oleh sedimentasi yang berasal dari peningkatan
sedimen di daerah terumbu karang itu sendiri, run-off dari darat dan sungai.
7

Kondisi tersebut berdampak terhadap struktur komunitas terumbu karang.


Dampak yang diberikan pada jenis karang tertentu bergantung pada jenis dan
ukuan sedimen, frekuensi yang ditimbulkan, pembebasan hutan, morfologi dan
jenis yang resisten ( Bak dan Elgershuizen 1992; Dodge dan Lang 1983).

2.2 Ekosistem Terumbu Karang


Terumbu karang merupakan komunitas organisme yang hidup di dasar
perairan dan berupa batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat untuk menahan gaya
gelombang laut. Pada dasarnya terumbu karang merupakan endapan padat
kalsium karbonat (kapur) yang diproduksi oleh hewan karang dengan sedikit
tambahan dari alga berkapur dan organisme lainnya yang menghasilkan kalsium
karbonat. Klasifikasi ilmiah menunjukan bahwa karang termasuk kelompok
binatang dan bukan sebagai kelompok tumbuhan. Hewan karang ini termasuk
dalam filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Scleractinia (Baker et al. 1991).
Organismen yang dominan hidup di terumbu karang adalah binatang-binatang
karang yang mempunyai kerangka kapur dan algae yang diantaranya banyak
mengandung kapur (Supriharyono 2000). Dalam hal kemampuan membentuk
terumbu, karang dapat dibedakan atas karang hermatipik yaitu karang yang
mampu membangun terumbu dan karang ahermatipik yaitu karang yang tidak
mampu membentuk terumbu. Karang banyak dijumpai diantara 30 oLU dan
25 oLS. Hewan ini kebanyakkan bersifat nocturnal. Hal ini dikarenakan
mangsanya berupa zooplankton, banyak muncul dimalam hari dan karang
merupakan hewan karnivora (Veron 1986).
Morfologi skeleton karang merupakan hasil jadi dari bentuk pertumbuhan
koloni karang. Istilah yang paling umum digunakan oleh Veron (1986) untuk
mengambarkan bentuk pertumbuhan karang yang menghasilkan morfolgi karang
yaitu massive (sama dalam semua dimensi), columnar (berbentuk tonggak),
branching (seperti cabang pohon atau jari), encrusting (melekat pada substrata
atau berbentuk kerak, foliaceous (seperti daun), laminar (seperti lempengan) dan
free living ( hidup lepas dari substrat).
Veron (1986) dan Wallace (1998) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu
karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitif
terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi,
8

eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Tahun 1998 telah terjadi
perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis
sehingga menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan
kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono (1998) mencatat selama peristiwa
pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 oC
di atas suhu normal.
Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan
mempengaruhi terumbu karang. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) bahwa
curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan (mainland run
off) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya
penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient
overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan
pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang.
Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies yang
membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang di lautan dibatasi
oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang mempunyai suhu
rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10 0C. Pertumbuhan maksimum terumbu karang
terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan suhu sekitar 25 oC sampai 29 0C. Karena
sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan
Evans 1985).
Selanjutnya Nybakken (1992) mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe
umum yaitu terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef),terumbu karang
penghalang (Barrier reef) dan terumbu karang cincin (atoll). Diantara ketiga
struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai di perairan Indonesia
adalah terumbu karang tepi (Suharsono 1998). Penjelasan ketiga tipe terumbu karang
sebagai berikut :
1) Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai
dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 m. Terumbu karang ini tumbuh
ke atas atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat
dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar
terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang
9

baik bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan


banyak endapan yang datang dari darat.
2) Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef) terletak di berbagai
jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar
laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m).
Umumnya memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar
seakan–akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari
luar, contohnya adalah The Great Barier Reef yang berderet disebelah
timur laut Australia dengan panjang 1.350 mil.
3) Terumbu karang cincin (atoll) yang melingkari suatu goba (laggon).
Kedalaman goba didalam atol sekitar 45 m jarang sampai 100 m seperti
terumbu karang penghalang, contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone
Rate di Sulawesi Selatan.
Moberg dan Folke (1999), menyatakan bahwa fungsi ekosistem terumbu
karang yang mengacu kepada habitat, biologis atau proses ekosistem sebagai
penyumbang barang maupun jasa. Sebagai penyumbang barang yaitu terkait
dengan sumberdaya pulih seperti bahan makanan (ikan, rumput laut) dan tambang
(pasir dan karang). Sedangkan sebagai penyumbang jasa, ekosistem terumbu
karang terdiri dari :
1. Jasa struktur fisik sebagai pelindung pantai.
2. Jasa biologi sebagai habitat dan dan suport mata rantai kehidupan.
3. Jasa biokimia sebagai fiksasi nitrogen.
4. Jasa informasi sebagai pencatatan iklim.
5. Jasa sosial dan budaya sebagai nilai keindahan, rekrasi dan permainan
Terumbu karang menyediakan berbagai manfaat langsung maupun tidak
langsung. Cesar (2000) menjelaskan bahwa ekosistem terumbu karang banyak
meyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan karang, mollusca, crustacean
bagi masyarakat yang hidup dikawasan pesisir. Selain itu bersama dengan
ekosistem pesisir lainnya menyediakan makanan dan merupakan tempat berpijah
bagi berbagai jenis biota laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Menurut Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa tingginya produktivitas
primer di perairan terumbu karang, memungkinkan ekosistem ini dijadikan tempat
10

pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi banyak biota laut. Menurut Salm
(1984) dalam Supriharyono (2000), bahwa 16% dari total hasil ekspor ikan
Indonesia berasal dari daerah karang.

2.3 Tipe Dasar Terumbu Karang


Bagi ikan karang, terumbu karang sebagian besar adalah substrat dasar yang
keras tetapi merupakan substrat dasar yang secara tipologinya jauh lebih komplek
dari yang lainnya. Terumbu karang menyediakan keanekaragaman bentuk dan
ukuran tempat berlindung yang digunakan ikan karang. Terumbu karang adalah
lingkungan yang terbagi-bagi kedalam habitat-habitat kecil yang sangat bervariasi.
Terumbu karang membentang di lautan, dengan skala ratusan kilometer, tapi
pada skala yang lebih kecil terumbu karang merupakan berbagai macam zona
habitat yang berbeda dari segi fisik dan lainnya tiap zona habitat. Setiap zona
habitat pada skala meter terdapat bagian-bagian yang terdiri dari situs-situs
tersendiri yang berbeda berdasarkan perbedaan morfologi tiap karang dan
pencampuran antara koloni terumbu dengan rubble, pasir dan batuan-batuan
sebagai pembentuk tipe dasar (Sale 1991).
Menurut Chappel (1980) dalam Supriharyono (2000), beberapa bentuk
pertumbuhan karang diantaranya globose (Massive), ramose (Submassive),
brancing, digitate plate, compound plate, fragile branching, encrusting, plate,
foliate dan micro atoll. Bentuk-bentuk karang ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor alam, terutama oleh level cahaya, tekanan hidrodinamis, sedimen dan
subareal exposure.

2.4 Sumberdaya Ikan Karang


Komunitas ikan karang dibandingkan dengan komunitas lain di terumbu
karang, merupakan jumlah yang paling berlimpah. Tingginya keragaman ini
disebabkan terdapatnya variasi habitat yang ada di terumbu karang dimana semua
tipe habitat yang ada diisi oleh spesies ikan karang (Sutton 1983 dalam Emor
1993).
Bentuk pertumbuhan terumbu karang yang beragam seperti bercabang,
pipih/merayap, meja daun dan pejal/padat, memungkinkan adanya ruang sebagi
tempat hidup dan tempat yang nyaman untuk melakukan pemijahan, pengasuhan
dan mencari makan atupun tempat berteduh bagi ikan karang yang mempunyai
11

nilai ekonomis tinggi. Choat dan Bellwood (1991) menggolongkan ikan-ikan yang
ditemukan di terumbu karang ke dalam dua kategori utama yaitu jenis terumbu
(reef species) dan jenis yang dihubungkan dengan terumbu karang (reef-
associated speies). Penggolongan ini oleh Choat dan Bellwood (1991) didasarkan
pada karakteristik ekologis, hubungannya dengan habitat, pendistribusian,
karakteristik taxonomic dan fitur struktural.
Perbedaan pendapat muncul mengenai hubungan keragaman spesies ikan
dan keragaman habitat terumbu karang. Beberapa penelitian terus dilakukan dan
akhirnya memunculkan dua teori tentang ikan karang di terumbu karang, seperti
yang dirangkum oleh Nybakken (1988); Pertama. Hidup berdampingan
merupakan hasil dari tingkat spesialisasi yang tinggi, sehingga setiap spesies
mempunyai tempat beradaptasi khusus yang didapat dari persaingan pada suatu
keadaan di karang, jadi ikan-ikan ini mempunyai relung ekologi yang lebih sempit
dan berarti daerah itu dapat menampung lebih banyak spesies; Kedua, ikan karang
tidak mempunyai sifat khusus, banyak spesies serupa yang mempunyai kebutuhan
sama dan dapat bersaing aktif diantar spesies.
Faktor kedalaman berperan dalam penyebaran ikan-ikan karang. Umumnya
ikan-ikan tersebut memiliki kisaran kedalaman yang sempit tergantung dari
ketersediaan makanan, ombak dan keberadaan predator. Pada daerah-daerah yang
kaya akan makanan ikan akan cenderung berkelompok. Ikan-ikan tersebut
menghindari pecahan ombak dengan menempati daerah yang lebih dalam.
Kebanyakan ikan-ikan yang tergolong herbivore adalah ikan-ikan diurnal,
berwarna cemerlang dengan ukuran bukaan mulut kecil. Beberapa ikan ini
merupakan ikan yang bergerak cepat dan berkelompok (Connaughey dan Zottoli
1983)
Dartnall dan Jones (1986) melakukan pengelompokan ikan karang menjadi
tiga yaitu (1) Kelompok ikan target, merupakan ikan konsumsi seperti ikan-ikan
dari famili serranidae, Lutjanidae, Haemulidae, Lethrinidae; (2) Kelompok ikan
Indikator yaitu ikan-ikan yang digunakan sebagai indikator keberadaan suatu
perairan terumbu karang, seperti family Chaetodontidae; (3) Kelompok ikan yang
berperan dalam rantai makanan adalah ikan-ikan yang peranan lainnya belum
12

diketahui seperti ikan-ikan dari family Pomacentridae, Searidae, Acanthuridae,


Caesionidae, Labridae, Siganidae, Muliidae, Apogonidae.

2.5 Klasifikasi Ikan Ekor Kuning


Ikan ekor kuning (Gambar 2) termasuk dalam famili caesionidae,
pengklasifikasian menurut Nelson (2006) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animal
Phylum : Chordata
Class : Osteichtyes
Order : Perciformes
Family : Caesionidae
Genus : Caesio
Species : Caesio cuning

Gambar 2 Ikan ekor kuning

Ciri morfologi ikan ekor kuning adalah bentuk badan memanjang, melebar
dan gepeng, mulut kecil dan serong, memiliki gigi-gigi kecil dan lancip. Dua gigi
taring pada rahang bawah dan yang halus pada langit-langit. Jari-jari keras sirip
punggung 10 dan yang lemah 15, sedangkan jari-jari keras pada sirip dubur 3 dan
yang lemah 11. Ikan ini memliki sisik tipis pada garis rusuknya, sisik-sisik kasar
di bagian atas dan bawah garis rusuk serta tersusun horizontal, sisik pada kepala
mulai dari mata (Kottelat et al. 1993).
Tubuh ikan ekor kuning bagian atas sampai punggung berwarna ungu
kebiruan, bagian belakang punggung, batang ekor, sebagian dari sirip punggung
yang berjari-jari lemah, sirip dubur berwarna biru keputihan dan ekor berwarna
13

kuning. Bagian bawah kepala, badan, sirip perut dan dada berwarna merah jambu,
pinggir sirip punggung sedikit hitam dan ketiak sirip dada berwarna hitam
(Kottelat et al. 1993)

2.6 Habitat dan Kebiasaan Hidup Ikan Ekor Kuning


Habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu dimana suatu
spesies atau komunitas hidup. Habitat yang baik akan mendukung
perkembangbiakkan organisme yang hidup di dalamnya secara normal. Habitat
memiliki kapasitas tertentu untuk mendukung pertumbuhan populasi suatu
organisme. Kapasitas optimum habitat untuk mendukung populasi suatu
organisme disebut daya dukung habitat .
Menurut Macpherson (1981) bahwa jenis ikan yang mempunyai luas relung
yang luas, berarti jenis ikan tersebut mempunyai peran yang besar dalam
memanfaatkan pakan yang tersedia dan mempunyai kemampuan yang sangat baik
dalam menyesuaikan diri terhadap fluktuasi kesedian pakan, serta mempunyai
daya reproduksi secara individual sangat besar. Jadi berdasarkan luas relung, jenis
ikan mempunyai potensi yang paling besar untuk berkembang menjadi induk
populasi di dalam ekosistem perairan dimana ikan tersebut hidup.
Kelayakan suatu perairan sebagai lingkungan hidup organisme perairan
dipengaruhi oleh sifat fisika–kimia (faktor abiotik) perairan itu sendiri. Tetapi
dilain pihak sifat organisme perairan itu sendiri ikut berperan. Suatu perairan yang
ideal bagi kehidupan ikan dapat didefinisikan sebagai suatu perairan yang dapat
mendukung kehidupan ikan dalam menyesuaikan seluruh daur hidupnya, serta
dapat mendukung kehidupan organisme makanan ikan yang diperlukan dalam
setiap stadia daur hidupnya dengan jumlah yang mencukupi (Wardoyo, 1981).
Habitat ikan ekor kuning adalah diperairan pantai karang, perairan karang
dengan suhu perairan lebih dari 20 0C. Hidupnya berasosiasi dengan terumbu
karang dan dapat ditemukan pada kedalaman 1-60 meter, terkadang ikan ini
berenang dengan membentuk gerombolan besar dan ditemui di dekat tubir
(Randal et al. 1990).
Subroto dan Subani (1994), di indonesia ikan ekor kuning banyak ditangkap
di wilayah perairan karang Riau Kepulauan, Sumatra Barat, Bangka, Belitung,
Lampung, Kepulauan Seribu, Jawa Barat, Jawa Tengah (Kepulauan Karimun
14

Jawa), Jawa Timur (Kepulauan Kangean), Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan,


Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara.
Ikan ekor kuning dilihat dari fungsi atau perannya adalah merupakan ikan
karang kelompok ikan mayor dimana belum diketahui peran lainnya, sedangkan
dilihat dari jenis makanan ikan ekor kuning termasuk plankton feeder, yaitu
pemakan plankton. Hidup di perairan pantai, karang-karang, perairan karang dan
membentuk gerombol besar. Panjang tubuh dapat mencapai 35 cm, umumnya 25
cm (Kuiter dan Tonozuka 2004). Famili Caesionidae mempunyai ciri khas yaitu
bergerombol (schooling) dalam ukuran yang besar, berenang dengan cepat (fast-
swimming), memakanan zooplankton dan banyak terdapat di kolom perairan
sepanjang tepi lereng terumbu karang. Ikan ekor kuning dapat hidup di perairan
pada kedalaman 0-40 m (Allen 1999). Menurut Isnaini (2008), makanan ikan ekor
kuning muda adalah copepoda, sedangkan untuk ikan dewasa memakan ubur-
ubur, larva dan ikan kecil lainnya (Isnaini 2008).

2.7 Pertumbuhan
Menurut Effendie (1997), Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
dapat digolongkan menjadi dua bagian yang besar yaitu faktor dalam dan faktor
luar. Faktor-faktor ini ada yang dapat dikontrol dan ada yang tidak. Faktor dalam
umumnya adalah faktor yang sulit untuk dikontrol, diantaranya adalah keturunan,
jenis kelamin, umur, parasit dan penyakit. Sedangkan faktor luar seperti suhu air,
kandungan oksigen terlarut, amonia, salinitas dan fotoperiod (panjang hari).
Faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dan bersama-sama dengan
faktor-faktor lain seperti kompetisi, jumlah dan kualitas makan, umur serta tingkat
kematian yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan.
Faktor-faktor yang paling banyak mempengaruhi pertumbuhan ikan adalah
jumlah dan ukuran pakan yang tersedia, jumlah individu yang menggunakan
pakan yang tersedia, kualitas air terutama suhu, oksigen terlarut, umur, ukuran
ikan serta kematangan gonad (Effendie 1997).

2.8 Hubungan Panjang Berat


Ukuran panjang-berat merupakan salah satu faktor penting bagi
pertumbuhan ikan dalam kurun waktu tertentu. Dalam hal ini berat dianggap
sebagai fungsi dari panjang, karena dengan bertambahnya berat dapat menentukan
15

panjang ikan. Dengan menggunakan variabel panjang dan berat dapat ditentukan
bentuk pertumbuhan dari ikan. Pengukuran panjang tubuh memberikan bukti
langsung terhadap pertumbuhan. Peningkatan ukuran panjang umumnya tetap
berlangsung walaupun ikan mungkin dalam keadaan kekurangan makanan.
Panjang tubuh dapat diukur dalam banyak cara dan yang umum digunakan
untuk ikan adalah panjang total, panjang cagak dan panjang baku. Panjang total
adalah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian kepala sampai
ujung terakhir bagian ekornya. Panjang cagak adalah panjang ikan yang diukur
dari ujung terdepan sampai ujung bagian luar lekukan sirip ekor, sedangkan
panjang standar atau panjang baku adalah panjang ikan yang diukur dari ujung
terdepan darai kepala sampai ujung terakhir dari tulang punggungnya atau
pangkal sirip ekor (Effendie 1997).
Analisa hubungan panjang berat bertujuan untuk mengetahui pola
pertumbuhan ikan dengan menggunakan parameter panjang dan berat. Berat dapat
dianggap sebagai salah satu fungsi dari panjang. Nilai yang didapat dari
perhitungan panjang berat ini adalah untuk menduga berat dari panjang atau
sebaliknya serta dapat diketahui pola pertumbuhan, kemontokan dan pengaruh
perubahan lingkungan terhadap pertumbuhan ikan (Effendie 1997), sedangkan
menurut Fafioye dan Oluajo (2005) analisis panjang berat yang dihubungkan
dengan data kelompok umur dapat digunakan untuk mengetahui komposisi stok,
umur saat pertama memijah, siklus kehidupan, kematian, pertumbuhan dan
produksi.
Menurut Effendie (1997), jika panjang dan berat diplotkan dalam suatu
gambar maka akan didapatkan persamaan W=aLb; W=berat, L=panjang, a dan b
adalah suatu konstanta. Nilai b berfluktuasi antara 2.5 sampai 4, tetapi
kebanyakan mendekati 3 karena pertumbuhan mewakili peningkatan dalam tiga
dimensi, sedangkan pengukuran panjang diambil dari satu dimensi. Nilai b yang
merupakan konstanta adalah nilai pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan
ikan. Hubungan ini juga memungkinkan untuk membandingkan individu dalam
satu populasi maupun antar populasi (Lagler et al. 1977). Nilai b=3
menggambarkan pertumbuhan isometrik, yang akan mencirikan ikan mempunyai
bentuk tubuh yang tidak berubah (Riker 1975) atau pertambahan panjang ikan
16

seimbang dengan pertambahan beratnya. Nilai b≠3 menggambarkan pertumbuhan


allometrik. Jika b<3 menunjukkan keadaan ikan yang kurus dimana pertambahan
panjangnya lebih cepat dari pertambahan beratnya. Jika b>3 menunjukkan
keadaan ikan yang gemuk dimana pertambahan beratnya lebih cepat dari
pertambahan panjangnya (Effendie 1997). Kenyataan ini berbeda dari setiap ikan,
karena adanya pengaruh musim dan jenis kelamin.

2.9 Makanan Ikan


Makanan adalah merupakan salah satu fungsi yang terpenting dari
organisme. Seperti semua organisme, ikan membutuhkan energi untuk bahan
bakar tubuh mereka, proses pertumbuhan, metabolisme dan reproduksi (Islam
2004). Setiap jenis ikan beradaptasi untuk memakan satu jenis makanan tertentu,
alat pengelihatan untuk mencari makan, rongga mulut (buccal cavity) untuk
menangkap dan usus untuk mencernakannya (Nikolsky 1963).
Berdasarkan jenis makanan utama, maka ikan secara umum dapat
digolongkan ke dalam tiga golongan yaitu (1) ikan kanivora yaitu pemakan
daging, yang biasanya mempunyai usus yang pendek; (2) ikan omnivor yaitu
pemakan daging dan tumbuh-tumbuhan, mempunyai panjang usus yang sedang;
(3) ikan herbivora yaitu pemakan tumbuh-tumbuhan, mempunyai usus yang
sangat panjang melingkar-lingkar di dalam rongga perut (Wootton 1992).
Hobson (1974), menyatakan bahwa kebiasaan makan ikan ini berubah
dalam daur hidupnya, paling tidak untuk kebanyakan ikan, biasanya dengan
perubahan-perubahan yang nyata dalam tingkah laku dan morfologinya.
Selanjutnya Lagler (1961), mengemukakan studi-studi makanan dapat
memperlihatkan secara mendetail hubungan-hubungan ekologis diantara
organisme-organisme, maka diperlukan identifikasi secara menyeluruh dari jenis-
jenis makanan tersebut.
Keadaan komposisi makanan ikan akan membantu menjelaskan
kemungkinan-kemungkinan habitat yang seringkali dikunjunginya (Kagwade
1967). Menurut Roa (1974), besarnya populasi ikan di dalam suatu perairan
adalah merupakan suatu fungsi dari potensialitas makanannya, sehingga suatu
pengetahuan yang benar dari hubungan antara ikan dengan organisme-organime
makanannya adalah penting untuk ramalan dan eksploitasi dari keberadaan
17

populasi ikan tersebut. Sedangkan Nikolsky (1969), mengemukakan besar serta


komposisi dari suplai makanan menentukan komposisi jenis ikan yang ada dan
juga mempengaruhi pertumbuhan ikan-ikan tersebut.

2.10 Siklus Hidup dan Tingkat Kematangan Gonad (TKG)


Siklus kehidupan dari kebanyakan ikan karang dapat dibagi dalam tiga tahap
biologi/ekologi (Tissot 2003) yaitu (1) tahap dalam bentuk larva pelagik; (2)
tahap ikan muda; dan (3) tahap ikan dewasa. Sepanjang tahap pelagik, telur-
telur/larva mengapung di dalam air terbuka sebagai komponen plankton laut. Fase
ikan muda dimulai saat ikan-ikan muda menempati terumbu karang dalam suatu
proses yang dikenal sebagai perekrutan. Ikan-ikan muda cenderung untuk
memikirkan diri sendiri dan adalah lebih sedikit nampaknya dibandingkan ikan
dewasa. Tahap ikan dewasa ditandai oleh kedewasaan seksual dan bisa disertai
oleh suatu transisi dari ikan muda sampai pewarnaan ikan dewasa atau
morphologi.
De Young (1940) dalam Effendie (1997) melakukan penelitian terhadap
kebiasaan memijah tiga belas spesies ikan ekonomis penting di laut jawa
berdasarkan distribusi garis tengah telurnya. Hasilnya memperlihatkan bahwa
pemijahan induvidu betul-betul berkala. Dari perbedaan yang khas dimungkinkan
membedakan tiga macam atau pola pemijahan yang berlainan. Ikan ekor kuning
termasuk dalam kelompok pola pemijahan kedua, dimana pada kelompok ini
sebelum telur kelompok pertama mencapai kematangan, kelompok telur
berikutnya sudah memisahkan dari stok telur yang lain. Sebelum terjadi
pemijahan didapatkan dua kelompok telur yang bepisah. Sesudah berpijah
didapatkan selain kelompok stok telur yang umum ada pula sekelompok telur
yang berukuran lebih besar yang sedang mematang dan akan dikeluarkan dalam
pemijahan berikutnya.
Klasifikasi kematangan gonad menurut Romimohtarto dan Juwana (2001)
untuk ikan laut adalah:
Tingkat. I : Tidak matang (immature). Gonad memanjang, kecil hampir
transparan)
Tingkat II : Sedang matang (maturing). Gonad membesar, berwarna jingga
18

kekuning-kuningan, butiran telur belum terlihat dengan mata


telanjang
Tingkat III : Matang (mature). Gonad berwarna putih kekuningan, butiran
telur sudah dapat terlihat dengan mata telanjang
Tingkat IV : Siap pijah. Butiran telur membesar dan berwarna kuning jernih,
dapat keluar dengan sedikit tekanan pada perut
Tingkat V : Pijah (spent). Gonad mengecil, berwarna merah dan banyak
terdapat pembuluh darah
Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan salah satu aspek biologi
reproduksi yang merupakan tahapan-tahapan tertentu perkembangan gonad
sebelum dan sesudah ikan memijah. Keterangan tentang TKG ikan diperlukan
untuk mengetahui perbandingan antara ikan yang ada di perairan, ukuran atau
umur ikan pertama kali matang gonadnya dan apakah ikan sudah memijah atau
belum. Selanjutnya ikan pertama kali mencapai matang gonad dipengaruhi oleh
beberapa faktor luar seperti suhu, arus, adanya individu yang berjenis kelamin
yang berbeda dan faktor dalam seperti umur, ukuran dan perbedaan spesies
(Niklosky 1963; Effendie 1997).
Pemijahan dalam proses reproduksi dapat diketahui dengan melihat
perubahan gonad yaitu menjadi besar dan berat. Berat gonad akan mencapai
maksimum saat ikan akan memijah, kemudian menurun dengan cepat selama
pemijahan sampai selesai (Effendie 1997). Untuk mengetahui perubahan gonad
tersebut secara kualitatif dapat dinyatakan dengan Indeks Kematangan Gonad
(IKG). IKG adalah suatu nilai dalam persen sebagai hasil dari perbandingan berat
gonad dengan berat tubuh ikan termasuk gonad dikalikan 100%. IKG ini akan
bertambah besar sampai mencapai maksimum ketika akan terjadi pemijahan
(Effendie 1997).
Royce (1984), ikan dapat memijah jika nilai IKG betina berkisar antara 10-
25% dan nilai IKG jantan berkisar antara 5-10%. Royce (1984), menyatakan
semakin banyak makanan tersedia, pertumbuhan ikan semakin cepat dan
fekunditas semakin besar. Fekunditas ikan berhubungan erat dengan lingkungan
dimana fekunditas spesies akan berubah bila keadaan lingkungan berubah (Musa
dan Bhuiyan 2007).
19

2.11 Hubungan Terumbu Karang dengan Komunitas Ikan Karang


Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang mempunyai
produktivitas organik yang tinggi, hal ini disebabkan kemampuan terumbu karang
menahan nutrien dalam sistem dan peran sebagai kolam untuk menampung segala
masukan dari luar. Disamping itu terumbu karang kaya akan keanekaragaman
spesies penghuninya karena variasi habitat yang terdapat pada terumbu. Ikan
merupakan salah satu organisme yang terbanyak ditemukan pada ekosistem
terumbu karang. Fungsi ekologis lainnya adalah tempat hidup berbagai jenis ikan
karang, udang karang, alga teripang dan kerang mutiara (Dahuri et al. 1996)
Dilihat dari fungsi biodiversiti, ekosistem ini mempunyai produktivitas dan
keanekaragaman jenis biota yang tinggi, keanekaragaman hidup di ekosistem ini
perunit area sebanding atau lebih besar dibandingkan hal yang sama dengan di
hutan tropis. Terumbu karang dikenal sebagai laboratorium untuk ilmu ekologi
(White et al. 1994)
Sumberdaya ikan karang merupakan ikan yang kehidupannya terikat dengan
perairan karang. Keterkaitan antara berbagai organisme di ekosistem terumbu
karang sangat ditentukan oleh kondisi terumbu karang. Apabila terjadi degredasi
pada suatu komunitas organisme akan dapat berakibat buruk bagi organisme
lainnya, secara ekologis, terumbu karang memiliki peranan yang penting bagi
ekosistem lainnya seperti ekosistem padang lamun dan ekosistem mangrove
(Lalamatik 1991)
Fasktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman dan kelimpahan jenis
dari komunitas ikan karang dalam hubungannya dengan terumbu karang adalah
tutupan karang hidup (Bel dan Galzin 1984; Anderson 2002) Keanekaragaman
subtratum (Robert dan Ormond 1987) dan (3) Keanekaragaman struktural
(Luckhurst dan Luckhurst 1978; Mc Clanahan 1994). Hal ini didukung oleh studi
Chabanet et al. (1997), dilaporkan bahwa keanekaragaman dan kekayaan jenis
dari kumpulan ikan karang adalah dihubungkan dengan banyak variabel karang
seperti kompleksitas bangunan (architectural) atau tutupan karang bercabang,
keanekaragaman, kekayaan jenis, kelimpahan, ukuran koloni, tutupan karang
hidup, tutupan karang padat dan tutupan karang pipih/merayap.
20

Acosta dan Robertson (2002) mengatakan bahwa kelimpahan dan


keanekaragaman ikan karang ditentukan pula oleh besar kecilnya luasan terumbu
karang, terumbu karang yang lebih luas kelimpahan dan keanekaragaman jenis
ikan karang akan lebih tinggi dibandingkan dengan terumbu karang yang
luasannya kecil. Hubungan antara terumbu karang sebagai habitat dan distribusi
komunitas ikan karang adalah dapat dijelaskan oleh ketergantungan ikan karang
pada terumbu karang yang menyediakan tempat makan, perlindungan dan
reproduksi.
Hubungan terumbu karang dan ikan karang adalah pada terumbu karang
sehat keragaman dan kuantitas makanan tinggi dan ini berdampak positip
langsung pada keragaman dan kelimpahan ikan karang, dan terumbu karang
merupakan tempat naungan dan perlindungan ikan karang dari predator,
khususnya bagi ikan berjenis kecil serta terumbu karang juga menyediakan
lingkungan yang tepat untuk kegiatan reproduksi dan penempatan larva bagi ikan
karang.

2.12 Dasar Pengelolaan Terumbu Karang dan Ikan Karang


Nikijuluw (2002) menyatakan, bahwa sumberdaya perikanan dapat berupa
sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan dan sumber daya buatan manusia yang
digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan. Pemanfaatan sumberdaya ikan
oleh manusia berhubungan erat dengan kondisi lingkungan tempat ikan tersebut
tinggal. Adanya interaksi antara sumberdaya ikan, lingkungan perairan serta
manusia sebagai pengguna, maka diperlukan sebuah pengelolaan agar ketiga
interaksi tersebut dapat berjalan secara seimbang dalam sebuah ekosistem.
Artinya pengelolaan sumberdaya ikan adalah penataan pemanfaatan sumberdaya
ikan, pengelolaan lingkungan dan pengelolaan manusia sebagai pengguna. Lebih
lanjut Murdiyanto (2004) menyatakan bahwa dalam sebuah pengelolaan
sumberdaya perikanan pantai, para pengelola harus dibekali dengan pengetahuan
dan fasilitas yang memadai. Ketersedian data dan informasih yang akurat,
sumberdaya manusia yang handal, dana, serta kesadaran dan partisipasi
masyarakat adalah hal-hal yang dibutuhkan agar pengelolaan sumberdaya
perikanan dapat berhasil dengan baik
21

Murdiyanto (2004) menyatakan bahwa permasalahan umum yang sering


dihadapi dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya perikanan pantai adalah ;
(1) kurangnya informasi tentang data perikanan pantai, (2) penurunan hasil
tangkapan, (3) dukungan pemerintah masih sangat terbatas, (4) kurangnya
kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan, dan (5) kwalitas sumber daya
manusia terutama yang menyentuh masyarakat langsung belum memadai.
Keadaan sedemikian rupa menyebabkan degredasi sumberdaya cendrung
semakin cepat, terutama sumberdaya terumbu karang dan pada akhirnya akan
mempengaruhi sumberdaya perikanan.
Pelaksanaan suatu pengelolaan di wilayah pesisir harus diawali dengan
perencanaan dengan melihat berbagai potensi sumberdaya yang ada sehingga
dapat tertata dengan rapi. Tujuan dari pengelolaan terumbu karang adalah untuk
menjaga dan melindungi kakasan ekosistem atau habitat terumbu karang supaya
keanekaragaman hayati dari kawasan ekosistem atau habitat tersebut dapat dijaga
dan dipelihara kelestariannya dari kegiatan-kegiatan pengambilan atau
pengrusakan (Supriharyono 2000).
22

2. LITERATURE REVIEW

1. Parameter Lingkungan Environmental Parameters

Keberadaan karang pada suatu perairan ditentukan oleh kondisi lingkungaan


perairan tersebut. The existence of an aquatic reef is determined by the condition
of these waters lingkungaan. Faktor yang paling menentukan dalam mengontrol
komposisi komunitas terumbu karang adalah ketersediaan cahaya, gelombang,
sedimentasi, salinitas dan kisaran pasang surut. The most decisive factor in
controlling the composition of reef communities is the availability of light, waves,
sedimentation, salinity and tidal range. Dalam skala yang lebih besar, ketersediaan
nutrient organik, suhu dan bentuk dasar perairan juga merupakan hal yang penting
(Veron 1986) In a larger scale, the availability of organic nutrients, temperature
and the basic form of water is also important (Veron 1986)

Faktor lingkungan tersebut di atas saling berhubungan, contohnya gelombang


yang dapat mempengaruhi jumlah sedimen karena terjadinya pengadukkan di
dasar perairan, akibatnya perairan akan menjadi keruh sehingga dapat
mempengaruhi penetrasi cahaya ke dalam perairan. Environmental factors
mentioned above are interconnected, ie waves that can affect the amount due
pengadukkan sediment in the bottom waters, the consequences would be murky
waters that can affect light penetration into the water. Selain itu, lingkungan
biologis juga dapat mempengaruhi eksistensi terumbu karang, lingkungan biologis
menciptakan kekayaan spesies yang merupaka ciri-ciri terumbu karang (Wolanski
2001). In addition, the biological environment can also affect the existence of
coral reefs, environment creates wealth of biological species traits be an coral
reefs (Wolanski 2001).

Kanwisher dan Wainwright (1967) mengatakan bahwa titik kompensasi binatang


karang terhadap cahaya adalah pada intensitas antara 200–700 fc (atau umumnya
terletak pada kisaran 300–500 fc). Kanwisher and Wainwright (1967) says that the
compensation point of the reef animals in the intensity of light is between 200-700
ft (or generally in the range 300-500 ft). Intensitas cahaya secara umum di
permukaan laut adalah 2500–5000 fc, Mengingat kebutuhan tersebut maka hewan
karang ( coral ) umumnya tersebar didaerah tropis. The intensity of light in
general on the surface of the sea is fc 2500-5000, Considering the needs of the
animal coral (coral) is generally spread tropical regions.

Cahaya yang masuk ke dalam perairan berubah dengan cepat, baik secara
intensitas maupun komposisinya. The light that comes into the waters change
rapidly, both in intensity and composition. Kecerahan perairan terumbu karang
dapat mencapai kedalam 50 meter untuk terumbu-terumbu di daerah lautan
terbuka. Tetapi juga dapat mencapai kurang dari satu meter sesudah terjadinya
badai pada daerah tersebut. Brightness reef waters can reach 50 meters into the
coral-reef to the open ocean areas. But also can reach less than a yard after a storm
in the area. Setiap spesies karang mempunyai toleransi tertentu pada tingkat
23

cahaya maksimum dan minimum. Each species of coral has a certain tolerance on
the level of maximum and minimum light. Daerah perairan disekitar muara sungai
merupakan daerah yang kurang baik bagi pertumbuhan karang ditinjau dari
penetrasi cahaya yang biasanya rendah akibat dari banyaknya partikel-partikel
tersuspensi dari air sungai yang masuk ke laut (Lalamentik 1991) Area around the
mouth of the river waters are regions that are less good for coral growth in terms
of light penetration is usually low due to the amount of suspended particles of
river water into the sea (Lalamentik 1991)

Daerah karang dipengaruhi oleh sedimentasi yang berasal dari peningkatan


sedimen di daerah terumbu karang itu sendiri, run-off dari darat dan sungai. Areas
affected by the sedimentary rock that comes from increased sediment in the coral
reef itself, the run-off from land and rivers. Kondisi tersebut berdampak terhadap
struktur komunitas terumbu karang. These conditions have an impact on the
community structure of coral reefs. Dampak yang diberikan pada jenis karang
tertentu bergantung pada jenis dan ukuan sedimen, frekuensi yang ditimbulkan,
pembebasan hutan, morfologi dan jenis yang resisten ( Bak dan Elgershuizen
1992; Dodge dan Lang 1983). Given the impact on certain reef species depends
on the type and ukuan sediment, the frequency generated, the liberation of forest,
morphology and resistant species (Bak and Elgershuizen 1992; Dodge and Lang
1983).

2. Ekosistem Terumbu Karang Coral Reef Ecosystem

Terumbu karang merupakan komunitas organisme yang hidup di dasar perairan


dan berupa batuan kapur (CaCO 3 ) yang cukup kuat untuk menahan gaya
gelombang laut. Coral reefs are a community of organisms that live at the bottom
of the water and limestone (CaCO 3) is strong enough to withstand the force of
waves. Pada dasarnya terumbu karang merupakan endapan padat kalsium
karbonat (kapur) yang diproduksi oleh hewan karang dengan sedikit tambahan
dari alga berkapur dan organisme lainnya yang menghasilkan kalsium karbonat.
Basically coral reefs are dense deposits of calcium carbonate (lime) is produced
by coral animals with a little extra from chalky algae and other organisms that
produce calcium carbonate. Klasifikasi ilmiah menunjukan bahwa karang
termasuk kelompok binatang dan bukan sebagai kelompok tumbuhan. Scientific
classification showed that the rocks belonged to the animal and not as a group of
plants. Hewan karang ini termasuk dalam filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo
Scleractinia (Baker et al. 1991). This reef animals included in the phylum
Cnidaria, class Anthozoa, order Scleractinia (Baker et al. 1991). Organismen yang
dominan hidup di terumbu karang adalah binatang-binatang karang yang
mempunyai kerangka kapur dan algae yang diantaranya banyak mengandung
kapur (Supriharyono 2000). Dalam hal kemampuan membentuk terumbu, karang
dapat dibedakan atas karang hermatipik yaitu karang yang mampu membangun
terumbu dan karang ahermatipik yaitu karang yang tidak mampu membentuk
terumbu. Organismen the dominant life on the coral reef is a reef animals that
have a skeleton of limestone and algae are among many contain lime
(Supriharyono 2000). In the event that the ability to form coral, coral reefs can be
distinguished on hermatipik is capable of building reefs and coral reefs are
24

ahermatipik coral reefs can not form. Karang banyak dijumpai diantara 30 o LU
dan 25 o LS. Reefs are often found between 30 o N and 25 o LS. Hewan ini
kebanyakkan bersifat nocturnal. Hal ini dikarenakan mangsanya berupa
zooplankton, banyak muncul dimalam hari dan karang merupakan hewan
karnivora (Veron 1986). Is not most animals are nocturnal. This is because the
prey of zooplankton, many come at night and now are carnivores (Veron 1986).

Morfologi skeleton karang merupakan hasil jadi dari bentuk pertumbuhan koloni
karang. Morphological skeleton so now is a result of the growth of coral colonies.
Istilah yang paling umum digunakan oleh Veron (1986) untuk mengambarkan
bentuk pertumbuhan karang yang menghasilkan morfolgi karang yaitu massive
(sama dalam semua dimensi), columnar (berbentuk tonggak), branching (seperti
cabang pohon atau jari), encrusting (melekat pada substrata atau berbentuk kerak,
foliaceous (seperti daun), lamina r (seperti lempengan) dan free livi ng ( hidup
lepas dari substrat). The most common term used by Veron (1986) to describe the
growth of coral reefs that generate massive morfolgi (equal in all dimensions),
columnar (pillar-shaped), branching (such as tree branches or fingers), encrusting
(attached to the substrata or shape crust, foliaceous (like leaves), lamina r (such as
the slab) and free Livi ng (living away from the substrate).

Veron (1986) dan Wallace (1998) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu


karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat
sensitif terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas,
sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami ( pristine). Tahun
1998 telah terjadi perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang
melanda perairan tropis sehingga menyebabkan pemutihan karang ( coral
bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Veron (1986)
and Wallace (1998) suggests that the coral reef ecosystem is unique because it is
generally only found in tropical waters, is very sensitive to changes in the
environment, especially temperature, salinity, sedimentation, eutrophication and
require the quality of natural waters (PRISTINE). Year 1998 has been
environmental temperature changes due to global warming that hit the tropical
waters causing coral bleaching (coral bleaching), followed by mass death reaches
90-95%. Suharsono (1998) mencatat selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-
rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 o C di atas suhu normal.
Suharsono (1998) recorded during the bleaching event, the average surface
temperature of the water in Indonesian waters is 2-3 o C above normal
temperatures.

Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan
mempengaruhi terumbu karang. Apart from changes in temperature, the change in
salinity will also affect the coral reefs. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook
(1999) bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan
( mainland run off) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan
sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. This is consistent with the
explanation McCook (1999) that high rainfall and the flow of surface materials
from the mainland (mainland run-off) can kill coral reefs by increasing the
reduction of sediment and seawater salinity. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat
25

hara ( nutrient overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui


peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah ( overgrowth) terhadap
karang. The next effect is the excess of nutrients (nutrient overload) contribute to
the degradation of coral reefs through increased growth of abundant makroalga
(overgrowth) of the reef.

Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies
yang membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Although some corals
can be found from the subtropical oceans, but the species that make up coral
found only in the tropics. Kehidupan karang di lautan dibatasi oleh kedalaman
yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang mempunyai suhu rata-rata
minimum dalam setahun sebesar 10 0 C. Reefs in the sea of life is limited by the
depth of which is usually less than 25 m and the area has an average temperature
of the year for a minimum of 10 0 C. Pertumbuhan maksimum terumbu karang
terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan suhu sekitar 25 o C sampai 29 0 C.
The maximum growth of coral reefs occur at depths less than 10 m and a
temperature around 25 o C to 29 0 C. Karena sifat hidup inilah maka terumbu
karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan Evans 1985). Because of the
nature of live coral reef is so often found in Indonesia (Hutabarat and Evans
1985).

Selanjutnya Nybakken (1992) mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe


umum yaitu terumbu karang tepi ( Fringing reef/shore reef), terumbu karang
penghalang ( Barrier reef) dan terumbu karang cincin ( atoll ). Diantara ketiga
struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai di perairan
Indonesia adalah terumbu karang tepi (Suharsono 1998). Next Nybakken (1992)
classify coral reefs into three general types of coral reef edge (Fringing Reef /
shore reef), coral reef barrier (Barrier Reef) and coral reefs ring (atoll). Among
these three structures, coral reefs are the most common in Indonesian waters is the
coral reef edge (Suharsono 1998). Penjelasan ketiga tipe terumbu karang sebagai
berikut : Explanation of the three types of coral reefs as follows:

1. Terumbu karang tepi ( fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai


dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 m. Coral reef edge (fringing
reef) was developed along the coast and reaches depths of no more than 40
m. Terumbu karang ini tumbuh ke atas atau kearah laut. Coral reefs grow
upward or toward the sea. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian
yang cukup arus. The best growth is usually located in the current enough.
Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung
mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak mati karena
sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat.
Meanwhile, among the outer edge of the beach and coral, coral stones tend
to have less well pertumbuhaan even many die because of frequent
drought and lots of sediment that comes from the land.
2. Terumbu karang tipe penghalang ( Barrief reef) terletak di berbagai jarak
kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut
yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Coral reefs
are the type of barrier (Barrief reef) located at various distances and the
26

distance from the beach is separated from the beach by the sea is too deep
for the growth of coral stone (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri
pantai dan biasanya berputar-putar seakan–akan merupakan penghalang
bagi pendatang yang datang dari luar, contohnya adalah The Great Barier
Reef yang berderet disebelah timur laut Australia dengan panjang 1.350
mil. Generally extends along the coast and are usually round and round as
if a barrier for immigrants who come from outside, for example is The
Great barrier Reef lined the ocean east of Australia with a length of 1350
miles.
3. Terumbu karang cincin ( atoll ) yang melingkari suatu goba ( laggon ).
Coral reefs ring (atoll) encircling a goba (laggon). Kedalaman goba
didalam atol sekitar 45 m jarang sampai 100 m seperti terumbu karang
penghalang, contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi
Selatan. Goba depth within the atoll approximately 45 m to 100 m are
rarely as barrier reefs, atolls example is the island of Taka Bone Rate in
South Sulawesi.

Moberg dan Folke (1999), menyatakan bahwa fungsi ekosistem terumbu karang
yang mengacu kepada habitat, biologis atau proses ekosistem sebagai
penyumbang barang maupun jasa. Moberg and Folke (1999), states that the coral
reef ecosystem function that refers to the habitat, biological or ecosystem
processes as a contributor of goods and services. Sebagai penyumbang barang
yaitu terkait dengan sumberdaya pulih seperti bahan makanan (ikan, rumput laut)
dan tambang (pasir dan karang). As a contributor of goods that is associated with
recovery resources such as food (fish, seaweed) and mining (sand and rocks).
Sedangkan sebagai penyumbang jasa, ekosistem terumbu karang terdiri dari :
Meanwhile, as a contributor to the service, the coral reef ecosystem consists of:

1. Jasa struktur fisik sebagai pelindung pantai. Services as a protector of the


physical structure of the beach.
2. Jasa biologi sebagai habitat dan dan suport mata rantai kehidupan.
Services as habitat and biology and life suport chain.
3. Jasa biokimia sebagai fiksasi nitrogen. Biochemistry services as nitrogen
fixation.
4. Jasa informasi sebagai pencatatan iklim. Information services as the
climate record.
5. Jasa sosial dan budaya sebagai nilai keindahan, rekrasi dan permainan
Social and cultural services as the value of beauty, and the game rekrasi

Terumbu karang menyediakan berbagai manfaat langsung maupun tidak langsung.


Cesar (2000) menjelaskan bahwa ekosistem terumbu karang banyak
meyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan karang, mollusca, crustacean bagi
masyarakat yang hidup dikawasan pesisir. Coral reefs provide many benefits
directly or indirectly. Cesar (2000) explains that many of the coral reef ecosystem
meyumbangkan various marine biota such as fish, corals, molluscs, crustacean for
the area of coastal living. Selain itu bersama dengan ekosistem pesisir lainnya
menyediakan makanan dan merupakan tempat berpijah bagi berbagai jenis biota
laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Also along with other coastal
27

ecosystems to provide food and a place for different types of spawn marine biota
that have high economic value.

Menurut Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa tingginya produktivitas


primer di perairan terumbu karang, memungkinkan ekosistem ini dijadikan tempat
pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi banyak biota laut. According to
Supriharyono (2000) suggests that the high primary productivity of coral reefs in
the waters, allowing these ecosystems to be a place of spawning, rearing, and find
food for many marine biota. Menurut Salm (1984) dalam According to Salm
(1984) in Supriharyono (2000), bahwa 16% dari total hasil ekspor ikan Indonesia
berasal dari daerah karang. Supriharyono (2000), that 16% of the total fish export
from Indonesia reef areas.

3. Tipe Dasar Terumbu Karang Coral Reef Elementary Type

Bagi ikan karang, terumbu karang sebagian besar adalah substrat dasar yang keras
tetapi merupakan substrat dasar yang secara tipologinya jauh lebih komplek dari
yang lainnya. For reef fish, coral reefs are predominantly hard bottom substrates,
but is the basic substrate is tipologinya far more complex than others. Terumbu
karang menyediakan keanekaragaman bentuk dan ukuran tempat berlindung yang
digunakan ikan karang. Coral reefs provide a variety of shapes and sizes of shelter
used by reef fish. Terumbu karang adalah lingkungan yang terbagi-bagi kedalam
habitat-habitat kecil yang sangat bervariasi. Coral reefs are the environment
divided into smaller habitats are extremely varied.

Terumbu karang membentang di lautan, dengan skala ratusan kilometer, tapi pada
skala yang lebih kecil terumbu karang merupakan berbagai macam zona habitat
yang berbeda dari segi fisik dan lainnya tiap zona habitat. Setiap zona habitat pada
skala meter terdapat bagian-bagian yang terdiri dari situs-situs tersendiri yang
berbeda berdasarkan perbedaan morfologi tiap karang dan pencampuran antara
koloni terumbu dengan rubble , pasir dan batuan-batuan sebagai pembentuk tipe
dasar (Sale 1991). Coral reefs in the ocean stretched, with the scale of hundreds of
miles, but on a smaller scale coral reef is a habitat for a variety of different zones
in terms of other physical and habitat of each zone. Each zone on the scale of
meters of habitat are the parts of the site - separate the different sites based on
morphological differences of each reef and the mixing between the coral colony
with rubble, sand and rocks as forming the basic types (Sale 1991).

Menurut Chappel (1980) dalam Supriharyono (2000), beberapa bentuk


pertumbuhan karang diantaranya globose (Massive), ramose (Submassive),
brancing, digitate plate, compound plate, fragile branching, encrusting, plate,
foliate dan micro atoll . According to Chappel (1980) in Supriharyono (2000),
some of which coral growth forms globose (Massive), ramose (Submassive),
brancing, digitate plate, compound plate, fragile branching, encrusting, plate,
foliate and micro atoll. Bentuk-bentuk karang ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor alam, terutama oleh level cahaya, tekanan hidrodinamis, sedimen dan
subareal exposure . The forms of these reefs are influenced by several natural
28

factors, especially by the level of light, pressure hidrodinamis, sediment and


subareal exposure.

4. Sumberdaya Ikan Karang Reef Fish Resources

Komunitas ikan karang dibandingkan dengan komunitas lain di terumbu karang,


merupakan jumlah yang paling berlimpah. Reef fish community compared with
other communities in coral reefs, is the most abundant amount. Tingginya
keragaman ini disebabkan terdapatnya variasi habitat yang ada di terumbu karang
dimana semua tipe habitat yang ada diisi oleh spesies ikan karang (Sutton 1983
dalam Emor 1993). The high diversity of habitats due to the presence of variation
in coral reef habitats in which all types are filled by reef fish species (Sutton 1983
in Emor 1993).

Bentuk pertumbuhan terumbu karang yang beragam seperti bercabang,


pipih/merayap, meja daun dan pejal/padat, memungkinkan adanya ruang sebagi
tempat hidup dan tempat yang nyaman untuk melakukan pemijahan, pengasuhan
dan mencari makan atupun tempat berteduh bagi ikan karang yang mempunyai
nilai ekonomis tinggi. Growth form diverse coral reefs such as branching, flat /
crawling, table leaves and solid / solid, allowing the existence of As with a living
room and a comfortable place for spawning, rearing and foraging atupun shelter
for reef fish that have high economic value. Choat dan Bellwood (1991)
menggolongkan ikan-ikan yang ditemukan di terumbu karang ke dalam dua
kategori utama yaitu jenis terumbu ( reef species ) dan jenis yang dihubungkan
dengan terumbu karang ( reef-associated speies ). Choat and Bellwood (1991)
classifies the fish found on coral reefs into two main categories of types of coral
(reef species) and species associated with coral reefs (reef-associated speies).
Penggolongan ini oleh Choat dan Bellwood (1991) didasarkan pada karakteristik
ekologis, hubungannya dengan habitat, pendistribusian, karakteristik taxonomic
dan fitur struktural. This classification is by Choat and Bellwood (1991) based on
ecological characteristics, relationship with habitat, distribution, taxonomic
characteristics and structural features.

Perbedaan pendapat muncul mengenai hubungan keragaman spesies ikan dan


keragaman habitat terumbu karang. Differences of opinion emerged about the
relationship of fish species diversity and diversity of coral reef habitats. Beberapa
penelitian terus dilakukan dan akhirnya memunculkan dua teori tentang ikan
karang di terumbu karang, seperti yang dirangkum oleh Nybakken (1988);
Pertama. Hidup berdampingan merupakan hasil dari tingkat spesialisasi yang
tinggi, sehingga setiap spesies mempunyai tempat beradaptasi khusus yang
didapat dari persaingan pada suatu keadaan di karang, jadi ikan-ikan ini
mempunyai relung ekologi yang lebih sempit dan berarti daerah itu dapat
menampung lebih banyak spesies; Kedua, ikan karang tidak mempunyai sifat
khusus, banyak spesies serupa yang mempunyai kebutuhan sama dan dapat
bersaing aktif diantar spesies. Several studies continue to be done and eventually
led to two theories of reef fish in coral reefs, as summarized by Nybakken (1988);
First. Living together is a result of high levels of specialization, so that each
species has a special adaptation which is gotten from the competition on a
29

conditions in the rock, so these fish have an ecological niche is narrower and
means the area can accommodate more species; Second, reef fish do not have
special properties, many similar species that have similar needs and can be
delivered actively competing species.

Faktor kedalaman berperan dalam penyebaran ikan-ikan karang. Depth factors


play a role in the spread of reef fish. Umumnya ikan-ikan tersebut memiliki
kisaran kedalaman yang sempit tergantung dari ketersediaan makanan, ombak dan
keberadaan predator. Generally, these fish have a narrow depth range depending
on the availability of food, the waves and the presence of predators. Pada daerah-
daerah yang kaya akan makanan ikan akan cenderung berkelompok. In areas rich
in fish meal will tend to group. Ikan-ikan tersebut menghindari pecahan ombak
dengan menempati daerah yang lebih dalam. These fish surf to avoid occupying
the deeper regions. Kebanyakan ikan-ikan yang tergolong herbivore adalah ikan-
ikan diurnal, berwarna cemerlang dengan ukuran bukaan mulut kecil. Most fish
are classified as herbivore diurnal fish, brilliant color with a small mouth opening
size. Beberapa ikan ini merupakan ikan yang bergerak cepat dan berkelompok
(Connaughey dan Zottoli 1983) Some of these fish is a fast-moving fish and
clustered (Connaughey and Zottoli 1983)

Dartnall dan Jones (1986) melakukan pengelompokan ikan karang menjadi tiga
yaitu (1) Kelompok ikan target, merupakan ikan konsumsi seperti ikan-ikan dari
famili serranidae, Lutjanidae, Haemulidae, Lethrinidae; (2) Kelompok ikan
Indikator yaitu ikan-ikan yang digunakan sebagai indikator keberadaan suatu
perairan terumbu karang, seperti family Chaetodontidae; (3) Kelompok ikan yang
berperan dalam rantai makanan adalah ikan-ikan yang peranan lainnya belum
diketahui seperti ikan-ikan dari family Pomacentridae, Searidae, Acanthuridae,
Caesionidae, Labridae, Siganidae, Muliidae, Apogonidae. Dartnall and Jones
(1986) to the grouping into three reef fishes: (1) The target fish, fish consumption
is like the fish of the family Serranidae, Lutjanidae, Haemulidae, Lethrinidae; (2)
The fish are indicators that the fish used as indicators of the presence of a coral
reef waters, such as the family Chaetodontidae, (3) The role of fish in the food
chain are fish other roles not yet known as the fish of the family Pomacentridae,
Searidae, Acanthuridae, Caesionidae, Labridae, Siganidae, Muliidae, Apogonidae.

5. Klasifikasi Ikan Ekor Kuning Yellow Tail Fish Classification

Ikan ekor kuning (Gambar 2) termasuk dalam famili caesionidae,


pengklasifikasian menurut Nelson (2006) adalah sebagai berikut : Yellow tail fish
(Fig. 2) included in caesionidae families, classification according to Nelson
(2006) are as follows:

Kingdom : Animal Kingdom: Animal

Phylum : Chordata Phylum: Chordata

Class : Osteichtyes Class: Osteichtyes


30

Order : Perciformes Order: Perciformes

Family : Caesionidae Family: Caesionidae

Genus : Caesio Genus: Caesio

Species : Caesio cuning Species: Caesio cuning

Gambar 2 Ikan ekor kuning Figure 2 yellow tail fish

Ciri morfologi ikan ekor kuning adalah bentuk badan memanjang, melebar dan
gepeng, mulut kecil dan serong, memiliki gigi-gigi kecil dan lancip. Dua gigi
taring pada rahang bawah dan yang halus pada langit-langit. Jari-jari keras sirip
punggung 10 dan yang lemah 15, sedangkan jari-jari keras pada sirip dubur 3 dan
yang lemah 11. Morphological characteristics of yellow tail fish are elongated
body shape, broad and flattened, the mouth small and oblique, has small teeth and
pointy. Two canine teeth on lower jaw and soft on the ceiling. Hard radius and
dorsal fins of 10 weak 15, while the fingers hard on the anal fin 3 and the weak
11. Ikan ini memliki sisik tipis pada garis rusuknya, sisik-sisik kasar di bagian
atas dan bawah garis rusuk serta tersusun horizontal, sisik pada kepala mulai dari
mata (Kottelat et al . 1993). These fish scales smoothly to the line of thin ribs,
rough scales on the top and bottom line of the ribs and arranged horizontally, the
scales on the head from the eyes (Kottelat et al. 1993).

Tubuh ikan ekor kuning bagian atas sampai punggung berwarna ungu kebiruan,
bagian belakang punggung, batang ekor, sebagian dari sirip punggung yang
berjari-jari lemah, sirip dubur berwarna biru keputihan dan ekor berwarna kuning.
Yellow tail fish body parts up and back bluish purple, the back of the back, tail
rod, part of the dorsal fins of radius weak, anal fin whitish blue and yellow tail.
Bagian bawah kepala, badan, sirip perut dan dada berwarna merah jambu, pinggir
sirip punggung sedikit hitam dan ketiak sirip dada berwarna hitam (Kottelat et al .
1993) The lower part of the head, torso, abdomen and chest fins pink, edge a little
black dorsal fins and pectoral fin axillary black (Kottelat et al. 1993)

6. Habitat dan Kebiasaan Hidup Ikan Ekor Kuning Habitat and


Habits Yellow Tail Fish Life

Habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu dimana suatu spesies
atau komunitas hidup. Habitat is an environment with a certain condition in which
a species or community life. Habitat yang baik akan mendukung
perkembangbiakkan organisme yang hidup di dalamnya secara normal. Good
habitat will support perkembangbiakkan living organisms in it normally. Habitat
memiliki kapasitas tertentu untuk mendukung pertumbuhan populasi suatu
organisme. Habitat has a certain capacity to support population growth of an
organism. Kapasitas optimum habitat untuk mendukung populasi suatu organisme
31

disebut daya dukung habitat . Optimum capacity of the habitat to support


populations of an organism called habitat carrying capacity.

Menurut Macpherson (1981) bahwa jenis ikan yang mempunyai luas relung yang
luas, berarti jenis ikan tersebut mempunyai peran yang besar dalam memanfaatkan
pakan yang tersedia dan mempunyai kemampuan yang sangat baik dalam
menyesuaikan diri terhadap fluktuasi kesedian pakan, serta mempunyai daya
reproduksi secara individual sangat besar. Jadi berdasarkan luas relung, jenis ikan
mempunyai potensi yang paling besar untuk berkembang menjadi induk populasi
di dalam ekosistem perairan dimana ikan tersebut hidup. According to
Macpherson (1981) that the type of fish that have a broad niche area, means the
type of fish has a big role in utilizing the available food and have very good skills
in adapting to fluctuations willingness to feed, and have reproductive power is
very large individual . So based on the niche area, species of fish have the greatest
potential to develop into the parent population in the aquatic ecosystem in which
fish live.

Kelayakan suatu perairan sebagai lingkungan hidup organisme perairan


dipengaruhi oleh sifat fisika–kimia (faktor abiotik) perairan itu sendiri. Feasibility
of an environmental waters as aquatic organisms is influenced by physical-
chemical (abiotic factors) waters itself. Tetapi dilain pihak sifat organisme
perairan itu sendiri ikut berperan. But on the other hand the nature of the aquatic
organisms themselves played a role. Suatu perairan yang ideal bagi kehidupan
ikan dapat didefinisikan sebagai suatu perairan yang dapat mendukung kehidupan
ikan dalam menyesuaikan seluruh daur hidupnya, serta dapat mendukung
kehidupan organisme makanan ikan yang diperlukan dalam setiap stadia daur
hidupnya dengan jumlah yang mencukupi (Wardoyo , 1981). An ideal waters for
fish life can be defined as a water that can support fish life in adjusting the entire
life cycle, and can support the life of fish food organisms are needed in every
cycle life stadia with a sufficient amount (Wardoyo, 1981).

Habitat ikan ekor kuning adalah diperairan pantai karang, perairan karang dengan
suhu perairan lebih dari 20 0 C. Yellow tail fish habitat is diperairan coral beaches,
coral waters with water temperatures of more than 20 0 C. Hidupnya berasosiasi
dengan terumbu karang dan dapat ditemukan pada kedalaman 1-60 meter,
terkadang ikan ini berenang dengan membentuk gerombolan besar dan ditemui di
dekat tubir (Randal et al . Her life associated with coral reefs and can be found at
a depth of 1-60 feet, sometimes the fish is swimming with a large crowd formed
and met near the edge (Randal et al. 1990). 1990).

Subroto dan Subani (1994), di indonesia ikan ekor kuning banyak ditangkap di
wilayah perairan karang Riau Kepulauan, Sumatra Barat, Bangka, Belitung,
Lampung, Kepulauan Seribu, Jawa Barat, Jawa Tengah (Kepulauan Karimun
Jawa), Jawa Timur (Kepulauan Kangean), Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara. Subroto and Subani (1994), in Indonesia a
lot of yellow tail fish caught in reef waters of Riau Islands, West Sumatra,
Bangka, Belitung, Lampung, Thousand Islands, West Java, Central Java (Java
32

Karimun Islands), East Java (Kangean Islands) , West Kalimantan, South


Sulawesi, Central Sulawesi and North Sulawesi.

Ikan ekor kuning dilihat dari fungsi atau perannya adalah merupakan ikan karang
kelompok ikan mayor dimana belum diketahui peran lainnya, sedangkan dilihat
dari jenis makanan ikan ekor kuning termasuk plankton feeder , yaitu pemakan
plankton. Yellow tail fish seen from the function or role is a reef fish where the
major fish groups is unknown other roles, while the views from the species of
yellow tail fish food including plankton feeder, eating the plankton. Hidup di
perairan pantai, karang-karang, perairan karang dan membentuk gerombol besar.
Living in coastal waters, coral reefs, coral waters and formed a large clump.
Panjang tubuh dapat mencapai 35 cm, umumnya 25 cm (Kuiter dan Tonozuka
2004). Body length can reach 35 cm, commonly 25 cm (Kuiter and Tonozuka
2004). Famili Caesionidae mempunyai ciri khas yaitu bergerombol ( schooling )
dalam ukuran yang besar, berenang dengan cepat (fast-swimming) , memakanan
zooplankton dan banyak terdapat di kolom perairan sepanjang tepi lereng terumbu
karang. Family Caesionidae have the characteristic of clustering (schooling) in a
large size, swim fast (fast-swimming), zooplankton and memakanan numerous in
columns along the slope waters of coral reefs. Ikan ekor kuning dapat hidup di
perairan pada kedalaman 0-40 m (Allen 1999). Yellow tail fish can live in waters
at depths of 0-40 m (Allen 1999). Menurut Isnaini (2008), makanan ikan ekor
kuning muda adalah copepoda, sedangkan untuk ikan dewasa memakan ubur-
ubur, larva dan ikan kecil lainnya (Isnaini 2008). According Isnaini (2008), food
yellow tail fish is Copepod, whereas for adults eat fish, jellyfish, fish larvae and
other small (Isnaini 2008).

7. Pertumbuhan Growth

Menurut Effendie (1997), Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dapat


digolongkan menjadi dua bagian yang besar yaitu faktor dalam dan faktor luar.
According to Effendie (1997), Factors that influence the growth can be classified
into two major sections of the factors and external factors. Faktor-faktor ini ada
yang dapat dikontrol dan ada yang tidak. These factors have to be controlled and
there is not. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sulit untuk dikontrol,
diantaranya adalah keturunan, jenis kelamin, umur, parasit dan penyakit. Factor in
general is a difficult factor to control, among the offspring, sex, age, parasites and
diseases. Sedangkan faktor luar seperti suhu air, kandungan oksigen terlarut,
amonia, salinitas dan fotoperiod (panjang hari). While external factors such as
water temperature, dissolved oxygen, ammonia, salinity and fotoperiod (long
day). Faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dan bersama-sama dengan
faktor-faktor lain seperti kompetisi, jumlah dan kualitas makan, umur serta tingkat
kematian yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan. These factors interact
with each other and together with other factors such as competition, the number
and quality of food, age and mortality rates that can affect fish growth rate.

Faktor-faktor yang paling banyak mempengaruhi pertumbuhan ikan adalah jumlah


dan ukuran pakan yang tersedia, jumlah individu yang menggunakan pakan yang
tersedia, kualitas air terutama suhu, oksigen terlarut, umur, ukuran ikan serta
33

kematangan gonad (Effendie 1997). The factors that most influence the growth of
fish is the number and size of available feed, the number of individuals who use
the available food, water quality, especially temperature, dissolved oxygen, age,
size and maturity of the gonads of fish (Effendie 1997).

8. Hubungan Panjang Berat Length Weight Relationship

Ukuran panjang-berat merupakan salah satu faktor penting bagi pertumbuhan ikan
dalam kurun waktu tertentu. Length-weight is one important factor for the growth
of fish in a certain period of time. Dalam hal ini berat dianggap sebagai fungsi
dari panjang, karena dengan bertambahnya berat dapat menentukan panjang ikan.
In this case the weight is considered as a function of length, because with the
increase in weight can determine the length of the fish. Dengan menggunakan
variabel panjang dan berat dapat ditentukan bentuk pertumbuhan dari ikan. By
using variable length and weight can be determined from the growth of fish.
Pengukuran panjang tubuh memberikan bukti langsung terhadap pertumbuhan.
Body length measurements provide direct evidence of growth. Peningkatan
ukuran panjang umumnya tetap berlangsung walaupun ikan mungkin dalam
keadaan kekurangan makanan. Increased length of stay is generally held, although
the fish may be in a state of food shortage.

Panjang tubuh dapat diukur dalam banyak cara dan yang umum digunakan untuk
ikan adalah panjang total, panjang cagak dan panjang baku. Body length can be
measured in many ways and is commonly used for fish is the total length, length
of crossing and the standard length. Panjang total adalah panjang ikan yang diukur
mulai dari ujung terdepan bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya.
Total length is the length of fish measured from the leading edge until the end of
the last head from its tail. Panjang cagak adalah panjang ikan yang diukur dari
ujung terdepan sampai ujung bagian luar lekukan sirip ekor, sedangkan panjang
standar atau panjang baku adalah panjang ikan yang diukur dari ujung terdepan
darai kepala sampai ujung terakhir dari tulang punggungnya atau pangkal sirip
ekor (Effendie 1997). Crossing length is the length of fish measured from the
leading edge until the end of the outer curve of the tail fin, while the standard
length or standard length is the length of fish measured from the front end of the
ride until the end of the last head of the spine or base of the tail fin (Effendie
1997).

Analisa hubungan panjang berat bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan


ikan dengan menggunakan parameter panjang dan berat. Analysis of heavy long
relationship aims to determine the pattern of fish growth parameters by using a
long and heavy. Berat dapat dianggap sebagai salah satu fungsi dari panjang.
Weight can be considered as a function of the length. Nilai yang didapat dari
perhitungan panjang berat ini adalah untuk menduga berat dari panjang atau
sebaliknya serta dapat diketahui pola pertumbuhan, kemontokan dan pengaruh
perubahan lingkungan terhadap pertumbuhan ikan (Effendie 1997), sedangkan
menurut Fafioye dan Oluajo (2005) analisis panjang berat yang dihubungkan
dengan data kelompok umur dapat digunakan untuk mengetahui komposisi stok,
umur saat pertama memijah, siklus kehidupan, kematian, pertumbuhan dan
34

produksi. The value obtained from the calculation of the weight length is to guess
the weight of the length or vice versa, and can identify patterns of growth,
plumpness, and the influence of environmental change on fish growth (Effendie
1997), while according to Fafioye and Oluajo (2005) analysis of heavy long
associated with the data age groups can be used to determine stock composition,
age at first memijah, cycle of life, death, growth and production.

Menurut Effendie (1997), jika panjang dan berat diplotkan dalam suatu gambar
maka akan didapatkan persamaan W=aL b ; W=berat, L=panjang, a dan b adalah
suatu konstanta. According to Effendie (1997), if the length and weight plotted on
a picture will be obtained the equation W = aL b; W = weight, L = length, a and b
is a constant. Nilai b berfluktuasi antara 2.5 sampai 4, tetapi kebanyakan
mendekati 3 karena pertumbuhan mewakili peningkatan dalam tiga dimensi,
sedangkan pengukuran panjang diambil dari satu dimensi. Nilai b yang
merupakan konstanta adalah nilai pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan
ikan. B value fluctuates between 2.5 to 4, but most close to 3 because of the
increase represents growth in three dimensions, while the length measurement
taken from one-dimensional. The value b that is constant is the value that
indicates the rank of the growth patterns of fish. Hubungan ini juga
memungkinkan untuk membandingkan individu dalam satu populasi maupun
antar populasi (Lagler et al. 1977). This relationship is also possible to compare
individuals within a population and between populations (Lagler et al. 1977).
Nilai b=3 menggambarkan pertumbuhan isometrik, yang akan mencirikan ikan
mempunyai bentuk tubuh yang tidak berubah (Riker 1975) atau pertambahan
panjang ikan seimbang dengan pertambahan beratnya. The value b = 3 illustrates
isometric growth, which will characterize the fish have a body shape that does not
change (Riker 1975) or the length commensurate with the increase of fish weight.
Nilai b≠3 menggambarkan pertumbuhan allometrik. Value b ≠ 3 illustrates
allometrik growth. Jika b<3 menunjukkan keadaan ikan yang kurus dimana
pertambahan panjangnya lebih cepat dari pertambahan beratnya. Jika b>3
menunjukkan keadaan ikan yang gemuk dimana pertambahan beratnya lebih cepat
dari pertambahan panjangnya (Effendie 1997). If b <3 to show bony fish
circumstances where the increase in length faster than the increase in severity. If
b> 3 shows a state where a fat fish weighing more rapid increase than the increase
in length (Effendie 1997). Kenyataan ini berbeda dari setiap ikan, karena adanya
pengaruh musim dan jenis kelamin. This fact is different from each fish, because
of the influence of season and gender.

9. Makanan Ikan Fish Food

Makanan adalah merupakan salah satu fungsi yang terpenting dari organisme.
Food is one of the most important functions of the organism. Seperti semua
organisme, ikan membutuhkan energi untuk bahan bakar tubuh mereka, proses
pertumbuhan, metabolisme dan reproduksi (Islam 2004). Like all organisms, fish
need energy to fuel their bodies, the process of growth, metabolism and
reproduction (Islam 2004). Setiap jenis ikan beradaptasi untuk memakan satu jenis
makanan tertentu, alat pengelihatan untuk mencari makan, rongga mulut ( buccal
cavity ) untuk menangkap dan usus untuk mencernakannya (Nikolsky 1963). Each
35

type of fish adapted to eat a certain food types, pengelihatan tools to find food,
oral cavity (buccal cavity) to catch and intestines to mencernakannya (Nikolsky
1963).

Berdasarkan jenis makanan utama, maka ikan secara umum dapat digolongkan ke
dalam tiga golongan yaitu (1) ikan kanivora yaitu pemakan daging, yang biasanya
mempunyai usus yang pendek; (2) ikan omnivor yaitu pemakan daging dan
tumbuh-tumbuhan, mempunyai panjang usus yang sedang; (3) ikan herbivora
yaitu pemakan tumbuh-tumbuhan, mempunyai usus yang sangat panjang
melingkar-lingkar di dalam rongga perut (Wootton 1992) . Based on the type of
main meal, so fish can generally be classified into three groups: (1) fish are
carnivorous kanivora, which typically have a short intestine, (2) fish that is
omnivor and carnivorous plants, has a long gut was ; (3) of herbivorous fish-
eating plants, have very long intestines coiled in the abdominal cavity (Wootton
1992).

Hobson (1974), menyatakan bahwa kebiasaan makan ikan ini berubah dalam daur
hidupnya, paling tidak untuk kebanyakan ikan, biasanya dengan perubahan-
perubahan yang nyata dalam tingkah laku dan morfologinya. Hobson (1974),
states that this fish eating habits changed in the life cycle, at least for most of the
fish, usually with a change-real change in behavior and morphology. Selanjutnya
Lagler (1961), mengemukakan studi-studi makanan dapat memperlihatkan secara
mendetail hubungan-hubungan ekologis diantara organisme-organisme, maka
diperlukan identifikasi secara menyeluruh dari jenis-jenis makanan tersebut. Next
Lagler (1961), suggested food studies can show in detail the ecological
relationships among organisms, it is necessary to thoroughly identify the types of
food.

Keadaan komposisi makanan ikan akan membantu menjelaskan kemungkinan-


kemungkinan habitat yang seringkali dikunjunginya (Kagwade 1967). State
composition of fish food will help to explain the possibilities that are often
frequented habitats (Kagwade 1967). Menurut Roa (1974), besarnya populasi ikan
di dalam suatu perairan adalah merupakan suatu fungsi dari potensialitas
makanannya, sehingga suatu pengetahuan yang benar dari hubungan antara ikan
dengan organisme-organime makanannya adalah penting untuk ramalan dan
eksploitasi dari keberadaan populasi ikan tersebut. According to Roa (1974), size
of fish populations in a water is a function of the potentiality food, so that a
correct knowledge of the relationship between fish-organime food organisms is
important for prediction and exploitation of the existence of these fish
populations. Sedangkan Nikolsky (1969), mengemukakan besar serta komposisi
dari suplai makanan menentukan komposisi jenis ikan yang ada dan juga
mempengaruhi pertumbuhan ikan-ikan tersebut. While Nikolsky (1969), suggests
a large and composition of the food supply of fish species composition to
determine who is and also affect the growth of these fish.

10. Siklus Hidup dan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Life


Cycle and Gonad Maturity Level (TKG)
36

Siklus kehidupan dari kebanyakan ikan karang dapat dibagi dalam tiga tahap
biologi/ekologi (Tissot 2003) yaitu (1) tahap dalam bentuk larva pelagik; (2) tahap
ikan muda; dan (3) tahap ikan dewasa. The life cycle of most reef fish can be
divided into three stages of biology / ecology (Tissot 2003), namely (1) stage in
the form of pelagic larvae; (2) the young fish stage, and (3) stages of adult fish.
Sepanjang tahap pelagik, telur-telur/larva mengapung di dalam air terbuka sebagai
komponen plankton laut. Throughout the pelagic phase, telur-telur/larva floating
in open water as a component of marine plankton. Fase ikan muda dimulai saat
ikan-ikan muda menempati terumbu karang dalam suatu proses yang dikenal
sebagai perekrutan. Whitebait phase begins when the young fish of coral reefs
occupy in a process known as recruitment. Ikan-ikan muda cenderung untuk
memikirkan diri sendiri dan adalah lebih sedikit nampaknya dibandingkan ikan
dewasa. Young fish tend to think of themselves and are seemingly less than adult
fish. Tahap ikan dewasa ditandai oleh kedewasaan seksual dan bisa disertai oleh
suatu transisi dari ikan muda sampai pewarnaan ikan dewasa atau morphologi.
Adult fish stage marked by sexual maturity and may be accompanied by a
transition of young fish to adult fish coloring or morphologi.

De Young (1940) dalam Effendie (1997) melakukan penelitian terhadap kebiasaan


memijah tiga belas spesies ikan ekonomis penting di laut jawa berdasarkan
distribusi garis tengah telurnya. De Young (1940) in Effendie (1997) conducted a
study of the habit of thirteen memijah economically important fish species in the
sea of Java based on the distribution of egg diameter. Hasilnya memperlihatkan
bahwa pemijahan induvidu betul-betul berkala. The results showed that the
spawning really induvidu periodically. Dari perbedaan yang khas dimungkinkan
membedakan tiga macam atau pola pemijahan yang berlainan. Typical of possible
differences distinguish three kinds or different spawning patterns. Ikan ekor
kuning termasuk dalam kelompok pola pemijahan kedua, dimana pada kelompok
ini sebelum telur kelompok pertama mencapai kematangan, kelompok telur
berikutnya sudah memisahkan dari stok telur yang lain. Yellow tail fish, including
spawning patterns in the second group, which in this group before the first group
of eggs reached maturity, the next egg was separated from the other eggs stock.
Sebelum terjadi pemijahan didapatkan dua kelompok telur yang bepisah. Obtained
before the spawning two groups bepisah eggs. Sesudah berpijah didapatkan selain
kelompok stok telur yang umum ada pula sekelompok telur yang berukuran lebih
besar yang sedang mematang dan akan dikeluarkan dalam pemijahan berikutnya.
After spawn obtained in addition to the common stock of eggs is also a group of
egg size was larger and will be issued mematang in the next spawning.

Klasifikasi kematangan gonad menurut Romimohtarto dan Juwana (2001) untuk


ikan laut adalah: Classification according to gonadal maturation and
Romimohtarto Juwana (2001) for marine fish is:

Tingkat. I : Tidak matang ( immature ). Gonad memanjang, kecil hampir


Level. I : transparan) Immature (Immature). Gonad elongated, small almost
transparent)
Tingkat II : Sedang matang ( maturing ). Gonad membesar, berwarna jingga
Level II : Were mature (maturing). Gonads enlarged, orange
37

kekuning-kuningan, butiran telur belum terlihat dengan mata


telanjang a yellowish, granular eggs not visible to the naked eye
Tingkat III : Matang ( mature ). Ripe (mature). Gonad berwarna putih
Level III : kekuningan, butiran telur sudah dapat terlihat dengan mata
telanjang Gonads creamy, egg granules can be seen with the naked
eye
Tingkat IV : Siap pijah. Ready pijah. Butiran telur membesar dan berwarna
Level IV : kuning jernih, dapat keluar dengan sedikit tekanan pada perut
Larger eggs and grain canary, can come out with a little pressure
on the stomach
Tingkat V : Pijah ( spent ). Pijah (spent). Gonad mengecil, berwarna merah dan
Level V : banyak terdapat pembuluh darah Gonads shrank, red and there are
many blood vessels

Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan salah satu aspek biologi reproduksi
yang merupakan tahapan-tahapan tertentu perkembangan gonad sebelum dan
sesudah ikan memijah. Gonadal maturity (TKG) is one aspect of reproductive
biology that is certain stages of gonadal development before and after the fish
memijah. Keterangan tentang TKG ikan diperlukan untuk mengetahui
perbandingan antara ikan yang ada di perairan, ukuran atau umur ikan pertama
kali matang gonadnya dan apakah ikan sudah memijah atau belum. Selanjutnya
ikan pertama kali mencapai matang gonad dipengaruhi oleh beberapa faktor luar
seperti suhu, arus, adanya individu yang berjenis kelamin yang berbeda dan faktor
dalam seperti umur, ukuran dan perbedaan spesies (Niklosky 1963; Effendie
1997). Information about fish TKG needed to determine the comparison between
the existing fish in the waters, fish size or age of first maturity and whether the
fish gonadnya already memijah or not. Then the first fish reached the ripe gonads
is influenced by several external factors such as temperature, currents, the
individual the different sex and age factors in a way, the size and diversity of
species (Niklosky 1963; Effendie 1997).

Pemijahan dalam proses reproduksi dapat diketahui dengan melihat perubahan


gonad yaitu menjadi besar dan berat. Spawning in the reproduction process can be
identified by looking at changes in the gonads of a large and heavy. Berat gonad
akan mencapai maksimum saat ikan akan memijah, kemudian menurun dengan
cepat selama pemijahan sampai selesai (Effendie 1997). Gonad weight will reach
a maximum when the fish will memijah, then declined rapidly during the
spawning process to finish (Effendie 1997). Untuk mengetahui perubahan gonad
tersebut secara kualitatif dapat dinyatakan dengan Indeks Kematangan Gonad
(IKG). To determine changes in the gonads can be expressed qualitatively by
Gonad Maturity Index (IKG). IKG adalah suatu nilai dalam persen sebagai hasil
dari perbandingan berat gonad dengan berat tubuh ikan termasuk gonad dikalikan
100%. IKG is a value in percent as a result of the comparison with the weight of
the gonad weight of fish including 100% multiplied by the gonads. IKG ini akan
bertambah besar sampai mencapai maksimum ketika akan terjadi pemijahan
38

(Effendie 1997). IKG will grow until it reaches the maximum when spawning will
occur (Effendie 1997).

Royce (1984), ikan dapat memijah jika nilai IKG betina berkisar antara 10-25%
dan nilai IKG jantan berkisar antara 5-10%. Royce (1984), fish can memijah if the
value ranges between IKG females and 10-25% males IKG values between 5-10%
range. Royce (1984), menyatakan semakin banyak makanan tersedia,
pertumbuhan ikan semakin cepat dan fekunditas semakin besar. Royce (1984),
says more and more food is available, the faster growth of fish and greater
fekunditas. Fekunditas ikan berhubungan erat dengan lingkungan dimana
fekunditas spesies akan berubah bila keadaan lingkungan berubah (Musa dan
Bhuiyan 2007). Fekunditas fish closely related to the environment in which
fekunditas species will change when circumstances change (Moses and Bhuiyan
2007).

11. Hubungan Terumbu Karang dengan Komunitas Ikan Karang


Relations with Community Coral Reef Fish

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang mempunyai produktivitas


organik yang tinggi, hal ini disebabkan kemampuan terumbu karang menahan
nutrien dalam sistem dan peran sebagai kolam untuk menampung segala masukan
dari luar. Coral reef ecosystems are ecosystems that have high organic
productivity, it is because the ability of coral reefs hold nutrients in the system
and the role of the pool to accommodate all the input from the outside. Disamping
itu terumbu karang kaya akan keanekaragaman spesies penghuninya karena
variasi habitat yang terdapat pada terumbu. Beside that is rich in coral reef species
diversity of its inhabitants because of habitat variation available in coral. Ikan
merupakan salah satu organisme yang terbanyak ditemukan pada ekosistem
terumbu karang. Fish is one of the largest organisms found on coral reef
ecosystems. Fungsi ekologis lainnya adalah tempat hidup berbagai jenis ikan
karang, udang karang, alga teripang dan kerang mutiara (Dahuri et al. 1996) Other
ecological functions is the place to live different kinds of reef fish, crayfish, algae
and pearl sea cucumber (Dahuri et al. 1996)

Dilihat dari fungsi biodiversiti, ekosistem ini mempunyai produktivitas dan


keanekaragaman jenis biota yang tinggi, keanekaragaman hidup di ekosistem ini
perunit area sebanding atau lebih besar dibandingkan hal yang sama dengan di
hutan tropis. Viewed from biodiversiti functions, it has a productivity of
ecosystems and species diversity higher biota, the diversity of life in this
ecosystem perunit comparable areas or larger than the same thing in the tropical
forest. Terumbu karang dikenal sebagai laboratorium untuk ilmu ekologi (White
et al. 1994) Coral reefs are known as a laboratory for the science of ecology
(White et al. 1994)

Sumberdaya ikan karang merupakan ikan yang kehidupannya terikat dengan


perairan karang. Reef fish resources is a fish that lives attached to rocks waters.
Keterkaitan antara berbagai organisme di ekosistem terumbu karang sangat
ditentukan oleh kondisi terumbu karang. The linkage between the various
39

organisms in the coral reef ecosystems is largely determined by the condition of


coral reefs. Apabila terjadi degredasi pada suatu komunitas organisme akan dapat
berakibat buruk bagi organisme lainnya, secara ekologis, terumbu karang
memiliki peranan yang penting bagi ekosistem lainnya seperti ekosistem padang
lamun dan ekosistem mangrove (Lalamatik 1991) If there is degredasi organisms
in a community would be bad for other organisms, ecologically, coral reefs have
an important role for other ecosystems such as seagrass ecosystems and mangrove
ecosystem (Lalamatik 1991)

Fasktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman dan kelimpahan jenis dari


komunitas ikan karang dalam hubungannya dengan terumbu karang adalah
tutupan karang hidup (Bel dan Galzin 1984; Anderson 2002) Keanekaragaman
subtratum (Robert dan Ormond 1987) dan (3) Keanekaragaman struktural
(Luckhurst dan Luckhurst 1978; Mc Clanahan 1994). Fasktor-factors that affect
species diversity and abundance of reef fish communities in relation to coral reefs
is coral cover life (Bell and Galzin 1984; Anderson 2002) Biodiversity subtratum
(Robert and Ormond 1987) and (3) structural diversity (Luckhurst and Luckhurst
1978 ; Mc Clanahan 1994). Hal ini didukung oleh studi Chabanet et al. (1997),
dilaporkan bahwa keanekaragaman dan kekayaan jenis dari kumpulan ikan karang
adalah dihubungkan dengan banyak variabel karang seperti kompleksitas
bangunan ( architectural ) atau tutupan karang bercabang, keanekaragaman,
kekayaan jenis, kelimpahan, ukuran koloni, tutupan karang hidup, tutupan karang
padat dan tutupan karang pipih/merayap. This is supported by studies Chabanet et
al. (1997), reported that the diversity and richness of species of reef fish collection
is associated with many variables such as complexity of reef building
(architectural) or branching coral cover, biodiversity, species richness,
abundance, colony size, live coral cover, coral cover and cover rock solid flat /
crawling.

Acosta dan Robertson (2002) mengatakan bahwa kelimpahan dan


keanekaragaman ikan karang ditentukan pula oleh besar kecilnya luasan terumbu
karang, terumbu karang yang lebih luas kelimpahan dan keanekaragaman jenis
ikan karang akan lebih tinggi dibandingkan dengan terumbu karang yang
luasannya kecil. Acosta and Robertson (2002) says that the abundance and
diversity of reef fishes is determined also by the size of area of coral reefs, coral
reefs broader abundance and diversity of reef fish species will be higher than the
coral reefs of small luasannya. Hubungan antara terumbu karang sebagai habitat
dan distribusi komunitas ikan karang adalah dapat dijelaskan oleh ketergantungan
ikan karang pada terumbu karang yang menyediakan tempat makan,
perlindungan dan reproduksi. The relationship between coral reefs as a habitat and
distribution of reef fish communities is can be explained by the dependence of
reef fish on coral reefs that provide food, protection and reproduction.

Hubungan terumbu karang dan ikan karang adalah pada terumbu karang sehat
keragaman dan kuantitas makanan tinggi dan ini berdampak positip langsung pada
keragaman dan kelimpahan ikan karang, dan terumbu karang merupakan tempat
naungan dan perlindungan ikan karang dari predator, khususnya bagi ikan berjenis
kecil serta terumbu karang juga menyediakan lingkungan yang tepat untuk
40

kegiatan reproduksi dan penempatan larva bagi ikan karang. The relationship of
coral reefs and reef fish in coral reefs are healthy diversity and quantity of food is
high and immediate positive impact on the diversity and abundance of reef fish,
and coral reefs are a shade and protection from predatory reef fish, especially for
the small type of fish and coral reefs provide the right environment for
reproduction and placement activities for reef fish larvae.

12. Dasar Pengelolaan Terumbu Karang dan Ikan Karang Basic


Management of Coral Reef and Reef Fish

Nikijuluw (2002) menyatakan, bahwa sumberdaya perikanan dapat berupa


sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan dan sumber daya buatan manusia yang
digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan. Nikijuluw (2002) states, that
fisheries resources can be fish resources, environmental resources and man-made
resources used to exploit fish resources. Pemanfaatan sumberdaya ikan oleh
manusia berhubungan erat dengan kondisi lingkungan tempat ikan tersebut
tinggal. Utilization of fish resources by humans are closely related to
environmental conditions where the fish live. Adanya interaksi antara sumberdaya
ikan, lingkungan perairan serta manusia sebagai pengguna, maka diperlukan
sebuah pengelolaan agar ketiga interaksi tersebut dapat berjalan secara seimbang
dalam sebuah ekosistem. The existence of interactions between fish resources,
aquatic and human environment as a user, then needed a third for management of
these interactions can be run in a balanced way in an ecosystem. Artinya
pengelolaan sumberdaya ikan adalah penataan pemanfaatan sumberdaya ikan,
pengelolaan lingkungan dan pengelolaan manusia sebagai pengguna. This means
that the management of fish resources is the arrangement of fish resources
utilization, environmental management and human management of the user. Lebih
lanjut Murdiyanto (2004) menyatakan bahwa dalam sebuah pengelolaan
sumberdaya perikanan pantai, para pengelola harus dibekali dengan pengetahuan
dan fasilitas yang memadai. Further Murdiyanto (2004) states that in a coastal
fisheries resource management, the managers should be equipped with knowledge
and adequate facilities. Ketersedian data dan informasih yang akurat, sumberdaya
manusia yang handal, dana, serta kesadaran dan partisipasi masyarakat adalah hal-
hal yang dibutuhkan agar pengelolaan sumberdaya perikanan dapat berhasil
dengan baik Informasih availability of data and an accurate, reliable human
resources, funds, and awareness and community participation are the things
needed for the management of fisheries resources can be managed well

Murdiyanto (2004) menyatakan bahwa permasalahan umum yang sering dihadapi


dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya perikanan pantai adalah ; (1)
kurangnya informasi tentang data perikanan pantai, (2) penurunan hasil
tangkapan, (3) dukungan pemerintah masih sangat terbatas, (4) kurangnya
kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan, dan (5) kwalitas sumber daya
manusia terutama yang menyentuh masyarakat langsung belum memadai.
Murdiyanto (2004) states that the most common problems encountered in
implementing the coastal fisheries resource management are: (1) lack of
information on coastal fisheries data, (2) decrease the catch, (3) government
support is still very limited, (4) lack of awareness community to preserve the
41

environment, and (5) the quality of human resources especially those touched
directly societies have been inadequate. Keadaan sedemikian rupa menyebabkan
degredasi sumberdaya cendrung semakin cepat, terutama sumberdaya terumbu
karang dan pada akhirnya akan mempengaruhi sumberdaya perikanan.

Pelaksanaan suatu pengelolaan di wilayah pesisir harus diawali dengan


perencanaan dengan melihat berbagai potensi sumberdaya yang ada sehingga
dapat tertata dengan rapi. Tujuan dari pengelolaan terumbu karang adalah untuk
menjaga dan melindungi kakasan ekosistem atau habitat terumbu karang supaya
keanekaragaman hayati dari kawasan ekosistem atau habitat tersebut dapat dijaga
dan dipelihara kelestariannya dari kegiatan-kegiatan pengambilan atau
pengrusakan (Supriharyono 2000).
3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di perairan Kepulauan Seribu yang terdiri dari perairan
Pulau Pramuka dan Pulau Panggang (bagian dari Kepulauan Seribu Utara dan
bagian dari zona pemukiman pada Taman Nasional Kepulauan Seribu) serta Pulau
Belanda dan Pulau Kayu Angin Bira (merupakan zona inti) yang dilaksanakan
dari bulan April–Juni 2009. Letak lokasi dan stasiun pengamatan disajikan pada
Gambar 3 dan Lampiran 1

3.2 Alat dan Bahan


Peralatan yang digunakan dalam penelitian secara umum dibagi menjadi dua
bagian, yaitu peralatan untuk mengukur parameter fisika-kimia perairan dan
peralatan untuk pengamatan komunitas ikan ekor kuning dan terumbu karang.
Peralatan yang digunakan adalah seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Bahan dan alat yang digunakan


No. Bahan dan Alat Spesifikasi dan satuan Kegunaan
0
1 Thermometer C Mengkur suhu permukaan air
2 Secchi disc % Mengukur kecerahan perairan
3 Depth gauge Meter Mengukur kedalaman perairan
4 Floating drag m/detik Mengukur arah dan kecepatan arus
5 GPS Titik Koordinat lokasi penelitian
6 Peralatan Dasar Selam Masker, snorkel dan fin Melakukan manta tow
7 Peralatan SCUBA (Self BCD, regulator, weight Melakukan pengamatan,
Contain Underwater belt, tabung udara pencacahan data dalam air
Breathing Aparatus ) (kapasitas 3000 Psi)
8 Transek kuadrat 1 m x Pipa paralon PVC ¼ inch Mengukur tutupan karang keras
1m dan makroalga sampai tingkat
genus
9 Kamera bawah air Nikon D-80 dengan Memotret kondisi karang keras
housing, lensa wide 10 – dan makrolaga untuk dianalisis
24 mm, f:3.5 – 4.5 dengan CPCe versi 3.6
10 Roll meter Menandai jarak pengamatan
11 Sabak Kertas new top dan triplek Mencatat data dalam air dengan
ukuran kertas A4 pensil 2B
12 Botol sampel Ukuran 300 ml dan 600 ml Mengkur parameter kimia perairan

13 Buku identifikasi Mengidentifikasi spesies ikan


karang, makroalga dan genus.
23

Gambar 3 Peta lokasi penelitian.


24

3.3 Metode Pengambilan Data


3.3.1 Penentuan titik stasiun
Asumsi yang digunakan dalam pemilihan lokasi ini adalah keterwakilan dari
zona inti dan zona pemukiman. Letak stasiun pengamatan di setiap pulau
dilakukan dua titik pada lokasi tangkapan nelayan (berdasarkan informasi
nelayan setempat) pada daerah terumbu karang. Stasiun penelitiannya adalah
Timur Pramuka (Stasiun 1), Utara Pramuka, (Stasiun 2), Barat Panggang
(Stasiun 3) dan Selatan Panggang (Stasiun 4) utnuk keterwakilan zona
pemukiman, sedangkan Utara Belanda (Stasiun 5), Selatan Belanda (Stasiun 6),
Timur Kayu. Angin Bira (Stasiun 7) dan Barat Kayu Angin Bira (Stasiun 8)
untuk keterwakilan zona inti.

3.3.2 Parameter lingkungan


Pengambilan data parameter lingkungan (Fisika, Kimia dan Biologi) yang
dilakukan di lokasi penelitian yaitu berupa kedalaman (Deep gauge), suhu
(Thermometer Hg), salinitas (Refraktometer), kecepatan arus (Current-meter),
dan kecerahan (Secchi disk). Parameter fisik yang akan dilakukan analisis di
laboratorium IPB adalah berupa sampel air yang diambil dengan menggunakan
botol yang diawetkan dengan H2S04, sedangkan untuk plankton diambil dengan
menggunakan planktonet yang berbentuk kerucut dengan diameter mulut jaring 31
cm, panjang 80 cm dan ukuran mata jaring 60 µm. Caranya menyaring air
sebanyak 50 liter dan contoh air yang tersaring dimasukan kedalam botol
berukuran 100 ml selanjutnya diawetkan dengan lugol.

3.3.3 Kondisi terumbu karang


Kondisi terumbu karang dilihat berdasarkan bentuk pertumbuhan karang
(lifeform) dan persentase tutupan substrat. Metode yang digunakan untuk
pengumpulan data kondisi terumbu karang adalah modifikasi transek garis yang
dikembangkan oleh Loya (1978) dan transek kuadrat (Rogers et al. 1994) serta
photogrammetry (Done 1981). Pada setiap stasiun pengamatan diletakkan transek
garis dengan panjang 50 meter sejajar garis pantai. Kemudian diletakkan transek
kuadrat ukuran 1 m x 1 m sepanjang garis transek dengan pengulangan 20 kali
dalam jarak 50 m (Gambar 4).
25

1m

1m

Gambar 4 Metode pengamatan terumbu karang dan posisi transek kuadrat (1 m x


1 m) untuk pengamatan terumbu karang.

Pengamatan didukung dengan pengambilan photo bawah air menggunakan


transek kuadrat yang telah dirangkai dengan bingkai tetrapod (Gambar 5). Transek
kuadrat dibuat dari PVC dengan ukuran 1 m x 1 m. Transek tersebut dibentangkan
sepanjang garis transek untuk kemudian difoto dengan kamera underwater. Hasil
foto per transek diamati dan luas tutupan dihitung menggunakan perangkat lunak
Coral Point Count with Excell extension (CPCe) yang dikembangkan oleh Kohler
dan Gill (2006).

Gambar 5 Bingkai tetrapod untuk fotografi tutupan karang (English et al. 1997).
26

Komunitas dicirikan dengan menggunakan kategori “bentuk pertumbuhan”


(lifeform) yang memberikan gambaran deskriptif morfologi komunitas karang.
Penggolongan komponen substrat bentik penyusun komunitas karang dan
lifeform karang seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Daftar penggolongan komponen substrat bentik penyusun komunitas


karang dan lifeform karang serta kodenya

Kategori Kode Keterangan


Dead Coral DC Baru saja mati, warna putih atau putih
kotor
DCA Karang ini masih berdiri, struktur skeletal
Dead Coral with Alga
masih terlihat
Branching ACB Paling tidak 2o percabangan. Memiliki
axial dan radial oralit.
Encrusting ACE Biasanya merupakan dasar dari bentuk
Acropora acropora belum dewasa
Submassive ACS Tegak dengan bentuk seperti baji
Digitate ACD Bercabang tidak lebih dari 2o
Tabulate ACT Bentuk seperti meja datar
Branching CB Paling tidak 2o percabangan. Memiliki
radial oralit.
Encrusting CE Sebagian besar terikat pada substrat
(mengerak) Paling tidak 2o percabangan
Foliose CF Karang terikat pada satu atau lebih titik,
Non-Acropora seperti daun, atau berupa piring.
Massive CM Seperti batu besar atau gundukan
Submassive CS Berbentuk tiang kecil, kenop atau baji.
Mushroom CMR Soliter, karang hidup bebas dari genera
Heliopora CHL Karang biru
Millepora CML Karang api
Tubipora CTU Bentuk seperti pipa-pipa kecil
Sofa Coral SC Karang bertubuh lunak
Sponge SP
Zoanthids ZO
Others OT Ascidians, anemon, gorgonian, dan lain-
lain
Alga assemblage AA
Coralline alga CA
Alga Halimeda HA
Macroalga MA
Turf alga TA
Abiotik Sand S Pasir
Rubble R Patahan karang yang ukurannya kecil
Silt SI Pasir berlumpur
Water W Air
Rock RCK Batu
Sumber: English et al. (1997)
27

3.3.4 Sumberdaya ikan ekor kuning


3.3.4.1 Kelimpahan ikan
Data kelimpahan dan ukuran ikan ekor kuning didapat melalui metode
sensus visual bawah air (underwater visual census) menggunakan bantuan transek
garis sepanjang 50 m (English et al. 1997). Prosedur yang digunakan dalam
metode ini adalah:
1) Roll meter (50 m) dibentangkan sejajar garis pantai, menunggu
beberapa saat untuk memberi kesempatan pada ikan untuk terbiasa
dengan kehadiran penyelam.
2) Penyelam berenang lambat setengah meter di atas substrat sepanjang
transek 50 m sambil mencatat kelimpahan dan ukuran ikan ekor
kuning yang dijumpai dengan jangkauan pengamatan sebelah kiri dan
kanan masing-masing sejauh 2.5 m (Gambar 6), sehingga area yang
dicakup dalam satu titik pengamatan ikan ekor kuning adalah seluas
250 m2.
3) Di setiap stasiun dilakukan sekali pengamatan pada kedalaman 0-15
meter.

Gambar 6 Metode sensus visual bawah air ikan karang (Sumber: English et al.
1997).
28

3.3.4.2 Kondisi biometrik


Ikan yang dijadikan sampel merupakan hasil tangkapan bubu atau pancing
dari lokasi pengamatan. Jumlah ikan sampel diambil sebanyak 50 ekor secara
random sampling dengan tingkat kepercayaan 95%.
Pengamatan kondisi biometrik dilakukan dengan cara melihat distribusi
frekuensi panjang dan berat. Pengukuran panjang ikan dilakukan dengan
menggunakan mistar berketelitian 1 mm. Panjang ikan yang diukur adalah
panjang cagak yaitu panjang ikan mulai dari ujung terdepan sampai ujung bagian
luar lekukan ekor (Effendie 1997) dengan cara badan ikan terlebih dahulu
diluruskan dan bibir mulutnya dirapatkan setelah itu baru dilakukan pengukuran.
Interpretasi pola distribusi frekuensinya dilakukan dengan mengelompokkan data
panjang ikan ke dalam kelas-kelas panjang.
Pengukuran berat terhadap seluruh sampel ikan digunakan timbangan
elektrik berketelitian 0.01 gram dengan caranya kotoran-kotoran yang menempel
pada tubuh ikan terlebih dahulu dibersihkan setelah itu dilakukan penimbangan.
Interpretasi pola distribusi frekuensinya dilakukan dengan mengelompokkan data
berat ikan ke dalam kelas-kelas berat. Berdasarkan data-data tersebut, maka dapat
dianalisa hubungan panjang berat untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan ekor
kuning di lokasi penelitian.

3.3.4.3 Tingkat kematangan gonad (TKG)


Data tingkat kematangan gonad diperoleh dengan cara melakukan
pengamatan terhadap 50 ekor ikan sampel yang diambil dari hasil tangkapan
nelayan di lokasi penelitian. Bagian perut ikan dibedah dengan bantuan dissecting
set, diambil bagian gonad dan diawetkan dalam botol sampel dengan formalin 4%,
untuk dianalisis di laboratorium.

3.3.4.4 Jenis makanan


Komposisi jenis makanan ikan ekor kuning diperoleh dengan cara perut 50
ekor ikan sampel hasil tangkapan nelayan di lokasi penelitian, dibedah dengan
bantuan dissecting set, diambil bagian lambung di awetkan dalam botol sampel
dengan formalin 4% dan dilakukan analisis di laboratorium.
29

3.4 Analisa Data


3.4.1 Persentase tutupan substrat bentik ekosistem terumbu karang
Kondisi terumbu karang dapat diduga melalui pendekatan persentase
penutupan karang keras pada ekosistem terumbu karang sebagaimana yang
dijelaskan oleh Gomez dan Yap (1988). Semakain kecil persentase penutupan
karang hidup yang diperoleh maka makin sedikit pula asosiasi terumbu karang
yang hidup di dalamnya. Persentase penutupan karang keras dan persentase
penutupan biota pengisi habitat bentik lainnya diolah dengan menggunakan
program lunak Coral Point Count with Excell extension (CPCe) yang
dikembangkan oleh Kohler dan Gill (2006). Program ini merupakan varian dari
program Visual Basic.
Penilaian kondisi terumbu karang didasarkan pada persentase tutupan
karang keras mengacu pada kategorikan Gomez and Yap (1988) seperti disajikan
pada Tabel 3.

Tabel 3 Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan


persentase penutupan karang (Gomez and Yap 1988)
Persentase Penutupan (%) Kriteria Penilaian

0 – 24.9 Buruk
25 – 49.9 Sedang
50 – 74.9 Baik
75 – 100 Sangat baik

3.4.2 Ikan ekor kuning


3.4.2.1 Kelimpahan ikan ekor kuning
Analisis kelimpahan ikan ekor kuning yang berada di daerah terumbu
karang dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

X
X i

n
Dimana :
X = Kelimpahan Ikan
Xi = Jumlah ikan pada stasiun pengamatan ke-i
n = Luas terumbu karang yang diamati (m2)
30

3.4.2.2 Kondisi biometri


Hubungan panjang berat dianalisis dengan model atau persamaan Hile
(1936) dalam Effendie (1997), sebagai berikut:

W = aLb
Untuk jumlah sampel kecil maka menggunakan teknik perhitungan menurut
Rounsefeell dan Everhart (1960) yaitu :

Log W = log a + b log L

Dimana :
W = berat ikan (gram)
L = panjang ikan (cm)
a dan b = konstanta.

Harga ”b” berkisar antara 2.0-3.5. Harga b yang mungkin timbul selain b <
3, juga b = 3 atau b > 3. Masing-masing harga ”b” yang demikian itu dapat
ditafsirkan sebagai berikut:
b=3 : Pertumbuhan bersifat isometrik karena pertambahan panjang
dan berat ikan seimbang (ideal).
b > 3 atau b < 3 : Pertumbuhan ikan bersifat allometrik atau kurang baik karena
pertumbuhan berat dan panjang tidak sebanding. Sifat
allometrik ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu : Bila b < 3
berarti pertumbuhan panjang lebih cepat jika dibandingkan
dengan pertumbuhan berat sehingga ikan kelihatan kurus dan
tidak normal, terlihat terlalu panjang. Bila b > 3 berarti
pertumbuhan berat lebih cepat dibandingkan dengan
pertumbuhan panjang sehingga ikan kelihatan gemuk dan tidak
normal.
31

Nilai ”b” yang didapat dari hasil perhitungan tersebut, akan dilakukan uji
statistik (regresi) untuk melihat sejauh mana keeratan hubungan nilai ”b” atau
menguji keertan hubungan antara pertumbuhan berat dan pertumbuhan panjang.

3.4.2.3 Tingkat kematangan gonad (TKG)


Data tingkat kematangan gonad untuk ikan ekor kuning diperoleh
berdasarkan analisa terhadap kondisi gonat yang dilakukan di laboratorium,
berpedoman pada lima tingkatan menurut klasifikasi kematangan gonad ikan laut
(Romimohtarto dan Juwana 2001), seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Klasifikasi kematangan gonad ikan laut

Tingkat Keadaan Gonad Deskripsi


I Tidak matang Gonad memanjang, kecil hampir transparan
(immature)
II Sedang Matang Gonad membesar, berwarna jingga kekuning-kuningan,
(maturing) butiran telur belum terlihat dengan mata telanjang
III Matang (mature) Gonad berwarna putih kekuningan, butiran telur sudah
dapat terlihat dengan mata telanjang
IV Siap Pijah Butiran telur membesar dan berwarna kuning jernih,
dapat keluar dengan sedikit tekanan pada perut
V Pijah (spent) Gonad mengecil, berwarna merah dan banyak terdapat
pembuluh darah

3.4.2.4 Jenis makanan


Kodisi dan pola pertumbuhan dari makluk hidup salah satunya dipengaruhi
oleh ketersediaan makanan. Makanan merupakan salah satu faktor ekologis yang
memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan.
Data jenis makan ikan ekor kuning, dianalisis berdasarkan komposisi isi
lambung yang dilihat dengan menggunakan mikroskop dengan cara komposisi isi
lambung dari setiap ekor ikan di letakan dalam preparat lalu melihat frekwensi
kejadiannya, dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali dan hasilnya dijumlahkan.
Komposisi jenis makanan dihitung berdasarkan total dari hasil analisas masing-
masaing isi lambung ikan. Hasil perhitungan tersebut dapar memberikan
informasi mengenai komposisi makanan utama dari ikan ekor kuning.
Untuk kelimpahan plankton di perairan dihitung mengunkan metode sapuan
diatas gelas obyek Sedwigck Rafter (Basmi 2000) dengan satuan individu per
meter kubik (individu/m3) :
32

Dimana :
N = Jumlah total individu plankton per m3 (Individu/m3)
ni = Jumlah individu ke-i yang tercacah (indvidu)
Vd = Volume air contoh yang disaring (l)
Vt = Volume air contoh yang tersaring (100 ml)
Vs = Volume air pada Sedwigck Rafter counting cell volume (1 ml)

Mengetahui kuatnya hubungan antara kelimpahan plankton sebagai


makanan dengan kelimpahan ikan ekor kuning dilanjutkan dengan regresi.

3.4.3 Pengelompokan habitat


Pengelompokan habitat dilakukan berdasarkan pengelompokan substrat
bentik, menggunakan cluster analysis berdasrkan indeks kesamaan Bray-Curtis.
Indeks yang diolah menggunakan program MVSP (Multi Variate Statistical
Package). Rumus Bray-Curtis dalam Clifford dan Stephenson (1975) adalah
sebagai berikut:

Keterangan:
S = indeks kesamaan Bray-Curtis
Xi1 = tutupan karang jenis ke-i pada stasiun pertama
Xi2 = tutupan karang jenis ke-i pada stasiun kedua

3.4.4 Keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning dengan karakteristik


habitat

Pengelompokan habitat di atas akan menunjukan dendrogram yang


mengelompokan lokasi-lokasi penelitian sesuai dengan variabel-variabel yang
mempunyai kemiripan sangat dekat sesuai titik potong yang terbentuk. Kemiripan
variabel antar lokasi penelitian tersebut merupakan ciri yang membedakan
kelompok yang satu dengan kelompok lainnya. Selanjutnya untuk kelimpahan
ikan dari tiap lokasi penelitian dikelompokan sesuai kelompok yang sudah
terbentuk.
33

Berdasarkan ciri kelompok yang terbentuk dan kelimpahan ikan dari


masing-masing kelompok maka dapat dideskripsi mengenai keterkaitan
sumberdaya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat pada ekosistem
terumbu karang.

3.4.5 Rekomendasi pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ikan ekor


kuning secara terpadu dan berkelanjutan

Rekomendasi pengelolaan terhadap ekosistem terumbu karang dan


sumberdaya ikan ekor kuning secara ekologis dalam penelitian ini adalah
berdasarkan pada kondisi ekosistem terumbu karang, kondisi sumberdaya ikan
ekor kuning dan keterkaitan antara sumberdaya ekor kuning dengan karakteristik
habitat.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian


Kawasan Kepulauan Seribu merupakan bagian dari wilayah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta terdiri dari pulau-pulau kecil yang merupakan gugusan pulau
karang. Gugusan pulau karang tersebut terletak di muka Teluk Jakarta yang
membentang dari tenggara ke arah barat laut dari teluk tersebut.
Sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 1986 Tahun
2000 tentang wilayah Kepulauan Seribu dinyatakan bahwa jumlah pulau di
Kecamatan Kepulauan Seribu adalah 110 pulau yang secara Administratif dibagi
menjadi 6 wilayah kelurahan yaitu kelurahan Pulau Panggang, Pulau Tidung,
Pulau Kelapa, Pulau Untung Jawa, Pulau Harapan, dan Pulau Pari.
Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu dengan pusat ibu kota di Pulau
Pramuka, secara geografis adalah pada 5°24' - 5045 LS dan 106'25-106°40' BT,
mulai dari kawasan Teluk Jakarta sampai Pulau Sebira, yaitu pulau terjauh di
sebelah utara yang berjarak sekitar 150 km dari daratan Kota Jakarta (Siregar
1994), merupakan salah satu dari 5 kota dan 1 kabupaten di Provinsi DKI Jakarta.
Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu dibagi menjadi dua wilayah, yakni
Kepulauan Seribu Utara dan Kepulauan Seribu Selatan.
Berdasarkan laporan Kabupaten Kepulauan Seribu dalam Angka tahun
2006, diketahui jumlah penduduk Kepulauan Seribu tercatat sebanyak 19 916 jiwa
yang tersebar di 12 pulau yaitu Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua, Pulau Panggang,
Pulau Harapan, Pulau Pramuka, Pulau Tidung, Pulau Besar, Pulau Payung Besar,
Pulau Pari, Pulau Untung Jawa, Pulau Lancang Besar, Pulau Sebira. Sebagian
besar penduduk di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada tahun 2006
tinggal di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara sebesar 59.15%. Kepadatan
penduduk di Kabupaten Kepulauan Seribu mencapai 2 214 jiwa per km2 dengan
tingkat kepadatan tertinggi di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan yang
mencapai 2 504 jiwa per km2.
Kehidupan sosial budaya masyarakat di Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh
beragam budaya suku bangsa mengingat masyarakat tersebut berasal dari berbagai
suku yang ada di Indonesia, seperti Suku Betawi, Jawa, Sunda, Bugis, Madura,
35

Banten, Lampung dan Minangkabau. Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah


Bahasa Indonesia.
Berdasarkan laporan Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta
Tahun 2006, sebagian besar penduduk Kepulauan Seribu berpendidikan SD,
kemudian diikuti yang berpendidikan SLTP dan SLTA, sedangkan yang
berpendidikan tinggi dan universitas hanya sebesar 0.65% dari jumlah penduduk
Kepulauan Seribu. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia
masih sangat sedikit untuk mendukung pembangunan Kepulauan Seribu.
Sumber pendapatan utama masyarakat Kepulauan Seribu adalah dari bidang
perikanan seperti penangkapan ikan, budidaya laut, budidaya tambak dan
pengolahan hasil-hasil perikanan dan kelautan, sedangkan potensi lainnya yaitu
pengembangan wisata bahari.
Untuk perikanan tangkap, dominasi ikan yang ditangkap oleh masyarakat
nelayan Kepulauan Seribu adalah selar, bawal, kembung, layang, tongkol, ekor
kuning, pisang-pisang, kakap merah, teri, lencam, rajungan, cumi, kuwe dan
beronang dengan alat tangkap yang digunakan adalah berupa pancing, jaring
payang, jaring gebur, jaring rampus, jaring rajungan, muroami mini (trip harian
dan daerah penangkapan di perairan Kepulauan Seribu), muroami besar (trip
mingguan dan daerah penangkapan sampai di luar perairan Kepulauan Seribu),
bubu besar, bagan tancap, bagan apung dan jaring ikan hias.
Nelayan di Kepulauan Seribu kebanyakan merupakan nelayan tetap dengan
jumlah sebanyak 8 975 orang, sedangkan nelayan musiman berjumlah 1 427
orang. Hal ini mengindikasikan bahwa mata pencaharian pokok penduduk
Kepulauan Seribu adalah nelayan. Nelayan musiman yang umumnya merupakan
penduduk pendatang, banyak ditemukan di Pulau Panggang sebanyak 145 orang,
Pulau Kelapa 315 orang, Pulau Harapan 200 orang dan Pulau Tidung 300 orang.
Berdasarkan laporan Kepulauan Seribu dalam angka Tahun 2006, kegiatan
penangkapan ikan harian nelayan Kepulauan Seribu cukup tinggi mencapai 6 065
orang, sedangkan untuk mingguan dan bulanan sebanyak 1 994 orang dan 2 322
orang.
Sedangkan untuk budidaya laut meliputi budidaya rumput laut, budidaya
teripang dan budidaya ikan (kerapu macan, kerapu lumpur, kerapu lada, kerapu
36

sunu dan bandeng). Untuk pertambakannya berupa udang windu, bandeng,


mujaer, kakap putih dan gabus. Untuk kegiatan pengelolaan hasil perikanan dan
kelautan meliputi usaha ikan bakar, ikan asin, rumput laut dan kerupuk ikan.
Potensi pengembangan wisata bahari seperti selancar, memancing ikan di
rumpon dasar dan permukaan, snorkeling dan diving. Pengembangan wisata
bahari tersebut didukung oleh keindahan ekosistem terumbu karang yang terdapat
di perairan Kepulauan Seribu serta upaya transplantasi karang (pencakokan)
dengan memanfaatkan media blok semen cor, serta rumah singgah ikan (fish
shelter) yang dirancang baik dari konstruksi kerangka beton maupun dengan
menenggelamkan becak, mobil dan ban bekas.

4.2 Kondisi Lingkungan Perairan


Kualitas air pada prinsipnya merupakan pencerminan dari kualitas
lingkungan. Air merupakan medium bagi kehidupan organisme perairan. Oleh
karena itu kualitas air ini akan mempengaruhi dan menentukan kemampuan hidup
organisme perairan tersebut (Kartamihardja et al. 1987). Pengamatan untuk
kondisi lingkungan (fisika, kimia dan biologi) secara umum menunjukkan hasil
yang mendukung bagi kehidupan biota laut dengan kisaran nilai yang diijinkan
menurut KepMen LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota
laut (Tabel 5).

Tabel 5 Nilai kondisi lingkungan perairan

Kec. Keke- Kece-


Sampling Suhu Salinitas NO3-N PO4-P Plankton
Arus ruhan rahan
Point
(OC) (PSU) (m/s) (NTU) (%) (mg/l) (mg/l) (Individu/m3)
Timur
28 32 0.030 0.45 100 0.02 0.024 2,520
Pramuka
Utara
29 30 0.070 0.40 100 0.06 0.015 2,240
Pramuka
Barat
29 32 0.048 0.50 100 0.09 0.024 3,640
Panggang
Selatan
29 32 0.072 0.50 100 0.12 0.020 1,880
Panggang
Utara
28 33 0.067 0.50 100 0.10 0.018 2,560
Belanda
Selatan
30 33 0.061 0.43 100 0.09 0.018 3,680
Belanda
Timur K.
28 32 0.046 0.50 100 0.06 0.026 2,680
Angin
Barat K.
28 32 0.031 0.50 100 0.09 0.029 2,880
Angin
37

Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi
organisme dalam melakukan aktivitas metabolisme, perkembangbiakan serta
proses-proses fisiologi organisme karena suhu dapat mempengaruhi sifat fisik,
kimia dan biologi perairan. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian
sebaran suhu berkisar antara 28–30 oC (Tabel 5).
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa suhu di lokasi penelitian masih
tergolong normal untuk kehidupan biota laut khususnya fitoplankton. Hal ini
karena penelitian tersebut berlangsung pada saat musim peralihan dimana
pergerakan massa air cukup stabil atau tenang. Sesuai dengan pernyataan Effendi
(2003), bahwa kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan
adalah 20–30 oC. Kisaran tersebut masih termasuk dalam kriteria suhu dimana
terumbu karang dapat tumbuh dan berkembang. Menurut Sukarno et al. (1983)
suhu yang paling baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25–30 oC.
Huet (1971), menyatakan fluktuasi harian suhu perairan sangat
mempengaruhi kehidupan oraganisme di dalamnya, fluktuasi suhu air yang terlalu
besar dapat mematikan organisme perairan. Bihsop (1973) menyatakan suhu air
dapat merangsang dan mempengaruhi pertumbuhan organisme perairan serta
mempengaruhi oksigen terlarut untuk respirasi. Menurut Boyd dan Kopler (1979)
suhu optimum untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis adalah 25-30 0C.

Salinitas
Hasil pengukuran salinitas pada lokasi penelitian menunjukkan nilai yang
homogen dengan kisaran nilai antara 30–33 PSU (Tabel 5) dengan nilai salinitas
terendah terdapat di Utara Pulau Pramuka. Perbedaan nilai salinitas antar stasiun
pengamatan sangat kecil dan masih dalam kategori normal untuk kehidupan biota
laut, hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) bahwa nilai salinitas
perairan laut berkisar antara 30-40‰ sedangkan menurut Nybakken (1988) dan
Thamrin (2006) salinitas perairan dimana karang dapat hidup adalah pada kisaran
27-40 ‰ dengan kisaran optimum untuk pertumbuhan karang adalah 34-36‰.

Kecepatan arus
Kecepatan arus pada setiap stasiun umumnya tidak jauh berbeda dengan
kisaran 0.030–0.072 m/s (Tabel 5), kecepatan arus yang paling tinggi terjadi di
38

Selatan Pulau Panggang dan paling rendah di Timur Pulau Pramuka, secara umum
arah arus menuju barat. Hal ini berkaitan erat dengan musim tenggara dan angin
musim (monsoon) timur yang berlangsung pada saat dilakukannya pengambilan
data. Adanya arus ini diperlukan untuk tersedianya aliran air yang membawa
makanan dan oksigen bagi biota karang serta menghindarkan karang dari
pengaruh sedimentasi.

Kecerahan
Kecerahan dan kekeruhan merupakan parameter yang saling berkaitan.
Peningkatan konsentrasi padatan tersuspensi akan meningkatkan kekeruhan
perairan, sebaliknya akan mengurangi kecerahan perairan. Parameter-parameter
tersebut marupakan indikasi tingkat produktivitas perairan sehubungan dengan
proses respirasi biota perairan dan kualitas perairan.
Kecerahan (transparency) air adalah suatu ukuran untuk mengetahui daya
penetrasi cahaya matahari ke dalam air dimana nilainya berbanding terbalik
dengan nilai kekeruhan (Koesbiono 1980). Kemampuan daya tembus matahari ke
perairan sangat ditentukan oleh kandungan bahan organik dan bahan anorganik
tersuspensi dalam perairan, kelimpahan plankton, jasad renik dan densitas air
Wardoyo (1981).
Kecerahan menggambarkan kemampuan cahaya menembus lapisan air pada
kedalaman tertentu. Kecerahan sangat penting bagi perairan karena berpengaruh
terhadap berlangsungnya produktivitas primer melalui fotosintesis fitoplankton.
Hasil pengukuran (Tabel 5) menunjukan nilai parameter kecerahan merata sama
di semua lokasi dengan kedalam 3-7 m.
Dalam ekosistem terumbu karang, kecerahan erat kaitannya dengan cahaya
matahari. Cahaya matahari sangat diperlukan terutama oleh alga simbion karang
zooxanthellae untuk melakukan fotosintesis, selanjutnya hasil dari fotosintesis
dimanfaatkan oleh karang untuk melakukan proses respirasi dan kalsifikasi
(Hubbard 1997). Kecerahan berbanding terbalik dengan padatan tersuspensi
(TSS), dimana semakin meningkat TSS maka kecerahan dan penetrasi cahaya
matahari semakin berkurang. Hal ini menurut Hubbard (1997) dapat berpengaruh
terhadap morfologi karang. Kedalaman penetrasi sinar matahari mempengaruhi
39

kedalaman pertumbuhan karang hermatipik sehingga diduga hal ini juga


mempengaruhi penyebarannya (Sukarno 1977).

Kekeruhan
Nilai kekeruhan yang diperoleh selama penelitian berkisar antara
0.40 NTU–0.55 NTU (Tabel 5), nilai terendah terdapat di Utara Pulau Pramuka.
Secara umum nilai kekeruhan untuk semua stasiun pengamatan berada dalam
kondisi normal dan nilai tersebut sesuai baku mutu air laut untuk biota laut yang
ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Negara LH RI No. 51 Tahun 2004
yaitu < 5 NTU. Hal tersebut dimungkinkan sedikitnya partikel terlarut pada
perairan tersebut sehingga sangat baik untuk mendukung kehidupan biota.

Nitrat (NO3-N)
Nitrat adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami, sangat mudah larut
dalam air dan bersifat stabil. Nitrat merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan
tanaman dan alga. Konsentrasi nitrogen dalam bentuk nitrat selama penelitian
nilainya berkisar antara 0.02–0.12 mg/l (Tabel 5) nilai terendah di Timur Pulau
Pramuka dan tertinggi di selatan Pulau Panggang. Menurut Effendi (2003) kadar
nitrat di perairan alami hampir tidak pernah melebihi 0.1 mg/l. Kadar nitrat lebih
dari 5 mg/l menandakan telah terjadi pencemaran anthropogenik dari aktifitas
manusia. Kadar nitrat lebih dari 0.2 mg/l berpotensi untuk dapat menyebabkan
terjadinya eutrofikasi dan selanjutnya memicu pertumbuhan algae dan tumbuhan
air secara pesat.
Secara alami terumbu karang mampu mengkonservasi keberadaan nutrien
dengan memiliki katabolisme protein yang rendah serta mengkatabolis lipid dan
karbohidrat. Dalam jumlah yang cukup banyak justru akan membahayakan
bahkan dapat menyebabkan kematian terumbu karang. Terumbu karang tidak
dapat beradaptasi pada saat pengkayaan nutrien terjadi, umumnya mereka tidak
mampu berkompetisi dengan makroalga bentik. Pengkayaan nutrien juga dapat
menurunkan laju kalsifikasi karena fosfat akan mengikat kristal aragonite pada
saat proses kalsifikasi (Muler-Parker dan D’Elia 1997).
Phosphat (PO4-P)
Unsur P merupakan salah satu unsur hara yang penting bagi metabolisme sel
tanaman. Unsur ini dalam perairan ditentukan dalam bentuk ortho-phosphat, poli-
40

phosphat dan phosphate-organik. Unsur P dalam bentuk ortho-phosphat dapat


dimanfaatkan oleh organisme nabati karena senyawa ini merupakan senyawa yang
larut dalam air. Di dalam air phosphat dapat ditemukan dalam berbagai bentuk
senyawa Fe dan Ca dan bentuk ikatan dipengaruhi oleh pH.
Senyawa anorganik phosphat yang terkandung dalam air laut umumnya
berada dalam bentuk ion ortho-phosphat. Hasil pengamatan menunjukkan nilai
ortho-phosphat rata-rata berkisar antara 0.015–0.029 mg/l (Tabel 5) dengan nilai
terendah di Utara Pulau Pramuka dan nilai tertinggi di Barat Pulau Kayu Angin.
Kandungan ortho-phosphat di lokasi penelitian berada di bawah batasan optimum
untuk pertumbuhan fitoplankton. Hal ini berarti kesuburan perairan berdasarkan
kandungan phosphat di lokasi penelitian tergolong rendah. Kadar ortho-phosphat
untuk pertumbuhan optimum fitoplankton sebesar 0.09–1.80 mg/l (Mackenthum
1969 dalam Basmi 2000). Pada umumnya kandungan phosphat dalam perairan
tidak pernah lebih dari 0.1 ppm, kecuali bila penambahan dan pelimpahan air
buangan pertanian ataupun rumah tangga (Krismono et al. 1987). Suatu perairan
relatif subur bila kandungan total phosphat 0.06 – 10.00 ppm (Goldman dan
Horne 1983).

Plankton
Kelimpahan Plankton bervariasi pada setiap stasiun pengamatan.
Kelimpahan plankton rata-rata antara 1 880–3 680 individu/m3 (Tabel 5), dimana
kelimpahan tertinggi di Selatan Belanda dan kelimpahan terendah di stasiun 4
Selatan Panggang. Perbedaan kelimpahan antara stasiun menunjukkan bahwa
distribusi kelimpahan plankton tidak merata.

4.3 Komposisi Substrat Bentik Ekosistem Terumbu Karang


Komposisi dan persen tutupan substrat bentik di lokasi pengamatan cukup
beragam antar stasiun pengamatan. Umumnya didominasi oleh kelompok abiotik
dengan kisaran antara 13.85-50.28% tertinggi dijumpai di lokasi Timur Pramuka
dan yang paling rendah di Barat Kayu (Gambar 7 dan Lampiran 2).
Penilaian baik atau buruknya kondisi karang disuatu lokasi ditentukan oleh
tinggi atau rendahnya persentase tutupan karang keras. Persentase tutupan karang
keras di lokasi penelitian berkisar antara 18.13-54.36%. Persentase terendah
41

untuk kelompok karang keras di Timur Pramuka sebesar 18.13% dan tertinggi di
Selatan Panggang sebesar 54.35%.

Gambar 7 Persentase tutupan kelompok substrat bentik

Menurut Gomez & Yap (1988) berdasarkan persentase tutupan karang


hidup, maka kondisi terumbu karang pada lokasi penelitian terdiri dari kategori
buruk adalah di Timur Pramuka (18.13%), Utara Pramuka (23.84%) dan Selatan
Belanda (21.08%), kategori sedang adalah di Barat Panggang (27.29%), Timur
Kayu Angin (28.90%), Utara Belanda (39.41%) dan Barat Kayu Angin (45.18%),
sedangkan kategori baik di Selatan Panggang (54.35%) dapat dilihat pada
Gambar 8.

Gambar 8 Persentase tutupan kelompok karang keras


42

Kategori terumbu karang dengan kondisi buruk terdapat di Timur Pramuka


dan Utara Pramuka, kedua lokasi tersebut berada pada zona pemukiman (mengacu
pada pembagian zona menurut TNKp). Keberadaan ekosistem terumbu karang di
kedua lokasi tersebut diduga dipengaruhi oleh aktifitas manusia baik yang terjadi
di darat seperti limbah rumah tangga, maupun yang terjadi di laut seperti
penambatan kapal, kegiatan pariwisata (penyelaman) dan pola penangkapan yang
tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bubu dan muroami yang masih terjadi
hingga saat ini. Kerusakan tersebut dapat dilihat dari tingginya persentase abiotik
di Timur Pramuka sebesar 50.28% yang didominasi oleh patahan karang
(32.61%) dan batu (13.50%), sedangkan Utara Pramuka persentase abiotik sebesar
48.38% dengan persentase patahan karang sebesar 32.51% dan batu sebesar
10.91%. Sehingga diduga kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh
beberapa faktor tersebut di atas masih terjadi di Utara Pramuka. Hal ini dapat
ditunjukkan dengan tingginya persentase karang mati baru sebesar 15.17%, yang
merupakan persentase tertinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya (Gambar 9
dan 10).

Gambar 9 Persentase tutupan kelompok abiotik

Perentase kelompok karang mati berkisar antara 16.11-42.19%, terlihat


mendominasi di selatan Belanda (42.19%) dan Barat Kayu Angin (35.68%),
persentase terendah di Utara Belanda (16.11%) sedangkan kondisi di lima lokasi
tidak terlalu berbeda. Ditinjau lebih jauh terhadap kelompok karang mati, terlihat
43

bahwa komponen karang mati beralga (DCA) mendominasi di semua lokasi


dengan persentase antara 14.10-33.85%.
Persentase karang mati beralga (DCA) tertinggi terdapat di Selatan Belanda
dan persentase terendah terdapat di Utara Pramuka.Untuk karang mati baru
persentase tutupan berkisar antara 0.75-15.17%, persentase tertinggi terdapat di
Utara Pramuka (15.17%) dan terendah terdapat di Timur Pramuka (0.75%).
Kondisi karang mati baru terlihat cukup tinggi persentase penutupannya di Barat
Kayu angin, Selatan Belanda dan Timur Kayu Angin (Gambar 10 dan
Lampiran 2).

Gambar 10 Persentase tutupan karang mati ber alga dan karang mati

Sangat ironis melihat kondisi terumbu karang di Selatan Belanda yang


merupakan zona inti tetapi kondisi terumbu karangnya termasuk dalam kategori
buruk (21.08%). Kerusakan terumbu karang pada lokasi tersebut ditunjukkan
dengan tingginya persentase patahan karang dan cukup tingginya persentase
karang mati baru, yang diduga aktifitas penangkapan di kedua lokasi yang telah
ditetapkan sebagai zona inti masih tetap berlangsung, hal ini menunjukkan
kegiatan pengawasan di perairan zona inti (Pulau Belanda dan Pulau Kayu Angin
Bira) masih belum berjalan dengan baik.
44

Kelompok karang mati beralga di kedua lokasi memiliki persentase tutupan


tertinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya, hal ini diduga disebabkan oleh
kegiatan pemboman yang telah lama ditinggalkan oleh masyarakat. Menurut
Aktani (2003), dampak dari penangkapan ikan dengan menggunakan bom sejak
tahun 1970 – 1995 mempengaruhi rendahnya tutupan karang keras dilokasi Pulau
Belanda.
Kondisi terumbu karang di Selatan Panggang yang dekat dengan aktifitas
penduduk menduduki ranking tertinggi, berada pada kondisi baik (54.35%).
Kondisi tersebut diduga disebabkan oleh adanya area perlindungan laut yang
dikembangkan oleh masyarakat, adanya kegiatan transplantasi karang serta
adanya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya terumbu karang.
Dugaan lain adalah disebabkan karena adanya penghuni yang mendiami pulau
tersebut, sehingga secara tidak langsung aktifitas yang merusak terumbu karang di
perairan sekitar pulau tersebut dapat diawasi oleh masyarakat setempat.
Kelompok fauna lain dan alga merupakan komponen substrat bentik yang
memiliki persentase terendah hampir di semua lokasi penelitian. Persentase
tertinggi untuk kelompok fauna lain terlihat di Timur Pramuka sebesar 12.22%
sedangkan di lokasi lain berkisar antara 0.31-3.19%. Persentase tertinggi untuk
kelompok alga ditemukan di Barat Panggang sebesar 12.04% sedangkan di
kelompok lain berkisar antara 0.97-2.26%.
Kondisi terumbu karang dilihat berdasarkan persentse penutupan karang
keras di lokasi penelitian rata-rata berada pada kategori sedang (32.27%). Ditinjau
dari skala yang lebih luas, menurut Estradivari et al. (2007) pada tahun 2007
tutupan karang di Kepulauan Seribu sebesar 33.20%, sehingga dalam dua tahun
terakhir telah terjadi peningkatan persentase tutupan karang hidup sebesar 0.94%
hingga saat penelitian ini.
Kelompok karang keras dibagi dalam dua kategori lifeform, yakni Acropora
dan Non-Acropora. Selanjutnya lifeform Acropora dibagi menjadi 4 kategori dan
lifeform Non-Acropora dibagi menjadi 7 kategori (Lampiran 3). Komposisi
tutupan komponen penyusun lifeform Acropora dan Non-Acropora terlihat cukup
bervariasi di lokasi pengamatan (Gambar 11 dan 12).
45

Gambar 11 Persentase tutupan komponen penyusun lifeform Acropora

Gambar 12 Persentase tutupan komponen penyusun lifeform Non-Acropora

Acropora Branching (ACB) terlihat mendominasi dan menjadi komponen


utama penyusun lifeform di seluruh lokasi pengamatan. Kondisi yang lebih
bervariasi terlihat pada komponen penyusun lifeform Non-Acropora dimana
karang foliose (CF), karang masif (CM), dan karang kerak (CE) mendominasi di
stasiun pengamatan tertentu (Gambar 13).
46

Gambar 13 Rata-rata persentase tutupan lifeform

Bentuk pertumbuhan massive tertinggi di Selatan Panggang yang memliki


kekeruhan yang cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan Chappel (1980), diacu dalam
Supriharyono (2000) yang menyatakan bahwa karang yang tumbuh di perairan
dengan sedimentasi tinggi mengarah ke bentuk massive, sedangkan di perairan
yang jernih atau sedimentasi rendah, lebih banyak ditemukan dalam bentuk
bercabang dan tabulate.
Pada dasarnya jenis karang yang dominan di suatu habitat tergantung pada
kondisi lingkungan atau habitat tempat karang itu hidup. Daerah rataan terumbu
biasanya didominasi karang-karang kecil yang umumnya berbentuk massive dan
submassive sementara lereng terumbu biasanya ditumbuhi oleh karang-karang
bercabang. Karang massive lebih banyak tumbuh di terumbu terluar dengan
perairan berarus. Gelombang berpengaruh terhadap perubahan bentuk koloni
terumbu. Karang yang hidup di daerah terlindung dari gelombang (leeward zones)
memiliki bentuk percabangan ramping dan memanjang sementara pada
gelombang yang kuat (windward zones) kecenderungan pertumbuhan berbentuk
percabangan pendek, kuat, merayap atau submassive. Secara umum ada empat
faktor dominan yang mempengaruhi bentuk pertumbuhan, yaitu cahaya, tekanan
hidrodinamis (gelombang dan arus), sedimen dan subareal exposure.
Kelimpahan genus tertinggi yang ditemukan terdiri dari genus Acropora,
Montipora dan Porites. Genus Acropora merupakan karang keras yang memiliki
pertumbuhan yang cepat dibandingkan dengan jenis karang lainnya dan sering
ditemukan di setiap lokasi. Menurut Goreau (1959) diacu dalam Supriharyono
47

(2000), karang Acropora, karang bercabang dan foliose umumnya lebih cepat
pertumbuhannya dibandingan karang Porites atau yang berbentuk masif. Genus
Acropora memiliki jumlah jenis (spesies) terbanyak dibandingkan genus lainnya
pada karang. Karang jenis ini biasanya tumbuh pada perairan jernih dan lokasi
dimana terjadi pecahan ombak. Bentuk koloni umumnya bercabang dan tergolong
jenis karang yang cepat tumbuh, namun sangat rentan terhadap sedimentasi dan
aktivitas penangkapan ikan.
Sementara itu genus Montipora diketahui memiliki ketahanan terhadap
tekanan lingkungan seperti laju sedimentasi yang tinggi dan peningkatan suhu
permukaan laut (Jordan et al. 1981). Genus Montipora sering ditemukan
mendominasi suatu daerah. Sangat tergantung pada kejernihan suatu perairan.
Biasanya berada pada perairan dangkal berkaitan dengan intensitas cahaya yang
diperolehnya dengan bentuk koloni berupa lembaran. Adapun karang dari genus
Porites memiliki tingkat ketahanan yang relatif tinggi terhadap faktor-faktor
pembatas pertumbuhan dan perkembangan karang seperti gelombang.

4.4 Sumberdaya Ikan Ekor Kuning


4.4.1 Kelimpahan ikan
Data kelimpahan ikan ekor kuning berdasarkan hasil visual sensus di
lokasi penelitian (Lampiran 4) memperlihatkan nilai kelimpahan antara 5-224
individu/250 m2, didominasi ikan dengan ukuran <15 cm (88.04%). Intensitas
kemunculan (kelimpahan) tertinggi ditemukan di Selatan Belanda dan terendah di
Selatan Panggang denngan rata-rata kelimpahan sebesar 67 individu/250 m2
(Tabel 6).

Tabel 6 Kelimpahan ikan ekor kuning

Range Timur Barat


Timur Utara Barat Selatan Utara Selatan
Ukuran Kayu Kayu
Pramuka Pramuka Panggang Panggang Belanda Belanda
Ikan (cm) Angin Angin
0-5 - 6 100 5 18 20 - -
5 - 10 - 15 - - 5 100 - 62
10 - 15 - - - - 40 100 - -
15 - 20 - - - - - 2 - -
20 - 25 23 - - - - 2 10 -
25 - 30 - - - - - - 16 11
Jumlah
23 21 100 5 63 224 26 73
(Ind./250 m2)
48

Berdasarkan tabel tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa di lokasi Selatan


Belanda ditemukan kelimpahan ikan ekor kuning dalam semua ukuran, hal ini
mengindikasikan di lokasi tersebut sangat baik atau mendukung bagi perkembang
biakan sumberdaya ikan ekor kuning, sehingga manfaat dari penetapan daerah
tersebut sebagai zona inti sudah cukup berhasil.
Lokasi Utara Pramuka, Barat Panggang, Selatan Panggang dan Utara
Belanda hanya memiliki ikan dengan ukuran < 20 cm (ikan muda), diduga di
lokasi tersebut sudah terjadi grow over fishing yaitu ikan ditangkap sebelum
mereka sempat tumbuh mencapai ukuran dimana peningkatan lebih lanjut dari
pertumbuhan akan mampu membuat seimbang dengan penyusutan stok yang
diakibatkan oleh mortalitas alami. Lokasi Timur Pramuka dan Timur Kayu Angin
hanya ditemukan ikan dengan ukuran >20 cm, hal ini diduga di dua lokasi tersebut
sudah terjadi recruitment over fishing yaitu pengurangan melalui penangkapan
terhadap suatu stok sedemikian rupa sehingga jumlah stok induk tidak cukup
banyak untuk memproduksi telur yang kemudian menghasilkan rekrut terhadap
stok yang sama (Widodo dan Suadi 2006).
Informasi tentang kelimpahan ikan ini penting bagi kestabilan populasinya
(Murdoch 1994 dalam White 2007) dimana kepadatan spasial ini tergantung pada
tingkat kematian pada fase juvenil (Schmitt dan Holbrook 1999 dalam
White 2007).

4.4.2 Kondisi biometrik


4.4.2.1 Struktur populasi
Struktur populasi ikan ekor kuning dilihat berdasarkan ukuran panjang ikan.
Hasil pengukuran terhadap panjang cagak dari 50 sampel ikan ekor kuning
(Lampiran 5) diperoleh ikan betina lebih panjang dari ikan jantan. Menurut
Nikolsky (1963), bahwa biasanya ukuran ikan betina lebih besar beberapa satuan
dibandingkan ikan jantan untuk menjamin fekunditas yang besar dalam stok dan
perbedaan ukuran ini dicapai melalui ikan jantan yang matang gonad lebih cepat
dan jangka hidupnya yang lebih singkat. Perbedaan ukuran antara jenis kelamin
kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik (Lagler et al. 1977),
Kisaran panjang dari ikan sampel adalah pada ukuran antara 11.30-
33.10 cm. Kisaran ukuran panjang tersebut dikelompokan dalam interval kelas
49

3.11 cm, membentuk 7 kelas frekuensi panjang. Sebaran frekuensi panjang ikan
berada pada kisaran kelas 11.30-14.41 cm dan kisaran kelas 29.99-33.10 cm
(Tabel 7).

Tabel 7 Sebaran frekuensi panjang

Selang Selang Batas Batas Fr


NO Xi Fi
Bawah Atas Bawah Atas (%)
1 11.30 14.41 11.30 14.42 12.86 8 16
2 14.41 17.53 14.41 17.53 15.97 11 22
3 17.53 20.64 17.52 20.65 19.09 1 2
4 20.64 23.76 20.64 23.76 22.20 10 20
5 23.76 26.87 23.75 26.88 25.31 13 26
6 26.87 29.99 26.87 29.99 28.43 4 8
7 29.99 33.10 29.98 33.11 31.54 3 6

Modus kelas frekuensi panjang tertinggi pada ukuran 23.76–26.87 cm


dengan panjang rata-rata (Xi) 25.88 cm (26 %) sedangkan frekuensi panjang ikan
yang paling kecil pada ukuran 17.53–20.64 cm dengan panjang rata-rata (Xi)
19.09 cm (2%).

4.4.2.2 Pola pertumbuhan


Pola pertumbuhan ikan ekor kuning dilihat berdasarkan data ukuran berat
dari 50 ekor (Lampiran 5) yang dikelompokan dalam interval kelas 46 gram,
membentuk 7 kelas frekuensi berat (Tabel 8).

Tabel 8 Sebaran frekuensi berat

Selang Selang Batas Batas Fr


NO Xi Fi
Bawah Atas Bawah Atas (%)
1 10.69 56.63 10.69 56.63 33.66 19 38
2 56.69 102.63 56.69 102.63 79.66 9 18
3 102.69 148.63 102.69 148.63 125.66 13 26
4 148.69 194.63 148.69 194.63 171.66 3 6
5 194.69 240.63 194.69 240.63 217.66 3 6
6 240.69 286.63 240.69 286.63 263.66 2 4
7 286.69 332.63 286.69 332.63 309.66 1 2
50

Berdasarkan data sebaran frekuensi berat, ditemukan berat ikan yang


terkecil sebesar 10.69 gram dalam kisaran kelas 10.69–56.69 gram dengan berat
rata-rata (Xi) 309.66 gram (2%) dan berat ikan yang terbesar adalah 332.25 gram
dalam kisaran kelas 286.29-332.69 gram dengan berat rata-rata (Xi) 33.66 gram
(38%).
Pertumbuhan memiliki karakteristik tertentu pada masing-masing kelompok
ikan. Pertumbuhan ikan dan organisme lainnya menurut Pauly (1998)
didefenisikan sebagai waktu yang dihabiskan pada daerah pemangsaan yang
berbeda hubungan dengan ukuran tubuh. Perhitungan panjang berat berdasarkan
jumlah sampel ikan yang diperoleh mengacu pada Rousefeell dan Everhart (1960)
dengan nilai n = 50 diperoleh hasil nilai b = 3.123 dan a = 0.005 dengan logaritma
persamaan adalah Log W = log 0.005 + 3.123 log L atau y=0.005x3.123
(Gambar 14).

Gambar 14 Hubungan panjang berat ikan ekor kuning

Menurut Effendie (1997), nilai b≠3 menggambarkan pertumbuhan


allometrik dan jika b>3 menunjukkan keadaan ikan yang gemuk dimana
pertambahan beratnya lebih cepat dari pertambahan panjangnya, hal ini dapat
diduga karena ketersediaan makanan di perairan cukup memadai bagi
pertumbuhan ikan ekor kuning. Berdasarkan analisis regresi (Lampiran 6) untuk
mengetahui apakah panjang ikan berpengaruh secara nyata terhadap berat ikan
51

(b=3.123), diperoleh hasil koefisien regresi berbeda nyata pada taraf kepercayaan
α=5% atau panjang ikan berpengaruh secara nyata terhadap berat ikan (sig.<0.05).
Analisis hubungan panjang berat dari suatu populasi ikan mempunyai
beberapa kegunaan yaitu memprediksi berat suatu jenis ikan dari panjang ikan
yang berguna untuk mengetahui biomassa populasi ikan tersebut (Effendie 1997;
Smith 1996), selain itu menurut Arteaga et al. (1997), analisis hubungan panjang
berat dari suatu populasi ikan mempunyai kegunaan untuk memprediksi hubungan
panjang berat suatu populasi ikan yang dibandingkan dengan populasi ikan di
badan air yang lain serta dapat dijadikan parameter pendugaan antara kelompok-
kelompok ikan untuk mengidentifikasi keadaan suatu populasi suatu jenis ikan
berdasarkan ruang dan waktu.
Kisaran ukuran ikan ekor kuning yang tertangkap di lokasi penelitian
adalah 11.30–33.10 cm, sedangkan hasil penelitian Jabbar (2008) di perairan
Kepulauan Seribu menunjukkan kisaran ukuran ikan ekor kuning berdasarkan
hasil tangkapan muoroami adalah antara 7.0–28.0 cm dengan rata-rata 15.7 cm.
Hal ini menunjukkan bahwa ukuran dari hasil penelitian mencapai ukuran yang
lebih maksimal. Perbedaan tersebut diduga disebabkan karena perbedaan faktor
dalam antara lain keturunan, jenis kelamin dan umur. Sedangkan faktor luar yaitu
disebabkan oleh jumlah individu dalam ekosistem terumbu karang yang tidak
sebanding dengan jumlah makanan sehingga terjadi kompetisi dalam
mendapatkan makanan (Fujaya 1999).

4.4.3 Tingkat kematangan gonad (TKG)


Hasil pengamatan TKG baik jantan maupun betina, berpedoman pada
klasifikasi kematangan gonad ikan laut menurut Romimohtarto dan Juwana
(2001) diketahui dari 50 ekor ikan yang tertangkap hanya 30 ekor yang memiliki
gonad dengan klasifikasi tingkat kematangan gonad adalah TKG 1 sebanyak
20% (10 ekor) yang didominasi oleh ikan betina sebanyak 12% dengan ukuran
panjang terkecil 14,90 cm, TKG 2 sebanyak 24% (12 ekor) yang didominasi
oleh ikan jantan sebanyak 14%, TKG 3 sebanyak 12% (6 ekor) dan TKG 4
sebanyak 4% atau 2 ekor, untuk TKG 3 dan 4 hanya ditemukan pada ikan jantan.
Jumlah sampel ikan (20 ekor) yang tidak mempunyai gonad mempunyai kisaran
52

ukuran 11.30 cm - 15.90 cm sebanyak 16 ekor sedangkan ukuran panjang diatas


20 cm sebanyak 4 ekor (Lampiran 5).
Berdasarkan kisaran panjang ikan maka dapat dijelaskan bahwa untuk TKG
1 gonad terbanyak pada kisaran ukuran 24.35-28.39 cm sebanyak 5 ekor, TKG 2
gonad terbanyak pada kisaran ukuran 17.91-20.88 cm sebanyak 5 ekor, TKG 3
gonad terbanyak pada kisaran ukuran 24.35-28.39 cm sebanyak 2 ekor dan 28.39-
33.10 cm sebanyak 2 ekor sedangkan TKG 4 ikan yang memiliki gonad hanya
pada ukuran 20.88-24.35 cm sebanyak 2 ekor (Tabel 9).
Subroto dan Subani (1994), mengatakan bahwa ikan ekor kuning di Perairan
Banggai Kepulauan mulai ”matang telur” pada ukuran panjang total 27.80 cm
yaitu pada kisaran panjang 26.80-28.90 cm. Menurut Marnane et al. (2005), ikan
ekor kuning di Kepulauan Karimun Jawa pada umumnya mencapai tahap dewasa
pada ukuran 25-45 cm. Berdasarkan ukuran mulai matang telur tersebut serta dari
hasil visual census yang dilakukan maka dapat diduga bahwa hampir di semua
lokasi kondisi ikan ekor kuning didominasi oleh ikan yang belum matang
(mature) artinya masih muda atau dalam kondisi pertumbuhan, sehingga kondisi
lingkungan perlu dijaga. Royce (1984), menyatakan semakin banyak makanan
tersedia, pertumbuhan ikan semakin cepat dan fekunditas semakin besar.
Fekunditas ikan berhubungan erat dengan lingkungan dimana fekunditas spesies
akan berubah bila keadaan lingkungan berubah (Musa 2007).

Tabel 9 Kisaran panjang ikan dan TKG

TKG 1 TKG 2 TKG 3 TKG 4


Kls Kls Nilai
Bawa Ats Tengah Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan
11.30 13.18 12.20 - - - - - - - -
13.18 15.36 14.23 1 - - - - 1 - -
15.36 17.91 16.59 - 1 - - - - - -
17.91 20.88 19.34 - - - - - - - -
20.88 24.35 22.55 2 - 1 4 - 1 - 2
24.35 28.39 26.29 2 3 2 2 - 2 - -
28.39 33.10 30.65 1 - 2 1 - 2 - -

Secara umum berdasarkan data TKG menunjukkan ikan ekor kuning


berada pada semua tingkat kematangan gonad, maka dapat diduga bahwa
53

pemijahan ikan ekor kuning terjadi secara periodik yaitu pemijahan ke satu selalu
diikuti yang ke dua dan begitu seterusnya. De Young (1940) dalam Effendi (1997)
menyatakan bahwa kebiasaan memijah tiga belas spesies ikan ekonomis penting
di laut jawa, memperlihatkan bahwa pemijahan induvidu betul-betul berkala.

4.4.4 Jenis makanan


Selain mengukur panjang berat untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ikan
maka harus dilihat pula ketersediaan makanan di alam. Untuk memastikan jenis
makanan dari ikan ekor kuning maka dilakukan bedah isi lambung terhadap 50
ekor ikan dan hasilnya ditemukan 13 jenis plankton yang terdiri dari 2 jenis
fitoplankton dan 11 jenis zooplankton (Lampiran 7).
Hasil analisis isi perut dari 50 ekor ikan yang ditangkap dari lokasi
penelitian diperoleh rata-rata plankton tertinggi adalah fitoplankton dengan jenis
Nitszchia sebesar 73.48 % (22.06 individu) sedangkan untuk zooplankton rata-
rata jumlah individu paling tinggi adalah jenis Parachymula Larva yaitu sebesar
3.06 % (0.92 individu), dapat dilihat pada Gambar 15

Gambar 15 Persentase jenis makanan dalam lambung ikan ekor kuning

Makanan adalah merupakan salah satu fungsi yang terpenting dari


organisme. Seperti semua organisme, ikan membutuhkan energi untuk bahan
bakar tubuh mereka, proses pertumbuhan, metabolisme dan reproduksi (Islam
54

2004). Dari hasil pengamatan terhadap isi lambung ikan ekor kuning, komposisi
makanan berupa fitoplankton dan zooplankton. Hal ini membuktikan bahwa ikan
ekor kuning adalah plankton feeder (Kuieter dan Tonozuka 2004; Allen 1999).
Sedangkan Nikolsky (1969), mengemukakan bahwa besar serta komposisi dari
suplai makanan menentukan komposisi jenis ikan yang ada dan juga
mempengaruhi pertumbuhan ikan-ikan tersebut. Hal ini dapat diartikan bahwa
berkurangnya kelimpahan plankton, akan berpengaruh terhadap keberadaan ikan
ekor kuning.
Berdasarkan hasil analisa plankton pada masing-masing lokasi pengamatan
menunjukkan ada keterkaitan yang erat antara kelimpahan plankton dengan
kelimpahan ikan ekor kuning, dengan tingkat determinasi (R2)= 0.725 dan
persamaan regresinya adalah Y = 0.096X – 198.1 (Gambar 16). Sementara itu
hasil analisis regresi, menunjukkan bahwa kelimpahan plankton berpengaruh
secara nyata terhadap kelimpahan ikan (sig.<0.05) pada taraf kepercayaan α=5%
(Lampiran 8).

Gambar 16 Regresi keterkaitan plankton dengan kelimpahan ikan

Menurut Isnaini (2008) untuk ikan ekor kuning muda makanannya adalah
copepoda, sedangkan untuk ikan dewasa memakan ubur-ubur, larva dan jenis ikan
kecil. Hasil yang berbeda dengan penelitian dimaksud menunjukkan bahwa ada
55

perubahan pola makan ikan ekor kuning, hal ini diduga disebabkan oleh
rendahnya kelimpahan zooplankton yang tersedia di alam dan tingginya tingkat
persaingan dalam memperoleh jenis makanan tersebut. Hobson (1974),
menyatakan bahwa kebiasaan makan ikan ini berubah dalam daur hidupnya,
paling tidak untuk kebanyakan ikan, biasanya dengan perubahan-perubahan yang
nyata dalam tingkah laku dan morfologinya.
Komposisi makanan ikan akan membantu menjelaskan kemungkinan-
kemungkinan habitat yang seringkali dikunjunginya (Kagwade 1967). Harus
disadari bahwa di dalam lingkungan yang kondisinya normal, bergerombolnya
biota laut hampir selalu berkaitan erat dengan banyaknya mangsa pangan di suatu
perairan (Sutomo 1978 dan Tham 1950 dalam Thoha 2007). Besarnya populasi
ikan di suatu perairan merupakan suatu fungsi dari potensialitas makanannya,
sehingga pengetahuan yang benar dari hubungan antara ikan dengan organisme-
organisme makanannya adalah penting untuk ramalan dan eksploitasi dari
keberadaan populasi ikan tersebut (Roa 1974).

4.5 Pengelompokan Habitat Berdasarkan Substrat Bentik


Perngelompokan habitat berdasarkan subtrat bentik terdiri dari komponen
dead coral (DC), dead coral with algae (DCA), acropora branching (ACB),
acropora digitate (ACD), accropora submassive (ACS), acropora tabulate (ACT),
coral branching (CB), coral encrusting (CE), coral foliose (CF), coral massive
(CM), coral mushroom (CMR), coral sub massive (CS), coral millepora (CML),
Alga assemblage (AA), Coralline alga (CA), Halimeda (HA), Macroalga (MA),
Turf alga (TA), others, soft coral, sponge, zoanthids, batu (RCK), pasir (S), endapan
lumpur (SI) dan patahan karang (R) (Englis et al. 1997).
Hasil analisis dengan metode cluster analysis menggunakan aplikasi
MVSP diperoleh dendogram 5 kelas pada titik potong 0.65 berdasarkan matriks
similarity bray curtis. Secara visual hasil pengelompokan dapat dilihat pada
Gambar 17.
Penentuan kelas terjadi karena adanya kedekatan komposisi tipe dasar yang
ada pada masing-masing lokasi yang mengelompok. Tingkat similaritas antara
lokasi sangat dekat pada tingkat keyakinan 65%. Selanjutnya jika dilihat
kemiripan lokasi dalam setiap kelompok yang terbentuk, maka pada kelompok
56

pertama (1) terdapat 2 lokasi yang memiliki kemiripan karakteristik substrat dasar
yaitu Timur Pramuka dan Utara Pramuka, kelompok kedua (2) hanya terdapat satu
lokasi yang mempunyai karakteristik substrat dasar sendiri yaitu Barat Panggang,
kelompok ketiga (3) terdapat 2 lokasi yang memiliki kemiripan karakteristik
substrat dasar yaitu Utara Belanda dan Timur Kayu Angin Bira, kelompok empat
(4) terdapat 2 lokasi yang memiliki kemiripan karakteristik substrat dasar yaitu
Selatan Belanda dan Barat Kayu Angin Bira, sedangkan untuk kelompok lima (5)
hanya terdapat satu lokasi yang mempunyai karakteristik substrat dasar sendiri
yaitu Selatan Panggang.

UPGMA
0.52

0.60
Index Similarity Bray Curtis

0.65
0.68

U
0.76

0.84

0.92

1
Timur Utara Barat Utara Timur Kayu Selatan Barat Kayu Selatan
Pramuka Pramuka Panggang Belanda Angin Bira Belanda Angin Bira Panggang

Gambar 17 Dendogram berdasarakan substrat bentik

4.6 Keterkaitan Sumber Daya Ikan Ekor Kuning dengan Karakteristik


Habitat
Keberlanjutan ekosistem terumbu karang dan produktivitas sumberdaya
ikan ekor kuning di perairan Kepulauan Seribu didukung oleh kondisi fisik
perairan yang masih berada dalam batas toleransi pertumbuhan terumbu karang
dan sumberdaya ikan ekor kuning.
57

Keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat dapat


dijelaskan berdasarkan hasil analisis terhadap substrat bentik dengan
mengunakan metode cluster analysis (Lampiran 9). Ciri dari masing-masing
kelompok dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Kelompok I (Timur Pramuka dan Utara Pramuka), yang dicirikan
berdasarkan kemiripan kelompok batu (RCK), dengan rata-rata
kelimpahan ikan ekor kuning sebesar 22 individu/250 m2.
2) Kelompok II (Barat Panggang), yang dicirikan berdasarkan kemiripan
kelompok acropora digitate (ACD), coral submassive (CS), dan karang
lunak (SC) dengan kelimpahan ikan ekor kuning sebesar
100 individu/250 m2, melimpah hanya dalam ukuran kecil.
3) Kelompok III (Utara Belanda dan Timur Kayu Angin Bira), yang
dicirikan berdasarkan kemiripan kelompok Acropora Branching (ACB),
Coral Mushroom (CMR), dan patahan karang (R) dengan rata-rata
kelimpahan ikan ekor kuning sebesar 45 individu/250 m2
4) Kelompok IV (Selatan Belanda dan Barat Kayu Angin Bira), yang
dicirikan berdasarkan kelompok coral encrusting (CE), dead coral with
algae (DCA) dan pasir (S), dengan rata-rata kelimpahan ikan ekor kuning
sebesar 149 individu/250 m2 dalam ukuran yang beragam mulai dari
ukuran kecil sampai besar.
5) Kelompok V (Selatan Panggang), yang dicirikan berdasarkan kelompok
coral foliose (CF), coral massive (CM) dan endapan lumpur (SI), dengan
rata-rata kelimpahan ikan ekor kuning sebesar 5 individu/ 250 m2.
Berdasarkan ciri kelompok tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa
keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning dengan habitat pada ekosistem terumbu
karang adalah untuk ikan dengan ukuran yang beragam dicirikan dengan
kemiripan coral encrusting (CE), dead coral with algae (DCA) dan pasir (S),
sedangkan untuk ikan dengan ukuran kecil keterkaitan lebih mengarah pada
habitan dengan kemiripan acropora digitate (ACD), coral submassive (CS), dan
karang lunak (SC).
Keberadan dead coral with algae (DCA), menunjukkan bahwa telah terjadi
perubahan keseimbangan pada daerah terumbu karang dari yang bersifat
58

oligotrofik (miskin unsur hara) menjadi mesotrofik (unsur hara dan produktivitas
sedang) yang memungkinkan melimpahnya plankton sebagai sumber makanan
bagi ikan ekor kuning. Menurut Effendi (2003) mesotrofik adalah perairan yang
memiliki unsur hara dan produktivitas sedang (produktivitas primer dan biomasa
sedang). Peralihan sifat perairan pada daerah terumbu karang dapat ditunjukkan
dengan tingginya persentase DCA yaitu karang mati yang sudah ditumbuhi alga.
Ketertarikan ikan ekor kuning dengan kelompok coral encrusting (CE)
diduga disebabkan oleh ketersediaan ruang yang luas dalam kolom air. Pada saat
pergerakan plankton secara vertikal, maka ikan ekor kuning dengan kebiasaan
hidup berkelompok (schooling) memanfaatkan ruang untuk mendapatkan
plankton tersebut sebelum tertahan di substrat.
Keberadaan coral encrusting memudahkan ikan ekor kuning mendapatkan
makanan, karena banyak biota (plankton) baik yang tertahan atau yang menetap
pada karang tersebut semuanya dapat terlihat jelas atau tersingkap bagi ikan ekor
kuning.
Ikan ekor kuning dalam ukuran kecil (stadium juvenil) diduga mempunyai
keterkaitan dengan keberadaan life-form acropora digitate (ACD), coral
submassive (CS), dan karang lunak (SC). Hal ini disebabkan karena ikan dalam
stadium juvenil sangat membutuhkan tempat mencari makan, mengasuh dan juga
sebagai tempat untuk berlindung dari pemangsa.
Lokasi Utara Pramuka dan Selatan Panggang hanya memiliki ikan dengan
ukuran < 20 cm (ikan muda), diduga di lokasi tersebut sudah terjadi grow over
fishing yaitu ikan ditangkap sebelum mereka sempat tumbuh mencapai ukuran
dimana peningkatan lebih lanjut dari pertumbuhan akan mampu membuat
seimbang dengan penyusutan stok yang diakibatkan oleh mortalitas alami. Lokasi
Timur Pramuka dan Timur Kayu Angin hanya ditemukan ikan dengan ukuran >
20 cm, hal ini diduga di dua lokasi tersebut sudah terjadi recruitment over fishing
yaitu pengurangan melalui penangkapan terhadap suatu stok sedemikian rupa
sehingga jumlah stok induk tidak cukup banyak untuk memproduksi telur yang
kemudian menghasilkan rekrut terhadap stok yang sama (Widodo dan Suadi
2006).
59

4.7 Rekomendasi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang dan


Sumberdaya Ikan Ekor Kuning.
Pengelolaan ekosistem terumbu karang dan sumberdaya ikan ekor kuning di
Kepulauan Seribu direkomendasikan berdasarkan pertimbangan kondisi
ekosistem terumbu karang, kondisi sumberdaya ekor kuning dan berdasarkan
keterkaiatan sumber daya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat.
Permasalahan yang perlu diperhatikan bagi pertumbuhan terumbu karang
adalah bahwa patahan karang mendominasi di semua lokasi. Hal ini menunjukkan
bahwa kondisi substrat tidak stabil sehingga sangat sulit bagi perkembangbiakan
karang, karena planula yang menempel pada substrat yang tidak stabil akan
terbawah oleh arus. Hal ini didukung oleh keterbatasan rekruitmen karang yang
ditunjukkan dengan kondisi keanekaragaman lifeform dan genus rendah.
Permasalah bagi ikan ekor kuning adalah mata pencaharian utama
masyarakat Kepulauan Seribu adalah menangkap ikan dan penangkapan
dilakukan sepanjang tahun. Faktor tersebut merupakan salah satu faktor utama
yang mengancam keberlanjutan sumberdaya ikan ekor kuning.
Pengelolaan langsung secara holistik dan terintegrasi pada perikanan ekor
kuning di perairan Kepulauan Seribu meliputi dua hal, pertama yaitu pengelolaan
ekosistem terumbu karang sebagai habitat ikan ekor kuning, sejalan dengan
pernyataan Parrish (1980) bahwa pengaruh langsung yang harus dipertimbangkan
dari aktivitas eksploitasi terhadap stok ikan target adalah habitat fisik. Hal yang
serupa juga disarankan oleh Hobbs et al. (2004) dalam Alpert (2004) tentang
pentingnya restorasi atau perbaikan ekologis yang secara khusus mengembalikan
keadaan yang lebih alami seperti keadaan semula dan kedua yaitu pengelolaan
sumberdaya ikan ekor kuning itu sendiri. Dengan kata lain, pengelolaan ikan ekor
kuning merupakan bagian dari perikanan terumbu karang yang dipengaruhi oleh
dua manajemen yaitu manajemen perikanan dan manajemen konservasi. Sale
(2002) menyatakan bahwa kedua macam manajemen ini dapat dijalankan secara
sinergi, namun keduanya memiliki tujuan yang berbeda dan sering dilakukan oleh
agensi manajemen yang berbeda.
Model pengelolaan ekosistem terumbu karang dan sumberdaya ikan ekor
kuning secara lestari di perairan Kepulauan Seribu yang diusulkan dalam
60

penelitian ini adalah pengelolaan berbasis ekositem dengan titik penekanan pada
habitat dan sumberdaya ikan ekor kuning dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Rehabilitasi habiat dengan program transplantasi coral encrusting, acropora
digitate dan coral submassive yang menjadi ciri keberadaan ikan ekor kuning.

Alternatif kegiatan rehabilitasi terumbu karang sangat dibutuhkan


mengingat tingginya persentase patahan karang mendominasi diseluruh lokasi hal
ini akan mengancam keberlanjutan ekosistem terumbu karang karena terumbu
karang tidak dapat hidap dan berkembang biak pada substrat yang tidak stabil.
Oleh karena itu diharapkan dengan melakukan penempatan substrat dasar yang
stabil dapat memberi kesempatan kepada planula karang untuk menempel dan
berkembang biak.
Berdasarkan bentuk pertumbuhan karang enkrusting, persentase tutupan dari
delapan lokasi hanya memiliki rata-rata 4.47% dan ditemukan di dua lokasi yang
memiliki persentase tutupan di atas 10% sedangkan di enam lokasi lainnya
memiliki persentase tutupan di bawah 4%, sedangkan untuk acropora digitate
dengan persentase tertinggi 0.37% dan coral sub massive dengan persentase
tertinggi 8.70% ditemui dengan persentase tertinggi hanya di satu lokasi yaitu
Barat Panggang. Keberadaan ketiga bentuk pertumbuhan karang tersebut diduga
mempunyai keterkaitan erat dengan kelimpahan ikan ekor kuning.
Kegiatan rehabilitasi diperkirakan akan membutuhkan waktu yang cukup
lama, sehingga dirasakan perlu dilakukan sentuhan teknologi sehingga pemulihan
dapat dilakukan secara cepat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan cara rehabilitasi terumbu karang dengan cara transplantasi terhadap coral
encrusting, acropora digitate dan coral sub massive pada daerah yang mengalami
kerusakan sehingga dapat menyediakan tempat atau ruang bagi kehadiran ikan
ekor kuning untuk berkembang biak.

2) Pengaturan upaya penangkapan dan ukuran mata jaring.

Berdasarkan ukuran pertama matang gonad ikan ekor kuning menunjukkan


ikan dewasa atau mature berada pada kisaran ukuran 25-45 cm. Hasil visual
sensus di delapan lokasi penelitian menunjukkan kelimpahan ikan ekor kuning
dengan ukuran ikan < 25 cm mendominasi di semua lokasi, hal ini berarti kondisi
61

ikan ekor kuning di lokasi penelitian didominasi oleh ikan ukuran kecil atau ikan
muda artinya masi dalam masa asuh.
Lokasi yang hanya memiliki kelimpahan ikan ekor kuning dengan ukuran
kecil atau ikan muda di temukan di 6 lokasi yaitu Timur Pramuka, Utara Pramuka,
Barat Pramuka, Selatan Panggang, Utara Belanda dan Selatan Belanda,
sedangkan di dua lokasi lainnya yaitu di Timur Kayu Angin dan Barat Kayu
Angin dijumpai kelimpahan ikan ekor kuning dengan ukuran muda dan dewasa.
Peningkatan upaya penengkapan yang terjadi selama 4 tahun terkhir 2003-
2007 menunjukkan peningkatan hasil penangkapan sebesar 262 ton dari tahun
2003 sampai tahun 2007, namun hasil tangkapan didominasi ikan dengan ukuran
kecil (Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta 2007).
Apabila penambahan upaya penangkapan tidak dikontrol maka tidak menutup
kemungkinan akan mengarah pada hasil tangkap lebih (over fishing) sehingga
berakibat menurunnya populasi ikan dan mengancam kelestarian sumberdaya itu
sendiri.
Alat tangkap yang beroperasi di Kepulauan Seribu meliputi pancing,
payang, muroami, bubu dan jaring. Alat tangkap muroami jumlahnya cenderung
meningkat dari tahun 2002-2006 dan mengalami kenaikan tajam pada tahun 2006
yakni sebesar 641 unit (Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI
Jakarta 2007). Selain mempunyai potensi untuk merusak terumbu karang
penggunaan alat tangkat tersebut dengan ukuran mata jaring yang umum
digunakan adalah ukuran 1-2 cm yang mengakibatkan ikan-ikan muda ikut
tertangkap.
Kondisi tangkap lebih dan dengan alat tangkap yang menggunakan mata
jaring yang tidak selektif terjadai di perairan Kepulauan Seribu diduga kondisi
ikan ekor kuning termasuk ke dalam pengertian growth over fishing, sedangkan
untuk menduga terjadi recruitmen over fishing perlu dilakukan penelitian lanjutan.
5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Kondisi ekosistem terumbu karang mempunyai penutupan lifeform 32.27%.
2. Kondisi sumber daya ikan ekor kuning diduga telah terjadi growth over
fishing. Pola pertumbuhan bersifat Alometrik dan didominasi oleh ikan yang
belum matang (mature) atau belum dewasa (dalam kondisi pertumbuhan).
3. Keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat
dicirikan dengan keberadaan coral encrusting (CE), acropora digitate (ACD),
coral submassive (CS), dead coral with algae (DCA), karang lunak (SC) dan
pasir (S).
4. Bentuk pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ikan ekor kuning di
perairan Kepulauan Seribu secara terpadu dan berkelanjutan yang diusulkan
dalam penelitian ini adalah pengelolaan berbasis ekositem dengan titik
penekanan pada habitat dan sumberdaya ikan ekor kuning antara lain: (1)
rehabilitasi habiat dengan program transplantasi coral encrusting, acropora
digitate dan coral submassive yang menjadi ciri keberadaan ikan ekor kuning,
(2) pengaturan upaya penangkapan dan ukuran mata jaring

5.2 Saran
Melakukan kajian lebih lanjut tentang kondisi ikan ekor kuning pada musim
yang berbeda serta beberapa aspek biologi ikan ekor kuning lainnya secara
komprehensif seperti reproduksi dan siklus hidup dan pola migrasi ikan ekor
kuning.
DAFTAR PUSTAKA

Acosta CA, Robertson DN. 2002. Diversity In Coral Reef Fish Communities; The
Effects Of Habitat Patchiness Revisited. Marine Ecology Programe 227:
hlm 87-96.
Aktani U. 2003. Fish communities as related to substrate characteristics in the
coral reefs of Kepulauan Seribu Marine National Park, Indonesia, five years
after stopping blast fishing practices. [Dissertation]. Germany: Bremen
University.
Allen G. 1999. Marine fishes of South-East Asia. Western Australian Museum.
Singapore : Periplus Editions (HK) Ltd. 292 hlm.
Alpert P. 2004. Managing The Wild: Should Stewards be Pilot?. Frontiers in
Ecology and The Environtment, Issue No. 9, Vol. 2 : 494-495.
Anderson K. 2002. A Study Of Coral Reef Fishes Along a Gradient of disturbance
in the Langkawi Archipelag, Malaysia. Undergaraduate thesis in biology,
Departemen of Animal Ecology, Uppsala University, Sweden.
Http://www.coralcay.org/scince/publications/philippines_m_ 2001.
Arteaga JP, Garcia R, Carlo S, Valle. 1997. Lenght-Weight Relationships of
Cuban Marine Fishes, NAGA Volume 2. No 1. Philipines: ICLARM. 38-
43.
Bak ROM, Elgershuizen HBW. 1992. Pattern of oil sediment Rejection of
corals.Mar. Biol 37: 105-113.
Baker VJ, Moran PJ, Mundy CN, Reichelt RE, Speare PJ. 1991. A guide to the
reef ecology database. The Crown-of-Thorns Study. Australia Institute of
marine Science. Townsville 8 .
Basmi J. 2000. Perkembangan komunitas fithoplankton sebagai indikasi
perubahan tingkat kesuburan kualitas perairan. [Tesis]. Bogor : Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bawole R. 1998. Distribusi Spasial Ikan Chaetodontidae dan Peranannya Sebagai
Indikator Kondisi Terumbu Karang di Perairan Teluk Ambon. [Tesis].
Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bell JD, Galzin R. 1984. Influence of Life Coral Cover on Coral Reef-Fish
Communities. Maarine Ecology Progress Series. 15;265-274. Gardens
Bank, Northwest Gulf of Mexico. Limnol. Oceanografi 28 : 228-240.
Bengen DG. 2002. Menuju Pengelolaan Pesisir Terpadu Berbasis DAS. Seminar
HUT LIPI, 25-26 September 2002. Jakarta.
Bishop JE. 1973. Limnology of small Malayan River Gomak. Dr. W. Junk V.B.
Publisher the Haque : 485 hlm.
64

Boyd CE, Kopler EL. 1979. Water quality management in pond fish culture.
Risearch and Development series No. 22. International Centre for
Aquaculture, Agriculture experiment Satation. Alabama: Auburn
University. 30 hlm.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Kepulauan Seribu dalam Angka 2007. Jakarta:
Badan Pusat Statistik. 167 hlm.
Connaughey M, Zottoli R. 1983. Introduction to Marine Biology. 4th edition. 2nd
ed. Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice Hall Inc. 720 hlm.
Cesar HSJ. 2000. Collected essays on the economics of coral reefs. CORDIO, ,
Sweden : Kalmar University. 244 hlm.
Chabanet P, Ralambondrainy H, Amanieu M, Faure G, Galzin R. 1997.
Relationships between coral reef substrata and fish. Coral Reefs 16 : 93-
102.
Clifford HT, Stephenson W. 1975. An introduction to numerical classification.
Academic Press.
Choat JH, Bellwood DR. 1991. Reef fishes: Their history and evolution, dalam
Sale P.F. (eds). The ecology of fishes on coral reefs: Academic Press Inc.
hlm 36-66.
Dahuri R, Jacub R, Sapta PG, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta : Pradnya Paramita. 305 hlm.
Dartnall AJ, Jones M. 1986. A Manual of Survey for Living, Resources in Coastal
Area. ASEAN-Australia Cooperative Program in Marine Science.
Townsville : Australia Institute of Marine Science.
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 1998. Perkiraan Musim Penangkapan Ikan.
Buletin Warta Mina No. 65, 66, 68,71,72 dan 73. Jakarta : Dirjen Perikanan.
Done TJ. 1981. Photogrammetry in coral ecology: a technique for the study of
change in coral communities. Proceedings of the Fourth International Coral
Reef Symposium, Manila. 2: 315-320.
[DP2K] Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. 2006.
Kepulauan Seribu dalam Angka Tahun 2006. Jakarta : DP2K Provinsi DKI
Jakarta.
[DP2K] Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. 2006.
Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan di Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta, Seminar/ Sarasehan Kelautan,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu. Jakarta : DP2K Provinsi DKI Jakarta.
[DP2K] Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. 2007.
Buku tahunan statistic perikanan tangkap DKI Jakarta Tahun 2006. Jakarta :
DP2K Prov DKI Jakarta. hlm 53-82.
65

Effendi H. 2003, Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan


Lingkungan Perairan. Yogyakarta : Kanisius. hlm 57-59.
Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama
Emor JW. 1993. Koresponden Antara Ekoregion dan Pola Sebaran Komunitas
Terumbu Karang di Bunaken. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. hlm 11-12.
English S, Wilkinson C, Baker V, [Editors]. 1997. Survey Manual for Tropical
Marine Resources. ASEAN-Australian Marine Science Project: Living
Coastal Resources. Townsville : Australian Institute of Marine Science.
368 p.
Estradivari, Syahrir M, Susilo N, Yusri S, Timotius S. 2007. Terumbu Karang
Jakarta: Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu
(2004 – 2005). Jakarta : Yayasan TERANGI. 87 hlm.
Fafioye OO, Oluajo OA. 2005. Length-weight relationship of five fish species in
Epe Lagoon. Nigeria. : African Journal of Biotechnology Vol 4. pp 749-751.
Fujaya Y. 1999. Fisiologi Ikan. Makassar: Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
UNHAS.
Goldman CR, Horne AJ. 1983. Limnology. New York : Mcgraw-Hill Book
Company. 464 hlm
Gomez ED, Yap HT. 1988. Monitoring reef condition In: Kenchington, R.A. and
Brydget ET. Hudson (eds.). Coral Reef Management Hand Book. Jakarta :
Unesco Regional Office for South East Asia. hlm 171-178.
Hubbard D. 1997. Reefs as Dynamic System, in: Birkeland, C. (ed.) Life and
Death of Coral Reefs. New York : Chapman and Hall. 43-67 pp.
Huet M. 1971. Texs Books of Culture Breeding and Cultivation of fish, [Books].
London : Fishing News. 490 hlm.
Hutabarat S, Evans SM. 1985. Pengantar Oseanografi. Jakarta: UI-Press. hlm 59-
62.
Hutomo M. 1986. Methods of Samplings Coral Reef Fish. Training Course in
Coral Reef Research Methods and Management. No. 2. Bogor : SEAMEO –
BIOTROP. hlm 37-53.
Hobson E. 1974. Feeding Relationships of Teleostean Fishes of coral reefs in
Kona. Hawaii: Fish Bull 72. 915-1.031.
Islam NM. 2004. Eco-biology of Freshwater Gobi, Glossogobius giuris
(Hamilton) of the River Padma in Relation to its Fishery: A Review. Journal
of Biological Science 4: Asian Network for Scientific Information. 780-
794.
66

Isnaini. 2008. Pola Rejim Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Ekor
Kuning di Kepulauan Seribu. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Jabbar AM. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Eko Kuning. [Tesis].
Bandung : Institut Teknologi Bandung. 61 hlm.
Jordan M, Merino M, Moreno O, Martin E. 1981. Community structure of coral
reefs in the Mexican Caribbean. Proc 4th Int Coral Reef Symposium 2: 303–
308.
Kagwade VN. 1967. Food and Feeding Habits of the Horsemackerel, Caranx
kalla (Cuv. & Val.). Indian Journal Fish 14: 85 – 96.
Kanwisher JW, Wainwright SA. 1967. Oxygen balance in Some Reef Corals.
Biol.Bull.Mar.Lab. : Woods Hole 133. 378-390.
Kartamihardja ES, Nastiti AS, Krismono, Purnomo K, Hardjamulia A. 1987.
Penelitian Limno-Biologis waduk Saguling pada Tahap Pra-Industri.
Buletin Penelitian Perikanan Darat Vol. 6 No. 3: 1-27.
Koesbiono. 1980. Biologi Laut. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor :
150 p.
Kohler KE, Gill SM. 2006. Coral Point Count with Excel extensions (CPCe): A
Visual Basic program for the determination of coral and substrate coverage
using random point count methodology. Computers and Geosciences, Vol.
32, No. 9: 1259-1269.
Kottelat M, Whitten AJ, Kartikasari SN, Wirjoatmodjo S. 1993. Freshwater fishes
of Western Indonesia and Sulawesi, Indonesia : Periplus editions (HK) Ltd.
293 hlm.
Krismono DW, Tjahjo H, Hardjamulia A, Nuroniah S, Umar Ch. 1987. Penelitian
Limno-Biologis waduk Saguling pada Tahap Post Industri. Bull. Penel.
Perikanan Darat 6 : 1-27.
Kuieter HR, Tonozuka T. 2004. Pictorial Guide to Indonesia Reef Fisheries Part I,
II, III. Bali Indonesia. PT. Dive&Dive’s
Lagler KF. 1961. Freshwater Fishery Biology. Second Edition. WMC Broun
Company : Dubuque. 421 hlm.
Lagler KF, Bardach JE, Miller RR, Passino DR. 1977. Ichtyology : John Wiley &
Sons USA . 506 hlm.
Lalamentik LTX. 1991. Karang dan terumbu Karang. Fakultas Perikanan
Universitas Sam Ratulangi. Manado : 66 hlm.
Marnane MJ et al. 2005. Laporan Teknis Survei 2003-2004 di Kepulauan
Karimunjawa, Jawa Tengah. Wildlife Conservation Society-Marine
Program Indonesia. Bogor Indonesia.
67

McClanahan TR. 1994. Kenyan Coral Reef Lagoon Fish; Effect of fishing
Substrate Complexity and Sea Urchins: Coral Reefs 13: 231-241.
McCook LJ. 1999. Macroalgae and phase shifts on coral reefs of the Great Barrier
Reef and other regions: Aperspective on scientific issues and management
consequences. Coral Reefs, Special Issue on Reef Management. 18:357-
367.
Macpherson E. 1981. Resource Partitioning in a Maditerranian demersal Fish
Community. Marine Ecology Program Series, 39 : 183-193.
[MENEG LH] Menteri Negara Lingkungan Hidup.2004. Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004. Tentang Baku Mutu Air
Laut.
Muller-Parker G, D’Elia CF. 1997. Interactions between corals and their
symbiotic algae, pp. 96-113. In: C. Birkeland [ed.], Life and Death of Coral
Reefs : Chapman & Hall NY
Murdiyanto B. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Jakarta:
COFISH Project.
Musa ASM, Bhuiyan AS. 2007. Fecundity on Mystus bleekeri (Day, 1877) from
the River Padma Near Rajshahi City. Turkish Journal of Fisheries and
Aquatic Sciences 7: 161-162.
Moberg F, Folke C. 1999. Ecological goods and services of coral reef ecosystems.
Ecol. Econ. 29 : 215–233.
Nelson JS. 2006. Fishes of the world. 4th edition : John Wiley and Sons, Inc. New
York. 601 p.
Nikijuluw V. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta: P3R
Nikolsky GV. 1963. The Ecology of Fishes. London and New York : Academic
Press. 352 hlm.
Nikolsky GV. 1969. FUh Population Dynamics. Oliver and Boyd : Edinburgh.
114 hlm.
Nybakken JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis (Terjemahan
Muhammad Eidman, Koesoebiono, Dietriech G. B., Malikusworo Hutomo
dan Sukristijono). Jakarta : PT. Gramedia.
Nybakken JW. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan
oleh : M. Eidman, D. G. Bengen, Malikusworo,dan Sukristiono. Marine
Biology and Ecologocal Approacch. Jakarta: PT. Gramedia. 480 hlm.
Parrish JD. 1980. Effect of Exploitation Patterns upon Reef and Lagoon
Communities, Proceedings of the Unesco Seminar on Marine and Coastal
Processes in The Pacific: Ecological Aspects of Coastal Zone Management,
Jakarta, Munro, J.L., Editor, Unesco Regional Office for Science and
Technology for South-East Asia : hlm 85-121.
68

Pauly D. 1998. Tropical fishes : patterns and propensities. Jurnal of Fish Biology
53 (Supplement A) : 1-17.
[Pemprov DKI Jakarta] Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
2000. Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 1986 Tahun 2000. Tentang
Wilayah Kepulauan Seribu. Jakarta : Pemprov DKI Jakarta.
Randall JE, Alen GR, Steene RC. 1990. Fishes of the Great Barrier Reef and
Coral Sea. Bathurst: Crawford House Press.
Ricker WE. 1975. Computation & interpretation of biological statistics of fish
population. Ottawa: Departemen of The Inviroment Fisheries & Marine
Service. Pasific Biological Station: 382 hlm.
Roa KS. 1974. Food Feeding Habits of Fishes from Trawl Catches in the Bay of
Bengal with observation on Diurnal Variation in the Nature of the Feed.
Indian J. Fish., 11: 277-314.
Roberts BC, Ormond RFG.1987. Habitat Complexxity and Coral Reef Fish
Difersity and Abundance on Red Sea Fringing Reef. Marine Ecology
Programe Ser 41: 1-8.
Rogers CS, Garrison G, Grober R, Hillis ZM, Franke MA. 1994. Coral Reef
Monitoring Manual for the Caribbean and Western Atlantic. Virgin Islands
National Park. St. John : USVI 00830.
Romimohtarto K, Juwana S. 2001. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan Tentang
Biota Laut. Jakarta: Djambatan. 540 hlm.
Royce WF. 1984. Introduction to the Practice of Fishery Science. New York, San
Francisco, London : Academic Press. 428 hlm.
Rounsefell GA, Everhart WH. 1962. Fishery Science its Methods and
Applications. New York : John Wiley & Sons. Inc. 444 hlm.
Sale PF. 1991. Ecology of Coral Reef Fishes. In : The Ecology of Fishes on Coral
Reefs. Ed. P.F. Sale. San Diego: Academi Press Inc. 754 hlm.
Sale PF. 2002. The Science We Need to Develop for More Effective
Management, in Coral Reef Fishes: Dynamics and Diversity in a Complex
Ecosystem, Sale, P.F., Editor. USA : Academic Press. hlm 361-376.
Siregar MO. 1994. Pengelolaan Lingkungan Pulau Wisata (Kasus Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu di Jakarta Utara), [Tesis]. Program Pasca
Sarjana, Universitas Indonesia: hal 81-83.
Smith KKM. 1996. Length-weight relationship in a diverse tropical freshwater
community. Malaysia. Journal of Fish Biology 49 : 731-734.
Subroto IH, Subani W. 1994. Relasi Panjang Berat, Faktor Kondisi dan Pertama
Kali Matang Gonad Ikan Ekor Kuning Dari Perairan Banggai Kepulauan.
Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 91. Jakarta : Balai Penelitian
Perikanan Laut Departemen Pertanian.
69

Suharsono. 1998. Kesadaran Masyarakat Tentang Terumbu Karang (Kerusakan


Karang di Indonesia). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi.
Jakarta: LIPI.
Sukarno, Hutomo M, Moosa MK, Darsono P. 1983. Terumbu Karang di
Indonesia. Jakarta : LIPI. hlm 34-45.
Sukarno. 1977. Penelitian pendahulua tentang kepadatan karang batu di Terumbu
Karang Pulau Air, Pulau-Pulau Seribu. Jakarta : Oseanologi.
Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta:
Djambatan. 108 hlm.
Thamrin. 2006. Karang. Biologi, Reproduksi dan Ekologi. Jakarta : Minamandiri
Press. 258 hlm
Thoha H. 2007. Kelimpahan Plankton Di Ekosistem Perairan Teluk Gilimanuk,
Taman Nasional, Bali Barat. Jurnal Makara, Sains, Vol. 11, No. 1. Jakarta :
44-48.
Tissot BN, Hallacher LE. 2003. The effects of aquarium collectors on coral reef
fishes in Hawaii. Conservation Biology 17(6): 1759-1768
Veron J. 1986. Coral of Australia dan the Pacific. Honolulu : University of Hawaii
Press. 644 hlm.
Wallace CC, Wolstenholme J. 1998. Revision of the coral genus Acropora in.
Indonesia. Zoological Journal of the Linnean Society 123: 199-384 pp.
Wardoyo STH. 1981. Kriteria Kualitas air untuk keperluan Pertanian dan
Perikanan. Training Analisis dampak lingkungan, PPLH-UNDP-PUSDI-
PSL : 15-40.
White AT, Hale LZ, Cortesi R. 1994. Collaborative and Community based
management of Coral Reefs; Lesson from Experience. 630 Oakwood
Avenue, Suite 119, West Harvard : Kumarian Press Inc.
White JW. 2007. Spatially correlated recruitment of a marine predator and its prey
shapes the large-scale pattern of prey mortality. Ecology Letters 10 : 1054-
1065.
Widodo J, Suadi. 2006. Pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Yogyakarta :
Gajah Mada University Press. 252 hlm.
Wolanski, E (Edt). 2001. Oceanographic Processes of Coral reefs. Physical and
Biological Links in the Great Barrier Reef. Boca raton New York.
Washington : CRC Press. 356 hlm.

Wootton RJ. 1992. Fish Ecology. Glasgow and London: Blackie and Son Ltd.
212 hlm.
LAMPIRAN
71

Lampiran 1 Koordinat stasiun penelitian


Koordinat
Stasiun Lokasi Kedalaman
Lintang Bujur
1 7 m (Slope )
o
S 05 44' 22.75"
o
E 106 37' 15.9"
Timur P. Pramuka
2 o
S 05 44' 20.07"
o
E 106 36' 58.3"
Utara P. Pramuka 3 m (Tubir)
3 o
S 05 44' 39.2"
o
E 106 35' 09.8"
Barat P. Panggang 3 m (Tubir)
4 6 m (Slope )
o
S 05 49' 47"
o
E 106 35' 20.3"
Slatan P. Panggang
5 o
S 05 36' 15.2"
o
E 106 36' 08.9"
Utara P. Belanda 3 m (Tubir)
6 6 m (Slope )
o
S 05 36' 23.2"
o
E 106 36' 18.3"
Selatan P. Belanda
7 o
S 05 36' 22.5"
o
E 106 34' 08.7"
Timur P. Kayu Angin 3 m (Tubir)
8 10 m (Slope )
o
S 05 36' 27.3"
o
E 106 33' 57.2"
Barat P. Kayu Angin
72

Lampiran 2 Persentase tutupan dan indikator keanekaragaman substrat bentik di


lokasi penelitian
Timur Utara Barat Selatan Utara Selatan Timur K. Barat K.
NO KATEGORI Pramuka Pramuka Panggang Panggang Belanda Belanda Angin Bira
1 2 3 4 5 6 7 8
I KARANG KERAS 18.13 23.84 27.29 54.35 39.41 21.08 28.90 45.18
Acropora
1 ACB-Acropora Branching 0.28 1.26 3.67 4.35 17.01 0.49 7.34 10.09
2 ACD-Acropora Digitate 0.00 0.00 0.37 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00
4 ACS-Acropora Submassive 0.00 1.43 0.00 0.00 0.45 0.21 0.00 0.00
5 ACT-Acropora Tabulate 1.97 3.95 2.92 0.00 0.59 2.08 0.10 0.00
Non-Acropora
6 CB-Coral Branching 1.12 1.76 0.52 0.93 1.39 0.17 3.55 1.07
7 CE-Coral Encrusting 3.98 2.35 0.75 0.93 2.92 10.07 2.16 12.63
8 CF-Coral Foliose 2.86 0.95 0.07 29.50 4.65 3.75 10.96 11.27
9 CM- Coral Massive 4.97 9.01 10.04 17.79 1.94 1.35 1.10 6.04
10 CMR-Coral Mushroom 1.03 0.03 0.22 0.22 8.13 1.42 2.46 0.59
11 CS-Coral Submassive 1.92 2.85 8.70 0.62 2.33 1.53 1.20 3.34
12 CML-Coral Millepora 0.00 0.25 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.15
II KARANG MATI 16.35 24.17 25.11 19.74 16.11 42.19 23.92 35.68
1 Karang mati ber-alga 15.60 9.01 22.94 17.35 14.10 33.85 17.71 26.39
2 Karang mati 0.75 15.17 2.17 2.40 2.01 8.33 6.21 9.29
III ALGA 12.04 2.10 0.67 2.26 1.91 0.97 1.73 2.13
1 Alga assemblage 0.14 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06
2 Coralline alga 6.42 0.17 0.00 0.13 1.84 0.42 0.10 0.18
3 Halimeda 0.00 0.00 0.00 0.09 0.00 0.07 0.17 0.00
4 Macroalga 4.40 1.93 0.30 2.00 0.03 0.24 0.56 0.95
5 Turf alga 1.08 0.00 0.37 0.04 0.03 0.24 0.90 0.95
IV FAUNA LAIN 3.19 1.51 12.22 1.06 0.31 0.73 1.16 3.17
1 Others 0.61 1.37 1.35 0.35 0.31 0.73 0.47 1.30
2 Karang lunak 0.52 0.03 10.72 0.71 0.00 0.00 0.70 0.00
3 Sponge 1.97 0.11 0.15 0.00 0.00 0.00 0.00 1.86
4 Zoanthids 0.09 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
V ABIOTIK 50.28 48.38 34.71 22.58 42.26 35.03 44.29 13.85
1 Batu 13.50 10.91 0.00 0.22 0.00 0.14 0.03 0.00
2 Pasir 3.98 4.67 4.35 4.26 2.12 14.27 2.86 7.16
3 Endapan lumpur 0.19 0.28 0.00 1.55 0.00 0.00 0.00 0.06
4 Patahan karang 32.61 32.51 30.36 16.55 40.14 20.63 41.40 6.63
TOTAL 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
73

Lampiran 3 Persentase tutupan keanekaragaman Genus dan lifeform


Timur Utara Barat Selatan Utara Selatan Timur K. Barat K.
NO KATEGORI Pramuka Pramuka Panggang Panggang Belanda Belanda Angin Bira
1 2 3 4 5 6 7 8
I Genus
1 Acropora 2.25 6.63 6.97 4.35 18.06 2.78 7.48 10.09
2 Astreopora 0.00 0.25 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.89
3 Coelosoris 0.00 0.70 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
4 Cyphastrea 0.05 0.48 0.00 0.53 0.00 0.35 0.20 0.38
5 Diploria 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
6 Favia 0.33 1.12 0.07 0.44 0.07 0.24 0.07 0.36
7 Favites 0.61 0.25 0.00 0.00 0.00 0.03 0.40 0.36
8 Fungia 0.23 0.03 0.22 0.22 7.85 1.39 2.46 0.59
9 Galaxea 0.05 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.17 0.03
10 Goniastrea 0.33 0.42 0.30 0.00 0.00 0.21 0.00 0.33
11 Goniopora 1.12 1.01 1.00 17.13 1.49 0.14 0.00 0.06
12 Heliofungia 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00
13 Herpolitha 0.80 0.00 0.00 0.00 0.24 0.03 0.00 0.00
14 Hydnophora 0.00 1.12 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03
15 Leptoria 2.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
16 Lobophyllia 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00 0.06
17 Millepora 0.00 0.25 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.15
18 Montastraea 0.09 0.00 0.00 0.09 0.00 0.00 0.00 0.44
19 Montipora 1.83 3.25 9.22 4.21 6.53 10.83 12.26 8.58
20 Pachyseris 4.08 0.00 0.00 0.00 0.00 0.31 0.33 1.21
21 Pavona 0.00 0.70 0.00 26.44 0.56 0.24 0.27 2.69
22 Pectinia 0.28 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.21
23 Platygyra 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06
24 Plerogyra 0.05 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06
25 Plesiastrea 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00
26 Pocillopora 0.05 0.34 0.00 0.00 0.00 0.31 0.00 0.00
27 Podabacia 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00
28 Porites 3.28 6.35 8.97 0.00 1.49 3.33 2.49 11.24
29 Seriatopora 0.42 0.11 0.52 0.89 1.25 0.14 2.36 0.00
30 Stylophora 0.00 0.50 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
31 Symphyllia 0.19 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00
32 Trachyphylia 0.00 0.20 0.00 0.04 0.14 0.28 0.03 0.56
33 Turbinaria 0.00 0.00 0.00 0.00 1.67 0.42 0.33 5.80
Indikator Keanekaragaman
S (jumlah genus) 19.00 23.00 7.00 10.00 13.00 17.00 15.00 22.00
H' (SW Index) 2.30 2.15 1.26 1.31 1.60 1.65 1.65 2.05
II. Lifeform
Acropora
1 ACB-Acropora Branching 0.28 1.26 3.67 4.35 17.01 0.49 7.34 10.09
2 ACD-Acropora Digitate 0.00 0.00 0.37 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00
4 ACS-Acropora Submassive 0.00 1.43 0.00 0.00 0.45 0.21 0.00 0.00
5 ACT-Acropora Tabulate 1.97 3.95 2.92 0.00 0.59 2.08 0.10 0.00
Non-Acropora
6 CB-Coral Branching 1.12 1.76 0.52 0.93 1.39 0.17 3.55 1.07
7 CE-Coral Encrusting 3.98 2.35 0.75 0.93 2.92 10.07 2.16 12.63
8 CF-Coral Foliose 2.86 0.95 0.07 29.50 4.65 3.75 10.96 11.27
9 CM- Coral Massive 4.97 9.01 10.04 17.79 1.94 1.35 1.10 6.04
10 CMR-Coral Mushroom 1.03 0.03 0.22 0.22 8.13 1.42 2.46 0.59
11 CS-Coral Submassive 1.92 2.85 8.70 0.62 2.33 1.53 1.20 3.34
12 CML-Coral Millepora 0.00 0.25 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.15
Indikator Keanekaragaman
S (jumlah lifeform ) 8.00 10.00 9.00 7.00 9.00 9.00 9.00 8.00
H' (SW Index) 1.86 1.85 1.53 1.11 1.68 1.61 1.66 1.66
74

Lampiran 4 Kelimpahan ikan ekor kuning, ikan karang lainnya dan jumlah
spesies ikan karang
Stasiun 1 (Timur Pramuka)
Tanggal 19 mei 2009
Waktu 08.30 WIB
Depth 7m
substrat pasir
Zona Slope

Ukuran (cm) Jumlah


No. Famili Spesies
0-5 5 - 10 10 - 15 15 - 20 20 - 25 25 - 30 30 - 35 35 - 40 >40 Induvidu
1 Siganidae Siganus Puellus 1 1
2 Caesionidae Caesio teres 87 14 101
3 Caesionidae Caesio cuning 23 23
4 Pempheridae Pempheris vanicolensis 6 6
5 Scaridae Chlorurus sordidus 1 1 1 3
6 Serranidae Cephalopholis sexmaculata 1 1
7 Labridae Thalassoma lunare 31 31
8 Sphyraenidae Sphyraena barracuda 1 1
9 Pomacentridae Pomacentrus alexanderae 42 14 56
10 nemipteridae Scolopsis Bilineata 2 2
11 Pomacentridae Amblyglyphidodon leucogaster 2 2 4
12 Labridae Choerodon anchorago 1 1
13 Chaetodontidae Chaetodon octofasciatus 1 1
14 Labridae Labroides dimidiata 3 3
15 Labridae Stethojulis trilineata 4 4
16 Labridae Cheilinus fasciatus 1 1 3 5
17 Pomacentridae Neoglyphidodon melas 2 2
18 nemipteridae Scolopsis trilineata 1 2 1 4
19 Serranidae Epinephelus fasciatus 1 1
20 Pomacentridae Pomacentrus mollucensis 7 7
21 Apogonidae Apogon compressus 14 14
22 Pomacentridae Pomacentrus smithi 4 4
23 Scaridae Scarus gobhan 1 1
24 Caesionidae Pterocaesio tile 40 40
25 Labridae Halihoeres richmondi 1 1
26 Pomacentridae Chromis ternatensis 193 193
27 Pomacentridae Diproctacanthus xanthurus 2 2
28 Labridae Thallasoma purpurescens 1 1
29 Serranidae Cephalopholis boenak 2 2
30 nemipteridae Pentapodus trivittata 1 1
31 Serranidae Cephalopholis microprion 1 1
32 Pomacentridae Abudefduf vaigiensis 2 2
33 nemipteridae Monotaxis grandoculis 1 1
34 Holocentridae Myripristis adusta 1 1
35 Labridae Halichoeres margaritaceous 1 1
36 Belonidae Platybelone argalus 20 20
Jumlah 258 81 71 90 4 15 519
75

Lampiran 4 (lanjutan)

Stasiun 2 (Utara Pramuka)


Tanggal 21-May-09
Waktu 16.00
Kedalaman 3m
Zona Tubir

Ukuran (cm) Jumlah


No. Spesies
0-5 5 - 10 10 - 15 15 - 20 20-25 25-30 30 - 35 35 - 40 > 40 Induvidu
1 Caesio cuning 6 15 21
2 Labroides dimidiatus 1 1
3 Pomacentrus moluccensis 5 5
4 Scarus niger 4 4
5 Chaetodontoplus mesoleucus 1 1
6 Amblygyphidodon curacao 25 15 40
7 Abudefduf bengalensis 15 7 22
8 Scarus rivulatus 5 5
9 Scarus niger 4 4
10 Neoglyphidodon bonang 8 8
11 Scolopsis bilineata 5 5
12 Parupeneus barberinus 3 3
13 Thallosoma lunare 5 3 8
14 Chromis viridis 4 4
15 Chaetodon octofasciatus 5 5
16 Lutjanus decussatus 1 2 6 9
17 Scarus flavipectoralis 5 2 7
18 Lutjanus ruselli 4 4
19 Scarus forsteni 3 3
20 Scarus prasiognathos 2 2
21 Bodianus diana 2 2
22 Choerodon anchorago 1 1
23 Anampses melanurus 2 2
24 Hemigymnus melapterus 3 2 5
25 Halichoeres rubricephalus 2 2
26 Neopomacentrus filamentosus 50 50
27 Paracentropogon longispinis 1 1
28 Pterois antennata 1 1
29 Scolopsis bilineata 2 2
30 Siganus (Lo) vulpinus 10 7 17
31 Melichthys vidua 3 3
32 Odonus niger 2 2
Jumlah 132 71 25 228
76

Lampiran 4 (lanjutan)

Stasiun 3 (Barat Panggang)


Tanggal 20-May-09
Waktu 10.00
Kedalaman 3m
Zona Tubir

Ukuran (cm) Individu/


No Spesies
0 - 5 5 - 10 10 - 15 15 - 20 20-25 25 - 30 30 - 35 35 - 40 > 40 m2
1 Caesio cuning 100 100
2 Thallosoma lunare 2 2
3 Amblygipidodon curacao 4 4
4 Neoglyphidodon bonang 3 3
5 Bodianus bilunulatus 3 3
6 Cheilinus fasciatus 3 3
7 Pomacentridae alexanderae 50 50
8 Chromis analis 10 10
9 Scarus ghoban 3 3
10 Chaetodon octfasciatus 8 8
11 Chaetodontoplus mesoleucus 3 3
12 Anampses melanurus 4 4
13 Neoglyphidodon crossi 5 5
Jumlah 98 98

Stasiun 4 (Selatan Panggang-transplantasi)


Tanggal 20-May-09
Waktu 10.00
Kedalaman 6m
Zona Slope

Ukuran (cm) Individu/


No Spesies
0-5 5 - 10 10 - 15 15 - 20 20-25 25 - 30 30 - 35 35 - 40 > 40 m2
1 Caesio cuning 5 5
2 Pomacentrus alexanderae 4 4
3 Amblyglyphidodon curacao 9 9
4 Labroides dimidiatus 2 2
5 Thallosoma lunare 3 3
6 Chromis viridis 150 150
7 Chaetodon octofasciatus 3 3
Jumlah 171 171
77

Lampiran 4 (lanjutan)

Stasiun 5 (utara belanda)


Tanggal 22-May-09
Waktu 10.00
Kedalaman 3
Zona Tubir

Ukuran (cm) Jumlah


No. Spesies
0-5 5 - 10 10 - 15 15 - 20 20-25 25 - 30 30 - 35 35 - 40 > 40 Induvidu
1 Caesio cuning 18 5 40 63
2 Labroides dimidiatus 2 2
3 Pomacentrus moluccensis 20 20
4 Scarus niger 4 4
5 Chaetodontoplus mesoleucus 2 2
6 Amblygyphidodon curacao 50 10 60
7 Abudefduf bengalensis 15 7 22
8 Scarus rivulatus 5 5
9 Scarus niger 5 4 9
10 Neoglyphidodon bonang 8 8
11 Scolopsis bilineata 5 5
12 Parupeneus barberinus 3 3
13 Thallosoma lunare 5 3 8
14 Chromis viridis 4 4
15 Chaetodon octofasciatus 5 11 16
16 Lutjanus decussatus 1 2 6 9
17 Scarus flavipectoralis 5 2 7
18 Lutjanus ruselli 4 4
19 Scarus forsteni 3 3
20 Scarus prasiognathos 2 2
21 Choerodon anchorago 1 1
22 Anampses melanurus 2 2
23 Apogon .... 20 20
24 Halichoeres rubricephalus 2 2
25 Neopomacentrus filamentosus 50 50
26 Paracentropogon longispinis 1 1
27 Pomacentrus alexanderae 850 850
Jumlah 1006 91 22 1119
78

Lampiran 4 (lanjutan)

Stasiun 6 (selatan belanda)


Tanggal 23-May-09
Waktu 10.00
Kedalaman 6m
Zona Slope

Ukuran (cm) Jumlah


No. Spesies
0-5 5 - 10 10 - 15 15 - 20 20 - 25 25-30 30 - 35 35 - 40 > 40 Induvidu
1 Caesio cuning 20 100 100 2 2 224
2 Pomacentrus alexanderae 25 25
3 Dischistodus prosopotaenia 5 5
4 Cirrhilabrus cyanopleura 250 250
5 Scarus niger 3 3
6 Scarus ghobban 3 3
7 Parupeneus macronema 2 2
8 Thallosoma lunare 25 4 29
9 Cheilinus fasciatus 1 4 2 7
10 Choerodon anchorago 2 2 4
11 Neoglyphidodon crossi 25 25
12 Hemigymnus melapterus 2 2
13 Halichoeres dussumieri 2 2
14 Chaetodontoplus mesoleucus 2 2
15 Pomacentrus moluccensis 35 35
16 Chaetodon octofasciatus 4 4
17 Bodianus loxozonus 2 2
18 Abudefduf bengalensis 45 45
19 Neoglyphidodon bonang 4 4
20 Amphiprion ocellaris 2 2
21 Apogon compressus 20 20
22 Lutjanus decussatus 2 1 3
Jumlah 28 423 23 0 0 474
79

Lampiran 4 (lanjutan)
Stasiun 7 (timur kayu angin)
Tanggal 22 Mei 2009
Waktu 10.30 WIB
Depth 3m
subsrat karang
Zona Tubir

Ukuran (cm) Jumlah


No. Famili Spesies
0-5 5 - 10 10 - 15 15 - 20 20 - 25 25 - 30 30 - 35 35 - 40 >40 Induvidu
1 Caesiobidae Caesio cuning 10 16 26
2 Labridae Anampses caeruleopunctatus 1 1
3 Pomacentridae Amblyglyphidodon curacao 100 100
4 Pomacentridae Pomacentrus burroughi 2 2 4
5 Labridae Thalassoma lunare 5 5
6 Chaetodontidae Chaetodon octofasciatus 1 3 4
7 Pomacentridae Neoglyphidodon bonang 1 1
8 Lutjanidae Lutjanus decussatus 1 1
9 Labridae Cheilinus fasciatus 2 2
10 Pomacentridae Pomacentrus smithi 525 525
11 Labridae Cheilinus trilobatus 2 2
12 Pomacentridae Pomacentrus moluccensis 4 5 9
13 Labridae Cheilinus unifaciatus 1 2 3
14 Labridae Diproctacanthus xanthurus 1 1
15 Nemipteridae Scolopsis margaritifer 1 1
16 Pomacentridae Lepidozygus anabatoides 523 523
17 Pomacentridae Pomacentrus alexanderae 120 120
18 Pomacentridae Neoglyphidodon crossi 4 4
19 Pomacentridae Chromis analis 1 1
20 Labridae Halichoeres javanicus 1 1
21 Pomacentridae Hemiglyphododon plagiometopon 1 1
22 Labridae Halichoeres melanurus 1 1
23 Labridae Labroides dimidiata 1 1
24 Pomachantidae Chaetodontoplus mesoleucus 4 4
25 Labridae Hemygymnus melapterus 2 2
26 Pomacentridae Neoglyphidodon melas 2 2
27 Apogonidae Apogon compressus 20 20
28 Serranidae Cephalopholis microprion 1 1
29 Scaridae Scarus dimidiata 1 1
30 Serranidae Cephalopholis sexmaculata 1 1
31 Scaridae Chlorurus sordidus 1 1
32 Labridae Halichoeres richmondi 4 4
Jumlah 1280 37 24 5 0 1 1347
80

Lampiran 4 (lanjutan)
Stasiun 8 (barat kayu angin)
Tanggal 22 Mei 2009
Waktu 13.30 WIB
Depth 10 m
subsrat karang
Zona Slope

Ukuran (cm) Jumlah


No. Famili Spesies
0 - 5 5 - 10 10 - 15 15 - 20 20 - 25 25 - 30 30 - 35 35 - 40 >40 Induvidu
1 Caesionidae Caesio cuning 62 11 73
2 Pomacanthidae Chaetodontoplus mesoleucus 8 8
3 Pomacentridae Amblyglyphidodon leucogaster 20 20
4 Pomacentridae Pomacentrus smithi 200 200
5 Labridae Cheilinus unifasciatus 1 1
6 scaridae Scarus niger 1 1
7 Labridae Cheilinus fasciatus 1 3 4
8 Pomacentridae Pomacentrus alexanderae 400 400
9 Lutjanidae Lutjanus biguttatus 3 3
10 Nemipteridae Scolopsis margaritifer 1 1
11 Labridae Halichoeres richmondi 10 10
12 Chaetodontidae Chaetodon octofasciatus 7 7
13 Labridae Thalassoma lunare 52 52
14 Pomacentridae Neoglyphidodon crossi 2 1 3
15 scaridae Scarus flavipectoralis 120 100 3 223
16 Pomacentridae Pomacentrus burroughi 11 11
17 Pomacentridae Neoglyphidodon melas 1 1
18 Pomacentridae Lepidozygus anabatoides 104 104
19 Pomacentridae Pomacentrus moluccensis 3 3
20 Labridae Cheilinus trilobatus 1 1 2
21 Labridae Choerodon anchorago 1 1
22 Chaetodontidae Chaetodon kleinii 1 1
23 Pomacentridae Neopomacentrus azysron 100 100
24 Labridae anampses caeruleopunctatus 1 1
25 Serranidae Cephalopholis sexmaculata 1 1
26 Serranidae cephalopholis microprion 3` 3
27 Serranidae epinephelus fasciatus 4 4
28 Labridae Hemygymnus melapterus 1 1
Jumlah 1006 127 21 9 3 0 1166
81

Lampiran 5 Panjang, berat, jenis kelamin dan TKG ikan ekor kuning

NO PANJANG (L) BERAT (W) JENIS


TKG KETERANGAN
SAMPEL (cm) (grm) KELAMIN
1 26.70 208.63 B 2
2 21.70 96.63 J 2
3 25.70 166.44 J 3
4 23.60 108.56 J 2
5 15.90 34.90 J 1
6 14.90 29.17 B 1
7 14.90 30.38 tidak ada gonad
8 13.60 22.42 tidak ada gonad
9 15.70 33.30 tidak ada gonad
10 15.90 32.30 tidak ada gonad
11 24.00 110.09 B 1
12 29.50 234.36 B 2
13 29.60 218.50 J 3
14 28.90 190.19 J 2
15 27.70 157.72 J 1
16 30.50 259.19 J 3
17 33.10 332.25 B 2
18 31.60 275.61 B 1
19 21.80 91.78 B 2
20 22.70 104.73 tidak ada gonad
21 11.30 10.69 tidak ada gonad
22 15.90 31.35 tidak ada gonad
23 22.60 93.32 J 2
24 13.60 18.03 tidak ada gonad
25 25.00 121.45 J 2
26 13.30 15.86 tidak ada gonad
27 24.70 116.24 B 2
28 12.80 15.74 tidak ada gonad
29 24.80 116.70 J 1
30 15.40 29.58 tidak ada gonad
31 24.20 132.14 J 2
32 13.20 17.71 tidak ada gonad
33 25.40 137.51 B 1
34 20.10 66.48 tidak ada gonad
35 25.50 132.22 B 1
36 21.50 77.84 J 4
37 25.20 142.75 J 1
38 21.60 92.49 J 4
39 25.30 132.14 J 2
40 15.30 28.64 tidak ada gonad
41 24.90 132.78 tidak ada gonad
42 15.10 29.02 tidak ada gonad
43 25.00 118.60 J 3
44 13.10 17.43 tidak ada gonad
45 23.60 101.93 tidak ada gonad
46 15.60 27.87 tidak ada gonad
47 22.40 93.75 B 1
48 14.90 26.51 tidak ada gonad
49 22.50 101.49 J 3
50 13.5 20.61 J 3
82

Lampiran 6 Regresi hubungan panjang berat

SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics
Multiple R 0.957009583
R Square 0.915867342
Adjusted R Square 0.914114578
Standard Error 22.50422941
Observations 50

ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 1 264629.0356 264629.0356 522.5275593 1.89016E-27
Residual 48 24309.13639 506.4403416
Total 49 288938.172

Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0%
Intercept -164.0068582 11.92594961 -13.75210055 2.86112E-18 -187.9855866 -140.0281298 -187.9855866 -140.0281298
X Variable 1 12.44798911 0.544558573 22.85886172 1.89016E-27 11.35308074 13.54289749 11.35308074 13.54289749
83

Lampiran 7 Jumlah individu dan persentase jenis makanan dalam isi lambung
ikan ekor kuning
Jumlah individu jenis ke i (n)
Sampel Calanus
Sagitella Parachymula Lauderia Thallassiothri Calanus Iasis
ikan Nitszchia Coscinodiscus Copepodite Brachionus Mysis Heigolandicu Clymnosera
Kowalewskii larva Borealis x Longissima Minor Sonaria
s
1 19 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 34 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 17 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 34 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 26 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 32 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
11 18 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
12 60 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
14 28 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
17 38 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
18 28 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
19 26 6 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
20 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
21 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
22 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
23 41 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
24 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
25 28 3 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
26 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
27 38 2 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
28 14 7 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0
29 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
30 19 5 4 1 0 0 0 3 0 0 0 0 0
31 42 7 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
32 34 5 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
33 36 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
34 22 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
35 4 10 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
36 14 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
37 22 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
38 94 33 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
39 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
40 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
41 18 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
42 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
43 26 39 3 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
44 42 12 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
45 80 10 1 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0
46 15 24 14 1 2 2 1 0 0 0 0 0 0
47 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
48 91 1 0 0 0 0 0 30 34 1 8 0 0
49 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
50 63 27 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 1103 263 36 3 2 2 1 46 34 1 8 1 1
Rata-rata 22.06 5.26 0.72 0.06 0.04 0.04 0.02 0.92 0.68 0.02 0.16 0.02 0.02
Persentase 73.48 17.52 2.40 0.20 0.13 0.13 0.07 3.06 2.27 0.07 0.53 0.07 0.07
84

Lampiran 8 Regresi hubungan plankton dengan kelimpahan ikan

SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics
Multiple R 0.851919371
R Square 0.725766614
Adjusted R Square 0.68006105
Standard Error 40.20526059
Observations 8

ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 1 25668.09713 25668.1 15.87917 0.007242874
Residual 6 9698.777874 1616.463
Total 7 35366.875

Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0%
Intercept -198.1405172 68.00761004 -2.91351 0.026857 -364.5491439 -31.7318906 -364.5491439 -31.73189059
X Variable 1 0.096020115 0.024096184 3.984868 0.007243 0.037058878 0.154981352 0.037058878 0.154981352
Lampiran 9 Ciri dari masing-masing kelompok berdasarkan klaster habitat terhadap substrat dasar

Substart Bentik (Habitat)


KEL. LOKASI IKAN
ACB ACD ACS ACT CB CE CF CM CMR CS CML DCA DC AA CA HA MA TA OT SC SP ZO RCK S SI R
I Timur Pramuka 0.28 0.00 0.00 1.97 1.12 3.98 2.86 4.97 1.03 1.92 0.00 15.60 0.75 0.14 6.42 0.00 4.40 1.08 0.61 0.52 1.97 0.09 13.50 3.98 0.19 32.61 23
Utara Pramuka 1.26 0.00 1.43 3.95 1.76 2.35 0.95 9.01 0.03 2.85 0.25 9.01 15.17 0.00 0.17 0.00 1.93 0.00 1.37 0.03 0.11 0.00 10.91 4.67 0.28 32.51 21
II Barat Panggang 3.67 0.37 0.00 2.92 0.52 0.75 0.07 10.04 0.22 8.70 0.00 22.94 2.17 0.00 0.00 0.00 0.30 0.37 1.35 10.72 0.15 0.00 0.00 4.35 0.00 30.36 100
III Utara Belanda 17.01 0.00 0.45 0.59 1.39 2.92 4.65 1.94 8.13 2.33 0.00 14.10 2.01 0.00 1.84 0.00 0.03 0.03 0.31 0.00 0.00 0.00 0.00 2.12 0.00 40.14 63
Timur Kayu Angin Bira 7.34 0.03 0.00 0.10 3.55 2.16 10.96 1.10 2.46 1.20 0.00 17.71 6.21 0.00 0.10 0.17 0.56 0.90 0.47 0.70 0.00 0.00 0.03 2.86 0.00 41.40 26
IV Selatan Belanda 0.49 0.00 0.21 2.08 0.17 10.07 3.75 1.35 1.42 1.53 0.00 33.85 8.33 0.00 0.42 0.07 0.24 0.24 0.73 0.00 0.00 0.00 0.14 14.27 0.00 20.63 224
Barat Kayu Angin Bira 0.49 0.00 0.21 2.08 0.17 10.07 3.75 1.35 1.42 1.53 0.00 42.15 0.03 0.00 0.42 0.07 0.24 0.24 0.73 0.00 0.00 0.00 0.14 14.27 0.00 20.63 73
V Selatan Panggang 4.35 0.00 0.00 0.00 0.93 0.93 29.50 17.79 0.22 0.62 0.00 17.35 2.40 0.00 0.13 0.09 2.00 0.04 0.35 0.71 0.00 0.00 0.22 4.26 1.55 16.55 5

Keterangan :

1. ACB = Acropora Branching 10. CS = Coral Submassive 19. OT = Others


2. ACD = Acropora Digitate 11. CML = Coral Millepora 20. SC = Karang lunak
Acropora Karang mati ber-
3. ACS = 12. DCA = 21. SP = Sponge
Submassive alga
4. ACT = Acropora Tabulate 13. DC = Karang mati baru 22. ZO = Zoanthids
5. CB = Coral Branching 14. AA = Alga assemblage 23. RCK = Batu
6. CE = Coral Encrusting 15. CA = Coralline alga 24. S = Pasir
7. CF = Coral Foliose 16. HA = Halimeda 25. SI = Endapan lumpur
8. CM = Coral Massive 17. MA = Macroalga 26. R = Patahan karang
9. CMR = Coral Mushroom 18. TA = Turf alga
ABSTRACT

RAIMUNDUS NGGAJO. The Relationships between Yellow Tail Fusilier Fish


Resources (Caesio cuning) and Habitat Characteristics of Coral Reefs Ecosystem
in Seribu Islands. Under direction of YUSLI WARDIATNO and NEVIATY P.
ZAMANI.

Yellow tail fusilier fish (Caesio cuning) is one of the reef fish species as fishing
target that associated with coral reefs in the Seribu Islands water. The purpose of
this research is to determine the yellow tail fusilier fish resources condition and
coral reef ecosystems and to assess yellow tail fusilier fish resources linkage with
habitat characteristics. The research was conducted at Pramuka Island, Panggang
Island, Belanda Island and Kayu Angin Bira Island at Seribu Islands District from
April to June 2009. Each island was taken as many as two points in the fishermen
catchment area. To see the percentage of benthic substrate cover, life-form and the
number of coral genera square transect method, the results are analyzed using the
Coral Point Count with Excell extension (CPCe) version 3.6 program. To see an
abundance of yellow tail fusilier fish resources using Underwater Visual Census
and to know biological condition of yellow tail fusilier fish, samples were taken
from fishermen catches in the research locations. Interconnection yellow tail
fusilier fish resources with habitat characteristics can be shown by benthic
substrate grouping using cluster analysis methods. The result of this research
showed the condition of coral reef ecosystems have 32.27% life-form cover. The
condition of yellow tail fusilier fish resources growth was predicted have become
over fishing, with the growth pattern was alometric and was dominated by
immature fish. Yellow tail fusilier fish resource linkage habitat characteristics
were characterized by the presence of encrusting coral, acropora digitate,
submassive coral, dead coral with algae, soft coral and sand. The recommendation
of management activities are: (1) rehabilitating habitat with encrusting coral,
acropora digitate and submassive coral transplant programs that characterize the
existence of yellow tail fusilier fish. (2) regulating caching effort and determining
of suitable mess size.

Keywords : Ecosystem of coral reefs, yellow tail fusilier fish, habitat linkage,
Seribu Islands
RINGKASAN

RAIMUNDUS NGGAJO. Keterkaitan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning (Caesio


cuning) dengan Karakteristik Habitat pada Ekosistem Terumbu Karang di
Kepulauan Seribu. Dibawah bimbingan YUSLI WARDIATNO dan NEVIATY
P. ZAMANI.
Ikan ekor kuning (Caesio cuning) merupakan jenis ikan konsumsi yang
memiliki nilai ekonomis penting dan merupakan salah satu jenis ikan karang yang
menjadi target penangkapan di perairan Kepulauan Seribu. Habitat ikan ekor
kuning adalah di perairan pantai karang, perairan karang dengan suhu perairan
lebih dari 20 0C. Hidupnya berasosiasi dengan terumbu karang dan dapat
ditemukan di perairan Kepulauan Seribu.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi sumberdaya
ikan ekor kuning dan ekosistem terumbu karang serta mengkaji keterkaitan
sumber daya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat.
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kepulauan Seribu dari bulan
April-Juni 2009. Lokasi pengamatan adalah di Pulau Pramuka (Timur Pramuka
dan Utara Pramuka), Pulau Panggang (Barat Panggang dan Selatan Panggang),
Pulau Belanda (Utara Belanda dan Selatan Belanda) dan Pulau Kayu Angin Bira
(Timur Kayu Angin Bira dan Barat Kayu Angin Bira). Dasar penentuan titik
stasiun pengamatan di setiap pulau berdasarkan pada lokasi tangkapan nelayan
pada daerah terumbu karang.
Pengambilan data untuk persentase tutupan substrat bentik menggunakan
metode transek kuadrat, dan dianalisa menggunakan program Coral Point Count
with Excell extension (CPCe). Untuk data kelimpahan sumberdaya ikan ekor
kuning menggunakan Underwater Visual Cencus, sedangkan untuk data kondisi
biologi ikan ekor kuning menggunakan sampel dari hasil tangkapan nelayan di
lokasi penelitian pada bulan Mei 2009. Analisis yang digunakan untuk
mengetahui keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat
menggunakan cluster analysis berdasarkan pengelompokan substrat bentik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi ekosistem terumbu karang
mempunyai penutupan lifeform 32.27%, sehingga berada pada kategori sedang.
Kondisi sumber daya ikan ekor kuning diduga telah terjadi growth over fishing.
Pola pertumbuhan bersifat Alometrik dan didominasi oleh ikan yang belum
matang (mature) atau belum dewasa (dalam kondisi pertumbuhan). Keterkaitan
sumberdaya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat dicirikan dengan
keberadaan coral encrusting (CE), acropora digitate (ACD), coral submassive
(CS), dead coral with algae (DCA), karang lunak (SC) dan pasir (S).
Bentuk pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ikan ekor kuning di
perairan Kepulauan Seribu secara terpadu dan berkelanjutan yang diusulkan
dalam penelitian ini adalah pengelolaan berbasis ekositem dengan titik penekanan
pada habitat dan sumberdaya ikan ekor kuning antara lain: (1) rehabilitasi habiat
dengan program transplantasi coral encrusting, acropora digitate dan coral
submassive yang menjadi ciri keberadaan ikan ekor kuning pada daerah yang
rusak. (2) pengaturan upaya penangkapan dan ukuran mata jaring.
1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Terumbu karang merupakan ekosistem kompleks dengan keanekaragaman
hayati tinggi, ditemukan di perairan dangkal di seluruh wilayah tropis,
mempunyai fungsi dan manfaat serta arti yang amat penting bagi kehidupan
manusia baik fungsi ekologi yaitu sebagai tempat tinggal, berkembang biak,
mencari makan dan tempat berlindung bagi ribuan jenis ikan, hewan dan biota laut
lainnya, maupun fungsi ekonomi dan sebagai penunjang kegiatan pariwisata yaitu
merupakan sumber perikanan yang tinggi.
Menurut Bengen (2002), terumbu karang merupakan habitat bagi beragam
biota, seperti : (1) beraneka ragam avertebrata (hewan tak bertulang belakang),
terutama karang batu (stony coral), juga berbagai krustasea, siput dan kerang-
kerangan, ekinodermata (bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut dan lili
laut); (2) beraneka ragam ikan: 50-70% ikan karnivora oportunik, 15% ikan
herbivora, dan sisanya omnivora; (3) reptil, umumnya ular laut dan penyu laut;
dan (4) ganggang dan rumput laut, yaitu: alga hijau berkapur, alga koralin dan
lamun.
Ikan karang merupakan organisme dengan jumlah terbanyak dan merupakan
organisme besar yang mencolok pada daerah terumbu karang. Dengan jumlahnya
yang besar dan mengisi terumbu karang, maka dapat terlihat dengan jelas bahwa
ikan karang penyokong hubungan yang ada dalam ekosistem terumbu karang
(Nybakken 1988). Keberadaan ikan-ikan karang sangat dipengaruhi oleh kondisi
kesehatan terumbu karang yang ditunjukkan oleh persentase penutupan karang
hidup (Hutomo 1986).
Chabanet et al. (1997), menyatakan bahwa keanekaragaman dan kekayaan
jenis dari kumpulan ikan karang adalah dihubungkan dengan banyak variabel
karang seperti kompleksitas bangunan (architectural) atau tutupan karang
bercabang, keanekaragaman, kekayaan jenis, kelimpahan, ukuran koloni, tutupan
karang hidup, tutupan karang padat dan tutupan karang pipih/merayap. Menurut
Allen (1999), kelimpahan sumberdaya ikan karang pada suatu lokasi disebabkan
karena tersedianya habitat yang sangat bervariasi di ekosistem terumbu karang.
2

Bentuk dan variasi karang dan tempat berlindung lainnya terkombinasi menjadi
habitat-habitat yang berbeda dengan variasi yang tinggi yang dimanfaatkan oleh
ikan dengan karakteristik yang berbeda pula
Coat dan Bellwood (1991) dalam Bawole (1998), menyatakan bahwa
interkasi antara ikan karang dan terumbu karang sebagai habitatnya dapat
dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu: (1) intekasi langsung sebagai tempat
berlindung dari predator pemangsa terutama bagi ikan-ikan muda; (2) interaksi
dalam mencari makanan yang meliputi hubungan antara ikan karang dan biota
yang hidup pada karang termasuk alga; dan (3) interaksi tidak langsung sebagai
akibat struktur karang dan kondisi hidrologis dan sedimen.
Perairan Indonesia memiliki kurang lebih 132 jenis ikan yang bernilai
ekonomi, 32 jenis diantaranya hidup di terumbu karang. Ditjen Perikanan (1998)
lebih lanjut mengungkapkan bahwa perairan karang Indonesia memiliki paling
sedikit 10 famili utama penyumbang produksi perikanan yaitu Caesionidae,
Holocentridae, Serranidae, Siganidae, Scaridae, Lethrinidae, Priachantidae,
Labridae, Lutjanidae dan Haemulidae. Diantara sepuluh family tersebut,
Caesionidae seperti ikan ekor kuning merupakan kelompok ikan karang yang
dapat dieksploitasi secara komersial.
Ikan ekor kuning merupakan jenis ikan konsumsi yang memiliki nilai
ekonomis penting. Salah satu jenis ikan karang yang dominan dan menjadi yang
target penangkapan di Perairan Kepulauan Seribu adalah ikan ekor kuning. Data
BPS (2008) hasil tangkapan ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu pada tahun
2003 sebanyak 411 ton dan pada tahun 2007 sebanyak 673 ton. Berdasarkan data
tersebut hasil tangkapan ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu mengalami
peningkatan sebesar 262 ton dari tahun 2003 sampai tahun 2007. Peningkatan
hasil tangkapan tersebut didukung oleh peningkatan upaya penengkapan yaitu 70
unit kapal tahun 2003 menjadi 77 unit kapal tahun 2007. Kegiatan penangkapan
yang tidak terkontrol dapat mengarah pada hasil tangkap lebih (over fishing)
sehingga berakibat menurunnya populasi ikan dan mengancam kelestarian
sumberdaya itu sendiri.
Estradivari et al. (2007) menjelaskan kondisi ekosistem terumbu karang
mengalami penurunan, persentase penutupan karang keras adalah 33.2% tahun
3

2005 (kondisi sedang). Porsi terbesar kerusakan terumbu karang adalah akibat
ulah manusia, di antaranya penangkapan ikan yang merusak dan berlebih. Jenis
alat tangkap yang umum digunakan untuk menangkap ikan ekor kuning di
Kepulauan Seribu antara lain adalah bubu dan jaring muroami (Dinas Peternakan,
Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta 2007). Penyebaran alat tangkap
tersebut terutama pada daerah-daerah yang mempunyai kekayaan terumbu karang
yang tinggi.
Menurut Randal et al. (1990), habitat ikan ekor kuning adalah diperairan
pantai karang, perairan karang. Hidupnya berasosiasi dengan terumbu karang dan
dapat ditemukan pada kedalaman 1-60 meter, terkadang ikan ini berenang dengan
membentuk gerombolan besar dan ditemui di dekat tubir. Informasi mengenai
karakteristik habitat setiap sumberdaya sangat dibutuhkan untuk menentukan arah
pengelolaan bagi keberlanjutan dari sumberdaya tersebut. Kajian mengenai
keterkaitan sumbedaya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat pada
ekosistem terumbu karang sangat diperlukan untuk dijadikan sebagai salah satu
dasar dalam merekomendasikan alternatif pengelolaan sumberdaya berbasis
ekosistem di Kepulauan Seribu.

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
yang mendasari penelitian ini adalah :
1. Degradasi ekosistem terumbu karang
2. Menurunnya kelimpahan sumberdaya ikan ekor kuning
3. Belum adanya kajian mengenai keterkaitan antara sumberdaya ikan
ekor kuning dengan karakteristik habitat pada ekosistem terumbu
karang

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Mendiskripsikan kondisi ekosistem terumbu karang.
2. Mendiskripsikan kondisi sumber daya ikan ekor kuning.
3. Menganalisis keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning dengan
karakteristik habitat.
4

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk pengelolaan


eksistem terumbu karang dan ikan ekor kuning (Caesio cuning) secara terpadu
dan berkelanjutan.

1.4 Kerangka Penelitian


Dasar pemikiran dalam melaksanakan penelitian ini adalah secara ekologis
adanya potensi ekosisitem terumbu karang yang merupakan tempat hidupnya
beranekaragam biota laut seperti ikan karang. Menurut Supriharyono (2000),
tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang, memungkinkan ekosistem ini
dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi banyak biota laut.
Apabila terjadi tekanan terhadap terumbu karang maka akan berpengaruh
langsung terhadap biota yang berasosiasi dengannya termasuk ikan ekor kuning.
Terumbu karang sebagian besar adalah substrat dasar yang keras tetapi
merupakan substrat dasar yang secara tipologinya jauh lebih komplek dari yang
lainnya. Terumbu karang menyediakan keanekaragaman bentuk dan ukuran
tempat berlindung yang digunakan ikan karang. Terumbu karang adalah
lingkungan yang terbagi-bagi kedalam habitat-habitat kecil yang sangat bervariasi
yang dimanfaatkan oleh kelompok ikan karang sesuai kesukaannya.
Berdasarkan pada peran dan manfaat terumbu karang tersebut maka
kerangka penelitian untuk melihat keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning
dengan habitatnya dapat dijelaskan dengan tahapan sebagai berikut dan
ditunjukkan pada Gambar 1.
(a) Mengukur parameter lingkungan yang terdiri dari parameter fisika,
kimia dan biologi berupa kedalaman, kemiringan, suhu, kecepatan
arus, kecerahan, salinitas, pH, nitrat, phospat, kekeruhan dan
kelimpahaan plankton.
(b) Mendeskripsikan kondisi sumber daya ikan ekor kuning (Caesio
cuning) berdasarkan kelimpahan, polah pertumbuhan (biometri) dan
kondisi biologi (TKG).
(c) Mendeskripsikan kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan life
form dan persentase tutupan substrat bentik.
(d) Melakukan klaster habitat berdasarkan persentase tutupan substrat
bentik.
5

(e) Menganalisis keterkaitan antara sumberdaya Ikan ekor kuning dengan


karakteristik habitat (kondisi ekosistem terumbu karang).
(f) Merumuskan rekomendasi pengelolaan ekosistem terumbu karang dan
ikan ekor kuning (Caesio cuning) secara terpadu dan berkelanjutan.

Ekosistem Terumbu Karang

Sumberdaya Ikan Ekor Kuning Habitat Kualitas Perairan


(Casio cuning) Terumbu Karang

Deskripsi Kelimpahan, Biometri Bentuk dan Persentase Parameter


dan TKG tutupan Substrat Bentik Lingkungan (Fisika,
Kimia dan Biologi)

Klaster Habitat

Analisis Keterkaitan antara Karakteristik


Habitat dengan Kelimpahan Sumberdaya Ikan
Ekor Kuning

Rekomendasi Pengelolaan Ekosistem Terumbu


Karang dan Ikan Ekor Kuning (Casio cuning)
Secara Terpadu dan Berkelanjutan

Gambar 1 Diagram alir kerangka pikir penelitian


2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Parameter Lingkungan


Keberadaan karang pada suatu perairan ditentukan oleh kondisi lingkungaan
perairan tersebut. Faktor yang paling menentukan dalam mengontrol komposisi
komunitas terumbu karang adalah ketersediaan cahaya, gelombang, sedimentasi,
salinitas dan kisaran pasang surut. Dalam skala yang lebih besar, ketersediaan
nutrient organik, suhu dan bentuk dasar perairan juga merupakan hal yang penting
(Veron 1986)
Faktor lingkungan tersebut di atas saling berhubungan, contohnya
gelombang yang dapat mempengaruhi jumlah sedimen karena terjadinya
pengadukkan di dasar perairan, akibatnya perairan akan menjadi keruh sehingga
dapat mempengaruhi penetrasi cahaya ke dalam perairan. Selain itu, lingkungan
biologis juga dapat mempengaruhi eksistensi terumbu karang, lingkungan biologis
menciptakan kekayaan spesies yang merupaka ciri-ciri terumbu karang (Wolanski
2001).
Kanwisher dan Wainwright (1967) mengatakan bahwa titik kompensasi
binatang karang terhadap cahaya adalah pada intensitas antara 200–700 f.c (atau
umumnya terletak pada kisaran 300–500 f.c). Intensitas cahaya secara umum di
permukaan laut adalah 2500–5000 f.c, Mengingat kebutuhan tersebut maka hewan
karang (coral) umumnya tersebar didaerah tropis.
Cahaya yang masuk ke dalam perairan berubah dengan cepat, baik secara
intensitas maupun komposisinya. Kecerahan perairan terumbu karang dapat
mencapai kedalam 50 meter untuk terumbu-terumbu di daerah lautan terbuka.
Tetapi juga dapat mencapai kurang dari satu meter sesudah terjadinya badai pada
daerah tersebut. Setiap spesies karang mempunyai toleransi tertentu pada tingkat
cahaya maksimum dan minimum. Daerah perairan disekitar muara sungai
merupakan daerah yang kurang baik bagi pertumbuhan karang ditinjau dari
penetrasi cahaya yang biasanya rendah akibat dari banyaknya partikel-partikel
tersuspensi dari air sungai yang masuk ke laut (Lalamentik 1991)
Daerah karang dipengaruhi oleh sedimentasi yang berasal dari peningkatan
sedimen di daerah terumbu karang itu sendiri, run-off dari darat dan sungai.
7

Kondisi tersebut berdampak terhadap struktur komunitas terumbu karang.


Dampak yang diberikan pada jenis karang tertentu bergantung pada jenis dan
ukuan sedimen, frekuensi yang ditimbulkan, pembebasan hutan, morfologi dan
jenis yang resisten ( Bak dan Elgershuizen 1992; Dodge dan Lang 1983).

2.2 Ekosistem Terumbu Karang


Terumbu karang merupakan komunitas organisme yang hidup di dasar
perairan dan berupa batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat untuk menahan gaya
gelombang laut. Pada dasarnya terumbu karang merupakan endapan padat
kalsium karbonat (kapur) yang diproduksi oleh hewan karang dengan sedikit
tambahan dari alga berkapur dan organisme lainnya yang menghasilkan kalsium
karbonat. Klasifikasi ilmiah menunjukan bahwa karang termasuk kelompok
binatang dan bukan sebagai kelompok tumbuhan. Hewan karang ini termasuk
dalam filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Scleractinia (Baker et al. 1991).
Organismen yang dominan hidup di terumbu karang adalah binatang-binatang
karang yang mempunyai kerangka kapur dan algae yang diantaranya banyak
mengandung kapur (Supriharyono 2000). Dalam hal kemampuan membentuk
terumbu, karang dapat dibedakan atas karang hermatipik yaitu karang yang
mampu membangun terumbu dan karang ahermatipik yaitu karang yang tidak
mampu membentuk terumbu. Karang banyak dijumpai diantara 30 oLU dan
25 oLS. Hewan ini kebanyakkan bersifat nocturnal. Hal ini dikarenakan
mangsanya berupa zooplankton, banyak muncul dimalam hari dan karang
merupakan hewan karnivora (Veron 1986).
Morfologi skeleton karang merupakan hasil jadi dari bentuk pertumbuhan
koloni karang. Istilah yang paling umum digunakan oleh Veron (1986) untuk
mengambarkan bentuk pertumbuhan karang yang menghasilkan morfolgi karang
yaitu massive (sama dalam semua dimensi), columnar (berbentuk tonggak),
branching (seperti cabang pohon atau jari), encrusting (melekat pada substrata
atau berbentuk kerak, foliaceous (seperti daun), laminar (seperti lempengan) dan
free living ( hidup lepas dari substrat).
Veron (1986) dan Wallace (1998) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu
karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitif
terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi,
8

eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Tahun 1998 telah terjadi
perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis
sehingga menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan
kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono (1998) mencatat selama peristiwa
pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 oC
di atas suhu normal.
Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan
mempengaruhi terumbu karang. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) bahwa
curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan (mainland run
off) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya
penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient
overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan
pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang.
Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies yang
membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang di lautan dibatasi
oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang mempunyai suhu
rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10 0C. Pertumbuhan maksimum terumbu karang
terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan suhu sekitar 25 oC sampai 29 0C. Karena
sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan
Evans 1985).
Selanjutnya Nybakken (1992) mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe
umum yaitu terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef),terumbu karang
penghalang (Barrier reef) dan terumbu karang cincin (atoll). Diantara ketiga
struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai di perairan Indonesia
adalah terumbu karang tepi (Suharsono 1998). Penjelasan ketiga tipe terumbu karang
sebagai berikut :
1) Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai
dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 m. Terumbu karang ini tumbuh
ke atas atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat
dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar
terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang
9

baik bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan


banyak endapan yang datang dari darat.
2) Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef) terletak di berbagai
jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar
laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m).
Umumnya memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar
seakan–akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari
luar, contohnya adalah The Great Barier Reef yang berderet disebelah
timur laut Australia dengan panjang 1.350 mil.
3) Terumbu karang cincin (atoll) yang melingkari suatu goba (laggon).
Kedalaman goba didalam atol sekitar 45 m jarang sampai 100 m seperti
terumbu karang penghalang, contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone
Rate di Sulawesi Selatan.
Moberg dan Folke (1999), menyatakan bahwa fungsi ekosistem terumbu
karang yang mengacu kepada habitat, biologis atau proses ekosistem sebagai
penyumbang barang maupun jasa. Sebagai penyumbang barang yaitu terkait
dengan sumberdaya pulih seperti bahan makanan (ikan, rumput laut) dan tambang
(pasir dan karang). Sedangkan sebagai penyumbang jasa, ekosistem terumbu
karang terdiri dari :
1. Jasa struktur fisik sebagai pelindung pantai.
2. Jasa biologi sebagai habitat dan dan suport mata rantai kehidupan.
3. Jasa biokimia sebagai fiksasi nitrogen.
4. Jasa informasi sebagai pencatatan iklim.
5. Jasa sosial dan budaya sebagai nilai keindahan, rekrasi dan permainan
Terumbu karang menyediakan berbagai manfaat langsung maupun tidak
langsung. Cesar (2000) menjelaskan bahwa ekosistem terumbu karang banyak
meyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan karang, mollusca, crustacean
bagi masyarakat yang hidup dikawasan pesisir. Selain itu bersama dengan
ekosistem pesisir lainnya menyediakan makanan dan merupakan tempat berpijah
bagi berbagai jenis biota laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Menurut Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa tingginya produktivitas
primer di perairan terumbu karang, memungkinkan ekosistem ini dijadikan tempat
10

pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi banyak biota laut. Menurut Salm
(1984) dalam Supriharyono (2000), bahwa 16% dari total hasil ekspor ikan
Indonesia berasal dari daerah karang.

2.3 Tipe Dasar Terumbu Karang


Bagi ikan karang, terumbu karang sebagian besar adalah substrat dasar yang
keras tetapi merupakan substrat dasar yang secara tipologinya jauh lebih komplek
dari yang lainnya. Terumbu karang menyediakan keanekaragaman bentuk dan
ukuran tempat berlindung yang digunakan ikan karang. Terumbu karang adalah
lingkungan yang terbagi-bagi kedalam habitat-habitat kecil yang sangat bervariasi.
Terumbu karang membentang di lautan, dengan skala ratusan kilometer, tapi
pada skala yang lebih kecil terumbu karang merupakan berbagai macam zona
habitat yang berbeda dari segi fisik dan lainnya tiap zona habitat. Setiap zona
habitat pada skala meter terdapat bagian-bagian yang terdiri dari situs-situs
tersendiri yang berbeda berdasarkan perbedaan morfologi tiap karang dan
pencampuran antara koloni terumbu dengan rubble, pasir dan batuan-batuan
sebagai pembentuk tipe dasar (Sale 1991).
Menurut Chappel (1980) dalam Supriharyono (2000), beberapa bentuk
pertumbuhan karang diantaranya globose (Massive), ramose (Submassive),
brancing, digitate plate, compound plate, fragile branching, encrusting, plate,
foliate dan micro atoll. Bentuk-bentuk karang ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor alam, terutama oleh level cahaya, tekanan hidrodinamis, sedimen dan
subareal exposure.

2.4 Sumberdaya Ikan Karang


Komunitas ikan karang dibandingkan dengan komunitas lain di terumbu
karang, merupakan jumlah yang paling berlimpah. Tingginya keragaman ini
disebabkan terdapatnya variasi habitat yang ada di terumbu karang dimana semua
tipe habitat yang ada diisi oleh spesies ikan karang (Sutton 1983 dalam Emor
1993).
Bentuk pertumbuhan terumbu karang yang beragam seperti bercabang,
pipih/merayap, meja daun dan pejal/padat, memungkinkan adanya ruang sebagi
tempat hidup dan tempat yang nyaman untuk melakukan pemijahan, pengasuhan
dan mencari makan atupun tempat berteduh bagi ikan karang yang mempunyai
11

nilai ekonomis tinggi. Choat dan Bellwood (1991) menggolongkan ikan-ikan yang
ditemukan di terumbu karang ke dalam dua kategori utama yaitu jenis terumbu
(reef species) dan jenis yang dihubungkan dengan terumbu karang (reef-
associated speies). Penggolongan ini oleh Choat dan Bellwood (1991) didasarkan
pada karakteristik ekologis, hubungannya dengan habitat, pendistribusian,
karakteristik taxonomic dan fitur struktural.
Perbedaan pendapat muncul mengenai hubungan keragaman spesies ikan
dan keragaman habitat terumbu karang. Beberapa penelitian terus dilakukan dan
akhirnya memunculkan dua teori tentang ikan karang di terumbu karang, seperti
yang dirangkum oleh Nybakken (1988); Pertama. Hidup berdampingan
merupakan hasil dari tingkat spesialisasi yang tinggi, sehingga setiap spesies
mempunyai tempat beradaptasi khusus yang didapat dari persaingan pada suatu
keadaan di karang, jadi ikan-ikan ini mempunyai relung ekologi yang lebih sempit
dan berarti daerah itu dapat menampung lebih banyak spesies; Kedua, ikan karang
tidak mempunyai sifat khusus, banyak spesies serupa yang mempunyai kebutuhan
sama dan dapat bersaing aktif diantar spesies.
Faktor kedalaman berperan dalam penyebaran ikan-ikan karang. Umumnya
ikan-ikan tersebut memiliki kisaran kedalaman yang sempit tergantung dari
ketersediaan makanan, ombak dan keberadaan predator. Pada daerah-daerah yang
kaya akan makanan ikan akan cenderung berkelompok. Ikan-ikan tersebut
menghindari pecahan ombak dengan menempati daerah yang lebih dalam.
Kebanyakan ikan-ikan yang tergolong herbivore adalah ikan-ikan diurnal,
berwarna cemerlang dengan ukuran bukaan mulut kecil. Beberapa ikan ini
merupakan ikan yang bergerak cepat dan berkelompok (Connaughey dan Zottoli
1983)
Dartnall dan Jones (1986) melakukan pengelompokan ikan karang menjadi
tiga yaitu (1) Kelompok ikan target, merupakan ikan konsumsi seperti ikan-ikan
dari famili serranidae, Lutjanidae, Haemulidae, Lethrinidae; (2) Kelompok ikan
Indikator yaitu ikan-ikan yang digunakan sebagai indikator keberadaan suatu
perairan terumbu karang, seperti family Chaetodontidae; (3) Kelompok ikan yang
berperan dalam rantai makanan adalah ikan-ikan yang peranan lainnya belum
12

diketahui seperti ikan-ikan dari family Pomacentridae, Searidae, Acanthuridae,


Caesionidae, Labridae, Siganidae, Muliidae, Apogonidae.

2.5 Klasifikasi Ikan Ekor Kuning


Ikan ekor kuning (Gambar 2) termasuk dalam famili caesionidae,
pengklasifikasian menurut Nelson (2006) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animal
Phylum : Chordata
Class : Osteichtyes
Order : Perciformes
Family : Caesionidae
Genus : Caesio
Species : Caesio cuning

Gambar 2 Ikan ekor kuning

Ciri morfologi ikan ekor kuning adalah bentuk badan memanjang, melebar
dan gepeng, mulut kecil dan serong, memiliki gigi-gigi kecil dan lancip. Dua gigi
taring pada rahang bawah dan yang halus pada langit-langit. Jari-jari keras sirip
punggung 10 dan yang lemah 15, sedangkan jari-jari keras pada sirip dubur 3 dan
yang lemah 11. Ikan ini memliki sisik tipis pada garis rusuknya, sisik-sisik kasar
di bagian atas dan bawah garis rusuk serta tersusun horizontal, sisik pada kepala
mulai dari mata (Kottelat et al. 1993).
Tubuh ikan ekor kuning bagian atas sampai punggung berwarna ungu
kebiruan, bagian belakang punggung, batang ekor, sebagian dari sirip punggung
yang berjari-jari lemah, sirip dubur berwarna biru keputihan dan ekor berwarna
13

kuning. Bagian bawah kepala, badan, sirip perut dan dada berwarna merah jambu,
pinggir sirip punggung sedikit hitam dan ketiak sirip dada berwarna hitam
(Kottelat et al. 1993)

2.6 Habitat dan Kebiasaan Hidup Ikan Ekor Kuning


Habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu dimana suatu
spesies atau komunitas hidup. Habitat yang baik akan mendukung
perkembangbiakkan organisme yang hidup di dalamnya secara normal. Habitat
memiliki kapasitas tertentu untuk mendukung pertumbuhan populasi suatu
organisme. Kapasitas optimum habitat untuk mendukung populasi suatu
organisme disebut daya dukung habitat .
Menurut Macpherson (1981) bahwa jenis ikan yang mempunyai luas relung
yang luas, berarti jenis ikan tersebut mempunyai peran yang besar dalam
memanfaatkan pakan yang tersedia dan mempunyai kemampuan yang sangat baik
dalam menyesuaikan diri terhadap fluktuasi kesedian pakan, serta mempunyai
daya reproduksi secara individual sangat besar. Jadi berdasarkan luas relung, jenis
ikan mempunyai potensi yang paling besar untuk berkembang menjadi induk
populasi di dalam ekosistem perairan dimana ikan tersebut hidup.
Kelayakan suatu perairan sebagai lingkungan hidup organisme perairan
dipengaruhi oleh sifat fisika–kimia (faktor abiotik) perairan itu sendiri. Tetapi
dilain pihak sifat organisme perairan itu sendiri ikut berperan. Suatu perairan yang
ideal bagi kehidupan ikan dapat didefinisikan sebagai suatu perairan yang dapat
mendukung kehidupan ikan dalam menyesuaikan seluruh daur hidupnya, serta
dapat mendukung kehidupan organisme makanan ikan yang diperlukan dalam
setiap stadia daur hidupnya dengan jumlah yang mencukupi (Wardoyo, 1981).
Habitat ikan ekor kuning adalah diperairan pantai karang, perairan karang
dengan suhu perairan lebih dari 20 0C. Hidupnya berasosiasi dengan terumbu
karang dan dapat ditemukan pada kedalaman 1-60 meter, terkadang ikan ini
berenang dengan membentuk gerombolan besar dan ditemui di dekat tubir
(Randal et al. 1990).
Subroto dan Subani (1994), di indonesia ikan ekor kuning banyak ditangkap
di wilayah perairan karang Riau Kepulauan, Sumatra Barat, Bangka, Belitung,
Lampung, Kepulauan Seribu, Jawa Barat, Jawa Tengah (Kepulauan Karimun
14

Jawa), Jawa Timur (Kepulauan Kangean), Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan,


Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara.
Ikan ekor kuning dilihat dari fungsi atau perannya adalah merupakan ikan
karang kelompok ikan mayor dimana belum diketahui peran lainnya, sedangkan
dilihat dari jenis makanan ikan ekor kuning termasuk plankton feeder, yaitu
pemakan plankton. Hidup di perairan pantai, karang-karang, perairan karang dan
membentuk gerombol besar. Panjang tubuh dapat mencapai 35 cm, umumnya 25
cm (Kuiter dan Tonozuka 2004). Famili Caesionidae mempunyai ciri khas yaitu
bergerombol (schooling) dalam ukuran yang besar, berenang dengan cepat (fast-
swimming), memakanan zooplankton dan banyak terdapat di kolom perairan
sepanjang tepi lereng terumbu karang. Ikan ekor kuning dapat hidup di perairan
pada kedalaman 0-40 m (Allen 1999). Menurut Isnaini (2008), makanan ikan ekor
kuning muda adalah copepoda, sedangkan untuk ikan dewasa memakan ubur-
ubur, larva dan ikan kecil lainnya (Isnaini 2008).

2.7 Pertumbuhan
Menurut Effendie (1997), Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
dapat digolongkan menjadi dua bagian yang besar yaitu faktor dalam dan faktor
luar. Faktor-faktor ini ada yang dapat dikontrol dan ada yang tidak. Faktor dalam
umumnya adalah faktor yang sulit untuk dikontrol, diantaranya adalah keturunan,
jenis kelamin, umur, parasit dan penyakit. Sedangkan faktor luar seperti suhu air,
kandungan oksigen terlarut, amonia, salinitas dan fotoperiod (panjang hari).
Faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dan bersama-sama dengan
faktor-faktor lain seperti kompetisi, jumlah dan kualitas makan, umur serta tingkat
kematian yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan.
Faktor-faktor yang paling banyak mempengaruhi pertumbuhan ikan adalah
jumlah dan ukuran pakan yang tersedia, jumlah individu yang menggunakan
pakan yang tersedia, kualitas air terutama suhu, oksigen terlarut, umur, ukuran
ikan serta kematangan gonad (Effendie 1997).

2.8 Hubungan Panjang Berat


Ukuran panjang-berat merupakan salah satu faktor penting bagi
pertumbuhan ikan dalam kurun waktu tertentu. Dalam hal ini berat dianggap
sebagai fungsi dari panjang, karena dengan bertambahnya berat dapat menentukan
15

panjang ikan. Dengan menggunakan variabel panjang dan berat dapat ditentukan
bentuk pertumbuhan dari ikan. Pengukuran panjang tubuh memberikan bukti
langsung terhadap pertumbuhan. Peningkatan ukuran panjang umumnya tetap
berlangsung walaupun ikan mungkin dalam keadaan kekurangan makanan.
Panjang tubuh dapat diukur dalam banyak cara dan yang umum digunakan
untuk ikan adalah panjang total, panjang cagak dan panjang baku. Panjang total
adalah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian kepala sampai
ujung terakhir bagian ekornya. Panjang cagak adalah panjang ikan yang diukur
dari ujung terdepan sampai ujung bagian luar lekukan sirip ekor, sedangkan
panjang standar atau panjang baku adalah panjang ikan yang diukur dari ujung
terdepan darai kepala sampai ujung terakhir dari tulang punggungnya atau
pangkal sirip ekor (Effendie 1997).
Analisa hubungan panjang berat bertujuan untuk mengetahui pola
pertumbuhan ikan dengan menggunakan parameter panjang dan berat. Berat dapat
dianggap sebagai salah satu fungsi dari panjang. Nilai yang didapat dari
perhitungan panjang berat ini adalah untuk menduga berat dari panjang atau
sebaliknya serta dapat diketahui pola pertumbuhan, kemontokan dan pengaruh
perubahan lingkungan terhadap pertumbuhan ikan (Effendie 1997), sedangkan
menurut Fafioye dan Oluajo (2005) analisis panjang berat yang dihubungkan
dengan data kelompok umur dapat digunakan untuk mengetahui komposisi stok,
umur saat pertama memijah, siklus kehidupan, kematian, pertumbuhan dan
produksi.
Menurut Effendie (1997), jika panjang dan berat diplotkan dalam suatu
gambar maka akan didapatkan persamaan W=aLb; W=berat, L=panjang, a dan b
adalah suatu konstanta. Nilai b berfluktuasi antara 2.5 sampai 4, tetapi
kebanyakan mendekati 3 karena pertumbuhan mewakili peningkatan dalam tiga
dimensi, sedangkan pengukuran panjang diambil dari satu dimensi. Nilai b yang
merupakan konstanta adalah nilai pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan
ikan. Hubungan ini juga memungkinkan untuk membandingkan individu dalam
satu populasi maupun antar populasi (Lagler et al. 1977). Nilai b=3
menggambarkan pertumbuhan isometrik, yang akan mencirikan ikan mempunyai
bentuk tubuh yang tidak berubah (Riker 1975) atau pertambahan panjang ikan
16

seimbang dengan pertambahan beratnya. Nilai b≠3 menggambarkan pertumbuhan


allometrik. Jika b<3 menunjukkan keadaan ikan yang kurus dimana pertambahan
panjangnya lebih cepat dari pertambahan beratnya. Jika b>3 menunjukkan
keadaan ikan yang gemuk dimana pertambahan beratnya lebih cepat dari
pertambahan panjangnya (Effendie 1997). Kenyataan ini berbeda dari setiap ikan,
karena adanya pengaruh musim dan jenis kelamin.

2.9 Makanan Ikan


Makanan adalah merupakan salah satu fungsi yang terpenting dari
organisme. Seperti semua organisme, ikan membutuhkan energi untuk bahan
bakar tubuh mereka, proses pertumbuhan, metabolisme dan reproduksi (Islam
2004). Setiap jenis ikan beradaptasi untuk memakan satu jenis makanan tertentu,
alat pengelihatan untuk mencari makan, rongga mulut (buccal cavity) untuk
menangkap dan usus untuk mencernakannya (Nikolsky 1963).
Berdasarkan jenis makanan utama, maka ikan secara umum dapat
digolongkan ke dalam tiga golongan yaitu (1) ikan kanivora yaitu pemakan
daging, yang biasanya mempunyai usus yang pendek; (2) ikan omnivor yaitu
pemakan daging dan tumbuh-tumbuhan, mempunyai panjang usus yang sedang;
(3) ikan herbivora yaitu pemakan tumbuh-tumbuhan, mempunyai usus yang
sangat panjang melingkar-lingkar di dalam rongga perut (Wootton 1992).
Hobson (1974), menyatakan bahwa kebiasaan makan ikan ini berubah
dalam daur hidupnya, paling tidak untuk kebanyakan ikan, biasanya dengan
perubahan-perubahan yang nyata dalam tingkah laku dan morfologinya.
Selanjutnya Lagler (1961), mengemukakan studi-studi makanan dapat
memperlihatkan secara mendetail hubungan-hubungan ekologis diantara
organisme-organisme, maka diperlukan identifikasi secara menyeluruh dari jenis-
jenis makanan tersebut.
Keadaan komposisi makanan ikan akan membantu menjelaskan
kemungkinan-kemungkinan habitat yang seringkali dikunjunginya (Kagwade
1967). Menurut Roa (1974), besarnya populasi ikan di dalam suatu perairan
adalah merupakan suatu fungsi dari potensialitas makanannya, sehingga suatu
pengetahuan yang benar dari hubungan antara ikan dengan organisme-organime
makanannya adalah penting untuk ramalan dan eksploitasi dari keberadaan
17

populasi ikan tersebut. Sedangkan Nikolsky (1969), mengemukakan besar serta


komposisi dari suplai makanan menentukan komposisi jenis ikan yang ada dan
juga mempengaruhi pertumbuhan ikan-ikan tersebut.

2.10 Siklus Hidup dan Tingkat Kematangan Gonad (TKG)


Siklus kehidupan dari kebanyakan ikan karang dapat dibagi dalam tiga tahap
biologi/ekologi (Tissot 2003) yaitu (1) tahap dalam bentuk larva pelagik; (2)
tahap ikan muda; dan (3) tahap ikan dewasa. Sepanjang tahap pelagik, telur-
telur/larva mengapung di dalam air terbuka sebagai komponen plankton laut. Fase
ikan muda dimulai saat ikan-ikan muda menempati terumbu karang dalam suatu
proses yang dikenal sebagai perekrutan. Ikan-ikan muda cenderung untuk
memikirkan diri sendiri dan adalah lebih sedikit nampaknya dibandingkan ikan
dewasa. Tahap ikan dewasa ditandai oleh kedewasaan seksual dan bisa disertai
oleh suatu transisi dari ikan muda sampai pewarnaan ikan dewasa atau
morphologi.
De Young (1940) dalam Effendie (1997) melakukan penelitian terhadap
kebiasaan memijah tiga belas spesies ikan ekonomis penting di laut jawa
berdasarkan distribusi garis tengah telurnya. Hasilnya memperlihatkan bahwa
pemijahan induvidu betul-betul berkala. Dari perbedaan yang khas dimungkinkan
membedakan tiga macam atau pola pemijahan yang berlainan. Ikan ekor kuning
termasuk dalam kelompok pola pemijahan kedua, dimana pada kelompok ini
sebelum telur kelompok pertama mencapai kematangan, kelompok telur
berikutnya sudah memisahkan dari stok telur yang lain. Sebelum terjadi
pemijahan didapatkan dua kelompok telur yang bepisah. Sesudah berpijah
didapatkan selain kelompok stok telur yang umum ada pula sekelompok telur
yang berukuran lebih besar yang sedang mematang dan akan dikeluarkan dalam
pemijahan berikutnya.
Klasifikasi kematangan gonad menurut Romimohtarto dan Juwana (2001)
untuk ikan laut adalah:
Tingkat. I : Tidak matang (immature). Gonad memanjang, kecil hampir
transparan)
Tingkat II : Sedang matang (maturing). Gonad membesar, berwarna jingga
18

kekuning-kuningan, butiran telur belum terlihat dengan mata


telanjang
Tingkat III : Matang (mature). Gonad berwarna putih kekuningan, butiran
telur sudah dapat terlihat dengan mata telanjang
Tingkat IV : Siap pijah. Butiran telur membesar dan berwarna kuning jernih,
dapat keluar dengan sedikit tekanan pada perut
Tingkat V : Pijah (spent). Gonad mengecil, berwarna merah dan banyak
terdapat pembuluh darah
Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan salah satu aspek biologi
reproduksi yang merupakan tahapan-tahapan tertentu perkembangan gonad
sebelum dan sesudah ikan memijah. Keterangan tentang TKG ikan diperlukan
untuk mengetahui perbandingan antara ikan yang ada di perairan, ukuran atau
umur ikan pertama kali matang gonadnya dan apakah ikan sudah memijah atau
belum. Selanjutnya ikan pertama kali mencapai matang gonad dipengaruhi oleh
beberapa faktor luar seperti suhu, arus, adanya individu yang berjenis kelamin
yang berbeda dan faktor dalam seperti umur, ukuran dan perbedaan spesies
(Niklosky 1963; Effendie 1997).
Pemijahan dalam proses reproduksi dapat diketahui dengan melihat
perubahan gonad yaitu menjadi besar dan berat. Berat gonad akan mencapai
maksimum saat ikan akan memijah, kemudian menurun dengan cepat selama
pemijahan sampai selesai (Effendie 1997). Untuk mengetahui perubahan gonad
tersebut secara kualitatif dapat dinyatakan dengan Indeks Kematangan Gonad
(IKG). IKG adalah suatu nilai dalam persen sebagai hasil dari perbandingan berat
gonad dengan berat tubuh ikan termasuk gonad dikalikan 100%. IKG ini akan
bertambah besar sampai mencapai maksimum ketika akan terjadi pemijahan
(Effendie 1997).
Royce (1984), ikan dapat memijah jika nilai IKG betina berkisar antara 10-
25% dan nilai IKG jantan berkisar antara 5-10%. Royce (1984), menyatakan
semakin banyak makanan tersedia, pertumbuhan ikan semakin cepat dan
fekunditas semakin besar. Fekunditas ikan berhubungan erat dengan lingkungan
dimana fekunditas spesies akan berubah bila keadaan lingkungan berubah (Musa
dan Bhuiyan 2007).
19

2.11 Hubungan Terumbu Karang dengan Komunitas Ikan Karang


Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang mempunyai
produktivitas organik yang tinggi, hal ini disebabkan kemampuan terumbu karang
menahan nutrien dalam sistem dan peran sebagai kolam untuk menampung segala
masukan dari luar. Disamping itu terumbu karang kaya akan keanekaragaman
spesies penghuninya karena variasi habitat yang terdapat pada terumbu. Ikan
merupakan salah satu organisme yang terbanyak ditemukan pada ekosistem
terumbu karang. Fungsi ekologis lainnya adalah tempat hidup berbagai jenis ikan
karang, udang karang, alga teripang dan kerang mutiara (Dahuri et al. 1996)
Dilihat dari fungsi biodiversiti, ekosistem ini mempunyai produktivitas dan
keanekaragaman jenis biota yang tinggi, keanekaragaman hidup di ekosistem ini
perunit area sebanding atau lebih besar dibandingkan hal yang sama dengan di
hutan tropis. Terumbu karang dikenal sebagai laboratorium untuk ilmu ekologi
(White et al. 1994)
Sumberdaya ikan karang merupakan ikan yang kehidupannya terikat dengan
perairan karang. Keterkaitan antara berbagai organisme di ekosistem terumbu
karang sangat ditentukan oleh kondisi terumbu karang. Apabila terjadi degredasi
pada suatu komunitas organisme akan dapat berakibat buruk bagi organisme
lainnya, secara ekologis, terumbu karang memiliki peranan yang penting bagi
ekosistem lainnya seperti ekosistem padang lamun dan ekosistem mangrove
(Lalamatik 1991)
Fasktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman dan kelimpahan jenis
dari komunitas ikan karang dalam hubungannya dengan terumbu karang adalah
tutupan karang hidup (Bel dan Galzin 1984; Anderson 2002) Keanekaragaman
subtratum (Robert dan Ormond 1987) dan (3) Keanekaragaman struktural
(Luckhurst dan Luckhurst 1978; Mc Clanahan 1994). Hal ini didukung oleh studi
Chabanet et al. (1997), dilaporkan bahwa keanekaragaman dan kekayaan jenis
dari kumpulan ikan karang adalah dihubungkan dengan banyak variabel karang
seperti kompleksitas bangunan (architectural) atau tutupan karang bercabang,
keanekaragaman, kekayaan jenis, kelimpahan, ukuran koloni, tutupan karang
hidup, tutupan karang padat dan tutupan karang pipih/merayap.
20

Acosta dan Robertson (2002) mengatakan bahwa kelimpahan dan


keanekaragaman ikan karang ditentukan pula oleh besar kecilnya luasan terumbu
karang, terumbu karang yang lebih luas kelimpahan dan keanekaragaman jenis
ikan karang akan lebih tinggi dibandingkan dengan terumbu karang yang
luasannya kecil. Hubungan antara terumbu karang sebagai habitat dan distribusi
komunitas ikan karang adalah dapat dijelaskan oleh ketergantungan ikan karang
pada terumbu karang yang menyediakan tempat makan, perlindungan dan
reproduksi.
Hubungan terumbu karang dan ikan karang adalah pada terumbu karang
sehat keragaman dan kuantitas makanan tinggi dan ini berdampak positip
langsung pada keragaman dan kelimpahan ikan karang, dan terumbu karang
merupakan tempat naungan dan perlindungan ikan karang dari predator,
khususnya bagi ikan berjenis kecil serta terumbu karang juga menyediakan
lingkungan yang tepat untuk kegiatan reproduksi dan penempatan larva bagi ikan
karang.

2.12 Dasar Pengelolaan Terumbu Karang dan Ikan Karang


Nikijuluw (2002) menyatakan, bahwa sumberdaya perikanan dapat berupa
sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan dan sumber daya buatan manusia yang
digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan. Pemanfaatan sumberdaya ikan
oleh manusia berhubungan erat dengan kondisi lingkungan tempat ikan tersebut
tinggal. Adanya interaksi antara sumberdaya ikan, lingkungan perairan serta
manusia sebagai pengguna, maka diperlukan sebuah pengelolaan agar ketiga
interaksi tersebut dapat berjalan secara seimbang dalam sebuah ekosistem.
Artinya pengelolaan sumberdaya ikan adalah penataan pemanfaatan sumberdaya
ikan, pengelolaan lingkungan dan pengelolaan manusia sebagai pengguna. Lebih
lanjut Murdiyanto (2004) menyatakan bahwa dalam sebuah pengelolaan
sumberdaya perikanan pantai, para pengelola harus dibekali dengan pengetahuan
dan fasilitas yang memadai. Ketersedian data dan informasih yang akurat,
sumberdaya manusia yang handal, dana, serta kesadaran dan partisipasi
masyarakat adalah hal-hal yang dibutuhkan agar pengelolaan sumberdaya
perikanan dapat berhasil dengan baik
21

Murdiyanto (2004) menyatakan bahwa permasalahan umum yang sering


dihadapi dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya perikanan pantai adalah ;
(1) kurangnya informasi tentang data perikanan pantai, (2) penurunan hasil
tangkapan, (3) dukungan pemerintah masih sangat terbatas, (4) kurangnya
kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan, dan (5) kwalitas sumber daya
manusia terutama yang menyentuh masyarakat langsung belum memadai.
Keadaan sedemikian rupa menyebabkan degredasi sumberdaya cendrung
semakin cepat, terutama sumberdaya terumbu karang dan pada akhirnya akan
mempengaruhi sumberdaya perikanan.
Pelaksanaan suatu pengelolaan di wilayah pesisir harus diawali dengan
perencanaan dengan melihat berbagai potensi sumberdaya yang ada sehingga
dapat tertata dengan rapi. Tujuan dari pengelolaan terumbu karang adalah untuk
menjaga dan melindungi kakasan ekosistem atau habitat terumbu karang supaya
keanekaragaman hayati dari kawasan ekosistem atau habitat tersebut dapat dijaga
dan dipelihara kelestariannya dari kegiatan-kegiatan pengambilan atau
pengrusakan (Supriharyono 2000).
3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di perairan Kepulauan Seribu yang terdiri dari perairan
Pulau Pramuka dan Pulau Panggang (bagian dari Kepulauan Seribu Utara dan
bagian dari zona pemukiman pada Taman Nasional Kepulauan Seribu) serta Pulau
Belanda dan Pulau Kayu Angin Bira (merupakan zona inti) yang dilaksanakan
dari bulan April–Juni 2009. Letak lokasi dan stasiun pengamatan disajikan pada
Gambar 3 dan Lampiran 1

3.2 Alat dan Bahan


Peralatan yang digunakan dalam penelitian secara umum dibagi menjadi dua
bagian, yaitu peralatan untuk mengukur parameter fisika-kimia perairan dan
peralatan untuk pengamatan komunitas ikan ekor kuning dan terumbu karang.
Peralatan yang digunakan adalah seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Bahan dan alat yang digunakan


No. Bahan dan Alat Spesifikasi dan satuan Kegunaan
0
1 Thermometer C Mengkur suhu permukaan air
2 Secchi disc % Mengukur kecerahan perairan
3 Depth gauge Meter Mengukur kedalaman perairan
4 Floating drag m/detik Mengukur arah dan kecepatan arus
5 GPS Titik Koordinat lokasi penelitian
6 Peralatan Dasar Selam Masker, snorkel dan fin Melakukan manta tow
7 Peralatan SCUBA (Self BCD, regulator, weight Melakukan pengamatan,
Contain Underwater belt, tabung udara pencacahan data dalam air
Breathing Aparatus ) (kapasitas 3000 Psi)
8 Transek kuadrat 1 m x Pipa paralon PVC ¼ inch Mengukur tutupan karang keras
1m dan makroalga sampai tingkat
genus
9 Kamera bawah air Nikon D-80 dengan Memotret kondisi karang keras
housing, lensa wide 10 – dan makrolaga untuk dianalisis
24 mm, f:3.5 – 4.5 dengan CPCe versi 3.6
10 Roll meter Menandai jarak pengamatan
11 Sabak Kertas new top dan triplek Mencatat data dalam air dengan
ukuran kertas A4 pensil 2B
12 Botol sampel Ukuran 300 ml dan 600 ml Mengkur parameter kimia perairan

13 Buku identifikasi Mengidentifikasi spesies ikan


karang, makroalga dan genus.
23

Gambar 3 Peta lokasi penelitian.


24

3.3 Metode Pengambilan Data


3.3.1 Penentuan titik stasiun
Asumsi yang digunakan dalam pemilihan lokasi ini adalah keterwakilan dari
zona inti dan zona pemukiman. Letak stasiun pengamatan di setiap pulau
dilakukan dua titik pada lokasi tangkapan nelayan (berdasarkan informasi
nelayan setempat) pada daerah terumbu karang. Stasiun penelitiannya adalah
Timur Pramuka (Stasiun 1), Utara Pramuka, (Stasiun 2), Barat Panggang
(Stasiun 3) dan Selatan Panggang (Stasiun 4) utnuk keterwakilan zona
pemukiman, sedangkan Utara Belanda (Stasiun 5), Selatan Belanda (Stasiun 6),
Timur Kayu. Angin Bira (Stasiun 7) dan Barat Kayu Angin Bira (Stasiun 8)
untuk keterwakilan zona inti.

3.3.2 Parameter lingkungan


Pengambilan data parameter lingkungan (Fisika, Kimia dan Biologi) yang
dilakukan di lokasi penelitian yaitu berupa kedalaman (Deep gauge), suhu
(Thermometer Hg), salinitas (Refraktometer), kecepatan arus (Current-meter),
dan kecerahan (Secchi disk). Parameter fisik yang akan dilakukan analisis di
laboratorium IPB adalah berupa sampel air yang diambil dengan menggunakan
botol yang diawetkan dengan H2S04, sedangkan untuk plankton diambil dengan
menggunakan planktonet yang berbentuk kerucut dengan diameter mulut jaring 31
cm, panjang 80 cm dan ukuran mata jaring 60 µm. Caranya menyaring air
sebanyak 50 liter dan contoh air yang tersaring dimasukan kedalam botol
berukuran 100 ml selanjutnya diawetkan dengan lugol.

3.3.3 Kondisi terumbu karang


Kondisi terumbu karang dilihat berdasarkan bentuk pertumbuhan karang
(lifeform) dan persentase tutupan substrat. Metode yang digunakan untuk
pengumpulan data kondisi terumbu karang adalah modifikasi transek garis yang
dikembangkan oleh Loya (1978) dan transek kuadrat (Rogers et al. 1994) serta
photogrammetry (Done 1981). Pada setiap stasiun pengamatan diletakkan transek
garis dengan panjang 50 meter sejajar garis pantai. Kemudian diletakkan transek
kuadrat ukuran 1 m x 1 m sepanjang garis transek dengan pengulangan 20 kali
dalam jarak 50 m (Gambar 4).
25

1m

1m

Gambar 4 Metode pengamatan terumbu karang dan posisi transek kuadrat (1 m x


1 m) untuk pengamatan terumbu karang.

Pengamatan didukung dengan pengambilan photo bawah air menggunakan


transek kuadrat yang telah dirangkai dengan bingkai tetrapod (Gambar 5). Transek
kuadrat dibuat dari PVC dengan ukuran 1 m x 1 m. Transek tersebut dibentangkan
sepanjang garis transek untuk kemudian difoto dengan kamera underwater. Hasil
foto per transek diamati dan luas tutupan dihitung menggunakan perangkat lunak
Coral Point Count with Excell extension (CPCe) yang dikembangkan oleh Kohler
dan Gill (2006).

Gambar 5 Bingkai tetrapod untuk fotografi tutupan karang (English et al. 1997).
26

Komunitas dicirikan dengan menggunakan kategori “bentuk pertumbuhan”


(lifeform) yang memberikan gambaran deskriptif morfologi komunitas karang.
Penggolongan komponen substrat bentik penyusun komunitas karang dan
lifeform karang seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Daftar penggolongan komponen substrat bentik penyusun komunitas


karang dan lifeform karang serta kodenya

Kategori Kode Keterangan


Dead Coral DC Baru saja mati, warna putih atau putih
kotor
DCA Karang ini masih berdiri, struktur skeletal
Dead Coral with Alga
masih terlihat
Branching ACB Paling tidak 2o percabangan. Memiliki
axial dan radial oralit.
Encrusting ACE Biasanya merupakan dasar dari bentuk
Acropora acropora belum dewasa
Submassive ACS Tegak dengan bentuk seperti baji
Digitate ACD Bercabang tidak lebih dari 2o
Tabulate ACT Bentuk seperti meja datar
Branching CB Paling tidak 2o percabangan. Memiliki
radial oralit.
Encrusting CE Sebagian besar terikat pada substrat
(mengerak) Paling tidak 2o percabangan
Foliose CF Karang terikat pada satu atau lebih titik,
Non-Acropora seperti daun, atau berupa piring.
Massive CM Seperti batu besar atau gundukan
Submassive CS Berbentuk tiang kecil, kenop atau baji.
Mushroom CMR Soliter, karang hidup bebas dari genera
Heliopora CHL Karang biru
Millepora CML Karang api
Tubipora CTU Bentuk seperti pipa-pipa kecil
Sofa Coral SC Karang bertubuh lunak
Sponge SP
Zoanthids ZO
Others OT Ascidians, anemon, gorgonian, dan lain-
lain
Alga assemblage AA
Coralline alga CA
Alga Halimeda HA
Macroalga MA
Turf alga TA
Abiotik Sand S Pasir
Rubble R Patahan karang yang ukurannya kecil
Silt SI Pasir berlumpur
Water W Air
Rock RCK Batu
Sumber: English et al. (1997)
27

3.3.4 Sumberdaya ikan ekor kuning


3.3.4.1 Kelimpahan ikan
Data kelimpahan dan ukuran ikan ekor kuning didapat melalui metode
sensus visual bawah air (underwater visual census) menggunakan bantuan transek
garis sepanjang 50 m (English et al. 1997). Prosedur yang digunakan dalam
metode ini adalah:
1) Roll meter (50 m) dibentangkan sejajar garis pantai, menunggu
beberapa saat untuk memberi kesempatan pada ikan untuk terbiasa
dengan kehadiran penyelam.
2) Penyelam berenang lambat setengah meter di atas substrat sepanjang
transek 50 m sambil mencatat kelimpahan dan ukuran ikan ekor
kuning yang dijumpai dengan jangkauan pengamatan sebelah kiri dan
kanan masing-masing sejauh 2.5 m (Gambar 6), sehingga area yang
dicakup dalam satu titik pengamatan ikan ekor kuning adalah seluas
250 m2.
3) Di setiap stasiun dilakukan sekali pengamatan pada kedalaman 0-15
meter.

Gambar 6 Metode sensus visual bawah air ikan karang (Sumber: English et al.
1997).
28

3.3.4.2 Kondisi biometrik


Ikan yang dijadikan sampel merupakan hasil tangkapan bubu atau pancing
dari lokasi pengamatan. Jumlah ikan sampel diambil sebanyak 50 ekor secara
random sampling dengan tingkat kepercayaan 95%.
Pengamatan kondisi biometrik dilakukan dengan cara melihat distribusi
frekuensi panjang dan berat. Pengukuran panjang ikan dilakukan dengan
menggunakan mistar berketelitian 1 mm. Panjang ikan yang diukur adalah
panjang cagak yaitu panjang ikan mulai dari ujung terdepan sampai ujung bagian
luar lekukan ekor (Effendie 1997) dengan cara badan ikan terlebih dahulu
diluruskan dan bibir mulutnya dirapatkan setelah itu baru dilakukan pengukuran.
Interpretasi pola distribusi frekuensinya dilakukan dengan mengelompokkan data
panjang ikan ke dalam kelas-kelas panjang.
Pengukuran berat terhadap seluruh sampel ikan digunakan timbangan
elektrik berketelitian 0.01 gram dengan caranya kotoran-kotoran yang menempel
pada tubuh ikan terlebih dahulu dibersihkan setelah itu dilakukan penimbangan.
Interpretasi pola distribusi frekuensinya dilakukan dengan mengelompokkan data
berat ikan ke dalam kelas-kelas berat. Berdasarkan data-data tersebut, maka dapat
dianalisa hubungan panjang berat untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan ekor
kuning di lokasi penelitian.

3.3.4.3 Tingkat kematangan gonad (TKG)


Data tingkat kematangan gonad diperoleh dengan cara melakukan
pengamatan terhadap 50 ekor ikan sampel yang diambil dari hasil tangkapan
nelayan di lokasi penelitian. Bagian perut ikan dibedah dengan bantuan dissecting
set, diambil bagian gonad dan diawetkan dalam botol sampel dengan formalin 4%,
untuk dianalisis di laboratorium.

3.3.4.4 Jenis makanan


Komposisi jenis makanan ikan ekor kuning diperoleh dengan cara perut 50
ekor ikan sampel hasil tangkapan nelayan di lokasi penelitian, dibedah dengan
bantuan dissecting set, diambil bagian lambung di awetkan dalam botol sampel
dengan formalin 4% dan dilakukan analisis di laboratorium.
29

3.4 Analisa Data


3.4.1 Persentase tutupan substrat bentik ekosistem terumbu karang
Kondisi terumbu karang dapat diduga melalui pendekatan persentase
penutupan karang keras pada ekosistem terumbu karang sebagaimana yang
dijelaskan oleh Gomez dan Yap (1988). Semakain kecil persentase penutupan
karang hidup yang diperoleh maka makin sedikit pula asosiasi terumbu karang
yang hidup di dalamnya. Persentase penutupan karang keras dan persentase
penutupan biota pengisi habitat bentik lainnya diolah dengan menggunakan
program lunak Coral Point Count with Excell extension (CPCe) yang
dikembangkan oleh Kohler dan Gill (2006). Program ini merupakan varian dari
program Visual Basic.
Penilaian kondisi terumbu karang didasarkan pada persentase tutupan
karang keras mengacu pada kategorikan Gomez and Yap (1988) seperti disajikan
pada Tabel 3.

Tabel 3 Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan


persentase penutupan karang (Gomez and Yap 1988)
Persentase Penutupan (%) Kriteria Penilaian

0 – 24.9 Buruk
25 – 49.9 Sedang
50 – 74.9 Baik
75 – 100 Sangat baik

3.4.2 Ikan ekor kuning


3.4.2.1 Kelimpahan ikan ekor kuning
Analisis kelimpahan ikan ekor kuning yang berada di daerah terumbu
karang dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

X
X i

n
Dimana :
X = Kelimpahan Ikan
Xi = Jumlah ikan pada stasiun pengamatan ke-i
n = Luas terumbu karang yang diamati (m2)
30

3.4.2.2 Kondisi biometri


Hubungan panjang berat dianalisis dengan model atau persamaan Hile
(1936) dalam Effendie (1997), sebagai berikut:

W = aLb
Untuk jumlah sampel kecil maka menggunakan teknik perhitungan menurut
Rounsefeell dan Everhart (1960) yaitu :

Log W = log a + b log L

Dimana :
W = berat ikan (gram)
L = panjang ikan (cm)
a dan b = konstanta.

Harga ”b” berkisar antara 2.0-3.5. Harga b yang mungkin timbul selain b <
3, juga b = 3 atau b > 3. Masing-masing harga ”b” yang demikian itu dapat
ditafsirkan sebagai berikut:
b=3 : Pertumbuhan bersifat isometrik karena pertambahan panjang
dan berat ikan seimbang (ideal).
b > 3 atau b < 3 : Pertumbuhan ikan bersifat allometrik atau kurang baik karena
pertumbuhan berat dan panjang tidak sebanding. Sifat
allometrik ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu : Bila b < 3
berarti pertumbuhan panjang lebih cepat jika dibandingkan
dengan pertumbuhan berat sehingga ikan kelihatan kurus dan
tidak normal, terlihat terlalu panjang. Bila b > 3 berarti
pertumbuhan berat lebih cepat dibandingkan dengan
pertumbuhan panjang sehingga ikan kelihatan gemuk dan tidak
normal.
31

Nilai ”b” yang didapat dari hasil perhitungan tersebut, akan dilakukan uji
statistik (regresi) untuk melihat sejauh mana keeratan hubungan nilai ”b” atau
menguji keertan hubungan antara pertumbuhan berat dan pertumbuhan panjang.

3.4.2.3 Tingkat kematangan gonad (TKG)


Data tingkat kematangan gonad untuk ikan ekor kuning diperoleh
berdasarkan analisa terhadap kondisi gonat yang dilakukan di laboratorium,
berpedoman pada lima tingkatan menurut klasifikasi kematangan gonad ikan laut
(Romimohtarto dan Juwana 2001), seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Klasifikasi kematangan gonad ikan laut

Tingkat Keadaan Gonad Deskripsi


I Tidak matang Gonad memanjang, kecil hampir transparan
(immature)
II Sedang Matang Gonad membesar, berwarna jingga kekuning-kuningan,
(maturing) butiran telur belum terlihat dengan mata telanjang
III Matang (mature) Gonad berwarna putih kekuningan, butiran telur sudah
dapat terlihat dengan mata telanjang
IV Siap Pijah Butiran telur membesar dan berwarna kuning jernih,
dapat keluar dengan sedikit tekanan pada perut
V Pijah (spent) Gonad mengecil, berwarna merah dan banyak terdapat
pembuluh darah

3.4.2.4 Jenis makanan


Kodisi dan pola pertumbuhan dari makluk hidup salah satunya dipengaruhi
oleh ketersediaan makanan. Makanan merupakan salah satu faktor ekologis yang
memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan.
Data jenis makan ikan ekor kuning, dianalisis berdasarkan komposisi isi
lambung yang dilihat dengan menggunakan mikroskop dengan cara komposisi isi
lambung dari setiap ekor ikan di letakan dalam preparat lalu melihat frekwensi
kejadiannya, dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali dan hasilnya dijumlahkan.
Komposisi jenis makanan dihitung berdasarkan total dari hasil analisas masing-
masaing isi lambung ikan. Hasil perhitungan tersebut dapar memberikan
informasi mengenai komposisi makanan utama dari ikan ekor kuning.
Untuk kelimpahan plankton di perairan dihitung mengunkan metode sapuan
diatas gelas obyek Sedwigck Rafter (Basmi 2000) dengan satuan individu per
meter kubik (individu/m3) :
32

Dimana :
N = Jumlah total individu plankton per m3 (Individu/m3)
ni = Jumlah individu ke-i yang tercacah (indvidu)
Vd = Volume air contoh yang disaring (l)
Vt = Volume air contoh yang tersaring (100 ml)
Vs = Volume air pada Sedwigck Rafter counting cell volume (1 ml)

Mengetahui kuatnya hubungan antara kelimpahan plankton sebagai


makanan dengan kelimpahan ikan ekor kuning dilanjutkan dengan regresi.

3.4.3 Pengelompokan habitat


Pengelompokan habitat dilakukan berdasarkan pengelompokan substrat
bentik, menggunakan cluster analysis berdasrkan indeks kesamaan Bray-Curtis.
Indeks yang diolah menggunakan program MVSP (Multi Variate Statistical
Package). Rumus Bray-Curtis dalam Clifford dan Stephenson (1975) adalah
sebagai berikut:

Keterangan:
S = indeks kesamaan Bray-Curtis
Xi1 = tutupan karang jenis ke-i pada stasiun pertama
Xi2 = tutupan karang jenis ke-i pada stasiun kedua

3.4.4 Keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning dengan karakteristik


habitat

Pengelompokan habitat di atas akan menunjukan dendrogram yang


mengelompokan lokasi-lokasi penelitian sesuai dengan variabel-variabel yang
mempunyai kemiripan sangat dekat sesuai titik potong yang terbentuk. Kemiripan
variabel antar lokasi penelitian tersebut merupakan ciri yang membedakan
kelompok yang satu dengan kelompok lainnya. Selanjutnya untuk kelimpahan
ikan dari tiap lokasi penelitian dikelompokan sesuai kelompok yang sudah
terbentuk.
33

Berdasarkan ciri kelompok yang terbentuk dan kelimpahan ikan dari


masing-masing kelompok maka dapat dideskripsi mengenai keterkaitan
sumberdaya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat pada ekosistem
terumbu karang.

3.4.5 Rekomendasi pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ikan ekor


kuning secara terpadu dan berkelanjutan

Rekomendasi pengelolaan terhadap ekosistem terumbu karang dan


sumberdaya ikan ekor kuning secara ekologis dalam penelitian ini adalah
berdasarkan pada kondisi ekosistem terumbu karang, kondisi sumberdaya ikan
ekor kuning dan keterkaitan antara sumberdaya ekor kuning dengan karakteristik
habitat.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian


Kawasan Kepulauan Seribu merupakan bagian dari wilayah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta terdiri dari pulau-pulau kecil yang merupakan gugusan pulau
karang. Gugusan pulau karang tersebut terletak di muka Teluk Jakarta yang
membentang dari tenggara ke arah barat laut dari teluk tersebut.
Sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 1986 Tahun
2000 tentang wilayah Kepulauan Seribu dinyatakan bahwa jumlah pulau di
Kecamatan Kepulauan Seribu adalah 110 pulau yang secara Administratif dibagi
menjadi 6 wilayah kelurahan yaitu kelurahan Pulau Panggang, Pulau Tidung,
Pulau Kelapa, Pulau Untung Jawa, Pulau Harapan, dan Pulau Pari.
Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu dengan pusat ibu kota di Pulau
Pramuka, secara geografis adalah pada 5°24' - 5045 LS dan 106'25-106°40' BT,
mulai dari kawasan Teluk Jakarta sampai Pulau Sebira, yaitu pulau terjauh di
sebelah utara yang berjarak sekitar 150 km dari daratan Kota Jakarta (Siregar
1994), merupakan salah satu dari 5 kota dan 1 kabupaten di Provinsi DKI Jakarta.
Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu dibagi menjadi dua wilayah, yakni
Kepulauan Seribu Utara dan Kepulauan Seribu Selatan.
Berdasarkan laporan Kabupaten Kepulauan Seribu dalam Angka tahun
2006, diketahui jumlah penduduk Kepulauan Seribu tercatat sebanyak 19 916 jiwa
yang tersebar di 12 pulau yaitu Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua, Pulau Panggang,
Pulau Harapan, Pulau Pramuka, Pulau Tidung, Pulau Besar, Pulau Payung Besar,
Pulau Pari, Pulau Untung Jawa, Pulau Lancang Besar, Pulau Sebira. Sebagian
besar penduduk di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada tahun 2006
tinggal di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara sebesar 59.15%. Kepadatan
penduduk di Kabupaten Kepulauan Seribu mencapai 2 214 jiwa per km2 dengan
tingkat kepadatan tertinggi di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan yang
mencapai 2 504 jiwa per km2.
Kehidupan sosial budaya masyarakat di Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh
beragam budaya suku bangsa mengingat masyarakat tersebut berasal dari berbagai
suku yang ada di Indonesia, seperti Suku Betawi, Jawa, Sunda, Bugis, Madura,
35

Banten, Lampung dan Minangkabau. Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah


Bahasa Indonesia.
Berdasarkan laporan Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta
Tahun 2006, sebagian besar penduduk Kepulauan Seribu berpendidikan SD,
kemudian diikuti yang berpendidikan SLTP dan SLTA, sedangkan yang
berpendidikan tinggi dan universitas hanya sebesar 0.65% dari jumlah penduduk
Kepulauan Seribu. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia
masih sangat sedikit untuk mendukung pembangunan Kepulauan Seribu.
Sumber pendapatan utama masyarakat Kepulauan Seribu adalah dari bidang
perikanan seperti penangkapan ikan, budidaya laut, budidaya tambak dan
pengolahan hasil-hasil perikanan dan kelautan, sedangkan potensi lainnya yaitu
pengembangan wisata bahari.
Untuk perikanan tangkap, dominasi ikan yang ditangkap oleh masyarakat
nelayan Kepulauan Seribu adalah selar, bawal, kembung, layang, tongkol, ekor
kuning, pisang-pisang, kakap merah, teri, lencam, rajungan, cumi, kuwe dan
beronang dengan alat tangkap yang digunakan adalah berupa pancing, jaring
payang, jaring gebur, jaring rampus, jaring rajungan, muroami mini (trip harian
dan daerah penangkapan di perairan Kepulauan Seribu), muroami besar (trip
mingguan dan daerah penangkapan sampai di luar perairan Kepulauan Seribu),
bubu besar, bagan tancap, bagan apung dan jaring ikan hias.
Nelayan di Kepulauan Seribu kebanyakan merupakan nelayan tetap dengan
jumlah sebanyak 8 975 orang, sedangkan nelayan musiman berjumlah 1 427
orang. Hal ini mengindikasikan bahwa mata pencaharian pokok penduduk
Kepulauan Seribu adalah nelayan. Nelayan musiman yang umumnya merupakan
penduduk pendatang, banyak ditemukan di Pulau Panggang sebanyak 145 orang,
Pulau Kelapa 315 orang, Pulau Harapan 200 orang dan Pulau Tidung 300 orang.
Berdasarkan laporan Kepulauan Seribu dalam angka Tahun 2006, kegiatan
penangkapan ikan harian nelayan Kepulauan Seribu cukup tinggi mencapai 6 065
orang, sedangkan untuk mingguan dan bulanan sebanyak 1 994 orang dan 2 322
orang.
Sedangkan untuk budidaya laut meliputi budidaya rumput laut, budidaya
teripang dan budidaya ikan (kerapu macan, kerapu lumpur, kerapu lada, kerapu
36

sunu dan bandeng). Untuk pertambakannya berupa udang windu, bandeng,


mujaer, kakap putih dan gabus. Untuk kegiatan pengelolaan hasil perikanan dan
kelautan meliputi usaha ikan bakar, ikan asin, rumput laut dan kerupuk ikan.
Potensi pengembangan wisata bahari seperti selancar, memancing ikan di
rumpon dasar dan permukaan, snorkeling dan diving. Pengembangan wisata
bahari tersebut didukung oleh keindahan ekosistem terumbu karang yang terdapat
di perairan Kepulauan Seribu serta upaya transplantasi karang (pencakokan)
dengan memanfaatkan media blok semen cor, serta rumah singgah ikan (fish
shelter) yang dirancang baik dari konstruksi kerangka beton maupun dengan
menenggelamkan becak, mobil dan ban bekas.

4.2 Kondisi Lingkungan Perairan


Kualitas air pada prinsipnya merupakan pencerminan dari kualitas
lingkungan. Air merupakan medium bagi kehidupan organisme perairan. Oleh
karena itu kualitas air ini akan mempengaruhi dan menentukan kemampuan hidup
organisme perairan tersebut (Kartamihardja et al. 1987). Pengamatan untuk
kondisi lingkungan (fisika, kimia dan biologi) secara umum menunjukkan hasil
yang mendukung bagi kehidupan biota laut dengan kisaran nilai yang diijinkan
menurut KepMen LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota
laut (Tabel 5).

Tabel 5 Nilai kondisi lingkungan perairan

Kec. Keke- Kece-


Sampling Suhu Salinitas NO3-N PO4-P Plankton
Arus ruhan rahan
Point
(OC) (PSU) (m/s) (NTU) (%) (mg/l) (mg/l) (Individu/m3)
Timur
28 32 0.030 0.45 100 0.02 0.024 2,520
Pramuka
Utara
29 30 0.070 0.40 100 0.06 0.015 2,240
Pramuka
Barat
29 32 0.048 0.50 100 0.09 0.024 3,640
Panggang
Selatan
29 32 0.072 0.50 100 0.12 0.020 1,880
Panggang
Utara
28 33 0.067 0.50 100 0.10 0.018 2,560
Belanda
Selatan
30 33 0.061 0.43 100 0.09 0.018 3,680
Belanda
Timur K.
28 32 0.046 0.50 100 0.06 0.026 2,680
Angin
Barat K.
28 32 0.031 0.50 100 0.09 0.029 2,880
Angin
37

Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi
organisme dalam melakukan aktivitas metabolisme, perkembangbiakan serta
proses-proses fisiologi organisme karena suhu dapat mempengaruhi sifat fisik,
kimia dan biologi perairan. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian
sebaran suhu berkisar antara 28–30 oC (Tabel 5).
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa suhu di lokasi penelitian masih
tergolong normal untuk kehidupan biota laut khususnya fitoplankton. Hal ini
karena penelitian tersebut berlangsung pada saat musim peralihan dimana
pergerakan massa air cukup stabil atau tenang. Sesuai dengan pernyataan Effendi
(2003), bahwa kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan
adalah 20–30 oC. Kisaran tersebut masih termasuk dalam kriteria suhu dimana
terumbu karang dapat tumbuh dan berkembang. Menurut Sukarno et al. (1983)
suhu yang paling baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25–30 oC.
Huet (1971), menyatakan fluktuasi harian suhu perairan sangat
mempengaruhi kehidupan oraganisme di dalamnya, fluktuasi suhu air yang terlalu
besar dapat mematikan organisme perairan. Bihsop (1973) menyatakan suhu air
dapat merangsang dan mempengaruhi pertumbuhan organisme perairan serta
mempengaruhi oksigen terlarut untuk respirasi. Menurut Boyd dan Kopler (1979)
suhu optimum untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis adalah 25-30 0C.

Salinitas
Hasil pengukuran salinitas pada lokasi penelitian menunjukkan nilai yang
homogen dengan kisaran nilai antara 30–33 PSU (Tabel 5) dengan nilai salinitas
terendah terdapat di Utara Pulau Pramuka. Perbedaan nilai salinitas antar stasiun
pengamatan sangat kecil dan masih dalam kategori normal untuk kehidupan biota
laut, hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) bahwa nilai salinitas
perairan laut berkisar antara 30-40‰ sedangkan menurut Nybakken (1988) dan
Thamrin (2006) salinitas perairan dimana karang dapat hidup adalah pada kisaran
27-40 ‰ dengan kisaran optimum untuk pertumbuhan karang adalah 34-36‰.

Kecepatan arus
Kecepatan arus pada setiap stasiun umumnya tidak jauh berbeda dengan
kisaran 0.030–0.072 m/s (Tabel 5), kecepatan arus yang paling tinggi terjadi di
38

Selatan Pulau Panggang dan paling rendah di Timur Pulau Pramuka, secara umum
arah arus menuju barat. Hal ini berkaitan erat dengan musim tenggara dan angin
musim (monsoon) timur yang berlangsung pada saat dilakukannya pengambilan
data. Adanya arus ini diperlukan untuk tersedianya aliran air yang membawa
makanan dan oksigen bagi biota karang serta menghindarkan karang dari
pengaruh sedimentasi.

Kecerahan
Kecerahan dan kekeruhan merupakan parameter yang saling berkaitan.
Peningkatan konsentrasi padatan tersuspensi akan meningkatkan kekeruhan
perairan, sebaliknya akan mengurangi kecerahan perairan. Parameter-parameter
tersebut marupakan indikasi tingkat produktivitas perairan sehubungan dengan
proses respirasi biota perairan dan kualitas perairan.
Kecerahan (transparency) air adalah suatu ukuran untuk mengetahui daya
penetrasi cahaya matahari ke dalam air dimana nilainya berbanding terbalik
dengan nilai kekeruhan (Koesbiono 1980). Kemampuan daya tembus matahari ke
perairan sangat ditentukan oleh kandungan bahan organik dan bahan anorganik
tersuspensi dalam perairan, kelimpahan plankton, jasad renik dan densitas air
Wardoyo (1981).
Kecerahan menggambarkan kemampuan cahaya menembus lapisan air pada
kedalaman tertentu. Kecerahan sangat penting bagi perairan karena berpengaruh
terhadap berlangsungnya produktivitas primer melalui fotosintesis fitoplankton.
Hasil pengukuran (Tabel 5) menunjukan nilai parameter kecerahan merata sama
di semua lokasi dengan kedalam 3-7 m.
Dalam ekosistem terumbu karang, kecerahan erat kaitannya dengan cahaya
matahari. Cahaya matahari sangat diperlukan terutama oleh alga simbion karang
zooxanthellae untuk melakukan fotosintesis, selanjutnya hasil dari fotosintesis
dimanfaatkan oleh karang untuk melakukan proses respirasi dan kalsifikasi
(Hubbard 1997). Kecerahan berbanding terbalik dengan padatan tersuspensi
(TSS), dimana semakin meningkat TSS maka kecerahan dan penetrasi cahaya
matahari semakin berkurang. Hal ini menurut Hubbard (1997) dapat berpengaruh
terhadap morfologi karang. Kedalaman penetrasi sinar matahari mempengaruhi
39

kedalaman pertumbuhan karang hermatipik sehingga diduga hal ini juga


mempengaruhi penyebarannya (Sukarno 1977).

Kekeruhan
Nilai kekeruhan yang diperoleh selama penelitian berkisar antara
0.40 NTU–0.55 NTU (Tabel 5), nilai terendah terdapat di Utara Pulau Pramuka.
Secara umum nilai kekeruhan untuk semua stasiun pengamatan berada dalam
kondisi normal dan nilai tersebut sesuai baku mutu air laut untuk biota laut yang
ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Negara LH RI No. 51 Tahun 2004
yaitu < 5 NTU. Hal tersebut dimungkinkan sedikitnya partikel terlarut pada
perairan tersebut sehingga sangat baik untuk mendukung kehidupan biota.

Nitrat (NO3-N)
Nitrat adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami, sangat mudah larut
dalam air dan bersifat stabil. Nitrat merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan
tanaman dan alga. Konsentrasi nitrogen dalam bentuk nitrat selama penelitian
nilainya berkisar antara 0.02–0.12 mg/l (Tabel 5) nilai terendah di Timur Pulau
Pramuka dan tertinggi di selatan Pulau Panggang. Menurut Effendi (2003) kadar
nitrat di perairan alami hampir tidak pernah melebihi 0.1 mg/l. Kadar nitrat lebih
dari 5 mg/l menandakan telah terjadi pencemaran anthropogenik dari aktifitas
manusia. Kadar nitrat lebih dari 0.2 mg/l berpotensi untuk dapat menyebabkan
terjadinya eutrofikasi dan selanjutnya memicu pertumbuhan algae dan tumbuhan
air secara pesat.
Secara alami terumbu karang mampu mengkonservasi keberadaan nutrien
dengan memiliki katabolisme protein yang rendah serta mengkatabolis lipid dan
karbohidrat. Dalam jumlah yang cukup banyak justru akan membahayakan
bahkan dapat menyebabkan kematian terumbu karang. Terumbu karang tidak
dapat beradaptasi pada saat pengkayaan nutrien terjadi, umumnya mereka tidak
mampu berkompetisi dengan makroalga bentik. Pengkayaan nutrien juga dapat
menurunkan laju kalsifikasi karena fosfat akan mengikat kristal aragonite pada
saat proses kalsifikasi (Muler-Parker dan D’Elia 1997).
Phosphat (PO4-P)
Unsur P merupakan salah satu unsur hara yang penting bagi metabolisme sel
tanaman. Unsur ini dalam perairan ditentukan dalam bentuk ortho-phosphat, poli-
40

phosphat dan phosphate-organik. Unsur P dalam bentuk ortho-phosphat dapat


dimanfaatkan oleh organisme nabati karena senyawa ini merupakan senyawa yang
larut dalam air. Di dalam air phosphat dapat ditemukan dalam berbagai bentuk
senyawa Fe dan Ca dan bentuk ikatan dipengaruhi oleh pH.
Senyawa anorganik phosphat yang terkandung dalam air laut umumnya
berada dalam bentuk ion ortho-phosphat. Hasil pengamatan menunjukkan nilai
ortho-phosphat rata-rata berkisar antara 0.015–0.029 mg/l (Tabel 5) dengan nilai
terendah di Utara Pulau Pramuka dan nilai tertinggi di Barat Pulau Kayu Angin.
Kandungan ortho-phosphat di lokasi penelitian berada di bawah batasan optimum
untuk pertumbuhan fitoplankton. Hal ini berarti kesuburan perairan berdasarkan
kandungan phosphat di lokasi penelitian tergolong rendah. Kadar ortho-phosphat
untuk pertumbuhan optimum fitoplankton sebesar 0.09–1.80 mg/l (Mackenthum
1969 dalam Basmi 2000). Pada umumnya kandungan phosphat dalam perairan
tidak pernah lebih dari 0.1 ppm, kecuali bila penambahan dan pelimpahan air
buangan pertanian ataupun rumah tangga (Krismono et al. 1987). Suatu perairan
relatif subur bila kandungan total phosphat 0.06 – 10.00 ppm (Goldman dan
Horne 1983).

Plankton
Kelimpahan Plankton bervariasi pada setiap stasiun pengamatan.
Kelimpahan plankton rata-rata antara 1 880–3 680 individu/m3 (Tabel 5), dimana
kelimpahan tertinggi di Selatan Belanda dan kelimpahan terendah di stasiun 4
Selatan Panggang. Perbedaan kelimpahan antara stasiun menunjukkan bahwa
distribusi kelimpahan plankton tidak merata.

4.3 Komposisi Substrat Bentik Ekosistem Terumbu Karang


Komposisi dan persen tutupan substrat bentik di lokasi pengamatan cukup
beragam antar stasiun pengamatan. Umumnya didominasi oleh kelompok abiotik
dengan kisaran antara 13.85-50.28% tertinggi dijumpai di lokasi Timur Pramuka
dan yang paling rendah di Barat Kayu (Gambar 7 dan Lampiran 2).
Penilaian baik atau buruknya kondisi karang disuatu lokasi ditentukan oleh
tinggi atau rendahnya persentase tutupan karang keras. Persentase tutupan karang
keras di lokasi penelitian berkisar antara 18.13-54.36%. Persentase terendah
41

untuk kelompok karang keras di Timur Pramuka sebesar 18.13% dan tertinggi di
Selatan Panggang sebesar 54.35%.

Gambar 7 Persentase tutupan kelompok substrat bentik

Menurut Gomez & Yap (1988) berdasarkan persentase tutupan karang


hidup, maka kondisi terumbu karang pada lokasi penelitian terdiri dari kategori
buruk adalah di Timur Pramuka (18.13%), Utara Pramuka (23.84%) dan Selatan
Belanda (21.08%), kategori sedang adalah di Barat Panggang (27.29%), Timur
Kayu Angin (28.90%), Utara Belanda (39.41%) dan Barat Kayu Angin (45.18%),
sedangkan kategori baik di Selatan Panggang (54.35%) dapat dilihat pada
Gambar 8.

Gambar 8 Persentase tutupan kelompok karang keras


42

Kategori terumbu karang dengan kondisi buruk terdapat di Timur Pramuka


dan Utara Pramuka, kedua lokasi tersebut berada pada zona pemukiman (mengacu
pada pembagian zona menurut TNKp). Keberadaan ekosistem terumbu karang di
kedua lokasi tersebut diduga dipengaruhi oleh aktifitas manusia baik yang terjadi
di darat seperti limbah rumah tangga, maupun yang terjadi di laut seperti
penambatan kapal, kegiatan pariwisata (penyelaman) dan pola penangkapan yang
tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bubu dan muroami yang masih terjadi
hingga saat ini. Kerusakan tersebut dapat dilihat dari tingginya persentase abiotik
di Timur Pramuka sebesar 50.28% yang didominasi oleh patahan karang
(32.61%) dan batu (13.50%), sedangkan Utara Pramuka persentase abiotik sebesar
48.38% dengan persentase patahan karang sebesar 32.51% dan batu sebesar
10.91%. Sehingga diduga kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh
beberapa faktor tersebut di atas masih terjadi di Utara Pramuka. Hal ini dapat
ditunjukkan dengan tingginya persentase karang mati baru sebesar 15.17%, yang
merupakan persentase tertinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya (Gambar 9
dan 10).

Gambar 9 Persentase tutupan kelompok abiotik

Perentase kelompok karang mati berkisar antara 16.11-42.19%, terlihat


mendominasi di selatan Belanda (42.19%) dan Barat Kayu Angin (35.68%),
persentase terendah di Utara Belanda (16.11%) sedangkan kondisi di lima lokasi
tidak terlalu berbeda. Ditinjau lebih jauh terhadap kelompok karang mati, terlihat
43

bahwa komponen karang mati beralga (DCA) mendominasi di semua lokasi


dengan persentase antara 14.10-33.85%.
Persentase karang mati beralga (DCA) tertinggi terdapat di Selatan Belanda
dan persentase terendah terdapat di Utara Pramuka.Untuk karang mati baru
persentase tutupan berkisar antara 0.75-15.17%, persentase tertinggi terdapat di
Utara Pramuka (15.17%) dan terendah terdapat di Timur Pramuka (0.75%).
Kondisi karang mati baru terlihat cukup tinggi persentase penutupannya di Barat
Kayu angin, Selatan Belanda dan Timur Kayu Angin (Gambar 10 dan
Lampiran 2).

Gambar 10 Persentase tutupan karang mati ber alga dan karang mati

Sangat ironis melihat kondisi terumbu karang di Selatan Belanda yang


merupakan zona inti tetapi kondisi terumbu karangnya termasuk dalam kategori
buruk (21.08%). Kerusakan terumbu karang pada lokasi tersebut ditunjukkan
dengan tingginya persentase patahan karang dan cukup tingginya persentase
karang mati baru, yang diduga aktifitas penangkapan di kedua lokasi yang telah
ditetapkan sebagai zona inti masih tetap berlangsung, hal ini menunjukkan
kegiatan pengawasan di perairan zona inti (Pulau Belanda dan Pulau Kayu Angin
Bira) masih belum berjalan dengan baik.
44

Kelompok karang mati beralga di kedua lokasi memiliki persentase tutupan


tertinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya, hal ini diduga disebabkan oleh
kegiatan pemboman yang telah lama ditinggalkan oleh masyarakat. Menurut
Aktani (2003), dampak dari penangkapan ikan dengan menggunakan bom sejak
tahun 1970 – 1995 mempengaruhi rendahnya tutupan karang keras dilokasi Pulau
Belanda.
Kondisi terumbu karang di Selatan Panggang yang dekat dengan aktifitas
penduduk menduduki ranking tertinggi, berada pada kondisi baik (54.35%).
Kondisi tersebut diduga disebabkan oleh adanya area perlindungan laut yang
dikembangkan oleh masyarakat, adanya kegiatan transplantasi karang serta
adanya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya terumbu karang.
Dugaan lain adalah disebabkan karena adanya penghuni yang mendiami pulau
tersebut, sehingga secara tidak langsung aktifitas yang merusak terumbu karang di
perairan sekitar pulau tersebut dapat diawasi oleh masyarakat setempat.
Kelompok fauna lain dan alga merupakan komponen substrat bentik yang
memiliki persentase terendah hampir di semua lokasi penelitian. Persentase
tertinggi untuk kelompok fauna lain terlihat di Timur Pramuka sebesar 12.22%
sedangkan di lokasi lain berkisar antara 0.31-3.19%. Persentase tertinggi untuk
kelompok alga ditemukan di Barat Panggang sebesar 12.04% sedangkan di
kelompok lain berkisar antara 0.97-2.26%.
Kondisi terumbu karang dilihat berdasarkan persentse penutupan karang
keras di lokasi penelitian rata-rata berada pada kategori sedang (32.27%). Ditinjau
dari skala yang lebih luas, menurut Estradivari et al. (2007) pada tahun 2007
tutupan karang di Kepulauan Seribu sebesar 33.20%, sehingga dalam dua tahun
terakhir telah terjadi peningkatan persentase tutupan karang hidup sebesar 0.94%
hingga saat penelitian ini.
Kelompok karang keras dibagi dalam dua kategori lifeform, yakni Acropora
dan Non-Acropora. Selanjutnya lifeform Acropora dibagi menjadi 4 kategori dan
lifeform Non-Acropora dibagi menjadi 7 kategori (Lampiran 3). Komposisi
tutupan komponen penyusun lifeform Acropora dan Non-Acropora terlihat cukup
bervariasi di lokasi pengamatan (Gambar 11 dan 12).
45

Gambar 11 Persentase tutupan komponen penyusun lifeform Acropora

Gambar 12 Persentase tutupan komponen penyusun lifeform Non-Acropora

Acropora Branching (ACB) terlihat mendominasi dan menjadi komponen


utama penyusun lifeform di seluruh lokasi pengamatan. Kondisi yang lebih
bervariasi terlihat pada komponen penyusun lifeform Non-Acropora dimana
karang foliose (CF), karang masif (CM), dan karang kerak (CE) mendominasi di
stasiun pengamatan tertentu (Gambar 13).
46

Gambar 13 Rata-rata persentase tutupan lifeform

Bentuk pertumbuhan massive tertinggi di Selatan Panggang yang memliki


kekeruhan yang cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan Chappel (1980), diacu dalam
Supriharyono (2000) yang menyatakan bahwa karang yang tumbuh di perairan
dengan sedimentasi tinggi mengarah ke bentuk massive, sedangkan di perairan
yang jernih atau sedimentasi rendah, lebih banyak ditemukan dalam bentuk
bercabang dan tabulate.
Pada dasarnya jenis karang yang dominan di suatu habitat tergantung pada
kondisi lingkungan atau habitat tempat karang itu hidup. Daerah rataan terumbu
biasanya didominasi karang-karang kecil yang umumnya berbentuk massive dan
submassive sementara lereng terumbu biasanya ditumbuhi oleh karang-karang
bercabang. Karang massive lebih banyak tumbuh di terumbu terluar dengan
perairan berarus. Gelombang berpengaruh terhadap perubahan bentuk koloni
terumbu. Karang yang hidup di daerah terlindung dari gelombang (leeward zones)
memiliki bentuk percabangan ramping dan memanjang sementara pada
gelombang yang kuat (windward zones) kecenderungan pertumbuhan berbentuk
percabangan pendek, kuat, merayap atau submassive. Secara umum ada empat
faktor dominan yang mempengaruhi bentuk pertumbuhan, yaitu cahaya, tekanan
hidrodinamis (gelombang dan arus), sedimen dan subareal exposure.
Kelimpahan genus tertinggi yang ditemukan terdiri dari genus Acropora,
Montipora dan Porites. Genus Acropora merupakan karang keras yang memiliki
pertumbuhan yang cepat dibandingkan dengan jenis karang lainnya dan sering
ditemukan di setiap lokasi. Menurut Goreau (1959) diacu dalam Supriharyono
47

(2000), karang Acropora, karang bercabang dan foliose umumnya lebih cepat
pertumbuhannya dibandingan karang Porites atau yang berbentuk masif. Genus
Acropora memiliki jumlah jenis (spesies) terbanyak dibandingkan genus lainnya
pada karang. Karang jenis ini biasanya tumbuh pada perairan jernih dan lokasi
dimana terjadi pecahan ombak. Bentuk koloni umumnya bercabang dan tergolong
jenis karang yang cepat tumbuh, namun sangat rentan terhadap sedimentasi dan
aktivitas penangkapan ikan.
Sementara itu genus Montipora diketahui memiliki ketahanan terhadap
tekanan lingkungan seperti laju sedimentasi yang tinggi dan peningkatan suhu
permukaan laut (Jordan et al. 1981). Genus Montipora sering ditemukan
mendominasi suatu daerah. Sangat tergantung pada kejernihan suatu perairan.
Biasanya berada pada perairan dangkal berkaitan dengan intensitas cahaya yang
diperolehnya dengan bentuk koloni berupa lembaran. Adapun karang dari genus
Porites memiliki tingkat ketahanan yang relatif tinggi terhadap faktor-faktor
pembatas pertumbuhan dan perkembangan karang seperti gelombang.

4.4 Sumberdaya Ikan Ekor Kuning


4.4.1 Kelimpahan ikan
Data kelimpahan ikan ekor kuning berdasarkan hasil visual sensus di
lokasi penelitian (Lampiran 4) memperlihatkan nilai kelimpahan antara 5-224
individu/250 m2, didominasi ikan dengan ukuran <15 cm (88.04%). Intensitas
kemunculan (kelimpahan) tertinggi ditemukan di Selatan Belanda dan terendah di
Selatan Panggang denngan rata-rata kelimpahan sebesar 67 individu/250 m2
(Tabel 6).

Tabel 6 Kelimpahan ikan ekor kuning

Range Timur Barat


Timur Utara Barat Selatan Utara Selatan
Ukuran Kayu Kayu
Pramuka Pramuka Panggang Panggang Belanda Belanda
Ikan (cm) Angin Angin
0-5 - 6 100 5 18 20 - -
5 - 10 - 15 - - 5 100 - 62
10 - 15 - - - - 40 100 - -
15 - 20 - - - - - 2 - -
20 - 25 23 - - - - 2 10 -
25 - 30 - - - - - - 16 11
Jumlah
23 21 100 5 63 224 26 73
(Ind./250 m2)
48

Berdasarkan tabel tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa di lokasi Selatan


Belanda ditemukan kelimpahan ikan ekor kuning dalam semua ukuran, hal ini
mengindikasikan di lokasi tersebut sangat baik atau mendukung bagi perkembang
biakan sumberdaya ikan ekor kuning, sehingga manfaat dari penetapan daerah
tersebut sebagai zona inti sudah cukup berhasil.
Lokasi Utara Pramuka, Barat Panggang, Selatan Panggang dan Utara
Belanda hanya memiliki ikan dengan ukuran < 20 cm (ikan muda), diduga di
lokasi tersebut sudah terjadi grow over fishing yaitu ikan ditangkap sebelum
mereka sempat tumbuh mencapai ukuran dimana peningkatan lebih lanjut dari
pertumbuhan akan mampu membuat seimbang dengan penyusutan stok yang
diakibatkan oleh mortalitas alami. Lokasi Timur Pramuka dan Timur Kayu Angin
hanya ditemukan ikan dengan ukuran >20 cm, hal ini diduga di dua lokasi tersebut
sudah terjadi recruitment over fishing yaitu pengurangan melalui penangkapan
terhadap suatu stok sedemikian rupa sehingga jumlah stok induk tidak cukup
banyak untuk memproduksi telur yang kemudian menghasilkan rekrut terhadap
stok yang sama (Widodo dan Suadi 2006).
Informasi tentang kelimpahan ikan ini penting bagi kestabilan populasinya
(Murdoch 1994 dalam White 2007) dimana kepadatan spasial ini tergantung pada
tingkat kematian pada fase juvenil (Schmitt dan Holbrook 1999 dalam
White 2007).

4.4.2 Kondisi biometrik


4.4.2.1 Struktur populasi
Struktur populasi ikan ekor kuning dilihat berdasarkan ukuran panjang ikan.
Hasil pengukuran terhadap panjang cagak dari 50 sampel ikan ekor kuning
(Lampiran 5) diperoleh ikan betina lebih panjang dari ikan jantan. Menurut
Nikolsky (1963), bahwa biasanya ukuran ikan betina lebih besar beberapa satuan
dibandingkan ikan jantan untuk menjamin fekunditas yang besar dalam stok dan
perbedaan ukuran ini dicapai melalui ikan jantan yang matang gonad lebih cepat
dan jangka hidupnya yang lebih singkat. Perbedaan ukuran antara jenis kelamin
kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik (Lagler et al. 1977),
Kisaran panjang dari ikan sampel adalah pada ukuran antara 11.30-
33.10 cm. Kisaran ukuran panjang tersebut dikelompokan dalam interval kelas
49

3.11 cm, membentuk 7 kelas frekuensi panjang. Sebaran frekuensi panjang ikan
berada pada kisaran kelas 11.30-14.41 cm dan kisaran kelas 29.99-33.10 cm
(Tabel 7).

Tabel 7 Sebaran frekuensi panjang

Selang Selang Batas Batas Fr


NO Xi Fi
Bawah Atas Bawah Atas (%)
1 11.30 14.41 11.30 14.42 12.86 8 16
2 14.41 17.53 14.41 17.53 15.97 11 22
3 17.53 20.64 17.52 20.65 19.09 1 2
4 20.64 23.76 20.64 23.76 22.20 10 20
5 23.76 26.87 23.75 26.88 25.31 13 26
6 26.87 29.99 26.87 29.99 28.43 4 8
7 29.99 33.10 29.98 33.11 31.54 3 6

Modus kelas frekuensi panjang tertinggi pada ukuran 23.76–26.87 cm


dengan panjang rata-rata (Xi) 25.88 cm (26 %) sedangkan frekuensi panjang ikan
yang paling kecil pada ukuran 17.53–20.64 cm dengan panjang rata-rata (Xi)
19.09 cm (2%).

4.4.2.2 Pola pertumbuhan


Pola pertumbuhan ikan ekor kuning dilihat berdasarkan data ukuran berat
dari 50 ekor (Lampiran 5) yang dikelompokan dalam interval kelas 46 gram,
membentuk 7 kelas frekuensi berat (Tabel 8).

Tabel 8 Sebaran frekuensi berat

Selang Selang Batas Batas Fr


NO Xi Fi
Bawah Atas Bawah Atas (%)
1 10.69 56.63 10.69 56.63 33.66 19 38
2 56.69 102.63 56.69 102.63 79.66 9 18
3 102.69 148.63 102.69 148.63 125.66 13 26
4 148.69 194.63 148.69 194.63 171.66 3 6
5 194.69 240.63 194.69 240.63 217.66 3 6
6 240.69 286.63 240.69 286.63 263.66 2 4
7 286.69 332.63 286.69 332.63 309.66 1 2
50

Berdasarkan data sebaran frekuensi berat, ditemukan berat ikan yang


terkecil sebesar 10.69 gram dalam kisaran kelas 10.69–56.69 gram dengan berat
rata-rata (Xi) 309.66 gram (2%) dan berat ikan yang terbesar adalah 332.25 gram
dalam kisaran kelas 286.29-332.69 gram dengan berat rata-rata (Xi) 33.66 gram
(38%).
Pertumbuhan memiliki karakteristik tertentu pada masing-masing kelompok
ikan. Pertumbuhan ikan dan organisme lainnya menurut Pauly (1998)
didefenisikan sebagai waktu yang dihabiskan pada daerah pemangsaan yang
berbeda hubungan dengan ukuran tubuh. Perhitungan panjang berat berdasarkan
jumlah sampel ikan yang diperoleh mengacu pada Rousefeell dan Everhart (1960)
dengan nilai n = 50 diperoleh hasil nilai b = 3.123 dan a = 0.005 dengan logaritma
persamaan adalah Log W = log 0.005 + 3.123 log L atau y=0.005x3.123
(Gambar 14).

Gambar 14 Hubungan panjang berat ikan ekor kuning

Menurut Effendie (1997), nilai b≠3 menggambarkan pertumbuhan


allometrik dan jika b>3 menunjukkan keadaan ikan yang gemuk dimana
pertambahan beratnya lebih cepat dari pertambahan panjangnya, hal ini dapat
diduga karena ketersediaan makanan di perairan cukup memadai bagi
pertumbuhan ikan ekor kuning. Berdasarkan analisis regresi (Lampiran 6) untuk
mengetahui apakah panjang ikan berpengaruh secara nyata terhadap berat ikan
51

(b=3.123), diperoleh hasil koefisien regresi berbeda nyata pada taraf kepercayaan
α=5% atau panjang ikan berpengaruh secara nyata terhadap berat ikan (sig.<0.05).
Analisis hubungan panjang berat dari suatu populasi ikan mempunyai
beberapa kegunaan yaitu memprediksi berat suatu jenis ikan dari panjang ikan
yang berguna untuk mengetahui biomassa populasi ikan tersebut (Effendie 1997;
Smith 1996), selain itu menurut Arteaga et al. (1997), analisis hubungan panjang
berat dari suatu populasi ikan mempunyai kegunaan untuk memprediksi hubungan
panjang berat suatu populasi ikan yang dibandingkan dengan populasi ikan di
badan air yang lain serta dapat dijadikan parameter pendugaan antara kelompok-
kelompok ikan untuk mengidentifikasi keadaan suatu populasi suatu jenis ikan
berdasarkan ruang dan waktu.
Kisaran ukuran ikan ekor kuning yang tertangkap di lokasi penelitian
adalah 11.30–33.10 cm, sedangkan hasil penelitian Jabbar (2008) di perairan
Kepulauan Seribu menunjukkan kisaran ukuran ikan ekor kuning berdasarkan
hasil tangkapan muoroami adalah antara 7.0–28.0 cm dengan rata-rata 15.7 cm.
Hal ini menunjukkan bahwa ukuran dari hasil penelitian mencapai ukuran yang
lebih maksimal. Perbedaan tersebut diduga disebabkan karena perbedaan faktor
dalam antara lain keturunan, jenis kelamin dan umur. Sedangkan faktor luar yaitu
disebabkan oleh jumlah individu dalam ekosistem terumbu karang yang tidak
sebanding dengan jumlah makanan sehingga terjadi kompetisi dalam
mendapatkan makanan (Fujaya 1999).

4.4.3 Tingkat kematangan gonad (TKG)


Hasil pengamatan TKG baik jantan maupun betina, berpedoman pada
klasifikasi kematangan gonad ikan laut menurut Romimohtarto dan Juwana
(2001) diketahui dari 50 ekor ikan yang tertangkap hanya 30 ekor yang memiliki
gonad dengan klasifikasi tingkat kematangan gonad adalah TKG 1 sebanyak
20% (10 ekor) yang didominasi oleh ikan betina sebanyak 12% dengan ukuran
panjang terkecil 14,90 cm, TKG 2 sebanyak 24% (12 ekor) yang didominasi
oleh ikan jantan sebanyak 14%, TKG 3 sebanyak 12% (6 ekor) dan TKG 4
sebanyak 4% atau 2 ekor, untuk TKG 3 dan 4 hanya ditemukan pada ikan jantan.
Jumlah sampel ikan (20 ekor) yang tidak mempunyai gonad mempunyai kisaran
52

ukuran 11.30 cm - 15.90 cm sebanyak 16 ekor sedangkan ukuran panjang diatas


20 cm sebanyak 4 ekor (Lampiran 5).
Berdasarkan kisaran panjang ikan maka dapat dijelaskan bahwa untuk TKG
1 gonad terbanyak pada kisaran ukuran 24.35-28.39 cm sebanyak 5 ekor, TKG 2
gonad terbanyak pada kisaran ukuran 17.91-20.88 cm sebanyak 5 ekor, TKG 3
gonad terbanyak pada kisaran ukuran 24.35-28.39 cm sebanyak 2 ekor dan 28.39-
33.10 cm sebanyak 2 ekor sedangkan TKG 4 ikan yang memiliki gonad hanya
pada ukuran 20.88-24.35 cm sebanyak 2 ekor (Tabel 9).
Subroto dan Subani (1994), mengatakan bahwa ikan ekor kuning di Perairan
Banggai Kepulauan mulai ”matang telur” pada ukuran panjang total 27.80 cm
yaitu pada kisaran panjang 26.80-28.90 cm. Menurut Marnane et al. (2005), ikan
ekor kuning di Kepulauan Karimun Jawa pada umumnya mencapai tahap dewasa
pada ukuran 25-45 cm. Berdasarkan ukuran mulai matang telur tersebut serta dari
hasil visual census yang dilakukan maka dapat diduga bahwa hampir di semua
lokasi kondisi ikan ekor kuning didominasi oleh ikan yang belum matang
(mature) artinya masih muda atau dalam kondisi pertumbuhan, sehingga kondisi
lingkungan perlu dijaga. Royce (1984), menyatakan semakin banyak makanan
tersedia, pertumbuhan ikan semakin cepat dan fekunditas semakin besar.
Fekunditas ikan berhubungan erat dengan lingkungan dimana fekunditas spesies
akan berubah bila keadaan lingkungan berubah (Musa 2007).

Tabel 9 Kisaran panjang ikan dan TKG

TKG 1 TKG 2 TKG 3 TKG 4


Kls Kls Nilai
Bawa Ats Tengah Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan
11.30 13.18 12.20 - - - - - - - -
13.18 15.36 14.23 1 - - - - 1 - -
15.36 17.91 16.59 - 1 - - - - - -
17.91 20.88 19.34 - - - - - - - -
20.88 24.35 22.55 2 - 1 4 - 1 - 2
24.35 28.39 26.29 2 3 2 2 - 2 - -
28.39 33.10 30.65 1 - 2 1 - 2 - -

Secara umum berdasarkan data TKG menunjukkan ikan ekor kuning


berada pada semua tingkat kematangan gonad, maka dapat diduga bahwa
53

pemijahan ikan ekor kuning terjadi secara periodik yaitu pemijahan ke satu selalu
diikuti yang ke dua dan begitu seterusnya. De Young (1940) dalam Effendi (1997)
menyatakan bahwa kebiasaan memijah tiga belas spesies ikan ekonomis penting
di laut jawa, memperlihatkan bahwa pemijahan induvidu betul-betul berkala.

4.4.4 Jenis makanan


Selain mengukur panjang berat untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ikan
maka harus dilihat pula ketersediaan makanan di alam. Untuk memastikan jenis
makanan dari ikan ekor kuning maka dilakukan bedah isi lambung terhadap 50
ekor ikan dan hasilnya ditemukan 13 jenis plankton yang terdiri dari 2 jenis
fitoplankton dan 11 jenis zooplankton (Lampiran 7).
Hasil analisis isi perut dari 50 ekor ikan yang ditangkap dari lokasi
penelitian diperoleh rata-rata plankton tertinggi adalah fitoplankton dengan jenis
Nitszchia sebesar 73.48 % (22.06 individu) sedangkan untuk zooplankton rata-
rata jumlah individu paling tinggi adalah jenis Parachymula Larva yaitu sebesar
3.06 % (0.92 individu), dapat dilihat pada Gambar 15

Gambar 15 Persentase jenis makanan dalam lambung ikan ekor kuning

Makanan adalah merupakan salah satu fungsi yang terpenting dari


organisme. Seperti semua organisme, ikan membutuhkan energi untuk bahan
bakar tubuh mereka, proses pertumbuhan, metabolisme dan reproduksi (Islam
54

2004). Dari hasil pengamatan terhadap isi lambung ikan ekor kuning, komposisi
makanan berupa fitoplankton dan zooplankton. Hal ini membuktikan bahwa ikan
ekor kuning adalah plankton feeder (Kuieter dan Tonozuka 2004; Allen 1999).
Sedangkan Nikolsky (1969), mengemukakan bahwa besar serta komposisi dari
suplai makanan menentukan komposisi jenis ikan yang ada dan juga
mempengaruhi pertumbuhan ikan-ikan tersebut. Hal ini dapat diartikan bahwa
berkurangnya kelimpahan plankton, akan berpengaruh terhadap keberadaan ikan
ekor kuning.
Berdasarkan hasil analisa plankton pada masing-masing lokasi pengamatan
menunjukkan ada keterkaitan yang erat antara kelimpahan plankton dengan
kelimpahan ikan ekor kuning, dengan tingkat determinasi (R2)= 0.725 dan
persamaan regresinya adalah Y = 0.096X – 198.1 (Gambar 16). Sementara itu
hasil analisis regresi, menunjukkan bahwa kelimpahan plankton berpengaruh
secara nyata terhadap kelimpahan ikan (sig.<0.05) pada taraf kepercayaan α=5%
(Lampiran 8).

Gambar 16 Regresi keterkaitan plankton dengan kelimpahan ikan

Menurut Isnaini (2008) untuk ikan ekor kuning muda makanannya adalah
copepoda, sedangkan untuk ikan dewasa memakan ubur-ubur, larva dan jenis ikan
kecil. Hasil yang berbeda dengan penelitian dimaksud menunjukkan bahwa ada
55

perubahan pola makan ikan ekor kuning, hal ini diduga disebabkan oleh
rendahnya kelimpahan zooplankton yang tersedia di alam dan tingginya tingkat
persaingan dalam memperoleh jenis makanan tersebut. Hobson (1974),
menyatakan bahwa kebiasaan makan ikan ini berubah dalam daur hidupnya,
paling tidak untuk kebanyakan ikan, biasanya dengan perubahan-perubahan yang
nyata dalam tingkah laku dan morfologinya.
Komposisi makanan ikan akan membantu menjelaskan kemungkinan-
kemungkinan habitat yang seringkali dikunjunginya (Kagwade 1967). Harus
disadari bahwa di dalam lingkungan yang kondisinya normal, bergerombolnya
biota laut hampir selalu berkaitan erat dengan banyaknya mangsa pangan di suatu
perairan (Sutomo 1978 dan Tham 1950 dalam Thoha 2007). Besarnya populasi
ikan di suatu perairan merupakan suatu fungsi dari potensialitas makanannya,
sehingga pengetahuan yang benar dari hubungan antara ikan dengan organisme-
organisme makanannya adalah penting untuk ramalan dan eksploitasi dari
keberadaan populasi ikan tersebut (Roa 1974).

4.5 Pengelompokan Habitat Berdasarkan Substrat Bentik


Perngelompokan habitat berdasarkan subtrat bentik terdiri dari komponen
dead coral (DC), dead coral with algae (DCA), acropora branching (ACB),
acropora digitate (ACD), accropora submassive (ACS), acropora tabulate (ACT),
coral branching (CB), coral encrusting (CE), coral foliose (CF), coral massive
(CM), coral mushroom (CMR), coral sub massive (CS), coral millepora (CML),
Alga assemblage (AA), Coralline alga (CA), Halimeda (HA), Macroalga (MA),
Turf alga (TA), others, soft coral, sponge, zoanthids, batu (RCK), pasir (S), endapan
lumpur (SI) dan patahan karang (R) (Englis et al. 1997).
Hasil analisis dengan metode cluster analysis menggunakan aplikasi
MVSP diperoleh dendogram 5 kelas pada titik potong 0.65 berdasarkan matriks
similarity bray curtis. Secara visual hasil pengelompokan dapat dilihat pada
Gambar 17.
Penentuan kelas terjadi karena adanya kedekatan komposisi tipe dasar yang
ada pada masing-masing lokasi yang mengelompok. Tingkat similaritas antara
lokasi sangat dekat pada tingkat keyakinan 65%. Selanjutnya jika dilihat
kemiripan lokasi dalam setiap kelompok yang terbentuk, maka pada kelompok
56

pertama (1) terdapat 2 lokasi yang memiliki kemiripan karakteristik substrat dasar
yaitu Timur Pramuka dan Utara Pramuka, kelompok kedua (2) hanya terdapat satu
lokasi yang mempunyai karakteristik substrat dasar sendiri yaitu Barat Panggang,
kelompok ketiga (3) terdapat 2 lokasi yang memiliki kemiripan karakteristik
substrat dasar yaitu Utara Belanda dan Timur Kayu Angin Bira, kelompok empat
(4) terdapat 2 lokasi yang memiliki kemiripan karakteristik substrat dasar yaitu
Selatan Belanda dan Barat Kayu Angin Bira, sedangkan untuk kelompok lima (5)
hanya terdapat satu lokasi yang mempunyai karakteristik substrat dasar sendiri
yaitu Selatan Panggang.

UPGMA
0.52

0.60
Index Similarity Bray Curtis

0.65
0.68

U
0.76

0.84

0.92

1
Timur Utara Barat Utara Timur Kayu Selatan Barat Kayu Selatan
Pramuka Pramuka Panggang Belanda Angin Bira Belanda Angin Bira Panggang

Gambar 17 Dendogram berdasarakan substrat bentik

4.6 Keterkaitan Sumber Daya Ikan Ekor Kuning dengan Karakteristik


Habitat
Keberlanjutan ekosistem terumbu karang dan produktivitas sumberdaya
ikan ekor kuning di perairan Kepulauan Seribu didukung oleh kondisi fisik
perairan yang masih berada dalam batas toleransi pertumbuhan terumbu karang
dan sumberdaya ikan ekor kuning.
57

Keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat dapat


dijelaskan berdasarkan hasil analisis terhadap substrat bentik dengan
mengunakan metode cluster analysis (Lampiran 9). Ciri dari masing-masing
kelompok dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Kelompok I (Timur Pramuka dan Utara Pramuka), yang dicirikan
berdasarkan kemiripan kelompok batu (RCK), dengan rata-rata
kelimpahan ikan ekor kuning sebesar 22 individu/250 m2.
2) Kelompok II (Barat Panggang), yang dicirikan berdasarkan kemiripan
kelompok acropora digitate (ACD), coral submassive (CS), dan karang
lunak (SC) dengan kelimpahan ikan ekor kuning sebesar
100 individu/250 m2, melimpah hanya dalam ukuran kecil.
3) Kelompok III (Utara Belanda dan Timur Kayu Angin Bira), yang
dicirikan berdasarkan kemiripan kelompok Acropora Branching (ACB),
Coral Mushroom (CMR), dan patahan karang (R) dengan rata-rata
kelimpahan ikan ekor kuning sebesar 45 individu/250 m2
4) Kelompok IV (Selatan Belanda dan Barat Kayu Angin Bira), yang
dicirikan berdasarkan kelompok coral encrusting (CE), dead coral with
algae (DCA) dan pasir (S), dengan rata-rata kelimpahan ikan ekor kuning
sebesar 149 individu/250 m2 dalam ukuran yang beragam mulai dari
ukuran kecil sampai besar.
5) Kelompok V (Selatan Panggang), yang dicirikan berdasarkan kelompok
coral foliose (CF), coral massive (CM) dan endapan lumpur (SI), dengan
rata-rata kelimpahan ikan ekor kuning sebesar 5 individu/ 250 m2.
Berdasarkan ciri kelompok tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa
keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning dengan habitat pada ekosistem terumbu
karang adalah untuk ikan dengan ukuran yang beragam dicirikan dengan
kemiripan coral encrusting (CE), dead coral with algae (DCA) dan pasir (S),
sedangkan untuk ikan dengan ukuran kecil keterkaitan lebih mengarah pada
habitan dengan kemiripan acropora digitate (ACD), coral submassive (CS), dan
karang lunak (SC).
Keberadan dead coral with algae (DCA), menunjukkan bahwa telah terjadi
perubahan keseimbangan pada daerah terumbu karang dari yang bersifat
58

oligotrofik (miskin unsur hara) menjadi mesotrofik (unsur hara dan produktivitas
sedang) yang memungkinkan melimpahnya plankton sebagai sumber makanan
bagi ikan ekor kuning. Menurut Effendi (2003) mesotrofik adalah perairan yang
memiliki unsur hara dan produktivitas sedang (produktivitas primer dan biomasa
sedang). Peralihan sifat perairan pada daerah terumbu karang dapat ditunjukkan
dengan tingginya persentase DCA yaitu karang mati yang sudah ditumbuhi alga.
Ketertarikan ikan ekor kuning dengan kelompok coral encrusting (CE)
diduga disebabkan oleh ketersediaan ruang yang luas dalam kolom air. Pada saat
pergerakan plankton secara vertikal, maka ikan ekor kuning dengan kebiasaan
hidup berkelompok (schooling) memanfaatkan ruang untuk mendapatkan
plankton tersebut sebelum tertahan di substrat.
Keberadaan coral encrusting memudahkan ikan ekor kuning mendapatkan
makanan, karena banyak biota (plankton) baik yang tertahan atau yang menetap
pada karang tersebut semuanya dapat terlihat jelas atau tersingkap bagi ikan ekor
kuning.
Ikan ekor kuning dalam ukuran kecil (stadium juvenil) diduga mempunyai
keterkaitan dengan keberadaan life-form acropora digitate (ACD), coral
submassive (CS), dan karang lunak (SC). Hal ini disebabkan karena ikan dalam
stadium juvenil sangat membutuhkan tempat mencari makan, mengasuh dan juga
sebagai tempat untuk berlindung dari pemangsa.
Lokasi Utara Pramuka dan Selatan Panggang hanya memiliki ikan dengan
ukuran < 20 cm (ikan muda), diduga di lokasi tersebut sudah terjadi grow over
fishing yaitu ikan ditangkap sebelum mereka sempat tumbuh mencapai ukuran
dimana peningkatan lebih lanjut dari pertumbuhan akan mampu membuat
seimbang dengan penyusutan stok yang diakibatkan oleh mortalitas alami. Lokasi
Timur Pramuka dan Timur Kayu Angin hanya ditemukan ikan dengan ukuran >
20 cm, hal ini diduga di dua lokasi tersebut sudah terjadi recruitment over fishing
yaitu pengurangan melalui penangkapan terhadap suatu stok sedemikian rupa
sehingga jumlah stok induk tidak cukup banyak untuk memproduksi telur yang
kemudian menghasilkan rekrut terhadap stok yang sama (Widodo dan Suadi
2006).
59

4.7 Rekomendasi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang dan


Sumberdaya Ikan Ekor Kuning.
Pengelolaan ekosistem terumbu karang dan sumberdaya ikan ekor kuning di
Kepulauan Seribu direkomendasikan berdasarkan pertimbangan kondisi
ekosistem terumbu karang, kondisi sumberdaya ekor kuning dan berdasarkan
keterkaiatan sumber daya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat.
Permasalahan yang perlu diperhatikan bagi pertumbuhan terumbu karang
adalah bahwa patahan karang mendominasi di semua lokasi. Hal ini menunjukkan
bahwa kondisi substrat tidak stabil sehingga sangat sulit bagi perkembangbiakan
karang, karena planula yang menempel pada substrat yang tidak stabil akan
terbawah oleh arus. Hal ini didukung oleh keterbatasan rekruitmen karang yang
ditunjukkan dengan kondisi keanekaragaman lifeform dan genus rendah.
Permasalah bagi ikan ekor kuning adalah mata pencaharian utama
masyarakat Kepulauan Seribu adalah menangkap ikan dan penangkapan
dilakukan sepanjang tahun. Faktor tersebut merupakan salah satu faktor utama
yang mengancam keberlanjutan sumberdaya ikan ekor kuning.
Pengelolaan langsung secara holistik dan terintegrasi pada perikanan ekor
kuning di perairan Kepulauan Seribu meliputi dua hal, pertama yaitu pengelolaan
ekosistem terumbu karang sebagai habitat ikan ekor kuning, sejalan dengan
pernyataan Parrish (1980) bahwa pengaruh langsung yang harus dipertimbangkan
dari aktivitas eksploitasi terhadap stok ikan target adalah habitat fisik. Hal yang
serupa juga disarankan oleh Hobbs et al. (2004) dalam Alpert (2004) tentang
pentingnya restorasi atau perbaikan ekologis yang secara khusus mengembalikan
keadaan yang lebih alami seperti keadaan semula dan kedua yaitu pengelolaan
sumberdaya ikan ekor kuning itu sendiri. Dengan kata lain, pengelolaan ikan ekor
kuning merupakan bagian dari perikanan terumbu karang yang dipengaruhi oleh
dua manajemen yaitu manajemen perikanan dan manajemen konservasi. Sale
(2002) menyatakan bahwa kedua macam manajemen ini dapat dijalankan secara
sinergi, namun keduanya memiliki tujuan yang berbeda dan sering dilakukan oleh
agensi manajemen yang berbeda.
Model pengelolaan ekosistem terumbu karang dan sumberdaya ikan ekor
kuning secara lestari di perairan Kepulauan Seribu yang diusulkan dalam
60

penelitian ini adalah pengelolaan berbasis ekositem dengan titik penekanan pada
habitat dan sumberdaya ikan ekor kuning dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Rehabilitasi habiat dengan program transplantasi coral encrusting, acropora
digitate dan coral submassive yang menjadi ciri keberadaan ikan ekor kuning.

Alternatif kegiatan rehabilitasi terumbu karang sangat dibutuhkan


mengingat tingginya persentase patahan karang mendominasi diseluruh lokasi hal
ini akan mengancam keberlanjutan ekosistem terumbu karang karena terumbu
karang tidak dapat hidap dan berkembang biak pada substrat yang tidak stabil.
Oleh karena itu diharapkan dengan melakukan penempatan substrat dasar yang
stabil dapat memberi kesempatan kepada planula karang untuk menempel dan
berkembang biak.
Berdasarkan bentuk pertumbuhan karang enkrusting, persentase tutupan dari
delapan lokasi hanya memiliki rata-rata 4.47% dan ditemukan di dua lokasi yang
memiliki persentase tutupan di atas 10% sedangkan di enam lokasi lainnya
memiliki persentase tutupan di bawah 4%, sedangkan untuk acropora digitate
dengan persentase tertinggi 0.37% dan coral sub massive dengan persentase
tertinggi 8.70% ditemui dengan persentase tertinggi hanya di satu lokasi yaitu
Barat Panggang. Keberadaan ketiga bentuk pertumbuhan karang tersebut diduga
mempunyai keterkaitan erat dengan kelimpahan ikan ekor kuning.
Kegiatan rehabilitasi diperkirakan akan membutuhkan waktu yang cukup
lama, sehingga dirasakan perlu dilakukan sentuhan teknologi sehingga pemulihan
dapat dilakukan secara cepat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan cara rehabilitasi terumbu karang dengan cara transplantasi terhadap coral
encrusting, acropora digitate dan coral sub massive pada daerah yang mengalami
kerusakan sehingga dapat menyediakan tempat atau ruang bagi kehadiran ikan
ekor kuning untuk berkembang biak.

2) Pengaturan upaya penangkapan dan ukuran mata jaring.

Berdasarkan ukuran pertama matang gonad ikan ekor kuning menunjukkan


ikan dewasa atau mature berada pada kisaran ukuran 25-45 cm. Hasil visual
sensus di delapan lokasi penelitian menunjukkan kelimpahan ikan ekor kuning
dengan ukuran ikan < 25 cm mendominasi di semua lokasi, hal ini berarti kondisi
61

ikan ekor kuning di lokasi penelitian didominasi oleh ikan ukuran kecil atau ikan
muda artinya masi dalam masa asuh.
Lokasi yang hanya memiliki kelimpahan ikan ekor kuning dengan ukuran
kecil atau ikan muda di temukan di 6 lokasi yaitu Timur Pramuka, Utara Pramuka,
Barat Pramuka, Selatan Panggang, Utara Belanda dan Selatan Belanda,
sedangkan di dua lokasi lainnya yaitu di Timur Kayu Angin dan Barat Kayu
Angin dijumpai kelimpahan ikan ekor kuning dengan ukuran muda dan dewasa.
Peningkatan upaya penengkapan yang terjadi selama 4 tahun terkhir 2003-
2007 menunjukkan peningkatan hasil penangkapan sebesar 262 ton dari tahun
2003 sampai tahun 2007, namun hasil tangkapan didominasi ikan dengan ukuran
kecil (Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta 2007).
Apabila penambahan upaya penangkapan tidak dikontrol maka tidak menutup
kemungkinan akan mengarah pada hasil tangkap lebih (over fishing) sehingga
berakibat menurunnya populasi ikan dan mengancam kelestarian sumberdaya itu
sendiri.
Alat tangkap yang beroperasi di Kepulauan Seribu meliputi pancing,
payang, muroami, bubu dan jaring. Alat tangkap muroami jumlahnya cenderung
meningkat dari tahun 2002-2006 dan mengalami kenaikan tajam pada tahun 2006
yakni sebesar 641 unit (Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI
Jakarta 2007). Selain mempunyai potensi untuk merusak terumbu karang
penggunaan alat tangkat tersebut dengan ukuran mata jaring yang umum
digunakan adalah ukuran 1-2 cm yang mengakibatkan ikan-ikan muda ikut
tertangkap.
Kondisi tangkap lebih dan dengan alat tangkap yang menggunakan mata
jaring yang tidak selektif terjadai di perairan Kepulauan Seribu diduga kondisi
ikan ekor kuning termasuk ke dalam pengertian growth over fishing, sedangkan
untuk menduga terjadi recruitmen over fishing perlu dilakukan penelitian lanjutan.
KETERKAITAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING
(Caesio cuning) DENGAN KARAKTERISTIK HABITAT
PADA EKOSISTEM TERUMBU KARANG
DI KEPULAUAN SERIBU

RAIMUNDUS NGGAJO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
DAFTAR PUSTAKA

Acosta CA, Robertson DN. 2002. Diversity In Coral Reef Fish Communities; The
Effects Of Habitat Patchiness Revisited. Marine Ecology Programe 227:
hlm 87-96.
Aktani U. 2003. Fish communities as related to substrate characteristics in the
coral reefs of Kepulauan Seribu Marine National Park, Indonesia, five years
after stopping blast fishing practices. [Dissertation]. Germany: Bremen
University.
Allen G. 1999. Marine fishes of South-East Asia. Western Australian Museum.
Singapore : Periplus Editions (HK) Ltd. 292 hlm.
Alpert P. 2004. Managing The Wild: Should Stewards be Pilot?. Frontiers in
Ecology and The Environtment, Issue No. 9, Vol. 2 : 494-495.
Anderson K. 2002. A Study Of Coral Reef Fishes Along a Gradient of disturbance
in the Langkawi Archipelag, Malaysia. Undergaraduate thesis in biology,
Departemen of Animal Ecology, Uppsala University, Sweden.
Http://www.coralcay.org/scince/publications/philippines_m_ 2001.
Arteaga JP, Garcia R, Carlo S, Valle. 1997. Lenght-Weight Relationships of
Cuban Marine Fishes, NAGA Volume 2. No 1. Philipines: ICLARM. 38-
43.
Bak ROM, Elgershuizen HBW. 1992. Pattern of oil sediment Rejection of
corals.Mar. Biol 37: 105-113.
Baker VJ, Moran PJ, Mundy CN, Reichelt RE, Speare PJ. 1991. A guide to the
reef ecology database. The Crown-of-Thorns Study. Australia Institute of
marine Science. Townsville 8 .
Basmi J. 2000. Perkembangan komunitas fithoplankton sebagai indikasi
perubahan tingkat kesuburan kualitas perairan. [Tesis]. Bogor : Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bawole R. 1998. Distribusi Spasial Ikan Chaetodontidae dan Peranannya Sebagai
Indikator Kondisi Terumbu Karang di Perairan Teluk Ambon. [Tesis].
Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bell JD, Galzin R. 1984. Influence of Life Coral Cover on Coral Reef-Fish
Communities. Maarine Ecology Progress Series. 15;265-274. Gardens
Bank, Northwest Gulf of Mexico. Limnol. Oceanografi 28 : 228-240.
Bengen DG. 2002. Menuju Pengelolaan Pesisir Terpadu Berbasis DAS. Seminar
HUT LIPI, 25-26 September 2002. Jakarta.
Bishop JE. 1973. Limnology of small Malayan River Gomak. Dr. W. Junk V.B.
Publisher the Haque : 485 hlm.
64

Boyd CE, Kopler EL. 1979. Water quality management in pond fish culture.
Risearch and Development series No. 22. International Centre for
Aquaculture, Agriculture experiment Satation. Alabama: Auburn
University. 30 hlm.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Kepulauan Seribu dalam Angka 2007. Jakarta:
Badan Pusat Statistik. 167 hlm.
Connaughey M, Zottoli R. 1983. Introduction to Marine Biology. 4th edition. 2nd
ed. Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice Hall Inc. 720 hlm.
Cesar HSJ. 2000. Collected essays on the economics of coral reefs. CORDIO, ,
Sweden : Kalmar University. 244 hlm.
Chabanet P, Ralambondrainy H, Amanieu M, Faure G, Galzin R. 1997.
Relationships between coral reef substrata and fish. Coral Reefs 16 : 93-
102.
Clifford HT, Stephenson W. 1975. An introduction to numerical classification.
Academic Press.
Choat JH, Bellwood DR. 1991. Reef fishes: Their history and evolution, dalam
Sale P.F. (eds). The ecology of fishes on coral reefs: Academic Press Inc.
hlm 36-66.
Dahuri R, Jacub R, Sapta PG, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta : Pradnya Paramita. 305 hlm.
Dartnall AJ, Jones M. 1986. A Manual of Survey for Living, Resources in Coastal
Area. ASEAN-Australia Cooperative Program in Marine Science.
Townsville : Australia Institute of Marine Science.
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 1998. Perkiraan Musim Penangkapan Ikan.
Buletin Warta Mina No. 65, 66, 68,71,72 dan 73. Jakarta : Dirjen Perikanan.
Done TJ. 1981. Photogrammetry in coral ecology: a technique for the study of
change in coral communities. Proceedings of the Fourth International Coral
Reef Symposium, Manila. 2: 315-320.
[DP2K] Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. 2006.
Kepulauan Seribu dalam Angka Tahun 2006. Jakarta : DP2K Provinsi DKI
Jakarta.
[DP2K] Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. 2006.
Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan di Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta, Seminar/ Sarasehan Kelautan,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu. Jakarta : DP2K Provinsi DKI Jakarta.
[DP2K] Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. 2007.
Buku tahunan statistic perikanan tangkap DKI Jakarta Tahun 2006. Jakarta :
DP2K Prov DKI Jakarta. hlm 53-82.
65

Effendi H. 2003, Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan


Lingkungan Perairan. Yogyakarta : Kanisius. hlm 57-59.
Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama
Emor JW. 1993. Koresponden Antara Ekoregion dan Pola Sebaran Komunitas
Terumbu Karang di Bunaken. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. hlm 11-12.
English S, Wilkinson C, Baker V, [Editors]. 1997. Survey Manual for Tropical
Marine Resources. ASEAN-Australian Marine Science Project: Living
Coastal Resources. Townsville : Australian Institute of Marine Science.
368 p.
Estradivari, Syahrir M, Susilo N, Yusri S, Timotius S. 2007. Terumbu Karang
Jakarta: Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu
(2004 – 2005). Jakarta : Yayasan TERANGI. 87 hlm.
Fafioye OO, Oluajo OA. 2005. Length-weight relationship of five fish species in
Epe Lagoon. Nigeria. : African Journal of Biotechnology Vol 4. pp 749-751.
Fujaya Y. 1999. Fisiologi Ikan. Makassar: Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
UNHAS.
Goldman CR, Horne AJ. 1983. Limnology. New York : Mcgraw-Hill Book
Company. 464 hlm
Gomez ED, Yap HT. 1988. Monitoring reef condition In: Kenchington, R.A. and
Brydget ET. Hudson (eds.). Coral Reef Management Hand Book. Jakarta :
Unesco Regional Office for South East Asia. hlm 171-178.
Hubbard D. 1997. Reefs as Dynamic System, in: Birkeland, C. (ed.) Life and
Death of Coral Reefs. New York : Chapman and Hall. 43-67 pp.
Huet M. 1971. Texs Books of Culture Breeding and Cultivation of fish, [Books].
London : Fishing News. 490 hlm.
Hutabarat S, Evans SM. 1985. Pengantar Oseanografi. Jakarta: UI-Press. hlm 59-
62.
Hutomo M. 1986. Methods of Samplings Coral Reef Fish. Training Course in
Coral Reef Research Methods and Management. No. 2. Bogor : SEAMEO –
BIOTROP. hlm 37-53.
Hobson E. 1974. Feeding Relationships of Teleostean Fishes of coral reefs in
Kona. Hawaii: Fish Bull 72. 915-1.031.
Islam NM. 2004. Eco-biology of Freshwater Gobi, Glossogobius giuris
(Hamilton) of the River Padma in Relation to its Fishery: A Review. Journal
of Biological Science 4: Asian Network for Scientific Information. 780-
794.
66

Isnaini. 2008. Pola Rejim Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Ekor
Kuning di Kepulauan Seribu. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Jabbar AM. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Eko Kuning. [Tesis].
Bandung : Institut Teknologi Bandung. 61 hlm.
Jordan M, Merino M, Moreno O, Martin E. 1981. Community structure of coral
reefs in the Mexican Caribbean. Proc 4th Int Coral Reef Symposium 2: 303–
308.
Kagwade VN. 1967. Food and Feeding Habits of the Horsemackerel, Caranx
kalla (Cuv. & Val.). Indian Journal Fish 14: 85 – 96.
Kanwisher JW, Wainwright SA. 1967. Oxygen balance in Some Reef Corals.
Biol.Bull.Mar.Lab. : Woods Hole 133. 378-390.
Kartamihardja ES, Nastiti AS, Krismono, Purnomo K, Hardjamulia A. 1987.
Penelitian Limno-Biologis waduk Saguling pada Tahap Pra-Industri.
Buletin Penelitian Perikanan Darat Vol. 6 No. 3: 1-27.
Koesbiono. 1980. Biologi Laut. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor :
150 p.
Kohler KE, Gill SM. 2006. Coral Point Count with Excel extensions (CPCe): A
Visual Basic program for the determination of coral and substrate coverage
using random point count methodology. Computers and Geosciences, Vol.
32, No. 9: 1259-1269.
Kottelat M, Whitten AJ, Kartikasari SN, Wirjoatmodjo S. 1993. Freshwater fishes
of Western Indonesia and Sulawesi, Indonesia : Periplus editions (HK) Ltd.
293 hlm.
Krismono DW, Tjahjo H, Hardjamulia A, Nuroniah S, Umar Ch. 1987. Penelitian
Limno-Biologis waduk Saguling pada Tahap Post Industri. Bull. Penel.
Perikanan Darat 6 : 1-27.
Kuieter HR, Tonozuka T. 2004. Pictorial Guide to Indonesia Reef Fisheries Part I,
II, III. Bali Indonesia. PT. Dive&Dive’s
Lagler KF. 1961. Freshwater Fishery Biology. Second Edition. WMC Broun
Company : Dubuque. 421 hlm.
Lagler KF, Bardach JE, Miller RR, Passino DR. 1977. Ichtyology : John Wiley &
Sons USA . 506 hlm.
Lalamentik LTX. 1991. Karang dan terumbu Karang. Fakultas Perikanan
Universitas Sam Ratulangi. Manado : 66 hlm.
Marnane MJ et al. 2005. Laporan Teknis Survei 2003-2004 di Kepulauan
Karimunjawa, Jawa Tengah. Wildlife Conservation Society-Marine
Program Indonesia. Bogor Indonesia.
67

McClanahan TR. 1994. Kenyan Coral Reef Lagoon Fish; Effect of fishing
Substrate Complexity and Sea Urchins: Coral Reefs 13: 231-241.
McCook LJ. 1999. Macroalgae and phase shifts on coral reefs of the Great Barrier
Reef and other regions: Aperspective on scientific issues and management
consequences. Coral Reefs, Special Issue on Reef Management. 18:357-
367.
Macpherson E. 1981. Resource Partitioning in a Maditerranian demersal Fish
Community. Marine Ecology Program Series, 39 : 183-193.
[MENEG LH] Menteri Negara Lingkungan Hidup.2004. Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004. Tentang Baku Mutu Air
Laut.
Muller-Parker G, D’Elia CF. 1997. Interactions between corals and their
symbiotic algae, pp. 96-113. In: C. Birkeland [ed.], Life and Death of Coral
Reefs : Chapman & Hall NY
Murdiyanto B. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Jakarta:
COFISH Project.
Musa ASM, Bhuiyan AS. 2007. Fecundity on Mystus bleekeri (Day, 1877) from
the River Padma Near Rajshahi City. Turkish Journal of Fisheries and
Aquatic Sciences 7: 161-162.
Moberg F, Folke C. 1999. Ecological goods and services of coral reef ecosystems.
Ecol. Econ. 29 : 215–233.
Nelson JS. 2006. Fishes of the world. 4th edition : John Wiley and Sons, Inc. New
York. 601 p.
Nikijuluw V. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta: P3R
Nikolsky GV. 1963. The Ecology of Fishes. London and New York : Academic
Press. 352 hlm.
Nikolsky GV. 1969. FUh Population Dynamics. Oliver and Boyd : Edinburgh.
114 hlm.
Nybakken JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis (Terjemahan
Muhammad Eidman, Koesoebiono, Dietriech G. B., Malikusworo Hutomo
dan Sukristijono). Jakarta : PT. Gramedia.
Nybakken JW. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan
oleh : M. Eidman, D. G. Bengen, Malikusworo,dan Sukristiono. Marine
Biology and Ecologocal Approacch. Jakarta: PT. Gramedia. 480 hlm.
Parrish JD. 1980. Effect of Exploitation Patterns upon Reef and Lagoon
Communities, Proceedings of the Unesco Seminar on Marine and Coastal
Processes in The Pacific: Ecological Aspects of Coastal Zone Management,
Jakarta, Munro, J.L., Editor, Unesco Regional Office for Science and
Technology for South-East Asia : hlm 85-121.
68

Pauly D. 1998. Tropical fishes : patterns and propensities. Jurnal of Fish Biology
53 (Supplement A) : 1-17.
[Pemprov DKI Jakarta] Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
2000. Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 1986 Tahun 2000. Tentang
Wilayah Kepulauan Seribu. Jakarta : Pemprov DKI Jakarta.
Randall JE, Alen GR, Steene RC. 1990. Fishes of the Great Barrier Reef and
Coral Sea. Bathurst: Crawford House Press.
Ricker WE. 1975. Computation & interpretation of biological statistics of fish
population. Ottawa: Departemen of The Inviroment Fisheries & Marine
Service. Pasific Biological Station: 382 hlm.
Roa KS. 1974. Food Feeding Habits of Fishes from Trawl Catches in the Bay of
Bengal with observation on Diurnal Variation in the Nature of the Feed.
Indian J. Fish., 11: 277-314.
Roberts BC, Ormond RFG.1987. Habitat Complexxity and Coral Reef Fish
Difersity and Abundance on Red Sea Fringing Reef. Marine Ecology
Programe Ser 41: 1-8.
Rogers CS, Garrison G, Grober R, Hillis ZM, Franke MA. 1994. Coral Reef
Monitoring Manual for the Caribbean and Western Atlantic. Virgin Islands
National Park. St. John : USVI 00830.
Romimohtarto K, Juwana S. 2001. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan Tentang
Biota Laut. Jakarta: Djambatan. 540 hlm.
Royce WF. 1984. Introduction to the Practice of Fishery Science. New York, San
Francisco, London : Academic Press. 428 hlm.
Rounsefell GA, Everhart WH. 1962. Fishery Science its Methods and
Applications. New York : John Wiley & Sons. Inc. 444 hlm.
Sale PF. 1991. Ecology of Coral Reef Fishes. In : The Ecology of Fishes on Coral
Reefs. Ed. P.F. Sale. San Diego: Academi Press Inc. 754 hlm.
Sale PF. 2002. The Science We Need to Develop for More Effective
Management, in Coral Reef Fishes: Dynamics and Diversity in a Complex
Ecosystem, Sale, P.F., Editor. USA : Academic Press. hlm 361-376.
Siregar MO. 1994. Pengelolaan Lingkungan Pulau Wisata (Kasus Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu di Jakarta Utara), [Tesis]. Program Pasca
Sarjana, Universitas Indonesia: hal 81-83.
Smith KKM. 1996. Length-weight relationship in a diverse tropical freshwater
community. Malaysia. Journal of Fish Biology 49 : 731-734.
Subroto IH, Subani W. 1994. Relasi Panjang Berat, Faktor Kondisi dan Pertama
Kali Matang Gonad Ikan Ekor Kuning Dari Perairan Banggai Kepulauan.
Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 91. Jakarta : Balai Penelitian
Perikanan Laut Departemen Pertanian.
69

Suharsono. 1998. Kesadaran Masyarakat Tentang Terumbu Karang (Kerusakan


Karang di Indonesia). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi.
Jakarta: LIPI.
Sukarno, Hutomo M, Moosa MK, Darsono P. 1983. Terumbu Karang di
Indonesia. Jakarta : LIPI. hlm 34-45.
Sukarno. 1977. Penelitian pendahulua tentang kepadatan karang batu di Terumbu
Karang Pulau Air, Pulau-Pulau Seribu. Jakarta : Oseanologi.
Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta:
Djambatan. 108 hlm.
Thamrin. 2006. Karang. Biologi, Reproduksi dan Ekologi. Jakarta : Minamandiri
Press. 258 hlm
Thoha H. 2007. Kelimpahan Plankton Di Ekosistem Perairan Teluk Gilimanuk,
Taman Nasional, Bali Barat. Jurnal Makara, Sains, Vol. 11, No. 1. Jakarta :
44-48.
Tissot BN, Hallacher LE. 2003. The effects of aquarium collectors on coral reef
fishes in Hawaii. Conservation Biology 17(6): 1759-1768
Veron J. 1986. Coral of Australia dan the Pacific. Honolulu : University of Hawaii
Press. 644 hlm.
Wallace CC, Wolstenholme J. 1998. Revision of the coral genus Acropora in.
Indonesia. Zoological Journal of the Linnean Society 123: 199-384 pp.
Wardoyo STH. 1981. Kriteria Kualitas air untuk keperluan Pertanian dan
Perikanan. Training Analisis dampak lingkungan, PPLH-UNDP-PUSDI-
PSL : 15-40.
White AT, Hale LZ, Cortesi R. 1994. Collaborative and Community based
management of Coral Reefs; Lesson from Experience. 630 Oakwood
Avenue, Suite 119, West Harvard : Kumarian Press Inc.
White JW. 2007. Spatially correlated recruitment of a marine predator and its prey
shapes the large-scale pattern of prey mortality. Ecology Letters 10 : 1054-
1065.
Widodo J, Suadi. 2006. Pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Yogyakarta :
Gajah Mada University Press. 252 hlm.
Wolanski, E (Edt). 2001. Oceanographic Processes of Coral reefs. Physical and
Biological Links in the Great Barrier Reef. Boca raton New York.
Washington : CRC Press. 356 hlm.

Wootton RJ. 1992. Fish Ecology. Glasgow and London: Blackie and Son Ltd.
212 hlm.
5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Kondisi ekosistem terumbu karang mempunyai penutupan lifeform 32.27%.
2. Kondisi sumber daya ikan ekor kuning diduga telah terjadi growth over
fishing. Pola pertumbuhan bersifat Alometrik dan didominasi oleh ikan yang
belum matang (mature) atau belum dewasa (dalam kondisi pertumbuhan).
3. Keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat
dicirikan dengan keberadaan coral encrusting (CE), acropora digitate (ACD),
coral submassive (CS), dead coral with algae (DCA), karang lunak (SC) dan
pasir (S).
4. Bentuk pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ikan ekor kuning di
perairan Kepulauan Seribu secara terpadu dan berkelanjutan yang diusulkan
dalam penelitian ini adalah pengelolaan berbasis ekositem dengan titik
penekanan pada habitat dan sumberdaya ikan ekor kuning antara lain: (1)
rehabilitasi habiat dengan program transplantasi coral encrusting, acropora
digitate dan coral submassive yang menjadi ciri keberadaan ikan ekor kuning,
(2) pengaturan upaya penangkapan dan ukuran mata jaring

5.2 Saran
Melakukan kajian lebih lanjut tentang kondisi ikan ekor kuning pada musim
yang berbeda serta beberapa aspek biologi ikan ekor kuning lainnya secara
komprehensif seperti reproduksi dan siklus hidup dan pola migrasi ikan ekor
kuning.
LAMPIRAN
71

Lampiran 1 Koordinat stasiun penelitian


Koordinat
Stasiun Lokasi Kedalaman
Lintang Bujur
1 7 m (Slope )
o
S 05 44' 22.75"
o
E 106 37' 15.9"
Timur P. Pramuka
2 o
S 05 44' 20.07"
o
E 106 36' 58.3"
Utara P. Pramuka 3 m (Tubir)
3 o
S 05 44' 39.2"
o
E 106 35' 09.8"
Barat P. Panggang 3 m (Tubir)
4 6 m (Slope )
o
S 05 49' 47"
o
E 106 35' 20.3"
Slatan P. Panggang
5 o
S 05 36' 15.2"
o
E 106 36' 08.9"
Utara P. Belanda 3 m (Tubir)
6 6 m (Slope )
o
S 05 36' 23.2"
o
E 106 36' 18.3"
Selatan P. Belanda
7 o
S 05 36' 22.5"
o
E 106 34' 08.7"
Timur P. Kayu Angin 3 m (Tubir)
8 10 m (Slope )
o
S 05 36' 27.3"
o
E 106 33' 57.2"
Barat P. Kayu Angin
72

Lampiran 2 Persentase tutupan dan indikator keanekaragaman substrat bentik di


lokasi penelitian
Timur Utara Barat Selatan Utara Selatan Timur K. Barat K.
NO KATEGORI Pramuka Pramuka Panggang Panggang Belanda Belanda Angin Bira
1 2 3 4 5 6 7 8
I KARANG KERAS 18.13 23.84 27.29 54.35 39.41 21.08 28.90 45.18
Acropora
1 ACB-Acropora Branching 0.28 1.26 3.67 4.35 17.01 0.49 7.34 10.09
2 ACD-Acropora Digitate 0.00 0.00 0.37 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00
4 ACS-Acropora Submassive 0.00 1.43 0.00 0.00 0.45 0.21 0.00 0.00
5 ACT-Acropora Tabulate 1.97 3.95 2.92 0.00 0.59 2.08 0.10 0.00
Non-Acropora
6 CB-Coral Branching 1.12 1.76 0.52 0.93 1.39 0.17 3.55 1.07
7 CE-Coral Encrusting 3.98 2.35 0.75 0.93 2.92 10.07 2.16 12.63
8 CF-Coral Foliose 2.86 0.95 0.07 29.50 4.65 3.75 10.96 11.27
9 CM- Coral Massive 4.97 9.01 10.04 17.79 1.94 1.35 1.10 6.04
10 CMR-Coral Mushroom 1.03 0.03 0.22 0.22 8.13 1.42 2.46 0.59
11 CS-Coral Submassive 1.92 2.85 8.70 0.62 2.33 1.53 1.20 3.34
12 CML-Coral Millepora 0.00 0.25 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.15
II KARANG MATI 16.35 24.17 25.11 19.74 16.11 42.19 23.92 35.68
1 Karang mati ber-alga 15.60 9.01 22.94 17.35 14.10 33.85 17.71 26.39
2 Karang mati 0.75 15.17 2.17 2.40 2.01 8.33 6.21 9.29
III ALGA 12.04 2.10 0.67 2.26 1.91 0.97 1.73 2.13
1 Alga assemblage 0.14 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06
2 Coralline alga 6.42 0.17 0.00 0.13 1.84 0.42 0.10 0.18
3 Halimeda 0.00 0.00 0.00 0.09 0.00 0.07 0.17 0.00
4 Macroalga 4.40 1.93 0.30 2.00 0.03 0.24 0.56 0.95
5 Turf alga 1.08 0.00 0.37 0.04 0.03 0.24 0.90 0.95
IV FAUNA LAIN 3.19 1.51 12.22 1.06 0.31 0.73 1.16 3.17
1 Others 0.61 1.37 1.35 0.35 0.31 0.73 0.47 1.30
2 Karang lunak 0.52 0.03 10.72 0.71 0.00 0.00 0.70 0.00
3 Sponge 1.97 0.11 0.15 0.00 0.00 0.00 0.00 1.86
4 Zoanthids 0.09 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
V ABIOTIK 50.28 48.38 34.71 22.58 42.26 35.03 44.29 13.85
1 Batu 13.50 10.91 0.00 0.22 0.00 0.14 0.03 0.00
2 Pasir 3.98 4.67 4.35 4.26 2.12 14.27 2.86 7.16
3 Endapan lumpur 0.19 0.28 0.00 1.55 0.00 0.00 0.00 0.06
4 Patahan karang 32.61 32.51 30.36 16.55 40.14 20.63 41.40 6.63
TOTAL 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
73

Lampiran 3 Persentase tutupan keanekaragaman Genus dan lifeform


Timur Utara Barat Selatan Utara Selatan Timur K. Barat K.
NO KATEGORI Pramuka Pramuka Panggang Panggang Belanda Belanda Angin Bira
1 2 3 4 5 6 7 8
I Genus
1 Acropora 2.25 6.63 6.97 4.35 18.06 2.78 7.48 10.09
2 Astreopora 0.00 0.25 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.89
3 Coelosoris 0.00 0.70 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
4 Cyphastrea 0.05 0.48 0.00 0.53 0.00 0.35 0.20 0.38
5 Diploria 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
6 Favia 0.33 1.12 0.07 0.44 0.07 0.24 0.07 0.36
7 Favites 0.61 0.25 0.00 0.00 0.00 0.03 0.40 0.36
8 Fungia 0.23 0.03 0.22 0.22 7.85 1.39 2.46 0.59
9 Galaxea 0.05 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.17 0.03
10 Goniastrea 0.33 0.42 0.30 0.00 0.00 0.21 0.00 0.33
11 Goniopora 1.12 1.01 1.00 17.13 1.49 0.14 0.00 0.06
12 Heliofungia 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00
13 Herpolitha 0.80 0.00 0.00 0.00 0.24 0.03 0.00 0.00
14 Hydnophora 0.00 1.12 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03
15 Leptoria 2.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
16 Lobophyllia 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00 0.06
17 Millepora 0.00 0.25 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.15
18 Montastraea 0.09 0.00 0.00 0.09 0.00 0.00 0.00 0.44
19 Montipora 1.83 3.25 9.22 4.21 6.53 10.83 12.26 8.58
20 Pachyseris 4.08 0.00 0.00 0.00 0.00 0.31 0.33 1.21
21 Pavona 0.00 0.70 0.00 26.44 0.56 0.24 0.27 2.69
22 Pectinia 0.28 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.21
23 Platygyra 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06
24 Plerogyra 0.05 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06
25 Plesiastrea 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00
26 Pocillopora 0.05 0.34 0.00 0.00 0.00 0.31 0.00 0.00
27 Podabacia 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00
28 Porites 3.28 6.35 8.97 0.00 1.49 3.33 2.49 11.24
29 Seriatopora 0.42 0.11 0.52 0.89 1.25 0.14 2.36 0.00
30 Stylophora 0.00 0.50 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
31 Symphyllia 0.19 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00
32 Trachyphylia 0.00 0.20 0.00 0.04 0.14 0.28 0.03 0.56
33 Turbinaria 0.00 0.00 0.00 0.00 1.67 0.42 0.33 5.80
Indikator Keanekaragaman
S (jumlah genus) 19.00 23.00 7.00 10.00 13.00 17.00 15.00 22.00
H' (SW Index) 2.30 2.15 1.26 1.31 1.60 1.65 1.65 2.05
II. Lifeform
Acropora
1 ACB-Acropora Branching 0.28 1.26 3.67 4.35 17.01 0.49 7.34 10.09
2 ACD-Acropora Digitate 0.00 0.00 0.37 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00
4 ACS-Acropora Submassive 0.00 1.43 0.00 0.00 0.45 0.21 0.00 0.00
5 ACT-Acropora Tabulate 1.97 3.95 2.92 0.00 0.59 2.08 0.10 0.00
Non-Acropora
6 CB-Coral Branching 1.12 1.76 0.52 0.93 1.39 0.17 3.55 1.07
7 CE-Coral Encrusting 3.98 2.35 0.75 0.93 2.92 10.07 2.16 12.63
8 CF-Coral Foliose 2.86 0.95 0.07 29.50 4.65 3.75 10.96 11.27
9 CM- Coral Massive 4.97 9.01 10.04 17.79 1.94 1.35 1.10 6.04
10 CMR-Coral Mushroom 1.03 0.03 0.22 0.22 8.13 1.42 2.46 0.59
11 CS-Coral Submassive 1.92 2.85 8.70 0.62 2.33 1.53 1.20 3.34
12 CML-Coral Millepora 0.00 0.25 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.15
Indikator Keanekaragaman
S (jumlah lifeform ) 8.00 10.00 9.00 7.00 9.00 9.00 9.00 8.00
H' (SW Index) 1.86 1.85 1.53 1.11 1.68 1.61 1.66 1.66
74

Lampiran 4 Kelimpahan ikan ekor kuning, ikan karang lainnya dan jumlah
spesies ikan karang
Stasiun 1 (Timur Pramuka)
Tanggal 19 mei 2009
Waktu 08.30 WIB
Depth 7m
substrat pasir
Zona Slope

Ukuran (cm) Jumlah


No. Famili Spesies
0-5 5 - 10 10 - 15 15 - 20 20 - 25 25 - 30 30 - 35 35 - 40 >40 Induvidu
1 Siganidae Siganus Puellus 1 1
2 Caesionidae Caesio teres 87 14 101
3 Caesionidae Caesio cuning 23 23
4 Pempheridae Pempheris vanicolensis 6 6
5 Scaridae Chlorurus sordidus 1 1 1 3
6 Serranidae Cephalopholis sexmaculata 1 1
7 Labridae Thalassoma lunare 31 31
8 Sphyraenidae Sphyraena barracuda 1 1
9 Pomacentridae Pomacentrus alexanderae 42 14 56
10 nemipteridae Scolopsis Bilineata 2 2
11 Pomacentridae Amblyglyphidodon leucogaster 2 2 4
12 Labridae Choerodon anchorago 1 1
13 Chaetodontidae Chaetodon octofasciatus 1 1
14 Labridae Labroides dimidiata 3 3
15 Labridae Stethojulis trilineata 4 4
16 Labridae Cheilinus fasciatus 1 1 3 5
17 Pomacentridae Neoglyphidodon melas 2 2
18 nemipteridae Scolopsis trilineata 1 2 1 4
19 Serranidae Epinephelus fasciatus 1 1
20 Pomacentridae Pomacentrus mollucensis 7 7
21 Apogonidae Apogon compressus 14 14
22 Pomacentridae Pomacentrus smithi 4 4
23 Scaridae Scarus gobhan 1 1
24 Caesionidae Pterocaesio tile 40 40
25 Labridae Halihoeres richmondi 1 1
26 Pomacentridae Chromis ternatensis 193 193
27 Pomacentridae Diproctacanthus xanthurus 2 2
28 Labridae Thallasoma purpurescens 1 1
29 Serranidae Cephalopholis boenak 2 2
30 nemipteridae Pentapodus trivittata 1 1
31 Serranidae Cephalopholis microprion 1 1
32 Pomacentridae Abudefduf vaigiensis 2 2
33 nemipteridae Monotaxis grandoculis 1 1
34 Holocentridae Myripristis adusta 1 1
35 Labridae Halichoeres margaritaceous 1 1
36 Belonidae Platybelone argalus 20 20
Jumlah 258 81 71 90 4 15 519
75

Lampiran 4 (lanjutan)

Stasiun 2 (Utara Pramuka)


Tanggal 21-May-09
Waktu 16.00
Kedalaman 3m
Zona Tubir

Ukuran (cm) Jumlah


No. Spesies
0-5 5 - 10 10 - 15 15 - 20 20-25 25-30 30 - 35 35 - 40 > 40 Induvidu
1 Caesio cuning 6 15 21
2 Labroides dimidiatus 1 1
3 Pomacentrus moluccensis 5 5
4 Scarus niger 4 4
5 Chaetodontoplus mesoleucus 1 1
6 Amblygyphidodon curacao 25 15 40
7 Abudefduf bengalensis 15 7 22
8 Scarus rivulatus 5 5
9 Scarus niger 4 4
10 Neoglyphidodon bonang 8 8
11 Scolopsis bilineata 5 5
12 Parupeneus barberinus 3 3
13 Thallosoma lunare 5 3 8
14 Chromis viridis 4 4
15 Chaetodon octofasciatus 5 5
16 Lutjanus decussatus 1 2 6 9
17 Scarus flavipectoralis 5 2 7
18 Lutjanus ruselli 4 4
19 Scarus forsteni 3 3
20 Scarus prasiognathos 2 2
21 Bodianus diana 2 2
22 Choerodon anchorago 1 1
23 Anampses melanurus 2 2
24 Hemigymnus melapterus 3 2 5
25 Halichoeres rubricephalus 2 2
26 Neopomacentrus filamentosus 50 50
27 Paracentropogon longispinis 1 1
28 Pterois antennata 1 1
29 Scolopsis bilineata 2 2
30 Siganus (Lo) vulpinus 10 7 17
31 Melichthys vidua 3 3
32 Odonus niger 2 2
Jumlah 132 71 25 228
76

Lampiran 4 (lanjutan)

Stasiun 3 (Barat Panggang)


Tanggal 20-May-09
Waktu 10.00
Kedalaman 3m
Zona Tubir

Ukuran (cm) Individu/


No Spesies
0 - 5 5 - 10 10 - 15 15 - 20 20-25 25 - 30 30 - 35 35 - 40 > 40 m2
1 Caesio cuning 100 100
2 Thallosoma lunare 2 2
3 Amblygipidodon curacao 4 4
4 Neoglyphidodon bonang 3 3
5 Bodianus bilunulatus 3 3
6 Cheilinus fasciatus 3 3
7 Pomacentridae alexanderae 50 50
8 Chromis analis 10 10
9 Scarus ghoban 3 3
10 Chaetodon octfasciatus 8 8
11 Chaetodontoplus mesoleucus 3 3
12 Anampses melanurus 4 4
13 Neoglyphidodon crossi 5 5
Jumlah 98 98

Stasiun 4 (Selatan Panggang-transplantasi)


Tanggal 20-May-09
Waktu 10.00
Kedalaman 6m
Zona Slope

Ukuran (cm) Individu/


No Spesies
0-5 5 - 10 10 - 15 15 - 20 20-25 25 - 30 30 - 35 35 - 40 > 40 m2
1 Caesio cuning 5 5
2 Pomacentrus alexanderae 4 4
3 Amblyglyphidodon curacao 9 9
4 Labroides dimidiatus 2 2
5 Thallosoma lunare 3 3
6 Chromis viridis 150 150
7 Chaetodon octofasciatus 3 3
Jumlah 171 171
77

Lampiran 4 (lanjutan)

Stasiun 5 (utara belanda)


Tanggal 22-May-09
Waktu 10.00
Kedalaman 3
Zona Tubir

Ukuran (cm) Jumlah


No. Spesies
0-5 5 - 10 10 - 15 15 - 20 20-25 25 - 30 30 - 35 35 - 40 > 40 Induvidu
1 Caesio cuning 18 5 40 63
2 Labroides dimidiatus 2 2
3 Pomacentrus moluccensis 20 20
4 Scarus niger 4 4
5 Chaetodontoplus mesoleucus 2 2
6 Amblygyphidodon curacao 50 10 60
7 Abudefduf bengalensis 15 7 22
8 Scarus rivulatus 5 5
9 Scarus niger 5 4 9
10 Neoglyphidodon bonang 8 8
11 Scolopsis bilineata 5 5
12 Parupeneus barberinus 3 3
13 Thallosoma lunare 5 3 8
14 Chromis viridis 4 4
15 Chaetodon octofasciatus 5 11 16
16 Lutjanus decussatus 1 2 6 9
17 Scarus flavipectoralis 5 2 7
18 Lutjanus ruselli 4 4
19 Scarus forsteni 3 3
20 Scarus prasiognathos 2 2
21 Choerodon anchorago 1 1
22 Anampses melanurus 2 2
23 Apogon .... 20 20
24 Halichoeres rubricephalus 2 2
25 Neopomacentrus filamentosus 50 50
26 Paracentropogon longispinis 1 1
27 Pomacentrus alexanderae 850 850
Jumlah 1006 91 22 1119
78

Lampiran 4 (lanjutan)

Stasiun 6 (selatan belanda)


Tanggal 23-May-09
Waktu 10.00
Kedalaman 6m
Zona Slope

Ukuran (cm) Jumlah


No. Spesies
0-5 5 - 10 10 - 15 15 - 20 20 - 25 25-30 30 - 35 35 - 40 > 40 Induvidu
1 Caesio cuning 20 100 100 2 2 224
2 Pomacentrus alexanderae 25 25
3 Dischistodus prosopotaenia 5 5
4 Cirrhilabrus cyanopleura 250 250
5 Scarus niger 3 3
6 Scarus ghobban 3 3
7 Parupeneus macronema 2 2
8 Thallosoma lunare 25 4 29
9 Cheilinus fasciatus 1 4 2 7
10 Choerodon anchorago 2 2 4
11 Neoglyphidodon crossi 25 25
12 Hemigymnus melapterus 2 2
13 Halichoeres dussumieri 2 2
14 Chaetodontoplus mesoleucus 2 2
15 Pomacentrus moluccensis 35 35
16 Chaetodon octofasciatus 4 4
17 Bodianus loxozonus 2 2
18 Abudefduf bengalensis 45 45
19 Neoglyphidodon bonang 4 4
20 Amphiprion ocellaris 2 2
21 Apogon compressus 20 20
22 Lutjanus decussatus 2 1 3
Jumlah 28 423 23 0 0 474
79

Lampiran 4 (lanjutan)
Stasiun 7 (timur kayu angin)
Tanggal 22 Mei 2009
Waktu 10.30 WIB
Depth 3m
subsrat karang
Zona Tubir

Ukuran (cm) Jumlah


No. Famili Spesies
0-5 5 - 10 10 - 15 15 - 20 20 - 25 25 - 30 30 - 35 35 - 40 >40 Induvidu
1 Caesiobidae Caesio cuning 10 16 26
2 Labridae Anampses caeruleopunctatus 1 1
3 Pomacentridae Amblyglyphidodon curacao 100 100
4 Pomacentridae Pomacentrus burroughi 2 2 4
5 Labridae Thalassoma lunare 5 5
6 Chaetodontidae Chaetodon octofasciatus 1 3 4
7 Pomacentridae Neoglyphidodon bonang 1 1
8 Lutjanidae Lutjanus decussatus 1 1
9 Labridae Cheilinus fasciatus 2 2
10 Pomacentridae Pomacentrus smithi 525 525
11 Labridae Cheilinus trilobatus 2 2
12 Pomacentridae Pomacentrus moluccensis 4 5 9
13 Labridae Cheilinus unifaciatus 1 2 3
14 Labridae Diproctacanthus xanthurus 1 1
15 Nemipteridae Scolopsis margaritifer 1 1
16 Pomacentridae Lepidozygus anabatoides 523 523
17 Pomacentridae Pomacentrus alexanderae 120 120
18 Pomacentridae Neoglyphidodon crossi 4 4
19 Pomacentridae Chromis analis 1 1
20 Labridae Halichoeres javanicus 1 1
21 Pomacentridae Hemiglyphododon plagiometopon 1 1
22 Labridae Halichoeres melanurus 1 1
23 Labridae Labroides dimidiata 1 1
24 Pomachantidae Chaetodontoplus mesoleucus 4 4
25 Labridae Hemygymnus melapterus 2 2
26 Pomacentridae Neoglyphidodon melas 2 2
27 Apogonidae Apogon compressus 20 20
28 Serranidae Cephalopholis microprion 1 1
29 Scaridae Scarus dimidiata 1 1
30 Serranidae Cephalopholis sexmaculata 1 1
31 Scaridae Chlorurus sordidus 1 1
32 Labridae Halichoeres richmondi 4 4
Jumlah 1280 37 24 5 0 1 1347
80

Lampiran 4 (lanjutan)
Stasiun 8 (barat kayu angin)
Tanggal 22 Mei 2009
Waktu 13.30 WIB
Depth 10 m
subsrat karang
Zona Slope

Ukuran (cm) Jumlah


No. Famili Spesies
0 - 5 5 - 10 10 - 15 15 - 20 20 - 25 25 - 30 30 - 35 35 - 40 >40 Induvidu
1 Caesionidae Caesio cuning 62 11 73
2 Pomacanthidae Chaetodontoplus mesoleucus 8 8
3 Pomacentridae Amblyglyphidodon leucogaster 20 20
4 Pomacentridae Pomacentrus smithi 200 200
5 Labridae Cheilinus unifasciatus 1 1
6 scaridae Scarus niger 1 1
7 Labridae Cheilinus fasciatus 1 3 4
8 Pomacentridae Pomacentrus alexanderae 400 400
9 Lutjanidae Lutjanus biguttatus 3 3
10 Nemipteridae Scolopsis margaritifer 1 1
11 Labridae Halichoeres richmondi 10 10
12 Chaetodontidae Chaetodon octofasciatus 7 7
13 Labridae Thalassoma lunare 52 52
14 Pomacentridae Neoglyphidodon crossi 2 1 3
15 scaridae Scarus flavipectoralis 120 100 3 223
16 Pomacentridae Pomacentrus burroughi 11 11
17 Pomacentridae Neoglyphidodon melas 1 1
18 Pomacentridae Lepidozygus anabatoides 104 104
19 Pomacentridae Pomacentrus moluccensis 3 3
20 Labridae Cheilinus trilobatus 1 1 2
21 Labridae Choerodon anchorago 1 1
22 Chaetodontidae Chaetodon kleinii 1 1
23 Pomacentridae Neopomacentrus azysron 100 100
24 Labridae anampses caeruleopunctatus 1 1
25 Serranidae Cephalopholis sexmaculata 1 1
26 Serranidae cephalopholis microprion 3` 3
27 Serranidae epinephelus fasciatus 4 4
28 Labridae Hemygymnus melapterus 1 1
Jumlah 1006 127 21 9 3 0 1166
81

Lampiran 5 Panjang, berat, jenis kelamin dan TKG ikan ekor kuning

NO PANJANG (L) BERAT (W) JENIS


TKG KETERANGAN
SAMPEL (cm) (grm) KELAMIN
1 26.70 208.63 B 2
2 21.70 96.63 J 2
3 25.70 166.44 J 3
4 23.60 108.56 J 2
5 15.90 34.90 J 1
6 14.90 29.17 B 1
7 14.90 30.38 tidak ada gonad
8 13.60 22.42 tidak ada gonad
9 15.70 33.30 tidak ada gonad
10 15.90 32.30 tidak ada gonad
11 24.00 110.09 B 1
12 29.50 234.36 B 2
13 29.60 218.50 J 3
14 28.90 190.19 J 2
15 27.70 157.72 J 1
16 30.50 259.19 J 3
17 33.10 332.25 B 2
18 31.60 275.61 B 1
19 21.80 91.78 B 2
20 22.70 104.73 tidak ada gonad
21 11.30 10.69 tidak ada gonad
22 15.90 31.35 tidak ada gonad
23 22.60 93.32 J 2
24 13.60 18.03 tidak ada gonad
25 25.00 121.45 J 2
26 13.30 15.86 tidak ada gonad
27 24.70 116.24 B 2
28 12.80 15.74 tidak ada gonad
29 24.80 116.70 J 1
30 15.40 29.58 tidak ada gonad
31 24.20 132.14 J 2
32 13.20 17.71 tidak ada gonad
33 25.40 137.51 B 1
34 20.10 66.48 tidak ada gonad
35 25.50 132.22 B 1
36 21.50 77.84 J 4
37 25.20 142.75 J 1
38 21.60 92.49 J 4
39 25.30 132.14 J 2
40 15.30 28.64 tidak ada gonad
41 24.90 132.78 tidak ada gonad
42 15.10 29.02 tidak ada gonad
43 25.00 118.60 J 3
44 13.10 17.43 tidak ada gonad
45 23.60 101.93 tidak ada gonad
46 15.60 27.87 tidak ada gonad
47 22.40 93.75 B 1
48 14.90 26.51 tidak ada gonad
49 22.50 101.49 J 3
50 13.5 20.61 J 3
82

Lampiran 6 Regresi hubungan panjang berat

SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics
Multiple R 0.957009583
R Square 0.915867342
Adjusted R Square 0.914114578
Standard Error 22.50422941
Observations 50

ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 1 264629.0356 264629.0356 522.5275593 1.89016E-27
Residual 48 24309.13639 506.4403416
Total 49 288938.172

Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0%
Intercept -164.0068582 11.92594961 -13.75210055 2.86112E-18 -187.9855866 -140.0281298 -187.9855866 -140.0281298
X Variable 1 12.44798911 0.544558573 22.85886172 1.89016E-27 11.35308074 13.54289749 11.35308074 13.54289749
83

Lampiran 7 Jumlah individu dan persentase jenis makanan dalam isi lambung
ikan ekor kuning
Jumlah individu jenis ke i (n)
Sampel Calanus
Sagitella Parachymula Lauderia Thallassiothri Calanus Iasis
ikan Nitszchia Coscinodiscus Copepodite Brachionus Mysis Heigolandicu Clymnosera
Kowalewskii larva Borealis x Longissima Minor Sonaria
s
1 19 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 34 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 17 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 34 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 26 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 32 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
11 18 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
12 60 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
14 28 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
17 38 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
18 28 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
19 26 6 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
20 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
21 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
22 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
23 41 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
24 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
25 28 3 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
26 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
27 38 2 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
28 14 7 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0
29 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
30 19 5 4 1 0 0 0 3 0 0 0 0 0
31 42 7 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
32 34 5 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
33 36 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
34 22 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
35 4 10 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
36 14 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
37 22 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
38 94 33 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
39 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
40 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
41 18 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
42 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
43 26 39 3 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
44 42 12 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
45 80 10 1 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0
46 15 24 14 1 2 2 1 0 0 0 0 0 0
47 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
48 91 1 0 0 0 0 0 30 34 1 8 0 0
49 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
50 63 27 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 1103 263 36 3 2 2 1 46 34 1 8 1 1
Rata-rata 22.06 5.26 0.72 0.06 0.04 0.04 0.02 0.92 0.68 0.02 0.16 0.02 0.02
Persentase 73.48 17.52 2.40 0.20 0.13 0.13 0.07 3.06 2.27 0.07 0.53 0.07 0.07
84

Lampiran 8 Regresi hubungan plankton dengan kelimpahan ikan

SUMMARY OUTPUT

Regression Statistics
Multiple R 0.851919371
R Square 0.725766614
Adjusted R Square 0.68006105
Standard Error 40.20526059
Observations 8

ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 1 25668.09713 25668.1 15.87917 0.007242874
Residual 6 9698.777874 1616.463
Total 7 35366.875

Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0%
Intercept -198.1405172 68.00761004 -2.91351 0.026857 -364.5491439 -31.7318906 -364.5491439 -31.73189059
X Variable 1 0.096020115 0.024096184 3.984868 0.007243 0.037058878 0.154981352 0.037058878 0.154981352
Lampiran 9 Ciri dari masing-masing kelompok berdasarkan klaster habitat terhadap substrat dasar

Substart Bentik (Habitat)


KEL. LOKASI IKAN
ACB ACD ACS ACT CB CE CF CM CMR CS CML DCA DC AA CA HA MA TA OT SC SP ZO RCK S SI R
I Timur Pramuka 0.28 0.00 0.00 1.97 1.12 3.98 2.86 4.97 1.03 1.92 0.00 15.60 0.75 0.14 6.42 0.00 4.40 1.08 0.61 0.52 1.97 0.09 13.50 3.98 0.19 32.61 23
Utara Pramuka 1.26 0.00 1.43 3.95 1.76 2.35 0.95 9.01 0.03 2.85 0.25 9.01 15.17 0.00 0.17 0.00 1.93 0.00 1.37 0.03 0.11 0.00 10.91 4.67 0.28 32.51 21
II Barat Panggang 3.67 0.37 0.00 2.92 0.52 0.75 0.07 10.04 0.22 8.70 0.00 22.94 2.17 0.00 0.00 0.00 0.30 0.37 1.35 10.72 0.15 0.00 0.00 4.35 0.00 30.36 100
III Utara Belanda 17.01 0.00 0.45 0.59 1.39 2.92 4.65 1.94 8.13 2.33 0.00 14.10 2.01 0.00 1.84 0.00 0.03 0.03 0.31 0.00 0.00 0.00 0.00 2.12 0.00 40.14 63
Timur Kayu Angin Bira 7.34 0.03 0.00 0.10 3.55 2.16 10.96 1.10 2.46 1.20 0.00 17.71 6.21 0.00 0.10 0.17 0.56 0.90 0.47 0.70 0.00 0.00 0.03 2.86 0.00 41.40 26
IV Selatan Belanda 0.49 0.00 0.21 2.08 0.17 10.07 3.75 1.35 1.42 1.53 0.00 33.85 8.33 0.00 0.42 0.07 0.24 0.24 0.73 0.00 0.00 0.00 0.14 14.27 0.00 20.63 224
Barat Kayu Angin Bira 0.49 0.00 0.21 2.08 0.17 10.07 3.75 1.35 1.42 1.53 0.00 42.15 0.03 0.00 0.42 0.07 0.24 0.24 0.73 0.00 0.00 0.00 0.14 14.27 0.00 20.63 73
V Selatan Panggang 4.35 0.00 0.00 0.00 0.93 0.93 29.50 17.79 0.22 0.62 0.00 17.35 2.40 0.00 0.13 0.09 2.00 0.04 0.35 0.71 0.00 0.00 0.22 4.26 1.55 16.55 5

Keterangan :

1. ACB = Acropora Branching 10. CS = Coral Submassive 19. OT = Others


2. ACD = Acropora Digitate 11. CML = Coral Millepora 20. SC = Karang lunak
Acropora Karang mati ber-
3. ACS = 12. DCA = 21. SP = Sponge
Submassive alga
4. ACT = Acropora Tabulate 13. DC = Karang mati baru 22. ZO = Zoanthids
5. CB = Coral Branching 14. AA = Alga assemblage 23. RCK = Batu
6. CE = Coral Encrusting 15. CA = Coralline alga 24. S = Pasir
7. CF = Coral Foliose 16. HA = Halimeda 25. SI = Endapan lumpur
8. CM = Coral Massive 17. MA = Macroalga 26. R = Patahan karang
9. CMR = Coral Mushroom 18. TA = Turf alga

You might also like