Keterkaitan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning (Pada Ekosistem Terumbu Karang Di Kepulauan Seribu
Keterkaitan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning (Pada Ekosistem Terumbu Karang Di Kepulauan Seribu
Keterkaitan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning (Pada Ekosistem Terumbu Karang Di Kepulauan Seribu
RAIMUNDUS NGGAJO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Raimundus Nggajo
NIM. C252070344
ABSTRACT
Yellow tail fusilier fish (Caesio cuning) is one of the reef fish species as fishing
target that associated with coral reefs in the Seribu Islands water. The purpose of
this research is to determine the yellow tail fusilier fish resources condition and
coral reef ecosystems and to assess yellow tail fusilier fish resources linkage with
habitat characteristics. The research was conducted at Pramuka Island, Panggang
Island, Belanda Island and Kayu Angin Bira Island at Seribu Islands District from
April to June 2009. Each island was taken as many as two points in the fishermen
catchment area. To see the percentage of benthic substrate cover, life-form and the
number of coral genera square transect method, the results are analyzed using the
Coral Point Count with Excell extension (CPCe) version 3.6 program. To see an
abundance of yellow tail fusilier fish resources using Underwater Visual Census
and to know biological condition of yellow tail fusilier fish, samples were taken
from fishermen catches in the research locations. Interconnection yellow tail
fusilier fish resources with habitat characteristics can be shown by benthic
substrate grouping using cluster analysis methods. The result of this research
showed the condition of coral reef ecosystems have 32.27% life-form cover. The
condition of yellow tail fusilier fish resources growth was predicted have become
over fishing, with the growth pattern was alometric and was dominated by
immature fish. Yellow tail fusilier fish resource linkage habitat characteristics
were characterized by the presence of encrusting coral, acropora digitate,
submassive coral, dead coral with algae, soft coral and sand. The recommendation
of management activities are: (1) rehabilitating habitat with encrusting coral,
acropora digitate and submassive coral transplant programs that characterize the
existence of yellow tail fusilier fish. (2) regulating caching effort and determining
of suitable mess size.
Keywords : Ecosystem of coral reefs, yellow tail fusilier fish, habitat linkage,
Seribu Islands
RINGKASAN
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilimiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KETERKAITAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING
(Caesio cuning) DENGAN KARAKTERISTIK HABITAT
PADA EKOSISTEM TERUMBU KARANG
DI KEPULAUAN SERIBU
RAIMUNDUS NGGAJO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Penguji luar komisi pada ujian tesis: Ir. Zairion, M.Sc
Judul Tesis : Keterkaitan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning)
dengan Karakteristik Habitat Pada Ekosistem Terumbu Karang
di Kepulauan Seribu
Nama : Raimundus Nggajo
NIM : C 252 070 344
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc
Ketua Anggota
Diketahui
Prof.Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segala limpahan rahmat dan berkat-Nya, sehingga penulisan tesis ini dapat
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan
April-Maret 2009 ini ialah dengan judul “Keterkaitan Sumberdaya Ikan Ekor
Kuning (Caesio cuning) dengan Karakteristik Habitat pada Ekosistem Terumbu
Karang Di Kepulauan Seribu”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc
dan Ibu Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc selaku pembimbing, serta Bapak Ir.
Zairion, M.Sc yang telah banyak memberi saran. Disamping itu, ucapan terima
kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
beserta seluruh staf pengajar dan administrasi Program Studi Ilmu Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan yang telah membantu selama masa studi penulis
di SPL-IPB. Rasa hormat tidak lupa penulis sampaikan kepada Bapak Direktur
Pesisir dan Lautan Ditjen KP3K, DKP beserta seluruh staf, yang telah
memberikan kesempatan dan mendorong saya untuk melanjutkan studi ini, serta
ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Direktur
COREMAP II beserta seluruh staf atas beasiswa yang diberikan. Rasa hormat dan
terima kasih saya sampaikan kepada teman-teman SPL-SANDWICH CORMEP II
Angkatan I atas kebersamaan selama masa studi baik di Bogor maupun di
Xiamen-China. Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada teman-
teman di Yasmin V (Bang Wan, Pak Dokter, brur Budi dan Febry) dan Tim 1000
(brur Jimy, Dedy, Amer dan Jae) serta Harlym dan Tiny yang telah membantu dan
mendukung sejak pelaksanaan penelitian sampai terselesainya penulisan tesis ini.
Ungkapan terima kasih dan rasa cinta juga disampaikan kepada ayahanda
Donatus Mere (Alm), ibunda Helena Wea (Almh), Bapak Andreas Sinyo
Langoday, Mama Maria Afonsa Teren, istri tercinta Maria Filomena Langoday
dan anak AS. Mariano Nggajo Mere serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
kasih sayangnya.
Semoga karya ilimiah ini bermanfaat.
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xiv
1 PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................. 3
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................. 3
1.4 Kerangka Penelitian.................................................................. 4
2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 6
2.1 Parameter Lingkungan.............................................................. 6
2.2 Ekosistem Terumbu Karang ..................................................... 7
2.3 Tipe Dasar Terumbu Karang .................................................... 10
2.4 Sumberdaya Ikan Karang ......................................................... 10
2.5 Klasifikasi Ikan Ekor Kuning ................................................... 12
2.6 Habitat dan Kebiasaan Hidup Ikan Ekor Kuning ..................... 13
2.7 Pertumbuhan............................................................................. 14
2.8 Hubungan Panjang-Berat.......................................................... 14
2.9 Makanan Ikan ........................................................................... 16
2.10 Siklus Hidup dan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ............ 17
2.11 Hubungan Terumbu Karang dengan Komunitas Ikan
Karang ...................................................................................... 19
2.12 Dasar Pengelolaan Terumbu Karang dan Ikan Karang ............ 20
3 METODOLOGI PENELITIAN......................................................... 22
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................... 22
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ........................................................ 22
3.3 Metode Pengambilan Data........................................................ 24
3.3.1 Penentuan titik stasiun .................................................... 24
3.3.2 Parameter lingkungan...................................................... 24
3.3.3 Kondisi terumbu karang.................................................. 24
3.3.4 Sumberdaya ikan ekor kuning......................................... 27
3.3.4.1 Kelimpahan ikan ............................................... 27
3.3.4.2 Kondisi biometeri............................................. 28
3.3.4.3 Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ................. 28
3.3.4.4 Jenis makanan ................................................... 28
3.4 Analisis Data ............................................................................ 29
3.4.1 Persentase tutupan substrat bentik ekosistem
terumbu karang................................................................ 29
3.4.2 Ikan ekor kuning ............................................................. 29
3.4.2.1 Kelimpahan ikan ............................................... 29
3.4.2.2 Kondisi biometeri............................................. 30
x
3.4.2.3 Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ................. 31
3.4.2.4 Jenis makanan ................................................... 31
3.4.3 Pengelompokan habitat ................................................... 32
3.4.4 Keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning
dengan karakteristik habitat ............................................ 32
3.4.5 Rekomendasi pengelolaan ekosistem terumbu karang
dan ikan ekor kuning secara terpadu............................... 33
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian.............................. 22
2. Daftar penggolongan komponen dasar penyusun komunitas
karang berdasarkan lifeform karang dan kodenya ......................... 26
3. Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang
berdasarkan persentase penutupan karang..................................... ...... 29
4. Klasipikasi kematangan gonad ikan laut.............................................. 31
5. Nilai kondisi lingkungan perairan........................................................ 36
6. Kelimpahan ikan ekor kuning .............................................................. 47
7. Sebaran frekuensi panjang ................................................................... 49
8. Sebaran frekuensi berat........................................................................ 49
9. Kisaran panjang ikan dan TKG............................................................ 52
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Diagram alir kerangka piker pengelolaan terumbu karang dan
ikan ekor kuning .................................................................................. 5
2. Ikan ekor kuning ................................................................................ 12
3. Peta lokasi penelitian ........................................................................... 23
4. Metode pengamatan terumbu karang dan posisi transek
untuk pengamatan terumbu karang ...................................................... 25
5. Bingkai tetrapod untuk fotografi tutupan karang .................................. 25
6. Metode sensus visual bawah air ikan karang ....................................... 27
7. Persentase tutupan kelompok substrat bentik ..................................... 41
8. Persentase tutupan kelompok karang keras........................................... 41
9. Persentase tutupan kelompok Abiotik................................................... 42
10. Persentase tutupan karang mati beralga dan karang mati ..................... 43
11. Persentase tutupan komponen penyusun lifeform Acropora................. 45
12. Persentase tutupan komponen penyusun lifeform Non
Acropora .............................................................................................. 45
13. Rata-rata persen tutupan lifeform .......................................................... 46
14. Hubungan panjang berat ikan ekor kuning ........................................ 50
15. Persentase jenis makanan dalam isi lambung ikan ekor kuning
kuning .................................................................................................. 53
16. Regresi keterkaitan planktonk dengan kelimpahan ikan...................... 54
17. Dendogram berdasarkan substrat bentik .............................................. 56
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Koordinat stasiun penelitian................................................................. 71
2. Persentase tutupan dan indikator keanekaragaman substrat bentik
di lokasi penelitian ............................................................................... 72
3. Persentase tutupan keanekaragaman genus dan lifeform di lokasi
penelitian.............................................................................................. 73
4. Data kelimpahan ikan ekor kuning, ikan karang lainnya dan
jumlah spesies ikan karang .................................................................. 74
5. Data panjang, berat, TKG dan jenis kelamin ikan ekor...... .......... 81
6. Regresi hubungan panjang berat .......................................................... 82
7. Jumlah induvidu dan persentase jenis makanan dalam isi
lambung ikan ekor kuning ................................................................... 83
8. Regresi hubungan plankton dengan kelimpahan ikan.......................... 84
9. Data ciri dari masing - masing kelompok berdasarkan klaster
habitat terhadap substrat dasar ............................................................. 85
xiv
1 PENDAHULUAN
Bentuk dan variasi karang dan tempat berlindung lainnya terkombinasi menjadi
habitat-habitat yang berbeda dengan variasi yang tinggi yang dimanfaatkan oleh
ikan dengan karakteristik yang berbeda pula
Coat dan Bellwood (1991) dalam Bawole (1998), menyatakan bahwa
interkasi antara ikan karang dan terumbu karang sebagai habitatnya dapat
dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu: (1) intekasi langsung sebagai tempat
berlindung dari predator pemangsa terutama bagi ikan-ikan muda; (2) interaksi
dalam mencari makanan yang meliputi hubungan antara ikan karang dan biota
yang hidup pada karang termasuk alga; dan (3) interaksi tidak langsung sebagai
akibat struktur karang dan kondisi hidrologis dan sedimen.
Perairan Indonesia memiliki kurang lebih 132 jenis ikan yang bernilai
ekonomi, 32 jenis diantaranya hidup di terumbu karang. Ditjen Perikanan (1998)
lebih lanjut mengungkapkan bahwa perairan karang Indonesia memiliki paling
sedikit 10 famili utama penyumbang produksi perikanan yaitu Caesionidae,
Holocentridae, Serranidae, Siganidae, Scaridae, Lethrinidae, Priachantidae,
Labridae, Lutjanidae dan Haemulidae. Diantara sepuluh family tersebut,
Caesionidae seperti ikan ekor kuning merupakan kelompok ikan karang yang
dapat dieksploitasi secara komersial.
Ikan ekor kuning merupakan jenis ikan konsumsi yang memiliki nilai
ekonomis penting. Salah satu jenis ikan karang yang dominan dan menjadi yang
target penangkapan di Perairan Kepulauan Seribu adalah ikan ekor kuning. Data
BPS (2008) hasil tangkapan ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu pada tahun
2003 sebanyak 411 ton dan pada tahun 2007 sebanyak 673 ton. Berdasarkan data
tersebut hasil tangkapan ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu mengalami
peningkatan sebesar 262 ton dari tahun 2003 sampai tahun 2007. Peningkatan
hasil tangkapan tersebut didukung oleh peningkatan upaya penengkapan yaitu 70
unit kapal tahun 2003 menjadi 77 unit kapal tahun 2007. Kegiatan penangkapan
yang tidak terkontrol dapat mengarah pada hasil tangkap lebih (over fishing)
sehingga berakibat menurunnya populasi ikan dan mengancam kelestarian
sumberdaya itu sendiri.
Estradivari et al. (2007) menjelaskan kondisi ekosistem terumbu karang
mengalami penurunan, persentase penutupan karang keras adalah 33.2% tahun
3
2005 (kondisi sedang). Porsi terbesar kerusakan terumbu karang adalah akibat
ulah manusia, di antaranya penangkapan ikan yang merusak dan berlebih. Jenis
alat tangkap yang umum digunakan untuk menangkap ikan ekor kuning di
Kepulauan Seribu antara lain adalah bubu dan jaring muroami (Dinas Peternakan,
Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta 2007). Penyebaran alat tangkap
tersebut terutama pada daerah-daerah yang mempunyai kekayaan terumbu karang
yang tinggi.
Menurut Randal et al. (1990), habitat ikan ekor kuning adalah diperairan
pantai karang, perairan karang. Hidupnya berasosiasi dengan terumbu karang dan
dapat ditemukan pada kedalaman 1-60 meter, terkadang ikan ini berenang dengan
membentuk gerombolan besar dan ditemui di dekat tubir. Informasi mengenai
karakteristik habitat setiap sumberdaya sangat dibutuhkan untuk menentukan arah
pengelolaan bagi keberlanjutan dari sumberdaya tersebut. Kajian mengenai
keterkaitan sumbedaya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat pada
ekosistem terumbu karang sangat diperlukan untuk dijadikan sebagai salah satu
dasar dalam merekomendasikan alternatif pengelolaan sumberdaya berbasis
ekosistem di Kepulauan Seribu.
Klaster Habitat
eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Tahun 1998 telah terjadi
perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis
sehingga menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan
kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono (1998) mencatat selama peristiwa
pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 oC
di atas suhu normal.
Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan
mempengaruhi terumbu karang. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) bahwa
curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan (mainland run
off) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya
penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient
overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan
pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang.
Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies yang
membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang di lautan dibatasi
oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang mempunyai suhu
rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10 0C. Pertumbuhan maksimum terumbu karang
terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan suhu sekitar 25 oC sampai 29 0C. Karena
sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan
Evans 1985).
Selanjutnya Nybakken (1992) mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe
umum yaitu terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef),terumbu karang
penghalang (Barrier reef) dan terumbu karang cincin (atoll). Diantara ketiga
struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai di perairan Indonesia
adalah terumbu karang tepi (Suharsono 1998). Penjelasan ketiga tipe terumbu karang
sebagai berikut :
1) Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai
dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 m. Terumbu karang ini tumbuh
ke atas atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat
dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar
terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang
9
pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi banyak biota laut. Menurut Salm
(1984) dalam Supriharyono (2000), bahwa 16% dari total hasil ekspor ikan
Indonesia berasal dari daerah karang.
nilai ekonomis tinggi. Choat dan Bellwood (1991) menggolongkan ikan-ikan yang
ditemukan di terumbu karang ke dalam dua kategori utama yaitu jenis terumbu
(reef species) dan jenis yang dihubungkan dengan terumbu karang (reef-
associated speies). Penggolongan ini oleh Choat dan Bellwood (1991) didasarkan
pada karakteristik ekologis, hubungannya dengan habitat, pendistribusian,
karakteristik taxonomic dan fitur struktural.
Perbedaan pendapat muncul mengenai hubungan keragaman spesies ikan
dan keragaman habitat terumbu karang. Beberapa penelitian terus dilakukan dan
akhirnya memunculkan dua teori tentang ikan karang di terumbu karang, seperti
yang dirangkum oleh Nybakken (1988); Pertama. Hidup berdampingan
merupakan hasil dari tingkat spesialisasi yang tinggi, sehingga setiap spesies
mempunyai tempat beradaptasi khusus yang didapat dari persaingan pada suatu
keadaan di karang, jadi ikan-ikan ini mempunyai relung ekologi yang lebih sempit
dan berarti daerah itu dapat menampung lebih banyak spesies; Kedua, ikan karang
tidak mempunyai sifat khusus, banyak spesies serupa yang mempunyai kebutuhan
sama dan dapat bersaing aktif diantar spesies.
Faktor kedalaman berperan dalam penyebaran ikan-ikan karang. Umumnya
ikan-ikan tersebut memiliki kisaran kedalaman yang sempit tergantung dari
ketersediaan makanan, ombak dan keberadaan predator. Pada daerah-daerah yang
kaya akan makanan ikan akan cenderung berkelompok. Ikan-ikan tersebut
menghindari pecahan ombak dengan menempati daerah yang lebih dalam.
Kebanyakan ikan-ikan yang tergolong herbivore adalah ikan-ikan diurnal,
berwarna cemerlang dengan ukuran bukaan mulut kecil. Beberapa ikan ini
merupakan ikan yang bergerak cepat dan berkelompok (Connaughey dan Zottoli
1983)
Dartnall dan Jones (1986) melakukan pengelompokan ikan karang menjadi
tiga yaitu (1) Kelompok ikan target, merupakan ikan konsumsi seperti ikan-ikan
dari famili serranidae, Lutjanidae, Haemulidae, Lethrinidae; (2) Kelompok ikan
Indikator yaitu ikan-ikan yang digunakan sebagai indikator keberadaan suatu
perairan terumbu karang, seperti family Chaetodontidae; (3) Kelompok ikan yang
berperan dalam rantai makanan adalah ikan-ikan yang peranan lainnya belum
12
Ciri morfologi ikan ekor kuning adalah bentuk badan memanjang, melebar
dan gepeng, mulut kecil dan serong, memiliki gigi-gigi kecil dan lancip. Dua gigi
taring pada rahang bawah dan yang halus pada langit-langit. Jari-jari keras sirip
punggung 10 dan yang lemah 15, sedangkan jari-jari keras pada sirip dubur 3 dan
yang lemah 11. Ikan ini memliki sisik tipis pada garis rusuknya, sisik-sisik kasar
di bagian atas dan bawah garis rusuk serta tersusun horizontal, sisik pada kepala
mulai dari mata (Kottelat et al. 1993).
Tubuh ikan ekor kuning bagian atas sampai punggung berwarna ungu
kebiruan, bagian belakang punggung, batang ekor, sebagian dari sirip punggung
yang berjari-jari lemah, sirip dubur berwarna biru keputihan dan ekor berwarna
13
kuning. Bagian bawah kepala, badan, sirip perut dan dada berwarna merah jambu,
pinggir sirip punggung sedikit hitam dan ketiak sirip dada berwarna hitam
(Kottelat et al. 1993)
2.7 Pertumbuhan
Menurut Effendie (1997), Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
dapat digolongkan menjadi dua bagian yang besar yaitu faktor dalam dan faktor
luar. Faktor-faktor ini ada yang dapat dikontrol dan ada yang tidak. Faktor dalam
umumnya adalah faktor yang sulit untuk dikontrol, diantaranya adalah keturunan,
jenis kelamin, umur, parasit dan penyakit. Sedangkan faktor luar seperti suhu air,
kandungan oksigen terlarut, amonia, salinitas dan fotoperiod (panjang hari).
Faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dan bersama-sama dengan
faktor-faktor lain seperti kompetisi, jumlah dan kualitas makan, umur serta tingkat
kematian yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan.
Faktor-faktor yang paling banyak mempengaruhi pertumbuhan ikan adalah
jumlah dan ukuran pakan yang tersedia, jumlah individu yang menggunakan
pakan yang tersedia, kualitas air terutama suhu, oksigen terlarut, umur, ukuran
ikan serta kematangan gonad (Effendie 1997).
panjang ikan. Dengan menggunakan variabel panjang dan berat dapat ditentukan
bentuk pertumbuhan dari ikan. Pengukuran panjang tubuh memberikan bukti
langsung terhadap pertumbuhan. Peningkatan ukuran panjang umumnya tetap
berlangsung walaupun ikan mungkin dalam keadaan kekurangan makanan.
Panjang tubuh dapat diukur dalam banyak cara dan yang umum digunakan
untuk ikan adalah panjang total, panjang cagak dan panjang baku. Panjang total
adalah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian kepala sampai
ujung terakhir bagian ekornya. Panjang cagak adalah panjang ikan yang diukur
dari ujung terdepan sampai ujung bagian luar lekukan sirip ekor, sedangkan
panjang standar atau panjang baku adalah panjang ikan yang diukur dari ujung
terdepan darai kepala sampai ujung terakhir dari tulang punggungnya atau
pangkal sirip ekor (Effendie 1997).
Analisa hubungan panjang berat bertujuan untuk mengetahui pola
pertumbuhan ikan dengan menggunakan parameter panjang dan berat. Berat dapat
dianggap sebagai salah satu fungsi dari panjang. Nilai yang didapat dari
perhitungan panjang berat ini adalah untuk menduga berat dari panjang atau
sebaliknya serta dapat diketahui pola pertumbuhan, kemontokan dan pengaruh
perubahan lingkungan terhadap pertumbuhan ikan (Effendie 1997), sedangkan
menurut Fafioye dan Oluajo (2005) analisis panjang berat yang dihubungkan
dengan data kelompok umur dapat digunakan untuk mengetahui komposisi stok,
umur saat pertama memijah, siklus kehidupan, kematian, pertumbuhan dan
produksi.
Menurut Effendie (1997), jika panjang dan berat diplotkan dalam suatu
gambar maka akan didapatkan persamaan W=aLb; W=berat, L=panjang, a dan b
adalah suatu konstanta. Nilai b berfluktuasi antara 2.5 sampai 4, tetapi
kebanyakan mendekati 3 karena pertumbuhan mewakili peningkatan dalam tiga
dimensi, sedangkan pengukuran panjang diambil dari satu dimensi. Nilai b yang
merupakan konstanta adalah nilai pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan
ikan. Hubungan ini juga memungkinkan untuk membandingkan individu dalam
satu populasi maupun antar populasi (Lagler et al. 1977). Nilai b=3
menggambarkan pertumbuhan isometrik, yang akan mencirikan ikan mempunyai
bentuk tubuh yang tidak berubah (Riker 1975) atau pertambahan panjang ikan
16
2. LITERATURE REVIEW
Cahaya yang masuk ke dalam perairan berubah dengan cepat, baik secara
intensitas maupun komposisinya. The light that comes into the waters change
rapidly, both in intensity and composition. Kecerahan perairan terumbu karang
dapat mencapai kedalam 50 meter untuk terumbu-terumbu di daerah lautan
terbuka. Tetapi juga dapat mencapai kurang dari satu meter sesudah terjadinya
badai pada daerah tersebut. Brightness reef waters can reach 50 meters into the
coral-reef to the open ocean areas. But also can reach less than a yard after a storm
in the area. Setiap spesies karang mempunyai toleransi tertentu pada tingkat
23
cahaya maksimum dan minimum. Each species of coral has a certain tolerance on
the level of maximum and minimum light. Daerah perairan disekitar muara sungai
merupakan daerah yang kurang baik bagi pertumbuhan karang ditinjau dari
penetrasi cahaya yang biasanya rendah akibat dari banyaknya partikel-partikel
tersuspensi dari air sungai yang masuk ke laut (Lalamentik 1991) Area around the
mouth of the river waters are regions that are less good for coral growth in terms
of light penetration is usually low due to the amount of suspended particles of
river water into the sea (Lalamentik 1991)
ahermatipik coral reefs can not form. Karang banyak dijumpai diantara 30 o LU
dan 25 o LS. Reefs are often found between 30 o N and 25 o LS. Hewan ini
kebanyakkan bersifat nocturnal. Hal ini dikarenakan mangsanya berupa
zooplankton, banyak muncul dimalam hari dan karang merupakan hewan
karnivora (Veron 1986). Is not most animals are nocturnal. This is because the
prey of zooplankton, many come at night and now are carnivores (Veron 1986).
Morfologi skeleton karang merupakan hasil jadi dari bentuk pertumbuhan koloni
karang. Morphological skeleton so now is a result of the growth of coral colonies.
Istilah yang paling umum digunakan oleh Veron (1986) untuk mengambarkan
bentuk pertumbuhan karang yang menghasilkan morfolgi karang yaitu massive
(sama dalam semua dimensi), columnar (berbentuk tonggak), branching (seperti
cabang pohon atau jari), encrusting (melekat pada substrata atau berbentuk kerak,
foliaceous (seperti daun), lamina r (seperti lempengan) dan free livi ng ( hidup
lepas dari substrat). The most common term used by Veron (1986) to describe the
growth of coral reefs that generate massive morfolgi (equal in all dimensions),
columnar (pillar-shaped), branching (such as tree branches or fingers), encrusting
(attached to the substrata or shape crust, foliaceous (like leaves), lamina r (such as
the slab) and free Livi ng (living away from the substrate).
Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan
mempengaruhi terumbu karang. Apart from changes in temperature, the change in
salinity will also affect the coral reefs. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook
(1999) bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan
( mainland run off) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan
sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. This is consistent with the
explanation McCook (1999) that high rainfall and the flow of surface materials
from the mainland (mainland run-off) can kill coral reefs by increasing the
reduction of sediment and seawater salinity. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat
25
Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies
yang membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Although some corals
can be found from the subtropical oceans, but the species that make up coral
found only in the tropics. Kehidupan karang di lautan dibatasi oleh kedalaman
yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang mempunyai suhu rata-rata
minimum dalam setahun sebesar 10 0 C. Reefs in the sea of life is limited by the
depth of which is usually less than 25 m and the area has an average temperature
of the year for a minimum of 10 0 C. Pertumbuhan maksimum terumbu karang
terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan suhu sekitar 25 o C sampai 29 0 C.
The maximum growth of coral reefs occur at depths less than 10 m and a
temperature around 25 o C to 29 0 C. Karena sifat hidup inilah maka terumbu
karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan Evans 1985). Because of the
nature of live coral reef is so often found in Indonesia (Hutabarat and Evans
1985).
distance from the beach is separated from the beach by the sea is too deep
for the growth of coral stone (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri
pantai dan biasanya berputar-putar seakan–akan merupakan penghalang
bagi pendatang yang datang dari luar, contohnya adalah The Great Barier
Reef yang berderet disebelah timur laut Australia dengan panjang 1.350
mil. Generally extends along the coast and are usually round and round as
if a barrier for immigrants who come from outside, for example is The
Great barrier Reef lined the ocean east of Australia with a length of 1350
miles.
3. Terumbu karang cincin ( atoll ) yang melingkari suatu goba ( laggon ).
Coral reefs ring (atoll) encircling a goba (laggon). Kedalaman goba
didalam atol sekitar 45 m jarang sampai 100 m seperti terumbu karang
penghalang, contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi
Selatan. Goba depth within the atoll approximately 45 m to 100 m are
rarely as barrier reefs, atolls example is the island of Taka Bone Rate in
South Sulawesi.
Moberg dan Folke (1999), menyatakan bahwa fungsi ekosistem terumbu karang
yang mengacu kepada habitat, biologis atau proses ekosistem sebagai
penyumbang barang maupun jasa. Moberg and Folke (1999), states that the coral
reef ecosystem function that refers to the habitat, biological or ecosystem
processes as a contributor of goods and services. Sebagai penyumbang barang
yaitu terkait dengan sumberdaya pulih seperti bahan makanan (ikan, rumput laut)
dan tambang (pasir dan karang). As a contributor of goods that is associated with
recovery resources such as food (fish, seaweed) and mining (sand and rocks).
Sedangkan sebagai penyumbang jasa, ekosistem terumbu karang terdiri dari :
Meanwhile, as a contributor to the service, the coral reef ecosystem consists of:
ecosystems to provide food and a place for different types of spawn marine biota
that have high economic value.
Bagi ikan karang, terumbu karang sebagian besar adalah substrat dasar yang keras
tetapi merupakan substrat dasar yang secara tipologinya jauh lebih komplek dari
yang lainnya. For reef fish, coral reefs are predominantly hard bottom substrates,
but is the basic substrate is tipologinya far more complex than others. Terumbu
karang menyediakan keanekaragaman bentuk dan ukuran tempat berlindung yang
digunakan ikan karang. Coral reefs provide a variety of shapes and sizes of shelter
used by reef fish. Terumbu karang adalah lingkungan yang terbagi-bagi kedalam
habitat-habitat kecil yang sangat bervariasi. Coral reefs are the environment
divided into smaller habitats are extremely varied.
Terumbu karang membentang di lautan, dengan skala ratusan kilometer, tapi pada
skala yang lebih kecil terumbu karang merupakan berbagai macam zona habitat
yang berbeda dari segi fisik dan lainnya tiap zona habitat. Setiap zona habitat pada
skala meter terdapat bagian-bagian yang terdiri dari situs-situs tersendiri yang
berbeda berdasarkan perbedaan morfologi tiap karang dan pencampuran antara
koloni terumbu dengan rubble , pasir dan batuan-batuan sebagai pembentuk tipe
dasar (Sale 1991). Coral reefs in the ocean stretched, with the scale of hundreds of
miles, but on a smaller scale coral reef is a habitat for a variety of different zones
in terms of other physical and habitat of each zone. Each zone on the scale of
meters of habitat are the parts of the site - separate the different sites based on
morphological differences of each reef and the mixing between the coral colony
with rubble, sand and rocks as forming the basic types (Sale 1991).
conditions in the rock, so these fish have an ecological niche is narrower and
means the area can accommodate more species; Second, reef fish do not have
special properties, many similar species that have similar needs and can be
delivered actively competing species.
Dartnall dan Jones (1986) melakukan pengelompokan ikan karang menjadi tiga
yaitu (1) Kelompok ikan target, merupakan ikan konsumsi seperti ikan-ikan dari
famili serranidae, Lutjanidae, Haemulidae, Lethrinidae; (2) Kelompok ikan
Indikator yaitu ikan-ikan yang digunakan sebagai indikator keberadaan suatu
perairan terumbu karang, seperti family Chaetodontidae; (3) Kelompok ikan yang
berperan dalam rantai makanan adalah ikan-ikan yang peranan lainnya belum
diketahui seperti ikan-ikan dari family Pomacentridae, Searidae, Acanthuridae,
Caesionidae, Labridae, Siganidae, Muliidae, Apogonidae. Dartnall and Jones
(1986) to the grouping into three reef fishes: (1) The target fish, fish consumption
is like the fish of the family Serranidae, Lutjanidae, Haemulidae, Lethrinidae; (2)
The fish are indicators that the fish used as indicators of the presence of a coral
reef waters, such as the family Chaetodontidae, (3) The role of fish in the food
chain are fish other roles not yet known as the fish of the family Pomacentridae,
Searidae, Acanthuridae, Caesionidae, Labridae, Siganidae, Muliidae, Apogonidae.
Ciri morfologi ikan ekor kuning adalah bentuk badan memanjang, melebar dan
gepeng, mulut kecil dan serong, memiliki gigi-gigi kecil dan lancip. Dua gigi
taring pada rahang bawah dan yang halus pada langit-langit. Jari-jari keras sirip
punggung 10 dan yang lemah 15, sedangkan jari-jari keras pada sirip dubur 3 dan
yang lemah 11. Morphological characteristics of yellow tail fish are elongated
body shape, broad and flattened, the mouth small and oblique, has small teeth and
pointy. Two canine teeth on lower jaw and soft on the ceiling. Hard radius and
dorsal fins of 10 weak 15, while the fingers hard on the anal fin 3 and the weak
11. Ikan ini memliki sisik tipis pada garis rusuknya, sisik-sisik kasar di bagian
atas dan bawah garis rusuk serta tersusun horizontal, sisik pada kepala mulai dari
mata (Kottelat et al . 1993). These fish scales smoothly to the line of thin ribs,
rough scales on the top and bottom line of the ribs and arranged horizontally, the
scales on the head from the eyes (Kottelat et al. 1993).
Tubuh ikan ekor kuning bagian atas sampai punggung berwarna ungu kebiruan,
bagian belakang punggung, batang ekor, sebagian dari sirip punggung yang
berjari-jari lemah, sirip dubur berwarna biru keputihan dan ekor berwarna kuning.
Yellow tail fish body parts up and back bluish purple, the back of the back, tail
rod, part of the dorsal fins of radius weak, anal fin whitish blue and yellow tail.
Bagian bawah kepala, badan, sirip perut dan dada berwarna merah jambu, pinggir
sirip punggung sedikit hitam dan ketiak sirip dada berwarna hitam (Kottelat et al .
1993) The lower part of the head, torso, abdomen and chest fins pink, edge a little
black dorsal fins and pectoral fin axillary black (Kottelat et al. 1993)
Habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu dimana suatu spesies
atau komunitas hidup. Habitat is an environment with a certain condition in which
a species or community life. Habitat yang baik akan mendukung
perkembangbiakkan organisme yang hidup di dalamnya secara normal. Good
habitat will support perkembangbiakkan living organisms in it normally. Habitat
memiliki kapasitas tertentu untuk mendukung pertumbuhan populasi suatu
organisme. Habitat has a certain capacity to support population growth of an
organism. Kapasitas optimum habitat untuk mendukung populasi suatu organisme
31
Menurut Macpherson (1981) bahwa jenis ikan yang mempunyai luas relung yang
luas, berarti jenis ikan tersebut mempunyai peran yang besar dalam memanfaatkan
pakan yang tersedia dan mempunyai kemampuan yang sangat baik dalam
menyesuaikan diri terhadap fluktuasi kesedian pakan, serta mempunyai daya
reproduksi secara individual sangat besar. Jadi berdasarkan luas relung, jenis ikan
mempunyai potensi yang paling besar untuk berkembang menjadi induk populasi
di dalam ekosistem perairan dimana ikan tersebut hidup. According to
Macpherson (1981) that the type of fish that have a broad niche area, means the
type of fish has a big role in utilizing the available food and have very good skills
in adapting to fluctuations willingness to feed, and have reproductive power is
very large individual . So based on the niche area, species of fish have the greatest
potential to develop into the parent population in the aquatic ecosystem in which
fish live.
Habitat ikan ekor kuning adalah diperairan pantai karang, perairan karang dengan
suhu perairan lebih dari 20 0 C. Yellow tail fish habitat is diperairan coral beaches,
coral waters with water temperatures of more than 20 0 C. Hidupnya berasosiasi
dengan terumbu karang dan dapat ditemukan pada kedalaman 1-60 meter,
terkadang ikan ini berenang dengan membentuk gerombolan besar dan ditemui di
dekat tubir (Randal et al . Her life associated with coral reefs and can be found at
a depth of 1-60 feet, sometimes the fish is swimming with a large crowd formed
and met near the edge (Randal et al. 1990). 1990).
Subroto dan Subani (1994), di indonesia ikan ekor kuning banyak ditangkap di
wilayah perairan karang Riau Kepulauan, Sumatra Barat, Bangka, Belitung,
Lampung, Kepulauan Seribu, Jawa Barat, Jawa Tengah (Kepulauan Karimun
Jawa), Jawa Timur (Kepulauan Kangean), Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara. Subroto and Subani (1994), in Indonesia a
lot of yellow tail fish caught in reef waters of Riau Islands, West Sumatra,
Bangka, Belitung, Lampung, Thousand Islands, West Java, Central Java (Java
32
Ikan ekor kuning dilihat dari fungsi atau perannya adalah merupakan ikan karang
kelompok ikan mayor dimana belum diketahui peran lainnya, sedangkan dilihat
dari jenis makanan ikan ekor kuning termasuk plankton feeder , yaitu pemakan
plankton. Yellow tail fish seen from the function or role is a reef fish where the
major fish groups is unknown other roles, while the views from the species of
yellow tail fish food including plankton feeder, eating the plankton. Hidup di
perairan pantai, karang-karang, perairan karang dan membentuk gerombol besar.
Living in coastal waters, coral reefs, coral waters and formed a large clump.
Panjang tubuh dapat mencapai 35 cm, umumnya 25 cm (Kuiter dan Tonozuka
2004). Body length can reach 35 cm, commonly 25 cm (Kuiter and Tonozuka
2004). Famili Caesionidae mempunyai ciri khas yaitu bergerombol ( schooling )
dalam ukuran yang besar, berenang dengan cepat (fast-swimming) , memakanan
zooplankton dan banyak terdapat di kolom perairan sepanjang tepi lereng terumbu
karang. Family Caesionidae have the characteristic of clustering (schooling) in a
large size, swim fast (fast-swimming), zooplankton and memakanan numerous in
columns along the slope waters of coral reefs. Ikan ekor kuning dapat hidup di
perairan pada kedalaman 0-40 m (Allen 1999). Yellow tail fish can live in waters
at depths of 0-40 m (Allen 1999). Menurut Isnaini (2008), makanan ikan ekor
kuning muda adalah copepoda, sedangkan untuk ikan dewasa memakan ubur-
ubur, larva dan ikan kecil lainnya (Isnaini 2008). According Isnaini (2008), food
yellow tail fish is Copepod, whereas for adults eat fish, jellyfish, fish larvae and
other small (Isnaini 2008).
7. Pertumbuhan Growth
kematangan gonad (Effendie 1997). The factors that most influence the growth of
fish is the number and size of available feed, the number of individuals who use
the available food, water quality, especially temperature, dissolved oxygen, age,
size and maturity of the gonads of fish (Effendie 1997).
Ukuran panjang-berat merupakan salah satu faktor penting bagi pertumbuhan ikan
dalam kurun waktu tertentu. Length-weight is one important factor for the growth
of fish in a certain period of time. Dalam hal ini berat dianggap sebagai fungsi
dari panjang, karena dengan bertambahnya berat dapat menentukan panjang ikan.
In this case the weight is considered as a function of length, because with the
increase in weight can determine the length of the fish. Dengan menggunakan
variabel panjang dan berat dapat ditentukan bentuk pertumbuhan dari ikan. By
using variable length and weight can be determined from the growth of fish.
Pengukuran panjang tubuh memberikan bukti langsung terhadap pertumbuhan.
Body length measurements provide direct evidence of growth. Peningkatan
ukuran panjang umumnya tetap berlangsung walaupun ikan mungkin dalam
keadaan kekurangan makanan. Increased length of stay is generally held, although
the fish may be in a state of food shortage.
Panjang tubuh dapat diukur dalam banyak cara dan yang umum digunakan untuk
ikan adalah panjang total, panjang cagak dan panjang baku. Body length can be
measured in many ways and is commonly used for fish is the total length, length
of crossing and the standard length. Panjang total adalah panjang ikan yang diukur
mulai dari ujung terdepan bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya.
Total length is the length of fish measured from the leading edge until the end of
the last head from its tail. Panjang cagak adalah panjang ikan yang diukur dari
ujung terdepan sampai ujung bagian luar lekukan sirip ekor, sedangkan panjang
standar atau panjang baku adalah panjang ikan yang diukur dari ujung terdepan
darai kepala sampai ujung terakhir dari tulang punggungnya atau pangkal sirip
ekor (Effendie 1997). Crossing length is the length of fish measured from the
leading edge until the end of the outer curve of the tail fin, while the standard
length or standard length is the length of fish measured from the front end of the
ride until the end of the last head of the spine or base of the tail fin (Effendie
1997).
produksi. The value obtained from the calculation of the weight length is to guess
the weight of the length or vice versa, and can identify patterns of growth,
plumpness, and the influence of environmental change on fish growth (Effendie
1997), while according to Fafioye and Oluajo (2005) analysis of heavy long
associated with the data age groups can be used to determine stock composition,
age at first memijah, cycle of life, death, growth and production.
Menurut Effendie (1997), jika panjang dan berat diplotkan dalam suatu gambar
maka akan didapatkan persamaan W=aL b ; W=berat, L=panjang, a dan b adalah
suatu konstanta. According to Effendie (1997), if the length and weight plotted on
a picture will be obtained the equation W = aL b; W = weight, L = length, a and b
is a constant. Nilai b berfluktuasi antara 2.5 sampai 4, tetapi kebanyakan
mendekati 3 karena pertumbuhan mewakili peningkatan dalam tiga dimensi,
sedangkan pengukuran panjang diambil dari satu dimensi. Nilai b yang
merupakan konstanta adalah nilai pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan
ikan. B value fluctuates between 2.5 to 4, but most close to 3 because of the
increase represents growth in three dimensions, while the length measurement
taken from one-dimensional. The value b that is constant is the value that
indicates the rank of the growth patterns of fish. Hubungan ini juga
memungkinkan untuk membandingkan individu dalam satu populasi maupun
antar populasi (Lagler et al. 1977). This relationship is also possible to compare
individuals within a population and between populations (Lagler et al. 1977).
Nilai b=3 menggambarkan pertumbuhan isometrik, yang akan mencirikan ikan
mempunyai bentuk tubuh yang tidak berubah (Riker 1975) atau pertambahan
panjang ikan seimbang dengan pertambahan beratnya. The value b = 3 illustrates
isometric growth, which will characterize the fish have a body shape that does not
change (Riker 1975) or the length commensurate with the increase of fish weight.
Nilai b≠3 menggambarkan pertumbuhan allometrik. Value b ≠ 3 illustrates
allometrik growth. Jika b<3 menunjukkan keadaan ikan yang kurus dimana
pertambahan panjangnya lebih cepat dari pertambahan beratnya. Jika b>3
menunjukkan keadaan ikan yang gemuk dimana pertambahan beratnya lebih cepat
dari pertambahan panjangnya (Effendie 1997). If b <3 to show bony fish
circumstances where the increase in length faster than the increase in severity. If
b> 3 shows a state where a fat fish weighing more rapid increase than the increase
in length (Effendie 1997). Kenyataan ini berbeda dari setiap ikan, karena adanya
pengaruh musim dan jenis kelamin. This fact is different from each fish, because
of the influence of season and gender.
Makanan adalah merupakan salah satu fungsi yang terpenting dari organisme.
Food is one of the most important functions of the organism. Seperti semua
organisme, ikan membutuhkan energi untuk bahan bakar tubuh mereka, proses
pertumbuhan, metabolisme dan reproduksi (Islam 2004). Like all organisms, fish
need energy to fuel their bodies, the process of growth, metabolism and
reproduction (Islam 2004). Setiap jenis ikan beradaptasi untuk memakan satu jenis
makanan tertentu, alat pengelihatan untuk mencari makan, rongga mulut ( buccal
cavity ) untuk menangkap dan usus untuk mencernakannya (Nikolsky 1963). Each
35
type of fish adapted to eat a certain food types, pengelihatan tools to find food,
oral cavity (buccal cavity) to catch and intestines to mencernakannya (Nikolsky
1963).
Berdasarkan jenis makanan utama, maka ikan secara umum dapat digolongkan ke
dalam tiga golongan yaitu (1) ikan kanivora yaitu pemakan daging, yang biasanya
mempunyai usus yang pendek; (2) ikan omnivor yaitu pemakan daging dan
tumbuh-tumbuhan, mempunyai panjang usus yang sedang; (3) ikan herbivora
yaitu pemakan tumbuh-tumbuhan, mempunyai usus yang sangat panjang
melingkar-lingkar di dalam rongga perut (Wootton 1992) . Based on the type of
main meal, so fish can generally be classified into three groups: (1) fish are
carnivorous kanivora, which typically have a short intestine, (2) fish that is
omnivor and carnivorous plants, has a long gut was ; (3) of herbivorous fish-
eating plants, have very long intestines coiled in the abdominal cavity (Wootton
1992).
Hobson (1974), menyatakan bahwa kebiasaan makan ikan ini berubah dalam daur
hidupnya, paling tidak untuk kebanyakan ikan, biasanya dengan perubahan-
perubahan yang nyata dalam tingkah laku dan morfologinya. Hobson (1974),
states that this fish eating habits changed in the life cycle, at least for most of the
fish, usually with a change-real change in behavior and morphology. Selanjutnya
Lagler (1961), mengemukakan studi-studi makanan dapat memperlihatkan secara
mendetail hubungan-hubungan ekologis diantara organisme-organisme, maka
diperlukan identifikasi secara menyeluruh dari jenis-jenis makanan tersebut. Next
Lagler (1961), suggested food studies can show in detail the ecological
relationships among organisms, it is necessary to thoroughly identify the types of
food.
Siklus kehidupan dari kebanyakan ikan karang dapat dibagi dalam tiga tahap
biologi/ekologi (Tissot 2003) yaitu (1) tahap dalam bentuk larva pelagik; (2) tahap
ikan muda; dan (3) tahap ikan dewasa. The life cycle of most reef fish can be
divided into three stages of biology / ecology (Tissot 2003), namely (1) stage in
the form of pelagic larvae; (2) the young fish stage, and (3) stages of adult fish.
Sepanjang tahap pelagik, telur-telur/larva mengapung di dalam air terbuka sebagai
komponen plankton laut. Throughout the pelagic phase, telur-telur/larva floating
in open water as a component of marine plankton. Fase ikan muda dimulai saat
ikan-ikan muda menempati terumbu karang dalam suatu proses yang dikenal
sebagai perekrutan. Whitebait phase begins when the young fish of coral reefs
occupy in a process known as recruitment. Ikan-ikan muda cenderung untuk
memikirkan diri sendiri dan adalah lebih sedikit nampaknya dibandingkan ikan
dewasa. Young fish tend to think of themselves and are seemingly less than adult
fish. Tahap ikan dewasa ditandai oleh kedewasaan seksual dan bisa disertai oleh
suatu transisi dari ikan muda sampai pewarnaan ikan dewasa atau morphologi.
Adult fish stage marked by sexual maturity and may be accompanied by a
transition of young fish to adult fish coloring or morphologi.
Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan salah satu aspek biologi reproduksi
yang merupakan tahapan-tahapan tertentu perkembangan gonad sebelum dan
sesudah ikan memijah. Gonadal maturity (TKG) is one aspect of reproductive
biology that is certain stages of gonadal development before and after the fish
memijah. Keterangan tentang TKG ikan diperlukan untuk mengetahui
perbandingan antara ikan yang ada di perairan, ukuran atau umur ikan pertama
kali matang gonadnya dan apakah ikan sudah memijah atau belum. Selanjutnya
ikan pertama kali mencapai matang gonad dipengaruhi oleh beberapa faktor luar
seperti suhu, arus, adanya individu yang berjenis kelamin yang berbeda dan faktor
dalam seperti umur, ukuran dan perbedaan spesies (Niklosky 1963; Effendie
1997). Information about fish TKG needed to determine the comparison between
the existing fish in the waters, fish size or age of first maturity and whether the
fish gonadnya already memijah or not. Then the first fish reached the ripe gonads
is influenced by several external factors such as temperature, currents, the
individual the different sex and age factors in a way, the size and diversity of
species (Niklosky 1963; Effendie 1997).
(Effendie 1997). IKG will grow until it reaches the maximum when spawning will
occur (Effendie 1997).
Royce (1984), ikan dapat memijah jika nilai IKG betina berkisar antara 10-25%
dan nilai IKG jantan berkisar antara 5-10%. Royce (1984), fish can memijah if the
value ranges between IKG females and 10-25% males IKG values between 5-10%
range. Royce (1984), menyatakan semakin banyak makanan tersedia,
pertumbuhan ikan semakin cepat dan fekunditas semakin besar. Royce (1984),
says more and more food is available, the faster growth of fish and greater
fekunditas. Fekunditas ikan berhubungan erat dengan lingkungan dimana
fekunditas spesies akan berubah bila keadaan lingkungan berubah (Musa dan
Bhuiyan 2007). Fekunditas fish closely related to the environment in which
fekunditas species will change when circumstances change (Moses and Bhuiyan
2007).
Hubungan terumbu karang dan ikan karang adalah pada terumbu karang sehat
keragaman dan kuantitas makanan tinggi dan ini berdampak positip langsung pada
keragaman dan kelimpahan ikan karang, dan terumbu karang merupakan tempat
naungan dan perlindungan ikan karang dari predator, khususnya bagi ikan berjenis
kecil serta terumbu karang juga menyediakan lingkungan yang tepat untuk
40
kegiatan reproduksi dan penempatan larva bagi ikan karang. The relationship of
coral reefs and reef fish in coral reefs are healthy diversity and quantity of food is
high and immediate positive impact on the diversity and abundance of reef fish,
and coral reefs are a shade and protection from predatory reef fish, especially for
the small type of fish and coral reefs provide the right environment for
reproduction and placement activities for reef fish larvae.
environment, and (5) the quality of human resources especially those touched
directly societies have been inadequate. Keadaan sedemikian rupa menyebabkan
degredasi sumberdaya cendrung semakin cepat, terutama sumberdaya terumbu
karang dan pada akhirnya akan mempengaruhi sumberdaya perikanan.
1m
1m
Gambar 5 Bingkai tetrapod untuk fotografi tutupan karang (English et al. 1997).
26
Gambar 6 Metode sensus visual bawah air ikan karang (Sumber: English et al.
1997).
28
0 – 24.9 Buruk
25 – 49.9 Sedang
50 – 74.9 Baik
75 – 100 Sangat baik
X
X i
n
Dimana :
X = Kelimpahan Ikan
Xi = Jumlah ikan pada stasiun pengamatan ke-i
n = Luas terumbu karang yang diamati (m2)
30
W = aLb
Untuk jumlah sampel kecil maka menggunakan teknik perhitungan menurut
Rounsefeell dan Everhart (1960) yaitu :
Dimana :
W = berat ikan (gram)
L = panjang ikan (cm)
a dan b = konstanta.
Harga ”b” berkisar antara 2.0-3.5. Harga b yang mungkin timbul selain b <
3, juga b = 3 atau b > 3. Masing-masing harga ”b” yang demikian itu dapat
ditafsirkan sebagai berikut:
b=3 : Pertumbuhan bersifat isometrik karena pertambahan panjang
dan berat ikan seimbang (ideal).
b > 3 atau b < 3 : Pertumbuhan ikan bersifat allometrik atau kurang baik karena
pertumbuhan berat dan panjang tidak sebanding. Sifat
allometrik ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu : Bila b < 3
berarti pertumbuhan panjang lebih cepat jika dibandingkan
dengan pertumbuhan berat sehingga ikan kelihatan kurus dan
tidak normal, terlihat terlalu panjang. Bila b > 3 berarti
pertumbuhan berat lebih cepat dibandingkan dengan
pertumbuhan panjang sehingga ikan kelihatan gemuk dan tidak
normal.
31
Nilai ”b” yang didapat dari hasil perhitungan tersebut, akan dilakukan uji
statistik (regresi) untuk melihat sejauh mana keeratan hubungan nilai ”b” atau
menguji keertan hubungan antara pertumbuhan berat dan pertumbuhan panjang.
Dimana :
N = Jumlah total individu plankton per m3 (Individu/m3)
ni = Jumlah individu ke-i yang tercacah (indvidu)
Vd = Volume air contoh yang disaring (l)
Vt = Volume air contoh yang tersaring (100 ml)
Vs = Volume air pada Sedwigck Rafter counting cell volume (1 ml)
Keterangan:
S = indeks kesamaan Bray-Curtis
Xi1 = tutupan karang jenis ke-i pada stasiun pertama
Xi2 = tutupan karang jenis ke-i pada stasiun kedua
Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi
organisme dalam melakukan aktivitas metabolisme, perkembangbiakan serta
proses-proses fisiologi organisme karena suhu dapat mempengaruhi sifat fisik,
kimia dan biologi perairan. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian
sebaran suhu berkisar antara 28–30 oC (Tabel 5).
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa suhu di lokasi penelitian masih
tergolong normal untuk kehidupan biota laut khususnya fitoplankton. Hal ini
karena penelitian tersebut berlangsung pada saat musim peralihan dimana
pergerakan massa air cukup stabil atau tenang. Sesuai dengan pernyataan Effendi
(2003), bahwa kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan
adalah 20–30 oC. Kisaran tersebut masih termasuk dalam kriteria suhu dimana
terumbu karang dapat tumbuh dan berkembang. Menurut Sukarno et al. (1983)
suhu yang paling baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25–30 oC.
Huet (1971), menyatakan fluktuasi harian suhu perairan sangat
mempengaruhi kehidupan oraganisme di dalamnya, fluktuasi suhu air yang terlalu
besar dapat mematikan organisme perairan. Bihsop (1973) menyatakan suhu air
dapat merangsang dan mempengaruhi pertumbuhan organisme perairan serta
mempengaruhi oksigen terlarut untuk respirasi. Menurut Boyd dan Kopler (1979)
suhu optimum untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis adalah 25-30 0C.
Salinitas
Hasil pengukuran salinitas pada lokasi penelitian menunjukkan nilai yang
homogen dengan kisaran nilai antara 30–33 PSU (Tabel 5) dengan nilai salinitas
terendah terdapat di Utara Pulau Pramuka. Perbedaan nilai salinitas antar stasiun
pengamatan sangat kecil dan masih dalam kategori normal untuk kehidupan biota
laut, hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) bahwa nilai salinitas
perairan laut berkisar antara 30-40‰ sedangkan menurut Nybakken (1988) dan
Thamrin (2006) salinitas perairan dimana karang dapat hidup adalah pada kisaran
27-40 ‰ dengan kisaran optimum untuk pertumbuhan karang adalah 34-36‰.
Kecepatan arus
Kecepatan arus pada setiap stasiun umumnya tidak jauh berbeda dengan
kisaran 0.030–0.072 m/s (Tabel 5), kecepatan arus yang paling tinggi terjadi di
38
Selatan Pulau Panggang dan paling rendah di Timur Pulau Pramuka, secara umum
arah arus menuju barat. Hal ini berkaitan erat dengan musim tenggara dan angin
musim (monsoon) timur yang berlangsung pada saat dilakukannya pengambilan
data. Adanya arus ini diperlukan untuk tersedianya aliran air yang membawa
makanan dan oksigen bagi biota karang serta menghindarkan karang dari
pengaruh sedimentasi.
Kecerahan
Kecerahan dan kekeruhan merupakan parameter yang saling berkaitan.
Peningkatan konsentrasi padatan tersuspensi akan meningkatkan kekeruhan
perairan, sebaliknya akan mengurangi kecerahan perairan. Parameter-parameter
tersebut marupakan indikasi tingkat produktivitas perairan sehubungan dengan
proses respirasi biota perairan dan kualitas perairan.
Kecerahan (transparency) air adalah suatu ukuran untuk mengetahui daya
penetrasi cahaya matahari ke dalam air dimana nilainya berbanding terbalik
dengan nilai kekeruhan (Koesbiono 1980). Kemampuan daya tembus matahari ke
perairan sangat ditentukan oleh kandungan bahan organik dan bahan anorganik
tersuspensi dalam perairan, kelimpahan plankton, jasad renik dan densitas air
Wardoyo (1981).
Kecerahan menggambarkan kemampuan cahaya menembus lapisan air pada
kedalaman tertentu. Kecerahan sangat penting bagi perairan karena berpengaruh
terhadap berlangsungnya produktivitas primer melalui fotosintesis fitoplankton.
Hasil pengukuran (Tabel 5) menunjukan nilai parameter kecerahan merata sama
di semua lokasi dengan kedalam 3-7 m.
Dalam ekosistem terumbu karang, kecerahan erat kaitannya dengan cahaya
matahari. Cahaya matahari sangat diperlukan terutama oleh alga simbion karang
zooxanthellae untuk melakukan fotosintesis, selanjutnya hasil dari fotosintesis
dimanfaatkan oleh karang untuk melakukan proses respirasi dan kalsifikasi
(Hubbard 1997). Kecerahan berbanding terbalik dengan padatan tersuspensi
(TSS), dimana semakin meningkat TSS maka kecerahan dan penetrasi cahaya
matahari semakin berkurang. Hal ini menurut Hubbard (1997) dapat berpengaruh
terhadap morfologi karang. Kedalaman penetrasi sinar matahari mempengaruhi
39
Kekeruhan
Nilai kekeruhan yang diperoleh selama penelitian berkisar antara
0.40 NTU–0.55 NTU (Tabel 5), nilai terendah terdapat di Utara Pulau Pramuka.
Secara umum nilai kekeruhan untuk semua stasiun pengamatan berada dalam
kondisi normal dan nilai tersebut sesuai baku mutu air laut untuk biota laut yang
ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Negara LH RI No. 51 Tahun 2004
yaitu < 5 NTU. Hal tersebut dimungkinkan sedikitnya partikel terlarut pada
perairan tersebut sehingga sangat baik untuk mendukung kehidupan biota.
Nitrat (NO3-N)
Nitrat adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami, sangat mudah larut
dalam air dan bersifat stabil. Nitrat merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan
tanaman dan alga. Konsentrasi nitrogen dalam bentuk nitrat selama penelitian
nilainya berkisar antara 0.02–0.12 mg/l (Tabel 5) nilai terendah di Timur Pulau
Pramuka dan tertinggi di selatan Pulau Panggang. Menurut Effendi (2003) kadar
nitrat di perairan alami hampir tidak pernah melebihi 0.1 mg/l. Kadar nitrat lebih
dari 5 mg/l menandakan telah terjadi pencemaran anthropogenik dari aktifitas
manusia. Kadar nitrat lebih dari 0.2 mg/l berpotensi untuk dapat menyebabkan
terjadinya eutrofikasi dan selanjutnya memicu pertumbuhan algae dan tumbuhan
air secara pesat.
Secara alami terumbu karang mampu mengkonservasi keberadaan nutrien
dengan memiliki katabolisme protein yang rendah serta mengkatabolis lipid dan
karbohidrat. Dalam jumlah yang cukup banyak justru akan membahayakan
bahkan dapat menyebabkan kematian terumbu karang. Terumbu karang tidak
dapat beradaptasi pada saat pengkayaan nutrien terjadi, umumnya mereka tidak
mampu berkompetisi dengan makroalga bentik. Pengkayaan nutrien juga dapat
menurunkan laju kalsifikasi karena fosfat akan mengikat kristal aragonite pada
saat proses kalsifikasi (Muler-Parker dan D’Elia 1997).
Phosphat (PO4-P)
Unsur P merupakan salah satu unsur hara yang penting bagi metabolisme sel
tanaman. Unsur ini dalam perairan ditentukan dalam bentuk ortho-phosphat, poli-
40
Plankton
Kelimpahan Plankton bervariasi pada setiap stasiun pengamatan.
Kelimpahan plankton rata-rata antara 1 880–3 680 individu/m3 (Tabel 5), dimana
kelimpahan tertinggi di Selatan Belanda dan kelimpahan terendah di stasiun 4
Selatan Panggang. Perbedaan kelimpahan antara stasiun menunjukkan bahwa
distribusi kelimpahan plankton tidak merata.
untuk kelompok karang keras di Timur Pramuka sebesar 18.13% dan tertinggi di
Selatan Panggang sebesar 54.35%.
Gambar 10 Persentase tutupan karang mati ber alga dan karang mati
(2000), karang Acropora, karang bercabang dan foliose umumnya lebih cepat
pertumbuhannya dibandingan karang Porites atau yang berbentuk masif. Genus
Acropora memiliki jumlah jenis (spesies) terbanyak dibandingkan genus lainnya
pada karang. Karang jenis ini biasanya tumbuh pada perairan jernih dan lokasi
dimana terjadi pecahan ombak. Bentuk koloni umumnya bercabang dan tergolong
jenis karang yang cepat tumbuh, namun sangat rentan terhadap sedimentasi dan
aktivitas penangkapan ikan.
Sementara itu genus Montipora diketahui memiliki ketahanan terhadap
tekanan lingkungan seperti laju sedimentasi yang tinggi dan peningkatan suhu
permukaan laut (Jordan et al. 1981). Genus Montipora sering ditemukan
mendominasi suatu daerah. Sangat tergantung pada kejernihan suatu perairan.
Biasanya berada pada perairan dangkal berkaitan dengan intensitas cahaya yang
diperolehnya dengan bentuk koloni berupa lembaran. Adapun karang dari genus
Porites memiliki tingkat ketahanan yang relatif tinggi terhadap faktor-faktor
pembatas pertumbuhan dan perkembangan karang seperti gelombang.
3.11 cm, membentuk 7 kelas frekuensi panjang. Sebaran frekuensi panjang ikan
berada pada kisaran kelas 11.30-14.41 cm dan kisaran kelas 29.99-33.10 cm
(Tabel 7).
(b=3.123), diperoleh hasil koefisien regresi berbeda nyata pada taraf kepercayaan
α=5% atau panjang ikan berpengaruh secara nyata terhadap berat ikan (sig.<0.05).
Analisis hubungan panjang berat dari suatu populasi ikan mempunyai
beberapa kegunaan yaitu memprediksi berat suatu jenis ikan dari panjang ikan
yang berguna untuk mengetahui biomassa populasi ikan tersebut (Effendie 1997;
Smith 1996), selain itu menurut Arteaga et al. (1997), analisis hubungan panjang
berat dari suatu populasi ikan mempunyai kegunaan untuk memprediksi hubungan
panjang berat suatu populasi ikan yang dibandingkan dengan populasi ikan di
badan air yang lain serta dapat dijadikan parameter pendugaan antara kelompok-
kelompok ikan untuk mengidentifikasi keadaan suatu populasi suatu jenis ikan
berdasarkan ruang dan waktu.
Kisaran ukuran ikan ekor kuning yang tertangkap di lokasi penelitian
adalah 11.30–33.10 cm, sedangkan hasil penelitian Jabbar (2008) di perairan
Kepulauan Seribu menunjukkan kisaran ukuran ikan ekor kuning berdasarkan
hasil tangkapan muoroami adalah antara 7.0–28.0 cm dengan rata-rata 15.7 cm.
Hal ini menunjukkan bahwa ukuran dari hasil penelitian mencapai ukuran yang
lebih maksimal. Perbedaan tersebut diduga disebabkan karena perbedaan faktor
dalam antara lain keturunan, jenis kelamin dan umur. Sedangkan faktor luar yaitu
disebabkan oleh jumlah individu dalam ekosistem terumbu karang yang tidak
sebanding dengan jumlah makanan sehingga terjadi kompetisi dalam
mendapatkan makanan (Fujaya 1999).
pemijahan ikan ekor kuning terjadi secara periodik yaitu pemijahan ke satu selalu
diikuti yang ke dua dan begitu seterusnya. De Young (1940) dalam Effendi (1997)
menyatakan bahwa kebiasaan memijah tiga belas spesies ikan ekonomis penting
di laut jawa, memperlihatkan bahwa pemijahan induvidu betul-betul berkala.
2004). Dari hasil pengamatan terhadap isi lambung ikan ekor kuning, komposisi
makanan berupa fitoplankton dan zooplankton. Hal ini membuktikan bahwa ikan
ekor kuning adalah plankton feeder (Kuieter dan Tonozuka 2004; Allen 1999).
Sedangkan Nikolsky (1969), mengemukakan bahwa besar serta komposisi dari
suplai makanan menentukan komposisi jenis ikan yang ada dan juga
mempengaruhi pertumbuhan ikan-ikan tersebut. Hal ini dapat diartikan bahwa
berkurangnya kelimpahan plankton, akan berpengaruh terhadap keberadaan ikan
ekor kuning.
Berdasarkan hasil analisa plankton pada masing-masing lokasi pengamatan
menunjukkan ada keterkaitan yang erat antara kelimpahan plankton dengan
kelimpahan ikan ekor kuning, dengan tingkat determinasi (R2)= 0.725 dan
persamaan regresinya adalah Y = 0.096X – 198.1 (Gambar 16). Sementara itu
hasil analisis regresi, menunjukkan bahwa kelimpahan plankton berpengaruh
secara nyata terhadap kelimpahan ikan (sig.<0.05) pada taraf kepercayaan α=5%
(Lampiran 8).
Menurut Isnaini (2008) untuk ikan ekor kuning muda makanannya adalah
copepoda, sedangkan untuk ikan dewasa memakan ubur-ubur, larva dan jenis ikan
kecil. Hasil yang berbeda dengan penelitian dimaksud menunjukkan bahwa ada
55
perubahan pola makan ikan ekor kuning, hal ini diduga disebabkan oleh
rendahnya kelimpahan zooplankton yang tersedia di alam dan tingginya tingkat
persaingan dalam memperoleh jenis makanan tersebut. Hobson (1974),
menyatakan bahwa kebiasaan makan ikan ini berubah dalam daur hidupnya,
paling tidak untuk kebanyakan ikan, biasanya dengan perubahan-perubahan yang
nyata dalam tingkah laku dan morfologinya.
Komposisi makanan ikan akan membantu menjelaskan kemungkinan-
kemungkinan habitat yang seringkali dikunjunginya (Kagwade 1967). Harus
disadari bahwa di dalam lingkungan yang kondisinya normal, bergerombolnya
biota laut hampir selalu berkaitan erat dengan banyaknya mangsa pangan di suatu
perairan (Sutomo 1978 dan Tham 1950 dalam Thoha 2007). Besarnya populasi
ikan di suatu perairan merupakan suatu fungsi dari potensialitas makanannya,
sehingga pengetahuan yang benar dari hubungan antara ikan dengan organisme-
organisme makanannya adalah penting untuk ramalan dan eksploitasi dari
keberadaan populasi ikan tersebut (Roa 1974).
pertama (1) terdapat 2 lokasi yang memiliki kemiripan karakteristik substrat dasar
yaitu Timur Pramuka dan Utara Pramuka, kelompok kedua (2) hanya terdapat satu
lokasi yang mempunyai karakteristik substrat dasar sendiri yaitu Barat Panggang,
kelompok ketiga (3) terdapat 2 lokasi yang memiliki kemiripan karakteristik
substrat dasar yaitu Utara Belanda dan Timur Kayu Angin Bira, kelompok empat
(4) terdapat 2 lokasi yang memiliki kemiripan karakteristik substrat dasar yaitu
Selatan Belanda dan Barat Kayu Angin Bira, sedangkan untuk kelompok lima (5)
hanya terdapat satu lokasi yang mempunyai karakteristik substrat dasar sendiri
yaitu Selatan Panggang.
UPGMA
0.52
0.60
Index Similarity Bray Curtis
0.65
0.68
U
0.76
0.84
0.92
1
Timur Utara Barat Utara Timur Kayu Selatan Barat Kayu Selatan
Pramuka Pramuka Panggang Belanda Angin Bira Belanda Angin Bira Panggang
oligotrofik (miskin unsur hara) menjadi mesotrofik (unsur hara dan produktivitas
sedang) yang memungkinkan melimpahnya plankton sebagai sumber makanan
bagi ikan ekor kuning. Menurut Effendi (2003) mesotrofik adalah perairan yang
memiliki unsur hara dan produktivitas sedang (produktivitas primer dan biomasa
sedang). Peralihan sifat perairan pada daerah terumbu karang dapat ditunjukkan
dengan tingginya persentase DCA yaitu karang mati yang sudah ditumbuhi alga.
Ketertarikan ikan ekor kuning dengan kelompok coral encrusting (CE)
diduga disebabkan oleh ketersediaan ruang yang luas dalam kolom air. Pada saat
pergerakan plankton secara vertikal, maka ikan ekor kuning dengan kebiasaan
hidup berkelompok (schooling) memanfaatkan ruang untuk mendapatkan
plankton tersebut sebelum tertahan di substrat.
Keberadaan coral encrusting memudahkan ikan ekor kuning mendapatkan
makanan, karena banyak biota (plankton) baik yang tertahan atau yang menetap
pada karang tersebut semuanya dapat terlihat jelas atau tersingkap bagi ikan ekor
kuning.
Ikan ekor kuning dalam ukuran kecil (stadium juvenil) diduga mempunyai
keterkaitan dengan keberadaan life-form acropora digitate (ACD), coral
submassive (CS), dan karang lunak (SC). Hal ini disebabkan karena ikan dalam
stadium juvenil sangat membutuhkan tempat mencari makan, mengasuh dan juga
sebagai tempat untuk berlindung dari pemangsa.
Lokasi Utara Pramuka dan Selatan Panggang hanya memiliki ikan dengan
ukuran < 20 cm (ikan muda), diduga di lokasi tersebut sudah terjadi grow over
fishing yaitu ikan ditangkap sebelum mereka sempat tumbuh mencapai ukuran
dimana peningkatan lebih lanjut dari pertumbuhan akan mampu membuat
seimbang dengan penyusutan stok yang diakibatkan oleh mortalitas alami. Lokasi
Timur Pramuka dan Timur Kayu Angin hanya ditemukan ikan dengan ukuran >
20 cm, hal ini diduga di dua lokasi tersebut sudah terjadi recruitment over fishing
yaitu pengurangan melalui penangkapan terhadap suatu stok sedemikian rupa
sehingga jumlah stok induk tidak cukup banyak untuk memproduksi telur yang
kemudian menghasilkan rekrut terhadap stok yang sama (Widodo dan Suadi
2006).
59
penelitian ini adalah pengelolaan berbasis ekositem dengan titik penekanan pada
habitat dan sumberdaya ikan ekor kuning dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Rehabilitasi habiat dengan program transplantasi coral encrusting, acropora
digitate dan coral submassive yang menjadi ciri keberadaan ikan ekor kuning.
ikan ekor kuning di lokasi penelitian didominasi oleh ikan ukuran kecil atau ikan
muda artinya masi dalam masa asuh.
Lokasi yang hanya memiliki kelimpahan ikan ekor kuning dengan ukuran
kecil atau ikan muda di temukan di 6 lokasi yaitu Timur Pramuka, Utara Pramuka,
Barat Pramuka, Selatan Panggang, Utara Belanda dan Selatan Belanda,
sedangkan di dua lokasi lainnya yaitu di Timur Kayu Angin dan Barat Kayu
Angin dijumpai kelimpahan ikan ekor kuning dengan ukuran muda dan dewasa.
Peningkatan upaya penengkapan yang terjadi selama 4 tahun terkhir 2003-
2007 menunjukkan peningkatan hasil penangkapan sebesar 262 ton dari tahun
2003 sampai tahun 2007, namun hasil tangkapan didominasi ikan dengan ukuran
kecil (Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta 2007).
Apabila penambahan upaya penangkapan tidak dikontrol maka tidak menutup
kemungkinan akan mengarah pada hasil tangkap lebih (over fishing) sehingga
berakibat menurunnya populasi ikan dan mengancam kelestarian sumberdaya itu
sendiri.
Alat tangkap yang beroperasi di Kepulauan Seribu meliputi pancing,
payang, muroami, bubu dan jaring. Alat tangkap muroami jumlahnya cenderung
meningkat dari tahun 2002-2006 dan mengalami kenaikan tajam pada tahun 2006
yakni sebesar 641 unit (Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI
Jakarta 2007). Selain mempunyai potensi untuk merusak terumbu karang
penggunaan alat tangkat tersebut dengan ukuran mata jaring yang umum
digunakan adalah ukuran 1-2 cm yang mengakibatkan ikan-ikan muda ikut
tertangkap.
Kondisi tangkap lebih dan dengan alat tangkap yang menggunakan mata
jaring yang tidak selektif terjadai di perairan Kepulauan Seribu diduga kondisi
ikan ekor kuning termasuk ke dalam pengertian growth over fishing, sedangkan
untuk menduga terjadi recruitmen over fishing perlu dilakukan penelitian lanjutan.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Kondisi ekosistem terumbu karang mempunyai penutupan lifeform 32.27%.
2. Kondisi sumber daya ikan ekor kuning diduga telah terjadi growth over
fishing. Pola pertumbuhan bersifat Alometrik dan didominasi oleh ikan yang
belum matang (mature) atau belum dewasa (dalam kondisi pertumbuhan).
3. Keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat
dicirikan dengan keberadaan coral encrusting (CE), acropora digitate (ACD),
coral submassive (CS), dead coral with algae (DCA), karang lunak (SC) dan
pasir (S).
4. Bentuk pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ikan ekor kuning di
perairan Kepulauan Seribu secara terpadu dan berkelanjutan yang diusulkan
dalam penelitian ini adalah pengelolaan berbasis ekositem dengan titik
penekanan pada habitat dan sumberdaya ikan ekor kuning antara lain: (1)
rehabilitasi habiat dengan program transplantasi coral encrusting, acropora
digitate dan coral submassive yang menjadi ciri keberadaan ikan ekor kuning,
(2) pengaturan upaya penangkapan dan ukuran mata jaring
5.2 Saran
Melakukan kajian lebih lanjut tentang kondisi ikan ekor kuning pada musim
yang berbeda serta beberapa aspek biologi ikan ekor kuning lainnya secara
komprehensif seperti reproduksi dan siklus hidup dan pola migrasi ikan ekor
kuning.
DAFTAR PUSTAKA
Acosta CA, Robertson DN. 2002. Diversity In Coral Reef Fish Communities; The
Effects Of Habitat Patchiness Revisited. Marine Ecology Programe 227:
hlm 87-96.
Aktani U. 2003. Fish communities as related to substrate characteristics in the
coral reefs of Kepulauan Seribu Marine National Park, Indonesia, five years
after stopping blast fishing practices. [Dissertation]. Germany: Bremen
University.
Allen G. 1999. Marine fishes of South-East Asia. Western Australian Museum.
Singapore : Periplus Editions (HK) Ltd. 292 hlm.
Alpert P. 2004. Managing The Wild: Should Stewards be Pilot?. Frontiers in
Ecology and The Environtment, Issue No. 9, Vol. 2 : 494-495.
Anderson K. 2002. A Study Of Coral Reef Fishes Along a Gradient of disturbance
in the Langkawi Archipelag, Malaysia. Undergaraduate thesis in biology,
Departemen of Animal Ecology, Uppsala University, Sweden.
Http://www.coralcay.org/scince/publications/philippines_m_ 2001.
Arteaga JP, Garcia R, Carlo S, Valle. 1997. Lenght-Weight Relationships of
Cuban Marine Fishes, NAGA Volume 2. No 1. Philipines: ICLARM. 38-
43.
Bak ROM, Elgershuizen HBW. 1992. Pattern of oil sediment Rejection of
corals.Mar. Biol 37: 105-113.
Baker VJ, Moran PJ, Mundy CN, Reichelt RE, Speare PJ. 1991. A guide to the
reef ecology database. The Crown-of-Thorns Study. Australia Institute of
marine Science. Townsville 8 .
Basmi J. 2000. Perkembangan komunitas fithoplankton sebagai indikasi
perubahan tingkat kesuburan kualitas perairan. [Tesis]. Bogor : Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bawole R. 1998. Distribusi Spasial Ikan Chaetodontidae dan Peranannya Sebagai
Indikator Kondisi Terumbu Karang di Perairan Teluk Ambon. [Tesis].
Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bell JD, Galzin R. 1984. Influence of Life Coral Cover on Coral Reef-Fish
Communities. Maarine Ecology Progress Series. 15;265-274. Gardens
Bank, Northwest Gulf of Mexico. Limnol. Oceanografi 28 : 228-240.
Bengen DG. 2002. Menuju Pengelolaan Pesisir Terpadu Berbasis DAS. Seminar
HUT LIPI, 25-26 September 2002. Jakarta.
Bishop JE. 1973. Limnology of small Malayan River Gomak. Dr. W. Junk V.B.
Publisher the Haque : 485 hlm.
64
Boyd CE, Kopler EL. 1979. Water quality management in pond fish culture.
Risearch and Development series No. 22. International Centre for
Aquaculture, Agriculture experiment Satation. Alabama: Auburn
University. 30 hlm.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Kepulauan Seribu dalam Angka 2007. Jakarta:
Badan Pusat Statistik. 167 hlm.
Connaughey M, Zottoli R. 1983. Introduction to Marine Biology. 4th edition. 2nd
ed. Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice Hall Inc. 720 hlm.
Cesar HSJ. 2000. Collected essays on the economics of coral reefs. CORDIO, ,
Sweden : Kalmar University. 244 hlm.
Chabanet P, Ralambondrainy H, Amanieu M, Faure G, Galzin R. 1997.
Relationships between coral reef substrata and fish. Coral Reefs 16 : 93-
102.
Clifford HT, Stephenson W. 1975. An introduction to numerical classification.
Academic Press.
Choat JH, Bellwood DR. 1991. Reef fishes: Their history and evolution, dalam
Sale P.F. (eds). The ecology of fishes on coral reefs: Academic Press Inc.
hlm 36-66.
Dahuri R, Jacub R, Sapta PG, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta : Pradnya Paramita. 305 hlm.
Dartnall AJ, Jones M. 1986. A Manual of Survey for Living, Resources in Coastal
Area. ASEAN-Australia Cooperative Program in Marine Science.
Townsville : Australia Institute of Marine Science.
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 1998. Perkiraan Musim Penangkapan Ikan.
Buletin Warta Mina No. 65, 66, 68,71,72 dan 73. Jakarta : Dirjen Perikanan.
Done TJ. 1981. Photogrammetry in coral ecology: a technique for the study of
change in coral communities. Proceedings of the Fourth International Coral
Reef Symposium, Manila. 2: 315-320.
[DP2K] Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. 2006.
Kepulauan Seribu dalam Angka Tahun 2006. Jakarta : DP2K Provinsi DKI
Jakarta.
[DP2K] Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. 2006.
Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan di Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta, Seminar/ Sarasehan Kelautan,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu. Jakarta : DP2K Provinsi DKI Jakarta.
[DP2K] Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. 2007.
Buku tahunan statistic perikanan tangkap DKI Jakarta Tahun 2006. Jakarta :
DP2K Prov DKI Jakarta. hlm 53-82.
65
Isnaini. 2008. Pola Rejim Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Ekor
Kuning di Kepulauan Seribu. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Jabbar AM. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Eko Kuning. [Tesis].
Bandung : Institut Teknologi Bandung. 61 hlm.
Jordan M, Merino M, Moreno O, Martin E. 1981. Community structure of coral
reefs in the Mexican Caribbean. Proc 4th Int Coral Reef Symposium 2: 303–
308.
Kagwade VN. 1967. Food and Feeding Habits of the Horsemackerel, Caranx
kalla (Cuv. & Val.). Indian Journal Fish 14: 85 – 96.
Kanwisher JW, Wainwright SA. 1967. Oxygen balance in Some Reef Corals.
Biol.Bull.Mar.Lab. : Woods Hole 133. 378-390.
Kartamihardja ES, Nastiti AS, Krismono, Purnomo K, Hardjamulia A. 1987.
Penelitian Limno-Biologis waduk Saguling pada Tahap Pra-Industri.
Buletin Penelitian Perikanan Darat Vol. 6 No. 3: 1-27.
Koesbiono. 1980. Biologi Laut. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor :
150 p.
Kohler KE, Gill SM. 2006. Coral Point Count with Excel extensions (CPCe): A
Visual Basic program for the determination of coral and substrate coverage
using random point count methodology. Computers and Geosciences, Vol.
32, No. 9: 1259-1269.
Kottelat M, Whitten AJ, Kartikasari SN, Wirjoatmodjo S. 1993. Freshwater fishes
of Western Indonesia and Sulawesi, Indonesia : Periplus editions (HK) Ltd.
293 hlm.
Krismono DW, Tjahjo H, Hardjamulia A, Nuroniah S, Umar Ch. 1987. Penelitian
Limno-Biologis waduk Saguling pada Tahap Post Industri. Bull. Penel.
Perikanan Darat 6 : 1-27.
Kuieter HR, Tonozuka T. 2004. Pictorial Guide to Indonesia Reef Fisheries Part I,
II, III. Bali Indonesia. PT. Dive&Dive’s
Lagler KF. 1961. Freshwater Fishery Biology. Second Edition. WMC Broun
Company : Dubuque. 421 hlm.
Lagler KF, Bardach JE, Miller RR, Passino DR. 1977. Ichtyology : John Wiley &
Sons USA . 506 hlm.
Lalamentik LTX. 1991. Karang dan terumbu Karang. Fakultas Perikanan
Universitas Sam Ratulangi. Manado : 66 hlm.
Marnane MJ et al. 2005. Laporan Teknis Survei 2003-2004 di Kepulauan
Karimunjawa, Jawa Tengah. Wildlife Conservation Society-Marine
Program Indonesia. Bogor Indonesia.
67
McClanahan TR. 1994. Kenyan Coral Reef Lagoon Fish; Effect of fishing
Substrate Complexity and Sea Urchins: Coral Reefs 13: 231-241.
McCook LJ. 1999. Macroalgae and phase shifts on coral reefs of the Great Barrier
Reef and other regions: Aperspective on scientific issues and management
consequences. Coral Reefs, Special Issue on Reef Management. 18:357-
367.
Macpherson E. 1981. Resource Partitioning in a Maditerranian demersal Fish
Community. Marine Ecology Program Series, 39 : 183-193.
[MENEG LH] Menteri Negara Lingkungan Hidup.2004. Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004. Tentang Baku Mutu Air
Laut.
Muller-Parker G, D’Elia CF. 1997. Interactions between corals and their
symbiotic algae, pp. 96-113. In: C. Birkeland [ed.], Life and Death of Coral
Reefs : Chapman & Hall NY
Murdiyanto B. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Jakarta:
COFISH Project.
Musa ASM, Bhuiyan AS. 2007. Fecundity on Mystus bleekeri (Day, 1877) from
the River Padma Near Rajshahi City. Turkish Journal of Fisheries and
Aquatic Sciences 7: 161-162.
Moberg F, Folke C. 1999. Ecological goods and services of coral reef ecosystems.
Ecol. Econ. 29 : 215–233.
Nelson JS. 2006. Fishes of the world. 4th edition : John Wiley and Sons, Inc. New
York. 601 p.
Nikijuluw V. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta: P3R
Nikolsky GV. 1963. The Ecology of Fishes. London and New York : Academic
Press. 352 hlm.
Nikolsky GV. 1969. FUh Population Dynamics. Oliver and Boyd : Edinburgh.
114 hlm.
Nybakken JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis (Terjemahan
Muhammad Eidman, Koesoebiono, Dietriech G. B., Malikusworo Hutomo
dan Sukristijono). Jakarta : PT. Gramedia.
Nybakken JW. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan
oleh : M. Eidman, D. G. Bengen, Malikusworo,dan Sukristiono. Marine
Biology and Ecologocal Approacch. Jakarta: PT. Gramedia. 480 hlm.
Parrish JD. 1980. Effect of Exploitation Patterns upon Reef and Lagoon
Communities, Proceedings of the Unesco Seminar on Marine and Coastal
Processes in The Pacific: Ecological Aspects of Coastal Zone Management,
Jakarta, Munro, J.L., Editor, Unesco Regional Office for Science and
Technology for South-East Asia : hlm 85-121.
68
Pauly D. 1998. Tropical fishes : patterns and propensities. Jurnal of Fish Biology
53 (Supplement A) : 1-17.
[Pemprov DKI Jakarta] Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
2000. Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 1986 Tahun 2000. Tentang
Wilayah Kepulauan Seribu. Jakarta : Pemprov DKI Jakarta.
Randall JE, Alen GR, Steene RC. 1990. Fishes of the Great Barrier Reef and
Coral Sea. Bathurst: Crawford House Press.
Ricker WE. 1975. Computation & interpretation of biological statistics of fish
population. Ottawa: Departemen of The Inviroment Fisheries & Marine
Service. Pasific Biological Station: 382 hlm.
Roa KS. 1974. Food Feeding Habits of Fishes from Trawl Catches in the Bay of
Bengal with observation on Diurnal Variation in the Nature of the Feed.
Indian J. Fish., 11: 277-314.
Roberts BC, Ormond RFG.1987. Habitat Complexxity and Coral Reef Fish
Difersity and Abundance on Red Sea Fringing Reef. Marine Ecology
Programe Ser 41: 1-8.
Rogers CS, Garrison G, Grober R, Hillis ZM, Franke MA. 1994. Coral Reef
Monitoring Manual for the Caribbean and Western Atlantic. Virgin Islands
National Park. St. John : USVI 00830.
Romimohtarto K, Juwana S. 2001. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan Tentang
Biota Laut. Jakarta: Djambatan. 540 hlm.
Royce WF. 1984. Introduction to the Practice of Fishery Science. New York, San
Francisco, London : Academic Press. 428 hlm.
Rounsefell GA, Everhart WH. 1962. Fishery Science its Methods and
Applications. New York : John Wiley & Sons. Inc. 444 hlm.
Sale PF. 1991. Ecology of Coral Reef Fishes. In : The Ecology of Fishes on Coral
Reefs. Ed. P.F. Sale. San Diego: Academi Press Inc. 754 hlm.
Sale PF. 2002. The Science We Need to Develop for More Effective
Management, in Coral Reef Fishes: Dynamics and Diversity in a Complex
Ecosystem, Sale, P.F., Editor. USA : Academic Press. hlm 361-376.
Siregar MO. 1994. Pengelolaan Lingkungan Pulau Wisata (Kasus Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu di Jakarta Utara), [Tesis]. Program Pasca
Sarjana, Universitas Indonesia: hal 81-83.
Smith KKM. 1996. Length-weight relationship in a diverse tropical freshwater
community. Malaysia. Journal of Fish Biology 49 : 731-734.
Subroto IH, Subani W. 1994. Relasi Panjang Berat, Faktor Kondisi dan Pertama
Kali Matang Gonad Ikan Ekor Kuning Dari Perairan Banggai Kepulauan.
Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 91. Jakarta : Balai Penelitian
Perikanan Laut Departemen Pertanian.
69
Wootton RJ. 1992. Fish Ecology. Glasgow and London: Blackie and Son Ltd.
212 hlm.
LAMPIRAN
71
Lampiran 4 Kelimpahan ikan ekor kuning, ikan karang lainnya dan jumlah
spesies ikan karang
Stasiun 1 (Timur Pramuka)
Tanggal 19 mei 2009
Waktu 08.30 WIB
Depth 7m
substrat pasir
Zona Slope
Lampiran 4 (lanjutan)
Lampiran 4 (lanjutan)
Lampiran 4 (lanjutan)
Lampiran 4 (lanjutan)
Lampiran 4 (lanjutan)
Stasiun 7 (timur kayu angin)
Tanggal 22 Mei 2009
Waktu 10.30 WIB
Depth 3m
subsrat karang
Zona Tubir
Lampiran 4 (lanjutan)
Stasiun 8 (barat kayu angin)
Tanggal 22 Mei 2009
Waktu 13.30 WIB
Depth 10 m
subsrat karang
Zona Slope
Lampiran 5 Panjang, berat, jenis kelamin dan TKG ikan ekor kuning
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics
Multiple R 0.957009583
R Square 0.915867342
Adjusted R Square 0.914114578
Standard Error 22.50422941
Observations 50
ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 1 264629.0356 264629.0356 522.5275593 1.89016E-27
Residual 48 24309.13639 506.4403416
Total 49 288938.172
Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0%
Intercept -164.0068582 11.92594961 -13.75210055 2.86112E-18 -187.9855866 -140.0281298 -187.9855866 -140.0281298
X Variable 1 12.44798911 0.544558573 22.85886172 1.89016E-27 11.35308074 13.54289749 11.35308074 13.54289749
83
Lampiran 7 Jumlah individu dan persentase jenis makanan dalam isi lambung
ikan ekor kuning
Jumlah individu jenis ke i (n)
Sampel Calanus
Sagitella Parachymula Lauderia Thallassiothri Calanus Iasis
ikan Nitszchia Coscinodiscus Copepodite Brachionus Mysis Heigolandicu Clymnosera
Kowalewskii larva Borealis x Longissima Minor Sonaria
s
1 19 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 34 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 17 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 34 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 26 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 32 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
11 18 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
12 60 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
14 28 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
17 38 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
18 28 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
19 26 6 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
20 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
21 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
22 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
23 41 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
24 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
25 28 3 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
26 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
27 38 2 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
28 14 7 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0
29 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
30 19 5 4 1 0 0 0 3 0 0 0 0 0
31 42 7 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
32 34 5 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
33 36 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
34 22 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
35 4 10 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
36 14 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
37 22 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
38 94 33 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
39 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
40 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
41 18 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
42 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
43 26 39 3 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
44 42 12 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
45 80 10 1 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0
46 15 24 14 1 2 2 1 0 0 0 0 0 0
47 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
48 91 1 0 0 0 0 0 30 34 1 8 0 0
49 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
50 63 27 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 1103 263 36 3 2 2 1 46 34 1 8 1 1
Rata-rata 22.06 5.26 0.72 0.06 0.04 0.04 0.02 0.92 0.68 0.02 0.16 0.02 0.02
Persentase 73.48 17.52 2.40 0.20 0.13 0.13 0.07 3.06 2.27 0.07 0.53 0.07 0.07
84
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics
Multiple R 0.851919371
R Square 0.725766614
Adjusted R Square 0.68006105
Standard Error 40.20526059
Observations 8
ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 1 25668.09713 25668.1 15.87917 0.007242874
Residual 6 9698.777874 1616.463
Total 7 35366.875
Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0%
Intercept -198.1405172 68.00761004 -2.91351 0.026857 -364.5491439 -31.7318906 -364.5491439 -31.73189059
X Variable 1 0.096020115 0.024096184 3.984868 0.007243 0.037058878 0.154981352 0.037058878 0.154981352
Lampiran 9 Ciri dari masing-masing kelompok berdasarkan klaster habitat terhadap substrat dasar
Keterangan :
Yellow tail fusilier fish (Caesio cuning) is one of the reef fish species as fishing
target that associated with coral reefs in the Seribu Islands water. The purpose of
this research is to determine the yellow tail fusilier fish resources condition and
coral reef ecosystems and to assess yellow tail fusilier fish resources linkage with
habitat characteristics. The research was conducted at Pramuka Island, Panggang
Island, Belanda Island and Kayu Angin Bira Island at Seribu Islands District from
April to June 2009. Each island was taken as many as two points in the fishermen
catchment area. To see the percentage of benthic substrate cover, life-form and the
number of coral genera square transect method, the results are analyzed using the
Coral Point Count with Excell extension (CPCe) version 3.6 program. To see an
abundance of yellow tail fusilier fish resources using Underwater Visual Census
and to know biological condition of yellow tail fusilier fish, samples were taken
from fishermen catches in the research locations. Interconnection yellow tail
fusilier fish resources with habitat characteristics can be shown by benthic
substrate grouping using cluster analysis methods. The result of this research
showed the condition of coral reef ecosystems have 32.27% life-form cover. The
condition of yellow tail fusilier fish resources growth was predicted have become
over fishing, with the growth pattern was alometric and was dominated by
immature fish. Yellow tail fusilier fish resource linkage habitat characteristics
were characterized by the presence of encrusting coral, acropora digitate,
submassive coral, dead coral with algae, soft coral and sand. The recommendation
of management activities are: (1) rehabilitating habitat with encrusting coral,
acropora digitate and submassive coral transplant programs that characterize the
existence of yellow tail fusilier fish. (2) regulating caching effort and determining
of suitable mess size.
Keywords : Ecosystem of coral reefs, yellow tail fusilier fish, habitat linkage,
Seribu Islands
RINGKASAN
Bentuk dan variasi karang dan tempat berlindung lainnya terkombinasi menjadi
habitat-habitat yang berbeda dengan variasi yang tinggi yang dimanfaatkan oleh
ikan dengan karakteristik yang berbeda pula
Coat dan Bellwood (1991) dalam Bawole (1998), menyatakan bahwa
interkasi antara ikan karang dan terumbu karang sebagai habitatnya dapat
dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu: (1) intekasi langsung sebagai tempat
berlindung dari predator pemangsa terutama bagi ikan-ikan muda; (2) interaksi
dalam mencari makanan yang meliputi hubungan antara ikan karang dan biota
yang hidup pada karang termasuk alga; dan (3) interaksi tidak langsung sebagai
akibat struktur karang dan kondisi hidrologis dan sedimen.
Perairan Indonesia memiliki kurang lebih 132 jenis ikan yang bernilai
ekonomi, 32 jenis diantaranya hidup di terumbu karang. Ditjen Perikanan (1998)
lebih lanjut mengungkapkan bahwa perairan karang Indonesia memiliki paling
sedikit 10 famili utama penyumbang produksi perikanan yaitu Caesionidae,
Holocentridae, Serranidae, Siganidae, Scaridae, Lethrinidae, Priachantidae,
Labridae, Lutjanidae dan Haemulidae. Diantara sepuluh family tersebut,
Caesionidae seperti ikan ekor kuning merupakan kelompok ikan karang yang
dapat dieksploitasi secara komersial.
Ikan ekor kuning merupakan jenis ikan konsumsi yang memiliki nilai
ekonomis penting. Salah satu jenis ikan karang yang dominan dan menjadi yang
target penangkapan di Perairan Kepulauan Seribu adalah ikan ekor kuning. Data
BPS (2008) hasil tangkapan ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu pada tahun
2003 sebanyak 411 ton dan pada tahun 2007 sebanyak 673 ton. Berdasarkan data
tersebut hasil tangkapan ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu mengalami
peningkatan sebesar 262 ton dari tahun 2003 sampai tahun 2007. Peningkatan
hasil tangkapan tersebut didukung oleh peningkatan upaya penengkapan yaitu 70
unit kapal tahun 2003 menjadi 77 unit kapal tahun 2007. Kegiatan penangkapan
yang tidak terkontrol dapat mengarah pada hasil tangkap lebih (over fishing)
sehingga berakibat menurunnya populasi ikan dan mengancam kelestarian
sumberdaya itu sendiri.
Estradivari et al. (2007) menjelaskan kondisi ekosistem terumbu karang
mengalami penurunan, persentase penutupan karang keras adalah 33.2% tahun
3
2005 (kondisi sedang). Porsi terbesar kerusakan terumbu karang adalah akibat
ulah manusia, di antaranya penangkapan ikan yang merusak dan berlebih. Jenis
alat tangkap yang umum digunakan untuk menangkap ikan ekor kuning di
Kepulauan Seribu antara lain adalah bubu dan jaring muroami (Dinas Peternakan,
Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta 2007). Penyebaran alat tangkap
tersebut terutama pada daerah-daerah yang mempunyai kekayaan terumbu karang
yang tinggi.
Menurut Randal et al. (1990), habitat ikan ekor kuning adalah diperairan
pantai karang, perairan karang. Hidupnya berasosiasi dengan terumbu karang dan
dapat ditemukan pada kedalaman 1-60 meter, terkadang ikan ini berenang dengan
membentuk gerombolan besar dan ditemui di dekat tubir. Informasi mengenai
karakteristik habitat setiap sumberdaya sangat dibutuhkan untuk menentukan arah
pengelolaan bagi keberlanjutan dari sumberdaya tersebut. Kajian mengenai
keterkaitan sumbedaya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat pada
ekosistem terumbu karang sangat diperlukan untuk dijadikan sebagai salah satu
dasar dalam merekomendasikan alternatif pengelolaan sumberdaya berbasis
ekosistem di Kepulauan Seribu.
Klaster Habitat
eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Tahun 1998 telah terjadi
perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis
sehingga menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan
kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono (1998) mencatat selama peristiwa
pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 oC
di atas suhu normal.
Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan
mempengaruhi terumbu karang. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) bahwa
curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan (mainland run
off) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya
penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient
overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan
pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang.
Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies yang
membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang di lautan dibatasi
oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang mempunyai suhu
rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10 0C. Pertumbuhan maksimum terumbu karang
terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan suhu sekitar 25 oC sampai 29 0C. Karena
sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan
Evans 1985).
Selanjutnya Nybakken (1992) mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe
umum yaitu terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef),terumbu karang
penghalang (Barrier reef) dan terumbu karang cincin (atoll). Diantara ketiga
struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai di perairan Indonesia
adalah terumbu karang tepi (Suharsono 1998). Penjelasan ketiga tipe terumbu karang
sebagai berikut :
1) Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai
dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 m. Terumbu karang ini tumbuh
ke atas atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat
dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar
terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang
9
pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi banyak biota laut. Menurut Salm
(1984) dalam Supriharyono (2000), bahwa 16% dari total hasil ekspor ikan
Indonesia berasal dari daerah karang.
nilai ekonomis tinggi. Choat dan Bellwood (1991) menggolongkan ikan-ikan yang
ditemukan di terumbu karang ke dalam dua kategori utama yaitu jenis terumbu
(reef species) dan jenis yang dihubungkan dengan terumbu karang (reef-
associated speies). Penggolongan ini oleh Choat dan Bellwood (1991) didasarkan
pada karakteristik ekologis, hubungannya dengan habitat, pendistribusian,
karakteristik taxonomic dan fitur struktural.
Perbedaan pendapat muncul mengenai hubungan keragaman spesies ikan
dan keragaman habitat terumbu karang. Beberapa penelitian terus dilakukan dan
akhirnya memunculkan dua teori tentang ikan karang di terumbu karang, seperti
yang dirangkum oleh Nybakken (1988); Pertama. Hidup berdampingan
merupakan hasil dari tingkat spesialisasi yang tinggi, sehingga setiap spesies
mempunyai tempat beradaptasi khusus yang didapat dari persaingan pada suatu
keadaan di karang, jadi ikan-ikan ini mempunyai relung ekologi yang lebih sempit
dan berarti daerah itu dapat menampung lebih banyak spesies; Kedua, ikan karang
tidak mempunyai sifat khusus, banyak spesies serupa yang mempunyai kebutuhan
sama dan dapat bersaing aktif diantar spesies.
Faktor kedalaman berperan dalam penyebaran ikan-ikan karang. Umumnya
ikan-ikan tersebut memiliki kisaran kedalaman yang sempit tergantung dari
ketersediaan makanan, ombak dan keberadaan predator. Pada daerah-daerah yang
kaya akan makanan ikan akan cenderung berkelompok. Ikan-ikan tersebut
menghindari pecahan ombak dengan menempati daerah yang lebih dalam.
Kebanyakan ikan-ikan yang tergolong herbivore adalah ikan-ikan diurnal,
berwarna cemerlang dengan ukuran bukaan mulut kecil. Beberapa ikan ini
merupakan ikan yang bergerak cepat dan berkelompok (Connaughey dan Zottoli
1983)
Dartnall dan Jones (1986) melakukan pengelompokan ikan karang menjadi
tiga yaitu (1) Kelompok ikan target, merupakan ikan konsumsi seperti ikan-ikan
dari famili serranidae, Lutjanidae, Haemulidae, Lethrinidae; (2) Kelompok ikan
Indikator yaitu ikan-ikan yang digunakan sebagai indikator keberadaan suatu
perairan terumbu karang, seperti family Chaetodontidae; (3) Kelompok ikan yang
berperan dalam rantai makanan adalah ikan-ikan yang peranan lainnya belum
12
Ciri morfologi ikan ekor kuning adalah bentuk badan memanjang, melebar
dan gepeng, mulut kecil dan serong, memiliki gigi-gigi kecil dan lancip. Dua gigi
taring pada rahang bawah dan yang halus pada langit-langit. Jari-jari keras sirip
punggung 10 dan yang lemah 15, sedangkan jari-jari keras pada sirip dubur 3 dan
yang lemah 11. Ikan ini memliki sisik tipis pada garis rusuknya, sisik-sisik kasar
di bagian atas dan bawah garis rusuk serta tersusun horizontal, sisik pada kepala
mulai dari mata (Kottelat et al. 1993).
Tubuh ikan ekor kuning bagian atas sampai punggung berwarna ungu
kebiruan, bagian belakang punggung, batang ekor, sebagian dari sirip punggung
yang berjari-jari lemah, sirip dubur berwarna biru keputihan dan ekor berwarna
13
kuning. Bagian bawah kepala, badan, sirip perut dan dada berwarna merah jambu,
pinggir sirip punggung sedikit hitam dan ketiak sirip dada berwarna hitam
(Kottelat et al. 1993)
2.7 Pertumbuhan
Menurut Effendie (1997), Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
dapat digolongkan menjadi dua bagian yang besar yaitu faktor dalam dan faktor
luar. Faktor-faktor ini ada yang dapat dikontrol dan ada yang tidak. Faktor dalam
umumnya adalah faktor yang sulit untuk dikontrol, diantaranya adalah keturunan,
jenis kelamin, umur, parasit dan penyakit. Sedangkan faktor luar seperti suhu air,
kandungan oksigen terlarut, amonia, salinitas dan fotoperiod (panjang hari).
Faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dan bersama-sama dengan
faktor-faktor lain seperti kompetisi, jumlah dan kualitas makan, umur serta tingkat
kematian yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan.
Faktor-faktor yang paling banyak mempengaruhi pertumbuhan ikan adalah
jumlah dan ukuran pakan yang tersedia, jumlah individu yang menggunakan
pakan yang tersedia, kualitas air terutama suhu, oksigen terlarut, umur, ukuran
ikan serta kematangan gonad (Effendie 1997).
panjang ikan. Dengan menggunakan variabel panjang dan berat dapat ditentukan
bentuk pertumbuhan dari ikan. Pengukuran panjang tubuh memberikan bukti
langsung terhadap pertumbuhan. Peningkatan ukuran panjang umumnya tetap
berlangsung walaupun ikan mungkin dalam keadaan kekurangan makanan.
Panjang tubuh dapat diukur dalam banyak cara dan yang umum digunakan
untuk ikan adalah panjang total, panjang cagak dan panjang baku. Panjang total
adalah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian kepala sampai
ujung terakhir bagian ekornya. Panjang cagak adalah panjang ikan yang diukur
dari ujung terdepan sampai ujung bagian luar lekukan sirip ekor, sedangkan
panjang standar atau panjang baku adalah panjang ikan yang diukur dari ujung
terdepan darai kepala sampai ujung terakhir dari tulang punggungnya atau
pangkal sirip ekor (Effendie 1997).
Analisa hubungan panjang berat bertujuan untuk mengetahui pola
pertumbuhan ikan dengan menggunakan parameter panjang dan berat. Berat dapat
dianggap sebagai salah satu fungsi dari panjang. Nilai yang didapat dari
perhitungan panjang berat ini adalah untuk menduga berat dari panjang atau
sebaliknya serta dapat diketahui pola pertumbuhan, kemontokan dan pengaruh
perubahan lingkungan terhadap pertumbuhan ikan (Effendie 1997), sedangkan
menurut Fafioye dan Oluajo (2005) analisis panjang berat yang dihubungkan
dengan data kelompok umur dapat digunakan untuk mengetahui komposisi stok,
umur saat pertama memijah, siklus kehidupan, kematian, pertumbuhan dan
produksi.
Menurut Effendie (1997), jika panjang dan berat diplotkan dalam suatu
gambar maka akan didapatkan persamaan W=aLb; W=berat, L=panjang, a dan b
adalah suatu konstanta. Nilai b berfluktuasi antara 2.5 sampai 4, tetapi
kebanyakan mendekati 3 karena pertumbuhan mewakili peningkatan dalam tiga
dimensi, sedangkan pengukuran panjang diambil dari satu dimensi. Nilai b yang
merupakan konstanta adalah nilai pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan
ikan. Hubungan ini juga memungkinkan untuk membandingkan individu dalam
satu populasi maupun antar populasi (Lagler et al. 1977). Nilai b=3
menggambarkan pertumbuhan isometrik, yang akan mencirikan ikan mempunyai
bentuk tubuh yang tidak berubah (Riker 1975) atau pertambahan panjang ikan
16
1m
1m
Gambar 5 Bingkai tetrapod untuk fotografi tutupan karang (English et al. 1997).
26
Gambar 6 Metode sensus visual bawah air ikan karang (Sumber: English et al.
1997).
28
0 – 24.9 Buruk
25 – 49.9 Sedang
50 – 74.9 Baik
75 – 100 Sangat baik
X
X i
n
Dimana :
X = Kelimpahan Ikan
Xi = Jumlah ikan pada stasiun pengamatan ke-i
n = Luas terumbu karang yang diamati (m2)
30
W = aLb
Untuk jumlah sampel kecil maka menggunakan teknik perhitungan menurut
Rounsefeell dan Everhart (1960) yaitu :
Dimana :
W = berat ikan (gram)
L = panjang ikan (cm)
a dan b = konstanta.
Harga ”b” berkisar antara 2.0-3.5. Harga b yang mungkin timbul selain b <
3, juga b = 3 atau b > 3. Masing-masing harga ”b” yang demikian itu dapat
ditafsirkan sebagai berikut:
b=3 : Pertumbuhan bersifat isometrik karena pertambahan panjang
dan berat ikan seimbang (ideal).
b > 3 atau b < 3 : Pertumbuhan ikan bersifat allometrik atau kurang baik karena
pertumbuhan berat dan panjang tidak sebanding. Sifat
allometrik ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu : Bila b < 3
berarti pertumbuhan panjang lebih cepat jika dibandingkan
dengan pertumbuhan berat sehingga ikan kelihatan kurus dan
tidak normal, terlihat terlalu panjang. Bila b > 3 berarti
pertumbuhan berat lebih cepat dibandingkan dengan
pertumbuhan panjang sehingga ikan kelihatan gemuk dan tidak
normal.
31
Nilai ”b” yang didapat dari hasil perhitungan tersebut, akan dilakukan uji
statistik (regresi) untuk melihat sejauh mana keeratan hubungan nilai ”b” atau
menguji keertan hubungan antara pertumbuhan berat dan pertumbuhan panjang.
Dimana :
N = Jumlah total individu plankton per m3 (Individu/m3)
ni = Jumlah individu ke-i yang tercacah (indvidu)
Vd = Volume air contoh yang disaring (l)
Vt = Volume air contoh yang tersaring (100 ml)
Vs = Volume air pada Sedwigck Rafter counting cell volume (1 ml)
Keterangan:
S = indeks kesamaan Bray-Curtis
Xi1 = tutupan karang jenis ke-i pada stasiun pertama
Xi2 = tutupan karang jenis ke-i pada stasiun kedua
Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi
organisme dalam melakukan aktivitas metabolisme, perkembangbiakan serta
proses-proses fisiologi organisme karena suhu dapat mempengaruhi sifat fisik,
kimia dan biologi perairan. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian
sebaran suhu berkisar antara 28–30 oC (Tabel 5).
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa suhu di lokasi penelitian masih
tergolong normal untuk kehidupan biota laut khususnya fitoplankton. Hal ini
karena penelitian tersebut berlangsung pada saat musim peralihan dimana
pergerakan massa air cukup stabil atau tenang. Sesuai dengan pernyataan Effendi
(2003), bahwa kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan
adalah 20–30 oC. Kisaran tersebut masih termasuk dalam kriteria suhu dimana
terumbu karang dapat tumbuh dan berkembang. Menurut Sukarno et al. (1983)
suhu yang paling baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25–30 oC.
Huet (1971), menyatakan fluktuasi harian suhu perairan sangat
mempengaruhi kehidupan oraganisme di dalamnya, fluktuasi suhu air yang terlalu
besar dapat mematikan organisme perairan. Bihsop (1973) menyatakan suhu air
dapat merangsang dan mempengaruhi pertumbuhan organisme perairan serta
mempengaruhi oksigen terlarut untuk respirasi. Menurut Boyd dan Kopler (1979)
suhu optimum untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis adalah 25-30 0C.
Salinitas
Hasil pengukuran salinitas pada lokasi penelitian menunjukkan nilai yang
homogen dengan kisaran nilai antara 30–33 PSU (Tabel 5) dengan nilai salinitas
terendah terdapat di Utara Pulau Pramuka. Perbedaan nilai salinitas antar stasiun
pengamatan sangat kecil dan masih dalam kategori normal untuk kehidupan biota
laut, hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) bahwa nilai salinitas
perairan laut berkisar antara 30-40‰ sedangkan menurut Nybakken (1988) dan
Thamrin (2006) salinitas perairan dimana karang dapat hidup adalah pada kisaran
27-40 ‰ dengan kisaran optimum untuk pertumbuhan karang adalah 34-36‰.
Kecepatan arus
Kecepatan arus pada setiap stasiun umumnya tidak jauh berbeda dengan
kisaran 0.030–0.072 m/s (Tabel 5), kecepatan arus yang paling tinggi terjadi di
38
Selatan Pulau Panggang dan paling rendah di Timur Pulau Pramuka, secara umum
arah arus menuju barat. Hal ini berkaitan erat dengan musim tenggara dan angin
musim (monsoon) timur yang berlangsung pada saat dilakukannya pengambilan
data. Adanya arus ini diperlukan untuk tersedianya aliran air yang membawa
makanan dan oksigen bagi biota karang serta menghindarkan karang dari
pengaruh sedimentasi.
Kecerahan
Kecerahan dan kekeruhan merupakan parameter yang saling berkaitan.
Peningkatan konsentrasi padatan tersuspensi akan meningkatkan kekeruhan
perairan, sebaliknya akan mengurangi kecerahan perairan. Parameter-parameter
tersebut marupakan indikasi tingkat produktivitas perairan sehubungan dengan
proses respirasi biota perairan dan kualitas perairan.
Kecerahan (transparency) air adalah suatu ukuran untuk mengetahui daya
penetrasi cahaya matahari ke dalam air dimana nilainya berbanding terbalik
dengan nilai kekeruhan (Koesbiono 1980). Kemampuan daya tembus matahari ke
perairan sangat ditentukan oleh kandungan bahan organik dan bahan anorganik
tersuspensi dalam perairan, kelimpahan plankton, jasad renik dan densitas air
Wardoyo (1981).
Kecerahan menggambarkan kemampuan cahaya menembus lapisan air pada
kedalaman tertentu. Kecerahan sangat penting bagi perairan karena berpengaruh
terhadap berlangsungnya produktivitas primer melalui fotosintesis fitoplankton.
Hasil pengukuran (Tabel 5) menunjukan nilai parameter kecerahan merata sama
di semua lokasi dengan kedalam 3-7 m.
Dalam ekosistem terumbu karang, kecerahan erat kaitannya dengan cahaya
matahari. Cahaya matahari sangat diperlukan terutama oleh alga simbion karang
zooxanthellae untuk melakukan fotosintesis, selanjutnya hasil dari fotosintesis
dimanfaatkan oleh karang untuk melakukan proses respirasi dan kalsifikasi
(Hubbard 1997). Kecerahan berbanding terbalik dengan padatan tersuspensi
(TSS), dimana semakin meningkat TSS maka kecerahan dan penetrasi cahaya
matahari semakin berkurang. Hal ini menurut Hubbard (1997) dapat berpengaruh
terhadap morfologi karang. Kedalaman penetrasi sinar matahari mempengaruhi
39
Kekeruhan
Nilai kekeruhan yang diperoleh selama penelitian berkisar antara
0.40 NTU–0.55 NTU (Tabel 5), nilai terendah terdapat di Utara Pulau Pramuka.
Secara umum nilai kekeruhan untuk semua stasiun pengamatan berada dalam
kondisi normal dan nilai tersebut sesuai baku mutu air laut untuk biota laut yang
ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Negara LH RI No. 51 Tahun 2004
yaitu < 5 NTU. Hal tersebut dimungkinkan sedikitnya partikel terlarut pada
perairan tersebut sehingga sangat baik untuk mendukung kehidupan biota.
Nitrat (NO3-N)
Nitrat adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami, sangat mudah larut
dalam air dan bersifat stabil. Nitrat merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan
tanaman dan alga. Konsentrasi nitrogen dalam bentuk nitrat selama penelitian
nilainya berkisar antara 0.02–0.12 mg/l (Tabel 5) nilai terendah di Timur Pulau
Pramuka dan tertinggi di selatan Pulau Panggang. Menurut Effendi (2003) kadar
nitrat di perairan alami hampir tidak pernah melebihi 0.1 mg/l. Kadar nitrat lebih
dari 5 mg/l menandakan telah terjadi pencemaran anthropogenik dari aktifitas
manusia. Kadar nitrat lebih dari 0.2 mg/l berpotensi untuk dapat menyebabkan
terjadinya eutrofikasi dan selanjutnya memicu pertumbuhan algae dan tumbuhan
air secara pesat.
Secara alami terumbu karang mampu mengkonservasi keberadaan nutrien
dengan memiliki katabolisme protein yang rendah serta mengkatabolis lipid dan
karbohidrat. Dalam jumlah yang cukup banyak justru akan membahayakan
bahkan dapat menyebabkan kematian terumbu karang. Terumbu karang tidak
dapat beradaptasi pada saat pengkayaan nutrien terjadi, umumnya mereka tidak
mampu berkompetisi dengan makroalga bentik. Pengkayaan nutrien juga dapat
menurunkan laju kalsifikasi karena fosfat akan mengikat kristal aragonite pada
saat proses kalsifikasi (Muler-Parker dan D’Elia 1997).
Phosphat (PO4-P)
Unsur P merupakan salah satu unsur hara yang penting bagi metabolisme sel
tanaman. Unsur ini dalam perairan ditentukan dalam bentuk ortho-phosphat, poli-
40
Plankton
Kelimpahan Plankton bervariasi pada setiap stasiun pengamatan.
Kelimpahan plankton rata-rata antara 1 880–3 680 individu/m3 (Tabel 5), dimana
kelimpahan tertinggi di Selatan Belanda dan kelimpahan terendah di stasiun 4
Selatan Panggang. Perbedaan kelimpahan antara stasiun menunjukkan bahwa
distribusi kelimpahan plankton tidak merata.
untuk kelompok karang keras di Timur Pramuka sebesar 18.13% dan tertinggi di
Selatan Panggang sebesar 54.35%.
Gambar 10 Persentase tutupan karang mati ber alga dan karang mati
(2000), karang Acropora, karang bercabang dan foliose umumnya lebih cepat
pertumbuhannya dibandingan karang Porites atau yang berbentuk masif. Genus
Acropora memiliki jumlah jenis (spesies) terbanyak dibandingkan genus lainnya
pada karang. Karang jenis ini biasanya tumbuh pada perairan jernih dan lokasi
dimana terjadi pecahan ombak. Bentuk koloni umumnya bercabang dan tergolong
jenis karang yang cepat tumbuh, namun sangat rentan terhadap sedimentasi dan
aktivitas penangkapan ikan.
Sementara itu genus Montipora diketahui memiliki ketahanan terhadap
tekanan lingkungan seperti laju sedimentasi yang tinggi dan peningkatan suhu
permukaan laut (Jordan et al. 1981). Genus Montipora sering ditemukan
mendominasi suatu daerah. Sangat tergantung pada kejernihan suatu perairan.
Biasanya berada pada perairan dangkal berkaitan dengan intensitas cahaya yang
diperolehnya dengan bentuk koloni berupa lembaran. Adapun karang dari genus
Porites memiliki tingkat ketahanan yang relatif tinggi terhadap faktor-faktor
pembatas pertumbuhan dan perkembangan karang seperti gelombang.
3.11 cm, membentuk 7 kelas frekuensi panjang. Sebaran frekuensi panjang ikan
berada pada kisaran kelas 11.30-14.41 cm dan kisaran kelas 29.99-33.10 cm
(Tabel 7).
(b=3.123), diperoleh hasil koefisien regresi berbeda nyata pada taraf kepercayaan
α=5% atau panjang ikan berpengaruh secara nyata terhadap berat ikan (sig.<0.05).
Analisis hubungan panjang berat dari suatu populasi ikan mempunyai
beberapa kegunaan yaitu memprediksi berat suatu jenis ikan dari panjang ikan
yang berguna untuk mengetahui biomassa populasi ikan tersebut (Effendie 1997;
Smith 1996), selain itu menurut Arteaga et al. (1997), analisis hubungan panjang
berat dari suatu populasi ikan mempunyai kegunaan untuk memprediksi hubungan
panjang berat suatu populasi ikan yang dibandingkan dengan populasi ikan di
badan air yang lain serta dapat dijadikan parameter pendugaan antara kelompok-
kelompok ikan untuk mengidentifikasi keadaan suatu populasi suatu jenis ikan
berdasarkan ruang dan waktu.
Kisaran ukuran ikan ekor kuning yang tertangkap di lokasi penelitian
adalah 11.30–33.10 cm, sedangkan hasil penelitian Jabbar (2008) di perairan
Kepulauan Seribu menunjukkan kisaran ukuran ikan ekor kuning berdasarkan
hasil tangkapan muoroami adalah antara 7.0–28.0 cm dengan rata-rata 15.7 cm.
Hal ini menunjukkan bahwa ukuran dari hasil penelitian mencapai ukuran yang
lebih maksimal. Perbedaan tersebut diduga disebabkan karena perbedaan faktor
dalam antara lain keturunan, jenis kelamin dan umur. Sedangkan faktor luar yaitu
disebabkan oleh jumlah individu dalam ekosistem terumbu karang yang tidak
sebanding dengan jumlah makanan sehingga terjadi kompetisi dalam
mendapatkan makanan (Fujaya 1999).
pemijahan ikan ekor kuning terjadi secara periodik yaitu pemijahan ke satu selalu
diikuti yang ke dua dan begitu seterusnya. De Young (1940) dalam Effendi (1997)
menyatakan bahwa kebiasaan memijah tiga belas spesies ikan ekonomis penting
di laut jawa, memperlihatkan bahwa pemijahan induvidu betul-betul berkala.
2004). Dari hasil pengamatan terhadap isi lambung ikan ekor kuning, komposisi
makanan berupa fitoplankton dan zooplankton. Hal ini membuktikan bahwa ikan
ekor kuning adalah plankton feeder (Kuieter dan Tonozuka 2004; Allen 1999).
Sedangkan Nikolsky (1969), mengemukakan bahwa besar serta komposisi dari
suplai makanan menentukan komposisi jenis ikan yang ada dan juga
mempengaruhi pertumbuhan ikan-ikan tersebut. Hal ini dapat diartikan bahwa
berkurangnya kelimpahan plankton, akan berpengaruh terhadap keberadaan ikan
ekor kuning.
Berdasarkan hasil analisa plankton pada masing-masing lokasi pengamatan
menunjukkan ada keterkaitan yang erat antara kelimpahan plankton dengan
kelimpahan ikan ekor kuning, dengan tingkat determinasi (R2)= 0.725 dan
persamaan regresinya adalah Y = 0.096X – 198.1 (Gambar 16). Sementara itu
hasil analisis regresi, menunjukkan bahwa kelimpahan plankton berpengaruh
secara nyata terhadap kelimpahan ikan (sig.<0.05) pada taraf kepercayaan α=5%
(Lampiran 8).
Menurut Isnaini (2008) untuk ikan ekor kuning muda makanannya adalah
copepoda, sedangkan untuk ikan dewasa memakan ubur-ubur, larva dan jenis ikan
kecil. Hasil yang berbeda dengan penelitian dimaksud menunjukkan bahwa ada
55
perubahan pola makan ikan ekor kuning, hal ini diduga disebabkan oleh
rendahnya kelimpahan zooplankton yang tersedia di alam dan tingginya tingkat
persaingan dalam memperoleh jenis makanan tersebut. Hobson (1974),
menyatakan bahwa kebiasaan makan ikan ini berubah dalam daur hidupnya,
paling tidak untuk kebanyakan ikan, biasanya dengan perubahan-perubahan yang
nyata dalam tingkah laku dan morfologinya.
Komposisi makanan ikan akan membantu menjelaskan kemungkinan-
kemungkinan habitat yang seringkali dikunjunginya (Kagwade 1967). Harus
disadari bahwa di dalam lingkungan yang kondisinya normal, bergerombolnya
biota laut hampir selalu berkaitan erat dengan banyaknya mangsa pangan di suatu
perairan (Sutomo 1978 dan Tham 1950 dalam Thoha 2007). Besarnya populasi
ikan di suatu perairan merupakan suatu fungsi dari potensialitas makanannya,
sehingga pengetahuan yang benar dari hubungan antara ikan dengan organisme-
organisme makanannya adalah penting untuk ramalan dan eksploitasi dari
keberadaan populasi ikan tersebut (Roa 1974).
pertama (1) terdapat 2 lokasi yang memiliki kemiripan karakteristik substrat dasar
yaitu Timur Pramuka dan Utara Pramuka, kelompok kedua (2) hanya terdapat satu
lokasi yang mempunyai karakteristik substrat dasar sendiri yaitu Barat Panggang,
kelompok ketiga (3) terdapat 2 lokasi yang memiliki kemiripan karakteristik
substrat dasar yaitu Utara Belanda dan Timur Kayu Angin Bira, kelompok empat
(4) terdapat 2 lokasi yang memiliki kemiripan karakteristik substrat dasar yaitu
Selatan Belanda dan Barat Kayu Angin Bira, sedangkan untuk kelompok lima (5)
hanya terdapat satu lokasi yang mempunyai karakteristik substrat dasar sendiri
yaitu Selatan Panggang.
UPGMA
0.52
0.60
Index Similarity Bray Curtis
0.65
0.68
U
0.76
0.84
0.92
1
Timur Utara Barat Utara Timur Kayu Selatan Barat Kayu Selatan
Pramuka Pramuka Panggang Belanda Angin Bira Belanda Angin Bira Panggang
oligotrofik (miskin unsur hara) menjadi mesotrofik (unsur hara dan produktivitas
sedang) yang memungkinkan melimpahnya plankton sebagai sumber makanan
bagi ikan ekor kuning. Menurut Effendi (2003) mesotrofik adalah perairan yang
memiliki unsur hara dan produktivitas sedang (produktivitas primer dan biomasa
sedang). Peralihan sifat perairan pada daerah terumbu karang dapat ditunjukkan
dengan tingginya persentase DCA yaitu karang mati yang sudah ditumbuhi alga.
Ketertarikan ikan ekor kuning dengan kelompok coral encrusting (CE)
diduga disebabkan oleh ketersediaan ruang yang luas dalam kolom air. Pada saat
pergerakan plankton secara vertikal, maka ikan ekor kuning dengan kebiasaan
hidup berkelompok (schooling) memanfaatkan ruang untuk mendapatkan
plankton tersebut sebelum tertahan di substrat.
Keberadaan coral encrusting memudahkan ikan ekor kuning mendapatkan
makanan, karena banyak biota (plankton) baik yang tertahan atau yang menetap
pada karang tersebut semuanya dapat terlihat jelas atau tersingkap bagi ikan ekor
kuning.
Ikan ekor kuning dalam ukuran kecil (stadium juvenil) diduga mempunyai
keterkaitan dengan keberadaan life-form acropora digitate (ACD), coral
submassive (CS), dan karang lunak (SC). Hal ini disebabkan karena ikan dalam
stadium juvenil sangat membutuhkan tempat mencari makan, mengasuh dan juga
sebagai tempat untuk berlindung dari pemangsa.
Lokasi Utara Pramuka dan Selatan Panggang hanya memiliki ikan dengan
ukuran < 20 cm (ikan muda), diduga di lokasi tersebut sudah terjadi grow over
fishing yaitu ikan ditangkap sebelum mereka sempat tumbuh mencapai ukuran
dimana peningkatan lebih lanjut dari pertumbuhan akan mampu membuat
seimbang dengan penyusutan stok yang diakibatkan oleh mortalitas alami. Lokasi
Timur Pramuka dan Timur Kayu Angin hanya ditemukan ikan dengan ukuran >
20 cm, hal ini diduga di dua lokasi tersebut sudah terjadi recruitment over fishing
yaitu pengurangan melalui penangkapan terhadap suatu stok sedemikian rupa
sehingga jumlah stok induk tidak cukup banyak untuk memproduksi telur yang
kemudian menghasilkan rekrut terhadap stok yang sama (Widodo dan Suadi
2006).
59
penelitian ini adalah pengelolaan berbasis ekositem dengan titik penekanan pada
habitat dan sumberdaya ikan ekor kuning dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Rehabilitasi habiat dengan program transplantasi coral encrusting, acropora
digitate dan coral submassive yang menjadi ciri keberadaan ikan ekor kuning.
ikan ekor kuning di lokasi penelitian didominasi oleh ikan ukuran kecil atau ikan
muda artinya masi dalam masa asuh.
Lokasi yang hanya memiliki kelimpahan ikan ekor kuning dengan ukuran
kecil atau ikan muda di temukan di 6 lokasi yaitu Timur Pramuka, Utara Pramuka,
Barat Pramuka, Selatan Panggang, Utara Belanda dan Selatan Belanda,
sedangkan di dua lokasi lainnya yaitu di Timur Kayu Angin dan Barat Kayu
Angin dijumpai kelimpahan ikan ekor kuning dengan ukuran muda dan dewasa.
Peningkatan upaya penengkapan yang terjadi selama 4 tahun terkhir 2003-
2007 menunjukkan peningkatan hasil penangkapan sebesar 262 ton dari tahun
2003 sampai tahun 2007, namun hasil tangkapan didominasi ikan dengan ukuran
kecil (Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta 2007).
Apabila penambahan upaya penangkapan tidak dikontrol maka tidak menutup
kemungkinan akan mengarah pada hasil tangkap lebih (over fishing) sehingga
berakibat menurunnya populasi ikan dan mengancam kelestarian sumberdaya itu
sendiri.
Alat tangkap yang beroperasi di Kepulauan Seribu meliputi pancing,
payang, muroami, bubu dan jaring. Alat tangkap muroami jumlahnya cenderung
meningkat dari tahun 2002-2006 dan mengalami kenaikan tajam pada tahun 2006
yakni sebesar 641 unit (Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI
Jakarta 2007). Selain mempunyai potensi untuk merusak terumbu karang
penggunaan alat tangkat tersebut dengan ukuran mata jaring yang umum
digunakan adalah ukuran 1-2 cm yang mengakibatkan ikan-ikan muda ikut
tertangkap.
Kondisi tangkap lebih dan dengan alat tangkap yang menggunakan mata
jaring yang tidak selektif terjadai di perairan Kepulauan Seribu diduga kondisi
ikan ekor kuning termasuk ke dalam pengertian growth over fishing, sedangkan
untuk menduga terjadi recruitmen over fishing perlu dilakukan penelitian lanjutan.
KETERKAITAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING
(Caesio cuning) DENGAN KARAKTERISTIK HABITAT
PADA EKOSISTEM TERUMBU KARANG
DI KEPULAUAN SERIBU
RAIMUNDUS NGGAJO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
DAFTAR PUSTAKA
Acosta CA, Robertson DN. 2002. Diversity In Coral Reef Fish Communities; The
Effects Of Habitat Patchiness Revisited. Marine Ecology Programe 227:
hlm 87-96.
Aktani U. 2003. Fish communities as related to substrate characteristics in the
coral reefs of Kepulauan Seribu Marine National Park, Indonesia, five years
after stopping blast fishing practices. [Dissertation]. Germany: Bremen
University.
Allen G. 1999. Marine fishes of South-East Asia. Western Australian Museum.
Singapore : Periplus Editions (HK) Ltd. 292 hlm.
Alpert P. 2004. Managing The Wild: Should Stewards be Pilot?. Frontiers in
Ecology and The Environtment, Issue No. 9, Vol. 2 : 494-495.
Anderson K. 2002. A Study Of Coral Reef Fishes Along a Gradient of disturbance
in the Langkawi Archipelag, Malaysia. Undergaraduate thesis in biology,
Departemen of Animal Ecology, Uppsala University, Sweden.
Http://www.coralcay.org/scince/publications/philippines_m_ 2001.
Arteaga JP, Garcia R, Carlo S, Valle. 1997. Lenght-Weight Relationships of
Cuban Marine Fishes, NAGA Volume 2. No 1. Philipines: ICLARM. 38-
43.
Bak ROM, Elgershuizen HBW. 1992. Pattern of oil sediment Rejection of
corals.Mar. Biol 37: 105-113.
Baker VJ, Moran PJ, Mundy CN, Reichelt RE, Speare PJ. 1991. A guide to the
reef ecology database. The Crown-of-Thorns Study. Australia Institute of
marine Science. Townsville 8 .
Basmi J. 2000. Perkembangan komunitas fithoplankton sebagai indikasi
perubahan tingkat kesuburan kualitas perairan. [Tesis]. Bogor : Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bawole R. 1998. Distribusi Spasial Ikan Chaetodontidae dan Peranannya Sebagai
Indikator Kondisi Terumbu Karang di Perairan Teluk Ambon. [Tesis].
Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bell JD, Galzin R. 1984. Influence of Life Coral Cover on Coral Reef-Fish
Communities. Maarine Ecology Progress Series. 15;265-274. Gardens
Bank, Northwest Gulf of Mexico. Limnol. Oceanografi 28 : 228-240.
Bengen DG. 2002. Menuju Pengelolaan Pesisir Terpadu Berbasis DAS. Seminar
HUT LIPI, 25-26 September 2002. Jakarta.
Bishop JE. 1973. Limnology of small Malayan River Gomak. Dr. W. Junk V.B.
Publisher the Haque : 485 hlm.
64
Boyd CE, Kopler EL. 1979. Water quality management in pond fish culture.
Risearch and Development series No. 22. International Centre for
Aquaculture, Agriculture experiment Satation. Alabama: Auburn
University. 30 hlm.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Kepulauan Seribu dalam Angka 2007. Jakarta:
Badan Pusat Statistik. 167 hlm.
Connaughey M, Zottoli R. 1983. Introduction to Marine Biology. 4th edition. 2nd
ed. Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice Hall Inc. 720 hlm.
Cesar HSJ. 2000. Collected essays on the economics of coral reefs. CORDIO, ,
Sweden : Kalmar University. 244 hlm.
Chabanet P, Ralambondrainy H, Amanieu M, Faure G, Galzin R. 1997.
Relationships between coral reef substrata and fish. Coral Reefs 16 : 93-
102.
Clifford HT, Stephenson W. 1975. An introduction to numerical classification.
Academic Press.
Choat JH, Bellwood DR. 1991. Reef fishes: Their history and evolution, dalam
Sale P.F. (eds). The ecology of fishes on coral reefs: Academic Press Inc.
hlm 36-66.
Dahuri R, Jacub R, Sapta PG, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta : Pradnya Paramita. 305 hlm.
Dartnall AJ, Jones M. 1986. A Manual of Survey for Living, Resources in Coastal
Area. ASEAN-Australia Cooperative Program in Marine Science.
Townsville : Australia Institute of Marine Science.
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 1998. Perkiraan Musim Penangkapan Ikan.
Buletin Warta Mina No. 65, 66, 68,71,72 dan 73. Jakarta : Dirjen Perikanan.
Done TJ. 1981. Photogrammetry in coral ecology: a technique for the study of
change in coral communities. Proceedings of the Fourth International Coral
Reef Symposium, Manila. 2: 315-320.
[DP2K] Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. 2006.
Kepulauan Seribu dalam Angka Tahun 2006. Jakarta : DP2K Provinsi DKI
Jakarta.
[DP2K] Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. 2006.
Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan di Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta, Seminar/ Sarasehan Kelautan,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu. Jakarta : DP2K Provinsi DKI Jakarta.
[DP2K] Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. 2007.
Buku tahunan statistic perikanan tangkap DKI Jakarta Tahun 2006. Jakarta :
DP2K Prov DKI Jakarta. hlm 53-82.
65
Isnaini. 2008. Pola Rejim Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Ekor
Kuning di Kepulauan Seribu. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Jabbar AM. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Eko Kuning. [Tesis].
Bandung : Institut Teknologi Bandung. 61 hlm.
Jordan M, Merino M, Moreno O, Martin E. 1981. Community structure of coral
reefs in the Mexican Caribbean. Proc 4th Int Coral Reef Symposium 2: 303–
308.
Kagwade VN. 1967. Food and Feeding Habits of the Horsemackerel, Caranx
kalla (Cuv. & Val.). Indian Journal Fish 14: 85 – 96.
Kanwisher JW, Wainwright SA. 1967. Oxygen balance in Some Reef Corals.
Biol.Bull.Mar.Lab. : Woods Hole 133. 378-390.
Kartamihardja ES, Nastiti AS, Krismono, Purnomo K, Hardjamulia A. 1987.
Penelitian Limno-Biologis waduk Saguling pada Tahap Pra-Industri.
Buletin Penelitian Perikanan Darat Vol. 6 No. 3: 1-27.
Koesbiono. 1980. Biologi Laut. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor :
150 p.
Kohler KE, Gill SM. 2006. Coral Point Count with Excel extensions (CPCe): A
Visual Basic program for the determination of coral and substrate coverage
using random point count methodology. Computers and Geosciences, Vol.
32, No. 9: 1259-1269.
Kottelat M, Whitten AJ, Kartikasari SN, Wirjoatmodjo S. 1993. Freshwater fishes
of Western Indonesia and Sulawesi, Indonesia : Periplus editions (HK) Ltd.
293 hlm.
Krismono DW, Tjahjo H, Hardjamulia A, Nuroniah S, Umar Ch. 1987. Penelitian
Limno-Biologis waduk Saguling pada Tahap Post Industri. Bull. Penel.
Perikanan Darat 6 : 1-27.
Kuieter HR, Tonozuka T. 2004. Pictorial Guide to Indonesia Reef Fisheries Part I,
II, III. Bali Indonesia. PT. Dive&Dive’s
Lagler KF. 1961. Freshwater Fishery Biology. Second Edition. WMC Broun
Company : Dubuque. 421 hlm.
Lagler KF, Bardach JE, Miller RR, Passino DR. 1977. Ichtyology : John Wiley &
Sons USA . 506 hlm.
Lalamentik LTX. 1991. Karang dan terumbu Karang. Fakultas Perikanan
Universitas Sam Ratulangi. Manado : 66 hlm.
Marnane MJ et al. 2005. Laporan Teknis Survei 2003-2004 di Kepulauan
Karimunjawa, Jawa Tengah. Wildlife Conservation Society-Marine
Program Indonesia. Bogor Indonesia.
67
McClanahan TR. 1994. Kenyan Coral Reef Lagoon Fish; Effect of fishing
Substrate Complexity and Sea Urchins: Coral Reefs 13: 231-241.
McCook LJ. 1999. Macroalgae and phase shifts on coral reefs of the Great Barrier
Reef and other regions: Aperspective on scientific issues and management
consequences. Coral Reefs, Special Issue on Reef Management. 18:357-
367.
Macpherson E. 1981. Resource Partitioning in a Maditerranian demersal Fish
Community. Marine Ecology Program Series, 39 : 183-193.
[MENEG LH] Menteri Negara Lingkungan Hidup.2004. Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004. Tentang Baku Mutu Air
Laut.
Muller-Parker G, D’Elia CF. 1997. Interactions between corals and their
symbiotic algae, pp. 96-113. In: C. Birkeland [ed.], Life and Death of Coral
Reefs : Chapman & Hall NY
Murdiyanto B. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Jakarta:
COFISH Project.
Musa ASM, Bhuiyan AS. 2007. Fecundity on Mystus bleekeri (Day, 1877) from
the River Padma Near Rajshahi City. Turkish Journal of Fisheries and
Aquatic Sciences 7: 161-162.
Moberg F, Folke C. 1999. Ecological goods and services of coral reef ecosystems.
Ecol. Econ. 29 : 215–233.
Nelson JS. 2006. Fishes of the world. 4th edition : John Wiley and Sons, Inc. New
York. 601 p.
Nikijuluw V. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta: P3R
Nikolsky GV. 1963. The Ecology of Fishes. London and New York : Academic
Press. 352 hlm.
Nikolsky GV. 1969. FUh Population Dynamics. Oliver and Boyd : Edinburgh.
114 hlm.
Nybakken JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis (Terjemahan
Muhammad Eidman, Koesoebiono, Dietriech G. B., Malikusworo Hutomo
dan Sukristijono). Jakarta : PT. Gramedia.
Nybakken JW. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan
oleh : M. Eidman, D. G. Bengen, Malikusworo,dan Sukristiono. Marine
Biology and Ecologocal Approacch. Jakarta: PT. Gramedia. 480 hlm.
Parrish JD. 1980. Effect of Exploitation Patterns upon Reef and Lagoon
Communities, Proceedings of the Unesco Seminar on Marine and Coastal
Processes in The Pacific: Ecological Aspects of Coastal Zone Management,
Jakarta, Munro, J.L., Editor, Unesco Regional Office for Science and
Technology for South-East Asia : hlm 85-121.
68
Pauly D. 1998. Tropical fishes : patterns and propensities. Jurnal of Fish Biology
53 (Supplement A) : 1-17.
[Pemprov DKI Jakarta] Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
2000. Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 1986 Tahun 2000. Tentang
Wilayah Kepulauan Seribu. Jakarta : Pemprov DKI Jakarta.
Randall JE, Alen GR, Steene RC. 1990. Fishes of the Great Barrier Reef and
Coral Sea. Bathurst: Crawford House Press.
Ricker WE. 1975. Computation & interpretation of biological statistics of fish
population. Ottawa: Departemen of The Inviroment Fisheries & Marine
Service. Pasific Biological Station: 382 hlm.
Roa KS. 1974. Food Feeding Habits of Fishes from Trawl Catches in the Bay of
Bengal with observation on Diurnal Variation in the Nature of the Feed.
Indian J. Fish., 11: 277-314.
Roberts BC, Ormond RFG.1987. Habitat Complexxity and Coral Reef Fish
Difersity and Abundance on Red Sea Fringing Reef. Marine Ecology
Programe Ser 41: 1-8.
Rogers CS, Garrison G, Grober R, Hillis ZM, Franke MA. 1994. Coral Reef
Monitoring Manual for the Caribbean and Western Atlantic. Virgin Islands
National Park. St. John : USVI 00830.
Romimohtarto K, Juwana S. 2001. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan Tentang
Biota Laut. Jakarta: Djambatan. 540 hlm.
Royce WF. 1984. Introduction to the Practice of Fishery Science. New York, San
Francisco, London : Academic Press. 428 hlm.
Rounsefell GA, Everhart WH. 1962. Fishery Science its Methods and
Applications. New York : John Wiley & Sons. Inc. 444 hlm.
Sale PF. 1991. Ecology of Coral Reef Fishes. In : The Ecology of Fishes on Coral
Reefs. Ed. P.F. Sale. San Diego: Academi Press Inc. 754 hlm.
Sale PF. 2002. The Science We Need to Develop for More Effective
Management, in Coral Reef Fishes: Dynamics and Diversity in a Complex
Ecosystem, Sale, P.F., Editor. USA : Academic Press. hlm 361-376.
Siregar MO. 1994. Pengelolaan Lingkungan Pulau Wisata (Kasus Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu di Jakarta Utara), [Tesis]. Program Pasca
Sarjana, Universitas Indonesia: hal 81-83.
Smith KKM. 1996. Length-weight relationship in a diverse tropical freshwater
community. Malaysia. Journal of Fish Biology 49 : 731-734.
Subroto IH, Subani W. 1994. Relasi Panjang Berat, Faktor Kondisi dan Pertama
Kali Matang Gonad Ikan Ekor Kuning Dari Perairan Banggai Kepulauan.
Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 91. Jakarta : Balai Penelitian
Perikanan Laut Departemen Pertanian.
69
Wootton RJ. 1992. Fish Ecology. Glasgow and London: Blackie and Son Ltd.
212 hlm.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Kondisi ekosistem terumbu karang mempunyai penutupan lifeform 32.27%.
2. Kondisi sumber daya ikan ekor kuning diduga telah terjadi growth over
fishing. Pola pertumbuhan bersifat Alometrik dan didominasi oleh ikan yang
belum matang (mature) atau belum dewasa (dalam kondisi pertumbuhan).
3. Keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning dengan karakteristik habitat
dicirikan dengan keberadaan coral encrusting (CE), acropora digitate (ACD),
coral submassive (CS), dead coral with algae (DCA), karang lunak (SC) dan
pasir (S).
4. Bentuk pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ikan ekor kuning di
perairan Kepulauan Seribu secara terpadu dan berkelanjutan yang diusulkan
dalam penelitian ini adalah pengelolaan berbasis ekositem dengan titik
penekanan pada habitat dan sumberdaya ikan ekor kuning antara lain: (1)
rehabilitasi habiat dengan program transplantasi coral encrusting, acropora
digitate dan coral submassive yang menjadi ciri keberadaan ikan ekor kuning,
(2) pengaturan upaya penangkapan dan ukuran mata jaring
5.2 Saran
Melakukan kajian lebih lanjut tentang kondisi ikan ekor kuning pada musim
yang berbeda serta beberapa aspek biologi ikan ekor kuning lainnya secara
komprehensif seperti reproduksi dan siklus hidup dan pola migrasi ikan ekor
kuning.
LAMPIRAN
71
Lampiran 4 Kelimpahan ikan ekor kuning, ikan karang lainnya dan jumlah
spesies ikan karang
Stasiun 1 (Timur Pramuka)
Tanggal 19 mei 2009
Waktu 08.30 WIB
Depth 7m
substrat pasir
Zona Slope
Lampiran 4 (lanjutan)
Lampiran 4 (lanjutan)
Lampiran 4 (lanjutan)
Lampiran 4 (lanjutan)
Lampiran 4 (lanjutan)
Stasiun 7 (timur kayu angin)
Tanggal 22 Mei 2009
Waktu 10.30 WIB
Depth 3m
subsrat karang
Zona Tubir
Lampiran 4 (lanjutan)
Stasiun 8 (barat kayu angin)
Tanggal 22 Mei 2009
Waktu 13.30 WIB
Depth 10 m
subsrat karang
Zona Slope
Lampiran 5 Panjang, berat, jenis kelamin dan TKG ikan ekor kuning
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics
Multiple R 0.957009583
R Square 0.915867342
Adjusted R Square 0.914114578
Standard Error 22.50422941
Observations 50
ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 1 264629.0356 264629.0356 522.5275593 1.89016E-27
Residual 48 24309.13639 506.4403416
Total 49 288938.172
Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0%
Intercept -164.0068582 11.92594961 -13.75210055 2.86112E-18 -187.9855866 -140.0281298 -187.9855866 -140.0281298
X Variable 1 12.44798911 0.544558573 22.85886172 1.89016E-27 11.35308074 13.54289749 11.35308074 13.54289749
83
Lampiran 7 Jumlah individu dan persentase jenis makanan dalam isi lambung
ikan ekor kuning
Jumlah individu jenis ke i (n)
Sampel Calanus
Sagitella Parachymula Lauderia Thallassiothri Calanus Iasis
ikan Nitszchia Coscinodiscus Copepodite Brachionus Mysis Heigolandicu Clymnosera
Kowalewskii larva Borealis x Longissima Minor Sonaria
s
1 19 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 34 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
5 17 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 34 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 26 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 32 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
11 18 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
12 60 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
14 28 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
17 38 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
18 28 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
19 26 6 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
20 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
21 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
22 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
23 41 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
24 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
25 28 3 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
26 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
27 38 2 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
28 14 7 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0
29 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
30 19 5 4 1 0 0 0 3 0 0 0 0 0
31 42 7 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
32 34 5 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
33 36 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
34 22 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
35 4 10 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
36 14 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
37 22 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
38 94 33 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
39 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
40 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
41 18 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
42 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
43 26 39 3 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
44 42 12 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
45 80 10 1 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0
46 15 24 14 1 2 2 1 0 0 0 0 0 0
47 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
48 91 1 0 0 0 0 0 30 34 1 8 0 0
49 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
50 63 27 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 1103 263 36 3 2 2 1 46 34 1 8 1 1
Rata-rata 22.06 5.26 0.72 0.06 0.04 0.04 0.02 0.92 0.68 0.02 0.16 0.02 0.02
Persentase 73.48 17.52 2.40 0.20 0.13 0.13 0.07 3.06 2.27 0.07 0.53 0.07 0.07
84
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics
Multiple R 0.851919371
R Square 0.725766614
Adjusted R Square 0.68006105
Standard Error 40.20526059
Observations 8
ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 1 25668.09713 25668.1 15.87917 0.007242874
Residual 6 9698.777874 1616.463
Total 7 35366.875
Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0%
Intercept -198.1405172 68.00761004 -2.91351 0.026857 -364.5491439 -31.7318906 -364.5491439 -31.73189059
X Variable 1 0.096020115 0.024096184 3.984868 0.007243 0.037058878 0.154981352 0.037058878 0.154981352
Lampiran 9 Ciri dari masing-masing kelompok berdasarkan klaster habitat terhadap substrat dasar
Keterangan :