ID Production of White Shrimp Litopenaeus V
ID Production of White Shrimp Litopenaeus V
ID Production of White Shrimp Litopenaeus V
Sophia N.M. Fendjalang1*, Tatag Budiardi2, Eddy Supriyono2, dan Irzal Effendi23
1
Sekolah Pascasarjana, P.S. Ilmu Akuakultur, IPB, Bogor
2
Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB, Bogor
3
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut, IPB, Bogor
*E-mail: [email protected]
ABSTRACT
The aim of this study was to analyze the survival rate, growth, and haemolymp glucose level of white
shrimp as a physiological responses at floating cage cultured on different stock den-sity, in Seribu
Islands Strait. White shrimp used in this study contained approximate weight of 1.0±0.06 g and length
of 5.0±0.03 cm from Nusa Karamba Hatchery in Seribu Island. White shrimp was maintained in 90
days, feed with ±36.28 % protein content 4 times each day with feeding rate (FR) of 7%. Water
qualities and shrimp growth measurements was conducted every 10 days. Haemolymph glucose sam-
pling was performed in the beginning and at the end of the experiment. Result showed that treatment
with stock densituy of 250 shrimp/m2 had a better survival rate of 30.33% and feed conversion ratio of
1.13 than other treatments. Phy-siological response in the form of glucose hemolim also showed a
better response in the 250 ind./m2 stock density of 41.87 mg/dl indicating that the white shrimp did not
experience a sig-nificant stress.
Keywords: Litopenaeus vannamei, sea floating cages, stock density, strait waters, Seribu Islands.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan kadar glukosa he-
molim sebagai respons fisiologi udang vaname pada pemeliharaan dengan sistem teknologi keramba
jaring apung (KJA) di laut dengan padat tebar yang berbeda pada Selat Ke-pulauan Seribu. Udang va-
name yang digunakan memiliki bobot rata-rata 1,0±0,06 g dan pan-jang 5,0±0,03 cm yang berasal dari
Hatchery Nusa Karamba di Kepulauan Seribu. Udang vaname dipelihara selama 90 hari, diberi pakan
dengan kadar protein ±36,28 % sebanyak empat kali sehari dengan FR 7%. Pengukuran kualitas air
dan sampling pertumbuhan udang dilaku-kan setiap 10 hari, pengambilan sampel glukosa hemolim di-
lakukan pada awal dan akhir pe-nelitian. Hasil analisis kinerja produksi menunjukkan bahwa per-
lakuan padat tebar 250 ekor/ m2 memiliki kelangsungan hidup dan rasio konversi pakan yang lebih
baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya, yaitu masing-masing sebesar 30,33% dan 1,13. Parame-
ter respon fisiologis berupa glukosa hemolim menunjukkan respons yang lebih baik pada padat tebar
250 ekor/m2 yaitu sebesar 41,87 mg/dl, dimana nilai ini menunjukkan bahwa udang vamane tidak
mengalami stres.
Kata kunci: Litopenaeus vannamei, KJA laut, padat tebar, perairan selat, kepulauan seribu.
kungan yang rendah, dan waktu pemeliha- ring apung (KJA) dapat digunakan untuk me-
raan lebih pendek yakni sekitar 90-100 hari ningkatkan produktivitas perairan umum. Se-
per siklus (Hudi dan Shahab 2005). Udang lama ini pemanfaatan laut sebagai lokasi bu-
vaname yang dipelihara pada air laut memi- didaya dengan menggunakan KJA masih ter-
liki kandungan protein yang tinggi, rendah batas untuk budidaya ikan. Pemanfaatan KJA
kadar air sehingga membuat tekstur daging di laut sebagai lokasi budidaya udang masih
udang lebih padat, dan ekstrak dari udang jarang dilakukan dan masih dalam tahap
yang dibudidaya pada air laut memiliki kan- percobaan. Zarain-Herzberg et al. (2006) me-
dungan umami yang tinggi membuat rasa lakukan penelitian untuk mengevaluasi padat
udang menjadi lebih gurih, memiliki rasa tebar dan penggunaan KJA sebagai wadah
yang manis dan tidak mengandung off-flavor budidaya udang vaname pada perairan es-
(Liang et al., 2008). Selain rasa, kandungan tuari, tahap pendederan menggunakan padat
nutrien udang ini lebih baik dibandingkan tebar 950-1600 ekor/m2, tahap pembesaran
udang air tawar atau payau serta memiliki pa- menggunakan 45 dan 180 ekor/m2. Penelitian
sar yang bagus, baik domestik maupun eks- yang sama juga terus dilakukan dengan me-
por dengan harga dua kali lipat dibandingkan ningkatkan padat tebar menjadi 200-300
udang air tawar atau payau (Stickney, 2000) ekor/m2 dan 250-580 ekor/m2 (Zarain-Herz-
Pemanfaatan wilayah laut sebagai lo- berg et al., 2010).
kasi budidaya perlu ditingkatkan, karena se- Budidaya udang vaname dengan
cara langsung akan mengurangi beban pe- menggunakan KJA memiliki beberapa keun-
manfaatan lahan darat dan kawasan mang- tungan dibandingkan dengan budidaya udang
rove dan pesisir sebagai lokasi budidaya. Po- di tambak. Keuntungan tersebut antara lain
tensi laut Indonesia seluas 12.545.072 ha pergantian air yang terjadi terus menerus, la-
baru dimanfaatkan hanya sebesar 178.435 ha han produksi yang luas, limbah padatan dan
(KKP, 2014). Lokasi untuk membudidayakan tersuspensi tidak terakumulasi di sekitar ka-
udang di laut bisa mengacu kepada kriteria ramba, rendahnya rasio konversi pakan kare-
untuk marikultur, yakni perairan laut terlin- na adanya pakan alami yang dapat membantu
dung berupa teluk, selat dan perairan terum- memenuhi kebutuhan nutrisi udang, serta ti-
bu karang (gosong) (Effendi et al., 2016). Se- dak membutuhkan tambahan energi untuk
lat adalah celah air yang relatif sempit yang pergantian air dan aerasi (Zarain-Herzberg et
menghubungkan dua badan perairan yang le- al., 2010).
bih besar dan merupakan daerah perairan Upaya untuk membudidayakan udang
yang biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat di laut dengan KJA merupakan salah satu so-
untuk berbagai kegiatan perikanan termasuk lusi untuk mengurangi beban pemanfaatan
budidaya terutama pada daerah yang dido- wilayah darat dan pesisir. Namun demikian,
minasi oleh pulau-pulau kecil. Pada umum- upaya ini akan dihadapkan pada masalah
nya karakteristik perairan selat yaitu memili- stres yang mempengaruhi kelangsungan hi-
ki sirkulasi dan arus air yang relatif lebih dup dan pertumbuhan. Oleh karena itu, pe-
kuat akibat penyempitan masa air dengan nelitian budidaya udang vaname dengan KJA
kandungan oksigen terlarut tinggi (Effendi et di laut terutama pada perairan selat perlu di-
al., 2016). Namun sirkulasi perairan dan kon- lakukan untuk menentukan padat tebar opti-
disi fisika-kimia pada perairan selat akan se- mum pada budidaya udang vaname, serta pe-
dikit berbeda untuk setiap lokasi bergantung ngaruhnya terhadap kelangsungan hidup dan
pada topografi perairan selat itu berada. pertumbuhan udang vaname pada perairan
Pemanfaatan wilayah laut terutama selat sebagai lokasi budidaya melalui kajian
perairan selat sebagai lokasi budidaya udang fisiologis.
vaname dengan menggunakan karamba ja-
202 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt81
Fendjalang et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 1, Juni 2016 203
Produksi Udang Vaname Litopenaeus Vannamei . . .
Jaring anco digunakan sebagai fee- lak, koefisien keragaman dan rasio konversi
ding tray berbentuk bulat terbuat dari pipa pakan. Sebagai data pendukung dilakukan
PE dengan diameter 1,2 m dan dilapisi hapa pengukuran harian terhadap kualitas air yang
dengan ukuran mata jaring 2 mm. Jaring meliputi parameter suhu, kecepatan arus, pH,
anco yang digunakan sebanyak 1 buah untuk salinitas, dan oksigen terlarut. Parameter kua-
masing-masing jaring. litas air lainnya seperti amonia, nitrat, dan
nitrit diukur pada awal dan akhir masa pe-
2.4. Penebaran Benih meliharaan. Udang yang diukur panjang dan
Udang vaname yang digunakan me- bobotnya diperoleh dari sampel masing-
miliki bobot rata-rata 1,0±0,06 g dan panjang masing ulangan dan perlakuan sebanyak 50
5,0±0,03 cm yang berasal dari Hatchery ekor.
Nusa Karamba di Kepulauan Seribu. Benih Derajat kelangsungan hidup (SR) ada-
yang digunakan sebelumnya telah didederkan lah perbandingan jumlah udang pada awal
dengan menggunakan teknologi bioflok sela- pemeliharaan dengan jumlah udang yang hi-
ma 30 hari. Udang vaname ditebar pada KJA dup pada akhir masa pemeliharaan. Perhitu-
sebanyak 4.000 ekor untuk perlakuan 250 ngan derajat kelangsungan hidup dilakukan
ekor/m2, 8.000 ekor untuk perlakuan 500 di akhir perlakuan dengan rumus berikut:
ekor/m2 dan 12.000 ekor untuk perlakuan
750 ekor/m2.
………………… (1)
2.5. Pemeliharaan
Pemeliharaan pada penelitian ini dila-
kukan selama 90 hari. Selama pemeliharaan dimana: SR=derajat kelangsungan hidup (%),
Nt = jumlah udang akhir (ekor), N0=jumlah
dilakukan pengukuran kualitas air, pemberian
pakan, pengambilan sampel udang, serta per- udang awal (ekor).
Laju pertumbuhan biomassa adalah
gantian jaring anco dan jaring karamba. Ja-
ring anco diganti setiap 10 hari sekali, se- perubahan biomassa rata-rata dari awal sam-
dangkan untuk jaring karamba diganti sekali pai akhir pemeliharaan. Laju pertumbuhan
yaitu pada hari ke 60. Pakan yang diberikan biomassa dihitung menggunakan rumus:
berupa pelet tenggelam dengan kandungan
protein 36,28%. Pakan diberikan dengan cara
meletakkan pada jaring anco yang kemudian .………………… (2)
anco diturunkan secara perlahan dan diletak-
kan di bagian tengah jaring hingga mendekati dimana: LPB=laju pertumbuhan biomassa
dasar jaring dengan feeding rate 7% biomas- (g/hari), Bt=biomassa akhir (g),B0= biomassa
sa per hari. Frekuensi pemberian pakan seba- awal (g), t=lama pemeliharaan (hari).
nyak 4 kali sehari pada pukul 06.00, 11.00, Laju pertumbuhan bobot mutlak ada-
16.00 dan 21.00 WIB. lah perubahan bobot rata-rata individu dari
awal sampai akhir pemeliharaan. Pertumbu-
2.6. Pengambilan dan Pengumpulan Data han bobot mutlak dihitung menggunakan
Data yang dikumpulkan selama pene- rumus:
litian meliputi panjang dan bobot udang, se-
dangkan untuk data jumlah udang dilakukan
pada awal dan akhir masa pemeliharaan. Ke- .…………….. (3)
mudian data diolah untuk mendapatkan nilai
berbagai parameter produksi yang meliputi: dimana: LPBm=laju pertumbuhan bobot
derajat kelangsungan hidup, laju pertum- mutlak (g/hari), Wt=bobot rata-rata pada
buhan spesifik, laju pertumbuhan bobot mut- akhir pemeliharaan (g), W0=bobot rata-rata
204 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt81
Fendjalang et al.
pada awal pemeliharaan (g), t=waktu peme- nilai absor-bansinya dikonversi menjadi
liharaan (hari). kadar glukosa dalam mg/100 mL. kadar
Koefisien Keragaman merupakan Va- glukosa hemolim dihitung berdasarkan persa-
riasi ukuran dalam penelitian ini berupa va- maan yang dikemukakan oleh Wedemeyer
riasi bobot dinyatakan dalam koefisien kera- dan Yatsuke (1997) yaitu:
gaman (KK). KK dihitung dengan meng-
gunakan rumus:
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 1, Juni 2016 205
Produksi Udang Vaname Litopenaeus Vannamei . . .
Tabel 2. Kisaran kualitas air selama pemeliharaan dengan padat tebar 250 ekor/m2, 500
ekor/m2 dan 750 ekor/m2.
Perlakuan (ekor/m2)
Parameter
250 500 750
Arus (m/s) 0,14-0,56 0,14-0,56 0,14-0,56
Suhu (ºC) 28,3-29,7 28,3-29,8 28,3-29,4
pH 8,6-9,3 8,6-9,3 8,6-9,3
Salinitas (ppt) 32-34 32-34 32-34
DO (mg/L) 5,2-8,1 4,1-8,5 5,1-8,1
TAN (mg/L) 0,000-0,267 0,000-0,245 0,000-0,565
Nitrit (mg/L) 0,000-0,019 0,000-0,014 0,000-0,016
Pada umumnya budidaya udang dila- mempengaruhi tingkah laku dan pertumbu-
kukan pada perairan dengan arus yang relatif han organisme budidaya (Beveridge, 2004).
lebih tenang seperti pada perairan teluk Namun kelemahan dari keberadaan arus yang
(Zarain-Herzberg et al., 2006; Solanski et al., cukup kuat pada KJA yaitu mempengaruhi
2012) dan pada laguna di perairan estuari keberadaan pakan dalam jaring. Menurut
(Peixoto et al., 2013), namun pemilihan lo- Stickney (2000), pakan yang diberikan kepa-
kasi selat antara perairan Pulau Pramuka, Pu- da udang vaname rentan terbawa arus keluar
lau Panggang dan Pulau Karya dilakukan de- jaring sebelum dimanfaatkan oleh udang.
ngan pertimbangan bahwa perairan selat me- Menurut Sachoemar (2008) kecepatan
rupakan daerah perairan yang biasanya di- arus di Pulau Pramuka, Pulau Panggang dan
manfaatkan oleh nelayan untuk berbagai ke- Pulau Karya pada waktu pasang purnama se-
giatan perikanan termasuk kegiatan budi- besar 5-49 cm/detik sedangkan Kecepatan
daya, terutama pada daerah-daerah yang di- arus pada lokasi pemeliharaan udang vaname
dominasi oleh pulau-pulau kecil. berkisar antara 0,14-0,56 m/s (Tabel 2). Se-
Pada perairan pesisir seperti selat, te- cara umum kecepatan arus yang optimal un-
luk dan daerah pulau-pulau kecil, proses flu- tuk budidaya ikan dengan menggunakan KJA
shing oleh arus terjadi secara harian dan ber- berkisar antara 0,1-0,6 m/s (Beveridge 2004)
langsung cepat (Beveridge 2004). Pergantian sedangkan kecepatan arus untuk budidaya
air akibat adanya flushing dalam karamba ikan menurut SNI (2014) yaitu 0,2-0,25 m/s.
berperan dalam mengurangi kekeruhan air Kecepatan arus pada lokasi penelitian
dan kandungan nitrogen terlarut (Price et al., lebih tinggi dari kriteria kecepatan arus untuk
2015), sirkulasi air, pembawa bahan terlarut bu-didaya ikan. Kecepatan arus yang tinggi
dan tersuspensi, jumlah kelarutan oksigen, ini mempengaruhi kelangsungan hidup dan
membawa atau membilas sisa pakan dan daya tahan tubuh udang terhadap tekanan
206 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt81
Fendjalang et al.
dari lingkungan, dan menyebabkan udang ke- bahwa udang vaname memiliki kemampuan
lelahan sehingga menjadi lebih sensitif ter- toleransi yang cukup besar terhadap kadar sa-
hadap perubahan lingkungan walaupun arus linitas karena merupakan spesies eurihaline
dan gelombang telah sedikit diredam oleh dan dapat bertahan pada salinitas dengan ki-
terumbu karang yang berjarak sekitar ± 60 m saran 0-50 ppt dan kisaran suhu 22-32°C.
dari arah timur pada lokasi penempatan KJA. Menurut Hernandez et al. (2006), juvenil
Hal ini sesuai dengan Zhang et al. (2011) L.vannamei memiliki kisaran salinitas 15,7-
yang mengemukakan bahwa peningkatan 31,1 ppt.
kecepatan arus dari 0,054 m/s menjadi 0,114 Oksigen merupakan salah satu faktor
m/s akan menurunkan kadar glukosa dan pembatas terhadap kehidupan dalam air, se-
protein hemolim udang vaname, selain itu hingga bila ketersediaannya dalam air tidak
perubahan kecepatan arus, suhu dan salinitas mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka
juga akan membatasi kemampuan renang segala aktivitas biota akan terhambat. Keb-
udang. utuhan oksigen pada udang vaname menurut
Suhu merupakan faktor lingkungan Zhang et al. (2006) dipengaruhi oleh bobot
yang penting untuk kegiatan budidaya udang tubuh, suhu, salinitas, pH, dan pakan karena
karena mempengaruhi metabolisme, pertum- memiliki efek yang signifikan terhadap level
buhan, konsumsi oksigen, siklus molting, DO letal pada udang vaname. Kandungan
respons imun dan kelangsungan hidup (Fer- oksigen terlarut (DO) selama penelitian ya-
reira et al., 2011). Suhu air dalam KJA sela- itu 4,1-8,5 mg/L termasuk dalam kisaran op-
ma penelitian berkisar antara 28,3-29,8°C timal untuk pertumbuhan udang vaname se-
(Tabel 2). Kondisi tersebut masih dalam ki- suai dengan pernyataan Ferreira et al. (2011),
saran normal untuk budidaya udang vaname bahwa kadar DO yang diperlukan dalam
seperti yang dinyatakan oleh Hernandez et al. pertumbuhan udang dalam kegiatan budidaya
(2006) bahwa udang vaname dapat dibudi- antara 4,0-6,0 mg/L. Selanjutnya menurut
dayakan dari air tawar hingga air laut dengan Ferreira et al. (2011), pertumbuhan udang
kisaran suhu antara 27-30°C. akan terhambat dan dilanjutkan dengan ke-
Nilai pH air laut selama pemeliharaan matian jika kadar DO dalam perairan di-
udang vaname berkisar antara 8,6-9,3 (Tabel bawah 2,0 mg/L.
2). Menurut Ferreira et al. (2011) pertumbu- Pada budidaya intensif, amonia meru-
han optimal udang yang dibudidaya di laut pakan bahan buangan yang bersifat beracun
dengan kisaran pH 6-9. Hasil pengukuran ter- yang dihasilkan oleh biota yang dibudidaya
sebut menunjukkan bahwa nilai optimum pH (Lin dan Chen 2003). Boyd (1982) menge-
pada lokasi pemeliharaan sedikit lebih tinggi mukakan bahwa amonia dapat meningkatkan
dari kisaran pH optimal bagi pertumbuhan penggunaan oksigen pada jaringan, merusak
udang. insang, dan menurunkan kemampuan darah
Siklus hidup secara alami dari udang dalam mengangkut oksigen. Kandungan
vaname terjadi di laut dan estuari. Hal ini amonia dalam suatu perairan dipengaruhi
yang menyebabkan udang vaname mampu oleh pH dan suhu, yaitu semakin tinggi nilai
beradaptasi pada kisaran salinitas yang lebar. pH maka nilai amonia juga akan semakin
Salinitas air laut mempengaruhi tekanan os- tinggi. Konsentrasi amonia yang tinggi akan
motik air yang mempengaruhi kemampuan berdampak pada pertumbuhan udang vana-
osmoregulasi dari udang vaname. Nilai Sali- me, molting, dan konsumsi oksigen. Kandu-
nitas air laut pada lokasi pemeliharaan udang ngan TAN air laut selama pemeliharaan
vaname dalam KJA berkisar antara 32-34 ppt udang vaname berkisar 0,000-0,565 mg/L
masih termasuk dalam kisaran toleransi dan kandungan amoniak (NH3) berkisar dari
udang vaname untuk hidup dan tumbuh. Hal 0,000-0,102 mg/L. Nilai ini masih dalam ki-
ini sesuai dengan pernyataan Pillay (1990), saran kadar amonia yang mampu diterima
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 1, Juni 2016 207
Produksi Udang Vaname Litopenaeus Vannamei . . .
oleh udang, karena kadar maksimumnya ada- dan konsentrasi laktat dalam mobilisasi ca-
lah sebesar 0,2 mg/L (Ferreira et al., 2011). dangan glikogen intraselular, metabolisme
Nitrit merupakan hasil oksidasi dari karbohidrat dan lipid, proses reproduksi, os-
ammonia dengan bantuan bakteri Nitriso- moregulasi dan molting (Stentiford et al.,
monas. Menurut Ferreira et al. (2011) nilai 2001; Elwood et al., 2009; Aparicio-Simon
nitrit maksimum yang disarankan untuk pe- et al., 2010; Wanlem et al., 2011).
meliharaan udang vaname, yaitu pada kadar Kadar glukosa diatur di dalam tubuh
0,2 mg/L. Nilai nitrit selama pemeliharaan sebagai umpan balik negatif untuk memper-
berkisar antara 0,000-0,019 (Tabel 2) se- tahankan homeostasis di dalam tubuh. Ketika
hingga masih di bawah kisaran maksimum tubuh membutuhkan energi yang lebih besar
bagi pemeliharaan udang vaname. untuk mempertahankan homeostasis tubuh
terhadap perubahan eksternal akan menye-
3.2. Fisiologi babkan penurunan kadar glukosa dalam he-
Stres digunakan sebagai indikator ke- molim, maka hepatopankreas akan melepas-
sehatan karena mempengaruhi proses fisio- kan CHH yang kemudian akan diubah
logi dan daya tahan tubuh terhadap penyakit. menjadi glukosa sebagai hasil dari proses
Respons stres terjadi ketika udang berada gliko-genolisis untuk meningkatkan glukosa
pada kondisi lingkungan yang mengalami hemo-lim (Hastuti et al., 2004 ) (Gambar 2).
perubahan di luar batas kemampuan toleransi Kon-disi stres pada krustasea ditunjukkan
fisik. Menurut Chung et al. (2010), sama se- dengan peningkatan kadar glukosa hemolim
perti hewan pada umumnya, krustasea meng- tertinggi, seperti pada Helix pomatia menca-
hadapi kondisi lingkungan yang mem- pai14,41 mg/dl (Bislimi et al., 2013), 13,20
pengaruhi kondisi fisiologi dan menyebabkan mg/dl pada Astacus leptodactylus (Gulec and
stres dengan memanfaatkan energi dari pro- Aksu 2012), 80 mg/dl pada Penaeus mono-
ses glikolisis yang diatur oleh crustacean hy- don (Rustam et al., 2013) dan 45 mg/dl pada
perglycemic hormone (CHH). CHH ber- udang Litopenaeus vannamei (Aparicio-Si-
fungsi meningkatkan kadar glukosa hemolim mon et al., 2010).
+ GTP cGMP
CHH
Fosforilasi Protein
Organ X/Kelenjar sinus
(Jaringan saraf) Glycogen -
+
Fosforilasi Glikogen Sintesis Glikogen
+ - Glukosa-6-fosfat
? +
Pyruvate
Glukosa Glukosa
Laktat Laktat
Jaringan
Gambar 2. Mekanisme kadar CHH darah oleh glukosa dan laktat dan efek fisiologisnya.
+ stimulasi, - inhibitor (Santos and Keller, 1993).
208 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt81
Fendjalang et al.
Pada awal penelitian, kadar glukosa suatu kegiatan budidaya. Berdasarkan Tabel
hemolim secara keseluruhan mempunyai ke- 3, terlihat bahwa tingkat kelangsungan hidup
cenderungan lebih tinggi yaitu berkisar pada udang vaname pada perlakuan padat tebar
82,88±1,54‒86,91±5,46 mg/dl. Hal ini dise- yaitu dengan pa-dat tebar 250 ekor/m2,
babkan udang vaname mengalami stres pada berbeda nyata dengan perlakuan 500 ekor/m2
saat pendederan dengan padat tebar tinggi dan 750 ekor/m2 (p<0,05), dimana padat
dan handling awal untuk ditebar pada KJA tebar 250 ekor/m2 memiliki kelangsungan
pembesaran. Stres terjadi karena adanya pe- hidup lebih tinggi dibandingkan padat tebar
rubahan kondisi lingkungan yang baru, se- lainnya. Jika dibandingkan dengan pembe-
perti perubahan suhu, dan perpindahan. Hal saran udang vaname padat tebar 200-300
ini sesuai dengan Rustam (2013) yang me- ekor/m2 pada KJA dengan luas 9 m2 oleh
nyatakan bahwa stres dapat disebabkan oleh Zarain-Herzberg et al. (2006) yang mengha-
lingkungan, pakan dan budidaya dengan pa- silkan kelangsungan hidup 77-81%, dan
dat tebar tinggi. Menurut Hastuti et al. (2003) budidaya udang vaname di tambak intensif
stres menyebabkan peningkatan kadar glu- dengan SR 80-85% (Ditjen Budidaya, 2016),
kosa hemolim (hiperglisemia). Hasil peme- kelangsungan hidup pada penelitian ini
liharaan udang selama 90 hari pada Gambar tergolong rendah. Hal ini diduga karena
3 menunjukkan kadar glukosa yang berbeda padat tebar yang tinggi menyebabkan kompe-
nyata antar perlakuan 250 ekor/m2 dan dua tisi dalam pemanfaatan ruang dan pakan
perlakuan lainnya. Padat tebar 250 ekor/m2 sehingga menyebabkan stres, yang kemudian
menunjukkan kadar glukosa mengalami pe- mempengaruhi daya tahan tubuh dan kelang-
nurunan yaitu sebesar 36,85±4,67 mg/dl di- sungan hidup. Kondisi perairan yang berarus
bandingkan dengan padat tebar 500 ekor/m2 cukup kuat turut mempengaruhi pemanfaatan
dan 750 ekor/m2 yang masing-masing sebe- energi untuk bertahan terhadap kondisi
sar 70,19±4,24 mg/dl dan 84,99±9,43 mg/dl. lingkungan. Menurut Rustam (2013), glukosa
Penurunan kadar glukosa pada padat tebar hemolim udang sebagai respons stres akan
250 ekor/m2 disebabkan udang vaname telah mengalami fluktuasi saat terjadi gangguan
beradaptasi dengan lingkungan yang baru eksternal dan internal seperti kondisi ling-
dan selama masa pemeliharaan udang vana- kungan yang ekstrim, pemeliharaan dengan
me dapat memanfaatkan ruang dan pakan se- padat tebar tinggi maupun infeksi penyakit.
cara maksimal dibandingkan dengan padat Udang yang tidak mampu bertahan akan
tebar yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil ter- menjadi sensitif dan lemah sehingga mudah
lihat bahwa semakin tinggi padat tebar, kadar mati menjadi mangsa dari udang yang lebih
glukosa hemolim tubuh semakin tinggi selain besar dan sehat. Pada padat tebar tinggi
itu perbedaan kadar glukosa hemolim me- dengan kondisi udang yang lemah menye-
nunjukkan bahwa tingginya kompetisi dalam babkan meningkatnya kanibalisme. Hal ini
pemanfaatan ruang dan pakan serta pengaruh sesuai dengan Pascual (1989) yang menyata-
lingkungan sehingga menyebabkan udang kan bahwa udang termasuk golongan omni-
dengan padat tebar 500 ekor/m2 dan 750 vora namun akan menjadi kanibal yaitu
ekor/m2 menjadi lebih stres. memangsa sesama jenis bila kualitas pakan
rendah dan tidak mencukupi jumlahnya.
3.3. Kinerja Produksi Walaupun pada penelitian sebelumnya belum
Kelangsungan hidup adalah parame- ada yang menyimpulkan bahwa padat tebar
ter utama dalam kegiatan budidaya untuk mempengaruhi kelangsungan hidup udang,
memproduksi suatu komoditas dan merupa- namun dalam penelitian ini ditemukan bahwa
kan penentu keberhasilan produksi tersebut. semakin tinggi padat tebar, kelangsungan
Nilai kelangsungan hidup yang tinggi hidup udang vaname yang dipelihara dengan
menunjukkan keberhasilan produksi pada menggunakan KJA semakin rendah.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 1, Juni 2016 209
Produksi Udang Vaname Litopenaeus Vannamei . . .
Gambar 3. Glukosa hemolim udang vaname (Litopenaeus vannamei) dengan padat tebar 250
ekor/m2, 500 ekor/m2 dan 750 ekor/m2. Huruf-huruf diatas tiap balok data
menunjukkan perbandingan nilai tengah pada tiap perlakuan berdasarkan uji beda
nyata terkecil pada taraf nyata 0,05.
Tabel 3. Parameter produksi udang vaname (Litopenaeus vanammei) ada padat tebar ber-
beda selama 90 hari pemeliharaan.
Perlakuan ekor/m2
Parameter
250 500 750
a b
Kelangsungan Hidup (%) 30,33±5,50 20,00±6,24 13,33±3,05b
Laju Pertumbuhan Biomassa (g/hari) 2,13±0,01 a 2,20±0,04 a 2,01±0,09 a
Laju Pertumbuhan Bobot Mutlak (g/hari) 0,11±0,05 a 0,12±0,01 a 0,11±0,02 a
Rasio Konversi Pakan 1,13±0,10a 2,21±0,22b 3,45±0,07c
Koefisien Keragaman (%) 4,68±0,01 a 6,91±0,04 a 5,04±0,70 a
Produksi (kg/m2) 1,01±0,61a 1,40±1,42b 1,33±2,14b
*Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%
(uji selang Duncan).
210 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt81
Fendjalang et al.
sar 0,18 g/hari. Laju pertumbuhan tersebut posisi dan jumlah anco pada jaring harus di-
jika dibandingkan dengan budidaya di per- sesuaikan dengan kebiasaan makan udang
airan selat dengan salinitas yang tinggi me- dan luas jaring pemeliharaan.
mang lebih lambat. Hal ini diduga karena Koefisien keragaman bobot meng-
energi yang dimanfaatkan untuk bertahan ter- gambarkan tingkat keragaman bobot udang
hadap kondisi lingkungan laut lebih besar pada akhir pemeliharaan, yaitu semakin ting-
jika dibandingkan dengan kondisi perairan di gi nilai koefisien keragaman maka tingkat
tambak yang relatif lebih terkontrol. keseragaman bobot semakin kecil. Koefisien
Konversi pakan merupakan jumlah keragaman dipengaruhi oleh jumlah dan kua-
pakan yang diberikan (kg) untuk mengha- litas pakan, serta lama pemanfaatan pakan.
silkan 1 kg bobot tubuh ikan. Semakin besar Koefisien keragaman bobot udang yang di-
nilai konversi pakan maka semakin banyak peliharan pada padat tebar 250 ekor/m2, 500
pakan yang dibutuhkan untuk memproduksi ekor/m2, dan 750 ekor/m2 masing-masing se-
1 kg daging udang dalam kegiatan budidaya. besar 4,68, 6,91 dan 5,04 dan tidak berbeda
Menurut Effendi (2004) ada beberapa faktor nyata antar perlakuan (p>0,05). Hasil ini me-
yang mempengaruhi konversi pakan, yaitu nunjukkan bahwa perlakuan padat tebar tidak
spesies (kebiasaan makan dan ukuran), kuali- mempengaruhi koefisien keragaman bobot,
tas air (oksigen, suhu, pH, dan amonia), dan sehingga udang vaname pada penelitian ini
pakan (kualitas dan kuantitas). Hasil analisis cenderung memiliki ukuran yang seragam.
ragam untuk konversi pakan menunjukkan Produksi merupakan tujuan utama
bahwa padat tebar berpengaruh nyata (p< dari kegiatan budidaya yang diharapkan
0,05) terhadap nilai konversi pakan antar per- mampu dihasilkan udang dalam jumlah dan
lakuan. Nilai konversi pakan pada padat tebar bobot yang besar sehingga mendapatkan ke-
250 ekor/m2, 500 ekor/m2, dan 750 ekor/m2 untungan secara ekonomi. Hasil pemeliha-
masing-masing sebesar 1,13, 2,21 dan 3,45. raan udang selama 90 hari dengan menggu-
Semakin tinggi padat tebar udang vaname nakan KJA pada Tabel 3 menunjukkan hasil
dalam wadah pemeliharaan, menyebabkan yang berbeda nyata antar perlakuan 250 ekor/
semakin tingginya nilai konversi pakan. Hal m2 dan dua perlakuan lainnya. Produksi
ini akibat kondisi stres terhadap tingginya pa- udang yang dipelihara pada padat tebar 250
dat tebar serta kondisi lingkungan sehingga ekor/m2, 500 ekor/m2, dan 750 ekor/m2
nilai konversi pakan semakin meningkat. masing-masing sebesar 1,01, 1,40 dan 1,33
Menurut Cuzon et al. (2004) pemanfaatan kg/m2. Dari hasil terlihat bahwa padat tebar
pakan oleh udang akan lebih efektif jika 250 ekor/m2 walaupun memiliki kelangsu-
udang mampu mengkonsumsi dalam 2 jam. ngan hidup yang tinggi, konversi pakan yang
Berdasarkan pengamatan visual selama pe- rendah namun memiliki nilai produksi yang
meliharaan udang vaname pada KJA, udang lebih rendah dibandingkan dengan padat te-
vaname sangat responsif terhadap pakan bar 500 ekor/m2 dan 750 ekor/m2. Hasil ini
yang diberikan, bahkan pakan yang diberikan disebabkan karena padat tebar 250 ekor/m2
dihabiskan dalam waktu yang cukup singkat memiliki jumlah individu yang lebih rendah
yaitu ±2 jam setelah pemberian pakan. dibandingkan dengan padat tebar 500 ekor/
Udang membutuhkan waktu yang lebih lama m2 dan 750 ekor/m2 sedangkan padat tebar
untuk menghabiskan pakan jika anco dile- 500 ekor/m2 dan 750 ekor/m2 memiliki jum-
takkan dekat permukaan terutama pada siang lah penebaran yang lebih tinggi sehingga
hari. Hal ini sesuai dengan Goddard (1996) walaupun memiliki kelangsungan hidup yang
yang menyatakan bahwa selama siang hari rendah namun tetap akan menghasilkan pro-
ketika suhu tinggi, udang cenderung berada duksi yang lebih besar dibandingkan dengan
bagian kolam yang lebih dalam dan sejuk dan padat tebar 250 ekor/m2.
lebih aktif pada malam hari. Oleh karena itu
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 1, Juni 2016 211
Produksi Udang Vaname Litopenaeus Vannamei . . .
212 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt81
Fendjalang et al.
Ferreira, N.C., C. Bonetti, and W.Q. Seiffert. low salinity water. Fisheries Science,
2011. Hydrological and water quality 74:1173–1179.
indices as management tools in mari- Pascual, F.P. 1989. Nutrition and feeding of
ne shrimp culture. Aquaculture, Penaeus monodon.SEAFDEC Aqua-
318:425-433. culture Departement. (3rd Ed.). Tig-
Goddard, S. 1996. Feed management in in- bauan, Iloilo, Phillippines. Extention
tensive Aquaculture. New York (US). Manua. 2-5pp.
Chapman and Hall. 36-40pp. Peixoto, S., D.L. De Alcantara Lopez, AND
Gulec, A.K. and O. Aksu. 2012. Effect of W. Wasielesky. 2013. Estuarine cage
handling on physiological profiles in culture of pink shrimp Farfante-
Turkish Crayfish Astacus leptoda- penaeus brasiliensis at diffrent stoc-
ctylus. World J.l of Fish and Marine king density. J. of Shellfish Research,
Sciences, 4(6):684-688. 32(2):559-563.
Hastuti, S., I. Mokoginta, D. Dana, and T. Pillay, T.V.R., 1990. Aquaculture principles
Sutardi. 2004. Resistensi terhadap and practices. Fishing new book.
stres dan respons imunitas ikan gura- London. Oxford. 428p.
mi (Osphronemus Gouramy, Lac.) Rustam, Hartinah, K. Jusoff, S.T. Hadijah,
yang diberi pakan mengandung kro- and Ilmiah. 2013. Characteristic of
mium ragi. J. Ilmu-Ilmu Perairan dan haemolymphs juvenile Tiger Prawn,
Perikanan Indonesia, 11(1):15-21. Penaeus monodon (Fabricus) reared
Hastuti, S., E. Supriyono, I. Mokoginta, and in ponds. World Applied Science J.,
Subandiyono. 2003. Respon glukosa 26:82-88
darah ikan gurami (Osphronemus Price, C., K.D. Black, B.T. Hargrave, J.A.
gouramy, LAC.) terhadap stres peru- Morris. 2015. Marine cage culture
bahan suhu lingkungan. J. Akua- and the environment: effects on water
kultur Indonesia, 2(2):73-77. quality and primary production. Aqu-
Hernandez, M.R., F.R.L. Buckle, E. Palacios, aculture Environment Interactions, 6:
and B.S. Baron. 2006. Prefential be- 151-174.
havior of white shrimp Litopenaeus Sachoemar, S.I. 2008. Karakteristik lingku-
vannamei (Boone 1931) by progres- ngan perairan Kepulauan Seribu. J.
sive temperature-salinity simultane- Akuakultur Indonesia, 4(2):109-114
ous interaction. J. Thermal Biology, Santos, E.A., R. Keller. 1993. Regulation of
31:565-572. circulating levels of the crustacean
Hudi, L., and A. Shahab. 2005. Optimasi pro- hyperglycemic hormone: evidence for
duktivitas budidaya udang vaname a dual feedback control system. J. of
(Litopenaeus vanamei) dengan meng- Comparative Physiology B, 163:374-
gunakan metode respon surface dan 379.
non linear programming. Prosiding Senarath, U., C. Visvanathan. 2001. Environ-
Seminar Nasional manajemen Tek- mental issues in brackish water shrim
nologi II. Hlm.:28.1-28.9. paquaculture in Sri Lanka. Springer-
Kementerian Kelautan dan Perikanan [KKP]. Verlag. New York. Inc. Environmen-
2016. Kelautan dan Perikanan dalam tal Management 27(3):335-348.
Angka 2014. www.sidatik.kkp.go.id. Solanki, Y., K.L. Jetani, S.I. Khan, A.S. Ko-
[diunduh 19 Feburari 2015]. tiya, N.P. Makawana, and M.A. Ra-
Liang, M., S. Wang, J. Wang, Q. Chang, and ther. 2012. Effect of stocking density
K. Mai. 2008. Comparison of flavor on growth and survival rate of spiny
components in shrimp Litopenaeus lobster Panulirus polyphagus in cage
vannamei cultured in sea water and
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 1, Juni 2016 213
Produksi Udang Vaname Litopenaeus Vannamei . . .
214 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt81