Pola Pembinaan Santri Dalam Pengendalian Perilaku

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

Islamic Counseling : Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam

Vol. 3, No. 2, November 2019 | hal: 139-154


(p) ISSN: 2580-3638; (e) ISSN: 2580-3646
DOI: 10.29240/jbk.v3i2.1062

Pola Pembinaan Santri dalam Pengendalian Perilaku


Menyimpang di Pondok Pesantren ar-Risalah Kota Jember
Suryadi
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember
[email protected]
Maslahatun Nikmah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember
[email protected]

Abstract
This article discusses the pattern of fostering deviant behavior that
occurs among students. This research took place in Islamic
boarding school to become one of the institutions of education that
is fairly old in the Indonesian nation. In addition, Islamic boarding
schools are also known as institutions to deepen knowledge and
foster student morals. Therefore, each boarding school has a
different pattern of coaching. This study uses field research (field
research) with a descriptive qualitative approach. The aim is to be
able to describe the results of the analysis in detail. This problem
attracts the attention of the writer to examine the pattern of
guidance of students in controlling deviant behavior. Based on the
results of the study it can be seen that the factors causing deviant
behavior of students are influenced by the family environment,
boarding schools/schools and peers. As for the pattern of fostering
santri in controlling deviant behavior in the boarding school of ar-
Risalah, the village uses three coaching patterns, namely a
preventive pattern, a repressive pattern and a curative pattern.
Patterns of prevention are carried out to keep the delinquency from
happening. Repressive patterns when students have deviant
behavior so there must be consequences for the students. And
curative control pattern is given if the pattern of preventive and
repressive can not be a solution in controlling deviant behavior of
students.
Keyword: Coaching behavior, deviations, pesantren ar-Risalah
140 | Islamic Counseling: Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 3, No. 2, 2019

Abstrak
Artikel ini mendiskusikan tentang pola pembinaan perilaku
menyimpang yang terjadi di kalangan santri. Penelitian ini
mengambil lokasi di Pondok pesantren menjadi salah satu lembaga
pendidikan yang sudah terbilang tua di bangsa Indonesia. Selain itu,
pondok pesantren juga dikenal sebagai lembaga untuk
memperdalam ilmu pengetahuan maupun membina akhlak santri.
Oleh karena itu, setiap pondok pesantren memiliki pola pembinaan
yang berbeda-beda. Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan
(field reaserch) dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Tujuannya
adalah agar dapat menguraikan hasil analisis dengan detail. Masalah
inilah yang menarik perhatian penulis untuk mengkaji pola
pembinaan santri dalam pengendalian perilaku menyimpang.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa faktor penyebab
perilaku menyimpang santri dipengaruhi oleh lingkungan keluarga,
pesantren/sekolah dan teman sebaya. Adapun pola pembinaan
santri dalam pengendalian perilaku penyimpang dipondok pesantren
ar-risalah, desa Curahkates ini menggunakan tiga pola pembinaan,
yakni pola pencegahan (preventive), pola penanganan (represive) dan
pola kuratif. Pola pencegahan dilakukan untuk menjaga agar
kenakalan itu tidak terjadi. Pola represif ketika santri telah
melakukan perilaku menyimpang sehingga harus ada konsekuensi
untuk santri tersebut. Dan pola pengendalian kuratif diberikan jika
pola prefentif dan represif tidak bisa menjadi solusi dalam
pengendalian perilaku menyimpang santri.
Keyword: Pembinaan perilaku, penyimpangan, pesantren ar-Risalah

Pendahuluan
Setiap manusia yang baru lahir ke dunia sudah memiliki fitrahnya. Fitrah
yang dimaksud adalah fitrah sebagai unsur-unsur dan sistem yang dianugerahkan
Allah kepada setiap manusia, unsur-unsur itu mencakup jasmani, rohani dan
nafs, dimana fitrah berupa “iman kepada Allah” menjadi inti-nya. Potensi iman
dipandang sebagai “inti” karena jika iman seseorang telah berkembang dan
berfungsi dengan baik, maka potensi-potensi yang lain (jasmani, rohani dan nafs)
akan berkembang dan berfungsi dengan baik pula. Disebutkan dalam kalam
Allah surat ar-Ruum ayat 30, sebagai berikut:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
Suryadi dan Maslahatun Ni’mah: Pola Pembinaan Santri dalam ... | 141

perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui. (Q.S ar-Ruum: 30)1
Terdapat beberapa pendapat ulama tentang maksud kata fitrah – seperti
tertulis pada surat ar-Ruum ayat 30. Ada yang berpendapat bahwa (1) fitrah yang
dimaksud adalah keyakinan tentang keesaan Allah SWT. yang telah ditanamkan
Allah dalam diri setiap insan. (2) fitrah sebagai penerimaan kebenaran dan
kemantaban individu dalam penerimaannya, (3) fitrah sebagai keadaan atau
kondisi penciptaan yang terdapat dalam diri manusia yang menjadikannya
berpotensi –melalui fitrah itu- mampu mengenal Tuhan dan syariatnya, dan (4)
fitrah sebagai unsur-unsur dan sistem yang Allah anugerahkan kepada setiap
makhluknya.2
Fitrah yang berkembang dengan baik kemudian akan membentuk
pribadi yang sehat. Kepribadian yang sehat menurut Islam akan terbentuk
manakala dua kebutuhan dasar manusia dapat dipenuhi secara seimbang, yakni
kebutuhan jasmani dan rohani. Dalam bahasa M. Utsman Najati, kepribadian
yang sehat dikenal dengan term an-nafsul muthmainnah, yakni orang yang
fisiknya sehat dan kuat, mampu melampiaskan kebutuhan primernya dengan
cara yang halal, dan memenuhi kebutuhan spiritual dengan berpegang teguh
pada akidah tauhid, mendekatkan diri kepada Allah dengan menjalankan ibadah
dan beramal saleh serta menjauhi perbuatan-perbuatan buruk dan hal-hal yang
mendatangkan murka Allah.3 Pendapat M. Utsman Najati tersebut berdasarkan
pada ajaran Al-Quran, dalam suarat al-Qashash (28): 77, Allah bersabda:
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu(kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”(Q.S
al-Qashash : 77)
Sesuai dengan maqolah yang menyatakan “manusia adalah tempatnya
salah dan lupa”, manusia tidak selalu menjadi pribadi yang sehat, namun ada
kalanya manusia menjadi pribadi yang tidak sehat, yakni pribadi yang tidak
mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, orang lain dan
lingkungannya.4 Pribadi yang tidak sehat ini salah satu contoh nyata dalam
kehidupan sehari-hari adalah dialami oleh sebagian santri yang melakukan

1 Al-Quran al-Karim, Departemen Agama Republik Indonesia, Surat ar-Ruum: 30.


2 Anwar Sutoyo, Bimbingan dan Konseling Islam: Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2015), 24
3 Abdul Basit, Konseling Islam, (Depok: Kencana, 2017), 29.
4 Abdul Hayat, Bimbingan Konseling Quran (Jilid I), (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2017),

36.
142 | Islamic Counseling: Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 3, No. 2, 2019

perilaku menyimpang di pondok pesantren karena aturan yang dibuat oleh


pengasuh maupun pengurus telah dilanggar.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang bersifat tradisional
untuk memahami, mempelajari dan mengenalkan ajaran agama Islam dengan
menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup sehari-hari.
Kehidupan dalam pondok pesantren tidak lepas dari rambu-rambu yang
mengatur kegiatan dan batas-batas perbuatan: halal-haram, wajib-sunnah, baik-
buruk dan dan sebagainya itu berangkat dari hukum Islam dan semua kegiatan
dipandang dan dilaksanakan sebagai bagian dari ibadah keagamaan, dengan kata
lain semua kegiatan dan aktifitas kehidupan selalu dipandang dengan hukum
Islam.5
Pesantren sebagai lembaga sosial menampung para santri dari berbagai
lapisan masyarakat Muslim, tanpa membeda-bedakan tingkat ekonomi maupun
sosial dari orangtuanya.Ada di antara calon santri sengaja datang ke pesantren
untuk mengabdikan diri kepada Kyai dan pesantren.Selain itu, ada juga orang tua
yang sengaja mengirimkan anaknya ke pesantren dalam menyerahkan
sepenuhnya untuk diasuh Kyai. Mereka percaya bahwa Kyai tidak akan
menyesatkan. Bahkan sebaliknya dengan berkah Kyai anak tersebut akan
menjadi orang yang baik. Juga banyak anak-anak yang nakal atau memiliki tanda-
tanda tingkah laku menyimpang, dikirimkan ke pesantren oleh orang tuanya
dengan harapan bisa sembuh dari kenakalannya tersebut6.
Mengenai tingkah laku meyimpang yang biasa dilakukan santri, pihak
pembina santri seperti para ustad-ustadzah serta pengasuh pesantren telah
menciptakan peraturan-peraturan agar anggota pondok pesantren berperilaku
sesuai dengan peraturan yang berlaku, tapi pada kenyataannya dalam pondok
pesantren Ar-Risalah masih dijumpai santri yang melakukan penyimpangan.
Bentuk penyimpangan perilaku yang dilakukan santri khususnya di
Pondok Pesantren Ar-Risalah adalah dengan melanggar tata tertib pondok
pesantren, misalnya bolos, berpacaran, tidak sholat berjamaah, menyimpan dan
menggunakan barang-barang elektronik (HP, radio, tape), mencuri, keluar
pondok tanpa izin alias kabur, merokok, ngepil, mewarnai rambut dan lain-lain.7
Berdasarkan hasil pra survey yang dilakukan peneliti, Pondok Pesantren
Ar-Risalahyang terletak di Desa Curahkates Kecamatan Ajung Kabupaten
Jember merupakan salah satu lembaga pendidikan formal dan non formal. Pada
pondok pesantren, pengajaran dilakukan dengan pola pengajaran pondok
pesantren tradisional yang hanya mengajarkan ilmu agama Islam dan dengan
5 Fahrurrozi Dahlan, Sosiologi Pesantren: Dialektika Tradisi keilmuan pesantren dalam merespo
dinamika masyarakat (potret pesantren di lombok nusa Tenggara barat) (NTB: IAIN Mataram, 2016), 19.
6Babun Suharto, Dari Pesantren Untuk Umat: Reinventing Eksistensi Pesantren di Era Globalisasi

(Surabaya: Penerbit Imtiyaz Surabaya, 2011), 18.


7Anis, Wawancara, Curahkates, 11 Desember 2018.
Suryadi dan Maslahatun Ni’mah: Pola Pembinaan Santri dalam ... | 143

memberikan pendidikan umum sebagai pendidikan formal, misalnya: madrasah


tsanawiyah dan madrasah aliyah8.
Berdasarkan wawancara awal, pelanggaran atau penyimpangan yang
dilakukan para santri terdapat tiga tingkatan, yakni ringan, sedang dan
berat.Tingkatan ringan, contonhnya membuat gaduh, terlambat sholat
berjamaah. Sedangkan tingkatan sedang, contohnya tidak melakukan sholat
berjamaah, tidak mengaji.Dan untuk tingkatan berat, contohnya mencuri berkali-
kali, keluar batas pesantren tanpa izin, membawa barang elektronik, minum
obat-obat terlarang dan pacaran.pelanggaran tingkatan ringan akan menjadi
berat jika sering dilakukan dan Kyai maupun Ibunyai akan hafal santri-santri
yang melanggar peraturan tersebut. Pelanggaran tingkatan berat pun sudah
beberapa kali terjadi di Pondok Pesantren Ar-Risalah, dan konsekuensinya
adalah tidak dinaikkan kelas pada sekolah formalnya dan dikeluarkan dari
pondok pesantren9.
Setiap pondok pesantren pasti memiliki aturan dan norma yang harus
dipatuhi oleh seluruh warga pondok tidak terkecuali Pondok Pesantren Ar-
Risalah. Peraturan ini tidak lain adalah untuk membiasakan santri hidup disiplin,
belajar taat akan peraturan, serta belajar menjalankan ajaran agama sesuai yang
disunnahkan atau dicontohkan Rasulullah, seperti sholat berjamaah,
menjalankan sholat duha maupun sholat malam, taat kepada guru, jujur,
menghargai sesama teman dan masih banyak lagi. Tapi kenyataannya kenakalan
santri dengan melanggar peraturan pondok tetap saja terjadi. Dikatakan
kenakalan santri karena perbuatan santri yang melanggar norma, yang
diberlakukan di pondok pesantren menganggu ketentraman masyarakat pondok
pesantren maupun masyarakat sekitar pondok pesantren sehingga diberlakukan
takziran sebagai hukuman atas pelanggaran yang dilakukan.
Beberapa contoh takziran yang diberlakukan di pondok putri adalah
mengaji di dalem pengasuh, sholat malam, cuci piring dalem dan masih banyak
macamnya sesuai jenis pelanggaran yang dilakukan bahkan bisa hingga
dikeluarkan dari pondok pesantren. Berbeda dengan pondok putra, di pondok
putra bahkan tidak ada lagi hukuman, sehingga meskipun santri putra merokok,
membawa HP, tidak sholat berjamaah, membolos mengaji ataupun keluar
pondok tanpa izin mereka tidak masalah. Ini disebabkan pengasuh sudah lepas
tangan dalam mengontrol santri putra.Peneliti melihat ada sesuatu hal yang tidak
lumrah dari kejadian ini.KarenaKyai yang menjadi sosok figur sentral untuk para
santrinya sekaligus menjadi sumber pengetahuan keagamaan dan sumber nilai-
nilai yang dianut bagi santri, mengajarkan ilmu pengetahuan keagamaan dan
sekaligus menanamkan nilai-nilai spiritual dan akhlak mulia kepada santrinya10

8 Observasi, Curahkates, 25 Oktober 2018.


9 Anis, wawancara, Curahkates, 11 Desember 2018.
10 Konseling islami, 328
144 | Islamic Counseling: Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 3, No. 2, 2019

kurang melakukan interaksi aktif dengan santri-santrinya, sehingga hubungan


komunikasi santri dengan Kyai terlihat jauh. Selain itu, terlihat pengasuh lebih
fokus pembinaan untuk santri putri. Secara metodologis penelitian ini
menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Adapun
pengertian metode penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang
digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti
adalah sebagai instrumen kunci, serta hasil akhir lebih menekankan makna dari
pada generalisasi.11 Pendekatan ini dipilih karena untuk mendeskripsikan semua
bahan penelitian baik dari wawancara, observasi, dan dokumentasi.

Hasil dan Pembahasan


Faktor Penyebab Perilaku Menyimpang Santri Di Pondok Pesantren Ar-
Risalah Kota Jember
Berdasarkan temuan penelitian bahwa ada beberapa faktor yang
menyebabkan perilaku menyimpang santri di Pondok Pesantren Ar-Risalah yaitu
lingkungan keluarga, teman sebaya, dan lingkungan pesantren.
Berdasarkan deskripsi penelitian diatas maka diperoleh data sebagai
berikut:
1. Lingkungan Keluarga
Anak hidup dan berkembang permulaan sekali dari pergaulan keluarga
yaitu hubungan antara orang tua dengan anak, ayah dengan ibu dan hubungan
anak dengan anggota keluarga lain yang tinggal bersama-sama. Hal ini serasi
dengan teori yang diungkapkan Sofyan Willis dalam bukunya bahwa ada banyak
hal yang menyebebakan perilaku menyimpang berasal dari lingkungan keluarga,
yaitu:
a. Anak kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian orang tua
b. Lemahnya keadaan ekonomi orang tua sehingga kebutuhan anak tidak dapat
terpenuhi
c. Kehidupan keluarga yang tidak harmonis (broken home)12

2. Teman Sebaya
Hal ini serasi dengan teori menurut Tri Dayakisi bahwa remaja biasanya
cenderung mengikuti apa kata teman sebayanya atau teman kelompoknya dari
pada orangtua. Maka perlu sekali mendeteksi apa teman itu baik atau tidak. Jika
baik maka akan berpengaruh baik. Tetapi jika tidak baik maka akan berpengaruh
negatif pada jiwa remaja itu.

11 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: ALFABETA, 2014), 1.


12 Sofyan Willis, Remaja dan Masalahnya, 99.
Suryadi dan Maslahatun Ni’mah: Pola Pembinaan Santri dalam ... | 145

Sesuai sabda Nabi Muhammad SAW berikut:


“Seseorang itu berdasar agama temannya, oleh karena itu hendaklah seorang di
antara kalian memperhatikan siapa temannya”.13

3. Lingkungan Pesantren
Menilik dari sosiologi kepesantrenan, tujuan utama terbentuknya
pesantren, diantaranya adalah membimbing anak didik (santri) untuk menjadi
manusia yang berkepribadian Islam dan mempunyai ilmu agama, sehingga
sanggup menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan
amalnya. Di samping itu, tujuan khusus dibentuknya sebuah pondok pesantren
adalah mempersiapkan anak didik (santri) untuk menjadi orang alim dalam ilmu
agama yang diajarkan oleh kyai, guru/ustadz yang bersangkutan, serta
mengamalkannya dalam masyarakat.14 Sehingga bisa disimpulkan bahwa
pesantren merupakan tempat pendidikan kedua setelah rumah tangga.
Lingkungan pesantren atau sekolah akan menjadi penyebab munculnya
perilaku menyimpang menurut B. Simandjuntak menyebutkan beberapa faktor
yakni sebagai berikut:
a. Pendidikan yang kurang menanamkan tingkah laku yang sesuai dengan alam
sekitar yang diharapkan pesantren.
b. Menurunnya wibawa seorang guru/ustadz.
c. Pengawasan yang kurang efektif dalam pembinaan berpengaruh dalam
domain efektif, konasi, konisi dari guru/ustadz.
d. Kurangnya pemahaman terhadap remaja dari pesantren.
e. Kurangnya sarana penyaluran waktu senggang.
f. Ketidaktahuan guru/ustadz dalam menangani masalah remaja, baik dalam
segi pendekatan sosiologis, psikologis maupun pedagogik.15

Pembinaan Santri dalam Pengendalian Perilaku Menyimpang di Pondok


Pesantren Ar-Risalah Kota Jember
Pola Prefentif Perilaku Meyimpang Santri di Pondok Pesantren Pesantren
ar-Risalah Kota Jember
Berdasarkan temuan peneliti bahwa Pondok Pesantren Ar-Risalah
kelurahan Curahkates Kabupaten Jember melakukan beberapa hal dalam
mencegah terjadinya perilaku menyimpang pada santri, antara lain sebagai
berikut:

13 Mu’awanah, Bimbingan Konseling Islam, 79-80.


14 Fahrurrozi Dahlan, Sosiologi Pesantren: Dialektika Tradisi keilmuan pesantren dalam
merespo dinamika masyarakat (potret pesantren di lombok nusa Tenggara barat),2.
15 Adon Nasrullah Jamaludin, Dasar-dasar Patologi Sosial, (Bandung: CV. Pustaka Setia,

2016), 120.
146 | Islamic Counseling: Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 3, No. 2, 2019

1. Melakukan Pengontrolan
Berdasarkan temuan peneliti ada kebijakan penempatan pengurus di
kamar-kamar santri agar memdahkan mengontrol.
Hal ini senada dengan Ndraha, dikatakan bahwa kontrol dapat dilakukan
oleh siapa saja yang berkepentingan terhadap suatu organisasi atau kelompok
masyarakat. Kontrol sering diterjemahkan sebagai pengawasan atau
pengendalian apapun baik itu perkataan yang diucapkan sampai perbuatan yang
dilakukan, sehingga di harapakan adanya kontrol menjadi salah satu nilai dalam
masyarakat dan sebagai pembatas ruang lingkupnya. Pada hakikatnya dalam
kehidupan masyarakat perlu ada keseimbangan, supaya kehidupan masyarakat
tercipta suasana tertib, aman dan damai sesuai dengan tujuan hidup bersama16.
2. Mengistiqomahkan Sholat Tahajud dan Tasbih.
Berdasarkan temuan peneliti ada kegiatan sholat tahajud setiap malam
sesuai dengan jadwal yang telah dibuat oleh pengurus. Kebijakan pengurus
tersebut serasi dengan teori Abdul Hayat dalam bukunya bahwa sholat tahajud
adalah sebagai media untuk memohon pertolongan Allah untuk kekuatan jiwa,
keteguhan hati dan untuk kesuksesan dan kemuliaan hidup17. Firman Allah Swt.
dalam Q.S al-Isra: 79, sebagai berikut:
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu
ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke
tempat yang terpuji.” (Q.S al-Isra: 79)
Mengerjakan sholat tahajud adalah sangat mulia sebab sholat tahajud
adalah pekerjaan orang-orang sholeh. Sholat tahajud ini sangat dianjurkan untuk
dikerjakan oleh seluruh santri jika menginginkan perbaikan dalam segala aspek
kehidupan18.
Berdasarkan temuan peneliti setiap malam Jumat Bu Nyai mewajibakan
santri untuk melaksanakan Sholat Tasbih, yakni dilakukan ba’da Sholat Isya
secara berjamaah. Kebiajakan tersebut serasi dengan Fadhilah Shalat Tasbih
yang disampaikan oleh Sulaiman al-Kumayi lainnya adalah:
a. Diampuni dosa.
b. Dapat membentuk pribadi yang kuat.
c. Terkabul segala doa.19

16Ndraha, Talizidhuhu, Budaya Organisasi(Jakarta: Rineke Cipta,2003), 197.


17 Abdul Hayat, Bimbingan Konseling Qurani jilid II, 127.
18 Ibid., 130.
19 Rika Bekti Lestari, “Persepsi Santri Terhadap Hadis Tentang Salat Tasbih Dan

Implementasinya (studi kasus pondok pesantren putri Tahaffudzul Quran Purwoyoso Ngaliyan
Semarang”, (Skripsi, UIN Walisongo, Semarang, 2015), 39.
Suryadi dan Maslahatun Ni’mah: Pola Pembinaan Santri dalam ... | 147

3. Tirakat Puasa
Puasa merupakan suatu amalan yang dilakukan umat muslim dari masa
ke masa sehingga menjadi suatu amalan yang tidak bisa dilepaskan di dalam
kehidupan sehari-hari. Puasa yang dilaksanakan umat muslim tidak hanya yang
bersifat wajib sebagaimana yang ditemukan di dalam Alquran tetapi juga bersifat
sunnah yang dapat menambah pundi-pundi amal kebaikan dihadapan Allah
Swt.20
Puasa sunnat adalah puasa yang dilaksanakan pada hari-harisepanjang
tahun, kecuali hari-hari yang dilarang untuk berpuasa.Puasasunnat ini juga
memiliki harihari yang ditentukan. Selain dari pada itu,puasa sunnat ini di bagi
menjadi beberapabagian, diantara sebagai berikut:
a. Puasa Daud
b. Puasa Senin-Kamis
c. Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
d. Puasa Hari Putih
e. Puasa Arafah
f. Puasa Asyuro
g. Puasa Sya’ban21

4. Memberikan pendidikan ilmu agama melalui pengajian kitab.


Hal ini serasi dengan teori yang diungkap Saiful Akhyar Lubis dalam
bukunya bahwa pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam,
mengandung makna bahwa titik pusat pengembangan keilmuan di lembaga ini
adalah ilmu-ilmu keagamaan. Sehingga perlu diingat di samping membuka
sekolah umum, tetap harus menyelenggarakan pendidikan madrasah dan
pengajian kitab-kitab klasik, terutama diperuntukkan bagi santri yang tidak
memasuki sekolah umum.22
Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya mengelompokkan pengajian kitab
Islam klasik ke dalam elemen-elemen pesantren yang harus ada selain pondok,
masjid, santri dan kyai. Dikatakan dalam teorinya bahwa tujuan utama
pengajaran kitab Islam klasik ini adalah untuk mendidik calon-calon ulama. Para
santri yang tinggal di pesantren untuk jangka waktu pendek (misalnya kurang
dari satu tahun) dan tidak bercita-cita menadi ulama, bertjuan untuk mencari
pengalaman dan pendlaman perasaan keagamaan. Berbeda dengan para santri
yang tinggal bertahun-tahun di pesantren. Tujuan mereka adalah ingin

20Zakiah Ulfah, Manfaat Puasa dalam Perspektif Sunnah dan Kesehatan”, (Skripsi, UIN
Sumatra Utara, Medan, 2016), 26-31.
21 Ibid.,
22 Akhyar Lubis, Konseling Islami, 187.
148 | Islamic Counseling: Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 3, No. 2, 2019

menguasai berbagai cabang pengetahuan Islam dan mempunyai keinginan yang


kuat untuk menjadi ulama23.

5. Memberikan sarana dan prasarana untuk santri.


Hal ini serasi dengan teori yang diungkap Sofyan Willis dalam bukunya
bahwa dengan lengkapnya fasilitas yang diberikan maka akan dapat digunakan
untuk mengisi waktu luang misalnya ketika sekolah formal libur atau mengurangi
kebosanan dari rutinitas di pondok pesantren. Di samping itu dapat pula
mengembangkan bakat santri dalam rangka menuju hidup berdikari nantinya
setelah terjun ke masyarakat.24
Pola Represif Dalam Pengendalian Perilaku Meyimpang Santri Di
Pondok Pesantren Pesantren Ar-Risalah, Curahkates
Berdasarkan temuan penelitian bahwa ada beberapa upaya represif yang
dilakukan pondok pesantren dalam mengendalikan perilaku menyimpang santri
yaitu menegakkan tata tertib dan peraturan Pondok Pesantren Ar-Risalah,
penerapan sanksi dan penanganan dengan pendekatan Agama Islam.
Berdasarkan deskripsi penelitian diatas maka diperoleh data sebagai
berikut:
1. Menegakkan tata tertib dan peraturan Pondok Pesantren Ar-Risalah
Hal ini serasi dengan teori yang diungkapkan Muh. Iqbal dalam jurnal
penelitianya. Menyebutkan bahwa peraturan tata tertib pondok pesantren dibuat
untuk menegakkan disiplin, baik untuk pengurus, ustadzah maupun santri.
Dengan peraturan tata tertib tersebut, diharapkan adanya stabilitas kenyamanan
bersama supaya tidak terjadi kesemrawutan dalam menangani berbagai persoalan
yang terjadi.25
2. Penerapan Sanksi
Hal ini serasi dengan teori yang diungkapkan Muh. Iqbal dalam jurnal
penelitianya bahwa perilaku menyimpang yang berulang-ulang kali terjadi setelah
berbagai upaya dilakukan untuk mencegah namun ternyata terjadi lagi maka
pengurus dan pengasuh melakukan tindakan berupa penerapan sanksi, tentunya
dengan tujuan memberi efek jera kepada pelaku perilaku menyimpang tersebut.26
Jadi sanksi yan diberikan pesantren sebagai hukuman para santri yang
melakukan perilaku menyimpang, seperti cuci piring di dapur dalem, mengaji Al-

23 Dhofier, Tradisi Pesantren, 86.


24 Sofyan Willis, Remaja dan Masalahnya, 137.
25 Muh. Iqbal, “Penanggulangan Perilaku Menyimpang: Studi Kasus SMA Negeri 1

Pomalaa Kab. Kolaka Sulawesi Tenggara”, Lentera Pendidikan, Vol. 17 No. 2 Desember 2014,
239.
26 Bawazir, Be a Moslem Be a Counselor, 239.
Suryadi dan Maslahatun Ni’mah: Pola Pembinaan Santri dalam ... | 149

Quran, sholat tahajud, membakar atau merusak barang yang diberikan ke santri
putra dan lain-lain bertujuan untuk memberi efek jera kepada si pelaku. Agar
santri yang melakukan perilaku menyimpang tersebut tidak mengulangi kembali.
Kalaupun mengulangi lagi akan ada konsekuensi yang lebih berat.
3. Penanganan dengan pendekatan Agama Islam (Konseling Islam)
Hal ini serasi dengan Bimbingan dan konseling Islam merupakan upaya
yang diharapkan dapat mendekatkan konseli kepada penciptanya, Allah Swt,
serta mengarahkan konseli agar mendapatkan kehidupan yang aman, tentram
dan bermakna.27
Ada beberapa pendekatan Agama Islam yang dipakai, antara lain sebagai
berikut:
a. Teknik konseling dengan sholat
Apabila sholat ini ditegakkan secara benar oleh ummat maka akan
terhindar dari perbuatan keji dan mungkar. Beberapa sholat sunnah yang sangat
tepat untuk dijadikan teknik konseling dalam rangka membantu konseli untuk
mengatasi berbagai kesalahan hidup antara lain adala sholat tahajud, sholat hajad
dan sholat duha.28
b. Teknik konseling dengan membaca Al-Quran
Bacaan atau membaca ayat-ayt suci Al-Quran bisa dijadikan salah satu
teknik konseling Islami. Jadi Al-Quran yang merupakan kitab pedoman dalam
kehidupan ummat Islam yang berisi perundang-undangan dalam berbagai aspek
kehidupan, juga berfungsi sebagai penyembuh (syifa) dari berbagai penyakit
batin, psikologis bahkan fisik, menjadi solusi dari kebingungan dalam
mengahadapi berbagai permasalahan hidup dan menjadi penenang hati29
c. Teknik konseling dengan zikir
Zikir adalah salah satu teknik terapi dalam konseling Islami. Banyak
sekali manfaat dari zikir kepada Allah Swt. yang diterangkan oleh Allah Swt.
dalam kitab-Nya, antara lain yaitu: dapat menentramkan hati, mendapatkan
ampunan dan pahala yang besar, menghapus keburukan atau dosa, dan
memudahkan datangnya pertolongan dari Allah.30
Pola Kuratif Dalam Pengendalian Perilaku Meyimpang Santri Di Pondok
Pesantren Pesantren Ar-Risalah, Curahkates
Berdasarkan temuan penelitian bahwa ada beberapa upaya kuratif yang
dilakukan pondok pesantren dalam mengendalikan perilaku menyimpang santri

27 Ibid., 6.
28 Hayat, Bimbingan Konseling Qur’ani (jilid II), 123.
29 Ibid., 140.
30 Ibid., 144.
150 | Islamic Counseling: Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 3, No. 2, 2019

yaitu pembebasan peraturan oleh Pengasuh, tidak dinaikkan kelas, dan


dikembalikan kepada orangtua.
Pengendalian kuratif ini dilakukan ketika pola prefentif dan represif tidak
membuat efek jera bagi santri yang melakukan perilaku menyimpang.
Berdasarkan deskripsi penelitian diatas maka diperoleh data sebagai berikut:
1. Pembebasan peraturan oleh pengasuh
Hal ini tidak serasi dengan teori yang diungkapkan Muh. Iqbal dalam
jurnal penelitianya. Ia menyebutkan bahwa peraturan tata tertib pondok
pesantren dibuat untuk menegakkan disiplin, baik untuk pengurus, ustadzah
maupun santri. Dengan peraturan tata tertib tersebut, diharapkan adanya
stabilitas kenyamanan bersama supaya tidak terjadi kesemrawutan dalam
menangani berbagai persoalan yang terjadi.31
Jadi jika tidak ada penegakkan peraturan utamanya dari Pengasuh maka
akan terjadi kesemrawutan, ketidak disiplinan santri, peraturan semakin
diremehkan bahkan santri juga merasa tidak dihiraukan lagi oleh Pengasuh.
Selain itu, Akhyar Lubis menyatakan dalam bukunya bahwa di mata
santri, peran kyai sebagai pembimbing perilaku/ nilai-nilai spiritual ditempatkan
dalam posisi sentral. Para santri akan merasa lebih senang dan bangga apabila
memperoleh kesempatan untuk berkonsultasi pada Kyainya.32 Namun jika
Pengasuh kurang berinteraksi dengan santri maka perasaan itu akan susah
dirasakan oleh santri.
Sofyan Willis juga mengungkapkan bahwa persoalan perilaku
menyimpang ini tidak dapat diselesaikan hanya melalui ceramah dan pidato, akan
tetapi lebih baik jika dengan perbuatan yang nyata (action).33
2. Tidak dinaikkan kelas
Tindakan ini adalah untuk memberikan efek jera kepada santri yang
melakukan perilaku menyimpang tersebut. Selain itu, juga bertujuan agar santri
merenungi kembali segala perilaku yang telah dilakukan. Sehingga diharapkan
bisa memulihkan kembali santri untuk bersikap lebih baik lagi.34 Wewenang
hukuman berat seperti ini adalah wewenang dari Pengasuh selaku pemilik
kebijakan tertinggi.

31 Muh. Iqbal, “Penanggulangan Perilaku Menyimpang: Studi Kasus SMA Negeri 1

Pomalaa Kab. Kolaka Sulawesi Tenggara”, Lentera Pendidikan, Vol. 17 No. 2 Desember 2014,
239.
32 Akhyar Lubis, Konseling Islami: kyai dan Pesantren, 354.
33 Sofyan S. Willis, Ramaja dan Masalahnya (Bandung: Alfabeta, 2017), 127.
34 Muh. Iqbal, “Penanggulangan Perilaku Menyimpang: Studi Kasus SMA Negeri 1

Pomalaa Kab. Kolaka Sulawesi Tenggara”, Lentera Pendidikan, Vol. 17 No. 2 Desember 2014,
240.
Suryadi dan Maslahatun Ni’mah: Pola Pembinaan Santri dalam ... | 151

3. Dikembalikan kepada orangtua


Hal ini serasi dengan teori yang diungkapkan Muh. Iqbal dalam jurnal
penelitianya bahwa setelah berbagai upaya telah dilakukan kepada santri, ternyata
belum menunjukkan perubahan dalam artian pembebasan peraturan dan tidak
dinaikkan kelas sudah diterapkan namun belum menunjukkan sikap jera, maka
langkah terakhir adalah mengembalikan santri kepada orang tuanya.35
Selain itu, tindakan ini merupakan tindakan terakhir dalam mengatasi
berbagai permasalahan santri. Hal ini dilakukan agar perilaku menyimpang
tersebut tidak menjangkiti santri lainnya.36

Penutup
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai Pola Pembinaan
Santri dalam Pengendalian Perilaku Menyimpang di Pondok Pesantren Ar-
risalah Kota Jember bahwa dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama,faktor penyebab perilaku menyimpang di Pondok Pesantren
Ar-Risalah Kota Jember adalah: lingkungan keluarga. Seperti kurangnya kasih
sayang, broken home dan lemahnya ekonomi orang tua. Teman sebaya, ini
karena keseringan santri bersama dengan teman-temannya. Sehingga ketika
temannya baik maka Ia akan baik sedangkan jika temannya nakal Ia juga akan
terpengaruh nakal. Dan lingkungan pesantren. Seperti: pendidikan yang kurang
menanamkan tingkah laku yang sesuai dengan alam sekitar yang diharapkan
pesantren, menurunnya wibawa seorang guru/ustadz, pengawasan yang kurang
efektif dalam pembinaan berpengaruh dalam domain efektif, konasi, konisi dari
guru/ustadz, kurangnya pemahaman terhadap remaja dari pesantren, kurangnya
sarana penyaluran waktu senggang dan ketidaktahuan guru/ustadz dalam
menangani masalah remaja, baik dalam segi pendekatan sosiologis, psikologis
maupun pedagogik
Kedua, pola pembinaan pengendalian perilaku menyimpang di Pondok
Pesantren Ar-Risalah terdiri dari tiga pola pembinaan, yaitu pola prefentif,
represif, dan kuratif. Pola prefentif dilakukan untuk mencegah terjadinya
perilaku menyimpang santri. Dilakukan dengan beberapa upaya, yaitu:
melakukan pengontrolan, mengistiqomahkan sholat tahajud dan tasbih, tirakat
puasa dan memberikan pendidikan ilmu agama melalui pengajian kitab.
Pola represif dilakukan untuk menangani perilku menyimpang yang telah
dilakukan. Ada beberapa upaya yang dilakukan pesantren, yaitu: menegakkan
tata tertib dan peraturan, penerapan sanksi, dan penanganan dengan pendekatan
Agama Islam.

35 Ibid., 240.
36 Ibid., 240.
152 | Islamic Counseling: Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 3, No. 2, 2019

Pola kuratif menjadi tindakan terakhir ketika pola prefentif dan represif
tidak mampu memberikan efek jera untuk pelaku perilaku menyimpang tersebut,
yakni dengan beberapa upaya yaitu: pembebasan peraturan oleh Pengasuh, tidak
dinaikkan kelas, dan dikembalikan kepada orang tua.
Suryadi dan Maslahatun Ni’mah: Pola Pembinaan Santri dalam ... | 153

Bibliografi
Al-Quran al-Karim, Departemen Agama Republik Indonesia, Surat ar-Ruum:
30.
Bawazir, Djauharah, (2013), Be a Moslem Be a Counselor. Jakarta Timur:
Bunyan Andalan Sejati.
Dahlan, Fahrurrozi, (2016), Sosiologi Pesantren: Dialektika Tradisi keilmuan
pesantren dalam merespo dinamika masyarakat (potret pesantren di
lombok nusa Tenggara barat) NTB: IAIN Mataram.
Dhofier, Zamakhsyari, (2011), Tradisi Pesantren: Studi Pandangan hidup.
Jakarta: LP3ES.
Hayat, Abdul, (2017), Bimbingan Konseling Qur’ani (jilid II). Yogyakarta:
Pustaka Pesantren.
Hayat, Abdul, (2017), Bimbingan Konseling Quran (Jilid I), Yogyakarta: Pustaka
Pesantren.
Jamaludin, Adon Nasrullah, (2016), Dasar-dasar Patologi Sosial, Bandung: CV.
Pustaka Setia.
Lestari, Rika Bekti, (2015 ) “Persepsi Santri Terhadap Hadis Tentang Salat
Tasbih Dan Implementasinya (studi kasus pondok pesantren putri
Tahaffudzul Quran Purwoyoso Ngaliyan Semarang”, Skripsi, UIN
Walisongo, Semarang.
Lubis, Saiful Akhyar, (2007), Konseling Islami: kyai dan pesantren. Yogyakarta:
elSAQ Press,
Mu’awanah,Elfi. 2012.Bimbingan Konseling Islam: Memahami Fenomena
Kenakalan Remaja dan Memilih Upaya Pendekatanya dalam Konseling
Islam. Yogyakarta: Teras.
Muh. Iqbal, “Penanggulangan Perilaku Menyimpang: Studi Kasus SMA Negeri 1
Pomalaa Kab. Kolaka Sulawesi Tenggara”, Lentera Pendidikan, Vol. 17
No. 2 Desember 2014.
Ndraha, Talizidhuhu, (2003), Budaya Organisasi, Jakarta: Rineke Cipta.
Sugiyono, (2014), Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: ALFABETA.
Suharto, Babun, (2011), Dari Pesantren Untuk Umat: Reinventing Eksistensi
Pesantren di Era Globalisasi,
Sutoyo, Anwar, (2015), Bimbingan dan Konseling Islam: Teori dan Praktik,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Willis, Sofyan, 2017, Ramaja dan Masalahnya, Bandung: Alfabeta.
154 | Islamic Counseling: Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 3, No. 2, 2019

You might also like