Siti-Masitoh Desertasi Ruwatan PDF
Siti-Masitoh Desertasi Ruwatan PDF
Siti-Masitoh Desertasi Ruwatan PDF
Disertasi
Disusun untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar Doktor (Sastra) Program
Studi Ilmu – Ilmu Humaniora
Oleh:
Siti Masitoh
09/293013/SSA/00301
Dissertation
Submitted by:
Siti Masitoh
09/293013/SSA/00301
POSTGRADUATE DEGREE
FACULTY OF CULTURAL SCIENCES
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
ABSTRACT
This research is a literary research whose material object is the text of Murwakala
performed in ruwatan sukerta and sengkala conducted by Ki Suprapto, HS at January 2rd,
2012 in Sawahan, Nganjuk East Java. The aims of doing this research are to find out the
structure and the significance of Ki Suprapto,HS “s Murwakala. It can be reached by
changing the material object to its transcription, then it is compared into another version,
for this sake, Ki Suprapto, HS’s Murwakala was compared into Kyai Demang
Reditanaya’s Murwakala.
Post-structuralism of narrative theory was applied to analyze the text of Murwakala and
its narration that is the way how Ki Suprapto, HS narrate Murwakala. Murwakala’s
structure was analyzed based on its narration by applying A.L Becker’s theory about text-
building in Javanese Shadow Theatre. Then, the researcher revealed the significance of
Murwakala by analyzing the text in the way Jonathan Culler proposed that is known as
double-logic ways,the first is considering the text as the sequences of events and the second
way is revealing its significance based on its thematic structure. This step shows that this
research was done by paying attention on the reader and the text. In short, this research is
done in the way of applying pragmatic and objective approach.
The findings of this research are: that the structure of Ki Suprapto,HS’s Murwakala has
its own version that is different from other version. It happened because Ki Suprapto, HS
changed the narration and he used the mantera belonging to Kasunanan and
Mangkunegaran. There are two thematic structures, namely dumadine Kala and ruwat
Kala. Dumadine Kala signified sukerta that is a group of people who are suffered from
Bathara Kala‘s threat and ruwat Kala signified ruwatan that is an effort to release Bathara
Kala’s threat. Bathara Kala was undergone sengkala because of his uncommon birth
whether Bathari Durga was undergone sengkala because of her impolite attitude toward
Bathara Guru. The sukerta attended ruwatan to release their life from Bathara Kala’s
threat, Bathara Kala attended ruwatan to stop his willing of eating the sukerta, and Bathari
Durga attended ruwatan to get back as a goddess.
BAB V KESIMPULAN………………………………………………………………191
DAFTAR PUSTAKA ..……………………
.................................................................................................................................... ….19
8
GLOSARIUM…………………………………………………….. ........................... .
.205
LAMPIRAN-LAMPIRAN ……………………………………………………………..
208
1. Balungan Lakon Murwakala Versi Kyai Demang Reditanaya
………………...208
2. Transkripsi Teks Lakon Murwakala Versi Ki Suprapto, HS
…………………..242
3. Surat Keterangan
……………………………………………………………….356
4. Profil Ki Suprapto, HS …………………………………………………………3
BAB I
PENDAHULUAN
wayang kulit purwa dalam upacara ruwatan. Ruwatan adalah upacara yang
makanan Bathara Kala (Rassers, 1982: 46). Ada sebagian orang yang masih percaya
bahwa ruwatan merupakan tatacara hidup yang harus dipenuhi dan bila belum
dipenuhi, maka orang tersebut merasa belum bebas dari kewajiban yang harus
Ruwatan dapat dibagi dalam tiga jenis ritual yang paling umum dan sering
dilakukan oleh masyarakat Jawa. Ketiga jenis ruwatan tersebut adalah: (1) ruwatan
pembebasan anak manusia dari ancaman menjadi makanan Bathara Kala, (2)
ruwatan Makukuhan atau ruwat bumi yaitu satu rangkain upacara yang dilakukan
usaha, dan sebagainya, (3) ruwatan Sudamala yaitu satu rangkaian upacara yang
digunakan untuk melepaskan diri dari perasaan yang kurang baik, sikap berserah
diri ikhlas, dan sarana permohonan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar
Lebih lanjut, ruwatan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: (1)
ruwatan dengan selamatan saja yang dinamakan Ruwatan Rasulan, (2) ruwatan
dengan menggelar pertunjukan wayang beber dengan lakon Jangkung Kuning yang
biasa juga dipentaskan dalam wayang gedog, dan (3) ruwatan dengan menggelar
pertunjukan wayang kulit dengan mengambil lakon Murwakala (Rusdy, 2012: 3).
perlengkapan sebagai berikut: (1) satu perangkat gamelan, (2) wayang kulit satu
kotak, (3) kelir, dan (4) blencong (Soetarno, 1995: 21). Selain perlengkapan
tersebut, satu komponen yang penting adalah dalang, dalang merupakan tokoh
penting dan sentral karena dalanglah yang bertanggung jawab atas pelaksanaan
pergelaran wayang dan bertanggung jawab secara spiritual apa pun yang terjadi
pada zaman Sunan Nyakrawati Seda Krapyak oleh dalang Anjang Mas yang
berasal dari Kedu. Sunan mengubah upacara ruwatan yang semula dilakukan
dengan wayang beber atau wayang topeng menjadi wayang kulit dengan cerita
Bathara Kala atau Dumadine Kala. Pola itu sampai sekarang digunakan sebagai
oleh kelompok sukerta tetapi juga oleh berbagai macam lapisan masyarakat. Pada
tanggal 19 April 2003, Universitas Tujuh Belas Agustus (UNTAG) 1945 Surabaya
dalang Ki Sardjoko Purwo Pandojo dari Klaten (Harian Surya, 21 April 2003).
Jawa Tengah yang tergabung dalam Forum Wartawan Pemprov dan DPRD Jateng
menggelar upacara ruwatan pemilu di halaman Hotel Santika, jalan Ahmad Yani
PKB melaksanakan acara tahlilan dan ruwatan nasional yang diserentakkan dengan
Deklarasi Posko Relawan untuk korban gempa dan tsunami di jalan Kalibata Timur
25 Mei 2008, RRI Malang menggelar acara ruwatan menjelang penutupan even
Malang Kembali. Selain untuk membuang sial, acara ini juga dilaksanakan sebagai
perwujudan rasa cinta kepada budaya lokal. Acara ruwatan ini diawali dengan
(malangraya.wb.id/kota malang/).
yang dilakukan dengan menggelar pertunjukan wayang kulit purwa dengan lakon
Murwakala telah dilaksanakan oleh berbagai lapisan masyarakat mulai dari awal
abad ke-17 sampai abad ke-21. Kenyataan ini menunjukkan fenomena literer yang
menarik. Murwakala yang dipagelarkan pada upacara ruwatan telah dipercaya dan
dilaksanakan dari tahun ke tahun, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa teks
lakon Murwakala yang dipertunjukkan pada upacara ruwatan tidak hanya dapat
diterima dan dipahami oleh orang Jawa saja tetapi juga oleh orang bukan Jawa dari
makna yang bersifat universal tentang konsep diri dan konsep waktu. Pertunjukan
wayang kulit purwa dengan lakon Murwakala tidak hanya memberikan tontonan
diteliti dari dua sumber, yaitu dengan langsung dari jalannya upacara ruwatan dan
peneliti terdahulu seperti: (1) Sejarah dan Perkembangan Cerita Murwakala dan
Ruwatan dari Sumber-sumber Sastra Jawa oleh Subalidinata dkk (1985), (2)
Suatu Pedoman oleh Karkono Kamajaya dkk (1992), (4) Ruwatan Sukerta dan Ki
Timbul Hadiprayitno oleh Sri Teddy-Rusdy (2012), (5) Release from Kala’s Grip:
Ritual Uses of Shadow Plays in Java and Bali oleh Ward Keeler (1992), dan (6)
Sandhang-pangan for the Goddess: Offering to Sang Hyang Bathari Durga and
cerita Murwakala dan ruwatan dari sumber sastra Jawa tertulis, ada yang
antara Murwakala, Sapu Leger, dan Lady Uma and the Cowherd, dan ada yang
membandingkan sesaji untuk Bathari Durga dan Nyai Lara Kidul. Penelitian-
penelitian tersebut menggunakan lakon Murwakala baik yang berasal dari sumber
sastra Jawa tertulis maupun yang dipentaskan dalam tradisi ruwatan di Jawa Tengah
Lebih lanjut, ada dua versi lakon Murwakala yang digunakan dalam tradisi
Mangkunegaran dan versi Kasunanan (Soetarno, 1995: 56). Kedua versi tersebut
digunakan dalam ruwatan yang dilakukan tidak hanya di daerah Jawa Tengah
terdahulu banyak dilakukan di daerah Jawa Tengah, untuk itu penelitian yang
menggunakan objek material berupa teks lakon Murwakala yang dipakai pada
upacara ruwatan sukerta dan sengkala di Jawa Timur khususnya di daerah Nganjuk
gurunya yang bernama Ki Panut Darmoko. Ki Panut Darmoko adalah dalang ruwat
pengalaman dan pengetahuan tentang hidup yang diajarkan oleh orang tua
dalam upacara ruwatan sukerta dan sengkala di Nganjuk pada hari Minggu tanggal
Suprapto, HS berbeda dengan versi yang lain baik itu versi Kasunanan maupun
Murwakala versi lain yaitu versi Kyai Demang Reditanaya. Pemilihan teks lakon
pada pertimbangan bahwa Kyai Demang Reditanaya adalah keturunan terakhir dari
berhasil melengkapi ruwatan dari babon Panjangmas seperti yang ditulis dalam
sebagai rujukan oleh dalang ruwat yang menggunakan pakem pangruwatan versi
Kasunanan (Soetarno, 1995: 55). Perbandingan dibatasi pada alur pokoknya saja
karena dari alur pokok tersebut akan kelihatan bagaimana struktur teksnya dan dari
Objek material penelitian ini berupa lakon wayang kulit purwa Murwakala
yang dipentaskan dalam rangka upacara ruwatan sukerta dan sengkala oleh Ki
Suprapto, HS dari Nganjuk. Secara rinci permasalahan dari penelitian ini adalah:
Januari 2011.
Objek penelitian terdiri atas objek material dan objek formal. Objek material
penelitian ini adalah teks lakon Murwakala yang dipentaskan oleh Ki Suprapto, HS
sebagai data primer dan teks lakon Murwakala versi Kyai Demang Reditanaya
sebagai data sekunder. Teks lakon Murwakala versi Kyai Demang Reditanaya
diambil dari sumber tertulis dan diperlakukan sebagai teks pembanding dari teks
lakon Murwakala versi Ki Suprapto, HS. Objek formal penelitian ini adalah makna
yaitu:
Murwakala.
dan makna teks lakon Murwakala versi Ki Suprapto, HS dalam upacara ruwatan
Sumarti Suprayitno, dan Anung Tedjo Wirawan pada tahun 1985 dengan judul
Sastra Jawa. Penelitian ini diadakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
yang ada dalam bentuk tulis. Hasil pendataan dikelompokan menjadi: (1) Ruwatan,
(2) Isi ringkas Kidung Sudamala, (3) Cerita Bathara Kala yang terdiri dari: Cerita
kehadiran Bathara Kala dalam cerita Jawa Kuna dan Pakem Pedalangan, Cerita
Bathara Kala menurut Kitab Manik Maya, Cerita Bathara Kala menurut Kyai
Bathara Kala menurut S. Padmosoekotjo, (4) Murwakala dan Ruwatan terdiri dari
Murwakala dan Ruwatan yang bersumber kitab Centhini, Murwakala dan Ruwatan
menurut Kyai Demang Reditanaya, Murwakala dan Ruwatan menurut Raden Mas
Ruwatan di Tegal, dan Ruwatan di Karangjati Bagelen, (5) Manusia sukerta terdiri
dari: anak dan orang sukerta yang tersebut dalam kitab Centhini, anak dan orang
sukerta yang tersebut dalam kitab Manik Maya, anak dan orang sukerta yang
tersebut dalam Serat Murwakala karangan Raden Mas Citrakusuma, dan anak dan
wayang kulit yang masih ditradisikan oleh masyarakat di daerah eks Karesidenan
Surakarta. Melalui deskripsi upacara ruwatan (dengan pergelaran wayang kulit) ini
setempat serta peranan pertunjukan wayang kulit untuk upacara ruwatan sebagai
kegiatan sosial yang bersifat ritual merupakan salah satu sarana sosialisasi dan
pembentukan diri bagi masyarakat bersangkutan di lain pihak perubahan tata nilai
faktor yang menyebabkan adanya perubahan atau peralihan dalam ruwatan antara
lain ialah akibat kontak-kontak dengan kebudayaan asing yang dipermudah dan
di segala bidang.
Penelitian ketiga dilakukan oleh Sri Teddy Rusdy (2012) dengan judul :
kritis terhadap pelaksanaan upacara ruwatan sukerta, sebagai salah satu adat istiadat
yang masih ada dan relevan dalam kehidupan masa kini maupun masa mendatang.
Penelitian ini dimaksudkan untuk: (1) mendeskripsikan fakta tentang ruwatan di era
sekarang ini yang ternyata masih terjadi dan dilaksanakan oleh sebagaian
masyarakat Jawa; (2) mengetahui bentuk, struktur, dan penyajian cerita lakon
wayang versi Ki Timbul Hadiprayitno KMT Cermo Manggolo; dan (3) mengetahui
makna dan symbol yang terkandung dalam lakon wayang Murwakala. Teks lakon
dengan teks lakon Murwakala versi yang lain yaitu tentang perjalanan Bathara Kala
meminta makanan berupa manusia kepada Bathara Guru sampai pada pertemuan
menceritakan bahwa ketika salah satu niyaga yang mengiringi pertunjukan wayang
Bathari Durga digambarkan sebagai ibu dari Bathara Kala dan setelah Dhalang
menjelaskan semua maksud titipan yang ditulis di empat bagian tubuh Bathara
Makna. Perbedaan terjadi pada sumber data dan tujuan penelitian. Penelitian yang
dan penelitian yang dilakukan oleh Sri Teddy Rusdi berdasarkan pada pertunjukan
Murwakala, jenia-jenis orang sukerta, dan jenis-jenis sajen disajikan secara detil
namun pendataan tersebut belum diikuti oleh pembahasan tentang makna teks.
tentang makna teks. Sedangkan tujuan penelitian yang dilakukan oleh Teddy Rusdi
adalah untuk mendeskripsikan fakta tentang ruwatan di era sekarang ini yang
teryata masih terjadi dan dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Jawa. Oleh sebab
itu, penelitian yang dilakukan oleh peneliti sekarang bertujuan untuk mencari
kekhasan teks lakon Murwakala versi Ki Suprapto,HS dan makna teks baru
dalam upacara ruwatan sukerta dan sengkala di Desa Sawahan Kecamatan Nganjuk
pagi hari dengan melakukan upacara yang bersifat seremonial sampai siang hari
untuk mencapai tujuan penelitian adalah teori yang berhubungan dengan struktur
teks lakon wayang kulit purwa dan teori yang dapat digunakan untuk
mengungkapkan makna teks . Jadi, teori yang diperlukan adalah teori tentang text-
building yang dikemukakan oleh A.L Becker dan teori postrukturalisme naratologi
1.7.1 Teks
Teks secara etimologis berasal dari bahasa Latin textus yang berarti
tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan, baik gerak maju mundur
maupun tenunan atau jalinan yang mengimplikasikan suatu aktifitas yang kompleks
244). Teks dapat direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh, seperti paragraf
Teks menurut Jonathan Culler (1997: 56) adalah sesuatu yang telah
teks sebagai suatu objek verbal yang otonom yang makna umumnya dapat dipahami
oleh semua pembaca kompeten dan sensitive yang membacanya sementara kritik
strukturalisme Perancis menganggap teks sastra sebagai satu bentuk institusi sosial
tulisan tersebut memadukan serangkaian kode dan konvensi sastra yang spesifik
hubungan, yaitu hubungan antara unit-unit dalam sebuah teks, hubungan antara unit
dengan teks yang lain, hubungan unit-unit dalam suatu teks dengan maksud atau
tujuan pengarang teks, dan hubungan antara unit-unit dengan aktifitas non-sastra
atau yang dikenal dengan referensi. Lebih lanjut, Becker (1979: 213) mengatakan
bahwa dalam studi teks, aktifitas fokus pada teks dan penciptaan teks. Aktifitas
penciptaan teks saling berkaitan dan saling mengoreksi satu sama lain. Artinya
aktifitas penciptaan teks baru didasarkan pada teks yang sudah ada kemudian
diperbaharui sesuai dengan konteks, oleh sebab itu, dalam penciptaan teks baru
selalu terjadi pengulangan dari teks yang sebelumnya. Menurut Becker (1979: 213)
secara bebas diungkapkan pada masa kini, hal ini menunjukkan kualitas pengarang
menghasilkan sebuah konteks baru dan makna baru dari konteksnya, tidak ada
seorangpun yang dapat mengatakan tentang masa lalu sepenuhnya, selalu dibarengi
dengan konteks kekinian secara spontanitas. Spontanitas ini dapat digunakan untuk
mengisi ruang kosong dalam teks yang disediakan oleh pengarang, dimana
kerangka secara global sehingga pembaca secara aktif dan kreatif dapat
berpartisipasi (Iser, 1978: 201-203). Fakta inilah yang menyebabkan teks bersifat
demikian, teks adalah ruang metodologis yang dapat dipahami hanya dalam
Berkaitan dengan sifat teks yang terbuka, maka teks memungkinkan untuk
berubah. Martin L. West mengatakan bahwa perubahan teks dapat disebabkan oleh
beberapa faktor seperti: (1) adanya perubahan yang dilakukan oleh pengarang
sendiri setelah karya tersebut beredar, (2) terjadinya interpolasi atau penyisipan
dari teks asli, (4) terjadinya kelupaan terutama ketika menggunakan kutipan seperti
penggunaan mantera, dan (5) terjadinya kesalahan yang tidak disadari dan tidak
Kemudian, struktur teks dalam lakon wayang kulit purwa dikaitkan dengan
alur atau plot. Menurut Becker (1979:220-226) bahwa suatu plot lakon wayang
membicarakan gambaran sebuah tindakan, suatu cara, dan peristiwa. Lakon wayang
disusun berdasarkan tiga bagian utama yang masing-masing bagian dibatasi oleh
rentang titi nada suara musik gamelan sebagai iringannya yang melekat pada suara
gamelan. Pada setiap bagian itu terdapat struktur internal yang telah ditentukan.
Bagian-bagian itu disebut pathet yang meliputi Pathet Nem, Pathet Sanga, dan
Pathet Manyura. Kemudian setiap pathet terdiri dari tiga bagian yang dikenal
dengan (1) jejer, sebagian besar lakon wayang biasanya dimulai dengan pertemuan
di suatu istana, seorang raja dengan segenap punggawa kerajaan, pada saat inilah
suatu persoalan muncul dan suatu rencana mulai dibentuk; (2) adegan, mungkin
dapat terjadi dua adegan atau lebih yang berasal dari pertemuan pada jejer, misalnya
adegan gapuran, budhalan atau paseban Jawi dan adegan-adegan di luar istana
pertemuan yang disebut budhalan; (3) perang, suatu adegan perang muncul pada
akhir perjalanan, walaupun pada kenyataannya sering tidak selalu setiap perjalanan
berakhir dengan perang, tergantung pada lakon yang dipentaskan. Setiap suasana
yang terjadi di dalam suatu cerita lakon wayang memiliki tiga unsur yang tetap yaitu
(1) deskripsi suatu situasi yang berupa janturan, kandha, dan carito; (2) ginem atau
pocapan yaitu berupa dialog antar tokoh wayang; (3) selanjutnya diikuti oleh suatu
tindakan yang berwujud gerak-gerak wayang, mungkin berupa perang antar tokoh
wayang atau dapat juga lumaksana, yang lazim disebut dengan istilah sabetan.
1.7.2 Postrukturalisme Naratologi.
Teori struktural adalah suatu disiplin yang memandang karya sastra sebagai
suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan antara yang
satu dengan lainnya (Abrams, 1981: 188; Sangidu, 2004: 16), dalam strukturalisme
konsep fungsi memegang peranan penting. Artinya, unsur-unsur sebagai ciri khas
seperti sisi kode pokok yang menciptakan makna atau sebagai agen makna (Culler,
1997: 125). Lebih lanjut Culler (1997: 126) mengatakan bahwa tujuan
tetapi memahami bagaimana karya sastra dapat mempunyai makna dan efek pada
pembaca.
komunikasi tersebut adalah bahasa mode, olah raga, pendidikan atau sastra. Setiap
sebagai hasil dari kombinasi beberapa unsur karena jika setiap unsur itu berdiri
sendiri maka unsur tersebut tidak mempunyai makna sepenuhnya. Hal inilah yang
keseluruhan, dilihat sebagai sistem tanda. Sistem tanda tersebut terbagi atas unsur
intrinsik yang berhubungan dengan apa yang ada dalam teks itu sendiri dan unsur
ekstrinsik yaitu unsur yang berhubungan dengan sistem di luar teks. Berdasarkan
pada pemahaman ini, strukturalis beranggapan bahwa aspek bentuk dan isi
hubungan suatu makna dapat dinyatakan (Bressler, 1999: 94 ; Yunus, 1988: 11).
berbagai komponen dari sebuah sistem, jika diterapkan dalam karya sastra,
menekankan pada sistem langue dengan jalan sebuah teks dihubungkan dengan teks
yang lain, strukturalisme tidak menekankan pada analisis teks secara terpisah
mempunyai kesamaan dengan struktur bahasa. Seperti bahasa, sastra adalah sebuah
sistem yang menyertakan diri dari aturan yang dibentuk oleh bahasa dan seperti
bahasa, sastra tidak memerlukan referensi dari luar. Sastra mempunyai konvensinya
sendiri yaitu bahwa setiap genre sastra menunjukkan konvensinya sendiri dan
mampu mengungkapkan makna teks dan semua teks adalah bagian dari sebuah
sistem makna terbagi yaitu intertektual, semua teks mengacu ke pembaca teks lain.
Makna, dengan begitu, dapat diungkapkan hanya melalui sistem hubungan terbagi
bukan menurut maksud pengarang atau pengalaman pembaca (Bressler, 1999: 91-
92).
(tukang cerita) dan sekunder (narrator), b) visi fiksionalitas , yaitu bagaimana suatu
dunia dipandang (difokalisasi) dalam cerita, dan c) susunan dunia fiksi, bagaimana
cerita disusun kembali sehingga menjadi plot (Ratna, 2011: 239-243). Teks naratif
dihasilkan oleh agen, sebagai narrator, bukan oleh penulis, penulis justru ditentukan
oleh tulisan. Pembaca sama sekali bebas dari kompetensi penulis. Teks ditulis oleh
pembaca, setiap teks merupakan jaringan baru kutipan masa lalu (Barthes, 1985:
39).
naratologi yang ditawarkan oleh Jonathan Culler. Jonathan Culler (1977: 113-130)
lain seperti memori dan logika. Kompetensi inilah yang akan menghasilkan
kompetensi sastra, yaitu perangkat konvensi untuk memahami sastra atau dengan
kata lain genre dan hukum-hukum untuk memahami sastra. Penerapan terhadap
konvensi yang sama tidak harus menghasilkan makna yang sama karena
diterapkan pada genre yang lain. Lebih lanjut, Culler mengatakan bahwa
narrator. Teks dalam penelitian ini berbentuk lakon wayang kulit purwa yang
mempunyai karakteristik yang berbeda dengan bentuk karya sastra lain. Dalang
yang diobservasi dalam penelitian ini adalah Ki Suprapto, HS seorang dalang ruwat
Murwakala versi lain dan menyimak secara langsung pertunjukan wayang yang
dalang tersebut dengan lingkungan (universe), pelaku lain (artist), dan penonton
(audience). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa penceritaan sebuah lakon
wayang kulit purwa yang dilakukan oleh seorang dalang dipengaruhi juga oleh
faktor eksternal dari dalang tersebut misalnya kesepakatan yang dilakukan antara
menemukan makna pada cerita dan penceritaan secara terpisah, melainkan makna
memanfaatkan logika ganda yaitu di satu pihak memahami wacana sebagai urutan
Struktur tematik menurut Culler mengacu pada arah yang ditunjukkan oleh setiap
peristiwa yang bergerak dalam mempersatukan plot atau the goals towards which
mengorganisasikan plot sebagai sebuah jalan lintasan dari satu keadaan ke keadaan
yang lainnya dan jalan lintasan atau gerakan ini harus menggambarkan tema.
Sebuah akhir harus dibuat sebagai sebuah transformasi dari permulaan sehingga
makna dapat ditarik dari presepsi persamaan dan perbedaan, hal ini menentukan
peristiwa yang dianggap sebagai sebuah tingkatan mencapai tujuan atau sebuah
yang berbeda atau tingkatan makna, yaitu: makna sebuah kata, makna sebuah
ujaran, dan makna sebuah teks. Makna kata akan memberikan kontribusi terhadap
makna ujaran dan sebaliknya makna kata tergantung pada apa yang diungkapkan
dalam ujaran. Ketiga tingkatan makna tersebut mengacu pada satu hal yang sama
dapat diparafrasakan karena makna itu tidak dapat dibicarakan secara terpisah dari
sehingga yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lainnya. Makna sebuah teks
bukanlah apa yang ada pada pikiran pengarang, bukan juga suatu properti yang
dimiliki oleh sebuah teks atau pengalaman pembaca. Makna adalah gagasan yang
tidak dapat dielakkan karena makna bukanlah ssesuatu yang sederhana dapat
ditentukan. Makna adalah apa yang dipahami dan apa yang ada dalam teks yang
dicoba untuk dipahami. Makna bergantung pada konteks yang meliputi aturan
bahasa, situasi pengarang dan pembaca, serta sesuatu lain yang mungkin relevan.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa makna terbatasi oleh konteks tetapi
dengan cara memahami apa yang ada dalam teks yaitu apa yang ditunjukkan oleh
dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian. Metode penelitian yang dilakukan oleh
peneliti terbagi dalam dua kategori yaitu metode pengumpulan data dan metode
adalah teks lakon Murwakala yang digunakan pada pertunjukan wayang kulit
dalam rangka ruwatan sukerta dan sengkala di Nganjuk Jawa Timur yang
inventarisasi, proses ini merupakan tindakan awal dari langkah dan kebijakan
judul, isi, jenis, waktu teks sastra itu dituturkan secara resmi, untuk siapa dituturkan,
nama penutur, umur, status, pendidikan, dan dari siapa penutur mendengar pertama
kali sastra itu dituturkan, (2) perekaman, proses ini dilakukan dengan menggunakan
Perekaman ini dilakukan untuk melepaskan suatu teks sastra lisan dari tradisi
kelisanan dalam bentuk penuturan sastra dari mulut ke mulut, (3) pentranskripsian,
proses ini penting dilakukan untuk menyelamatkan data yang ada di dalam kaset
rekaman dengan mengalihkan sastra yang berada dalam alam lisan ke dalam bentuk
mengalihkan ke dalam aksara latin (Rozak Zaidan, 2002: 11-13). Berkenaan dengan
sifat objek material penelitian yang berupa pertunjukan, peneliti akan menyajikan
lakon Murwakala yang didasarkan pada hasil rekaman secara menyeluruh yaitu
pentranskripsian menggunakan cara yang telah dipakai oleh Kasidi (1995: 16-196),
dan Hinzler (1981:71-168) yaitu dengan jalan menuliskan kembali lakon wayang
Murwakala versi lain untuk melihat persamaan dan perubahan penceritaan yang
dilakukan oleh Ki Suprapto, HS, untuk itu, peneliti memilih teks lakon Murwakala
versi Kyai Demang Reditanaya yang berbentuk balungan lakon yang diterbitkan
Reditanaya adalah keturunan terakhir dari trah Kyai Panjangmas yang merupakan
dalang ruwat Kasunanan. Kyai Demang Reditanaya telah melakukan beberapa
perbaikan dari teks lakon Murwakala sebelumnya dan sampai sekarang versi itulah
menyajikan alur teks lakon Murwakala versi Kyai Demang Reditanaya Alur teks
lakon tersebut kemudian digunakan sebagai dasar untuk mengetahui persamaan dan
perbedaan yang dimiliki oleh teks lakon Murwakala versi Ki Suprapto, HS dan
versi Kyai Demang Reditanaya. Perbedaan yang terjadi kemudian dianalisis untuk
yang berbeda, dan menggunakan mantera yang biasanya digunakan oleh dalang
kompetensinya sebagai seorang dalang ruwat yang tinggal di Nganjuk. Tahapan ini
HS mulai dari awal cerita sampai pada akhir cerita. Peristiwa didefinisikan sebagai
sesuatu yang terjadi, sesuatu yang dapat dianggap sebagai katakerja, atau nama dari
dengan pathet sangat membantu peneliti untuk menjelaskan alur teks lakon
dan keterjalinan antar peristiwa. Langkah ini menunjukkan perhatian peneliti yang
difokuskan pada teks lakon Murwakala yang diceritakan kembali oleh Ki Suprapto,
HS atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa analisis difokuskan pada unsur-
unsur intrinsik yang dimiliki oleh teks lakon Murwakala versi Ki Suprapto, HS.
mulai dari awal cerita sampai akhir cerita menunjukkan dua tema besar yaitu
dumadine Kala dan ruwat Kala. Struktur teks dumadine Kala tersusun dari
rangkaian peristiwa yang terjadi pada pathet Nem sedangkan struktur ruwat Kala
terjadi pada pathet Sanga, dan akhirnya ruwat Durga terjadi pada pathet manyura.
Langkah penyusunan struktur tematik ini sesuai dengan langkah penelitian logika
ganda yang ditawarkan oleh Jonathan Culler, yaitu melihat wacana sebagai urutan
struktur tematiknya.
tematiknya. Makna teks diungkapkan dengan memahami apa yang ada di dalam
teks. Apa yang ada dalam teks lakon Murwakala versi Ki Suprapto, HS yang akan
dipahami adalah makna dumadine Kala, makna ruwat Kala, dan makna ruwat
Durga.
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri atas bab I tentang : latar
penulisan.
Bab II tentang alur teks lakon Murwakala versi Kyai Demang Reditanaya
dan penceritaan teks lakon Murwakala versi Ki Suprapto, HS. Penceritaan teks
Bab III tentang analisis struktur teks lakon Murwakala versi Ki Suprapto,
HS. Struktur teks dibangun berdasarkan atas struktur tematiknya yang terdiri dari
HS. Makna teks diungkapkan berdasarkan pada struktur tematiknya yaitu makna
KESIMPULAN
bahwa teks lakon Murwakala versi Ki Suprapto, HS yang dipertunjukkan pada upacara
ruwatan sukerta dan sengkala pada tanggal 2 Januari 2011 di Desa Sawahan Kecamatan
Nganjuk Kabupaten Kertosono Jawa Timur menunjukkan versi yang spesifik atau
khas yang berbeda dengan versi pakem pangruwatan yang lain baik versi Kasunanan
tersebut dapat dilihat dari alur cerita dan pencampuran penggunaan mantera versi
Alur teks lakon Murwakala versi Kyai Demang Reditanaya dimulai dengan
kepada Bathara Guru. Bathara Guru mengijinkan Bathara Kala memakan manusia
maesan. Bathara Guru terlanjur terlalu banyak memberikan makanan manusia kepada
Bathara Kala, hal tersebut dapat menimbulkan kekacauan, oleh sebab itu tindakan
Bathara Kala memakan manusia harus dicegah. Bathara Guru meminta Bathara Wisnu,
Bathara Narada, dan Bathara Brama turun ke bumi dengan menyamar sebagai Dhalang
kepada Dhalang Kandgabuwana siapa yang lebih tua antara dirinya dengan Dhalang
menerangkan maksud semua titipan yang ada pada tubuh Bathara Kala. Bathara Kala
mengakui Dhalang Kandhabuwana sebagai orang tuanya dan Bathara Kala bersedia
Alur teks lakon Murwakala versi Kyai Demang Reditanaya di atas digunakan
sebagai teks pembanding teks lakon Murwakala versi Ki Suprapto, HS. Alur teks lakon
Murwakala versi Ki Suprapto, HS menunjukkan alur yang berbeda dengan teks lakon
Murwakala versi Kyai Demang Reditanaya. Hal tersebut terjadi karena Ki Suprapto,
melakukan: (1) penggantian jantur Wa Kala Mur dengan rangkaian peristiwa yang
menggambarkan tentang dumadine Kala, (2) pemberian alasan yang berbeda tentang
titipan yang berbeda, (4) perubahan cara pencegahan Bathara Kala memakan manusia,
(5) perubahan penokohan Bathari Durga, (6) penambahan informasi pada peristiwa
alur teks lakon Murwakala versi Kyai Demang Reditanaya. Alur atau struktur teks
lakon Murwakala versi Ki Suprapto, HS secara tematik menunjukkan dua tema yaitu
dumadine Kala dan ruwat Kala. Struktur tematik dumadine Kala memberikan
pemahaman bahwa Bathara Kala ada sebagai akibat dari kesalahan Bathara Guru
yang tidak mampu menahan napsunya sehingga kama Bathara Guru terjatuh di
samudra. Bathara Kala menanggung kesalahan Bathara Guru karena napsu Bathara
Guru yang ada pada tubuh Bathara Kala (aji kala cakra) itulah yang menyebabkan
Bathara Kala mempunyai keinginan untuk memakan manusia. Kondisi Bathara Kala
seperti inilah yang dianggap sama seperti kondisi yang dialami oleh orang sukerta.
Tokoh lain yang menerima sengkala adalah Bathari Durga. Bathari Durga menerima
sengkala sebagai akibat dari kecerobohan yang dilakukannya yaitu menolak keinginan
Bathara Guru dan memprotes keputusan Bathara Guru. Struktur tematik dumadine
tematik yang kedua yaitu struktur tematik ruwat Kala. Struktur tematik ruwat Kala
merupakan solusi dari struktur tematik dumadine Kala. Struktur tematik ruwat Kala
mengeluarkan kondisi suker yang dialami oleh anak sukerta tersebut sehingga setelah
mengikuti ruwatan, anak sukerta akan terhindar dari ancaman Bathara Kala. Dhalang
Bathara Guru yang berada di tubuh Bathara Kala sehingga Bathara Kala tidak lagi
mempunyai keinginan memakan manusia sukerta, dengan demikian, tidak akan ada
lagi yang mengancam anak sukerta. Dhalang Kandhabuwana juga meruwat Bathari
Durga untuk menghilangkan sifat jelek yang dimiliki oleh Bathari Durga sehingga
Bathari Durga dapat kembali ke wujud semula yaitu sebagai Bathari Uma.
lakon Murwakala versi Ki Suprapto, HS pada upacara ruwatan sukerta dan sengkala
menunjukkan alur mundur atau flashback dan memberikan pemahaman bahwa tidak
semua manusia dilahirkan dalam kondisi yang sempurna tetapi ada yang karena
hidupnya yaitu menjadi makanan Bathara Kala, namun kondisi yang kurang baik
tersebut dapat diatasi dengan mengadakan upacara ruwatan. Ruwatan adalah sebuah
upaya permohonan kepada Tuhan untuk dibebaskan dari mara bahaya, dalang
silogisme bahwa dunia itu berisi tentang kenyataan yang menunjukkan sifat
pertentangan atau binary opposition, yaitu pengancam >< terancam, ceroboh ><
bijaksana, lemah >< kuat, buruk >< baik, dan kejahatan >< kebaikan tetapi pada
akhirnya kejahatan dapat dikalahkan oleh kebajikan, (2) sugesti keamanan bagi orang
sukerta yang sudah melakukan ruwatan dengan menyakinkan bahwa setelah orang
sukerta tersebut diruwat, .mereka akan terbebas dari ancaman Bathara Kala karena
kemalangan yang dialami oleh orang sukerta tersebut sudah dihilangkan, kemudian si
pengancam (Bathara Kala) juga sudah diruwat untuk menghentikan ancaman sehingga
tidak akan ada lagi yang mengancam kehidupan orang sukerta atau sudah tidak ada
lagi posisi terancam dan pengancam, dan (3) konsep sangkan paraning dumadi, yaitu
suatu upaya untuk melihat dirinya sendiri dengan bertanya dari mana asal-usulnya dan
Bathara Kala.
memberikan bentuk atau sesuatu yang berbeda dalam setiap pertunjukannya. Struktur
dan makna teks lakon Murwakala versi Ki Suprapto, HS berbeda dengan versi yang
lain, hal ini menunjukkan idiosenkretik Ki Suprapto, HS sebagai seorang dalang ruwat
dari Desa Sawahan Kecamatan Nganjuk Kabupaten Kertosono. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa temuan dari penelitian ini memperkuat pendapat Jonathan Culler
bahwa makna karya sastra ditentukan oleh pembaca dalam hal ini Ki Suprapto, HS
sebagai narrator dan makna teks itu tidak tunggal. Temuan ini juga memberikan
kontribusi bagi Bangsa dan Negara Indonesia terutama dalam bidang sastra dan
budaya. Temuan ini menunjukkan adanya kreatifitas yang dilakukan oleh dalang
sebagai pencerita (story teller) untuk menghidupkan sastra dan budaya khususnya yang
berhubungan dengan tradisi ruwatan sehingga tradisi ruwatan tersebut tidak mandeg
tetapi hidup. Kreatifitas ini merupakan upaya pelestarian budaya dan budaya selalu
bahwa tafsir itu tidak mandeg namun berkembang sesuai dengan jamannya.
tontonan tetapi juga tuntunan dan tatanan. Tuntunan dan tatanan dipresentasikan
melalui peristiwa yang dialami oleh semua karakter yang ada dalam lakon Murwakala.
perilaku atau code of conduct baik yang bersifat positif maupun negatif. Code of
conduct tersebut dapat dijadikan pedoman hidup karena berkenaan dengan pembinaan
mental dan spiritual, seperti : 1) etika terutama etika yang mengatur hubungan antara
suami dan istri bahwa kumpulnya suami dan istri dalam persetubuhan mengandung
kewajiban suci dan cita–cita luhur untuk memperoleh wiji–aji atau bibit unggul agar
dianugerahi anak yang berbudi baik, berguna untuk keluarga, masyarakat luas, dan peri
kemanusiaan, hubungan suami dan istri diwakili oleh hubungan tokoh Bathara Guru
dengan Bahtari Uma, hubungan antara orang tua dan anak, diwakili oleh hubungan
antara Bathara Guru dengan Bathara Kala, etika tentang bagaimana melakukan
pekerjaan dengan tuntas seperti yang dilakukan oleh orang yang sedang menanak nasi,
dan etika atasan dan bawahan yang dipresentasikan oleh hubungan Dhalang
pemahaman tertentu bagaimana mencari pekerjaan yang baik, 3) sifat gotong royong
yang dijelaskan dengan kehadiran tokoh Suwarno yang ingin meruwat anaknya dengan
penggunaan waktu.
Pada konteks kekinian, Bathara Kala dapat muncul dalam diri manusia itu
sendiri dalam konteks waktu. Jika manusia tidak mampu mengolah waktu yang
dimiliki dengan baik, maka manusia tersebut akan tergilas oleh sang waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H.1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and
Winston.
Baal, J. Van. 1988. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga
Dekade 1970), diIndonesiakan oleh J. Piry. Jakarta: Gramedia.
Beatty, Andrew. 2012. Kala Defanged managing Power in Java away from the
Centre. JSTOR, pp. 173-194.(http://www.jstor.org/stable/41581000,
diakses 1 februari 2015).
Becker,A.L. 1979. “Text Building, Epistemology, and Aesthetic in Javanese
Shadow Theatre “ dalam The Imagination of Reality. Edited by A.L Becker
and Aram A.Yengoyan. New Jersey: Ablex Publishing Corporation.
Braginsky,V.I.1993. The System of Classical Malay Literature.Leiden: KITLV
Press.
Chamamah Soeratno, Siti. 2011. Sastra, Teori & Metode. Yogyakarta: Penerbit
Elmatera.
Culler, Jonathan. 1997. Literary Theory. New York: Oxford University Press.
Finnegan, Ruth. 1976. Oral Poetry: Its Nature, Significance and Social Context.
Cambridge University Press.
Franchi, Carol Ann. 1980. A Structural Analysis of Gides “Les Caves du Vatican”
According to The Theories of Claude Lévi-Strauss. London: The Florida
State University. Disertasi dipublikasikan oleh University Microfilms
International.
Grimes, Joseph E. 1975. The Thread of Discourse. Paris: Moultan The Hague.
Hinzler, H.I.R. 1981. Bima Swarga in Balinese Wayang. The Hague: Martinus
Nijhoff.
Hobart, Angela. 1987. Dancing Shadows of Bali: Theatre and Myth. London and
New York: KPI
Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading: a Theory of Aesthetic Response. The
John Hopkins University Press: Baltimore London.
Kenny, William. 1966. How to Analyze Fiction. New York: Monarch Press.
Keeler, Ward. 1992.” Release from Kala’s Grip: Ritual Uses of Shadow Plays in
Java and Bali” dalam JSTOR, pp. 1-
25.http://www.jstor.org/stable/41581000,
diakses 1 februari 2015).
Propp, Vladimir. 1984. Theory and History of Folklore: Theory and History of
Literature, vol 5. United Kingdom: Manchester University Press.
Rassers, W.H., 1982. Panji, The Culture Hero: A Structural Study of Religion in
Java. The Hague: Martinus Nijhoff.
Ratna, Nyoman Kutha, 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rusdi, Sri Teddy. 2012. Ruwatan Sukerta dan Ki Timbul Hadiprayitno. Jakarta:
Yayasan Kertagama
Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Tehnik, dan Kiat.
Yogyakarta: Unit Penerbitan Sastra Asia Barat. Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada.
Santoso, Imam Budi. 2011. Laku Prihatin: Investasi menuju Sukses Ala Manusia
Jawa. Yogyakarta: Memayu Publishing.
Satoto, Soediro. 1985. Wayang Kulit Purwa: Makna dan Struktur Dramatiknya.
Yogyakarta: Proyek penelitian dan Pengkajian Javanologi.
Satoto, Soediro. 2012. Analisis Drama dan Teater. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Stanton, Robert. 1965. An introduction to Fiction. New York: Holt Rinehart and
Winston.
Sudharto. 2004. “Makna Simbolis dari Seni Pewayangan” dalam Anasom (ed).
Merumuskan Kembali Interelasi Islam – Jawa. Yogyakarta: Gama Media.
Sweeney, Amin. 1987. A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay World.
London: University of California Press.
Wahyudi, Aris. 2012. Lakon Dewa Ruci Cara menjadi Jawa: Sebuah Analisis
Strukturalisme Lévi-Strauss Dalam Kajian Wayang. Yogyakarta: Penerbit
Bagaskara.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1956. Theory of Literature. New York:
Harcourt, Brace & World, Inc
Zaairul Haq, Muhammad. 2011. Mutiara Hidup Manusia Jawa: Menggali Butir
Butir Ajaran Lokal Jawa untuk Menuju Kearifan Hidup Dunia dan
Akhirat. Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
Zaidan, Abdul Rozak. 2002. Pedoman Penelitian Sastra Daerah. Jakarta: Pusat
Bahasa.