Khutbah Jum'At Amanah Kepemimpinan Dalam Islam: Hadirin Sidang Jum'At Yang Dirahmati Oleh Allah SWT
Khutbah Jum'At Amanah Kepemimpinan Dalam Islam: Hadirin Sidang Jum'At Yang Dirahmati Oleh Allah SWT
Khutbah Jum'At Amanah Kepemimpinan Dalam Islam: Hadirin Sidang Jum'At Yang Dirahmati Oleh Allah SWT
Sebagai seorang khatib disetiap jum’at selalu berwasiat kepada diri khatib
sendiri dan juga kepada seluruh jama’ah jum’at untuk terus meningkatkan
kualitas taqwa kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala yakni dengan cara
melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangannya
tanpa harus memilih-milih perintah dan larangan yang selaras bagi diri kita
saja dan menafikan perintah dan larangan lainnya.
HADIRIN RAHIMAKUMULLAH
Hadirin, jika kita dalami isi hadits ini, sungguh begitu rinci Rasulullah
Muhammad saw dalam mengklasifikasi arti dan tugas kepemimpinan dalam
Islam. Dan ungkapan yang selalu diulang-ulang olehnya “dan akan dipinta
laporan pertanggungjawabannya” merupakan bukti sangat ditekankannya
untuk menunaikan amanah kepemimpinan dari setiap orang. Maka sungguh
menjadi orang yang sangat merugi jika harus bertanggung jawab di hadapan
Allah dengan bukti kezhaliman, bukti kedurhakaan, bukti ketakabburan, dan
bukti kemunafikan, na’udzubillahi min dzalik. Lalu bagaimanakah cara
membangun kepribadian yang berdiri di atas pondasi amanah tersebut ;
Jika ini semua terbangun dengan baik, maka dengan sendirinya Allah yang
akan menolong dan membatu serta menenangkan diri kita. Pantas jika
kemudian Allah sangat menekankan pentingnya dzikrullah ini, sebagaimana
firman-Nya “ala bidzikrillah thatma’innul qulub” (hanya dengan mengingat
Allah maka hati menjadi tenang), bukan sekedar hati sang pendzikir tapi juga
semua yang berada disekelilingnya merasa nyaman dan aman.
Dalam ungkapan lain, Imam Ali bin Abi Thalib ketika menjelaskan
penjelasan tentang iman, yang pertama kali ia sebutkan adalah “al-khauf bi
al-Jalil” hendaknya takutlah kepada Allah. Takut yang dibangun bukan
seperti takutnya kita dengan segala hal yang menyeramkan dan menakutkan,
akan tetapi takut jika Allah akan meninggalkan, naudzubillah. Sesungguhnya
hanya dengan bersama-Nya lah kebutuhan tertinggi kita, apalah fungsi
kekayaan jika Allah meninggalkan kita, apalah fungsi kekuasaan jika hanya
akan membuat-Mu ya Allah jauh dari kami, maka sesungguhnya hanya
Engkaulah tujuan kami.
Ketika visi ini yang dibangun di dalam diri maka apakah masih akan ada
politik kotor dalam kepemimpinan kita. Mungkinkah kehendak untuk korupsi
masih akan hadir, apakah perasaan sombong dan takabur akan mudah kita
telan di dalam diri kita ? Tentunya tidak, karena Sang Maha Suci yakni Allah
pasti akan menjaga siapapun yang telah mensucikan kepribadiannya. Namun
jika tidak, maka inilah sama seperti yang telah dijelaskan oleh Allah di dalam
firmannya, ketika ada suatu kaum yang diberikan kelebihan segalanya,
namun karena ia abaikan Allah dalam dirinya maka dengan begitu mudah
pula Allah menghancurkan mereka. Lihat surat al-Nahl ayat 112.
Step selanjutnya adalah mengenai pengendalian diri dalam gairah cantik dan
megahnya kursi kekuasaan, yakni ;
Mengenai hal ini, Rasulullah saw pernah menasehati Abu Dzar yang saat itu
meminta salah satu jabatan sebagai seorang Qadhi atau Hakim, padahal ia
juga adalah seseorang yang dekat dengan Rasulullah saw, Beliau bersabda;
“Sesungguhnya engkau ini lemah, sementara jabatan adalah amanah, di hari
kiamat dia akan mendatangkan penyesalan dan kerugian, kecuali bagi
mereka yang menunaikannya dengan baik dan melaksanakan apa yang
menjadi kewajiban atas dirinya” [HR Muslim].
Ungkapan Rasulullah saw di atas sejalan dengan apa yang telah diajarkan
Allah kepadanya melalui sejarah Nabi Allah Yusuf as. di dalam al-Qur’an, di
mana ketika seorang Raja memintanya untuk menghadap dan diberikan
jabatan tinggi di kerajaannya, namun ia (Nabi Yusuf as) tidak menerimanya,
namun ia memberikan masukan kepada sang raja agar ia dapat duduk di pos
yang memang menjadi keahliannya, dan bukan mencari tempat-tempat
“basah” yang kemudian memberikan keuntungan pribadinya semata. Adapun
kriteria kemampuan diri itu adalah, ikhlas, amanah, memiliki keunggulan dari
kompetitor lainnya, dan jika wewenang itu digunakan oleh orang lain maka
akan memunculkan bencana dan keterpurukan. Lihat Tafsir QS Yusuf ayat
55.
Ungkapan lain yang dapat kita gunakan sebagai bahan ajar kehidupan kita
adalah hadits Rasulullah yang juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari
Abu Hurairah ra. yakni ;
Artinya : “jika suatu pekerjaan diberikan kepada yang bukan ahlinya maka
tunggulah kehancurannya.”
Istilah kuat di ambil dari al-Qur’an yang dikenal dengan “al-qawiy al-amin”
kuat dan amanah. Imam al-Thabari di dalam kitabnya Tafsir al-Thabari
menjelaskan bahwa kata “al-amin” maksudnya adalah kuat secara fisik dan
juga kuat secara intelktual. Artinya, seorang pemimpin harus mampu
bergerak cepat dalam memimpin demi kesejahteraan siapapun yang
dipimpinnya, dan secara intelektual menunjukkan bahwa seorang pemimpin
selain harus kerja keras tapi juga harus kerja cerdas.
Mengenai hal ini, saya teringat dengan ungkapan Khalifah kedua umat Islam
yakni Umar bin Khattab ra., bahwa “keadaan kalian (rakyat) adalah
bergantung dengan keadaanku, jika kalian semua baik maka sesungguhnya
aku berusaha untuk itu, namun jika kalian rusak, maka aku yang paling
bertanggung jawab tentang hal itu”. Sungguh pemikian seorang pemimpin
sejati, adapun yang terjadi saat ini adalah, “jika semua baik itu dariku, tapi
jika rusak maka itu kesalahan bawahanku”, al-‘Iyadzu billah.
Adapun tentang rasa cinta atau kasih sayang seorang pemimpin kepada
rakyatnya digambarkan oleh Rasulullah beserta para khalifahnya melalui
ciuman sayang kepada anak-anak. Dalam hal ini, dikisahkan bahwa pada
suatu hari ada seseorang yang dipanggil oleh Umar untuk diangkat menjadi
pemimpin di salah satu negeri Islam, ketika ia melihat Umar sedang
menciumi dan bersenda gurau dengan anak-anaknya, lalu ia bertanya tentang
prilaku Umar tersebut. Umar-pun menjawab dengan sebuah pertanyaan,
“apakah engkau tidak pernah melakukan hal seperti ini ?” dan dijawab “tidak
pernah”, maka pada saat itu juga ia mengatakan, “kalau begitu aku tidak jadi
mengangkatmu jadi amir, karena rahmat Allah sangat jauh darimu”.
Sungguh tegas ungkapan para petinggi awal Islam ini dalam menegaskan
tingginya amanah kepemimpinan. Amanah yang kecil hubungannya dengan
manusia namun begitu besar di hadapan Allah. Oleh karenanya, jika yang
menjadi petimbangan agung dalam menetapkan para pemimpin adalah karena
faktor kedekatan emosi, maka begitu banyak yang akan tersakiti terkhusus
bagi mereka yang memang lebih berhak untuk duduk di sana. Dalam hal ini,
ada sebuah kaidah berpikir di dalam materi ushul fiqh yakni menelaah dari
makna tersirat atau yang dikenal dengan istilah mafhum mukhalafah untuk
menelaah prilaku negatif di atas.
Objek kajian dari materi ini adalah adanya dosa jariah bagi yang mengangkat
siapapun karena faktor emosi dan bahkan orang yang bukan ahlinya
sedangkan ada yang lebih berhak untuk duduk di sana. Dasar awalnya
sebagai materi mafhum muwafaqah atau pemahaman yang tersurat adalah
hadits tentang amal jariah, di mana amal tersebut akan terus mengalir bagi
siapapun yang memberikan manfaat positif bagi semua orang atau sosial.
Artinya, jika ada yang memberikan kemudharatan sosial secara tersetruktur,
maka dosanya akan terus mengalir meskipun ia telah meninggal dunia, inilah
pemahaman terbalik dari tersurat yakni pemahaman tersirat atau yang disebut
dengan mafhum mukhalafah, wal’iadzu billah. Hal ini sejalan dengan
ungkapan Rasulullah Muhammad saw ; “barang siapa dalam Islam
melestariakan tradisi yang buruk, maka baginya dosa dan dosa orang-orang
yang melaksankan, sesudahnya tanpa menguarangi dosa-dosa mereka
sedikitpun” [HR. Muslim].