Kontestasi, Konflik Dan Mekanisme Akses Atas Sumber Daya Agraria

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

KONTESTASI, KONFLIK DAN MEKANISME AKSES ATAS

SUMBER DAYA AGRARIA


(Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten Jember)

Mustapit
Staf Pengajar Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian/Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Jember
Email: [email protected]

ABSTRACT

This study aims to examine mechanism of the parties involved on reclaiming in acquiring,
controlling and maintaining the flow of benefits from protected forest protection and its
distribution. The method of research was qualitative approach using case study strategy and
multi method. Reclaiming of protected forest by community of coffee growers in Sidomulyo has
ideological purpose that is related to the reasons of morality, justice, normative and history. It
also has a practical purpose that is related to the economic and ecological value of forests. The
main actors in the conflict for agrarian resource (protected forests) are community of coffee
growers and Perhutani. In addition there are also other actors are indirectly involved. They are
private sector (traders, owners of capital and exporters) and government (village and region).
The actors have their own interests to protected forest as conflicted resource. Mechanism of the
parties in acquiring, controlling and maintaining the flow of benefits from protected forest and
its distribution is influenced by the ability to access the technology, capital, markets, knowledge,
authority, social identity and social relations.

Keywords: Contestastion, Conflict, Access mechanism, and Agrarian resource.

PENDAHULUAN ayat 1) dan adanya UU yang mengakui


Sebagian besar kebijakan kehutanan adanya hutan negara sebagaimana terdapat
di Jawa dilatarbelakangi oleh fungsi yang dalam UU Pokok Kehutanan No. 5/1967
melekat pada hutan sebagai sebuah tegakan yang diperbarui dengan UU Kehutanan No.
kayu saja dengan pengabaian baik secara 41/1999. (Peluso, 1990; Peluso dan
langsung maupun secara tidak langsung Vandergeest, 2001; dalam Bacriadi dan
terhadap dinamika masyarakat yang tinggal Sardjono, 2005). Kawasan hutan di Jawa
di sekitarnya. Misalnya, perubahan sekarang dikelola oleh empat lembaga:
kebijakan di masa pemerintahan kolonial Perum Perhutani, Dinas Kehutanan,
Belanda, lebih didasari pertimbangan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
kerusakan hutan, terutama kerusakan hutan- Pelestarian Alam (PHPA), dan wilayah
hutan jati di Jawa akibat eksploitasi di masa pengelolaan Baduy tradisional. Orang Baduy
VOC. Demikian juga jika dirunut ke mengelola hutan mereka secara otonom di
pemerintahan kerajaan, pernah muncul bawah hukum adat Baduy (terletak di
konsep hutan susuhunan yang wilayah Banten dan memperoleh status
menjalankan fungsi sebagai pemasok kayu khusus sejak masa kolonial Belanda).
untuk kapal-kapal milik susuhunan dan Kebanyakan hutan di Jawa dikelola Perum
tempat perburuan raja. Perhutani untuk keperluan produksi secara
Sekarang, semua kawasan hutan yang sepenuhnya maupun terbatas (Peluso, 2006).
tidak mempunyai kepemilikan individu Perum Perhutani adalah perusahaan
berada di bawah penguasaan negara negara otonom yang diberi mandat
berdasarkan UUD 1945 (pasal 33 ayat 3). memperoleh penghasilan guna menghidupi
Lebih lanjut, posisi negara sebagai dirinya sendiri dan memberikan 55 persen
organisasi dengan kekuasaan penuh keuntungannya kepada Anggaran
mendapat pijakan UUPA No.5/1960 (pasal 2 Pembangunan Nasional. Riwayat

54 J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011


keorganisasiannya adalah sebagai berikut: meningkatkan fungsi-fungsi hutan secara
pada tahun 1969 didirikan oleh Kementerian optimal. Pada tahun 1985 dibentuk tim
Pertanian Orde Baru, yang antara lain penelitian untuk mencari sistem pengelolaan
membawahi Direktorat Jenderal Kehutanan. hutan yang mampu memecahkan
Kemudian tahun 1972 Perhutani Jawa permasalahan sosial ekonomi masyarakat di
Tengah dan Jawa Timur secara hukum sekitar hutan yang akhirnya berhasil
digabung sebagai unit-unit produksi merumuskan program Perhutanan Sosial
tersendiri yang menginduk ke Perum (PS). Pada periode ini mulai dikenal konsep
Perhutani. Bentuk usaha negara yang berupa agroforestry. Dikembangkan pula bentuk
perum (perusahaan negara) ini bekerja alternatif PS seperti proyek Management
sebagai perusahaan nonstock pemerintah, Regime di KPH Madiun yang
dengan anggarannya sendiri dan dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang
persetujuan kementerian. Hingga 1983, berpengaruh pada intensitas tekanan
Perum Perhutani bertanggung jawab kepada penduduk terhadap kawasan hutan.
Menteri Pertanian; dan pada tahun tersebut Pasca reformasi politik 1998,
kehutanan menjadi kementerian sendiri. Departemen Kehutanan berusaha merubah
Dinas Kehutanan Jawa Barat dijadikan paradigma pengelolaan hutan dari state
bagian dari Perum Perhutani pada 1978. based oriented menjadi lebih community
Hutan di Daerah Istimewa Yogyakarta based oriented melalui program pengenalan
bukanlah bagian dari Perum Perhutani, Hutan Kemasyarakatan (HKm).
tetapi tetap berstatus Dinas Kehutanan. Perkembangan ini juga mendorong
Karena kuasa dan kendalinya atas Perhutani untuk mengembangkan konsep
tanah hutan terkodifikasi dan terlegitimasi baru bernama Penanaman Hutan Berbasis
dalam perundangan, Perum Perhutani Masyarakat (PHBM) dengan Keputusan
menguasai semua kegiatan di tanah hutan. Direksi Perum Perhutani No.
Penambangan, pengumpulan batu, kapur 268/KPTS/DIR/2007). PHBM memakai
atau kayu bakar, juga pelaksanaan segala prinsip kebersamaan dalam pengelolaan
macam penelitian memerlukan izin resmi hutan dan bertujuan meningkatkan peran dan
Perum Perhutani. Kegiatan polisi keamanan tanggung jawab Perhutani, masyarakat desa
di dalam hutan atau keamanan hutan, hutan dan pihak-pihak lainnya yang
menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun berkepentingan terhadap keberlanjutan
1985 dimaksudkan untuk mengamankan dan fungsi dan manfaat hutan. Melalui skema
menjaga hak-hak negara atas tanah hutan PHBM inilah KPH Jember mengelola
dan hasil hutan (Djokonomo dalam Peluso, kawasan hutan lindung di lereng selatan
2006). Gunung Raung yang direklaim oleh warga
Bentuk pelibatan masyarakat dalam Sidomulyo dengan membentuk Lembaga
pengelolaan hutan di Jawa pasca kolonial Masyarakat Desa Hutan (LMDH).
bermula dengan diserahkannya wewenang Sebagai masyarakat yang tinggal di
pengelolaan hutan Jawa kepada Perum tepi kawasan hutan (desa hutan), penduduk
Perhutani pada tahun 1974 yang kemudian Desa Sidomulyo Kecamatan Silo Kabupaten
mengembangkan pendekatan kesejahteraan Jember sangat tergantung dengan hutan.
dengan program Ma-Lu (Mantri-Lurah). Sebagai petani kebun kopi rakyat, mereka
Setelah diadakan Konggres Kehutanan dulunya tidak ada masalah dengan lahan.
Dunia VIII di Jakarta pada tahun 1978 Lahan mereka masih luas dan mampu
dengan tema Forest for People, Perhutani mendukung kehidupannya dalam memenuhi
menggulirkan program barunya yaitu Social kebutuhan sehari-sehari. Seiring berjalannya
Forestry, tetapi masih belum jelas bentuk waktu, lahan-lahan itu terfragmentasi
operasionalnya. Kemudian pada tahun 1982, khususnya melalui warisan, sehingga
kembali Perhutani menyempurnakan berkurang ketersediaan dan daya
pendekatan kesejahteraannya dalam dukungnya. Bahkan beberapa warga
pengelolaan hutan dengan Proyek akhirnya tidak mempunyai lahan sama sekali
Pembangunan Masyarakat Desa Hutan yang bisa digarapnya. Kondisi ini sangat
(PMDH) yang bertujuan meningkatkan kontras dengan kawasan di sekitarnya yang
kesejahteraan masyarakat desa hutan dan berupa hutan luas. Terbukanya struktur

J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011 55


politik di tingkat makro pada masa hegemoni paradigma konservasi Perhutani
reformasi menjalar sampai ke Sidomulyo di hutan lindung.
dan menggerakkan warganya untuk Penelitian ini bertujuan untuk
menuntut keadilan pengelolaan sumberdaya mengkaji mekanisme para pihak yang
alam (hutan) untuk kemakmuran bersama terlibat reklaiming dalam memperoleh,
yang selama ini semakin langka akibat mengontrol dan memelihara aliran
ditutupnya akses mereka terhadap hutan keuntungan dari hutan lindung dan
dengan adanya status hutan lindung. distribusinya.
Gerakan sosial mereka berwujud menjadi
reklaiming terhadap kawasan hutan lindung METODE PENELITIAN
yang selama ini di bawah pengelolaan Penelitian dilaksanakan pada Tahun
Perhutani (Wijardjo dan Perdana, 2001). 2010 di Desa Sidomulyo Kecamatan Silo
Kawasan hutan yang direklaiming kemudian Kabupaten Jember Propinsi Jawa Timur.
dijadikan kebun kopi rakyat. Metode penelitian yang digunakan adalah
Gejala sosial yang terjadi di pendekatan kualitatif, dimana strategi studi
Sidomulyo tersebut berbeda dengan kasus- kasus dipilih dan bersifat multi metode
kasus perkara, sengketa, maupun konflik (Sitorus, 1998). Pemilihan pendekatan ini
agraria di kawasan hutan yang ada di tempat adalah untuk menyingkap kondisi
lain. Status kawasan hutan lindung yang harmonis kontestasi hutan lindung oleh
menjadi obyek reklaiming merupakan salah para pihak terutama warga Sidomulyo
satu pembeda dengan kajian-kajian lain yang (petani kopi rakyat) dan Perhutani.
sebagian besar merupakan konflik di hutan Penelitian ini menggunakan strategi studi
produksi, hutan HTI dan hutan konservasi. kasus dengan tujuan untuk memahami dan
Selain itu munculnya fenomena ini termasuk mengidentifikasi gejala sosiologis yang
kontemporer, yaitu ketika terjadinya era berkenaan dengan reklaiming hutan lindung
reformasi sehingga mempunyai latar dan mekanisme para pihak yang terlibat
belakang yang lebih baru dan beragam reklaiming dalam memperoleh, mengontrol
walaupun tentu saja tidak bisa terlepas dan memelihara aliran keuntungan dari
dengan sejarah panjang sebelumnya dalam hutan lindung dan distribusinya serta
hal hubungan masyarakat dengan hutan. kontestasi para pihak.
Perubahan sosial (khususnya struktur Peneliti menggunakan metode sejarah
agraria) akibat reklaiming juga merupakan sosiologis untuk melihat dinamika dari
faktor baru dalam kajian dinamika struktur warga Sidomulyo dan Perum Perhutani dari
agraria. Keterlibatan banyak pihak luar waktu ke waktu. Pemilihan metode kasus
dalam fenomena sosial di suatu desa hutan sejarah/historis ini karena reklaiming hutan
juga menunjukkan bahwa desa bukan lagi lindung bukan suatu kejadian sosial pada
wilayah yang homogen dan tertutup. Para waktu tertentu saja melainkan merupakan
pihak yang terlibat melakukan praktik- proses sosial dalam rentang waktu tertentu.
praktik tertentu dalam rangka mencapai Selain itu proses sosial yang dikaji dibatasi
kepentingannya. dalam cakupan kontemporer yang sebagian
Paradigma konservasi yang diusung pelakunya masih hidup.
oleh Perhutani sebagai representasi negara
dan paradigma akses terhadap sumberdaya HASIL DAN PEMBAHASAN
hutan yang diusung oleh warga berada pada Kontestasi di sini diartikan sebagai
ruang yang sama yaitu hutan lindung. sebuah proses yang bersifat dinamis dari
Perhutani berpegang pada konsep hak yang para pihak / para aktor (komunitas petani
diperolehnya dari negara, sedangkan warga kopi rakyat, Perhutani, pedagang, dan
menuntut hak akses yaitu untuk mengambil pemerintah) yang berinteraksi dan
manfaat dari hutan lindung. Bentuk tumpang menegosiasikan apa yang menjadi
tindih paradigma ini kemudian menjadi kepentingannya dalam konteks perebutan
konflik dalam bentuk reklaiming yang sumberdaya alam (hutan lindung). Interaksi
dilakukan oleh warga. Fenomena ini mereka terwujud dalam dua bentuk relasi
menunjukkan paradigma yang diyakini oleh kuasa agraria (Sitorus, 2002) . Pertama,
warga mampu meruntuhkan dominasi relasi teknis yaitu antara aktor utama

56 J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011


(komunitas petani kopi rakyat dan membentuk paguyuban sedangkan Perhutani
Perhutani) dengan objek agraria (hutan membentuk LMDH. Selain itu ada
lindung). Kedua, relasi sosial yaitu relasi di pemerintah desa yang kadangkala menjadi
antara para pihak baik yang terkait langsung mediator dalam hubungan mereka.
maupun tidak langsung dengan reklaiming. Relasi petani dengan pihak swasta
Negosiasi kepentingan para pihak berada (pedagang dan pemilik modal) maupun
dalam dua ruang, yaitu ruang konflik dengan eksportir melalui kelompok tani
pemaknaan dan ruang konflik hak dan akses. merupakan hubungan ekonomi. Petani
menjual hasil kebun kopinya kepada para
Relasi Kuasa Agraria Para Pihak pedagang. Mereka juga berhubungan dengan
Posisi dan relasi kuasa para pihak para pemilik modal untuk membiayai
terkait reklaiming hutan lindung secara pengusahaan kebunnya dan kehidupan
sederhana dapat dilihat pada Gambar 1. sehari-harinya dengan berhutang. Hutang
Meskipun demikian perlu disadari bahwa kepada pemilik modal dikembalikan setelah
penyederhanaan ini bukan bermaksud mereka mendapatkan panen dengan
mereduksi kompleksitas relasi diantara perjanjian tertentu. Petani juga menjalin
mereka melainkan untuk menunjukkan relasi kerjasama dengan eksportir melalui
dominan berdasarkan hasil wawancara dan kelompok tani. Hal ini juga terkait dengan
observasi. pemasaran hasil kopinya dengan harapan
Dinas Kehutanan dan Perkebunan mendapatkan hasil yang lebih tinggi.
Hubungan petani kopi dengan
pemerintah kabupaten (Dinas dan
Kelompok Tani
Kehutanan dan Perkebunan) melalui
kelompok tani lebih bersifat teknis karena
Petani Kopi Pemerintah Desa hanya berkisar permasalahan teknis
budidaya dan peningkatan kualitas hasil
kopi. Hubungan ini tidak membahas
Paguyuban keberadaan kebun kopi yang berasal dari
reklaiming bahkan cenderung
menghindarinya atau menutup mata.
Pemilik
Modal
Demikian juga pihak pemerintah yang lain
Hutan LMDH seperti bupati juga tidak memberikan
Lindung
tanggapan ketika ditanya oleh petani terkait
sikap pemerintah kabupaten dengan
keberadaan kebun kopi di hutan lindung.
Eksportir Pedagang Perhutani Menurutnya hutan lindung merupakan
Kopi wewenang pemerintah pusat, pemerintah
Gambar 1. Posisi dan Relasi Para Pihak Terkait daerah tidak berkompeten untuk ikut
Reklaiming Hutan Lindung campur. Dalam hal ini terlihat bahwa
pemerintah daerah tidak melihat
Petani kopi merupakan pihak sentral kepentingan warganya tetapi cenderung
terkait reklaiming hutan lindung ini. membela pemerintahan yang ada di atasnya.
Tindakan mereka menduduki hutan lindung Dalam UU 32 Tahun 2004 tentang
dan menjadikannya kebun kopi membuatnya Pemerintahan Daerah yang merupakan UU
berhadap-hadapan dengan Perhutani yang terbaru yang mengatur desa menyebutkan
secara legal formal mendapat mandat dari urusan pemerintahan yang menjadi
negara untuk mengelolanya. Di wilayah kewenangan desa adalah: (a) urusan
hutan mereka berhadap-hadapan secara pemerintahan yang sudah ada berdasarkan
langsung dengan para mandor maupun polisi hak asal-usul desa; (b) urusan pemerintahan
hutan yang melaksanakan tugas. Tetapi di yang menjadi kewenangan kabupaten/kota
wilayah desa mereka berhubungan melalui yang diserahkan pengaturannya kepada
lembaga-lembaga yang mereka bentuk desa; (c) tugas pembantuan dari Pemerintah,
sendiri-sendiri untuk memperjuangkan pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah
kepentingan masing-masing. Petani kabupaten/kota; (d) urusan pemerintahan

J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011 57


lainnya yang oleh peraturan perundangan muncul perbincangan-perbincangan diantara
diserahkan kepada desa. Pemerintah desa mereka dalam memahami keterkaitan hutan
Sidomulyo yang terdiri atas kepala desa dan dengan kehidupannya. Mereka selalu
perangkat desa sebagaimana dalam Pasal membandingkan kondisi hutan dari waktu ke
202 UU 32 Tahun 2004 ternyata tidak tahu- waktu dengan segala status dan kebijakan
menahu dengan keberadaan dan pengelolaan pengelolaannya. Mereka merasa sebagai
sumberdaya hutan yang ada di wilayahnya. bahwa hutan adalah sesuatu yang tidak bisa
Yang jelas menurut mereka bahwa hutan lepas dari kehidupan sehari-harinya. Cerita
milik negara dan dikelola oleh Perhutani nenek-moyang, berita atau pengumuman
sebagai perusahaan negara. dari perangkat desa dan petugas perhutani,
penyuluhan dari petugas dinas, dan
Ruang Konflik Pemaknaan tentang sebagainya yang terus berakumulasi mereka
Sumberdaya Alam rangkai menjadi pengetahuan. Pengetahuan
Makna Reklaiming Menurut Warga inilah yang akhirnya membentuk sikap
Sebagai masyarakat desa hutan yang mereka secara dinamis terhadap hutan yang
tinggal di sekitar hutan, maka tidaklah ada di sekitar mereka.
mengherankan apabila warga Desa Bagi masyarakat Sidomulyo, hutan
Sidomulyo mempunyai ketergantungan yang mempunyai makna tersendiri untuk
tinggi pada hutan. Ketergantungan mereka kehidupan mereka. Nenek moyang mereka
pada hutan tidak hanya pada aspek ekologi, dahulu masih leluasa untuk membukanya,
melainkan juga pada aspek ekonomi dan walaupun menurut undang-undang Belanda
sosial bahkan budaya. Penetapan status hal itu tidak diperbolehkan. Penguasaan
hutan lindung oleh Pemerintah yang berarti hutan oleh Belanda menurut mereka adalah
hanya untuk menjamin fungsi ekologis tidak penjajahan, hutan adalah sumberdaya umum
menghentikan warga untuk tetap mengambil yang bisa dimanfaatkan oleh siapa saja yang
manfaat dari hutan lindung dari aspek mampu. Membuka hutan sendiri menurut
ekonomi, sosial dan budaya. mereka adalah suatu perjuangan yang
Sudah dari nenek moyang mereka membutuhkan keberanian dan daya tahan
memperoleh pengetahuan bahwa hutan yang luar biasa. Jadi, penguasaan oleh
merupakan sumber penghidupan. Dari hutan mereka yang membukanya adalah suatu
mereka mendapatkan kayu, baik untuk keniscayaan terlepas dari hukum apapun
membangun rumah maupun sekedar untuk yang menaunginya. Terlebih lagi hukum
bahan bakar. Dari hutan juga mereka yang diundangkan oleh Belanda, menurut
mendapatkan umbi-umbian, sayur-sayuran, mereka jelas tidak sah karena mereka tidak
dan rempah-rempah untuk bahan makanan mengakui keberadaan Belanda sebagai
dan obat-obatan. Bahkan sebelum penguasa. Sebagaimana umumnya di
ditetapkannya hutan sebagai milik negara berbagai wilayah, hutan merupakan tempat
sejak zaman Belanda, nenek moyang warga mereka yang ingin menghindari kekuasaan
Sidomulyo bebas membuka hutan untuk atau orang-orang yang kalah atau tidak
pemukiman dan lahan-lahan pertanian. Dari sepakat dengan kekuasaan yang ada.
rangkaian sejarah cerita lisan yang ada pada Sejak awal dibukanya daerah yang
warga, mereka memahami bahwa hutan sekarang menjadi Desa Sidomulyo dan
mempunyai fungsi ekonomi yang terus mungkin di daerah pinggiran hutan lainnya
menyusut dan membatasi mereka untuk di Indonesia, kental dengan perebutan
mengambil manfaatnya. penguasaan hutan. Klaim dari mereka yang
Dari sudut sosial, hutan merupakan berkepentingan muncul silih berganti
ruang untuk beraktivitas sehari-hari dengan segala argumentasi yang beraneka
masyarakat Sidomulyo. Di hutan mereka ragam. Pergantian waktu tidak
berinteraksi dengan warga lainnya dalam menghilangkan klaim-klaim tersebut,
rangka mencari sesuatu yang bisa argumentasinya menyesuaikan juga dengan
dimanfaatkan seperti rumput untuk pakan perubahan waktu. Bahkan warga Sidomulyo
ternak, kayu bakar, sayur-sayuran dan dengan perubahan waktu semakin mampu
sebagainya dan terutama menghabiskan menyusun argumentasi dengan pengetahuan
waktu di siang hari. Dalam interaksi tersebut yang semakin banyak terakumulasi melalui

58 J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011


cerita para orangtua, pendidikan, media apa-apa. Kondisi mata pencaharian
massa, dan sebagainya. di sini sulit bahkan saya pernah
Beberapa informan seperti Pak Bs pergi ke Bali untuk mencari
(Dusun K) menyatakan: pekerjaan selama dua tahun.
Kalau dahulu nenek moyang kami Akhirnya saya kembali ke
dapat memanfaatkan hutan untuk Sidomulyo setelah mendengar
sumber penghidupan mengapa adanya kesempatan untuk membuka
sekarang tidak? Bukankah kekayaan hutan.
sumberdaya harus dimanfaatkan
Jawaban Pak Bs tersebut tentunya sudah
untuk sebesar-besarnya
mengalami internalisasi, yaitu proses yang
kemakmuran rakyat? Pengelolaan
dialami manusia untuk mengambil alih
negara melalui Perhutani hanya
dunia yang sedang dihuni sesamanya. Dalam
menyerap sedikit tenaga kerja dan
internalisasi tersebut melibatkan sosialisasi
hasilnya sebagian besar dinikmati
baik primer maupun sekunder. Internalisasi
orang atas.
adalah proses penerimaan definisi situasi
Upah yang diterimanya ketika menjadi
yang disampaikan orang lain tentang dunia
mandor tanaman tidak pernah bisa
institusional. Dengan diterimanya definisi-
mencukupi kebutuhan sehari-hari
definisi tersebut, individu pun bahkan tidak
keluarganya. Tanggung jawab yang besar
hanya mampu mamahami definisi orang
dan juga resiko konflik dengan tetangganya
lain, tetapi lebih dari itu, turut
membuatnya mengundurkan diri dan ikut
mengkonstruksi definisi bersama. Dalam
arus kebanyakan masyarakat Sidomulyo
proses mengkonstruksi inilah, individu
untuk menduduki hutan lindung dan
berperan aktif sebagai pembentuk,
menjadikannya kebun kopi. Terlebih lagi
pemelihara, sekaligus perubah masyarakat.
menurutnya hasil dari kebun kopi hasil
Pak Bs melihat bahwa dunia
bukaan tersebut sangat menggiurkan apalagi
kehidupan di mana menjadi tempatnya
jika kebun dan tanamannya dirawat dengan
bersosialisasi sudah melakukan definisi
baik. Hal yang terakhir ini cukup dominan
bersama bahwa reklaiming hutan lindung
sebagai daya tarik utama tindakan untuk
sudah dipahami dan mendapat legitimasi
reklaiming. Basis materialisme ini mudah
bersama. Keikutsertaannya dalam
dipahami mengingat kopi sebagai tanaman
reklaiming merupakan bentuk ungkapan
ekspor mempunyai nilai ekonomi yang
untuk memperoleh keadilan bersama di
menonjol dibandingkann tanaman pangan
samping juga sebagai bentuk perlawanan
walaupun ujung-ujungnya nanti juga untuk
atas kondisi yang selama ini membatasinya
memenuhi kebutuhan subsistensi mereka.
untuk bisa mengakses sumberdaya hutan.
Warga Sidomulyo membentuk
paguyuban petani kopi hutan untuk
Makna Reklaiming Menurut Perhutani
memelihara makna dan nilai yang
Keistimewaan Perhutani dalam
terkandung dalam reklaiming. Tidak semua
mengelola hutan selama ini melahirkan
paguyuban yang terbentuk dapat dipercaya
sekian banyak peraturan dan tertib sosial
oleh anggotanya karena tidak semua
masyarakat sekitar hutan yang tidak jauh
pengurus di tiap-tiap paguyuban memahami
beda dengan yang pernah diterapkan oleh
peranannya. Sehingga pergantian pengurus
penjajah Belanda. Kondisi ini sangat
sering terjadi dan menimbulkan dinamika
merugikan mereka yang tinggal di sekitar
dalam paguyuban itu sendiri.
hutan yang sejak nenek moyangnya sudah
Pemaknaan reklaiming tercermin
mempunyai keterikatan dan ketergantungan
dalam jawaban salah seorang informan (Pak
dengan hutan. Pengelolaan hutan oleh
Bs, Dusun K), yang juga pernah menjadi
Perhutani mengandung makna tersendiri
ketua salah satu paguyuban, ketika saya
yang tercermin dari visi misi terkahir yang
bertanya: Mengapa Bapak membuka hutan
sekarang menjadi pegangan dalam
lindung dan menjadikannya kebun kopi?
menjalankan mandatnya.
kalau saya tidak ikut membuka Bagi Perhutani, makna hutan dapat
hutan, maka tidak akan mendapat dilihat dari perumusan misi-misi yang

J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011 59


dijabarkan dari visinya1: Menjadi pengelola jawabannya yaitu makna usaha BUMN
hutan lestari untuk sebesar-besarnya (termasuk Perhutani), apakah berfungsi
kemakmuran rakyat. Misi pertamanya sebagai sarana pencari uang bagi negara atau
yaitu: Mengelola sumberdaya hutan berfungsi sosial dalam pelayanan publik?
dengan prinsip Pengelolaan Hutan Lestari Penemuan jawaban atas pertanyaan ini akan
berdasarkan karakteristik wilayah dan Daya memberikan kejelasan arah perjalanan suatu
Dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) serta BUMN termasuk Perhutani di dalamnya.
meningkatkan manfaat hasil hutan kayu dan
bukan kayu, ekowisata, jasa lingkungan, Ruang Konflik Hak dan Akses terhadap
agroforestri serta potensi usaha berbasis Sumberdaya Agraria
kehutanan lainnya guna menghasilkan Hak (kepemilikan) dan akses
keuntungan untuk menjamin pertumbuhan menyangkut hubungan-hubungan di antara
perusahaan secara berkelanjutan, orang-orang berkenaan keuntungan-
menunjukkan bahwa hutan bermakna keuntungan dan nilai-nilai (Ribot dan
ekonomi bagi Perhutani. Peluso, 2003). Keuntungan adalah sesuatu
Misi kedua Perhutani: Membangun yang penting, karena orang, lembaga, dan
dan mengembangkan perusahaan, masyarakat hidup atas dan untuk
organisasi serta sumberdaya manusia keuntungan, berselisih dan bekerjasama juga
perusahaan yang modern, profesional dan demi keuntungan. Kunci pembeda antara
handal serta memberdayakan masyarakat hak dan akses bersandar pada perbedaan
desa hutan melalui pengembangan lembaga antara hak dan kemampuan. Hak secara
perekonomian koperasi masyarakat desa umum menimbulkan sejenis klaim yang
hutan atau koperasi petani hutan masih diakui dan didukung secara sosial baik oleh
menunjukkan makna ekonomi karena terkait hukum, adat atau konvensi. Sedangkan
manajemen internal. Pemberdayaan kemampuan yang merupakan inti dari
masyarakat yang disebutkannya bukan akses lebih mirip dengan kuasa yang dapat
berarti bermakna sosial, tetapi lebih sebagai digambarkan dalam dua hal. Pertama,
bentuk tanggung jawab sosial perusahaan sebagai kemampuan beberapa aktor untuk
(corporate social responsibility: CSR). mempengaruhi praktek dan ide orang lain.
Misi ketiga Perhutani: Mendukung Kedua, sebagai kekuasaan yang timbul
dan turut berperan serta dalam (walaupun tidak selalu berkaitan) dari
pembangunan wilayah secara regional dan masyarakat.
nasional, serta memberikan kontribusi Ruang konflik hak terhadap
secara aktif dalam penyelesaian masalah sumberdaya agraria hutan lindung antara
lingkungan regional, nasional dan komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo
internasional menunjukkan adanya makna dengan Perhutani KPH Jember berkisar pada
sosial ekonomi (pembangunan wilayah) dan klaim dari masing-masing pihak. Klaim
makna lingkungan (penyelesaian masalah Perhutani bersandar pada hukum formal
lingkungan). mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) nomor
Dari ketiga misi Perhutani di atas 15 tahun 19722, PP nomor 2 tahun 19783, PP
menunjukkan adanya makna ekonomi yang nomor 36 tahun 19864, dan PP nomor 53
sangat dominan. Hal ini sebenarnya tidak tahun 19995. Sementara itu, klaim warga
sesuai dengan bentuk keorganisasian bersandar pada alasan-alasan nilai moralitas,
Perhutani yaitu Perum yang menurut
Undang-undang No. 9 Tahun 1969 makna 2
Tentang Pengelolaan hutan di Jawa dan Madura
usaha dan tujuan perusahaannya adalah oleh negara berada di bawah Perum Perhutani
pelayanan umum (public service) dan profit yang merupakan Badan Usaha Milik Negara
yang seimbang/kondisional. Artinya antara (BUMN)
3
makna sosial dan ekonomi harus seimbang. Tentang perluasan wilayah kerja Perhutani
Kondisi ini juga merupakan buntut dari sampai kawasan hutan negara di provinsi Jawa
permasalahan yang belum tuntas Barat
4
Tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara
(Perum Perhutani)
1 5
SK Nomor : 17/Kpts/Dir/2009 tanggal 9 Tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara
Januari 2009. (Perum Perhutani).

60 J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011


keadilan, normatif dan sejarah. Nilai-nilai keuntungan dari sumberdaya (hutan
tersebut walaupun tidak mempunyai dasar lindung). Hal ini berdasar pada adanya
hukum, tetapi mendapat dukungan secara orang-orang dan lembaga yang
luas dari masyarakat. Selain itu klaim warga mengontrol akses sumberdaya sementara
juga berdasarkan pada kemampuannya yang lain memelihara akses mereka
meningkatkan manfaat (ekonomis dan melalui mereka yang mempunyai kontrol.
ekologis) dari pengelolaan hutan lindung. Pembedaan dalam hubungan akses ini dapat
Peningkatan manfaat hutan lindung membantu memahami mengapa ada orang-
menghasilkan nilai pada hutan lindung yang orang atau lembaga yang mengambil
bersumber dari masyarakat. Nilai yang keuntungan dari sumberdaya, baik memiliki
dimaksud adalah kuasa mengambil hak atau tidak atas sumberdaya tersebut.
manfaat dari petak yang ada di hutan Warga mengambil keuntungan dari hutan
lindung yang berupa kebun kopi. Kuasa lindung dengan membuka kebun kopi.
ini walaupun tidak mempunyai bukti Untuk memelihara akses ini mereka
kepemilikan, tetapi diakui oleh masyarakat memberikan cukai kepada para petugas
dan dapat dipindahtangankan dengan Perhutani. Pemeliharaan akses merupakan
sejumlah ganti rugi. strategi di bawah tanah agar para petugas
Kuasa tersebut merupakan akses Perhutani tidak merusak kebun-kebun kopi
yang oleh Ribot dan Peluso (2003) yang ada di hutan lindung yang berada di
didefinisikan sebagai: kemampuan untuk bawah kontrolnya. Semakin besarnya
mengambil keuntungan dari sesuatu seperti keuntungan yang diperoleh dari kebun-
obyek material, seseorang, lembaga dan kebun kopi tersebut membuat Perhutani
simbol. Penekanan pada kemampuan sebagai lembaga tertarik untuk turut
dibandingkan dengan hak akan membawa menikmati keuntungan tersebut. Siasat yang
perhatian yang lebih luas pada relasi-relasi diterapkannya adalah dengan membentuk
sosial yang membatasi atau LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan)
memperbolehkan masyarakat memanfaatkan untuk mengakomodasi setoran cukai yang
sumberdaya tanpa memperhatikan hubungan selama ini masuk ke petugas menjadi
kepemilikan (property rights) saja. sharing, sehingga bisa menjadi setoran
Demikian juga halnya dengan warga legal sebagaimana diterimanya dari hutan-
Sidomulyo, akses terhadap hutan lindung hutan produksi yang dikelolanya.
menghasilkan relasi kuasa agraria di antara Besaran distribusi keuntungan
para pihak baik yang terkait langsung atau (sharing) menjadi konflik di antara warga
tidak langsung dengan reklaiming. dengan para pengurus paguyuban yang
Secara empiris akses hutan lindung menetapkannya tanpa kesepakatan bersama.
digunakan oleh warga dengan cara Para pengurus paguyuban sendiri berusaha
melakukan reklaiming dan membuat kebun memenuhi target yang dibebankan
kopi di dalamnya. Sedangkan Perhutani kepadanya, sementara itu para warga merasa
hanya mempunyai kontrol yang berarti hak besaran yang ditetapkan tidak adil karena
memanfaatkan tetapi tidak bisa tidak mempertimbangkan kondisi kebun dan
menggunakannya. Dalam hal ini, terdapat hasil panen. Perbedaan kepentingan ini
jajaran kekuasaan (range of powers) yang masih belum mengarah pada konflik
mempengaruhi kemampuan warga terbuka, karena para anggota masih belum
Sidomulyo untuk mengambil keuntungan menemukan kesempatan untuk
dari hutan lindung. Kekuasaan yang menunjukkan sikapnya baik kepada
dimaksud adalah material, budaya dan pengurus atau Perhutani.
ekonomi politik dalam ikatan (bundles)
dan jaring-jaring (webs) kekuasaan yang Derajat Konflik Kontestasi
mengatur akses. Akses ini dibentuk dan Kontestasi antara dua aktor utama
dipengaruhi oleh teknologi, modal, pasar, dalam reklaiming (komunitas petani kopi
pengetahuan, wewenang, identitas sosial, rakyat dan Perhutani) dalam mencapai
dan relasi sosial. kepentingannya masing-masing pada saat
Konflik akses berkisar pada penelitian dilakukan berada pada tahap
persaingan para pihak dalam mengambil kemacetan (stalemate) (Bram, 2003).

J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011 61


Masing-masing tidak bisa memenangkan Membangun Konsensus: Membangun
kepentingannya atau mundur menerima Harmoni
kekalahan. Kondisi ini terjadi karena adanya Tahapan kontestasi yang berada pada
beberapa hal, yaitu: besarnya biaya tahap kemacetan, apabila dilihat dari seluruh
melanjutkan konflik, tidak adanya dukungan tahapan konflik berarti pada tahap puncak.
pada masing-masing pihak, dan gagalnya Pada tahap ini konflik akan menurun dan
taktik masing-masing pihak. menuju pada tahap pengurangan (de-
Masing-masing pihak baik warga escalation) dan mengalami proses negosiasi
maupun Perhutani menyadari bahwa akan dalam rangka mencapai konsensus. Tahap
membutuhkan biaya dan pengorbanan yang pengurangan konflik ini mengacu pada
besar apabila konflik terus diperluas atau menurunnya cara-cara kekerasan yang
ditingkatkan. Warga akan kehilangan kebun digunakan oleh para pihak yang terlibat
kopi yang sudah mulai menghasilkan dan dalam reklaiming. Tahap ini juga berarti
sudah menghabiskan banyak biaya. hilangnya kebencian dan meningkatnya
Sementara itu, Perhutani akan menghadapi kerjasama (Maiese, 2004).
perlawanan dari warga yang menguasai Terdapat beberapa proses yang
hutan lindung yang tidak sedikit jumlahnya. menyumbang pada pengurangan konflik
Biaya sosial yang harus ditanggung oleh akibat reklaiming hutan lindung. Beberapa
Perhutani akan sangat tinggi sekali. proses tersebut antara lain: perubahan
Pengalaman melakukan pendekatan organisasi sosial, interaksi para pihak yang
keamanan dengan mendatangkan polisi dan berkonflik, peranan pihak ketiga, lembaga
tentara seperti pada saat konflik terbuka pendidikan dan media.
(masa awal reklaiming) terbukti tidak Munculnya paguyuban petani kopi
membuahkan hasil. hutan sebagai wadah memperjuangkan
Tidak adanya dukungan pada masing- kepentingan mereka terutama keberadaan
masing pihak menjadikan konflik perebutan kebun kopinya menunjukkan adanya
sumberdaya hutan lindung berada pada keinginan dari warga untuk bekerja sama
tahap kemacetan. Warga tidak bisa menyelesaikan konflik dengan Perhutani.
melanjutkan reklaiming ini ke arah klaim Pembentukan LMDH oleh Perhutani juga
hak, karena tidak ada dukungan politik di merupakan bentuk akomodasi dari Perhutani
belakangnya. Demikian juga Perhutani tidak untuk turut mengambil keuntungan dari
mempunyai dukungan yang kuat untuk akses terhadap hutan lindung. Munculnya
mengembalikan hutan lindung yang organisasi-organisasi ini menunjukkan
direklaiming seperti semula. Para pihak bahwa para pihak yang berkonflik sudah
yang lain justru mendukung kondisi ini, di mengarah pada negosiasi untuk konsensus
mana mereka bisa mengambil keuntungan bersama.
tanpa takut mendapat resiko akibat konflik Interaksi sehari-hari para petugas
terbuka, atau adanya kesepakatan yang Perhutani yang juga bertempat tinggal dalam
dicapai oleh kedua belah pihak yang desa yang sama dengan warga yang
berkonflik yang justru merugikan mereka. melakukan reklaiming hutan lindung
Kondisi ini juga tercipta akibat menimbulkan penghormatan akan hak-hak
gagalnya taktik-taktik dari masing-masing hidup bersama. Kebersamaan mereka
pihak. Inisiatif cukai dari warga ternyata menghilangkan perasaan-perasaan
disambut dengan pola sharing dari bermusuhan yang akhirnya dapat
Perhutani. Demikian juga pendekatan mengurangi meluasnya konflik. Melalui
keamanan yang dilakukan Perhutani ternyata berbagai proses yang manusiawi, masing-
tidak efektif justru menghabiskan energi masing pihak dapat bertemu dengan
yang besar dan biaya sosial yang tinggi. penerimaan yang saling menguntungkan.
Sehingga masing-masing pihak sebenarnya Sebagaimana telah disebutkan
pada kondisi menunggu sambil tetap sebelumnya, bahwa banyak pihak yang
berusaha mengambil keuntungan dari terkait walaupun secara tidak langsung
sumberdaya yang mereka perebutkan (hutan dalam reklaiming hutan lindung ini.
lindung). Meskipun para pihak tersebut tidak
mendapat keuntungan secara langsung dari

62 J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011


akses hutan lindung, tetapi mereka kopi rakyat dan Perhutani. Di samping itu
mempunyai peranan penting dalam ada juga aktor lain yang terkait secara tidak
mengatasi meluasnya konflik. Pihak langsung yaitu swasta (pedagang, pemilik
pemerintah desa misalnya, selalu memediasi modal dan eksportir) dan pemerintah (desa
antara warga dan Perhutani dapat dan daerah).
membangun komunikasi dan konsensus Aktor-aktor yang berkonflik di atas
terkait reklaiming. Secara hukum mempunyai kepentingan masing-masing
pemerintah desa mengakui bahwa mereka terkait hutan lindung sebagai sumberdaya
tidak mempunyai kewenangan dengan yang diperebutkan. Mekanisme para pihak
pengelolaan hutan. Meskipun demikian yang terlibat reklaiming dalam memperoleh,
mereka merasa bertanggung jawab dengan mengontrol dan memelihara aliran
keberadaan warganya dan tindakan mereka keuntungan dari hutan lindung dan
membuka hutan lindung dan menjadikannya distribusinya merupakan suatu kemampuan
kebun kopi. Upaya mediasi dan dialog yang akses yang dipengaruhi teknologi, modal,
dilakukan ternyata mengarah pada beberapa pasar, pengetahuan, wewenang, identitas
kesepakatan yang sementara dirasa sosial, dan relasi sosial.
menguntungkan berbagai pihak. Sudah ada Kontestasi merupakan proses yang
Surat Perjanjian Kerjasama pengelolaan bersifat dinamis dari para pihak / para aktor
hutan lindung antara Perhutani dan warga (komunitas petani kopi rakyat, Perhutani,
yang menguasai kebun kopi dan diketahui pedagang, dan pemerintah) yang berinteraksi
pihak desa. Dengan adanya kesepakatan ini, dan menegosiasikan apa yang menjadi
maka pihak desa mempunyai dasar ketika kepentingannya dalam konteks perebutan
terjadi permasalahan atau pertikaian yang sumberdaya alam (hutan lindung). Interaksi
terkait dengan keberadaan kebun kopi yang mereka terwujud dalam dua bentuk relasi
ada di hutan lindung tersebut. Demikian juga kuasa agraria, yaitu: relasi teknis yaitu
pedagang, walaupun mempunyai motif antara aktor utama (komunitas petani kopi
ekonomi (mendapat barang dagangan kopi), rakyat dan Perhutani) dengan objek agraria
mereka juga berusaha agar kondisi yang (hutan lindung); dan relasi sosial yaitu relasi
kondusif tetap terjaga demi kelancaran di antara para pihak baik yang terkait
usahanya juga. langsung maupun tidak langsung dengan
Lembaga-lembaga pendidikan dan reklaiming. Negosiasi kepentingan para
media turut berperan dalam mengurangi pihak berada dalam dua ruang, yaitu ruang
eskalasi konflik akibat reklaiming hutan konflik pemaknaan dan ruang konflik hak
lindung. Lembaga pendidikan seperti dan akses.
sekolah dan pondok pesantren berperan Kontestasi antara dua aktor utama
dalam mempromosikan kerjasama dan dalam reklaiming (komunitas petani kopi
perilaku sosial yang baik. Demikian juga rakyat dan Perhutani) dalam mencapai
media dapat mempromosikan pemahaman di kepentingannya masing-masing berada pada
antara para pihak yang berkonflik dan tahap kemacetan (stalemate), di mana
mengklarifikasi isu-isu yang dapat masing-masing tidak bisa memenangkan
memperluas konflik. kepentingannya atau mundur menerima
kekalahan. Kondisi ini terjadi karena adanya
SIMPULAN DAN SARAN beberapa hal, yaitu: besarnya biaya
Simpulan melanjutkan konflik, tidak adanya dukungan
Reklaiming hutan lindung oleh pada masing-masing pihak, dan gagalnya
komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo taktik masing-masing pihak. Pada tahap ini
mempunyai tujuan yang bersifat ideologis konflik akan menurun dan menuju pada
yaitu terkait dengan alasan moralitas, tahap pengurangan (de-escalation) dan
keadilan, normatif dan sejarah. Selain itu mengalami proses negosiasi dalam rangka
juga mempunyai tujuan praktis yaitu terkait mencapai konsensus yang ditandai dengan
nilai ekonomi dan ekologi dari hutan perubahan organisasi sosial, interaksi para
lindung. Aktor utama yang berkonflik dalam pihak yang berkonflik, peranan pihak ketiga,
perebutan hutan lindung sebagai lembaga pendidikan dan media.
sumberdaya agraria adalah komunitas petani

J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011 63


Saran Sitorus, M.T.F. 1998. Penelitian Kualitatif:
Fenomena reklaiming hutan lindung Suatu Perkenalan. Kelompok
tidak harus dilihat sebagai konflik hak Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial.
kepemilikan (property). Perlu diperhatikan Jurusan Ilmu-ilmu Sosial dan
adanya kemampuan pada hubungan- Ekonomi Pertanian. IPB. Bogor.
hubungan sosial yang membatasi atau
memperbolehkan masyarakat memanfaatkan _____________. 2002. Lingkup Agraria.
sumberdaya (access). Dalam Endang Suhendar dkk. Menuju
Perlu peningkatan proses yang Keadilan Agraria: 70 Tahun
menyumbang pada pengurangan konflik Gunawan Wiradi. Akatiga. Bandung.
akibat reklaiming hutan lindung, antara lain:
perubahan organisasi sosial, interaksi para
pihak yang berkonflik, peranan pihak ketiga, Wijardjo, B. dan H. Perdana. 2001.
lembaga pendidikan dan media. Reklaiming dan Kedaulatan Rakyat.
YLBHI dan RACA Institute. Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Bachriadi, D. dan Mustofa Agung Sardjono.


2005. Conversion Or Occupation? :
The Possibility Of Returning Local
Communties Control Over Forest
Lands In Indononesia. Makalah
pada International Exchange in
Environmental Governance,
Community Resource Management
and Conflict Resolution (Green
Governance/Green Peace Program)
kerjasama antara the Institute of
International Studies, University of
California Berkeley, and the KARSA
Foundation (Indonesia) pada
September-Desember 2005.

Bram, E. 2003. Stalmate.


http://www.beyondintractability.org/es
say/stalemate. Diakses pada 19 Januari
2011.

Maiese, M. 2004. Limiting Escalation / De-


escalation.
http://www.beyondintractability.org/es
say/limiting_escalation/. Diakses pada
19 Januari 2011.

Peluso, N.L. 2006. Hutan Kaya, Rakyat


Melarat: Penguasaan Sumberdaya
dan Perlawanan di Jawa.
Konphalindo. Jakarta.

Ribot, J.C. dan Peluso, N.L. 2003. A Theory


of Access. Rural Sociology. Volume
68, Number 2, pp 153-181.

64 J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011

You might also like