Relationships Between Deciduous Teeth Premature Loss and Malocclusion Incidence in Elementary School in Cimahi

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

Relationships Between Deciduous

Journal of Medicine and Health


Vol. 1 No. 2. August 2015
Research Article

Relationships Between Deciduous Teeth Premature Loss and


Malocclusion Incidence In Elementary School in Cimahi
Hillda Herawati1, Novita Sukma2, Rainisa Dewi Utami3
1

Orthodontic Department Study Program of Dentistry Faculty of Medicine UNJANI,


Paedodontic Dentistry Faculty of Medicine UNJANI. 3 Study Program of Dentistry
Faculty of Medicine UNJANI
Jl. Terusan Jend. Sudirman PO BOX 148, Cimahi, Jawa Barat
Email : [email protected]

Abstract
Premature loss of deciduous teeth is defined as the loss of deciduous teeth before they
approach the eruption of the permanent teeth. The aim of this study is to find out the
relationship between premature loss of deciduous teeth and the malocclusion according to the
Angles Classification on Elementary School students children in Cimahi. The type of this
research is analytic with a cross sectional research design. The samples are 77 students (7-11
year-old). The sampling method is cluster random sampling. The result shows that the
prevalence of premature loss of deciduous teeth was 36.4% and the prevalence of malocclusion
is 76.62%. Base on Angles Classification, it is revealed that 23.4% of the population has
normal occlusion. The percentage of Angles class I malocclusion is 45,5%, class II is 23.4%
and class III is 7.8%. There is a significant relationship between premature loss of deciduous
teeth and its malocclusion (p-value = 0,000). It is concluded that all the students have
premature loss of deciduous teeth with malocclusion.
Keywords: Premature Loss, Deciduous Teeth, Malocclusion

156

Relationships Between Deciduous

Journal of Medicine and Health


Vol. 1 No. 2. August 2015
Research Article

Hubungan Premature Loss Gigi Sulung Dengan Kejadian Maloklusi di


Sekolah Dasar Negeri Kota Cimahi
Hillda Herawati1, Novita Sukma2, Rainisa Dewi Utami3
1

Bagian Orthodonti Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran


UNJANI, 2Bagian Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran UNJANI. 3Program
Studi Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran UNJANI
Jl. Terusan Jend. Sudirman PO BOX 148, Cimahi, Jawa Barat
Email : [email protected]

Abstrak
Premature loss gigi sulung merupakan keadaan gigi sulung yang hilang atau tanggal
sebelum gigi penggantinya mendekati erupsi. Premature loss gigi sulung menyebabkan
terjadinya drifting dari gigi geligi sebelahnya dan berdampak pada perkembangan oklusi seperti
malposisi, gigi berjejal bahkan impaksi gigi permanen. Penyimpangan dari oklusi normal
disebut maloklusi. Maloklusi pada tahap geligi campuran akan berkembang lebih parah apabila
tidak dilakukan perawatan ortodonti secara dini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan premature loss gigi sulung dengan kejadian maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle
pada siswa di SDN Kota Cimahi. Jenis penelitian ini adalah analitik dengan rancangan cross
sectional. Jumlah sampel sebanyak 77 siswa (7-11 tahun). Metode pengambilan sampel
menggunakan cluster random sampling. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi premature
loss gigi sulung adalah sebesar 36,4% dan prevalensi maloklusi sebesar 76,62%. Berdasarkan
klasifikasi Angle sebesar 23,4% dari populasi memiliki oklusi normal. Persentase maloklusi
kelas 1 Angle sebesar 45,5%, kelas II 23,4% dan kelas III 7,8%. Terdapat hubungan yang
bermakna antara premature loss gigi sulung terhadap maloklusi (p-value = 0,000). Kesimpulan
hasil penelitian adalah seluruh siswa dengan premature loss gigi sulung mengalami maloklusi.
Kata kunci: Premature Loss, Gigi Sulung, Maloklusi

157

Relationships Between Deciduous

Journal of Medicine and Health


Vol. 1 No. 2. August 2015
Research Article

Pendahuluan
Oklusi adalah kontak antara gigi geligi yang saling berhadapan selama terjadi satu
rangkaian gerakan mandibula. Oklusi yang normal bergantung pada kesesuaian antara lengkung
gigi, hubungan gigi geligi rahang atas dan gigi rahang bawah, serta berkaitan dengan otot, sendi
dan skeletal yang berpengaruh terhadap fungsional.1,2
Menurut Andrews (1972), terdapat enam kunci oklusi normal yaitu hubungan molar yang
memperlihatkan puncak bonjol mesiobukal molar pertama permanen rahang atas berkontak
dengan lekuk bukal (buccal groove) yang berada diantara mesial dan sentral dari molar pertama
permanen rahang bawah pada bidang sagital, angulasi dan inklinasi mahkota gigi geligi yang
tepat, tidak terdapat rotasi gigi, kontak antara gigi geligi rapat, tidak ada celah ataupun berjejal,
serta memiliki curve of spee yang datar. 1,3,4
Penyimpangan dari oklusi normal disebut maloklusi. Maloklusi merupakan suatu kondisi
yang menyimpang dari proses tumbuh kembang yang ditandai dengan tidak harmonisnya
hubungan antar gigi, satu lengkung rahang dengan lengkung rahang lainnya, wajah atau
keseluruhan.5,6 Maloklusi menyebabkan tampilan wajah buruk, gangguan pada sendi
temporomandibular, gangguan bicara, risiko karies, penyakit periodontal dan trauma.5
Maloklusi yang terlihat pada tahap geligi campuran akan mengalami perubahan seiring dengan
adanya proses tumbuh kembang dan dapat menimbulkan derajat keparahan yang tinggi pada
tahap gigi permanen bila tidak dilakukan analisis sejak dini, pencegahan dan perawatan yang
tepat pada anak.7,8
Pemeriksaan klinis untuk menegakkan diagnosis dan rencana perawatan maloklusi dapat
ditentukan dengan suatu klasifikasi maloklusi. Klasifikasi maloklusi yang paling banyak
digunakan adalah klasifikasi maloklusi menurut Angle. Penggunaan klasifikasi ini berdasarkan
hubungan dari gigi geligi terutama gigi molar pertama permanen rahang atas terhadap gigi
molar pertama permanen rahang bawah yang digunakan sebagai kunci oklusi. Idealnya puncak
bonjol mesiobukal molar pertama permanen rahang atas berkontak dengan lekuk bukal (buccal
groove) molar pertama permanen rahang bawah dan gigi kaninus rahang atas berada diantara
kaninus dan premolar pertama rahang bawah.5,9,10
Klasifikasi Angle terdiri dari tiga kelas, yaitu: Maloklusi kelas I (neutroklusi)
memperlihatkan hubungan mesiodistal yang normal antara lengkung gigi rahang bawah dengan
lengkung gigi rahang atas dan puncak bonjol mesiobukal molar pertama permanen rahang atas
berkontak dengan lekuk bukal (buccal groove) molar pertama permanen rahang bawah.
Sedangkan hubungan gigi kaninus rahang atas berkontak pada inklinasi distal kaninus rahang

158

Relationships Between Deciduous

Journal of Medicine and Health


Vol. 1 No. 2. August 2015
Research Article

bawah dan inklinasi mesial premolar pertama rahang bawah.1,11-2 Kelas I Angle modifikasi
Dewey dibagi menjadi lima tipe, yaitu:1,10
Tipe 1 : Gigi anterior rahang atas berjejal.
Tipe 2 : Gigi insisivus rahang atas labioversi atau proklinasi.
Tipe 3 : Gigitan bersilang anterior.
Tipe 4 : Gigitan bersilang posterior.
Tipe 5 : Molar mesioversi.
Maloklusi kelas II (distoklusi) mempunyai hubungan lengkung gigi rahang bawah yang
lebih kedistal dari lengkung gigi rahang atas. Puncak bonjol mesiobukal molar pertama
permanen rahang atas berada lebih ke anterior dari lekuk bukal (buccal groove) molar pertama
permanen rahang bawah. Maloklusi kelas II ini memiliki hubungan kaninus dengan inklinasi
distal kaninus rahang atas berada pada inklinasi mesial kaninus rahang bawah. Maloklusi kelas
II dibagi menjadi dua divisi, yaitu:1,2,12 Kelas II divisi 1 yang memiliki hubungan molar
disoklusi dengan gigi insisivus rahang atas labioversi. Terlihat konstruksi maksila atau lengkung
maksila berbentuk huruf V, gigitan yang dalam (deep bite) dan bibir yang pendek.1,10 Kelas II
divisi 2, dimana hubungan molar distoklusi dengan inklinasi gigi insisivus sentral lebih ke
lingual yang juga dapat melibatkan gigi insisivus lateral. Lengkung gigi rahang atas biasanya
berbentuk persegi dan memiliki overbite yang berlebihan.1,10 Kelas II subdivisi merupakan
kondisi ketika ditemukan hubungan molar pertama rahang atas dengan rahang bawah kelas II
pada satu sisi dan kelas I pada sisi lain.10
Maloklusi kelas III (mesioklusi) merupakan hubungan lengkung gigi rahang bawah yang
lebih ke mesial dari lengkung gigi rahang atas. Hubungan molar memperlihatkan bonjol
mesiobukal molar pertama rahang atas berada lebih ke posterior dari lekuk bukal (buccal
groove) molar pertama rahang bawah. Sedangkan kaninus rahang atas beroklusi dengan celah
interdental antara premolar kesatu dan kedua rahang bawah.1,11-2 Maloklusi kelas III dibagi
menjadi tiga tipe, yaitu:1
Tipe 1 : Hubungan anterior edge to edge.
Tipe 2 : Gigi insisivus rahang bawah berjejal dengan hubungan gigi anterior normal.
Tipe 3 : Gigitan bersilang anterior.
Penelitian mengenai prevalensi maloklusi telah dilakukan di berbagai negara dengan hasil
yang bervariasi pada berbagai populasi. Menurut penelitian Wijayanti dkk (2014) pada anak SD
usia 9-11 tahun di Jakarta, dilaporkan bahwa keseluruhan subjek mengalami maloklusi sebesar
65,3% dengan maloklusi kelas I, 31,6% maloklusi kelas II dan 3,1% maloklusi kelas III.13

159

Relationships Between Deciduous

Journal of Medicine and Health


Vol. 1 No. 2. August 2015
Research Article

Penelitian Drupadi (2014) pada remaja Sekolah Menengah Pertama usia 12-15 tahun di Kota
Cimahi ditemukan bahwa prevalensi maloklusi sebesar 91,26%.14 Prevalensi maloklusi tersebut
sangat tinggi sehingga menunjukkan perlu adanya pemeriksaan sejak dini untuk mengurangi
angka kejadian maloklusi, pencegahan dan perawatan terhadap penyebab maloklusi ataupun
perawatan interseptif pada maloklusi sehingga tercapai suatu oklusi yang harmonis, fungsional
dan estetik.5,7
Penyebab maloklusi salah satunya adalah premature loss gigi sulung. Penelitian
mengenai maloklusi dan premature loss gigi sulung dilakukan oleh Saloom (2005) di Baghdad
pada anak usia 3-6 tahun, menunjukkan bahwa premature loss kaninus hanya menyebabkan
maloklusi kelas I, sedangkan premature loss molar pertama dan molar kedua tampak pada
maloklusi kelas I,II dan III.15 Selain itu penelitian De Souza dkk (2008) di Jequie Brazil pada
anak usia 7-11 tahun, didapatkan maloklusi kelas I 22,9%, maloklusi kelas II divisi 1 7,2%,
maloklusi kelas II divisi 2 0,4% dan maloklusi kelas III 8,3%.16
Perhatian seorang anak mulai meningkat pada usia 6-12 tahun terhadap penampilan dan
kebersihan mulut. Perkembangan fisik sedang berlangsung terutama pada wajah bagian tengah
dan bawah. Perkembangan gigi dan oklusi memasuki tahap geligi campuran yaitu terjadi
pergantian gigi sulung menjadi gigi permanen yang banyak menimbulkan masalah. Periode ini
merupakan waktu yang tepat untuk penilaian ortodontik terhadap perkembangan maloklusi.7,17-9
Maloklusi pada anak akan mempengaruhi segi psikososialnya karena anak merasa kurang
percaya diri dengan penampilan wajahnya dan berakibat pada proses adaptasi dengan
lingkungan.5
Premature loss gigi sulung merupakan keadaan gigi sulung yang hilang atau tanggal
sebelum gigi penggantinya mendekati erupsi yang disebabkan karena karies, trauma dan kondisi
sistemik.17 Hasil penelitian Ahamed dkk (2012) pada anak usia 5-10 tahun di Kota
Chidambaram India menunjukkan prevalensi premature loss gigi sulung sebesar 16,5% dengan
persentase premature loss molar pertama (60,36%), molar kedua (29.72%), insisivus (6,30%)
dan kaninus (3,60%).19
Premature loss gigi sulung dapat menyebabkan pengurangan lengkung rahang,
pergerakan atau drifting dari gigi geligi yang berada dekat daerah hilang, gangguan
perkembangan dan erupsi gigi permanen sehingga akan menimbulkan gigi berjejal, rotasi,
impaksi bahkan merubah hubungan anteroposterior gigi molar pertama permanen rahang atas
dengan rahang bawah dan terjadi penyimpangan dari oklusi normal bila tidak dikoreksi.17

160

Relationships Between Deciduous

Journal of Medicine and Health


Vol. 1 No. 2. August 2015
Research Article

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah kejadian premature loss gigi
sulung dan maloklusi serta hubungan premature loss gigi sulung dengan maloklusi pada siswa
SDN di Kota Cimahi.

Metode
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan rancangan cross sectional. Populasi
penelitian diperoleh dari siswa SDN di Kota Cimahi. Subjek penelitian adalah siswa berusia 711 tahun yang memenuhi kriteria inklusi. Kriteria subjek dalam penelitian ini yaitu siswa
berusia 7-11 tahun, bersedia dilakukan pemeriksaan, memiliki gigi molar pertama permanen
lengkap baik rahang atas maupun rahang bawah, periode geligi campuran, tidak mengalami
celah bibir atau celah langit-langit dan tidak dalam perawatan ortodonti. Metode pengambilan
sampel menggunakan cluster random sampling. Penelitian dilakukan di SDN Kota Cimahi pada
bulan November 2014.
Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan premature loss gigi sulung dan oklusi.
Pemeriksaan premature loss gigi sulung dilakukan dengan cara melihat keadaan gigi kaninus,
molar pertama dan molar kedua lalu disesuaikan dengan tabel erupsi gigi permanen yang sudah
dikurangi 18 bulan. Pemeriksaan oklusi dengan cara melihat hubungan gigi molar pertama
permanen rahang atas terhadap rahang bawah berdasarkan klasifikasi Angle.
Analisis data yang digunakan adalah analisis secara deskriptif dan analitik. Analisis
deskriptif untuk memberikan gambaran jumlah kejadian dari setiap variabel penelitian. Analisis
analitik untuk mengetahui hubungan premature loss gigi sulung dengan kejadian maloklusi.
Data diolah dengan SPSS menggunakan uji hipotesis yaitu uji Fishers exact.
Hasil dan Diskusi
Jumlah subjek dalam penelitian ini sebanyak 77 siswa yang terdiri dari 40 siswa lakilaki (51,9%) dan 37 siswa perempuan (48,1%). Berdasarkan usia terdiri dari usia 7 tahun
sebanyak 24 orang, usia 8 tahun sebanyak 22 orang, usia 9 tahun sebanyak 15 orang, usia 10
tahun sebanyak 15 orang dan usia 11 tahun sebanyak 1 orang.
Tabel 1 Hasil pemeriksaan premature loss gigi sulung
Premature loss gigi sulung
Ya
Tidak
Total

Jumlah (orang)
28
49
77

161

Persentase (%)
36,4
63,6
100

Relationships Between Deciduous

Journal of Medicine and Health


Vol. 1 No. 2. August 2015
Research Article

Tabel 1 menunjukkan bahwa dari hasil pemeriksaan terhadap 77 siswa SDN di Kota
Cimahi yang mengalami premature loss gigi sulung lebih sedikit dibandingkan dengan yang
tidak mengalaminya dan didapatkan prevalensi premature loss gigi sulung adalah sebesar
36,4% yang berarti kurang dari setengah populasi siswa SDN yang diperiksa mengalami
premature loss gigi sulung. Hal ini juga didapatkan oleh Beldiman dkk (2012) di Romania yang
memperoleh prevalensi premature loss gigi sulung sebesar 41,6%.20 Menurut De Souza dkk
(2008) prevalensi premature loss gigi sulung di Brazil sebesar 19,6% dan menurut Ahamed dkk
(2012) di India sebesar 16,5%.16,19
Berdasarkan data tersebut, prevalensi premature loss gigi sulung pada siswa SDN di Kota
Cimahi lebih rendah daripada di Romania tetapi lebih tinggi daripada di Brazil dan India.
Perbedaan persentase tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan usia subjek penelitian dan
dalam penelitian ini hanya dilakukan pada populasi umum yang terpilih secara acak tanpa
melihat status sosioekonomi ataupun demografi.

63,6%
49 orang

36,4%
28 orang

Siswa dengan
premature loss
gigi sulung
Siswa tanpa
premature loss
gigi sulung

Gambar 1 Gambaran prevalensi premature loss gigi sulung


Penyebab utama premature loss gigi sulung adalah trauma dan karies. Gigi yang tidak
dapat dipertahankan akan dilakukan ekstraksi sehingga gigi hilang dan dapat mempengaruhi
perkembangan oklusi.10,21 Penelitian Folayan dkk di Nigeria (2005) memperlihatkan kehilangan
gigi lebih tinggi pada tahap geligi campuran yaitu usia 6-12 tahun dengan gigi anterior lebih
banyak hilang dibandingkan gigi posterior dan gigi sulung merupakan yang paling banyak
dilakukan ekstraksi.22
Penelitian Nsour dan Masarweh di Jordan (2013) menunjukkan beberapa alasan ekstraksi
gigi sulung yaitu karies (57%), alasan ortodonti (16%), mobility (12%), persistensi (8%),
trauma (4%), resorpsi akar (2%), gigi supernumerary dan impaksi (2%).23 Penelitian lain di
Pakistan juga menunjukkan alasan terbesar ekstraksi gigi sulung adalah karies (96,1%), trauma

162

Relationships Between Deciduous

Journal of Medicine and Health


Vol. 1 No. 2. August 2015
Research Article

(2,3%) dan maloklusi (1,6%). Karies merupakan penyebab utama premature loss gigi molar
sulung.24
Tabel 2 Jumlah premature loss gigi sulung berdasarkan lokasi gigi sulung
Gigi
Kaninus (c)

Jumlah
5
6
5
5
9
11
13
13
9
10
14
10

53
63
73
83
54
64
74
84
55
65
75
85

Molar 1 (m1)

Molar 2 (m2)

Persentase (%)
4,5
5,5
4,5
4,5
8,2
10,0
11,8
11,8
8,2
9,1
12,7
9,1

Tabel 2 menunjukkan persentase gigi sulung yang mengalami premature loss terbanyak
adalah gigi molar pertama (m1) sebesar 41,8%. Hal ini juga terjadi pada penelitian di Romania
yang memperoleh persentase gigi sulung yang mengalami premature loss terbanyak adalah gigi
molar pertama (m1) sebesar 48,8%, di India sebesar 60,36% dan di Jordan sebesar 40%.19-1,23
Menurut Cavalcanti dkk (2007) di Brazil persentase terbanyak adalah gigi molar kedua sulung
(m2) sebesar 54,1%.25 Sementara penelitian lain di Canada menunjukkan premature loss gigi
kaninus sulung (c) yang terbanyak.26

41.8%

45
40

39.1%

35
30
25
20

19.1% %

15
10
5
0
Kaninus

Molar 1

Molar 2

Gambar 2 Distribusi premature loss gigi sulung

163

Relationships Between Deciduous

Journal of Medicine and Health


Vol. 1 No. 2. August 2015
Research Article

Berdasarkan data tersebut, premature loss gigi sulung paling banyak terjadi pada gigi
posterior yaitu gigi molar pertama sulung (m1) dan gigi molar kedua sulung (m2) karena
dipengaruhi oleh morfologi gigi yang memiliki pit dan fissure lebih banyak dipermukaan
oklusal daripada gigi anterior sehingga mengakibatkan mudahnya impaksi makanan, akumulasi
bakteri lalu terbentuk karies.27
Caufield dkk menemukan peningkatan kolonisasi streptokokus mutans dipengaruhi oleh
waktu erupsi gigi di rongga mulut. Oleh karena itu, streptokokus mutans banyak pada gigi
posterior sulung karena gigi tersebut erupsi antara usia 16 sampai 29 bulan dengan yang terlebih
dahulu erupsi adalah gigi molar pertama lalu molar kedua. Morfologi gigi posterior dengan
fissure di permukaan oklusal juga berpengaruh terhadap kolonisasi Streptococcus mutans,
sehingga mengakibatkan karies dan jika tidak dilakukan perawatan maka akan diekstraksi yang
menghasilkan premature loss gigi sulung dan menjadikan gigi molar pertama sulung sebagai
gigi yang paling banyak mengalami premature loss.28

Tabel 3 Hasil Pemeriksaan Oklusi


Klasifikasi oklusi
Oklusi normal
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Total

Jumlah (orang)
18
35
18
6
77

Persentase (%)
23,4
45,5
23,4
7,8
100

Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa maloklusi terbanyak adalah maloklusi kelas I


(45,5%). Beberapa penelitian memperlihatkan hasil yang sama dengan penelitian yang
dilakukan di SDN Kota Cimahi seperti penelitian Wijayanti dkk (2014) pada siswa SD di
Jakarta yang memperoleh persentase maloklusi kelas I sebesar 65,3% dan pada penelitian De
Souza dkk (2008) di Brazil sebesar 47,6%.13,16

164

Relationships Between Deciduous

Journal of Medicine and Health


Vol. 1 No. 2. August 2015
Research Article

7,8%
6 orang

23,4%
18 orang

23,4%
18 orang

Oklusi normal
Maloklusi kelas I
Maloklusi kelas II

45,5%
35 orang

Maloklusi kelas III

Gambar 3 Distribusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle


Hasil pemeriksaan oklusi yang dilakukan pada siswa SDN didapatkan prevalensi
maloklusi adalah sebesar 76,6% yang berarti lebih dari setengah populasi siswa SDN di Kota
Cimahi mengalami maloklusi. Hal ini juga terlihat pada siswa SD di Brazil tahun 2008 dengan
prevalensi maloklusi 77,7% dan di Tirana tahun 2013 sebesar 72,9%.16,29 Perbedaan persentase
terjadi karena adanya perbedaan usia subjek penelitian, ras dan sosioekonomi.
Maloklusi pada tahap geligi campuran cukup tinggi seperti ditunjukkan pada penelitian
Folayan dkk.22 Hal tersebut dikarenakan pada tahap geligi campuran terjadi pergantian gigi
sulung dengan gigi permanen yang memiliki perbedaan bentuk dan ukuran, serta keadaan
lengkung gigi pada tahap gigi sulung juga berpengaruh terhadap perkembangan oklusi. Tahap
geligi campuran sangat rentan terjadi gangguan baik dari faktor umum maupun faktor lokal, hal
tersebut dapat meningkatkan maloklusi.9,10
Prevalensi maloklusi pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan prevalensi maloklusi
yang didapatkan oleh Drupadi (2014) di Kota Cimahi yaitu sebesar 91,26%.14 Perbedaan
tersebut dikarenakan subjek pada penelitian Drupadi adalah remaja SMP usia 12-15 tahun yang
sudah memasuki tahap geligi permanen. Sedangkan, pada penelitian ini subjek memiliki geligi
campuran yang berarti masih dalam perkembangan gigi dan oklusi serta maloklusi yang terlihat
dapat berubah menjadi semakin parah dengan adanya proses tumbuh kembang sehingga
prevalensi maloklusi dapat meningkat saat remaja bila tidak dilakukan perawatan.7,8

165

Relationships Between Deciduous

Journal of Medicine and Health


Vol. 1 No. 2. August 2015
Research Article

Uji hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah
terdapat hubungan antara premature loss gigi sulung terhadap kejadian maloklusi pada siswa
SDN di Kota Cimahi. Data akan dilakukan analisis dengan metode uji Fishers exact. Hasil dari
uji hipotesis disajikan dalam tabel 4 sebagai berikut:

Tabel 4 Hubungan Premature Loss Gigi Sulung terhadap Kejadian Maloklusi


Maloklusi
Premature loss
gigi sulung

Tidak
Ya

Total

Jumlah (orang)
Persentase (%)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Jumlah (orang)
Persentase (%)

Tidak
18
36,7
0
0
18
23,4

Ya
31
63,3
28
100
59
76,6

Total
49
100
28
100
77
100

P value

0,000

*Uji Fishers exact

Tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara premature loss
gigi sulung terhadap maloklusi pada siswa SDN di Kota Cimahi yang dilakukan pemeriksaan.
Kesimpulan tersebut berdasarkan pada nilai p-value yang didapatkan yaitu sebesar 0,000. Nilai
p-value tersebut jika dibandingkan dengan = 5% atau 0,05 maka nilai p-value <0,05.
Terdapat kesimpulan lain dari tabel 4 yang memperlihatkan bahwa sebanyak 31 siswa
(63,3%) mengalami maloklusi yang bukan disebabkan oleh premature loss gigi sulung,
melainkan maloklusi tersebut dapat terjadi kemungkinan oleh penyebab lain seperti herediter,
kongenital, kebiasaan buruk (bad habit), anomali gigi, retensi berkepanjangan, ankilosis, karies
dll.9,10 Siswa yang mengalami premature loss gigi sulung dan maloklusi adalah sebanyak 28
siswa (100%) yang berarti seluruh siswa dengan premature loss gigi sulung mengalami
maloklusi.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa persentase maloklusi tanpa premature loss
gigi sulung lebih tinggi dibandingkan persentase maloklusi dengan premature loss gigi sulung,
tetapi persentase tersebut memiliki hubungan yang signifikan. Hal ini sesuai dengan penelitian
De Souza dkk (2012) yang menunjukkan bahwa secara umum subjek dalam penelitiannya
mengalami maloklusi tanpa premature loss gigi sulung.16 Penelitian lain yang mendukung
kesimpulan penelitian ini adalah menurut Saloom (2005) di Baghdad yang memperoleh
persentase maloklusi tanpa premature loss lebih tinggi tetapi memiliki hubungan bermakna
antara premature loss gigi sulung dengan maloklusi.15

166

Relationships Between Deciduous

Journal of Medicine and Health


Vol. 1 No. 2. August 2015
Research Article

Tabel 5 Distribusi maloklusi tanpa premature loss gigi sulung dan maloklusi dengan
premature loss gigi sulung
Klasifikasi maloklusi
Oklusi normal
Maloklusi tanpa premature loss gigi sulung :
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Maloklusi dengan premature loss gigi sulung :
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Total

Jumlah (orang)
18

Persentase (%)
23,4

24
6
1

31,2
7,8
1,3

11
12
5
77

14,3
15,6
6,5
100

Persentase maloklusi tanpa premature loss gigi sulung (Tabel 5) pada penelitian ini yaitu
sebesar 31,2% maloklusi kelas I, 7,8% maloklusi kelas II dan 1,3% maloklusi kelas III.
Sedangkan persentase maloklusi dengan premature loss gigi sulung (Tabel 5) adalah sebesar
14,3% maloklusi kelas I, 15,6% maloklusi kelas II dan 6,5% maloklusi kelas III. Persentase
tersebut menunjukkan maloklusi kelas I lebih tinggi pada siswa yang mengalami maloklusi
tanpa premature loss gigi sulung, sedangkan maloklusi kelas II lebih tinggi pada siswa yang
mengalami maloklusi dengan premature loss gigi sulung dibandingkan maloklusi kelas I.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, persentase maloklusi dengan premature loss gigi
sulung yang didapatkan tersebut diduga karena premature loss lebih banyak terjadi pada gigi
posterior yang menyebabkan perubahan hubungan molar yang lebih signifikan dibandingkan
premature loss gigi kaninus.1,6,23 Penelitian Saloom (2005) di Baghdad memperkuat hasil
penelitian ini bahwa persentase premature loss gigi kaninus paling rendah dan hanya terlihat
pada maloklusi kelas I, sedangkan premature loss gigi molar pertama dan molar kedua memiliki
dampak yang lebih besar pada timbulnya maloklusi kelas I, II dan III.15
Premature loss gigi sulung yang mengakibatkan maloklusi terjadi karena disebabkan oleh
Adanya pergerakan ke mesial (mesial drifting) dari gigi yang berada dekat gigi yang mengalami
premature loss yang mengakibatkan penutupan ruang untuk erupsi gigi permanen yang
menggantikannya, pergerakan ke distal dan lingual pada gigi permanen ketika erupsi jika terjadi
premature loss gigi sulung posterior, perubahan arah erupsi dari gigi permanen akibat
kehilangan titik acuan untuk erupsi sehingga menimbulkan malposisi gigi dan gigi berjejal
(crowding), perubahan hubungan molar pertama permanen rahang atas terhadap molar pertama
permanen rahang bawah7,17,30.

167

Relationships Between Deciduous

Journal of Medicine and Health


Vol. 1 No. 2. August 2015
Research Article

Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Prevalensi premature loss gigi sulung pada siswa SDN di Kota Cimahi adalah sebesar
36,4% yang berarti kurang dari setengah populasi siswa SDN di Kota Cimahi yang
diperiksa mengalami premature loss gigi sulung.
2. Prevalensi maloklusi pada siswa SDN di Kota Cimahi adalah sebesar 76,62% yang berarti
lebih dari setengah populasi siswa SDN di Kota Cimahi yang diperiksa mengalami
maloklusi.
3. Terdapat hubungan yang bermakna antara premature loss gigi sulung dengan maloklusi
pada siswa SDN di Kota Cimahi (p-value = 0,000).
4. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan dan di perlukan penelitian lebih lanjut
untuk membuktikan bahwa maloklusi memang terkait dengan premature loss.

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

17.
18.
19.
20.
21.

Singh G. Textbook of Orthodontics. 2nd ed. New Delhi: Jaypee; 2007. p.43-5, 53, 163-7, 179-201
Thomson H. Occlusion. 2nd ed. Dalam: Sumawinata N, editor. Oklusi. 2nd ed. Jakarta: EGC; 1994. hal. 1-3, 31.
Foster TD. A Textbook of Orthodontics. Dalam: Yuwono L, editor. Buku Ajar Ortodonsi. 3rd ed. Jakarta: EGC;
2012. hal. 25, 29.
Cobourne MT, DiBiase AT. Handbook of Orthodontics. 1st ed. Philadelphia: Mosby; 2011. p.269
Proffit WR, Fields HW, Sarver DM. Contemporary Orthodontic. 5th ed. St Louis: Mosby; 2012. p.3, 11-2.
Harty FJ, Ogston R. Dalam: Sumawinata N, editor. Kamus Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC; 1995.
Welbury R, Duggal MS, Hosey MT. Paediatric Dentistry. 4th ed. United Kingdom: Oxford University Press;
2012. p.11-5, 283.
Jones LM, Richer GO. W & H Orthodontic Notes. Cornwall. 6th ed. England: Wright; 2000.
Singh G. Textbook of Orthodontics. 2nd ed. New Delhi: Jaypee; 2007. p.43-5, 53, 163-7, 179-201.
Premkumar S. Prep Manual for Undergraduates Orthodontics. New Delhi: Mosby; 2008. p.122, 124-6, 128, 1378, 151
Proffit WR, Fields HW, Sarver DM. Contemporary Orthodontic. 5th ed. St Louis: Mosby; 2012. p.3, 11-2.
McDonald RE, Avery DR, Dean JA. Dentistry for the Child and Adolescent. 9th ed. St Louis: Mosby; 2011.
p.150-3, 220, 518, 559-63.
Wijayanti P, Krisnawati, Ismah N. Gambaran Maloklusi dan Kebutuhan Perawatan Ortodonti pada Anak Usia 911 Tahun (studi pendahuluan di SD At-Taufiq, Cempaka Putih, Jakarta). Jurnal PDGI. 2014; 63(1): 25-9.
Drupadi HK. Prevalensi Maloklusi Menurut Klasifikasi Angle pada Remaja SMP di Kota Cimahi. Cimahi:
Fakultas Kedokteran Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Jenderal Achmad Yani. 2014.
Saloom HF. Early loss of deciduous teeth and occlusion. Iraqi Orthod Journal. 2005; 1(2): 36-9.
De Souza RA, de Araujo Magnani MBB, Nouer DF, Romano FL, Passos MR. Prevalence of malocclusion in a
brazilian schoolchildren population and its relationship with early tooth loss. Braz J Oral Sci. 2008; 7(25): 156670.
McDonald RE, Avery DR, Dean JA. Dentistry for the child and adolescent. 9th ed. St Louis: Mosby; 2011.
p.150-3, 220, 518, 559-63.
Kliegman RM, Stanson BF, Schor NF, St. Geme III JW, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics. 19th ed.
USA: Elsevier; 2011. p.27.
Ahamed SS, Reddy VN, Krishnakumar R, Mohan MG, Sugumaran DK, Rao AP. Prevalence of early loss of
primary teeth in 5-10 year old school children in Chidambaram town. Contemp Clin Dent. 2012; 3(1): 27-30.
Beldiman MA, Maxim A, Balan A. On the etiology and tipology of premature losses of temporary teeth in preschool children. Int J Med Dent. 2012; 2(4): 260-264
Casamassimo PS, Fields HW, McTigue DJ, Nowak AJ. Pediatric dentistry infancy through adolescence. 5th ed.
St Louis: Elsevier; 2013. p.413-5, 379.

168

Relationships Between Deciduous

Journal of Medicine and Health


Vol. 1 No. 2. August 2015
Research Article

22. Folayan MO, Otuyemi OD, Esan TA, Adedigba MA. Pattern of dental extraction in children in a Nigerian
Tertiary Hospital. J Contemp Dent Pract. 2005; 6(2).
23. Nsour HF, Masarweh NA. Reasons for extraction of primary teeth in Jordan- A study. Pakistan Oral & Dental
Journal. 2013; 33(2): 336-9.
24. Mehdi H et al. Pattern of early loss of deciduous molars & a cross sectional study. Pakistan oral & dental
journal. 2013; 33(3): 502-4.
25. Cavalcanti AL, de Alencar CRB, Medeirosbezerra PK, Granville-Garcia AF. Prevalence of early loss of primary
molars in school children in campina grande Brazil. Pakistan oral & dental journal. 2007; 28(1): 113-6.
26. Karaiskos N, Wiltshire WA, Odlum O, Brothwell D, Hassard TH. Preventive and interceptive orthodontic
treatment needs of an inner city group of 6- and 9-year-old canadian children. J Can Dent Assoc. 2005; 71(9):
649.
27. Nelson SJ, Major M. Ash Jr. Wheelers Dental Anatomy, Physiology and Occlusion. 9th ed. St.Louis: Saunders
Elsevier; 2011.
28. Caufield PW, Cutter GR, Dasanayake AP. Initial acquisition of mutans streptococci by infants evidence for a
discrete window of infectivity. J Dent Res. 1993; 72: 37-45.
29. Lagana G, Masucci C, Fabi F, Bollero P, Cozza P. Prevalence of malocclusion, oral habits and orthodontic
treatment need in a 7-15 year old schoolchildren population in Tirana. A Springer Open journal. 2013.
30. Willet
RC.
Premature
loss
of
deciduous
teeth.
http://angle.org/doi/pdf/10.1043/00033219(1933)003%3C0106%3APLODT%3E2.0.CO%3B2. 106-11. (verified @ 23 Jan. 1933) [diunduh 30
Agustus 2014].

169

You might also like