Implementasi Kebijakan Objek Retribusi Sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (Studi Pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Blitar)
Implementasi Kebijakan Objek Retribusi Sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (Studi Pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Blitar)
Implementasi Kebijakan Objek Retribusi Sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (Studi Pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Blitar)
16-22 | 16
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OBJEK RETRIBUSI
SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH
(Studi pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Blitar)
Raden Ajeng Kusandradewi Permatasari, Mardiyono, Abdul Wachid
Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya Malang
E-mail: [email protected]
Abstract: I mplementation of Object Retribution as an Effort to I ncrease Local Native Revenue
(Study on Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu at Blitar City). Public implementation of object
retribution at Blitar City regulated in the local of Blitar City regulation No. 8, 9 and 10 at 2011
years. Retribution is the one of local native revenue. Retribution is taken from the license who use
government-owned facilities.Communities can take care of their bussiness in Kantor Pelayanan
Perizinan Terpadu. Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu as the coordinator in Blitar City. This
study used a descriptive research and qualitative approach. The results of this study is that the
implementation of object retribution commonly is succeed. But if we see at the retribution revenue
at Blitar City in 2009-2011 year, the revenue always decrease. Commonly the decrease of
retribution revenue caused of the publication of the new retribution rules. The regulation is Blitar
City local regulation No. 8, 9 and 10. Lack of assertiveness from the government to discipline the
disobedient people of the retribution regulation. Their must to give an award to businessman that
can overcoming unemployment at Blitar.
Keyword: implementation, policy, object retribution
Abstrak: Implementasi Kebijakan Objek Retribusi Sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan
Asli Daerah (Studi Pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Blitar).Implementasi
kebijakan objek retribusi di Kota Blitar diatur dalam Peraturan Daerah Kota Blitar No. 8, 9 dan 10
tahun 2011. Retribusi merupakan salah satu sumber pendapatan daerah. Retribusi diambil dariizin
yang menggunakan fasilitas milik pemerintah.Masyarakat dapat mengurus izin usahanya di Kantor
Pelayanan Perizinan Terpadu. Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu merupakan koordinator
perizinan di Kota Blitar. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan ketiga objek retribusi
tersebut secara umum berhasil dilaksanakan. Namun jika dilihat dari hasil pencapaian retribusi
daerah di Kota Blitar tahun 2009-2011 selalu mengalami penurunan. Penyebab utama penurunan
retribusi ini adalah karena terbitnya aturan retribusi yang baru yaitu Peraturan Daerah Kota Blitar
Tahun 2011. Belum adanya ketegasan dari pihak pemerintah dalam mendisiplinkan pelanggaran
pelaksanaan perizinan. Pemerintah perlu untuk memberikan penghargaan bagi masyarakat yang
mampu mengatasi pengangguran di sekitar wilayah usahanya.
Kata kunci: implementasi, kebijakan, objek retribusi
Pendahuluan
Dunia usaha menjadi bidang yang digeluti
masyarakat saat ini. Beragam usaha diciptakan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Rata-rata perdagangan menjadi mata pencaharian
yang dominan di masyarakat. Salah satunya di
Kota Blitar. Tata wilayah kotanya strategis
meskipun ia adalah kota yang kecil. Ia
berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten
Blitar. Batas wilayah ini memiliki kontribusi
pergerakan yang tinggi. Selain itu, ia juga
menjadi salah satu pintu gerbang menuju wilayah
Kabupaten Blitar. Hal ini menyebabkan
pergerakan barang dan jasa serta kegiatan
perekonomian semakin mudah dan leluasa.
Dengan banyaknya usaha yang didirikan
masyarakat kemudian perlu ada campur tangan
dari pemerintah. Campur tangan pemerintah
berupa pengawasan dan pengaturan akan izin
yang ada. Pengawasan dan pengaturan izin itu
ditujukan agar usaha yang ada berjalan lancar,
tertib dan teratur.
Pada tataran pemerintahan, pihak yang
mengurus perizinan di Kota Blitar adalah Kantor
Pelayanan Perizinan Terpadu (KPT). KPT mulai
didirikan pada tahun 2003. Keberadaan KPT
memudahkan masyarakat yang ingin mengurus
Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 1, Hal. 16-22 | 17
izin. Sebelum KPT didirikan, pengurusan izin
usaha masih rumit. Keberadaan KPT me-
mudahkan pemerintah untuk mendata, membina,
mengawasi dan mengatur perizinan yang ada di
Kota Blitar. Selain itu, pemerintah mampu
mendapatkan pemasukan yang memadai guna
pembiayaan daerah di Kota Blitar.
Salah satu sumber pembiayaan daerah itu
adalah retribusi. Retribusi sebagai pungutan atas
penggunaan jasa milik pemerintah. Jasa ini
disediakan atau dikelola pemerintah untuk
kesejahteraan umum. Balas jasanya diperolah
langsung oleh pengguna.
Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009
mengenai pajak dan retribusi daerah, retribusi
terbagi menjadi tiga objek. Objek retribusi yaitu
retribusi jasa umum diatur dalam Peraturan
Daerah Kota Blitar No. 8 Tahun 2011, retribusi
jasa usaha diatur dalam Peraturan Daerah Kota
Blitar No. 9 Tahun 2011dan retribusi jasa
perizinan usaha tertentu diatur dalam Peraturan
Daerah Kota Blitar No. 10 Tahun 2011. Melalui
Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu retribusi
tersebut dibayarkan.
Perizinan bermanfaat untuk masyarakat dan
pemerintah. Sebagaimana dijelaskan oleh Taufik
Nurohman (2007) bahwa izin usaha dengan
segala jenisnya merupakan syarat mutlak sebuah
negara untuk bisa berkembang dan berdaya saing
dalam persaingan usaha di era persaingan global
saat ini. Dalam kontek ini, sangat dibutuhkan
adanya kerja sama yang sinergis antar instansi
yang menangani sektor perdagangan di pusat dan
daerah untuk bersama-sama melakukan sosia-
lisasi dan pembinaan terhadap para pengusaha,
terutama para pengusaha kecil dan menengah
(UMKM). Melalui sinergi inilah akan terwujud
iklim usaha yang kondusif dan usaha dan
lembaga perdagangan yang kuat di negeri kita
tercinta, Indonesia.
Oleh karena itu, penulis merumuskan
masalah bagaimana implementasi kebijakan
retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan
retribusi jasa perizinan usaha tertentu di Kota
Blitar sebagai upaya peningkatan pendapatan asli
daerah beserta faktor-faktor yang mendukung
dan menghambat pelaksanaan kebijakan retribusi
jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi jasa
perizinan usaha tertentu.
Tujuan penelitian adalah untuk mendeskrip-
sikan dan menganalisis bagaimana implementasi
kebijakan objek retribusi sebagai upaya
peningkatan pendapatan asli daerah di Kota
Blitar. Manfaat penelitian sebagai sumbangan
masukan dan pemikiran bagi Kantor Pelayanan
Perizinan Terpadu dalam kinerjanya mengkoor-
dinatori perizinan di Kota Blitar.
Tinjauan Pustaka
1. Kebijakan Publik
Pada dasarnya, kebijakan publik lebih
menitikberatkan pada publik dan masalah-
masalahnya. Menurut Chandler dan Plano
dalam Keban (2008, h.60), kebijakan publik
didefinisikan sebagai pemanfaatan yang strategis
terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada
untuk memecahkan masalah publik atau
pemerintah.
Menurut Dye dalam Domai (2011, h.66)
apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan
atau tidak dilakukan merupakan kebijakan
negara. Semua tindakan itu harus memiliki
tujuannya (objektif).
Menurut Agustino (2008, h.9) kebijakan
publik merupakan tindak lanjut dari sebuah isu
politik yang bisa berbentuk positif maupun
negatif. Dalam bentuk yang positif, kebijakan
publik dikeluarkan untuk mengatasi suatu
masalah yang ada. Dalam bentuk yang negatif
kebijakan publik bisa merupakan sebuah
tindakan yang menimbulkan kekecewaan
masyarakat dimana seharusnya pemerintah ikut
campur tangan dalam menangani masalah yang
ada akan tetapi itu tidak dilakukan.
Menurut Dunn dalam Keban (2008, h.67)
kebijakan publik yang efektif dihasilkan melalui
beberapa tahapan. Permasalahan yang ada
dikumpulkan, dianalisis kemudian dimasukkan
dalam sebuah agenda kebijakan. Pada akhirnya
dilakukan pengambilan keputusan yang terbaik
diantara berbagai alternatif. Melalui dukungan
para administrator dan legislatif, kebijakan itu
diimplementasikan. Implementasi kebijakan
menggunakan dana dan sumber daya yang ada.
Dalam implementasi kebijakan proses monito-
ring dilakukan. Seluruh pihak yang berkaitan
melakukan evaluasi terhadap jalannya evaluasi
kebijakan.
Pada proses kebijakan publik, mulai dari
perumusan hingga pelaksanaan, dibutuhkan
peranan dari aktor kebijakan. Masing-masing
peran bersifat saling mengisi dan melengkapi.
Oleh karena itu, dibutuhkan komunikasi dan
koordinasi yang berkelanjutan. Dijelaskan oleh
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia
(2013) bahwa aktor-aktor kebijakan publik
terdiri dari inisiator kebijakan, pembuat kebija-
kan dan legislator, pelaksana kebijakan,
kelompok sasaran, kelompok yang diuntungkan
(beneficiaries group), kelompok kepentingan dan
kelompok penekan.
2. Implementasi Kebijakan Publik
Menurut Kamus Webster dalam Domai
(201, h.67-68) terdapat beberapa rumusan
mengenai definisi implementasi yaitu to
Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 1, Hal. 16-22 | 18
implement (mengimplementasikan) berarti to
provide the means for carrying out (menye-
diakan sarana untuk melaksanakan sesuatu), to
give practical effect to (menimbulkan dam-
pak/akibat terhadap sesuatu), dipandang sebagai
suatu proses melaksanakan keputu-san/kebijakan
(biasanya dalam bentuk undang-undang, peratu-
ran pemerintah, keputusan peradilan, perintah
eksekutif atau dekrit presiden).
Menurut Horn dalam Domai (2011, h.68)
implementasi diartikan sebagai tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh individu-
individu/pejabat-pejabat atau kelompok-
kelompok pemerintah atau swasta yang
diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan yang
telah digariskan dalam keputusan kebijakan.
Setelah suatu kebijakan disahkan, tahap
implementasi pun dilakukan. Menurut Mazma-
nian dan Sabatier dalam Wahab (1997, h.68-69)
tahapan implementasi dalam kebijakan publik
antara lain:
a. Adanya output kebijakan dari lembaga
pelaksana,
b. Adanya kepatuhan target untuk mematuhi
output kebijakan,
c. Hasil nyata output kebijakan,
d. Persepsi badan-badan yang mengambil
keputusan terhadap hasil nyata dari output
kebijakan,
e. Perbaikan atau evaluasi pada undang-
undang yang bersangkutan.
Pada tahap implementasi kebijakan ini,
model implementasi kebijakan publik yang
digunakan adalah model pendekatan sintesis
(Hybrid Theories), karya Hjern-Porter. Menurut
model ini, tahap-tahap kebijakan merupakan satu
kesatuan proses yang sama. Antara implementasi
dengan pembuatan kebijakan tidak dapat dipisah-
pisahkan. Menurut Hjern-Porter, penggabungan
antara model top-down milik Mazmanier dan
bottom-up milik Sabatier, implementasi
merupakan hubungan interorganisasi berupa
network (jaringan). Sintesis ini disempurnakan
melalui pemakaian konteks policy subsistem.
Menurut Islamy (2001, h.45) policy subsistem
merupakan aktor-aktor kebijakan yang berasal
dari organisasi baik organisasi publik maupun
privat. Mereka secara aktif mengkaji dan
mengkritisi suatu masalah kebijakan tertentu.
Model implementasi kebijakan ini berkedudukan
sebagai bagian berkesinambungan dari
pengambil kebijakan dalam Advocacy coalition.
Advocacy coalition adalah pendampingan para
aktor kebijakan dengan berbagai elemen yang
ada di masyarakat. Yang terlibat didalamnya
adalah NGOS (non government), akademisi dan
swasta.
Menurut D.L Weimer dan Aidan R. Vining
dalam Keban (2008, h.78), terdapat 3 faktor
umum yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi kebijakan, yaitu:
a. Logika yang digunakan oleh suatu
kebijakan, yaitu sampai seberapa benar
teori yang menjadi landasan kebijakan
atau seberapa jauh hubungan logis antara
kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan
tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan,
b. Hakekat kerjasama yang dibutuhkan,
yaitu apakah semua pihak yang terlibat
dalam kerjasama telah merupakan suatu
assembling yang produktif,
c. Ketersediaan sumberdaya manusia yang
memiliki kemampuan, komitmen untuk
mengelola pelaksanaannya.
Menurut Gow dan Mors dalam Keban
(2008, h.78), pada implementasi kebijakan
terdapat hambatan. Hambatan tersebut antara
lain:
a. Hambatan politik, ekonomi dan lingku-
ngan,
b. Kelemahan institusi (ketidakmampuan
SDM di bidang teknis dan administratif),
c. Kekurangan dalam bantuan teknis,
d. Kurangnya desentralisasi dan partisipasi,
e. Pengaturan waktu (timing),
f. Sistem informasi yang kurang men-
dukung,
g. Perbedaan agenda tujuan antar aktor,
h. Dukungan yang berkesinambungan.
3. Konsep Dasar Izin Usaha
Menurut Poerwadarminta dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, izin berasal dari kata
izin yaitu penyataan mengabulkan (tiada
melarang) atau persetujuan yang membolehkan
(2007, h.456).
Menurut Peraturan Walikota Blitar No. 10
Tahun 2010 mengenai Jenis dan Mekanisme
Perizinan di Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu
(KPT), syarat mengurus izin dijelaskan dalam
pasal 2. Syarat tersebut antara lain:
a. Pengajuan permohonan perizinan oleh
pemohon/kuasa pemohon kepada KPT
b. Pemeriksaan dokumen atau persyaratan
administrasi di KPT
c. Berkas permohonan yang sudah lengkap dan
memenuhi syarat/sah dikirim ke Dinas/Ba-
dan/Kantor Instansi terkait yang bertanggung
jawab terhadap perizinan tersebut
d. Pemeriksaan/peninjauan lapangan/objek
perizinan oleh tim teknis/dinas/badan/kantor
instansi terkait yang berkoordinasi dengan
KPT
Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 1, Hal. 16-22 | 19
e. Penyempurnaan persyaratan/dokumen dari
hasil pemeriksaan/peninjauan lapangan/objek
perizinan oleh pemohon
f. Persetujuan rekomendasi oleh tim tek-
nis/kepala dinas/badan/kantor instansi terkait
g. Penandatanganan keputusan oleh pejabat
yang berwenang
h. Penentuan retribusi dan pembayaran retribusi
oleh pemohon di KPT
i. Penyerahan keputusan perizinan kepada
pemohon di KPT
4. Kebijakan Izin Usaha
Upaya Pemerintah Kota Blitar untuk
memperbaiki iklim usaha adalah dengan
mendirikan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu.
Pada tahun 2003, Pemerintah Kota Blitar mem-
bentuk Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu
(KPT) berdasarkan Peraturan Daerah No. 4
Tahun 2003 mengenai susunan organisasi
kantor-kantor daerah Kota Blitar. Kantor ini
berfungsi sebagai front office. Ia merupakan
tempat dimana pemohon mengurus izin. Diawali
dengan mengumpulkan berkas sampai pengam-
bilan Surat Ketetapan Izin. Surat ini sebagai
bukti izin resmi dari pemerintah dalam
menjalankan usahanya.
Pada tahun 2006 Pemerintah Kota Blitar
menerbitkan Peraturan Walikota Blitar Nomor
16 Tahun 2006 tentang Mekanisme dan Jenis
Perizinan pada KPT Kota Blitar. Pada peraturan
ini terdapat penambahan jenis layanan yang
semula 10 jenis layanan menjadi 21 jenis
layanan.
Pemerintah juga membentuk tim teknis
perizinan. Tim ini langsung dikoordinir oleh
KPT. Ia bertugas untuk menentukan layak dan
tidaknya perizinan yang diajukan terbit. Tim
teknis ini dibentuk berdasarkan keputusan
Walikota Blitar No.:188/315/HK/422.0102/2006.
Pemerintah juga menetapkan beberapa peraturan
daerah. Hal ini dijelaskan oleh admin Kantor
Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Blitar (2011).
Pemohon yang mengurus izin dan
menggunakan fasilitas milik pemerintah di-
kenakan retribusi. Hal ini diatur dalam Undang-
Undang No. 28 Tahun 2009 mengenai pajak dan
retribusi daerah. Undang-undang ini sebagai
perbaikan dari undang-undang tentang pajak dan
retribusi daerah sebelumnya yaitu UU No. 34
Tahun 2000. Dalam UU No. 28 Tahun 2009
dijelaskan bahwa objek retribusi terbagi menjadi
3 yaitu jasa umum, jasa usaha dan jasa perizinan
usaha tertentu. Masing-masing re-tribusi dalam
Peraturan Daerah Kota Blitar dijelaskan dalam
Peraturan Daerah Kota Blitar No. 8 Tahun 2011
(retribusi jasa umum), Peraturan Daerah Kota
Blitar No. 9 Tahun 2011 (retribusi jasa usaha),
Peraturan Daerah Kota Blitar No. 10 Tahun 2011
(retribusi jasa perizinan usaha tertentu).
5. Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah atau PAD adalah
pendapatan yang diperoleh Daerah. Ia dipungut
berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004
tentang perimbangan keuangan antara pe-
merintah pusat dan pemerintah daerah. Pada
pasal 6 ayat 1 dan 2 dijelaskan mengenai sumber
PAD. Sumber tersebut yaitu:
a. Pajak Daerah;
b. Retribusi Daerah;
c. Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang
dipisahkan; dan
d. Lain-lain PAD yang sah meliputi:
1) hasil penjualan kekayaan Daerah yang
tidak dipisahkan;
2) jasa giro;
3) pendapatan bunga;
4) keuntungan selisih nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing; dan komisi,
potongan, ataupun bentuk lain sebagai
akibat dari penjualan dan/atau penga-
daan barang dan/atau jasa oleh Da-
erah.
Tujuan diadakannya PAD adalah untuk
memberikan kewenangan kepada Pemerintah
Daerah dalam mendanai pelaksanaan otonomi
daerah. Untuk mewujudkan desentralisasi da-
erah, pendanaan disesuaikan dengan potensi
Daerah masing-masing. Daerah diberikan kele-
luasaan untuk menggali sumber-sumber dana.
Maka dari itu daerah diarahkan untuk semakin
meningkatkan kemampuan dalam membiayai
urusan penyelenggaraan pemerataan dan
pembangunan daerahnya.
6. Retribusi Daerah
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009
menjelaskan mengenai pajak dan retribusi
daerah. Retribusi daerah merupakan salah satu
sumber pendapatan daerah yang penting guna
membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di Daerah. Pembiayaan itu dituju-
kan untuk memantapkan Otonomi Daerah yang
luas, nyata, dan bertanggung jawab.
a. Objek dan Golongan Retribusi
Objek dan golongan retribusi daerah diatur
dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009
mengenai pajakdan retribusi daerah.Padapasal
108 ayat (1) dijelaskan bahwa retribusi daerah
terdiri dari 3 objek yaitu:
(1) Jasa umum.
(2) Jasa usaha.
(3) Jasa perizinan usaha tertentu.
Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 1, Hal. 16-22 | 20
b. Kriteria Retribusi Daerah
Retribusi daerah terdiri dari 3 golongan
yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha
dan retribusi jasa perizinan usaha tertentu.
Masing-masing memiliki kriteria dengan
penjelasan sebagai berikut:
(1) Retribusi jasa umum
a) Retribusi jasa umum bersifat bukan
pajak dan bersifat bukan retribusi
jasa usaha atau retribusi perizinan
usaha tertentu;
b) Jasa yang bersangkutan merupakan
kewenangan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi;
c) Jasa tersebut memberi manfaat
khusus bagi orang pribadi atau
badan yang diharuskan membayar
retribusi, disamping untuk melayani
kepentingan dan kemanfaatan
umum;
d) Jasa tersebut hanya diberikan kepa-
da orang pribadi atau badan yang
membayar retribusi dengan mem-
berikan keringanan bagi masyarakat
yang tidak mampu;
e) Retribusi tidak bertentangan dengan
kebijakan nasional mengenai pe-
nyelenggaraannya;
f) Retribusi dapat dipungut secara
efektif dan efisien serta merupakan
salah satu sumber pendapatan daerah
yang potensial; dan
g) Pemungutan retribusi memungkin-
kan penyediaan jasa tersebut dengan
tingkat dan/atau kualitas pelayanan
yang lebih baik.
2) Retribusi Jasa Usaha
a) Retribusi jasa usaha bersifat bukan
pajak dan bersifat bukan retribusi
jasa umum atau retribusi perizinan
usaha tertentu; dan
b) Jasa yang bersangkutan adalah jasa
yang bersifat komersial yang
seyogyanya disediakan oleh sektor
swasta tetapi belum memadai atau
terdapatnya harta yang dimiliki/di-
kuasai oleh daerah yang belum
dimanfaatkan secara penuh oleh
Pemerintah Daerah.
3) Retribusi Jasa Perizinan Usaha Tertentu
a) Perizinan tersebut termasuk kewena-
ngan pemerintahan yang diserahkan
kepada daerah dalam rangka asas
desentralisasi;
b) Perizinan tersebut benar-benar diper-
lukan guna melindungi kepentingan
umum;
c) Biaya yang menjadi beban daerah
dalam penyelenggaraan izin tersebut
dan biaya untuk menanggulangi
dampak negatif dari pemberian izin
tersebut cukup besar sehingga layak
dibiayai dari retribusi perizinan; dan
d) Ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam
penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Menurut Arikunto (1993,
h.208) penelitian deskriptif merupakan penelitian
non hipotesis sehingga dalam langkah peneli-
tiannya tidak perlu merumuskan hipotesis.
Dengan pendekatan kualitatif, penelitian yang
dilakukan ini menggambarkan data berupa kata-
kata atau kalimat yang dipisah-pisahkan menurut
kategori untuk memperoleh kesimpulan
(Arikunto, 1993, h.209).
Fokus dalam penelitian ini adalah: (1)
implementasi kebijakan objek retribusi sebagai
upaya peningkatan pendapatan asli daerah di
Kota Blitar (2) faktor pendukung dan pengham-
bat dalam implementasi kebijakan objek retribusi
sebagai upaya peningkatan pendapatan asli
daerah di Kota Blitar.
Lokasi penelitian di kota Blitar dengan si-
tus penelitian di Kantor Pelayanan Perizinan
Terpadu. Sumber data diperoleh dari data primer
dan data sekunder. Teknik penelitian yang
digunakan yaitu melalui wawancara, observasi
dan dokumentasi. Instrumen penelitian ada
peneliti sendiri, pedoman wawancara dan catatan
lapangan. Analisis data menggunakan Model
Interaktif menurut Miles dan Huberman yang
diterjemahkan dalam Muhammad Idrus (2009,
h.148). Analisis model interaktif terdiri dari 3
tahap yaitu reduksi data, penyajian data dan
penarikan kesimpulan atau verifikasi data.
Pembahasan
1. Implementasi Kebijakan Objek Retribusi
sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan
Asli Daerah di Kota Blitar
Pemerintah Kota Blitar terus berupaya
untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.
Salah satunya melalui retribusi. Pada tahun 2011
pemerintah daerah menetapkan Peraturan Daerah
Kota Blitar tahun 2011 mengenai objek retribusi.
Perda ini sebagai pengejawantahan UU No. 28
tahun 2009 mengenai pajak dan retribusi daerah.
Pusat koordinator perizinan adalah KPT
(Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu). Peme-
rintah terus berupaya menciptakan prosedur
perizinan yang memudahkan pemohon dalam
mengurus perizinan. Pengadaan KPT ini, meli-
Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 1, Hal. 16-22 | 21
batkan peran Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol
PP). Sesuai dengan teori model implementasi
kebijakan milik Hjern-Porter, bahwa dalam
implementasi kebijakan terdapat keterlibatan
antar organisasi. Keterlibatan ini membentuk
sebuah jaringan (network). Perbedaan peran satu
sama lain bersifat saling melengkapi. Semua itu
ditujukan untuk mencapai pendapatan retribusi
sesuai target yang ditentukan. Pemungutan
retribusi dilaksanakan atas dasar Peraturan
Daerah Kota Blitar No. 8, 9 dan 10 Tahun 2011.
Prosedur dalam mengurus perizinan di KPT
dibuat untuk mempermudah pemohon. Berkas
diterima dan diperiksa kelengkapannya oleh
KPT.Data yang memerlukan rekomendasi SKPD
back office diserahkan ke SKPD. Hasil reko-
mendasi diserahkan kepada tim teknis untuk
peninjauan lapangan atau pun rapat tim teknis.
Tim teknis kemudian mengeluarkan surat
rekomendasi diizinkan tidaknya usaha tersebut.
Jika diizinkan maka surat rekomendasi tersebut
diserahkan pada pemohon. Pemohon diminta
untuk menyempurnakan berkas yang disarankan,
jika ada. Jika tidak diizinkan untuk dilaksanakan
maka berkas tersebut dikembalikan kepada
pemohon. Setelah penyempurnaan permohonan
disetujui dan ditandatangani oleh KPT, SK izin
pun diterbitkan. SK izin sebagai bukti resmi
membuka usaha dari pemerintah dan perhitungan
retribusi oleh SKPD. Kemudian pemohon berhak
menerima SK izin. Bersamaan penerimaan
tersebut, pemohon sekaligus membayar retribusi
yang dikenakan di kasir KPT.
Implementasi kebijakan objek retribusi di
Kota Blitar secara umum bisa dikatakan berhasil.
Sesuai dengan pendapat D.L Weimer dan Aidan
R. Vining dalam Keban (2008, h.78) bahwa
terdapat 3 faktor yang menjadikan keberhasilan
implementasi kebijakan. Secara umum faktor
tersebut yaitu adanya kesesuaian antara kegiatan
yang dilakukan oleh KPT, SKPD dan Satpol PP
dalam pencapaian pendapatan retribusi terhadap
PAD. Aktor-aktor dalam implementasi kebijakan
objek retribusi tersebut mampu berkoordinasi
dengan baik. Sejumlah pengurus di Kantor
Pelayanan Perizinan Terpadu (KPT) memiliki
komitmen yang tinggi dan terpercaya dalam
menjalankan tugasnya.
Namun demikian, dilihat dari pendapatan
retribusi daerah Kota Blitar terhadap pendapatan
asli daerah (tahun 2009-2011), pendapatan
tersebut selalu mengalami penurunan. Realisasi
retribusi daerah yang paling besar terjadi pada
tahun 2009. Hal ini berakibat pada peningkatan
pendapatan asli daerah pada tahun 2009. Ini
memberikan kontribusi yang luar biasa bagi
Pendapatan Asli Daerah yaitu sebesar 84,48%.
Realisasi retribusi pada tahun 2009 mencapai Rp
24.234.935.748,47. Namun, pada tahun 2010
hingga tahun 2011 realisasi retribusi mengalami
penurunan. Realisasi retribusi pada tahun 2010
mencapai Rp 6.649.853.795,38. Dengan demi-
kian kontribusi retribusi terhadap PAD (Pen-
dapatan Asli Daerah) mencapai 55,53%. Pada
tahun 2011, realisasi retribusi mencapai Rp
6.682.606.370,00. Dengan demikian kontribusi
retribusi terhadap PAD (Pendapatan Asli
Daerah) mencapai 12,70%.
2. Faktor Pendukung dan Penghambat
Implementasi Kebijakan Objek Retribusi
sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan
Asli Daerah
a) Secara umum, implementasi kebijakan
objek retribusi di Kota Blitar dapat
dikatakan berhasil. Hal ini didukung oleh
beberapa faktor. Faktor pendukung terse-
but yaitu: (1) kinerja tim teknis perizinan
beserta sumber daya di Kantor Pelayanan
Perizinan Terpadu Kota Blitar terkoor-
dinir dengan baik. Mereka pun mampu
mengatasi permasalahan yang ada (2)
prosedur dalam mengurus perizinan di
KPT bersifat sederhana. Pembagian
tanggung jawabnya juga jelas.
b) Secara umum, faktor penghambat
tercapainya peningkatan pendapatan
retribusi yaitu banyaknya oknum peme-
rintah yang masih kurang tegas dalam
menyikapi pelanggaran peraturan per-
izinan.
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan
bahwa implementasi kebijakan objek retribusi di
Kota Blitar bisa dikatakan berhasil. Akan tetapi
pelaksanaan tersebut masih belum mampu
menghasilkan penerimaan retribusi yang optimal.
Oleh karena itu, pemerintah perlu lebih tegas lagi
dalam mendisiplinkan pelanggaran terhadap
aturan perizinan. Pemberian penghargaan pada
pengusaha juga perlu diberikan. Ini ditujukan
untuk meningkatkan peran serta masyarakat
dalam mensukseskan perdagangan di Kota
Blitar.
Daftar Pustaka
Agustino, Leo. (2008) Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung, Alfabeta.
Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 1, Hal. 16-22 | 22
Admin Kantor Pelayanan Terpadu Kota Blitar (2011) Selayang Pandang Kota Blitar. [Internet]
Available from : < http://www.kantorpelayananterpadu.blitarkota.net> [Accessed: 28 Januari 2012].
Domai, Tjahjanulin. (2011) Sound Governance. Malang, UB Press.
Idrus, Muhammad. (2009) Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta, Erlangga.
Islamy, Irfan. M. (2001) Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta, Bumi Aksara.
Keban, Yeremias T. (2008) Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik. Jogjakarta, Gaya Media.
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (2013) Mendukung Daya Saing Usaha. DJPDN
[Internet] Available from: < http://ditjenpdn.kemendag.go.id > [Accessed: 20 Mei 2013].
Nurohman, Taufik. (2007) Aktor dan Pelaku Pembuat Kebijakan Publik. [Internet] Available from: <
http://www.scribd.com/doc/51271227/aktor-dan-pelaku-pembuat-kebijakan-publik> [Accessed: 12
Juli 2012].
Poerwadarminta (2007) Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka.
Suharsimi, Arikunto. (1993) Prosedur Penelitian. Yogyakarta, Rineka Cipta.
Peraturan Walikota Blitar Nomor 10 Tahun 2010 tentang Jenis dan Mekanisme Perizinan di Kantor
Pelayanan Terpadu (KPT) Kota Blitar (c.1) Blitar, Walikota Blitar.
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah (c.6) Jakarta, Pemerintah Republik Indonesia.
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (c.6) Jakarta, Pemerintah
Republik Indonesia.
Wahab, Solichin Abdul. (1997) Evaluasi Kebijakan Publik. Malang, FIA UNIBRAW dan IKIP Malang.