Abstrak : Wa idza saalaka 'ibadi 'anni fainni qarib (bila hamba-Ku bertanya tentang Aku, sesungguhnya Aku sangat dekat, Q.S. al-Baqarah ayat 186), merupakan inti shufisme yang terdapat dalam kitab suci Alqur'an untuk menapis, memberi...
moreAbstrak : Wa idza saalaka 'ibadi 'anni fainni qarib (bila hamba-Ku bertanya tentang Aku, sesungguhnya Aku sangat dekat, Q.S. al-Baqarah ayat 186), merupakan inti shufisme yang terdapat dalam kitab suci Alqur'an untuk menapis, memberi pengajaran dan kesadaran (syu'ur atau consciouness) kepada sebagian ulama yang menolak eksistensi esensi mistisisme dalam Islam. Shufisme atau tashawwuf sering dideskriditkan dan dikambinghitamkan oleh sebagian kelompok modernis, sekularis dan rasionalis, karena ajarannya yang dianggap eksesif, bid'ah, khurafat, tahayyul, akhirat oriented dan sangat tolerans (tasammuh), sehingga ajarannya dianggap kacau, kocar kacir dan tidak punya pendirian. Munculnya mistisisme dalam Islam didasari oleh adanya sekelompok ummat Islam yang belum merasa puas dengan manhaj (thariqah) pendekatan diri (taqarrub) kepada Tuhan melalui ibadat shalat, puasa, zakat dan haji. Mereka ingin merasa lebih dekat lagi dengan Tuhan. Jalan untuk itu dikembangkan melalui pendidikan (tarbiyyah) tashawwuf. Tashawwuf atau shufisme pendidikan adalah istilah teknis yang digunakan untuk mendeskripsikan gagasan mistisisme dalam Islam (Islamic Mystic) yang dinamis. Tujuan dari shufisme dinamis (dynamic shufism atau tashawwuf tahriki), baik yang di dalam maupun yang di luar Islam, adalah membentuk dan mendidik kesadaran untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada dekat di hadirat Tuhan (ma'rifat dan wahdat). Intisari dari mistisisme, inklusif tashawwuf, adalah kesadaran adanya komunikasi dan dialog (munajat) antara ruh manusia dengan Tuhan, M. Arrafie Abduh : Peran Sastera Shufistik Dalam Mendidik Kesadaran 111 dengan hidup zuhud (asketik), bermeditasi (khalwat dan uzlah) dan berkontemplasi (dzikir dan fikir). Pendahuluan Sebagian besar ummat Islam belum menyadari pentingnya pendidikan. Umumnya karena adanya tekanan ekonomi yang dialami membuat kebijakan terkonsentrasi pada percepatan pertumbuhan ekonomi sehingga bidang pendidikan sering diabaikan. Padahal pembangunan ekonomi sangat ditentukan oleh sumber daya manusia terdidik (Islami) yang berkualitas yang merupakan produk utama pendidikan. 1 Pengembangan sumber daya manusia selalu berkenaan dengan proses yang dilakukan secara sadar dan terarah oleh individu atau sekelompok insane yang memiliki komitmen tinggi untuk meningkatkan kemampuan (potensi) agar dapat berbuat dan berkreativitas sesuai dengan harapan yang selalu dimaknai dengan terbentuknya kepribadian mandiri yang sesuai dengan nilai-nilai (Islami). 2 Dalam kaitan itu, tashawwuf sebagai suatu sistem ajaran merupakan kombinasi secara ontologis, epistemologis, aksiologis dan eskatologis, mengajarkan bahwa manusia (terdiri dari dua unsur yaitu manus artinya ruh atau jiwa dan ia adalah jasad atau fisik) tidak cukup hanya membekali diri dengan pengetahuan empiris dan rasional, fiqih dan kalam, falsafat dan akhlak, syariat dan haqiqat. Seseorang perlu melengkapi diri dengan ma'rifat yaitu suatu pengetahuan yang diperoleh secara intuitif (wijdan dan dzawq) melalui riyadhah, mujahadah dan musyahadah, untuk penyucian diri (takhalli, tahalli dan tajalli) dan dengan metode kasyf (mengenal haqiqat 1 Munzir Hitami, Agama dan Tantangan Dunia Pendidikan, Sebuah Pengantar, dalam Muhmidayeli, et.al., Membangun Paradigma Pendidikan Islam, (Pekanbaru, PPs UIN Suska Riau, Cetakan I, Juni 2007), halaman v. 2 Muhmidayeli, Teori-Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Pekanbaru; PPs UIN Suska Riau dan LSFK2P, Cetakan I, Oktober 2007), halaman ix.