METODE PEMAHAMAN HADIS MODERNIS
Mhd. Idris
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama
UIN Imam Bonjol Padang
E-mail:
[email protected]
Abstrak
Hadis merupakan sumber pokok ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur`an.
Untuk memahaminya secara mendalam dibutuhkan kajian secara
komprehensif dengan metode dan pendekatan tertentu agar mampu
menangkap maksud sebuah hadis. Sesuai dengan perkembangan zaman, para
ulama kontemporer mencoba memahami sebuah hadis dengan metode dan
pendekatan modern pula di antaranya adalah memahami hadis dengan
pendekatan ilmiah dan pendekatan filosofis. Memahami hadis dengan
pendekatan ilmiah adalah pemahaman hadis dengan menilai istilah ilmiah
yang terdapat dalam hadis dan mengeksplorasi berbagai ilmu dan pandangan
filosofis yang dikandungnya. Pendekatan filosofis hadis merupakan
pendekatan yang mencoba menyingkap tujuan dan hikmah di balik segenap
aturan formal dalam hadis.
Kata Kunci: Modernis, llmiah, Filosofis
pendekatan modern pula. Kebutuhan
akan sebuah metode pemahaman hadis
yang bersifat modernis2 mutlak
Pendahuluan
Dalam rangka memahami hadis
secara
komprehensif
dibutuhkan
seperangkat ilmu dan kaedah-kaedah
pokok yang mendasarinya. Apalagi
dengan adanya perkembangan zaman
dan teknologi maka diperlukan metode
dan
pendekatan
tertentu
untuk
menggali makna dan hikmah yang
terkandung dalam sebuah hadis. Hal ini
dilakukan sebagai salah satu usaha
dalam membumikan hadis dan sunnah
Nabi yang sesuai dengan kebutuhan
dan tuntutan zaman.
Seiring dengan perkembangan
zaman
tersebut,
para
ulama
kontemporer mencoba memahami
sebuah hadis dengan metode1 dan
Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method,
dan bangsa Arab menerjemahkannya dengn
tharîqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia,
kata tersebut mengandung arti: cara teratur
yang digunakan untuk melaksanakan suatu
pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang
dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna
mencapai tujuan yang ditentukan. Lihat; Tim
Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
2005, cet. ke-3, edisi ke-3, h. 740.
2
Kata “modernis”, merupakan turunan
dari kata “modern” yang ditambah dengan
akhiran “is”. Term “modern” berasal dari
bahasa Latin “moderna” yang berarti
“sekarang, baru, atau saat ini”. Atas dasar itu,
manusia dikatakan modern sejauh kekinian
menjadi pola kesadarannya, lihat; Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah
1
Kata “metode” berasal dari bahasa
Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan.
29
30 Jurnal Ulunnuha Vol.7 No.1/Juli 2018
dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan
tuntutan zaman dalam rangka menjaga
eksistensi
hadis-hadis
Rasulullah
SAW.
Buchari dalam bukunya Metode
Pemahaman
Hadis
menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan metode
pemahaman hadis modernis adalah
memahami hadis-hadis Rasulullah
dengan pendekatan ilmiah dan logikadeduktif (filosofis).3
Definisi yang dikemukakan oleh
Buchari di atas, tampaknya belum
memberikan penjelasan yang ekspilisit
tentang pemahaman hadis modernis
akan tetapi definisi tersebut hanya
memaparkan dua bentuk pendekatan
yang digunakan dalam memahami
hadis. Dua bentuk pendekatan tersebut
adalah metode pendekatan ilmiah dan
metode pendekatan filosofis (prinsip
maslahah).
Berdasarkan
definisi
yang
dipaparkan di atas, dapat dipahami
bahwa metode pemahaman hadis
modernis merupakan cara atau
langkah-langkah
sistematis
yang
diterapkan oleh tokoh-tokoh modern
(orang-orang yang mempunyai paham
modern4) dalam rangka memahami
Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bula. n
Bintang, 1975, cet. ke-1, h. 2. Sedangkan
akhiran “is” yang terdapat dalam sebuah kata
bermakna sifat atau orang yang mempunyai
paham seperti yang disebut di dalam kata
dasarnya.
3
Buchari, Metode Pemahaman Hadis:
Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Nuansa
Madani, 1999), h. 52
4
Menurut Harun Nasution, dalam
sejarah Islam, periode modern dimulai sejak
pembukaan abad ke-19, yang ditandai dengan
mulai masuknya kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern ke dunia Islam. Kontak
dengan dunia Barat pun selanjutnya membawa
ide-ide baru ke dunia Islam seperti
rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan
sebagainya.
Semua
ini
menimbulkan
hadis Nabi melalui sudut pandang
kekinian
dengan
pendekatanpendekatan yang telah dirumuskan
yaitu
pendekatan
ilmiah
dan
pendekaktan filosofis. Dua pendekatan
inilah yang menjadi fokus pembahasan
tulisan ini.
Pembahasan
1. Memahami
Hadis
dengan
Metode Pendekatan Ilmiah.
Pendekatan ilmiah terdiri dari
dua variabel kata, yaitu “pendekatan”5
dan “ilmiah”. Pendekatan dapat
diartikan suatu sikap ilmiah dari
seseorang
untuk
menemukan
persoalan-persoalan baru, dan pemimpinpemimpin Islam pun mulai memikirkan cara
mengatasi persoalan-persoalan baru itu. Lihat,
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam
Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), cet. ke-1, h. 2, Priode
modern ini lebih dikenal dengan istiah
modernisasi yang berarti gerakan perubahan
sesuai dengan tuntutan zaman.
Dalam Islam, modernisasi berarti upaya
yang sungguh-sungguh untuk melakukan
reinterpretasi terhadap pemahaman, pemikiran,
pendapat tentang masalah keislaman yang
dilakukan oleh pemikiran terdahulu untuk
disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Dengan demikian yang diperbaharui adalah
hasil pemikiran atau pendapat dan bukan
memperbaharui atau mengubah apa yang
terdapat dalam al-Quran dan hadis. Yang
diubah adalah hasil pemahaman terhadap alQuran dan hadis tersebut. Lihat, Soli Subandi,
Islam Modernis di Indonesia, (Yogyakarta:
UMY, 2009), h. 1
5
Pendekatan secara bahasa berarti
proses, perubahan, dan cara mendekati (dalam
kaitannya
dengan
perdamaian
atau
persahabatan). Atau usaha dalam aktivitas
penelitian untuk mengadakan hubungan dengan
orang yang diteliti. Atau metode untuk
mencapai pengertian tentang penelitian. Dalam
bahasa Inggris disebut approach yang juga
berarti pendekatan.
Lihat, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit.
Mhd. Idris, Metode Pemahaman Hadis Modernis 31
kebenaran ilmiah.6 Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa pendekatan
yang dimaksud di sini adalah cara
pandang,
orang
juga
sering
menyamakannya dengan paradigma
yang terdapat dalam suatu bidang
ilmu,7 yang selanjutnya digunakan
dalam memahami hadis.
Sedangkan kata “ilmiah” berasal
dari kata “ilmu” yang berarti kumpulan
pengetahuan yang diorganisir secara
sistematik.8 Atau dapat pula berarti
seluruh pengetahuan yang diperoleh
dan disusun secara tertib oleh
manusia.9 Jadi secara keseluruhan,
dapat dipahami bahwa pendekatan
ilmiah adalah cara pandang terhadap
pemahaman
hadis
melalui
pertimbangan-pertimbangan yang logis
dan sistematis (berdasarkan ilmu
pengetahuan10).
Menurut Buchari dalam bukunya
Metode
Pemahaman
Hadis
menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan Memahami hadis dengan
pendekatan ilmiah ialah pemahaman
hadis-hadis dengan menilai istilah
ilmiah yang terdapat dalam hadis dan
mengeksplorasi berbagai ilmu dan
pandangan
filosofis
yang
dikandungnya.11
Melihat banyaknya temuan di
bidang sains dan teknologi dewasa ini,
akan sangat memungkinkan untuk
menggunakan teori-teori atau faktafakta ilmiah dalam kajian kontekstual
hadis. Hal ini diharapkan berlangsung
bukan hanya sekarang, tetapi juga
masa-masa yang akan datang. Kajian
kontekstual hadis semacam ini haruslah
dilakukan subyektif mungkin dalam
rangka pelestarian hadis yang telah
diakui keabsahannya oleh para ulama,
baik sanad maupun matan-nya tidak
mungkin dibatalkan oleh temuantemuan sains modern. Dalam arti perlu
6
Adeng Mukhtar Ghazali, Ilmu
Perbandingan Agama, (Bandung: Pustaka
Setia, 2000), h. 27
7
Abuddin Nata, Metodologi Studi
Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo,2007), h. 28
8
Lebih lanjut dikatakan, bahwa defenisi
tersebut dapat dikatakan memadai hanya kalau
kata-kata “pengetahuan” (knowledge) dan
sistematik (systematic) didefenisikan lagi
secara benar, sebab kalau tidak demikian,
pengetahuan Teologis yang disusun secara
sistematik dapat dipandang sama ilmiahnya
dengan ilmu pengetahuan alam (natural
science), untuk lebih jelasnya dapat dilihat M.
Atho Mudzhar. Pendekatan Study Islam; dalam
Teori dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998), cet. ke-1, h. 34
9
H.A. Reason, The Road Modern
Science, (London: G. Bell and Science, 1959),
cet. ke-3, h. 1-2.
10
Ilmu pengetahuan dapat didefinisikan
sebagai sunatullah yang terdokumentasi
dengan baik, yang ditemukan oleh manusia
melalui pemikiran dan karyanya yang
sistematis. Ilmu pengetahuan akan berkembang
mengikuti kemajuan, kualitas pemikiran, dan
aktivitas
manusia.
Pertumbuhan
ilmu
pengetahuan seperti proses bola salju yaitu
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan,
manusia tahu lebih banyak mengenai alam
semesta ini yang selanjutnya meningkatkan
kualitas pemikiran dari karyanya yang
membuat ilmu pengetahuan atau sains
berkembang lebih pesat lagi. Lihat, Abdul
Madjid bin Azis Azis al-Zindani, Mukjizat alQur’an dan al-Sunnah tentang Iptek, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1997), cet. ke-1, h. 192
Dengan pendekatan melalui ilmu
pengetahun, dapat membentuk nalar ilmiah
yang berbeda dengan nalar awam atau khurafat
(mitologis). Nalar ilmiah ini tidak mau
menerima kesimpulan tanpa menguji premispremisnya, hanya tunduk kepada argumen dan
pembuktian yang kuat, tidak sekedar mengikuti
emosi dan dugaan semata. Bentuk itu pula
kiranya dalam memahami kontekstual hadis
diperlukan pendekatan seperti ini agar tidak
terjadi kekeliruan untuk memahaminya. Lihat,
Yusuf Qardawi, As-Sunnah sebagai Sumber
Iptek dan Peradaban, (Jakarta: Pustaka
Kautsar, 1998), cet. ke-1, h. 221
11
Buchari, op.cit., h. 53
31
32 Jurnal Ulunnuha Vol.7 No.1/Juli 2018
adanya kehati-hatian untuk memahami
hadis secara kontekstual.
Dalam kaitan dengan pengkajian
kontekstual
hadis,
ulama
telah
merumuskan suatu standar sebagai
barometer dalam menentukan validitas
sebuah matan hadis, sekaligus dapat
menjadi
pertimbangan
dalam
penggunaan pendekatan sains. Adapun
standar atau tolak ukur dimaksud,
sebagai berikut:
a) Hadis tidak bertentangan dengan
petunjuk al-Quran,
b) Hadis tidak bertentangan dengan
kebenaran rasional,
c) Hadis tidak bertentangan dengan
realitas indrawi,
d) Hadis tidak bertentangan dengan
fakta sejarah, dan
e) Hadis
tidak
bertentangan
dengan sunnatullah pada alam dan
manusia.12
Sebagai contoh adalah hadis
tentang meminum air yang dihinggapi
lalat. Hadis tersebut berbunyi:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻗﺘﻴﺒﺔ ﺣﺪﺛﻨﺎ إﲰﺎﻋﻴﻞ ﺑﻦ ﺟﻌﻔﺮ ﻋﻦ ﻋﺘﺒﺔ
ﺑﻦ ﻣﺴﻠﻢ ﻣﻮﱃ ﺑﲏ ﺗﻴﻢ ﻋﻦ ﻋﺒﻴﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﲔ ﻣﻮﱃ
َﺎل
َ ﻗ:ﺑﲏ زرﻳﻖ ﻋﻦ أَﰊ ﻫَُﺮﻳـَْﺮةَ رﺿﻰ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل
َﺎب ِﰱ
ُ »إِذَا َوﻗَ َﻊ اﻟ ﱡﺬﺑ:ﱠﱮ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ
اﻟﻨِ ﱡ
ﻓَِﺈ ﱠن ِﰱ،ُ ﰒُﱠ ﻟِﻴَـْﻨ ِﺰ ْﻋﻪ،َُاب أَ َﺣ ِﺪ ُﻛ ْﻢ ﻓَـ ْﻠﻴَـ ْﻐ ِﻤ ْﺴﻪ
ِ َﺷﺮ
١ ٣
.«ًإِ ْﺣﺪَى َﺟﻨَﺎ َﺣْﻴ ِﻪ دَاءً وَاﻷُﺧْﺮَى ِﺷﻔَﺎء
Abu Hurairah Hurairah berkata bahwa
Rasulullah bersabda: “Apabila lalat
jatuh dalam minuman salah seorang di
antara kamu, maka benamkanlah,
kemudian buanglah karena pada salah
satu sayapnya terdapat penyakit dan
12
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang
Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1996), h. 79
13
Al-Bukhāriy, jilid II, juz IV, op. cit.,
h. 443
pada sayapnya yang lain terdapat
obat”.
Sanad hadis ini shahih, tidak ada
cacatnya.
Ilmuan
kedokteran
mengingkari hadis tersebut. Menurut
mereka lalat bertempat dalam kotoran
yang bercampur dengan virus penyakit.
Ia memakan dan membawanya dengan
kakinya. Apabila ia bertengger pada
makanan atau dalam minuman, ia akan
melemparkan ke dalamnya bakteri dan
kotoran yang dibawanya, maka
makanan tersebut akan dijangkiti
wabah penyakit sehingga tidak layak
dikonsumsi, menurut mereka, hadis
tidak sampai disitu saja, bahkan
menambahkan
bakteri,
dengan
menyuruh
untuk
membenamkan
sisanya dalam makanan atau minuman
kemudian mengkonsumsinya. Lebih
lanjut menurut mereka bagaimana
mungkin hal ini mendatangkan
kesehatan? bukankan hal ini sama saja
dengan ungkapan: “Di dalam tong
sampah terdapat obat dan penyakit”.
Maka mana mungkin hadis ini shahih
maknanya,
dan
tidak
mungkin
Rasulullah mengatakannya. Kalau
memang Rasulullah mengatakannya
pastilah terdapat kesalahan di dalamnya
atau termasuk pendapat yang tidak
ma’shum. Menurut mereka, “Para Nabi
dalam
mengungkapkan
pendapat
adakalanya tersalah terhadap apa yang
dikatakannya berbeda kalau yang
diungkapkannya itu adalah wahyu.
Menurut
mereka: “Para
dokter
menegaskan bahwa tentara yang besar
dihancurkan oleh lalat, dan ia
menularkan virus mikroba yang dibawa
dan dicampakkan ke makanan dan
minuman
mereka.
Semua
ahli
sependapat bahwa lalat adalah faktor
bagi banyak penyakit manusia seperti
Fibris typhoidea, fibris paratyhoidea,
Mhd. Idris, Metode Pemahaman Hadis Modernis 33
Dari segi pengalaman empiric,
sekelompok penelit muslim Mesir dan
Kerajaan Arab Saudi telah melakukan
percobaan terhadap sejumlah gelas
yang berisi air, madu, dan beberapa
macam jus, dalam kadar yang sama
antar gelas. Gelas-gelas tersebut
dibiarkan terbuka agar lalat masuk
kedalamnya. Pada sebagian gelas lalat
tersebut dicelupkan dan pada sebagian
gelas lain lalat itu tidak dicelupkan.
Hasil uji coba menunjukkan bahwa
pada
minuman
yang
tidak
ditenggelamkan lalatnya penuh dengan
kuman dan mikroba, sedangkan pada
minuman
yang
ditenggelamkan
lalatnya hampir-hampir bersih dari
kuman dan mikroba.16
Dr. Khalil Ibrahim Mala juga
menyebutkan dalam bukunya alIshabah fi Shihah Hadits adz-Zubabah
bahwa sekelompok pakae biolaogi di
Universitas Kairo telah melakukan uji
coba untuk meneliti perbedaan
penjatuhan dan penenggelaman lalat
pada tingkat kontaminasi mikroba dan
bakteri di dalam air, susu, dan
makanan-makanan
lain
yang
dijatuhkan lalat. Dari penelitian yang
telah diulang-ulang berpuluh kali ini
diketahi bahwa lalat yang dicelupkan
ke dalam air, susu, atau makanan
tersebut
menunjukkan
penurunan
jumlah
mikroba
secara
drastic
dibanding dengan cairan dan makanan
yang lalatnya tidak ditenggelamkan.
Dari penelitian ini dapat diketahui
bahwa lalat yang dicelupkan dalam
cairan yang diteliti telah menampakkan
cholera, dysentry bacillaris, leprosy,
sampar, polio frambusia, amoeba
dysentry, dan lain-lain. Berdasarkkan
hal itu, banyak yang menolak hadis di
atas sebagai hadis yang benar-benar
datang dari perkataan Rasulullah.14
Hadis di atas juga ditolak oleh
Muhammad Taufiq Sidqiy dan Abd alWaris al-Kabir karena menurutnya
tidak sesuai dengan pandangan rasio,
dan juga karena lazimnya lalat itu
pembawa
kuman
yang
dapat
menimbulkan penyakit. Padahal hadis
ini telah dinilai shahih oleh para ulama
hadis sejak dahulu sampai sekarang.
Namun sejumlah riset belakangan
ternyata menguatkan kebenaran hadis
tersebut. Penjelasan Rasulullah SAW
ini, kini termasuk di antara ilmu baru
yang ditemukan beberapa tahun
belakangan ini. Dari hasil penelitian
ditemukan bahwa ketika lalat hinggap
di atas kotoran, dia memakan
sebagiannya, dan sebagiannya lagi
menempel pada anggota badannya. Di
dalam tubuh lalat mengandung
imunitas terhadap kuman-kuman yang
dibawanya. Oleh karena itulah kumankuman
yang
dibawanya
tidak
membahayakan
dirinya.
Imunitas
tersebut menyerupai obat anti biotik
yang terkenal mampu membunuh
banyak kuman. Pada saat lalat masuk
ke dalam minuman dia menyebarkan
kuman-kuman yang menempel pada
anggota tubuhnya. Tetapi apabila
seluruh anggota badan lalat itu
diceburkan
maka
dia
akan
mengeluarkan zat penawar (toxine)
yang
membunuh
kuman-kuman
tersebut.15
Kenabian), (Jakarta: Gema Insani Press, 1992),
Cet. ke-1, h. 124.
16
Zaglul al-Najjar, Sains Dalam Hadis,
Mengungkap Fakta Ilmiah dari Kemukjizatan
Hadis Nabi, (Jakarta: Amzah, 2011), h. 281
14
Buchari, op.cit., h. 53-55
15
Abdul Malik Ali al-Kulaib, ‘Alâmah
al-Nubuwwah, diterjemahkan oleh Abu Fahmi
dengan Judul Nubuwwah (Tanda-tanda
33
34 Jurnal Ulunnuha Vol.7 No.1/Juli 2018
unsure ataunkerja yang melawan
mikroba.17
Berbeda dengan apa yang telah
dikemukakan di atas,
Yusuf
Qardhawiy menyebutkan bahwa hadis
tersebut berisi anjuran dalam hal
persoalan duniawi, khususnya dalam
kondisi
krisis
ekonomi
dalam
lingkungan tertentu yang mengalami
kekurangan bahan pangan, agar tidak
membuang makanan yang telah
terhinggapi lalat, bahkan hadis ini
memberikan
penekanan
tentang
pembinaan generasi untuk hidup
sederhana dan bersikap tidak boros.18
Berdasarkan penjelasan di atas,
dapat dipahami bahwa penilaian sebuah
hadis tidak boleh tergesa-gesa dalam
memberi kesimpulan, karena matan
hadis dapat dipahami melalui berbagai
pendekatan. Dengan demikian, untuk
menguji kebenaran sebuah hadis dari
sisi rasionalitasnya yang merupakan
unsur terpenting bagi paradigma sains
modern tidaklah mudah dilakukan,
sebab selain diperlukan penguasaan
sains modern, juga dibutuhkan
keahlian di bidang hadis serta
pengetahuan yang luas dan mendalam
tentang ajaran Islam
2. Memahami
Hadis
dengan
Metode Pendekatan Filosofis
(Prinsip Maslahah)
Pendekatan filosofis terdiri dari
dua variabel kata, yaitu: “pendekatan”
dan “filosofis”. Kata “pendekatan”
sudah diuraikan pada pembahasan
sebelumnya.
Sedangkan
kata
“filosofis” berasal dari kata filosofi19
ditambah dengan akhiran “is” yang
menyatakan sifat. Kata filosofi dalam
bahasa Indonesia sama dengan kata
filsafat. Pengertian filsafat yang
umumnya digunakan adalah pendapat
yang dikemukakan oleh Sidi Gazalba.
Menurutnya, filsafat adalah berpikir
secara mendalam, sistematik, radikal
dan universal dalam rangka mencari
kebenaran, inti, hikmah atau hakikat
mengenai segala sesuatu yang ada.20
Berpikir secara filosofis tersebut
selanjutnya dapat digunakan dalam
memahami ajaran agama, dengan
maksud agar hikmah, hakikat atau inti
dari ajaran agama dapat dimengerti dan
dipahami secara seksama.21 Oleh sebab
itu, pendekatan filosofis adalah upaya
untuk mencari inti, hakekat dan hikmah
dalam memahami sesuatu di balik
formanya.
Pendekatan
filosofis
ini,
bukanlah hal baru dalam wacana Islam.
Ushul Fiqh sebagai metode memahami
kitab suci dan khazanah Islam yang
ditulis dalam bahasa Arab, senyatanya,
bisa disebut sebagai kajian filosofis.
Sebab di dalam Ushul Fiqh terdapat
pembahasan Qiyas (analogi) yang cara
kerjanya lebih luas dan sistematik dari
metode logika yang ditawarkan
Aristoteles, misalnya. Di samping itu,
terdapat pula kaidah-kaidah syari`ah
yang mencoba menyingkap tujuan dan
hikmah di balik segenap aturan formal.
Kaidah-kaidah
yang
menyingkap
19
17
Ibid., h. 282
Yusuf Qardhawiy, Kaifa Nata’ammal
ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, diterjemahkan
oleh Muhammad al-Baqir dengan judul
Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW,
(Bandung: Kharisma, 1994), cet. ke-3, h. 23
18
Kata filosofi sendiri berasal dari
bahasa Yunani, philosophia, yang terdiri atas
dua kata: philos (cinta) atau philia
(persahabatan, tertarik kepada) dan shopia
(hikmah,
kebijaksanaan,
pengetahuan,
keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi).
20
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1967), cet. ke-2, h. 15.
21
Abuddin Nata, op.ci., h. 43
Mhd. Idris, Metode Pemahaman Hadis Modernis 35
tujuan dan hikmah syari’ah ini disebut
dengan prinsip mashlahah.22
Mashlahah ( ) ا ﻟ ﻤ ﺼ ﻠ ﺤ ﺔsecara bahasa
dapat
berarti
kebaikan,
kebermanfaatan,
kepantasan,
kelayakan, keselarasan, kepatutan. Kata
al-mashlahah adakalanya dilawankan
dengan kata al-mafsadah ( ) ا ﻟ ﻤ ﻔ ﺴ ﺪ ةdan
adakalanya dilawankan dengan kata almadharrah () ا ﻟ ﻤ ﻀ ّ ﺮ ة, yang mengandung
arti “kerusakan”.23 Oleh karena itu,
perbincangan mengenai maslahah
berkisar pada penekanan mendapatkan
kebaikan
atau
manfaat,
dan
menghilangkan
mudarat
atau
kerusakan.
Sedangkan maslahah secara
istilah, ulama Ushûl al-Fiqh telah
memberikan defenisi yang hampir
sama satu sama lain. Di antaranya
seperti yang dikatakan oleh al-Ghazâlî
sebagai berikut:
mengandung pemeliharaan tujuan
syarak ini adalah maslahah.”
Dalam defenisi ini, terdapat dua
syarat yang harus dipenuhi dalam
maslahah, yaitu:
1. Maslahah harus berada dalam ruang
lingkup tujuan syarak, tidak boleh
didasarkan atas keinginan hawa
nafsu.
2. Maslahah harus mengandung dua
unsur penting, yaitu meraih
manfaat
dan
menghindarkan
mudarat.
Dalam pemahaman hadis Nabi,
pendekatan filosofis atau prinsip
maslahah,25 telah banyak ditempuh
oleh para ulama kontemporer, seperti
Yusuf Qardhawy, Muhammad alGhazali, dan lain-lain. Berikut penulis
kemukakan beberapa contoh hadis
yang tidak dapat lagi dipahami melalui
pendekatan linguistik semata, namun
harus dipahami melalui pendekatan
filosofis (prinsip mashlahah):
ﻟﻜﻨﺎ ﻧﻌﲏ ﺑﺎﳌﺼﻠﺤﺔ اﶈﺎﻓﻈﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻘﺼﻮد
وﻫﻮ، وﻣﻘﺼﻮد اﻟﺸﺮع ﻣﻦ اﳋﻠﻖ ﲬﺴﺔ،اﻟﺸﺮع
، وﻋﻘﻠﻬﻢ، وﻧﻔﺴﻬﻢ،أن ﳛﻔﻆ ﻋﻠﻴﻬﻢ دﻳﻨﻬﻢ
a. Hadis tentang Kepala Negara
dari Suku Quraisy
ﻓﻜﻞ ﻣﺎ ﻳﻔﻮت ﻫﺬﻩ اﻷﺻﻮل. وﻣﺎﳍﻢ،وﻧﺴﻠﻬﻢ
٢ ٤
.ﻓﻬﻮ ﻣﻔﺴﺪة ودﻓﻌﻪ ﻣﺼﻠﺤﺔ
25
Dalam kajian ushûl al-fiqh, kajian
tentang pendekatan filosofis telah banyak
ditempuh oleh ulama, antara lain Imam alSyâthibî melalui karyanya “al-Muwâfaqât fî
Ushûl al-Syarî’ah” atau yang dilakukan oleh
Syekh ‘alî Ahmad al-Jurjawî melalui karyanya
“Hikmah Al-Tasyri’ wa Falsafatuhu”. Di dalam
buku-buku tersebut, pengarangnya berusaha
mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik
ajaran-ajaran agama Islam, seperti hikmah
dalam perintah tentang shat, puasa, haji, dan
sebagainya. Ajaran agama dalam mengajarkan
agar shalat berjamaah, tujuannya antara lain
agar seseorang merasakan hikmahnya hidup
secara berdampingan dengan orang lain.
Dengan mengerjakan puasa misalnya, agar
seseorang dapat merasakan lapar dan
menimbulkan rasa iba kepada sesamanya yang
hidup serba kekurangan, dan berbagai contoh
lainnya. Abuddin Nata, op..cit.
“Maslahah adalah memelihara tujuan
syarak, yang meliputi lima perkara,
yaitu memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Maka semua
yang
mengabaikan
pemeliharaan
tujuan syarak yang lima ini adalah
mafsadah,
dan
semua
yang
22
Ibid.
Jamâlal-Dîn
Muhammad
ibn
Mukarram ibn Manzhûr al-Ifrîqî, Lisân al‘Arab, (Riyâdh: Dâr ‘Âlam al-Kutub, 1424
H/2003 M), Juz II, h. 348
24
Abû Hâmid Muhammad ibn alGhazâlî, al-Mushthafâ min ‘Ilm al-Ushûl,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t), juz 1,
h. 286-287
23
35
36 Jurnal Ulunnuha Vol.7 No.1/Juli 2018
ﱠﱮ ﺻﻠﻰ
َﻋ ِﻦ اﻟﻨِ ﱢ،َﻋ ِﻦ اﺑْ ِﻦ ﻋُ َﻤَﺮ رﺿﻰ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ
َال َﻫﺬَا اﻷَْﻣُﺮ ِﰱ
ُ »ﻻ ﻳـَﺰ:َﺎل
َ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗ
٢ ٦
.« ﻣَﺎ ﺑَِﻘ َﻰ ِﻣْﻨـ ُﻬ ُﻢ اﺛْـﻨَﺎ ِن،ْﺶ
ٍ ﻗُـَﺮﻳ
Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar R.A. dari
Nabi SAW, ia bersabda: “Dalam
urusan (beragama, bermasyarakat, dan
bernegara) ini, orang Quraisy selalu
(menjadi pemimpinnya) selama mereka
masih ada walaupun tinggal dua
orang”.
، ُﻞ ِﻣ َﻦ اﻷَﻧْﺼَﺎ ِر
ٍ ْﺖ َرﺟ
ِ ُﻛﻨﱠﺎ ِﰲ ﺑـَﻴ: َﺎل
َ َﺲ ﻗ
ٍ َﻋ ْﻦ أَﻧ
َﱴ
ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﺣ ﱠ
َ ﻓَﺠَﺎءَ رﺳﻮل اﷲ
اﻷَﺋِ ﱠﻤﺔُ ِﻣ ْﻦ:َﺎل
َ ﻓَـﻘ،َﺎب
ِ َﰐ اﻟْﺒ
ِ ﻓَﺄَ َﺧ َﺬ ﺑِﻌِﻀَﺎد،َﻒ
َ َوﻗ
٢٧...ْﺶ
ٍ ﻗُـَﺮﻳ
Dari Anas, ia mengatakan: suatu
ketika kami berada di rumah seorang
laki-laki Anshâr, lalu Rasulullah SAW
datang, hingga ia menghentikan
langkahnya. Lalu ia membuka pintu
seraya bersabda:“Pemimpin itu dari
suku Quraisy…”
Dua hadis di atas menyatakan
bahwa pemimpin itu harus berasal dari
suku Quraisy. Ibnu Hajar al-Asqalānīy
berpendapat bahwa tidak ada seorang
ulama pun, kecuali dari kalangan
Mu’tazilah dan Khawārij, yang
membolehkan jabatan kepala negara
diduduki oleh orang yang tidak berasal
26
Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj alQuraisy, al-Jāmi’ al-Shahīh (Shahīh Muslim),
(t. tp.: Isa al-Babi al-Halabiy wa Syurakah,
1375 H/1955 M), juz III, h. 1452; Abu
Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhariy,
al-Jāmi’ al-Shahīh (Shahīh Bukhārīy), (Beirut:
Dār al-Fikr, t. th.), juz IV, h. 234.
27
Abu Abdullah Ahmad ibn Hambal,
Musnad Ahmad ibn Hambal (Musnad Ahmad),
jilid II (Beirut: Maktab al-Islāmiy, 1398
H/17978 M), h. 129
dari suku Quraisy. Demikian juga apa
yang telah dikemukakan oleh alQurthubīy, kepala negara disyaratkan
harus dari suku Quraisy. Sekiranya
pada suatu saat orang yang bersuku
Quraisy tinggal satu orang saja, maka
dialah yang berhak menjadi kepala
negara.28
Pemahaman
secara
tekstual
terhadap hadis-hadis di atas dan yang
semakna dengannya dalam sejarah
telah menjadi pendapat umum ulama
dan karenanya menjadi pegangan para
penguasa dan umat Islam selama
berabad-abad. Mereka memandang
bahwa
hadis-hadis
tersebut
dikemukakan oleh Nabi dalam
kapasitas beliau sebagai Rasulullah dan
tentunya
benar
berlaku
secara
universal.
Apabila kandungan hadis di atas
dipahami seperti itu, maka hal itu tidak
sejalan dengan petunjuk yang terdapat
dalam al-Quran yang menyatakan
bahwa pada dasarnya manusia itu
sama, yang paling mulia dan utama di
sisi Allah dalan ketaqwaannya.29
Dengan
demikian
maka
diperlukanlah
pemahaman
secara
filosofis bahwa hak kepemimpinan
bukan
pada
etnis
Quraisy-nya,
melainkan pada kemampuan dan
kewibawaannya. Pada masa Nabi,
orang yang memenuhi syarat sebagai
pemimpin
dan
dipatuhi
oleh
masyarakat yang dipimpinnya adalah
dari kalangan Quraisy. Apabila suatu
masa ada orang bukan suku Quraisy
memiliki kewibawaan dan kemampuan
untuk memimpin, apalagi melebihi
suku Quraisy, maka dia dapat
28
Ali Ahmad bin ‘Ali Ibnu Hajar alAsqalāniy, Fath al-Bâri Syarh Shahîh alBukhâriy, (t. tp: Dār al-Fikr wa Maktabah, t.
th.), h. 114-118
29
Lihat Q.S. al-Hujurat: 13.
Mhd. Idris, Metode Pemahaman Hadis Modernis 37
ditetapkan sebagai pemimpin atau
kepala negara. Pemahaman kontekstual
semacam ini pertama kali dipelopori
oleh Ibnu Khaldun (808 H-1506M).30
cocok dan mudah didapat di jazirah
Arab. Dengan demikian, bolehlah
wasilah buatan seperti sikat gigi.
Sebagian ulama malah telah
menyatakan hal ini. Dalam kitab
Hadiyaturraghib dalam fiqh Hanbali
disebutkan: “Siwak bisa dengan kayu
arak, zaitun, dan batang kayu lain yang
tidak melukai dan membahayakan serta
tidak
pecah.
Sedang
yang
membahayakan atau yang melukai dan
pecah, hukumnya makruh. Di antara
yang membahayakan adalah kayu
delima, gaharu dan sejenisnya, dan
tidak cocok dengan sunnah bagi yang
bersiwak bukan dengan kayu. Syeikh
Abdullah Bassem, peringkas kitab
tersebut telah mengutip kata-kata Imam
Nawawi sebagai berikut: “Seseorang
boleh bersiwak dengan apa saja yang
dapat menghilangkan bau mulut,
seperti dengan kain atau jari-jari
tangan”. Inilah mazhab Hanafi,
berdasarkan dalil yang bersifat umum
tentangnya.31
Sejalan dengan itu, Yusuf alQardawi mengatakan bahwa tujuan
atau maksud dari hadis ini sebenarnya
adalah membersihkan mulut sehingga
Allah menjadi ridha karena kebersihan
itu. Sedangkan siwak merupakan media
untuk mencuci mulut. Disebutkan
siwak oleh Rasul, karena siwak cocok
dan mudah didapat di jazirah Arab.
Karena itu, siwak dapat diganti dengan
barang lain, seperti odol dan sikat gigi
dan sama kedudukannya dengan
siwak.32
b. Hadis tentang Siwak
ﺻﻠﻰ اﷲ- ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ
ُ َﺎل َرﺳ
َ َﺎل ﻗ
َ َﻋ ْﻦ أَِﰉ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ ﻗ
» ﻟ َْﻮﻻَ أَ ْن أَ ُﺷ ﱠﻖ َﻋﻠَﻰ أُﻣ ِﱠﱴ-ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ
.« ٍﺻﻼَة
َ َاك ِﻋْﻨ َﺪ ُﻛ ﱢﻞ
ِ ﻷَﻣَْﺮﺗـُ ُﻬ ْﻢ ﺑِﺎﻟ ﱢﺴﻮ
“Dari Abu Hurairah Radiallahu ‘anhu
berkata bahwasanya Nabishallallahu
‘alaihi wasallam bersabda : jikalau
tidak memberatkan akan umatku,
niscaya akan kuperintahkan untuk
bersiwak pada setiap kali hendak
melakukan shalat”.
ﺻﻠﻰ اﷲ- ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ
ُ َﺎل َرﺳ
َ َﺖ ﻗ
ْ َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ ﻗَﺎﻟ
ٌَاك َﻣﻄْ َﻬَﺮةٌ ﻟِْﻠ َﻔ ِﻢ ﻣ َْﺮﺿَﺎة
ُ » اﻟ ﱢﺴﻮ-ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ
.« ﱠب
ﻟِﻠﺮ ﱢ
“Diriwayatkan dari ‘Âisyah ia
berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Siwak itu membersihkan mulut dan
menjadikan Allah ridha”.
Hadis di atas memberikan
informasi
bahwa
Rasulullah
menganjurkan umatnya untuk bersiwak
sebelum melaksanakan ibadah shalat.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah
yang dimaksud dengan siwak itu
sendiri?
Apakah
tidak
boleh
menggunakan yang lain? Dari makna
lahiriah teks hadis di atas dipahami
bahwa siwak adalah wasilah, sehingga
boleh mesyarakat menggunakan selain
siwak untuk membersihkan mulut.
Kalau
pun
Rasulullah
SAW
menentukan siwak, oleh karena siwak
31
A. Najiyullah, Kajian Kritik Hadits
Pemahaman Hadits, (Jakarta: Islamia Press,
1994), h. 10
32
Yusuf Qardhawy, Kajian Kritis
Pemahaman Hadis: antara Pemahaman
Tekstual dan Kontekstual, diterjemahkan dari
buku dengan judul asli “al-Madkhal li Dirâsah
al-Sunnah al-Nabawiyyah”, (Jakarta: Islamuna
Press, 1994), cet. ke-1, h. 200
30
M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), h. 40.
37
38 Jurnal Ulunnuha Vol.7 No.1/Juli 2018
3. Kelebihan Dan Kekurangan
Metode
Pemahaman
Hadis
Modernis
a. Kelebihan
1) Sisi positif dari pendekatan ini
adalah
kemampuannya
membangun abstraksi dan
proporsi butir-butir kebenaran
yang diangkat dari hadis untuk
dikomunikasikan lebih luas lagi
kepada masyarakat dunia tanpa
hambatan bahasa dan budaya.
2) Untuk
pengembangan
pemahaman
hadis
secara
universal dan menghilangkan
taklid
buta
terhadap
pemahaman ulama terdahulu.
b. Kekurangan
1) Metode
modernis
kurang
memperhatikan aspek historis
hadis karena peran logikadeduktif begitu kuat.
2) Sisi negatif dari pendekatan ini
ialah hadis cenderung menjauh
dari dinamika aslinya yang
menyimpan
keunikan
dan
kekayaan
nuansa
yang
membuka
sekian
banyak
pemahaman
serta
memungkinkan melibatkan diri
ke dalam ruang wacana
imajinatif
dengan
para
pelakunya.
3) Pendekatan ilmiah bersifat
empiris
dan
satu
arah.
Pendekatan logika deduktif
yang kurang berkaitan dengan
variabel sosial dan psikologi
objek.33
Penutup
1. Kesimpulan
33
Ibid., h. 61-62
Dari uraian di atas, dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a. Kajian secara komprehensif sangat
diperlukan dalam memahami dan
menangkap maksud sebuah hadits.
Apalagi dengan perkembangan
zaman yang semakin modern,
diperlukan metode pemahaman
yang modern pula, seperti metode
pendekatan ilmiah dan pendekatan
filosofis.
b. Memahami
hadis
dengan
pendekatan
ilmiah
adalah
pemahaman hadis-hadis dengan
menilai istilah ilmiah yang terdapat
dalam hadis dan mengeksplorasi
berbagai ilmu dan pandangan
filosofis yang dikandungnya.
c. Pendekatan
filosofis
hadis
merupakan
pendekatan
yang
mencoba menyingkap tujuan dan
hikmah di balik segenap aturan
formal dalam hadis. Pendekatan ini
telah lama dilakukan oleh ulama
ushul
fiqh
dengan
prinsip
“mashlahah”, yaitu prinsip yang
mengedepankan
manfaat
dan
menghindarkan mudarat
2. Kritik Dan Saran
Demikianlah makalah ini
penulis sampaikan, semoga dapat
menambah wawasan keislaman
bagi pembaca, terutama dalam
bidang ilmu fiqh al-hadîts. Penulis
menyadari makalah ini belumlah
sempurna, masih banyak terdapat
kekurangan. Oleh sebab itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca,
demi kesempurnaan tulisan ini.
Wallâhu A’lam.
Mhd. Idris, Metode Pemahaman Hadis Modernis 39
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam
Islam Sejarah Pemikiran dan
Gerakan,
Jakarta:
Bulan
Bintang, 1975
Daftar Kepustakaan
Ali
al-Kulaib,
Abdul
Malik,
Nubuwwah
(Tanda-tanda
Kenabian), diterjemahkan oleh
Abu Fahmi, Jakarta: Gema
Insani Press, 1996
Subandi, Soli, Islam Modernis di
Indonesia, Yogyakarta: UMY,
2009
al-Bûthî, Muhammad Sa’îd Ramadhân,
Dhawâbith al-Mashlahah fî alSyarî’ah al-Islâmiyyah, Beirut:
Mu’assasah al-Risâlah, 1982
Qardhawiy, Yusuf, Sunnah, Ilmu
Pengetahuan, dan Peradaban,
diterjemahkan oleh Abad
Badruzzaman, Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2001
Buchari, Metode Pemahaman Hadis:
Sebuah Kajian Hermeneutik,
Jakarta: Nuansa
Madani,
1999
--------------------, Kaifa Nata’ammal
ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah,
diterjemahkan oleh Muhammad
al-Baqir
dengan
judul
Bagaimana Memahami Hadis
Nabi SAW, Bandung: Kharisma,
1994
Ghazali, Adeng Mukhtar, Ilmu
Perbandingan
Agama,
(Bandung: Pustaka Setia, 2000
Ibn Manzhûr, Jamâlal-Dîn Muhammad
ibn Mukarram al-Ifrîqî, Lisân
al-‘Arab, Riyâdh: Dâr ‘Âlam alKutub, 1424 H/2003 M
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa
Indonesia,
Jakarta: Balai
Pustaka, 2008
al-Quraisy, Abu Husain Muslim bin alHajjaj, al-Jāmi’ al-Shahīh
(Shahīh Muslim), t. tp.: Isa alBabi al-Halabiy wa Syurakah,
1375 H/1955 M
Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi yang
Tekstual
dan
Kontekstual,
Jakarta: Bulan Bintang, 1996
Mudzhar, M. Atho. Pendekatan Study
Islam; dalam Teori dan
Praktek, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998
al-Zindani, Abdul Madjid bin Azis
Azis, Mukjizat al-Qur’an dan
al-Sunnah
tentang
Iptek,
Jakarta: Gema Insani Press,
1997
al-Najjar, Zaglul, Sains Dalam Hadis,
Mengungkap Fakta Ilmiah dari
Kemukjizatan Hadis Nabi,
Jakarta: Amzah, 2011
39
2 Jurnal Ulunnuha Vol.7 No.1/Juli 2018