CENDERAWASIH:
Jurnal Antropologi Papua
Volume II Issue 2, Desember 2021
P-ISSN: 2774-5538, E-ISSN: 2774-552X
Struktur dan Fungsi Oru Dia dalam Kebudayaan Suku
Yokari
Erlin Novita Idje Djami 1, Marlina Flassy2, Simon Abdi K. Frank2
1
2
Mahasiswa Program Magister Antropologi, Universitas Cenderawasih, Jayapura Indonesia.
Departemen Antropologi Universitas Cenderawasih, Jayapura Indonesia.
Email Korespondensi:
[email protected]
INFO ARTIKEL
ABSTRACT
Kata Kunci:
Structure; Function; Ora
Dia; Megalitic; Yokari
Tribe; Culture; Jayapura
Oru dia is a megalithic cultural phenomenon in the form of a circular
stone structure, and the stones serve as a seat when customary
deliberations are conducted. The existence of this orudia is very
interesting to be disclosed about the structure, function and role in the
life of Yokari tribe society so that until now still be maintained.
Therefore the method used to express about the oru dia by using
qualitative approach and data presentation is descriptive. The process
of collecting data through interviews, observation, and literature
study. While the analysis uses functional structural analysis and
hermeneutic data interpretation. The result of this research is the
finding of a number of oru dia in kampung which are in Yokari District
area. Oru dia-oru dia is made of a number of stones arranged
horizontally to form a circle, and in the middle of the circle there is a
fireplace. The stones in oru dia are the seats of the Yarona who are the
ondowafi messengers who perform their duties and functions based on
adat. The existence of this oru dia illustrates the existence of a working
structure of traditional tools, and the customary devices will be
consulted and cooperate in carrying out the Ondoafi command on the
implementation plan of an event or event such as a traditional party,
Ondoafi's appointment ceremony as well as in termination of the case.
Based on the structure of the oru dia can be known its function is as a
place of deliberation, where the coronation of Ondoafi, the place of
ratification of the verdict and the place of judging the case. The role
of oru dia is as a unifying symbol or a tool that holds the whole of
Yokari society, as a symbol of Ondoafi's power, meeting place or
customary musyawarah center, place of ratification of a customary
decision, Ondoafi's inauguration place witnessed directly by the sun
and the univers.
Cara Sitasi:
Djami, E.N.I., Flassy M.,
Frank, S.A.K. (2021).
Fungsi dan Makna Oru
Dia dalam Kebudayaan
Suku Yokari.
Cenderawasih: Jurnal
Antropologi Papua. 2(2):
134 – 154
DOI:
http://dx.doi.org/10.31957/
jap.v2i2.2026
Copyright © 2021 CENDERAWASIH. All rights reserved.
1. Pendahuluan
Oru Dia adalah tempat musyawarah adat pada masyarakat suku bangsa Yokari
yang berada di Kabupaten Jayapura. Musyawarah di oru dia sangat unik dan khas dalam
130
CENDERAWASIH: Jurnal Antropologi Papua, 2(2): 134 – 154
pola pelaksanaannya. Musyawarah adalah perundingan bersama antara dua orang atau
lebih untuk mendapatkan keputusan yang terbaik, atau pengambilan keputusan
bersama yang telah disepakati dalam memecahkan suatu masalah yang menyangkut
kepentingan orang banyak atau masyarakat luas. Musyawarah dilakukan dengan
tujuan untuk menyelesaikan masalah dan memperoleh kesepakatan bersama sehingga
keputusan yang akhirnya diambil bisa diterima dan dijalankan oleh semua anggota
dengan penuh rasa tanggung jawab. Musyawarah merupakan salah satu ciri budaya
bangsa Indonesia, budaya ini pada setiap suku memiliki kekhasan tersendiri baik dalam
pelaksanaannya maupun tempat di mana diadakan musyawarah, dan bahkan juga
dalam hubungannya dengan jenis permasalahan yang dibahas atau dimusyawarahkan
(Aronggear, dkk, 2020; Sanggenafa & Hidayana, 2020). Sebagai budaya yang turun
temurun sejak zaman purbakala, musyawarah memiliki peranan penting dalam
kehidupan setiap kelompok masyarakat seperti terbukti dengan keberadaan tempattempat khusus yang digunakan sebagai tempat pelaksanaan musyawarah.
Di Indonesia ditemui ada banyak macam tempat yang digunakan sebagai tempat
pelaksanaan pertemuan atau musyawarah sesuai dengan kesepakatan masyarakatnya,
ada yang berupa bangunan rumah dan ada pula yang berupa bangunan megalitik,
misalnya pada masyarakat Jawa melaksanakan musyawarah atau rembuk desa di
sebuah Balai Desa, sedangkan pada masyarakat Karo di Sumatera Utara melaksanakan
pertemuan dan musyawarah di bangunan Jambur yang juga berfungsi sebagai tempat
pesta adat dan mengadili orang-orang yang melanggar adat, kalau di Simalungun
tempat pelaksanaan musyawarah di Balei Bolon yang juga berfungsi sebagai tempat
pengadilan dan penjara sementara, dan kalau di Pakpak tempat musyawarah di lakukan
Bale Kerunggun yang membahas masalah kemasyarakatan dan hukum adat (Koestoro
edt, 2012: 107-108). Pada masyarakat Sumba di Nusa Tenggara Timur melaksanakan
musyawarah di rumah besar atau Uma Kalda pada suku Loli, Uma Adung suku
anakalang, Uma Madakka untuk suku Lamboya, rumah-rumah tersebut adalah rumah
khusus atau rumah pusat untuk semua warga kampung adat dan rumah ini berfungsi
sebagai tempat musyawarah adat dan juga tempat pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat
seperti upacara kematian, perkawinan dan pesta-pesta adat lainnya. Di Papua pada
Masyarakat Sentani di Jayapura melaksanakan musyawarah di Para-Para adat yang juga
berfungsi sebagai tempat aktivitas adat lainnya, sedangkan pada masyarakat Hubula
atau Dani di Wamena melaksanakan musyawarah adat di dalam Honai adat (Pilamo)
yang juga berfungsi sebagai tempat melakukan upacara adat, sedangkan pada
masyarakat arfak di Manokwari melakukan musyawarah adat di rumah kaki seribu atau
Iymama yang juga berfungsi sebagai tempat melakukan acara-acara adat lainnya (Kadir,
dkk, 2021; Mabel, dkk, 2020; Frank, 2012: 92-112).
Gambar 1. Kursi Batu Tempat Musyawarah Adat di Pulau Samosir (Sumber: Balar Medan 2012)
131
P-ISSN: 2774-5538, E-ISSN: 2774-552X
Selain bangunan-bangunan rumah, tempat pelaksanaan musyawarah juga
dilakukan di bangunan-bangunan megalitik yaitu tinggalan budaya prasejarah warisan
nenek moyang berkonstruksi batu yang masih mentradisi hingga kini, seperti dalam
pemanfaatan kursi-kursi batu (lihat gambar 1) yang disusun melingkar dengan sebuah
meja batu bundar di bagian tengahnya yang digunakan sebagai tempat musyawarah
adat pada masyarakat Toba di Desa Ambarita di Pulau Samosir (Koestoro edt, 2012: 107108), selain itu juga ada yang berupa areosali atau teras di Pulau Nias yang digunakan
sebagai tempat memutuskan perkara dan pengesahan perundang-undangan (Prasetyo
dkk, 2004: 112). Bentuk megalitik lainnya yang juga digunakan sebagai tempat
musyawarah adalah batu temu gelang (lihat gambar 2) yang berada di Situs Cipari
Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat dan juga berfungsi sebagai tempat upacara
dalam hubungannya dengan arwah nenek moyang (Latifundia, 2013: 93) namun
sekarang ini tempat tersebut sudah tidak dimanfaatkan sebagai tempat musyawarah
tetapi telah dijadikan sebagai objek wisata.
Gambar 2. Batu Temu Gelang Tempat Musyawarah di Situs Cipari Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa
Barat (Sumber: Balar Bandung 2013)
Fenomena budaya tempat musyawarah yang menggunakan bangunan-bangunan
megalitik lainnya, juga ditemui pada masyarakat suku bangsa Yokari di Kabupaten
Jayapura yang dikenal dengan nama oru dia atau batu lingkar adat (lihat gambar 3), dan
budaya tersebut masih difungsikan dalam kehidupan masyarakat hingga sekarang ini
(Djami, 2017: 38).
Gambar 1.3. Oru Dia (Batu LingkarAdat) Tempat Musyawarah Suku Yokari
Menyikapi keberadaan oru dia dalam kerangka kebudayaan masyarakat suku
bangsa Yokari, menjadi sangat menarik dan penting untuk memaknainya, karena
bagaimana sebuah konsep budaya nenek moyang dari periode prasejarah yaitu konsep
132
CENDERAWASIH: Jurnal Antropologi Papua, 2(2): 134 – 154
budaya megalitik dari masa neolitik sekitar 4500 tahun lalu (Heine, 1945: 149) masih
mentradisi atau masih tetap hidup dan dijalankan oleh masyarakat suku bangsa Yokari
hingga sekarang ini.
Budaya megalitik merupakan budaya yang mengembangkan pendirian batu-batu
besar yang mengandung fungsi dan makna tertentu (Prasetyo, 2015:7, 12), dan fenomena
budaya ini telah membentuk komunitas-komunitas dengan berbagai kekhasan lokalnya
sesuai dengan kondisi lingkungan pada masing-masing wilayahnya (Prasetyo, 2016:5).
Kehadiran budaya megalitik tidak terlepas dari diaspora Penutur Austronesia yang
keberadaannya membentang dari utara (Taiwan-Mikronesia) ke selatan (Selandia Baru)
dan dari barat (Pulau Madagaskar) menuju timur (Eastern Island) (Prasetyo, 2016:319).
Pendirian bangunan megalitik tersebut merupakan manifestasi terhadap ide-ide
megalitik yang telah meresap dalam segala segi kehidupan para pendukungnya
(Soejono dan Leirissa, 2010:251). Mereka membangun megalitik sebagai sarana aktivitas
pemujaan, penguburan, musyawarah, tempat upacara, penghantaran arwah, dan
tempat atau sarana upacara perkawinan (Prasetyo, 2015: 35-44). Bagi masyarakat suku
bangsa Yokari, konsep budaya megalitik yang berupa oru dia atau batu lingkar adat ini,
merupakan bagian penting dalam kehidupan mereka, sehingga sampai sekarang ini
keberadaannya masih dipertahankan, bahkan telah menjadi simbol adat mereka. Simbol
dalam pengertian ini adalah sebagai unit paripurna dari struktur khusus dalam konteks
ritual, dan menjadi media transformasi sikap dan perilaku manusia (Turner, 1968:1-2;
Akhmad, dkk, 2018) yang di dalamnya mencakup objek, aktivitas, kata-kata, relasi,
peristiwa, gerak atau unit spasial (Turner, 1967: 19).
Sebagai tempat musyawarah dan simbol adat suku bangsa Yokari, oru dia adalah
berupa sejumlah batu yang disusun horizontal hingga membentuk sebuah lingkaran
dengan perapian di bagian tengahnya. Batu-batu yang disusun melingkar tersebut
berfungsi sebagai tempat duduk dari para pelaku musyawarah yaitu sekelompok orang
yang ditetapkan adat. Oleh karena itu, keberadaan oru dia sangat penting untuk dikaji
lebih mendalam terutama mengenai struktur, fungsi dan peranannya, guna mengangkat
nilai-nilai budaya suku bangsa Yokari, yaitu konsep budaya nenek moyang mengenai
suatu tempat khusus yang digunakan untuk melakukan musyawarah yang
membicarakan segala aspek kehidupan manusia, dengan tujuan untuk melestarikan
budaya oru dia dan pemanfaatan kearifan lokal tersebut dalam pembangunan
masyarakat Yokari ke depan. Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang diangkat
dan akan diteliti oleh penulis adalah bagaimana menggambarkan dan memaknai bentuk
struktur dan fungsi oru dia serta peranannya dalam kehidupan masyarakat suku bangsa
Yokari di Distrik Yokari, sehingga mengapa budaya tersebut masih dipertahankan
sampai sekarang ini.
2. Metode
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang dilakukan dengan menggunakan
pendekatan kualitatif dengan bentuk penalaran induktif. Data dan informasi yang
berhasil dihimpun dalam penelitian ini akan dijadikan acuan untuk melakukan analisis.
Lokasi penelitian di Distrik Yokari Kabupaten Jayapura. Lokasi adalah sebuah ruang
yang mewadahi keseluruhan aspek budaya, mulai dari manusianya sendiri,
perilakuknya, benda-benda, dan interaksinya. Lokasi di sini tidak hanya sebagai sebuah
bingkai yang membatasi persoalan penelitian, tetapi menjadi wadah di mana semua
dinamika budaya itu terjadi (Indiyanto, 2014: 70-75). Adapun yang menjadi area lokasi
penelitian di wilayah Distrik Yokari di pesisir utara Kabuaten Jayapura, Provinsi Papua.
133
P-ISSN: 2774-5538, E-ISSN: 2774-552X
Teknik Pengumpulan data yang digunakan adalah Wawancara mendalam, Observasi
dan studi kepustakaan. Adapun informan yang dilibatkan dalam penelitian ini
dipaparkan oleh tabel berikut:
Tabel 1. Informan Penelitian
No.
Nama
Umur
Status
1.
2.
3.
4.
5.
6.
S. Petrus Damimetou
Nataniel Matiseray
Alfred Soning Yupu
Saul Okowali
Nikolas Depametou
Paulus Damimetou
79 Tahun
51 Tahun
42 Tahun
73 Tahun
67 Tahun
64 Tahun
Ondoafi Kampung Andewatupu/Waringdia
Ondoafi Kampung Dewase
Kepala Suku Soning Yupu
Wero/Jabatan adat
Yarona/Panglima/ Jabatan adat
Tokoh Adat
Kemudian, Analisis data dilakukan bersamaan ketika dilakukan pengumpulan
data di lapangan, yang dimulai sejak proses penelitian berlangsung. Sebagaimana
penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka informasi dari objek kajian
akan dideskripsikan secara rinci dan spesifik. Sedangkan sifat penelitiannya adalah
iniduktif maka pengumpulan dan pengolahan datanya bertujuan untuk
mengembangkan teori (Endrawarsa, 2006). Karena penelitian ini merupakan studi
kasus, maka data yang dikumpulkan akan diolah secara deskriptif yang merangkum
semua gejala kasus. Misalnya mengapa oru dia itu bulat, siapa yg menganjurkan bulat,
terbuat dari batu apa, siapa saja yg mengangkut batu itu, mengapa ditempatkan disuatu
tempat, siapa saja yg boleh duduk di lingkaran tersebut, apakah dalam musyawarah
batu selalu terisi, bagaimana kalau dalam musyawarah ada yg tidak datang, apakah
dalam setiap musyawarah strukturnya selalu tetap, mengapa jumlahnya seperti itu,
kenapa tungku api ada di tengahnya, siapa yg memasang tungku api, apakah selalu ada
tungku api, dan tungku api melambangkan apa. Kesimpulan ditarik berdasarkan hasil
olahan data yang telah melalui proses reduksi atau penyederhanaan dan membuang
bagian data yang tidak relevan dengan fokus penelitian; penyajian data dilakukan
dengan penyusunan data secara rapih sehingga mudah ditangkap maknanya; dan
verifikasi bertujuan menghubungkan data dengan gejala lain yang dilakukan sejak
proses penelitian lapangan dimulai, guna menganalisis dan mencari makna data yang
dikumpulkan untuk menemukan polanya dan hubungan persamaan (Miles dan
Huberman, 1992: 16-20).
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Struktur dan Fungsi Oru Dia
Secara umum, oru dia yang ditemui di wilayah suku bangsa Yokari cukup banyak,
namun demikian jika merujuk pada data sejarah oru dia itu sendiri diketahui bahwa
pada setiap kampung adat hanya ada satu dan terletak di halaman rumah Ondoafi,
berbeda dengan keadaan sekarang ini yang di halaman kepala suku atau Yarona
(pesuruh) juga terdapat oru dia. Untuk itu, terlebih dahulu akan dibahas tentang
bagaimana dan seperti apa struktur oru dia berikut ini:
3.1.1. Struktur Oru Dia
Struktur merujuk pada suatu jenis susunan bagian-bagian atau komponenkomponen yang teratur (Akhmad, dkk, 2018). Komponen-komponen atau unit-unit
struktur sosial terdiri dari orang-orang yang akan memenuhi kedudukan dalam
struktur dan struktur ini sebagai penyusun orang dalam institusi dengan hubungan
134
CENDERAWASIH: Jurnal Antropologi Papua, 2(2): 134 – 154
yang telah ditentukan yaitu susunan hubungan antara individu – individu yang
menyebabkan adanya berbagai sistem masyarakat, dan agar tampak maka
diabstraksikan secara induksi dari kenyataan kehidupan masyarakat yang konkret.
Untuk itu bagaimana melihat struktur dalam suatu oru dia. Oru dia merupakan
suatu konsep budaya suku bangsa Yokari yang diwariskan turun temurun yang
menggambarkan pengetahuan leluhur mereka yang diwujudkan dalam bentuk susunan
sejumlah batu yang membentuk sebuah lingkaran atau bulatan. Batu-batu yang disusun
tersebut berupa batu-batu yang diambil dari kampung tua, maupun dari daerah pesisirpesisir pantai yang dilakukan oleh para Yarona, yang kemudian diletakkan di halaman
rumah Ondoafi sebagai pemimpin besar mereka. Batu-batu tersebut berfungsi sebagai
tempat duduk dari para Yarona dalam suatu pertemuan atau musyawarah adat
berlangsung. Pada saat akan dilakukan musyawarah adat, semua Yarona akan
diundang hadir dalam acara tersebut, namun jika ada Yarona yang berhalangan maka
akan diwakilkan kepada keturunannya untuk mengikuti pertemuan tersbut. Di setiap
oru dia juga terdapat perapian atau tungku api di tengahnya, karena keberadaan tungku
api tersebut sebagai satu kesatuan atau bagian penting dari konsep batu lingkar itu
sendiri.
Berdasarkan data temuan oru dia di wilayah suku bangsa Yokari ada sebanyak
dua puluh tiga buah, yang terbagi ke dalam dua kelompok yaitu oru dia dari kelompok
suku perang (suku Yepei) sebanyak delapan buah dan kelompok oru dia suku damai
(suku Yowari) sebanyak lima belas buah. Adapun jumlah masing-masing batu yang
berada di dalam setiap oru dia baik itu oru dia perang maupun oru dia damai cukup
bervariasi, yakni ada yang berjumlah tiga batu, lima batu, tujuh batu, delapan batu,
sepuluh batu, sebelas batu, dua belas batu dan tujuh belas batu. Melihat adanya
perbedaan jumlah batu pada setiap oru dia tersebut seolah-olah menampilkan ada
banyak struktur, namun sesungguhnya tidaklah demikian.
Menurut sejarah, oru dia adalah warisan leluhur yang pada mulanya jumlah batu
yang membentuk sebuah lingkaran oru dia berjumlah tujuh buah, baik pada oru dia
kelompok suku perang (kelompok suku Yepei) maupun pada oru dia kelompok suku
damai (kelompok suku Yowari). Batu-batu yang disusun pada suatu oru dia merupakan
tempat duduk dari para pesuruh Ondoafi yang disebut Yarona, yaitu orang-orang yang
bertugas melakukan pertemuan atau musyawarah adat di oru dia. Suatu pertemuan atau
musyawarah adat dapat dilakukan apabila ada permintaan atau atas perintah dari
Ondoafi untuk terselenggaranya sebuah acara adat atau pertemuan, oleh sebab itu
Ondoafi melalui Wero (protokol) akan mengundang para Yarona-Yarona untuk
berkumpul di oru dia guna membahas permintaan atau perintah Ondoafi tersebut.
Turunnya suatu perintah dari ondoafi sehingga harus dilakukan pertemuan adalah jika
ada laporan yang masuk dari masyarakat ke Ondoafi karena ada suatu pelanggaran atau
sengketa, selain itu juga karena kehendak Ondoafi untuk melakukan acara seperti pesta
metauw. Biasanya jika akan diadakan suatu pertemuan adat, maka perapian di tengah
oru diapun dinyalakan sebagai tanda undangan dan juga tanda akan ada suatu
pertemuan adat, dan para Yarona-Yarona yang telah diundang akan datang dalam
pertemuan tersebut dengan mengambil bagian di oru dia berdasarkan tugas dan
fungsinya menurut adat.
Berdasarkan struktur Oru dia, Andewafona adalah orang yang diberi mandat
untuk memimpin masyarakat dengan jabatan sebagai Ondoafi. Jabatan ini diberi secara
langsung oleh sang pencipta kepada Ondoafi sebagai wakilnya yang akan memimpin
di bumi. Seorang Ondoafi harus menunjukkan sifat keilahian dari pencipta atau sang
penguasa saat menjalankan perannya sebagai pelindung, penyejahterah, dan pelestari
135
P-ISSN: 2774-5538, E-ISSN: 2774-552X
komintas dan lingkungannya. Sedangkan Weng atau istri Ondoafi juga dipandang
sebagai ratu yang juga berperan penting, selain itu ada Tekai sebagai tangan kanan atau
wakil Ondoafi yang berperan sebagai panglima perang dan berasal dari keret yang sama
dengan Ondoafi. Wero adalah jurubicara atau protokoler acara-acara di oru dia, Wero
berperan sangat penting dalam pertemuan adat di batu lingkar karena hanya dia yang
berhak bicara di tempat tersebut dan menyampaikan hasilnya kepada Ondoafi.
Kedudukan Wero mungkin dapat dikatakan sebagai ‘perdana menteri’ atau yang
mengurus pemerintahan. Sedangkan Yarona adalah para pesuruh Ondoafi atau ‘para
menteri’, merekalah yang akan berfikir, merencanakan, mempersiapkan, dan
merancang banyak hal dengan menggerakkan masyarakat untuk bekerja bersama-sama
dalam memenuhi perintah atau putusan Ondoafi.
Pertemuan adat atau musyawarah di oru dia hanya dihadiri oleh para Yarona dan
Wero sebagai pembawa acara yang sekaligus memimpin pertemuan tersebut,
sedangkan Ondoafi dan Tekai mereka tidak bergabung di oru dia tetapi tinggal di dalam
rumah Ondoafi dan menanti hasil musyawarah dari para Yarona yang dipimpin oleh
Wero. Hasil musyawarah yang dibahas di oru dia tersebut, kemudian dibawa masuk
oleh wero untuk disampaikan kepada Ondoafi sebagai pengambil keputusan, karena
semua keputusan adat ada di tangan Ondoafi sebagai penguasa. Setelah Ondoafi
menerima hasil musyawarah kemudian ia memutuskannya, dan hasil keputusan
tersebut dibawa kembali oleh Wero ke oru dia untuk disahkan dan diumumkan kepada
para Yarona. Hasil putusan yang telah disahkan di oru dia tersebut tidak dapat diganggu
gugat, tetapi menjadi sebuah perintah yang harus dijalankan oleh para Yarona. Dalam
menjalankan putusan tersebut, para Yarona-Yarona akan menggerakkan seluruh Sirinu
Kerainu- Yodundung Yosepo atau masyarakatnya untuk bekerjasama dan bergotong
royong dalam memenuhi perintah Ondoafi.
Gambar 1. Srtuktur Oru Dia Suku Bangsa Yokari
ANDEWAFO
TEKAY
NIMI SUNA
METAU SUNA
AKEYANA
WENG
WERO
DERA SUNA
PERA SUNA
SIRINU KERAINU – YODUNDUG YOSEPO
Keterangan :
Andewafona : Ondoafi
Weng : Istri Ondoafi
Tekay : Wakil Ondoafi
Wero
: Protokol/Jurubicara Ondoafi
Yarona : Pesuruh Ondoafi
Sirinu Kerainu - Yodundung Yosep : Rakyat/Masyarakat
136
SEKA YANA
SING SUNA
CENDERAWASIH: Jurnal Antropologi Papua, 2(2): 134 – 154
Perlu diketahui bahwa Tekai dan maupun Wero juga tergolong sebagai Yarona.
Berikut ini posisi dan fungsi Yarona dalam struktur oru dia:
Kedudukan Para Yarona di oru dia:
1
3
2
4
5
6
7
1. Dera Suna berfungsi sebagai bendahara,
2. Ake Yana berfungsi sebagai pembawa berita
penobatan,
3. Metau Suna berfungsi mengumumkan pesta
adat,
4. Nimi Suna berfungsi mengolah ekonomi
darat dan laut,
5. Pera Suna berfungsi menjaga keamanan dan
pemimpin perang,
6. Seka Yana berfungsi panggil ikan dan antar
ikan untuk pesta, dan
7. Sing Suna berfungsi untuk buat api di oru dia
Gambar 4.2. Bentuk Oru Dia Suku Bangsa Yokari
Melihat struktur oru dia tersebut dan membandingkan dengan keberadaan oru dia
sekarang ini dengan jumlah batu yang bervariasi, ini sebagai bentuk dari perkembangan
dan juga karena semakin banyak jumlah penduduk keturunan suku bangsa Yokari,
telah mengakibatkan munculnya oru dia-oru dia seperti contoh oru dia milik salah satu
Yarona atau kepala suku. Keberadaan oru dia tersebut sebagai bentuk penegasan posisi
atau legitimasi hak serta sebagai bentuk pewarisan budaya bagi keturunannya. Selain
itu, ada perkembangan jumlah batu pada oru dia di halaman rumah Ondoafi sebagai
gambaran sebaran keturunan kelompok suku ke berbagai tempat, dan setiap keturunan
masing-masing merasa memiliki hak untuk berada dalam oru dia besar, maka
merekapun membawa batu yang mewakili sukunya dan menempatkan menjadi bagian
dalam oru dia besar sesuai kelompok suku (Yepei atau Yowari) dan juga karena pada
waktu lampau terjadi pembagian tempat tinggal atau kampung antara saudara turunan
kembar pertama (kakak dan adik) atau juga karena ada perubahan lokasi tempat tinggal,
maka untuk tetap menjaga hubungan kekerabatan di antara mereka, maka pada oru dia
besar mereka juga memiliki tempat atau posisi masing-masing sesuai ketetapan adat.
Kondisi tersebut merupakan bukti bahwa perubahan telah terjadi, dan juga
perkembangan yang mempengaruhi cara pandang masyarakat Yokari sekarang ini,
namun demikian dalam hal tugas fungsi Yarona yang terlibat dalam oru dia tidak
berubah misalnya pada oru dia di kampung Adewatupu yang berjumlah tujuh belas
buah batu, batu-batu tersebut sebagian besar diletakkan oleh suku-suku yang berada
dalam kelompok suku Yepei yang berperan sebagai Yarona dan mereka telah tersebar
di bebeberapa kampung yang ada di pesisir pantai utara yang meliputi wilayah Yokari
seperti Maruway, Meukisi, Snamai, Endokisi, dan Buseryo, dan juga dari wilayah Demta
seperti Ambora dan Muris. Penyertaan batu dari para kelompok Yepei tersebut sebagai
wujud kebersamaan dan persekutuan. Oru dia di Kampung Andewatupu atau Waring
Dia Waring Yo ini merupakan oru dia terbesar yang berada di halaman rumah Ondoafi
besar kelompok suku Yepei atau kelompok suku perang yang berada di wilayah Yokari.
137
P-ISSN: 2774-5538, E-ISSN: 2774-552X
2
Keterangan
1. Damimetou/Man Waring Kauway
3
1
4
2. Damimetou/Waring Kaume
3. Depametou/Man Syaway
4. Depametou/Mansyame
5. Nerotumilena
6. Bouway
7. Siriyai
12. Kreuway-Bona
8. Oyaitou
13. Wangguway
9. Yarisetuo-Demetou 14. Tablamilena
10.Pasik Yarisetou
15. Dusay
11.Pasik Demetou
16. Ebe - Tir
12. Nerokepou
17. Yakore- Arem
17
5
16
6
15
7
14
8
No. 1,2,3,4,5 (di Maruway)
No. 6,9,10,11,14,15 (di Meukisi)
No. 13 (di Buseryo)
No. 7,8,12 (Kantumlena)
No. 14 (Snamai)
13
9
12
10
11
Gambar 4.3. Susunan Kelompok Suku Yepei
Pada Oru Dia di Kampung Andewatupu
Selain itu, pada oru dia yang ada di kampung Dewase yang berjumlah dua belas
buah batu dari kelompok suku Yowari atau suku damai, juga tersebar di wilayah Yokari
seperti di Dewase dan Yekari di Maruway, dan Wanya di Meukisi. Penyertaan batubatu dari kelompok yang masuk dalam suku Yowari tersebut sebagai bukti
kebersamaan dan persekutuan mereka.
Keterangan:
1
1
2
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1
3
1
4
9
5
8
7
Matiseray
Dusay
Okowali
Yarona
Yarisetou
Soning Yupu
7. Demetou
8. Nerotou
9. Wali
10. Mandowali
11. Yopo
12. Demetou
No. 1-4 di Maruway
No. 5-8 di Maruway
No. 9-12 di Meukisi
6
Gambar 4.4. Susunan Kelompok Suku Yowari
Pada Oru Dia di Kampung Dewase
138
CENDERAWASIH: Jurnal Antropologi Papua, 2(2): 134 – 154
Munculnya oru dia siriyei oru-damuwai oru di kampung Yekari pada keret Soning
Yupu/Wasiey yang jumlah batunya tiga buah, ini dibuat khusus sebagai pusat doa
kepada sang pencipta dan roh nenek moyang (Mang Wariyei). Tiga batu ini
menceriterakan tentang nenek moyang suku bangsa Yokari yang membawa perahu
yang di atasnya memuat matahari yang akan diantar masuk ke dalam gunung AD Sero
melalui pintu masuk yang bernama soning yupuai buru, mereka adalah Siriyei yang
mendayung perahu di depan dan Damuwai yang mendayung perahu di belakang,
sedangkan Wasiyei ada di tengah untuk menjaga matahari. Di dalam gunung AD sero
terdapat tungku api yang merupakan tempat tinggal dari matahari, bulan dan bintang.
Sekarang ini meskipun keret Soning Yupu/Wasiyei telah beragama Kristen, mereka masih
melakukan doa di oru dia yang bertujuan mengundang para leluhur untuk datang dan
memberi perlindungan bagi mereka yang dilakukan setiap sore menjelang malam
dengan menyalahkan api di tengah oru dia tersebut.
Keterangan:
1
1. Soning Yupu (Matahari)
2. Okowaly (Bulan)
3. Demetou (Ekonomi)
3
2
Gambar 4.5. Oru Dia Khusus Berdoa di Kampung Yekari
Sedangkan pada oru dia dengan jumlah tujuh buah batu di kampung Yekari yaitu
Yambe Oru-Dase Oru merupakan tempat duduk nenek moyang mereka, dan generasi
sekarang tidak boleh duduk di atasnya tetapi mereka akan menempati bangku-bangku
yang ada di sekitar oru dia sebagai tempat duduk ketika musyawarah. Selain itu, duduk
di bangku merupakan suatu perubahan.
Keterangan:
Oru Dia
Bangku Tempat
Duduk
2
1
2
1
Meja
Gambar 4.6. Oru Dia dikelilingi Bangku Duduk
139
P-ISSN: 2774-5538, E-ISSN: 2774-552X
Tabel 4.1. Beberapa Contoh Aktivitas Musyawarah di Oru Dia
No.
1.
2.
3.
Jenis Musyawarah di Oru Dia
Keterangan
Membahas
tentang
Pelantikan
Dalam acara pelantikan
Ondoafi dan pesta metauw
Ondoafi, semua Yarona yang
terlibat di oru dia akan diundang
dan memenuhi batu lingkar
dengan pola duduk sesuai posisi
batu masing-masing.
Membahas
masalah
hukum
Dalam pertemuan ini yang
(sengketa tanah dan bawa lari anak diundangn para Yarona setempat
gadis orang)
dan Yarona-yarona dari kampung
lain yang terlibat, pola duduk
mereka diatur oleh Wero.
Membahas masalah perkelahian di
Dalam pertemuan yang
oru dia
bersifat intern ini, hanya dihadiri
oleh
Yarona
di
kampung
setempat.
Berdasarkan data pada (tabel 5.1) tersebut diketahui bahwa dalam suatu
musyawarah adat di oru dia tidak selamanya batu-batu yang ada diduduki orang, tetapi
semua didasarkan pada jenis masalah yang akan dibahas atau acara yang akan
diadakan, misalnya dalam pelantikan Ondoafi semua Yarona akan hadir dan memenuhi
semua batu yang ada, berbeda dengan suatu penyelesaian masalah yaitu yang hadir di
oru dia hanya Yarona setempat dan Yarona dari pihak yang bersengketa.
3.1.2. Fungsi Orudia
Fungsi oru dia adalah sebagai meja adat atau tempat pertemuan adat untuk
membahas masalah-masalah adat. Seluruh pembicaraan yang dilakukan di oru dia
dilakukan oleh yarona yaitu para pesuruh Ondoafi. Para Yarorna yang terlibat dalam
oru dia memiliki fungsi utamanya masing-masing seperti (1) Yarona Dera Suna berfungsi
sebagai bendahara, (2) Yarona Ake Yana berfungsi sebagai pembawa berita penobatan,
(3) Yarona Metau Suna berfungsi mengumumkan pesta adat, (4) Yarona Nimi Suna
berfungsi mengolah ekonomi darat dan laut, (5) Yarona Pera Suna berfungsi menjaga
keamanan dan pemimpin perang, (6) Yarona Seka Yana berfungsi panggil ikan dan antar
ikan untuk pesta, dan (7) Yarona Sing Suna berfungsi buat api di oru dia. Fungsi dari
ketujuh Yarona tersebut sebagai gambaran pola kehidupan masyarakat Yokari zaman
dulu yang memenuhi kebutuhan sosial budaya kelompok yang saling berhubungan
satu dengan lainnya, dan oru dia sebagai wadah pemersatunya. Sedangkan pada masa
sekarang ini jumlah Yarona ada dua belas yaitu (1). Yarona Ambou Senama (AS) berfungsi
sebagai penjaga yang selalu periksa tempayan sagu di rumah Ondoafi, (2). Yarona Mie
Eyutena (ME) berfungsi sebagai penjaga yang selalu menata tempat ruang makan di
rumah Ondoafi, (3). Yarona Diate Waruna (DW) berfungsi memantau halaman raya oru
dia tetap aman, cari kayu bakar untuk bikin api, (4). Yarona Kerai Sutena (KS) berfungsi
menghubungi secara diam-diam pada pihak-pihak tertantu saja, (5). Yarona Anjang
Seyana (AS)berfungsi mengkoordinir orang-orang untuk parut kelapa muda, (6). Yarona
Dera Sutena (DS) berfungsi menjalankan daftar sumbangan harta, (7). Yarona Betangke
Semana (BS) berfungsi sebagai penjaga khusus noken Ondoafi pada waktu acara pesta
metau dan pelantikan, (8). Yarona Akeyana (AK) berfungsi sebagai pembawa berita atau
140
CENDERAWASIH: Jurnal Antropologi Papua, 2(2): 134 – 154
undangan pesta ke kampung-kampung dengan cara lisan, (9). Yarona Bako Semana (BS)
berfungsi sebagai petugas periksa bahan makanan hasil kebun, sagu, ikan, binatang
buruan babi, kuskus di hutan, (10). Yarona Dia Berotena (DB) berfungsi sebagai petugas
pembaca mantra untuk oru dia jadi ramai dan semarak dengan luas mampu menampung
orang, (11). Yarona Waku Santekana (WS) berfungsi sebagai petugas penjaga tifa kepala
(tifa besar), dan (12). Yarona Meteka Semona (MS) berfungsi sebagai petugas khusus yang
potong daging babi dengan cara baik berukuran sama besar lalu diberikan kepada
Ondoafi, dan dari tangan Ondoafi diberi makan kepada para Yarona. Fungsi dari kedua
belas Yarona tersebut sama seperti ketujuh Yarona pada masa lampau yaitu untuk
memenuhi kebutuhan sosial budaya kelompok yang saling berhubungan satu dengan
lainnya atas perintah ondoafi, dan oru dia sebagai wadah pemersatunya. Sekalipun
terlihat bahwa Yarona-Yarona ini memiliki fungsi yang berbeda-beda tetapi dalam
melaksanakan keputusan adat dijalankan secara bersama-sama dengan menggerakkan
seluruh masyarakat.
Berdasarkan pada struktur oru dia dan fungsi dari setiap komponen yang ada pada
oru dia tersebut, dimana bahwa dalam pandangan Malinowski menyebutkan bahwa
setiap unsur-unsur yang terdapat pada kebudayaan suatu komunitas, memiliki fungsi
atau bersifat fungsional, hingga unsur dari kebudayaan tersebut tetap eksis dan
mewarnai perjalanan kehidupan (Hindom, dkk, 2020; Hapsari, dkk, 2020). Begitu pula
dengan oru dia yang terdapat pada kebudayaan Suku Yowari. Olehnya oru dia dalam
kebudayaan Suku Yokari memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:
Tempat musyawarah adat (meyenamane yau a te oru dia ne seyimane). Setiap
pertemuan yang terkait dengan membahas kepentingan masyarakat adat dilakukan di
oru dia. Hasil musyawarah adat yang dilakukan oleh para Yarona kemudian dibawa
masuk ke rumah Ondoafi oleh Wero dan menyampaikan hasil musyawarah tersebut
kepada Ondoafi untuk diputuskan. Hasil putusan ondoafi kemudian dibawa keluar
oleh wero untuk di sahkan di orudia dan diumumkan kepada para Yarona, dan hasil
musyawarah tersebut tidak dapat diganggu gugat, dan bagi semua Yarona akan
menerima dan melaksanakannya.
Tempat penegakan hukum (a yeko te oru dia ne kroma pine). Perkara atau
masalah hukum yang dihadapi masyarakat akan diputuskan di oru dia seperti perkara
terkait dengan pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang melalui sihir (hobatan)
sehingga mengakibatkan banyak orang yang mati tanpa sebab. Oleh karena itu, orang
yang dicurigai telah melakukan sihir yang mengakibatkan banyak kematian tersebut,
kemudian dilaporkan kepada Ondoafi yang kemudian melalui Wero mengumpulkan
para Yarona untuk bermusyawarah, hasil musyawarah kemudian disampaikan oleh
wero kepada Ondoafi untuk diputuskan, setelah diputuskan dibawa kembali hasil
putusan itu ke oru dia dan diumumkan kepada para Yarona, kemudian orang yang
dituduh tersebut ditangkap dan diadili di oru dia, seperti kejadian pada waktu lampau
ketika masih di Kampung Tua, orang yang berbuat demikian diadili dengan cara
dihilangkan nyawanya di oru dia. Bentuk putusan perkara antara kelompok suku Yepei
dan suku Yowari sedikit berbeda, kalau pada kelompok suku Yepei orang yang diadili
dapat secara langsung dihilangkan nyawanya, tidak sama dengan kelompok suku
Yowari bahwa orang yang diadili hanya dikenai sanksi denda adat dan bagi orang
tersebut diperintahkan untuk tidak berbuat pelanggaran lagi, dan perkara tersebut
dinyatakan selesai.
Tempat pelantikan Ondoafi (Andewpona yerang damba Yepei kena oru dia ne).
Dari semua oru dia yang ada di wilayah suku bangsa Yokari, hanya pada siriyei oru–
yakrowai oru di kampung Andewatupu - Maruway yang pernah terjadi peristiwa
141
P-ISSN: 2774-5538, E-ISSN: 2774-552X
pelantikan Ondoafi. Peristiwa pelantikan ini terjadi pada tahun 1968, hal ini bertepatan
dengan diantarnya kembali tulang belulang Ondoafi Azaria Damimetou oleh Ondoafi
Leonard Sibi dari Kayu Pulo. Ketika itu Ondoafi Azaria Damimetou dalam perawatan
kesehatan di RS Dok Dua Jayapura dan beliau meninggal di sana, namun karena
keadaan cuaca dan gelombang laut yang sangat buruk saat itu sehingga jenazah Ondoafi
Azaria Damimetou tidak bisa dibawa pulang ke kampung untuk dikebumikan, dan
karena kondisi tersebut maka Ondoafi Leonard Sibi dari Kayupulo meminta agar
jenazah Ondoafi Azaria Damimetou untuk disemayamkan di Kayupulo dan
dikuburkan di sana untuk sementara waktu, dengan janji bahwa suatu saat nanti akan
dibawa pulang ke kampung Andewatupu – Maruway.
Setelah Sembilan tahun berlalu pada tahun 1968 kelompok suku Yepei dari
kampung Andewatupu-Maruway bertandang ke Kayupulo untuk dansa dan
menyampaikan kesediaan mereka menanti pengahantaran tulang-belulang Ondoafi
mereka, setelah mereka kembali ke kampung Maruway, kubur Ondoafi Azaria
Damimetou digali oleh orang Kayupulo dan sisa-sisa tulang-belulangnya diangkat dan
dibungkus yang kemudian dibawah pimpinan Ondoafi Leonard Sibi bersama
masyarakatnya dari Kayupulo dan Kayubatu datang ke kampung Maruway di
kampung Andewatupu untuk menghantar tulang belulang Ondoafi mereka. Ketika itu,
di kampung Andewatupu juga sudah ada persiapan untuk menyambut kedatangan
rombongan dari Kayupulo dan Kayubatu, ketika itu mereka telah menyiapkan suatu
pesta yang sangat besar untuk menyambut tamu dan tulang-belulang Ondoafi mereka.
Ketika rombongan dari Kayupulo dan Kayubatu tiba, mereka disambut dengan pesta
besar yang dilakukan selama empat hari, dan ketika pesta sedang berlangsung muncul
ide di kepala Ondoafi Leonard Sibi yang disampaikan kepada anak mendiang Ondoafi
Azaria Damimetou yakni: “anak, bagaimana kalau dalam peristiwa ini kita sekaligus
melakukan penobatan atau pelantikan Ondoafi baru, hal ini atas pertimbangannya
dengan melihat pengeluaran atau biaya untuk pesta yang sangat banyak, demikian juga
jumlah babi yang dipotong banyak (9 ekor) dan agar kamu tidak rugi dua kali”.
Akhirnya di hari ke lima acara pesta adat tersebut dilakukan acara pelantikan Ondoafi
yaitu anak dari almarhum Ondoafi Azaria Damimetou yaitu bapak Siriyei Petrus
Damimetou, ia dilantik oleh Ondoafi Leonard Sibi menjadi Ondoafi
Andewatupu/Waring Dia. Pelantikan ini dilakukan di halaman raya dan sebelum
dilakukan pelantikan diadakan pertemuan atau musyawarah (yau) dengan
mengumpulkan orang-orang tertentu (para Yarona) agar mereka menggerakkan
masyarakat menyiapkan makan, minum, sirih-pinang, dan rokok untuk pesta
penobatan (metau). Dalam pesta penobatan itu, calon Ondoafi Siriyei Petrus Damimetou
bersama Ondoafi Leonard Sibi dan para pemangku adat suku Yokari di halaman raya
(dia) melakukan upacara pelantikan yang disaksikan oleh seluruh masyarakat Yokari
dan para tamu dari Kayupulo dan Kayubatu. Acara pelantikan tersebut dilakukan pada
pukul 08.00 pagi yang dilakukan oleh Ondoafi Leonard Sibi kepada anak Siriyai Petrus
Damimetou dengan mengucapkan kalimat “Pagi ini Matahari jadi saksi, saya lantik ini anak
jadi ondowafi dan ini sudah sah dan siapapun tidak bisa kasi gugat”. Setelah itu dilakukan
penyematan mahkota burung kuning di kepala Ondoafi yang baru dilantik yaitu
Ondoafi Siriyei Petrus Damimetou sebagai lambang kebesaran Ondoafi, yang
disaksikan oleh semua masyarakat. Saat pelantikan, Ondoafi diapit oleh dua orang
Tekai yang berasal dari marga Depametou. Setelah pelantikan selesai disambut dengan
acara makan bersama, dan pesta dansa. Pada ke esokan harinya Ondoafi Leonard Sibi
dan rombongannya kembali ke Kayupulo dan Kayubatu.
Pesta Pengakatan dan penobatan Ondoafi adalah Metauw Andewapo yaitu pesta
142
CENDERAWASIH: Jurnal Antropologi Papua, 2(2): 134 – 154
setelah Ondoafi dilantik atau dinobatkan secara resmi oleh ondoafi lainnya yang
ditunjuk atas nama seluruh rakyat Sirinu Kerainu dan Yodudung Yosepo. Selama pesta
aturan adat yang dilakukan dalam acara pelantikan Ondoafi yaitu:
1. Andewapo atau Ondoafi didampingi oleh Tekai (wakilnya) di dalam rumahnya.
2. Tekai/wakil tetap selalu bersama Ondoafi duduk berramah tama menerima
semua orang (tamu), Yarise-Yarise dan Yarona-Yarona yang datang wajib lapor
diri dan bertemu dengan Ondoafi dan Weng
3. Wero / pembantu pesuruh fungsi tugasnya selalu keluar masuk dari oru dia
halaman raya dan rumah Ondoafi untuk memberi tahu suasana jalannya acara
pertemuan selaku protokol/pembicara. Dalam rumah Ondoafi seorang
Yarise/Wero berhak berbicara dengan Ondoafi dan Tekai maupun dengan
Weng dan Tekai (istri Ondoafi dan Tekai). Hasil pembicaraanya disampaikan
kepada para Yarise dan para Yarona yaitu pemimpin kelompok-kelompok kerja
ada ditiap kampung yang sudah datang hadir bersama-sama di oru dia di
halaman rumah Ondoafi.
4. Yarise-yarise para kepala suku dari tiap kampung datang duduk di oru dia untuk
membahas program kerja pemerintahan adat dalam melaksanakan pesta-pesta
adat dan penobatan Ondoafi.
5. Yarona-yarona atau kepala-kepala keret dari tiap kampung datang hadir
bersama-sama di oru dia sambil duduk mendengar perintah Ondoafi yang
disampaikan oleh seorang Wero. Kegiatan kerja yang menggerakkan masyarakat
dipimpin oleh yarona-yarona kepala-kepala keret dan kaum keluarganya
masing-masing dari tiap kampung dan hasil kerja dapat dikumpulkan bersama
pada oru dia di rumah adat atau rumah Ongko Mie (rumah karwari).
6. Sirinu Kerainu-Yodundung Yosepo atau rakyat melalui undangan lisan semua
datang ke oru dia di halaman raya rumah Ondoafi untuk makan minum bersamasama dalam suasana gembira / suka cita. Setelah acara makan minum
dilanjutkan dengan pemukulan tifa- nyanyian dan tarian di oru dia di halaman
rumah Ondoafi.
Dalam suatu pesta adat, Weng bersama istri-istri Tekai, Wero, dan istri YariseYarise juga hadir di rumah Andewapo/Ondoafi, mereka juga berperan penting untuk
suksenya acara Ondoafi tersebut. Mereka akan melakukan pembicaraan bersama
tentang kesiapan sajian makan minum untuk acara, dan hasil pembicaraan akan
disampaikan kepada Wero oleh istrinya untuk kemudian diumumkan di oru dia yang di
dengar oleh Yarise-Yarise dan Yarona-Yarona bersama-sama dengan Sirinu KerainuYodundung Yosepo bahwa makan minum yang telah siap sedia tinggal diambil dan
dibagikan kepada semua orang. Makan minum berupa papeda bungkus, ikan
asar/bakar, daging kanguru/kuskus, bête, syafu, ubi, petatas, sukun, sagu bakar, pisang
dan daging babi dengan potongan sama besar, air kelapa muda, tebu manis, air putih,
pinang, kapur, sirih.
Weng akan memerintahkan para istri Yarise-Yarise dan Yarona-Yarona untuk
bersama-sama melakukan tugasnya mengumpulkan sajian makanan dari rumah YariseYarise dan Yarona-Yarona ke rumah Ondoafi untuk dimakan bersama dalam rumah
Ondoafi. Hal ini dilakukan sebagai lambang persaudaraan. Untuk gelombang pertama
makan minum dinikmati oleh para suami secara bergiliran hingga selesai kemudian
gelombang kedua makan minum dinikmati oleh para istri Yarise-Yarise dan YaronaYarona. Untuk makan bersama Sirinu Kerainu-Yodundung Yosepo dilakukan di oru dia
di halaman raya. Makanan yang dibagi berupa papeda bungkus dan potongan ikan asar
143
P-ISSN: 2774-5538, E-ISSN: 2774-552X
yang telah dibungus-bungkus untuk setiap orang dan bagi yang masih dansa tari-tarian
akan diberi dengan cara menggantungkan di bahu atau menaruhnya dekat kaki mereka
atau oleh sanak saudara masing-masing menjaga dan membantu membawa pulang ke
rumah mereka. Setelah makan bersama dan pesta dansa selesai kemudian dilakukan
persiapan diri untuk acara penobatan/pelantikan Ondoafi yang dalam bahasa Yokari di
sebut Yerang yang berarti orang yang dikukuhkan dan diangkat menjadi pemimpin adat
yaitu Ondoafi. Setelah acara pelantikan dilanjutkan dengan acara pemotongan daging
babi masak berukuran sama untuk diberikan kepada yarise-yarise – yarona-yarona oleh
Ondoafi untuk makan bersama di dalam rumah Ondoafi sebagai tanda persatuan
aparat adat.
Oru dia melambangkan persekutuan adat dan sistem menjalankan pemerintahan
yang dipimpin oleh Ondoafi besar Andewatupu Waring Dia Demoi Dia untuk Yo Yepei
dan Yowari, yang menjalankan amanat pemerintahan adat melalui aturan dan hukum
yang benar dan sebaik-baiknya di daerah Yokari, menjadi cerminan adat yang mulia
dihadapan sang pencipta. Oleh karena itu ada sejumlah aturan untuk menjaga oru dia
yaitu:
1. Menjaga keamanan
2. Jangan merampas miliki orang lain
3. Jangan membunuh
4. Jangan mencuri
5. Jangan berkelahi di oru dia
6. Jangan selingkuh istri orang
7. Jangan bawa lari sembunyi anak gadis orung tua cari
8. Jangan rampas tanah
9. Jangan rampas dusun sagu
10. Jangan bikin hobatan/sihir bunuh orang lain
Aturan-aturan adat tersebut merupakan pokok-pokok bahasan di oru dia, sehingga
jika ada yang melanggar salah satu aturan tersebut maka permasalahannya akan dibawa
ke oru dia atau meja adat untuk dibahas dan diputuskan. Hasil pembahasan dari oru dia
kemudian disampaikan kepada Ondoafi oleh Wero untuk diputuskan dan hasil
keputusan tersebut kemudian dibawa kembali oleh Wero ke oru dia untuk disahkan dan
diumumkan kepada para Yarona. Hasil keputusan tersebut bersifat mengikat, dan bagi
yang melanggar aturan tersebut harus mematuhi dan menjalankan hasil putusan
misalnya dengan membayar denda atau mengembalikan hak milik orang lain. Pada
setiap akhir musyawarah diadakan makan bersama atau hanya makan sirih pinang dan
merokok, tergantung kasus yang dibahas.
Dalam kegiatan musyawarah di oru dia, ada perbedaan jumlah Yarona yang
terlibat, hal ini tergantung pada jenis masalah yang dihadapi atau pesta yang akan
dibuat. Jika untuk acara pesta penobatan Ondoafi maka semua Yarona yang memiliki
posisi di batu lingkar dimanapun dia berada akan diundang untuk terlibat dan mereka
akan menempati batu pada oru dia sesuai dengan batu yang diletakkannya.
Namun untuk masalah berkelahi di oru dia hanya dihadiri dan dibahas oleh para
Yarona yang ada dalam kampung, sedangkan untuk masalah dalam kampung yang
melibatkan kampung lain seperti bawa lari anak orang, masalah batas tanah maka
yarona yang akan diundang terutama dari dalam kampung dan dari kampung lain (dari
kelompok suku Yepei maupun kelompok suku Yowari) yang terlibat masalah untuk
duduk bersama di oru dia guna membahas dan menyelesaikan masalah tersebut, dan
untuk pola duduknya diatur oleh Wero. Melihat kondisi tersebut, maka begitu
144
CENDERAWASIH: Jurnal Antropologi Papua, 2(2): 134 – 154
pentingnya oru dia bagi suku bangsa Yokari karena dapat menyelesaikan masalahmasalah yang dihadapi masyarakat baik ke dalam maupun ke luar kelompok suku
secara damai.
4.1. Peranan Oru Dia
Sebelum mengetahui tentang peranan oru dia bagi masyarakat suku bangsa
Yokari, maka terlebih dahulu perlu memaknainya sebagai media atau wadah yang
penting yang mengatur dan mengendalikan masyarakat. Oru dia secara faktual
merupakan objek atau susunan batu yang membentuk sebuah lingkaran yang di bagian
tengahnya terdapat perapian dan oru dia tersebut ditempatkan di halaman rumah
Ondoafi yang terbuka.
Sebagai suatu konsep budaya, Oru dia merupakan hasil manifestasi pemikiran
atau pengetahuan nenek moyang tentang kehidupan manusia. Maka untuk menafsirkan
makna simbolik fenomena budaya oru dia akan diawali dengan mendefinisikan objek,
lokasi, tindakan, peristiwa, kata-kata, sifat atau hubungan-hubungan yang berperan
sebagai wahana suatu konsep budaya.
Oru dia adalah berupa susunan tujuh buah batu atau lebih dalam posisi horizontal
hingga membentuk sebuah lingkaran dan terdapat perapian di bagian tengahnya. Batubatu pembentuk oru dia disusun saling berdekatan hingga menghasilkan sebuah
lingkaran yang tidak terlalu besar dengan diameter dua hingga tiga meter. Batu
merupakan benda alam yang memiliki sifat keras, kompak dan kokoh. Penggunaan
batu-batu tersebut melambangkan kekuatan, apalagi jika keberadaan batu-batu tersebut
dikaitkan dengan keberadaan manusia yang duduk di atasnya yang menjalankan tugas
dan fungsinya menurut adat.
Manusia yang duduk di atas batu oru dia adalah para Yarona atau pesuruh
Ondoafi yang berjumlah tujuh orang (pada mulanya) dan pada perkembangannya
bertambah jumlahnya demikian juga dengan tugas dan fungsinya masing-masing
seperti untuk Yarona awal yang berjumlah tujuh yaitu (1) Yarona Dera Suna berfungsi
sebagai bendahara, (2) Yarona Ake Yana berfungsi sebagai pembawa berita penobatan,
(3) Yarona Metau Suna berfungsi mengumumkan pesta adat, (4) Yarona Nimi Suna
berfungsi mengolah ekonomi darat dan laut, (5) Yarona Pera Suna berfungsi menjaga
keamanan dan pemimpin perang, (6) Yarona Seka Yana berfungsi panggil ikan dan antar
ikan untuk pesta, dan (7) Yarona Sing Suna berfungsi buat api di oru dia. Keberadaan
para Yarona dengan tugas dan fungsinya menggambarkan bahwa mereka adalah
kekuatan Ondoafi atau pilar adat yang menopang Ondoafi. Adapun pola penyusunan
batu yang melingkar cukup rapat dengan pola melingkar sebagi lambang kekerabatan,
kebersamaan dan terfokus pada tujuan yang sama. Dalam pandangan masyarakat
Yokari tentang susunan batu yang berpola melingkar tersebut, sebagai gambaran bahwa
semua pihak yang terlibat dalam suatu pertemuan atau musyawarah adat harus
memiliki satu hati, seia sekata dan satu tujuan (kena yau besika).
Selain susunan objek batu, di oru dia ada objek perapian di bagian tengah
lingkaran. Perapian ini biasanya dinyalakan ketika pertemuan atau acara adat akan
dilakukan hingga selesai. Api yang dinyalakan merupakan tanda bahwa Ondoafi akan
mengadakan suatu acara dan mengundang para Yarona atau pesuruh untuk berkumpul
dan membahas acara apa yang direncanakan oleh Ondoafi. Api merupakan simbol
terang, semangat dan kehangatan serta berperan sebagai saksi yang menyaksikan
seluruh aktivitas adat yang terjadi di oru dia sehingga selama ada acara di oru dia api
selalu dalam keadaan menyala sebagai dasar kehidupan dan persekutuan dengan yang
kuasa, persekutuan antarmanusia maupun persekutuan dengan alam semesta. Jika
145
P-ISSN: 2774-5538, E-ISSN: 2774-552X
konsep oru dia tersebut dihubungkan dengan cerita sejarah kemunculannya (BAB III
Sejarah Oru Dia), maka akan diperoleh sebuah gambaran hubungan antara dua
kampung tua Waring Dia/Waring Yo sebagai pusat kehidupan semua mahkluk dan
Sengkai Dia/Sengkai Yo sebagai tempat kelahiran, dan dari kedua kampung tersebut
sebagai cikal bakal suku Yokari yang berasal dari keturunan laki-laki dan perempuan.
Di Waring Dia terdapat satu buah batu permata simbol kepemimpinan (laki-laki),
sedangkan di Sengkai Dia terdapat batu lingkar simbol kelahiran (perempuan) (Assa &
Usmany, 2015). Perpaduan dari simbol batu permata yang dapat disejajarkan dengan
kehadiran Ondoafi dan matahari serta simbol batu lingkar yang menggambarkan
keturunan yang bersatu yang memulai kehidupan. Simbol-simbol budaya tersebut
kemudian dikonsepsikan menjadi batu lingkar dengan sebuah perapian di tengahnya.
Di samping batu dan api, lokasi atau tempat oru dia berada yaitu di halaman
rumah Ondoafi, juga bermakna sebagai tanda petunjuk tempat tinggal dari pemimpin
adat tertinggi, yang sekaligus sebagai lambang atau simbol kebesaran, kehormatan,
kekuasaan dan hak Ondoafi. Sedangkan penempatan oru dia di halaman terbuka,
memiliki suatu pengertian hubungan antara manusia dan alam semesta yang terbuka
atau tidak bersekat, dan juga bahwa peristiwa-peristiwa budaya di oru dia harus di
saksikan langsung oleh Matahari sebagai pencipta, hal in seperti tercermin dari katakata pada saat penobatan ondoafi Kampung Andewatupu yaitu “Pagi ini Matahari jadi
saksi saya lantik ini anak jadi ondoafi dan ini sudah sah dan siapun tidak bisa kasi gugat”.
Dengan disaksikan oleh matahari yang juga sebagai tanda pengesahan bahwa ondoafi
yang dilantik telah benar-benar sah untuk menjabat sebagai ondoafi yang adalah wakil
sang pencipta yang berkuasa di bumi.
Jika konsep oru dia tersebut dipindahkan pada sebuah kertas, akan menjadi sebuah
simbol yang bergambar garis melingkar dengan sebuah titik di tengahnya. Garis
melingkar sebagai perwakilan batu-batu yang disusun horizontal membentuk sebuah
lingkaran dan titik mewakili api yang berada di tengahnya.
Keterangan:
Titik : Api yaitu Manifestasi
matahari di bumi
Lingkaran : Batu melingkar yaitu
Roda kehidupan
manusia
Gambar 4.7. Lingkaran Dengan Titik di Tengahnya
Memakanai garis melingkar atau lingkaran pada oru dia sebagai garis yang tidak
berakhir yaitu garis yang berangkat dari asalnya dan berakhir pada titik yang sama,
sebagai lambang yang tidak berakhir dan tidak berawal. Sedangkan Titik di tengah
lingkaran adalah manifestasi dari yang maha kuasa. Hal ini tidak terlepas dari
kepercayaan masyarakat Yokari tentang roda kehidupan manusia di bumi yang
dijalankan dalam satu hati, seia sekata dan satu tujuan (kena yau besika). Oleh karena itu,
penggabaran oru dia dengan simbol lingkaran dan sebuah titik di tengahnya merupakan
refleksi atau manifestasi matahari dalam kehidupan manusia di bumi, yang setiap hari
memancarkan sinarnya sebagai lambang dimulainya suatu kehidupan. Konsep oru dia
adalah sebagai simbol matahari sang penguasa yang mempersatukan masyarakat dalam
146
CENDERAWASIH: Jurnal Antropologi Papua, 2(2): 134 – 154
terang, kehangatan, dan keabadiannya. Matahari (Soning) dipercaya sebagai pencipta,
raja siang dan penguasa, matahari (soning) siang juga diibaratkan sebagai laki-laki,
bapak, sumber kekuatan, yang memberi, sedangkan bulan (oko) malam hari diibaratkan
sebagai perempuan, ibu, bumi, tanah, kesuburan dan kemakmuran, yang melindungi,
sedangkan bintang (meya) diibaratkan sebagai anak yaitu suatu kemenangan atau
perjuangan yang membawa hasil, bintang pagi merupakan simbol dari Tekai seorang
panglima yang membawa kesuksesan.
Matahari dipercaya sebagai sang pencipta yang bekuasa, seperti terlihat dalam
suatu acara penobatan Ondoafi yang dilangsungkan pada pagi hari, sehingga dapat
secara langsung disaksikan oleh matahari, selain itu Ondoafi yang dilantik dipercaya
sebagai wakil matahari yang berkuasa di bumi, Ondoafi dipercaya memiliki sifat
keilahian dari sang pencipta dan penguasa, sehingga ia akan menjalankan perannya
sebagai pelindung, penyejahtera dan pelestari komunitas dan lingkungan sepanjang
hidupnya.
Sikap hidup seorang Ondoafi sangat menentukan keberadaan seluruh isi alam
semesta. Kata-kata yang keluar dari mulut Ondoafi mengandung kebaikan yang
menyejahterakan, perbuatan Ondoafi tidak mencelakakan setiap orang dan tidak
membuat lingkungan hidup menjadi rusak. Tetapi sumpah dan kutukan yang
diucapkan Ondoafi akan berdampak pada keretakan hubungan sosial dan dapat
membubarkan persekutuan sehingga harus dihindari. Oleh karena itu, setiap anggota
masyarakat harus taat kepada Ondoafi karena seluruh jiwa raga mereka sangat
tergantung kepada Ondoafi yang mempunyai kuasa untuk keselamatan hidup di dunia
maupun setelah meninggal dunia. Hal tersebut seperti terlihat pada kehadiran oru dia
yang merupakan tempat para pesuruh Ondoafi yaitu Yarona yang menjalankan tugas
dan fungsi mereka. Selain itu, simbol lingkaran dan sebuah titik di tengahnya
merupakan sebuah tanda yang terdiri dari titik api sebagai penanda dari matahari sang
penguasa dalam kehadirannya di bumi di tengah-tengah manusia dan lingkaran batu
sebagai penanda manusia yang berkumpul bersama, berfikir, bermusyawarah,
mengambil keputusan, dan melakukan pekerjaan secara bersama-sama atau bergotong
royong.
Dengan terurainya makna simbolis dari oru dia maka terungkap pula peranan oru
dia bagi masyarakat suku bangsa Yokari. Peran merupakan sesuatu yang diharapkan
lingkungan untuk dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, yang karena
kedudukannya akan dapat memberi pengaruh pada lingkungan tersebut. Ini berarti
bahwa peranan menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat kepadanya.
Pentingnya peranan karena ia mengatur perilaku seseorang. Peranan lebih banyak
menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Jadi seseorang
menduduki suatu posisi dalam masyarakat menjalankan suatu peranan. Adapun
peranan oru dia bagi suku bangsa Yokari adalah sebagai simbol pemersatu atau sarana
yang memperstukan seluruh masyarakat Yokari, dan juga sebagai simbol kekuatan
Ondoafi yaitu para pelaksanaan tugas dan fungsi yakni para Yarona yang berpikir dan
bekerja dalam mendukung segala perintah Ondoafi, selain itu sebagai tempat
pengesahan suatu putusan adat, tempat pelantikan Ondoafi yang disaksikan langsung
oleh matahari, dan juga sebagai simbol keberadaan matahari itu sendiri di muka bumi,
serta sebagai tempat pertemuan atau pusat musyawarah adat yang membahas segala
aspek kehidupan manusia seperti untuk menjaga keamanan, tidak merampas miliki
orang lain, tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berkelahi di oru dia, tidak selingkuhi
istri orang, tidak bawa lari sembunyi anak gadis orung, tidak rampas tanah, tidak
rampas dusun sagu, dan tidak bikin hobatan/sihir bunuh orang lain. Jika peran oru dia
147
P-ISSN: 2774-5538, E-ISSN: 2774-552X
berjalan dengan baik maka masyarakat akan hidup dalam suatu keadaan yang penuh
suka cita dan damai sejahterah, sesuai dengan nama Yokari yaitu kampung yang penuh
suka cita.
4. Simpulan
Bentuk struktur oru dia yang berupa susunan sejumlah batu adalah tempat duduk
dari para pesuruh Ondoafi yang disebut Yarona. Para Yareona inilah yang berperan
penting di dalam melakukan musyawarah adat di oru dia, mereka yang duduk bersamasama di atas batu lingkar untuk membahas masalah adat dalam kerangka melaksanakan
perintah Ondoafi, misalnya dalam membuat pesta adat pelantikan Ondoafi, pemutusan
suatu perkara hukum karena telah terjadi pelanggaran oleh salah satu anggota
masyarakat dan lain sebagainya. Setiap Yarona yang duduk di oru dia tersebut, masingmasing memiliki tugas dan fungsi yang ketat menurut adat, namun dalam menjalankan
perintah Ondoafi, mereka para Yarona akan mengerjakan secara bersama-sama dan
bersepakat menggerakkan masyarakatnya untuk menyukseskan acara adat tersebut.
Berdasarkan struktur dan fungsi oru dia tersebut telah menempatkan oru dia secara
tidak langsung pada suatu posisi yang sangat berperan penting dalam masyarakat
Yokari, yakni sebagai simbol atau tanda yang mempersatu suku bangsa Yokari, sebagai
pusat perencanaan segala aspek kehidupan suku bangsa Yokari, sebagai tempat
memutuskan perkara, dan lambang kekuatan maupun kebesaran Ondoafi, sehingga
objek budaya oru dia masih dipertahankan hingga sekarang ini. Pada masa sekarang ini,
seiring berjalannya waktu dan perkembangan kebudayaan, oru dia yang tadinya
berfungsi sebagai tempat duduk telah tergantikan dengan bangku maupun kursi tanpa
merubah struktur dan fungsi serta kewenangan dari masing-masing Yarona maupun
Wero, dan oru dia tetap menjadi simbol dalam ruang pertemuan atau musyawarah adat.
Keberadaan oru dia sebagai manifestasi pengetahuan nenek moyang, yang
berperan sebagai simbol pemersatu suku bangsa Yokari, maka budaya tersebut yang
tersebar di wilayah Distrik Yokari agar tetap dijaga dan dilestarikan keberadaannya
sebagai nilai budaya yang adiluhung dan sebagai jatidiri suku bangsa Yokari. Oru dia
dapat dijadikan sebagai media untuk mempelajari kebudayaan suku bangsa Yokari. Oru
dia dapat juga digunakan sebagai media dalam pembangunan suku bangsa Yokari yang
berbasis kebudayaan. Misalnya dalam memadukan konsep budaya oru dia dan sistem
pemerintahan desa menurut Undang Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014.
Ucapan Terima Kasih
Tim penulis ucapkan terima kasih kepada reviewer yang bersedia meluangkan
waktu untuk meninjau naskah ini demi penyempurnaannya, baik dari segi subtansi
maupun secara teknis. Kemudian, kepada pengelola Jurnal Cenderawasih: Jurnal
Antropologi Papua yang bersedia menerima naskah ini untuk diterbitkan.
Rererensi
Akhmad, A., Idris, U., & Siregar, L. (2018). Mitos Sawerigading (epos Lagaligo): Suatu
analisis struktural dan penafsiran. ETNOSIA: Jurnal Etnografi Indonesia, 224-249.
Aronggear, R.P., Poli, A.I., Mansoben, J.R. (2020). Peran Klan dalam Pemilihan Kepala
Kampung Tahima Soroma, Jayapura. Cenderawasih: Jurnal of Antropologi Papua,
1(1), 21-33.
148
CENDERAWASIH: Jurnal Antropologi Papua, 2(2): 134 – 154
Assa, V. R., & Usmany, D. P. (2015). Sistem Kepemimpinan “Sera”. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Kebudayaan. Balai Pelestarian
Nilai Budaya Jayapura-Papua.
Djami, E. N. Idje. (2017). Tipologi dan Makna Tinggalan Megalitik di Pesisir Pantai Utara
Kabupaten Jayapura. Amerta Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeolgi, 35(1), 3346.
Endrawarsa, S. (2006). Metodologi Penelitian Kebudayaan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Frank, S. A. K. (2012). Arsitektur Tradisional Suku Arfak di Manokwari. Yogyakarta, Kepel
Press.
Hapsari, W., Frank, S.A.K., Mansoben, J.R. (2020). Fungsi dan Nilai Khayi (Perahu
Perempuan) bagi Orang Sentani di Kampung Ayapo Kabupaten Jayapura.
CENDERAWASIH: Jurnal Antropologi Papua, 1(2), 134 – 148.
Heine, G. R. v. (1945). Prehistoric Research in the Netherland Indies. Science and Scientist
in the Netherlands Indies. New York, Board for the Netherlands Indies, Surinam and
Curacao.
Hindom, R.F., Yuliana, Wenehen, A. (2020). Perubahan Fungsi Tarian Tummour pada
Suku Mbaham Matta. Cenderawasih: Jurnal Antropologi Papua, 1(1), 34- 50.
Indiyanto, A. (2014). Lokalitas, Tempat, Dan Ruang Dalam Antropologi. Dalam Teori,
Etnografi dan Refleksi. Edt. Heddy Shri Ahimsa-Putra. Diterbitkan kerjasama
PINTAL dan Jurusan Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
(hlm 69-83).
Kadir, A., Poli, A. I., Hijjang, P., idris, usman, Ali, A., & Sokoy, F. (2021). Local wisdom
regarding coastal resource management among a fishermen community in Youtefa
Bay, Papua. ETNOSIA: Jurnal Etnografi Indonesia, 6(1), 36 - 46.
Koestoro, L. P. (edt). (2012). Arkelogi dan Karakter Bangsa. Balai Arkeologi Medan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Latifundia, E. (2013). Sumberdaya Arkeologi Situs Cipari Sebagai Aset Pendidikan dan
Ilmu Pengetahuan (hlm 89-98). Dalam Prosiding Seminar Nasional Dalam Rangka 100
Tahun Purbakala. Potensi Arkeologi dan Pemanfaatannya Untuk Masyarakat Luas. Balai
Arkeologi Bandung. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Mabel, R., Flassy, M., Numberi, G. K. I. (2020). Relasi Gender dalam Keluarga pada Suku
Hubula di Kampung Isaima Distrik Usilimo Kabupaten Jayawijaya.
CENDERAWASIH: Jurnal Antropologi Papua, 1(2), 104 –133.
Miles, B. B. dan Huberman, A. M. (1992). Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang
Metode-Metode Baru. Penerbit Universita Indonesia (UI-Press). Jakarta
Prasetyo, B., Bintarti, D.D., Yuniawati, D. Y., Kosasi, E.A., Jatmiko, Handini, R., &
Saptomo, E. W. (2004). Religi Pada Masyarakat Prasejarah di Indonesia. Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata. Proyek Penelitian dan Pengembangan Arkeologi.
Jakarta.
Prasetyo, B. (2015). Megalitik: Fenomena yang Berkembang di Indonesia. Kemendikbud,
Balitbang, Puslit Arkenas. Penerbit Galang Press. Yogyakarta.
149
P-ISSN: 2774-5538, E-ISSN: 2774-552X
Prasetyo, B. (2016). Prolog Megalitik Dalam Spektrum Budaya Nusantara. Dalam
Eksotisme Megalitik Nusantara. Prasetyo, B. (Edt). Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Sanggenafa, C. O. I., & Hidayana, I. M. (2020). Peran Dewan adat Suku Sentani untuk
Penyelesaian Konflik Kekerasan dalam Rumah Tangga. Cenderawasih: Jurnal
Antropologi Papua, 1(1), 8-12.
Soejono, R.P & Leirissa, R.Z (Edt). 2010. Sejarah Nasional Indonesia I, Zaman Prasejarah di
Indonesia. Edisi Pemutakhiran. Balai Pustaka. Jakarta.
Turner, V. (1968). The Drums Of Affliction: A Study of Religious Peocesses among the ndembu
of Zambia. Oxford: Clarendon Press.
Turner, V. (1967). The Forest of Symbols: Aspects of Ndembu Ritual. Ithaca and London:
Cornell Univercity Press.
150