Academia.eduAcademia.edu

Laporan Experiental Learning pada Kelompok Orang Dewasa

Penerapan dan Pengukuran Hasil Belajar dengan Experiential Learning pada Pembelajaran Kelompok Orang Dewasa Mata Kuliah Psikologi Orang Dewasa (Pelatihan) Dosen Pengampu: Dr. Seta Wicaksana M. Psi., Psikolog Kelompok 2 Nama Anggota: Syahrani Ramadina (6020210056) Dini Aulia (6020210057) Nadiah Salsabila (6020210058) Nisrina Hasna (6020210059) Bianca Lastatia P (6020210060) Dhinda Ryanda A (6020210061) Nanda Ayu Sekarini (6020210074) Ghaisani Aqilah Azra (6020210077) Regita Mutia Cahyani Hadi (6020210078) FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PANCASILA 2022 I. LATAR BELAKANG Perkembangan teknologi saat ini menuntut tiap individu untuk berinovasi agar siap menghadapi tantangan yang semakin sukar diprediksi. Orang yang inovatif memiliki etos kerja yang tinggi, berorientasi ke depan, dan banyak ide cemerlang. Terkadang kita semua lupa bahwa berpikir inovatif selalu didapatkan sepanjang hidup dan tentu perlu adanya pelatihan untuk melatih kognitif kita dan tak jarang kita lupa juga berpikir inovatif ini bukan hanya terkait dengan kemajuan teknologi. Namun, pada kenyataannya, inovasi dalam pendidikan melampaui dari hanya sekadar keahlian teknologi (UNext, 2022). Kata “Inovasi” dan “Pembelajaran” identik dengan sifat dan kecenderungan manusia yang saling bergantung satu sama lain. Walaupun pembahasan mengenai inovasi tidak begitu ditekankan pada pendidikan, faktanya adalah bahwa inovasi dapat didorong oleh pembelajaran (UNext, 2022). Pemikiran kreatif dan desain inovasi menemukan penerapannya di seluruh industri dan sektor, termasuk sektor pendidikan. Pengenalan inovasi dalam pendidikan memungkinkan pembelajar untuk memperluas pikiran mereka dan mengembangkan keterampilan di luar buku teks. Innovative learning adalah sejenis pembelajaran yang memiliki arti yang sama dengan creative learning, yaitu pembelajar memunculkan perubahan, pembaruan, reorganisasi, dan serangkaian pertanyaan baru dari hasil bahan yang dipelajari. Proses pembelajaran ini membantu memperoleh pengetahuan bagi pembelajar untuk mendukung dan meningkatkan pengalamannya (Gu, 2016). Pembelajaran ini memiliki fokus utamanya adalah pada bagaimana informasi disusun dan disampaikan di luar hubungan peran tradisional yang terlihat dalam model pembelajaran akademik dan merupakan salah satu bentuk model experiential learning. Model pembelajaran experiential learning merupakan model pembelajaran yang dapat menciptakan proses belajar yang lebih bermakna, di mana pembelajar mengalami apa yang mereka pelajari. Melalui model ini, pembelajar tidak hanya belajar tentang konsep materi saja, hal ini dikarenakan mereka dilibatkan secara langsung dalam proses pembelajaran untuk dijadikan sebagai suatu pengalaman. Hasil dari proses pembelajaran experiential learning tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja, juga tidak seperti teori behavior yang menghilangkan peran pengalaman subjektif dalam proses belajar. Pengetahuan yang tercipta dari model ini merupakan perpaduan antara memahami dan mentransformasi pengalaman (Martono et al., 2018). Experiential learning awalnya sebuah konsep dari seorang Psikolog, John Dewey yang mengartikannya sebagai learning by doing. Kemudian, di tahun 1969 Kolb dan Rogers mengembangkan model experiential learning yang diartikan sebagai penggunaan pengetahuan yang diproses dari pembelajaran kognitif. Kolb (1984) juga mengenalkan 4 tahapan proses seseorang belajar dari experiential learning, di antaranya, yaitu: Concrete Experience, Reflection, Abstract Conceptualisation dan Active Experimentation. Model pembelajaran ini terbukti dapat meningkatkan rasa kepercayaan diri individu, perencanaan, komunikasi, problem solving dan seterusnya (Hakima, A & Hidayati, L., 2020). Oleh karena itu, metode belajar ini sangat penting digunakan untuk melatih berpikir inovatif, kreatif, dan kritis pada individu karena individu sangat terlibat aktif dalam kegiatan belajar dan metode ini secara langsung mendorong pembelajar untuk mengalami pengalaman langsung dari observasi yang kemudian langsung diaplikasikan. II. LANDASAN TEORI Experiential learning didefinisikan sebagai proses di mana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman. Pengetahuan dari metode ini dihasilkan dari kombinasi menggenggam dan mengubah pengalaman. Experiential learning menawarkan pandangan yang berbeda secara fundamental tentang proses belajar dari teori perilaku belajar. Perspektif pada teori ini, merupakan pembelajaran yang menggabungkan pengalaman, persepsi, kognisi, dan perilaku. Teori experiential learning berbeda dari teori kognitif dan perilaku, karena pada teori kognitif menekankan peran proses mental sementara pada teori perilaku hal tersebut diabaikan, justru menekankan peran pengalaman subjektif dalam proses pembelajaran. Teori yang dikemukakan oleh Kolb ini mengambil pendekatan yang lebih holistik dan menekankan bagaimana pengalaman, termasuk kognisi, faktor lingkungan, dan emosi, mempengaruhi proses pembelajaran. Etling (1993) mengkategorikan experiential learning ke dalam proses informal, nonformal, dan formal. Experiential learning informal digambarkan sebagai pembelajaran insidental dan pengalaman sehari-hari, seringkali dikenal dengan sebutan belajar "sendiri". Experiential learning nonformal digambarkan dengan perencanaan oleh instruktur dan mencakup tujuan, tetapi kurang terstruktur dan terjadi di luar lingkungan pendidikan formal. Experiential learning formal berkaitan dengan ruang kelas di sekolah dan universitas, dan terjadi di ruang kelas atau laboratorium, menggunakan eksperimen, proyek, dan kegiatan lainnya. Terdapat dua hal yang menjelaskan experiential learning jika diaplikasikan pada dunia pendidikan, (1) melibatkan peserta didik secara langsung dalam fenomena yang terkait dengan studi mereka, (2) mengharuskan peserta didik untuk merenungkan pengalaman, menganalisisnya dan belajar darinya. Oleh karena itu, penerapan experiential learning ini berfungsi untuk memiliki pengalaman hidup dan kemampuan kognitif untuk berefleksi, mengembangkan ide-ide baru, dan mengambil tindakan positif. Hal ini juga memberikan individu pengalaman dunia nyata yang mereka butuhkan untuk menempatkan keterampilan baru mereka dalam konteks dan untuk mengembangkan ide-ide baru tentang bagaimana menerapkan keterampilan mereka. III. STUDI KASUS Karakteristik pembelajaran pada orang dewasa dan experiential learning memiliki keterlibatan dan kecocokan untuk diaplikasikan. Menurut Malcolm Knowles (dalam Myers, 2004), prinsip-prinsip belajar dari experiential learning yang diterapkan di pendidikan orang dewasa, sebagai berikut: 1. Orang dewasa sebaiknya diikutsertakan dalam perencanaan dan pengaturan instruksi mereka sendiri. Experiential learning dapat mencapai hal ini melalui fase-fase observasi reflektif (reflective observation), konseptualisasi abstrak (abstract conceptualisation) dan eksperimentasi aktif (active experimentation). 2. Pengalaman penting dalam pengajaran orang dewasa. Fase pengalaman yang konkret (concrete experience) dan eksperimentasi aktif (active experimentation) menyajikan pengalaman bagi para pembelajar. 3. Orang dewasa lebih peduli pada bahan ajar yang secara langsung dan segera berhubungan dengan dirinya. Experiential learning dapat mencapai hal ini jika para fasilitator menemukan karakteristik dan kebutuhan para pembelajar yang akan mengikuti proses pembelajaran. 4. Orang dewasa lebih menyukai pembelajaran dengan pendekatan penyelesaian masalah (problem solving) daripada pendekatan yang berdasarkan pada konten (content base). Pendekatan yang berfokus pada penyelesaian masalah (problem solving) menghadirkan pengalaman-pengalaman atau situasi-situasi yang para peserta butuhkan dalam pekerjaan untuk diselesaikan. Dengan memberikan pengalaman yang konkret pada para pembelajar dengan fenomena yang sedang dipelajari, experiential learning dapat dengan mudah digunakan untuk mengembangkan lingkungan pembelajaran yang problem based. Seperti yang dilakukan oleh Purnami dan Rohayati (2016) yang melakukan penelitian untuk melihat bagaimana experiential learning berpengaruh di kalangan universitas dan mahasiswa. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa metode pembelajaran experiential learning memiliki pengaruh terhadap perkembangan soft skill pada mahasiswa. Metode experiential learning sangat sesuai diterapkan pada usia dewasa termasuk bagi mahasiswa yang telah memasuki usia dewasa. Sehingga pengembangan soft skill bagi mahasiswa sangat sesuai diterapkan dengan menggunakan metode experiential learning ini. Serta peran dosen dalam pengembangan soft skills dengan metode experiential learning ini adalah sebagai fasilitator yang mempermudah, membantu para peserta didik untuk belajar melalui apa yang dialaminya. IV. - PEMBAHASAN Prinsip-prinsip Model Experiential Learning Proses belajar Experiential Learning merupakan kegiatan merumuskan sebuah tindakan, mengujinya, menilai hasil, memperoleh feedback merefleksikan, mengubah dan mendefinisikan kembali sebuah tindakan berdasarkan prinsip prinsip yang harus dipahami dan diikuti. Prinsip-prinsip tersebut didasarkan pada teori Kurt Lewin : 1. Experiential Learning yang efektif akan memengaruhi berpikir pembelajar, sikap dan nilai-nilai, persepsi, dan perilaku pembelajar. 2. Pembelajar lebih mempercayai pengetahuan yang mereka temukan sendiri daripada pengetahuan yang diberikan oleh orang lain. Menurut Lewin, berdasarkan hasil eksperimen yang ia lakukan, bahwa pendekatan belajar yang didasarkan pada pencarian (inquiry) dan penemuan (discovery) dapat meningkatkan motivasi pembelajar untuk belajar dan komitmen mereka untuk mengimplementasikan penemuan tersebut pada masa yang akan datang. 3. Belajar akan lebih efektif bila merupakan sebuah proses yang aktif. Pada saat pembelajar mempelajari sebuah teori, konsep atau mempraktekan, dan mencobanya, maka pembelajar akan memahami lebih sempurna, dan mengintegrasikan dengan apa yang dipelajari sebelumnya serta akan dapat mengingat lebih lama. Banyak dari konsep-konsep atau teori-teori yang tidak akan dipahami sampai pembelajar mencoba untuk menggunakannya. 4. Perubahan hendaknya tidak terpisah-pisah antara kognitif, afektif, dan perilaku, tetapi secara holistik. Ketiga elemen tersebut merupakan sebuah sistem dalam proses belajar yang saling berkaitan satu sama lain, teratur, dan sederhana. Mengubah salah satu dari ketiga elemen tersebut menyebabkan hasil belajar tidak efektif. 5. Experiential Learning lebih dari sekadar memberi informasi untuk mengubah kognitif, afektif, maupun perilaku. Mengajarkan pembelajar untuk dapat berubah tidak berarti bahwa mereka mau berubah. Memberikan alasan mengapa harus berubah tidak cukup memotivasi pembelajar untuk berubah. Membaca sebuah buku atau mendengarkan penjelasan pengajar tidak cukup untuk menghasilkan penguasaan dan perhatian pada materi, tidak cukup mengubah sikap dan mengingatkan keterampilan sosial. Experiential Learning merupakan proses belajar yang menambahkan minat belajar pada pembelajar terutama untuk melakukan perubahan yang diinginkan. 6. Pengubahan persepsi tentang diri sendiri dan lingkungan sangat diperlukan sebelum melakukan pengubahan pada kognitif, afektif, dan perilaku. Menurut Lewin, tingkah laku, sikap dan cara berpikir seseorang ditentukan oleh persepsi mereka. Persepsi seorang pembelajar tentang dirinya dan lingkungan disekitarnya akan mempengaruhinya dalam berperilaku, berpikiran, dan merasakan. 7. Perubahan perilaku tidak akan bermakna bila kognitif, afektif, dan perilaku itu sendiri tidak berubah. Keterampilan-keterampilan baru mungkin dapat dikuasai atau dipraktekan, tetapi tanpa melakukan perubahan atau belajar terus menerus, keterampilan-keterampilan tersebut akan menjadi luntur dan hilang. - Karakteristik Karakteristik model Experiential Learning, yaitu sebuah pembelajaran dengan cara belajar yang dapat dilihat melalui proses, bukan hanya dengan melihat pencapaian hasil terakhir, merupakan sebuah proses belajar berkelanjutan yang didasarkan atas pengalaman pembelajar, membutuhkan resolusi konflik antara berbagai macam gaya belajar yang berlawanan secara dialektis, merupakan proses belajar yang holistik, melibatkan hubungan antara seseorang dengan lingkungan, menciptakan pengetahuan gabungan yaitu pengetahuan sosial dan pengetahuan pribadi. - Siklus Experiential Learning Experiential Learning Cycle (Siklus EL) terdiri atas 4 tahap (Kolb: 1984): (1) Concrete Experience (CE): Pembelajar terlibat penuh secara aktif pada proses dan waktu pembelajaran. (2) Reflective Observation (RO): Pembelajar mengamati hasil dari pengalaman yang telah dilakukannya dari berbagai sudut pandang secara reflektif atau langsung. (3) Abstract Conceptualization (AC): Pembelajar mengonseptualisasi dengan mengintegrasikan atau menggabungkan hasil pengamatan serta refleksi yang telah dilakukan sebelumnya menjadi sebuah teori konsep yang logis dan mudah dipahami. (4) Active Experimentation (AE): Pembelajar membuat percobaan (eksperimen) ulang atas teori-teori yang dihasilkan sebelumnya untuk dijadikan keputusan dalam memecahkan masalah. Dalam tahapan di atas, proses belajar dimulai dari pengalaman konkret yang dialami seseorang. Pengalaman tersebut kemudian direfleksikan secara individu. Dalam proses refleksi seseorang akan berusaha memahami apa yang terjadi atau apa yang dialaminya. Refleksi ini menjadi dasar konseptualisasi atau proses pemahaman prinsipprinsip yang mendasari pengalaman yang dialami serta prakiraan kemungkinan aplikasinya dalam situasi atau konteks yang lain (baru). Proses implementasi merupakan situasi atau konteks yang memungkinkan penerapan konsep yang sudah dikuasai. Kemungkinan belajar melalui pengalaman-pengalaman nyata kemudian direfleksikan dengan mengkaji ulang apa yang telah dilakukannya tersebut. Pengalaman yang telah direfleksikan kemudian diatur kembali sehingga membentuk pengertian-pengertian baru atau konsep-konsep abstrak yang akan menjadi petunjuk bagi terciptanya pengalaman atau perilaku-perilaku baru. Proses pengalaman dan refleksi dikategorikan sebagai 8 proses penemuan (finding out), sedangkan proses konseptualisasi dan implementasi dikategorikan dalam proses penerapan (taking action). Menurut experiential learning theory, agar proses belajar mengajar efektif, seorang pembelajar harus memiliki 4 kemampuan. - Dimensi ● Dimensi konten meliputi pengetahuan, pemahaman, keterampilan, kemampuan, sikap dan kesukaan. ● Dimensi insentif meliputi emosi, perasaan, motivasi, kemauan atau kehendak. ● Dimensi sosial meliputi interaksi, komunikasi, dan kerja sama. - Implementasi Experiential Learning dalam Pembelajaran Experiential Learning dapat efektif apabila dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: ● ‘Ice breaking’ di awal pembelajaran untuk membangkitkan semangat para peserta. ● Mengembangkan atmosfer pembelajaran yang kondusif dan suportif. ● Memperkenalkan kegembiraan dalam pengerjaan tugas pembelajaran. ● Mendorong berpikir kreatif. ● Membantu para peserta melihat dari perspektif yang berbeda ● Meningkatkan kesadaran akan perlunya berubah. ● Meningkatkan kesadaran diri. - Kelebihan 1. Meningkatkan semangat dan gairah pembelajar karena pembelajar aktif. 2. Meningkatkan kerja sama dan menumbuhkan rasa ketergantungan antara anggota kelompok. 3. Meningkatkan keikutsertaan seluruh siswa untuk memecahkan permasalahan dan mengambil keputusan dalam kelompok. 4. Mencari dan menemukan bakat kepemimpinan pembelajar yang tersembunyi. 5. Meningkatkan rasa peduli dan saling memahami antar anggota kelompok. 6. Memunculkan kegembiraan dalam proses pembelajaran karena pembelajaran dinamis dan dari berbagai arah. 7. Mendorong dan mengembangkan proses berpikir kreatif karena pembelajar partisipatif untuk menemukan sesuatu. 8. Menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan untuk berubah dan memperkuat kesadaran diri. - Kekurangan Adapun kelemahan dari model experiential learning hanya terletak pada penjelasan model yang masih terlalu luas cakupannya dan tidak dapat dimengerti secara mudah, oleh karena itu tantangan yang terkait dengan penerapan model experiential learning terkadang tidak mengenal kompromi. Untuk sebagian orang, metode pembelajaran ini terkadang menyulitkan karena terdapat orang-orang kesulitan untuk beradaptasi dengan metode experiential learning yang menuntut untuk aktif dan bekerja sama dengan orang lain. - Praktik Menurut Hamalik (2001: 213) mengungkapkan beberapa langkah-langkah pembelajaran Experiential Learning, yaitu: 1. Tahap Persiapan (kegiatan pendahuluan) a. Pengajar merumuskan secara seksama suatu rencana pengalaman belajar yang bersifat terbuka (open minded) yang memiliki hasil-hasil tertentu. b. Pengajar memberikan rangsangan dan motivasi kepada pembelajar. 2. Tahap Inti a. Pembelajar dapat bekerja secara individual atau kelompok, dalam kelompok-kelompok kecil/keseluruhan kelompok di dalam belajar berdasarkan pengalaman. b. Pembelajar dapat bekerja secara individual atau kelompok, dalam kelompok-kelompok kecil/keseluruhan kelompok di dalam belajar berdasarkan pengalaman. 3. Tahap Akhir (Kegiatan Penutupan) Pembelajar dapat bekerja secara individual atau kelompok, dalam kelompokkelompok kecil/keseluruhan kelompok di dalam belajar berdasarkan pengalaman. - Evaluasi penilaian ● Penilaian terhadap proses belajar mahasiswa dilaksanakan sejak awal pembelajaran hingga kegiatan pembelajaran berakhir. Pelaksanaan tindakan sementara akan dilakukan dalam beberapa kali pertemuan, setiap pertemuan menggunakan alokasi waktu 2 x 50 menit. ● Penilaian dalam pelaksanaan pembelajaran experiential learning dilihat dari keaktifan mahasiswa selama proses pembelajaran. Aktivitas dikatakan berhasil apabila ada peningkatan jumlah mahasiswa yang aktif setiap siklus dan siklus dihentikan jika mahasiswa yang aktif mencapai 80% dalam proses pembelajaran experiential learning. V. KESIMPULAN Experiential Learning didefinisikan sebagai proses di mana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman. Pengetahuan dari metode ini dihasilkan dari kombinasi menggenggam dan mengubah pengalaman. Experiential learning menawarkan pandangan yang berbeda secara fundamental tentang proses belajar dari teori perilaku belajar. Perspektif pada teori ini, merupakan pembelajaran yang menggabungkan pengalaman, persepsi, kognisi, dan perilaku. Experiential Learning memiliki karakteristik tersendiri dalam proses pembelajaran, yaitu memiliki cara belajar yang dapat dilihat melalui proses, bukan hanya dengan melihat pencapaian hasil terakhir, merupakan sebuah proses belajar berkelanjutan yang didasarkan atas pengalaman pembelajar, membutuhkan resolusi konflik antara berbagai macam gaya belajar yang berlawanan secara dialektis, merupakan proses belajar yang holistik, melibatkan hubungan antara seseorang dengan lingkungan, menciptakan pengetahuan gabungan yaitu pengetahuan sosial dan pengetahuan pribadi. Terdapat 4 tahap menurut Kolb dalam experiential learning, yaitu concrete experience (pembelajar terlibat penuh secara aktif pada proses dan waktu pembelajaran), reflective observation (pembelajar mengamati hasil dari pengalaman yang telah dilakukannya dari berbagai sudut pandang secara reflektif atau langsung), abstract conceptualization (pembelajar mengonseptualisasi dengan mengintegrasikan atau menggabungkan hasil pengamatan serta refleksi yang telah dilakukan sebelumnya menjadi sebuah teori konsep), dan active experimentation (pembelajar membuat percobaan (eksperimen) ulang atas teori-teori yang dihasilkan) Model experiential learning ini memiliki keunggulan dapat meningkatkan kepercayaan diri, komunikasi, perencanaan, serta pemecahan masalah, menumbuhkan tanggung jawab, memperkuat kepercayaan, kerjasama dan kompromi dalam suatu kelompok. Sedangkan kekurangan dari model experiential learning, yaitu sulit dipahami dan dimengerti oleh pendidik sehingga belum banyak yang menerapkan model pembelajaran ini. Dalam praktiknya, model experiential learning ini dapat diaplikasikan dengan beberapa langkah yang diawali dengan tahap persiapan (kegiatan pendahuluan), tahap inti, dan tahap akhir (kegiatan penutupan). VI. SARAN DAN REKOMENDASI 1. Sebelum melakukan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran experiential learning, fasilitator diharapkan memiliki pengetahuan yang lebih mengenai model yang hendak diajarkan. Selain itu, pada model pembelajaran experiential learning, pengajar ditantang untuk dapat menyusun berbagai macam pengalaman belajar yang akan diberikan kepada mahasiswa. Hal ini menyebabkan fasilitator tersebut harus menyiapkan dan menyusun perangkat pembelajaran sebaik mungkin. 2. Model pembelajaran experiential learning membutuhkan waktu yang relatif lama. Maka dari itu, fasilitator hendaknya memperhatikan alokasi waktu, karakteristik bahan ajar, dan pengelolaan kelas yang baik pada saat akan menggunakan model pembelajaran experiential learning dan memperhatikan keadaan mahasiswa;. 3. Indikator memfokuskan pertanyaan pada penelitian ini masih banyak kekurangan, maka dari itu perlu kegiatan khusus untuk melatihkan siswa agar dapat mencapai indikator memfokuskan pertanyaan tersebut. 4. Penelitian mengenai pengaruh model pembelajaran experiential learning terhadap kemampuan berpikir kritis siswa masih dapat dikembangkan lebih luas lagi. Hal ini dikarenakan pada penelitian ini hanya dibatasi pada sepuluh indikator dari dua belas indikator kemampuan berpikir kritis menurut Ennis (1985). DAFTAR PUSTAKA Grady, T., & Role, T. (2003). An Interpretation Of Dewey ’ s Experiential Learning Theory T . Grady Roberts Graduate Teacher Assistant University Of Florida. Opinions Papers, 10. Gu, C. (2016). On the Relationships between Creative Learning, Creative Teaching, and Roles of Creative Teachers. 494–512. https://doi.org/10.4018/978-1-5225-06430.ch022 Hakima, A., & Hidayat, L. (2020). Peran Model Experiential Learning Dalam Pendidikan Berbasis Keterampilan Tata Busana. E-Journal, 09(03), 51–59. Kessler, E. H. (2013). Experiential Learning Theory and Learning Styles. Encyclopedia of Management Theory, 7(1). https://doi.org/10.4135/9781452276090.n94 Kolb, D. A. (1984). Experience as the source of learning and development. Upper Sadle River: Prentice Hall. Loliyana. (2012). PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP IBADAH GHAIRU MAGHDAH DENGAN MENERAPKAN MODEL EXPERIENTIAL LEARNING BAGI MAHASISWA PGSD FKIP UNILA (Issue 67). Universitas Lampung. Martono, W. C., Heni, H., & Karolin, L. A. (2018). Implementasi Model Pembelajaran Experiential Learning sebagai Bagian dari Program Sekolah Ramah Anak. Seminar Nasional Dan Call for Paper “Membangun Sinergitas Keluarga Dan Sekolah Menuju PAUD Berkualitas, 161–162. Myers, B. E. dan T Grady R. 2004. Conducting and Evaluating Professional Development Workshops using Experiential Learning. NACTA Journal, vol 48, p 27-32 Purnami, R. S., & Rohayati. (2016). Implementasi Metode Experiential Learning Dalam Pengembangan Softskills Mahasiswa Yang Menunjang Integrasi Teknologi, Manajemen Dan Bisnis. Jurnal https://doi.org/10.17509/jpp.v13i1.3511 Penelitian Pendidikan, 13(1). Sutriana, E. (2019). Deskripsi Penerapan Model Experiential Learning Dalam Pembelajaran Matematika Pada Siswa Kelas X Sma Negeri 13 Sinjai. http://eprints.unm.ac.id/id/eprint/13074 UNext. (2020). What is innovative learning and innovation in teaching? Jigsaw Academy. Retrieved October 3, 2022, from https://www.jigsawacademy.com/blogs/designthinking/innovation-in-teaching/ Experiential Learning Kenapa Penting? Definisi Experiential learning didefinisikan sebagai proses dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman. Pengetahuan dari metode ini dihasilkan dari kombinasi menggenggam dan mengubah pengalaman. Experiential learning menawarkan pandangan yang berbeda secara fundamental tentang proses belajar dari teori perilaku belajar. Pengetahuan yang tercipta dari model ini merupakan perpaduan antara memahami dan mentransformasi pengalaman. Pembelajaran yang dapat menciptakan proses belajar yang lebih bermakna, di mana pembelajar mengalami apa yang mereka pelajari. Melatih berpikir inovatif, kreatif, dan kritis pada individu karena individu sangat terlibat aktif dalam kegiatan belajar. Studi Kasus Karakteristik pembelajaran pada orang dewasa dan experiential learning memiliki keterlibatan dan kecocokan untuk diaplikasikan. Menurut Malcolm Knowles (1984), prinsip-prinsip belajar dari experiential learning yang diterapkan di pendidikan orang dewasa, sebagai berikut: 1. Orang dewasa sebaiknya diikutsertakan dalam perencanaan dan pengaturan instruksi mereka sendiri. Dapat dicapai melalui fase-fase Reflective Observation, Abstract conceptualisation dan Active Experimentation; 2. Concrete experience dan Active Experimentation menyajikan pengalaman bagi para pembelajar; 3. Orang dewasa lebih peduli pada bahan ajar yang secara langsung dan segera berhubungan dengan dirinya. Experiential Learning dapat mencapai hal ini jika para fasilitator menemukan karakteristik dan kebutuhan para pembelajar yang akan mengikuti proses pembelajaran; 4. Orang dewasa lebih menyukai pembelajaran dengan pendekatan penyelesaian masalah (problem solving) daripada pendekatan yang berdasarkan pada konten (content base). Metode Experiential Learning sangat sesuai diterapkan pada usia dewasa termasuk bagi mahasiswa yang telah memasuki usia dewasa. Sehingga pengembangan soft skill bagi mahasiswa sangat sesuai diterapkan dengan menggunakan metode experiential learning ini. Kelebihan Kekurangan Meningkatkan semangat dan gairah pembelajar karena pembelajar aktif; Meningkatkan kerjasama dan menumbuhkan rasa ketergantungan antara anggota kelompok; Meningkatkan keikutsertaan seluruh siswa untuk memecahkan permasalahan dan mengambil keputusan dalam kelompok. Adapun kelemahan dari model experiential learning hanya terletak pada penjelasan model yang masih terlalu luas. oleh karena itu tantangan yang terkait dengan penerapan model experiential learning terkadang tidak mengenal kompromi. Untuk sebagian orang, metode pembelajaran ini terkadang menyulitkan karena terdapat orang-orang kesulitan untuk beradaptasi dengan metode experiential learning yang menuntut untuk aktif dan bekerja sama dengan orang lain. Sumber Hakima, A., & Hidayat, L. (2020). Peran Model Experiential Learning Dalam Pendidikan Berbasis Keterampilan Tata Busana. E-Journal, 09(03), 51–59. Kolb, D. A. (1984). Experience as the source of learning and development. Upper Sadle River: Prentice Hall. Loliyana. (2012). PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP IBADAH GHAIRU MAGHDAH DENGAN MENERAPKAN MODEL EXPERIENTIAL LEARNING BAGI MAHASISWA PGSD FKIP UNILA (Issue 67). Universitas Lampung. Purnami, R. S., & Rohayati. (2016). Implementasi Metode Experiential Learning Dalam Pengembangan Softskills Mahasiswa Yang Menunjang Integrasi Teknologi, Manajemen Dan Bisnis. Jurnal Penelitian Pendidikan, 13(1). https://doi.org/10.17509/jpp.v13i1.3511