Academia.eduAcademia.edu

Abses Paru pada COVID-19

2020, Journal Of The Indonesian Medical Association

Tujuan: COVID-19 adalah suatu penyakit infeksi yang baru ditemukan sejak Desember 2019 yang kemudian diumumkan oleh WHO sebagai pandemi global. Gambaran radiologi pada COVID-19 cukup bervariasi, namun yang paling sering ditemukan adalah ground-glass opacity (GGO). Metode: Dilaporkan kasus seorang laki-laki usia 39 tahun dengan abse paru pada COVID-19Hasil: Pada laporan kasus ini kami melaporkan seorang pasien COVID-19 dengan manifestasi klinis yang jarang yaitu abses paru. Hasil pemeriksaan molekular TB pada pasien ini adalah negatif. Pasien ini mengalami perbaikan gejala klinis setelah dilakukan prosedur drainase cairan abses. Abses paru pada COVID-19 sangat jarang ditemukan sehingga pembahasan lebih lanjut mengenai pasien ini perlu untuk dilakukan.Kesimpulan: Abses paru adalah salah satu manifestasi klinis pada COVID-19. Drainase cairan abses dapat membantu memperbaiki keadaan klinis pasien COVID-19.

Laporan Kasus Abses Paru pada COVID-19 Adi Kurniawan,* Paramita Khairan,** Nurfanida Librianty,*** Mahrani,**** Hana Faisal,***** Iffa Mutmainah,****** Fitriana Nur Rahmawati,******* Sarah Shafa Marwadhani,****** Gadistya Novitri Adinda,******** Uti Nilam Sari,********* Pukovisa Prawirohardjo********** *Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Rumah Sakit Permata Jonggol, Indonesia **Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Indonesia ***Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, ****Content Writer, kasuscovid.id, Jakarta, Indonesia,*****Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia, ******Dokter Umum, Bogor, Indonesia, *******PhD Candidate, Department of Signal Transduction, Research Institute for Microbial Diseases, Osaka University, Osaka, Japan, ********Dokter Umum, Rumah Sakit Umum Daerah H. Marsidi Judono, Bangka Belitung, Indonesia, *********Project Director, PT Teknologi Informasi Medimedi, Jakarta, Indonesia, **********Departemen Neurologi, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia Abstract Tujuan: COVID-19 adalah suatu penyakit infeksi yang baru ditemukan sejak Desember 2019 yang kemudian diumumkan oleh WHO sebagai pandemi global. Gambaran radiologi pada COVID-19 cukup bervariasi, namun yang paling sering ditemukan adalah ground-glass opacity (GGO). Metode: Dilaporkan kasus seorang laki-laki usia 39 tahun dengan abse paru pada COVID-19 Hasil: Pada laporan kasus ini kami melaporkan seorang pasien COVID-19 dengan manifestasi klinis yang jarang yaitu abses paru. Hasil pemeriksaan molekular TB pada pasien ini adalah negatif. Pasien ini mengalami perbaikan gejala klinis setelah dilakukan prosedur drainase cairan abses. Abses paru pada COVID-19 sangat jarang ditemukan sehingga pembahasan lebih lanjut mengenai pasien ini perlu untuk dilakukan. Kesimpulan: Abses paru adalah salah satu manifestasi klinis pada COVID-19. Drainase cairan abses dapat membantu memperbaiki keadaan klinis pasien COVID-19 Kata Kunci: COVID-19, abses paru, torakosentesis Korespondensi: Paramita Khairan E-mail: [email protected] J Indon Med Assoc, Volum: 70, Nomor: 8, Agustus 2020 173 Abses Paru pada COVID-19 Lung Abscess in COVID-19 Adi Kurniawan,* Paramita Khairan,** Nurfanida Librianty,*** Mahrani,**** Hana Faisal,***** Iffa Mutmainah,****** Fitriana Nur Rahmawati,******* Sarah Shafa Marwadhani,****** Gadistya Novitri Adinda,******** Uti Nilam Sari,********* Pukovisa Prawirohardjo********** *Internal Medicine, Permata Jonggol Hospital, Bogor, Indonesia **Department of Internal Medicine, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Indonesia ***Environmental Health Department Faculty of Public Health, Universitas Indonesia, ****Content Writer, kasuscovid.id, Jakarta, Indonesia, *****Senior Resident of Department of Respiratory and Pulmonology, Universitas Indonesia, ******General Practitioner, Bogor Indonesia, *******PhD Candidate, Department of Signal Transduction, Research Institute for Microbial Diseases, Osaka University, Osaka, Japan, *********General Practitioner, Regional Public Hospital of H. Marsidi Judono, Bangka Belitung, Indonesia, **********Project Director, PT Teknologi Informasi Medimedi, Jakarta, Indonesia, **********Department of Neurology, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia Abstrak Objective: COVID-19 is a new emerging disease since December 2019 that later was announced by WHO as a global pandemic. Radioimaging appearance of COVID-19 is varied yet dominantly showed as a ground glass appearance in CT-imaging. Lung abscess in COVID-19 is an extremely rare case, therefore it needs further discussion. Method: We report a 39 year-old male patient of COVID-19 with lung abscess Result: This case report describe a COVID-19 patient who showed a very rare clinical manifestation; lung abscess. The patient showed negative result of TB molecular test. Chest tube insertion procedure was performed in this patient who showed an improvement after abscess being drained. Conclusion: Lung abscess may occur in COVID-19. Abscess drainage procedure may improve clinical condition of COVID-19 patient. Keywords: COVID-19, lung abscess, chest tube insertion Pendahuluan COVID-19 adalah new emerging disease yang ditemukan di Cina pada Desember 2019 yang disebabkan infeksi Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARSCoV-2). Sejak Maret 2020, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan penyakit ini sebagai pandemi global. Sejak penyakit ini ditemukan, terdapat banyak laporan kasus dan penelitian yang mengungkap manifestasi klinis, gambaran radiologi serta gambaran laboratorium yang sangat bervariasi. Penyakit COVID-19 dapat menyerang saluran nafas, saluran cerna, hingga sistem syaraf dengan spektrum klinis yang luas dari yang paling ringan yaitu asimptomatik hingga acute respiratory distress syndrome (ARDS). Gejala klinis COVID-19 yang paling sering ditemukan adalah demam, batuk, sesak nafas dan fatigue.1,2 Pada pemeriksaan foto rontgen dada, konsolidasi paru adalah gambaran radiologi yang paling umum didapatkan. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan dada, gambaran utama yang ditemukan adalah ground glass opacity.3 Abses paru adalah lesi nekrotik yang membentuk kavitas berisi pus pada parenkim paru dengan karakteristik air fluid level 174 pada rontgen thorax.4 Etiologi yang menimbulkan abses paru adalah infeksi yang disebabkan terutama oleh bakteri anaerob namun juga dapat disebabkan oleh bakteri anaerob, bakteri aerob, mikobakteria, jamur, dan parasit.4,5Abses paru sering sulit dibedakan dengan empyema, walau pada beberapa kasus keduanya dapat terjadi bersamaan, yaitu pada ruptur abses paru hingga cairan memasuki ruang intrapleura.6,7 Saat ini abses paru jarang ditemukan pada negara-negara maju.8 Pada laporan kasus ini dilaporkan seorang pasien di Indonesia dengan abses paru pada COVID-19. Saat ini laporan kasus pasien dengan abses paru pada COVID-19 sangat jarang ditemukan. Ilustrasi Kasus Seorang laki-laki berusia 39 tahun datang ke instalasi gawat darurat (IGD) sebuah rumah sakit di Indonesia dengan keluhan utama demam sejak 1 hari sebelumnya. Demam tinggi dan hilang timbul dengan waktu tidak tentu. Pasien juga merasakan batuk berdahak, sesak nafas ringan, nyeri ulu hati, mual dan muntah. Pasien diberi obat penurun demam, disarankan untuk pulang dan datang kembali apabila dalam tiga hari demam tidak J Indon Med Assoc, Volum: 70, Nomor: 8, Agustus 2020 Abses Paru pada COVID-19 membaik. Sehari sebelum masuk rumah sakit pasien merasakan demam tetap tinggi dan tidak membaik, disertai keluhan batuk dengan dahak berwarna kuning kehijauan, sesak nafas memberat dan nyeri dada kanan. Sesak nafas terutama dirasakan dengan posisi tidur. Keluhan batuk dan nyeri tenggorokan disangkal. Tidak terdapat gangguan buang air kecil, tidak ada riwayat tungkai bengkak serta tidak ada riwayat sesak nafas saat beraktivitas. Tidak didapatkan penurunan berat badan yang signifikan. Pasien memiliki riwayat merokok, sedangkan riwayat alergi, diabetes mellitus dan hipertensi disangkal. Pasien datang ke klinik penyakit dalam dan menjalani rawat inap di rumah sakit tersebut. Gambar 1a. Chest X-ray Hari 1 Riwayat Kontak Pasien berprofesi sebagai kepala sekolah di kota yang berbatasan dengan kota tempat tinggal pasien. Pasien telah melakukan physical distancing sejak 1 bulan sebelumnya dengan tidak bekerja dan tinggal di rumah. Pasien menyangkal adanya kontak dengan OTG, ODP maupun PDP. Manifestasi Klinis Gejala paling dominan pada pasien ini adalah demam tinggi, batuk berdahak, sesak nafas yang semakin memberat disertai gejala gastrointestinal yaitu nyeri ulu hati, mual dan muntah. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan frekuensi nafas pasien pada hari pertama yaitu 30 kali/menit dengan saturasi O2 94%. Pada pemeriksaan fisik leher tidak didapatkan peningkatan jugulus venous pressure (JVP). Pada pemeriksaan inspeksi dada ditemukan bagian dada kanan lebih cembung, gerakan dada kiri saat bernafas tertinggal dibandingkan dada kanan. Pada pemeriksaan perkusi dan auskultasi paru didapatkan redup dan suara vesikuler menurun pada dada kanan setinggi intercosta spatium (ICS) II. Tidak ditemukan edema pada ekstremitas bawah. Gambar 1b. Chest X-ray Hari 1Setelah Drainase Abses Gambar 2a. Chest X-Ray H2 Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan rontgen dada ditemukan gambaran kavitas pada lapangan paru kanan dengan gambaran air fluid level. Pada pemeriksaan Xpert MTB didapatkan hasil negatif. Pemeriksaan darah rutin pada hari pertama perawatan menunjukkan leukositosis (25000/UL) dan limfopenia (6) dengan neutrophile lymphocyte ratio (NLR) 12,5. Gambar 2b. Chest X-Ray H30 Gambar 3. Cairan abses J Indon Med Assoc, Volum: 70, Nomor: 8, Agustus 2020 175 Abses Paru pada COVID-19 Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium selama Perawatan Parameter Hemoglobin (g/dL) H1 H+5 H+18 H+23 (hari 1 perawatan ke 2) 13,8 11,7 11 11 Hematokrit (%) 38 35 33 32 Eritrosit (juta/µL) 4,4 4,6 3,7 3,7 Leukosit (/µL) 25000* 10600* 6300 11000* Trombosit (/µL) 474000* 680000 417000 349000 105* 108* 90* 100* Basofil (%) 0 0 0 0 Eosinofil (%) 0* 0 Laju Endap darah (mm/jam) H+27 (hari 4 perawatan ke 2) Hitung Jenis: 0 0 Neutrofil Batang (%) 0 3 Neutrofil Segmen (%) 78 79 Neutrofil 75* 86* 78* 82* 6 8 15 12 Limfosit (%) Monosit (%) 19* 2* 7* 5* Rasio Neutrofil limfosit 12,5 10.75 5,2 6,8 MCV (fL) 82 60 88 88 MCH (pg) 30 29 30 30 MCHC (g/dL) 37 33 34 34 Gambaran Darah Tepi: Ureum (mg/dL) 15 Creatinin (mg/dL) 0,7 SGOT/AST (U/L) 23 SGPT/ALT (U/L) 13 Magnesium (mg/dL) Gula Darah Sewaktu (mg/dL) 114 Natrium (mmol/dL) 141 Kalium (mmol/dL) 3,5 Chloride (mmol/dL) 102 * = nilai abnormal; MCV = Mean Corpuscular Volume; MCH = Mean Corpuscular Hemoglobin; MCHC = Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration; SGOT = Serum Glutamik Oksaloasetik Transaminase; SGPT = Serum Glutamil Piruvik Transaminase Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Real Time-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) terhadap Antigen SARS-CoV-2 Waktu Pemeriksaan H+16 H+ 24 Jenis Sampel Swab Orofaring Swab Nasofaring Hasil Positif Negatif Tabel 3. Hasil Pemeriksaan XpertMTB/RIF Waktu Pemeriksaan H+9 Jenis Sampel sputum Hasil Negatif Diagnosis Banding - Abses paru et causa tuberculosis - Empiema et causa tuberculosis - Empiema et causa infeksi bakteri Tatalaksana Pada perawatan pertama di hari pertama rawat inap dilakukan prosedur insersi chest tube serta drainase abses. Drainase dilakukan 1 x per hari. Selama perawatan, terapi yang diberikan yaitu pemberian O2 4 liter/menit via nasal kanul, IVFD RL 20 tpm Infus Levofloxacin 1x750 mg IV, ketorolac 2x1 IV, ranitidin 2x1 IV, Ondansetron 3x4 mg IV, sucralfat syrup 3x1C PO, vitamin C 3x 200 mg IV. Diagnosis banding pada pasien ini yaitu - Abses paru et causa infeksi bakteri 176 J Indon Med Assoc, Volum: 70, Nomor: 8, Agustus 2020 Abses Paru pada COVID-19 Pada perawatan periode ke-2 diberikan O2 4 liter/menit via nasal kanul , IVFD RL 20 tpm, oseltamivir 2x 75 mg PO, klorokuin 2x 500 mg (selama 3 hari pertama), klorokuin 2x 250 mg PO (sejak hari ke-4 perawatan hingga saat ini, direncanakan diberikan selama 10 hari), vitamin C 3x 200 mg IV dan ketorolac 2x1 IV. Luaran dan Follow up Pasien mengalami perbaikan setelah dilakukan pemasangan chest tube dan drainase cairan abses rutin 1 x per hari. Pada hari pertama didapatkan cairan purulen sebanyak 200cc, selanjutnya volume cairan berkisar 100-250cc sehingga pada hari ke 15 perawatan cairan pleura menurun hingga 50 cc. Kateter dada dilepas pada hari ke 17 oleh karena tidak ada cairan yang keluar. Pada hari ke-19 perawatan frekuensi nafas pasien 20 x/menit dan saturasi O2 98% tanpa terapi oksigen. Pasien diperbolehkan rawat jalan dan isolasi diri di rumah. Namun 2 hari setelah pasien pulang dari rawat inap pasien merasakan sesak dan kembali dirawat di rumah sakit. Pada hari ke 24 swab nasopharing dilakukan dan didapatkan hasil PCR negatif untuk SARS-COV-2. Pada hari ke 30 dilakukan rontgen thorax dada ulang dan didapatkan cairan abses minimal serta gambaran fibrosis paru pada lapangan paru kanan bawah. Diskusi Seorang pasien laki-laki berusia 39 tahun datang ke rumah sakit dengan manifestasi klinis COVID-19 yang cukup khas yaitu demam tinggi sejak sehari sebelum masuk rumah sakit.9 Keluhan disertai dengan sesak nafas yang semakin memberat, batuk berdahak dan keluhan nyeri dada kanan yang cukup menonjol. Pada pemeriksaan rontgen dada didapatkan gambaran abses paru pada lapangan paru kanan. Setelah dilakukan pemasangan chest tube dan drainase cairan pleura didapatkan cairan purulen sejumlah 200 cc. Keluhan pasien perlahan membaik setelah dilakukan drainase cairan pleura rutin satu kali dalam sehari selama masa perawatan. Dalam laporan kasus dan studi terdahulu sangat jarang ditemukan manifestasi klinis berupa abses paru pada COVID-19.10 Pemeriksaan penunjang radiologi yang paling sensitif dalam mendiagnosis COVID-19 adalah CT-scan thorax dengan sensitivitas mencapai 97% (95%CI, 95-98%) sedangkan sensitivitas foto thorax dada hanya sebesar 69% [95% CI: 56-80%], namun penggunaan J Indon Med Assoc, Volum: 70, Nomor: 8, Agustus 2020 CT-scan berisiko tingginya kontaminasi alat yang juga dapat menjadi sumber infeksi apabila tidak disterilisasi dengan baik, sehingga foto thorax dada dapat digunakan pada rumah sakit dengan fasilitas terbatas.11,12 Gambaran radiologi pada CT-scan yang paling banyak ditemui adalah ground-glass opacity diikuti dengan gambaran konsolidasi paru bilateral ataupun unilateral.9,10,12 Pada pasien ini, air fluid level yang menjadi ciri khas pada abses paru dapat terlihat pada lapangan paru kanan atas. Abses paru terjadi pada parenkima paru yang mengalami nekrosis sehingga membentuk suatu area lokal yang berisi debris nekrotik dan pus yang lalu menimbulkan pembentukan kavitas, kemudian apabila terjadi fistula bronkopulmonar maka terbentuklah air fluid level pada area tersebut.5,8,13 Seringkali gambaran abses paru pada foto thorax dada sulit dibedakan dengan gambaran empyema.6 Pada CT-scan dada, abses terlihat lebih bulat sedangkan empyema lebih lentikular. Selain itu, pada empyema didapatkan gambaran split pleura yaitu pemisahan antara permukaan pleura viseral dan parietal serta terjadi penekanan paru terkait.14 Abses paru dapat dibedakan menjadi abses paru primer dan sekunder. Abses paru primer dapat disebabkan adanya aspirasi sekresi oropharingeal, necrotizing pneumonia atau imunodefisiensi. Sedangkan abses paru sekunder dapat disebabkan adanya obstruksi bronkhial, diseminasi hematologi atau penyebaran langsung oleh infeksi mediastinal.13 Aspirasi cairan oropharingeal dapat disebabkan adanya infeksi dental/peridental atau sinusitis paranasal.8,13 Pada pasien ini tidak terdapat kedua keadaan tersebut. Mikroba penyebab abses paru biasanya tidak hanya terdiri dari satu macam bakteri namun kombinasi beberapa bakteri, yang pada umumnya terdiri atas kombinasi bakteri anaerob (Misalnya jenis Peptostreptococcus) dan bakteri aerob seperti Streptococcus. Abses paru juga dapat disebabkan mikobakteria serta fungi.4,8,13 Infeksi viral jarang ditemukan sebagai etiologi abses paru. Satu studi yang meneliti mikroba penyebab kavitas paru pada pasien HIV menemukan dua pasien dengan infeksi cytomegalovirus sebagai penyebab abses paru.15 Saat ini hanya terdapat satu laporan kasus mengenai abses paru pada COVID-19 yaitu sebuah laporan kasus mengenai pasien COVID-19 di Perancis dengan manifestasi klinis awal berupa pleuropneumonia. Pada laporan kasus tersebut, pasien adalah seorang laki-laki usia pertengahan 30 tahun imuno177 Abses Paru pada COVID-19 kompeten dengan gejala demam dan batuk berdahak dengan sedikit darah. Pasien tersebut telah terkonfirmasi mengalami COVID-19 dari hasil pemeriksaan PCR dengan sampel cairan aspirat endotrakeal. Pasien tersebut mengalami perburukan kemudian ditemukan dari CT-scan abdomen terdapat gambaran ground-glass opacities dan abses multipel. Hasil pemeriksaan kultur cairan abses pada pasien tersebut adalah Panton-Valentine Leukocidin–Secreting Staphylococcus aureus (PVL-secreting Staphylococcus aureus) yang mengakibatkan terjadinya necrotizing pneumonia dan kemudian menimbulkan terbentuknya abses.16 Karakteristik pasien pada laporan kasus di Perancis tersebut serupa dengan pasien kami; yaitu laki-laki, usia sekitar 30 tahun, imunokompeten dan tidak mempunyai penyakit kronik apapun. Pada laporan kasus kami, analisis cairan abses tidak dilakukan oleh karena keterbatasan fasilitas rumah sakit. Dengan demikian kemungkinan adanya infeksi sekunder bakteri pada pasien ini tidak dapat dikonfirmasi secara laboratoris. Walaupun begitu, berdasarkan studi dari Indonesia didapatkan angka prevalensi PVL-secreting Staphylococcus aureus di sejumlah rumah sakit di pulau Jawa yang cukup tinggi.17 Atas dasar hal tersebut, kami menduga masih terdapat kemungkinan bahwa pasien pada laporan kasus kami mengalami infeksi sekunder bakteri pada infeksi SARS-COV-2 yang menyebabkan necrotizing pneumonia yaitu PVL-Staphylococcus aureus. Untuk menyingkirkan diagnosis empyema ataupun abses oleh karena tuberkulosis paru dilakukan pemeriksaan XpertMTB/ RIF dan didapatkan hasil negatif. Pemeriksaan molekular TB ini memiliki sensitivitas yang cukup tinggi yaitu 95-98,6% dengan spesifisitas 98-100%.18,19 Dengan demikian, hasil negatif pada pemeriksaan XpertMTB/ RIF telah dapat menyingkirkan adanya infeksi TB pada pasien ini. Pemeriksaan XpertMTB/ RIF di Indonesia saat ini cenderung terpusat di daerah-daerah perkotaan.20,21 Oleh karena itu, adalah sebuah tantangan untuk para klinisi terutama di daerah rural dalam menyingkirkan diagnosis TB dalam proses menegakkan diagnosis COVID-19. Hasil pemeriksaan swab oropharing PCR pada pasien ini menunjukkan hasil positif sehingga pasien ini telah terkonfirmasi mengalami COVID-19. Swab nasopharing dan/atau oropharing sering direkomendasikan untuk proses diagnosis pada awal infeksi. Terdapat sebuah laporan kasus yang melaporkan hasil PCR SARS-COV-2 negatif berulang pada 178 sampel nasopharing dan oropharing, yang kemudian ditemukan hasil PCR positif pada pemeriksaan sputum yang didapatkan dengan cara bronchoalveolar lavage (BAL).22 Hal ini dapat disebabkan adanya viral load yang lebih tinggi pada sputum bila dibandingkan dengan swab nasal ataupun swab oropharing.23 Selain itu, dapat ditemukan hasil PCR SARS-COV-2 positif di dalam darah serta swab anal walaupun hasil swab oropharing dan nasopharing meunjukkan hasil negatif. Hal tersebut terjadi oleh karena SARS-COV-2 dapat bereplikasi di sel intestinal. Pada fase penyembuhan, swab anal yang positif lebih sering ditemukan daripada swab oropharing yang positif. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan pemeriksaan PCR dengan sediaan swab anal pada masa akhir infeksi untuk memastikan bahwa pasien sudah tidak infeksius.24 Pada pemeriksaan laboratorium pasien ini, ditemukan limfositopenia dan neutrofilia yang merupakan salah satu temuan diagnostik yang paling umum ditemukan dan berhubungan dengan COVID-19.1 Selain itu, pada pasien ini ditemukan neutrophil lymphosite ratio (NLR) yang tinggi yaitu 12,5. NLR telah diketahui memiliki hubungan dengan berbagai penyakit infeksi. Hal ini didasari neutrofil sebagai komponen leukosit utama yang teraktivasi pada berbagai penyakit infeksi, dan limfosit sebagai komponen utama dalam respon imun manusia saat terjadi infeksi virus. Sehingga pada inflamasi yang disebabkan oleh virus akan menyebabkan peningkatan nilai NLR. Sebuah studi menemukan bahwa NLR berhubungan dengan adanya infeksi SARSCOV-2 dengan OR 2.89(CI 95% 2.064-4.860; p value 0.019). Selain itu NLR memiliki nilai prediktor yang tinggi pada COVID-19 yaitu dengan AUC (area under curve) 0.84 (CI95% 0,74-0,95). Pada pasien dengan usia >49 tahun dan NLR >3,3 ditemukan hampir 50 % pada pasien yang sebelumnya dalam kondisi ringan-sedang dapat mengalami perburukan kondisi rata-rata dalam waktu 6,3 hari. Oleh karena itu studi tersebut menyimpulkan NLR dapat berperan sebagai biomarker yang dapat membantu prediksi prognostik dan tingkat keparahan pasien COVID-19, di mana pada peningkatan NLR dapat terjadi perburukan kondisi klinis yang cepat.25 Selain itu pada studi lain diungkapkan bahwa NLR ≥5,8 merupakan komponen dari COVID-19 Early Warning Score (COVID-19 EWS) yang juga terdiri dari gambaran pneumonia pada CT-scan dada, riwayat kontak dengan pasien COVID-19, demam, usia ≥ 44 tahun, jenis kelamin laki-laki, suhu tubuh tertinggi ≥37,80C, J Indon Med Assoc, Volum: 70, Nomor: 8, Agustus 2020 Abses Paru pada COVID-19 gejala respiratorik (batuk, dahak, dan sesak nafas) ≥ 1. Apabila didapatkan skor ≥ 10 kemungkinan pasien terinfeksi SARS-COV-2 adalah tinggi. Namun penggunaan sistem skor COVID-19 EWS harus dilakukan secara hati-hati oleh karena belum dilakukan uji validasi eksternal pasda sistem skor tersebut. Selain itu, belum dilakukan proses peer reviewed pada studi terkait.26 Faktor-faktor lain yang terbukti memiliki hubungan dengan progresivitas COVID-19 ke arah perburukan adalah usia, riwayat merokok, suhu tubuh saat awal masuk rumah sakit, kadar albumin, kadar CRP darah serta tanda adanya gagal nafas.27 Walaupun demikian, hingga saat ini belum ada sistem skor yang dikembangkan yang terbukti dapat memprediksi progresivitas dan tingkat keparahan pada COVID-19. Pasien pada laporan kasus ini adalah perokok aktif. Seperti yang telah disebutkan pada paragraf di atas, riwayat merokok berkaitan dengan prognosis yang buruk pada infeksi saluran nafas. Sebuah studi mengungkapkan bahwa dari 1099 pasien, 16,9% dari 173 pasien dengan gejala berat merupakan perokok aktif. Sedangkan pada kelompok pasien dengan gejala ringan-sedang hanya terdapat 11,8% perokok aktif. Hal ini sejalan dengan studi lain yang menemukan bahwa pada kelompok pasien dengan perburukan kondisi klinis terdapat 27,3% perokok aktif, sementara itu hanya terdapat 3% perokok aktif pada kelompok pasien yang menunjukkan perbaikan klinis.9,27 Pasien ini dirawat selama 19 hari di rumah sakit, namun kemudian kembali mengalami sesak nafas sehingga menjalani rawat inap yang kedua kali. Belum dapat disimpulkan apakah progresivitas penyakit berhubungan dengan riwayat merokok atau disebabkan faktor lain. Pada pasien ini, tidak didapatkan riwayat kontak yang jelas dengan pasien yang terkonfirmasi terinfeksi SARS-COV2 , Orang Dalam Pengawasan (ODP), maupun Pasien dalam Pemantauan (PDP). Pasien tidak memiliki riwayat pergi keluar kota kecuali riwayat pergi ke tempat bekerja 1 bulan sebelumnya. Dengan kata lain, tidak dapat dilakukan penelusuran riwayat transmisi pada pasien ini. Terdapat kemungkinan bahwa pasien ini mengalami penularan COVID-19 dari orang yang tidak/belum bergejala. Hal ini didukung oleh beberapa laporan kasus yang mengindikasikan adanya proses penularan dari orangorang yang tidak atau belum menunjukkan gejala klinis namun dari pemeriksaan PCR telah terkonfirmasi mengalami infeksi SARSCOV2.28–32 Sejalan dengan hal di atas, terJ Indon Med Assoc, Volum: 70, Nomor: 8, Agustus 2020 dapat studi oleh He et al, yang menyimpulkan bahwa proses pembelahan virus telah dimulai sejak 1 hingga 7 hari sebelum munculnya gejala dan selanjutnya mencapai puncak kemampuan infeksi sejak 0 hingga 2 hari sebelum onset gejala sehingga pasien yang belum bergejala sekalipun telah dapat menularkan SARS-COV2 kepada orang sehat.29 Proses viremia dapat terjadi rata-rata hingga hari ke 20 dengan masa viremia paling lama hingga hari ke 37, namun terdapat sebuah laporan kasus yang melaporkan SARS-COV-2 yang masih dapat terdeteksi hingga hari ke 63 setelah onset gejala.3,33 Dapat disimpulkan bahwa walaupun pasien cenderung berdiam diri di rumah dalam 1 bulan sebelumnya, masih terdapat kemungkinan ia tertular dari pasien yang belum menunjukkan gejala, atau tertular dari pasien yang sudah tidak bergejala namun masih dapat menularkan SARS-COV-2, Saat ini, telah dilakukan uji klinis pada obat-obatan yang berpotensi menjadi terapi antiviral seperti remdesivir, hydroxychloroquin, chloroquin dan favipiravir. Chloroquin dan hydroxychloroquine adalah obat dengan harga terjangkau yang pada studi in vitro menunjukkan kemampuan yang baik dalam menghambat replikasi SARS-COV-2.34 Secara in vitro, telah terbukti bahwa hydroxychloroquine memiliki kemampuan menghambat SARSCOV-2 yang lebih baik dibandingkan dengan chloroquin.35 Sebuah penelitian dari Gautret et al,36 mengindikasikan adanya bukti bahwa hydroxychloroquine 200 mg per 8 jam yang dikombinasikan dengan azithromycin berperan dalam eradikasi SARS-COV-2. Namun hasil penelitian tersebut harus diinterpretasikan secara hati-hati oleh karena jumlah sampel yang kecil (26 pasien) dan luaran klinis yang tidak dilaporkan oleh peneliti.36 Sebuah studi observasional mengikutsertakan 1446 pasien, memberikan hydroxychloroquine 2x 600 mg dan dilanjutkan 1 x 400 mg selama 5 hari pada pasien COVID-19. Pada studi tersebut tidak didapatkan hubungan antara penggunaan hydroxychloroquine dengan risiko kebutuhan intubasi serta risiko kematian.37 Sebuah studi randomized trial menemukan terdapat waktu penyembuhan yang lebih singkat, waktu perbaikan suhu tubuh serta gejala batuk yang lebih baik dibandingkan pada kelompok kontrol yang tidak diberikan hydroxychloroquine.38 Sesak nafas yang dirasakan oleh pasien membaik setelah dilakukan percutaneous drainage cairan abses melalui kateter rutin. Penggunaan kateter untuk drainase cairan abses telah terbukti dapat memperingan gejala yang dirasakan oleh pasien terutama pada ab179 Abses Paru pada COVID-19 ses paru dengan ukuran kavitas > 6 cm.5 Pada pasien ini tidak terdapat trombositopenia sehingga tidak ada kontraindikasi tindakan pemasangan percutaneous cathether. Kesimpulan Abses paru adalah manifestasi klinik pada COVID-19 yang tidak khas dan sangat jarang ditemukan. Abses paru pada COVID-19 dapat disebabkan oleh necrotizing pneumonia yang diakibatkan infeksi sekunder PVL-Staphylococcus aureus. Namun pada pasien ini tidak dapat dikonfirmasi apakah terdapat infeksi sekunder bakteri yang menyebabkan abses paru. Tindakan pemasangan chest tube serta drainase rutin cairan pleura dapat membantu perbaikan gejala pasien. Saran Apabila ditemukan abses paru pada pasien COVID-19 maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan gram cairan abses, kultur cairan abses untuk mengkonfirmasi infeksi sekunder bakteri sehingga pasien dapat diberikan terapi antibiotik yang tepat. Daftar Pustaka 1. Huang C, Wang Y, Li X, Ren L, Zhao J, Hu Y, et al. Clinical features of patients infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China. The Lancet. 2020;395(10223):497-506. doi:10.1016/S0140-6736(20)30183-5 2. Lovato A, de Filippis C. Clinical Presentation of COVID-19: A Systematic Review Focusing on Upper Airway Symptoms. Ear Nose Throat J. Published online April 13, 2020:014556132092076. doi:10.1177/0145561320920762 3. Zhou S, Wang Y, Zhu T, Xia L. CT Features of Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Pneumonia in 62 Patients in Wuhan, China. Am J Roentgenol. Published online March 5, 2020:1-8. doi:10.2214/AJR.20.22975 4. Torres A, Menéndez R, Wunderink RG. Bacterial Pneumonia and Lung Abscess. In: Murray and Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine. Elsevier; 2016:557-582.e22. doi:10.1016/B978-1-4557-3383-5.00033-6 5. Yu H. Management of Pleural Effusion, Empyema, and Lung Abscess. Semin Interv Radiol. 2011;28(1):75-86. doi:10.1055/s-0031-1273942 6. Lin F-C, Chou C-W, Chang S-C. Differentiating Pyopneumothorax and Peripheral Lung Abscess: Chest Ultrasonography. Am J Med Sci. 2004;327(6):330-335. doi:10.1097/00000441-200406000-00006 7. Singhal S, Lakhkar BN. Ruptured lung abscess: Often a result of delayed diagnosis and treatment. Respir Med CME. 2009;2(2):73180 76. doi:10.1016/j.rmedc.2008.10.011 8. Walters J, Foley N, Molyneux M. Pus in the thorax: management of empyema and lung abscess. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain. 2011;11(6):229-233. doi:10.1093/bjaceaccp/ mkr036 9. Guan W, Ni Z, Hu Y, Liang W, Ou C, He J, et al. Clinical Characteristics of Coronavirus Disease 2019 in China. N Engl J Med. 2020;382(18):1708-1720. doi:10.1056/NEJMoa2002032 10. Bernheim A, Mei X, Huang M, Yang Y, Fayad ZA, Zhang N, et al. Chest CT Findings in Coronavirus Disease-19 (COVID-19): Relationship to Duration of Infection. Radiology. Published online February 20, 2020:200463. doi:10.1148/radiol.2020200463 11. Ai T, Yang Z, Hou H, Zhan C, Chen C, Lv W, et al. Correlation of Chest CT and RT-PCR Testing in Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) in China: A Report of 1014 Cases. Radiology. Published online February 26, 2020:200642. doi:10.1148/radiol.2020200642 12. Wong HYF, Lam HYS, Fong AH-T, Leung ST, Chin TW, Lo CS, et al. Frequency and Distribution of Chest Radiographic Findings in COVID-19 Positive Patients. Radiology. Published online March 27, 2019:201160. doi:10.1148/radiol.2020201160 13. Kuhajda I, Zarogoulidis K, Tsirgogianni K, Tsavlis D, Kioumis I, Kosmidis C, et al. Lung abscess-etiology, diagnostic and treatment options. Ann Transl Med. 2015;3(13). doi:10.3978/j.issn.2305-5839.2015.07.08 14. Stark D, Federle M, Goodman P, Podrasky A, Webb W. Differentiating lung abscess and empyema: radiography and computed tomography. Am J Roentgenol. 1983;141(1):163-167. doi:10.2214/ajr.141.1.163 15. Lin C-Y, Sun H-Y, Chen M-Y, Hsieh S-M, Sheng W-H, Lo Y-C, et al. Aetiology of cavitary lung lesions in patients with HIV infection*. HIV Med. 2009;10(3):191-198. doi:10.1111/j.1468-1293.2008.00674.x 16. Duployez C, Le Guern R, Tinez C, Lejeune A, Robriquet L, Six S, et al. Panton-Valentine Leukocidin–Secreting Staphylococcus aureus Pneumonia Complicating COVID-19. Emerg Infect Dis J. 2020;26(8). doi:10.3201/ eid2608.201413 17. Santosaningsih D, Santoso S, Budayanti NS, Kuntaman K, Lestari ES, Farida H, et al. Epidemiology of Staphylococcus aureus Harboring the mecA or Panton-Valentine Leukocidin Genes in Hospitals in Java and Bali, Indonesia. Am J Trop Med Hyg. 2014;90(4):728734. doi:10.4269/ajtmh.13-0734 18. Pandey P, Pant ND, Rijal KR, Shrestha B, Kattel S, Banjara MR, et al. Diagnostic Accuracy of GeneXpert MTB/RIF Assay in Comparison to Conventional Drug Susceptibility Testing Method for the Diagnosis of Multidrug-Resistant Tuberculosis. PLoS ONE. 2017;12(1). J Indon Med Assoc, Volum: 70, Nomor: 8, Agustus 2020 Abses Paru pada COVID-19 doi:10.1371/journal.pone.0169798 19. Steingart KR, Schiller I, Horne DJ, Pai M, Boehme CC, Dendukuri N. Xpert® MTB/RIF assay for pulmonary tuberculosis and rifampicin resistance in adults. Cochrane Database Syst Rev. 2014;2014(1). doi:10.1002/14651858.CD009593.pub3 20. Soeroto AY, Lestari BW, Santoso P,Chaidir L, Andriyoko B, Alisjahbana B, et al. Evaluation of Xpert MTB-RIF guided diagnosis and treatment of rifampicin-resistant tuberculosis in Indonesia: A retrospective cohort study. Cox H, ed. PLOS ONE. 2019;14(2):e0213017. doi:10.1371/journal.pone.0213017 21. Susilawati TN, Larasati R. A recent update of the diagnostic methods for tuberculosis and their applicability in Indonesia: a narrative review. Med J Indones. 2019;28(3):284-291. doi:10.13181/mji.v28i3.2589 22. Winichakoon P, Chaiwarith R, Liwsrisakun C, Salee P, Goonna A, Limsukon A, et al. Negative Nasopharyngeal and Oropharyngeal Swabs Do Not Rule Out COVID-19. McAdam AJ, ed. J Clin Microbiol. 2020;58(5):e00297-20, /jcm/58/5/JCM.00297-20.atom. doi:10.1128/ JCM.00297-20 23. Yu F, Yan L, Wang N, Yang S, Wang L, Tang Y,et al. Quantitative Detection and Viral Load Analysis of SARS-CoV-2 in Infected Patients. Clin Infect Dis. Published online March 28, 2020:ciaa345. doi:10.1093/cid/ciaa345 24. Zhang W, Du R-H, Li B, Zhang X, Yang X, Hu B, et al. Molecular and serological investigation of 2019-nCoV infected patients: implication of multiple shedding routes. Emerg Microbes Infect. 2020;9(1):386-389. doi:10.1 080/22221751.2020.1729071 25. Yang A-P, Liu J, Tao W, Li H. The diagnostic and predictive role of NLR, d-NLR and PLR in COVID-19 patients. Int Immunopharmacol. Published online April 13, 2020. doi:10.1016/j.intimp.2020.106504 26. Song C-Y, Xu J, He J-Q, Lu Y-Q. COVID-19 Early Warning Score: A Multi-Parameter Screening Tool to Identify Highly Suspected Patients. Infectious Diseases (except HIV/AIDS); 2020. doi:10.1101/2020.03.05.20031906 27. Liu W, Tao Z-W, Wang L, Yuan M, Liu K, Zhou L, et al. Analysis of factors associated with disease outcomes in hospitalized patients with 2019 novel coronavirus disease. Chin Med J (Engl). Published online February 28, 2020. doi:10.1097/CM9.0000000000000775 28. Arons MM, Hatfield KM, Reddy SC, Kimball A, James A, Jacobs JR, et al. Presymptomatic SARS-CoV-2 Infections and Transmission in a Skilled Nursing Facility. N Engl J Med. Published online April 24, 2020:NEJMoa2008457. doi:10.1056/NEJMoa2008457 29. He X, Lau EHY, Wu P, Deng X, Wang J, Hao X, et al. Temporal dynamics in viral shedding and transmissibility of COVID-19. Nat Med. Published online April 15, 2020. doi:10.1038/ J Indon Med Assoc, Volum: 70, Nomor: 8, Agustus 2020 s41591-020-0869-5 30. Lin C, Ding Y, Xie B, Sun Z, Li X, Chen Z, et al. Asymptomatic novel coronavirus pneumonia patient outside Wuhan: The value of CT images in the course of the disease. Clin Imaging. 2020;63:7-9. doi:10.1016/j.clinimag.2020.02.008 31. Rothe C, Schunk M, Sothmann P, Bretzel G, Froeschl G, Wallrauch C, et al. Transmission of 2019-nCoV Infection from an Asymptomatic Contact in Germany. N Engl J Med. 2020;382(10):970-971. doi:10.1056/NEJMc2001468 32. Wei WE, Li Z, Chiew CJ, Yong SE, Toh MP, Lee VJ. Presymptomatic Transmission of SARS-CoV-2 — Singapore, January 23– March 16, 2020. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2020;69(14):411-415. doi:10.15585/ mmwr.mm6914e1 33. Liu WD, Chang SY, Wang JT, Tsai MJ, Hung CC, Hsu CL, et al. Prolonged virus shedding even after seroconversion in a patient with COVID-19. J Infect. Published online April 2020:S0163445320301900. doi:10.1016/j. jinf.2020.03.063 34. McCreary EK, Pogue JM. Coronavirus Disease 2019 Treatment: A Review of Early and Emerging Options. Open Forum Infect Dis. 2020;7(4):ofaa105. doi:10.1093/ofid/ofaa105 35. Yao X, Ye F, Zhang M, Cui C, Huang B, Niu P, et al. In Vitro Antiviral Activity and Projection of Optimized Dosing Design of Hydroxychloroquine for the Treatment of Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Clin Infect Dis. Published online March 9, 2020:ciaa237. doi:10.1093/ cid/ciaa237 36. Gautret P, Lagier J-C, Parola P, Hoang VT, Meddeb L, Mailhe M,et al. Hydroxychloroquine and azithromycin as a treatment of COVID-19: results of an open-label non-randomized clinical trial. Int J Antimicrob Agents. Published online March 2020:105949. doi:10.1016/j.ijantimicag.2020.105949 37. Geleris J, Sun Y, Platt J, Zucker J, Baldwin M, Hripsack G, et al. Observational Study of Hydroxychloroquine in Hospitalized Patients with Covid-19. N Engl J Med. Published online May 7, 2020:NEJMoa2012410. doi:10.1056/NEJMoa2012410 38. Chen Z, Hu J, Zhang Z, Jiang S, Han S, Yan D, et al. Efficacy of Hydroxychloroquine in Patients with COVID-19: Results of a Randomized Clinical Trial. Epidemiology; 2020. doi:10.1101/2020.03.22.20040758 181