Amanna Gappa
Amanna Gappa, Vol. 29 No. 2, 2021
Terakreditasi Nasional SINTA 4
P-ISSN: 0853-1609, E-ISSN: 2549-9785
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Kompabilitas Mekanisme Omnibus Law dalam
Pengaturan Perpajakan
H. Syafa’at Anugrah Pradana, Muh. Andri Alvian
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare, Indonesia.
* E-mail:
[email protected]
Abstract:
One crucial aspect that becomes the focus in supporting the stability of the Indonesian economy is maximizing
the source of state revenue through the tax sector. The approach used is a conceptual approach that is
harmonized with the statute approach. The results show that the characteristics of the Indonesian legal system
that adhere to the Civil Law state make the existence of Omnibus Law in Indonesia a natural thing to question.
The mechanism was born from countries that apply the common law legal system. Adjustments to the
procedures and characteristics of the Indonesian legal system are the basic guidelines for determining the
position of Omnibus Law in Indonesia. Materially, several content materials need to be criticized in this law.
The existence of material gives legitimacy to Government Regulations to regulate the tax rates charged to taxes
that fall into the category of taxpayers; hence the purpose of this law does not reflect the existence of the law.
Keywords: Omnibus Law; Taxation; Job Creation; Legal Certainty
Abstrak:
Salah satu aspek penting yang menjadi fokus pemerintah dalam menopang kestabilan perekonomian Indonesia
ialah dengan memaksimalkan sumber pendapatan negara salah satunya melalui sektor pajak. Pendekatan
penelitian yang digunakan adalah pendekatan konseptual (conceptual approach) yang diharmonisasikan
dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
karakteristik sistem hukum Indonesia yang berpegang teguh sebagai negara Civil Law menjadikan eksistensi
Omnibus Law di Indonesia menjadi hal wajar jika dipertanyakan. Sebab, mekanisme tersebut lahir dari negaranegara yang menerapkan sistem hukum Common Law. Penyesuaian dengan prosedur dan karakteristik sistem
hukum Indonesia menjadi pedoman dasar untuk mengetahui kedudukan Omnibus Law di Indonesia. Secara
materiil terdapat beberapa materi muatan yang perlu dikritisi dalam undang-undang ini. Adanya materi
muatan yang terkandung dalam undang-undang harmonisasi peraturan perpajakan yang memberikan
legitimasi kepada Peraturan Pemerintah untuk mengatur tarif pajak yang dibebankan kepada subjek pajak
yang masuk dalam kategori wajib pajak, sehingga tujuan undang-undang ini justru tidak mencerminkan
adanya kepastian hukum.
Kata Kunci: Omnibus Law; Perpajakan; Cipta Kerja; Kepastian Hukum
Pendahuluan
1.
Tata Hukum Indonesia masih pluralistik, yakni konfigurasi yang tersusun atas produk
peraturan perundang-undangan nasional didasarkan pada nilai-nilai yang hidup di
tengah masyarakat.1 Hukum yang berfungsi sebagai alat pemecahan masalah (dispute
resolution), alat rekayasa sosial (law as tools of social engineering),2 hingga sebagai alat
Farida Patittingi, Irwansyah, Muh. Hasrul, Muhammad Ilham Arisaputra, dan Ahsan Yunus. (2021).
"Relasi Negara dan Agama Dalam Peraturan Daerah Bernuansa Syariah: Perspektif Pancasila." Pancasila:
Jurnal Keindonesiaan, Vol. 1 (1): 17-33.
2 Noor Muhammad. (2014). "Unifikasi Hukum Perdata dalam Pluralitas Sistem Hukum
Indonesia." Mazahib, 13 (2).
1
114
Amanna Gappa, 29(2): 114-124
dalam mengontrol perilaku masyarakat (social control)3 merupakan sebab pendekatan
normatif selalu digunakan dalam menyelesaikan permasalahan di Indonesia. Oleh
sebab itu, hal tersebut dilandaskan dalam konstitusi Indonesia melalui Pasal 1 ayat (3)
UUD NRI 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Data yang dihimpun website peraturan.go.id. mulai dari peraturan pusat sampai
peraturan daerah4 tercatat jumlah peraturan di Indonesia hingga tahun 2019 berada
pada angka 43.005 peraturan perundang-undangan. Membengkaknya regulasi di
Indonesia atau yang biasa disebut dengan istilah terjadinya obesitas regulasi menjadi
penyebab utama munculnya permasalahan dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia seperti timbulnya peraturan yang tumpang tindih, terhambatnya berbagai
sektor terutama aspek pembangunan dan ekonomi, hingga tidak selarasnya antara
peraturan pusat dan peraturan daerah yang berdampak pada tidak adanya kejelasan
hukum dalam pelbagai hal tidak terkecuali perpajakan. Sementara disisi lain, saat ini
pemerintah sedang berusaha keras untuk menstabilkan perekonomian negara dengan
langkah cepat dan taktis terlebih lagi setelah dihantam dampak negatif dari pandemi
Covid-19.5 Perlu digaris bawahi adanya pandemi Covid-19 di Indonesia berdampak
besar terhadap berbagai aspek ketatanegaraan seperti pada aspek perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat berbangsa dan bernegara.
Salah satu aspek penting yang menjadi fokus pemerintah dalam menopang kestabilan
perekonomian Indonesia ialah dengan memaksimalkan sumber pendapatan negara
salah satunya melalui sektor pajak. Bukan tanpa sebab, sektor pajak menjadi menjadi
sumber keuangan utama dan terbesar di Indonesia. Berdasarkan data dari
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, kontribusi pajak dalam pendapatan
negara berada pada besaran 65,1% dari total pendapatan negara. Oleh karena itu,
berlandaskan hal tersebut pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia membentuk RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang
kemudian secara sah diundangkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 29
Oktober 2021 menjadi Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan. Hal ini merupakan upaya kebijakan reformasi perpajakan oleh
pemerintah untuk memulihkan dan mendorong perekonomian nasional.
Lahirnya UU No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP)
sejatinya terdiri dari 9 Bab, 18 pasal, dan 120 halaman. Jika kita memperhatikan
konsiderans menimbang huruf (c) UU HPP yang menyebutkan bahwa:6
Untuk menerapkan strategi konsolidasi fiskal yang berfokus pada perbaikan defisit
anggaran dan peningkatan rasio pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf (b), diperlukan
penyesuaian kebijakan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, pajak
penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan cukai serta pengaturan mengenai pajak karbon
dan kebijakan berupa program pengungkapan sukarela Wajib Pajak dalam 1 (satu)
Undang-Undang secara komprehensif.”
Azis Syamsuddin, Proses & Teknik Penyusunan Undang-Undang (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 1.
Asri Lasatu, 2020. Urgensi Peraturan Daerah tentang Program Pembentukan Peraturan Daerah Terhadap
Kinerja DPRD. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, hlm.206.
5 Supriyadi, Kebijakan Penanganan Covid-19 Dari Perpsektif Hukum Profetik, Suloh Jurnal Program Studi
Magister Hukum Edisi Khusus, 2020, hlm.11
6 Undang-undang No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
3
4
115
P-ISSN: 0853-1609, E-ISSN: 2549-9785
Pada tataran konseptual, UU HPP menerapkan mekanisme Omnibus Law. Istilah
Omnibus Law sejatinya bersumber dari bahasa Latin yaitu “omnis” yang berarti “for
everything” yang dalam bahasa Indonesia bermakna “untuk semua”. Sementara, Black
Law Dictionary mengartikan Omnibus Law sebagai mekanisme membentuk satu
regulasi yang baru dengan menggantikan atau menggabungkan lebih dari satu
regulasi yang sudah berlaku.7 Eksistensi Omnibus Law memang masih terdengar baru
di Indonesia, namun dengan mekanisme ini diharapkan mampu mengharmonisasikan
peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dan tidak sinkron untuk kemudian
dipangkas dan digabungkan menjadi suatu perundang-undangan yang jauh lebih
efektif, efisien dan tidak berbelit-belit. Namun disisi lain, mekanisme Omnibus Law
Pada dasarnya pemerintah telah membentuk berbagai regulasi dengan konsep
Omnibus Law di Indonesia seperti UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, UU No. 7
tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), dan yang terbaru ialah
pengesahan RUU Ibu Kota Negara (IKN) menjadi UU. Dengan kata lain, regulasi
dengan mekanisme omnibus law dalam UU HPP merupakan penerapan yang kedua di
Indonesia setelah UU Cipta Kerja yang resmi dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat
oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya No. 91/PUU-XVII/2020 pada
tanggal 25 November 2021.
Namun, seiring dengan perkembangannya mekanisme Omnibus Law merupakan
konsep yang cenderung diterapkan di negara common law, sementara disisi lain
Indonesia berpegang pada mazhab Eropa Kontinental yang notabenenya merupakan
negara civil law. Tentu terdapat perbedaan mendasar dari kedua sistem tersebut,
dimana negara civil law menjadikan kodifikasi hukum sebagai sumber hukum utama
sementara negara common law berpegang pada yurisprudensi dalam penegakan
hukum. Adanya perbedaan antara sistem hukum tersebut menimbulkan kontradiksi
antara mekanisme omnibus law dengan peraturan perundang-undangan yang selama
ini berlaku di Indonesia terkhusus kaitannya dalam UU No. 7 tahun 2021 tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Ditambah lagi eksistensi Omnibus Law tidak
dikenal dalam UU No. 12 tahun 2011 sebagaimana telah diubah dalam UU No. 15
tahun 2019 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai pedoman
utama pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, penerapan mekanisme Omnibus Law dalam UU No. 7 tahun
2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan justru perlu dipertanyakan, sebab UU
No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan tersebut melahirkan
kekhawatiran tidak hanya berlaku di kalangan masyarakat umum tetapi juga pada
kalangan akademisi, yaitu dengan adanya mekanisme Omnibus Law akan
menyelesaikan permasalahan yang ada selama ini dalam perpajakan di Indonesia atau
justru hanya menimbulkan permasalahan baru dalam peraturan perundang-undangan
di Indonesia. Oleh karena itu, penulis mencoba menganalisis mengenai mekanisme
omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya di
bidang perpajakan.
7 Agnes Fitryantica, “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Indonesia Melalui Konsep Omnibus Law”,
Jurnal Gema Keadilan Vol. 6 No. 3, 2019, hlm. 302-303.
116
Amanna Gappa, 29(2): 114-124
2.
Metode
Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan menggunakan kajian konseptual
(conseptual approach) dan kajian perundang-undangan (statute approach).8 Teknik
pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah teknik studi literatur yaitu
teknik kajian dengan menganalisis berbagai referensi khususnya referensi peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori pembentukan peraturan
perundang-undangan. Semua data yang telah terkumpul lalu kemudian ditelaah
dengan menggunakan landasan teori dan dianalisis secara kualitatif deskriptif.
Eksistensi Omnibus Law dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan di Indonesia
3.
Istilah Omnibus Law terdiri atas 2 kata yaitu Omnibus dan Law. Omnibus sendiri berasal
dari bahasa latin yaitu “omnis” yang berarti “semua” atau dapat juga dimaknai
“banyak”. Sementara Law pada dasarnya merupakan bahasa Inggris yang berarti
“hukum”, dengan demikian definisi dari Omnibus Law ialah segala sesuatu yang saling
berkaitan yang selanjutnya diatur dalam satu hukum. Pada aspek ini tidak jarang
akademisi, praktisi, maupun ahli hukum mengartikan istilah Omnibus Law menjadi
undang-undang payung atau undang-undang sapu jagat.9
Omnibus Law ialah suatu produk hukum yang berfokus dalam menyederhanakan
regulasi yang ada atau biasanya disebut sebagai suatu mekanisme dalam mengatur
undang-undang dengan tujuan memperbaiki regulasi yang dinilai selama ini tumpang
tindih dan menjadi sebab terjadinya permasalahan dalam aturan tersebut.10 Menurut
Fachri Bachmid, Omnibus Law merupakan mekanisme normatif yang bertujuan
mengintegrasikan berbagai tema, materi, subjek, dan peraturan perundang-undangan
di berbagai lini yang berbeda yang nantinya akan menghasilkan sebuah produk
hukum besar dan holistik.11 Sementara Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa
undang-undang yang lahir dengan berdasarkan konsep Omnibus Law ialah mekanisme
pembentukan regulasi yang bersifat inklusif yang didalamnya diatur mengenai materi
undang-undang yang berbeda tapi saling berkaitan dengan substansi undang-undang
yang nantinya dibentuk maupun diubah dengan tetap menjadikan ketentuan undangundang yang saling berkaitan tersebut sebagai pertimbangan dalam pembentukan satu
undang-undang.12
Penerapan mekanisme Omnibus Law cenderung diterapkan oleh negara-negara yang
menganut sistem hukum Anglo Saxon Common Law.13 Beberapa negara yang telah
menerapkan Omnibus Law yaitu Amerika, Irlandia, Kanada, Denmark, Suriname,
Belgia, Argentina, Australia, Austria, Republik Ceko, Chile, New Zealand, Norwegia,
Spanyol, Swedia, Swiss, Jepang, United Kingdom, dan Italia.14
Muhammad Abdul Kadir. 2015. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Yudo, Apa itu Omnibus?,https://pelitaku.sabda.org/node/872, diakses pada tanggal 24 Januari 2021
10 Antoni Putra, Penerapan Omnibus Law Dalam Upaya Reformasi Regulasi, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol
17 No 1 2020, hal. 222.
11 Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung, 1997, hlm. 144.
12 Jimly Asshiddiqie, “UU Omnibus (Omnibus Law) Penyederhanaan Legislasi, Dan Kodifikasi
Administratif,”2019,accessed Januari 24, 2022. UU TERPADU (Omnibus Law).pdf.diakses Januari 24, 2022.
13 Supriyadi, Gagasan Penggunaan Metode Omnibus Law dalam Pembentukan Peraturan Daerah, Jurnal
Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol.15 No.2 Juli 2021. Hlm.257
14 Antoni Putra, Penerapan Omnibus Law Dalam Upaya Reformasi Regulasi, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol
17 No 1 2020, hal. 13
8
9
117
P-ISSN: 0853-1609, E-ISSN: 2549-9785
Seiring dengan perkembangan ketatanegaraan, pembentukan peraturan perundangundangan di Indonesia dengan konsep Omnibus Law secara implisit pernah digunakan
di Indonesia, tetapi bukan sebagai undang-undang melainkan TAP MPR. Hal ini dapat
kita lihat melalui TAP MPR No. 1 tahun 2003 yang biasanya disebut “Tap Sapujagat”
sebab hadirnya TAP MPR ini sebagai “Lex Posterioríor” menyampingkan Tap MPR “Lex
Prior” yang memiliki karakteristik mengatur, dengan kata lain tidak ada lagi TAP MPR
yang berkarakteristik mengatur.15 Dalam mekanisme Omnibus Law harus dilandasi
payung hukum yang mengatur konsep tersebut agar tidak terjadi benturan antara
norma yang berlaku dengan peraturan pembentukan peraturan perundangundangan.16
Konsepsi negara hukum pun harus berpedoman dan memiliki fondasi yang kuat
dalam mengatur segala aspek dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan
dengan berlandaskan UUD NRI 1945 karena saat ada sebahagian atau sepenuhnya
materi muatan yang ada dalam UUD NRI 1945 pada realitasnya bukan menjadi
pedoman atau sumber dalam penentuan keputusan penyelenggaraan negara oleh
Pemerintah, sehingga Undang-Undang Dasar NRI tahun 1945 bisa disebut bernilai
nominal.17 Mahfud MD memberikan penjelasan bahwasanya salah satu sifat dari
konfigurasi politik demokratis ialah adanya partisipasi masyarakat dalam penentuan
kebijakan publik (public policy).18
Secara konseptual, konfigurasi politik demokratis senantiasa melahirkan produk
hukum yang responsif/otonom sedangkan konfigurasi politik otoriter cenderung
melahirkan produk hukum yang konservatif/ortodoks.19 Indonesia sebagai negara
yang menganut konfigurasi politik demokratis seharusnya melibatkan masyarakat
dalam penentuan penyelenggaraan negara, termasuk dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan agar produk hukum yang nantinya lahir adalah produk hukum
yang responsif/otonom.
Jika ditinjau dari perspektif hukum, pembentukan peraturan perundang-undangan di
Indonesia berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah mengalami
perubahan ke dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan yang dijadikan sebagai rujukan utama. Hal ini menandakan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan mempunyai prosedur tersendiri yang
sudah diatur dalam konstitusi.
Secara normatif, hierarki dalam peraturan perundang-undangan menandakan bahwa
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan satu
sama lain. Hal ini dimaksudkan agar terciptanya kepastian hukum dalam
masyarakat.20 Namun keberadaan Omnibus Law yang baru dikenal di Indonesia
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Revisi. (Jakarta: Rajawali Pers, 2014). Hlm. 376.
Firman Freaddy Busyroh, “Konseptualisasi Omnibus Law dalam Menyelesaikan Permasalahan
Pertanahan”, Arena Hukum Volume 10, 2, (Agustus 2017), hlm. 248.
17Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm. 108-109.
18Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 30.
19Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),
hlm. 78.
20 Tata Wijayanta, Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam Kaitannya dengan Putusan
Kepailitan Pengadilan Niaga, Jurnal Dinamika Hukum, 2014.
15
16
118
Amanna Gappa, 29(2): 114-124
menimbulkan dua perspektif yang berbeda.21 Jika Omnibus Law dipandang sebagai
jenis peraturan perundang-undangan, maka tentu eksistensi Omnibus Law sama sekali
tidak mempunyai pijakan hukum yang jelas, sebab tidak ada satu ketentuan pun yang
mengatur secara tersurat mengenai eksistensi konsep omnibus law baik pada tataran
UUD 1945 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah
diperbaharui melalui UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Sehingga hal ini berpotensi menciderai prinsip-prinsip negara
hukum.
Saat Omnibus Law dipandang sebagai metode dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, maka hasil pembentukan suatu Undang-undang dengan
mekanisme tersebut tidak bertentangan dengan UU No. 12 tahun 2011. Sebab, pada
dasarnya metode pembentukan undang-undang dengan konsep Omnibus Law
memiliki karakteristik yaitu mengakomodasi beberapa undang-undang yang
berkaitan. Sehingga, lahirnya suatu Undang-undang dengan mekanisme tersebut
merupakan satu dari berbagai jenis peraturan perundang-undangan yang memiliki
derajat dan kekuatan hukum yang sama sebagaimana telah diatur dalam pasal 7 ayat
(1) huruf c UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Dengan kata lain, Undang-undang yang dibentuk dengan mekanisme
tersebut pun juga dapat diuji ke Mahkamah Konstitusi secara materiil hingga formal
apabila terdapat materi muatannya bertentangan dengan UUD NRI 1945. Hal ini pun
pernah terjadi terhadap pengujian UU Cipta Kerja yang menerapkan mekanisme
Omnibus Law dan telah resmi dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah
Konstitusi (MK) melalui putusannya No. 91/PUU-XVII/2020 pada tanggal 25
November 2021.
Hal yang juga perlu diperhatikan ialah teknik penyusunan undang-undang dengan
mekanisme Omnibus Law juga harus selaras dengan ketentuan asas-asas yang
ditetapkan dalam pasal 5 UU No. 12 tahun 2011 sebagaimana telah diubah dalam UU
No. 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yakni :
a. kejelasan tujuan, penerapan mekanisme Omnibus Law dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan harus memiliki tujuan yang jelas. Sebagaimana
diketahui, penerapan mekanisme Omnibus Law dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan bertujuan untuk menderegulasi berbagai peraturan yang
ada agar menciptakan hukum yang efektif dan efesien di Indonesia.
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk UU yang tepat, pun pembentukan UU
dengan mekanisme Omnibus Law juga harus dibuat oleh lembaga yang
berwenang yaitu lembaga legislatif dan eksekutif.
c. dapat diimplementasikan, pembentukan peraturan perundang-undangan
dengan mekanisme Omnibus Law juga harus mempertimbangkan dampak baik
dan buruknya dalam penerapannya.
d. kedayagunaan dan kehasilgunaan, setiap peraturan perundang-undangan yang
dibentuk merupakan representasi dari kebutuhan yang ada dan bermanfaat
dalam masyarakat.
e. keterbukaan, sebagai negara demokrasi keterbukaan menjadi hal wajib dalam
pengambilan setiap kebijakan terutama dalam pembentukan suatu produk
hukum.
21 Antoni Putra, 2020. Penerapan Omnibus Law dalam Upaya Reformasi Regulasi. Jurnal Legislasi
Indonesia.
119
P-ISSN: 0853-1609, E-ISSN: 2549-9785
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari tahapan perencanaan
hingga penetapan harus transparan. Kesan terburu-buru dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan berpotensi mengabaikan asas ini. Kemudian, jika kita
menilik secara mendalam eksistensi Omnibus Law dalam peraturan perundangundangan Indonesia maka yang perlu diperjelas dan dipastikan ialah mengenai
penerapan Undang-undang baru ataukah Undang-undang perubahan. Sebab, ketika
lahir suatu Undang-undang yang dinilai baru tetapi disisi lain substansi yang
terkandung dalam aturan tersebut mengenai Undang-undang perubahan diatas 50%
tentu hal ini menjadikan teknik dalam membentuk undang-undang tersebut tidak
selaras dengan ketentuan yang ditetapkan dalam UU No. 12 tahun 2011 sebagaimana
diubah dalam UU No. 15 tahun 2019.
Ketentuan yang dimaksud ialah jika sebuah peraturan perundang-undangan
mengalami perubahan juga akan mengakibatkan perubahan sistematika dalam
pembentukan peraturan Perundang-undangan, bahkan materi peraturan perundangundangan tersebut berubah lebih dari 50% (lima puluh persen) hingga esensinya pun
mengalami perubahan. Agar sistematika, metode, hingga materi muatan dari sebuah
peraturan perundang-undangan tetap sesuai dengan yang direncanakan, peraturan
yang diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam peraturan
perundang-undangan yang baru mengenai masalah tersebut. Oleh karena itu,
karakteristik sistem hukum Indonesia yang berpegang sebagai negara Civil Law
menjadikan eksistensi Omnibus Law di Indonesia menjadi hal wajar jika dipertanyakan.
Sebab, mekanisme tersebut lahir dari negara-negara yang menerapkan sistem hukum
Common Law. Oleh karena itu, penyesuaian dengan prosedur dan karakteristik sistem
hukum Indonesia menjadi pedoman dasar untuk mengetahui kedudukan Omnibus Law
di Indonesia.
4.
Harmonisasi Peraturan
Omnibus Law
Perpajakan:
Implikasi
Penerapan
Metode
Harmonisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah pengharmonisan;
upaya mencari keselarasan,22 yang memiliki arti menyelaraskan atau menyesuaikan
konteks yang berbeda. Ahmad M. Ramli dalam teorinya menyebutkan bahwa
harmonisasi bersumber dari diksi harmoni yang memiliki makna kecocokan,
keselarasan, dam keserasian. Beberapa unsur yang termuat berdasarkan definisi
harmonisasi tersebut ialah:23
a. Terdapat hal yang saling bertentangan;
b. Terbentuknya suatu sistem dengan menyelaraskan hal-hal yang saling
bertentangan;
c. Suatu cara ataupun upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, menyerasikan,
mencocokkan, dan menyeimbangkan; dan
d. Kerja sama antara berbagai faktor pendukung, yang nantinya menjadi kesatuan.
22
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1997),
23 Wahiduddin Adams, “Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia,” in Dialektika
Pembaruan Sistem Hukum Indonesia (Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia,
2012). hlm.140.
120
Amanna Gappa, 29(2): 114-124
Kaitannya dengan hukum, maka harmonisasi hukum bermakna sebagai suatu
aktivitas ilmiah dengan tujuan mencapai suatu upaya dalam menyelaraskan hukum
tertulis dengan berlandaskan nilai yang terkandung dalam aspek yuridis, filosofis,
ekonomis hingga sosiologis, dimana dalam praktiknya dilakukan pengkajian secara
sistematis dan komprehensif mengenai rancangan undang-undang untuk memastikan
suatu undang-undang telah selaras dan sejalan dengan hukum yang telah berlaku baik
dalam masyarakat baik hukum tertulis maupun tidak tertulis dari berbagai konteks.24
Kusnu Goesniadhie menjabarkan sebab-sebab terjadinya disharmonisasi hukum, di
antaranya:25
a. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang ada;
b. Terdapat perbedaan tafsiran dan kepentingan;
c. Ketidaksesuaian pemahaman antara teknis dan hukum mengenai tata
pemerintahan yang baik;
d. Terdapat masalah hukum yang muncul dalam peraturan perundang-undangan
baik dari segi substansi hukum maupun implementasinya; dan
e. Terjadi tumpang tindih wewenang dalam implementasi peraturan perundangundangan.
Adapun tujuan mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan yaitu :
a. Menyampaikan saran, usulan, dan masukan kepada pihak terkait seperti
kementerian terkait, lembaga, dan masyarakat agar dapat menyempurnakan
peraturan perundang-undangan yang dibentuk;
b. Menghasilkan suatu peraturan perundang-undangan sesuai dengan kebutuhan
dan perkembangan zaman yang dapat diimplementasikan; dan
c. Menghasilkan peraturan perundang-undangan yang selaras, terbentuk
berdasarkan aspirasi dan bersifat responsif, sejalan dengan asas, dan sesuai
secara vertikal maupun horizontal.26
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa harmonisasi
hukum ialah upaya untuk menyelaraskan berbagai peraturan perundang-undangan
dalam satu Undang-undang yang disebabkan hadirnya permasalahan dalam
peraturan perundang-undangan tersebut sepertinya tumpang tindih dan terdapat
perbedaan dalam penafsiran.
Lahirnya UU No.7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan terdiri dari
sembilan bab yang memuat beberapa pengaturan yang diharmonisasikan, di
antaranya ialah:
a. UU No. 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6 tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);
b. UU No. 42 tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 8 tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPN);
24 Moh. Hasan Wargakusumah, Perumusan Harmonisasi Hukum Tentang Metodologi Harmonisasi Hukum
(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1997). hlm. 37.
25 Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Sistem Hukum: Mewujudkan Tata Pemerintahan Yang Baik (Malang:
Nasa Media, 2010). hlm. 11.
26 Wahiduddin Adams, “Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia,” in Dialektika
Pembaruan Sistem Hukum Indonesia (Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia,
2012). hlm.143
121
P-ISSN: 0853-1609, E-ISSN: 2549-9785
c. UU No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan (PPh);
d. UU No. 39 tahun 2007 tenang Perubahan atas UU No. 11 tahun 1995 tentang
Cukai; dan
e. Selain empat aturan tersebut, dalam UU HPP juga memuat ketentuan mengenai
Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dan Pajak Karbon. Sebagaimana
diketahui UU HPP ini lahir dengan mekanisme Omnibus Law yang sangat kental
sehingga mampu menderegulasi berbagai peraturan perpajakan yang selama ini
dinilai menjadi salah satu alasan kerumitan sistem dalam satu Undang-undang.
Adanya reformasi administrasi perpajakan dalam satu Undang-undang menjadi
jembatan pemerintah untuk memaksimalkan sektor produktivitas penerimaan
pajak sebagai salah satu sumber pendapatan negara. Hal ini pun tertuang dalam
konsiderans menimbang huruf UU HPP.
Kebijakan pemerintah melalui deregulasi melalui Undang-Undang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan dengan berdasar pada mekanisme itu tidak mempunyai
kejelasan dasar hukum. Alasannya, karena dalam susunan sistem hukum di Indonesia
sama sekali tidak ada ketentuan yang mengatur secara jelas mengenai eksistensi
konsepsi omnibus law baik pada Undang-Undang Dasar NRI tahun 1945 maupun
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Oleh karenanya Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang
dilakukan melalui mekanisme omnibus law dikhawatirkan berpotensi mencederai
prinsip-prinsip dalam negara hukum. Tidak adanya aturan yang jelas tentang omnibus
law dalam tatanan hukum Indonesia perlu menjadi pertimbangan oleh pemerintah
karena pada dasarnya proses pembentukan peraturan perundang-undangan sejatinya
berlandaskan pada hukum guna menciptakan kepastian hukum.
Secara materiil, terdapat beberapa materi muatan yang perlu dikritisi dalam UU No. 7
tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dua diantaranya ialah:
pertama, dalam pasal 23A UUD NRI 1945 secara tegas telah mendudukkan bahwa
“Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
Undang-Undang”. Dengan kata lain, frasa “diatur dengan Undang-Undang”
menunjukkan bahwa aturan mengenai pajak bertujuan mengharuskan adanya
kepastian hukum yang diatur dalam undang-undang (Asas Legalitas). Namun, materi
muatan yang terkandung dalam UU HPP seperti dalam pasal 17 ayat (2) memberikan
legitimasi kepada Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengatur tarif pajak yang
dibebankan kepada subjek pajak yang masuk dalam kategori wajib pajak. Sehingga,
tujuan UU HPP justru tidak mencerminkan adanya kepastian hukum.
Kedua, Pasal 16B yang mengatur bahwa “Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau
seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun
selamanya . . .”. Dengan kata lain, ketentuan tersebut memberikan wewenang terhadap
pemerintah dalam mengenakan atau tidak, mengenakan sementara ataupun
mengenakan selamanya dengan tarif yang ditentukan oleh pemerintah. Ketentuan
tersebut menandakan tidak sinkronnya dengan gejolak demokrasi dan reformasi.
Sebab, ketentuan tersebut menjadikan pemerintah dalam hal ini kewenangan legislatif
dan eksekutif lebih powerful dalam mengenakan atau tidak mengenakan Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN).
Selain dari penjelasan tersebut di atas, beberapa negara yang menjadikan omnibus law
sebagai rujukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tidak sertamerta dapat dijadikan sebagai pembenaran dalam menerapkan omnibus law di
122
Amanna Gappa, 29(2): 114-124
Indonesia. Rujukannya ada pada teori yang dikemukakan oleh Robert Saidman
bahwasanya “the law of non transferability of law27” yang artinya hukum yang berlaku di
suatu negara tidak serta merta dapat diberlakukan di negara lain. Hal ini didasarkan
karena adanya perbedaan nilai-nilai intrinsik yang ada pada tiap-tiap negara.
Pada umumnya, negara yang menggunakan mekanisme omnibus law adalah negara
penganut common law system28 sementara Indonesia penganut civil law system. Tidak
hanya itu, legalitas pelaksanaan konsep omnibus law juga memiliki perbedaan disetiap
negara. Perbedaan fundamental tersebutlah yang menjadi salah satu alasan kuat untuk
mempertanyakan eksistensi omnibus law dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Pemikiran dari Robert Saidman harusnya bisa dijadikan sebagai landasan
dalam melakukan pembangunan hukum yang berkarakter Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5.
Penutup
Karakteristik sistem hukum Indonesia yang berpegang teguh sebagai negara Civil Law
menjadikan eksistensi Omnibus Law di Indonesia menjadi hal wajar jika dipertanyakan.
Sebab, mekanisme tersebut lahir dari negara-negara yang menerapkan sistem hukum
Common Law. Oleh karena itu, penyesuaian dengan prosedur dan karakteristik sistem
hukum Indonesia menjadi pedoman dasar untuk mengetahui kedudukan Omnibus Law
di Indonesia. Secara materiil, terdapat beberapa materi muatan yang perlu dikritisi
dalam UU No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Adanya
materi muatan yang terkandung dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan
Perpajakan seperti dalam Pasal 17 ayat (2) yang memberikan legitimasi kepada
Peraturan Pemerintah untuk mengatur tarif pajak yang dibebankan kepada subjek
pajak yang masuk dalam kategori wajib pajak. Sehingga, tujuan undang-undang ini
justru tidak mencerminkan adanya kepastian hukum. Tidak hanya itu, adanya
ketentuan dalam peraturan ini yang menandakan tidak sinkronnya peraturan yang
dibentuk dengan gejolak demokrasi dan reformasi misalnya ketentuan yang mengatur
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPN) yang terbilang ambigu dan tidak memberikan kepastian hukum.
Referensi
Adhi Setyo Prabowo, et al. 2020. "Politik Hukum Omnibus Law di Indonesia." Pamator
Journal 13 (1): 1-6.
Agnes Fitryantica. 2019. "Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
melalui Konsep Omnibus Law." Gema Keadilan 6 (3): 300-316.
Antoni Putra, 2020. Penerapan Omnibus Law dalam Upaya Reformasi Regulasi. Jurnal
Legislasi Indonesia, 17(1): 1-10.
Asmaeny Azis dan Izlindawati. 2018. Constitusional Complaint dan Constitusional
Question dalam Negara Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group.
27 Satria Sukadana, “Pendekatan Teori Hukum Progresif dalam Menjawab Permasalahan Kesenjangan Hukum
(Legal Gaps) di Indonesia”, Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Vol. 1 No. 2, 2018, hlm. 136.
28 Firman Freaddy Busroh, “Konseptualisasi Omnibus Law dalam Menyelesaikan Permasalahan Regulasi
Pertahanan”, Arena Hukum Vol. 10 No. 2, 2017, hlm. 227.
123
P-ISSN: 0853-1609, E-ISSN: 2549-9785
Asri Lasatu. 2020. Urgensi Peraturan Daerah tentang Program Pembentukan Peraturan
Daerah Terhadap Kinerja DPRD. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum.
Azis Syamsuddin. 2015. Proses & Teknik Penyusunan Undang-Undang. Jakarta: Sinar
Grafika.
Farida Patittingi, Irwansyah, Muh. Hasrul, Muhammad Ilham Arisaputra, dan Ahsan
Yunus. 2021. "Relasi Negara dan Agama Dalam Peraturan Daerah Bernuansa
Syariah: Perspektif Pancasila." Pancasila: Jurnal Keindonesiaan, Vol. 1 (1): 17-33.
Firman Freaddy Busroh, 2017. “Konseptualisasi Omnibus Law dalam Menyelesaikan
Permasalahan Regulasi Pertahanan”, Arena Hukum Vol. 10 No. 2: 227.
Jimly Asshiddiqie. 2015. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers.
Moh. Mahfud MD. 2011. Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi. Jakarta:
Rajawali Pers
Moh. Mahfud MD. 2011. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Muhammad Abdul Kadir. 2015. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Noor Muhammad. 2014. "Unifikasi Hukum Perdata dalam Pluralitas Sistem Hukum
Indonesia." Mazahib, 13 (2).
Satria Sukadana, 2018. “Pendekatan Teori Hukum Progresif dalam Menjawab Permasalahan
Kesenjangan Hukum (Legal Gaps) di Indonesia”, Jurnal Hukum Ekonomi Syariah
Vol. 1 No. 2: 136.
Satria Sukadana. 2018. Pendekatan Teori Hukum Progresif dalam Menjawab
Permasalahan Kesenjangan Hukum (Legal Gaps) di Indonesia. Jurnal Hukum
Ekonomi Syariah.
Supriyadi, 2021. Gagasan Penggunaan Metode Omnibus Law dalam Pembentukan Peraturan
Daerah, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol.15 No.2.
Tata Wijayanta. 2014. Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam Kaitannya
dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga, Jurnal Dinamika Hukum.
124