PRODUKSI DAN TATANIAGA BERAS
DI PROPINSI LAMPUNG
Fitriani1, Hanung Ismono2, Novi Rosanti2
1
Staf Pengajar Politeknik Negeri Lampung
Jl. Soekarno Hatta No. 1 Rajabasa Bandarlampung, 35145 , Lampung
Email:
[email protected]
2
Universitas Lampung (UNILA)
Jl. Soemantri Brojo Negoro No. 1 Bandar Lampung
Email:
[email protected]; novirosanti.as@gmail
ABSTRACT
The objective of this research is investigation the rice production system and
distribution chain efficiency in Lampung Province. Respondent sample were taken by purposive
and snowball sampling, involved 38 people as farmers and trader in any level. Rice production
centre in Pringsewu and Tanggamus Regency, and also Bandar Lampung city as trading centre
were choosen as location. Descriptive analysis applied in appraisal the rice production system
and distribution chain. The result performed that the rice production in average of years was
higher than rice consumption (surplus) in Lampung Province. The rice production system at
producent level also performed in good condition. The rice distribution chain tended to
inefficient condition because the traders in country level get more benefit than others. The fact
that 23,735% rice stock from Lampung distributed to others area such as Bengkulu, Padang,
and Riau cause the rice stock in market and society hard to identify and then could be the
reason to price instability.
Key words: rice production, rice distribution chain, stock
PENDAHULUAN
Istilah tataniaga di negara kita
diartikan sama dengan tataniaga atau
distribusi, yaitu semacam kegiatan ekonomi
yang
berfungsi
membawa
atau
menyampaikan barang dari produsen ke
konsumen. Kegiatan produksi, tataniaga, dan
konsumsi merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan satu sama lainnya.
Lembaga tataniaga merupakan penghubung
antara produsen dan konsumen (Mubyarto,
1989). Fungsi lembaga tataniaga berbeda
satu sama lainnya dan dicirikan oleh adanya
aktifitas yang dilakukan dalam kegiatan
tataniaga yaitu pengemasan, penyimpanan,
dan pengangkutan. Adanya perbedaan ini
menyebabkan biaya dan keuntungan
tataniaga menjadi berbeda di tiap lembaga
tataniaga. Lebih lanjut, kondisi tersebut
menyebabkan kenyataan bahwa di tiap
tingkatan lembaga tataniaga pada dasarnya
memiliki
kekuatan
permintaan
dan
penawaran sendiri.
Sistem tataniaga dikatakan efisien
dalam artian memberikan bagian yang adil
J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011
bagi setiap lembaga tataniaga yang terlibat
diindikasikan oleh kemampuan sistem
tataniaga tersebut dalam menyampaikan
produksi dari produsen ke konsumen dengan
biaya minimal dan mampu mengadakan
pembagian yang adil terhadap keseluruhan
harga yang dibayar konsumen akhir kepada
semua pihak yang ikut serta dalam kegiatan
produksi dan tataniaga komoditas tersebut.
Tataniaga yang efisien juga menjadi
cerminan stabilitas harga antar lini tataniaga.
Fluktuasi harga komoditas strategis yang
berbeda terlalu tajam antar lembaga dapat
menjadi penyebab terjadinya inflasi.
Kenaikan harga-harga barang secara
umum dan terus menerus, terutama
komoditas strategis seperti beras menjadi
pemicu inflasi baik secara lokal maupun
nasional. Inflasi dapat disebabkan oleh dua
faktor utama, yaitu inflasi karena tarikan
permintaan dan inflasi karena tarikan
penawaran (produksi). Inflasi berdampak
negatif terhadap pelaksanaan pembangunan
dan kepastian keadaan ekonomi di masa
yang akan datang. Ekonomi dan penanaman
1
modal cenderung ke arah spekulatif. Inflasi
juga menyebabkan produk ekspor tidak
dapat bersaing. Selain itu, inflasi juga
menurunkan pendapatan riil masyarakat
berpendapatan tetap dan lebih lanjut akan
mengakibatkan
merosotnya
tingkat
kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
Inflasi yang terjadi di Lampung
selama tahun 2010 cukup tinggi dibanding
wilayah lain dan nasional. Pada bulan
Oktober 2010 inflasi Lampung mencapai
0,7%, lebih tinggi dari inflasi nasional pada
bulan yang sama sebesar 0,06%. Kelompok
bahan pangan merupakan salah satu
penyumbang inflasi terbesar. Hal ini antara
lain disebabkan sebagai akibat terjadinya
berbagai hambatan pada sisi produksi
maupun distribusi. Berdasarkan pengamatan
terhadap
berbagai
komoditas
yang
diperdagangkan terdapat berapa komoditas
bahan pangan yang cenderung secara
konsisten berkontribusi besar terhadap
inflasi. Komoditas pangan dengan bobot
inflasi yang tinggi tersebut adalah: beras,
cabai merah, telur ayam ras, dan daging sapi
(BPS Propinsi Lampung, 2010).
Kondisi ketidakstabilan harga-harga
komoditas antara lain disebabkan oleh
faktor-faktor seperti: persoalan dalam sistem
produksi, climate change yang mengganggu
sistem produksi dan tataniaga, gangguan
distribusi produk, dan persoalan struktur
pasar
pada
masing-masing lembaga
tataniaga. Selain juga persoalan dalam
kebijakan
daerah
dan
pembenahan
infrastruktur jalan (BI Cabang Lampung,
2011).
Berdasarkan kondisi tersebut di atas,
aktivitas penelusuran terhadap kegiatan
produksi dan distribusi komoditas beras
perlu dilakukan guna mengetahui simpulsimpul hambatan dan permasalahan yang
menyebabkan ketidakstabilan harga-harga
pada sistem tataniaga tersebut. Penelitian ini
bertujuan untuk: 1) mendapatkan informasi
mengenai kondisi produksi beras dan 2)
mendapatkan informasi efisiensi tataniaga
beras di Propinsi Lampung.
METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian ditentukan secara
sengaja
(purposive)
di
Kecamatan
Ambarawa Kabupaten Pringsewu dan
Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus
2
sebagai salah satu sentra produksi beras
serta Kota Bandar Lampung sebagai pusat
perdagangan
di
Propinsi
Lampung.
Pelaksanaan penelitian selama 3 bulan mulai
bulan Desember 2010 sampai Februari 2011.
Sampel penelitian diambil dari berbagai
pihak, yaitu petani produsen, pelaku
tataniaga di tingkat pasar desa, kecamatan,
dan
kabupaten/kota
secara
sengaja
(purposive) dan snowball sampling atas
dasar jumlah pelaku produksi dan distribusi
beras dari tingkat desa hingga ke pedagang
besar dan pengecer. Jumlah sampel
penelitian sebanyak 38 orang responden
mulai
dari
hulu
sampai
hilir
(petani/produsen, pedagang pengumpul,
pelaku pengolahan/pabrik penggilingan padi
hingga pedagang pengecer). Data yang
dibutuhkan untuk penelitian ini meliputi data
primer dan data sekunder. Alat Analisis
yang digunakan meliputi:
1. Kondisi produksi dan data hasil
rekapitulasi data awal akan dianalisis
menggunakan
análisis
statistik
deskiptif.
2. Kondisi efisiensi tataniaga beras
menggunakan pendekatan Ratio Profit
Margin (RPM). dengan formula sebagai
berikut:
mji = Psi - Pbi atau
mji = bti + πi
menjadi
Total margin pemasaran
mji = ∑ mji
atau
mj = Pr - Pf
πi
Rasio Profit Margin (RPM) = ------bti
Keterangan:
mji = margin pemasaran pada lembaga
pemasaran tingkat ke-i
Psi = harga jual pada lembaga
pemasaran tingkat ke-i
Pbi = harga beli pada lembaga
pemasaran tingkat ke-i
bti = biaya pemasaran pada lembaga
pemasaran tingkat ke-i
πi = keuntungan lembaga pemasaran
tingkat ke-i
mj = total margin pemasaran
Pr = harga pada konsumen akhir
Pf = harga pada tingkat produsen
J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011
Apabila bagian harga yang diterima
petani produsen rendah (<60%) dan nilai
RPM menyebar tidak merata, maka saluran
pemasaran yang dihadapi relatif tidak
efisien.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sistem Produksi Padi
Petani padi sawah di sentra produksi
Adiluwih dan Gisting rata-rata telah
berpengalaman
selama
16
tahun.
Pengalaman paling lama selama 50 tahun
dan paling baru sebanyak 2 tahun.
Pengalaman usahatani tersebut menggambarkan bahwa sebagian besar responden
(80%) merupakan pelaku usahatani padi
sawah yang telah berpengalaman lebih dari
5 tahun. Kondisi tersebut juga mencerminkan bahwa
petani
telah memiliki
pengalaman usahatani padi secara memadai.
Pengalaman usaha akan mempengaruhi
tingkat keterampilan manajemen dan lebih
lanjut
akan
mempengaruhi
tingkat
pengambilan keputusan usaha. Pengalaman
merupakan sumber belajar yang sangat baik
dalam memperbaiki kualitas usaha.
Umumnya petani memiliki aset
usahatani berupa tanah, mesin pertanian
berupa traktor tangan dan sedot air, serta
peralatan berupa: cangkul, sabit, dan
penyemprot. Tanah merupakan salah satu
faktor produksi yang sangat penting. Para
petani dapat mengusahakan berbagai
komoditi pertanian yang sesuai dengan jenis
tanah yang akan ditanami. Luas kepemilikan
tanah petani umumnya berupa sawah, kebun,
dan tegalan. Rata-rata kepemilikan sawah
seluas 0,88 ha, dan kebun 0,75 ha. Status
penguasaan lahan sebagian besar adalah hak
milik. Tanah yang dijadikan lahan
penanaman padi umumnya adalah sawah.
Luas tanam rata-rata penanaman padi di
daerah penelitian adalah 0,88 ha.
Pola tanam yang dilakukan petani
padi sawah antara lain meliputi dua pola
dalam satu tahun. Secara umum petani
dalam satu tahun di daerah sentra produksi
Talang Padang, yaitu: padi—padi dan
padi—sayur mayur. Pola tanam berorientasi
pada komoditas monokultur, hanya sebagian
kecil petani yang melakukan pergantian
dengan sayur mayur. Kondisi tersebut
menggambarkan intensitas penanaman padi
rata-rata dilakukan dua kali dalam satu
tahun. Berati terdapat masa dimana lahan
sawah berada dalam kondisi bera dan tidak
digunakan untuk usahatani komoditas
ekonomis.
Berdasarkan kondisi tersebut dapat
dilihat bahwa pola tanam yang berlangsung
dalam satu tahun belum menggambarkan
rotasi tanaman yang cukup memadai untuk
keberlangsungan dan keberlanjutan lahan
yang lebih lestari. Pilihan jenis tanaman juga
menunjukkan petani telah lebih berorientasi
pada komoditas pangan dan belum optimal
mengintensifkan lahan untuk komoditas
yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Akibatnya alternatif sumber pendapatan
petani kurang beragam dalam menghadapi
resiko kegagalan usaha.
Pengeluaran (biaya) dalam usahatani
padi sawah meliputi pengeluaran untuk
membeli sarana produksi dan upah tenaga
kerja di luar keluarga (pengeluaran tunai).
Sarana produksi usahatani padi meliputi:
benih, pupuk kandang dan kimia (NPK,
SP36, KCl), pestisida, fungisida, dan
herbisida. Kebutuhan biaya produksi padi
untuk luas penanaman konversi 1 ha secara
rinci dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rincian kebutuhan biaya produksi padi, 2010
Komponen Biaya Produksi
Persiapan lahan
Konversi kebutuhan 1
ha (Rp)
Proporsi biaya (%)
1,100,789
8,52
Benih
330,966
2,56
Pupuk
10,023,082
77,60
87,642
0.68
1,373,977
10,64
12,916,457
100
Pestisida, fungisida, & Herbisida
Tenaga Kerja
Total Biaya Produksi
J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011
3
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat
bahwa besarnya biaya pupuk merupakan
komponen biaya utama dalam produksi padi
rata-rata mencapai 77,6% dari total biaya
produksi. Komponen biaya tenaga kerja
juga berkontribusi cukup tinggi, yaitu
mencapai 9-10%. Besarnya biaya produksi
usahatani padi seringkali menjadi hambatan
bagi petani yang memiliki keterbatasan
modal usaha pertanian. Meskipun telah
tersedia berbagai skema kredit usahatani
dengan tingkat pengembalian bunga modal
yang rendah, namun tidak semua petani
dapat mengakses pinjaman modal tersebut.
Rata-rata
produksi
padi
yang
dihasilkan petani pada musim tanam I
mencapai 4,9 ton/ha/musim. Pada musim
tanam II produksinya mencapai 4,02 ton/ha.
Sementara harga padi pada saat produksi I
rata-rata Rp 2.650,-/kg dan Rp 2.680,-/kg
pada produksi II. Dengan demikian besarnya
penerimaan petani dari usahatani beras
sebesar Rp 21.437.318,75,-/0,88 ha/musim
atau Rp 24.360.589,49,-/ha/musim.
Tujuan usahatani padi secara umum
pada akhirnya adalah untuk memperoleh
pendapatan dan tingkat keuntungan yang
layak dari usahataninya. Kegairahan petani
untuk meningkatkan kualitas produksinya
akan terjadi selama harga produk berada di
atas biaya produksi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan
total
usahatani
padi
sebesar
Rp
10.938.744,84,-/ha/musim. Secara rinci
tingkat
produksi,
penerimaan,
dan
pendapatan usahatani padi dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Rincian produksi, penerimaan dan pendapatan usahatani padi, 2010
Uraian
Satuan
Produksi I
(kg)
4,908.70
Produksi II
(kg)
4,027.49
Harga jual I
(Rp/kg)
2.650,00
Harga jual II
(Rp/kg)
Penerimaan
(Rp)
24,360,589.49
Total Biaya Produksi
(Rp)
13,421,844.65
Pendapatan I
(Rp)
10,938,744.84
Pendapatan II
(Rp)
12,916,457.00
R/C
Berdasarkan Tabel 2 terlihat nilai R/C
ratio usahatani cabe merah/usahatani/musim
sebesar 1,81. Hal ini berarti setiap Rp 1,00
biaya yang diinvestasikan untuk usahatani
padi akan memberikan penerimaan sebesar
Rp 1,81 sehingga dapat dijelaskan bahwa
usahatani padi tersebut layak diusahakan.
Menurut Soekartawi (1995) apabila nilai
R/C ratio > 1 maka usahatani tersebut layak
diusahakan. Oleh karena itu keputusan yang
diambil oleh petani tepat dan usahatani padi
tetap diusahakan.
Kondisi sistem usahatani padi yang
dilakukan petani secara umum di daaerah
sentra produksi telah berjalan secara baik.
Petani
sudah menerapkan
teknologi
usahatani padi secara baik dan benar.
Penggunaan benih dan pupuk juga sudah
sesuai dengan rekomendasi yang diberikan
4
Konversi 1 ha
2.680,00
1.81
oleh pihak penyuluh pertanian. Meskipun
petani padi di daerah sentra produksi masih
menghadapi
kendala
rendahnya
produktivitas produksi padi, yaitu baru
mencapai 4,9 ton/ha pada musim tanam I
dan hanya 4,02 pada musim tanam II.
Perbaikan
teknik
budidaya
padi
menggunakan berbagai teknologi baru
penting
dilakukan
untuk
dapat
meningkatkan produktivitas dan intensitas
penanaman padi pada daerah-daerah sentra
produksi.
Petani padi menggantungkan sumber
pendapatannya secara dominan terhadap
usahatani padi. Intensitas penanaman padi
rata-rata dilakukan dua kali dalam satu
tahun. Berarti terdapat masa di mana lahan
sawah berada dalam kondisi bera dan tidak
digunakan untuk usahatani komoditas
J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011
ekonomis. Pilihan jenis tanaman juga
menunjukkan petani telah lebih berorientasi
pada komoditas pangan dan belum optimal
mengintensifkan lahan untuk komoditas
yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Akibatnya alternatif sumber pendapatan
petani kurang beragam dalam menghadapi
resiko kegagalan usaha.
Akibat tuntutan kebutuhan hidup
rumah tangga petani, produksi padi yang
dihasilkan umumnya akan langsung dijual
dalam kondisi gabah kering panen dan harga
yang diterima relatif sangat rendah. Petani
membutuhkan segera hasil penjualan padi
yang dihasilkannya untuk menutupi
kebutuhan biaya produksi padi dan
kebutuhan hidup keluarganya. Sarana
produksi usahatani padi meliputi: benih,
pupuk kandang dan kimia (NPK, SP36,
KCl), pestisida, fungisida, dan herbisida
rata-rata mencapai Rp 12,916,457/ha.
Besarnya biaya produksi usahatani padi
seringkali menjadi hambatan bagi petani
yang memiliki keterbatasan modal usaha
pertanian. Meskipun telah tersedia berbagai
skema kredit usahatani dengan tingkat
pengembalian bunga modal yang rendah,
namun tidak semua petani dapat mengakses
pinjaman modal tersebut.
Rumah tangga petani padi tidak
memiliki pilihan, orientasi jangka pendek
yaitu hanya untuk memenuhi kebutuhan
hidup anggota keluarganya saat itu,
sekarang, dan tidak dapat lagi mengalokasikan untuk saving bagi kelangsungan
selanjutnya. Harga jual yang sangat rendah
akibat petani menjual dalam kondisi gabah
kering panen menjadi persoalan kompleks
yang dihadapi petani padi. Petani
memerlukan dana tunda jual untuk dapat
meningkatkan
nilai
tambah
dengan
melakukan pasca produksi dan penyimpanan
pada produksi padi yang dihasilkan.
Fluktuasi dan ketidakpastian harga
yang sangat rendah pada sisi penjualan
merupakan fenomena musiman yang
J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011
seringkali merugikan petani padi. Akses
petani terhadap informasi harga jual padi di
berbagai tingkat lembaga tataniaga sangat
terbatas. Perbedaan harga jual tersebut
seringkali tidak dapat diketahui petani
dengan cepat. Asimetri informasi harga jual
padi yang terjadi merupakan faktor
mendasar penyebab fluktuasi harga yang
seringkali merugikan petani padi. Selain itu,
peran industri pengolahan (pabrik beras/PB)
juga penting dalam menentukan harga jual
padi di tingkat petani. Industri pengolahan
beras umumnya berlokasi jauh dari daerah
sentra produksi padi. Akibatnya biaya
transportasi yang dikeluarkan oleh para
pedagang perantara dan industri pengolahan
padi (PB) semakin menekan harga jual yang
diterima petani menjadi semakin rendah.
Infrastruktur jalan yang rusak parah yang
harus ditempuh dalam menyalurkan padi
dari daerah sentra produksi ke lokasi industri
pengolahan padi (PB) menyebabkan
intensitas pengiriman menjadi berkurang
(memerlukan waktu yang relatif lebih lama
untuk setiap kali pengiriman) dan
meningkatnya biaya transportasi. Hal ini
juga turut menekan harga padi di tingkat
petani.
Produksi Beras Propinsi Lampung
Propinsi Lampung, sebagai salah satu
daerah penghasil padi terus berupaya untuk
meningkatkan produksi dan produktivitas
padi. Pada tahun 2009, luas panen mencapai
570.417 ha dengan produksi padi mencapai
2.673.844 ton. Produktivitas rata-rata
produksi padi di Propinsi Lampung baru
mencapai 4,69 ton/ha. Produktivitas padi
tersebut
masih
tergolong
rendah
dibandingkan dengan kondisi produktivitas
potensialnya yang dapat mencapai 7 ton/ha
(BPS Propinsi Lampung, 2010). Kondisi
perkembangan luas panen, produksi,
produktivitas padi di Propinsi Lampung
dalam kurun waktu 10 tahun terakhir dapat
dilihat pada Tabel 3.
5
Tabel 3. Perkembangan luas panen, produksi, produktivitas padi di Propinsi
Lampung Tahun 1999—2009
Pertumbuhan (%)/tahun
Tahun
Luas panen
(ha)
Produksi
(ton)
Produktivitas
(ton/ha)
Luas
panen
(ha)
Produksi
(ton)
Produktivitas
(ton/ha)
1999
476,799
1,801,422
3.78
2000
496,650
1,946,406
3.92
4.16
8.05
3.73
2001
501,118
1,992,726
3.98
0.90
2.38
1.47
2002
475,461
1,951,109
4.10
-5.12
-2.09
3.20
2003
472,635
1,966,293
4.16
-0.59
0.78
1.38
2004
495,519
2,091,966
4.22
4.84
6.39
1.48
2005
496,538
2,124,144
4.28
0.21
1.54
1.33
2006
494,102
2,129,194
4.31
-0.49
0.24
0.73
2007
524,955
2,308,404
4.40
6.24
8.42
2.04
2008
506,547
2,341,075
4.62
-3.51
1.42
5.10
2009
570,417
2,673,844
Ratarata/tahun
500,976
2,120,598
Sumber: BPS Propinsi Lampung, 2010
4.69
12.61
14.21
1.43
4.22
1.93
4.13
2.19
Kondisi luas panen padi di Propinsi
Lampung cenderung mengalami fluktuasi.
Penurunan pertumbuhan luas panen padi
pernah terjadi pada tahun 2002, 2003, 2006,
dan 2008. Persoalan alih fungsi lahan
pertanian menjadi kawasan pengembangan
ekonomi baru merupakan ancaman serius
yang perlu mendapat perhatian, karena
berpotensi
mengurangi
lahan-lahan
produktif untuk tanaman padi. Kondisi luas
panen padi secara umum menunjukkan
peningkatan, bahkan pertumbuhan secara
tajam mencapai 12,61% terjadi pada tahun
2009. Pertumbuhan positif luas panen padi
dalam kondisi 10 tahun terakhir rata-rata
mencapai 1,93%/tahun. Perkembangan luas
panen padi tersebut menunjukan kondisi
yang cukup menjanjikan dalam menjamin
kemampuan produksi padi di Propinsi
Lampung.
Produksi padi juga menunjukkan
peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan
6
mencapai 4,13%/tahun. Penurunan produksi
dalam kurun waktu terakhir hanya terjadi
pada tahun 2002, selebihnya menunjukkan
perkembangan
peningkatan
produksi,
bahkan sangat tajam pada tahun 2000, 2004,
2007, dan 2009. Kemampuan produktivitas
padi
di
Propinsi
Lampung
juga
menunjukkan perkembangan positif setiap
tahunnya, meskipun dengan kisaran yang
relatif
kecil.
Rata-rata pertumbuhan
produktivitas padi mencapai 2,19%/tahun.
Berbagai upaya peningkatan produktivitas
terus dilakukan sebagai bagian tak
terpisahkan dari pencapaian produksi padi
nasional.
Berdasarkan kondisi konversi inputoutput rata-rata 50-55% untuk beras kualitas
premium dan 67% untuk beras kualitas
standar (data lapang) maka produksi beras di
Propinsi Lampung selanjutnya dapat
diperhitungkan besarannya (Tabel 4).
J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011
Tabel 4. Konversi produksi beras di Propinsi Lampung tahun 1999-2009
Tahun
Produksi padi (ton)
Konversi produksi beras (67%*) (ton)
1999
1,801,422
1,206,952.74
2000
1,946,406
1,304,092.02
2001
1,992,726
1,335,126.42
2002
1,951,109
1,307,243.03
2003
1,966,293
1,317,416.31
2004
2,091,966
1,401,617.22
2005
2,124,144
1,423,176.48
2006
2,129,194
1,426,559.98
2007
2,308,404
1,546,630.68
2008
2,341,075
1,568,520.25
2009
Ratarata/tahun
2,673,844
1,791,475.48
2,120,598
1,420,800.96
Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat
bahwa rata-rata kemampuan produksi beras
Propinsi Lampung mencapai 1,4 juta ton per
tahun. Peningkatan produksi beras terjadi
secara signifikan dalam kondisi tiga tahun
terakhir, bahkan pada tahun 2009 mampu
mencapai 1,8 juta ton. Hal ini menunjukkan
bahwa kemampuan produksi beras Propinsi
Lampung sangat memadai dalam memenuhi
kebutuhan
pangan
masyarakatnya.
Penduduk Propinsi Lampung pada tahun
2009 mencapai 7.491.943 jiwa. Dengan
asumsi konsumsi per kapita rata-rata sebesar
139 kg/tahun (BPS Indonesia, 2010) berarti
kebutuhan konsumsi beras di Propinsi
Lampung mencapai 1,041 juta ton atau
masih terdapat surplus.
Namun faktanya inflasi hingga Maret
2011 mencapai 1,11% sehingga menurut BI
Cabang Bandar Lampung (2011) inflasi
tahun 2011 diprediksikan mencapai 8,149,14% (yoy). Beras merupakan komoditas
pangan dengan bobot inflasi yang tertinggi
dalam kelompok bahan pangan penyumbang
inflasi terbesar di Propinsi Lampung (BPS
Propinsi Lampung, 2010). Kondisi tersebut
menjadi indikator terjadinya sumbatansumbatan persoalan produksi dan distribusi
beras
di
Propinsi
Lampung
yang
menyebabkan terjadinya fluktuasi harga
beras pada tahun 2010 hingga situasi
pertengahan tahun 2011.
Menurut BI Cabang Bandar Lampung
(2011) dari 76% beras produksi pabrik
J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011
penggilingan padi di Propinsi Lampung
disalurkan ke pasar lokal sedangkan 27,73%
dialokasikan ke luar Propinsi Lampung
seperti: Bengkulu, Riau, dan Padang.
Kondisi ini menunjukkan adanya persoalan
distribusi beras yang dapat mengganggu
kondisi ketersediaan dan pasokan beras bagi
kebutuhan konsumsi lokal.
Efisiensi Tataniaga Beras
Berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa saluran tataniaga beras membentuk
empat macam saluran, yaitu:
1. Saluran tataniaga yang pertama
melibatkan seluruh lembaga tataniaga
yang terlibat dalam tataniaga beras
mencapai 62% dari keseluruhan
responden
2. Saluran tataniaga yang kedua tidak
melibatkan pedagang besar mencapai
16% dari keseluruhan responden.
3. Saluran tataniaga yang ketiga tidak
melibatkan
pedagang
pengecer,
mencapai 7% dari seluruh responden
menempuh jalur ini.
4. Saluran tataniaga yang keempat tidak
melibatkan pedagang pengumpul desa.
Responden yang terlibat dalan saluran
ini mencapai 15%.
Umumnya responden rumah tangga
lebih banyak berhubungan dengan pedagang
pengecer. Keterlibatan pedagang pengecer
beras lebih banyak berfungsi sebagai
lembaga
yang
menjembatani
antara
7
konsumen
dengan
pedagang
besar.
Keuntungan kotor rata-rata yang diperoleh
pedagang pedagang pengecer mencapai Rp
500,00 per kilogram. Sebagian besar
responden (62%) lebih memilih saluran
tataniaga pertama, dan hanya 7% responden
yang memilih saluran tataniaga ketiga.
Terbentuknya beberapa saluran tataniaga
beras menyebabkan terjadinya keberagaman
harga di tingkat konsumen.
Konsekuensi lebih lanjut, sering
ditemui fakta bahwa pedagang pengecer
cenderung untuk menaikkan harga jual
berasnya ke konsumen, sehingga harga beras
di tingkat pedagang pengecer cenderung
tinggi dan tetap. Faktor penentuan harga jual
di tingkat pedagang pengecer ditentukan
oleh: (1) harga pembelian, (perolehan); (2)
biaya angkut; (3) kualitas; dan (4) kondisi
cuaca/iklim (kondisi panen, normal,
paceklik).
Sementara itu, pedagang besar beras
di Bandar Lampung umumnya memperoleh
pasokan beras dari Talang Padang,
Pringsewu, Gading Rejo, Gedong Tataan,
Way Lunik, Metro, Punggur, dan Kalianda.
Para pemasok tersebut sudah memiliki
hubungan baik dengan para pedagang besar
beras di Kota Bandar Lampung, umumnya
para pedagang besar beras membayar
dengan cara konsinyasi. Margin yang
diterima pedagang besar beras berasal dari
komponen-komponen
biaya
yang
8
dikeluarkannya, yaitu terdiri dari (1) Biaya
bongkar Rp 2000/kw; (2) Kemasan Rp
40.000-250.000; (3) Tenaga Kerja
Rp
35.000-50.000 per hari; (4) Sewa kios Rp
166.000-1.000.000 per bulan; (5) Listrik
dan telpon Rp 55.000-200.000; dan (6)
Retribusi Rp 40.000-90.000 per bulan.
Rincian secara lengkap tentang analisis
marjin pemasaran tersaji pada Tabel 5.
Selisih harga antara harga jual petani
dengan pelaku pasar yang terlibat dalam
tataniaga disebut margin tataniaga. Marjin
tataniaga berpengaruh langsung terhadap
pembentukan harga di tingkat petani padi.
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa petani padi
tidak mengeluarkan biaya pemasaran. Hal
ini terjadi karena pedagang pengumpul desa
yang datang langsung ke petani padi untuk
membeli gabah kering panen. Pabrik
penggilingan beras yang mendapatkan
marjin pemasaran yang paling tinggi
dibandingkan pelaku pasar lainnya, yaitu Rp
975,00/kg. Hal ini dikarenakan pabrik
penggilingan padi yang menciptakan nilai
tambah dari gabah, sehingga pihak
penggilingan padi yang dapat menentukan
harga jual beras. Besarnya bagian harga
yang diterima petani padi, marjin
pemasaran, marjin keuntungan (profit
marjin), dan ratio profit marjin pemasaran
beras di Provinsi Lampung tersaji pada
Tabel 5.
J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011
Tabel 5. Analisis Marjin Tataniaga Beras di Provinsi Lampung
No.
1
2
3
4
4
Uraian
Petani Padi Sawah
Harga jual (GKP)
Pedagang Pengumpul Desa
Biaya Pemasaran:
- Pengemasan
- Muat
- Angkut
- Penyusutan
- Bongkar
- Lain-lain
Harga Jual (GKG)
Marjin Pemasaran
Profit Marjin
Pabrik Penggilingan Beras
(rendemen 67%)
Harga beli gabah GKP 1,5kg
Biaya Prosesing
Biaya tenaga kerja
Biaya angkut
Biaya kemasan
Biaya lain-lain
Harga jual beras
Marjin Pemasaran
Profit Marjin
Pedagang Besar Beras
Biaya Pemasaran
- Bongkar
- Kemasan
- Tenaga kerja
- Sewa kios
- Listrik/telepon
- Retribusi
- Lain-lain
Harga jual beras
Marjin Pemasaran
Profit Marjin
Pedagang Pengecer
Biaya pemasaran:
- Kemasan
- Angkut
- Bongkar
- Tenaga kerja
- Retribusi
- Lain-lain
Harga Jual
Marjin Pemasaran
Profit Marjin
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa Nilai
Rasio Profit Marjin (RPM) tertinggi ada
pada pedagang pengecer, yaitu sebesar Rp
2,125/kg beras. Hal ini berarti setiap Rp1,00
biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan
keuntungan sebesar Rp2,125/kg beras. Nilai
RPM yang tinggi dikarenakan keuntungan
yang didapat pedagang pengecer lebih tinggi
J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011
Harga (Rp/kg)
Share (%)
RPM
2.750
36,67
10
50
100
5
50
417
3.550
800
168
0,13
0,67
1,33
0,07
0,67
5,56
47,33
10,67
2,24
0,2658
5.325
96
50
80
140
100
6.300
975
509
71
1,28
0,67
1,07
1,87
1,33
84
13
6,79
1,0922
20
35
50
75
15
7
35
7.200
700
463
0,27
0,47
0,67
1,00
0,2
0,09
0,47
96
9,33
6,17
1,9536
15
35
15
40
10
45
7.500
500
340
0,20
0,47
0,2
0,53
0,13
0,60
100
6,67
4,53
2,1250
dari biaya yang dikeluarkannya. Pedagang
pengecer beras hanya mengeluarkan biaya
kemasan sebesar Rp15,00/kg beras, biaya
angkut sebesar 35,00/kg, biaya bongkar
sebesar Rp15,00/kg, biaya tenaga kerja
sebesar Rp40,00/kg, biaya retribusi sebesar
Rp10,00/kg dan biaya lain-lain sebesar
Rp45,00/kg. Berdasarkan kondisi tersebut
9
dapat dilihat bahwa bagian harga yang
diterima petani produsen relatif rendah,
yaitu hanya mencapai 36,67% (<60%) dan
nilai RPM menyebar tidak merata, maka
dapat disimpulkan bahwa saluran tataniaga
yang dihadapi relatif tidak efisien. Distribusi
marjin tataniaga dan nisbah marjin
keuntungan pada masing-masing lembaga
tataniaga beras tidak merata, sehingga dapat
dikatakan bahwa saluran pemasaran beras di
Provinsi Lampung belum efisien. Sistem
tataniaga beras belum efisien dalam artian
belum mampu memberikan bagian yang adil
bagi petani produsen dari keseluruhan harga
yang dibayar konsumen dibandingkan
dengan lembaga tataniaga lain yang terlibat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Kondisi produksi beras di Propinsi
Lampung rata-rata per tahun lebih besar
daripada
kebutuhan
konsumsinya
(surplus). Sistem produksi komoditas
padi sudah berjalan secara efektif.
Secara umum produsen padi telah
menerapkan teknik budidaya yang baik
dan benar.
2. Berdasarkan kondisi bagian harga yang
diterima petani produsen relatif rendah,
yaitu hanya mencapai 36,67% (<60%)
dan nilai RPM menyebar tidak merata,
maka dapat disimpulkan bahwa saluran
tataniaga beras yang dihadapi relatif
tidak efisien. Distribusi marjin tataniaga
dan nisbah marjin keuntungan pada
masing-masing lembaga tataniaga beras
tidak merata, sehingga dapat dikatakan
bahwa saluran pemasaran beras di
Provinsi Lampung belum efisien.
3. Terdapat alokasi mencapai 27,735%
beras Lampung yang didistribusikan ke
luar Lampung (Bengkulu, Riau,
Padang) turut menyebabkan kondisi
ketersediaan pasokan beras di pasaran
dan masyarakat sulit terdeteksi yang
lebih lanjut menyebabkan fluktuasi
harga.
Saran
1. Pemerintah daerah perlu memperbaiki
kondisi infrastruktur jalan yang ada di
seluruh wilayah Lampung.
2. Perlu ada tim pemantau mobilitas
komoditas tentang keluar masuknya
10
3.
4.
komoditas beras yang berkontribusi
dalam inflasi daerah.
Pemerintah daerah perlu memberikan
bantuan permodalan bagi para produsen
padi, agar pasokan produksi dapat
terjamin.
Perlu ada insentif khusus bagi petani
petani padi yang mampu memperoleh
produktivitas usahanya di atas rata-rata
nasional, berupa insentif harga jual,
insentif sarana produksi, dan kemudahan memperoleh kredit program.
DAFTAR PUSTAKA
Agus. 2002. Integrasi Pasar Dalam Sistem
Pemasaran Cabai Merah di
Propinsi Lampung. Jurnal Penelitian
Pertanian
Terapan.
UPPM
Politeknik
Negeri
Lampung.
Volume V No. 1 Januari 2005.
Azzaino,
Zulkifli.
1980.
Pengantar
Tataniaga Pertanian. Departemen
Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas
Pertanian IPB. Bogor.
Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung.
2010. Lampung Dalam Angka.
Pemerintah
Daerah
Propinsi
Lampung. Bandar Lampung.
BI Cabang Bandar Lampung. 2011. Point of
Meeting Tim Teknis TPID Propinsi
Lampung. Bandar Lampung.
BPS Indonesia. 2010. Statistik Indonesia.
Biro Pusat Statistik. Jakarta
Budiono, 1994. Ekonomi Moneter Seri
Senopsis Pengantar Ilmu Ekonomi.
No.2. BPFE: Yogyakarta.
Hasyim, Ali Ibrahim. 2000. Struktur dan
Keterkaitan Pasar Lada Dunia:
Suatu Kajian Empiris. Sosio
Ekonomika. Jurnal Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian.Volume 6 No. 2.
Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi
Pertanian. LP3ES. Jakarat.
J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011
Saefudin dan Hanafiah, 1982. Tataniaga
Hasil
Pertanian.
Universitas
Indonesia. Jakarta.
J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011
11