Academia.eduAcademia.edu

Produksi Dan Tataniaga Beras DI Propinsi Lampung

2011

The objective of this research is investigation the rice production system and distribution chain efficiency in Lampung Province. Respondent sample were taken by purposive and snowball sampling, involved 38 people as farmers and trader in any level. Rice production centre in Pringsewu and Tanggamus Regency, and also Bandar Lampung city as trading centre were choosen as location. Descriptive analysis applied in appraisal the rice production system and distribution chain. The result performed that the rice production in average of years was higher than rice consumption (surplus) in Lampung Province. The rice production system at producent level also performed in good condition. The rice distribution chain tended to inefficient condition because the traders in country level get more benefit than others. The fact that 23,735% rice stock from Lampung distributed to others area such as Bengkulu, Padang, and Riau cause the rice stock in market and society hard to identify and then could be...

PRODUKSI DAN TATANIAGA BERAS DI PROPINSI LAMPUNG Fitriani1, Hanung Ismono2, Novi Rosanti2 1 Staf Pengajar Politeknik Negeri Lampung Jl. Soekarno Hatta No. 1 Rajabasa Bandarlampung, 35145 , Lampung Email: [email protected] 2 Universitas Lampung (UNILA) Jl. Soemantri Brojo Negoro No. 1 Bandar Lampung Email: [email protected]; novirosanti.as@gmail ABSTRACT The objective of this research is investigation the rice production system and distribution chain efficiency in Lampung Province. Respondent sample were taken by purposive and snowball sampling, involved 38 people as farmers and trader in any level. Rice production centre in Pringsewu and Tanggamus Regency, and also Bandar Lampung city as trading centre were choosen as location. Descriptive analysis applied in appraisal the rice production system and distribution chain. The result performed that the rice production in average of years was higher than rice consumption (surplus) in Lampung Province. The rice production system at producent level also performed in good condition. The rice distribution chain tended to inefficient condition because the traders in country level get more benefit than others. The fact that 23,735% rice stock from Lampung distributed to others area such as Bengkulu, Padang, and Riau cause the rice stock in market and society hard to identify and then could be the reason to price instability. Key words: rice production, rice distribution chain, stock PENDAHULUAN Istilah tataniaga di negara kita diartikan sama dengan tataniaga atau distribusi, yaitu semacam kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan barang dari produsen ke konsumen. Kegiatan produksi, tataniaga, dan konsumsi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu sama lainnya. Lembaga tataniaga merupakan penghubung antara produsen dan konsumen (Mubyarto, 1989). Fungsi lembaga tataniaga berbeda satu sama lainnya dan dicirikan oleh adanya aktifitas yang dilakukan dalam kegiatan tataniaga yaitu pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutan. Adanya perbedaan ini menyebabkan biaya dan keuntungan tataniaga menjadi berbeda di tiap lembaga tataniaga. Lebih lanjut, kondisi tersebut menyebabkan kenyataan bahwa di tiap tingkatan lembaga tataniaga pada dasarnya memiliki kekuatan permintaan dan penawaran sendiri. Sistem tataniaga dikatakan efisien dalam artian memberikan bagian yang adil J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011 bagi setiap lembaga tataniaga yang terlibat diindikasikan oleh kemampuan sistem tataniaga tersebut dalam menyampaikan produksi dari produsen ke konsumen dengan biaya minimal dan mampu mengadakan pembagian yang adil terhadap keseluruhan harga yang dibayar konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut serta dalam kegiatan produksi dan tataniaga komoditas tersebut. Tataniaga yang efisien juga menjadi cerminan stabilitas harga antar lini tataniaga. Fluktuasi harga komoditas strategis yang berbeda terlalu tajam antar lembaga dapat menjadi penyebab terjadinya inflasi. Kenaikan harga-harga barang secara umum dan terus menerus, terutama komoditas strategis seperti beras menjadi pemicu inflasi baik secara lokal maupun nasional. Inflasi dapat disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu inflasi karena tarikan permintaan dan inflasi karena tarikan penawaran (produksi). Inflasi berdampak negatif terhadap pelaksanaan pembangunan dan kepastian keadaan ekonomi di masa yang akan datang. Ekonomi dan penanaman 1 modal cenderung ke arah spekulatif. Inflasi juga menyebabkan produk ekspor tidak dapat bersaing. Selain itu, inflasi juga menurunkan pendapatan riil masyarakat berpendapatan tetap dan lebih lanjut akan mengakibatkan merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Inflasi yang terjadi di Lampung selama tahun 2010 cukup tinggi dibanding wilayah lain dan nasional. Pada bulan Oktober 2010 inflasi Lampung mencapai 0,7%, lebih tinggi dari inflasi nasional pada bulan yang sama sebesar 0,06%. Kelompok bahan pangan merupakan salah satu penyumbang inflasi terbesar. Hal ini antara lain disebabkan sebagai akibat terjadinya berbagai hambatan pada sisi produksi maupun distribusi. Berdasarkan pengamatan terhadap berbagai komoditas yang diperdagangkan terdapat berapa komoditas bahan pangan yang cenderung secara konsisten berkontribusi besar terhadap inflasi. Komoditas pangan dengan bobot inflasi yang tinggi tersebut adalah: beras, cabai merah, telur ayam ras, dan daging sapi (BPS Propinsi Lampung, 2010). Kondisi ketidakstabilan harga-harga komoditas antara lain disebabkan oleh faktor-faktor seperti: persoalan dalam sistem produksi, climate change yang mengganggu sistem produksi dan tataniaga, gangguan distribusi produk, dan persoalan struktur pasar pada masing-masing lembaga tataniaga. Selain juga persoalan dalam kebijakan daerah dan pembenahan infrastruktur jalan (BI Cabang Lampung, 2011). Berdasarkan kondisi tersebut di atas, aktivitas penelusuran terhadap kegiatan produksi dan distribusi komoditas beras perlu dilakukan guna mengetahui simpulsimpul hambatan dan permasalahan yang menyebabkan ketidakstabilan harga-harga pada sistem tataniaga tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendapatkan informasi mengenai kondisi produksi beras dan 2) mendapatkan informasi efisiensi tataniaga beras di Propinsi Lampung. METODE PENELITIAN Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) di Kecamatan Ambarawa Kabupaten Pringsewu dan Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus 2 sebagai salah satu sentra produksi beras serta Kota Bandar Lampung sebagai pusat perdagangan di Propinsi Lampung. Pelaksanaan penelitian selama 3 bulan mulai bulan Desember 2010 sampai Februari 2011. Sampel penelitian diambil dari berbagai pihak, yaitu petani produsen, pelaku tataniaga di tingkat pasar desa, kecamatan, dan kabupaten/kota secara sengaja (purposive) dan snowball sampling atas dasar jumlah pelaku produksi dan distribusi beras dari tingkat desa hingga ke pedagang besar dan pengecer. Jumlah sampel penelitian sebanyak 38 orang responden mulai dari hulu sampai hilir (petani/produsen, pedagang pengumpul, pelaku pengolahan/pabrik penggilingan padi hingga pedagang pengecer). Data yang dibutuhkan untuk penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Alat Analisis yang digunakan meliputi: 1. Kondisi produksi dan data hasil rekapitulasi data awal akan dianalisis menggunakan análisis statistik deskiptif. 2. Kondisi efisiensi tataniaga beras menggunakan pendekatan Ratio Profit Margin (RPM). dengan formula sebagai berikut: mji = Psi - Pbi atau mji = bti + πi menjadi Total margin pemasaran mji = ∑ mji atau mj = Pr - Pf πi Rasio Profit Margin (RPM) = ------bti Keterangan: mji = margin pemasaran pada lembaga pemasaran tingkat ke-i Psi = harga jual pada lembaga pemasaran tingkat ke-i Pbi = harga beli pada lembaga pemasaran tingkat ke-i bti = biaya pemasaran pada lembaga pemasaran tingkat ke-i πi = keuntungan lembaga pemasaran tingkat ke-i mj = total margin pemasaran Pr = harga pada konsumen akhir Pf = harga pada tingkat produsen J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011 Apabila bagian harga yang diterima petani produsen rendah (<60%) dan nilai RPM menyebar tidak merata, maka saluran pemasaran yang dihadapi relatif tidak efisien. HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem Produksi Padi Petani padi sawah di sentra produksi Adiluwih dan Gisting rata-rata telah berpengalaman selama 16 tahun. Pengalaman paling lama selama 50 tahun dan paling baru sebanyak 2 tahun. Pengalaman usahatani tersebut menggambarkan bahwa sebagian besar responden (80%) merupakan pelaku usahatani padi sawah yang telah berpengalaman lebih dari 5 tahun. Kondisi tersebut juga mencerminkan bahwa petani telah memiliki pengalaman usahatani padi secara memadai. Pengalaman usaha akan mempengaruhi tingkat keterampilan manajemen dan lebih lanjut akan mempengaruhi tingkat pengambilan keputusan usaha. Pengalaman merupakan sumber belajar yang sangat baik dalam memperbaiki kualitas usaha. Umumnya petani memiliki aset usahatani berupa tanah, mesin pertanian berupa traktor tangan dan sedot air, serta peralatan berupa: cangkul, sabit, dan penyemprot. Tanah merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting. Para petani dapat mengusahakan berbagai komoditi pertanian yang sesuai dengan jenis tanah yang akan ditanami. Luas kepemilikan tanah petani umumnya berupa sawah, kebun, dan tegalan. Rata-rata kepemilikan sawah seluas 0,88 ha, dan kebun 0,75 ha. Status penguasaan lahan sebagian besar adalah hak milik. Tanah yang dijadikan lahan penanaman padi umumnya adalah sawah. Luas tanam rata-rata penanaman padi di daerah penelitian adalah 0,88 ha. Pola tanam yang dilakukan petani padi sawah antara lain meliputi dua pola dalam satu tahun. Secara umum petani dalam satu tahun di daerah sentra produksi Talang Padang, yaitu: padi—padi dan padi—sayur mayur. Pola tanam berorientasi pada komoditas monokultur, hanya sebagian kecil petani yang melakukan pergantian dengan sayur mayur. Kondisi tersebut menggambarkan intensitas penanaman padi rata-rata dilakukan dua kali dalam satu tahun. Berati terdapat masa dimana lahan sawah berada dalam kondisi bera dan tidak digunakan untuk usahatani komoditas ekonomis. Berdasarkan kondisi tersebut dapat dilihat bahwa pola tanam yang berlangsung dalam satu tahun belum menggambarkan rotasi tanaman yang cukup memadai untuk keberlangsungan dan keberlanjutan lahan yang lebih lestari. Pilihan jenis tanaman juga menunjukkan petani telah lebih berorientasi pada komoditas pangan dan belum optimal mengintensifkan lahan untuk komoditas yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Akibatnya alternatif sumber pendapatan petani kurang beragam dalam menghadapi resiko kegagalan usaha. Pengeluaran (biaya) dalam usahatani padi sawah meliputi pengeluaran untuk membeli sarana produksi dan upah tenaga kerja di luar keluarga (pengeluaran tunai). Sarana produksi usahatani padi meliputi: benih, pupuk kandang dan kimia (NPK, SP36, KCl), pestisida, fungisida, dan herbisida. Kebutuhan biaya produksi padi untuk luas penanaman konversi 1 ha secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rincian kebutuhan biaya produksi padi, 2010 Komponen Biaya Produksi Persiapan lahan Konversi kebutuhan 1 ha (Rp) Proporsi biaya (%) 1,100,789 8,52 Benih 330,966 2,56 Pupuk 10,023,082 77,60 87,642 0.68 1,373,977 10,64 12,916,457 100 Pestisida, fungisida, & Herbisida Tenaga Kerja Total Biaya Produksi J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011 3 Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa besarnya biaya pupuk merupakan komponen biaya utama dalam produksi padi rata-rata mencapai 77,6% dari total biaya produksi. Komponen biaya tenaga kerja juga berkontribusi cukup tinggi, yaitu mencapai 9-10%. Besarnya biaya produksi usahatani padi seringkali menjadi hambatan bagi petani yang memiliki keterbatasan modal usaha pertanian. Meskipun telah tersedia berbagai skema kredit usahatani dengan tingkat pengembalian bunga modal yang rendah, namun tidak semua petani dapat mengakses pinjaman modal tersebut. Rata-rata produksi padi yang dihasilkan petani pada musim tanam I mencapai 4,9 ton/ha/musim. Pada musim tanam II produksinya mencapai 4,02 ton/ha. Sementara harga padi pada saat produksi I rata-rata Rp 2.650,-/kg dan Rp 2.680,-/kg pada produksi II. Dengan demikian besarnya penerimaan petani dari usahatani beras sebesar Rp 21.437.318,75,-/0,88 ha/musim atau Rp 24.360.589,49,-/ha/musim. Tujuan usahatani padi secara umum pada akhirnya adalah untuk memperoleh pendapatan dan tingkat keuntungan yang layak dari usahataninya. Kegairahan petani untuk meningkatkan kualitas produksinya akan terjadi selama harga produk berada di atas biaya produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan total usahatani padi sebesar Rp 10.938.744,84,-/ha/musim. Secara rinci tingkat produksi, penerimaan, dan pendapatan usahatani padi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rincian produksi, penerimaan dan pendapatan usahatani padi, 2010 Uraian Satuan Produksi I (kg) 4,908.70 Produksi II (kg) 4,027.49 Harga jual I (Rp/kg) 2.650,00 Harga jual II (Rp/kg) Penerimaan (Rp) 24,360,589.49 Total Biaya Produksi (Rp) 13,421,844.65 Pendapatan I (Rp) 10,938,744.84 Pendapatan II (Rp) 12,916,457.00 R/C Berdasarkan Tabel 2 terlihat nilai R/C ratio usahatani cabe merah/usahatani/musim sebesar 1,81. Hal ini berarti setiap Rp 1,00 biaya yang diinvestasikan untuk usahatani padi akan memberikan penerimaan sebesar Rp 1,81 sehingga dapat dijelaskan bahwa usahatani padi tersebut layak diusahakan. Menurut Soekartawi (1995) apabila nilai R/C ratio > 1 maka usahatani tersebut layak diusahakan. Oleh karena itu keputusan yang diambil oleh petani tepat dan usahatani padi tetap diusahakan. Kondisi sistem usahatani padi yang dilakukan petani secara umum di daaerah sentra produksi telah berjalan secara baik. Petani sudah menerapkan teknologi usahatani padi secara baik dan benar. Penggunaan benih dan pupuk juga sudah sesuai dengan rekomendasi yang diberikan 4 Konversi 1 ha 2.680,00 1.81 oleh pihak penyuluh pertanian. Meskipun petani padi di daerah sentra produksi masih menghadapi kendala rendahnya produktivitas produksi padi, yaitu baru mencapai 4,9 ton/ha pada musim tanam I dan hanya 4,02 pada musim tanam II. Perbaikan teknik budidaya padi menggunakan berbagai teknologi baru penting dilakukan untuk dapat meningkatkan produktivitas dan intensitas penanaman padi pada daerah-daerah sentra produksi. Petani padi menggantungkan sumber pendapatannya secara dominan terhadap usahatani padi. Intensitas penanaman padi rata-rata dilakukan dua kali dalam satu tahun. Berarti terdapat masa di mana lahan sawah berada dalam kondisi bera dan tidak digunakan untuk usahatani komoditas J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011 ekonomis. Pilihan jenis tanaman juga menunjukkan petani telah lebih berorientasi pada komoditas pangan dan belum optimal mengintensifkan lahan untuk komoditas yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Akibatnya alternatif sumber pendapatan petani kurang beragam dalam menghadapi resiko kegagalan usaha. Akibat tuntutan kebutuhan hidup rumah tangga petani, produksi padi yang dihasilkan umumnya akan langsung dijual dalam kondisi gabah kering panen dan harga yang diterima relatif sangat rendah. Petani membutuhkan segera hasil penjualan padi yang dihasilkannya untuk menutupi kebutuhan biaya produksi padi dan kebutuhan hidup keluarganya. Sarana produksi usahatani padi meliputi: benih, pupuk kandang dan kimia (NPK, SP36, KCl), pestisida, fungisida, dan herbisida rata-rata mencapai Rp 12,916,457/ha. Besarnya biaya produksi usahatani padi seringkali menjadi hambatan bagi petani yang memiliki keterbatasan modal usaha pertanian. Meskipun telah tersedia berbagai skema kredit usahatani dengan tingkat pengembalian bunga modal yang rendah, namun tidak semua petani dapat mengakses pinjaman modal tersebut. Rumah tangga petani padi tidak memiliki pilihan, orientasi jangka pendek yaitu hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarganya saat itu, sekarang, dan tidak dapat lagi mengalokasikan untuk saving bagi kelangsungan selanjutnya. Harga jual yang sangat rendah akibat petani menjual dalam kondisi gabah kering panen menjadi persoalan kompleks yang dihadapi petani padi. Petani memerlukan dana tunda jual untuk dapat meningkatkan nilai tambah dengan melakukan pasca produksi dan penyimpanan pada produksi padi yang dihasilkan. Fluktuasi dan ketidakpastian harga yang sangat rendah pada sisi penjualan merupakan fenomena musiman yang J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011 seringkali merugikan petani padi. Akses petani terhadap informasi harga jual padi di berbagai tingkat lembaga tataniaga sangat terbatas. Perbedaan harga jual tersebut seringkali tidak dapat diketahui petani dengan cepat. Asimetri informasi harga jual padi yang terjadi merupakan faktor mendasar penyebab fluktuasi harga yang seringkali merugikan petani padi. Selain itu, peran industri pengolahan (pabrik beras/PB) juga penting dalam menentukan harga jual padi di tingkat petani. Industri pengolahan beras umumnya berlokasi jauh dari daerah sentra produksi padi. Akibatnya biaya transportasi yang dikeluarkan oleh para pedagang perantara dan industri pengolahan padi (PB) semakin menekan harga jual yang diterima petani menjadi semakin rendah. Infrastruktur jalan yang rusak parah yang harus ditempuh dalam menyalurkan padi dari daerah sentra produksi ke lokasi industri pengolahan padi (PB) menyebabkan intensitas pengiriman menjadi berkurang (memerlukan waktu yang relatif lebih lama untuk setiap kali pengiriman) dan meningkatnya biaya transportasi. Hal ini juga turut menekan harga padi di tingkat petani. Produksi Beras Propinsi Lampung Propinsi Lampung, sebagai salah satu daerah penghasil padi terus berupaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi. Pada tahun 2009, luas panen mencapai 570.417 ha dengan produksi padi mencapai 2.673.844 ton. Produktivitas rata-rata produksi padi di Propinsi Lampung baru mencapai 4,69 ton/ha. Produktivitas padi tersebut masih tergolong rendah dibandingkan dengan kondisi produktivitas potensialnya yang dapat mencapai 7 ton/ha (BPS Propinsi Lampung, 2010). Kondisi perkembangan luas panen, produksi, produktivitas padi di Propinsi Lampung dalam kurun waktu 10 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 3. 5 Tabel 3. Perkembangan luas panen, produksi, produktivitas padi di Propinsi Lampung Tahun 1999—2009 Pertumbuhan (%)/tahun Tahun Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha) Luas panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha) 1999 476,799 1,801,422 3.78 2000 496,650 1,946,406 3.92 4.16 8.05 3.73 2001 501,118 1,992,726 3.98 0.90 2.38 1.47 2002 475,461 1,951,109 4.10 -5.12 -2.09 3.20 2003 472,635 1,966,293 4.16 -0.59 0.78 1.38 2004 495,519 2,091,966 4.22 4.84 6.39 1.48 2005 496,538 2,124,144 4.28 0.21 1.54 1.33 2006 494,102 2,129,194 4.31 -0.49 0.24 0.73 2007 524,955 2,308,404 4.40 6.24 8.42 2.04 2008 506,547 2,341,075 4.62 -3.51 1.42 5.10 2009 570,417 2,673,844 Ratarata/tahun 500,976 2,120,598 Sumber: BPS Propinsi Lampung, 2010 4.69 12.61 14.21 1.43 4.22 1.93 4.13 2.19 Kondisi luas panen padi di Propinsi Lampung cenderung mengalami fluktuasi. Penurunan pertumbuhan luas panen padi pernah terjadi pada tahun 2002, 2003, 2006, dan 2008. Persoalan alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan pengembangan ekonomi baru merupakan ancaman serius yang perlu mendapat perhatian, karena berpotensi mengurangi lahan-lahan produktif untuk tanaman padi. Kondisi luas panen padi secara umum menunjukkan peningkatan, bahkan pertumbuhan secara tajam mencapai 12,61% terjadi pada tahun 2009. Pertumbuhan positif luas panen padi dalam kondisi 10 tahun terakhir rata-rata mencapai 1,93%/tahun. Perkembangan luas panen padi tersebut menunjukan kondisi yang cukup menjanjikan dalam menjamin kemampuan produksi padi di Propinsi Lampung. Produksi padi juga menunjukkan peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan 6 mencapai 4,13%/tahun. Penurunan produksi dalam kurun waktu terakhir hanya terjadi pada tahun 2002, selebihnya menunjukkan perkembangan peningkatan produksi, bahkan sangat tajam pada tahun 2000, 2004, 2007, dan 2009. Kemampuan produktivitas padi di Propinsi Lampung juga menunjukkan perkembangan positif setiap tahunnya, meskipun dengan kisaran yang relatif kecil. Rata-rata pertumbuhan produktivitas padi mencapai 2,19%/tahun. Berbagai upaya peningkatan produktivitas terus dilakukan sebagai bagian tak terpisahkan dari pencapaian produksi padi nasional. Berdasarkan kondisi konversi inputoutput rata-rata 50-55% untuk beras kualitas premium dan 67% untuk beras kualitas standar (data lapang) maka produksi beras di Propinsi Lampung selanjutnya dapat diperhitungkan besarannya (Tabel 4). J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011 Tabel 4. Konversi produksi beras di Propinsi Lampung tahun 1999-2009 Tahun Produksi padi (ton) Konversi produksi beras (67%*) (ton) 1999 1,801,422 1,206,952.74 2000 1,946,406 1,304,092.02 2001 1,992,726 1,335,126.42 2002 1,951,109 1,307,243.03 2003 1,966,293 1,317,416.31 2004 2,091,966 1,401,617.22 2005 2,124,144 1,423,176.48 2006 2,129,194 1,426,559.98 2007 2,308,404 1,546,630.68 2008 2,341,075 1,568,520.25 2009 Ratarata/tahun 2,673,844 1,791,475.48 2,120,598 1,420,800.96 Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa rata-rata kemampuan produksi beras Propinsi Lampung mencapai 1,4 juta ton per tahun. Peningkatan produksi beras terjadi secara signifikan dalam kondisi tiga tahun terakhir, bahkan pada tahun 2009 mampu mencapai 1,8 juta ton. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan produksi beras Propinsi Lampung sangat memadai dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya. Penduduk Propinsi Lampung pada tahun 2009 mencapai 7.491.943 jiwa. Dengan asumsi konsumsi per kapita rata-rata sebesar 139 kg/tahun (BPS Indonesia, 2010) berarti kebutuhan konsumsi beras di Propinsi Lampung mencapai 1,041 juta ton atau masih terdapat surplus. Namun faktanya inflasi hingga Maret 2011 mencapai 1,11% sehingga menurut BI Cabang Bandar Lampung (2011) inflasi tahun 2011 diprediksikan mencapai 8,149,14% (yoy). Beras merupakan komoditas pangan dengan bobot inflasi yang tertinggi dalam kelompok bahan pangan penyumbang inflasi terbesar di Propinsi Lampung (BPS Propinsi Lampung, 2010). Kondisi tersebut menjadi indikator terjadinya sumbatansumbatan persoalan produksi dan distribusi beras di Propinsi Lampung yang menyebabkan terjadinya fluktuasi harga beras pada tahun 2010 hingga situasi pertengahan tahun 2011. Menurut BI Cabang Bandar Lampung (2011) dari 76% beras produksi pabrik J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011 penggilingan padi di Propinsi Lampung disalurkan ke pasar lokal sedangkan 27,73% dialokasikan ke luar Propinsi Lampung seperti: Bengkulu, Riau, dan Padang. Kondisi ini menunjukkan adanya persoalan distribusi beras yang dapat mengganggu kondisi ketersediaan dan pasokan beras bagi kebutuhan konsumsi lokal. Efisiensi Tataniaga Beras Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa saluran tataniaga beras membentuk empat macam saluran, yaitu: 1. Saluran tataniaga yang pertama melibatkan seluruh lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga beras mencapai 62% dari keseluruhan responden 2. Saluran tataniaga yang kedua tidak melibatkan pedagang besar mencapai 16% dari keseluruhan responden. 3. Saluran tataniaga yang ketiga tidak melibatkan pedagang pengecer, mencapai 7% dari seluruh responden menempuh jalur ini. 4. Saluran tataniaga yang keempat tidak melibatkan pedagang pengumpul desa. Responden yang terlibat dalan saluran ini mencapai 15%. Umumnya responden rumah tangga lebih banyak berhubungan dengan pedagang pengecer. Keterlibatan pedagang pengecer beras lebih banyak berfungsi sebagai lembaga yang menjembatani antara 7 konsumen dengan pedagang besar. Keuntungan kotor rata-rata yang diperoleh pedagang pedagang pengecer mencapai Rp 500,00 per kilogram. Sebagian besar responden (62%) lebih memilih saluran tataniaga pertama, dan hanya 7% responden yang memilih saluran tataniaga ketiga. Terbentuknya beberapa saluran tataniaga beras menyebabkan terjadinya keberagaman harga di tingkat konsumen. Konsekuensi lebih lanjut, sering ditemui fakta bahwa pedagang pengecer cenderung untuk menaikkan harga jual berasnya ke konsumen, sehingga harga beras di tingkat pedagang pengecer cenderung tinggi dan tetap. Faktor penentuan harga jual di tingkat pedagang pengecer ditentukan oleh: (1) harga pembelian, (perolehan); (2) biaya angkut; (3) kualitas; dan (4) kondisi cuaca/iklim (kondisi panen, normal, paceklik). Sementara itu, pedagang besar beras di Bandar Lampung umumnya memperoleh pasokan beras dari Talang Padang, Pringsewu, Gading Rejo, Gedong Tataan, Way Lunik, Metro, Punggur, dan Kalianda. Para pemasok tersebut sudah memiliki hubungan baik dengan para pedagang besar beras di Kota Bandar Lampung, umumnya para pedagang besar beras membayar dengan cara konsinyasi. Margin yang diterima pedagang besar beras berasal dari komponen-komponen biaya yang 8 dikeluarkannya, yaitu terdiri dari (1) Biaya bongkar Rp 2000/kw; (2) Kemasan Rp 40.000-250.000; (3) Tenaga Kerja Rp 35.000-50.000 per hari; (4) Sewa kios Rp 166.000-1.000.000 per bulan; (5) Listrik dan telpon Rp 55.000-200.000; dan (6) Retribusi Rp 40.000-90.000 per bulan. Rincian secara lengkap tentang analisis marjin pemasaran tersaji pada Tabel 5. Selisih harga antara harga jual petani dengan pelaku pasar yang terlibat dalam tataniaga disebut margin tataniaga. Marjin tataniaga berpengaruh langsung terhadap pembentukan harga di tingkat petani padi. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa petani padi tidak mengeluarkan biaya pemasaran. Hal ini terjadi karena pedagang pengumpul desa yang datang langsung ke petani padi untuk membeli gabah kering panen. Pabrik penggilingan beras yang mendapatkan marjin pemasaran yang paling tinggi dibandingkan pelaku pasar lainnya, yaitu Rp 975,00/kg. Hal ini dikarenakan pabrik penggilingan padi yang menciptakan nilai tambah dari gabah, sehingga pihak penggilingan padi yang dapat menentukan harga jual beras. Besarnya bagian harga yang diterima petani padi, marjin pemasaran, marjin keuntungan (profit marjin), dan ratio profit marjin pemasaran beras di Provinsi Lampung tersaji pada Tabel 5. J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011 Tabel 5. Analisis Marjin Tataniaga Beras di Provinsi Lampung No. 1 2 3 4 4 Uraian Petani Padi Sawah Harga jual (GKP) Pedagang Pengumpul Desa Biaya Pemasaran: - Pengemasan - Muat - Angkut - Penyusutan - Bongkar - Lain-lain Harga Jual (GKG) Marjin Pemasaran Profit Marjin Pabrik Penggilingan Beras (rendemen 67%) Harga beli gabah GKP 1,5kg Biaya Prosesing Biaya tenaga kerja Biaya angkut Biaya kemasan Biaya lain-lain Harga jual beras Marjin Pemasaran Profit Marjin Pedagang Besar Beras Biaya Pemasaran - Bongkar - Kemasan - Tenaga kerja - Sewa kios - Listrik/telepon - Retribusi - Lain-lain Harga jual beras Marjin Pemasaran Profit Marjin Pedagang Pengecer Biaya pemasaran: - Kemasan - Angkut - Bongkar - Tenaga kerja - Retribusi - Lain-lain Harga Jual Marjin Pemasaran Profit Marjin Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa Nilai Rasio Profit Marjin (RPM) tertinggi ada pada pedagang pengecer, yaitu sebesar Rp 2,125/kg beras. Hal ini berarti setiap Rp1,00 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp2,125/kg beras. Nilai RPM yang tinggi dikarenakan keuntungan yang didapat pedagang pengecer lebih tinggi J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011 Harga (Rp/kg) Share (%) RPM 2.750 36,67 10 50 100 5 50 417 3.550 800 168 0,13 0,67 1,33 0,07 0,67 5,56 47,33 10,67 2,24 0,2658 5.325 96 50 80 140 100 6.300 975 509 71 1,28 0,67 1,07 1,87 1,33 84 13 6,79 1,0922 20 35 50 75 15 7 35 7.200 700 463 0,27 0,47 0,67 1,00 0,2 0,09 0,47 96 9,33 6,17 1,9536 15 35 15 40 10 45 7.500 500 340 0,20 0,47 0,2 0,53 0,13 0,60 100 6,67 4,53 2,1250 dari biaya yang dikeluarkannya. Pedagang pengecer beras hanya mengeluarkan biaya kemasan sebesar Rp15,00/kg beras, biaya angkut sebesar 35,00/kg, biaya bongkar sebesar Rp15,00/kg, biaya tenaga kerja sebesar Rp40,00/kg, biaya retribusi sebesar Rp10,00/kg dan biaya lain-lain sebesar Rp45,00/kg. Berdasarkan kondisi tersebut 9 dapat dilihat bahwa bagian harga yang diterima petani produsen relatif rendah, yaitu hanya mencapai 36,67% (<60%) dan nilai RPM menyebar tidak merata, maka dapat disimpulkan bahwa saluran tataniaga yang dihadapi relatif tidak efisien. Distribusi marjin tataniaga dan nisbah marjin keuntungan pada masing-masing lembaga tataniaga beras tidak merata, sehingga dapat dikatakan bahwa saluran pemasaran beras di Provinsi Lampung belum efisien. Sistem tataniaga beras belum efisien dalam artian belum mampu memberikan bagian yang adil bagi petani produsen dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen dibandingkan dengan lembaga tataniaga lain yang terlibat. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Kondisi produksi beras di Propinsi Lampung rata-rata per tahun lebih besar daripada kebutuhan konsumsinya (surplus). Sistem produksi komoditas padi sudah berjalan secara efektif. Secara umum produsen padi telah menerapkan teknik budidaya yang baik dan benar. 2. Berdasarkan kondisi bagian harga yang diterima petani produsen relatif rendah, yaitu hanya mencapai 36,67% (<60%) dan nilai RPM menyebar tidak merata, maka dapat disimpulkan bahwa saluran tataniaga beras yang dihadapi relatif tidak efisien. Distribusi marjin tataniaga dan nisbah marjin keuntungan pada masing-masing lembaga tataniaga beras tidak merata, sehingga dapat dikatakan bahwa saluran pemasaran beras di Provinsi Lampung belum efisien. 3. Terdapat alokasi mencapai 27,735% beras Lampung yang didistribusikan ke luar Lampung (Bengkulu, Riau, Padang) turut menyebabkan kondisi ketersediaan pasokan beras di pasaran dan masyarakat sulit terdeteksi yang lebih lanjut menyebabkan fluktuasi harga. Saran 1. Pemerintah daerah perlu memperbaiki kondisi infrastruktur jalan yang ada di seluruh wilayah Lampung. 2. Perlu ada tim pemantau mobilitas komoditas tentang keluar masuknya 10 3. 4. komoditas beras yang berkontribusi dalam inflasi daerah. Pemerintah daerah perlu memberikan bantuan permodalan bagi para produsen padi, agar pasokan produksi dapat terjamin. Perlu ada insentif khusus bagi petani petani padi yang mampu memperoleh produktivitas usahanya di atas rata-rata nasional, berupa insentif harga jual, insentif sarana produksi, dan kemudahan memperoleh kredit program. DAFTAR PUSTAKA Agus. 2002. Integrasi Pasar Dalam Sistem Pemasaran Cabai Merah di Propinsi Lampung. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan. UPPM Politeknik Negeri Lampung. Volume V No. 1 Januari 2005. Azzaino, Zulkifli. 1980. Pengantar Tataniaga Pertanian. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung. 2010. Lampung Dalam Angka. Pemerintah Daerah Propinsi Lampung. Bandar Lampung. BI Cabang Bandar Lampung. 2011. Point of Meeting Tim Teknis TPID Propinsi Lampung. Bandar Lampung. BPS Indonesia. 2010. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta Budiono, 1994. Ekonomi Moneter Seri Senopsis Pengantar Ilmu Ekonomi. No.2. BPFE: Yogyakarta. Hasyim, Ali Ibrahim. 2000. Struktur dan Keterkaitan Pasar Lada Dunia: Suatu Kajian Empiris. Sosio Ekonomika. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.Volume 6 No. 2. Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarat. J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011 Saefudin dan Hanafiah, 1982. Tataniaga Hasil Pertanian. Universitas Indonesia. Jakarta. J-SEP Vol. 5 No. 1 Maret 2011 11