Terakreditasi Sinta 3 | Volume 4 | Nomor 3 | Tahun 2021 | Halaman 321—334
P-ISSN 2615-725X | E-ISSN 2615-8655
http://diglosiaunmul.com/index.php/diglosia/article/view/227
Kearifan Lokal dalam Hikayat Komering Pitu Phuyang
Local Wisdom in the Hikayat Komering Pitu Phuyang
Dedi Febriyanto1,*, Kiki Nurjana2, Eka Anista3, dan Dedi Mardiansyah4
1,2,3
Pascasarjana Universitas Lampung
4
STKIP Nurul Huda Sukaraja
1
Corresponding Email:
[email protected]
2
Email:
[email protected]
3
Email:
[email protected]
4
Email:
[email protected]
Received: 11 May 2021 Accepted: 26 May 2021 Published: 2 August 2021
Abstract: The purpose of this study is to explore and describe local wisdom in the Hikayat Komering Pitu Phuyang. The
study used a qualitative descriptive method with a sociological literature approach. Source of research data is Hikayat
Komering Pitu Phuyang by Himawan Bastari. The data were collected using the reading-note technique, while the content
analysis technique carried out the data analysis. The results showed that the Hikayat Komering Pitu Phuyang contains very
diverse local wisdom. Local wisdom includes (1) Wangsa Buay Tumi's belief in tambo as a means of information that is
believed to be true, (2) the belief system in Belaksa Kepampang and Ikahua as the embodiment of gods, (3) the tradition of
giving adok as a form of appreciation, (4) ) the government system in the form of a kingdom, (5) the tradition of slaughtering
virgins and virgins as evidence of worship of gods, (6) the caste tradition in royal family marriages as a symbol of honour, (7)
the tradition of asceticism at the top of a mountain as a means of approaching oneself to the God, (8) society that has the
principles of religious life, full responsibility, and hard work, (9) a residential system that reflects the breadth of the way the
people think.
Keywords: local wisdom, saga, Komering, pitu phuyang
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali dan mendeskripsikan kearifan lokal dalam hikayat
Komering Pitu Phuyang. Penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan sosiologi
sastra. Sumber data penelitian adalah Hikayat Komering Pitu Phuyang karya Himawan Bastari. Pengumpulan
data dilakukan dengan teknik baca-catat, sedangkan analisis data dilakukan teknik analisis isi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa hikayat Komering Pitu Phuyang mengandung kearifan lokal yang sangat beragam.
Kearifan lokal yang dimaksud meliputi: (1) keyakinan Wangsa Buay Tumi terhadap tambo sebagai salah satu
sarana informasi yang diyakini kebenarannya; (2) sistem kepercayaan terhadap Belaksa Kepampang dan Ikahua
sebagai perwujudan dewata; (3) tradisi pemberian adok sebagai wujud penghargaan; (4) sistem pemerintahan
berwujud kerajaan; (5) tradisi penyembelihan perawan dan perjaka sebagai bukti pemujaan terhadap dewata;
(6) tradisi kasta dalam pernikahan keluarga kerajaan sebagai simbol kehormatan; (7) tradisi bertapa di puncak
gunung sebagai sarana pendekatan diri kepada Yang Kuasa; (8) masyarakat yang memiliki prinsip hidup
religius, penuh tanggung jawab, dan pekerja keras; dan (9) sistem bertempat tinggal yang mencerminkan
keluasan cara pikir masyarakatnya.
Kata Kunci: kearifan lokal, hikayat, Komering, pitu phuyang
To cite this article:
Febriyanto, D., Nurjana, K., Anista, E., & Mardiansyah, D. (2021). Kearifan Lokal dalam Hikayat Komering
Pitu Phuyang. Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 4(3), 321—334.
https://doi.org/10.30872/diglosia.v4i3.227
Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya is licensed under a Creative Commons
Attribution-Share Alike 4.0 International License.
D. Febriyanto, K. Nurjana, E. Anista, & D. Mardiansyah
PENDAHULUAN
Hikayat merupakan karya sastra berbentuk prosa yang berisi cerita-cerita
kuno (Akmaliyah, 2013). Hikayat merupakan karya sastra lama Melayu berbentuk
prosa yang berisi cerita, undang-undang, hingga silsilah yang bersifat fiksi, baik
keagamaan, historis, geografis, atau gabungan dari sifat-sifat itu, dibaca untuk
pelipur lara, pembangkit semangat juang tau sekedar untuk meramaikan pesta
(Supratman, 1996; Alwi, 2005).
Hikayat sebagai sebuah karya sastra mengandung beragam kearifan lokal. Hal
ini dikarenakan hikayat merupakan produk masyarakat. Kehadirannya sudah pasti
membawa kearifan lokal, cerminan budaya luhur suatu masyarakat. Kearifan lokal
merupakan salah satu wujud jati diri bangsa yang harus senantiasa digali dan
dilestarikan keberadaannya. Penggalian dan pelestarian tersebut dilakukan sematamata untuk mengokohkan jati diri bangsa. Kearifan lokal merupakan gagasangagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang
tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Sartini, 2004). Kearifan lokal
berkaitan dengan pemikiran, segala aktivitas dan perilaku, juga norma tatakrama
yang melingkupi dan menjadi ciri khas masyarakat suatu tempat (Kasmi, 2019).
Lebih tegas lagi dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan sistem pengetahuan
masyarakat lokal atau pribumi (indigenous knowledge systems) yang bersifat empirik
dan pragmatis (Fachrudin, 2009:4). Bersifat empirik karena hasil olahan
masyarakat secara lokal bermula dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling
kehidupan mereka. Bersifat pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun
sebagai hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan itu menjadi solusi dari setiap
persoalan yang terjadi.
Kearifan lokal dalam suatu masyarakat tidak hanya terdiri dari norma dan
nilai budaya, melainkan juga segala unsur gagasan, termasuk yang berimplikasi
pada teknologi, penanganan kesehatan dan estetika (Purna, 2016) Kearifan lokal
dengan demikian merupakan suatu bentuk kaidah di tengah masyarakat yang
memiliki cakupan luas melingkupi seluruh aspek kehidupan. Pada dasarnya,
kearifan lokal adalah segala jenis kebudayaan yang dipandang memiliki nilai luhur
dan dapat dijadikan sebagai pegangan hidup bagi masyarakatnya.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa secara
umum kearifan lokal dapat dikatakan sebagai segala pemikiran, gagasan, dan
aktifitas suatu masyarakat yang mengandung nilai-nilai luhur di dalamnya.
Kearifan lokal merupakan budaya lokal yang hidup berazazkan nilai. Sistem nilai
sendiri merupakan bagian terpadu dalam etika moral yang dijabarkan dalam
norma-norma sosial, sistem hukum dan adat yang berfungsi sebagai tata kelakuan
untuk mengatur waktu (Koentjaraningrat, 1987).
Salah satu hikayat yang kaya akan kearifan lokalnya adalah Hikayat
Komering Pitu Phuyang yang ditulis oleh Himawan Bastari. Pitu Phuyang berarti
tujuh nenek moyang. Hikayat tersebut menceritakan tentang tujuh perwira kerajaan
Skala Brakh yang melakukan perjalanan untuk mencari tanah harapan yang
dijanjikan dewata sebagai tempat tinggal baru untuk wangsanya, Buay Tumi.
Mereka harus melakukan perjalanan tersebut karena kerajaan tempat mereka
tinggal dan berlindung telah direbut dan dikuasai oleh Wangsa Buay Umpu dari
utara. Masyarakat Komering percaya bahwa ketujuh perwira yang memimpin
Wangsa Buay Tumi tersebut adalah nenek moyang dari suku Komering.
A.
322
Diglosia Volume 4 Nomor 3 (2021)
Kearifan Lokal dalam Hikayat Komering Pitu Phuyang
Hikayat Komering Pitu Phuyang sendiri merupakan sebuah cerita rakyat yang
hidup di tengah masyarakat Komering. Himawan Bastari sebagai salah satu penulis
yang peduli dengan kebudayaan Komering memiliki inisiatif untuk
mendokumentasikan hikayat Pitu Phuyang tersebut ke dalam sebuah tulisan.
Harapannya tak lain agar generasi selanjutnya dapat mengetahui muasal suku
Komering sebagai salah satu suku yang adiluhung sekaligus dapat menerapkan
nilai-nilai luhur yang melekat dalam sikap hidup para phuyang. Sebagaimana telah
diketahui bersama bahwa hikayat merupakan salah satu karya sastra yang proses
penyebarannya dilakukan dari lisan ke lisan. Begitu pula buku ini ditulis
berdasarkan penuturan dan cerita-cerita para tetua suku Komering. Para tetua
tersebut meyakini bahwa kelahiran suku Komering bermula dari ketujuh phuyang
yang diutus oleh Dapunta Beliau Ratu Sekerumong untuk ber-muhibah mencari
tanah harapan.
Pengkajian kearifan lokal dalam Hikayat Komering Pitu Phuyang dilakukan
untuk mengetahui secara mendalam mengenai kearifan lokal yang dimiliki
masyarakat Komering, utamanya menilik kearifan lokal tersebut melalui peradaban
masa lalu. Selain itu, dengan dilakukannya pengkajian ini, akan dapat diketahui
kearifan lokal apa saja yang masih lestari maupun yang telah hilang dari peradaban
masyarakat Komering di masa sekarang.
Penelitian tentang kearifan lokal telah banyak dilakukan oleh beberapa
peneliti. Penelitian tersebut antara lain dilakukan oleh Rafiek (2012) yang
mengangkat judul penelitian, “Kearifan Lokal dalam Hikayat Raja Banjar”. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa Hikayat Raja Banjar kaya dengan kearifan
lokal. Adapun wujud kearifan lokal yang terkandung meliputi tradisi dan adatistiadat dalam kerajaan Banjar, norma agama, norma masyarakat, dan kelestarian
alam. Penelitian relevan selanjutnya dilakukan oleh Yetti (2019) dengan judul
penelitian, “Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Nusantara: Upaya Melestarikan
Budaya Bangsa”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cerita rakyat yang menjadi
kajian banyak mengandung nilai moral dan multikulturalisme dengan
menempatkan kepentingan bangsa di atas segala perbedaan. Penelitian relevan
terakhir yang diungkapkan dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan
oleh Murmahyati (2011) dengan judul, “Kearifan Lokal dalam Puisi Toraja”. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kearifan lokal yang terkandung di dalam puisi
Toraja meliputi nilai gotong royong, kereligiusan, kemanusiaan, kepemimpinan,
dan pendidikan moral. Penelitian relevan terakhir yang diungkapkan dalam
penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Salbiah & Fitriani (2021)
dengan judul, “Analisis Penokohan Dalam Hikayat Komering Phitu Phuyang:
Negeri Para Phuyang Karya Himawan Bastari”. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tokoh-tokoh yang digambarkan dalam hikayat memiliki karakter yang
luhur. Khususnya ketujuh paksi yang dianggap sebagai nenek moyang suku
Komering.
Tiga penelitian terdahulu yang mula-mula diungkapkan di atas memiliki
kesamaan dengan penelitian ini ditinjau dari segi fokus kajian, yaitu kearifan lokal.
Adapun letak perbedaannya dapat dilihat dari segi sumber data penelitian,
meskipun sama-sama mengkaji karya sastra lama, namun menggunakan sumber
kajian yang berbeda. Selanjutnya pada penelitian terdahulu yang terakhir
diungkapkan memiliki kesamaan dari segi sumber data penelitian, yakni samasama mengkaji Hikayat Komering Pitu Phuyang yang ditulis oleh Himawan Bestari.
Diglosia Volume 4 Nomor 3 (2021)
323
D. Febriyanto, K. Nurjana, E. Anista, & D. Mardiansyah
Letak perbedaannya adalah dari segi fokus kajian. Penelitian terdahulu berfokus
pada penokohan yang terdapat di dalam hikayat, sedangkan penelitian ini
memfokuskan kajian pada kearifan lokal yang terkandung dalam Hikayat
Komering Pitu Phuyang.
Bertolak dari pemaparan di atas, penelitian ini bertujuan menggali dan
mendeskripsikan bentuk-bentuk kearifan lokal yang terkandung di dalam Hikayat
Komering Pitu Phuyang karya Himawan Bastari. Adapun wujud kearifan lokal yang
menjadi fokus penelitian ini meliputi sistem tradisi dan kebudayaan, sistem
pemerintahan, sistem bertempat tinggal, sistem kepercayaan, hingga sikap hidup
masyarakatnya. Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam
bentuk penyebarluasan kearifan lokal suku Komering yang adiluhung.
B.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan
sosiologi sastra. Data penelitian berupa kutipan-kutipan kalimat yang mengandung
kaerifan lokal. Adapun sumber data penelitian adalah Hikayat Komering Pitu
Phuyang berbahasa Indonesia yang ditulis oleh Himawan Bastari. Penulisan
Hikayat Komering Pitu Phuyang didasarkan pada penuturan para tetua suku
Komering yang meyakini bahwa suku Komering berasal dari ketujuh paksi yang
diutus oleh Dapunta Beliau Ratu Sekerumong untuk ber-muhibah mencari tanah
harapan di sepanjang aliran sungai Komering. Buku ini diterbitkan pertama kali
pada tahun 2019 oleh penerbit Intishar Publishing. Pengumpulan data dilakukan
dengan teknik baca-catat. Mula-mula peneliti membaca dan memahami hikayat
secara teliti. Selanjutnya peneliti melakukan pencatatan terhadap data-data yang
mengandung kearifan lokal. Teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan
teknik analisis isi. Teknik ini digunakan karena kajian ini menekankan penggalian
terhadap makna-makna di dalam teks Hikayat Komering Pitu Phuyang yang
menggambarkan kearifan lokal dalam suatu kelompok masyarakat. Adapun
tahapan analisis data meliputi; (1) tahap identifikasi data, (2) mereduksi data, (3)
menyajikan data, (4) menginterpretasikan data, dan (5) menyimpulkan hasil
interpretasi.
C.
1.
PEMBAHASAN
Gambaran Hikayat Komering Pitu Phuyang
Hikayat Komering Pitu Phuyang menceritakan tentang perjalanan tujuh
phuyang (nenek moyang) jolma Komering dalam mencari daerah baru sebagai
tempat menetap. Perjalanan ini terpaksa ditempuh setelah kerajaan tempat mereka
berlindung, Skala Brakh, diserang oleh Wangsa Buay Umpu dari kerajaan
Paguruyung yang beragama Islam. Perjalanan mencari tanah harapan dilakukan
agar Wangsa Buay Tumi tetap terjaga keberadaannya.
Sekilas gambaran tentang ketujuh phuyang yang melakukan muhibah
(perjalanan) mencari tanah harapan demi keberlangsungan hidup Wangsa Buay
Tumi. Pertama, Phuyang Ratu Sabibul. Beliau merupakan panglima pasukan
kaveleri gajah kerajaan Skala Brakh. Phuyang Ratu Sabibul menjadi panglima
andalan dalam memper-tahankan kedaulatan Skala Brakh dari perusuh-perusuh
kerajaan tetangga, Umpu Kenyanyang. Selama beberapa waktu sebelum muhibah
ke muara, Ratu Sabibul baru menyelesaikan misi pemindahan ibu Negara Skala
Brakh dari Kenali ke Bunuk Tenuar. Ratu Sabibul dengan atribut kepanglimaannya
324
Diglosia Volume 4 Nomor 3 (2021)
Kearifan Lokal dalam Hikayat Komering Pitu Phuyang
mengakhiri perjalanan para paksi ke muara (Gunung Batu), kemudian mendirikan
Kepuhyangan Semendaway.
Kedua, Phuyang Minak Ratu Damang Bing. Beliau merupakan seorang
prajurit laut kerajaan Skala Brakh, terbiasa menahkodai Jung sebagai kendaraan
laut yang membentengi Skala Brakh dari ancaman para penyamun samudra kala
itu. Berkat kelihaian Minak Ratu Damang Bing, muhibah dapat berlangsung dengan
selamat sampai ke muara. Kephuyangan ini menempati suatu daratan yang
kemudian dinamakan Minanga.
Ketiga, Phuyang Umpu Sipadang. Beliau merupakan perwira andalan prajurit
Taruda, pasukan lapisan dua yang menjaga perbatasan negeri pegunungan Skala
Brakh. Ber-perawakan sedang dengan matanya yang tajam bagaikan elang,
menjadikan Umpu Sipadang diserahi tugas untuk menahkodai rakit para paksi
ketika malam hari. Paksi Umpu Sipadang menjadikan sebuah padang luas untuk
ditinggali. Padang tersebut akhirnya dijadikan sebagai kepuhyangan dan tempat
pertama yang mereka tinggali dinamakan Gunung Terang.
Keempat, Phuyang Minak Adipati. Beliau dikenal dengan ciri khasnya yang
selalu membawa peliung. Peliung merupakan senjata sakti yang beliau dapatkan
dari Ratu Sekerumong. Dari atribut yang dibawanya ini, kephuyangan yang
mereka dirikan dinamakan kephuyangan Pemuka Peliung. Paksi Minak Adipati
merupakan sepupu dari Inang Dalom Intan Galuh, ibunda Pun Dalom Ratu
Sekerumong. Kecakapan Phuyang Minak Adipati tidak perlu disanggah lagi.
Selama perjalanan para paksi ke muara, beliau sangat diandalkan. Berkat
kedigdayaannya, para paksi yang lain banyak terbantu olehnya.
Kelima, Phuyang Ratu Penghulu. Beliau merupakan paksi termuda dari
ketujuh paksi yang ada. Beliau memiliki perawakan sedang dengan kulit yang
gelap, dan beralis tebal, menambah ketampanan wajahnya. Paksi Ratu Penghulu
meskipun sebagai paksi termuda, namun dalam urusan perang, beliau telah
menjelajah hingga ke beberapa wilayah, bahkan sampai ke Delta Upang dalam misi
penaklukan Kerajaan Criwijaya oleh Dapunta Hyang.
Keenam, Phuyang Jati Keramat. Beliau merupakan prajurit berani yang
menjadi salah satu punggawa andalan lamban gedung istana Skala Brakh. Prajurit
Tabuah Handak pilihan ini memiliki postur tubuh yang tinggi dengan lengan dan
bahu kekar dengan segala daya yang dipunya, mengawal dan menghantarkan para
paksi ke muara. Dari ketujuh paksi yang ada, hanya Jati Keramat yang
mendapatkan jodoh dalam muhibah ke muara. Menurut kepercayaan masyarakat
setempat, istri Phuyang Jati Keramat berasal dari bunga mayang atau pinang.
Kepercayaan ini sangat membekas di tengah masyarakat hingga namanya
diabadikan pada nama kephuyangan mereka, yaitu Bunga Mayang.
Ketujuh, Phuyang Sibalakuang. Beliau merupakan prajurit kesayangan
Dapunta Dalom Ratu Sekerumong. Selama pengabdiannya, Sibalakuang dipercaya
menjaga tunggangan sang ratu yang berupa seekor harimau. Begugawong adalah
nama harimau yang biasa ditunggangi oleh sang ratu. Sedari kecil, Phuyang
Sibalakuang inilah yang menjaga hewan peliharaan Ratu Sekerumong. Phuyang
Sibalakuang mendirikan kephuyangan Daya dan menempatkannya di daerah
Mahanggin.
Diglosia Volume 4 Nomor 3 (2021)
325
D. Febriyanto, K. Nurjana, E. Anista, & D. Mardiansyah
Kearifan Lokal dalam Hikayat Komering Pitu Phuyang
Hikayat Komering Pitu Phuyang memiliki kandungan kearifan lokal yang
sangat beragam. Berdasarkan analisis yang dilakukan, kearifan lokal yang termuat
di dalam hikayat Komering Pitu Phuyang meliputi keyakinan terhadap tambo, sistem
kepercayaan yang dianut, ritual dan tradisi, sikap dan prinsip hidup, sistem tempat
tinggal, dan lain sebagainya. Kearifan lokal yang terkandung di dalam hikayat
Komering Pitu Phuyang secara tidak langsung juga menggambarkan sikap hidup
masyarakat Komering sebagai salah satu suku sekaligus kebudayaan adiluhung
yang ada di Indonesia.
2.
Tradisi Pemberian Adok
Pemberian adok atau gelar merupakan salah satu tradisi luhur yang dimiliki
Wangsa Buay Tumi. Adok merupakan istilah baru yang dipakai suku Komering
saat ini. Sebelumnya, Juluk merupakan istilah yang digunakan suku Komering di
masa lalu (Misyuraidah, 2017).
a.
Ratu Sabibul mendapatkan adok kehormatan dari Pandita Negri Skala Brakh,
Liman Meraksa. Adok yang diberikan merupakan perwujudan dari kesetiaan
Sabibul terhadap Skala Brakh dan Buay Tumi (Bastari, 2019, hal. 11).
Data di atas menjelaskan Ratu Sabibul yang diberikan gelar kehormatan oleh
Liman Meraksa, Pandita Negeri Skala Brakh. Pemberian adok merupakan wujud
penghargaan kerajaan Skala Brakh atas jasa dan kesetiaan yang diberikan oleh
Phuyang Ratu Sabibul. Pemberiaan adok menyiratkan sikap hidup Wangsa Buay
Tumi yang menjunjung nilai-nilai kebaikan, terutamanya kesetiaan. Seseorang
yang dengan teguh memegang nilai-nilai kebaikan layak diberikan apresiasi dan
penghargaan setinggi-tingginya.
b.
Sistem Pemerintahan
Pemerintahan yang dianut Wangsa Buay Tumi berdasarkan Hikayat
Komering Pitu Phuyang berbentuk kerajaan, kerajaan Skala Brakh namanya.
Puncak pimpinan dipegang oleh seorang raja. Raja di dalam kerajaan Skala Brakh
memiliki kekuasaan mutlak.
Pusat daerah baru yang dimaksudkan oleh Ratu Sekerumong adalah daerah
yang seperti dibisikkan oleh para dewata ketika Ratu sedang bersemedi di atas
puncak Gunung Pesagi (Bastari, 2019, hal. 47).
Melalui data di atas, diketahui bahwa keputusan Ratu Sekerumong selaku
pimpinan kerajaan Skala Brakh bersifat mutlak. Beliau memutuskan tanpa
meminta pertimbangan yang lain. meskipun demikian, melalui data di atas dapat
diketahui pula bahwa seorang yang didaulat menjadi raja di kerajaan Skala Brakh
adalah seseorang yang memiliki tingkat spiritual tinggi. Dengan ketinggian tingkat
spiritualnya tersebut, seorang raja atau ratu di kerajaan Skala Brakh selalu
mendapatkan bimbingan dewata dalam memutuskan atau menghadapi segala
persoalan di kerajaannya.
326
Diglosia Volume 4 Nomor 3 (2021)
Kearifan Lokal dalam Hikayat Komering Pitu Phuyang
Keyakinan Terhadap Tambo
Wangsa Buay Tumi merupakan wangsa yang berperadaban. Raja pertama
kerajaan Skala Brakh, La Laula, telah menghimpun peristiwa-peristiwa penting,
baik di masa lalu maupun di masa mendatang dalam sebuah buku yang disebut
tambo. Tambo adalah kitab yang berisi peristiwa-peristiwa penting dan diyakini
kebenarannya oleh seluruh Wangsa Buay Tumi.
Salah satu isi tambo yang sering diceritakan Kajong Dalom kepada Ratu
Sekerumong adalah ramalan tentang ratu terakhir yang memimpin kerajaan Skala
Brakh.
c.
“Engkau ratu terakhir dan terbesar wangsa ini. Wangsa baru yang berasal dari
utara akan merobohkan Belaksa Kepampang dan menghancurkan altar batu
Ikahua sesembahan kita. Mereka mendirikan kuasa dewa baru sebagai
pengganti dewa kita” (Bastari, 2019, hal. 23).
Data di atas merupakan tuturan Dapunta Sangkan kepada Ratu Sekerumong.
Dapunta Sangkan menyitir isi tambo yang menjelaskan ramalan tentang
kehancuran dari kerajaan Skala Brakh. Berdasarkan ramalan yang ditulis oleh
Kajong Tujuk La Laula, Ratu Sekerumong adalah ratu terbesar yang pernah
memimpin kerajaan Skala Brakh. Namun, beliau juga adalah ratu terakhir, yang
artinya kehancuran kerajaan Skala Brakh ada pada masa kepemimpinannya.
Melalui isi tambo, dapat diketahui bahwa kerajaan Skala Brakh akan dihancurkan
oleh wangsa baru yang berasal dari utara. Mereka akan menghancurkan Belaksa
Kepampang dan Ikahua serta menggantikannya dengan sesembahan yang baru.
d.
Tradisi Penyembelihan Perawan dan Perjaka
Tradisi penyembelihan perawan dan perjaka digelar sebagai persembahan
untuk Belaksa Kepampang dan Ikahua yang mereka puja. Pengorbanan tersebut
merupakan simbol pemujaan sekaligus keyakinan yang kuat Wangsa Buay Tumi
terhadap dua sesembahan tersebut.
Belaksa Kepampang sebagai dewa yang kami puja bersanding sejajar dengan
Ikahua, batu keramat tempat tradisi penyembelihan perawan dan perjaka
sebagai unjuk bukti pemujaan kepada Belaksa Kepampang dan Ikahua yang
serupa dengan dewa di kahyangan sana (Bastari, 2019, hal. 21).
Data di atas dengan jelas menggambarkan bahwa penyembelihan perawan
dan perjaka ditujukan secara mutlak kepada Belaksa Kepampang dan Ikahua yang
diyakini Wangsa Buay Tumi sebagai perwujudan dewata. Adapun waktu
penyembelihan itu sendiri dilakukan ketika bulan purnama berwarna merah.
Pokok suci Belaksa Kepampang berpadu kawinkan dengan tradisi Ikahua,
sebuah kepercayaan kepada batu atau altar tempat penyembelihan perjaka
dan perawan di saat purnama berwarna merah (purnama bakha). Wangsa
Buay Tumi berpesta pora pada malam purnama bakha (Bastari, 2019, hal.
29).
Diglosia Volume 4 Nomor 3 (2021)
327
D. Febriyanto, K. Nurjana, E. Anista, & D. Mardiansyah
Melalui data di atas dapat diketahui bahwa tradisi penyembelihan itu
dilaksanakan ketika bulan purnama berwarna merah atau biasa disebut oleh
Wangsa Buay Tumi sebagai bulan purnama bakha. Pada malam penyembelihan itu
pula, segenap Wangsa Buay Tumi berpesta pora sebagai wujud syukur juga tanda
kebahagiaan karena telah memper-sembahkan seorang perjaka dan perawan
kepada Belaksa Kepampang dan Ikahua, sesembahan mereka.
Tradisi penyembelihan perawan dan perjaka pada masa kini sudah tidak ada
lagi. tradisi tersebut telah sejak lama mati. Namun yang harus dipahami adalah
bahwa melalui tradisi tersebut, kita dapat mengetahui tingginya semangat
beragama yang ditunjukkan oleh Wangsa Buay Tumi. Semangat dalam beragama
itulah yang tidak boleh mati dalam diri. Agama sebagai pedoman hidup sangat
layak ditempatkan pada posisi puncak dalam hidup. Tanpa agama, seseorang tidak
akan memiliki pijakan yang kokoh dalam mengarungi kehidupan.
Boleh jadi tradisi tersebut banyak ditentang oleh masyarakat masa kini,
namun yang harus diingat, tradisi tersebut telah dianggap luhur oleh Wangsa Buay
Tumi sebagai sebuah bangsa. Tradisi tersebut adalah bagian tak terpisahkan dari
sebuah kepercayaan dalam beragama. Tradisi tersebut adalah sarana terbaik dalam
keyakinan Wangsa Buay Tumi di dalam mendekatkan diri kepada Yang
Mahakuasa.
Lantas, bagaimana nasib para perawan dan perjaka yang dikorbankan?
Bagaimana pula nasib keluarga yang ditinggalkan? Jawabnya, sebuah tradisi yang
telah diyakini bersama akan melahirkan sebuah keralaan penuh terkait dengan
konsekuensi yang mungkin timbul dari tradisi yang diyakininya tersebut. Selain itu,
seseorang yang dikorbankan untuk sesuatu yang dianggap agung tidak akan
mungkin mati dalam keadaan sia-sia. Mereka akan memperoleh balasan kemuliaan
dari yang diagungkannya tersebut. Begitu pulalah yang diyakini oleh Wangsa Buay
Tumi terkait pengorbanan yang dilakukan.
e.
Tradisi Pernikahan Keluarga Kerajaan
Hikayat Komering Pitu Phuyang juga menggambarkan sebuah tradisi dalam
bentuk aturan pernikahan bagi keluarga kerajaan Skala Brakh. Tradisi tersebut
tidak ditunjukkan secara langsung, melainkan melalui perlawanan tradisi yang
dilakukan oleh salah satu keluarga kerajaan.
Lalu, anak laki-lakiku, Kekuk Sekuik, ynag melawan tradisi moyang kami,
menikahi seperudu, perempuan kasta bawah di kerajaanku sehingga hak tahta
kerajaanku tercerabut darinya dan kubuang mereka ke muara (Bastari, 2019,
hal. 24)
Data di atas secara tidak langsung menggambarkan sebuah tradisi menge-nai
larangan menikah bagi keluarga kerajaan dengan seseorang yang berasal dari kasta
bawah. Apabila hal tersebut dilanggar, maka akan berdampak besar pada tatanan
kehidupan di kerajaan. Sebagaimana yang tergambar pada data di atas, sikap
Kekuk Sekuik yang melawan tradisi dengan menikahi perempuan dari kasta bawah
menyebabkan tercabutnya hak kerajaan yang dimiliki Ratu Sekerumong atas
anaknya, Kekuk Sekuik. Artinya, Ratu Sekerumong sudah tidak memiliki hak
untuk menurunkan kepemimpinan atas kerajaan Skala Brakh kepada anaknya
karena telah melanggar tradisi turun-temurun dari nenek moyang.
328
Diglosia Volume 4 Nomor 3 (2021)
Kearifan Lokal dalam Hikayat Komering Pitu Phuyang
f.
Tradisi Bertapa di Puncak Gunung
Tradisi luhur lainnya yang terkandung di dalam hikayat Komering Pitu
Phuyang adalah bertapa di puncak gunung. Tradisi ini merupakan salah satu cara
yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada para dewata. Tradisi ini biasanya
dilakukan oleh para petinggi kerajaan dengan berbagai maksud dan tujuan, mulai
dari berdoa kepada dewa agar diberikan solusi atas permasalahan yang terjadi
hingga wujud syukur atas karunia dan keselamatan yang diberikan dewa.
Pusat daerah baru yang dimaksudkan oleh Ratu Sekerumong adalah daerah
yang seperti dibisikkan oleh para dewata ketika Ratu sedang bersemedi di atas
puncak Gunung Pesagi (Bastari, 2019, hal. 47).
Data di atas secara tidak langsung menunjukkan kegiataan bertapa atau
bersemedi yang dilakukan Ratu Sekerumong hingga beliau mendapatkan bisikan
dari para dewata mengenai daerah baru yang harus ditemukan oleh ketujuh paksi
sebagai tempat hidup yang baru bagi Wangsa Buay Tumi. Ratu Sekerumong sering
melakukan pertapaan guna mencari ketenangan, solusi atas segala permasalahan,
sekaligus cara yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Yang Kuasa.
Tradisi bertapa di puncak gunung juga ditunjukkan oleh para paksi. Hal ini
dapat diketahui melalui data berikut.
“Kami bertiga akan bersemedi untuk sanjungkan doa kepada para dewa, atas
bantuan mereka melalui dirimu” (Bastari, 2019, hal. 120).
Dengan satu hempasan sayap, Kapodang terbang menuju Gunung Pesagi,
tempat Wangsa Buay Tumi dan Ratu Sekerumong. Sedangkan ketiga paksi
mengambil posisi masing-masing untuk bersemedi di atas gunung tersebut
(Bastari, 2019, hal. 121).
Data-data di atas menggambarkan dengan jelas bahwa bertapa di atas puncak
gunung merupakan cara yang digunakan Wangsa Buay Tumi, khususnya petinggi
kerajaan Skala Brakh dalam mendekatkan diri kepada para dewata. Hal itu
menunjukkan sikap religiositas yang tinggi dimiliki oleh Wangsa Buay Tumi. Hal
ini dikarenakan untuk menuju puncak gunung saja dibutuhkan perjuangan yang
tidak kecil dan ini sering mereka lakukan demi menjaga kedekatan dengan para
dewata.
g.
Sistem Kepercayaan yang Dianut
Wangsa Buay Tumi yang dipimpin oleh Dapunta Dalom Ratu Sekerumong
memegang erat kepercayaan terhadap Belaksa Kepampang dan Ikahua. Hal ini dapat
diketahui melalui data berikut.
La Laula sebagai daulat raja pertama, dibangun dengan peradaban Hindu
dengan kepercayaan kepada dewa-dewa, dengan penyembahan utama kepada
Belaksa Kepampang (pohon nangka bercabang) dan Ikahua sebagai altar
pemujaan (Bastari, 2019, hal. 28).
Diglosia Volume 4 Nomor 3 (2021)
329
D. Febriyanto, K. Nurjana, E. Anista, & D. Mardiansyah
Data di atas menggambarkan bahwa penyembahan terhadap belaksa
kepampang dan Ikahua telah ada semenjak La Laula, raja pertama dari kerajaan
Skala Brakh berkuasa. La Laula sendiri merupakan kakek buyut dari Ratu
Sekerumong, raja terbesar sekaligus terakhir dari kerjaan Skala Brakh. Data di atas
juga menggam-barkan bahwa sejatinya Wangsa Buay Tumi beragama Hindu,
namun penyembahan utamanya tidak ditujukan kepada dewa-dewa, melainkan
kepada Belaksa Kepampang dan Ikahua. Bangsa Buay Tumi percaya bahwa
keduanya hidup, bernyawa, dan memiliki kemampuan sebagaimana kemampuan
para dewata.
h.
Sikap Hidup Wangsa Buay Tumi
Wangsa Buay Tumi merupakan masyarakat yang menjunjung tinggi nilainilai kebenaran. Mereka meyakini bahwa nilai-nilai kebenaran akan membawa
pada kebahagiaan. Melalui Hikayat Komering Pitu Phuyang, dapat diketahui
beberapa prinsip hidup yang dianut oleh Wangsa Buay Tumi.
(1)
Cinta Damai
Bangsa Buay Tumi merupakan wangsa yang cinta damai. Mereka tidak
pernah mencari permasalahan dengan bangsa lain. Sebaliknya, mereka adalah
wangsa yang selalu menerima dengan tangan terbuka setiap orang yang datang ke
daerahnya. Mengenai prinsip hidup tersebut dapat diketahui melalui data berikut.
“Sebelum ber-muhibah ke muara, kalian bertujuh harus tahu tentang Sasindai
itu. Taklukkan mereka dengan damai.” Demikian pesan Ratu kepada tujuh
paksi tersebut. Mereka mengangguk tanda paham atas titah sang ratu (Bastari,
2019, hal. 47).
Data di atas dengan tegas menggambarkan sikap hidup Wangsa Buay Tumi
yang cinta damai. Jangankan kepada manusia, bahkan kepada hantu Sasindai yang
sejatinya kayak dibantai tanpa belas kasihan pun masih diberikan batasan. Ratu
Sekerumong selaku pimpinan kerajaan Skala Brakh memerintahkan ketujuh paksi
agar bisa mengalahkan hantu Sasindai dengan penuh damai. Ratu Sekerumong
meyakini bahwa keda-maian akan selalu bermuara pada kebahagiaan yang sejati.
(2)
Religius
Religius merupakan sebuah nilai hidup manusia yang dimaknai sebagai rasa
kebersamaan yang menyatu pada sesuatu yang tidak dapat terlihat, namun diyakini
dengan sepenuh hati serta dilakukan secara konsiten dalam kehidupannya seharihari. Sikap religius dalam hikayat Komering dimunculkan pengarang melalui
beberapa tokoh, khususnya para paksi yang berjumlah tujuh.
Tabuh canang bertalu-talu. Rapal doa dipanjatkan oleh pandita negeri Liman
Meraksa, agar perjalanan para paksi ke muara selamat, serta dapat segera
menemukan tanah bisikan para dewa kahyangan (Bastari, 2019, hal. 50).
Data di atas menggambarkan prosesi doa bersama yang dipimpin pandita
negeri Liman Meraksa. Doa tersebut dilaksanakan dalam rangka melepas
kepergian para paksi dan memulai perjalanannya mencari tanah harapan.
330
Diglosia Volume 4 Nomor 3 (2021)
Kearifan Lokal dalam Hikayat Komering Pitu Phuyang
Perjalanan tersebut harus mereka tempuh demi Wangsa Buay Tumi agar tetap
berjaya. Doa merupakan perwujudan sikap religius yang nyata. Berdoa
menunjukkan bahwa diri tiada punya daya dan upaya untuk mencari selamat.
Semua harus dikembalikan kepada Yang Mahakuasa, dzat yang di tangannya
segala ciptaan tergenggam sempurna.
Para paksi memanjatkan syukur kepada dewata atas keselamatan yang
mereka dapatkan dari rintangan dalam perjalanan muhibah ke tanah harapan
(Bastari, 2019, hal. 58).
Adapun data di atas menggam-barkan sikap religiositas dari para paksi yang
tujuh. Mereka memanjatkan syukur kepada dewata atas keselamatan yang telah
mereka dapatkan. Mereka sadar bahwa tanpa bantuan dewata, mustahil mereka
dapat selamat dari segala marabahaya yang menghadang.
(3)
Kesediaan Bertanggung Jawab
Bertanggung jawab merupakan kesediaan menanggung tugas yang telah
diamanahkan dan berusaha menyelesaikannya dengan sebaik mungkin (Suseno,
2005; Hartono, 2014). Wangsa Buay Tumi dalam hikayat digambarkan sebagai
wangsa yang penuh tanggung jawab. Hal tersebut dibuktikan melalui sikap petinggi
kerajaan hingga rakyatnya. Semuanya bergerak membangun peradaban baru di
tempat yang baru. Setiap orang melaksanakan tanggung jawab sesuai prosinya
masing-masing.
Dapunta Ratu Sekerumong selaku Ratu bagi kerajaan Skala Brakh memikul
tanggung jawab terbesar. Beliau memerintahkan ketujuh paksi untuk ber-muhibah,
melakukan perjalanan mencari dan menemukan tanah harapan. Beliau sendiri
tetap di kerajaannya, dan mati dalam keadaan mempertahankan kehormatan
kerajaan Skala Brakh.
Keempat manusia dari utara yang kemudian merebut papadun, singgasana
lambang kekuasaan negeri Skala Brakh, aku Dapunta Beliau Ratu
Sekerumong, membawa mati kepercayaan akan-ku, Kajong Dalom, dan Kajong
Buyutku, tak akan tergantikan oleh apapun. Biarlah anak cucuku nanti
mengingatku sebagai Ratu Sekerumong yang mati dengan mempertahankan
kepercayaan para Phuyang kerajaan Skala Brakh, kerajaan Wangsa Buay
Tumi (Bastari, 2019, hal. 25).
Melalui kutipan di atas, jelas terlihat betapa besarnya rasa tanggung jawab
yang dimiliki oleh Dapunta Beliau Ratu Sekerumong. Beliau teguh dalam
pendiriannya, dengan tetap mempertahankan kepercayaannya dan mati dengan
mempertahankan kepercayaan sekaligus kehormataan kerajaan Skala Brakh.
Kerajaan yang telah dipimpinnya bertahun-tahun itu harus takluk oleh kekuatan
Wangsa Buay Umpu dari utara. Dapunta Beliau Ratu Sekerumong mati dalam
puncak kehormatan tertinggi karena mempertahankan kehormatan leluhur. Ia juga
adalah seorang ratu yang tetap mampu menjaga Wangsa Buay Tumi hingga
kematian datang menjemputnya.
Para paksi juga telah melaksanakan tanggung jawabnya sebagaimana yang
telah diamanahkan Ratu Sekerumong. Mereka bertujuh dengan penuh keberanian
Diglosia Volume 4 Nomor 3 (2021)
331
D. Febriyanto, K. Nurjana, E. Anista, & D. Mardiansyah
menempuh medan yang sulit, segala rintangan menghadang selalu dihadapinya
dengan penuh keyakinan. Mereka tidak pernah memutuskan untuk mundur seberat
apapun rintangan yang menghadang. Mereka percaya bahwa Dapunta Beliau Ratu
Sekerumong telah meletakkan keberlangsungan hidup Wangsa Buay Tumi kepada
mereka.
Demikian pula Wangsa Buay Tumi secara keseluruhan, mereka dengan
penuh kesadaran dan kepatuhan ber-muhibah ke tempat-tempat yang telah dibuka
oleh ketujuh paksi. Tidak ada seorang pun dari mereka yang memberontak atau
pun membantah titah pimpinan. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah
melaksanakan tanggung jawab sebagai rakyat dengan baik pula.
(4)
Pekerja Keras
Sikap hidup Wangsa Buay Tumi yang berikutnya adalah pekerja keras.
Mereka menjadi wangsa yang besar karena usaha dan ketekunan, bukan warisan
nenek moyang. Kalaupun toh memang ada warisan dari nenek moyang, namun
kebesaran yang diwariskan tersebut akan hilang dalam sekejap mata jika generasi
selanjutnya hanya duduk berpangku tangan, menunggu takdir datang.
Sikap hidup pekerja keras Wangsa Buay Tumi digambarkan pengarang
melalui ketujuh paksi yang ber-muhibah mencari tanah harapan. Ketujuh paksi
dengan tekat yang kuat pergi mencari tanah harapan yang dijanjikan dewata.
Mereka dengan penuh keteguhan dan keberanian mengarungi sungai, hutan, dan
segala halang rintang yang datang silih berganti. Seberat apapun halangan
menghadang, mereka selalu meng-hadapinya bersama-sama. Hingga satu demi satu
tanah harapan yang dijanjikan dapat ditemukan. Berkat kerja keras merekalah
Wangsa Buay Tumi dapat melebarkan sayapnya, menciptakan kebudayaan baru
yang penuh peradaban.
“Cepat kau hantamkan peliung itu ke perut ikan naga sebelum matahari habis
dimakan olehnya!”
Suara itu berkali-kali terdengar oleh Paksi Ratu Penghulu.Ikan naga raksasa
tersebut hampir memakan matahari setengahnya. Sadar akan hal tersebut,
Paksi Ratu Penghulu secepatnya menghantamkan peliung sakti milik Minak
Adipati, tepat di perut ikan naga raksasa pemakan matahari. Berkali-kali
sehingga sang ikan naga raksasa memuntahkan matahari yang sedang
dimakannya. Perlahan tapi pasti, matahari kembali menyinari semesta. Ikan
naga raksasa berwarna tembaga tersebut kesakitan dan mulai menyerang
Paksi Ratu Penghulu. Belum sempat ikan naga raksasa itu menyerang,
secepat kilat Paksi Ratu Penghulu mengarahkan hantaman peliung ke kepala
ikan naga raksasa tersebut sehingga pecah berhamburan seketika. Tubuh ikan
berwarna tembaga tersebut diselimuti oleh merah darahnya sendiri (Bastari,
2019, hal. 88-89).
Kutipan di atas menggambarkan salah satu wujud kerja keras dari ketujuh
paksi dalam menghadapi segala marabahaya yang dating silih berganti di sepanjang
perjalanan mencari tanah harapan. Suatu hari, ketika ketujuh paksi dihadang oleh
ikan naga raksasa di tengah perjalanan, ketujuh paksi dengan dipimpin oleh Paksi
Ratu Penghulu melawan ikan naga raksasa tersebut dengan penuh keberanian serta
kehati-hatian. Mereka selalu bekerja sama, saling membantu, dan bahu membahu
332
Diglosia Volume 4 Nomor 3 (2021)
Kearifan Lokal dalam Hikayat Komering Pitu Phuyang
sehingga segala kesulitan yang datang dapat dihadapi dan diselesaikan dengan
baik.
i.
Sistem Bertempat Tinggal
Wangsa Buay Tumi yang dipimpin oleh tujuh paksi memiliki kekhasan selalu
mendiami atau tinggal di tempat yang dekat dengan sungai. Hal ini bisa dilihat
melalui data berikut.
Merekalah cikal bakal suku bangsa Komering yang pertama kali mendiami
lembah sungai Komering. Mereka pula yang pertama kali mengadakan
muhibah Wangsa Buay Tumi ke daerah muara (Bastari, 2019, hal. 58).
Data di atas menggambarkan bahwa Wangsa Buay Tumi yang merupakan
cikal bakal suku bangsa Komering menjadikan lembah sungai Komering sebagai
tempat tinggalnya. Mereka meyakini bahwa daerah di sekitaran sungai memiliki
tingkat kesuburan lebih tinggi dari daerah mana pun. Itulah salah satu alasan
mereka tinggal di daerah-daerah yang dekat dengan sungai. Kenyataan tersebut
juga menunjukkan bahwa Wangsa Buay Tumi sebagai cikal bakal suku Komering
merupakan sebuah wangsa yang memiliki pemikiran luas dan maju.
D.
PENUTUP
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
Hikayat Komering Pitu Phuyang mengandung kearifan lokal yang sangat beragam.
Kearifan lokal yang dimaksud meliputi: (1) keyakinan Wangsa Buay Tumi
terhadap tambo sebagai salah satu sarana informasi yang diyakini kebenarannya, (2)
sistem kepercayaan terhadap Belaksa Kepampang dan Ikahua sebagai perwujudan
dewata, (3) tradisi pemberian adok sebagai wujud penghargaan, (4) sistem
pemerintahan berwujud kerajaan, (5) tradisi penyembelihan perawan dan perjaka
sebagai bukti pemujaan terhadap dewata, (6) tradisi kasta dalam pernikahan
keluarga kerajaan sebagai simbol kehormatan, (7) tradisi bertapa di puncak gunung
sebagai sarana pendekatan diri kepada Yang Kuasa. (8) masyarakat yang memiliki
prinsip hidup religius, penuh tanggung jawab, dan pekerja keras, serta (9) sistem
bertempat tinggal yang mencerminkan keluasan cara pikir masyarakatnya. Wangsa
Buay Tumi sendiri dipercaya merupakan cikal bakal suku Komering yang pertama
kali mendiami lembah sungai Komering.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, H. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga. Jakarta: Balai
Pustaka.
Bastari, H. (2019). Negeri Para Phuyang: Hikayat Komering Pitu Phuyang. Kebumen:
Intishar Publishing.
Fachrudin. (2009). Menggali kearifan lokal daerah Lampung untuk Penanggulangan
Problema Sosial. Bandar Lampung: Dinas Sosial Provinsi Lampung.
Jabrohim. (2015). Teori Penelitian Sastra.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Hartono. (2014). Pendidikan Karakter dalam Kurikulum 2013. Jnana Budaya, 19(2),
259–268.
https://jurnalbpnbbali.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/Jnana/article/vie
Diglosia Volume 4 Nomor 3 (2021)
333
D. Febriyanto, K. Nurjana, E. Anista, & D. Mardiansyah
w/21
Kasmi, H. (2019). Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Novel Tempat Paling Sunyi
Karya
Arafat
Nur.
Jurnal
Metamorfosa,
7(2),
161–169.
https://ejournal.bbg.ac.id/metamorfosa/article/view/260
Koentjaraningrat. (1987). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Yogyakarta:
Djambatan.
Misyuraidah, M. (2017). Gelar Adat dalam Upacara Perkawinan Adat Masyarakat
Komering di Sukarami Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan. Intizar, 23(2),
241–260. https://doi.org/10.19109/intizar.v23i2.2239
Murmahyati. (2011). Kearifan Lokal dalam Puisi Toraja. Sawerigading, 17(2), 269–
278. https://doi.org/10.26499/sawer.v18i2.356
Purna, I. M. (2016). Local Wisdom of Mbawa Village Society in Building Religious
Tolerance. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan, 1, 265.
Rafiek, M. (2012). Kearifan Lokal dalam Hikayar Raja Banjar. International Journal
of the Malay World and Civilisation, 30(1), 67–104.
Ratna, N. K. (2015). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Rohmadi, M., & Yakub N. (2017). Dasar-Dasar Penelitian Bahasa, Sastra, dan
Pengajaran. Surakarta: Pustaka Briliant.
Salbiah, S., & Fitriani, H. (2021). Analisis Penokohan Dalam Hikayat Komering
Phitu Phuyang: Negeri Para Phuyang Karya Himawan Bastari. Seulas Pinang:
Jurnal
Pendidikan
Bahasa
Dan
Sastra,
2(1),
32–42.
https://doi.org/10.30599/spbs.v2i1.820
Sartini. (2004). Menggali Kearifan Lokal Nusantara. Jurnal Filsafat, 37(2), 111–120.
https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/33910/20262
Suharso., & Retnoningsih, A. (2020). Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Lux.
Semarang: Widya Karya.
Supratman. (1996). Ikhtisar Sastra Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.
Suseno, F. M. (2005). Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Jakarta:
Pustaka Filsafat.
Yetti, E. (2019). Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Nusantara: Upaya
Melestarikan
Budaya
Bangsa.
Mabasan,
5(2),
13–24.
https://doi.org/10.26499/mab.v5i2.207
334
Diglosia Volume 4 Nomor 3 (2021)