MIMBAR AGAMA BUDAYA
MIMBAR: Vol. 37 No. 2, July - December 2020
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL...
10.15408/mimbar.v37i2.18202
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PERIODE
TOMANURUNG
Yunus
STMIK Eresha, Kota Tangerang Selatan, Banten, Indonesia
Email:
[email protected]
Abstract. This study aims to describe the value of local wisdom contained in the Tomanurung period. This research uses
ethno pedagogical method. The technique of collecting data through interviews, interviewed informants came from several
academic circles (lecturers) as many as 6 people. Researchers also interviewed 6 community leaders. This post-chaos period
is called the Tomanurung period with a character named Simpurusiang in Bugis language, “Simpurusiang” implies “a
strong and unbroken binder”. The condition of society is in a state of chaos and divorce. Because of this, they are looking
for figures who can unite societies that have been divided and in chaos. Through a long search, they found the person they
needed, namely a Tomanurung (the descendant) and they agreed to make him king through a “collective agreement” that
is between Tomanurung and people's representatives. According to the perspective of the Luwu community, Tomanurung
means a person who descends from heaven or heaven. Tomanurung did not know the news of his arrival beforehand,
suddenly appeared and his presence was being awaited to fix the chaotic situation. Therefore, Tomanurung for the people
of Luwu and Bugis-Makassar is generally considered a savior, unifier and continuation of royal life. So the value of human
behavior in the past, which was the source of the lontaraq pappaseng script, such as adele’ (fair), lempu' (honest), getteng
(firm), Abbulo Sibatang.
Keyword: PeriodeTomanurung; Nilai kearifan lokal;
Abstrak. Penelitian ini bertujuan mengambarkan nilai kearifan lokal yang terdapat dalam periode Tomanurung.
Penelitian ini menggunakan metode etnopedagogi. Teknik pengumpulan datanya melalui wawancara, informan yang
diwawancarai berasal dari beberapa kalangan dari akademis (Dosen) sebanyak 6 orang. Peneliti juga, mewawancarai
kalangan tokoh masyarakat sebanyak 6 orang. Periode pasca chaos ini disebut dengan periode Tomanurung dengan
tokohnya bernama Simpurusiang dalam Bahasa Bugis, “Simpurusiang” mengandung makna “pengikat yang kuat dan
tidak putus-putus”. Karena kondisi masyarakat dalam keadaan kacau dan bercerai berai. Karena itu, mereka mencari
tokoh yang dapat mempersatukan masyarakat yang telah bercerai-berai dan dalam keadaan kacau (chaos). Melalui
pencarian yang panjang, maka ditemukanlah orang yang mereka perlukan yaitu seorang Tomanurung (orang turun)
dan mereka sepakat menjadikannya raja melalui suatu “perjanjian bersama” yaitu antara Tomanurung dengan wakilwakil rakyat. Menurut persfektif masyarakat Luwu, Tomanurung artinya orang yang turun dari langit atau kayangan.
Tomanurung tidak diketahui berita kedatangannya terlebih dahulu, tiba-tiba muncul dan kehadirannya memang sedang
ditunggu-tunggu untuk memperbaiki keadaan yang sedang kacau. Karena itu, Tomanurung bagi masyarakat Luwu dan
Bugis-Makassar pada umumnya dianggap sebagai penyelamat, pemersatu dan pelanjut kehidupan kerajaan. Jadi nilai
perilaku manusia pada masa lampau yang sumber naskah lontaraq pappaseng seperti adele’ (adil), lempu’ (jujur),
getteng (teguh), Abbulo Sibatang.
Kata Kunci: PeriodeTomanurung; Nilai kearifan lokal;
MIMBAR: Vol. 37 No. 2, July - December 2020
29 - 42
© MIMBAR AGAMA BUDAYA
Yunus
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL...
PENDAHULULAN
Periode Tomanurung atau periode
Lontara (periode sejarah), masyarakat Luwu
mengenal zaman I Lagaligo yaitu zaman
pemerintahan para dewa dari botinglangi
(langit) dan dari peretiwi (dunia Bawah) karena
para dewa-dewa yang memerintah di ale kawa
(dunia tengah) kembali ke tempatnya masingmasing. Sehingga pada akhir periode Galigo,
dikisahkan rakyat tidak mempunyai raja lagi,
maka terjadilah kekacauan (chaos) yang disebut
dengan masa sianrebale (homo homoni lupus).
Mereka hidup dalam kelompok-kelompok
dengan kepala kelompok masing-masing yang
disebut dengan anang. Antara satu kelompok
dengan kelompok yang lain saling bermusuhan
dan saling bunuh-membunuh. Zaman ini, oleh
Pelras disebut dengan zaman anarkis atau
kekacauan. Zaman tersebut berlangsung cukup
lama, kurang lebih pitu pariama (mungkin yang
dimaksud tujuh generasi atau tujuh puluh tujuh
tahun). Selama masa sianrebale, sistem
kelembagaan masyarakat Luwu yang disebut
anang, macet. Terjadi kekosongan kekuasaan.
Ciri masyarakat ini adalah anarkis, tanpa
aspirasi, tanpa adat, tanpa hukum, dan tanpa
peradilan. Antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya saling menerkam. Konflik
yang berlarut-larut ini menyadarkan bahwa
masyarakat Luwu makin jauhnya mereka dari
tujuan kemanusiaan. Masyarakat Luwu
kemudian sadar akan perlunya menciptakan
perdamaian yang kekal di antara masyarakat
kaum (anang).
Sejak periode I Galigo hingga Lontara,
telah berperan penting dalam membangun
tatanan masyarakat di beberapa wilayah.
Berbagai wilayah di Sulawesi Selatan, kerap
menghubungkan
keturunannya
atau
keberadaan kerajaannya dengan kerajaan
Luwu. Dengan demikian dapatlah dikatakan
bahwa Luwu merupakan akar kebudayaan yang
telah berintegrasi dalam wilayah kesadaran
masyarakat pendukungnya.
MIMBAR: Vol. 37 No. 2, July - December 2020
Keagungan dan kearifan sejarah dan
kebudayaan Luwu telah menjadi kekuatan
tersendiri
dalam
menyerap
dan
mentransformasikan
berbagai
anasir
kebudayaan dari luar yang kemudian
berintegrasi dalam sebuah harmonisasi
kebudayaan. Sejarah terlebih kebudayaan Luwu
terus mengalami aliansi dari masyarakatnya
sendiri. Kondisi ini semakin diperparah oleh
adanya kecenderungan terjadinya proses
politisasi sejarah dan kebudayaan. Hal ini
tentunya juga akan menjadikan sejarah dan
kebudayaan Luwu mengalami keterasingan dari
pusat kesadaran masyarakat Luwu sendiri.
Nilai-nilai budaya sebagai salah satu
bentuk kearifan lokal yang dimiliki oleh
Kerajaan
Luwu
pada
pelaksanaannya
mengalami penurunan secara drastis akibat
dilupakannya nilai-nilai yang seharusnya
menjadi landasan dalam pemerintahan. Hal ini
ditandai dengan lemahnya pemahaman
masyarakat Luwu tentang budaya yang
tentunya mengandung unsur-unsur nilai yang
begitu berharga untuk kemudian diterapkan
dalam kehidupan bermasyarakat utamanya di
bidang pemerintahan (aparatur). Penulis
mencoba mengangkat hal-hal yang terkait
dengan nilai-nilai yang dahulunya menjadi
panutan dalam praktek kehidupan masyarakat,
khususnya
pada
penyelenggaraan
pemerintahan pada masa Kerajaan Luwu (To
Ciung Maccae ri Luwu).
Nilai budaya merupakan sesuatu yang
abstrak yang dijadikan pedoman serta prinsipprinsip umum dalam bertindak dan bertingkah
laku. Keterikatan orang atau kelompok
terhadap nilai budaya relatif sangat kuat dan
bahkan bersifat emosional. Oleh sebab itu, nilai
budaya dapat dilihat sebagai tujuan kehidupan
manusia itu sendiri. Bertitik tolak dari pendapat
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa setiap
individu dalam
melaksanakan
aktifitas
sosialnya selalu berdasarkan serta berpedoman
kepada nilai-nilai atau sistem nilai yang ada dan
hidup dalam masyarakat itu sendiri. Nilai yang
dimaksud adalah nilai To Ciung Maccae Ri Luwu
30 - 42
© MIMBAR AGAMA BUDAYA
Yunus
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL...
yang ajarannya antara lain yaitu adele’ (adil),
lempu’ (jujur) dan getting (teguh).
Salah satu falsafah “resopa temmangngingi
namalomo naletei pammase dewata” falsafah ini
memiliki arti orang Bugis menyakini bahwa
semua keberhasilan karena adanya rahmat atau
kasih sayang dan pertolongan dari Allah swt.
Nilai ini juga mengandung nilai kemandirian,
yaitu bekerja keras baik dalam kehidupan
masyarakat
maupun
dalam
kehidupan
pembangunan daerah yang diridhai oleh Allah
swt. Nilai religius yang yakin terhadap Tuhan
terdapat dalam falsafah Tellui riala sappo: tauqe ri dewata; siriq-e ri watakkaletaq; siriq-e ri
padatta tau (artinya tiga hal yang dijadikan
pagar/pelindung: Takut kepada tuhan (Allah
swt); malu pada diri sendiri; malu pada sesama
manusia. Dalam kehidupan di dunia ini, yang
dijadikan sebagai penjaga bagi diri seorang yang
utama adalah rasa takut atau malu kepada Allah
Ta’ala, kemudian selanjutnya ditanamkan rasa
malu terhadap diri sendiri dan malu kepada
orang lain. Seorang yang memegang teguh
ketiga prinsip tersebut, maka dirinya akan
selamat dan terjaga dalam kehidupannya di
dunia ini.
Tiga yang dijadikan pagar: rasa takut pada
tuhan, rasa malu pada diri sendiri dan rasa malu
kepada sesama manusia. Rasa malu kepada
Tuhan membawa ketaqwaan dan memperkuat
iman, rasa malu kepada diri sendiri akan
menekan niat buruk dan memperhalus budi
pekerti, dan rasa malu kepada sesama manusia
akan membendung tingkah laku buruk dan
meninggikan budi pekerti (A Moein MG., 1990)
Warisan leluhur orang Bugis yang
terdapat dalam naskah lontaraq, jika dikaji
secara mendalam dalam upaya memahami apa
yang tersurat dan apa yang tersirat dalam
naskah tersebut, maka akan ditemukan
pertama-tama rasa kagum terhadap berbagai
pandangan hidup yang merupakan falsafah
leluhur orang Bugis pada masa lampau.
Berangkat dari kondisi yang dialami
Kedatuan Luwu, maka dasar yang menjadi
pegangan para cerdik pandai Kedatuan Luwu
MIMBAR: Vol. 37 No. 2, July - December 2020
untuk merumuskan persyaratan bagi seseorang
putra mahkota yang dapat mewarisi dan
memegang kendali politik kedatuan, yaitu
sebagai berikut: 1. Melempukpi (memelihara
kejujuran) 2. Makkeda tongeppi (selalu berkata
benar) 3. Maegettengpi (teguh pada pendirian
yang benar) 4. Malelengpi (mawas diri) 5.
Masempopi (bermurah hati) 6. Manyameng
kininnawapi (memelihara sikap peramah) 7.
Waranipi
(memelihara
keberanian)
8.
Temmapasilaingeppi (tidak pilih kasih)
NILAI-NILAI PERIODE TOMANURUNG
Kondisi masyarakat dalam keadaan
kacau dan bercerai berai. Karena itu, mereka
mencari tokoh yang dapat mempersatukan
masyarakat yang telah bercerai-berai dan
dalam keadaan kacau (chaos). Melalui
pencarian yang panjang, maka ditemukanlah
orang yang mereka perlukan yaitu seorang
Tomanurung (orang turun) dan mereka sepakat
menjadikannya raja melalui suatu “perjanjian
bersama” yaitu antara Tomanurung dengan
wakil-wakil rakyat (Hadi Mulyono dan Abd
Muthalib, 1979).
Masa Tomanurung pertama sampai datu
Luwu ke-11 Datu Maningoe Ri Bajo (15511581), badan pemerintahan Pakkatenni Ade’
dan Ade’Asera tidak banyak berfungsi atau
dengan kata lain pemerintahan yang dibangun
di atas landasan demokrasi belum berjalan
secara maksimal; dimana kebijakan pemerintah
(raja)
belum
sepenuhnya
memberi
keberpihakan pada rakyat, pemerintah belum
sepenuhnya memberikan perlindungan kepada
rakyatnya, dan atau rakyat belum mendapat hak
yang pantas dari raja, sampai datangnya
periode Datu ke-12 yang bernama We
Tenrirawe (1581-1611). Datu ke-12 ini dikenal
menjalankan
pemerintahannya
dengan
memberikan perhatian yang layak dan pantas
buat rakyatnya; seperti yang digambarkan pada
falsafah yang menjadi konstitusi pemerintahan
Kedatuan Luwu. Pertama, “Puang temma
bawang pawing ata tenri bawang pawang” (raja
31 - 42
© MIMBAR AGAMA BUDAYA
Yunus
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL...
tidak boleh sewenang-wenang dan rakyat tidak
boleh disewenang-wenangi). Maksud dasar
hukum tersebut di atas, dititik beratkan pada
sikap adil penguasa. Seorang pengusa tidak
boleh bertindak sewenang-wenang terhadap
rakyat, sebab kendatipun rakyat itu adalah ata
(abdi), namun rakyat tetap berhak untuk
diperlakukan secara adil (Sanusi Daeng Mattata,
1993).
Kedua, “Puang mappattutu ata ripattutu”
(raja mendengar aspirasi rakyat dan rakyat
harus menjelaskan aspirasinya). Konstitusi
tersebut dimaksudkan agar seorang hakim yang
bertugas memeriksa terdakwa, haruslah benarbenar menjalankan tugasnya sebagai hakim,
yaitu sebelum menjatuhkan vonis, maka
perkara tersebut, terlebih dahulu diteliti secara
cermat.
Seorang
hakim
berkewajiban
memeriksa terlebih dahulu dalam rangka
mencari kebenaran. Undang-undang di atas
dijabarkan pula dalam Lontara yang
menyebutkan bahwa seorang hakim yang tidak
menjalankan tugasnya secara profesional akan
merusak negeri dan melemahkan kerajaan.
Lebih lanjut Lontara menjelaskan, ada empat
jenis hakim, tiga diantaranya dapat merusak
negeri dan hanya satu yang memperbaiki
negeri, yaitu, pertama, jika membuat keputusan
atas dasar kebencian yakni melampiaskan
kemarahan pribadinya, sehingga masalah yang
ditanganinya merugikan pihak yang benar,
kedua, hakim yang membuat keputusan dengan
dasar kegembiraan, yaitu hakim yang menerima
sogokan, ketiga, hakim yang membuat
keputusan dengan dasar perasaan iba, yaitu
hakim yang bermaksud melindungi dengan
dasar keluarga, sehingga ia membenarkannya
dan keempat, hakim yang mempertimbangkan
kebenaran kedua belah pihak yang berperkara.
Ketiga, “Puang temmakketteni sulo ata
tenriappaketenni sulo” (raja tidak memegang
rakyat seperti obor, rakyat tidak dipegang
seperti obor). Maksud dasar hukum tersebut,
yakni penguasa harus mempunyai rasa
tanggungjawab terhadap keadaan rakyatnya,
sebab
kemakmuran
rakyat,
berarti
MIMBAR: Vol. 37 No. 2, July - December 2020
kemakmuran
kerajaan.
Sebaliknya,
kesengsaraan rakyat berarti kesengsaraan
kerajaan. Dengan demikian, antara penguasa
dan rakyat tidak dapat dipisahkan. Penguasa
berkuasa tetapi tetap mempunyai batas-batas
kekuasaan. Demikian juga rakyat, mempunyai
hak-hak yang harus dihormati oleh raja,
sehingga penguasa harus mengetahui batasbatas kekuasaannya.
Berdasarkan konstitusi pemerintahan
Kedatuan Luwu sebagaimana yang telah
disebutkan
di
atas,
maka
penulis
berkesimpulan,
bahwa
pada
zaman
pemerintahan Datu We Tenrirawe (15811611), Kedatuan Luwu mengalami suatu
revolusi. Datu We Tenrirawe sebagai seorang
datu perempuan, berhasil melakukan revolusi
membawa Kedatuan Luwu menjadi negara
(state) yang sebelumnya bersifat monarki
parlemen meningkat menjadi pemerintahan
yang bersifat monarki konstitusional.
Datu perempuan ini sebagai sebuah
revolusi, karena pemerintahan lahir dan
dibangun dengan landasan demokrasi yang
ditandai dengan adanya perjanjian kerja sama
antara Tomanurung (Simpurusiang) dan wakilwakil rakyat. Namun, merujuk kepada bunyi
dasar-dasar hukum atau undang-undang
pemerintahan tersebut di atas, maka jelaslah
bahwa sebelum Datu Etenriawe (1581-1611),
demokrasi belum berjalan sepenuhnya, atau
dengan kata lain pemerintahan masih bercorak
monarki parlementer, di mana masih melekat
anggapan “raja tidak dapat berbuat salah,”
sehingga dengan image seperti itu, maka masih
memberi peluang kepada pihak kerajaan untuk
memperlakukan rakyat secara sewenangwenang dan tidak melibatkan rakyat dalam
pemerintahan.
Kemungkinan besar, rakyat telah
mengalami kejenuhan bahkan mungkin muncul
gerakan-gerakan kecil dari rakyat. Memang
penulis tidak menemukan referensi yang
memberikan informasi mengenai gerakangerakan yang muncul dari masyarakat akibat
mandeknya pemerintahan demokrasi yang
32 - 42
© MIMBAR AGAMA BUDAYA
Yunus
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL...
diinginkan rakyat, tetapi kemungkinan untuk
itu bisa saja terjadi sampai pada masa Datu
Etenriawe (1581-1611), yang mau tidak mau,
pihak kerajaan harus bekerja keras untuk
melakukan suatu perubahan yang dapat
dirasakan secara langsung olek rakyat. Penulis
menduga, bahwa inilah yang melatar belakangi,
lahirlahnya konstitusi baru Kedatuan Luwu,
seperti yang disebutkan di atas. Pada masa Datu
Etenriawe (1581-1611), dikenal seorang
negarawan dan cendekiawan yang banyak
memberikan perhatian terhadap kondisi
kedatuan. Dia bernama Tociung. Tociung
banyak memberikan ide-ide atau buah pikiran
dan pesan-pesan kepada kedatuan/pemerintah
yang
bertujuan
untuk
memelihara
kelangsungan kerajaan, sehingga kedatuan
terhindar dari kehancuran (Sulesana Anwar
Ibrahim, 2003).
Berdasarkan buah pikiran dan pesanpesan dari Tociung, maka lahirlah hukum dasar
pemerintahan Kedatuan Luwu yang berpihak
kepada rakyat. Menurut Tociung, agar kerajaan
dapat bertahan dan hidup terus, maka kedatuan
harus pandai menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan yang telah menjadi
kenyataan; kedatuan harus menyesuaikan diri
dengan aspirasi rakyat, untuk itu, perlu
diadakan
perubahan-perubahan
dalam
kedatuan. Ide-ide dan pemikiran Tociung sangat
membantu pemerintahan zaman Datu We
Tenrirawe, karena itulah Tociung mendapat
gelar “To Accana Luwu” (cendekiawan Luwu).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pangaderrang (adat istiadat) sebagai
falsafah hidup orang Bugis, memiliki 4 (empat)
asas sekaligus pilar yakni: (1) Asas
mappasilasae, yakni memanifestasikan ade’ bagi
keserasian hidup dalam bersikap dan
bertingkah laku memperlakukan diri dalam
pangaderrang;
(2)
Mappasisaue,
yakni
diwujudkan sebagai manifestasi ade’ (adat)
untuk menimpahkan deraan pada setiap
pelanggaran ade’ (adat) yang dinyatakan dalam
MIMBAR: Vol. 37 No. 2, July - December 2020
bicara. Azas ini menyatakan pedoman legalitas
dan represi yang dijalankan dengan konsekuen;
(3) Mappasenrupae, yakni mengamalkan ade’
bagi kontinuitas pola-pola terdahulu yang
dinyatakan dalam rapang; (4) Mappalaiseng,
yakni manifestasi ade’ dalam memilih dengan
jelas batas hubungan antara manusia dengan
institusi-institusi sosial, agar terhindar dari
masalah (chaos) dan instabilitas lainnya. Hal ini
dinyatakan dalam wari untuk setiap variasi
perilakunya manusia Bugis. Masuk Islam di
Tana Sulawesi Selatan, sangat mempengaruhi
budaya Bugis. Dengan masuk Islam sehingga
Falsafah Bugis yang dikenal 4 empat unsur
(ade’, bicara, rapang dan wari’) kemudian
ditambahkan dengan unsur sara’ (Islam).
Setelah Islam diterima sebagai agama resmi dan
umum dalam masyarakat Bugis.
Falsafah yang mewarnai dan mendasari
berbagai nilai perilaku manusia Bugis pada
masa lampau. Beberapa kearifan Bugis dari
berbagai sumber naskah lontaraq pappaseng
yang mengandung nilai-nilai:
Nilai kejujuran
Nilai-nilai kejujuran pada masyarakat
Luwu sangat dijunjung tinggi sejak dahulu.
Salah satu faktor yang sangat mendasari budaya
orang Luwu (Bugis)dalam kehidupan seharihari adalah sifat kejujuran. Apabila kejujuran ini
terabaikan maka akan menimbulkan keresahan,
kegelisahan, dan penderitaan di kalangan
masyarakat (Nuralam Saleh, 2006, Muhammad
Sikki, dkk, 1991).
Berdasarkan kearifan yang terdapat
dalam
percakapan
Penasihat
raja Bone, Kajao Laliqdong dengan Arung
Mpone tentang kejujuran. Anrê narekko taniya
iko pasanreq-ki; Ajaq muala waramparang
narekko taniya waramparammu; Ajaq muala aju
riwettawali narekko taniya ikompettai. (Jangan
mengambil kayu yang disandarkan dan bukan
engkau yang menyandarkan; Jangan mengambil
barang-barang yang bukan milikmu; Jangan
33 - 42
© MIMBAR AGAMA BUDAYA
Yunus
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL...
mengambil kayu yang ditetak ujung pangkalnya
dan bukan kamu menetaknya (menebangnya).
Nilai tanggung jawab
Melaksanakan tugas dan kewajiban adalah
perwujudan dari tanggung jawab yang harus
dilakukan, baik pada dirinya sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, sosial, budaya),
negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Pentingnya
sikap tanggung jawab, telah ditekankan sejak
dahulu. Hal ini terdapat dalam pappaseng: apa
nakulle taue mabbaine narekko naulleni
maggulilingiwi dapurêngnge wekka pitu
(Apabila seseorang pria ingin beristri, harus
sanggup mengelilingi dapur tujuh kali. Seorang
laki-laki yang telah dewasa, jika telah memiliki
keinginan untuk berumah tangga, hendaknya
mampu mengitari “dapur sebanyak tujuh kali”.
Kata “dapur” di sini dijadikan suatu ibarat
bahwa seorang yang ingin berumah tangga,
berarti telah siap bertanggung jawab untuk
memberikan nafkah kepada keluarganya.
Adapun kata “tujuh” adalah hitungan hari dalam
satu minggu terdapat tujuh hari. Jadi seorang
laki-laki yang ingin berkeluarga, telah siap
mencukupi kebutuhan seharihari dari orang
yang kelak menjadi tanggungannya).
Nilai disiplin
Kedisiplinan adalah merupakan tindakan
yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh
pada berbagai ketentuan dan peraturan. Sifat
kepatuhan dan kesetiaan orang Bugis dalam
berbagai aspek, seperti kepatuhan pada adat,
dan kepatuhan kepada pemerintah. Hal ini
terlihat pada pappaseng: Ajaq siyo mupinrai,
murusaq-i, mubicarai Islam dan Kearifan
Lokalmêng pura onroe, iyana ritu riasêng popo
gamaru, makêrrêq. Natujui tikkaq wanuae, lelei
saiye, makkamateng-matengngi tedongnge,
oloq-koloe, têmmabbuai aju-kajung ri anrewe
buwana, ri sappeyang pattapie, natuwoi sêrriq
dapurêngngê; Iya natêppa kêrêkênna nanre topi
api adêq-e popo gamaru, rusaqe pura-onro, pura
lalêng malêmpuq. narusaq deceng mallêbbang,
MIMBAR: Vol. 37 No. 2, July - December 2020
napasalai tongêngnge napatujui salae; Naiya
pura onroe, appunnanna tanae, appunnanna toi
to maegae, appunnana toi arung-e. (Muhammad
Sikki, dkk. 1998) (Jangan sekali-kali engkau
mengubah, merusak, dan membicarakan adat
tetap karena itulah dinamakan popogamaru
(makerre) pantangan besar dalam negeri. Jika
hal itu dilakukan, negeri akan ditimpa kemarau
panjang, penyakit mewabah, binatang ternak
mati bergelimpangan, tak berbuah pepohonan
yang dimakan buahnya, nyiru digantung, antan
diselipkan, lesung ditelungkupkan, dapur
ditumbuhi rumput.
Musibah itu tiba jika mengubah adat yang
telah
ada
(membatalkan
kesepakatan,
mengubah tradisi), merusak nilai-nilai luhur
yang dijunjung oleh masyarakat, menyalahkan
yang benar, membenarkan yang salah. Adapun
yang dimaksudkan tradisi ialah sesuatu yang
milik bersama, milik orang banyak, dan milik
raja). Maksudnya seseorang jangan sekali-kali
membatalkan suatu kesepakatan, mengubah
tradisi, merusak nilai-nilai luhur yang dijunjung
oleh masyarakat, menyalahkan yang benar,
membenarkan yang salah. Adapun yang
dimaksudkan tradisi ialah sesuatu yang milik
negeri, milik orang banyak, dan milik raja. Kalau
hal
tersebut
dilanggar
maka
akan
mendatangkan bencana dan musibah di negeri
tersebut. Musibah yang dimaksud di sini adalah
terjadi kekacauan di dalam negeri itu yang
diakibatkan dari tidak dipatuhinya aturanaturan yang ada.
Nilai kerja keras
Kerja keras adalah upaya sungguhsungguh dalam mengatasi berbagai hambatan
dan persoalan dalam kehidupan. Perilaku
tersebut telah ditanamkan dalam budaya Bugis.
Hal tersebut terlihat dalam pappaseng: Ajaq
mumaeloq ribettang makkalêjjaq ricappaqna
letengnge. (Muhammad Rapi Tang, 2004)
(Jangan mau didahului menginjakkan kaki di
ujung titian dalam berusaha hendaknya bekerja
dengan maksimal dan kepandaian untuk
34 - 42
© MIMBAR AGAMA BUDAYA
Yunus
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL...
melihat peluang usaha. Hal ini menunjukkan
bahwa dalam berusaha dibutuhkan perhatian
dan kerja keras yang kompetitif).
sakit pula orang lain. Maknanya adalah sebelum
menyakiti orang lain berpikir lebih dahulu.
Nilai peduli lingkungan
Nilai mandiri
Mandiri adalah sikap dan perilaku yang
tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas. Sikap kemandirian ini
sangat ditekankan dalam kearifan Bugis, seperti
yang disebutkan dalam pappaseng ini: Makkedai
pappasenna arung rioloe ri anana ri eppona ri
siajinna rekko sappaqko dalleq koi mutajeng
pammasena Allah ta’ala ri pammasena arung
mangkauq-e. Enrengnge ri laonrumangnge.
Kuwaeq leppang limammu. (Pananrangi, 1996).
Berkata (pesan-pesan) raja terdahulu kepada
anak cucunya, kepada kerabatnya. Kalau engkau
mencari rezeki, nantikanlah rahmat Allah Ta’ala
daripada belas kasih raja yang berkuasa, serta
pada usaha bercocok tanam. Demikian pula
dengan jerih payahmu sendiri).
Berusaha mandiri mencari rezeki dengan
keringat sendiri, seperti menjadi seorang
petani, sambal bercocok tanam senantiasa
berdoa dan berharap rahmat dari Allah Ta’ala
agar usaha yang dilakukan mendapatkan
berkah dariNya. Bekerja sambil berdoa adalah
lebih mulia daripada berharap belas kasihan
dari orang lain.
Nilai peduli sosial
Peduli sosial adalah sikap dan perilaku
yang mencerminkan kepedulian dan rasa cinta
kepada orang lain (Pananrangi Hamid, 1996).
Dalam menolong atau membantu orang lain
hendaknya dengan hati yang ikhlas. Keikhlasan
ini akan melahirkan suatu kepuasan dalam ikut
meringankan beban orang lain, karena
dilakukan tanpa pamrih dan berharap pujian
dari
manusia
melainkan
semata-mata
mengharapkan pahala dan ridho dari Yang
Maha Kuasa. seperti yang disebutkan dalam
pappaseng ini: Galeccei alemu nampa mugalecce
tauwe. Makna perkataan adalah cubit dulu
dirimu, lalu kau cubit orang lain, jika sakit, maka
MIMBAR: Vol. 37 No. 2, July - December 2020
Kepedulian akan lingkungan alam
dibuktikan dengan cara menggunakan alam
sesuai dengan kebutuhan secara wajar dan
seimbang (Paul Suparno, 2002). Berbagai pesan
yang menggambarkan sikap dan tindakan yang
selalu berupaya mencegah pada kerusakan
lingkungan sekitar dan upaya untuk
memperbaikinya,
juga
terdapat
dalam
pappaseng, Naiya rekko maelokko mappalili
madecenni maddepungeng ri padangnge
tasipakainge madeceng ribicaranna laonrumae
ri billaqna bareq-e, timoq-e. Poncoqna bosie
enrengnge lampeqna ri alemmana timoq-e,
rimakerinna, nasabaq purana napalalo matowa
pallaonrumae riaddapangi pole riadanna
lontaraq-e enrengnge rapang lalonnae tau
parekkengngengngi laonrrumae temmakkullei
pasala. (Ambo Gani,1990) (Apabila engkau akan
turun ke sawah, baiklah (engkau sekalian)
berkumpul di padang kemudian saling
memperingati (bermusyawarah), yang baik
tentang musim kemarau, musim hujan, panjang
dan lembutnya musim kemarau itu, keringnya
udara, berdasarkan yang pernah dilaksanakan
oleh Matowa (orang terdahulu yang paham)
pertanian yang mengambil contoh seperti apa
yang tertera dalam lontaraq, serta contoh yang
pernah dilakukan oleh para ahli pertanian
sebelumnya dan tak mengalami kesalahan).
Sipakatau, sipakalebbi, sipakaingge yaitu;
semangat kebersamaan, sepenanggungan, seiasekata dalam menjaga keharmonisan. Menurut
Andi Mattingaragau (2019) untuk dapat
mencapai ketentraman bersama, selalu dapat
menjalin persahabatan kepada setiap orang
dengan tanpa membedakan suku, agama, ras,
dan golongan. Sedangkan padaidi, dilandasi
dengan
semangat
kekeluargaan
dan
persaudaraan untuk selalu saling tolong
menolong yang dapat ter-vitalisasi dan terimplementasi secara lebih nyata dalam
35 - 42
© MIMBAR AGAMA BUDAYA
Yunus
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL...
masyarakat, agar
terjaga
kerukunan,
kebersamaan, keharmonisan, dan kenyamanan
dalam menjalani kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Nilai merupakan nilai yang diartikan
sebagai saling menghormati atau menghargai
(sipakalebbi), saling menasehati (sipakainge),
dan saling memuliakan (sipakatau), juga
diartikan sebagai landasan seseorang atau
kelompok dalam berperilaku kepada orang
yang dituakan dan sesama teman maupun
kepada yang lebih muda.
Sipakalabbiri artinya saling menjaga
kebersahajaan,
menjaga
keanggunan
(perempuan), saling menjaga
wibawa seseorang, atau bisa
diartikan saling menghargai dan
saling menghormati. Kalau ni
pakalabbiri
artinya
diberi
kedudukan yang terhormat.
Masyarakat suku Bugis Makassar
diharapkan sipakalabbiri, salah
satu contohnya: seorang tamu
wajib ni pakalabbiri, bagi siapa
yang tidak dak mem pakalabbiri
tamunya justru tuan rumahlah
yang tidak labbiri (tidak
terhormat) dimata masyarakat.
Abbulo Sibatang
Gotong
royong,
bekerjasama,
bersatu/persatuan.
Dalam
keseharian
kehidupan masyarakat suku Bugis, Makassar,
Luwu dan Toraja yang ada di Kota Palopo selalu
mengedepankan kegotong royongan, seperti
memindahkan rumah panggung, menanam
padi, memanen padi. Nilai abbulo sibatang ini
juga yang mempererat hubungan silaturahim
untuk selalu menjalin rasa kebersamaan dan
persatuan antar saudara dan lain-lain.
Landasan hidup bersama dengan penuh
cinta dan saling membantu serta mengingatkan
terkandung dalam nilai mali siparappe, rebba
sipatokkong, malilu sipakainge, khususnya
saling membantu dalam kebaikan. Falsafah ini
menitikberatkan pada rasa peduli yaitu sesama
MIMBAR: Vol. 37 No. 2, July - December 2020
manusia, hendaknya saling membantu jika
dalam kesulitan, saling menasehati dalam
kebaikan, dan saling memotivasi jika dalam
keadaan terpuruk, tidak semangat, bangkrut
dan sebagainya. Nilai saling gotong royong ini
telah dipraktikkan oleh masyarakat Bugis sejak
dahulu. Hal ini dipraktikkan pada saat turun
menanam padi di sawah, semua masyarakat
dilibatkan dan mengambil andil ketika
menanam padi. Selain menanam padi, gotong
royong ditunjukkan ketika membangun rumah,
memperbaiki jalan, membuat pengairan bagi
sawah dan sebagainya. Karena hal itulah
penulis merangkum dalam bagan ini.
Nilai budaya lokal sebagai penjabaran
konsep Siri na Pacce yang bisa menjadi acuan
dalam berbagai aspek kehidupan: 1) Nilai
kemandirian, yaitu bekerja keras baik dalam
kehidupan
masyarakat
maupun
dalam
kehidupan pembangunan daerah yang diridhai
oleh Allah swt. Dengan dasar nilai falsafah
Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei
Pammase Dewata; 2) Nilai kebersamaan yang
bertujuan untuk menjalin kerja sama saling
menghargai sesama manusia yang berbasis
pada
falsafah
Sipakatau
Sipakalebbi,
Sipakaingge; 3) Nilai keterbukaan atau
akuntabilitas yaitu penegakan hukum secara
tegas, jujur, adil dan transparan serta
bertanggung
jawab
dalam
kehidupan
36 - 42
© MIMBAR AGAMA BUDAYA
Yunus
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL...
masyarakat dan pemerintah dengan dasar
falsafah Lempu, Getteng, Ada Tongeng,
Temmappasilaingeng, Nyameng Kininnawa. 4)
Nilai kesadaran kosmopoligis yang berarti
mempersatukan secara integral antara alam,
manusia dengan sang Pencipta, saling
melindungi, tolong menolong serta bertanggung
jawab dalam melestarikan lingkungan alam
maupun lingkungan sosial dengan dasar
falsafah Rebba sipatokkong, Malilu sipakainge’,
Mali Siparappe’ dan Abbulo Sibatang. 5) Nilai
kebhinnekaan yang menghargai keragaman
latar belakang suku dan budaya masyarakat,
sebagai wujud dalam budaya bangsa yang
sekaligus dapat dijadikan acuan dalam
membangun dan membina rasa kebersamaan
dan kesetiakawanan sosial dalam mendukung
terciptanya kondisi harmonis dan dinamis bagi
terselenggaranya
pembangunan
secara
berkesinambungan dengan dasar falsafah
Mallibu Tello, Mallibu Bulo, Mallibu Bare’,
Nenniya Siri’ na Passe. (Berkeyakinan yang kuat,
mengerjakan tanpa pamrih, walaupun sedikit
yang mau melihat atau melirik, apa yang
dilakukan dan apa pun resikonya harus di
kerjakan) (Arhanuddin, Salim, ddk, 2018
Muhammad Ramli, 2008).
Dalam teori Talcott Parsons terkenal
dengan empat imperatif fungsional bagi sistem
tindakan yaitu skema AGIL. AGIL, fungsi adalah
suatu gugusan aktivitas yang di arahkan untuk
memenuhi satu atau beberapa kebutuhan
sistem.
Parsons
menyakini
bahwa
perkembangan masyarakat berkaitan erat
dengan
perkembangan
keempat
unsur
subsistem utama yaitu kultural (pendidikan),
kehakiman
(integrasi),
pemerintahan
(pencapaian tujuan) dan ekonomi (adaptasi) (J.
Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, 2004).
Parsons percaya bahwa ada empat
imperatif fungsional yang diperlukan atau
menjadi ciri seluruh sistem adaptasi
(A/adaptation), (Goal attainment/pencapaian
tujuan), (Integrasi) dan (Latency) atau
pemeliharaan pola Secara bersama–sama,
keempat imperatif fungsional tersebut di sebut
MIMBAR: Vol. 37 No. 2, July - December 2020
dengan skema AGIL. Agar bertahan hidup maka
sistem harus menjalankan keempat fungsi
tersebut.
Pertama,
Adaptasi,
sistem
harus
mengatasi kebutuhan situasional yang datang
dari luar. Masyarakat Bugis juga beradaptasi
dengan
lingkungan
dan
menyesuaikan
lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya.
Masyarakat pendatang Bugis jika dilihat
dari segi kelompok masyarakat tergolong dalam
kelompok out-group yang harus menyesuaikan
dirinya ke dalam kelompok in-group. Proses
masyarakat pendatang Bugis dalam memenuhi
kebutuhannya dari aspek sosial, di antaranya a)
Interaksi yang terjadi antara masyarakat Bugis
pendatang dengan masyarakat lokal; b) Proses
mengatasi halangan-halangan dari lingkungan;
c) Penyesuaian terhadap norma-norma dan
budaya; d) Memanfaatkan sumber daya untuk
kepentingan lingkungan dan sistem.
Pertama, dari aspek interaksi bahwa hal
ini penting agar dapat diterima dalam
lingkungan sosial. Kedua, dari aspek mengatasi
halangan-halangan dari lingkungan yang
dihadapi. Masyarakat suku Bugis memainkan
peran agar dalam proses menghadapi halangan
tersebut tidak berujung kepada kegagalan.
Ketiga, dari aspek penyesuaian terhadap normanorma dan budaya mesti pula dilakukan agar
diterima dalam lingkungan sosial masyarakat
lokal. Maksudnya pihak pendatang tersebut
harus menerima dan menghormati budaya yang
berlaku pada lingkungan sosial. keempat dari
aspek memanfaatkan sumber daya, perlu
diketahui dan dijadikan prinsip bagi masyarakat
pendatang Bugis agar tetap eksis dalam
menjalani kehidupannya. Selama keberadaan
masyarakat pendatang Bugis di Tana Luwu.
(Yunus, dan Fadli, H Subhan, 2020)
Dalam konteks sosial, sapaan dapat
diartikan sebagai salah satu strategi berbahasa
yang berfungsi untuk menguatkan hubungan
sosial antar partisipan. Selain itu, penggunaan
kata sapaan dapat berfungsi afektif, yaitu
sebagai
simbol
penghormatan
atau
penghargaan penyapa kepada pesapa. Dalam
37 - 42
© MIMBAR AGAMA BUDAYA
Yunus
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL...
penerapannya, penggunaan kata sapaan
disesuaikan dengan status sosial yang melekat
pada diri penyapa dan pesapa. Untuk itu, dalam
konteks ini penggunaan sapaan akan dilihat
berdasarkan (1) perbedaan status atau
kedudukan sosial di antara kedua komunikan
sebagai bentuk kekuasaan mereka. Kekuasaan
(power=K) yang terkait dengan faktor sosial,
yaitu usia, pendidikan, jabatan/pekerjaan,
derajat keturunan atau status kebangsawanan
yang bersangkutan, dan tingkat ekonomi; (2)
jarak sosial atau hubungan keakraban antar
keduanya (solidaritas = S), dan (3) ada atau
tidak ada orang yang mendengar dan ikut dalam
perbincangan tersebut (publik=P) (Brown,
1987, Roger Brown dan Albert Gilman 1997).
Masyarakat pendatang Bugis telah lama
menjalin hubungan sosial yang begitu kental
dengan masyarakat Tana Luwu. Hal itu terbukti
dalam bentuk kerjasama pada saat acara resepsi
pernikahan masyarakat lokal, begitu pula
sebaliknya. Selain itu, saat gotong royong yang
dilaksanakan oleh masyarakat Luwu dan
masyarakat Bugis juga ikut andil. Tentu saja, hal
ini dapat menjadi modal sosial bagi masingmasing pihak agar ke depannya selalu berjalan
berdampingan dalam menghadapi kendalakendala kehidupan. Kerjasama yang terbangun
sesungguhnya dikarenakan oleh sikap saling
menghargai dan menghormati antar suku bangsa
sebagai identitas masyarakat bangsa Indonesia
pada umumnya.
Gambaran dan pemahaman bahwa
kearifan lokal sebenarnya bertujuan untuk
menuntun mahasiswa agar mampu membangun
tatanan kehidupan yang memposisikan manusia
sebagai makhluk yang mulia yakni sipakatau.
Demikian juga istilah sipakalebbi artinya saling
memuliakan. Semua manusia merasa senang
apabila dihormati dan dimuliakan oleh
sesamanya, bahkan semua ajaran agama
mengajarkan agar supaya saling menghormati
dan saling memuliakan diantara sesama
mahasiswa antara satu dengan yang lainnya.
Perilaku saling menghormati dan mengahrgai
telah dilakukan oleh masyarakat Bugis sejak
MIMBAR: Vol. 37 No. 2, July - December 2020
dahulu, terutama yang dilakukan oleh orang
yang yang lebih mudah ke yang lebih tua.
Kedua, Pencapaian tujuan, sistem harus
mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan
utamannya.
Sesama saudara hendaknya saling
mengingatkan dalam kebaikan agar tidak
terjerumus dalam perilaku yang tidak baik dan
dapat merugikan siapa saja, baik merugikan diri
sendiri maupun orang lain. Sehingga nilai-nilai
sipakainge ini hendaknya selalu hadir dalam
setiap kehidupan orang Luwu. Sipakalabbiri
merupakan saling menghargai atau selalu
ingin menghargai dan dihargai. Maka sifat
Sipakalabbiri ini adalah wujud apresiasi. Sifat
yang mampu melihat sisi baik dari orang lain
dan memberikan ucapan bertutur kata yang
baik atas prestasi yang telah diraihnya.
Termasuk bertutur kata yang baik antara
yang muda dan tua juga termasuk sipakalabbiri.
Sipakatau
merupakan
sikap
yang memanusiakan
manusia seutuhnya
dalam kondisi apapun. Sipakatau artinya saling
memanusiakan. Dalam kehidupan sehari-hari,
sangat diharapkan memperlakukan orang lain
sebagaimana layaknya manusia, menjaga
harkat dan martabat orang lain dan menjunjung
tinggi hak azasi manusia. Nilai sipakatau ini
yang mendorong keinginan saling tolong
menolong
antar
sesama
manusia.
Sipakainge merupakan
sifat
saling
mengingatkan untuk senantiasa melakukan
kebaikan.
Ketiga, Integrasi, sistem harus mengatur
hubungan bagian-bagian yang menjadi
komponennya. Ia pun harus mengatur
hubungan antar ketiga imperatif fungsional
tersebut (A. G. L).
Peduli dan suka membantu orang lain
yang berada dalam posisi kesusahan adalah
sikap terpuji yang senantiasa perlu dipupuk dan
dipelihara. Anjuran peduli pada orang lain juga
telah terekam dalam pappaseng: Limai passalêng
namulolongêng decennge. Seuani, pakatunai
alemu ri sitinajannae; maduanna, saroko mase ri
sillalênnae; matelluna, makkareso patujue;
38 - 42
© MIMBAR AGAMA BUDAYA
Yunus
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL...
maeppaqna, molae roppo-roppo narewêq;
malimanna, molae laleng namatikeq. (Ada lima
hal yang perlu diperhatikan jika ingin
mendapatkan kebaikan. Pertama, rendahkanlah
dirimu sewajarnya; kedua, bantulah orang lain
pada tempatnya; ketiga, lakukanlah pekerjaan
yang bermanfaat; keempat, hadapilah rintangan,
kelima, ingatlah kembali kepada Tuhan; laluilah
jalan dengan berhati-hati) (Zainuddin Hakim,
1992).
Keempat, Latency (pemeliharaan pola),
sistem harus melengkapi, memelihara dan
memperbaharui motivasi individu dan pola–
pola
budaya
yang
menciptakan
dan
mempertahankan motivasi tersebut (George
Ritzer, 2004).
Budaya Bugis punya cinta dan kasih
sayang terhadap sesama ditunjukkan dengan
pepatah seperti mali siparappe, rebba
sipatokkong, malilu sipakainge, Orang lain
terhanyut, dibantu, orang lain terjatuh dibantu
agar bangkit, orang lain keluar dari normanorma diingatkan/diinsyafkan. Orang Bugis
menghargai kedamaian, senang membantu
sesama manusia, apalagi jika itu saudara
sesama manusia.
Rasa hormat merupakan salah nilai
kedamaian. Panggalik dalam kalimat dapat
berupa saling menghormati (sipangngaliki)
kepada sesama manusia. Hal ini dapat dilihat
dari kalimat “Punna erokko nipangngaliki,
pangngaliki rong taua” artinya jika ingin
dihormati, hormatilah orang terlebih dahulu.
Panggalik juga dapat diartikan rasa malu,
kepemilikan pangngalik bagi suku makassar
sangat penting, karena dengan adanya
pangngalik bagi diri seseorang, mencegah
seseorang bertindak tidak sesuai dengan nilainilai moral. Kalau ada seseorang dalam
masyarakat suku Bugis yang disebut tau tena
pangngalikna (orang yang tidak memiliki rasa
malu) itu berarti orang tersebut sudah tidak
punya harga diri dan dianggap seperti layaknya
binatang. Begitu pula sebaliknya, kalau ada
seseorang yang disebut tau tinggi pangngalikna,
berarti orang tersebut sangat menjaga
MIMBAR: Vol. 37 No. 2, July - December 2020
perbuatannya dari pelanggaran moral. Orang
tersebut dihargai dalam masyarakat dan
menjadi teladan dalam perilaku kesehariannya.
“Abbulo sibatang paki antu, mareso tamattappu
nanampa nia sannang ni pusakai (bambu
sebatang semua kita, bekerja tak putus-putus,
dan kemudian senang dimiliki). Maksudnya
adalah seperti satu batang bambu kita bekerja
terus sama-sama akan kita dapati kesenangan.
Nilai ini merupakan semangat bergotong
royong dalam mengerjakan sesuatu sehingga
mudah untuk dilakukan dan mempererat
kebersamaan.
Interaksi sosial di masyarakat, mereka
biasanya mengedepankan akhlak atau etika
yang terimplementasi pada filosofi pada idi (kita
semua bersaudara). Menurut Hadrawi, filosofi
ini sebenarnya terambil dari dua prinsip dasar
agama Islam, yaitu takwa dan tauhid.
Menurutnya, takwa dan tauhid merupakan
salah satu terma religiositas utama yang bisa
mengukur tingkat moralitas atau etika dan
konsistensi keimanan seorang muslim terhadap
ajarannya (Hadrawi, 2019). Menurut Farid
Esack, sebagaimana dikutip oleh Ahmala Arifin,
secara hermeneutik, signifikansi dari konsep
takwa di sini adalah bagaimana cara al-Qur’an
mengaitkan takwa dengan interaksi sosial dan
solidaritas pada sesama. Dalam al-Qur’an
dijelaskan, bahwa komitmen pada makhluk
Tuhan (ciptaan Tuhan), adalah bagian yang tak
terpisahkan dengan dari komitmen kepada
Tuhan (Ahmala Arifin, 2015). Karena selain
berpengaruh bagi diri seseorang, takwa juga
terkait dengan praktik sosial. Seseorang yang
teguh dengan komitmen ketakwaannya, maka ia
akan memiliki sense of belonging terhadap
sesama dan juga terhadap realitas yang tidak
adil.
Sementara tauhid merupakan basis
ontologis bagi pandangan dunia al-Qur’an yang
berpengaruh terhadap struktur pengetahuan
dan tindakan praksis lainnya yang berimplikasi
pada aktivitas sosial sejak permulaan misi
profetik-nya. Dari semula, ajaran tauhid selalu
diliputi oleh dua dimensi, yaitu dimensi
39 - 42
© MIMBAR AGAMA BUDAYA
Yunus
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL...
normativitas akidah dan dimensi praksis sosial.
Ungkapan al-Qur’an bahwa “iman” harus selalu
disertai dengan “amal saleh” merupakan
autentisitas ajaran al-Qur’an. Jangankan ajaran
tauhid yang biasanya masuk dalam wilayah
arka>n al-Ima>n yang bersifat abstrak, dalam
wilayah arka>n al-Isla>m pun, ibadah
mahdha>h seperti salat juga selalu dikaitkan
dengan dimensi sosial. Ditegakkannya salat juga
untuk menjaga diri seseorang dari perbuatan
yang keji (fakhsya>’) dan buruk (munka>r). (M.
Amin Abdullah, 2000). Begitu juga dengan
ibadah haji, zakat, infak, sedekah, dan
sebagainya. Sehingga ajaran tauhid menurut alQur’an sangat terkait dengan persoalanpersoalan sosial, yaitu mengidealkan suatu
tatanan masyarakat yang damai atas dasar
kemanusiaan dengan tidak mengeksploitasi
perbedaan-perbedaan (Farid Esack, 1977). Jika
takwa dan tauhid diimplementasikan dengan
benar, maka agama Islam sebagaimana
dikatakan oleh Azyumardi Azra, dapat
memainkan peran penting untuk menciptakan
perdamaian dunia (Azyumardi Azra, 2014).
Filosofi patedunggi, oleh masyarakat Kota
Palopo dijadikan sebagai landasan awal dalam
berinteraksi
dengan
masyarakat
yang
beranekaragam agama, suku, dan budaya. Lebih
jauh, hal ini didasarkan adagium berbentuk
syair Arab yang berbunyi “Sesungguhnya
bangsa-bangsa itu akan tegak selama akhlaknya
pun tegak dan jika akhlaknya runtuh, maka
runtuh pulalah bangsa itu.” Ini berarti, bahwa
kejayaan suatu bangsa tergantung kepada
keteguhan akhlak, budi pekerti atau moral dari
bangsa itu sendiri, sebab inti ketakwaan dari
pengamalan agama adalah berbudi luhur.
Masing-masing daerah memiliki adatistiadat berbeda satu dengan yang lainnya.
Ketika adat itu diterima dan dianggap baik,
maka adat tersebut melekat dan membentuk
karakter pada setiap individu di daerah
tersebut. Dalam bahasa al-Qur’an, kebiasaan
baik dinamai ma’ru>f, yakni dikenal atau
disetujui, sedangkan kalau buruk dinamai
mungka>r, yakni diingkari dan ditolak oleh
MIMBAR: Vol. 37 No. 2, July - December 2020
suatu masyarakat. Dengan demikian, akhlak
atau etika adalah sekumpulan nilai yang harus
diindahkan
manusia
dalam
menjalani
aktivitasnya demi terciptanya hubungan yang
harmonis, demi meraih kebahagiaan pribadi
dan masyarakat. Seperti gambar dibawah ini
menunjukkan aktivitas keagamaan yang
terbuka terhadap perbedaan.
Manusia yang berakhlak mulia adalah
manusia yang beragama, taat pada perintahperintah Tuhan, serta senantiasa menghargai
martabat sesamanya. Analogi yang sama oleh
dikatakan Deschovski, sebagaimana dikutip
oleh Ayatullah Murtadha Muthahhari (2011)
berkata bahwa “seandainya Tuhan tidak ada,
maka
segala
sesuatu
diperbolehkan”.
Maksudnya adalah bahwa jika tanpa agama,
maka niscaya tidak akan ada nilai-nilai yang
melarang manusia dari perbuatan-perbuatan
immoralnya. Agama adalah satu-satunya
jaminan bagi penerapan etika atau akhla>k alKari>mah.
Apalagi
pengalaman
telah
membuktikan, bahwa nilai-nilai agama
mendahului nilai-nilai etika. Karena itu aliranaliran etika ateis tidak pernah berhasil dalam
penerapan nilai-nilai etika. Bagaimanapun juga,
agama sangat penting sebagai fondasi etika,
karena itu setinggi apapun kemajuan manusia
di bidang teknologi dan peradaban.
Gambaran kehidupan keagamaan di atas,
terlihat jelas bagaimana kita menempatkan
akhlak sebagai fondasi dasar dalam berinteraksi
atau hidup di tengah kondisi masyarakat yang
majemuk. Pengalaman telah membuktikan,
bahwa dengan menggunakan pendekatan
akhlak atau etika, sesuatu yang tadinya keras,
kencang, akan menjadi lembut, halus, dan
mencair. Apalagi jika pengejawantahan akhlak
tersebut dirasa rasional atau dapat dicerna oleh
akal, sehingga akan mengarahkan kepada rasa
simpati
dan
empati
manusia,
yang
menggerakkan emosional dengan bingkisan
spiritual, sehingga semua aktivitas yang
dilakukan diridhai Allah swt.
40 - 42
© MIMBAR AGAMA BUDAYA
Yunus
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL...
KESIMPULAN
Bagi Masyarakat Luwu (Bugis) nilai-nilai
terdapat dalam periode lontarak/tomanurung,
sesuati nilai berkaitan kehidupan sosial.
Mengimpmentasikan nilai-nilai tomanurung
adalah suatu sikap yang bertujuan untuk
membuat orang lain suka atau merasa nyaman
dan aman. Beberapa sikap yang biasa
diimplementasikan oleh masyarakat Luwu yang
bersumber dari lontarak antara lain; ramah
kepada siapapun, suka menolong, bersikap
sesuai dengan norma dan tata kerama yang
telah ditentukan–didasarkan pada pedoman
dalam etika kehidupan sehari-hari yang disusun
sangat pendek namun memiliki makna yang
sangat bermanfaat, yaitu; tidak sombong
dengan sifat maegettengpi serta selalu berusaha
untuk mengoreksi diri sendiri. Karena
kedamaian merupakan landasan dan pedoman
yang dianut dalam berperilaku bagi masyarakat
Luwu. Ada berbagai sumber yang mengandung
nilai-nilai kedamaian seperti Abbulo Sibatang.
Kemudian persatuan bagaikan bulat
beras, dimaknai sebagai suatu persatuan yang
bersifat vertikal adalah persatuan antara raja
atau pemimpin dengan rakyatnya, sehingga apa
yang menjadi kebesaran dari sang raja, akan
menjadi kekuatan bagi sang hamba. Tidak ada
saling mencurigai antara raja dengan rakyatnya,
rakyat tidak menginginkan kedudukan raja,
demikian juga sang raja tidak ingin
diperhambakan oleh rakyatnya. Tidak ada
saling memarahi dan saling dendam. Hubungan
baik antara raja atau pemimpin dengan rakyat
berjalan sampai pada anak cucu. Kemudian
persatuan bulat bagaikan buluh bambu, yakni
antara raja atau pemimpin dengan rakyatnya
bersatu dalam suka maupun duka. Sehingga
apabila salah satunya khilaf maka saling
mengingatkan, apabila jatuh, maka saling
membangkitkan. Persatuan ini merupakan
persatuan buluh bambu antara bulat di luar
dengan di dalam sama, sehingga apabila rusak
di luar, maka rusak pulalah di dalam.
MIMBAR: Vol. 37 No. 2, July - December 2020
DAFTAR PUSTAKA
A. Fishman (ed). (1997). Readings in Sociologi of
Languange (Paris: The Hangue Mouton.
Abdullah, M. Amin. (2000). Dinamika Islam
Kultural:
Pemetaan
atas
Wacana
Keislaman Kontemporer. Bandung: Mizan.
Anton, Andi.
(1993). Pangeran, “Upacara
‘Ripasekko Pajung Pulaweng” (Penobatan
Pajung
Pulaweng).”
Ujungpandang:
Panitia Pelaksana Pagelaran Budaya
Luwu.
Arifin, Ahmala. (2015). Tafsir Pembebasan:
Metode Interpretasi Profresif ala Farid
Esack. Yogyakarta: Aura Pustaka.
Azra, Azyumardi. (2014). “Agama untuk
Perdamaian Dunia”, Republika, Kamis 14
August.
Brown, Penelope and Stephen C Levinson.
Politeness. (1987). Some Unoversals in
Languange Usage. Studies in Interaction
Sociolinguistics. New York: Cambridge
University Press.
Esack, Farid. (1977). Qur’an, Liberation,
Pluralism: An Islamic Perspective of
Interreligious
Solidarity
against
Oppression. Oxford: One world.
Gani, Ambo dkk. (1990). Wasiat-Wasiat dalam
Lontarak Bugis (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Hadrawi. (2019). Salah Satu Penulis Prospek
Pesantren Tana Luwu, Wawancara, 16
Februari di Malangke Desa Cenning.
Hakim. Zainuddin.
(1992) Pangngajak
Tomatoa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Mattingaragau, Andi. 2019.Wakil Rektor 1
UNANDA, Wawancara, 14 Februari
MG., A Moein. (1990). Menggali Nilai-Nilai
Budaya Bugis Makassar dan Siri’ Na Pacce,
Ujung Pandang: Yayasan Mapress.
Mulyono, Hadi dan Abd Muthalib. (1979).
Sejarah
Kuno
Sulawesi-selatan,
Ujungpandang: Suaka Peninggalan sjarah
dan Purbakala Sulawesi-selatan
Murtadha Muthahhari, Ayatullah. (2011).
41 - 42
© MIMBAR AGAMA BUDAYA
Yunus
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL...
Dasar-Dasar Epistemologi Pendidikan
Islam. Jakarta: Sadra Press.
Narwoko J. Dwi & Bagong Suyanto (2004).
Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan,
Jakarta: Prenada Media.
Pananrangi, Hamid. (1996) “Pemahaman
Budaya Sulawesi Selatan tentang Nilai
Pendidikan, Karya, dan Kepemimpinan
Menurut Lontarak”, dalam Bosara Media
Informasi Sejarah dan Budaya Sul-Sel No. 4
Th. III, (Ujung Pandang: Depdikbud Dirjen
Kebudayaan BKSNT.
Paul Suparno. (2002). Pendidikan Budi Pekerti
di Sekolah Suatu Tinjauan Umum.
Yogyakarta: Kanisius.
Ramli, Muhammad. (2008) “Sinergitas Kearifan
Lokal
Masyarakat
Bugis
dalam
Impelementasi Kebijakan Publik di
Kabupaten Sidenreng Rappang”, Disertasi,
Makassar:
Program
Pascasarjana
Universitas Hasanuddin Makassar.
Rapi Tang, Muhammad, (2004) “Reso sebagai
Roh Kehidupan Manusia Bugis: Budaya
dari Sisi Mental dan Fisik”, dalam makalah
Seminar dan Diskusi Peningkatan Apresiasi
Masyarakat tentang Budaya Disiplin,
Makassar:
Kemenbudpar
BKSNT
bekerjasama dengan Fakultas Sastra
Unhas.
Ritzer, George. (2004). Edisi terbaru Teori
Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Salim. Arhanuddin Yunus Salik, and Ismail
Suwardi
Wekke.
(2018)"Pendidikan
Karakter
dalam
Masyarakat
Bugis." Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan
Masyarakat Islam 11, no. 1: 41-62.
Saleh, Nuralam. (2016). “Pappasang Turiolo
(Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya dalam
Kehidupan Orang Makassar”, dalam
Walasuji Vol I, (1), Januari-April.
Sikki, Muhammad, dkk. (1998) Nilai dan
Manfaat Pappaseng dalam Sastra Bugis.
Jakarta:
Pusat
Pembinaan
dan
Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Sulesana Anwar Ibrahim. (2003) Kumpulan Esai
tentang Demokrasi dan Kearifan Lokal.
MIMBAR: Vol. 37 No. 2, July - December 2020
Makassar:
Lembaga
Penerbitan
Universitas Hasanuddin.
Yunus, Subhan Fadli Pluralisme dalam Bingkai
Budaya, Yogjakarta: Bintang Pustaka,
2020.
Zuriah, Nurul. (2007) Pendidikan Moral & Budi
Pekerti dalam Perspektif Perubahan:
Menggagas Platform Pendidikan Budi
Pekerti Secara Kontekstual dan Futuristik.
Jakarta: Bumi Aksara.
42 - 42
© MIMBAR AGAMA BUDAYA