Istinbáth
Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam
ISSN 1829-6505 E- ISSN 26549042 vol. 19, No. 1. 2020 p. 1-220
Available online at http://www.istinbath.or.id
REGULASI ZAKAT BAGI APARATUR SIPIL NEGARA DI INDONESIA
Isnawati Rais, Abdul Halim, Nisrina Mutiara Dewi, Asmawi, Ahmad
Bahtiar
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[email protected],
[email protected] [email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstract : This study aims at analyzing Islamic and positive laws in Indonesia
regarding the obligation of zakat for the Goverment Employee (ASN). This
is Important for finding the basis for the state in goverming zakat regulation
for Muslim ASN with a payroll cut of 2.5 percent by the Ministry of Religius
Affairs as well as for getting arguments in terms of islamic law and politics
of law as well as their relation to these regulations. The method used in this
study is a qualitative research with a statutory approach with data in the form
of zakat laws and regulations enforced in Indonesia, both in terms of religious
and state norms. The findings of this study indicate that there are important
issues from this regulation in the perspective of Islamic law and politics of law:
First, the regulation of zakat obligations for the goverment employees is not
in accordance with Islamic law; Second, the method of determining muzaki
(zakat payers) by the state is still biased because it declares that all the Muslim
goverment employees are Muzaki; Third, the basic calculation for compulsory
zakat has not calculated the gross basic needs of the goverment employees and
the expenditure of basic needs (hajah ashliyyah) yet.
Keywords : Zakat, Goverment Employee, Islamic and Positive Laws, politic of law
Abstrak : Penelitian ini bertujuan menganalisis hukum Islam dan positif di
Indonesia tentang kewajiban zakat bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal
ini penting dilakukan selain untuk menemukan dasar hukum negara yang
mengatur regulasi zakat bagi ASN Muslim dengan pemotongan gaji sebesar
2,5 persen oleh Kementerian Agama juga untuk mendapatkan argumentasi
dari sisi hukum Islam dan politik hukum serta relasinya terhadap regulasi ini.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan
pendekatan legal normatif dengan data berupa peraturan perundangan zakat
yang berlaku di Indonesia, baik dari sisi normatif keagamaan maupun
| 165 |
Istinbáth Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam
kenegaraan. Temuan penelitian ini menunjukkan adanya persoalan penting
dari regulasi ini ditinjau dari sudut pandang hukum Islam dan politik hukum
: pertama, regulasi kewajiban zakat bagi aparatur sipil negara belum sesuai
dengan syariat Islam; kedua, metode penetapan kewajiban zakat oleh negara
masih bias karena menyatakan semua ASN Muslim yang penghasilannya
satu tahun memenuhi nisab menjadi muzaki; ketiga, dasar penghitungan
wajib zakat belum memperhitungkan pengeluaran kebutuhan pokok (hajah
ashliyyah).
Kata Kunci: Zakat, Aparatur Sipil Negara, Hukum Islam dan Hukum Positif, Politik
Hukum
A.
Pendahuluan
Pemerintah berencana akan memotong gaji Aparatur Sipil Negara (ASN)
Muslim sebesar 2,5 persen untuk zakat. Rencana tersebut berdasarkan pada Undangundang nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Peraturan Pemerintah
nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Zakat, Instruksi Presiden nomor 3
Tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat dan Peraturan Menteri
Agama nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Perhitungan Zakat Mal
dan Zakat Fitrah. Wacana ini dikemukakan oleh Menteri Agama Republik Indonesia
kabinet sebelumnya, Luqman Hakim Syaifuddin dalam salah satu pernyataannya
pada awal Februari 2018 di depan media. Rencana itu menurutnya akan dikuatkan
dengan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pengumpulan Zakat Penghasilan di
Kementerian/Lembaga Pusat dan Daerah, yang beliau istilahkan dengan Perpres
tentang Optimalisasi Zakat. Dalam kesempatan itu, dijelaskan bahwa ASN Muslim
yang pendapatannya dalam satu tahun mencapai seukuran nisab zakat, yaitu seharga
85 gram emas akan dikenai wajib zakat dan akan dipotong setiap bulannya 2,5 %
dari penghasilannya sebagai cicilan zakat. Pernyataan tersebut dapat disimpulkan
bahwa andaikan harga satu gram mas diasumsikan 650,000 rupiah, maka ASN yang
penghasilannya 650.000x85= Rp 55.250.000:12 = Rp 4.604.000 perbulan akan
dipotong 2,5 %. Dalam rancangan Perpres, ditetapkan bahwa penghasilan yang
menjadi objek zakat itu meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat sebelum
dikurangi pajak dan tunjangan kinerja serta penghasilan lain yang tetap. Akan tetapi
rencana ini akan menimbulkan polemik di tengah masyarakat dan banyak yang
mengkritisi wacana kebijakan penarikan zakat ASN Muslim sebesar 2,5% ini.
Beberapa pakar hukum mengkritisi wacana kebijakan ini, karena menurut
syariat ada syarat yang harus terpenuhi untuk diwajibkannya zakat, di antaranya
batas minimal harta yang yang wajib dikeluarkan zakatnya(nisab) setelah dikeluarkan
166
|
Regulasi Zakat bagi Aparatur Sipil Negara di Indonesia
Vol. 19, No. 1, Juni 2020
kebutuhan pokok (hajat ashliyyah). Terkait hal ini Akademisi Universitas Hasanuddin,
Saiful Jihat mempertanyakan cara pemerintah dalam menghitung jumlah zakat yang
harus dibayar oleh ASN. Bagaimana Pemerintah menghitung jumlah penghasilan
ASN setelah dipotong semua pengeluaran kebutuhan dasar dan pengeluaran biaya
operasionalnya dalam bekerja, sehingga negara bisa menetapkan bahwa yang
bersangkutan telah mempunyai kewajiban untuk mengeluarkan zakat profesinya.
Menurutnya, masih banyak hal yang perlu dilakukan dan dikaji ulang oleh pemerintah
sebelum program ini dilaksanakan, khususnya dalam hal membangun kepercayaan
umat kepada Pemerintah dan lembaga yang ditunjuk sebagai pengelola zakat.1
Sehubungan dengan wacana ini, Fahri Hamzah, Wakil Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) Republik Indonesia saat itu menilai bahwa wacana pemotongan
gaji tersebut merupakan bentuk kepanikan Pemerintah. Menurutnya, jangan
sampai munculnya wacana zakat dari PNS tersebut karena uang kas negara sedang
kering, sehingga kemudian mengambil hak PNS untuk menutupinya.2 Kritikan juga
dikemukakan oleh Novi Puji Lestari,3 yang menyatakan bahwa walaupun Menteri
Agama menyatakan pemotongan itu bersifat opsional melalui kesepakatan dengan
ASN, di mana ASN yang bersedia gajinya dipotong oleh negara untuk zakat akan
dipotong dan ASN yang tidak bersedia dipotong maka tidak akan ada pemotongan
gaji4, namun dengan penerbitan Perpres menjadi payung hukum pemungutan
dana zakat ASN, akan menjadi terkesan pemaksaan, sehingga dengan adanya
kesepakatan tersebut dikhawatirkan membuat sebagian PNS yang tidak bersedia,
malu, dan takut menyampaikan ketidaksediaannya dengan alasan konduitenya jelek
dan urusan-urusan kenaikan pangkat dan lain sebagainya akan terhambat. Selain
itu, ketika sudah ada Perpres, tentu akan ada tekanan psikologi birokrasi dalam
pelaksanaannya.
Selain mengkritisi adapula yang menyambut baik rencana Pemerintah
memotong gaji ASN untuk zakat yakni Agus Martowardojo, Gubernur Bank
Indonesia saat itu. Menurutnya, langkah tersebut merupakan salah satu cara untuk
mendukung pengembangan ekonomi syariah. Bahkan, sudah ada beberapa daerah
dan lembaga yang sudah menerapkan kebijakan ini. Diantaranya adalah Pemerintahan
Kota Palembang yang telah memberlakukan pemotongan gaji Pegawai Negeri
Sipil (PNS) untuk zakat sejak tahun 2016. Dana tersebut salah satunya digunakan
1 Harwanto Bimo Pratomo, “5 Pro dan Kontra Rencana Pemotongan Gaji PNS Untuk Zakat”, diakses dari https://
www.merdeka.com/uang/5-pro-dan-kontra-rencana-pemotongan-gaji-pns-untuk-zakat/potong-gaji-untuk-zakat-untukkembangkan-ekonomi-syariah.html pada 20 April 2019
2 Tribun Network, “Pro Kontra Zakat 2,5 Persen dari Gaji PNS Muslim”, diakses dari http://jateng.tribunnews.
com/2018/02/08/pro-kontra-zakat-25-persen-dari-gaji-pns-muslim-fahri-sebut-pemerintah-panik pada 20 April 2019
3 Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang
4 Novi Puji Lestari, “Kegaduhan Pemotongan Gaji ASN untuk Zakat”, Opini, Koran Bhirawa, Selasa Pon 27 Februari 2018
Isnawati Rais, Abdul Halim, Nisrina Mutiara Dewi, Asmawi, Ahmad Bahtiar
|
167
Istinbáth Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam
untuk program bedah rumah bagi warga yang tidak mampu. Ketua Badan Amil
Zakat Nasional (Baznas) Kota Palembang, Saim Marhadan, mengatakan bahwa
dana zakat PNS tersebut disalurkan dalam beberapa program, diantaranya bedah
rumah dan membantu usaha bagi masyarakat yang kurang mampu.5 Begitu juga
dengan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Wonosari, Gunungkidul, Daerah Istimewa
Yogyakarta yang telah mengoptimalkan gerakan zakat bagi ASN dari pendidik atau
guru dan pegawai yang bertugas di lembaga tersebut.6 Hal ini senada dengan apa
yang dikatakan oleh Rahmad Hakim7 bahwasanya wacana seputar potongan zakat
untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) bertujuan agar Indonesia tidak melulu menjadi
‘raja potensi’, tapi minim ‘realisasi’8.
Dari paparan di atas, polemik dalam persoalan wacana ini tidak dapat
dihindari, karena menurut penulis dalam wacana kebijakan ini jika dihadapmukakan
antara wacana dan rancangan kebijakan ini dengan ketentuan hukum Islam
yang punya dan mengatur tentang zakat masih ada persoalan yang tidak sesuai,
seperti penetapan ASN yang menjadi muzaki yang akan dipotong penghasilannya
2,5% setiap bulan, karena menurut aturan Islam zakat itu dipungut dari muzaki.
Apakah ASN yang penghasilannya sekitar empat jutaan satu bulan itu sudah bisa
dikategorikan muzaki? Kemudian, persoalan dasar penghitungannya diambil dari
mana? Selanjutnya, Bagaimana dengan kebutuhan pokok minimal ASN, apakah itu
tidak perlu dipertimbangkan dalam penghitungan?
Untuk memberikan solusi pada persoalan, agar tidak terjadi kekeliruan dalam
menetapkan ASN yang diwajibkan berzakat, maka wacana dan rancangan regulasi
ini perlu pengkajian yang mendalam dengan pendekatan pengkajian peraturan
perundang-undangan, data berupa peraturan perundangan zakat yang berlaku di
Indonesia, Juga menggunakan alat ukurnya adalah nash syariat Islam dan pendapat
para ulama dengan mempergunakan metode kualitatif dengan pendekatan legal
normatif, yang biasa dipakai dalam menemukan hukum syariat.
B.
Zakat dalam Syariat Islam
Zakat dalam Islam merupakan salah satu rukun Islam yang diwajibkan kepada
Umat Islam untuk melaksanakannya. Kewajiban ini disampaikan melalui firman
5 Harwanto Bimo Pratomo, “5 Pro dan Kontra Rencana Pemotongan Gaji PNS untuk Zakat”, diakses dari https://
www.merdeka.com/uang/5-pro-dan-kontra-rencana-pemotongan-gaji-pns-untuk-zakat/potong-gaji-untuk-zakat-untukkembangkan-ekonomi-syariah.html pada 20 April 2019
6 Ngadian, “Profesionalisme Pengelolaan Zakat Profesi dalam Meningkatkan Motivasi dan Berdikari Mustahik ;
Studi Kasus Zakat Profesi ASN di MAN Wonosari”, Jurnal Pendidikan Madrasah, Volume 2, Nomor 1, Mei 2017.
7 Kandidat Doktor Ekonomi Islam Universitas Airlangga Surabaya, Dosen Universitas Muhammadiyah Malang.
8 Rahmad Hakim, ”Potongan Zakat ASN Muslim”, Opini, Koran Republika, Senin 12 Februari 2018.
168
|
Regulasi Zakat bagi Aparatur Sipil Negara di Indonesia
Vol. 19, No. 1, Juni 2020
Allah, Sunah Rasulullah dan Ijmak ulama. Sayid Sabiq menyatakan bahwa di dalam
Al-qur’an kata zakat diseiringkan dengan salat pada 82 ayat 9. Dalam hadis riwayat
Bukhari, Muslim, dan yang lainnya dari Ibnu Abbas dijelaskan pesan Rasulullah
saw., kepada Mu’adz bin Jabal ketika beliau mengutusnya ke Yaman:
Anda akan datang kepada suatu kaum dari kalangan ahli kitab, maka serulah mereka agar
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa saya adalah utusan Allah. Jika mereka
mentaati hal itu, beritahukan kepada mereka bahwa Allah Swt. mewajibkan mereka shalat
lima waktu sehari semalam. Jika mereka telah mentaati itu, maka sampaikanlah bahwa
Allah Swt. telah mewajibkan zakat pada harta mereka yang dipungut dari orang-orang
kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin di antara mereka... 10
Dari hadis ini diperoleh tiga ketentuan penting terkait zakat, yaitu: pertama
hukum wajib zakat, kedua, zakat itu diwajibkan kepada orang kaya dan diberikan
kepada orang miskin, dan ketiga, yang bertugas mengumpulkan zakat adalah
penguasa. Sehubungan dengan pemahaman hadis ini, Ibnu Hajar menegaskan
bahwa hadis ini menjadi alasan untuk menetapkan bahwa penguasa adalah pihak
yang bertugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat, baik ia sendiri secara
langsung ataupun wakilnya. Penguasa berhak mengambil secara paksa bagi siapa
yang enggan membayarnya.11 Selanjutnya Ibnu Hajar mengutip pendapat Imam
Rafi’i, yang menjelaskan bahwa Rasulullah dan Khulafah ar-Rasyidin setelahnya,
senantiasa mengutus petugas untuk memungut zakat. Rasulullah pernah mengutus
Ibnu Mas’ud, dan juga Ibnu Luthbiah dari Bani Azad. Umar mempekerjakan Ibnu
Sa’di sebagai petugas zakat. Pernah juga Rasulullah mengutus Abu Jahm bin Huzaifah
sebagai petugas zakat . Selain itu, masih banyak riwayat lain tentang masalah ini.12
Selain membicarakan siapa yang bertanggung jawab mengelola (memungut
dan membagikan) zakat, di dalam Syariat juga dibicarakan tentang harta yang
wajib dikeluarkan zakatnya, karena zakat itu dipungut dari orang kaya. Siapa yang
dimaksud dengan orang kaya? Apakah semua orang yang sudah punya harta sejumlah
nisab zakat telah dapat dikatakan sebagai orang kaya yang dikenai wajib zakat,
pada hal kekayaan itu dibutuhkannya untuk menyiapkan rumah tempat tinggal,
alat-alat kebutuhan rumah tangga, makanan, pakaian, alat-alat yang dibutuhkan
untuk pekerjaannya dan kebutuhan pokok lainnya. Apakah zakat itu diwajibkan
atas semua kekayaan? Prinsip keadilan dan kemudahan yang diajarkan oleh Islam,
9 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah (Beirut: Daar al-Fikr, 1977M/1397H) Juz I, h. 276
10 Lengkapnya hadis ini lihat pada Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (ttt: Daar Ihyaa al-Kutub al-Arabiyyah, t.th) Juz I
hal 568. Lihat juga , Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz I h. 276
11 Ibnu Hajar, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, (Beirut : Daar al-Ma’rifah, 1379 H) Juz III, h. 359.
12 Ibnu Hajar, al-Talkhish al-Habiir, (Kairo : Daar al-Kutub al-Ilmiyah, cet I, 1419H), Juz II, h. 355.
Isnawati Rais, Abdul Halim, Nisrina Mutiara Dewi, Asmawi, Ahmad Bahtiar
|
169
Istinbáth Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam
tidak mungkin akan membebankan kewajiban kepada seseorang untuk melakukan
sesuatu diluar kemampuannya untuk melaksanakannya, sehingga ia mengalami
kesulitan. Sementara Allah sendiri menghendaki kemudahan bukan kesulitan.
Karena itu, perlu diberi batasan dan syarat-syarat tertentu untuk harta yang dikenai
wajib zakat, sehingga orang yang terkena kewajiban tidak mengalami kesulitan.13
Berdasarkan berbagai dalil, nas Al-Qur’an dan Hadis maka para ulama
menurut Yusuf Qardhawi menyimpulkan bahwa syarat kekayaan (harta) yang wajib
dikeluarkan zakatnya ada enam, yaitu:14
Pertama, milik penuh. Yang dimaksud dengan milik penuh atau pemilikan
penuh adalah bahwa kekayaan itu berada di bawah kontrol dan kekuasaan pemilik.15
Pendapat lain menyebutkan bahwa milik penuh adalah, bahwa kekayaan itu harus
berada di tangan pemilik, tidak tersangkut di dalamnya hak orang lain, dapat
dipergunakannya, dan faedahnya dapat dinikmatinya.16
Kedua, berkembang. Secara terminologi, berkembang (an-namaa’) berarti
bertambah secara konkret, maupun tidak. Bertambah secara konkret adalah
bertambah akibat pembiakan atau lewat perdagangan dan seumpamanya. Sedangkan
yang dimaksud dengan berkembang tidak secara kongkrit adalah, kekayaan itu
berpotensi untuk berkembang biak, baik di tangannya atau di tangan orang lain atas
namanya.17
Alasan mewajibkan zakat terhadap harta yang berkembang adalah untuk
tidak menyulitkan muzaki. Karena kalau zakat diwajibkan pada harta yang tidak
berkembang atau tidak mungkin dikembangkan, maka lama kelamaan harta itu akan
habis termakan zakat. Apalagi kalau harta yang tidak berkembang itu dibutuhkan
untuk biaya hidup sehari-hari.
Ketiga, mencapai satu nisab. Kewajiban zakat hanya diwajibkan terhadap
harta yang berkembang yang telah mencapai jumlah tertentu, yang dalam fikih
disebut dengan nisab. Ketentuan ini disepakati oleh para ulama, kecuali pada hasil
pertanian, buah-buahan dan sayur-sayuran, di mana Abu Hanifah berpendapat
bahwa, berapapun jumlahnya wajib dikeluarkan zakatnya. Demikian pula pendapat
Ibnu Abbas, Umar bin Abdul Aziz dan beberapa ulama lain. Namun, demikian
Jumhur Ulama menetapkan bahwa terpenuhinya nisab merupakan salah satu syarat
wajibnya zakat.18
13 Yusuf Qardhawi, Fiqh az-Zakah, (Beirut: Ar-Risalah, 1999M/1420H) Jilid I, h. 126-127.
14 Lengkapnya dapat lihat dalam Yusuf Qardhawi pada Fiqh az-Zakah, Jilid I, h. 127-126
15 Zainuddin bin Ibrahim, al-Bahrur al-raiq syarh kanz al-daqaiq, ( T.tt, Daar al-Kitab al-Islamiy, t.th), Juz II, h. 218.
16 Musthafa bin Sa’ad, Mathalib Uli al-Nuha Syarh Ghayat al-Muntaha, (T.tt, al-Maktab al-Islamiy, 1415 H) Juz II, h. 16
17 Ibnu Abidin, Hasyiyah Ibnu Abidin, (Beirut: Daar al-Fikr, 1412 H) Juz 2, hal. 4
18 Yusuf Qardhawi, Fiqh az-Zakah, Juz. I hal. 150-151
170
|
Regulasi Zakat bagi Aparatur Sipil Negara di Indonesia
Vol. 19, No. 1, Juni 2020
Keempat. Lebih dari kebutuhan pokok biasa (al-hajah al- ashliyyah). Di antara
ulama fikih, seperti Ulama-ulama Hanafi (Hanafiyyah) mensyaratkan lebih dari
kebutuhan pokok biasa (kebutuhan rutin) menjadi pertimbangan dalam penghitungan
nishab zakat. Hal itu menurut mereka, karena seseorang baru bisa dikatakan kaya,
apabila ia memiliki harta kekayaan lebih dari kebutuhan rutinnya, yang tidak dapat
tidak mesti ada untuk kelestarian hidupnya, seperti belanja kebutuhan sehari-hari,
rumah tempat tinggal, pakaian, makanan alat transportasi, alat kerja, buku-buku,
dan kebutuhan primer lainnya. Termasuk didalamnya kebutuhan orang-orang yang
menjadi tanggungannya, istri, anak-anak, orang tua dan kerabat lainnya.19
Ulama lain, walaupun tidak menjadikan lebih dari kebutuhan pokok ini
sebagai syarat dari harta berkembang yang wajib dikeluarkan zakatnya, tetapi pada
hakikatnya mereka setuju, bahwa kebutuhan harian, rumah tempat tinggal dan lainlain itu sebagai harta yang tidak termasuk yang perlu dizakati. Hanya saja mereka
menempatkan kebutuhan pokok itu sebagai harta tidak berkembang.20
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para ulama, walaupun dengan
cara yang berbeda, sepakat bahwa kebutuhan pokok harus menjadi syarat dalam
perhitungan nisab zakat.
Kelima. Bebas dari utang. Pemilikan sempurna yang merupakan salah satu
persyaratan wajib zakat, selain harus lebih dari kebutuhan pokok, harus pula
cukup satu nisab yang sudah bebas dari utang. Apabila seseorang memiliki harta
yang habis untuk membayar hutangnya atau mengurangi jumlah nisab, maka zakat
tidak wajib baginya.
Keenam. Berlalu satu tahun (pada sebagian harta kekayaan). Syarat lain untuk
kewajiban zakat pada beberapa jenis harta adalah berlalunya satu tahun (dua
belas bulan komariah) harta itu di tangan si pemilik. Persyaratan ini hanya untuk
binatang ternak, uang, barang dagangan dan lain-lain yang sejenis. Sementara hasil
pertanian, madu, hasil tambang, harta qarun dan lain-lain yang sejenis, yang dapat
dikategorikan ke dalam istilah zakat pendapatan, tidak disyaratkan harus berlalu
satu tahun. Termasuk ke dalam ketegori ini adalah pendapatan yang teratur, seperti
gaji, upah, imbalan, pemberian dan lain-lain yang sejenis.21
C.
Rencana Regulasi Zakat ASN dalam Perspektif Syariat
Rancangan Peraturan Presiden tentang Pengumpulan Zakat di Kementerian/
Lembaga Pusat dan Daerah dirancang untuk ditetapkan dengan salah satu
19 Yusuf Qardhawi, Fiqh az-Zakah, Juz. I hal. 151-153
20 Yusuf Qardhawi, Fiqh az-Zakah, Juz. I hal. 151-152
21 Lengkapnya lihat pada: Yusuf Qardhawy, Fiqh az-Zakah, Juz I, hal. 161-166
Isnawati Rais, Abdul Halim, Nisrina Mutiara Dewi, Asmawi, Ahmad Bahtiar
|
171
Istinbáth Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam
pertimbangan bahwa potensi zakat penghasilan di Indonesia sangat besar untuk
digunakan dalam mengentaskan kemiskinan, mewujudkan keadilan, dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.22 Kemudian pada Bab III tentang Subjek
dan Objek Zakat, pasal 4 ayat (2), dijelaskan bahwa objek zakat penghasilan adalah
penghasilan bulanan yang mencapai Nisab zakat yang meliputi, gaji pokok, tunjangan
yang melekat pada gaji pokok, tunjangan kinerja, dan penghasilan bulanan lainnya
yang bersifat tetap. Selanjutnya dalam Bab III ayat (3) dijelaskan pula bahwa objek
zakat penghasilan sebgaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penghasilan
sebelum dikurangi pajak penghasilan.
Memperhatikan Rancangan Peraturan Presiden dan beberapa bagian yang
terdapat di dalamnya, terdapat beberapa hal yang dianggap oleh berbagai pihak tidak
sejalan dengan aturan syariat Islam. Hal ini tentu akan menimbulkan persoalan
dalam pelaksanaanya, karena menyangkut zakat yang merupakan salah satu rukun
Islam yang wajib untuk ditunaikan oleh setiap muslim telah mempunyai aturan
yang rinci dan jelas baik dari nas ataupun pendapat para fukaha.
1.
Kewajiban Zakat oleh Muzaki
Diperhatikan dengan seksama, Rancangan Peraturan Presiden ini lebih
memperhatikan besarnya potensi objek zakat untuk mengentaskan kemiskinan,
mewujudkan keadilan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dibandingkan
mempertimbangkan keadilan dan kesejahteraan subjek yang disasar untuk
mengeluarkan zakat (muzaki). Hal ini terlihat dari bagian a pada menimbang seperti
disebutkan sebelumnya dan pada Bab III pasal empat ayat (2), yang menyebutkan
bahwa objek zakat itu adalah dari penghasilan bruto, sebelum dikurangi pajak.
Karena wacana pemerintah dengan menerbitkan Peraturan pemotongan
penghasilan ASN untuk zakat ini lebih melihatnya dari sisi potensi ekonomi dari
nilai objek zakat yang dipotong dari penghasilan ASN, yang menurut perkiraan
kementerian Agama jumlahnya bisa mencapai 10 triliun pertahun, yang akan
dipergunakan untuk mengentaskan kemiskinan dan mendukung pemerataan
kesejahteraan, maka pemerintah melupakan kondisi objektif dari sebagian besar
ASN yang diwajibkan membayar zakat itu. Apakah mereka termasuk orang kaya
atau bukan? Padahal mempertimbangkan kondisi objektif orang yang akan dikenai
wajib zakat (menjadi muzaki) ini menurut ajaran Islam sangat penting untuk
terwujudnya keadilan.
22 Rancangan Peraturan Presiden tentang Pengumpulan zakat Penghasilan di Kementerairan/Lembaga Pusat dan
Daerah, Menimbang, bagaian a.
172
|
Regulasi Zakat bagi Aparatur Sipil Negara di Indonesia
Vol. 19, No. 1, Juni 2020
Satu persoalan besar dari Rancangan Peraturan Presiden ini adalah memukul
rata penetapan ASN Muslim yang dikenai wajib zakat, yaitu apabila penghasilannya
telah memenuhi minimal nisab zakat, tanpa mempertimbangkan keadaan dan
kebutuhan ASN yang akumulasi penghasilannya satu tahun mencukupi nisab itu.
Bagaimana tempat tinggalnya, kebutuhan harian ia dan keluarganya. Peraturan ini
menetapkan bahwa objek zakat adalah penghasilan bulanan yang mencapai nisab
zakat. Ukuran nisab dan zakatnya mengacu kepada Peraturan Menteri Agama
(PERMA) No. 52 tahun 2014 pasal 26 yang menetapkan nisab zakat penghasilan
disamakan dengan hasil pertanian (1), yang penghitungannya adalah perbulan,
dan zakatnya disamakan dengan emas, yaitu ,2,5% (2).23 Kemudian dalam diskusi
rancangan Perpres antara Direktorat Zakat Kementerian Agama dengan Komisi
Fatwa MUI, pada Februari 2018 disepakati agar penghitungan nisabnya bukan per
bulan, tetapi per tahun, yaitu seharga 85 gram emas, sesuai dengan Ketatapan Fatwa
MUI no. 3 tahun 200324.
Seperti telah dikemukakan dibagian awal tulisan ini, bahwa dengan perkiraan
harga emas satu gram adalah Rp 650.000, maka ASN yang pengahasilannya setiap
bulan 650.000 x 85:12= 4.604.000 akan dipotong 2,5% , lebih kurang 115.000 rupiah
perbulan untuk(titipan) zakat. Disebut titipan zakat, karena kalau belum satu tahun,
nisabnya belum tercapai, sehingga kewajiban zakat belum ada. Pertanyaannya
adalah, apakah ASN yang berpenghasilan kotor sejumlah lebih kurang Rp 5.000.000
satu bulan, sudah bisa dikatakan kaya sehingga dibebani kewajiban zakat? Boleh
jadi penghasilan sebanyak itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
kesehariannya dan keluarganya setiap bulan, sehingga setiap bulan ia mengalami
defisit, yang dengan itu ia boleh jadi termasuk mustahik dan bukan muzaki.
Dalam Islam, kewajiban zakat dibebankan kepada orang kaya untuk diberikan
kepada mereka yang miskin, sebagaimana pesan Rasulullah kepada Muadz ketika
beliau mengutusnya ke Yaman.25 Allah juga memerintahkan kepada penguasa
untuk memengambil sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka, dengan itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka26. Yusuf Qardhawi berpendapat
bahwa teks-teks Al-Qur’an dan hadis yang berbicara tentang sedekah atau zakat,
mengandung makna bahwa pada kekayaan itu terdapat hak orang lain. Karena itu
23 Peraturan Menteri Agama (PERMA) No. 52 tahun 2014 Tentang Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat
Ftrah Serta Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif, pasal 26 (1) ditetapkan Nisab zakat pendapatan senilai 653 kg gabah
atau 524 kg beras. Ayat (2) Kadar zakat pendapatan dan jasa senilai 2,5%.
24 Fatwa MUI No. 3 tahun 2003 menetapkan bahwa nisab zakat penghasilan apabila telah mencapai senilai 85
gram emas dalam satu tahun.
25 Lengkapnya dapat dilihat dalam hadis Sahih Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas
26 Lengkapnya lihat QS.9:103
Isnawati Rais, Abdul Halim, Nisrina Mutiara Dewi, Asmawi, Ahmad Bahtiar
|
173
Istinbáth Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam
semua orang kaya perlu membersihkan dan mensucikan diri dan harta mereka,
seperti yang dijelaskan dalam QS. 9: 103.
2.
Perhitungan Zakat yang Harus Dibayar oleh ASN
Islam menjelaskan bahwa orang yang dikategorikan kaya itu adalah orang
yang memiliki harta lebih dari kebutuhannya. Ketentuan ini antara lain dapat dilihat
dalam Firman Allah pada QS.2:219:
“...Dan mereka mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang akan
mereka infaqkan. Katakanlah yangg lebih dari keperluan...”
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, As-Suyuthi dalam kitab Asbabbun Nuzul
menjelaskan bahwa dalam riwayat Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas
disebutkan bahwa sebab turun ayat ini adalah terkait pertanyaan beberapa sahabat,
ketika diperintahkan untuk menginfakkan harta di jalan Allah. Mereka datang
menghadap Rasulullah saw., dan berkata, “Kami tidak tahu infak yang bagaimana
dan harta yang mana yang harus kami keluarkan itu?” Maka Allah menurunkan ayat
219 dalam surah Al-Baqarah di atas yang menegaskan bahwa harta yang dimaksud
adalah yang telah lebih dari kebutuhan. Dengan demikian perhitungan satu nisab
itu di luar kebutuhan pokok muzaki.27
Dalam riwayat lain yang bersumber dari Yahya disebutkan bahwa Mu’adz
bin Jabal dan Tsa’labah menghadap Rasulullah saw, dan bertanya, “Ya Rasulallah,
kami mempunyai banyak hamba sahaya dan anggota keluarga. Harta yang mana
yang harus kami keluarkan untuk infak? Maka turunlah ayat ; “ ... wa yasaluunaka
maadzaa yunfiquun...”. Lebih lanjut Rasyid Ridha menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan al-afwa adalah; al-fadhlu wa az-ziyaadah ‘anil hajah ( kelebihan
dari kebutuhan). Dengan telah terpenuhi kebutuhan pribadi, keluarga dan orang
yang menjadi tanggungan mereka, maka akan mudah bagi mereka mengeluarkan
kewajiban yang dibebankan. Untuk memperkuat pendapatnya ini, Rasyid Ridha
mungutip pendapat Muhammad Abduh yang menjelaskan bahwa jika lafazh alafwa menunjukkkan kepada zakat, maka tidak dapat tidak, bahwa itu diambil dari
kelebihan dari kebutuhan, sehingga tidak membebani dan tidak mendatangkan
kesulitan 28 Wahbah Az-Zuhaily, menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan bahwa,
Mereka bertanya kepadamu hai Muhammad tentang harta yang akan dizakatkan.
27 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsiir Al-Qur’aan al-‘Azhiim (Tafsiir al-Manaar) Juz II, (Libanon: Daar alMa’rifah,1993M/1414 H., hal.336. Lihat juga, Wahbah Az-Zuhaily, Tafsir al-Muniir, fil ‘Aqiidah wasy-syari’ah wal Manhaj,
(Damsyiq: daar al-Fikr, 2011 M/1432H) Jilid I, h. 642 . Riwayat lain tentang sebab turun ayat ini, dapat dilihat pada: AnNaysabuury, Asbaab an-Nuzuul, (Kairo: al-Manaarn 1968M/1388H) hal.35
28 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsiir Al-Qur’aan al-‘Azhiim (Tafsiir al-Manaar) Juz II, (Libanon: Daar alMa’rifah,1993M/1414 H., h..336-337
174
|
Regulasi Zakat bagi Aparatur Sipil Negara di Indonesia
Vol. 19, No. 1, Juni 2020
Katakanlah kepada mereka; agar mereka menginfakkah kelebihan, yaitu apa yang
berlebih dari kebutuhan. Infakkanlah kelebihan dari kebutuhanmu. Jangan kamu
menginfakkan yang menjadi kebutuhanmu dan mengabaikan dirimu.29
Sejalan dengan pendapat sebelumnya Ibnu Katsir dengan mengutip pendapat
Ibnu Abbas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-afwa dalam ayat ini
adalah sesuatu yang lebih dari kebutuhan keluarga.30 Menurut Ibnu Katsir pendapat
yang sama juga dikemukakan oleh Ibnu Umar, Mujahid, ‘Atha’, ‘Ikrimah, Sa’id
bin Jubair, Muhammad bin Ka’ab, Hasan, Qatadah dan lain-lain.31 Tidak berbeda
dengan itu, Al-Qurthuby menafsirkan al-afwa dengan maa sahula wa tayassara wa
fadhala( apa yang mudah, gampang dan lebih), yang tidak membuat hati berat
mengeluarkannya. Dengan demikian, makna ayat ini adalah: “ Infakkanlah apa
yang lebih dari kebutuhan-kebutuhanmu dan tidak menyulitkan dirimu dan tidak
menjadikanmu miskin.32
Ayat 219 surah Al-Baqarah ini sangat jelas menggambarkan bahwa Allah
Swt. Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijak menetapkan penghasilan /harta yang
menjadi objek zakat adalah yang lebih dari kebutuhan pokok muzaki, keluarga, dan
orang yang di bawah tanggungannya. Lebih lanjut Ibnu Katsir mengutip pendapat
Hasan dalam menjelaskan ayat di atas. Ia berkata, “Yang demikian itu agar seseorang
yang memiliki harta tidak memaksakan diri untuk mengeluarkan zakat- sementara
harta itu dibutuhkannya untuk memenuhi keperluan dirinya, keluarganya, orang
yang menjadi tanggungannya dan untuk membayar hutangnya, lalu setelah itu Ia
duduk untuk meminta belaskasihan manusia(orang lain)”.33
Selain ayat di atas, Rasyid Ridha juga mengutip beberapa hadis sahih juga untuk
menjelaskan bahwa zakat itu hanya diwajibkan kepada orang kaya. Di antaranya
adalah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary, Muslim, Abu Daud dan Nasa’i
dari Abu Hurairah ra: Dari Nabi SAW. Bahwa beliau bersabda: Khayru ash-shadaqah
maa kaana ‘an zhahri al-ghina wa ibda’ man ta’uulu” (Sebaik-baik zakat adalah yang
dibebankan kepada pihak yang kaya, dan hendaklah ia mulai memberikannya kepada
orang yang menjadi tanggungannya). Selain itu hadis riwayat Ibnu Khuzaimah dari
Abu Hurairah juga yang menjelaskan: “ Sebaik-baik sedekah, yang membuat muzakinya
tetap kaya (setelah membayarkan zakatnya.34) Senada dengan hadis ini, Imam Ahmad
meriwayatkan hadis yang bersumber dari Abu Hurairah sebagai berikut, “ Innamaa
29 Wahbah az-Zuhaily, Tafsir al-Muniir, jilid I, h.649
30 Ibnu Katsir, Tafsiir al-Qur’aan al-“Azhiim, Juz. I, (Kairo: Daar al Hadits, 2005 M/1426 H) hal. 555
31 Ibnu Katsir, Tafsiir al-Qur’aan al-“Azhiim, Juz. I, h. 555
32 Al-Qurthuby, al-Jaami’ li ahkaam al-Qur’aan, Jilid II Juz III, (Beirut: Daaru Ihyaa i atuTuraatsi al-‘Arabiy, 1995M/1416H) h. 61.
33 Ibnu Katsir, Tafsiir al-Qur’aan al-“Azhiim, Juz. I, hal. 555
34 Lengkapnya, lihat pada Muhammad Rasyid Ridha, Tafsiir Al-Qur’aan al-‘Azhiim (Tafsiir al-Manaar) Juz II, 337
Isnawati Rais, Abdul Halim, Nisrina Mutiara Dewi, Asmawi, Ahmad Bahtiar
|
175
Istinbáth Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam
ash-shadaqatu maa kaana ‘an zhahri ghinaa” (zakat hanya dibebankan ke atas
pundak orang yang kaya). Sementara Imam Bukhari meriwayatkan dengan lafaz
yang sedikit berbeda bersumber dari Abu Hurairah juga, “ Khayru ash-shadaqah
maa kaana ‘an zhahri ghinaa, wabda’ bi man ta’uul”(sebaik-baik sedekah adalah yang
dibebankan kepada orang kaya, dan mulailah, memberikan kepada orang yang di
bawah tanggungan). Hadis lain dari Imam Bukhari, “Laa shadaqah illaa min zhahri
al-ghinaa” (zakat tidak dibebankan kecuali ke atas pundak orang yang kaya)35 .
Selanjutnya, menyangkut persolan ini dapat juga diperhatikan hadis riwayat
Ibnu Jarir dari Abu Hurairah yang mempertegas ketentuan ayat dan hadis-hadis
yang telah dikemukakan sebelumnya. Dalam hadis ini dijelaskan bahwa seorang
laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw.,
Ya Rasulallah, saya mempunyai uang satu dinar- untuk siapa ini?Rasulullah saw.
menjawab: Nafkahkanlah untuk dirimu. Ia bertanya lagi,
saya masih punya yang
lain lagi –untuk siapa?-. Rasulullah menjawab. Berikan kepada keluargamu(istrimu). Ia
bertanya lagi, saya masih punya yang lain lagi. Rasulullah menjawab: Berikan kepada
anakmu. Ia bertanya
lagi, saya masih punya yang lain lagi. Rasulullah menjawab:
Engkau berarti sudah punya kelapangan”.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dalam
sahihnya. Dalam riwayat Muslim yang lain dari Jabir, diterangkan bahwa Rasulullah
bersabda kepada seorang laki-laki, “Mulailah dengan memenuhi kepentinganmu, bila
berlebih berikanlah kepada istrimu,bila masih berlebih berikan kepada keluargamu, jika
masih berlebih berikan kepada kerabatmu, jika masih berlebih berikanlah kepada yang
lain-lain”.36
Berdasarkan ayat dan hadis-hadis yang menjelaskan bahwa zakat merupakan
kewajiban orang yang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin, dan perhitungan
kaya itu diukur dari harta yang melebihi kebutuhan pokok hidup muzaki dan
orang-orang yang di bawah tanggungannya. Ulama Hanafiyyah menetapkan
bahwa memulai perhitungan nisab harta yang berkembang itu setelah dikeluarkan
kebutuhan rutin biasa yang dalam fikih biasa disebut dengan al-hajah al-ashliyyah.
Alasan mereka adalah bahwa seseorang yang memiliki harta kekayaan sekadar
memenuhi kebutuhan pokok biasa, belum dapat dikatakan sebagai orang kaya, yang
diwajibkan berzakat. Menurut mereka seseorang baru bisa disebut kaya apabila ia
memiliki harta kekayaan lebih dari kebutuhan rutin hidupnya dan orang yang di
35 Ibnu Hajar al-‘Atsqalaany, Fath al-Baariy, Syarh Shahiih Bukhaariy, Juz IV, (Beirut : Daar al-Fikr, 2007M/1427-1428H) h. 36.
36 Ibnu Katsir, Tafsiir al-Qur’aan al-“Azhiim, Juz. I, h. 555
176
|
Regulasi Zakat bagi Aparatur Sipil Negara di Indonesia
Vol. 19, No. 1, Juni 2020
bawah tanggungannya, dan apabila lebihnya itu cukup minimal satu nisab maka ia
akan dikenai wajib zakat.37
Sementara itu, Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa ada beberapa ulama lain
yang menyatakan bahwa untuk ukuran nisab harta yang berkembang tidak perlu
ditambahkan syarat lebih dari kebutuhan pokok, karena kebutuhan pokok, seperti
rumah tempat tinggal, kendaraan, pakaian, peralatan tumah tangga, peralatan
kerja, buku-buku dan kebutuhan pokok lainnya tidaklah termasuk pada kategori
harta yang berkembang yang perlu dizakati. Tetapi karena kebutuhan pokok itu
adalah sesuatu yang bersifat pribadi, yang tidak bisa diketahui secara pasti dan tidak
bisa dipatok, karena itu bisa saja orang yang sudah mempunyai harta kekayaan yang
cukup untuk dikenai wajib zakat mengatakan bahwa hartanya hanya cukup untuk
kebutuhan rutin keluarganya. Untuk itu perlu ada ketentuannya.38
Apabila diperhatikan dengan saksama, maka akan ditemukan bahwa pendapat
kedua ini pada dasarnya tidak menolak untuk menempatkan kebutuhan pokok itu
sebagai penghasilan yang tidak dihitung dalam perhitungan nisab zakat, untuk
kemudian wajib dikeluarkan zakatnya. Hanya saja mereka memposisikan kebutuhan
pokok itu sebagai harta yang tidak berkembang, sehingga tidak dimasukkan pada
harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa dalam masalah syarat harta yang wajib dikeluarkan zakatnya itu dihitung
dari penghasilan bersih, tidak ditemukan perbedaan pendapat para ulama. Artinya
para ulama sepakat bahwa untuk perhitungan nisab harta yang akan dikenakan
wajib zakat adalah di luar kebutuhan pokok muzaki dan orang yang menjadi
tanggungannya. Dengan demikian penghitungan kewajiban zakat bukan dari
penghasilan kotor (bruto), tetapi dari penghasilan bersih.
Penghasilan bersih adalah penghasilan yang melebihi dari memenuhi kebutuhan
pokok(al-hajah al- ashliyyah). Menurut Yusuf Qaradhawy yang dimaksud dengan alhajah al- ashliyyah adalah kebutuhan rutin, yang harus selalu ada, dan apabila tidak
terpenuhi akan menyulitkan, seperti makanan, minuman, pakaian, rumah tempat
tinggal dan berbagai kebutuhan pokok lainnya. Dasar perhitungannya adalah
kebutuhan, bukan keinginan, karena kebutuhan ada batasnya sementara keinginan
tidak ada batasnya39
Sebagian Ulama Hanafiyyah, berdasarkan kajian ilmiah yang rinci dan jelas
menafsirkan bahwa kebutuhan pokok itu adalah yang benar-benar diperlukan untuk
mempertahankan kehidupan dan menghindarkan dari kebinasaan, seperti nafkah
37 Yusuf Qaradhawy, Fiqh az-Zakah, Juz I, h. 151.
38 Yusuf Qaradhawy, Fiqh az-Zakah, Juz I, h. 151-152
39 Yusuf Qaradhawy, Fiqh az-Zakah, Juz I, h. 152
Isnawati Rais, Abdul Halim, Nisrina Mutiara Dewi, Asmawi, Ahmad Bahtiar
|
177
Istinbáth Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam
(belanja kebutuhan sehari-hari), rumah tempat tinggal, pakaian untuk melindungi
dari panas dan dingin. Selain itu, termasuk juga pada kebutuhan pokok (primer)
ini hutang, sebab orang yang berhutang harus membayar hutangnya sesuai
dengan waktuyang ditentukan dengan harta kekayaan yang dimilikinya, termasuk
dengan harta yang sudah cukup nisab zakatnya, agar ia terlepas dari keterikatan
yang membawa kepada kesulitan dan kehancuran. Begitu juga dengan peralatan
kerja, perkakas rumah tangga, hewan tunggangan(kendaraan) dan buku-buku ilmu
pengetahuan untuk keluarganya. Dengan demikian apabila seseorang mempunyai
uang yang hanya cukup untuk memenuhi semua kebutuhan ini, maka ia berarti
tidak mempunyai apa-apa. Keadaannya ini menurut Ulama Hanafiyyah sama
dengan orang yang mempunyai air terbatas yang harus diberikannya kepada orang
yang haus, maka dalam keadaan seperti ini, artinya ia tidak punya air, sehingga ia
boleh bertayamum untuk bersuci.40
Dengan ditetapkannya syarat ini, memberi gambaran bahwa syariat Islam itu
sangat bijak dalam hal membebankan kewajiban zakat kepada seseorang. Syariat
tidak hanya memperhatikan objek zakatnya, yaitu harta zakat yang bisa dikumpulkan,
tetapi sekaligus mempertimbangkan subjeknya, yaitu muzaki dan situasi kehidupan
yang dihadapinya, terutama tanggungan yang harus dibiayainya dari penghasilan
yang diperolehnya, termasuk utang yang harus dilunasinya sebelum diperhitungkan
zakatnya. Ini hendaknya menjadi panduan dan pertimbangan bagi pemangku
kekuasaan yang sekaligus menjadi Amil zakat, sehingga tidak memberikan beban
dan kewajiban kepada orang yang tidak tepat, hanya karena keinginan untuk
memenuhi target.
Memperhatikan dalil-dalil nash berupa ayat al-Qur’an dan hadis-hadis
Rasulullah, serta pernjelasan para ulama menyangkut penghitungan nisab zakat
dan pembebanan kewajiban zakat di atas, maka terlihat bahwa regulasi yang
dirancang pemerintah untuk zakat ASN ini tidak sejalan dengan aturan Syariat Islam.
Sementara zakat itu adalah salah satu kewajiban agama Islam yang dibebankan
kepada umatnya dengan perintah yang jelas dan aturan yang rinci. Aturan ini sudah
berjalan semenjak diwajibkan oleh Syariat pada tahun kedua Hijrah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa zakat memang erat hubungannya dengan sistem
keuangan dan ekonomi negara dan umat, karena merupakan salah satu sumber
keuangan Baitul Mal dari masa ke masa, yang dipergunakan untuk perbaikan keadaan
mustahik, membebaskan mereka dari kesulitan, menyelamatkan mereka keadaan
bahaya, mengadakan dan memperbaiki berbagai fasilitas umum yang dibutuhkan dan
40 Allamah Al-Zain Ibnu Nujaim al-Hanafi, Al-Bahr al-Raiq Syarh Kanz al-Daqaiq, Juz 2 h.222 yang dikutip oleh Yusuf
Qaradhawy, Fiqh az-Zakah, Juz I, h. 152-153.
178
|
Regulasi Zakat bagi Aparatur Sipil Negara di Indonesia
Vol. 19, No. 1, Juni 2020
lain sebagainya. Namun demikian, Islam tidak semata-mata melihat potensi ekonomi
dari zakat, tetapi juga mempertimbangkan keadaan orang yang akan dibebani zakat,
dengan menghitung nisab zakat itu di luar kebutuhan pokoknya. Terkait dengan
ini Imam Bukhari di awal penjelasannya dalam bab, “laa shadaqah illa ‘an zhahri
al-ghinaa” menyebutkan bahwa Orang tidak dibebani berzakat, sementara ia dan
keluarganya membutuhkan, atau ia mempunyai utang. Untuk itu, kebutuhannya
harus dipenuhi terlebih dahulu dan hutang itu lebih penting untuk dibayar terlebih
dahulu dari pada zakat. Ibnu Hajar dalam penjelasannya mengomentari pendapat
Imam Bukhary ini. Ia berkata, Barangkali dalam mememahami hadis ini Ia (Imam
Bukhari) berpendapat bahwa syarat seorang wajib mengeluarkan zakat adalah
apabila Ia dan orang yang di bawah tanggungannya tidak membutuhkannya.41
Keadaan Muzaki ini, yang seakan dilupakan oleh rancangan Regulasi Zakat
ASN. Karena perhatian pemerintah lebih fokus pada potensi angka secara ekonomi
dari zakat yang mungkin bisa dikumpulkan bila regulasi ini jalan, maka Pemerintah
abai terhadap orang yang disasar sebagai waib zakat, sehingga kebutuhan dan
kepentingan mereka tidak diperhitungkan. Andaikan ini dilaksanakan keadilan yang
menjadi salah satu tujuan regulasi ini tidak akan terwujud, karena yang diperhatikan
hanya kesejahteraan mustahik, dan tidak mengindahkan kesejahteraan muzaki,
karena gajinya akan dipotong tanpa memperhitungkan kebutuhan pokoknya
terpenuhi atau tidak. Bila keadilan tidak terwujud, akan muncul ketidak puasan,
yang menyebabkan seseorang akan melakukan sesuatu hanya keterpaksaan bukaan
kerelaaan.
Persoalan lain yang juga tidak akan mudah untuk dilaksanakan adalah
penetapan nominal kebutuhan ASN yang tidak terkena zakat, sehingga kemudian
pemerintah bisa menetapkan bahwa ASN yang bersangkutan telah mempunyai
kewajiban zakat profesi? Ini perlu kajian yang mendalam, perhitungan yang matan,
sehingga Pemerintah tidak membebankan kewajiban kepada seseorang yang
sebetulnya tidak dikenakan kewajiban itu. Dengan bahasa sederhana, bisa jadi ASN
yang oleh Pemerintah ditetapkan sebagai Muzaki sebenarnya adalah bukan hanya
tidak muzaki, tetapi bahkan mustahik. Lalu, kemudian siapa yang bertanggung
jawab terhadap hal ini?
Untuk menetapkan kebutuhan pokok minimal (al-hajah al-ashliyyah), tentu
tidak mudah, karena kebutuhan pokok itu adalah sesuatu yang bersifat pribadi, yang
tidak bisa diketahui secara pasti dan tidak bisa dipatok, karena itu bisa saja orang
yang sudah mempunyai harta kekayaan yang cukup untuk dikenai wajib zakat
41 Ibnu Hajar al-‘Atsqalaany, Fath al-Baariy, Syarh Shahiih Bukhaariy, Juz IV, (Beirut : Daar al-Fikr, 2007M/1427-1428
H) h. 36.
Isnawati Rais, Abdul Halim, Nisrina Mutiara Dewi, Asmawi, Ahmad Bahtiar
|
179
Istinbáth Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam
mengatakan bahwa hartanya hanya cukup untuk kebutuhan rutin keluarganya.
Untuk itu perlu ada ketentuan hukum yang menetapkan, dan pemerintah perlu
merancang dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya agar tidak terjadi penolakan dan
gejolak.
Dengan demikian, pemerintah tidak bisa begitu saja mewacanakan sesuatu,
lalu diiringi dengan rencana regulasinya secara matang. Apalagi terkait pengaturan
zakat yang merupakan kewajiban agama yang sudah mapan, tentu perlu kajian dan
disesuaikan dengan aturan agama yang menjadi dasar dari kewajiban itu.
D.
Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa wacana zakat ASN dan rancangan
regulasi yang mendukung penetapan masih terkesan terlalu prematur, yang perlu
kajian yang menyeluruh dan mendalam sebelum ditetapkan regulasinya, serta
disesuaikan dengan Syariat Islam yang merupakan asal dari kewajiban zakat ini.
Pemerintah jangan hanya fokus kepada potensi ekonomi zakat, tetapi hendaknya
perlu mempertimbangkan bagaimana kewajiban itu dibebankan dan kepada ASN
mana saja kewajiban itu dibebankan sehingga tidak salah sasaran.
Untuk itu, perlu dipertimbangkan perhitungan nisab zakat dari neto, yaitu
dengan mengeluarkan dari perhitungan kebutuhan pokok ASN dan keluarganya,
termasuk utang yang jatuh tempo, bukan dari bruto, sehinga tidak menyulitkan
ASN dan regulasi yang akan dikeluarkan dapat dipatuhi dengan ikhlas. Untuk
memperhitungkan hal tersebut, perlu dilakukan kajian yang mendalam dan
komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Abidin. Hasyiyah Ibnu Abidin. Beirut: Daar al-Fikr, 1412 H.
Hajar, Ibnu. al-Talkhish al-Habiir. Kairo: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1419 H.
Hajar, Ibnu. Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari. Beirut: Daar al-Ma’rifah, 1379 H
Hakim, Rahmad. “Potongan Zakat ASN Muslim” Koran Republika, 2018.
H. B. Pratomo, “5 Pro dan Kontra Rencana Pemotongan Gaji PNS Untuk
Zakat,” Merdeka.com, 9 Februari 2018. [Online]. Available: Harwanto
Bimo Pratomo, 5 Pro dan Kontra Rencahttps:// www.merdeka.com/
uang/5-pro- dan-kontra-rencana-pemotongan-gaji-pns-untuk-zakat/potonggajiuntuk- zakat-untuk-kembangkan-ekonomi-syariah.html. diakses 20
April 2019.
180
|
Regulasi Zakat bagi Aparatur Sipil Negara di Indonesia
Vol. 19, No. 1, Juni 2020
Katsir, Ibnu. Tafsiir al-Qur’aan al-“Azhiim. Kairo: Daar al Hadits. 2005 M/1426 H.
Lestari, Nopi Puji. “Kegaduhan Pemotongan Gaji ASN untuk Zakat, Opini,”
Koran Bhirawa, 2018.
Majah, Ibnu. Sunan Ibnu Majah. Daar Ihyaa al-Kutub al-Arabiyyah.
An-Naysabuury. Asbaab an-Nuzuul. Kairo: al-Manaarn, 1968 M/1388 H.
Ngadian,
“Profesionalisme
Pengelolaan
Zakat
Profesi
dalam
Meningkatkan Motivasi dan Berdikari Mustahik; Studi Kasus Zakat Profesi
ASN di MAN Wonosari,” Jurnal Pendidikan Madrasah, No. 1, vol. 2, 2017.
bin Sa’ad, Mustaf. Mathalib Uli al-Nuha Syarh Ghayat al-Muntaha, al-Maktab
al-Islamiy, 1415 H.
Ridha, Muhammad Rasydi. Tafsiir Al-Qur’aan al-‘Azhiim (Tafsiir al-Manaar).
Libanon: Daar al- Ma’rifah, 1993M/1414 H.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Daar al-Fikr, 1977 M/1397 H.
Tribun Network, “Pro Kontra Zakat 2,5 Persen dari Gaji PNS Muslim,”
Tribun Network, 8 Februari 2018. [Online].
http://jateng.tribunnews.
com/2018/02/08/pro-kontra-zakat-25-persen- dari-gaji- pns-muslim-fahrisebut-pemerintah-panik. Diakses 20 April 2019
Qardhawi, Yusuf. Fiqh az-Zakah. Beirut: Ar-Risalah, 1999 M/1420 H.
Zainuddin bin Ibrahim. al-Bahrur al-raiq syarh kanz al-daqaiq. Daar al-Kitab alIslamiy.
Az-Zuhaily, Wahbah. Tafsir al-Muniir, fil ‘Aqiidah wasy-syari’ah wal Manhaj.
Damsyiq: daar al-Fikr, 2011 M/1432H.
Isnawati Rais, Abdul Halim, Nisrina Mutiara Dewi, Asmawi, Ahmad Bahtiar
|
181