MAKALAH
PENGERTIAN HUKUM PERJANJIAN SYARIAH
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Desain Kontrak Perjanjian BMT/LKMS
Dosen Pengampu :
Retno Dewi Zulaikah,S.H.I., M.E.I
Disusun Oleh Kelompok 1 Kelas PS 7C:
1. Sabela Sasa Putri Nabela
(12401183038)
2. Hilda Uni Matul Kibtiyah
(12401183041)
3. Vitri Zulvatul Laili
(12401183047)
4. Ahmad Royhan Ulin Nuha
(12401183048)
5. Kasiyani
(12401183098)
6. Khusnul Khotimah
(12401183104)
7. Fina Mar’atus Solekhah
(12401183122)
8. Alfi Safira Fitri
(12401183126)
PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
AGUSTUS 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
taufiq dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul
“Hukum Perjanjian Syariah”. Adapun maksud dari tugas ini adalah untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah “Desain Kontrak Perjanjian BMT/LKMS”.
Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan besar kita, yaitu
Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukan kepada kita jalan yang lurus berupa
ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh
Islam semesta.
Dalam menyelesaikan makalah yang merupakan salah satu pemenuhan tugas kuliah
ini, kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. H. Maftukhin, M.Ag, selaku Rektor UIN SATU Tulungagung yang telah
memberi kesempatan untuk kami dapat menempuh pendidikan di UIN SATU
Tulungagung.
2. H. Dede Nurrohman, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
yang telah memberikan izin untuk menyelesaikan makalah ini.
3. M. Aqim Adlan M.E.I, selaku ketua jurusan Perbankan Syariah yang telah
mengarahkan dan memberikan wawasasan dalam pembuatan makalah ini.
4. Ibu Retno Dewi Zulaikah, S.H.I.,M.E.I selaku dosen pengampu mata kuliah
Desain Kontrak Perjanjian BMT/LKMS yang telah memberikan bimbingan dan
mengarahkan kami sehingga kami mendapatkan pemahaman yang benar
mengenai mata kuliah ini.
5. Semua pihak yang telah membantu penyusun dalam menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya, atas segala keterbatasan yang penyusun miliki apabila terdapat
kekurangan dan kesalahan mohon maaf. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan menjadi bekal pengetahuan bagi penyusun di kemudian hari.
Tulungagung, 27 Agustus 2021
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
COVER ..............................................................................................................................i
KATA PENGANTAR .......................................................................................................ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 2
C. Tujuan Masalah ..................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Hukum Perjanjian Syariah .................................................................................... 3
B. Dasar Hukum Perjanjian Konvensional dan Syariah ........................................... 11
C. Subjek dan Objek Hukum Perjanjian Konvensional dan Syariah ........................ 13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................................ 23
B. Saran ...................................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................25
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan antar manusia tidak dapat dipisahkan dari pola dan mekanisme
tertentu yang tumbuh dan berkembang, disepakati dan ditetapkan sebagai pedoman
hidup masyarakat. Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang artinya persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat
oleh dua belah pihak atau lebih. Tujuan adanya suatu hukum perjanjian yaitu dapat
meningkatkan kepastian, keadilan, dan prediktabilitas yang pada saat yang
bersamaan menjadi alat bagi para pihak untuk mengelolah risiko. Dalam sebuah
konteks hukum, perjanjian masuk ke dalam ranah hukum privat umum, yaitu
hukum yang dapat mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang
lain, dengan menitik beratkan pada kepentingan perorangan atau individu.
Dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, manusia sebagai makhluk sosial
selalu membutuhkan dan memerlukan adanya peran manusia lain. Dalam hal ini,
mereka akan melakukan sebuah perikatan atau perjanjian mengenai sesuatu dari
manusia satu dengan manusia lain sesuai dengan kesepakatan yang mereka lakukan
sebelumnya. Sehingga dengan adanya perjanjian tersebut maka dalam kehidupan
perlu adanya hukum yang mengatur adanya perjanjian tersebut sehingga dalam
terlaksana dengan baik dan benar.
Dalam makalah ini, akan dibahas tentang hukum perjajian syariah, dasar
hukum perjanjian konvensional dan syariah, serta subyek dan obyek hukum
perjanjian konvensional dan syariah. Melalui makalah ini akan mengupas hal-hal
yang berkaitan dengan hukum perjanjian dengan membuka sub bab baru yang
menggali lebih dalam mengenai hukum perjanjian syariah.
1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hukum Perjanjian Syariah?
2. Bagaimana Dasar Hukum Perjanjian Konvensional dan Syariah?
3. Bagaimana Subjek dan Objek Hukum Perjanjian Konvensional dan Syariah?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Hukum Perjanjian Syariah.
2. Untuk mengetahui Dasar Hukum Perjanjian Konvensional dan Syariah.
3. Untuk mengetahui Subjek dan Objek Hukum Perjanjian Konvensional dan
Syariah.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Perjanjian Syariah
Didalam menjelaskan pengertian hukum perjanjian syariah terdapat 2 arti,
baik secara etimologi maupun secara istilah. Dalam istilah bahasa arab kata
perjajian diartikan sebagai mu’ahadahittifa. Sedangkan dalam istilah bahasa
Indonesia, perjanjian dikenal sebagai kontrak, Dalam hal ini perjanjian merupakan
yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok dengan yang lainnya sehingga untuk
mengikat antar keduanya baik dirinya sendiri maupun orang lain.1
Selanjutnya istilah perjanjian dalam al-Qur’an terdapat dua macam yang
berhubungan denga persetujuan yaitu ‘alaqdu atau al-ahdu. Akad itu hubungannya
dengan perjanjian. Sedangkan kata al-ahdu sendiri merupakan pesan, masa,
penyempurnaan, dan janji. Dalam hal ini, akad disamakan dengan seperti halnya
perikatan sedangkan kata al-ahdu disamakan dengan perjanjian. Maka dari itu,
perjanjian juga dapat diartikan yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan
ataupun tidak melakukan apa-apa dan tidak berkaitan dengan kemauan orang lain.
Sedangkan dalam KUH Perdata pasal 1313 yang berbunyi: “Perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih lainnya.”
Dalam pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan antara
pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang. Dalam melakukan
suatu perjanjian harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak dengan disertai
ijab qabul agar perjanjian yang telah disepakati dapat berjalan dengan lancar sesuai
dengan tujuan. Adanya ijab qabul ini, suatu perjanjian dapat dinyatakan sebagai
perjanjian yang sah sesuai dengan syariat Islam.
Peraturan Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 yang didalamnya menetapkan
dalam hal akan penghimpunan dana dan penyaluran dana bagi bank Syariah. Dalam
hal ini setelah pemaparan diatas, maka dapat dikatakan bahwa akad adalah suatu
1
Darul Muftadin, Dasar-Dasar Hukum Perjanjian Syariah dan Penerapnnya dalam Transaksi
Syariah, Jurnal Al-adl Vol. 11 No. 1 tahun 2018.
3
perjanjian yang menimbulkan kewajiban untuk berprestasi antara pihak yang
terdapat hubungan timbal balik. Perjanjian atau perikatan secara etimologi
perjanjian atau perikatan adalah ikatan. Sedangkan menurut terminology, perjanjian
atau perikatan adalah suatu perbuatan dimana seorang mengikatkan dirinya seorang
atau beberapa lain.
Menurut Abdul Aziz Muhammad kata aqad dalam istilah bahasa berarti
ikatan dan tali pengikat, makna akad ini kemudian diterjemakan sebagai
menghubungkan antara dua perkataan, masuk juga didalamnya janji dan sumpah,
karena sumpah menguatkan niat berjanji untuk melaksankan isi sumpah atau
meninggalkanya. Demikian juga dengan janji sebagai perekat hubungan antara
kedua belah pihak yang berjanji dan menguatkannya disertai dengan adanya ijab
qabul agar perjanjiandapat berjalan dengan lancar sesuai dengan tujuan dan
dianggap sah oleh syariah Islam dan undang-undang yang berlaku.
Sehingga jika didasarkan pada pemaparan diatas, maka dapat dikatakan
bahwa akad perjanjian merupakan suatu perjanjian atau perikatan yang
dapat
menimbulkan hak dan kewajiban antara pihak yang dengan pihak yang lainnya,
yang mana antara keduanya hubungan timbal balik.
1. Prinsip Perjanjian Syariah
Prinsip atau asas dalam suatu akad perjanjian mempengaruhi keabsahan
akad tersebut. Karena akad inilah yang menjadi penentu apakah akad tersebut
sah atau tidak. Dan ini bererti jika suatu akad tidak memenuhi prinsip-prinsip
yang ada maka akad tersebut belum dianggap sah.
a. Prinsip Tauhid
Kegiatan mu’amalah termasuk perbuatan perjanjian, tidak pernah akan
lepas dari nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki
tanggung jawab akan hal itu. Tanggung jawab kepada masyarakat, tanggung
jawab kepada pihak kedua, tanggung jawab kepada diri sendiri, dan tanggung
jawab kepada Allah SWT. Akibat dari penerapan asas ini, manusia tidak akan
berbuat sekehendak hatinya karena segala perbuatannya akan mendapat
balasan dari Allah SWT.
4
b. Prinsip Kebolehan (Mabda’ al-Ibahah)
Sebagaimana dalam kaidah yang menyatakan bahwa “Pada dasarnya
segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang melarang”, maka
setiap
kegiatan
muamalah
adalah
boleh
kecuali
ada
dalil
yang
mengharamkannya. Hadis riwayat al Bazar dan at-Thabrani yang menjelaskan
“Apa-apa yang dihalalkan Allah adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan
Allah adalah haram, dan apa-apa yang didiamkan adalah dimaafkan. Maka
terimalah dari Allah pemaaf-Nya. Sungguh Allah itu tidak melupakan
sesuatupun”
c. Prinsip Keadilan (Al’adalah)
Dalam QS Al-Hadid Ayat 25 disebutkan bahwa Allah berfiman
”Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-kitab dan
Neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”.
Selain itu disebutkan pula dalam QS Al-A’raf Ayat 29 yang artinya
“Tuhanku menyuruh supaya berlaku adil”. Dalam asas ini para pihak yang
melakukan kontrak dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan
kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan
memenuhi semua kewajibannya.2
d. Prinsip Persamaan Atau Kesetaraan
Sesama manusia masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Maka antara manusia yang satu dengan yang lain, hendaknya saling
melengkapi atas kekurangan yang lain dari kelebihan yang dimilikinya.
Dalam melakukan kontrak para pihak menentukan hak dan kewajiban
masing-masing didasarkan pada asas persamaan dan kesetaraan. Sebagaimana
firman Allah dalam sural Al-Hujurat ayat 13. Prinsip ini dimaksudkan agar
tidak ada pihak yang dirugikan, dan hai ini diatur dalam UU No. 8 Tahun
1999 tentang perlindungan konsumen.
2
Gemala Dewi dkk, HukumPerikatan Islam di Indonesia, ( Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 33
5
e. Prinsip Kejujuran Dan Kebenaran
Kejujuran merupakan suatu prinsip yang mendasar dalam ajaran Islam
dan menjadi sebuah etika yang harus dilaksanakan. Allah befirman dalam
Surah Al-Ahzab ayat 70 yang artinya, “Hai orang –orang yang beriman,
bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”. Suatu
perjanjian dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi para pihak
yang melakukan perjanjian dan bagi masyarakat dan lingkungannya.
Sedangkan perjanjian yang mendatangkan madharat dilarang. Dari sini bisa
dilihat bahwa kejujuran dan kebenaran bisa menentukan keabsahan suatu
akad.
f. Prinsip Tertulis (Al-kitabah)
Suatu perjanjian hendaknya dilakukan secara tertulis agar dapat
dijadikan sebagai alat bukti apabila di kemudian hari terjadi persengketaan.3
Sebagaimana yang disebutkan dalam dalam suraH Al-Baqarah ayat 282- 283,
dapat dipahami bahwa Allah SWT menganjurkan kepada manusia agar suatu
perjanjian dilakukan secara tertulis, dihadiri para saksi dan diberikan
tanggung jawab individu yang melakukan perjanjian dan yang menjadi saksi
tersebut. Selain itu dianjurkan pula jika suatu perjanjian dilaksanakan tidak
secara tunai maka dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya.
g. Prinsip Itikad Baik atau Kepercayaan
Prinsip ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata
yang berbunyi bahwa “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.”
h. Prinsip Kemanfaatan dan Kemaslahatan
Asas ini mengandung pengertian bahwa semua bentuk perjanjian yang
dilakukan harus mendatangkan kemanfaatan dan kemaslahatan baik bagi para
pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian maupun bagi masyarakat.
i. Prinsip Kerelaan atau Konsensualisme
Segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau
kerelaan antara masing-masing pihak tidak diperbolehkan ada tekanan,
paksaan, penipuan, dan mis-statement. Jika hal ini tidak dipenuhi maka
3
Mohammad Daud Ali, Asas – Asas Hukum Islam , (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), hlm.124.
6
transaksi tersebut dilakukan dengan cara yang batil. Allah berfirman dalam
surah An-Nisa ayat 29 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu”.
j. Prinsip Kebebasan Berkontrak
Apabila suatu akad telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan
tersebut mengikat para pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan
segala hak dan kewajibannya. Sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah
Islam, maka perikatan tersebut boleh dilaksanakan. Disebutkan bahwa
syari’ah Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan
akad sesuai dengan yang diinginkan, tetapi yang menentukan syarat sahnya
adalah ajaran agama.
Seseorang bebas untuk membuat perjanjian macam apapun dan berisi
apa saja sesuai dengan kepentingannya dalam batas-batas kesusilaan dan
ketertiban umum, sekalipun perjanjian tersebut bertentangan dengan aturanaturan atau pasal-pasal hukum perjanjian. Misalnya menurut aturan hukum
perjanjian, barang yang diperjualbelikan oleh para pihak harus diserahkan
ditempatdimana barang tersebut berada pada waktu perjanjian tersebut
ditutup. Namun demikian para pihak dapat menentukan lain. Misalnya si
penjual harus mengantarkan dan menyerahkan barang tersebut di rumah si
pembeli. Kebebasan berkontrak ini meliputi empat segi kebebasan yaitu:
1) Kebebasan untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian
2) Tidak terikat kepada formalitas-formalitas, tetapi cukup semata-mata
berdasarkan kata sepakata (perizinan)
3) Tidak terikat kepada perjanjian-perjanjian bernama
4) Kebebasan untuk menentukan akibat perjanjian.
Kebebasan berkontrak didukung oleh surah al-Nisa’ ayat 29 yang
membatasi kebebasan tersebut dalam batas batas tidak memakan harta orang
lain dengan jalan batil dan hal inilah merupakan ketertiban umum syara’.
Dalam QS. Al-Maidah ayat 1, Allah berfiman yang artinya “Wahai orang-
7
orang beriman, penuhilah perjanjian-perjanjian (Akad)”, kata akad dalam ayat
ini berbentuk jamak yang yang diberi alif-lam sehingga menjadikannya
sebagai lafal umum. Jadi ayat ini mencakup segala macam akad baik yang
timbal balik maupun yang sepihak dan semua syarat yang seseorang
mengikatkan diri untuk melaksanakannya di masa depan.
k. Prinsip Kepastian Hukum
Prinsip kepastian hukum ialah tidak ada suatu perbuatanpun dapat
dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang ada dan berlaku untuk perbuatan tersebut.4 Prinsip ini terkait dengan
akibat perjanjian. Dalam hal ini hakim atau pihak ketiga harus menghormati
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah
undang-undang, mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak. Ini dapat disimpulkan dalam pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi, “Perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang”.5
2. Rukun dan Syarat Perjanjian
Dalam melaksanakan setiap perjanjian, terdapat rukun dan syarat
perjanjian yang harus dipenuhi, yaitu
a. Rukun Perjanjian
Berikut adalah rukun-rukun yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang
melakukan perjanjian, diantara adalah:
1) Al- Āqidāni, yakni para pihak yang terlibat langsung dengan akad. Pelaku
akad harus memenuhi dua syarat terbentuknya akad, yaitu tamyiz, dan
berbilang atau at-Ta’addud.
2) Mahallul ‘aqd, yakni obyek akad yang disebut juga dengan sesuatu yang
hendak diakadkan. Obyek akad dapat berupa benda, manfaat benda, jasa
atau pekerjaan, atau sesuatu yang lain yang tidak berkenaan dengan
syariah. Benda meliputi benda bergerak dan tidak bergerak maupun
4
Mohammad Daud Ali, Asas – Asas Hukum Islam , cet. Ke-5, (Jakarta: CV. Rajawali, 2000),
hal.115.
5
Salim, Hukum Kontrak: Teori dan Penyusunan Kontrak, cet.ke-4, (Jakarta: Sinar Grafia,
2006), hlm. 10.
8
benda berbadan dan benda tidak berbadan. Beberapa syarat pada obyek
akad yang harus dipenuhi adalah:6
a) Obyek akad itu dapat diserahkan
Objek dapat berupa barang seperti dalam akad jual beli, atau dapat
dinikmati maupun dapat diambil manfaatnya apabila obyek itu
berupa manfaat benda seperti dalam sewa menyewa benda (ijārah
almanāfi’). Apabila obyek akad berupa sesuatu perbuatan seperti
mengajar, melukis, mengerjakan suatu pekerjaan, maka pekerjaan
itu harus mungkin dan dapat dilaksanakan.
b) Tertentu atau dapat ditentukan
Obyek akad itu tertentu artinya diketahui dengan jelas oleh para
pihak sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sengketa.
Apabila obyek tidak jelas secara mencolok sehingga dapat
menimbulkan persengketaan, maka akadnya tidak sah.
c) Kriteria barang yang dapat ditransaksikan adalah sebagai berikut.
i) Tujuan obyek tersebut tidak bertentangan dengan transaksi,
dengan kata lain sesuatu tidak dapat ditransaksikan apabila
transaksi tersebut bertentangan dengan tujuan yang ditentukan
untuk sesuatu tersebut. Dalam hukum Islam, ada tiga jenis
pemilikan dilihat dari segi pemiliknya, yaitu: Milik pribadi/
individual, Milik negara, misalnya: gedung atau kendaraan,
dianggap tidak dapat dijual kecuali setelah dicabut dari daftar
millik negara, dan Milik umum/ masyarakat, yakni barang yang
tidak dimiliki oleh masyarakat atau biasanya dalam kitab fiqih
disebut sebagai milik allah.
ii) Sifat atau hakikat dari obyek itu tidak bertentangan dengan
transaksi, dengan kata lain sesuatu tidak dapat ditransaksikan
apabila sifat atau hakikat sesuatu itu tidak memungkinkan
transaksi. Yakni, sesuatu juga tidak dapat ditransaksikan apabila
6
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Studi Tentang Teori Akad dalam Fiqh
Muamalah), (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hal. 191
9
sifat atau hakikat sesuatu itu memang tidak dapat menerima
transaksi atau tidak dapat menerima akibat hukum akad. Untuk
dapat ditransaksikan dan dapat menerima akibat hukum akad,
suatu obyek, apabila berupa benda, harus merupakan benda
bernilai dalam pandangan syariat Islam dan benda yang dimiliki.
iii) Obyek akad tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Obyek
yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum lebih tertuju
kepada obyek yang berupa melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Adapun obyek berupa benda yang bertentangan dengan
ketertiban umum syar’i seperti narkoba atau VCD porno
dimasukkan dalam kategori benda yang tidak bernilai pada
pandangan syari’at Islam.7
3) Shighatul ‘aqd, yaitu pernyataan kalimat akad yang lazimnya
dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan qabul.
Syarat pernyataan ini diantaranya yaitu adanya persesuaian ijab
dan qabul, dengan kata lain tercapainya kata “sepakat” dan juga
kesatuan majelis akad. Sedangkan menurut fuqahā Hanafiyah,
mempunyai pandangan yang berbeda dengan jumhur fuqaha diatas. Bagi
mereka, rukun akad adalah unsur-unsur dari pokok pembentuk akad dan
unsur tersebut hanya ada satu yaqin sighat akad (ijab qabul). AlĀqidāni dan Mahallul ‘Aqd bukan merupakan rukun akad melainkan
lebih tepatnya untuk dimasukkan sebagai syarat akad. Pendirian seperti
ini didasarkan pada pengertian rukun sebagai sesuatu yang menjadi
tegaknya dan adanya sesuatu, sedangkan dia bersifat internal (dākhily)
dari sesuatu yang ditegakkannya.8
4) Tujuan Akad (Maudlu Al-‘Aqd)
7
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Studi Tentang Teori Akad dalam Fiqh
Muamalah), (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hal. 205-209
8
Dahrul Muftadin, Dasar-Dasar Hukum Perjanjian Syariah dan Penerapannya dalam
Transaksi Syariah, dalam Jurnal Al-‘Adl, Vol. 11 No. 1, Januari 2018, hal. 112
10
b. Syarat Akad
Pada umumnya syarat akad ada delapan macam, yaitu:9 Tamyiz,
berbilang, persatuan ijab dan qabul (kesepakatan), kesatuan majelis akad,
obyek akad dapat diserahkan, obyek akad tertentu atau dapat ditentukan,
obyek akad dapat ditransaksikan (artinya berupa benda bernilai dan dimiliki
(mutaqawwim dan mamluk), tujuan tidak bertentangan dengan syariat.
B. Dasar Hukum Perjanjian Konvensional dan Syariah
Perjanjian adalah suatu persetujuan dua orang atau lebih saling mengikatkan
diri untuk melaksanakan suatu hal. Tujuan dari adanya hukum perjanjian
diharapkan
dapat
meningkatkan
kepastian,
keadilan,
dan
prediktabilitas
(predictability) dan pada saat yang bersamaan menjadi alat bagi para pihak untuk
mengelola risiko (risk management tool). Karena besarnya harapan atau tujuan
yang ingin dicapai melalui adanya perjanjian tersebut, maka segala hal yang
mendukung berjalannya suatu perjanjian harus diperhatikan secara cermat dan
dipersiapkan secara matang. Salah satu diantara yang perlu diperhatikan ialah dari
segi syarat dari keabsahan perjanjian. Sebagaimana telah disebutkan di dalam
ketentuan pasal 1338 (1) KUHPerdata bahwa seketika perjanjian telah memenuhi
syarat bagi keabsahan kontrak, maka kontrak demikian berlaku sebagai hukum bagi
para pihak yang membuatnya.10
Selanjutnya dalam pasal 1320 KUHPerdata, supaya terjadi persetujuan yang
sah, perlu dipenuhi empat syarat, meliputi:
1.
Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya,
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
3.
Suatu pokok persoalan tertentu,
4.
Suatu sebab yang tidak terlarang.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pemenuhan empat syarat tersebut sangat
penting dan mendasar demi mewujudkan suatu perjanjian yang sah. Tanpa
pemenuhan ke empat syarat tersebut, maka dapat dipastikan bahwa suatu perjanjian
9
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah…, 97-98
Rosa Agustina dkk, 2012: 85
10
11
dianggap sebagai suatu perjanjian yang tidak sah. Dalam konteks hukum, perjanjian
masuk ke dalam ranah hukum privat umum, yaitu hukum yang mengatur hubungan
antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitik beratkan pada
kepentingan perorangan atau individu.
Istilah hukum privat dalam sistem hukum Indonesia disebut juga hukum
Perdata. Hukum perdata yang mengatur mengenai hubungan antar sesama manusia
merupakan peninggalan Pemerintah Hindia Belanda. Pedoman politik bagi
Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum di Indonesia dituliskan dalam pasal
131 Indische Staatsregeling atau biasa disingkat dengan IS. Hasil kodifikasi atas
hukum perdata yang berupa KUHPerdata sampai saat ini masih berlaku sebagai
pedoman hukum materiil di Indonesia. Dasar hukum berlakunya KUHPerdata
adalah Pasal 1 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 (UUD NRI 1945) yang menyatakan bahwa “Segala peraturan perundangundangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini”. Berdasarkan hal tersebut, bahwa KUHPerdata yang
menganut sistem barat sebagai sistem yang dianut negara pembawanya yakni
Belanda, berdampak pada penyebutan istilah perjanjian yang menganut dasar
hukum KUHPerdata sebagai perjanjian konvensional.
Selain sistem barat atau sistem konvensional tersebut, di Indonesia juga
berlaku sistem hukum Islam. Berlakunya hukum Islam di Indonesia telah
mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh
kekuasaan negara. Sampai saat ini, kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum di
Indonesia semakin memperoleh pengakuan yuridis11 yaitu diantaranya pada tataran
peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagaimana
dirubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, terjadi
perubahan berupa penambahan kewenangan sebagaimana bunyi Pasal 49:
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara ekonomi Syariah, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008
11
Dwi Ratna Indri Hapsari, 2014: 84
12
Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat, Undang-undang tentang Penyelenggaraan Haji,
ketentuan mengenai pasar modal, dan gadai12.
Di Indonesia, hukum-hukum agama Islam dikenal dengan sebutan syari’at,
fiqih, dan hukum islam. Sehingga dalam hal ini perjanjian yang menggunakan
hukum Islam sebagai dasar hukumnya disebut dengan perjanjian syariah. Karena
adanya dua sub sistem hukum di Indonesia tersebut, baik yang diatur dalam
KUHPerdata maupun dalam hukum Islam atau secara syariah dan pentingnya
pemenuhan syarat keabsahan perjanjian agar perjanjian mampu berlaku sebagai
hukum, perlu diadakan penafsiran yang jelas.
Kaidah-kaidah hukum yang berhubungan langsung dengan konsep hukum
kontrak dalam hukum Islam disini, adalah yang bersumber dari al-Quran dan hadist
maupun hasil interpretasi terhadap keduanya, serta kaidah-kaidah fiqih. Dalam hal
ini dapat digunakan juga kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam Qanun yaitu
peraturan perundangundangan yang telah diundangkan oleh pemerintah baik pusat
maupun daerah dan yurisprudensi, serta peraturan-peraturan hukum yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
C. Subjek dan Objek Hukum Perjanjian Konvensional dan Syariah
Pada setiap pelaksanaan perjanjian, terdapat subjek dan objek perjanjian yang
telah ditentukan, yaitu
1.
Subjek dan Objek Hukum Perjanjian Konvensional
Menurut aliran teologis, hukum merupakan produk akal yang amat erat
kaitnnya dengan konsep dan tujuan, dan keadilan dianggap sebagai tujuan
tertinggi. Dalam aliran historis bahwa sumber hukum adalah kebiasaan yang
mendarah daging dalam fikiran manusia dan memandang hukum sebagai
sesuatu yang berkaitan langsung dengan masyarakat.13
12
Akhyar Ari Gayo, 2015: 487
Muhammad Muslehuddin, filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi
Perbandingan Sistem Hukum Islam, ahli bahasa Yudian Wahyudi Asmin, cat.ke-2 (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1997), hal.13
13
13
Hukum konvensional adalah segala apa saja yang menimbulkan aturanaturan yang mempunyai kekuatan bersifat memaksa, yakni-yakni aturan ayang
kalu dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. 14 Secara garis
besar, sumber hukum terdiri dari sumber hukum material dan sumber hukum
formil. Sumber hukum material adalah perasaan hukum (keyakinan hukum)
individu dan pendapat umum (public option) yang menjadi determinan material
berbentuk hukum dan menentukan isi dari hukum. Adapun sumber hukum
formil adalah sumber dilihat dari cara terjadinya hukum, merupakan fakta yang
menimbulkan hukum yang berlaku mengikat hakim dan penduduk. Agar dapat
berupa peraturan tentang tingkat laku harus dituangkan dalam bentuk undangundang atau aturan yang lainnya. menurut C.S.T. Knasil, sumber hukum formil
meliputi undang-undang (statute), kebiasaan (costum), keputusan-keputusan
hakim (jurisprudente), trakat (tready), dan pendapat sarjana hukum (dokrin).
a. Subjek Perjanjian
Subjek dan perbuatan hukum adalah subjek hukum. Subjek hukum
terdiri dari manusia serta badan hukum. Maka dari pada itu semua manusia
dan badan hukum dapat melakukan perjanjian, dengan syarat manusia
(orang) dan badan hukum tersebut sudah dinyatakan cakap menurut hukum.
1) Manusia (orang)
R. Subekti berpendapat yang dikatakan subjek perjanjian adalah: 15
a) Yang membuat perjanjian (orang) sudah cakap atau sanggup
melakukan perbuatan hukum tersebut.
b) Para pihak yang membuat perjanjian harus melaksanakan perjanjian
dengan dasar kebebasan menentukan kehendaknya. Artinya dalam
membuat perjanjian tidak ada paksaan dari pihak manapun, tidak ada
kehilafan, atau penipuan, Karena sepakat diantara keduanya akan
mengikat mereka.
14
Ahmad Badrut Taman, Konsep Subjek Hukum dalam Hukum Islam, Hukum Positif, dan
Kompilasi Hukum Ekonomi Syaiah, Jurnal of Sharia Ekocomics Vol. 1 No. 2 tahun 2018, hal. 112.
15
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Pembimbing Masa, 1970), hal.16
14
2) Badan Hukum
Badan hukum adalah badan-badan perkumpulan dari orang-orang
yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum sebagai subjek hukum dapat
bertindak hukum (melakukan perbuatan hukum) seperti halnya manusia
karena badan hukum juga dapat melakukan persetujuan-persetujuan.
Persetujuan-persetujuan yang dilakukan oleh badan hukum menggunakan
perantara orang sebagai pengurusnya. Badan hukum dibedakan menjadi
dua yaitu Badan Hukum Publik (publiek Recht Persoon) dan Badan
Hukum Privat (Privat Recht Persoon).
c. Objek Perjanjian
Objek perjanjian harus dapat ditentukan. Tidak terlihat dari apakah
barang itu sudah ada untuk sekarang atau yang akan ada nanti. Sehingga
akan menjadi objek perjanjian antara lain:
1) Barang yang dapat diperdagangkan (pasal 1332 KUH Perdata)
2) Barang yang dapat ditentukan jenisnya (pasal 1333 KUH Perdata) tidak
masalah jika untuk sekarang jumlahnya tidak bisa ditentukan, yang jelas
dikeudian hari jumlhanya dapat ditentukan.
3) Barang-barang yang aka ada dikemudian hari (pasal 1334 atay (2) KUH
Perdata)
2.
Subjek dan Objek Hukum Perjanjian Syariah
Hukum perjanjian syariah merupakan seperangkat kaidah hukum yang
bersumber dari al-Qur’an, hadits dan ijtihad yang mengatur tentang hubungan
dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi objek
suatu transaksi.16
a. Subjek Hukum Perjanjian Syariah
Subjek hukum merupakan segala sesuatu yang menurut hukum
memiliki hak dan kewajiban yaitu manusia termasuk badan hukum. Jadi
manusia oleh hukum diakui sebagai penyandang hak dan kewajiban sebagai
16
Lukman Santoso, Aspek Hukum Perjanjian: Kajian
Perkembangannya, (Yogjakarta: Penebar Media Pustaka, 2019), hal. 35-36
15
Komprehensif
Teori
dan
subjek hukum atau sebagai orang.17 Dalam hukum islam, subjek hukum
disebut dengan mahkum’alaih yaitu mukallaf yang melakukan perbuatan
taklif. Dimana aturan mengenai subjek perjanjian terdapat pada pasal 1315,
1317, 1318, dan 1340 KUHPdt dengan membedakan tiga golongan subjek
perjanjian yaitu:
1) Para pihak yang mengadajan perjanjian itu sendiri.
2) Para ahli waris dan pihak yang mendapat hak daripadanya.
3) Pihak ketiga.
Berdasarkan ilmu fiqih, awalnya subjek akad lebih menunjukkan pada
perseorangan
dan
bukan
dalam
bentuk
hukum.
Namun
seiring
perkembangan yang ada, subjek dapat berupa perorangan (al- ahwal alsyakhsiyah/naturlijke
person)
dan
badan
hukum
(al-syakhsiyahal-
I’tibariyahatual-ahwal al-hukmiyyah/ rechperson).
18
1) Manusia atau perorangan (Naturlijke person/ asy-syakhsiyahthabi’iyah)
Manusia yang dimaksud adalah manusia dalam hukum yang
memiliki hak subjektif dan kewenangan hukum. Dalam Islam, subjek
hukum manusia adalah pihak yang dapat dibebani hukum/ mukallaf
yaitu orang yang mampu bertindak secara hukum, baik yang
berhubungan dengan Tuhan maupun kehidupan sosial. Berdasarkan
hukum Islam, kapasitas hukum seseorang dapat dilihat dari tahapantahapam kehidupannya meliputi:
a) Marhalalal-janin (emroynicstag), tahap ini dimulai sejak masa janin
berada dalam kandungan hingga lahir dalam keadaan hidup. Janin
tersebut telah mendapat hak namun belum mengemban kewajiban
hukum.
Ahmad Badrut Tamam, “Konsep Subjek Hukum Dalam Hukum Islam, Hukum Poisitif Dan
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah”, AL-Musthofa: Journal of Sharia Economics, Vol 1 No 2,
Desember 2018, hal. 116
18
Fatmah, Kontrak Bisnis Syariah: Buku Perkuliahaan Program S-1 Prodi Studi Muamalah
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam , (UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), hal.21
17
16
b) Marhalalal-saba (childhoodstag), tahap ini dimulai sejak manusia
lahir hingga usia 7 tahun. Hak dan kewajiban yang menyangkut harta
miliknya dilaksanakan oleh wakilnya.
c) Marhalalal-tamyiz (discermentstag) dimulai sejak seseoran berusia 7
tahun hingga masa pubertas (aqilbaligh). Dimana tahap ini mendapat
separuh kapasitas sebagai subjek hukum tanpa izin dari wali. Segala
aktivitas/transaksi, penerimaan hak yang dilakukan oleh anak
mumayyiz ini dianggap sah. Sedangkan transaksi yang mungkin
merugikan dianggap tidak sah kecuali mendapat izin atau
pengesahan dari walinya.
d) Marhalalal-bulugh (stageofpuberty), tahap ini seseorang telah
mencapai aqilbaligh dan dalam keadaan normal. Seseorang yang
sudah mencapai tahap ini disebut dengan ahliyyahal-‘ada al-kalimah.
e) Saur al-rushd (stageofprudence), pada tahap ini kapasitas seseorang
telah sempura sebagai subjek hukum, karena telah mempu bersikap
dan bertindak demi keamanan dalam mengelola dan mengontrol
harta dan usaha/bisnisnya dengan bijaksana.19
Menurut ilmu fiqih, tidak semua subjek hukum perorangan
dianggap cakap mengadakan akad, ada yang sama sekali tidak cakap,
cakap mengenai sebagian tindakan, tidak cakap sebagian lainnya, dan
cakap melakukan segala macam tindakan. Agar subjek hukum dapat
mengadakan perjanjian dan dipandang sah, maka harus memenuhi
persyaratan kecapakan (ahliyyah) dan kewenangan (wilayah) bertindak
di depan hukum. 20
19
Sardarafika,
Subjek
dan
Objek
Hukum
Perjanjian
Syariah,
2017,
htps://sardarafika.wordpress.com/2017/09/27/subjek-dan-objek-hukum-perjanjian-syariah/. Diakses pada
26 Agustus 2021 pukul 20.17
20
Ahmad Badrut Tamam, “Konsep Subjek Hukum Dalam Hukum Islam, Hukum Poisitif Dan
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah”, AL-Musthofa: Journal of Sharia Economics, Vol 1 No 2,
Desember 2018, hal. 116
17
a) Al-Aqid (orang yang berakad)
Al-aqid merupakan pihak-pihak yang telah melakukan
perserikatan. Orang yang melaksanakan akad disyaratkan pandai
berakad atau ahli, sehingga ia harus dewasa, berakal, dan merdeka.
Namun jika belum dewasa maka harus atas izin wali. Akan tetapi,
bagi anak yang mampu membedakan suatu hal yang manfaat dan
mudarat bagi dirinya dapat melakukan akad tanpa diikuti izin
walinya. Orang yang ahli dalam berakad dibagi menjadi dua macam:
i.
Ahli Wajib (ahli wujud) yaitu kepantasan atau kelayakan
seseorang untuk menetapkan suatu keharusan yang menjadi
haknya. Ahli wajib ini dibagi menjadi tiga yang terdiri dari:
i)
Ahli wajib kurang merupakan yang pantas hanya menerima
hak bagi dirinya, misalnya bayi yang masih dalam kandungan
ibunya.
ii) Ahli wajib kurang kepantasan yaitu menerima haknya tidak
memerlukan kabul, misalnya nasab kepada bapaknya,
menerima warisan dari keluarganya, menerima wasiat dan
menerima wakaf.
iii) Ahli wajib sempurna, yaitu kepantasan menerima haknya
sejak dilahirkan dengan diwakiliki wali apabila belum
dewasa.
ii.
Ahli ‘Ada yaitu kelayakan seseorang untuk memenuhi kewajiban
yang telah ditetapkan hukum Islam seperti shalat, puasa, dan haji.
Sehingga orang gila, anak kecil, hamba sahaya, dan orang yang
hidupnya selalu melakukan pemborosan tidak termasuk ahli ‘ada.
Ahli ‘ada dibagi menjadi dua yang terdiri dari”
i)
Ahli ‘ada kurang yaitu kepantasan seseorang untuk
memenuhi sebagian kewajiban dan tidak pantas untuk
memenuhi kewajiban lainya. Ahli yang termasuk dalam
golongan ini adalah anak berusia 7 tahun hingga usia baligh
atau mumayyiz.
18
ii)
Ahli ‘ada sempurna yaitu orang yang telah mencapai usia
baligh.
Berikut adalah hal-hal yang dapat menghalangi seseorang
menjadi ahli adalah sebagai berikut:
i.
Halangan alamiah atau halangan samawi yang dapat berupa
berupa gila dan ketiduran. Dimana halangan ini berada diluar
kekuasaan dan kemampuan manusia.
ii.
Halangan yang dibuat oleh manusia misalnya mabuk, berutang
dan melakukan pemborosan.21
b) Al-Wilayah (Kekuasaan)
Al-wilayah merupakan penguasaan atau kewenangan terhadap
urusan atau kemampuan mengurus dan menegakkan perkara yang
diperjanjikan. Maknanya kemampuan subjek akad melaksanakan
akad dan memberdayakan benda-benda yang diakadkan. Perbedaan
ahli dengan al-wilayah adalah jika ahli merupakan kepantasan
seseorang untuk berhubungan dengan akad, sedangkan al-wilayah
merupakan kepantasan seseorang untuk melaksanakan akad.
Berdasarkan keberadaan ahli dan al-wilayah, akad memiliki tiga
keadaan yaitu:
i. Jika yang berakad termasuk ahli yang sempurna dan memiliki alwilayah, maka akad tersebut dianggap sah.
ii. Jika yang berakad tidak termasuk ahli yang sempurna dan tidak
memiliki al-wilayah, maka akad dipandang tidak sah atau batal
seperti akad orang gila.
iii. Jika yang berakad termasuk ahli yang sempurna namun tidak
memiliki al-wilayah, maka akad dipandang al-fudhul (di diamkan
dan tidak memiliki hak).
Adapun al-wilayah terbagi menjadi dua macam, terdiri dari:
21
Fatmah, Kontrak BisnisSyariah: Buku Perkuliahaan Program S-1 Prodi Studi Muamalah
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam , (UIN SunanAmpel Surabaya, 2014), hal. 22-22
19
i. Asli (al-asliyah) yaitu orang yang akad mempunyai kekuasaan
berakad untuk dirinya. Orang ini disyaratkan harus baligh, berakal,
dan merdeka.
ii. Pengganti (an-niyabah), seseorang yang diberikan kekuasaan oleh
orang lain atau mengurusi urusan orang lain. Pengganti terbagi
menjadi dua yaitu pilihan (al-ikhtiyariyah) dan paksanaan (alijbariyah) yaitu penyerahan kekuasaan berdasarkan ketentuan
syara’ untuk kemaslahatan seperti kekuasaan bapak, kakek, atau
orang yang diberi wasiat untuk mengurus anak kecil. Al-ijbariyah
dapat berbentuk penguasaan atas dirinya atau hartanya. 22
2) Badan Hukum (Rechts person/asy-syahsiyahi’tibariyahhukmiyyah)
Badan hukum merupakan badan yang dianggap dapat bertindak
dalam hukum serta memiliki hak, kewajiban dan hubungan hukum
terhadap
orang
lain
atau
badan
hukum
lainnya.
Menurut
WirjonoProdjodikoro, badan hukum dapat berupa negara, daerah
otonom, perkumpulan orang-orang, perusahaan maupun yayasan.
Namun dalam hukum Islam, subjek hukum yaitu badan hukum dapat
berupa baitul mal.
Menurut TM Hasbi Ash-Shiddiedy, terdapat perbedaan subjek
hukum berupa manusia dan badan hukum diantaranya adalah:
a) Hak yang dimiliki badan hukum berbeda dengan hak-hak yang
dimiliki manusia perorangan seperti hak berkeluarga, hak pusaka,
dan lain sebagainya.
b) Badan hukum tidak hilang dengan meninggalnya pengurus badan
hukum tersebut, dan akan hilang apabila syarat-syata tidak lagi
terpenuhi.
c) Badan hukum berdiri dan membutuhkan adanya pengakuan hukum.
d) Badan
hukum
dalam
melakukan
segala
aktivitasnya
harus
berdasarkan pada ketentuan hukum dan dibatasi oleh bidang tertentu.
22
Fatmah, Kontrak Bisnis Syariah: Buku Perkuliahaan Program S-1 Prodi Studi Muamalah
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam , (UIN SunanAmpel Surabaya, 2014), hal. 23
20
e) Tindakan hukum yang dapat dilakukan badan hukum bersifat tetap
dan tidak berkembang.
f) Badan hukum tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, namun hanya
hukuman perdata.
b. Objek Hukum Perjanjian Syariah
Dalam hukum perjanjian syariah objek hukum (mahallul ‘aqd) dapat
berupa benda, manfaat benda, jasa atau pekerjaan, atau suatu yang lain dan
tidak bertentangan dengan syariah. Benda meliputi benda bergerak dan tidak
bergerak maupun benda berbadan dan benda tidak berbadan. Namun objek
akad ini tidak semata mengenai suatu benda yang bersifat material, tetapi
juga subjektif dan abstrak. Objek akad dapat berbentuk harga benda seperti
barang dagangan, benda bukan harta seperti dalam akad pernikahan,
benbentuk manfaat seperti upah mengupah, serta tanggungan atau
kewajiban, jaminan maupun agensi atau kuasa.23
Misalnya, dalam akad jual beli rumah objeknya adalah benda berupa
rumah dan uang harga penjualannya. Akad sewa menyewa objeknya
manfaat barang yang disewa, akad pengangkutan objeknya adalah jasa
pengangkutan. Kemudian, imbalan dapat berupa benda/ uang, manfaat atau
jasa dan juga objek akad. Sehingga jika akad jual beli rumah misalnya,
menurut hukum Islam bukan hanya rumahnya saja yang merupakan objek
akad namun juga imbalan berupa uang atau bentuk lainnya. Menurut para
ahli hukum Islam, syarat objek akad adalah sebagai berikut:
1) Objek akad dapat diserahkan atau dapat dilaksanakan
Objek akad harus dapat diserahkan apabila berupa barang seperti
akad jual beli, dapat dinikmati atau diambil manfaatnya jika objek
berypa manfaat benda seperti akad sewa menyewa benda (ijarah almanafi’). Apabila objek akad berupa suatu perbuatan seperti
mengerjakan suatu pekerjaan maka pekerjaan tersebut harus dapat
dilaksanakan.
23
Fathurrahmad Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi Di Lembaga Keuangan
Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal. 34
21
2) Objek akad harus tertentu dan dapat ditentukan
Objek akan tertentu maknanya dapat diketahui dengan jelas oleh
pihak-pihak yang bersangkutan sehingga tidak akan menimbulkan
kesalahpahaman ataupun sengketa. Apabila objek tersebut tidak jelas
secara mencolok maka akan menimbulkan persengketaan antar pihak
dan akad dipandang tidak sah. Namun ketidakjelasan kecil yang tidak
membawa kepada persengketaan tidak dapat membatalkan akad. Ahliahli hukum Hanafi menjadikan aka kebiasaan dalam masyarakat
sebagai
ukuran
menentukan
menyolok
atau
tidaknya
suatu
ketidakjelasan.
3) Objek akad yang ditransaksikan harus memenuhi syara’
Suatu objek dapat ditransaksikan dalam hukum Islam apabila
memenuhi kriteria berikut:
a) Tujuan objek tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain
sesuatu tidak dapat dilanjutkan jika transaksi bertentangan dengan
tujuan yang ditentukan untuk sesuatu tersebut.
b) Sifat atau hakikat dari objek tidak bertentangan dengan transaksi,
maknanya sesuatu tidak dapat ditransaksikan jika sifat atau hakikat
sesuatu tidak memungkinkan untuk dilakukan transaksi.
c) Objek tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum.24
24
Fatmah, Kontrak Bisnis Syariah: Buku Perkuliahaan Program S-1 Prodi Studi Muamalah
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam , (UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), hal. 24-25
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum perjanjian syariah adalah akad perjanjian yang menimbulkan
kewajiban berprestasi pada salah satu pihak, dan hak bagi pihak yang lain atas
prestasi tersebut, dengan atau tanpa melakukan kontraprestasi. Kewajiban bagi
salah satu pihak merupakan hak bagi pihak lain, begitu sebaliknya. Prinsip-prinsip
yang ada dalam pernajian syariah yaitu: prinsip tauhid, prinsip kebolehan, prinsip
keadilan, prinsip persamaan atau kesetaraan, prinsip kejujuran dan kebenaran,
prinsip tertulis, prinsip kerelaan atau konsesualisme, prinsip kebebasan berkontrak
dan prinsip kepastian hukum. Rukun perjanjian meliputi al- āqidāni, mahallul
‘aqd, shighatul ‘aqd, dan tujuan akad (maudlu al-‘aqd).
Perjanjian adalah suatu persetujuan dua orang atau lebih saling mengikatkan
diri untuk melaksanakan suatu hal. Tujuan dari adanya hukum perjanjian
diharapkan
dapat
meningkatkan
kepastian,
keadilan,
dan
prediktabilitas
(predictability) dan pada saat yang bersamaan menjadi alat bagi para pihak untuk
mengelola risiko (risk management tool). Sebagaimana telah disebutkan di dalam
ketentuan pasal 1338 (1) KUHPerdata bahwa seketika perjanjian telah memenuhi
syarat bagi keabsahan kontrak, maka kontrak demikian berlaku sebagai hukum
bagi para pihak yang membuatnya. Bahkan dalam hukum perjanjian syariah,
pelaksanaanya telah diatur dan ditetapkan oleh AL-Qur’an, hadits maupun ijtihad
para ulama.
Hukum perjanjian konvensional adalah segala apa saja yang menimbulkan
aturan-aturan yang mempunyai kekuatan bersifat memaksa dan jika dilanggae
mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Sedangkan hukum perjanjian syariah
merupakan sapaan Allah tentang perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan (taklif),
pilihan (takhyir) maupun penetapan (wad’i). Kedua jenis hukum perjanjian
tersebut memiliki aturan subjek dan objek perjanjian masing-masing. Dimana
subjek hukum adalah setiap mahkluk yang berwenang untuk memiliki,
memperoleh, dan menggunakan hak-hak kewajiban dalam lalu lintas hukum. Dan
23
objek hukum yaitu benda yang berguna bagi subjek hukum atau segala sesuatu
yang menjadi pokok permasalah dan kepentingan bagi sunjek hukum atau segala
sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik. Pada dasarnya subjek dan objek
hukum perjanjian konvensional dan syariah itu sama, dimana subjeknya terdiri dari
manusia dan badan hukum. Namun untuk aturan objeknya, perjanjian
konvensional diatur oleh perundang-undangan yang berlaku dan perjanjian syariah
disertai dengan hukum syara’.
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya saran dan kritik dari
pembaca yang bersifat membangun agar makalah ini dapat lebih baik. Semoga
dengan adanya makalah ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi
pembaca.
24
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud. 1990. Asas – Asas Hukum Islam. Jakarta: CV. Rajawali.
Anwar, Syamsul. 2007. Hukum Perjanjian Syariah (Studi Tentang Teori Akad dalam
Fiqh Muamalah). Jakarta: Rajawali Pers.
Dewi, Gemila, dkk. 2006. HukumPerikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Djamil, Fathurrahmad. 2013. Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi Di
Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.
Fatmah. 2014. Kontrak Bisnis Syariah: Buku Perkuliahaan Program S-1 Prodi Studi
Muamalah Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam. UIN Sunan Ampel Surabaya.
Muftadin, Darul. 2018. Dasar-Dasar Hukum Perjanjian Syariah dan Penerapnnya
dalam Transaksi Syariah. Jurnal Al-adl Vol. 11
Muslehuddin, Muhammad. 1997. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis:
Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Salim. 2006. Hukum Kontrak: Teori dan Penyusunan Kontrak, cet.ke-4. Jakarta: Sinar
Grafia.
Santoso, Lukman. 2019. Aspek Hukum Perjanjian: Kajian Komprehensif Teori dan
Perkembangannya. Yogjakarta: Penebar Media Pustaka.
Sardarafika,
2017.
Subjek
dan
Objek
Hukum
Perjanjian
Syariah,
htps://sardarafika.wordpress.com/2017/09/27/subjek-dan-objek-hukumperjanjian-syariah/. Diakses pada 26 Agustus 2021 pukul 20.27
Taman, Ahmad Bahrut. 2018. Konsep Subjek Hukum dalam Hukum Islam, Hukum
Positif, dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syaiah. Jurnal of Sharia Ekocomics Vol.
1 No. 2
25