Academia.eduAcademia.edu

HUKUM PERJANJIAN SYARIAH

2021, HILDA

Kehidupan antar manusia tidak dapat dipisahkan dari pola dan mekanisme tertentu yang tumbuh dan berkembang, disepakati dan ditetapkan sebagai pedoman hidup masyarakat. Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia yang artinya persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua belah pihak atau lebih. Tujuan adanya suatu hukum perjanjian yaitu dapat meningkatkan kepastian, keadilan, dan prediktabilitas yang pada saat yang bersamaan menjadi alat bagi para pihak untuk mengelolah risiko. Dalam sebuah konteks hukum, perjanjian masuk ke dalam ranah hukum privat umum, yaitu hukum yang dapat mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitik beratkan pada kepentingan perorangan atau individu. Dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan dan memerlukan adanya peran manusia lain. Dalam hal ini, mereka akan melakukan sebuah perikatan atau perjanjian mengenai sesuatu dari manusia satu dengan manusia lain sesuai dengan kesepakatan yang mereka lakukan sebelumnya. Sehingga dengan adanya perjanjian tersebut maka dalam kehidupan perlu adanya hukum yang mengatur adanya perjanjian tersebut sehingga dalam terlaksana dengan baik dan benar

MAKALAH PENGERTIAN HUKUM PERJANJIAN SYARIAH Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Desain Kontrak Perjanjian BMT/LKMS Dosen Pengampu : Retno Dewi Zulaikah,S.H.I., M.E.I Disusun Oleh Kelompok 1 Kelas PS 7C: 1. Sabela Sasa Putri Nabela (12401183038) 2. Hilda Uni Matul Kibtiyah (12401183041) 3. Vitri Zulvatul Laili (12401183047) 4. Ahmad Royhan Ulin Nuha (12401183048) 5. Kasiyani (12401183098) 6. Khusnul Khotimah (12401183104) 7. Fina Mar’atus Solekhah (12401183122) 8. Alfi Safira Fitri (12401183126) PERBANKAN SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG AGUSTUS 2021 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul “Hukum Perjanjian Syariah”. Adapun maksud dari tugas ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Desain Kontrak Perjanjian BMT/LKMS”. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh Islam semesta. Dalam menyelesaikan makalah yang merupakan salah satu pemenuhan tugas kuliah ini, kami mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. H. Maftukhin, M.Ag, selaku Rektor UIN SATU Tulungagung yang telah memberi kesempatan untuk kami dapat menempuh pendidikan di UIN SATU Tulungagung. 2. H. Dede Nurrohman, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam yang telah memberikan izin untuk menyelesaikan makalah ini. 3. M. Aqim Adlan M.E.I, selaku ketua jurusan Perbankan Syariah yang telah mengarahkan dan memberikan wawasasan dalam pembuatan makalah ini. 4. Ibu Retno Dewi Zulaikah, S.H.I.,M.E.I selaku dosen pengampu mata kuliah Desain Kontrak Perjanjian BMT/LKMS yang telah memberikan bimbingan dan mengarahkan kami sehingga kami mendapatkan pemahaman yang benar mengenai mata kuliah ini. 5. Semua pihak yang telah membantu penyusun dalam menyelesaikan makalah ini. Akhirnya, atas segala keterbatasan yang penyusun miliki apabila terdapat kekurangan dan kesalahan mohon maaf. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi bekal pengetahuan bagi penyusun di kemudian hari. Tulungagung, 27 Agustus 2021 Tim Penyusun ii DAFTAR ISI COVER ..............................................................................................................................i KATA PENGANTAR .......................................................................................................ii DAFTAR ISI ......................................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 2 C. Tujuan Masalah ..................................................................................................... 2 BAB II PEMBAHASAN A. Hukum Perjanjian Syariah .................................................................................... 3 B. Dasar Hukum Perjanjian Konvensional dan Syariah ........................................... 11 C. Subjek dan Objek Hukum Perjanjian Konvensional dan Syariah ........................ 13 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................................ 23 B. Saran ...................................................................................................................... 24 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................25 iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan antar manusia tidak dapat dipisahkan dari pola dan mekanisme tertentu yang tumbuh dan berkembang, disepakati dan ditetapkan sebagai pedoman hidup masyarakat. Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia yang artinya persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua belah pihak atau lebih. Tujuan adanya suatu hukum perjanjian yaitu dapat meningkatkan kepastian, keadilan, dan prediktabilitas yang pada saat yang bersamaan menjadi alat bagi para pihak untuk mengelolah risiko. Dalam sebuah konteks hukum, perjanjian masuk ke dalam ranah hukum privat umum, yaitu hukum yang dapat mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitik beratkan pada kepentingan perorangan atau individu. Dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan dan memerlukan adanya peran manusia lain. Dalam hal ini, mereka akan melakukan sebuah perikatan atau perjanjian mengenai sesuatu dari manusia satu dengan manusia lain sesuai dengan kesepakatan yang mereka lakukan sebelumnya. Sehingga dengan adanya perjanjian tersebut maka dalam kehidupan perlu adanya hukum yang mengatur adanya perjanjian tersebut sehingga dalam terlaksana dengan baik dan benar. Dalam makalah ini, akan dibahas tentang hukum perjajian syariah, dasar hukum perjanjian konvensional dan syariah, serta subyek dan obyek hukum perjanjian konvensional dan syariah. Melalui makalah ini akan mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hukum perjanjian dengan membuka sub bab baru yang menggali lebih dalam mengenai hukum perjanjian syariah. 1 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Hukum Perjanjian Syariah? 2. Bagaimana Dasar Hukum Perjanjian Konvensional dan Syariah? 3. Bagaimana Subjek dan Objek Hukum Perjanjian Konvensional dan Syariah? C. Tujuan Masalah 1. Untuk mengetahui Hukum Perjanjian Syariah. 2. Untuk mengetahui Dasar Hukum Perjanjian Konvensional dan Syariah. 3. Untuk mengetahui Subjek dan Objek Hukum Perjanjian Konvensional dan Syariah. 2 BAB II PEMBAHASAN A. Hukum Perjanjian Syariah Didalam menjelaskan pengertian hukum perjanjian syariah terdapat 2 arti, baik secara etimologi maupun secara istilah. Dalam istilah bahasa arab kata perjajian diartikan sebagai mu’ahadahittifa. Sedangkan dalam istilah bahasa Indonesia, perjanjian dikenal sebagai kontrak, Dalam hal ini perjanjian merupakan yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok dengan yang lainnya sehingga untuk mengikat antar keduanya baik dirinya sendiri maupun orang lain.1 Selanjutnya istilah perjanjian dalam al-Qur’an terdapat dua macam yang berhubungan denga persetujuan yaitu ‘alaqdu atau al-ahdu. Akad itu hubungannya dengan perjanjian. Sedangkan kata al-ahdu sendiri merupakan pesan, masa, penyempurnaan, dan janji. Dalam hal ini, akad disamakan dengan seperti halnya perikatan sedangkan kata al-ahdu disamakan dengan perjanjian. Maka dari itu, perjanjian juga dapat diartikan yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan ataupun tidak melakukan apa-apa dan tidak berkaitan dengan kemauan orang lain. Sedangkan dalam KUH Perdata pasal 1313 yang berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.” Dalam pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan antara pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang. Dalam melakukan suatu perjanjian harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak dengan disertai ijab qabul agar perjanjian yang telah disepakati dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan tujuan. Adanya ijab qabul ini, suatu perjanjian dapat dinyatakan sebagai perjanjian yang sah sesuai dengan syariat Islam. Peraturan Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 yang didalamnya menetapkan dalam hal akan penghimpunan dana dan penyaluran dana bagi bank Syariah. Dalam hal ini setelah pemaparan diatas, maka dapat dikatakan bahwa akad adalah suatu 1 Darul Muftadin, Dasar-Dasar Hukum Perjanjian Syariah dan Penerapnnya dalam Transaksi Syariah, Jurnal Al-adl Vol. 11 No. 1 tahun 2018. 3 perjanjian yang menimbulkan kewajiban untuk berprestasi antara pihak yang terdapat hubungan timbal balik. Perjanjian atau perikatan secara etimologi perjanjian atau perikatan adalah ikatan. Sedangkan menurut terminology, perjanjian atau perikatan adalah suatu perbuatan dimana seorang mengikatkan dirinya seorang atau beberapa lain. Menurut Abdul Aziz Muhammad kata aqad dalam istilah bahasa berarti ikatan dan tali pengikat, makna akad ini kemudian diterjemakan sebagai menghubungkan antara dua perkataan, masuk juga didalamnya janji dan sumpah, karena sumpah menguatkan niat berjanji untuk melaksankan isi sumpah atau meninggalkanya. Demikian juga dengan janji sebagai perekat hubungan antara kedua belah pihak yang berjanji dan menguatkannya disertai dengan adanya ijab qabul agar perjanjiandapat berjalan dengan lancar sesuai dengan tujuan dan dianggap sah oleh syariah Islam dan undang-undang yang berlaku. Sehingga jika didasarkan pada pemaparan diatas, maka dapat dikatakan bahwa akad perjanjian merupakan suatu perjanjian atau perikatan yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban antara pihak yang dengan pihak yang lainnya, yang mana antara keduanya hubungan timbal balik. 1. Prinsip Perjanjian Syariah Prinsip atau asas dalam suatu akad perjanjian mempengaruhi keabsahan akad tersebut. Karena akad inilah yang menjadi penentu apakah akad tersebut sah atau tidak. Dan ini bererti jika suatu akad tidak memenuhi prinsip-prinsip yang ada maka akad tersebut belum dianggap sah. a. Prinsip Tauhid Kegiatan mu’amalah termasuk perbuatan perjanjian, tidak pernah akan lepas dari nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab akan hal itu. Tanggung jawab kepada masyarakat, tanggung jawab kepada pihak kedua, tanggung jawab kepada diri sendiri, dan tanggung jawab kepada Allah SWT. Akibat dari penerapan asas ini, manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya karena segala perbuatannya akan mendapat balasan dari Allah SWT. 4 b. Prinsip Kebolehan (Mabda’ al-Ibahah) Sebagaimana dalam kaidah yang menyatakan bahwa “Pada dasarnya segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang melarang”, maka setiap kegiatan muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Hadis riwayat al Bazar dan at-Thabrani yang menjelaskan “Apa-apa yang dihalalkan Allah adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan Allah adalah haram, dan apa-apa yang didiamkan adalah dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemaaf-Nya. Sungguh Allah itu tidak melupakan sesuatupun” c. Prinsip Keadilan (Al’adalah) Dalam QS Al-Hadid Ayat 25 disebutkan bahwa Allah berfiman ”Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-kitab dan Neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. Selain itu disebutkan pula dalam QS Al-A’raf Ayat 29 yang artinya “Tuhanku menyuruh supaya berlaku adil”. Dalam asas ini para pihak yang melakukan kontrak dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya.2 d. Prinsip Persamaan Atau Kesetaraan Sesama manusia masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka antara manusia yang satu dengan yang lain, hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang lain dari kelebihan yang dimilikinya. Dalam melakukan kontrak para pihak menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas persamaan dan kesetaraan. Sebagaimana firman Allah dalam sural Al-Hujurat ayat 13. Prinsip ini dimaksudkan agar tidak ada pihak yang dirugikan, dan hai ini diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. 2 Gemala Dewi dkk, HukumPerikatan Islam di Indonesia, ( Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 33 5 e. Prinsip Kejujuran Dan Kebenaran Kejujuran merupakan suatu prinsip yang mendasar dalam ajaran Islam dan menjadi sebuah etika yang harus dilaksanakan. Allah befirman dalam Surah Al-Ahzab ayat 70 yang artinya, “Hai orang –orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”. Suatu perjanjian dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang melakukan perjanjian dan bagi masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan perjanjian yang mendatangkan madharat dilarang. Dari sini bisa dilihat bahwa kejujuran dan kebenaran bisa menentukan keabsahan suatu akad. f. Prinsip Tertulis (Al-kitabah) Suatu perjanjian hendaknya dilakukan secara tertulis agar dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila di kemudian hari terjadi persengketaan.3 Sebagaimana yang disebutkan dalam dalam suraH Al-Baqarah ayat 282- 283, dapat dipahami bahwa Allah SWT menganjurkan kepada manusia agar suatu perjanjian dilakukan secara tertulis, dihadiri para saksi dan diberikan tanggung jawab individu yang melakukan perjanjian dan yang menjadi saksi tersebut. Selain itu dianjurkan pula jika suatu perjanjian dilaksanakan tidak secara tunai maka dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya. g. Prinsip Itikad Baik atau Kepercayaan Prinsip ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi bahwa “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” h. Prinsip Kemanfaatan dan Kemaslahatan Asas ini mengandung pengertian bahwa semua bentuk perjanjian yang dilakukan harus mendatangkan kemanfaatan dan kemaslahatan baik bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian maupun bagi masyarakat. i. Prinsip Kerelaan atau Konsensualisme Segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau kerelaan antara masing-masing pihak tidak diperbolehkan ada tekanan, paksaan, penipuan, dan mis-statement. Jika hal ini tidak dipenuhi maka 3 Mohammad Daud Ali, Asas – Asas Hukum Islam , (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), hlm.124. 6 transaksi tersebut dilakukan dengan cara yang batil. Allah berfirman dalam surah An-Nisa ayat 29 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”. j. Prinsip Kebebasan Berkontrak Apabila suatu akad telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan tersebut mengikat para pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya. Sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah Islam, maka perikatan tersebut boleh dilaksanakan. Disebutkan bahwa syari’ah Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai dengan yang diinginkan, tetapi yang menentukan syarat sahnya adalah ajaran agama. Seseorang bebas untuk membuat perjanjian macam apapun dan berisi apa saja sesuai dengan kepentingannya dalam batas-batas kesusilaan dan ketertiban umum, sekalipun perjanjian tersebut bertentangan dengan aturanaturan atau pasal-pasal hukum perjanjian. Misalnya menurut aturan hukum perjanjian, barang yang diperjualbelikan oleh para pihak harus diserahkan ditempatdimana barang tersebut berada pada waktu perjanjian tersebut ditutup. Namun demikian para pihak dapat menentukan lain. Misalnya si penjual harus mengantarkan dan menyerahkan barang tersebut di rumah si pembeli. Kebebasan berkontrak ini meliputi empat segi kebebasan yaitu: 1) Kebebasan untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian 2) Tidak terikat kepada formalitas-formalitas, tetapi cukup semata-mata berdasarkan kata sepakata (perizinan) 3) Tidak terikat kepada perjanjian-perjanjian bernama 4) Kebebasan untuk menentukan akibat perjanjian. Kebebasan berkontrak didukung oleh surah al-Nisa’ ayat 29 yang membatasi kebebasan tersebut dalam batas batas tidak memakan harta orang lain dengan jalan batil dan hal inilah merupakan ketertiban umum syara’. Dalam QS. Al-Maidah ayat 1, Allah berfiman yang artinya “Wahai orang- 7 orang beriman, penuhilah perjanjian-perjanjian (Akad)”, kata akad dalam ayat ini berbentuk jamak yang yang diberi alif-lam sehingga menjadikannya sebagai lafal umum. Jadi ayat ini mencakup segala macam akad baik yang timbal balik maupun yang sepihak dan semua syarat yang seseorang mengikatkan diri untuk melaksanakannya di masa depan. k. Prinsip Kepastian Hukum Prinsip kepastian hukum ialah tidak ada suatu perbuatanpun dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan tersebut.4 Prinsip ini terkait dengan akibat perjanjian. Dalam hal ini hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang, mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Ini dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi, “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.5 2. Rukun dan Syarat Perjanjian Dalam melaksanakan setiap perjanjian, terdapat rukun dan syarat perjanjian yang harus dipenuhi, yaitu a. Rukun Perjanjian Berikut adalah rukun-rukun yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang melakukan perjanjian, diantara adalah: 1) Al- Āqidāni, yakni para pihak yang terlibat langsung dengan akad. Pelaku akad harus memenuhi dua syarat terbentuknya akad, yaitu tamyiz, dan berbilang atau at-Ta’addud. 2) Mahallul ‘aqd, yakni obyek akad yang disebut juga dengan sesuatu yang hendak diakadkan. Obyek akad dapat berupa benda, manfaat benda, jasa atau pekerjaan, atau sesuatu yang lain yang tidak berkenaan dengan syariah. Benda meliputi benda bergerak dan tidak bergerak maupun 4 Mohammad Daud Ali, Asas – Asas Hukum Islam , cet. Ke-5, (Jakarta: CV. Rajawali, 2000), hal.115. 5 Salim, Hukum Kontrak: Teori dan Penyusunan Kontrak, cet.ke-4, (Jakarta: Sinar Grafia, 2006), hlm. 10. 8 benda berbadan dan benda tidak berbadan. Beberapa syarat pada obyek akad yang harus dipenuhi adalah:6 a) Obyek akad itu dapat diserahkan Objek dapat berupa barang seperti dalam akad jual beli, atau dapat dinikmati maupun dapat diambil manfaatnya apabila obyek itu berupa manfaat benda seperti dalam sewa menyewa benda (ijārah almanāfi’). Apabila obyek akad berupa sesuatu perbuatan seperti mengajar, melukis, mengerjakan suatu pekerjaan, maka pekerjaan itu harus mungkin dan dapat dilaksanakan. b) Tertentu atau dapat ditentukan Obyek akad itu tertentu artinya diketahui dengan jelas oleh para pihak sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sengketa. Apabila obyek tidak jelas secara mencolok sehingga dapat menimbulkan persengketaan, maka akadnya tidak sah. c) Kriteria barang yang dapat ditransaksikan adalah sebagai berikut. i) Tujuan obyek tersebut tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain sesuatu tidak dapat ditransaksikan apabila transaksi tersebut bertentangan dengan tujuan yang ditentukan untuk sesuatu tersebut. Dalam hukum Islam, ada tiga jenis pemilikan dilihat dari segi pemiliknya, yaitu: Milik pribadi/ individual, Milik negara, misalnya: gedung atau kendaraan, dianggap tidak dapat dijual kecuali setelah dicabut dari daftar millik negara, dan Milik umum/ masyarakat, yakni barang yang tidak dimiliki oleh masyarakat atau biasanya dalam kitab fiqih disebut sebagai milik allah. ii) Sifat atau hakikat dari obyek itu tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain sesuatu tidak dapat ditransaksikan apabila sifat atau hakikat sesuatu itu tidak memungkinkan transaksi. Yakni, sesuatu juga tidak dapat ditransaksikan apabila 6 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Studi Tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalah), (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hal. 191 9 sifat atau hakikat sesuatu itu memang tidak dapat menerima transaksi atau tidak dapat menerima akibat hukum akad. Untuk dapat ditransaksikan dan dapat menerima akibat hukum akad, suatu obyek, apabila berupa benda, harus merupakan benda bernilai dalam pandangan syariat Islam dan benda yang dimiliki. iii) Obyek akad tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Obyek yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum lebih tertuju kepada obyek yang berupa melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Adapun obyek berupa benda yang bertentangan dengan ketertiban umum syar’i seperti narkoba atau VCD porno dimasukkan dalam kategori benda yang tidak bernilai pada pandangan syari’at Islam.7 3) Shighatul ‘aqd, yaitu pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan qabul. Syarat pernyataan ini diantaranya yaitu adanya persesuaian ijab dan qabul, dengan kata lain tercapainya kata “sepakat” dan juga kesatuan majelis akad. Sedangkan menurut fuqahā Hanafiyah, mempunyai pandangan yang berbeda dengan jumhur fuqaha diatas. Bagi mereka, rukun akad adalah unsur-unsur dari pokok pembentuk akad dan unsur tersebut hanya ada satu yaqin sighat akad (ijab qabul). AlĀqidāni dan Mahallul ‘Aqd bukan merupakan rukun akad melainkan lebih tepatnya untuk dimasukkan sebagai syarat akad. Pendirian seperti ini didasarkan pada pengertian rukun sebagai sesuatu yang menjadi tegaknya dan adanya sesuatu, sedangkan dia bersifat internal (dākhily) dari sesuatu yang ditegakkannya.8 4) Tujuan Akad (Maudlu Al-‘Aqd) 7 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Studi Tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalah), (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hal. 205-209 8 Dahrul Muftadin, Dasar-Dasar Hukum Perjanjian Syariah dan Penerapannya dalam Transaksi Syariah, dalam Jurnal Al-‘Adl, Vol. 11 No. 1, Januari 2018, hal. 112 10 b. Syarat Akad Pada umumnya syarat akad ada delapan macam, yaitu:9 Tamyiz, berbilang, persatuan ijab dan qabul (kesepakatan), kesatuan majelis akad, obyek akad dapat diserahkan, obyek akad tertentu atau dapat ditentukan, obyek akad dapat ditransaksikan (artinya berupa benda bernilai dan dimiliki (mutaqawwim dan mamluk), tujuan tidak bertentangan dengan syariat. B. Dasar Hukum Perjanjian Konvensional dan Syariah Perjanjian adalah suatu persetujuan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal. Tujuan dari adanya hukum perjanjian diharapkan dapat meningkatkan kepastian, keadilan, dan prediktabilitas (predictability) dan pada saat yang bersamaan menjadi alat bagi para pihak untuk mengelola risiko (risk management tool). Karena besarnya harapan atau tujuan yang ingin dicapai melalui adanya perjanjian tersebut, maka segala hal yang mendukung berjalannya suatu perjanjian harus diperhatikan secara cermat dan dipersiapkan secara matang. Salah satu diantara yang perlu diperhatikan ialah dari segi syarat dari keabsahan perjanjian. Sebagaimana telah disebutkan di dalam ketentuan pasal 1338 (1) KUHPerdata bahwa seketika perjanjian telah memenuhi syarat bagi keabsahan kontrak, maka kontrak demikian berlaku sebagai hukum bagi para pihak yang membuatnya.10 Selanjutnya dalam pasal 1320 KUHPerdata, supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat, meliputi: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, 3. Suatu pokok persoalan tertentu, 4. Suatu sebab yang tidak terlarang. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemenuhan empat syarat tersebut sangat penting dan mendasar demi mewujudkan suatu perjanjian yang sah. Tanpa pemenuhan ke empat syarat tersebut, maka dapat dipastikan bahwa suatu perjanjian 9 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah…, 97-98 Rosa Agustina dkk, 2012: 85 10 11 dianggap sebagai suatu perjanjian yang tidak sah. Dalam konteks hukum, perjanjian masuk ke dalam ranah hukum privat umum, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitik beratkan pada kepentingan perorangan atau individu. Istilah hukum privat dalam sistem hukum Indonesia disebut juga hukum Perdata. Hukum perdata yang mengatur mengenai hubungan antar sesama manusia merupakan peninggalan Pemerintah Hindia Belanda. Pedoman politik bagi Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum di Indonesia dituliskan dalam pasal 131 Indische Staatsregeling atau biasa disingkat dengan IS. Hasil kodifikasi atas hukum perdata yang berupa KUHPerdata sampai saat ini masih berlaku sebagai pedoman hukum materiil di Indonesia. Dasar hukum berlakunya KUHPerdata adalah Pasal 1 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) yang menyatakan bahwa “Segala peraturan perundangundangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Berdasarkan hal tersebut, bahwa KUHPerdata yang menganut sistem barat sebagai sistem yang dianut negara pembawanya yakni Belanda, berdampak pada penyebutan istilah perjanjian yang menganut dasar hukum KUHPerdata sebagai perjanjian konvensional. Selain sistem barat atau sistem konvensional tersebut, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Islam. Berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Sampai saat ini, kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia semakin memperoleh pengakuan yuridis11 yaitu diantaranya pada tataran peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, terjadi perubahan berupa penambahan kewenangan sebagaimana bunyi Pasal 49: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ekonomi Syariah, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 11 Dwi Ratna Indri Hapsari, 2014: 84 12 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-undang tentang Penyelenggaraan Haji, ketentuan mengenai pasar modal, dan gadai12. Di Indonesia, hukum-hukum agama Islam dikenal dengan sebutan syari’at, fiqih, dan hukum islam. Sehingga dalam hal ini perjanjian yang menggunakan hukum Islam sebagai dasar hukumnya disebut dengan perjanjian syariah. Karena adanya dua sub sistem hukum di Indonesia tersebut, baik yang diatur dalam KUHPerdata maupun dalam hukum Islam atau secara syariah dan pentingnya pemenuhan syarat keabsahan perjanjian agar perjanjian mampu berlaku sebagai hukum, perlu diadakan penafsiran yang jelas. Kaidah-kaidah hukum yang berhubungan langsung dengan konsep hukum kontrak dalam hukum Islam disini, adalah yang bersumber dari al-Quran dan hadist maupun hasil interpretasi terhadap keduanya, serta kaidah-kaidah fiqih. Dalam hal ini dapat digunakan juga kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam Qanun yaitu peraturan perundangundangan yang telah diundangkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dan yurisprudensi, serta peraturan-peraturan hukum yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. C. Subjek dan Objek Hukum Perjanjian Konvensional dan Syariah Pada setiap pelaksanaan perjanjian, terdapat subjek dan objek perjanjian yang telah ditentukan, yaitu 1. Subjek dan Objek Hukum Perjanjian Konvensional Menurut aliran teologis, hukum merupakan produk akal yang amat erat kaitnnya dengan konsep dan tujuan, dan keadilan dianggap sebagai tujuan tertinggi. Dalam aliran historis bahwa sumber hukum adalah kebiasaan yang mendarah daging dalam fikiran manusia dan memandang hukum sebagai sesuatu yang berkaitan langsung dengan masyarakat.13 12 Akhyar Ari Gayo, 2015: 487 Muhammad Muslehuddin, filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, ahli bahasa Yudian Wahyudi Asmin, cat.ke-2 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hal.13 13 13 Hukum konvensional adalah segala apa saja yang menimbulkan aturanaturan yang mempunyai kekuatan bersifat memaksa, yakni-yakni aturan ayang kalu dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. 14 Secara garis besar, sumber hukum terdiri dari sumber hukum material dan sumber hukum formil. Sumber hukum material adalah perasaan hukum (keyakinan hukum) individu dan pendapat umum (public option) yang menjadi determinan material berbentuk hukum dan menentukan isi dari hukum. Adapun sumber hukum formil adalah sumber dilihat dari cara terjadinya hukum, merupakan fakta yang menimbulkan hukum yang berlaku mengikat hakim dan penduduk. Agar dapat berupa peraturan tentang tingkat laku harus dituangkan dalam bentuk undangundang atau aturan yang lainnya. menurut C.S.T. Knasil, sumber hukum formil meliputi undang-undang (statute), kebiasaan (costum), keputusan-keputusan hakim (jurisprudente), trakat (tready), dan pendapat sarjana hukum (dokrin). a. Subjek Perjanjian Subjek dan perbuatan hukum adalah subjek hukum. Subjek hukum terdiri dari manusia serta badan hukum. Maka dari pada itu semua manusia dan badan hukum dapat melakukan perjanjian, dengan syarat manusia (orang) dan badan hukum tersebut sudah dinyatakan cakap menurut hukum. 1) Manusia (orang) R. Subekti berpendapat yang dikatakan subjek perjanjian adalah: 15 a) Yang membuat perjanjian (orang) sudah cakap atau sanggup melakukan perbuatan hukum tersebut. b) Para pihak yang membuat perjanjian harus melaksanakan perjanjian dengan dasar kebebasan menentukan kehendaknya. Artinya dalam membuat perjanjian tidak ada paksaan dari pihak manapun, tidak ada kehilafan, atau penipuan, Karena sepakat diantara keduanya akan mengikat mereka. 14 Ahmad Badrut Taman, Konsep Subjek Hukum dalam Hukum Islam, Hukum Positif, dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syaiah, Jurnal of Sharia Ekocomics Vol. 1 No. 2 tahun 2018, hal. 112. 15 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Pembimbing Masa, 1970), hal.16 14 2) Badan Hukum Badan hukum adalah badan-badan perkumpulan dari orang-orang yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum sebagai subjek hukum dapat bertindak hukum (melakukan perbuatan hukum) seperti halnya manusia karena badan hukum juga dapat melakukan persetujuan-persetujuan. Persetujuan-persetujuan yang dilakukan oleh badan hukum menggunakan perantara orang sebagai pengurusnya. Badan hukum dibedakan menjadi dua yaitu Badan Hukum Publik (publiek Recht Persoon) dan Badan Hukum Privat (Privat Recht Persoon). c. Objek Perjanjian Objek perjanjian harus dapat ditentukan. Tidak terlihat dari apakah barang itu sudah ada untuk sekarang atau yang akan ada nanti. Sehingga akan menjadi objek perjanjian antara lain: 1) Barang yang dapat diperdagangkan (pasal 1332 KUH Perdata) 2) Barang yang dapat ditentukan jenisnya (pasal 1333 KUH Perdata) tidak masalah jika untuk sekarang jumlahnya tidak bisa ditentukan, yang jelas dikeudian hari jumlhanya dapat ditentukan. 3) Barang-barang yang aka ada dikemudian hari (pasal 1334 atay (2) KUH Perdata) 2. Subjek dan Objek Hukum Perjanjian Syariah Hukum perjanjian syariah merupakan seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari al-Qur’an, hadits dan ijtihad yang mengatur tentang hubungan dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi objek suatu transaksi.16 a. Subjek Hukum Perjanjian Syariah Subjek hukum merupakan segala sesuatu yang menurut hukum memiliki hak dan kewajiban yaitu manusia termasuk badan hukum. Jadi manusia oleh hukum diakui sebagai penyandang hak dan kewajiban sebagai 16 Lukman Santoso, Aspek Hukum Perjanjian: Kajian Perkembangannya, (Yogjakarta: Penebar Media Pustaka, 2019), hal. 35-36 15 Komprehensif Teori dan subjek hukum atau sebagai orang.17 Dalam hukum islam, subjek hukum disebut dengan mahkum’alaih yaitu mukallaf yang melakukan perbuatan taklif. Dimana aturan mengenai subjek perjanjian terdapat pada pasal 1315, 1317, 1318, dan 1340 KUHPdt dengan membedakan tiga golongan subjek perjanjian yaitu: 1) Para pihak yang mengadajan perjanjian itu sendiri. 2) Para ahli waris dan pihak yang mendapat hak daripadanya. 3) Pihak ketiga. Berdasarkan ilmu fiqih, awalnya subjek akad lebih menunjukkan pada perseorangan dan bukan dalam bentuk hukum. Namun seiring perkembangan yang ada, subjek dapat berupa perorangan (al- ahwal alsyakhsiyah/naturlijke person) dan badan hukum (al-syakhsiyahal- I’tibariyahatual-ahwal al-hukmiyyah/ rechperson). 18 1) Manusia atau perorangan (Naturlijke person/ asy-syakhsiyahthabi’iyah) Manusia yang dimaksud adalah manusia dalam hukum yang memiliki hak subjektif dan kewenangan hukum. Dalam Islam, subjek hukum manusia adalah pihak yang dapat dibebani hukum/ mukallaf yaitu orang yang mampu bertindak secara hukum, baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun kehidupan sosial. Berdasarkan hukum Islam, kapasitas hukum seseorang dapat dilihat dari tahapantahapam kehidupannya meliputi: a) Marhalalal-janin (emroynicstag), tahap ini dimulai sejak masa janin berada dalam kandungan hingga lahir dalam keadaan hidup. Janin tersebut telah mendapat hak namun belum mengemban kewajiban hukum. Ahmad Badrut Tamam, “Konsep Subjek Hukum Dalam Hukum Islam, Hukum Poisitif Dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah”, AL-Musthofa: Journal of Sharia Economics, Vol 1 No 2, Desember 2018, hal. 116 18 Fatmah, Kontrak Bisnis Syariah: Buku Perkuliahaan Program S-1 Prodi Studi Muamalah Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam , (UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), hal.21 17 16 b) Marhalalal-saba (childhoodstag), tahap ini dimulai sejak manusia lahir hingga usia 7 tahun. Hak dan kewajiban yang menyangkut harta miliknya dilaksanakan oleh wakilnya. c) Marhalalal-tamyiz (discermentstag) dimulai sejak seseoran berusia 7 tahun hingga masa pubertas (aqilbaligh). Dimana tahap ini mendapat separuh kapasitas sebagai subjek hukum tanpa izin dari wali. Segala aktivitas/transaksi, penerimaan hak yang dilakukan oleh anak mumayyiz ini dianggap sah. Sedangkan transaksi yang mungkin merugikan dianggap tidak sah kecuali mendapat izin atau pengesahan dari walinya. d) Marhalalal-bulugh (stageofpuberty), tahap ini seseorang telah mencapai aqilbaligh dan dalam keadaan normal. Seseorang yang sudah mencapai tahap ini disebut dengan ahliyyahal-‘ada al-kalimah. e) Saur al-rushd (stageofprudence), pada tahap ini kapasitas seseorang telah sempura sebagai subjek hukum, karena telah mempu bersikap dan bertindak demi keamanan dalam mengelola dan mengontrol harta dan usaha/bisnisnya dengan bijaksana.19 Menurut ilmu fiqih, tidak semua subjek hukum perorangan dianggap cakap mengadakan akad, ada yang sama sekali tidak cakap, cakap mengenai sebagian tindakan, tidak cakap sebagian lainnya, dan cakap melakukan segala macam tindakan. Agar subjek hukum dapat mengadakan perjanjian dan dipandang sah, maka harus memenuhi persyaratan kecapakan (ahliyyah) dan kewenangan (wilayah) bertindak di depan hukum. 20 19 Sardarafika, Subjek dan Objek Hukum Perjanjian Syariah, 2017, htps://sardarafika.wordpress.com/2017/09/27/subjek-dan-objek-hukum-perjanjian-syariah/. Diakses pada 26 Agustus 2021 pukul 20.17 20 Ahmad Badrut Tamam, “Konsep Subjek Hukum Dalam Hukum Islam, Hukum Poisitif Dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah”, AL-Musthofa: Journal of Sharia Economics, Vol 1 No 2, Desember 2018, hal. 116 17 a) Al-Aqid (orang yang berakad) Al-aqid merupakan pihak-pihak yang telah melakukan perserikatan. Orang yang melaksanakan akad disyaratkan pandai berakad atau ahli, sehingga ia harus dewasa, berakal, dan merdeka. Namun jika belum dewasa maka harus atas izin wali. Akan tetapi, bagi anak yang mampu membedakan suatu hal yang manfaat dan mudarat bagi dirinya dapat melakukan akad tanpa diikuti izin walinya. Orang yang ahli dalam berakad dibagi menjadi dua macam: i. Ahli Wajib (ahli wujud) yaitu kepantasan atau kelayakan seseorang untuk menetapkan suatu keharusan yang menjadi haknya. Ahli wajib ini dibagi menjadi tiga yang terdiri dari: i) Ahli wajib kurang merupakan yang pantas hanya menerima hak bagi dirinya, misalnya bayi yang masih dalam kandungan ibunya. ii) Ahli wajib kurang kepantasan yaitu menerima haknya tidak memerlukan kabul, misalnya nasab kepada bapaknya, menerima warisan dari keluarganya, menerima wasiat dan menerima wakaf. iii) Ahli wajib sempurna, yaitu kepantasan menerima haknya sejak dilahirkan dengan diwakiliki wali apabila belum dewasa. ii. Ahli ‘Ada yaitu kelayakan seseorang untuk memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan hukum Islam seperti shalat, puasa, dan haji. Sehingga orang gila, anak kecil, hamba sahaya, dan orang yang hidupnya selalu melakukan pemborosan tidak termasuk ahli ‘ada. Ahli ‘ada dibagi menjadi dua yang terdiri dari” i) Ahli ‘ada kurang yaitu kepantasan seseorang untuk memenuhi sebagian kewajiban dan tidak pantas untuk memenuhi kewajiban lainya. Ahli yang termasuk dalam golongan ini adalah anak berusia 7 tahun hingga usia baligh atau mumayyiz. 18 ii) Ahli ‘ada sempurna yaitu orang yang telah mencapai usia baligh. Berikut adalah hal-hal yang dapat menghalangi seseorang menjadi ahli adalah sebagai berikut: i. Halangan alamiah atau halangan samawi yang dapat berupa berupa gila dan ketiduran. Dimana halangan ini berada diluar kekuasaan dan kemampuan manusia. ii. Halangan yang dibuat oleh manusia misalnya mabuk, berutang dan melakukan pemborosan.21 b) Al-Wilayah (Kekuasaan) Al-wilayah merupakan penguasaan atau kewenangan terhadap urusan atau kemampuan mengurus dan menegakkan perkara yang diperjanjikan. Maknanya kemampuan subjek akad melaksanakan akad dan memberdayakan benda-benda yang diakadkan. Perbedaan ahli dengan al-wilayah adalah jika ahli merupakan kepantasan seseorang untuk berhubungan dengan akad, sedangkan al-wilayah merupakan kepantasan seseorang untuk melaksanakan akad. Berdasarkan keberadaan ahli dan al-wilayah, akad memiliki tiga keadaan yaitu: i. Jika yang berakad termasuk ahli yang sempurna dan memiliki alwilayah, maka akad tersebut dianggap sah. ii. Jika yang berakad tidak termasuk ahli yang sempurna dan tidak memiliki al-wilayah, maka akad dipandang tidak sah atau batal seperti akad orang gila. iii. Jika yang berakad termasuk ahli yang sempurna namun tidak memiliki al-wilayah, maka akad dipandang al-fudhul (di diamkan dan tidak memiliki hak). Adapun al-wilayah terbagi menjadi dua macam, terdiri dari: 21 Fatmah, Kontrak BisnisSyariah: Buku Perkuliahaan Program S-1 Prodi Studi Muamalah Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam , (UIN SunanAmpel Surabaya, 2014), hal. 22-22 19 i. Asli (al-asliyah) yaitu orang yang akad mempunyai kekuasaan berakad untuk dirinya. Orang ini disyaratkan harus baligh, berakal, dan merdeka. ii. Pengganti (an-niyabah), seseorang yang diberikan kekuasaan oleh orang lain atau mengurusi urusan orang lain. Pengganti terbagi menjadi dua yaitu pilihan (al-ikhtiyariyah) dan paksanaan (alijbariyah) yaitu penyerahan kekuasaan berdasarkan ketentuan syara’ untuk kemaslahatan seperti kekuasaan bapak, kakek, atau orang yang diberi wasiat untuk mengurus anak kecil. Al-ijbariyah dapat berbentuk penguasaan atas dirinya atau hartanya. 22 2) Badan Hukum (Rechts person/asy-syahsiyahi’tibariyahhukmiyyah) Badan hukum merupakan badan yang dianggap dapat bertindak dalam hukum serta memiliki hak, kewajiban dan hubungan hukum terhadap orang lain atau badan hukum lainnya. Menurut WirjonoProdjodikoro, badan hukum dapat berupa negara, daerah otonom, perkumpulan orang-orang, perusahaan maupun yayasan. Namun dalam hukum Islam, subjek hukum yaitu badan hukum dapat berupa baitul mal. Menurut TM Hasbi Ash-Shiddiedy, terdapat perbedaan subjek hukum berupa manusia dan badan hukum diantaranya adalah: a) Hak yang dimiliki badan hukum berbeda dengan hak-hak yang dimiliki manusia perorangan seperti hak berkeluarga, hak pusaka, dan lain sebagainya. b) Badan hukum tidak hilang dengan meninggalnya pengurus badan hukum tersebut, dan akan hilang apabila syarat-syata tidak lagi terpenuhi. c) Badan hukum berdiri dan membutuhkan adanya pengakuan hukum. d) Badan hukum dalam melakukan segala aktivitasnya harus berdasarkan pada ketentuan hukum dan dibatasi oleh bidang tertentu. 22 Fatmah, Kontrak Bisnis Syariah: Buku Perkuliahaan Program S-1 Prodi Studi Muamalah Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam , (UIN SunanAmpel Surabaya, 2014), hal. 23 20 e) Tindakan hukum yang dapat dilakukan badan hukum bersifat tetap dan tidak berkembang. f) Badan hukum tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, namun hanya hukuman perdata. b. Objek Hukum Perjanjian Syariah Dalam hukum perjanjian syariah objek hukum (mahallul ‘aqd) dapat berupa benda, manfaat benda, jasa atau pekerjaan, atau suatu yang lain dan tidak bertentangan dengan syariah. Benda meliputi benda bergerak dan tidak bergerak maupun benda berbadan dan benda tidak berbadan. Namun objek akad ini tidak semata mengenai suatu benda yang bersifat material, tetapi juga subjektif dan abstrak. Objek akad dapat berbentuk harga benda seperti barang dagangan, benda bukan harta seperti dalam akad pernikahan, benbentuk manfaat seperti upah mengupah, serta tanggungan atau kewajiban, jaminan maupun agensi atau kuasa.23 Misalnya, dalam akad jual beli rumah objeknya adalah benda berupa rumah dan uang harga penjualannya. Akad sewa menyewa objeknya manfaat barang yang disewa, akad pengangkutan objeknya adalah jasa pengangkutan. Kemudian, imbalan dapat berupa benda/ uang, manfaat atau jasa dan juga objek akad. Sehingga jika akad jual beli rumah misalnya, menurut hukum Islam bukan hanya rumahnya saja yang merupakan objek akad namun juga imbalan berupa uang atau bentuk lainnya. Menurut para ahli hukum Islam, syarat objek akad adalah sebagai berikut: 1) Objek akad dapat diserahkan atau dapat dilaksanakan Objek akad harus dapat diserahkan apabila berupa barang seperti akad jual beli, dapat dinikmati atau diambil manfaatnya jika objek berypa manfaat benda seperti akad sewa menyewa benda (ijarah almanafi’). Apabila objek akad berupa suatu perbuatan seperti mengerjakan suatu pekerjaan maka pekerjaan tersebut harus dapat dilaksanakan. 23 Fathurrahmad Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi Di Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal. 34 21 2) Objek akad harus tertentu dan dapat ditentukan Objek akan tertentu maknanya dapat diketahui dengan jelas oleh pihak-pihak yang bersangkutan sehingga tidak akan menimbulkan kesalahpahaman ataupun sengketa. Apabila objek tersebut tidak jelas secara mencolok maka akan menimbulkan persengketaan antar pihak dan akad dipandang tidak sah. Namun ketidakjelasan kecil yang tidak membawa kepada persengketaan tidak dapat membatalkan akad. Ahliahli hukum Hanafi menjadikan aka kebiasaan dalam masyarakat sebagai ukuran menentukan menyolok atau tidaknya suatu ketidakjelasan. 3) Objek akad yang ditransaksikan harus memenuhi syara’ Suatu objek dapat ditransaksikan dalam hukum Islam apabila memenuhi kriteria berikut: a) Tujuan objek tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain sesuatu tidak dapat dilanjutkan jika transaksi bertentangan dengan tujuan yang ditentukan untuk sesuatu tersebut. b) Sifat atau hakikat dari objek tidak bertentangan dengan transaksi, maknanya sesuatu tidak dapat ditransaksikan jika sifat atau hakikat sesuatu tidak memungkinkan untuk dilakukan transaksi. c) Objek tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum.24 24 Fatmah, Kontrak Bisnis Syariah: Buku Perkuliahaan Program S-1 Prodi Studi Muamalah Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam , (UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), hal. 24-25 22 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Hukum perjanjian syariah adalah akad perjanjian yang menimbulkan kewajiban berprestasi pada salah satu pihak, dan hak bagi pihak yang lain atas prestasi tersebut, dengan atau tanpa melakukan kontraprestasi. Kewajiban bagi salah satu pihak merupakan hak bagi pihak lain, begitu sebaliknya. Prinsip-prinsip yang ada dalam pernajian syariah yaitu: prinsip tauhid, prinsip kebolehan, prinsip keadilan, prinsip persamaan atau kesetaraan, prinsip kejujuran dan kebenaran, prinsip tertulis, prinsip kerelaan atau konsesualisme, prinsip kebebasan berkontrak dan prinsip kepastian hukum. Rukun perjanjian meliputi al- āqidāni, mahallul ‘aqd, shighatul ‘aqd, dan tujuan akad (maudlu al-‘aqd). Perjanjian adalah suatu persetujuan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal. Tujuan dari adanya hukum perjanjian diharapkan dapat meningkatkan kepastian, keadilan, dan prediktabilitas (predictability) dan pada saat yang bersamaan menjadi alat bagi para pihak untuk mengelola risiko (risk management tool). Sebagaimana telah disebutkan di dalam ketentuan pasal 1338 (1) KUHPerdata bahwa seketika perjanjian telah memenuhi syarat bagi keabsahan kontrak, maka kontrak demikian berlaku sebagai hukum bagi para pihak yang membuatnya. Bahkan dalam hukum perjanjian syariah, pelaksanaanya telah diatur dan ditetapkan oleh AL-Qur’an, hadits maupun ijtihad para ulama. Hukum perjanjian konvensional adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan bersifat memaksa dan jika dilanggae mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Sedangkan hukum perjanjian syariah merupakan sapaan Allah tentang perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan (taklif), pilihan (takhyir) maupun penetapan (wad’i). Kedua jenis hukum perjanjian tersebut memiliki aturan subjek dan objek perjanjian masing-masing. Dimana subjek hukum adalah setiap mahkluk yang berwenang untuk memiliki, memperoleh, dan menggunakan hak-hak kewajiban dalam lalu lintas hukum. Dan 23 objek hukum yaitu benda yang berguna bagi subjek hukum atau segala sesuatu yang menjadi pokok permasalah dan kepentingan bagi sunjek hukum atau segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik. Pada dasarnya subjek dan objek hukum perjanjian konvensional dan syariah itu sama, dimana subjeknya terdiri dari manusia dan badan hukum. Namun untuk aturan objeknya, perjanjian konvensional diatur oleh perundang-undangan yang berlaku dan perjanjian syariah disertai dengan hukum syara’. B. Saran Dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun agar makalah ini dapat lebih baik. Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi pembaca. 24 DAFTAR PUSTAKA Ali, Muhammad Daud. 1990. Asas – Asas Hukum Islam. Jakarta: CV. Rajawali. Anwar, Syamsul. 2007. Hukum Perjanjian Syariah (Studi Tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalah). Jakarta: Rajawali Pers. Dewi, Gemila, dkk. 2006. HukumPerikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. Djamil, Fathurrahmad. 2013. Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi Di Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika. Fatmah. 2014. Kontrak Bisnis Syariah: Buku Perkuliahaan Program S-1 Prodi Studi Muamalah Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam. UIN Sunan Ampel Surabaya. Muftadin, Darul. 2018. Dasar-Dasar Hukum Perjanjian Syariah dan Penerapnnya dalam Transaksi Syariah. Jurnal Al-adl Vol. 11 Muslehuddin, Muhammad. 1997. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana. Salim. 2006. Hukum Kontrak: Teori dan Penyusunan Kontrak, cet.ke-4. Jakarta: Sinar Grafia. Santoso, Lukman. 2019. Aspek Hukum Perjanjian: Kajian Komprehensif Teori dan Perkembangannya. Yogjakarta: Penebar Media Pustaka. Sardarafika, 2017. Subjek dan Objek Hukum Perjanjian Syariah, htps://sardarafika.wordpress.com/2017/09/27/subjek-dan-objek-hukumperjanjian-syariah/. Diakses pada 26 Agustus 2021 pukul 20.27 Taman, Ahmad Bahrut. 2018. Konsep Subjek Hukum dalam Hukum Islam, Hukum Positif, dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syaiah. Jurnal of Sharia Ekocomics Vol. 1 No. 2 25