ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
EPISTEMOLOGI KRITIK HADIS
Hedhri Nadhiran
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Raden Fatah
[email protected]
Abstract : Hadith is agreed as the second source of Islamic teachings after the Qur'an. However, in
order to make it the basis of doctrine, hadith must pass the test of naqd al-hadis and fiqh al-hadis.
Related to naqd al-hadis, the problem that arises is how to make a hadith can be believed or allegedly
derived from the Prophet, since the hadith is historical data about past events, in this case the life of
the Prophet. What is a measuring tool (method) that can be used to test a hadith until it is believed
authenticity comes from the Messenger of Allah. This question arises from the history of the hadith
journey narrated by many narrators with diverse characters, the hadith is also 'vulnerable' to fraud and
deviation, and its messenger process tends to be ahad, thus making the problem of authenticity of
hadith become a very widespread discourse - even since Rasulullah saw, died. To that end, the
scholars then formulated a theory that was agreed as a "test stone" of authenticity of hadith. This is
then the requirement of the hadith, where the activity of testing is known by the criticism of hadith or
naqd al-hadis. By some scholars of hadith, this activity and method is used as a branch of ulumul
hadith called the science of hadith criticism or 'ilm naqd al-hadis. This paper will analyze the theory
of the hadith out of the aspect of epistemology since in the modern era, the theory of this sovereignty
is criticized because it is still considered to have 'weakness' so that the judgment of hadith judgments
conducted by the scholars of hadith in the past should be re-examined. Regardless of the pros and
cons arising from this assessment, some modern Muslim thinkers offer a new method of criticism that
is expected to close that weakness; either by simply reconstructing the criticism of a sanad or by the
method of merging the two (criticism of sanad and criticism of matan). It is hoped that through this
effort a new method of criticism of the hadith can be given that the accuracy (authenticity) of the
authenticity of the hadith reinforces the view that the hadith can be attributed to the Messenger of
Allah.
Key words: Epistemology, Criticism of Hadith, Sanad, Matan
Abstrak : Hadis disepakati sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Namun, untuk
dapat menjadikannya sebagai dasar ajaran, hadis harus melewati uji naqd al-hadis dan fiqh al-hadis.
Terkait dengan naqd al-hadis, persoalan yang muncul adalah bagaimana menjadikan sebuah hadis
dapat diyakini atau diduga kuat berasal dari Nabi saw., mengingat hadis merupakan data sejarah
tentang peristiwa masa lalu, dalam hal ini kehidupan Rasulullah. Apa alat ukur (metode) yang
dapat dipakai untuk menguji sebuah hadis hingga diyakini keotentikannya berasal dari Rasulullah
saw. Pertanyaan ini mengemuka jika melihat sejarah perjalanan hadis yang dinarasikan oleh banyak
perawi dengan karakter yang beragam, hadis juga ‘rentan’ mengalami pemalsuan dan penyimpangan,
serta proses periwayatannya yang cenderung bersifat ahad, sehingga menjadikan problem otentisitas
hadis menjadi diskursus yang sangat marak - bahkan sejak Rasulullah saw, wafat. Untuk itu, para
ulama kemudian merumuskan sebuah teori yang disepakati sebagai “batu uji” otentisitas hadis. Inilah
yang kemudian menjadi syarat keshahihan hadis, dimana aktivitas pengujian tersebut dikenal dengan
kritik hadis atau naqd al-hadis. Oleh sebahagian ulama hadis, aktivitas dan kaedah ini dijadikan
sebagai satu cabang ulumul hadis yang disebut dengan ilmu kritik hadis atau ‘ilm naqd al-hadis.
39
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
Tulisan ini akan menganalisis teori keshahihan hadis dari aspek epistemologi mengingat pada era
modern, teori keshahihan ini mendapat kritikan karena dianggap masih memiliki ‘kelemahan’
sehingga penilaian keshahihan hadis yang dilakukan oleh ulama hadis pada masa lalu harus ditela’ah
ulang. Terlepas dari pro-kontra yang timbul karena penilaian ini, beberapa para pemikir muslim
modern menawarkan metode kritik baru yang diharapkan dapat menutup kelemahan tersebut; baik
dengan hanya merekonstruksi kritik sanad ataupun dengan metode penggabungan keduanya (kritik
sanad dan kritik matan). Diharapkan, melalui upaya ini diperoleh metode kritik hadis baru yang
mampu memberikan tingkat akurasi (kebenaran) otentisitas hadis yang meneguhkan pandangan
bahwa hadis benar-benar dapat dinisbahkan kepada Rasulullah saw.
Kata kunci : Epistemologi, Kritik Hadis, Sanad, Matan
40
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
A. Pendahuluan
Dalam sejarah keilmuan, filsafat dipandang sebagai ilmu yang pertama kali muncul sehingga
disebut sebagai “induk” atau “ibu” ilmu pengetahuan atau mater scientarium. Karena kedudukannya
sebagai induk ilmu pengetahuan, ada tiga persoalan besar yang menjadi fokus perhatian filsafat, yaitu
(1) Persoalan tentang keberadaan (being) atau eksistensi (existence), yang berhubungan dengan
cabang filsafat metafisika; (2) Persoalan tentang pengetahuan (knowledge) atau kebenaran (truth),
dimana pengetahuan ditinjau dari segi isinya bersangkutan dengan cabang filsafat epistemologi.
Sedangkan kebenaran ditinjau dari segi bentuknya berkenaan dengan cabang filsafat logika. (3)
Persoalan nilai (values) yang dapat dibedakan menjadi dua; nilai kebaikan tingkah laku dan nilai
keindahan. Cabang filsafat yang lahir dari persoalan ini adalah filsafat etika dan filsafat estetika.
(Tim Dosen: 2007, 31).
Epistemologi, sebagai salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang pengetahuan,
bermaksud mengkaji dan menemukan ciri-ciri umum dari pengetahuan manusia dengan fokus utama
bagaimana pengetahuan itu diperoleh dan diuji kebenarannya, serta sejauh mana ruang lingkup dan
batas-batas kemampuan manusia untuk mengetahui. (Idzam Fautanu: 2012, 165).
Inilah
sesungguhnya makna yang hakiki dari epistemologi. Di samping pemaknaan ini, epistemologi juga
kadang dipahami sebagai cara untuk mengetahui dan mendapatkan kebenaran suatu ilmu
(pengetahuan ilmiah). Untuk membedakan antara epistemologi sebagai cabang filsafat dengan
epistemologi sebagai cara atau metode mendapatkan kebenaran, maka yang pertama dikenal dengan
theory of knowledge (teori atau filsafat pengetahuan), sementara yang kedua theory of science
(filsafat ilmu). Filsafat ilmu lahir sebagai kelanjutan dari pengembangan filsafat pengetahuan
mengingat sifatnya sebagai a higher level of knowledge. Oleh karena itu, perbedaan keduanya
terletak pada objeknya, dimana objek material filsafat pengetahuan berupa gejala pengetahuan,
sedang objek material filsafat ilmu adalah gejala-gejala ilmu (pengetahuan ilmiah). Berangkat dari
perbedaan ini, filsafat ilmu dipahami sebagai penyelidikan filosofis tentang ciri-ciri pengetahuan
ilmiah dan cara-cara (metode) untuk memperolehnya. Namun dalam lingkup kerjanya, filsafat ilmu
tetap menggunakan tiga komponen penyangga yang menjadi pertanyaan utama induknya, filsafat
pengetahuan, yaitu ontologi ilmu yang meliputi hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan
kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah; epistemologi ilmu, meliputi sumber, sarana dan
tatacara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah; dan aksiologi ilmu,
berkenaan dengan nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap
kebenaran atau kenyataan (Tim Dosen: 2007, 11-12, 44-46).
41
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
Berangkat dari argumentasi di atas, tulisan ini akan membahas tentang apa dan bagaimana
epistemologi yang membentuk kajian kritik hadis. Bahasan tentang persoalan ini menjadi sesuatu
yang penting karena banyak ajaran Islam yang direduksi dan atau berasal dari hadis. Ajaran Inilah
yang kemudian diamalkan oleh umat Islam sebagai bentuk peneladanan terhadap Rasulullah. Dari
argumentasi ini, jika disepakati bahwa sebuah epistemologi akan mempengaruhi cara berfikir
masyarakat yang mengadopsinya, maka ketika hadis dipahami dan diamalkan, boleh jadi
epistemologi yang membentuk hadis - sedikit banyak, akan berpengaruh terhadap cara berfikir dan
bersikap umat Islam. Hal ini diperkuat oleh kondisi umat Islam Indonesia yang sangat menghargai
nilai-nilai agamanya. Bahkan bagi mereka, agama dipandang sebagai satu diantara tiga hal yang
menjadi bunyah takwin al-‘aqli al-Indonisiyyin (struktur nalar pembentuk orang Indonesia) di samping
modernitas dan budaya nenek moyang. Ajaran Islam menjadi GPS (Global Positioning System) bagi
umat Islam dalam bertindak melakukan kegiatan sehari-hari mereka (Saifuddin Zuhry: 2016, 178).
B. Epistemologi dalam Wacana Filsafat
Pada dasarnya, pertanyaan yang timbul dalam persoalan epistemologi bukan mengenai
prosedur penyelidikan ilmiah, tetapi dengan mempertanyakan: “mengapa prosedur ini dan bukan
yang lain?”, Apa jaminannya, bila ada, dan apakah metode ini membuktikan yang lain”. Terkait
dengan pertanyaan ini, Jujun S. Suriasumantri menjelaskan bahwa pada hakekatnya, setiap manusia
membutuhkan jawaban yang benar dari apa yang ingin diketahui, bukan sekedar jawaban yang
bersifat sembarangan. Karena itu masalah yang muncul kemudian adalah bagaimana cara menyusun
pengetahuan yang benar? Masalah inilah yang dalam kajian filsafat disebut epistemologi, dan
landasan epistemologi ilmu adalah metode ilmiah atau cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun
pengetahuan yang benar (Jujun S. Suriasumantri: 2007, 105). Adapun yang menjadi menjadi
problematika umum epistemologi untuk menjawab permasalahan utama ini adalah tentang hakikat
pengetahuan, validitas kebenaran serta sumber dan metode untuk memperoleh pengetahuan.
1.Hakikat Pengetahuan
Hakikat pengetahuan adalah persoalan pertama yang menjadi bahasan epistemologi. Berkaitan
dengan hal ini, ada dua teori yang menjelaskan persoalan tersebut. Pertama, teori realisme. Teori ini
dibangun di atas landasan ontologis bahwa eksistensi suatu benda terletak dalam dirinya sendiri
(being is being). Landasan epistemologi ini kemudian melahirkan konsep epistemologi yang
memandang hakikat pengetahuan sebagai gambaran atau copy dari apa yang ada dalam alam nyata
(Harold A. Titus: 1984, 214). Oleh karena itu, validitas kebenaran suatu gagasan mengenai sesuatu
terletak pada apakah gagasan tersebut benar-benar memberi pengetahuan mengenai sesuatu atau
42
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
tidak (Louis O. Kattsof : 1989, 111). Realisme selanjutnya melahirkan objektivisme yang percaya
bahwa ada hal-hal yang hanya terdapat didalam dan tentang dirinya sendiri serta yang hakikatnya
tidak terpengaruh orang lain. Kedua, teori idealisme. Teori ini dibangun di atas landasan ontologis
yang menyatakan bahwa hakikat segala hal terletak pada jiwa atau ide, sehingga jiwa dianggap
memiliki kedudukan yang utama dalam alam semesta (Louis O. Kattsof : 1989, 225). Oleh karena itu,
akal manusia dalam aliran idealisme memperoleh posisi yang utama. Landasan ontologis ini
kemudian melahirkan subjektivisme yang berpendirian bahwa pengetahuan merupakan proses mental
atau psikologis yang bersifat subjektif dan karenanya pengetahuan merupakan gambaran subjektif
tentang realitas (Imam Syaukani: 2006, 159-160).
2. Sumber Pengetahuan
Persoalan epistemologi yang berkaitan dengan sumber dan metode untuk memperoleh
pengetahuan melahirkan empat pandangan yang menjadi arus utama (mainstream) pemikiran
epistemologi yaitu rasionalisme, empirisme, intuisionalisme dan dialog antara rasionalisme dan
empirisme. Pertama, rasionalisme yaitu aliran epistemologi yang berpendirian bahwa sumber
pengetahuan terletak pada rasio (Jujun S. Suriasumantri: 2007, 201). Tokoh aliran ini adalah Rene
Descartes (1596-1650), yang dianggap sebagai ‘bapak filsafat modern dan yang memperkenalkan
sikap skeptis (keraguan) sebagai ‘warna dasar’ bagi epistemologi Barat. Menurut aliran ini, tidak ada
kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan tanpa mendapatkan pembenaran dari rasio.
Rasio mempunyai kemampuan untuk menyingkap kebenaran dengan diri sendiri. Ini bukan berarti
rasio mengingkari sepenuhnya peran pengalaman dalam mendapatkan pengetahuan. Pengalaman
tetap diakui eksistensinya, hanya saja ia ditempatkan sebatas sebagai sejenis perangsang bagi rasio
atau akal, tidak sebagai prosedur dominan dalam menentukan pengetahuan.
Kedua, empirisme. Aliran pemikiran empirisme dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626),
Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-174), George Berkeley (1685-1753) dan David
Hume (1711-1776). Aliran empirisme berpendapat bahwa pengetahuan manusia bukan didapatkan
lewat penalaran rasional yang abstrak namun lewat pengalaman yang konkret yang ditangkap oleh
indera manusia. Ini dikarenakan segala sesuatu yang ada dalam pikiran (rasio) - sebenarnya- berasal
dari pengalaman indrawi, karena otak (rasio) itu pada asalnya kosong, baru melalui pengalaman
indrawi, rasio itu terisi (Ilyas Supena dan M. Fauzi: 2001, 61). John Locke – seperti dijelaskan oleh
Amsal Bachtiar (2006: 99-100), berpendapat bahwa segala pengetahuan datang dari pengalaman dan
tidak lebih dari itu. Akal atau rasio dalam hal ini hanya bersifat pasif pada saat pengetahuan
didapatkan. Semula, akal mirip dengan secarik kertas yang tanpa tulisan, bersih tiada noda (tabula
rasa). Kemudian ia menerima guratan-guratan yang mula-mula kecil dan sedikit, seterusnya makin
43
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
lama makin besar dan banyak yang datang dari pengalaman. Dengan demikian, objek pengetahuan
adalah gagasan atau ide-ide yang timbul karena pengalaman, baik pengalaman lahiriah (sensation)
atau karena pengalaman batiniah (reflection). Kedua pengalaman ini saling jalin menjalin. Hanya
patut digarisbawahi bahwa pengalaman yang menjadi sumber pengetahuan di kalangan empirisme
adalah pengalaman yang bersifat materialitik atau indrawi, bukan pengalaman batin seperti yang
diusung oleh aliran intuisionalis (Mujamil Qomar: 2007, 72) .
Ketiga, intuisionalisme. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui
pengalaman spiritual yang kemudian terejawantahkan dalam bentuk simbol-simbol subjektif yang
bersifat diskursif. Namun demikian, intuisi bukan suatu flash of insight, melainkan suatu usaha
mental dan konsentrasi pikiran dan pengalaman batiniah yang diuraikan akal budi seakan-akan
mengerti dari luar, bersifat relatif dan tergantung dari sudut pandang yang dipaka (Ilyas Supena dan
M. Fauzi: 2001, 61-62). Karakteristik pengetahuan yang didasarkan kepada pendekatan intuitif
adalah seluruh anatomi pengetahuan berada dalam kerangka dirinya tanpa implikasi apapun terhadap
acuan objektif eksternal yang membutuhkan hubungan eksterior. Artinya, hubungan mengetahui
dalam bentuk pengetahuan ini adalah hubungan objektif tanpa campur tangan koneksi dengan objek
eksternal (Imam Syaukani: 2006, 161). Pengetahuan intuitif semacam ini sering dijumpai pada
orang-orang yang mendalami sufistik atau tasauf, dan disebut dengan ma’rifat. Di Barat, tokoh aliran
ini adalah Henri Bergson, Maslow dan Nietzsche. Kalangan Barat sendiri tidak sepakat menerima
intuisi sebagai sumber pengetahuan. Ini dikarenakan, menurut Jujun (2007: 53), intuisi bersifat
personal dan tidak bisa diramalkan sehingga tidak dapat diandalkan untuk menyusun pengetahuan
secara teratur. Alasan lainnya, intuisi merupakan pengalaman batin dan bersifat meta-empirik
sehingga dianggap tidak memiliki peranan sama sekali dalam mencapai kebenaran.
Keempat, dialog rasionalisme dan empirisme. Aliran ini muncul sebagai sintesis dari aliran
rasionalisme dan empirisme setelah sebelumnya melihat kelebihan dan kelemahan yang terkandung
dalam kedua aliran epistemologi tersebut. Dengan langkah dialogis ini, kelebihan keduanya dapat
dimaksimalkan sementara kelemahannya diminimalkan. Immanuel Kant dan Karl R. Popper adalah
filosof yang menggagas upaya dialog tersebut.
Di samping empat sumber pengetahuan ini, dalam filsafat ilmu dikenal juga sumber
pengetahuan yang berasal atau didapat dari orang lain, yaitu otoritas atau kesaksian. Kebenaran
otoritas dapat dipercaya
jika berasal dari orang yang dapat dipercaya atau dapat diterima
kebenarannya. Oleh karena itu otoritas tidak dapat dijadikan sumber pertama dalam pengetahuan dan
bahkan dapat berbahaya jika tidak diselidiki secara sempurna (Jujun S. Suriasumantri: 2007, 53).
Disinilah persoalan muncul, ketika kebenaran hadis dihadapkan kepada sarjana Barat. Mereka
44
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
meragukan – bahkan menolak otentisitas hadis mengingat sumber pengetahuan ini berasal dari
otoritas (kesaksian) para perawi hadis, terutama yang hidup di abad ketiga Hijrah.
3. Validitas Kebenaran
Persoalan tentang ada tidaknya kebenaran, tentang apa hakikatnya dan bagaimana mengenali,
menilai, menguji dan menjaminnya merupakan salah satu masalah pokok dalam epistemologi sejak
awal sejarahnya. Terkait dengan cara dan tolok ukur penilaian serta penjaminan kebenaran atau
menentukan validitas sebuah pernyataan, para filosof bersandar pada teori uji kebenaran. Pengujian
ini dilakukan karena sebuah teori kebenaran bukan hanya memuat pengertian istilah kebenaran, tetapi
juga menetapkan syarat-syarat yang perlu dipenuhi agar suatu pernyataan atau kepercayaan dapat
disebut benar. Dengan kata lain, di dalamnya juga termuat tolok ukur untuk bagaimana
mengenalinya. Berkenaan dengan logis-proposional, secara umum dapat dikatakan bahwa suatu
pernyataan itu benar kalau: (1) kita tahu apa arti pernyataan itu, (2) kita tahu bagaimana menguji
kebenarannya, (3) kita mempunyai bukti yang cukup memadai untuk mempercayai atau
menerimanya. Kalau ketiga syarat itu tidak terpenuhi, maka akan terasa aneh untuk menyatakan
bahwa pernyataan itu benar atau salah (J. Sudarminta: 2006, 129).
Dalam sejarah filsafat, secara klasikal terdapat tiga teori kebenaran yang sudah sangat populer
untuk menguji dan berupaya menjawab pertanyaan tentang kebenaran secara filosofis, yakni (1) teori
kebenaran korespondensi atau kesesuaian, (2) teori kebenaran koherensi atau keteguhan, dan (3) teori
kebenaran pragmatis. Namun, di samping ketiga teori kebenaran tersebut, dalam konteks
kontemporer dikenal juga dua teori kebenaran lain, yaitu (4) teori kebenaran performatif, dan (5)
teori kebenaran konsensus (Jujun S. Suriasumantri: 2007, 53; Zaprulkhan: 2016, 106-107).
a. Teori Kebenaran Korespondensi
Teori kebenaran korespondensi merupakan teori kebenaran yang paling populer dan
sekaligus tertua (Sony Keraf dan Mikhael Dua: 2001, 66). Teori ini menyatakan kebenaran suatu
pernyataan terjadi jika isi pengetahuan yang terkandung dalam pernyataan tersebut berkorespondensi
(sesuai) dengan objek atau fakta yang dirujuk oleh pernyataan tersebut. Prinsip teori inilah yang
dimaksud ketika Paul Churcland - seperti dikutip oleh Zaprulkhan (2016: 107) – menyatakan: “The
way in which we can judge our beliefs is by testing them in experience”. Suatu cara dimana
kepercayaan-kepercayaan kita diuji dengan pengalaman. Jadi, penyelidikan empiris terhadap faktafakta yang dinyatakan dalam suatu proposisi menjadi alat yang objektif untuk menguji kebenaran
suatu pernyataan. Dalam konteks inilah, teori korespondensi menempatkan kesetiaan terhadap
realitas objektif-faktual (fidelity to objective reality). Dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap
45
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
benar apabila terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan itu. Kebenaran adalah
kesesuaian (korespondensi) antara pernyataan tentang sebuah fakta dengan fakta itu sendiri.
b. Teori Kebenaran Koherensi
Teori kebenaran koherensi banyak dianut oleh kaum rasionalis, seperti Leibniz, Spinoza,
Descartes, dan Hegel. Menurut teori ini, kebenaran hanya diperoleh dari kesesuaian (koheren) antara
suatu proposisi dengan proposisi yang sudah ada. Maksudnya, tolok ukur kebenaran suatu pernyataan
adalah bila pernyataan tersebut sesuai dengan pernyataan lain yang memiliki hierarki lebih tinggi dan
telah dianggap benar, yang masih berada dalam jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan
yang berhubungan secara logis. Jadi, yang dimaksud dengan koheren disini adalah saling
berhubungan secara sistemik (the truth is systemic coherent). Atas dasar ini, teori koherensi menolak
banyak ide yang tidak masuk akal (absurd) dan menganggap beberapa pengalaman sebagai ilusi atau
persepsi yang salah, mekipun tidak berarti bahwa ia menolak idea atau kebenaran baru tanpa
penyelidikan.
c. Teori Kebenaran Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani, pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan,
perbuatan, dan sebutan bagi aliran filsafat yang dikembangkan oleh William James di Amerika
Serikat. Menurut teori ini, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan
tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak. Karena itu, bagi kaum pragmatis,
validitas kebenaran terletak pada manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) dan akibat
yang memuaskan (satisfactory result) (Ilyas Supena dan M Fauzi: 2001, 68: Amtsal Bachtiar: 2006,
119). William James mengembangkan teori pragmatisnya tentang kebenaran dengan berangkat dari
pemikirannya tentang ‘berpikir’. Menurutnya, fungsi dari berpikir bukan untuk menangkap
kenyataan tertentu, melainkan untuk membentuk ide tertentu demi memuaskan kebutuhan atau
kepentingan manusia. Karena itu, ide yang benar adalah idea atau teori yang berguna dan dapat
berfungsi memenuhi tuntutan dan kebutuhan manusia. Sebaiknya, jika tidak dapat memenuhi
kebutuhan, maka ide tersebut dianggap sebagai ide yang salah (Sony Keraf dan Mikhael Dua: 2001,
71).
Pada dasarnya, teori kebenaran pragmatis dibangun untuk menjembatani kelemahan teori
korespondensi dan teori koherensi karena argumentasi yang dikemukakan oleh kedua teori tersebut
tidak menghasilkan kebenaran yang bersifat absolut sehingga proses pembuktian dalam ilmu juga
tidak bersifat absolut. Pluralitas pemikiran yang diproduksi teori koherensi dan relativisme fakta
yang dikumpulkan teori korespondensi menyebabkan kebenaran ilmiah juga bersifat relatif karena ia
hanya bisa diterima selama tidak terdapat fakta lain yang menolak kebenaran tersebut dan hal ini
46
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
membawa dimensi baru kepada hakikat ilmu yakni bersifat pragmatic. Artinya, ilmu bukan untuk
mencari kebenaran absolut, melainkan kebenaran yang bermanfaat bagi manusia dalam tahap
perkembangan tertentu (Imam Syaukani: 2006, 164).
d. Teori Kebenaran Performatif
Menurut J. Sudarminta (2006, 129), teori kebenaran performatif
adalah teori yang
menegaskan bahwa suatu pernyataan itu benar apabila apa yang dinyatakan itu sungguh terjadi
ketika pernyataan itu dilakukan (performed). Misalnya, ketika seorang pejabat resmi Mendagri atas
nama Pemerintah menyatakan: “Dengan ini saya melantik anda sebagai Gubernur Jawa Barat”, maka
pernyataan itu benar dan memang mengerjakan apa yang dinyatakan. Akan tetapi, pernyataan itu
menjadi tidak benar kalau diucapkan oleh orang yang sama sekali tidak punya kewenangan untuk
membuat pernyataan tersebut. Dengan kata lain, dalam teori ini sesuatu dianggap benar apabila
dinyatakan atau diputuskan oleh pemegang otoritas tertentu. Berbeda dengan penjelasan di atas, A.
Sony Keraf (2001: 74) menegaskan bahwa dalam teori ini, suatu pernyataan dianggap benar jika
pernyataan itu menciptakan realitas. Jadi, pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang
mengungkapkan realitas atau sesuai dengan realitas, tapi justru dengan pernyataan itu tercipta sebuah
realitas sesuai dengan pernyataan tersebut.
e. Teori Kebenaran Konsensus
Adapun teori kebenaran konsensus, pertama kali dikemukakan oleh Thomas Kuhn dan
kemudian secara khusus dikembangkan oleh Jurgen Habermas. Menurut teori ini, sebuah pernyataan
atau teori dianggap benar kalau diakui atau didukung oleh komunitas ilmuwan bidang yang
bersangkutan sebagai benar. Hal ini seperti ditegaskan oleh Kuhn, there is no standard higher than
the assent of the relevant community (J. Sudarminta: 2006, 130). Jadi, sesuatu dianggap benar
apabila telah diterima oleh kelompok ahli yang relevan dengan keilmuan yang terkait dalam
pernyataan tersebut.
Inilah lima teori dasar dalam menguji kebenaran sebuah Berangkat dari tiga pertanyaan
mendasar dalam epistemologi ini, dapat ditegaskan bahwa masalah utama dari epistemologi adalah
bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Pertanyaan tentang ‘bagaimana’ ini terkait dengan
metode-metode yang harus ditempuh untuk mendapatkan sebuah pengetahuan. Dengan kata lain,
bahasan utama epistemologi adalah tentang metodologi, yang dapat dimaknai dengan ilmu tentang
metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau tata cara mengetahui sesuatu. Jika metode
merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu (memahami objek), maka metodologilah yang
mengkerangkai secara konseptual terhadap prosedur tersebut.
47
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
C. Diskursus Epistemologi Kritik Hadis
Islam sebagai agama, diyakini bersifat tunggal karena ia lahir dari Yang Maha Tunggal.
Namun, ketika masuk ke dalam ranah pemahaman manusia, Islam tidak lagi tunggal. Islam mulai
beragam. Pada ranah ini, Islam mulai terpilah menjadi Islam ideal dan Islam historis. Islam ideal
bersifat abstrak dan hanya berada di haribaan Tuhan dan Nabi Muhammad, sedang Islam historis
adalah Islam yang berada di haribaan manusia. Pada Islam historis inilah muncul istilah fiqh,
tasawuf, kalam dan tasawuf, serta melahirkan pelbagai mazhab, aliran dan organisasi keagamaan
yang semakin meneguhan keragaman Islam. Tentu saja, ragam Islam historis ini merupakan
konsekuensi dari ragam epistemologi yang mendasarinya, karena epistemologi menjadi landasan
dasar bagi pijakan ilmu pengetahuan.
Menurut Aksin Wijaya (2014: 1-2), ragam epistemologi Islam itu merupakan akibat
perkembangan revolusioner epistemologi Islam itu sendiri, yang terjadi dalam ranah historis; baik
menyangkut disiplin keilmuan fiqh, kalam, tasawuf, maupun filsafat. Dalam disiplin keilmuan fiqh
melibatkan empat mazhab utama sunni; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Di bidang kalam
melibatkan dua aliran besar, Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Dalam keilmuan tasawuf melibatkan
tasawuf falsafi al-Hallaj dan tasawuf syar’i al-Ghazali; dan dalam disiplin keilmuan filsafat
melibatkan filsafat paripatetik-emanasionis al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina, filsafat paripatetikteleologis Ibn Rusyd, Filsafat iluminasi Suhrawardi, dan filsafat transendental Mulla Shadra.
Persoalan yang muncul kemudian adalah jika epistemologi Islam klasik sudah berkembang
sedemikian rupa dan menghasilkan banyak ilmu, mengapa pada aspek dunia nyata, dikatakan
mengalami kemunduran. Apakah kondisi ini hanya karena epistemologi Islam hanya fokus pada
persoalan metafisika semata dan cenderung mengabaikan persoalan fisika (kealaman)? Jika
demikian, bagaimana dengan kemajuan ilmu dan peradaban yang pernah dicapai oleh Islam di masa
itu. Bukankah fakta ini menunjukkan bahwa pemikir muslim menjadikan kedua persoalan itu (fisika
dan metafisika) sebagai objek keilmuannya? Menurut Mujamil Qomar (2007: 32-33), selama ini ilmu
pengetahuan dalam Islam lebih menitikberatkan persoalan aksiologi yang merupakan weltanschaung
dan berfungsi seabagi landasan dalam menginstruksi fakta. Islam tidak menghendaki keterpisahan
amtara ilmu dan sistem nilai, seperti yang terjadi di Barat. Ilmu adalah fungsionalisasi ajaran wahyu.
Ilmu merupakan hasil dialog antara ilmuan dengan realitas yang diarahkan perkembangannya oleh
al-Qur’an. Dengan demikian, Islam menolak science for science dan menghendaki keterlibatan
moralitas dalam pencarian kebenaran ilmu.
Jika pandangan-pandangan di atas dapat diterima, maka dapat ditarik benang merah bahwa
diskursus epistemologi (filsafat pengetahuan) yang berkembang dalam Islam di masa lalu lebih
48
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
terfokus pada aspek ontologi dan aksiologi, dan kurang membahas aspek epistemologi (metode
keilmuan). Pada aspek ontologi pun, perhatian lebih tercurah pada persoalan metafisika. Selanjutnya,
bagaimana dengan studi hadis yang telah melahirkan banyak cabang keilmuan dan dianggap oleh
sebahagian ulama sebagai ilmu yang telah mapan?
1. Pengertian Kritik Hadis
Secara bahasa, kritik berarti kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan
pertimbangan
baik
buruk
terhadap
suatu
hasil
karya,
pendapat
dan
sebagainyi
(http://kbbi.web.id/kritik), atau bersifat tidak cepat percaya, tajam dalam penganalisaan, ada uraian
pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya (Depdikbud: 1988, 466). Jika kata ini disandingkan
dengan kata hadis, maka yang dimaksud dengan kritik hadis adalah penilaian baik atau buruk
terhadap sebuah hadis. Penilaian ini dilakukan untuk mengetahui otentisitas atau keaslian penisbahan
sebuah hadis kepada Rasulullah saw. Adapun wujud dari penilaian tersebut berupa pengetahuan
tentang kualitas hadis; shahih, hasan, ataukah dha’if.
Pemaknaan kritik hadis seperti di atas didasarkan atas pengertian naqd al-hadis.1
Sebagaimana dimaklumi, dalam literatur ilmu hadis, istilah kritik merupakan padanan kata ‘naqd’
( ) ﻧ ﻘ ﺪyang secara bahasa bermakna melakukan seleksi atas sesuatu dengan cara memisahkan antara
yang baik dan yang buruk (Muhammad Ali Qasim : t.th., 11). Agaknya, adanya kesamaan makna antara
kedua kata ini menyebabkan kata kritik dipakai untuk menerjemahkan kata al-naqd (naqd al-hadis
atau kritik hadis). Adapun menurut istilah, naqd dipahami dengan menyeleksi atau memisahkan
hadis shahih dari hadis dhaif, serta menetapkan status perawinya dari segi ke-tsiqah-an dan
kecacatannya (M.M. Azami : 1990, 5). Dengan makna ini, maka kritik hadis (naqd al-hadis atau uji
otentisitas hadis) dapat dipahami sebagai suatu aktivitas penelitian kualitas hadis. Bagi sebahagian
muhaddisin, kegiatan kritik hadis ini kemudian berkembang menjadi satu cabang ulumul hadis yang
disebut ilmu kritik hadis (atau ‘ilm naqd al-hadis) yang didefinisikan sebagai:
ھﻮ ﻋﻠﻢ ﯾﺒﺤﺚ ﻓﻲ ﺗﻤﯿﯿﺰ اﻷﺣﺎدﯾﺚ اﻟﺼﺤﯿﺤﺔ ﻣﻦ اﻟﻀﻌﯿﻔﺔ و ﺑﯿﺎن ﻋﻠﻠﮭﺎ واﻟﺤﻜﻢ ﻋﻠﻰ رواﺗﮭﺎ ﺟﺮﺣﺎ وﺗﻌﺪﯾﻼ ﺑﺄﻟﻔﺎظ ﻣﺨﺼﻮﺻﺔ ذات
. دﻻﺋﻞ ﻣﻌﻠﻮﻣﺔ ﻋﻨﺪ أھﻞ اﻟﻔﻦ
Ilmu yang membahas tentang bagaimana membedakan atau memisahkan hadis shahih dari yang
dha’if, menjelaskan ‘illat-‘illat dan hukum para perawinya; baik berupa jarh atau ta’dil, dengan
1
Menurut Ali Mustafa Ya’qub, Ibn Abi Hatim (w. 327 H) adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah
al-naqd untuk menggambarkan aktivitas keilmuan tersebut, seperti dijumpai dalam kitabnya al-Jarh wa al-Ta’dil. Dalam
karyanya ini, ia juga menyebut istilah kritik dan kritikus hadis (al-naqd wa al-nuqqad). Sebelumnya, istilah yang dipakai
adalah tamyiz (pembedaan). Ini dapat dilihat pada salah satu kitab karya Imam Muslim ibn Hajjaj (w. 261 H) yang
membahas kritik hadis berjudul al-Tamyiz. Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000), hal. xiv;
Hasjim Abbas, Kritik Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqaha, (Yogyakarta: Teras, 2004), hal. 9
49
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
menggunakan istilah khusus yang memiliki makna tertentu menurut oleh para ahli ilmu ini
(Muhammad Ali Qasim : t.th., 11).
2. Epistemologi Kritik Hadis
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kajian pokok epistemologi adalah tentang hakikat
pengetahuan, validitas kebenaran serta sumber dan metode untuk memperoleh pengetahuan. Jika
persoalan epistemologi ini diarahkan kepada kritik hadis, maka pertanyaan yang muncul adalah
apakah hadis itu, apa yang menjadi dasar dan sumber hadis; bagaimana cara mengetahui kebenaran
atau otentisitas sebuah hadis; bagaimana menguji kebenaran metode otentisitas tersebut.
Epistemologi kritik hadis diawali dari pemikiran bahwa hadis, yang sekarang berwujud teks
keagamaan, merupakan sumber pengetahuan karena memuat informasi tentang segala sesuatu yang
berasal atau tentang diri Nabi dan diyakini sebagai sumber ajaran Islam. Informasi ini diperoleh dari
orang-orang yang hidup semasa dengan Nabi, dan dikenal dengan istilah shahabat. Mereka-lah yang
kemudian menyampaikan informasi tersebut kepada generasi di bawahnya, tabi’in, yang kemudian
menyampaikannya lagi kepada generasi di bawah mereka, tabi tabi’in. Proses ini berlanjut hingga
diterima oleh para perawi yang kemudian menghimpunnya dalam karya-karya mereka, seperti alMuwaththa’ karya Malik ibn Anas (w. 179 H), al-Musnad karya Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) dan
Kutubussittah. Buah karya para penghimpun hadis (al-mukharrij al-hadis) abad II dan III H inilah
yang kemudian menjadi sumber pengetahuan dan rujukan hadis pada masa-masa berikutnya hingga
sekarang (Syuhudi Ismail: 1998, 32-33).
Persoalan yang timbul kemudian adalah bagaimana menjadikan sebuah hadis dapat diyakini
atau diduga kuat berasal dari Nabi saw., mengingat hadis - sebagai sebuah laporan, adalah data
sejarah yang menceritakan sebuah peristiwa yang terjadi di masa lalu, dalam hal ini kehidupan
Rasulullah. Apa alat ukur (metode) yang dapat dipakai untuk menguji sebuah hadis hingga diyakini
keotentikannya berasal dari Rasulullah saw. Pertanyaan ini semakin menguat jika melihat sejarah
perjalanan hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi dengan karakter yang beragam, hadis juga
‘rentan’ mengalami pemalsuan dan penyimpangan, serta proses periwayatannya yang cenderung
bersifat ahad, sehingga menjadikan problem otentisitas hadis menjadi diskursus yang sangat marak bahkan sejak Rasulullah saw, wafat. Selanjutnya, problem yang muncul setelah sebuah hadis diyakini
berasal dari Nabi (otentik) adalah bagaimana ia harus dipahami agar dapat bermakna dalam
kehidupan kekinian (dapat diamalkan).
Terkait dengan pertanyaan-pertanyaan epistemologi di atas, para ulama menjelaskan bahwa
setiap hadis yang hendak dijadikan sebagai sumber ajaran harus melewati ‘dua tahap pengujian’,
yaitu kritik hadis (naqd al-hadith) dan pemahaman hadis (fiqh al-hadith atau syarh al-hadis). Kajian
50
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
pertama mengarah kepada problem otentisitas hadis dengan sasaran akhir berupa pengetahuan
tentang kualitas sebuah hadis; apakah shahih, hasan, atau dha’if, sebagai upaya awal untuk
mengetahui apakah hadis tersebut diyakini atau diduga yakin berasal dari Nabi atau tidak. Adapun
kajian kedua merupakan lanjutan dari kritik hadis, dimana kegiatan ini dilakukan terhadap
kandungan matan hadis yang maqbul (berkualitas shahih atau hasan), dengan sasaran akhir untuk
mengetahui apakah hadis tersebut dapat menjadi hujjah dan dapat diamalkan; atau tidak. Apakah
nilai yang terkandung didalamnya berdimensi syariat atau tidak. Jika berdimensi syariat, apakah
bersifat temporal atau universal. Dua ‘kegiatan’ inilah yang kemudian melahirkan satu disiplin
keilmuan Islam, yaitu ulum al-hadis dengan berbagai cabangnya.
Mengenai dasar penetapan kriteria keshahihan hadis, harus dimaklumi bahwa hadis pada
hakekatnya adalah data historis yang berisi informasi tentang segala sesuatu yang berasal dari Nabi.
Data historis ini diketahui dari laporan shahabat kepada tabi’in dan tabi’ tabi’in hingga akhirnya
dikodifikasi dalam kitab-kitab hadis yang terpelihara hingga sekarang. Dalam peng-kodifikasi-an ini,
para mukharrijul hadis mencatat tidak hanya informasi tersebut, tetapi juga rangkaian orang yang
menyampaikannya. Dalam ilmu hadis, informasi ini disebut teks hadis atau matan, sementara
rangkaian orang yang menjadi mata rantai dalam periwayatan matan disebut sanad. Inilah dua unsur
utama pembentuk hadis (M. Syuhudi Ismail: 1989, 25; Musfir Abdullah Al-Damini: 1984, 49).
Persoalan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana mengetahui keaslian atau kebenaran
(otentisitas) dari sebuah hadis. Hal ini menjadi sesuatu yang penting mengingat kedudukan hadis
sebagai sumber ajaran dan banyaknya persoalan yang mengitari sejarah periwayatannya, seperti
banyaknya para pelaku bid’ah dan hawa nafsu yang ikut meriwayatkan hadis dan orang-orang yang
membuat riwayat-riwayat palsu, yang kemudian dinisbahkan kepada Rasulullah (hadis mawdhu’).2
Atas dasar ini, maka para ulama membuat sejumlah kriteria agar sebuah hadis dapat diakui dan
diterima sebagai sumber ajaran. Rumusan kriteria inilah yang kemudian menjadi sebuah kaedah dan
disepakati sebagai parameter persyaratan untuk menguji sebuah hadis. Kaedah inilah yang menjadi
dasar pelaksanaan kritik hadis (naqd al-hadis).
Kaedah kritik ini berupa syarat keshahihan hadis yang terdiri atas sejumlah kriteria yang
harus dipenuhi oleh suatu hadis untuk diyakini berasal dari Nabi dan dapat dipakai sebagai sumber
ajaran agama. Para ahli hadis awal sampai abad ketiga Hijrah tidak secara eksplisit mendefinisikan
hadis-hadis yang dapat dianggap shahih. Mereka hanya menetapkan kriteria-kriteria informasi yang
2
Beberapa persoalan yang muncul di sekitar periwayatan hadis dan mendorong dilakukannya kegiatan kritik
hadis secara massive, terutama jarh wa ta’dil terhadap para perawi adalah (1) Mulai melemahnya kemampuan umat
dalam menghafal hadis, (2) Perkembangan sanad hadis yang semakin panjang dan bercabang, (3) Banyak munculnya
firqah-firqah yang dinilai menyimpang dari manhaj shahabat dan tabi’in. Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum alHadis, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1988), hal. 58
51
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
diperoleh, yang didasarkan atas kualitas dan karakter perawi yang menetukan diterima dan
ditolaknya riwayat mereka. Namun, kriteria ini belum mencakup secara keseluruhan syarat
keshahihan hadis (Kamaruddin Amin: 2009, 16). Dalam hal ini, Imam al-Syafi’i (w. 204 H)
dipandang sebagai tokoh yang berjasa dalam perumusan kaedah tersebut secara tertulis dan kitabnya,
al-Risalah dan al-Umm, merupakan sumber tertua yang masih terpelihara hingga sekarang (Nuruddin
‘Itr: 1988, 58; Kamaruddin Amin: 2009, 15). Demikian halnya dengan Bukhari, Muslim serta yang
lainnya dari periode mutaqaddimin telah memperjelas benih-benih itu dan menerapkannya pada
hadis-hadis yang mereka teliti dan mereka riwayatkan. Kemudian ulama pada zaman berikutnya
menyempurnakan benih-benih kaedah itu ke dalam rumusan kaedah yang selanjutnya berlaku sampai
sekarang (M. Syuhudi Ismail: 1989, 63-64).
Salah seorang ulama hadis muta’akhirirn yang menyusun secara komprehensif rumusan
kaedah ke-shahih-an hadis ialah Abu Amr Usman ibn Abdurrahman ibn al-Shalah al-Syahrazuriy (w.
643 H), yang dikenal dengan nama Ibn al-Shalah (1984: 11-12). Menurutnya:
اﳊﺪﻳﺚ اﻟﺼﺤﻴﺢ ﻓﻬﻮ اﳊﺪﻳﺚ اﳌﺴﻨﺪ اﻟﺬى ﻳ ﺘﺼﻞ إﺳﻨﺎدﻩ ﺑﻨﻘﻞ اﻟﻌﺪل اﻟﻀﺎﺑﻂ ﻋﻦ اﻟﻌﺪل اﻟﻀﺎﺑﻂ إﱃ ﻣﻨﺘﻬﺎﻩ وﻻ ﻳﻜﻮن
.ﻣﻌﻼ
ّ ﺷﺎذا و ﻻ
Hadis shahih ialah hadis yang bersambung sanad-nya, diriwayatkan oleh perawi yang ‘adl dan
dhabith, berasal dari perawi yang juga ‘adl dan dhabith hingga kepada akhir sanad, tidak terdapat
syaz (kejanggalan) dan ‘illat (cacat).
Berangkat dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa unsur keshahihan hadis mencakup (1)
Sanad hadis harus bersambung mulai dari mukharrij hingga kepada Nabi, (2) Seluruh perawi hadis
yang membentuk rangkaian sanad harus mempunyai sifat ‘adil, (3) Mereka juga harus memiliki sifat
dhabith, (4) Hadis tersebut tidak memiliki kejanggalan (syaz), dan (5) Terhindar dari kecacatan
(‘illat). Dari unsur-unsur-unsur ini, Syuhudi (1989: 64-65) menjelaskan bahwa kelimanya
berhubungan dengan sanad, dan hanya dua unsur, yaitu terhindar dari syaz dan ‘illat, berlaku untuk
matan. Karena itu, dalam tataran praktis, ada tujuh kriteria yang harus diterapkan untuk menguji
keshahihan sebuah hadis.
Terkait dengan kritik sanad, uji keshahihan dilakukan pada aspek kebersambungan
periwayatan dan kualitas perawi yang membentuk periwayatan tersebut. Pada aspek inilah perlu
diteliti secara mendalam biografi setiap perawi. Penelitian ini terfokus pada nama, tempat, tahun lahir
dan wafat. Bahkan sikap dan kepercayaan keagamaannya pun harus dievaluasi secara hati-hati.
Sebab, informasi ini dipercaya dapat membantu ulama yang kritis bukan hanya dalam upaya
52
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
menetapkan ke-tsiqah-an para perawi, tetapi juga untuk menentukan kemungkinan dan
ketidakmungkinan bahwa perawi telah menjalin hubungan intelektual dengan para informannya
(hubungan guru-murid dengan perawi sebelumnya). Menyangkut hubungan ini, penelitian kata-kata
yang menghubungkan seorang perawi dengan perawi lainnya menjadi sangat penting, karena katakata yang digunakan oleh perawi ditengarai mengandung implikasi tentang cara periwayatan hadis.
Kata-kata yang sering dipakai adalah sami’tu, haddatsna, akhbarana, anna, ‘an, dan lainnya,
dianggap memiliki implikasi makna yang berbeda karena masing-masing menggambarkan berbagai
kemungkinan hubungan dalam proses periwayatan.
Pada awalnya, informasi tentang para perawi ini diketahui oleh ulama kritikus hadis melalui
penyampaian secara verbal (lisan) ketika mereka belajar hadis ataupun melakukan perjalanan (rihlah)
untuk mencari hadis. Seiring dengan maraknya tradisi penulisan, informasi ini kemudian dicatat oleh
para penulis kitab-kitab biografi perawi hadis, seperti Kitab Al-Thabaqat al-Kabir karya Ibn Sa’ad
(w. 230 H), Al-‘Ilal karya Ali al-Madini (w. 234 H), Kitab Al-‘Ilal wa Ma’rifat al-Rijal karya Ahmad
ibn Hanbal (w. 241 H), Tarikh Al-Kabir karya al-Bukkhari (w. 256 H), dan Kitab al-Jarh wa alTa’dil karya Ibn Abi Hatim al-Razi (w. 328 H). Inilah kitab-kitab yang dianggap paling awal memuat
informasi tentang para perawi hadis.
Adapun kritik matan dilakukan untuk mengetahui kualitas matan sebuah hadis. Upaya ini
harus dilakukan karena sebuah hadis dikatakan berkualitas shahih apabila sanad dan matannya samasama berkualitas shahih. Kritik matan sendiri dilakukan setelah sanadnya diketahui kualitasnya. Jika
sanad dari matan tersebut berkualitas shahih, atau minimal tidak berat ke-dhaif-annya, maka kritik
matan dapat dilanjutkan. Tetapi apabila sanadnya sangat dhaif maka matan hadis tersebut tidak perlu
diteliti sebab hasilnya tidak akan memberi manfaat bagi kehujahannya.
Dalam kegiatan kritik matan, unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan yang berkualitas
shahih adalah terhindar dari syaz (kejanggalan) dan ‘illah (cacat). Berangkat dari dua kriteria utama
ini, para ulama kemudian merumuskan tolok ukur penelitian matan (mi’yar naqd al-matn) sebagai
acuan dalam menilai keshahihan hadis. Hanya saja, mengingat kedua kriteria ini masih sangat umum,
maka pada tataran praksis rumusan yang dibuat ulama menjadi tidak seragam, bahkan terkadang
tumpang tindih dalam perumusannya. Seperti al-Khatib al-Baghdadi (w.463 H) yang menetapkan
bahwa suatu matan hadis dinyatakan maqbul apabila: (1) tidak bertentangan dengan akal, (2) tidak
bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang telah muhkam, (3) tidak bertentangan dengan hadis
mutawatir, (4) tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu,
(5) tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti, dan (6) tidak bertentangan dengan hadis ahad
yang kualitas keshahihannya lebih kuat (Syuhudi ismail: 1989, 126). Sementara Ibn al-Jawzi (w. 597
53
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
H) mengemukakan penjabaran kriteria syaz dan ‘illat pada matan melalui pernyataan yang cukup
singkat, yaitu: ( ﻓﻜﻞ ﺣﺪﯾﺚ رأﯾﺘﮫ ﯾﺨﺎﻟﻒ اﻟﻤﻌﻘﻮل أو ﯾﻨﺎﻗﺾ اﻷﺻﻮل ﻓﺎﻋﻠﻢ أﻧﮫ ﻣﻮﺿﻮعSetiap hadis yang menurut
pendapatku bertentangan dengan akal atau menyalahi ketentuan pokok agama maka ketahuilah
bahwa hadis tersebut adalah palsu) (Shalahuddin Al-Idlibiy: 1983, 237).
Berangkat dari perbedaan perumusan kriteria keshahihan matan yang terjadi di antara para
ulama dan setelah melakukan perbandingan antara kriteria yang mereka rumuskan, Shalahuddin alIdhibi (1983: 238), menyimpulkan bahwa persyaratan tidak mengandung syaz dan ‘illat, ketika
dirumuskan menjadi kaedah kritik matan menjadi empat kriteria, yaitu (1) tidak bertentangan dengan
petunjuk al-Qur’an, (2) tidak bertentangan dengan sesuatu yang sudah tetap (tsabit) dari hadis dan
sirah nabawiyah, (3) tidak bertentangan dengan akal, panca indra atau sejarah, dan (4) susunan
matan tersebut menunjukkan ciri-ciri perkataan Nabi.
Inilah gambaran umum kaedah keshahihan hadis, baik yang terkait dengan kritik sanad
ataupun kritik matan. Kaedah inilah yang diyakini oleh mayoritas ulama telah diterapkan oleh ulama
abad kedua dan ketiga Hijriah ketika mereka melakukan upaya tadwin atau kodifikasi hadis dan
selanjutnya disistematisasikan dalam sebuah rumusan teoretik keshahihan hadis. Pada gilirannya,
upaya penerapan kaedah ini melahirkan banyak cabang ilmu hadis, seperti ilmu rijal al-hadis dan
ilmu mukhtalif al-hadis. Ilmu-ilmu inilah yang kemudian membentuk satu disiplin keilmuan Islam
yang dikenal dengan ‘Ulumul Hadis.
D. Rekonstruksi Epistemologi Kritik Hadis: Wacana Pengembangan Keilmuan
Pertanyaan yang muncul terhadap epistemologi kritik hadis seperti diuraikan di atas adalah
bagaimana analisis terhadap metode kritik hadis yang bertujuan menguji keotentikan hadis dari sudut
pandang filsafat ilmu?
Terkait dengan kritik sanad, jika perhatian diarahkan kepada masa hidup para penulis kitab
biografi perawi hadis, disinilah muncul problem epistemologi. Problem tersebut adalah bagaimana
mengukur keakuratan informasi yang mereka sampaikan mengingat biografi tersebut bukanlah hasil
dari pengamatan langsung, melainkan ditulis jauh setelah para perawi wafat, terutama jika diukur
dari masa hidup Nabi dan para shahabatnya; dan apakah parameter untuk menentukan cacat tidaknya
seorang perawi pada masa itu sudah cukup valid. Atau dalam bahasa epistemologi, sejauh mana
otoritas (kesaksian) mereka dapat diterima dan menjadi sumber pengetahuan mengingat keraguan dan bahkan penolakan para ilmuwan modern terhadap kebenaran yang bersumber dari metode ini.
Pertanyaan ini timbul karena seperti telah dijelaskan bahwa sebuah kebenaran otoritas dapat diterima
jika berasal dari orang yang dapat dipercaya. Oleh sebab itu, bagi sebahagian ilmuwan, otoritas tidak
54
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
dapat dijadikan sumber pertama dalam pengetahuan dan bahkan dapat berbahaya jika tidak diselidiki
secara sempurna. Disinilah persoalan muncul, ketika kebenaran hadis dihadapkan kepada sarjana
Barat. Mereka meragukan - bahkan menolak otentisitas hadis mengingat sumber pengetahuan ini
berasal dari otoritas (kesaksian) para perawi hadis, terutama yang hidup di abad ketiga Hijrah.
Bagi ulama hadis, informasi yang terdapat dalam kitab biografi perawi dinilai akurat dan
dapat dipertanggungjawabkan karena didasarkan pada keterangan para ulama kritikus hadis (alnuqaad) yang diakui kredibilitasnya, semisal Syu’bah ibn al-Hajjaj (w. 160 H), Yahya ibn Sa’id alQaththan (w. 198 H), Yahya ibn Ma’in (w. 233 H), Ali al-Madini (w. 234 H), dan Ahmad ibn Hanbal
(w. 241 H). Para al-nuqad inilah yang tercatat dalam sejarah melakukan perjalanan untuk mencari
sebuah hadis (rihlah) (Imaduddin Muhammad Rasyid: t.th., 84, 362). Mereka juga meyakini bahwa
kegiatan kritik sanad telah dilaksanakan, bahkan sejak masa shahabat, pasca terjadinya al-fitnat alkubra seperti disinyalir oleh Ibn Sirin ( w. 110 H) (Muslim ibn Hajjaj: 1998, 24). Tradisi ini
kemudian dilanjutkan oleh para tabi’in, seperti Abu Abdurrahman al-Salami (w. 72/80 H), Said ibn
al-Musayyab (w. 93 H), al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar, Salim ibn Abdullah, Urwah ibn alZubayr, al-Zuhriy, Ibrahim al-Nakha’iy (w. 96 H), al-Sya’biy (w. 103 H), dan Ibn Sirin (M.M.
A’zhami : 1990, 11-12; Mahmud Thahir al-Jawwabi: 1997, 83-86).
Baru pada abad abad III,
informasi dari para al-nuqaad ini dicatat oleh para ulama dalam kitab-kitab biografi rijal hadis seperti
yang dijumpai sekarang.3
Berbeda dengan sikap menerima yang ditunjukkan oleh umumnya ulama hadis terhadap
kitab-kitab biografi perawi serta informasi di dalamnya, para sarjana Barat bersikap apatis terhadap
terhadap kitab-kitab tersebut. Bahkan cenderung menolak semua informasi tersebut. Penolakan ini
didasarkan atas argumentasi keilmuan bahwa sumber-sumber historis baru dapat digunakan apabila
ditulis sezaman dengan peristiwa tertentu. Dalam metodologi historis, sumber-sumber yang ditulis
belakangan harus didukung oleh data-data lain yang memperkuat, misalnya hasil ekskavasi
arkeologis atau sumber-sumber di luar tradisi itu sendiri (Mun’im A. Sirry: 2015, 219).4 Karena itu,
3
Terkait dengan biografi para perawi hadis ini, Sprenger, orientalis Jerman, dalam pengantar Kitab al-Ishabah fi
Tamyiz al-Shahabah karya Ibn Hajar al-‘Asqalani, berkata: “Tidak ada satupun dari bangsa-bangsa terdahulu dan juga
pada bangsa-bangsa sekarang yang menghasilkan karya seperti Ilmu Asma’ Rijal (Ilmu yang memuat biografi para perawi
hadis) seperti disusun oleh umat Islam dalam ilmu yang agung ini. Ilmu ini memuat informasi dan hal ihwal sekitar
500.000 perawi hadis”. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), hal. 157
4
Mun’im juga menjelaskan ada 3 (tiga) argumen kenapa sumber-sumber tradisional (Islam) bermasalah.
Pertama, sumber-sumber tersebut ditulis jauh setelah Rasulullah wafat, lebih kurang 100 tahun jika mengacu kepada
sumber sirah tertua, yakni Sirah Ibn Ishaq (w. 150 H). Padahal bagi kalangan sejarawan, sumber-sumber tertulis harus
sezaman dengan peristiwa yang terjadi. Kedua, banyak narasi yang disebutkan dalam sumber-sumber tradisional lebih
merefleksikan perkembangan belakangan yang diproyeksikan ke masa Nabi. Aspek-aspek politis, teologi dan hukum
yang menjadi perdebatan di kemudian hari mempengaruhi dan membentuk narasi-narasi historis. Ketiga, banyak narasi
dalam sirah bersifat kontradiktif. Sebagian kontradiksi itu dapat direkonsiliasi, dan sebagian lain tidak. Adanya
kontradiksi tersebut tidak berarti keseluruhan peristiwa dalam sirah bersifat fiktif, melainkan diperlukan kehati-hatian
55
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
mengingat hadis merupakan data sejarah kehidupan Nabi yang didasarkan atas informasi orang-orang
yang hidup sezaman dengannya (shahabat), maka seyogyanya dokumen tertulis tentang hadis harus
berasal dari catatan para shahabat. Demikian halnya dengan informasi tentang shahabat harus
didasarkan atas catatan tertulis yang berasal dari sesama mereka atau dari generasi yang semasa
(tabi’in). Problemnya adalah sumber tertulis yang terkait dengan sirah adalah kitab Sirah Ibn Ishaq
yang merupakan biografi Nabi paling awal dan masyhur, dan ditulis oleh Ibn Ishaq (w. 150 H) lebih
dari satu abad setelah Nabi meninggal.5 Kitab hadis paling awal yang terpelihara hingga sekarang
adalah al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik (w. 179 H) (Nuruddin ‘Itr: 1988, 58-59).
Sementara untuk biografi perawi hadis, kitab yang paling awal ditulis adalah Thabaqat Ibn Sa’ad
karya Ibn Sa’ad (w. 230 H) (Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib: 1988, 273-274; Mahmud Thahhan, 1996,
152-153). Penetapan ketiga kitab ini sebagai sumber tertulis paling awal sendiri didasarkan atas masa
hidup para penulisnya yang mendahului ulama lain yang menulis karya yang sama.
Secara umum, penolakan sumber-sumber tertulis di atas sebagai sumber pengetahuan dapat
dilacak dalam karya-karya sarjana Barat dan beberapa pemikir muslim modern, seperti Fazlur
Rahman (Abdul Fatah Idris : 2012, 78-80; Faiqotul Mala: 2015, 40-43). Penolakan ini sendiri, seperti
telah dijelaskan, karena ‘data sejarah’ yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut ditulis jauh setelah
peristiwa itu terjadi dan hanya didasarkan atas kesaksian (otoritas) sumber yang semasa hidupnya
dengan para penulis kitab tersebut. Padahal untuk diakui sebagai sebuah peritiwa sejarah, sebuah
dokumen sejarah harus ditulis pada saat peristiwa sejarah itu terjadi. Dengan kata lain, data sejarah
itu didasarkan atas pengamatan indrawi (empiris).
Terkait dengan kriteria kritik matan, dapat dinyatakan bahwa dalam menentukan ‘kebenaran’
atau otentisitas sebuah matan hadis, uji kebenaran yang ditempuh ulama adalah teori kebenaran
koherensi (kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan lain). Ini terlihat dari pernyataan
bahwa sebuah teks dinyatakan shahih jika tidak bertentangan dengan al-Qur’an, hadis dan sirah
nabawiyah yang sudah tsubut, akal, panca indra dan fakta sejarah. Pertanyaan yang muncul
kemudian apakah kriteria ini sudah ada sebelum kodifikasi hadis dilakukan dan sejauh mana
konsistensi para ulama penyusun kitab-kitab hadis mu’tabar dalam penerapannya?
dalam merekonstruksi sejarah kehidupan Nabi. Atas dasar argumentasi ini, banyak sejarawan Barat yang bersikap
skeptis. Bahkan Michael Cook dan Patricia Crone (1977), yang beraliran revisonis radikal menyatakan bahwa sumbersumber tradisionalis yang didasarkan pada data-data yang bermasalah secara historis dan ditulis belakangan tidak dapat
dikatakan memiliki sejarah. Menurut keduanya, kisah-kisah dan episode kehidupan Nabi yang disajikan literatur sirah
merupakan bentuk idealisasi mitos yang dibuat oleh kaum muslim belakangan. Mun’im A. Sirry, Kontroversi Islam Awal
Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis, (Bandung: Mizan 2015), hal. 219-221
5
Karya asli Ibn Ishaq yang ada saat ini merupakan bagian yang diedit oleh sejarawan asal Mesir, Ibn Hisyam (w.
208 H). Namun demikian, sarjana-sarjana modern meyakini bahwa apa yang disalin oleh Ibn Hisyam secara genuine
merepresentasikan karya orisinal Ibn Ishaq. Mun’im A. Sirry, Kontroversi Islam Awal..., hal. 215, 218
56
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
Dari penjelasan pada bab sebelumnya, diketahui bahwa sejak masa shahabat telah ada uji
kritik matan yang dilakukan berupa uji kebenaran bahwa Rasulullah jelas-jelas menginformasikan
hadis itu. Prosedur yang mereka lakukan mencerminkan upaya memperoleh hasil dari perujukan
silang sehingga diketahui hakekat dari kebenaran teks hadis tersebut. Pola perujukan silang ini lebih
berupa mengadu kebenaran pernyataan hadis dengan al-Qur’an, hadis
dan akal. Atau dalam
kacamata filsafat berupa uji koherensi. Menurut Hasjim Abbas, pola perujukan silang teks hadis yang
dilakukan shahabat mengambil tiga bentuk, yaitu (1) Metode muqaranah atau perbandingan antara
riwahat hadis dari sesama shahabat, seperti kasus Khalifah Abu Bakr yang menolak pemberitaan
Mughirah ibn Syu’bah tentang bahagian warisan nenek hingga ada kesaksian serupa dari Muhammad
ibn Maslamah. (2) Metode mu’aradhah berupa pencocokan konsep yang menjadi muatan pokok
matan hadis dengan al-Qur’an, hadis, sirah nabawiyah, dan akal sehat. Contohnya penolakan
Khalifah Umar terhadap hadis Fathimah binti Qays tentang ketiadaan nafqah istri yang ditalak baik
oleh suami. Menurut Umar, kesaksian Fathimah ini bertentangan dengan QS. Al-Thalaq: 1 (Hasjim
Abbas: 2004, 28-31).
Informasi ini memberikan gambaran bahwa sejak periode shahabat uji kritik matan hadis
telah dilakukan secara ketat. Sikap shahabat inilah yang kemudian diikuti dan dirumuskan oleh para
ulama pada periode berikutnya sehingga menjadi ‘acuan’ dalam menghimpun hadis selama periode
tadwin atau kodifikasi hadis. Kaedah ini sendiri, selanjutnya menjadi disepakati ulama menjadi
sebuah kaedah keshahihan hadis yang baku.
Pertanyaan epistemologi yang muncul kemudian adalah sejauh mana teori kebenaran
koherensi ini dipakai dalam melakukan uji kritik matan. Maksudnya apakah para ulama para
penghimpun kitab-kitab hadis ini bersikap konsisten dalam penerapan kaedah kritik matan hadis
yang dicontohkan para shahabat di atas. Pertanyaan ini patut diajukan mengingat adanya sejumlah
hadis dalam kitab-kitab hadis tersebut yang tidak memenuhi kriteria di atas. Karena itu, tidak heran
jika kemudian sejumlah pemikir muslim modern meragukan konsistensi para ulama penghimpun
hadis dalam penerapannya. Bahkan seperti dijelaskan oleh Kamaruddin Amin (2009: 6, 60), Ibn
Khaldun dan beberapa pemikir muslim modern, seperti Ahmad Amin dan Abu Rayyah menegaskan
bahwa terjadi pengabaian uji kritik matan selama proses kodifikasi tersebut. Sementara ia sendiri
menilai bahwa para ulama tersebut tetap memberi perhatian terhadap kritik matan, hanya saja uji
kritik yang dilakukan lebih bersifat sekunder. Fokus perhatian tentu saja lebih diarahkan kepada uji
kritik sanad.
Untuk menjawab ‘lubang epistemologi’ kritik hadis ini, para pemikir muslim modern
menyatakan bahwa dari kacamata filsafat tidak berarti bahwa sumber pengetahuan yang didasarkan
57
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
atas otoritas harus dinafikan atau dibuang sama sekali. Pengetahuan yang didasarkan atas otoritas
tetap dapat diterima jika ada bukti lain yang mendukung atau menguatkan pengetahuan tersebut.
Karena itu, seperti dijelaskan oleh Mun’in A. Sirry (2015: 220) bahwa pada kitab-kitab tersebut
masih tersimpan aspek-aspek historis (historical kernel). Yang diperlukan ialah kriteria dan metode
tertentu untuk mendeteksi narasi-narasi yang bersifat historis dan membedakannya dari cerita-cerita
yang tak jelas ujung pangkalnya. Hal senada diungkapkan oleh Kamaruddin Amin (2009: 33).
Menurutnya, kutub al-rijal, kutub al-thabaqat, dan kutub al-jarh wa al-ta’dil yang memberikan
informasi tentang para perawi hadis tidak harus diabaikan sama sekali. Kitab-kitab ini terlalu penting
untuk diabaikan. Tetapi, semua kitab ini tetap harus diperlakukan secara kritis. Upaya inilah yang
dilakukan oleh beberapa pemikir muslim modern ketika mereka mengkritisi pandangan para sarjana
Barat terkait dengan hadis dan keilmuan yang melingkupinya.
Hanya saja, berbeda dengan para pendahulunya yang lebih menekankan pada aspek kritik
sanad, metode yang dikembangkan oleh para pemikir muslim modern untuk menutupi ‘lubang
epistemologi kritik sanad’ adalah dengan berpaling kepada rekonstruksi kritik matan semata, dan
atau kepada penggabungan kritik sanad dan matan secara proporsional dan berimbang.
Pengembangan metode pertama ini disuarakan antara lain oleh Fazlur Rahman yang bersikap apatis
terhadap sistem sanad. Menurutnya, sanad harus dibuktikan dengan sejarah dan itu merupakan
sesuatu yang sulit. Ia juga menyatakan bahwa sistem sanad berlembang di belakang hari, yaitu
menjelang akhir abad pertama Hijrah. Karena itu, Rahman kemudian mengembangkan metode kritik
matan dengan pendekatan hermeneutika dan pendekatan situasional (historis) (Abdul Fatah Idris:
2012, 79, 81).
Adapun metode kedua dikembangkan antara lain oleh M.M. A’zami, Fuat Sezgin, Nabia
Abbot, dan Kamaruddin Amin. Seperti penelitian yang dilakukan oleh M.M. A’zhami yang
menemukan bahwa pada jenjang ketiga (thabaqah tsalitsah) dari tingkatan perawi ada yang
mencapai jumlah antara 20 – 30 orang dengan domisili yang terpencar dan berjauhan, dari India
sampai Maroko, atau dari Turki sampai Yaman. Sementara redaksi hadis yang mereka riwayatkan itu
sama. Karena itu, mustahil jika mereka pernah berkumpul untuk membuat hadis palsu dengan redaksi
sama. Temuan M.M. A’zhami sendiri mengindikasikan bahwa terdapat bukti konkret yang
menunjukkan penulisan hadis telah dimulai sejak abad pertama Hijrah atau sejak Nabi masih hidup
(Faiqotul Mala: 2015, 45,49). Adanya bukti ini mengindikasikan bahwa sanad bukanlah rekayasa
ulama abad kedua atau ketiga Hijrah dan pertemuan antara antar perawi merupakan sebuah fakta
sejarah yang benar-benar terjadi karena didukung data-data yang valid. Pembuktian ini dilakukan
dengan melakukan uji kritik matan hadis.
58
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
Demikian halnya dengan Kamaruddin Amin yang menggunakan metode isnad cum matan
untuk menguji keotentikan hadis; suatu metode kritik hadis yang mengkombinasikan analisis isnad
dan matan (Kamaruddin Amin: 2009, 60). Sebuah metode yang diakui Harold Motzki (2009: viii-ix)
memiliki keunggulan dalam mengetahui penanggalan (dating atau kapan munculnya) hadis hingga ke
masa yang jauh lebih awal dibanding metode para orientalis, yaitu hingga periode shahabat (awal
abad pertama Hijriah). Menurut Kamaruddin Amin, metode isnad cum matan merupakan sebuah
analisis yang seksama karena melakukan perbandingan terhadap variasi atau keragaman matan
sebuah hadis. Keragaman ini sendiri kebanyakan berupa penambahan-penambahan redaksional yang
antara satu dengan lainnya sangat berbeda secara signifikan. Kasus seperti ini bahkan ditemukan
dalam kitab-kitab hadis yang dianggap paling otentik, Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Umumnya, ulama hadis menerima tambahan-tambahan tersebut jika berasal dari perawi yang
terpercaya (al-ziyadat ‘an al-tsiqat), tetapi sarjana Barat dan beberapa pemikir muslim modern
bersikap kritis atas tambahan tersebut.6 Demikian pula, kalau mayoritas ulama menilai kualitas
tambahan tersebut berdasarkan kualitas perawinya, maka metode isnad cum matan menilai kualitas
perawi berdasarkan riwayatnya.
Menarik untuk ditelusuri lebih lanjut adalah mengapa terjadi inkonsistensi dan dan atau
pengabaian dalam penerapan uji kritik matan dalam proses kodifikasi hadis, seperti dinyatakan para
tokoh di atas. Jika dikatakan bahwa pada saat itu belum tersusun kaedah keshahihan hadis yang baku
dan sistematis, asumsi ini dapat diterima karena pembakuan kaedah tersebut baru terjadi pada abad
ke-7 H. Namun ini bukan berarti para ulama penghimpun hadis-hadis ini tidak mempunyai standar
atau acuan dalam menilai keshahihan hadis karena sejak periode shahabat aktivitas kritik matan yang
6
Adanya keragaman redaksional matan hadis merupakan satu persoalan dalam kajian hadis dan disebut dengan
periwayatan bil makna. Persoalan ini berangkat dari bagaimana menilai akurasi beragam redaksional matan sebuah hadis.
Fenomena periwayatan seperti ini ditengarai telah ada sejak masa Nabi dan berlanjut hingga masa shahabat sehingga
melahirkan sikap yang beragam. Sebagian tidak membolehkan, seperti Umar ibn al-Khathab, Abdullah ibn Umar dan
Zaid ibn Arqam. Sementara shahabat lainnya, seperti Abdullah ibn Mas’ud, Anas ibn Malik, dan Umm al-Mukminin
Aisyah, membolehkan periwayatan bil makna. Perbedaan pandangan ini terus terjadi pada masa tabi’in dan generasi
sesudahnya hingga akhir periode kodifikasi (pembukuan) hadis. Setelah periode ini, ulama sepakat menyatakan bahwa
periwayatan hadis harus secara lafzi dan melarang periwayatan secara makna. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah
Qabla al-Tadwin..., hal. 85, 89; M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad..., hal. 71; Di era modern, perdebatan
tentang periwayatan bil makna yang terjadi hingga tiga abad pertama tersebut kembali mencuat. Seperti Khaled Abou El
Fadl yang menjadikan periwayatan bil makna sebagai bentuk kritik matan dalam menguji otentisitas dan otoritas hadis.
Juga Kamaruddin Amin yang secara tersirat menyinggung persoalan ini dalam pernyataannya bahwa apabila sebuah
hadis dapat dibuktikan berasal dari seorang shahabat, maka perlu pengujian lebih lanjut untuk mengetahui apakah kalimat
atau isi hadis tersebut secara keseluruhan atau hanya sebahagian berasal dari Nabi. Khaled M Abou El-Fadl, Atas Nama
Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj., (Jakarta: Serambi, 2004), hal. 31253; Kamaruddin Amin, Menguji
Kembali Keakuratan..., hal. 53. Tentu saja, penelitian kedua tokoh ini mengarah kepada keabsahan periwayatan bil
makna pada sebagai metode periwayatan hadis karena tidak mustahil periwayatan ini menyebabkan adanya ‘tambahan
atau perubahan’ pada hadis-hadis Nabi, atau bahkan tidak mustahil telah membuka peluang masuknya hadis-hadis palsu
ke dalam ajaran Islam. Khaled M Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj., (Jakarta:
Serambi, 2004), hal. 31253; Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan..., hal. 53
59
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
mereka lakukan menunjukkan dinamisasi praktek kritik tersebut. Disinilah Imam al-Syafi’i sebagai
peletak dasar teorisasi keilmuan hadis mempunyai peran penting dalam proses kodifikasi tersebut.
Agaknya, analisis yang diberikan oleh Amin Abdullah (1996: 201-206) dapat dipakai untuk
menjelaskan fenomena ini. Menurutnya, abad kedua merupakan awal dari proses pembakuan hadis,
sebagai bahagian dari proses pembakuan ajaran Islam atau disebut juga dengan ortodoksi. Dalam hal
ini Imam al-Syafi’i menjadi tokoh sentral selama proses ortodoksi tersebut. Beliau merupakan sosok
ulama yang menerima dan membela hadis mengenai hukum dalam skala massal sebagai suatu dasar
hukum dengan memposisikan hadis sebagai sumber ajaran bersama dengan al-Qur’an. Pandangan
Imam al-Syafi’i inilah yang kemudian disebarluaskan oleh murid-muridnya, termasuk Imam Ahmad
ibn Hanbal. Melalui Imam Ahmad juga teori keilmuan hadis Imam al-Syafi’i kemudian mengkristal
dan diterima oleh para penulis kitab-kitab hadis mu’tabar, seperti Imam al-Bukhari dan Imam
Muslim yang notabene merupakan murid-murid Imam Ahmad. Teori inilah yang kemudian menjadi
standar umum dalam proses seleksi pembukuan hadis. 7
Hanya saja, seperti dijelaskan lebih lanjut oleh Amin Abdullah (1996: 207-208), harus
dimaklumi mengapa Imam al-Syafi’i menghasilkan pemikiran-pemikiran tersebut. Hal ini
dikarenakan untuk mengantisipasi perkembangan dan pemekaran pemikiran politik, hukum dan
kalam saat itu hingga ia merasa perlu menyusun pokok-pokok ajaran Islam yang standar dan
seragam, yang dapat dijadikan pedoman oleh umat Islam saat itu dan generasi berikutnya. Untuk
menjaga integrasi kaum muslimin yang secara keseluruhan saat itu sudah terpecah-pecah menjadi
khawarij, Murji’ah, Jahmiyah dan lain sebagainya maka langkah Imam al-Syafi’i untuk menyatukan
umat dengan bersandar pada otoritas hadis memang sangat diperlukan. Apalagi kemudian kekisruhan
ini diikuti dengan munculnya hadis-hadis palsu sebagai ekses dari pertentangan tersebut. Karena itu,
demi untuk menyelamatkan masa-masa kritis periode perumusan ortodoksi, langkah semua ulama
terdahulu ini tidak bisa tidak dilakukan. Dengan plus minusnya, langkah para ahli hadis ini tidak bisa
dihindari. Dalam tempo yang relatif singkat, ajaran ortodoksi ini kemudian mengkristal sedemikian
rupa sehingga orang yang datang belakangan tinggal membuka rumusan dan periwayatan mereka
lewat al-kutub al-sittah. Para ulama di belakang hari lebih suka menerima hadis sebagai apa adanya,
7
Imam al-Syafi’i secara tegas menyatakan bahwa syarat diterimanya sebuah hadis ahad (khabar khashah)
sebagai hujjah adalah sebagai berikut: (1) Perawi hadis tersebut harus seorang yang tsiqah, (2) Ia dikenal jujur dalam
periwayatannya, (3) Mengetahui dan memahami setiap periwayatan yang disampaikannya, (4) Mengetahui hal-hal yang
dapat mengubah makna redaksional hadis, (5) Jika si perawi adalah orang yang tidak mengetahui tentang perubahan
makna, maka ia harus meriwayatkan hadis secara lafzi karena dikhawatirkan jika ia meriwayatkan hadis secara makna
akan terjadi perubahan makna hadis tersebut, (6) Perawi harus hafiz; memiliki daya ingat terhadap setiap yang ia
riwayatkan; baik yang didasarkan atas ingatan ataupun catatan hadisnya, (7) Riwayatnya harus sesuai dengan
periwayatan ulama tsiqah lainnya jika mereka juga meriwayatkan hadis yang sama, (8) Perawi tersebut bukan seorang
mudallis. Persyaratan ini berlaku untuk semua perawi pada sebuah jalur sanad, mulai dari perawi pertama hingga
60
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
seperti tertulis dalam kitab-kitab tersebut. Hadis yang terumuskan dari sunnah yang hidup saat itu
mempunyai harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Pada gilirannya orang sulit membedakan
mana hadis yang bersifat mutlak, yang terbebas dari ikatan ruanga dan waktu, dengan hadis yang
bersifat nisbi, yang terikat dengan ruang dan waktu. Padahal seiring dengan perubahan masyarakat
dengan berbagai tantangannya masing-masing, proses ortodoksi dan proses dinamisasi (pencairan
ajaran) harus berjalan bersama-sama.
E. Kesimpulan
Dari paparan di atas diketahui bahwa para ulama telah merumuskan kaedah keshahihan hadis
yang kemudian disepakati sebagai ‘batu uji’ otentisitas penisbahan hadis kepada Rasulullah saw.
Bagi beberapa pemikir muslim modern, kaedah keshahihan hadis ini - jika dianalisis dari aspek
epistemologi - memiliki kelemahan sebagai sebuah ilmu. Kelemahan tersebut berupa penerimaan
kebenaran otoritas sebagai uji validitas sanad dan adanya inkonsistensi dalam uji validitas matan.
Menurut mereka, otoritas atau kesaksian memiliki tingkat kebenaran yang rendah karena itu
berpengaruh terhadap kebenaran informasi yang diterima. Sementara inkonsistensi dalam kritik
matan karena lebih mengutamakan uji kritik terhadap format susunan matan, seperti matan terbalik
(maqlub), mendapat sisipan (idrak) atau mendapat tambahan (ziyadah). Ini berakibat pada
munculnya hadis-hadis yang bermasalah jika dilakukan tela’ah ulang, sekalipun terdapat dalam
kitab-kitab hadis mu’tabar.
Untuk menutupi kelemahan epistemologi ini, para pemikir muslim modern mulai
mengembangkan metode uji kritik hadis baik berupa rekonstruksi uji kritik matan dan atau kepada
penggabungan kritik sanad dan matan secara proporsional dan berimbang dengan menjadikan kedua
kritik ini pada posisi yang independen, sejajar dan saling melengkapi. Terkait dengan kritik sanad,
sekalipun menurut keilmuan sejarah kutub al-rijal, kutub al-thabaqat, dan kutub al-jarh wa al-ta’dil
ditulis jauh setelah peristiwa sejarahnya terjadi, namun informasi tersebut tidak harus diabaikan sama
sekali mengingat pada kitab-kitab tersebut masih tersimpan aspek-aspek historis (historical kernel).
Sikap kritis inilah yang mereka munculkan dengan menyusun kriteria dan metode baru uji kritik
hadis. Karena itu, terlepas dari reaksi pro - kontra yang muncul, kajian akademik ini harus diapresiasi
mengingat sebagai sebuah kajian ilmiah, ilmu hadis harus terus berbenah agar dapat menyesuaikan
diri dengan tuntutan perkembangan sains modern sehingga hadis yang menjadi objek keilmuannya
dapat semakin dibuktikan otentisitasnya.
terakhir. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, Al-Risalah, Pen-tahqiq AhmadMuhammad Syakir, (Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyyah, t.th), hal. 370-372
61
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
Daftar Pustaka
A. Sony Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta:
Kanisius, 2001
Abdul Fatah Idris, Hadis-Hadis Prediktif dan Teknis: Studi Pemikiran Fazlur Rahman, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2012
Abu ‘Amr Usman ibn Abdurrahman ibn al-Shalah al-Syahrazuriy, Ulum al-Hadis li Ibn al-Shalah,
Damaskus: Dar al-Fikr, 1984
Aksin Wijaya, Satu Islam Ragam Epistemologi: Dari Teologi Teosentrisme ke Antroposentrisme,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014
Amin Abdullah, ‘Al-Ta’wil al-‘Ilmi: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci, dalam
Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, Vol. 39, Number 2, July – December 2001
Amin Abdullah, “Hadis dalam Khazanah Intelektual Muslim: Al-Ghazali dan Ibn Taymiyah
(Tinjauan Implikasi dan Konsekuensi Pemikiran)”, dalam Yunahar Ilyas dan M. Mas’udi,
Perkembangan Pemikiran Terhadap Hadis, Yogyakarta: LPPI Univ. Muhammadiyah, 1996
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006
Aunur Rofiq Ma’ruf, “Muhammad al-Ghazali dan Gerakan Reformasi Pasca Muhammad Abduh:
Dari Pembaruan Fiqh Hingga Feminisme”, dalam M. Aunul Abied Shah (ed.), Islam Garda
Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Bandung: Mizan, 2001
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1988), hal. 466
Faiqotul Mala, Otoritas Hadis-Hadis Bermasalah dalam Shahih Al-Bukhari, Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2015
Harold H. Titus et al., Persoalan-Persoalan Filsafat, diterjemahkan oleh M. Rasjidi, Jakarta: Bulan
Bintang, 1984
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis Versi Fuqaha dan Muhaddisin, Yogyakarta: Teras, 2004
Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu: Teori dan Aplikasi, Jakarta: Referensi, 2012
Ilyas Supena dan M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gaya Media,
2001
‘Imaduddin Muhammad Rasyid, Nazhariyat Naqd al-Rijal wa Makaanatuha fi Dhaw’i al-Bahts al‘Ilmiy, Riyadh: Muassasah al-Risalah, t.th.
Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya Bagi
Pembangunan Hukum Nasional, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2007
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode kritik Hadis, Bandung: Hikmah, 2009
Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, terj. Soerjono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1990
62
ISSN: 2443-0919
JIA/Desember 2017/Th.18/Nomor 2
1
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
M.M. A’zhami, Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhaddisin Nasy`atuhu wa Tarikhuhu, (Saudi Arabia:
Maktabah al-Kawsar, 1990
Mahmud Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, Maktabah al-Ma’arif, 1996
Mahmud Thahir al-Jawwabi, Al-Jarh wa Al-Ta’dil Bayn al-Mutasyaddidin wa al-Mutasahilin, t.tp:
Al-Dar al-‘Arabiyah li al-Kitabah, 1997
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr, 2001
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis: ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr,
1989
Muhammad Ali Qasim al-‘Umariy, Dirasat fi Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhaddisin, Yordan: Dar alNafa’is, t.th
Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, Al-Risalah, Pen-tahqiq AhmadMuhammad Syakir, Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyyah, t.th
Muhyar Fanani, Fiqh Madani: Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, Yogyakarta: LKis, 2010
Muhyar Fanani, Ilmu Ushul Fiqh di Mata Filsafat Ilmu, Semarang: Walisongo Press, 2009
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik,
Jakarta: Erlangga, 2007
Mun’im A. Sirry, Kontroversi Islam Awal Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis, Bandung:
Mizan 2015
Musfir Abdullah al-Damini, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, Riyadh: Jami’ah Ibn Sa’ud, 1984), hal.
49
Muslim ibn Hajjaj, Muqaddimah Shahih Muslim, Riyadh: Bayt al-Afkar al-Dawliyah, 1998
Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis, Damaskus: Dar al-Fikr, 1988
Saifuddin Zuhri Qudsy, Living Hadis: Genealogi, Teori, dan Aplikasi, Jurnal Living Hadis, Volume
1, Nomor 1, Mei 2016
Shalahuddin ibn Ahmad al-Idhibiy, Manhaj Naqd Matn ‘inda Ulama’ al-Hadis al-Nabawi, Beirut:
Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983
Syamsul Anwar, Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi, Suara Muhammadiyah: Yogyakarta, 2011
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan
Pengetahuan, Yogyakarta: Liberty, 2007
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016
http://kbbi.web.id/kritik, diakses tgl 10 Juni 2017
63