Academia.eduAcademia.edu

Kritik Hadis Menurut Pemikiran G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht

Integritas Terbuka: Peace and Interfaith Studies

Artikel ini bertujuan untuk membahas dua pemikiran tokoh orientalisme, yaitu G.H.A. Juynboll dan Joseph Schacht terkait kritik hadis. Metode penelitian yang dipakai bersifat kualitatif dengan studi pustaka dan analisis deskriptif. Pembahasan dalam penelitian meliputi biografi Juynboll, pemikiran orientalisme Juynboll, biografi Joseph Shacht, pemikiran orientalisme Joseph Schacht, dan pemikiran serta produk kritik hadis Juynboll dan Joseph Schacht. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Pemikiran Juynboll dan Joseph Schacht selaras atas pandangan orientalismenya yang menilai hadis cenderung palsu karena dapat dibuat sebagai alat legitimasi tokoh agama dan menyandarkannya kepada nama dengan otoritas tinggi Nabi Muhammad SAW. Kemudian, Joseph membuat produk atas jawaban dari pemikirannya tersebut dengan menggunakan teori common link yang kemudian dikembangkan oleh Juynboll.

Vol. 1, No. 1 (2022), pp. 59~70 DOI: https://doi.org/10.59029/int.v1i1.3 Kritik Hadis Menurut Pemikiran G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht Gian Nitya Putri1*, Hilda Meylani2, Icha Agustina3 Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung 3 Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung 1 2 * Corresponding Author, Email: [email protected] ARTICLE INFO Keywords: Orientalisme; orisinalitas Hadis; analisis deskriptif; sandaran riwayat. Article history: Received 2022-10-3 Revised 2022-11-18 Accepted 2022-11-21 ABSTRACT This article aims to discuss two ideas of Orientalism figures, G.H.A. Juynboll and Joseph Schacht, on the critique of hadith. The research method used is qualitative, with literature study and descriptive analysis. The discussion in this research includes the biography of Juynboll, the thought of Juynboll's orientalism, the biography of Joseph Shacht, the thought of Orientalism of Joseph Schacht, and the thoughts and products of Juynboll and Joseph Schacht's hadith criticism. This study concludes that Juynboll and Joseph Schacht's thoughts are in harmony with their orientalism views which judge hadiths as tend to be fake because they can be used as tools to legitimize religious figures and rely on names with high authority of the Prophet Muhammad SAW. Then, Joseph made a product on the answer to his thoughts using the common link theory, which Juynboll later developed. ABSTRAK Artikel ini bertujuan untuk membahas dua pemikiran tokoh orientalisme, yaitu G.H.A. Juynboll dan Joseph Schacht terkait kritik hadis. Metode penelitian yang dipakai bersifat kualitatif dengan studi pustaka dan analisis deskriptif. Pembahasan dalam penelitian meliputi biografi Juynboll, pemikiran orientalisme Juynboll, biografi Joseph Shacht, pemikiran orientalisme Joseph Schacht, dan pemikiran serta produk kritik hadis Juynboll dan Joseph Schacht. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Pemikiran Juynboll dan Joseph Schacht selaras atas pandangan orientalismenya yang menilai hadis cenderung palsu karena dapat dibuat sebagai alat legitimasi tokoh agama dan menyandarkannya kepada nama dengan otoritas tinggi Nabi Muhammad SAW. Kemudian, Joseph membuat produk atas jawaban dari pemikirannya tersebut dengan menggunakan teori common link yang kemudian dikembangkan oleh Juynboll. This is an open access article under the CC BY-SA license. EISSN: 2985-301X https://www.journal.integritasterbuka.id/index.php/integritas Integritas Terbuka, Vol. 1, No. 1 (2022): 59-70 1. 60 of 70 PENDAHULUAN Dalam studi hadis permasalahan yang cukup penting adalah permasalahan mengenai keorisinilan hadis (Ayaz, 2016; Setia, 2021). Hal itu disebabkan karena hadis merupakan sebuah manifestasi perlakuan ataupun perkataan Rasulullah SAW yang dikodifikasikan dalam kurun waktu yang telah lampau, kurang lebihnya dua abad secara historis sejak zaman sahabat pun telah ada usaha untuk memalsukan atau pemalsuan hadis yang berlangsung hingga periode selanjutnya dengan berbagai alasan (Abbas, 2010). Kenyataan ini yg kemudian jadi salah-satu faktor penting akan adanya penelitian hadis dalam-rangka mengetahui otentitasnya apa hadis itu betul bermula atas Nabi atau bukan atau disebut tiruan (Yorulmaz, 2019). Keorisinilan hadis dikalangan umat muslim sudah menjadi hal yang tidak ada keraguan lagi. Namun berbeda dengan pandangan kalangan orientalis, mereka masih memperdebatkan bahkan sampai meragukan keorisinilan hadis sehingga minat peneliti hadis ini banyak tidak hanya dari kalangan muslim sendiri Tetapi orientalis pun banyak yang tertarik untuk meneliti hadis ini (Asgharzadeh, 2018). Peneliti muslim mulai mencoba merencanakan strategi untuk menguji keaslian hadis. Sejalan dengan itu, ada lima kemampuan yang dimanfaatkan untuk menyalurkan hadis yang benar dari yang tidak. Meskipun tidak diragukan lagi strategi-strategi ini muncul dalam rentang waktu yang cukup signifikan, tepatnya pada abad kedua atau ketiga hijriyah, namun ini adalah masalah vital di dunia Islam secara khusus. Penulis Muslim yang telah diketahui secara sistematis adalah Ibn Salah (Salah, 1986). Rencana yang dikomunikasikan adalah melalui kelanjutan sanad yang digambarkan oleh pendongeng yang memiliki kapasitas dan kecerdasan tinggi sejauh mungkin, serta tidak memiliki kelainan dan kelainan bentuk. strategi yang melahirkan kebiasaan terkenal di kalangan peneliti Muslim (Afwadzi, 2017). Meskipun demikian, teknik semacam itu tidak luput dari analisis, bahkan dari para peneliti Muslim. Nama-nama terkenal, misalnya, Ibn Khaldun, Ahmad Amin, Abd al-Mun'imal-Bahi dal Muhammad al-Ghazali telah meneliti teknik yang disajikan oleh Ibn Salah. Mereka pada umumnya berpikir bahwa strategi itu hanya terbatas pada sudut pandang, sehingga teknik ini tidak cukup jika digunakan dalam menguji otentisitas dan orisinalitas hadis. Terlepas dari para peneliti muslim yang meneliti hadis nabi, para sejarawan barat juga tidak lepas dari analisis mereka. Sebut saja Goldziher (2003), Joseph Schacht_dan G.H.A. Juynboll, yang mempertanyakan teknik yang digunakan para peneliti Muslim, sehingga memberikan keraguan kepada mereka atas hadis nabi. Pada abad ke 19 M, kajian Hadis mulai menyebar yang diawali dengan penelitian dan karya dari seorang sajana Jerman yang bernama Alois Sprenger (1813-1893) (Sprenger, 1857b). Sprenger membawa ajaran skeptisisme terhadap otentisitas hadis yang pada akhirnya banyak diikuti para sarjana berikutnya (Sprenger, 1844, 1857a). Pada umumnya, penyelidikan hadis di kalangan ilmuwan Barat, dalam pandangan perencanaan Herbert Berg, itu cenderung untuk dipisah menjadi tiga klasifikasi: Pertama, skeptis, yaitu berkumpulnya mempertanyakan kredibilitas hadis atau menerima bahwa hadis tersebut adalah palsu, sejujurnya, ciptaan berbagai individu pada abad 2 H (Berg, 2013). Pertemuan itu ditanggapi oleh Ignaz Goldziher, Joseph Schacht dan E. Stetter. Kedua, sanguinis, khususnya kelompok yang mencoba untuk melawan perspektif negatif tentang orang yang sinis dan melindungi kehadiran hadis sebagai sesuatu yang benar-benar dari Nabi. Mereka adalah Kepala Biara Nabia, Fuad Sezgin dan M.M. Azami. Ketiga, (middle ground) jalan tengah, yaitu orang yang mencari pertemuan untuk menemukan pusat di antara ketidakpercayaan dan itikad baik. Di antara tokoh nya adalah G.H.A. Juynboll, Fazlur Rahman, G. Schoeler, Harald Motzki, J. Horovitz, J. W. Persetan dengan itu, JJ. Robson, U. Rubbin dan J.Coulson (Juynboll & Syachrofi, 2021). Seiring dengan kemajuan dan perkembangan penelitian yang dilakukan oleh tokoh orientalis, Joseph menjadi salah satu tokoh penting didalamnya. Salah satu bahasan yang ia tulis yang kemudian menjadi sebuah karya besar tidak lain terkait kritik hadis. Dalam penelitiannya, Schacht mulai bereksplorasi dan mempertanyakan validitas hadis nabi. Penelitian yang ia lakukan mengambil banyak ketertarikan tokoh orientalis lainnya untuk melakukan penelitian lanjutan, baik dengan mengkritik maupun mengembangkan keilmuan tersebut. Salah satu tokohnya yaitu G.H.A Juynboll (Juynboll, 1996). Juynboll merupakan tokoh orientalis yang mengedepankan validitas Putri et al./ Kritik Hadis Menurut Pemikiran G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht Integritas Terbuka, Vol. 1, No. 1 (2022): 59-70 61 of 70 kesejarahan dengan mengkaji berbagai persoalan yang menyangkut keaslian suatu ilmu. Hal ini ia terapkan dalam melanjutkan penelitian dan pokok pikiran yang dikembangkan oleh Joseph Schacht. Juynboll menjunjung tinggi nilai-nilai asli dari penelitian dan ajarannya sebelumnya sehingga ia tetap mempertahankan spekulasinya. Maka dari itu, artikel ini akan membahas sedikit tentang studi komparatif terhadap kritik hadis studi pemikiran G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht. Dengan demikian, penelitian ini akan menyimpulkan pada beberapa rumusan masalah yakni: Siapa itu G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht? Bagaimana pemikiran orientalis G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht? Serta apa Pemikiran serta Produk atas Kritik Hadis G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht? Tujuan dari penelitian ini diharapkan memberi manfaat pada ranah teoritis dan praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam bidang pengetahuan dengan cara meningkatkan pemahaman peneliti dan pembaca terkait studi komparatif orientalisme terhadap kritik hadis yang diusung oleh G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht, mulai dari biografi serta pemikiran kedua tokoh tersebut, hingga produk yang dihasilkan atas kritik hadis kedua tokoh tersebut. Sementara, secara praktis, penelitian ini berfokus pada kajian ilmu orientalis, sehingga diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan acuan bagi penelitian yang akan datang. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat pada akademisi pun masyarakat muslim untuk mengetahui pokok pemikiran dan produk kritiknya terhadap muslim, supaya pembaca dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan dalam ilmu keagamaan. Artikel ini merupakan hasil penelitian kualitatif. Proses pengumpulan data seutuhnya dilakukan melalui kajian dokumen (literature review). Sumber data dikumpulkan secara primer dan sekunder dari tulisan atau karya dari G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht. Karya-karya asli dari kedua tokoh kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan kemudian dipilih dalam konteks artikel ini yakni fokus pada bagian-bagian tentang hadis. Selain itu, karya-karya lain juga digunakan untuk memperkuat argumentasi dalam artikel ini yang diperoleh dari jurnal, berita, dan buku-buku lain yang menunjang. Setelah data dikumpulkan, kemudian dilakukan analisis data dan penarikan kesimpulan. 2. HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Biografi G.H.A Juynboll Salah satu tokoh orientalisme terkenal dengan fokus kajian terkait kritik hadis yang bernama G.H.A. Juynboll atau yang akrab disebut dengan Juynboll lahir pada tahun 1935 di kota Leiden, Belanda (Juynboll, 2007). G.H.A. Juynboll merupakan seorang pakar hadis yang menghabiskan waktu dan perhatiannya selama lebih dari tiga puluh tahun untuk melakukan kajian dan penelitian mengenai hadis yang dimulai dari persoalan klasik hingga kontemporer hingga menghasilkan kritik hadis yang mendunia (Masrur, 2007). Van Koningsveld mengemukakan pendapatnya terkait Juynboll, ia menilai bahwa Juynboll sebagai murid dari J. Burgman yang fokus menekuni keilmuan pada bidang sejarah awal hadis sangat ahli dalam bidang tersebut hingga mendapat pengakuan secara internasional. Oleh karena hal tersebut tokoh Juynboll seringkali disejajarkan dengan tokohtokoh ataupun ilmuwan ternama, seperti James Robson, Fazlur Rahman, Michael Cook, dan M.M Azami (Masrur, 2007). Pada karya Juynboll yang berjudul Studies on the Origins and Use of Islamic Hadith, terdapat pendahuluan yang memaparkan atas perkembangan penelitiannya terhadap literatur Hadis secara rinci dan bersifat kronologis dan kurun waktu mulai dari tahun 1960-1966 (Juynboll, 1996). Pada satu tahun terakhir, kehidupan dan penelitiannya yang fokus dalam kajian hadis ini membawanya mendapatkan bantuan ekonomi dari The Netherland Organization for the Advance of Pure Research (ZWO). Dengan bantuan tersebut, ia dapat tinggal di Mesir dan dengan tenang menyelesaikan penelitiannya yang diajukan sebagai disertasi terkait pandangan teolog Mesir terhadap literatur hadis. Pada akhirnya, ia dapat menyelesaikan penyusunan disertasi tersebut pada hari kamis, 27 Maret 1969 dan disertasi tersebut dipertahankan oleh komisi senat guna mencapai gelar doktor pada bidang sastra, yang lebih tepatnya pada fakultas sastra Universitas Negeri Leiden, Belanda Putri et al./ Kritik Hadis Menurut Pemikiran G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht Integritas Terbuka, Vol. 1, No. 1 (2022): 59-70 62 of 70 (Hamidah, 2017). Setelah menyelesaikan penelitiannya yang cukup menyita waktu lama, Juynboll memilih untuk terus melanjutkan penelitiannya dengan membahas persoalan klasik dan kontemporer kembali (Philips, 2016). Ia berhasil membuat sebuah karya tulis dengan judul “On The Origins of Arabic Pose” yang kemudian dimuat dalam bukunya yang berjudul “Studies on the Century of Islamic Society” (Juynboll, 1996). Sejak unggahan karya-karyanya tersebut, Juynboll telah menetapkan tujuan penelitian dan bahasan yang akan ia kembangkan yakni seputar studi hadis dan tidak pernah keluar dari bahan tersebut. Selain melakukan kajian dengan fokus bahasan mengenai hadis, ia juga menyibukkan dirinya dengan mengajar dan membimbing para mahasiswa di beberapa Universitas Belanda. Meskipun memberikan pengajaran di berbagai tempat, ia tidak membuatnya terikat dengan salah satu universitas manapun, sehingga Juynboll hanya berstatus sebagai ilmuwan privat. Namun, dengan tidak adanya paksaan dan ikatan, hal ini membuatnya bebas dan menjadikan dirinya sebagai salah satu pengunjung dan langganan perpustakaan Universitas Leiden yang datang di setiap harinya. Hal tersebut juga dapat menjadikan dirinya intens melakukan kajian terhadap hadis dan melanjutkan penelitiannya. Karena itulah Juynboll mulai merambah keilmuannya sebagai kontributor pada beberapa entri hadis (Demir, 2020). Sebagai seorang peneliti yang kemudian dikenal sebagai seorang ilmuwan Hadis, Juynboll telah menyumbang beberapa karya besarnya baik itu dalam bentuk buku maupun artikel. Karya-karyanya tersebut ia sumbangkan untuk studi hadis dan studi keislaman (Erwin Padli, 2020). 2.2. Biografi Joseph Schacht Tokoh orientalisme dengan sebutan Schacht atau yang memiliki nama panjang Joseph Schacht, lahir pada tanggal 15 Maret 1902 M di Rottenburg, Jerman (Suadi, 2017). Schacht dilahirkan dari keluarga religius. Ayahnya yang bernama Edward Schacht merupakan seorang jemaat Kristiani (Katolik) yang taat yang juga berprofesi sebagai seorang guru di sekolah luar biasa (Schacht, 1959). Kelahirannya dalam keluarga yang taat akan nilai-nilai agama ini menjadikan Schacht dapat mengenal lebih dalam terkait ajaran agama Kristen dan bahasa asli Ibrani atau Yunani Kuno. Karena pendidikan dan pengalaman keagamaannya tersebut, ia mendapatkan kemenangan atas kejuaraan isinya yang membahas mengenai Perjanjian Lama di tahun 1922. Pada tahun selanjutnya, yakni tahun 1923, ia juga berhasil menerima gelar Summa Cum Laude dari Universitas Breslau. Kemudian, setelah dua tahun berlalu, Schacht kembali mengharukan namanya dengan diangkat sebagai asisten seorang profesor yang kemudian ia pun menjadi seorang profesor bahasa Timur pada saat usianya baru menginjak angka 27 tahun di tahun 1929. Karirnya dalam keilmuan tidak hanya sampai disitu, ia kembali ditawari menjabat sebagai profesor dengan posisi yang sama di Universitas Konigsberg, namun hal ini hanya terjadi dengan kurun waktu yang cukup sekejap karena terkendala oleh kondisi politik Jerman yang pada saat itu sedang tidak stabil (Maulana et al., 2018). Pada saat terjadinya perang dunia ke II, Schacht memilih untuk tinggal di Inggris dengan bekerja untuk BBC Radio, London. Bahkan ketika perang telah usai pun, tidak merubah sedikitpun minat Schacht untuk kembali ke kampung halamannya di Jerman, ia tetap tinggal di Inggris hingga menikahi seorang wanita yang menjadi penduduk asli negara tersebut dan membuatnya memilih untuk pindah kewarganegaraan menjadi warga negara Inggris di Tahun 1947. Gelar master dalam pendidikannya didapatkan dari Oxford university di tahun 1984 yang kemudian ia melanjutkan pendidikan hingga mendapat gelar doktor di tahun 1952. Tidak lama kemudian, di tahun 1954 ia memutuskan untuk pindah ke Leiden dan menjadi guru besar disana. Ia kembali pindah ke Columbia University di New York pada tahun 1059 dengan jabatan dan posisi yang sama hingga wafat. Schacht menutup usia pada tahun 1969. Meskipun Schacht merupakan seorang ilmuwan dan ahli hukum Islam, keilmuan dan kajiannya tidak terbatas hanya pada hukum hadis saja, teTetapi juga mengkaji ilmu kalam, ilmu pengetahuan, filsafat, dan lainnya. Salah satu karyanya yang mendunia yakni buku “The Origins of Muhammadan Jurisprudence” (Schacht, 1967) dan “An Introduction to Islamic Law” (Schacht, 1993). Dalam karyanya tersebut, objek kajian yang ia teliti Putri et al./ Kritik Hadis Menurut Pemikiran G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht Integritas Terbuka, Vol. 1, No. 1 (2022): 59-70 63 of 70 berfokus pada kitab al Muwatha yang merupakan karya dari Imam Malik, Kitab Al-Umm yang dituli oleh Al-Syafi’i, dan al-Muwatha sebagai karya Muhammad al-Syaibani. Karir Josep yang cemerlang sebagai seorang orientalis, dimulai dengan fokus mempelajari filologi klasik, teologi, dan bahasabahasa Timur di Universitas Beslaw dan Universitas Leipzig. Karyanya juga tidak berfokus dan terbatas oleh bahasan ilmu tersebut, teTetapi juga turut membahas kajian naskah-naskah Arab, dan penyuntingan kritis terhadap naskah-naskah Fikih Islam (Nugroho et al., 2020). Schacht merupakan tokoh orientalis yang produktif. Hal ini berlandaskan pada kecenderungannya menulis banyak karya yang tidak terbatas oleh kajian ilmu fikih. Abd Rahman Badawi sendiri menanggapinya dengan menilai karya-karya Schacht dalam berbagai disiplin ilmu. Dapat dilihat bahwa dalam kajiannya terhadap hadis dan hukum Islam, Schacht memakai pendekatan historis-sosiologis. Hal tersebut turut dikemukakan oleh Bernard Lewis yang mengatakan bahwa pendekatan yang digunakan oleh Schacht bukan bagian dari studi teologis maupun yuridis, teTetapi menggunakan pendekatan historis-sosiologis. Salah satu karya tulisnya yang mendunia dan membuat namanya dikenal di kancah internasional yaitu karya tulis berbentuk buku dengan mengangkat judul “The Origins of Muhammadan Jurisprudence” yang terbit pada tahun 1950-an. Pada Bab III fokus membahas kontribusi imam Syafi’i. Bab ke II, ia mulai membahwas perkembangan hadis yang menitikberatkannya pada tradisi hukum dimasa periode sebelum Syafi’i. Kemudian bab selanjutnya, Schacht membahas terkait masalah akan jejak transmisi hadis dari Dinasti Umayyah di mana umat islam percaya awal mula hadis dimulai pada saat itu. Bab IV Schacht mengemukakan bagaimana alasan dan pemikiran beberapa ulama terkemuka. Tidak hanya sampai disitu, ia bahkan menulis secara tegas bahwasanya hadis bukanlah sumber dari segala sumber hukum umat muslim (Gerardette, 2020). Hal ini didasari oleh fakta bahwa hadis tidak lebih dari sekedar inovasi terkait sumber hukum islam yang sebelumnya telah muncul sebah hukum lain yang telah diatur. Karena satu dan lain hal, karya dan ide-ide ataupun pokok bahasan Schacht yang tertuang dalam asal usul fikih Muhammad dianggap sebagai karya yang kontroversial oleh berbagai kalangan (Suadi, 2016). Beberapa karya Schacht lainnya yaitu Pra-Islamic Background and Early Development of Fikih and Law Middle East: The Origins and Development, dan karya terakhirnya yang berjudul Theology and Law of Islam (Schacht, 1993). Meskipun terbilang cukup sedikit, namun karyakaryanya menjadi gebrakan dan mampu mengubah pandangan keislaman. Mulai dari bukunya yang berjudul The Origins of Muhammadan Jurisprudence Fikih yang menjadi kitab suci para ulama Islam dari kalangan Orientalis, hingga kerjasama antara Schacht dengan Meyerhof untuk menerbitkan studi teks yang berkolaborasi dengan studi hadis (Najitama, 2007). Setelah bertahun-tahun Schacht mengabdikan dirinya dengan bekerja untuk Inggris, ia akhirnya mengambil keputusan untuk pindah ke negeri Belanda di tahun 1954. mulai pada tahun tersebut Schacht melebarkan sayapnya dengan memuat karya-karyanya seperti buku Dairah al Ma’arif alIslamiyyah. Selain seorang teolog, Schacht juga dikenal sebagai sejarawan, ahli fikih, dan ahli manuskrip Arab. Ia mampu memahami perkembangan hukum islam yang dianut secara luas oleh umat Islam dalam kancah internasional, khususnya dalam kajian pemikiran inan Syafi'i. Awal perkembangan hukum hingga anggapan bahwa hadis bukanlah sumber hukum utama, menjadikan Schacht seorang orientalis yang berbahaya. Hingga saat ini pemikiran-pemikiran yang dituangkan ke dalam karya-karyanya tentang Islam masih dipelajari, apalagi dalam sejarah hukum Islam (Juynboll & Syachrofi, 2021). 2.3. Pokok Pemikiran Orientalis Juynboll Dari awal pembuatannya, hadis telah dipercaya oleh umat muslim dan para tokoh agama terkait keaslian dan kesahihannya. Namun memasuki abad ke 19-20, terdapat beberapa sarjana Barat yang tertarik dengan kajian orientalisme kemudian mengkritik dan ragu atas validasi hadis yang digunakan oleh umat muslim (Juynboll, 2007). Dengan dasar keraguan tersebut, para orientalis khususnya Juynboll termotivasi untuk merancang teori baru dengan harapan dapat memisahkan hadis yang asli dengan hadis palsu. Hal ini diawali ketika ia memahami bahwa hadis merupakan Putri et al./ Kritik Hadis Menurut Pemikiran G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht Integritas Terbuka, Vol. 1, No. 1 (2022): 59-70 64 of 70 sumber rujukan pandangan serta perilaku umat muslim berdasarkan tuntunan hidup nabi Muhammad SAW, namun teks tersebut tidak ditulis oleh nabi yang bersangkutan maupun para sahabat yang dekat dan mengenal riwayat asli hidup nabi, karena penulisan hadis di zaman nabi Muhammad tidak diperbolehkan. Selain itu, para sahabat telah wafat ketika isnad datang sebagai alat ukur dalam seleksi keshahihan hadis (Jayana, 2021). Oleh karena itu Juynboll berpikir bahwa meskipun terdapat hadis yang bersumber dari sumber kanonik (sumber hadis yang dianggap paling shahih) namun sahabat nabi dan nabi sendiri tidak akan bertanggung jawab jika nama mereka dicantumkan ke dalam jalur periwayatan hadis (Juynboll, 1996). Karenanya, orang yang bertanggung jawab atas kesahihan, sanad dan matan hadis yakni perawi (Idri, 2013). Namun diketahui bahwa perawi bukanlah seseorang dari kalangan tabi'in besar, melainkan generasigenerasi setelahnya. Metode terkenal yang diusung oleh Juynboll yakni metode common link dalam analisis Isnad (Masrur, 2007). Common link merupakan sebuah istilah bagi perawi tertua yang mendengar hadis dari orang yang lebih berwenang dan kemudian meneruskan hadis tersebut kepada lebih dari satu murid. Teori ini ia dapatkan dan kembangkan dari tokoh orientalis sebelumnya yang bernama Joseph Schacht (Dewi Kusumawati, 2017). Ia mengakui bahwa pemikirannya dengan Schacht sejalan sehingga ia mengamati dan mempelajari karyanya, khususnya mengenai teori common link ini. Tidak hanya berimplikasi pada revisi dan kritik terhadap hadis, metode ini juga menolak asumsi dasar yang menjadi tumpuan dari metode tersebut. Jika pada awalnya hadis konvensional berlandaskan pada kualitas periwayatan, maka melalui common link menambahkan unsur kuantitas hadis tersebut. Penelitian Juynboll menggunakan metode yang berdiri atas prinsip-prinsip dasar historis-filologi terhadap kritik teks/nash-nash agama (Juynboll, 1996). Pendekatan ini dilakukan dengan cara analisis yang kemudian menelaah karya, sastra dan atau sumber tulisan dengan fokus mengkaji teks yang menjadi sumber ajaran suatu agama guna mengetahui budaya yang tersisip dalam religiusitas suatu kelompok atau bangsa (Ziaulhaq, 2020). Kemudian metode ini diperkuat dengan pendekatan historis yang menelusuri secara runtut dan teliti terhadap hubungan suatu karya dengan karya lainnya sampai diperoleh nilai sejarah dari sumber teks tersebut. Tidak hanya itu, pendekatan yang dilakukan Juynboll pun tentunya mendapatkan hasil analisa yang tepat karena ia menggali lebih dalam terkait arti juga makna bahasa yang diungkapkan oleh penulis asalnya (Juynboll, 1973). Pada awal perkembangannya, metode common link Juynboll yang mengadopsi kajian hadis milik Joseph Schacht ini kurang berkembang. Alasan yang mempengaruhi perkembangan metode tersebut yaitu kurangnya perhatian dan ketertarikan dari pengkaji hadis dan kurangnya penekanan yang dilakukan oleh Joseph Schacht sendiri (Juynboll, 2007). Oleh karena itu Juynboll merasa dirinya harus menjadikan metode common link ini berkembang. Juynboll menggunakan metode tersebut lebih dari 20 tahun. Teori yang ia dapat setelah mengusung metode common link yaitu semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu dengan periwayat, maka semakin besar seorang periwayat memiliki klaim sejarahb (Juynboll, 1986). Untuk itu jalur yang diyakini sebagai jalur yang memiliki keotentikan historis merupakan jalur yang memiliki lebih dari satu cabang periwayat. Berbeda dengan periwayatan hadis jika hadis tersebut bersandar langsung pada nabi, kemudian kepada tabiin dan diturunkan kepada tabi'in generasi selanjutnya dan sampai kepada common link kemudian setelah itu isnad bercabang dan keluar, maka jalur sejarah tunggal tersebut tidak dapat dipertahankan keasliannya. Kemudian, kasus seperti itu dipandang Juynboll sebagai hadis palsu dimana teks atau teori tersebut hanyalah buatan common link baik itu berupa ahli fikih atau tokoh besar agama yang bertujuan mendapat legitimasi umat muslim dengan menyandarkan hadis tersebut kepada seseorang dengan otoritas tinggi yang dipercaya umat muslim. 2.4. Pokok Pemikiran Orientalis Joseph Joseph Schacht percaya bahwa keyakinan konvensional tentang peraturan Islam yang telah ditetapkan sejak abad kesembilan belas dihadapkan pada kesulitan yang serius (Schacht, 1993). Mulai dari ekspansionisme dan pemerintahan, pengaruh barat terhadap dunia Islam sangat kuat, Putri et al./ Kritik Hadis Menurut Pemikiran G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht Integritas Terbuka, Vol. 1, No. 1 (2022): 59-70 65 of 70 sehingga beberapa bagian pelajaran Islam dibahas dan diuji. Salah satunya difokuskan pada regulasi mata air regulasi Islam (Schacht, 1960). Hal ini unik dalam kaitannya dengan pemahaman adat, tinjauannya tidak filosofis maupun yuridis, namun sekaligus otentik dan humanistik. Ia menawarkan Islam bukan sebagai sekumpulan standar yang disingkapkan oleh Tuhan, teTetapi sebagai kekhasan yang dapat diverifikasi yang terkait erat dengan tuntutan sosial seperti ketika ia melihat kredibilitas sumber-sumber hukum Islam melalui siklus yang dapat diverifikasi (Schacht, 1959). Dengan demikian, semua hal dipertimbangkan, masa lalu mempengaruhi masa kini, dan arus mempengaruhi apa yang akan datang. Jadi tidak diharapkan bahwa sebagian besar peraturan Islam, termasuk sumber-sumbernya, adalah konsekuensi dari serangkaian peristiwa yang dapat diverifikasi. Pusat utama Joseph Schacht adalah bahwa tulisan telah terdistorsi oleh para peneliti dalam ratusan tahun kedua dan ketiga yang mencoba untuk diri mereka sendiri suatu pandangan dengan mengikuti permulaan mereka kembali ke Nabi Saw (Schacht, 1965b). Pandangannya adalah bahwa sebagai aturan, kebiasaan hidup mazhab fikih tradisional umumnya didasarkan pada pemikiran individu terlebih dahulu, kemudian, pada saat itu, pada tahap kedua dikatakan berasal dari para sahabat, dan bahwa hadis Nabi dilingkari oleh para peneliti hadis. Menjelang pertengahan abad kedua Schacht juga mengharapkan bahwa: “Kita tidak akan menemukan bahwa sejumlah besar kebiasaan halal nabi yang dikenal Malik berasal dari zaman yang datang, misalnya pada kuartal kedua tahun seratus tahun berikutnya dan kita tidak akan menemukan hadis dari peraturan Nabi yang dapat dianggap kredibel (Schacht, 1993)". Menurut Schacht, ide yang mendasari sunnah adalah kebiasaan yang hidup di sekolah fikih tradisional, yang menyiratkan adat atau "untuk sebagian besar diselesaikan pada pelatihan" (Schacht, 1949). Pernyataan Schacht adalah bahwa "rujukan kepada hadis dari para sahabat adalah metodologi yang lebih mapan, dan kekuatan otoritas hadis dari nabi adalah sebuah perkembangan" (Schacht, 1965a). Untuk menyampaikan hal ini, ia menyajikan percakapan yang secara umum diperpanjang melihat antara kumpulan pengalaman lain dari peningkatan istilah sunnah seperti yang telah digunakan di Arab pra-Islam, awal dari undangundang Islam gaya lama, oleh para sarjana hukum yang jelas, misalnya, Syafi'i, khususnya cara istilah yang diciptakan sebagai gagasan sunnah Nabi (Salim, 2019). Schacht berpendapat bahwa peraturan Islam baru dianggap sebagai salah satu kontemplasi qadhi (pengadilan yang ketat). Para khalifah tidak mengangkat qadhi. Penataan qadhi baru dilakukan pada masa Bani Umayyah. Sekitar akhir abad utama Hijriah (715-720) pengaturan qadhi ditujukan kepada 'ahli' yang berasal dari kalangan ketat (Schacht, 1993). Dengan bertambahnya jumlah para ahli ini, mereka lama-kelamaan menjadi kumpulan mazhab fikih gaya lama. Ini terjadi pada sepuluh tahun pertama abad kedua hijriah (Wibisono et al., 2020). Kasus orientalis terhadap hadis dimulai pada abad ke-19 M, ketika hampir semua bagian Islam telah masuk ke dalam cengkeraman imperialisme orientalis Eropa. Di antara orientalis utama, Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, mereka dianggap memiliki batas logis yang telah berubah menjadi teks suci bagi ketidakpercayaan orientalis terhadap hadis (Najitama, 2007). Di antara mazhab-mazhab lama, mazhab Madinah tidak lebih enerjik tentang hadis dibandingkan mazhab Irak. Praktik Nabi diperlukan untuk memerangi area kekuatan utama untuk sekolah-sekolah kuno yang sah. Selama masa Asy-Syafi'i, adat-istiadat Nabi telah dianggap sebagai salah satu landasan utama peraturan Islam, tempat adat di dalam sekolah peraturan lama. Sumber-sumber masa lalu bidang kekuatan yang serius untuk memberikan interaksi yang dengannya adat-istiadat memperoleh penegasan Nabi Saw dan perbedaan penilaian yang dihasilkan oleh klaim hadis ini. Sebagian dari bukti ini telah dikumpulkan oleh Goldziher (Goldziher, 2003). Penentang tradisi terutama datang dari kelompok yang tidak ortodoks, dari filsuf hingga skeptis. Tetapi ini adalah reaksi yang lebih alami dari para pengacara terhadap masuknya unsurunsur baru. Jejak tersebut merupakan reaksi hidup terhadap sikap sekolah hukum kuno (Rahman, 2011). Akibatnya, hadis Nabi dan Al-Qur'an bukanlah landasan asli yang membentuk hukum Islam, tetapi inovasi yang muncul ketika landasan hukum Islam sudah ada. Buku-buku yang digunakan sebagai tempat penelitian adalah buku Al-Muwatta karya Muhammad al-Shaibani dan buku Al- Putri et al./ Kritik Hadis Menurut Pemikiran G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht Integritas Terbuka, Vol. 1, No. 1 (2022): 59-70 66 of 70 Umm dan Al-Rissara karya Al-Syafi’i. Menurut Thistle, kitab-kitab tersebut lebih berharga dari kitabkitab hadis sebagai kitab fikih. Hal ini dikarenakan kedua jenis buku ini memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, tidak tepat mengkaji hadis dalam kitab hukum Islam klasik. Alhasil, pandangan keseluruhan Schacht adalah bahwa sistem tersebut tidak dapat melacak hadis hingga para ulama abad kedua, tetapi rantai narasinya kembali ke Nabi Saw dan para sahabatnya. Diskusi tersebut dapat diringkas dalam lima poin: a. Sistem penanggalan Islam baru dimulai pada awal abad kedua, atau pada awal akhir penanggalan hijriah abad pertama. b. Isnad tidak direncanakan dan ditempatkan secara sewenang-wenang oleh mereka yang ingin "memproyeksikan kembali" doktrin mereka ke dalam sumber-sumber klasik. c. Isnad secara bertahap "ditingkatkan" dengan pemalsuan. Isnad sebelumnya tidak lengkap, tetapi semua celah diisi selama koleksi klasik. d. Sumber-sumber tambahan dibuat selama era Syafi'i untuk menjawab keberatan-keberatan yang dibuat terhadap tradisi-tradisi yang berasal dari satu sumber. "Isnad keluarga" adalah palsu, seperti materi yang disajikan dalam isnad. e. Kehadiran perawi biasa dalam rantai periwayatan menunjukkan bahwa hadis berasal dari zaman perawi. Dari sudut pandang orientalis, tentu saja Sunnah terlihat berbeda dengan hadis. Perbedaan ini terutama terlihat dalam pendapat Goldziher bahwa hadis berarti disiplin teoritis dan sunnah mengandung aturan praktis. Dalam kesimpulan ini, ia mengikuti D.S Margoliouth dan mengutip Ibn al-Mukafa, yang memperoleh istilah yang digunakan pada awal abad ke-2 untuk tujuan mengatur administrasi pemerintahan Umayyah. Tentu, pandangan para orientalis Sanad juga berbeda. Sanad sering dipandang sebagai daftar yang tidak direncanakan, dengan masing-masing karakter memiliki setiap yang diproyeksikan mundur ke otoritas kuno dan mewakili kelompok yang dapat dipilih secara acak dan ditempatkan di pulau itu (Darmalaksana et al., 2017). 2.5. Pemikiran dan Produk atas Kritik Hadis G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht Kedua tokoh orientalis bernama G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht ini sama-sama menilai bahwa metode kritik hadis konvensional tidak begitu kuat, sehingga didapatkan beberapa kelemahan, antara lain: kritik sanad yang berkembang cenderung lambat, hadis yang sahih dapat dengan mudah diubah isinya secara keseluruhan, dan yang terakhir yakni tidak adanya kriteria tepat untuk memeriksa matan hadis. Selain itu, mereka mengemukakan bahwa hadis tidak lain hanyalah sebagai hasil dari perkembangan keagamaan secara historikal dan sosial agama Islam pada dua abad pertama sebagai refleksi dari adanya kecenderungan yang terlihat di masyarakat muslim. Lebih dari pada itu, isnad dinilai hanya sebagai rekayasa ahli fikih klasik oleh para tokoh besar agama atau ahli hadis untuk melegitimasi pendapatnya. Dalam kajian kritik hadis, khususnya dalam perbandingan sanad hadis, Joseph Schacht berhasil membentuk tiga teori pokok sebagai acuan dari kritiknya terhadap jalur periwayatan hadis. Tiga teori pokok tersebut yaitu Argumentum Silento, Projecting Back, dan Common link (Suadi, 2016). Teori ini diterapkan oleh Joseph Schacht dan tokoh orientalis lainnya dalam melakukan kritik hadis. Meskipun banyak digemari, ternyata tidak sedikit pula tokoh orientalis lainnya yang tidak setuju. Oleh karena itu, Juynboll melengkapi dan mengklaim bahwa hadis bukanlah hasil pemikiran nabi, melainkan dibuat pada saat masa tabi’in. Oleh karena itu, Juynboll mengajukan memberi solusi efektif dengan mengembangkan metode Schacht dalam mengkaji hadis, yaitu dengan menggunakan metode common link dan analisis terhadap isnad. Kemunculan teori ini mengundang kontroversi. Hal ini dikarenakan common link dapat mempengaruhi paradigma masyarakat terhadap implikasi negatif dalam kesejarahan hadis. Dalam perjalanannya, teori common link mendapatkan reaksi penolakan hingga penerimaan secara utuh terkait pendekatannya dalam menelusuri formasi atas narasi nabi Muhammad Saw. Melalui kajian orientalismenya, Joseph Schacht mampu membuktikan adanya kelemahan sanad dan mendobraknya dengan teori common link yang kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh Putri et al./ Kritik Hadis Menurut Pemikiran G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht Integritas Terbuka, Vol. 1, No. 1 (2022): 59-70 67 of 70 Juynboll. CommonlLink dibangun secara bertahap oleh Joseph. Menurutnya teori ini dapat menentukan kapan dibuatnya suatu hadis tersebut (Suwarno, 2018). Juynboll dan Schacht memiliki pemikiran yang sejalan dimana hadis merupakan nash keagamaan yang dibuat oleh common link dengan tujuan mendapat legitimasi umat muslim dengan menyandarkan legalitasnya terhadap para sahabat ataupun Nabi Muhammad Saw, di mana Nabi Muhammad Saw dalam agama Islam dipercaya sebagai manusia yang memiliki otoritas tertinggi. Kemudian, terdapat pemikiran bahwa para ahli hadis berpikir bahwa hadis yang berasal dari nabi diharuskan mampu menyaingi aturan yang berlaku di masyarakat, oleh karena itu ahli hadis membuat laporan yang diklaim dan didapatkan dari perawi yang melihat perbuatan dan atau perbuatan nabi secara langsung yang kemudian diriwayatkan secara lisan dengan ditambahkan isnad yang dapat dipercaya (Yunus & Jamil, 2020). Berangkat dari hal tersebut, Joseph dan Juynboll mengembangkan teorinya dan menyimpulkan bahwa para ahli fikih dan ahli hadis melakukan pemalsuan hadis karena tidak adanya realita yang menyatakan hadis tidak benar-benar berasal dari nabi. Hadis dipandang sebatas produk keagamaan yang digunakan dalam persaingan antara tokoh-tokoh besar muslim. Dan common link merupakan pihak yang bertanggung jawab atas keaslian hadis dan sanadnya. Selain common link, kritik hadis yang dilayangkan Juynboll yaitu adanya analisis isnad. Analisis isnad ini dipercaya lebih mampu menentukan keakuratan sumber atau asal-usul suatu hadis. Berikut ini langkah analisis isnad yang diusung oleh Juynboll terkait kritiknya terhadap hadis. a. Langkah pertama yang perlu dilakukan oleh peneliti hadis yakni menentukan hadis berupa teks-teks yang akan diteliti. Penelitian ini dapat dimulai dengan menyiapkan hadis dengan sebuah matan tertentu atau bahkan lengkap dengan matan dan sanadnya. b. Pada langkah kedua, peneliti diarahkan untuk melakukan analisis hadis dalam berbagai macam hadis. Hal ini dilakukan dengan pegangan sebuah maan hadis untuk mencari dan menelusuri sumber asli hadis dengan menggunakan bantuan indeks hadis dan bantuan berupa kitab tertentu. c. Setelah peneliti mendapatkan data dari suatu kitab tertentu, maka peneliti melanjutkan kritik hadis dengan merujuk koleksi hadis yang ditunjuk oleh indeks hadis tersebut untuk menyalin serta menghimpun seluruh jalur sanad yang mendukung suatu hadis dengan teliti. Dalam menghimpun suatu hadis, peneliti dapat mengelompokkannya berdasarkan nama perawinya seperti sahabat nabi yang mana untuk mengefisienkan waktu dan meringankan dalam melihat bundel isnad yang berbeda-beda. Peneliti harus mengidentifikasi nama periwayat serta periwayat atas lainnya yang kemudian masuk dalam tahap menyusun rangkaian isnad dari masing-masing periwayat guna mempersiapkan penyusunan periwayatan dalam satu folder isnad. Pada tahap ini juga peneliti diharuskan untuk menemukan berbagai informasi, termasuk nama periwayat paling awal pada masing-masing jalur periwayat. d. Kemudian, dapat dilakukan penyusunan atau rekonstruksi isnad sebagai upaya mengidentifikasi periwayat yang bertanggung jawab atas penyebaran hadis yang diteliti. Proses ini disusun dengan menggunakan sebuah skema yang memungkinkan peneliti mengidentifikasi periwayat dengan status common ink, juga teknis yang berhubungan dengan teori common link. e. Pada tahapan terakhir, peneliti dapat menentukan status periwayat lengkap dengan aplikasinya berdasarkan teori common link. Jika dalam bundel isnad ditemukan periwayatan melalui jalur tunggal, maka teori common link pada hadis tersebut dapat disimpulkan sebagai jalur isnad yang dapat diragukan nilai sejarahnya (Mahmuddah, 2013). Tabel 1. Perbandingan tokoh orientalis terhadap hadis menurut G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht G.H.A Juynboll Termotivasi untuk merancang teori baru dengan harapan dapat memisahkan hadis yang asli dengan hadis palsu. Joseph Schacht Rujukan kepada hadis dari para sahabat adalah metodologi yang lebih mapan, dan kekuatan otoritas hadis dari nabi adalah sebuah perkembangan. Putri et al./ Kritik Hadis Menurut Pemikiran G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht Integritas Terbuka, Vol. 1, No. 1 (2022): 59-70 Metode terkenal yang diusung oleh Juynboll yakni metode commonlink dalam analisis isnad. Penelitian Juynboll menggunakan metode yang berdiri atas prinsipprinsip dasar historis-filologi terhadap kritik teks/nash-nash agama. 68 of 70 Peraturan Islam baru dianggap sebagai salah satu kontemplasi qadhi (pengadilan yang ketat). Sumber: diolah berdasarkan hasil penelitian (2022). 3. KESIMPULAN Kajian hadis di Barat dapat diketahui berawal pada abad ke-19 M yang diawali oleh seorang sarjana Jerman yaitu Alois Sprenger (1813-1893). Sprenger membawa ajaran skeptisisme terhadap otentisitas hadis yang pada akhirnya banyak diikuti para sarjana berikutnya. Pada umumnya, penyelidikan hadis di kalangan ilmuwan Barat, dalam pandangan perencanaan Herbert Berg, itu cenderung skeptis, yaitu mempertanyakan kredibilitas hadis atau menerima bahwa hadis tersebut adalah palsu, sejujurnya, ciptaan berbagai individu. Pada abad 20, Juynboll sebagai seorang orientalis terkemuka di Belanda dan merupakan seorang pakar di bidang sejarah perkembangan awal hadis. Metode terkenal yang diusung oleh Juynboll yakni metode common link dalam analisis isnad. Common link merupakan sebuah istilah bagi perawi tertua yang mendengar hadis dari orang yang lebih berwenang dan kemudian meneruskan hadis tersebut kepada lebih dari satu murid. Teori ini ia dapatkan dan kembangkan dari tokoh orientalis sebelumnya yang bernama Joseph Schacht. Joseph Schacht adalah seorang orientalis berpengaruh, lahir di Rottenburg, Jerman, pada tanggal 15 Maret 1902 M. Fokus utama Joseph Schacht adalah bahwa literatur hadis telah dipalsukan oleh para sarjana pada abad kedua dan ketiga yang berusaha untuk membenarkan pandangan mereka sendiri dengan menelusuri asal-usul mereka kembali ke Nabi. Kedua tokoh orientalis bernama G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht ini sama-sama menilai bahwa metode kritik hadis konvensional tidak begitu kuat, sehingga didapatkan beberapa kelemahan, antara lain: kritik sanad yang berkembang cenderung lambat, hadis yang sahih dapat dengan mudah diubah isinya secara keseluruhan, dan yang terakhir yakni tidak adanya kriteria tepat untuk memeriksa matan hadis. References Abbas, F. H. (2010). Itqan al-Burhan fi Ulum al-Quran. Amman: Dar Al-Nafais. Afwadzi, B. (2017). Kritik Hadis dalam Perspektif Sejarawan. Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadith, 7(1), 50–75. Asgharzadeh, M. (2018). Development of HADIS Algorithm for Deficit Irrigation Scheduling. Irrigation and Drainage, 67(3), 345–353. https://doi.org/10.1002/ird.2212 Ayaz, K. (2016). The Ottoman Dar al-Hadiths from the point of education of hadith sciences. Osmanli Arastirmalari - Journal of Ottoman Studies, 2016(47), 39–68. https://doi.org/10.18589/oa.582931 Berg, H. (2013). The development of exegesis in early Islam: The authenticity of Muslim literature from the formative period. Routledge. Darmalaksana, W., Pahala, L., & Soetari, E. (2017). Kontroversi Hadis sebagai Sumber Hukum Islam. Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya, 2(2), 245–258. https://doi.org/10.15575/jw.v2i2.1770 Demir, M. (2020). Dating a Shī’ite Apocalyptic Hadith: An Analytical Study of a Narration Concerning the Barāthā Mosque within the Context of Hadith-History Relationship. Ankara Universitesi Ilahiyat Fakultesi Dergisi, 61(1), 59–86. https://doi.org/10.33227/auifd.680863 Dewi Kusumawati. (2017). Teori Commonlink G.H.A Juynboll: Melacak Otoritas Sejarah Haadis Putri et al./ Kritik Hadis Menurut Pemikiran G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht Integritas Terbuka, Vol. 1, No. 1 (2022): 59-70 69 of 70 Nabi. Al-Rislalah, 13(2), 148. Erwin Padli, R. M. (2020). Sejarah Pemikiran Hadis Tokoh Orientalis G.H.A Juynboll. Al-Ashfar, 1(1), 5. Gerardette, P. (2020). Integritas Terbuka: Perubahan Positif Antariman dalam Dunia Majemuk. Unpar Press. Goldziher, I. (2003). Mazhab tafsîr: dari Aliran Klasik hingga Modern, terj. Oleh M. Alaika Salamullah, Saifydin Zuhri Dan Badrus Syamsul Fata, Cet, 1. Hamidah, H. (2017). Filsafat pembelajaran bahasa (Perspektif strukturalisme dan pragmatisme). Naila Pustaka. Idri. (2013). Otentitas Hadis Mutawattir dalam Teori Commonlink G.H.A.Juynboll. ISLAMICA, 7. Jayana, T. A. (2021). Menguji Autentisitas Dan Klaim Kesejarahan Hadis Berdasarkan Teori Common Link G.H.A Juynboll (Suatu Kajian Kritis). Holistic, 7(2), 94. Juynboll, G. H. A. (1973). The qurra’in early Islamic history. Journal of the Economic and Social History of the Orient, 16(1), 113–129. Juynboll, G. H. A. (1986). Dyeing the Hair and Beard in Early Islam a Hadīth-Analytical Study. Arabica, 33(1), 49–75. Juynboll, G. H. A. (1996). Studies on the origins and uses of Islamic hadīth (Vol. 550). Variorum. Juynboll, G. H. A. (2007). Encyclopedia of canonical ḥadīth. Brill. Juynboll, P. G. H. A., & Syachrofi, M. (2021). Hadis Dalam Pandangan Sarjana Barat : Telaah Atas A . Pendahuluan Diskusi mengenai hadis Nabi saw . tidak terbatas pada ruang geografis tertentu ; tidak hanya digeluti di Jazirah Arab saja , tempat di mana hadis tersebut lahir . Kajian hadis tidak hanya d. 15(1). Mahmuddah, N. (2013). Pemikiran G. H. A. Juynboll Tentang Hadis. Mutawattir, 3(1), 115–117. Masrur, A. (2007). Teori common link G.H.A. Juynboll. Lembaga Kajian Islam Dan Sosial. Maulana, M. A., Ramadansyah, M. B., Amir, M. F., Khoeruddin, M. L., & Romli, M. Q. (2018). Orientalis Joseph Schacht dan Kritik Terhadapnya. Makalah Mata Kuliah Studi Hadis Di Barat, 1– 24. Najitama, F. (2007). Sejarah Pergumulan Hukum Islam dan Budaya serta Implikasinya bagi Pembangunan Hukum Islam Khas Indonesia. Al-Mawarid Journal of Islamic Law, 17(3), 56680. Nugroho, I. Y., Zainul, I., Genggong, H., & Probolinggo, K. (2020). Orientalisme dan Hadits : Kritik terhadap Sanad Menurut Pemikiran Joseph Schacht. Jurnal Hukum Islam, 6(2), 2548–5903. Philips, G. (2016). Melampaui pluralisme: integritas terbuka sebagai pendekatan yang sesuai bagi dialog Muslim-Kristen. Madani. Rahman, M. T. (2011). Glosari Teori Sosial. Ibnu Sina Press. Salah, İ. (1986). Ulûmu’l-Hadîs. Nureddin Itr, Dâru’l-Fikr, Beyrut. Salim, A. (2019). Studi Analisis Kodifikasi Hadis. Hikmah, 16(2), 14–19. Schacht, J. (1949). A Revaluation of Islamic Traditions. Journal of the Royal Asiatic Society, 81(3–4), 143– 154. Schacht, J. (1959). Islamic law in contemporary states. Am. J. Comp. L., 8, 133. Schacht, J. (1960). Problems of modern Islamic legislation. Studia Islamica, 12, 99–129. Schacht, J. (1965a). Modernism and traditionalism in a history of Islamic law. Taylor & Francis. Schacht, J. (1965b). Notes on Islam in East Africa. Studia Islamica, 23, 91–136. Schacht, J. (1967). The origins of Muhammadan jurisprudence. Oxford University Press. Schacht, J. (1993). An introduction to Islamic law. Clarendon Press. Setia, P. (2021). Atas Nama Islam: Kajian Penolakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Terhadap Putri et al./ Kritik Hadis Menurut Pemikiran G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht Integritas Terbuka, Vol. 1, No. 1 (2022): 59-70 70 of 70 Pluralisme. Aplikasia: Jurnal Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama, 21(2), 115–136. Sprenger, A. (1844). Some original passages on the early commerce of the Arabs. Sprenger, A. (1857a). On the origin and progress of writing down historical facts among the Musalmans. Sprenger, A. (1857b). The Copernican System of Astronomy Among the Arabs. Suadi, H. (2016). Menyoal Kritik Sanad Joseph Schahct. 2, 89–104. Suadi, H. (2017). Menyoal Kritik Sanad Joseph Schacht. Riwayah, 2(1), 86–101. Suwarno, R. W. (2018). Kesejarahan Hadis dalam Tinjauan Teori Commonlink. Jurnal Living Hadis, 3(1), 93–97. Wibisono, M. Y., Truna, D. S., & Ziaulhaq, M. (2020). Modul Sosialisasi Toleransi Beragama. Prodi S2 Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Yorulmaz, N. K. (2019). From the methodology of hadith to the history of hadith: The courses of the history of hadith in dar al-funun theology. Cumhuriyet Dental Journal, 23(2), 651–671. https://doi.org/10.18505/cuid.616504 Yunus, B. M., & Jamil, S. (2020). Penafsiran Ayat-Ayat Mutasyabihat dalam Kitab Shafwah al-Tafasir (E. Zulaiha & M. T. Rahman (eds.)). Prodi S2 Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Ziaulhaq, M. (2020). Pendekatan Sayyed Hossein Nasr dalam Kerangka Studi Agama-Agama. In A. Muhyidin & M. T. Rahman (Eds.), Modul Sosialisasi Toleransi Beragama (1st ed., pp. 1–97). Prodi S2 Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Putri et al./ Kritik Hadis Menurut Pemikiran G.H.A Juynboll dan Joseph Schacht