Academia.eduAcademia.edu

Metode Kritik Matan Hadis

2018, Holistic al-Hadis

Kritik Matan merupakan Upaya menyeleksi (membedakan) antara ḥadῑṡ ṣaḥῑḥ dan ḍa‘if dan menetapkan status perawi-perawinya dari segi kepercayaan atau cacat. Muḥammad al-Gazāliy adalah seorang pemikir yang mencoba mengkaji ḥadῑs dengan menekankan pada kajian matan dari pada sanad. Menurut Muḥammad al-Gazāliy penelitian suatu ḥadῑṡ tidak selalu harus dimulai dengan kritik sanad, melainkan dapat diawali dengan melakukan penelitian matan ḥadῑs. Bahkan tidak jarang menolak ḥadῑṡ yang berkualitas ṣaḥῑḥ dari sisi sanad karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur’ān dan argumen rasional. Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: 1). Bagaimana pokok pemikiran Muḥammad al-Gazāliy?, 2) Bagaimana metode kritik matan ḥadῑṡ Muḥammad al-Gazāliy? Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui pokok pemikiran Muḥammad al-Gazāliy, 2) Untuk mengetahui metodologi kritik matan ḥadῑs Muḥammad al-Gazāliy secara deskriptif dan analitik. Met...

Jurnal Holistic al-hadis, Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018, 42-66 METODOLOGI KRITIK MATAN HADIS (Kajian terhadap Kitab Al-Sunnah al-Nabawiyyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadῑṡ karya Muḥammad al-Gazāliy) Asih Kurniasih Pondok Pesantren Daarul Qori'in Walantaka Serang [email protected] Muhammad Alif UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten [email protected] Abstrak Kritik sanad merupakan upaya menyeleksi (membedakan) antara ḥadῑṡ ṣaḥῑḥ dan ḍa‘īf dan menetapkan status perawi-perawinya dari segi kepercayaan atau cacat. Muḥammad al-Gazāliy adalah seorang pemikir yang mencoba mengkaji hadis dengan menekankan pada kajian matan dari pada sanad. Menurut Muḥammad alGazāliy penelitian suatu hadis tidak selalu harus dimulai dengan kritik sanad, melainkan dapat diawali dengan melakukan penelitian matan hadis. Bahkan tidak jarang menolak hadis yang berkualitas ṣaḥῑḥ dari sisi sanad karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur’ān dan argumen rasional. Kajian studi kepustakaan ini bertujuan untuk mengetahui metodologi kritik matan hadis Muḥammad al-Gazāliy secara deskriptif dan analitik. Adapun hasil temuan dari kajian ini adalah sebagai berikut: Pertama, Dalam pandangan Muḥammad alGazāliy, hadis mutawatir tidak menjadi persoalan yang mendasar, karena mendapat pembahasan yang luas. Hanya saja Muḥammad al-Gazāliy mempersoalkan status ḥadῑṡ āḥād dari segi kehujjahannya. Muḥammad al-Gazāliy tidak mau mempergunakan ḥadῑs āḥād dalam menetapkan aqidah, masalah aqidah harus berdasarkan keyakinan, dan bukan pada dugaan, sesuatu yang ẓanni tidak layak untuk diamalkan dan dijadikan hukum, serta penelitian hadis pada kritik matan. Kedua, Metode yang diterapkan Muḥammad al-Gazāliy dalam Kritik Matan hadis adalah: 1) Pengujian dengan al-Qur’ān, 2) Pengujian dengan hadis lainnya, 3) Pengujian dengan Fakta Historis, 4) Pengujian dengan kebenaran ilmiah dan logika.. Kata kunci: ḥadῑṡ āḥād; metode kritik matan; Muḥammad al-Gazāliy Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-7630 43 - Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 Asih Kurniasih, Muhammad Alif PENDAHULUAN Menjelang wafatnya Rasululah saw telah memberikan petunjuk kepada para pengikutnya tentang cara untuk melestarikan kelompok sosial yang telah dibangun. Petunjuknya berisi ketentuan agar berpegang pada al-Qur’ān dan sunnah yang telah ditinggalkannya agar umat tidak sesat. Suatu kenyataan penting, bahwa wujud sumber ajaran yang sekarang bukan lagi dalam bentuk norma, melainkan sudah dalam bentuk praktik kehidupan sosial yaitu masyarakat Islam di Madinah.1 Ahli akal dan naql dalam Islam, telah bersepakat bahwa hadis merupakan dasar hukum Islam. Umat Islam diwajibkan untuk mengikutinya sebagaimana kewajiban dalam mengikuti al-Qurān, karena antara keduanya tidak terdapat perbedaan dalam garis besarnya.2 Dilihat dari periwayatannya, hadis Nabi berbeda dengan al-Qurān, semua periwayatan yang terdapat dalam al-Qurān berlangsung secara mutawātir, sedang hadis Nabi sebagian besar periwayatannya berlangsung secara perorangan (āḥād) pada bagian yang lain. Oleh karenanya dilihat dari dari sisi ini, al-Qurān seluruhnya mempunyai kedudukan qaṭ‘iy al-wurūd , sedangkan hadis Nabi sebagian lagi bahkan yang lebih banyak berkedudukan ẓanniy alwurūd. Perbedaan ini disebabkan adanya kesenjangan yang cukup lama antara kodifikasi hadis Nabi saw. dengan masa hidup Rasulullah saw, yakni pada masa Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azῑz 3 atau sekitar sembilan puluh tahun setelah Nabi wafat. Hal ini berbeda dengan al-Qurān yang telah menjadi perhatian yang sangat pada masa Khalifah al-Rasyidin, dan telah terkodifikasi menjadi muṣḥaf pada masa Khalifah ‘Uṡman bin ‘Affan. Teks-teks hadis yang telah tertulis dalam kitab-kitab yang tersebar di tengah-tengah masyarakat dan dijadikan sebagai pegangan umat Islam dalam hubungannya dengan hadis sebagai sumber hukum Islam itu adalah kitab-kitab yang tersusun setelah Nabi wafat (II H/632 SM). Jadi terdapat jarak yang lama, 1 Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan; Menggagas Paradigma Amali dalam Agama Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), p. 75 2 M. Hasbi Ash-Shidieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1958), p. 158. 3 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), p. 4. Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-7630 Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 - 44 Asih Kurniasih, Muhammad Alif sehingga memungkinkan adanya riwayat yang menyalahi apa yang sebenarnya datang dari Nabi saw. Dengan demikian, untuk mengetahui apakah riwayat hadis yang terhimpun dalam berbagai kitab hadis itu dapat dijadikan ḥujjah atau tidak perlu adanya penelitian. Selain itu, hadis tidak dihimpun pada awal Islam, sebagaimana para ṣaḥabat melakukannya terhadap al-Qurān. Tapi tidak semuanya terhimpun dan lebih banyak mereka himpun untuk koleksi pribadi. Dalam kenyataannya cacatan ṣaḥabat juga tidak seragam. Sangat sedikit hadis yang diriwayatkan secara mutawatir dan selebihnya diriwayatkan secara āḥād. Pemahaman hadis Nabi merupakan persoalan yang sangat urgen untuk diangkat. Hal demikian berangkat dari realitas hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah al-Qur’ān. Dari hadis terungkap berbagai ajaran dan tradisi yang berkembang pada masa Rasulullah, yang hingga kini ajaran-ajaran itu sampai kepada kita. Penelitian hadis merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan sekarang, karena dimensi ajaran yang dibawa Nabi Muḥammad Saw, menurut Suryadilaga hal itu penting karena ajaran yang dibawa Rasulullah Saw mengharuskan kita mendapatkan informasi yang akurat dan benar. Penelitian hadis dalam konteks yang luas perlu dilakukan untuk mendapatkan pemahaman proporsional dalam konteks kekinian.4 Oleh karena itu, penelitian terhadap hadis-hadis Nabi saw sangat penting, baik dari segi sanad maupun matan, penelitian penting artinya mengingat tujuan dari penelitian hadis adalah untuk menilai apakah secara historis sesuatu yang dikatakan sebagai hadis itu benar-benar dipertanggungjawabkan ke-ṣaḥῑiḥ-annya berasal dari Nabi atau tidak. Hal ini sangat penting mengingat kedudukan kualitas hadis erat sekali kaitannya dengan dapat atau tidak dapatnya suatu hadis dijadikan ḥujjah agama. 5 Dari segi matan, penelitian hadis akan memperkuat kualitas sanad hadis. Perlunya penelitian matan hadis tak hanya karena matan tidak dapat dipisahkan 4 M. Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis dari Teks ke Konteks, (Yogyakarta: Teras, 2009), p. 2 5 Ismail, Kaedah …, p. 4. Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-763 45 - Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 Asih Kurniasih, Muhammad Alif dari pengaruh sanad, tetapi juga karena dalam periwayatkan hadis dikenal adanya periwayatan secara makna. 6 Matan merupakan salah satu komponen pembentuk bangunan hadis yang menduduki posisi penting dalam khazanah penelitian hadis. 7 Sebab, tujuan akhir dari penelitian hadis adalah untuk memperoleh validitas sebuah matan hadis. Berangkat dari sulitnya penelitian matan hadis dan beragam masalah dalam pendekatan dan pemahaman hadis Nabi Muḥammad saw, maka para ulama berusaha menyusun beraragam kaidah-kaidah bagaimana seorang muslim berinteraksi dengan hadis Nabi, dan di antara ulama tersebut adalah Muḥammad al-Gazāliy. Muḥammad al-Gazāliy merupakan salah satu dari sekian pemikir yang mencoba mengkaji hadis dengan menekankan pada kajian matan dari pada kajian sanad. Menurut Muḥammad al-Gazāliy, penelitian suatu hadis tidak selalu harus dimulai dengan kritik sanad, melainkan dapat diawali dengan melakukan penelitian matan hadis. Bahkan, tidak jarang Muḥammad al-Gazāliy menolak hadis yang berkualitas ṣaḥiḥ karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur’ān dan argumen rasional. Sebaliknya, meskipun hadis Nabi dari segi sanadnya ḍa‘if, namun lebih cenderung menerima hadis tersebut karena memiliki kesesuaian dengan ruh ajaran Islam dan akal manusia. 8 Pemikiran Muḥammad al-Gazāliy tentang kritik matan hadis layak untuk diteliti. Hal ini karena beberapa alasan pertama, Muḥammad al-Gazāliy dengan karyanya al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadῑṡ serta karya-karya lainnya yang mencoba merumuskan beberapa kaidah atau tolak ukur dengan keṣaḥiḥan matan hadis. Kedua, upaya Muḥammad al-Gazāliy dalam menyuguhkan pemikirannya tentang kaidah-kaidah kritik matan hadis secara filosofis menarik untuk dicermati. Bagaimana ia melakukannya adalah problem epistomologis yang perlu dikaji lebih mendalam. Ismail, Kaedah …, p. 26. M. M. Azami, Hadis dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Ya’qub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), p. 538. 8 Muḥammad al-Gazāliy, Fiqh al-Sῑrah (Kairo: Dār al-Bayān li al-Turāṡ, 1987), p. 16-17 6 7 Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-7630 Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 - 46 Asih Kurniasih, Muhammad Alif Ketiga, penelitian ini sendiri memiliki arti penting. Sebab, dari interpretasi dan pemahaman terhadap teks hadis akan muncul perilaku-perilaku keagamaan yang beragam. Kesalahan atas pemahaman terhadap teks hadis Nabi tersebut akan berdampak pada perilaku-perilaku yang jauh dari apa yang sebenarnya diharapkan dari esensi kandungan hadis itu sendiri. Oleh sebab itu, tidak aneh jika Muḥammad al-Gazāliy senantiasa berupaya memahami teks hadis (matan ḥadῑṡ) dengan pendekatan kontekstual. Kriteria ke-ṣaḥῑḥ-an hadis Muḥammad al-Gazāliy tidak berbeda dengan rumusan yang telah dirumuskan oleh para ahli hadis terdahulu. Akan tetapi Muḥammad al-Gazāliy lebih menekankan lebih kritis di bidang matan hadis.9 PEMBAHASAN a. Pengertian Kritik Matan Hadis Kata kritik berasal dari bahasa Yunani “Krites” yang artinya seorang hakim, “Krinein” berarti menghakimi, “kriteria” berarti dasar penghakiman. Kata kritik secara etimologi dalam bahasa Indonesia artinya menimbang, menghakimi, atau membandingkan. Kata Naqd merupakan masdar kata ‫ينقد‬-‫ نقد‬yang berarti penelitian, analisis, pengecekan, dan pembedaan dan memisahkan sesuatu yang baik dari yang buruk, misalnya ‫نقد الدراهم‬searti dengan lafadz tersebut ‫ نقد الكالم والنصر‬artinya ia telah memisahkan perkataan yang baik dari yang buruk termasuk terhadap yang lain. Dalam perkembangan selanjutnya kata Naqd diterjemahkan dengan kritik. Karena itu Naqd al-Ḥadῑṡ, maksudnya kritik terhadap hadis, baik terhadap matan hadis maupun sanadnya.10 Dalam al-Qur’ān dan al-Ḥadῑṡ tidak ditemukan kata Naqd dalam pengertian kritik, tetapi menggunakan kata ‫يميز‬-‫ ماز‬misalnya disebutkan ( ‫حتى‬ ‫)يميز الخبيث من الطيب‬.11 Tidak disebutkannya istilah Naqd dengan arti kritik dalam alQur’ān dan al-Ḥadῑṡ, tidak berarti kritik terhadap hadis tidak ada pada masa perkembangan agama Islam. Sesungguhnya kritik hadis telah biasa dilakukan sejak zaman para sahabat dengan menggunakan istilah Tamyiz. Istilah tamyiz ini digunakan oleh Imam Muslim dan sebagian ulama lain menggunakan istilah naqd, 9 Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadis Nabi: antara Pemahaman Teks dan Kontekstual, (Bandung: Mizan, 1992), p. 25-28 10 Endad Musaddad, Kompleksitas Studi Hadis, (Banten: FUD Press, 2009), p. 105. 11 QS. Al-An’am: 164 Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-763 47 - Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 Asih Kurniasih, Muhammad Alif yang semula tidak populer, kemudian menjadi populer pada perkembangan selanjutnya. Sementara pengertian lain dari kata Naqd yang digunakan oleh beberapa ulama hadis pada abad ke dua hijriah. Secara etimologis, kata al-Naqd mempunyai arti: 1. Al-Tamyīz (membedakan/memisahkan)‫منها‬ ‫الزيف‬ ‫اخراج‬ ‫و‬ ‫الدراهم‬ ‫تمييز‬ : “Membedakan mata uang dan membuang yang palsu” 2. Qabaḍ (menerima) ‫ اعطا ه فانقد ها اي قبضها‬: “Aku berikan kepadanya, maka ia terima” 3. Al-Dirham (uang)‫ فنقد نى ثمنه اي اعطا نيه نقدا معجال‬: “Ia berikan kepadaku bayarannya secara kontan” 4. Naqasy (membantah/mendebat).‫ نا قدت فالنا اذ ناقشته‬: “Aku mendebatnya dalam suatu masalah” Pengertian kritik dengan menggunakan kata Naqd mengindikasikan bahwa kritik harus dapat membedakan yang baik dan yang buruk, sebagai pengimbang yang baik, ada timbal balik, menerima dan memberi, terarah pada sasaran yang dikritik, ada unsur perdebatan, karena perdebatan berarti mengeluarkan pemikiranpemikiran masing-masing, berarti kritik bertujuan memperoleh kebenaran yang tersembunyi. 12 Secara etimologi matan adalah ‫ ما صلب وا رتفع من اال رض‬yang berarti tanah yang tinggi. Pengertian lain “matan” berasal dari bahasa Arab ‫ متن‬yang artinya punggung jalan (muka jalan), tanah yang tinggi dan keras. 13 Apabila dinukil oleh Musfir al-Damini, adalah: ‫الفاظ احلد يث الىت تتقوم هبا املعاتى‬ “Kata-kata hadis yang dengannya terbentuk makna-makna”.14 Sementara pengertian matan menurut istilah adalah sebagai berikut: ‫الفاظ احلديث الىت تتقوم هبا معانيه‬ Artinya: Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci “Kritik atas Hadis-hadis Shahih”. (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, 2012), p. 35-37 13 Bustamin M. Isa, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), p. 59 14 Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis: Versi Muhadditsin dan Fuqaha. Cet I, (Yogyakarta: Teras, 2004), p.13 12 Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-7630 Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 - 48 Asih Kurniasih, Muhammad Alif “Lafaz hadis yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu”.15 Dengan demikian yang dimaksud dengan kritik matan secara etimologi adalah penelitian dan pengecekan kualitas matan hadis yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu, dan membedakan antara hadis autentik dan yang tidak autentik. Sedangkan pengertian kritik matan hadis secara terminoligi dapat disimpulkan dalam definisi kritik hadis yang diajukan oleh Muḥammad Ṭāhir alJawābiy sebagai berikut: ‫احلكم على الرواة جترحيا و تعدي ال أبلفاظ خصة ذات دالئل معلومه عند اهله‬ ‫والنظر يف متون األحادثني الىت صح سندها لتصحيحها او تضعيفها ولرفع االشكال‬ ‫عما بدا مشكال من صحيحها ودفع التعارض بينها بتطبيق مقاييس دقيقة‬ “Penetapan status cacat atau ‘adil pada perawi hadis dengan mempergunakan idiom khusus berdasar bukti-bukti yang mudah diketahui oleh para ahlinya, dan mencermati matan-matan hadis sepanjang shahih sanadnya untuk tujuan mengakui validitas atau menilai lemah, dan upaya menyikap kemusykilan pada matan hadis yang shahih serta mengatasi gejala kontradiksi antar matan dengan mengaplikasikan tolak ukur yang detail”.16 Dari definisi kritik hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian kritik matan menurut al-Jawābiy adalah: Penelitian terhadap hadis yang sahih secara sanad untuk menetapkan kesahihannya ataupun kedaifannya serta untuk menghilangkan kemusykilan yang tampak musykil dari kesahihannya serta untuk mengantisipasi kontradiksi antar hadis dengan menerapkan standar aturan yang rinci. Dari pengertian di atas dapat digarisbawahi hal-hal berikut: 1. Objek kritik matan adalah hadis sahih secara sanad; 2. Tujuan kritik matan ada tiga level: level pertama menemukan ‘illat untuk menetapkan kesahihan atau kedaifan, level kedua menemukan makna yang musykil, dan level ketiga menghilangkan kontradiksi antar hadis. Sedangkan menurut M. Musthafa al-‘Azami adalah: ‫متييز اال حاديث الصحيحة من الضعيفة واحلكم على الرواة توثيقا و جترحيا‬ Fudhaili, Perempuan …, p. 59. Muḥammad Ṭāhir al-Jawābiy, Juhūd al-Muḥaddiṡῑn fῑ Naqd Matn al-Ḥadῑṡ al-Nabawiy alSyarῑf, (Tunis: Muassasāt ‘Abd al-Karῑm ibn ‘Abdillāh, 1986), p. 94 15 16 Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-763 49 - Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 Asih Kurniasih, Muhammad Alif “Upaya menyeleksi (membedakan) antara hadis shahih dan dhaif dan menetapkan status perawi-perawinya dari segi kepercayaan atau cacat”.17 Kritik hadis di dalamnya terdapat kritik sanad dan kritik matan. Kritik hadis yang dikemukan oleh Abu Hatim al-Razi, Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Akram Diya al-Umari, Muhammad Abu Zahw, dan Ahmad Umar Hashim lebih mengarah kepada ilmu al-Jarḥ wa al-ta‘dīl, sehingga mengalami penyempitan dalam definisi dan ruang lingkup. Karena ruang lingkup ilmu al-Jarḥ wa al-ta‘dīl mengarah kepada kritik sanad, tidak pada kritik matan. 18 Sedangkan kritik matan yang dikemukakan oleh Muhammad Tahir al-Jawabi, yaitu ketentuan terhadap periwayat hadis, baik kecacatan atau keadilannya dengan menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu yang telah dikenal oleh ulama-ulama hadis, meneliti matan hadis yang telah dinyatakan ṣaḥῑḥ dari segi sanad untuk mengatasi kesulitan dalam pemahaman hadis dan menyelesaikan kontradiksi yang terdapat dalam matan hadis dengan pertimbangan yang mendalam. Meskipun definisi yang dikemukakan Muḥammad Ṭāhir al-Jawābiy meliputi kritik sanad dan kritik matan, bahkan kritik matannya sampai tahapan pemahaman hadis dan penyelesaian kontradiktif. 19 Ada pula definisi sejalan dengan pandangan Ibnu al-Aṡir al-Jazari bahwa setiap matan hadis tersusun atas elemen lafal (teks) dan elemen makna (konsep). Dengan demikian komposisi ungkapan matan hadis pada hakikatnya adalah pencerminan konsep idea yang intinya dirumuskan dalam bentuk teks. Dari pengertian kata ṣaḥῑḥ atau istilah kritik ini, dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan kritik matan hadis (naqd al-matn) dalam konteks ini ialah usaha untuk menyeleksi matan-matan hadis sehingga dapat ditentukan antara matan-matan hadis yang kuat atau lebih kuat dan yang tidak. Ke-ṣaḥῑḥ-an yang berhasil diseleksi dalam kegiatan kritik matan tahap pertama ini baru pada tahap menyatakan kesahihan matan. 20 Dari paparan tentang pengertian di atas terlihat bahwa pengertian tersebut lebih mengarah ke kritik hadis pada kritik sanad, hal itu wajar karena penkembangan kritik matan masih baru dikenal. Ilmu kritik matan hadis merupakan disiplin ilmu Abbas, Kritik …, p. 10. Masrukhin Muhsin, Studi Kritik Matan, (Magelang: PKBM “Ngundu Ilmu”, 2013), p.8-9 19 Muhsin, Studi …, p. 8-9 20 Ismail, Kaedah …, p. 47 17 18 Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-7630 Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 - 50 Asih Kurniasih, Muhammad Alif yang baru dikembangkan akibat persinggungan keilmuan dengan orientalis yang menghujat bahwa ulama hadis terdahulu mengabaikan kritik matan. 21 Selama ini pengertiam kritik hadis banyak bertumpu pada kritik sanad dengan ilmu utamanya al-jarh wa al-ta'dῑl. Karena itu dalam banyak referensi jarang ditemukan definisi kritik matan hadis. Kalaupun ada hanya berupa definisi kritik hadis secara umum yang cenderung kepada definisi kritik sanad hadis. Di antara definisi ilmu kritik matan hadis yang jarang ditemukan itu adalah definisi yang dikemukakan oleh A'mar Fathan. Ia mendefinisikan Ilmu kritik matan hadis sebagai berikut: ‫ "العلم الذي يعتين بدراسة مضمون احلديث من حيث خلوه‬:‫علم نقد منت احلديث هو‬ ‫من العلل القادحة ومدى موافقته لألصول الشرعية الصحيحة والقواعد العقلية الصرحية‬ ‫واحلقائق العلمية والتارخيية الثابتة‬ Artinya: “Ilmu kritik matan hadis adalah ilmu yang mendalami tentang studi kandungan hadis dari sisi keterbebasannya dari cacat parah sepanjang kesesuaian hadis tersebut dengan pokok-pokok syariat yang benar, kaedah-kaedah logika yang jelas, kebenaran-kebenaran imu pengetahuan dan fakta sejarah yang pasti”.22 PEMIKIRAN MUḤAMMAD AL-GAZĀLIY a. Biografi Muḥammad al-Gazāliy Nama lengkapnya adalah Muḥammad al-Gazāliy al-Saqā. Beliau dilahirkan di Mesir, hari Sabtu tanggal 5 Dzul Hijjah tahun 1335 H/ 2 September 1917 M. Ia tumbuh dari keluarga miskin dan agamis. Tepatnya di perkampungan Nakla al-‘Inab, pusat Itay al-Barūd provinsi Buhairah Mesir. Nama tersebut diberikan oleh ayahnya karena rasa hormatnya dengan Ḥujjah al-Islam Imam Abū Ḥamid al-Gazāliy dan ketertarikannya terhadap dunia sufi. 23 Syaikh merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada orang-orang yang memiliki kualitas istimewa. Gelar Syaikh sebenarnya sudah ada sejak zaman pra Islam. Dalam sejarah Islam, gelar Syaikh diberikan kepada orang-orang tertentu yang memiliki pengetahuan tentang ilmu-ilmu yang bersumber dari Kitab Suci. Gelar Amar Fettane, “Textual Criticism Among the Prophet’s Companions The Example of Aisha.” Jurnal at-Tajdid, Vol. 17, No.33 (May 2013): 83-118, p. 88. 22 Fettane, Textual Criticism …, p. 89. 23 Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, Perspektif Muhammad al Ghazali dan Yusuf al Qaradhawi. (Yogyakarta, Teras, 2008), p. 23 21 Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-763 51 - Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 Asih Kurniasih, Muhammad Alif Syaikh juga diberikan kepada pejabat yang mengurusi masalah agama, para pemuka aliran sufi, ilmuwan di bidang al-Qur’ān, ahli fiqh, para khatib dan imam-imam shalat di masjid.24 Muḥammad al-Gazāliy merupakan anak pertama dari enam bersaudara dan putra sulung dari seorang pedagang yang sangat menyukai tasawuf, menghormati tokoh-tokohnya sekaligus mengamalkan ajarannya, disamping itu, ia juga telah menghafal al-Qur’ān. Al-Gazāliy di usia 10 tahun mengawali pendidikan dasarnya di Ma‘had al-Dῑn (sekolah agama yang berada di bawah naungan al-Azhar) di kota Alexandrea, di tempat ini ia berhasil menghafal Alquran genap tiga puluh juz. b. Latar Belakang Penulisan Kitab al-Sunnah al-Nabawiyyah Muḥammad al-Gazāliy merupakan salah satu ulama kebangkitan Islam di Mesir yang membela eksistensi hadis di samping al-Qur’ān. Dalam rangka pembelaannya terhadap sunnah atau hadis Nabi saw, menulis buku dalam bidang hadis yaitu al-Sunnah al-Nabawiyyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadῑṡ. Buku ini terdiri dari 160 halaman, dan diterbitkan pertama kalinya oleh Dār al-Syurūq pada tahun 1989, ini merupakan buku yang ditulis oleh Muḥammad al-Gazāliy, atas paksaan dari Akademi Pemikiran Islam Internasional (al-Ma’hād Al-‘Ālami li al Fikr al-Islāmi), sebuah lembaga pemikiran Islam yang berpusat di Amerika Serikat dan dipimpin oleh Ṭāha Jābir al-‘Ulwāniy. Buku ini dijadikan sebagai pembenaran dan pembelaan terhadap hadis Nabi atas tindakan orang-orang bodoh dan berpikiran sempit dalam menanggapi hadis.25 Buku tersebut telah membangkitkan gejolak pemikiran yang sangat spektakuler dalam pemikiran Islam kontemporer, dan mengungkapkan dimensi kekinian, bagi perbedaan pemikiran antara kelompok rasional dan kelompok yang mendasarkan diri pada hadis dan antara kekuatan pembaharuan dan taqlῑd (mengikuti aliran/ajaran tanpa dalil) dalam kebudayaan Islam modern dan kontemporer.26 Dalam kitab al-Sunnah al-Nabawiyyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadῑṡ penulis Muḥammad al-Gazāliy menjelaskan begitu banyak kajian kepada pembaca tentang upaya pengembalian pemikiran dan kebudayaan sunnah Nabi saw dapat tegak Sri Purwaningsih, “Kritik terhadap Rekonstruksi Pemahaman Hadis Muhammad al-Ghazali,” Jurnal Theologia, Vol. 28, No. 1, Juni 2017, p. 78 25 al-Ghazali, Studi …, p. 15 26 Abdul Basid, “Kritik Terhadap Metode Muhammad Al-Ghazali Dalam Memahami Hadits Nabi Muhammad SAW.” KABILAH : Journal of Social Community Vol. 2. No. 1 (2017). p. 10 24 Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-7630 Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 - 52 Asih Kurniasih, Muhammad Alif pada umat yang ada pada saat ini, dengan segala daya dan upaya agar terbentuk umat Islam yang berkemajuan dan berperadaban seperti pada masa Rasul dan ṣahabatṣahabatnya sehingga dapat terwujud dengan segera pada masa kini dan mendatang.27 Muḥammad al-Gazāliy dalam buku ini mempertanyakan kesenjangan yang terjadi antara pelaku ijtihad dalam kajian fiqh dan hadis. Muḥammad al-Gazāliy menginginkan suatu model kajian yang sama dengan yang dilakukan oleh para ahli fiqh, menilai otentisitas hadis tidak hanya dari sisi sanad saja namun juga harus bersandar pada matan hadis. Bagi Muḥammad al-Gazāliy, pola pikir yang dikembangkan para ulama hadis zaman dulu tidak terlalu memikirkan bagaimana kandungan matan hadis dilihat sebagai salah satu kriteria dalam menilai otentitas hadis, seharusnya ahli hadis bekerjasama dengan ahli fiqh dalam menentukan status hadis agar hadis-hadis yang bermasalah secara nalar Qur’āni maupun nalar sehat dapat diminimalisir penggunaannya, terseleksi statusnya agar tidak menjadi bahan ejekan kaum penentang Islam.28 c. Metode Kritik Matan Muḥammad al-Gazāliy Muḥammad al-Gazāliy tidak memberikan penjelasan langkah-langkah konkrit yang berupa tahapan-tahapan dalam memahami hadis Nabi Muḥammad saw. Namun dari berbagai pernyataannya dalam Al-Sunnah al-Nabawiyyah Baina Ahl alFiqh wa Ahl al-Ḥadῑṡ, dapat ditarik kesimpulan tentang tolak ukur yang dipakai Muḥammad al-Gazāliy dalam kritik matan (otentisitas matan dan pemahaman matan). Secara garis besar metode yang digunakan oleh Muḥammad al-Gazāliy dalam menetapkan keshahihan matan hadis ada 4 macam, yaitu: 1. Matan hadis sesuai dengan al-Qur’ān. 2. Matan hadis sejalan dengan matan hadis ṣaḥῑḥ lainnya. 3. Matan hadis sejalan dengan fakta sejarah. 4. Matan hadis sejalan dengan ilmu pengetahuan29 PENDEKATAN MUḤAMMAD AL-GAZĀLIY DALAM KRITIK MATAN Dalam mengkritik matan Muḥammad al-Gazāliy menerapkan empat metode kritik matan hadis, di antaranya, kritik matan dengan sejalan al-Qur’ān, Suryadi, Metode …, p. 35 Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyyah..., p. 20 29 Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyyah..., p. 19 27 28 Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-763 53 - Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 Asih Kurniasih, Muhammad Alif kritik matan dengan hadis ṣaḥῑḥ, kritik matan dengan fakta sejarah, dan kritik matan ilmu pengetahuan atau logika. 1. Analisis Kritik Matan Hadis Sejalan dengan al-Qur’ān. a. Hadis tentang mayat diazab karena tangisan keluarganya. ِ ِ ‫اق َومه َو الشمَّي بَ ِاِنُّ َع من أَِِب بُمرَد َة َع من أَبِ ِيه‬ َ ‫يل بم ُن َخلِ ٍيل َحدَّثَنَا َعلِ ُّي بم ُن ُم مس ِه ٍر َحدَّثَنَا أَبُو إِ مس َح‬ ُ ‫َحدَّثَنَا إ مْسَاع‬ ِ ِ ‫صلَّى‬ َ َ‫ق‬ َ ‫َخاهُ فَ َق‬ ُ ‫ب يَ ُق‬ َّ ‫يب ُع َم ُر َر ِض َي‬ َّ ِ‫ت أ ََّن الن‬ َ ‫ال ُع َم ُر أ ََما َعل مم‬ َ ‫ول َوا أ‬ ُ ‫اَّللُ َعمنهُ َج َع َل‬ َ ‫َّب‬ ٌ ‫ص َهمي‬ َ ‫ال لَ َّما أُص‬ 30 )‫احلَ ِي( رواه البخاري‬ ‫ب بِبُ َك ِاء م‬ َ َ‫اَّللُ َعلَمي ِه َو َسلَّ َم ق‬ َّ َ ِ‫ال إِ َّن امل َمي‬ ُ ‫ت لَيُ َع َّذ‬ “Telah menceritakan kepada kami Ismā'ῑl ibn Khalῑl telah menceritakan kepada kami 'Ali ibn Mushir telah menceritakan kepada kami Abū Ishāq dia adalah dari suku Asy-Syaibāniy dari Abῑ Burdah dari bapaknya berkata; Ketika 'Umar radliallāhu 'anhu terbunuh Shuhaib berkata, sambil menangis: "Wahai saudaraku". Maka 'Umar radliallāhu 'anhu berkata,: Bukankah kamu mengetahui bahwa Nabi Shallallahu'alaihiwasallam telah bersabda "Sesungguhnya mayat pasti akan disiksa disebabkan tangisan orang yang masih hidup". Hadis yang menjelaskan tentang mayit disiksa karena tangisan keluarganya terdapat dalam kitab hadis dengan 37 jalur sanad, masing-masing dalam Ṣaḥῑḥ al-Bukhāri lima jalur, Ṣaḥῑḥ al-Muslim tujuh jalur, Sunan alTurmudzi tiga jalur, Sunan al-Nasa’i enam jalur, Sunan Abū Dāwūd satu jalur, Sunan Ibn Majah satu jalur, Musnad Ahmad tiga belas jalur, dan Muaṭṭa’ Mālik satu jalur. Menurut Muḥammad al-Gazāliy dari 37 jalur sanad hadis di atas hanya dua jalur yang dapat diterima, yaitu jalur kelima dan ketujuh yang terdapat dalam Ṣaḥῑḥ Muslim riwayat ‘Āisyah dan yang lainnya harus ditolak. Pemikiran Muḥammad al-Gazāliy ini didasarkan pada pendapat ‘Āisyah mengkritik sahabat yang meriwayatkan hadis di atas. Menurut ‘Aisyah riwayat mereka bertentangan dengan pesan al-Qur’ān surat Al-An’am:164: “Tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain. ‫ُخَرى‬ ‫َوالَ تَ ِزُر َوا ِزَرةٌ ِومزَر أ م‬ Dalam riwayat ‘Āisyah disebutkan bahwa mayit yang disiksa di dalam kubur adalah orang mukmin. Oleh karena itu, Muḥammad al-Gazāliy, metode 30 Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Ismā‘īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mugīrah al-Ju‘fiy al-Bukhāriy, AlJāmi‘ al-Musnad al-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar min Umūr Rasūlillah Ṣallā Allāh ‘alaih wasallam wa Sunanih wa Ayyāmih, Editor: Muḥammad Zuhair ibn Nāṣir al-Nāṣir, Cetakan Pertama, (Beirut: Dār Ṭauq al-Najāt, 1422 H.), vol. II, p. 80, no. 1290 Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-7630 Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 - 54 Asih Kurniasih, Muhammad Alif yang ditempuh oleh ‘Āisyah dapat dijadikan dasar untuk menguji kesahihan sebuah hadis, yaitu menghadapkannya dengan naṣ-naṣ al-Qur’ān.31 Demikianlah ‘Āisyah dengan tegas dan berani menolak periwayatan suatu hadis yang bertentangan dengan al-Qur’ān. Metode yang ditempuh ‘Āisyah dalam menentukan kualitas hadis kemudian oleh ulama hadis dikembangkan menjadi metode kritik matan hadis. Pada masa ṣaḥabat, kegiatan kritik matan hadis berupa perbandingan atau mencocokkan matan hadis yang diketahui oleh seorang ṣaḥabat dengan ṣaḥabat yang lainnya atau membandingkannya dengan al-Qur’ān. Apabila hadis yang diperbandingkan itu sama redaksinya, dapat disimpulkan bahwa hadis itu diriwayatkan bi al-lafaẓ. Sebaliknya apabila redaksi matan hadis itu memiliki perbedaan dan perbedaan itu tidak menyebabkan perubahan makna, itulah kemudian yang dikenal dengan hadis riwayat bi al-ma‘nā.32 Menurut Muḥammad al-Gazāliy, Muhaddiṡin klasik justru meletakkan hadis sebagai penjelasan wahyu yang tidak mungkin salah dan tidak mungkin dibatalkan oleh al-Qur’ān. Sebagai pelopor pendapat tersebut adalah al-Syafe’i dengan Ikhtilāf al-ḥadῑsnya, ia berusaha mentakwilkan hadis-hadis, yang kelihatan bertentangan, baik terhadap sesama hadis maupun dengan al-Qur’ān kemudian ia menyimpulkan bahwa tidak ada hadis yang bertentangan. Muḥammad al-Gazāliy berusaha meluruskan pendapat yang mengutamakan hadis dari pada al-Qur’ān. Di dalam karya-karyanya kelihatan betul ia ingin membawa hadis kembali ke bawah pengayoman prinsip-prinsip alQur’ān. Sementara menurut ‘Ali Mustafa Ya‘qub, hadis di atas mempunyai dua versi, versi ‘Umar dan versi ‘Āisyah. Versi ‘Umar, seseorang yang mati akan disiksa apabila ia ditangisi keluarganya, baik yang mati itu muslim atau kafir. Versi ‘Aisyah, mayat yang disiksa itu apabila ia kafir, sedangkan mayat Muslim tidak disiksa. Karena baik Umar maupun ‘Aisyah tidak mungkin berdusta, kedua versi ini tetap diterima sebagai ḥadῑṡ ṣaḥῑḥ.33 31 ‘Aisyah memang dikenal memiliki metode yang berbeda-beda dalam melakukan pembuktian keshahihan hadis. Bustamin M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis..., p. 115 32 Isa, Metodologi..., p. 74-75 33 Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), p. 2 Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-763 55 - Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 Asih Kurniasih, Muhammad Alif Pendapat Muḥammad al-Gazāliy melahirkan pujian sekaligus kritik. Kritik beranggapan bahwa penggunaan al-Qur’ān untuk membatalkan hadis ṣaḥῑḥ tidak memiliki basis yang kuat dalam tradisi intelektual Islam. Lagi pula, pendapat satu periwayat (dalam hal ini ‘Āisyah) bukan merupakan dasar cukup kuat untuk menolak sebuah hadis yang telah terbukti ke-ṣaḥῑḥannya. Semestinya, Muḥammad al-Gazāliy mendamaikan riwayat-riwayat ṣaḥῑḥ yang kelihatannya bertentangan dengan berbagai pendekatan. 34 Memahami sunnah sesuai dengan petunjuk al-Qur’ān didasarkan pada argumentasi bahwa al-Qur’ān adalah sumber utama yang menempati tempat tertinggi dalam keseluruhan sistem doktrinal Islam. Sedangkan hadis adalah penjelas atas prinsip-prinsip al-Qur’ān. Oleh karena itu, makna hadis dan signifikansi kontekstualnya tidak bisa bertentangan dengan al-Qur’ān. 35 Dengan mengutip pendapat Ibn al-Qayyim dalam bukunya A’Iām al-Muwaqqi’in, Yūsuf al-Qarḍawiy mengemukakan adanya hubungan yang signifikan antara sunnah dengan al-Qur’ān, yaitu (a) Sunnah dan al-Qur’ān mengeluarkan suatu hukum yang sesuai berdasarkan dalil-dalil yang sesuai, (b) Sunnah menjadi penjelas dan tafsir bagi al-Qur’ān, (c) Menetapkan sesuatu hukum yang mana al-Qur’ān dan tidak menetapkan, baik wajib maupun yang haram. 36 Oleh karenanya tidak mungkin suatu ḥadῑṡ ṣaḥῑḥ kandungannya bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’ān yang muḥkamāt, yang berisi keterangan-keterangan yang jelas dan pasti. Pertentangan seperti itu bisa terjadi karena hadis tersebut tidak ṣaḥῑḥ, atau pemahamannya yang tidak tepat, atau yang diperkirakan sebagai pertentangan itu bersifat semu dan bukan hakiki. 37 Dengan demikian, menjadi kewajiban setiap muslim untuk men-tawaqquf-kan hadis yang dilihatnya bertentangan dengan ayat al-Qur’ān yang muḥkam, selama tidak ada penafsiran (ta’wil) yang dapat diterima. 38 Sebagian ulama memberikan interpretasi bahwa yang dimaksud hadis, di atas adalah orang mukmin itu merasa sakit (merasa tersiksa, bukan disiksa oleh 34 Isa, Metodologi..., p. 75-76 Yusuf al-Qardhawi, Kajian Kritis Pemahaman Hadis: antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (terj) A. Najullah dan Hidayatullah (Jakarta: Islamuna Press, 1991), p.101 36 Suryadi, Metode..., p. 137 37 Yusuf al-Qardhawi, Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah..., p. 93 38 Yusuf al-Qardhawi, Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah..., p. 96 35 Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-7630 Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 - 56 Asih Kurniasih, Muhammad Alif Allah), setelah kematiannya disebabkan tangisan keluarganya. Menurut Muḥammad al-Gazāliy pemahaman seperti itu bertentangan dengan QS. Fuṣṣilat: 30. Atas dasar ayat ini, menurut Ibnu Kaṡir, orang-orang yang beriman dan beristiqomah saat menjelang kematiannya sebagaimana ayat tersebut, berdasarkan riwayat Zaid ibn Aslam, para malaikat akan menggembirakannya saat kematiannya, di dalam kuburnya dan ketika ia dibangkitkan kembali. Bahkan Allah menggembirakan para Syuhada, di mana orang-orang (keluarga) yang mereka tinggalkan pun akan diikutikan dengan mereka dalam kebaikan, sesuai dengan QS. Āli-Imrān: 170. Demikian juga pendapat yang mengatakan bahwa yang disiksa bukan orang mukmin tetapi orang kafir sesuai dengan hadis Nabi dari ‘Āisyah ditolak Muḥammad al-Gazāliy. Bagi Muḥammad al-Gazāliy, penyiksaan terhadap orang kafir terhadap sesuatu yang tidak diperbuatinya, tidak sesuai dengan QS. AlNahl: 25. Di samping itu, secara logika tangisan orang yang ditinggalkan seorang anggota keluarganya adalah wajar dan sesuai dengan watak manusia, karena itu tidak berdosa apabila melakukannya. 39 b. Hadis tentang Orang Islam Membunuh Orang Kafir ٍ ِ ‫َّعِ ِب َع من أَِِب‬ ‫َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بم ُن َس َالٍم قَ َال أ م‬ ‫يع َع من ُس مفيَا َن َع من ُمطَ ِرف َع من الش م‬ ٌ ‫َخ َََبََن َوك‬ َِّ ‫ب هل ِعمن َد ُكم كِتاب قَ َال َال إَِّال كِتاب‬ ِ ِ ‫جحي َفةَ قَ َال قُمل‬ ٍِ ‫اَّلل أ مَو فَ مه ٌم‬ ٌ َ ‫م‬ ُ ‫ُ َم‬ ُ َ ‫ت ل َعل ِي بم ِن أَِِب طَال َ م‬ ِ ِ َّ ِ‫أ مُع ِطيه رجل مسلِم أَو ما ِيف ه ِذه‬ ‫الص ِح َيف ِة قَ َال الم َع مق ُل‬ َّ ِ‫ت فَ َما ِيف َه ِذه‬ ُ ‫الصحي َفة قَ َال قُمل‬ َ َ ‫َُ َ ُ ٌ ُ م ٌ م‬ 40 ِ ‫اك ماأل‬ )‫َس ِري َوَال يُ مقتَ ُل ُم مسلِ ٌم بِ َكافِ ٍر(رواه البخاري‬ ُ ‫َوفَ َك‬ Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muḥammad ibn Salām berkata, telah mengabarkan kepada kami Waki' dari Sufyān dari Muṭarrif dari Asy Sya'biy dari Abῑ Juhaifah berkata, "Aku bertanya kepada 'Ali ibn Abu Ṭālib, "Apakah kalian memiliki kitab?" ia menjawab, "Tidak, kecuali Kitabullah atau pemahaman yang diberikan kepada seorang Muslim, atau apa yang ada pada lembaran ini." Aku katakan, "Apa yang ada dalam lembaran ini?" Dia menjawab, "Tebusan, membebaskan tawanan, dan jangan sampai seorang Muslim dibunuh demi membela seorang kafir." Muḥammad al-Gazāliy menolak hadis karena dianggap bertentangan dengan ayat al-Qur’ān sebagai berikut: 39 40 Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyyah..., p. 24 al-Bukhāriy, Al-Jāmi‘…, vol. I, p. 33, no. 111 Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-763 57 - Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 Asih Kurniasih, Muhammad Alif َّ ِ ِ ‫س بِٱلنَّ مفس‬ َ ‫َوَكتَ مب نَا َعلَميه مم ف َيهآ أَن ٱلنَّ مف‬ 41 ِ Artinya: “....jiwa dibayar dengan jiwa...” Dalam surah yang sama ayat 48 Allah swt menegaskan: 42 ِ َّ ‫َنزَل‬ ‫فَ م‬ َ ‫ٱح ُكم بَمي نَ ُهم ِبَآ أ‬ ُ‫ٱَّلل‬ Artinya: “ “Maka berhukumlah di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah” Dalam hal ini ada dua alasan Muḥammad al-Gazāliy menolak hadis di atas. Pertama, hadis tersebut bertentangan dengan al-Qur’ān; Kedua, hadis tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan. Menurutnya, setiap orang memiliki hak hidup yang sama. Dalam hal ini Muḥammad al-Gazāliy keliru dalam menilai hadis satu ini. Di dalam kitabnya, ia mengatakan bahwa sanad hadis ini ṣaḥῑḥ.43 Padahal, tidah ada sanad hadis tersebut yang memenuhi kriteria keṣaḥῑḥan sanad hadis. Di dalam buku Bustamin menyebutkan ketidaktahuan apakah Muḥammad al-Gazāliy betul-betul telah menelitinya atau mengutip dari kitab fiqih semata. Di kalangan ulama juga ada yang tidak mengamalkan hadis ini. Di antaranya adalah Abū Hanifah. Ia menolak hadis ini bukan karena sanadnya lemah, tetapi ia menolaknya karena hadis ini dianggap bertentangan dengan sejarah. Di dalam sejarah disebutkan bahwa apabila kaum kafir memerangi kaum muslimin, maka kaum muslimin diperintahkan memeranginya. Jika ia terbunuh, tidak ada hukuman apa pun atas pembunuhan itu. Berbeda dengan ahl al-zimmῑ (orang kafir yang terikat perjanjian keamanan dengan kaum muslimin). Apabila seorang membunuhnya, maka ia dijatuhi hukuman qiṣāṣ.44 Pendapat Abū Hanifah di atas sejalan dengan pemikiran Muḥammad alGazāliy, tetapi berbeda dasar penolakannya. 1. Analisis Kritik Matan Hadis Sejalan dengan Matan Hadis Ṣaḥῑḥ Lainnya. Adapun tema-tema yang termasuk kedalam ini di antaranya: a. Hadis tentang hukum memakai sarung sampai dibawah (memanjangkan kain sarung). QS. Al-Māidah: 45 QS. Al-Māidah: 448 43 Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyyah..., p. 24 44 Isa, Metodologi..., p.121 41 42 Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-7630 mata kaki Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 - 58 Asih Kurniasih, Muhammad Alif Hadis memanjangkan kain sarung seperti yang disabdakan Nabi di dalam hadisnya: ِ ‫حدَّثَنا علِي بن ُُم َّم ٍد وُُم َّم ُد بن إِ مْسعِيل قَ َاال حدَّثَنا وكِيع عن الممسع‬ ‫ود ِي َع من َعلِ ِي بم ِن ُم مد ِرٍك‬ ُ‫َ َ َ ٌ َم َ م‬ َ َ ُ ‫َ َ َ ُّ م ُ َ َ َ م‬ ‫اَّللُ َعلَمي ِه َو َسلَّ َم ح و َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بم ُن بَشَّا ٍر َحدَّثَنَا‬ ِ ِ‫احلُِر َع من أَِِب َذ ٍر َع من الن‬ ‫َع من َخَر َشةَ بم ِن م‬ َّ ‫صلَّى‬ َ ‫َّب‬ ‫ُُمَ َّم ُد بم ُن َج مع َف ٍر َحدَّثَنَا ُش معبَةُ َع من َعلِ ِي بم ِن ُم مد ِر ٍك َع من أَِِب ُزمر َعةَ بم ِن َع مم ِرو بم ِن َج ِري ٍر َع من َخَر َشةَ بم ِن‬ ‫اَّللُ يَ موَم الم ِقيَ َام ِة َوَال يَمنظُُر‬ ِ ِ‫احلُِر َع من أَِِب َذ ٍر َع من الن‬ ‫م‬ َ َ‫اَّللُ َعلَمي ِه َو َسلَّ َم ق‬ َّ ‫ال ثََالثَةٌ َال يُ َكلِ ُم ُه مم‬ َّ ‫صلَّى‬ َ ‫َّب‬ ِ ‫إِلَي ِهم وَال ي َزكِي ِهم وَلم ع َذ‬ َ َ‫اَّللِ فَ َق مد َخابُوا َو َخ ِس ُروا ق‬ َ ‫ت َم من ُه مم ََي َر ُس‬ َّ ‫ول‬ ُ ‫اب أَل ٌيم فَ ُق مل‬ ٌ َ ‫م م َ ُ م َ ُم‬ ُ‫ال الم ُم مسبِ ُل إَِز َاره‬ ِ ِ‫والممنَّا ُن َعطَاءه والممنَ ِفق ِسلمعتَه ِِب محلل‬ ِ ‫ف الم َك ِاذ‬ ‫ب‬ َ ُ َ ُ ُ َ َُ َ َ 45 )‫( رواه ابن ما جه‬ Artinya: “Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy ibn Muḥammad dan Muḥammad ibn Isma'ῑl keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Waki' dari Al Mas'udiy dari ‘Aliy ibn Mudrik dari Kharasyah Ibn al-Ḥur dari Abῑ Ẓar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Muḥammad ibn Basysyār berkata, telah menceritakan kepada kami Muḥammad ibn Ja'far berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari ‘Aliy ibn Mudrik dari Abῑ Zur'ah ibn ‘Amru ibn Jarῑr dari Khasyarah Ibn al-Ḥur dari Abῑ Ẓar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Ada tiga manusia yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, tidak akan disucikan dosanya dan bagi mereka siksa yang pedih, " aku bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah mereka? sungguh sia-sia dan merugilah mereka?" beliau bersabda: "Orang yang kain sarungnya melebihi mata kaki, orang yang mengungkit-ungkit dalam pemberian, dan orang yang melariskan dagangan dengan sumpah palsu." Kemudian Hadis tersebut dipertegas dengan Hadis lain: ٍ ِ‫يد بن أَِِب سع‬ ِ ‫َّب‬ ِ ِ‫اَّللُ َعمنهُ َع من الن‬ َّ ‫ي َع من أَِِب ُهَريم َرَة َر ِض َي‬ ُّ ‫يد الم َم مق َُِب‬ َ ‫َحدَّثَنَا‬ َ ُ ‫آد ُم َحدَّثَنَا ُش معبَةُ َحدَّثَنَا َسع ُ م‬ 46 ِ ‫َس َفل ِم من الم َك معبَ م‬ ِ‫ني ِم من م‬ )‫اْل َزا ِر فَ ِفي النَّا ِر ( رواه البخاري‬ َ َ‫اَّللُ َعلَمي ِه َو َسلَّ َم ق‬ َّ ‫صلَّى‬ َ َ ‫ال َما أ م‬ Artinya:“Telah menceritakan kepada kami Ādam telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepada kami Sa'ῑd ibn Abῑ Sa'id Al Maqburiy dari Abῑ Hurairah raḍiallahu 'anhu dari Nabi ṣallallāhu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Barangsiapa menjulurkan kain sarungnya hingga di bawah mata kaki, maka tempatnya adalah neraka." Hadis tersebut memberikan pemahaman bahwa orang berpakaian berjela- jela sampai di bawah mata kakinya, maka ia akan masuk neraka sebagai 45 Ibn Mājah Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Yazïd al-Qazwīniy. Sunan Ibn Mājah. Penyunt. Syu‘aib al-Arna’ūṭ, et al. (Ḥalab: Dār al-Risālah al-‘Ālamiyyah, 2009), vol. III, p. 326, no. 2208 46 al-Bukhāriy, Al-Jāmi‘…, vol. VII, p. 141, no. 5787 Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-763 59 - Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 Asih Kurniasih, Muhammad Alif hukuman atas berbuatannya. Kain yang dipakai di dalam hadis tersebut menurut Muḥammad al-Gazāliy adalah kiasan terhadap tubuh orang yang memakainya. Akan tetapi, orang yang membaca sejumlah hadis yang membicarakan masalah ini akan mengetahui dengan jelas pendapat yang dianggap lebih kuat oleh Imam Nawawi dan Ibn Ḥajar dan lainnya bahwa kemutlakan hadis tersebut dikaitkan dengan kesombongan yang dikena ancaman sebagaimana yang sepakati pada ulama. Hal ini dipertegas oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yaitu: ‫اَّللِ َع من أَبِ ِيه‬ َّ ‫وسى بم ُن ُع مقبَةَ َع من َس ِاِل بم ِن َعمب ِد‬ ‫َحدَّثَنَا أ م‬ َ ‫س َحدَّثَنَا ُزَه مريٌ َحدَّثَنَا ُم‬ َ ُ‫َْحَ ُد بم ُن يُون‬ ‫اَّللُ إِلَمي ِه يَ موَم الم ِقيَ َام ِة‬ ِ ِ‫اَّللُ َعمنهُ َع من الن‬ َ َ‫اَّللُ َعلَمي ِه َو َسلَّ َم ق‬ َّ ‫َر ِض َي‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫ال َم من َجَّر ثَ موبَهُ ُخيَ َالءَ َِلم يَمنظُمر‬ َ ‫َّب‬ ِ ِ ‫اَّللِ إِ َّن أ‬ ِ ‫صلَّى‬ َ ‫ال أَبُو بَ مك ٍر ََي َر ُس‬ َ َ‫ق‬ َ ‫ك ِممنهُ فَ َق‬ َّ ‫ول‬ َ ‫اه َد َذل‬ ُّ ِ‫ال الن‬ َ ‫َّي إَِزا ِري يَ مس َ مَتخي إَِّال أَ من أَتَ َع‬ َ ‫َّب‬ َ ‫َح َد شق م‬ 47 ِ ‫اَّلل علَي ِه وسلَّم لَس‬ )‫صنَ عُهُ ُخيَ َالءَ (رواه البخاري‬ ‫َّن يَ م‬ َ ‫َُّ َ م َ َ َ م‬ ‫ت ِم م‬ “Telah menceritakan kepada kami Ahmad ibn Yūnus telah menceritakan kepada kami Zuhair telah menceritakan kepada kami Mūsa ibn 'Uqbah dari Sālim ibn ‘Abdullah dari Ayahnya radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Siapa yang menjulurkan pakaiannya (hingga ke bawah mata kaki) dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat kelak." Lalu Abu Bakar berkata; "Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu dari sarungku terkadang turun sendiri, kecuali jika aku selalu menjaganya?" lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong." Menurut Ibn ‘Abd al-Bār penghafal hadis dan pakar fiqh berkata bahwa maksud dari memanjangkan kain tanpa didasari dengan kesombongan tidak terkena ancaman tersebut, hanya saja dengan memanjangkan kain dan pakaian lainnya memang sangat tercela bagaimanapun keadaannya. 48 Memanjangkan kain (sarung) yang mendapatkan ancaman dengan syarat adanya niat sombong tersebut diperkuat dengan konteks hadis tersebut bahwa ancaman yang disebutkan di dalam hadis adalah ancaman yang sangat keras sehingga orang yang memanjangkan kain termasuk salah satu golongan yang tidak akan diajak komunikasi dan bisa melihat Allah nanti di hari kiamat. Allah tidak akan melihat dan menyucikannya dan mereka akan mendapatkan siksa 47 al-Bukhāriy, Al-Jāmi‘…, vol. VII, p. 141, no. 5784 Yūsuf al-Qarḍāwiy, Kaifa Nata‘ā mal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Kairo: Dār al-Syurūq, 2002) p. 126 48 Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-7630 Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 - 60 Asih Kurniasih, Muhammad Alif yang sangat pedih. Di dalam hadis itu Rasulullah saw mengulang kata-kata yang berkaitan dengan ancaman tersebut sebanyak tiga kali. Adapun yang menjadi perhatian agama Islam di sini adalah persoalan yang berkaitan dengan niat dan aspek batin yang berada di balik perbuatan lahir, yaitu sombong, membanggakan diri, dan penyakit hati lainnya yang dapat menghalangi orang untuk masuk kedalam surga. Kemudian, maksud hadis adalah berkaitan dengan bentuk pakaian yang sangat tergantung kepada adat dan kebiasaan dengan satu bangsa yang terkadang berlainan antara satu dengan lainnya, tergantung kepada adanya cuaca panas dan dingin, kaya dan miskin, mampu dan tidak mampu, jenis pekerjaan, taraf kehidupan, dan pengaruh-pengaruh lainnya. Disini syari‘at memberikan keringan kepada ‘umat manusia di dalam menjalankan proses kehidupan dan mencegah hal-hal yang dianggap berlebihan secara lahir dengan tujuan membanggakan dan menyombongkan diri dan lainnya. 2. Analisis Kritik Matan Hadis Sejalan dengan Fakta Sejarah. a. Hadis Nāfi‘ tentang Penyerangan Negeri Orang Kafir Hadis yang terdapat dalam Ṣaḥiḥ Muslim pada Kitab al-Jihād wa alSayr, Bāb Jawāz al-Igārah ‘alā al-Kuffār al-Lazi Balagathum Da‘wah. ِ ِِ ‫َسأَلُهُ َع من‬ َ َ‫ضَر َع من ابم ِن َع مو ٍن ق‬ َ ‫َخ‬ ‫َحدَّثَنَا َمحي ََي بم ُن َمحي ََي التَّميم ُّي َحدَّثَنَا ُسلَمي ُم بم ُن أ م‬ ُ ‫ال َكتَ مب‬ ‫ت إِ ََل ََنف ٍع أ م‬ ِ َِّ ‫ول‬ ِ‫ك ِيف أ ََّوِل م‬ َ َ‫ُّع ِاء قَ مب َل الم ِقتَ ِال ق‬ ُ ‫اْل مس َالِم قَ مد أَ َغ َار َر ُس‬ َّ ‫صلَّى‬ ََّ ِ‫ب إ‬ َ ‫َل إََِّّنَا َكا َن َذل‬ َ ‫الد‬ َ ‫اَّلل‬ ُ‫اَّلل‬ َ َ‫ال فَ َكت‬ ِ ‫صطَلِ ِق َوُه مم َغ ُّارو َن َوأَنم َع ُام ُه مم تُ مس َقى َعلَى الم َم ِاء فَ َقتَ َل ُم َقاتِلَتَ ُه مم َو َس ََب‬ ‫َعلَميه َو َسلَّ َم َعلَى بَِين الم ُم م‬ ِ ‫ث وح َّدثَِين ه َذا م‬ ِ ‫ال المب تَّةَ اب نَةَ م‬ ‫يث‬ َ َ‫َح ِسبُهُ ق‬ َ َ‫اب يَ موَمئِ ٍذ ق‬ َ ‫احلَد‬ ‫ال ُج َويم ِريَةَ أ مَو قَ َ َ م‬ ‫ال َمحي ََي أ م‬ َ َ ‫َص‬ َ ‫َسمب يَ ُه مم َوأ‬ َ َ ‫احلَا ِر‬ ِ ‫اْلَمي‬ ‫ش و َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بم ُن الم ُمثَ ََّّن َحدَّثَنَا ابم ُن أَِِب َع ِد ٍي َع من ابم ِن َع مو ٍن‬ ‫اَّللِ بم ُن ُع َمَر َوَكا َن ِيف َذ َاك م‬ َّ ‫َعمب ُد‬ 49 ِ ‫احلا ِر‬ ِ‫ِهبَ َذا م‬ )‫ك (رواه املسلم‬ َّ ‫ث َوَِلم يَ ُش‬ َ َ‫اْل مسنَ ِاد ِمثم لَهُ َوق‬ َ ‫ال ُج َويم ِريَةَ بِمن‬ َ‫ت م‬ Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Yahya ibn Yahya At Tamimiy telah menceritakan kepada kami Sulaim ibn Ahdlar dari Ibnu 'Aun dia berkata, "Aku pernah mengirim surat kepada Nāfi' dan bertanya perihal pernyataan perang sebelum perang di mulai." Ibnu 'Aun melanjutkan, "Lalu Nāfi' membalas suratku, tulisnya, 'Hal itu pernah terjadi pada permulaan 49 Muslim ibn al-Ḥajjāj Abū al-Ḥasan al-Qusyairiy al-Naisābūri, Al-Musnad al-Ṣaḥīḥ alMukhtaṣar binaql al-‘Adl ‘an al-‘Adl ilā Rasūlillah Ṣallā Allāh ‘alaih wasallam, Editor Muḥammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī, Cetakan Pertama, (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāṡ al-‘Arabiy, 1424 H.), vol. III, p. 1356, no. 1730 Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-763 61 - Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 Asih Kurniasih, Muhammad Alif Islam, suatu ketika Rasulullāh shallallahu 'alaihi wasallam menyerang Bani Musṭaliq secara mendadak di saat mereka sedang lengah, yaitu ketika mereka sedang memberi minum ternak mereka. Kemudian terjadilah perang hingga mereka banyak yang terbunuh dan tertawan, dan pada hari itulah Juwairiyah binti Ḥāriṡ tertawan'." Yahya berkata, "Aku kira dia mengatakan, 'Juwairiyah' atau, 'anak gadisnya Al Ḥāriṡ'. Hadis ini disampaikan kepadaku oleh ‘Abdullah ibn ‘Umar, saat itu dia termasuk orang yang ikut berperang sebagai prajurit dalam pasukan." Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Muṡanna telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Adi dari Ibnu 'Aun dengan isnad seperti ini. Ibnu 'Aun berkata, "Yaitu Juwairiyah binti Al Ḥāriṡ -tanpa ada keraguan". Menurut Muḥammad al-Gazāliy, Nāfi‘ melakukan kekeliruan dalam hal ini. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Islam disebabkan melalui dakwah secara damai. Memang, metode ketegasan juga dilakukan, seperti mengangkat senjata sebagai upaya untuk mempertahankan Islam, bukan untuk menyerang. Metode da‘wah semacam itulah yang dipraktekkan pada masa Nabi Muḥammad saw dan terus dipertahankan pada masa-masa berikutnya. 50 Hadis tentang keharusan “pemberitahuan sebelum melakukan penyerangan” di dalamnya ada istilah Jizyah, sedangkan Jizyah belum dikenal dalam syari’at Islam, kecuali setelah turunnya surat al-Taubah yang turun pada akhir tahun 9 H, kira-kira satu tahun sebelum wafatnya Nabi. Jadi, dari aspek historis seruan kepada Islam tetap berlaku sejak awal masa hidup Nabi sampai wafatnya, sehingga adanya anggapan naskh sebagai pandangan Nāfi’ tidak tepat dan tidak beralasan.51 Ibn Hisyam menjelaskan bahwa sebenarnya seruan kepada Islam telah sampai kepada bani Musṭaliq dan mereka menolaknya. Mereka kemudian menyingkir ke suatu tempat dan mempersiapkan diri untuk perang. Namun, mereka dikejutkan oleh serbuan kaum Muslimin yang menghancurkan persiapan mereka dan memporak-porandakan pasukan mereka.52 Para ahli sῑrah, tarikh, dan akhlaq mengatakan bahwa menyerukan Islam dengan cara bijaksana adalah sesuatu yang wajib, tidak seorang pun dapat membatalkannya. Kewajiban itu bersifat umum, tidak dibatasi oleh waktu dan tempat, dan lebih dipentingkan secara khusus pada saat-saat sebelum tercetus 50 Isa, Metodologi..., p. 138 Suryadi, Metode..., p. 110 52 Isa, Metodologi..., p. 138 51 Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-7630 Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 - 62 Asih Kurniasih, Muhammad Alif peperangan (antara kaum Muslimin dan para penantangnya) sesuai QS. Al-Nisa: 90, Muḥammad al-Gazāliy dengan mengutip Hayah al-Ṣaḥabah menceritakan sikap para sahabat pada masa Abū Bakar kepada panglima atas seruan kepada Allah dan Rasul-Nya. Disebutkan juga dalam buku tersebut tentang peristiwa penaklukan negeri Persia, pada kekhalifahan Umar ibn Khattab di bawah judul “Seruan Salman al-Farisi selama tiga hari pada peristiwa Istana Putih”. 53 Menurut penulis hadis di atas menggunakan pendekatan historis ini merupakan salah satu metode penyelesaian yang digunakan Muḥammad alGazāliy untuk memahami suatu hadis. Hadis yang terang-terang bertentangan dengan sejarah sekalipun sanadnya ṣaḥῑḥ, Muḥammad al-Gazāliy tidak segansegan menolaknya. 3. Analisis Kritik Matan Hadis Sejalan dengan Ilmu Pengetahuan dan Logika. a. Hadis tentang Nabi Musa menonjok mata malaikat pencabut nyawa. ِ ‫الرز‬ ‫ال َه َذا َما َحدَّثَنَا أَبُو ُهَريم َرَة‬ َ َ‫َّاق َحدَّثَنَا َم مع َمٌر َع من ََهَّ ِام بم ِن ُمنَ بِ ٍه ق‬ َّ ‫َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بم ُن َرافِ ٍع َحدَّثَنَا َعمب ُد‬ َِّ ‫ول‬ ِ ‫اَّلل علَي ِه وسلَّم فَ َذ َكر أ‬ َِّ ‫ول‬ ِ ‫َعن رس‬ َّ ِ َّ ‫صلَّى‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫يث ِممن َها َوق‬ َ ‫َحاد‬ َ ‫اَّلل‬ َ ‫اَّلل‬ َ َ َ َ َ ‫صلَّى َُّ َ م‬ َُ ‫م‬ َ‫اَّللُ َعلَميه َو َسل َم َجاء‬ ِ َ ‫ت إِ ََل موسى علَي ِه ال َّس َالم فَ َق‬ ِ ‫ملَك الممو‬ ِ َ‫الس َالم َع مني مل‬ ‫ك‬ َ َ‫ك ق‬ َّ ‫وسى َعلَمي ِه‬ َ َّ‫ب َرب‬ ‫ُ َ َم‬ ََ َ ‫ال فَ لَطَ َم ُم‬ ‫ال لَهُ أَج م‬ ‫َ ُ َم‬ ٍ ِ ‫الممو‬ َ‫ت َوقَ مد فَ َقأ‬ َ ‫اَل فَ َق‬ َ َ‫ت فَ َف َقأ ََها ق‬ َّ ‫ك إِ ََل‬ َ ‫اَّللِ تَ َع‬ ُ ‫ك َال يُِر‬ َ َ‫َّك أ مَر َس ملتَِين إِ ََل َعمبد ل‬ َ ‫ال إِن‬ ُ َ‫ال فَ َر َج َع الم َمل‬ َ ‫يد الم َم مو‬ ‫َم‬ ‫ض مع يَ َد َك َعلَى‬ ‫ال مارِج مع إِ ََل َعمب ِدي فَ ُق مل م‬ ‫يد م‬ َ َ‫اَّللُ إِلَمي ِه َعمي نَهُ َوق‬ َّ ‫َعمي ِين قَا َل فَ َرَّد‬ ُ ‫ت تُِر‬ ُ ‫احلَيَا َة تُِر‬ َ َ‫احلَيَا َة ف‬ َ ‫يد فَِإ من ُكمن‬ ِ ‫نت ثَوٍر فَما تَوارت ي ُد َك ِمن َشعرةٍ فَِإن‬ ٍ ‫ال فَ ماْل َن ِم من قَ ِر‬ ‫يب‬ َ َ‫ال ُُثَّ َم مه ق‬ َ َ‫يش ِهبَا َسنَةً ق‬ َ َ‫وت ق‬ َ َ‫م م‬ ُ َُ‫ال ُُثَّ مت‬ ُ ‫َّك تَع‬ َ ‫َم م ِ م َ َ َ م‬ َِّ ‫اَّلل علَي ِه وسلَّم و‬ َِّ ‫ول‬ ِ ِ‫ر‬ ِ ‫ب أ َِممت ِين ِم من ماأل مَر‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫َّس ِة َرمميَةً ِِبَ َج ٍر ق‬ ُ‫اَّلل لَ مو أَِِن عمن َده‬ َ ‫اَّلل‬ َ ‫ض الم ُم َقد‬ َ َ َ َ ‫صلَّى َُّ َ م‬ َ ِ ِ‫ب الطَّ ِر ِيق ِعمن َد الم َكث‬ ِ ِ‫َألَريمتُ ُكم قَمَبهُ إِ ََل َجان‬ ‫ال أَبُو إِ مس َح َق َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بم ُن َمحي ََي َحدَّثَنَا َعمب ُد‬ َ َ‫َْحَ ِر ق‬ ‫يب امأل م‬ َ ‫َ م‬ 54 ِِ ِ ‫احل ِد‬ ِ َّ )‫يث(رواه املسلم‬ ‫الرزَّاق أ م‬ َ‫َخ َََبََن َم مع َمٌر ِبثم ِل َه َذا م‬ Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muḥammad ibn Rāfi'; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul al Razzaq; Telah menceritakan kepada kami Ma'mar dari Ḥamām ibn Munabbih dia berkata; 'Inilah yang telah di ceritakan oleh Abū Hurairah kepada kami dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, -kemudian dia menyebutkan beberapa Hadis yang di antaranya-; dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: "Malaikat maut datang menemui Musa 'Alaihis Salam, lalu ia berkata kepadanya; 'Penuhilah panggilan Rabbmu, ' Rasulullah Bersabda: "Lalu Musa menampar mata malaikat maut dan mencukilnya, " Rasulullah Bersabda: "Lalu malaikat maut pulang menemui Allah 'azza wajalla seraya berkata; 'Engkau telah mengutusku kepada seorang hamba-Mu yang tidak 53 54 Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyyah..., hlm. 198-199 Nawawi, Shahih Muslim Syarah an-Nawawi, HR. Muslim, no. 4375 Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-763 63 - Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 Asih Kurniasih, Muhammad Alif memenginginkan kematian, dan sungguh ia telah mencukil mataku.'" Rasulullah Bersabda: "Lalu Allah mengembalikan matanya, dan Allah berfirman: 'Kembalilah kepada hamba-Ku dan katakan kepadanya; 'Apakah kehidupan yang engkau inginkan? Jika engkau menginginkan kehidupan maka letakkanlah tanganmu di atas bulu sapi, maka setiap bulu yang tertutup oleh tanganmu, dengannya engkau akan mendapatkan tambahan satu tahun.' Mūsa berkata; 'Lalu apa setelah itu? ' malaikat maut berkata; 'Kematian.' Musa berkata; 'Maka segerakanlah, ' lalu ia berdoa; 'Ya Allah, dekatkanlah kuburku dengan tanah suci sejauh lemparan batu.'" Abū Hurairah berkata; dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Bersabda: "Jika aku ada di sana sungguh akan aku tunjukkan kepada kalian, yaitu di sisi jalan dekat pasir merah." Telah menceritakan kepada kami Muḥammad ibn Yahya; Telah menceritakan kepada kami 'Abdur Razzaq; Telah mengabarkan kepada kami Ma'mar melalui jalur ini dengan Hadis yang serupa”. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab al-Fadhail bab min fadhail Mūsa (tentang keutamaan-keutamaan Nabi Mūsa as), selain itu, juga diriwayatkan oleh Imam an-Nasā‘i dalam kitab al-Janāiz bab Nau’ Akhar, dan Imam Aḥmad dalam kitab Baqi Musnad al-Muksirin bab Musnad Abū Hurairah. Semua jalur periwayatan dari hadis ini ṣaḥῑḥ dan data rekam dari setiap perawi dalam rantai periwayatannya ṡiqah.55 Hadis yang menjelaskan tentang Nabi Mūsa as pernah menonjok mata malaikat maut sehingga menyebabkan buta sebelah, ketika malaikat datang untuk mencabut nyawanya, menurut Muḥammad al-Gazāliy, sanadnya ṣaḥῑḥ tetapi matannya menimbulkan keraguan, karena mengisyaratkan Nabi Mūsa membenci kematian. Ia tidak menginginkan perjumpaan dengan Allah setelah terpenuhi ajalnya. Hal ini tidak bisa diterima jika dikaitkan dengan hambahamba Allah yang ṣaliḥ, sebagaimana hadis Nabi, “Barangsiapa mencintai berjumpa dengan Allah niscaya ia mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Allah”, padahal Mūsa adalah Nabi Allah dan tergolong ulul azmi.56 Berkata al-Maziri (w. 536 H) mengenai hadis di atas sebagian penganut nulahadah (ateis) mengingkari keberadaan hadis ini dengan alasan bagaimana mungkin Musa mampu menjulingkan mata malaikat.57 Secara logika, hadis tersebut juga tidak bisa diterima, mengingat malaikat tidak mengalami cacat-cacat fisik seperti manusia, sehingga kebutaan kedua mata atau sebelumnya, sulit diterima. Oleh sebab itu, matan hadis tersebut 55 Ibnu Qutaibah, Ensiklopedia Hadis, (Jakarta: Bania Publising, 2010), p. 298 Muḥammad al-Gazāliy, al-Sunnah al-Nabawiyyah..., p. 34-37 57 Nawawi, Shahih Muslim Syarah an-Nawawi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), p. 129 56 Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-7630 Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 - 64 Asih Kurniasih, Muhammad Alif mengandung ‘illah (cacat). Muḥammad al-Gazāliy, hadis di atas juga melakukan perlawanan terhadap label starndar ṣaḥῑḥ yang diberikan para ulama kritikus dengan mengungkapkan bahwa secara data riwayat yang terdapat di dalam rantai periwayatan tersebut memiliki kredibilitas di atas standar, namun patut diragukan adalah redaksi matan hadis yang tidak memiliki legalitas rasional, 58 serta mengandung cacat berat (‘illah qadiḥah)59 yang meruntuhkan validatasnya sebagai ḥadῑs ṣaḥῑiḥ. Sedangkan salah satu standar kriteria validitas hadis menurut Muḥammad al-Gazāliy adalah terkait dengan nalar dalam menangkap gejala kelemahan dalam matan hadis. Di samping itu, menurut Muḥammad alGazāliy, hadis tersebut dapat dipahami, bahwa Malaikat berkata kepada Musa: “Penuhilah panggilan Tuhanmu! Yakni usiamu telah habis. Bersiap-siaplah untuk menyerahkan ruhmu kembali pulang kepada Tuhanmu”. Musa juga memohon agar dikubur di suatu tempat “sejauh lemparan batu dari perbatasan Palestina”, negeri yang kaum Nabi Musa tidak berani memasukinya. Hadis ini juga tidak terkait dengan aqidah dan perilaku. Dengan demikian, hadis tersebut hars dipahami secara majaz.60 Para ulama dalam menanggapi hadis di atas memberikan argumentasi seputar makna tersembunyi dibalik kejadian yang dialami Nabi Mūsa as. 61 Kekhawatiran akan terjerumus pada sikap penolakan terhadap hadis yang secara jelas memiliki kualitas di atas standar penilaian (ṣaḥῑḥ) memberikan arahan kepada para ulama dalam menentukan takwilan yang sesuai dengan nalar berfikir, hal ini dilakukan sebagai bentuk ikhtiyar. Yang menjadi titik tolak dari masalah ini bukanlah berbagai apologi yang memberikan ulama terhadap makna hadis ini, namun pertimbangan yang sertara terhadap kualitas yang terindikasi dari penakwila-penakwilan ulama terhadap maknanya. Bukankah adanya penakwilan mengindikasikan validitas suatu hadis tidak menjadi perdebatan dengan kata lain adanya penakwilan mengindikasikan hadis tersebut diterima secara kualitas dan mencari kemungkinan solusi dari perbedaan tersebut. 58 Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyyah..., p. 136 Yang dimaksud dengan illah qadihah oleh Muhammad al-Ghazali adalah penilaian yang tidak mampu dinalar, bertentangan dengan prinsip ilmu pengetahun, fakta sejarah, berlawanan dengan teks alQur’an. Hal ini sering diungkapkan dalam bentuk matan hadis. 60 Suryadi, Metode..., p. 125 61 Nawawi, Shahih Muslim bi Syarah an-Nawawi..., p.129 59 Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-763 65 - Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 Asih Kurniasih, Muhammad Alif Berbeda dengan makna yang diungkap Muḥammad al-Gazāliy dalam penilaiannya terhadap hadis ini. Ia dengan spontanitas menilainya lemah disebabkan kadar penalarannya tidak mampu memahami kejadian tersebut meskipun secara data kualitas perawinya terekam dalam penilaian ṡiqah. DAFTAR PUSTAKA Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadis: Versi Muhadditsin dan Fuqaha. Yogyakarta: Teras, 2004. al-Bukhāriy, Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Ismā‘īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mugīrah alJu‘fiy. Al-Jāmi‘ al-Musnad al-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar min Umūr Rasūlillah Ṣallā Allāh ‘alaih wasallam wa Sunanih wa Ayyāmih. Penyunt. Muḥammad Zuhair ibn Nāṣir al-Nāṣir. 1st. Vol. II, VII. Beirut: Dār Ṭauq al-Najāt, 1422 H. IX vol. al-Gazāliy, Muḥammad. Fiqh al-Sῑrah. Kairo: Dār al-Bayān li al-Turāṡ, 1987. al-Ghazali, Muhammad. Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw antar Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Penerj. Muhammad Baqir. Surabaya: Dunia Ilmu, 1991. —. Studi Kritis atas Hadis Nabi: antara Pemahaman Teks dan Kontekstual. Bandung: Mizan, 1992. al-Jawābiy, Muḥammad Ṭāhir. Juhūd al-Muḥaddiṡῑn fῑ Naqd Matn al-Ḥadῑṡ al-Nabawiy al-Syarῑf. Tunis: Muassasāt ‘Abd al-Karῑm ibn ‘Abdillāh, 1986. al-Naisābūri, Muslim ibn al-Ḥajjāj Abū al-Ḥasan al-Qusyairiy. Al-Musnad al-Ṣaḥīḥ alMukhtaṣar binaql al-‘Adl ‘an al-‘Adl ilā Rasūlillah Ṣallā Allāh ‘alaih wasallam. Penyunt. Muḥammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī. 1st. Vol. III. Beirut: Dār Iḥyā’ alTurāṡ al-‘Arabiy, 1424 H. V vol. Al-Qarḍāwiy, Yūsuf. Kaifa Nata‘āmal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah. Kairo: Dār alSyurūq, 2002. Al-Qardhawi, Yusuf. Kajian Kritis Pemahaman Hadis: antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Penerj. A. Najullah dan Hidayatullah. Jakarta: Islamuna Press, 1991. Ash Siddieqi, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1958. Azami, M. M. Hadis dan Sejarah Kodifikasinya. Penerj. Ali Mustafa Ya’qub. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. Basid, Abdul. “Kritik Terhadap Metode Muhammad Al-Ghazali Dalam Memahami Hadits Nabi Muhammad SAW.” KABILAH : Journal of Social Community 2.1 (2017). <http://ejournal.kopertais4.or.id/madura/index.php/kabilah/article/view/3079>. Fettane, Amar. “Textual Criticism Among the Prophet’s Companions The Example of Aisha.” at-Tajdid 17.33 (2013): 83-118. <https://journals.iium.edu.my/attajdid/index.php/tajdid/article/view/11/11>. Fudhaili, Ahmad. Perempuan di Lembaran Suci “Kritik atas Hadis-hadis Shahih”. Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, 2012. Ibn Mājah, Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Yazïd al-Qazwīniy. Sunan Ibn Mājah. Penyunt. Syu‘aib al-Arna’ūṭ, et al. Vol. II. Ḥalab: Dār al-Risālah al-‘Ālamiyyah, 2009. V vol. Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-7630 Jurnal Holistic al-hadis Vol. 4, No. 2 (Juli –Desember) 2018 - 66 Asih Kurniasih, Muhammad Alif Isa, Bustamin M. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Ismail, M. Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1998. Kadir, Muslim A. Ilmu Islam Terapan; Menggagas Paradigma Amali dalam Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Muhsin, Masrukhin. Studi Kritik Matan. Magelang: PKBM “Ngundu Ilmu”, 2013. Musaddad, Endad. Kompleksitas Studi Hadis. Serang: FUD Press, 2009. Purwaningsih, Sri. “Kritik terhadap Rekonstruksi Pemahaman Hadis Muhammad alGhazali.” Jurnal Theologia 28.1 (2017): 75-102. <https://journal.walisongo.ac.id/index.php/teologia/article/view/1189>. Qutaibah, Ibnu. Ensiklopedia Hadis. Jakarta: Bania Publising, 2010. Suryadi. Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, Perspektif Muhammad al Ghazali dan Yusuf al Qaradhawi. Yogyakarta: Teras, 2008. Suryadilaga, M. Alfatih. Aplikasi Penelitian Hadis dari Teks ke Konteks. Yogyakarta: Teras, 2009. Holistic al-hadis Print ISSN: 2460-8939, Online ISSN: 2622-763