Academia.eduAcademia.edu

Menangkal narasi NKRI Bersyariah Dibalik Populisme Islam

2019, Amirullah

Sekalipun wacana yang dikampanyekan oleh para elit atau sebagian alumni Aksi Bela Islam adalah penerapan syariat Islam (NKRI bersyariah), pada akhirnya tetap saja berorientasi kepada kekuasaan. Rangkaian Reuni 212 hingga Ijtima Ulama yang mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02, menandakan secara jelas bagaimana simbol-simbol agama ditarik di atas panggung politik praktis untuk sebuah kekuasaan, kendati Prabowo-Sandi kalah dalam pilpres 2019. Tapi, hal yang senantiasa menjadi perhatian dan kajian para peneliti, sebagaimana pengamatan yang dilakukan Amin Abdullah, bahwa pasca Aksi 212 conservative turn menguat kembali dan bertujuan untuk meraih kekuasaan politik (sekalipun gagal dalam kasus pilpres 2019). Amin Abdullah menyebut gejala ini sebagai highly political spiritualy, yaitu mereka mengangkat simbol-simbol dan spiritualitas Islam tetapi untuk tujuan politik kekuasaan. Karena pada akhirnya, manakala agama sudah masuk tercebur dalam dunia politik praktis, yang terjadi adalah kontestasi, rivalatas, dan perebutan kekuasaan. Fokusnya menjadi sangat profane, wordly, duniawi. Demikian pandangan Amin.

Merawat Indonesia Refleksi Kritis Isu-isu Keindonesiaan, Keislaman, dan Kemanusiaan Pengantar Abd. Rohim Ghazali Penyunting Moh. Shofan Merawat Indonesia: Refleksi Kritis Isu-isu Keindonesiaan, Keislaman, dan Kemanusiaan Aan Arizandy, Amirullah, Andi Muslimin, Cici Situmorang, Destara Sati, Irfan L. Sarhindi, Muhammad Alkaf, Ricko Imano Ganie, Robby Kurniawan, Saepullah, Taufani, Yayum Kumai, Zainal A., Zulfadli Pengantar : Abd. Rohim Ghazali Penyunting : Moh. Shofan Proofreader : M. Supriadi Layout : Riamawati Desain Cover : Deni Murdiani xii , 347 halaman ukuran 150 x 230 mm Cetakan I, Desember 2019 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Segala bentuk pengutipan sebagian atau seluruhnya diperbolehkan dengan tetap menyebutkan sumber tulisan. Penerbit: MAARIF Institute for Culture and Humanity Jl. Tebet Barat Dalam II No.6, Tebet, Jakarta Selatan 12810 Telp. (021) 8379 4554, 8379 4560 Fax.(021) 8379 5758 [email protected] maarifinstitute.org ISBN . Daftar Isi Daftar Isi iii Kata Pengantar Penyunting Nafas Keindonesiaan yang Kian Sesak Menguatkan (Kembali) Komitmen Keindonesiaan yang Mulai Memudar v Kata Pengantar Direktur Eksekutif MAARIF Institute Tantangan Intelektual Ditengah Menguatnya Arus Radikalisme x Konflik, Perdamaian dan Islamisme: Sebuah Pelacakan Genealogis tentang Konstruksi Politik Indentatas di Aceh Muhammad Alkaf 1 Menakar Pancasila Sebagai Civil Religion di Indonesia: Menyonsong Era Post-Islamisme Aan Arizandi 31 Menangkal Narasi NKRI Bersyariah Dibalik Populisme Islam Amirullah 59 Institusi Keagamaan Sebagai Kohesi Sosial Saepullah 69 Pancasila dan Kesalehan Sosial: Religiusatas Islam dalam Sorotan Irfan L. Sarhindi 103 Resistensi Masyarakat Manado Terhadap Islamisme Pasca Aksi Bela Islam Taufani 129 Arus Konservatisme Islam di Sumatera Barat Zulfadli 161 Pemenuhan Hak Sipil dan Politik bagi Penghayat Kepercayaan Destara Sati 189 Kata Pengantar iii Potret Buram Wajah Islam di Era Keterbukaan Andi Muslimin 207 Keagamaan dan Kekuasaan: Citra Islam dalam Aturan Berbusana Muslim di Kabupaten Agam, Sumatera Barat Robby Kurniawan 242 Justifikasi Tafsir Al-Qur’an tentang Pluralisme Beragama: Sebuah Alternatif Merawat Kebinekaan Bangsa Ricko Imano Ganie 267 Pesantren Mahasiswa: Upaya Integrasi Agama dan Sains di PTU M. Zainan Ahyar 305 Advokasi Islam Garam vs Kristen Garam di Komunatas Inspiration House Cirebon Cici Situmorang 336 Tentang Penulis 343 iv NAFAS KEINDONESIAAN YANG KIAN SESAK MENGUATKAN (KEMBALI) KOMITMEN KEINDONESIAAN YANG MULAI MEMUDAR Indonesia bagaikan sebuah kapal raksasa dengan penumpangnya yang sangat beragam. Keberagaman ini ditandai bukan hanya sebatas letak geografis,—yang terdiri atas berbagai pulau dari Sabang sampai Merauke—namun keberagaman ditunjukkan dengan beraneka suku, adat, tradisi, bahasa etnis maupun agama, termasuk di dalamnya para penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tersebar di sudut-sudut halaman nusantara. Ini tentu, sebuah anugerah terbesar yang jarang ditemui di dunia. Namun, hari ini, kita merasakan nafas ruang publik kita semakin sesak oleh kegaduhan politik. Politik identitas dan populisme agama dengan lenggang menari untuk tujuan-tujuan politis. Pilkada Jakarta 2017 dan Pilpres 2019, telah memberikan potret bagaimana tafsir agama bisa dijadikan alat memukul pihak sebelah. Politisasi agama, ujaran kebencian, dan paham radikal menjadi virus yang sedemikian cepat menyebar di tengah Islam yang sedang bergelora. Keberislaman yang mestinya menjadi sumber rahmat dan kebahagiaan bagi semua makhluk justru dicemari dengan caci maki dan kebencian. Ditambah lagi dengan semakin luasnya jangkauan akses internet di negeri ini, perang opini melalui udara untuk saling menjatuhkan dan memengaruhi semakin berserakan. Bisa dilihat bagaimana retorika Pancasila versus Khilafah, kriminalisasi ulama, antiIslam, dan anti-NKRI sangat mendominasi percakapan di ruang publik demokrasi Indonesia. Kegaduhan ini bisa menjadi salah satu faktor penghambat laju kebinekaan maupun toleransi dalam kehidupan berbangsa. Di sisi lain, derasnya arus radikalisme transnasional berhaluan radikal juga merembes ke altar bumi Indonesia. Bahkan aksi-aksi teror pasca-Reformasi justru makin menggila dengan merebaknya serangkaian aksi-aksi teror. Ini semua mencerminkan bahwa nilai-nilai keindonesiaan tengah menghadapi tantangan yang amat sangat serius. Yang disebut terakhir, di atas, cukup mengkhawatirkan, yakni maraknya fenomena radikalisme. Hanya sebagian Kata Pengantar v kecil yang menganggap situasi keagamaan kondusif, aman dan harmonis. Wajah keagamaan (keislaman) di Indonesia pasca-Reformasi menunjukkan realitas yang sedikit paradoks. Hal ini terkait dengan tingginya angka intoleransi dan kekerasan berbasis agama. Dianggap paradoks karena sebagian besar kasus-kasus ini melibatkan umat Islam di dalamnya. Korban intoleransi ini terutama adalah kelompok-kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah, Kristen dan para penganut agama atau kepercayaan lokal. Di tahun 2011, misalnya, jumlah kasus yang ada meningkat dua kali lipat, yakni 185 kasus terjadi.1 Pada 2012, kasus yang ada menurun menjadi 110,2 tapi meningkat menjadi dua kali lipat, yakni 245, pada 2013.3 Jumlah kasus yang ada meningkat secara berangsur-angsur yakni dari 158, 190, 204 hingga 213, berturut-turut di sepanjang tahun 2014, 2015, 2016 dan 2017.4 Sementara itu, kasus-kasus terorisme terus bermunculan baik dalam skala kecil maupun besar. Fakta terakhir yang mengejutkan semua pihak adalah pengeboman di Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Sawahan, Rusunawa Wonocolo Sidoarjo, dan Markas Polrestabes Surabaya pada tahun 2018. Apalagi dalam salah satu peristiwa tersebut melibatkan anak dalam aksinya. Dan, belakangan bom bunuh diri juga menyasar Polrestabes Medan, Sumatera Utara. Bom bunuh diri ini dilakukan oleh seorang remaja. Di sisi lain, pendidikan agama yang seharusnya diarahkan menjadi media penyadaran umat, pada kenyataannya masih memelihara kesan eksklusifitas. Sehingga, hilangnya kesadaran inklusif di tengah masyarakat dapat merusak sekaligus menghambat harmonisasi agama-agama serta menghasilkan corak paradigma beragama yang rigid dan tidak toleran. Padahal, guru-guru seharusnya mampu menjadi mediator pertama untuk menterjemahkan nilai-nilai toleransi dan pluralisme kepada siswa, yang 1 The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011 (Jakarta: The Wahid Institute, 2011). 2 The Wahid Institute, Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012 (Jakarta: The Wahid Institute, 2012). 3 The Wahid Institute, Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi 2013 (Jakarta: The Wahid Institute, 2013). 4 The Wahid Institute, Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi 2014 (Jakarta: The Wahid Institute, 2014); The Wahid Institute, Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama/Berkeyakinan (KBB) di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2015); The Wahid Foundation, Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama/Berkeyakinan (KBB) di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2016); The Wahid Foundation, A Measure of the Extent of Socio-Religious Intolerance and Radicalism within Muslim Society in Indonesia (Jakarta: Wahid Foundation and Lembaga Survei Indonesia, 2017). vi pada tahap selanjutnya juga ikut berperan aktif dalam mentransformasikan kesadaran toleransi secara lebih intensif dan massif. Tidak terlalu mengherankan jika berkecambahnya bentuk-bentuk radikalisme agama yang belakangan semakin membuncah menjadi ancaman yang sangat serius bagi berlangsungnya pendidikan agama yang menekankan pada adanya saling keterbukaaan dan dialog. Ajaran Islam, misalnya, mengedepankan sikap keterbukaan (inklusif) dari pada kebencian dan permusuhan. Islam secara jelas melarang sikap menghujat atau mendiskreditkan agama atau kelompok lain, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat: 11. Sikap kaum Muslim kepada penganut agama lain jelas ditegaskan dalam al-Qur’an, yaitu berbuat baik kepada mereka dan tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalani hubungan kerjasama dengan mereka, lebih-lebih mengambil sikap tidak toleran dengan mereka. Dalam kerangka seperti ini, mestinya semua agama memiliki kedudukan yang sama untuk ikut menyumbangkan nilai-nilai yang harus dibangun untuk mewujudkan masyarakat yang toleran, menegakkan keadilan, menjunjung tinggi keseteraan dan persamaan hak yang merupakan ajaran semua agama. Dan, sebagai penerus cita-cita bangsa, tentunya kita wajib merawat serta menjaganya serta meneguhkan komitmen untuk mendalami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai pijakan untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentang Buku Ini Buku yang kini ada di hadapan para pembaca ini merupakan kumpulan tulisan anak-anak muda yang tersebar dari berbagai sudut halaman bumi nusantara. Mereka adalah para peserta kegiatan Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif (SKK-ASM) periode pertama, yang diselenggarakan oleh MAARIF Institute, di penghujung bulan Nopember 2018 lalu. Mereka adalah ; Mereka adalah ; Anis Kurniawan, Dwi Wahyuni, Ozi Setiadi, Hamka Husein Hasibuan, Indah Fajar Rosalina, Jalaluddin B., Aminah, Maghfirah, Mulyadi, Noor Hasanah, Pangky Febriantanto, Putri Wulansari, Nuraini, Suryani Musi, Eko Nur Wibowo, Didi Rahmadi, Masthuriyah Sa’dan, Iqbal Suliansyah, Vidiel Tania Pratama dan Mirza Ardi. Buku ini adalah bagian dari komitmen mereka untuk mengusung nilai-nilai keterbukaan, kesetaraan dan kebhinnekaan serta menempatkan Kata Pengantar vii dan mendialogkan berbagai perbedaan terutama di antara berbagai identitas bangsa Indonesia dalam posisi yang setara, demi terpeliharanya keutuhan dan persatuan bangsa. Sosok Buya Syafii Maarif digunakan sebagai inspirasi nyata atas kiprah dan gagasannya dalam wacana akademik tentang Keislaman, Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Kegiatan SKK-ASM—yang kini sudah memasuki periode ketiga— merupakan gerbang pengembangan dan penguatan untuk menyebarkan pemikiran Islam yang inklusif, toleran, moderat serta berpihak pada kemanusiaan, kenegaraan serta keindonesiaan. Kegiatan ini menjadi energi baru dalam upaya melembagakan gagasan dan cita-cita sosial Buya Syafii, baik di ranah keislaman, kenegaraan, yang mengusung nilai-nilai keterbukaan, kesetaraan dan kebhinnekaan yang dapat diwariskan kepada anak-anak bangsa. Juga sebuah ruang sekaligus arena yang memungkinkan generasi muda dapat berjumpa, berbagi pengetahuan dan pengalaman antarsesama yang berasal dari daerah berbeda di seluruh Indonesia yang memiliki latar belakang identitas beragam, baik agama, etnis, suku, bahasa maupun budaya. Melalui program ini pula generasi muda Indonesia memiliki perspektif, sikap dan pendirian yang relatif sama dalam memotret dinamika, perubahan dan perkembangan kehidupan keberagaman di Indonesia. Kegiatan ini memungkinkan para generasi muda Indonesia untuk menjelaskan dan menegaskan komitmen dan konsistensi mereka untuk menjadi bagian dari pemecah masalah (problem solver) berbangsa dan bernegara. Dengan komitmen ini generasi muda Indonesia akan mampu memainkan peran strategis serta mengambil tanggung jawab secara proporsional dalam mendorong dan mengakselerasi proses pembangunan bangsa. Dan buku yang ada di hadapan para pembaca ini, adalah bagian kecil dari komitmen mereka itu. Ada banyak sekali pihak yang terlibat dalam proses penerbitan buku ini. Sayangnya kami tak bisa menyebut semuanya. Dalam kesempatan ini kami perlu mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Buya Ahmad Syafii Maarif, yang dalam berbagai kesempatan bertemu telah memberikan masukan, saran, maupun dukungan terhadap terselenggaranya kegiatan SKK-ASM, sehingga lahirlah karya sederhana ini. Kepada Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Kang Abd. Rohim Ghazali, terima kasih atas support dan arahannya, serta atas waktunya memberikan pengantar buku ini. Prof. Dr. Amin Abdullah, Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, Mas Luthfi Assyaukanie, Romo Zuly Qodir, yang tak pernah lelah memberikan viii masukan, membimbing dan juga meluangkan waktu untuk menjadi Tim Juri kegiatan SKK-ASM. Juga rekan-rekan MAARIF Institute; M. Supriadi, Khelmy Pribadi, Pipit Aidul Fitriyana, Mbak Henny Ridhowati, Fithri Dzakiyya H., Titi Lestari, Pripih Utomo, Riamawati, dan Deni, kepada mereka semuanya, kami ucapkan terimakasih atas dukungan dan apresiasinya. Akhirnya kepada para pembaca, kami berharap artikel-artikel yang terhimpun pada edisi jurnal kali ini dapat memberikan informasi, pencerahan dan pemahaman secara komprehensif guna mencari dan menemukan formasi yang tepat dalam menempatkan dan mendialogkan berbagai perbedaan terutama di antara berbagai identitas bangsa Indonesia dalam posisi yang setara, demi terpeliharanya keutuhan dan persatuan bangsa. Penyunting Moh. Shofan Kordinator Program SKK-ASM, dan Direktur Riset MAARIF Institute Kata Pengantar ix TANTANGAN INTELEKTUAL DI TENGAH MENGUATNYA ARUS RADIKALISME Buku yang berada di hadapan pembaca ini, merupakan kumpulan esai yang ditulis oleh anak-anak muda millenial, alumni SKK-ASM periode pertama dan kedua. Kumpulan esai dalam buku ini merupakan ikhtiar mendialogkan ajaran agama dengan ragam kompleksitas kehidupan masyarakat. Narasi yang dibangun dalam buku ini adalah bagaimana memaknai agama sebagai ajaran sakral mampu secara kontekstual menjadi petunjuk dan memberikan solusi terhadap pelbagai problem kemasyarakatan dan kebangsaan. Buku ini setidaknya menguatkan peran agama dalam tiga spektrum sekaligus, yakni keislaman, kemanusiaan, dan kebangsaan. Buku ini menambah kekayaan khazanah intelektual dalam memotret dinamika sosial, serta menggali lebih dalam makna agama dengan segala dimensinya secara kontekstual. Nilai-nilai agama idealnya tidak hanya mengendap dalam teks keagamaan akan tetapi harus didialogkan secara terus menerus dengan realitas. Dengan cara itulah, agama menempati fungsinya sebagai kompas menuju kemaslahatan manusia. Sehingga ajaran agama tidak terbatasi menjadi sesuatu yang melangit akan tetapi hadir sebagai panduan umat manusia. Apa yang telah dilakukan anak-anak muda tentang pemikiran Islam, semuanya ditegakkan di atas landasan akademik yang berkualitas. Anakanak muda ini telah melakukan jihad intelektual dan mencari bentuknya dengan menggunakan paradigma baru yang lebih baik dan dapat memberikan jawaban solutif terhadap berbagai persoalan yang menuntut tanggung jawab intelektual untuk merumuskan dan menemukan kembali secara tepat dalam keseluruhan maknanya. Membaca gairah pemikiran anak-anak muda progresif dalam menawarkan pendekatan dari berbagai disiplin ilmu untuk menemukan makna baru Islam yang sudah lama terkungkung dalam alien space tradisi yang mengkristal dan menggali makna baru sesuai dengan kebutuhan zaman, tentu saja merupakan suatu hal yang tidak mudah dan membutuhkan kesungguhan dalam pengkajiannya. Fenomena tampilnya anak-anak muda dalam pentas wacana pemikiran Islam di satu sisi sangat x menggembirakan, namun di sisi lain kiranya agak mengkhawatirkan kalau tidak ada kesadaran yang mendalam terhadap realitas yang melatarinya. Dikatakan menggembirakan karena anak-anak muda progresif ini bisa menjadi benteng menguatnya arus fundamentalisme-konservatisme Islam yang akhir-akhir ini menunjukkan gejala irrasional dengan melakukan serangkaian tindakan kekerasan berdalih amar makruf nahi munkar dan tidak jarang pula mereka mencari pembenaran atas nama agama maupun Tuhan. Kaum konservatif-fundamentalis tersebut dalam melakukan strategi dakwahnya sering kali membajak nama Tuhan. Dan yang paling berbahaya mereka menganggap kelompok di luar dirinya (the other) sebagai kafir atau murtad. Munculnya truth claim dan salvation claim yang mengatasnamakan iman (baca: agama) merupakan fenomena yang paling banyak dijumpai di masyarakat kita hari ini. Gerakan-gerakan kelompok radikal di tanah air belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Kendati pemerintah dengan segenap upaya menggulirkan kebijakan-kebijakan sebagai usaha menangkal laju gerak kaum radikal, faktanya kelompok radikal yang mengusung misi negara Islam itu terus menerus bersalin-rupa dengan pola gerakan yang berbedabeda. Kondisi inilah yang menjadi ancaman serius bagi bangsa ini yang tak boleh disepelekan. Kegagalan mengantisipasi gerakan radikal itu jelas berakibat fatal karena dapat menimbulkan pertumpahan darah sesama anak bangsa. Hal inilah yang menjadi titik kekhawatiran. Yang dibutuhkan saat ini adalah kerjasama semua pihak—termasuk peran anak-anak muda. Hal utama yang perlu ditekankan adalah peran civil society di Indonesia untuk menangkal pertumbuhan kaum radikal yang kian mencemaskan. Civil society yang termanifestasi lewat ormas-ormas berhaluan moderat tentu amat diharapkan peranannya. Ormas-ormas sosial keagamaan berhaluan moderatlah yang mampu menjadi tameng untuk menghalau gerakan-gerakan radikal dengan cara mengedukasi umat lewat pemahaman-pemahaman moderat. Sebab dengan absennya ormas-ormas sosial keagamaan berhaluan moderat itu sama artinya dengan melempangkan jalan bagi kaum radikal untuk menjalankan misi utopisnya. Dalam konteks Indonesia yang multikultural ini, sungguh tidak mudah menemukan keislaman dan ke-Indonesiaan. Apa yang pernah digagas oleh Cak Nur, Gus Dur, dan tentu saja Buya Syafii, tentang keislaman, kemodernan, ke-Indonesiaan, dan kemanusiaan, masih perlu dicari secara terus menerus sampai menemukan bentuknya yang konkret Kata Pengantar xi sebagaimana yang dicita-citakan Buya Syafii—dan pada hakikatnya juga dicita-citakan oleh Cak Nur dan Gus Dur. Dan sekali lagi, tugas ini ada di pundak anak-anak muda progresif. Tugas dan tanggung jawab anak-anak muda progresif ini tidak hanya berhenti pada discourse tetapi bagaimana mulai merambah pada upaya-upaya nyata yang konstruktif untuk membangun keberagamaan yang inklusif, misalnya, mengadakan pelatihan-pelatihan yang bisa merangsang tumbuhnya kesadaran dalam beragama dan cara bersosial dengan masyarakat yang beragam latar belakang budaya, etnis, suku dan agama. Semoga gairah intelektual anak-anak muda, sebagaimana tertuang dalam buku ini, diharapkan dapat menumbuhkan harapan berkembangnya kembali tradisi pemikiran umat Islam yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan zaman. Keberadaan mereka juga dapat diharapkan akan membantu mempercepat perubahan cara berpikir umat Islam yang selama ini berjalan sangat lamban. Selama ini umat Islam terlihat mengalami kemandegan sebab telah memudarnya rasionalisme dalam pemikiran Islam. Buku yang berada di hadapan pembaca ini, merupakan kumpulan esai yang ditulis oleh para alumni SKK-ASM periode kedua. Mereka adalah kader-kader intelektual muda yang sudah terbiasa dengan latihan intelektual (intellectual exercise) di lingkungannya masing-masing, karena pada dasarnya sebagian di antara mereka sedang dalam proses menyelesaikan kuliah atau sudah menjadi dosen di sejumlah Perguruan Tinggi di Indonesia. Kegiatan sekolah ini lebih pada mematangkan diskursus intelektual yang selama ini telah mereka geluti. Selamat membaca ! Tebet, 19 November 2019 Abd Rohim Ghazali Direktur Eksekutif MAARIF Institute xii KONFLIK, PERDAMAIAN DAN ISLAMISME: SEBUAH PELACAKAN GENEALOGIS TENTANG KONSTRUKSI POLITIK INDENTATAS DI ACEH Muhammad Alkaf Pendahuluan Tulisan ini hendak melihat bagaimana perdamaian MoU Helsinki ikut menyediakan ruang bagi kontestasi politik Identitas Aceh, terutama mengenai ide Islamisme, dan bagaimana gagasan ini mampu menyingkirkan ideologi nasionalisme keacehan. Lalu, juga hendak menjawab pertanyaan, mengapa pula perdamaian politik yang dihasilkan atas desakan dari Gerakan Aceh Merdeka – sebuah gerakan yang sedari awal tidak mengusung ide Islamisme – malah memberi ruang yang lebih besar untuk terbentuknya gagasan tersebut. Studi ini dilakukan untuk melihat pergerakan Aceh, setelah perang yang berlangsung lebih dari tiga decade, untuk melihat apa yang sedang berubah di Aceh. Sebab wilayah yang paling bergejolak selama menjadi bagian Republik Indonesia ini, selalu menjelaskan dirinya berulang-ulang. Bahkan pernah terlebih dahulu memunculkan kebingungan controller Belanda, ketika mendapati keengganan orang Aceh menggunakan bahasa Aceh dalam pembelajaran di sekolah – dan lebih memilih bahasa Indonesia (Melayu). Aceh yang sedang mencari penjelasan tentang siapa dirinya, setelah mengalami kekalahan dan perasaan tersungkur di hadapan Kerajaan Belanda, mulai memasuki fase sebagai bahagian dari struktur administrasi pemerintahan Hindia Belanda. Adapun satu- 1 dua serangan terhadap tentara Belanda, baik di tangsi militer maupun di pasar, sifatnya sporadis. Tidak meenggoyahkan posisi pemerintah kolonial yang mulai mapan. Kemapanan ini, misalnya, ditunjukkan dengan berhasil ditundukkannya para Uleebalang (kaum bangsawan) di dalam struktur pemerintahan Belanda. Secara administrasi, Uleebalang diberikan kewenangan untuk mengelola wilayah. Tapi harus tunduk kepada Belanda. Wilayah yang dikelolanya itu memberikan manfaat yang luar biasa, secara politik dan ekonomi. Seorang Uleebalang di satu mukim (yang meliputi beberapa kecamatan) dapat menguasai jalur perdagangan. Selain itu penguasaan atas wilayah itu, ikut pula memberinya wewenang mengatur masyarakat dengan sistem sosial yang dibangunnya. Termasuk dalam urusan perkawinan dan waris. Namun apa yang dilakukan Belanda, dengan mempertahankan struktur kekuasaan lama itu, membuat segregasi dalam masyarakat Aceh. Uleebalang dianggap sebagai perpanjangan tangan pemerintah kolonial. Rakyat yang meradang itu, lalu, memalingkan wajahnya ke ulama. Ulama kemudiann mendapatkan posisi barunya, melebihi apa yang dimilikinya sejak jaman kerajaan Aceh. Dimana kala itu, ulama hanya menjadi pedamping Sultan. Gelar yang dimiliki biasanya yang paling tinggi adalah Mufti. Peran ulama sebagai pemberi pandangan baik dalam soal keagamaan maupun dalam bidang sosial politik. Sedangkan keputusan politik selalu berada di tangan Sultan. Hal tersebut berlangsung sampai dengan perang kolonial berlangsung. Lalu, ketika posisi Sultan melemah dan harus menyingkir dari istana, maka ulama mengambil peran yang lebih penting lagi, di banding hanya pemberi pandangan agama dan social-politik. Ulama hadir dan menggantikan peran Sultan di dalam kancah peperangan dan politik. Hal itu terjadi di akhir abad ke-19. Situasi inilah yang kemudiann ikut menggeser orientasi sosial masyarakat Aceh setelah perang kolonial, yaitu ulama dianggap sebagai wakil dari masyarakat Aceh, tidak lagi dalam pengertian sebagai pemberi legimatasi persoalan keagamaan belaka, namun juga pada persoalan politik kenegaraan. 2 Hal ini berlangsung semakin kuat, ketika gelombang pembaruan Islam mulai menyapu dunia melayu Islam, tak terkecuali Aceh. Melalui orientasi keagamaan modern itu, Aceh semakin mendapatkan energi untuk menyusun ulang idenitatasnya yang porak-poranda akibat perang kolonial. Pembaruan Islam berperan penting dalam melakukan modernisasi pemikiran praktik hidup, dan hal yang paling baik tentu pada corak pendidikan agama. Ketika pendidikan agama orang Aceh luluh-lantak karena perang, lalu dayah (pesantren) dianggap tidak mampu membaca jaman, karena pembelajarannya yang hanya pada seputaran ilmuilmu agama sempit belaka –tanpa mau melihat perkembangan dunia modern, hal inilah yang menyebabkan rakyat Aceh kebanyakan tertinggal dari orang-orang Belanda. Bahkan dari Uleebalang yang pro pada kekuatan kolonial. Maka dengan adanya pembaruan pendidikan Islam itu, jiwa orang Aceh kembali dibangkitkan dengan pandangan optimis. Sehingga, di awal-awal tahun 1930-an banyak bermunculan madrasah-madrasah di Aceh, yang memiliki orientasi pada gerakan modernisme. Bak bunga tumbuh di musim hujan itu, angkatan muslim modernis ini mendominasi wacana keagamaan, dan juga kemudiann politik. Aktivis modernisme Islam Aceh ini mewarnai setiap narasi sosial di Aceh, terutama melalui sebuah organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Organisasi ini didirikan sebagai respon atas semakin menjamurnya sarjana muslim Aceh yang berfikiran modern, tetapi tidak pernah meninggalkan Identitasnya sebagai orang Aceh. PUSA menjadi unsur penting di Aceh sejak abad ke-20, sebab dari organisasi itu pulalah narasi Aceh, pasca perang colonial, disusun ulang. Hal yang dilakukan pertama kali adalah menghidupkan kembali agama orang Aceh yang padam. Kedua, mencari padanan Identitas baru setelah kenyataan politik menunjukkan, bahwa kaum kaphe (kafir Belanda) itu menduduki tanah Aceh, maka terhubunglah Aceh dengan wilayah lain apa yang disebut sebagai Hindia Belanda. Melalui struktur administrasi Hindia Belanda itu pulalah, Aceh yang sebelumnya, selalu memalingkan wajahnya dari Selat Melaka, setelah pendudukan, mereka dipaksa menghadap ke Selat Sunda. 3 Jadi Aceh kemudiann melakukan pembacaan atas dirinya secara baru di awal abad ke-20. Namun ini sebagai catatan penting ingatan sosial Aceh tentang masa lalu sebelum abad ke-20 ikut pula dibawa serta. Apa yang menjadi ingatan itu adalah Islam dan kejayaan imperium, dua hal yang menggumpal menjadi basis Identitas. Jadi, ketika Aceh melakukan pembicaraan tentang Identitas baru yang bernama Indonesia, maka kedua hal ini diikutkan dan menjadi percakapan politik sepanjang jaman. Hal pertama tentu saja dari dialog yang sangat terkenal di Aceh, antar Daud Beureuh dan Sukarno. Dialog yang dijadikan sebagai amunisi untuk melakukan perdebatan, bahkan sampai perlawanan dengan Jakarta. Dialog itu juga pernyataan tentang komitmen Aceh membantu Indonesia guna mempertahankan dirinya, sekaligus – disini ingatan sosial yang menjadi Identitas, itu dibawa untuk pertama kali– perminta Aceh untuk diberikan kewenangan melaksanakan Syariat Islam. Keinginan tersebut disetujaui oleh Sukarno, tapi tidak oleh Jakarta. Aceh-pun membara. Pemberontakan politik terjadi. Nazaruddin SJamsuddin menyebutnya sebagai “Pemberontakan Kaum Republik”. Yaitu mereka yang sebelumnya berperang demi Indonesia, namun kemudiann ikut mengangkat senjata, melawan negara yang pernah dibelanya itu. Hal itu terjadi dikarenakan tidak bertemunya dua Identitas yang sudah dirumuskan sebelumnya; Aceh dan Indonesia. Kontestasi dua Identitas ini berlanjut dengan peperangan. Mulai dari Darul Islam, sampai Gerakan Aceh Merdeka. Kedua pemberontakan ini diselesaikan dengan diadakannya dialog di meja perundingan. Melalui dialog ini pulalah, cerita tentang konstruksi politik Identitas mendapat panggungnya. Ketika Darul Islam, yang dipimpin oleh Daud Beureuh, bergerak. Tuntutannya adalah otonomi daerah dalam menjalankan pemerintahannya, termasuk tuntutan utamanya, yakni pelaksanaan hukum syariah. Sehingga dalam konteks penyelesaian konflik itu, ide syariah mendapatkan tempat utama. Salah satunya dengan lahirnya sebuah nama untuk Aceh, dengan apa yang disebut dengan Daerah Istimewa. Yaitu, istimewa dalam menjalankan hukum 4 Islam, adat-budaya, dan pendidikan. Ketiga keistimewaan itu hadir bukan semata-mata dari pembicaraan guna menyelesaikan konflik bersenjata, namun hal itu merupakan kesadaram terdalam dari orang Aceh yang dibentuk oleh sejarahnya yang panjang. Bahkan perjumpaan dengan Identitas Indonesia, juga tetap menghadirkan kesadaran itu. Hal yang juga mendasari, ketika Hasan Tiro melakukan pemberontakan politiknya, yaitu dengan membawa ulang kembali kesadaran atas ingatan masa lalu Aceh. Namun perbedaanya adalah, jika Darul Islam menarik dengan lurus ingatan Aceh –yang Islam – dalam sebuah perjumpaan dengan Indonesia, sedangkan Gerakan Aceh Merdeka melompat jauh ke belakang. Di tangan Hasan Tiro, Aceh mesti dilihat sebagai Identitas yang murni. Artinya, Aceh harus dibaca dari dirinya yang asal, tanpa perlu mempertemukan dengan Identitas yang lain –yang bernama Indonesia itu. Lalu, sebagaimana Darul Islam, gerakan Hasan Tiro ini akhrinya berhenti di meja perundingan. Yang dirundingkan adalah apa yang menjadi keinginan lama orang Aceh; tumbuh dan mengelola sendiri wilayahnya. Untuk itu, perundingan politik yang dikenal dengan nama MoU Helsinki, selain membicarakan tentang kompensasi politik dan ekonomi, juga memuat hal-hal tentang Identitas. Terutama pandangan soal kebudayaan Aceh, seperti; Wali Nanggroe, hymne Aceh, dan bendera Aceh. Namun, ide syariah juga masih mengambil peran besar dalam perbincangan politik itu. Padahal, dalam Gerakan Aceh Merdeka, gagasan formalisasi Islam, bukanlah agenda utama yang dituntut oleh organisasi itu. Hadirnya ide syariah, atau bahkan lebih tepatnya penguatan yang dimiliki oleh gagasan itu, menemukan momentumya setelah lahirnya UU No.11 Tahun 2006, yang semakin memperkuat penerapan syariah Islam. Bahkan ada ruang politik yang lebih besar untuk membicarakan ide-ide syariah, yang didorong oleh Darul Islam Aceh, berbanding dengan gagasan nasionalisme yang disodorkan Gerakan Aceh Merdeka. Beberapa studi terakhir ikut mendiskusikan topik Islamisme 5 dan nasionalisme ini. Otto Syamsuddin Ishaq1 memberikan ulasan mengenai pertarungan tiga varian nasionalisme, yakni; nasionalisme keindonesiaan, Islamisme, dan nasionalisme keacehan (etnonasionalisme). Oleh Otto, ketiga varian itu diletakkan dalam perdebatan demi perdebatan di legslatif, mengenai varian nasionalisme mana yang memberikan dukungan untuk melahirkan Peraturan Daerah (Qanun) di provinsi. Studi ini dari awal menyinggung tentang gerak ide varian nasionalis di Aceh sejak masa awal, namun sebagian besar studi ini memang menitikberatkan pada dinamika politik pasca MoU Helsinki. Di mana ketiga varian tersebut berada dalam satu arena, yaitu politik lokal. Namun demikian, studi ini meninggalkan ruang terhadap pertanyaan, “mengapa ide nasionalisme keacehan itu tidak mendapatkan ruang politik?,” berbanding dengan gagasan Islamisme. Atau, “mengapa gagasan Islamisme semakin memperkuat posisinya di Aceh?.” Perdebatan gagasan Islamisme dan nasionalisme ini diletakkan dalam dua pemberontakan, Darul Islam dan Gerakan Aceh Merdeka. Edward Aspinall2 memberi penjelasan, bahwa dua pemberontakan tersebut memiliki dua konsep idelogi yang berbeda. Darul Islam dengan cita-citanya menegakkan hukum Islam dalam wilayah Negara Islam Indonesia, sedangkan GAM membangun ideologinya dari sejarah dan klaim, bahwa Aceh memiliki Identitas berbeda dengan Indonesia. Namun kajian ini lebih menitik beratkan pada munculnya gagasan Islamisme dan nasionalisme dalam tubuh dua organisasi perlawanan dalam sejarah konflik Aceh. Kajian yang menyentuh tentang arena perdebatan gagasan Islamisme dan nasionalisme di Aceh, dilakukan oleh Ali Muhannif,3 yang melihat bahwa hubungan lembaga yang mewakili negara ikut mewarnai hubungan Aceh- 1 2 3 6 Otto Syamsuddin Ishaq, Aceh Pasca Konflik: Kontestasi 3 Varian Nasionalisme, (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2013). Edward Aspinall, Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh, Indonesia, (Singapore: NUS Press, 2009). Ali Muhannif, Islam, Etnicity and Secession: Forms of Cultural Mobilization in Aceh Rebellions, Jurnal Islamika, Volume 23, Number 1, 2016. Jakarta, termasuk untuk menjawab pertanyaan mengapa Islam memasuki arena politik. Walau kajian ini menggunakan pendekatan sejarah dalam melihat dua pemberontakan politik di Aceh, namun perhatiannya untuk melihat aspek kultural, memberikan sumbangan analisis untuk melihat sejauh mana Islamisme dan nasionalisme itu menjadi perbincangan dalam konteks budaya politik di Aceh, pasca MoU Helsinki. Mengenai pemberontakan GAM, sebagai basis analisis untuk melihat bagaimana tahapan ide nasionalisme itu dibangun, Fachry Ali, dkk.4 membaginya dalam tiga fase, diantaranya: pertama, pembentukan kesadaran; kedua, dimulainya perjuangan atas ide yang dibentuk, yang kemudiann berhadapan dengan kekerasan dari Negara; ketiga, ide yang disusun telah sampai pada tahap pematangan, dan diterjemahkan dalam struktur organisasi perlawanan. Namun kajian ini hanya membatasi dinamika perundingan politik antara pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka saja. Sedangkan pelacakan ide Islamisme dapat dilihat dari awal mula konstruksi gerakan modernisme Islam di Aceh pada awal abad ke-20, yang dirumuskan oleh organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh. Lalu ditarik sampai gerakan itu menjadi sebuah entatas politik di Indonesia, terutama di awal proklamasi kemerdekaan, sampai terjadinya pemberontakan Darul Islam. Namun studi yang dilakukan oleh Anhtony Reid, 5 Nazaruddin SJamsuddin,6 Van Djik,7 dan Isa Sulaiman,8 lebih banyak menitik beratkan pada konflik politik yang terjadi, dengan pelibatan aktor-aktor besar di dalamnya, dibanding berupaya mencari pergolakan ide Islamisme. Ide itu hanya 4 5 6 7 8 Fachry Ali, dkk., Kalla & Perdamaian Aceh, (Jakarta: LSPEU, 2008). Anthony Reid, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, (Depok: Komunitas Bambu, 2011). Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, (Jakarta: Grafiti, 1990). Cornelis van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, (Jakarta: Grafiti, 1983) Isa Sulaiman, Sejarah Aceh: Sebuah Gugatan terhadap Tradisi, (Jakarta: Sinar Harapan: 1997) 7 disinggung, tapi lebih sebagai sub pembahasan atau latar sosial terjadinya pergolakan politik. Maka tulisan ini hendak menjawab tentang bagaimana ide Islamisme dibicarakan, dan dikonstruksi menjadi Identitas politik di Aceh, satu hal yang luput dari kajian-kajian konflik dan sejarah politik yang serupa. Untuk menjadikan tulisan ini lebih fokus, maka dinamikannya dibatasi sejak lahirnya MoU Helsinki, tahun 2005. Namun, sebagai kajian yang memberi penekanan kontestasi ide dalam arena politik, maka aspek historis, seperti konflik politik yang pernah terjadi di Aceh, tidak dapat ditinggalkan. Mulai dari Revolusi Sosial 1945-1946, yang merupakan peristiwa penting di Aceh untuk menegaskan hilangnya peranan kaum feodal dan digantikan oleh kaum ulama. Lalu, Peristiwa Darul Islam 1953-1962, tentang lunturnya kepercayaan daerah kepada pemerintah pusat, sehingga melahirkan perlawanan yang didasari oleh ide Islamisme yang kuat. Terakhir, lahirnya Gerakan Aceh Merdeka 1976-2005, yang mengusung gagasan nasionalisme keacehan, dengan landasan sejarah dan teori hukum internasional. Ketiga peristiwa politik itu dijadikan sebagai argumen historis, tentang mengapa ide Islamisme semakin mendapatkan tempat dan dikonstruksi menjadi politik Identitas pasca MoU Helsinki. Sebagai sebuah studi yang hendak menangkap perubahan sosial, tulisan ini akan dikerjakan dengan menggunakan perspektif gerakan sosial. Dengan menggunakan tiga variabel dalam perspektif itu; terbukanya peluang politik (political opportunity), framing (pembingkaian ide), dan resource mobilization (kemampuan sumber daya pergerakan). Ketiga variabel ini akan digunakan untuk menangkap dengan detail bagaimana ide tentang Islamisme ini tumbuh, dibicarakan, diperjuangkan dan diperdebatkan. Melalui variabel peluang politik, nanti akan dilihat bagaimana setiap waktu, masing-masing ide tersebut mendapatkan peluangnya, atau kehilangan momentum. Sedangkan dari pembingkaian ide, akan dibaca pula sejauh mana Islamisme itu disusun dan dirumuskan. Terakhir, tulisan ini akan melihat kemampuan sumber daya untuk mengapungkan ide yang dimiliki, dalam konstruksi yang terjadi. 8 Konflik-konflik di Aceh: Sebuah Fragmen Politik Hampir-hampir orang Aceh tidak dapat menarik nafas panjang, karena sepanjang hayatnya terus saja berada dalam konflik. Dimulai setelah invasi Kerajaan Belanda tempo dulu terhadap KeSultanan Aceh, wilayah ini terus membara. Walau perang Aceh yang hebat itu diklaim selesai di tahun 1903, namun tidak serta merta wilayah ini damai dan tenteram. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perlawanan yang bersifat sporadis dan kultural terhadap pendudukan Belanda. Perlawanan sporadis itu ditunjukkan dengan sikap berani mati orang Aceh, yaitu dengan menyerang tentara Belanda, walau tahu nantinya dia akan berakhir di ujung bedil. Aksi ini disebut sebagai Aceh Pungo, atau kegilaan Aceh (Aceh Moorden). Adanya perlawanan demi perlawanan, yang membuat seorang penulis Belanda, Paul Van’t Veer, menyebut bahwa perlawanan orang Aceh tidak pernah berhenti sejak invasi pertama dilakukan, sampai berakhirnya pendudukan Belanda di Aceh di tahun 1942. Argumen ini sering dikutip oleh Ali HaSJmy, penulis cum aktivis pergerakan di Aceh. Baginya, perlawanan orang Aceh terhadap Belanda adalah kisah heroisme yang bersumber dari ajaran Islam, yaitu dari Hikayat Prang Sabi.9 Cerita tentang Perang Aceh itu juga menjadi jalan bagi Hasan Tiro untuk membangkitkan romantisme sejarah Aceh, sebagai alasannya melakukan pemberontakan politik kepada pemerintah Indonesia. Perang Aceh ini juga telah mengubah struktur sosial masyarakat Aceh. Apabila sebelumnya, Sultan menjadi titik kekuasaan, dengan simpul-simpul antara lain Uleebalang, ulama dan rakyat. Ketika belanda kekuasaan Sultan dihilangkan, akan tetapi Uleebalang dan ulama masih menjadi penopang struktur masyarakat Aceh. Bedanya, oleh Belanda, Uleebalang diberi kewenangan untuk mengelola 9 Ali Hajsmy, Semangat Merdeka: 70 tahun Menempuh Jalan Pergolakan & Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal 21-23. Mengenai Hikayat Prang Sabi ini pula, Hasjmy menulis sebuah pamflet yang menyebutkan bahwa karya itu telah menjadi alasan mengapa orang Aceh mampu berperang begitu lama melawan Belanda. Lihat Ali Hasjmy, Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977). 9 wilayah admistrasi. Hal yang kemudiann ikut membentuk pola relasi baru dalam masyarakat Aceh. Ketika Uleebalang menjadi bagian dari struktur pemerintah colonial, ulama melakukan perlawanan terus menerus. Baik secara politik maupun kultural. Peranan ulama yang menentang agresi Belanda mulai menguat menjelang akhir abad ke-19, dengan hadirnya Tgk. Chiek di Tiro sebagai panglima perang. Sejak itu, ulama –yang di masa kesultanan berperan sebagai penasehat agama, memiliki peran besar di bidang sosial dan politik. Besarnya peran ulama ini, kemudiann dapat dilacak pada periode berikutnya, terutama sejak kemerdekaan Indonesia, bagaimana ulama di Aceh ikut dalam keputusan-keputusan politik penting, serta menjadi variabel penting dalam perubahan sosial di Aceh pada masa berikutnya. Salah satu perubahan sosial di Aceh terjadi karena adanya konflik bersenjata, seperti Revolusi Sosial, Darul Islam dan Gerakan Aceh Merdeka. 1. Revolusi Sosial (1945-1946) Proklamasi telah dibacakan oleh Sukarno, di Jakarta. Sedangkan di Aceh, para kaum revolusioner masih belum mengetahui apa yang sedang terjadi di Jakarta, karena kabar kemerdekaan itu sampai satu bulan berikutnya. TA. Taslya, mantan pegawai Departemen Penerangan RI dan wartawan Harian Semangat Merdeka, mengenang peristiwa itu lekat-lekat, “Ali Hajsmy adalah orang pertama yang menaikkan bendera merah putih di kantor Baperis,” katanya.10 Ali HaSJmy yang disebut oleh Talsya itu, seorang yang telah mengikuti Aceh sejak mudanya. Baginya Aceh adalah sebuah peradaban lama 10 Perbincangan informal yang penulis lakukan dengan Talsya, awal tahun 2015. Bagi para pengkaji sejarah dan kebudayaan Aceh, namanya tidaklah gaib. Menulis tiga buku tentang gema revolusi di tanah Aceh, diantaranya, Batu Karang Ditengah Lautan, Modal Perjuangan Kemerdekaan, Sekali Republikein tetap Republikein, telah menasbihkan namanya sebagai seorang arsiparis terkemuka. Ditambah, sebagai sekretaris Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) telah membuatnya turut serta dalam penyusunan arah kebudayaan Aceh. Lihat juga http://www.bung-alkaf. com/2015/02/12/belajar-dari-t-a-talsya/ 10 yang agung, dan menemukan Indonesia sebagai rumah barunya – setelah porak-poranda oleh invasi Belanda. Di tangan HaSJmy, Aceh merupakan kesatuan dengan entatas baru yang bernama Indonesia. Sejengkalpun, dia tidak pernah berpindah dari keyakinannya itu. Tesis HaSJmy tentang Indonesia baru itu –tentu juga untuk Aceh– ditunjukkan dengan pendiriannya atas pernyataan kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan oleh Sukarno-Hatta. Pendiriannya yang paling dikenang, ketika menulis sebuah puisi nan heroik, Aku Serdadumu; Untuk Bung Karno.11 Puisi itu ditulis, tanggal 7 Oktober 11 Aku Serdadumu-Untuk Bung Karno Gegap gempita membana Mengguruh riuh mengguntur Menggentarkan djiwa tidur Menjentak merentak-rentak Membaju menderu-deru Demikian djanji proklamasimu Nenek-nenek menuntut balas Bara dendam njala memanas Kakek tua bangkit menerpa Bara remadja mara mewadja Muda belia madju menjerbu Semua bersatu tudju Bergegas kemedan bakti Suaramu tjambuk sakti Bung Karno Patju kuda djihadmu Djangan mundur lagi Kami turunan Iskandar Muda Tetesan darah Ratu Safijah Anak tutju mudjahid tiro Kemanakan Umar pahlawan Telah siap bertempur Kami sedang menggempur Dengar derap kaki Gemerintjing pedang djenawi Damba sorga hikajat perang sabi 11 1945.12 Setelahnya, empat ulama Aceh mendeklarasikan dukungan untuk proklamasi kemerdekaan Indonesia.13 Akan tetapi, ada yang mengendap-endap, menyium gelagat, menyusun siasat, yaitu kaum feodal. Mereka, yang selama pemerintahan kolonial Belanda mendapatkan tempat istimewa dalam struktur mayarakat Aceh. Jadi dapat dikatakan, dengan kekalahan Jepang maka Aceh terbelah, yaitu mereka yang menyambut gegap gempita proklamasi kemerdekaan di Jakarta, dengan mereka yang lebih percaya kalau Belanda akan kembali berkuasa seperti sebelumnya. Lalu, mengembalikan previlege mereka lagi. Apa arti pentingnya dari proklamasi kemerdekaan Indonesia untuk Aceh? Jacob Juli memberi jawaban. Baginya, kemerdekaan Indonesia, adalah kemerdekaan pula untuk Aceh.14 Jacob adalah angkatan muda yang tercerahkan melalui pendidikan modern di Aceh di awal abad ke-20. Atau tepatnya, menjadi bagian dari proyek angkatan baru yang dipimpin oleh Daud Beureuh. Dia bersama intelektual muda Aceh lainnya kala itu, seperti Hasan Tiro dan Ilyas Ismail, menjadi penafsir keindonesiaan di Aceh. Mereka bertiga, dari sekian banyak intelektual muda Aceh yang senada dengan Lihat rentjong bertuah Nausran dapah Kami api memerah Menjala membakar pendjajah Pantang menjerah Bung Karno, Beri komando madju... Aku serdadumu!! 12 Ali Hasjmy, Semangat Merdeka…, hal. 581 13 Keempat ulama itu adalah Tgk. Daud Beureuh, Tgk. Hasballah Indrapuri, Tgk. Hasan Krueng Kale dan Tgk. Jakfar Lamjabat. Bunyi maklumat, yang dikeluarkan tanggal 15 Oktobr 1945 itu, itu adalah dengan berperang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, akan mendapatkan pahala syahid. Lihat Ibid, hal. 203-204. 14 Fachry Ali, Kalla dan Perdamaian Aceh…, hal. 173 12 mereka, berbicara bagaimana seharusnya Indonesia itu dibangun untuk kepentingan bersama.15 Namun, tidaklah semua orang Aceh itu republiken. Barisan feodal, para Uleebalang, mengambil sikap lain. Bagi mereka, kalahnya Jepang pada Perang Dunia ke-2 adalah jalan kembalinya Belanda ke tanah Aceh. Kedua faksi itu akhirnya bertemu muka dalam sebuah peristiwa revolusi sosial. Sebuah peristiwa penting di awalawal kemerdekaan, yang telah mengubah selamanya struktur sosial masyarakat Aceh. Revolusi sosial terjadi karena ada perimbangan dalam struktur sosial masyarakat Aceh dengan naiknya peran ulama menjelang berakhirnya pendudukan Belanda, dan selama kekuasaan Jepang.16 Bagi Reid, revolusi sosial di Aceh adalah benar-benar revolusi dalam pengertian terbentuknya satu kelas sosial baru menggantikan kelas sebelumnya, dan terbangunnya sebuah tatanan sosial baru yang bebas.17 Suasana Aceh baru, setelah revolusi sosial itu, direkam dengan baik oleh Muhammad Radjab, seorang jurnalis yang dikirim oleh Departemen Penerangan di Jogjakarta ke wilayah Sumatera, “… menindjau keadaan dan perkembangan di sana mulai dari Kutaradja sampai Teluk Betung semendjak Republik Indonesia berdiri.”18 Dia menyusuri jalan-jalan di Sumatera. Di Aceh, dia menjumpai suasana yang berbeda. Ada perdamaian dan semangat untuk membangun. Di Langsa, salah satu kota di Aceh Timur, dia berjumpa dengan 15 Ketika adanya kekecewaan atas pemerintah pusat ditunjukkan dengan adanya gerakan Darul Islam Aceh pimpinan Daud Beureuh. Hasan Tiro, didikan Daud Beureuh, yang awalnya seorang nasionalis itu, melakukan kritik tajam terhadap bangunan politik Indonesia, dan memberikan perspektif tentang bagaimana membangun Indonesia yang penuh dengan kebinekaan itu, dan menolak sentralisme. Mengenai pandangannya tersebut, lihat, Hasan Tiro, Demokrasi untuk Indonesia, (Jakarta: Teplok Press, 1999). 16 Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatera: Antara Indonesia dan Dunia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hal.325. 17 Ibid, hal.326. 18 Muhammad Radjab, Tjatatan di Sumatera, (Djakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustakam 1958), hal.3. 13 tokoh revolusi sosial, Petua Husin, yang ditulisnya,”…seorang dari pengandjur-pengandjur gerakan pembersihan terhadap kaum hulubalang, jang beraksi hendak menerima dan membantu Belanda masuk ke negerinja”.19 Revolusi sosial di Aceh benar-benar telah mengakhiri dominasi Uleebalang dalam struktur sosial masyarakat Aceh yang telah berlangsung ratusan tahun. Setelah sebelumnya, keberhasilan revolusi sosial ini, bukan hanya membuat orang Aceh hanya mengenal sebuah masyarakat yang egaliter dan demokratis, namun juga telah membawa ulama bertransformasi menjadi sebuah entatas politik, tanpa meninggalkan otoratas keagamaannya. Untuk hal tersebut, PUSA melakukan sebuah konstruksi sejarah, melalui sebuah memorandumnya, yang menyatakan bahwa organisasi keulamaan –dalam hal ini PUSA– adalah sebagai pelanjut dari kepemimpinan Aceh yang absah, argumen ini dibangun berdasarkan tarikan sejarah, sejak kehadiran Tgk. Chik di Tiro dalam kancah peperangan dan hadirnya dayah, madrasah serta organisasi keulamaan, Persatuan Ulama Seluruh Aceh.20 Revolusi sosial kemudiann membawa gagasan Islamisme ke atas panggung politik di Aceh. Ide yang awalnya dibicarakan dalam arena diskursus dan gerakan sosial di awal abad ke-20, diterjemahkan dalam beberapa kebijakan yang memberikan perhatian besar apda pelanggaran moral dan sekitar hal-hal yang merusak keyakinan (aqidah).21 Lebih lanjut, ide Islamisme ini dapat dibaca sebagai bagian definisi Identitas orang Aceh, ketika melakuan perjumpaan dengan Identitas baru, yang bernama Indonesia. Hal ini diawali dari sebuah dialog yang sangat terkenal di Aceh –tapi tidak di Jakarta–yaitu, ketika Daud Beureuh meminta komitmen Sukarno supaya Aceh dapat mengurusi dirinya sendiri dan dapat menjalankan syariah Islam –setelah bersedia memberi dukungan untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan.22 19 Ibid, hal.44. 20 Bunyi memorandum yang lebih lengkap, lihat Fachry Ali, Kalla dan Perdamaian Aceh…, hal.134-135. 21 Isa Sulaiman, Sejarah Aceh…, hal.184. 22 Dialog lebih lengkap antara Daud Beureh dan Sukarno, lihat M. Nur El 14 2. Darul Islam Aceh Ada desas-desus, Aceh ingin melakukan perlawanan terhadap Jakarta, atas ketidakpuasan pembubaran provinsi dan digabung dengan Sumatera Utara. Oleh karenanya, Royd. B. Compton, tertarik menyelidiki hal itu lebih dalam tentang negeri yang dulunya menunjukkan kesetian tanpa pamrih kepada Indonesia, kini mulai menunjukkan benih-benih perlawanannya.23 Lalu, dia pun menuju ke Beureuneun, Pidie, salah satu wilayah yang paling bergolak di masa revolusi sosial. Dia hendak menemui Daud Beureuh, pemimpin Aceh yang sedang kecewa. Di Beureneun, dia berjumpa dengan Beureuh, dan berbicara yang menjadi impiannya tentang Aceh, “Anda harus tahu bahwa kami di Aceh ini punya sebuah impian. Kami mendambakan masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda,” kata Daud Beureuh lugas.24 Apa yang dibayangkan oleh Compton, akhirnya terjadi. September 1953, pemberontakan di Aceh meletus. Kaum Republiken itu, yang memiliki cita-cita hendak menerapkan Syariah Islam, bergabung dengan Kartosuwiryo di Jawa Barat, yang terlebih dahulu menyatakan hendak mendirikan Negara Islam Indonesi (NII). Manifesto politik dari Darul Islam Aceh digambarkan melalui narasi kekecewaan, yaitu ketika maksud dari awal mula bergabungnya Aceh ke Indonesia, demi tegaknya sebuah negara Islam, tidak terwujud.25 Namun, sebagai sebuah pemberontakan pula, Compton melihat bahwa elit PUSA –yang menjadi tulang punggung pemberontakan– adalah mewakili Identitas, Indonesia, Ibrahimy, Tgk. M. Daud Beureuh: Peranannya dalam Pergolakan di Aceh, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hal.64-65. 23 Tentang pemberontakan Darul Islam Aceh, lihat Boyd R. Compton, Kemelut Demorkrasi Liberal: Surat-surat Rahasia Boyd R. Compton, (Jakarta: LP3ES, 1992), Hal.157-168. 24 Ibid, hal.149. 25 Mengenai Manifesto Darul Islam Aceh, lihat Herbert Feith dan Lance Castle (Ed), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta: LP3ES, 1988), hal.208-210. 15 Aceh dan Islam.26 Pemberontakan Aceh ini berlangsung alot dan sengit, akibat dari respon Pemerintah Pusat yang menghadirkan militer. Bahkan sampai terjadi geneosida oleh militer Indonesia, yang dinamakan Tragedi Pulot Cot Jeumpa, dua tahun setelah api perlawanan dihidupkan. Oleh Hasan Tiro, murid Daud Beureuh yang sedang bersekolah dan bekerja di Amerika Serikat, Darul Islam ini hendak dijadikan isu internasional, sebagai reaksinya atas operasi militer Jakarta terhadap Aceh.27 Perlawanan yang tiada henti dari Aceh, kemudiann mulai menampakkan titik terang. Provinsi yang telah dibubarkan, kembali dipulihkan di tahun 1956. Adalah Ali HaSJmy, seorang aktivis pergerakan nasional, juga seorang sastrawan, menjadi Gubernur Aceh. HaSJmy sebelumnya pernah ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara, karena dituduh sebagai bagian dari Darul Islam. Setelah selesai dari masa tahanan, dia dilepas dan bekerja di Departemen Sosial, Jakarta. Pengangkatannya sebagai Gubernur Aceh adalah jalan terang untuk membangun pembicaraan dengan Daud Beureuh dan para pengikutnya, yang merupakan teman seperjuangan HaSJmy di masa lampau. Untuk hal tersebut, HaSJmy mengenang masa-masa ketika dia membangun jalan damai dengan kelompok Darul Islam : “…Di atas Balai atau Mushalla di pinggir sebuah sungai kecil, telah menunggu Saudara Ishak Amin, Saudara Jalil Amin dan Saudara Muhammad Ali Piyeung, masing-masing mereka dalam Darul Islam berkedudukan sebagai Bupati Aceh Besar, Komandan Pasukan Istimewa (kira-kira RPKAD 26 Boyd R. Compton, Kemelut Demokrasi…, hal.168. 27 Hasan Tiro menulis surat protes ke Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo. Ada tiga poin penting yang disampaikannya. Pertama, menghentikan operasi militer, 2. Bebaskan tahanan politik, 3. Negosiasi dengan para pemimpin perlawanan. Apabila tidak diindahkan surat protesnya itu, maka Hasan Tiro akan membawa masalah ini menjadi isu dunia internasional, bahkan disertai dengan ancaman diplomatik. Lebih detail tentang isi surat Hasan Tiro itu, lihat Iljas Ismail, The Position of Sumatra in The Republic of Indonesia, (Manila: The University of Manila, 1958), hal.84-89. 16 dalam TNI Angkatan Darat) dan Kepala Kepolisian Negara. Semua mereka adalah teman-teman seperjuangan saya dalam pergerakan kemerdekaan di jaman Hindia Belanda dan dalam Revolusi ’45 setelah Indonesia Merdeka.” 28 Usaha demi usaha untuk menghentikan pemberontakan, mulai mendapatkan hasil. Setahun setelah pengangkatannya sebagai Gubernur, dicapailah kesepakatan cease fire, yang dikenal dengan nama Ikrar Lamteh.29 Kesungguhan bahwa Aceh harus dibangun di atas puing-puing perang, bahkan sejak Perang Kolonial dan Revolusi nasional, diperlihatkan dengan diadakannya Pekan Kebudayaan Aceh dan pembangunan kampus Darussalam di tahun 1958 (Sulaiman 1997). Di tahun 1959 suasana Aceh kembali memanas, karena muncul pertanyaan, apakah Ikrar Lamteh ini akan dilanjutkan dengan perdamaian yang lebih permanen atau perjuangan semula dilanjutkan. Pertanyaan itu kemudiann melahirkan dua kelompok yang sama-sama melakukan ijtihad politik. Kelompok Daud Beureuh memilih melanjutkan cita-cita awal perjuangan, sedangkan kelompok yang dipimpin oleh Amir Husin Mujahid, Ayah Gani dan Hasan Saleh, membentuk Dewan Revolusi untuk melakukan perundingan perdamaian secara berkelanjutan dengan Pemerintah Pusat. Namun kemudiann, di tahun yang sama, Ikrar Lamteh tersebut dilanjutkan dengan perundingan antara Dewan Revolusi 28 Ali Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal.477478. 29 Bunyi Ikrar Lamteh sebagai berikut; Bismillahirrahmanirrahim. Kami putera-putera Aceh dimana pun kami berada, akan berjuang sungguhsungguh untuk: 1). Menjunjung tinggi kehormatan agama Islam; 2). Menjujung tinggi kehormatan dan kepentingan rakyat Aceh; 3). Menjunjung tinggi kehormatan dan kepentingan daerah Aceh, lihat Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak: Bertarung untuk Kepentingan Bangsa dan Bersabung untuk Kepentingan Daerah, (Jakarta: Grafiti, 1992), hal. 309310 17 Darul Islam Aceh dengan Pemerintah Pusat yang diwakili oleh Mr. Hardi. Dari perundingan itu, provinsi Aceh ditingkatkan menjadi Daerah Istimewa pada bidang agama, adat-budaya dan pendidikan. Pemberontakan Darul Islam Aceh benar-benar selesai di tahun 1962, dengan diadakannya Muyswarah Kerukunan Rakyat Aceh. Melalui perundingan itu, konflik Aceh dibicarakan dengan pembicaraan mengenai opsi-opsi yang ada. Lalu, pada akhirnya diberikan hak-hak keistimewaan Aceh; Agama, Adat dan Pendidikan. Darul Islam Aceh akhirnya benar-benar selesai dengan terhormat dan bermartabat dengan diadakannya Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, di tahun 1962. Apabila kita membaca secara detail, bahwa upaya untuk mendamaikan konflik Darul Islam Aceh ini sangatlah berliku –yang berujung pada Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh itu. Tahapan demi tahapannya dapat dilacak dari persengketaan politik yang lama sejak tahun 1953, guna menuntut otonomi, maka tiga tahun kemudiann, Aceh diberikan kembali status provinsi yang sudah dibubarkan di tahun 1950. Setelah itu, di tahun 1957 disepakatilah penghentian kontak tembak, yang dikenal sebagai Ikrar Lamteh. Kesepakatan ini dilakukan setelah menimbang kehancuran akibat perang berkepanjangan dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam kesepakatan damai tersebut, dibicarakanlah hal-hal yang mampu membangun Aceh dari keterpurukan akibat perang, revolusi sosial dan konflik bersenjata. Salah satunya pada pembangunan pada bidang kebudayaan dan pendidikan. Pada bidang kebudayaan, dilaksanakanlah untuk pertama kalinya Pekan Kebudayaan Aceh. Lalu pada bidang pendidikan, dibangun untuk pertama kalinya kampus modern, Universatas Syiah Kuala. Dua hal ini, ditambah pada pembicaraan tentang penerapan unsur-unsur pokok syariah, yang menjadi dari status keistimewaan Aceh. Pokok-pokok pikiran itu dibincangkan dalam perundingan politik dengan delegasi Jakarta, yang dikenal dengan nama Misi Hardi. Sedangkan oleh pihak Darul Islam, diwakili oleh apa yang disebut dengan Dewan Revolusi NBA/NII, dengan tokoh tersebut adalah Ayah Gani, Hasan Saleh dan Amir Husin Al Mujahid. Keberadaan Dewan Revolusi adalah membicarakan penyelesaian dan kompensasi politik dan ekonomi dari kasus peristiwa Aceh 1953 itu. 18 Banyak yang tidak menyebut peran dari Dewan Revolusi ini secara baik dalam perumusan Aceh pasca peristiwa Aceh itu. Bahwa keistimewaan Aceh yang didapati ini merupakan hasil perbincangan yang a lot, yang dibincangkan bersamaan dengan misi dari Jakarta. Sehingga tidak hanya kompensasi secara agama dan otonomi yang luas, namun juga pada pemulihan kembali status para anggota gerakan yang sebelumnya melawan Pemerintah Pusat. Dalam kacamata SJamsuddin (1990), keberadaan Dewan Revolusi adalah pertentangan antara kelompok yang menerima tawaran perdamaian dan pembicaraan damai dengan Pemerintah Pusat adalah dibangun dari definsi ulama dan zuama. Kedua definisi ini menyebutkan tentang kepemilikan pemahaman terhadap Islam. Namun perbedaannya, ulama lebih kepada profesi yang dijalankan pada bidang keagamaan. Sedangkan zuama pada pekerjaannya di wilayah sekular. Sulaiman (1997) melihat peranan dewan revolusi sangat penting dalam menerobos kebuntuan pembicaraan dengan pemerintah pusat. keberadaan dewan revolusi ini juga harus dihubungkan dengan dua hal yang telah ada ketika status provinsi Aceh ini dipulihkan. Pertama, Prinsip Kebijaksanaan Sipil yang dikeluarkan oleh penguasa KDMA di tahun 1957, dan kemudiann dilanjutkan dengan Ikrar Lamteh pada tahun yang sama. Dewan Revolusi ini kemudiann ikut menandakan tentang naiknya status provinsi Aceh dengan menjadi istimewa, pada bidang agama, pendidikan dan adat-budaya. Disamping itu, adanya rehabiltasi kepada para anggota gerakan, yang dulunya militer dikembalikan ke kedinasannya, begitu juga dengan yang sipil. Lalu diikuti program rehabilatasi pembangunan dan ekonomi lainnya. Setelah pemberontakan Darul Islam yang hampir berlangsung selama sembilan tahun, terjadi banyak dinamika yang menjadikan pemberontakan itu naik-turun. Baik yang terjadi atas pengaruh dari internal organisasi perlawanan, kondisi politik nasional, maupun internasional. Pemberontakan yang dilakukan kemudiann ada pasang surutnya juga, berhubungan dengan sikap Pemerintah Pusat dalam menyikapi penyelesaian konflik Aceh. Seperti sebelumnya diselesaikan melalui operasi militer, dengan jalan kekerasan yang 19 berujung kepada kepada pembantaian yang yang dikenal dengan peristiwa Pulot Cot Jeumpa, di tahun 1955. Ketegangan demi ketegangan demikian terus terjadi, sampai kemudiann satu tahun setelah peristiwa tersebut, provinsi Aceh dikembalikan. Daerah ini kembali menjadi sebagai provinsi, setelah dibubarkan enam tahun sebelumnya. Melihat perubahan sikap dari Pemerintah Pusat tersebut, maka terjadi friksi di internal tubuh Darul Islam Aceh. Apalagi pendekatan yang dilakukan oleh Ali haSJmy yang kala itu menjadi Gubernur Aceh, sangat persuasif, dengan mengawali membangun dialog dengan tokoh Darul Islam seperti Ali Piyeung dan Jalil Amin. Pembicaraan yang kemudiann membuka jalan perdamaian, yang disebut Ikrar Lamteh tahun 1957, dengan penghentian kontak-tembak. Lalu dilanjutkan dengan perundingan antara Darul Islam Aceh, yang diwakili oleh Dewan Revolusi dengan Pemerintah Pusat di tahun 1959. Hasil perundingan itu memberikan peluang selesainya pemberontakan yang telah berlangsung lama. Perundingan itu sendiri kemudiann ditutup dengan diadakannya Kongres Kerukunan Rakyat Aceh di tahun 1962. Namun jalannya sejarah tidak linear demikian. Sebab ada banyak dinamika internal yang mewarnai tubuh Darul Islam Aceh. Salah satunya adalah munculnya Republik Islam Aceh (RIA) di tahun 1961. Masa-masa dimana gerakan Darul Islam Aceh sudah mengalami kemunduran hebat. Namun Daud Beureuh masih berdiri dengan adalah sikap idelogisnya dalam menerima setiap tawaran perdamaian dari Pemerintah Pusat. Al Chaidar (2006) menyebutkan bahwa RIA yang merupakan bagian dari Republik Persatuan Indonesia (RPI), adalah pertunjukan sikap yang tanpa kenal menyerah dari Daud Beureuh. Walau dalam keadaan kekuatan politiknya yang timpang. Ditambah ada perubahan keadaan politik dimana organisasi-organisasi perlawanan di wilayah lainnya sudah mulai berjaTuhan, seperti PRRI dan Permesta. Usia RIA yang tidak lama ini berakhir ketika Daud Beureuh turun gunung. Menurut Nazaruddin SJamsuddin ada tiga penyebab mengapa RIA berakhir. Pertama, berhasilnya propaganda dari Pemerintah Pusat tentang membangun sebuah masyarakat yang adil 20 dan makmur, hal itu dilakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan. Kedua, hadirnya gagasan-gagasan pembangunan daerah yang dirasa semakin mendesak di Aceh. Keinginan ini didorong oleh generasi terdidik yang semakin banyak dan melihat tentang pentingnya pembangunan daerah. Ketiga, semakin terkonsolidasinya kekuatan militer di daerah Aceh, melalui semakin banyaknya personil militer dari Aceh, sehingga membuat ketidaknyamanan psikologis bagi gerakan perlawanan. Walaupun RIA ini hanya sebentar saja hadir, namun keberadaannya ikut memberikan inspirasi perlawanan berikutnya oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). 3. Gerakan Aceh Merdeka “Saya mulai memperhatikan pakaiannya. Sepatunya setengah butut buatan Hongkong. Baju dan celananya model safari berwarna putih, tampak telah lama dipakai dan kurang terlihat bekas gosokannya. Arloji tangannya merek Titus yang warnanya sudah luntur. Kemudiann saya menyimak pembicaraannya. Seluruh pembicaraannya berkisar pada kehebatan dirinya, kehebatan keluarga Tiro, dan akhirnya tentang kejayaan Aceh di masa lampau.”30 Kesaksian tersebut itu merupakan pengalaman Hasan Saleh, Menteri Urusan Perang Darul Islam Aceh, ketika bertemu dengan Hasan Tiro –enam bulan sebelum memimpin pemberontakan Aceh Merdeka. Hasan Saleh memberi kesaksian awal tentang bagaimana Hasan Tiro mengkonstruk gerakannya itu, dengan menjadikan kisah kejayaan Aceh sebagai spirit perlawanan. Pemberontakan ini berbeda dengan Darul Islam sebelumnya, yang digerakkan para cendekia dan ulama.31 Gerakan Aceh Merdeka meletakkan porosnya pada 30 Hasan Saleh, Mengapa Aceh…,, hal. 382 31 Ada dua istilah yang diperkenalkan oleh Nazaruddin Sjamsuddin untuk tulang punggung dari organisasi Darul Islam, Ulama dan Zuama. Kedua istilah ini sama-sama memiliki pengertian orang yang memahami Islam 21 tafsiran Hasan Tiro. Basis sosialnya sebagai cucu Tgk. Chik di Tiro dan intelektualatasnya yang menonjol sejak jaman revolusi nasional, telah membuatnya mampu menggerakkan sebuah pergerakan politik. Selain itu, tentu saja Hasan Tiro mesti mendapatkan restu dari Daud Beureuh untuk memulai pergerakannya itu. Tanpa restu itu, sulit rasanya dia mampu menggerakkan pemberontakan terhadap Pemerintah Pusat. Dalam bayangan orang Aceh, GAM merupakan kelanjutan dari kisah epic perlawanan Aceh terhadap entatas yang mengganggu marwah (harga diri, pride), serta perasaan disingkirkan. Perasaan tersebut, disingkirkan-dibuang, coba diperbaiki oleh Sukarno32 – orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab atas perlawanan orang Aceh dengan payung Darul Islam itu– melalui serangkaian kebijakan politik dan ekonomi. Namun, setelah Sukarno jatuh, maka kebijakan menenteramkan Aceh itu, berubah. Suharto tidak melanjutkan kembali kebijakan-kebjikan positif dari Sukarno. Bahkan, melalui keputusan politiknya, Suharto melakukan peninjauan ulang formasi keistimewaan Aceh,33 sehingga membuat keistimewaan Aceh yang dilahirkan melalui perundingan politik di tahun 1959, hanya menjadi cek kosong. Hal yang juga sudah dilakukan oleh Suharto di awal kepemimpinanya, dengan membatalkan peraturan daerah Aceh untuk memuat unsur-unsur syariah.34 Ditambah persoalan bagi hasil sumber daya alam, antara pusat-daerah, yang tidak berimbang. Terlebih, secara luas, namun berbeda dalam profesi. Bila ulama bekerja pada hal pengajaran agama, sedangkan zuama ada pada ruang non-agama. Lihat Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik…, hal. hal. 7 32 Dalam Manifesto Pemberontakannya, disebutkan, “…Rasa sedih dan kesal ini memupuk keinginan kami untuk membentuk suatu Negara Islam, Andaikata orang menyalahkan kami, maka kesalahan itu harus mulamulanya ditimpakan kepada pundak Sukarno sendiri.” Lihat Herbert Feith dan Lance Castles (Ed), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta” LP3ES, 1988), Hal. 210 33 Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi Politik di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1989), hal. 88 34 Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2013), hal. 343 22 Aceh adalah wilayah yang memiliki kekayaan alam yang melimpah, namun tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakatnya. Jadi, tumbuhnya gerakan pemberontakan politik Aceh Merdeka, didorong oleh dua hal: pertama, adanya desakan budaya nasional – yang dibaca oleh orang Aceh adalah dominasi budaya Jawa– melalui perundang-undangan nasional; Kedua, ketimpangan pembangunan ekonomi. Oleh Hasan Tiro, Gerakan Aceh Merdeka ini, dijadikan sebagai sebuah perlawanan yang terlebih dahulu memperbaiki cara pandang orang Aceh tentang dirinya –sesuatu hal yang menurutnya sudah terdegradasi. Orang Aceh, menurutnya, telah kehilangan orientasi akan jati dirinya. Untuk membangun kesadaran tersebut, Hasan Tiro menggunakan pendekatan sejarah, terutama pada cerita tentang heroisme. Baginya, orang Aceh terdahulu adalah mereka yang tahu akan siapa jati dirinya serta mempertahankan hal itu dengan nyawa. Apa yang dilakukan oleh Hasan Tiro, dengan mengglorifikasi sejarah Aceh tidaklah hal baru. Sebab, sejarah dalam masyarakat Aceh sesuatu yang hidup dan dekat dalam keseharian mereka. Jadi, ketika Hasan Tiro mengambil cerita-cerita sejarah; heroisme, harga diri, kejayaan masa lalu dan imperium Aceh, maka dengan cepat hal itu diterima sebagai common sense. Apalagi di Aceh, kelompok Darul Islam yang tidak puas dengan perundingan di masa lalu –yang dikenal dengan nama Ikrar Lamteh– ikut memberi dukungan moril atasnya. Aceh yang telah damai, setelah berhentinya konflik bersenjata Darul Islam, mulai kembali membara setelah Hasan Tiro memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka, 4 Desember 1976. Pemilihan tanggal proklamasi gerakan perlawanannya itu, menurut Hasan Tiro, adalah sebagai pengingat sebuah peristiwa penting di dalam Perang Aceh. Penanggalan itu disesuaikan dengan waktu syahidnya Tgk. Maat Tiro, pejuang Aceh, dalam perang kolonial. Tgk. Maat Tiro berasal dari garis keturunan Tgk. Chik di Tiro. Pemberontakan ini timbul karena adanya persoalan pembagian sumber daya alam yang tidak adil antara Aceh dan Jakarta. Ketidakadilan ini kemudiann menimbulkan ketimpangan sosial dan ekonomi. Pemberontakan ini kemudiann memang menemukan 23 momentumnya ketika Pemerintahan Pusat memberi gangguan kepada Aceh, yaitu mengenai kekhususan dan keistimewaan. Hal yang tidak pernah disentuh sejak jaman Demokrasi Terpimpin, namun melalui UU Pemerintah Daerah tahun 1974, yang memungkinkan terjadinya penyeragaman, maka telah membangkitkan sensititvatas di Aceh (SJamsuddin, 1989). Sehingga agatasi yang dilakukan oleh Hasan Tiro, yang kemudiann membangun romantisme sejarah Aceh dan pendekatan hukum internasional, menemukan konteksnya pada isu sumber daya alam dan keistimewaan Aceh itu. Pemberontakan ini sendiri menimbulkan polemik di awalnya, sebab tidak mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat Aceh dan veteran Darul Islam. Hasan Saleh (1992), Panglima Perang Darul Islam Aceh, adalah tokoh yang paling terdepan melakukan penentangan pemberontakan ini, walaupun organisasi perlawanan ini mendapatkan dukungan dari pemimpin Darul Islam Aceh, Daud Beureuh. Oleh Hasan Tiro, Gerakan Aceh Merdeka ini diglorifikasi sebagai usaha politik yang melanjutkan perjuangan Aceh melawan kolonial. Narasi kolonialismenya itu dibangun melalui konstruksi sejarah Aceh yang disusunnya, Hasan semakin menarik dirinya untuk memerdekan Aceh (Reid, 2011). Sebagai organisasi perlawanan, GAM telah melalui fasefase pergerakan yang pasang-surut. Ali, dkk. (2008) menjelaskan, bahwa ada tiga fase perkembangan dari gerakan perlawanan itu: Pertama, fase Merangkak; Kedua, fase Berjalan; dan Ketiga, fase Kematangan. Fase merangkak adalah awal mula gerakan itu dijalankan, ditahun 1976-1989. Dimana organisasi perlawanan baru didirikan, dan Hasan Tiro aktif membentuk framing organisasinya dengan memberikan pengajaran dengan pendekatan sejarah Aceh dan hukum internasional. Dua bidang yang sangat dikuasainya. Fase ini ditandai juga dengan tekanan militer negara yang mampu membuat organisasi pergerakan ini tidak mampu mengembangkan diri dengan baik, karena ada tokoh-tokoh utamanya yang gugur dan memilih keluar dari Aceh. Pada fase berjalan, 1989-1998, organisasi ini mulai merekrut angkatan baru dan mendapatkan pelatihan di Libya. Dengan 24 kemampuan barunya ini GAM mulai berani untuk melakukan aksi militer. Naiknya kemampuan GAM ini kemudiann direspon keras oleh negara dengan diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM), dengan kata sandi Operasi Jaring Merah. Sedangkan pada fase kematangan, 1998-2005, GAM semakin menemukan momentumnya ketika pemerintah pusat sedang melakukan konsolidasi politik pasca pemilu pertama di era reformasi. Disini, GAM memaksimalkan kekuatan fiskalnya pada “pajak nanggroe” dan penguatan solidatas militer. Pemberontakan GAM coba diselesaikan di meja perundingan. Inisiasi yang dimulai sejak era Presiden Abdurrahman Wahid. Kemudiann, dengan jatuh-bangun jalannya perundingan, berakhir di meja perundingan Helsinki, 15 Agustus 2005. Perundingan itu kemudiann menghasilkan kesepahaman antara GAM dan Pemerintah Indonesia untuk berdamai. Kesepahaman politik yang kemudiann mengakhiri konflik bersenjata selama tiga dekade, menghasilkan otonomi khusus untuk Aceh. Kekhususan yang lebih kuat lagi dengan adanya UU Pemerintahan Aceh sebagai payung hukumnya, yang diyakini akan membawa Aceh lebih baik lagi di masa mendatang. Penutup Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) adalah organisasi yang yang dipengaruhi oleh geliat modernisasi di dunia Islam. Hadirnya organisasi ini, secara organisatoris, sebagai respon dari semakin menjamurnya madrasah-madrasah dan lahirnya guru-guru agama di Aceh. Keberadaan PUSA kemudiann ikut memberikan warna keberagamaan di Aceh. Sebagai organisasi keulamaan, PUSA hadir untuk melakukan reformasi politik dan keagamaan yang selama waktu itu berlangsung dengan kolot dan terberlakang. Sehingga keberadaan PUSA menjadi penting setelah Aceh terkoyak karena perang dengan Belanda. Perang itu kemudiann telah meluluh lantakkan sendi-sendi masyarakat Aceh. Pendirian organisasi PUSA tentu saja untuk memajukan masyarakat Aceh dari berbagai bidang. Sebagai organisasi 25 keulamaan yang modern, pimpinan Tgk. Daud Beureuh, juga memiliki sayap kepemudaan yang disebut Pemuda PUSA, pimpinan Amir Husin Mujahid. Tokoh-tokoh lain juga ikut dalam organisasi ini seperti Tgk. Abdurahman Meunasah Meucap, Tgk. Hasballah Indrapuri, Abu Lam U, Tgk. Abdul Wahab Seulimeum, Tgk. Ali Piyeung, Ayah Hamid, M. El Ibrahimy dan Zaini Bakri. Sedangkan di aspek pendidikan, didirikan Normal Islam Institute sebagai pusat pendidikan calon guru, yang akan mengisi posisi guru agama di madrasah-madrasah yang mulai tumbuh di seluruh Aceh pada awal abad ke-20. PUSA, pada kehadiran awalnya telah ikut juga mewarnai perdebatan antara kaum muda dan tua. Namun, gelombang modernisasi Islam pada saat itu, serta kebuTuhan untuk menjawab tantangan jaman, maka PUSA memenangkan narasi keagamaan dengan cepat. Pusat-pusat pendidikan kemudiann diperbarui menjadi lebih modern. Keberadaan PUSA tidak kemudiann sebatas dengan upaya keagamaan dan pendidikan. Ketika basis sosialnya yang semakin kuat, kemudiann membawa organsasi ini turut dalam politik, terutama menjelang perang Asia Timur Raya. PUSA menjadi organisasi yang terdepan dalam melakukan ijtihad politik untuk menyambut datangnya Jepang. Kedatangan negara yang kuat itu, diyakini akan menggantikan Belanda yang telah menduduki Aceh sejak awal ke 20. PUSA kemudiann mengutus dutanya, yaitu Said Abubakar dan Ahmad Abdullah, dua intelektual modernis Aceh, ke pulau Penang. Selain itu, PUSA juga melakukan tindakan heroik. Apa yang dilakukan oleh para siswa madrasah Seulimeum dan Normal Islam Bireuen, dengan menyerang rumah Controller Belanda di Seulimeum, patut dicatat dengan tinta emas sejarah. Serangan di subuh buta itu, adalah penanda tentang sikap politik PUSA dalam menghadapi perang Asia Timur Raya, yang sudah di depan mata. Posisi PUSA semakin kuat di bidang politik ketika menjadi kekuatan republiken pada masa-masa genting di jaman revolusi nasional. Maklumat ulama Aceh, dua diantaranya adalah ulama PUSA, Daud Beureuh dan Hasballah Indrapuri, telah menegaskan pengaruh organisasi itu semakin kuat di Aceh. 26 Dalam tiga tahun pasca revolusi nasional dimulai, 1947-1950, PUSA melakukan tindakan penting untuk menegaskan posisinya di atas bumi Aceh. Pertama, dengan keluarnya maklumat permurnian keagamaan di Aceh untuk menjauhi perbuatan khuarfat, bid’ah dan tahayul. Apabila di tahun 1930-an, tema itu menjadi perdebatan antara PUSA dengan kelompok tradisional, maka di pertengahan 1940-an, PUSA dapat menerapkan gagasannya itu, ketika posisi politik para elit organisasi itu semakin kuat. Kedua, keluarnya Memorandum PUSA pada kongres di Kutaraja di tahun 1950. Memorandum ini menjadi penting karena menjadi penegasan tentang keabasahan ulama sebagai pewaris kepemimpinan Aceh setelah era Sultan Aceh berakhir (Ali, dkk., 2008). Dokumen itu dapat dikatakan sebagai hal yang melompat jauh, melebihi imajinasi kepemimpinan politik yang pernah ada di Aceh. Ketiga, PUSA menjadi tulang punggung dari gerakan Darul Islam Aceh. Perlawanan politik dan kultural ini merupakan cara orang Aceh merumuskan apa yang sudah menjadi imajinasinya sejak lampau tentang Islam. Terutama, yang diproduksi oleh intelektual Aceh di awal abad ke-20. Perlawanan politik itu menghasilkan rumusan tentang Aceh yang susungguhnya, seperti apa hendak dibangun. Pemberontakan politik itu melahirkan kompensasi, yaitu pengakuan negara terhadap apa yang khas di Aceh: Islam. Tentu dalam pengertian Islam yang diatur oleh negara. Sebab tersebut adalah ingatan kolektif. Islam seperti apa yang kehendaki? Yaitu Islam yang, “….bahwa SJari’at Islam tjukup luas sempurna dan hidup , mentjukupi segala bidang hidup dan kehidupan manusia,” titah Daud Beureuh Namun, dalam perspektif gerakan sosial, apa yang dituntut melalui pemberontakan politik itu, gagal terlaksana. Hal tersebut dikarenakan tipikal kepemimpinan rezim Orde Baru yang sentralistik, militeristik dan otoritarian. Tentu, dengan pola kepimpinan demikian, keleluasaan untuk menerjemahkan gagasan keIslam an yang khas Aceh selalu saja mendapatkan tantangan secara politik –bahkan militer. Sehingga, untuk menyikapi hal tersebut, pemuka Aceh – 27 yang juga tumbuh dari tradisi modernis Islam PUSA, mencoba memutar arah melalui pendekatan kebudayaan. Adalah Ali HaSJmy, yang mendorongnya terbentuknya organisasi kebudayaan, yang dinamakan Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), yang nanti berubah menjadi Majelis Adat Aceh (MAA). Organisasi ini bergerak untuk menyelidiki dan menghidupkan kembali kebudayaan Aceh di era modern. Kebudayaan Aceh yang diyakini bersendikan syariah. Sebagaimana bunyi kaedah, “Adat ngon hukom, lage zeut ngon sifeut” (Adat dan hukum [Islam ] seperti zat dan sifat). Setelah Orde Baru tumbang, maka isu Aceh kembali naik ke permukaan. Tuntutan utama adalah ketidakadilan selama Suharto memimpin, pelanggaran HAM dan tidak terjaminnya pelaksanaan kekhususan Aceh di bidang agama. Di saat yang sama pembangkangan sipil dan pergerakan dari kelompok bersenjata semakin menemukan momentumnya. Hal yang membuat Pemerintah Pusat kembali melakukan kesalahan: operasi militer. Di saat yang sama, kompensasi juga diberikan, diantaranya pengakuan tentang keistimewaan Aceh untuk melaksanakan Syariat Islam. Sebuah ide yang dituntut dan diperjuangkan sejak Indonesia merdeka. Formaslisasi Syariat Islam –yang diterjemahkan juga sebagai Islamisme– merupakan konstruksi Aceh modern, hasil perjumpaan modernisme Islam dan ingatan sosial Aceh tentang masa lalunya, semakin mendapatkan ruang di Aceh. Berbagai peraturan daerah (qanun) ditingkatkan. Struktur pemerintahan yang menopang syariah –seperti Dinas Syariat Islam dan lembaga-lembaga keistimewaan Aceh– semakin diperkuat. Belum lagi gerakan masyarakat sipil – wartawan, santri, ormas Islam, akademisi, kampus, dan elemen masyarakat lainnya– semakin memerkokoh posisi syariah Islam di Aceh, yang kini tidak hanya struktural –sebagaiman awal mula penerapannya–, melainkan juga secara kultural. 28 Daftar Pustaka Ali, Fachry, dkk., Kalla & Perdamaian Aceh, Jakarta: LSPEU, 2008 Aspninall, Edward, Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh, Indonesia, Singapore: NUS Press, 2009 Compton, Boyd R., Kemelut Demorkrasi Liberal: Surat-surat Rahasia Boyd R. Compton, Jakarta: LP3ES, 1992 Dijk, Cornelis van, Darul Islam : Sebuah Pemberontakan, Jakarta: Grafiti, 1983 El Ibrahimy, M. Nur, Tgk. M. Daud Beureuh: Peranannya dalam Pergolakan di Aceh, Jakarta: Gunung Agung, 1982 Feith, Herbert dan Castle, Lance (Ed), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Jakarta: LP3ES, 1988 Hajsmy, Ali, Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 Hajsmy, Ali, Semangat Merdeka: 70 tahun Menempuh Jalan Pergolakan & Perjuangan Kemerdekaan, Jakarta: Bulan Bintang, 1984 Ishaq, Otto Syamsuddin, Aceh Pasca Konflik: Kontestasi 3 Varian Nasionalisme, Banda Aceh: Bandar Publishing, 2013 Ismail, Iljas, The Position of Sumatra in The Republic of Indonesia, Manila: The University of Manila, 1958 Muhanif, Ali, Islam, Etnicity and Secession: Forms of Cultural Mobilization in Aceh Rebellions, Jurnal Islam ika, Volume 23, Number 1, 2016. Nashir, Haedar, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Bandung: Mizan, 2013 Radjab, Muhammad, Tjatatan di Sumatera, Djakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka 1958 29 Reid, Anthony, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, Depok: Komunatas Bambu, 2011 Reid, Anthony, Menuju Sejarah Sumatera: Antara Indonesia dan Dunia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011 Saleh, Hasan, Mengapa Aceh Bergolak: Bertarung untuk Kepentingan Bangsa dan Bersabung untuk Kepentingan Daerah, Jakarta: Grafiti, 1992 SJamsuddin, Nazaruddin, Integrasi Politik di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1989 SJamsuddin, Nazaruddin, Pemberontakan Kaum Republik, Jakarta: Grafiti, 1990 Sulaiman, Isa, Sejarah Aceh: Sebuah Gugatan terhadap Tradisi, Jakarta: Sinar Harapan: 1997 Tiro, Hasan, Demokrasi untuk Indonesia, Jakarta: Teplok Press, 1999 30 MENAKAR PANCASILA SEBAGAI CIVIL RELIGION DI INDONESIA: MENYONGSONG ERA POST-ISLAMISME Aan Arizandi Pendahuluan Semua orang barangkali sepakat bahwa agama memang kekuatan maha dahsyat yang paling berpengaruh di muka bumi ini. Kehadiran agama bukan saja mampu meluruhkan egosentrisme manusia, tetapi juga pontensial memotivasi pemeluknya untuk berkorban dan senantiasa menebar spirit cinta kasih. Karena sejatinya, agama, apapun namanya, selalu mengusung misi mulia dan selalu menawarkan jalan keselamatan bagi penganutnya. Dakwah yang dilakukan para nabi untuk membebaskan manusia dari jeruji kejahiliyahan, ajaran cinta kasih yang diajarkan oleh Yesus, serta aktivatas-aktivatas kemanusiaan yang dipelopori Mahatma Ghandi, misalnya, kian menguatkan bahwa agama memang jembatan untuk memperoleh kebahagiaan. Kendati demikian, sejarah membuktikan bahwa agama juga memiliki potensi destruktif. Agama yang semula menjanjikan keramahan, seketika berubah jadi kemarahan. Di balik misi mulianya tersebut, agama ternyata turut pula menyajikan tindak kekejian. Dengan kata lain, Agama, dengan segala potensi kebaikannya, diakui atau tidak, juga kerap jadi pemantik api kebencian, sehingga dapat meruahkan malapetaka kemanusiaan. Teror bom dan konflik-konflik horizontal di Indonesia, terusirnya jamaah Rohingya di Myanmar, 31 teater kekerasan yang dipanggungkan Militan Boko Haram di Afrika, hingga aksi barbarisme yang lazim dipraktikkan oleh milisi Islam ic State of Iraq and Syiria (ISIS), serta sederet daftar aksi keji lainnya, adalah setumpuk bukti di pelupuk mata bahwa agama acapkalikali dicatut simbol-simbolnya untuk melegitimasi aksi-aksi brutal. Dalam konteks tersebut, Charles Kimball barangkali benarnya adanya, ketika memberi judul bukunya dengan nada sedikit provokatif: “When Religion Becomes Evil”. Agama memang tidak lagi menjadi rahmat, manakala substansi agama itu sendiri diselewengkan sedemikian rupa. Dari lima tanda patologi kerusakan agama yang dirumuskannya, Kimball menujuk absolute truth claim (klaim kebenaran mutlak) adalah salah satunya. Menurutnya, klaim kebenaran biasanya lahir dari pembacaan dan pemahaman kitab suci secara literal. Bahkan ayat-ayat yang terkadung dalam kitab suci itu dimonopoli untuk membenarkan paham atau kepentingan seseorang, atau kelompok. Padahal, bagi Kimball, ayatisasi sebagai klaim kebenaran mutlak, itu bukan saja jadi pangkal diabsahkannya kekerasan, melainkan juga bentuk korupsi manusia yang paling nyata terhadap kemutlakan Tuhan35. Lebih jauh klaim kebenaran mutlak itu ditransformasikan ke dalam wujud gerakan oleh kelompok-kelompok Islam is radikal. Apalagi cengkraman kapitalisme Barat yang dianggap sebagai biang keladi dari krisis multidimensi di dunia Muslim, kian menambah asupan motivasi kalangan Islam is untuk melawan secara membabi-buta. Wujud perlawanan itu tidak hanya berskala lokal, tetapi juga global. Kiprah kelompok-kelompok Islam is transnasional yang membonceng nalar kekerasan, tak lain merupakan respon dari ketertindasan dan ketidakadilan yang dialami dunia Muslim. Dan dalam hal ini, Barat serta produk-produk pemikirannya, seperti demokrasi dan modernisasilah yang harus bertanggung jawab atas semua krisis itu. Kedudukan agama sesungguhnnya hanyalah cantolan untuk membenarkan aksi kekerasan, serta dinilai mujArab sebagai tameng perlindungan. Kobaran perlawanan kelompok Islam is tersebut diikuti oleh 35 Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, London: Harpen Collins, 2008, hlm 49 32 seruan jihad yang menyala-nyala. Jihad disimplifikasikan sebagai manifestasi sikap geram dan perang, yang terkadang berujung pada aksi peledakan diri di pusat-pusat keramaian. Bagi kaum Islam is, hal semacam itu dibenarkan, dan umat Islam memang wajib melakukan jihad untuk melawan kesemena-menaan. Sebagai konsekuensinya, segala bentuk sistem pemerintahan selain Islam, haram hukumnya diterapkan dan harus menggantinya dengan negara Islam yang berdasarkan sendi-sendi syariah. Sebab, menurut kelompok Islam is, kekacauan di dunia Muslim saat ini ialah karena diakibatkan oleh diabaikannya hukum Tuhan, dan disepelekannya syariat dalam kehidupan. Untuk itu, kaum Islam is bertekad mengembalikan kejayaan masa lalu lewat cara memancangkan negara berbasis keTuhanan. Derasnya arus radikalisme transnasional berhaluan radikal juga merembes ke altar bumi Indonesia. Dengan segala bentuk keluwesan dan keterbukaan masyarakatnya, Indonesia dinilai sebagai lahan strategis untuk menyemai benih-benih paham radikal. Keyakinan itu kian menguat, manakala disokong oleh paradigma, bahwa Indonesia dikategorikan sebagai wilayah dar al-harb yang perlu dibebaskan dari sistem thoghut. Atas dasar itulah, pelbagai jalan ditempuh termasuk juga lewat cara-cara kekerasan yang tak berperikemanusiaan. Bahkan aksi-aksi teror pasca-Reformasi justru makin menggila dengan merebaknya serangkaian aksi-aksi teror. Namun, bagaimanapun juga, kaum Islam is tentu tak boleh dibiarkan berkembang memecah belah kesatuan bangsa. Selain memang bertentangan dengan falsafah bangsa, gerakan Islamisme juga acapkalikali melahirkan malapetaka kemanusiaan. Dalam hal ini sebenarnya pemerintah tak tinggal diam. Berbagai upaya terusmenerus digalakkan. kebijakan-kebijakan preventif tidak lupa pula digulirkan. Beberapa waktu lalu, misalnya, pemerintah bertindak tegas dengan melarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) beroperasi. Pemerintah juga menggelontorkan dana yang tidak sedikit jumlahnya, untuk mendanai program deradikalisasi, menangani dan mencegah aksi-aksi terror, serta menetralisir para pelaku teror. Tapi betapapun semua usaha itu belumlah cukup untuk menumpas habis aksi-aksi radikal kaum Islam is di negeri ini. Selain memang 33 dibutuhkan usaha-usaha struktural, juga yang tidak kalah pentingnya ialah perlunya strategi kultural. Meski telah resmi dilarang dan diawasi secara ketat pergerakannya, kaum Islam is tidaklah kehabisan cara untuk melancarkan misi “sucinya”. Bahkan akhir-akhir ini, terdapat tendensi kaum Islam is telah mengubah pola dan corak gerakannya yang tidak melulu lewat cara-cara kekerasan. Mereka yang semula emoh demokrasi, perlahan tapi pasti mulai menerima segala imperatifimperatifnya. Mereka yang awalnya mengebu-gebu ingin mendirikan khilafah, kini sudah melunak dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara. Benarkah adanya indikasi ini menandakan bahwa Indonesia tengah menuju peralihan dari Islamisme menuju postIslamisme? Prasyarat apa saja yang diperlukan untuk menyongsong era-baru, dari Islamisme menuju Post-Islamisme? Islamisme sebagai Fenomena Global Islamisme sebagai gerakan telah menjadi fenomena global. Nalar radikal yang identik dengan kekerasan, yang acapkalikali ditebarkan itu, tak pelak membuat semua negara was-was. Bassam Tibi, dalam bukunya, Islam ism and Islam, menegaskan bahwa Islamisme bukanlah Islam. Islamisme merupakan aktivisme yang berinteres politik, dengan menjadikan doktrin dan simbol-simbol Islam sebagai tunggangan. Sebab, ia tidak disandarkan pada nilainilai religius Islam, melainkan upaya pencangkokan ideologis Islam is yang diejawantahkan secara politis. Bahkan, menurut Bassam Tibi, Islamisme bukanlah gerakan politik an sich, melainkan politik yang diagamaisasi. Sebuah tatanan politik yang dipercaya sebagai titah Tuhan dan tidak ada urusannya dengan kedaulatan rakyat36. Menariknya, Islamisme sebagai gerakan politik tidak mengindentikkan dirinya dengan pola gerakan Islam klasik yang beorientasi pada kebangkitan Islam awal. Islamisme justru merombak 36 Bassam Tibi, Islamism and Islam, United States of America, Yale University Press Book, 2012, hlm 1 34 ajaran-ajaran Islam yang dinilai menyimpang dari warisan sejarah. Meski begitu, Bassam Tibi menggolongkan Islamisme sebagai penganut ideologi totalitarian, sama halnya dengan Hannah Arendt yang mengkategorikan Nazisme sebagai ideologi geneosida. Kesamaan Nazisme dan Islamisme itu lebih jauh dikomfirmasi oleh Tibi dengan mengatakan bahwa Islamisme: “its embrace of genocidal antisemitism, its predicament with democracy, its use of violence, the shari’atization of law, and its search for authenticity within an Islam ic tradition it has largely reinvented out of an obsessive desire for purity.”37 Atas dasar itulah, Bassam Tibi berargumen, bahwa terdapat irisan yang sama antara Islamisme dan Nazisme. Dengan kata lain, Islamisme adalah totalitarianisme bentuk baru. Doktrin utama gerakan Islamisme ialah bertumpu pada kehendak untuk mengawinkan agama (din) dan negara (daulah), di bawah payung politik struktural berbasiskan syariah. Berdirinya negara Islam dan penerapan syariah secara kaffah adalah cita-cita tertinggi kaum Islam is. Agenda besar ini tidak cuma ditiupkan dalam lingkup lokal, namun disebarluaskan juga secara global di seluruh dunia Islam. Lewat gerakan-gerakan transnasional yang tampak mulai berkecambah di dunia Muslim, termasuk juga Indonesia, merupakan bukti sukses gerakan kelompok Islam is menancapkan pengaruhnya. Luas dan kuatnya ekspansi kaum Islam is itu tentu tidak terjadi begitu saja. Mencuatnya Islamisme bisa dibaca sebagai respon politik, sekaligus protes kultural terhadap arogansi Barat (pasca kolonial), yang dianggap menimbulkan aneka bentuk ketimpangan. Dengan maksud lain, Islamisme merupakan efek domino atas kekecewaan yang dipicu oleh ketidakadilan hukum, kesenjangan sosial, dan kejomplangan ekonomi yang diderita kaum Muslim. Faktor-faktor itulah yang kemudiann memompa motivasi kalangan Islam is untuk menghimpun kekuatan dan melancarkan perlawanan. Mereka memiliki keyakinan dasar, bahwa hanya dengan mendirikan negara Islam -lah pelbagai krisis multidimensi yang menerpa umat 37 Ibid,hlm xiii 35 itu mampu diatasi. Untuk memuluskan cita-cita mendirikan negara Islam dan penerapan syariah secara total itu, mula-mula kaum Islam is mencerca sistem-sistem non-Islam. Demokrasi dan liberalisme pun tidak luput dari kecaman. Kedua produk Barat itu dituding sebagai biang kerok krisis dunia Muslim selama ini. Keduanya pula dipandang sebagai instrument propaganda Barat untuk merecoki dan memecah belah umat Islam. Karenanya, seruan jihad pun dikumandangkan untuk melawan kekuatan thoghut itu. Hanya dengan perantara jihadlah kaum Muslim dapat terbebas dari belenggu kejahiliyahan dan kebobrokan, serta kedaulatan di bawah panji khilafah pun dapat teraih. Bentuk pengorbanan diri melalui media bom bunuh diri dan kekerasan dilegalkan demi tegaknya negara Tuhan. Kendati demikian, Islamisme sebagai gerakan tidaklah monolitik. Bahkan penggunaan istilah “Islamisme” itu sendiri masih mengundang perdebatan. Quintan Wiktorowicsz, misalnya, lebih condong menggunakan istilah “Islam ic Aktivism (aktivisme Islam )” untuk menggambarkan dominasi tujuan politik kaum Islam is. Sementara Nikki R. Keddie lebih memilih istilah “new religious politics (politik keagamaan baru)” lantaran memandang unsur keagamaan dan politik yang diusung kelompok Islam is samasama dominan. Berbeda dengan keduanya, Daniel Varisco justru mengkritik keras istilah Islamisme sebagai politik Islam yang lekat dengan kekerasan. Ia menilai label “kekerasan” yang dilekatkan dalam agenda Islam politik itu terlalu parsial, dan diduga hanyalah konstruksi Barat yang penuh syak wasangka terhadap Islam.38 Terlepas dari apapun perdebatan istilah yang melingkupinya, melekatkan Islamisme melulu sebagai agen kekerasan jelas ahistoris. Hal demikian setidaknya juga dibenarkan oleh Mohammed Ayoob. Dalam bukunya “The Many Faces of Political Islam ”, ia mengatakan bahwa anggapan Islamisme hanya satu varian gerakan saja ialah tindakan yang oversimplistis. Islamisme, menurutnya, mempunyai 38 Noorhaidi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer; Konsep, Genealogi, dan Teori, Yogyakarta, Suka Press, 2012, hlm 8 36 banyak ragam wajah. Sebab pola gerakan Islamisme tidak bisa diceraikan dari konteks sosial-historisnya, sehingga strategi gerakannya berbeda-beda di setiap kawasan. Corak Islamisme yang dikembangkan di Indonesia tentu berbeda dengan pola Islamisme di Mesir; begitu pula gerakan Islam is yang dicanangkan di Turki jelas tidak sama dengan gerakan Islam is ala Iran. Aspek politik, ekonomi, dan budaya jadi pertimbangan pola gerakan kelompok Islam is tersebut.39 Meski pola gerakan kelompok Islam is beragam, Ayoob mensinyalir bahwa kebangkitan gerakan itu berangkat dari persoalan fundamental yang sama. Menurut Ayoob, hegemoni Barat lewat ekspansi kolinialismenya di dunia Muslim bisa ditunjuk sebagai salah satu sebabnya. Bila dirunut ke belakang, Islamisme dengan agenda politik Islam nya merupakan fenomena yang relatif baru di dunia Muslim. Geliat gerakannya tampak mulai di abad ke-19 tatkala perjumpaan Islam dan Barat terjadi. Karena Barat identik dengan penjajah, maka wacana yang berkembang ialah perjuangan melawan Barat adalah sama halnya dengan melawan orang kafir. Perlawanan terhadap Barat tidak sebatas di ranah politik saja, tetapi juga merembet ke soal boikot ekonomi dan budaya. Karenanya, melawan kepongahan Barat, bagi kaum Islam is, dianggap kewajiban bagi setiap Muslim. Dari penjabaran tersebut, dapat ditarik poin penting ialah, bahwa Islamisme sebagai gerakan tidaklah berkembang dalam diskursus yang beku. Ia senantiasa berubah untuk mencari format yang pas dengan riil atas jaman. Maka dari itu, Islamisme tidak selalu mengusung misi kekerasan, bom, dan peperangan, sebagaimana umumnya dipersepsikan. Islamisme lebih kepada komitmen mewujudkan capaian politik ideologis dengan memanfaatkan simbol, doktrin, dan bahasa Islam. Aspirasi-aspirasi kaum Islam is pun beraneka ragam. Mulai dari berdemonstrasi, membentuk aliansi 39 Mohammed Ayoob, The Many Faces of Political Islam: Religion and Politics in Muslim World, The United States of America, The University of Michigan Press, 2008, hlm 15. 37 politik, hingga menghimpun gerakan bawah tanah. Kekerasan dilegalkann manakala terdapat upaya-upaya yang menghambat tujuan yang telah dicita-citakan40. Jika dilacak, trajektori gerakan Islamisme kontemporer sebenarnya berakar pada gerakan puritanisme Islam yang diusung oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab (1703-1792) pada abad ke18. Gagasan-gagasan revolusioner Abd al-Wahhab melahirkan apa yang kemudiann dikenal sebagai Wahabisme. Mulanya gerakan ini terbilang tidak diperhitungkan. Namun ketika rezim Muhammad ibn Sa’ud memungutnya sebagai ideologi resmi negara Saudi, wahabisme memperoleh kekuatannya. Misi utama wahabisme ialah kembali kepada iman dan Islam yang murni, sebagaimana pernah dicontohkan Rasulullah. Sebab itu, tugas utama kaum wahabi ialah membersihkan praktik-praktik kotor sufisme, dan menyingkirkan segala bentuk ajaran-ajaran takhyul yang berkembang di masyarakat Muslim. Sikap keras ini pula yang mendapuk kaum wahabi ibarat polisi Tuhan yang siap menghakimi siapa yang beriman dan siapa yang tidak. Pengaruh Abd al-Wahhab mampu menyebar ke seluruh jazirah Arab. Ia pula yang menjadi inspirasi gerakan salafisme yang dimotori oleh Jamal al-Din al-Afghani (1838-1935), Muhammad Abduh (1849-1905), dan muridnya Rasyid Ridha (1865-1935). Namun, tidak seperti pendahulunya, gerakan salafis ini tidak sekedar menyerukan umat Islam untuk kembali ke ajaran Islam yang murni, tetapi juga tidak mengharamkan untuk mengadopsi konsep-konsep kemajuan yang berkembang di Barat. Selain itu, yang membedakan gerakan ini dengan pendahulunya ialah tidak alergi ijtihad. Bahkan menurut gerakan reformis ini, ijtihad justru sebuah keharusan agar umat Islam terbebas dari kejumudan. Meski tampak tidak anti-Barat, gerakan Islam is pimpinan Jamal al-din al-Afghani ini menyimpan asa merobohkan dominasi Barat, yang dianggap sebagai aktor penyebab kemalangan dengan menyerukan untuk bersatu di bawah payung khilafah Islam. Gerakan salafisme terus berkembang di 40 Noorhaidi Hasan, Op. Cit hlm10-11 38 jazirah Arab Permulaan abad ke-20, Hassan Al-Banna (1906-1949) mendirikan Ikhwan al-Muslimin di Mesir. Sementara Abul A’la alMaududi (1903-1978) mencetuskan partai Jama’at-i Islam i di IndoPakistan. Kedua ideolog terkemuka ini berupaya untuk memaknai ulang Islam sebagai ideologi politik, yang berkontestasi dengan ideologi politik lain yang berkembang di abad ke-20. Mereka merevisi misi baru purifikasi di dunia Islam yang sebelumnya telah dirintis Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan mereformasi Islam yang digagas oleh Jamaludin Al-afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Kedua ideolog besar itu pula memiliki keprihatin yang serupa, bahwa kemunduran umat Islam tak lain disebabkan oleh renggangnya persaudaraan dan lumpuhnya solidaratas. Sebab itu, keduanya berkeyakinan bahwa kembali kepada Islam murni dan menegakkan khilafah adalah jalan keluar dari keterpurukan. Geliat Islamisme di Indonesia Doktin Islamisme yang berkembang di sekitar Timur Tengah itu, adakalanya menjadi referensi utama bagi kalangan Islam is di belahan dunia lain, tidak terkecuali Indonesia. Meski gerakan purifikasi telah muncul di Indonesia sejak lama —dengan gerakan Paderi di Padang dan pemberontakan Darul Islam (DI) pimpinan Kartosoewiryo sebagai eksemplar utamanya— geliat gerakan Islam is di Indonesia baru menemukan momentumnya saat tumbang rezim Soeharto tahun 1998. Krisis ekonomi yang akut serta tata kelola pemerintahan yang semrawut, memicu gejolak yang hebat di masyarakat. Maka masa transisi pemerintahan itu diwarnai oleh ancaman beberapa daerah yang ingin memisahkan diri, serta pecahnya konflik-konflik komunal yang bermotif ras dan agama. Kondisi demikianlah yang menjadi peluang bagi kelompokkelompok Islam is untuk menampakkan eksistensinya. Laskar Pembela Islam, Laskar Jihad, Laskar Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, hingga Hizbut Tahrir Indonesia —menyebut beberapa nama— merupakan kelompok-kelompok Islam is garda 39 depan. Mereka bukan saja frontal mengkritisi pemerintah yang dinilai gagal memenuhi asupan kesejahteraan, melainkan juga aktif berperan sebagai “hansip” Tuhan yang bertugas menertibkan iman. Menurut mereka, muasal dari krisis yang mendera bangsa adalah karena diabaikannya syariah Islam dalam bernegara. Karenanya, salah satu tuntutan yang paling lantang disuarakan ialah menjadikan Islam sebagai dasar bernegara. Selain itu, mereka juga tidak hanya menyerukan berjihad di daerah-daerah konflik seperti Ambon, Maluku, dan Poso, tapi juga melakukan operasi maksiat dengan menyatroni diskotik-diskotik dan kafe-kafe. Di samping itu, yang tampak paling mengkhawatirkan dari laju gerak kelompok Islam is itu ialah meningkatnya eskalasi kekerasan, penodaan, dan penistaan beragama. Berdasarkan laporan Kehidupan Umat Beragama di Indonesia yang diterbitkan oleh Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM menyebutkan, telah terjadi lebih dari 75 kasus penodaan dan penistaan atas nama agama. Hasil ini jauh meningkat dibandingkan dengan periode 19651998 yang kurang dari 10 kasus41. Perlakuan diskriminatif terhadap Ahmadiyah di Cikeusik, Syiah di Sampang, dan eks-Gafatar di Kalimantan, serta yang terbaru kasus penistaan agama yang dituduhkan pada eks Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, merupakan bukti-bukti betapa ruang kebebasan yang disediakan demokrasi belum berkorelasi dengan kebebasan berkeskpresi dan berkeyakinan. Praktik-praktik radikal yang menjurus pada tindakan kekerasan, yang gemar ditunjukkan kalangan Islam is itu, tentu tidak hanya menyebabkan disharmoni kehidupan beragama di negeri ini, tapi juga dapat mengancam keberlangsungan demokrasi. Kalangan Islam is bahkan menilai demokrasi sebagai produk “impor” Barat yang tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Demokrasi dianggap sebagai “penjajahan baru” yang menyebabkan krisis di segala bidang. Pancasila sebagai ideologi pun tak luput dari 41 Zainal Abidin Bagir, Kerukunan dan Penodaan Agama Alternatif Penanganan Masalah, Yogyakarta, CRCS UGM, 2018, hlm 1-2 40 kecaman. Ia dinilai produk kesepakatan manusia yang dipandang tidak mampu menjadi tali pengikat kebangsaan yang erat. Atas dasar itulah, kelompok Islam is menawarkan Islam dan penerapan syariah sebagai tawaran alternatif yang dianggap lebih paripurna dibandingkan sistem-sistem lain. Dengan begitu, mereka bermaksud membawa Islam bukan sekedar agama, tetapi juga seperangkat sistem politik, sosial, dan kebudayaan. Sampai di titik ini, timbul pertanyaan: mengapa eskalasi kekerasan justru marak terjadi pasca Reformasi, di mana kebebasan berekspresi dijamin seutuhnya oleh konstitusi? Tentu perlu analisis mendalam dan tidaklah mudah mengurai pertanyaan ini. Namun bisa ditarik garis demarkasi yang jelas bahwa krisis ekonomi, ketimpangan sosial, sempitnya lapangan pekerjaan, serta inflasi besar-besaran yang terjadi pada tahun 1997-1998, telah menimbulkan kekacauan dan meletusnya konflik di mana-mana. Kondisi itu pula pada akhirnya mengikis kepercayaan kepada pemerintah. Pemerintah dianggap gagal memenuhi hak-hak hidup warganya. Akibatnya, banyak kelompok-kelompok berbasis primordialisme etnik, agama, dan suku bangsa membentuk aliansi-aliansi tersndiri. Negara yang sebelumnya telah kehilangan mandat tidak mampu lagi meredam gejolak kelompok-kelompok radikal yang pelan tapi pasti mulai mendapatkan simpati dari sebagian masyarakat. Namun, bagaimanapun juga, aksi-aksi kekerasan yang rajin digalakkan kelompok Islam is itu jelas mencederai kebebasan beragama dan hak untuk berkeyakinan. Dalam menengahi kasus-kasus kekerasan beragama tersebut, posisi pemerintah pun terkadang ambigu. Negara yang semestinya mampu memediasi pertikaian, tampak terkesan hanya melakukan pembiaran. Maka tidak mengherankan bila penangananpenanganan yang ditawarkan, cendrung setengah hati dan tidak tepat sasaran. Sebagai contoh, misalnya, Undang-Undang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan Penodaan Agama No.1/PNPS/1965. Sudah sejak lama legislasi tersebut mendapat penentangan atau diuji-materikan kembali, karena dianggap biang kekerasan atas nama agama. Namun hingga kini UU itu tidak ada respon perubahan yang berarti. Disebutkan, misalnya, dalam pasal 1 UU 41 PPPA yang menyatakan, melarang dua hal: (1) penafsiran agama; dan (2) kegiatan agama yang menyimpang. Kata “menyimpang” tentu memiliki penafsiran tersendiri. Sebab menyimpang menurut suatu kelompok, belum tentu menyimpang bagi kelompok lain. Ketiadaan penafsiran yang jelas dari UU tersebut, diyakini dapat meligitimasi kelompok lain secara sewenang-wenang melakukan tindak kekerasan dengan dalih menebarkan ajaran “menyimpang”. Persoalan lain yang melenggangkan jalan maraknya aksiaksi radikal kelompok Islam is ialah penyempitan dalam memaknai demokrasi. Demokrasi yang selama ini dijalankan, diakui atau tidak, lebih kepada pelaksanaan demokrasi secara elektoral, dan belum sampai pada tataran substansial. Demokrasi yang semestinya mengandaikan kesetaraan hak dan kewajiban bersama, tereduksi maknanya hanya sebagai ajang politik trasaksional. Kebebasan dalam berdemokrasi juga acapkalikali dipahami sebagai kebebasan untuk mengemukakan apapun, termasuk juga mengampanyekan kebencian dan mengobarkan permusuhan. Sehingga wajar bila debat-debat publik marak diwarnai oleh caci-maki, yang membangkitkan sentimen permusuhan. Demokrasi yang diharapkan mampu menyalakan pijar kewarasan warga, malah tenggelam dalam hiruk-pikuk perebutan kursi kekuasaan oleh kelompok-kelompok berkepentingan semata. Pancasila Sebagai Civil Religion Tidak bisa dinafikan, sebagai negara kepulauan, Indonesia adalah negara multiagama. Agama-agama, baik yang bercorak transnasional maupun lokal, inheren dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kemajemukan dan kompleksatas agama-agama itulah yang acapkalikali memantik api konflik. Diinisiasi oleh semangat fanatisme keberagamaan dan dimotivasi oleh spirit menebar kebenaran, tidak jarang memicu agama-agama untuk saling berkontestasi. Akibat dari benturan-benturan kepentingan atas nama agama itulah, konflik-konflik berdarah senantiasa terjadi. Bahkan kekerasan atas nama agama tidak hanya terjadi pada pemeluk agama lain yang berbeda, tetapi juga menimpa umat seagama yang 42 kebetulan berbeda paham atau aliran. Sebagai sebuah bangsa yang plural, Indonesia tidak menjadikan salah satu doktrin dari agama-agama yang bermacam-macam itu sebagai dasar negaranya. Secara tegas telah disepakati bahwa dasar negara adalah nasionalisme-sekuler, bukan agama-teokrasi. Di titik inilah seringkali persolan tidak bisa dihindarkan. Karena dianggap tidak Islam i, menyimpang, dan tidak mampu mengakomodasi segala kepentingan dari agama-agama yang beragam itu, negara dinilai gagal. Cap gagal ini dijadikan pijakan sekaligus alasan oleh kelompok-kelompok radikal yang bergerak berdasarkan agama, ras, atau golongan tertentu untuk melakukan perlawanan. Ketidakadilan dan ketimpangan di segala bidang kehidupan turut pula membumbui masifnya gerakan-gerakan radikal tersebut. Agama dan negara adalah dua kutub yang berlainan. Maka, untuk menjembatani dasar negara yang bersifar sekuler, dengan agama yang transenden, diperlukan sebuah sistem yang disepakati bersama untuk mengakomodasi keduanya. Di sinilah konsep civil religion atau agama sipil menemukan signifikansinya. Civil religion berupaya menciptakan sebuah ruang yang tidak hanya mampu memfasilatasi perjumpaan agama-agama yang majemuk dalam bingkai negara bangsa, tapi juga memediasi kesejajaran antara agama dan negara sebagai dua entatas yang berbeda. Sebagai riil atas ruang perjumpaan iman, civil religion juga memosisikan agama-agama setara kedudukannya, dan agama apapun tidak berhak mendaku lebih superior dibandingkan yang lain. Agama-agama yang ada hanya diperkenankan untuk menawarkan nilai-nilai moral ajaran agamanya masing-masing untuk dijadikan seperangkat norma holistik yang disepakati bersama. Begitu pula kaitannya dengan hubungan antara negara dan agama, civil religion berupaya mensinergikan keduanya. Sama halnya dengan meletakkan posisi agama-agama, civil religion mendudukan agama dan negara sejajar dan bahkan saling bekerjasama agar tidak saling menghegemoni satu sama lain. Namun dalam konteks ini, bukan berarti tawaran civil religion hendak menjadikan agama sebagai alat negara atau negara sebagai instrumen agama, tetapi 43 lebih kepada bagaimana pancaran nilai-nilai luhur yang bersumber dari tradisi agama-agama yang ada mampu berdialektika menjadi pegangan berprilaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, akar perpecahan yang timbul dari gesekan antara kepentingan agama dan negara dapat dihindarkan dan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam masyarakat mampu diciptakan. Dalam sejarah perkembangannya, makna dan konsep civil religion setidaknya pernah dikenal oleh Filsuf Prancis, Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Dalam bukunya yang masyhur “The Social Contract.” Rousseau menulis: “The dogmas of the civil religion ought to be simple, few in number, stated with precision, and without explanation or commentaries. The existence of the Deity, powerful, wise, beneficent, prescient, and bountiful, the life to come, the happiness of the just, the punishment of the wicked, the sanctity of the social contract and of the laws42.” Berdasarkan pernyataan di atas, Rousseau menyadari bahwa perlunya “perangkat norma” yang netral yang dapat menjadi pemersatu agama-agama yang berbeda. Sebuah agama sipil yang menurutnya harus terbebas dari kekangan lembaga agama dan juga mesti terlepas dari kooptasi negara. Atas dasar itu, Rousseau berkeyakinan civil religion mampu tampil sebagai penengah. Nilainilai yang termaktub dalam civil religion digali dari unsur-unsur luhur transedental agama-agama yang berbeda-beda. Dengan berpegang pada pedoman norma-norma yang disepakati bersama itu, masyarakat dapat dengan bebas mengekspresikan keyakinannya, tanpa harus khawatir akan ancaman atau dominasi dari negara atau agama-agama tertentu, misalnya. Robert N Bellah lebih jauh mengelaborasi konsep civil religion yang dikembangkan Rousseau sebelumnya, berdasarkan 42 Robert N. Bellah, Rousseau on Society and the Individual, United States of America, Yale University Press, 2002, Hlm 282 44 pengalaman masyarakat Amerika. Dalam bukunya “Beyond Belief: Essays on Religion in A Post Traditionalist World,” Bellah mengatakan: ”the civil religion at its best is a genuine apprehension of universal and transcendent religious riil ity43 (civil religion pada dasarnya merupakan pancaran dari riil atas universal dan transenden keagamaan).” Cakupan nilai-nilai universal itu, kata Bellah, kemudiann ditransmisikan dan ditransformasikan ke dalam seperangkat keyakinan, simbol, dan ritual (a set of beliefs, symbols, and rituals).44 Kendati adanya kesatuan rangkaian nilai-nilai yang diyakini bersama itu, bukan berarti konsep civil religion yang dirumuskan Bellah tersebut menjurus kepada tindakan melakukan sinkretisme agama. Karena patut dipahami, bahwa civil religion bukanlah “agama” resmi yang dipahami secara umum. Ia pun sama sekali tidak dimaksudkan untuk menjadi saing agama-agama formal. Civil religion, karena itu, lebih kepada landasan moral yang disepakati, di mana nilai-nilai yang menjadi dasar moral itu digali dari mata air agama-agama yang ada. Lebih lanjut Bellah menerangkan, civil religion di Amerika tidak tumbuh secara tiba-tiba. Keragaman kepentingan komunataskomunatas keberagamaan yang diekspresikan di ruang publik acapkalikali menyeret pada ketegangan dan konflik45. Sementara dasar sekuler yang dipilih negara juga kerap bertentangan secara diametral dengan kepentingan kelompok agama-agama. Kondisi tarik-menarik inilah yang memungkinkan civil religion sebagai agama bersama dalam bernegara dapat diadopsi. Ekspresi-ekspresi keberagamaan yang terwakili oleh Kristen, Katolik, Islam, Yahudi, dan agama-agama lainnya, mampu melebur bersama dengan agama sipil sebagai landasan moral yang telah disepakati. Dari pengalaman Amerika, sebagaimana didedahkan Bellah 43 Robert N Bellah, Beyond Belief: Essays on Religion in A Post Traditionalist World, London England, University of California Press, 1991, hlm 179 44 Ibid, 171 45 Ibid, 168 45 di atas, dapat di tarik benang merah bahwa civil religion tak lain merupakan jawaban atas kepentingan agama dan negara yang saling bertolak belakang. Ia menjelma menjadi jalan tengah yang mendamaikan keduanya. Memang patut diakui bahwa kecendrungan sistem teokratis ialah mengeksklusi kehadiran agama-agama lain yang berbeda dengan memanfaatkan negara sebagai instrumennya. Semantara Prinsip sekularisme yang diterapkan oleh negara akan membawa agama ke wilayah periferal. Nilai-nilai transendensi agama benar-benar di lumpuhkan dalam ruang publik. Kerumpangan dari masing-masing sistem itulah yang pada akhirnya membuka celah bagi “agama sipil” sebagai alternatif penengahnya. Untuk konteks Indonesia, civil religion menemui signifikansinya manakala Pancasila disepakati oleh para pendiri bangsa sebagai dasar negara. Bahkan dengan secara meyakinkan Susan Salden Purdy dalam bukunya, “Legitimacy of Power and Authority in a Pluralistic State: Pancasila and Civil Religion in Indonesia,” mengatakan bahwa Pancasila adalah civil religion di Indonesia. Menurutnya, Pancasila sebagai civil religion bukan hanya mampu menjadi perekat dari keberagaman agama, ras, dan suku bangsa yang ada, tetapi juga menjadi landasan bersama dalam mengarungi kehidupan bernegara. Sila-sila yang termaktub dalam Pancasila itu dapat menjadi landasan moral bersama tanpa harus memedulikan sekat-sekat perbedaan. Pancasila sebagai hasil konsensus melahirkan kesadaran dan kesukarelaan untuk menerima kalangan yang berbeda46. Dengan kata lain, Pancasila merupakan hasil konsensus politik yang memungkinkan seluruh warga dapat hidup berdampingan. Para pendiri bangsa tentu paham betul, ketika merumuskan Pancasila akan ada pergesekan-pergesekan yang tidak dapat dihindarkan antar-golongan yang memang memiliki aneka kepentingan. Dengan dicetuskannya sila pertama “KeTuhanan yang Maha Esa” menandakan bahwa tidak ada agama yang mendaku diri lebih superior dibandingkan agama-agama lain. Posisi 46 Chafid Wahyudi, Nahdatul Ulama dan Civil Religion, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2013, hlm 32 46 negara pun dituntut netral. Ia tidak berhak mengadopsi doktrin salah satu agama sebagai dasarnya. Peran negara justru harus mengayomi dan melindungi ekspresi-ekspresi keberagamaan warganya. Sebab ekspresi keberagamaan apapun yang hadir di tengah-tengah warga, tentu patut diperhatikan dan diberi ruang, sepanjang ia tak bertentangan dengan sila-sila yang lain. Sekalipun terdapat pertentangan antar-kelompok agama yang menyuarakan kepentingannya, Pancasila tetap dapat dijadikan rujukan untuk saling mengerti dan memahami akan riil atas kemajemukan. Oleh karenanya, corak ideologi transnasionalis kelompok Islam is yang getol mengampanyekan Islam sebagai “the only solution”, sebenarnya bisa ditangkal dengan menjadikan Pancasila sebagai civil religion. Sebagaimana diketahui, Pancasila bukanlah sekedar dasar dan falsafah negara, melainkan juga ideologi nasional pemersatu bangsa. Soekarno, dalam pidato 1 Juni 1945, turut mempertegas bahwa sila-sila yang tercermin dalam Pancasila digalinya dari lubuk kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Sebab itu bagi Bung Karno, Pancasila tak lain merupakan jelmaan jati diri, kepribadian, moralatas, serta haluan keselamatan bangsa47. Bahkan PJ. Suwarno menilai, bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sudah termanifestasi sejak jaman kerajaan Kutai dan Sriwijaya (400-1500 M). Dari kerajaan-kerajaan awal di Nusantara itulah telah terbentang bahan material Pancasila. Sebagai contoh, misalnya, nilai persatuan tak terpisahkan dengan nilai keTuhanan, di mana raja mengakomodasi kedua nilai itu untuk menstabilkan kekuasaannya. Begitupun kaitanya dengan ekonomi dan kesejahteraan, terjalin erat dengan prinsip internasionalisme dalam bentuk hubungan dagang antar-negeri. Singkatnya, nilainilai religius, sosial, dan kemasyarakatan sudah menghujam kuat dalam laku hidup masyarakat Nusantara sejak dulu48. Namun, sayangnya, kesaktian Pancasila itu adakalanya hanya 47 Yudi Latif, Negara Paripurna, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2011, hlm 41 48 PJ. Suwarno , Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hlm 24 47 sebatas slogan yang minus praksis tindakan. Petuah Pancasila hanya mampu dilapalkan pada saat upacara bendera setiap hari senin. Bisa jadi merebaknya paham radikal yang mengusung misi hendak memancangkan tiang negara Islam dan penerapan syariah secara total, adalah sebagai wujud dari lemahnya pengejawantahan nilainilai Pancasila dalam praktik kehidupan. Apalagi Pancasila kerap diselewengkan demi merengkuh kepentingan-kepentingan praktis dan serba berbau politis. Akibatnya nilai-nilai Pancasila menjadi mandek, dan tak lagi memiliki daya gugah, sehingga tak mampu lagi mencegah aksi korup para pejabat atau prilaku intoleran masyarakat. Oleh karenanya, agar Pancasila mampu membumi, maka kelima sila yang bersifat statis itu harus ditransformasikan ke dalam bentuk operasionalnya. Pancasila harus diposisikan sebagai landasan fundamental dalam hidup keseharian. Untuk memperkaya pemahamam dan memperdalam penghayatan, maka diperlukan upaya serius lewat apa yang diistilahkan Kuntowijoyo: “radikalisasi Pencasila”. Radikalisasi Pancasila itu bisa digiatkan dengan trasnformasi nilai-nilai Pancasila, yang semula kata benda abstrak, menjadi kata kerja aktif. Sila KeTuhanan Yang Maha Esa, misalnya, bisa ditafsirkan jadi “Mengesakan Tuhan”49. Dengan “Mengesakan Tuhan”, berarti nilai-nilai keTuhanan dianggap sebagai sumber etika yang penting peranannya bagi kehidupan. Hal itu pula yang menjadi penegas bahwa bangsa Indonesia yang multi-agama ini bukanlah negara “agama”, yang cuma mengistimewakan salah satu agama saja, melainkan mengakomodasi semua kepercayaan yang ada. Kerela-hatian kelompok Muslim untuk menghapus “Tujuh Kata” dalam perumusan awal Pancasila, barangkali bisa dijadikan teladan betapa integratas bangsa jauh lebih bernilai dibandingkan kepentingan golongan. Pun sebaliknya, Indonesia juga bukanlah negara sekular yang memisahkan agama dan negara secara ekstrem. Dalam konteks Pancasila, agama dan negara diharapkan menjalin hubungan secara berkesinambungan. 49 Yudi Latif, Op.cit, hlm 45 48 Civil Society sebagai Agen Civil Religion Civil religion sebagai konsep, tentu tidak bisa berjalan sendiri tanpa peran dari aktor penggeraknya. Civil religion yang mengandaikan kerelaan untuk memberi ruang bagi mereka yang berbeda untuk hidup bersama, menjalin kerjasama tanpa memandang latar belakang, dan saling membantu untuk berbagai keperluan satu sama lain, perlu dihidupi dalam praksis tindakan. Dengan pancaran nilai-nilai inklusivatas, toleransi, dan penghargaan atas hak-hak asasi dari civil religion itu, segala bentuk gerakan yang mengancam keuTuhan bangsa dapat ditangkal. Prinsip-prinsip civil religion ini setidaknya mampu menjadi tameng untuk menghindarkan warga bertindak main hakim sendiri dan merasa diri paling benar. Selain itu, civil religion juga mengakui hak-hak kaum minoratas untuk dapat mengekspresikan keyakinannya secara bebas. Untuk itu, agar cakupan semangat toleransi, keterbukaan, dan saling menghargai itu mampu membumi, civil religion tentu perlu bantuan, dari apa yang disebut sebagai civil society, yaitu orangorang atau kelompok yang memiliki komitmen yang kukuh untuk membina hidup bersama. Sebab, bagaimanapun juga, idealnya nilainilai yang ditawarkan agama sipil itu akan sia-sia belaka, manakala tidak ada dukungan, baik dari level struktur maupun tataran kultur, dari masyarakat. Dalam konteks inilah civil society dianggap tepat sebagai agen pelaksana dan mengapanyekan nilai-nilai Pancasila sebagai agama sipil tersebut. Keberadaan civil society ibarat imun yang akan menjaga kesehatan demokrasi. Sebagai kekuatan yang bertumpu pada asas kemandirian dan nilai-nilai bersama, civil society tentu mensyaratkan ruang publik yang bebas, tak berafiliasi pada partai politik manapun, serta tak ada intervensi dari negara dalam bentuk apapun50. Sudah sejak lama, sebenarnya, civil society memainkan perannya yang mencerahkan sebagai suluh kesadaran masyarakat Indonesia. Budi Utomo dan Sarekat Islam yang lahir di awal abad ke-20 adalah 50 Muhammad AS. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta, LP3ES, 1996 hlm 57 49 contohnya. Bahkan selepas Reformasi, kekuatan civil society yang terjelma dalam kelompok dan organisasi berbasis sosial-keagamaan atau organisasi-organisasi non-pemerintah lainnya, justru menjamur dan bahkan tidak terkontrol. Kendati begitu, alih-alih menggembirakan, maraknya kemunculan ormas-ormas berbasis sosial-keagamaan, pascaReformasi itu, tidak semuanya selaras dengan cita-cita demokrasi. Banyak pula dari ormas-ormas semacam itu yang malah sengaja mengusung misi hendak menjungkalkan demokrasi, dan menggantikannya dengan sistem lain, semisal teokrasi. Keberadaan ormas-ormas sejenis itu jelas bertolak belakang dengan Pancasila, sebagai agama sipil. Namun, sebaliknya, ormas-ormas berbasis sosial-keagamaan berhaluan moderatlah yang sangat dinantikan perannya. Sebab, selain bertindak sebagai penyala rasionalatas masyarakat, kehadiran ormas-ormas moderat juga manjur untuk menangkal wabah kekerasan atas nama agama. Selain sebagai agen penyokong Pancasila sebagai agama sipil, keberadaan civil society dapat mengontrol agenda pemerintahan. Sebagaimana diketahui, dominasi negara yang berlebihan terhadap aktivatas warganya, justru dapat menciptakan keterkekangan yang dapat menimbulkan disharmoni dalam kehidupan. Peran civil society di sini bukan berarti seperti mata-mata, yang senantiasa awas dan mengkritik tanpa dasar dalam setiap agenda yang dilaksanakan oleh pemerintah. Namun lebih sebagai mitra yang saling bekerjasama, di mana setiap warga dijamin untuk bebas menyuarakan aspirasinya. Dan negara pula bersedia membuka ruang untuk menerima berbagai masukan yang berasal dari civil society. Dengan begitu, civil society dan negara, dapat saling bekerjasama untuk melakukan pencegahan dini dari pelbagai tindakan kekerasan dan kesemena-menaan yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu, atas dalih agama. Menyongsong Era Post-Islamisme: Sebuah Harapan Tatkala Pancasila betul-betul diakui sebagai “agama sipil”, serta diterimanya demokrasi sebagai sistem negara secara bersama- 50 sama, maka hasrat-hasrat seperti ingin mendirikan negara Islam, penerapan hukum syariat secara kaffah, dan seruan jihad melawan orang-orang kafir, sebagaimana yang selama ini rajin digaungkan kaum Islam is, tidak lagi menarik untuk diwacanakan. Misi-misi utopis yang getol digiatkan kalangan Islam is itu, akan menemui jalan buntu, sebab dirasa sama sekali tidak ideal diterapkan dalam konteks keindonesiaan. Maka harapan untuk mengubah paham, yang semula berhaluan Islam is menjadi post-Islam is, merupakan sebuah keniscayaan. Post-Islamisme adalah isyarat bahwa cita-cita utopis yang dicanangkan kalangan Islam is selama ini, perlahan tapi pasti, sudah mulai luruh dan dilupakan, serta tidak lagi menjadi tujuan. Fenomena post-Islamisme telah menjadi tren baru dalam lanskap Islam politik di Timur Tengah. Asef Bayat, melalui kata pengantarnya dalam buku “Post-Islam ism: The Changing Faces of Political Islam ”, mensinyalir bahwa fajar post-Islamisme sebenarnya telah muncul seiring datangnya Musim Semi Arab (Arab Spring). Angin musim itu berdampak pada perubahan pola gerakan Islam di kawasan negara-negara Muslim, yang semula pro-kekerasan dan anti-demokrasi, menjadi pembela demokrasi dan segala imperatifimperatifnya. Bayat mengambil contoh seperti Partai Renaisans di Tunisia, Ikhwanul Muslimin di Mesir, Hizbullah di Lebanon, dan AKP di Turki, yang telah menunjukkan pola gerakan moderat yang berbeda dengan pola gerakan sebelumya. Gelombang perubahan yang lebih mencolok juga terjadi di Arab Saudi akhir-akhir ini dengan mulai diapresiasinya demokrasi, gender, pluralisme, dan moderatisme. Penyebab perubahan orientasi gerakan Islam itu, dalam amatan Bayat, merupakan manifestasi kekecewaan dari misi pendirian negara Islam yang tak kunjung berbanding lurus dengan kenyataan51. Dalam bukunya yang lain “Making Islam Democratic”, Asef Bayat turut mempertegas bahwa post-Islamisme adalah “neither 51 Asef Bayat, Post-Islamism: The Changing Faces of Political Islam, New York, Oxford University Press, 2013, hlm 9. 51 anti-Islam ic, unIslam ic, nor is it secular52”. Terdapat gejala perubahan wacana dan agenda gerakan Islamisme, dari yang semula mementingkan perlunya penerapan syariah secara konstitusional di tingkat negara, menuju pola baru dengan praktik syariah secara individual. Dari fenomena itu, Bayat menyimpulkan bahwa alur gerak kalangan Islam is tidaklah stagnan, melainkan dinamis tergantung konteks sosial-politik yang mengintarinya. Pergeseran pola gerakan itu berbeda dengan bentuk gerakan Islam is awal. Mereka tidak lagi memaksakan tujuan untuk mendirikan negara Islam dan menerapkan hukum syariah di segala bidang kehidupan, tetapi lebih condong untuk mendialogkan antara Islam dan modernatas. Mereka pun tampak legowo menerima demokrasi dan modernatas sebagai sistem tanpa harus cemas akan kehilangan keyakinan yang telah kukuh dipegang. Lalu bagaimana di Indonesia? Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa ekspansi gerakan Islam is di Indonesia menemukan ruangnya pasca runtuhnya rezim Soeharto. Seruan pendirian negara Islam dan penerapan syariah memang semakin nyaring terdengar pasca reformasi. Penerapan syariah dianggap jalan ideal untuk mengatasi krisis multidemensi yang mendera umat. Dari misi semacam itulah lahir gerakan-gerakan militan Islam transnasionalis semisal; Majelis Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia, dan yang terakhir ISIS ala Indonesia, yang melakukan serangkaian bom bunuh diri beberapa waktu lalu. Jika melihat serangkaian aksi-aksi radikal dan terorisme pasca reformasi —Bom Bali 1 dan II, Bom di Ritz Charlton Jakarta, hingga yang paling mutakhir teror bom di Mako Brimob dan Gereja Surabaya— maka fajar post-Islamisme, sebagaimana dirumuskan Bayat, sepertinya tampak belum menjanjikan di Indonesia. Itulah sebabnya mengapa, pemikir semisal Martin van Bruinessan agak pesemis memandang masa depan Islam di Indonesia untuk terbebas dari gempuran kelompok Islam is. Pandangan 52 Asef Bayat, Making Islam Democratic, New York, Oxford University Press, 2008, hlm 5 52 demikian tentu bukan tanpa alasan. Dalam pengantar buku yang dieditorinya, Contemporary Developments in Indonesia: Explaining The Conservative Turn, Bruinessan mengatakan, bahwa terbukanya katup demokrasi pasca robohnya rezim Soeharto seolah membuka kotak pandora yang memungkinkan kelompok-kelompok Islam, baik berhaluan reformis maupun radikal, menemukan kembali ruang geraknya. Namun yang menjadi kegelisahan lanskap sosialpolitik Indonesia, yang baru saja terbebas dari penguasa tiran itu, justru didominasi oleh kelompok-kelompok ekstremis radikal. Dan serangkaian aksi teror, bom bunuh diri, serta ketegangan antarumat beragama, menjadi segerobak bukti betapa masifnya gerakan kelompok-kelompok ekstremis-radikal tersebut53. Di tengah geliat ekspansi kelopok radikal itu, sayangnya, menurut Bruinessan, kelompok-kelompok Islam berhaluan progresif dan moderat arus utama, justru malah mengalami fenomena apa yang disebutnya sebagai “conservative turn (kembali ke arah konservatif).” Conservative turn yang ditunjuk Bruinessen itu, tentu bukan hanya sebatas aksi-aksi radikal secara fisik, melainkan juga terekspresi dalam bentuk wacana pemikiran berupa fatwa-fatwa, kebijakan-kebijakan pro-syariah, dan lain-lain. Dalam menangkal arus konservatisme itu, bukan berarti tidak ada sama sekali tokohtokoh progresif yang vokal menyuarakan keberatan. Namun mereka, kata Bruinessan, “had lost the power to defne the terms of debate and had to leave the initiative to the conservatives and fundamentalists”54. Di samping ada nada pesemis, sebagaimana ditunjukkan Bruinessan di atas, terdapat juga yang memandang optimis atas masa depan Islam Indonesia di masa depan. Noorhaidi Hasan dalam tulisannya “Post-Islam ist Politics in Indonesia”, misalnya, mengatakan bahwa pengaruh dan upaya kalangan Islam is yang berusaha untuk mendirikan negara Islam di Indonesia telah menemui 53 Martin van Bruinessan, Contemporary Developments in Indonesia: Explaining The Conservative Turn, Singapore, ISEAS Publishing, 2013, hlm 3 54 Ibid, hlm 4 53 kegagalan. Seruan kalangan Islam is melalui serangkain doktrin dan simbol agama tidak mendapat tempat yang luas, sehingga membuat keberadaan gerakan-gerakan Islam is yang kerap mengumbar kekerasan menjadi terpinggirkan dan kurang mendapat sambutan antusias dari masyarakat. Menyadari kegagalan tersebut, akhirnya memaksa kelompok Islam is mengubah strategi untuk menerapkan“syariah dari bawah (shari’a from below)”, mempromosikan dakwah yang nir-kekerasan, hingga seruan pentingnya menjaga keuTuhan bangsa. Wacanawacana baru yang ditempuh kelompok Islam is itu dianggap pas dengan kondisi bangsa saat ini. Sebab kampanye kekerasan yang acapkali dilekatkan di pundak kalangan Islam, dianggap malah akan menjauhkan dari cita-cita mencapai kembali kejayaan Islam 55. Salah satu faktor yang berkontribusi atas gagalnya agenda politik Islam kaum Islam is, menurut Noorhaidi Hasan, ialah tidak bisa dilepaskan dari kesukseksan kalangan Muslim moderat (civil society), yang senantiasa mempromosikan Islam berwajah ramah dan Pancasila sebagai acuan moral berbangsa dan bernegara. Ketebukaan yang disediakan oleh sistem reformasi memungkinkan lahirnya kalangan moderat Muslim untuk mengimbangi wacana yang digulirkan kalangan Islam is radikal. Kahadiran kelompok moderat dengan seruan pentingnya menjaga kesatuan, keadilan, dan kesetaraan, sekaligus juga mampu menangkal dominasi wacana berupa pendirian negara Islam dan penegakan syariat kalangan Islam is radikal. Dengan begitu, timbul semacam kesadaran di kalangan masyarakat secara luas, ihwal bahayanya gerakan Islam radikal yang hendak mendongkel Pancasila sebagai dasar negara dan menggantinya dengan Islam. Hal demikianlah, menurut Noorhaidi, yang menjadi dasar alasan bahwa Indonesia tengah menyongsong era post-Islamisme. Bahkan secara gamblang Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga itu berujar: 55 Asef Bayat, Post-Islamism: The Changing Faces of Political Islam, Op.Cit hlm 176 54 “Indonesia today is in the throes of starting along post a postIslam ist path. A sort of synthesis between the call for Islam ’s importance for public life and democracy, post-Islam ism has emerged as an alternative to Islam ist radicalism. Through its endeavor to fuse religiousity and rights, faith and freedom, as well as Islam and liberty, this post-Islam ist alternative has enabled Muslims to express and actualized their religious beliefs and practices, without plunging into violence and joining the cycle of militancy56.” Di tengah berlangsungnya konsolidasi demokrasi saat ini, seruan untuk menegakkan khilafah dan pemberlakuan syariah secara kaffah, sebagaimana getol diperjuangkan kalangan Islam is selama ini, telah kehilangan daya pikatnya. Islamisme biasanya akan menguat manakala negara berlaku otoriter dan mengekang kebebasan masyarakatnya. Selama negara memberi ruang ekspresi untuk ikut serta memikirkan persoalan-persoalan pelik yang mendera bangsa, kaum Islam is akan melunak dan tidak lagi memaksakan kehendak. Sebab itu, kalangan Islam is radikal, barangkali, tidak perlu melulu diperlakukan lewat cara-cara represif, sebagaimana yang dilakukan selama ini. Sebagai manusia yang memiliki kecendrungan akan kebenaran, tidak ada salahnya bila kalangan Islam is, yang dianggap radikal sekalipun, diberi kesempatan untuk menjalin dialog dan kerjasama, untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik secara bersama-sama. Gencarnya ekspansi kaum Islam is yang hendak merobohkan bangunan kebangsaan kita, tentu patut dirisaukan. Ledakan bom dan serangkaian aksi teror tak pelak memang dapat mengguncang kesatuan bangsa. Apapun alasannya, menyebarkan benih-benih kebencian dan kekerasan jelas bertentangan dengan watak dan corak kepribadian negeri ini. Benar kata Buya Syafii Maarif, bahwa ideologi Islam is, apapun bentuknya, tak akan merajalela seenaknya manakala “cita-cita para pendiri bangsa dan Pancasila tak dibiarkan 56 Asef Bayat, Ibid, 177 55 menggantung di awang-awang, tetapi dihayati dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab57. Karenannya, selain perlunya meningkatkan perekonomian, membenahi sistem pendidikan, dan memperkuat tata hukum, menjadikan Pancasila sebagai agama sipil yang akan berperan sebagai ideologi nasional, tentu sebuah keniscayaan yang tidak mustahil dapat diwujudkan. 57 Ahmad Syafii Maarif, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, Jakarta: Paramadina, 2010, hlm 34 56 Daftar Pustaka Ayoob, Mohammed, The Many Faces of Political Islam : Religion and Politics in Muslim World, The United States of America, The University of Michigan Press, 2008 Bagir, Zainal Abidin, Kerukunan dan Penodaan Agama Alternatif Penanganan Masalah, Yogyakarta, CRCS UGM, 2018 Bayat, Asef, Making Islam Democratic, New York, Oxford University Press, 2008 Bayat, Asef, Post-Islam ism: The Changing Faces of Political Islam, New York, Oxford University Press, 2013 Bellah, Robert N., Beyond Belief: Essays on Religion in A Post Traditionalist World, London England, University of California Press, 1991 Bellah, Robert N., Rousseau on Society and the Individual, United States of America, Yale University Press, 2002, Hlm 282 Bruinessan, Martin Van, Contemporary Developments in Indonesia: Explaining The Conservative Turn, Singapore, ISEAS Publishing, 2013 Hasan, Noorhaidi, Islam Politik di Dunia Kontemporer; Konsep, Genealogi, dan Teori, Yogyakarta, Suka Press, 2012 Hikam, Muhammad AS, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta, LP3ES, 1996 Kimball, Charles, When Religion Becomes Evil, London: Harpen Collins, 2008 Latif, Yudi, Negara Paripurna, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2011 Maarif, Ahmad Syafii, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, Jakarta: Paramadina, 2010 Suwarno, PJ, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: 57 Kanisius, 1993 Tibi, Bassam ,Islam ism and Islam, United States of America, Yale University Press Book, 2012 Wahyudi, Chafid, Nahdatul Ulama dan Civil Religion, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2013 58 MENANGKAL NARASI NKRI BERSYARIAH DIBALIK POPULISME ISLAM Amirullah NKRI Bersyariah, Teh Botol Sosro, dan Perebutan Kekuasaan Akhir-akhir ini semangat konservatisme telah mendapatkan momentumnya di pemilu 2019. Sekalipun keluar dengan pihak yang kalah dalam kontestasi Pilpres, semangat dan sikap ini ingin terus dirawat. Kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin, dan kalahnya Prabowo-Sandi, meninggalkan catatan-catatan penting yang dapat menjadi refleksi bersama, betapa simbol-simbol agama di tahuntahun politik tersebut menjadi isu yang sangat sensitif dan membelah umat-bangsa sedemikian rupa. Karena memang diskursus tentang agama, apalagi telah bercampur di panggung politik, menjadi sangat sensitif dan mengundang gejolak, karena setiap orang merasa dirinya yang paling benar, dan siap mati atas nama perjuangan keagamaan yang diklaimnya suci dan benar itu. Di antara isu yang diangkat pada tahun-tahun politik tersebut, adalah upaya untuk menegakkan NKRI bersyariah. Sehingga perjuangan politik kekuasaan mendapat legitimasi suci atas nama syariah. Sekalipun wacana yang dikampanyekan oleh para elit atau sebagian alumni Aksi Bela Islam adalah penerapan syariat Islam (NKRI bersyariah), pada akhirnya tetap saja berorientasi kepada kekuasaan. Rangkaian Reuni 212 hingga Ijtima Ulama yang mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02, menandakan secara jelas bagaimana simbol-simbol agama 59 ditarik di atas panggung politik praktis untuk sebuah kekuasaan, kendati Prabowo-Sandi kalah dalam pilpres 2019. Tapi, hal yang senantiasa menjadi perhatian dan kajian para peneliti, sebagaimana pengamatan yang dilakukan Amin Abdullah, bahwa pasca Aksi 212 conservative turn menguat kembali dan bertujuan untuk meraih kekuasaan politik (sekalipun gagal dalam kasus pilpres 2019). Amin Abdullah menyebut gejala ini sebagai highly political spiritualy, yaitu mereka mengangkat simbol-simbol dan spiritualatas Islam tetapi untuk tujuan politik kekuasaan.58 Karena pada akhirnya, manakala agama sudah masuk tercebur dalam dunia politik, yang terjadi adalah kontestasi, rivalatas, dan perebutan kekuasaan. Fokusnya menjadi sangat profane, wordly, duniawi.59 Demikian pandangan Amin. Kelompok yang “memaksakan” penerapan syariat Islam secara total di Indonesia ini, penulis lebih suka menyebutnya sebagai “gerombolan kaum konservatif” daripada kelompok radikal. Gerombolan kaum konservatif ini oleh Najib Burhani digambarkan sebagai kelompok yang mental, sikap, dan perilaku sektarian di masyarakat. Gerombolan kaum konservatif ini, kata Burhani, adalah mereka yang hanya berpikir tentang kelompoknya dan selalu menganggap kelompok lain sebagai ancaman. Mereka sering memimpikan kehidupan yang homogeny, karena dalam bayangan mereka, bahwa dalam homogenatas, kedamaian, ketenteraman, dan kebahagiaan akan digapai. Ungkapan menarik dari Slavoj Zizek, seperti dikutip Najib Burhani, “If only they weren’t here, life would be perfect, and society will be harmonious” (jika mereka tidak di sini, maka kehidupan ini akan menjadi sempurna, dan masyarakat akan menjadi harmonis lagi).60 Padahal, mengharapkan untuk hidup dalam komunatas yang homogen, terlebih di dunia yang global saat 58 M. Amin Abdullah, Fresh Ijtihad: Manhaj Pemikiran Keislaman Muhammadiyah di Era Disrupsi, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2019), 32-33. 59 M. Amin Abdullah, Fresh Ijtihad, 76. 60 Ahmad Najib Burhani, Menemani Minoritas: Paradigma Islam tentang Keberpihakan dan Pembelaan Kepada yang Lemah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2019), 69-70. 60 ini, adalah harapan yang sulit dipenuhi, jika tidak absurd. Demikian Ulasan peneliti LIPI ini dalam bukunya, “Menemani Minoratas: Paradigma Islam tentang Keberpihakan dan Pembelaan Kepada yang Lemah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2019)”. Upaya sekelompok kecil ormas Islam yang ingin mendirikan Negara Islam ataupun khilafah, terlihat tidak mengeras dan cenderung tenggelam. Namun, sangat menarik diamati, di balik Aksi Bela Islam yang dilaksanakan secara berkala sejak 2016 lalu, ternyata wacana yang dikampanyekan sebelumnya, diganti menjadi perlunya diberlakukannya syariat Islam secara total di Indonesia. Akhir-akhir ini memang, isu ‘negara Islam ’ tidak mengeras lagi, misalnya saja dibandingkan sewaktu Revolusi Islam di Iran baru muncul. Dan kini, isu tersebut telah bergeser menjadi soal perlunya penerapan Syariat Islam.61 Demikian penilaian armarhum Moeslim Abdurrahman yang sepertinya masih sangat relevan untuk melihat fenomena populisme Islam dan isu NKRI bersyariah akhir-akhir ini. Wacana NKRI bersyariah ini jika diamati, sangat mirip dengan kampanye yang dilakukan oleh HTI tentang khilafah. Wacana dan kampanyenya sederhana saja, ibarat iklan Teh Botol Sosro, “apapun masalahnya solusinya adalah khilafah”. Masalah sumber daya alam yang dikuasai asing, masalah kemiskinan, masalah korupsi, masalah pendidikan, masalah kesenjangan, masalah kesejahteraan, dan seterusnya yang mendera Indonesia, mereka kampanyekan kerusakan itu semua akibat dari sistim yang sesat, dan solusinya adalah khilafah. Dan memperjuangkannya adalah jalan dakwah yang mulia, atau jihad fii sabilillah, yang pahalanya cukup besar. Demikian pula dengan wacana atau kampanye yang dilakukan oleh Habib Rizieq dan para pendukungnya, tentang perlunya menerapkan syariat Islam secara total di Indonesia agar semuanya menjadi “beres”. 61 Moeslim Abdurrahman, Sebuah Gagasan Keagamaan dalam Sejarah Politik, pengantar dalam buku Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara (Bandung: Mizan dan MAARIF Institute, edisi baru 2017), xiv. 61 Bagi orang-orang yang terbiasa berpikir metodologis, cara berpikir, seperti yang dikampanyekan HTI dan FPI ini, terlalu menyederhanakan persoalan, untuk tidak mengatakan kurang mengerti persoalan. Meminjam istilahnya Najib Burhani, bahwa gagasan tentang penerapan syariat Islam yang dihembuskan terusmenerus oleh Habib Rizieq dan para pendukungnya, ini ibarat sebagai perwujudan “Ratu Adil”. Syariat, dipandang sebagai total solution atau obat mujArab terhadap segala problem yang dihadapi oleh bangsa ini. Krisis ekonomi, politik, moral, sosial, dan sebagainya, adalah disebabkan karena bangsa ini menerapkan sistem sekuler, sistem buatan manusia yang penuh kekurangan. Karena itu, sistem buatan manusia itu harus diganti dengan sistem milik Tuhan yang bernama syariat, yang diyakini bersifat sempurna.62 Padahal tidak sesederhana itu, demikian menurut Najib Burhani. Kontestasi pilpres 2019 telah berakhir, apakah fenomena populisme Islam atas nama perjuangan ingin menjadikan NKRI bersyariah masih terus dilakukan? Boleh jadi iya, dan boleh jadi tidak. Tetapi pada level wacana, keinginan untuk menjadikan NKRI bersyariah akan terus dikumandangkan, sekalipun wacana ini relatif sangat mentah. Uraian singkat di bawah ini hendak menyadarkan masyarakat Indonesia, bahwa NKRI bersyariat yang dikampanyekan itu, sesungguhnya hanyalah ilusi. Faktanya, Indonesia jauh lebih hebat dan selangkah lebih maju jika dibandingkan dengan negaranegara mayoratas muslim lain di dunia, jika dilihat dari banyak aspek kemajuan Islam di Indonesia. Kampanye NKRI bersyariah dari “gerombolan kaum konservatif” akan tetap ada, sembari menunggu momentum yang tepat. Untuk itu, tulisan ini setidaknya sebagai upaya argumentatif untuk menangkal narasi NKRI bersyariah yang diprediksi akan terus dikampanyekan. 62 Ahmad Najib Burhani, Menemani Minoritas: Paradigma Islam tentang Keberpihakan dan Pembelaan Kepada yang Lemah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2019), 177. 62 Menangkal Wacana NKRI Bersyariah dan Bukti Indonesia yang “Islami” Aksi Bela Islam yang dilakukan, hingga reuni alumni Aksi Bela Islam secara berkala, tidak dapat dimungkiri, telah dijadikan momentum oleh kelompok FPI atau kelompok Islam yang sejalan dengan FPI, yang selama ini menghendaki penerapan syariat Islam secara total di Indonesia. Mereka menggiring massa Aksi Bela Islam, atau massa reuni tersebut, sebagai gerakan umat yang ingin menegakkan syariat Islam. Sekalipun banyak yang ikut Aksi Bela Islam tidak sepakat dengan narasi yang dihembuskan FPI. Banyak kalangan yang merespon seruan syariatisasi Indonesia tersebut dengan berbagai pertanyaan kritikal yang diajukan. Bagaimana sikap kita atas NKRI Bersyariah yang berulang ulang diperjuangkan oleh Habib Rizieq? Adalah pertanyaan penting yang diajukan oleh Denny JA dalam sebuah tulisannya yang menarik, “NKRI Bersyariah atau ruang publik yang manusiawi?, demi merespon Habib Rizieq yang berkali-kali, sejak Aksi Bela Islam 2016 dan reuni 212 pada akhir 2017 lalu, menyerukan tegaknya NKRI bersyariah. Apa yang dimaksud dengan NKRI bersyariah ala Habib Rizieq? Apakah Indonesia tanpa bioskop-bioskop, sehingga semua orang tidak boleh lagi menonton film Dilan dan Ahok? Jika ini yang dimaksud, bukan hanya jutaan milenial dan pendukung Ahok yang menolak, tetapi juga jutaan emak-emak yang menyukai karyanya Asma Nadia, yang menghiasi bioskop selama ini, jutaan anak-anak muda yang menyukai karyanya Habiburrahman ataupun Hanum Rais. Jika itu yang dimaksud, tentu saja akan berhadapan dengan jutaan warga Muhammadiyah dan NU, yang selama ini menuangkan karyakaryanya melalui layar lebar. Atau NKRI bersyariah yang dimaksud adalah, ketika perempuan-perempuan Indonesia tidak diperkenankan keluar rumah, naik grab atau gojek serta berkendaraan? Jika itu bagian yang dimaksud, Habib Rizieq perlu menengok perubahanperubahan penting di Arab Saudi beberapa tahun terakhir ini, dalam konteks membangun publik space yang lebih manusiawi dan maju, tanpa melanggar norma-norma agama. Hal lain yang menarik diamati, seruan NKRI bersyariah oleh “gerombolan kaum konservatif”, yang bersekutu secara politis dengan seleb Ahmad Dhani, yang sudah 63 kenyang dengan kemesuman dunia hiburan di satu sisi, memang seringkali membingungkan umat. Lalu NKRI bersyariah seperti apa yang hendak dibangun? Tentu saja, adanya wacana NKRI bersyariah berarti antitesis dari NKRI tidak bersyariah. Pertanyaannya, apakah betul Indonesia ini anti syariah? Mungkin orang bisa berdebat untuk menjawab ya atau tidak. Tetapi faktanya, dalam batas-batas tertentu, Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang Islam, sekalipun falsafah dan dasar negaranya adalah Pancasila. Pancasila sendiri, diakui atau tidak, merupakan hasil obyektivikasi dari nilai-nilai substansial ajaran Islam –agama yang universal. Adanya Kementerian Agama, pembangunan sarana ibadah, penggunaan aparat birokrasi untuk Bazis, proyekproyek keagamaan, penyelenggaraan pendidikan Islam, bank syariah, hotel syariah, bahkan ada properti syariah, adanya MUI, pengeluaran dana dari pemerintah untuk acara-acara keagamaan, seperti; MTQ atau perayaan-perayaan hari besar, adanya berbagai UU yang diadopsi dari hukum Islam, adanya Perda atau peraturan Walikota/Bupati yang mengakomodir kepentingan umat, dan lain-lainya, merupakan bukti telanjang bahwa negara, sudah dan sedang melindungi umat Islam menjalankan syariat. Melalui Kementerian Agama, negara mengelontorkan 63 triliun uang rakyat untuk memastikan agama, khususnya umat Islam, menjalankan syariatnya. Negara yang dituduh tak bersyariat ini bahkan menggaji penyuluh agama Islam yang jumlahnya 49.497 orang. Berdirinya 25.938 pesantren, dengan jumlah Santri 3.962.700 orang di seluruh tanah air. Berkembangnya Madrasah (MI, MTS dan MA) yang jumlahnya 75.199 (data kemenag 2015). Indonesia memiliki 676 perguruan tinggi Islam di berbagai pelosok negeri, secara kuantitatif berbanding jauh bahkan dengan Arab Saudi yang hanya punya 60 perguruan tinggi Islam, Mesir hanya punya 55 perguruan tinggi Islam, atau negara tetangga kita, Malaysia, yang menjadikan Islam sebagai agama negara, hanya memiliki 35 perguruan tinggi Islam. Ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negeri yang Islami melampui Arab Saudi. Indonesia tercatat memiliki 800.000 Masjid , diperkirakan sekarang ini ada satu juta Masjid di seluruh Indonesia. Belum lagi Musholah, yang hampir ada di berbagai tempat. 64 Pelaksanaan ritual keagamaan umat Islam tak pernah defisit. Masjid -Masjid tak pernah sepih dari jamaah. Pengajian, tabligh akbar, menggema di berbagai tempat, menyisir semua kalangan, bahkan di berbagai lembaga negara. Dari pusat hingga daerah, dakwah Islam semakin semarak. Trend memakai busana muslim/ muslimah terus meningkat. Bahkan di kalangan artis pengajian, dan semangat “hijrah” menggelora. Belum lagi tabligh akbar yang menghiasi layar TV kita, tidak pernah sepih. Untuk memastikan umat menjalankan syariatnya, tak sedikit UU diadopsi dari hukum Islam. Seperti UU No.3 tahun 2006 (perubahan atas UU No.7 tahun 1989) tentang Peradilan Agama, UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No.23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, UU No.41 tahun 2004 tentang Wakaf, UU No.13 tahun 2008 tentang Haji, UU No.33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, UU No.23 tahun 2008 tentang perbankan syariah, UU No.44 tahun 2008 tentang pornografi, UU No.7 tahun 1974 tentang penertiban perjudian, dan masih banyak lagi seperti UU narkotika dan lainnya. Ini adalah bukti nyata bahwa negara sudah memihak pada umat Islam. Negara yang berdasarkan Pancasila ini berjasa pada agama karena dua hal, seperti yang diungkapkan Kuntowijoyo: (1) menyediakan anggaran; dan (2) membuat birokrasi terlibat dalam penyebaran agama.63 Tetapi tak semua hukum Islam dapat diterapkan sebagai hukum negara, sebagaimana keinginan Habib Rizieq. Sebab negara milik orang banyak, bukan milik golongan tertentu, suku tertentu, atau monopoli paham agama tertentu. Di sinilah makna Pancasila, NKRI, atau Bhinneka Tunggal Ika, yang menempatkan Indonesia sebagai rumah bersama. Bahwa ada hukum negara yang diambil dari hukum agama, seperti dikatakan Kuntowijoyo, haruslah melalui proses obyektifikasi, yang pembentukannya atas persetujuan bersama warga negara. 63 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), 202. 65 Menangkal NKRI Bersyariah dan Menjaga Indonesia sebagai Rumah Bersama Siapapun tak boleh memaksakan, bahwa semua syariah Islam harus menjadi hukum negara. Dan menjadikan Islam sebagai kekuatan pemaksa di negara yang multi religion dan multicultural, adalah melawan syariah itu sendiri. Agama dan negara, mengutip Kuntowijoyo, adalah dua satuan sejarah yang berbeda hakikatnya. Agama adalah kabar gembira dan peringatan (basyiran wa nadzira, baca QS Al-Baqarah:119), sedangkan negara adalah kekuatan pemaksa (coercion). Agama punya khatib, juru dakwah, dan ulama, sedangkan negara punya birokrasi, pengadilan, polisi dan tentara. Agama dapat memengaruhi jalannya sejarah melalui kesadaran bersama (collective concience), negara memengaruhi sejarah dengan keputusan, kekuasaan, dan perang. Agama adalah kekuatan dari dalam, dan negara adalah kekuatan dari luar.64 Dua dimensi yang berbeda namun dapat saling mengisi. Agama diharapkan dapat menjadi sumber nilai dan membimbing moralatas penganutnya dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan. Kelangsungan hidup sebuah agama tergantung pada pemeluknya, tidak pada negara. Dengan kata lain, jangan memaksa agama tumbuh dengan logika kekuasaan, tapi biarlah ia hidup dengan logika iman yang penuh kesadaran. Sebab agama adalah kekuatan dari dalam, dan negara adalah kekuatan dari luar. Aceh memang memberlakukan “syariat Islam”, tetapi bukan berarti bisa membendung gurita korupsi di Aceh, yang banyak melibatkan pejabat hingga Gubernur dan Bupati di sana ditahan KPK. Untuk itu, tujuan terpenting syariah (al-Qur’an), seperti dikatakan Buya Syafii Maarif, adalah agar nilai-nilai dan perintah-perintah etiknya dijunjung tinggi dan bersifat mengikat atas kegiatan-kegiatan sosio-politik umat manusia. Menarik ungkapan dari Buya Syafii, “simbol semata tidak dapat dijadikan jaminan, selama perilaku kesehariannya tidak mencerminkan nilai-nilai Islam yang sejati dalam format kearifan, keadilan, kejujuran, toleransi, kejernihan berpikir, dan tidak rakus.” 64 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, 101-102. 66 Secara simbolatas, rutinatas, dinamika, dan ritualatas umat Islam Indonesia hari-hari ini cukup luar biasa, jika dibandingkan era orde lama dan orde baru. Lalu, NKRI bersyariah seperti apa yang hendak ditegakkan Habib Rizieq? Titik berangkat menuju negara Islam-kah? Jika belum jelas bagaimana bentuk atau operasionalisasi NKRI bersyariah yang diinginkan, maka suara Habib Rizieq yang berapi-api itu sangat mungkin dikatakan sebagai propaganda ilusi, jika bukan politisasi menjelang pemilu 2019 lalu. Usulan Denny JA, bahwa diperlukannya index yang terukur dan melihat dunia dengan data, adalah sangat tepat, daripada Habib Rizieq menghabiskan energinya memprovokasi banyak orang, untuk mengimani gagasan abstrak yang belum jelas dan detail tersebut. Semua telah sepakat, bahwa Pancasila sebagai fondasi bangsa sudah final. Muhammadiyah, NU, dan mayoratas umat Islam telah berkomitmen menjaganya. Energi umat sudah seharusnya diarusutamakan dalam gerakan membumikan agenda ta’awun untuk negeri, agenda memajukan bangsa, dan berperan untuk menawarkan jalan keluar dari krisis yang dihadapi bangsa dan umat manusia. Energi umat haruslah diarahkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan kebangsaan yang lebih fundamental. Agenda-agenda inilah sesungguhnya yang merupakan syariah Islam substansial, yang seringkali luput dari perhatian Habib Rizieq dan pendukungnya. Jika syariah Islam substansial ini teraktualisasi dalam kehidupan sosial-politik umat Islam Indonesia, sebagai negara muslim terbesar, Indonesia tidak akan lagi berada di rangking 74 dalam Islamic City Index atau berada di bawah top 50 dalam skor Happiness Index. Mengutip Buya Syafii Maarif, negara hanya dapat dikatakan bercorak Islam, manakala keadilan dan lain-lainya itu benarbenar terwujud dan terasa di dalamnya, dan memengaruhi seluruh kehidupan rakyat.65 65 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara (Bandung: Mizan dan MAARIF Institute, edisi baru 2017), 22 67 Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin, Fresh Ijtihad: Manhaj Pemikiran KeIslam an Muhammadiyah di Era Disrupsi, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2019) Abdurrahman, Moeslim, Sebuah Gagasan Keagamaan dalam Sejarah Politik, pengantar dalam buku karya Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara (Bandung: Mizan dan MAARIF Institute, edisi baru 2017) Burhani, Ahmad Najib, Menemani Minoratas: Paradigma Islam tentang Keberpihakan dan Pembelaan Kepada yang Lemah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2019) Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997) Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara (Bandung: Mizan dan MAARIF Institute, edisi baru 2017) 68 INSTITUSI KEAGAMAAN SEBAGAI KOHESI SOSIAL Saepullah Pendahuluan Ajaran agama dapat menyebabkan kekakuan dan intoleransi, ketika berhadapan dengan ajaran atau keyakinan agama lain. Ajaran agama, ketika diterima secara mutlak tanpa diberikan ruang untuk menginterpretasikan kembali, dapat menjadi sumber konflik antara agama (baca umat beragama). Terlebih lagi pemahaman agama, disampaikan sebagai firman Tuhan, sehingga tidak mungkin lagi ada celah untuk mempertanyakannya kembali.66 Makna konflik bukan hanya mempunyai makna negatif, akan tetapi konflik bisa jadi menghasilkan sesuatu yang positif. Konflik bisa berfungsi menjadi penyebab berubahnya sistem sosial, seperti berubahnya hubungan struktur kelembagaan, kemajuan teknis dan produktivatas, dan perubahan hubungan antara konflik sosial dan perubahan sistem sosial.67 Indonesia adalah negara yang sangat homogen, dimana kelompok-kelompok agama, mempunyai peran penting dalam 66 Eric Brahm, “Religion and Conflict”, Beyond Intractability (November 2005), http://www.beyondintractability.org/essay/religion-and-conflict (diunduh tanggal 01 Oktober 2013). 67 Lewis A. Coser, “Social Conflict and The Theory of Social Change”, The British Journal of Sociology, Vol. 8, No. 3 (1957): 197-207. 69 keberlangsungan bernegara.68 Zainun Kamal berpendapat, bahwa Indonesia merupakan tempat pertemuan antara epistimologi yang ada di barat dan di Timur. Persoalan berat pada bangsa ini adalah, bagaimana bangsa ini dapat mempertemukan kedua kutub pemikiran tersebut. Persoalan konflik agama, dimana ajaran agama menjadi alat pembenaran, seharusnya dapat dicarikan jalan keluar melalui kearifan lokal.69 Zainun Kamal menafsirkan bahwa selayaknya kearifan lokal yang sudah diketahui menjadi titik pangkal sebagai epistimologi, untuk menghindari sesuatu yang tidak diketahui oleh bangsa ini.70 Perbedaan kelompok keagamaan (agama), sebagai bagian dari kelompok-kelompok sosial, mempunyai peran yang signifikan dalam keberlangsungan berbangsa dan bernegara. Keragaman selayaknya tidak harus menimbulkan masalah sosial. Keragaman agama yang ada pada suatu bangsa dan negara, haruslah dipandang sebagai sesuatu kekuatan sosial ataupun politik yang efektif dalam masyarakat. Persoalan pada keragaman agama ini muncul ketika terjadi gesekan kepentingan atau klaim tertentu pada masing-masing agama.71 Islam (umat) merupakan mayoratas terbesar penganut agama di Indonesia, yaitu 87,18%, sedangkan Kristen 6,96%, Katolik 2,91%, Hindu 1,69%, Buddha 0,72%, Khong Hu Cu 0,05% dan lainnya 0,13%.72 Persoalan keragaman agama, dipicu oleh bagaimana sebuah 68 Julie Chermov Hwang, Umat Bergerak: Mobilisasi Damai Kaum Islamis di indonesia, Malaysia, dan Turki (Jakarta: Freedom Institute, 2011), 111. 69 Quran, al ‘Imran ayat 104. 70 Zainun Kamal, “Epistimologi untuk Indonesia”, Democrasi Project (3 Agustus 2013), https://www.youtube.com/watch?v= SzOh5cNMmko&index=21&list=PLwinC5EAvuc i03Gr3fjxinECTagfhjiRs (diunduh tanggal 1 Januari 2014). 71 Zainal Abidin Bagir (dkk.), Pluralisme Kewargaan: Arah Politik Baru Keragaman di Indonesia (Jakarta: CRCS dan Mizan, 2011), 16-17. 72 Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, “Penduduk Menurut wilayah dan Agama yang Dianut”, BPS (2010), http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/ tabel?tid=321 (diunduh tanggal 23 Oktober 2013). 70 Identitas agama dapat dijadikan alat yang efektif ketika berada di ruang publik. Seharusnya, Identitas agama yang beragam tersebut tidak dijadikan alat untuk membeda-bedakan, sehingga dapat tercipta kesetaraan dalam keragaman agama dalam konteks negara dan bangsa. Konsep kewargaan, dalam konteks bangsa dan negara, bukanlah menjadi syarat untuk memperoleh hak-hak dasar manusia, sehingga yang minoratas bukanlah menjadi subordinat yang mayoratas, akan tetapi posisi minoratas dan mayoratas seharusnya sama.73 Penenelitan ini memaparkan Islam sebagai sebuah Identitas agama yang mayoratas, dan Identitas agama lain, yaitu Buddha, sebagai perwakilan dari yang minoratas, yang dijadikan sebagai objek penelitian. Islam sebagai Identitas sosial, dan begitu pula Buddha sebagai Identitas sosial lain, mempunyai perberbedaan secara teologis (ajaran). Kesamaan dan kebersamaan dalam beragama, atau antara kelompok yang berbeda paham, itu lebih dikedepankan, sehingga konflik agama akan semakin dapat terreduksi. Kesamaan yang dimaksud adalah, setiap agama mengajarkan akan sesuatu yang Maha di luar Manusia. Kebersamaan yang dimaksud adalah, agama-agama (baca: ajaran) mengajarkan kehidupan sosial dengan agama-agama lainnya. Permasalahan yang terjadi di antara agama-agama muncul, pertama, ketika ketika agama (baca: pemahaman) atau keyakinan dijadikan sebagai alat untuk menjustifikasi agama lain atau menilai keyakinan orang lain. Kedua, keyakinan pada sebagian kelompok merupakan sesuatu yang suci, akan tetapi belum memiliki dampak kepada adanya saling menghormati antar agama. Ketiga, ketika keyakinan beragama dilihat dari sisi jumlah penganutnya, yang timbul adalah superioratas bagi yang mayoratas. Penelitian ini membatasi hanya pada tema agama (baca: ajaran) sebagai kohesi sosial, sedangkan agama yang diteliti akan dibatasi pada agama Islam dan agama Buddha, sedangkan 73 Zainal Abidin Bagir (dkk.), Pluralisme Kewargaan: Arah Politik Baru Keragaman di Indonesia (Jakarta: CRCS dan Mizan, 2011). 71 yang menjadi tempat penelitian adalah Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia dan Yayasan Pesantren Islam Al Azhar. Permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini adalah bagaimana ajaran agama menjadi penghubung dan perekat agama-agama, dan bagaimana konflik agama dapat direduksi oleh institusi-institusi yang mengatasnamakan agama? Lie Tan Giok, dalam artikelnya yang berjudul The Context and Challenges of the Church’s Educational Ministry in Indonesia, menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara multi-agama dan multi-budaya. Tiga isu besar yang menjadi persoalan ketegangan agama, yaitu: pertama, kebebasan beragama, dimana warga negara berhak untuk melaksankan ibadah sesuai dengan keyakinan; kedua, masyarakat majemuk; dan ketiga, pendidikan nasional.74 Berbeda dengan Kim, Nam-Kook dalam tulisannya, Identity Crisis and Sosial Integration under Globalization in Korea, mengatakan bahwa globalisasi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan krisis Identitas terjadi pada suatu negara. Globalisasi memunculkan dua masalah, yaitu: pertama, terjadi konflik sosial ekonomi diakibatkan semakin terkuaknya kesenjangan ekonomi yang lebar; dan kedua, adanya konflik sosio-kultural karena terjadi transisi pada masyarakat karena menuju masyarakat multikultural.75 Penelitian ini adalah penelitian kulitatif, dengan membahas secara historis kekerasan yang terjadi antara agama-agama, baik dalam konteks persoalan yang ditimbulkan dari pemahaman agama, dan konflik yang ditimbulkan di dalamnya. Sosial Theology, sebagaimana J.B. Banawiratma, SJ. dan J. Muller, SJ. dalam bukunya “Berteologi Sosial Lintas Ilmu Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman”, menjadi sebuah pendekatan dalam 74 Lie Tan Giok, “The Context and Challenges of the Church’s Educational Ministry in Indonesia”, Christian Education Journal; vol 10, no 9 (2013), 233-241. 75 Kim Nam-Kook, “Identity Crisis and Social Integration under Globalization in Korea”, Institute of Korean Studies, Vol 44 No. 1 (2013), 31-54. 72 penelitian ini. Sosial Theology didasarkan kepada etika sosial, sehingga ada tiga pertanyaan yang muncul, yaitu: pertama, apakah maksud Tuhan menjadikan masyarakat?; kedua, apa manfaat agama di tengah masyarakat, baik itu yang taat atau pun tidak, baik itu yang satu agama maupun dengan yang berbeda agama?; dan yang ketiga adalah, apakah agama (para pemeluknya, baik secara individu maupun kelompok), dapat memengaruhi riil atas sosial?76 Penginterpretasian makna, baik dari teks maupun tindakan yang dilakukan oleh kelompok sosial, menggunakan hermeneutika77 menjadi pilihan. Paul Ricoure berpendapat, yang dikutip oleh Ricard L. Palmer dari buku De l’intretation (1965), hermeneutika mempunyai makna teori tentang kaidah-kaidah yang menata tentang eksegessi, yaitu sebuah interpretasi partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks.78 Penelitian ini menggunakan metode komparatif, yang merupakan metode untuk menganalisa dua atau lebih kasus, lalu membandingkannya. Metode komparatif, dalam penerapannya mempunyai dua pilihan. Pertama, teori pendekatan dapat menggunakan 76 Social Theology merupakan teologi sosial Anglikan pada masa Augustine pada tahun 597. Teologi sosial yang dimaksud merupakan pelayanan gereja kepada masyarakat di Atherton dan Forrester frase. Pelayanan gereja terhadap masyarakat menunjukkan bahwa ada hubungan yang umumnya positif antara masyarakat dan gereja. Teologi sosial terlihat restoratif dan proporsional, untuk menunjukkan bagaimana keadilan Ilahi dapat membentuk keadilan manusia. Dackson Wendy, Anglican Theological Review 94.4 (fall 2012): 615-637. 77 Hermeneutika merupakan istilah Yunani yang berasal dari kata kerja yaitu hermeneuein, yang artinya menafsirkan. Sedangkan kata bendanya yaitu hermeneia yang berarti interpretasi. Lihat Richard L. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenal Interpretasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 14. Diterjemahkan dari Hermenetics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Nortwestern University Press, 1969). 78 Richard L. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenal Interpretasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 47. Diterjemahkan dari Hermenetics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Nortwestern University Press, 1969). 73 dua pendekatan atau lebih. Kedua, menggunakan pendekatan dengan satu teori untuk melihat lebih dari satu fenomena. Kedua penerapan tersebut dimaksudkan untuk menemukan perbandingannya. Metode Komparatif merupakan metode untuk menemukan variabel kasuskasus yang ada. Sehingga dapat dilihat perbedaan dan persamaannya dari kasus yang serupa, untuk mendapatkan hasil yang umum. Berbeda dengan studi kasus, yaitu suatu metode penelitian yang tujuannya untuk memperoleh teori yang spesifik.79 Diskursus Agama dan Kohesi Sosial Agama dapat menjadi sistem yang mempunyai otoratas dan kemampuan pengarahan, sehingga dapat menjadi kekuatan sebagai pengatur fungsi dan norma, dan bisa menjadi pandangan manusia tentang struktur dan makna yang dibutuhkan dalam kehidupan.80 Kohesi sosial, sebagaimana yang dikemukakan oleh Regina BergerSchmitt, bahwa hubungan masyarakat mempunyai kaitan erat antara unit sosial, seperti; individu, kelompok, ataupun asosiasi. Aspekaspek yang terdapat dalam kohesi sosial adalah, adanya kesepakatan nilai-nilai dalam masyarakat, kesamaan Identitas, rasa memiliki terhadap komunatas, kepercayaan di antara anggota masyarakat, serta tingkat ketimpangan dan kesenjangan.81 79 Gabriela Natalia Pbg, “Generalisasi dengan Metode Komparatif” (11 Juli 2013), http://gabriela-n-p-fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-82323Analisis%20HI-Generalisasi%20dengan%20Metode%20Komparatif.html (diunduh tanggal 15 April 2014), yang dikutip dari Lijphart, Arend, “The Comparable-Cases Strategy in Comparative Research”, dalam Comparative Political Studies. Sage Publications Inc, Vol.8 No.2 (1975), hal 158-177. Lihat juga Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), 31-32. Yang diterjemahkan dari Peter Burke, History and Social Theory (New york: Cornell University Press, Ithaca, 1993). 80 Soedjatmoko, Etika Pembebasan Pilihan Karangan Tentang: Agama, Kebudayaan, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 1988), 193. 81 Emile Durkheim adalah yang pertama yang menggunakan konsep kohesi sosial. Kohesi sosial terbentuk karena masyarakat saling membutuhkan antara anggota masyarakat, yang dibentuk melalui loyalitas dan solidaritas. 74 Penelitian ini bukan membahas mengenai kohesi sosial secara teoritis, akan tetapi yang dimaksud dalam tulisan ini, adalah bagaimana teologi dapat dipahami untuk mewujudkan kesadaran sosial melalui pemahaman agama dalam tindakan sosial. Pemahaman agama tersebutlah yang menjadikan kohesi sosial terwujud. Agama dapat mempunyai pengertian metafisik atau teologis, seperti kebenaran yang mendasari keberadaan Tuhan, serta adanya perintah berbuat baik. Agama dapat pula mempunyai makna bagi orang-orang, dilihat dari sudut psikologis, yaitu perasaan orang percaya terhadap agama tentang keTuhanan, kekhawatiran akan kehidupan setelah kematian, perasaan kesucian. Agama dapat pula berwujud sebagai kekuatan budaya atau sosial, seperti simbol-simbol pada agama yang mengikat masyarakat bersama-sama, dan memisahkannya dari masyarakat lainnya.82 Agama, menurut Nurcholis Madjid (1939-2005), merupakan salah satu sistem pandangan yang menawarkan makna dan tujuan hidup. Persoalan pokok manusia bukanlah kepada apakah dalam menjalani kehidupan, manusia mempunyai tujuan atau mempunyai makna. Akan tetapi yang menjadi persoalan pokok manusia adalah bagaimana manusia memilih makna dan tujuan hidup.83 Gus Dur (1940-2009)-pun berpandangan, pemahaman keagamaan bukan hanya bermakna bagaimana manusia hanya bertindak untuk kepentingan akhirat saja, akan tetapi keagamaan dimaknai sebagai keadaan berfikir (state of mind) yang orientasinya sudah melampaui masalah yang bersifat keduniawian, normatif dan material.84 Lihat Regina Berger-Schmitt, “Social Cohestion as an Aspect of the Quality of Societies: Concept and Measurement”, EuReporting Working Paper No.14 (2000), http://www.gesis.org/fileadmin/upload/dienstleistung/ daten/soz_indikatoren/eusi/paper14.pdf (diunduh tanggal 1 Januari 2015). 82 T. Jeremy Gunn, “The Complexity of Religion and the Definition of ‘Religion’ in International Law”, Harvard Human Rights Journal, Vol. 16 (2003), 194-193. 83 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), 26-27. 84 Sulaiman ‘Ashrati, “Ruhaniyat al-Din” (02 Januari 2014), http://www. 75 Agama akan menjadi aktual apabila agama itu tampil dalam bentuk yang nyata dalam riil atas sosial. Agama bisa dikenali dan dirasakan maknanya oleh manusia (baik sebagai penganutnya maupun bukan penganutnya). Agama dengan bentuk dan subtansinya harus dapat menjadi bersifat fungsional dan operasional, sehingga agama bisa langsung dirasakan kehadirannya di tengah-tengah kehidupan manusia. Agama, dalam kehidupan manusia, bisa menjadi sandaran atau sebagai jawaban dari kegelisahan.85 Emile Durkheim (1858-1917) berpendapat, bahwa ada hubungan antara agama dan praktik sosial. Menurut Durkheim, agama berfungsi hanya sebagai simbol kepentingan masyarakat untuk mengukuhkan keberadaannya. Inilah yang kemudiann dipertegas oleh Foucault, yang disetujui oleh Voeltzel, mengatakan bahwa, agama adalah kekuatan politis. Agama (baca: institusi) di dalamnya hanyalah merupakan sandiwara, karena terkadang agama selalu berpihak pada kelompok tertentu.86 Lain halnya dengan Karl Marx (1818-1883), ia menyatakan bahwa agama merupakan salah satu bentuk keberagaman masyarakat miskin, dan Freud (1856-1939) melihat sebagai hal yang terdapat pada penderita gangguan jiwa. Agama (baca: pemahaman agama) sering kali tereduksi oleh masalah-masalah lain, seperti; politik, ekonomi, dan budaya. Pengaruh politik, ekonomi, dan budaya terlihat lebih dominan, sehingga agama hanya dipandang sebagai simbol yang mencerminkan riil atas atau kepentingan lain, atau kepentingan pihak-pihak tertentu.87 Persoalan agama terbesar dalam kehidupan manusia adalah, bagaimana manusia memilih makna dan tujuan hidup, yang hiramagazine.com/ (diunduh tanggal 02 Juli 2014). 85 Komarudin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Prespektif Filsafat Perenial (Jakarta: Penerbit Gramedia, 2003), 109. 86 Jeremy R. Carrette (ed.), Agama, Seksualitas, Kebudayaan. Esai, Kuliah dan Wawancara Terpilih Michel Foucault, Terjemahan. Indi Aunullah (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), 149-153. 87 Tarmizi Taher, et.al, Radikalisme Agama (Jakarta: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta, 1998), xii. 76 berawal dan pasti akan berakhir.88 Memaknai agama terlihat sebagai hegemonik ide-ide, budaya, dan ideologi, dan interpersonal, yaitu interaksi antara individu-individu terjadi di ruang-ruang, di mana ras, jenis kelamin, kelas, dan kategori atau tradisi lainnya. Perbedaan berinteraksi untuk menghasilkan masyarakat.89 Keberagamaan dalam kontek sosial, bukan lagi dimaknai sebagai batasan yang bersifat simbolis atau formal saja, akan tetapi merupakan kesadaran spirit dan etika, yang bermanfaat terhadap orang sekitar.90 Agama tidak bisa menjadi idieologi alternatif terhadap konstruk negara, akan tetapi perlu dilakukan pengadaptasian konsep-konsep ajaran universal agama terhadap nilai-nilai kebudayaan lokal yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat.91Agama dan negara tidak bisa dipisahkan akan tetapi tidak identik. Seorang yang beragama, dalam aktivatasnya setiap hari, pasti melakukan aktivatas kemasyarakatan dan kegiatan bernegara. Dalam melaksankan kegiatan agama menuntut pelaksanaan sebaik mungkin karena akan diminta pertanggungjawaban.92 Dari Fundamentalisme ke Transformatif Agama bagi Karl Marx merupakan alat untuk lebih aktif untuk melakukan protes terhadap penderitaan dari pada menentramkan. Agama merupakan pengejawantahan dari makhluk yang tertindas, maka beragama merupakan ekspresi penderitaan riil, dan protes 88 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), 26-27. 89 Shehla Riza Arifeen, Caroline Gatrell, “A Blind Spot in Organization Studies: Gender with Ethnicity, Nationality and Religion”, Gender in Management, Vol. 28 (2013), 151-170. 90 Umarudin Masdar, Pembela Ulama Sepanjang Jaman (Jakarta: The Wahid Institute dan Klik.R, 2007), 5-7. 91 Syarif Utsman Yahya, Gus Dur Memilih Kebenaran daripada Kekuasaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), xiii-xvi. 92 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), cxi. 77 melawan penderitaan riil tersebut. Persoalannya adalah, kesadaran akan penderitaan bukanlah akhir, akan tetapi berusaha untuk mengubahnya merupakan proses yang harus dilalui.93 Karl Marx memahami filsafat, dan teologi hanya sekedar menafsirkan dunia dengan berbagai cara yang beragam, akan tetapi tidak pernah menyentuh area bagaimana cara mengubahnya.94 Justru agama terkadang dijadikan alat untuk, bukan hanya bertahan, akan tetapi juga untuk melawan, bahkan akhirnya memberontak.95 Yang lebih memperihatinkan lagi adalah, tindakan teror dapat dilegitimasi juga oleh agama, sehingga terorisme ternyata mempunyai motif religius.96 Faktor yang menyebabkan terorisme berkembang dan bertahan sampai sekarang ini adalah, pertama, terdapat negara sponsor yang membiayai kelompok teroris. Kedua, media mempunyai peran kuat dalam memengaruhi perkembangan kelompok teroris. Ketiga, kemampuan komunikasi yang begitu pesat. Keempat, perkembangan transportasi, domestik maupun internasional, yang semakin cepat. Kelima, kerjasama antar kelompok semakin berkembang. Keenam, perkembangan perlawanansemakin diluar nalar, yaitu dengan misi bunuh diri. Ketujuh, pemahaman akan kematian merupakan pilihan untuk menuju kebahagian abadi. Kedelapan, potensi untuk menjadi megaterorisme. Kesembilan, negara yang membiayai terorisme bertujuan untuk mendapatkan uang.97 Perdebatan dan kesalahpahaman dalam memaknai agama akan terus terjadi. Pemahaman agama, ketika menjadi istilah 93 Jhon C. Raines (ed.), Marx Tentang Agama (Jakarta: Teraju, 2003), 235236. Diterjemahkan dari Marx on Religion (America: Temple University, 2002). 94 Jhon C. Raines (ed.), Marx Tentang Agama (Jakarta: Teraju, 2003), 236. 95 Jhon C. Raines (ed.), Marx Tentang Agama (Jakarta: Teraju, 2003), 237. 96 Paul Budi Kleden dan Adrius Sunarko (ed.), Dialektika Sekularisasi: Diskusi Hebermas – Ratzinger dan Tanggapan (Yogyakarta dan Maumere: Lamarera dan Ledarero, 2010), 103. 97 Adjie S., Terorisme (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), 30-37. 78 teologi, masing-masing penganut maupun madzhab yang ada di dalam agama tersebut, akan saling bertentangan dan saling mempertahankan diri. Riil atas pertentangan yang berbasis kepada agama inilah, yang kemudiann menurut Karen Armstrong, salah satu penyebab terjadinya fundamentalisme sebagai kenyataan global, dan muncul pada semua keyakinan (baca: agama) sebagai respon atas masalah-masalah yang ditimbulkan oleh modernatas, yang telah keluar terlalu jauh. Sehingga ditempuh jalan ekstrim, ketika jalan moderat dianggap tidak dapat memberikan solusi. Radikalisme pun akhirnya menjadikan mereka merasa yang paling benar dalam memahami agama (baca: paham agama). Kebanggaan pun tertanam pada kalangan mereka, karena mereka memaknainya sebagai ketaatan yang paling mendekati kesempurnaan ajaran Tuhan, dan pemahaman tekstual terhadap kitab suci adalah yang paling benar. Berbeda menurut Wahib, bahwa sebenarnya mereka telah gagal, karena mereka tidak mampu menerjemahkan kebenaran agama dalam suatu perencanaan menjadi suatu kenyataan.98 Perasaan terancam dalam perkembangan kehidupan yang begitu pesat, baik itu secara sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Terlebih lagi perkembangan peradaban modern seperti perluasan media, teknologi, informasi, ekonomi, dan politik liberal, yang menyebabkan semakin mengkristalnya Islam fundamentalis, sehingga mereka hanya memahami kebenaran tunggal dan menolak pemahaman lain. Pesatnya perkembangan kehidupan, bagi Islam fundamentalis merupakan bukti dari bentuk kolonialisme Barat, yang bertujuan untuk pemurtadan. Alasan ini yang kemudiann menjadikan perjuangan (yang dimaknai jihad) masih diperlukan, baik secara fisik maupun mental, untuk melawan segala hal yang menghalangi tegaknya kebenaran —dari sudut pandang mereka— untuk berjuang menegakkan syariat.99 Persoalan inilah yang dikhawatirkan oleh 98 Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Institute for Religion and Civil Society Development, 2004), 42-43. 99 Bilveer Singh dan Abdul Munir Mulkhan, Jejaring Radikalisme Islam di Indonesia Jejak Sang Pengantin Bom Bunuh Diri (Yogyakarta: Jogja 79 Azyumardi Azra, apabila jihad yang selalu digelorakan oleh Islam fundamentalis, kemudiann berhadapan dengan istilah crusade, yaitu perang salib, dipihak lain yang disebabkan mereka merasa ada dalam posisi terdesak pula.100 Moeslim Abdurrahman berpendapat, bahwa usaha untuk melakukan eksperimen transformasi dilakukan dengan cara mencari pendekatan baru, yaitu penafsiran melalui teks dengan kesadaran akan konteks secara dialogis. Dengan demikian teks akan benarbenar hidup dalam riil atas empiris dan mengubah masyarakat ke arah transformasi sosial.101 Persoalan yang muncul adalah, setiap agama cendrung untuk mengatakan bahwa kebenaran yang ia miliki adalah kebenaran yang sudah tuntas, sehingga menafikkan kebenaran yang ada pada agama-agama lain. Menurut Arthur J. D’Adamo, kecendrungan tersebut disebabkan pertama, bahwa teologi dimaknai bersifat konsisten dan berisi kebenaran-kebenaran tanpa kesalahan sama sekali. Kedua, teologi bersifat lenkap dan final. Ketiga, menyakini bahwa satu-satunya yang mengajarkan kebenaran, keselamatan, pencerahan dan pembebasan adalah agamanya sendiri. Keempat, meyakini bahwa kebenaran yang diyakini adalah kebenaran yang benar-benar dari Tuhan tanpa campur tangan manusia.102 Teologi menurut Zainun Kamal merupakan persoalan yang sangat fundamental. Quran dari 114 surat dan teologi yang yang dikenal dengan akidah ada dalam 91 surat. Pada awal kenabian tidak Bangkit Publisher, 2012), 35. 100 Azyumardi Azra, Islam Substantif Agar Umat islam Tidak Menjadi Buih (Jakarta: Mizan, 2000), 100. 101 Saediman Ahmad, Husni Mubarak, Testriono (ed.), Pembaharuan Tanpa Apologia? Esai-esai tentang Ahmad Wahib(Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2010), 63. 102 Arthur J. D’Adamo, Science Without Bounds A Synthesis of Science, Religion and Mysticism (http://www.AdamFord.com, 2004), 2-3 (diunduh tanggal 2 Desember 2014. Lihat juga Komarudin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Prespektif Filsafat Perenial (Jakarta: Penerbit Gramedia, 2003), 13. Lihat juga Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam (Yogyakarta: IRCISOD, 2006), 199-200. 80 ada permasalahan, dan ketika Islam mulai berkembang setelah Nabi wafat persoalan teologi muncul disebabkan oleh persoalan politik, dan sampai sekarang menjadi perdebatan pula walau dengan bentuk berbeda, yaitu bagaimana pendekatan dalam memahami teks, apakah sesuai dengan bunyi teks (baca: tekstual) atau bisa disesuaikan dengan konteks (baca: rasional).103 Teologi sosial sangat didasari oleh etika sosial, dengan mempertanyakan makna dari maksud Tuhan menjadikan masyarakat, apa manfaat agama di tengah masyarakat, baik itu yang taat atau pun tidak, baik itu yang satu agama maupun dengan yang berbeda agama, dan bagaimana agama (para pemeluknya, baik secara individu maupun kelompok), dapat memengaruhi riil atas sosial, menjadi telaahan yang serius dalam memahami teologi sosial.104 Identitas Agama dan Realitas Bentuk yang Berbeda Ruang publik berfungsi untuk memperantarai kepentingan individu maupun kelompok dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan keluarga, yang dihadapkan dengan tuntutan-tuntutan dan kepentingan kehidupan sosial dan publik. Ruang publik merupakan ruang bagi diskusi kritis, terbuka bagi semua orang. Ranah publik, di dalamnya terdapat warga privat (private people) yang berkumpul untuk membentuk sebuah publik, di mana nalar publik tersebut akan bekerja sebagai pengawas terhadap kekuasaan negara.105 103 Zainun Kamal, “Posisi Aqidah dalam Islam”, Democrasi Project (25 Juni 2013), https://www.youtube.com/ watch?v=mDswupA1ZOc&index=1&list=PLwinC5E Avuci03Gr3fjxinECTagfhjiRs (diunduh tanggal 1 Januari 2014). 104 Dackson Wendy, Anglican Theological Review 94.4 (fall 2012), 615-637. 105 Taura Hida, “Jurgen Habermas: Demokrasi Deliberatif dan Ruang Publik”, Kompasiana (13 Januari 2013), http://edukasi.kompasiana. com/2012/01/12/jurgen-habermas-demokrasi-deliberatif-dan-ruangpublik-426994.html, (diunduh tanggal 10 Agustus 2014). Lihat juga Muhammad Faishal, “Institusionalisasi Demokrasi Deliberatif di Indonesia: Sebuah Pencarian Teoretik, Jurnal ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 11, Nomor 1 (Juli 2007), 3-10. 81 Manusia sebenarnya terkurung dengan kebudayaannya sendiri. Kemana manusia melangkah maka ia tidak akan pernah bisa keluar dari kebudayaannya sendiri, sehingga baik buruk, salah dan benar ditentukan oleh kebudayaannya masing-masing.106 Manusia atau pun masyarakat, pada dasarnya, memiliki sistem perilaku yang diatur oleh standar yang relatif bervariasi dan berbeda, antara satu komunatas dengan komunatas lainnya.107 Budaya berbeda dengan ilmu pengetahuan. Kebenaran ilmu pengetahuan menurut Ernest Gellner (1925-1995), tidak bisa menunjukkan kepada kebenaran moral. Ilmu pengetahuan sudah melakukan desakralisasi, dan ilmu pengetahuan telah membuang segala yang gaib dari semua substansi.108 Zainun Kamal menegaskan bahwa agama mempunyai tujuan dalam kehidupan di dunia, adalah bagaimana kehidupan manusia baik dengan kehidupan manusia yang lain, yaitu bagaimana hubungan antara manusia. Tujuan agama yang lebih jauh lagi adalah ketaqwaan sebagai sebuah pengejawantahan dalam pendekatan diri kepada Tuhan, dan ibadah salah satu fungsimya sebagai sarana penyadaran manusia betapa dekatnya Tuhan dengan manusia.109 Sistem sosial merupakan aturan-aturan yang dapat diterima masyarakat untuk mencapai motif anggotanya, dan untuk memenuhi kebuTuhan, untuk tujuan bersama yang diperlukan, merupakan 106 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Kebudayaan Proses Realisasi Manusia (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), 101-104. 107 Sa’id Ibrahim ‘Abd al Wahid, “Mafhum al-Thaqafah”, Arab World Books (tth), http://www.arabworldbooks.com/Articles/articles50.htm (diunduh tanggal 23 Mei 2014). 108 Ernest Gellner, Postmodernism, Reason and Religion (London: Routletge, 1992), 81. Lihat juga PIP Jones, Pengantar Teori-teori Sosial dari Teori Fungsionalisme Sampai Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), 230-231. 109 Zainun Kamal, “Dakwah dan Kekerasan”, Democrasi Project (23 Juli 2013), https://www.youtube.com watch?v=XtGIMbLHLFk&index=18&list=PLwinC5EAvuci03Gr3fjxinECTagfhjiRs (diunduh tanggal 1 Januari 2014). 82 pemikiran, perilaku atau sikap individu, dan hubungan sosial.110 Berbeda dengan struktur sosial, yang merupakan gambaran sosial yang mewakili hubungan antara lembaga-lembaga sosial dan politik dan nilai-nilai budaya.111 Rasionalisasi dalam konteks tindakan mengarah kepada, pertama, tindakan rasional (rasionalatas instrumental), yaitu tindakan yang berorientasi kepada pencapaian efisiensi dalam kehidupan manusia. Kedua, rasionalatas yang berorientasi kepada nilai, yaitu penggunaan akal sehat untuk membedakan benar dan salah.112 Indonesia dibangun atas dasar “negara-bangsa” (nation state) yaitu negara yang didasarkan kepada kesepakatan bersama bangsa-bangsa (baca: suku bangsa), yang menghasilkan kontraktual dan traksaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan.113 Kesadaran menjadi warga negara yang dilandasi oleh hukum menjadi sebuah keniscayaan. Kesadaran atas kesetaraan sebagai warga negara merupakan Identitas kewargaan yang menjadi bingkai politik bagi semua orang. Identitas keagamaan, dalam hal ini Islam 110 Majallah al ‘Ulum al Ijtimaiyah, “Al-Himay al-Ijtimaiyah fi al-Nizm al Ijtima‘”, Majallah al ‘Ulum al Ijtimaiyah (12 April 2009), http://swmsa. net/articles.php?action=show&id=1723 (diunduh tanggal 21 Mei 2014). 111 ‘Abbas Hadir ‘Abbas, “Al-Mushahadah al-Muhtamalah li al-Baniyah al-Ijtimaiyah al-‘Arabiy li al-Muddah (2005-2025)”, Kulliyah Bagdad Li al ‘Ulumil Iqtisdiyah al Jami‘ah (2009), http://www.google. com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=11&ved=0CCYQFjAAOAo&url=http%3A%2F%2Fwww.iaSJ.net%2Fiasj%3Ffunc%3Dfulltext%26aId%3D52989&ei=DnV9U8ygEY-iugTgi4GYBw&usg=AFQjCNHdmpGvPdhz1lsUZQUV5t6IT2Snvg (diunduh tanggal 21 Mei 2014). 112 Panji Nugroho, “Etika Emansipatoris Jurgen Habermas”, academia.edu (t.th), http:// www.academia.edu/4751412/Etika_Emansipatoris_Jurgen_Habermas, (diunduh tanggal 10 Agustus 2014), 11. Lihat juga PIP Jones, Pengantar Teori-teori Sosial dari Teori Fungsionalisme Sampai Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), 234-235. 113 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita (Jakarta: Universitas Paramadina Jakarta, 2004), 43. 83 dan Buddha, sebagai Identitas dimana penganutnya merupakan warga negara yang mempunyai hak-hak dasar sebagai warga negara, dengan demikian antara yang mayoratas yang diwakili oleh Islam dan minoratas yang diwakili oleh Buddha, mempunyai hak yang sama, dan yang minoratas bukanlah subordinat dari yang mayoratas.114 Teologi Agama dalam Landasan Sosial Sunil berpendapat bahwa agama (baca: ajaran) dalam pandangan individu dan sosial mempunyai makna, pertama, agama memberikan ketenangan jiwa. Kedua, agama menanamkan kebajikan sosial. Ketiga, Agama mengajarkan solidaratas sosial. Keempat, agama mengubah kualatas manusia, dengan menanamkan semangat amal dan kebajikan. Kelima, agama merupakan agen sosialisasi dan kontrol sosial. Keenam, bahwa agama mempromosikan kesejahteraan, dengan memberi pesan bahwa pelayanan kepada umat manusia adalah pelayanan kepada Tuhan. Ketujuh, agama memberikan rekreasi. Kedelapan, agama memengaruhi ekonomi, sebagaimana Weber berpendapat, bahwa ada pengaruh etika Protestan terhadap perkembangan kapitalisme. Kesembilan, agama mempunyai pengaruh terhadap sistem politik. Kesepuluh, agama memperkuat percaya diri.115 Riil atas mengungkapkan, bahwa ternyata Tuhan tidak bisa sendirian. Kehadiran Tuhan (lewat ajaran agama) di dunia ini, tidak dapat dirasakan tanpa kehadiran institusi agama. Kehadiran institusi agama, baik itu berupa rumah-rumah ibadah atau pun organisasi-organisasi keagamaan, merupakan tanda bahwa Tuhan 114 Zainal Abidin Bagir, Pluralisme Kewargaan: Dari Teologi ke Politik, dalam Edi Saputro (peny.), Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia (Bandung: Mizan Media Utama, 2011), 17. 115 Sunil, “10 Most Important Functions of Religion”, Preserve article (2012), http://www.preservearticles.com/201104296054/10-most-importantfunctions-of-religion.html (diunduh tanggal 12 Juli 2014). 84 hadir di tengah-tengah kehidupan.116 Institusi agama, baik itu organisasi keagamaan atau pun rumah ibadah, mempunyai fungsi, pertama, sebagai tempat melakukan ritual atau ibadah. Kedua, memberitakan apa yang diajarkan oleh Tuhan melalui kitab suci. Ketiga, mengajarkan bagaimana menjadi seorang hamba kepada Tuhan. Keempat, sebagai tempat berdoa. Kelima, menyadarkan manusia sebagai makhluk sosial. Keenam, melaksanakan dan mengembangkan misi Tuhan di dunia.117 Institusi agama seperti rumah ibadah mempunyai pengaruh terhadap budaya dan sosial masyarakat.118 Ajaran agama Islam dan agama Buddha, walaupun mempunyai perbedaan-perbedaan yang sangat jauh, baik itu secara teologis maupun peraktek keagamaan, akan tetapi mempunyai kesamaan. Ajaran agama Islam dan agama Buddha mengajarkan sesuatu yang Maha yang di luar jangkauan manusia, yang menjadi sebab dari segala sebab terciptanya alam semesata.119 Menurut ajaran agama Buddha bahwa kehidupan yang akan datang ditentukan oleh perbuatan saat ini. Agama Islam pun mengajarkan apa yang diperbuat saat ini, akan 116 J.B. Banawiratma, SJ. dan J. Muller, SJ., Berteologi Sosial Lintas Ilmu Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), 23-24. 117 Ray Gilder, “Focus on the Basic Functions of the Church”, Life Way (20012015), http://www.lifeway.com/Article/Focus-on-the-Basic-Functions-ofthe-Church, (diunduh tanggal 12 Juli 2014). 118 ‘Ala’ al-Din z‘atari, “Wazifah al-Masjid al-Thaqafiyah”,‘Ala’ alDin Z‘atari (2007-2015), http://www.alzatari.net/print-research/231. html(diunduh tanggal 12 Juli 2014). 119 Karmaitu adalah bentuk yang menjadikan seseorang, baik menjadi manusia atau pun binatang pada setiap masa kehidupan. Bentuk seseorang sangat ditentukan oleh misi dan tujuan dalam hidupnya, dan itu ditentukan oleh wujud bathin. Seekor anjing dapat semulia seorang manusia, bahkan bisa jadi lebih mulia dari pada manusia. Lihat Daisaku Ikeda, Budhisme: Falsafah Hidup, terjemahan (Jakarta: PT. Indira, 1998), 31-32. Lihat juga Karen Armstrong, Buddha, Terjemahan T. Widiyantoto (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003), 43. 85 dipertanggung-jawabkan pada hari pembalasan kelak nanti.120 Zainun Kamal menegaskan bahwa keimanan dan akhlak merupakan masalah yang pondamen dalam ajaran agama. Agama mengajarkan bahwa dalam kehidupan pergaulan manusia sebenarnya tidak ada musuh. Perselisihan mengenai perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama, menurut Zainun Kamal, tidak lebih disebabkan oleh tidak mengerti, atau tidak tahu apa yang disampaikan. Sebuah ajaran, apabila diajarkan dengan cara kekerasan maka bukannya akan didekati akan tetapi yang ada dijauhi.121 Tuhan “terlibat” dalam riil atas kehidupan merupakan sebuah usaha inkulturasi atau kontekstualisasi yang harus dilakukan oleh institusi-institusi agama atau yang mengatas namakan agama, sehingga pendekatan yang dilakukan lebih berdimensi kepada teologi yang bersenTuhan langsung dengan masalah kemasyarakatan. Teologi sosial menekankan lebih kepada pemahaman akan permasalahan manusia di tengah konteks kemasyarakatan yang nyata, yang pasti akan selalu bersinggungan dengan segala sudut kehidupan, baik itu politik, ekonomi, sosial dan budaya.122 Inkulturasi berbeda dengan akulturasi. Alkulturasi mempunyai makna, suatu situasi dimana sebuah kebudayaan termodifikasi, dengan meminjam adat istiadat dari satu atau lebih budaya.123 Akulturasi dapat dipahami sebagai seorang individu atau kelompok, 120 Quransuratal-Qari‘at ayat 6-9. 121Zainun Kamal, “Perbedaan dan Toleransi”, Democrasi Project (26 Juli 2013), https://wwyoutubecomwatch?v=08gvfgWViu8&index=19&list=PLwinC5EAvuci03Gr3fjxinECTagfhjiRs (diunduh tanggal 1 Januari 2014). 122 J.B. Banawiratma, SJ. dan J. Muller, SJ., Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), 25. 123 Maqatil min al-Sahara’, “Al-Tathaqaf”, Maqatil min al-Sahara’ (t.th.), http://www.moqatel.com/openshare/Behoth/Mnfsia15/Acculturat/sec01. doc_cvt.htm (diunduh tanggal 12 Juli 2014). 86 mengubah dirinya kepada budaya baru yang dominan.124 Kontekstualisasi, dalam pemahaman teologi sosial, merupakan misiologi dan teologi, sejak diperkenalkan oleh Theological Education Fund (TEF) pada tahun 1972. Kontekstualisasi adalah proses yang terus berlangsung, dalam upaya menjadikan kitab suci (ajaran agama) diterima dan dimengerti oleh si penerima dalam budaya mereka yang dinamis, baik secara politik, sosial, dan ekonomi. Kontekstualisasi merupakan usaha untuk menjawab pertanyaan yang benar dalam budaya tertentu sesuai dengan kitab suci, tanpa adanya pencemaran dari kebenaran itu sendiri. Kontektualisasi berarti mengakui bahwa iman sebuah agama tidak dapat dipisahkan dari budaya masyarakat penerimanya.125 Membangun teologi yang bersenTuhan langsung dengan masalah manusia di tengah masyarakat, merupakan suatu usaha inkulturasi atau kontekstualisasi. Teologi sosial berusaha untuk membangun institusi agama, dengan bersumber melalui teks suci (baca: wahyu), untuk memahami masalah kemasyarakatan yang berlangsung. Sehingga ada upaya untuk membangun teologi yang sesuai dengan lingkungan sosial budaya masyarakat setempat. Teologi yang dibangun adalah teologi sosial yang harus melibatkan dan bekerjasama dengan ilmu-ilmu kemasyarakatan, dan langsung bersenTuhan dengan persoalan-persoalan yang sedang terjadi pada masyarakat.126 Teologi sosial membutuhkan banyak ilmu yang mendukung, seperti komunikasi, psikologi, sosiologi dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Quran mengisyaratkan berapa banyak kelompok yang besar akan tetapi apabila tidak 124 Ayantunji Gbadamosi, “Acculturation”, dalam Journal of Fashion Marketing and Management, Volume 16 (2012). 125 Rahmiati Tanudjaja, “Kontekstualisasi Sebagai Sebuah Strategi dalam Menjalankan Misi: Sebuah Ulasan Literatur”, dalam Veritas 1/1 (April 2000), 20-23 126 J.B. Banawiratma, SJ. dan J. Muller, SJ., Berteologi Sosial Lintas Ilmu Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), 25. 87 diorganisir dengan baik, maka akan terkalahkan dengan kelompok yang jauh lebih kecil.127 Misi sosial dan pendidikan yang telah dilakukan oleh kedua lembaga, baik itu YPI Al Azhar maupun Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, dengan jalan membangun sekolah-sekolah, mulai dari tingkat TK sampai dengan perguruan tinggi, dan kegiatan-kegiatan sosial, dengan berlandaskan kepada ajaran-ajaran yang kedua yayasan jadikan sebagai landasan. Walaupun secara ajaran berbeda sumbernya, baik dari segi institusi agama dan kitab suci, akan tetapi ada kesamaan dalam penanganan persoalan-persoalan sosial. YPI Al Azhar dengan membangun sekolah-sekolah, baik dibangun oleh YPI Al Azhar sendiri atau pun bekerjasama dengan pihak lain, dari TK hingga perguruan tinggi.128 Misi dakwah dilakukan dengan membangun Masjid -Masjid , sekolah non-formal, dan lembaga lainnya yang mendukung misi kegiatan YPI Al Azhar.129 Misi sosial dilakukan dengan membangun balai-balai pengobatan, Rumah Gemilang Indonesia sebagai sarana pemberdayaan umat, dan kegiatan lain yang menunjang misi sosial YPI Al Azhar.130 Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia pun melaksanakan kegiatan pendidikan dan sosial. Kegiatan pendidikan dan sosial dilaksankan dengan bentuk misi amal, dengan melakukan bakti amal, tanggap darurat bencana, perumahan cinta kasih, bebenah kampung.131 Misi kesehatan dengan melakukan baksos kesehatan, 127 Quran surat al-Baqarat ayat 249. 128 YPI Al Azhar, “Visi Misi Pendidikan Al-Azhar”, YPI Al Azhar (2013), http://www.al-azhar.or.id/index.php/pendidikan (diunduh tanggal 2 Agustus 2014). 129 YPI Al Azhar, “Dakwah”, YPI Al Azhar (2013), http://www.al-azhar.or.id/ index.php/dakwah, (diunduh tanggal 2 Agustus 2014). 130 YPI Al Azhar, “Tentang Rumah Gemilang Indonesia”, YPI Al Azhar (2013), http://www.al-azhar.or.id/index.php/sosial, (diunduh tanggal 2 Agustus 2014). 131 Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, “Misi Amal”, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia (2014), http://www.tzuchi.or.id/misi/misi-amal/18, (diunduh 88 membangun Rumah Sakit Khusus Bedah (RSKB) Cinta Kasih Tzu Chi, dan membentuk Tzu Chi International Medical Association (TIMA).132 Misi pendidikan dengan mendirikan Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi, Tzu Chi School, Kelas Budi Pekerti, Tzu Ching, dan memberikan bantuan pembangunan sekolah.133 Misi budaya humanis dengan mendirikan media cetak dan online, mendirikan DAAI TV, mendirikan Jing Si Books & Cafe, serta membudayakan Isyarat Tangan.134 Teologi sosial dapat dijalankan, menurut J.B. Banawiratma, SJ. dan J. Muller, SJ., melalui empat tahap. Pertama, mengenal, memahami dan mengalami secara langsung situasi atau masalah sosial secara riil yang ada pada masyarakat, melalui observasi.135 Kedua, melakukan analisa sosial dengan menempatkan pengalaman yang telah dihasilkan dari obsevasi ke dalam konteks masyarakat yang lebih luas.136 Tahap ketiga, menjalakan hasil dari analisis sosial yang dihasilkan dari refleksi sosial, berupa refleksi etis sosial atas hasil analisis sosial, dengan mempertemukan dengan teks suci atau wahyu. Keempat, adalah tindakan sebagai perwujudan iman dalam menghadai riil atas masalah-masalah sosial.137 tanggal 2 Agustus 2014). 132 Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, “Misi Kesehatan”, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia (2014), http://www.tzuchi.or.id/misi/misi-kesehatan/21 (diunduh tanggal 2 Agustus 2014). 133 Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, “Misi Pendidikan”, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia (2014), http://www.tzuchi.or.id/misi/misi-pendidikan/19 (diunduh tanggal 2 Agustus 2014). 134 Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, “Misi Budaya Humanis”, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia (2014), http://www.tzuchi.or.id/misi/misibudaya-humanis, (diunduh tanggal 2 Agustus 2014). 135 J.B. Banawiratma, SJ. dan J. Muller, SJ., Berteologi Sosial Lintas Ilmu Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), 27. 136 J.B. Banawiratma, SJ. dan J. Muller, SJ., Berteologi Sosial Lintas Ilmu Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), 27. 137 J.B. Banawiratma, SJ. dan J. Muller, SJ., Berteologi Sosial Lintas Ilmu 89 Keempat tahapan memuat hubungan timbal balik antara empat tahapan tadi yaitu tindakan, teks suci (baca wahyu), refleksi dan analisis mengenai analisa riil atas masyarakat yang ada. Tindakan merupakan segala kegiatan yang dilakukan oleh institusi agama, yang saling memengaruhi di antara warga institusi (baca umat), sehingga dapat mempunyai arti pada umat tersebut.138 Tindakan yang dilakukan terinspirasi oleh teks suci (baca: wahyu), agar tindakan sesuai dengan tujuan yaitu untuk mengubah situasi sosial masyarakat, maka tindakan tersebut haruslah dirancang melalui refleksi teologi sosial. Refleksi teologi sosial yang dihasilkan dari refleksi umat sehari-hari maupun yang dihasilkan dari refleksi ilmiah. Refleksi tersebut haruslah didasarkan kepada riil atas masyarakat, dan didialogkan dengan teks suci (baca: wahyu), dengan analisa sosial. Proses teologi sosial tersebut diharapkan dapat mengarahkan keterlibatan sosial hidup beriman ke arah perubahan masyarakat yang adil dan manusiawi, akan tetapi pendekatan yang dipakai melalui pendekatan interdisipliner atau lintas ilmu.139 Menuju Kalimah Sawa Organisasi, pada sebuah institusi mempunyai ide pokok pembagian kerja (division of labor) dan tanggung jawab yang jelas. Pengorganisasian dalam sebuah institusi merupakan keharusan di masyarakat modern, karena pada institusi terdapat pembagian kerja dan tanggung jawab supaya tercipta adanya spesialisasi dan profesionalisme.140 Keorganisasian dalam institusi merupakan Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), 28. 138 J.B. Banawiratma, SJ. dan J. Muller, SJ., Berteologi Sosial Lintas Ilmu Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), 29. 139 J.B. Banawiratma, SJ. dan J. Muller, SJ., Berteologi Sosial Lintas Ilmu Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), 29-30. 140 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 2004), 230. 90 sebuah keharusan, dan harus dibentuk dengan kuat seakan sebagai sebuah bangunan yang mempunyai sistem yang terdiri dari bagianbagian yang menopang.141 YPI Al Azhar dan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia merupakan institusi yang berbentuk yayasan, yang mempunyai landasan berdasarkan kepada ajaran agama. YPI Al Azhar berlandaskan ajaran agama Islam,142 sedangkan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia berlandaskan kepada ajaran agama Buddha. Walaupun pada prakteknya Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia tidak disebut sebagai institusi yang berlandaskan kepada agama tertentu, akan tetapi diakui bahwa Yayasan Buddha Tzu Indonesia merupakan institusi, dalam menjalankan kegiatan yayasan dilandasi oleh ajaran Buddha, yaitu welas asih.143 Kedua yayasan tersebut telah terorganisir dengan baik dan rapih sebagaimana organisasi modern lainnya. Kedua yayasan ini, baik Al Azhar maupun Buddha Tzu Chi Indonesia, mempunyai misi dan visi yang kemudian terejawantahkan melalui program-program yayasan. Agama, walaupun dijadikan sebagai landasan kegiatan kedua yayasan ini, akan tetapi dalam perakteknya yang menjadi tujuan adalah, bagaimana kedua yayasan ini mempunyai manfaat untuk masyarakat luas. Bukan hanya untuk umat seagamanya, akan tetapi untuk umat-umat agama lainnya. Ini merupakan kesamaan dalam tujuan YPI Al Azhar dan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, walaupun dilandasi dengan ajaran agama yang berbeda.144 141 Quran, Surat al-Saf : 4. Lihat juga Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 2004), 231. 142 YPI Al Azhar, “Makna Logo YPI Al-Azhar”, YPI Al Azhar (2013), http:// www.al-azhar.or.id/index.php/tentang-kami/identitas, (diunduh tanggal 22 Oktober 2014). 143 Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, “Logo Tzu Chi”, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia (2014), http://www.tzuchi.or.id/tentang-kami/logo-tzuchi/47 (diunduh tanggal 22 Oktober 2014). 144 YPI Al Azhar, “Visi Misi Yayasan”, YPI Al Azhar(2013), http://www.alazhar.or.id/index.php/tentang-kami/visi-misi, (diunduh tanggal 22 Oktober 2014). Lihat juga Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, “Visi & Misi Tzu 91 Zainun Kamal menyebutnya istilah tujuan hidup yang dekat adalah bagaimana manusia dapat hidup berdampingan dengan baik dengan kehidupan manusia yang lain. Tujuan lain, yang diistilahkan oleh Zainun Kamal, sebagai tujuan hidup yang lebih jauh adalah ketaqwaan, sebagai sebuah pengejawantahan dalam pendekatan diri kepada Tuhan, dalam bentuk ibadah atau ritual apa pun yang ada pada ajaran agama, yang berfungsi sebagai sarana penyadaran manusia, betapa dekatnya Tuhan dengan manusia.145 Kesamaan akan ketundukan kepada ajaran agama itulah, yang kemudian disebut dalam istilah Nurcholish Madjid, sebagai wujud dari perjanjian antara manusia dengan Tuhannya yang sangat primordial146. Kata primordial, sering dikonotasikan kepada kata yang negative, yaitu primitif, primeval. Akan tetapi sebenarnya primordial mempunyai makna positif, yaitu lebih bersifat dasar (fundamental), atau asli (original).147 Makna dasar (fundamental) atau asli (original) yang dimaksud adalah, bahwa manusia dan Tuhan mempunyai perjanjian yang primordial,148 sehingga keberadaan agama mempunyai maksud akan ketundukan dan kepatuhan manusia kepada Tuhan, sebagai sang pencipta. Ketundukan dan kepatuhan merupakan inti dari ajaran agama, yang mengandung arti seluruh pekerjaan yang dilakukan itu harus sesuai dengan perintah Tuhan. Perbuatan baik yang sesuai dengan perintah Tuhan sudah pasti merupakan perbuatan baik, yaitu amal saleh, dan itu merupakan budi pekerti luhur. Maka perbuatan 145 146 147 148 92 Chi”, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia (2014), Zainun Kamal, “Takwa”, Democracy Project, 22 Juli 2013, https:// www.youtube.com/watch?v=sPzwey1q1Gc&index=16&list=PLwin C5EAvuci03Gr3fjxinECTagfhjiRs (diunduh tanggal 1 Januari 2014). Primordial mempunyai makna pertama kali terbentuk dalam pertumbuhan seseorang atau suatu hal, atau mempunyai makna paling dasar, atau paling sederhana, atau purba. Lihat Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 1214. Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 2004), 232. Lihat Quran Surat al-‘A’raf : 72. Lihat juga Quran Surat al-Rum ayat 30. baik merupakan perbuatan primordial, sebagai sebuah perjanjian manusia dengan Tuhan.149 Menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran sebagai sebuah landasan keberagamaan yang ada pada YPI Al Azhar. Landasan tersebut merupakan sebuah keyakinan keberagamaan dengan ditujukan kemanfaatan YPI Al Azhar untuk umat manusia, dengan tujuan untuk ‘izzu al-Islam wa al-muslimin.150 Welas asih yang menjadi landasan bagi Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia juga merupakan landasan keberagamaan. Landasan keberagamaan tersebut menjadi asas bagaimana organisasi, atau institusi Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia berkiprah untuk umat manusia. Welas asih yang dimaksud adalah ketidakrelaan pada penderitaan semua makhluk, dengan menyalakan pelita disudut yang paling gelap dan menyalakan api dalam perjalanan yang dingin dan sepi. Dilakukan secara bersama-sama untuk menghapus air mata yang penuh derita, dengan memberikan pakaian yang hangat bagi umat manusia.151 Kegiatan atau pun program yang dilakukan oleh kedua yayasan, baik itu YPI Al azhar maupun Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, bermuara kepada bagaimana kedua yayasan melaksanakan amal saleh, sebagaimana yang telah diperintahkan Tuhan kepada manusia.152 149 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 2004), 232-233. 150 YPI Al Azhar, “Visi ‘Misi Yayasan”, YPI Al Azhar (2013), http://www.alazhar.or.id/index.php/tentang-kami/visi-misi, (diunduh tanggal 22 Oktober 2014). 151 Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, “Visi & Misi Tzu Chi”, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia (2014), http://www.tzuchi.or.id/tentang-kami/ visi-misi-tzu-chi/30 (diunduh tanggal 22 Oktober 2014). 152 Quran mengisyaratkan akan adanya perintah Allah agar umat manusia beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik. Lihat Quran Surat Al Ra’d: 29. Ajaran Buddha dalam kitab Parrita Suci dijelaskan bahwa orang yang baik adalah orang yang selalu menyebarkan kasih sayang dalam situasi apapun. Orang yang baik adalah orang yang selalu tenang, jujur, rendah hati, lemah lembut, tidak sombong, 93 Zainun Kamal dalam menafsirkan wa altakum min kum ummah yad‘un ila al khair wa ya‘ murun bi al-m‘aruf, dipahami sebagai bahwa dalam menyerukan sebuah agama haruslah melalui caracara yang disesuaikan dengan adat atau kebiasaan masyarakat yang ada. Ma‘ruf dalam hal ini, difahami dari asalnya yaitu ‘urf atau adat kebiasan. Sehingga, menurut Zainun Kamal, apa pun yang dilakukan oleh umat beragama dalam menjalankan kebaikan, baik itu berupa dakwah atau apa pun, seharusnya disesuaikan dengan adat kebiasaan yang dikenal dalam istilah ‘urf.153 Budaya yang tercermin dalam masyarakat, baik itu masa lalu maupun masa kini, merupakan cerminan dari keinginan dan harapan masyarakat.154 Budaya akan tumbuh dan mentradisi apabila dikaitkan dan didasarkan kepada keyakinan hidup yang menyeluruh dan total dalam keyakinan tersebut.155 Islam (baca: ajaran) sebagai sebuah agama diperuntukan untuk seluruh umat manusia, baik itu Arab maupun bukan Arab, tidak tergantung kepada bahasa, tempat, waktu dan kelompok manusia. Nilai kebenaran yang universal tidak akan terpenjara oleh formalisme, karena nilai kebenaran harus dipahami secara substantif, dinamis dan universal.156 153 154 155 156 94 selalu menghindari dari kesalahan sekecil apa pun, mau dikritik, dan segala sesuatu yang ada disekitarnya selalu merasa aman, selalu menyebarkan kasih sayang kepada alam semesta baik kepada makhluk hidup maupun tidak, bagaikan seorang ibu yang menyayangi anaknya. Lihat Saṅgha Theravada Indonesia bekerja sama dan Mapanbudhi, Paritta Suci Kumpulan Paritta dan Penggunaannya dalam Upacara-Upacara (Jakarta: Yayasan Dhammadīpa Ārāma, 1996), 28-30. Zainun Kamal, “Dakwah dan Kekerasan”, Democrasi Project (23 Juli 2013), https://www.youtube.com/watch?v=XtGIMbLHLFk&index=18&list=PLwinC5EAvuci03Gr3fjxinECTagfhjiRs (diunduh tanggal 1 Januari 2014). AbuTabi, “100 Qit‘ah Faniyah, Tabraz al-Ahamiyah al-Thaqafiyah li al-Daulah”, Al Ittihad (22 April 2014), http://www.alittihad.ae/details. php?id=35213&y=2014. (diunduh tanggal 30 Oktober 2014). Nurcholish Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Dian Rakyat dan Paramadina, 2008), 139. Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis Penutup Ajaran agama menjadi penghubung dan perekat agama-agama, dengan menafsirkan istilah-istilah agama ke dalam konteks sosial. Ajaran-ajaran yang terkandung dalam agama harus dielaborasi dalam bentuk teori sosial, sehingga sasarannnya lebih jelas, yaitu menjadikan ajaran-ajaran agama lebih kepada rekayasa untuk transformasi sosial. Konflik agama dapat direduksi oleh institusi-institusi yang mengatasnamakan agama, ketika teologi (ajaran agama) di dalam ruang publik, memegang teguh prinsip kebebasan beragama, prinsip toleransi, prinsip aksiologis, dan prinsip kompetisi dalam kebaikan. YPI Al Azhar dan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia adalah institusi yang menjadikan agama sebagai identitas. Landasan pendirian kedua yayasan, walaupun dilandasi pada ajaran yang berbeda, akan tetapi kedua ajaran agama tersebut memberikan kesadaran kepada kedua institusi untuk berkiprah dan bermanfaat demi kepentingan masyarakat secara umum. Kegiatan yang dilakukan di dalam kedua institusi tersebut, merupakan perwujudan terhadap ajaran agama, yaitu ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan. Kepasrahan dan ketundukan terhadap ajaran agama tersebut, yang dijelaskan oleh Nurcholish Madjid, dengan istilah al-Islam dan al-Din. Kepasrahan dan ketundukan kepada Tuhan, yang selanjutnya ditandaskan oleh Zainun Kamal, bahwa agama tidak pernah mengajarkan permusuhan. Perbedaan-perbedaan dalam agama, harus disadari hanya disebabkan oleh perbedaan terhadap pemahaman, maka perbedaan itu harus tetap disandarkan kepada Tuhan. Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992),361-362. 95 Daftar Pustaka ‘Abbas, ‘Abbas Hadir. “Al-Mushahadah al-Muhtamalah li alBaniyah al-Ijtimaiyah al-‘Arabiy li al-Muddah (2005-2025).” Kulliyah Bagdad Li al ‘Ulumil Iqtisdiyah al Jami‘ah. 2009. http://www.google.com/ (diunduh tanggal 21 Mei 2014). ‘Ashrati, Sulaiman. “Ruhaniyat al-Din.” 02 Januari 2014.http:// www.hiramagazine.com/ (diunduh tanggal 02 Juli 2014). Ahmad, Saediman, Husni Mubarak, Testriono (ed.). Pembaruan Tanpa Apologia?Esai-esai tentang Ahmad Wahib.Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2010. Al-Wahid, Sa’id Ibrahim ‘Abd. “Mafhum al-Thaqafah.” Arab World Books.t.th. http://www.Arabworldbooks.com/Articles/ articles50.htm (diunduh tanggal 23 Mei 2014). Arifeen, Shehla Riza and Caroline Gatrell. “A blind spot in organization studies: gender with ethnicity, nationality and religion.” Gender in Management, Vol. 28. 2013: 151-170. Armstrong, Karen. Buddha. Terjemahan T. Widiyantoto. Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003. Azra, Azyumardi. Islam Substantif Agar Umat Islam Tidak Menjadi Buih. Jakarta: Mizan, 2000. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, “Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut”, BPS (2010), http:// sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321 (diunduh tanggal 23 Oktober 2013). Bagir, Zainal Abidin. Pluralisme Kewargaan: Dari Teologi ke Politik. dalam Endy Saputro (ed.), Pluralisme Kewargaan Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia. Jakarta: Program Studi Agama dan Lintas bidaya Sekolah Pasca Sarjana UGM dan Mizan, 2011. Banawiratma, J.B. SJ. dan J. Muller, SJ. Berteologi Sosial Lintas 96 Ilmu Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993. Brahm, Eric. “Religion and Conflict.” Beyond Intractability. November 2005. http://www.beyondintractability.org/essay/ religion-and-conflict (diunduh tanggal 01 Oktober 2013). Burke, Peter. History and Social Theory. New york: Cornell University Press, Ithaca, 1993. -------. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011. Carrette, Jeremy R. (ed.). Agama, Seksualatas, Kebudayaan. Esai, Kuliah dan Wawancara Terpilih Michel Foucault. Terjemahan. Indi Aunullah. Yogyakarta: Jalasutra, 2011. Coser,Lewis A. “Social Conflict and The Theory of Social Change.” The British Journal of Sociology, Vol.8, No.3. 1957: 197-207. D’Adamo, Arthur J. Science Without Bounds A Synthesis of Science, Religion and Mysticism. http://www.AdamFord.com, 2004. Faishal, Muhammad. “Institusionalisasi Demokrasi Deliberatif di Indonesia: Sebuah Pencarian Teoretik.” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 11, Nomor 1. Juli 2007: 3-10. Gbadamosi, Ayantunji. “Acculturation.” Journal of Fashion Marketing and Management, Volume 16. 2012. Gellner, Ernest. Postmodernism, Reason and Religion. London: Routletge, 1992. Gilder, Ray. “Focus on the Basic Functions of the Church.” Life Way.2001-2015. http://www.lifeway.com/Article/Focus-onthe-Basic-Functions-of-the-Church, (diunduh tanggal 12 Juli 2014). Giok, Lie Tan. “The Context and Challenges of the Church’s Educational Ministry in Indonesia.” Christian Education Journal; vol 10, no 9. 2013: 233-241. 97 Gunn, T. Jeremy. “The Complexity of Religion and the Definition of “Religion” in International Law.”Harvard Human Rights Journal, Vol. 16. 2003: 194-193. Hida, Taura. “Jurgen Habermas: Demokrasi Deliberatif dan Ruang Publik.” Kompasiana.13 Januari 2013. http://edukasi. kompasiana.com/2012/01/12/jurgenhabermas-demokrasi-deliberatif-dan-ruang-publik-426994.html, (diunduh tanggal 10 Agustus 2014). Hidayat, Komarudin dan Muhammad Wahyuni Nafis. Agama Masa Depan Prespektif Filsafat Perenial. Jakarta: Penerbit Gramedia, 2003. http://kamusbahasaindonesia.org/dogma/mirip#ixzz2vWHJlF5s (diunduh tanggal 10 Maret 2014). Hwang, Julie Chermov. Umat Bergerak Mobilisasi Damai Kaum Islam di Indonesia, Malaysia, dan Turki. Jakarta: Freedom Institute, 2011. Ikeda, Daisaku. Budhisme: Falsafah Hidup, Terjemah. Soedibyo. Jakarta: PT. Indira, 1998. Jones, PIP. Pengantar Teori-teori Sosial dari Teori Fungsionalisme Sampai Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010. Kamal, Zainun. “Dakwah dan Kekerasan.” Democrasi Project. 23 Juli 2013.https://www.youtube.com/ watch?v=XtGIMbLHLFk&index=18&list=PLwin C5EAvuci03Gr3fjxinECTagfhjiRs (diunduh tanggal 1 Januari 2014). -------. “Epistimologi untuk Indonesia.” Democrasi Project. 3 Agustus 2013.https://www.youtube.com/ watch?v=SzOh5cNMmko&index=21&list=PLwinC5EA vuci03Gr3fjxinECTagfhjiRs (diunduh tanggal 1 Januari 2014). -------. “Perbedaan dan Toleransi.” Democrasi Project. 26 Juli 2013.https://www.youtube.com/ watch?v=08gvfgWViu8&index=19&list=PLwinC5E 98 Avuci03Gr3fjxinECTagfhjiRs (diunduh tanggal 1 Januari 2014). -------. “Posisi Aqidah dalam Islam.” Democrasi Project. 25 Juni 2013.https://www.youtube.com/ watch?v=mDswupA1ZOc&index=1&list=P LwinC5EAvuci03Gr3fjxinECTagfhjiRs (diunduh tanggal 1 Januari 2014). -------. “Takwa.” Democracy Project. 22 Juli 2013.https://www. youtube.com/watch?v=sPzwey1q1Gc&index=16&list =PLwinC5EAvuci03Gr3fjxinECTagfhjiRs (diunduh tanggal 1 Januari 2014). Kleden, Paul Budi dan Andrianus Sunarko (ed.). Dialektika Sekularisasi: Diskusi Hebermas-Razinger dan Tanggapan. Yogyakarta dan Maumere: Lamarera dan Ledalero, 2010. Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Kebudayaan Proses Riil isasi Manusia. Yogyakarta: Jalasutra, 2009. Lijphart, Arend. “The Comparable-Cases Strategy in Comparative Research.” Comparative Political Studies. Sage Publications Inc, Vol.8:No.2. 1975: 158- 177. Madjid, Nurcholis. Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat dan Paramadina, 2008. -------.Indonesia Kita. Jakarta: Universatas Paramadina Jakarta, 2004. -------.Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan.Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992. -------.Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina, 2004. Majallah al-‘Ulum al-Ijtimaiyah. “Al-Himay al-Ijtimaiyah fi alNizm al Ijtima‘.” Majallah al-‘Ulum al-Ijtimaiyah.12 April 2009. http://swmsa.net/articles.php?action=show&id=1723 (diunduh tanggal 21 Mei 2014). Maqatil min al-Sahara. “Al-Tathaqaf.” Maqatil min alSahara.’http://www.moqatel.com/openshare/Behoth/ Mnfsia15/Acculturat/sec01.doc_cvt.htm (diunduh tanggal 12 Juli 2014). Masdar, Umarudin. Pembela Ulama Sepanjang Jaman. Jakarta: 99 The Wahid Institute dan Klik. R, 2007. Nam-Kook, Kim. “Identity Crisis and Social Integration under Globalization in Korea.” Institute of Korean Studies, Vol 44 No. 1. 2013: 31-54. Natalia Pbg, Gabriela. “Generalisasi dengan Metode Komparatif.” 11 Juli 2013. http://gabriela-n-p-fisip10.web.unair.ac.id/ artikel_detail-82323-Analisis%20HI-Generalisasi%20 dengan%20Metode%20Komparatif.html (diunduh tanggal 15 April 2014). Nugroho, Panji. “Etika Emansipatoris Jurgen Habermas.” Academia.edu. http://www.academia.edu/4751412/Etika_Emansipatoris_Jurgen_ Habermas, (diunduh tanggal 10 Agustus 2014) Palmer, Richard L. Hermenetics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Evanston: Nortwestern University Press, 1969. -------.Hermeneutika Teori Baru Mengenal Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Quran Raines, Jhon C. (ed.). Marx Tentang Agama. Jakarta: Teraju, 2003. S., Adjie. Terorisme. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005. Saṅgha Theravada Indonesia Bekerja Sama dan Mapanbudhi. Paritta Suci Kumpulan Paritta dan Penggunaannya dalam Upacara-Upacara. Jakarta: Yayasan Dhammadīpa Ārāma, 1996. Schmitt, Regina Berger. “Social Cohestion as an Aspect of the Quality of Societies: Concept and Measurement.” EuReporting Working Paper No.14. 2000. http://www.gesis. org/fileadmin/upload/dienstleistung/daten/soz_indikatoren /eusi/paper14.pdf (diunduh tanggal 1 Januari 2015). Shofan, Moh. Jalan Ketiga Pemikiran Islam.Yogyakarta: IRCISOD, 2006. -------. Pendidikan Berparadigma Profetik Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Institute for Religion and Civil Society Development, 2004. Singh, Bilveer dan Abdul Munir Mulkhan. Jejaring Radikalisme Islam di Indonesia Jejak Sang Pengantin Bom Bunuh Diri. 100 Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher, 2012. Soedjatmoko. Etika Pembebasan Pilihan Karangan Tentang: Agama, Kebudayaan, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: LP3ES, 1988. Sunil. “10 Most Important Functions of Religion.” Preserve article. 2012. http://www.preservearticles.com/201104296054/1 0-most-important-functions-of-religion.html (diunduh tanggal 12 Juli 2014). Tabi, Abu. “100 Qit‘ah Faniyah, Tabraz al-Ahamiyah al-Thaqafiyah li al-Daulah.” Al Ittihad. 22 April 2014. http://www.alittihad. ae/details.php?id=35213&y=2014. (diunduh tanggal 30 Oktober 2014). Taher, Tarmizi et.al. Radikalisme Agama. Jakarta: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta, 1998. Tanudjaja, Rahmiati. “Kontekstualisasi Sebagai Sebuah Strategi dalam Menjalankan Misi: Sebuah Ulasan Literatur.” Veratas 1/1. April 2000: 20-23. Tim Penyusun. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008. Tim Penyusun. Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan, 2008. Wendy, Dackson. Anglican Theological. Review 94.4.fall 2012. Yahya, Syarif Utsman. Gus Dur Memilih Kebenaran daripada Kekuasaan. Jakarta: The Wahid Institute, 2007. Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. “Logo Tzu Chi.” Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. 2014. http://www.Tzu chi.or.id/ tentang-kami/logo-Tzu -chi/47 (diunduh tanggal 22 Oktober 2014). -------. “Misi Amal.” Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. 2013. http://www.Tzu chi.or.id/misi/misi-amal/18. (diunduh tanggal 22 Oktober 2014). -------. “Misi Budaya Humanis.” Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. 2014. http://www.Tzu chi.or.id/misi/misi-budayahumanis, (diunduh tanggal 2 Agustus 2014). -------. “Misi Kesehatan.” Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. 2014. http://www.Tzu chi.or.id/misi/misi-kesehatan/21 101 (diunduh tanggal 2 Agustus 2014). -------. “Misi Pendidikan.” Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. 2014. http://www.Tzu chi.or.id/misi/misi-pendidikan/19 (diunduh tanggal 2 Agustus 2014). -------. “Visi & Misi Tzu Chi.” Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. 2014. http://www.Tzu chi.or.id/tentang-kami/visimisi-Tzu -chi/30, (diunduh tanggal 22 Oktober 2014). YPI Al Azhar. “Dakwah.” YPI Al Azhar.2013. http://www.al-azhar. or.id/index.php/dakwah (diunduh tanggal 13 Juli 2014). -------. “Makna Logo YPI Al-Azhar”, YPI Al Azhar. 2013. http:// www.al-azhar.or.id/index.php/tentang-kami/Identitas, (diunduh tanggal 22 Oktober 2014). -------. “Tentang Rumah Gemilang Indonesia”, YPI Al Azhar. 2013. http://www.al-azhar.or.id/index.php/sosial, (diunduh tanggal 2 Agustus 2014). -------. “Visi ‘Misi Yayasan”, YPI Al Azhar. 2013. http://www. al-azhar.or.id/index.php/tentang-kami/visi-misi, (diunduh tanggal 22 Oktober 2014). -------. “Visi Misi Pendidikan Al-Azhar”, YPI Al Azhar. 2013. http:// www.al-azhar.or.id/index.php/pendidikan (diunduh tanggal 2 Agustus 2014). -------. “Visi Misi Yayasan”, YPI Al Azhar. 2013. http://www. al-azhar.or.id/index.php/tentang-kami/visi-misi, (diunduh tanggal 22 Oktober 2014). Z‘atari, ‘Ala’ al-Din. “Wazifah al-Masjid al-Thaqafiyah.” ‘Ala’ al-Din Z‘atari. 2007-2015. http://www.alzatari.net/printresearch/231.html(diunduh tanggal 12 Juli 2014). 102 PANCASILA DAN KESALEHAN SOSIAL: RELIGIUSITAS ISLAM DALAM SOROTAN Irfan L. Sarhindi Pendahuluan Kejatuhan otoritarianisme the smiling general di tengah krisis multidimensi membawa serangkaian konsekuensi: organisasiorganisasi Islam yang didomestifikasi selama kekuasaan Orde Baru menjebol katup-katup diskriminasi dan mencari ruang untuk mengemukakan pendapat; mempertontonkan religiusitasnya. Bersamaan dengan itu, menguat ultra-konservativisme dan radikalisme Islam, dalam merespon kegagalan negara menciptakan keadilan sosial dan mendistribusikan kesejahteraan secara merata, yang memilih menawarkan kembali gagasan negara Islam (caliphate) atau syariahisasi NKRI. Dalam hal ini, Pancasila tidak hanya dianggap gagal, tetapi juga berseberangan dengan nilai-nilai Islam. Sementara, musabab persoalan tersebut dapat dilacak hingga hari-hari pertama kelahiran negara-bangsa Indonesia, dampaknya telah terukur dan masih mengancam: intoleransi, diskiriminasi, hingga politisasi agama dan politik identitas yang persekusi terhadap minoritas. Adalah menarik untuk membedah titik-temu sekaligus titik-singgung antara Pancasila dan (religiusitas) Islam, dan upaya tersebut akan berkisar di wilayah yang tercakup dalam tiga pertanyaan besar: (1) sejauh mana religiusitas Islam berperan dan/atau diperankan dalam perumusan dan kelahiran Pancasila? (2) Sejauh mana religiusitas Islam diakomodasi oleh Pancasila? (3) Dalam hal apa terbentuk titik-singgung konfliktual antara Pancasila 103 dan religiusitas Islam, dan bagaimana dampaknya terhadap kesalehan sosial? Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut, saya menggunakan model lima dimensi religiusitas ala Charles Y. Glock (yang kemudian disempurnakan bersama Stark) (Clayton & Gladden, 1974; El-menouar, 2014) sebagai pendekatan. Pun, tulisan ini dibagi ke dalam tiga sub-bab dengan harapan mampu memberikan alur pengartikulasian yang memadai untuk masingmasing pertanyaan. Pada sub-bab pertama, setelah menjelaskan pengertian religiusitas Islam, saya akan menguji peran hal tersebut dalam perumusan dan kelahiran Pancasila, hingga pada titik di mana kita bisa membuktikan religiusitas Islam sebagai fundamen identitas keindonesiaan seorang Muslim Indonesia. Setelah itu, pembahasan akan dilanjutkan dengan kontradiksi menarik, di mana terlepas dari indikasi ‘pengistimewaan’ religiusitas Islam dalam Pancasila, toh yang disebut belakangan tetap dianggap, dalam spektrum yang paling ekstrem, sebagai thaghut dan anti-Islam. Barulah kemudian, pada sub-bab terakhir, wacana ‘Islamisasi’ Pancasila akan dikontestasikan kaitannya dengan pembangunan kesalehan sosial, sebagai pondasi cita-cita Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesimpulan akan ditarik, saran akan diartikulasikan. Religiusitas, Pancasila, dan Narasi Imagined Indonesia Baik dari survei yang dilaksanakan Gallup tahun 2009 (Crabtree, 2010), maupun Pew Research Center (PRC) tahun 2008 (Pew Research Center, 2008), tentang religiusitas, Indonesia menjadi salah satu negara paling religius, dengan prosentase 99%. Pada survei Gallup dengan 114 negara, Indonesia hanya kalah dari Bangladesh, Nigeria, dan Yaman; dan menang jauh dari Arab Saudi di peringkat ke-35. Sedangkan pada survei PRC, Indonesia malah menempati nomor satu. Hanya, indikator religiusitasnya dibuat sangat (atau bahkan terlalu) sederhana. Yaitu, hanya mengandalkan persepsi responden ihwal penting, ataukah tidak agama bagi kehidupan mereka. Padahal, kalau merujuk Kamus Webster’s New World College, religiusitas adalah “the quality of being religious, esp. 104 of being exessively, ostentatiously, or mawkishly religious” (Collins Dictionary, 2010). Dengan kata lain, religiusitas tidak sesederhana keyakinan dan/atau persepsi responden, ihwal seberapa penting agama bagi kehidupan mereka; bahwa tidak semua yang meyakini agama sebagai fundamen penting kehidupan, mendasarkan prilaku sehari-harinya pada norma, nilai, dan prinsip agama (Latif, 1999). Hal tersebut terkonfirmasi dari temuan PRC sendiri, yang menunjukkan bahwa dari 99% responden Indonesia yang meyakini agama penting, tidak semuanya157 taat secara ritual. Menariknya, jumlah tersebut masih menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling ‘saleh secara ritual’. Fenomena tersebut merata baik di generasi muda maupun tua, berbeda dengan anak muda di Amerika Serikat158, Polandia159, Spanyol160, dan Argentina161 yang relatif menjadi kurang religius. Pertanyaannya kemudian, apakah mengukur persepsi dan ketaatan ritualistik cukup untuk memetakan tingkat religiusitas seseorang? Bagi Yasemin El-Menouar (2014), dalam konteks umat Islam, mengukur religiusitas butuh lebih dari sekedar pengukuran aspek keyakinan dan ritual. Baginya, pendekatan yang lebih tepat adalah dengan menggunakan model ‘lima dimensi pengukuran religiusitas’ ala Charles Y. Glock dan Stark (lihat juga Vailancourt, 2011). Kelima dimensi tersebut antara lain: dimensi 157 Hanya 80% yang melaksanakan shalat lima waktu, menempatkan Indonesia negara nomor dua paling taat, kalah dari Nigeria (90%) dan berada di atas Jordania (71%). Sedangkan yang puasa Ramadhan sebulan penuh hanya 49%. Sisa 40% batal beberapa hari, 10% hanya puasa setengah bulan, dan 1% jarang puasa —membuat Indonesia menempati posisi ketiga negara paling religius, kalah dari Nigeria dan Tanzania. Sebagai catatan: riset PRC diikuti oleh 23 negara (Pew Research Center, 2008). 158 Perhitungan dibagi ke dalam tiga kelompok usia: (1) usia 60 tahun ke atas; (2) usia 40-59 tahun; dan (3) usia 18-39 tahun. Secara berurutan, prosentase yang diraih adalah 64%, 55%, dan 48%. 159 Di Polandia, dengan pengelompokan usia yang sama, trennya sebagai berikut: 49%, 29%, dan 20% padahal basis agama di sana adalah Katolik Roma yang konservatif. 160 Di Spanyol angkanya lebih kecil lagi: dari 30%, 21%, dan 9%. 161 Di Argentina, trennya sebagai berikut: 57%, 43%, dan 27%. 105 keyakinan (belief dimension), dimensi pengetahuan (knowledge dimension), dimensi ritual162 (ritualistic dimension) yang dibagi menjadi dua sub-dimensi yaitu ritual dan ketaatan (devotion), dimensi pengalaman (experience dimension), serta dimensi konsekuensi sekuler (orthopraxis dimension) Pada dimensi keyakinan, pengujian religiusitas didasarkan pada perkara keimanan, utamanya berhubungan dengan Rukun Iman. Pada dimensi pengetahuan, yang diukur adalah pemahaman atas khazanah keilmuan Islam, yang mana menurut El-Menouar, terbilang cukup sulit, mengingat ortodoksi Islam bervariasi dan bermazhab-mazhab. Dimensi pengetahuan ini pula nantinya, yang akan membedakan pengekspresian religiusitas Islam pada dimensi pengalaman, ritual, dan bahkan dimensi ortopraksi atau konsekuensi sekuler. Hanya secara umum, pada dimensi ritual, religiuistas Islam diukur oleh, pertama, pelaksanaan ritual shalat, puasa, dan haji; dan kedua, oleh devotion berupa aktivitas berdoa, berzikir, dan yang semisalnya. Pada dimensi pengalaman, yang diukur adalah perasaan bahwa Allah itu dekat, Allah memberi kita ilham, Allah memberi pahala dan hukuman. Terakhir, dimensi konsekuensi sekuler yang mengukur kehadiran unsur dan semangat religiusitas pada sikap dan prilaku sehari-hari. El-Menouar menawarkan contoh seperti keputusan untuk tidak minum alkohol, kesediaan bersedekah dan berzakat, atau keputusan untuk hanya memakan makanan yang halal. Dalam tulisan ini, saya ingin memperluas cakupan contoh aktivitasnya, hingga mencakup aktivitas sosio-politik dan kenegaraan. Hal tersebut bukan saja dapat dijustifikasi163, tetapi 162 Dalam mengelaborasi gagasan Glock, Jean-Guy Vailancourt menggunakan istilah yang agak sedikit berbeda. Pada dimensi ritual, dia menggunakan kata ‘practice’ (praktek); pada dimensi pengetahuan, dia memberi penegasan ihwal teologi; sedangkan pada dimensi konsekuensi sekuler dia menulis ‘ethics’ (2011). 163 Ia dapat dijustifikasi, utamanya dengan mempertimbangkan sifat ajaran Islam yang kaffah (holistik) dan multidimensional. Dalam fiqh, misalnya, kita tidak hanya diperkenalkan pada fiqh ubudiyah (peribadatan ritualistik) tetapi juga muamalah (sosio-ekonomi) dan siyasah (politik-kekuasaan). 106 bahkan instrumental dalam pembedahan relasi religiusitas Islam dan Pancasila. Nantinya kita akan melihat, bagaimana proses pembedahan tersebut akan membantu menguji, sejauh mana klaim religiusitas Islam sebagai salah satu fundamen identitas keindonesiaan seorang Muslim Indonesia dapat diterima, kendati indikator dan instrumen yang dimiliki Gallup dan PRC jauh dari lengkap. Menurut ASM (2015), Indonesia baru lahir tahun 1920an, dimonumentali Sumpah Pemuda tahun 1928, dan menjadi bangsa merdeka pada 1945. Kendati demikian, latar belakang kesejarahan (historical background) bangsa ini berusia, setidaknya, jika merujuk pidato Bung Karno pada Sidang PBB 1960, dua ribuan tahun164 (Arifin, 2017). Biasanya, yang kerap disituasikan sebagai ingatan kolektif kita sebagai bangsa adalah, mula-mula, eksistensi Sriwijaya Abad ke-7 hingga 12, serta Majapahit Abad ke-13 hingga 16. Hal tersebut dikarenakan wilayah kekuasaan keduanya meliputi (bahkan lebih dari) wilayah geografis Indonesia hari ini165 (lihat Tim Penulis JNM, 2015). Jika kita perhatikan, kedua kerajaan pemersatu Nusantara tersebut juga lekat dengan unsur agama. Sriwijaya lekat dengan Buddha, dan Majapahit lekat dengan Hindu166. Walau demikian, menurut ASM (2015), Buddha dan Hindu hanya ‘dekat’ dengan kalangan kerajaan. Adalah Islam, masih menurut ASM, “memulihkan harga diri orang kecil” (2015, p.67) karena ia menawarkan egalitarianisme. Ditopang oleh runtuhnya Majapahit dan bermunculannya kerajaan Islam, Islam kemudian menjadi ‘bahasa-pemersatu’. Namun begitu, hal tersebut tidak lantas menghambat pertumbuhan agama-agama dan kepercayaan lain. Bagi ASM, Indonesia tidak hanya menjadi ladang subur bagi agama, tetapi juga ideologi-ideologi yang secara konsep bahkan saling 164 Bahkan Cak Nun menyebut bahwa, jangan-jangan bangsa kita sebetulnya lebih tua ketimbang peradaban Ibrahimiyah. 165 Majapahit, menurut Tim Penulis JNM (2015), mencakup tidak hanya Indonesia tetapi juga Daratan Malaya, Pulau Gurun, dan lain-lain. 166 Bhineka Tunggal Ika difatwakan Mpu Tantular sebagai cara negara memelihara kohesi dan toleransi masyarakat Hindu dan Buddha di masa kekuasaan Majapahit (lihat Memory of Majapahit, 2007). 107 berseberangan. Oleh sebab itu, menimbang diversitas yang tidak terhindarkan tetapi sekaligus kompleks tersebut, diperlukan suatu ‘titik temu’ (kalimatun sawa), atau yang disebut Din Syamsudin (2016) sebagai common platform dan common denominator, di mana segala keyakinan dan ideologi dapat dipertemukan dalam suatu nuansa kolaboratif yang saling merangkul dan bukan bersifat konfliktual. Titik temu tersebut bernama Pancasila. Secara yuridisformal, Pancasila lahir pada 18 Agustus 1945, bersamaan dengan diberlakukannya UUD 1945 (Maarif, 2017). Walau demikian, proses kelahirannya sebagai gagasan dimulai, setidaknya, sejak Mei 1945 di mana M. Yamin menawarkan lima dasar negara, baik versi lisan maupun tulisan167 (Darmodiharjo, 1991). Ada perbedaan kedua versi tersebut, tetapi yang mendekati Pancasila hari ini adalah versi tertulis. Pada 1 Juni 1945, giliran Soekarno menjabarkan usulan tentang dasar negara, dan beliau tiba pada sila-sila sebagai berikut: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme —atau Peri Kemanusiaan, Mufakat —atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Ketika sila-sila ini dilahirkan melalui rahim Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, sila Ketuhanan memiliki tujuh kata tambahan, yaitu ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Karena keberatan perwakilan non-Muslim, akhirnya tujuh kata tersebut dihilangkan pada versi final Pancasila 18 Agustus 1945. Menurut KH. Wahid Hasyim, mempertahankan tujuh kata tersebut dapat membuka pintu sektarianisme dalam politik Indonesia (Mas’udi, 2016). Tetapi di saat yang sama, kata sifat ‘Yang Maha Esa’ ditambahkan demi kompromi (Maarif, 2015). Pertanyaannya kemudian, lalu sejauh mana religiusitas Islam berperan dan/atau diperankan dalam proses perumusan dan kelahiran Pancasila ini? 167 Pancasila versi lisan terdiri atas Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Peri Kesejahteraan Rakyat. Sedangkankan versi tulisan lebih dekat dengan Pancasila yang kita kenal hari ini: Ketuhanan yang Maha Esa, Kebangsaan Persatuan Indonesia, Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Kerakyatan yang Dimpimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. 108 Pertama, jika kita lihat dari sila pertama Pancasila, kita tahu bahwa semangat kebertuhanan adalah salah satu semangat yang ‘paling disepakati’. Secara eksplisit, pengakomodasian sila ini memenuhi dimensi keyakinan (belief). Kedua, menurut Arifin (2017), Bung Karno dalam merumuskan Pancasila terinspirasi QS alHujurat ayat 13 yang relevan dengan kodrat kebinekaan Indonesia168. Hal tersebut menunjukkan bagaimana dimensi pengetahuan Islam berperan dalam proses ‘pemerasan saripati’ falsafah bangsa tersebut. Belum lagi kalau kita ingat bahwa perdebatan dan persetujuan di seputar Pancasila juga melibatkan intelektual Muslim dan ulama, yang persetujuannya tentu didasarkan pada pertimbanganpertimbangan pengetahuan maqasid syariah (Musa, 2014; Wahid, 2016). Ketiga, untuk menunjukkan adanya dimensi ritual dan pengalaman spiritual, kita bisa mengetengahkan pengalaman Bung Karno sebelum mantap dengan Pancasila. Bung Karno berkisah bagaimana beliau berdoa, “... ya Allah, ya Rabbi, berikanlah petunjuk kepadaku, berikanlah ilham kepadaku, kalau ada dasar-dasar lain yang harus kukemukakan, apakah dasar-dasar itu?” (Arifin, 2017, p. 22). Ketika besoknya beliau bangun dan shalat subuh, hati beliau mantap terhadap Pancasila169. Dengan kata lain, Bung Karno seperti 168 QS al-Hujurat: 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal...” 169 Bung Karno sebagai nasionalis biasanya dikategorikan sebagai Islam ‘abangan’, cenderung sekuler, apalagi jika kita melihat bagaimana sila tunggal yang disaripatikan oleh Bung Karno bukanlah Ketuhanan, melainkan gotong-royong. Namun dalam perumusan Pancasila, Bung Karno menggarisbawahi pengaruh religiusitas, kesadaran akan pentingnya dimensi pengalaman spiritual dalam proses perumusan dasar negara. Kita bisa menduga bahwa semua itu adalah cara Bung Karno merebut simpati dan dukungan masyarakat, termasuk kalangan Islamis, untuk menyetujui pendapatnya. Tetapi pun kalau memang itu yang terjadi, tidak pelak lagi itu menunjukkan bagaimana religiusitas disadari sebagai fundamen penting keindonesiaan seorang Muslim Indonesia. Lebih lanjut, dalam tulisan Arifin, ditunjukkan pelbagai kutipan tulisan-tulisan Bung Karno yang 109 ingin menegaskan bahwa Tuhan tidak lepas tangan; bahwa Tuhan menginspirasi beliau terkait Pancasila. Sampai di sini, kita melihat bagaimana aktivitas kenegaraan diinspirasi —dan bahkan dibentuk— oleh, tidak hanya relasi kekuasaan, tetapi juga religiusitas Islam (lihat Syamsudin, 2016). Bahkan kemerdekaan diinsafi sebagai ‘atas berkat rahmat Allah yang Maha Esa’ (lihat Darmodiharjo, 1991). Gagasan tersebut, jika bisa kita terima, menunjukkan terpenuhinya dimensi konsekuensi sekular dalam religiusitas Islam, di mana urusan ideologi dan sistem pemerintahan negara disikapi secara sama pentingnya dengan urusan, misalnya, shalat, puasa, dan haji. Esa yang Istimewa dan Thaghutisasi Pancasila Namun demikian, eksplisitnya nuansa religiusitas Islam dalam Pancasila —dan kemudian juga UUD 1945— tidak serta-merta menghentikan perdebatan, atau bahkan kontestasi, religiusitas Islam versus Pancasila. Gus Dur (1992), misalnya, dalam proses kritik atas ideologisasi Pancasila, yang dalam bahasa Musa, menyimpang170 di era Orde Baru, mengetengahkan posisi Pancasila sebagai ideologi bangsa (yang karenanya mengikat prinsip mendasar masyarakat Indonesia) dan falsafah hidup (kerangka berpikir acuan), yang ‘tumpang-tindih’ dengan peran agama. Sehingga beliau menegaskan bahwa: Penerimaan atas Pancasila sebagai satu-satunya asas oleh berbagai komponen gerakan Islam, baru dapat dilakukan oleh kesemua organisasi, setelah ada kejelasan sikap pemerintah sendiri terhadap Pancasila. Pancasila bukanlah agama, tidak akan menunjukkan sisi religiusitas beliau. Misalnya, beliau menulis, “Saya berkata, saya cinta Islam dan saya ingin menjadi orang Islam terbaik... Islam suatu agama yang bisa mengikuti jaman... oleh karena jaman itu tidak beku, Islam itu pun tidak beku dan selalu bisa mengikuti jaman” (2017, p. 28). 170 Musa menulis, “Pada era Orde Baru, penyelewengan Pancasila terlihat dalam beberapa hal, yaitu sila Keadilan Sosial diganti kapitalisme, sila Kerakyatan dengan otoritarianisme, sila Persatuan dan militerisme, sila Kemanusiaan dengan kekerasan politik” (2014, p. 292). 110 diagamakan dan tidak berfungsi (menggantikan) kedudukan agama. Penentangan terhadap Pancasila juga muncul seiring menguatnya Islam ultra-konservatif dan radikal. Sebagaimana yang kita tahu, mazhab pemikiran Islam tidak bisa satu-suara (mono-voice), dan bahkan di Indonesia perbedaan tersebut dipelihara, diorganisir, dan diperkuat oleh ratusan organisasi dan pergerakan; masingmasing memegang teguh identitas keislaman tertentu (Pringle, 2016; Tan, 2011; Van Bruinessen, 2013). Dari sekian banyak organisasi dan pergerakan tersebut, van Bruinessen (2013) mengklasifikasikan Islamindonesia ke dalam dua identitas besar: moderat dan radikal. Kalangan moderat dibagi ke dalam tiga spektrum: konservatif, progresif, dan liberal. Sedangkan kalangan radikal dibagi ke dalam dua spektrum: Islamis dan fundamentalis. Irisan kedua kelompok besar tersebut berada di area moderat-konservatif, atau dalam tulisan ini akan saya istilahkan sebagai ultra-konservatif. Pertanyaannya kemudian, bagaimana bisa penguatan Islam ultra-konservatif dan radikal berkorelasi dengan penentangan terhadap Pancasila? Pada dimensi pengetahuan, Islam ultra-konservatif cenderung kaku dan tekstual dalam menerjemahkan Islam. Akibatnya, muncul ketidakluwesan dalam menyikapi modernitas, atau kultur, dan kadang terjebak dalam miskonsepsi bahwa Islam yang orisinal adalah Islam Arab (lihat Abaza, 2011; Azra, 2003). Gairah berislam umumnya diekspresikan secara formalistik dan simbolik, atau dalam bahasa ASM (2015), Islam gincu. Keterlalu-fokusan pada cangkang ritualistik Islam, telah menjebak mereka dalam ‘Islam-sejarah’, sehingga menghambat proses eksplorasi dan pembumian ‘Islam-nilai’ (Maarif, 2013, 2017). Islam ultra-konservatif biasanya bersifat eksklusif dan monopolis terhadap klaim kebenaran, sehingga cenderung tidak bisa menerima perbedaan pendapat (ikhtilaf), dalam beberapa kasus malah persekusif, terutama kepada kalangan minoritas yang dianggap sebagai sempalan atau heterodoks (Al-Qurtuby, 2015; Burhani, 2014). Dari sudut pandang teori lima dimensi religiusitasnya Glock dan Stark, sikap tersebut dapat dikategorikan sebagai konsekuensi sekuler, yang tidak hanya digerakkan oleh pengetahuan tetapi juga oleh keyakinan (belief), bahwa mereka sedang membela dan berjihad atas nama Islam (sebagai contoh, lihat Ba’asyir, 2006; Sihab, 2013). 111 Selain itu, Islam ultra-konservatif dan radikal juga biasanya identik dengan Islam-Politik, sehingga konsekuensi sekuler yang terbentuk adalah keinginan untuk memanifestasikan Islam sebagai sistem politik dan pemerintahan. Atas dasar keyakinan tersebut, Pancasila kemudian dianggap sebagai thaghut yang antiTuhan dan anti-Islam (Musa, 2014). Ada setidaknya dua spektrum pengekspresian thaghutisasi ini. Pertama, Pancasila diyakini sebagai tidak Islami sama sekali. Menaati atau ‘berbaiat’ kepada Pancasila, dengan demikian, dianggap dapat membatalkan keimanan dan keislaman seseorang (lihat al-Amin, 2012; Ba’asyir, 2006). Para penyokong gagasan ini di era reformasi terdiri atas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Laskar Jihad, Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansharu alTauhid (JAT), serta Jamaah Ansharu al-Daulah (JAD). Walau berada di spektrum yang sama, mereka berbeda pendapat ihwal definisi negara Islam (kekhilafahan) yang ideal dan cara melahirkannya. Kedua, Pancasila dianggap kurang Islami; masih sekuler-nasionalis. Narasi ini diinspirasi oleh ketidakhadiran 7 kata ‘Piagam Jakarta’ di versi final Pancasila dan disokong, misalnya, oleh Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Reformis Islam (GARIS), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dengan tujuan melakukan upaya ‘syariahisasi NKRI’ (lihat Hamayotsu, 2011; Woodward et al., 2014). Produk yang dikampanyekan, salah satunya, adalah Perda Syariah. Ali Masykur Musa (2014) menyebut bahwa 80% mahasiswa di 11 kampus ternama,171 dan 76% siswa SMP/SMA se-Jabodetabek, meyakini syariah sebagai ideologi negara dibandingkan Pancasila. Belakangan, sebagian penyokong ide ini berafiliasi dalam GNPFI-MUI, yang berganti nama menjadi GNPF-Ulama, dalam upaya ‘menghukum’ penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok di masa kampanye beliau menuju Pilgub Jakarta. Menariknya, gerakan ini kemudian mengidentifikasi diri sebagai Alumni 212, yang kemudian terpecah menjadi Persaudaraan Alumni 212 dan Presidium Alumni 212, di 171 UI, ITB, UGM, IPB, Unair, Unibraw, Unpad, Unhas, Unand, Unsri, Unsiah. Riset diambil tahun 2006 oleh Survey Gerakan Nasionalis dan muncul juga di GMPI Kompas pada 4 Maret 2008 (lihat Musa, 2014, pp. 285–286). 112 mana, terlepas dari polemik perpecahan tersebut, Habib Rizieq tetap disepakati sebagai ‘Imam Besarnya’172 (lihat BBC Indonesia, 2017; Fealy, 2016; Medistiara, 2018). Tetapi benarkah thaghutisasi Pancasila hanya digerakkan oleh penguatan ultra-konservativisme Islam di era pos-Orba, di mana Salafi-Wahabi dan ultranasionalisme Islam kerap dijadikan kambing hitam? Pertama, perlu dicatat bahwa sebagian organisasi Islam radikal yang tumbuh di era Orba merupakan pecahan dari gerakan DI/TII dan NII (Hamayotsu, 2015; Saat, 2014; Temby, 2010), sedangkan sebagian lagi mengusung misi serupa dengan Masyumi (Maarif, 2017). Walau DI/TII dan Masyumi menginginkan Islam sebagai ideologi dan sistem politik di Indonesia, yang disebut belakangan mendefinisikan cita-cita negara Islam secara amat modern, sehingga rujukannya bukanlah negara-negara Timur Tengah melainkan negara-negara Eropa (lihat Assyaukanie, 2011). Kedua, thaghutisasi ini boleh jadi merupakan ekspresi kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap kondisi sosio-kultural dan politik negara, sehingga menganggap Pancasila telah gagal, dan harus diganti dengan sistem Islam (Maarif, 2015). Dalam kajian Mietzner dan Muhtadi (2018), ketidakpuasan tersebut boleh jadi didorong oleh perasaan bahwa mereka tidak diakomodasi oleh pemerintah dan negara. Misalnya, mobilisasi massa 212, menurut keduanya, adalah bentuk perlawanan FPI yang ‘kehilangan’ privilege yang mereka nikmati di era SBY; ditambah yang disebut belakangan berkepentingan memenangkan putranya ke kursi DKI 1. Itu baru satu persoalan. Persoalan lain terletak pada anggapan bahwa ideologi Pancasila merugikan atau tidak mengakomodir umat Islam. Hanya, sejauh mana klaim tersebut dapat diterima, masih merupakan persoalan. Bagi saya, Islam tidak hanya diakomodir, tetapi bahkan diistimewakan, hingga pada satu titik, di mana pengistimewaan tersebut berpotensi menormalisasi hegemoni dan kekerasan simbolik (Sarhindi, 2017). Jika kita analisa kembali 172 Bagi Presidium Alumni 212, Habib Rizieq adalah Ketua Pembina. Bagi Persaudaraan Alumni 212, Habib Rizieq adalah Pembina Tunggal. 113 perdebatan di seputar sila pertama, kita akan mendapati penggantian ‘tujuh kata’ Piagam Jakarta, yang dikompromikan dengan penulisan kata sifat ‘Yang Maha Esa’. Kata sifat ‘esa’ ini problematis semenjak kata tersebut kerap didefinisikan sebagai ‘satu’,173 tidak hanya oleh kalangan awam, tetapi bahkan oleh para intelektual, semisal Darmodiharjo yang menerjemahkan ‘Yang Maha Esa sebagai, “Yang Maha Tunggal, tiada sekutu; esa dalam zat-Nya, esa dalam sifat-Nya, esa dalam perbuatan-Nya” (1991, p. 38). Definisi tersebut tidak diragukan lagi sebagai Islam-sentris; sekaligus secara simbolik memaksa agama-agama dan kepercayaan lain yang diakui untuk ‘menyesuaikan’ konsep Ketuhanannya. Dengan pengistimewaan model demikian, ditambah dengan rasa diri paling benar (self righteousness), ada kecenderungan untuk, dalam tataran politik dan sosio-kultural, Islam disituasikan sebagai role of conduct (aturanmain) yang menghegemoni. Hegemoni tersebut, diperparah dengan homogenitas pergaulan dan pendidikan Islam nir pola pikir kritis, pada akhirnya berpotensi mengurangi kemampuan umat Islam Indonesia untuk merekognisi dan mengakomodasi hak-hak kaum minoritas (Sarhindi, 2017). Apalagi menurut Myrdall, Indonesia termasuk soft-state174 yang, ketika bertemu soft-ethics175 (Madjid, 2016), akan melahirkan gap antara kesalehan ritual dengan kesalehan sosial. Pembenaran atas serangan terhadap komunitas Syiah dan Ahmadiyah di bawah payung hukum SKB Tiga Menteri dan fatwa sesat dari MUI, dapat diartikulasikan sebagai contoh (Burhani, 2014; Nasir, 2014; SETARA Institute, 2015; The Wahid Institute, 2014). 173 Eggi Sudjana saat membela HTI juga mengungkapkan gagasan bahwa satu-satunya agama yang sesuai dengan Pancasila, terutama sila pertama, hanya Islam. Jika HTI dibubarkan karena melawan Pancasila, katanya, maka agama-agama lain non-Islam juga harus dihapuskan. Kita bisa menduga bahwa miskonsepsi demikian cukup lazim, terima kasih pada penyimpangan ideologisasi Pancasila era Orde Baru. 174 “Dalam arti sering terjadi ketidakjelasan antara yang benar dan yang salah di masyarakat” (Madjid, 2016, p. 131) 175 Etika yang “dibentuk oleh jenis pemahaman keagamaan yang parsial... yang hanya mementingkan ritus-ritus belaka” (Madjid, 2016, p. 132) 114 Islamisasi Pancasila dan Kesalehan Sosial Jika kita setuju dengan argumentasi di atas, maka kita akan menemukan ada kontradiksi pada dimensi konsekuensi-sekuler (ortopraksis) kalangan Islam ultra-konservatifdan radikal. Di satu sisi ia didorong oleh pemahaman keislaman, tetapi di sisi lain, sikap yang muncul pada dimensi ortopraksis memiliki kecenderungan untuk antitesis terhadap cita-cita sosial Islam. Cita-cita sosial Islam, secara sederhana adalah menjadikan Muslim sebagai ‘rahmatan lil ‘alamiin’ —rahmat bagi semesta— dengan mendorong mereka bergotong-royong mewujudkan kemasalahatan umat (maslahah al-ummah). Indikatornya dapat bermacam-macam mulai dari perdamaian, kesejahteraan, perlindungan HAM, egalitarianisme dalam kehidupan sosio-kultural dan politik, serta terutama, keadilan sosial. Jika kita lihat, nilai-nilai tersebut beririsan pula dengan cita-cita Pancasila. Sehingga kemudian, dalam upaya mengkonter narasi Islam ultra-konservatif dan radikal di atas, muncul wacana yang saya istilahkan sebagai ‘Islamisasi Pancasila’; yaitu sebuah upaya untuk membuktikan bahwa Pancasila tidak hanya kompatibel dengan religiusitas Islam, tetapi bahkan sejalan dengan al-Qur’an. Islam dan Pancasila bukanlah, dan tidak mesti disituasikan sebagai, dua entitas yang konfliktual; berseberangan. Caranya, misalnya, dengan menunjukkan adanya irisan normatif dan etis antara silasila Pancasila, baik sebagai kesatuan maupun secara parsial, dengan al-Qur’an.176 UUD 1945, di sisi lain, juga dapat ditafsirkan secara ‘Islami’ (lihat Mas’udi, 2016).177 Akibat turunannya sebagai berikut: 176 Sila pertama, misalnya, dianggap sejalan dengan QS al-Ikhlas ayat 1, “Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa”. Sila kedua, dianggap sejalan dengan QS an-Nisa ayat 135, “Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, hendaklah kamu menjadi manusia yang adil.” Sila ketiga, dianggap sejalan dengan QS al-Hujurat ayat 13 yang telah dikutip di bagian lain footnote. Sila keempat, dianggap sejalan dengan QS as-Syuro ayat 38, “Sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.” Sedangkan sila terakhir, dianggap sebangun dengan QS an-Nahl ayat 90, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan” (lihat Syahbana, 2012). 177 KH. Masdar Farid Mas’udi (2016) mengetengahkan 12 syarah (penjabaran, 115 (1) demokrasi tidak dianggap anti-Tuhan, tetapi didefinisikan sebagai musyawarah (syura) yang lekat dalam narasi kepemimpinan Nabi Muhammad; (2) bentuk negara Indonesia tidak menjadi negara Kafir (Dar al-Kufr) melainkan negara Perjanjian dan Kesaksian (Dar alAhdi wa al-Syahadah), yang bagi Din Syamsuddin merupakan bentuk yang paling ideal bagi Indonesia yang majemuk (2016); (3) nasionalisme yang dianggap produk Barat yang memecah belah, didefinisikan sebagai cinta tanah air (hubbul wathan) yang selaras dengan kemanusiaan178 dan difatwakan sebagai bagian integratif dari keimanan (Haq, 2009); serta (4) bahwa Islam tidak mesti menjadi sistem politik dan pemerintahan, selain karena tidak ada rujukan eksplisit soal tersebut, sejarah menunjukkan bagaimana teokrasi kerap menghasilkan pemerintahan yang korup dan otoriter179 (A’la, 2014; Maarif, 2015, 2017, 2018). Yang lebih penting, Munawir Aziz (2016) mencatat, adalah kulturalisasi politik —yaitu Islam diposisikan bukan sebagai aspirasi, tetapi sebagai inspirasi politik. Wacana Islamisasi Pancasila ini didukung terutama oleh kalangan pendukung Islam Kultural —vis-a-vis Islam Politik. Umumnya, kalangan ini dibagi ke dalam dua kategori, kalangan tradisionalis yang berbasis Nahdlatul Ulama dan kalangan modernis yang berafiliasi ke Muhammadiyah. Pada masing-masing pembahasan) terkait UUD 1945, setiap syarah dilengkapi dengan dalil alQur’an dan hadist. Poin-poin yang beliau bahas mulai dari bentuk negara Indonesia, pemaknaan atas penjajahan dan kemerdekaan, penafsiran atas hak dan al-haqq (kebenaran), sila pertama Pancasila, penjabaran implikasi penggunaan kata ‘berkat’, pemaknaan manusia dan kemanusiaan, serta pemaknaan penggunaan asma Allah dan kesadaran atas ‘karunia-Nya’ yang dicantumkan dalam pembukaan UUD 1945. 178 Adagium ini berasal dari Nelson Mandela yang berbunyi, “my nationalism is humanity” yang kerap disadur oleh Bung Karno. Menurut Hamka Haq (2009), pernyataan itu menunjukkan kesadaran atas kemanusiaan universal sehingga semangat mencintai negeri sendiri tidak menjadikan bangsa Indonesia menutup mata pada penderitaan kemanusiaan di tempat-tempat lain. 179 Ziadudin Sardar menyebut ideologisasi Islam bersifat kontradiktif terhadap misi pembebasan (liberation) dalam Islam, membuat Islam menjadi corrupted religion (A’la, 2014). 116 kalangan terdapat pecahan spektrum pemikiran, sebagaimana Gus Dur mewakili Muslim post-tradisionalis dan ASM mewakili post-modernis. Juga pada kedua kalangan dapat dipetakan yang berspektrum ultra-konsrvatif hingga progresif dan liberal. Dengan mempertimbangkan usia NU dan Muhammadiyah yang jauh lebih tua dibandingkan usia Indonesia merdeka, muncul pertanyaan terkait proyek Islamisasi Pancasila ini: apakah gagasan kompatibilitas Islam dan Pancasila adalah gagasan baru ataukah juga, sebagaimana thaghutisasi Pancasila, merupakan gagasan lama yang direproduksi? Dalam hal ini, ada perbedaan pendapat. Bagi ASM, baik NU dan Muhammadiyah pernah menjadi bagian dari penyokong gagasan negara Islam, utamanya ketika bergabung di bawah bendera Masyumi (2017). Namun demikian, kesadaran kebangsaan telah muncul pada kalangan modernis, berbeda dengan perjuangan kiai dan pesantren yang masih bersifat parsial kedaerahan atau sektoral. Dengan demikian, dari kacamata ASM, Islamisasi Pancasila ini merupakan fenomena kontemporer sebagai respon atas thaghutisasi Pancasila di era post-Orba. Namun demikian, dari sudut pandang kalangan tradisionalis, muncul klaim bahwa kesadaran kebangsaan dan nasionalisme justru telah diperbincangkan di kalangan NU sejak 1930-an. Musa bahkan menulis, “Sikap NU ini sebenarnya adalah penegasan dari sikap, pandangan, dan komitmen NU terhadap Pancasila dan negara nasional sejak sebelum hingga sesudah negeri ini berdiri.” (2014, p. 288). Zainul Milal Bizawie (2016) mencatat pertemuan antara KH. A. Wahab Chasbullah, KH. Hasyim Asy’arie, HOS Tjokroaminoto, serta Bung Karno guna membahas Islam dan isu kebangsaan “yang berujung pada Muktamar ke-9 di Banjarmasin pada tahun 1935, yang memutuskan NU tidak akan mendirikan negara Islam” (2016, p. 30). Lebih jauh, muktamar tersebut memutuskan, bahwa memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah fadhu ‘ain, karena Indonesia pernah jadi wilayah kerajaan-kerajaan Islam, dan karenanya bisa disebut Dar al-Islam yang dicuri hak kemerdekaannya oleh Belanda —satu irisan dengan fatwa ‘resolusi jihad’ dari KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 (Siroj, 2016). Gus Dur juga sering menulis, bagaimana KH. Wahid Hasyim berkontribusi dalam penghapusan 7 kata Piagam 117 Jakarta demi kemaslahatan bangsa Indonesia yang beragam (Musa, 2014; Wahid, 2016). Bahkan belakangan, akronim PBNU juga dijabarkan sebagai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. Hanya, dari literatur yang saya baca mengenai relasi NU, NKRI, dan Pancasila, tidak ditemui pembahasan tentang era integrasi NU di bawah bendera Masyumi. Thus, terlepas dari perbedaan tersebut, ada satu semangat yang sama dalam proyek Islamisasi Pancasila ini, yaitu untuk menghentikan deaktualisasi Pancasila akibat pengkonfrontasian tak berkesudahan dengan religiusitas Islam, yang menurut Din Syamsuddin “dapat menjadi faktor penyebab mengendurnya derajat penghayatan rakyat warga negara terhadap janji mereka” (2016, p. 283). Musa (2014) menyebut perlunya radikalisasi Pancasila, utamanya dalam konteks Pancasila sebagai ideologi kerja (yaitu pengamalan Pancasila dalam praktik pembangunan), karena Pancasila sebagai ideologi prinsip (falsafah negara) sudah final dan tuntas. Proses radikalisasi tersebut dimaksudkan untuk merevitalisasi nilai dan fungsi Pancasila, tidak hanya sebagai ideologi negara tetapi juga sebagai basis keilmuan yang dinamis dan kontekstual yang kemudian dijaga sinkronisasinya dengan produk perundangan, sehingga Pancasila dapat melayani kepentingan horizontal. Bagi saya, proses revitalisasi Pancasila ini juga dapat mendorong terwujudnya kesalehan sosial. Terma kesalehan sosial sendiri diperkenalkan oleh Gus Mus untuk menunjukkan moralitas-nilai (virtue) pada dimensi akhlak, terutama kaitannya dalam relasi kemanusiaan dan kemasyarakatan (hablum minannas); yang berbeda dengan kesalehan ritual yang cenderung bersifat vertikal hablum minallah. Nadirsyah Hosen (2016) menyebut, bahwa secara ideal, kesalehan mestinya bersifat total-integral, tetapi kita tahu bahwa kesalehan ritual tidak selalu berdampak pada kesalehan sosial. Apalagi jika kesalehan ritual tersebut ditopang oleh pemahaman keilmuan Islam yang cenderung tekstual, eksklusif, dan kaku. Secara sederhana, kesalehan sosial ini disebut akhlak yang mulia, yang selaras dengan misi Islam sebagai rahmat bagi semesta melalui pewujudan kemaslahatan umat (maslahah al-ummah) (Haq, 2009; Machasin, 2012). Ia sepertinya ditopang oleh pendalaman tasawuf (etika Islam) dengan output 118 berupa ihsan (kebaikan) sebagaimana tercermin dalam rukun ihsan180: suatu sikap pengendalian diri untuk tetap baik atas dasar kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi kita (lihat Bagir, 2016, 2018). Tentu saja ada banyak bentuk sikap yang mencerminkan kesalehan sosial, yang dalam banyak hal selaras tidak hanya dengan moralitas universal tetapi terutama dengan kearifan lokal Indonesia, semisal tolong-menolong, toleransi, saling menghormati, gotong-royong, sopan-santun, kejujuran dan integritas, penunaian kewajiban, serta pengakomodasian hak. Kesemua itu sebangun dengan cita-cita sosial Islam dan Pancasila, seperti telah disebutkan di atas: egalitarianisme, perdamaian, perlindungan HAM, dan keadilan sosial. Pertanyaannya kemudian, bagaimana sebetulnya Islamisasi Pancasila ini melahirkan, dan/atau berkaitan dengan, kesalehan sosial? Menurut Mas’udi (2016), Pancasila memiliki sila “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai landasan spiritual-moralnya. Sebagaimana yang kita tahu, semangat sila ini adalah sikap berketuhanan yang berkebudayaan; yaitu bagaimana memanifestasikan keyakinan terhadap Tuhan (dimensi belief) ke dalam relasi sosio-kultural Indonesia yang beragam (dimensi ortopraksis). Dalam bahasa Madjid (2016), ia didefinisikan sebagai cara meneladani ‘sifat Ketuhanan’ untuk kemudian menjadi etika berprilaku. Sedangkan ASM (2015) menafsirkan itu sebagai semangat beragama dengan mengedepankan sikap saling menghormati —penerapan pluralisme. Sila ini ditopang oleh “Kemanusiaan yang adil dan beradab” sebagai landasan etikanya, sehingga semangat berketuhanan —semangat beragama— senantiasa diselaraskan dengan etika universal terhadap kemanusiaan yang adil dan beradab. Adapun sila ketiga, “Persatuan Indonesia”, lanjutnya, adalah landasan sosial. Dalam hal ini, Pancasila mendorong tumbuhnya kesadaran persatuan (ukhuwah), yang 180 Rukun ihsan terdiri atas satu rukun yang berbunyi, “Beribadahlah seolaholah kamu melihat Allah, jika kamu tidak bisa, ingatlah bahwa Allah selalu mengawasimu.” Rukun ihsan ini, dari kacamata sufisme, mendorong upaya pendisiplinan jiwa (Ocean of Wisdom, 2015), sedangkan dari kacamata Foucauldian dapat dikategorikan sebagai pendisiplinan-diri walau dengan intensi positif —berbeda dengan Foucault yang cenderung melihatnya sebagai bentuk domestifikasi (lihat Ball, 2013; Gore, 1998; Olivier, 2010). 119 walaupun terkesan dibatasi oleh nasionalisme, tetapi sesungguhnya merangkul tidak hanya ukhuwah Islamiyah tetapi bahkan ukhuwah basyariah (persaudaraan kemanusiaan). Dalam bahasa ASM (2015), etika sosial yang dapat ditarik dari sila ini adalah sikap “bersaudara dalam perbedaan, berbeda dalam persaudaraan”. Tetapi kita tahu bahwa perbedaan kadang menimbulkan perselisihan (ikhtilaf), sehingga demi terjaganya ketentraman dan kohesi sosial, diperlukan suatu musyawarah (syura) sebagai inti demokrasi yang berorientasi hikmah kebijaksanaan. Kesemua itu dibingkai dalam visi besar mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa penghayatan atas (religiusitas Islam dalam) Pancasila dapat mendorong terbangunnya kesalehan sosial yang berfundamen Tuhan, berorientasi kemanusiaan, bercorak kekeluargaan (satu-tubuh), bersemangat solusi menang-menang, dan berwatak selfless. Hanya kemudian, proses revitalisasi Pancasila dan kontekstualisasi Islam demi penguatan kesalehan sosial ini bukan tanpa tantangan. Tidak hanya karena perdebatan Islam versus Pancasila ini seperti tidak akan pernah berakhir, tetapi juga karena proses diseminasi dan kultivasi Pancasila di sekolah-sekolah dan seminar juga bukan tanpa persoalan. Di sisi lain, semangat religiusitas yang tinggi di tengah absensi sikap kritis dan keilmuan yang cukup, diperparah oleh kemudahan akses di sosial media dan gejala post truth, pada akhirnya membuat Muslim Indonesia mudah disulut emosinya oleh sentimen keagamaan (Lim, 2005, 2009, 2012, 2013; Nugraha, 2018). Sentimen keagamaan tersebut dipolitisasi sedemikian rupa sehingga melahirkan politik identitas yang mengancam pluralisme (Maarif, 2010). Sebagai contoh, Pilgub Jakarta mengakibatkan polarisasi masyarakat, belum lagi Amien Rais yang datang dengan gagasan Partai Allah versus Partai Setan, dan semua itu belum termasuk hegemoni masyarakat Muslim dan normalisasi privilege di dalam tubuh dan inti Pancasila itu sendiri. 120 Penutup Kita telah melihat bagaimana religiusitas Islam dapat dilacak, bahkan amat kental nuansanya, tidak hanya dalam proses dan aktivitas di seputar Pancasila sejak perumusan, kelahiran, dan penghyatannya, tetapi juga bahkan dalam tubuh dan inti Pancasila itu sendiri. Walau dalam hal sejauh mana religiusitas Islam tersebut diakomodasi, terdapat perbedaan pendapat. Oleh sebab isu pengakomodasian ini pula muncul, dalam spektrum ekstrem dua kutub, wacana thaghutisasi dan Islamisasi Pancasila. Sementara wacana yang pertama berkecenderungan terjebak dalam kesalehan ritualistik, wacana yang kedua punya kapasitas mendorong terwujudnya kesalehan sosial yang sebangun tidak hanya dengan cita-cita sosial Islam tetapi juga dengan cita-cita keadilan sosial ala Pancasila, serta etika universal dan kearifan lokal Indonesia. Hanya, terlepas dari perbedaan dan perdebatan di seputar kedua wacana tersebut, yang luput kemudian adalah, indikasi pengistimewaan (religiusitas) Islam. Menariknya, adalah keluputan tersebut yang menegaskan normalisasi privilege dan hegemoni Islam sebagai role of conduct (aturan main tatanan kemasyarakatan). Untuk bisa mewujudkan kesalehan sosial dan menekan potensi kekerasan simbolik, Islamisasi Pancasila tidak boleh sekedar diwacanakan —walau Islamisasi Pancasila bukan satu-satunya jalan keluar; lagi pula persoalan tidak hanya terletak pada tataran ideal-konseptual, melainkan, lagi-lagi sebagaimana gap antara dimensi ritual dengan dimensi ortopraksis, adalah jarak-pemisah Pancasila dan pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan. 121 Daftar Pustaka A’la, A. (2014). Jahiliyah Kontemporer dan Hegemoni Nalar Kekerasan: Merajut Islam Indonesia Membangun Peradaban Dunia. Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang. Abaza, M. (2011). Asia Imagined by the Arabs. In K. BustamamAhmad & P. Jory (Eds.), Islamic Studies and Islamic Education in Contemporary Southeast Asia (pp. 1–28). Kuala Lumpur: Yayasan Ilmuwan. al-Amin, A. R. (2012). Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit LKiS. Al-Qurtuby, S. (2015). Buya Syafii, Ateisme, dan Hak-hak Kewargaan Kaum Ateis di Indonesia. In A. N. Burhani, M. A. Darraz, & A. F. Fanani (Eds.), Muazin Bangsa dari Makkah Darat: Biografi Intelektual Ahmad Syafii Maarif (pp. 302–345). Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta dan MAARIF Institute. Arifin, M. N. (2017). Bung Karno “Menerjemahkan” al-Qur’an. Bandung: PT Mizan Media Pustaka. Assyaukanie, L. (2011). Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model negara Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Freedom Institute. Aziz, M. (2016). Fikih Siyasah dalam Konfigurasi Fikih Sosial: Etika Politik Kiai Sahal Mahfudh. In Islam Nusantara: dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan (pp. 315–336). Bandung: PT Mizan Media Pustaka. Azra, A. (2003). Bali and Southeast Asian Islam : Debunking the Myths. Aftre Bali: The Threat of Terrorism in Sourheast Asia, 39–57. https://doi.org/10.1142/9789812561749_0002 Ba’asyir, A. B. (2006). Catatan dari Penjara untuk Mengamalkan dan Menegakkan Dinul Islam. Depok: Penerbit Mushaf. Bagir, H. (2016). Islam dan Budaya Lokal: Perspektif ’Irfan. In A. 122 Sahal & M. Aziz (Eds.), Islam Nusantara: dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan (pp. 175–180). Bandung: PT Mizan Media Pustaka. Bagir, H. (2018). Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Jaman Kacau. Bandung: PT Mizan Media Pustaka. Ball, S. J. (2013). Foucault, Power, and Education. London: Routledge. BBC Indonesia. (2017, May 3). Toleransi Siswa Indonesia Terpengaruh Pilkada Jakarta? (Indonesian Student’s Tolerance Influenced by Jakarta’s Governor Election?). BBC Indonesia. Retrieved from http://www.bbc.com/indonesia/ indonesia-39779463 Bizawie, Z. M. (2016). Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945). Tangerang: Pustaka Compass. Burhani, A. N. (2014). Hating the Ahmadiyya: The place of “heretics” in contemporary Indonesian Muslim society. Contemporary Islam, 8(2), 133–152. https://doi.org/10.1007/s11562-0140295-x Clayton, R. R., & Gladden, J. W. (1974). The Five Dimensions of Religiosity: Toward Demythologizing a Sacred Artifact. Journal for the Scientific Study of Religion, 13(2), 135–143. https://doi. org/10.2307/1384375 Collins Dictionary. (2010). Religiosity. Retrieved August 13, 2018, from https://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/ religiosity Crabtree, S. (2010). Religiosity Highest in World’s Poorest Nations. Retrieved January 28, 2018, from http://news.gallup.com/ poll/142727/religiosity-highest-world-poorest-nations.aspx Darmodiharjo, D. (1991). Orientasi Singkat Pancasila. In Santiaji Pancasila (pp. 13–93). Surabaya: Penerbit Usaha Nasional. 123 El-menouar, Y. (2014). The Five Dimensions of Muslim Religiosity: Results of an Empirical Study, 8(1), 53–78. https://doi. org/10.12758/mda.2014.003 Fealy, G. (2016). Bigger than Ahok: explaining the 2 December mass rally. Retrieved December 10, 2016, from http:// indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/bigger-than-ahokexplaining-jakartas-2-december-mass-rally/ Gore, J. M. (1998). Disciplining the Bodies: On the Continuity of Power Relations in Pedagogy. In T. S. Popkewitz & M. Brennan (Eds.), Foucault’s Challenge: Discourse, Knowledge, and Power in Education (pp. 231–251). London: Teachers College Press. Hamayotsu, K. (2011). Beyond faith and identity: mobilizing Islamic youth in a democratic Indonesia. The Pacific Review, 24(2), 225–247. https://doi.org/10.1080/09512748.2011.560960 Hamayotsu, K. (2015). Islam and the Making of the Nation: Kartosuwiryo and Political Islam in 20th Century Indonesia by Chiara Formichi. Indonesia, 100, 125–128. Haq, H. (2009). Islam: Rahmah untuk Bangsa. Jakarta: RMBOOKS. Hosen, N. (2016). Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial. Retrieved August 24, 2018, from http://nadirhosen.net/tsaqofah/ aqidah/208-kesalehan-ritual-dan-kesalehan-sosial Latif, Y. (1999). Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan: Krisis Agama, Pengetahuan, dan Kekuasaan dalam Kebudayaan Teknokratis. Bandung: PT Mizan Media Pustaka. Lim, M. (2005). Islamic Radicalism and Anti-Americanism in Indonesia: The Role of the Internet. Policy Studies, 18, 1–49. Lim, M. (2009). Cyber-civic space in Indonesia: From panopticon to pandemonium?International Development Planning Review, 24(4), 383–400. https://doi.org/10.3828/idpr.24.4.3 Lim, M. (2012). Life Is Local in the Imagined Global Community: Islam and Politics in the Indonesian Blogosphere. Journal of Media and Religion, 11(3), 127–140. https://doi.org/10.1080/153 124 48423.2012.706144 Lim, M. (2013). The Internet and Everyday Life in Indonesia: A New Moral Panic? Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, 169(1), 133–147. https://doi.org/10.1163/22134379-12340008 Maarif, A. S. (2010). Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia. In H. Mubarok (Ed.), Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia (pp. 3–30). Jakarta: Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan PT Newmont Pasific Nusantara & Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM. Maarif, A. S. (2013). Memoar Seorang Anak Kampung. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Maarif, A. S. (2015). Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (Kedua). Bandung: PT Mizan Media Pustaka dan MAARIF Institute. Maarif, A. S. (2017). Islam dan Pancasila Sebagai Dasar negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante. Bandung: PT Mizan Media Pustaka dan MAARIF Institute. Maarif, A. S. (2018). Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam. Yogyakarta: Penerbit Bunyan. Machasin. (2012). Islam Dinamis Islam Harmonis: Lokalitas, Pluralisme, Terorisme. Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang. Madjid, N. (2016). Islam Indonesia Menatap Masa Depan: Aktualisasi Ajaran Ahlussunah Waljamaah. In A. Sahal & M. Aziz (Eds.), Islam Nusantara: dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan (pp. 118–136). Bandung: PT Mizan Media Pustaka. Mas’udi, M. F. (2016). Syarah Konstitusi: UUD 1945 dalam Perspektif Islam. In A. Sahal & M. Aziz (Eds.), Islam Nusantara: dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan (pp. 287–320). Bandung: PT Mizan Media Pustaka. 125 Medistiara, Y. (2018). Ini Beda Persaudaraan Alumni 212 dan Presidium Alumni 212. Retrieved September 3, 2018, from https://news.detik.com/berita/d-3990156/ini-beda-persaudaraanalumni-212-dengan-presidium-alumni-212 Memory of Majapahit. (2007). Bhinneka Tunggal Ika. Retrieved from http://www.eastjava.com/books/majapahit/html/bhinneka.html Mietzner, M., & Muhtadi, B. (2018). Explaining the 2016 Islamist Mobilisation in Indonesia: Religious Intolerance, Militan Groups and the Politics of Accommodation. Asian Studies Review, 00(00), 1–19. https://doi.org/10.1080/10357823.2018.1473335 Musa, A. M. (2014). Membumikan Islam Nusantara: Respons Islam terhadap Isu-Isu Faktual. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. Nasir, M. A. (2014). The ʿUlamāʾ, Fatāwā and Challenges to Democracy in Contemporary Indonesia. Islam and Christian– Muslim Relations, 25(4), 489–505. https://doi.org/10.1080/0959 6410.2014.926598 Nugraha, M. (2018). Polisi Buru Penyebar Info Hoax Penganiayaan Ulama di Jabar Lima Info Hoax dalam 2 Minggu. Retrieved February 16, 2018, from http://jabar.tribunnews. com/2018/02/08/polisi-buru-penyebar-info-hoax-penganiayaanulama-di-jabar-lima-info-hoax-dalam-2-minggu?page=2 Ocean of Wisdom. (2015). al-Ghazali -- Book of Knowledge -Readings from Ihya Ulum al-Din. Retrieved October 7, 2016, from https://www.youtube.com/watch?v=h_uRFN1gpb0 Olivier, B. (2010). Foucault and individual autonomy. South African Journal of Psychology, 40(3), 292–307. Pew Research Center. (2008). The Pew Global Project Attitudes. Pew Research Center: Global Attitudes & Trends. Retrieved from http://www.pewglobal.org/2008/09/17/chapter-2-religiosity/ Pringle, R. (2016). Understanding Islam in Indonesia: Politics and Diversity. Singapore: Didier Millet PTE Ltd. Saat, N. (2014). Kartosuwiryo dan NII: Kajian Ulang Azyumardi. 126 Studia Islamika, 21(1). Sarhindi, I. L. (2017). Symbolic Violence in Indonesian Society : Does Islamic Radicalisation Lead to Religious Intolerance ? Journal of Southeast Asian Human Rights, 1(1), 56–79. SETARA Institute. (2015). Tolerant City Indeks 2015. Jakarta. Sihab, Ri. (2013). Situs Resmi Habib Rizieq. Retrieved December 6, 2016, from http://www.habibrizieq.com/ Siroj, S. A. (2016). Rekonstruksi Aswaja Sebagai Etika Sosial: Akarakar Teologi Moderasi Nahdlatul Ulama. In A. Sahal & M. Aziz (Eds.), Islam Nusantara: dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan (pp. 137–168). Bandung: PT Mizan Media Pustaka. Syahbana, A. (2012). Pancasila dan Keluwesan Ajaran Islam. Retrieved September 3, 2018, from http://www.nu.or.id/post/ read/40159/Pancasila-dan-keluwesan-ajaran-Islam Syamsudin, D. (2016). NKRI: negara Perjanjian dan Kesaksian. In A. Sahal & M. Aziz (Eds.), Islam Nusantara: dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan (pp. 278–286). Bandung: PT Mizan Media Pustaka. Tan, C. (2011). Islamic Education and Indoctrination: The Case in Indonesia. London: Routledge. Temby, Q. (2010). Imagining an Islamic State in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah. Indonesia, 89, 1–36. The Wahid Institute. (2014). Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan dan Intoleransi 2014: “Utang” Warisan Pemerintah Baru (The Annual Report of the Freedom of Religion/Belief and Intolerance in 2014: The Debt of the Legacy of New Government). Jakarta: The Wahid Institute and The Body Shop. Tim Penulis JNM. (2015). Gerakan Kultural Islam Nusantara. Yogyakarta: Jamaah Nahdliyin Mataram and Panitia Muktamar NU ke-33. Vailancourt, J.-G. (2011). From Five to Ten Dimensions of Religion: 127 Charles Y. Glock’s Dimensions of Religiosity Revisited. Journal for the Academic Study of Religion, 21(1). Van Bruinessen, M. (2013). Overview of Muslim Organizations, Associations and Movements in Indonesia. In M. van Bruinessen (Ed.), Contemporary Development in Indonesian Islam, Explaining the “Conservative Turn” (pp. 21–59). Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute. van Bruinessen, M. et al. (2013). Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining the “Conservative Turn.” (M. van Bruinessen, Ed.), Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining the “conservative Turn.” Singapore: ISEASYusof Ishak. https://doi.org/10.1080/00074918.2013.850644 Wahid, A. (1992). Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya dengan Kehidupan Beragama dan Berkepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa. In Pancasila Sebagai Ideologi: Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara (pp. 163–168). Jakarta: Perum Percetakan negara. Wahid, A. (2016). Paham Kebangsaan NU. In A. Sahal & M. Aziz (Eds.), Islam Nusantara: dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan (pp. 274–277). Bandung: PT Mizan Media Pustaka. Woodward, M., Yahya, M., Rohmaniyah, I., Coleman, D. M., Lundry, C., & Amin, A. (2014). The Islamic Defenders Front: Demonization, Violence and the State in Indonesia. Contemporary Islam, 8(2), 153–171. https://doi.org/10.1007/ s11562-013-0288-1 128 RESISTENSI MASYARAKAT MANADO TERHADAP ISLAMISME PASCA-AKSI BELA ISLAM Taufani Pendahuluan Momen politik elektoral merupakan suatu momen penting yang dapat menentukan kemana arah dan orientasi kebijakan suatu daerah akan dibawa. Di jaman reformasi yang merupakan antitesis Orde Baru, terjadi berbagai perubahan signifikan dalam tata kelola politik pemerintahan di Indonesia. Sistem pemerintahan yang dulunya tersentralisasi di pusat, kini menjadi tersebar ke daerah. Setiap daerah telah mendapatkan otonomi yang cukup besar untuk mengurus rumah tangganya masing-masing. Kue-kue kekuasaan yang dulunya dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah pusat, kini menjadi terbagi ke daerah. Kekuasaan di level daerah tidak lagi sepenuhnya ditentukan oleh pusat, melainkan ditentukan sendiri oleh kehendak warga yang ada di dalamnya. Perubahan penting lainnya di jaman reformasi adalah terbuka lebarnya kran demokrasi yang selama ini tertutup. Di jaman Orde Baru, dapat dikatakan bahwa aksi-aksi demonstrasi hampir tidak memiliki ruang karena para aktor yang terlibat di dalamnya akan “diamankan” oleh negara karena dianggap mengganggu stabilitas. Di jaman reformasi, kegiatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi sangat marak di seluruh daerah di Indonesia. Momen pilkada adalah momen yang sangat dinantikan oleh seluruh masyarakat khususnya bagi para elit politik yang memiliki hasrat 129 untuk menjadi penguasa lokal di daerahnya. Untuk memenangkan kontestasi politik lokal, maka strategi jitu untuk menarik hati massa menjadi sangat dibutuhkan, karena semakin besar massa yang dimiliki seseorang, maka semakin besar pula peluang mereka untuk menjadi penguasa di ranah lokal. Di Indonesia, salah satu momen pilkada yang paling bersejarah dan menguras banyak energi adalah Pilkada Jakarta tahun 2017. Sebelum dilaksanakannya Pilkada, dinamika politik yang terjadi di Jakarta diwarnai oleh berbagai aksi demonstrasi yang melibatkan massa dalam jumlah yang sangat besar. Turunnya massa tersebut disebabkan oleh adanya video pidato Gubernur Petahana Ahok di Pulau Seribu yang dianggap menistakan agama. Awalnya, pidato yang dilakukan Ahok dimaksudkan untuk mengingatkan kepada para warga agar tidak mudah ditipu oleh pihak-pihak yang kerap menggunakan QS. al-Maidah 51 untuk menjustifikasi haramnya non muslim menjadi pemimpin. Pidato Ahok ini pada intinya adalah sebuah kritik terhadap para politisi yang gemar menjual ayat-ayat kitab suci untuk kepentingan politik praktis sekaligus sebagai bentuk “curahan hati” Ahok yang kerap menjadi korban politisasi agama dalam posisinya sebagai politisi keturunan Tionghoa dan beragama Kristen. Video pidato Ahok itu kemudian bergulir menjadi masalah besar setelah pernyataannya dalam video dipotong oleh Buni Yani, sehingga menimbulkan tafsiran adanya penistaan Islam di dalam pidato tersebut. Potongan video itu kemudian menjadi viral di media sosial. Sejak itu, Ahok menjadi bulan-bulanan oleh para kelompok islamis yang selama ini tidak setuju dengan pengangkatannya sebagai Gubernur Jakarta menggantikan Jokowi. Gerakan protes terhadap Ahok menjadi semakin besar pasca keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa Ahok telah menistakan Islam. Fatwa MUI telah memantik lahirnya demo- jilid demi jilid- di Jakarta. Ada dua jilid demonstrasi yang sangat fenomenal di Jakarta, yakni Aksi Bela Islam 411 dan 212. Kedua Aksi Bela Islam tersebut berhasil mendatangkan berbagai umat Islam dari berbagai penjuru 130 tanah air. Para pendemo tersebut memenuhi sudut-sudut Monas. Pada Aksi Bela Islam 212, peserta aksi mengklaim bahwa mereka berhasil mendatangkan massa sebesar 7 juta. Semangat Aksi Bela Islam tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di berbagai daerah di Indonesia. Para simpatisan Aksi Bela Islam melakukan aksi yang serupa dengan di Jakarta untuk menuntut pemenjaraan Ahok karena dianggap telah menistakan Islam. Pasca Aksi Bela Islam 411 dan 212, para kubu anti Ahok tidak menurunkan tensi perlawanannya terhadap Ahok. Mereka tetap melakukan berbagai aksi perlawanan melalui pemasangan spanduk yang mengajak umat Islam untuk tidak mensalati para pendukung penista agama (jika mereka meninggal dunia nanti) di berbagai masjid di Jakarta. Mereka juga menyerukan kepada warga Jakarta untuk tidak memilih Ahok di Pilkada Jakarta baik melalui media sosial maupun melalui mimbar keagamaan. Aksi Bela Islam di Jakarta digawangi oleh berbagai aktor politik, seperti Fadli Zon (Politisi Partai Gerindra) dan Fahri Hamzah (Politisi Partai PKS). Aktor lain yang paling fenomenal adalah Pimpinan Front Pembela Islam, Habib Rizieq Shihab (HRS) beserta ormas yang dipimpinnya. HRS adalah salah satu tokoh terdepan yang sangat getol menuntut pemenjaraan Ahok. Dalam aksi yang berjilidjilid tersebut, HRS berhasil menjadi koordinator aksi yang dapat mengumpulkan massa dari berbagai kelompok islam termasuk di dalamnya adalah kelompok islamis, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Forum Umat Islam (FUI), dll. Dalam Aksi Bela Islam 411 dan 212, para kelompok islamis tidak hanya sekedar berteriak untuk memenjarakan Ahok, tetapi mereka memanfaatkan momentum tersebut untuk menggaungkan kembali pentingnya penegakan syariat Islam di Indonesia karena sistem pemerintahan dan juga rezim penguasa yang ada saat ini dianggap tidak berpihak kepada umat Islam. Mereka juga memberi sinyal akan menurunkan Jokowi bila tuntutan mereka tidak dipenuhi. Selama Aksi Bela Islam, nama HRS menjadi sangat dieluelukan. HRS kemudian diberi gelar sebagai imam besar umat Islam 131 Indonesia karena keberhasilannya mengumpulkan dan menyatukan berbagai ormas Islam dalam Aksi Bela Islam. Aksi Bela Islam yang terjadi di Jakarta sedikit banyaknya telah mempolarisasi masyarakat dalam dua kutub ekstrim (meskipun persoalannya tidak sesederhana itu), yakni kubu pro islamis dan kubu pro Kebinekaan. Ketika memanasnya Aksi Bela Islam di Jakarta, terdapat kesan bahwa orang yang membela Ahok adalah orang yang munafik dan diragukan komitmen keagamaannya (baca: keislamannya) karena telah mendukung dan membela penista agama. Sebaliknya mereka yang mendukung Aksi Bela Islam untuk memenjarakan Ahok dianggap tidak nasionalis dan tidak pro Kebinekaan karena telah mendukung aksi yang penuh dengan sandiwara politik dan sentimen Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA). Pasca terjadinya Aksi Bela Islam di Jakarta, resistensi terbuka terhadap para pendukung islamis yang ikut ambil bagian dalam Aksi Bela Islam berlangsung cukup kuat di berbagai daerah. Salah satu daerah yang memiliki resistensi yang cukup kuat itu adalah Kota Manado. Resistensi di kota tersebut dilakukan oleh sejumlah elemen masyarakat sipil yang berasal dari ormas adat, ormas Kristen, dan juga ormas Islam. Narasi yang banyak dimunculkan dalam aksi resistensi tersebut adalah narasi penolakan terhadap kelompok yang tidak nasionalis dan pro Kebinekaan. Tulisan ini hadir untuk mengelaborasi akar dan penyebab munculnya resistensi terhadap kelompok islamis di Kota Manado pasca Aksi Bela Islam di Jakarta. Kajian Teoritik Studi resistensi adalah bagian dari gerakan sosial yang dilakukan oleh kelompok subordinat untuk menentang dan menolak klaim-klaim kelompok superordinat. Tentang gerakan sosial, Tarrow memberikan definisi bahwa “movement is collective challenges by people with common purposes and solidarity in sustained 132 interaction with elites, opponents, and authorities.”181 Gerakan sosial mencakup perilaku kolektif, kumpulan orang dalam jumlah yang besar, massa, berorientasi pada nilai dan antisistemik dalam bentuk dan simbolisme.182 Resistensi terdiri atas dua kategori, yakni resistensi terbuka (public transcript) dan juga resistensi tertutup (hidden transcript)183. Resistensi terbuka bersifat (1) organik, sistematik dan kooperatif, (2) tidak mementingkan kepentingan diri sendiri (3) berkonsekuensi revolusioner, dan (4) mencakup gagasan dan tujuan untuk menghilangkan basis dominasi. Sedangkan, resistensi tertutup bersifat (1) tidak teratur, tidak sistematik, dan terjadi secara individual, (2) bersifat oportunistik dan mementingkan diri sendiri, (3) tidak memiliki konsekuensi revolusioner, (4) lebih akomodatif terhadap sistem dominasi.184 Awalnya teori resistensi James C. Scott ini digunakan untuk membahas dan menganalisis gerakan petani. Namun dalam tulisan ini, penulis meminjam teori tersebut untuk membahas dan menganalisis resistensi terbuka masyarakat Manado terhadap Islamisme karena keduanya memiliki kesamaan, yakni petani miskin mendapatkan hegemoni elit yang berkuasa dan petani kaya, sedangkan masyarakat Manado (yang terepresentasi dalam ormas adat, ormas Kristen, dan ormas Islam) menghadapi hegemoni kelompok islamis yang selalu mengklaim diri sebagai satu-satunya pemilik tafsir kebenaran dan juga sebagai representasi sah seluruh umat Islam selaku kelompok mayoritas di Indonesia. 181 Sidney Tarrow. Power in Movement: Social Movements, Collective Action and Politics. (Cambridge University Press, 1994), h. 3-4. 182 Gerald F. Kaus dan Chandran Kukathas, Handbook Teori Politik, terjemahan oleh Derta Sri Widowatie (cet.ii., Bandung: Nusa Media, 2013), h. 610-611. 183 James. C. Scott, Domination and the Art of Resistence: Hidden Transcripts, (London: Yale University Press New Haven and London, 1990), h. 1-5. 184 James C. Scott, Senjatanya Orang-orang Kalah, terjemahan A. Rahman Zainuddin, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), h. xxii-iv. 133 Karena tulisan ini membahas tentang resistensi terhadap islamisme, maka penting juga membahas tentang islamisme secara singkat. Bassam Tibi membedakan antara Islam dan islamisme. Islam adalah suatu sistem kepercayaan (faith) yang menuntun seorang muslim untuk hidup damai dan tidak membawa ancaman terhadap agama lain. Sebaliknya islamisme merujuk pada upaya agamaisasi (religionize) politik.185 Pendukung islamisme cenderung membuat garis yang tegas dengan non muslim. Mereka juga cenderung memposisikan non muslim sebagai musuh termasuk melakukan takfirisme terhadap non muslim. Pendukung islamisme menganggap bahwa kelompok mereka adalah satu-satunya kelompok yang paling absah berbicara tentang Islam dan siapapun yang bertentangan dengan pandangan mereka dianggap bukan bagian dari umat sebagaimana yang mereka lakukan terhadap kelompok muslim liberal.186 Islamisme adalah sebuah fenomena politik modern yang terjadi di seluruh dunia Islam termasuk di Indonesia. Fenomena islamisme tumbuh menguat di Indonesia pasca jatuhnya Orde Baru. Islamisme sesungguhnya bukanlah hal baru di Indonesia. Embrio gerakan islamisme ini telah ada sejak jaman Orde Lama dan Orde Baru, namun iklim politik yang otoriter tidak memungkinkan gerakan ini tumbuh subur. Memasuki era reformasi di mana iklim politiknya relatif lebih terbuka, para pendukung islamisme mendapatkan kesempatan politik yang lebih luas untuk mendiseminasi gagasan mereka. Islamisme memiliki karakteristik khas, pertama, para proponennya percaya bahwa Islam harus diimplementasikan secara literal dan tegas pada level negara sebagaimana yang tertulis dalam alQur’an dan Hadis. Islam dipercaya dapat menjadi solusi satu-satunya atas seluruh krisis yang menimpa umat Islam, karena Islam adalah agama yang lengkap, sempurna, dan cocok dengan segala waktu dan tempat. Kedua, para proponennya cenderung reaktif terhadap paham Islam yang dianggap telah menyimpang dari pemahaman tekstual 185 Bassam Tibi, Islamism and Islam, (Yale University Press, 2012), h.vii. 186 Bassam Tibi, Islamism and Islam, h.vii-viii. 134 yang mereka yakini.187 Islamisme di era pasca Orde Baru mengambil dua bentuk aksi, yakni pertama, melalui jalur struktural, seperti membentuk partai politik dan ikut mengambil bagian dalam kompetisi elektoral guna memperoleh kekuasaan di dalam pemerintahan. Pasca Orde Baru, dinamika politik diwarnai dengan munculnya berbagai partai Islam yang berorientasi islamis, seperti Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tujuan dari partai ini adalah memperjuangkan kembali masuknya Piagam Jakarta dalam UUD 1945 dan juga memperjuangkan penerapan syariat Islam dalam seluruh level negara. Di level daerah, partai islamis telah berjuang melahirkan berbagai rancangan undang-undang yang berbasis syariat. Kedua, melalui jalur non politik (aktivisme sosial-kultural). Kelompok yang masuk dalam kategori ini cenderung tidak ingin masuk ambil bagian dalam jalur politik elektoral karena mereka meyakini bahwa sistem politik yang ada saat ini adalah sistem yang korup. Mengambil bagian dalam sistem yang korup sama saja dengan mereka menyetujui segala penyimpangan dan kerusakan moral yang ada di dalamnya. Kelompok dalam kategori ini juga cenderung mengedepankan pendekatan yang radikal dan non-kompromistis dalam upaya menegakkan syariat di masyarakat. Contoh dari kategori ini adalah gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), dll.188 Walaupun terjadi perbedaan pada ranah metode di antara para kelompok islamis, tetapi pada dasarnya mereka memiliki kesamaan, yakni sama-sama menjadikan Islam sebagai spirit gerakan. Para kelompok islamis meyakini aksi mereka sebagai sesuatu yang islami karena dilandasi oleh ajaran Islam. Di tingkat praksis, para kelompok islamis kerap saling berkoalisi untuk memperjuangkan syariat Islam di level negara, karena pada hakikatnya, gerakan mereka adalah 187 Masdar Hilmy, Islamism and Democracy in Indonesia: Piety and Pragmatism, (Singapore: ISEAS, 2010), h. 100-101. 188 Masdar Hilmy, Islamism and Democracy in Indonesia: Piety and Pragmatism, h. 102. 135 gerakan politik yang menggunakan agama sebagai basis ideologi dan perjuangan. Sekilas tentang Manado Manado adalah ibukota propinsi Sulawesi Utara. Manado terletak di ujung jazirah utara pulau Sulawesi. Manado adalah daerah yang sangat heterogen dari segi komposisi penduduk. Terdapat beberapa suku bangsa yang mendiami Kota Manado, yakni suku Minahasa, Sangir, Mongondow, Talaud, Borgo, Siau, Makassar, Jawa, Aceh, Gorontalo, Batak, Banjar, Minangkabau, Batak, Arab, dan Cina. Di Sulawesi Utara sendiri, terdapat tiga suku besar yang menjadi penduduk asli, yakni Minahasa, Mongondow, dan Sangihe. Mayoritas penduduk Manado berasal dari suku Minahasa. Suku Minahasa (mayoritas Kristen) menguasai hampir seluruh sektor khususnya politik dan birokrasi pemerintahan. Para gubernur, walikota, dan kepala dinas umumnya berasal dari suku Minahasa. Persentase pemeluk agama berdasakan sensus 2011 adalah Kristen (290.665 jiwa), Islam (175.569 jiwa), Katolik (30.275 jiwa), Buddha (6.436 jiwa), Hindu (2.592 jiwa), dan Konghucu (600 jiwa). Relasi antar agama khususnya Islam dan Kristen cenderung cair di Manado. Momen Idul Fitri, Lebaran Ketupat, Natal, Malam Tahun Baru telah menjadi momen bersama untuk saling silaturahmi. Setiap perayaan Natal dan Idul Fitri, para kelompok pemuda Islam dan Kristen sering saling bergantian menjaga keamanan rumah ibadah. Tradisi mapalus (kerjasama dan saling membantu) telah menjadi suatu hal yang inheren dalam kehidupan sehari-hari warga Manado. Akan tetapi, terdapat juga beberapa benturan antara penganut agama Islam dan Kristen, semisal pada tahun 2014, terjadi pelarangan mengumandangkan adzan dengan pengeras suara di Masjid Dendengan Dalam oleh seorang warga yang beragama Kristen.189 189 Baca Arthur Gerung, Studi tentang Sosial Habitus Pierre Bourdieu dalam Relasi Umat Kristen dan Islam di Manado, Paper dipresentasikan pada International Seminar on Contemporary Issue in Islam (ISCII), Hotel 136 Di tahun yang sama, terjadi juga pelarangan penggunaan Lapangan Sparta Tikala sebagai tempat pelaksaan salat Idul Fitri secara sepihak oleh Pemerintah Kota Manado. Pelarangan ini berbuah protes dari umat Islam di Manado. Mereka mempertanyakan alasan pelarangan penggunaan lapangan karena sebelumnya lapangan itu sudah sering digunakan untuk Salat Idul Fitri. Di tahun 2016, juga terjadi penolakan Masjid di Eks Kampung Texas Manado oleh Aliansi Masyakarakat Kawanua Pencinta Toleransi (Makapetor) dan beberapa elemen kelompok adat. Para pendemo tidak menyetujui proyek perluasan masjid karena dianggap telah mengambil lahan yang diproyeksikan akan dibangun Graha Religi oleh Pemkot Manado.190 Untungnya, segala benturan antar agama di Manado tidak meluas karena pihak pemerintah daerah dan juga tokoh lintas agama cukup aktif membangun dialog. Masyarakat Manado adalah masyarakat yang terbuka dan ramah. Berbagai kelompok keagamaan yang rentan mendapatkan kekerasan di berbagai daerah, seperti Syiah, Ahmadiyah, dan Yahudi, dapat hidup dengan aman dan nyaman di kota ini. Di Manado, hampir sebagian warganya memiliki sanak saudara yang berbeda agama, tetapi perbedaan tersebut tidak merenggangkan hubungan di antara mereka. Di Manado, setiap memasuki hari raya besar keagamaan, ucapan selamat hari raya dapat kita jumpai dimanamana. Di bebeberapa gereja, kita akan mudah menjumpai spanduk ucapan Selamat Natal yang dibuat oleh berbagai ormas Islam. Warga muslim Manado umumnya tidak mau lagi terjebak dalam fatwa haram mengucapkan Selamat Natal. Beberapa dari mereka bahkan sering ketus merespon fatwa teresebut dengan pernyataan “ruparupa jo, masa helle baku selamat kong so nimbole! [Macam-macam saja, mengapa untuk memberi selamat sudah tidak bisa!]”191 sintesa Peninsula Manado tanggal 8 Agustus 2018, h. 5 190 Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan 2016, Komnas HAM, h. 48-49. 191 Nono. S. A. Sumampouw, Menjadi Manado: Torang Samua Basudara, Sabla Aer, dan Pembentukan Identitas Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press), h. 57. 137 Pemukiman di Manado tidak lagi tersegrasi berdasarkan etnis dan agama. Memang terdapat berbagai kampung yang namanya berdasarkan etnis dan agama, seperti Kampung Ternate, Kampung Arab, Kampung China, Kampung Bugis, dan Kampung Islam, tetapi orang yang berasal dari luar identitas tersebut dapat dengan bebas tinggal di kampung-kampung itu. Semakin hari semakin banyak pendatang masuk ke Manado untuk berdagang, mencari pekerjaan, dan juga untuk melanjutkan pendidikan. Masyarakat Manado relatif sangat terbuka dengan keberadaan para pendatang tersebut selama mereka tidak membuat kekacauan di Manado. Resistensi Terbuka terhadap Islamis Para aktor islamis yg terlibat dalam Aksi Bela Islam yang terjadi di Jakarta mendapatkan resistensi terbuka di Kota Manado dari berbagai elemen masyarakat. Berikut adalah bentuk resistensinya: 1. Penolakan terhadap Fahri Hamzah Fahri Hamzah dikenal sebagai Wakil Ketua DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ketika terjadi Aksi Bela Islam 411 di Jakarta, ia menjadi aktor lapangan yang sangat getol menuntut pemenjaraan Ahok karena dianggap telah menistakan Islam. Dalam orasinya, Fahri memberi sinyal akan menurunkan Jokowi sebagai presiden bila ia mengintervensi kasus Ahok. Kala itu muncul anggapan bahwa Jokowi akan melindungi Ahok, karena Ahok didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang juga merupakan partai pengusung Jokowi menjadi presiden. Di samping itu, Ahok dianggap sebagai sahabat dekat Jokowi karena keduanya pernah berpasangan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta sebelum Jokowi terpilih menjadi Presiden. Sebelum Fahri datang ke Manado, kabar kedatangannya telah tercium dan menjadi perbincangan hangat di media sosial. Berbagai ormas telah menyusun rencana untuk melakukan aksi demontrasi menolak kedatangan Fahri di Manado pada tanggal 13 138 Mei 2017. Fahri diketahui akan datang ke Manado untuk menghadiri undangan sekaligus menjadi pembicara dalam acara diskusi yang diselenggarakan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang bertema “Kepemimpinan dan Korupsi” di Kantor Gubernur Sulut. Akhirnya, waktu yang ditunggu datang juga. Pada tanggal 13 Mei 2017, sejak pagi para demonstran telah berkumpul memadati Bandara Sam Ratulangi untuk menolak kedatangan politisi PKS tersebut. Demonstran tersebut terdiri dari ormas adat, ormas Kristen, dan juga beberapa aktivis di Sulut. Para demonstran membawa spanduk yang bertuliskan “usir Fahri dari Sulut”, “usir mulut bau Fahri dari tanah Minahasa”, “Fahri Hamzah jangan injakkan kaki di Sulut”, “Rizieq, Fahri Hamzah, dan Fadli Zon adalah musuh nasionalis.” Banyak demonstran yang mengambil bagian dalam aksi tersebut mengenakan baju Tari Kabasaran lengkap dengan atribut utamanya berupa parang panjang. Para demonstran melakukan orasi sambil menuntut agar petugas bandara mengizinkan mereka masuk ke ruang VVIP untuk menemui dan mengusir langsung Fahri dari Manado. Karena jumlahnya yang sangat banyak, petugas bandara akhirnya kewalahan menahan laju para demonstran. Para demonstran akhirnya berhasil masuk dan menduduki areal parkir pesawat. Di dalam bandara, para demonstran berpencar mencari batang hidung Fahri, namun yang mereka berhasil jumpai hanyalah Gubernur Sulut Olly Dondokambey. Gubernur mencoba menenangkan para demonstran, namun seruan Gubernur dihiraukan. Kecewa dengan ketiadaan Fahri di bandara, massa demonstran bergerak menuju Kantor Gubernur, tempat diadakannya diskusi KAMMI yang dihadiri oleh Fahri. Setibanya di lokasi, ratusan massa kemudian berorasi menolak kedatangan Fahri di depan pintu gerbang Kantor Gubernur. Polisi berusaha menahan desakan massa di pintu gerbang Kantor Gubernur sampai acara selesai. Fahri akhirnya dapat lolos dari kepungan massa setelah ia dan rombongan melewati pintu belakang Kantor Gubernur dengan kawalan Polisi. Penolakan terhadap Fahri oleh para demonstran terjadi karena 139 Fahri dianggap kerap melontarkan pernyataan yang provokatif dalam setiap orasi yang ia sampaikan. Fahri juga dianggap sangat dekat dengan kelompok radikal seperti FPI dan HTI. Menurut versi Fahri, penolakannya di Manado disebabkan oleh adanya tuduhan dari sekelompok masyarakat bahwa ia adalah pengurus FPI.192 Para demonstran tidak ingin Fahri menyebarkan virus-virus intoleransi dan kebencian di Manado karena masyarakat Manado selama ini telah hidup rukun dan harmonis, karena itu penolakan terhadap kedatangan Fahri di Manado adalah sebuah langkah yang sudah tepat. Penolakan keras terhadap kedatangan Fahri juga disebabkan adanya informasi yang beredar bahwa kunjungan Fahri ke Manado akan didampingi langsung oleh Sekretaris Jenderal FPI, Habib Novel Bamukmin, dalam rangka melantik para pengurus FPI di Bitung. Belakangan, tuduhan ikutnya Sekjen FPI dalam rombongan Fahri ternyata tidak terbukti. Penulis menduga bahwa isu kedatangan Fahri untuk melantik FPI sengaja dihembuskan oleh aktor tertentu untuk memudahkan proses mobilisasi massa dalam aksi demonstrasi. Ormas adat Minahasa umumnya menganggap FPI sebagai musuh bersama karena ormas ini dianggap kerap melakukan tindakan diskriminatif dan intoleran terhadap kelompok minoritas Kristen di berbagai daerah di Indonesia. Meskipun membawa nama adat, namun penolakan terhadap FPI tidak dapat dilepaskan dari isu agama karena ormas adat umumnya meyakini bahwa identitas keminahasaan tidak dapat dipisahkan dari identitas kekristenan. Fakta lain juga menunjukkan bahwa beberapa anggota yang tergabung di dalam ormas adat dikenal memiliki pandangan keagamaan yang cenderung radikal, sehingga mereka berpandangan bahwa setiap pihak yang mengancam keberadaan agama mereka, maka harus dilawan secara terbuka dan frontal. Penjelasan tentang FPI akan dibahas lebih jauh di sub bab berikutnya. 192 https://m.detik.com/news/berita/d-3501028/cerita-fahri-hamzah-soal-aksipenolakan-di-manado diakses pada tanggal 22 Agustus 2018 140 Meskipun massa demonstran menolak kedatangan Fahri di Manado, namun ada fakta menarik dalam aksi penolakan Fahri di bandara, yakni terdapat spanduk yang bertuliskan “Muhammadiyah keluarga kami”, “Kami tidak anti Islam, NU teman kami.” Hal ini dapat dibaca bahwa warga Manado menaruh simpati pada keberadaan kelompok NU dan Muhammadiyah di Manado, sebaliknya mereka menolak kelompok Islam yang berorientasi Islamis, seperti FPI dan HTI. Sebelum menguatnya fenomena islamisme di Indonesia, umat Islam di Manado yang terepresentasi dalam ormas Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah cenderung memiliki hubungan yang relatif baik dengan penganut Kristen. Penerimaan terhadap NU dan Muhammadiyah disebabkan karena kedua ormas itu memiliki paham keislaman yang moderat dan juga memiliki komitmen final terhadap Pancasila. Masyarakat Manado Kristen memiliki kesan yang cukup spesial terhadap ormas NU karena pertama, para tokoh-tokoh penting NU di Manado dikenal moderat dan aktif terlibat dalam dialog lintas agama. Salah tokoh penting NU di Manado yang intens membangun dialog lintas agama adalah Benni Ramdhani. Benni saat ini merupakan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia. Sebelum menjadi anggota DPD, Benni sangat intens membangun dialog lintas agama dalam kapasitasnya sebagai Ketua GP. Ansor Sulut. Benni juga kerap tampil di depan publik untuk membincangkan isu keislaman dan kebangsaan. Masyarakat Manado Kristen sampai saat ini sangat respek dengan sosok Benni karena pandangan keagamaannya yang terbuka dan moderat. Kedua, sayap ormas NU seperti Ansor dan Banser kerap mengambil bagian dalam pengamanan dan penjagaan gereja di setiap momen Natal. Masyarakat Manado Kristen juga menyimpan kesan mendalam terhadap sosok Riyanto, seorang anggota Banser yang menjadi korban pengeboman gereja pada malam Natal di tahun 2000. Ketiga, faktor Gusdur. Di mata masyarakat Manado Kristen, Gusdur adalah pahlawan. Kecintaan masyarakat Manado terhadap Gusdur disebabkan oleh komitmen dan pembelaan Gusdur terhadap minoritas. Masyarakat Manado Kristen juga menganggap bahwa Gusdur adalah representasi muslim yang baik dan saleh. 141 Nama Gusdur selalu terkenang di hati orang Manado khususnya di kalangan etnis Minahasa. Di era pemerintahan Gusdur, orang Minahasa hidup sejahtera secara finansial akibat harga cengkeh yang melambung naik. Ada cerita yang umum kita dengar di masyarakat bahwa “di jaman Gusdur orang cuci tangan dan cuci muka muka tidak pakai air putih, tetapi pakai bir.” Arthur Gerung, seorang dosen dari Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) pernah bercerita dalam suatu kesempatan kepada penulis, bahwa apabila kaum muslim ingin membangun masjid tanpa hambatan di Manado, maka gunakanlah nama Masjid NU. Bagi masyarakat Manado Kristen, NU adalah Gusdur. Pada tanggal 15 Mei 2017 tepatnya dua hari pasca demo Fahri, beberapa ormas adat dan Kristen kembali melakukan demonstrasi di depan Kantor Gubernur Sulut. Mereka mengancam akan melakukan referendum Minahasa Merdeka bila negara tunduk pada kelompok islamis. Wacana Minahasa Merdeka jangan dibaca sebagai aksi makar karena problem di dalamnya cukup kompleks. Wacana Minahasa merdeka bukanlah hal baru dalam sejarah Sulawesi Utara. Hal itu sebelumnya pernah terjadi, yakni pada tanggal 5 Agustus tahun 2000. Para tokoh masyarakat dan pejabat lokal kala itu berkumpul di Tomohon untuk mengadakan Forum Kongres Minahasa Raya. Kegiatan ini muncul sebagai respon terhadap menguatnya kembali isu pemberlakuan Piagam Jakarta di awal jaman reformasi. Selama ini, orang Minahasa merasa sebagai minoritas baik dari segi etnis maupun agama, sehingga adanya wacana pemberlakuan Piagam Jakarta dianggap sebagai bentuk peminggiran terhadap mereka.193 Forum Kongres Minahasa Raya di Tomohon kala itu mengeluarkan ultimatum bahwa tanah Minahasa akan merdeka apabila Piagam Jakarta direalisasikan kembali dalam amandemen UUD 1945. Enam tahun kemudian tepatnya tanggal 25 September 2006, wacana Minahasa Merdeka kembali digaungkan oleh Dolfie Maringka dan Revly O.A. Pesak setelah Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu (yang kebetulan beragama Kristen) dieksekusi karena 193 Muhammad Irfan Syuhudi, “Geliat Politik Identitas di Kota Manado,” dalam Harmoni, Mei-Agustus 2016, h. 61. 142 keterlibatanya pada konflik Poso. Satu hal yang menarik dari setiap aksi tuntutan Minahasa Merdeka adalah para inisiatornya tidak pernah melepaskan semangat gerakannya dari Pancasila. Mengapa Pancasila begitu berarti di mata orang Minahasa? Orang Minahasa menganggap bahwa Pancasila adalah hasil kesepakatan para pendiri bangsa yang datang dari berbagai latar belakang guna mencegah agar Indonesia tidak terpecah. Pengingkaran terhadap Pancasila adalah sebuah dosa sejarah karena ia dapat menjadi titik temu atas segala perbedaan yang ada di Indonesia. Tren wacana Minahasa Merdeka biasanya mencuat ke permukaan tatkala tuntutan penegakan syariat Islam sebagai dasar negara menjadi menguat kembali di tingkat pusat, sebagaimana yang terjadi di Kongres Minahasa Raya pada tahun 2000. Selain itu, wacana juga ini menguat ketika terjadi kesewenangan-wenangan terhadap kaum Kristen seperti yang terjadi dalam kasus eksekusi Tibo CS pada tahun 2006. Aksi Referendum Minahasa Merdeka yang terjadi pasca penolakan Fahri di Manado dapat dibaca sebagai bentuk penolakan orang Minahasa terhadap kesewenangan-wenangan Fahri dan FPI terhadap Ahok (yang kebetulan beragama Kristen) yang di dalamnya sangat kental dengan muatan politik. Penolakan ini juga dapat dibaca sebagai bentuk akumulasi dari ketidaksenangan orang Minahasa terhadap aksi vigilantisme FPI. Logika yang dipakai oleh para inisiator wacana referendum Minahasa Merdeka adalah kurang lebih bahwa bila negara lebih tunduk pada kelompok yang anti Kebinekaan, maka lebih baik kita merdeka. Peps Kembuan, pimpinan dari organisasi Benteng Kristen Nusantara, yang ikut ambil bagian dalam aksi menuntut referendum Minahasa Merdeka menuturkan: Kami sudah lelah melakukan demonstrasi berkali-kali menuntut pembubaran FPI, tetapi pemerintah sepertinya hanya diam. Karena itu, agar kami mendapatkan perhatian dari pemerintah, maka kami lebih baik meneriakkan wacana referendum Minahasa Merdeka agar pemerintah mendengar aspirasi kami. Kami tak punya keinginan untuk keluar dari Indonesia. Kalau mau, sejak dulu tepatnya di peristiwa Permesta, kami 143 sudah memerdekakan diri, tapi faktanya kami tidak melakukan itu.194 2. Penolakan FPI dan Unsur-unsur yang Terkait di dalamnya Nama FPI menjadi sangat dielu-elukan di Indonesia pasca terjadinya Aksi Bela Islam 411 dan 212. Hal ini tak dipisahkan dari keberhasilan Habib Rizieq Shihab (HRS) mengumpulkan tujuh juta umat Islam dari berbagai ormas guna menuntut pemenjaraan Ahok. FPI adalah ormas yang didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1998 oleh beberapa tokoh, seperti K.H. Cecep Bustomi, Habib Idrus, Habib Rizieq Shihab, dan K.H. Misbahul Anam. Latar belakang berdirinya FPI dikaitkan dengan kondisi sosial politik di Indonesia yang tidak menguntungkan umat Islam. Secara teologis, pemahaman keislaman FPI menganut paham Ahlusunnah Wal Jamaah namun agak berbeda dengan garis Salafi karena FPI banyak berpedoman pada Al-Qur’an, Hadis, Ijma, dan Qiyas yang merupakan pandangan populer di kalangan Nahdliyin.195 Tujuan utama pendirian FPI adalah menegakkan syariat Islam dalam konstitusi negara. Itulah sebabnya, HRS dalam berbagai kesempatan selalu memompa semangat para pengikutnya untuk memperjuangkan kembali pemberlakuan Piagam Jakarta dalam konstitusi negara. FPI selama ini dikenal sebagai ormas Islam yang paling kontroversial di Indonesia. Tuduhan ini muncul karena FPI kerap melakukan aksi vigilantisme dalam menegakkan amar maruf nahi mungkar versi mereka, seperti melakukan sweeping di bulan Ramadhan, melarang pembangunan rumah ibadah agama lain, merusak fasilitas di berbagai tempat hiburan, melakukan praktik kekerasan terhadap kelompok yang dianggap sesat, dan lain-lain. 194 Wawancara dengan Ketua Benteng Kristen Nusantara, Peps Kembuan pada tanggal 18 Agustus 2018 di Manado. 195 Ahmad Syafi’i Mufid, ”Faham Islam Transnasional dan Proses Demokratisasi di Indonesia”, dalam Harmoni: Jurnal Multikultural & Multireligius, Volume VIII, Nomor 30, April-Juni 2009, h. 20. 144 Penolakan terhadap FPI di berbagai daerah relatif cukup tinggi termasuk di Kota Manado. Pasca Aksi Bela Islam 411 tepatnya tanggal 17 November 2016, ribuan warga Sulawesi Utara yang terhimpun dalam sejumlah ormas, melakukan Aksi Bela negara Kesatuan Republik Indonesia guna menuntut pembubaran FPI.196 Mereka juga menuntut agar pimpinan FPI Habib Rizieq Shihab segera diadili karena ia banyak menyebar kebencian dan permusuhan yang dapat memecah belah persatuan. Kegiatan ini merupakan bentuk penegasan bahwa warga Sulawesi Utara pada umumnya dan Manado pada khususnya mencintai NKRI. Mereka tidak menginginkan NKRI terpecah belah karena kehadiran kelompok islamis yang memiliki pandangan radikal dan intoleran seperti FPI. Dalam aksi tersebut, para demonstran juga menuntut agar Ahmad Dhani segera dijebloskan ke penjara akibat orasinya yang sangat kasar dan provokatif di Aksi Bela Islam 411. Pasca aksi 411, banyak masyarakat Manado menjadi kurang simpatik terhadap Dhani. Ketidaksukaan terhadap Dhani disebabkan oleh kedekatannya dengan pentolan FPI, Habib Rizieq Shihab. Penolakan terhadap Ahmad Dhani kemudian berimbas pada munculnya aksi pemboikotan konser Al-Ghazali (putra sulung Dhani) di Manado pada tanggal 19 November 2016 oleh sejumlah ormas adat di Manado.197 Penolakan tersebut akhirnya membuat pihak manajemen Cloud9 Manado selaku pihak penyelenggara membatalkan konser Al-Ghazali. Penolakan terhadap FPI kembali terjadi pada tanggal 21 Februari 2017 oleh Forum Komunitas Antar LSM dan sejumlah Ormas Adat di Sulawesi Utara seperti Brigade Waraney dan Brigade Manguni Indonesia.198 Para demonstran yang berjumlah sekitar tiga ribuan massa melakukan demo besar-besaran di Kantor 196 https://nasional.tempo.co/amp/821110/massa-gelar-aksi-bela-nkri-dimanado-tuntut-fpi-dibubarkan diakses tanggal 19 Agustus 2018. 197 https://m.bintang.com/amp/2658528/kasus-ahmad-dhani-konser-al-ghazaliditolak-di-manado?espv=1 diakses pada tanggal 19 Agustus 2018 198 https://beritamanado.com/demo-ribuan-ormas-adat-minahasa-desakpemerintah-bubarkan-fpi/ diakses pada tanggal 19 Agustus 2018 145 Gubernur Sulut untuk menuntut pembubaran FPI karena dianggap telah merusak tatanan Kebinekaan di Indonesia. Para demonstran memulai aksinya dari Lapangan KONI Sulut kemudian ke kantor DPRD Sulut dan berakhir di Kantor Gubernur. Penolakan terhadap keberadaan FPI bukanlah hal baru di Sulawesi Utara. Di tahun 2009. Sejumlah ormas adat, beberapa diantaranya Milisi Waraney, Brigade Manguni, Permesta, Pakasaan, Waraney Esa, Manguni Esa, dan Suara Bahari pernah berdemo di kantor Pemerintah Kota Bitung. Mereka menuntut agar Pemerintah Bitung bertindak tegas melarang keberadaan FPI di Kota Bitung.199 Para ormas adat melakukan demonstrasi karena mereka mendengar informasi bahwa FPI ingin membuka cabang di Bitung. Pada tahun 2013, aksi penolakan terhadap FPI kembali terjadi di Bitung. Penolakan ini dilakukan oleh ormas adat dan juga ormas Islam. Penolakan ini disebabkan oleh adanya aksi provokasi dari anggota FPI terhadap warga untuk tidak memilih kepala daerah non-muslim di Pilkada melalui pembagian selebaran di jalan-jalan raya.200 Para ormas adat menolak kehadiran FPI karena dianggap sebagai dalang kekacauan di berbagai daerah di Indonesia. Mereka tidak ingin FPI membuat kekacauan di kota-kota yang ada di Sulawesi Utara. Kemunculan ormas adat Minahasa di era pasca Orde Baru dilatarbelakangi oleh adanya respon terhadap konflik yang terjadi di Poso dan Maluku. Secara geografis, Manado diapit langsung oleh segitiga konflik yakni Poso di sebelah Selatan; Ketapang, Sambas, dan Sampit di sebelah Barat; dan Maluku dan Maluku Utara di sebelah Timur. Posisi geografis ini membuat Manado cukup rentan terhadap konflik.201 Di saat yang sama, terjadi kekhawatiran 199 https://beritamanado.com/masyarakat-tolak-fpi/ diakses pada tanggal 19 Agustus 2018. 200 Muhammad Irfan Syuhudi, “Geliat Politik Identitas di Kota Manado,” dalam Harmoni, Mei-Agustus 2016, h. 64. 201 Rahman Mantu, “Pesantren PKP Kombos: Aktivitas Pesantren di Tengah Mayoritas Masyarakat Kristen,” dalam Muhammad Murtadlo, dkk. Pesantren dan Reproduksi Ulama. (Jakarta: Pustaka Cendekia Muda, 2015), h. 40-41. 146 yang cukup tinggi pada masyarakat Manado dengan adanya isu penyusupan dan penyerangan laskar muslim di daerah Manado dan sekitarnya. Masyarakat khawatir penyusupan ini akan menyebabkan pecahnya konflik dan kerusuhan besar di Manado.202 Dalam konteks itulah, pada tahun 2000-an, beberapa pemuda Minahasa akhirnya menggagas pendirian ormas adat untuk melindungi tanah Minahasa dari berbagai ancaman kerusuhan. Ormas ini kemudian dikenal dengan nama Brigade Manguni (BM). Nama Brigade Manguni mengingatkan orang Minahasa pada nama salah satu pasukan Permesta.203 Jejak-jejak ingatan atas keberanian orang Minahasa pada peristiwa Permesta (tahun 1957-1961) telah memberi banyak inspirasi dan juga menanamkan semangat militansi kepada orang Minahasa dalam melakukan suatu perlawanan. Ormas BM kemudian hari terpecah menjadi berbagai organisasi adat lainnya dan beberapa diantaranya memadukan simbol adat dan kekristenan karena adanya keyakinan bahwa identitas keminahasaan tidak dapat dipisahkan dari identitas kekristenan. Ormas-ormas yang bermunculan di Manado di era pasca Orde Baru umumnya menggunakan identitas adat (baca: budaya) Minahasa ketimbang identitas agama (Kristen) karena identitas adat lebih dapat mengakomodir seluruh kelompok yang ada di Manado ketimbang menggunakan isu agama. Identitas Minahasa sendiri dapat merujuk pada siapapun yang mendiami tanah Minahasa dan memiliki kecintaan dan komitmen untuk menjaga dan melindungi 202 Fadjar Ibnu Thufail, “Ketika “Perdamaian” Terwujud di Bukit Kasih: Pencegahan Konflik, Lembaga Gereja, dan Politik Adat di Minahasa,” dalam Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan Pada Masa Pasca-Orde Baru, Martin Ramstedt dan Fajar Ibnu Thufail (ed), (Jakarta: Grasindo– Pusat Penelitian Sumber Daya Regional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia– Max Planck Institute for Social Anthropology, 2011), h.149. 203 Denni H.R. Pinontoan, “Pilkada Jakarta dan Ormas Adat dalam Politik Lokal Minahasa,” dalam https://crcs.ugm.ac.id/id/berita-utama/10941/ pilkada-jakarta-dan-ormas-adat-dalam-politik-lokal-minahasa.html diakses pada tanggal 10 September 2018. 147 tanah Minahasa dari berbagai gangguan yang datang dari luar.204 BM sendiri sebagai ormas adat pertama, memiliki penasehat dari kalangan muslim, yakni K.H. Arifin Assegaf. Orang Minahasa selaku mayoritas umumnya tidak menolak keberadaan Islam di Manado karena mereka telah lama hidup berdampingan dengan kaum muslim. Secara historis, Para pengikut Kiai Modjo yang merupakan kaum buangan di tanah Minahasa pada abad ke-19, telah melakukan praktik kawin-mawin dengan para perempuan Minahasa dan sampai sekarang keturunan mereka masih dapat dijumpai di tanah Minahasa.205 Fakta ini menunjukkan bahwa orang Minahasa sejak lama telah berinteraksi dengan kaum muslim. Penolakan ormas adat terhadap FPI bukanlah karena faktor Islam sebagai agama, melainkan karena sikap dan pandangan keislaman FPI yang radikal dan intoleran. Alasan lainnya adalah FPI dianggap membawa budaya arabisme yang sangat bertentangan dengan nilai keminahasaan dan keindonesiaan. Alasan lain yang juga tak kalah pentingnya adalah kegetolan FPI memperjuangkan penegakan syariat Islam melalui konsep NKRI Bersyariah untuk menggantikan isi Pancasila yang telah mapan. Di mata ormas adat Minahasa, Pancasila yang ada saat ini adalah hasil kesepakatan para pendiri bangsa yang harus senantiasa dijaga, dihargai, dan dijunjung tinggi karena ia dapat menjadi titik temu atas segala perbedaan yang ada di Indonesia. Para pegiat ormas adat memiliki sense of belonging yang tinggi terhadap Pancasila dan hal itu selalu mereka tegaskan dalam setiap aksinya. Penolakan terhadap FPI dan unsur-unsur yang terkait di dalamnya tidak hanya datang dari ormas adat, melainkan juga datang dari ormas Islam, seperti Gerakan Pemuda (GP) Ansor Manado. Pasca Aksi Bela Islam 411 dan 212, nama HRS sangat dielu-elukan oleh para kelompok Islamis karena ia dianggap sangat heroik 204 Wawancara dengan Rikson Karundeng (Budayawan Minahasa) pada tanggal 28 Agustus 2018 di Manado. 205 Roger. A. C. Kembuan, Jawa Tondano: Sejarah dan Tokoh-tokoh yang Diasingkan Abad XIX, (Manado: PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk. Kantor Wilayah Manado, 2016), h. 106-109. 148 membela supremasi Islam dari penodaan yang dilakukan oleh Ahok di Pulau Seribu. Aksi-aksi heroik yang ditunjukkan HRS dalam Aksi Bela Islam berhasil menjadikan HRS sebagai ikon baru yang mampu menyatukan berbagai elemen umat Islam. Karena itu, muncul desakan dari berbagai pihak agar HRS dilantik menjadi Imam besar umat Islam Indonesia. Pada tanggal 9 Januari 2018, HRS akhirnya dilantik menjadi imam besar umat Islam Indonesia di Pesantren AlFutuhiyah, Kampung Banjar Pahingeun, Lebak, Banten. Peristiwa ini mendapat pemberitaan yang luas di seluruh media tanah air. Menyikapi pelantikan HRS tersebut, pada hari Selasa tanggal 10 Januari, Ketua GP. Ansor Manado Rusli Abenk Umar mewakili organisasi yang ia pimpin, dengan tegas menyatakan penolakannya atas pengangkatan HRS sebagai imam besar umat Islam Indonesia. “Kami merasa tidak perlu ada imam besar di republik ini. Silakan kalau merasa imam besar pada kelompoknya, itu haknya, tetapi kalau mengklaim bahwa menjadi imam besar umat Islam, kami sama sekali tidak mengakuinya,”206 demikian pernyataan Rusli. Rusli yang juga merupakan aktivis lintas iman di Kota Manado menolak pengangkatan HRS sebagai imam besar karena ia menganggap bahwa konsep imam besar yang menaungi seluruh umat Islam tidak dikenal dalam mazhab Sunni yang dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia. Dalam Sunni yang ada hanyalah imam masjid dan juga empat imam mazhab. Syarat menjadi imam mazhab sendiri syaratnya sangat berat. Konsep imam besar hanya dikenal dalam ajaran Syiah, itupun syaratnya juga sangat berat karena imam besar itu harus maksum dan sikapnya cenderung sangat sufistik. Tentu FPI tak mau dicap sebagai Syiah.207 Tambah Rusli, karakter lokalitas orang Manado adalah bersikap terbuka dan mau menerima perbedaan. Sikap HRS sangat bertentangan dengan itu, sehingga HRS lebih cocok 206 Wawancara dengan Ketua GP. Ansor Manado Rusli Abenk Umar pada tanggal 25 Agustus 2018 di Manado. 207 Wawancara dengan Ketua GP. Ansor Manado Rusli Abenk Umar pada tanggal 25 Agustus 2018 di Manado. 149 menjadi imam besar bagi kelompoknya saja.208 3. Penolakan terhadap HTI dan Unsur-unsur yang Terkait di dalamnya Aksi Bela Islam 411 dan 212 menjadi panggung bagi HTI untuk meneriakkan gagasan khilafah sekaligus menuntut pemerintah untuk menegakkan khilafah karena sistem demokrasi dianggap telah gagal menyejahterakan Indonesia dan juga gagal melindungi Islam dari tindakan penistaan sebagaimana yang dilakukan Ahok. HTI yang merupakan cabang Hizbut Tahrir (HT) adalah sebuah organisasi Islam transnasional yang awalnya didirikan di Yerusalem pada tahun 1953 oleh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang mantan aktivis Ikhwanul Muslimin. Organisasi ini berpusat di Yerusalem dan Yordania. Organisasi ini mengusung ide pan-islamisme yang bercita-cita mengembalikan kejayaan Islam di masa lalu melalui konsep khilafah islamiyah di seluruh penjuru dunia. HT merupakan gerakan politik di mana Islam menjasi mabda atau ideologinya. HT lahir karena didorong adanya kegelisahan terhadap kondisi umat Islam yang mengalami kemunduran. Kemunduran tersebut terjadi karena umat Islam tak lagi menjadikan Islam sebagai basis nilai dan ideologi dalam seluruh aspek kehidupan, sebaliknya mereka menjadikan sistem kapitalisme Barat sebagai solusi atas berbagai masalah kekinian. Masuknya HT di Indonesia berawal pada tahun 1982-1983 melalui M. Mustofa, putra Abdullah bin Nuh, pengasuh Pesantren Al Ghazali Bogor, dan juga Abdurrahman Al-Baghdadi, seorang warga Lebanon yang bermigrasi ke Australia, yang kemudian tinggal di Indonesia.209 Satu hal yang menarik dari HTI adalah para anggotanya sangat anti pada demokrasi, namun sering menggunakan 208 Wawancara dengan Ketua GP. Ansor Manado Rusli Abenk Umar pada tanggal 25 Agustus 2018 di Manado. 209 M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), h. 100. 150 argumen demokrasi agar tetap eksis. HTI menolak bertransformasi menjadi partai politik yang merupakan produk demokrasi. Bagi HTI, mengambil bagian dalam proses demokrasi adalah haram karena dalam segala bentuknya, demokrasi adalah sistem kufur. Namun, HTI tidak menganjurkan pendekatan yang revolusioner melalui kudeta untuk menggulingkan pemerintah. Para proponen HT memilih konsisten untuk melakukan pendekatan ekstra-parlementer dalam mengkritik pemerintah sambil aktif mensosialisasikan gagasan mereka di tengah masyarakat melalui sistem kaderisasi di akar rumput. Meskipun selalu membawa simbol dan atribut Islam, namun keberadaan HTI tidak selalu berjalan mulus. Ormas Islam yang bercorak moderat seperti NU sejak kepemimpinan Hasyim Muzadi sudah getol menolak keberadaan HTI karena dianggap sebagai gerakan politik dengan ideologi tertentu, bukan agama. Hasyim Muzadi kala itu getol menolak HTI karena ia tidak ingin Indonesia mewariskan konflik yang datang dari negara asal HTI. Lanjutnya, nilai yang dibawa HTI tidak cocok dengan budaya Indonesia.210 Meskipun mendapatkan penolakan dari ormas Islam lainnya, HTI tetap bebas melakukan aktivitasnya di Indonesia karena memiliki badan hukum resmi dari pemerintah. HTI sangat aktif menyebarkan ideologinya di tengah masyarakat khususnya di dunia kampus. HTI juga dikenal sebagai ormas yang cukup aktif melakukan aksi demonstrasi untuk menyampaikan aspirasinya. Sebelum terjadi Aksi Bela Islam 411 dan 212, HTI sejak awal sudah menolak pengangkatan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi yang dilantik menjadi presiden, karena mereka meyakini bahwa umat Islam haram dipimpin oleh orang kafir dan non-muslim. Pada Aksi Bela Islam 411 dan 212, HTI ikut mengambil bagian dalam aksi tersebut. Mereka dengan heroik mengkritik dan menuntut pemenjaraan Ahok karena dianggap telah menistakan Islam. Dalam 210 Lihat Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), h. 272-273. 151 aksinya, HTI juga kerap meneriakkan perlunya penegakan khilafah di Indonesia. Pada intinya, Aksi Bela Islam 411 dan 212 di Jakarta telah menaikkan percaya diri HTI dalam menyebarkan gagasannya karena mereka merasa bahwa keberadaannya mendapatkan dukungan luas dari masyarakat. Melihat geliat HTI yang semakin menguat pasca Aksi Bela Islam, beberapa ormas Islam di berbagai daerah menolak dengan keras keberadaan HTI karena mereka mencium gelagak bahwa HTI memiliki agenda politik terselubung yang ingin mengganti ideologi Pancasila sebagai dasar negara dan juga ingin membangun sistem khilafah yang bersifat transnasional. Manado menjadi salah satu daerah yang menolak keras keberadaan aktivitas HTI. Penolakan terhadap aktivitas HTI ditunjukkan melalui aksi pembubaran oleh Ansor Manado. Pada tanggal 4 April 2017, Ansor Manado membubarkan acara yang bertajuk Silaturahmi Antar Tokoh-tokoh Islam se-Sulawesi Utara yang diselenggarakan oleh pengurus HTI Sulawesi Utara di Restoran Wisata Bahari Kawasan Megamas Manado. Penolakan tersebut bermula dari beredarnya undangan acara silaturahmi tersebut ke berbagai imam-imam masjid se-Sulawesi Utara. Ansor Manado mendapatkan bocoran tentang kegiatan ini dari sebuah foto undangan yang dikirimkan oleh seseorang di jejaring sosial WhatsApp. Menindaklanjuti hal ini, Ansor Manado kemudian melakukan koordinasi dengan anggota Intel Polres Manado. Intel Polres Manado sendiri mengaku tidak mengetahui keberadaan kegiatan silaturahmi tersebut. Ansor Manado dan Intel Polres Manado kemudian berinisiatif melakukan pertemuan di Kantor Perwakilan DPD RI di Manado untuk membicarakan tindak lanjut dalam menyikapi acara silaturahmi tersebut. Pertemuan itu akhirnya menyepakati bahwa Ansor Manado akan memimpin langsung pembubaran acara silaturahmi HTI dengan pertimbangan bahwa apabila pembubaran dilakukan oleh kepolisian, maka hal ini akan menimbulkan kesan negatif di masyarakat bahwa aparat kepolisian melarang silaturahmi umat Islam di Manado, di samping juga karena alasan menguatnya isu anti Islam yang menyerang Jokowi kala itu karena ia dianggap lebih berpihak pada penista Islam (Ahok) ketimbang para kelompok islamis. 152 Sebelumnya ormas adat Brigade Manguni Indonesia dan Benteng Kristen Nusantara mengancam akan membubarkan acara silaturahmi yang dilakukan HTI karena HTI dianggap sebagai ormas yang dapat memecah belah persatuan. Setelah melalui negosiasi yang alot dengan Ansor Manado, mereka akhirnya menyerahkan pembubaran acara silaturahmi tersebut kepada Ansor Manado. Ansor Manado mencegah agar pembubaran itu tidak dilakukan oleh ormas adat dan Kristen dengan pertimbangan bahwa ketika pembubaran dilakukan oleh kedua ormas itu, maka dikhawatirkan akan muncul framing di berbagai media Islam yang mengatakan bahwa umat Kristen di Manado membubarkan acara silaturahmi umat Islam. Kalau framing ini betul-betul terjadi, maka ia dapat berpotensi memecah belah hubungan antara umat Islam dan Kristen di berbagai daerah di Indonesia. Akhirnya pada tanggal 4 April 2017 dengan didampingi oleh anggota Banser dan anggota Intel Polres Manado, Ansor Manado mendatangi langsung lokasi kegiatan silaturahmi HTI di Restoran Wisata Bahari Kawasan Megamas Manado tepat setelah waktu Salat Isya. Setibanya di lokasi acara, Ketua Ansor Manado Rusli Umar langsung mempertanyakan surat legalitas kegiatan silaturahmi tersebut, namun para pengurus HTI berdalih bahwa kegiatan itu murni silaturahmi dan tidak memiliki agenda politik apapun, sehingga tidak memerlukan surat legalitas dari kepolisian. Ansor Manado kemudian melakukan negosiasi dengan para pengurus HTI. Sementara Ansor melakukan negoisasi di dalam lokasi acara, para anggota ormas Brigade Manguni Indonesia dan Benteng Kristen Nusantara sudah standby di luar lokasi acara menunggu perkembangan yang terjadi di dalam pertemuan tersebut. Setelah melalui proses negosiasi yang alot, kegiatan silaturahmi tersebut akhirnya dihentikan dengan catatan bahwa para tamu undangan yang sudah terlanjur datang dipersilakan untuk makan malam terlebih dahulu atas dasar pertimbangan kemanusiaan. Beberapa tamu undangan yang sempat datang umumnya adalah para imam masjid. Mereka umumnya tidak mengetahui apa itu HTI. Mereka datang ke acara silaturahmi karena mengaku mendapatkan undangan yang diantarkan langsung ke masjid mereka. 153 Karena merasa memiliki tanggung jawab moral sebagai tokoh Islam di Sulawesi Utara, maka beberapa imam masjid memutuskan hadir dalam acara silaturahmi tersebut. Pasca pembubaran, para anggota Ansor Manado menjelaskan kepada tamu undangan alasan terjadinya pembubaran. Beberapa tamu undangan mengaku terkejut karena mereka baru tahu bahwa HTI ternyata memiliki agenda terselubung yang ingin mengubah Pancasila sebagai dasar negara. Pada intinya, Ansor Manado membubarkan acara silaturahmi yang dilakukan HTI karena beberapa alasan, pertama, HTI memiliki agenda politik terselubung yang ingin mengubah Pancasila sebagai dasar negara dan juga ingin menegakkan sistem khilafah yang bersifat transnasional sehingga dapat merobohkan konsep negara-bangsa yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa. Dalam hal ini Ansor Manado konsisten dengan Pancasila sebagai dasar negara dan juga NKRI. Kedua, ideologi yang dibawa HTI tidak cocok untuk konteks masyarakat Manado yang sangat plural. Meluasnya pengaruh HTI di Manado dikhawatirkan dapat memicu konflik horizontal di Manado. Ansor tidak menginginkan konflik agama yang terjadi di daerah lain menjalar di Manado karena masyarakat Manado telah terbiasa hidup rukun dalam perbedaan.211 Penolakan Ansor Manado terhadap HTI berlanjut ketika Felix Siauw, pentolan HTI yang merupakan seorang muallaf dan juga penulis, mubaligh dan pegiat media sosial, diketahui akan hadir di Manado. Kabar tentang kedatangan Felix diketahui setelah poster digital yang memuat gambar Felix tersebar luas di media sosial. Dalam poster digital itu diinformasikan bahwa pada tanggal 3 Maret 2018, Felix Siauw akan hadir sebagai pembicara di seminar nasional yang bertema Change Now for the Better Future di Hotel Sintesa Peninsula Manado. Seminar nasional ini rencananya akan diselenggarakan oleh Rohis SMAN 9 Manado. Kabar kedatangan Felix juga direspon dengan penolakan oleh 211 Wawancara dengan Ketua GP. Ansor Manado Rusli Abenk Umar pada tanggal 25 Agustus 2018 di Manado. 154 beberapa kelompok adat, salah satunya adalah Aliansi Makapetor melalui akun resminya di Facebook. Untuk merespon kedatangan Felix, pada tanggal 31 Januari 2018, Ketua Ansor Manado Rusli Abenk Umar, berinisiatif menemui unsur pimpinan SMAN 9 Manado yang diketuai oleh Kepala Sekolah, Meidy R. Tungkagi dan juga guru Agama Islam sekaligus Pembina Rohis, Ustad Supriadi. Dalam pertemuan tersebut, Rusli ingin mengkonfirmasi kebenaran seminar nasional tersebut sekaligus menyatakan penolakan dirinya dan organisasi yang dipimpinnya terhadap kedatangan Felix di Manado. Meidy mengaku bahwa ia tak tahu menahu soal kegiatan tersebut karena lokasi pelaksanaannya berada di luar sekolah. Ustad Supriadi juga mengaku tidak tahu karena acara tersebut murni inisiatif dari para alumni Rohis. Untuk menjaga agar kerukunan antar umat beragama tetap terjaga di Manado di tengah menguatnya isu penolakan Felix, maka pada tanggal 1 Maret 2018, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara melalui Kesbangpol Sulawesi Utara mengundang pihak penyelenggara dan perwakilan tokoh-tokoh agama yang terhimpun di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) untuk bermusyawarah dan mendengarkan klarifikasi dari pihak penyelenggara di Kantor Kesbangpol Sulut. Dalam status di akun Facebook Sofyan Jimmi Yosadi (Pengurus FKUB perwakilan agama Konghucu) tertanggal 2 Februari 2018 yang berjudul “Informasi dan Klarifikasi,” dijelaskan beberapa poin dan klarifikasi dari hasil pertemuan di Kantor Kesbangpol tersebut.212 Dalam pertemuan itu, Ustad Supriadi selaku Pembina Rohis mewakili penyelenggara, yakni para alumni Rohis mengaku bahwa latar belakang penyelenggaraan acara tersebut adalah semata-mata karena melihat sosok Felix sebagai seorang ustad yang bisa memberi motivasi bagi siswa juga bagi masyarakat umum. Lebih lanjut, kegiatan seminar nasional ini murni digagas oleh siswa-siswa sekolah yang tergabung dalam Rohis SMAN 9 Manado sejak tahun 2015 dengan tujuan untuk memotivasi kehidupan yang 212 Lihat https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10209153476629086& id=1684958305&_rdr diakses pada tanggal 25 Agustus 2018. 155 berlandaskan ajaran Islam dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan gagasan atau pemikiran politik Felix. Proses komunikasi dengan Felix sendiri dilakukan oleh para alumni Rohis melalui email. Pihak penyelenggara mengakui tidak lagi memperhatikan dinamika politik terkait pembubaran HTI dan juga pernyataan Felix yang dianggap kontroversial karena panitia merasa bahwa rencana acara tersebut tidak mendapatkan tanggapan. Dalam pertemuan itu, ustad Supriadi menyampaikan permintaan maafnya karena kekurangpahamannya terhadap situasi politik yang menyangkut soal HTI. Ustad Supriadi juga mengklarifikasi bahwa dirinya tidak memiliki keterkaitan dengan HTI sebagaimana yang banyak dituduhkan. Ia mengakui bahwa ia tidak pernah aktif dalam ormas Islam manapun. Saat ini, Ustad Supriadi hanya ikut di Organisasi Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Agama Islam SMA SMK Kota Manado dan menduduki jabatan sebagai ketua. Setelah melakukan musyawarah dan mendengar klarifikasi dari panitia penyelenggara, maka akhirnya diputuskan bahwa seminar nasional yang akan menghadirkan Felix dibatalkan dan Felix ditolak menginjakkan kaki di Manado. Ansor Manado menolak kedatangan Felix karena pandanganpandangannya dianggap banyak menciptakan kegaduhan antara umat beragama, semisal ceramah-ceramah provokatifnya yang sering menyudutkan agama Kristen. Ansor Manado tidak ingin keberadaan Felix akan menularkan kegaduhan di Manado sebagaimana yang telah terjadi di Jakarta pada Aksi Bela Islam 411 dan 212. Penolakan Ansor Manado terhadap Felix juga disebabkan oleh kekhawatiran bahwa Felix akan meracuni anak-anak muda dengan gagasan khilafahnya mengingat mereka umumnya masih belum matang dan juga kurang kritis dalam pengetahuan keagamaan.213 213 Wawancara dengan Ketua GP. Ansor Manado Rusli Abenk Umar pada tanggal 25 Agustus 2018 di Manado. 156 Penutup Aksi Bela Islam yang terjadi berjilid-jilid di Jakarta guna menuntut pemenjaraan Ahok adalah aksi yang banyak mendapatkan simpati dari sejumlah elemen umat Islam. Dalam aksi itu, aktor utama yang menjadi penggerak massa adalah para tokoh islamis. Aksi Bela Islam tersebut sedikit banyaknya telah membelah masyarakat secara tajam dalam kelompok pro islamis maupun pro Kebinekaan. Namun para aktor islamis yang terlibat dalam Aksi Bela Islam tersebut ternyata mendapatkan resistensi terbuka di berbagai daerah di Indonesia tak terkecuali di Manado. Di Manado, sejumlah elemen masyarakat yang terwakili dalam ormas adat Minahasa, ormas Kristen, dan juga ormas Islam GP. Ansor Manado menolak keras kehadiran FPI, HTI, dan unsur-unsur yang terkait di dalamnya. Penolakan ini muncul karena mereka tidak setuju dengan aksi dan geliat para aktor Islamis yang berniat mengubah isi Pancasila yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa. Pancasila yg ada saat ini bagi mereka adalah suatu kesepakatan yang telah final dari para pendiri bangsa yang dapat menjadi titik temu atas segala perbedaan yang ada di Indonesia. Penolakan mereka terhadap islamis juga disebabkan oleh rekam jejak kelompok islamis yang kerap melakukan praktik provokasi di tengah masyarakat. Mereka tidak mau geliat kelompok islamis menjalar ke Manado karena ideologinya tidak sesuai dengan karakter lokalitas orang Manado yang terbuka dan terbiasa hidup dalam perbedaan. 157 Daftar Pustaka Gerung, Arthur. Studi tentang Sosial Habitus Pierre Bourdieu dalam Relasi Umat Kristen dan Islam di Manado. Paper dipresentasikan pada International Seminar on Contemporary Issue in Islam (ISCII) di Hotel Sintesa Peninsula Manado tanggal 8 Agustus 2018. Hilmy, Masdar. Islamism and Democracy in Indonesia: Piety and Pragmatism. Singapore: ISEAS, 2010. Kaus, Gerald F. dan Chandran Kukathas. Handbook Teori Politik. Terjemahan oleh Derta Sri Widowatie. Cet.ii., Bandung: Nusa Media, 2013. Kembuan, Roger. A. C.. Jawa Tondano: Sejarah dan Tokoh-tokoh yang Diasingkan Abad XIX. Manado: PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk. Kantor Wilayah Manado, 2016. Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan 2016. Komnas HAM. Mantu, Rahman. “Pesantren PKP Kombos: Aktivitas Pesantren di Tengah Mayoritas Masyarakat Kristen.” dalam Muhammad Murtadlo, dkk. Pesantren dan Reproduksi Ulama. Jakarta: Pustaka Cendekia Muda, 2015. Mufid, Ahmad Syafi’i. ”Faham Islam Transnasional dan Proses Demokratisasi di Indonesia”, dalam Harmoni: Jurnal Multikultural & Multireligius Volume VIII, Nomor 30, AprilJuni 2009: hal 8-34. Pinontoan, Denni H.R.. “Pilkada Jakarta dan Ormas Adat dalam Politik Lokal Minahasa.” dalam https://crcs.ugm.ac.id/ id/berita-utama/10941/pilkada-jakarta-dan-ormas-adatdalam-politik-lokal-minahasa.html diakses pada tanggal 10 September 2018. 158 Rahmat, M. Imdadun. Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005. Scott, James C. Senjatanya Orang-orang Kalah, terjemahan A. Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000. Scott, James. C. Domination and the Art of Resistence: Hidden Transcripts. London: Yale University Press New Haven and London, 1990. Sumampouw, Nono. S. A. Menjadi Manado: Torang Samua Basudara, Sabla Aer, dan Pembentukan Identitas Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Syuhudi, Muhammad Irfan. “Geliat Politik Identitas di Kota Manado” dalam Harmoni, MeiAgustus 2016, h.5666. Tarrow, Sidney. Power in Movement: Social Movements, Collective Action and Politics. Cambridge University Press, 1994. Thufail, Fadjar Ibnu. “Ketika “Perdamaian” Terwujud di Bukit Kasih: Pencegahan Konflik, Lembaga Gereja, dan Politik Adat di Minahasa.” dalam Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan Pada Masa Pasca-Orde Baru. Martin Ramstedt dan Fajar Ibnu Thufail (ed.). Jakarta: Grasindo- Pusat Penelitian Sumber Daya Regional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia- Max Planck Institute for Social Anthropology, 2011. Tibi, Bassam. Islamism and Islam. Yale University Press, 2012. Wahid, Abdurrahman (ed.). Ilusi negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2009. 159 Link pemberitaan: https://beritamanado.com/demo-ribuan-ormas-adat-minahasadesak-pemerintah-bubarkan- fpi/ diakses pada tanggal 19 Agustus 2018 https://beritamanado.com/masyarakat-tolak-fpi/ diakses pada tanggal 19 Agustus 2018. https://m.bintang.com/amp/2658528/kasus-ahmad-dhani-konser-alghazali-ditolak-dimanado?espv=1 diakses pada tanggal 19 Agustus 2018 https://m.detik.com/news/berita/d-3501028/cerita-fahri-hamzahsoal-aksi-penolakan-dimanado diakses pada tanggal 22 Agustus 2018 https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10209153476629086 &id=1684958305&_rdr diakses pada tanggal 25 Agustus 2018. https://nasional.tempo.co/amp/821110/massa-gelar-aksi-bela-nkridi-manado-tuntut-fpi- dibubarkan diakses tanggal 19 Agustus 2018. 160 ARUS KONSERVATISME ISLAM DI SUMATERA BARAT Zulfadli Pendahuluan Runtuhnya rezim otoritarian orde baru menandai babak baru dalam transisi politik dan demokrasi di Indonesia. Era reformasi, yang ditandai dengan euphoria politik dan terbukanya kran-kran kebebasan berekspresi dimanfaatkan oleh berbagai gerakan Islam dalam memperjuangkan aspirasi kepentingan politiknya. Euforia reformasi dimanfaatkan dalam bentuk kebebasan perkumpulan politik, seperti membentuk organisasi massa dan partai politik. Pada masa transisi demokrasi tidak kurang dari 200 organisasi massa dan partai politik didirikan, mereka mewakili berbagai kelompok dan golongan, mulai dari konservatif dan puritan, sampai liberal dan sekuler.214 Setidaknya ada dua model gerakan Islam politik di Indonesia. Pertama, gerakan Islam politik melalui gerakan formal atau parlementer, dengan cara mendirikan partai-partai bebasiskan Islam. Seperti PKS, PBB, PPP dan lain sebagainya. Kedua, gerakan Islam ekstraparlementer, atau gerakan kultural dengan munculnya ormas Islam non-mainstream dalam politik, seperti Hizbut Tahrir (HT), Front Pembela Islam (FPI) dan dan lain sebagainya. 214 Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia (Jakarta: Freedom Institute, 2011), hlm 230 161 Gerakan mereka berada di luar kerangka mainstream proses politik, maupun wacana dalam gerakan Islam dominan. Kelompokkelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad dan Salafi merupakan representasi generasi baru gerakan Islam di Indonesia. Organisasi-organisasi baru ini memiliki basis ideologi, pemikiran dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas Islam yang ada sebelumnya. Mereka ditengarai berhaluan puritan, memiliki karakter yang lebih militan, skripturalis, konservatif dan eksklusif.215 Keberadaan ormas Islamis pasca reformasi memiliki orientasi politik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pengaruh yang sangat besar dari ormas Islamis dapat dilihat dengan semakin menguatnya identitas dan gerakan kelompok keagamaan di luar mainstream kelompok keagamaan. Dalam perkembangannya, gerakan sosial keagamaan terdapat tiga aspek yang menonjol, pertama, yang didorong oleh orientasi politis; kedua, orientasi keagamaan yang kuat; dan ketiga, orientasi kebangkitan kultural rakyat Indonesia.216 Proses transisi demokrasi di Indonesia, meskipun dinilai cukup stabil, tanpa mengabaikan pergolakan dan riak-riak kasus yang terjadi di beberapa daerah, proses transisi demokrasinya cukup berhasil jika dibandingkan dengan transisi demokrasi yang terjadi dikawasan Timur Tengah, seperti Mesir, Irak, Suriah, Libia, Yaman dan lain sebagainya. Transisi demokrasi dari rezim otoritarian menuju rezim demokratis bukanlah perkara yang mudah. Karena proses transisi demokrasi yang terjadi disuatu negara merupakan proses yang kompleks, melibatkan berbagai kelompok yang berjuang untuk memperoleh kekuasaan, dan untuk mendukung serta menentang 215 Khamami Zada dan Arif R. Arafah, Diskursus Politik Islam (Jakarta: LSIP, 2004), hlm. 123. 216 Bilver Singh, Zuly Qodir, Gerakan Islam Non Mainstream dan Kebangkitan Islam Politik di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm 1 162 demokrasi dan tujuan-tujuan lainnya. Dilihat dari sudut sikap mereka terhadap proses demokratisasi, para aktor yang bermain dalam transisi demokrasi, mulai dari kelompok konservatif, pembaru liberal, pembaru demokrasi dalam koalisi pemerintah, dan kelompok moderat demokratis serta ekstremis revolusioner di pihak oposisi.217 Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat upaya-upaya yang dianggap sebagai upaya-upaya memundurkan demokrasi di Indonesia, yang disebut dengan resesi demokrasi. Keadaan statis ini bahkan tercermin dari laporan-laporan indeks demokrasi yang dilakukan oleh lembaga indeks demokrasi seperti Freedom House. Menurut Marcus Miezner, faktor penyebab stagnasi demokrasi yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh dua hal, pertama, elemen-elemen elit konservatif berupaya mendapatkan kembali keistimewaan-keistimewaan yang pernah mereka miliki pada masa lalu, dibandingkan bergandengan tangan dengan masyarakat luas dalam mendukung demokrasi; kedua, dampak negatif manuvermanuver yang dilancarkan oleh elit konservatif agak tertutupi oleh kegigihan masyarakat sipil, yang pada akhirnya membuat Indonesia lebih tepat dikategorikan sebagai negara yang mengalami kemandekan, daripada kemuduran total demokrasi.218 Periode pasca reformasi menguatkan kembali arus konservatisme dalam lanskap politik di Indonesia. Konservatisme tidak hanya terjadi dalam konteks nasional, akan tetapi dalam ranah politik local, yang terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia. Meningkatnya tuntutan akan otentisitas etnik dan keagamaan, adalah contoh kecedrungan konservatisme yang menonjol pasca reformasi. Terdapat relasi negatif antara demokrasi dan kebangkitan etnoreligius, bahwa antara kedua proses tesebut berjalan secara berlawanan.219 217 Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta: Graviti, 2001), hlm 154-155 218 Marcus Mietzner, dalam AE Priyon, Usman Hamid (ed.), Merancang Arah Baru Demokrasi Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014) hlm 152 219 Robert W. Hegner, Civil Islam, Islam dan Demokratisasi di Indonesia, 163 Martin van Bruinessen menyebut, adanya gejala kembalinya arus konservatif (concervative turn) dalam perkembangan kontemporer Islam Indonesia.220 Menurut Martin van Bruinessen, Istilah konservatisme merujuk kepada berbagai aliran pemikiran yang menolak penafsiran ulang atas ajaran-ajaran Islam secara liberal dan progresif, dan cenderung untuk mempertahankan tafsir dan sistem sosial yang baku.221 Konservatisme menolak segala macam bentuk penafsiran kontekstual-modern, mereka berpegang teguh pada doktrin agama dan tatanan sosial yang mapan. Selain itu konservatisme cenderung keberatan dan menolak terhadap gagasan kesetaraan gender, perlindungan HAM, dan penolakan pendekatan hermeneutika dalam menfasirkan kitab suci. Gerakan konservatif berbeda dengan Islam progresif yang menafsirkan al-Qu’ran secara kontekstual, yang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Gejalan arus konservatisme juga terindikasi terjadi di Sumatera Barat. Sebagai daerah yang dikenal kuat dengan agama dan adat, dan dalam falsafah hidupanya dikenal, “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (Adat bersendi syarak, syarak bersendi AlQur’an)”. Minangkabau merupakan jaringan benang struktural etnik budaya dari beberapa gugusan etnis di nusantara, yang secara geografis terletak di pulau Andalas Sumatera Barat. Sebab, tidak identiknya Minangkabau dengan Sumatera Barat atau sebaliknya. Ada wilayah yang masuk dalam administrasi pemerintahan Sumatera Barat, seperti Mentawai, tetapi tidak termasuk dalam lingkup budaya Minangkabau. Sebaliknya, ada beberapa wilayah yang bukan termasuk ke dalam wilayah admistrasi pemerintahan Sumatera Barat, namun ia bagian integral dari budaya Minangkabau. (Jakarta:ISAI, 2001), hlm 16 220 Martin van Bruinessen, Contempory Developments in Indonesia: Eksplaining the “Conservative Turn”, (Singapore: ISEAS, 2013) 221 Ibid., hlm 16 164 Dengan demikian, ada perbedaan pemahaman yang cukup signifikan antara keduanya: Minangkabau lebih merupakan Etnisitas yang mengandung makna sosio-kultural, sedangkan Sumatera Barat adalah wilayah administrasi pemerintahan Republik Indonesia yang lebih mengacu kepada geografis administrasi teritorial.222 Masyarakat Minangkabau dinilai memiliki ciri khas dan keunikan budaya tersendiri. Tatanan kehidupannya dibangun atas dasar komunalisme, egaliter, dan memiliki sistem aturan adat yang bersendikan agama. Penduduk Sumatera Barat secara umum merupakan etnis Minang, dan mayoritas beragama Islam. Diferensiasi sosial, agama, dan etnis di Sumatera Barat tidak begitu menonjol, karena homogenitas masyarakat yang didominasi oleh etnis Minang dan beragama Islam. Namun di tengah homogenitas masyarakatnya, hasil dari beberapa survei menunjukkan, fenomena religious intolerance yang berkaitan dengan kebebasan beragama, diskriminasi dan intoleransi di Sumatera Barat, cukup tinggi. Berbeda dengan konflik di daerah lain yang berlangsung secara terbuka, konflik kebebasan beragama di Sumatera Barat tidak menampakkan wujudnya secara nyata. Jika diperhatikan sepintas, di Sumatera Barat seolah minim konflik kebebasan beragama, mengingat penduduknya mayoritas muslim di bawah falsafah “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” tadi. Namun dalam kenyataannya, kentalnya budaya Islam dalam kehidupan masyarakat di Sumatera Barat, turut berpengaruh besar terhadap tata kelola pemerintahan di Sumatera Barat. Menguatnya arus konservatisme Islam di Sumatera Barat pasca reformasi, paling tidak disebabkan oleh dua hal. Pertama, konservatisme Islam yang terjadi dalam bentuk regulasi, yang melahirkan kebijakan dan peraturan daerah bernuansa agama (Islami), seperti kebijakan wajib berpakaian muslim,223 wajib pandai 222 Nurus Shalihin, Demorkasi di Nagarinya Para Tuan, Imam Bonjol Press, 2004, hlm 1-5 223 Perda Kota Solok No.6 Tahun 2002 tentang Wajib Berbusana Muslimah; Perda Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung No.2 Tahun 2003 tentang 165 baca al-Qur’an bagi siswa atau calon pengantin,224 wajib zakat,225 dan penyakit masyarakat (pekat).226 Kedua, konservatisme ormas Berpakaian Muslim dan Muslimah; Perda Kabupaten Pasaman No.22 Tahun 2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah bagi Para Siswa, Mahasiswa dan Karyawan; Perda Kabupaten Pesisir Selatan No.4 Tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah; Perda Kabupaten Agam No.6 Tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim; Surat Himbauan Bupati Tanah Datar No.451.4/556/Kesra-2001, perihal Himbauan/Berbusana Muslim/Muslimah Kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Tenaga Kerja; Surat Himbauan Gubernur Sumatera Barat No.260/421/X/PPr-05, perihal Menghimbau Bersikap dan Memakai Busana Muslimah Kepada Kepala Dinas/Badan/Kantor/Biro/Instansi/Walikota Sumatera Barat; Instruksi Walikota Padang No.451.422/Binsos-III/2005 tentang Pelaksanaan Wirid Remaja Didikan Subuh dan Anti Togel/Narkoba serta Berpakaian Muslim/ Muslimah bagi Murid/Siswa SD/MI, SLTP/MTS dan SLTA/SMK/SMA di Kota Padang; dan Instruksi Walikota Padang No.451.422/Binsos-iii/2005 224 Perda Kabupaten Solok No.10 Tahun 2001 tentang Wajib Baca al-Qur’an untuk Siswa dan Pengantin; Perda Kota Padang No.6 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis al-Qur’an; Perda Kota Sawahlunto No.1 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis al-Qur’an; Perda Kabupaten Pasaman No.21 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis al-Qur’an; Perda Kabupaten Limapuluh Kota No.6 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis al-Qur’an; Perda Kabupaten Pesisir Selatan No.8 Tahun 2004 tentang Pandai Baca Tulis al-Qur’an; Perda Kabupaten Agam No.5 Tahun 2005 tentang Pandai Baca Tulis al-Qur’an; Perda Provinsi Sumatera Barat No.7/2005 tentang Pandai Baca Tulis al-Qur’an; Perda Provinsi Sumatera Barat No.3 Tahun 2007 tentang Pendidikan al-Qur’an; dan Perda Kabupaten Pasaman Barat No.9 Tahun 2007 tentang Pandai Baca Tulis Huruf al-Qur’an Bagi Murid SD, SISWA, SLTP, SLTA, dan Calon Penganten 225 Perda Kabupaten Solok No.13/2003 tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh; Perda Kabupaten Pesisir Selatan No.31/2003 tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh; Perda Kota Bukit Tinggi No.29/2004 tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh; Perda Kota Padang Panjang No.7/2008 tentang Zakat; dan Perda Kota Padang No.2 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Zakat 226 Perda Provinsi Sumatera Barat No.11/2001 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Maksiat; Perda Kota Bukittinggi No.20 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Perda Kota Bukittinggi No.3 Tahun 2000 tentang Penertiban dan Penindakan Penyakit Masyarakat; Perda Kabupaten Padang Pariaman No.02 Tahun 2004 tentang Pencegahan, Penindakan dan Pemberantasan Maksiat; Perda Kota Padang Panjang No.3 Tahun 2004 166 Islamis dalam merespon isu-isu terkait dengan kebebasan beragama, kebebasan berkeyakinan dan perlindungan terhadap hak-hak minoritas. Beberapa hasil survei, diantaranya, pertama, survei Elsan yang menujukkan bahwa di tengah homogenitas masyarakat Minang, ternyata justru menjadikan Sumatera Barat wilayah ini terpuruk dalam ekspresi beragama, utamanya dalam menjaga kebebasan beragama, diskriminasi dan intoleransinya. Alhasil, skornya hanya 3,75, yang merupakan skor paling buruk dibanding daerah lain.227 Kedua, survei yang dirilis baru-baru ini oleh MAARIF Institute tentang Indeks Kota Islami (IKI) di Indonesia. Hasil survei MAARIF Institute ini menuai pro dan kontra bagi masyarakat Sumatera Barat, yang mengatakan bahwa Denpasar merupakan sebagai daerah yang paling Islami, sementara Sumatera Barat termasuk daerah yang paling tidak Islami, dan menempatkannya dalam urutan buncit, di nomor 28 dari 29 kota-kota di Indonesia.228 Ketiga, dalam hal praktek demokrasi, terkait dengan kebebasan masyarakat sipil dan beragama di ruang publik, menurut Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), Sumatera Barat termasuk juga salah satu daerah yang terendah dalam mengedepankan nilai-nilai demokrasi.229 Selain indikator survei yang disebutkan diatas, Komnas HAM Sumbar bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, beberapa kurun waktu terakhir cukup banyak menerima pengaduan dari kaum minoritas yang meminta bantuan dalam mencari keadilan pemenuhan hak kebebasan beragama, termasuk di dalamnya persoalan izin mendirikan bangunan. tentang Pencegahan Pemberantasan dan Penindakan Penyakit Masyarakat; Peraturan Daerah Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung No.19 Tahun 2006 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Maksiat; dan terakhir muncul Rancangan Perda Kota Padang Pemberantasan Perzinahan dan Pelacuran. 227 Lihat http://elsam.or.id 228 Lihat http://maarifinstitute.org 229 Lihat https://www.bps.go.id 167 Fenomena arus konservatisme yang terjadi di Sumatera Barat, dalam prakteknya, terjadi tidak hanya dilakukan oleh aktor negara (state actors), dalam hal ini negara dengan seperangkat aturan dan regulasinya membuat kebijakan-kebijakannya, akan tetapi konservatisme bisa juga terjadi dalam bentuk non state actors yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat sipil atau oleh ormas-ormas keagamaan.230 Padahal, pengungkapan fakta itu sangat penting untuk mengetahui apa yang salah dengan praktik penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas kebebasan beragama, berekspresi, dan berkeyakinan di daerah ini, dan bagaimana agar praktik itu dapat diperbaiki, sehingga menjadi lebih baik. Kondisi diatas telah membuat masyarakat Sumatera Barat masuk ke dalam ruang hampa yang penuh dengan hiruk-pikuk tindakan dan sikap intoleransi, kebebasan beragama dan diskriminasi, serta tidak lagi saling menghargai dan menghormati perbedaan atas dasar agama, keyakinan dan kepercayaan yang telah hidup dan berkembang di tengah masyarakat Sumatera Barat. Potret-potret dari rentetan tindakan, sikap intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompokkelompok masyarakat minoritas agama, keyakinan dan kepercayaan telah menghiasi bumi ranah Minang. 230 Vino Oktavia, Ketika Kebebasan Beragama, Berkeyakinan, dan Berekspresi Diadili, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Kantor Lembaga Bantuan Hukum Padang, Padang, 2013, hlm 35 168 Di antara Kasus Konservatisme Ormas Islamis di Sumatera Barat adalah: No 1 Isu/Kasus Tolak pembangunan Rumah Sakit Siloam atau LIPPO Group dengan mengedepankan isu agama, yaitu kristenisasi di Kota Padang (2013-2016) Lokasi Kota Padang 2 Tolak Padang Landmark (2017) Kota Padang Keterangan Sejumlah ormas Islam di Sumatera Barat menolak keras pembangunan rumah sakit Siloam, karena pembangunan rumah sakit tersebut sarat dengan adanya agenda terselubung, yaitu misi kristenisasi. Karena James T. Riadi (CEO/ Chief Executive Officer) Lippo Group adalah penerus keluarga Muchtar Riadi, yang merupakan pendeta internasional yang berguru kepada Pat Robertson, yang dikenal sebagai misionaris internasional dan sempat mencela umat Islam. Sejumlah organisasi masyarakat dan ormas keagamaan menolak Padang Landmark yang merupakan kelanjutan dari pembangunan Rumah Sakit Siloam, yang berganti nama menjadi Pandang Landmark. Padang Landmark merupakan superlok yang meliputi rumah sakit, sekolah Pelita Harapan, dan pusat perbelanjaan/ mall 169 3 170 Tutup pembakaran mayat (krematorium) di perkempungan warga etnis Tionghoa di Kota Padang (2017) Kota Padang Organisasi massa Islam melakukan unjuk rasa mendesak penghentian pembakaran mayat (kremasi) warga etnis Tionghoa di Rumah Duka Himpunan Bersatu Teguh (HBT). Mereka mendesak penghentian operasi Rumah Duka HBT, warga menilai keberadaan krematorium di lokasi padat penduduk tersebut sangat mengganggu, dan tidak memperhatikan keselarasan lingkungan hidup. Di samping tidak memperhatikan keselarasan lingkungan hidup dan mengganggu kenyamanan warga, keberadaan krematorium tersebut juga dinilai bertentangan dengan PP Nomor 9/1987 tentang Penyediaan dan Penggunaan Tanah untuk Keperluan Tempat Pemakaman. 4 Tolah pendirian Vihara Buddha Metta di Kota Payukumbuh (2015) Kota Payakumbuh Protes keras dari warga kelurahan Nunang kecamatan Payakumbuh Barat atas adanya rencana pembangunan Vihara Buddha Metta di kawasan jalan Luhak Limapuluh Kota. Surat keberatan dan pernyataan sikap penolakan dengan nomor 01/ LPM/NN-PBR/II-2012 tertanggal 2 Februari 2012 yang dialamatkan ke walikota dan DPRD Payakumbuh oleh lembaga pemberdayaan masyarakat kelurahan Lunang yang juga ditanda tangani oleh ketua RT, tokoh masyarakat dan beberapa lainnya. Akibatnya, rencana pembangunan Vihara Buddha Metta di kawasan itupun gagal. Pemerintah setempat juga menghentikan sementara waktu rencana tersebut dengan berbagai alasan. 171 5 Pelarangan izin aktivitas Ahmadiyah melalui Peraturan Gubernur Sumatera Barat No.17 Tahun 2013 (2013). Sumatera Barat Pergub pelarangan Ahmadiyah ini lahir sebagai bentuk tindak lanjut dari pertemuan Pemprov dengan Muspida Sumbar, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), Badan Koordinasi Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem), serta beberapa ormas di Sumbar. Pasal-pasal dalam Pergub tersebut dengan jelas melarang segala aktivitas Jemaat Ahmadiyah dalam bentuk apapun (larangan penyebaran ajaran Ahmadiyah, larangan pemasangan papan organisasi Ahmadiyah, baik di kantor organisasi maupun di rumah peribadatan milik Ahmadiyah, larangan masang atribut Ahmadiyah dalam bentuk apapun). Pergub ini juga mengatur agar masyarakat diwajibkan melapor apabila menemukan aktivitas dan segala kejanggalan yang dilakukan Ahmadiyah kepada pihak kepolisian dan pihak yang berwenang. 172 6 7 Tolak tempat karaoke Inul Vizta, karena tidak sesuai dengan nilai adat dan agama di Ranah Minang Kasus Alexander An yang mengaku ateis di dunia maya Sumatera Barat Masyarakat dan ormas keagamaan menolak kehadiran Inul Vizta karena tidak sesuai dengan ada dan budaya masyarakat Minangkabau Dharmasraya Kasus Alexander An seorang CPNS di Kab Dharmasraya, yang mengaku Ateis di dunia maya sehingga didatangi sejumlah kelompok masyarakat sipil yang hampir nyaris di amuk massa, sehingga di dakwa dengan pasal penodaan agama di Dharmasraya (2012) Keterangan: Sumber dioleh oleh peneliti dari berbagai sumber Tulisan ini akan membatasi persoalan pada arus konservatisme ormas Islamis di Sumatera Barat. Pertanyaan dalam tulisan ini, apa yang menyebabkan menguatnya arus konservatisme Islam di Sumatera Barat Pasca Reformasi. Pendekataan dan Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis deskriptif. Metode kualitatif merupakan proses penelitian yang ingin menghasilkan data bersifat deskriptif, yaitu berupa hasil ucapan, tulisan, dan perilaku individu atau kelompok yang dapat diamati berdasarkan subyek itu sendiri. Pendekatan dan penggalian data-data terkait kebebasan beragama ini menggunakan pendekatan metode berbasis peristiwa (event-based methodology), yakni berusaha mengidentifikasi beragam peristiwa keagamaan yang di dalamnya, yang diduga telah 173 terjadi konservatisme di level negara (state actors) maupun nonnegara (non-state actors). Pengumpulan data dianalisis dengan menggunakan beberapa metode, Pertama, pemantauan terhadap pemberitaan media nasional maupun lokal, cetak maupun elektronik. Termasuk di dalamnya media-media online tentang peristiwa-peristiwa konservatisme ormas Islamis di berbagai wilayah di Indonesia. Kedua, melakukan studi pustaka atau penelusuran terhadap objek kajian yang diteliti. Mulai dari buku, jurnal, dan lain sebagainya. Tinjauan Teori 1. Konservatisme Islam Menguatnya arus konservatisme di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal. Martin Van Bruinessen231 menyebut; Pertama, hubungan antara demokratisasi dan memudarnya pengaruh pandanganpandangan keislaman yang liberal dan progressif. Argumen ini menegaskan bahwa mayoritas umat Islam Indonesia pada dasarnya konservatif atau cenderung mempunyai corak fundamentalis. Van Bruinessen tidak menerima penjelasan ini, karena alasan tersebut menandakan bahwa gagasan Islam liberal hanya bisa tumbuh dan berkembang dalam sebuah sistem pemerintahan otoriter. Argumen ini juga menjelaskan bahwa para pendukung gagasan Islam liberal dan progresif, yang sebelumnya aktif di dalam berbagai organisasi masyarakat madani kini aktif di politik praktis, yang pada gilirannya menyebabkan dasar kebudayaan Islam liberal menjadi lemah (h. 5). Kedua, menguatnya pengaruh Timur Tengah. Alumni perguruan tinggi di Timur Tengah, terutama Saudi Arabia, menyebarkan corak pemahaman keislaman yang harah dan skripturalis kepada masyarakat. Usaha ini sejatinya sudah dimulai sejak dua dekade terakhir abad yang lalu, dengan penerjemahan buku-buku agama 231 Martin van Bruinessen, hlm 16. Lihat juga Din Wahid, Kembalinya Konservatisme Islam Indonesia, Studi Islamika, Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol.21, No.2, 2014, hlm 375 174 dan membagikannya secara percuma kepada individu, organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam dan lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Dengan dukungan dana yang memadai, terutama dari Saudi Arabia dan Yayasan Ihya’ alTurath al-Islami di Kuwait, para alumni Timur Tengah mendakwahkan corak keislaman ini dengan berbagai cara: mengadakan pengajian di masjid-masjid dan kantorkantor, mendirikan madrasah dan pesantren, membangun radio dan televisi dakwah, dan menerbitkan buku dan majalah. Alumni ini bekerjasama dengan lulusan Lembaga Ilmu Pengetahuan Arab dan Islam (LIPIA), sebuah lembaga pendidikan tinggi di Jakarta ,sebagai cabang Universitas Imam Ibn Su’ud di Riyadh. 2. Islamisme Konsep lain yang menjelaskan fenomena Islam politik adalah Islamisme232. Oliver Roy menggunakan terma Islamic dan neofundamentalisme, untuk menyebut gerakan Islam yang berorientasi pada pemberlakuan syari’at Islam. Roy menyebut gerakan Islam yang menjadikan Islam sebagai idiologi politik dengan sebutan Islamisme. Sedangkan gerakan Islamisme yang telah mengalami pergeseran ke arah pasivitas politik disebut dengan neo-fundamentalisme. Seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jama’ati Islami, dan Islamic Salvation Fron (FIS) sebagai representasi dari terma yang digunakan. Istilah Islamisme juga menunjukkan dua fenomena sekaligus, baik politik Islamis maupun re-Islamisasi, sebuah proses pada domain yang beraneka ragam dari kehidupan sosial, yang diselubungi oleh tanda dan lambang, yang diasosiasikan dengan tradisi budaya Islam. Proses ini meliputi pemakaian jilbab, kebutuhan yang makin besar pada bacaan Islam dan komoditi agama lainnya, penampakan simbol-simbol identitas keagamaan, pembingkaian kembali aktivitas 232 Bassam Tibi membedakan antara konsep Islam dan Islamisme. Islamisme tidak hanya sekadar masalah politik, lebih jauh, Islamisme berkaitan dengan politik yang diagamaisasikan (religionized politics). Lihat Bassam Tibi, Islam dan Islamisme, (Bandung: Mizan, 2016), hlm. 1. 175 ekonomi dengan terma-terma Islam.233 Belakangan ini re-Islamisasi dimaknai secara lebih luas dari Islamisme, dan kadang-kadang dibedakan dengan Islamisme, sebab Islamisme tidak semata-mata ekspresi dari proyek politik, tetapi juga meliputi penggunaan kembali dengan bingkai referensi Islam diwilayah sosial dan kebudayaan. Bassam Tibi mengelaborasi enam ciri utama ideologi Islamisme. Pertama, interpretasi atas Islam sebagai nizam Islami. Dalam pandangan kaum Islamis, Islam adalah din-wa-daulah; agama bersatu dengan negara. Tibi menegaskan bahwa ide dasar yang menjadi pokok dan gagasan utama kelompok Islamis terletak pada keyakinannya tentang kesatuan agama dan negara ini. Kedua, Yahudi sebagai musuh utama yang akan menghancurkan umat Islam. Karena umat Yahudi memiliki cita-cita akan menciptakan “tatanan dunia Yahudi,” maka tujuan ini tentu saja akan bertabrakan dengan harapan ideal umat Islam. Ketiga, demokratisasi dan posisi Islamisme institusional dalam sebuah negara demokratis. Disini, Tibi menemukan banyak paradoks. Kaum Islamis pada dasarnya menghendaki mendirikan negara Islam, yang tentunya akan bertentangan dengan misi demokratisasi, yang didalamnya terkandung gagasan civic pluralism. Meski begitu, demokrasi harus membuka ruang bagi kelompok dengan pelbagai suara, termasuk mereka yang menyerukan gagasan negara Islam. Keempat, evolusi jihad tradisional menuju jihadisme. Salah satu karakter dari kelompok Islamis adalah ideologi jihadisme yang merupakan reinterpretasi dari jihad. Kelima, syariatisasi negara. Kalangan Islamisme menafsirkan teks al-Qur’an untuk mendukung ide politik yang telah direligionisasi. Untuk mengatasi ekpektasi kelompok Islamis ini, diperlukan fleksibilitas yang akan memperkaya hukum Islam itu sendiri. Ia menawarkan pembatasan syariat pada etika agama, sehingga syariat tidak betul-betul ditinggalkan. Keenam, kelompok Islamis sangat terobsesi untuk mengajukan soal kemurnian sebagai 233 Hans Abdiel Harmakaputra, Islamism and Post-Islamism “Non-Muslim” in Socio-Political Discourses of Pakistan, the United States, and Indonesia, (Al-Jāmi‘ah: Journal of Islamic Studies, Vol. 53, no. 1 (2015), hlm 179204 176 klaim atas autentisitas. Klaim ini yang nanti akan menentukan posisi Islamis terhadap sekularisasi dan desekularisasi. 234 Re-Islamisasi sebagai penyataan akan hasrat untuk mewujudkan kembali keteraturan moral berdasarkan keketatan. Keteraturan ini merupakan produk kontemporer yang berusaha mengatur hubungan sosial di atas dasar pengawasan tingkah laku individu. Re-Islamisasi merupakan pendahuluan dari Islamisme dan menyajikan sebuah kata yang dipakai, baik oleh pendukung maupun lawan Islamisme. Pandangan Islamisme dicirikan oleh beberapa hal berikut: (1) masyarakat hanya bisa di Islamkan melalui kegiatan sosial dan politik; (2) gerakan Islamis memiliki argumen politik bahwa Islam adalah sistem pemikiran global dan menyeluruh (Islamisme menerima pandangan klasik bahwa Islam merupakan sistem lengkap dan universal, sehingga tidak perlu melakukan modernisasi atau pun penyesuaian diri).235 Kelompok Islamisme mencoba mengartikulasikan sebuah versi Islam yang dapat merespons defisit politik, ekonomi, dan budaya mereka. Kelompok Islamisme ini membayangkan Islam sebagai sebuah sistem Ketuhanan yang lengkap dengan model politik, kode budaya, struktur hukum, dan tatanan ekonomi yang superior –singkatnya, sebuah sistem yang merespons semua permasalahan manusia.236 3. Islam politik Islam politik merupakan gejala sosial politik di berbagai belahan dunia, yang berkaitan dengan aktivitas sekelompok individu muslim, yang melakukan gerakan dengan landasan ideologi yang diyakini bersama. Dalam defenisi ini, Islam politik dikonseptualisasikan 234 Bassam Tibi, Islam dan Islamisme 35 235 M.Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, Transimisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, (Jakarta: Penerbit Elangga, 2007), hlm 20 236 Asef Bayat, Post-Islamisme, (Yogyakarta: LKIS, 2011), hlm 12. 177 terutama bukan sebagai gejala keagamaan, tetapi lebih merupakan fenomena sosial-politik yang melibatkan sekelompok individu muslim yang aktif melakukan gerakan didasari ideologi tertentu yang mereka yakini. Unsur terpenting yang membedakan Islam politik dengan gejala sosial-politik lain, terletak pada tiga hal, yakni: (1) aktor yang terlibat; (2) aktivisme; (3) ideologi.237 Istilah ini digunakan untuk menunjukkan pada kegiatankegiatan organisasi yang menggerakkan dan mengajak (mengagitasi) ke wilayah politik, yang menggunakan tanda dan simbol-simbol dari tradisi Islam. Istilah ini juga dipakai untuk menunjukkan pada aktivisme politik yang melibatkan kelompok informal yang membentuk kembali repertoire dan bingkai-bingkai rujukan dari tradisi Islam, itulah yang disebut dengan muslim-politic.238 Sementara itu, Oliver Roy menyimpulkan bahwa gerakan Islamisme telah mengalami pergeseran dan kehilangan karakter revolusionernya, tidak lagi radikal dan telah menjadi sekedar pengelompokkan semacam neo-fundamentalisme. Ada bukti bahwa Islamisme telah bertransformasi dalam apa yang disebut sebagai proletarianisasi-tergumpal dari gerakan ini dan Islam dalam demokratisasi masyarakat berpusat pada moralitas telah menjadi lazim dalam gerakan ini. Ini menandakan bahwa dikalangan Islamis berkembang pemikiran dan gerakan yang fokus pada penerapan syari’at Islam, daripada upaya mewujdukan bentuk politik baru, model-model masyarakat baru, atau sebuah agenda untuk masa depan yang lebih cerah. Di Timur Tengah, kaum Islamis tidak pernah berusaha mewujudkan sebuah masyarkat baru, dan apalagi landasan politik baru. Kegagalan kaum Islamis berakar pada tendensi mereka untuk menyebarluaskan kebajikan dengan mewujudkan masyarakat yang baik. 237 Noorhaidi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer, Konsep, Genealogi, dan Teori, (Yogyakarta: Suka Press-UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012), hlm 3-5. 238 M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, (Yogyakarta: LKIS, 2008) hlm 10-15. 178 Kebangkitan Islam menggambarkan tingginya kesadaran dikalangan umat Islam. Bentuk lain dari Islam yang merakyat ini, ditunjukkan dengan menyebarnya masyarakat yang dipenuhi kebajikan dan persaudaraan, serta ketaatan yang mencolok dalam mempraktekkan ajaran-ajaran Islam. Pada umumnya, kecenderungan ini ditandai dengan pasivitas politik, kecuali ada dorongan dari pemerintah atau pihak musuh dari luar. Akan tetapi, dalam lingkungan kebangkitan Islam ini, terdapat serangkaian aktivisme keagamaan yang melibatkan kelompokkelompok Islam militan. Kelompok militan ini memiliki kesadaran politik yang sangat tinggi, berlawanan dengan negara dan unsurunsur penguasa, serta lembaga-lembaganya. Antara pendukung gerakan kebangkitan kebangkitan Islam yang lebih luas dengan kelompok militan ini, terjadi hubungan simbiotik, dimana kelompok militan akan mudah melakukan rekrutmen anggota-anggota baru, dan mudah pula bersembunyi dibalik gerakan kebangkitan Islam, ketika berkonfrontasi dengan penguasa. Oleh karena itu, tidak heran jika gerakan kebangkitan Islam dianggap sebagai suatu rangkaian kesatuan yang dinamis antara spritualisme pasif-apolitis dengan militansi dan radikalisme. Oleh karena itu, cakupan dan kebangkitan yang luas itu, istilah dari revivalisme, Islamisme, dan fundamentalisme, sering digunakan secara bergantian dalam literatur pemikiran politik. 4. Revivalisme Islam Konsep revivalisme Islam merupakan suatu gambaran dari seorang pengamat Islam, tentang fenomena kebangkitan Islam kontemporer. Konsep ini relevan, karena kemunculan gerakan dakwah kampus diasumsikan sebagai bagian dari gelombang kebangkitan Islam, yang ditransmisikan dari Timur Tengah. R. Hair Dekmejian menggunakan tema revivalisme Islam (Islamic Revivalism) untuk menunjuk fenomena munculnya gerakan keagamaan Islam kontemporer. Sebuah gerakan yang sesungguhnya tidak monolitik, tidak tunggal, dan bertingkat-tingkat. Menurutnya, 179 keragaman, dan gradasi-gradasi aktivitas kebangkitan Islam ini tercermin dari kosakata Arab yang digunakan untuk mengambarkan kebangkitan Islam, baik perorangan maupun kelompok. Mereka ada yang menyebut dirinya sebagai Islamiyah atau ashliyah (orang Islam yang asli). Mukminin atau mutadayyinin (orang beriman yang shaleh). Mereka juga memakai kosakata yang berkonotasi ajaran dan gerakan, seperti Al-Ba’at Al-Islamy (kebangkitan kembali Islam), asy-syahwah al-Islamiyah (kebangkitan Islam), Ihya adDin (menghidupkan agama), dan al-Ushulliyyah al-Islam yah (Fundamentalisme Islam). Kosakata ini dipakai dalam pengertian “usaha mencari keyakinan-keyakinan yang fundamental, dasardasar komunitas dan pemerintahan Islam dan dasar-dasar hukum syari’at. 239 Kebangkitan Islam sebagaimana menggambarkan tingginya kesadaran umat Islam dikalangan umat Islam. Bentuk lain Islam yang merakyat ini, ditunjukkan dengan menyebarnya masyarakat yang dipenuhi kebajikan dan persaudaraan sufi, serta ketaatan yang mencolok untuk mempraktekkan ajaran-ajaran Islam. Pada umumnya, kecedrungan ini ditandai pasivitas politik, kecuali ada dorongan dari pemerintah atau pihak musuh dari luar. Akan tetapi, dalam lingkungan kebangkitan Islam ini, yang secara umum berbentuk terdapat serangkaian aktivisme keagamaan yang melibatkan kelompok-kelompok Islam militan. Kelompok militan ini memiliki kesadaran politik yang sangat tinggi, berlawanan dengan negara dan unsur-unsur penguasa serta lembaga-lembaganya. Antara pendukung gerakan kebangkitan Islam yang lebih luas, dengan kelompok militan ini terjadi hubungan simbiotik, dimana kelompok militan akan mudah melakukan rekrutmen anggota-anggota baru, dan mudah pula bersembunyi dibalik gerakan kebangkitan Islam, ketika berkonfrontasi dengan penguasa. Oleh karena itu, tidak heran jika gerakan kebangkitan Islam dianggap sebagai suatu rangkaian kesatuan yang dinamis antara spritualisme pasif-apolitis dengan 239 Shireen T.Hunter, Politik Kebangkitan Islam: Keragaman dan Kesatuan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm 3 180 militansi dan radikalisme. Oleh karena itu, cakupan dan kebangkitan yang luas itu, istilah revivalisme, Islamisme, dan fundamentalisme sering digunakan secara bergantian dalam literatur keilmuan. Hasil dan Pembahasan Menguatnya konservatisme Islam di Sumatera Barat, dilatar belakangi oleh beberapa hal, pertama, elit konsevatis dalam merumuskan kebijakan berdasarkan syari’ah di Sumatera Barat. Secara umum mengatur tiga aspek kehidupan publik: (1) pemberantasan kejahatan sosial, terutama prostitusi dan perjudian (PEKAT); (2) penghormatan pada ibadah wajib umat Islam seperti membaca Al-Qu’ran, tentang wajib Berbusana muslimah, Wajib Baca Al-Qur’an untuk Siswa dan Pengantin; (3) Tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh. Kedua, sikap politik ormas Islamis dalam menolak merespon modernisasi, dan juga isu-isu yang berkaitan dengan kebebasan beragama, Seperti: Tolak Pembangunan Rumah Sakit Siloam atau LIPPO Group, dengan mengedepankan isu agama, yaitu kristenisasi di Kota Padang (2013-2016); Tutup Pembakaran Mayat (krematorium) di Perkempungan Warga Etnis Tionghoa di Kota Padang (2017); dan lain sebagainya. Perda Syari’ah dan Elit Konservatif Sebagai salah satu daerah yang menerapkan kebijakan bernuansa syari’ah, kebijakan perda syari’ah juga menuai pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Sebagai sebuah kebijakan publik, setiap formulasi kebijakan dalam mengatur kepentingan umum, tidak dapat dilepaskan dari proses politik yang melatar-belakangi sebuah kebijakan diimplementasikan. Kebijakan berdasarkan syari’at semakin meningkat di tingkat local, seiring dengan banyaknya daerah-daerah lainnya yang menerapkan kebijakan perda syari’ah.240 Sesungguhnya kebijakan-kebijakan berdasarkan syariah 240 Delmus Puneri Salim, The Transnational and the Local in the Politics of Islam, the Case of West Sumatera, Indonesia (Springe, 15), hlm 7. 181 dalam otonomi daerah sendiri menjadi ambigu, dimana di satu sisi peraturan yang berdasarkan syariah sendiri diundangkan demi memperbaiki akhlak dan moralitas, sementara disisi lainnya perda syariah juga dipandang tidak perlu, karena sudah diatur dalam perda konvensional. Pihak yang keberatan terhadap kebijakan berdasarkan syari’ah tidak hanya muncul dari kalangan non muslim, melainkan juga sebagian kecil kelompok elit muslim. Sikap dalam memandang kebijakan syari’ah di intenal elit muslim juga berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Elit konservatis memiliki peran yang sangat penting dalam menerapkan kebijakan berdasarkan syari’ah di Sumatera Barat. Elit konservatis tidak hanya mereka yang berasal dari internal pemerintah atau elit pemerintah, yaitu eksekutif dan legislatif, akan tetapi juga didukung oleh elit diluar pemerintahan, misalnya orang yang berasal dari kalangan akademisi, yang menjadi tim ahli pemerintah kota dalam merumuskan serta memberikan pandangan-pandangan terkait penerapan kebijakan berdasarkan syariah di Sumatera Barat. Para elite di Kota Padang menginginkan nilai-nilai filosofi ABS-SBK itu memiliki landasan hukum yang kuat dalam penerapannya, agar kebijakan tersebut dapat dipatuhi oleh masyarakat. Pada konteks ini, terjadi semacam peleburan beberapa ormas Islam dalam hal penerapan syariat Islam. Mereka saling memperkuat posisi dalam memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam. Di samping itu, antara satu pengurus dan pengurus yang lain sering melebur dengan organisasi Islam lainnya. Tujuannya, agar mereka juga bisa memengaruhi semua organisasi yang ada, untuk berjuang menegakkan syariat Islam, sekaligus mereka tidak mudah terdeteksi. Contohnya, Irfianda Abidin, di samping menjadi ketua di KPSI Sumatera Barat, dia juga menjadi pengurus di Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM), Paga Nagari Sumatera Barat, dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Pusat. Semua organisasi ini dapat digunakan untuk menyuarakan penerapan syariat Islam di Sumatera Barat. Dalam beberapa pertemuan, mereka saling menunjukkan kerja keras dalam merealisasikan agenda ini. Penerapan syariat Islam yang diperjuangkan oleh HT, Salafi, FPI, dan KPSI, merujuk pada apa yang pernah dilakukan 182 oleh Nabi, sesuai dengan jamannya. Sementara keinginan kelompok ini, menjadikan kondisi sekarang sama seperti jaman Nabi. Tentu hal tersebut merupakan sesuatu yang sulit direalisasikan. Tetapi secara substansi tanpa menformalisasikan, nampaknya akan mudah mendapat dukungan yang kuat.241 Selain itu, dalam upaya merumuskan kebijakan dan memperkuat argumentasi dalam munculnya kebijakan berdasarkan syariah, melibatkan MUI sebagai tim ahli dalam perumusan kebijakan berdasarkan syariah ini. Mereka juga digunakan sebagai sarana pembentukan opini publik untuk menghimbau masyarakat, bahwa kebijakan berdasarkan syariah tersebut perlu diterapkan. Elit konservatif juga memiliki kepentingan politik dalam melanggengkan kekuasaannya dengan menerapkan kebijakan berdasarkan syari’ah. Kebijakan berdasarkan syariah ini tentu akan berdampak secara luas kepada masyarakat, sebagai salah satu solusi untuk mengatasi lunturnya nilai-nilai ABS-SBK di Sumatera Barat. Dari kacamata kepentingan politik, dapat juga diartikan bahwa kebijakan berdasarkan syariah Islam, pada umumnya, ditujukan untuk kepentingan politik jangka pendek para elite di masingmasing wilayah, yaitu agar terpilih lagi pada Pilkada berikutnya. Kebijakan berdasarkan syariah seringkali digunakan sebagai alat untuk kepentingan pencitraan elite politik yang sedang berkuasa, dan untuk mempertahankan tingkat kepercayaan publik terhadap penguasa eksekutif dan lembaga legislatif di suatu wilayah. Selain itu, kebijakan berbasis syariat Islam juga menjadi semacam modal awal investasi politik untuk meraih simpati pemilih muslim dalam Pilkada, apalagi daerah tersebut mayoritas dihuni oleh masyarakat yang beragama Islam, yang tentunya sangat menyukai kebijakankebijakan berbasis agama.242 241 Zainal, Gerakan Islamis di Sumatera Barat Pasca Orde Baru, MIQOT Vol. XXXVIII No.2 Juli-Desember 2014. 242 Heru Permana Putra, Kepentingan Elit Politik dalam Kebijakan Berdasarkan Syari’ah di Kota Padang, Tesis, Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia, tidak diterbitkan. 183 Elit konservatis dalam menerapkan kebijakan berdasarkan syari’ah juga didukung oleh partai politik yang terdapat di legislatif. Karena dengan dukungan elit politik dan partai politik, kebijakan syari’ah bisa diformulasikan dalam bentuk peraturan perundangundangan. Kebijakan berdasarkan syari’ah merupakan bagian dari inisiasi elit konservatif supaya tidak terjerembab dalam kehidupan sekuleris. Konservatisme Ormas di Sumatera Selain konservatisme Islam dalam konteks regulasi kebijakan berdasarkan syari’at, konservatisme juga menguat dalam bentuk ormas-ormas Islami dalam menyikapi isu-isu pembangunan di Sumatera Barat. Konservatisme ormas ini misalnya dalam bentuk penolakan yang dilakukan oleh sejumlah ormas Islam terhadap pembangungan Rumah Sakit Siloam di Kota Padang dengan alasan kristenisasi. Secara umum, alasan penolakan ormas Islam dalam menolak pembangunan Superblock Siloam di Kota Padang, pertama, tidak adanya koordinasi antara pemerintah Kota Padang dengan DPRD Kota Padang terkait investasi Lippo Group di Kota Padang. Padahal DPRD adalah wakil dari masyarakat Kota Padang, DPRD Kota Padang seperti tidak dianggap oleh Pemkot Padang. Kedua, belum adanya studi kelayakan dan izin Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) Superblock milik Lippo Group dari institusi yang berwenang. Ketiga, karena James T. Riadi (CEO/Chief Executive Officer) Lippo Group adalah penerus keluarga Muchtar Riadi, yang merupakan pendeta internasional yang berguru kepada Pat Robertson, yang dikenal sebagai misionaris internasional, dan sempat mencela umat Islam pada tahun 2006. Keempat, terkait dengan nama Siloam yang diambil dari kitab Nasrani yang berarti air suci, ada juga yang mengartikan Siloam yang di utus oleh Tuhan masyarakat Nasrani. Hal ini merupakan simbolsimbol agama Nasrani. Jika diperhatikan, logo Lippo Group ada ular yang melingkari tiang dan ada merpati yang siap menerkam. Maksud 184 dari logo tersebut dalam kitab suci Nasrani, ular adalah kecerdikan dan merpati lambang ketulusan. Superblock Siloam dikhawatirkan dapat menggerus nilai-nilai Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah di Ranah Minang. Kelima, alasan aqidah yaitu: pembangunan rumah sakit Siolam merupakan ajang Kristenisasi. Karena misi Kristenisasi berdampak pada tiga modus: pelayanan publik dan bantuan rescue, pendidikan dan penyebaran kependudukan melalui pengusaha yang bergerak di bidang properti. Keenam, alasan ekonomi di mana Kota Padang tidak membutuhkan investasi dalam bentuk mall, rumah sakit, hotel dan sekolah Kristen. Apalagi dengan datangnya rumah sakit Siloam, yang merupakan rumah sakit besar di Indonesia, tentunya akan melumpuhkan rumah sakit lokal secara perlahan-lahan. Demikian juga dengan jumlah fasilitas sekolah kristen di kota Padang, sudah lebih dari cukup. Ketujuh, alasan hukum karena Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tidak ada, dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tidak dipedulikan, karena kawasan Khatib Sulaiman (tempat pembangunan rumah sakit Siloam) diperuntukkan sebagai tempat perkantoran Dinas Provinsi Sumatera Barat. Ketujuh alasan sosial-budaya yang bertolak-belakang dengan “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai,” dan akan membuat kondisi sosial di Kota Padang menjadi tidak stabil. Padahal, penolakan ormas keagamaan dalam menolak pembangunan di Kota Padang menyimpulkan beberapa kesimpulan, pertama, penolakan pembangunan RS Siloam yang dilakukan oleh ormas keagamaan dengan alasan kristenisasi sukar untuk dibuktikan. Ormas Islam mengedepankan isu-isu kristenisasi dalam menolak pembangunan RS Siloam, terkesan lebih banyak mengedepan politisasi agama dalam merespon pembangunan RS Siloam di Kota Padang Kedua, penolakan ormas Islam dalam pembangunan RS Siloam di Kota Padang dengan alasan tidak memenuhi adminsitrasi 185 AMDAl dan tata ruang perkotaan, sebagaimana yang terdapat di Jalan Khatib Sulaiman sebagai kawasan perkantoran, bukan kawasan bisnis, ternyata semua adminstrasi sudah dilengkapi oleh RS Siloam. Hal ini terbutkti dengan peletakan batu pertama yang dihadiri oleh sejumlah tokoh pemerintahan daerah dan provinsi dan nasional. Selain itu, saat ini tengah dibangun juga pusat perbelanjaan yaitu Carrefour juga yang terdapat di Jalan Khatib Sulaiman, yang sejajar dengan pembangunan RS Siloam, namun tidak menuai penolakan oleh masyarakat. Ketiga kalau memang isu kristenisasi yang dikedepakan, pihak RS Siloam juga sudah bersedia mengganti RS Siloam dengan RS International Hospistal, dan juga tidak adanya diskriminasi terhadap karyawan yang menginginkan untuk menggunakan jilbab, dan selain itu, mereka juga besedia untuk membangun mushallah disetiap lantai, untuk keperluan umat Islam yang ingin melaksanakan ibadah. Keempat, terdapat banyak kepentingan dalam menolak pembangunan RS Siloam di Kota Padang, mulai dari pebisnis lokal dan juga Rumah sakit lain yang terdapat di Kota Padang, sehingga pembangunan RS Siloam belum mendesak untuk dilakukan. Kasus penolakan terhadap pembangunan Rumah Sakit Siloam yang disebutkan di atas merupakan salah satu potret dari menguatnya arus konservatisme Ormas di Ranah Minang. 186 Daftar Pustaka Assyaukanie, Luthfi. Ideologi Islam dan Utopia, (Jakarta: Freedom Institute, 2011) Effendy, Bachtiar. Islam dan negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Yayasan Abad Democrasi) Hunter, Shireen T. Politik Kebangkitan Islam: Keragaman dan Kesatuan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001) Huntington, Samuel P. Gelombang Demokratisasi Ketiga (Jakarta: Pustaka Utama Graviti, 2001), Hasan, Noorhaidi. Laskar Jihad: Islam, Militansi dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca Orde Baru, (LP3ES Jakrta & KITLV-Jakarta, 2008) --------------------- Islam Politik di Dunia Kontemporer, Konsep, Genealogi, dan Teori, (Yogyakarta: Suka Press-UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012) Latif, Yudi. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, (Bandung: Mizan, 2005) Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) Means, Gordon P. Political Islam in Southeast Asia, (United State of America in 2009 by Lunne Rienner Piblishes, Inc) Nashir, Haedar. Gerakan Islam Syariat Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. (Jakarta: PSAP. 2007) Rahmat, M. Imdadun. Ideologi Politik PKS dari Masjid Kampus ke 187 Gedung Parlemen, (Yogyakarta: LKIS, 2008) -------------------- Arus Baru Islam Radikal: Transimisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, (Jakarta: Penerbit Elangga, 2007) Syamsa, Fata Badrus (ed.). Agama dan Kontestasi Ruang Publik (Jakarta: The Wahid Institute) Sukmana, Oman. Konsep dan Teori Gerakan Sosial, (Malang: Intrans Publishing Malang, 2006), Tibi, Bassam. Islam dan Islamisme, (Bandung: Mizan, 2016) Wiktorowicz, Quintan (ed.). Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi) Zada, Khamami. dan Arafah, Arif R. Diskursus Politik Islam (Jakarta: LSIP, 2004) 188 PEMENUHAN HAK SIPIL DAN POLITIK BAGI PENGHAYAT KEPERCAYAAN Destara Sati Gagasan negara-bangsa (nation-state) yang dikemukakan para pendiri bangsa Indonesia bukanlah konsep negara-bangsa yang semata-mata mendasarkan diri pada persamaan ras, bahasa, dan agama. negara-bangsa adalah gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh bangsa, berdasarkan kesepakatan bersama, yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum.243 Clifford Geertz244 mengatakan bahwa negara-negara kebangsaan (nationstate) yang baru biasanya dihadapkan pada dilema antara integrasi dan demokrasi karena negara kebangsaan membutuhkan keduanya (integrasi dan demokrasi) sekaligus, padahal watak keduanya bertentangan.Demokrasi berwatak membuka keran kebebasan agar semua aspirasi tersalur, sedangkan integrasi berwatak ingin membelenggu persatuan dan kesatuan kokoh. 243 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, diterbitkan oleh: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hal. 811. 244 Clifford Geertz, “The Integrative Revolution, Primordial Sentiments and Civil Politics in The New States” dalam Jason L. Finkle dan Richard W. Gable, Political Developement and Social Change,” John & Sons Inc. 2nd edition, 1971, sebagaimana dikutip dari Moh. Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Press, Jakarta, 2009, hal. 34-35. 189 Demokrasi dibutuhkan karena negara kebangsaan dibangun dari berbagai ikatan primordial245 yang semua aspirasinya harus diagrerasi secara demokratis, sedangkan integrasi mutlak juga dibutuhkan karena tanpa integrasi negara bisa hancur.Tegasnya dilema itu muncul karena jika demokrasi dibuka maka integrasi bisa terancam karena ketegangan antarikatan primordial, tetapi jika integrasi harus ditegakkan maka demokrasi relatif harus dikorbankan karena harus ada sentralisasi dan penguatan negara.Dengan demikian, negara kebangsaan dituntut untuk mengelola baik dan hati-hati agar demokrasi dan integrasi bisa berjalan tanpa saling meniadakan.246 Nation-state, seperti dikemukakan oleh Giddens247, merupakan seperangkat bentuk institusional pemerintahan yang mempertahankan satu monopoli administratif terhadap suatu wilayah dengan batasbatas tertentu dimana kekuasaannya dijalankan melalui hukum serta kontrol langsung atas sarana-sarana kekuasaan internal maupun eksternal.Organisasi negara diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.248Kesepakatan bersama atau persetujuan (consensus) diantara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang 245 Ikatan primordial yang dikuatkan secara integrasi ke dalam satu bangsa terdiri dari agama, suku, ras, daerah, dan bahasa.Ikatan primordial di Indonesia biasa dikenal SARA singkatan dari suku, agama, ras, dan antargolongan. 246 Ibid., hal. 35. 247 Anthony Giddens, Power, Property, adn the State, Vol. 1 Contemporary Critique of Historical Materialism, Barkeley dan Los Aangeles, University of California Press, 1981, hal. 190, sebagaimana dikutip dari Moh. Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Press, Jakarta, 2009, hal. 35-36. 248 William G. Andrews, dalam bukunya Constitutions and Constitusionalism, 3rd edition, 196,) menyatakan: “ The members of political community have, but definition, common interest which they seek to promote through creation and use of the cumpolsory political mechanism we call the State”, Van Nostrand Company New Jersey, hal. 9, sebagaimana dikutip dari Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Konpress, 2005, hal. 21. 190 diidealkan berkenaan dengan negara merupakan basis pokok dari konstitusionalisme negara modern. Kesepakatan bersama atau consensus menjamin tegaknya konstitusionalisme di jaman modern yang pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu249: 1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government). 2. Kesepakatan tentang “the rule of law” sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government). 3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedurprosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures). Kesepakatan/konsensus pertama, yaitu berkenaan dengan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mungkin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme. Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis pemerintahan didasarkan aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan/konsensus kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas “the rule of the game”. Hukum dipandang sebagai kesatuan sistem yang pada puncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar yang tidak lain adalah konstitusi. Sementara kesepakatan ketiga berkenaan dengan: (a) bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang 249 Ibid., hal. 21 191 mengatur kekuasaannya, (b) hubungan antar organ-organ negara itu satu dengan yang lain, dan (c) mengatur hubungan antara organorgan negara itu dengan warga negara.250 Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu: Pertama, hubungan antara pemerintahan dengan warga negara; dan Kedua, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Karena itu biasanya, isi konstitusi dimaksudkan untuk mengatur mengenai tiga hal penting, yaitu: (a) menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara, (b) mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain, dan (c) mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga dengan warga negara.251Dengan demikian, salah satu materi penting dan selalu ada dalam konstitusi adalah pengaturan mengenai hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara. Dalam suatu negara hukum, mengharuskan adanya pengakuan normatif dan empirik terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hierarkis yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan diri pada aturan hukum.252 Dalam pendekatan “producer’s perspective”, semua pihak baik orang maupun institusi pembuat atau yang menetapkan hukum, dipandang sebagai produsen.Mereka ini biasanya dalam posisi yang dominan karena dapat menentukan sesuatu yang berlaku dan mengikat untuk umum. Karena keputusan mereka, semua warga negara, warga masyarakat, ataupun warga sesuatu organisasi yang menjadi subjek hukum - suka atau tidak suka - dipaksa untuk tunduk dan taat kepada norma aturan yang diberlakukan itu. Karena itu, 250 Ibid., hal. 21-23 251 Ibid.,hal. 23-24 252 Ibid., hal. 324 192 institusi-institusi ataupun jabatan-jabatan dalam struktur organisasi kemasyarakatan ataupun kenegaraan itu, dapat disebut sebagai produsen peraturan.Sedangkan para subjek hukum yang terpaksa harus menerima kenyataan diikat dan harus tunduk kepada normanorma aturan yang ditetapkan oleh pejabat atau institusi yang diberi wewenang itu kita sebut sebagai konsumen peraturan.253 Jika melihat persoalan penegakan hukum hanya dari sudut pandang produsen, pemahaman mengenai penegakan hukum bersifat sempit, yaitu hanya dalam arti penegakan peraturan.Makin tegas upaya penegakan hukum itu dilaksanakan, makin cenderung terjadinya ketidakadilan.Sebaliknya, jika memahami persoalan pembangunan dan penegakan hukum dari sudut pandang konsumen, maka yang cenderung ditonjolkan adalah soal perasaan ketidakdilan yang telah dialami atau mungkin dialami oleh korban atau oleh masyarakat umum yang merupkan pihak konsumen peraturan yang diberlakukan.Makin mendalam perasaan ketidakadilan itu dialami, makin kuat pula upaya untuk memperjuangkan ide-ide yang pada umumnya didasarkan atas sikap perlawanan terhadap pihak produsen.Agar pandangan mengenai pembangunan dan penegakan hukum itu integral, maka sudut pandang haruslah komprehensif, yaitu dengan melengkapi pemahaman dengan menggunakan perspektif produsen dan juga konsumen.254 Hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi.Prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat dijalankan beriringan sebagai dua sisi mata uang.Paham negara hukum yang demikian dikenal sebagai negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat).Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan semata.Sebaliknya, demokrasi memerlukan instrumen hukum untuk mencegah munculnya mabokrasi (bentuk pemerosotan dari demokrasi) yang mengancam 253 Ibid., hal. 118 254 Ibid., hal. 119. 193 pelaksanaan demokrasi itu sendiri.255 Menurut Prof. JimlyAsshiddiqie, dua hal yang memengaruhi perkembangan gagasan negara hukum demokratis adalah mengenai pembatasan kewenangan dan hak asasi manusia. Persoalan hakhak asasi adalah persoalan yang timbul sebagai akibat terjadinya ketegangan antara yang berkuasa dengan yang dikuasai, antara yang memerintah (the ruler, the governor) dan yang diperintah (the ruled, the governed).256 Di Indonesia, perdebatan pengaturan HAM dalam peraturan perundang-undangan berlangsung sejak berdirinya negara.257 Perdebatan ini dimulai sejak pembuatan naskah UUD 1945. Perdebatan yang terjadi bertitik pangkal pada apakah negara harus mengatur HAM atau tidak. Menurut Soekarno, Indonesia harus dibangun sebagai negara kekeluargaan. Pendapat Soekarno ini didukung oleh Soepomo yang juga berpendapat tidak perlu memasukkan pengaturan mengenai HAM dalam Undang-Undang Dasar. Soepomo dengan sadar membenturkan paham kekeluargaan dan hak-hak warga negara yang disebut Soekarno sebagai paham liberal dan individual. Akibatnya, dengan sendirinya hak-hak tersebut termasuk ke dalam ranah individualisme dan liberalisme. Namun pandangan dan pendapat Soekarno serta Soepomo ini ditentang oleh Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin yang menginginkan agar hak-hak asasi manusia diatur dalam UUD. Kekhawatiran Hatta adalah bahwa tidak adanya jaminan atas hak tersebut dalam UUD akan menjadikan negara yang baru dibentuk menjadi negara kekuasaan. Pendapat Hatta ini diperkuat oleh 255 Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum.., op. cit.,hal.690. 256 Ibid., hal. 590. 257 Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VIII Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia, dan Agama, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, cetakan pertama, 2008, hal. 22-24. 194 Muhammad Yamin yang menginginkan warga negara mendapatkan hak, dan hak tersebut dilindungi. Akhirnya perdebatan para founding parents menghasilkan kompromi, sehingga dimasukkan beberapa ketentuan hak asasi manusia dalam UUD 1945. Hak Asasi Manusia tidaklah dapat tegak dengan sendirinya. Tegak tidaknya hak asasi manusia akan selalu terkait dengan peran dan kualitas kehidupan kenegaraan. Tentang perlunya negara-negara menjamin hak asasi manusia terdapat dalam Preambule Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam alinea ketiga preambule tersebut tercantum kalimat penting: “Whereas it is essential, if man is not to be compelled to have recourse, as a last resort, to rebellion against tyranny and oppression, that human rights should be protected by the rule of law.”258 Artinya: “Bahwa jika kita tidak ingin memaksa orang untuk memberontak sebagai upaya terakhir untuk menentang tirani dan penindasan, sungguh teramat penting untuk menjamin hak asasi manusia melalui tegaknya hukum.” Paham hak asasi manusia lahir pada jaman dimana strukturstruktur sosial, ekonomi, dan politik tradisional atau feodal mulai diganti dengan struktur-struktur masyarakat industri yang terutama ditentukan oleh rasionalisasi di bidang ekonomi. Kebutuhan akan pengakuan hak asasi manusia dengan jelas sekali muncul pada waktu hukum keuntungan ekonomis mau menjadi diktator pola kehidupan bersama manusia. Terhadap keganasan kekuatankekuatan ekonomis itu, dan kemudian terhadap kecenderungan negara yang semakin totaliter, manusia individual –yang secara tradisional dilindungi oleh kelompoknya- dirasa perlu dilindungi. Perlindungan itu tercapai di tingkat normatif dengan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia.259Dengan kata lain, meskipun struktur-struktur sosial tradisional pernah sanggup untuk menjamin manusia dalam martabatnya tanpa adanya sarana hukum seperti hak 258 The Universal Declaration of Human Rights, 1948. 259 Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, PT. Gramedia, Jakarta, 1987, hal. 140. 195 asasi manusia, namun semakin struktur itu digeser oleh yang bersifat “modern”, semakin pula masyarakat di dalam struktur tradisional ini tidak terlindungi lagi, kecuali hak-haknya sebagai manusia diakui secara tegas.260 Indonesia adalah negara yang sangat majemuk dengan ratusan lingkungan etnis.Wilayah-wilayah di Indonesia tidak mengalami perkembangan yang sama.Dalam keadaan yang demikian, diperlukan kehati-hatian yang luar biasa pada aparatur negara agar mampu mendudukan diri di atas konfigurasi masyarakat Indonesia yang demikian majemuk.Sebab hukum yang dibuat dengan mind-set modern tanpa mempedulikan dan mengantisipasi efeknya di tingkat lokal, bisa melahirkan produk hukum yang bersifat kriminogenik (Tanya, 2000).261Posisi hukum adat terhadap hukum negara berbeda dari posisinya berhadapan dengan hukum kolonial.262Hukum kolonial tidak merasa hukum adat bagian dari tubuhnya.Konfigurasi sekarang sudah berubah sekali.Hukum adat adalah bagian organik dari hukum negara.Maka jika rusak hukum adat, rusak pulalah sebagian dari tubuh negara itu.Hukum negara sangat berkepentingan untuk menjaga dan memelihara hukum adat.Tetapi para ahli hukum kita bertindak terlalu normatif tanpa kesadaran anthropologis dan sosiologis yang cukup. Pertama-tama263, agar pemerintahan negara lebih dulu melakukan reposisi mengenai kedudukan mereka berhadapan dengan hukum adat.Indonesia mempunyai pengalaman sejarah kolonial dan sekarang sudah menjadi negara merdeka. Apabila pemerintah kolonial mengatur, maka ia akan mengiris ke dalam daging orang lain. Hal ini tentu tidak akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap bangsanya sendiri. Setiap kali mengiris, ia akan mengiris ke 260 Ibid., hal. 142. 261 Satjipto Rahardjo, Hukum Adat Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam Masyarakat Hukum Adat: Inventarisasi Dan Perlindungan Hak, Jakarta, Komnas HAM, MK RI, Departemen Dalam Negeri RI, 2005, hal. 46. 262 Ibid., hal. 47. 263 Ibid., hal. 51-52. 196 dalam daging sendiri. Sindrom pemerintah kolonial dan memerintah secara kolonial hendaknya dijadikan sebagai bahan refleksi, yaitu merenungkan kembali tentang apa yang sebaiknya dilakukan oleh suatu pemerintahan negara merdeka. Kedua, menyadari bahwa masyarakat lokal dan hukum adat adalah bagian dari tubuh negara dan merupakan darah daging negara sendiri.Maka posisi negara disarankan tidak antagonis tetapi protagonis pada saat dihadapkan kepada masyarakat lokal dengan sekalian hukumnya.Ketiga, memang pemerintahan negara memiliki hak istimewa untuk mengatur dan mencampuri masyarakat. Dalam konteks sosio-anthropologis Indonesia, hak tersebut sebaiknya ditundukan kepada semangat turut merasakan (emphaty), memedulikan (concern) serta menjaga (care) terhadap bagaimana masyarakat menerima hukum adat mereka dan hukum lokal mereka. Memerintah negara dan bangsa yang begini majemuk tidak bisa hanya dengan otak, tetapi lebih dengan hati nurani. Keempat, sebaiknya pengetahuan kita tentang hukum adat diperkaya dengan hukum lokal, sebagai suatu tipe tersendiri (distinct). Hukum adat sudah memperoleh pemahaman yang lebih seksama, sejak ia sudah berusia ratusan tahun. Hukum adat adalah hukum yang beranyaman erat dengan adat, nilai-nilai setempat, dan agama. Kelima, para penjaga dan perawat hukum Indonesia hendaknya bisa memperbaiki kesalahan yang dilakukan di masa lalu, yaitu telah “membiarkan hukum adat dimakan oleh hukum negara”(baca: hukum modern). Di berbagai tempat, hukum adat telah menunjukan kemampuan untuk menjadi pengorganisir masyarakatnya secara baik, kendati Indonesia menggunakan hukum modern untuk seluruh wilayahnya.Hukum tidak hanya bisa melihat ke dalam dirinya sendiri dan berpatokan pada “rules of logic”264. negara hukum tidak hanya membutuhkan praksis yang didasarkan pada “the logic of law”, melainkan juga pada “social reasonableness”. “The development of the law gradually works out what is socially reasonable” (Renner, 1969). 264 Ibid., hal. 55. 197 Politics of recognition, bagaimana sebuah kebijakan politik mengelola kemajemukan dalam sebuah negara.Identitas agama, etnis atau sentimen primordial lainnya biasanya lebih memiliki acuan kultural. Menempatkan sentimen kebangsaan menjadi subordinat dari kepentingan politik nasional, menghasilkan retakan perlawanan atas nama kebangsaan itu sendiri. Dalam berbagai pengalaman berbagai negara, diskursus tentang konsensus nasional dan kepentingan nasional kerap harus diwarnai dengan debat berkepanjangan, kecuali jalan pintas yang sering dilakukan oleh rezim otoriter melalui dominasi dan hegemoni untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat. Konsensus nasional dan hakekat kepentingan nasional merupakan serial diskursus yang direproduksi oleh nationstate secara top down.265 Isu Etnisitas, kebangsaan, ketegangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, memiliki kaitan erat dengan sumber daya ekonomi dan kekuasaan politik. Dalam proses pembangunan nasional, diversitas kultural diasumsikan sebagai patologi modernisasi. Para penganjur teori modernisasi, menggarisbawahi anasir-anasir budaya yang terdapat dalam masyarakat sebagai antithesis dari modernisasi.Diversitas kultural yang mendasarkan pada kolektivitas ini dipandang sebagai anomali, maka harus diretas dan diubah menjadi mental modern. Bertolak dari kebutuhan untuk memuluskan ide-ide modernisasi ini, beberapa kajian politik di beberapa negara harus mengorbankan akar-akar budaya, ikatan Etnisitas, kebangsaan dan agama yang dianggap tidak mendukung semangat pencerahan modernitas.266Paradigma semacam inilah yang kemudian mendorong lahirnya kebijakan politik pembauran nasional. Melalui kebijakan ini diharapkan sentimen dan semangat kolektif atau segala atribut politik identitas yang tidak bersepadan dengan negara diluruhkan, setiap warga negara yang pada saat yang sama adalah warga sebuah 265 Hikmat Budiman, Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme Di Indonesia, Jakarta, Yayasan Interseksi/ The Interseksi Foundation, 2005, hal. 32. 266 Ibid., hal. 34. 198 bangsa, dimana sentimen kebangsaan tidak boleh berada di luar jangkar politik negara. Itulah dasar pijakan paling mendasar bagi eksistensi negara-bangsa.267 Kewarganegaraan secara permanen dihadapkan kepada tiga macam persoalan268, pertama, adalah subordinasi kewarganegaraan kepada ikatan-ikatan primordial dari suku, Etnisitas, atau agama. Kedua, subordinasi kewarganegaraan kepada kepentingankepentingan kekuasaan dari yang memerintah. Ketiga, subordinasi kewarganegaraan kepada perintah dari kepentingan-kepentingan ekonomis yang sering berpandangan pendek dan tidak bertanggung jawab, seperti program-program “pembangunan ekonomi”, dan sistem-sistem pengutamaan dan pengucilan terkait dengan kelas sosial.Prinsip kewarganegaraan merujuk kepada kekuasaan hukum yang menuntut agar semua kekuasaan tunduk kepada peraturanperaturan negara, dan di sisi lain juga mengutamakan “perspektif sipil” yang menuntut agar pertanyaan-pertanyaan mengenai legitimasi penggunaan kekuasaan dinilai, tidak dari segi pandangan pihak yang memerintah, melainkan dinilai dari segi warga negara. Prinsip kewarganegaraan menuntut adanya institusi-institusi untuk berpartisipasi secara demokratis, serta prosedur-prosedur yang memaksa suatu rezim yang memerintah untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban.269 Di dalam negara modern, identitas primordial telah dikontraskan dengan identitas kewarganegaraan, yaitu identitas yang dimiliki secara bersama oleh individu-individu sebagai warga negara, berdasarkan keanggotaannya di dalam komunitas politik atau negara.270 Padahal norma kewarganegaraan tidak menolak nilai identitas primordial, justru sebaliknya, norma tersebut menuntut 267 Ibid., hal. 35. 268 A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum Dan Perkembangan Sosial: Buku Teks Sosiologi Hukum: Buku III, Jakarta, Sinar Harapan, 1990, hal. 36-37. 269 Ibid., hal. 42. 270 Ibid., hal. 39. 199 agar identitas primordial dihormati. Kewarganegaraan juga tidak tidak menolak legitimasi identitas primordial sebagai dasar untuk menggalakkan aksi kelompok minoritas yang telah menderita karena diskriminasi, dan yang ingin berjuang untuk mendapatkan hak-hak kewarganegaraan yang sama.271 Perjuangan untuk mendapatkan hak-hak kewarganegaraan ini dilakukan oleh sejumlah penghayat kepercayaan yang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2)juncto Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.Judicial Review ini diajukan oleh Para Pemohon yang berjumlah empat orang, yakni Nggay Mehang Tana (penganut kepercayaan dari Komunitas Marapu di Sumba Timur, Pulau Sumba), Pagar Demanra Sirait (penganut kepercayaan Parmalim di Sumatera Utara), Arnol Purba (penganut kepercayaan Ugamo Bangsa Batak di Medan, Sumatera Utara), dan Carlim (penganut kepercayaan Sapto Darmo, yang terutama berkembang di Jawa). Para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU Administrasi Kependudukan bertentangan dengan beberapa Pasal dalam UUD 1945. Pertama, Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Indonesia adalah negara Hukum.” Kedua, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yanng menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Ketiga, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU Administrasi 271 Ibid., hal. 48. 200 Kependudukan bertentangan dengan hak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun yang dijamin dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, ”Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu.” Pasal 1 angka 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menyebutkan bahwa, “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golonngan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. Yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau pengunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.” Jaminan bebas dari diskriminasi ini ditegaskan dalam Pasal 26 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (Kovenan ICCPR yang diratifikasi pada Februari 2006) yang menyatakan bahwa, “Semua orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama, tanpa diskriminasi apapun. Mengani ini, hukum melarang segala diskriminasi dan menjamin kepada semua orang akan perlindungan yang sama dan efektif terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti kesukuan, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik dan lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran, atau status lain.” Bahwa prinsip non diskriminasi berdasarkan norma ICCPR mesti dipahami sebagai larangan terhadap semua bentuk “distinction, exclusion, restriction, or preference” dengan dasar apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, aliran politik atau pendapat lainnya., warga negara atau asal sosial, kepemilikan, kelahiran, dan status lainnya, yang bertujuan atau berdampak pada pengakuan, penikmatan, atau pemenuhan semua hak dan kebebasan manusia (General Comment Human Rights Committe No. 18 Non-discrimination, 1989). Adapun alasan pengajuan judicial review ini menurut Para 201 Pemohon adalah272 yang pertama yakni kebutuhan penganut kepercayaan akan kepemilikan agama resmi. Hal ini berkaitan dengan kepentingan dalam urusan kependudukan dan kebutuhan mengakses bantuan sosial dan layanan publik. Kedua, pewartaan yang sangat kencang dan sistematis dari agama-agama modern. Dengan segala kedigdayaannya, seperti pengorganisasian, kapasitas manusia, pendanaan agama-agama modern melakukan pewartaan secara sistematis dan masif, sehingga penghayat kepercayaan kian terdesak dan tertekan. Perpindahan agama diantara penganut agamaagama modern sangat kecil, kebanyakan karena alasan perkawinan. Pertambahan pemeluk paling besar diperoleh agama-agam modern dari penganut kepercayaan. Ketiga, perpindahan penghayat kepercayaan ke agama-agama modern tidak sulit da nyaris tidak menimbulkan tekanan sosial yang besar, jika dibandingkan bila hal itu terjadi diantara agama-agama modern. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa dengan menganut agama modern, penghayat kepercayaan memiliki akses dan peluang lebih besar untuk maju dan berkembang. Adapun keberadaan Pasal 64 ayat (1) juncto ayat (5) UU Administrasi Kependudukan yang mengosongkan kolom agama bagi penghayat kepercayaan, dianggap telah merugikan hak konstitusional Para Pemohon. Karena dengan tidak diisinya kolom agama di KTP Elektronik, berimbas pada pelanggaran dalam pemenuhan hak-hak kependudukan yang seharusnya bisa dinikmati oleh Para Pemohon. Bahkan dengan tidak dicantumkannya aliran kepercayaan di dalam KTP Elektronik Para Pemohon, telah terjadi diskriminasi dalam berbagai bentuk. Dengan identitasnya sebagai penghayat kepercayaan, perkawinan antara para penghayat kepercayaan yang dilakukan secara adat tidak diakui negara sehingga tidak bisa memiliki Akta Nikah dan Kartu Keluarga. Akibatnya pula, anak-anak mereka sulit untuk mendapatkan Akta Kelahiran. Anak-anak mereka juga kesulitan untuk mengakses pendidikan dan masuk sekolah tingkat dasar, sebagian anak-anak ini dipaksa harus mengikuti mata pelajaran pendidikan Agama Islam yang mana hal ini bertentangan 272 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/XIV/2016 hal. 6-7. 202 dengan keyakinan dan kepercayaannya.Permasalahan lain yang dialami oleh para penganut kepercayaan adalah kesulitan untuk memperoleh/melamar pekerjaan. Dalam beberapa kasus, penghayat kepercayaan masih mengalami kesulitan dalam pendaftaran TNI/ PNS. Untuk mendapatkan KTP Elektronik dengan mudah, sebagian penghayat kepercayaan meski berbohong menuliskan agama di luar kepercayaannya pada KTP Elektronik.273 Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada tanggal 18 Oktober 2017 memutuskan bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yakni sepanjang tidak termasuk “kepercayaan”.274 Adapun untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan, mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam, maka pencantuman elemen data kependudukan tentang agama bagi pengayat kepercayaan hanya dengan mencatatkan yang bersangkutan sebagai “penghayat kepercayaan” tanpa merinci kepercayaan yang dianut dalam KK maupun KTP Elektronik.275 Artinya, putusan ini telah menghapus tindakan diskriminatif bagi penghayat kepercayaan sebagai warga negara yang setara dengan penganut agama lain dalam mengakses pelayanan publik. Konstitusi dalam negara modern yang plural, memuat nilainilai luhur yang bersifat universal. Itulah sebabnya tidak ada suatu negara modern yang bhineka dan majemuk, yang konstitusinya secara langsung, harfiah dan mentah-mentah merujuk pada kitab suci agama tertentu, yang meskipun agama tersebut dianut oleh sebagian besar rakyat dari negara yang bersangkutan. Pola ini secara progresif telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW sebagai tokoh utama dari pembentukan negara Madinah yang modern dan plural dengan membentuk konsensusmelalui Piagam Madinah pada tahun 273 Ibid., hal. 8. 274 Ibid.,hal 154. 275 Ibid.,hal 153. 203 622 Masehi. Konstitusi negara Madinah adalah hasil negosiasi dan kesepakatan semua komponen masyarakat Madinah yang diperlakukan sama, meskipun berbeda latar belakang agama, suku, dan sosialnya.276 Pengakuan keberagaman suku bangsa dan penghormatan terhadap keberagaman agama erat kaitannya dengan konsep pemenuhan hak atau “al-Haqq” dalam kamus Islam. Al-Qur’an menggunkan kata “al-Haqq” untuk menunjuk pada arti kebenaran. Manunggalnya makna kebenaran dengan hak juga terjadi dalam bahasa Inggris “right”.277 Dalam Islam, konsep hak dibagi dalam dua kategori, yakni Hak Allah (Haqq Allah) atas manusia, dan Hak Manusia (Haqq al-‘Ibad) atas Allah dan atas manusia.278 Hak manusia atas tanggung jawab sesama dibagi ke dalam lima kategori: a) Hak manusia individu atas tanggung jawab dirinya sendiri; b) Hak manusia individu atas tanggung jawab individu lain; c) Hak manusia individu atas tanggung jawab masyarakat; d) Hak masyarakat atas tanggung jawab individu; dan e) Hak masyarakat atas tanggung jawab masyarakat yang lain. Para ulama bersepekat bahwa dalam hak Allah tidak dengan sendirinya ada hak manusia, tapi dalam hak manusia selalu ada hak Allah di dalamnya. Maka pemenuhan hak manusia sekaligus pemenuhan hak Allah, sebaliknya pengingkaran hak manusia sekaligus bermakna pelecehan atas hak Allah.279 Penghormatan atas keberagaman suku bangsa telah diterangkan dalam Al-Qur’an,yakni disebut sebagai “as-sya’b” yang bermakna sekelompok masyarakat yang dipersatukan oleh ikatan kebangsaan dan atau cita-cita dan sejarah kolektif bersama.280Di dalam ikatan kebangsaan juga terdapat ikatan kesukuan (Etnisitas) yang juga berkait kelindan dengan ikatan primordialnya masing-masing. Klaim 276 Farid Mas’udi, Masdar.,Syarah Konstitusi UUD 1945 Dalam Perspektif Islam., Pustaka Alvabet, Jakarta, 2010, hal. 4-5. 277 Ibid., hal. 9. 278 Ibid.,hal. 11. 279 Ibid.,hal. 12. 280 Ibid.,hal. 13. 204 atas suku dan bangsa sebagai entitas sosial dan politik dilindungi dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujarat (49): 13, “..dan Aku jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengakui dan berbuat baik..”Sejalan dengan ini, maka penjajahan dan penindasan dalam bentuk apapun baik terhadap individu maupun kolektif (dengan ikatan keyakinan, ide, kesukuan, atau kebangsaan tertentu) berlawanan dengan hak dan kemartabatan manusia.281 Upaya membangun kehidupan berbangsa dan bernegara atas landasan kebangsaan yang majemuk dan plural di atas bumi pertama kali dirintis oleh Rasulullah lebih dari 14 abad yang lalu. Piagam Madinah adalah sebuah konsensus yang kelahirannya jauh melampaui konstitusi negara modern.Relevansi substansinya jauh melampaui jamannya sehingga masih sangat layak untuk dijadikan rujukan terhadap pengakuan keberagaman suku bangsa dan penghormatan terhadap keberagaman agama yang dipeluk para penduduk Madinah kala itu.Konstitusi negara Madinah dibuat atas kesepakatan semua komponen masyarakat Madinah, “Inilah naskah perjanjian dari Nabi Muhammad SAW, antara orang-orang beriman dan umat Islam dari suku Quraisy dan Yatsrib, serta orang-orang yang menyertainya dan berjuang bersamanya; mereka adalah satu komunitas independen; orang-orang Muhajirin dari Quraisy berhak atas tradisinya; puak Auf berhak atas tradisinya; puak Sa’adah berhak atas tradisinya; puak Jusam berhak atas tradisinya; puak Amr bin Auf berhak atas tradisinya; puak al-Nubiet berhak atas tradisinya; dan puak al-Aus berhak atas tradisinya..”282 Piagam Madinah juga secara eksplisit memberikan perlindungan atas Kebinekaan agama, “Umat Yahudi Bani Auf adalah satu umat komunitas bersama orang-orang yang beriman; Bagi Yahudi Bani Auf agama mereka dan juga bagi umat Islam agama mereka; bagi Yahudi Bani Najjar apa yang berlaku bagi Yahudi Bani Auf, demikian pula bagi Yahudi Bani al-Harits, Yahudi Bani Sa’adah, Yahudi Bani Jusam, Yahudi Bani al-Aus, maupun 281 Ibid.,hal. 14. 282 Ibid., hal. 32. 205 bagi Yahudi Bani Tsa’labah.”283 Bagi bangsa Indonesia yang memiliki latar belakang yang sangat kompleks, pembentukan konstitusi memiliki dinamika yang menarik terutama mengenai ketentuan Sila Ketuhanan. Seperti yang tercatat dalam sejarah, tujuh kata setelah kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” diminta untuk dihapus. Tujuh kata tersebut adalah, “dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya.” Peristiwa ini mirip dengan yang terjadi pada rumusan Perjanjian Perdamaian Hudaibiyah (Sulh al-Hudaibiyah) antara Rasulullah dan sahabat-sahabatnya di satu pihak dengan para pemuka kaum Quraisy di lain pihak. Dalam draft yang disusun oleh Sahabat Ali r.a., terdapat kalimat “Bismillah ar-rahman ar-rahim” dan “Rasulullah”. Pihak Quraisy yang diwakili oleh Suhel dengan tegas menolak kalimat itu dengan dalih, “Jika kami menerimanya, untuk apa berunding?” Nabi Muhammad pun membuangnya dengan tangannya sendiri. Maka tercapailah kesepakatan damai antara kedua belah pihak. Sebagaimana yang dibuang dari Mukaddimah UUD 1945 yakni sebanyak tujuh kata, maka dalam Perjanjian Hudaibiyah juga ada tujuh kata yang dibuang yakni: Bi, Ism, Allah, Arrahman, Arrahim, Rasul dan Allah. (Lihat Tafsir Khazin, Juz V, hal. 444).284 283 Ibid., hal. 33. 284 Sebagaimana yang dikutip dalam Ibid.,hal. 34. 206 POTRET BURAM WAJAH ISLAM DI ERA KETERBUKAAN Andi Muslimin Pendahuluan Perkembangan dunia telah menciptakan wajah baru dalam dinamika informasi dan komunikasi yang memberikan peluang besar seluas-luasnya bagi setiap orang dalam menentukan tema, isi dan isudengan beragam situasi sesuai yang dikehandakinya. Konsekuensi yang harus diterima, karena dunia telah masuk dalam akses era keterbukaan. Informasi tidak hanya lagi sebagai letupan kecil, tetapi menjadi letupan keberlimpahan informasi, tidak hanya terbatas memberi, dan memperoleh informasi, tetapi juga terjadi transaksi pesan diruang publik. Pengakuan Donald Michael seperti dikutip Ziauddin Sardar bahwa pengendalian kehidupan dunia bisa dilakukan dengan semakin banyaknya informasi dan pengetahuan terbantahkan menunjukkan kebenaran. Faktanya semakin banyak informasi semakin disadari segala sesuatu tidak dapat dikendalikan. Globalisasi komunikasi informasi memberi pengaruh luar biasa kepada cara pandang, perasaan bahkan keputusan-keputusan seseorang.285 285 Lihat Sardar, Information and the Muslim World: A Strategy fo the Twentyfirst Century, diterjemahkan Priyono dan Ilyas Hasan dengan judul Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau Informasi Cet. I; Bandung: Mizan, 1988, h. 15. 207 Era keterbukaan yang telah memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk dapat menciptakan isi dan bentuk pesan sesuai selera masing-masing kerapmenghasilkan sejumlah persoalan dalam pemanfaatnya serta pendayagunaannya, karena acapkalikali dimanipulasi untuk melahirkan ketegangan dan konflik antara sesama umat beragama. Fenomena yang hampir terjadi dibelahan dunia manapun saat ini, keberlimpahan informasi telah menjadi ajang unjuk gigi kelompok keagamaan dalam menerasikan dan menyebarkan wacana keagamaan yang selama ini terkungkung di otak masing-masing, tidak terkecuali bagi umat Islam. Dalam panggung sejarah, Islam barangkali merupakan agama yang paling banyak mengalami konflik internal. Sejak masa awal, sepeninggal Nabi Muhammad Saw, konflik dan kekerasan hampir tidak pernah mereda dan menjadi fenomena kesejarahan, serta berlangsung dalam seluruh kurung waktu peradaban. Kepentingan kelompok umat Islam yang dilatarbelakangi oleh ambisi kekuasaan dan perbedaan faham ikut tumbuh dan berkembang, serta dapat memicu terjadinya konflik internal umat Islam.286 Drama pahit dengan kisah konflik dalam tubuh umat Islam, belum menjadi episode terakhir dalam dinamika sejarahnya. Bauran antara fakta dan berita yang berkembang diberbagai kanal informasi dan komunikasi saat ini, tidak lebih dari letupan dengan sudut menegangkan, santapan tentang rivalitas-rivalitas kelompok Islam yang semakin meningkat, membangkitkan amarah antara sesama umat Islam. Fakta aliran keagamaan yang keberagaman di kalangan umat Islam dari jaman ke jaman sampai hari ini adalah fakta yang tidak mungkin diingkari.Tapi dari beberapa pengalaman yang ada, seiring perubahan narasi informasi dan komunikasi, faktanya itu telah jauh berbeda, umat Islam telah mengingkari itu semua. Telah lahir satu sikap menciptakan ketegangan antara sesama penganut agama Islam, dari berbagai rentetan bauran fakta beragama dalam merespon 286 Lihat Tim Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan Balai Litbang Jakarta, “Mencari Solusi Konflik dan Kekerasan Internal Umat Beragama,” Laporan Penelitian, 2003. 208 perbedaan tidak lebih menginternalisasikan sikap dan respon yang sama-sama arogan dengan tensi menolak perbedaan maupun keberagaman yang terdapat dalam setiap kelompok keagamaan. Dalam catatan sejarah memori umat Islam, bagaimana konflik dan kekerasan yang pernah melanda umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad SAW pertikain-pertikaian muncul dengan berbagai rupa dengan berbagai drama perebutan singgasana kekuasaan kekhalifaan, yang harusnya menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi umat Islam di era keterbukaan seperti ini. Buktiberbicara lain. Hampir tak terbantahkan, Islam dalam cerita era keterbukaan tidak lebih jauh berbeda dari sebuah persaingan dan perpecahan antar sekte-sekte tidak pernah surut menggerogoti keharmonisan umat Islam, tirai lorong gelap rivalitas terus menggema tak dimakan usia. Menyisahkan tapal jejak hitam nan kotor merusakan keadaban dan peradaban Islam. Ketegangan, konfrontasi sampai dengan provokasi bersliweran dan menggema merusak nalar umat Islam, saling mempertontonkan berbagai narasi klaim kebenaran, menyalahkan dan menyudutkan antara sesama umat Islam. Spektrum yang membenamkan Islam dalam kubangan kotor kepentingan-kepentingan sekte-sekte yang sangat jauh dari misi Islam yang sesungguhnya. Diktum bahwa Islam adalah agama yang membawa panji kedamaian dan kesejukan, menjadi tidak selaras dengan meriahnya panggung perselisisan antar kelompok Islam, dengan perlombaan-perlombaan saling menyatakan dirinya paling benar. Umat Islam seharusnya menjadi corong dalam menemukan jalan kebenaran dan keadilan, tetapi sebaliknya malah sibuk menampilkan berbagai rivalitas dengan wajah yang sangat antagonistik, berusaha memenangkan dirinya sendiri, walaupun harus menampilkan wajah yang buas sekaligus menakutkan. Dalam suasana penuh emosional dengan monopoli klaim kebenaran, umat Islam menjadi umat yang saling menginvasi bangunan struktur moral beragama. Kita tentu menyaksikan berbagai kisah yang tampil dikanal-kanal informasi dan komunikasi, umat Islam saling beradu kuat dengan suara yang mengumandangkan ayat suci tapi sangat buas siap menerkam sesama umat Islam. Adalah riil 209 atas yang kita saksikan yang tidak dapat disangkal, bahwa umat Islam hari ini adalah umat yang tidak lebih kejam dengan berbagai dalih pembenaran, walaupun harus menghianati pesan-pesan kita suci kenabian. Jelas bahwa setiap pemahaman yang berdiri atas sikap rivalitas plus antagonist bukan solusi dalam menjawab berbagai tantangan yang dihadapi oleh umat Islam saat ini, selain menjadi biang keladi timbulnya perdebatan dan masalah-masalah baru antara beberapa kelompok kelompok yang berbeda. Fenomena kebaruan ini hanya melahirkan kemelut pertentangan yang hanya terus berkisar pada orientasi ideologis yang memahami Islam sebagai model dari sebuah riil atas (model of riil ity) atau model untuk sebuah riil atas (models for riil ity). Sangat jauh pada pokok-pokok ajaran Islam tentang bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem kehidupan sosial (little tradition). Pertentangan seperti ini tak ubahnya seperti perjudian yang semakin memperuncing pada masalah baru. Riil atasnya seperti itu, umat Islam saling mengawasi, mencari kelemahan dan titik lengah untuk siap saling menyerang satu sama lain. Umat yang terjangkiti sekaligus menjadi korban dari kelas-kelas ego dan keangkuhan menggumpal di ubun-ubun kalangan Islam. Dampaknya, memberi sense of identity yang membuat anggota suatu kelompok merasa berbeda dan memiliki superioritas dibanding kelompok lainnya. Setiap kelompok merasa bahwa kelompok istimewa; merasa diciptakan untuk hadir ke tengah semesta oleh kehendak supranatural dengan tujuan paling mulia. Masing-masing merasa memiliki lokus geografis, ekonomi, sosial-budaya dan teologi khusus dan lebih unggul dari kelompok-kelompok lainnya. Perasaan ini membuat setiap kelompok ingin mendapatkan ruang dan momentum yang unik dalam meng-ada (to exist) dan menjadi (to be) di tengah alam semesta. Pada gilirannya, perasaan menjadi “ pusat alam semesta” (center of the universe) ini semakin mengafirmasi superioritasnya di atas kelompok lainnya.287 287 Lihat Ahmad Syafii Maarif, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme 210 Pluralitas kehidupan pun menjadi kering-kerontang oleh sikap hanya ingin menang sendiri, dan mengokohkan sentimen yang bising dengan teologi maut sesama umat Islam. Ketidakmampuan menerima pluralitas menyebabkan suatu kelompok melakukan takfir (pengkafiran) terhadap kelompok lain. Akibatnya, perpecahanperpecahan menjadi biang keladi yang semakin merusak peradaban Islam dengan narasi sunyi para simposium yang menari sesuka hati di atas bangkai sesama umat Islam. Islam yang diharapkan membawa kedamaian dan ketenangan dunia, disisi para pengikutnya tidak lebih dari bara persengketaan dan pengkafiran antara sesama penganut dengan agama yang sama. Pada awalnya, takfir merupakan masalah teoritik yang berkaitan langsung dengan konsep keimanan, namun dalam perjalanananya, takfir lebih bersifat politis yang menyangkut kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Dalam sejarah Islam, takfir terbukti menjadi senjata yang sangat berbahaya bagi eksistensi kelompok lain, karena terdapat kelompok tertentu yang sangat fanatik sehingga dengan membabi buta menghakimi perbedaan pemahaman dan pemikiran, terutama berkaitan dengan perbedaan penafsiran ajaran agama-agama. Orang yang berbeda paham, dengan mudah dianggap sesat dan harus ditumpas dari permukaan. Bagi mereka, hanya pendapat mereka saja yang paling benar dan mewakili kebenaran agama sehingga tidak ada kebenaran lain di luar keyakinan mereka.288 Umat Islam mungkin telah lupa atau memang sengaja lupa, bahwa Islam adalah agama yang memiliki tujuan universal, yang tidak boleh dihukumi benar dan telah final kebenarannya berdasarkan sudut pandang dari keseluruhan penafsiran tertentu para penganutnya.Bahwa benar umat Islam diberikan kebebasan dan kemerdekaan dalam menafsirkan maksud kitab suci Al-Qur’an, Kita. Jakarat, Yayasan Abad Demokrasi, 2012 Hal. 84 288 Lihat Muhammad Yunis, Politik Pengkafiran dan Petaka Kaum Beriman: Sejarah Politik, dan HAM. Terj. Dahyar Afkar. Yogyakarta: Pilar Media, 2006 Hal. 6 211 tetapi tidak sekaligus menjadikan sebagai ukuran kebenaran yang berlaku universal yang harus serta merta diterima oleh yang lainnya. Lokalisasi kebenaran sepihak tentu sangat buruk bagi perkembangan Islam yang hanya akan mewujudkan disintegarasi antara sesama umat Islam. UmatIslam perlu segera berbenah untuk menghilangkan berbagai resistensi dari upaya memaksakan kebenaran, saling mempertanyakan keimanan seseorang masih ada atau tidak, yang sangat berbahaya karena akan semakin mempertajam konflik. Faktanya bukan saja berhenti pada saling mempertanyakan, tetapi saling berprasangka, menuduh dan mengeluarkan hukum dengan tuduhan masing-masing. Jelas, ini sebuah tindakan yang sangat paradoks, karena Islam bukan hanya mengajarkan nilai-nilai luhur, tetapi juga persatuan antara sesama umat Islam. Dalam hal ini umat Islam harus lebih menjunjung tinggi kesadaran untuk menciptakan perdamain dan keadilan. Perilaku yang tidak saling menerima perbedaan merupakan tindakan yang tidak hanya cenderung menghambat Islam, tetapi sekaligus memecah tali persaudaraan dan persahabatan antar sesama manusia, dan tentunya ini dapat mengganggu ketentraman masyarakat pada umumnya. Tentu kita semua sepakat bahwa tindakan penyelewangan nilai-nilai Islam adalah penghianatan terhadap Islam itu sendiri. Fenomena berIslam yang dipertontonkan di layar era keterbukaan saat ini sudah sangat mencemaskan, umat Islam sudah terkotak-kotak dengan pembenarannya masing-masing, dan telah membenarkan tindakan kriminal atau amoral. Telah menghilangkan pertimbangan etika sehingga teks-teks keagamaan seringkali dimaknai dan diplintir untuk tujuan-tujuan tertentu yang berjangka pendek. Menjadikan Islam sebagai alat untuk melegitimasi cara apapun demi kepentingan-kepentingan sesaat, yang bukan saja perilaku jahat tapi sangat biadab. Hal ini hanya akan melahirkan kesenjangan sosial yang memicu timbulnya kekerasan, yang tidak boleh dibenarkan. Perangai seperti ini adalah sikap dan moral keagamaan yang dangkal, yang pada gilirannya memunculkan pendangkalan integritas Islam. 212 Dinamika Narasi Islam Islam mungkin menjadi salah satu agama yang banyak mengalami gempuran masalah-masalah internal. Sejak sepeninggal Nabi Muhammad Saw, sampai saat ini masalah-masalah yang melibatkan antar sesama umat Islam tidak pernah berhenti dan mereda, menjadi fenomena kesejarahan yang berlangsung dalam seluruh kurun waktu yang sudah cukup lama. Nuansa ke- pentingan kelompok umat Islam yang berbeda-beda selalu menjadi latar belakang yang setiap saat dapat memicu terjadinya konflik internal umat Islam. Toto Suryana menyatakan, persatuan di kalangan muslim tampaknya belum dapat diwujudkan secara nyata. Perbedaan kepentingan dan golongan sering kali menjadi sebab perpecahan umat. Hal yang menjadi sebab perpecahan pada umumnya bukanlah hal yang bersifat mendasar. Perpecahan itu biasanya diawali dengan adanya perbedaan pandangan di kalangan Muslim terhadap sesuatu fenomena kecil.289 Agama yang memiliki kemajemukannya sendiri, baik pada karakteristik ajaran, umat dan juga simbol keagamaan. Hanya saja dinamika sejarahnya, perbedaan-perbedaan itu sering melahirkan berbagai konflik di dalam tubuh umat Islam. Perbedaan madzhab adalah suatu perbedaan yang nampak dan nyata. Kemudian lahir pula perbedaan ormas keagamaan. Walaupun satu aqidah yakni aqidah Islam, namun perbedaan sumber penafsiran, penghayatan, kajian terhadap al-Qur’an dan al- Sunnah terbukti mampu mendisharmoniskan intern umat Islam. Disharmonisasi umat Islam efek dari pertikaian bersifat partisan kelompok Islam adalah biang busuk yang telah berlaku dalam sejarah Islam, dengan berbagai pembenaran-pembenaran walau menghianati pesan utama dari agama Islam. Adegan-adegan dan tahap-tahap yang sangat menarik untuk dilihat dari maraknya fenomena busuk yang mengatasnamakan Islam, adalah tindakan yang ditujukan untuk mencapai sasaran tertentu, 289 Lihat A. Toto Suryana Af. Islam Pola Pikir, Perilaku dan Amal. Bandung: CV. Mughni Sejahtera, 2008 Hal. 127 213 dengan dalih membela Islam sebenarnya digunakan untuk menutupi berbagai kepentingan, yang tidak sedikit berbentuk ancaman atau bujukan untuk saling menghasut sesama umat Islam. Pada faktanya ini yang terjadi. Sangat tidak mungkin, melihat fenomena jahat ini hanya sebagai sebuah kesalahan berfikir kalangan Islam, karena hubungan setiap tindakan pasti memiliki hukum penyebab yang memengaruhi setiap tindakan seseorang. Serta sangat tidak mungkin juga melihat fenomena ini hanya sebagai suatu yang kebetulan, karena seandainya hanya bersifat kebetulan, niscaya ia tidak akan terulang. Yang kita saksikan, fenomena seperti ini telah menjadi keumuman di era keterbukaan. Dengan pengambaran wajah Islam yang sangat sulit merajut tali kebersamaan adalah suatu perkara yang mendasar yang dihadapi umat Islam dari berbagai kotakkotak paham, pandangan dan kepentingannya masing-masing masih menguat. Diperparah pula semakin marak bermunculan kelompokkelompok baru yang cenderung sebagai penumpang bebas yang mengambil kesempataan dalam kesempitan mempertajam pertikaian di tubuh kalangan Islam, menambah kompleksitas masalahmasalah internal, dari masalah perbedaan masa lalu, sampai dengan memunculkan persoalan baru yang sangat tidak mendasar yang kerap menjadi sumbuh panas yang membangkitkan konflik dalam tubuh umat Islam. Fenomena para penumpang bebas yangkerap menambah kerumitan dalam proses rekonsiliasi umat Islam. Sedikitnya ada tiga faktor yang semakin diperumit oleh penumpang bebas tersebut. Pertama, sikap agresif penumpang bebas dalam mendakwahkan ajaran Islam nya, tidak moderat, intoleran dan anti pluralis, penuh dengan prasangka terhadap kelompok yang berbeda serta lebih sering mengulang sejarah masa lalu, yang kadang menyentil keyakinan kelompok Islam yang lain. Kedua, adanya kecenderungan berorientasi pada peningkatan jumlah anggota secara kuantitatif dibandingkan melakukan perbaikan kualitas keimanan para pengikutnya. Ketiga, cenderung melakukan berbagai propaganda kebencian terhadap kelompok Islam lainnya yang semakin menguatkan disparitas nilai Islam antar para penganut Islam. 214 Faktor ini yang memperumit masalah-masalah dalam Islam sekaligus berperan besar dalam mengubah cara berfikir, bersikap, dan bertindak umat Islam. Menyuntikkan hasutan dengan berbagai prasangka antar kelompok atau mahzab yang berbeda. Pasar keagamaan umat Islam pun hanya berisi dagangan hasut dan prasangka antar sesama umat Islam di era keterbukaan saat ini. Fenomena ini banyak berserakan di layar media era keterbukaan, sepertiinternet dan media sosial, facebook, twitter, instagram, blog sebagai keterkaitan penyebab munculnya disharmonisumat Islam. konsekuensi dari semakin canggihnya teknologi yang menghubungkan antarmanusia dalam keberlimpahan informasi keagamaan yang senantiasa memapar, sekaligus memancing umat Islam untuk terlibat dalam bauran antara fakta dan fantasi, opini, data dengan rumor dan gosip, serta propaganda sampai saling menghasut prasangkan sesama umat Islam. Sebenarnya, membaca usaha yang apa yang dilakukan penumpang bebas ini yang memanfaatkan hasutan dan prasangka adalah upaya menumbuhkan sikap kebencian demi menciptakan chaos di tengah kehidupan umat Islam untuk usaha memuluskan berbagai kepentingannya. Semrawutnya kepentingan-kepentingan kalangan Islam yang kemudian membawa angin segar dalam merusak kerukunan umat Islam. Ada dua tipe kepentingan, yaitu kepentingan vertikal dan horizontal. Kepentingan vertikal merupakan kepentingan yang dimiliki oleh komunitas tertentu yang dihadapkan kepada penguasa. Sedangkan kepentingan horizontal merupakan kepentingan komunitas dalam masyarakat akibat banyak aspek misalnya komunitas lain yang dianggap mengancam kepentingan, nilai- nilai, cara hidup dan identitas kelompoknya, telah menjadi konflik terbuka untuk keseluruhan umat Islam. Abad yang menjepit umat Islam antara fakta dan fantasy telah menghilangkan keseimbangan, dimana umat Islam menjadi umat yang tidak terhormat dihadapan dunia, karena terus digrogoti oleh hasutan, dan prasangka. Umat Islam terjangkiti penyakit yang mudah tertipu dengan berbagai manipulasi narasi keislaman yang berisi anjuran menghasut sesama umat manusia adalah penyakit memutilasi bangunan suci agama agung ini. Sangat disayangkan, 215 ketika umat masih saja saja mudah terpasung dalam lorong-lorong gelap kebiadaban dan kejahiliaan, yang membuat Islam babak belur oleh umatnya sendiri. Umat ini perlu lebih terbuka dengan pencerahan, bahwa hasutan, prasangka adalah musuh utama Islam, yang meniscayakan berlaku sama bagi setiap penganutnya. Melakukan hasutan dan prasangkan sesungguhnya adalah penghianatan dan persekongkolan melawan agama Islam. Permainan hasutan dan prasangka adalah sikap antipati yang berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel terhadap perbedaan. Jika kalangan Islam tidak menyadari kesalahan ini, maka tatanan beragama Islam akan penuh tindakantindakan negatif yang hanya menimbulkan malapetaka. Menurut Effendy, sebagaimana dikutip Liliweri, bahwa prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan berat bagi kegiatan komunikasi, karena orang yang berprasangka belum apa-apa sudah bersikap curiga. Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar syakwa sangka, tanpa menggunakan pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Karena itu, sekali prasangka sudah mencekam, orang tidak akan dapat berfikir objektif dan segala apa yang dilihatnya selalu akan dinilai secara negatif.290 Pola acak hasut prasangka inilah yang terkadang menjadi titik tekan kerap memperdaya nalar umat Islam, untuk tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi mata rantai kebohongan dan manipulasi dari second hand reality atau riil atas buatan. Dalam perkembangannya narasi-narasi hasut prasangka antara sesama umat Islam yang sangat sering kita saksikan dilayar era keterbukaan, diperkuat pula dengan dengan gagasan sempit dan indoktrinisasi dalam satu pandangan yang menjebak umat Islam menjadi penganut dengan mental bigot. Istilah bigot sendiri merujuk pada orang yang memiliki dasar pemikiran bahwa siapapun yang tak memiliki kepercayaan yang sama dengan dirinya adalah orang atau kelompok yang salah.291 290 Lihat Onong Uchjana Effendy, Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung: Alumni, 1981 291 Liha Gun-gun Heryanto, Dr. Media Komunikasi Politik “ Relasi Kuasa 216 Coba kita tengok beragam kanal media sosial, berbagai menu hasutan dan prasangka diproduksi, direproduksi, didistribusikan, serta dikonsumsi secara masif dan eksesif. Dimana imunitas nalar umat Islam menjadi melemah dan mudah terjangkiti oleh gejala kedengkian mewabah di kanal informasi. Sehingga panggung Islam hanya diisi oleh tontonan-tontonan disharmonis umat Islam dengan predikat pro dan kontra isi dan isu keislaman. Menurut Rose, (dalam Gerungan, 1981) dapat merugikan masyarakat secara dan umum dan organisasi khususnya. Hal ini terjadi karena prasangka dapat menghambat perkembangan potensi individu secara maksimal.292 Tentu kita semua sangat memahami antara hasut prasangka dan konflik sangat terkait erat, karena setiap prasangka masih mengandung sikap, pikiran, keyakinan, kepercayaan yang negatif terhadap kelompok tertentu. Dari prasangka inilah akan memunculkan tindakan diskriminasi yang mengarah ketindakan sistematis. Diskriminasi akan memunculkan tindakan yang berusaha menyingkirkan status dari hubungan, pergaulan, serta komunikasi antar umat Islam. Umat Islam yang sekarang jumlahnya 1,6 miliar di muka bumi adalah bagian dari kemanusiaan universal, tetapi perannya masih berada pada buritan peradaban. Banyak faktor internal dan eksternal yang terlibat di dalamnya mengapa situasi demikian menyedihkan, apapun ukuran yang dipakai orang untuk itu. Antara Al-Qur’an dan umat Islam terbentang jurang yang lebar sekali. Sedikit contoh di atas telah menjelaskan apap yang kita maksud. 293Sangat naif kiranya, jika umat Islam apapun kelompok dan mahzabnya tidak memahami bahaya dari permainan hasutan dan prasangkahanya menyisahkan luka serta menyudutkan Islam dalam buritan terdalam peradaban. Bahwa pengalaman telah sangat jelas, hasutan dan prasangka hanya akan memancing kekerasan yang menjadi pilar utama memposisikan umat Islam sebagai umat yang tidak bermutu dan berkualitas. Tentu Media di Panggung Politik. Yogyakarta: IRCiSoD, 2018 Hal. 79 292 Lihat Gerungan, W.A, Dr, Dipl Psych, Psichologi Sosial. PT Eresco, 1981 293 Lihat Ahmad Syafii Maarif. Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam. Jakarta: Bunyan, 2018 Hal. 137 217 umat yang bermutu serta berkualitas adalah umat yang tidak bersifat destruktif. Sepanjang sejarah, Islam selalu disudutkan dari penghalalan kekerasan sesama umat Islam maupun antar umat beragama lain. Ini adalah sisi negatif yang selalu berkembang biak menggodam narasi dalam panggung-panggung sejarah Islam penuh dengan sulaman keserakahan, demi mendulang keuntungan tapi merantai Islam dalam lorong sempit dan pengap.Kalangan Islam kadang meramu berbagai jalan-jalan kemunafikan dengan terbiasa terlibat dalam bentrok, dengan alasan perbedaan doktrin dan kepentingan yang menjadi penyebab runtuhnya pesan suci Islam. Entah sadar atau tidak, setiap pihak kelompok Islam yang berbeda merasa mempunyai gambaran tentang ajaran keislamannya, membandingkan dengan ajaran Islam nya dan agama lawan, memberikan penilaian atas apa yang diyakinininya dengan yang dianggap lawannya. Dalam skala penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada keyakinannya. Sikap destruktif yang bolak-balik mengganggu kerukunan umat Islam, tentu hanya dapat dimaknai sebagai upaya mengelabui menuju gelembung kebiadaban, menjadi tsunami memporakporandakan bangunan keadaban umat Islam, serta menjadi semak belukar yang menghilangkan Islam dalam pusaran lorong waktu peradaban manusia. Pada riil atasnya, narasi keislaman yang berkembang sanga jauh dari subtansial, lebih banyak menggaungkan sebuah narasi yang menjebak dan memekarkan konflik horisontal maupun vertikal dalam tubuh umat Islam. Bahkan dalam berbagai periode sejarahnya, umat Islam masih saja sering memilih jalan hidup yang tidak sah dengan sering bertikai dan berperang sesama mereka. Apakah ego, kepentingan sesaat dan hawa nafsu yang sulitdikendalikan oleh kalangan umat Islam. Manakalah ego, kepentingan dan hawa nafsu dapat ditekan, mungkin saja kalangan umat Islam akan menghindari sikap destruktif yang selama ini hanya menenggelamkanumat Islam dalam kubangan sejarah. Dalam hal ini, pandangan ekslusif dari kalangan Islam yang selalu menjadi biang perusak nalar umat Islam, dengan tujuan 218 sempit di topang nafsu dan kerakusan dunia. Mentransformasi kepentingannya ke ruang profan, menjadi musabab umat Islam terserang penyakit latah terstruktur mengobarkan hasutan, prasangka. Otak umat Islam pun berisi prasangka antara boleh dan tidak, benar dan salah, atau absah dan tidak absah, yang merusak aplikasi moral yang memperuncing menuju konflik kekerasan antar sesama umat Islam. Masing-masing mengambil dalil-dalil teks dari tradisi atau kitab suci untuk memberikan legitimasi etika religius pada penggunaan prasangka hingga kebencian membuat umat Islam semakin membenamkan umat Islam mengidap penyakit mental bigotry.294 Pada faktanya mental bigotry telah tumbuh subur pikiran umat Islam, memengaruhi model interaksi dan partisipasinya menjadi intoleran dalam memaknai perbedaan. Ada banyak agen yang secara lihai memainkan hasutan prasangka dan kebencian secara bersamaan. Narasi menipu inilah yang kadang dihembuskan dalam benak umat Islam dengan warna-warni “sakral” yang bersamaan dengan indoktrinisasi untuk mengkultuskan golongannya. Tujuan sama, agar para agen penghasut ini dapat setiap saat menggunakan umat Islam dalam memuluskan kebejatannya. Fakta ini bukan narasi asing, tetapi telah menjadi makanan pembuka sekaligus penutup, dapat dengan mudah ditemukan di era keterbukaan. Dipaksa dimodifikasi dalam dipikiran umat Islam dalam simbol-sombol prasangka dan kebencian. Problem ini yang harus disikapi secara serius, bahwa kondisi ini akan mengkonservasi satu identitas yang membudaya dalam pikiran umat Islam. Bukti jejak informasi dan komunikasi di era keterbukaan sebagai data yang tidak dapat kita sangkal, bahwa hasutan, prasangka serta kebencian telah menjadi sarang lebah dalam nalar menguasai narasi, wacana dan opini dunia Islam saat ini. Bahkan setiap saat mengalami kemajuan, tanpa ada sikap merubah serta intropeksi 294 Bigotry adalah perwujudan sentimen emosional yang penuh kebencian dan intoleran. Berfikir negatif terhadap orang atau kelompok berbeda terutama suku, agama dan ras. Hubungan komunikasinya sangat berjarak akibat pola superioritas dan inferioritas yang dijadikan acuan. 219 sedikitpun. Sementara itu, jurang pemisah antara umat Islam semakin tinggi, yang dulunya hanya sekedar perbedaan pengertian, sekarang menjadi siapa yang benar dan salah, telah jauh dari harmonisasi, dan sangat tertarik dengan disharmonisasi. Umat Islam mengalami kemunduran yang sangat spektakuler, selalu melakukan penyimpangan baik ke kanan maupun ke kiri. Sama halnya umat yang tidak mampu memilah atau membedakan mana yang jahat dan mana yang baik, atau mana yang madu dan mana yang racun. Hasilnya, terciptalah berbagai kampanye yang menyerang individu atau kelompok lain berdasarkan sentimen komunal, termasuk seruan untuk melakukan aksi kekerasan dan pembunuhan. Buku-buku dan media online yang menempatkan kelompok keagamaan tertentu dalam situasi peperangan dengan kelompok keagamaan lain bebas tersebar. Tokoh agama melakukan ceramah secara terbuka dan disebarkan melalui media online yang secara eksplisit menyerukan para pendegarnya menghunus pedang untuk membunuh atau mengusir anggota kelompok keagamaan tertentu.295 Tradisi keislaman di era keterbukaan mengalami perubahan dan perombakan, dimana interaksi penganutnya telah meninggalkan batas-batas kesantunan beragama, yang ada hanyalah keangkuhan, kebohongan, yang bersetubuh dengan manipulasi demi kepentingan yang membabi buta. Ini bukan ilusi, bahwa umat Islam hari sangat liar, menyesakkan dengan kotoran-kotoran yang mengempal dengan berbagai narasi hasutan, prasangka yang bersenyawa dengan kebencian telah mengkebiri Islam dengan mantra-mantra konflik antara sesama umat Islam, karena alasan perbedaan pandangan. Padahal nalar siapapun memahami bahwa struktur pandangan memilikikoherensi internal, struktur itu tidak sepenuhnya sama dan padu. Struktur tersebut berbeda-beda menurut kelas, keyakinannya, wilayah dan disusun dari bermacam-macam rangkaian pemikiran bahkan yang bertentangan serta terdiri dari nilai-nilai dan praktekpraktek yang dapat ditafsirkan dan dihubungkan dengan beberapa 295 Lihat Jurnal Ahnaf, M.I. “Local Elections and Intolerance: A Lesson from Sampang,”Perspectives on Religious Life in Indonesia, 2014 Volume 3 220 cara yang berbeda. Bahwa perbedaan dalam memahami nilainilai keislaman adalah sebuah keniscayaan yang tidak tepat dipermasalahkan atau saling dipertentangkan. Tentu kita semua sepakat, untuk meredam segala bentuk kekerasan beragama, adalah dengan menghilangkan streotype antara sesama kelompok Islam yang ada. Dalam kenyataannya, kita sering jumpai umat Islam menjadi biang keladi rusaknya segala struktur hubungan sosial masyarakat dengan tindakan sesuka hatinya. Kita tentu sepakat bahwa hasutan, prasangka hanya merusak struktur sosial yang hanya akan melahirkan kebencian antar sesama umat Islam, sangat sarat dengan drama konflik berdarah. Bukan hanya menggelisakan, tetapi sangat berbahaya bagi Islam sebagai agama yang sarat dengan nilai kedamaian dan keselamatan. Sudah menjadi logika umum, dimana terdapat hasutan serta prasangka, pasti disitu ada kebencian. Sementara akal sehat kita tidak dapat menolak bahwa dalam setiap kebencian pasti memiliki efek kekerasan, yang dapat menimbulkan luka psikis juga menimbulkan kerusakan, kehancuran bahkan kematian. Fakta yang tidak bisa disangkal dalam memori kita saat ini, bahwa seringkali umat Islam lebih menunjukkan dirinya sebagai penganut agama yang tidak beradab, pemicu dan haus dengan tindak kekerasan. Disadari atau tidak pembiaran perilaku ini adalah kejahatan yang sekaligus mengamini tingkah laku para agen tertentu yang berusaha merusak Islam dari luar yang selama ini mengkampanyekan Islam adalah sebagai agama dengan doktrin main drive, primummobile dan push factor kekerasan.Telah banyak dialami saat ini, agama Islam terpelosok dalam kubangan lumpur akibat perangai penganutnya yang telah terbiasa dan merasa bangga mengeskspresikan dan mengartikulasikan hasutan sebagai nilai-nilai Islam. Sangat penting untuk mengakui bahwa hasutan dan menebar prasangka sesama umat Islam adalah sebuah pengalaman pahit yang hanya akan membangkitkan dan menegaskan kekerasan terjadi, yang menggerus identitas dan makna Islam sebagai agama yang memabawa panji keselamatan. 221 Islam dalam persimpangan jalan, dorongan-dorongan untuk saling menghasut sesama umat Islam semakin terbuka lebar di era keterbukaan, genderangnya ditabuh dan dikonversi menjadi pandangan yang dominan didinding-dinding teknologi media dewasa ini, masing-masing menekankan tuntutan bahwa apa yang diyakinanya mempunyai ikatan kebenaran, sedangkan pernyataan lain yang berlawanan tidak bisa benar.Maka munculah sikap saling menghasut dan berprasangka antara sesama umat Islam yang telah mengabaikan norma agama dan dengan emosi yang lebih ditonjolkan, bukan akal sehat. Hati telah telah mati dalam terowongan nafsu karena menganggap paling benar dan pemilik norma. Akibat dari gerak narasi yang jahil yang tak bermutu ini, menyebabkan umat Islam tertarik melampiaskan dahaga kebengisannya tersebar secara bebas tanpa sedikitpun hambatan. Kedungunan sistemik telah melanda umat Islam, karena hanya kedunguanlah yang terbiasa menyerembab Islam dalam buritan kotor peradaban. Dilema ini menciptakan situasi ‘tindakan’ yang mentransformasi kata hikmah dalam Islam menjadi peperangan kata-kata antara sesama Islam, telah menjadi daya tarik luar biasa di era keterbukaan, setiap orang dengan bangga dan sengaja menyebar narasi hasutan, prasangka maupun kebencian di kanal-kanal informasi dan komunikasi, mengundang perdebatan sesama umat Islam. Adakah orang yang sehat mau melakukan ini ?, tentu tidak. Selain menggadai harga diri, orang yang sehat tahu bahwa caracara itu adalah luapan dungu yang tak bermoral dan kontraproduktif dengan nilai-nilai Islam. Tidak berlebihan jika sekiranya, perbuatan ini kita sebut umat yang bertopeng keshalehan tapi masih biadab. Faktanya, mari kita tengok bagaimana perdebatan yang terjadi di teknolgi media kerancuhan demi kerancuhan dipertontonkan, setiap orang saling berdebat panas dengan mengutip ayat suci, saling memaparkan kebenarannya masing-masing. Proses ini bukan saja merusak struktur moral umat Islam, tetapi juga merusak cita-cita mulia Islam dalam mewujudkan “harmoni in diversity”antara umat beragam. Untuk menwujudkan ini tentu dibutuhkan umat yang dapat menempatkan dirinya sebagai penganut sejati, yang telah melepascan dirinya dari 222 keterlibatan dari semua unsur yang dapat merusak nilai dan ajaran Islam, yakni, hasutan dan ujaran kebencian yang hanya menjadi pembeku nurani dan pemanis kebejatan. Jika terus dibiarkan, umat Islam akan terjebak dalam satu sikap formal yang melegalkan sikap pertikaian antara sesama umat Islam. Perilaku ini tentu sangat menghambat Islam membawa misi sejatinya, ketika kelompok Islam masih sibuk saling ego dengan orientasi masing-masing, yang menjadi zona nyaman bagi para penumpang bebas menggempur dan mendogma nalar umat Islam dengan sengketa-sengketa yang sengaja untuk dibesar-besarkan untuk menghambat parsatuan umat Islam. Dibutuhkan niat baik oleh semua kelompok Islam untuk menjadi obat penyembuh dari maraknya berbagai hasutannya prasangka dari berbagai perebutan citra dan simpati yang menghalalkan segala segala cara, yang hanya memposisikan umat Islam semakin jauh dalam menangkap makna, subtansi dan hakikat Islam, selain hanya bentuk (forma) simbol keislaman, yang justru sangat prematur dalam melihat perbedaan. Kalangan Islam harus mampu menjawab segala fenomena yang membuat Islam jatuh dalam kemunduran dan kehancuran, dari segala fenomena hasutan, prasangka yang merajai pikiran serta sendi hidup umat Islam yang sangat salah kalau hanya dianggap sebagai fenomena biasa. Yang demikian harus diwaspadai. Dengan tegas, kalangan Islam dengan ragam kelompoknya, harus berani keluar dari paradoks kepentingan masing-masing, dan menghentikan persekongkolan yang lebih mementingkan berbagai hasutan prasangka dan kebencian yang hanya semakin menyandera umat Islam dalam skema beragama dengan cara ordiniary people, memahami Islam hanya dengan simbol- simbol dan tidak mempergunakan analisis rasional. Mereka mudah tersulut emosi dan sangat susah bertoleransi dengan agama dan pemeluk agama lain. Sudah saatnya setiap kelompok Islam kembali kepada khittahnya untuk mendisplinkan nalar umat Islam menjadi umat dengan nalar educated people yang selalu menyertakan analisis rasional dan mengesampingkan pemahaman intuitif dan simbolik. 223 Dalam perjalanan sejarah umat, faktor Islam sebagai perekat persaudaraan sering benar diabaikan, seakan-akan agama ini telah kehabisan energi untuk mempertemukan hati kita. Yang lebih ironis lagi adalah kenyataan, tidak jarang negeri muslim kaya minyak malah menyerahkan pundi-pundinya “diperas” pihak asing yang jelas tidak rela melihat Islam muncul sebagai kekuatan yang turut menentukan arah peradaban global.296Asumsi lain sebagai penegas bahwa umat Islam selalu berpecah dan tidak bersatu. Setiap kali ada permasalahan tentang umat Islam, para tokoh Muslim tidak pernah kompak.297 Bila kekuatan umat yang mudah rapuh akan mudah diserang dari segala penjuru dan berbagai cara. Kita semua tentu sama-sama meyakini, bahwa umat Islam tidak akan menjadi faktor penentu dalam mempertautkan berbagai pecahan-pecahan kebaikan yang berserakan saat ini, ketika umat Islam belum insaf dan menyadari bahwa mereka saat ini dalam zona babak belur akibar pertikian sesama. Mungkin telah waktunya umat Islam berdamai dirinya, dengan memukul nalarnya dengan palu godam sejarah, agar mau berunding untuk mencari solusi dari berbagai persoalan rumit yang dihadapi ole umat Islam yang hanya menguntungkan pihak yang sangat menginginkan umat Islam tidakn menjadi perumus alternatif dari kacaunya kehidupan manusia. Rekontruksi Riil atas Narasi Keislaman Agama dalam perspektif umum adalah sebuah aktivitas yang melibatkan manusia dalam bentuk ritual, perayaan maupun simbolsimbol keagamaan, sehingga agama tumbuh dan berkembang menjadi bagian dari budaya masyarakat. Agama yang menjelma dalam bentuk budaya inilah yang menuntut adanya dialektika internalisasi ekternalitas dan eksternalisasi internalitas. Sehingga, 296 Lihat Ahmad Syafii Maarif. Islam dalam bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah. Jakarta: Mizan, 2015 Hal. 297 297 Lihat Ahmad Fatoni el-Kaysi, Ayat Kursi Untuk Perlindungan Diri. Yogyakarta: Mutiara Media, 2009 Hal. 5 224 dalam agama muncul istilah misi keagamaan dalam bentuk budaya. Berdasar hal tersebut, maka eksistensi agama dalam masyarakat memiliki potensi integratife dan potensi konflik. Secara sosiologis agama memiliki peran sebagai pemersatu (integratif) bagi umat beragama yang sama. Fungsi integratif ini biasanya menjadi luntur atau melemah ketika dalam kehidupan beragama melibatkan unsur-unsur keyakinan yang berbeda. Menurut Hendropuspito agama memiliki fungsi sebagai pemupuk persaudaraan terutama internal umat beragama.298 Namun ibarat sisi mata uang agama dalam riil atasnya sering diperankan secara ganda antara fungsi integratif maupun fungsi disintegratif, tergantung konteks hubungan internal atau eksternal umat beragama, yang juga berlaku sama dalam agama Islam. Dalam hakikatnya, Islam adalah agama yang berperan sebagai pemersatu (integratif), sekalipun terkadang terjadi disintegratif, terutama ketika melibatkan perbedaan-perbedaan faham dalam suatu agama atau kepercayaan. Di era keterbukaan konflik keagamaan atau konflik bernuansa agama, memungkinkan muncul pada waktu dan lokasi kapan saja serta dalam kondisi tertentu. Ini merupakan konsekuensi dari terbukanya ruang kebebasan informasi dan komunikasi yang seluas-luasnya bagi seseorang maupun kelompok tertentu dalam memasarkan gagasan, indoktrinisasi sampai dengan prasangka dan kebenciannya. Ketika proses pemasaran ini telah dimapankan secara utuh dan terus menerus dihembuskan dalam domain agama, cenderung masyarakat mudah tidak terkontrol. Selain memiliki banyak model cara, nuansa agama pun adalah modal yang menjanjikan untuk dapat cepat diterima oleh masyarakat. Dalam memori umat manusia, seluk beluk prasangkan dan kebencian selalu mengisahkan kekerasan atasnama agama, kalimat tersebut kerap terdengar ditelinga, saat menyaksikan pelbagai pemberitaan tentang aksi kekerasan massa. Setidaknya pengalaman kita tahu terdapat aksi kekerasan massa atasnama agama menyesaki 298 Lihat Hendropuspito. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius 1984 Hal. 57-58 225 berbagai media. Cerita sedih konflik di Ambon dan Poso yang menewaskan ratusan nyawa, aksi bom Bali, kisah tragis pengeboman gereja, drama peperangan antara kelompok agama tertentu, aksi kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah, dan berbagai aliran kepercayaan yang dianggap sesat dalam kacamata Islam. Ironi tersebut hadir secara berturut-turut di Indonesia. Keberagaman budaya dan agama hingga pertalian keduanya seakan menginginkan tumbal untuk bisa duduk bersama dalam satu meja. Dan yang menjadi tumbal adalah pemeluk agama sendiri.299 Walaupun watak dasar sesungguhnya manusia (human nature) pada hakikatnya menginginkan harmoni dalam kehidupan. John Burton, mengatakan bahwa konflik bukanlah watak manusia. Oleh karena itu, menurutnya konflik lahir karena struktur sosial ekonomi yang melingkupi kehidupan manusialah yang memicu lahirnya konflik terutama ketika kebutuhan dasar manusia yang ia perlukan tidak terpenuhi.300Tetapi perlu dipahami, ketika relasi hubungan antara beragama, baik sesama Islam maupun Islam sesama agama lain dibentuk berdasarkan keinginan serta keuntungan pihak tertentu, maka seketika itu pula watak dasar manusia dapat berubah sesuai keinginan pihak yang membentuknya. Watak manusia yang dasarnya ingin keharmonisan dalam kehidupan akan rusak, ketika ada kelompok tertentu yang terus melakukan gesekan kepentingan yang ujungnya lahir suasana disharmoni dalam wujud konflik. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, dunia semakin maju, kemajuannya jugaselaluberkaitan dengan konflik dalam tubuh umat Islam, yang semakin memperburuk citra Islam, sekaligus penanda yang menunjukkan bahwa ternyata banyak umat yang “sakit”. Mari membaca maraknya perkembangan prasangka dan ujaran kebencian di era keterbukaan berjubah Islam, tentu 299 Lihat Shofiyullah Mz, dkk. Revitalisasi Humanisme Religius dan Kebangsaan KH. Wahid Hasyim. Yogyakarta: Pesantren Tebu Ireng, 2011 Hal. 15-16. 300 Lihat Jeffrey Z. Rubin, Dean G. Pruit dan Sung Hee Kim.Social Conflict: Escalation, Stalemate and Settlement United States of America: McGrawHill, Inc, 1994) Hal. 5 226 bukan hanya sekedar luapan sederhana, karena prasangka dan ujaran kebencian adalah biang keladi kekerasan, hanya akan mau dilakukan oleh mereka yang “sakit”. Menengok berbagai kanal era keterbukaan berbagai provokasi yang banyak berhembus bagai menu harian, prasangka dan kebencian diproduksi, direproduksi, didistribusikan, serta dikonsumsi secara masif. Umat Islam dibuat melemah dan tidak berdaya oleh gejala prasangka dan kebencian yang semakin melabeli bahwa umat Islam sebagai umat penuh permusuhan, kekerasan, fanatisme dan terror. Konseskuensi dari semakin canggihnya teknologi yang menghubungkan antar manusia adalah keberlimpaham informasi. Ini pula menjadi ladang yang membahagiakan para orang “sakit” plus “bigot” bisa saling terhubung satu sama lain, menyebar manipulasi dan menambah populasi sesama pesakitan. Kondisi ini pun telah melahirkan pertarungan informasi, setiap saat masyarakat muslim terpapar berbagai informasi yang dipertukarkan melewati jejaring media teknologi. Polanya semua hampir sama, memancing masyarakat untuk terlibat antara bauran fakta dan fantasi. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, masyarakat dibuat melemah dengan gejala-gejala prasangka dan kebencian, bukan hanya merusak citra Islam, tetapi telah membuat umat Islam tidak terkontrolmenjadi keras dalam memaknai nilai Islam dalam memandang perbedaan. Bila diperhatikan secara seksama, dari segala sudut keberlimpahan informasi yang ada, dari segi isi dan isu di semua tempat, di dalamnya pasti tercantum narasi prasangka dan kebencian. Dari sejumlah fakta yang ada baik dari tema sosial, politik, ekonomi dll pasti di dalamnya ada ungkapan sarkastik, yang dapat dilihat sebagai indikasi terjadi proses “transfer” prasangka dan kebencian secara luas. Melihatindikasi ini, fenomena penyebaran prasangka dan kebencian tentu dengan simbol dan narasi Islam dapat disimpulkan sebagai perbuatan yang disengaja. Kalau hal ini adalah upaya yang disengaja, tentu motifnya bertujuan untuk mereduksi pikiran umat Islam terhadap nilai-nilai keislaman menjadi nilai-nilai sebaliknya terjadi dari sang desain. Apalagi kalau yang demikian dilakukan secara terus menerus dengan isi dan isu yang sama. Dalam kacamata komunikasi, pola yang seperti ini adalah bagian dari kanal 227 merekonstruksi riil atas Islam yang sesungguhnya. Merekontruksi riil atas Islam tentu sangat berbahaya, karena Islam hanya akan di pola sesuai selera yang merekontruksinya. Menurut Peter L Berger &Thomas Luckmann dalam bukunya “The Social Construction of Riil ity” bahwa kejadian-kejadian yang terus diulang-ulang oleh orang atau kelompok adalah sebuah usaha mengkontruksi makna sesungguhnya riil atas sosial untuk memapankan dan mempola kejadian-kejadian secara terus menerus dengan mendistribusikan informasi yang keliru agar dianggap sahih.301Riil atasnya, ini yang terjadi, dilakukan dengan terus diulangulang, dan cenderung dianggap benar serta disebut sebuah prestasi umat Islam. Kebencian atasnama Islam adalah berlebihan yang tidak memiliki dasar berpikir yang kuat tentang Islam bahkan dapat disebutdengan mengada-ada.302Tidak ada pembenaran yang logis di dalamnya, yang ada hanyalah prasangka-prasangka yang terlahir akibat persepsi-persepsi buruk yangterus menerus ditanamkan kepada diri seseorang bahwa Islam adalah agama yang penuh dengan kekerasan, kebencian, egois, tidak toleran dan membatasi pemeluknya dengan aturan-aturan yang ketat sehingga tidak adanya kebebasan di dalamnya yang berujung persepsi bahwa Islam adalah kuno dan agama yang membawa kehancuran. Coba kita tengok kondisi umat Islam yang semakin mudah tersulut amarahnya, dari buah berbagai prasangka dan ujaran kebencian yang terjadi selama ini, memiliki modus operandi yang relatif sama. Muatan umat Islam membentuk satu kesatuan emosional yang saling terhubung dengan tema-tema yang sudah dikendalikan atau dibentuk sebelumnya, seperti Anti Ulama vs Ulama, Anti Islam vs Islam, Kriminilisasi Ulama, Sunni vs Syiah, Muslim vs Non Muslim. Isi dan isu inilah yang selalu menghuni 301 Lihat Berger, Peter L. & Thomas Luckmann 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Reality oleh Hasan Basari). Jakarta: LP3ES 302 Lihat Andrew Shryock, Islamophobia/Islamophilia Beyond the Politics of Enemy and Friend. Bloomington: Indiana University Press, 2010 Hal.2 228 ruang keagamaan kita yang terus diulang-ulang tanpa pernah redam oleh usia, melebar dan muncul kapan saja ketika diinginkan. Tentu nalar kita tidak bisa menerima secara membabi buta, bahwa setiap kejadian dengan tema-tema Anti Ulama vs Ulama, Anti Islam vs Islam, Kriminilisasi Ulama, Sunni vs Syiah, Muslim vs Non Muslim muncul secara alamiah. Nalar kritik sangat memahami betul mana yang disengaja, dan mana yang alamiah. Tentu ketika dua kata yang tidak saling bertemu diperhadapkan, maka masalah tentunya. Kalau ada masalah, tentu ada biang masalah. Kita tidak bisa menerima bahwa setiap persoalan, seperti menebar prasangka dan kebencian yang ujungnya konflik serta kekerasan adalah sebuah kejadian alamiah, kecuali otak kita telah rusak beserta dengan segala sel-sel pembentuknya. Memahami dan menganggap prasangka dan kebencian biang keladi konflik kekerasan sebagai sebuah yang alamiah dalam Islam tentu anggapan yang dungu plus jahat, karena secara harfiah maupun hakikat Islam itu sendiri melawan dua bentuk kejahatan tersebut, karena sangat jelas mengganggu keharmonisan hidup manusia. Tentu bisa dipahami, ketika Islam saja melakukan perlawanan pada dua bentuk yang berbahaya tersebut, sedangkan ada seseorang atau kelompok tertentu merasa dirinya Islam dan memperjuangkan tema-tema prasangka dan kebencian, telah dipastikan bahwa sesungguhnya orang atau kelompok tersebut, telah sengaja memanipulasi informasi tentang Islam dengan tujuan membuat keribuatan dan merusak Islam. Indikasi ini pula yang turut serta melibatkan umat Islam secara umum yang tidak tahu apa-apa, yang semakin memperburuk keadaan struktur sosial kehidupan masyarakat yang setiap saat dapat memunculkan konflik kekerasan. Semakin pesatnya tindakan kekerasan bernuansa Islam belakangan ini, diasumsikan sebagian dari kulminasi dari rangkaian prasangka dan kebencian yang disuntikan selama ini melalui saluran-saluran informasi, sehingga berimpilkasi tidak terkontrolnya masyarakat pada anggapan kebenaran yang ada pada dirinya sendiri (religiusitas solipsisme) yang terus bergerak pada pencapaian peniadaan kelompok keyakinan dan agama yang lain. 229 Tentu ini akan membuat bangunan keislaman “hancur berantakan”, umat Islam tidak akan terkontrol dengan berbagai nilai yang mereka pahami dari berbagai pikiran negatif yang disuntikkan dari berbagai sentimen emosional penuh dengan prasangka dan kebencian. Penyakit yang tidak hanya menggerogoti nalar berfikir, tetapi tindakan tersebut akan menjadi luapan negatif terhadap orang atau kelompok berbeda, tentu ini bukan cara Islam. Kesimpulan sederhananya, jika model narasi Islam hanya tebaran prasangka dan kebencian, tentu memiliki tujuan mengelabui, serta menipu umat Islam. Jika umat telah tertipu, tentu akan mengubah imunitas nalarnya terhadap nilai yang bersebrangan dengan nilai yang sesungguhnya. Apalagi ketika dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus, akan membenam kuat dalam memori umat Islam. Kejadian-kejadian yang dapat dengan mudah menyulut emosi ini tidak boleh dianggap biasa, tetapi semua ini sudah dilakukan secara masif dan terorganisir di tengah kehidupan umat Islam. Yang membuat kita baru melek dan kaget setengah mati, bahwa ternyata umat Islam sudah separah ini, karena data teknologi media mengatakan tingkat prasangka dan ujaran kebencian semakin meningkat, menandakan bahwa gerakan ini bukan baru, tetapi telah terstruktur secara rapi yang setiap saat mengedus keharmonisan dan kerukunan umat beragama. Belum lagi kita ketahui secara seksama, bahwa teknologi media telah menjadi penyambung lidah para kaum bigot dalam memasifkan gerakan kekerasan berbau agama. Dampak pola hasut prasangka dan kebencian yang berakhir dengan kekerasan atasnama agama, dapat kita lihat dalam lembaran sejarah pada awal tahun 1970-an dan 1990-an. Kelompok seperti Komando Jihad, Ali Imron, Terror Warman dan semacamnya muncul ke permukaan. Kelompok ini menyatakan perang terhadap komunisme di Indonesia. Ketika masa reformasi, gerakan Islam garis keras juga bermunculan. Gerakan Front Pembela Islam, Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia, dan lain-lainnya menunjukkan hal itu. Kemunculan mereka sebagai wujud dari respon psikologis yang tertunda (delayed psychological responses) terhadap kekuasan yang otoriter, sesungguhnya adalah fenomena biasa ketika pintu 230 keterbukaan terbuka.303 Tentu sangat biasa bagi era keterbukaan, yang kanal informasi sangat berlimpah memberikan kita keteranganketerangan tentang kejadian tersebut. Pertanyaan kemudian, sejak kapan dan apakah kejadian ini tiba-tiba muncul tanpa ada pembentuknya ?, tentu tidak. Hukum kausalitatif menyatakan setiap ada akibat pasti ada sebab, dan setiap sebab yang menjadi pengada akibat pasti ada perencanaan yang matang. Ini menegasikan bahwa setiap konflik dan kekerasan telah direncanakan sebelumnya, tidak terbentuk secara alami. Artinya, berlaku sama bahwa masifnya ujaran kebencian yang menghinggapi umat Islam saat ini, tidak datang secara kebetulan, tetapi dibentuk dan direncanakan secara matang. Apalagi kita sangat mengetahui betul bahwa Islam bukan agama kebencian, kekerasan, tetapi agama dengan panji kedamaian. Mari pula kita menengok salah satu kasus pengabsahan prasangka dan kebencian antar sesama umat Islam, yang kemudian berujung konflik kekerasan hanya selang beberapa hari setelah peluncuran laporan tahunan kehidupan beragama 2010 pada 1 Februari 2011, harapan bahwa pada 2011 kekerasan akan menurun langsung tertolak. Kasus lama terkait Ahmadiyah mencapai tingkat kekerasan baru dengan drastis ketiga tiga orang Ahmadiyah terbunuh dengan mengenaskan di Cikeusik, dan minggu berikutnya beberapa fasilitas publik, termasuk gereja, menjadi sasaran amuk massa di Temanggung setelah pengadilan terkait kasus penodaan selesai. Di penghujung tahun, kekerasan lain dengan skala besar, melibatkan pembakaran bangunan pesantren dan memaksa ratusan orang pengikut Syi’ah menjadi pengungsi selama sebulan, terjadi di Sampang, Madura.304 Ini bukan konflik kekerasan yang alamiah yang datang tiba-tiba tanpa ada pembentuknya, berdasarkan banyak sumber menyatakan puncak kekerasan muncul setelah ada dinamika hasut, prasangka dan kebencian yang berkepanjangan dari seluruh kejadian 303 Lihat John L. Esposito, Saatnya Muslim Bicara. Bandung: Mizan, 2008 304 Lihat Zainal Abidin Bagir et al., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia. Yogyakarta: CRCS, 2012 231 hingga puncaknya terjadi kekerasan berdarah sampai dengan kematian. Tentu nalar sempit kita dapat memahami dalam proses dinamika tersebut, dengan berbagai prasangka dan ujaran kebencian memuncak hingga melahirkan konflik kekerasan karena sangat mustahil ketika konflik kekerasan muncul kalau tidak ada pengefek puncak yang mengakibatkan umat Islam saling membantai sesama Islam dan sesama saudara dalam kemanusiaan. Sekali lagi kejadian ini bukan disengaja, tetapi dibentuk sedemikian terorganisir untuk membenturkan sesama umat Islam, serta umat Islam dengan umat agama lainnya. Sedihnya, kejadian-kejadian bringas terus diulangulang dan dibanggakan, yang mengajarkan kita satu fakta bahwa umat Islam adalah umat yang mudah termakan hasutan. Kisah sedih ini sekaligus menyimpulkan bahwa kita tidak bisa mengelak dari fakta terdekat bahwa telah terjadi proses rekontruksi riil atas narasi Islam. Dimanipulasi seperti yang diutarakan oleh Peter L Berger &Thomas Luckmann sangat relevan dalam menggambarkan fenomena maraknya modus prasangka dan kebencian yang terjadi saat ini, bukan tidak disengaja, tetapi telah disengaja dilakukan untuk mengubah persepsi umat Islam, dengan membangun struktur pengabsahan tindakan yang terus diulang-ulang agar dianggap halal atau shahi dalam Islam. Penanda ini sekaligus menjelaskan kepada kita semua, bahwa umat Islam telah diarahkan untuk menjadi bengis sesuai dengan sudut pandang kelompok tertentu yang membawa teologi maut yang menjadi model yang mudah dipercaya untuk menggerakkan umat Islam saat ini. Sekali lagi bahwa kejadian-kejadian beringas yang melibatkan umat Islam sebagai pelaku konflik kekerasan adalah kejadian yang dibentuk secara sengaja, di dalamnya ada motif-motif kepentingan pihak tertentu. Sikap tersebut tidak hanya merusak citra agama Islam sebagai agama yang cinta damai dan anti kekerasan, tetapi juga akan merugikan dunia Islam dalam percaturan global khususnya dibidang politik, ekonomi, perdagangan, ilmu pengetahuan serta agama. Shyock mengatakan bahwa ini dilakukan untuk memunculkan sebuah ketakutan akan Islam dan Muslim untuk menggambarkan sebuah 232 keadaan, dimana orang membenci Muslim atau takut tehadap Islam.305 Fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya, pertentangan antara Syiah dan Sunni di Indonesia tidak pernah berujuang saling bentrok antara satu sama lain, ini dapat dibuktikan pada tahun 1990an perdebatan antara wacana anti Syiah sudah ada, walaupun tidak sebesar sekarang. Beberapa ulama saling berdebat mengenai status sesat atau tidaknya yang melekat pada penganut Syiah. Namun demikian, peredebatan dan perseteruan para ulamat pada waktu itu masih dalam bingkai akademik dan “beradab” dimana perbedaan para ulama yang biasa dituangkan melalui berbagai tulisan mengenai pandangannya tentang Syiah ke dalam buku, atau saling berdialog antara kedua. Sebagian lain datang bertandang dalam bentuk silahtruahmi ke lembaga yang dianggap Syiah, dan meminta klarifikasi atas wacana anti Syiah yang berkembang di masyarakat umum pada saat itu. Namun, kondisi ini tidak sampai melahirkan konflik kekerasan antara sesama penganut agama, yang ada mereka saling meminta keterangan yang “beretika dan “beradab” atas wacana Islam yang mereka pahami. Tiba-tiba berubah begitu drastis setelah serangan 11 September (9/11) di New York dan AS menginvasi Afghanistas di tahu 2002 dan Irak di tahun 2003. Sebagaimana dikatakan Haddad dalam kajiannya mengenai sektarianisme di Irak, perubahan politik yang dibuat oleh AS melalui aksi militernya telah mempertajam hubungan antara Sunni dan Syiah. 306 Sejak itu, kondisi geopolitik di Timur Tengah selalu diwarnai dengan konflik sektrian di desa-desa di Irak, yang dimana sebelumnya terdiri kaum Sunni dan Syiah hidup berbaur, kini mesti terpisah berdasarkan masing-masing etnis dan mahzab. Selain itu, arus demokratisasi yang dikenal dengan ‘Arab Spring’ yang menyapu kawasan Timur Tengah, sebagaimana yang telah yang telah dijelaskan di atas, melahirkan konflik sektrianisme dimana 305 Lihat Andrew Shryock, Islamophobia/Islamophilia Beyond the Politics of Enemy and Friend Bloomington: Indiana University Press, 2010 Hal. 2 306 Lihat Fanar Haddad, Sectarianisme in Irak: Antagonistic Vision of Unility, New York: Oxford Unility Press, 2011. 233 negara-negara monarki memainkan peranan penting didalamnya.307 Secara langsung dan tidak langsung, konflik Timur Tengah ini memengaruhi Indonesia. Melalui internet, sebagian Muslim berusaha memahami konflik yang terjadi di Timur Tengah tapi melalui teks atau narasi yang diproduksi oleh aktor-aktor yang memainkan wacana sektarian. Wacana ini mereka dapatkan dari blog-blog Salafi dan media-media yang secara inheren “anti Syiah” dan anti Iran. Selain itu, banyak para ulama dan da’i dari Indonesia yang belajar ke Arab Saudi, menimbah ilmu disana, dan mempelajari Islam dengan oplatfrm Wahhabi yang juga anti Syiah. Sekembalinya ke tanah air, platform pendidikan Islam Wahhabi ini pun kemudian disebar melalui mejlis-majlis taklim yang mudah diakses oleh masyarakat umum. Terakhir, Arab Saudi juga menggelontorkan dana dengan jumlah yang sangat besar kepada organisasi-organisasi Islam di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia yang mempromosikan agenda sektarian yang memojokkan Syiah dan Iran.308 Fakta yang sangat jelas terpampang dihadapan kita semua, telah memberikan gambaran bahwa kita tidak bisa mengelak dari dibalik fenomena hasut prasangka, kebencian hingga kekerasan atasnama Islam dibaliknya ada aktor-aktor yang memainkan wacana yang tidak bermutu yang dibayai oleh pihak asing yang bermain mata dengan kelompok Islam tertentu, untuk merontokkan kerukunan masyarakat, dan persaudaraan antara sesama umat beragama. Terlepas disadari atau tidak disadari, bahwa peranan umat Islam yang semakin memperlebar jurang perbedaan antara sesama kelompok keagamaan yang beraktivitas dalam ruang hidup masyakat ada campur tangan umat Islam itu sendiri, memiliki kepentingan-kepentingan besar yang disokong oleh cukong yang menginginkan umat beragama saling menebar ketakutan. Beberapa media yang sering menggulirkan opini bahwa Islam adalah agama yang menganjurkan permusuhan, kekerasan, 307 Lihat Jurnal Maarif, Arus Pemikiran Islam dan Sosial: Syiah, Sektrianisme, dan Geopolitik: Vol. 10, 2015 Hal. 27 308 Lihat Jurnal Maarif Vol. 10, 2015, Ibid Hal 27 234 fanatisme dan terror adalah merupakan tuduhan yang telah sengaja disebarkan untuk memperburuk citra agama Islam.309Asumsi lain, karena mereka tahu bahwa selama ini kaum Muslim selalu berpecah dan tidak bersatu. Setiap kali ada permasalahan tentang umat Islam, para tokoh Muslim tidak pernah kompak. Bila mereka mengetahui peta kekuatan umat yang mudah rapuh dengan gampang mereka akan menyerang kita dari segala penjuru dan berbagai cara.310Kita tidak bisa mengelak dari fakta yang ada kecuali nalar kita sedang “sakit” bahwa fenomena umat Islam yang kejam adalah proyek besar dunia yang ingin merusak citra Islam serta ingin memanipulasi sumber nilai Islam berdasarkan tujuan proyek besarnya, yang kemudian saya sebut sebagai “proyek besar rekontruksi riil atas nilai Islam ” bagi pemeluk Islam dari “ramah” menjadi “bengis” kesetanan. Era keterbukaan harus disadari sebagai domain yang tidak kalah penting dalam mempertegas dan memperkuat pola serta struktur rekontruksi riil atas nilai keislaman yang ada saat ini. Hasil survai yang dilakukan oleh Yayasan Denny JA dan LSI Community (MI:2012, menunjukkan bahwa trend intoleransi masyarakat Indonesia terus meningkat. Masyarakat merasa semakin tak nyaman akan keberadaan orang lain yang berbeda identitas (berbeda agama, maupun berbeda aliran dalam satu agama) disekitarnya. Di tahu 2005, mereka yang keberatan hidup berdampingan dengan yang berbeda agama mencakup 6,9 % dan mengalami kenaikan menjadi 15 % pada tahun 2012. Sedangkan mereka yang keberatan untuk hidup berdampingan dengan orang yang berbeda aliran (Syiah) sebesar 26,7 % pada tahun 2005, kemudian naik menjadi 41,8 % pada tahun 2012. Publik yang keberatan untuk hidup berdampingan dengan yang berbeda identitas tersebut, mayoritas adalah mereka yang berpendidikan dan berpenghasilan rendah (SMA ke bawah), yakni sekitar (67,8 %) keberatan untuk bertetangga dengan yang berbeda agama dan (61,2 %) keberatan untuk bertetangga dengan orang Syiah. Sedangkan mereka yang berpendidikan tinggi (SMA ke 309 Lihat Deepa Kumar, Islamophobia and the Politics of Emire. Chicago: Haymarket Books, 2012 Hal. 12 310 Lihat Ahmad Fatoni el-Kaysi. Op cit Hal. 5 235 atas), (32,2 %) tak nyaman bertetangga dengan yang berbeda agama dan (38,8 %) keberatan untuk bertetangga dengan orang Syiah.311 Fakta di atas, setidaknya melukiskan telah proses manipulasi nilai dan ajaran Islam telah memperhadapkan umat Islam sebagai penganut yang menolak hidup berdampingan antara sesama Islam yang memiliki perbedaan aliran atau agama, menunjukkan bahwa kesadaran berIslam umat Islam telah diujung tanduk yang rentang konflik. Terlepas bahwa kita ingin menyebut gejala ini dengan sebutan apapun, tetapi yang pastinya umat Islam hari ini, telah berbeda dengan umat yang dinginkan oleh Islam itu sendiri. Tentu yang merasa cinta dengan Islam, tidak boleh hanya diam dengan duduk bersantai ria dengan sajak-sajak romantisnya sambil menunggu pengikutnya melakukan sungkem. Diam tidak menyelesaikan masalah, karena ini bukan persoalan yang datang secara alami, tetapi dibentuk sesuai fakta yang telah dipaparkan sebelumnya. Para perekontruksi riil atas keislaman tidak pernah diam menyuntikkan berbagai virus yang menggrogoti nalar umat Islam, dan tidak akan berhenti sampai mereka merasa dominan disetiap nalar umat Islam. Gerakan manipulasi atau yang lebih tepat memalsukan ajaran Islam, mudah diterima tidak terlepas dari beberapa pendekatan yang dilakukan oleh kelompok Islam tersebut. Pertama, umat Islam dipersempit interaksinya antar sesama umat Islam dan umat lainnya dengan berbagai prasangka. Memanipulasi informasi dengan berbagai prasangka-prasangka negatif terhadap sesama umat muslim dan umat agama lainnya. Seperti prasangka anti Islam terhadap tokoh tertentu sampai dengan umat yang berkeyakinan berbeda. Kedua, generalisasi persoalan, satu agamawan yang memiliki masalah hukum telah dijadikan sebagai persoalan umat Islam secara keseluruhan. Ini terus dikampanyekan berulang-ulang dan terus menerus tentang kriminalisasi terhadap ulama Islam. Generalisasi persoalan hukum yang bisa saja menimpa siapapun termasuk figur agamawan tertentu merambah menjadi masalah dalam Islam, kenapa kasus ini sangat cepat diterima, karena standar keulamaan kita pun sangat general 311 Lihat Jurnal Maarif, Vol. 10, 2015. Op cit. 236 walaupun kadang mendramatisir. Ketiga, terjadinya pemasaran dan indoktrinisasi karakteristik budaya tertentu menjadi budaya Islam. Sehingga umat Islam terjebak dalam memperbandingkan perbedaan budaya yang ada. Namun yang lebih penting diamati adalah fenomena membenturkan budaya Arab dengan budaya lokal. Dimana budaya Arab diinternalisasikan sebagai budaya Islam, yang harus digunakan oleh umat Islam. Ketiga faktor-faktor di atas sedikitnya, sangat determinant memengaruhi nalar umat Islam mudah menerima begitu saja berbagai hasutan. Transformasipesan keagamaan pun berubah menjadi penuh dengan berbagai prasangka dan kebencian antar sesama umat Islam menjadi ekspresi yang banyak ditemukan di group-group chat internet. Telah mempersempit nalar umat Islam didasarkan pada kelompoknya masing-masing, yang semakin menguatnya prasangka dan kebencian sesama umat Islam. Newcom, menyatakan bahwa prasangka adalah sikap yang tidak baik dan dapat dianggap sebagai suatu predisposisi untuk mempersepsi, berfikir, merasa dan bertindak dengan cara-cara yang “menentang” atau “mendekati” orang-orang lain, terutama sebagai anggota-anggota kelompok.312 Ada empat elemen yang menjadi bagian penguat, sehingga upaya merekontruksi riil atas menyatu dengan tindakan-tindakan pembenaran kekerasan atasnama Islam. Keempat elemen tersebut adalah penetrasi, yang memposisikan dirinya sebagai penganut Islam yang dominan, tetapi sedang mengalami diskriminasi dari kelompok minoritas, sehingga memungkinkan mereka leluasa mendapati simpati dari umat Islam lainnya. Selanjutnya melakukan pembelahan (segmentasi) kepada Islam selainnya dengan memberikan pandangan yang sangat parsial mengenai apa yang terjadi. Kemudian melakukan proses peminggiran (marjinalisasi) kepada kelompok Islam yang notabene yang tepat untuk dijadikan rujukan pertimbangan, agar dijauhi oleh umat Islam. Keempat, melakukan tindakan kekerasan yang dialamatkan untuk dirinya sendiri, yang kemudian digunakan 312 Lihat Newcomb T.M. Psikologi Sosial. Bandung: Diponegoro, 1985 Hal. 564. 237 untuk melindungi dirinya dari kepercayaan umat Islam atas kedzaliman yang dihadapi untuk membentuk fanatisme umat Islam terhadap kelompok tersebut. Jika ditelusuri secara mendalam mengapa kelompok Islam dapat dengan mudah bermain mata dengan para aktor-aktor yang memiliki kepentingan dalam merusak persatuan Islam, sekaligus cenderung bermain api dengan konflik kekerasan yang bernuansa agama, ini tidak lebih di dominasi oleh perseteruan menyangkut nilai, klaim dan identitas tertentu, konflik bernuansa agama merupakan perseteruan ladang kepentingan sosial dan politik yang melibatkan isu-isu keagamaan atau isu-isu yang dibingkai dalam slogan atau ungkapan keagamaan.Tidak bisa dinafikan pula, kecenderungan ini yang membawa malapetaka terhadap dunia Islam, karena heterogenitas kepentingan sepihak seperti kepentingan nilai-nilai keyakinan, yang terpolarisasi dari berbagai kepentingan atau keyakinan dari suatu kelompok yang merasa tidak terwadahi aspirasinya dan cenderung merasa terdiskriminasi oleh kepentingankepentingan yang lebih besar. Mungkin sudah saatnya, kalangan Islam menggodam nalar dan kepentingannya dengan palu keadaban dengan pesan-pesan suci kenabian, dengan meletakkan berbagai sekapur siripelecehan dan pertikaian dengan kembali memperteguh nilai-nilai toleransi. Seseorang apapun kelompoknya harus diberikan kebebasan untuk meyakini dan memeluk aliran dan agama yang dipilihnya masingmasing serta memberikan penghormatan atas pelaksanaan ajaranajaran yang dianut atau diyakininya. Ketika komponen ini telah menjadi riil atas umat Islam, sinyalemen-sinyalemen fenomena kekerasan akan dapat dihindari. Maka, kunci untuk menyelesaikan kondisi yang berbahaya dan carut marut ini adalah kembali pada basis ontologis dan fenomenalogis keislaman yang sesungguhnya, yang lebih menitik beratkan pada nilai bersama, bahwa Islam adalah agama yang berlandaskan keluruhan budi pekerti antara sesama manusia, apapun aliran dan agama yang dianutnya. Kesadaran itulah yang harus dimunculkan kembali, dengan cara menghilangkan kepentingan 238 partikularitisk kelompok keagamaan di atas kepentingan unversal Islam. Kita memang tidak bisa menafikan bahwa setiap kelompok Islam memiliki standar kebenaran yang dipahami masing-masing, yang memang sejak awal hadir sebagai entitas khasanah dalam Islam, tetapi perbedaan itu tidak di klaim sebagai kebenaran sejatinya, yang menyudutkan kelompok lain kepada pojok kesalahan. Umat Islam harus kembali ke ruh dasarnya sebagai penganut yang di dalamnya terangkum kecerdasan baik basis eksoterik maupun esoterik untuk membangun kehidupan umat Islam yang memiliki jejak spiritual dan kultural. Hal lain adalah perlunya reinterpretasi doktrin-doktrin dan teks-teks keagamaan. Agar tidak saling menyalahkan antara seluruh penafsir doktrin dan teks-teks keagamaan, karena memang proses penafsiran kadang menjadi alasan terciptanya masalah-masalah dari proses memahami teks-teks keagamaan yang tidaklah mudah, butuh berbagai kualifikasi dalam memahaminya, dan kemudianumat Islam harus lebih lebih memperdalam lagi ilmunya terutama yang berkaitan dengan esensi ajaran Islam. 239 Daftar Pustaka Ahnaf, M.I. “Local Elections and Intolerance: A Lesson from Sampang,”Perspectives on Religious Life in Indonesia, 2014 Volume 3 Bagir, Zainal Abidin (et al.). Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia. Yogyakarta: CRCS, 2012 Berger, Peter L. & Thomas Luckmann 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Riil ity oleh Hasan Basari). Jakarta: LP3ES el-Kaysi, Ahmad Fatoni. Ayat Kursi Untuk Perlindungan Diri. Yogyakarta: Mutiara Media, 2009 Effendy, Onong Uchjana. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung: Alumni, 1981 Esposito, John L. Saatnya Muslim Bicara. Bandung: Mizan, 2008 Gerungan, W.A. Psichologi Sosial. PT Eresco, 1981 Haddad, Fanar. Sectarianisme in Irak: Antagonistic Vision of Unility, New York: Oxford Unility Press, 2011. Heryanto, Gun-gun. “Relasi Kuasa Media di Panggung Politik. Yogyakarta: IRCiSoD, 2018 Hendropuspito. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius 1984 Jurnal Maarif, Arus Pemikiran Islam dan Sosial: Syiah, Sektrianisme, dan Geopolitik, Vol.10, 2015. Kumar, Deepa. Islam ophobia and the Politics of Emire. Chicago: Haymarket Books, 2012 Maarif, Ahmad Syafii. Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarat, Yayasan Abad Demokrasi, 2012 Maarif, Ahmad Syafii. Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam. 240 Jakarta: Bunyan, 2018 Maarif, Ahmad Syafii. Islam dalam bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah. Jakarta: Mizan, 2015 Muzammil, Shofiyullah (dkk.). Revitalisasi Humanisme Religius dan Kebangsaan KH. Wahid Hasyim. Yogyakarta: Pesantren Tebu Ireng, 2011 Newcomb, Theodore M. Psikologi Sosial. Bandung: Diponegoro, 1985 Rubin, Jeffrey Z; Pruit, Dean G.; dan Kim, Sung Hee. Social Conflict: Escalation, Stalemate and Settlement United States of America: McGraw-Hill, Inc, 1994 Sardar. Information and the Muslim World: A Strategy fo the Twentyfirst Century, diterjemahkan Priyono dan Ilyas Hasan dengan judul Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau Informasi Cet. I; Bandung: Mizan, 1988 Shryock, Andrew. Islam Ophobia/Islam Ophilia Beyond the Politics of Enemy and Friend. Bloomington: Indiana University Press, 2010 Suryana, A. Toto. Islam Pola Pikir, Perilaku dan Amal. Bandung: CV. Mughni Sejahtera, 2008 Tim Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan Balai Litbang Jakarta, “Mencari Solusi Konflik dan Kekerasan Internal Umat Beragama,” Laporan Penelitian, 2003. Yunis, Muhammad. Politik Pengkafiran dan Petaka Kaum Beriman: Sejarah Politik, dan HAM. Terj. Dahyar Afkar. Yogyakarta: Pilar Media, 2006 241 KEAGAMAAN DAN KEKUASAAN: CITRA ISLAM DALAM ATURAN BERBUSANA MUSLIM DI KABUPATEN AGAM, SUMATERA BARAT Robby Kurniawan Pendahuluan Sumatera Barat adalah salah satu provinsi yang menerapkan aturan bernuasa agama Islam (syariah) di Indonesia. Sampai hari ini beberapa aturan pokok, berbentuk instruksi dan peraturan daerah (Perda), masih dinyatakan berlaku dan legitimit mengatur urusan hidup masyarakat. Jika dikelompokkan, aturan bernuasa agama Islam di Sumatera Barat terdiri atas empat tema utama; kewajiban pandai baca tulis al-Qur’an, zakat, berpakaian muslim, dan aturan tentang perilaku muslim. Pengelompokkan ini berdasarkan tipologi Perda syariah yang dilakukan Dani Muhatada. Ia mengatakan ada tujuh tipologi Perda syariah di Indonesia,Pertama, Perda-perda yang terkait dengan moralitas. Ini meliputi Perda-perda tentang pelarangan minuman keras, prostitusi, atau perjudian. Kedua, Perdaperda yang terkait dengan kebijakan zakat, infaq, dan sadaqah. Ketiga, Perda-perda yang terkait dengan pendidikan Islam. Ini meliputiPerdatentang madrasah diniyah dan baca tulis al-Qur’an. Keempat, Perda-perda yang terkait dengan pengembangan ekonomi Islam. Ini mencakupPerdatentang Baitul Mal wat Tamwil (BMT) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Kelima, Perdaperda tentang keimanan seorang Muslim. Ini termasuk peraturan tentang larangan kegiatan Ahmadiyah atau sekte-sekte Muslim 242 yang dianggap sesat lainnya. Keenam, Perda-perda tentang busana Muslim, termasuk kewajiban mengenakan jilbab bagi perempuan. Ketujuh, Perda-perdasyariah dalam kategori lain-lain. Perda-perda dalam kategori ini misalnyaPerdatentang Masjid agung, pelayanan haji, dan penyambutan Ramadhan.313 Meski masih terbatas pada empat tema pokok, tidak menutup kemungkinan pemerintah Sumatera Barat mengembangkan aturan hukum bernuansa syariah di kemudian hari. Indikasi atas penambahan aturan dan pengembangan tersebut terlihat dalam pengawalan aturan syariah yang telah dilakukan sebelumnya. Salah satu contoh, ketika Menteri Dalam Negeri, pada 2016 lalu, melakukan peninjauan atas berbagai aturan daerah di setiap provinsi, Sumatera Barat termasuk reaktif menanggapi isu dihapuskannya Perda Syariah. Tindakan reaktif menangkis Perda yang sering dikritisi mengandung muatan intoleransi ini terlihat, salah satunya, dari statemen Walikota Padang. Ia mengatakan, pemerintah Kota Padang siap melakukan perlawanan jika aturan syariah yang berlaku di wilayahnya dihapus oleh pemerintah pusat.314Dukungan atas pemberlakuan aturan syariah tersebut juga dilakukan oleh para ulama. Tokoh agama ini juga tak jarang berlaku reaktif atas upaya peninjauan kembali Perda syariah. Baru-baru ini dapat dilihat bagaimana Ketua MUI Sumatera Barat menjatuhkan fatwa haram memilih partai atau calon anggota legislatif yang menolak Perda syariah.315 313 Dani Muhtada, Perda Syariah di Indonesia: Penyebaran, Problem, dan Tantangannya, orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis VII Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada tanggal 4 Desember 2014 di Semarang. Dalam orasinya, dani mengatakan, Perda Syariah adalah ìsetiap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang secara langsung maupun tidak langsung terkait, atau setidak-tidaknya dianggap terkait, dengan hukum atau norma-norma ke-Islamanî. 314 Lihat laporan berjudul Jika PerdaSyariah Dicabut, Pemko Padang Siap Melawan, https://www.harianhaluan.com diakses 14 Agustus 2018. 315 Sikap Ketua MUI ini muncul sebagai respon atas statemen pimpinan salah satu partai Politik Indonesia atas perda syariah. GusrizalGazahar, Ketua MUI Sumatera Barat, menyampaikan, “Bila berita itu benar adanya, maka dengan berserah diri kepada Allah, saya GusrizalGazahar menyatakan 243 Pembicaraan tentang Perda syariah selalu bersisi problematik, terlebih jika persoalan tersebut dilihat dari faktor kemunculannya. Dani mengatakan setidaknya ada empat alasan yang mendasari lahirnya Perda syariah, yaitu: Pertama, untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari kasus korupsi yang menimpa elit politik setempat. Kedua, untuk mendapatkan dukungan politik dari masyarakat Islam. Ketiga, adanya faktor kesejarahan, yaitu keterkaitan daerahPerdasyariah dengan sejarah gerakan DI/TII di masa lampau. Keempat, kurangnya kapasitas teknis pada birokrat di pemerintahan daerah. Dari empat alasan tersebut, dua alasan bersifat politis, satu alasan bersifat kultural, dan satu alasan lain bersifat administratif. Para peneliti lain seperti Suaedy (2009), Buehler (2008), dan Ichwan (2007) lebih menekankan aspek politis di balik kemunculan Perda-perdasyariah di Indonesia. Buehler (2008), misalnya, berpendapat bahwa lahirnyaPerdasyariah merupakan strategi politik para elit di daerah untuk meraih kuasa di tengah kompetisi yang semakin ketat di antara kelompok politik lokal.316 Faktor-faktor tersebut membuat keberadaan Perda syariah tidak sebatas pada persoalan hukum semata. Perda syariah juga terkait dengan kebudayaan, politik, dan juga persoalan keislaman. Tulisan ini akan mencoba melihat satu sisi kecil saja dari fenomena Perda syariah di Sumatera Barat, yakni Perda Berbusana Muslim. Tulisan ini juga akan berfokus pada aturan di salah satu kabupaten saja di Sumatera Barat, Kabupaten Agam. Pemilihan kabupaten ini dikarenakan daerah tersebutmenggunakan Islam sebagai salah satu visi pemerintahannya.317 kepada seluruh umat Islam di negeri ini khususnya di Ranah Minang: Haram hukumnya memilih partai dan siapa pun yang diusung oleh partai tersebut,” lihat laporan berjudul Tokoh Ulama Sumbar Haramkan Pilih PSI di Pemilu 2019, https://www.viva.co.id 316 Dani Muhtada, PerdaSyariah di Indonesia: Penyebaran, Problem, dan Tantangannya, orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis VII Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada tanggal 4 Desember 2014 di Semarang. 317 Salah satu visi Kabupaten Agam adalah agamais. Dijelaskan lebih 244 Jika dilihat dari kemunculan Perda berbusana muslim di Sumatera Barat, aturan tersebut pada mulanya hanyalah bersifat anjuran. Dimulai di suatu kota kecil, Panjang Panjang, pada tahun 1998, himbauan tersebut kemudian hari diterapkan dengan aturan yang legitimit dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).318 Kabupaten Solok merupakan pelopor lahirnya Perda tentang wajib berbusana muslim, melalui Perda No 6 tahun 2002 tentang berpakaian muslim dan muslimah. Hingga kini tercatat hampir seluruh kabupaten dan kota di Sumatera Barat menerapkan aturan tersebut.319 Kabupaten Agam menerapkan aturan wajib berbusana muslim pada tahun 2005. Bupati Agam, Indra Catri, mengatakan pemberlakukan kewajiban berbusana muslim adalah bentuk penerapan visi Kabupaten Agam, yakni Agam Mandiri dan Madani. Perda inipun selanjutnya dilengkapi dengan himbauan untuk mengombinasikannya dengan pakaian adat bagi PNS dihari-hari tertentu. Namun himbauan yang terakhir ini tidak menjadi kewajiban legal, karena bupati ingin anjurannya itu berangkat dari keinginan para PNS.320 lanjut, “Islam menjadi pedoman dan referensi utama yang membimbing dan mengarahkan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Karena Islam meberikan kita energi dan kekuatan untuk melakukan semua jenis kebaikan, dan pada waktu yang sama, juga meberikan kekuatan yang dapat mencegah kita dari semua jenis perbuatan buruk.” Lihat: https://agam. go.id 318 Peraturan Daerah (Perda) adalah salah satu bagian dari kebijakan publik. Perda adalah satu produk hukum yang diatur legalitasnya dalam Konstitusi, disusun oleh DPRD atau Bupati daerah setempat. 319 Pada tahun 1998, himbauanberbusana muslim di Padang Panjang ketika itu dirumuskan oleh DPRD dan Pemkot Padang Panjang. Aturan Kota yang dikenal dengan sebutan kota serambi mekkah ini mendapat apresiasi yang signifikan. Setelah Perda diberlakukan di Kabupen Solok, diikuti oleh Kabupaten Pasaman,dan kabupaten lainnya, termasuk Kabupaten Agam pada tahun 2005.Lihat harianhaluan.com, Fenomena di Kalangan Pelajar Pakaian Muslim Sekedar Seragam (15/3/2016). 320 http://www.beritasatu.com/nasional/237847-pemkab-agaminstruksikan-pemakaian-pakaian-muslim-untuk-pns.html 245 Secara umum, meski belakangan hari Perda tentang kewajiban berbusana muslim ini mendapat kritikan dari berbagai pihak, mayoritas masyarakat Sumatera Barat tetap mendukung Perda ini. Gubernur Sumbar pun mengatakan, Perda ini sebagai bentuk aplikasi dari falsafah Minangakabau, “adat basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”.321 Falsafah ini memang menjadi tonggak peradaban di Minangkabau.322 Selain itu, Perda ini mengamini keinginan masyarakat untuk kembali ke nagari323 pasca Otonomi Daerah. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang perubahan atas UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan PP No 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai 321 http://m.republika.co.id/berita/pemilu/menuju-ri-1/14/06/09/n6ulikpenghapusan-perda-syariah-usulan-jokowijk-bertentangan-dengan-adatminang. 322 Falsafah Minangkabau yang dimanifestasikan dalam adagium Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalalah pondasi berpikir kebudayaan Minangkabau, baik dalam menjalankan kehidupan sehari-hari maupun dalam merumuskan kebijakan. Ia telah menjadi norma. Dalam falsafat ini, dimensi agama/religiusitas/islam tidak dapat dilepaskan. Sejarah masuknya Islam di Minangkabau, yang nantinya membesar dalam teritorial sumatera Barat, ikut mewarnai perubahan sendi-sendi Minangkabau klasik. Lihat Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: Panjimas, 1984), hlm. 1721. Dalam Kajian Akademis lainnya disebutkan Adagium ini telah menjadi pandangan hidup yang menentukan keberhasilan-kegagalanan hidup di alam Minangkabau. Lihat Suparman Khan, Etika Minangkabau: Suatu Analisa Filosofis tentang pandangan hidup Minangkabau, Desertasi UI, 1996. 323 Kembali ke Nagari adalah seruan masyarakat Minangkabau yang resah dengan adanya degradasi moral dan mental manusia minangkabau. Otonomi daerah, dengan menguatnya peran pemerintah daerah, dan pemerintahan nagari di Sumatera Barat, membuat seruan ini mendapatkan ruang untuk dinegosiasikan dalam kebijakan publik. Banyak bentuk turunan kebijakan dari seruan kembali ke nagari ini, selain perda-perda bernuansa agama Islam, adanya ajakan untuk kembali ke Surau (sebuah simbol keagamaan di Minangkabau), juga yang terakhir yang sempat marak adanya keinginan untuk mendirikan Daerah Istimewa Minangkabau yang dilontarkan tokoh senior Minangkabau, Mukhtar Naim. 246 Daerah Otonom membuat pemerintah daerah sibuk mengatur dirinya. Terlebih lagi dengan adanya Perda Propinsi Sumatera Barat Nomor 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, kewenangan aparatus adat yang selama ini dipandang sebelah mata kembali menguat. Otonomi daerah dapat dikatakan era baru dalam politik kebijakan publik Masyarakat Minangkabau. Setiap era baru memang menimbulkan gairah dan kegalauan. Keduanya terjadi dalam masyarakat minangkabau. Dalam kebijakan publik hal itu menjelma dalam banyak bentuk, salah satunya pada peninjauan kembali peran religius di Sumatera Barat. Demikian amat erat kaitannya dengan proses pembentukan identitas keminangkabauan mereka.324 Lahirnya Perda Kabupaten Agam Nomor 6 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim, tak dimungkiri adalah bagian dari proses pembentukan citra identitas keminangkabauan tersebut. Perda ini sekaligus ingin menjawab peran keislaman dalam relasi pembentukan identitas orang Minangkabau. Namun Perda ini nyata bukanlah jawaban yang selesai atas persoalan tersebut. Produk hukum yang diciptakan dengan negosiasi budaya dan agama dalam masyarakat yang beragam selalu meninggalkan persoalan. Masalah-masalah baru tak jarang bermunculan karenanya, baik itu berupa persaingan politik antar masing-masing pemilik kepentingan, ataupun pada tataran yang lebih tinggi; berupa konflik terbuka. Identitas yang pada mulanya ingin dibentuk secara permanen dan defenitif, acapkalikali 324 Disebutkan, Reformasi membuat proses identifikasi diri menjadi semakin diperdebatkan, setidaknya ditemukan tiga poin persoalan yang sering diperbincangkan yaitu; 1) Penataan kembali pemerintahan desa yang dirangkum dalam istilah “kembali ke Nagari”, suatu unit tradisional dan organisasi politik minangkabau, 2) Peninjauan kembali peran religiusitas lembaga-lembaga yang ada di minangkabau, dan 3) Perdebatan atas Pendefenisian menjadi orang minangkabau dalam negara Indonesia yang multi etnik. Lebih lengkap lihat Franz Von Benda-Beckmann, Identitas dalam perselisihan di Minangkau, dalam kumpulan esai Martin Ramstedt (edt), Kegalauan Identitas, Agama Etnisitas, dan Kewarganegaraan pada Masa Pasca Orde Baru, (Jakarta: Grasindo, 2011), hlm. 17. 247 terbentur dengan persoalan-persolan tersebut.325Pada bagian inilah setiap analisa tentang Perda Syariah menjadi penting. Demikian dilakukan agar masyarakat dapat mengurai persoalan tersebut. Bagi masyarakat Sumatera Barat, kajian tentang Perda syariah ini dapat juga berarti upaya untuk meninjau kembali aturan yang mengikat mereka. Diskursus Perda Syariah di Indonesia Jika kita membuka literatur, pembahasan tentang Perda syariah sudah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, dengan beragam perspektif dan metode analisanya. Tulisan ini berhutang banyak pada beberapa tulisan penting sebelumnya, seperti Robin Bush. Nama ini menjadi sumber yang paling sering dikutip dalam diskursus Perda syariah di Indonesia. Bush mengatakan organisasi Islam, termasuk isu Islam, menjadi daya tarik tersendiri oleh para konstituen dan politisi dalam meraup suara dalam kontestasi. Formalisasi syariah Islam yang dilakukan oleh pemangku kebijakan sebagai bentuk respon politik mereka atas tuntutan kelompok Islam. Namun tuntutan itu tak selamanya berlaku, sebab fakta menunjukkan sebaliknya. Kecendrungan untuk legalisasi syariah Islam jumlahnya cendrung menurun. Dalam penelitianya itu, Ia juga menemukan adanya korelasi daerah yang menerapkan Perda syariah dengan pengalaman sejarah daerah yang memiliki gerakan Islam di masa lampau, seperti Darul Islam dan negara Islam Indonesia. Daerah dan organisasi tersebut memiliki pengalaman pemberontakan pada kuasa pusat.326 Selain Bush, penelitian Dani Muhtada tentang Penyebaran, problem, dan tantangan Perda syariah adalah salah satu bahan yang signifikan untuk penelitian ini. Muhtada menunjukkan Perda syariah adalah efek tak terhindarkan dari desentralisasi dan otonomi daerah 325 Lebih lengkap penjelasan tentang hal ini lihat, Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 150-152. 326 Robin Bush,Regional Sharia Regulations in Indonesia: Anomaly or Sympton?” diambil dari Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies), 2008. 248 yang dilakukan pasca orde baru. Menariknya, dalam makalahnya tersebut, Muhtada melihat penyebaran Perda dan formalisasi syariah ke berbagai wilayah di Indonesia lebih ditentukan oleh peran aktor antara. Istilah yang terakhir ini merujuk pada salah satu aktor dari tiga kuasa yang berpengaruh, diluar aktor eksternal, aktor internal. Aktor internal adalah para pembuat kebijakan di daerah bersangkutan, yang sekaligus menjadi eksekutor pengetok palu formalisasi syariah. Aktor eksternal adalah para pembuat kebijakan yang telah terlebih dahulu membuat kebijakan formalisasi syariah di daerahnya, dan menginspirasi daerah-daerah lainnya. Sedangkan aktor di luar pemerintah, seperti tokoh Masyarakat, akademisi, LSM, media, dan kelompok kepentingan lainnya, dikelompokkan sebagai aktor ketiga, aktor antara. Muhtada menyebutkan, aktor antara inilah yang menjadi inisiator penggerakkan agenda Islamisasi peraturan lokal di daerah. 327 Carool Kersten menyebutkan, ambisi memberlakukan syariah Islam di daerah sebagai bentuk jalan baru dari gagalnya intelektual muslim formalis memasukkan agenda Islamisasi dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Kersten menyebut beberapa kelompok –wacana- yang bergulat dalam diskusi Islam dalam hubungannya dengan negara dan Pancasila, termasuk hukum. Di antara mereka adalah kelompok Islam formalis, Islam sekuler, dan Islam religius. Pelimpahan kekuasaan pusat ke daerah lewat agenda desentralisasi memberi kesempatan kepada kelompok Islam formalis untuk menjadikan hukum Islam sebagai aturan yang legitimit.328 Penelitian Kersten, meskipun mengangkat Aceh sebagai studi kasusnya, terkesan melahirkan kesimpulan yang top-down. Ia menggeneralisir fenomena daerah sebagai replika diskusi pusat. Meski tidak dapat ditolak bahwa kekuasaan dan wacana pusat mewarnai diskusi di daerah, beragam wacana –sebagaimana yang 327 Dani Muhtada, Perda Syariah di Indonesia: Penyebaran, Problem, dan Tantangannya, Makalah orasi ilmiah Dies Natalis VII Fakultas Hukum Universitas Semarang pada 2014. 328 Carool Kersten, Berebut Wacana: Pergulatan Wacana Umat Islam Indonesia Era Reformasi, Bandung: Mizan, 2018. 249 disebutkan terdahulu- tidak persis sama terjadi di daerah. Artinya, dominasi wacana Islam formalis, sekuler, ataupun esensalis dan regilus yang semarak di tingkat pusat bisa jadi memiliki tendensi yang berbeda dari apa yang sebelumnya dibicarakan di tingkat nasional. Penelitian lain juga turut memperkaya dan mengisi ruang-ruang keutuhan topik ini. Q Jaman membahas tentang formalisasi hukum Islam di Indonesia pasca reformasi. Ia menemukan bahwa geliat pengaturan hukum Islam sebagai hukum nasional amat dipengaruhi oleh kepentingan politik pemerintah dan kepentingan politik umat Islam. Kesimpulan ini ditariknya, dengan didasarkan kenyataan bahwa pemerintah selalu melibatkan atau memberikan kesempatan partisipasi kelompok Islam untuk melakukan berbagai prakarsa, tuntutan, dan masukan (input), baik secara lisan ataupun tertulis. Pemerintah memperoleh masukan dari organisasi kemasyarakatan Islam, partai politik Islam, dan LSM, sebagai wadah aspiratif umat Islam. Serapan aspirasi tersebut selanjtunya diakomodir dan diproses dalam sistem politk legislasi (political system).329 Hayatun Na’imah dan Bahjatul Mardiayah mengaji hubungan antara Perda berbasis Syariah dan negara-agama dalam perspektif Pancasila. Dalam penelitiannya tersebut diungkapkan bahwa dalam negara Pancasila, peluang untuk melakukan formalisasi syariah Islam selalu ada, selagi aturan tersebut tidak bertentangan dengan aturan nasional yang lebih tinggi di atasnya. Pancasila dan konstitusi Indonesia memberikan ruang hadirnya Perda-perdasyariah tersebut.330 Penelitian normatif yuridis Emy Hajar Abra menguatkan argumentasi Hayatun dan Bahjatul. Emy menuliskan, keberadaan Perda syariah konstitusional dalam negara hukum Indonesia. Nuansa 329 Q Jaman, Formalisasi Hukum Islam Di Indonesia Pasca Reformasi, Tesis, Pascasarjana Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012. 330 Hayatun Naimah dan Bahjatul Mardiayah, Perda Berbasis Syariah dan Hubungan Negara Agama dalam Perspektif Pancasila, Mazahib, Jurnal Pemikriran Hukum Islam, Vol Xv, No. 2, 2016. Hal. 151-167. 250 kontroversi yang mengitari penerapannya, tidak dapat menjadi alasan untuk mengategorikan aturan tersebut tak berdasar. Emy, bahkan menuliskan upaya untuk mengabaikan dan menghilangkan Perda syariah berarti mengabaikan konstitusi dan dapat menghilangkan nilai tradisi yang terlanjur diakui sebelumnya.331 Hal sebaliknya justru disampaikan Dewi Candraningrum. Ketika ia mengulas Perda syariah, ia menemukan bahwa aturan tersebut adalah bentuk pencarian identitas Islam yang semakin menguat, namun penafsiran atas Islam yang dilakukan hanyalah bersifat simbolis dan transkripsi. Dalam praktiknya pun, pemberlakuan Perda Syariah juga banyak mengabaikan peran gender dan merugikan perempuan. Lebih lanjut ia menuliskan, meskipun Islam adalah agama mayoritas, namun non-Muslim juga menjadi warga negara di Indonesia. Secara institusionalpun, Indonesia bukan negara Islam. Sebab itu, ratifikasiPerdaSyariah mengkhianati konsensus nasional yang disepakati oleh para pendiri negara-bangsa.332 Implikasi penerapan syariah Islam pada kelompok minoritas juga disoroti Ahmad Fuad Fanani. Penelitiannya menunjukkan pemberlakuan aturan syariah berdampak negatif pada kelompok agama minoritas. Banyak dari kelompok minoritas dipaksa mematuhi dan berlaku sama dengan peraturan yang digariskan kelompok muslim arus utama. Fanani mengatakan, demikian adalah bentuk diskriminasi. Ia bahkan menyebut salah satu instruksi wali kota Padang, Sumatera Barat, sebagai contohnya. Instruksi berpakaian muslim dan muslimah itu, meski telah diklarifikasi oleh wali kota yang bersangkutan, tidak berlaku untuk non-muslim tetap menimbulkan dampak psikologis.333 331 Emy Hajar Abra, Kontroversi Legalitas dan Penerapan Perda Syariah dalam Sistem Hukum Indonesia, Jurnal Dimensi, Universitas Riau Kepulauan, Vol. Iii No. 3, 2014. 332 Dewi Candraningrum, Unquestioned Gender Lens In Contemporary Indonesian Shari‘a - Ordinances (Perda Syari’ah), Jurnal Al-Jamiah, Vol. 45, No. 2, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007. 333 Ahmad Fuad Fanani, Sharia Bylaw in Indonesia and Ther Implications for Relgious Minorities, Journal of Indonesian Islam, Institute for The Study of 251 Azymardi Azra baru-baru ini pun mengangkat tema ini dalam artikelnya di harian Kompas. Meski pendek, tulisannya tersebut sangat penting menjelaskan fenomena diskurus Perda syariah belakangan ini. Azra menuliskan, sebenarnya diskusi tema ini cenderung menurun intensitasnya beberapa tahun belakangan. Namun seiring dengan dinamika politik yang cenderung menguat, topik ini kembali naik kepermukaan. Argumentasi Azra selain menguatkan kembali kesimpulan-kesimpulan penelitian terdahulu bahwa formalisasi sangat berkaitan dengan syariah. Nama ini cukup familiar dalam diskusi formalisasi syariah, sekaligus menunjukkan penelitian tentang tema ini belumlah basi untuk diangkat. Diskusi formalisasi syariah di Indonesia juga belum menghasilkan kesimpulan purna. Banyak hal yang mesti dibidik, dengan beragam pendekatan. Azra menyebutkan, penelitian lebih lanjut tentang dinamika Perda berbasis agama perlu diperhatikan. Demikian sangat berguna untuk mengambil respon, langkah dan kebijakan yang nantinya akan diambil pihak terkait.334 Nama yang barusan disebut, bukan kali pertama menyampaikan perhatiannya dalam kasus ini. Pada tahun 2006 ia menyebutkan, keberadaan Perda syariah yang semakin banyak diberlakukan cenderung mengawatirkan. Selain mengancam pluralisme dan keberagaman ideologi di Indonesia, Perda syariah juga bentuk ketidaksanggupan pemerintah, termasuk aparat penegak hukum, untuk mengatasi berbagai problem dan kejahatan di masyarakat. Terlebih lagi munculnya kelompok-kelompok yang menggunakan kekerasan, yang mengatasnamakan penegakan Perda syariah.335 Pada tulisan ini penulis akan melihat sisi berbeda, dengan mempertanyakan, bagaimana wajah Islam yang ditampilkan dalam Perda Kabupaten Agam Nomor 6 tahun 2005 tentang Berpakaian Religion and Society (LSAS) and Postgraduate Program (PPS) IAIN Sunan Ampel Surabaya, Vol. V. No. 01. 2011. 334 Azymardi Azra, Perda Agama, Opini KOMPAS, 29 November 2018. 335 https://news.detik.com/berita/606061/perda-syariah-islam-mencemaskan. Diakses 11 Februari 2019, pukul 10.16 WIB. 252 Muslim tersebut? Pertanyaan ini didasari klaim banyak pihak yang mengatakan bahwa Perda syariah –dan aturan yang bernuansa agama- adalah bagian dari ajaran Islam. Dalam hal ini, penulis akan menganalisa Perda tersebut dengan metodeanalisa wacana kritis (critical discourse Analisis/CDA). Metode ini dipilih karena beberapa alasan, diantaranya; 1) CDA diharapkan dapat mengungkap makna -kepentingan/ideologiyang ada dibalik teks peraturan daerah berbusana muslim; 2) hasil penelitian berbasis CDA dapat digunakan sebagai bahan analisa lebih lanjut tentang konsekuensi peraturan ini dalam kehidupan bermasyarakat, baik di Sumatera Barat ataupun Indonesia pada umumnya. Sekilas tentang Konsep Analisis Wacana Kritis Analisis wacana kritis (critical discourse Analisis/CDA) adalah studi lanjut dari kajian kebahasaan. Dalam kajian ini, teks tidak hanya dapat dibaca atau dianalisa dari segi linguistik semata. CDA memberikan ruang yang lebih luas dalam membaca teks, yaitu dengan memaksukkan “konteks” sebagai elemenyang perlu dikaji dalam menganalisa teks. Konteks disini diartikan sebagai adanya praktik tertentu yang berada dibalik bahasa untuk tujuan tertentu, termasuk didalamnya praktik kekuasaan.336 Dalam studi CDA, beberapa hal perlu diperhatikan. Selain teks dan konteks, faktor-faktor yang berkaitan, seperti tindakan, sejarah, dan ideologi adalah hal-hal yang tidak boleh ditinggalkan. Namun tidak seluruh peneliti CDA menggunakan seluruh faktor tersebut. Ada yang menggunakan dua sampai tiga faktor saja sebagai instrumen untuk menganalisa teks. Pemilihan instrumen tersebut didasarkan pada signifikansi penelitiannya. Dalam hal ini, kita akan menggunakan metode CDA versiSara Mills. Sara Mills dikenal sebagai teoritikus representasi. Ia 336 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKIS: 2009). hlm. 7. 253 menggunakan dua pendekatan dalam mengaji teks. Dalam penelitiannya, ia fokus melihat bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks. Posisi-posisi ini dalam arti siapa yang menjadi subjek penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan. Demikian dilakukan untuk menentukan bagaimana struktur teks dan bagaimana makna diberlakukan dalam teks secara keseluruhan. Disamping itu, Sara Mills juga menaruh perhatian pada bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan dalam teks.337 Sara Mills juga menyebutkan, wacana selalu merepresentasikan sebuah kepentingan tertentu. Representasi subyek-objek dalam teks dapat dibaca dengan tiga pendekatan; 1) Posisi menunjukkan dalam batas tertentu sudut pandang penceritaan; 2) sebagai subyek representasi adalah pihak dominan yang mempunyai otoritas penuh dalam mengabsahkan atau penyampikan peristiwa kepada pembacanya; dan 3) Proses pendefenisian bersifat subjektif.338lebih lengkap tentang pendekatan ala Mills ini lihat tabelberikut:339 Poin Penting Analisis Posisi Subyek-Obyek Posisi Penulis-Pembaca Metode Analisis Bagaimana peristiwa dilihat, dari kacamata siapa dilihat, siapa yang diposisikan sebagai pencerita (subyek) dan siapa yang menjadi obyek yang diceritakan. Apakah masing-masing aktor memiliki kesempatan untuk menampilkan dirinya sendiri, gagasannya atau kehadirannya, gagasannya ditampilkan kelompok lain. Bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks. Bagaimana pembaca diposisikan dalam teks yang ditampilkan. Kepada kelompok manakah pembaca mengidentifikasi dirinya. 337 Ibid, hlm. 200. 338 Ibid, 202-203. 339 Tabel. Kerangka Analisis Wacana Sara Millsdiambil dari Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media... hlm 211. 254 Dalam penelitian Perda berbusana muslim ini, aktor-aktor yang berperan adalah 1) Pemerintah, baik pemerintahan formal maupun informal; 2) Masyarakat umum, terdiri dari pegawai negeri dan para pelajar, dan masyarakat non-muslim. Pertanyaan-pertanyaan relevan untuk diajukan dalam hal ini adalah, bagaimana relasi keduanya, bagaimana representasi subyek-objek masing-masing aktor, dan bagaimana subyek merepresentasikan aktor lain sebagi objeknya. Dalam menganalisa hubungan penulis-pembaca, Mills mengatakan, aspek pembaca sangatlah penting dalam sebuah teks. Teks bukanlah milik penulis semata. Pembaca dan penulis adalah pihak yang saling bernegosiasi dalam teks. Sebab itu, pembaca tidak dapat ditinggalkan ketika menganalisa sebuah teks. Mereka bukanlah pihak yang pasif. Sebaliknya, menurut Mills, dalam teks penulis dan pembaca juga melakukan transaksi.340 Ketika menganalisa pembaca teks Perda, diketahui bahwa pembaca utama yang dibidik teks tersebut adalah pembaca muslim. Namun perlu dicatat, meski masyarakat kabupaten Agam adalah mayoritas muslim, kita juga temukan masyarakat non-muslim. Dalam hal ini, melalui cara pandang Mills, dapat disebut pembaca muslim adalah pembaca dominan, dan non-muslim adalah pembaca marginal. Guna menjawab hubungan penulis-pembaca ini pertanyaan yang relevan dijawab adalah; 1) bagaimana teks Perda berbusana muslim -yang menyasar pembaca muslim dominan- membicarakan non-muslim; dan 2) bagaimana kelompok-kelompok pembaca tersebut (muslim dan non-muslim) dihadirkan dalam Perda wajib berbusana muslim.341 Representasi dan Relasi Kuasa dalam Teks Dalam mengaji teks, representasi adalah salah satu poin penting untuk mengungkap makna dan pesan yang terkandung di dalam teks.Ketika kita mengaji hubungan antar aktor, baik subyek340 Ibid., hlm. 204. 341 Ibid., 209-210. 255 objek maupun penulis-pembaca, representasi menunjukkan adanya muatan ideologis dan politis di balik hubungan tersebut.Representasi juga menunjukkan adanya satu kelompok yang diunggulkan dari kelompok lain. Hubungan antar kelompok ini selalu bersifat politis dan menguasai.342 Kekuasaan bisa hadir dengan berbagai macam model. Foucault, seorang filsuf Prancis yang mengaji perihal kekuasaan, mengatakan kekuasaan pada jaman ini dikenal dengan ‘disiplin’. Ia bersifat politis dan menyasar ke tubuh objek yang dikuasai. Model pendisiplinan terjadi dalam beberapabentuk, yaitu:343 1. Distribusi Ruang Lokalisasi adalah bentuk pendisiplinan. Lokalisasi membuat ekspresi individu menjadi tersumbat dan saling mengisolasikan antara satu sama lain. Pengelompokan dengan lokalisasi bertujuan untuk mendisiplikan kelompok-kelompok agar mudah diawasi dan dipantau. Dalam studinya tentang penjara, Foucault mengatakan distrubusi ruang menggunakan pendekatan presences dan absences. Demikian adalah pembagian ruang yang pemisahannya diatur sedemikian rupa agar individu di dalam ruang jelas untuk diawasi, sedangkan si pengawas tidak tampak oleh orang-orang yang diawasi. 2. Time-Table Disiplin dapat berbentuk regulasi waktu yang ketat. Kekuasaan dalam hal ini hadir dalam bentuk hukuman atas pelanggaran waktu yang telah diatur sedemikian rupa. Di sini disiplin berarti sistematika waktu yang memaksa objek yang dikuasi untuk merutinkan aktivitas-aktivitasnya, agar tidak melenceng sesuai dengan keinginan si pengatur. 342 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media... hlm. 202. 343 Seno Joko Suyono, Tubuh yang Rasis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 397-418 256 3. Administrasi Kumulatif Disiplin bentuk ini diaktualisasikan dalam sistem pengadministrasian yang mengharuskan indvidu-individu agar berkelompok dalam sebuah struktur taraf-taraf yang dapat dievaluasi. Sebagaimana diketahui, kekuasaan dapat juga berarti upaya politis untuk memaksimalkan nilai guna individu utnuk kepentingan tertentu. Dengan melakukan administrasi kumulatif kontrol atas target-target yang diberikat dapat dicapai dengan perkiraan yang terstruktur. 4. Komposisi dan Konfigurasi Tenaga Model ini adalah disiplin yang mengharuskan objek mengikuti prosedur yang bertendensi menyalurkan tenaganya, menjadi bagian dari kombinasi antar tenaga lain. Pendisiplinan model ini mengandaikan bahwa masyarakat adalah satu-kesatuan yang utuh, dimana masing-masing individu di dalamnya menjadi bagian yang mesti dikerahkan untuk membentuk kesatuan masyarakat yang diinginkan tersebut. Model-model pendisiplinan ini sebagai operasi kekuasaan representasi akan digunakan untuk menggungkap hubungan antar aktor dalam perda berbusana muslim, yang menjadi objek penelitian ini. Seiring dengan metode CDA yang telah disebutkan sebelumya, penelitian ini akan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama membahas relasi antar aktor dalam Perda berbusana muslim. Bagian keduamembahas bagaimana pembaca ditampilkan dalam teks Perda. Bagian ketiga membahas model dan modus pendisiplinan yang tersimpan di balik teks perda. Bagian-bagian ini selanjutnya akan mengantarkan kita pada jawaban dari pertanyaan utama penelitian ini, yakni bagaimana Islam direpresentasi dalam aturan berbusana muslim di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Bagian I: Relasi Antar Aktor dalam Teks Perda 1. Relasi Kuasa Pemerintah pada masyarakat 257 Pasal 6 ayat (1) berbunyi, “Pengawasan terhadap pelaksanan peraturan Daerah dilakukan oleh masing-masing Kepala Organsiasi Perangkat Daerah dan Kepala Instansi Vertikal”. Kata “pengawasan” merepresentasikan pelaksananya sebagai pihak yang “berwenang” untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu kepada pihak yang diawasi. Dalam hal ini, Pemerintah daerah direpresentasikan sebagai pihak yang paling berwenang dan mendominasi. Pemerintah Daerah, dalam hal ini organisasi perangkat daerah dan kepala instansi vertikal memiliki andil dalam memberikan sanksi.344 Sanksi adalah bentuk pendisiplinan.345 Dalam kamus bahasa Indonesia, sanksi adalah tindakan atau hukuman untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan.346Teks Perda tidak menjelaskan bagaimana model pengawasan yang dilakukan. Namun sanksi yang boleh diberikan pemerintah daerah dapat dikatakan cukup berat. Pasal 5 memberikan jalan pemerintah untuk tidak melayani masyarakat yang dianggap melanggar. Pemerintah boleh meninggalkan kewajibannya untuk melayani masyarakat, jika masyarakat tersebut dinyatakan melanggar. Sayangnya dalam Perda ini tidak disebutkan ukuran yang jelas untuk menyatakan seseorang telah melakukan pelanggaran. Pemerintah memiliki otoritas dalam menerapkan sanksi tersebut, sebagai sanksi tingkat II setelah sanksi teguran. Namun sekali lagi tidak dijelaskan teguran yang diberikan tersebut apakah berbentuk tertulis atau tidak tertulis. 344 Pasal 5 ayat (3) poin a. 345 Pendsiplinan adalah bentuk dari kekuasaan. Makna kuasa, menurut Foucoult, mengalami pergerseran dari waktu ke waktu. Pada abad modern, hukuman tidak lagi ditujukan untuk merusak fisik, tapi mengubah orientasi pihak yang melanggar, dari yang melanggar menjadi perbaikan integritas. Dalam menjalankan kekuasaan, metode pendisiplinan dilakukan dengan banyak cara, seperti pemisahan kelompok, sterilisasi, dan lain sebagainya. Lebih lengkap lihat Michel Foucault, Power/Knowledge; Wacana Kuasa/ Pengetahuan, diterjemahkan Yudi santosa (Yogyakarta: Bentan Budaya, 2002), hlm. 70. 346 Kamus KBBI offline 258 Kewenangan untuk mengawasi dan memberikan sanksi, dengan mekanisme yang tidak begitu jelas, membuat posisi pemerintah menjadi subyek yang lepas melakukan dominasi. Tindakan pemerintah berada pada tingkat tidak terbantahkan dibandingkan masyarakat. Perda ini pun tidak menjelaskan mekanisme yangjelas tentang bagaimana masyarakat meninjau setiap sanksi yang diberikan. Otonomi daerah jelas ikut memberikan legitimasi. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom memang menjadi salah satu landasan dari Peraturan Daerah ini. Selain itu, PP otonomi daerah ini juga membuat stuktur pemerintahan di minangkabau cenderung berbeda dengan pemerintahan di daerah lain. Dengan adanya otonomi Daerah, kekuasaan daerah menjadi lebih terlihat, termasuk institusi kekuasaan khusus yang dimiliki daerah tersebut. Minangkabau memiliki stuktur pemerintahan yang unik. Selain dikenal pemerintahan formal-modern, seperti bupati atau walikota, masyarakat minangkabau juga mengenal Wali Nagari dan Niniak Mamak dalam tatanan sosial politik mereka. Wali nagari adalah alat Pemerintah Nagari yang memimpin penyelenggaraan Pemerintah Nagari.347 Seiring peran dan posisi kuasa pemerintah, Wali Nagari adalah bagian dari pemilik kuasa tersebut. Jika ditelisik lebih jauh, peran Wali Nagari dalam hal ini dapat jauh lebih kuat dibandingkan posisi pemerintah, seperti bupati dan walikota. Wali nagari memiliki dua kuasa sekaligus. Ia memiliki kuasa formal karena keberadaannya diakui dalam undang-undang sebagai posisi politik tertentu. Dan Ia juga memiliki kuasa adat dalam tata kehidupan sosial di minangkabau. 347 Untuk lebih jelas penjelasan dan ketentuan terkait tugas dan wewenang walinagari lihat Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 31 Tahun 2001 Tentang Pemerintahan Nagari. Nagari sendiri adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam suatu daerah, yang terdiri dari himpunan beberapa suku di Minangkabau yang mempunyai wilayah dan batas -batas tertentu dan mempunyai harta kekayaan sendiri, berwenang mengurus rumah tangganya dan memilih pimpinan pemerintahannya 259 Adat Minangkabau yang termanifestasi dalam adagium adat basandi syarak-syarak basandi kitabullah seolah ikut disertakan dalam aturan daerah ini. Terlebih lagi, Perda ini memberikan kewenangan kepada walinagari dan niniak mamak untuk memberikan sanksi yang berlaku di masing-masing nagari. Disebutkan “Masyarakat yang melanggar ketentuan pasal 3 ayat (2) dikenakan sanksi berupa; (c) sanksi adat yangberlaku di salingka nagari.”348Kata yang digarisbawahi merepresentasikan bahwa Subyek dapat menggunakan hukuman khusus, di luar ketentuan admistrasi, untuk menghukum pelanggar, termasuk hukuman-hukum simbolik. Keikutsertaan Walinagari dalam mengawasi dan memberikan sanksi kepada masyarakat yang “dianggap” melanggar perda, berarti menyertakan “kuasa” adat dalam menjalankan hukum formal ini. Melihat keikutsertaan banyak pemangku otoritas dalam Perda ini, mengamini bahwa Sumatera Barat masih terikat pada pola otoritasotoritas Modern dan klasiknya349 masih kuat-berpengaruh, menjadi subyek-subyek yang mendominasi. Subyek-subyek di atas menjadikan masyarakat sebagai objek yang perlu diawasi, dibentuk, dan akhirnya didominasi. Representasi bahwa masyarakat didominasi jelas terwujud pada kata “Wajib” yang ditulis pada pasal 3 ayat (2). Pasal itu berbunyi: Setiap masyarakat muslim wajib berpakaian muslim dalam melakukan kegiatan seharihari dan pada acara resmi. Kata wajib bermaknaharus dilakukan; tidak boleh tidak dilaksanakan.350 2. Relasi Dominasi Pemerintah atas Peserta Didik Peserta didik sebagaimana disebutkan dalam peraturan adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri 348 Salingka adalah bahasa Minangkabau untuk “Selingkaran”, “sekitar”, “lokus tertentu”. Terkait ketentuan ini lihat Pasal 5 ayat (3) poin c. 349 Perihal otoritas politik dan budaya Minangkabau lihat Hamka, Islam dan Adat Minangkabau.... hlm. 61-66. 350 KBBI offline 260 melalui pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.351Seiring dengan posisi masyarakat dalam perda, peserta didik adalah objek yang akan dibentuk (diawasi) pemerintah. Namun berbeda dengan masyarakat, peserta didik memiliki lebih banyak tingkat hukuman. Peserta didik yang melanggar mendapat teguran lisan, teguran tertulis, tidak diperbolehkan mengikuti pelajaran, dan dikeluarkan dari sekolah. Sanksi-sanki ini diberikan secara bertingkat.352 Dalam hal ini peserta didik diawasi oleh kepala instansinya (sekolah).353 Aturan luar sekolah yang mengikat langsung ke dalam sekolah, dengan menggunakan aparatus sekolah sebagai perpanjangtanganannya, menunjukkan bahwa upaya ini adalah pendisiplinan menyeluruh. Terlebih lagi tidak adanya diksi “Guru”, “Pendidik” yang disebutkan secara jelas dalam Perda ini, semakin merepresentasikan bahwa Subyek ingin agar aturan ini tidak mendapatkan hambatan berarti pada jajaran dibawahnya.Sekolah tidak lagi memiliki keleluasaan untuk menentukan metode pendidikan bagi peserta didiknya. Bagian II: Relasi Penulis - Pembaca Dalam menganalisis posisi pembaca dalam sebuah teks Sara Mills menggunakan beberapa metode, diantaranya Mediasi, Kode Budaya, dan dominant reading. Ketiga metode ini digunakan karena setiap teks tidak melulu menyapa pembaca secara langsung (direct address), tetapi lebih banyak melalui penyapaan/penyebutan tidak langsung (indirect address).354 Dalam Perda ini teks menyapa pembacanya berupa; 351 Pasal 1 ayat (6) Perda Kab. Agam Nomor 6 tahun 2005 tentang Berpkaian Muslim. 352 Pasal 5 ayat (2) Perda Kab. Agam Nomor 6 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim. 353 Pasal 6 ayat (2) Perda Kab. Agam Nomor 6 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim. 354 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media... hlm. 207208. 261 1. Mediasi Mediasi meniscayakan ada nilai kebenaran yang ditempatkan secara hirarkis sehingga pembaca akan mensejajarkan dan mengidentifikasi dirinya dalam nilai tersebut. Dalam Perda ini, nilai mediasi dapat dilihat pada pasal 2, berbunyi, “Berpakaian Muslim bertujuan untuk menutup aurat sesuai dengan kaidah Islam dan menghindarkan diri dari perbuatan tercela.” Kata bertujuan yang digarisbawahi menunjukkan bahwa pembaca diposisikan sebagai orang yang akan mencapai nilai-nilai utama dalam Islam. 2. Kode Budaya Diksi-diksi yang memposisikan pembaca dalam teks kadangkala berbentuk nilai-nilai bersama, yang diakui dalam kelompok identitas tertentu. Dalam Perda ini, kata “Islam” dan “Muslim” amat mendominasi, dimulai pada judul Perda hingga pada pelabelan pakaian yang pantas disebut baik dan sopan. Artinya pembaca muslim adalah pembaca paling dominan (Dominant reading) dalam Perda ini. Bagian III: Model dan Modus Kekuasaan dalam Teks Perda Setelah dijelaskan posisi pemerintah- masyarakat/peserta didik sebagai relasi subyek-objek yang direpresentasikan dalam perda, bagian ini akan menguraikan model-model kuasa yang direpresentasikan dalam Perda berbusana muslim tersebut. Jika dilihat berdasarkan pasal, pendisiplinan dihadirkan berupa: 262 Pasal 2 3 4 5 6 Model dan Modus Pendisiplinan Tujuan politik pendisiplinan:Subyek menginginkan objek untuk mengikuti kaidah Islam dan terhindar dari perbuatan tercela. Distribusi Ruang: Sekolah, tempat melakasankan tugas, dan kegiatan resmi adalah tempat-tempat diskursus pendisiplinan. Tempat-tempat tersebut selanjutnya menjadi simbol (pengingat) bagi objek untuk melaksanakan kewajibannya. Subyek menarasikan objek sebagai aktor yang mesti mengikuti perintah-perintah simbolik tersebut.1 Komposisi dan Konfigurasi Tenaga: Subyek menarasikan kriteria-kriteria, berupa prosedur, yang mesti diikuti oleh objek. Pada pasal ini, kriteria berpakaian muslim dinarasikan secara spesifik untuk objek laki-laki dan perempuan. Masingmasing merupakan unit terpisah dalam prosedur berpakaian yang diterapkan Subjek. Meski merupakan unit terpisah, keduanya berelasi konfigurasi dalam membentuk citra Islam yang diinginkan subyek, sebagai tujuan politiknya. Administrasi Komulatif: Pasal ini berisi bentuk-bentuk sanksi dan hukuman yang dapat diberikan. Sebagaimana model pendisiplinan Administrasi komulatif, subyek mengelompokan objek-objeknya pada taraf dan tingkatan tertentu. Pada objek peserta didik, subyek membagi hukuman menjadi empat tingkatan, yang terendah dengan teguran lisan hingga terberat dengan mengeluarkan objek dari ruang simboliknya (sekolah). Hirarki ini menarasikan prosedur evaluasi pelanggaran kecil hingga pelanggaran besar objek. Namun tidak dijelaskan objek yang manakah yang menempati masing-masing hirarki. Distribusi Ruang: pada pasal ini subyek merepresentasikan dirinya sebagai pihak yang berbeda dari objek. Pasal ini merepresentasikan garis demarkasi kuasa dan yang dikuasi. Representasi dalam Teks Perda Berdasarkan analisa langkah CDA Sara Mills di atas, dapat ditemukan beberapa citra (representasi) Islam dalam Perda Berbusana Muslim, yaitu: 1. Representasi Subyek sebagai aktor yang berkuasa untuk menerjemahkan nilai-nilai keislaman: Korelasi pasal 6 dan pasal 2 merepresentasikan pemerintah sebagai pihak yang paling berhak untuk menerjemahkan ketentuan-ketentuan 263 Islam. Bahkan pada pasal 4, Pemerintah—sebagai aktor— menunjukkan dirinya sebagai subyek yang layak menentukan apa yang pantas dan tidak pantas untuk kelompok lain, sebagai objeknya. Perempuan adalah objek pendisiplinan paling kentara dalam Perda ini dibandingkan laki-laki. Pada pasal 4, tubuh perempuan ditulis/diatur lebih banyak dipandingkan laki-laki. 2. Representasi masyarakat dan peserta didik sebagai objek yang perlu di Islamkan dan dijaga simbol-simbol keislamannya: Relasi hirarkis antaraSubyek dan objek merepresentasikan bahwa yang diawasi dapat berbuat salah, melanggar dan layak diberi sanksi. Objek pengawasan selalu diposisikan sebagai kelompok yang rawan dan layak untuk dijaga. Simbol-simbol keislaman dijadikan indikator oleh subjek –dalam hal ini pemerintah dan pranta adat- untuk mengukur kesesuaian dan ketidaksesuaian objek dalam mengikuti nilai Islam. 3. Representasi masyarakat non-muslim sebagai objek yang semestinya mengikuti nilai pembacaan dominan (dominan reading); Meski hanya satu ayat menarasikan non-muslim, signifikansi wacana yang direpresentasikan amat kuat. Pembaca non-Muslim pun tak dimungkiri ikut terlibat dalam mediasi wacana dalam Perda ini. Pasal 3 ayat (3) berbunyi, “Bagi masyarakat non-muslimdiharapkan untuk berpakaian yang pantas dan sopan dalam melakukan kegiatan sehari-hari dan pada acara resmi”. Kata “diharapkan” yang ditujukan kepada non muslim mengindikasikan bahwa non-muslim hendaknya tidak menyalahi kehendak pembaca dominan (dominan reading). 264 Daftar Pustaka Azra, Azyumardi, Perda Agama, Opini KOMPAS, 29 November 2018. Abra, Emy Hajar, Kontroversi Legalitas dan Penerapan Perda Syariah Dalam Sistem Hukum Indonesia, Jurnal Dimensi, Universitas Riau Kepulauan, Vol. Iii No. 3, 2014. Beckmann, Franz Von Benda,-Identitas dalam perselisihan di Minangkau, dalam kumpulan esai Martin Ramstedt (edt), Kegalauan Identitas, Agama Etnisitas, dan Kewarganegaraan pada Masa Pasca Orde Baru, (Jakarta: Grasindo, 2011 Bush,Robin, Regional Sharia Regulations in Indonesia: Anomaly or Sympton?” diambil dari Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies), 2008. Candraningrum,Dewi, Unquestioned Gender Lens In Contemporary Indonesian Shari‘a - Ordinances (Perda Syari’ah), Jurnal Al-Jamiah, Vol. 45, No. 2, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007. Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: LKIS: 2009. Fanani, Ahmad Fuad, Sharia Bylaw in Indonesia and Ther Implications for Relgious Minorities, Journal of Indonesian Islam, Institute for The Study of Religion and Society (LSAS) and Postgraduate Program (PPS) IAIN Sunan Ampel Surabaya, Vol. V. No. 01. 2011. Foucault, Michel, Power/Knowledge; Wacana Kuasa/Pengetahuan, diterjemahkan Yudi santosa, Yogyakarta: Bentan Budaya, 2002. Jaman, Q. Formalisasi Hukum Islam Di Indonesia Pasca Reformasi, Tesis, Pascasarjana Uin Sunan Kalijaga 265 Yogyakarta, 2012. Kersten, Carool, Berebut Wacana: Pergulatan Wacana Umat Islam Indonesia Era Reformasi, Bandung: Mizan, 2018. Khan, Suparman, Etika Minangkabau: Suatu Analisa Filosofis tentang pandangan hidup Minangkabau, Desertasi UI, 1996. Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997 Muhtada, Dani, PerdaSyariah di Indonesia: Penyebaran, Problem, dan Tantangannya, orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis VII Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada tanggal 4 Desember 2014 di Semarang. Naimah, Hayatun Dan Bahjatul Mardiayah, Perda Berbasis Syariah Dan Hubungan negara Agama Dalam Perspektif Pancasila, Mazahib, Jurnal Pemikriran Hukum Islam, Vol Xv, No. 2, 2016. Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 6 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim Peraturan Pemerintah No 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Suyono, Seno Joko, Tubuh yang Rasis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Undang-Undang Nomor 3tahun 2005 tentang perubahan atas UU Nomor 32 tahun 2004 Tentang Perintahan Daerah. https://agam.go.id https://www.harianhaluan.com. https://www.viva.co.id http://www.beritasatu.com https://news.detik.com https://republika.co 266 JUSTIFIKASI TAFSIR AL-QUR’AN TENTANG PLURALISME BERAGAMA: SEBUAH ALTERNATIF MERAWAT KEBINEKAAN BANGSA Ricko Imano Ganie Pendahuluan Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam pengentasan masalah intoleransi atas nama agama. Perannya sebagai agama yang paling banyak penganutnya di negara ini menjadi sangat vital, karena orang Islam hampir menguasai setiap lini kehidupan di Indoneisa.Apabila penganut agama mayoritas ini menjadi pemicu kesepakatan hidup yang berazaskan pada perdamaian, maka damailah negara ini. Salah satu ciri fundamental budaya Islam adalah ketergantungannya yang sangat kuat terhadap nas atau teks.Hampir seluruh kegiatan dan amalan sehari-hari, terlebih hal-hal yang berkaitan dengan ibadah baik yang menyangkut keyakinan, atau rukun iman, rukun Islam, ritual ibadah, serta hubungan sosial semua berlandaskan nas atau teks. Tanpa adanya landasan dalil dari nas atau teks tersebut maka semua tingkah laku peribadatan kita kita akan tertolak. Sampai pada batas ini menurut Prof. Amin Abdullah tidak ada masalah karena memang setiap agama memiliki aturan dan regulasinya masing-masing. 267 Namun di lain pihak Prof. Amin Abdullah juga menegaskan bahwa agama tidak terkait hanya dengan keyakinan dan ritual ibadah semata, agama juga terkait dengan permasalahan yang lain seperti kepemimpinan (leadership), yang berkaitan dengan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan, sistem moral (morality), termasuk di dalamnya mengatur hubungan antar umat beragama, kelembagaan (institution) sosial, pendidikan, ekonomi, dan hal-hal yang berkaitan dengan alat-alat dan simbol dalam dunia seni (art dan tools). Menurut Prof. Amin Abdullah kelompok yang terakhir disebutkan agak sulit untuk menemukan kesesuaiannya dengan nas atau teks keagamaan yang kita bahas di atas. Dalam istilah agama Islam dikenal dengan “al-nushus al-mutanahiyah wa alwaqai’ ghairu mutanahiyah” (nas atau teks itu terbatas sedangkan peristiwa-peristiwa sejarah kemanusiaan tidaklah terbatas).355 Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh John Esposito yaitu tantangan terbesar bagi para pembaru Muslim di dunia menurutnya adalah menjaga kesinambungan antara perubahan yang diusulkan oleh jaman dengan keyakinan dan tradisi keislaman yang sudah lama dipegang, hal serupa juga sedang dialami oleh agama-agama selain Islam.356 Dalam konteks ini maka para ulama dan ilmuan Muslim kontemporer harus terus berpacu untuk menghubungkan antara halhal yang diyakini atau yang dianggap tetap (al-tsawabit) yang dalam hal ini adalah nas atau teks dan wilayah yang berubah-ubah (almutaghayyirat) yaitu perkembangan jaman. Ada tiga prinsip dalam penafsiran al-Qur’an yang harus diperhatikan.Pertama, setiap bagian al-Qur’an bisa dimaknai dengan melihat masa turunnya wahyu tersebut.Asumsinya alQur’an tidaklah turun di ruang hampa, tetapi ada latar sosiohistoris yang membantu audiens wahyu agar mengerti maksud dari 355 Akhmad Sahal dan Munawir Aziz (Editor), Islam Nusantara Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan, (Bandung: PT Mizan Pustakan, 2015), 72. Lihat juga tulisan KH. Husein Muhammad, di buku yang sama halaman 101 dan 103. 356 John L. Esposito,The Future of Islam, (New York: Oxford University Press. 2010), 149. 268 wahyu tersebut.Kedua, setiap bagian al-Qur’an bisa dipahami dari letak susunannya pada mushaf.Asumsinya sistematika tersebut adalahbagian dari pewahyuan yang menyimpan makna dibalik urutan ayat dan surat dalam al-Qur’an. Ketiga, setiap bagian dari al-Qur’an ditafsirkan dengan menghubungkannya dengan bagian lain dalam al-Qur’an yang relevan.Asumsinya struktur al-Qur’an meniscayakan pendekatan ini, yang tanpanya penafsiran al-Qur’an berpeluang menjadi tidak akurat.357 Berdasarkan pemaparan di atas, pembacaan nas atau teks kaitannya dengan tindakan intoleransi pada sendi-sendi kehidupan manusia akan selalu menarik untuk dikaji.pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam tema-tema urgen untuk didalami lebih lanjut. Diantara pertanyaan-pertanyaan tersebut adalahapa pandangan para penafsir tentang hubungan umat beragama dalam al-Qur’an, apakah para penafsir menawarkan konsep yang humanis dan egaliter dalam penafsirannya, atau justru sebaliknya, khususnya dalam hubungan antar umat beragama, dan bagaimana kita menyikapi perbedaan pandangan dalam penafsiran untuk menarik sebuah benang merah kesimpulan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan prinsipkehidupan yangrahmatan lil ‘alamin. Diskursus Hubungan antar Umat Beragama Berbicara mengenai agama, banyak pengertian yang coba ditawarkan oleh para sarjana yang fokus dalam kajian tentangnya. Diantaranya adalah pengertian agama yang diungkapkan oleh professor Wallace, ia mengartikan agama adalah sebuah kepercayaan tentang makna terakhir alam raya. Sedangkan ESP Haynes mengatakan bahwa agama adalah suatu teori tentang hubungan manusia dengan alam raya.Bagi John Morley agama adalah sebuah perasaan tentang kekuatan-kekuatan tertinggi yang menguasai nasib umat manusia.James Martineau mendefinisikannya 357 Muhammad Abdullah Darraz (Editor), Jihad, Khilafah, dan Terorisme, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2017), 404. 269 sebagai kepercayaan tentang Tuhan yang abadi, yaitu tentang jiwa dan kemauan ilahi yang mengatur alam raya dan berpegang pada hubungan-hubungan moral dengan umat manusia.Sedangkan professor ahli filsafat McTaggart mengatakan bahwa agama adalah suatu keadaan kejiwaan. Agama digambarkan sebagai perasaan yang terletak di atas adanya keyakinan pada keserasian antara diri kita sendiri dan alam raya secara keseluruhan.358 Di lain pihak Herbert Spencer mengatakan bahwa agama adalah pengakuan atas segala sesuatu merupakan manifestasi dari kuasa yang melampaui pengetahuan manusia. Mathew Arnold mengatakan bahwa agama adalah sebuah etika yang ditingkatkan, dinyalakan dan diterangi oleh perasaan.359Pendapat-pendapat tersebut memberikan gambaran singkat kepada penulis mengenai definisi agama.Secara sederhana penulis menyatakan bahwa agama merupakan kesaksian atau pengakuan manusia terhadap sebuah kekuatan yang tidak bisa dicapai melalui media panca indera dan pengetahuan apapun.Dengan posisinya yang seperti itu, maka praktis hanya al-Qur’an (teks) yang menghubungkan kekuatan yang di luar jangkauan tersebut agar mampu mencapai logika manusia.Tentunya logika yang sesuai dengan perkembangan jaman. Pada kesempatan lain Nurcholish Madjid membagi definisi agama menjadi dua bagian, yaitu inklusif dan ekslusif. Definisi inklusif adalah konsep definisi agama yang dianut oleh para penganut sistem sosial yang menekankan perlunya individu-individu dalam masyarakat dikontrol oleh kesetiaan pada seperangkat kepercayaan dan nilai.Definisi inklusif menjadikan agama hanya menjadi sekumpulan manusia yang menjalankan praktik-praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang suci. Praktik-praktik tersebut menyatukan para penganutnya ke dalam satu komunitas moral yang disebut umat, hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Emile Durkheim. 358 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013), 148. 359 Fauz Noor, Berpikir Seperti Nabi Perjalanan Menuju Kepasrahan (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2009), 449. 270 Sedangkan pengertian ekslusif menekankan pengertian agama sebagai konfigurasi dari representasi keagamaan yang membentuk suatu alam kesucian, yaitu agama dalam bentuk khusus sosial-historis dan sosial kulturalnya. Pengertian ini lebih terfokus pada sistem agama sebagaimana dipahami oleh kebanyakan orang, pengertian ini juga akan identik dengan nama Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha dan lain sebagainya.360 Berbicara mengenai agama, Albert Einstein dan Thomas Jefferson memprediksikan bahwa kegiatan keagamaanakan menjadi sebuah kegiatan yang marginal dan lambat laun akan hilang dari muka bumi ini.361Tetapi pada kenyataannya mendekati akhir abad ke-20 agama menjadi salah satu kekuatan yang harus diperhitungkan.Dewasa ini umat beragama menuntut hak eksistensi dalam menjalankan ritual-ritualnya.Bahkan sekarang telah muncul penganut agama yang radikal, yang biasa disebut dengan fundamentalisme, yaitu suatu bentuk keimanan yang bersifat politis, dan mengancam dunia dan kedamaian sipil.362 Dalam hal ini agama harusnya tampil pada garda terdepan sebagai perawat kerukunan dan kedamaian, tetapi faktanya justru menjadi salah satu sumber perpecahan.Meskipun agama bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan ketidakharmonisan 360 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan (Bandung: Mizan, 2008), 130-135. 361 Albert Einstein mengakui spiritualisme dalam kehidupan manusia, tetapi sangat kritis terhadap agama-agama mapan dan bahkan menolaknya. Thomas Jefferson juga mengaku percaya kepada Tuhan (Deisme), kepada Kemaha-Esaan Tuhan (Unitarianisme), dan kepada kebenaran universal (Universalisme), tanpa harus terikat kepada salah satu dari agama-agama formal yang ada. Jefferson meramalkan bahwa pemahamannya itu akan menjadi agama seluruh umat manusia, dan dalam jangka waktu dua ratus tahun akan menggeser agama-agama formal. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, 127, lihat juga Nurcholish Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 2008), 134. 362 Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis, terj. Sirikit Syah (Surabaya: Risalah Gusti, 2011), vii. 271 dalam hubungan sosial, namun jelas sekali bahwa pertimbangan keagamaan pada konflik-konflik tersebut dan dalam eskalasinya banyak memainkan peranan.363Jika agama tidak bisa menghadirkan hal tersebut maka ada problem yang menjadi pekerjaan rumah kita bersama sebagai anak bangsa. Mengkaji hubungan antar umat beragama dalam perspektif Islam tak akan bisa terlepas dari jargon Islam rahamatan lil ‘alamin. Secara substansial, topik tersebut meliputi beberapa hal, diantaranya adalah menjunjung tinggi nilai hikmah yang dimaknai bijaksana, ‘adl yang dimaknai dengan keadilan, tawasuth yang dimaknai moderat, tasamuh yang dimaknai toleran, tawazun dimaknai seimbang, i’tidal yang dimaknai konsisten, serta syura yang dimaknai musyawarah. Fungsi Islam rahamatan lil ‘alamin diperkuat oleh sabda Nabi Muhammad SAW yaitu innama bu’istu li utammima makaa rimal akhlak” (Aku diutus Tuhan untuk menyempurnakan akhlak). Umat Islam saat ini masih belum sepenuhnya mampu menunjukkan wajah Islam rahamatan lil ‘alamin. Umat Islam masih jauh dari perilaku dan akhlak Islami. Artinya masih banyak umat Islam yang belum Islam.364 Umat Islam telah gagal memahami al-Qur’an sebagai pedoman hidup.Perintah-perintah utamanya yang sangat sederhana dianggap 363 Konflik yang disebabkan sentimen keagamaan antara lain: konflik antara Protestan dan Katolik di ujung utara Irandia, konflik rasialisme atau kepentingan ekonomi para pekerja Muslim di Prancis dan Jerman, konflik di Cyprus antara keturunan Turki dan Yunani yang berbeda agama, konflik Palestina dan Israel yang melibatkan kaum Muslim, Yahudi dan Kristen, konflik di Sudan antara Islam Arab dan Kristen kulit hitam, konflik Irak dan Iran yang diwarnai oleh perbedaan antara Sunni dan Syi ‘ah, hal ini juga terjadi di Pakistan, konflik Islam dan Hindu di India, konflik Islam dan Buddha di Sri Lanka, Burma dan Thailand. Konflik diskriminasi Muslim minoritas di Rohingya Myanmar, bom Bali, bom Kampung Melayu. Kerusuhan Mako Brimob Depok, bom bunuh diri di gereja di Surabaya, bom bunuh diri di Rusunawa Sidoarjo. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, 125. 364 Nanat Fatah Natsir, The Next Civilization Menggagas Indonesia Sebagai Puncak Peradaban Dunia (Bekasi: Media Maxima, 2012), 162-163. 272 angin lalu saja oleh umat yang mengaku beriman kepadanya. Umat Islam yang sekarang jumlahnya kurang lebih 1,6 miliar adalah bagian dari kemanusiaan universal, tetapi perannya masih berada di buritan peradaban. Antara al-Qur’an dan umat Islam terbentang jurang yang lebar sekali.365 Perbedaan sikap penerimaan masyarakat terhadap hubungan antar umat beragama merupakan indikasi dari kompleksitas problematika tersebut.Sikap ekslusif, inklusif dan pluralis adalah bukti bahwa masyarakat dunia belum cukup siap untuk menghadapi perbedaan yang ada, terutama perbedaan agama.Pertentangan antar umat beragama yang membawa perpecahan, kekerasan, anarkisme dan bahkan vandalisme merupakan kenyataan ironis yang menyedihkan. Ditambah lagi dengan sebagian juru dakwah keagamaan yang menjelek-jelekkan agama lain dan umatnya, menghasut, menyulut emosi umat untuk membenci dan bahkan menyerang agama lain. Permusuhan dan balas dendam adalah tanda bahwa sebagian masyarakat dunia masih menjalankan konsep ekslusifisme dan fanatisme dalam kehidupan antar umat beragama. Globalisasi, migrasi, dan multikulturalisme makin menambah persoalan hidup masyarakat majemuk.Perkembangan ideologi, agama-agama dan bentuk spiritualitas baru banyak bermunculan sesuai dengan berkembangnya jaman. Hal ini memerlukan sebuah bentuk paradigma baru dalam pembacaan misi-misi agama. Menurut Weinata Sairin, setidaknya ada tiga aspek yang selalu menjadi tekanan dalam konteks hubungan antar umat beragama, 1. Kerukunan antara pemerintah dan umat beragama; 2. Kerukunan antar umat beragama; dan 3. Kerukunan antar umat seagama.366 365 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, (Yogyakarta: PT Bentang Pustaka, 2018), 135-137. 366 Weinata Sairin, Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan bangsa: Butir-Butir Pemikiran (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2002), 136. Dalam hal ini Muhammad Ali mengatakan bahwa model trilogi kerukunan seperti yang diungkapkan oleh Weinata Sairin tidak lagi efektif dalam kehidupan nyata. Sebab model seperti itu tidak memberikan kejelasan dan kepastian politik menyangkut pluralisme yang semakin 273 Dalam mengomentari aspek-aspek tersebut penulis menyatakan bahwa perlu adanya hubungan yang harmonis antara penguasa (pemerintah) dan umat beragama.Hubungan timbal balik antara pemerintah dan umat beragama merupakan sebuah keniscayaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Farid Esack yang menyatakan bahwa terdapat dialektika yang tak terelakan antara politik dan agama (Islam).367 Pada kesempatan lain Muhammad Ali menegaskan bahwa toleransi dan pluralisme agama tidak akan berjalan lancar tanpa adanya sokongan dari negara (pemerintah).368 Kehidupan umat beragama dalam sebuah negara pada umumnya memunculkan sebuah paradigma mayoritas-minoritas.Dalam hal ini, kebanyakan penganut agama minoritas tidak diuntungkan dalam kehidupan bernegara akibat kekerasan struktural. Sikap-sikap semacam itu seringkali ditunjukkan oleh pihak pemerintahan di satu sisi, dan di sisi lain oleh penganut agama arus utama. Masalah tersebut menjadi semakin kompleks karena banyak bermunculannya aliran-aliran baru dalam sebuah agama. Dalam menghadapi fenomena tersebut ada yang berpendapat bahwa negara tidak berhak mengintervensi keberagaman dan spiritualitas warga negara, karena keduanya bersifat personal yang tidak dapat dibendung oleh instansi manapun. Di pihak lain ada juga yang berpendapat bahwa negara harus melakukan intervensi penuh dalam menghadapi keberagaman dan spiritualitas masyarakatnya. Dalam hal ini Muhammad Ali berpendapat bahwa kedua poin di atas dianggap kurang relevan dalam menangani problematika antara negara dan umat beragama.Ali menegaskan bahwa sebuah negara harus memiliki pemerintahan berbasis pada kepedulian berkembang.Lebih dari itu, model trilogi kerukunan hanya menyebutkan pihak-pihak yang berinteraksi, bukan bagaimana seharusnya interaksi itu berlangsung. Lihat Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2003), 48. 367 Farid Esack, Qur’an Liberation & Pluralism, 212. 368 Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural, 48. 274 yang demokratis.Hal ini menurut Ali dapat diimplementasikan ke dalam beberapa poin, diantaranya adalah perhatian negara atas pluralitas agama harus bersifat demokratis.Politik pluralisme agama adalah pengakuan politik terhadap klaim-klaim yang berkompetisi atas sumber-sumber dan kekuasaan negara, serta validitas semua ideologi keagamaan. Pluralisme agama juga tidak di pahami sebagai penguatan terhadap agama mayoritas (arus utama) dan di lain pihak penganut agama minoritas dipinggirkan. Pada kesempatan lain Ali juga menegaskan tentang kepekaan negara terhadap kelemahan yang ditimbulkan oleh pluralisme. Diantaranya adalah, pluralisme tidak bisa membenarkan segala cara. Oleh karena itu, justifikasi pluralisme pada tataran individu harus melibatkan value judgement mengenai manfaat kebebasan individu dan kewajiban masyarakat. negara juga tidak bisa mentolerir perbuatan publik yang dilakukan atas nama agama, tetapi membahayakan masyarakat umum, seperti aksi bom bunuh diri, jihad yang di salah artikan oleh penganut aliran-aliran radikal, kebebasan seksual yang diusung oleh aliran-aliran tertentu, dan lain sebagainya. Dalam permasalahan ini negara dituntut peduli untuk menciptakan iklim politik yang kondusif bagi terciptanya pluralisme, serta mencegah prasangka-prasangka teologis yang mengakibatkan pertikaian, kekerasan, baik fisik maupun intelektual antar penganut agama.369 Aspek kedua merupakan sebuah tuntutan kepada seluruh penganut agama agar bisa bersikap dewasa, dingin, dan penuh dengan toleransi. Sebuah hubungan yang baik antar umat beragama tidak akan terjalin tanpa adanya sebuah dialog yang baik. Dalam hal ini Hans Kung berpendapat bahwa tidak ada perdamaian sesama manusia tanpa ada perdamaian antar agama, tidak ada perdamaian antar agama tanpa ada dialog antar agama, dan tidak ada dialog antar agama tanpa ada penelusuran dasar-dasar agama.370 Dialog dalam 369 Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural, 49-52. 370 Pendapat Hans Kung tersebut dikutip oleh Muhammad Ali dalam bukunya Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin 275 konteks ini tidak hanya sebatas mengakui keberagaman agama yang ada, tetapi harus melangkah lebih jauh ke dalam sebuah bentuk kerjasama dan dialog yang intens diantara kemajemukan tersebut. Pada kesempatan lain Diana L. Eck mengemukakan perbedaan antara pluralisme dan pluralitas atau diversity. Ia mengatakan bahwa pluralitas (diversity) adalah sesuatu yang sederhana, basic, colorful, splendid, dan bersifat given, sesuatu yang bersifat kebinekaan dan keberagaman. Sementara pluralisme adalah sebuah proses pergumulan yang bertujuan menciptakan sebuah masyarakat bersama (common society) yang dibangun atas dasar pluralitas atau keberagaman tersebut. Tidak seperti pluralitas yang memang alami pemberian dari Tuhan, pluralisme merupakan sebuah prestasi bersama dari kelompok agama dan budaya yang berlainan untuk menciptakan sebuah komunitas bersama.371 Aspek ketiga adalah sebuah keniscayaan bahwa dalam satu agama terdapat berbagaimacam aliran dan mazhab.Hal ini merupakan sebuah kewajaran dalam sebuah agama.Dalam permasalahan ini para penganut internal sebuah agama dituntut arif dan bijaksana dalam menyikapinya. Sebuah perbedaan tidak hanya ditinjau dari satu sudut pandang saja, tetapi harus dilihat dari berbagaimacam aspek sehingga bisa diketahui kenapa perbedaan tersebut muncul.Hal ini dibutuhkan agar sikap terhadap perbedaan-perbedaan tersebut tidak hanya dibangun atas dasar toleransi semata, tetapi melangkah lebih jauh untuk menciptakan sebuah komunitas dalam bingkai kebersamaan yang sama-sama aktif dalam mewujudkan kehidupan yang baik.Hal ini tidak jauh berbeda dengan konsep pluralisme yang terjadi pada hubungan antar umat beragama, dalam internal agama pun konsep tersebut diperlukan. Konsep toleransi tidak membutuhkan pengetahuan (knowledge) dan pemahaman (understanding) atas komunitas lain, sementara konsep pluralisme mensyaratkan keduanya, yaitu pengetahuan Kebersamaan. Lihat Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural, 12. 371 Elza Peldi Taher (editor), Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi (Jakarta: ICRP, 2009), 181-183. 276 sekaligus pemahaman terhadap tradisi agama dan budaya komunitas agama lain. Dengan demikian orang yang bersikap toleran belum tentu bersikap pluralis, meskipun pada dasarnya toleransi itu perlu dalam hubungan antar umat beragama, tetapi ia tidak cukup kuat untuk menjadi landasan bagi terciptanya hubungan yang langgeng, karena sikap toleransi bisa sewaktu-waktu disusupi dan diprovokasi oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan agama, ekonomi dan politik. Dalam banyak hal hubungan inter dan antar agama di Indonesia dan di belahan negara manapun saat ini masih pada level toleransi dan belum mencapai level pluralisme. Oleh karena itu dibutuhkan dialog agama yang konstruktif dan berkesinambungan sebagai jembatan dan jalan menuju mansyarakat agama yang pluralis.372 Pemaparan-pemaparan singkat di atas menunjukkan bahwa perlunya hubungan yang harmonis dan produktif diantara tiga komponen dalam upaya menciptakan kehidupan majemuk yang baik.Yaitu Pemerintah yang menaungi kehidupan masyarakatnya, komunitas umat beragama, dan komunitas internal masing-masing agama. Ketiga komponen tersebut harus bersinergi satu sama lain dan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, karena dalam roda kehidupan pluralitas merupakan sebuah keniscayaan. Pandangan al-Qur’an terhadap Non-Muslim 1. Pandangan al-Qur’an Mengenai Pluralisme Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan pandangan al-Qur’an tentang kemajemukan adalah ayat 48 dari surat al-Maidah. Ayat ini menerangkan dengan jelas pandangan al-Qur’an tentang kemajemukan umat manusia yang tergambar dalam tiga poin. Pertama, anjuran untuk beriman kepada al-Qur’an yang membenarkan dan menguatkan posisi kitab-kitab sebelumnya. Kedua, Allah SWT telah menciptkan syariat dan manhaj bagi setiap 372 Elza Peldi Taher (editor), Merayakan Kebebasan Beragama, 186. 277 kaum.Hal ini menunjukkan bahwa kemajemukkan umat merupakan fitrah yang sengaja diciptakan oleh Allah SWT. Ketiga, anjuran untuk berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan walaupun berbeda syariat dan manhaj. Ketiga poin tersebut yang menurut penulis menjadi penguat bahwa surat al-Maidah ayat 48 merupakan salah satu justifikasi al-Qur’an atas kemajemukan umat manusia. Ayat tersebut berbunyi: َ ‫با‬ َ ‫با‬ ّ ‫صُم‬ ً ‫ب اَمّل ا‬ ْ ‫ك‬ ْ ‫ي َن‬ ْ ‫تِكْلا َنِم ِه‬ ‫يَلإِ اَنْلَزْنأََو‬ َ ‫تِكْلا‬ َ ‫ب‬ َ ‫قّد‬ َ ‫ي‬ َ ‫يَد‬ ِ ‫قَحْلا‬ ِ ّ ‫ب‬ ُ ‫ب ْم‬ َ ‫ت‬ ْ ‫يَلَع اًنِم‬ ْ ‫ف ِه‬ ْ ‫ب ْمهَُن‬ ‫يهَُم َو‬ َ ‫كْحا‬ َ ‫ي‬ ِ ‫ت اَلَو ُهللا َلَزْنأَ اَم‬ ِ ‫ْمهَُءاَوْهأَ ْع‬ ُ ‫كْنِم اَنْلَعَج ّل‬ ُ ‫ش ْم‬ ّ ‫كِل‬ ‫كَءاَج اّمَع‬ َ ‫قَحْلا َنِم‬ َ ‫ُهللا َءا‬ ِ ‫ش ْوَلَو اًجاهَْنِم َو ةًَعْر‬ ً ْ ُ ‫حاَو ةًّمأُ ْم‬ ُ ُ ُ ‫او‬ َ َ ‫ب‬ ْ ْ ْ ‫كَلَعَجَل‬ ‫د‬ ‫ة‬ ‫و‬ ‫ل‬ ‫ك‬ ‫ن‬ ‫ل‬ ‫ي‬ ‫ب‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫ك‬ ‫م‬ ‫ف‬ ‫ي‬ ‫م‬ ‫ءا‬ ‫تا‬ ‫كا‬ ‫م‬ ‫ف‬ ‫سا‬ ‫ت‬ ُ َ َ ْ ِ ‫ق‬ َ َ ِ ِ َ َ ْ ِ َ َ ِ ُ ‫ف ْم‬ ُ ‫ك‬ ُ ‫يِمَج ْم‬ ُ ‫ب ْم‬ ُ ‫تْن‬ ْ ‫تاَر‬ ْ ‫ف اًع‬ ْ ‫ِه‬ ‫يَخْلا‬ ُ ‫بَن‬ ُ ‫ك‬ ّ ‫ئ‬ َ ‫ي‬ ِ ِ‫جْرَم ِهللا ىَلإ‬ ِ ‫ك اَم‬ ِ ‫ي‬ ِ ‫ع‬ ُ ‫َنْو‬ َ‫تْخت‬ َ ‫فِل‬ Artinya: Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya), terhadap kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang, sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka belomba-lombalah dalam berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukanNya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. Untuk mempermudah dalam menganilis surat al-Maidah ayat 48 ini, penulis berusaha membagi ayat tersebut dalam tiga bagian pembahasan. Pertama, awal ayat, yaitu kepada siapa bagian awal ayat tersebut ditujukkan.Kedua, apakah khitab (pihak kedua) pada ayat tersebut hanya berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW, 278 atau berlaku juga bagi umat selain dari umat Nabi Muhammad SAW Ketiga, apa yang dimaksud dengan umat yang satu (ummatan wahidatan) dalam ayat tersebut. Dalam mengomentari permulaan ayat ini para penafsir sepakat bahwa ayat ini ditujukkan kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu turunnya al-Qur’an dengan membawa kebenaran.373 Para penafsir berbeda pendapat tentang siapa khitab (pihak kedua) yang melandasi ayat tersebut setelahnya, apakah umat Nabi Muhammad SAW, apa berlaku juga bagi umat agama lainnya? Zamakhshari berpendapat bahwa kalimat wa likullin ja‘alna minkum ditujukkan kepada manusia secara umum, dalam hal ini Allah SWT memberikan kepada manusia seluruhnya syari’at dan manhaj (Zamakhshari mengartikannya sebagai jalan agama yang lurus) agar manusia bisa menjalankannya.374 Sedangkan al-Tabari mengartikan ayat tersebut menjadi dua bagian, pertama ia mengatakan ada 373 Di antara para penafsir yang menyepakati bahwa khitabpada bagian awal ayat ini ditujukkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah, Muqatil Ibn Sulayman, lihat Muqatil Ibn Sulayman, Tafsir Muqatil Ibn Sulayman, jilid 1 (Beirut: Dar al- Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 304. Ibn Kathir, lihat Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid 2(Kairo: Dar Misr li al-Tiba‘ah, tt), 67. Al-Tabari, lihat Muhammad Ibn al-Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, jilid 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 606. Al-Zamakhshari. Lihat Al-Zamakhshari, Tafsir al-Kashshaf, jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995), 626. Fakhruddin al-Razi, lihat Fakhurddin al-Razi, Tafsir Fakhr al-Razi, jilid 4 (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 2438. M. Quraish Shihab, lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, kesan dan Keserasian Al-Qur’an, volume 3 (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2001), 104. Al-Tabataba’i, lihat Muhammad Husayn al-Tabataba’i, Tafsir al-Mizan, jilid 5 (Beirut: Muasasah al-A‘lami li al-Matbu‘at, 1974), 348. Muhammad Rashid Ridha, lihat Muhammad Rashid Ridha, al-Tafsir al-Manar, jilid 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Iliyyah, 1999), 340. Wahbah al-Zuhayli, lihat Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa al-Manhaj, jilid 6 (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu‘asir, 1991), 216. ‘Abd al-Karim al-Khatib, lihat ‘Abd al-Karim al-Khatib, Al-Tafsir alQur’ani li al-Qur’an, jilid 3 (Kairo: Dar Fikr al-‘Arabi, tt). 1108. 374 Al-Zamakhshari, Tafsir al-Kashshaf, jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyah, 1995), 627. 279 sebagian ulama yang berpendapat bahwa Allah SWT memberikan syariat dan manhaj kepada masing-masing kaum, dalam hal ini yaitu umat Nabi Musa As, umat Nabi Isa As dan umat Nabi Muhammad SAW. Pendapat yang kedua menyatakan bahwa Allah SWT hanya mengkhusukan syariat dan manhaj-Nya kepada umat Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini al-Tabari cenderung kepada pendapat pertama yang mengatakan bahwa syariat dan manhaj Allah SWT berlaku bagi masing-masing umat. al-Tabari juga menambahkan bahwa hal tersebut diperkuat dengan firman Allah SWT setelahnya, yaitu wa law sha’a Allahu laja‘alakum ummatan wahidatan. Apabila Allah SWT berkehendak maka akan Allah jadikan kalian satu umat.375 Fakhruddin al-Razi sependapat dengan apa yang diungkapkan oleh al-Tabari. Ia mengartikan khitab pada ayat tersebut ditujukan kepada umat Nabi Musa As, umat Nabi Isa As dan umat Nabi Muhammad SAW. Fakhruddin al-Razi meyakini bahwa setiap kitab yang Allah SWT turunkan mempunyai ajarannya masingmasing.376Pendapat yang lebih luas lagi diungkapkan oleh Muqatil Ibn Sulayman yang mengatakan bahwa ayat tersebut tertuju kepada kaum Muslim dan Ahl al-Kitab tanpa menjelaskan lebih lanjut siapa saja yang termasuk dalam kategori Ahl al-Kitab.377 Dalam hal ini Ibn Kathir berbeda pendapat dengan para mufassir yang tersebut di atas. Ibn Kathir mengatakan bahwa alQur’an merupakan satu-satunya jalan syariat dan manhaj yang benar dan jelas. Sedangkan pandangan yang mengatakan bahwa ayat tersebut tertuju kepada seluruh manusia sebagaimana yang dikatakan 375 Muhammad Ibn al-Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, jilid 4, 609-611. 376 Fakhruddin al-Razi, lihat Fakhurddin al-Razi, Tafsir Fakhr al-Razi, jilid 4, 2438. 377 Muqatil Ibn Sulayman, Tafsir Muqatil Ibn Sulayman, jilid 1, 304. Pendapat Muqatil Ibn Sulayman dalam tafsirnya dikutip oleh Mun’m Sirry dalam “Berlomba-lombalah Dalam Kebaikan: Tafsir 5: 48 dan Diskursus Kontemporer Pluralisme Agama. Lihat Elza Peldi Taher (editor), Merayakan Kebebasan Beragama, 147. 280 al-Zamakhshari, serta apa yang dikatakan oleh al-Tabari dan al-Razi telah di-naskh dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW.378 Pada bagian ketiga tentang maksud dari ummatan wahidatan, al-Zamakhshari mengatakan bahwa maksud dari kalimat tersebut adalah sekumpulan manusia yang bersepakat terhadap syariat yang satu atau umat yang satu yang hanya memiliki satu keyakinan, tetapi keterangan dalam ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak menjadikan kalian satu karena Allah hendak menguji manusia atas apa yang Allah berikan. Perbedaan diantara manusia itu menurut alZamakhshari merupakan hikmah yang telah Allah berikan.379 Pendapat al-Zamakhshari tersebut senada dengan apa yang diutarakan oleh al-Tabari, al-Razi dan Ibn Kathir. Sedangkan yang dimaksud dengan hikmah dari kemajemukan umat manusia adalah untuk mengetahui diantara umat manusia semua siapa saja diantara mereka yang taat dan siapa saja yang bermaksiat terhadap ajaran-ajaran Allah SWT.380Al-Razimenambahkan bahwa persatuan merupakan kehendak Allah SWT, sedangkan perpecahan atau penyimpangan merupakan hasil perbuatan manusia.381 Pendapat yang lebih luas lagi diungkapkan oleh Muqatil Ibn Sulayman dalam tafsirnya.Ia mengatakan bahwa apabila Allah berkehendak maka umat Nabi Muhammad SAW dan para Ahl alKitab akan dijadikan satu umat atas nama Islam. Dalam hal ini Muqatil Ibn Sulayman tidak merinci siapa yang termasuk dalam kategori Ahl al-Kitab. Muqatil Ibn Sulayman menambahkan bahwa maksud dari itu semua adalah untuk mengambil hikmah dari kemajemukan umat manusia.382Muhammad Rashid Ridha memperkuat pendapat Muqatil Ibn Sulayman dengan mengatakan bahwa maksud hikmah 378 Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid 2, 67-68. 379 Al-Zamakhshari, Tafsir al-Kashshaf, jilid 1, 627. 380 Muhammad Ibn al-Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, jilid 4, 612. 381 Fakhruddin al-Razi, lihat Fakhurddin al-Razi, Tafsir Fakhr al-Razi, jilid 4, 2440. 382 Muqatil Ibn Sulayman, Tafsir Muqatil Ibn Sulayman, jilid 1, 304. 281 dalam ayat ini adalah agar manusia menggunakan akalnya untuk berpikir. Ridha meyakini bahwa asas agama Islam adalah asas akal dan kebebasan atau kemerdekaan (Istiqlal).383 Para mufassir yang tersebut diatas bersepakat bahwa Allah SWT telah menciptakan untuk setiap kaum syariatnya masingmasing, dan Allah juga menganjurkan untuk setiap kaum berlombalomba untuk mengejar kebaikan (al-Khayrat) sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabinya masing-masing. Dalam hal ini Muhammad Rashid Ridha memperluas makna al-Khayrat daripada ayat tersebut. Ia mengartikan sebagai anjuran untuk berbuat baik bagi seluruh manusia tanpa melihat perbedaan dari agama masing-masing, karena menurutnya semua agama di dunia ini pasti mengajarkan kebaikan. Melihat sudut perbedaan antar agama merupakan tuntunan hawa nafsu, sedangkan kebaikan adalah hal yang akan membawa manfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat.384 Dalam hal ini ‘Abd al-Karim al-Khatib mengatakan pendapat yang hampir sama dengan Muhammad Rashid Ridha. Ia mengatakan bahwa arti al-Istibaq pada ayat tersebut adalah al-Idrak atau alSabak yang berarti berlomba-lomba untuk meraih sesuatu. Maka ayat tersebut menurut ‘Abd al-Karim al-Khatib menganjurkan kepada setiap manusia untuk berlomba-lomba dalam meraih kebaikan sesuai dengan apa yang diajarkan dalam kitabnya masing-masing tanpa menjelaskan dan mengklasifikasikan lebih lanjut kitab dan agama yang dimaksud dalam ayat tersebut.385 Sedangkan Ibn Kathir dalam menafsirkan ayat tersebut berbeda pendapat dengan para penafsir sebelumnya.Ibn Kathir mengatakan bahwa syariat-syariat yang Allah Swt ciptakan untuk para Nabi terdahulu tidak berlaku lagi karena telah dinaskh oleh syariat Nabi Muhammad SAW. Ibn Kathir mengartikan al-Khayrat sebagai ketaatan, hal ini sependapat dengan apa yang dikatakan oleh al- 383 Muhammad Rashid Ridha, al-Tafsir al-Manar, jilid 6, 347. 384 Muhammad Rashid Ridha, al-Tafsir al-Manar, jilid 6, 348. 385 ‘Abd al-Karim al-Khatib, al-Tafsir al-Qur’ani li al-Qur’an, jilid 3, 1109. 282 Qurtubi, wahbah al-Zuhayli serta Muhammad Quraish Shihab.386 Ibn Kathir memperkuat pendapatnya dengan riwayat dari al-Dahhak yang mengatakan bahwa yang dimaksud berloma-lomba dalam kebaikan pada ayat tersebut tertuju kepada umat Nabi Muhammad SAW.387 2. Toleransi dan Kebebasan dalam Beragama Toleransi atau dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tasamuh merupakan salah satu inti dari ajaran Islam. Sebagai ajaran yang fundamental dalam Islam, al-Qur’an menganjurkan umat Islam agar bertoleransi terhadap sesama. Perbedaan agama dan kepercayaan tidak bisa menghalangi manusia untuk saling bertoleransi dan menghargai manusia yang lain, karena Islam diturunkan bukan untuk suatu komunitas atau golongan tertentu, tetapi untuk seluruh umat manusia di dunia dengan prinsip rahmatan li al-‘alamin. Hal ini ditegaskan dengan penghormatan Islam terhadap Nabi Isa As dan Nabi Musa As yang begitu besar serta pengakuan keberadaan Taurat, Zabur dan Injil di dalam al-Qur’an.388Toleransi yang ditunjukkan Islam terhadap penganut agama lain sangatlah kuat, sehingga orang Muslim dilarang mencaci maki Tuhan yang disembah oleh non-Muslim sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-An‘am ayat 108.389 386 Al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, jilid 6(Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyyah, Tt), 137, lihat Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, jilid 6, 218, lihat juga M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, volume 3, 105. 387 Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid 2, 68. 388 Hal ini senada dengan pendapat Sayyid Qutb yang menyatakan bahwa Islam adalah agama kasih sayang, aqidah yang lemah lembut, dan mempunyai cita-cita untuk mengumpulkan umat manusia dibawah kekuasaan Allah SWT dengan penuh cinta dan kasih sayang, Islam juga bukan agama yang identik dengan kekerasan dan permusuhan. Lihat Muhammad al-Ghazali, al-Islam al-Muftara ‘Alayhi (Kairo: Nahdatu Misr, 2008), 30, lihat juga Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilal al-Qur’an, jilid 4 (Kairo: Dar al-Syuruq, 1982), 3544, lihat juga Muhammad al-Sayyid Yusuf, Manhaj al-Qur’an, 225. 389 Ayat tersebut berbunyi ‫هللا اوبسيف هللا نود نم نوعدي نيذلا اوبست الو‬ ‫مهئبنيف مهعجرم مهبر ىلإ مث مهلمع ةمأ لكل انيز كلاذك ملع ريغب اودع‬ ‫ نولمعي اوناك امب‬dalam hal ini Ibn Kathir menegaskan bahwa ayat ini 283 Dengan demikian tidak dibenarkan seorang Muslim untuk membenci orang lain hanya karena ia bukan penganut agama Islam. Membiarkan orang memeluk agama selain Islam merupakan bagian dari ajaran Islam itu sendiri, sebagaimana firman Allah SWT dalam ُ ‫يِد ْم‬ ُ ‫يِلَو ْم‬ ْ ‫كُن‬ ْ ‫ ِن‬Artinya: bagi kalian agama surat al-Kafirun ‫كَل‬ َ ‫يِد‬ 390 kalian, dan bagiku agamaku. Karena agama merupakan hidayah dari Allah SWT dan bukan merupakan paksaan manusia, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT: ّ ‫غا‬ ُ ‫تْو‬ ُ ‫ب ْر‬ َ ‫ب‬ ً ‫ت ْد‬ ً ‫ي ْنَم‬ ْ ‫ق ِن‬ ْ ‫يَغْلا َنِم ُد‬ ّ ‫شّرلا َن‬ ‫ف َهاَرْكاِ اَل‬ ّ ‫ف‬ َ ‫ي‬ َ ‫فْك‬ ِ ‫يّدلا ي‬ ِ ‫طلا‬ ِ ْ ُ ‫قثُوْلا ِةَوْر‬ َ ‫سْم‬ ْ ‫ت‬ ‫يَو‬ ُ ‫ب ْنِمْؤ‬ َ ‫ق‬ َ ‫سا ِد‬ َ ‫ب‬ َ ‫فْناَل ى‬ َ ‫ك‬ َ ‫ُهللاَو اهََل َما‬ ِ ‫ف ِهللا‬ ِ ‫عْلا‬ ِ ‫ص‬ ٌ ‫يِلَع‬ ْ ‫ع‬ ْ ‫ٌم‬ ‫س‬ َ ‫يِم‬ Artinya: Tidak ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata berbeda kebenaran dan kesesatan, karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada taghut dan beriman kepada Allah SWT, sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tak akan pernah putus. Allah SWT maha mendengar dan maha mengetahui.391 merupakan larangan bagi umat Islam untuk mencaci maki Tuhan orang Musyrik, karena jika umat Islam melakukan hal tersebut, maka hal yang sama akan dilakukan oleh orang-orang Musyrik terhadap Tuhan umat Islam, lihat Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid 2(Beirut: Dar alFikr, 1999), 188. 390 QS al-Kafirun, juz 30, ayat 6. Ayat lain yang memiliki substansi yang sama dengan ayat tersebut adalah, (1) “bagi kami amal-amal kami, dan bagi kalian amal-amal kalian”, QS al-Qasas, juz 20, ayat 55, QS al-Baqarah, juz 1, ayat 139, QS al-Syura, juz 25, ayat 15, (2) “jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah: “bagiku pekerjaanku, dan bagi kalian pekerjaan kalian, kalian terlepas dari apa yang aku kerjakan, dan aku juga terlepas dari yang kalian kerjakan”, QS Yunus, juz 11, ayat 41. 391 QS al-Baqarah, juz 3, ayat 256, menurut Wahbah al-Zuhayli dan Muhammad Rashid Ridha ayat tersebut memiliki substansi yang sama dengan surat Yunus, juz 11, ayat 99, yang berbunyi ‫نمأل كبر ءاش ولو‬ ‫نينمؤم اونوكي ىتح سانلا هركت تنأـفأ اعيمج مهلك ضرألا يف نم‬, lihat Muhammad Rashid Ridha, al-Tafsir al-Manar, jilid 3, 38, lihat juga Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir jilid 3, 21. 284 Dalam mengomentari surat al-Baqarah ayat 256, Wahbah alZuhayli berpendapat bahwa keimanan seseorang merupakan hasil dari kesadaran dan hidayah dari Allah SWT dan bukan merupakan paksaan atau tekanan. Oleh karena itu Wahbah al-Zuhayli meyakini bahwa pemaksaan untuk masuk ke dalam suatu agama merupakan tindakan yang tidak dibenarkan dalam Islam. Ayat ini juga menghapus pandangan negatif sebagian kalangan terhadap agama Islam yang disebarkan dengan pedang yang di implementasikan dalam bentuk jihad.392 Hal ini senada dengan pendapat Muhammad Rashid Ridha yang menyatakan bahwa agama merupakan hidayah dari Allah SWT dan bukan merupakan pemaksaan atas manusia, dan Rasulullah SAW tidak diutus untuk memaksa dan menundukkan manusia dalam satu agama, tetapi Rasulullah SAW diutus sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan kepada manusia.393 Terkait ayat tersebut Jawdat Sa‘id memberikan beberapa poin kesimpulan, pertama, ayat tersebut memberikan jaminan kepada orang lain untuk tidak mendapatkan paksaan dari seseorang, termasuk dalam urusan agama, kedua, ayat tersebut bisa dipahami sebagai kalimat perintah (kalam insya’i) dan kalimat informatif (kalam ikhbari). Dikatakan kalimat perintah karena memerintahkan manusia untuk tidak melakukan pemaksaan terhadap orang lain, dan dikatakan sebagai kalimat informatif karena memberitahukan bahwa seseorang yang dipaksa masuk ke dalam suatu agama sementara hatinya menolak, maka orang tersebut tidak bisa dikatakan telah masuk ke dalam agama tersebut, ini karena agama merupakan keyakinan dalam hati dan bukan hanya ucapan lisan semata, ketiga, ayat tersebut melarang membunuh seseorang yang pindah agama, karena ayat tersebut turun untuk melarang pemaksaan dalam agama.394 392 Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, jilid 3,21. 393 Muhammad Rashid Ridha, al-Tafsir al-Manar, jilid 3, 38. 394 Jawdat Sa‘id, La Ikraha fi al-Din: Dirasat wa Abhath fi al-Fikr alIslami (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999), 26-36. Lihat juga alZamakhshari, Tafsir al-Kashshaf, jilid 1, 299. 285 Para ulama tafsir menyebutkan beberapa sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Al-Qurtubi sebagaimana dikutip oleh Wahbah al-Zuhayli berpendapat bahwa ayat 256 dari surat al-Baqarah telah dinasakh oleh ayat 73 surat al-Tawbah,395 sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Mas‘ud yang menafikan ayat tersebut turun pada tahun ke 3 atau ke 4 hijriyah setelah disyariatkan jihad dan diperbolehkan membunuh orang-orang kafir.396 Pendapat tersebut senada dengan apa yang diutarakan oleh Ibn ‘Arabi yang menyatakan bahwa kalimat la ikraha merupakan lafadz umum untuk menafikan pemaksaan dalam hal kebatilan, tetapi pemaksaan dalam hal kebenaran merupakan perintah dari agama. Ibn ‘Arabi juga mengungkapkan bahwa jihad terhadap orang-orang kafir merupakan perintah agama sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah SWT dan hadis Nabi Muhammad SAW.397 Di lain pihak sebagian ulama berpendapat bahwa ayat tersebut tidak dinasakh, diantaranya adalah al-Sya‘bi, Qatadah, al-Hasan al-Basari dan al-Dahhak. Para ulama tersebut menyatakan bahwa ayat 256 surat al-Baqarah tidak dinasakh melainkan diturunkan secara khusus kepada Ahl al-Kitab yang tidak bisa dipaksakan untuk masuk Islam selama masih membayar jizyah. Sedangkan orang yang diperangi adalah mereka yang memerangi Islam secara khusus, dan mereka adalah para penyembah berhala dari Arab.Para ulama tersebut memperkuat argumennya dengan riwayat dari Zayd ibn Aslam dari bapaknya. Ia mendengar ‘Umar ibn Khatab berbincang dengan perempuan tua beragama Nasrani, kemudian ‘Umar ibn Khatab berkata “masuklah ke dalam agama Islam wahai perempuan 395 Ayat tersebut berbunyi ‫مهيلع ظلغاو نيقفانملا و رافكلا دهاج يبنلا اهيأاي‬ ‫ريصملا سئبو منهج مهاوأمو‬ 396 Al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, jilid 2(Kairo: Dar al-Hadith, 2002), 239. 397 ‫ةريره يبأ نع ةمئألا هاور‬: «‫وهو »هللاالا هلاال اولوقي ىتح سانلا لتاقأ نأ ترمأ‬ ‫ىلاعت هلوق نم ذوخأم‬: «‫ »هلل نيدلا نوكيو ةنتف نوكتال ىتح مهولتاقو‬tetapi para ulama telah bersepakat bahwasanya yang diperangi di dalam ayat ini adalah kaum musyrik Arab yang memerangi da’wah Nabi, lihat Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, 25. 286 tua, niscaya engkau akan selamat, karena Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW dengan membawa kebenaran.” Lalu perempuan tua itu berkata, “saya sudah tua renta, dan sebentar lagi kematian akan menjemput.” Kemudian ‘Umar ibn Khatab bersaksi, “wahai Allah, saya bersaksi atas perempuan tua ini, lalu membaca ayat ke 256 dari surat al-Baqarah.398 Sementara pendapat lain menyatakan bahwa turunnya ayat tersebut disebabkan hal-hal sebagai berikut, pertama, diriwayatkan dari Abu Dawud, al-Nasai, Ibn Hibban dari Ibn ‘Abbas berkata: diceritakan ada seorang perempuan Ansar tidak mempunyai anak, kemudian ia berjanji pada dirinya apabila ia kelak mempunyai anak maka anaknya akan dijadikan seorang Yahudi. Kemudian turunlah ayat tersebut sebagai bentuk penolakan dari pemaksaan agama. Kedua, diriwayatkan dari Ibn Jarir al-Tabari dan Ibn ‘Abbas berkata: turunnya ayat 256 surat al-Baqarah kepada seorang lakilaki dari Ansar dari Bani Salim bernama al-Husayn,399 yaitu seorang Muslim yang mempunyai dua orang anak yang beragama Nasrani. Kemudian ia mengadu kepada Nabi, apakah dirinya boleh memaksa dua anaknya untuk masuk Islam, sementara anaknya cenderung kepada Nasrani. Ia menegaskan kepada Nabi, apakah dirinya akan membiarkan mereka masuk neraka. Dengan kejadian tersebut maka turunlah firman Allah SWT yang melarang pemaksaan kehendak terhadap agama.400 Setelah menelaah berbagai macam pandangan di atas penulis menarik kesimpulan bahwa pemaksaan terhadap agama tidak dibenarkan dalam ajaran Islam, sebagaiamana pendapat Muhammad ‘Abduh yang dikutip oleh muridnya Muhammad Rashid Ridha. Dia berpendapat bahwa rahmat Allah SWT berlaku bagi semua makhluknya, walaupun tidak beragama Islam. Memaksakan 398 Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, jilid 3,24. 399 Menurut al-Sudi nama laki-laki tersebut Abu al-Husayn, lihat Wahbah alZuhayli, al-Tafsir al-Munir, jilid 3,20. 400 Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid I(Beirut: Dar al-Fikr, 1999), 354, lihat juga Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, jilid 3, 20, lihat juga Muhammad Rashid Ridha, al-Tafsir al-Manar, jilid 3, 36. 287 kehendak untuk memasukan seseorang ke dalam sebuah agama tertentu merupakan hal yang terlarang dalam ajaran Islam, karena iman timbul dari kesadaran hati dan bukan dengan paksaan.401 Agama yang dipaksakan menurut Jawdat Sa‘id, seperti cinta yang dipaksakan, tidak akan tulus dan tidak akan ada manfaatnya.402Agama harus dating dari lubuk hati yang paling dalam atas pencarianpencarian spiritualitasnya terhadap kebenaran yang paling hakiki. 3. Eksistensi dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain Islam sebagai agama mengakui keberadaan dan eksistensi beberapa prinsip-prinsip dasar agama lain. Pandangan ini bukan berarti Islam menyamaratakan semua agama sebagaimana prinsip-prinsip dasar pluralisme agama. Pada dasarnya al-Qur’an memerintahkan umat Muslim untuk mengimani kebenaran wahyu yang diturunkan kepada Ahl al-Kitab sebelum Islam, yaitu wahyu yang diturunkan pada agama-agama yang memiliki hubungan khusus dengan Islam yang disebut juga Abrahamic Faith atau Abrahamic Religiuos, yaitu kepercyaan yang dibawa oleh Nabi Ibrahim As.403 Di dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang menunjukkan keberadaan agama lain, yaitu ayat-ayat tentang pengakuan terhadap eksistensi dan kebenaran kitab-kitab suci sebelum al-Qur’an. Selain itu ada juga ayat al-Qur’an yang menegaskan tentang keselamatan kaum Yahudi, Nasrani dan Sabi’in yang menyatakan iman kepada Allah SWT dan hari akhir serta mengerjakan amal perbuatan saleh. Diantara ayat-ayat tersebut adalah: ّ ‫ق‬ ّ ‫س ْمهُْنَع اَنْر‬ َ ‫با‬ ّ ‫ئ‬ ‫تِكْلا َلْهأَ ّنأَْوَلَو‬ َ ‫كَل اْو‬ َ ‫ف‬ َ ‫ي‬ ِ َ‫تاَو اْوُنَمأ‬ ِ ‫مْهاَُنْلَخْدأََل ْمِه‬ ِ َ ‫تا‬ ُ َ َ ّ ‫جْناِْلاَو َةاَرْو‬ ْ ‫قأ ْمهُّنأْوَلَو ِم‬ ْ ‫يَلاِ َلِزْنأ اَمَو َل‬ ْ ‫ْنِم ْمِه‬ ‫تاّنَج‬ َ ‫تلا اْوُما‬ ِ ‫عّنلا‬ ِ ‫ي‬ ِ ‫ي‬ 401 Muhammad Rashid Ridha, al-Tafsir al-Manar, jilid 3, 37. 402 Jawdat Sa‘id, La Ikraha fi al-Din, 30. 403 Jerald F. Dirks, Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seteru Antara Islam, Krsiten dan Yahudi, terj. Santi Indra Astuti (Jakarta: Penerbit Serambi, 2006), 29. 288 َ ‫تْح‬ َ ‫ص‬ ْ ‫ٌر‬ ‫بَر‬ ّ ‫كأََل ْمِه‬ َ ‫ف ْنِم اْوُل‬ َ ‫قْو‬ َ ‫ث‬ ِ َ‫تْقُم ةٌّمأُ ْمهُْنِم ْمِهِلُجْرأ‬ ِ ‫ي‬ ِ ‫ت ْنِمَو ْمِه‬ ِ ‫كَو ةٌَد‬ َ ْ ‫س ْمهُْنِم‬ ‫ا‬ ‫ء‬ ‫م‬ ‫يا‬ ‫ع‬ ‫م‬ ‫ل‬ ُ َ َ َ َ ‫َنْو‬ Artinya: Dan sekiranya Ahl al-Kitab itu beriman dan bertaqwa, nisacaya kami hapus kesalahan-kesalahan mereka, dan mereka tentu kami masukkan ke dalam surga-surga yang penuh dengan kenikmatan. sekiranya sungguhsungguh menegakkan Taurat, Injil dan apa yang diturunkan Tuhan kepada mereka, niscaya mereka akan makan dan mendapatkan kemakmuran dari atas mereka, langit dan dari bawah mereka, bumi, diantara mereka ada umat yang lurus, dan kebanyakan mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk.404 ْ ‫يِذّلاَو اْوُنَماَء َن‬ ْ ‫صلاَو اْوُداهَ َن‬ ّ ‫با‬ ُ ‫صّنلاَو َنْو‬ َ ‫ب َنَماَء ْنَم ىَرا‬ ِ‫يِذّلا ّنا‬ ِ ‫ئ‬ ِ ‫ِهللا‬ َ ٌ ‫يَلَع‬ ْ ‫ي ْمهُ اَلَو ْمِه‬ ‫يْلاَو‬ َ ‫فْوَخ اَل‬ َ ‫خأْلا ِمْو‬ َ ‫ف اًحِلا‬ َ ‫َنْوُنَزْح‬ ِ ‫ص َلِمَعَو ِر‬ Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang mendapatkan petunjuk, orang-orang Yahudi, orang-orang Sabi’in dan orang-orang Nasrani, barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, kemudian melakukan amal kebaikan, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.405 ْ ‫يِذّلاَو اْوُنَماَء َن‬ ْ ‫صّنلاَو اْوُداهَ َن‬ ْ ‫ب َنَماَء ْنَم َن‬ ّ ‫با‬ َ ‫صلاَو ىَرا‬ ِ‫يِذّلا ّنا‬ ِ ‫ئ‬ ِ ‫ِهللا‬ ِ ‫ي‬ َ َ ٌ ‫يَلَع‬ ْ ‫اَلَو ْمِه‬ ‫يْلاَو‬ ّ ‫فْوَخ اَلَو ْمِه‬ َ ‫ع ْمهُُرْجأ ْمهَُل‬ َ ‫خأْلا ِمْو‬ َ ‫ف اًحِلا‬ ِ ‫ص َلِمَعَو ِر‬ ِ ‫بَر َدْن‬ ‫ي ْمُه‬ ‫ح‬ َ ْ ‫َنْوُنَز‬ Artinya: Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang yang mendapatkan petunjuk, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi’in, barangsiapa diantara mereka benar-benar beriman kepada Allah SWT, hari akhir, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahal dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.406 Muqatil Ibn Sulayman dalam hal ini mengatakan bahwa apabila Ahl al-Kitab yang dalam ayat ini diartikan sebagai Yahudi dan Nasrani yang beriman pada ketauhidan Allah SWT dan 404 QS al-Ma’idah, juz 6, ayat 65-66. 405 QS al-Ma’idah, juz 6, ayat 69. 406 QS al-Baqarah, juz 1, ayat 62. 289 menghindari kesyirikan maka akan dihapuskan segala kesalahankesalahannya dan dimasukkan ke dalam surga. Pada ayat selanjutnya Muqatil Ibn Sulayman mengatakan bahwa barangsiapa dari Ahl alKitab yang mengerjakan ajaran pada kitab suci mereka tanpa ada penyimpangan dari kitab-kitab yang Allah SWT turunkan maka akan diberikan kenikamatan dari atas langit berupa hujan dan dari bumi berupa tumbuh-tumbuhan. Diantara mereka ada umat yang lurus, dari pengikut Taurat adalah Abdullah Ibn Salam dan pengikutnya, sedangkan dari penganut Injil adalah pengikut Nabi Isa As yang berjumlah tiga puluh dua orang.Tetapi kebanyakan dari mereka menurut Muqatil Ibn Sulayman adalah orang-orang yang melakukan perbuatan buruk.407 Dalam mengomentari surat al-Ma’idah ayat 65-66 al-Qurtubi berpendapat bahwa akan dihapus kesalahan-kesalahan para Ahl alKitab ketika mereka mengerjakan perintah-perintah yang ada di dalan Taurat dan Injil dengan sebenar-benarnya tanpa ada penyimpangan di dalamnya. Ahl al-Kitab tersebut sebagaimana pendapat Ibn ‘Abbas yang dikutip olehal-Qurtubi akan mendapatkan kemakmuran dengan turunnya hujan dan tumbuhnya pepohonan yang lebat, dalam pendapat lain Allah SWT akan memberikan makanan kepada mereka secara terus menerus tanpa terputus.408Ibn Kathir dengan mengutip pendapat Ibn ‘Abbas menambahkan bahwa yang dimaksud kitab-kitab dalam ayat tersebut adalah al-Qur’an. Ibn Kathir menambahkan kembali bahwa umat Nabi-Nabi terdahulu yang mengikuti kitab sebelum alQur’an tanpa ada penyimpangan dan perubahan maka mereka telah mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. Ibn Kathir menyimpulkan bahwa barangsiapa yang mengerjakan amalan-amalan yang tercantum di dalam al-Qur’an maka kesalahan-kesalahannya akan dihapuskan serta akan mendapatkan rizki dari langit dan tumbuhan yang tumbuh dari muka bumi.409 Wahbah al-Zuhayli berpendapat bahwa apabila seorang Ahl 407 Muqatil Ibn Sulayman, Tafsir Muqatil Ibn Sulayman, jilid 1, 311. 408 Al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, jilid 3, 178. 409 Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid 2, 77-78. 290 al-Kitab beriman kepada Allah SWT dan RasulNya dengan sebenarbenarnya iman dan meninggalkan apa yang diharamkan, maka mereka dihapus dari kesalahan-kesalahan mereka dan dimasukkan ke dalam surga.410 Hal ini sependapat dengan apa yang diungkapkan oleh Muhammad Rashid Ridha yang mengatakan bahwa apabila Ahl al-Kitab beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT dan Nabi terakhir maka kesalahan-kesalahannya akan dihapuskan, karena ketaqwaan akan mensucikan jiwa dan membersihkan diri dari kesalahankesalahan yang lalu dan mereka berhak untuk berada di dalam surga.411 Pendapat-pendapat di atas merupakan bukti nyata bahwa alQur’an menghargai eksistensi kepercayaan lain tanpa harus mencela dan mengintimidasi kebenaran kitab suci mereka. Bagi umat Islam mempercayai keberadaan kitab-kitab suci Allah SWT merupakan salah satu bagian inti dari aqidah Islam itu sendiri, karena termasuk ke dalam rukun iman yang enam.Sekurang-kurangnya umat Islam wajib mengimani empat kitab suci, Taurat, Zabur, Injil dan al-Qur’an. Dalam surat al-Baqarah ayat 62 al-Tabari berpendapat bahwa kalimat walladhina hadu berarti umat Yahudi. Kesimpulan tersebut diambil dari riwayat al-Qasim, al-Husayn, Hujaj, dari Ibn Jurayj berkata “penamaan al-Yahud diambil dari surat al-A‘raf ayat 156.”412Sedangkan kata Al-Nasaradalam ayat tersebut berarti jamak, bentuk tunggalnya adalah Nasran, tetapi yang mashur digunakan dalam bahasa Arab dalam bentuk tunggalnya adalah Nasrani. Pendapat ini dikutip dari riwayat al-Qasim, al-Husayn, Hujaj, dari Ibn Jurayj berkata “penamaan al-Nasarakarena diturunkan pada sebuah tempat yang dinamakan Nasirah. Sebagian pendapat lain mengatakan penamaan tersebut diambil dari firman Allah SWT 410 Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, jilid 6, 253. 411 Muhammad Rashid Ridha, al-Tafsir al-Manar, jilid 6, 460. 412 Ayat tersebut berbunyi ‫اندهانا ةرخألا يفو ةنسح ايندلا هذه يف انل بتكاو‬ ‫اهبتكأسف ئيش لك تعسو يتمحرو ءاشأ نم هب بيصأ يباذع لاق كيلا‬ ‫نونمؤي انتايأب مه نيذلاو ةاكزلا نوتؤيو نوقتي نيذلل‬ 291 dalam surat al-Saf ayat 14.413 Dalam pendapat lain lagi Ibn ‘Abbas mengatakan bahwa penamaan al-Nasaradalam ayat tersebut menjadi Nasara dikarenakan Nabi Isa As terlahir di tempat bernama Nasirah dan pengikut-pengikutnya dinamakan al-Nasirin dan Nabi Isa As sendiri disebut al-Nasiri. Sedangkan al-Sabi’un berarti jamak dari Sabi’un, yaitu kepercayaan atau agama selain dari Yahudi dan Nasrani, atau dikatakan juga yang keluar dari agama Islam, atau keluar dari semua agama dan berpindah ke agama lain dalam bahasa Arab disebut al-Sabi’un. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan al-Sabi’un adalah sekelompok orang yang masih memiliki agama selain dari Islam, Yahudi dan Nasrani, sebagian yang lain mengatakan al-Sabi’un adalah sekelompok orang yang keluar dari sebuah agama dan tidak memiliki agama atau kepercayaan.414 Dalam penafsiran ayat 62 surat al-Baqarah, Wahbah alZuhayli berpendapat bahwa umat Yahudi, Nasrani dan kaum Sabi’in yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir dan mengerjakan amal saleh maka mereka akan mendapatkan pahala atas apa yang mereka lakukan, dan janganlah takut atas hari kiamat, janganlah bersedih atas harta dunia yang mereka tinggalkan karena mereka akan mendapatkan kenikmatan yang luas di dalam surga. Hal ini senada dengan pendapat al-Tabari dan al-Zamakhshari dalam tafsirtafsirnya.415 Ibn Kathir dalam hal ini berpendapat bahwa umat sebelum Nabi Muhammad SAW akan selamat apabila mengikuti ajaran 413 Ayat tersebut berbunyi‫ىسيع لاق امك هللا راصنأ اونوك اونمأ نيذلا اهيأاي‬ ‫هللا راصنأ نحن نويراوحلا لاق هللا ىلا يراصنأ نم نييراوحلل ميرم نبا‬ ‫مهودع ىلع اونمأ نيذلا انديأف ةفئاط ترفكو ليئارسا ينب نم ةفئاط تنمأف‬ ‫نيرهاظ اوحبصأف‬ 414 Muhammad Ibn al-Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, jilid 1, 358-360, lihat juga al-Zamakhshari, Tafsir al-Kashshaf, jilid 1, 148-149. 415 Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, jilid 1, 178, lihat juga al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, jilid 1, 361-362, lihat juga alZamakhshari, Tafsir al-Kashshaf,, jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995), 149. 292 Nabi-Nabinya. Umat Nabi Musa As mengikuti perintah dalam Taurat, umat Nabi Isa As mengikuti perintah dalam Injil, tetapi ketika datang Nabi Muhammad SAW maka ajaran-ajaran tersebut telah dihapuskan dengan kedatangan al-Qur’an, dan diharuskan bagi mereka untuk mengimaninya.416 Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Sayyid Qutb, ia mengatakan bahwa hanya keimanan yang terakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang akan selamat, karena keimanan tersebut telah menghapus keimanankeimanan yang sebelumnya.417 Dalam penafsiran ayat ini Muhammad Rashid Ridha sedikit berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh para penafsir yang tersebut di atas. Dia mengatakan bahwasanya hukum Allah SWT adalah hukum yang paling adil diantara hukum-hukum yang ada, oleh karena itu Allah SWT tidak mengkhususkan satu golongan dan merugikan golongan yang lain. Muhammad Rashid Ridha juga tidak mensyaratkan keimanan kepada Rasul sebagai kunci keselamatan, karena ayat ini menunjukkan bahwa iman kepada Allah SWT mencakup juga keimanan kepada Rasul, dan keselamatan di akhirat akan datang bagi mereka yang beriman walau apapun agamanya, karena menurut Muhammad Rashid Ridha, keselamatan bukan ditentukan dari kewarganegaraan, budaya, suku atau agama, tetapi dari keimanan kepada Allah SWT dan disertai amalan yang saleh. Ayat ini juga menerangkan sunnatullah dalam tata cara bergaul dengan umat sebelum dan sesudah kita, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Nisa, juz 5 ayat 123-124.418 416 Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid 1, 103-104. 417 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilal al-Qur’an, jilid 1(Beirut: Dar al-‘Arabiyyah li al-Tiba‘ah wa al-Nashr wa al-Tauzi’, tt), 94. 418 Ayat tersebut berbunyi ‫اءوس لمعي نم باتكلا لها ينامأالو مكينامأب سيل‬ ‫تاحلاصلا نم لمعي نمو اريصنالو ايلو هللا نود نم هل دجي الو هب زجي‬ ‫ اريقن نوملظي الو ةنجلا نولخدي كئلوأف نمؤم وهو ىثنأ وا ركذ نم‬Ayat ini diturunkan kepada sekumpulan orang Muslim, Yahudi dan Nasrani, diriwayatkan dari Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim dari al-Sudi berkata: “Telah bertemu sekumpulan orang Muslim, Yahudi dan Nasrani,” maka berkatalah 293 Pendapat tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh ‘Abd al-Karim al-Khatib. Ia mengatakan bahwa setiap manusia dari aliran dan agama manapun yang mengimani Allah SWT, beriman kepada hari akhir serta mengerjakan amalan saleh, maka ia akan mendapatkan ganjaran dari Allah SWT seperti apa yang diterima oleh orang-orang Mu’min.419 al-Tabataba’i mengatakan bahwa yang menjadi sumber kebahagiaan dan keselamatan adalah sebenar-benarnya iman keapda Allah SWT, hari akhir dan mengimplementasikannya ke dalam amalan saleh.420 Muhammad Quraish Shihab dalam hal ini menurut penulis menjadi penengah diantara konsep yang diusung oleh Ibn Khatir dan Muhammad Rashid Ridha. Ia mengatakan bahwa sesungghunya orang-orang yang beriman, yakni yang mengaku beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Orang-orang Yahudi yang beriman kepada Nabi Musa As, orang-orang Nasrani yang beriman kepada Nabi Isa As, serta orang-orang Shabi’in, kaum musyrik dan siapa saja dari penganut agama dan kepercayaan lain, yang menegaskan keimanan kepada Allah SWT dan hari akhir kemudian di amalkan ke dalam amalan-amalan yang saleh, maka mereka akan mendapatkan pahala dari Allah SWT, dan jangan khawatir atas apa yang akan datang orang Yahudi kepada orang-orang Muslim: “kami lebih baik daripada kalian, agama kami ada sebelum agama kalian, kitab kami ada sebelum kitab kalian dan Nabi kami ada sebelum Nabi kalian, dan kami beragama sesuai dengan agama Nabi Ibrahim As, dan tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang mendapatkan petunjuk (Yahudi).” Kemudian berkata juga orang-orang Nasrani seperti apa yang diucapkan oleh orang-orang Yahudi. kemudian berkata orang-orang Muslim: “kitab kami setelah kitab kalian, Nabi kami setelah Nabi kalian, agama kami setelah agama kalian, dan kalian telah diperintahkan untuk mengikuti agama kami dan meninggalkan kepercayaan kalian, dan kami lebih baik dari kalian, kami beragama sesuai dengan agama Nabi Ibrahim As, Nabi Ismail As, dan Nabi Ishak As, dan tidak akan masuk surga kecuali agama kami.” Maka Allah SWT menurunkan ‫مكينامأب سيل‬, lihat Muhammad Rashid Ridha, alTafsir al-Manar, jilid 1, 336. 419 ‘Abd al-Karim al-Khatib, al-Tafsir al-Qur’ani li al-Qur’an, jilid 1, 93. 420 Muhammad Husayn al-Tabataba’i, Tafsir al-Mizan. jilid 1 (Beirut: Muasasah al-A‘lami li al-Matbu‘at, 1974), 193. 294 kepada mereka dan tidak pula bersedih hati menyangkut seseuatu yang telah terjadi.421 Dalam penafsiran ayat ini juga terdapat beberapa permasalahan yang berkaitan dengan Ahl al-Fitrah,422menurut Muhammad ‘Abduh terdapat beberapa pendapat yang mengomentari permasalahan ini, diantaranya adalah: Pertama, jumhur Ahl Sunnah wal al-Jama‘ah yang mengatakan bahwa mereka akan selamat karena mereka tidak dibebani dengan syari’at dan karena da’wah Rasul belum sampai kepada mereka. Kedua, Mu‘tazilah dan jama‘ah dari al-Hanafiyah, mengatakan bahwa dengan akal manusia bisa membedakan baik dan buruk, bagus dan jelek, wajib dan haram, ‘aqidah yang benar dan yang batil, maka apabila mereka mengerjakan hal yang tidak baik maka mereka tidak akan selamat walaupun da’wah syari’at belum sampai kepada mereka. Ketiga, pendapat al-Asya‘irah, bahwasanya tidak akan bisa mengetahui baik dan buruk, serta ‘aqidah yang benar dan yang sesat tanpa adanya da’wah tentang syari’at yang disampaikan oleh para Rasul. Dalam permasalahan ini Muhammad ‘Abduh menarik benang merah dan mengatakan bahwa apabila telah sampai da‘wah Rasul kepada suatu golongan dan kemudian golongan tersebut mengimani Allah SWT, hari akhir dan mengamalkan amalan saleh, maka golongan tersebut akan selamat, tetapi apabila setelah menerima da‘wah tetapi tidak mengimaninya dengan sebenar-benarnya iman maka golongan tersebut tidak akan selamat, sedangkan bagi golongan yang tidak sampai kepadanya da‘wah Rasul tidak masuk akal apabila mereka mendapatkan keselamatan dengan derajat yang sama dengan mereka 421 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, volume 1, 206. 422 Ahl al-Fitrah adalah umat yang tidak sampai kepadanya da’wah Rasul yang benar, atau umat yang telah diutus kepadanya para Rasul tetapi belum sempurna da’wah yang sampai kepada mereka, dan mereka beriman dengan keimanan secara global tanpa tahu isi da’wah secara lebih detail, seperti al-Hunafayang mengimani Nabi Ibrahim As dan Nabi Ismail As dan mereka tidak mengetahui selain daripada kedua Nabi itu secara lebih terperinci. Lihat Muhammad Rashid Ridha, al-Tafsir al-Manar, jilid 1, 338. 295 yang menerima da‘wah Rasul dan kemudian mengamalkannya, oleh karena itu golongan yang tidak sampai kepadanya da‘wah Rasul akan dihisab sesuai dengan apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka yakini, karena mereka mempunyai akal untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.423 Dalam hal ini Rashid Ridha mengungkapkan statemen yang mernarik. Ia tidak pernah membuang kemungkinan adanya hari pembalasan bagi mereka yang tidak pernah menerima risalah kenabian. Rashid Ridha mengambil sebuah contoh dari kehidupan orang tua Rasulullah Saw yang menurutnya masuk dalam kategori Ahl al-Fitrah sejati. Dalam beberapa hadis ada yang menganggap salah satunya di dalam neraka, ada juga yang menganggap keduanya di dalam neraka. Bagi Rashid Ridha ini hanya merupakan kedaan ketikan meninggal saja, karena tidak ada yang masuk ke dalam surga atau neraka sebelum kiamat tiba. Hal tersebut berarti bahwa masih ada harapan keselamatan bagi mereka yang lulus ujian dari Rasulhari kebangkitan. Tetapi Rashid Ridha hanya menyebut hal tersebut dalam konteks penebusan dosa orang tua Nabi.424 Sedangkan asbab al-nuzul dari ayat ini terdapat dua riwayat yang berbeda sebagaimana dikutip oleh Wahbah al-Zuhayli. Dikatakan ayat ini diturunkan kepada para pengikut Salman alFarisi, yaitu kalangan terkemuka dari penduduk Jundasabur, riwayat yang pertamadari Ibn Abi Hatim dan ‘Adani dalam musnadnya dari Mujahid berkata: “saya bertanya kepada Nabi SAW tentang para penganut agama lain yang satu rumpun dengan saya dalam sholat dan ibadahnya, maka turunlah ayat ini. Sedangkan riwayat yang kedua adalah dari al-Wahidi dari Mujahid berkata: ketika Salman al-Farisi bercerita kepada Rasulullah SAW tentang pengikut-pengikutnya, dia berkata: “mereka di dalam neraka, berkata Salman: “maka saya telah dholim terhadap mereka, maka turunlah ayat ini, kemudian berkata: “seolah-olah telah terbuka kepadaku sebuah gunung” (atas turunnya 423 Muhammad Rashid Ridha, al-Tafsir al-Manar, jilid 1, 337-339. 424 Mohammad Hassan Khalil, Islam Dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain, terj. Chandra Utama, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2016), 208. 296 ayat ini).425 Surat al-Ma’idah ayat 69 menurut Muhammad Rashid Ridha memiliki substansi yang sama dengan surat al-Baqarah ayat 62, yaitu jaminan keselamatan bagi umat Yahudi, Nasrani, dan Sabi’in yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir serta mengerjakan amal saleh. Muhammad Rashid Ridha juga menambahkan bahwa munasabat ayat tersebut dengan ayat sebelum dan ayat sesudahnya adalah menunjukkan bahwa Ahl al-Kitab tidak mendirikan agama Allah SWT yang telah Allah SWT bebankan kepada mereka, para Ahl al-Kitab tersebut juga dianggap tidak menjaga keaslian teks kitab suci mereka dan tidak beriman kepada Allah SWT dan hari akhir kecuali sebagian kecil dari mereka. Hal ini tidak seperti para pendahulu mereka yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir serta mengamalkan amalan saleh.426 Setelah membahas pandangan-pandangan di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa Islam menghargai keberadaan agamaagama lain (Ahl al-Kitab) serta mengakui kebenaran kitab sucinya, karena beriman terhadap kitab-kitab suci mereka merupakan salah satu dari rukun iman yang enam. Terlepas dari perbedaan pandangan para penafsir al-Qur’an, pada dasarnya Islam juga mengakui keselamatan mereka dengan cara mengimani Allah SWT dan hari akhir serta mengamalkan amalan-amalan yang saleh sesuai dengan apa yang diutarakan dalam surat al-Baqarah ayat 62 dan surat alMa’idah ayat 69. Tercatat juga dalam sejarah bahwa hubungan antar Muslim dan non-Muslim berjalan baik ketika jaman Nabi Muhammad SAW, di mana Nabi pernah meminta bantuan dari seorang raja Abyssinia yang beragama Nasrani, raja tersebut bernama raja Najasyi. Ketika itu kaum Muslim Makah mendapat tekanan yang sangat buruk dari kafir Quraisy sehingga akhirnya Nabi Muhammad SAW memerintahkan 425 Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, jilid 1, 177. 426 Muhammad Rashid Ridha, al-Tafsir al-Manar, jilid 6, 476-477, lihat juga Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, jilid 6, 265. 297 sebagian pengikutnya untuk berhijrah ke Abyssinia.427 Berdasarkan kategorisasi penerimaan al-Qur’an terhadap hubungan antar umat beragama di atas, penulis berusaha menyimpulkannya ke dalam poin-poin berikut, yang kemudian menjadi landasan teologis bagi terciptanya hubungan antar umat beragama yang baik. Pertama, Islam merupakan agama universal yang mengakui kebenaran ajaran yang dibawa oleh para Nabinya. Hal ini sebagaimana tertulis dalam surat al-Maidah ayat 48 yang menyatakan bahwa Allah SWT telah menciptkan ajaran-ajarannya masing-masing bagi setiap kaum. Hal ini mengindikasikan bahwa mustahil bagi Tuhan menganugerahkan kebenaran-kebenaran wahyunya kepada satu komunitas saja dan tidak bagi komunitas yang lain. Kebenaran-kebenaran Tuhan harus ada dan tersedia bagi siapa saja. Kedua, banyak ayat-ayat al-Qur’an yang mengindikasikan bahwa manusia diberi hak untuk memilih dalam mencari kebenaran yang tersebar sesuai dengan kapasitasnya masing-masing agar manusia dapat saling berlomba dalam menggapai kebaikan. Ketiga, al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Penutup Ada banyak kajian yang ditulis oleh para sarjana dan peniliti yang menawarkan solusi atas permasalahan yang telah kita bahas di atas. Dalam hal ini penulis akan memfokuskan sekurang-kurangnya dua solusi sesuai dengan keilmuan dan profesi penulis. Pertama, Islam adalah agama yang identik denga teks, yaitu al-Qur’an dan hadis sebagai rujukan utama umatnya.Tapi teks-teks tersebut harus dimaknai agar hidup, bermakna dan kontekstual dengan perubahan jaman.428 Ada banyak metodologi penafsiran 427 Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis, terj. Sirikit Syah (Surabaya: Risalah Gusti, 2011), 160-161. 428 Kaidah Ushul Fiqh yang berbunyi “taghayyurul fatwa wa ikhtulafuha bi hasabi taghayyur al-azminah wa al-ahwal wa al-niyyah wa al-‘awaid 298 al-Qur’an yang bisa mencerahkan, tetapi kita butuh perubahan dan tidak hanya berhenti pada tataran teori. Agar agama ini tidak menjadi fosil, membeku tanpa ada solusi bagi penyelesaian masalah kemanusiaan. Diktum Islam rahmatan lil ‘alamin dikutip oleh berbagai kalangan, tetapi kehilangan dinamika pemahaman yang segar akibat telikungan yang demikian dahsyat dalam baju teologis, paham politik, sukuisme, dan sektarianisme.429 Maka perlu dikaitkan antara penafsiran teks yang kontekstual-progressif dengan praksis perubahan nyata yang merupakan manifesto dari hidupnya teks tersebut. Farid Esack beberapa waktu yang lalu memperkenalkan metode penafsiran yang kemudian dikenal dengan hermeneutika pembebasan. Berdasarkan teori hermeneutikanya, Farid Esack berusaha meminimalisir penghalang yang membuat para penganut agama terkotak-kotak dan berusaha juga untuk menghilangkan tindakan penindasan dan ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Teori ini juga memberikan landasan teologis bagi terlaksananya kerja sama antar umat beragama, khususnya antara Muslim dan nonMuslim. Lebih dari itu, Farid Esack mengorientasikan tafsirnya atas teks suci al-Qur’an agar dapat menggerakan massa Muslim dan nonMuslim untuk bersama-sama melakukan perubahan menuju arah yang lebih baik. Berangkat dari latar belakang sosial yang penuh dengan konflik pada rezim Apartheid di Afrika Selatan, Farid Esack berusaha menghidupkan masyarakat majemuk yang damai berlandaskan nilainilai yang terkandung dalam al-Qur’an. Bagi Esack, penafsir adalah seorang yang peka akan kondisi kehidupan di sekitarnya, karena memang setiap generasi Muslim sejak jaman Nabi Muhammad Saw menempatkan teks al-Qur’an sesuai dengan jamannya. Generasi Muslim sekarang memiliki opsi untuk mereproduksi makna dari (perubahan fatwa dan perbedaannya mengikuti perubahan situasi, kondisi, niat, dan tradisi). Tulisan Akhmad Sahal, lihat Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), 18. 429 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, 109. 299 teks al-Qur’an berlandaskan apa yang telah dibawa oleh generasi terdahulu atau mengkritisi makna dari generasi sebelumnya agar sesuai dengan keadaan masyarakat sekarang.430 Teori hermeneutika Farid Esack mempunyai ciri khas yang membuatnya berbeda dengan hermeneutika lainnya. Dalam teori hermeneutikanya, Farid Esack menerapkan kunci-kunci dalam memahami teks al-Qur’an. Kunci-kunci ini menjadikan para penafsir tidak bisa seenaknya dalam menafsrikan al-Qur’an. Kemudian gagasan-gagasan yang tersebut di atas dipadukan dengan kuncikunci hermeneutik (hermeneutical keys) yang kemudian disesuaikan dengan situasi Afrika Selatan di bawah rezim Apartheid. Kunci-kunci tersebut ialah taqwa (integritas dan kesadaran akan kehadiran Tuhan), tawhid (keesaan Tuhan), al-nas (manusia), al-mustad‘afun fi al-ard (orang-orang yang tertindas di bumi), ‘adl dan qist (keadilan dan keseimbangan), dan jihad (perjuangan dan praksis). Karena Afrika Selatan merupakan riil atas sosial yang dihadapi Farid Esack, maka kinerja hermeneutikanya berawal dari konteks sosial yang ada di Afrika Selatan, setelah itu dibawa kepada teks. Kemudian hasil pembacaan terhadap teks tersebut dilanjutkan dengan praksis pembebasan. Gagasan yang ditawarkan oleh Farid Esack dalam menghadapi fenomena ini merupakan salah satu sumbangsih besar dalam ilmu pengetahuan, khususnya dalam mengentaskan problematika hubungan antar umat beragama di Indonesia dan dunia yang dalam beberapa tahun yang semakin mengkhawatirkan. Metode ini menghidupkan teks al-Qur’an sampai pada tahapan praksis di dunia nyata. Kedua, Pembacaan teks tersebut harus ada aksi dalam dunia nyata. Praksis harus dimaknai dengan aksi yang bersifat produktif antar pemeluk agama. Dengan aksi kita bisa saling kenal dan mengurangi tendensi negative yang berlebih antar pemeluk agama yang berbeda. Aksi-aksi bersama ini bisa dilakukan dimana saja, bisa dari institusi pendidikan, pemerintahan, swasta, maupun 430 Farid Esack, Qur’an Liberation & Pluralism; An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford: Oneworld Publications, 1997),50. 300 ormas-ormas yang bersifat umum. Jangan berhenti untuk berfikir positif, bersuaralah dengan lantang, karena anda tidak sendiri dalam menggalang solidaritas, masih banyak orang-orang di luar sana yang punya visi yang sama untuk membangun Indonesia yang berbineka secara utuh. 301 Daftar Pustaka Ali, Muhammad. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2003. Armstrong, Karen. Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis, terj. Sirikit Syah. Surabaya: Risalah Gusti, 2011. Darraz, Muhammad Abdullah (Editor). Jihad, Khilafah, dan Terorisme.Bandung: PT Mizan Pustaka, 2017. Dirks, Jerald F. Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seteru Antara Islam, Krsiten dan Yahudi. terj. Santi Indra Astuti. Jakarta: Penerbit Serambi, 2006. Esack, Farid. Qur’an Liberation & Pluralism; An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression. Oxford: Oneworld Publications. 1997. Esposito, John L. The Future of Islam. New York: Oxford University Press. 2010. al-Ghazali, Muhammad. al-Islam al-Muftara ‘Alayhi. Kairo: Nahdatu Misr, 2008. Ibn Kathir. Tafsir al-Qur’an al-‘Azim. Beirut: Dar al-Fikr. 1999. Khalil, Mohammad Hassan. Islam dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain, terj. Chandra Utama. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2016. al-Khatib, ‘Abd al-Karim. al-Tafsir al-Qur’ani li al-Qur’an. Kairo: Dar Fikr al-‘Arabi. Tt. Maarif, Ahmad Syafii. Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka, 2018. Madjid, Nurcholish. Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia.Jakarta: Paramadina. 2003. --------. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan.Bandung: PT Mizan 302 Pustaka, 2013. Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia.Jakarta: Paramadina. 2008. Natsir, Nanat Fatah. The Next Civilization Menggagas Indonesia Sebagai Puncak Peradaban Dunia.Bekasi: Media Maxima, 2012. Noor, Fauz.Berpikir Seperti Nabi Perjalanan Menuju Kepasrahan. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2009. Al-Qurtubi. al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyyah, Tt. Qutb, Sayyid. Tafsir Fi Zilal al-Qur’an. Kairo: Dar al-Syuruq, 1982. al-Razi, Fakhruddin. Tafsir Fakhr al-Razi. Beirut: Dar al-Fikr. 2005. Ridha, Muhammad Rashid. al-Tafsir al-Manar. Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyyah. 1999. Sahal, Akhmad, dan Munawir Aziz (Editor). Islam Nusantara Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan.Bandung: PT Mizan Pustakan, 2015. Sa‘id, Jawdat. La Ikraha fi al-Din: Dirasat wa Abhath fi al-Fikr alIslami. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999. Sairin, Weinata. Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan bangsa: Butir-Butir Pemikiran. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2002. Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Ciputat: Penerbit Lentera Hati. 2001. Sulayman, Muqatil Ibn.Tafsir Muqatil Ibn Sulayman. Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyyah. 2003. al-Tabari, Muhammad ibn al-Jarir. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil alQur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 1999. al-Tabataba’i, Muhammad Husayn. Tafsir al-Mizan. Beirut: Muasasah al-A‘lami li al-Matbu‘at, 1974. Taher, Elza Peldi (editor). Merayakan Kebebasan Beragama Bunga 303 Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi.Jakarta: ICRP, 2009. al-Zamakhshari. Tafsir al-Kashshaf. Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyah. 1995. al-Zuhayli, Wahbah. al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah wa al-Manhaj. Beirut: Dar al-Fikr al-Mu‘asir. 1991. 304 PESANTREN MAHASISWA: UPAYA INTEGRASI AGAMA DAN SAIN DI PTU M. Zainal A Pendahuluan Dikotomi antara sains (ilmu pengetahuan) dan agama merupakan isu yang banyak diperbincangkan beberapa dekade terakhir, utamanya seiring dengan dibukanya fakultas umum/ non agama di beberapa UIN di Indonesia. Menurut Ismail Raji alFaruqi, pemicu munculnya dikotomi ilmu agama dan ilmu umum adalah masuknya pendidikan Barat yang sekuler ke dunia Islam.431 Masuknya pendidikan Barat kemudian melahirkan dua sistem pendidikan yang membedakan antara sistem pendidikan Islam dan sistem pendidikan sekuler.432 Pendapat lain mengatakan bahwa dikotomi agama dan ilmu pengetahuan lebih disebabkan karena adanya keyakinan akan perbedaan sumber antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum.433 Mulyadhi Kartanegara menilai bahwa dikotomi ilmu dikenal di dunia Islam sejak diperkenalkannya 431 Norlaila, “Pemikiran Pendidikan Islam Ismail Raji al-Faruqi,” al-Banjari Vol. 7, No.1, (Januari 2008): 34. 432 Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, Terj. Anas Mahyudin (Bandung: Penerbit Pustaka, 1995), 21. 433 Ahmad Ludjito, “Pendekatan Integralistik Pendidikan Agama pada Sekolah di Indonsia,” dalam Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, editor Chabib Thoha dkk (Semarang: Pustaka Pelajar, 1996), 318. 305 ilmu sekuler ke dunia Islam melalui imperialisme Barat. Dikotomi menjadi sangat tajam karena telah terjadi pengingkaran terhadap validitas dan status ilmiah yang satu atas yang lain. Terdapat pihak, utamanya pesantren, yang memandang ilmu pengetahuan modern sebagai bid‘ah dan haram dipelajari karena berasal dari orang kafir. Sementara para pendukung ilmu pengetahuan modern memadang bahwa ilmu agama merupakan pseudo ilmiah atau sebagai mitologi yang tidak akan sampai pada derajat ilmiah. Ilmu agama tidak berbicara tentang fakta, tetapi lebih berbicara tentang makna yang tidak bersifat empiris.434 Terlepas dari asal muasal dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan, keadaan dikotomik ini menyebabkan pendidikan Islam hanya dimaknai sebagai pemindahan pengetahuan (knowledge) dan nilai-nilai (values) ajaran Islam yang tertuang dalam teks agama. Sedangkan ilmu sosial dan ilmu alam dianggap bukan merupakan bagian dari pengetahuan agama.435 Pendidikan Islam dengan paradigma dikotomis akan menghasilkan lulusan yang terkaplingkapling serta membedakan, bahkan memisahkan, antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan.436 Oleh karenanya diperlukan upaya mengintegrasikan agama dengan ilmu pengetahuan. Integrasi ilmu agama dan ilmu umum, dalam konteks Indonesia, telah dimulai sejak enam dasawarsa lalu, pada masa Kabinet Natsir.437 Pemerintah mewajibkan adanya pelajaran agama di sekolah-sekolah 434 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Mizan Media Utama [MMU], 2005), 20. 435 Abuddin Nata, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Jakarta: Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi Agama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), 4. 436 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 2008), 325. 437 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2001), 189. Baca pula Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1997), 22. 306 sekuler dan mewajibkan pelajaran umum di madrasah.438 Keputusan tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga menteri, yaitu Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tertanggal 24 Maret 1975. Madrasah diharuskan memberi pelajaran umum kepada para siswa dengan porsi 70 % untuk materi umum dan 30 % materi agama.439 Kebijakan pemerintah tersebut merupakan sebuah terobosan guna mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum di lembaga pendidikan. Namun upaya pemerintah tersebut nampak memperkokoh dikotomisasi pendidikan. Terbukti dengan adanya dua departemen (kementerian) yang mengurusi masalah pendidikan. Departemen Pendidikan Nasional mengelola pendidikan umum, sementara Departemen Agama mengurusi pendidikan agama. Kebijakan ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan tersendiri setelah diberlakukannya desentralisasi pendidikan. Semenjak diberlakukannya otonomi daerah, keberadaan lembaga pendidikan Islam (madrasah) kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah.440 Hal ini dikarenakan madrasah masih tetap berada di bawah naungan Departemen Agama yang sentralistik. Pendidikan agama merupakan salah satu matakuliah penting di perguruan tinggi. Pendidikan agama masuk dalam salah satu Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK). Kompetensi dasar matakuliah pendidikan agama adalah menjadikan ilmuwan dan profesional yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan memiliki etos kerja, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan.441 Walaupun termasuk 438 Lihat Nurcholish Madjid dalam A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), 21. 439 Santoso dalam Harapandi Dahri, “Mencari Relevansi; Gagasan Pendidikan Nondikotomik”, Penamas Vol. XXI No. 2 - Tahun 2008, 199. 440 Abdul Wahab, “Dualisme Pendidikan Di Indonesia,” Lentera Pendidikan, Vol. 16 No. 2 Desember 2013, 222. 441 Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 43/Dikti/Kep/2006, Tentang Rambu Rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di 307 matakuliah pengembangan kepribadian, namun pendidikan agama mendapat porsi yang sedikit di perguruan tinggi. Oleh karenanya pendidikan agama di perguruan tinggi tidak dapat berjalan maksimal, apalagi jika dikaitkan dengan wacana integrasi ilmu pengetahuan dan agama atau wacana Islamisasi ilmu pengetahuan. Integrasi ilmu pengetahuan dengan agama atau ilmu agama belum banyak diupayakan oleh perguruan tinggi, utamanya perguruan tinggi umum. Apabila ditemukan upaya menintegrasikan keduanya di perguruan tinggi, maka hampir bisa dipastikan bahwa hal tersebut dilakukan oleh perguruan tinggi Islam. Integrasi dilakukan atas inisiatif lembaga/kampus karena kesadaran akan pentingnya integrasi ilmu dan agama. Integrasi antara bidang ilmu agama dengan bidang ilmu pengetahuan inilah yang kemudian menjadi salah satu dasar pemikiran yang paling penting dalam transformasi Institut Agama Islam Negeri menjadi Universitas Islam Negeri di Indonesia.442 Hal ini sebagaimana terjadi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan beberapa perguruan tinggi Islam lain. Belum nampak upaya konkrit pemerintah guna mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan agama di PTU (Perguruan Tinggi Umum). Salah satu alternatif untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan agama di PTU adalah melalui pendidikan di pesantren mahasiswa.443 Perguruan Tinggi, Tahun 2006, pasal 3. 442 Dasar pemikiran tranasformasi perguruan tinggi Islam ini adalah perubahan status madrasah sebagai sekolah yang bercirikan agama sehingga tamatan madrasah dapat melanjutkan pendidikan ke universitas. Selain itu alumni UIN mempunyai kesempatan untuk mobilitas vertikal dibanding alumni IAIN. Lihat Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Cet. II) (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 141. 443 Salah satu pendekatan yang digunakan dalam integrasi ilmu pengetahuan dan agama atau Islamisasi ilmu pengetahuan adalah mengislamkan orang sebagai pengembang ilmu pengetahuan. Lihat Muhyarsyah, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan di Perguruan Tinggi” dalam Azuar Juliandi, Islamisasi Pembangunan, (Medan: Umsu Press, 2014), 21. Abuddin Nata mengistilahkan pendekatan ini dengan menjadikan Islam sebagai landasan 308 Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam asli Indonesia dan telah mengakar di masyarakat, pesantren diharapkan dapat selalu meningkatkan peranannya di masa mendatang dalam memberikan pendidikan dan pengajaran serta penyebarluasan ilmu agama.444 Pesantren bisa dijadikan sebagai sebuah alternatif untuk mengawal perkembangan keilmuan para pelajar, baik pelajar tingkat dasar, menengah ataupun pendidikan tinggi. Bekal ilmu pengetahuan dari madrasah, sekolah maupun kampus serta bekal ilmu dan pengamalan agama dari pesantren akan mengantarkan pelajar menjadi manusia yang intelek dan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Hal ini sebagaimana dikatakan Imam Suprayogo, bahwa orang tua bangga jika anak-anak mereka belajar di lembaga pendidikan Islam. Orang tua berharap, anak-anaknya kelak menjadi manusia yang intelek dan berakhlak mulia.445 Perguruan tinggi menjadi tempat untuk mengasah sisi intelektualitas mahasiswa, sedangkan pesantren, selain menjadi benteng moral dan akhlak, menjadi tempat untuk mengembangkan keilmuan yang diperoleh di perguruan tinggi. Dikatakan bahwa sistem pendidikan pesantren sangat bermanfaat dan masih relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia dewasa ini dalam rangka melahirkan manusia yang beriman, berakhlak mulia dan bertakwa.446 penggunaan ilmu pengetahuan (aksiologi) tanpa mempersilahkan aspek ontologi dan epistemologi. Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Rajawali Pers: Jakarta, 1998), 419. 444 Ridlwan Nasir, Mencari Format Pendidikan Ideal: Perubahan Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Editor M, Adib Abdushomad (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 80. 445 Edi Widiyanto, “Tingkatkan Pendidikan Islam”, Republika, Kamis 29 April 2010, Halaman 12. Lihat pula A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam (Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia (LP3NI), 1998), 126. Lihat Imam Suprayogo, Membangun Integrasi Ilmu Dan Agama: Pengalaman Uin Maulana Malik Ibrahim Malang. Sumber: http://uin-malang.ac.id:8080/ index.php?option=com_content&view=article&id=1203:membang un-integrasi-ilmu-dan-agama-pengalaman-uin-maulana-malik-ibrahimmalang&catid=25:artikel-imam-suprayogo, diakses 18 Agustus 2015. 446 Saidun Fiddaroini dalam Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Editor 309 Paradigma Keilmuan Perspektif Pesantren Sejak semula, Islam tidak mengenal pembedaan ilmu menjadi ilmu pengetahuan atau ilmu sekuler dan ilmu agama. Klasifikasi ilmu harus dimaknai sebagai spesialisasi ataupun takhassus bukan diferensiasi ataupun tafriq baina al-ulum.447 Klasifikasi ilmu tidak dimaksudkan sebagai bentuk dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum.448 Pada dasarnya ilmu pengetahuan termasuk dalam kategori ilmu agama, namun agama lebih cenderung mengatur kehidupan manusia. Sedangkan ilmu pengetahuan mengatur kebutuhan untuk hidup manusia.449 Klasifikasi terhadap ilmu pada sejarah Islam hanya dimaksudkan untuk menuntun seseorang dalam memilih bidang keilmuan yang ditekuni.450 Ilmu agama dan ilmu umum bersumber dari Allah. Ilmu pengetahuan dangan seperangkat metodologi yang digunakan merupakan sekumpulan teori ilmiah terkait ayat-ayat kawniyyah Allah. Sementara ilmu agama adalah rumusan atas ayat-ayat Allah yang lain, yaitu ayat-ayat qawliyyah atau tadwîniyyah (al-Qur’an). Pandangan ini sebagaimana dinyatakan Osman Bakar, bahwa Allah memberikan ilmu melalui dua jalan, yaitu melalui firmanNya dan melalui ciptaan-Nya.451 Konsep ilmu menurut pesantren mahasiswa, sebagaimana diungkapkan Ziauddin Sardar, mencakup hampir semua bentuk pengetahuan yang dihasilkan oleh observasi 447 448 449 450 451 310 Adib Abdushomad. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), xiii. Hasyim Muzadi, Dokumentasi acara “Halaqoh Pesantren: Pengembangan Kajian Al Qur’an Perspektif Sains dan Teknologi di Pesantren” di Pesantren Al Hikam Depok. 18 Desember 2013. Hadi Masruri dan Imron Rossidy, Filsafat Sains dalam Al Qur’an (Malang: Penerbit UIN-Malang Press, 2007), 77. Hasyim Muzadi, Dokumentasi TV One: Damai Indonesiaku: Pendidikan di dalam Islam, Sabtu tanggal 14 Februari 2014. Osman Bakar, Clasification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Research, 1992), xi. Osman Bakar, Tauhid dan Sains (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), 1421. Lihat pula Hadi Masruri dan Imron Rossidy, Filsafat Sains dalam Al Qur’an (Malang: Penerbit UIN-Malang Press, 2007), 76. murni hingga pengetahuan metafisika yang paling tinggi.452 Ilmu pengetahuan umum merupakan pengembangan dari ilmu agama. Agama dalam hal ini memerintahkan penggalian ilmu pengetahuan secara mendalam. Ilmu pengetahuan harus disemangati oleh ilmu Ketuhanan. Ilmu Ketuhanan harus dilanjutkan dan dikembangkan dengan ilmu tentang bukti kebesaran Tuhan. Pada dasarnya ilmu agama dan ilmu umum konstruksinya sama, yang membedakan adalah kontennya. Semua ilmu, apabila digali dengan cara yang benar, proses keilmuan yang benar dan penggunaanya benar, maka ilmu dîniyyah maupun kawniyyah adalah sah dan keduanya harus diintegrasikan. Ilmu agama lebih cenderung berfungsi sebagi norma, berfungsi sebagai spirit, berfungsi sebagai dasar tauhid serta berfungsi pada masalah etika.453 Hal ini yang dimaksudkan Osman Bakar dengan istilah ilmu yang paling tinggi adalah ilmu mengenal Tuhan, yang karena alasan ilmu inilah pencarian terhadap ilmu pengetahuan lain dilakukan.454 Ilmu tentang segala sesuatu selain Tuhan secara konseptual atau organis terkait dengannya. Mendikotomikan pelajaran agama dan pelajaran umum adalah sebuah kesalahan konseptual yang besar. Pelajaran agama berangkat dari dînullâh (agama Allah) yang bersifat normatif dan manusiawi. Sementara ilmu pengetahuan merupakan hasil penelitian terhadap kawnillâh (benda-benda ciptaan Allah) dan sunnatullâh (hukum-hukum alam yang diciptakan Allah). Keduanya berasal dari 452 Ziauddin Sardar, “Arguments for Islamic Science” in Quest for New Science (Aligarh: Center For Studies On Science, 1984), 44. 453 Al-Qur’an menyebutkan iqra’ bi ismi rabbika. Tanpa iqra’ kita tidak bisa mengadakan penelitian. Begitu pula tanpa bi ismi rabbika kita akan jauh dari Tuhan. Iqra’ (ilmu pengetahuan) dan bi ismi rabbika (keimanan) harus digabungkan agar hasil yang didapatkan tidak jauh dari kebenaran. Hasyim Muzadi, Dokumentasi Acara “Halaqoh Pesantren: Pengembangan Kajian Al Qur’an Perspektif Sains dan Teknologi di Pesantren” di Pesantren Al Hikam Depok. 18 Desember 2013. 454 Osman Bakar, Clasification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Research, 1992), 124. 311 satu tangan, yaitu kekuasaan Allah Swt. Ilmu pengetahuan umum haruslah bertauhid, sementara tauhid harus ditopang ilmu agama dan ilmu pengetahuan tentang alam serta fenomena dimana Allah menempatkan ilmu-Nya.455 Pesantren tidak menganggap bahwa ilmu-ilmu umum lahir dari konstruksi pemikiran sekuler sehingga perlu di Islamkan. Dengan demikian, maka yang menjadi fokus persoalan adalah aksiologi ilmu. Pendidikan agama di perguruan tinggi dewasa ini hanya berjalan sebagai formalitas belaka. Keberadaan matakuliah keagamaan hanya untuk memenuhi peraturan pendidikan yang ada, di samping untuk persiapan menghadapi ujian demi mendapatkan nilai. Oleh karenanya proses pendidikan agama hanya menjadi media penyampaian informasi keagamaan. Pendidikan agama seperti ini hanya akan mengantarkan mahasiswa untuk mengerti agama, namun tidak mampu mempraktikannya dalam kehidupan nyata. Pemahaman keagamaan perlu ditransformasikan dalam kehidupan modern sehingga dapat memenuhi harapan esensial dari ajaran agama dan dapat menyumbangkan sesuatu yang menyejukkan, menentramkan dan tidak menjadi sumber keruwetan.456 Semua tindakan mahasiswa selaku agen perubahan (agent of change) harus mengacu pada tri dharma perguruan tinggi, yaitu: penelitian, pengajaran dan pengabdian masyarakat. Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, keluaran perguruan tinggi akan mempunyai nilai strategis dalam perubahan masyarakat Indonesia. Sehingga mahasiswa selaku agent of change diharapkan mempunyai penguasaan ilmu pengetahuan di samping mempunyai 455 Hasyim Muzadi, Dokumentasi Acara ìHalaqoh Pesantren: Pengembangan Kajian Al Qur’an Perspektif Sains dan Teknologi di Pesantrenî di Pesantren Al Hikam Depok. 18 Desember 2013. Lihat pula Harian Kompas: News/ Nasional, Hasyim Muzadi: Revolusi Mental Memerlukan Keteladanan, Diakses 23 September 2017 | 18:01 WIB http://nasional.kompas.com/ read/2014/09/23/18012951/Hasyim.Muzadi.Revolusi.Mental.Memerlukan. Keteladanan 456 Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), 20. 312 jiwa kesantrian dan pengamalan ajaran agama Islam. Oleh karenanya diperlukan wadah yang mampu menghadirkan lingkungan kondusif bagi mahasiswa demi terciptanya generasi bangsa yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual, melainkan kecerdasan emosional dan spiritual yang matang. Selain itu juga mampu menghasikan kader-kader bangsa yang mampu membentengi diri dari kebobrokan dunia serta memberi ruang mengkaji keilmuan dari sudut berbeda dari kehidupan kampus. Hal ini sebagaimana fungsi utama pendidikan di sebagian besar pondok pesantren yang lebih menekankan aspek afektif dan psikomotorik (norma/nilai dan etika/akhlak).457 Konsep Integrasi Agama dan Sains Dikotomi ilmu agama dan ilmu pengetahuan tidak dibenarkan dalam pandangan pesantren mahasiswa.458 Selain karena secara teologis Islam tidak mengakui adanya dikotomi, dikotomi yang dilakukan hanya akan membawa kemunduran bagi umat Islam. Dikotomi yang berkembang harus dipahami sebagai klasifikasi keilmuan semata. Klasifikasi ilmu harus dimaknai sebagai spesialisasi atau takhassus, bukan diferensiasi ataupun tafrîq baina al-ulûm.459 Tujuan klasifikasi ilmu adalah untuk mempermudah para pencari ilmu dan membedakan konten dari masing-masing disiplin keilmuan.460 Ilmu pengetahuan merupakan pembacaan manusia 457 Imam Tholkhah, Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004) 84. 458 Hasyim Muzadi, Dokumentasi Acara “Halaqoh Pesantren: Pengembangan Kajian Al Qur’an Perspektif Sains dan Teknologi di Pesantren” di Pesantren Al Hikam Depok, 18 Desember 2013. 459 Hasyim Muzadi, Dokumentasi acara “Halaqoh Pesantren: Pengembangan Kajian Al Qur’an Perspektif Sains dan Teknologi di Pesantren” di Pesantren Al Hikam Depok. 18 Desember 2013. Lihat pula Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), xii. 460 Tujuan klasifikasi ilmu dalam pandangan al-Farabi adalah: Pertama, sebagai petunjuk umum bagi para siswa sehingga mereka dapat memilih subjek yang bermanfaat untuk dipelajari. Kedua, untuk mempelajari 313 atas ayat kawniyyah Allah. Sementara agama atau ilmu agama berasal dan dari ayat qawliyyah Allah yang termaktub dalam kitab suci. Pembedaan ilmu menjadi ilmu agama dan ilmu non-agama tidak sampai menegasikan antara satu ilmu dengan ilmu yang lain. Masing-masing ilmu diakui validitas atau keabsahannya. Ilmu agama maupun ilmu pengetahuan modern sama-sama bersumber dari Allah. Dengan demikian, menurut Mulyadhi Kartanegara, terdapat titik temu dalam integrasi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan, yaitu pada landasan ontologis.461 Pandangan pesantren ini berbeda dengan pandangan dikotomik yang secara tegas membedakan dan memisahkan ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum yang digambarkan sebagai berikut: Gambar: Pola Dikotomis antara Ilmu Umum dan Ilmu Agama Ontologi Observable/Fisik Ontologi Metafisik Epistemologi Observasi dan Nalar Epistemologi Nalar, Wahyu dan Intuisi Aksiologi Value Free Aksiologi Value Bound Materi Fisika, Kimia, Biologi Tafsir, Hadits, Fiqih, Ushul Lembaga Sekolah dan Universitas Lembaga Pesantren & Madrasah Materi hierarki ilmu pengetahuan. Ketiga, berbagai macam divisi dan subdivisi ilmu pengetahuan memberikan manfaat untuk menentukan spesialisasi. Keempat, sebagai informasi tentang apa yang seharusnya dipelajari sebelum menentukan keahlian dalam bidang ilmu tertentu. Lihat Hadi Masruri dan Imron Rossidy, Filsafat Sains dalam Al Qur’an (Malang: Penerbit UIN-Malang Press, 2007), 76. 461 Mulyadhi Kartanegara yang dikutip dalam Asnawi, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Studi Komparasi Pola Pembelajaran antara Pesantren tradisional Plus dan Pesantren Modern).(Jakarta: Tesis SPs UIN Jakarta, 2010. 163. 314 Dua macam konstruksi keilmuan tersebut harus diintegrasikan guna membentuk cendekiawan muslim seperti konsep pribadi paripurna (insân kâmil) sebagaimana dalam al-Qur’an. Pribadi paripurna dimaknai sebagai pribadi yang menguasai ilmu pengetahuan serta memiliki pemahaman agama sehingga dapat menggunakan ilmu yang dimilikinya sesuai dengan tuntunan agama Islam. Integrasi ilmu agama dan ilmu pengetahuan model ini diupayakan dengan menjadikan pesantren mahasiswa sebagai muara dari dua iklim intelektual yang berbeda. Dunia intelektual perguruan tinggi yang fokus pada pengembangan ilmu murni (sosial dan eksakta) dipadukan dengan dunia intelektual pesantren yang normatif-religius. Sistem pendidikan pesantren dimodifikasi sedemikian rupa sehingga bisa memberikan integrated science secara keseluruhan maupun sebagian kepada peserta didik yang bermukim di dalamnya.462 Proses conditional engineering di pesantren diarahkan untuk membentuk agamawan (santri) yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, sekaligus membentuk para saintis yang berpegang teguh pada nilainilai Islam.463 Pola integrasi agama dan ilmu dapat diilustrasikan sebagai berikut: Gambar: Pola Integrasi Sains dan Agama dengan Memodifikasi Sistem Pendidikan Pesantren Ilmu Umum Ilmu Agama Pendidikan Pesantren Ilmuan Peserta Didik 462 Kholilur Rahman, Konsep Pendidikan Ahmad Hasyim Muzadi (Tesis Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2012), 164. 463 Mohammad Shulthon, “Kemampuan Manajerial Kyai dalam Pengelolaan Pondok Pondok Pesantren Mahasiswa, Studi Kasus Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang” (Tesis - Universitas Negeri Malang, 2001), 24-28. 315 Integrasi ilmu agama dan ilmu pengetahuan dimaknai sebagai integrasi yang terjadi dalam diri ilmuan atau mahasiswa sebagai agent of change. Mahasiswa sebagai seorang sarjana diharapkan memiliki integritas ilmu pengetahuan umum sekaligus ilmu dan pengamalan agama.464 Integrasi agama dan ilmu pengetahuan yang dimaksudkan bertujuan agar pelaksanaan produk keilmuan oleh masyarakat muslim berjalan secara bertanggungjawab, sesuai etika keilmuan dan tuntunan agama Islam.465 Hal ini didapat dari media pendidikan, melalui internalisasi nilai agama Islam kepada penggiat keilmuan secara umum. Konsep integrasi agama dan ilmu pengetahuan ini didasarkan pada sulitnya mempertemukan nilai normatif Islam dengan materi ilmu pengetahuan, khususnya ilmu yang berbasis eksak dan aplikasinya yang berupa teknologi. Batang tubuh ilmu matematika, ilmu nuklir, ilmu atom dan ilmuilmu eksakta lain tidak mungkin untuk di Islamkan. Hal yang paling mungkin untuk di Islamkan adalah semangat penggunaan ilmu tersebut. Selain itu, penanaman nilai-nilai keislaman, dalam hal ini moral dan etika, kepada pelaku keilmuan lebih menjamin munculnya tanggungjawab keilmuan (knowledge responsibility). Contoh sederhana adalah mahasiswa bidang sosial yang menyangkut norma belum tentu memiliki tanggungjawab keilmuan dan tanggungjawa terhadap masyarakat maupun agama. Seorang ahli hukum belum tentu menegakkan hukum, seorang ahli ekonomi belum tentu memperjuangkan ekonomi umat. Begitu pula seorang sarjana teknik tidak ada jaminan untuk menerapkan ilmunya dengan benar dalam pembangunan. Tanggungjawab keilmuan tidak ditentukan oleh keilmuan seseorang, tapi tergantung pada karakter orang tersebut. Ilmu dan pertanggungjawaban keilmuan merupakan dua hal 464 Muhammad Shodiq,”Kepemimpinan Kyai Nasib dalam Meningkatkan Mutu Pesantren, Studi pada Pesantren Al-Hikam Malang, Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya, dan Pesantren Mahasiswa An-Nur Surabaya” (Malang: Disertasi-Universitas Negeri Malang, 2011), 90. 465 Hasyim Muzadi, Dokumentasi Tanbih al-A@@m, Malang 3 November 2011. 316 yang berbeda.466 Termasuk pula di dalamnya ilmu agama. Seseorang yang mengerti dan memahami ilmu agama belum tentu benar-benar menjalankan ajaran agamanya. Orang yang mengetahui sebuah larangan belum tentu meninggalkan larangan tersebut. Satu-satunya yang dapat menjamin adalah hidayah Allah yang menciptakan segala sesuatu.467 Untuk dapat disebut sebagai orang yang sholeh, diperlukan ketersambungan antara hubungan dengan Allah dengan ilmu pengetahuan dan ilmu agama. Proses menjadi sholeh harus melalui disiplin, tadrîb dan dirâsah.468 Integrasi ilmu agama dan ilmu pengetahuan yang dimaksudkan pesantren tidak mengarah pada struktur keilmuan, sebagaimana yang dimaksud al-Faruqi maupun al-Attas. Integrasi ilmu agama dan ilmu pengetahuan yang dikumandangkan kedua tokoh tersebut lebih populer dengan istilah Islamisasi ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan kritik terhadap tradisi keilmuan yang cenderung bersifat materialistik sehingga kehilangan ruh metafisikanya dan melupakan nilai transendental Ketuhanan dalam ranah keilmuannya. Al-Faruqi dan al-Attas menganggap perlu untuk melakukan rekonstruksi terhadap bangunan keilmuan sekuler yang sudah ada, terkait dengan metodologi, tujuan dan aspek keilmuan lainnya. Model integrasi ilmu pengetahuan ini lebih bersifat normatif dengan cara memodifikasi struktur keilmuan yang telah ada kemudian mengkontekstualisasikannya dengan nilai-nilai agama dan sejarah Islam.469 466 Terdapat sebuah ungkapan: al-‘ilmu shai’un wa mas’ûliyyatu al-ilmi sha’iun âkhar yang artinya ilmu adalah sesuatu dan pertanggungjawabannya adalah suatu hal yang berbeda. 467 Ungkapan yang disampaikan Hasyim Muzadi adalah: man izdâda ‘ilman wa lam yazdâd hudan, lam yazdâd ‘inda Allâhi illa bu‘dan. Artinya: barang siapa bertambah ilmu tanpa diiringi hidayah Allah, maka ia tidak akan mendapati Allah kecuali menjauh darinya. Hasyim Muzadi, Dokumentasi Tanbih al-A@m, Malang 3 November 2011. 468 Hasyim Muzadi, Dokumentasi Tanbih al-A@m, Malang 3 November 2011. 469 Hamid Fahmy Zarkasyi, “Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam” Islamia Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Thn II, No. 5, April-Juni 317 Upaya Islamisasi ilmu secara normatif, sebagai kritik ideologi, merupakan perlawanan terhadap keilmuan barat (sekuler) yang tidak Islami. Tujuan Islamisasi yang dilakukan kedua tokoh tersebut adalah menghasilkan disiplin ilmu yang Islami, sebagai hasil akulturasi nilai Islam dengan tradisi keilmuan sekuler yang selanjutnya dipelajari oleh individu muslim.470 Oleh karena itu, model Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut cenderung mengarah pada pertentangan secara face to face antara ilmu agama dengan tradisi keilmuan Barat. Dalam taraf tertentu, hal ini membuat sekat dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum menjadi semakin tebal.471 Integrasi ilmu agama dan ilmu pengetahuan dengan mengubah struktur keilmuan hanya sesuai jika dilakukan terhadap disiplin ilmu normatif. Hal ini karena nilai ajaran Islam, utamanya al-Qur’an, lebih concern terhadap persoalan normatif-sosial. Sebagai contoh adalah ilmu hukum dan ilmu ekonomi. Islamisasi ilmu pengetahuan model al-Faruqi dan al-Attas bisa masuk pada kedua disiplin ilmu tersebut, sehingga memunculkan ilmu hukum Islam ataupun ilmu ekonomi Islam. Namun Islamisasi ilmu pengetahuan model ini tidak akan relevan apabila diterapkan pada bidang ilmu biologi, fisika, kimia serta beberapa disiplin keilmuan yang tidak bermuatan nilai normatif. Kritikan lain terhadap integrasi ilmu agama dan ilmu pengetahuan secara normatif adalah kelemahan implementasi praktisnya dalam kehidupan sehari-hari. Integrasi yang terfokus pada 2005, 11-12. Lihat pula Mohammad Muchlis Solichin, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Aplikasinya dalam Pendidikan Islam,” Tadris, Volume 3. No. 1, 2008, (Hal 14-29), 21. Lihat pula Chairil Anwar, “Islamisasi Ilmu, Al-Qur’an dan Sains”, Tarbiyah Digital Journal Al-Mannar, Edisi 1, Tahun 2004, 3. 470 Alparslan Acik, Islamic Science: An Introduction (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), 2-7. dan 44. Lihat pula Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 42. 471 Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, Hingga Redefinisi Islamisai Pengetahuan (Bandung: Nuansa, 2003), 331-332. 318 pembenahan struktur keilmuan cenderung mengabaikan garansi dilaksanakannya disiplin ilmu pengetahuan yang “Islami” tersebut. Integrasi lebih terfokus agar ilmu berkembang sesuai dengan nilainilai Islam, tanpa memperhatikan implementasi ilmu tersebut oleh para ilmuan dan masyarakat pada umumnya.472 Secara ekstrim, dapat dicontohkan bahwa tidak ada jaminan bahwa seorang ulama atau ahli ilmu agama Islam akan melaksanakan ilmu agama yang dipahaminya sesuai tuntunan agama dengan penuh tanggungjawab. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam disiplin ilmu yang begitu Islami, masih terbuka ruang untuk menjalankannya secara tidak bermoral, tidak sesuai ajaran Islam. Kelemahan integrasi ilmu agama dan ilmu umum secara normatif tersebut dapat diminimalisir dengan model pendidikan yang menekankan penanaman nilai-nilai keislaman terhadap pelaku keilmuan atau Islamic knowledge agency dan semangat penggunaan ilmu (aksiologi ilmu). Model integrasi ini dapat menampung disiplin ilmu umum yang non-normatif atau eksak. Integrasi agama dan ilmu ini dapat memberikan jaminan terhadap implementasi dari berbagai disiplin ilmu secara bertanggungjawab oleh para ilmuan khususnya dan masyarakat pada umumnya. 472 Hasyim Muzadi, Dokumentasi Tanbih al-A@m, Malang 3 November 2011. 319 Gambar: Perbandingan Pola Integrasi Mengedepankan Islamic Knowledge Agency dengan Integrasi Normatif Integrasi Mengedepankan Islamic Knowledge Agency Ilmu Agama Ilmu Umum Integrasi Normatif Ilmu Agama Ilmu Sekuler Personal Ilmuan Ilmu Islam Tanggung Jawab Keilmuan Personal Umum Integrasi yang mengarah pada subjek ilmu pengetahuan ini merupakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam menggambarkan praktik Islamisasi ilmu pengetahuan. Pendekatan Islamisasi ilmu pengetahuan dapat dibedakan menjadi empat.473 Pertama, beranggapan bahwa Islamisasi ilmu merupakan ayatisasi atau sekedar memberikan ayat-ayat yang sesuai dengan ilmu pengetahuan yang berkembang. Kedua, Islamisasi ilmu dilakukan dengan mengIslam kan orang sebagai pengembang ilmu pengetahuan. Ketiga, Islamisasi yang dilakukan berdasar filsafat Islam dengan 473 Bandingkan dengan Mulyanto yang membagi pendekatan dalam praktik Islamisasi ilmu pengetahuan menjadi lima. Pertama, Islamisasi dapat dilakukan dengan menjadikan Islam sebagai landasan penggunaan ilmu pengetahuan (aksiologi) tanpa mempermasalahkan aspek ontologi dan epistemologi. Kedua, Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara memasukkan nilai-nilai Islami ke dalam konsep ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga, Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penerapan konsep tauhid dalam arti seluas-luasnya. Keempat, Islamisasi ilmu pengetahuan dilakukan dengan inisiatif pribadi melalui proses pendidikan yang diberikan secara berjenjang dan berkesinambungan. Kelima, Islamisasi ilmu pengetahuan dengan melakukan integrasi antara dua paradigma agama dan ilmu. Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Rajawali Pers: Jakarta, 1998), 419. 320 mempelajari dasar metodologinya. Keempat, memahami Islamisasi sebagai sebuah ilmu yang beretika dan beradab.474 Model integrasi ilmu agama dan ilmu pengetahuan yang lebih mengedepankan Islamic knowledge agency setidaknya dapat mengupayakan dua hal yang terabaikan oleh model integrasi (Islamisasi ilmu pengetahuan) secara normatif.475 Pertama, Islamic knowledge agency bisa menaungi tradisi keilmuan eksakta yang nonnormatif yang sama sekali tidak berkaitan dengan norma dan nilainilai Islam. Kedua, penanaman nilai moral dan etika Islam secara intensif kepada calon sarjana, dalam hal ini mahasiswa dari berbagai disiplin keilmuan, lebih menjamin penggunaan produk keilmuan secara bertanggungjawab sesuai kode etik keilmuan serta nilai-nilai Islam. Tujuan dari model integrasi ilmu pengetahuan dan agama yang lebih mengedepankan Islamic knowledge agency adalah terbentuknya pribadi muslim yang memahami keilmuan secara mendalam serta mengerti dan menjalankan amaliah agama secara baik dan benar. Sedangkan tujuan akhir dari model integrasi ilmu pengetahuan yang dikembangkan di pesantren mahasiswa ini adalah adanya tanggungjawab keilmuan (knowledge responsibility) yang muncul sebagai hasil dari penanaman nilai-nilai moral keislaman terhadap pelaku keilmuan dalam bidangnya masing-masing. Penanaman nilai-nilai moral keislaman inilah yang dilakukan kepada mahasiswa di pesantren mahasiswa. Model integrasi ilmu dan agama ini didasarkan akan netralitas ilmu pengetahuan. Pesantren tidak perlu menganggapan bahwa ilmu pengetahuan umum lahir dari konstruksi pemikiran sekuler sehingga perlu di Islamkan. Pendidikan yang dilakukan bagi mahasiswa merupakan salah satu upaya untuk meminimalisir problematika pendidikan agama Islam di perguruan tinggi. Pendidikan agama di perguruan tinggi hanya sampai pada taraf teori dan sebagai formalitas belaka. 474 Ummi, “Islamisasi Sains Perspektif UIN Malang”, Inovasi: Majalah Mahasiswa UIN Malang, Edisi XXII, Tahun. 2005, hal. 25. 475 Lihat Hasyim Muzadi, Dokumentasi Tanbih al-A@m, 3 November 2011. 321 Ketiadaan media untuk mengartikulasikan pengetahuan agama yang dimiliki mahasiswa merupakan salah satu alasan perlunya pendirian pesantren bagi mahasiswa.476 Konsep pendidikan pesantren bagi mahasiswa seperti ini yang kemudian diterapkan dalam kurikulum integratif Ma‘had Sunan Ampel al-Aly dengan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) Malang. UIN Maliki Malang menjadikan sertifikat kelulusan ta‘lîm al-afkâr al-Islâmiy dan ta‘lîm al-Qur’ân yang dilaksanakan di Ma‘had Sunan Ampel Al-Aly sebagai prasarat untuk program studi keislaman dan prasarat ujian komprehensif di UIN Maliki Malang.477 Pelaksanaan Pendidikan di Pesantren Mahasiswa Pendidikan agama Islam di pesantren mahasiswa bukan hanya berupa proses penyampaian informasi keagamaan kepada para santri mahasiswa. Pendidikan Islam merupakan kegiatan yang utuh dari serangkaian kegiatan yang meliputi ta‘lîm, ta’dîb dan irshâd.478 Ta‘lîm merupakan elemen dasar pendidikan sebagai sarana untuk menyampaikan informasi keagamaan kepada peserta didik. Sedangkan ta’dîb merupakan serangkaian proses pengkondisian peserta didik yang bertujuan untuk membentuk kerangka kognisi, 476 Kholilur Rahman, Konsep Pendidikan Ahmad Hasyim Muzadi (Tesis - Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2012), 139. 477 Program ke-ma‘had-an seperti di UIN Maliki Malang ini kemudian akan diprogramkan di seluruh Perguruan Tinggi Islam di Indonesia untuk mendukung mahasiswa yang berlatar belakang Islam. Program ini dimulai saat Maftuh Basyuni menjabat Menteri Agama RI. Pembangunan Ma‘had tahap pertama dilaksanakan di 5 PTAI, yaitu: UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, Makasar dan Medan. Lihat GEMA Media Informasi dan Kebijakan Kampus edisi 25 NovemberDesember 2006, 7. Lihat pula Husniyatus Salamah Zainiyati, “Model Kurikulum Integratif Pesantren Mahasiswa dan UIN Maliki Malang.” Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 18 Nomor 1 (Juni) 2014, 153. 478 Hasyim Muzadi, “Saatnya Pondok pesantren Meng-INTELEK-kan Santri” REPUBLIKA (Rabu 22 Juli 2009), 5. Lihat pula Hasyim Muzadi, Wawancara, Malang 6 Desember 2014. 322 afeksi dan psikomotorik santri mahasiswa, sebagaimana telah disampaikan dalam kegiatan ta‘lîm. Adapun irshâd merupakan bimbingan rohani yang dilakukan oleh para pendidik kepada santri mahasiswa.479 Integrasi nilai irshâd dalam proses pendidikan dipengaruhi oleh konsep pendidikan Imam al-Ghazali.480 Hal ini juga bisa dipahami sebagai relasi positif nilai tasawuf dalam dunia pendidikan, sebagaimana pada awal sejarah Islam. Proses irshâd inilah yang jarang dimasukkan dalam bagian integral pendidikan oleh para tokoh pendidikan dalam mendefinisikan terminologi pendidikan.481 Sebagai contoh keterikatan dari ketiga elemen tersebut adalah terkait dengan materi ibadah. Ta‘lîm sebagai media untuk menyampaikan materi ibadah. Ta’dîb sebagai eleman untuk menjadikan peserta didik mengaktualisasikan ibadah secara benar dalam kehidupan sehari-hari. Adapun irshâd menjadi media bagi seorang guru untuk membenahi niat para santri, bahwa pelaksanaan ibadah harus dilaksanakan dengan ikhlas, bukan karena adanya paksaan maupun kewajiban. Hubungan komponen pendidikan perspektif pesantren mahasiswa diilustrasikan sebagai berikut: 479 Muhammad Shodiq, ”Kepemimpinan Kyai Nasib dalam Meningkatkan Mutu Pesantren, Studi pada Pesantren Al-Hikam Malang, Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya, dan Pesantren Mahasiswa An-Nur Surabaya” (Disertasi-Universitas Negeri Malang, 2011). Lihat pula Hasyim Muzadi, Wawancara, Malang 11 Januari 2016. 480 Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Murshi@d al-Amin (Beirut: Dar al Fikr, 1996), 55. 481 Lihat Kholilur Rahman, Konsep Pendidikan Ahmad Hasyim Muzadi, (Tesis - Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2012), 160. 323 Gambar: Hubungan Komponen Pendidikan Pesantren Terminologi pendidikan Islam yang merupakan integrasi nilai ta‘lîm, ta’dîb dan irshâd ini sedikit berbeda dengan terminologi pendidikan Islam yang diungkapkan oleh para ahli pendidikan pada umumnya yang lebih dikenal istilah ta‘lîm, ta’dîb dan tarbiyyah.482 Terminologi pendidikan perspektif pesantren mahasiswa memandang peran dan posisi seorang kiyai di pesantren yang lebih mengarah sebagai pengganti orang tua daripada sebagai sosok seorang guru. Sosok kiyai di lingkungan pesantren memiliki peran yang sangat besar guna memberikan bimbingan rohani (irshâd) kepada para santri. Bimbingan yang diberikan oleh kiyai bisa bersifat sosial dan bersifat seumur hidup. Bahkan bimbingan dari kiyai masih berlaku ketika seorang santri sudah menjadi alumni pesantren. Pola hubungan antara ta‘lîm, ta’dîb, dan irshâd akan mengantarkan kepada sistem pendidikan Islam yang integral. Kultur pesantren yang ada juga akan mengantarkan pendidikan Islam pada long life education. Bimbingan yang diberikan oleh seorang kiyai kepada santrinya akan terus menerus terjadi dalam setiap aspek kehidupan santri, bahkan setelah santri menyelesaikan pendidikan di pesantren. Pendidikan Islam sebagai perpaduan unsur ta‘lîm, ta’dîb, dan irshâd ini terkait erat dengan pendidikan karakter. Karena 482 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jogjakarta: Logos, 2000), 5-8. 324 bagaimanapun juga tujuan pendidikan Islam, utamanya melalui ta’dîb dan irshâd, adalah pembenahan karakter peserta didik. Pesantren mahasiswa memiliki peran dan kesempatan yang besar dalam pembinaan karakter muslim Indonesia, karena pendidikan pesantren terkait erat dengan pendidikan karakter. Pendidikan karakter yang dilaksanakan selama ini masih sebatas penyampaian informasi tentang karakter. Karakter tidak bisa dibentuk melalui penambahan wawasan (transfer of knowledge) semata. Karakter juga bukan merupakan sebuah keterampilan yang dapat dipelajari dengan kursus maupun pelatihan. Menurut Hasyim Muzadi, selaku pendiri Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang, pendidikan karakter dapat berjalan efektif di pesantren dengan sistem asrama.483 Keberadaan asrama dalam sebuah sistem pesantren merupakan media yang tepat untuk internalisasi nilai-nilai karakter dalam diri santri mahasiswa. Dengan sistem ini penanaman karakter bisa berlangsung terus menerus. Pesantren, sebagai sebuah lembaga pendidikan, telah memiliki elemen-eleman dasar dalam pembentukan karakter. Pertama, dirâsah yaitu proses pengajaran yang dilakukan di pesantren. Dirâsah berperan sebagai media penyampaian karakter oleh kiyai ataupun ustad kepada santri. Kedua, uswah, yaitu contoh kehidupan karakter dari ustad atau kiyai dalam kehidupan sehari-hari. Uswah atau teladan dari ustad atau kiyai menjadi sarana untuk melihat contoh riil kepribadian yang patut diteladani oleh para santri. Ketiga, riyâdah / murâqabah yang merupakan upaya pengkondisian santri dalam menginternalisasikan nilai-nilai karakter dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari. Riyâdah sebagai instrumen dalam membentuk 483 Mukti Ali menilai bahwa sistem pengajaran dan pendidikan agama yang paling baik di Indonesia adalah sistem pengajaran ala madrasah dan pesantren. Hal ini dikarenakan corak dan isi pendidikan dan pengajaran di madrasah dalam pesantren ini menghimpun seni, ilmu dan agama yang merupakan tiga komponen pendidikan yang harus terkumpul dalam diri seseorang, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok masyarakat. Lihat A. Mukti Ali, Metode Mamahami Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), 9. 325 karakter di pesantren, dilakukan dengan proses disiplin yang ketat. Pembentukan karakter tidak akan terjadi tanpa latihan dan disiplin. Tanpa disiplin yang kuat dalam pembentukan karakter generasi muda, sebenarnya kita sedang berjalan menuju bahaya yang besar. Ketiga elemen dasar pembentukan karakter tersebut saling terkait dalam proses pembentukan karakter di pesantren. Pesantren kemudian menjadi alternatif solusi atas buntunya pendidikan karakter di Indonesia. Kultur pendidikan yang penuh dengan disiplin melalui model asrama menjadi kunci bagi peserta didik untuk tidak hanya mengerti akan informasi karakter. Peserta didik juga dapat mentransformasikan nilai karakter dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter bukan hanya untuk mendidik agar para santri mengetahui hal-hal yang baik, melakukan yang baik dan mencintai yang baik sesuai dengan kecenderungan kultur suatu bangsa. Namun lebih dari itu, karakter yang akan dibangun juga harus sesuai dengan nilai-nilai agama Islam. Pendidikan karakter bukan lagi sekedar menjadi kebutuhan, namun harus menjadi kewajiban pendidikan Islam. Upaya Integrasi dalam Strategi dan Pendekatan Pembelajaran Proses pendidikan pesantren tidak lepas dari tiga unsur pendidikan pesantren, yaitu ta‘lîm, ta’dîb dan irshâd. Ketiga unsur pendidikan tersebut kemudian melembaga menjadi tiga bidang pendidikan di pesantren. Unsur ta‘lîm sebagai sarana transformasi keilmuan dalam pendidikan pesantren dilembagakan menjadi bidang pengajaran atau dirâsah. Sedangkan unsur ta’dîb sebagai sarana untuk pembentukan karakter di pesantren melembaga menjadi bidang kesantrian. Adapun unsur irshâd sebagai sarana bimbingan rohani para santri mahasiswa dalam pesantren menjadi bidang kepengasuhan.484 Pertama, bidang pengajaran atau dirâsah (tadrîs wa alta‘lîm). Bidang pengajaran mengemban tugas merancang program 484 Lihat Profil Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang. 326 dan strategi pembelajaran serta pelaksanaannya dalam pembekalan materi keilmuan dan keterampilan (life skill) yang bersifat klasikal.485 Program ini diarahkan pada pengembangan intelegensi (kognisi) santri melalui kegaiatan pengajaran. Kedua, bidang kepengasuhan (ri‘âyah wa al-irshâd). Bidang kepengasuhan mengemban tugas menyampaikan tausiah, bimbingan dan arahan kepada para santri mahasiswa terkait nilai dan norma agama serta persoalan kehidupan kemasyarakatan. Tujuan program kepengasuhan adalah untuk mengarahkan dan membentuk para santri mahasiswa menjadi manusia beriman, berilmu dan beramal shaleh. Nasehat, arahan dan bimbingan kepada santri lebih menitikberatkan pada pembentukan jiwa santri, atau pada tataran afeksi santri.486 Ketiga, bidang kesantrian (ta’dîb wa al-tahdhîb). Bidang kesantrian mengemban tugas mendampingi para santri mahasiswa dalam transformasi dan aktualisasi diri. Ruang lingkup kegiatan bidang kesantrian lebih menitik-beratkan pada pembekalan pengetahuan dan keterampilan, utamanya aspek psikomotorik santri.487 Bidang kesantrian merupakan bagian dari program pendidikan pesantren yang dimaksudkan untuk pembentukan karakter santri mahasiswa. Bentuk kegiatan program kesantrian bersifat harian, mingguan, bulanan, tahunan dan kegiatan-kegiatan insidental jika diperlukan. Pembentukan tiga bidang pendidikan di Pesantren MahasiswaAl Hikam Malang merupakan perwujudan dari unsur-unsur pendidikan pesantren. Pembentukan tiga bidang pendidikan di pesantren akan memaksimalkan proses pendidikan yang dilaksanakan di pesantren mahasiswa. Selain itu, tiga bidang pendidikan ini diharapkan akan membantu mewujudkan cita-cita pesantren untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan agama dalam diri santri mahasiswa. Ilmu pengetahuan didapatkan santri mahasiswa melalui pendidikan di perguruan tinggi masing-masing. Sementara ilmu dan pengamalan agama didapatkan santri mahasiswa melalui pendidikan di pesantren. 485 Lihat Profil Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang. 486 Lihat Profil Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang. 487 Lihat Profil Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang. 327 Perpaduan pendidikan di perguruan tinggi dan pesantren tersebut diharapkan akan dapat membentuk para sarjana yang memiliki integritas ilmu umum dan agama, serta mampu mengamalkan ilmu yang dimiliki sesuai tuntunan agama. Pembentukan tiga bidang pendidikan pesantren harus diikuti dengan beberapa langkah strategis untuk memaksimalkan pelaksanaan program pendidikan. Langkah yang diambil antara lain: Pertama, pemahaman konsep integrasi ilmu pengetahuan dan agama bagi seluruh elemen pesantren, mulai dari pengelola pesantren sampai dengan santri mahasiswa; Kedua, perekrutan tenaga pengajar yang kompeten, baik dalam keilmuan agama maupun keilmuan umum. Hal ini penting karena setiap pendidik harus menguasai materi yang disampaikan. Dalam konteks pesantren mahasiswa pengajar harus menguasai materi agama dan ilmu pengetahuan modern.488 Ketiga, pendekatan pembelajaran yang memadukan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered approach) dan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered approach).489 Penutup Konsep integrasi ilmu pengetahuan dan ilmu agama di pesantren mahasiswa, dalam hal ini Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang, berbeda dengan konsep integrasi yang disampaikan oleh para tokoh pendidikan. Integrasi yang dimasudkan pesantren mahasiswa ini adalah integrasi yang terjadi dalam diri pelaku keilmuan (Islamic 488 ‘Atiyah al-Abra@shi, Al-Tarbiyyah al-Islamiyyah (Mesir: Da@r al-Fikr, 1967), 135. 489 Dua pendekatan pendidikan ini digunakan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara komprehensif. Lihat Abuddin Nata, “Islam Rahmatan Lil Alamin Sebagai Model Pendidikan Islam Memasuki Asean Community”, Makalah disampaikan pada acara kuliah tamu Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Maulana Malik Ibrahim MalangSenin, 7 Maret 2016, hal 13. Lihat pula Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2014), cet. III, hal. 243-279. 328 knowledge agency) dan semangat penggunaan ilmu (aksiologi ilmu). Tujuan akhir integrasi adalah terciptanya ilmuan atau sarjana yang menguasai ilmu pengetahuan dan ilmu serta pengamalan agama dalam diri seorang muslim. Munculnya tanggungjawab keilmuan (knowledge responsibility) merupakan hasil dari internalisasi nilai Islam kepada penggiat keilmuan. Alasan yang melatar belakangi konsep integrasi ilmu pengetahuan dan ilmu agama ini adalah: pertama, Islamic knowledge agency bisa menaungi tradisi keilmuan eksakta yang non-normatif dan tidak berkaitan dengan norma dan nilai-nilai Islam. Kedua, penanaman nilai moral dan etika Islam kepada calon sarjana lebih menjamin penggunaan produk keilmuan oleh masyarakat muslim secara bertanggungjawab sesuai kode etik keilmuan serta nilai-nilai Islam. Konsep integrasi ilmu pengetahuan dan ilmu agama ini berbeda dengan integrasi yang bersifat bersifat normatif dengan cara memodifikasi struktur keilmuan yang telah ada, sebagaimana disampaikan Ismail Raji al-Faruqi dan Muhammad Naquib al-Attas. Alasan menolak konsep integrasi yang bersifat normatif adalah sulitnya mempertemukan nilai normatif Islam dengan materi ilmu pengetahuan, khususnya ilmu yang berbasis eksak dan aplikasinya berupa teknologi. Selain itu, penanaman nilai-nilai keislaman (moral dan etika) kepada pelaku keilmuan lebih menjamin munculnya tanggungjawab keilmuan (knowledge responsibility). Konsep integrasi ilmu pengetahuan dan ilmu agama diimplementasikan dengan mengumpulkan mahasiswa non-fakultas agama dari berbagai perguruan tinggi. Santri mahasiswa dididik dengan ilmu dan pengamalan agama, utamanya etika dan moral Islam (akhlak). Keterpaduan tiga unsur pendidikan pesantren (ta‘lîm, ta’dîb, dan irshâd) tidak hanya mengantarkan santri mahasiswa mengetahui ajaran agama Islam, tapi juga pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Ta‘lîm merupakan elemen dasar pendidikan, yaitu sarana penyampaian informasi keagamaan. Ta’dîb sebagai proses pengkondisian peserta didik yang bertujuan untuk membentuk kerangka kognisi, afeksi dan psikomotorik. Sedangkan irshâd merupakan bimbingan rohani kepada santri mahasiswa. Ketiga unsur pendidikan pesantren tersebut melembaga menjadi tiga 329 bidang pendidikan, yaitu bidang pengajaran, bidang kesantrian dan bidang kepengasuhan. Pendidikan Islam di pesantren mahasiswa dimaksudkan untuk mewujudkan integrasi ilmu pengetahuan dan ilmu agama dalam diri santri mahasiswa. Pendidikan Islam di pesantren mahasiswa ini merupakan salah satu upaya untuk menyediakan media aktualisasi nilai-nilai agama Islam bagi para mahasiswa non-fakultas agama. Oleh karenanya pendidikan di pesantren mahasiswa bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk melengkapi pendidikan agama Islam di perguruan tinggi, utamanya perguruan tinggi umum. 330 Daftar Pustaka Al-Abra@shi, ‘Atiyah. Al-Tarbiyyah al-Islamiyyah. Mesir: Da@r al-Fikr, 1967. Acik, Alparslan. Islamic Science: An Introduction. Kuala Lumpur: ISTAC, 1996 Ali, A. Mukti. Metode Mamahami Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1991. Anwar, Chairil. “Islamisasi Ilmu, Al-Qur’an dan Sains”, Tarbiyah Digital Journal Al-Mannar, Edisi 1, Tahun 2004. Asnawi, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Studi Komparasi Pola Pembelajaran antara Pesantren tradisional Plus dan Pesantren Modern). Tesis SPs UIN Jakarta, 2010. Asrohah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2001. Al-Attas, Syed Naquib. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993. Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana ilmu dan Pemikiran, 2000. Bakar, Osman. Clasification of Knowledge in Islam. Kuala Lumpur: Institute for Policy Research, 1992. Tauhid dan Sains. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994. Buku Profil Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang. Daulay, Haidar Putra. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Cet. II). Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009. Fadjar, A. Malik. Visi Pembaruan Pendidikan Islam. Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan 331 Naskah Indonesia (LP3NI), 1998. Al-Faruqi, Ismail Raji. Islamisasi Pengetahuan, Terj. Anas Mahyudin. Bandung: PenerbitPustaka, 1995. Fiddaroini, Saidun. dalam Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Editor Adib Abdushomad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. GEMA Media Informasi dan Kebijakan Kampus edisi 25 November-Desember 2006, 7. Al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Murshi@d al-Amin, Mesir: Dar al-Fikr, 1996. Harian Kompas: News/Nasional, Hasyim Muzadi: Revolusi Mental Memerlukan Keteladanan, Diakses 23 September 2014. Sumber: http://nasional.kompas.com/ read/2014/09/23/18012951/Hasyim.Muzadi.Revolusi.Mental. Memerlukan.Keteladanan Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung: Mizan Media Utama [MMU], 2005. Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 43/Dikti/ Kep/2006, Tentang Rambu Rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan, 2008. Ludjito, Ahmad. “Pendekatan Integralistik Pendidikan Agama pada Sekolah di Indonsia,” dalam Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, editor Chabib Thoha dkk. Semarang: Pustaka Pelajar, 1996. Madjid, Nucholish. Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1997. Masruri, Hadi dan Imron Rossidy. Filsafat Sains dalam Al Qur’an. Malang: Penerbit UIN-Malang Press, 2007. 332 Muhaimin. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, Hingga Redefinisi Islamisai Pengetahuan. Bandung: Nuansa, 2003. Muhyarsyah. “Islamisasi Ilmu Pengetahuan di Perguruan Tinggi” dalam Azuar Juliandi, Islamisasi Pembangunan, (Medan: Umsu Press, 2014). Muzadi, Hasyim. “Saatnya Pondok pesantren Meng-INTELEK-kan Santri” Harian REPUBLIKA, Rabu 22 Juli 2009. Dokumentasi Tanbih al-A@am, Malang 3 November 2011. Dokumentasi acara ìHalaqoh Pesantren: Pengembangan Kajian Al Qur’an Perspektif Sains dan Teknologi di Pesantrenî di Pesantren Al Hikam Depok. 18 Desember 2013. Dokumentasi TV One: Damai Indonesiaku: Pendidikan di dalam Islam, Sabtu tanggal 14 Februari 2014. Nasir, Ridlwan. Mencari Format Pendidikan Ideal: Perubahan Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Editor M, Adib Abdushomad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta: Logos, 2000. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008. Metodologi Studi Islam, Cet. IX. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana, 2009. “Islam Rahmatan Lil Alamin Sebagai Model Pendidikan Islam Memasuki Asean Community”, Makalah disampaikan pada acara kuliah tamu Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Maulana Malik Ibrahim MalangSenin, 7 Maret 2016. Norlaila. “Pemikiran Pendidikan Islam Ismail Raji al-Faruqi.” alBanjari Vol. 7, No.1. Januari 2008. 38-52. Rahman, Kholilur. Konsep Pendidikan Ahmad Hasyim Muzadi. 333 Surabaya: Tesis- Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2012. Santoso. “Mencari Relevansi: Gagasan Pendidikan Nondikotomik.” Penamas Vol. XXI No. 2 - Tahun 2008. 180-203. Sardar, Ziauddin. “Arguments for Islamic Science.” dalam Quest for New Science. Aligarh: Center For Studies On Science, 1984. Shodiq, Muhammad. Kepemimpinan Kyai Nasib dalam Meningkatkan Mutu Pesantren, Studi pada Pesantren AlHikam Malang, Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya, dan Pesantren Mahasiswa An-Nur Surabaya. Disertasi: Universitas Negeri Malang, 2011. Shulthon, Mohammad. Kemampuan Manajerial Kyai dalam Pengelolaan Pondok Pondok Pesantren Mahasiswa, Studi Kasus Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang. Tesis: Universitas Negeri Malang, 2001. Solichin, Mohammad Muchlis. “Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Aplikasinya dalam Pendidikan Islam.” Tadris, Volume 3. Nomor 1. 2008. 14-29. Suprayogo, Imam. Membangun Integrasi Ilmu Dan Agama: Pengalaman Uin Maulana Malik Ibrahim Malang. Sumber: http://uin-malang.ac.id:8080/Indeks.php?option=com_con tent&view=article&id=1203:membangun-integrasi-ilmudan-agama-pengalaman-uin-maulana-malik-ibrahimmalang&catid=25:artikel-imam-suprayogo, diakses 18 Agustus 2015. Tholkhah, Imam. Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004. Ummi. “Islamisasi Sains Perspektif UIN Malang.” Inovasi: Majalah Mahasiswa UIN Malang, Edisi XXII, Tahun. 2005. Wahab, Abdul. “Dualisme Pendidikan Di Indonesia.” Lentera Pendidikan, Vol. 16 No. 2 Desember 2013: 220-229. 334 Widiyanto, Edi. “Tingkatkan Pendidikan Islam”, Republika, Kamis 29 April 2010, Halaman 12. Zainiyati, Husniyatus Salamah. “Model Kurikulum Integratif Pesantren Mahasiswa dan Uin Maliki Malang.” Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 18 Nomor 1 (Juni) 2014. 139-158. Zarkasyi, Hamid Fahmy. “Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam.” Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam. Thn II No.5, April-Juni 2005. 1-19. 335 ADVOKASI ISLAM GARAM VS KRISTEN GARAM DI KOMUNITAS INSPIRATION HOUSE CIREBON Cici Situmorang Pendahuluan Penganut agama terbesar di Indonesia adalah umat Islam. Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia, karena memang itulah kenyataannya. Namun, Indonesia tidak menganut negara Islam, meskipun pada kenyataannya beberapa tahun belakang ini banyak keunikan yang terjadi di Indonesia untuk bisa mendirikan negara Islam. Islam yang dikenal ramah dan sangat santun, dipahami para penganut agama lainnya di Indonesia. Indonesia juga dikenal keramahan dan etika budaya timurnya kini membuat banyak orang jadi sedikit takut, khususnya bagi kaum minoritas alias agama lain. Agama Islam yang sangat ramah itu tiba-tiba terlihat sangat keras dan banyak yang berfikir terlalu fundamental dan sangat radikal. Islam dikenal lewat FPI atau moment besar 212 atau 414, yang sangat berbeda dan tidak toleran terhadap agama lain atau kaum minoritas—bahkan sesama Islam sendiri yang menganut aliran lain. Namun Islam menjadi berbeda ketika kita melihat sosok Buya Syafii Maarif melalui bukunya “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan”. Pemikiran Buya Syafii Maarif ini menggugah Komunitas Inspiration House yang foundernya adalah seorang Nasrani. Mereka yang beragama Islam bisa berdampingan selama empat tahun belakangan dengan visi dan misi yang sama untuk Indonesia. 336 Komunitas ini bergerak dalam benang merah yaitu Indonesia dan kemanusiaan. Kemanusiaan yang memperhatikan hak –hak kaum minoritas khususnya mereka anak- anak dari ekonomi lemah dan anak jalanan. Anak jalanan dan fakir miskin yang harusnya dipelihara oleh pemerintah pada kenyataannya tidak seperti itu, tapi kita tidak bisa menyalahkan pemerintah. Justru peran komunitas bisa membantu pemerintah—meskipun pemerintahan tidak sepenuhnya tahu—dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa. Untuk itu komunitas di Cirebon telah melakukan advokasi dengan baik selama empat tahun ini, dalam upaya menjaga keberagaman ini serta menanamkan pluralisme sejak dini. Advokasi bukan revolusi, namun lebih merupakan suatu usaha perubahan sosial melalui semua saluran dan piranti demokrasi perwakilan, proses-proses politik dan legislasi yang terdapat dalam sistem yang berlaku. Keberhasilannya diperoleh bila proses dilakukan secara sistematis, terstruktur, terencana dan bertahap dengan tujuan yang jelas, untuk memengaruhi perubahan kebijakan agar menjadi lebih baik. Keterampilan advokasi merupakan sebuah ilmu dan seni, yang tentunya sangat dipengaruhi oleh kemampuan berkomunikasi tim peneliti. Peningkatan keterampilan komunikasi dapat membantu tim untuk meningkatkan kinerja, khususnya dalam melakukan advokasi. Advokasi dalam komunikasi yang tepat membuat komunitas Inspiration House ini bertahan dengan sangat baik setelah melawati berbagai tantangan yang salah satunya dikarenakan perbedaan agama. Agama merupakan hal yang sangat sensitif, namun hubungan terkait dengan agama mereflesikan hubungan kita secara sosial terhadap orang lain. Menurut salah satu guru Agama Islam di Tomohon, Semakin tinggi kadar pemahaman agama seseorang, maka makin besar pula rasa toleransinya. Agama sejatinya hadir sebagai jawaban, pencerahan, dan pembebasan atas setiap keragu-raguan. Toleransi adalah sikap yang adil dan objektif terhadap semua orang yang memiliki perbedaan gagasan, ras, atau keyakinan dengan kita. (Lickona 2013:65). Toleransi merupakan sebuah tindakan nyata dalam menghargai antar umat beragama, mereflesikan atau membiarkan sesuatu memang apa adanya. Toleransi terkadang 337 lupa diajarkan di era milenial ini. Toleransi hanya sebatas pelajaran singkat yang tidak sarat makna, padahal toleransi adalah nilai plus yang membawa generasi sekarang lebih inklusif dan tidak eksklusif, sebagai bagian dari pemeluk agama. Berdasarkan kajian-kajian di era sekarang hanya sedikit kaum penggerak toleransi bergerak karena dianggap tidak terlalu penting, namun ketika bangsa sedang darurat toleransi maka kebingunganpun terjadi, panik dan saling menyalahkan siapa yang seharusnya punya peran penting bagi generasi, siapa yang bertanggungjawab untuk keberlangsungan ketahanan bangsa. Peran toleransi sangat besar bagi keberlangsungan suatu bangsa yang majemuk, di mana peran ini harusnya digerakkan oleh yang namanya komunitas. Peran komunitas tentunya sangat efektif dalam melakukan suatu advokasi untuk menyebarluaskan suatu nilai-nilai positif, jika strategi komunikasi yang menuntut perubahan tak ada penolakan atau kebencian dalam menyebarkan hal-hal baik. Komunitas Inspirasi House Cirebon yang dihuni teman-teman Muslim dan Kristen benar-benar memberi rasa alias garamnya terasa sesuai dengan ayat, Matius 5:13- 16, “Jadilah garam dan terang dunia, karena garam tidak akan berfungsi jika hanya didiamkan saja. Garam memilik banyak sekali fungsi dan bisa menjadi pembawa pembaruan dalam moral kehidupan bermasyarakat jika kita memahami maknanya. Islam Garam vs Kristen Garam Istilah Islam garam pertama sekali diperkenalkan Bung Hatta. Saat itu terjadi penolakan terhadap pemikirannya yang dilakukan oleh kelompok muda Muslim. Mereka menganggap Hatta semakin sekuler karena melakukan pembiaran terhadap Islam dan tidak ada ikhtiar serius untuk memformalisasikan ajaran Islam. Hatta ingin agar Islam tidak mesti ditunjukkan via simbolsimbol, tapi disubstansialisasikan dalam konteks berbangsa dan bernegara. Keberanian Hatta menggulirkan Islam garam tampak jelas ketika ia mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”. 338 Sila pertama itu kemudian diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hatta telah berhasil meletakkan nilai-nilai Islam dalam Pancasila secara kontekstual. Berangkat dari situasi itu, Islam garam yang ditawarkan Hatta mesti dilestarikan kembali. Menurut Buya Syafii, gagasan Hatta ini sangat jelas, tujuannya mendidik umat Islam agar pandai-pandai membawakan diri bilamana ingin memperjuangkan ajaran Islam di Indonesia. Buya mengakui tajamnya penglihatan Bung Hatta dalam merekatkan hubungan Islam dan keindonesiaan. Bahkan, Buya mengaku belum menemukan nasihat yang semacam ini dari siapa pun, termasuk dari pemimpin-pemimpin puncak partai Islam masa lampau, apalagi sekarang. Dalam Alkitab Matius 5:13-1, dijelaskan ; “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.” Makna ini sangat dalam sekali bagi umat Kristen di mana Yesus mengajarkan bahwa hidup kita berdampak itu sebuah kewajiban atau keharusan, karena jika kita hidup tak menjadi dampak, maka sia- sia kita hidup di dunia. Ibarat kata hidup kita “useless” alias tidak bermakna. Kristen terlalu eksklusif sebagai kaum minoritas, merasa terkadang tertindas, bahkan teraniaya dengan mengkaitan diri dengan proses Yesus yang lebih dahulu menderita. Yesus memang menderita tapi Yesus tidak “ Baper” dan “ stay “ artinya Yesus tidak jadi pribadi yang terus- terusan menangisi rasa sakitnya atau berdiam diri, tapi Yesus terus mengajarkan kebenaran dan kasih lewat perbuatannya. Nah, garam yang dianggap hanya bumbu yang letaknya di dapur ini sengaja Yesus jadikan perumpaaan yang diibaratkan umat kristen yang sedikit alias minoritas seperti butir- butir garam bisa menjadi rasa dan bermakna bagi masakan atau kata lainnya bagi orang banyak. Mari kita korelasikan fungsi kristen garam: 1. Memberi rasa yang nikmat (Ayub 6:6) Kristen harus membawa damai, sukacita kepada banyak orang sekitar karena hidup orang kristen ialah Alkitab berjalan yang setiap orang melihat hidupnya. 339 2. Mencegah kebusukan. Kristen harus menjadi teladan dalam sikap baik di keluarga, di kantor di manapun Kristen berada harus bersikap jujur, tidak melakukan kejahatan bahkan melanggar Hak asasi manusia lainnya dan menjadi contoh teladan yang baik dari segi kemanusiaan dan moralitas dunia yang kejam sekarang ini. 3. Rela berkorban. Garam ada unsur korban di dalamnya, di mana Kristen juga harus siap berkorban untuk misi yang Tuhan berikan, meski dihina, dianiaya, difitnah, dicurigai karena melakukan hal yang baik untuk menunjukan kasih Yesus yang nyata. Jika dilihat dari pemaknaan garam antara Islam dan Kristen sangat jelas sekali bahwa fungsi garam itu sama dan tidak mungkin berbeda hanya implementasinya dalam kajian teologi yang berbeda. Pemaknaan yang sama inilah yang membuat Komunitas Inspiration House Cirebon mampu bertahan selama empat tahun yang mungkin masih dini berdiri, namun dampaknya sangat terasa. Dampak positif ini terjadi melewati banyak tantangan dan rintangan yang lumayan menguras air mata karena adanya perbedaan persepsi daya tangkap tujuan. Namun hal tersebut bisa teratasi dikarenakan team yang solid ini terdapat pemahaman dan aplikasi nyata akan fungsi garam bagi para team yang mayoritas beragama muslim. Mereka melakukan atau menjadi Islam garam yang sesungguhnya karena telah menjadi rasa dan berkontribusi terhadap kota dan bangsa lewat pendidikan gratis yang mereka berikan kepada anak-anak miskin dan jalanan di kota Cirebon. Islam garam sudah berfungsi di Cirebon lewat Inspiration House, namun mereka tidak tahu hanya karena belum familiar diucapkan dan didengar. Demikian pula dengan founder Inspiration House Cirebon sebagai satu-satunya Kristen yang pada awal mendirikan komunitas ini dicurigai, bahkan mengalami hal yang tidak menyenangkan. Namun tujuannya terlalu kuat untuk menjadi garam sehingga apapun yang sulit serta menyakitkan tetap dijalaninya untuk menjadi Kristen garam yang sesuai Yesus ajarkan. Tidak mudah menyampaikan tujuan yang sama dari sudut pandang agama yang berbeda, butuh proses dan pengalaman serta pemahaman yang tepat. Dan terjadilah sebuah kolaborasi yang 340 indah antara Islam garam dan Kristen garam karena memiliki fungsi yang sama untuk menjadi dampak bagi sesama dalam kemanusiaan serta kecerdasaan generasi di Indonesia. Komunitas ini sedikit kecil memang, namun dampaknya yang paling utama dirasakan masyarakat hingga kini. Penutup Peran kita sebagai warga negara sangat penting apapun agama kita pasti ada nilai kebaikan yang terkait. Peran itu akan berfungsi baik sebagai individu maupun kelompok. Cirebon mengambil sedikit peran dengan adanya komunitas keberagaman yaitu Inspiration House Cirebon yang di dalamnya terdapat satu founder Kristen dan empat belas lainnya memeluk agama Islam. Komposisi dalam team mungkin terdengar tidak seimbang namun bukan jumlah atau siapa yang paling banyak atau siapa yang memiliki pengaruh namun bagaimana peran dan fungsi mereka sebagai garam yang membawa dampak dan aksi nyata bagi masyarakat di Cirebon, khususnya anak –anak tidak mampu serta anak jalanan yang memang layak mendapatkan rasa itu dengan cuma-cuma. Komunitas ini berjalan karena Islam garam dan Kristen garam memberikan rasanya sangat pas dan tepat di mana advokasi yang dilakukan dengan komunikasi ideologi yang tepat dengan menanamkan nilai–nilai kebangsaan dan keberagaaman. Komunitas inipun mampu memfungsikan branding dan image yang tepat serta berjalannya public relations dalam komunitas sehingga komunitas ini semakin dikenal. Komunitas ini bisa berjalan dikarenakan visi dan misi yang sama untuk menjadi rasa yang nikmat dan mampu membantu pemerintah untuk bisa mengahadapi sejumlah tantangan di Indonesia. Komunikasi dengan cara komunikasi Islam garam dan Kristen garam sama, dan tidak ada bedanya yaitu memberikan dampak nyata kepada masyarakat dan tidak eksklusif terhadap keadaan masyarakat yang sesungguhnya. Biarlah tidak ada lagi perdebatan dan permusuhan dan kecurigaan di antara Islam dan Kristen, namun mari warnai Bumi Pertiwi ini dengan keberagaman yang membawa nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan untuk masa depan Indonesia Jaya. 341 Daftar Pustaka Firmanzah, Ph.D., Mengelola Partai Politik komunikasi dan Positioning Ideologi Partai di Era Demokrasi, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 2009 Harun, Angkasa Reformasi Terus Bergerak, Cidesindo: Jakarta, 2005. Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Mizan: Bandung, 2009) 342 Tentang Penulis Aan Arizandy, lahir di Lampung, 29 November 1992. Menyelesaikan Strata 1 (S1) di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Intan Lampung pada Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Tarbiyah tahun 2014. Dan sekarang tengah menyelesaikan pendidikan Strata II (S2) di Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Selain kuliah, penulis juga menulis artikel di media massa, baik cetak maupun online. Email [email protected] Amirullah, Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Bidang Kader periode 2016-2018. Menyelesaikan studi masternya di Sekolah Pasca Sarjana (SPS) UIN Syarifhidayatullah Jakarta tahun 2018 pada Islamis Studies dengan konsentrasi Islamic Education (Pendidikan Islam). Selain itu, Amir juga sedang menyelesaikan studi masternya di Bidang Komunikasi Politik di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Mantan Ketua Umum IMM Cabang Bima (2012-2013), Sekretaris bidang kader DPD IMM NTB (2013-2014), Ketua Lembaga Kajian Isu dan Kebijakan Publik DPP IMM dan merangkap Sekretaris Ekesekutif (2014-2016) ini sangat tekun menulis. Beberapa tulisannya telah diterbitkan baik dalam bentuk buku, jurnal, artikel maupun opini lepas di berbagai media dan majalah, di antaranya; IMM untuk Kemanusiaan Dari Nalar ke Aksi (Buku Terbit Mediatama Indonesia, 2016) ; Pendidikan, Agama, Politik, dan Multikulturalisme (Buku Antologi, terbit 2016) ; Mengukir Sejarah Merawat Peradaban; Ijtihad Berkemajuan IMM Untuk Kemanusiaan Universal (Sebagai Editor, terbit Mediatama Indonesia 2016). ; Hubungan Islam dan Politik di Indonesia serta Implikasinya Bagi Pendidikan Islam (Jurnal Kreatif Volume XII Nomor 2 Juli 2015), dan ; Pendidikan Humanis: Bercermin dari pemikiran Ahmad Syafii Maarif (Buku 343 terbit Pustakepedia 2018). Penulis dapat dihubungi melalui kontak: 081213548124. Email: [email protected] Andi Muslimin, dilahirkan di Kolaka, Sulawesi Tenggara, pada tanggal 9 Maret 1986. Anak ke tiga dari enam bersaudara pasangan Bapak Andi Malluluang dan Ibu Nurtang. Ia memulai pendidikan sekolah dasar di Negeri Malaasi tamat tahun 2002, kemudian melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Negeri Kolaka tamat tahun 2004. Pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 01 Kolaka tamat tahun 2007. Pendidikan berikutnya ditempuh di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Politik tamat tahun 2005. Kemudian melanjutkan studi s2 di Universitas yang sama mengambil konsentrasi Komunikasi Politik. Cici Situmorang, lahir di Bandar Lampung. Anak pertama dari tiga bersaudara. Ia adalah Founder Inspiration House Cirebon ; Founder GYT Cirebon ; Founder KCKC Cirebon. Ia juga Alumni Undip Semarang dan Sekolah Ekumenis Nasionalis Jakarta 2017. Kini, masih berstatus sebagai Mahasiswa semester 7 Pendidikan Bahasa Inggris STKIP Cirebon. Selain sebagai Aktivis, ia juga tercatat sebagai Pegiat keberagaman Peace Train Indonesia 4&7 ; Volunteer guru kebutuhan khusus Betesda Cirebon, dan ; Fungsionaris jaringan doa pemuda Cirebon. Destara Sati lahir di Jakarta pada 1 Desember 1991. Ia menamatkan studi S1 di Fakultas Hukum UI pada tahun 2015. Saat ini tengah menempuh studi Ilmu Magister Hukum di UI dengan program kekhususan hukum lingkungan dan sumber daya alam. Bercitacita menjadi seorang ahli hukum yang membaktikan ilmunya pada masyarakat. 344 Irfan L. Sarhindi, Pengasuh Salamul Falah, associate Researcher Akar Rumput Strategic Consulting, kepala Program Studi Manajemen Universitas Putra Indonesia. Tulisannya tersebar di pelbagai media seperti Detikcom, Islami.co, Siperubahan, dan Alif.id. Pada tahun 2017, lulusan University College London ini mendapat Fellowship untuk program Kader Bangsa, menjadi finalis Future Leaders Connect British Council, serta menjadi satu dari 13 pembicara di Panggung Indonesia 2045 yang diselenggarakan Tempo. Setiap Selasa dan kamis menerbitkan tulisan di blog pribadinya: irfanlsarhindi.id. Muhammad Alkaf adalah peserta Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan (SKK) Ahmad Syafii Maarif Angkatan Pertama. Setelah menyelesaikan studi di UIN Ar-Raniry, dia bekerja di Aceh Institute, 2005-2010, sebuah lembaga yang bergerak pada kajian dan publikasi mengenai Aceh. Di lembaga tersebut, dia memupuk minat terhadap topik-topik sejarah, politik, agama dan perubahan sosial. Minatnya itu semakin tumbuh ketika mengambil studi di UIN Sunan Kalijaga, karena berada di tengah iklim yang kondusif untuk mengembangkan pengetahuan. Di luar studi formil, dia mengikuti beberapa pelatihan, di antaranya pelatihan metodologi penelitian keilmuwan sosial, yang diadakan oleh Aceh Research Training Centre, di tahun 2008. Pada tahun 2017 mengikuti pelatihan menulis Features yang diadakan oleh Tempo Institute. Lalu, di tahun 2018, untuk memperdalam teknik menulis laporan panjang, dia mengikuti Kursus Jurnalisme Sastrawi XXVI yang diadakan oleh Yayasan Pantau. Sejak tahun 2014 menjadi pengajar di IAIN Langsa, dan kini menjadi Direktur Pusat Studi Pancasila di kampus yang sama. M. Zainal A. (biasa dipanggil Akhyar) lahir di Tulungagung, 25 September 1986. Menyelesaikan pendidikan Strata 1 di Sekolah Tinggi Agama Islam, Mahad Ali Al-Hikam, Malang. Menyelesaikan Studi S-2 konsentrasi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (2016). Selama menempuh studi S-2, ia mengajar di pesantren di Depok dan membina sebuah kelompok tani dan ternak di daerah Jonggol, Bogor. Sekarang 345 tinggal di Jatikramat, Jatiasih, Kota Bekasi dan menjadi pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa Arab di Sekolah Tinggi Agama Islam, Nurul Iman, Bogor. Ricko Imano Ganie adalah seorang guru Pendidikan Agama Islam dan studi al-Qur’an di Perguruan Islam Al Izhar Pondok Labu, dan merupakan alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif angkatan pertama. Penulis menyelesaikan S1 di Universitas Al Azhar Kairo pada Fakultas Ushuluddin jurusan tafsir dan ilmu al-Qur’an. Kemudian melanjutkan studi S2 di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, program studi pengkajian Islam dengan konsentrasi tafsir al-Qur’an. Email: ricko. [email protected], [email protected] Robby Kurniawan, berasal dari Batipuh, Tanah Datar, Sumatera Barat. Setelah menyelesaikan pendidikan pesantren selama tujuh tahun di Canduang, Kab. Agam, pada 2010, ia melanjutkan pendidikan Sarjana ke UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Saat ini terdaftar sebagai mahasiswa program pascasarjana Interdiciplinary Islamic Studies di kampus yang sama. Saepullah, Lahir di Bogor 21 Oktober 1972. Kandidat Doktor pada Sekolah Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat ini aktif sebagai Anggota MUI Komisi Pengkajian, Aktif di LD-PBNU pada Divisi Pengkajian dan Pengembangan, dan sebagai Direktr Program Rumah Daulat Bangsa untuk Mantan Napi Teroris. Mengajar di sejumlah tempat ; IIQ Fak. KPI dan Ushuludin ; STAI al-Aulia ; Akademi Kebidanan Pelita Ilmu. Judul buku yang pernah ditulis, “Kohesi Sosial Antaragama; Agama Islam dan Buddha. Sedang melakukan penelitian tentang “Islam dan Budaya Betawi”, dan juga penelitian Uji Tindak ; “Pendidikan Layanan Khusus untuk Anak Nelayan Miskin”, di bawah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia. 346 Taufani, lahir di Ujung Pandang, 17 April 1987. Ia sehari-hari bekerja sebagai Dosen tetap di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado. Selain aktif sebagai dosen, Taufani juga aktif dalam kegiatan lintas iman di Sulawesi Utara bersama Gerakan Cinta Damai Sulawei Utara (GCDS). Tulisan-tulisan lepasnya sering menghiasi media online seperti qureta.com, geotimes.co.id, dll. Taufani bisa dihubungi di email: [email protected] Zulfadli adalah dosen Ilmu Politik di Universitas Andalas Padang, dengan peminatan dalam bidang pemikiran politik Islam. Menyelesaikan strata satu di UIN Sunan Kalijaga dan Strata dua jurusan Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam di UIN Sunan Kalijaga. Beberapa publikasi diantaranya adalah Kontestasi Ormas Islamis di Indonesia, Volume 18 No 1, 2018, (Jurnal Al Tahrir Stain Ponorogo), Radikalisme Islam dan Motiv Terorisme di Indonesia, Volume 22 no 1 tahun 2017, (Jurnal Akademika Pemikiran Islam), Kuasa Ormas di Ranah Minang: Penolakan Ormas Islam terhadap pembangunan Rumah Sakit Siloam di Kota Padang, Vol, 14 No 1 Tahun 2017, (Jurnal Sosial Budaya, Media Komunikasi Sosial dan Budaya), Planning For Participative Development Based On Local Values: Case Study of Kelurahan Lambuang Bukik, Kota Padang, Vol,7, No 1 2018, (Jurnal Ilmu Sosial Mamangan STIKIP Padang). 347