Merawat Indonesia
Refleksi Kritis Isu-isu
Keindonesiaan, Keislaman, dan
Kemanusiaan
Pengantar
Abd. Rohim Ghazali
Penyunting
Moh. Shofan
Merawat Indonesia: Refleksi Kritis Isu-isu Keindonesiaan, Keislaman, dan
Kemanusiaan
Aan Arizandy, Amirullah, Andi Muslimin, Cici Situmorang, Destara Sati,
Irfan L. Sarhindi, Muhammad Alkaf, Ricko Imano Ganie, Robby Kurniawan,
Saepullah, Taufani, Yayum Kumai, Zainal A., Zulfadli
Pengantar : Abd. Rohim Ghazali
Penyunting : Moh. Shofan
Proofreader : M. Supriadi
Layout : Riamawati
Desain Cover : Deni Murdiani
xii , 347 halaman
ukuran 150 x 230 mm
Cetakan I, Desember 2019
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Segala bentuk pengutipan sebagian atau seluruhnya diperbolehkan
dengan tetap menyebutkan sumber tulisan.
Penerbit:
MAARIF Institute for Culture and Humanity
Jl. Tebet Barat Dalam II No.6, Tebet, Jakarta Selatan 12810
Telp. (021) 8379 4554, 8379 4560
Fax.(021) 8379 5758
[email protected]
maarifinstitute.org
ISBN
.
Daftar Isi
Daftar Isi
iii
Kata Pengantar Penyunting
Nafas Keindonesiaan yang Kian Sesak Menguatkan
(Kembali) Komitmen Keindonesiaan yang Mulai Memudar
v
Kata Pengantar Direktur Eksekutif MAARIF Institute
Tantangan Intelektual Ditengah Menguatnya Arus
Radikalisme
x
Konflik, Perdamaian dan Islamisme: Sebuah
Pelacakan Genealogis tentang Konstruksi Politik
Indentatas di Aceh
Muhammad Alkaf
1
Menakar Pancasila Sebagai Civil Religion di Indonesia:
Menyonsong Era Post-Islamisme
Aan Arizandi
31
Menangkal Narasi NKRI Bersyariah Dibalik
Populisme Islam
Amirullah
59
Institusi Keagamaan Sebagai Kohesi Sosial
Saepullah
69
Pancasila dan Kesalehan Sosial: Religiusatas Islam
dalam Sorotan
Irfan L. Sarhindi
103
Resistensi Masyarakat Manado Terhadap Islamisme
Pasca Aksi Bela Islam
Taufani
129
Arus Konservatisme Islam di Sumatera Barat
Zulfadli
161
Pemenuhan Hak Sipil dan Politik bagi Penghayat
Kepercayaan
Destara Sati
189
Kata Pengantar
iii
Potret Buram Wajah Islam di Era Keterbukaan
Andi Muslimin
207
Keagamaan dan Kekuasaan: Citra Islam dalam
Aturan Berbusana Muslim di Kabupaten Agam,
Sumatera Barat
Robby Kurniawan
242
Justifikasi Tafsir Al-Qur’an tentang Pluralisme
Beragama: Sebuah Alternatif Merawat Kebinekaan
Bangsa
Ricko Imano Ganie
267
Pesantren Mahasiswa: Upaya Integrasi Agama dan
Sains di PTU
M. Zainan Ahyar
305
Advokasi Islam Garam vs Kristen Garam di
Komunatas Inspiration House Cirebon
Cici Situmorang
336
Tentang Penulis
343
iv
NAFAS KEINDONESIAAN YANG KIAN SESAK
MENGUATKAN (KEMBALI) KOMITMEN
KEINDONESIAAN YANG MULAI MEMUDAR
Indonesia bagaikan sebuah kapal raksasa dengan penumpangnya
yang sangat beragam. Keberagaman ini ditandai bukan hanya sebatas
letak geografis,—yang terdiri atas berbagai pulau dari Sabang sampai
Merauke—namun keberagaman ditunjukkan dengan beraneka suku, adat,
tradisi, bahasa etnis maupun agama, termasuk di dalamnya para penganut
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tersebar di sudut-sudut
halaman nusantara. Ini tentu, sebuah anugerah terbesar yang jarang ditemui
di dunia.
Namun, hari ini, kita merasakan nafas ruang publik kita semakin
sesak oleh kegaduhan politik. Politik identitas dan populisme agama
dengan lenggang menari untuk tujuan-tujuan politis. Pilkada Jakarta 2017
dan Pilpres 2019, telah memberikan potret bagaimana tafsir agama bisa
dijadikan alat memukul pihak sebelah. Politisasi agama, ujaran kebencian,
dan paham radikal menjadi virus yang sedemikian cepat menyebar di
tengah Islam yang sedang bergelora. Keberislaman yang mestinya menjadi
sumber rahmat dan kebahagiaan bagi semua makhluk justru dicemari
dengan caci maki dan kebencian. Ditambah lagi dengan semakin luasnya
jangkauan akses internet di negeri ini, perang opini melalui udara untuk
saling menjatuhkan dan memengaruhi semakin berserakan. Bisa dilihat
bagaimana retorika Pancasila versus Khilafah, kriminalisasi ulama, antiIslam, dan anti-NKRI sangat mendominasi percakapan di ruang publik
demokrasi Indonesia.
Kegaduhan ini bisa menjadi salah satu faktor penghambat laju
kebinekaan maupun toleransi dalam kehidupan berbangsa. Di sisi lain,
derasnya arus radikalisme transnasional berhaluan radikal juga merembes
ke altar bumi Indonesia. Bahkan aksi-aksi teror pasca-Reformasi justru
makin menggila dengan merebaknya serangkaian aksi-aksi teror. Ini
semua mencerminkan bahwa nilai-nilai keindonesiaan tengah menghadapi
tantangan yang amat sangat serius. Yang disebut terakhir, di atas, cukup
mengkhawatirkan, yakni maraknya fenomena radikalisme. Hanya sebagian
Kata Pengantar
v
kecil yang menganggap situasi keagamaan kondusif, aman dan harmonis.
Wajah keagamaan (keislaman) di Indonesia pasca-Reformasi menunjukkan
realitas yang sedikit paradoks. Hal ini terkait dengan tingginya angka
intoleransi dan kekerasan berbasis agama. Dianggap paradoks karena
sebagian besar kasus-kasus ini melibatkan umat Islam di dalamnya. Korban
intoleransi ini terutama adalah kelompok-kelompok minoritas seperti
Ahmadiyah, Syiah, Kristen dan para penganut agama atau kepercayaan
lokal.
Di tahun 2011, misalnya, jumlah kasus yang ada meningkat dua kali
lipat, yakni 185 kasus terjadi.1 Pada 2012, kasus yang ada menurun menjadi
110,2 tapi meningkat menjadi dua kali lipat, yakni 245, pada 2013.3 Jumlah
kasus yang ada meningkat secara berangsur-angsur yakni dari 158, 190, 204
hingga 213, berturut-turut di sepanjang tahun 2014, 2015, 2016 dan 2017.4
Sementara itu, kasus-kasus terorisme terus bermunculan baik dalam skala
kecil maupun besar. Fakta terakhir yang mengejutkan semua pihak adalah
pengeboman di Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, Gereja
Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Sawahan, Rusunawa Wonocolo
Sidoarjo, dan Markas Polrestabes Surabaya pada tahun 2018. Apalagi
dalam salah satu peristiwa tersebut melibatkan anak dalam aksinya. Dan,
belakangan bom bunuh diri juga menyasar Polrestabes Medan, Sumatera
Utara. Bom bunuh diri ini dilakukan oleh seorang remaja.
Di sisi lain, pendidikan agama yang seharusnya diarahkan menjadi
media penyadaran umat, pada kenyataannya masih memelihara kesan
eksklusifitas. Sehingga, hilangnya kesadaran inklusif di tengah masyarakat
dapat merusak sekaligus menghambat harmonisasi agama-agama serta
menghasilkan corak paradigma beragama yang rigid dan tidak toleran.
Padahal, guru-guru seharusnya mampu menjadi mediator pertama untuk
menterjemahkan nilai-nilai toleransi dan pluralisme kepada siswa, yang
1 The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011 (Jakarta: The
Wahid Institute, 2011).
2 The Wahid Institute, Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012 (Jakarta:
The Wahid Institute, 2012).
3 The Wahid Institute, Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi 2013
(Jakarta: The Wahid Institute, 2013).
4 The Wahid Institute, Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi 2014
(Jakarta: The Wahid Institute, 2014); The Wahid Institute, Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama/Berkeyakinan (KBB) di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2015); The Wahid Foundation,
Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama/Berkeyakinan (KBB) di Indonesia (Jakarta: The Wahid
Institute, 2016); The Wahid Foundation, A Measure of the Extent of Socio-Religious Intolerance
and Radicalism within Muslim Society in Indonesia (Jakarta: Wahid Foundation and Lembaga Survei Indonesia, 2017).
vi
pada tahap selanjutnya juga ikut berperan aktif dalam mentransformasikan
kesadaran toleransi secara lebih intensif dan massif. Tidak terlalu
mengherankan jika berkecambahnya bentuk-bentuk radikalisme agama
yang belakangan semakin membuncah menjadi ancaman yang sangat
serius bagi berlangsungnya pendidikan agama yang menekankan pada
adanya saling keterbukaaan dan dialog.
Ajaran Islam, misalnya, mengedepankan sikap keterbukaan
(inklusif) dari pada kebencian dan permusuhan. Islam secara jelas
melarang sikap menghujat atau mendiskreditkan agama atau kelompok
lain, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat: 11. Sikap kaum
Muslim kepada penganut agama lain jelas ditegaskan dalam al-Qur’an,
yaitu berbuat baik kepada mereka dan tidak menjadikan perbedaan agama
sebagai alasan untuk tidak menjalani hubungan kerjasama dengan mereka,
lebih-lebih mengambil sikap tidak toleran dengan mereka.
Dalam kerangka seperti ini, mestinya semua agama memiliki
kedudukan yang sama untuk ikut menyumbangkan nilai-nilai yang harus
dibangun untuk mewujudkan masyarakat yang toleran, menegakkan
keadilan, menjunjung tinggi keseteraan dan persamaan hak yang merupakan
ajaran semua agama. Dan, sebagai penerus cita-cita bangsa, tentunya kita
wajib merawat serta menjaganya serta meneguhkan komitmen untuk
mendalami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila
sebagai pijakan untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tentang Buku Ini
Buku yang kini ada di hadapan para pembaca ini merupakan kumpulan
tulisan anak-anak muda yang tersebar dari berbagai sudut halaman bumi
nusantara. Mereka adalah para peserta kegiatan Sekolah Kebudayaan dan
Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif (SKK-ASM) periode pertama, yang
diselenggarakan oleh MAARIF Institute, di penghujung bulan Nopember
2018 lalu. Mereka adalah ; Mereka adalah ; Anis Kurniawan, Dwi Wahyuni,
Ozi Setiadi, Hamka Husein Hasibuan, Indah Fajar Rosalina, Jalaluddin
B., Aminah, Maghfirah, Mulyadi, Noor Hasanah, Pangky Febriantanto,
Putri Wulansari, Nuraini, Suryani Musi, Eko Nur Wibowo, Didi Rahmadi,
Masthuriyah Sa’dan, Iqbal Suliansyah, Vidiel Tania Pratama dan Mirza
Ardi.
Buku ini adalah bagian dari komitmen mereka untuk mengusung
nilai-nilai keterbukaan, kesetaraan dan kebhinnekaan serta menempatkan
Kata Pengantar
vii
dan mendialogkan berbagai perbedaan terutama di antara berbagai identitas
bangsa Indonesia dalam posisi yang setara, demi terpeliharanya keutuhan
dan persatuan bangsa. Sosok Buya Syafii Maarif digunakan sebagai
inspirasi nyata atas kiprah dan gagasannya dalam wacana akademik
tentang Keislaman, Keindonesiaan dan Kemanusiaan.
Kegiatan SKK-ASM—yang kini sudah memasuki periode ketiga—
merupakan gerbang pengembangan dan penguatan untuk menyebarkan
pemikiran Islam yang inklusif, toleran, moderat serta berpihak pada
kemanusiaan, kenegaraan serta keindonesiaan. Kegiatan ini menjadi
energi baru dalam upaya melembagakan gagasan dan cita-cita sosial Buya
Syafii, baik di ranah keislaman, kenegaraan, yang mengusung nilai-nilai
keterbukaan, kesetaraan dan kebhinnekaan yang dapat diwariskan kepada
anak-anak bangsa. Juga sebuah ruang sekaligus arena yang memungkinkan
generasi muda dapat berjumpa, berbagi pengetahuan dan pengalaman
antarsesama yang berasal dari daerah berbeda di seluruh Indonesia yang
memiliki latar belakang identitas beragam, baik agama, etnis, suku, bahasa
maupun budaya. Melalui program ini pula generasi muda Indonesia
memiliki perspektif, sikap dan pendirian yang relatif sama dalam memotret
dinamika, perubahan dan perkembangan kehidupan keberagaman di
Indonesia.
Kegiatan ini memungkinkan para generasi muda Indonesia untuk
menjelaskan dan menegaskan komitmen dan konsistensi mereka untuk
menjadi bagian dari pemecah masalah (problem solver) berbangsa dan
bernegara. Dengan komitmen ini generasi muda Indonesia akan mampu
memainkan peran strategis serta mengambil tanggung jawab secara
proporsional dalam mendorong dan mengakselerasi proses pembangunan
bangsa. Dan buku yang ada di hadapan para pembaca ini, adalah bagian
kecil dari komitmen mereka itu.
Ada banyak sekali pihak yang terlibat dalam proses penerbitan buku
ini. Sayangnya kami tak bisa menyebut semuanya. Dalam kesempatan ini
kami perlu mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Buya Ahmad
Syafii Maarif, yang dalam berbagai kesempatan bertemu telah memberikan
masukan, saran, maupun dukungan terhadap terselenggaranya kegiatan
SKK-ASM, sehingga lahirlah karya sederhana ini. Kepada Direktur
Eksekutif MAARIF Institute, Kang Abd. Rohim Ghazali, terima kasih
atas support dan arahannya, serta atas waktunya memberikan pengantar
buku ini. Prof. Dr. Amin Abdullah, Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, Mas
Luthfi Assyaukanie, Romo Zuly Qodir, yang tak pernah lelah memberikan
viii
masukan, membimbing dan juga meluangkan waktu untuk menjadi
Tim Juri kegiatan SKK-ASM. Juga rekan-rekan MAARIF Institute; M.
Supriadi, Khelmy Pribadi, Pipit Aidul Fitriyana, Mbak Henny Ridhowati,
Fithri Dzakiyya H., Titi Lestari, Pripih Utomo, Riamawati, dan Deni,
kepada mereka semuanya, kami ucapkan terimakasih atas dukungan dan
apresiasinya.
Akhirnya kepada para pembaca, kami berharap artikel-artikel
yang terhimpun pada edisi jurnal kali ini dapat memberikan informasi,
pencerahan dan pemahaman secara komprehensif guna mencari dan
menemukan formasi yang tepat dalam menempatkan dan mendialogkan
berbagai perbedaan terutama di antara berbagai identitas bangsa Indonesia
dalam posisi yang setara, demi terpeliharanya keutuhan dan persatuan
bangsa.
Penyunting
Moh. Shofan
Kordinator Program SKK-ASM, dan
Direktur Riset MAARIF Institute
Kata Pengantar
ix
TANTANGAN INTELEKTUAL DI TENGAH
MENGUATNYA ARUS RADIKALISME
Buku yang berada di hadapan pembaca ini, merupakan kumpulan
esai yang ditulis oleh anak-anak muda millenial, alumni SKK-ASM
periode pertama dan kedua. Kumpulan esai dalam buku ini merupakan
ikhtiar mendialogkan ajaran agama dengan ragam kompleksitas kehidupan
masyarakat. Narasi yang dibangun dalam buku ini adalah bagaimana
memaknai agama sebagai ajaran sakral mampu secara kontekstual
menjadi petunjuk dan memberikan solusi terhadap pelbagai problem
kemasyarakatan dan kebangsaan.
Buku ini setidaknya menguatkan peran agama dalam tiga spektrum
sekaligus, yakni keislaman, kemanusiaan, dan kebangsaan. Buku ini
menambah kekayaan khazanah intelektual dalam memotret dinamika
sosial, serta menggali lebih dalam makna agama dengan segala dimensinya
secara kontekstual. Nilai-nilai agama idealnya tidak hanya mengendap
dalam teks keagamaan akan tetapi harus didialogkan secara terus menerus
dengan realitas. Dengan cara itulah, agama menempati fungsinya sebagai
kompas menuju kemaslahatan manusia. Sehingga ajaran agama tidak
terbatasi menjadi sesuatu yang melangit akan tetapi hadir sebagai panduan
umat manusia.
Apa yang telah dilakukan anak-anak muda tentang pemikiran Islam,
semuanya ditegakkan di atas landasan akademik yang berkualitas. Anakanak muda ini telah melakukan jihad intelektual dan mencari bentuknya
dengan menggunakan paradigma baru yang lebih baik dan dapat
memberikan jawaban solutif terhadap berbagai persoalan yang menuntut
tanggung jawab intelektual untuk merumuskan dan menemukan kembali
secara tepat dalam keseluruhan maknanya.
Membaca gairah pemikiran anak-anak muda progresif dalam
menawarkan pendekatan dari berbagai disiplin ilmu untuk menemukan
makna baru Islam yang sudah lama terkungkung dalam alien space
tradisi yang mengkristal dan menggali makna baru sesuai dengan
kebutuhan zaman, tentu saja merupakan suatu hal yang tidak mudah dan
membutuhkan kesungguhan dalam pengkajiannya. Fenomena tampilnya
anak-anak muda dalam pentas wacana pemikiran Islam di satu sisi sangat
x
menggembirakan, namun di sisi lain kiranya agak mengkhawatirkan kalau
tidak ada kesadaran yang mendalam terhadap realitas yang melatarinya.
Dikatakan menggembirakan karena anak-anak muda progresif ini
bisa menjadi benteng menguatnya arus fundamentalisme-konservatisme
Islam yang akhir-akhir ini menunjukkan gejala irrasional dengan
melakukan serangkaian tindakan kekerasan berdalih amar makruf nahi
munkar dan tidak jarang pula mereka mencari pembenaran atas nama
agama maupun Tuhan. Kaum konservatif-fundamentalis tersebut dalam
melakukan strategi dakwahnya sering kali membajak nama Tuhan. Dan
yang paling berbahaya mereka menganggap kelompok di luar dirinya (the
other) sebagai kafir atau murtad. Munculnya truth claim dan salvation
claim yang mengatasnamakan iman (baca: agama) merupakan fenomena
yang paling banyak dijumpai di masyarakat kita hari ini.
Gerakan-gerakan kelompok radikal di tanah air belum menunjukkan
tanda-tanda akan mereda. Kendati pemerintah dengan segenap upaya
menggulirkan kebijakan-kebijakan sebagai usaha menangkal laju gerak
kaum radikal, faktanya kelompok radikal yang mengusung misi negara
Islam itu terus menerus bersalin-rupa dengan pola gerakan yang berbedabeda. Kondisi inilah yang menjadi ancaman serius bagi bangsa ini yang tak
boleh disepelekan.
Kegagalan mengantisipasi gerakan radikal itu jelas berakibat fatal
karena dapat menimbulkan pertumpahan darah sesama anak bangsa. Hal
inilah yang menjadi titik kekhawatiran. Yang dibutuhkan saat ini adalah
kerjasama semua pihak—termasuk peran anak-anak muda. Hal utama yang
perlu ditekankan adalah peran civil society di Indonesia untuk menangkal
pertumbuhan kaum radikal yang kian mencemaskan. Civil society yang
termanifestasi lewat ormas-ormas berhaluan moderat tentu amat diharapkan
peranannya. Ormas-ormas sosial keagamaan berhaluan moderatlah yang
mampu menjadi tameng untuk menghalau gerakan-gerakan radikal dengan
cara mengedukasi umat lewat pemahaman-pemahaman moderat. Sebab
dengan absennya ormas-ormas sosial keagamaan berhaluan moderat
itu sama artinya dengan melempangkan jalan bagi kaum radikal untuk
menjalankan misi utopisnya.
Dalam konteks Indonesia yang multikultural ini, sungguh tidak
mudah menemukan keislaman dan ke-Indonesiaan. Apa yang pernah
digagas oleh Cak Nur, Gus Dur, dan tentu saja Buya Syafii, tentang
keislaman, kemodernan, ke-Indonesiaan, dan kemanusiaan, masih perlu
dicari secara terus menerus sampai menemukan bentuknya yang konkret
Kata Pengantar
xi
sebagaimana yang dicita-citakan Buya Syafii—dan pada hakikatnya juga
dicita-citakan oleh Cak Nur dan Gus Dur. Dan sekali lagi, tugas ini ada di
pundak anak-anak muda progresif.
Tugas dan tanggung jawab anak-anak muda progresif ini tidak
hanya berhenti pada discourse tetapi bagaimana mulai merambah pada
upaya-upaya nyata yang konstruktif untuk membangun keberagamaan
yang inklusif, misalnya, mengadakan pelatihan-pelatihan yang bisa
merangsang tumbuhnya kesadaran dalam beragama dan cara bersosial
dengan masyarakat yang beragam latar belakang budaya, etnis, suku dan
agama.
Semoga gairah intelektual anak-anak muda, sebagaimana tertuang
dalam buku ini, diharapkan dapat menumbuhkan harapan berkembangnya
kembali tradisi pemikiran umat Islam yang dibutuhkan untuk menghadapi
tantangan zaman. Keberadaan mereka juga dapat diharapkan akan
membantu mempercepat perubahan cara berpikir umat Islam yang selama
ini berjalan sangat lamban. Selama ini umat Islam terlihat mengalami
kemandegan sebab telah memudarnya rasionalisme dalam pemikiran
Islam.
Buku yang berada di hadapan pembaca ini, merupakan kumpulan
esai yang ditulis oleh para alumni SKK-ASM periode kedua. Mereka
adalah kader-kader intelektual muda yang sudah terbiasa dengan latihan
intelektual (intellectual exercise) di lingkungannya masing-masing,
karena pada dasarnya sebagian di antara mereka sedang dalam proses
menyelesaikan kuliah atau sudah menjadi dosen di sejumlah Perguruan
Tinggi di Indonesia. Kegiatan sekolah ini lebih pada mematangkan
diskursus intelektual yang selama ini telah mereka geluti.
Selamat membaca !
Tebet, 19 November 2019
Abd Rohim Ghazali
Direktur Eksekutif MAARIF Institute
xii
KONFLIK, PERDAMAIAN DAN ISLAMISME:
SEBUAH PELACAKAN GENEALOGIS TENTANG
KONSTRUKSI POLITIK INDENTATAS DI ACEH
Muhammad Alkaf
Pendahuluan
Tulisan ini hendak melihat bagaimana perdamaian MoU
Helsinki ikut menyediakan ruang bagi kontestasi politik Identitas
Aceh, terutama mengenai ide Islamisme, dan bagaimana gagasan
ini mampu menyingkirkan ideologi nasionalisme keacehan. Lalu,
juga hendak menjawab pertanyaan, mengapa pula perdamaian
politik yang dihasilkan atas desakan dari Gerakan Aceh Merdeka –
sebuah gerakan yang sedari awal tidak mengusung ide Islamisme –
malah memberi ruang yang lebih besar untuk terbentuknya gagasan
tersebut. Studi ini dilakukan untuk melihat pergerakan Aceh, setelah
perang yang berlangsung lebih dari tiga decade, untuk melihat apa
yang sedang berubah di Aceh. Sebab wilayah yang paling bergejolak
selama menjadi bagian Republik Indonesia ini, selalu menjelaskan
dirinya berulang-ulang. Bahkan pernah terlebih dahulu memunculkan
kebingungan controller Belanda, ketika mendapati keengganan
orang Aceh menggunakan bahasa Aceh dalam pembelajaran di
sekolah – dan lebih memilih bahasa Indonesia (Melayu).
Aceh yang sedang mencari penjelasan tentang siapa dirinya,
setelah mengalami kekalahan dan perasaan tersungkur di hadapan
Kerajaan Belanda, mulai memasuki fase sebagai bahagian dari
struktur administrasi pemerintahan Hindia Belanda. Adapun satu-
1
dua serangan terhadap tentara Belanda, baik di tangsi militer maupun
di pasar, sifatnya sporadis. Tidak meenggoyahkan posisi pemerintah
kolonial yang mulai mapan.
Kemapanan ini, misalnya, ditunjukkan dengan berhasil
ditundukkannya para Uleebalang (kaum bangsawan) di dalam
struktur pemerintahan Belanda. Secara administrasi, Uleebalang
diberikan kewenangan untuk mengelola wilayah. Tapi harus tunduk
kepada Belanda. Wilayah yang dikelolanya itu memberikan manfaat
yang luar biasa, secara politik dan ekonomi. Seorang Uleebalang di
satu mukim (yang meliputi beberapa kecamatan) dapat menguasai
jalur perdagangan. Selain itu penguasaan atas wilayah itu, ikut pula
memberinya wewenang mengatur masyarakat dengan sistem sosial
yang dibangunnya. Termasuk dalam urusan perkawinan dan waris.
Namun apa yang dilakukan Belanda, dengan mempertahankan
struktur kekuasaan lama itu, membuat segregasi dalam masyarakat
Aceh. Uleebalang dianggap sebagai perpanjangan tangan pemerintah
kolonial. Rakyat yang meradang itu, lalu, memalingkan wajahnya
ke ulama.
Ulama kemudiann mendapatkan posisi barunya, melebihi apa
yang dimilikinya sejak jaman kerajaan Aceh. Dimana kala itu, ulama
hanya menjadi pedamping Sultan. Gelar yang dimiliki biasanya yang
paling tinggi adalah Mufti. Peran ulama sebagai pemberi pandangan
baik dalam soal keagamaan maupun dalam bidang sosial politik.
Sedangkan keputusan politik selalu berada di tangan Sultan. Hal
tersebut berlangsung sampai dengan perang kolonial berlangsung.
Lalu, ketika posisi Sultan melemah dan harus menyingkir dari istana,
maka ulama mengambil peran yang lebih penting lagi, di banding
hanya pemberi pandangan agama dan social-politik. Ulama hadir dan
menggantikan peran Sultan di dalam kancah peperangan dan politik.
Hal itu terjadi di akhir abad ke-19. Situasi inilah yang kemudiann
ikut menggeser orientasi sosial masyarakat Aceh setelah perang
kolonial, yaitu ulama dianggap sebagai wakil dari masyarakat Aceh,
tidak lagi dalam pengertian sebagai pemberi legimatasi persoalan
keagamaan belaka, namun juga pada persoalan politik kenegaraan.
2
Hal ini berlangsung semakin kuat, ketika gelombang
pembaruan Islam mulai menyapu dunia melayu Islam, tak terkecuali
Aceh. Melalui orientasi keagamaan modern itu, Aceh semakin
mendapatkan energi untuk menyusun ulang idenitatasnya yang
porak-poranda akibat perang kolonial. Pembaruan Islam berperan
penting dalam melakukan modernisasi pemikiran praktik hidup, dan
hal yang paling baik tentu pada corak pendidikan agama.
Ketika pendidikan agama orang Aceh luluh-lantak karena
perang, lalu dayah (pesantren) dianggap tidak mampu membaca
jaman, karena pembelajarannya yang hanya pada seputaran ilmuilmu agama sempit belaka –tanpa mau melihat perkembangan dunia
modern, hal inilah yang menyebabkan rakyat Aceh kebanyakan
tertinggal dari orang-orang Belanda. Bahkan dari Uleebalang yang
pro pada kekuatan kolonial. Maka dengan adanya pembaruan
pendidikan Islam itu, jiwa orang Aceh kembali dibangkitkan dengan
pandangan optimis. Sehingga, di awal-awal tahun 1930-an banyak
bermunculan madrasah-madrasah di Aceh, yang memiliki orientasi
pada gerakan modernisme. Bak bunga tumbuh di musim hujan itu,
angkatan muslim modernis ini mendominasi wacana keagamaan,
dan juga kemudiann politik. Aktivis modernisme Islam Aceh ini
mewarnai setiap narasi sosial di Aceh, terutama melalui sebuah
organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Organisasi ini
didirikan sebagai respon atas semakin menjamurnya sarjana muslim
Aceh yang berfikiran modern, tetapi tidak pernah meninggalkan
Identitasnya sebagai orang Aceh.
PUSA menjadi unsur penting di Aceh sejak abad ke-20, sebab
dari organisasi itu pulalah narasi Aceh, pasca perang colonial, disusun
ulang. Hal yang dilakukan pertama kali adalah menghidupkan
kembali agama orang Aceh yang padam. Kedua, mencari padanan
Identitas baru setelah kenyataan politik menunjukkan, bahwa kaum
kaphe (kafir Belanda) itu menduduki tanah Aceh, maka terhubunglah
Aceh dengan wilayah lain apa yang disebut sebagai Hindia Belanda.
Melalui struktur administrasi Hindia Belanda itu pulalah, Aceh
yang sebelumnya, selalu memalingkan wajahnya dari Selat Melaka,
setelah pendudukan, mereka dipaksa menghadap ke Selat Sunda.
3
Jadi Aceh kemudiann melakukan pembacaan atas dirinya secara baru
di awal abad ke-20. Namun ini sebagai catatan penting ingatan sosial
Aceh tentang masa lalu sebelum abad ke-20 ikut pula dibawa serta.
Apa yang menjadi ingatan itu adalah Islam dan kejayaan imperium,
dua hal yang menggumpal menjadi basis Identitas. Jadi, ketika
Aceh melakukan pembicaraan tentang Identitas baru yang bernama
Indonesia, maka kedua hal ini diikutkan dan menjadi percakapan
politik sepanjang jaman.
Hal pertama tentu saja dari dialog yang sangat terkenal di Aceh,
antar Daud Beureuh dan Sukarno. Dialog yang dijadikan sebagai
amunisi untuk melakukan perdebatan, bahkan sampai perlawanan
dengan Jakarta. Dialog itu juga pernyataan tentang komitmen Aceh
membantu Indonesia guna mempertahankan dirinya, sekaligus –
disini ingatan sosial yang menjadi Identitas, itu dibawa untuk pertama
kali– perminta Aceh untuk diberikan kewenangan melaksanakan
Syariat Islam.
Keinginan tersebut disetujaui oleh Sukarno, tapi tidak
oleh Jakarta. Aceh-pun membara. Pemberontakan politik terjadi.
Nazaruddin SJamsuddin menyebutnya sebagai “Pemberontakan
Kaum Republik”. Yaitu mereka yang sebelumnya berperang demi
Indonesia, namun kemudiann ikut mengangkat senjata, melawan
negara yang pernah dibelanya itu. Hal itu terjadi dikarenakan tidak
bertemunya dua Identitas yang sudah dirumuskan sebelumnya;
Aceh dan Indonesia. Kontestasi dua Identitas ini berlanjut dengan
peperangan. Mulai dari Darul Islam, sampai Gerakan Aceh Merdeka.
Kedua pemberontakan ini diselesaikan dengan diadakannya dialog
di meja perundingan. Melalui dialog ini pulalah, cerita tentang
konstruksi politik Identitas mendapat panggungnya.
Ketika Darul Islam, yang dipimpin oleh Daud Beureuh,
bergerak. Tuntutannya adalah otonomi daerah dalam menjalankan
pemerintahannya, termasuk tuntutan utamanya, yakni pelaksanaan
hukum syariah. Sehingga dalam konteks penyelesaian konflik itu,
ide syariah mendapatkan tempat utama. Salah satunya dengan
lahirnya sebuah nama untuk Aceh, dengan apa yang disebut dengan
Daerah Istimewa. Yaitu, istimewa dalam menjalankan hukum
4
Islam, adat-budaya, dan pendidikan. Ketiga keistimewaan itu hadir
bukan semata-mata dari pembicaraan guna menyelesaikan konflik
bersenjata, namun hal itu merupakan kesadaram terdalam dari
orang Aceh yang dibentuk oleh sejarahnya yang panjang. Bahkan
perjumpaan dengan Identitas Indonesia, juga tetap menghadirkan
kesadaran itu.
Hal yang juga mendasari, ketika Hasan Tiro melakukan
pemberontakan politiknya, yaitu dengan membawa ulang kembali
kesadaran atas ingatan masa lalu Aceh. Namun perbedaanya adalah,
jika Darul Islam menarik dengan lurus ingatan Aceh –yang Islam
– dalam sebuah perjumpaan dengan Indonesia, sedangkan Gerakan
Aceh Merdeka melompat jauh ke belakang. Di tangan Hasan Tiro,
Aceh mesti dilihat sebagai Identitas yang murni. Artinya, Aceh harus
dibaca dari dirinya yang asal, tanpa perlu mempertemukan dengan
Identitas yang lain –yang bernama Indonesia itu.
Lalu, sebagaimana Darul Islam, gerakan Hasan Tiro ini
akhrinya berhenti di meja perundingan. Yang dirundingkan
adalah apa yang menjadi keinginan lama orang Aceh; tumbuh dan
mengelola sendiri wilayahnya. Untuk itu, perundingan politik yang
dikenal dengan nama MoU Helsinki, selain membicarakan tentang
kompensasi politik dan ekonomi, juga memuat hal-hal tentang
Identitas. Terutama pandangan soal kebudayaan Aceh, seperti; Wali
Nanggroe, hymne Aceh, dan bendera Aceh. Namun, ide syariah
juga masih mengambil peran besar dalam perbincangan politik itu.
Padahal, dalam Gerakan Aceh Merdeka, gagasan formalisasi Islam,
bukanlah agenda utama yang dituntut oleh organisasi itu. Hadirnya
ide syariah, atau bahkan lebih tepatnya penguatan yang dimiliki oleh
gagasan itu, menemukan momentumya setelah lahirnya UU No.11
Tahun 2006, yang semakin memperkuat penerapan syariah Islam.
Bahkan ada ruang politik yang lebih besar untuk membicarakan
ide-ide syariah, yang didorong oleh Darul Islam Aceh, berbanding
dengan gagasan nasionalisme yang disodorkan Gerakan Aceh
Merdeka.
Beberapa studi terakhir ikut mendiskusikan topik Islamisme
5
dan nasionalisme ini. Otto Syamsuddin Ishaq1 memberikan
ulasan mengenai pertarungan tiga varian nasionalisme, yakni;
nasionalisme keindonesiaan, Islamisme, dan nasionalisme keacehan
(etnonasionalisme). Oleh Otto, ketiga varian itu diletakkan
dalam perdebatan demi perdebatan di legslatif, mengenai varian
nasionalisme mana yang memberikan dukungan untuk melahirkan
Peraturan Daerah (Qanun) di provinsi. Studi ini dari awal
menyinggung tentang gerak ide varian nasionalis di Aceh sejak
masa awal, namun sebagian besar studi ini memang menitikberatkan pada dinamika politik pasca MoU Helsinki. Di mana ketiga
varian tersebut berada dalam satu arena, yaitu politik lokal. Namun
demikian, studi ini meninggalkan ruang terhadap pertanyaan,
“mengapa ide nasionalisme keacehan itu tidak mendapatkan ruang
politik?,” berbanding dengan gagasan Islamisme. Atau, “mengapa
gagasan Islamisme semakin memperkuat posisinya di Aceh?.”
Perdebatan gagasan Islamisme dan nasionalisme ini diletakkan
dalam dua pemberontakan, Darul Islam dan Gerakan Aceh Merdeka.
Edward Aspinall2 memberi penjelasan, bahwa dua pemberontakan
tersebut memiliki dua konsep idelogi yang berbeda. Darul Islam
dengan cita-citanya menegakkan hukum Islam dalam wilayah Negara
Islam Indonesia, sedangkan GAM membangun ideologinya dari
sejarah dan klaim, bahwa Aceh memiliki Identitas berbeda dengan
Indonesia. Namun kajian ini lebih menitik beratkan pada munculnya
gagasan Islamisme dan nasionalisme dalam tubuh dua organisasi
perlawanan dalam sejarah konflik Aceh. Kajian yang menyentuh
tentang arena perdebatan gagasan Islamisme dan nasionalisme di
Aceh, dilakukan oleh Ali Muhannif,3 yang melihat bahwa hubungan
lembaga yang mewakili negara ikut mewarnai hubungan Aceh-
1
2
3
6
Otto Syamsuddin Ishaq, Aceh Pasca Konflik: Kontestasi 3 Varian
Nasionalisme, (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2013).
Edward Aspinall, Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh,
Indonesia, (Singapore: NUS Press, 2009).
Ali Muhannif, Islam, Etnicity and Secession: Forms of Cultural
Mobilization in Aceh Rebellions, Jurnal Islamika, Volume 23, Number 1,
2016.
Jakarta, termasuk untuk menjawab pertanyaan mengapa Islam
memasuki arena politik. Walau kajian ini menggunakan pendekatan
sejarah dalam melihat dua pemberontakan politik di Aceh, namun
perhatiannya untuk melihat aspek kultural, memberikan sumbangan
analisis untuk melihat sejauh mana Islamisme dan nasionalisme itu
menjadi perbincangan dalam konteks budaya politik di Aceh, pasca
MoU Helsinki.
Mengenai pemberontakan GAM, sebagai basis analisis untuk
melihat bagaimana tahapan ide nasionalisme itu dibangun, Fachry
Ali, dkk.4 membaginya dalam tiga fase, diantaranya: pertama,
pembentukan kesadaran; kedua, dimulainya perjuangan atas ide
yang dibentuk, yang kemudiann berhadapan dengan kekerasan dari
Negara; ketiga, ide yang disusun telah sampai pada tahap pematangan,
dan diterjemahkan dalam struktur organisasi perlawanan. Namun
kajian ini hanya membatasi dinamika perundingan politik antara
pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka saja.
Sedangkan pelacakan ide Islamisme dapat dilihat dari awal
mula konstruksi gerakan modernisme Islam di Aceh pada awal abad
ke-20, yang dirumuskan oleh organisasi Persatuan Ulama Seluruh
Aceh. Lalu ditarik sampai gerakan itu menjadi sebuah entatas
politik di Indonesia, terutama di awal proklamasi kemerdekaan,
sampai terjadinya pemberontakan Darul Islam. Namun studi yang
dilakukan oleh Anhtony Reid, 5 Nazaruddin SJamsuddin,6 Van Djik,7
dan Isa Sulaiman,8 lebih banyak menitik beratkan pada konflik
politik yang terjadi, dengan pelibatan aktor-aktor besar di dalamnya,
dibanding berupaya mencari pergolakan ide Islamisme. Ide itu hanya
4
5
6
7
8
Fachry Ali, dkk., Kalla & Perdamaian Aceh, (Jakarta: LSPEU, 2008).
Anthony Reid, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, (Depok:
Komunitas Bambu, 2011).
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, (Jakarta: Grafiti,
1990).
Cornelis van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, (Jakarta: Grafiti,
1983)
Isa Sulaiman, Sejarah Aceh: Sebuah Gugatan terhadap Tradisi, (Jakarta:
Sinar Harapan: 1997)
7
disinggung, tapi lebih sebagai sub pembahasan atau latar sosial
terjadinya pergolakan politik.
Maka tulisan ini hendak menjawab tentang bagaimana ide
Islamisme dibicarakan, dan dikonstruksi menjadi Identitas politik
di Aceh, satu hal yang luput dari kajian-kajian konflik dan sejarah
politik yang serupa. Untuk menjadikan tulisan ini lebih fokus, maka
dinamikannya dibatasi sejak lahirnya MoU Helsinki, tahun 2005.
Namun, sebagai kajian yang memberi penekanan kontestasi ide
dalam arena politik, maka aspek historis, seperti konflik politik yang
pernah terjadi di Aceh, tidak dapat ditinggalkan. Mulai dari Revolusi
Sosial 1945-1946, yang merupakan peristiwa penting di Aceh
untuk menegaskan hilangnya peranan kaum feodal dan digantikan
oleh kaum ulama. Lalu, Peristiwa Darul Islam 1953-1962, tentang
lunturnya kepercayaan daerah kepada pemerintah pusat, sehingga
melahirkan perlawanan yang didasari oleh ide Islamisme yang
kuat. Terakhir, lahirnya Gerakan Aceh Merdeka 1976-2005, yang
mengusung gagasan nasionalisme keacehan, dengan landasan
sejarah dan teori hukum internasional. Ketiga peristiwa politik itu
dijadikan sebagai argumen historis, tentang mengapa ide Islamisme
semakin mendapatkan tempat dan dikonstruksi menjadi politik
Identitas pasca MoU Helsinki.
Sebagai sebuah studi yang hendak menangkap perubahan
sosial, tulisan ini akan dikerjakan dengan menggunakan perspektif
gerakan sosial. Dengan menggunakan tiga variabel dalam perspektif
itu; terbukanya peluang politik (political opportunity), framing
(pembingkaian ide), dan resource mobilization (kemampuan
sumber daya pergerakan). Ketiga variabel ini akan digunakan untuk
menangkap dengan detail bagaimana ide tentang Islamisme ini
tumbuh, dibicarakan, diperjuangkan dan diperdebatkan. Melalui
variabel peluang politik, nanti akan dilihat bagaimana setiap
waktu, masing-masing ide tersebut mendapatkan peluangnya, atau
kehilangan momentum. Sedangkan dari pembingkaian ide, akan
dibaca pula sejauh mana Islamisme itu disusun dan dirumuskan.
Terakhir, tulisan ini akan melihat kemampuan sumber daya untuk
mengapungkan ide yang dimiliki, dalam konstruksi yang terjadi.
8
Konflik-konflik di Aceh: Sebuah Fragmen Politik
Hampir-hampir orang Aceh tidak dapat menarik nafas panjang,
karena sepanjang hayatnya terus saja berada dalam konflik. Dimulai
setelah invasi Kerajaan Belanda tempo dulu terhadap KeSultanan
Aceh, wilayah ini terus membara. Walau perang Aceh yang hebat itu
diklaim selesai di tahun 1903, namun tidak serta merta wilayah ini
damai dan tenteram. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perlawanan
yang bersifat sporadis dan kultural terhadap pendudukan Belanda.
Perlawanan sporadis itu ditunjukkan dengan sikap berani mati orang
Aceh, yaitu dengan menyerang tentara Belanda, walau tahu nantinya
dia akan berakhir di ujung bedil. Aksi ini disebut sebagai Aceh Pungo,
atau kegilaan Aceh (Aceh Moorden). Adanya perlawanan demi
perlawanan, yang membuat seorang penulis Belanda, Paul Van’t
Veer, menyebut bahwa perlawanan orang Aceh tidak pernah berhenti
sejak invasi pertama dilakukan, sampai berakhirnya pendudukan
Belanda di Aceh di tahun 1942. Argumen ini sering dikutip oleh
Ali HaSJmy, penulis cum aktivis pergerakan di Aceh. Baginya,
perlawanan orang Aceh terhadap Belanda adalah kisah heroisme
yang bersumber dari ajaran Islam, yaitu dari Hikayat Prang Sabi.9
Cerita tentang Perang Aceh itu juga menjadi jalan bagi Hasan Tiro
untuk membangkitkan romantisme sejarah Aceh, sebagai alasannya
melakukan pemberontakan politik kepada pemerintah Indonesia.
Perang Aceh ini juga telah mengubah struktur sosial masyarakat
Aceh. Apabila sebelumnya, Sultan menjadi titik kekuasaan, dengan
simpul-simpul antara lain Uleebalang, ulama dan rakyat. Ketika
belanda kekuasaan Sultan dihilangkan, akan tetapi Uleebalang dan
ulama masih menjadi penopang struktur masyarakat Aceh. Bedanya,
oleh Belanda, Uleebalang diberi kewenangan untuk mengelola
9
Ali Hajsmy, Semangat Merdeka: 70 tahun Menempuh Jalan Pergolakan
& Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal 21-23.
Mengenai Hikayat Prang Sabi ini pula, Hasjmy menulis sebuah pamflet
yang menyebutkan bahwa karya itu telah menjadi alasan mengapa orang
Aceh mampu berperang begitu lama melawan Belanda. Lihat Ali Hasjmy,
Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan
Agresi Belanda, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977).
9
wilayah admistrasi. Hal yang kemudiann ikut membentuk pola relasi
baru dalam masyarakat Aceh. Ketika Uleebalang menjadi bagian
dari struktur pemerintah colonial, ulama melakukan perlawanan
terus menerus. Baik secara politik maupun kultural.
Peranan ulama yang menentang agresi Belanda mulai menguat
menjelang akhir abad ke-19, dengan hadirnya Tgk. Chiek di Tiro
sebagai panglima perang. Sejak itu, ulama –yang di masa kesultanan
berperan sebagai penasehat agama, memiliki peran besar di bidang
sosial dan politik. Besarnya peran ulama ini, kemudiann dapat dilacak
pada periode berikutnya, terutama sejak kemerdekaan Indonesia,
bagaimana ulama di Aceh ikut dalam keputusan-keputusan politik
penting, serta menjadi variabel penting dalam perubahan sosial di
Aceh pada masa berikutnya. Salah satu perubahan sosial di Aceh
terjadi karena adanya konflik bersenjata, seperti Revolusi Sosial,
Darul Islam dan Gerakan Aceh Merdeka.
1. Revolusi Sosial (1945-1946)
Proklamasi telah dibacakan oleh Sukarno, di Jakarta. Sedangkan
di Aceh, para kaum revolusioner masih belum mengetahui apa yang
sedang terjadi di Jakarta, karena kabar kemerdekaan itu sampai
satu bulan berikutnya. TA. Taslya, mantan pegawai Departemen
Penerangan RI dan wartawan Harian Semangat Merdeka, mengenang
peristiwa itu lekat-lekat, “Ali Hajsmy adalah orang pertama yang
menaikkan bendera merah putih di kantor Baperis,” katanya.10 Ali
HaSJmy yang disebut oleh Talsya itu, seorang yang telah mengikuti
Aceh sejak mudanya. Baginya Aceh adalah sebuah peradaban lama
10 Perbincangan informal yang penulis lakukan dengan Talsya, awal tahun
2015. Bagi para pengkaji sejarah dan kebudayaan Aceh, namanya tidaklah
gaib. Menulis tiga buku tentang gema revolusi di tanah Aceh, diantaranya,
Batu Karang Ditengah Lautan, Modal Perjuangan Kemerdekaan, Sekali
Republikein tetap Republikein, telah menasbihkan namanya sebagai
seorang arsiparis terkemuka. Ditambah, sebagai sekretaris Lembaga Adat
dan Kebudayaan Aceh (LAKA) telah membuatnya turut serta dalam
penyusunan arah kebudayaan Aceh. Lihat juga http://www.bung-alkaf.
com/2015/02/12/belajar-dari-t-a-talsya/
10
yang agung, dan menemukan Indonesia sebagai rumah barunya –
setelah porak-poranda oleh invasi Belanda. Di tangan HaSJmy, Aceh
merupakan kesatuan dengan entatas baru yang bernama Indonesia.
Sejengkalpun, dia tidak pernah berpindah dari keyakinannya itu.
Tesis HaSJmy tentang Indonesia baru itu –tentu juga untuk Aceh–
ditunjukkan dengan pendiriannya atas pernyataan kemerdekaan
Indonesia yang diproklamirkan oleh Sukarno-Hatta. Pendiriannya
yang paling dikenang, ketika menulis sebuah puisi nan heroik, Aku
Serdadumu; Untuk Bung Karno.11 Puisi itu ditulis, tanggal 7 Oktober
11
Aku Serdadumu-Untuk Bung Karno
Gegap gempita membana
Mengguruh riuh mengguntur
Menggentarkan djiwa tidur
Menjentak merentak-rentak
Membaju menderu-deru
Demikian djanji proklamasimu
Nenek-nenek menuntut balas
Bara dendam njala memanas
Kakek tua bangkit menerpa
Bara remadja mara mewadja
Muda belia madju menjerbu
Semua bersatu tudju
Bergegas kemedan bakti
Suaramu tjambuk sakti
Bung Karno
Patju kuda djihadmu
Djangan mundur lagi
Kami turunan Iskandar Muda
Tetesan darah Ratu Safijah
Anak tutju mudjahid tiro
Kemanakan Umar pahlawan
Telah siap bertempur
Kami sedang menggempur
Dengar derap kaki
Gemerintjing pedang djenawi
Damba sorga hikajat perang sabi
11
1945.12 Setelahnya, empat ulama Aceh mendeklarasikan dukungan
untuk proklamasi kemerdekaan Indonesia.13
Akan tetapi, ada yang mengendap-endap, menyium gelagat,
menyusun siasat, yaitu kaum feodal. Mereka, yang selama
pemerintahan kolonial Belanda mendapatkan tempat istimewa dalam
struktur mayarakat Aceh. Jadi dapat dikatakan, dengan kekalahan
Jepang maka Aceh terbelah, yaitu mereka yang menyambut gegap
gempita proklamasi kemerdekaan di Jakarta, dengan mereka
yang lebih percaya kalau Belanda akan kembali berkuasa seperti
sebelumnya. Lalu, mengembalikan previlege mereka lagi.
Apa arti pentingnya dari proklamasi kemerdekaan Indonesia
untuk Aceh? Jacob Juli memberi jawaban. Baginya, kemerdekaan
Indonesia, adalah kemerdekaan pula untuk Aceh.14 Jacob adalah
angkatan muda yang tercerahkan melalui pendidikan modern di
Aceh di awal abad ke-20. Atau tepatnya, menjadi bagian dari proyek
angkatan baru yang dipimpin oleh Daud Beureuh. Dia bersama
intelektual muda Aceh lainnya kala itu, seperti Hasan Tiro dan Ilyas
Ismail, menjadi penafsir keindonesiaan di Aceh. Mereka bertiga,
dari sekian banyak intelektual muda Aceh yang senada dengan
Lihat rentjong bertuah
Nausran dapah
Kami api memerah
Menjala membakar pendjajah
Pantang menjerah
Bung Karno,
Beri komando madju...
Aku serdadumu!!
12 Ali Hasjmy, Semangat Merdeka…, hal. 581
13 Keempat ulama itu adalah Tgk. Daud Beureuh, Tgk. Hasballah Indrapuri,
Tgk. Hasan Krueng Kale dan Tgk. Jakfar Lamjabat. Bunyi maklumat,
yang dikeluarkan tanggal 15 Oktobr 1945 itu, itu adalah dengan berperang
mempertahankan kemerdekaan Indonesia, akan mendapatkan pahala
syahid. Lihat Ibid, hal. 203-204.
14 Fachry Ali, Kalla dan Perdamaian Aceh…, hal. 173
12
mereka, berbicara bagaimana seharusnya Indonesia itu dibangun
untuk kepentingan bersama.15
Namun, tidaklah semua orang Aceh itu republiken. Barisan
feodal, para Uleebalang, mengambil sikap lain. Bagi mereka,
kalahnya Jepang pada Perang Dunia ke-2 adalah jalan kembalinya
Belanda ke tanah Aceh. Kedua faksi itu akhirnya bertemu muka dalam
sebuah peristiwa revolusi sosial. Sebuah peristiwa penting di awalawal kemerdekaan, yang telah mengubah selamanya struktur sosial
masyarakat Aceh. Revolusi sosial terjadi karena ada perimbangan
dalam struktur sosial masyarakat Aceh dengan naiknya peran ulama
menjelang berakhirnya pendudukan Belanda, dan selama kekuasaan
Jepang.16 Bagi Reid, revolusi sosial di Aceh adalah benar-benar
revolusi dalam pengertian terbentuknya satu kelas sosial baru
menggantikan kelas sebelumnya, dan terbangunnya sebuah tatanan
sosial baru yang bebas.17
Suasana Aceh baru, setelah revolusi sosial itu, direkam dengan
baik oleh Muhammad Radjab, seorang jurnalis yang dikirim oleh
Departemen Penerangan di Jogjakarta ke wilayah Sumatera, “…
menindjau keadaan dan perkembangan di sana mulai dari Kutaradja
sampai Teluk Betung semendjak Republik Indonesia berdiri.”18 Dia
menyusuri jalan-jalan di Sumatera. Di Aceh, dia menjumpai suasana
yang berbeda. Ada perdamaian dan semangat untuk membangun.
Di Langsa, salah satu kota di Aceh Timur, dia berjumpa dengan
15 Ketika adanya kekecewaan atas pemerintah pusat ditunjukkan dengan
adanya gerakan Darul Islam Aceh pimpinan Daud Beureuh. Hasan Tiro,
didikan Daud Beureuh, yang awalnya seorang nasionalis itu, melakukan
kritik tajam terhadap bangunan politik Indonesia, dan memberikan
perspektif tentang bagaimana membangun Indonesia yang penuh dengan
kebinekaan itu, dan menolak sentralisme. Mengenai pandangannya
tersebut, lihat, Hasan Tiro, Demokrasi untuk Indonesia, (Jakarta: Teplok
Press, 1999).
16 Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatera: Antara Indonesia dan Dunia,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hal.325.
17 Ibid, hal.326.
18 Muhammad Radjab, Tjatatan di Sumatera, (Djakarta: Dinas Penerbitan
Balai Pustakam 1958), hal.3.
13
tokoh revolusi sosial, Petua Husin, yang ditulisnya,”…seorang
dari pengandjur-pengandjur gerakan pembersihan terhadap kaum
hulubalang, jang beraksi hendak menerima dan membantu Belanda
masuk ke negerinja”.19
Revolusi sosial di Aceh benar-benar telah mengakhiri
dominasi Uleebalang dalam struktur sosial masyarakat Aceh yang
telah berlangsung ratusan tahun. Setelah sebelumnya, keberhasilan
revolusi sosial ini, bukan hanya membuat orang Aceh hanya
mengenal sebuah masyarakat yang egaliter dan demokratis, namun juga
telah membawa ulama bertransformasi menjadi sebuah entatas politik,
tanpa meninggalkan otoratas keagamaannya. Untuk hal tersebut, PUSA
melakukan sebuah konstruksi sejarah, melalui sebuah memorandumnya,
yang menyatakan bahwa organisasi keulamaan –dalam hal ini PUSA–
adalah sebagai pelanjut dari kepemimpinan Aceh yang absah, argumen
ini dibangun berdasarkan tarikan sejarah, sejak kehadiran Tgk. Chik
di Tiro dalam kancah peperangan dan hadirnya dayah, madrasah serta
organisasi keulamaan, Persatuan Ulama Seluruh Aceh.20
Revolusi sosial kemudiann membawa gagasan Islamisme ke atas
panggung politik di Aceh. Ide yang awalnya dibicarakan dalam arena
diskursus dan gerakan sosial di awal abad ke-20, diterjemahkan dalam
beberapa kebijakan yang memberikan perhatian besar apda pelanggaran
moral dan sekitar hal-hal yang merusak keyakinan (aqidah).21 Lebih
lanjut, ide Islamisme ini dapat dibaca sebagai bagian definisi Identitas
orang Aceh, ketika melakuan perjumpaan dengan Identitas baru, yang
bernama Indonesia. Hal ini diawali dari sebuah dialog yang sangat
terkenal di Aceh –tapi tidak di Jakarta–yaitu, ketika Daud Beureuh
meminta komitmen Sukarno supaya Aceh dapat mengurusi dirinya
sendiri dan dapat menjalankan syariah Islam –setelah bersedia memberi
dukungan untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan.22
19 Ibid, hal.44.
20 Bunyi memorandum yang lebih lengkap, lihat Fachry Ali, Kalla dan
Perdamaian Aceh…, hal.134-135.
21 Isa Sulaiman, Sejarah Aceh…, hal.184.
22 Dialog lebih lengkap antara Daud Beureh dan Sukarno, lihat M. Nur El
14
2. Darul Islam Aceh
Ada desas-desus, Aceh ingin melakukan perlawanan terhadap
Jakarta, atas ketidakpuasan pembubaran provinsi dan digabung
dengan Sumatera Utara. Oleh karenanya, Royd. B. Compton,
tertarik menyelidiki hal itu lebih dalam tentang negeri yang dulunya
menunjukkan kesetian tanpa pamrih kepada Indonesia, kini mulai
menunjukkan benih-benih perlawanannya.23 Lalu, dia pun menuju
ke Beureuneun, Pidie, salah satu wilayah yang paling bergolak di
masa revolusi sosial. Dia hendak menemui Daud Beureuh, pemimpin
Aceh yang sedang kecewa. Di Beureneun, dia berjumpa dengan
Beureuh, dan berbicara yang menjadi impiannya tentang Aceh,
“Anda harus tahu bahwa kami di Aceh ini punya sebuah impian.
Kami mendambakan masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda,” kata
Daud Beureuh lugas.24
Apa yang dibayangkan oleh Compton, akhirnya terjadi.
September 1953, pemberontakan di Aceh meletus. Kaum Republiken
itu, yang memiliki cita-cita hendak menerapkan Syariah Islam,
bergabung dengan Kartosuwiryo di Jawa Barat, yang terlebih
dahulu menyatakan hendak mendirikan Negara Islam Indonesi
(NII). Manifesto politik dari Darul Islam Aceh digambarkan
melalui narasi kekecewaan, yaitu ketika maksud dari awal mula
bergabungnya Aceh ke Indonesia, demi tegaknya sebuah negara
Islam, tidak terwujud.25 Namun, sebagai sebuah pemberontakan
pula, Compton melihat bahwa elit PUSA –yang menjadi tulang
punggung pemberontakan– adalah mewakili Identitas, Indonesia,
Ibrahimy, Tgk. M. Daud Beureuh: Peranannya dalam Pergolakan di Aceh,
(Jakarta: Gunung Agung, 1982), hal.64-65.
23 Tentang pemberontakan Darul Islam Aceh, lihat Boyd R. Compton,
Kemelut Demorkrasi Liberal: Surat-surat Rahasia Boyd R. Compton,
(Jakarta: LP3ES, 1992), Hal.157-168.
24 Ibid, hal.149.
25 Mengenai Manifesto Darul Islam Aceh, lihat Herbert Feith dan Lance
Castle (Ed), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta: LP3ES,
1988), hal.208-210.
15
Aceh dan Islam.26 Pemberontakan Aceh ini berlangsung alot dan
sengit, akibat dari respon Pemerintah Pusat yang menghadirkan
militer. Bahkan sampai terjadi geneosida oleh militer Indonesia,
yang dinamakan Tragedi Pulot Cot Jeumpa, dua tahun setelah api
perlawanan dihidupkan. Oleh Hasan Tiro, murid Daud Beureuh yang
sedang bersekolah dan bekerja di Amerika Serikat, Darul Islam ini
hendak dijadikan isu internasional, sebagai reaksinya atas operasi
militer Jakarta terhadap Aceh.27
Perlawanan yang tiada henti dari Aceh, kemudiann mulai
menampakkan titik terang. Provinsi yang telah dibubarkan, kembali
dipulihkan di tahun 1956. Adalah Ali HaSJmy, seorang aktivis
pergerakan nasional, juga seorang sastrawan, menjadi Gubernur
Aceh. HaSJmy sebelumnya pernah ditangkap dan dimasukkan ke
dalam penjara, karena dituduh sebagai bagian dari Darul Islam.
Setelah selesai dari masa tahanan, dia dilepas dan bekerja di
Departemen Sosial, Jakarta. Pengangkatannya sebagai Gubernur
Aceh adalah jalan terang untuk membangun pembicaraan dengan
Daud Beureuh dan para pengikutnya, yang merupakan teman
seperjuangan HaSJmy di masa lampau. Untuk hal tersebut, HaSJmy
mengenang masa-masa ketika dia membangun jalan damai dengan
kelompok Darul Islam :
“…Di atas Balai atau Mushalla di pinggir sebuah sungai
kecil, telah menunggu Saudara Ishak Amin, Saudara Jalil
Amin dan Saudara Muhammad Ali Piyeung, masing-masing
mereka dalam Darul Islam berkedudukan sebagai Bupati
Aceh Besar, Komandan Pasukan Istimewa (kira-kira RPKAD
26 Boyd R. Compton, Kemelut Demokrasi…, hal.168.
27 Hasan Tiro menulis surat protes ke Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo.
Ada tiga poin penting yang disampaikannya. Pertama, menghentikan
operasi militer, 2. Bebaskan tahanan politik, 3. Negosiasi dengan para
pemimpin perlawanan. Apabila tidak diindahkan surat protesnya itu, maka
Hasan Tiro akan membawa masalah ini menjadi isu dunia internasional,
bahkan disertai dengan ancaman diplomatik. Lebih detail tentang isi surat
Hasan Tiro itu, lihat Iljas Ismail, The Position of Sumatra in The Republic
of Indonesia, (Manila: The University of Manila, 1958), hal.84-89.
16
dalam TNI Angkatan Darat) dan Kepala Kepolisian Negara.
Semua mereka adalah teman-teman seperjuangan saya
dalam pergerakan kemerdekaan di jaman Hindia Belanda
dan dalam Revolusi ’45 setelah Indonesia Merdeka.” 28
Usaha demi usaha untuk menghentikan pemberontakan,
mulai mendapatkan hasil. Setahun setelah pengangkatannya sebagai
Gubernur, dicapailah kesepakatan cease fire, yang dikenal dengan
nama Ikrar Lamteh.29 Kesungguhan bahwa Aceh harus dibangun
di atas puing-puing perang, bahkan sejak Perang Kolonial dan
Revolusi nasional, diperlihatkan dengan diadakannya Pekan
Kebudayaan Aceh dan pembangunan kampus Darussalam di tahun
1958 (Sulaiman 1997).
Di tahun 1959 suasana Aceh kembali memanas, karena
muncul pertanyaan, apakah Ikrar Lamteh ini akan dilanjutkan
dengan perdamaian yang lebih permanen atau perjuangan semula
dilanjutkan. Pertanyaan itu kemudiann melahirkan dua kelompok
yang sama-sama melakukan ijtihad politik. Kelompok Daud
Beureuh memilih melanjutkan cita-cita awal perjuangan, sedangkan
kelompok yang dipimpin oleh Amir Husin Mujahid, Ayah Gani
dan Hasan Saleh, membentuk Dewan Revolusi untuk melakukan
perundingan perdamaian secara berkelanjutan dengan Pemerintah
Pusat.
Namun kemudiann, di tahun yang sama, Ikrar Lamteh
tersebut dilanjutkan dengan perundingan antara Dewan Revolusi
28 Ali Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan
dan Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal.477478.
29 Bunyi Ikrar Lamteh sebagai berikut; Bismillahirrahmanirrahim. Kami
putera-putera Aceh dimana pun kami berada, akan berjuang sungguhsungguh untuk: 1). Menjunjung tinggi kehormatan agama Islam;
2). Menjujung tinggi kehormatan dan kepentingan rakyat Aceh; 3).
Menjunjung tinggi kehormatan dan kepentingan daerah Aceh, lihat Hasan
Saleh, Mengapa Aceh Bergolak: Bertarung untuk Kepentingan Bangsa dan
Bersabung untuk Kepentingan Daerah, (Jakarta: Grafiti, 1992), hal. 309310
17
Darul Islam Aceh dengan Pemerintah Pusat yang diwakili oleh Mr.
Hardi. Dari perundingan itu, provinsi Aceh ditingkatkan menjadi
Daerah Istimewa pada bidang agama, adat-budaya dan pendidikan.
Pemberontakan Darul Islam Aceh benar-benar selesai di tahun 1962,
dengan diadakannya Muyswarah Kerukunan Rakyat Aceh.
Melalui perundingan itu, konflik Aceh dibicarakan dengan
pembicaraan mengenai opsi-opsi yang ada. Lalu, pada akhirnya
diberikan hak-hak keistimewaan Aceh; Agama, Adat dan Pendidikan.
Darul Islam Aceh akhirnya benar-benar selesai dengan terhormat dan
bermartabat dengan diadakannya Musyawarah Kerukunan Rakyat
Aceh, di tahun 1962. Apabila kita membaca secara detail, bahwa
upaya untuk mendamaikan konflik Darul Islam Aceh ini sangatlah
berliku –yang berujung pada Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh
itu. Tahapan demi tahapannya dapat dilacak dari persengketaan politik
yang lama sejak tahun 1953, guna menuntut otonomi, maka tiga
tahun kemudiann, Aceh diberikan kembali status provinsi yang sudah
dibubarkan di tahun 1950. Setelah itu, di tahun 1957 disepakatilah
penghentian kontak tembak, yang dikenal sebagai Ikrar Lamteh.
Kesepakatan ini dilakukan setelah menimbang kehancuran akibat
perang berkepanjangan dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dalam kesepakatan damai tersebut, dibicarakanlah hal-hal yang
mampu membangun Aceh dari keterpurukan akibat perang, revolusi
sosial dan konflik bersenjata. Salah satunya pada pembangunan pada
bidang kebudayaan dan pendidikan.
Pada bidang kebudayaan, dilaksanakanlah untuk pertama
kalinya Pekan Kebudayaan Aceh. Lalu pada bidang pendidikan,
dibangun untuk pertama kalinya kampus modern, Universatas Syiah
Kuala. Dua hal ini, ditambah pada pembicaraan tentang penerapan
unsur-unsur pokok syariah, yang menjadi dari status keistimewaan
Aceh. Pokok-pokok pikiran itu dibincangkan dalam perundingan
politik dengan delegasi Jakarta, yang dikenal dengan nama Misi Hardi.
Sedangkan oleh pihak Darul Islam, diwakili oleh apa yang disebut
dengan Dewan Revolusi NBA/NII, dengan tokoh tersebut adalah
Ayah Gani, Hasan Saleh dan Amir Husin Al Mujahid. Keberadaan
Dewan Revolusi adalah membicarakan penyelesaian dan kompensasi
politik dan ekonomi dari kasus peristiwa Aceh 1953 itu.
18
Banyak yang tidak menyebut peran dari Dewan Revolusi ini
secara baik dalam perumusan Aceh pasca peristiwa Aceh itu. Bahwa
keistimewaan Aceh yang didapati ini merupakan hasil perbincangan
yang a lot, yang dibincangkan bersamaan dengan misi dari Jakarta.
Sehingga tidak hanya kompensasi secara agama dan otonomi yang
luas, namun juga pada pemulihan kembali status para anggota
gerakan yang sebelumnya melawan Pemerintah Pusat.
Dalam kacamata SJamsuddin (1990), keberadaan Dewan
Revolusi adalah pertentangan antara kelompok yang menerima
tawaran perdamaian dan pembicaraan damai dengan Pemerintah
Pusat adalah dibangun dari definsi ulama dan zuama. Kedua definisi
ini menyebutkan tentang kepemilikan pemahaman terhadap Islam.
Namun perbedaannya, ulama lebih kepada profesi yang dijalankan
pada bidang keagamaan. Sedangkan zuama pada pekerjaannya di
wilayah sekular.
Sulaiman (1997) melihat peranan dewan revolusi sangat penting
dalam menerobos kebuntuan pembicaraan dengan pemerintah pusat.
keberadaan dewan revolusi ini juga harus dihubungkan dengan dua
hal yang telah ada ketika status provinsi Aceh ini dipulihkan. Pertama,
Prinsip Kebijaksanaan Sipil yang dikeluarkan oleh penguasa KDMA
di tahun 1957, dan kemudiann dilanjutkan dengan Ikrar Lamteh pada
tahun yang sama. Dewan Revolusi ini kemudiann ikut menandakan
tentang naiknya status provinsi Aceh dengan menjadi istimewa, pada
bidang agama, pendidikan dan adat-budaya. Disamping itu, adanya
rehabiltasi kepada para anggota gerakan, yang dulunya militer
dikembalikan ke kedinasannya, begitu juga dengan yang sipil. Lalu
diikuti program rehabilatasi pembangunan dan ekonomi lainnya.
Setelah pemberontakan Darul Islam yang hampir berlangsung
selama sembilan tahun, terjadi banyak dinamika yang menjadikan
pemberontakan itu naik-turun. Baik yang terjadi atas pengaruh dari
internal organisasi perlawanan, kondisi politik nasional, maupun
internasional. Pemberontakan yang dilakukan kemudiann ada
pasang surutnya juga, berhubungan dengan sikap Pemerintah Pusat
dalam menyikapi penyelesaian konflik Aceh. Seperti sebelumnya
diselesaikan melalui operasi militer, dengan jalan kekerasan yang
19
berujung kepada kepada pembantaian yang yang dikenal dengan
peristiwa Pulot Cot Jeumpa, di tahun 1955.
Ketegangan demi ketegangan demikian terus terjadi, sampai
kemudiann satu tahun setelah peristiwa tersebut, provinsi Aceh
dikembalikan. Daerah ini kembali menjadi sebagai provinsi, setelah
dibubarkan enam tahun sebelumnya. Melihat perubahan sikap dari
Pemerintah Pusat tersebut, maka terjadi friksi di internal tubuh Darul
Islam Aceh. Apalagi pendekatan yang dilakukan oleh Ali haSJmy
yang kala itu menjadi Gubernur Aceh, sangat persuasif, dengan
mengawali membangun dialog dengan tokoh Darul Islam seperti Ali
Piyeung dan Jalil Amin. Pembicaraan yang kemudiann membuka
jalan perdamaian, yang disebut Ikrar Lamteh tahun 1957, dengan
penghentian kontak-tembak. Lalu dilanjutkan dengan perundingan
antara Darul Islam Aceh, yang diwakili oleh Dewan Revolusi dengan
Pemerintah Pusat di tahun 1959. Hasil perundingan itu memberikan
peluang selesainya pemberontakan yang telah berlangsung lama.
Perundingan itu sendiri kemudiann ditutup dengan diadakannya
Kongres Kerukunan Rakyat Aceh di tahun 1962.
Namun jalannya sejarah tidak linear demikian. Sebab ada
banyak dinamika internal yang mewarnai tubuh Darul Islam Aceh.
Salah satunya adalah munculnya Republik Islam Aceh (RIA) di
tahun 1961. Masa-masa dimana gerakan Darul Islam Aceh sudah
mengalami kemunduran hebat. Namun Daud Beureuh masih
berdiri dengan adalah sikap idelogisnya dalam menerima setiap
tawaran perdamaian dari Pemerintah Pusat. Al Chaidar (2006)
menyebutkan bahwa RIA yang merupakan bagian dari Republik
Persatuan Indonesia (RPI), adalah pertunjukan sikap yang tanpa
kenal menyerah dari Daud Beureuh. Walau dalam keadaan kekuatan
politiknya yang timpang. Ditambah ada perubahan keadaan politik
dimana organisasi-organisasi perlawanan di wilayah lainnya sudah
mulai berjaTuhan, seperti PRRI dan Permesta.
Usia RIA yang tidak lama ini berakhir ketika Daud Beureuh
turun gunung. Menurut Nazaruddin SJamsuddin ada tiga penyebab
mengapa RIA berakhir. Pertama, berhasilnya propaganda dari
Pemerintah Pusat tentang membangun sebuah masyarakat yang adil
20
dan makmur, hal itu dilakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan.
Kedua, hadirnya gagasan-gagasan pembangunan daerah yang dirasa
semakin mendesak di Aceh. Keinginan ini didorong oleh generasi
terdidik yang semakin banyak dan melihat tentang pentingnya
pembangunan daerah. Ketiga, semakin terkonsolidasinya kekuatan
militer di daerah Aceh, melalui semakin banyaknya personil militer
dari Aceh, sehingga membuat ketidaknyamanan psikologis bagi
gerakan perlawanan. Walaupun RIA ini hanya sebentar saja hadir,
namun keberadaannya ikut memberikan inspirasi perlawanan
berikutnya oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
3. Gerakan Aceh Merdeka
“Saya mulai memperhatikan pakaiannya. Sepatunya setengah
butut buatan Hongkong. Baju dan celananya model safari
berwarna putih, tampak telah lama dipakai dan kurang
terlihat bekas gosokannya. Arloji tangannya merek Titus
yang warnanya sudah luntur. Kemudiann saya menyimak
pembicaraannya. Seluruh pembicaraannya berkisar pada
kehebatan dirinya, kehebatan keluarga Tiro, dan akhirnya
tentang kejayaan Aceh di masa lampau.”30
Kesaksian tersebut itu merupakan pengalaman Hasan Saleh,
Menteri Urusan Perang Darul Islam Aceh, ketika bertemu dengan
Hasan Tiro –enam bulan sebelum memimpin pemberontakan Aceh
Merdeka. Hasan Saleh memberi kesaksian awal tentang bagaimana
Hasan Tiro mengkonstruk gerakannya itu, dengan menjadikan kisah
kejayaan Aceh sebagai spirit perlawanan. Pemberontakan ini berbeda
dengan Darul Islam sebelumnya, yang digerakkan para cendekia
dan ulama.31 Gerakan Aceh Merdeka meletakkan porosnya pada
30 Hasan Saleh, Mengapa Aceh…,, hal. 382
31 Ada dua istilah yang diperkenalkan oleh Nazaruddin Sjamsuddin untuk
tulang punggung dari organisasi Darul Islam, Ulama dan Zuama. Kedua
istilah ini sama-sama memiliki pengertian orang yang memahami Islam
21
tafsiran Hasan Tiro. Basis sosialnya sebagai cucu Tgk. Chik di Tiro
dan intelektualatasnya yang menonjol sejak jaman revolusi nasional,
telah membuatnya mampu menggerakkan sebuah pergerakan politik.
Selain itu, tentu saja Hasan Tiro mesti mendapatkan restu dari
Daud Beureuh untuk memulai pergerakannya itu. Tanpa restu itu,
sulit rasanya dia mampu menggerakkan pemberontakan terhadap
Pemerintah Pusat.
Dalam bayangan orang Aceh, GAM merupakan kelanjutan
dari kisah epic perlawanan Aceh terhadap entatas yang mengganggu
marwah (harga diri, pride), serta perasaan disingkirkan. Perasaan
tersebut, disingkirkan-dibuang, coba diperbaiki oleh Sukarno32 –
orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab atas perlawanan orang
Aceh dengan payung Darul Islam itu– melalui serangkaian kebijakan
politik dan ekonomi. Namun, setelah Sukarno jatuh, maka kebijakan
menenteramkan Aceh itu, berubah. Suharto tidak melanjutkan
kembali kebijakan-kebjikan positif dari Sukarno. Bahkan, melalui
keputusan politiknya, Suharto melakukan peninjauan ulang formasi
keistimewaan Aceh,33 sehingga membuat keistimewaan Aceh yang
dilahirkan melalui perundingan politik di tahun 1959, hanya menjadi
cek kosong. Hal yang juga sudah dilakukan oleh Suharto di awal
kepemimpinanya, dengan membatalkan peraturan daerah Aceh untuk
memuat unsur-unsur syariah.34 Ditambah persoalan bagi hasil sumber
daya alam, antara pusat-daerah, yang tidak berimbang. Terlebih,
secara luas, namun berbeda dalam profesi. Bila ulama bekerja pada hal
pengajaran agama, sedangkan zuama ada pada ruang non-agama. Lihat
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik…, hal. hal. 7
32 Dalam Manifesto Pemberontakannya, disebutkan, “…Rasa sedih dan
kesal ini memupuk keinginan kami untuk membentuk suatu Negara Islam,
Andaikata orang menyalahkan kami, maka kesalahan itu harus mulamulanya ditimpakan kepada pundak Sukarno sendiri.” Lihat Herbert Feith
dan Lance Castles (Ed), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta”
LP3ES, 1988), Hal. 210
33 Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi Politik di Indonesia, (Jakarta: Gramedia,
1989), hal. 88
34 Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia,
(Bandung: Mizan, 2013), hal. 343
22
Aceh adalah wilayah yang memiliki kekayaan alam yang melimpah,
namun tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakatnya.
Jadi, tumbuhnya gerakan pemberontakan politik Aceh Merdeka,
didorong oleh dua hal: pertama, adanya desakan budaya nasional –
yang dibaca oleh orang Aceh adalah dominasi budaya Jawa– melalui
perundang-undangan nasional; Kedua, ketimpangan pembangunan
ekonomi.
Oleh Hasan Tiro, Gerakan Aceh Merdeka ini, dijadikan sebagai
sebuah perlawanan yang terlebih dahulu memperbaiki cara pandang
orang Aceh tentang dirinya –sesuatu hal yang menurutnya sudah
terdegradasi. Orang Aceh, menurutnya, telah kehilangan orientasi
akan jati dirinya. Untuk membangun kesadaran tersebut, Hasan
Tiro menggunakan pendekatan sejarah, terutama pada cerita tentang
heroisme. Baginya, orang Aceh terdahulu adalah mereka yang tahu
akan siapa jati dirinya serta mempertahankan hal itu dengan nyawa.
Apa yang dilakukan oleh Hasan Tiro, dengan mengglorifikasi
sejarah Aceh tidaklah hal baru. Sebab, sejarah dalam masyarakat
Aceh sesuatu yang hidup dan dekat dalam keseharian mereka. Jadi,
ketika Hasan Tiro mengambil cerita-cerita sejarah; heroisme, harga
diri, kejayaan masa lalu dan imperium Aceh, maka dengan cepat
hal itu diterima sebagai common sense. Apalagi di Aceh, kelompok
Darul Islam yang tidak puas dengan perundingan di masa lalu –yang
dikenal dengan nama Ikrar Lamteh– ikut memberi dukungan moril
atasnya.
Aceh yang telah damai, setelah berhentinya konflik
bersenjata Darul Islam, mulai kembali membara setelah Hasan
Tiro memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka, 4 Desember 1976.
Pemilihan tanggal proklamasi gerakan perlawanannya itu, menurut
Hasan Tiro, adalah sebagai pengingat sebuah peristiwa penting di
dalam Perang Aceh. Penanggalan itu disesuaikan dengan waktu
syahidnya Tgk. Maat Tiro, pejuang Aceh, dalam perang kolonial.
Tgk. Maat Tiro berasal dari garis keturunan Tgk. Chik di Tiro.
Pemberontakan ini timbul karena adanya persoalan pembagian
sumber daya alam yang tidak adil antara Aceh dan Jakarta.
Ketidakadilan ini kemudiann menimbulkan ketimpangan sosial
dan ekonomi. Pemberontakan ini kemudiann memang menemukan
23
momentumnya ketika Pemerintahan Pusat memberi gangguan kepada
Aceh, yaitu mengenai kekhususan dan keistimewaan. Hal yang tidak
pernah disentuh sejak jaman Demokrasi Terpimpin, namun melalui
UU Pemerintah Daerah tahun 1974, yang memungkinkan terjadinya
penyeragaman, maka telah membangkitkan sensititvatas di Aceh
(SJamsuddin, 1989). Sehingga agatasi yang dilakukan oleh Hasan
Tiro, yang kemudiann membangun romantisme sejarah Aceh dan
pendekatan hukum internasional, menemukan konteksnya pada isu
sumber daya alam dan keistimewaan Aceh itu.
Pemberontakan ini sendiri menimbulkan polemik di awalnya,
sebab tidak mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat Aceh
dan veteran Darul Islam. Hasan Saleh (1992), Panglima Perang
Darul Islam Aceh, adalah tokoh yang paling terdepan melakukan
penentangan pemberontakan ini, walaupun organisasi perlawanan
ini mendapatkan dukungan dari pemimpin Darul Islam Aceh, Daud
Beureuh. Oleh Hasan Tiro, Gerakan Aceh Merdeka ini diglorifikasi
sebagai usaha politik yang melanjutkan perjuangan Aceh melawan
kolonial. Narasi kolonialismenya itu dibangun melalui konstruksi
sejarah Aceh yang disusunnya, Hasan semakin menarik dirinya
untuk memerdekan Aceh (Reid, 2011).
Sebagai organisasi perlawanan, GAM telah melalui fasefase pergerakan yang pasang-surut. Ali, dkk. (2008) menjelaskan,
bahwa ada tiga fase perkembangan dari gerakan perlawanan itu:
Pertama, fase Merangkak; Kedua, fase Berjalan; dan Ketiga,
fase Kematangan. Fase merangkak adalah awal mula gerakan itu
dijalankan, ditahun 1976-1989. Dimana organisasi perlawanan baru
didirikan, dan Hasan Tiro aktif membentuk framing organisasinya
dengan memberikan pengajaran dengan pendekatan sejarah Aceh
dan hukum internasional. Dua bidang yang sangat dikuasainya.
Fase ini ditandai juga dengan tekanan militer negara yang mampu
membuat organisasi pergerakan ini tidak mampu mengembangkan
diri dengan baik, karena ada tokoh-tokoh utamanya yang gugur dan
memilih keluar dari Aceh.
Pada fase berjalan, 1989-1998, organisasi ini mulai merekrut
angkatan baru dan mendapatkan pelatihan di Libya. Dengan
24
kemampuan barunya ini GAM mulai berani untuk melakukan aksi
militer. Naiknya kemampuan GAM ini kemudiann direspon keras
oleh negara dengan diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM),
dengan kata sandi Operasi Jaring Merah. Sedangkan pada fase
kematangan, 1998-2005, GAM semakin menemukan momentumnya
ketika pemerintah pusat sedang melakukan konsolidasi politik pasca
pemilu pertama di era reformasi. Disini, GAM memaksimalkan
kekuatan fiskalnya pada “pajak nanggroe” dan penguatan solidatas
militer.
Pemberontakan GAM coba diselesaikan di meja perundingan.
Inisiasi yang dimulai sejak era Presiden Abdurrahman Wahid.
Kemudiann, dengan jatuh-bangun jalannya perundingan, berakhir
di meja perundingan Helsinki, 15 Agustus 2005. Perundingan itu
kemudiann menghasilkan kesepahaman antara GAM dan Pemerintah
Indonesia untuk berdamai. Kesepahaman politik yang kemudiann
mengakhiri konflik bersenjata selama tiga dekade, menghasilkan
otonomi khusus untuk Aceh. Kekhususan yang lebih kuat lagi dengan
adanya UU Pemerintahan Aceh sebagai payung hukumnya, yang
diyakini akan membawa Aceh lebih baik lagi di masa mendatang.
Penutup
Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) adalah organisasi
yang yang dipengaruhi oleh geliat modernisasi di dunia Islam.
Hadirnya organisasi ini, secara organisatoris, sebagai respon dari
semakin menjamurnya madrasah-madrasah dan lahirnya guru-guru
agama di Aceh. Keberadaan PUSA kemudiann ikut memberikan
warna keberagamaan di Aceh. Sebagai organisasi keulamaan,
PUSA hadir untuk melakukan reformasi politik dan keagamaan
yang selama waktu itu berlangsung dengan kolot dan terberlakang.
Sehingga keberadaan PUSA menjadi penting setelah Aceh terkoyak
karena perang dengan Belanda. Perang itu kemudiann telah meluluh
lantakkan sendi-sendi masyarakat Aceh.
Pendirian organisasi PUSA tentu saja untuk memajukan
masyarakat Aceh dari berbagai bidang. Sebagai organisasi
25
keulamaan yang modern, pimpinan Tgk. Daud Beureuh, juga
memiliki sayap kepemudaan yang disebut Pemuda PUSA, pimpinan
Amir Husin Mujahid. Tokoh-tokoh lain juga ikut dalam organisasi
ini seperti Tgk. Abdurahman Meunasah Meucap, Tgk. Hasballah
Indrapuri, Abu Lam U, Tgk. Abdul Wahab Seulimeum, Tgk. Ali
Piyeung, Ayah Hamid, M. El Ibrahimy dan Zaini Bakri. Sedangkan
di aspek pendidikan, didirikan Normal Islam Institute sebagai pusat
pendidikan calon guru, yang akan mengisi posisi guru agama di
madrasah-madrasah yang mulai tumbuh di seluruh Aceh pada awal
abad ke-20.
PUSA, pada kehadiran awalnya telah ikut juga mewarnai
perdebatan antara kaum muda dan tua. Namun, gelombang
modernisasi Islam pada saat itu, serta kebuTuhan untuk menjawab
tantangan jaman, maka PUSA memenangkan narasi keagamaan
dengan cepat. Pusat-pusat pendidikan kemudiann diperbarui
menjadi lebih modern. Keberadaan PUSA tidak kemudiann sebatas
dengan upaya keagamaan dan pendidikan. Ketika basis sosialnya
yang semakin kuat, kemudiann membawa organsasi ini turut dalam
politik, terutama menjelang perang Asia Timur Raya.
PUSA menjadi organisasi yang terdepan dalam melakukan
ijtihad politik untuk menyambut datangnya Jepang. Kedatangan
negara yang kuat itu, diyakini akan menggantikan Belanda yang
telah menduduki Aceh sejak awal ke 20. PUSA kemudiann mengutus
dutanya, yaitu Said Abubakar dan Ahmad Abdullah, dua intelektual
modernis Aceh, ke pulau Penang. Selain itu, PUSA juga melakukan
tindakan heroik. Apa yang dilakukan oleh para siswa madrasah
Seulimeum dan Normal Islam Bireuen, dengan menyerang rumah
Controller Belanda di Seulimeum, patut dicatat dengan tinta emas
sejarah. Serangan di subuh buta itu, adalah penanda tentang sikap
politik PUSA dalam menghadapi perang Asia Timur Raya, yang
sudah di depan mata. Posisi PUSA semakin kuat di bidang politik
ketika menjadi kekuatan republiken pada masa-masa genting di
jaman revolusi nasional. Maklumat ulama Aceh, dua diantaranya
adalah ulama PUSA, Daud Beureuh dan Hasballah Indrapuri, telah
menegaskan pengaruh organisasi itu semakin kuat di Aceh.
26
Dalam tiga tahun pasca revolusi nasional dimulai, 1947-1950,
PUSA melakukan tindakan penting untuk menegaskan posisinya di
atas bumi Aceh. Pertama, dengan keluarnya maklumat permurnian
keagamaan di Aceh untuk menjauhi perbuatan khuarfat, bid’ah dan
tahayul. Apabila di tahun 1930-an, tema itu menjadi perdebatan
antara PUSA dengan kelompok tradisional, maka di pertengahan
1940-an, PUSA dapat menerapkan gagasannya itu, ketika posisi
politik para elit organisasi itu semakin kuat.
Kedua, keluarnya Memorandum PUSA pada kongres di
Kutaraja di tahun 1950. Memorandum ini menjadi penting karena
menjadi penegasan tentang keabasahan ulama sebagai pewaris
kepemimpinan Aceh setelah era Sultan Aceh berakhir (Ali, dkk.,
2008). Dokumen itu dapat dikatakan sebagai hal yang melompat
jauh, melebihi imajinasi kepemimpinan politik yang pernah ada di
Aceh.
Ketiga, PUSA menjadi tulang punggung dari gerakan Darul
Islam Aceh. Perlawanan politik dan kultural ini merupakan cara
orang Aceh merumuskan apa yang sudah menjadi imajinasinya sejak
lampau tentang Islam. Terutama, yang diproduksi oleh intelektual
Aceh di awal abad ke-20. Perlawanan politik itu menghasilkan
rumusan tentang Aceh yang susungguhnya, seperti apa hendak
dibangun. Pemberontakan politik itu melahirkan kompensasi, yaitu
pengakuan negara terhadap apa yang khas di Aceh: Islam. Tentu
dalam pengertian Islam yang diatur oleh negara. Sebab tersebut
adalah ingatan kolektif. Islam seperti apa yang kehendaki? Yaitu
Islam yang, “….bahwa SJari’at Islam tjukup luas sempurna dan
hidup , mentjukupi segala bidang hidup dan kehidupan manusia,”
titah Daud Beureuh
Namun, dalam perspektif gerakan sosial, apa yang dituntut
melalui pemberontakan politik itu, gagal terlaksana. Hal tersebut
dikarenakan tipikal kepemimpinan rezim Orde Baru yang sentralistik,
militeristik dan otoritarian. Tentu, dengan pola kepimpinan demikian,
keleluasaan untuk menerjemahkan gagasan keIslam an yang khas
Aceh selalu saja mendapatkan tantangan secara politik –bahkan
militer. Sehingga, untuk menyikapi hal tersebut, pemuka Aceh –
27
yang juga tumbuh dari tradisi modernis Islam PUSA, mencoba
memutar arah melalui pendekatan kebudayaan. Adalah Ali HaSJmy,
yang mendorongnya terbentuknya organisasi kebudayaan, yang
dinamakan Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), yang
nanti berubah menjadi Majelis Adat Aceh (MAA). Organisasi ini
bergerak untuk menyelidiki dan menghidupkan kembali kebudayaan
Aceh di era modern. Kebudayaan Aceh yang diyakini bersendikan
syariah. Sebagaimana bunyi kaedah, “Adat ngon hukom, lage zeut
ngon sifeut” (Adat dan hukum [Islam ] seperti zat dan sifat).
Setelah Orde Baru tumbang, maka isu Aceh kembali
naik ke permukaan. Tuntutan utama adalah ketidakadilan selama
Suharto memimpin, pelanggaran HAM dan tidak terjaminnya
pelaksanaan kekhususan Aceh di bidang agama. Di saat yang sama
pembangkangan sipil dan pergerakan dari kelompok bersenjata
semakin menemukan momentumnya. Hal yang membuat Pemerintah
Pusat kembali melakukan kesalahan: operasi militer. Di saat yang
sama, kompensasi juga diberikan, diantaranya pengakuan tentang
keistimewaan Aceh untuk melaksanakan Syariat Islam. Sebuah ide
yang dituntut dan diperjuangkan sejak Indonesia merdeka.
Formaslisasi Syariat Islam –yang diterjemahkan juga sebagai
Islamisme– merupakan konstruksi Aceh modern, hasil perjumpaan
modernisme Islam dan ingatan sosial Aceh tentang masa lalunya,
semakin mendapatkan ruang di Aceh. Berbagai peraturan daerah
(qanun) ditingkatkan. Struktur pemerintahan yang menopang syariah
–seperti Dinas Syariat Islam dan lembaga-lembaga keistimewaan
Aceh– semakin diperkuat. Belum lagi gerakan masyarakat sipil –
wartawan, santri, ormas Islam, akademisi, kampus, dan elemen
masyarakat lainnya– semakin memerkokoh posisi syariah Islam
di Aceh, yang kini tidak hanya struktural –sebagaiman awal mula
penerapannya–, melainkan juga secara kultural.
28
Daftar Pustaka
Ali, Fachry, dkk., Kalla & Perdamaian Aceh, Jakarta: LSPEU,
2008
Aspninall, Edward, Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh,
Indonesia, Singapore: NUS Press, 2009
Compton, Boyd R., Kemelut Demorkrasi Liberal: Surat-surat
Rahasia Boyd R. Compton, Jakarta: LP3ES, 1992
Dijk, Cornelis van, Darul Islam : Sebuah Pemberontakan, Jakarta:
Grafiti, 1983
El Ibrahimy, M. Nur, Tgk. M. Daud Beureuh: Peranannya dalam
Pergolakan di Aceh, Jakarta: Gunung Agung, 1982
Feith, Herbert dan Castle, Lance (Ed), Pemikiran Politik Indonesia
1945-1965, Jakarta: LP3ES, 1988
Hajsmy, Ali, Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan
Tahun Melawan Agresi Belanda, Jakarta: Bulan Bintang,
1977
Hajsmy, Ali, Semangat Merdeka: 70 tahun Menempuh Jalan
Pergolakan & Perjuangan Kemerdekaan, Jakarta: Bulan
Bintang, 1984
Ishaq, Otto Syamsuddin, Aceh Pasca Konflik: Kontestasi 3 Varian
Nasionalisme, Banda Aceh: Bandar Publishing, 2013
Ismail, Iljas, The Position of Sumatra in The Republic of Indonesia,
Manila: The University of Manila, 1958
Muhanif, Ali, Islam, Etnicity and Secession: Forms of Cultural
Mobilization in Aceh Rebellions, Jurnal Islam ika, Volume 23,
Number 1, 2016.
Nashir, Haedar, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di
Indonesia, Bandung: Mizan, 2013
Radjab, Muhammad, Tjatatan di Sumatera, Djakarta: Dinas
Penerbitan Balai Pustaka 1958
29
Reid, Anthony, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, Depok:
Komunatas Bambu, 2011
Reid, Anthony, Menuju Sejarah Sumatera: Antara Indonesia dan
Dunia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011
Saleh, Hasan, Mengapa Aceh Bergolak: Bertarung untuk Kepentingan
Bangsa dan Bersabung untuk Kepentingan Daerah, Jakarta:
Grafiti, 1992
SJamsuddin, Nazaruddin, Integrasi Politik di Indonesia, Jakarta:
Gramedia, 1989
SJamsuddin, Nazaruddin, Pemberontakan Kaum Republik, Jakarta:
Grafiti, 1990
Sulaiman, Isa, Sejarah Aceh: Sebuah Gugatan terhadap Tradisi,
Jakarta: Sinar Harapan: 1997
Tiro, Hasan, Demokrasi untuk Indonesia, Jakarta: Teplok Press,
1999
30
MENAKAR PANCASILA SEBAGAI CIVIL RELIGION
DI INDONESIA:
MENYONGSONG ERA POST-ISLAMISME
Aan Arizandi
Pendahuluan
Semua orang barangkali sepakat bahwa agama memang
kekuatan maha dahsyat yang paling berpengaruh di muka bumi
ini. Kehadiran agama bukan saja mampu meluruhkan egosentrisme
manusia, tetapi juga pontensial memotivasi pemeluknya untuk
berkorban dan senantiasa menebar spirit cinta kasih. Karena
sejatinya, agama, apapun namanya, selalu mengusung misi mulia dan
selalu menawarkan jalan keselamatan bagi penganutnya. Dakwah
yang dilakukan para nabi untuk membebaskan manusia dari jeruji
kejahiliyahan, ajaran cinta kasih yang diajarkan oleh Yesus, serta
aktivatas-aktivatas kemanusiaan yang dipelopori Mahatma Ghandi,
misalnya, kian menguatkan bahwa agama memang jembatan untuk
memperoleh kebahagiaan.
Kendati demikian, sejarah membuktikan bahwa agama juga
memiliki potensi destruktif. Agama yang semula menjanjikan
keramahan, seketika berubah jadi kemarahan. Di balik misi mulianya
tersebut, agama ternyata turut pula menyajikan tindak kekejian.
Dengan kata lain, Agama, dengan segala potensi kebaikannya, diakui
atau tidak, juga kerap jadi pemantik api kebencian, sehingga dapat
meruahkan malapetaka kemanusiaan. Teror bom dan konflik-konflik
horizontal di Indonesia, terusirnya jamaah Rohingya di Myanmar,
31
teater kekerasan yang dipanggungkan Militan Boko Haram di Afrika,
hingga aksi barbarisme yang lazim dipraktikkan oleh milisi Islam ic
State of Iraq and Syiria (ISIS), serta sederet daftar aksi keji lainnya,
adalah setumpuk bukti di pelupuk mata bahwa agama acapkalikali
dicatut simbol-simbolnya untuk melegitimasi aksi-aksi brutal.
Dalam konteks tersebut, Charles Kimball barangkali benarnya
adanya, ketika memberi judul bukunya dengan nada sedikit provokatif:
“When Religion Becomes Evil”. Agama memang tidak lagi menjadi
rahmat, manakala substansi agama itu sendiri diselewengkan sedemikian
rupa. Dari lima tanda patologi kerusakan agama yang dirumuskannya,
Kimball menujuk absolute truth claim (klaim kebenaran mutlak)
adalah salah satunya. Menurutnya, klaim kebenaran biasanya lahir dari
pembacaan dan pemahaman kitab suci secara literal. Bahkan ayat-ayat
yang terkadung dalam kitab suci itu dimonopoli untuk membenarkan
paham atau kepentingan seseorang, atau kelompok. Padahal, bagi
Kimball, ayatisasi sebagai klaim kebenaran mutlak, itu bukan saja jadi
pangkal diabsahkannya kekerasan, melainkan juga bentuk korupsi
manusia yang paling nyata terhadap kemutlakan Tuhan35.
Lebih jauh klaim kebenaran mutlak itu ditransformasikan ke
dalam wujud gerakan oleh kelompok-kelompok Islam is radikal.
Apalagi cengkraman kapitalisme Barat yang dianggap sebagai biang
keladi dari krisis multidimensi di dunia Muslim, kian menambah asupan
motivasi kalangan Islam is untuk melawan secara membabi-buta.
Wujud perlawanan itu tidak hanya berskala lokal, tetapi juga global.
Kiprah kelompok-kelompok Islam is transnasional yang membonceng
nalar kekerasan, tak lain merupakan respon dari ketertindasan dan
ketidakadilan yang dialami dunia Muslim. Dan dalam hal ini, Barat serta
produk-produk pemikirannya, seperti demokrasi dan modernisasilah
yang harus bertanggung jawab atas semua krisis itu. Kedudukan agama
sesungguhnnya hanyalah cantolan untuk membenarkan aksi kekerasan,
serta dinilai mujArab sebagai tameng perlindungan.
Kobaran perlawanan kelompok Islam is tersebut diikuti oleh
35 Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, London: Harpen Collins,
2008, hlm 49
32
seruan jihad yang menyala-nyala. Jihad disimplifikasikan sebagai
manifestasi sikap geram dan perang, yang terkadang berujung pada
aksi peledakan diri di pusat-pusat keramaian. Bagi kaum Islam is, hal
semacam itu dibenarkan, dan umat Islam memang wajib melakukan
jihad untuk melawan kesemena-menaan. Sebagai konsekuensinya,
segala bentuk sistem pemerintahan selain Islam, haram hukumnya
diterapkan dan harus menggantinya dengan negara Islam yang
berdasarkan sendi-sendi syariah. Sebab, menurut kelompok Islam
is, kekacauan di dunia Muslim saat ini ialah karena diakibatkan
oleh diabaikannya hukum Tuhan, dan disepelekannya syariat dalam
kehidupan. Untuk itu, kaum Islam is bertekad mengembalikan
kejayaan masa lalu lewat cara memancangkan negara berbasis
keTuhanan.
Derasnya arus radikalisme transnasional berhaluan radikal
juga merembes ke altar bumi Indonesia. Dengan segala bentuk
keluwesan dan keterbukaan masyarakatnya, Indonesia dinilai
sebagai lahan strategis untuk menyemai benih-benih paham radikal.
Keyakinan itu kian menguat, manakala disokong oleh paradigma,
bahwa Indonesia dikategorikan sebagai wilayah dar al-harb yang
perlu dibebaskan dari sistem thoghut. Atas dasar itulah, pelbagai
jalan ditempuh termasuk juga lewat cara-cara kekerasan yang tak
berperikemanusiaan. Bahkan aksi-aksi teror pasca-Reformasi justru
makin menggila dengan merebaknya serangkaian aksi-aksi teror.
Namun, bagaimanapun juga, kaum Islam is tentu tak boleh
dibiarkan berkembang memecah belah kesatuan bangsa. Selain
memang bertentangan dengan falsafah bangsa, gerakan Islamisme
juga acapkalikali melahirkan malapetaka kemanusiaan. Dalam hal
ini sebenarnya pemerintah tak tinggal diam. Berbagai upaya terusmenerus digalakkan. kebijakan-kebijakan preventif tidak lupa pula
digulirkan. Beberapa waktu lalu, misalnya, pemerintah bertindak
tegas dengan melarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) beroperasi.
Pemerintah juga menggelontorkan dana yang tidak sedikit
jumlahnya, untuk mendanai program deradikalisasi, menangani
dan mencegah aksi-aksi terror, serta menetralisir para pelaku teror.
Tapi betapapun semua usaha itu belumlah cukup untuk menumpas
habis aksi-aksi radikal kaum Islam is di negeri ini. Selain memang
33
dibutuhkan usaha-usaha struktural, juga yang tidak kalah pentingnya
ialah perlunya strategi kultural.
Meski telah resmi dilarang dan diawasi secara ketat
pergerakannya, kaum Islam is tidaklah kehabisan cara untuk
melancarkan misi “sucinya”. Bahkan akhir-akhir ini, terdapat
tendensi kaum Islam is telah mengubah pola dan corak gerakannya
yang tidak melulu lewat cara-cara kekerasan. Mereka yang semula
emoh demokrasi, perlahan tapi pasti mulai menerima segala imperatifimperatifnya. Mereka yang awalnya mengebu-gebu ingin mendirikan
khilafah, kini sudah melunak dengan menerima Pancasila sebagai
dasar negara. Benarkah adanya indikasi ini menandakan bahwa
Indonesia tengah menuju peralihan dari Islamisme menuju postIslamisme? Prasyarat apa saja yang diperlukan untuk menyongsong
era-baru, dari Islamisme menuju Post-Islamisme?
Islamisme sebagai Fenomena Global
Islamisme sebagai gerakan telah menjadi fenomena global.
Nalar radikal yang identik dengan kekerasan, yang acapkalikali
ditebarkan itu, tak pelak membuat semua negara was-was. Bassam
Tibi, dalam bukunya, Islam ism and Islam, menegaskan bahwa
Islamisme bukanlah Islam. Islamisme merupakan aktivisme yang
berinteres politik, dengan menjadikan doktrin dan simbol-simbol
Islam sebagai tunggangan. Sebab, ia tidak disandarkan pada nilainilai religius Islam, melainkan upaya pencangkokan ideologis Islam
is yang diejawantahkan secara politis. Bahkan, menurut Bassam
Tibi, Islamisme bukanlah gerakan politik an sich, melainkan politik
yang diagamaisasi. Sebuah tatanan politik yang dipercaya sebagai
titah Tuhan dan tidak ada urusannya dengan kedaulatan rakyat36.
Menariknya, Islamisme sebagai gerakan politik tidak
mengindentikkan dirinya dengan pola gerakan Islam klasik yang
beorientasi pada kebangkitan Islam awal. Islamisme justru merombak
36 Bassam Tibi, Islamism and Islam, United States of America, Yale
University Press Book, 2012, hlm 1
34
ajaran-ajaran Islam yang dinilai menyimpang dari warisan sejarah.
Meski begitu, Bassam Tibi menggolongkan Islamisme sebagai
penganut ideologi totalitarian, sama halnya dengan Hannah Arendt
yang mengkategorikan Nazisme sebagai ideologi geneosida.
Kesamaan Nazisme dan Islamisme itu lebih jauh dikomfirmasi oleh
Tibi dengan mengatakan bahwa Islamisme: “its embrace of genocidal
antisemitism, its predicament with democracy, its use of violence,
the shari’atization of law, and its search for authenticity within an
Islam ic tradition it has largely reinvented out of an obsessive desire
for purity.”37
Atas dasar itulah, Bassam Tibi berargumen, bahwa terdapat
irisan yang sama antara Islamisme dan Nazisme. Dengan kata lain,
Islamisme adalah totalitarianisme bentuk baru. Doktrin utama gerakan
Islamisme ialah bertumpu pada kehendak untuk mengawinkan
agama (din) dan negara (daulah), di bawah payung politik struktural
berbasiskan syariah. Berdirinya negara Islam dan penerapan syariah
secara kaffah adalah cita-cita tertinggi kaum Islam is. Agenda besar
ini tidak cuma ditiupkan dalam lingkup lokal, namun disebarluaskan
juga secara global di seluruh dunia Islam. Lewat gerakan-gerakan
transnasional yang tampak mulai berkecambah di dunia Muslim,
termasuk juga Indonesia, merupakan bukti sukses gerakan kelompok
Islam is menancapkan pengaruhnya.
Luas dan kuatnya ekspansi kaum Islam is itu tentu tidak terjadi
begitu saja. Mencuatnya Islamisme bisa dibaca sebagai respon
politik, sekaligus protes kultural terhadap arogansi Barat (pasca
kolonial), yang dianggap menimbulkan aneka bentuk ketimpangan.
Dengan maksud lain, Islamisme merupakan efek domino atas
kekecewaan yang dipicu oleh ketidakadilan hukum, kesenjangan
sosial, dan kejomplangan ekonomi yang diderita kaum Muslim.
Faktor-faktor itulah yang kemudiann memompa motivasi kalangan
Islam is untuk menghimpun kekuatan dan melancarkan perlawanan.
Mereka memiliki keyakinan dasar, bahwa hanya dengan mendirikan
negara Islam -lah pelbagai krisis multidimensi yang menerpa umat
37 Ibid,hlm xiii
35
itu mampu diatasi.
Untuk memuluskan cita-cita mendirikan negara Islam dan
penerapan syariah secara total itu, mula-mula kaum Islam is mencerca
sistem-sistem non-Islam. Demokrasi dan liberalisme pun tidak luput
dari kecaman. Kedua produk Barat itu dituding sebagai biang kerok
krisis dunia Muslim selama ini. Keduanya pula dipandang sebagai
instrument propaganda Barat untuk merecoki dan memecah belah
umat Islam. Karenanya, seruan jihad pun dikumandangkan untuk
melawan kekuatan thoghut itu. Hanya dengan perantara jihadlah
kaum Muslim dapat terbebas dari belenggu kejahiliyahan dan
kebobrokan, serta kedaulatan di bawah panji khilafah pun dapat
teraih. Bentuk pengorbanan diri melalui media bom bunuh diri dan
kekerasan dilegalkan demi tegaknya negara Tuhan.
Kendati demikian, Islamisme sebagai gerakan tidaklah
monolitik. Bahkan penggunaan istilah “Islamisme” itu sendiri masih
mengundang perdebatan. Quintan Wiktorowicsz, misalnya, lebih
condong menggunakan istilah “Islam ic Aktivism (aktivisme Islam
)” untuk menggambarkan dominasi tujuan politik kaum Islam is.
Sementara Nikki R. Keddie lebih memilih istilah “new religious
politics (politik keagamaan baru)” lantaran memandang unsur
keagamaan dan politik yang diusung kelompok Islam is samasama dominan. Berbeda dengan keduanya, Daniel Varisco justru
mengkritik keras istilah Islamisme sebagai politik Islam yang lekat
dengan kekerasan. Ia menilai label “kekerasan” yang dilekatkan
dalam agenda Islam politik itu terlalu parsial, dan diduga hanyalah
konstruksi Barat yang penuh syak wasangka terhadap Islam.38
Terlepas dari apapun perdebatan istilah yang melingkupinya,
melekatkan Islamisme melulu sebagai agen kekerasan jelas ahistoris.
Hal demikian setidaknya juga dibenarkan oleh Mohammed Ayoob.
Dalam bukunya “The Many Faces of Political Islam ”, ia mengatakan
bahwa anggapan Islamisme hanya satu varian gerakan saja ialah
tindakan yang oversimplistis. Islamisme, menurutnya, mempunyai
38 Noorhaidi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer; Konsep, Genealogi,
dan Teori, Yogyakarta, Suka Press, 2012, hlm 8
36
banyak ragam wajah. Sebab pola gerakan Islamisme tidak bisa
diceraikan dari konteks sosial-historisnya, sehingga strategi
gerakannya berbeda-beda di setiap kawasan. Corak Islamisme yang
dikembangkan di Indonesia tentu berbeda dengan pola Islamisme
di Mesir; begitu pula gerakan Islam is yang dicanangkan di Turki
jelas tidak sama dengan gerakan Islam is ala Iran. Aspek politik,
ekonomi, dan budaya jadi pertimbangan pola gerakan kelompok
Islam is tersebut.39
Meski pola gerakan kelompok Islam is beragam, Ayoob
mensinyalir bahwa kebangkitan gerakan itu berangkat dari persoalan
fundamental yang sama. Menurut Ayoob, hegemoni Barat lewat
ekspansi kolinialismenya di dunia Muslim bisa ditunjuk sebagai
salah satu sebabnya. Bila dirunut ke belakang, Islamisme dengan
agenda politik Islam nya merupakan fenomena yang relatif baru
di dunia Muslim. Geliat gerakannya tampak mulai di abad ke-19
tatkala perjumpaan Islam dan Barat terjadi. Karena Barat identik
dengan penjajah, maka wacana yang berkembang ialah perjuangan
melawan Barat adalah sama halnya dengan melawan orang kafir.
Perlawanan terhadap Barat tidak sebatas di ranah politik saja, tetapi
juga merembet ke soal boikot ekonomi dan budaya. Karenanya,
melawan kepongahan Barat, bagi kaum Islam is, dianggap kewajiban
bagi setiap Muslim.
Dari penjabaran tersebut, dapat ditarik poin penting ialah,
bahwa Islamisme sebagai gerakan tidaklah berkembang dalam
diskursus yang beku. Ia senantiasa berubah untuk mencari format
yang pas dengan riil atas jaman. Maka dari itu, Islamisme tidak selalu
mengusung misi kekerasan, bom, dan peperangan, sebagaimana
umumnya dipersepsikan. Islamisme lebih kepada komitmen
mewujudkan capaian politik ideologis dengan memanfaatkan
simbol, doktrin, dan bahasa Islam. Aspirasi-aspirasi kaum Islam is
pun beraneka ragam. Mulai dari berdemonstrasi, membentuk aliansi
39 Mohammed Ayoob, The Many Faces of Political Islam: Religion and
Politics in Muslim World, The United States of America, The University of
Michigan Press, 2008, hlm 15.
37
politik, hingga menghimpun gerakan bawah tanah. Kekerasan
dilegalkann manakala terdapat upaya-upaya yang menghambat
tujuan yang telah dicita-citakan40.
Jika dilacak, trajektori gerakan Islamisme kontemporer
sebenarnya berakar pada gerakan puritanisme Islam yang diusung
oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab (1703-1792) pada abad ke18. Gagasan-gagasan revolusioner Abd al-Wahhab melahirkan apa
yang kemudiann dikenal sebagai Wahabisme. Mulanya gerakan ini
terbilang tidak diperhitungkan. Namun ketika rezim Muhammad
ibn Sa’ud memungutnya sebagai ideologi resmi negara Saudi,
wahabisme memperoleh kekuatannya. Misi utama wahabisme ialah
kembali kepada iman dan Islam yang murni, sebagaimana pernah
dicontohkan Rasulullah. Sebab itu, tugas utama kaum wahabi ialah
membersihkan praktik-praktik kotor sufisme, dan menyingkirkan
segala bentuk ajaran-ajaran takhyul yang berkembang di masyarakat
Muslim. Sikap keras ini pula yang mendapuk kaum wahabi ibarat
polisi Tuhan yang siap menghakimi siapa yang beriman dan siapa
yang tidak.
Pengaruh Abd al-Wahhab mampu menyebar ke seluruh
jazirah Arab. Ia pula yang menjadi inspirasi gerakan salafisme yang
dimotori oleh Jamal al-Din al-Afghani (1838-1935), Muhammad
Abduh (1849-1905), dan muridnya Rasyid Ridha (1865-1935).
Namun, tidak seperti pendahulunya, gerakan salafis ini tidak sekedar
menyerukan umat Islam untuk kembali ke ajaran Islam yang murni,
tetapi juga tidak mengharamkan untuk mengadopsi konsep-konsep
kemajuan yang berkembang di Barat. Selain itu, yang membedakan
gerakan ini dengan pendahulunya ialah tidak alergi ijtihad. Bahkan
menurut gerakan reformis ini, ijtihad justru sebuah keharusan agar
umat Islam terbebas dari kejumudan. Meski tampak tidak anti-Barat,
gerakan Islam is pimpinan Jamal al-din al-Afghani ini menyimpan
asa merobohkan dominasi Barat, yang dianggap sebagai aktor
penyebab kemalangan dengan menyerukan untuk bersatu di bawah
payung khilafah Islam. Gerakan salafisme terus berkembang di
40 Noorhaidi Hasan, Op. Cit hlm10-11
38
jazirah Arab
Permulaan abad ke-20, Hassan Al-Banna (1906-1949)
mendirikan Ikhwan al-Muslimin di Mesir. Sementara Abul A’la alMaududi (1903-1978) mencetuskan partai Jama’at-i Islam i di IndoPakistan. Kedua ideolog terkemuka ini berupaya untuk memaknai
ulang Islam sebagai ideologi politik, yang berkontestasi dengan
ideologi politik lain yang berkembang di abad ke-20. Mereka
merevisi misi baru purifikasi di dunia Islam yang sebelumnya telah
dirintis Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan mereformasi Islam
yang digagas oleh Jamaludin Al-afghani, Muhammad Abduh, dan
Rasyid Ridha. Kedua ideolog besar itu pula memiliki keprihatin
yang serupa, bahwa kemunduran umat Islam tak lain disebabkan
oleh renggangnya persaudaraan dan lumpuhnya solidaratas. Sebab
itu, keduanya berkeyakinan bahwa kembali kepada Islam murni dan
menegakkan khilafah adalah jalan keluar dari keterpurukan.
Geliat Islamisme di Indonesia
Doktin Islamisme yang berkembang di sekitar Timur Tengah
itu, adakalanya menjadi referensi utama bagi kalangan Islam is
di belahan dunia lain, tidak terkecuali Indonesia. Meski gerakan
purifikasi telah muncul di Indonesia sejak lama —dengan gerakan
Paderi di Padang dan pemberontakan Darul Islam (DI) pimpinan
Kartosoewiryo sebagai eksemplar utamanya— geliat gerakan Islam
is di Indonesia baru menemukan momentumnya saat tumbang
rezim Soeharto tahun 1998. Krisis ekonomi yang akut serta tata
kelola pemerintahan yang semrawut, memicu gejolak yang hebat
di masyarakat. Maka masa transisi pemerintahan itu diwarnai
oleh ancaman beberapa daerah yang ingin memisahkan diri, serta
pecahnya konflik-konflik komunal yang bermotif ras dan agama.
Kondisi demikianlah yang menjadi peluang bagi kelompokkelompok Islam is untuk menampakkan eksistensinya. Laskar
Pembela Islam, Laskar Jihad, Laskar Mujahidin Indonesia, Front
Pembela Islam, hingga Hizbut Tahrir Indonesia —menyebut
beberapa nama— merupakan kelompok-kelompok Islam is garda
39
depan. Mereka bukan saja frontal mengkritisi pemerintah yang
dinilai gagal memenuhi asupan kesejahteraan, melainkan juga aktif
berperan sebagai “hansip” Tuhan yang bertugas menertibkan iman.
Menurut mereka, muasal dari krisis yang mendera bangsa adalah
karena diabaikannya syariah Islam dalam bernegara. Karenanya,
salah satu tuntutan yang paling lantang disuarakan ialah menjadikan
Islam sebagai dasar bernegara. Selain itu, mereka juga tidak hanya
menyerukan berjihad di daerah-daerah konflik seperti Ambon,
Maluku, dan Poso, tapi juga melakukan operasi maksiat dengan
menyatroni diskotik-diskotik dan kafe-kafe.
Di samping itu, yang tampak paling mengkhawatirkan dari laju
gerak kelompok Islam is itu ialah meningkatnya eskalasi kekerasan,
penodaan, dan penistaan beragama. Berdasarkan laporan Kehidupan
Umat Beragama di Indonesia yang diterbitkan oleh Center for
Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM menyebutkan,
telah terjadi lebih dari 75 kasus penodaan dan penistaan atas nama
agama. Hasil ini jauh meningkat dibandingkan dengan periode 19651998 yang kurang dari 10 kasus41. Perlakuan diskriminatif terhadap
Ahmadiyah di Cikeusik, Syiah di Sampang, dan eks-Gafatar
di Kalimantan, serta yang terbaru kasus penistaan agama yang
dituduhkan pada eks Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama,
merupakan bukti-bukti betapa ruang kebebasan yang disediakan
demokrasi belum berkorelasi dengan kebebasan berkeskpresi dan
berkeyakinan.
Praktik-praktik radikal yang menjurus pada tindakan
kekerasan, yang gemar ditunjukkan kalangan Islam is itu, tentu tidak
hanya menyebabkan disharmoni kehidupan beragama di negeri ini,
tapi juga dapat mengancam keberlangsungan demokrasi. Kalangan
Islam is bahkan menilai demokrasi sebagai produk “impor”
Barat yang tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia.
Demokrasi dianggap sebagai “penjajahan baru” yang menyebabkan
krisis di segala bidang. Pancasila sebagai ideologi pun tak luput dari
41 Zainal Abidin Bagir, Kerukunan dan Penodaan Agama Alternatif
Penanganan Masalah, Yogyakarta, CRCS UGM, 2018, hlm 1-2
40
kecaman. Ia dinilai produk kesepakatan manusia yang dipandang
tidak mampu menjadi tali pengikat kebangsaan yang erat. Atas
dasar itulah, kelompok Islam is menawarkan Islam dan penerapan
syariah sebagai tawaran alternatif yang dianggap lebih paripurna
dibandingkan sistem-sistem lain. Dengan begitu, mereka bermaksud
membawa Islam bukan sekedar agama, tetapi juga seperangkat
sistem politik, sosial, dan kebudayaan.
Sampai di titik ini, timbul pertanyaan: mengapa eskalasi
kekerasan justru marak terjadi pasca Reformasi, di mana kebebasan
berekspresi dijamin seutuhnya oleh konstitusi? Tentu perlu analisis
mendalam dan tidaklah mudah mengurai pertanyaan ini. Namun
bisa ditarik garis demarkasi yang jelas bahwa krisis ekonomi,
ketimpangan sosial, sempitnya lapangan pekerjaan, serta inflasi
besar-besaran yang terjadi pada tahun 1997-1998, telah menimbulkan
kekacauan dan meletusnya konflik di mana-mana. Kondisi itu
pula pada akhirnya mengikis kepercayaan kepada pemerintah.
Pemerintah dianggap gagal memenuhi hak-hak hidup warganya.
Akibatnya, banyak kelompok-kelompok berbasis primordialisme
etnik, agama, dan suku bangsa membentuk aliansi-aliansi tersndiri.
Negara yang sebelumnya telah kehilangan mandat tidak mampu lagi
meredam gejolak kelompok-kelompok radikal yang pelan tapi pasti
mulai mendapatkan simpati dari sebagian masyarakat.
Namun, bagaimanapun juga, aksi-aksi kekerasan yang rajin
digalakkan kelompok Islam is itu jelas mencederai kebebasan beragama
dan hak untuk berkeyakinan. Dalam menengahi kasus-kasus kekerasan
beragama tersebut, posisi pemerintah pun terkadang ambigu. Negara
yang semestinya mampu memediasi pertikaian, tampak terkesan hanya
melakukan pembiaran. Maka tidak mengherankan bila penangananpenanganan yang ditawarkan, cendrung setengah hati dan tidak tepat
sasaran. Sebagai contoh, misalnya, Undang-Undang Pencegahan,
Penyalahgunaan, dan Penodaan Agama No.1/PNPS/1965.
Sudah sejak lama legislasi tersebut mendapat penentangan
atau diuji-materikan kembali, karena dianggap biang kekerasan
atas nama agama. Namun hingga kini UU itu tidak ada respon
perubahan yang berarti. Disebutkan, misalnya, dalam pasal 1 UU
41
PPPA yang menyatakan, melarang dua hal: (1) penafsiran agama;
dan (2) kegiatan agama yang menyimpang. Kata “menyimpang”
tentu memiliki penafsiran tersendiri. Sebab menyimpang menurut
suatu kelompok, belum tentu menyimpang bagi kelompok lain.
Ketiadaan penafsiran yang jelas dari UU tersebut, diyakini dapat
meligitimasi kelompok lain secara sewenang-wenang melakukan
tindak kekerasan dengan dalih menebarkan ajaran “menyimpang”.
Persoalan lain yang melenggangkan jalan maraknya aksiaksi radikal kelompok Islam is ialah penyempitan dalam memaknai
demokrasi. Demokrasi yang selama ini dijalankan, diakui atau
tidak, lebih kepada pelaksanaan demokrasi secara elektoral, dan
belum sampai pada tataran substansial. Demokrasi yang semestinya
mengandaikan kesetaraan hak dan kewajiban bersama, tereduksi
maknanya hanya sebagai ajang politik trasaksional. Kebebasan
dalam berdemokrasi juga acapkalikali dipahami sebagai kebebasan
untuk mengemukakan apapun, termasuk juga mengampanyekan
kebencian dan mengobarkan permusuhan. Sehingga wajar
bila debat-debat publik marak diwarnai oleh caci-maki, yang
membangkitkan sentimen permusuhan. Demokrasi yang diharapkan
mampu menyalakan pijar kewarasan warga, malah tenggelam dalam
hiruk-pikuk perebutan kursi kekuasaan oleh kelompok-kelompok
berkepentingan semata.
Pancasila Sebagai Civil Religion
Tidak bisa dinafikan, sebagai negara kepulauan, Indonesia
adalah negara multiagama. Agama-agama, baik yang bercorak
transnasional maupun lokal, inheren dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Kemajemukan dan kompleksatas agama-agama itulah
yang acapkalikali memantik api konflik. Diinisiasi oleh semangat
fanatisme keberagamaan dan dimotivasi oleh spirit menebar
kebenaran, tidak jarang memicu agama-agama untuk saling
berkontestasi. Akibat dari benturan-benturan kepentingan atas nama
agama itulah, konflik-konflik berdarah senantiasa terjadi. Bahkan
kekerasan atas nama agama tidak hanya terjadi pada pemeluk
agama lain yang berbeda, tetapi juga menimpa umat seagama yang
42
kebetulan berbeda paham atau aliran.
Sebagai sebuah bangsa yang plural, Indonesia tidak menjadikan
salah satu doktrin dari agama-agama yang bermacam-macam itu
sebagai dasar negaranya. Secara tegas telah disepakati bahwa dasar
negara adalah nasionalisme-sekuler, bukan agama-teokrasi. Di titik
inilah seringkali persolan tidak bisa dihindarkan. Karena dianggap
tidak Islam i, menyimpang, dan tidak mampu mengakomodasi
segala kepentingan dari agama-agama yang beragam itu, negara
dinilai gagal. Cap gagal ini dijadikan pijakan sekaligus alasan oleh
kelompok-kelompok radikal yang bergerak berdasarkan agama, ras,
atau golongan tertentu untuk melakukan perlawanan. Ketidakadilan
dan ketimpangan di segala bidang kehidupan turut pula membumbui
masifnya gerakan-gerakan radikal tersebut.
Agama dan negara adalah dua kutub yang berlainan. Maka,
untuk menjembatani dasar negara yang bersifar sekuler, dengan
agama yang transenden, diperlukan sebuah sistem yang disepakati
bersama untuk mengakomodasi keduanya. Di sinilah konsep civil
religion atau agama sipil menemukan signifikansinya. Civil religion
berupaya menciptakan sebuah ruang yang tidak hanya mampu
memfasilatasi perjumpaan agama-agama yang majemuk dalam
bingkai negara bangsa, tapi juga memediasi kesejajaran antara agama
dan negara sebagai dua entatas yang berbeda. Sebagai riil atas ruang
perjumpaan iman, civil religion juga memosisikan agama-agama
setara kedudukannya, dan agama apapun tidak berhak mendaku
lebih superior dibandingkan yang lain.
Agama-agama yang ada hanya diperkenankan untuk
menawarkan nilai-nilai moral ajaran agamanya masing-masing
untuk dijadikan seperangkat norma holistik yang disepakati bersama.
Begitu pula kaitannya dengan hubungan antara negara dan agama,
civil religion berupaya mensinergikan keduanya. Sama halnya
dengan meletakkan posisi agama-agama, civil religion mendudukan
agama dan negara sejajar dan bahkan saling bekerjasama agar
tidak saling menghegemoni satu sama lain. Namun dalam konteks
ini, bukan berarti tawaran civil religion hendak menjadikan agama
sebagai alat negara atau negara sebagai instrumen agama, tetapi
43
lebih kepada bagaimana pancaran nilai-nilai luhur yang bersumber
dari tradisi agama-agama yang ada mampu berdialektika menjadi
pegangan berprilaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, akar perpecahan yang timbul dari gesekan
antara kepentingan agama dan negara dapat dihindarkan dan
keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam masyarakat
mampu diciptakan. Dalam sejarah perkembangannya, makna dan
konsep civil religion setidaknya pernah dikenal oleh Filsuf Prancis,
Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Dalam bukunya yang masyhur
“The Social Contract.” Rousseau menulis:
“The dogmas of the civil religion ought to be simple, few in
number, stated with precision, and without explanation or
commentaries. The existence of the Deity, powerful, wise,
beneficent, prescient, and bountiful, the life to come, the
happiness of the just, the punishment of the wicked, the sanctity
of the social contract and of the laws42.”
Berdasarkan pernyataan di atas, Rousseau menyadari bahwa
perlunya “perangkat norma” yang netral yang dapat menjadi
pemersatu agama-agama yang berbeda. Sebuah agama sipil yang
menurutnya harus terbebas dari kekangan lembaga agama dan
juga mesti terlepas dari kooptasi negara. Atas dasar itu, Rousseau
berkeyakinan civil religion mampu tampil sebagai penengah. Nilainilai yang termaktub dalam civil religion digali dari unsur-unsur
luhur transedental agama-agama yang berbeda-beda. Dengan
berpegang pada pedoman norma-norma yang disepakati bersama
itu, masyarakat dapat dengan bebas mengekspresikan keyakinannya,
tanpa harus khawatir akan ancaman atau dominasi dari negara atau
agama-agama tertentu, misalnya.
Robert N Bellah lebih jauh mengelaborasi konsep civil
religion yang dikembangkan Rousseau sebelumnya, berdasarkan
42 Robert N. Bellah, Rousseau on Society and the Individual, United States of
America, Yale University Press, 2002, Hlm 282
44
pengalaman masyarakat Amerika. Dalam bukunya “Beyond
Belief: Essays on Religion in A Post Traditionalist World,” Bellah
mengatakan: ”the civil religion at its best is a genuine apprehension
of universal and transcendent religious riil ity43 (civil religion
pada dasarnya merupakan pancaran dari riil atas universal dan
transenden keagamaan).” Cakupan nilai-nilai universal itu, kata
Bellah, kemudiann ditransmisikan dan ditransformasikan ke dalam
seperangkat keyakinan, simbol, dan ritual (a set of beliefs, symbols,
and rituals).44
Kendati adanya kesatuan rangkaian nilai-nilai yang diyakini
bersama itu, bukan berarti konsep civil religion yang dirumuskan Bellah
tersebut menjurus kepada tindakan melakukan sinkretisme agama.
Karena patut dipahami, bahwa civil religion bukanlah “agama” resmi
yang dipahami secara umum. Ia pun sama sekali tidak dimaksudkan
untuk menjadi saing agama-agama formal. Civil religion, karena
itu, lebih kepada landasan moral yang disepakati, di mana nilai-nilai
yang menjadi dasar moral itu digali dari mata air agama-agama yang
ada. Lebih lanjut Bellah menerangkan, civil religion di Amerika
tidak tumbuh secara tiba-tiba. Keragaman kepentingan komunataskomunatas keberagamaan yang diekspresikan di ruang publik
acapkalikali menyeret pada ketegangan dan konflik45. Sementara
dasar sekuler yang dipilih negara juga kerap bertentangan secara
diametral dengan kepentingan kelompok agama-agama. Kondisi
tarik-menarik inilah yang memungkinkan civil religion sebagai
agama bersama dalam bernegara dapat diadopsi. Ekspresi-ekspresi
keberagamaan yang terwakili oleh Kristen, Katolik, Islam, Yahudi,
dan agama-agama lainnya, mampu melebur bersama dengan agama
sipil sebagai landasan moral yang telah disepakati.
Dari pengalaman Amerika, sebagaimana didedahkan Bellah
43 Robert N Bellah, Beyond Belief: Essays on Religion in A Post
Traditionalist World, London England, University of California Press,
1991, hlm 179
44 Ibid, 171
45 Ibid, 168
45
di atas, dapat di tarik benang merah bahwa civil religion tak lain
merupakan jawaban atas kepentingan agama dan negara yang
saling bertolak belakang. Ia menjelma menjadi jalan tengah yang
mendamaikan keduanya. Memang patut diakui bahwa kecendrungan
sistem teokratis ialah mengeksklusi kehadiran agama-agama lain
yang berbeda dengan memanfaatkan negara sebagai instrumennya.
Semantara Prinsip sekularisme yang diterapkan oleh negara akan
membawa agama ke wilayah periferal. Nilai-nilai transendensi agama
benar-benar di lumpuhkan dalam ruang publik. Kerumpangan dari
masing-masing sistem itulah yang pada akhirnya membuka celah bagi
“agama sipil” sebagai alternatif penengahnya.
Untuk konteks Indonesia, civil religion menemui signifikansinya
manakala Pancasila disepakati oleh para pendiri bangsa sebagai dasar
negara. Bahkan dengan secara meyakinkan Susan Salden Purdy
dalam bukunya, “Legitimacy of Power and Authority in a Pluralistic
State: Pancasila and Civil Religion in Indonesia,” mengatakan bahwa
Pancasila adalah civil religion di Indonesia. Menurutnya, Pancasila
sebagai civil religion bukan hanya mampu menjadi perekat dari
keberagaman agama, ras, dan suku bangsa yang ada, tetapi juga menjadi
landasan bersama dalam mengarungi kehidupan bernegara. Sila-sila
yang termaktub dalam Pancasila itu dapat menjadi landasan moral
bersama tanpa harus memedulikan sekat-sekat perbedaan. Pancasila
sebagai hasil konsensus melahirkan kesadaran dan kesukarelaan
untuk menerima kalangan yang berbeda46. Dengan kata lain, Pancasila
merupakan hasil konsensus politik yang memungkinkan seluruh
warga dapat hidup berdampingan.
Para pendiri bangsa tentu paham betul, ketika merumuskan
Pancasila akan ada pergesekan-pergesekan yang tidak dapat
dihindarkan antar-golongan yang memang memiliki aneka
kepentingan. Dengan dicetuskannya sila pertama “KeTuhanan
yang Maha Esa” menandakan bahwa tidak ada agama yang
mendaku diri lebih superior dibandingkan agama-agama lain. Posisi
46 Chafid Wahyudi, Nahdatul Ulama dan Civil Religion, Yogyakarta, Graha
Ilmu, 2013, hlm 32
46
negara pun dituntut netral. Ia tidak berhak mengadopsi doktrin
salah satu agama sebagai dasarnya. Peran negara justru harus
mengayomi dan melindungi ekspresi-ekspresi keberagamaan
warganya. Sebab ekspresi keberagamaan apapun yang hadir di
tengah-tengah warga, tentu patut diperhatikan dan diberi ruang,
sepanjang ia tak bertentangan dengan sila-sila yang lain. Sekalipun
terdapat pertentangan antar-kelompok agama yang menyuarakan
kepentingannya, Pancasila tetap dapat dijadikan rujukan untuk
saling mengerti dan memahami akan riil atas kemajemukan.
Oleh karenanya, corak ideologi transnasionalis kelompok
Islam is yang getol mengampanyekan Islam sebagai “the only
solution”, sebenarnya bisa ditangkal dengan menjadikan Pancasila
sebagai civil religion. Sebagaimana diketahui, Pancasila bukanlah
sekedar dasar dan falsafah negara, melainkan juga ideologi
nasional pemersatu bangsa. Soekarno, dalam pidato 1 Juni 1945,
turut mempertegas bahwa sila-sila yang tercermin dalam Pancasila
digalinya dari lubuk kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Sebab
itu bagi Bung Karno, Pancasila tak lain merupakan jelmaan jati
diri, kepribadian, moralatas, serta haluan keselamatan bangsa47.
Bahkan PJ. Suwarno menilai, bahwa nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila itu sudah termanifestasi sejak jaman
kerajaan Kutai dan Sriwijaya (400-1500 M). Dari kerajaan-kerajaan
awal di Nusantara itulah telah terbentang bahan material Pancasila.
Sebagai contoh, misalnya, nilai persatuan tak terpisahkan dengan
nilai keTuhanan, di mana raja mengakomodasi kedua nilai itu untuk
menstabilkan kekuasaannya. Begitupun kaitanya dengan ekonomi
dan kesejahteraan, terjalin erat dengan prinsip internasionalisme
dalam bentuk hubungan dagang antar-negeri. Singkatnya, nilainilai religius, sosial, dan kemasyarakatan sudah menghujam kuat
dalam laku hidup masyarakat Nusantara sejak dulu48.
Namun, sayangnya, kesaktian Pancasila itu adakalanya hanya
47 Yudi Latif, Negara Paripurna, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2011, hlm 41
48 PJ. Suwarno , Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius,
1993, hlm 24
47
sebatas slogan yang minus praksis tindakan. Petuah Pancasila hanya
mampu dilapalkan pada saat upacara bendera setiap hari senin.
Bisa jadi merebaknya paham radikal yang mengusung misi hendak
memancangkan tiang negara Islam dan penerapan syariah secara
total, adalah sebagai wujud dari lemahnya pengejawantahan nilainilai Pancasila dalam praktik kehidupan. Apalagi Pancasila kerap
diselewengkan demi merengkuh kepentingan-kepentingan praktis
dan serba berbau politis. Akibatnya nilai-nilai Pancasila menjadi
mandek, dan tak lagi memiliki daya gugah, sehingga tak mampu lagi
mencegah aksi korup para pejabat atau prilaku intoleran masyarakat.
Oleh karenanya, agar Pancasila mampu membumi, maka
kelima sila yang bersifat statis itu harus ditransformasikan ke
dalam bentuk operasionalnya. Pancasila harus diposisikan sebagai
landasan fundamental dalam hidup keseharian. Untuk memperkaya
pemahamam dan memperdalam penghayatan, maka diperlukan
upaya serius lewat apa yang diistilahkan Kuntowijoyo: “radikalisasi
Pencasila”. Radikalisasi Pancasila itu bisa digiatkan dengan
trasnformasi nilai-nilai Pancasila, yang semula kata benda abstrak,
menjadi kata kerja aktif. Sila KeTuhanan Yang Maha Esa, misalnya,
bisa ditafsirkan jadi “Mengesakan Tuhan”49.
Dengan “Mengesakan Tuhan”, berarti nilai-nilai keTuhanan
dianggap sebagai sumber etika yang penting peranannya bagi
kehidupan. Hal itu pula yang menjadi penegas bahwa bangsa
Indonesia yang multi-agama ini bukanlah negara “agama”, yang cuma
mengistimewakan salah satu agama saja, melainkan mengakomodasi
semua kepercayaan yang ada. Kerela-hatian kelompok Muslim
untuk menghapus “Tujuh Kata” dalam perumusan awal Pancasila,
barangkali bisa dijadikan teladan betapa integratas bangsa jauh
lebih bernilai dibandingkan kepentingan golongan. Pun sebaliknya,
Indonesia juga bukanlah negara sekular yang memisahkan agama
dan negara secara ekstrem. Dalam konteks Pancasila, agama dan
negara diharapkan menjalin hubungan secara berkesinambungan.
49 Yudi Latif, Op.cit, hlm 45
48
Civil Society sebagai Agen Civil Religion
Civil religion sebagai konsep, tentu tidak bisa berjalan
sendiri tanpa peran dari aktor penggeraknya. Civil religion yang
mengandaikan kerelaan untuk memberi ruang bagi mereka yang
berbeda untuk hidup bersama, menjalin kerjasama tanpa memandang
latar belakang, dan saling membantu untuk berbagai keperluan satu
sama lain, perlu dihidupi dalam praksis tindakan. Dengan pancaran
nilai-nilai inklusivatas, toleransi, dan penghargaan atas hak-hak
asasi dari civil religion itu, segala bentuk gerakan yang mengancam
keuTuhan bangsa dapat ditangkal. Prinsip-prinsip civil religion ini
setidaknya mampu menjadi tameng untuk menghindarkan warga
bertindak main hakim sendiri dan merasa diri paling benar. Selain
itu, civil religion juga mengakui hak-hak kaum minoratas untuk
dapat mengekspresikan keyakinannya secara bebas.
Untuk itu, agar cakupan semangat toleransi, keterbukaan, dan
saling menghargai itu mampu membumi, civil religion tentu perlu
bantuan, dari apa yang disebut sebagai civil society, yaitu orangorang atau kelompok yang memiliki komitmen yang kukuh untuk
membina hidup bersama. Sebab, bagaimanapun juga, idealnya nilainilai yang ditawarkan agama sipil itu akan sia-sia belaka, manakala
tidak ada dukungan, baik dari level struktur maupun tataran kultur,
dari masyarakat. Dalam konteks inilah civil society dianggap tepat
sebagai agen pelaksana dan mengapanyekan nilai-nilai Pancasila
sebagai agama sipil tersebut.
Keberadaan civil society ibarat imun yang akan menjaga
kesehatan demokrasi. Sebagai kekuatan yang bertumpu pada asas
kemandirian dan nilai-nilai bersama, civil society tentu mensyaratkan
ruang publik yang bebas, tak berafiliasi pada partai politik manapun,
serta tak ada intervensi dari negara dalam bentuk apapun50. Sudah
sejak lama, sebenarnya, civil society memainkan perannya yang
mencerahkan sebagai suluh kesadaran masyarakat Indonesia. Budi
Utomo dan Sarekat Islam yang lahir di awal abad ke-20 adalah
50 Muhammad AS. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta, LP3ES,
1996 hlm 57
49
contohnya. Bahkan selepas Reformasi, kekuatan civil society yang
terjelma dalam kelompok dan organisasi berbasis sosial-keagamaan
atau organisasi-organisasi non-pemerintah lainnya, justru menjamur
dan bahkan tidak terkontrol.
Kendati begitu, alih-alih menggembirakan, maraknya
kemunculan ormas-ormas berbasis sosial-keagamaan, pascaReformasi itu, tidak semuanya selaras dengan cita-cita demokrasi.
Banyak pula dari ormas-ormas semacam itu yang malah sengaja
mengusung misi hendak menjungkalkan demokrasi, dan
menggantikannya dengan sistem lain, semisal teokrasi. Keberadaan
ormas-ormas sejenis itu jelas bertolak belakang dengan Pancasila,
sebagai agama sipil. Namun, sebaliknya, ormas-ormas berbasis
sosial-keagamaan berhaluan moderatlah yang sangat dinantikan
perannya. Sebab, selain bertindak sebagai penyala rasionalatas
masyarakat, kehadiran ormas-ormas moderat juga manjur untuk
menangkal wabah kekerasan atas nama agama.
Selain sebagai agen penyokong Pancasila sebagai agama sipil,
keberadaan civil society dapat mengontrol agenda pemerintahan.
Sebagaimana diketahui, dominasi negara yang berlebihan terhadap
aktivatas warganya, justru dapat menciptakan keterkekangan yang
dapat menimbulkan disharmoni dalam kehidupan. Peran civil society
di sini bukan berarti seperti mata-mata, yang senantiasa awas dan
mengkritik tanpa dasar dalam setiap agenda yang dilaksanakan oleh
pemerintah. Namun lebih sebagai mitra yang saling bekerjasama, di
mana setiap warga dijamin untuk bebas menyuarakan aspirasinya.
Dan negara pula bersedia membuka ruang untuk menerima berbagai
masukan yang berasal dari civil society. Dengan begitu, civil society
dan negara, dapat saling bekerjasama untuk melakukan pencegahan
dini dari pelbagai tindakan kekerasan dan kesemena-menaan yang
dilakukan kelompok-kelompok tertentu, atas dalih agama.
Menyongsong Era Post-Islamisme: Sebuah Harapan
Tatkala Pancasila betul-betul diakui sebagai “agama sipil”,
serta diterimanya demokrasi sebagai sistem negara secara bersama-
50
sama, maka hasrat-hasrat seperti ingin mendirikan negara Islam,
penerapan hukum syariat secara kaffah, dan seruan jihad melawan
orang-orang kafir, sebagaimana yang selama ini rajin digaungkan
kaum Islam is, tidak lagi menarik untuk diwacanakan. Misi-misi
utopis yang getol digiatkan kalangan Islam is itu, akan menemui
jalan buntu, sebab dirasa sama sekali tidak ideal diterapkan dalam
konteks keindonesiaan. Maka harapan untuk mengubah paham, yang
semula berhaluan Islam is menjadi post-Islam is, merupakan sebuah
keniscayaan. Post-Islamisme adalah isyarat bahwa cita-cita utopis
yang dicanangkan kalangan Islam is selama ini, perlahan tapi pasti,
sudah mulai luruh dan dilupakan, serta tidak lagi menjadi tujuan.
Fenomena post-Islamisme telah menjadi tren baru dalam
lanskap Islam politik di Timur Tengah. Asef Bayat, melalui kata
pengantarnya dalam buku “Post-Islam ism: The Changing Faces of
Political Islam ”, mensinyalir bahwa fajar post-Islamisme sebenarnya
telah muncul seiring datangnya Musim Semi Arab (Arab Spring).
Angin musim itu berdampak pada perubahan pola gerakan Islam
di kawasan negara-negara Muslim, yang semula pro-kekerasan dan
anti-demokrasi, menjadi pembela demokrasi dan segala imperatifimperatifnya. Bayat mengambil contoh seperti Partai Renaisans di
Tunisia, Ikhwanul Muslimin di Mesir, Hizbullah di Lebanon, dan
AKP di Turki, yang telah menunjukkan pola gerakan moderat yang
berbeda dengan pola gerakan sebelumya. Gelombang perubahan
yang lebih mencolok juga terjadi di Arab Saudi akhir-akhir ini
dengan mulai diapresiasinya demokrasi, gender, pluralisme, dan
moderatisme. Penyebab perubahan orientasi gerakan Islam itu,
dalam amatan Bayat, merupakan manifestasi kekecewaan dari misi
pendirian negara Islam yang tak kunjung berbanding lurus dengan
kenyataan51.
Dalam bukunya yang lain “Making Islam Democratic”, Asef
Bayat turut mempertegas bahwa post-Islamisme adalah “neither
51 Asef Bayat, Post-Islamism: The Changing Faces of Political Islam, New
York, Oxford University Press, 2013, hlm 9.
51
anti-Islam ic, unIslam ic, nor is it secular52”. Terdapat gejala
perubahan wacana dan agenda gerakan Islamisme, dari yang semula
mementingkan perlunya penerapan syariah secara konstitusional
di tingkat negara, menuju pola baru dengan praktik syariah secara
individual. Dari fenomena itu, Bayat menyimpulkan bahwa alur gerak
kalangan Islam is tidaklah stagnan, melainkan dinamis tergantung
konteks sosial-politik yang mengintarinya. Pergeseran pola gerakan
itu berbeda dengan bentuk gerakan Islam is awal. Mereka tidak lagi
memaksakan tujuan untuk mendirikan negara Islam dan menerapkan
hukum syariah di segala bidang kehidupan, tetapi lebih condong
untuk mendialogkan antara Islam dan modernatas. Mereka pun
tampak legowo menerima demokrasi dan modernatas sebagai sistem
tanpa harus cemas akan kehilangan keyakinan yang telah kukuh
dipegang.
Lalu bagaimana di Indonesia? Seperti telah disebutkan
sebelumnya, bahwa ekspansi gerakan Islam is di Indonesia
menemukan ruangnya pasca runtuhnya rezim Soeharto. Seruan
pendirian negara Islam dan penerapan syariah memang semakin
nyaring terdengar pasca reformasi. Penerapan syariah dianggap
jalan ideal untuk mengatasi krisis multidemensi yang mendera
umat. Dari misi semacam itulah lahir gerakan-gerakan militan Islam
transnasionalis semisal; Majelis Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir
Indonesia, dan yang terakhir ISIS ala Indonesia, yang melakukan
serangkaian bom bunuh diri beberapa waktu lalu. Jika melihat
serangkaian aksi-aksi radikal dan terorisme pasca reformasi —Bom
Bali 1 dan II, Bom di Ritz Charlton Jakarta, hingga yang paling
mutakhir teror bom di Mako Brimob dan Gereja Surabaya— maka
fajar post-Islamisme, sebagaimana dirumuskan Bayat, sepertinya
tampak belum menjanjikan di Indonesia.
Itulah sebabnya mengapa, pemikir semisal Martin van
Bruinessan agak pesemis memandang masa depan Islam di Indonesia
untuk terbebas dari gempuran kelompok Islam is. Pandangan
52 Asef Bayat, Making Islam Democratic, New York, Oxford University
Press, 2008, hlm 5
52
demikian tentu bukan tanpa alasan. Dalam pengantar buku yang
dieditorinya, Contemporary Developments in Indonesia: Explaining
The Conservative Turn, Bruinessan mengatakan, bahwa terbukanya
katup demokrasi pasca robohnya rezim Soeharto seolah membuka
kotak pandora yang memungkinkan kelompok-kelompok Islam,
baik berhaluan reformis maupun radikal, menemukan kembali
ruang geraknya. Namun yang menjadi kegelisahan lanskap sosialpolitik Indonesia, yang baru saja terbebas dari penguasa tiran itu,
justru didominasi oleh kelompok-kelompok ekstremis radikal. Dan
serangkaian aksi teror, bom bunuh diri, serta ketegangan antarumat beragama, menjadi segerobak bukti betapa masifnya gerakan
kelompok-kelompok ekstremis-radikal tersebut53.
Di tengah geliat ekspansi kelopok radikal itu, sayangnya,
menurut Bruinessan, kelompok-kelompok Islam berhaluan progresif
dan moderat arus utama, justru malah mengalami fenomena apa
yang disebutnya sebagai “conservative turn (kembali ke arah
konservatif).” Conservative turn yang ditunjuk Bruinessen itu, tentu
bukan hanya sebatas aksi-aksi radikal secara fisik, melainkan juga
terekspresi dalam bentuk wacana pemikiran berupa fatwa-fatwa,
kebijakan-kebijakan pro-syariah, dan lain-lain. Dalam menangkal
arus konservatisme itu, bukan berarti tidak ada sama sekali tokohtokoh progresif yang vokal menyuarakan keberatan. Namun mereka,
kata Bruinessan, “had lost the power to defne the terms of debate and
had to leave the initiative to the conservatives and fundamentalists”54.
Di samping ada nada pesemis, sebagaimana ditunjukkan
Bruinessan di atas, terdapat juga yang memandang optimis atas
masa depan Islam Indonesia di masa depan. Noorhaidi Hasan
dalam tulisannya “Post-Islam ist Politics in Indonesia”, misalnya,
mengatakan bahwa pengaruh dan upaya kalangan Islam is yang
berusaha untuk mendirikan negara Islam di Indonesia telah menemui
53 Martin van Bruinessan, Contemporary Developments in Indonesia:
Explaining The Conservative Turn, Singapore, ISEAS Publishing, 2013,
hlm 3
54 Ibid, hlm 4
53
kegagalan. Seruan kalangan Islam is melalui serangkain doktrin dan
simbol agama tidak mendapat tempat yang luas, sehingga membuat
keberadaan gerakan-gerakan Islam is yang kerap mengumbar
kekerasan menjadi terpinggirkan dan kurang mendapat sambutan
antusias dari masyarakat.
Menyadari kegagalan tersebut, akhirnya memaksa kelompok
Islam is mengubah strategi untuk menerapkan“syariah dari bawah
(shari’a from below)”, mempromosikan dakwah yang nir-kekerasan,
hingga seruan pentingnya menjaga keuTuhan bangsa. Wacanawacana baru yang ditempuh kelompok Islam is itu dianggap pas
dengan kondisi bangsa saat ini. Sebab kampanye kekerasan yang
acapkali dilekatkan di pundak kalangan Islam, dianggap malah akan
menjauhkan dari cita-cita mencapai kembali kejayaan Islam 55.
Salah satu faktor yang berkontribusi atas gagalnya agenda
politik Islam kaum Islam is, menurut Noorhaidi Hasan, ialah tidak
bisa dilepaskan dari kesukseksan kalangan Muslim moderat (civil
society), yang senantiasa mempromosikan Islam berwajah ramah
dan Pancasila sebagai acuan moral berbangsa dan bernegara.
Ketebukaan yang disediakan oleh sistem reformasi memungkinkan
lahirnya kalangan moderat Muslim untuk mengimbangi wacana
yang digulirkan kalangan Islam is radikal. Kahadiran kelompok
moderat dengan seruan pentingnya menjaga kesatuan, keadilan,
dan kesetaraan, sekaligus juga mampu menangkal dominasi wacana
berupa pendirian negara Islam dan penegakan syariat kalangan
Islam is radikal. Dengan begitu, timbul semacam kesadaran di
kalangan masyarakat secara luas, ihwal bahayanya gerakan Islam
radikal yang hendak mendongkel Pancasila sebagai dasar negara dan
menggantinya dengan Islam.
Hal demikianlah, menurut Noorhaidi, yang menjadi dasar
alasan bahwa Indonesia tengah menyongsong era post-Islamisme.
Bahkan secara gamblang Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
itu berujar:
55 Asef Bayat, Post-Islamism: The Changing Faces of Political Islam, Op.Cit
hlm 176
54
“Indonesia today is in the throes of starting along post a postIslam ist path. A sort of synthesis between the call for Islam ’s
importance for public life and democracy, post-Islam ism has
emerged as an alternative to Islam ist radicalism. Through its
endeavor to fuse religiousity and rights, faith and freedom, as
well as Islam and liberty, this post-Islam ist alternative has
enabled Muslims to express and actualized their religious
beliefs and practices, without plunging into violence and
joining the cycle of militancy56.”
Di tengah berlangsungnya konsolidasi demokrasi saat ini,
seruan untuk menegakkan khilafah dan pemberlakuan syariah
secara kaffah, sebagaimana getol diperjuangkan kalangan Islam is
selama ini, telah kehilangan daya pikatnya. Islamisme biasanya akan
menguat manakala negara berlaku otoriter dan mengekang kebebasan
masyarakatnya. Selama negara memberi ruang ekspresi untuk ikut
serta memikirkan persoalan-persoalan pelik yang mendera bangsa,
kaum Islam is akan melunak dan tidak lagi memaksakan kehendak.
Sebab itu, kalangan Islam is radikal, barangkali, tidak perlu melulu
diperlakukan lewat cara-cara represif, sebagaimana yang dilakukan
selama ini. Sebagai manusia yang memiliki kecendrungan akan
kebenaran, tidak ada salahnya bila kalangan Islam is, yang dianggap
radikal sekalipun, diberi kesempatan untuk menjalin dialog dan
kerjasama, untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik secara
bersama-sama.
Gencarnya ekspansi kaum Islam is yang hendak merobohkan
bangunan kebangsaan kita, tentu patut dirisaukan. Ledakan bom
dan serangkaian aksi teror tak pelak memang dapat mengguncang
kesatuan bangsa. Apapun alasannya, menyebarkan benih-benih
kebencian dan kekerasan jelas bertentangan dengan watak dan
corak kepribadian negeri ini. Benar kata Buya Syafii Maarif, bahwa
ideologi Islam is, apapun bentuknya, tak akan merajalela seenaknya
manakala “cita-cita para pendiri bangsa dan Pancasila tak dibiarkan
56 Asef Bayat, Ibid, 177
55
menggantung di awang-awang, tetapi dihayati dan dilaksanakan
secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab57. Karenannya,
selain perlunya meningkatkan perekonomian, membenahi sistem
pendidikan, dan memperkuat tata hukum, menjadikan Pancasila
sebagai agama sipil yang akan berperan sebagai ideologi nasional,
tentu sebuah keniscayaan yang tidak mustahil dapat diwujudkan.
57 Ahmad Syafii Maarif, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita,
Jakarta: Paramadina, 2010, hlm 34
56
Daftar Pustaka
Ayoob, Mohammed, The Many Faces of Political Islam : Religion
and Politics in Muslim World, The United States of America,
The University of Michigan Press, 2008
Bagir, Zainal Abidin, Kerukunan dan Penodaan Agama Alternatif
Penanganan Masalah, Yogyakarta, CRCS UGM, 2018
Bayat, Asef, Making Islam Democratic, New York, Oxford
University Press, 2008
Bayat, Asef, Post-Islam ism: The Changing Faces of Political
Islam, New York, Oxford University Press, 2013
Bellah, Robert N., Beyond Belief: Essays on Religion in A Post
Traditionalist World, London England, University of
California Press, 1991
Bellah, Robert N., Rousseau on Society and the Individual, United
States of America, Yale University Press, 2002, Hlm 282
Bruinessan, Martin Van, Contemporary Developments in
Indonesia: Explaining The Conservative Turn, Singapore,
ISEAS Publishing, 2013
Hasan, Noorhaidi, Islam Politik di Dunia Kontemporer; Konsep,
Genealogi, dan Teori, Yogyakarta, Suka Press, 2012
Hikam, Muhammad AS, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta,
LP3ES, 1996
Kimball, Charles, When Religion Becomes Evil, London: Harpen
Collins, 2008
Latif, Yudi, Negara Paripurna, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2011
Maarif, Ahmad Syafii, Politik Identitas dan Masa Depan
Pluralisme Kita, Jakarta: Paramadina, 2010
Suwarno, PJ, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta:
57
Kanisius, 1993
Tibi, Bassam ,Islam ism and Islam, United States of America, Yale
University Press Book, 2012
Wahyudi, Chafid, Nahdatul Ulama dan Civil Religion, Yogyakarta,
Graha Ilmu, 2013
58
MENANGKAL NARASI NKRI BERSYARIAH DIBALIK
POPULISME ISLAM
Amirullah
NKRI Bersyariah, Teh Botol Sosro, dan Perebutan Kekuasaan
Akhir-akhir ini semangat konservatisme telah mendapatkan
momentumnya di pemilu 2019. Sekalipun keluar dengan pihak
yang kalah dalam kontestasi Pilpres, semangat dan sikap ini ingin
terus dirawat. Kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin, dan kalahnya
Prabowo-Sandi, meninggalkan catatan-catatan penting yang dapat
menjadi refleksi bersama, betapa simbol-simbol agama di tahuntahun politik tersebut menjadi isu yang sangat sensitif dan membelah
umat-bangsa sedemikian rupa. Karena memang diskursus tentang
agama, apalagi telah bercampur di panggung politik, menjadi sangat
sensitif dan mengundang gejolak, karena setiap orang merasa dirinya
yang paling benar, dan siap mati atas nama perjuangan keagamaan
yang diklaimnya suci dan benar itu. Di antara isu yang diangkat
pada tahun-tahun politik tersebut, adalah upaya untuk menegakkan
NKRI bersyariah. Sehingga perjuangan politik kekuasaan mendapat
legitimasi suci atas nama syariah.
Sekalipun wacana yang dikampanyekan oleh para elit atau
sebagian alumni Aksi Bela Islam adalah penerapan syariat Islam
(NKRI bersyariah), pada akhirnya tetap saja berorientasi kepada
kekuasaan. Rangkaian Reuni 212 hingga Ijtima Ulama yang
mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor
urut 02, menandakan secara jelas bagaimana simbol-simbol agama
59
ditarik di atas panggung politik praktis untuk sebuah kekuasaan,
kendati Prabowo-Sandi kalah dalam pilpres 2019. Tapi, hal yang
senantiasa menjadi perhatian dan kajian para peneliti, sebagaimana
pengamatan yang dilakukan Amin Abdullah, bahwa pasca Aksi 212
conservative turn menguat kembali dan bertujuan untuk meraih
kekuasaan politik (sekalipun gagal dalam kasus pilpres 2019). Amin
Abdullah menyebut gejala ini sebagai highly political spiritualy, yaitu
mereka mengangkat simbol-simbol dan spiritualatas Islam tetapi
untuk tujuan politik kekuasaan.58 Karena pada akhirnya, manakala
agama sudah masuk tercebur dalam dunia politik, yang terjadi adalah
kontestasi, rivalatas, dan perebutan kekuasaan. Fokusnya menjadi
sangat profane, wordly, duniawi.59 Demikian pandangan Amin.
Kelompok yang “memaksakan” penerapan syariat Islam
secara total di Indonesia ini, penulis lebih suka menyebutnya
sebagai “gerombolan kaum konservatif” daripada kelompok radikal.
Gerombolan kaum konservatif ini oleh Najib Burhani digambarkan
sebagai kelompok yang mental, sikap, dan perilaku sektarian di
masyarakat. Gerombolan kaum konservatif ini, kata Burhani,
adalah mereka yang hanya berpikir tentang kelompoknya dan
selalu menganggap kelompok lain sebagai ancaman. Mereka sering
memimpikan kehidupan yang homogeny, karena dalam bayangan
mereka, bahwa dalam homogenatas, kedamaian, ketenteraman, dan
kebahagiaan akan digapai. Ungkapan menarik dari Slavoj Zizek,
seperti dikutip Najib Burhani, “If only they weren’t here, life would
be perfect, and society will be harmonious” (jika mereka tidak di
sini, maka kehidupan ini akan menjadi sempurna, dan masyarakat
akan menjadi harmonis lagi).60 Padahal, mengharapkan untuk hidup
dalam komunatas yang homogen, terlebih di dunia yang global saat
58 M. Amin Abdullah, Fresh Ijtihad: Manhaj Pemikiran Keislaman
Muhammadiyah di Era Disrupsi, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,
2019), 32-33.
59 M. Amin Abdullah, Fresh Ijtihad, 76.
60 Ahmad Najib Burhani, Menemani Minoritas: Paradigma Islam tentang
Keberpihakan dan Pembelaan Kepada yang Lemah, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2019), 69-70.
60
ini, adalah harapan yang sulit dipenuhi, jika tidak absurd. Demikian
Ulasan peneliti LIPI ini dalam bukunya, “Menemani Minoratas:
Paradigma Islam tentang Keberpihakan dan Pembelaan Kepada
yang Lemah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2019)”.
Upaya sekelompok kecil ormas Islam yang ingin mendirikan
Negara Islam ataupun khilafah, terlihat tidak mengeras dan
cenderung tenggelam. Namun, sangat menarik diamati, di balik
Aksi Bela Islam yang dilaksanakan secara berkala sejak 2016 lalu,
ternyata wacana yang dikampanyekan sebelumnya, diganti menjadi
perlunya diberlakukannya syariat Islam secara total di Indonesia.
Akhir-akhir ini memang, isu ‘negara Islam ’ tidak mengeras lagi,
misalnya saja dibandingkan sewaktu Revolusi Islam di Iran baru
muncul. Dan kini, isu tersebut telah bergeser menjadi soal perlunya
penerapan Syariat Islam.61 Demikian penilaian armarhum Moeslim
Abdurrahman yang sepertinya masih sangat relevan untuk melihat
fenomena populisme Islam dan isu NKRI bersyariah akhir-akhir ini.
Wacana NKRI bersyariah ini jika diamati, sangat mirip dengan
kampanye yang dilakukan oleh HTI tentang khilafah. Wacana dan
kampanyenya sederhana saja, ibarat iklan Teh Botol Sosro, “apapun
masalahnya solusinya adalah khilafah”. Masalah sumber daya
alam yang dikuasai asing, masalah kemiskinan, masalah korupsi,
masalah pendidikan, masalah kesenjangan, masalah kesejahteraan,
dan seterusnya yang mendera Indonesia, mereka kampanyekan
kerusakan itu semua akibat dari sistim yang sesat, dan solusinya
adalah khilafah. Dan memperjuangkannya adalah jalan dakwah
yang mulia, atau jihad fii sabilillah, yang pahalanya cukup besar.
Demikian pula dengan wacana atau kampanye yang dilakukan oleh
Habib Rizieq dan para pendukungnya, tentang perlunya menerapkan
syariat Islam secara total di Indonesia agar semuanya menjadi
“beres”.
61 Moeslim Abdurrahman, Sebuah Gagasan Keagamaan dalam Sejarah
Politik, pengantar dalam buku Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila
sebagai Dasar Negara (Bandung: Mizan dan MAARIF Institute, edisi baru
2017), xiv.
61
Bagi orang-orang yang terbiasa berpikir metodologis, cara
berpikir, seperti yang dikampanyekan HTI dan FPI ini, terlalu
menyederhanakan persoalan, untuk tidak mengatakan kurang
mengerti persoalan. Meminjam istilahnya Najib Burhani, bahwa
gagasan tentang penerapan syariat Islam yang dihembuskan terusmenerus oleh Habib Rizieq dan para pendukungnya, ini ibarat sebagai
perwujudan “Ratu Adil”. Syariat, dipandang sebagai total solution
atau obat mujArab terhadap segala problem yang dihadapi oleh
bangsa ini. Krisis ekonomi, politik, moral, sosial, dan sebagainya,
adalah disebabkan karena bangsa ini menerapkan sistem sekuler,
sistem buatan manusia yang penuh kekurangan. Karena itu, sistem
buatan manusia itu harus diganti dengan sistem milik Tuhan yang
bernama syariat, yang diyakini bersifat sempurna.62 Padahal tidak
sesederhana itu, demikian menurut Najib Burhani.
Kontestasi pilpres 2019 telah berakhir, apakah fenomena
populisme Islam atas nama perjuangan ingin menjadikan NKRI
bersyariah masih terus dilakukan? Boleh jadi iya, dan boleh jadi
tidak. Tetapi pada level wacana, keinginan untuk menjadikan NKRI
bersyariah akan terus dikumandangkan, sekalipun wacana ini relatif
sangat mentah. Uraian singkat di bawah ini hendak menyadarkan
masyarakat Indonesia, bahwa NKRI bersyariat yang dikampanyekan
itu, sesungguhnya hanyalah ilusi. Faktanya, Indonesia jauh lebih
hebat dan selangkah lebih maju jika dibandingkan dengan negaranegara mayoratas muslim lain di dunia, jika dilihat dari banyak aspek
kemajuan Islam di Indonesia. Kampanye NKRI bersyariah dari
“gerombolan kaum konservatif” akan tetap ada, sembari menunggu
momentum yang tepat. Untuk itu, tulisan ini setidaknya sebagai
upaya argumentatif untuk menangkal narasi NKRI bersyariah yang
diprediksi akan terus dikampanyekan.
62 Ahmad Najib Burhani, Menemani Minoritas: Paradigma Islam tentang
Keberpihakan dan Pembelaan Kepada yang Lemah, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2019), 177.
62
Menangkal Wacana NKRI Bersyariah dan Bukti Indonesia yang
“Islami”
Aksi Bela Islam yang dilakukan, hingga reuni alumni Aksi
Bela Islam secara berkala, tidak dapat dimungkiri, telah dijadikan
momentum oleh kelompok FPI atau kelompok Islam yang sejalan
dengan FPI, yang selama ini menghendaki penerapan syariat Islam
secara total di Indonesia. Mereka menggiring massa Aksi Bela
Islam, atau massa reuni tersebut, sebagai gerakan umat yang ingin
menegakkan syariat Islam. Sekalipun banyak yang ikut Aksi Bela
Islam tidak sepakat dengan narasi yang dihembuskan FPI. Banyak
kalangan yang merespon seruan syariatisasi Indonesia tersebut
dengan berbagai pertanyaan kritikal yang diajukan. Bagaimana sikap
kita atas NKRI Bersyariah yang berulang ulang diperjuangkan oleh
Habib Rizieq? Adalah pertanyaan penting yang diajukan oleh Denny
JA dalam sebuah tulisannya yang menarik, “NKRI Bersyariah atau
ruang publik yang manusiawi?, demi merespon Habib Rizieq yang
berkali-kali, sejak Aksi Bela Islam 2016 dan reuni 212 pada akhir
2017 lalu, menyerukan tegaknya NKRI bersyariah.
Apa yang dimaksud dengan NKRI bersyariah ala Habib
Rizieq? Apakah Indonesia tanpa bioskop-bioskop, sehingga semua
orang tidak boleh lagi menonton film Dilan dan Ahok? Jika ini yang
dimaksud, bukan hanya jutaan milenial dan pendukung Ahok yang
menolak, tetapi juga jutaan emak-emak yang menyukai karyanya
Asma Nadia, yang menghiasi bioskop selama ini, jutaan anak-anak
muda yang menyukai karyanya Habiburrahman ataupun Hanum Rais.
Jika itu yang dimaksud, tentu saja akan berhadapan dengan jutaan
warga Muhammadiyah dan NU, yang selama ini menuangkan karyakaryanya melalui layar lebar. Atau NKRI bersyariah yang dimaksud
adalah, ketika perempuan-perempuan Indonesia tidak diperkenankan
keluar rumah, naik grab atau gojek serta berkendaraan? Jika itu
bagian yang dimaksud, Habib Rizieq perlu menengok perubahanperubahan penting di Arab Saudi beberapa tahun terakhir ini, dalam
konteks membangun publik space yang lebih manusiawi dan maju,
tanpa melanggar norma-norma agama. Hal lain yang menarik diamati,
seruan NKRI bersyariah oleh “gerombolan kaum konservatif”, yang
bersekutu secara politis dengan seleb Ahmad Dhani, yang sudah
63
kenyang dengan kemesuman dunia hiburan di satu sisi, memang
seringkali membingungkan umat. Lalu NKRI bersyariah seperti apa
yang hendak dibangun?
Tentu saja, adanya wacana NKRI bersyariah berarti antitesis
dari NKRI tidak bersyariah. Pertanyaannya, apakah betul Indonesia
ini anti syariah? Mungkin orang bisa berdebat untuk menjawab ya
atau tidak. Tetapi faktanya, dalam batas-batas tertentu, Indonesia
dapat dikatakan sebagai negara yang Islam, sekalipun falsafah dan
dasar negaranya adalah Pancasila. Pancasila sendiri, diakui atau tidak,
merupakan hasil obyektivikasi dari nilai-nilai substansial ajaran Islam
–agama yang universal. Adanya Kementerian Agama, pembangunan
sarana ibadah, penggunaan aparat birokrasi untuk Bazis, proyekproyek keagamaan, penyelenggaraan pendidikan Islam, bank syariah,
hotel syariah, bahkan ada properti syariah, adanya MUI, pengeluaran
dana dari pemerintah untuk acara-acara keagamaan, seperti; MTQ
atau perayaan-perayaan hari besar, adanya berbagai UU yang diadopsi
dari hukum Islam, adanya Perda atau peraturan Walikota/Bupati yang
mengakomodir kepentingan umat, dan lain-lainya, merupakan bukti
telanjang bahwa negara, sudah dan sedang melindungi umat Islam
menjalankan syariat.
Melalui Kementerian Agama, negara mengelontorkan 63
triliun uang rakyat untuk memastikan agama, khususnya umat
Islam, menjalankan syariatnya. Negara yang dituduh tak bersyariat
ini bahkan menggaji penyuluh agama Islam yang jumlahnya 49.497
orang. Berdirinya 25.938 pesantren, dengan jumlah Santri 3.962.700
orang di seluruh tanah air. Berkembangnya Madrasah (MI, MTS
dan MA) yang jumlahnya 75.199 (data kemenag 2015). Indonesia
memiliki 676 perguruan tinggi Islam di berbagai pelosok negeri, secara
kuantitatif berbanding jauh bahkan dengan Arab Saudi yang hanya
punya 60 perguruan tinggi Islam, Mesir hanya punya 55 perguruan
tinggi Islam, atau negara tetangga kita, Malaysia, yang menjadikan
Islam sebagai agama negara, hanya memiliki 35 perguruan tinggi
Islam. Ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negeri yang Islami
melampui Arab Saudi. Indonesia tercatat memiliki 800.000 Masjid ,
diperkirakan sekarang ini ada satu juta Masjid di seluruh Indonesia.
Belum lagi Musholah, yang hampir ada di berbagai tempat.
64
Pelaksanaan ritual keagamaan umat Islam tak pernah defisit.
Masjid -Masjid tak pernah sepih dari jamaah. Pengajian, tabligh
akbar, menggema di berbagai tempat, menyisir semua kalangan,
bahkan di berbagai lembaga negara. Dari pusat hingga daerah,
dakwah Islam semakin semarak. Trend memakai busana muslim/
muslimah terus meningkat. Bahkan di kalangan artis pengajian,
dan semangat “hijrah” menggelora. Belum lagi tabligh akbar yang
menghiasi layar TV kita, tidak pernah sepih.
Untuk memastikan umat menjalankan syariatnya, tak sedikit
UU diadopsi dari hukum Islam. Seperti UU No.3 tahun 2006
(perubahan atas UU No.7 tahun 1989) tentang Peradilan Agama, UU
No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No.23 tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat, UU No.41 tahun 2004 tentang Wakaf, UU No.13
tahun 2008 tentang Haji, UU No.33 tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal, UU No.23 tahun 2008 tentang perbankan syariah, UU
No.44 tahun 2008 tentang pornografi, UU No.7 tahun 1974 tentang
penertiban perjudian, dan masih banyak lagi seperti UU narkotika
dan lainnya. Ini adalah bukti nyata bahwa negara sudah memihak
pada umat Islam.
Negara yang berdasarkan Pancasila ini berjasa pada agama
karena dua hal, seperti yang diungkapkan Kuntowijoyo: (1)
menyediakan anggaran; dan (2) membuat birokrasi terlibat dalam
penyebaran agama.63 Tetapi tak semua hukum Islam dapat diterapkan
sebagai hukum negara, sebagaimana keinginan Habib Rizieq. Sebab
negara milik orang banyak, bukan milik golongan tertentu, suku
tertentu, atau monopoli paham agama tertentu. Di sinilah makna
Pancasila, NKRI, atau Bhinneka Tunggal Ika, yang menempatkan
Indonesia sebagai rumah bersama. Bahwa ada hukum negara yang
diambil dari hukum agama, seperti dikatakan Kuntowijoyo, haruslah
melalui proses obyektifikasi, yang pembentukannya atas persetujuan
bersama warga negara.
63 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), 202.
65
Menangkal NKRI Bersyariah dan Menjaga Indonesia sebagai
Rumah Bersama
Siapapun tak boleh memaksakan, bahwa semua syariah
Islam harus menjadi hukum negara. Dan menjadikan Islam sebagai
kekuatan pemaksa di negara yang multi religion dan multicultural,
adalah melawan syariah itu sendiri. Agama dan negara, mengutip
Kuntowijoyo, adalah dua satuan sejarah yang berbeda hakikatnya.
Agama adalah kabar gembira dan peringatan (basyiran wa nadzira,
baca QS Al-Baqarah:119), sedangkan negara adalah kekuatan
pemaksa (coercion). Agama punya khatib, juru dakwah, dan ulama,
sedangkan negara punya birokrasi, pengadilan, polisi dan tentara.
Agama dapat memengaruhi jalannya sejarah melalui kesadaran
bersama (collective concience), negara memengaruhi sejarah dengan
keputusan, kekuasaan, dan perang. Agama adalah kekuatan dari
dalam, dan negara adalah kekuatan dari luar.64 Dua dimensi yang
berbeda namun dapat saling mengisi. Agama diharapkan dapat
menjadi sumber nilai dan membimbing moralatas penganutnya
dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan.
Kelangsungan hidup sebuah agama tergantung pada
pemeluknya, tidak pada negara. Dengan kata lain, jangan memaksa
agama tumbuh dengan logika kekuasaan, tapi biarlah ia hidup
dengan logika iman yang penuh kesadaran. Sebab agama adalah
kekuatan dari dalam, dan negara adalah kekuatan dari luar. Aceh
memang memberlakukan “syariat Islam”, tetapi bukan berarti bisa
membendung gurita korupsi di Aceh, yang banyak melibatkan pejabat
hingga Gubernur dan Bupati di sana ditahan KPK. Untuk itu, tujuan
terpenting syariah (al-Qur’an), seperti dikatakan Buya Syafii Maarif,
adalah agar nilai-nilai dan perintah-perintah etiknya dijunjung
tinggi dan bersifat mengikat atas kegiatan-kegiatan sosio-politik
umat manusia. Menarik ungkapan dari Buya Syafii, “simbol semata
tidak dapat dijadikan jaminan, selama perilaku kesehariannya tidak
mencerminkan nilai-nilai Islam yang sejati dalam format kearifan,
keadilan, kejujuran, toleransi, kejernihan berpikir, dan tidak rakus.”
64 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, 101-102.
66
Secara simbolatas, rutinatas, dinamika, dan ritualatas umat
Islam Indonesia hari-hari ini cukup luar biasa, jika dibandingkan era
orde lama dan orde baru. Lalu, NKRI bersyariah seperti apa yang
hendak ditegakkan Habib Rizieq? Titik berangkat menuju negara
Islam-kah? Jika belum jelas bagaimana bentuk atau operasionalisasi
NKRI bersyariah yang diinginkan, maka suara Habib Rizieq yang
berapi-api itu sangat mungkin dikatakan sebagai propaganda ilusi,
jika bukan politisasi menjelang pemilu 2019 lalu. Usulan Denny JA,
bahwa diperlukannya index yang terukur dan melihat dunia dengan
data, adalah sangat tepat, daripada Habib Rizieq menghabiskan
energinya memprovokasi banyak orang, untuk mengimani gagasan
abstrak yang belum jelas dan detail tersebut. Semua telah sepakat,
bahwa Pancasila sebagai fondasi bangsa sudah final. Muhammadiyah,
NU, dan mayoratas umat Islam telah berkomitmen menjaganya.
Energi umat sudah seharusnya diarusutamakan dalam gerakan
membumikan agenda ta’awun untuk negeri, agenda memajukan
bangsa, dan berperan untuk menawarkan jalan keluar dari krisis yang
dihadapi bangsa dan umat manusia. Energi umat haruslah diarahkan
untuk menyelesaikan berbagai persoalan kebangsaan yang lebih
fundamental.
Agenda-agenda inilah sesungguhnya yang merupakan syariah
Islam substansial, yang seringkali luput dari perhatian Habib Rizieq
dan pendukungnya. Jika syariah Islam substansial ini teraktualisasi
dalam kehidupan sosial-politik umat Islam Indonesia, sebagai negara
muslim terbesar, Indonesia tidak akan lagi berada di rangking 74
dalam Islamic City Index atau berada di bawah top 50 dalam skor
Happiness Index.
Mengutip Buya Syafii Maarif, negara hanya dapat dikatakan
bercorak Islam, manakala keadilan dan lain-lainya itu benarbenar terwujud dan terasa di dalamnya, dan memengaruhi seluruh
kehidupan rakyat.65
65 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara
(Bandung: Mizan dan MAARIF Institute, edisi baru 2017), 22
67
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin, Fresh Ijtihad: Manhaj Pemikiran KeIslam
an Muhammadiyah di Era Disrupsi, (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2019)
Abdurrahman, Moeslim, Sebuah Gagasan Keagamaan dalam
Sejarah Politik, pengantar dalam buku karya Ahmad
Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara
(Bandung: Mizan dan MAARIF Institute, edisi baru 2017)
Burhani, Ahmad Najib, Menemani Minoratas: Paradigma Islam
tentang Keberpihakan dan Pembelaan Kepada yang Lemah,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2019)
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan,
1997)
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara
(Bandung: Mizan dan MAARIF Institute, edisi baru 2017)
68
INSTITUSI KEAGAMAAN SEBAGAI KOHESI SOSIAL
Saepullah
Pendahuluan
Ajaran agama dapat menyebabkan kekakuan dan intoleransi,
ketika berhadapan dengan ajaran atau keyakinan agama lain. Ajaran
agama, ketika diterima secara mutlak tanpa diberikan ruang untuk
menginterpretasikan kembali, dapat menjadi sumber konflik antara
agama (baca umat beragama). Terlebih lagi pemahaman agama,
disampaikan sebagai firman Tuhan, sehingga tidak mungkin lagi ada
celah untuk mempertanyakannya kembali.66 Makna konflik bukan
hanya mempunyai makna negatif, akan tetapi konflik bisa jadi
menghasilkan sesuatu yang positif. Konflik bisa berfungsi menjadi
penyebab berubahnya sistem sosial, seperti berubahnya hubungan
struktur kelembagaan, kemajuan teknis dan produktivatas, dan
perubahan hubungan antara konflik sosial dan perubahan sistem
sosial.67
Indonesia adalah negara yang sangat homogen, dimana
kelompok-kelompok agama, mempunyai peran penting dalam
66 Eric Brahm, “Religion and Conflict”, Beyond Intractability (November
2005), http://www.beyondintractability.org/essay/religion-and-conflict
(diunduh tanggal 01 Oktober 2013).
67 Lewis A. Coser, “Social Conflict and The Theory of Social Change”, The
British Journal of Sociology, Vol. 8, No. 3 (1957): 197-207.
69
keberlangsungan bernegara.68 Zainun Kamal berpendapat, bahwa
Indonesia merupakan tempat pertemuan antara epistimologi yang
ada di barat dan di Timur. Persoalan berat pada bangsa ini adalah,
bagaimana bangsa ini dapat mempertemukan kedua kutub pemikiran
tersebut. Persoalan konflik agama, dimana ajaran agama menjadi
alat pembenaran, seharusnya dapat dicarikan jalan keluar melalui
kearifan lokal.69 Zainun Kamal menafsirkan bahwa selayaknya
kearifan lokal yang sudah diketahui menjadi titik pangkal sebagai
epistimologi, untuk menghindari sesuatu yang tidak diketahui oleh
bangsa ini.70
Perbedaan kelompok keagamaan (agama), sebagai bagian
dari kelompok-kelompok sosial, mempunyai peran yang signifikan
dalam keberlangsungan berbangsa dan bernegara. Keragaman
selayaknya tidak harus menimbulkan masalah sosial. Keragaman
agama yang ada pada suatu bangsa dan negara, haruslah dipandang
sebagai sesuatu kekuatan sosial ataupun politik yang efektif dalam
masyarakat. Persoalan pada keragaman agama ini muncul ketika
terjadi gesekan kepentingan atau klaim tertentu pada masing-masing
agama.71 Islam (umat) merupakan mayoratas terbesar penganut
agama di Indonesia, yaitu 87,18%, sedangkan Kristen 6,96%,
Katolik 2,91%, Hindu 1,69%, Buddha 0,72%, Khong Hu Cu 0,05%
dan lainnya 0,13%.72
Persoalan keragaman agama, dipicu oleh bagaimana sebuah
68 Julie Chermov Hwang, Umat Bergerak: Mobilisasi Damai Kaum Islamis di
indonesia, Malaysia, dan Turki (Jakarta: Freedom Institute, 2011), 111.
69 Quran, al ‘Imran ayat 104.
70 Zainun Kamal, “Epistimologi untuk Indonesia”, Democrasi
Project (3 Agustus 2013), https://www.youtube.com/watch?v=
SzOh5cNMmko&index=21&list=PLwinC5EAvuc i03Gr3fjxinECTagfhjiRs
(diunduh tanggal 1 Januari 2014).
71 Zainal Abidin Bagir (dkk.), Pluralisme Kewargaan: Arah Politik Baru
Keragaman di Indonesia (Jakarta: CRCS dan Mizan, 2011), 16-17.
72 Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, “Penduduk Menurut wilayah dan
Agama yang Dianut”, BPS (2010), http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/
tabel?tid=321 (diunduh tanggal 23 Oktober 2013).
70
Identitas agama dapat dijadikan alat yang efektif ketika berada di
ruang publik. Seharusnya, Identitas agama yang beragam tersebut
tidak dijadikan alat untuk membeda-bedakan, sehingga dapat
tercipta kesetaraan dalam keragaman agama dalam konteks negara
dan bangsa. Konsep kewargaan, dalam konteks bangsa dan negara,
bukanlah menjadi syarat untuk memperoleh hak-hak dasar manusia,
sehingga yang minoratas bukanlah menjadi subordinat yang
mayoratas, akan tetapi posisi minoratas dan mayoratas seharusnya
sama.73
Penenelitan ini memaparkan Islam sebagai sebuah Identitas
agama yang mayoratas, dan Identitas agama lain, yaitu Buddha,
sebagai perwakilan dari yang minoratas, yang dijadikan sebagai
objek penelitian. Islam sebagai Identitas sosial, dan begitu pula
Buddha sebagai Identitas sosial lain, mempunyai perberbedaan secara
teologis (ajaran). Kesamaan dan kebersamaan dalam beragama,
atau antara kelompok yang berbeda paham, itu lebih dikedepankan,
sehingga konflik agama akan semakin dapat terreduksi. Kesamaan
yang dimaksud adalah, setiap agama mengajarkan akan sesuatu
yang Maha di luar Manusia. Kebersamaan yang dimaksud adalah,
agama-agama (baca: ajaran) mengajarkan kehidupan sosial dengan
agama-agama lainnya.
Permasalahan yang terjadi di antara agama-agama muncul,
pertama, ketika ketika agama (baca: pemahaman) atau keyakinan
dijadikan sebagai alat untuk menjustifikasi agama lain atau menilai
keyakinan orang lain. Kedua, keyakinan pada sebagian kelompok
merupakan sesuatu yang suci, akan tetapi belum memiliki dampak
kepada adanya saling menghormati antar agama. Ketiga, ketika
keyakinan beragama dilihat dari sisi jumlah penganutnya, yang
timbul adalah superioratas bagi yang mayoratas.
Penelitian ini membatasi hanya pada tema agama (baca:
ajaran) sebagai kohesi sosial, sedangkan agama yang diteliti
akan dibatasi pada agama Islam dan agama Buddha, sedangkan
73 Zainal Abidin Bagir (dkk.), Pluralisme Kewargaan: Arah Politik Baru
Keragaman di Indonesia (Jakarta: CRCS dan Mizan, 2011).
71
yang menjadi tempat penelitian adalah Yayasan Buddha Tzu Chi
Indonesia dan Yayasan Pesantren Islam Al Azhar. Permasalahan
yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini adalah bagaimana
ajaran agama menjadi penghubung dan perekat agama-agama, dan
bagaimana konflik agama dapat direduksi oleh institusi-institusi
yang mengatasnamakan agama?
Lie Tan Giok, dalam artikelnya yang berjudul The Context
and Challenges of the Church’s Educational Ministry in Indonesia,
menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara multi-agama dan
multi-budaya. Tiga isu besar yang menjadi persoalan ketegangan
agama, yaitu: pertama, kebebasan beragama, dimana warga negara
berhak untuk melaksankan ibadah sesuai dengan keyakinan; kedua,
masyarakat majemuk; dan ketiga, pendidikan nasional.74
Berbeda dengan Kim, Nam-Kook dalam tulisannya, Identity
Crisis and Sosial Integration under Globalization in Korea,
mengatakan bahwa globalisasi merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan krisis Identitas terjadi pada suatu negara. Globalisasi
memunculkan dua masalah, yaitu: pertama, terjadi konflik sosial
ekonomi diakibatkan semakin terkuaknya kesenjangan ekonomi
yang lebar; dan kedua, adanya konflik sosio-kultural karena terjadi
transisi pada masyarakat karena menuju masyarakat multikultural.75
Penelitian ini adalah penelitian kulitatif, dengan membahas
secara historis kekerasan yang terjadi antara agama-agama, baik
dalam konteks persoalan yang ditimbulkan dari pemahaman
agama, dan konflik yang ditimbulkan di dalamnya. Sosial Theology,
sebagaimana J.B. Banawiratma, SJ. dan J. Muller, SJ. dalam
bukunya “Berteologi Sosial Lintas Ilmu Kemiskinan sebagai
Tantangan Hidup Beriman”, menjadi sebuah pendekatan dalam
74 Lie Tan Giok, “The Context and Challenges of the Church’s Educational
Ministry in Indonesia”, Christian Education Journal; vol 10, no 9 (2013),
233-241.
75 Kim Nam-Kook, “Identity Crisis and Social Integration under
Globalization in Korea”, Institute of Korean Studies, Vol 44 No. 1 (2013),
31-54.
72
penelitian ini. Sosial Theology didasarkan kepada etika sosial,
sehingga ada tiga pertanyaan yang muncul, yaitu: pertama, apakah
maksud Tuhan menjadikan masyarakat?; kedua, apa manfaat agama
di tengah masyarakat, baik itu yang taat atau pun tidak, baik itu
yang satu agama maupun dengan yang berbeda agama?; dan yang
ketiga adalah, apakah agama (para pemeluknya, baik secara individu
maupun kelompok), dapat memengaruhi riil atas sosial?76
Penginterpretasian makna, baik dari teks maupun tindakan
yang dilakukan oleh kelompok sosial, menggunakan hermeneutika77
menjadi pilihan. Paul Ricoure berpendapat, yang dikutip oleh
Ricard L. Palmer dari buku De l’intretation (1965), hermeneutika
mempunyai makna teori tentang kaidah-kaidah yang menata tentang
eksegessi, yaitu sebuah interpretasi partikular atau kumpulan potensi
tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks.78
Penelitian ini menggunakan metode komparatif, yang
merupakan metode untuk menganalisa dua atau lebih kasus, lalu
membandingkannya. Metode komparatif, dalam penerapannya
mempunyai dua pilihan. Pertama, teori pendekatan dapat menggunakan
76 Social Theology merupakan teologi sosial Anglikan pada masa Augustine
pada tahun 597. Teologi sosial yang dimaksud merupakan pelayanan
gereja kepada masyarakat di Atherton dan Forrester frase. Pelayanan gereja
terhadap masyarakat menunjukkan bahwa ada hubungan yang umumnya
positif antara masyarakat dan gereja. Teologi sosial terlihat restoratif
dan proporsional, untuk menunjukkan bagaimana keadilan Ilahi dapat
membentuk keadilan manusia. Dackson Wendy, Anglican Theological
Review 94.4 (fall 2012): 615-637.
77 Hermeneutika merupakan istilah Yunani yang berasal dari kata kerja yaitu
hermeneuein, yang artinya menafsirkan. Sedangkan kata bendanya yaitu
hermeneia yang berarti interpretasi. Lihat Richard L. Palmer, Hermeneutika
Teori Baru Mengenal Interpretasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 14.
Diterjemahkan dari Hermenetics Interpretation Theory in Schleirmacher,
Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Nortwestern University
Press, 1969).
78 Richard L. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenal Interpretasi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 47. Diterjemahkan dari Hermenetics
Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer
(Evanston: Nortwestern University Press, 1969).
73
dua pendekatan atau lebih. Kedua, menggunakan pendekatan dengan
satu teori untuk melihat lebih dari satu fenomena. Kedua penerapan
tersebut dimaksudkan untuk menemukan perbandingannya. Metode
Komparatif merupakan metode untuk menemukan variabel kasuskasus yang ada. Sehingga dapat dilihat perbedaan dan persamaannya
dari kasus yang serupa, untuk mendapatkan hasil yang umum.
Berbeda dengan studi kasus, yaitu suatu metode penelitian yang
tujuannya untuk memperoleh teori yang spesifik.79
Diskursus Agama dan Kohesi Sosial
Agama dapat menjadi sistem yang mempunyai otoratas dan
kemampuan pengarahan, sehingga dapat menjadi kekuatan sebagai
pengatur fungsi dan norma, dan bisa menjadi pandangan manusia
tentang struktur dan makna yang dibutuhkan dalam kehidupan.80
Kohesi sosial, sebagaimana yang dikemukakan oleh Regina BergerSchmitt, bahwa hubungan masyarakat mempunyai kaitan erat antara
unit sosial, seperti; individu, kelompok, ataupun asosiasi. Aspekaspek yang terdapat dalam kohesi sosial adalah, adanya kesepakatan
nilai-nilai dalam masyarakat, kesamaan Identitas, rasa memiliki
terhadap komunatas, kepercayaan di antara anggota masyarakat,
serta tingkat ketimpangan dan kesenjangan.81
79 Gabriela Natalia Pbg, “Generalisasi dengan Metode Komparatif” (11 Juli
2013), http://gabriela-n-p-fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-82323Analisis%20HI-Generalisasi%20dengan%20Metode%20Komparatif.html
(diunduh tanggal 15 April 2014), yang dikutip dari Lijphart, Arend, “The
Comparable-Cases Strategy in Comparative Research”, dalam Comparative
Political Studies. Sage Publications Inc, Vol.8 No.2 (1975), hal 158-177.
Lihat juga Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial (Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2011), 31-32. Yang diterjemahkan dari Peter Burke,
History and Social Theory (New york: Cornell University Press, Ithaca,
1993).
80 Soedjatmoko, Etika Pembebasan Pilihan Karangan Tentang: Agama,
Kebudayaan, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 1988), 193.
81 Emile Durkheim adalah yang pertama yang menggunakan konsep kohesi
sosial. Kohesi sosial terbentuk karena masyarakat saling membutuhkan
antara anggota masyarakat, yang dibentuk melalui loyalitas dan solidaritas.
74
Penelitian ini bukan membahas mengenai kohesi sosial
secara teoritis, akan tetapi yang dimaksud dalam tulisan ini, adalah
bagaimana teologi dapat dipahami untuk mewujudkan kesadaran
sosial melalui pemahaman agama dalam tindakan sosial. Pemahaman
agama tersebutlah yang menjadikan kohesi sosial terwujud. Agama
dapat mempunyai pengertian metafisik atau teologis, seperti
kebenaran yang mendasari keberadaan Tuhan, serta adanya perintah
berbuat baik. Agama dapat pula mempunyai makna bagi orang-orang,
dilihat dari sudut psikologis, yaitu perasaan orang percaya terhadap
agama tentang keTuhanan, kekhawatiran akan kehidupan setelah
kematian, perasaan kesucian. Agama dapat pula berwujud sebagai
kekuatan budaya atau sosial, seperti simbol-simbol pada agama
yang mengikat masyarakat bersama-sama, dan memisahkannya dari
masyarakat lainnya.82
Agama, menurut Nurcholis Madjid (1939-2005), merupakan
salah satu sistem pandangan yang menawarkan makna dan tujuan
hidup. Persoalan pokok manusia bukanlah kepada apakah dalam
menjalani kehidupan, manusia mempunyai tujuan atau mempunyai
makna. Akan tetapi yang menjadi persoalan pokok manusia adalah
bagaimana manusia memilih makna dan tujuan hidup.83 Gus Dur
(1940-2009)-pun berpandangan, pemahaman keagamaan bukan
hanya bermakna bagaimana manusia hanya bertindak untuk
kepentingan akhirat saja, akan tetapi keagamaan dimaknai sebagai
keadaan berfikir (state of mind) yang orientasinya sudah melampaui
masalah yang bersifat keduniawian, normatif dan material.84
Lihat Regina Berger-Schmitt, “Social Cohestion as an Aspect of the
Quality of Societies: Concept and Measurement”, EuReporting Working
Paper No.14 (2000), http://www.gesis.org/fileadmin/upload/dienstleistung/
daten/soz_indikatoren/eusi/paper14.pdf (diunduh tanggal 1 Januari 2015).
82 T. Jeremy Gunn, “The Complexity of Religion and the Definition of
‘Religion’ in International Law”, Harvard Human Rights Journal, Vol. 16
(2003), 194-193.
83 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis
Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), 26-27.
84 Sulaiman ‘Ashrati, “Ruhaniyat al-Din” (02 Januari 2014), http://www.
75
Agama akan menjadi aktual apabila agama itu tampil dalam
bentuk yang nyata dalam riil atas sosial. Agama bisa dikenali dan
dirasakan maknanya oleh manusia (baik sebagai penganutnya maupun
bukan penganutnya). Agama dengan bentuk dan subtansinya harus
dapat menjadi bersifat fungsional dan operasional, sehingga agama
bisa langsung dirasakan kehadirannya di tengah-tengah kehidupan
manusia. Agama, dalam kehidupan manusia, bisa menjadi sandaran
atau sebagai jawaban dari kegelisahan.85
Emile Durkheim (1858-1917) berpendapat, bahwa ada
hubungan antara agama dan praktik sosial. Menurut Durkheim,
agama berfungsi hanya sebagai simbol kepentingan masyarakat
untuk mengukuhkan keberadaannya. Inilah yang kemudiann
dipertegas oleh Foucault, yang disetujui oleh Voeltzel, mengatakan
bahwa, agama adalah kekuatan politis. Agama (baca: institusi) di
dalamnya hanyalah merupakan sandiwara, karena terkadang agama
selalu berpihak pada kelompok tertentu.86 Lain halnya dengan
Karl Marx (1818-1883), ia menyatakan bahwa agama merupakan
salah satu bentuk keberagaman masyarakat miskin, dan Freud
(1856-1939) melihat sebagai hal yang terdapat pada penderita
gangguan jiwa. Agama (baca: pemahaman agama) sering kali
tereduksi oleh masalah-masalah lain, seperti; politik, ekonomi,
dan budaya. Pengaruh politik, ekonomi, dan budaya terlihat lebih
dominan, sehingga agama hanya dipandang sebagai simbol yang
mencerminkan riil atas atau kepentingan lain, atau kepentingan
pihak-pihak tertentu.87
Persoalan agama terbesar dalam kehidupan manusia adalah,
bagaimana manusia memilih makna dan tujuan hidup, yang
hiramagazine.com/ (diunduh tanggal 02 Juli 2014).
85 Komarudin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan
Prespektif Filsafat Perenial (Jakarta: Penerbit Gramedia, 2003), 109.
86 Jeremy R. Carrette (ed.), Agama, Seksualitas, Kebudayaan. Esai, Kuliah
dan Wawancara Terpilih Michel Foucault, Terjemahan. Indi Aunullah
(Yogyakarta: Jalasutra, 2011), 149-153.
87 Tarmizi Taher, et.al, Radikalisme Agama (Jakarta: Pusat Pengkajian Islam
dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta, 1998), xii.
76
berawal dan pasti akan berakhir.88 Memaknai agama terlihat sebagai
hegemonik ide-ide, budaya, dan ideologi, dan interpersonal, yaitu
interaksi antara individu-individu terjadi di ruang-ruang, di mana
ras, jenis kelamin, kelas, dan kategori atau tradisi lainnya. Perbedaan
berinteraksi untuk menghasilkan masyarakat.89
Keberagamaan dalam kontek sosial, bukan lagi dimaknai sebagai
batasan yang bersifat simbolis atau formal saja, akan tetapi merupakan
kesadaran spirit dan etika, yang bermanfaat terhadap orang sekitar.90
Agama tidak bisa menjadi idieologi alternatif terhadap konstruk negara,
akan tetapi perlu dilakukan pengadaptasian konsep-konsep ajaran
universal agama terhadap nilai-nilai kebudayaan lokal yang tumbuh di
tengah-tengah masyarakat.91Agama dan negara tidak bisa dipisahkan
akan tetapi tidak identik. Seorang yang beragama, dalam aktivatasnya
setiap hari, pasti melakukan aktivatas kemasyarakatan dan kegiatan
bernegara. Dalam melaksankan kegiatan agama menuntut pelaksanaan
sebaik mungkin karena akan diminta pertanggungjawaban.92
Dari Fundamentalisme ke Transformatif
Agama bagi Karl Marx merupakan alat untuk lebih aktif untuk
melakukan protes terhadap penderitaan dari pada menentramkan.
Agama merupakan pengejawantahan dari makhluk yang tertindas,
maka beragama merupakan ekspresi penderitaan riil, dan protes
88 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis
Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), 26-27.
89 Shehla Riza Arifeen, Caroline Gatrell, “A Blind Spot in Organization
Studies: Gender with Ethnicity, Nationality and Religion”, Gender in
Management, Vol. 28 (2013), 151-170.
90 Umarudin Masdar, Pembela Ulama Sepanjang Jaman (Jakarta: The Wahid
Institute dan Klik.R, 2007), 5-7.
91 Syarif Utsman Yahya, Gus Dur Memilih Kebenaran daripada Kekuasaan
(Jakarta: The Wahid Institute, 2007), xiii-xvi.
92 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis
Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan (Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), cxi.
77
melawan penderitaan riil tersebut. Persoalannya adalah, kesadaran
akan penderitaan bukanlah akhir, akan tetapi berusaha untuk
mengubahnya merupakan proses yang harus dilalui.93 Karl Marx
memahami filsafat, dan teologi hanya sekedar menafsirkan dunia
dengan berbagai cara yang beragam, akan tetapi tidak pernah
menyentuh area bagaimana cara mengubahnya.94 Justru agama
terkadang dijadikan alat untuk, bukan hanya bertahan, akan tetapi
juga untuk melawan, bahkan akhirnya memberontak.95 Yang lebih
memperihatinkan lagi adalah, tindakan teror dapat dilegitimasi
juga oleh agama, sehingga terorisme ternyata mempunyai motif
religius.96
Faktor yang menyebabkan terorisme berkembang dan bertahan
sampai sekarang ini adalah, pertama, terdapat negara sponsor
yang membiayai kelompok teroris. Kedua, media mempunyai
peran kuat dalam memengaruhi perkembangan kelompok teroris.
Ketiga, kemampuan komunikasi yang begitu pesat. Keempat,
perkembangan transportasi, domestik maupun internasional,
yang semakin cepat. Kelima, kerjasama antar kelompok semakin
berkembang. Keenam, perkembangan perlawanansemakin diluar
nalar, yaitu dengan misi bunuh diri. Ketujuh, pemahaman akan
kematian merupakan pilihan untuk menuju kebahagian abadi.
Kedelapan, potensi untuk menjadi megaterorisme. Kesembilan,
negara yang membiayai terorisme bertujuan untuk mendapatkan
uang.97
Perdebatan dan kesalahpahaman dalam memaknai agama
akan terus terjadi. Pemahaman agama, ketika menjadi istilah
93 Jhon C. Raines (ed.), Marx Tentang Agama (Jakarta: Teraju, 2003), 235236. Diterjemahkan dari Marx on Religion (America: Temple University,
2002).
94 Jhon C. Raines (ed.), Marx Tentang Agama (Jakarta: Teraju, 2003), 236.
95 Jhon C. Raines (ed.), Marx Tentang Agama (Jakarta: Teraju, 2003), 237.
96 Paul Budi Kleden dan Adrius Sunarko (ed.), Dialektika Sekularisasi:
Diskusi Hebermas – Ratzinger dan Tanggapan (Yogyakarta dan Maumere:
Lamarera dan Ledarero, 2010), 103.
97 Adjie S., Terorisme (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), 30-37.
78
teologi, masing-masing penganut maupun madzhab yang ada
di dalam agama tersebut, akan saling bertentangan dan saling
mempertahankan diri. Riil atas pertentangan yang berbasis kepada
agama inilah, yang kemudiann menurut Karen Armstrong, salah satu
penyebab terjadinya fundamentalisme sebagai kenyataan global, dan
muncul pada semua keyakinan (baca: agama) sebagai respon atas
masalah-masalah yang ditimbulkan oleh modernatas, yang telah
keluar terlalu jauh. Sehingga ditempuh jalan ekstrim, ketika jalan
moderat dianggap tidak dapat memberikan solusi. Radikalisme
pun akhirnya menjadikan mereka merasa yang paling benar dalam
memahami agama (baca: paham agama). Kebanggaan pun tertanam
pada kalangan mereka, karena mereka memaknainya sebagai
ketaatan yang paling mendekati kesempurnaan ajaran Tuhan, dan
pemahaman tekstual terhadap kitab suci adalah yang paling benar.
Berbeda menurut Wahib, bahwa sebenarnya mereka telah gagal,
karena mereka tidak mampu menerjemahkan kebenaran agama
dalam suatu perencanaan menjadi suatu kenyataan.98
Perasaan terancam dalam perkembangan kehidupan yang
begitu pesat, baik itu secara sosial, ekonomi, budaya maupun
politik. Terlebih lagi perkembangan peradaban modern seperti
perluasan media, teknologi, informasi, ekonomi, dan politik liberal,
yang menyebabkan semakin mengkristalnya Islam fundamentalis,
sehingga mereka hanya memahami kebenaran tunggal dan menolak
pemahaman lain. Pesatnya perkembangan kehidupan, bagi Islam
fundamentalis merupakan bukti dari bentuk kolonialisme Barat, yang
bertujuan untuk pemurtadan. Alasan ini yang kemudiann menjadikan
perjuangan (yang dimaknai jihad) masih diperlukan, baik secara
fisik maupun mental, untuk melawan segala hal yang menghalangi
tegaknya kebenaran —dari sudut pandang mereka— untuk berjuang
menegakkan syariat.99 Persoalan inilah yang dikhawatirkan oleh
98 Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik Upaya Konstruktif
Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Institute for
Religion and Civil Society Development, 2004), 42-43.
99 Bilveer Singh dan Abdul Munir Mulkhan, Jejaring Radikalisme Islam
di Indonesia Jejak Sang Pengantin Bom Bunuh Diri (Yogyakarta: Jogja
79
Azyumardi Azra, apabila jihad yang selalu digelorakan oleh Islam
fundamentalis, kemudiann berhadapan dengan istilah crusade, yaitu
perang salib, dipihak lain yang disebabkan mereka merasa ada dalam
posisi terdesak pula.100
Moeslim Abdurrahman berpendapat, bahwa usaha untuk
melakukan eksperimen transformasi dilakukan dengan cara mencari
pendekatan baru, yaitu penafsiran melalui teks dengan kesadaran
akan konteks secara dialogis. Dengan demikian teks akan benarbenar hidup dalam riil atas empiris dan mengubah masyarakat ke
arah transformasi sosial.101 Persoalan yang muncul adalah, setiap
agama cendrung untuk mengatakan bahwa kebenaran yang ia miliki
adalah kebenaran yang sudah tuntas, sehingga menafikkan kebenaran
yang ada pada agama-agama lain. Menurut Arthur J. D’Adamo,
kecendrungan tersebut disebabkan pertama, bahwa teologi dimaknai
bersifat konsisten dan berisi kebenaran-kebenaran tanpa kesalahan
sama sekali. Kedua, teologi bersifat lenkap dan final. Ketiga,
menyakini bahwa satu-satunya yang mengajarkan kebenaran,
keselamatan, pencerahan dan pembebasan adalah agamanya sendiri.
Keempat, meyakini bahwa kebenaran yang diyakini adalah kebenaran
yang benar-benar dari Tuhan tanpa campur tangan manusia.102
Teologi menurut Zainun Kamal merupakan persoalan yang
sangat fundamental. Quran dari 114 surat dan teologi yang yang
dikenal dengan akidah ada dalam 91 surat. Pada awal kenabian tidak
Bangkit Publisher, 2012), 35.
100 Azyumardi Azra, Islam Substantif Agar Umat islam Tidak Menjadi Buih
(Jakarta: Mizan, 2000), 100.
101 Saediman Ahmad, Husni Mubarak, Testriono (ed.), Pembaharuan Tanpa
Apologia? Esai-esai tentang Ahmad Wahib(Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 2010), 63.
102 Arthur J. D’Adamo, Science Without Bounds A Synthesis of Science,
Religion and Mysticism (http://www.AdamFord.com, 2004), 2-3 (diunduh
tanggal 2 Desember 2014. Lihat juga Komarudin Hidayat dan Muhammad
Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Prespektif Filsafat Perenial (Jakarta:
Penerbit Gramedia, 2003), 13. Lihat juga Moh. Shofan, Jalan Ketiga
Pemikiran Islam (Yogyakarta: IRCISOD, 2006), 199-200.
80
ada permasalahan, dan ketika Islam mulai berkembang setelah Nabi
wafat persoalan teologi muncul disebabkan oleh persoalan politik,
dan sampai sekarang menjadi perdebatan pula walau dengan bentuk
berbeda, yaitu bagaimana pendekatan dalam memahami teks, apakah
sesuai dengan bunyi teks (baca: tekstual) atau bisa disesuaikan dengan
konteks (baca: rasional).103
Teologi sosial sangat didasari oleh etika sosial, dengan
mempertanyakan makna dari maksud Tuhan menjadikan masyarakat,
apa manfaat agama di tengah masyarakat, baik itu yang taat atau pun
tidak, baik itu yang satu agama maupun dengan yang berbeda agama,
dan bagaimana agama (para pemeluknya, baik secara individu maupun
kelompok), dapat memengaruhi riil atas sosial, menjadi telaahan yang
serius dalam memahami teologi sosial.104
Identitas Agama dan Realitas Bentuk yang Berbeda
Ruang publik berfungsi untuk memperantarai kepentingan
individu maupun kelompok dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan
keluarga, yang dihadapkan dengan tuntutan-tuntutan dan kepentingan
kehidupan sosial dan publik. Ruang publik merupakan ruang bagi
diskusi kritis, terbuka bagi semua orang. Ranah publik, di dalamnya
terdapat warga privat (private people) yang berkumpul untuk
membentuk sebuah publik, di mana nalar publik tersebut akan bekerja
sebagai pengawas terhadap kekuasaan negara.105
103 Zainun Kamal, “Posisi Aqidah dalam Islam”, Democrasi
Project (25 Juni 2013), https://www.youtube.com/
watch?v=mDswupA1ZOc&index=1&list=PLwinC5E
Avuci03Gr3fjxinECTagfhjiRs (diunduh tanggal 1 Januari 2014).
104 Dackson Wendy, Anglican Theological Review 94.4 (fall 2012), 615-637.
105 Taura Hida, “Jurgen Habermas: Demokrasi Deliberatif dan Ruang
Publik”, Kompasiana (13 Januari 2013), http://edukasi.kompasiana.
com/2012/01/12/jurgen-habermas-demokrasi-deliberatif-dan-ruangpublik-426994.html, (diunduh tanggal 10 Agustus 2014). Lihat juga
Muhammad Faishal, “Institusionalisasi Demokrasi Deliberatif di Indonesia:
Sebuah Pencarian Teoretik, Jurnal ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 11,
Nomor 1 (Juli 2007), 3-10.
81
Manusia sebenarnya terkurung dengan kebudayaannya
sendiri. Kemana manusia melangkah maka ia tidak akan pernah bisa
keluar dari kebudayaannya sendiri, sehingga baik buruk, salah dan
benar ditentukan oleh kebudayaannya masing-masing.106 Manusia
atau pun masyarakat, pada dasarnya, memiliki sistem perilaku yang
diatur oleh standar yang relatif bervariasi dan berbeda, antara satu
komunatas dengan komunatas lainnya.107
Budaya berbeda dengan ilmu pengetahuan. Kebenaran ilmu
pengetahuan menurut Ernest Gellner (1925-1995), tidak bisa
menunjukkan kepada kebenaran moral. Ilmu pengetahuan sudah
melakukan desakralisasi, dan ilmu pengetahuan telah membuang
segala yang gaib dari semua substansi.108
Zainun Kamal menegaskan bahwa agama mempunyai tujuan
dalam kehidupan di dunia, adalah bagaimana kehidupan manusia
baik dengan kehidupan manusia yang lain, yaitu bagaimana hubungan
antara manusia. Tujuan agama yang lebih jauh lagi adalah ketaqwaan
sebagai sebuah pengejawantahan dalam pendekatan diri kepada
Tuhan, dan ibadah salah satu fungsimya sebagai sarana penyadaran
manusia betapa dekatnya Tuhan dengan manusia.109
Sistem sosial merupakan aturan-aturan yang dapat diterima
masyarakat untuk mencapai motif anggotanya, dan untuk memenuhi
kebuTuhan, untuk tujuan bersama yang diperlukan, merupakan
106 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Kebudayaan Proses Realisasi
Manusia (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), 101-104.
107 Sa’id Ibrahim ‘Abd al Wahid, “Mafhum al-Thaqafah”, Arab World Books
(tth), http://www.arabworldbooks.com/Articles/articles50.htm (diunduh
tanggal 23 Mei 2014).
108 Ernest Gellner, Postmodernism, Reason and Religion (London:
Routletge, 1992), 81. Lihat juga PIP Jones, Pengantar Teori-teori Sosial
dari Teori Fungsionalisme Sampai Hingga Post-Modernisme (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), 230-231.
109 Zainun Kamal, “Dakwah dan Kekerasan”, Democrasi Project (23 Juli
2013), https://www.youtube.com watch?v=XtGIMbLHLFk&index=18&list=PLwinC5EAvuci03Gr3fjxinECTagfhjiRs (diunduh tanggal 1
Januari 2014).
82
pemikiran, perilaku atau sikap individu, dan hubungan sosial.110
Berbeda dengan struktur sosial, yang merupakan gambaran sosial
yang mewakili hubungan antara lembaga-lembaga sosial dan politik
dan nilai-nilai budaya.111
Rasionalisasi dalam konteks tindakan mengarah kepada,
pertama, tindakan rasional (rasionalatas instrumental), yaitu
tindakan yang berorientasi kepada pencapaian efisiensi dalam
kehidupan manusia. Kedua, rasionalatas yang berorientasi kepada
nilai, yaitu penggunaan akal sehat untuk membedakan benar dan
salah.112
Indonesia dibangun atas dasar “negara-bangsa” (nation
state) yaitu negara yang didasarkan kepada kesepakatan bersama
bangsa-bangsa (baca: suku bangsa), yang menghasilkan kontraktual
dan traksaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan
kesepakatan.113
Kesadaran menjadi warga negara yang dilandasi oleh hukum
menjadi sebuah keniscayaan. Kesadaran atas kesetaraan sebagai
warga negara merupakan Identitas kewargaan yang menjadi bingkai
politik bagi semua orang. Identitas keagamaan, dalam hal ini Islam
110 Majallah al ‘Ulum al Ijtimaiyah, “Al-Himay al-Ijtimaiyah fi al-Nizm al
Ijtima‘”, Majallah al ‘Ulum al Ijtimaiyah (12 April 2009), http://swmsa.
net/articles.php?action=show&id=1723 (diunduh tanggal 21 Mei 2014).
111 ‘Abbas Hadir ‘Abbas, “Al-Mushahadah al-Muhtamalah li al-Baniyah
al-Ijtimaiyah al-‘Arabiy li al-Muddah (2005-2025)”, Kulliyah Bagdad Li al ‘Ulumil Iqtisdiyah al Jami‘ah (2009), http://www.google.
com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=11&ved=0CCYQFjAAOAo&url=http%3A%2F%2Fwww.iaSJ.net%2Fiasj%3Ffunc%3Dfulltext%26aId%3D52989&ei=DnV9U8ygEY-iugTgi4GYBw&usg=AFQjCNHdmpGvPdhz1lsUZQUV5t6IT2Snvg (diunduh tanggal 21 Mei 2014).
112 Panji Nugroho, “Etika Emansipatoris Jurgen Habermas”, academia.edu (t.th), http://
www.academia.edu/4751412/Etika_Emansipatoris_Jurgen_Habermas, (diunduh tanggal
10 Agustus 2014), 11. Lihat juga PIP Jones, Pengantar Teori-teori Sosial dari
Teori Fungsionalisme Sampai Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2010), 234-235.
113 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita (Jakarta: Universitas Paramadina
Jakarta, 2004), 43.
83
dan Buddha, sebagai Identitas dimana penganutnya merupakan
warga negara yang mempunyai hak-hak dasar sebagai warga
negara, dengan demikian antara yang mayoratas yang diwakili oleh
Islam dan minoratas yang diwakili oleh Buddha, mempunyai hak
yang sama, dan yang minoratas bukanlah subordinat dari yang
mayoratas.114
Teologi Agama dalam Landasan Sosial
Sunil berpendapat bahwa agama (baca: ajaran) dalam
pandangan individu dan sosial mempunyai makna, pertama,
agama memberikan ketenangan jiwa. Kedua, agama menanamkan
kebajikan sosial. Ketiga, Agama mengajarkan solidaratas
sosial. Keempat, agama mengubah kualatas manusia, dengan
menanamkan semangat amal dan kebajikan. Kelima, agama
merupakan agen sosialisasi dan kontrol sosial. Keenam, bahwa
agama mempromosikan kesejahteraan, dengan memberi pesan
bahwa pelayanan kepada umat manusia adalah pelayanan kepada
Tuhan. Ketujuh, agama memberikan rekreasi. Kedelapan, agama
memengaruhi ekonomi, sebagaimana Weber berpendapat, bahwa
ada pengaruh etika Protestan terhadap perkembangan kapitalisme.
Kesembilan, agama mempunyai pengaruh terhadap sistem politik.
Kesepuluh, agama memperkuat percaya diri.115
Riil atas mengungkapkan, bahwa ternyata Tuhan tidak bisa
sendirian. Kehadiran Tuhan (lewat ajaran agama) di dunia ini,
tidak dapat dirasakan tanpa kehadiran institusi agama. Kehadiran
institusi agama, baik itu berupa rumah-rumah ibadah atau pun
organisasi-organisasi keagamaan, merupakan tanda bahwa Tuhan
114 Zainal Abidin Bagir, Pluralisme Kewargaan: Dari Teologi ke Politik,
dalam Edi Saputro (peny.), Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik
Keragaman di Indonesia (Bandung: Mizan Media Utama, 2011), 17.
115 Sunil, “10 Most Important Functions of Religion”, Preserve article (2012),
http://www.preservearticles.com/201104296054/10-most-importantfunctions-of-religion.html (diunduh tanggal 12 Juli 2014).
84
hadir di tengah-tengah kehidupan.116
Institusi agama, baik itu organisasi keagamaan atau pun rumah
ibadah, mempunyai fungsi, pertama, sebagai tempat melakukan
ritual atau ibadah. Kedua, memberitakan apa yang diajarkan oleh
Tuhan melalui kitab suci. Ketiga, mengajarkan bagaimana menjadi
seorang hamba kepada Tuhan. Keempat, sebagai tempat berdoa.
Kelima, menyadarkan manusia sebagai makhluk sosial. Keenam,
melaksanakan dan mengembangkan misi Tuhan di dunia.117 Institusi
agama seperti rumah ibadah mempunyai pengaruh terhadap budaya
dan sosial masyarakat.118
Ajaran agama Islam dan agama Buddha, walaupun mempunyai
perbedaan-perbedaan yang sangat jauh, baik itu secara teologis
maupun peraktek keagamaan, akan tetapi mempunyai kesamaan.
Ajaran agama Islam dan agama Buddha mengajarkan sesuatu yang
Maha yang di luar jangkauan manusia, yang menjadi sebab dari segala
sebab terciptanya alam semesata.119 Menurut ajaran agama Buddha
bahwa kehidupan yang akan datang ditentukan oleh perbuatan saat
ini. Agama Islam pun mengajarkan apa yang diperbuat saat ini, akan
116 J.B. Banawiratma, SJ. dan J. Muller, SJ., Berteologi Sosial Lintas Ilmu
Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1993), 23-24.
117 Ray Gilder, “Focus on the Basic Functions of the Church”, Life Way (20012015), http://www.lifeway.com/Article/Focus-on-the-Basic-Functions-ofthe-Church, (diunduh tanggal 12 Juli 2014).
118 ‘Ala’ al-Din z‘atari, “Wazifah al-Masjid al-Thaqafiyah”,‘Ala’ alDin Z‘atari (2007-2015), http://www.alzatari.net/print-research/231.
html(diunduh tanggal 12 Juli 2014).
119 Karmaitu adalah bentuk yang menjadikan seseorang, baik menjadi manusia
atau pun binatang pada setiap masa kehidupan. Bentuk seseorang sangat
ditentukan oleh misi dan tujuan dalam hidupnya, dan itu ditentukan oleh
wujud bathin. Seekor anjing dapat semulia seorang manusia, bahkan
bisa jadi lebih mulia dari pada manusia. Lihat Daisaku Ikeda, Budhisme:
Falsafah Hidup, terjemahan (Jakarta: PT. Indira, 1998), 31-32. Lihat
juga Karen Armstrong, Buddha, Terjemahan T. Widiyantoto (Jogjakarta:
Bentang Budaya, 2003), 43.
85
dipertanggung-jawabkan pada hari pembalasan kelak nanti.120
Zainun Kamal menegaskan bahwa keimanan dan akhlak
merupakan masalah yang pondamen dalam ajaran agama. Agama
mengajarkan bahwa dalam kehidupan pergaulan manusia sebenarnya
tidak ada musuh. Perselisihan mengenai perbedaan pemahaman
terhadap ajaran agama, menurut Zainun Kamal, tidak lebih disebabkan
oleh tidak mengerti, atau tidak tahu apa yang disampaikan. Sebuah
ajaran, apabila diajarkan dengan cara kekerasan maka bukannya
akan didekati akan tetapi yang ada dijauhi.121
Tuhan “terlibat” dalam riil atas kehidupan merupakan sebuah
usaha inkulturasi atau kontekstualisasi yang harus dilakukan oleh
institusi-institusi agama atau yang mengatas namakan agama, sehingga
pendekatan yang dilakukan lebih berdimensi kepada teologi yang
bersenTuhan langsung dengan masalah kemasyarakatan. Teologi
sosial menekankan lebih kepada pemahaman akan permasalahan
manusia di tengah konteks kemasyarakatan yang nyata, yang pasti
akan selalu bersinggungan dengan segala sudut kehidupan, baik itu
politik, ekonomi, sosial dan budaya.122
Inkulturasi berbeda dengan akulturasi. Alkulturasi mempunyai
makna, suatu situasi dimana sebuah kebudayaan termodifikasi,
dengan meminjam adat istiadat dari satu atau lebih budaya.123
Akulturasi dapat dipahami sebagai seorang individu atau kelompok,
120 Quransuratal-Qari‘at ayat 6-9.
121Zainun Kamal, “Perbedaan dan Toleransi”, Democrasi Project (26
Juli 2013), https://wwyoutubecomwatch?v=08gvfgWViu8&index=19&list=PLwinC5EAvuci03Gr3fjxinECTagfhjiRs (diunduh tanggal 1
Januari 2014).
122 J.B. Banawiratma, SJ. dan J. Muller, SJ., Berteologi Sosial Lintas Ilmu:
Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1993), 25.
123 Maqatil min al-Sahara’, “Al-Tathaqaf”, Maqatil min al-Sahara’ (t.th.),
http://www.moqatel.com/openshare/Behoth/Mnfsia15/Acculturat/sec01.
doc_cvt.htm (diunduh tanggal 12 Juli 2014).
86
mengubah dirinya kepada budaya baru yang dominan.124
Kontekstualisasi, dalam pemahaman teologi sosial, merupakan
misiologi dan teologi, sejak diperkenalkan oleh Theological Education
Fund (TEF) pada tahun 1972. Kontekstualisasi adalah proses yang
terus berlangsung, dalam upaya menjadikan kitab suci (ajaran agama)
diterima dan dimengerti oleh si penerima dalam budaya mereka yang
dinamis, baik secara politik, sosial, dan ekonomi. Kontekstualisasi
merupakan usaha untuk menjawab pertanyaan yang benar dalam
budaya tertentu sesuai dengan kitab suci, tanpa adanya pencemaran
dari kebenaran itu sendiri. Kontektualisasi berarti mengakui bahwa
iman sebuah agama tidak dapat dipisahkan dari budaya masyarakat
penerimanya.125
Membangun teologi yang bersenTuhan langsung dengan
masalah manusia di tengah masyarakat, merupakan suatu usaha
inkulturasi atau kontekstualisasi. Teologi sosial berusaha untuk
membangun institusi agama, dengan bersumber melalui teks suci
(baca: wahyu), untuk memahami masalah kemasyarakatan yang
berlangsung. Sehingga ada upaya untuk membangun teologi yang
sesuai dengan lingkungan sosial budaya masyarakat setempat.
Teologi yang dibangun adalah teologi sosial yang harus melibatkan
dan bekerjasama dengan ilmu-ilmu kemasyarakatan, dan langsung
bersenTuhan dengan persoalan-persoalan yang sedang terjadi pada
masyarakat.126 Teologi sosial membutuhkan banyak ilmu yang
mendukung, seperti komunikasi, psikologi, sosiologi dan ilmu-ilmu
yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Quran mengisyaratkan
berapa banyak kelompok yang besar akan tetapi apabila tidak
124 Ayantunji Gbadamosi, “Acculturation”, dalam Journal of Fashion
Marketing and Management, Volume 16 (2012).
125 Rahmiati Tanudjaja, “Kontekstualisasi Sebagai Sebuah Strategi dalam
Menjalankan Misi: Sebuah Ulasan Literatur”, dalam Veritas 1/1 (April
2000), 20-23
126 J.B. Banawiratma, SJ. dan J. Muller, SJ., Berteologi Sosial Lintas Ilmu
Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1993), 25.
87
diorganisir dengan baik, maka akan terkalahkan dengan kelompok
yang jauh lebih kecil.127
Misi sosial dan pendidikan yang telah dilakukan oleh kedua
lembaga, baik itu YPI Al Azhar maupun Yayasan Buddha Tzu Chi
Indonesia, dengan jalan membangun sekolah-sekolah, mulai dari
tingkat TK sampai dengan perguruan tinggi, dan kegiatan-kegiatan
sosial, dengan berlandaskan kepada ajaran-ajaran yang kedua
yayasan jadikan sebagai landasan. Walaupun secara ajaran berbeda
sumbernya, baik dari segi institusi agama dan kitab suci, akan
tetapi ada kesamaan dalam penanganan persoalan-persoalan sosial.
YPI Al Azhar dengan membangun sekolah-sekolah, baik dibangun
oleh YPI Al Azhar sendiri atau pun bekerjasama dengan pihak
lain, dari TK hingga perguruan tinggi.128 Misi dakwah dilakukan
dengan membangun Masjid -Masjid , sekolah non-formal, dan
lembaga lainnya yang mendukung misi kegiatan YPI Al Azhar.129
Misi sosial dilakukan dengan membangun balai-balai pengobatan,
Rumah Gemilang Indonesia sebagai sarana pemberdayaan umat,
dan kegiatan lain yang menunjang misi sosial YPI Al Azhar.130
Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia pun melaksanakan
kegiatan pendidikan dan sosial. Kegiatan pendidikan dan sosial
dilaksankan dengan bentuk misi amal, dengan melakukan bakti
amal, tanggap darurat bencana, perumahan cinta kasih, bebenah
kampung.131 Misi kesehatan dengan melakukan baksos kesehatan,
127 Quran surat al-Baqarat ayat 249.
128 YPI Al Azhar, “Visi Misi Pendidikan Al-Azhar”, YPI Al Azhar (2013),
http://www.al-azhar.or.id/index.php/pendidikan (diunduh tanggal 2 Agustus
2014).
129 YPI Al Azhar, “Dakwah”, YPI Al Azhar (2013), http://www.al-azhar.or.id/
index.php/dakwah, (diunduh tanggal 2 Agustus 2014).
130 YPI Al Azhar, “Tentang Rumah Gemilang Indonesia”, YPI Al Azhar
(2013), http://www.al-azhar.or.id/index.php/sosial, (diunduh tanggal 2
Agustus 2014).
131 Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, “Misi Amal”, Yayasan Buddha Tzu
Chi Indonesia (2014), http://www.tzuchi.or.id/misi/misi-amal/18, (diunduh
88
membangun Rumah Sakit Khusus Bedah (RSKB) Cinta Kasih Tzu
Chi, dan membentuk Tzu Chi International Medical Association
(TIMA).132 Misi pendidikan dengan mendirikan Sekolah Cinta
Kasih Tzu Chi, Tzu Chi School, Kelas Budi Pekerti, Tzu Ching,
dan memberikan bantuan pembangunan sekolah.133 Misi budaya
humanis dengan mendirikan media cetak dan online, mendirikan
DAAI TV, mendirikan Jing Si Books & Cafe, serta membudayakan
Isyarat Tangan.134
Teologi sosial dapat dijalankan, menurut J.B. Banawiratma,
SJ. dan J. Muller, SJ., melalui empat tahap. Pertama, mengenal,
memahami dan mengalami secara langsung situasi atau masalah
sosial secara riil yang ada pada masyarakat, melalui observasi.135
Kedua, melakukan analisa sosial dengan menempatkan pengalaman
yang telah dihasilkan dari obsevasi ke dalam konteks masyarakat
yang lebih luas.136 Tahap ketiga, menjalakan hasil dari analisis sosial
yang dihasilkan dari refleksi sosial, berupa refleksi etis sosial atas
hasil analisis sosial, dengan mempertemukan dengan teks suci atau
wahyu. Keempat, adalah tindakan sebagai perwujudan iman dalam
menghadai riil atas masalah-masalah sosial.137
tanggal 2 Agustus 2014).
132 Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, “Misi Kesehatan”, Yayasan Buddha
Tzu Chi Indonesia (2014), http://www.tzuchi.or.id/misi/misi-kesehatan/21
(diunduh tanggal 2 Agustus 2014).
133 Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, “Misi Pendidikan”, Yayasan Buddha
Tzu Chi Indonesia (2014), http://www.tzuchi.or.id/misi/misi-pendidikan/19
(diunduh tanggal 2 Agustus 2014).
134 Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, “Misi Budaya Humanis”, Yayasan
Buddha Tzu Chi Indonesia (2014), http://www.tzuchi.or.id/misi/misibudaya-humanis, (diunduh tanggal 2 Agustus 2014).
135 J.B. Banawiratma, SJ. dan J. Muller, SJ., Berteologi Sosial Lintas Ilmu
Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1993), 27.
136 J.B. Banawiratma, SJ. dan J. Muller, SJ., Berteologi Sosial Lintas Ilmu
Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1993), 27.
137 J.B. Banawiratma, SJ. dan J. Muller, SJ., Berteologi Sosial Lintas Ilmu
89
Keempat tahapan memuat hubungan timbal balik antara empat
tahapan tadi yaitu tindakan, teks suci (baca wahyu), refleksi dan
analisis mengenai analisa riil atas masyarakat yang ada. Tindakan
merupakan segala kegiatan yang dilakukan oleh institusi agama,
yang saling memengaruhi di antara warga institusi (baca umat),
sehingga dapat mempunyai arti pada umat tersebut.138
Tindakan yang dilakukan terinspirasi oleh teks suci (baca:
wahyu), agar tindakan sesuai dengan tujuan yaitu untuk mengubah
situasi sosial masyarakat, maka tindakan tersebut haruslah dirancang
melalui refleksi teologi sosial. Refleksi teologi sosial yang dihasilkan
dari refleksi umat sehari-hari maupun yang dihasilkan dari refleksi
ilmiah. Refleksi tersebut haruslah didasarkan kepada riil atas
masyarakat, dan didialogkan dengan teks suci (baca: wahyu),
dengan analisa sosial. Proses teologi sosial tersebut diharapkan dapat
mengarahkan keterlibatan sosial hidup beriman ke arah perubahan
masyarakat yang adil dan manusiawi, akan tetapi pendekatan yang
dipakai melalui pendekatan interdisipliner atau lintas ilmu.139
Menuju Kalimah Sawa
Organisasi, pada sebuah institusi mempunyai ide pokok
pembagian kerja (division of labor) dan tanggung jawab yang jelas.
Pengorganisasian dalam sebuah institusi merupakan keharusan
di masyarakat modern, karena pada institusi terdapat pembagian
kerja dan tanggung jawab supaya tercipta adanya spesialisasi dan
profesionalisme.140 Keorganisasian dalam institusi merupakan
Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1993), 28.
138 J.B. Banawiratma, SJ. dan J. Muller, SJ., Berteologi Sosial Lintas Ilmu
Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1993), 29.
139 J.B. Banawiratma, SJ. dan J. Muller, SJ., Berteologi Sosial Lintas Ilmu
Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1993), 29-30.
140 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina,
2004), 230.
90
sebuah keharusan, dan harus dibentuk dengan kuat seakan sebagai
sebuah bangunan yang mempunyai sistem yang terdiri dari bagianbagian yang menopang.141
YPI Al Azhar dan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
merupakan institusi yang berbentuk yayasan, yang mempunyai
landasan berdasarkan kepada ajaran agama. YPI Al Azhar
berlandaskan ajaran agama Islam,142 sedangkan Yayasan Buddha
Tzu Chi Indonesia berlandaskan kepada ajaran agama Buddha.
Walaupun pada prakteknya Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
tidak disebut sebagai institusi yang berlandaskan kepada agama
tertentu, akan tetapi diakui bahwa Yayasan Buddha Tzu Indonesia
merupakan institusi, dalam menjalankan kegiatan yayasan dilandasi
oleh ajaran Buddha, yaitu welas asih.143
Kedua yayasan tersebut telah terorganisir dengan baik dan
rapih sebagaimana organisasi modern lainnya. Kedua yayasan ini,
baik Al Azhar maupun Buddha Tzu Chi Indonesia, mempunyai misi
dan visi yang kemudian terejawantahkan melalui program-program
yayasan. Agama, walaupun dijadikan sebagai landasan kegiatan
kedua yayasan ini, akan tetapi dalam perakteknya yang menjadi
tujuan adalah, bagaimana kedua yayasan ini mempunyai manfaat
untuk masyarakat luas. Bukan hanya untuk umat seagamanya, akan
tetapi untuk umat-umat agama lainnya. Ini merupakan kesamaan
dalam tujuan YPI Al Azhar dan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia,
walaupun dilandasi dengan ajaran agama yang berbeda.144
141 Quran, Surat al-Saf : 4. Lihat juga Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju
Tuhan (Jakarta: Paramadina, 2004), 231.
142 YPI Al Azhar, “Makna Logo YPI Al-Azhar”, YPI Al Azhar (2013), http://
www.al-azhar.or.id/index.php/tentang-kami/identitas, (diunduh tanggal 22
Oktober 2014).
143 Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, “Logo Tzu Chi”, Yayasan Buddha
Tzu Chi Indonesia (2014), http://www.tzuchi.or.id/tentang-kami/logo-tzuchi/47 (diunduh tanggal 22 Oktober 2014).
144 YPI Al Azhar, “Visi Misi Yayasan”, YPI Al Azhar(2013), http://www.alazhar.or.id/index.php/tentang-kami/visi-misi, (diunduh tanggal 22 Oktober
2014). Lihat juga Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, “Visi & Misi Tzu
91
Zainun Kamal menyebutnya istilah tujuan hidup yang dekat
adalah bagaimana manusia dapat hidup berdampingan dengan baik
dengan kehidupan manusia yang lain. Tujuan lain, yang diistilahkan
oleh Zainun Kamal, sebagai tujuan hidup yang lebih jauh adalah
ketaqwaan, sebagai sebuah pengejawantahan dalam pendekatan
diri kepada Tuhan, dalam bentuk ibadah atau ritual apa pun yang
ada pada ajaran agama, yang berfungsi sebagai sarana penyadaran
manusia, betapa dekatnya Tuhan dengan manusia.145
Kesamaan akan ketundukan kepada ajaran agama itulah,
yang kemudian disebut dalam istilah Nurcholish Madjid, sebagai
wujud dari perjanjian antara manusia dengan Tuhannya yang sangat
primordial146. Kata primordial, sering dikonotasikan kepada kata
yang negative, yaitu primitif, primeval. Akan tetapi sebenarnya
primordial mempunyai makna positif, yaitu lebih bersifat dasar
(fundamental), atau asli (original).147
Makna dasar (fundamental) atau asli (original) yang dimaksud
adalah, bahwa manusia dan Tuhan mempunyai perjanjian yang
primordial,148 sehingga keberadaan agama mempunyai maksud akan
ketundukan dan kepatuhan manusia kepada Tuhan, sebagai sang
pencipta. Ketundukan dan kepatuhan merupakan inti dari ajaran
agama, yang mengandung arti seluruh pekerjaan yang dilakukan
itu harus sesuai dengan perintah Tuhan. Perbuatan baik yang sesuai
dengan perintah Tuhan sudah pasti merupakan perbuatan baik, yaitu
amal saleh, dan itu merupakan budi pekerti luhur. Maka perbuatan
145
146
147
148
92
Chi”, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia (2014),
Zainun Kamal, “Takwa”, Democracy Project, 22 Juli 2013, https://
www.youtube.com/watch?v=sPzwey1q1Gc&index=16&list=PLwin
C5EAvuci03Gr3fjxinECTagfhjiRs (diunduh tanggal 1 Januari 2014).
Primordial mempunyai makna pertama kali terbentuk dalam pertumbuhan
seseorang atau suatu hal, atau mempunyai makna paling dasar, atau paling
sederhana, atau purba. Lihat Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 1214.
Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina,
2004), 232.
Lihat Quran Surat al-‘A’raf : 72. Lihat juga Quran Surat al-Rum ayat 30.
baik merupakan perbuatan primordial, sebagai sebuah perjanjian
manusia dengan Tuhan.149
Menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran
sebagai sebuah landasan keberagamaan yang ada pada YPI Al Azhar.
Landasan tersebut merupakan sebuah keyakinan keberagamaan
dengan ditujukan kemanfaatan YPI Al Azhar untuk umat manusia,
dengan tujuan untuk ‘izzu al-Islam wa al-muslimin.150
Welas asih yang menjadi landasan bagi Yayasan Buddha Tzu
Chi Indonesia juga merupakan landasan keberagamaan. Landasan
keberagamaan tersebut menjadi asas bagaimana organisasi, atau
institusi Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia berkiprah untuk umat
manusia. Welas asih yang dimaksud adalah ketidakrelaan pada
penderitaan semua makhluk, dengan menyalakan pelita disudut yang
paling gelap dan menyalakan api dalam perjalanan yang dingin dan
sepi. Dilakukan secara bersama-sama untuk menghapus air mata
yang penuh derita, dengan memberikan pakaian yang hangat bagi
umat manusia.151
Kegiatan atau pun program yang dilakukan oleh kedua yayasan,
baik itu YPI Al azhar maupun Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia,
bermuara kepada bagaimana kedua yayasan melaksanakan amal saleh,
sebagaimana yang telah diperintahkan Tuhan kepada manusia.152
149 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina,
2004), 232-233.
150 YPI Al Azhar, “Visi ‘Misi Yayasan”, YPI Al Azhar (2013), http://www.alazhar.or.id/index.php/tentang-kami/visi-misi, (diunduh tanggal 22 Oktober
2014).
151 Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, “Visi & Misi Tzu Chi”, Yayasan
Buddha Tzu Chi Indonesia (2014), http://www.tzuchi.or.id/tentang-kami/
visi-misi-tzu-chi/30 (diunduh tanggal 22 Oktober 2014).
152 Quran mengisyaratkan akan adanya perintah Allah agar umat manusia
beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali
yang baik. Lihat Quran Surat Al Ra’d: 29. Ajaran Buddha dalam kitab
Parrita Suci dijelaskan bahwa orang yang baik adalah orang yang selalu
menyebarkan kasih sayang dalam situasi apapun. Orang yang baik adalah
orang yang selalu tenang, jujur, rendah hati, lemah lembut, tidak sombong,
93
Zainun Kamal dalam menafsirkan wa altakum min kum ummah
yad‘un ila al khair wa ya‘ murun bi al-m‘aruf, dipahami sebagai
bahwa dalam menyerukan sebuah agama haruslah melalui caracara yang disesuaikan dengan adat atau kebiasaan masyarakat yang
ada. Ma‘ruf dalam hal ini, difahami dari asalnya yaitu ‘urf atau adat
kebiasan. Sehingga, menurut Zainun Kamal, apa pun yang dilakukan
oleh umat beragama dalam menjalankan kebaikan, baik itu berupa
dakwah atau apa pun, seharusnya disesuaikan dengan adat kebiasaan
yang dikenal dalam istilah ‘urf.153
Budaya yang tercermin dalam masyarakat, baik itu masa lalu
maupun masa kini, merupakan cerminan dari keinginan dan harapan
masyarakat.154 Budaya akan tumbuh dan mentradisi apabila dikaitkan
dan didasarkan kepada keyakinan hidup yang menyeluruh dan total
dalam keyakinan tersebut.155 Islam (baca: ajaran) sebagai sebuah
agama diperuntukan untuk seluruh umat manusia, baik itu Arab
maupun bukan Arab, tidak tergantung kepada bahasa, tempat, waktu
dan kelompok manusia. Nilai kebenaran yang universal tidak akan
terpenjara oleh formalisme, karena nilai kebenaran harus dipahami
secara substantif, dinamis dan universal.156
153
154
155
156
94
selalu menghindari dari kesalahan sekecil apa pun, mau dikritik, dan segala
sesuatu yang ada disekitarnya selalu merasa aman, selalu menyebarkan
kasih sayang kepada alam semesta baik kepada makhluk hidup maupun
tidak, bagaikan seorang ibu yang menyayangi anaknya. Lihat Saṅgha
Theravada Indonesia bekerja sama dan Mapanbudhi, Paritta Suci
Kumpulan Paritta dan Penggunaannya dalam Upacara-Upacara (Jakarta:
Yayasan Dhammadīpa Ārāma, 1996), 28-30.
Zainun Kamal, “Dakwah dan Kekerasan”, Democrasi Project (23 Juli
2013), https://www.youtube.com/watch?v=XtGIMbLHLFk&index=18&list=PLwinC5EAvuci03Gr3fjxinECTagfhjiRs (diunduh tanggal 1
Januari 2014).
AbuTabi, “100 Qit‘ah Faniyah, Tabraz al-Ahamiyah al-Thaqafiyah li
al-Daulah”, Al Ittihad (22 April 2014), http://www.alittihad.ae/details.
php?id=35213&y=2014. (diunduh tanggal 30 Oktober 2014).
Nurcholish Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam
Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Dian Rakyat dan Paramadina, 2008),
139.
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis
Penutup
Ajaran agama menjadi penghubung dan perekat agama-agama,
dengan menafsirkan istilah-istilah agama ke dalam konteks sosial.
Ajaran-ajaran yang terkandung dalam agama harus dielaborasi dalam
bentuk teori sosial, sehingga sasarannnya lebih jelas, yaitu menjadikan
ajaran-ajaran agama lebih kepada rekayasa untuk transformasi
sosial. Konflik agama dapat direduksi oleh institusi-institusi yang
mengatasnamakan agama, ketika teologi (ajaran agama) di dalam
ruang publik, memegang teguh prinsip kebebasan beragama, prinsip
toleransi, prinsip aksiologis, dan prinsip kompetisi dalam kebaikan.
YPI Al Azhar dan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia adalah
institusi yang menjadikan agama sebagai identitas. Landasan pendirian
kedua yayasan, walaupun dilandasi pada ajaran yang berbeda, akan
tetapi kedua ajaran agama tersebut memberikan kesadaran kepada
kedua institusi untuk berkiprah dan bermanfaat demi kepentingan
masyarakat secara umum. Kegiatan yang dilakukan di dalam kedua
institusi tersebut, merupakan perwujudan terhadap ajaran agama,
yaitu ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan.
Kepasrahan dan ketundukan terhadap ajaran agama tersebut,
yang dijelaskan oleh Nurcholish Madjid, dengan istilah al-Islam dan
al-Din. Kepasrahan dan ketundukan kepada Tuhan, yang selanjutnya
ditandaskan oleh Zainun Kamal, bahwa agama tidak pernah
mengajarkan permusuhan. Perbedaan-perbedaan dalam agama, harus
disadari hanya disebabkan oleh perbedaan terhadap pemahaman,
maka perbedaan itu harus tetap disandarkan kepada Tuhan.
Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina, 1992),361-362.
95
Daftar Pustaka
‘Abbas, ‘Abbas Hadir. “Al-Mushahadah al-Muhtamalah li alBaniyah al-Ijtimaiyah al-‘Arabiy li al-Muddah (2005-2025).”
Kulliyah Bagdad Li al ‘Ulumil Iqtisdiyah al Jami‘ah. 2009.
http://www.google.com/ (diunduh tanggal 21 Mei 2014).
‘Ashrati, Sulaiman. “Ruhaniyat al-Din.” 02 Januari 2014.http://
www.hiramagazine.com/ (diunduh tanggal 02 Juli 2014).
Ahmad, Saediman, Husni Mubarak, Testriono (ed.). Pembaruan
Tanpa Apologia?Esai-esai tentang Ahmad Wahib.Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina, 2010.
Al-Wahid, Sa’id Ibrahim ‘Abd. “Mafhum al-Thaqafah.” Arab
World Books.t.th. http://www.Arabworldbooks.com/Articles/
articles50.htm (diunduh tanggal 23 Mei 2014).
Arifeen, Shehla Riza and Caroline Gatrell. “A blind spot in
organization studies: gender with ethnicity, nationality and
religion.” Gender in Management, Vol. 28. 2013: 151-170.
Armstrong, Karen. Buddha. Terjemahan T. Widiyantoto. Jogjakarta:
Bentang Budaya, 2003.
Azra, Azyumardi. Islam Substantif Agar Umat Islam Tidak Menjadi
Buih. Jakarta: Mizan, 2000.
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, “Penduduk Menurut
Wilayah dan Agama yang Dianut”, BPS (2010), http://
sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321 (diunduh
tanggal 23 Oktober 2013).
Bagir, Zainal Abidin. Pluralisme Kewargaan: Dari Teologi ke
Politik. dalam Endy Saputro (ed.), Pluralisme Kewargaan
Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia. Jakarta: Program
Studi Agama dan Lintas bidaya Sekolah Pasca Sarjana UGM
dan Mizan, 2011.
Banawiratma, J.B. SJ. dan J. Muller, SJ. Berteologi Sosial Lintas
96
Ilmu Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993.
Brahm, Eric. “Religion and Conflict.” Beyond Intractability.
November 2005. http://www.beyondintractability.org/essay/
religion-and-conflict (diunduh tanggal 01 Oktober 2013).
Burke, Peter. History and Social Theory. New york: Cornell
University Press, Ithaca, 1993.
-------. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2011.
Carrette, Jeremy R. (ed.). Agama, Seksualatas, Kebudayaan.
Esai, Kuliah dan Wawancara Terpilih Michel Foucault.
Terjemahan. Indi Aunullah. Yogyakarta: Jalasutra, 2011.
Coser,Lewis A. “Social Conflict and The Theory of Social
Change.” The British Journal of Sociology, Vol.8, No.3.
1957: 197-207.
D’Adamo, Arthur J. Science Without Bounds A Synthesis of
Science, Religion and Mysticism. http://www.AdamFord.com,
2004.
Faishal, Muhammad. “Institusionalisasi Demokrasi Deliberatif di
Indonesia: Sebuah Pencarian Teoretik.” Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Volume 11, Nomor 1. Juli 2007: 3-10.
Gbadamosi, Ayantunji. “Acculturation.” Journal of Fashion
Marketing and Management, Volume 16. 2012.
Gellner, Ernest. Postmodernism, Reason and Religion. London:
Routletge, 1992.
Gilder, Ray. “Focus on the Basic Functions of the Church.” Life
Way.2001-2015. http://www.lifeway.com/Article/Focus-onthe-Basic-Functions-of-the-Church, (diunduh tanggal 12 Juli
2014).
Giok, Lie Tan. “The Context and Challenges of the Church’s
Educational Ministry in Indonesia.” Christian Education
Journal; vol 10, no 9. 2013: 233-241.
97
Gunn, T. Jeremy. “The Complexity of Religion and the Definition
of “Religion” in International Law.”Harvard Human Rights
Journal, Vol. 16. 2003: 194-193.
Hida, Taura. “Jurgen Habermas: Demokrasi Deliberatif dan Ruang
Publik.” Kompasiana.13 Januari 2013. http://edukasi.
kompasiana.com/2012/01/12/jurgenhabermas-demokrasi-deliberatif-dan-ruang-publik-426994.html,
(diunduh tanggal 10 Agustus 2014).
Hidayat, Komarudin dan Muhammad Wahyuni Nafis. Agama
Masa Depan Prespektif Filsafat Perenial. Jakarta: Penerbit
Gramedia, 2003.
http://kamusbahasaindonesia.org/dogma/mirip#ixzz2vWHJlF5s
(diunduh tanggal 10 Maret 2014).
Hwang, Julie Chermov. Umat Bergerak Mobilisasi Damai Kaum
Islam di Indonesia, Malaysia, dan Turki. Jakarta: Freedom
Institute, 2011.
Ikeda, Daisaku. Budhisme: Falsafah Hidup, Terjemah. Soedibyo.
Jakarta: PT. Indira, 1998.
Jones, PIP. Pengantar Teori-teori Sosial dari Teori Fungsionalisme
Sampai Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2010.
Kamal, Zainun. “Dakwah dan Kekerasan.” Democrasi
Project. 23 Juli 2013.https://www.youtube.com/
watch?v=XtGIMbLHLFk&index=18&list=PLwin
C5EAvuci03Gr3fjxinECTagfhjiRs (diunduh tanggal 1 Januari
2014).
-------. “Epistimologi untuk Indonesia.” Democrasi
Project. 3 Agustus 2013.https://www.youtube.com/
watch?v=SzOh5cNMmko&index=21&list=PLwinC5EA
vuci03Gr3fjxinECTagfhjiRs (diunduh tanggal 1 Januari 2014).
-------. “Perbedaan dan Toleransi.” Democrasi
Project. 26 Juli 2013.https://www.youtube.com/
watch?v=08gvfgWViu8&index=19&list=PLwinC5E
98
Avuci03Gr3fjxinECTagfhjiRs (diunduh tanggal 1 Januari 2014).
-------. “Posisi Aqidah dalam Islam.” Democrasi
Project. 25 Juni 2013.https://www.youtube.com/
watch?v=mDswupA1ZOc&index=1&list=P
LwinC5EAvuci03Gr3fjxinECTagfhjiRs (diunduh tanggal 1 Januari
2014).
-------. “Takwa.” Democracy Project. 22 Juli 2013.https://www.
youtube.com/watch?v=sPzwey1q1Gc&index=16&list
=PLwinC5EAvuci03Gr3fjxinECTagfhjiRs (diunduh tanggal 1
Januari 2014).
Kleden, Paul Budi dan Andrianus Sunarko (ed.). Dialektika
Sekularisasi: Diskusi Hebermas-Razinger dan Tanggapan.
Yogyakarta dan Maumere: Lamarera dan Ledalero, 2010.
Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Kebudayaan Proses Riil isasi
Manusia. Yogyakarta: Jalasutra, 2009.
Lijphart, Arend. “The Comparable-Cases Strategy in Comparative
Research.” Comparative Political Studies. Sage Publications
Inc, Vol.8:No.2. 1975: 158- 177.
Madjid, Nurcholis. Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam
Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat dan
Paramadina, 2008.
-------.Indonesia Kita. Jakarta: Universatas Paramadina Jakarta,
2004.
-------.Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan.Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina, 1992.
-------.Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina, 2004.
Majallah al-‘Ulum al-Ijtimaiyah. “Al-Himay al-Ijtimaiyah fi alNizm al Ijtima‘.” Majallah al-‘Ulum al-Ijtimaiyah.12 April
2009. http://swmsa.net/articles.php?action=show&id=1723
(diunduh tanggal 21 Mei 2014).
Maqatil min al-Sahara. “Al-Tathaqaf.” Maqatil min alSahara.’http://www.moqatel.com/openshare/Behoth/
Mnfsia15/Acculturat/sec01.doc_cvt.htm (diunduh tanggal 12
Juli 2014).
Masdar, Umarudin. Pembela Ulama Sepanjang Jaman. Jakarta:
99
The Wahid Institute dan Klik. R, 2007.
Nam-Kook, Kim. “Identity Crisis and Social Integration under
Globalization in Korea.” Institute of Korean Studies, Vol 44
No. 1. 2013: 31-54.
Natalia Pbg, Gabriela. “Generalisasi dengan Metode Komparatif.”
11 Juli 2013. http://gabriela-n-p-fisip10.web.unair.ac.id/
artikel_detail-82323-Analisis%20HI-Generalisasi%20
dengan%20Metode%20Komparatif.html (diunduh tanggal 15
April 2014).
Nugroho, Panji. “Etika Emansipatoris Jurgen Habermas.” Academia.edu.
http://www.academia.edu/4751412/Etika_Emansipatoris_Jurgen_
Habermas, (diunduh tanggal 10 Agustus 2014)
Palmer, Richard L. Hermenetics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Evanston: Nortwestern University Press, 1969.
-------.Hermeneutika Teori Baru Mengenal Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Quran
Raines, Jhon C. (ed.). Marx Tentang Agama. Jakarta: Teraju, 2003.
S., Adjie. Terorisme. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.
Saṅgha Theravada Indonesia Bekerja Sama dan Mapanbudhi.
Paritta Suci Kumpulan Paritta dan Penggunaannya dalam
Upacara-Upacara. Jakarta: Yayasan Dhammadīpa Ārāma,
1996.
Schmitt, Regina Berger. “Social Cohestion as an Aspect of
the Quality of Societies: Concept and Measurement.”
EuReporting Working Paper No.14. 2000. http://www.gesis.
org/fileadmin/upload/dienstleistung/daten/soz_indikatoren
/eusi/paper14.pdf (diunduh tanggal 1 Januari 2015).
Shofan, Moh. Jalan Ketiga Pemikiran Islam.Yogyakarta:
IRCISOD, 2006.
-------. Pendidikan Berparadigma Profetik Upaya Konstruktif
Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan. Yogyakarta:
Institute for Religion and Civil Society Development, 2004.
Singh, Bilveer dan Abdul Munir Mulkhan. Jejaring Radikalisme
Islam di Indonesia Jejak Sang Pengantin Bom Bunuh Diri.
100
Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher, 2012.
Soedjatmoko. Etika Pembebasan Pilihan Karangan Tentang:
Agama, Kebudayaan, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan.
Jakarta: LP3ES, 1988.
Sunil. “10 Most Important Functions of Religion.” Preserve article.
2012. http://www.preservearticles.com/201104296054/1
0-most-important-functions-of-religion.html (diunduh tanggal 12
Juli 2014).
Tabi, Abu. “100 Qit‘ah Faniyah, Tabraz al-Ahamiyah al-Thaqafiyah
li al-Daulah.” Al Ittihad. 22 April 2014. http://www.alittihad.
ae/details.php?id=35213&y=2014. (diunduh tanggal 30
Oktober 2014).
Taher, Tarmizi et.al. Radikalisme Agama. Jakarta: Pusat Pengkajian
Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta, 1998.
Tanudjaja, Rahmiati. “Kontekstualisasi Sebagai Sebuah Strategi
dalam Menjalankan Misi: Sebuah Ulasan Literatur.” Veratas
1/1. April 2000: 20-23.
Tim Penyusun. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa,
2008.
Tim Penyusun. Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta:
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan, 2008.
Wendy, Dackson. Anglican Theological. Review 94.4.fall 2012.
Yahya, Syarif Utsman. Gus Dur Memilih Kebenaran daripada
Kekuasaan. Jakarta: The Wahid Institute, 2007.
Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. “Logo Tzu Chi.” Yayasan
Buddha Tzu Chi Indonesia. 2014. http://www.Tzu chi.or.id/
tentang-kami/logo-Tzu -chi/47 (diunduh tanggal 22 Oktober
2014).
-------. “Misi Amal.” Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. 2013.
http://www.Tzu chi.or.id/misi/misi-amal/18. (diunduh tanggal
22 Oktober 2014).
-------. “Misi Budaya Humanis.” Yayasan Buddha Tzu Chi
Indonesia. 2014. http://www.Tzu chi.or.id/misi/misi-budayahumanis, (diunduh tanggal 2 Agustus 2014).
-------. “Misi Kesehatan.” Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia.
2014. http://www.Tzu chi.or.id/misi/misi-kesehatan/21
101
(diunduh tanggal 2 Agustus 2014).
-------. “Misi Pendidikan.” Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia.
2014. http://www.Tzu chi.or.id/misi/misi-pendidikan/19
(diunduh tanggal 2 Agustus 2014).
-------. “Visi & Misi Tzu Chi.” Yayasan Buddha Tzu Chi
Indonesia. 2014. http://www.Tzu chi.or.id/tentang-kami/visimisi-Tzu -chi/30, (diunduh tanggal 22 Oktober 2014).
YPI Al Azhar. “Dakwah.” YPI Al Azhar.2013. http://www.al-azhar.
or.id/index.php/dakwah (diunduh tanggal 13 Juli 2014).
-------. “Makna Logo YPI Al-Azhar”, YPI Al Azhar. 2013. http://
www.al-azhar.or.id/index.php/tentang-kami/Identitas,
(diunduh tanggal 22 Oktober 2014).
-------. “Tentang Rumah Gemilang Indonesia”, YPI Al Azhar. 2013.
http://www.al-azhar.or.id/index.php/sosial, (diunduh tanggal
2 Agustus 2014).
-------. “Visi ‘Misi Yayasan”, YPI Al Azhar. 2013. http://www.
al-azhar.or.id/index.php/tentang-kami/visi-misi, (diunduh
tanggal 22 Oktober 2014).
-------. “Visi Misi Pendidikan Al-Azhar”, YPI Al Azhar. 2013. http://
www.al-azhar.or.id/index.php/pendidikan (diunduh tanggal 2
Agustus 2014).
-------. “Visi Misi Yayasan”, YPI Al Azhar. 2013. http://www.
al-azhar.or.id/index.php/tentang-kami/visi-misi, (diunduh
tanggal 22 Oktober 2014).
Z‘atari, ‘Ala’ al-Din. “Wazifah al-Masjid al-Thaqafiyah.” ‘Ala’
al-Din Z‘atari. 2007-2015. http://www.alzatari.net/printresearch/231.html(diunduh tanggal 12 Juli 2014).
102
PANCASILA DAN KESALEHAN SOSIAL:
RELIGIUSITAS ISLAM DALAM SOROTAN
Irfan L. Sarhindi
Pendahuluan
Kejatuhan otoritarianisme the smiling general di tengah krisis
multidimensi membawa serangkaian konsekuensi: organisasiorganisasi Islam yang didomestifikasi selama kekuasaan Orde
Baru menjebol katup-katup diskriminasi dan mencari ruang untuk
mengemukakan pendapat; mempertontonkan religiusitasnya.
Bersamaan dengan itu, menguat ultra-konservativisme dan
radikalisme Islam, dalam merespon kegagalan negara menciptakan
keadilan sosial dan mendistribusikan kesejahteraan secara merata,
yang memilih menawarkan kembali gagasan negara Islam
(caliphate) atau syariahisasi NKRI. Dalam hal ini, Pancasila tidak
hanya dianggap gagal, tetapi juga berseberangan dengan nilai-nilai
Islam. Sementara, musabab persoalan tersebut dapat dilacak hingga
hari-hari pertama kelahiran negara-bangsa Indonesia, dampaknya
telah terukur dan masih mengancam: intoleransi, diskiriminasi,
hingga politisasi agama dan politik identitas yang persekusi
terhadap minoritas. Adalah menarik untuk membedah titik-temu
sekaligus titik-singgung antara Pancasila dan (religiusitas) Islam,
dan upaya tersebut akan berkisar di wilayah yang tercakup dalam
tiga pertanyaan besar: (1) sejauh mana religiusitas Islam berperan
dan/atau diperankan dalam perumusan dan kelahiran Pancasila?
(2) Sejauh mana religiusitas Islam diakomodasi oleh Pancasila? (3)
Dalam hal apa terbentuk titik-singgung konfliktual antara Pancasila
103
dan religiusitas Islam, dan bagaimana dampaknya terhadap kesalehan
sosial?
Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut, saya
menggunakan model lima dimensi religiusitas ala Charles Y.
Glock (yang kemudian disempurnakan bersama Stark) (Clayton
& Gladden, 1974; El-menouar, 2014) sebagai pendekatan. Pun,
tulisan ini dibagi ke dalam tiga sub-bab dengan harapan mampu
memberikan alur pengartikulasian yang memadai untuk masingmasing pertanyaan. Pada sub-bab pertama, setelah menjelaskan
pengertian religiusitas Islam, saya akan menguji peran hal tersebut
dalam perumusan dan kelahiran Pancasila, hingga pada titik di mana
kita bisa membuktikan religiusitas Islam sebagai fundamen identitas
keindonesiaan seorang Muslim Indonesia. Setelah itu, pembahasan
akan dilanjutkan dengan kontradiksi menarik, di mana terlepas dari
indikasi ‘pengistimewaan’ religiusitas Islam dalam Pancasila, toh
yang disebut belakangan tetap dianggap, dalam spektrum yang paling
ekstrem, sebagai thaghut dan anti-Islam. Barulah kemudian, pada
sub-bab terakhir, wacana ‘Islamisasi’ Pancasila akan dikontestasikan
kaitannya dengan pembangunan kesalehan sosial, sebagai pondasi
cita-cita Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kesimpulan akan ditarik, saran akan diartikulasikan.
Religiusitas, Pancasila, dan Narasi Imagined Indonesia
Baik dari survei yang dilaksanakan Gallup tahun 2009
(Crabtree, 2010), maupun Pew Research Center (PRC) tahun
2008 (Pew Research Center, 2008), tentang religiusitas, Indonesia
menjadi salah satu negara paling religius, dengan prosentase 99%.
Pada survei Gallup dengan 114 negara, Indonesia hanya kalah dari
Bangladesh, Nigeria, dan Yaman; dan menang jauh dari Arab Saudi
di peringkat ke-35. Sedangkan pada survei PRC, Indonesia malah
menempati nomor satu. Hanya, indikator religiusitasnya dibuat
sangat (atau bahkan terlalu) sederhana. Yaitu, hanya mengandalkan
persepsi responden ihwal penting, ataukah tidak agama bagi
kehidupan mereka. Padahal, kalau merujuk Kamus Webster’s New
World College, religiusitas adalah “the quality of being religious, esp.
104
of being exessively, ostentatiously, or mawkishly religious” (Collins
Dictionary, 2010). Dengan kata lain, religiusitas tidak sesederhana
keyakinan dan/atau persepsi responden, ihwal seberapa penting
agama bagi kehidupan mereka; bahwa tidak semua yang meyakini
agama sebagai fundamen penting kehidupan, mendasarkan prilaku
sehari-harinya pada norma, nilai, dan prinsip agama (Latif, 1999).
Hal tersebut terkonfirmasi dari temuan PRC sendiri, yang
menunjukkan bahwa dari 99% responden Indonesia yang meyakini
agama penting, tidak semuanya157 taat secara ritual. Menariknya,
jumlah tersebut masih menempatkan Indonesia sebagai salah satu
negara paling ‘saleh secara ritual’. Fenomena tersebut merata
baik di generasi muda maupun tua, berbeda dengan anak muda di
Amerika Serikat158, Polandia159, Spanyol160, dan Argentina161 yang
relatif menjadi kurang religius. Pertanyaannya kemudian, apakah
mengukur persepsi dan ketaatan ritualistik cukup untuk memetakan
tingkat religiusitas seseorang? Bagi Yasemin El-Menouar (2014),
dalam konteks umat Islam, mengukur religiusitas butuh lebih dari
sekedar pengukuran aspek keyakinan dan ritual. Baginya, pendekatan
yang lebih tepat adalah dengan menggunakan model ‘lima dimensi
pengukuran religiusitas’ ala Charles Y. Glock dan Stark (lihat juga
Vailancourt, 2011). Kelima dimensi tersebut antara lain: dimensi
157 Hanya 80% yang melaksanakan shalat lima waktu, menempatkan Indonesia
negara nomor dua paling taat, kalah dari Nigeria (90%) dan berada di atas
Jordania (71%). Sedangkan yang puasa Ramadhan sebulan penuh hanya
49%. Sisa 40% batal beberapa hari, 10% hanya puasa setengah bulan, dan
1% jarang puasa —membuat Indonesia menempati posisi ketiga negara
paling religius, kalah dari Nigeria dan Tanzania. Sebagai catatan: riset PRC
diikuti oleh 23 negara (Pew Research Center, 2008).
158 Perhitungan dibagi ke dalam tiga kelompok usia: (1) usia 60 tahun ke atas;
(2) usia 40-59 tahun; dan (3) usia 18-39 tahun. Secara berurutan, prosentase
yang diraih adalah 64%, 55%, dan 48%.
159 Di Polandia, dengan pengelompokan usia yang sama, trennya sebagai
berikut: 49%, 29%, dan 20% padahal basis agama di sana adalah Katolik
Roma yang konservatif.
160 Di Spanyol angkanya lebih kecil lagi: dari 30%, 21%, dan 9%.
161 Di Argentina, trennya sebagai berikut: 57%, 43%, dan 27%.
105
keyakinan (belief dimension), dimensi pengetahuan (knowledge
dimension), dimensi ritual162 (ritualistic dimension) yang dibagi
menjadi dua sub-dimensi yaitu ritual dan ketaatan (devotion), dimensi
pengalaman (experience dimension), serta dimensi konsekuensi
sekuler (orthopraxis dimension)
Pada dimensi keyakinan, pengujian religiusitas didasarkan
pada perkara keimanan, utamanya berhubungan dengan Rukun
Iman. Pada dimensi pengetahuan, yang diukur adalah pemahaman
atas khazanah keilmuan Islam, yang mana menurut El-Menouar,
terbilang cukup sulit, mengingat ortodoksi Islam bervariasi dan
bermazhab-mazhab. Dimensi pengetahuan ini pula nantinya, yang
akan membedakan pengekspresian religiusitas Islam pada dimensi
pengalaman, ritual, dan bahkan dimensi ortopraksi atau konsekuensi
sekuler. Hanya secara umum, pada dimensi ritual, religiuistas Islam
diukur oleh, pertama, pelaksanaan ritual shalat, puasa, dan haji; dan
kedua, oleh devotion berupa aktivitas berdoa, berzikir, dan yang
semisalnya. Pada dimensi pengalaman, yang diukur adalah perasaan
bahwa Allah itu dekat, Allah memberi kita ilham, Allah memberi
pahala dan hukuman. Terakhir, dimensi konsekuensi sekuler yang
mengukur kehadiran unsur dan semangat religiusitas pada sikap
dan prilaku sehari-hari. El-Menouar menawarkan contoh seperti
keputusan untuk tidak minum alkohol, kesediaan bersedekah dan
berzakat, atau keputusan untuk hanya memakan makanan yang halal.
Dalam tulisan ini, saya ingin memperluas cakupan contoh
aktivitasnya, hingga mencakup aktivitas sosio-politik dan
kenegaraan. Hal tersebut bukan saja dapat dijustifikasi163, tetapi
162 Dalam mengelaborasi gagasan Glock, Jean-Guy Vailancourt menggunakan
istilah yang agak sedikit berbeda. Pada dimensi ritual, dia menggunakan
kata ‘practice’ (praktek); pada dimensi pengetahuan, dia memberi
penegasan ihwal teologi; sedangkan pada dimensi konsekuensi sekuler dia
menulis ‘ethics’ (2011).
163 Ia dapat dijustifikasi, utamanya dengan mempertimbangkan sifat ajaran
Islam yang kaffah (holistik) dan multidimensional. Dalam fiqh, misalnya,
kita tidak hanya diperkenalkan pada fiqh ubudiyah (peribadatan ritualistik)
tetapi juga muamalah (sosio-ekonomi) dan siyasah (politik-kekuasaan).
106
bahkan instrumental dalam pembedahan relasi religiusitas Islam
dan Pancasila. Nantinya kita akan melihat, bagaimana proses
pembedahan tersebut akan membantu menguji, sejauh mana
klaim religiusitas Islam sebagai salah satu fundamen identitas
keindonesiaan seorang Muslim Indonesia dapat diterima, kendati
indikator dan instrumen yang dimiliki Gallup dan PRC jauh dari
lengkap. Menurut ASM (2015), Indonesia baru lahir tahun 1920an, dimonumentali Sumpah Pemuda tahun 1928, dan menjadi
bangsa merdeka pada 1945. Kendati demikian, latar belakang
kesejarahan (historical background) bangsa ini berusia, setidaknya,
jika merujuk pidato Bung Karno pada Sidang PBB 1960, dua ribuan
tahun164 (Arifin, 2017). Biasanya, yang kerap disituasikan sebagai
ingatan kolektif kita sebagai bangsa adalah, mula-mula, eksistensi
Sriwijaya Abad ke-7 hingga 12, serta Majapahit Abad ke-13 hingga
16. Hal tersebut dikarenakan wilayah kekuasaan keduanya meliputi
(bahkan lebih dari) wilayah geografis Indonesia hari ini165 (lihat Tim
Penulis JNM, 2015). Jika kita perhatikan, kedua kerajaan pemersatu
Nusantara tersebut juga lekat dengan unsur agama. Sriwijaya lekat
dengan Buddha, dan Majapahit lekat dengan Hindu166.
Walau demikian, menurut ASM (2015), Buddha dan Hindu
hanya ‘dekat’ dengan kalangan kerajaan. Adalah Islam, masih
menurut ASM, “memulihkan harga diri orang kecil” (2015, p.67)
karena ia menawarkan egalitarianisme. Ditopang oleh runtuhnya
Majapahit dan bermunculannya kerajaan Islam, Islam kemudian
menjadi ‘bahasa-pemersatu’. Namun begitu, hal tersebut tidak lantas
menghambat pertumbuhan agama-agama dan kepercayaan lain.
Bagi ASM, Indonesia tidak hanya menjadi ladang subur bagi agama,
tetapi juga ideologi-ideologi yang secara konsep bahkan saling
164 Bahkan Cak Nun menyebut bahwa, jangan-jangan bangsa kita sebetulnya
lebih tua ketimbang peradaban Ibrahimiyah.
165 Majapahit, menurut Tim Penulis JNM (2015), mencakup tidak hanya
Indonesia tetapi juga Daratan Malaya, Pulau Gurun, dan lain-lain.
166 Bhineka Tunggal Ika difatwakan Mpu Tantular sebagai cara negara
memelihara kohesi dan toleransi masyarakat Hindu dan Buddha di masa
kekuasaan Majapahit (lihat Memory of Majapahit, 2007).
107
berseberangan. Oleh sebab itu, menimbang diversitas yang tidak
terhindarkan tetapi sekaligus kompleks tersebut, diperlukan suatu
‘titik temu’ (kalimatun sawa), atau yang disebut Din Syamsudin
(2016) sebagai common platform dan common denominator, di
mana segala keyakinan dan ideologi dapat dipertemukan dalam
suatu nuansa kolaboratif yang saling merangkul dan bukan bersifat
konfliktual.
Titik temu tersebut bernama Pancasila. Secara yuridisformal, Pancasila lahir pada 18 Agustus 1945, bersamaan dengan
diberlakukannya UUD 1945 (Maarif, 2017). Walau demikian, proses
kelahirannya sebagai gagasan dimulai, setidaknya, sejak Mei 1945
di mana M. Yamin menawarkan lima dasar negara, baik versi lisan
maupun tulisan167 (Darmodiharjo, 1991). Ada perbedaan kedua versi
tersebut, tetapi yang mendekati Pancasila hari ini adalah versi tertulis.
Pada 1 Juni 1945, giliran Soekarno menjabarkan usulan tentang dasar
negara, dan beliau tiba pada sila-sila sebagai berikut: Kebangsaan
Indonesia, Internasionalisme —atau Peri Kemanusiaan, Mufakat —atau
Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan.
Ketika sila-sila ini dilahirkan melalui rahim Piagam Jakarta pada 22
Juni 1945, sila Ketuhanan memiliki tujuh kata tambahan, yaitu ‘dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.
Karena keberatan perwakilan non-Muslim, akhirnya tujuh kata tersebut
dihilangkan pada versi final Pancasila 18 Agustus 1945. Menurut KH.
Wahid Hasyim, mempertahankan tujuh kata tersebut dapat membuka
pintu sektarianisme dalam politik Indonesia (Mas’udi, 2016). Tetapi
di saat yang sama, kata sifat ‘Yang Maha Esa’ ditambahkan demi
kompromi (Maarif, 2015). Pertanyaannya kemudian, lalu sejauh
mana religiusitas Islam berperan dan/atau diperankan dalam proses
perumusan dan kelahiran Pancasila ini?
167 Pancasila versi lisan terdiri atas Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan,
Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Peri Kesejahteraan Rakyat.
Sedangkankan versi tulisan lebih dekat dengan Pancasila yang kita kenal
hari ini: Ketuhanan yang Maha Esa, Kebangsaan Persatuan Indonesia,
Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Kerakyatan yang Dimpimpin
oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
108
Pertama, jika kita lihat dari sila pertama Pancasila, kita tahu
bahwa semangat kebertuhanan adalah salah satu semangat yang
‘paling disepakati’. Secara eksplisit, pengakomodasian sila ini
memenuhi dimensi keyakinan (belief). Kedua, menurut Arifin
(2017), Bung Karno dalam merumuskan Pancasila terinspirasi QS alHujurat ayat 13 yang relevan dengan kodrat kebinekaan Indonesia168.
Hal tersebut menunjukkan bagaimana dimensi pengetahuan Islam
berperan dalam proses ‘pemerasan saripati’ falsafah bangsa tersebut.
Belum lagi kalau kita ingat bahwa perdebatan dan persetujuan
di seputar Pancasila juga melibatkan intelektual Muslim dan
ulama, yang persetujuannya tentu didasarkan pada pertimbanganpertimbangan pengetahuan maqasid syariah (Musa, 2014; Wahid,
2016).
Ketiga, untuk menunjukkan adanya dimensi ritual dan
pengalaman spiritual, kita bisa mengetengahkan pengalaman Bung
Karno sebelum mantap dengan Pancasila. Bung Karno berkisah
bagaimana beliau berdoa, “... ya Allah, ya Rabbi, berikanlah petunjuk
kepadaku, berikanlah ilham kepadaku, kalau ada dasar-dasar lain
yang harus kukemukakan, apakah dasar-dasar itu?” (Arifin, 2017,
p. 22). Ketika besoknya beliau bangun dan shalat subuh, hati beliau
mantap terhadap Pancasila169. Dengan kata lain, Bung Karno seperti
168 QS al-Hujurat: 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal...”
169 Bung Karno sebagai nasionalis biasanya dikategorikan sebagai Islam
‘abangan’, cenderung sekuler, apalagi jika kita melihat bagaimana sila
tunggal yang disaripatikan oleh Bung Karno bukanlah Ketuhanan,
melainkan gotong-royong. Namun dalam perumusan Pancasila, Bung
Karno menggarisbawahi pengaruh religiusitas, kesadaran akan pentingnya
dimensi pengalaman spiritual dalam proses perumusan dasar negara. Kita
bisa menduga bahwa semua itu adalah cara Bung Karno merebut simpati
dan dukungan masyarakat, termasuk kalangan Islamis, untuk menyetujui
pendapatnya. Tetapi pun kalau memang itu yang terjadi, tidak pelak lagi
itu menunjukkan bagaimana religiusitas disadari sebagai fundamen penting
keindonesiaan seorang Muslim Indonesia. Lebih lanjut, dalam tulisan
Arifin, ditunjukkan pelbagai kutipan tulisan-tulisan Bung Karno yang
109
ingin menegaskan bahwa Tuhan tidak lepas tangan; bahwa Tuhan
menginspirasi beliau terkait Pancasila. Sampai di sini, kita melihat
bagaimana aktivitas kenegaraan diinspirasi —dan bahkan dibentuk—
oleh, tidak hanya relasi kekuasaan, tetapi juga religiusitas Islam
(lihat Syamsudin, 2016). Bahkan kemerdekaan diinsafi sebagai ‘atas
berkat rahmat Allah yang Maha Esa’ (lihat Darmodiharjo, 1991).
Gagasan tersebut, jika bisa kita terima, menunjukkan terpenuhinya
dimensi konsekuensi sekular dalam religiusitas Islam, di mana
urusan ideologi dan sistem pemerintahan negara disikapi secara
sama pentingnya dengan urusan, misalnya, shalat, puasa, dan haji.
Esa yang Istimewa dan Thaghutisasi Pancasila
Namun demikian, eksplisitnya nuansa religiusitas Islam dalam
Pancasila —dan kemudian juga UUD 1945— tidak serta-merta
menghentikan perdebatan, atau bahkan kontestasi, religiusitas Islam
versus Pancasila. Gus Dur (1992), misalnya, dalam proses kritik atas
ideologisasi Pancasila, yang dalam bahasa Musa, menyimpang170 di
era Orde Baru, mengetengahkan posisi Pancasila sebagai ideologi
bangsa (yang karenanya mengikat prinsip mendasar masyarakat
Indonesia) dan falsafah hidup (kerangka berpikir acuan), yang
‘tumpang-tindih’ dengan peran agama. Sehingga beliau menegaskan
bahwa: Penerimaan atas Pancasila sebagai satu-satunya asas
oleh berbagai komponen gerakan Islam, baru dapat dilakukan
oleh kesemua organisasi, setelah ada kejelasan sikap pemerintah
sendiri terhadap Pancasila. Pancasila bukanlah agama, tidak akan
menunjukkan sisi religiusitas beliau. Misalnya, beliau menulis, “Saya
berkata, saya cinta Islam dan saya ingin menjadi orang Islam terbaik...
Islam suatu agama yang bisa mengikuti jaman... oleh karena jaman itu
tidak beku, Islam itu pun tidak beku dan selalu bisa mengikuti jaman”
(2017, p. 28).
170 Musa menulis, “Pada era Orde Baru, penyelewengan Pancasila terlihat
dalam beberapa hal, yaitu sila Keadilan Sosial diganti kapitalisme, sila
Kerakyatan dengan otoritarianisme, sila Persatuan dan militerisme, sila
Kemanusiaan dengan kekerasan politik” (2014, p. 292).
110
diagamakan dan tidak berfungsi (menggantikan) kedudukan agama.
Penentangan terhadap Pancasila juga muncul seiring
menguatnya Islam ultra-konservatif dan radikal. Sebagaimana yang
kita tahu, mazhab pemikiran Islam tidak bisa satu-suara (mono-voice),
dan bahkan di Indonesia perbedaan tersebut dipelihara, diorganisir,
dan diperkuat oleh ratusan organisasi dan pergerakan; masingmasing memegang teguh identitas keislaman tertentu (Pringle, 2016;
Tan, 2011; Van Bruinessen, 2013). Dari sekian banyak organisasi
dan pergerakan tersebut, van Bruinessen (2013) mengklasifikasikan
Islamindonesia ke dalam dua identitas besar: moderat dan radikal.
Kalangan moderat dibagi ke dalam tiga spektrum: konservatif,
progresif, dan liberal. Sedangkan kalangan radikal dibagi ke dalam
dua spektrum: Islamis dan fundamentalis. Irisan kedua kelompok
besar tersebut berada di area moderat-konservatif, atau dalam tulisan
ini akan saya istilahkan sebagai ultra-konservatif. Pertanyaannya
kemudian, bagaimana bisa penguatan Islam ultra-konservatif dan
radikal berkorelasi dengan penentangan terhadap Pancasila?
Pada dimensi pengetahuan, Islam ultra-konservatif cenderung
kaku dan tekstual dalam menerjemahkan Islam. Akibatnya, muncul
ketidakluwesan dalam menyikapi modernitas, atau kultur, dan kadang
terjebak dalam miskonsepsi bahwa Islam yang orisinal adalah Islam
Arab (lihat Abaza, 2011; Azra, 2003). Gairah berislam umumnya
diekspresikan secara formalistik dan simbolik, atau dalam bahasa
ASM (2015), Islam gincu. Keterlalu-fokusan pada cangkang ritualistik
Islam, telah menjebak mereka dalam ‘Islam-sejarah’, sehingga
menghambat proses eksplorasi dan pembumian ‘Islam-nilai’ (Maarif,
2013, 2017). Islam ultra-konservatif biasanya bersifat eksklusif dan
monopolis terhadap klaim kebenaran, sehingga cenderung tidak
bisa menerima perbedaan pendapat (ikhtilaf), dalam beberapa kasus
malah persekusif, terutama kepada kalangan minoritas yang dianggap
sebagai sempalan atau heterodoks (Al-Qurtuby, 2015; Burhani,
2014). Dari sudut pandang teori lima dimensi religiusitasnya Glock
dan Stark, sikap tersebut dapat dikategorikan sebagai konsekuensi
sekuler, yang tidak hanya digerakkan oleh pengetahuan tetapi juga
oleh keyakinan (belief), bahwa mereka sedang membela dan berjihad
atas nama Islam (sebagai contoh, lihat Ba’asyir, 2006; Sihab, 2013).
111
Selain itu, Islam ultra-konservatif dan radikal juga biasanya
identik dengan Islam-Politik, sehingga konsekuensi sekuler
yang terbentuk adalah keinginan untuk memanifestasikan Islam
sebagai sistem politik dan pemerintahan. Atas dasar keyakinan
tersebut, Pancasila kemudian dianggap sebagai thaghut yang antiTuhan dan anti-Islam (Musa, 2014). Ada setidaknya dua spektrum
pengekspresian thaghutisasi ini. Pertama, Pancasila diyakini sebagai
tidak Islami sama sekali. Menaati atau ‘berbaiat’ kepada Pancasila,
dengan demikian, dianggap dapat membatalkan keimanan dan
keislaman seseorang (lihat al-Amin, 2012; Ba’asyir, 2006). Para
penyokong gagasan ini di era reformasi terdiri atas Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI), Laskar Jihad, Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansharu alTauhid (JAT), serta Jamaah Ansharu al-Daulah (JAD). Walau berada
di spektrum yang sama, mereka berbeda pendapat ihwal definisi
negara Islam (kekhilafahan) yang ideal dan cara melahirkannya.
Kedua, Pancasila dianggap kurang Islami; masih sekuler-nasionalis.
Narasi ini diinspirasi oleh ketidakhadiran 7 kata ‘Piagam Jakarta’ di
versi final Pancasila dan disokong, misalnya, oleh Front Pembela
Islam (FPI), Gerakan Reformis Islam (GARIS), dan Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), dengan tujuan melakukan upaya ‘syariahisasi
NKRI’ (lihat Hamayotsu, 2011; Woodward et al., 2014). Produk yang
dikampanyekan, salah satunya, adalah Perda Syariah. Ali Masykur
Musa (2014) menyebut bahwa 80% mahasiswa di 11 kampus
ternama,171 dan 76% siswa SMP/SMA se-Jabodetabek, meyakini
syariah sebagai ideologi negara dibandingkan Pancasila. Belakangan,
sebagian penyokong ide ini berafiliasi dalam GNPFI-MUI, yang
berganti nama menjadi GNPF-Ulama, dalam upaya ‘menghukum’
penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok di masa kampanye
beliau menuju Pilgub Jakarta. Menariknya, gerakan ini kemudian
mengidentifikasi diri sebagai Alumni 212, yang kemudian terpecah
menjadi Persaudaraan Alumni 212 dan Presidium Alumni 212, di
171 UI, ITB, UGM, IPB, Unair, Unibraw, Unpad, Unhas, Unand, Unsri,
Unsiah. Riset diambil tahun 2006 oleh Survey Gerakan Nasionalis dan
muncul juga di GMPI Kompas pada 4 Maret 2008 (lihat Musa, 2014, pp.
285–286).
112
mana, terlepas dari polemik perpecahan tersebut, Habib Rizieq tetap
disepakati sebagai ‘Imam Besarnya’172 (lihat BBC Indonesia, 2017;
Fealy, 2016; Medistiara, 2018).
Tetapi benarkah thaghutisasi Pancasila hanya digerakkan oleh
penguatan ultra-konservativisme Islam di era pos-Orba, di mana
Salafi-Wahabi dan ultranasionalisme Islam kerap dijadikan kambing
hitam? Pertama, perlu dicatat bahwa sebagian organisasi Islam radikal
yang tumbuh di era Orba merupakan pecahan dari gerakan DI/TII
dan NII (Hamayotsu, 2015; Saat, 2014; Temby, 2010), sedangkan
sebagian lagi mengusung misi serupa dengan Masyumi (Maarif,
2017). Walau DI/TII dan Masyumi menginginkan Islam sebagai
ideologi dan sistem politik di Indonesia, yang disebut belakangan
mendefinisikan cita-cita negara Islam secara amat modern, sehingga
rujukannya bukanlah negara-negara Timur Tengah melainkan
negara-negara Eropa (lihat Assyaukanie, 2011). Kedua, thaghutisasi
ini boleh jadi merupakan ekspresi kekecewaan dan ketidakpuasan
terhadap kondisi sosio-kultural dan politik negara, sehingga
menganggap Pancasila telah gagal, dan harus diganti dengan sistem
Islam (Maarif, 2015). Dalam kajian Mietzner dan Muhtadi (2018),
ketidakpuasan tersebut boleh jadi didorong oleh perasaan bahwa
mereka tidak diakomodasi oleh pemerintah dan negara. Misalnya,
mobilisasi massa 212, menurut keduanya, adalah bentuk perlawanan
FPI yang ‘kehilangan’ privilege yang mereka nikmati di era SBY;
ditambah yang disebut belakangan berkepentingan memenangkan
putranya ke kursi DKI 1.
Itu baru satu persoalan. Persoalan lain terletak pada anggapan
bahwa ideologi Pancasila merugikan atau tidak mengakomodir umat
Islam. Hanya, sejauh mana klaim tersebut dapat diterima, masih
merupakan persoalan. Bagi saya, Islam tidak hanya diakomodir,
tetapi bahkan diistimewakan, hingga pada satu titik, di mana
pengistimewaan tersebut berpotensi menormalisasi hegemoni dan
kekerasan simbolik (Sarhindi, 2017). Jika kita analisa kembali
172 Bagi Presidium Alumni 212, Habib Rizieq adalah Ketua Pembina. Bagi
Persaudaraan Alumni 212, Habib Rizieq adalah Pembina Tunggal.
113
perdebatan di seputar sila pertama, kita akan mendapati penggantian
‘tujuh kata’ Piagam Jakarta, yang dikompromikan dengan penulisan
kata sifat ‘Yang Maha Esa’. Kata sifat ‘esa’ ini problematis semenjak
kata tersebut kerap didefinisikan sebagai ‘satu’,173 tidak hanya
oleh kalangan awam, tetapi bahkan oleh para intelektual, semisal
Darmodiharjo yang menerjemahkan ‘Yang Maha Esa sebagai,
“Yang Maha Tunggal, tiada sekutu; esa dalam zat-Nya, esa dalam
sifat-Nya, esa dalam perbuatan-Nya” (1991, p. 38). Definisi tersebut
tidak diragukan lagi sebagai Islam-sentris; sekaligus secara simbolik
memaksa agama-agama dan kepercayaan lain yang diakui untuk
‘menyesuaikan’ konsep Ketuhanannya. Dengan pengistimewaan
model demikian, ditambah dengan rasa diri paling benar (self
righteousness), ada kecenderungan untuk, dalam tataran politik dan
sosio-kultural, Islam disituasikan sebagai role of conduct (aturanmain) yang menghegemoni. Hegemoni tersebut, diperparah dengan
homogenitas pergaulan dan pendidikan Islam nir pola pikir kritis,
pada akhirnya berpotensi mengurangi kemampuan umat Islam
Indonesia untuk merekognisi dan mengakomodasi hak-hak kaum
minoritas (Sarhindi, 2017). Apalagi menurut Myrdall, Indonesia
termasuk soft-state174 yang, ketika bertemu soft-ethics175 (Madjid,
2016), akan melahirkan gap antara kesalehan ritual dengan kesalehan
sosial. Pembenaran atas serangan terhadap komunitas Syiah dan
Ahmadiyah di bawah payung hukum SKB Tiga Menteri dan fatwa
sesat dari MUI, dapat diartikulasikan sebagai contoh (Burhani, 2014;
Nasir, 2014; SETARA Institute, 2015; The Wahid Institute, 2014).
173 Eggi Sudjana saat membela HTI juga mengungkapkan gagasan bahwa
satu-satunya agama yang sesuai dengan Pancasila, terutama sila pertama,
hanya Islam. Jika HTI dibubarkan karena melawan Pancasila, katanya,
maka agama-agama lain non-Islam juga harus dihapuskan. Kita bisa
menduga bahwa miskonsepsi demikian cukup lazim, terima kasih pada
penyimpangan ideologisasi Pancasila era Orde Baru.
174 “Dalam arti sering terjadi ketidakjelasan antara yang benar dan yang salah
di masyarakat” (Madjid, 2016, p. 131)
175 Etika yang “dibentuk oleh jenis pemahaman keagamaan yang parsial...
yang hanya mementingkan ritus-ritus belaka” (Madjid, 2016, p. 132)
114
Islamisasi Pancasila dan Kesalehan Sosial
Jika kita setuju dengan argumentasi di atas, maka kita akan
menemukan ada kontradiksi pada dimensi konsekuensi-sekuler
(ortopraksis) kalangan Islam ultra-konservatifdan radikal. Di satu
sisi ia didorong oleh pemahaman keislaman, tetapi di sisi lain, sikap
yang muncul pada dimensi ortopraksis memiliki kecenderungan
untuk antitesis terhadap cita-cita sosial Islam. Cita-cita sosial Islam,
secara sederhana adalah menjadikan Muslim sebagai ‘rahmatan
lil ‘alamiin’ —rahmat bagi semesta— dengan mendorong mereka
bergotong-royong mewujudkan kemasalahatan umat (maslahah
al-ummah). Indikatornya dapat bermacam-macam mulai dari
perdamaian, kesejahteraan, perlindungan HAM, egalitarianisme
dalam kehidupan sosio-kultural dan politik, serta terutama, keadilan
sosial. Jika kita lihat, nilai-nilai tersebut beririsan pula dengan
cita-cita Pancasila. Sehingga kemudian, dalam upaya mengkonter
narasi Islam ultra-konservatif dan radikal di atas, muncul wacana
yang saya istilahkan sebagai ‘Islamisasi Pancasila’; yaitu sebuah
upaya untuk membuktikan bahwa Pancasila tidak hanya kompatibel
dengan religiusitas Islam, tetapi bahkan sejalan dengan al-Qur’an.
Islam dan Pancasila bukanlah, dan tidak mesti disituasikan sebagai,
dua entitas yang konfliktual; berseberangan. Caranya, misalnya,
dengan menunjukkan adanya irisan normatif dan etis antara silasila Pancasila, baik sebagai kesatuan maupun secara parsial, dengan
al-Qur’an.176 UUD 1945, di sisi lain, juga dapat ditafsirkan secara
‘Islami’ (lihat Mas’udi, 2016).177 Akibat turunannya sebagai berikut:
176 Sila pertama, misalnya, dianggap sejalan dengan QS al-Ikhlas ayat 1,
“Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa”. Sila kedua, dianggap sejalan
dengan QS an-Nisa ayat 135, “Maka janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, hendaklah kamu menjadi manusia yang adil.” Sila ketiga, dianggap
sejalan dengan QS al-Hujurat ayat 13 yang telah dikutip di bagian lain
footnote. Sila keempat, dianggap sejalan dengan QS as-Syuro ayat 38,
“Sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara
mereka.” Sedangkan sila terakhir, dianggap sebangun dengan QS an-Nahl
ayat 90, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat
kebajikan” (lihat Syahbana, 2012).
177 KH. Masdar Farid Mas’udi (2016) mengetengahkan 12 syarah (penjabaran,
115
(1) demokrasi tidak dianggap anti-Tuhan, tetapi didefinisikan sebagai
musyawarah (syura) yang lekat dalam narasi kepemimpinan Nabi
Muhammad; (2) bentuk negara Indonesia tidak menjadi negara Kafir
(Dar al-Kufr) melainkan negara Perjanjian dan Kesaksian (Dar alAhdi wa al-Syahadah), yang bagi Din Syamsuddin merupakan
bentuk yang paling ideal bagi Indonesia yang majemuk (2016); (3)
nasionalisme yang dianggap produk Barat yang memecah belah,
didefinisikan sebagai cinta tanah air (hubbul wathan) yang selaras
dengan kemanusiaan178 dan difatwakan sebagai bagian integratif dari
keimanan (Haq, 2009); serta (4) bahwa Islam tidak mesti menjadi
sistem politik dan pemerintahan, selain karena tidak ada rujukan
eksplisit soal tersebut, sejarah menunjukkan bagaimana teokrasi
kerap menghasilkan pemerintahan yang korup dan otoriter179 (A’la,
2014; Maarif, 2015, 2017, 2018). Yang lebih penting, Munawir
Aziz (2016) mencatat, adalah kulturalisasi politik —yaitu Islam
diposisikan bukan sebagai aspirasi, tetapi sebagai inspirasi politik.
Wacana Islamisasi Pancasila ini didukung terutama oleh
kalangan pendukung Islam Kultural —vis-a-vis Islam Politik.
Umumnya, kalangan ini dibagi ke dalam dua kategori, kalangan
tradisionalis yang berbasis Nahdlatul Ulama dan kalangan
modernis yang berafiliasi ke Muhammadiyah. Pada masing-masing
pembahasan) terkait UUD 1945, setiap syarah dilengkapi dengan dalil alQur’an dan hadist. Poin-poin yang beliau bahas mulai dari bentuk negara
Indonesia, pemaknaan atas penjajahan dan kemerdekaan, penafsiran atas
hak dan al-haqq (kebenaran), sila pertama Pancasila, penjabaran implikasi
penggunaan kata ‘berkat’, pemaknaan manusia dan kemanusiaan, serta
pemaknaan penggunaan asma Allah dan kesadaran atas ‘karunia-Nya’ yang
dicantumkan dalam pembukaan UUD 1945.
178 Adagium ini berasal dari Nelson Mandela yang berbunyi, “my nationalism
is humanity” yang kerap disadur oleh Bung Karno. Menurut Hamka Haq
(2009), pernyataan itu menunjukkan kesadaran atas kemanusiaan universal
sehingga semangat mencintai negeri sendiri tidak menjadikan bangsa
Indonesia menutup mata pada penderitaan kemanusiaan di tempat-tempat
lain.
179 Ziadudin Sardar menyebut ideologisasi Islam bersifat kontradiktif terhadap
misi pembebasan (liberation) dalam Islam, membuat Islam menjadi
corrupted religion (A’la, 2014).
116
kalangan terdapat pecahan spektrum pemikiran, sebagaimana
Gus Dur mewakili Muslim post-tradisionalis dan ASM mewakili
post-modernis. Juga pada kedua kalangan dapat dipetakan yang
berspektrum ultra-konsrvatif hingga progresif dan liberal. Dengan
mempertimbangkan usia NU dan Muhammadiyah yang jauh lebih
tua dibandingkan usia Indonesia merdeka, muncul pertanyaan terkait
proyek Islamisasi Pancasila ini: apakah gagasan kompatibilitas
Islam dan Pancasila adalah gagasan baru ataukah juga, sebagaimana
thaghutisasi Pancasila, merupakan gagasan lama yang direproduksi?
Dalam hal ini, ada perbedaan pendapat. Bagi ASM, baik NU dan
Muhammadiyah pernah menjadi bagian dari penyokong gagasan
negara Islam, utamanya ketika bergabung di bawah bendera
Masyumi (2017). Namun demikian, kesadaran kebangsaan telah
muncul pada kalangan modernis, berbeda dengan perjuangan kiai
dan pesantren yang masih bersifat parsial kedaerahan atau sektoral.
Dengan demikian, dari kacamata ASM, Islamisasi Pancasila ini
merupakan fenomena kontemporer sebagai respon atas thaghutisasi
Pancasila di era post-Orba.
Namun demikian, dari sudut pandang kalangan tradisionalis,
muncul klaim bahwa kesadaran kebangsaan dan nasionalisme
justru telah diperbincangkan di kalangan NU sejak 1930-an. Musa
bahkan menulis, “Sikap NU ini sebenarnya adalah penegasan dari
sikap, pandangan, dan komitmen NU terhadap Pancasila dan negara
nasional sejak sebelum hingga sesudah negeri ini berdiri.” (2014, p.
288). Zainul Milal Bizawie (2016) mencatat pertemuan antara KH.
A. Wahab Chasbullah, KH. Hasyim Asy’arie, HOS Tjokroaminoto,
serta Bung Karno guna membahas Islam dan isu kebangsaan “yang
berujung pada Muktamar ke-9 di Banjarmasin pada tahun 1935, yang
memutuskan NU tidak akan mendirikan negara Islam” (2016, p. 30).
Lebih jauh, muktamar tersebut memutuskan, bahwa memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia adalah fadhu ‘ain, karena Indonesia pernah
jadi wilayah kerajaan-kerajaan Islam, dan karenanya bisa disebut
Dar al-Islam yang dicuri hak kemerdekaannya oleh Belanda —satu
irisan dengan fatwa ‘resolusi jihad’ dari KH. Hasyim Asy’ari pada 22
Oktober 1945 (Siroj, 2016). Gus Dur juga sering menulis, bagaimana
KH. Wahid Hasyim berkontribusi dalam penghapusan 7 kata Piagam
117
Jakarta demi kemaslahatan bangsa Indonesia yang beragam (Musa,
2014; Wahid, 2016). Bahkan belakangan, akronim PBNU juga
dijabarkan sebagai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan
UUD 1945. Hanya, dari literatur yang saya baca mengenai relasi
NU, NKRI, dan Pancasila, tidak ditemui pembahasan tentang era
integrasi NU di bawah bendera Masyumi.
Thus, terlepas dari perbedaan tersebut, ada satu semangat yang
sama dalam proyek Islamisasi Pancasila ini, yaitu untuk menghentikan
deaktualisasi Pancasila akibat pengkonfrontasian tak berkesudahan
dengan religiusitas Islam, yang menurut Din Syamsuddin “dapat
menjadi faktor penyebab mengendurnya derajat penghayatan rakyat
warga negara terhadap janji mereka” (2016, p. 283). Musa (2014)
menyebut perlunya radikalisasi Pancasila, utamanya dalam konteks
Pancasila sebagai ideologi kerja (yaitu pengamalan Pancasila dalam
praktik pembangunan), karena Pancasila sebagai ideologi prinsip
(falsafah negara) sudah final dan tuntas. Proses radikalisasi tersebut
dimaksudkan untuk merevitalisasi nilai dan fungsi Pancasila, tidak
hanya sebagai ideologi negara tetapi juga sebagai basis keilmuan
yang dinamis dan kontekstual yang kemudian dijaga sinkronisasinya
dengan produk perundangan, sehingga Pancasila dapat melayani
kepentingan horizontal. Bagi saya, proses revitalisasi Pancasila ini
juga dapat mendorong terwujudnya kesalehan sosial.
Terma kesalehan sosial sendiri diperkenalkan oleh Gus Mus
untuk menunjukkan moralitas-nilai (virtue) pada dimensi akhlak,
terutama kaitannya dalam relasi kemanusiaan dan kemasyarakatan
(hablum minannas); yang berbeda dengan kesalehan ritual yang
cenderung bersifat vertikal hablum minallah. Nadirsyah Hosen
(2016) menyebut, bahwa secara ideal, kesalehan mestinya bersifat
total-integral, tetapi kita tahu bahwa kesalehan ritual tidak selalu
berdampak pada kesalehan sosial. Apalagi jika kesalehan ritual
tersebut ditopang oleh pemahaman keilmuan Islam yang cenderung
tekstual, eksklusif, dan kaku. Secara sederhana, kesalehan sosial
ini disebut akhlak yang mulia, yang selaras dengan misi Islam
sebagai rahmat bagi semesta melalui pewujudan kemaslahatan umat
(maslahah al-ummah) (Haq, 2009; Machasin, 2012). Ia sepertinya
ditopang oleh pendalaman tasawuf (etika Islam) dengan output
118
berupa ihsan (kebaikan) sebagaimana tercermin dalam rukun ihsan180:
suatu sikap pengendalian diri untuk tetap baik atas dasar kesadaran
bahwa Allah senantiasa mengawasi kita (lihat Bagir, 2016, 2018).
Tentu saja ada banyak bentuk sikap yang mencerminkan kesalehan
sosial, yang dalam banyak hal selaras tidak hanya dengan moralitas
universal tetapi terutama dengan kearifan lokal Indonesia, semisal
tolong-menolong, toleransi, saling menghormati, gotong-royong,
sopan-santun, kejujuran dan integritas, penunaian kewajiban, serta
pengakomodasian hak. Kesemua itu sebangun dengan cita-cita sosial
Islam dan Pancasila, seperti telah disebutkan di atas: egalitarianisme,
perdamaian, perlindungan HAM, dan keadilan sosial.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana sebetulnya Islamisasi
Pancasila ini melahirkan, dan/atau berkaitan dengan, kesalehan
sosial? Menurut Mas’udi (2016), Pancasila memiliki sila “Ketuhanan
yang Maha Esa” sebagai landasan spiritual-moralnya. Sebagaimana
yang kita tahu, semangat sila ini adalah sikap berketuhanan yang
berkebudayaan; yaitu bagaimana memanifestasikan keyakinan
terhadap Tuhan (dimensi belief) ke dalam relasi sosio-kultural
Indonesia yang beragam (dimensi ortopraksis). Dalam bahasa
Madjid (2016), ia didefinisikan sebagai cara meneladani ‘sifat
Ketuhanan’ untuk kemudian menjadi etika berprilaku. Sedangkan
ASM (2015) menafsirkan itu sebagai semangat beragama dengan
mengedepankan sikap saling menghormati —penerapan pluralisme.
Sila ini ditopang oleh “Kemanusiaan yang adil dan beradab” sebagai
landasan etikanya, sehingga semangat berketuhanan —semangat
beragama— senantiasa diselaraskan dengan etika universal terhadap
kemanusiaan yang adil dan beradab. Adapun sila ketiga, “Persatuan
Indonesia”, lanjutnya, adalah landasan sosial. Dalam hal ini, Pancasila
mendorong tumbuhnya kesadaran persatuan (ukhuwah), yang
180 Rukun ihsan terdiri atas satu rukun yang berbunyi, “Beribadahlah seolaholah kamu melihat Allah, jika kamu tidak bisa, ingatlah bahwa Allah selalu
mengawasimu.” Rukun ihsan ini, dari kacamata sufisme, mendorong upaya
pendisiplinan jiwa (Ocean of Wisdom, 2015), sedangkan dari kacamata
Foucauldian dapat dikategorikan sebagai pendisiplinan-diri walau dengan
intensi positif —berbeda dengan Foucault yang cenderung melihatnya
sebagai bentuk domestifikasi (lihat Ball, 2013; Gore, 1998; Olivier, 2010).
119
walaupun terkesan dibatasi oleh nasionalisme, tetapi sesungguhnya
merangkul tidak hanya ukhuwah Islamiyah tetapi bahkan ukhuwah
basyariah (persaudaraan kemanusiaan). Dalam bahasa ASM (2015),
etika sosial yang dapat ditarik dari sila ini adalah sikap “bersaudara
dalam perbedaan, berbeda dalam persaudaraan”. Tetapi kita tahu
bahwa perbedaan kadang menimbulkan perselisihan (ikhtilaf),
sehingga demi terjaganya ketentraman dan kohesi sosial, diperlukan
suatu musyawarah (syura) sebagai inti demokrasi yang berorientasi
hikmah kebijaksanaan. Kesemua itu dibingkai dalam visi besar
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan
demikian, tidak diragukan lagi bahwa penghayatan atas (religiusitas
Islam dalam) Pancasila dapat mendorong terbangunnya kesalehan
sosial yang berfundamen Tuhan, berorientasi kemanusiaan, bercorak
kekeluargaan (satu-tubuh), bersemangat solusi menang-menang, dan
berwatak selfless.
Hanya kemudian, proses revitalisasi Pancasila dan
kontekstualisasi Islam demi penguatan kesalehan sosial ini bukan
tanpa tantangan. Tidak hanya karena perdebatan Islam versus
Pancasila ini seperti tidak akan pernah berakhir, tetapi juga karena
proses diseminasi dan kultivasi Pancasila di sekolah-sekolah
dan seminar juga bukan tanpa persoalan. Di sisi lain, semangat
religiusitas yang tinggi di tengah absensi sikap kritis dan keilmuan
yang cukup, diperparah oleh kemudahan akses di sosial media
dan gejala post truth, pada akhirnya membuat Muslim Indonesia
mudah disulut emosinya oleh sentimen keagamaan (Lim, 2005,
2009, 2012, 2013; Nugraha, 2018). Sentimen keagamaan tersebut
dipolitisasi sedemikian rupa sehingga melahirkan politik identitas
yang mengancam pluralisme (Maarif, 2010). Sebagai contoh, Pilgub
Jakarta mengakibatkan polarisasi masyarakat, belum lagi Amien
Rais yang datang dengan gagasan Partai Allah versus Partai Setan,
dan semua itu belum termasuk hegemoni masyarakat Muslim dan
normalisasi privilege di dalam tubuh dan inti Pancasila itu sendiri.
120
Penutup
Kita telah melihat bagaimana religiusitas Islam dapat dilacak,
bahkan amat kental nuansanya, tidak hanya dalam proses dan
aktivitas di seputar Pancasila sejak perumusan, kelahiran, dan
penghyatannya, tetapi juga bahkan dalam tubuh dan inti Pancasila
itu sendiri. Walau dalam hal sejauh mana religiusitas Islam
tersebut diakomodasi, terdapat perbedaan pendapat. Oleh sebab isu
pengakomodasian ini pula muncul, dalam spektrum ekstrem dua
kutub, wacana thaghutisasi dan Islamisasi Pancasila. Sementara
wacana yang pertama berkecenderungan terjebak dalam kesalehan
ritualistik, wacana yang kedua punya kapasitas mendorong
terwujudnya kesalehan sosial yang sebangun tidak hanya dengan
cita-cita sosial Islam tetapi juga dengan cita-cita keadilan sosial ala
Pancasila, serta etika universal dan kearifan lokal Indonesia. Hanya,
terlepas dari perbedaan dan perdebatan di seputar kedua wacana
tersebut, yang luput kemudian adalah, indikasi pengistimewaan
(religiusitas) Islam. Menariknya, adalah keluputan tersebut yang
menegaskan normalisasi privilege dan hegemoni Islam sebagai
role of conduct (aturan main tatanan kemasyarakatan). Untuk bisa
mewujudkan kesalehan sosial dan menekan potensi kekerasan
simbolik, Islamisasi Pancasila tidak boleh sekedar diwacanakan
—walau Islamisasi Pancasila bukan satu-satunya jalan keluar; lagi
pula persoalan tidak hanya terletak pada tataran ideal-konseptual,
melainkan, lagi-lagi sebagaimana gap antara dimensi ritual dengan
dimensi ortopraksis, adalah jarak-pemisah Pancasila dan pendidikan
Pancasila dan kewarganegaraan.
121
Daftar Pustaka
A’la, A. (2014). Jahiliyah Kontemporer dan Hegemoni Nalar
Kekerasan: Merajut Islam Indonesia Membangun Peradaban
Dunia. Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang.
Abaza, M. (2011). Asia Imagined by the Arabs. In K. BustamamAhmad & P. Jory (Eds.), Islamic Studies and Islamic Education
in Contemporary Southeast Asia (pp. 1–28). Kuala Lumpur:
Yayasan Ilmuwan.
al-Amin, A. R. (2012). Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut
Tahrir di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit LKiS.
Al-Qurtuby, S. (2015). Buya Syafii, Ateisme, dan Hak-hak Kewargaan
Kaum Ateis di Indonesia. In A. N. Burhani, M. A. Darraz, & A.
F. Fanani (Eds.), Muazin Bangsa dari Makkah Darat: Biografi
Intelektual Ahmad Syafii Maarif (pp. 302–345). Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta dan MAARIF Institute.
Arifin, M. N. (2017). Bung Karno “Menerjemahkan” al-Qur’an.
Bandung: PT Mizan Media Pustaka.
Assyaukanie, L. (2011). Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model
negara Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Freedom Institute.
Aziz, M. (2016). Fikih Siyasah dalam Konfigurasi Fikih Sosial: Etika
Politik Kiai Sahal Mahfudh. In Islam Nusantara: dari Ushul
Fiqh Hingga Paham Kebangsaan (pp. 315–336). Bandung: PT
Mizan Media Pustaka.
Azra, A. (2003). Bali and Southeast Asian Islam : Debunking the
Myths. Aftre Bali: The Threat of Terrorism in Sourheast Asia,
39–57. https://doi.org/10.1142/9789812561749_0002
Ba’asyir, A. B. (2006). Catatan dari Penjara untuk Mengamalkan dan
Menegakkan Dinul Islam. Depok: Penerbit Mushaf.
Bagir, H. (2016). Islam dan Budaya Lokal: Perspektif ’Irfan. In A.
122
Sahal & M. Aziz (Eds.), Islam Nusantara: dari Ushul Fiqh
Hingga Paham Kebangsaan (pp. 175–180). Bandung: PT Mizan
Media Pustaka.
Bagir, H. (2018). Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan
Spiritualitas di Jaman Kacau. Bandung: PT Mizan Media
Pustaka.
Ball, S. J. (2013). Foucault, Power, and Education. London:
Routledge.
BBC Indonesia. (2017, May 3). Toleransi Siswa Indonesia
Terpengaruh Pilkada Jakarta? (Indonesian Student’s
Tolerance Influenced by Jakarta’s Governor Election?). BBC
Indonesia. Retrieved from http://www.bbc.com/indonesia/
indonesia-39779463
Bizawie, Z. M. (2016). Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan
Jejaring Ulama-Santri (1830-1945). Tangerang: Pustaka
Compass.
Burhani, A. N. (2014). Hating the Ahmadiyya: The place of “heretics”
in contemporary Indonesian Muslim society. Contemporary
Islam, 8(2), 133–152. https://doi.org/10.1007/s11562-0140295-x
Clayton, R. R., & Gladden, J. W. (1974). The Five Dimensions of
Religiosity: Toward Demythologizing a Sacred Artifact. Journal
for the Scientific Study of Religion, 13(2), 135–143. https://doi.
org/10.2307/1384375
Collins Dictionary. (2010). Religiosity. Retrieved August 13, 2018,
from https://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/
religiosity
Crabtree, S. (2010). Religiosity Highest in World’s Poorest Nations.
Retrieved January 28, 2018, from http://news.gallup.com/
poll/142727/religiosity-highest-world-poorest-nations.aspx
Darmodiharjo, D. (1991). Orientasi Singkat Pancasila. In Santiaji
Pancasila (pp. 13–93). Surabaya: Penerbit Usaha Nasional.
123
El-menouar, Y. (2014). The Five Dimensions of Muslim Religiosity:
Results of an Empirical Study, 8(1), 53–78. https://doi.
org/10.12758/mda.2014.003
Fealy, G. (2016). Bigger than Ahok: explaining the 2 December
mass rally. Retrieved December 10, 2016, from http://
indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/bigger-than-ahokexplaining-jakartas-2-december-mass-rally/
Gore, J. M. (1998). Disciplining the Bodies: On the Continuity of
Power Relations in Pedagogy. In T. S. Popkewitz & M. Brennan
(Eds.), Foucault’s Challenge: Discourse, Knowledge, and Power
in Education (pp. 231–251). London: Teachers College Press.
Hamayotsu, K. (2011). Beyond faith and identity: mobilizing Islamic
youth in a democratic Indonesia. The Pacific Review, 24(2),
225–247. https://doi.org/10.1080/09512748.2011.560960
Hamayotsu, K. (2015). Islam and the Making of the Nation:
Kartosuwiryo and Political Islam in 20th Century Indonesia by
Chiara Formichi. Indonesia, 100, 125–128.
Haq, H. (2009). Islam: Rahmah untuk Bangsa. Jakarta: RMBOOKS.
Hosen, N. (2016). Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial. Retrieved
August 24, 2018, from http://nadirhosen.net/tsaqofah/
aqidah/208-kesalehan-ritual-dan-kesalehan-sosial
Latif, Y. (1999). Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan: Krisis
Agama, Pengetahuan, dan Kekuasaan dalam Kebudayaan
Teknokratis. Bandung: PT Mizan Media Pustaka.
Lim, M. (2005). Islamic Radicalism and Anti-Americanism in
Indonesia: The Role of the Internet. Policy Studies, 18, 1–49.
Lim, M. (2009). Cyber-civic space in Indonesia: From panopticon to
pandemonium?International Development Planning Review,
24(4), 383–400. https://doi.org/10.3828/idpr.24.4.3
Lim, M. (2012). Life Is Local in the Imagined Global Community:
Islam and Politics in the Indonesian Blogosphere. Journal of
Media and Religion, 11(3), 127–140. https://doi.org/10.1080/153
124
48423.2012.706144
Lim, M. (2013). The Internet and Everyday Life in Indonesia: A New
Moral Panic? Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde /
Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia,
169(1), 133–147. https://doi.org/10.1163/22134379-12340008
Maarif, A. S. (2010). Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme
Indonesia. In H. Mubarok (Ed.), Politik Identitas dan Masa
Depan Pluralisme Indonesia (pp. 3–30). Jakarta: Pusat Studi
Agama dan Demokrasi Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama
dengan PT Newmont Pasific Nusantara & Magister Perdamaian
dan Resolusi Konflik UGM.
Maarif, A. S. (2013). Memoar Seorang Anak Kampung. Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
Maarif, A. S. (2015). Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (Kedua). Bandung: PT
Mizan Media Pustaka dan MAARIF Institute.
Maarif, A. S. (2017). Islam dan Pancasila Sebagai Dasar negara:
Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante. Bandung: PT
Mizan Media Pustaka dan MAARIF Institute.
Maarif, A. S. (2018). Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam.
Yogyakarta: Penerbit Bunyan.
Machasin. (2012). Islam Dinamis Islam Harmonis: Lokalitas,
Pluralisme, Terorisme. Yogyakarta: PT LKiS Printing
Cemerlang.
Madjid, N. (2016). Islam Indonesia Menatap Masa Depan: Aktualisasi
Ajaran Ahlussunah Waljamaah. In A. Sahal & M. Aziz (Eds.),
Islam Nusantara: dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan
(pp. 118–136). Bandung: PT Mizan Media Pustaka.
Mas’udi, M. F. (2016). Syarah Konstitusi: UUD 1945 dalam Perspektif
Islam. In A. Sahal & M. Aziz (Eds.), Islam Nusantara: dari
Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan (pp. 287–320).
Bandung: PT Mizan Media Pustaka.
125
Medistiara, Y. (2018). Ini Beda Persaudaraan Alumni 212 dan
Presidium Alumni 212. Retrieved September 3, 2018, from
https://news.detik.com/berita/d-3990156/ini-beda-persaudaraanalumni-212-dengan-presidium-alumni-212
Memory of Majapahit. (2007). Bhinneka Tunggal Ika. Retrieved from
http://www.eastjava.com/books/majapahit/html/bhinneka.html
Mietzner, M., & Muhtadi, B. (2018). Explaining the 2016 Islamist
Mobilisation in Indonesia: Religious Intolerance, Militan Groups
and the Politics of Accommodation. Asian Studies Review,
00(00), 1–19. https://doi.org/10.1080/10357823.2018.1473335
Musa, A. M. (2014). Membumikan Islam Nusantara: Respons Islam
terhadap Isu-Isu Faktual. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Nasir, M. A. (2014). The ʿUlamāʾ, Fatāwā and Challenges to
Democracy in Contemporary Indonesia. Islam and Christian–
Muslim Relations, 25(4), 489–505. https://doi.org/10.1080/0959
6410.2014.926598
Nugraha, M. (2018). Polisi Buru Penyebar Info Hoax Penganiayaan
Ulama di Jabar Lima Info Hoax dalam 2 Minggu.
Retrieved February 16, 2018, from http://jabar.tribunnews.
com/2018/02/08/polisi-buru-penyebar-info-hoax-penganiayaanulama-di-jabar-lima-info-hoax-dalam-2-minggu?page=2
Ocean of Wisdom. (2015). al-Ghazali -- Book of Knowledge -Readings from Ihya Ulum al-Din. Retrieved October 7, 2016,
from https://www.youtube.com/watch?v=h_uRFN1gpb0
Olivier, B. (2010). Foucault and individual autonomy. South African
Journal of Psychology, 40(3), 292–307.
Pew Research Center. (2008). The Pew Global Project Attitudes. Pew
Research Center: Global Attitudes & Trends. Retrieved from
http://www.pewglobal.org/2008/09/17/chapter-2-religiosity/
Pringle, R. (2016). Understanding Islam in Indonesia: Politics and
Diversity. Singapore: Didier Millet PTE Ltd.
Saat, N. (2014). Kartosuwiryo dan NII: Kajian Ulang Azyumardi.
126
Studia Islamika, 21(1).
Sarhindi, I. L. (2017). Symbolic Violence in Indonesian Society : Does
Islamic Radicalisation Lead to Religious Intolerance ? Journal
of Southeast Asian Human Rights, 1(1), 56–79.
SETARA Institute. (2015). Tolerant City Indeks 2015. Jakarta.
Sihab, Ri. (2013). Situs Resmi Habib Rizieq. Retrieved December 6,
2016, from http://www.habibrizieq.com/
Siroj, S. A. (2016). Rekonstruksi Aswaja Sebagai Etika Sosial: Akarakar Teologi Moderasi Nahdlatul Ulama. In A. Sahal & M.
Aziz (Eds.), Islam Nusantara: dari Ushul Fiqh Hingga Paham
Kebangsaan (pp. 137–168). Bandung: PT Mizan Media Pustaka.
Syahbana, A. (2012). Pancasila dan Keluwesan Ajaran Islam.
Retrieved September 3, 2018, from http://www.nu.or.id/post/
read/40159/Pancasila-dan-keluwesan-ajaran-Islam
Syamsudin, D. (2016). NKRI: negara Perjanjian dan Kesaksian. In
A. Sahal & M. Aziz (Eds.), Islam Nusantara: dari Ushul Fiqh
Hingga Paham Kebangsaan (pp. 278–286). Bandung: PT Mizan
Media Pustaka.
Tan, C. (2011). Islamic Education and Indoctrination: The Case in
Indonesia. London: Routledge.
Temby, Q. (2010). Imagining an Islamic State in Indonesia: From
Darul Islam to Jemaah Islamiyah. Indonesia, 89, 1–36.
The Wahid Institute. (2014). Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/
Berkeyakinan dan Intoleransi 2014: “Utang” Warisan
Pemerintah Baru (The Annual Report of the Freedom of
Religion/Belief and Intolerance in 2014: The Debt of the Legacy
of New Government). Jakarta: The Wahid Institute and The Body
Shop.
Tim Penulis JNM. (2015). Gerakan Kultural Islam Nusantara.
Yogyakarta: Jamaah Nahdliyin Mataram and Panitia Muktamar
NU ke-33.
Vailancourt, J.-G. (2011). From Five to Ten Dimensions of Religion:
127
Charles Y. Glock’s Dimensions of Religiosity Revisited. Journal
for the Academic Study of Religion, 21(1).
Van Bruinessen, M. (2013). Overview of Muslim Organizations,
Associations and Movements in Indonesia. In M. van
Bruinessen (Ed.), Contemporary Development in Indonesian
Islam, Explaining the “Conservative Turn” (pp. 21–59).
Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute.
van Bruinessen, M. et al. (2013). Contemporary Developments in
Indonesian Islam: Explaining the “Conservative Turn.” (M. van
Bruinessen, Ed.), Contemporary Developments in Indonesian
Islam: Explaining the “conservative Turn.” Singapore: ISEASYusof Ishak. https://doi.org/10.1080/00074918.2013.850644
Wahid, A. (1992). Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya dengan
Kehidupan Beragama dan Berkepercayaan Terhadap Tuhan yang
Maha Esa. In Pancasila Sebagai Ideologi: Dalam Berbagai
Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara
(pp. 163–168). Jakarta: Perum Percetakan negara.
Wahid, A. (2016). Paham Kebangsaan NU. In A. Sahal & M. Aziz
(Eds.), Islam Nusantara: dari Ushul Fiqh Hingga Paham
Kebangsaan (pp. 274–277). Bandung: PT Mizan Media Pustaka.
Woodward, M., Yahya, M., Rohmaniyah, I., Coleman, D. M.,
Lundry, C., & Amin, A. (2014). The Islamic Defenders
Front: Demonization, Violence and the State in Indonesia.
Contemporary Islam, 8(2), 153–171. https://doi.org/10.1007/
s11562-013-0288-1
128
RESISTENSI MASYARAKAT MANADO TERHADAP
ISLAMISME PASCA-AKSI BELA ISLAM
Taufani
Pendahuluan
Momen politik elektoral merupakan suatu momen penting
yang dapat menentukan kemana arah dan orientasi kebijakan suatu
daerah akan dibawa. Di jaman reformasi yang merupakan antitesis
Orde Baru, terjadi berbagai perubahan signifikan dalam tata kelola
politik pemerintahan di Indonesia. Sistem pemerintahan yang
dulunya tersentralisasi di pusat, kini menjadi tersebar ke daerah.
Setiap daerah telah mendapatkan otonomi yang cukup besar untuk
mengurus rumah tangganya masing-masing. Kue-kue kekuasaan
yang dulunya dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah pusat, kini
menjadi terbagi ke daerah. Kekuasaan di level daerah tidak lagi
sepenuhnya ditentukan oleh pusat, melainkan ditentukan sendiri
oleh kehendak warga yang ada di dalamnya.
Perubahan penting lainnya di jaman reformasi adalah terbuka
lebarnya kran demokrasi yang selama ini tertutup. Di jaman Orde
Baru, dapat dikatakan bahwa aksi-aksi demonstrasi hampir tidak
memiliki ruang karena para aktor yang terlibat di dalamnya akan
“diamankan” oleh negara karena dianggap mengganggu stabilitas.
Di jaman reformasi, kegiatan Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) menjadi sangat marak di seluruh daerah di Indonesia.
Momen pilkada adalah momen yang sangat dinantikan oleh seluruh
masyarakat khususnya bagi para elit politik yang memiliki hasrat
129
untuk menjadi penguasa lokal di daerahnya. Untuk memenangkan
kontestasi politik lokal, maka strategi jitu untuk menarik hati massa
menjadi sangat dibutuhkan, karena semakin besar massa yang
dimiliki seseorang, maka semakin besar pula peluang mereka untuk
menjadi penguasa di ranah lokal.
Di Indonesia, salah satu momen pilkada yang paling bersejarah
dan menguras banyak energi adalah Pilkada Jakarta tahun 2017.
Sebelum dilaksanakannya Pilkada, dinamika politik yang terjadi di
Jakarta diwarnai oleh berbagai aksi demonstrasi yang melibatkan
massa dalam jumlah yang sangat besar. Turunnya massa tersebut
disebabkan oleh adanya video pidato Gubernur Petahana Ahok di
Pulau Seribu yang dianggap menistakan agama. Awalnya, pidato
yang dilakukan Ahok dimaksudkan untuk mengingatkan kepada
para warga agar tidak mudah ditipu oleh pihak-pihak yang kerap
menggunakan QS. al-Maidah 51 untuk menjustifikasi haramnya non
muslim menjadi pemimpin. Pidato Ahok ini pada intinya adalah
sebuah kritik terhadap para politisi yang gemar menjual ayat-ayat
kitab suci untuk kepentingan politik praktis sekaligus sebagai bentuk
“curahan hati” Ahok yang kerap menjadi korban politisasi agama
dalam posisinya sebagai politisi keturunan Tionghoa dan beragama
Kristen.
Video pidato Ahok itu kemudian bergulir menjadi masalah
besar setelah pernyataannya dalam video dipotong oleh Buni Yani,
sehingga menimbulkan tafsiran adanya penistaan Islam di dalam
pidato tersebut. Potongan video itu kemudian menjadi viral di media
sosial. Sejak itu, Ahok menjadi bulan-bulanan oleh para kelompok
islamis yang selama ini tidak setuju dengan pengangkatannya sebagai
Gubernur Jakarta menggantikan Jokowi. Gerakan protes terhadap
Ahok menjadi semakin besar pasca keluarnya fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa Ahok telah menistakan
Islam.
Fatwa MUI telah memantik lahirnya demo- jilid demi jilid- di
Jakarta. Ada dua jilid demonstrasi yang sangat fenomenal di Jakarta,
yakni Aksi Bela Islam 411 dan 212. Kedua Aksi Bela Islam tersebut
berhasil mendatangkan berbagai umat Islam dari berbagai penjuru
130
tanah air. Para pendemo tersebut memenuhi sudut-sudut Monas.
Pada Aksi Bela Islam 212, peserta aksi mengklaim bahwa mereka
berhasil mendatangkan massa sebesar 7 juta.
Semangat Aksi Bela Islam tidak hanya terjadi di Jakarta,
tetapi juga di berbagai daerah di Indonesia. Para simpatisan Aksi
Bela Islam melakukan aksi yang serupa dengan di Jakarta untuk
menuntut pemenjaraan Ahok karena dianggap telah menistakan
Islam. Pasca Aksi Bela Islam 411 dan 212, para kubu anti Ahok tidak
menurunkan tensi perlawanannya terhadap Ahok. Mereka tetap
melakukan berbagai aksi perlawanan melalui pemasangan spanduk
yang mengajak umat Islam untuk tidak mensalati para pendukung
penista agama (jika mereka meninggal dunia nanti) di berbagai
masjid di Jakarta. Mereka juga menyerukan kepada warga Jakarta
untuk tidak memilih Ahok di Pilkada Jakarta baik melalui media
sosial maupun melalui mimbar keagamaan.
Aksi Bela Islam di Jakarta digawangi oleh berbagai aktor
politik, seperti Fadli Zon (Politisi Partai Gerindra) dan Fahri Hamzah
(Politisi Partai PKS). Aktor lain yang paling fenomenal adalah
Pimpinan Front Pembela Islam, Habib Rizieq Shihab (HRS) beserta
ormas yang dipimpinnya. HRS adalah salah satu tokoh terdepan yang
sangat getol menuntut pemenjaraan Ahok. Dalam aksi yang berjilidjilid tersebut, HRS berhasil menjadi koordinator aksi yang dapat
mengumpulkan massa dari berbagai kelompok islam termasuk di
dalamnya adalah kelompok islamis, seperti Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Forum Umat Islam
(FUI), dll.
Dalam Aksi Bela Islam 411 dan 212, para kelompok islamis
tidak hanya sekedar berteriak untuk memenjarakan Ahok, tetapi
mereka memanfaatkan momentum tersebut untuk menggaungkan
kembali pentingnya penegakan syariat Islam di Indonesia karena
sistem pemerintahan dan juga rezim penguasa yang ada saat ini
dianggap tidak berpihak kepada umat Islam. Mereka juga memberi
sinyal akan menurunkan Jokowi bila tuntutan mereka tidak
dipenuhi. Selama Aksi Bela Islam, nama HRS menjadi sangat dieluelukan. HRS kemudian diberi gelar sebagai imam besar umat Islam
131
Indonesia karena keberhasilannya mengumpulkan dan menyatukan
berbagai ormas Islam dalam Aksi Bela Islam.
Aksi Bela Islam yang terjadi di Jakarta sedikit banyaknya
telah mempolarisasi masyarakat dalam dua kutub ekstrim (meskipun
persoalannya tidak sesederhana itu), yakni kubu pro islamis dan
kubu pro Kebinekaan. Ketika memanasnya Aksi Bela Islam di
Jakarta, terdapat kesan bahwa orang yang membela Ahok adalah
orang yang munafik dan diragukan komitmen keagamaannya (baca:
keislamannya) karena telah mendukung dan membela penista
agama. Sebaliknya mereka yang mendukung Aksi Bela Islam
untuk memenjarakan Ahok dianggap tidak nasionalis dan tidak
pro Kebinekaan karena telah mendukung aksi yang penuh dengan
sandiwara politik dan sentimen Suku, Agama, Ras, dan Antar
Golongan (SARA).
Pasca terjadinya Aksi Bela Islam di Jakarta, resistensi terbuka
terhadap para pendukung islamis yang ikut ambil bagian dalam Aksi
Bela Islam berlangsung cukup kuat di berbagai daerah. Salah satu
daerah yang memiliki resistensi yang cukup kuat itu adalah Kota
Manado. Resistensi di kota tersebut dilakukan oleh sejumlah elemen
masyarakat sipil yang berasal dari ormas adat, ormas Kristen, dan
juga ormas Islam. Narasi yang banyak dimunculkan dalam aksi
resistensi tersebut adalah narasi penolakan terhadap kelompok
yang tidak nasionalis dan pro Kebinekaan. Tulisan ini hadir untuk
mengelaborasi akar dan penyebab munculnya resistensi terhadap
kelompok islamis di Kota Manado pasca Aksi Bela Islam di Jakarta.
Kajian Teoritik
Studi resistensi adalah bagian dari gerakan sosial yang
dilakukan oleh kelompok subordinat untuk menentang dan menolak
klaim-klaim kelompok superordinat. Tentang gerakan sosial, Tarrow
memberikan definisi bahwa “movement is collective challenges
by people with common purposes and solidarity in sustained
132
interaction with elites, opponents, and authorities.”181 Gerakan
sosial mencakup perilaku kolektif, kumpulan orang dalam jumlah
yang besar, massa, berorientasi pada nilai dan antisistemik dalam
bentuk dan simbolisme.182
Resistensi terdiri atas dua kategori, yakni resistensi
terbuka (public transcript) dan juga resistensi tertutup (hidden
transcript)183. Resistensi terbuka bersifat (1) organik, sistematik
dan kooperatif, (2) tidak mementingkan kepentingan diri sendiri
(3) berkonsekuensi revolusioner, dan (4) mencakup gagasan dan
tujuan untuk menghilangkan basis dominasi. Sedangkan, resistensi
tertutup bersifat (1) tidak teratur, tidak sistematik, dan terjadi secara
individual, (2) bersifat oportunistik dan mementingkan diri sendiri,
(3) tidak memiliki konsekuensi revolusioner, (4) lebih akomodatif
terhadap sistem dominasi.184
Awalnya teori resistensi James C. Scott ini digunakan untuk
membahas dan menganalisis gerakan petani. Namun dalam tulisan ini,
penulis meminjam teori tersebut untuk membahas dan menganalisis
resistensi terbuka masyarakat Manado terhadap Islamisme karena
keduanya memiliki kesamaan, yakni petani miskin mendapatkan
hegemoni elit yang berkuasa dan petani kaya, sedangkan masyarakat
Manado (yang terepresentasi dalam ormas adat, ormas Kristen, dan
ormas Islam) menghadapi hegemoni kelompok islamis yang selalu
mengklaim diri sebagai satu-satunya pemilik tafsir kebenaran dan
juga sebagai representasi sah seluruh umat Islam selaku kelompok
mayoritas di Indonesia.
181 Sidney Tarrow. Power in Movement: Social Movements, Collective Action
and Politics. (Cambridge University Press, 1994), h. 3-4.
182 Gerald F. Kaus dan Chandran Kukathas, Handbook Teori Politik,
terjemahan oleh Derta Sri Widowatie (cet.ii., Bandung: Nusa Media, 2013),
h. 610-611.
183 James. C. Scott, Domination and the Art of Resistence: Hidden Transcripts,
(London: Yale University Press New Haven and London, 1990), h. 1-5.
184 James C. Scott, Senjatanya Orang-orang Kalah, terjemahan A. Rahman
Zainuddin, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), h. xxii-iv.
133
Karena tulisan ini membahas tentang resistensi terhadap
islamisme, maka penting juga membahas tentang islamisme secara
singkat. Bassam Tibi membedakan antara Islam dan islamisme. Islam
adalah suatu sistem kepercayaan (faith) yang menuntun seorang
muslim untuk hidup damai dan tidak membawa ancaman terhadap
agama lain. Sebaliknya islamisme merujuk pada upaya agamaisasi
(religionize) politik.185 Pendukung islamisme cenderung membuat
garis yang tegas dengan non muslim. Mereka juga cenderung
memposisikan non muslim sebagai musuh termasuk melakukan
takfirisme terhadap non muslim. Pendukung islamisme menganggap
bahwa kelompok mereka adalah satu-satunya kelompok yang paling
absah berbicara tentang Islam dan siapapun yang bertentangan dengan
pandangan mereka dianggap bukan bagian dari umat sebagaimana
yang mereka lakukan terhadap kelompok muslim liberal.186
Islamisme adalah sebuah fenomena politik modern yang terjadi
di seluruh dunia Islam termasuk di Indonesia. Fenomena islamisme
tumbuh menguat di Indonesia pasca jatuhnya Orde Baru. Islamisme
sesungguhnya bukanlah hal baru di Indonesia. Embrio gerakan
islamisme ini telah ada sejak jaman Orde Lama dan Orde Baru,
namun iklim politik yang otoriter tidak memungkinkan gerakan ini
tumbuh subur. Memasuki era reformasi di mana iklim politiknya
relatif lebih terbuka, para pendukung islamisme mendapatkan
kesempatan politik yang lebih luas untuk mendiseminasi gagasan
mereka.
Islamisme memiliki karakteristik khas, pertama, para
proponennya percaya bahwa Islam harus diimplementasikan secara
literal dan tegas pada level negara sebagaimana yang tertulis dalam alQur’an dan Hadis. Islam dipercaya dapat menjadi solusi satu-satunya
atas seluruh krisis yang menimpa umat Islam, karena Islam adalah
agama yang lengkap, sempurna, dan cocok dengan segala waktu dan
tempat. Kedua, para proponennya cenderung reaktif terhadap paham
Islam yang dianggap telah menyimpang dari pemahaman tekstual
185 Bassam Tibi, Islamism and Islam, (Yale University Press, 2012), h.vii.
186 Bassam Tibi, Islamism and Islam, h.vii-viii.
134
yang mereka yakini.187
Islamisme di era pasca Orde Baru mengambil dua bentuk aksi,
yakni pertama, melalui jalur struktural, seperti membentuk partai
politik dan ikut mengambil bagian dalam kompetisi elektoral guna
memperoleh kekuasaan di dalam pemerintahan. Pasca Orde Baru,
dinamika politik diwarnai dengan munculnya berbagai partai Islam
yang berorientasi islamis, seperti Partai Bulan Bintang (PBB) dan
Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tujuan dari partai ini adalah
memperjuangkan kembali masuknya Piagam Jakarta dalam UUD
1945 dan juga memperjuangkan penerapan syariat Islam dalam
seluruh level negara. Di level daerah, partai islamis telah berjuang
melahirkan berbagai rancangan undang-undang yang berbasis
syariat. Kedua, melalui jalur non politik (aktivisme sosial-kultural).
Kelompok yang masuk dalam kategori ini cenderung tidak ingin
masuk ambil bagian dalam jalur politik elektoral karena mereka
meyakini bahwa sistem politik yang ada saat ini adalah sistem yang
korup. Mengambil bagian dalam sistem yang korup sama saja dengan
mereka menyetujui segala penyimpangan dan kerusakan moral yang
ada di dalamnya. Kelompok dalam kategori ini juga cenderung
mengedepankan pendekatan yang radikal dan non-kompromistis
dalam upaya menegakkan syariat di masyarakat. Contoh dari
kategori ini adalah gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), dll.188
Walaupun terjadi perbedaan pada ranah metode di antara para
kelompok islamis, tetapi pada dasarnya mereka memiliki kesamaan,
yakni sama-sama menjadikan Islam sebagai spirit gerakan. Para
kelompok islamis meyakini aksi mereka sebagai sesuatu yang islami
karena dilandasi oleh ajaran Islam. Di tingkat praksis, para kelompok
islamis kerap saling berkoalisi untuk memperjuangkan syariat Islam
di level negara, karena pada hakikatnya, gerakan mereka adalah
187 Masdar Hilmy, Islamism and Democracy in Indonesia: Piety and
Pragmatism, (Singapore: ISEAS, 2010), h. 100-101.
188 Masdar Hilmy, Islamism and Democracy in Indonesia: Piety and
Pragmatism, h. 102.
135
gerakan politik yang menggunakan agama sebagai basis ideologi
dan perjuangan.
Sekilas tentang Manado
Manado adalah ibukota propinsi Sulawesi Utara. Manado
terletak di ujung jazirah utara pulau Sulawesi. Manado adalah daerah
yang sangat heterogen dari segi komposisi penduduk. Terdapat
beberapa suku bangsa yang mendiami Kota Manado, yakni suku
Minahasa, Sangir, Mongondow, Talaud, Borgo, Siau, Makassar,
Jawa, Aceh, Gorontalo, Batak, Banjar, Minangkabau, Batak, Arab,
dan Cina. Di Sulawesi Utara sendiri, terdapat tiga suku besar yang
menjadi penduduk asli, yakni Minahasa, Mongondow, dan Sangihe.
Mayoritas penduduk Manado berasal dari suku Minahasa. Suku
Minahasa (mayoritas Kristen) menguasai hampir seluruh sektor
khususnya politik dan birokrasi pemerintahan. Para gubernur,
walikota, dan kepala dinas umumnya berasal dari suku Minahasa.
Persentase pemeluk agama berdasakan sensus 2011 adalah
Kristen (290.665 jiwa), Islam (175.569 jiwa), Katolik (30.275 jiwa),
Buddha (6.436 jiwa), Hindu (2.592 jiwa), dan Konghucu (600 jiwa).
Relasi antar agama khususnya Islam dan Kristen cenderung cair di
Manado. Momen Idul Fitri, Lebaran Ketupat, Natal, Malam Tahun
Baru telah menjadi momen bersama untuk saling silaturahmi. Setiap
perayaan Natal dan Idul Fitri, para kelompok pemuda Islam dan
Kristen sering saling bergantian menjaga keamanan rumah ibadah.
Tradisi mapalus (kerjasama dan saling membantu) telah menjadi
suatu hal yang inheren dalam kehidupan sehari-hari warga Manado.
Akan tetapi, terdapat juga beberapa benturan antara penganut
agama Islam dan Kristen, semisal pada tahun 2014, terjadi pelarangan
mengumandangkan adzan dengan pengeras suara di Masjid
Dendengan Dalam oleh seorang warga yang beragama Kristen.189
189 Baca Arthur Gerung, Studi tentang Sosial Habitus Pierre Bourdieu dalam
Relasi Umat Kristen dan Islam di Manado, Paper dipresentasikan pada
International Seminar on Contemporary Issue in Islam (ISCII), Hotel
136
Di tahun yang sama, terjadi juga pelarangan penggunaan Lapangan
Sparta Tikala sebagai tempat pelaksaan salat Idul Fitri secara
sepihak oleh Pemerintah Kota Manado. Pelarangan ini berbuah
protes dari umat Islam di Manado. Mereka mempertanyakan alasan
pelarangan penggunaan lapangan karena sebelumnya lapangan
itu sudah sering digunakan untuk Salat Idul Fitri. Di tahun 2016,
juga terjadi penolakan Masjid di Eks Kampung Texas Manado oleh
Aliansi Masyakarakat Kawanua Pencinta Toleransi (Makapetor) dan
beberapa elemen kelompok adat. Para pendemo tidak menyetujui
proyek perluasan masjid karena dianggap telah mengambil lahan
yang diproyeksikan akan dibangun Graha Religi oleh Pemkot
Manado.190 Untungnya, segala benturan antar agama di Manado
tidak meluas karena pihak pemerintah daerah dan juga tokoh lintas
agama cukup aktif membangun dialog.
Masyarakat Manado adalah masyarakat yang terbuka dan
ramah. Berbagai kelompok keagamaan yang rentan mendapatkan
kekerasan di berbagai daerah, seperti Syiah, Ahmadiyah, dan Yahudi,
dapat hidup dengan aman dan nyaman di kota ini. Di Manado,
hampir sebagian warganya memiliki sanak saudara yang berbeda
agama, tetapi perbedaan tersebut tidak merenggangkan hubungan
di antara mereka. Di Manado, setiap memasuki hari raya besar
keagamaan, ucapan selamat hari raya dapat kita jumpai dimanamana. Di bebeberapa gereja, kita akan mudah menjumpai spanduk
ucapan Selamat Natal yang dibuat oleh berbagai ormas Islam. Warga
muslim Manado umumnya tidak mau lagi terjebak dalam fatwa
haram mengucapkan Selamat Natal. Beberapa dari mereka bahkan
sering ketus merespon fatwa teresebut dengan pernyataan “ruparupa jo, masa helle baku selamat kong so nimbole! [Macam-macam
saja, mengapa untuk memberi selamat sudah tidak bisa!]”191
sintesa Peninsula Manado tanggal 8 Agustus 2018, h. 5
190 Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan 2016, Komnas
HAM, h. 48-49.
191 Nono. S. A. Sumampouw, Menjadi Manado: Torang Samua Basudara,
Sabla Aer, dan Pembentukan Identitas Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press), h. 57.
137
Pemukiman di Manado tidak lagi tersegrasi berdasarkan etnis
dan agama. Memang terdapat berbagai kampung yang namanya
berdasarkan etnis dan agama, seperti Kampung Ternate, Kampung
Arab, Kampung China, Kampung Bugis, dan Kampung Islam, tetapi
orang yang berasal dari luar identitas tersebut dapat dengan bebas
tinggal di kampung-kampung itu. Semakin hari semakin banyak
pendatang masuk ke Manado untuk berdagang, mencari pekerjaan,
dan juga untuk melanjutkan pendidikan. Masyarakat Manado relatif
sangat terbuka dengan keberadaan para pendatang tersebut selama
mereka tidak membuat kekacauan di Manado.
Resistensi Terbuka terhadap Islamis
Para aktor islamis yg terlibat dalam Aksi Bela Islam yang
terjadi di Jakarta mendapatkan resistensi terbuka di Kota Manado dari
berbagai elemen masyarakat. Berikut adalah bentuk resistensinya:
1. Penolakan terhadap Fahri Hamzah
Fahri Hamzah dikenal sebagai Wakil Ketua DPR RI dari
Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ketika terjadi Aksi Bela Islam 411
di Jakarta, ia menjadi aktor lapangan yang sangat getol menuntut
pemenjaraan Ahok karena dianggap telah menistakan Islam. Dalam
orasinya, Fahri memberi sinyal akan menurunkan Jokowi sebagai
presiden bila ia mengintervensi kasus Ahok. Kala itu muncul
anggapan bahwa Jokowi akan melindungi Ahok, karena Ahok
didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang
juga merupakan partai pengusung Jokowi menjadi presiden. Di
samping itu, Ahok dianggap sebagai sahabat dekat Jokowi karena
keduanya pernah berpasangan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur
Jakarta sebelum Jokowi terpilih menjadi Presiden.
Sebelum Fahri datang ke Manado, kabar kedatangannya
telah tercium dan menjadi perbincangan hangat di media sosial.
Berbagai ormas telah menyusun rencana untuk melakukan aksi
demontrasi menolak kedatangan Fahri di Manado pada tanggal 13
138
Mei 2017. Fahri diketahui akan datang ke Manado untuk menghadiri
undangan sekaligus menjadi pembicara dalam acara diskusi yang
diselenggarakan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI) yang bertema “Kepemimpinan dan Korupsi” di Kantor
Gubernur Sulut.
Akhirnya, waktu yang ditunggu datang juga. Pada tanggal 13
Mei 2017, sejak pagi para demonstran telah berkumpul memadati
Bandara Sam Ratulangi untuk menolak kedatangan politisi PKS
tersebut. Demonstran tersebut terdiri dari ormas adat, ormas Kristen,
dan juga beberapa aktivis di Sulut. Para demonstran membawa
spanduk yang bertuliskan “usir Fahri dari Sulut”, “usir mulut bau
Fahri dari tanah Minahasa”, “Fahri Hamzah jangan injakkan kaki
di Sulut”, “Rizieq, Fahri Hamzah, dan Fadli Zon adalah musuh
nasionalis.” Banyak demonstran yang mengambil bagian dalam aksi
tersebut mengenakan baju Tari Kabasaran lengkap dengan atribut
utamanya berupa parang panjang.
Para demonstran melakukan orasi sambil menuntut agar petugas
bandara mengizinkan mereka masuk ke ruang VVIP untuk menemui
dan mengusir langsung Fahri dari Manado. Karena jumlahnya yang
sangat banyak, petugas bandara akhirnya kewalahan menahan laju
para demonstran. Para demonstran akhirnya berhasil masuk dan
menduduki areal parkir pesawat. Di dalam bandara, para demonstran
berpencar mencari batang hidung Fahri, namun yang mereka berhasil
jumpai hanyalah Gubernur Sulut Olly Dondokambey. Gubernur
mencoba menenangkan para demonstran, namun seruan Gubernur
dihiraukan.
Kecewa dengan ketiadaan Fahri di bandara, massa demonstran
bergerak menuju Kantor Gubernur, tempat diadakannya diskusi
KAMMI yang dihadiri oleh Fahri. Setibanya di lokasi, ratusan massa
kemudian berorasi menolak kedatangan Fahri di depan pintu gerbang
Kantor Gubernur. Polisi berusaha menahan desakan massa di pintu
gerbang Kantor Gubernur sampai acara selesai. Fahri akhirnya dapat
lolos dari kepungan massa setelah ia dan rombongan melewati pintu
belakang Kantor Gubernur dengan kawalan Polisi.
Penolakan terhadap Fahri oleh para demonstran terjadi karena
139
Fahri dianggap kerap melontarkan pernyataan yang provokatif
dalam setiap orasi yang ia sampaikan. Fahri juga dianggap sangat
dekat dengan kelompok radikal seperti FPI dan HTI. Menurut versi
Fahri, penolakannya di Manado disebabkan oleh adanya tuduhan
dari sekelompok masyarakat bahwa ia adalah pengurus FPI.192 Para
demonstran tidak ingin Fahri menyebarkan virus-virus intoleransi
dan kebencian di Manado karena masyarakat Manado selama ini
telah hidup rukun dan harmonis, karena itu penolakan terhadap
kedatangan Fahri di Manado adalah sebuah langkah yang sudah
tepat.
Penolakan keras terhadap kedatangan Fahri juga disebabkan
adanya informasi yang beredar bahwa kunjungan Fahri ke Manado
akan didampingi langsung oleh Sekretaris Jenderal FPI, Habib Novel
Bamukmin, dalam rangka melantik para pengurus FPI di Bitung.
Belakangan, tuduhan ikutnya Sekjen FPI dalam rombongan Fahri
ternyata tidak terbukti. Penulis menduga bahwa isu kedatangan Fahri
untuk melantik FPI sengaja dihembuskan oleh aktor tertentu untuk
memudahkan proses mobilisasi massa dalam aksi demonstrasi.
Ormas adat Minahasa umumnya menganggap FPI sebagai musuh
bersama karena ormas ini dianggap kerap melakukan tindakan
diskriminatif dan intoleran terhadap kelompok minoritas Kristen
di berbagai daerah di Indonesia. Meskipun membawa nama adat,
namun penolakan terhadap FPI tidak dapat dilepaskan dari isu agama
karena ormas adat umumnya meyakini bahwa identitas keminahasaan
tidak dapat dipisahkan dari identitas kekristenan. Fakta lain juga
menunjukkan bahwa beberapa anggota yang tergabung di dalam
ormas adat dikenal memiliki pandangan keagamaan yang cenderung
radikal, sehingga mereka berpandangan bahwa setiap pihak yang
mengancam keberadaan agama mereka, maka harus dilawan secara
terbuka dan frontal. Penjelasan tentang FPI akan dibahas lebih jauh
di sub bab berikutnya.
192 https://m.detik.com/news/berita/d-3501028/cerita-fahri-hamzah-soal-aksipenolakan-di-manado diakses pada tanggal 22 Agustus 2018
140
Meskipun massa demonstran menolak kedatangan Fahri di
Manado, namun ada fakta menarik dalam aksi penolakan Fahri di
bandara, yakni terdapat spanduk yang bertuliskan “Muhammadiyah
keluarga kami”, “Kami tidak anti Islam, NU teman kami.” Hal ini
dapat dibaca bahwa warga Manado menaruh simpati pada keberadaan
kelompok NU dan Muhammadiyah di Manado, sebaliknya mereka
menolak kelompok Islam yang berorientasi Islamis, seperti FPI
dan HTI. Sebelum menguatnya fenomena islamisme di Indonesia,
umat Islam di Manado yang terepresentasi dalam ormas Nahdlatul
Ulama (NU) dan Muhammadiyah cenderung memiliki hubungan
yang relatif baik dengan penganut Kristen. Penerimaan terhadap NU
dan Muhammadiyah disebabkan karena kedua ormas itu memiliki
paham keislaman yang moderat dan juga memiliki komitmen final
terhadap Pancasila.
Masyarakat Manado Kristen memiliki kesan yang cukup
spesial terhadap ormas NU karena pertama, para tokoh-tokoh
penting NU di Manado dikenal moderat dan aktif terlibat dalam
dialog lintas agama. Salah tokoh penting NU di Manado yang intens
membangun dialog lintas agama adalah Benni Ramdhani. Benni
saat ini merupakan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Republik Indonesia. Sebelum menjadi anggota DPD, Benni sangat
intens membangun dialog lintas agama dalam kapasitasnya sebagai
Ketua GP. Ansor Sulut. Benni juga kerap tampil di depan publik
untuk membincangkan isu keislaman dan kebangsaan. Masyarakat
Manado Kristen sampai saat ini sangat respek dengan sosok Benni
karena pandangan keagamaannya yang terbuka dan moderat.
Kedua, sayap ormas NU seperti Ansor dan Banser kerap
mengambil bagian dalam pengamanan dan penjagaan gereja di
setiap momen Natal. Masyarakat Manado Kristen juga menyimpan
kesan mendalam terhadap sosok Riyanto, seorang anggota Banser
yang menjadi korban pengeboman gereja pada malam Natal di tahun
2000. Ketiga, faktor Gusdur. Di mata masyarakat Manado Kristen,
Gusdur adalah pahlawan. Kecintaan masyarakat Manado terhadap
Gusdur disebabkan oleh komitmen dan pembelaan Gusdur terhadap
minoritas. Masyarakat Manado Kristen juga menganggap bahwa
Gusdur adalah representasi muslim yang baik dan saleh.
141
Nama Gusdur selalu terkenang di hati orang Manado khususnya
di kalangan etnis Minahasa. Di era pemerintahan Gusdur, orang
Minahasa hidup sejahtera secara finansial akibat harga cengkeh yang
melambung naik. Ada cerita yang umum kita dengar di masyarakat
bahwa “di jaman Gusdur orang cuci tangan dan cuci muka muka
tidak pakai air putih, tetapi pakai bir.” Arthur Gerung, seorang dosen
dari Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) pernah bercerita dalam
suatu kesempatan kepada penulis, bahwa apabila kaum muslim ingin
membangun masjid tanpa hambatan di Manado, maka gunakanlah
nama Masjid NU. Bagi masyarakat Manado Kristen, NU adalah
Gusdur.
Pada tanggal 15 Mei 2017 tepatnya dua hari pasca demo Fahri,
beberapa ormas adat dan Kristen kembali melakukan demonstrasi di
depan Kantor Gubernur Sulut. Mereka mengancam akan melakukan
referendum Minahasa Merdeka bila negara tunduk pada kelompok
islamis. Wacana Minahasa Merdeka jangan dibaca sebagai aksi makar
karena problem di dalamnya cukup kompleks. Wacana Minahasa
merdeka bukanlah hal baru dalam sejarah Sulawesi Utara. Hal itu
sebelumnya pernah terjadi, yakni pada tanggal 5 Agustus tahun
2000. Para tokoh masyarakat dan pejabat lokal kala itu berkumpul
di Tomohon untuk mengadakan Forum Kongres Minahasa Raya.
Kegiatan ini muncul sebagai respon terhadap menguatnya kembali
isu pemberlakuan Piagam Jakarta di awal jaman reformasi. Selama
ini, orang Minahasa merasa sebagai minoritas baik dari segi etnis
maupun agama, sehingga adanya wacana pemberlakuan Piagam
Jakarta dianggap sebagai bentuk peminggiran terhadap mereka.193
Forum Kongres Minahasa Raya di Tomohon kala itu mengeluarkan
ultimatum bahwa tanah Minahasa akan merdeka apabila Piagam
Jakarta direalisasikan kembali dalam amandemen UUD 1945.
Enam tahun kemudian tepatnya tanggal 25 September 2006, wacana
Minahasa Merdeka kembali digaungkan oleh Dolfie Maringka dan
Revly O.A. Pesak setelah Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan
Marinus Riwu (yang kebetulan beragama Kristen) dieksekusi karena
193 Muhammad Irfan Syuhudi, “Geliat Politik Identitas di Kota Manado,”
dalam Harmoni, Mei-Agustus 2016, h. 61.
142
keterlibatanya pada konflik Poso.
Satu hal yang menarik dari setiap aksi tuntutan Minahasa
Merdeka adalah para inisiatornya tidak pernah melepaskan
semangat gerakannya dari Pancasila. Mengapa Pancasila begitu
berarti di mata orang Minahasa? Orang Minahasa menganggap
bahwa Pancasila adalah hasil kesepakatan para pendiri bangsa yang
datang dari berbagai latar belakang guna mencegah agar Indonesia
tidak terpecah. Pengingkaran terhadap Pancasila adalah sebuah dosa
sejarah karena ia dapat menjadi titik temu atas segala perbedaan
yang ada di Indonesia.
Tren wacana Minahasa Merdeka biasanya mencuat ke
permukaan tatkala tuntutan penegakan syariat Islam sebagai dasar
negara menjadi menguat kembali di tingkat pusat, sebagaimana
yang terjadi di Kongres Minahasa Raya pada tahun 2000. Selain itu,
wacana juga ini menguat ketika terjadi kesewenangan-wenangan
terhadap kaum Kristen seperti yang terjadi dalam kasus eksekusi
Tibo CS pada tahun 2006. Aksi Referendum Minahasa Merdeka yang
terjadi pasca penolakan Fahri di Manado dapat dibaca sebagai bentuk
penolakan orang Minahasa terhadap kesewenangan-wenangan Fahri
dan FPI terhadap Ahok (yang kebetulan beragama Kristen) yang di
dalamnya sangat kental dengan muatan politik. Penolakan ini juga
dapat dibaca sebagai bentuk akumulasi dari ketidaksenangan orang
Minahasa terhadap aksi vigilantisme FPI. Logika yang dipakai
oleh para inisiator wacana referendum Minahasa Merdeka adalah
kurang lebih bahwa bila negara lebih tunduk pada kelompok yang
anti Kebinekaan, maka lebih baik kita merdeka. Peps Kembuan,
pimpinan dari organisasi Benteng Kristen Nusantara, yang ikut
ambil bagian dalam aksi menuntut referendum Minahasa Merdeka
menuturkan:
Kami sudah lelah melakukan demonstrasi berkali-kali menuntut
pembubaran FPI, tetapi pemerintah sepertinya hanya diam. Karena itu,
agar kami mendapatkan perhatian dari pemerintah, maka kami lebih baik
meneriakkan wacana referendum Minahasa Merdeka agar pemerintah
mendengar aspirasi kami. Kami tak punya keinginan untuk keluar dari
Indonesia. Kalau mau, sejak dulu tepatnya di peristiwa Permesta, kami
143
sudah memerdekakan diri, tapi faktanya kami tidak melakukan itu.194
2. Penolakan FPI dan Unsur-unsur yang Terkait di dalamnya
Nama FPI menjadi sangat dielu-elukan di Indonesia pasca
terjadinya Aksi Bela Islam 411 dan 212. Hal ini tak dipisahkan dari
keberhasilan Habib Rizieq Shihab (HRS) mengumpulkan tujuh juta
umat Islam dari berbagai ormas guna menuntut pemenjaraan Ahok.
FPI adalah ormas yang didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Agustus
1998 oleh beberapa tokoh, seperti K.H. Cecep Bustomi, Habib Idrus,
Habib Rizieq Shihab, dan K.H. Misbahul Anam. Latar belakang
berdirinya FPI dikaitkan dengan kondisi sosial politik di Indonesia
yang tidak menguntungkan umat Islam. Secara teologis, pemahaman
keislaman FPI menganut paham Ahlusunnah Wal Jamaah namun
agak berbeda dengan garis Salafi karena FPI banyak berpedoman
pada Al-Qur’an, Hadis, Ijma, dan Qiyas yang merupakan pandangan
populer di kalangan Nahdliyin.195 Tujuan utama pendirian FPI adalah
menegakkan syariat Islam dalam konstitusi negara. Itulah sebabnya,
HRS dalam berbagai kesempatan selalu memompa semangat para
pengikutnya untuk memperjuangkan kembali pemberlakuan Piagam
Jakarta dalam konstitusi negara.
FPI selama ini dikenal sebagai ormas Islam yang paling
kontroversial di Indonesia. Tuduhan ini muncul karena FPI kerap
melakukan aksi vigilantisme dalam menegakkan amar maruf
nahi mungkar versi mereka, seperti melakukan sweeping di bulan
Ramadhan, melarang pembangunan rumah ibadah agama lain,
merusak fasilitas di berbagai tempat hiburan, melakukan praktik
kekerasan terhadap kelompok yang dianggap sesat, dan lain-lain.
194 Wawancara dengan Ketua Benteng Kristen Nusantara, Peps Kembuan
pada tanggal 18 Agustus 2018 di Manado.
195 Ahmad Syafi’i Mufid, ”Faham Islam Transnasional dan Proses
Demokratisasi di Indonesia”, dalam Harmoni: Jurnal Multikultural &
Multireligius, Volume VIII, Nomor 30, April-Juni 2009, h. 20.
144
Penolakan terhadap FPI di berbagai daerah relatif cukup tinggi
termasuk di Kota Manado. Pasca Aksi Bela Islam 411 tepatnya
tanggal 17 November 2016, ribuan warga Sulawesi Utara yang
terhimpun dalam sejumlah ormas, melakukan Aksi Bela negara
Kesatuan Republik Indonesia guna menuntut pembubaran FPI.196
Mereka juga menuntut agar pimpinan FPI Habib Rizieq Shihab segera
diadili karena ia banyak menyebar kebencian dan permusuhan yang
dapat memecah belah persatuan. Kegiatan ini merupakan bentuk
penegasan bahwa warga Sulawesi Utara pada umumnya dan Manado
pada khususnya mencintai NKRI. Mereka tidak menginginkan NKRI
terpecah belah karena kehadiran kelompok islamis yang memiliki
pandangan radikal dan intoleran seperti FPI.
Dalam aksi tersebut, para demonstran juga menuntut agar
Ahmad Dhani segera dijebloskan ke penjara akibat orasinya
yang sangat kasar dan provokatif di Aksi Bela Islam 411. Pasca
aksi 411, banyak masyarakat Manado menjadi kurang simpatik
terhadap Dhani. Ketidaksukaan terhadap Dhani disebabkan oleh
kedekatannya dengan pentolan FPI, Habib Rizieq Shihab. Penolakan
terhadap Ahmad Dhani kemudian berimbas pada munculnya aksi
pemboikotan konser Al-Ghazali (putra sulung Dhani) di Manado
pada tanggal 19 November 2016 oleh sejumlah ormas adat di
Manado.197 Penolakan tersebut akhirnya membuat pihak manajemen
Cloud9 Manado selaku pihak penyelenggara membatalkan konser
Al-Ghazali.
Penolakan terhadap FPI kembali terjadi pada tanggal 21
Februari 2017 oleh Forum Komunitas Antar LSM dan sejumlah
Ormas Adat di Sulawesi Utara seperti Brigade Waraney dan
Brigade Manguni Indonesia.198 Para demonstran yang berjumlah
sekitar tiga ribuan massa melakukan demo besar-besaran di Kantor
196 https://nasional.tempo.co/amp/821110/massa-gelar-aksi-bela-nkri-dimanado-tuntut-fpi-dibubarkan diakses tanggal 19 Agustus 2018.
197 https://m.bintang.com/amp/2658528/kasus-ahmad-dhani-konser-al-ghazaliditolak-di-manado?espv=1 diakses pada tanggal 19 Agustus 2018
198 https://beritamanado.com/demo-ribuan-ormas-adat-minahasa-desakpemerintah-bubarkan-fpi/ diakses pada tanggal 19 Agustus 2018
145
Gubernur Sulut untuk menuntut pembubaran FPI karena dianggap
telah merusak tatanan Kebinekaan di Indonesia. Para demonstran
memulai aksinya dari Lapangan KONI Sulut kemudian ke kantor
DPRD Sulut dan berakhir di Kantor Gubernur.
Penolakan terhadap keberadaan FPI bukanlah hal baru di
Sulawesi Utara. Di tahun 2009. Sejumlah ormas adat, beberapa
diantaranya Milisi Waraney, Brigade Manguni, Permesta, Pakasaan,
Waraney Esa, Manguni Esa, dan Suara Bahari pernah berdemo di
kantor Pemerintah Kota Bitung. Mereka menuntut agar Pemerintah
Bitung bertindak tegas melarang keberadaan FPI di Kota Bitung.199
Para ormas adat melakukan demonstrasi karena mereka mendengar
informasi bahwa FPI ingin membuka cabang di Bitung. Pada tahun
2013, aksi penolakan terhadap FPI kembali terjadi di Bitung.
Penolakan ini dilakukan oleh ormas adat dan juga ormas Islam.
Penolakan ini disebabkan oleh adanya aksi provokasi dari anggota
FPI terhadap warga untuk tidak memilih kepala daerah non-muslim
di Pilkada melalui pembagian selebaran di jalan-jalan raya.200 Para
ormas adat menolak kehadiran FPI karena dianggap sebagai dalang
kekacauan di berbagai daerah di Indonesia. Mereka tidak ingin FPI
membuat kekacauan di kota-kota yang ada di Sulawesi Utara.
Kemunculan ormas adat Minahasa di era pasca Orde Baru
dilatarbelakangi oleh adanya respon terhadap konflik yang terjadi
di Poso dan Maluku. Secara geografis, Manado diapit langsung
oleh segitiga konflik yakni Poso di sebelah Selatan; Ketapang,
Sambas, dan Sampit di sebelah Barat; dan Maluku dan Maluku
Utara di sebelah Timur. Posisi geografis ini membuat Manado cukup
rentan terhadap konflik.201 Di saat yang sama, terjadi kekhawatiran
199 https://beritamanado.com/masyarakat-tolak-fpi/ diakses pada
tanggal 19 Agustus 2018.
200 Muhammad Irfan Syuhudi, “Geliat Politik Identitas di Kota Manado,”
dalam Harmoni, Mei-Agustus 2016, h. 64.
201 Rahman Mantu, “Pesantren PKP Kombos: Aktivitas Pesantren di Tengah
Mayoritas Masyarakat Kristen,” dalam Muhammad Murtadlo, dkk.
Pesantren dan Reproduksi Ulama. (Jakarta: Pustaka Cendekia Muda, 2015),
h. 40-41.
146
yang cukup tinggi pada masyarakat Manado dengan adanya isu
penyusupan dan penyerangan laskar muslim di daerah Manado dan
sekitarnya. Masyarakat khawatir penyusupan ini akan menyebabkan
pecahnya konflik dan kerusuhan besar di Manado.202 Dalam konteks
itulah, pada tahun 2000-an, beberapa pemuda Minahasa akhirnya
menggagas pendirian ormas adat untuk melindungi tanah Minahasa
dari berbagai ancaman kerusuhan. Ormas ini kemudian dikenal
dengan nama Brigade Manguni (BM). Nama Brigade Manguni
mengingatkan orang Minahasa pada nama salah satu pasukan
Permesta.203 Jejak-jejak ingatan atas keberanian orang Minahasa
pada peristiwa Permesta (tahun 1957-1961) telah memberi banyak
inspirasi dan juga menanamkan semangat militansi kepada orang
Minahasa dalam melakukan suatu perlawanan. Ormas BM kemudian
hari terpecah menjadi berbagai organisasi adat lainnya dan beberapa
diantaranya memadukan simbol adat dan kekristenan karena adanya
keyakinan bahwa identitas keminahasaan tidak dapat dipisahkan
dari identitas kekristenan.
Ormas-ormas yang bermunculan di Manado di era pasca
Orde Baru umumnya menggunakan identitas adat (baca: budaya)
Minahasa ketimbang identitas agama (Kristen) karena identitas adat
lebih dapat mengakomodir seluruh kelompok yang ada di Manado
ketimbang menggunakan isu agama. Identitas Minahasa sendiri
dapat merujuk pada siapapun yang mendiami tanah Minahasa dan
memiliki kecintaan dan komitmen untuk menjaga dan melindungi
202 Fadjar Ibnu Thufail, “Ketika “Perdamaian” Terwujud di Bukit Kasih:
Pencegahan Konflik, Lembaga Gereja, dan Politik Adat di Minahasa,”
dalam Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan Pada
Masa Pasca-Orde Baru, Martin Ramstedt dan Fajar Ibnu Thufail (ed),
(Jakarta: Grasindo– Pusat Penelitian Sumber Daya Regional Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia– Max Planck Institute for Social Anthropology,
2011), h.149.
203 Denni H.R. Pinontoan, “Pilkada Jakarta dan Ormas Adat dalam Politik
Lokal Minahasa,” dalam https://crcs.ugm.ac.id/id/berita-utama/10941/
pilkada-jakarta-dan-ormas-adat-dalam-politik-lokal-minahasa.html diakses
pada tanggal 10 September 2018.
147
tanah Minahasa dari berbagai gangguan yang datang dari luar.204
BM sendiri sebagai ormas adat pertama, memiliki penasehat dari
kalangan muslim, yakni K.H. Arifin Assegaf.
Orang Minahasa selaku mayoritas umumnya tidak menolak
keberadaan Islam di Manado karena mereka telah lama hidup
berdampingan dengan kaum muslim. Secara historis, Para pengikut
Kiai Modjo yang merupakan kaum buangan di tanah Minahasa pada
abad ke-19, telah melakukan praktik kawin-mawin dengan para
perempuan Minahasa dan sampai sekarang keturunan mereka masih
dapat dijumpai di tanah Minahasa.205 Fakta ini menunjukkan bahwa
orang Minahasa sejak lama telah berinteraksi dengan kaum muslim.
Penolakan ormas adat terhadap FPI bukanlah karena faktor Islam
sebagai agama, melainkan karena sikap dan pandangan keislaman
FPI yang radikal dan intoleran. Alasan lainnya adalah FPI dianggap
membawa budaya arabisme yang sangat bertentangan dengan nilai
keminahasaan dan keindonesiaan. Alasan lain yang juga tak kalah
pentingnya adalah kegetolan FPI memperjuangkan penegakan
syariat Islam melalui konsep NKRI Bersyariah untuk menggantikan
isi Pancasila yang telah mapan. Di mata ormas adat Minahasa,
Pancasila yang ada saat ini adalah hasil kesepakatan para pendiri
bangsa yang harus senantiasa dijaga, dihargai, dan dijunjung tinggi
karena ia dapat menjadi titik temu atas segala perbedaan yang ada di
Indonesia. Para pegiat ormas adat memiliki sense of belonging yang
tinggi terhadap Pancasila dan hal itu selalu mereka tegaskan dalam
setiap aksinya.
Penolakan terhadap FPI dan unsur-unsur yang terkait di
dalamnya tidak hanya datang dari ormas adat, melainkan juga datang
dari ormas Islam, seperti Gerakan Pemuda (GP) Ansor Manado.
Pasca Aksi Bela Islam 411 dan 212, nama HRS sangat dielu-elukan
oleh para kelompok Islamis karena ia dianggap sangat heroik
204 Wawancara dengan Rikson Karundeng (Budayawan Minahasa) pada
tanggal 28 Agustus 2018 di Manado.
205 Roger. A. C. Kembuan, Jawa Tondano: Sejarah dan Tokoh-tokoh yang
Diasingkan Abad XIX, (Manado: PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk. Kantor
Wilayah Manado, 2016), h. 106-109.
148
membela supremasi Islam dari penodaan yang dilakukan oleh Ahok
di Pulau Seribu. Aksi-aksi heroik yang ditunjukkan HRS dalam Aksi
Bela Islam berhasil menjadikan HRS sebagai ikon baru yang mampu
menyatukan berbagai elemen umat Islam. Karena itu, muncul
desakan dari berbagai pihak agar HRS dilantik menjadi Imam besar
umat Islam Indonesia. Pada tanggal 9 Januari 2018, HRS akhirnya
dilantik menjadi imam besar umat Islam Indonesia di Pesantren AlFutuhiyah, Kampung Banjar Pahingeun, Lebak, Banten. Peristiwa
ini mendapat pemberitaan yang luas di seluruh media tanah air.
Menyikapi pelantikan HRS tersebut, pada hari Selasa tanggal
10 Januari, Ketua GP. Ansor Manado Rusli Abenk Umar mewakili
organisasi yang ia pimpin, dengan tegas menyatakan penolakannya
atas pengangkatan HRS sebagai imam besar umat Islam Indonesia.
“Kami merasa tidak perlu ada imam besar di republik ini. Silakan
kalau merasa imam besar pada kelompoknya, itu haknya, tetapi kalau
mengklaim bahwa menjadi imam besar umat Islam, kami sama sekali
tidak mengakuinya,”206 demikian pernyataan Rusli.
Rusli yang juga merupakan aktivis lintas iman di Kota
Manado menolak pengangkatan HRS sebagai imam besar karena ia
menganggap bahwa konsep imam besar yang menaungi seluruh umat
Islam tidak dikenal dalam mazhab Sunni yang dianut oleh mayoritas
umat Islam Indonesia. Dalam Sunni yang ada hanyalah imam masjid
dan juga empat imam mazhab. Syarat menjadi imam mazhab sendiri
syaratnya sangat berat. Konsep imam besar hanya dikenal dalam
ajaran Syiah, itupun syaratnya juga sangat berat karena imam besar
itu harus maksum dan sikapnya cenderung sangat sufistik. Tentu FPI
tak mau dicap sebagai Syiah.207 Tambah Rusli, karakter lokalitas orang
Manado adalah bersikap terbuka dan mau menerima perbedaan. Sikap
HRS sangat bertentangan dengan itu, sehingga HRS lebih cocok
206 Wawancara dengan Ketua GP. Ansor Manado Rusli Abenk Umar pada
tanggal 25 Agustus 2018 di Manado.
207 Wawancara dengan Ketua GP. Ansor Manado Rusli Abenk Umar pada
tanggal 25 Agustus 2018 di Manado.
149
menjadi imam besar bagi kelompoknya saja.208
3. Penolakan terhadap HTI dan Unsur-unsur yang Terkait di
dalamnya
Aksi Bela Islam 411 dan 212 menjadi panggung bagi HTI
untuk meneriakkan gagasan khilafah sekaligus menuntut pemerintah
untuk menegakkan khilafah karena sistem demokrasi dianggap
telah gagal menyejahterakan Indonesia dan juga gagal melindungi
Islam dari tindakan penistaan sebagaimana yang dilakukan Ahok.
HTI yang merupakan cabang Hizbut Tahrir (HT) adalah sebuah
organisasi Islam transnasional yang awalnya didirikan di Yerusalem
pada tahun 1953 oleh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang mantan
aktivis Ikhwanul Muslimin. Organisasi ini berpusat di Yerusalem
dan Yordania. Organisasi ini mengusung ide pan-islamisme yang
bercita-cita mengembalikan kejayaan Islam di masa lalu melalui
konsep khilafah islamiyah di seluruh penjuru dunia. HT merupakan
gerakan politik di mana Islam menjasi mabda atau ideologinya. HT
lahir karena didorong adanya kegelisahan terhadap kondisi umat
Islam yang mengalami kemunduran. Kemunduran tersebut terjadi
karena umat Islam tak lagi menjadikan Islam sebagai basis nilai
dan ideologi dalam seluruh aspek kehidupan, sebaliknya mereka
menjadikan sistem kapitalisme Barat sebagai solusi atas berbagai
masalah kekinian.
Masuknya HT di Indonesia berawal pada tahun 1982-1983
melalui M. Mustofa, putra Abdullah bin Nuh, pengasuh Pesantren
Al Ghazali Bogor, dan juga Abdurrahman Al-Baghdadi, seorang
warga Lebanon yang bermigrasi ke Australia, yang kemudian
tinggal di Indonesia.209 Satu hal yang menarik dari HTI adalah para
anggotanya sangat anti pada demokrasi, namun sering menggunakan
208 Wawancara dengan Ketua GP. Ansor Manado Rusli Abenk Umar pada
tanggal 25 Agustus 2018 di Manado.
209 M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme
Islam Timur Tengah ke Indonesia, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), h.
100.
150
argumen demokrasi agar tetap eksis. HTI menolak bertransformasi
menjadi partai politik yang merupakan produk demokrasi. Bagi HTI,
mengambil bagian dalam proses demokrasi adalah haram karena
dalam segala bentuknya, demokrasi adalah sistem kufur. Namun,
HTI tidak menganjurkan pendekatan yang revolusioner melalui
kudeta untuk menggulingkan pemerintah. Para proponen HT
memilih konsisten untuk melakukan pendekatan ekstra-parlementer
dalam mengkritik pemerintah sambil aktif mensosialisasikan
gagasan mereka di tengah masyarakat melalui sistem kaderisasi di
akar rumput.
Meskipun selalu membawa simbol dan atribut Islam, namun
keberadaan HTI tidak selalu berjalan mulus. Ormas Islam yang
bercorak moderat seperti NU sejak kepemimpinan Hasyim Muzadi
sudah getol menolak keberadaan HTI karena dianggap sebagai
gerakan politik dengan ideologi tertentu, bukan agama. Hasyim
Muzadi kala itu getol menolak HTI karena ia tidak ingin Indonesia
mewariskan konflik yang datang dari negara asal HTI. Lanjutnya,
nilai yang dibawa HTI tidak cocok dengan budaya Indonesia.210
Meskipun mendapatkan penolakan dari ormas Islam lainnya,
HTI tetap bebas melakukan aktivitasnya di Indonesia karena memiliki
badan hukum resmi dari pemerintah. HTI sangat aktif menyebarkan
ideologinya di tengah masyarakat khususnya di dunia kampus.
HTI juga dikenal sebagai ormas yang cukup aktif melakukan aksi
demonstrasi untuk menyampaikan aspirasinya. Sebelum terjadi
Aksi Bela Islam 411 dan 212, HTI sejak awal sudah menolak
pengangkatan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan
Jokowi yang dilantik menjadi presiden, karena mereka meyakini
bahwa umat Islam haram dipimpin oleh orang kafir dan non-muslim.
Pada Aksi Bela Islam 411 dan 212, HTI ikut mengambil bagian
dalam aksi tersebut. Mereka dengan heroik mengkritik dan menuntut
pemenjaraan Ahok karena dianggap telah menistakan Islam. Dalam
210 Lihat Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan
Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), h.
272-273.
151
aksinya, HTI juga kerap meneriakkan perlunya penegakan khilafah
di Indonesia. Pada intinya, Aksi Bela Islam 411 dan 212 di Jakarta
telah menaikkan percaya diri HTI dalam menyebarkan gagasannya
karena mereka merasa bahwa keberadaannya mendapatkan dukungan
luas dari masyarakat. Melihat geliat HTI yang semakin menguat
pasca Aksi Bela Islam, beberapa ormas Islam di berbagai daerah
menolak dengan keras keberadaan HTI karena mereka mencium
gelagak bahwa HTI memiliki agenda politik terselubung yang ingin
mengganti ideologi Pancasila sebagai dasar negara dan juga ingin
membangun sistem khilafah yang bersifat transnasional.
Manado menjadi salah satu daerah yang menolak keras
keberadaan aktivitas HTI. Penolakan terhadap aktivitas HTI
ditunjukkan melalui aksi pembubaran oleh Ansor Manado. Pada
tanggal 4 April 2017, Ansor Manado membubarkan acara yang
bertajuk Silaturahmi Antar Tokoh-tokoh Islam se-Sulawesi Utara
yang diselenggarakan oleh pengurus HTI Sulawesi Utara di Restoran
Wisata Bahari Kawasan Megamas Manado. Penolakan tersebut
bermula dari beredarnya undangan acara silaturahmi tersebut ke
berbagai imam-imam masjid se-Sulawesi Utara. Ansor Manado
mendapatkan bocoran tentang kegiatan ini dari sebuah foto undangan
yang dikirimkan oleh seseorang di jejaring sosial WhatsApp.
Menindaklanjuti hal ini, Ansor Manado kemudian melakukan
koordinasi dengan anggota Intel Polres Manado. Intel Polres Manado
sendiri mengaku tidak mengetahui keberadaan kegiatan silaturahmi
tersebut. Ansor Manado dan Intel Polres Manado kemudian
berinisiatif melakukan pertemuan di Kantor Perwakilan DPD RI
di Manado untuk membicarakan tindak lanjut dalam menyikapi
acara silaturahmi tersebut. Pertemuan itu akhirnya menyepakati
bahwa Ansor Manado akan memimpin langsung pembubaran acara
silaturahmi HTI dengan pertimbangan bahwa apabila pembubaran
dilakukan oleh kepolisian, maka hal ini akan menimbulkan kesan
negatif di masyarakat bahwa aparat kepolisian melarang silaturahmi
umat Islam di Manado, di samping juga karena alasan menguatnya
isu anti Islam yang menyerang Jokowi kala itu karena ia dianggap
lebih berpihak pada penista Islam (Ahok) ketimbang para kelompok
islamis.
152
Sebelumnya ormas adat Brigade Manguni Indonesia dan
Benteng Kristen Nusantara mengancam akan membubarkan acara
silaturahmi yang dilakukan HTI karena HTI dianggap sebagai ormas
yang dapat memecah belah persatuan. Setelah melalui negosiasi
yang alot dengan Ansor Manado, mereka akhirnya menyerahkan
pembubaran acara silaturahmi tersebut kepada Ansor Manado. Ansor
Manado mencegah agar pembubaran itu tidak dilakukan oleh ormas
adat dan Kristen dengan pertimbangan bahwa ketika pembubaran
dilakukan oleh kedua ormas itu, maka dikhawatirkan akan muncul
framing di berbagai media Islam yang mengatakan bahwa umat
Kristen di Manado membubarkan acara silaturahmi umat Islam.
Kalau framing ini betul-betul terjadi, maka ia dapat berpotensi
memecah belah hubungan antara umat Islam dan Kristen di berbagai
daerah di Indonesia.
Akhirnya pada tanggal 4 April 2017 dengan didampingi oleh
anggota Banser dan anggota Intel Polres Manado, Ansor Manado
mendatangi langsung lokasi kegiatan silaturahmi HTI di Restoran
Wisata Bahari Kawasan Megamas Manado tepat setelah waktu Salat
Isya. Setibanya di lokasi acara, Ketua Ansor Manado Rusli Umar
langsung mempertanyakan surat legalitas kegiatan silaturahmi
tersebut, namun para pengurus HTI berdalih bahwa kegiatan itu
murni silaturahmi dan tidak memiliki agenda politik apapun,
sehingga tidak memerlukan surat legalitas dari kepolisian. Ansor
Manado kemudian melakukan negosiasi dengan para pengurus
HTI. Sementara Ansor melakukan negoisasi di dalam lokasi acara,
para anggota ormas Brigade Manguni Indonesia dan Benteng
Kristen Nusantara sudah standby di luar lokasi acara menunggu
perkembangan yang terjadi di dalam pertemuan tersebut. Setelah
melalui proses negosiasi yang alot, kegiatan silaturahmi tersebut
akhirnya dihentikan dengan catatan bahwa para tamu undangan yang
sudah terlanjur datang dipersilakan untuk makan malam terlebih
dahulu atas dasar pertimbangan kemanusiaan.
Beberapa tamu undangan yang sempat datang umumnya
adalah para imam masjid. Mereka umumnya tidak mengetahui
apa itu HTI. Mereka datang ke acara silaturahmi karena mengaku
mendapatkan undangan yang diantarkan langsung ke masjid mereka.
153
Karena merasa memiliki tanggung jawab moral sebagai tokoh Islam
di Sulawesi Utara, maka beberapa imam masjid memutuskan hadir
dalam acara silaturahmi tersebut. Pasca pembubaran, para anggota
Ansor Manado menjelaskan kepada tamu undangan alasan terjadinya
pembubaran. Beberapa tamu undangan mengaku terkejut karena
mereka baru tahu bahwa HTI ternyata memiliki agenda terselubung
yang ingin mengubah Pancasila sebagai dasar negara.
Pada intinya, Ansor Manado membubarkan acara silaturahmi
yang dilakukan HTI karena beberapa alasan, pertama, HTI
memiliki agenda politik terselubung yang ingin mengubah
Pancasila sebagai dasar negara dan juga ingin menegakkan
sistem khilafah yang bersifat transnasional sehingga dapat
merobohkan konsep negara-bangsa yang telah disepakati oleh
para pendiri bangsa. Dalam hal ini Ansor Manado konsisten
dengan Pancasila sebagai dasar negara dan juga NKRI. Kedua,
ideologi yang dibawa HTI tidak cocok untuk konteks masyarakat
Manado yang sangat plural. Meluasnya pengaruh HTI di Manado
dikhawatirkan dapat memicu konflik horizontal di Manado.
Ansor tidak menginginkan konflik agama yang terjadi di daerah
lain menjalar di Manado karena masyarakat Manado telah
terbiasa hidup rukun dalam perbedaan.211
Penolakan Ansor Manado terhadap HTI berlanjut ketika
Felix Siauw, pentolan HTI yang merupakan seorang muallaf
dan juga penulis, mubaligh dan pegiat media sosial, diketahui
akan hadir di Manado. Kabar tentang kedatangan Felix diketahui
setelah poster digital yang memuat gambar Felix tersebar luas di
media sosial. Dalam poster digital itu diinformasikan bahwa pada
tanggal 3 Maret 2018, Felix Siauw akan hadir sebagai pembicara
di seminar nasional yang bertema Change Now for the Better
Future di Hotel Sintesa Peninsula Manado. Seminar nasional ini
rencananya akan diselenggarakan oleh Rohis SMAN 9 Manado.
Kabar kedatangan Felix juga direspon dengan penolakan oleh
211 Wawancara dengan Ketua GP. Ansor Manado Rusli Abenk Umar pada
tanggal 25 Agustus 2018 di Manado.
154
beberapa kelompok adat, salah satunya adalah Aliansi Makapetor
melalui akun resminya di Facebook.
Untuk merespon kedatangan Felix, pada tanggal 31 Januari
2018, Ketua Ansor Manado Rusli Abenk Umar, berinisiatif menemui
unsur pimpinan SMAN 9 Manado yang diketuai oleh Kepala
Sekolah, Meidy R. Tungkagi dan juga guru Agama Islam sekaligus
Pembina Rohis, Ustad Supriadi. Dalam pertemuan tersebut, Rusli
ingin mengkonfirmasi kebenaran seminar nasional tersebut sekaligus
menyatakan penolakan dirinya dan organisasi yang dipimpinnya
terhadap kedatangan Felix di Manado. Meidy mengaku bahwa ia tak
tahu menahu soal kegiatan tersebut karena lokasi pelaksanaannya
berada di luar sekolah. Ustad Supriadi juga mengaku tidak tahu
karena acara tersebut murni inisiatif dari para alumni Rohis.
Untuk menjaga agar kerukunan antar umat beragama tetap
terjaga di Manado di tengah menguatnya isu penolakan Felix,
maka pada tanggal 1 Maret 2018, Pemerintah Provinsi Sulawesi
Utara melalui Kesbangpol Sulawesi Utara mengundang pihak
penyelenggara dan perwakilan tokoh-tokoh agama yang terhimpun di
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) untuk bermusyawarah
dan mendengarkan klarifikasi dari pihak penyelenggara di Kantor
Kesbangpol Sulut. Dalam status di akun Facebook Sofyan Jimmi
Yosadi (Pengurus FKUB perwakilan agama Konghucu) tertanggal 2
Februari 2018 yang berjudul “Informasi dan Klarifikasi,” dijelaskan
beberapa poin dan klarifikasi dari hasil pertemuan di Kantor
Kesbangpol tersebut.212 Dalam pertemuan itu, Ustad Supriadi selaku
Pembina Rohis mewakili penyelenggara, yakni para alumni Rohis
mengaku bahwa latar belakang penyelenggaraan acara tersebut
adalah semata-mata karena melihat sosok Felix sebagai seorang
ustad yang bisa memberi motivasi bagi siswa juga bagi masyarakat
umum. Lebih lanjut, kegiatan seminar nasional ini murni digagas oleh
siswa-siswa sekolah yang tergabung dalam Rohis SMAN 9 Manado
sejak tahun 2015 dengan tujuan untuk memotivasi kehidupan yang
212 Lihat https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10209153476629086&
id=1684958305&_rdr diakses pada tanggal 25 Agustus 2018.
155
berlandaskan ajaran Islam dan tidak ada hubungannya sama sekali
dengan gagasan atau pemikiran politik Felix. Proses komunikasi
dengan Felix sendiri dilakukan oleh para alumni Rohis melalui
email.
Pihak penyelenggara mengakui tidak lagi memperhatikan
dinamika politik terkait pembubaran HTI dan juga pernyataan Felix
yang dianggap kontroversial karena panitia merasa bahwa rencana
acara tersebut tidak mendapatkan tanggapan. Dalam pertemuan
itu, ustad Supriadi menyampaikan permintaan maafnya karena
kekurangpahamannya terhadap situasi politik yang menyangkut
soal HTI. Ustad Supriadi juga mengklarifikasi bahwa dirinya
tidak memiliki keterkaitan dengan HTI sebagaimana yang banyak
dituduhkan. Ia mengakui bahwa ia tidak pernah aktif dalam ormas
Islam manapun. Saat ini, Ustad Supriadi hanya ikut di Organisasi
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Agama
Islam SMA SMK Kota Manado dan menduduki jabatan sebagai
ketua. Setelah melakukan musyawarah dan mendengar klarifikasi
dari panitia penyelenggara, maka akhirnya diputuskan bahwa
seminar nasional yang akan menghadirkan Felix dibatalkan dan
Felix ditolak menginjakkan kaki di Manado.
Ansor Manado menolak kedatangan Felix karena pandanganpandangannya dianggap banyak menciptakan kegaduhan antara umat
beragama, semisal ceramah-ceramah provokatifnya yang sering
menyudutkan agama Kristen. Ansor Manado tidak ingin keberadaan
Felix akan menularkan kegaduhan di Manado sebagaimana yang
telah terjadi di Jakarta pada Aksi Bela Islam 411 dan 212. Penolakan
Ansor Manado terhadap Felix juga disebabkan oleh kekhawatiran
bahwa Felix akan meracuni anak-anak muda dengan gagasan
khilafahnya mengingat mereka umumnya masih belum matang dan
juga kurang kritis dalam pengetahuan keagamaan.213
213 Wawancara dengan Ketua GP. Ansor Manado Rusli Abenk Umar pada
tanggal 25 Agustus 2018 di Manado.
156
Penutup
Aksi Bela Islam yang terjadi berjilid-jilid di Jakarta guna
menuntut pemenjaraan Ahok adalah aksi yang banyak mendapatkan
simpati dari sejumlah elemen umat Islam. Dalam aksi itu, aktor utama
yang menjadi penggerak massa adalah para tokoh islamis. Aksi Bela
Islam tersebut sedikit banyaknya telah membelah masyarakat secara
tajam dalam kelompok pro islamis maupun pro Kebinekaan.
Namun para aktor islamis yang terlibat dalam Aksi Bela
Islam tersebut ternyata mendapatkan resistensi terbuka di berbagai
daerah di Indonesia tak terkecuali di Manado. Di Manado, sejumlah
elemen masyarakat yang terwakili dalam ormas adat Minahasa,
ormas Kristen, dan juga ormas Islam GP. Ansor Manado menolak
keras kehadiran FPI, HTI, dan unsur-unsur yang terkait di dalamnya.
Penolakan ini muncul karena mereka tidak setuju dengan aksi dan
geliat para aktor Islamis yang berniat mengubah isi Pancasila yang
telah disepakati oleh para pendiri bangsa. Pancasila yg ada saat ini bagi
mereka adalah suatu kesepakatan yang telah final dari para pendiri
bangsa yang dapat menjadi titik temu atas segala perbedaan yang ada
di Indonesia. Penolakan mereka terhadap islamis juga disebabkan
oleh rekam jejak kelompok islamis yang kerap melakukan praktik
provokasi di tengah masyarakat. Mereka tidak mau geliat kelompok
islamis menjalar ke Manado karena ideologinya tidak sesuai dengan
karakter lokalitas orang Manado yang terbuka dan terbiasa hidup
dalam perbedaan.
157
Daftar Pustaka
Gerung, Arthur. Studi tentang Sosial Habitus Pierre Bourdieu
dalam Relasi Umat Kristen dan
Islam di Manado.
Paper dipresentasikan pada International Seminar on
Contemporary Issue in Islam (ISCII) di Hotel Sintesa
Peninsula Manado tanggal 8 Agustus 2018.
Hilmy, Masdar. Islamism and Democracy in Indonesia: Piety and
Pragmatism. Singapore: ISEAS,
2010.
Kaus, Gerald F. dan Chandran Kukathas. Handbook Teori Politik.
Terjemahan oleh Derta Sri
Widowatie. Cet.ii., Bandung:
Nusa Media, 2013.
Kembuan, Roger. A. C.. Jawa Tondano: Sejarah dan Tokoh-tokoh
yang Diasingkan Abad XIX. Manado: PT. Bank Rakyat
Indonesia, Tbk. Kantor Wilayah Manado, 2016.
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan 2016.
Komnas HAM.
Mantu, Rahman. “Pesantren PKP Kombos: Aktivitas Pesantren di
Tengah Mayoritas
Masyarakat Kristen.” dalam Muhammad Murtadlo, dkk.
Pesantren dan Reproduksi Ulama. Jakarta: Pustaka Cendekia
Muda, 2015.
Mufid, Ahmad Syafi’i. ”Faham Islam Transnasional dan Proses
Demokratisasi di Indonesia”, dalam Harmoni: Jurnal
Multikultural & Multireligius Volume VIII, Nomor 30, AprilJuni 2009: hal 8-34.
Pinontoan, Denni H.R.. “Pilkada Jakarta dan Ormas Adat dalam
Politik Lokal Minahasa.”
dalam https://crcs.ugm.ac.id/
id/berita-utama/10941/pilkada-jakarta-dan-ormas-adatdalam-politik-lokal-minahasa.html diakses pada tanggal 10
September 2018.
158
Rahmat, M. Imdadun. Arus Baru Islam Radikal: Transmisi
Revivalisme Islam Timur Tengah
ke Indonesia. Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2005.
Scott, James C. Senjatanya Orang-orang Kalah, terjemahan A.
Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2000.
Scott, James. C. Domination and the Art of Resistence: Hidden
Transcripts. London: Yale
University Press New Haven
and London, 1990.
Sumampouw, Nono. S. A. Menjadi Manado: Torang Samua
Basudara, Sabla Aer, dan
Pembentukan Identitas Sosial.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Syuhudi, Muhammad Irfan. “Geliat Politik Identitas di Kota
Manado” dalam Harmoni, MeiAgustus 2016, h.5666.
Tarrow, Sidney. Power in Movement: Social Movements, Collective
Action and Politics.
Cambridge University Press, 1994.
Thufail, Fadjar Ibnu. “Ketika “Perdamaian” Terwujud di Bukit
Kasih: Pencegahan Konflik, Lembaga Gereja, dan Politik
Adat di Minahasa.” dalam Kegalauan Identitas: Agama,
Etnisitas, dan Kewarganegaraan Pada Masa Pasca-Orde
Baru. Martin Ramstedt dan
Fajar Ibnu Thufail (ed.).
Jakarta: Grasindo- Pusat Penelitian Sumber Daya Regional
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia- Max Planck Institute
for Social
Anthropology, 2011.
Tibi, Bassam. Islamism and Islam. Yale University Press, 2012.
Wahid, Abdurrahman (ed.). Ilusi negara Islam: Ekspansi Gerakan
Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid
Institute, 2009.
159
Link pemberitaan:
https://beritamanado.com/demo-ribuan-ormas-adat-minahasadesak-pemerintah-bubarkan- fpi/ diakses pada tanggal 19 Agustus
2018
https://beritamanado.com/masyarakat-tolak-fpi/ diakses pada
tanggal 19 Agustus 2018.
https://m.bintang.com/amp/2658528/kasus-ahmad-dhani-konser-alghazali-ditolak-dimanado?espv=1 diakses pada tanggal 19
Agustus 2018
https://m.detik.com/news/berita/d-3501028/cerita-fahri-hamzahsoal-aksi-penolakan-dimanado diakses pada tanggal 22
Agustus 2018
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10209153476629086
&id=1684958305&_rdr
diakses pada tanggal 25 Agustus
2018.
https://nasional.tempo.co/amp/821110/massa-gelar-aksi-bela-nkridi-manado-tuntut-fpi- dibubarkan diakses tanggal 19 Agustus 2018.
160
ARUS KONSERVATISME ISLAM
DI SUMATERA BARAT
Zulfadli
Pendahuluan
Runtuhnya rezim otoritarian orde baru menandai babak baru
dalam transisi politik dan demokrasi di Indonesia. Era reformasi,
yang ditandai dengan euphoria politik dan terbukanya kran-kran
kebebasan berekspresi dimanfaatkan oleh berbagai gerakan Islam
dalam memperjuangkan aspirasi kepentingan politiknya. Euforia
reformasi dimanfaatkan dalam bentuk kebebasan perkumpulan
politik, seperti membentuk organisasi massa dan partai politik. Pada
masa transisi demokrasi tidak kurang dari 200 organisasi massa dan
partai politik didirikan, mereka mewakili berbagai kelompok dan
golongan, mulai dari konservatif dan puritan, sampai liberal dan
sekuler.214
Setidaknya ada dua model gerakan Islam politik di Indonesia.
Pertama, gerakan Islam politik melalui gerakan formal atau
parlementer, dengan cara mendirikan partai-partai bebasiskan Islam.
Seperti PKS, PBB, PPP dan lain sebagainya. Kedua, gerakan Islam
ekstraparlementer, atau gerakan kultural dengan munculnya ormas
Islam non-mainstream dalam politik, seperti Hizbut Tahrir (HT),
Front Pembela Islam (FPI) dan dan lain sebagainya.
214 Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia Tiga Model Negara
Demokrasi di Indonesia (Jakarta: Freedom Institute, 2011), hlm 230
161
Gerakan mereka berada di luar kerangka mainstream proses
politik, maupun wacana dalam gerakan Islam dominan. Kelompokkelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad dan Salafi
merupakan representasi generasi baru gerakan Islam di Indonesia.
Organisasi-organisasi baru ini memiliki basis ideologi, pemikiran
dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas Islam yang
ada sebelumnya. Mereka ditengarai berhaluan puritan, memiliki
karakter yang lebih militan, skripturalis, konservatif dan eksklusif.215
Keberadaan ormas Islamis pasca reformasi memiliki orientasi
politik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pengaruh
yang sangat besar dari ormas Islamis dapat dilihat dengan semakin
menguatnya identitas dan gerakan kelompok keagamaan di luar
mainstream kelompok keagamaan. Dalam perkembangannya,
gerakan sosial keagamaan terdapat tiga aspek yang menonjol,
pertama, yang didorong oleh orientasi politis; kedua, orientasi
keagamaan yang kuat; dan ketiga, orientasi kebangkitan kultural
rakyat Indonesia.216
Proses transisi demokrasi di Indonesia, meskipun dinilai
cukup stabil, tanpa mengabaikan pergolakan dan riak-riak kasus
yang terjadi di beberapa daerah, proses transisi demokrasinya cukup
berhasil jika dibandingkan dengan transisi demokrasi yang terjadi
dikawasan Timur Tengah, seperti Mesir, Irak, Suriah, Libia, Yaman
dan lain sebagainya.
Transisi demokrasi dari rezim otoritarian menuju rezim
demokratis bukanlah perkara yang mudah. Karena proses transisi
demokrasi yang terjadi disuatu negara merupakan proses yang
kompleks, melibatkan berbagai kelompok yang berjuang untuk
memperoleh kekuasaan, dan untuk mendukung serta menentang
215 Khamami Zada dan Arif R. Arafah, Diskursus Politik Islam (Jakarta: LSIP,
2004), hlm. 123.
216 Bilver Singh, Zuly Qodir, Gerakan Islam Non Mainstream dan
Kebangkitan Islam Politik di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015), hlm 1
162
demokrasi dan tujuan-tujuan lainnya. Dilihat dari sudut sikap
mereka terhadap proses demokratisasi, para aktor yang bermain
dalam transisi demokrasi, mulai dari kelompok konservatif, pembaru
liberal, pembaru demokrasi dalam koalisi pemerintah, dan kelompok
moderat demokratis serta ekstremis revolusioner di pihak oposisi.217
Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat upaya-upaya
yang dianggap sebagai upaya-upaya memundurkan demokrasi di
Indonesia, yang disebut dengan resesi demokrasi. Keadaan statis
ini bahkan tercermin dari laporan-laporan indeks demokrasi yang
dilakukan oleh lembaga indeks demokrasi seperti Freedom House.
Menurut Marcus Miezner, faktor penyebab stagnasi demokrasi
yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh dua hal, pertama,
elemen-elemen elit konservatif berupaya mendapatkan kembali
keistimewaan-keistimewaan yang pernah mereka miliki pada masa
lalu, dibandingkan bergandengan tangan dengan masyarakat luas
dalam mendukung demokrasi; kedua, dampak negatif manuvermanuver yang dilancarkan oleh elit konservatif agak tertutupi
oleh kegigihan masyarakat sipil, yang pada akhirnya membuat
Indonesia lebih tepat dikategorikan sebagai negara yang mengalami
kemandekan, daripada kemuduran total demokrasi.218
Periode pasca reformasi menguatkan kembali arus
konservatisme dalam lanskap politik di Indonesia. Konservatisme
tidak hanya terjadi dalam konteks nasional, akan tetapi dalam
ranah politik local, yang terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia.
Meningkatnya tuntutan akan otentisitas etnik dan keagamaan,
adalah contoh kecedrungan konservatisme yang menonjol pasca
reformasi. Terdapat relasi negatif antara demokrasi dan kebangkitan
etnoreligius, bahwa antara kedua proses tesebut berjalan secara
berlawanan.219
217 Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta: Graviti,
2001), hlm 154-155
218 Marcus Mietzner, dalam AE Priyon, Usman Hamid (ed.), Merancang
Arah Baru Demokrasi Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2014) hlm 152
219 Robert W. Hegner, Civil Islam, Islam dan Demokratisasi di Indonesia,
163
Martin van Bruinessen menyebut, adanya gejala kembalinya
arus konservatif (concervative turn) dalam perkembangan
kontemporer Islam Indonesia.220
Menurut Martin van Bruinessen, Istilah konservatisme merujuk
kepada berbagai aliran pemikiran yang menolak penafsiran ulang
atas ajaran-ajaran Islam secara liberal dan progresif, dan cenderung
untuk mempertahankan tafsir dan sistem sosial yang baku.221
Konservatisme menolak segala macam bentuk penafsiran
kontekstual-modern, mereka berpegang teguh pada doktrin agama
dan tatanan sosial yang mapan. Selain itu konservatisme cenderung
keberatan dan menolak terhadap gagasan kesetaraan gender,
perlindungan HAM, dan penolakan pendekatan hermeneutika dalam
menfasirkan kitab suci. Gerakan konservatif berbeda dengan Islam
progresif yang menafsirkan al-Qu’ran secara kontekstual, yang
sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Gejalan arus konservatisme juga terindikasi terjadi di Sumatera
Barat. Sebagai daerah yang dikenal kuat dengan agama dan adat,
dan dalam falsafah hidupanya dikenal, “adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah (Adat bersendi syarak, syarak bersendi AlQur’an)”.
Minangkabau merupakan jaringan benang struktural etnik
budaya dari beberapa gugusan etnis di nusantara, yang secara
geografis terletak di pulau Andalas Sumatera Barat. Sebab, tidak
identiknya Minangkabau dengan Sumatera Barat atau sebaliknya.
Ada wilayah yang masuk dalam administrasi pemerintahan
Sumatera Barat, seperti Mentawai, tetapi tidak termasuk dalam
lingkup budaya Minangkabau. Sebaliknya, ada beberapa wilayah
yang bukan termasuk ke dalam wilayah admistrasi pemerintahan
Sumatera Barat, namun ia bagian integral dari budaya Minangkabau.
(Jakarta:ISAI, 2001), hlm 16
220 Martin van Bruinessen, Contempory Developments in Indonesia:
Eksplaining the “Conservative Turn”, (Singapore: ISEAS, 2013)
221 Ibid., hlm 16
164
Dengan demikian, ada perbedaan pemahaman yang cukup signifikan
antara keduanya: Minangkabau lebih merupakan Etnisitas yang
mengandung makna sosio-kultural, sedangkan Sumatera Barat
adalah wilayah administrasi pemerintahan Republik Indonesia yang
lebih mengacu kepada geografis administrasi teritorial.222
Masyarakat Minangkabau dinilai memiliki ciri khas dan
keunikan budaya tersendiri. Tatanan kehidupannya dibangun
atas dasar komunalisme, egaliter, dan memiliki sistem aturan
adat yang bersendikan agama. Penduduk Sumatera Barat secara
umum merupakan etnis Minang, dan mayoritas beragama Islam.
Diferensiasi sosial, agama, dan etnis di Sumatera Barat tidak begitu
menonjol, karena homogenitas masyarakat yang didominasi oleh
etnis Minang dan beragama Islam.
Namun di tengah homogenitas masyarakatnya, hasil dari
beberapa survei menunjukkan, fenomena religious intolerance yang
berkaitan dengan kebebasan beragama, diskriminasi dan intoleransi
di Sumatera Barat, cukup tinggi. Berbeda dengan konflik di daerah
lain yang berlangsung secara terbuka, konflik kebebasan beragama
di Sumatera Barat tidak menampakkan wujudnya secara nyata.
Jika diperhatikan sepintas, di Sumatera Barat seolah minim konflik
kebebasan beragama, mengingat penduduknya mayoritas muslim di
bawah falsafah “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”
tadi. Namun dalam kenyataannya, kentalnya budaya Islam dalam
kehidupan masyarakat di Sumatera Barat, turut berpengaruh besar
terhadap tata kelola pemerintahan di Sumatera Barat.
Menguatnya arus konservatisme Islam di Sumatera Barat
pasca reformasi, paling tidak disebabkan oleh dua hal. Pertama,
konservatisme Islam yang terjadi dalam bentuk regulasi, yang
melahirkan kebijakan dan peraturan daerah bernuansa agama
(Islami), seperti kebijakan wajib berpakaian muslim,223 wajib pandai
222 Nurus Shalihin, Demorkasi di Nagarinya Para Tuan, Imam Bonjol Press,
2004, hlm 1-5
223 Perda Kota Solok No.6 Tahun 2002 tentang Wajib Berbusana Muslimah;
Perda Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung No.2 Tahun 2003 tentang
165
baca al-Qur’an bagi siswa atau calon pengantin,224 wajib zakat,225
dan penyakit masyarakat (pekat).226 Kedua, konservatisme ormas
Berpakaian Muslim dan Muslimah; Perda Kabupaten Pasaman No.22
Tahun 2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah bagi Para Siswa,
Mahasiswa dan Karyawan; Perda Kabupaten Pesisir Selatan No.4 Tahun
2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah; Perda Kabupaten Agam
No.6 Tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim; Surat Himbauan Bupati
Tanah Datar No.451.4/556/Kesra-2001, perihal Himbauan/Berbusana
Muslim/Muslimah Kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Tenaga Kerja;
Surat Himbauan Gubernur Sumatera Barat No.260/421/X/PPr-05, perihal
Menghimbau Bersikap dan Memakai Busana Muslimah Kepada Kepala
Dinas/Badan/Kantor/Biro/Instansi/Walikota Sumatera Barat; Instruksi
Walikota Padang No.451.422/Binsos-III/2005 tentang Pelaksanaan Wirid
Remaja Didikan Subuh dan Anti Togel/Narkoba serta Berpakaian Muslim/
Muslimah bagi Murid/Siswa SD/MI, SLTP/MTS dan SLTA/SMK/SMA di
Kota Padang; dan Instruksi Walikota Padang No.451.422/Binsos-iii/2005
224 Perda Kabupaten Solok No.10 Tahun 2001 tentang Wajib Baca al-Qur’an
untuk Siswa dan Pengantin; Perda Kota Padang No.6 Tahun 2003 tentang
Pandai Baca Tulis al-Qur’an; Perda Kota Sawahlunto No.1 Tahun 2003
tentang Pandai Baca Tulis al-Qur’an; Perda Kabupaten Pasaman No.21
Tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis al-Qur’an; Perda Kabupaten
Limapuluh Kota No.6 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis al-Qur’an;
Perda Kabupaten Pesisir Selatan No.8 Tahun 2004 tentang Pandai Baca
Tulis al-Qur’an; Perda Kabupaten Agam No.5 Tahun 2005 tentang Pandai
Baca Tulis al-Qur’an; Perda Provinsi Sumatera Barat No.7/2005 tentang
Pandai Baca Tulis al-Qur’an; Perda Provinsi Sumatera Barat No.3 Tahun
2007 tentang Pendidikan al-Qur’an; dan Perda Kabupaten Pasaman Barat
No.9 Tahun 2007 tentang Pandai Baca Tulis Huruf al-Qur’an Bagi Murid
SD, SISWA, SLTP, SLTA, dan Calon Penganten
225 Perda Kabupaten Solok No.13/2003 tentang Pengelolaan Zakat, Infaq,
dan Shadaqoh; Perda Kabupaten Pesisir Selatan No.31/2003 tentang
Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh; Perda Kota Bukit Tinggi
No.29/2004 tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh; Perda Kota
Padang Panjang No.7/2008 tentang Zakat; dan Perda Kota Padang No.2
Tahun 2010 tentang Pengelolaan Zakat
226 Perda Provinsi Sumatera Barat No.11/2001 tentang Pemberantasan
dan Pencegahan Maksiat; Perda Kota Bukittinggi No.20 Tahun 2003
tentang Perubahan atas Perda Kota Bukittinggi No.3 Tahun 2000 tentang
Penertiban dan Penindakan Penyakit Masyarakat; Perda Kabupaten
Padang Pariaman No.02 Tahun 2004 tentang Pencegahan, Penindakan dan
Pemberantasan Maksiat; Perda Kota Padang Panjang No.3 Tahun 2004
166
Islamis dalam merespon isu-isu terkait dengan kebebasan beragama,
kebebasan berkeyakinan dan perlindungan terhadap hak-hak
minoritas.
Beberapa hasil survei, diantaranya, pertama, survei Elsan yang
menujukkan bahwa di tengah homogenitas masyarakat Minang,
ternyata justru menjadikan Sumatera Barat wilayah ini terpuruk
dalam ekspresi beragama, utamanya dalam menjaga kebebasan
beragama, diskriminasi dan intoleransinya. Alhasil, skornya hanya
3,75, yang merupakan skor paling buruk dibanding daerah lain.227
Kedua, survei yang dirilis baru-baru ini oleh MAARIF Institute
tentang Indeks Kota Islami (IKI) di Indonesia. Hasil survei MAARIF
Institute ini menuai pro dan kontra bagi masyarakat Sumatera Barat,
yang mengatakan bahwa Denpasar merupakan sebagai daerah yang
paling Islami, sementara Sumatera Barat termasuk daerah yang
paling tidak Islami, dan menempatkannya dalam urutan buncit, di
nomor 28 dari 29 kota-kota di Indonesia.228
Ketiga, dalam hal praktek demokrasi, terkait dengan
kebebasan masyarakat sipil dan beragama di ruang publik, menurut
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), Sumatera Barat termasuk juga
salah satu daerah yang terendah dalam mengedepankan nilai-nilai
demokrasi.229
Selain indikator survei yang disebutkan diatas, Komnas
HAM Sumbar bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang,
beberapa kurun waktu terakhir cukup banyak menerima pengaduan
dari kaum minoritas yang meminta bantuan dalam mencari keadilan
pemenuhan hak kebebasan beragama, termasuk di dalamnya
persoalan izin mendirikan bangunan.
tentang Pencegahan Pemberantasan dan Penindakan Penyakit Masyarakat;
Peraturan Daerah Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung No.19 Tahun 2006
tentang Pencegahan dan Penanggulangan Maksiat; dan terakhir muncul
Rancangan Perda Kota Padang Pemberantasan Perzinahan dan Pelacuran.
227 Lihat http://elsam.or.id
228 Lihat http://maarifinstitute.org
229 Lihat https://www.bps.go.id
167
Fenomena arus konservatisme yang terjadi di Sumatera Barat,
dalam prakteknya, terjadi tidak hanya dilakukan oleh aktor negara
(state actors), dalam hal ini negara dengan seperangkat aturan
dan regulasinya membuat kebijakan-kebijakannya, akan tetapi
konservatisme bisa juga terjadi dalam bentuk non state actors yang
dilakukan oleh sekelompok masyarakat sipil atau oleh ormas-ormas
keagamaan.230
Padahal, pengungkapan fakta itu sangat penting untuk
mengetahui apa yang salah dengan praktik penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan hak atas kebebasan beragama,
berekspresi, dan berkeyakinan di daerah ini, dan bagaimana agar
praktik itu dapat diperbaiki, sehingga menjadi lebih baik. Kondisi
diatas telah membuat masyarakat Sumatera Barat masuk ke dalam
ruang hampa yang penuh dengan hiruk-pikuk tindakan dan sikap
intoleransi, kebebasan beragama dan diskriminasi, serta tidak lagi
saling menghargai dan menghormati perbedaan atas dasar agama,
keyakinan dan kepercayaan yang telah hidup dan berkembang
di tengah masyarakat Sumatera Barat. Potret-potret dari rentetan
tindakan, sikap intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompokkelompok masyarakat minoritas agama, keyakinan dan kepercayaan
telah menghiasi bumi ranah Minang.
230 Vino Oktavia, Ketika Kebebasan Beragama, Berkeyakinan, dan
Berekspresi Diadili, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Kantor
Lembaga Bantuan Hukum Padang, Padang, 2013, hlm 35
168
Di antara Kasus Konservatisme Ormas Islamis di Sumatera
Barat adalah:
No
1
Isu/Kasus
Tolak
pembangunan
Rumah Sakit
Siloam atau
LIPPO Group
dengan
mengedepankan
isu agama, yaitu
kristenisasi di
Kota Padang
(2013-2016)
Lokasi
Kota Padang
2
Tolak Padang
Landmark (2017)
Kota Padang
Keterangan
Sejumlah ormas Islam di
Sumatera Barat menolak
keras pembangunan
rumah sakit Siloam,
karena pembangunan
rumah sakit tersebut sarat
dengan adanya agenda
terselubung, yaitu misi
kristenisasi. Karena
James T. Riadi (CEO/
Chief Executive Officer)
Lippo Group adalah
penerus keluarga Muchtar
Riadi, yang merupakan
pendeta internasional
yang berguru kepada Pat
Robertson, yang dikenal
sebagai misionaris
internasional dan sempat
mencela umat Islam.
Sejumlah
organisasi
masyarakat dan ormas
keagamaan
menolak
Padang Landmark yang
merupakan
kelanjutan
dari pembangunan Rumah
Sakit
Siloam,
yang
berganti nama menjadi
Pandang
Landmark.
Padang
Landmark
merupakan superlok yang
meliputi rumah sakit,
sekolah Pelita Harapan,
dan pusat perbelanjaan/
mall
169
3
170
Tutup
pembakaran
mayat
(krematorium) di
perkempungan
warga etnis
Tionghoa di
Kota Padang
(2017)
Kota Padang
Organisasi massa Islam
melakukan unjuk rasa
mendesak penghentian
pembakaran mayat
(kremasi) warga etnis
Tionghoa di Rumah
Duka Himpunan Bersatu
Teguh (HBT). Mereka
mendesak penghentian
operasi Rumah
Duka HBT, warga
menilai keberadaan
krematorium di lokasi
padat penduduk tersebut
sangat mengganggu, dan
tidak memperhatikan
keselarasan lingkungan
hidup. Di samping
tidak memperhatikan
keselarasan lingkungan
hidup dan mengganggu
kenyamanan warga,
keberadaan krematorium
tersebut juga dinilai
bertentangan dengan
PP Nomor 9/1987
tentang Penyediaan
dan Penggunaan Tanah
untuk Keperluan Tempat
Pemakaman.
4
Tolah pendirian
Vihara Buddha
Metta di Kota
Payukumbuh
(2015)
Kota
Payakumbuh
Protes keras dari warga
kelurahan Nunang
kecamatan Payakumbuh
Barat atas adanya
rencana pembangunan
Vihara Buddha Metta
di kawasan jalan Luhak
Limapuluh Kota. Surat
keberatan dan pernyataan
sikap penolakan
dengan nomor 01/
LPM/NN-PBR/II-2012
tertanggal 2 Februari
2012 yang dialamatkan
ke walikota dan DPRD
Payakumbuh oleh
lembaga pemberdayaan
masyarakat kelurahan
Lunang yang juga ditanda
tangani oleh ketua
RT, tokoh masyarakat
dan beberapa lainnya.
Akibatnya, rencana
pembangunan Vihara
Buddha Metta di
kawasan itupun gagal.
Pemerintah setempat juga
menghentikan sementara
waktu rencana tersebut
dengan berbagai alasan.
171
5
Pelarangan
izin aktivitas
Ahmadiyah
melalui
Peraturan
Gubernur
Sumatera Barat
No.17 Tahun
2013 (2013).
Sumatera Barat
Pergub pelarangan
Ahmadiyah ini lahir
sebagai bentuk tindak
lanjut dari pertemuan
Pemprov dengan
Muspida Sumbar, Majelis
Ulama Indonesia (MUI)
Sumbar, Lembaga
Kerapatan Adat Alam
Minangkabau (LKAAM),
Badan Koordinasi Aliran
Kepercayaan Masyarakat
(Bakorpakem), serta
beberapa ormas di
Sumbar. Pasal-pasal
dalam Pergub tersebut
dengan jelas melarang
segala aktivitas
Jemaat Ahmadiyah
dalam bentuk apapun
(larangan penyebaran
ajaran Ahmadiyah,
larangan pemasangan
papan organisasi
Ahmadiyah, baik di
kantor organisasi maupun
di rumah peribadatan
milik Ahmadiyah,
larangan masang atribut
Ahmadiyah dalam bentuk
apapun).
Pergub ini juga mengatur
agar masyarakat
diwajibkan melapor
apabila menemukan
aktivitas dan segala
kejanggalan yang
dilakukan Ahmadiyah
kepada pihak kepolisian
dan pihak yang
berwenang.
172
6
7
Tolak tempat
karaoke Inul
Vizta, karena
tidak sesuai
dengan nilai adat
dan agama di
Ranah Minang
Kasus Alexander
An yang
mengaku ateis di
dunia maya
Sumatera Barat
Masyarakat dan ormas
keagamaan menolak
kehadiran Inul Vizta
karena tidak sesuai
dengan ada dan budaya
masyarakat Minangkabau
Dharmasraya
Kasus Alexander An
seorang CPNS di Kab
Dharmasraya, yang
mengaku Ateis di dunia
maya sehingga didatangi
sejumlah kelompok
masyarakat sipil yang
hampir nyaris di amuk
massa, sehingga di dakwa
dengan pasal penodaan
agama di Dharmasraya
(2012)
Keterangan: Sumber dioleh oleh peneliti dari berbagai sumber
Tulisan ini akan membatasi persoalan pada arus konservatisme
ormas Islamis di Sumatera Barat. Pertanyaan dalam tulisan ini,
apa yang menyebabkan menguatnya arus konservatisme Islam di
Sumatera Barat Pasca Reformasi.
Pendekataan dan Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis
deskriptif. Metode kualitatif merupakan proses penelitian yang ingin
menghasilkan data bersifat deskriptif, yaitu berupa hasil ucapan,
tulisan, dan perilaku individu atau kelompok yang dapat diamati
berdasarkan subyek itu sendiri.
Pendekatan dan penggalian data-data terkait kebebasan
beragama ini menggunakan pendekatan metode berbasis peristiwa
(event-based methodology), yakni berusaha mengidentifikasi
beragam peristiwa keagamaan yang di dalamnya, yang diduga telah
173
terjadi konservatisme di level negara (state actors) maupun nonnegara (non-state actors).
Pengumpulan data dianalisis dengan menggunakan beberapa
metode, Pertama, pemantauan terhadap pemberitaan media nasional
maupun lokal, cetak maupun elektronik. Termasuk di dalamnya
media-media online tentang peristiwa-peristiwa konservatisme
ormas Islamis di berbagai wilayah di Indonesia. Kedua, melakukan
studi pustaka atau penelusuran terhadap objek kajian yang diteliti.
Mulai dari buku, jurnal, dan lain sebagainya.
Tinjauan Teori
1. Konservatisme Islam
Menguatnya arus konservatisme di Indonesia disebabkan oleh
beberapa hal. Martin Van Bruinessen231 menyebut; Pertama, hubungan
antara demokratisasi dan memudarnya pengaruh pandanganpandangan keislaman yang liberal dan progressif. Argumen ini
menegaskan bahwa mayoritas umat Islam Indonesia pada dasarnya
konservatif atau cenderung mempunyai corak fundamentalis. Van
Bruinessen tidak menerima penjelasan ini, karena alasan tersebut
menandakan bahwa gagasan Islam liberal hanya bisa tumbuh dan
berkembang dalam sebuah sistem pemerintahan otoriter. Argumen
ini juga menjelaskan bahwa para pendukung gagasan Islam liberal
dan progresif, yang sebelumnya aktif di dalam berbagai organisasi
masyarakat madani kini aktif di politik praktis, yang pada gilirannya
menyebabkan dasar kebudayaan Islam liberal menjadi lemah (h. 5).
Kedua, menguatnya pengaruh Timur Tengah. Alumni perguruan
tinggi di Timur Tengah, terutama Saudi Arabia, menyebarkan
corak pemahaman keislaman yang harah dan skripturalis kepada
masyarakat. Usaha ini sejatinya sudah dimulai sejak dua dekade
terakhir abad yang lalu, dengan penerjemahan buku-buku agama
231 Martin van Bruinessen, hlm 16. Lihat juga Din Wahid, Kembalinya
Konservatisme Islam Indonesia, Studi Islamika, Indonesian Journal for
Islamic Studies, Vol.21, No.2, 2014, hlm 375
174
dan membagikannya secara percuma kepada individu, organisasi
kemasyarakatan (ormas) Islam dan lembaga pendidikan Islam di
Indonesia. Dengan dukungan dana yang memadai, terutama dari
Saudi Arabia dan Yayasan Ihya’ alTurath al-Islami di Kuwait, para
alumni Timur Tengah mendakwahkan corak keislaman ini dengan
berbagai cara: mengadakan pengajian di masjid-masjid dan kantorkantor, mendirikan madrasah dan pesantren, membangun radio dan
televisi dakwah, dan menerbitkan buku dan majalah. Alumni ini
bekerjasama dengan lulusan Lembaga Ilmu Pengetahuan Arab dan
Islam (LIPIA), sebuah lembaga pendidikan tinggi di Jakarta ,sebagai
cabang Universitas Imam Ibn Su’ud di Riyadh.
2. Islamisme
Konsep lain yang menjelaskan fenomena Islam politik adalah
Islamisme232. Oliver Roy menggunakan terma Islamic dan neofundamentalisme, untuk menyebut gerakan Islam yang berorientasi
pada pemberlakuan syari’at Islam. Roy menyebut gerakan Islam yang
menjadikan Islam sebagai idiologi politik dengan sebutan Islamisme.
Sedangkan gerakan Islamisme yang telah mengalami pergeseran ke
arah pasivitas politik disebut dengan neo-fundamentalisme. Seperti
Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jama’ati Islami, dan Islamic
Salvation Fron (FIS) sebagai representasi dari terma yang digunakan.
Istilah Islamisme juga menunjukkan dua fenomena sekaligus,
baik politik Islamis maupun re-Islamisasi, sebuah proses pada
domain yang beraneka ragam dari kehidupan sosial, yang diselubungi
oleh tanda dan lambang, yang diasosiasikan dengan tradisi budaya
Islam. Proses ini meliputi pemakaian jilbab, kebutuhan yang makin
besar pada bacaan Islam dan komoditi agama lainnya, penampakan
simbol-simbol identitas keagamaan, pembingkaian kembali aktivitas
232 Bassam Tibi membedakan antara konsep Islam dan Islamisme. Islamisme
tidak hanya sekadar masalah politik, lebih jauh, Islamisme berkaitan
dengan politik yang diagamaisasikan (religionized politics). Lihat Bassam
Tibi, Islam dan Islamisme, (Bandung: Mizan, 2016), hlm. 1.
175
ekonomi dengan terma-terma Islam.233 Belakangan ini re-Islamisasi
dimaknai secara lebih luas dari Islamisme, dan kadang-kadang
dibedakan dengan Islamisme, sebab Islamisme tidak semata-mata
ekspresi dari proyek politik, tetapi juga meliputi penggunaan kembali
dengan bingkai referensi Islam diwilayah sosial dan kebudayaan.
Bassam Tibi mengelaborasi enam ciri utama ideologi
Islamisme. Pertama, interpretasi atas Islam sebagai nizam Islami.
Dalam pandangan kaum Islamis, Islam adalah din-wa-daulah;
agama bersatu dengan negara. Tibi menegaskan bahwa ide dasar
yang menjadi pokok dan gagasan utama kelompok Islamis terletak
pada keyakinannya tentang kesatuan agama dan negara ini. Kedua,
Yahudi sebagai musuh utama yang akan menghancurkan umat
Islam. Karena umat Yahudi memiliki cita-cita akan menciptakan
“tatanan dunia Yahudi,” maka tujuan ini tentu saja akan bertabrakan
dengan harapan ideal umat Islam. Ketiga, demokratisasi dan
posisi Islamisme institusional dalam sebuah negara demokratis.
Disini, Tibi menemukan banyak paradoks. Kaum Islamis pada
dasarnya menghendaki mendirikan negara Islam, yang tentunya
akan bertentangan dengan misi demokratisasi, yang didalamnya
terkandung gagasan civic pluralism. Meski begitu, demokrasi harus
membuka ruang bagi kelompok dengan pelbagai suara, termasuk
mereka yang menyerukan gagasan negara Islam. Keempat, evolusi
jihad tradisional menuju jihadisme. Salah satu karakter dari kelompok
Islamis adalah ideologi jihadisme yang merupakan reinterpretasi
dari jihad. Kelima, syariatisasi negara. Kalangan Islamisme
menafsirkan teks al-Qur’an untuk mendukung ide politik yang
telah direligionisasi. Untuk mengatasi ekpektasi kelompok Islamis
ini, diperlukan fleksibilitas yang akan memperkaya hukum Islam
itu sendiri. Ia menawarkan pembatasan syariat pada etika agama,
sehingga syariat tidak betul-betul ditinggalkan. Keenam, kelompok
Islamis sangat terobsesi untuk mengajukan soal kemurnian sebagai
233 Hans Abdiel Harmakaputra, Islamism and Post-Islamism “Non-Muslim” in
Socio-Political Discourses of Pakistan, the United States, and Indonesia,
(Al-Jāmi‘ah: Journal of Islamic Studies, Vol. 53, no. 1 (2015), hlm 179204
176
klaim atas autentisitas. Klaim ini yang nanti akan menentukan posisi
Islamis terhadap sekularisasi dan desekularisasi. 234
Re-Islamisasi sebagai penyataan akan hasrat untuk
mewujudkan kembali keteraturan moral berdasarkan keketatan.
Keteraturan ini merupakan produk kontemporer yang berusaha
mengatur hubungan sosial di atas dasar pengawasan tingkah laku
individu. Re-Islamisasi merupakan pendahuluan dari Islamisme dan
menyajikan sebuah kata yang dipakai, baik oleh pendukung maupun
lawan Islamisme. Pandangan Islamisme dicirikan oleh beberapa hal
berikut: (1) masyarakat hanya bisa di Islamkan melalui kegiatan sosial
dan politik; (2) gerakan Islamis memiliki argumen politik bahwa
Islam adalah sistem pemikiran global dan menyeluruh (Islamisme
menerima pandangan klasik bahwa Islam merupakan sistem lengkap
dan universal, sehingga tidak perlu melakukan modernisasi atau pun
penyesuaian diri).235
Kelompok Islamisme mencoba mengartikulasikan sebuah versi
Islam yang dapat merespons defisit politik, ekonomi, dan budaya
mereka. Kelompok Islamisme ini membayangkan Islam sebagai
sebuah sistem Ketuhanan yang lengkap dengan model politik,
kode budaya, struktur hukum, dan tatanan ekonomi yang superior
–singkatnya, sebuah sistem yang merespons semua permasalahan
manusia.236
3. Islam politik
Islam politik merupakan gejala sosial politik di berbagai belahan
dunia, yang berkaitan dengan aktivitas sekelompok individu muslim,
yang melakukan gerakan dengan landasan ideologi yang diyakini
bersama. Dalam defenisi ini, Islam politik dikonseptualisasikan
234 Bassam Tibi, Islam dan Islamisme 35
235 M.Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, Transimisi Revivalisme
Islam Timur Tengah ke Indonesia, (Jakarta: Penerbit Elangga, 2007), hlm
20
236 Asef Bayat, Post-Islamisme, (Yogyakarta: LKIS, 2011), hlm 12.
177
terutama bukan sebagai gejala keagamaan, tetapi lebih merupakan
fenomena sosial-politik yang melibatkan sekelompok individu
muslim yang aktif melakukan gerakan didasari ideologi tertentu
yang mereka yakini. Unsur terpenting yang membedakan Islam
politik dengan gejala sosial-politik lain, terletak pada tiga hal, yakni:
(1) aktor yang terlibat; (2) aktivisme; (3) ideologi.237
Istilah ini digunakan untuk menunjukkan pada kegiatankegiatan organisasi yang menggerakkan dan mengajak (mengagitasi)
ke wilayah politik, yang menggunakan tanda dan simbol-simbol
dari tradisi Islam. Istilah ini juga dipakai untuk menunjukkan
pada aktivisme politik yang melibatkan kelompok informal yang
membentuk kembali repertoire dan bingkai-bingkai rujukan dari
tradisi Islam, itulah yang disebut dengan muslim-politic.238
Sementara itu, Oliver Roy menyimpulkan bahwa gerakan
Islamisme telah mengalami pergeseran dan kehilangan karakter
revolusionernya, tidak lagi radikal dan telah menjadi sekedar
pengelompokkan semacam neo-fundamentalisme. Ada bukti
bahwa Islamisme telah bertransformasi dalam apa yang disebut
sebagai proletarianisasi-tergumpal dari gerakan ini dan Islam dalam
demokratisasi masyarakat berpusat pada moralitas telah menjadi
lazim dalam gerakan ini. Ini menandakan bahwa dikalangan Islamis
berkembang pemikiran dan gerakan yang fokus pada penerapan
syari’at Islam, daripada upaya mewujdukan bentuk politik baru,
model-model masyarakat baru, atau sebuah agenda untuk masa
depan yang lebih cerah. Di Timur Tengah, kaum Islamis tidak pernah
berusaha mewujudkan sebuah masyarkat baru, dan apalagi landasan
politik baru. Kegagalan kaum Islamis berakar pada tendensi mereka
untuk menyebarluaskan kebajikan dengan mewujudkan masyarakat
yang baik.
237 Noorhaidi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer, Konsep, Genealogi,
dan Teori, (Yogyakarta: Suka Press-UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2012), hlm 3-5.
238 M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS dari Masjid Kampus ke Gedung
Parlemen, (Yogyakarta: LKIS, 2008) hlm 10-15.
178
Kebangkitan Islam menggambarkan tingginya kesadaran
dikalangan umat Islam. Bentuk lain dari Islam yang merakyat
ini, ditunjukkan dengan menyebarnya masyarakat yang dipenuhi
kebajikan dan persaudaraan, serta ketaatan yang mencolok dalam
mempraktekkan ajaran-ajaran Islam. Pada umumnya, kecenderungan
ini ditandai dengan pasivitas politik, kecuali ada dorongan dari
pemerintah atau pihak musuh dari luar.
Akan tetapi, dalam lingkungan kebangkitan Islam ini, terdapat
serangkaian aktivisme keagamaan yang melibatkan kelompokkelompok Islam militan. Kelompok militan ini memiliki kesadaran
politik yang sangat tinggi, berlawanan dengan negara dan unsurunsur penguasa, serta lembaga-lembaganya. Antara pendukung
gerakan kebangkitan kebangkitan Islam yang lebih luas dengan
kelompok militan ini, terjadi hubungan simbiotik, dimana kelompok
militan akan mudah melakukan rekrutmen anggota-anggota baru,
dan mudah pula bersembunyi dibalik gerakan kebangkitan Islam,
ketika berkonfrontasi dengan penguasa. Oleh karena itu, tidak
heran jika gerakan kebangkitan Islam dianggap sebagai suatu
rangkaian kesatuan yang dinamis antara spritualisme pasif-apolitis
dengan militansi dan radikalisme. Oleh karena itu, cakupan dan
kebangkitan yang luas itu, istilah dari revivalisme, Islamisme, dan
fundamentalisme, sering digunakan secara bergantian dalam literatur
pemikiran politik.
4. Revivalisme Islam
Konsep revivalisme Islam merupakan suatu gambaran dari
seorang pengamat Islam, tentang fenomena kebangkitan Islam
kontemporer. Konsep ini relevan, karena kemunculan gerakan
dakwah kampus diasumsikan sebagai bagian dari gelombang
kebangkitan Islam, yang ditransmisikan dari Timur Tengah.
R. Hair Dekmejian menggunakan tema revivalisme Islam
(Islamic Revivalism) untuk menunjuk fenomena munculnya gerakan
keagamaan Islam kontemporer. Sebuah gerakan yang sesungguhnya
tidak monolitik, tidak tunggal, dan bertingkat-tingkat. Menurutnya,
179
keragaman, dan gradasi-gradasi aktivitas kebangkitan Islam ini
tercermin dari kosakata Arab yang digunakan untuk mengambarkan
kebangkitan Islam, baik perorangan maupun kelompok. Mereka
ada yang menyebut dirinya sebagai Islamiyah atau ashliyah (orang
Islam yang asli). Mukminin atau mutadayyinin (orang beriman yang
shaleh). Mereka juga memakai kosakata yang berkonotasi ajaran
dan gerakan, seperti Al-Ba’at Al-Islamy (kebangkitan kembali
Islam), asy-syahwah al-Islamiyah (kebangkitan Islam), Ihya adDin (menghidupkan agama), dan al-Ushulliyyah al-Islam yah
(Fundamentalisme Islam). Kosakata ini dipakai dalam pengertian
“usaha mencari keyakinan-keyakinan yang fundamental, dasardasar komunitas dan pemerintahan Islam dan dasar-dasar hukum
syari’at. 239
Kebangkitan Islam sebagaimana menggambarkan tingginya
kesadaran umat Islam dikalangan umat Islam. Bentuk lain Islam
yang merakyat ini, ditunjukkan dengan menyebarnya masyarakat
yang dipenuhi kebajikan dan persaudaraan sufi, serta ketaatan
yang mencolok untuk mempraktekkan ajaran-ajaran Islam. Pada
umumnya, kecedrungan ini ditandai pasivitas politik, kecuali ada
dorongan dari pemerintah atau pihak musuh dari luar.
Akan tetapi, dalam lingkungan kebangkitan Islam ini, yang
secara umum berbentuk terdapat serangkaian aktivisme keagamaan
yang melibatkan kelompok-kelompok Islam militan. Kelompok
militan ini memiliki kesadaran politik yang sangat tinggi, berlawanan
dengan negara dan unsur-unsur penguasa serta lembaga-lembaganya.
Antara pendukung gerakan kebangkitan Islam yang lebih luas, dengan
kelompok militan ini terjadi hubungan simbiotik, dimana kelompok
militan akan mudah melakukan rekrutmen anggota-anggota baru,
dan mudah pula bersembunyi dibalik gerakan kebangkitan Islam,
ketika berkonfrontasi dengan penguasa. Oleh karena itu, tidak heran
jika gerakan kebangkitan Islam dianggap sebagai suatu rangkaian
kesatuan yang dinamis antara spritualisme pasif-apolitis dengan
239 Shireen T.Hunter, Politik Kebangkitan Islam: Keragaman dan Kesatuan,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm 3
180
militansi dan radikalisme. Oleh karena itu, cakupan dan kebangkitan
yang luas itu, istilah revivalisme, Islamisme, dan fundamentalisme
sering digunakan secara bergantian dalam literatur keilmuan.
Hasil dan Pembahasan
Menguatnya konservatisme Islam di Sumatera Barat,
dilatar belakangi oleh beberapa hal, pertama, elit konsevatis
dalam merumuskan kebijakan berdasarkan syari’ah di Sumatera
Barat. Secara umum mengatur tiga aspek kehidupan publik: (1)
pemberantasan kejahatan sosial, terutama prostitusi dan perjudian
(PEKAT); (2) penghormatan pada ibadah wajib umat Islam
seperti membaca Al-Qu’ran, tentang wajib Berbusana muslimah,
Wajib Baca Al-Qur’an untuk Siswa dan Pengantin; (3) Tentang
Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh. Kedua, sikap politik ormas
Islamis dalam menolak merespon modernisasi, dan juga isu-isu yang
berkaitan dengan kebebasan beragama, Seperti: Tolak Pembangunan
Rumah Sakit Siloam atau LIPPO Group, dengan mengedepankan
isu agama, yaitu kristenisasi di Kota Padang (2013-2016); Tutup
Pembakaran Mayat (krematorium) di Perkempungan Warga Etnis
Tionghoa di Kota Padang (2017); dan lain sebagainya.
Perda Syari’ah dan Elit Konservatif
Sebagai salah satu daerah yang menerapkan kebijakan
bernuansa syari’ah, kebijakan perda syari’ah juga menuai pro dan
kontra di tengah-tengah masyarakat. Sebagai sebuah kebijakan publik,
setiap formulasi kebijakan dalam mengatur kepentingan umum,
tidak dapat dilepaskan dari proses politik yang melatar-belakangi
sebuah kebijakan diimplementasikan. Kebijakan berdasarkan
syari’at semakin meningkat di tingkat local, seiring dengan
banyaknya daerah-daerah lainnya yang menerapkan kebijakan perda
syari’ah.240 Sesungguhnya kebijakan-kebijakan berdasarkan syariah
240 Delmus Puneri Salim, The Transnational and the Local in the Politics of
Islam, the Case of West Sumatera, Indonesia (Springe, 15), hlm 7.
181
dalam otonomi daerah sendiri menjadi ambigu, dimana di satu
sisi peraturan yang berdasarkan syariah sendiri diundangkan demi
memperbaiki akhlak dan moralitas, sementara disisi lainnya perda
syariah juga dipandang tidak perlu, karena sudah diatur dalam perda
konvensional. Pihak yang keberatan terhadap kebijakan berdasarkan
syari’ah tidak hanya muncul dari kalangan non muslim, melainkan
juga sebagian kecil kelompok elit muslim. Sikap dalam memandang
kebijakan syari’ah di intenal elit muslim juga berbeda antara yang
satu dengan yang lainnya.
Elit konservatis memiliki peran yang sangat penting dalam
menerapkan kebijakan berdasarkan syari’ah di Sumatera Barat. Elit
konservatis tidak hanya mereka yang berasal dari internal pemerintah
atau elit pemerintah, yaitu eksekutif dan legislatif, akan tetapi juga
didukung oleh elit diluar pemerintahan, misalnya orang yang berasal
dari kalangan akademisi, yang menjadi tim ahli pemerintah kota
dalam merumuskan serta memberikan pandangan-pandangan terkait
penerapan kebijakan berdasarkan syariah di Sumatera Barat.
Para elite di Kota Padang menginginkan nilai-nilai filosofi
ABS-SBK itu memiliki landasan hukum yang kuat dalam
penerapannya, agar kebijakan tersebut dapat dipatuhi oleh
masyarakat. Pada konteks ini, terjadi semacam peleburan beberapa
ormas Islam dalam hal penerapan syariat Islam. Mereka saling
memperkuat posisi dalam memperjuangkan pemberlakuan syariat
Islam. Di samping itu, antara satu pengurus dan pengurus yang lain
sering melebur dengan organisasi Islam lainnya. Tujuannya, agar
mereka juga bisa memengaruhi semua organisasi yang ada, untuk
berjuang menegakkan syariat Islam, sekaligus mereka tidak mudah
terdeteksi. Contohnya, Irfianda Abidin, di samping menjadi ketua di
KPSI Sumatera Barat, dia juga menjadi pengurus di Majelis Tinggi
Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM), Paga Nagari
Sumatera Barat, dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Pusat.
Semua organisasi ini dapat digunakan untuk menyuarakan penerapan
syariat Islam di Sumatera Barat. Dalam beberapa pertemuan,
mereka saling menunjukkan kerja keras dalam merealisasikan
agenda ini. Penerapan syariat Islam yang diperjuangkan oleh HT,
Salafi, FPI, dan KPSI, merujuk pada apa yang pernah dilakukan
182
oleh Nabi, sesuai dengan jamannya. Sementara keinginan kelompok
ini, menjadikan kondisi sekarang sama seperti jaman Nabi. Tentu
hal tersebut merupakan sesuatu yang sulit direalisasikan. Tetapi
secara substansi tanpa menformalisasikan, nampaknya akan mudah
mendapat dukungan yang kuat.241
Selain itu, dalam upaya merumuskan kebijakan dan
memperkuat argumentasi dalam munculnya kebijakan berdasarkan
syariah, melibatkan MUI sebagai tim ahli dalam perumusan
kebijakan berdasarkan syariah ini. Mereka juga digunakan sebagai
sarana pembentukan opini publik untuk menghimbau masyarakat,
bahwa kebijakan berdasarkan syariah tersebut perlu diterapkan. Elit
konservatif juga memiliki kepentingan politik dalam melanggengkan
kekuasaannya dengan menerapkan kebijakan berdasarkan syari’ah.
Kebijakan berdasarkan syariah ini tentu akan berdampak
secara luas kepada masyarakat, sebagai salah satu solusi untuk
mengatasi lunturnya nilai-nilai ABS-SBK di Sumatera Barat.
Dari kacamata kepentingan politik, dapat juga diartikan bahwa
kebijakan berdasarkan syariah Islam, pada umumnya, ditujukan
untuk kepentingan politik jangka pendek para elite di masingmasing wilayah, yaitu agar terpilih lagi pada Pilkada berikutnya.
Kebijakan berdasarkan syariah seringkali digunakan sebagai alat
untuk kepentingan pencitraan elite politik yang sedang berkuasa,
dan untuk mempertahankan tingkat kepercayaan publik terhadap
penguasa eksekutif dan lembaga legislatif di suatu wilayah. Selain
itu, kebijakan berbasis syariat Islam juga menjadi semacam modal
awal investasi politik untuk meraih simpati pemilih muslim dalam
Pilkada, apalagi daerah tersebut mayoritas dihuni oleh masyarakat
yang beragama Islam, yang tentunya sangat menyukai kebijakankebijakan berbasis agama.242
241 Zainal, Gerakan Islamis di Sumatera Barat Pasca Orde Baru, MIQOT Vol.
XXXVIII No.2 Juli-Desember 2014.
242 Heru Permana Putra, Kepentingan Elit Politik dalam Kebijakan
Berdasarkan Syari’ah di Kota Padang, Tesis, Magister Ilmu Politik
Universitas Indonesia, tidak diterbitkan.
183
Elit konservatis dalam menerapkan kebijakan berdasarkan
syari’ah juga didukung oleh partai politik yang terdapat di legislatif.
Karena dengan dukungan elit politik dan partai politik, kebijakan
syari’ah bisa diformulasikan dalam bentuk peraturan perundangundangan. Kebijakan berdasarkan syari’ah merupakan bagian dari
inisiasi elit konservatif supaya tidak terjerembab dalam kehidupan
sekuleris.
Konservatisme Ormas di Sumatera
Selain konservatisme Islam dalam konteks regulasi kebijakan
berdasarkan syari’at, konservatisme juga menguat dalam bentuk
ormas-ormas Islami dalam menyikapi isu-isu pembangunan di
Sumatera Barat.
Konservatisme ormas ini misalnya dalam bentuk penolakan
yang dilakukan oleh sejumlah ormas Islam terhadap pembangungan
Rumah Sakit Siloam di Kota Padang dengan alasan kristenisasi.
Secara umum, alasan penolakan ormas Islam dalam menolak
pembangunan Superblock Siloam di Kota Padang, pertama, tidak
adanya koordinasi antara pemerintah Kota Padang dengan DPRD
Kota Padang terkait investasi Lippo Group di Kota Padang. Padahal
DPRD adalah wakil dari masyarakat Kota Padang, DPRD Kota
Padang seperti tidak dianggap oleh Pemkot Padang.
Kedua, belum adanya studi kelayakan dan izin Analisis
Dampak Lingkungan (AMDAL) Superblock milik Lippo Group dari
institusi yang berwenang. Ketiga, karena James T. Riadi (CEO/Chief
Executive Officer) Lippo Group adalah penerus keluarga Muchtar
Riadi, yang merupakan pendeta internasional yang berguru kepada
Pat Robertson, yang dikenal sebagai misionaris internasional, dan
sempat mencela umat Islam pada tahun 2006.
Keempat, terkait dengan nama Siloam yang diambil dari kitab
Nasrani yang berarti air suci, ada juga yang mengartikan Siloam yang
di utus oleh Tuhan masyarakat Nasrani. Hal ini merupakan simbolsimbol agama Nasrani. Jika diperhatikan, logo Lippo Group ada ular
yang melingkari tiang dan ada merpati yang siap menerkam. Maksud
184
dari logo tersebut dalam kitab suci Nasrani, ular adalah kecerdikan
dan merpati lambang ketulusan. Superblock Siloam dikhawatirkan
dapat menggerus nilai-nilai Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah di Ranah Minang.
Kelima, alasan aqidah yaitu: pembangunan rumah sakit Siolam
merupakan ajang Kristenisasi. Karena misi Kristenisasi berdampak
pada tiga modus: pelayanan publik dan bantuan rescue, pendidikan
dan penyebaran kependudukan melalui pengusaha yang bergerak di
bidang properti.
Keenam, alasan ekonomi di mana Kota Padang tidak
membutuhkan investasi dalam bentuk mall, rumah sakit, hotel dan
sekolah Kristen. Apalagi dengan datangnya rumah sakit Siloam,
yang merupakan rumah sakit besar di Indonesia, tentunya akan
melumpuhkan rumah sakit lokal secara perlahan-lahan. Demikian
juga dengan jumlah fasilitas sekolah kristen di kota Padang, sudah
lebih dari cukup.
Ketujuh, alasan hukum karena Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) tidak ada, dan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) tidak dipedulikan, karena kawasan Khatib Sulaiman
(tempat pembangunan rumah sakit Siloam) diperuntukkan sebagai
tempat perkantoran Dinas Provinsi Sumatera Barat. Ketujuh alasan
sosial-budaya yang bertolak-belakang dengan “Adat Basandi Syarak,
Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai,” dan
akan membuat kondisi sosial di Kota Padang menjadi tidak stabil.
Padahal, penolakan ormas keagamaan dalam menolak
pembangunan di Kota Padang menyimpulkan beberapa kesimpulan,
pertama, penolakan pembangunan RS Siloam yang dilakukan oleh
ormas keagamaan dengan alasan kristenisasi sukar untuk dibuktikan.
Ormas Islam mengedepankan isu-isu kristenisasi dalam menolak
pembangunan RS Siloam, terkesan lebih banyak mengedepan
politisasi agama dalam merespon pembangunan RS Siloam di Kota
Padang
Kedua, penolakan ormas Islam dalam pembangunan RS
Siloam di Kota Padang dengan alasan tidak memenuhi adminsitrasi
185
AMDAl dan tata ruang perkotaan, sebagaimana yang terdapat di
Jalan Khatib Sulaiman sebagai kawasan perkantoran, bukan kawasan
bisnis, ternyata semua adminstrasi sudah dilengkapi oleh RS Siloam.
Hal ini terbutkti dengan peletakan batu pertama yang dihadiri oleh
sejumlah tokoh pemerintahan daerah dan provinsi dan nasional.
Selain itu, saat ini tengah dibangun juga pusat perbelanjaan yaitu
Carrefour juga yang terdapat di Jalan Khatib Sulaiman, yang sejajar
dengan pembangunan RS Siloam, namun tidak menuai penolakan
oleh masyarakat.
Ketiga kalau memang isu kristenisasi yang dikedepakan, pihak
RS Siloam juga sudah bersedia mengganti RS Siloam dengan RS
International Hospistal, dan juga tidak adanya diskriminasi terhadap
karyawan yang menginginkan untuk menggunakan jilbab, dan selain
itu, mereka juga besedia untuk membangun mushallah disetiap
lantai, untuk keperluan umat Islam yang ingin melaksanakan ibadah.
Keempat, terdapat banyak kepentingan dalam menolak
pembangunan RS Siloam di Kota Padang, mulai dari pebisnis lokal
dan juga Rumah sakit lain yang terdapat di Kota Padang, sehingga
pembangunan RS Siloam belum mendesak untuk dilakukan.
Kasus penolakan terhadap pembangunan Rumah Sakit Siloam
yang disebutkan di atas merupakan salah satu potret dari menguatnya
arus konservatisme Ormas di Ranah Minang.
186
Daftar Pustaka
Assyaukanie, Luthfi. Ideologi Islam dan Utopia, (Jakarta: Freedom
Institute, 2011)
Effendy, Bachtiar. Islam dan negara: Transformasi Gagasan dan
Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Yayasan Abad
Democrasi)
Hunter, Shireen T. Politik Kebangkitan Islam: Keragaman dan
Kesatuan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001)
Huntington, Samuel P. Gelombang Demokratisasi Ketiga (Jakarta:
Pustaka Utama Graviti, 2001),
Hasan, Noorhaidi. Laskar Jihad: Islam, Militansi dan Pencarian
Identitas di Indonesia Pasca Orde Baru, (LP3ES Jakrta &
KITLV-Jakarta, 2008)
--------------------- Islam Politik di Dunia Kontemporer, Konsep,
Genealogi, dan Teori, (Yogyakarta: Suka Press-UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2012)
Latif, Yudi. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi
Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, (Bandung: Mizan,
2005)
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Politik di Indonesia Pada Masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Press, 1988)
Means, Gordon P. Political Islam in Southeast Asia, (United State
of America in 2009 by Lunne Rienner Piblishes, Inc)
Nashir, Haedar. Gerakan Islam Syariat Reproduksi Salafiyah
Ideologis di Indonesia. (Jakarta: PSAP. 2007)
Rahmat, M. Imdadun. Ideologi Politik PKS dari Masjid Kampus ke
187
Gedung Parlemen, (Yogyakarta: LKIS, 2008)
-------------------- Arus Baru Islam Radikal: Transimisi Revivalisme
Islam Timur Tengah ke Indonesia, (Jakarta: Penerbit Elangga,
2007)
Syamsa, Fata Badrus (ed.). Agama dan Kontestasi Ruang Publik
(Jakarta: The Wahid Institute)
Sukmana, Oman. Konsep dan Teori Gerakan Sosial, (Malang:
Intrans Publishing Malang, 2006),
Tibi, Bassam. Islam dan Islamisme, (Bandung: Mizan, 2016)
Wiktorowicz, Quintan (ed.). Aktivisme Islam: Pendekatan Teori
Gerakan Sosial, (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi)
Zada, Khamami. dan Arafah, Arif R. Diskursus Politik Islam
(Jakarta: LSIP, 2004)
188
PEMENUHAN HAK SIPIL DAN POLITIK
BAGI PENGHAYAT KEPERCAYAAN
Destara Sati
Gagasan negara-bangsa (nation-state) yang dikemukakan
para pendiri bangsa Indonesia bukanlah konsep negara-bangsa
yang semata-mata mendasarkan diri pada persamaan ras, bahasa,
dan agama. negara-bangsa adalah gagasan tentang negara yang
didirikan untuk seluruh bangsa, berdasarkan kesepakatan bersama,
yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum.243 Clifford
Geertz244 mengatakan bahwa negara-negara kebangsaan (nationstate) yang baru biasanya dihadapkan pada dilema antara integrasi
dan demokrasi karena negara kebangsaan membutuhkan keduanya
(integrasi dan demokrasi) sekaligus, padahal watak keduanya
bertentangan.Demokrasi berwatak membuka keran kebebasan
agar semua aspirasi tersalur, sedangkan integrasi berwatak ingin
membelenggu persatuan dan kesatuan kokoh.
243 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, diterbitkan
oleh: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
Jakarta, 2008, hal. 811.
244 Clifford Geertz, “The Integrative Revolution, Primordial Sentiments and
Civil Politics in The New States” dalam Jason L. Finkle dan Richard W.
Gable, Political Developement and Social Change,” John & Sons Inc. 2nd
edition, 1971, sebagaimana dikutip dari Moh. Mahfud MD, Konstitusi Dan
Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Press, Jakarta, 2009, hal. 34-35.
189
Demokrasi dibutuhkan karena negara kebangsaan dibangun
dari berbagai ikatan primordial245 yang semua aspirasinya harus
diagrerasi secara demokratis, sedangkan integrasi mutlak juga
dibutuhkan karena tanpa integrasi negara bisa hancur.Tegasnya
dilema itu muncul karena jika demokrasi dibuka maka integrasi
bisa terancam karena ketegangan antarikatan primordial, tetapi jika
integrasi harus ditegakkan maka demokrasi relatif harus dikorbankan
karena harus ada sentralisasi dan penguatan negara.Dengan demikian,
negara kebangsaan dituntut untuk mengelola baik dan hati-hati agar
demokrasi dan integrasi bisa berjalan tanpa saling meniadakan.246
Nation-state, seperti dikemukakan oleh Giddens247, merupakan
seperangkat bentuk institusional pemerintahan yang mempertahankan
satu monopoli administratif terhadap suatu wilayah dengan batasbatas tertentu dimana kekuasaannya dijalankan melalui hukum serta
kontrol langsung atas sarana-sarana kekuasaan internal maupun
eksternal.Organisasi negara diperlukan oleh warga masyarakat
politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau
dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme
yang disebut negara.248Kesepakatan bersama atau persetujuan
(consensus) diantara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang
245 Ikatan primordial yang dikuatkan secara integrasi ke dalam satu bangsa
terdiri dari agama, suku, ras, daerah, dan bahasa.Ikatan primordial di
Indonesia biasa dikenal SARA singkatan dari suku, agama, ras, dan
antargolongan.
246 Ibid., hal. 35.
247 Anthony Giddens, Power, Property, adn the State, Vol. 1 Contemporary
Critique of Historical Materialism, Barkeley dan Los Aangeles, University
of California Press, 1981, hal. 190, sebagaimana dikutip dari Moh. Mahfud
MD, Konstitusi Dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Press,
Jakarta, 2009, hal. 35-36.
248 William G. Andrews, dalam bukunya Constitutions and Constitusionalism,
3rd edition, 196,) menyatakan: “ The members of political community
have, but definition, common interest which they seek to promote through
creation and use of the cumpolsory political mechanism we call the State”,
Van Nostrand Company New Jersey, hal. 9, sebagaimana dikutip dari Jimly
Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Konpress, 2005,
hal. 21.
190
diidealkan berkenaan dengan negara merupakan basis pokok
dari konstitusionalisme negara modern. Kesepakatan bersama
atau consensus menjamin tegaknya konstitusionalisme di jaman
modern yang pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen
kesepakatan (consensus), yaitu249:
1.
Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general
goals of society or general acceptance of the same philosophy
of government).
2.
Kesepakatan tentang “the rule of law” sebagai landasan
pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of
government).
3.
Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedurprosedur ketatanegaraan (the form of institutions and
procedures).
Kesepakatan/konsensus pertama, yaitu berkenaan dengan
cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konstitusi dan
konstitusionalisme di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah
yang pada puncak abstraksinya paling mungkin mencerminkan
kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat
yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme.
Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis pemerintahan
didasarkan aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan/konsensus
kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap negara harus
ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam
konteks penyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas “the rule
of the game”.
Hukum dipandang sebagai kesatuan sistem yang pada
puncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar yang tidak
lain adalah konstitusi. Sementara kesepakatan ketiga berkenaan
dengan: (a) bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang
249 Ibid., hal. 21
191
mengatur kekuasaannya, (b) hubungan antar organ-organ negara
itu satu dengan yang lain, dan (c) mengatur hubungan antara organorgan negara itu dengan warga negara.250
Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling
berkaitan satu sama lain, yaitu: Pertama, hubungan antara
pemerintahan dengan warga negara; dan Kedua, hubungan antara
lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan
yang lain. Karena itu biasanya, isi konstitusi dimaksudkan untuk
mengatur mengenai tiga hal penting, yaitu: (a) menentukan
pembatasan kekuasaan organ-organ negara, (b) mengatur hubungan
antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain, dan
(c) mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga dengan
warga negara.251Dengan demikian, salah satu materi penting dan
selalu ada dalam konstitusi adalah pengaturan mengenai hubungan
kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara.
Dalam suatu negara hukum, mengharuskan adanya pengakuan
normatif dan empirik terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu
bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman
tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud
dalam pembentukan norma hukum secara hierarkis yang berpuncak
pada supremasi konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam
perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan diri pada
aturan hukum.252
Dalam pendekatan “producer’s perspective”, semua pihak
baik orang maupun institusi pembuat atau yang menetapkan hukum,
dipandang sebagai produsen.Mereka ini biasanya dalam posisi
yang dominan karena dapat menentukan sesuatu yang berlaku dan
mengikat untuk umum. Karena keputusan mereka, semua warga
negara, warga masyarakat, ataupun warga sesuatu organisasi yang
menjadi subjek hukum - suka atau tidak suka - dipaksa untuk tunduk
dan taat kepada norma aturan yang diberlakukan itu. Karena itu,
250 Ibid., hal. 21-23
251 Ibid.,hal. 23-24
252 Ibid., hal. 324
192
institusi-institusi ataupun jabatan-jabatan dalam struktur organisasi
kemasyarakatan ataupun kenegaraan itu, dapat disebut sebagai
produsen peraturan.Sedangkan para subjek hukum yang terpaksa
harus menerima kenyataan diikat dan harus tunduk kepada normanorma aturan yang ditetapkan oleh pejabat atau institusi yang diberi
wewenang itu kita sebut sebagai konsumen peraturan.253
Jika melihat persoalan penegakan hukum hanya dari sudut
pandang produsen, pemahaman mengenai penegakan hukum
bersifat sempit, yaitu hanya dalam arti penegakan peraturan.Makin
tegas upaya penegakan hukum itu dilaksanakan, makin cenderung
terjadinya ketidakadilan.Sebaliknya, jika memahami persoalan
pembangunan dan penegakan hukum dari sudut pandang konsumen,
maka yang cenderung ditonjolkan adalah soal perasaan ketidakdilan
yang telah dialami atau mungkin dialami oleh korban atau oleh
masyarakat umum yang merupkan pihak konsumen peraturan yang
diberlakukan.Makin mendalam perasaan ketidakadilan itu dialami,
makin kuat pula upaya untuk memperjuangkan ide-ide yang
pada umumnya didasarkan atas sikap perlawanan terhadap pihak
produsen.Agar pandangan mengenai pembangunan dan penegakan
hukum itu integral, maka sudut pandang haruslah komprehensif,
yaitu dengan melengkapi pemahaman dengan menggunakan
perspektif produsen dan juga konsumen.254
Hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip
demokrasi.Prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip-prinsip
kedaulatan rakyat dijalankan beriringan sebagai dua sisi mata
uang.Paham negara hukum yang demikian dikenal sebagai negara
hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat).Hukum
tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan
tangan besi berdasarkan kekuasaan semata.Sebaliknya, demokrasi
memerlukan instrumen hukum untuk mencegah munculnya
mabokrasi (bentuk pemerosotan dari demokrasi) yang mengancam
253 Ibid., hal. 118
254 Ibid., hal. 119.
193
pelaksanaan demokrasi itu sendiri.255
Menurut Prof. JimlyAsshiddiqie, dua hal yang memengaruhi
perkembangan gagasan negara hukum demokratis adalah mengenai
pembatasan kewenangan dan hak asasi manusia. Persoalan hakhak asasi adalah persoalan yang timbul sebagai akibat terjadinya
ketegangan antara yang berkuasa dengan yang dikuasai, antara yang
memerintah (the ruler, the governor) dan yang diperintah (the ruled,
the governed).256
Di Indonesia, perdebatan pengaturan HAM dalam peraturan
perundang-undangan berlangsung sejak berdirinya negara.257
Perdebatan ini dimulai sejak pembuatan naskah UUD 1945.
Perdebatan yang terjadi bertitik pangkal pada apakah negara
harus mengatur HAM atau tidak. Menurut Soekarno, Indonesia
harus dibangun sebagai negara kekeluargaan. Pendapat Soekarno
ini didukung oleh Soepomo yang juga berpendapat tidak perlu
memasukkan pengaturan mengenai HAM dalam Undang-Undang
Dasar. Soepomo dengan sadar membenturkan paham kekeluargaan
dan hak-hak warga negara yang disebut Soekarno sebagai paham
liberal dan individual. Akibatnya, dengan sendirinya hak-hak
tersebut termasuk ke dalam ranah individualisme dan liberalisme.
Namun pandangan dan pendapat Soekarno serta Soepomo
ini ditentang oleh Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin yang
menginginkan agar hak-hak asasi manusia diatur dalam UUD.
Kekhawatiran Hatta adalah bahwa tidak adanya jaminan atas hak
tersebut dalam UUD akan menjadikan negara yang baru dibentuk
menjadi negara kekuasaan. Pendapat Hatta ini diperkuat oleh
255 Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum.., op. cit.,hal.690.
256 Ibid., hal. 590.
257 Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD
1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil
Pembahasan, 1999-2002, Buku VIII Warga Negara dan Penduduk, Hak
Asasi Manusia, dan Agama, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, cetakan pertama, 2008, hal. 22-24.
194
Muhammad Yamin yang menginginkan warga negara mendapatkan
hak, dan hak tersebut dilindungi. Akhirnya perdebatan para founding
parents menghasilkan kompromi, sehingga dimasukkan beberapa
ketentuan hak asasi manusia dalam UUD 1945.
Hak Asasi Manusia tidaklah dapat tegak dengan sendirinya.
Tegak tidaknya hak asasi manusia akan selalu terkait dengan peran
dan kualitas kehidupan kenegaraan. Tentang perlunya negara-negara
menjamin hak asasi manusia terdapat dalam Preambule Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia pada tanggal 10 Desember 1948.
Dalam alinea ketiga preambule tersebut tercantum kalimat penting:
“Whereas it is essential, if man is not to be compelled to have recourse,
as a last resort, to rebellion against tyranny and oppression, that
human rights should be protected by the rule of law.”258 Artinya:
“Bahwa jika kita tidak ingin memaksa orang untuk memberontak
sebagai upaya terakhir untuk menentang tirani dan penindasan,
sungguh teramat penting untuk menjamin hak asasi manusia melalui
tegaknya hukum.”
Paham hak asasi manusia lahir pada jaman dimana strukturstruktur sosial, ekonomi, dan politik tradisional atau feodal mulai
diganti dengan struktur-struktur masyarakat industri yang terutama
ditentukan oleh rasionalisasi di bidang ekonomi. Kebutuhan akan
pengakuan hak asasi manusia dengan jelas sekali muncul pada
waktu hukum keuntungan ekonomis mau menjadi diktator pola
kehidupan bersama manusia. Terhadap keganasan kekuatankekuatan ekonomis itu, dan kemudian terhadap kecenderungan
negara yang semakin totaliter, manusia individual –yang secara
tradisional dilindungi oleh kelompoknya- dirasa perlu dilindungi.
Perlindungan itu tercapai di tingkat normatif dengan pengakuan
terhadap hak-hak asasi manusia.259Dengan kata lain, meskipun
struktur-struktur sosial tradisional pernah sanggup untuk menjamin
manusia dalam martabatnya tanpa adanya sarana hukum seperti hak
258 The Universal Declaration of Human Rights, 1948.
259 Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, PT. Gramedia, Jakarta, 1987, hal. 140.
195
asasi manusia, namun semakin struktur itu digeser oleh yang bersifat
“modern”, semakin pula masyarakat di dalam struktur tradisional ini
tidak terlindungi lagi, kecuali hak-haknya sebagai manusia diakui
secara tegas.260
Indonesia adalah negara yang sangat majemuk dengan ratusan
lingkungan etnis.Wilayah-wilayah di Indonesia tidak mengalami
perkembangan yang sama.Dalam keadaan yang demikian,
diperlukan kehati-hatian yang luar biasa pada aparatur negara agar
mampu mendudukan diri di atas konfigurasi masyarakat Indonesia
yang demikian majemuk.Sebab hukum yang dibuat dengan mind-set
modern tanpa mempedulikan dan mengantisipasi efeknya di tingkat
lokal, bisa melahirkan produk hukum yang bersifat kriminogenik
(Tanya, 2000).261Posisi hukum adat terhadap hukum negara berbeda
dari posisinya berhadapan dengan hukum kolonial.262Hukum
kolonial tidak merasa hukum adat bagian dari tubuhnya.Konfigurasi
sekarang sudah berubah sekali.Hukum adat adalah bagian organik
dari hukum negara.Maka jika rusak hukum adat, rusak pulalah
sebagian dari tubuh negara itu.Hukum negara sangat berkepentingan
untuk menjaga dan memelihara hukum adat.Tetapi para ahli hukum
kita bertindak terlalu normatif tanpa kesadaran anthropologis dan
sosiologis yang cukup.
Pertama-tama263, agar pemerintahan negara lebih dulu
melakukan reposisi mengenai kedudukan mereka berhadapan dengan
hukum adat.Indonesia mempunyai pengalaman sejarah kolonial
dan sekarang sudah menjadi negara merdeka. Apabila pemerintah
kolonial mengatur, maka ia akan mengiris ke dalam daging orang
lain. Hal ini tentu tidak akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia
terhadap bangsanya sendiri. Setiap kali mengiris, ia akan mengiris ke
260 Ibid., hal. 142.
261 Satjipto Rahardjo, Hukum Adat Dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dalam Masyarakat Hukum Adat: Inventarisasi Dan Perlindungan
Hak, Jakarta, Komnas HAM, MK RI, Departemen Dalam Negeri RI, 2005,
hal. 46.
262 Ibid., hal. 47.
263 Ibid., hal. 51-52.
196
dalam daging sendiri. Sindrom pemerintah kolonial dan memerintah
secara kolonial hendaknya dijadikan sebagai bahan refleksi, yaitu
merenungkan kembali tentang apa yang sebaiknya dilakukan oleh
suatu pemerintahan negara merdeka.
Kedua, menyadari bahwa masyarakat lokal dan hukum adat
adalah bagian dari tubuh negara dan merupakan darah daging
negara sendiri.Maka posisi negara disarankan tidak antagonis tetapi
protagonis pada saat dihadapkan kepada masyarakat lokal dengan
sekalian hukumnya.Ketiga, memang pemerintahan negara memiliki
hak istimewa untuk mengatur dan mencampuri masyarakat.
Dalam konteks sosio-anthropologis Indonesia, hak tersebut
sebaiknya ditundukan kepada semangat turut merasakan (emphaty),
memedulikan (concern) serta menjaga (care) terhadap bagaimana
masyarakat menerima hukum adat mereka dan hukum lokal mereka.
Memerintah negara dan bangsa yang begini majemuk tidak bisa
hanya dengan otak, tetapi lebih dengan hati nurani.
Keempat, sebaiknya pengetahuan kita tentang hukum adat
diperkaya dengan hukum lokal, sebagai suatu tipe tersendiri (distinct).
Hukum adat sudah memperoleh pemahaman yang lebih seksama,
sejak ia sudah berusia ratusan tahun. Hukum adat adalah hukum
yang beranyaman erat dengan adat, nilai-nilai setempat, dan agama.
Kelima, para penjaga dan perawat hukum Indonesia hendaknya
bisa memperbaiki kesalahan yang dilakukan di masa lalu, yaitu
telah “membiarkan hukum adat dimakan oleh hukum negara”(baca:
hukum modern). Di berbagai tempat, hukum adat telah menunjukan
kemampuan untuk menjadi pengorganisir masyarakatnya secara
baik, kendati Indonesia menggunakan hukum modern untuk seluruh
wilayahnya.Hukum tidak hanya bisa melihat ke dalam dirinya sendiri
dan berpatokan pada “rules of logic”264. negara hukum tidak hanya
membutuhkan praksis yang didasarkan pada “the logic of law”,
melainkan juga pada “social reasonableness”. “The development of
the law gradually works out what is socially reasonable” (Renner,
1969).
264 Ibid., hal. 55.
197
Politics of recognition, bagaimana sebuah kebijakan politik
mengelola kemajemukan dalam sebuah negara.Identitas agama,
etnis atau sentimen primordial lainnya biasanya lebih memiliki
acuan kultural. Menempatkan sentimen kebangsaan menjadi
subordinat dari kepentingan politik nasional, menghasilkan retakan
perlawanan atas nama kebangsaan itu sendiri. Dalam berbagai
pengalaman berbagai negara, diskursus tentang konsensus nasional
dan kepentingan nasional kerap harus diwarnai dengan debat
berkepanjangan, kecuali jalan pintas yang sering dilakukan oleh
rezim otoriter melalui dominasi dan hegemoni untuk mendapatkan
legitimasi dari rakyat. Konsensus nasional dan hakekat kepentingan
nasional merupakan serial diskursus yang direproduksi oleh nationstate secara top down.265
Isu Etnisitas, kebangsaan, ketegangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, memiliki kaitan erat dengan sumber
daya ekonomi dan kekuasaan politik. Dalam proses pembangunan
nasional, diversitas
kultural diasumsikan sebagai patologi
modernisasi. Para penganjur teori modernisasi, menggarisbawahi
anasir-anasir budaya yang terdapat dalam masyarakat sebagai
antithesis dari modernisasi.Diversitas kultural yang mendasarkan
pada kolektivitas ini dipandang sebagai anomali, maka harus diretas
dan diubah menjadi mental modern.
Bertolak dari kebutuhan untuk memuluskan ide-ide
modernisasi ini, beberapa kajian politik di beberapa negara harus
mengorbankan akar-akar budaya, ikatan Etnisitas, kebangsaan
dan agama yang dianggap tidak mendukung semangat pencerahan
modernitas.266Paradigma semacam inilah yang kemudian mendorong
lahirnya kebijakan politik pembauran nasional. Melalui kebijakan
ini diharapkan sentimen dan semangat kolektif atau segala atribut
politik identitas yang tidak bersepadan dengan negara diluruhkan,
setiap warga negara yang pada saat yang sama adalah warga sebuah
265 Hikmat Budiman, Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme Di Indonesia,
Jakarta, Yayasan Interseksi/ The Interseksi Foundation, 2005, hal. 32.
266 Ibid., hal. 34.
198
bangsa, dimana sentimen kebangsaan tidak boleh berada di luar
jangkar politik negara. Itulah dasar pijakan paling mendasar bagi
eksistensi negara-bangsa.267
Kewarganegaraan secara permanen dihadapkan kepada tiga
macam persoalan268, pertama, adalah subordinasi kewarganegaraan
kepada ikatan-ikatan primordial dari suku, Etnisitas, atau agama.
Kedua, subordinasi kewarganegaraan kepada kepentingankepentingan kekuasaan dari yang memerintah. Ketiga, subordinasi
kewarganegaraan kepada perintah dari kepentingan-kepentingan
ekonomis yang sering berpandangan pendek dan tidak bertanggung
jawab, seperti program-program “pembangunan ekonomi”, dan
sistem-sistem pengutamaan dan pengucilan terkait dengan kelas
sosial.Prinsip kewarganegaraan merujuk kepada kekuasaan hukum
yang menuntut agar semua kekuasaan tunduk kepada peraturanperaturan negara, dan di sisi lain juga mengutamakan “perspektif
sipil” yang menuntut agar pertanyaan-pertanyaan mengenai
legitimasi penggunaan kekuasaan dinilai, tidak dari segi pandangan
pihak yang memerintah, melainkan dinilai dari segi warga negara.
Prinsip kewarganegaraan menuntut adanya institusi-institusi untuk
berpartisipasi secara demokratis, serta prosedur-prosedur yang
memaksa suatu rezim yang memerintah untuk dapat dimintakan
pertanggungjawaban.269
Di dalam negara modern, identitas primordial telah
dikontraskan dengan identitas kewarganegaraan, yaitu identitas
yang dimiliki secara bersama oleh individu-individu sebagai warga
negara, berdasarkan keanggotaannya di dalam komunitas politik
atau negara.270 Padahal norma kewarganegaraan tidak menolak nilai
identitas primordial, justru sebaliknya, norma tersebut menuntut
267 Ibid., hal. 35.
268 A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum Dan Perkembangan
Sosial: Buku Teks Sosiologi Hukum: Buku III, Jakarta, Sinar Harapan,
1990, hal. 36-37.
269 Ibid., hal. 42.
270 Ibid., hal. 39.
199
agar identitas primordial dihormati. Kewarganegaraan juga tidak
tidak menolak legitimasi identitas primordial sebagai dasar untuk
menggalakkan aksi kelompok minoritas yang telah menderita karena
diskriminasi, dan yang ingin berjuang untuk mendapatkan hak-hak
kewarganegaraan yang sama.271
Perjuangan untuk mendapatkan hak-hak kewarganegaraan ini
dilakukan oleh sejumlah penghayat kepercayaan yang mengajukan
judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas Pasal 61 ayat (1) dan
ayat (2)juncto Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan.Judicial Review ini diajukan oleh Para Pemohon
yang berjumlah empat orang, yakni Nggay Mehang Tana (penganut
kepercayaan dari Komunitas Marapu di Sumba Timur, Pulau Sumba),
Pagar Demanra Sirait (penganut kepercayaan Parmalim di Sumatera
Utara), Arnol Purba (penganut kepercayaan Ugamo Bangsa Batak di
Medan, Sumatera Utara), dan Carlim (penganut kepercayaan Sapto
Darmo, yang terutama berkembang di Jawa).
Para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 61 ayat (1)
dan ayat (2) juncto Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU Administrasi
Kependudukan bertentangan dengan beberapa Pasal dalam UUD
1945. Pertama, Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa,
“Indonesia adalah negara Hukum.” Kedua, Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 yanng menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil,
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Ketiga, Pasal 27
ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan
wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.”
Para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 61 ayat (1)
dan ayat (2) juncto Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU Administrasi
271 Ibid., hal. 48.
200
Kependudukan bertentangan dengan hak bebas atas perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apapun yang dijamin dalam Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, ”Setiap orang berhak
bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun
dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
diskriminatif itu.” Pasal 1 angka 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia juga menyebutkan bahwa, “Diskriminasi adalah
setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung
maupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia
atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golonngan, status
sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik.
Yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan atau pengunaan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif
dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek
kehidupan lainnya.”
Jaminan bebas dari diskriminasi ini ditegaskan dalam Pasal 26
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (Kovenan ICCPR yang
diratifikasi pada Februari 2006) yang menyatakan bahwa, “Semua
orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan
hukum yang sama, tanpa diskriminasi apapun. Mengani ini, hukum
melarang segala diskriminasi dan menjamin kepada semua orang
akan perlindungan yang sama dan efektif terhadap diskriminasi atas
dasar apapun seperti kesukuan, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, pandangan politik dan lainnya, asal-usul kebangsaan atau
sosial, kekayaan, kelahiran, atau status lain.” Bahwa prinsip non
diskriminasi berdasarkan norma ICCPR mesti dipahami sebagai
larangan terhadap semua bentuk “distinction, exclusion, restriction,
or preference” dengan dasar apapun, seperti ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, aliran politik atau pendapat lainnya., warga
negara atau asal sosial, kepemilikan, kelahiran, dan status lainnya,
yang bertujuan atau berdampak pada pengakuan, penikmatan, atau
pemenuhan semua hak dan kebebasan manusia (General Comment
Human Rights Committe No. 18 Non-discrimination, 1989).
Adapun alasan pengajuan judicial review ini menurut Para
201
Pemohon adalah272 yang pertama yakni kebutuhan penganut
kepercayaan akan kepemilikan agama resmi. Hal ini berkaitan
dengan kepentingan dalam urusan kependudukan dan kebutuhan
mengakses bantuan sosial dan layanan publik. Kedua, pewartaan
yang sangat kencang dan sistematis dari agama-agama modern.
Dengan segala kedigdayaannya, seperti pengorganisasian, kapasitas
manusia, pendanaan agama-agama modern melakukan pewartaan
secara sistematis dan masif, sehingga penghayat kepercayaan kian
terdesak dan tertekan. Perpindahan agama diantara penganut agamaagama modern sangat kecil, kebanyakan karena alasan perkawinan.
Pertambahan pemeluk paling besar diperoleh agama-agam modern
dari penganut kepercayaan. Ketiga, perpindahan penghayat
kepercayaan ke agama-agama modern tidak sulit da nyaris tidak
menimbulkan tekanan sosial yang besar, jika dibandingkan bila hal
itu terjadi diantara agama-agama modern. Hal ini diperkuat oleh
kenyataan bahwa dengan menganut agama modern, penghayat
kepercayaan memiliki akses dan peluang lebih besar untuk maju dan
berkembang.
Adapun keberadaan Pasal 64 ayat (1) juncto ayat (5) UU
Administrasi Kependudukan yang mengosongkan kolom agama bagi
penghayat kepercayaan, dianggap telah merugikan hak konstitusional
Para Pemohon. Karena dengan tidak diisinya kolom agama di
KTP Elektronik, berimbas pada pelanggaran dalam pemenuhan
hak-hak kependudukan yang seharusnya bisa dinikmati oleh Para
Pemohon. Bahkan dengan tidak dicantumkannya aliran kepercayaan
di dalam KTP Elektronik Para Pemohon, telah terjadi diskriminasi
dalam berbagai bentuk. Dengan identitasnya sebagai penghayat
kepercayaan, perkawinan antara para penghayat kepercayaan yang
dilakukan secara adat tidak diakui negara sehingga tidak bisa
memiliki Akta Nikah dan Kartu Keluarga. Akibatnya pula, anak-anak
mereka sulit untuk mendapatkan Akta Kelahiran. Anak-anak mereka
juga kesulitan untuk mengakses pendidikan dan masuk sekolah
tingkat dasar, sebagian anak-anak ini dipaksa harus mengikuti mata
pelajaran pendidikan Agama Islam yang mana hal ini bertentangan
272 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/XIV/2016 hal. 6-7.
202
dengan keyakinan dan kepercayaannya.Permasalahan lain yang
dialami oleh para penganut kepercayaan adalah kesulitan untuk
memperoleh/melamar pekerjaan. Dalam beberapa kasus, penghayat
kepercayaan masih mengalami kesulitan dalam pendaftaran TNI/
PNS. Untuk mendapatkan KTP Elektronik dengan mudah, sebagian
penghayat kepercayaan meski berbohong menuliskan agama di luar
kepercayaannya pada KTP Elektronik.273
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada tanggal 18
Oktober 2017 memutuskan bahwa kata “agama” dalam Pasal
61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Administrasi
Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yakni
sepanjang tidak termasuk “kepercayaan”.274 Adapun untuk
mewujudkan tertib administrasi kependudukan, mengingat jumlah
penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak
dan beragam, maka pencantuman elemen data kependudukan tentang
agama bagi pengayat kepercayaan hanya dengan mencatatkan yang
bersangkutan sebagai “penghayat kepercayaan” tanpa merinci
kepercayaan yang dianut dalam KK maupun KTP Elektronik.275
Artinya, putusan ini telah menghapus tindakan diskriminatif bagi
penghayat kepercayaan sebagai warga negara yang setara dengan
penganut agama lain dalam mengakses pelayanan publik.
Konstitusi dalam negara modern yang plural, memuat nilainilai luhur yang bersifat universal. Itulah sebabnya tidak ada suatu
negara modern yang bhineka dan majemuk, yang konstitusinya
secara langsung, harfiah dan mentah-mentah merujuk pada kitab
suci agama tertentu, yang meskipun agama tersebut dianut oleh
sebagian besar rakyat dari negara yang bersangkutan. Pola ini secara
progresif telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW sebagai tokoh
utama dari pembentukan negara Madinah yang modern dan plural
dengan membentuk konsensusmelalui Piagam Madinah pada tahun
273 Ibid., hal. 8.
274 Ibid.,hal 154.
275 Ibid.,hal 153.
203
622 Masehi. Konstitusi negara Madinah adalah hasil negosiasi
dan kesepakatan semua komponen masyarakat Madinah yang
diperlakukan sama, meskipun berbeda latar belakang agama, suku,
dan sosialnya.276
Pengakuan keberagaman suku bangsa dan penghormatan
terhadap keberagaman agama erat kaitannya dengan konsep
pemenuhan hak atau “al-Haqq” dalam kamus Islam. Al-Qur’an
menggunkan kata “al-Haqq” untuk menunjuk pada arti kebenaran.
Manunggalnya makna kebenaran dengan hak juga terjadi dalam
bahasa Inggris “right”.277 Dalam Islam, konsep hak dibagi dalam
dua kategori, yakni Hak Allah (Haqq Allah) atas manusia, dan
Hak Manusia (Haqq al-‘Ibad) atas Allah dan atas manusia.278 Hak
manusia atas tanggung jawab sesama dibagi ke dalam lima kategori:
a) Hak manusia individu atas tanggung jawab dirinya sendiri; b) Hak
manusia individu atas tanggung jawab individu lain; c) Hak manusia
individu atas tanggung jawab masyarakat; d) Hak masyarakat atas
tanggung jawab individu; dan e) Hak masyarakat atas tanggung
jawab masyarakat yang lain. Para ulama bersepekat bahwa dalam
hak Allah tidak dengan sendirinya ada hak manusia, tapi dalam hak
manusia selalu ada hak Allah di dalamnya. Maka pemenuhan hak
manusia sekaligus pemenuhan hak Allah, sebaliknya pengingkaran
hak manusia sekaligus bermakna pelecehan atas hak Allah.279
Penghormatan atas keberagaman suku bangsa telah diterangkan
dalam Al-Qur’an,yakni disebut sebagai “as-sya’b” yang bermakna
sekelompok masyarakat yang dipersatukan oleh ikatan kebangsaan
dan atau cita-cita dan sejarah kolektif bersama.280Di dalam ikatan
kebangsaan juga terdapat ikatan kesukuan (Etnisitas) yang juga
berkait kelindan dengan ikatan primordialnya masing-masing. Klaim
276 Farid Mas’udi, Masdar.,Syarah Konstitusi UUD 1945 Dalam Perspektif
Islam., Pustaka Alvabet, Jakarta, 2010, hal. 4-5.
277 Ibid., hal. 9.
278 Ibid.,hal. 11.
279 Ibid.,hal. 12.
280 Ibid.,hal. 13.
204
atas suku dan bangsa sebagai entitas sosial dan politik dilindungi
dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujarat (49): 13, “..dan Aku jadikan
kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling
mengakui dan berbuat baik..”Sejalan dengan ini, maka penjajahan
dan penindasan dalam bentuk apapun baik terhadap individu maupun
kolektif (dengan ikatan keyakinan, ide, kesukuan, atau kebangsaan
tertentu) berlawanan dengan hak dan kemartabatan manusia.281
Upaya membangun kehidupan berbangsa dan bernegara
atas landasan kebangsaan yang majemuk dan plural di atas bumi
pertama kali dirintis oleh Rasulullah lebih dari 14 abad yang lalu.
Piagam Madinah adalah sebuah konsensus yang kelahirannya
jauh melampaui konstitusi negara modern.Relevansi substansinya
jauh melampaui jamannya sehingga masih sangat layak untuk
dijadikan rujukan terhadap pengakuan keberagaman suku bangsa
dan penghormatan terhadap keberagaman agama yang dipeluk para
penduduk Madinah kala itu.Konstitusi negara Madinah dibuat atas
kesepakatan semua komponen masyarakat Madinah, “Inilah naskah
perjanjian dari Nabi Muhammad SAW, antara orang-orang beriman
dan umat Islam dari suku Quraisy dan Yatsrib, serta orang-orang
yang menyertainya dan berjuang bersamanya; mereka adalah satu
komunitas independen; orang-orang Muhajirin dari Quraisy berhak
atas tradisinya; puak Auf berhak atas tradisinya; puak Sa’adah
berhak atas tradisinya; puak Jusam berhak atas tradisinya; puak
Amr bin Auf berhak atas tradisinya; puak al-Nubiet berhak atas
tradisinya; dan puak al-Aus berhak atas tradisinya..”282
Piagam Madinah juga secara eksplisit memberikan
perlindungan atas Kebinekaan agama, “Umat Yahudi Bani Auf
adalah satu umat komunitas bersama orang-orang yang beriman;
Bagi Yahudi Bani Auf agama mereka dan juga bagi umat Islam
agama mereka; bagi Yahudi Bani Najjar apa yang berlaku bagi
Yahudi Bani Auf, demikian pula bagi Yahudi Bani al-Harits, Yahudi
Bani Sa’adah, Yahudi Bani Jusam, Yahudi Bani al-Aus, maupun
281 Ibid.,hal. 14.
282 Ibid., hal. 32.
205
bagi Yahudi Bani Tsa’labah.”283
Bagi bangsa Indonesia yang memiliki latar belakang yang
sangat kompleks, pembentukan konstitusi memiliki dinamika yang
menarik terutama mengenai ketentuan Sila Ketuhanan. Seperti
yang tercatat dalam sejarah, tujuh kata setelah kalimat “Ketuhanan
Yang Maha Esa” diminta untuk dihapus. Tujuh kata tersebut adalah,
“dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya.”
Peristiwa ini mirip dengan yang terjadi pada rumusan Perjanjian
Perdamaian Hudaibiyah (Sulh al-Hudaibiyah) antara Rasulullah dan
sahabat-sahabatnya di satu pihak dengan para pemuka kaum Quraisy
di lain pihak.
Dalam draft yang disusun oleh Sahabat Ali r.a., terdapat
kalimat “Bismillah ar-rahman ar-rahim” dan “Rasulullah”. Pihak
Quraisy yang diwakili oleh Suhel dengan tegas menolak kalimat
itu dengan dalih, “Jika kami menerimanya, untuk apa berunding?”
Nabi Muhammad pun membuangnya dengan tangannya sendiri.
Maka tercapailah kesepakatan damai antara kedua belah pihak.
Sebagaimana yang dibuang dari Mukaddimah UUD 1945 yakni
sebanyak tujuh kata, maka dalam Perjanjian Hudaibiyah juga ada
tujuh kata yang dibuang yakni: Bi, Ism, Allah, Arrahman, Arrahim,
Rasul dan Allah. (Lihat Tafsir Khazin, Juz V, hal. 444).284
283 Ibid., hal. 33.
284 Sebagaimana yang dikutip dalam Ibid.,hal. 34.
206
POTRET BURAM WAJAH ISLAM
DI ERA KETERBUKAAN
Andi Muslimin
Pendahuluan
Perkembangan dunia telah menciptakan wajah baru dalam
dinamika informasi dan komunikasi yang memberikan peluang
besar seluas-luasnya bagi setiap orang dalam menentukan tema,
isi dan isudengan beragam situasi sesuai yang dikehandakinya.
Konsekuensi yang harus diterima, karena dunia telah masuk dalam
akses era keterbukaan. Informasi tidak hanya lagi sebagai letupan
kecil, tetapi menjadi letupan keberlimpahan informasi, tidak hanya
terbatas memberi, dan memperoleh informasi, tetapi juga terjadi
transaksi pesan diruang publik. Pengakuan Donald Michael seperti
dikutip Ziauddin Sardar bahwa pengendalian kehidupan dunia bisa
dilakukan dengan semakin banyaknya informasi dan pengetahuan
terbantahkan menunjukkan kebenaran. Faktanya semakin banyak
informasi semakin disadari segala sesuatu tidak dapat dikendalikan.
Globalisasi komunikasi informasi memberi pengaruh luar biasa
kepada cara pandang, perasaan bahkan keputusan-keputusan
seseorang.285
285 Lihat Sardar, Information and the Muslim World: A Strategy fo the Twentyfirst Century, diterjemahkan Priyono dan Ilyas Hasan dengan judul
Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau Informasi Cet. I; Bandung:
Mizan, 1988, h. 15.
207
Era keterbukaan yang telah memberikan kebebasan bagi
setiap orang untuk dapat menciptakan isi dan bentuk pesan sesuai
selera masing-masing kerapmenghasilkan sejumlah persoalan
dalam pemanfaatnya serta pendayagunaannya, karena acapkalikali
dimanipulasi untuk melahirkan ketegangan dan konflik antara
sesama umat beragama. Fenomena yang hampir terjadi dibelahan
dunia manapun saat ini, keberlimpahan informasi telah menjadi
ajang unjuk gigi kelompok keagamaan dalam menerasikan dan
menyebarkan wacana keagamaan yang selama ini terkungkung di
otak masing-masing, tidak terkecuali bagi umat Islam.
Dalam panggung sejarah, Islam barangkali merupakan agama
yang paling banyak mengalami konflik internal. Sejak masa awal,
sepeninggal Nabi Muhammad Saw, konflik dan kekerasan hampir
tidak pernah mereda dan menjadi fenomena kesejarahan, serta
berlangsung dalam seluruh kurung waktu peradaban. Kepentingan
kelompok umat Islam yang dilatarbelakangi oleh ambisi kekuasaan
dan perbedaan faham ikut tumbuh dan berkembang, serta dapat
memicu terjadinya konflik internal umat Islam.286 Drama pahit
dengan kisah konflik dalam tubuh umat Islam, belum menjadi episode
terakhir dalam dinamika sejarahnya. Bauran antara fakta dan berita
yang berkembang diberbagai kanal informasi dan komunikasi saat
ini, tidak lebih dari letupan dengan sudut menegangkan, santapan
tentang rivalitas-rivalitas kelompok Islam yang semakin meningkat,
membangkitkan amarah antara sesama umat Islam.
Fakta aliran keagamaan yang keberagaman di kalangan umat
Islam dari jaman ke jaman sampai hari ini adalah fakta yang tidak
mungkin diingkari.Tapi dari beberapa pengalaman yang ada, seiring
perubahan narasi informasi dan komunikasi, faktanya itu telah jauh
berbeda, umat Islam telah mengingkari itu semua. Telah lahir satu
sikap menciptakan ketegangan antara sesama penganut agama
Islam, dari berbagai rentetan bauran fakta beragama dalam merespon
286 Lihat Tim Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan Balai Litbang
Jakarta, “Mencari Solusi Konflik dan Kekerasan Internal Umat Beragama,”
Laporan Penelitian, 2003.
208
perbedaan tidak lebih menginternalisasikan sikap dan respon
yang sama-sama arogan dengan tensi menolak perbedaan maupun
keberagaman yang terdapat dalam setiap kelompok keagamaan.
Dalam catatan sejarah memori umat Islam, bagaimana konflik
dan kekerasan yang pernah melanda umat Islam sepeninggal Nabi
Muhammad SAW pertikain-pertikaian muncul dengan berbagai
rupa dengan berbagai drama perebutan singgasana kekuasaan
kekhalifaan, yang harusnya menjadi pelajaran yang sangat berharga
bagi umat Islam di era keterbukaan seperti ini. Buktiberbicara lain.
Hampir tak terbantahkan, Islam dalam cerita era keterbukaan tidak
lebih jauh berbeda dari sebuah persaingan dan perpecahan antar
sekte-sekte tidak pernah surut menggerogoti keharmonisan umat
Islam, tirai lorong gelap rivalitas terus menggema tak dimakan usia.
Menyisahkan tapal jejak hitam nan kotor merusakan keadaban dan
peradaban Islam. Ketegangan, konfrontasi sampai dengan provokasi
bersliweran dan menggema merusak nalar umat Islam, saling
mempertontonkan berbagai narasi klaim kebenaran, menyalahkan
dan menyudutkan antara sesama umat Islam.
Spektrum yang membenamkan Islam dalam kubangan kotor
kepentingan-kepentingan sekte-sekte yang sangat jauh dari misi
Islam yang sesungguhnya. Diktum bahwa Islam adalah agama
yang membawa panji kedamaian dan kesejukan, menjadi tidak
selaras dengan meriahnya panggung perselisisan antar kelompok
Islam, dengan perlombaan-perlombaan saling menyatakan dirinya
paling benar. Umat Islam seharusnya menjadi corong dalam
menemukan jalan kebenaran dan keadilan, tetapi sebaliknya malah
sibuk menampilkan berbagai rivalitas dengan wajah yang sangat
antagonistik, berusaha memenangkan dirinya sendiri, walaupun
harus menampilkan wajah yang buas sekaligus menakutkan.
Dalam suasana penuh emosional dengan monopoli klaim
kebenaran, umat Islam menjadi umat yang saling menginvasi
bangunan struktur moral beragama. Kita tentu menyaksikan berbagai
kisah yang tampil dikanal-kanal informasi dan komunikasi, umat
Islam saling beradu kuat dengan suara yang mengumandangkan ayat
suci tapi sangat buas siap menerkam sesama umat Islam. Adalah riil
209
atas yang kita saksikan yang tidak dapat disangkal, bahwa umat
Islam hari ini adalah umat yang tidak lebih kejam dengan berbagai
dalih pembenaran, walaupun harus menghianati pesan-pesan kita
suci kenabian.
Jelas bahwa setiap pemahaman yang berdiri atas sikap rivalitas
plus antagonist bukan solusi dalam menjawab berbagai tantangan
yang dihadapi oleh umat Islam saat ini, selain menjadi biang keladi
timbulnya perdebatan dan masalah-masalah baru antara beberapa
kelompok kelompok yang berbeda. Fenomena kebaruan ini hanya
melahirkan kemelut pertentangan yang hanya terus berkisar pada
orientasi ideologis yang memahami Islam sebagai model dari sebuah
riil atas (model of riil ity) atau model untuk sebuah riil atas (models
for riil ity). Sangat jauh pada pokok-pokok ajaran Islam tentang
bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem
kehidupan sosial (little tradition).
Pertentangan seperti ini tak ubahnya seperti perjudian yang
semakin memperuncing pada masalah baru. Riil atasnya seperti itu,
umat Islam saling mengawasi, mencari kelemahan dan titik lengah
untuk siap saling menyerang satu sama lain. Umat yang terjangkiti
sekaligus menjadi korban dari kelas-kelas ego dan keangkuhan
menggumpal di ubun-ubun kalangan Islam. Dampaknya, memberi
sense of identity yang membuat anggota suatu kelompok merasa
berbeda dan memiliki superioritas dibanding kelompok lainnya.
Setiap kelompok merasa bahwa kelompok istimewa; merasa
diciptakan untuk hadir ke tengah semesta oleh kehendak supranatural
dengan tujuan paling mulia. Masing-masing merasa memiliki lokus
geografis, ekonomi, sosial-budaya dan teologi khusus dan lebih
unggul dari kelompok-kelompok lainnya. Perasaan ini membuat
setiap kelompok ingin mendapatkan ruang dan momentum yang
unik dalam meng-ada (to exist) dan menjadi (to be) di tengah alam
semesta. Pada gilirannya, perasaan menjadi “ pusat alam semesta”
(center of the universe) ini semakin mengafirmasi superioritasnya di
atas kelompok lainnya.287
287 Lihat Ahmad Syafii Maarif, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme
210
Pluralitas kehidupan pun menjadi kering-kerontang oleh sikap
hanya ingin menang sendiri, dan mengokohkan sentimen yang
bising dengan teologi maut sesama umat Islam. Ketidakmampuan
menerima pluralitas menyebabkan suatu kelompok melakukan takfir
(pengkafiran) terhadap kelompok lain. Akibatnya, perpecahanperpecahan menjadi biang keladi yang semakin merusak peradaban
Islam dengan narasi sunyi para simposium yang menari sesuka
hati di atas bangkai sesama umat Islam. Islam yang diharapkan
membawa kedamaian dan ketenangan dunia, disisi para pengikutnya
tidak lebih dari bara persengketaan dan pengkafiran antara sesama
penganut dengan agama yang sama.
Pada awalnya, takfir merupakan masalah teoritik yang
berkaitan langsung dengan konsep keimanan, namun dalam
perjalanananya, takfir lebih bersifat politis yang menyangkut
kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Dalam sejarah Islam,
takfir terbukti menjadi senjata yang sangat berbahaya bagi eksistensi
kelompok lain, karena terdapat kelompok tertentu yang sangat
fanatik sehingga dengan membabi buta menghakimi perbedaan
pemahaman dan pemikiran, terutama berkaitan dengan perbedaan
penafsiran ajaran agama-agama. Orang yang berbeda paham,
dengan mudah dianggap sesat dan harus ditumpas dari permukaan.
Bagi mereka, hanya pendapat mereka saja yang paling benar dan
mewakili kebenaran agama sehingga tidak ada kebenaran lain di luar
keyakinan mereka.288
Umat Islam mungkin telah lupa atau memang sengaja
lupa, bahwa Islam adalah agama yang memiliki tujuan universal,
yang tidak boleh dihukumi benar dan telah final kebenarannya
berdasarkan sudut pandang dari keseluruhan penafsiran tertentu
para penganutnya.Bahwa benar umat Islam diberikan kebebasan
dan kemerdekaan dalam menafsirkan maksud kitab suci Al-Qur’an,
Kita. Jakarat, Yayasan Abad Demokrasi, 2012 Hal. 84
288 Lihat Muhammad Yunis, Politik Pengkafiran dan Petaka Kaum Beriman:
Sejarah Politik, dan HAM. Terj. Dahyar Afkar. Yogyakarta: Pilar Media,
2006 Hal. 6
211
tetapi tidak sekaligus menjadikan sebagai ukuran kebenaran yang
berlaku universal yang harus serta merta diterima oleh yang lainnya.
Lokalisasi kebenaran sepihak tentu sangat buruk bagi perkembangan
Islam yang hanya akan mewujudkan disintegarasi antara sesama
umat Islam.
UmatIslam perlu segera berbenah untuk menghilangkan
berbagai resistensi dari upaya memaksakan kebenaran, saling
mempertanyakan keimanan seseorang masih ada atau tidak, yang
sangat berbahaya karena akan semakin mempertajam konflik.
Faktanya bukan saja berhenti pada saling mempertanyakan, tetapi
saling berprasangka, menuduh dan mengeluarkan hukum dengan
tuduhan masing-masing. Jelas, ini sebuah tindakan yang sangat
paradoks, karena Islam bukan hanya mengajarkan nilai-nilai luhur,
tetapi juga persatuan antara sesama umat Islam. Dalam hal ini umat
Islam harus lebih menjunjung tinggi kesadaran untuk menciptakan
perdamain dan keadilan. Perilaku yang tidak saling menerima
perbedaan merupakan tindakan yang tidak hanya cenderung
menghambat Islam, tetapi sekaligus memecah tali persaudaraan
dan persahabatan antar sesama manusia, dan tentunya ini dapat
mengganggu ketentraman masyarakat pada umumnya. Tentu kita
semua sepakat bahwa tindakan penyelewangan nilai-nilai Islam
adalah penghianatan terhadap Islam itu sendiri.
Fenomena berIslam yang dipertontonkan di layar era
keterbukaan saat ini sudah sangat mencemaskan, umat Islam sudah
terkotak-kotak dengan pembenarannya masing-masing, dan telah
membenarkan tindakan kriminal atau amoral. Telah menghilangkan
pertimbangan etika sehingga teks-teks keagamaan seringkali
dimaknai dan diplintir untuk tujuan-tujuan tertentu yang berjangka
pendek. Menjadikan Islam sebagai alat untuk melegitimasi cara
apapun demi kepentingan-kepentingan sesaat, yang bukan saja
perilaku jahat tapi sangat biadab. Hal ini hanya akan melahirkan
kesenjangan sosial yang memicu timbulnya kekerasan, yang tidak
boleh dibenarkan. Perangai seperti ini adalah sikap dan moral
keagamaan yang dangkal, yang pada gilirannya memunculkan
pendangkalan integritas Islam.
212
Dinamika Narasi Islam
Islam mungkin menjadi salah satu agama yang banyak
mengalami gempuran masalah-masalah internal. Sejak sepeninggal
Nabi Muhammad Saw, sampai saat ini masalah-masalah yang
melibatkan antar sesama umat Islam tidak pernah berhenti dan
mereda, menjadi fenomena kesejarahan yang berlangsung dalam
seluruh kurun waktu yang sudah cukup lama. Nuansa ke- pentingan
kelompok umat Islam yang berbeda-beda selalu menjadi latar
belakang yang setiap saat dapat memicu terjadinya konflik internal
umat Islam. Toto Suryana menyatakan, persatuan di kalangan
muslim tampaknya belum dapat diwujudkan secara nyata. Perbedaan
kepentingan dan golongan sering kali menjadi sebab perpecahan
umat. Hal yang menjadi sebab perpecahan pada umumnya bukanlah
hal yang bersifat mendasar. Perpecahan itu biasanya diawali dengan
adanya perbedaan pandangan di kalangan Muslim terhadap sesuatu
fenomena kecil.289
Agama yang memiliki kemajemukannya sendiri, baik pada
karakteristik ajaran, umat dan juga simbol keagamaan. Hanya saja
dinamika sejarahnya, perbedaan-perbedaan itu sering melahirkan
berbagai konflik di dalam tubuh umat Islam. Perbedaan madzhab
adalah suatu perbedaan yang nampak dan nyata. Kemudian lahir
pula perbedaan ormas keagamaan. Walaupun satu aqidah yakni
aqidah Islam, namun perbedaan sumber penafsiran, penghayatan,
kajian terhadap al-Qur’an dan al- Sunnah terbukti mampu
mendisharmoniskan intern umat Islam. Disharmonisasi umat Islam
efek dari pertikaian bersifat partisan kelompok Islam adalah biang
busuk yang telah berlaku dalam sejarah Islam, dengan berbagai
pembenaran-pembenaran walau menghianati pesan utama dari
agama Islam.
Adegan-adegan dan tahap-tahap yang sangat menarik untuk
dilihat dari maraknya fenomena busuk yang mengatasnamakan Islam,
adalah tindakan yang ditujukan untuk mencapai sasaran tertentu,
289 Lihat A. Toto Suryana Af. Islam Pola Pikir, Perilaku dan Amal. Bandung:
CV. Mughni Sejahtera, 2008 Hal. 127
213
dengan dalih membela Islam sebenarnya digunakan untuk menutupi
berbagai kepentingan, yang tidak sedikit berbentuk ancaman atau
bujukan untuk saling menghasut sesama umat Islam. Pada faktanya
ini yang terjadi. Sangat tidak mungkin, melihat fenomena jahat ini
hanya sebagai sebuah kesalahan berfikir kalangan Islam, karena
hubungan setiap tindakan pasti memiliki hukum penyebab yang
memengaruhi setiap tindakan seseorang. Serta sangat tidak mungkin
juga melihat fenomena ini hanya sebagai suatu yang kebetulan,
karena seandainya hanya bersifat kebetulan, niscaya ia tidak akan
terulang.
Yang kita saksikan, fenomena seperti ini telah menjadi
keumuman di era keterbukaan. Dengan pengambaran wajah Islam
yang sangat sulit merajut tali kebersamaan adalah suatu perkara
yang mendasar yang dihadapi umat Islam dari berbagai kotakkotak paham, pandangan dan kepentingannya masing-masing masih
menguat. Diperparah pula semakin marak bermunculan kelompokkelompok baru yang cenderung sebagai penumpang bebas yang
mengambil kesempataan dalam kesempitan mempertajam pertikaian
di tubuh kalangan Islam, menambah kompleksitas masalahmasalah internal, dari masalah perbedaan masa lalu, sampai dengan
memunculkan persoalan baru yang sangat tidak mendasar yang
kerap menjadi sumbuh panas yang membangkitkan konflik dalam
tubuh umat Islam.
Fenomena para penumpang bebas yangkerap menambah
kerumitan dalam proses rekonsiliasi umat Islam. Sedikitnya ada
tiga faktor yang semakin diperumit oleh penumpang bebas tersebut.
Pertama, sikap agresif penumpang bebas dalam mendakwahkan
ajaran Islam nya, tidak moderat, intoleran dan anti pluralis, penuh
dengan prasangka terhadap kelompok yang berbeda serta lebih sering
mengulang sejarah masa lalu, yang kadang menyentil keyakinan
kelompok Islam yang lain. Kedua, adanya kecenderungan berorientasi
pada peningkatan jumlah anggota secara kuantitatif dibandingkan
melakukan perbaikan kualitas keimanan para pengikutnya. Ketiga,
cenderung melakukan berbagai propaganda kebencian terhadap
kelompok Islam lainnya yang semakin menguatkan disparitas nilai
Islam antar para penganut Islam.
214
Faktor ini yang memperumit masalah-masalah dalam Islam
sekaligus berperan besar dalam mengubah cara berfikir, bersikap,
dan bertindak umat Islam. Menyuntikkan hasutan dengan berbagai
prasangka antar kelompok atau mahzab yang berbeda. Pasar
keagamaan umat Islam pun hanya berisi dagangan hasut dan
prasangka antar sesama umat Islam di era keterbukaan saat ini.
Fenomena ini banyak berserakan di layar media era keterbukaan,
sepertiinternet dan media sosial, facebook, twitter, instagram,
blog sebagai keterkaitan penyebab munculnya disharmonisumat
Islam. konsekuensi dari semakin canggihnya teknologi yang
menghubungkan antarmanusia dalam keberlimpahan informasi
keagamaan yang senantiasa memapar, sekaligus memancing umat
Islam untuk terlibat dalam bauran antara fakta dan fantasi, opini, data
dengan rumor dan gosip, serta propaganda sampai saling menghasut
prasangkan sesama umat Islam.
Sebenarnya, membaca usaha yang apa yang dilakukan
penumpang bebas ini yang memanfaatkan hasutan dan prasangka
adalah upaya menumbuhkan sikap kebencian demi menciptakan
chaos di tengah kehidupan umat Islam untuk usaha memuluskan
berbagai kepentingannya. Semrawutnya kepentingan-kepentingan
kalangan Islam yang kemudian membawa angin segar dalam
merusak kerukunan umat Islam. Ada dua tipe kepentingan, yaitu
kepentingan vertikal dan horizontal. Kepentingan vertikal merupakan
kepentingan yang dimiliki oleh komunitas tertentu yang dihadapkan
kepada penguasa. Sedangkan kepentingan horizontal merupakan
kepentingan komunitas dalam masyarakat akibat banyak aspek
misalnya komunitas lain yang dianggap mengancam kepentingan,
nilai- nilai, cara hidup dan identitas kelompoknya, telah menjadi
konflik terbuka untuk keseluruhan umat Islam.
Abad yang menjepit umat Islam antara fakta dan fantasy
telah menghilangkan keseimbangan, dimana umat Islam menjadi
umat yang tidak terhormat dihadapan dunia, karena terus digrogoti
oleh hasutan, dan prasangka. Umat Islam terjangkiti penyakit yang
mudah tertipu dengan berbagai manipulasi narasi keislaman yang
berisi anjuran menghasut sesama umat manusia adalah penyakit
memutilasi bangunan suci agama agung ini. Sangat disayangkan,
215
ketika umat masih saja saja mudah terpasung dalam lorong-lorong
gelap kebiadaban dan kejahiliaan, yang membuat Islam babak belur
oleh umatnya sendiri. Umat ini perlu lebih terbuka dengan pencerahan,
bahwa hasutan, prasangka adalah musuh utama Islam, yang
meniscayakan berlaku sama bagi setiap penganutnya. Melakukan
hasutan dan prasangkan sesungguhnya adalah penghianatan dan
persekongkolan melawan agama Islam.
Permainan hasutan dan prasangka adalah sikap antipati yang
berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan tidak
fleksibel terhadap perbedaan. Jika kalangan Islam tidak menyadari
kesalahan ini, maka tatanan beragama Islam akan penuh tindakantindakan negatif yang hanya menimbulkan malapetaka. Menurut
Effendy, sebagaimana dikutip Liliweri, bahwa prasangka merupakan
salah satu rintangan atau hambatan berat bagi kegiatan komunikasi,
karena orang yang berprasangka belum apa-apa sudah bersikap
curiga. Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik
kesimpulan atas dasar syakwa sangka, tanpa menggunakan pikiran
dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Karena itu, sekali
prasangka sudah mencekam, orang tidak akan dapat berfikir objektif
dan segala apa yang dilihatnya selalu akan dinilai secara negatif.290
Pola acak hasut prasangka inilah yang terkadang menjadi titik
tekan kerap memperdaya nalar umat Islam, untuk tidak menyadari
bahwa mereka telah menjadi mata rantai kebohongan dan manipulasi
dari second hand reality atau riil atas buatan. Dalam perkembangannya
narasi-narasi hasut prasangka antara sesama umat Islam yang sangat
sering kita saksikan dilayar era keterbukaan, diperkuat pula dengan
dengan gagasan sempit dan indoktrinisasi dalam satu pandangan yang
menjebak umat Islam menjadi penganut dengan mental bigot. Istilah
bigot sendiri merujuk pada orang yang memiliki dasar pemikiran
bahwa siapapun yang tak memiliki kepercayaan yang sama dengan
dirinya adalah orang atau kelompok yang salah.291
290 Lihat Onong Uchjana Effendy, Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung:
Alumni, 1981
291 Liha Gun-gun Heryanto, Dr. Media Komunikasi Politik “ Relasi Kuasa
216
Coba kita tengok beragam kanal media sosial, berbagai menu
hasutan dan prasangka diproduksi, direproduksi, didistribusikan,
serta dikonsumsi secara masif dan eksesif. Dimana imunitas nalar
umat Islam menjadi melemah dan mudah terjangkiti oleh gejala
kedengkian mewabah di kanal informasi. Sehingga panggung
Islam hanya diisi oleh tontonan-tontonan disharmonis umat Islam
dengan predikat pro dan kontra isi dan isu keislaman. Menurut
Rose, (dalam Gerungan, 1981) dapat merugikan masyarakat secara
dan umum dan organisasi khususnya. Hal ini terjadi karena
prasangka dapat menghambat perkembangan potensi individu
secara maksimal.292 Tentu kita semua sangat memahami antara hasut
prasangka dan konflik sangat terkait erat, karena setiap prasangka
masih mengandung sikap, pikiran, keyakinan, kepercayaan yang
negatif terhadap kelompok tertentu. Dari prasangka inilah akan
memunculkan tindakan diskriminasi yang mengarah ketindakan
sistematis. Diskriminasi akan memunculkan tindakan yang berusaha
menyingkirkan status dari hubungan, pergaulan, serta komunikasi
antar umat Islam.
Umat Islam yang sekarang jumlahnya 1,6 miliar di muka bumi
adalah bagian dari kemanusiaan universal, tetapi perannya masih
berada pada buritan peradaban. Banyak faktor internal dan eksternal
yang terlibat di dalamnya mengapa situasi demikian menyedihkan,
apapun ukuran yang dipakai orang untuk itu. Antara Al-Qur’an dan
umat Islam terbentang jurang yang lebar sekali. Sedikit contoh di
atas telah menjelaskan apap yang kita maksud. 293Sangat naif kiranya,
jika umat Islam apapun kelompok dan mahzabnya tidak memahami
bahaya dari permainan hasutan dan prasangkahanya menyisahkan
luka serta menyudutkan Islam dalam buritan terdalam peradaban.
Bahwa pengalaman telah sangat jelas, hasutan dan prasangka hanya
akan memancing kekerasan yang menjadi pilar utama memposisikan
umat Islam sebagai umat yang tidak bermutu dan berkualitas. Tentu
Media di Panggung Politik. Yogyakarta: IRCiSoD, 2018 Hal. 79
292 Lihat Gerungan, W.A, Dr, Dipl Psych, Psichologi Sosial. PT Eresco, 1981
293 Lihat Ahmad Syafii Maarif. Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam.
Jakarta: Bunyan, 2018 Hal. 137
217
umat yang bermutu serta berkualitas adalah umat yang tidak bersifat
destruktif.
Sepanjang sejarah, Islam selalu disudutkan dari penghalalan
kekerasan sesama umat Islam maupun antar umat beragama lain. Ini
adalah sisi negatif yang selalu berkembang biak menggodam narasi
dalam panggung-panggung sejarah Islam penuh dengan sulaman
keserakahan, demi mendulang keuntungan tapi merantai Islam
dalam lorong sempit dan pengap.Kalangan Islam kadang meramu
berbagai jalan-jalan kemunafikan dengan terbiasa terlibat dalam
bentrok, dengan alasan perbedaan doktrin dan kepentingan yang
menjadi penyebab runtuhnya pesan suci Islam. Entah sadar atau
tidak, setiap pihak kelompok Islam yang berbeda merasa mempunyai
gambaran tentang ajaran keislamannya, membandingkan dengan
ajaran Islam nya dan agama lawan, memberikan penilaian atas apa
yang diyakinininya dengan yang dianggap lawannya. Dalam skala
penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan
kepada keyakinannya.
Sikap destruktif yang bolak-balik mengganggu kerukunan
umat Islam, tentu hanya dapat dimaknai sebagai upaya mengelabui
menuju gelembung kebiadaban, menjadi tsunami memporakporandakan bangunan keadaban umat Islam, serta menjadi semak
belukar yang menghilangkan Islam dalam pusaran lorong waktu
peradaban manusia. Pada riil atasnya, narasi keislaman yang
berkembang sanga jauh dari subtansial, lebih banyak menggaungkan
sebuah narasi yang menjebak dan memekarkan konflik horisontal
maupun vertikal dalam tubuh umat Islam. Bahkan dalam berbagai
periode sejarahnya, umat Islam masih saja sering memilih jalan
hidup yang tidak sah dengan sering bertikai dan berperang sesama
mereka. Apakah ego, kepentingan sesaat dan hawa nafsu yang
sulitdikendalikan oleh kalangan umat Islam. Manakalah ego,
kepentingan dan hawa nafsu dapat ditekan, mungkin saja kalangan
umat Islam akan menghindari sikap destruktif yang selama ini hanya
menenggelamkanumat Islam dalam kubangan sejarah.
Dalam hal ini, pandangan ekslusif dari kalangan Islam yang
selalu menjadi biang perusak nalar umat Islam, dengan tujuan
218
sempit di topang nafsu dan kerakusan dunia. Mentransformasi
kepentingannya ke ruang profan, menjadi musabab umat Islam
terserang penyakit latah terstruktur mengobarkan hasutan,
prasangka. Otak umat Islam pun berisi prasangka antara boleh dan
tidak, benar dan salah, atau absah dan tidak absah, yang merusak
aplikasi moral yang memperuncing menuju konflik kekerasan antar
sesama umat Islam. Masing-masing mengambil dalil-dalil teks dari
tradisi atau kitab suci untuk memberikan legitimasi etika religius
pada penggunaan prasangka hingga kebencian membuat umat Islam
semakin membenamkan umat Islam mengidap penyakit mental
bigotry.294
Pada faktanya mental bigotry telah tumbuh subur pikiran umat
Islam, memengaruhi model interaksi dan partisipasinya menjadi
intoleran dalam memaknai perbedaan. Ada banyak agen yang
secara lihai memainkan hasutan prasangka dan kebencian secara
bersamaan. Narasi menipu inilah yang kadang dihembuskan dalam
benak umat Islam dengan warna-warni “sakral” yang bersamaan
dengan indoktrinisasi untuk mengkultuskan golongannya. Tujuan
sama, agar para agen penghasut ini dapat setiap saat menggunakan
umat Islam dalam memuluskan kebejatannya. Fakta ini bukan narasi
asing, tetapi telah menjadi makanan pembuka sekaligus penutup,
dapat dengan mudah ditemukan di era keterbukaan. Dipaksa
dimodifikasi dalam dipikiran umat Islam dalam simbol-sombol
prasangka dan kebencian. Problem ini yang harus disikapi secara
serius, bahwa kondisi ini akan mengkonservasi satu identitas yang
membudaya dalam pikiran umat Islam.
Bukti jejak informasi dan komunikasi di era keterbukaan
sebagai data yang tidak dapat kita sangkal, bahwa hasutan, prasangka
serta kebencian telah menjadi sarang lebah dalam nalar menguasai
narasi, wacana dan opini dunia Islam saat ini. Bahkan setiap saat
mengalami kemajuan, tanpa ada sikap merubah serta intropeksi
294 Bigotry adalah perwujudan sentimen emosional yang penuh kebencian dan
intoleran. Berfikir negatif terhadap orang atau kelompok berbeda terutama
suku, agama dan ras. Hubungan komunikasinya sangat berjarak akibat pola
superioritas dan inferioritas yang dijadikan acuan.
219
sedikitpun. Sementara itu, jurang pemisah antara umat Islam
semakin tinggi, yang dulunya hanya sekedar perbedaan pengertian,
sekarang menjadi siapa yang benar dan salah, telah jauh dari
harmonisasi, dan sangat tertarik dengan disharmonisasi. Umat Islam
mengalami kemunduran yang sangat spektakuler, selalu melakukan
penyimpangan baik ke kanan maupun ke kiri. Sama halnya umat
yang tidak mampu memilah atau membedakan mana yang jahat dan
mana yang baik, atau mana yang madu dan mana yang racun.
Hasilnya, terciptalah berbagai kampanye yang menyerang
individu atau kelompok lain berdasarkan sentimen komunal,
termasuk seruan untuk melakukan aksi kekerasan dan pembunuhan.
Buku-buku dan media online yang menempatkan kelompok
keagamaan tertentu dalam situasi peperangan dengan kelompok
keagamaan lain bebas tersebar. Tokoh agama melakukan ceramah
secara terbuka dan disebarkan melalui media online yang secara
eksplisit menyerukan para pendegarnya menghunus pedang untuk
membunuh atau mengusir anggota kelompok keagamaan tertentu.295
Tradisi keislaman di era keterbukaan mengalami perubahan
dan perombakan, dimana interaksi penganutnya telah meninggalkan
batas-batas kesantunan beragama, yang ada hanyalah keangkuhan,
kebohongan, yang bersetubuh dengan manipulasi demi kepentingan
yang membabi buta. Ini bukan ilusi, bahwa umat Islam hari sangat
liar, menyesakkan dengan kotoran-kotoran yang mengempal dengan
berbagai narasi hasutan, prasangka yang bersenyawa dengan
kebencian telah mengkebiri Islam dengan mantra-mantra konflik
antara sesama umat Islam, karena alasan perbedaan pandangan.
Padahal nalar siapapun memahami bahwa struktur pandangan
memilikikoherensi internal, struktur itu tidak sepenuhnya sama dan
padu. Struktur tersebut berbeda-beda menurut kelas, keyakinannya,
wilayah dan disusun dari bermacam-macam rangkaian pemikiran
bahkan yang bertentangan serta terdiri dari nilai-nilai dan praktekpraktek yang dapat ditafsirkan dan dihubungkan dengan beberapa
295 Lihat Jurnal Ahnaf, M.I. “Local Elections and Intolerance: A Lesson from
Sampang,”Perspectives on Religious Life in Indonesia, 2014 Volume 3
220
cara yang berbeda. Bahwa perbedaan dalam memahami nilainilai keislaman adalah sebuah keniscayaan yang tidak tepat
dipermasalahkan atau saling dipertentangkan. Tentu kita semua
sepakat, untuk meredam segala bentuk kekerasan beragama, adalah
dengan menghilangkan streotype antara sesama kelompok Islam
yang ada.
Dalam kenyataannya, kita sering jumpai umat Islam menjadi
biang keladi rusaknya segala struktur hubungan sosial masyarakat
dengan tindakan sesuka hatinya. Kita tentu sepakat bahwa
hasutan, prasangka hanya merusak struktur sosial yang hanya
akan melahirkan kebencian antar sesama umat Islam, sangat sarat
dengan drama konflik berdarah. Bukan hanya menggelisakan, tetapi
sangat berbahaya bagi Islam sebagai agama yang sarat dengan
nilai kedamaian dan keselamatan. Sudah menjadi logika umum,
dimana terdapat hasutan serta prasangka, pasti disitu ada kebencian.
Sementara akal sehat kita tidak dapat menolak bahwa dalam setiap
kebencian pasti memiliki efek kekerasan, yang dapat menimbulkan
luka psikis juga menimbulkan kerusakan, kehancuran bahkan
kematian. Fakta yang tidak bisa disangkal dalam memori kita saat
ini, bahwa seringkali umat Islam lebih menunjukkan dirinya sebagai
penganut agama yang tidak beradab, pemicu dan haus dengan tindak
kekerasan.
Disadari atau tidak pembiaran perilaku ini adalah kejahatan yang
sekaligus mengamini tingkah laku para agen tertentu yang berusaha
merusak Islam dari luar yang selama ini mengkampanyekan Islam
adalah sebagai agama dengan doktrin main drive, primummobile dan
push factor kekerasan.Telah banyak dialami saat ini, agama Islam
terpelosok dalam kubangan lumpur akibat perangai penganutnya
yang telah terbiasa dan merasa bangga mengeskspresikan dan
mengartikulasikan hasutan sebagai nilai-nilai Islam. Sangat penting
untuk mengakui bahwa hasutan dan menebar prasangka sesama
umat Islam adalah sebuah pengalaman pahit yang hanya akan
membangkitkan dan menegaskan kekerasan terjadi, yang menggerus
identitas dan makna Islam sebagai agama yang memabawa panji
keselamatan.
221
Islam dalam persimpangan jalan, dorongan-dorongan untuk
saling menghasut sesama umat Islam semakin terbuka lebar di
era keterbukaan, genderangnya ditabuh dan dikonversi menjadi
pandangan yang dominan didinding-dinding teknologi media
dewasa ini, masing-masing menekankan tuntutan bahwa apa yang
diyakinanya mempunyai ikatan kebenaran, sedangkan pernyataan
lain yang berlawanan tidak bisa benar.Maka munculah sikap saling
menghasut dan berprasangka antara sesama umat Islam yang telah
mengabaikan norma agama dan dengan emosi yang lebih ditonjolkan,
bukan akal sehat. Hati telah telah mati dalam terowongan nafsu
karena menganggap paling benar dan pemilik norma.
Akibat dari gerak narasi yang jahil yang tak bermutu
ini, menyebabkan umat Islam tertarik melampiaskan dahaga
kebengisannya tersebar secara bebas tanpa sedikitpun hambatan.
Kedungunan sistemik telah melanda umat Islam, karena hanya
kedunguanlah yang terbiasa menyerembab Islam dalam buritan
kotor peradaban. Dilema ini menciptakan situasi ‘tindakan’ yang
mentransformasi kata hikmah dalam Islam menjadi peperangan
kata-kata antara sesama Islam, telah menjadi daya tarik luar biasa di
era keterbukaan, setiap orang dengan bangga dan sengaja menyebar
narasi hasutan, prasangka maupun kebencian di kanal-kanal
informasi dan komunikasi, mengundang perdebatan sesama umat
Islam. Adakah orang yang sehat mau melakukan ini ?, tentu tidak.
Selain menggadai harga diri, orang yang sehat tahu bahwa caracara itu adalah luapan dungu yang tak bermoral dan kontraproduktif
dengan nilai-nilai Islam.
Tidak berlebihan jika sekiranya, perbuatan ini kita sebut
umat yang bertopeng keshalehan tapi masih biadab. Faktanya, mari
kita tengok bagaimana perdebatan yang terjadi di teknolgi media
kerancuhan demi kerancuhan dipertontonkan, setiap orang saling
berdebat panas dengan mengutip ayat suci, saling memaparkan
kebenarannya masing-masing. Proses ini bukan saja merusak struktur
moral umat Islam, tetapi juga merusak cita-cita mulia Islam dalam
mewujudkan “harmoni in diversity”antara umat beragam. Untuk
menwujudkan ini tentu dibutuhkan umat yang dapat menempatkan
dirinya sebagai penganut sejati, yang telah melepascan dirinya dari
222
keterlibatan dari semua unsur yang dapat merusak nilai dan ajaran
Islam, yakni, hasutan dan ujaran kebencian yang hanya menjadi
pembeku nurani dan pemanis kebejatan.
Jika terus dibiarkan, umat Islam akan terjebak dalam satu
sikap formal yang melegalkan sikap pertikaian antara sesama umat
Islam. Perilaku ini tentu sangat menghambat Islam membawa misi
sejatinya, ketika kelompok Islam masih sibuk saling ego dengan
orientasi masing-masing, yang menjadi zona nyaman bagi para
penumpang bebas menggempur dan mendogma nalar umat Islam
dengan sengketa-sengketa yang sengaja untuk dibesar-besarkan
untuk menghambat parsatuan umat Islam. Dibutuhkan niat baik
oleh semua kelompok Islam untuk menjadi obat penyembuh dari
maraknya berbagai hasutannya prasangka dari berbagai perebutan
citra dan simpati yang menghalalkan segala segala cara, yang hanya
memposisikan umat Islam semakin jauh dalam menangkap makna,
subtansi dan hakikat Islam, selain hanya bentuk (forma) simbol
keislaman, yang justru sangat prematur dalam melihat perbedaan.
Kalangan Islam harus mampu menjawab segala fenomena
yang membuat Islam jatuh dalam kemunduran dan kehancuran,
dari segala fenomena hasutan, prasangka yang merajai pikiran
serta sendi hidup umat Islam yang sangat salah kalau hanya
dianggap sebagai fenomena biasa. Yang demikian harus diwaspadai.
Dengan tegas, kalangan Islam dengan ragam kelompoknya, harus
berani keluar dari paradoks kepentingan masing-masing, dan
menghentikan persekongkolan yang lebih mementingkan berbagai
hasutan prasangka dan kebencian yang hanya semakin menyandera
umat Islam dalam skema beragama dengan cara ordiniary
people, memahami Islam hanya dengan simbol- simbol dan tidak
mempergunakan analisis rasional. Mereka mudah tersulut emosi dan
sangat susah bertoleransi dengan agama dan pemeluk agama lain.
Sudah saatnya setiap kelompok Islam kembali kepada khittahnya
untuk mendisplinkan nalar umat Islam menjadi umat dengan nalar
educated people yang selalu menyertakan analisis rasional dan
mengesampingkan pemahaman intuitif dan simbolik.
223
Dalam perjalanan sejarah umat, faktor Islam sebagai perekat
persaudaraan sering benar diabaikan, seakan-akan agama ini telah
kehabisan energi untuk mempertemukan hati kita. Yang lebih ironis
lagi adalah kenyataan, tidak jarang negeri muslim kaya minyak
malah menyerahkan pundi-pundinya “diperas” pihak asing yang
jelas tidak rela melihat Islam muncul sebagai kekuatan yang turut
menentukan arah peradaban global.296Asumsi lain sebagai penegas
bahwa umat Islam selalu berpecah dan tidak bersatu. Setiap kali ada
permasalahan tentang umat Islam, para tokoh Muslim tidak pernah
kompak.297
Bila kekuatan umat yang mudah rapuh akan mudah diserang
dari segala penjuru dan berbagai cara. Kita semua tentu sama-sama
meyakini, bahwa umat Islam tidak akan menjadi faktor penentu
dalam mempertautkan berbagai pecahan-pecahan kebaikan yang
berserakan saat ini, ketika umat Islam belum insaf dan menyadari
bahwa mereka saat ini dalam zona babak belur akibar pertikian
sesama. Mungkin telah waktunya umat Islam berdamai dirinya,
dengan memukul nalarnya dengan palu godam sejarah, agar mau
berunding untuk mencari solusi dari berbagai persoalan rumit yang
dihadapi ole umat Islam yang hanya menguntungkan pihak yang
sangat menginginkan umat Islam tidakn menjadi perumus alternatif
dari kacaunya kehidupan manusia.
Rekontruksi Riil atas Narasi Keislaman
Agama dalam perspektif umum adalah sebuah aktivitas yang
melibatkan manusia dalam bentuk ritual, perayaan maupun simbolsimbol keagamaan, sehingga agama tumbuh dan berkembang
menjadi bagian dari budaya masyarakat. Agama yang menjelma
dalam bentuk budaya inilah yang menuntut adanya dialektika
internalisasi ekternalitas dan eksternalisasi internalitas. Sehingga,
296 Lihat Ahmad Syafii Maarif. Islam dalam bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah. Jakarta: Mizan, 2015 Hal. 297
297 Lihat Ahmad Fatoni el-Kaysi, Ayat Kursi Untuk Perlindungan Diri.
Yogyakarta: Mutiara Media, 2009 Hal. 5
224
dalam agama muncul istilah misi keagamaan dalam bentuk budaya.
Berdasar hal tersebut, maka eksistensi agama dalam masyarakat
memiliki potensi integratife dan potensi konflik.
Secara sosiologis agama memiliki peran sebagai pemersatu
(integratif) bagi umat beragama yang sama. Fungsi integratif ini
biasanya menjadi luntur atau melemah ketika dalam kehidupan
beragama melibatkan unsur-unsur keyakinan yang berbeda.
Menurut Hendropuspito agama memiliki fungsi sebagai pemupuk
persaudaraan terutama internal umat beragama.298 Namun ibarat sisi
mata uang agama dalam riil atasnya sering diperankan secara ganda
antara fungsi integratif maupun fungsi disintegratif, tergantung
konteks hubungan internal atau eksternal umat beragama, yang
juga berlaku sama dalam agama Islam. Dalam hakikatnya, Islam
adalah agama yang berperan sebagai pemersatu (integratif),
sekalipun terkadang terjadi disintegratif, terutama ketika melibatkan
perbedaan-perbedaan faham dalam suatu agama atau kepercayaan.
Di era keterbukaan konflik keagamaan atau konflik bernuansa
agama, memungkinkan muncul pada waktu dan lokasi kapan saja serta
dalam kondisi tertentu. Ini merupakan konsekuensi dari terbukanya
ruang kebebasan informasi dan komunikasi yang seluas-luasnya
bagi seseorang maupun kelompok tertentu dalam memasarkan
gagasan, indoktrinisasi sampai dengan prasangka dan kebenciannya.
Ketika proses pemasaran ini telah dimapankan secara utuh dan terus
menerus dihembuskan dalam domain agama, cenderung masyarakat
mudah tidak terkontrol. Selain memiliki banyak model cara, nuansa
agama pun adalah modal yang menjanjikan untuk dapat cepat
diterima oleh masyarakat.
Dalam memori umat manusia, seluk beluk prasangkan dan
kebencian selalu mengisahkan kekerasan atasnama agama, kalimat
tersebut kerap terdengar ditelinga, saat menyaksikan pelbagai
pemberitaan tentang aksi kekerasan massa. Setidaknya pengalaman
kita tahu terdapat aksi kekerasan massa atasnama agama menyesaki
298 Lihat Hendropuspito. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius 1984 Hal.
57-58
225
berbagai media. Cerita sedih konflik di Ambon dan Poso yang
menewaskan ratusan nyawa, aksi bom Bali, kisah tragis pengeboman
gereja, drama peperangan antara kelompok agama tertentu, aksi
kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah, dan berbagai aliran
kepercayaan yang dianggap sesat dalam kacamata Islam. Ironi
tersebut hadir secara berturut-turut di Indonesia. Keberagaman
budaya dan agama hingga pertalian keduanya seakan menginginkan
tumbal untuk bisa duduk bersama dalam satu meja. Dan yang
menjadi tumbal adalah pemeluk agama sendiri.299
Walaupun watak dasar sesungguhnya manusia (human nature)
pada hakikatnya menginginkan harmoni dalam kehidupan. John
Burton, mengatakan bahwa konflik bukanlah watak manusia. Oleh
karena itu, menurutnya konflik lahir karena struktur sosial ekonomi
yang melingkupi kehidupan manusialah yang memicu lahirnya
konflik terutama ketika kebutuhan dasar manusia yang ia perlukan
tidak terpenuhi.300Tetapi perlu dipahami, ketika relasi hubungan
antara beragama, baik sesama Islam maupun Islam sesama agama
lain dibentuk berdasarkan keinginan serta keuntungan pihak
tertentu, maka seketika itu pula watak dasar manusia dapat berubah
sesuai keinginan pihak yang membentuknya. Watak manusia yang
dasarnya ingin keharmonisan dalam kehidupan akan rusak, ketika
ada kelompok tertentu yang terus melakukan gesekan kepentingan
yang ujungnya lahir suasana disharmoni dalam wujud konflik.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, dunia
semakin maju, kemajuannya jugaselaluberkaitan dengan konflik
dalam tubuh umat Islam, yang semakin memperburuk citra Islam,
sekaligus penanda yang menunjukkan bahwa ternyata banyak umat
yang “sakit”. Mari membaca maraknya perkembangan prasangka
dan ujaran kebencian di era keterbukaan berjubah Islam, tentu
299 Lihat Shofiyullah Mz, dkk. Revitalisasi Humanisme Religius dan
Kebangsaan KH. Wahid Hasyim. Yogyakarta: Pesantren Tebu Ireng, 2011
Hal. 15-16.
300 Lihat Jeffrey Z. Rubin, Dean G. Pruit dan Sung Hee Kim.Social Conflict:
Escalation, Stalemate and Settlement United States of America: McGrawHill, Inc, 1994) Hal. 5
226
bukan hanya sekedar luapan sederhana, karena prasangka dan ujaran
kebencian adalah biang keladi kekerasan, hanya akan mau dilakukan
oleh mereka yang “sakit”. Menengok berbagai kanal era keterbukaan
berbagai provokasi yang banyak berhembus bagai menu harian,
prasangka dan kebencian diproduksi, direproduksi, didistribusikan,
serta dikonsumsi secara masif. Umat Islam dibuat melemah dan tidak
berdaya oleh gejala prasangka dan kebencian yang semakin melabeli
bahwa umat Islam sebagai umat penuh permusuhan, kekerasan,
fanatisme dan terror.
Konseskuensi dari semakin canggihnya teknologi yang
menghubungkan antar manusia adalah keberlimpaham informasi.
Ini pula menjadi ladang yang membahagiakan para orang “sakit”
plus “bigot” bisa saling terhubung satu sama lain, menyebar
manipulasi dan menambah populasi sesama pesakitan. Kondisi ini
pun telah melahirkan pertarungan informasi, setiap saat masyarakat
muslim terpapar berbagai informasi yang dipertukarkan melewati
jejaring media teknologi. Polanya semua hampir sama, memancing
masyarakat untuk terlibat antara bauran fakta dan fantasi.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, masyarakat dibuat melemah
dengan gejala-gejala prasangka dan kebencian, bukan hanya merusak
citra Islam, tetapi telah membuat umat Islam tidak terkontrolmenjadi
keras dalam memaknai nilai Islam dalam memandang perbedaan.
Bila diperhatikan secara seksama, dari segala sudut
keberlimpahan informasi yang ada, dari segi isi dan isu di semua
tempat, di dalamnya pasti tercantum narasi prasangka dan kebencian.
Dari sejumlah fakta yang ada baik dari tema sosial, politik, ekonomi
dll pasti di dalamnya ada ungkapan sarkastik, yang dapat dilihat
sebagai indikasi terjadi proses “transfer” prasangka dan kebencian
secara luas. Melihatindikasi ini, fenomena penyebaran prasangka
dan kebencian tentu dengan simbol dan narasi Islam dapat
disimpulkan sebagai perbuatan yang disengaja. Kalau hal ini adalah
upaya yang disengaja, tentu motifnya bertujuan untuk mereduksi
pikiran umat Islam terhadap nilai-nilai keislaman menjadi nilai-nilai
sebaliknya terjadi dari sang desain. Apalagi kalau yang demikian
dilakukan secara terus menerus dengan isi dan isu yang sama. Dalam
kacamata komunikasi, pola yang seperti ini adalah bagian dari kanal
227
merekonstruksi riil atas Islam yang sesungguhnya. Merekontruksi
riil atas Islam tentu sangat berbahaya, karena Islam hanya akan di
pola sesuai selera yang merekontruksinya.
Menurut Peter L Berger &Thomas Luckmann dalam bukunya
“The Social Construction of Riil ity” bahwa kejadian-kejadian
yang terus diulang-ulang oleh orang atau kelompok adalah sebuah
usaha mengkontruksi makna sesungguhnya riil atas sosial untuk
memapankan dan mempola kejadian-kejadian secara terus menerus
dengan mendistribusikan informasi yang keliru agar dianggap
sahih.301Riil atasnya, ini yang terjadi, dilakukan dengan terus diulangulang, dan cenderung dianggap benar serta disebut sebuah prestasi
umat Islam. Kebencian atasnama Islam adalah berlebihan yang
tidak memiliki dasar berpikir yang kuat tentang Islam bahkan dapat
disebutdengan mengada-ada.302Tidak ada pembenaran yang logis di
dalamnya, yang ada hanyalah prasangka-prasangka yang terlahir
akibat persepsi-persepsi buruk yangterus menerus ditanamkan
kepada diri seseorang bahwa Islam adalah agama yang penuh
dengan kekerasan, kebencian, egois, tidak toleran dan membatasi
pemeluknya dengan aturan-aturan yang ketat sehingga tidak adanya
kebebasan di dalamnya yang berujung persepsi bahwa Islam adalah
kuno dan agama yang membawa kehancuran.
Coba kita tengok kondisi umat Islam yang semakin mudah
tersulut amarahnya, dari buah berbagai prasangka dan ujaran
kebencian yang terjadi selama ini, memiliki modus operandi
yang relatif sama. Muatan umat Islam membentuk satu kesatuan
emosional yang saling terhubung dengan tema-tema yang sudah
dikendalikan atau dibentuk sebelumnya, seperti Anti Ulama vs
Ulama, Anti Islam vs Islam, Kriminilisasi Ulama, Sunni vs Syiah,
Muslim vs Non Muslim. Isi dan isu inilah yang selalu menghuni
301 Lihat Berger, Peter L. & Thomas Luckmann 1990. Tafsir Sosial atas
Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari
buku asli The Social Construction of Reality oleh Hasan Basari). Jakarta:
LP3ES
302 Lihat Andrew Shryock, Islamophobia/Islamophilia Beyond the Politics of
Enemy and Friend. Bloomington: Indiana University Press, 2010 Hal.2
228
ruang keagamaan kita yang terus diulang-ulang tanpa pernah redam
oleh usia, melebar dan muncul kapan saja ketika diinginkan. Tentu
nalar kita tidak bisa menerima secara membabi buta, bahwa setiap
kejadian dengan tema-tema Anti Ulama vs Ulama, Anti Islam vs
Islam, Kriminilisasi Ulama, Sunni vs Syiah, Muslim vs Non Muslim
muncul secara alamiah.
Nalar kritik sangat memahami betul mana yang disengaja, dan
mana yang alamiah. Tentu ketika dua kata yang tidak saling bertemu
diperhadapkan, maka masalah tentunya. Kalau ada masalah, tentu
ada biang masalah. Kita tidak bisa menerima bahwa setiap persoalan,
seperti menebar prasangka dan kebencian yang ujungnya konflik
serta kekerasan adalah sebuah kejadian alamiah, kecuali otak kita
telah rusak beserta dengan segala sel-sel pembentuknya. Memahami
dan menganggap prasangka dan kebencian biang keladi konflik
kekerasan sebagai sebuah yang alamiah dalam Islam tentu anggapan
yang dungu plus jahat, karena secara harfiah maupun hakikat
Islam itu sendiri melawan dua bentuk kejahatan tersebut, karena
sangat jelas mengganggu keharmonisan hidup manusia. Tentu bisa
dipahami, ketika Islam saja melakukan perlawanan pada dua bentuk
yang berbahaya tersebut, sedangkan ada seseorang atau kelompok
tertentu merasa dirinya Islam dan memperjuangkan tema-tema
prasangka dan kebencian, telah dipastikan bahwa sesungguhnya
orang atau kelompok tersebut, telah sengaja memanipulasi informasi
tentang Islam dengan tujuan membuat keribuatan dan merusak Islam.
Indikasi ini pula yang turut serta melibatkan umat Islam
secara umum yang tidak tahu apa-apa, yang semakin memperburuk
keadaan struktur sosial kehidupan masyarakat yang setiap saat
dapat memunculkan konflik kekerasan. Semakin pesatnya tindakan
kekerasan bernuansa Islam belakangan ini, diasumsikan sebagian dari
kulminasi dari rangkaian prasangka dan kebencian yang disuntikan
selama ini melalui saluran-saluran informasi, sehingga berimpilkasi
tidak terkontrolnya masyarakat pada anggapan kebenaran yang ada
pada dirinya sendiri (religiusitas solipsisme) yang terus bergerak
pada pencapaian peniadaan kelompok keyakinan dan agama yang
lain.
229
Tentu ini akan membuat bangunan keislaman “hancur
berantakan”, umat Islam tidak akan terkontrol dengan berbagai nilai
yang mereka pahami dari berbagai pikiran negatif yang disuntikkan
dari berbagai sentimen emosional penuh dengan prasangka dan
kebencian. Penyakit yang tidak hanya menggerogoti nalar berfikir,
tetapi tindakan tersebut akan menjadi luapan negatif terhadap orang
atau kelompok berbeda, tentu ini bukan cara Islam. Kesimpulan
sederhananya, jika model narasi Islam hanya tebaran prasangka dan
kebencian, tentu memiliki tujuan mengelabui, serta menipu umat
Islam. Jika umat telah tertipu, tentu akan mengubah imunitas nalarnya
terhadap nilai yang bersebrangan dengan nilai yang sesungguhnya.
Apalagi ketika dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus,
akan membenam kuat dalam memori umat Islam.
Kejadian-kejadian yang dapat dengan mudah menyulut emosi
ini tidak boleh dianggap biasa, tetapi semua ini sudah dilakukan
secara masif dan terorganisir di tengah kehidupan umat Islam.
Yang membuat kita baru melek dan kaget setengah mati, bahwa
ternyata umat Islam sudah separah ini, karena data teknologi media
mengatakan tingkat prasangka dan ujaran kebencian semakin
meningkat, menandakan bahwa gerakan ini bukan baru, tetapi telah
terstruktur secara rapi yang setiap saat mengedus keharmonisan dan
kerukunan umat beragama. Belum lagi kita ketahui secara seksama,
bahwa teknologi media telah menjadi penyambung lidah para kaum
bigot dalam memasifkan gerakan kekerasan berbau agama.
Dampak pola hasut prasangka dan kebencian yang berakhir
dengan kekerasan atasnama agama, dapat kita lihat dalam lembaran
sejarah pada awal tahun 1970-an dan 1990-an. Kelompok seperti
Komando Jihad, Ali Imron, Terror Warman dan semacamnya
muncul ke permukaan. Kelompok ini menyatakan perang terhadap
komunisme di Indonesia. Ketika masa reformasi, gerakan Islam
garis keras juga bermunculan. Gerakan Front Pembela Islam, Laskar
Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia, dan lain-lainnya menunjukkan
hal itu. Kemunculan mereka sebagai wujud dari respon psikologis
yang tertunda (delayed psychological responses) terhadap kekuasan
yang otoriter, sesungguhnya adalah fenomena biasa ketika pintu
230
keterbukaan terbuka.303 Tentu sangat biasa bagi era keterbukaan,
yang kanal informasi sangat berlimpah memberikan kita keteranganketerangan tentang kejadian tersebut. Pertanyaan kemudian,
sejak kapan dan apakah kejadian ini tiba-tiba muncul tanpa ada
pembentuknya ?, tentu tidak. Hukum kausalitatif menyatakan setiap
ada akibat pasti ada sebab, dan setiap sebab yang menjadi pengada
akibat pasti ada perencanaan yang matang. Ini menegasikan bahwa
setiap konflik dan kekerasan telah direncanakan sebelumnya, tidak
terbentuk secara alami. Artinya, berlaku sama bahwa masifnya
ujaran kebencian yang menghinggapi umat Islam saat ini, tidak
datang secara kebetulan, tetapi dibentuk dan direncanakan secara
matang. Apalagi kita sangat mengetahui betul bahwa Islam bukan
agama kebencian, kekerasan, tetapi agama dengan panji kedamaian.
Mari pula kita menengok salah satu kasus pengabsahan
prasangka dan kebencian antar sesama umat Islam, yang kemudian
berujung konflik kekerasan hanya selang beberapa hari setelah
peluncuran laporan tahunan kehidupan beragama 2010 pada 1
Februari 2011, harapan bahwa pada 2011 kekerasan akan menurun
langsung tertolak. Kasus lama terkait Ahmadiyah mencapai tingkat
kekerasan baru dengan drastis ketiga tiga orang Ahmadiyah
terbunuh dengan mengenaskan di Cikeusik, dan minggu berikutnya
beberapa fasilitas publik, termasuk gereja, menjadi sasaran amuk
massa di Temanggung setelah pengadilan terkait kasus penodaan
selesai. Di penghujung tahun, kekerasan lain dengan skala besar,
melibatkan pembakaran bangunan pesantren dan memaksa ratusan
orang pengikut Syi’ah menjadi pengungsi selama sebulan, terjadi di
Sampang, Madura.304
Ini bukan konflik kekerasan yang alamiah yang datang
tiba-tiba tanpa ada pembentuknya, berdasarkan banyak sumber
menyatakan puncak kekerasan muncul setelah ada dinamika hasut,
prasangka dan kebencian yang berkepanjangan dari seluruh kejadian
303 Lihat John L. Esposito, Saatnya Muslim Bicara. Bandung: Mizan, 2008
304 Lihat Zainal Abidin Bagir et al., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di
Indonesia. Yogyakarta: CRCS, 2012
231
hingga puncaknya terjadi kekerasan berdarah sampai dengan
kematian. Tentu nalar sempit kita dapat memahami dalam proses
dinamika tersebut, dengan berbagai prasangka dan ujaran kebencian
memuncak hingga melahirkan konflik kekerasan karena sangat
mustahil ketika konflik kekerasan muncul kalau tidak ada pengefek
puncak yang mengakibatkan umat Islam saling membantai sesama
Islam dan sesama saudara dalam kemanusiaan. Sekali lagi kejadian
ini bukan disengaja, tetapi dibentuk sedemikian terorganisir untuk
membenturkan sesama umat Islam, serta umat Islam dengan umat
agama lainnya. Sedihnya, kejadian-kejadian bringas terus diulangulang dan dibanggakan, yang mengajarkan kita satu fakta bahwa
umat Islam adalah umat yang mudah termakan hasutan.
Kisah sedih ini sekaligus menyimpulkan bahwa kita tidak bisa
mengelak dari fakta terdekat bahwa telah terjadi proses rekontruksi
riil atas narasi Islam. Dimanipulasi seperti yang diutarakan oleh Peter
L Berger &Thomas Luckmann sangat relevan dalam menggambarkan
fenomena maraknya modus prasangka dan kebencian yang terjadi
saat ini, bukan tidak disengaja, tetapi telah disengaja dilakukan
untuk mengubah persepsi umat Islam, dengan membangun struktur
pengabsahan tindakan yang terus diulang-ulang agar dianggap halal
atau shahi dalam Islam. Penanda ini sekaligus menjelaskan kepada
kita semua, bahwa umat Islam telah diarahkan untuk menjadi bengis
sesuai dengan sudut pandang kelompok tertentu yang membawa
teologi maut yang menjadi model yang mudah dipercaya untuk
menggerakkan umat Islam saat ini.
Sekali lagi bahwa kejadian-kejadian beringas yang melibatkan
umat Islam sebagai pelaku konflik kekerasan adalah kejadian yang
dibentuk secara sengaja, di dalamnya ada motif-motif kepentingan
pihak tertentu. Sikap tersebut tidak hanya merusak citra agama Islam
sebagai agama yang cinta damai dan anti kekerasan, tetapi juga akan
merugikan dunia Islam dalam percaturan global khususnya dibidang
politik, ekonomi, perdagangan, ilmu pengetahuan serta agama.
Shyock mengatakan bahwa ini dilakukan untuk memunculkan sebuah
ketakutan akan Islam dan Muslim untuk menggambarkan sebuah
232
keadaan, dimana orang membenci Muslim atau takut tehadap Islam.305
Fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya, pertentangan
antara Syiah dan Sunni di Indonesia tidak pernah berujuang saling
bentrok antara satu sama lain, ini dapat dibuktikan pada tahun
1990an perdebatan antara wacana anti Syiah sudah ada, walaupun
tidak sebesar sekarang. Beberapa ulama saling berdebat mengenai
status sesat atau tidaknya yang melekat pada penganut Syiah.
Namun demikian, peredebatan dan perseteruan para ulamat pada
waktu itu masih dalam bingkai akademik dan “beradab” dimana
perbedaan para ulama yang biasa dituangkan melalui berbagai
tulisan mengenai pandangannya tentang Syiah ke dalam buku, atau
saling berdialog antara kedua. Sebagian lain datang bertandang
dalam bentuk silahtruahmi ke lembaga yang dianggap Syiah, dan
meminta klarifikasi atas wacana anti Syiah yang berkembang di
masyarakat umum pada saat itu. Namun, kondisi ini tidak sampai
melahirkan konflik kekerasan antara sesama penganut agama, yang
ada mereka saling meminta keterangan yang “beretika dan “beradab”
atas wacana Islam yang mereka pahami.
Tiba-tiba berubah begitu drastis setelah serangan 11 September
(9/11) di New York dan AS menginvasi Afghanistas di tahu 2002 dan
Irak di tahun 2003. Sebagaimana dikatakan Haddad dalam kajiannya
mengenai sektarianisme di Irak, perubahan politik yang dibuat oleh
AS melalui aksi militernya telah mempertajam hubungan antara
Sunni dan Syiah. 306 Sejak itu, kondisi geopolitik di Timur Tengah
selalu diwarnai dengan konflik sektrian di desa-desa di Irak, yang
dimana sebelumnya terdiri kaum Sunni dan Syiah hidup berbaur,
kini mesti terpisah berdasarkan masing-masing etnis dan mahzab.
Selain itu, arus demokratisasi yang dikenal dengan ‘Arab Spring’
yang menyapu kawasan Timur Tengah, sebagaimana yang telah yang
telah dijelaskan di atas, melahirkan konflik sektrianisme dimana
305 Lihat Andrew Shryock, Islamophobia/Islamophilia Beyond the Politics of
Enemy and Friend Bloomington: Indiana University Press, 2010 Hal. 2
306 Lihat Fanar Haddad, Sectarianisme in Irak: Antagonistic Vision of Unility,
New York: Oxford Unility Press, 2011.
233
negara-negara monarki memainkan peranan penting didalamnya.307
Secara langsung dan tidak langsung, konflik Timur Tengah ini
memengaruhi Indonesia. Melalui internet, sebagian Muslim berusaha
memahami konflik yang terjadi di Timur Tengah tapi melalui teks
atau narasi yang diproduksi oleh aktor-aktor yang memainkan
wacana sektarian. Wacana ini mereka dapatkan dari blog-blog Salafi
dan media-media yang secara inheren “anti Syiah” dan anti Iran.
Selain itu, banyak para ulama dan da’i dari Indonesia yang belajar ke
Arab Saudi, menimbah ilmu disana, dan mempelajari Islam dengan
oplatfrm Wahhabi yang juga anti Syiah. Sekembalinya ke tanah
air, platform pendidikan Islam Wahhabi ini pun kemudian disebar
melalui mejlis-majlis taklim yang mudah diakses oleh masyarakat
umum. Terakhir, Arab Saudi juga menggelontorkan dana dengan
jumlah yang sangat besar kepada organisasi-organisasi Islam di
seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia yang mempromosikan
agenda sektarian yang memojokkan Syiah dan Iran.308
Fakta yang sangat jelas terpampang dihadapan kita semua, telah
memberikan gambaran bahwa kita tidak bisa mengelak dari dibalik
fenomena hasut prasangka, kebencian hingga kekerasan atasnama
Islam dibaliknya ada aktor-aktor yang memainkan wacana yang tidak
bermutu yang dibayai oleh pihak asing yang bermain mata dengan
kelompok Islam tertentu, untuk merontokkan kerukunan masyarakat,
dan persaudaraan antara sesama umat beragama. Terlepas disadari
atau tidak disadari, bahwa peranan umat Islam yang semakin
memperlebar jurang perbedaan antara sesama kelompok keagamaan
yang beraktivitas dalam ruang hidup masyakat ada campur tangan
umat Islam itu sendiri, memiliki kepentingan-kepentingan besar
yang disokong oleh cukong yang menginginkan umat beragama
saling menebar ketakutan.
Beberapa media yang sering menggulirkan opini bahwa
Islam adalah agama yang menganjurkan permusuhan, kekerasan,
307 Lihat Jurnal Maarif, Arus Pemikiran Islam dan Sosial: Syiah, Sektrianisme,
dan Geopolitik: Vol. 10, 2015 Hal. 27
308 Lihat Jurnal Maarif Vol. 10, 2015, Ibid Hal 27
234
fanatisme dan terror adalah merupakan tuduhan yang telah sengaja
disebarkan untuk memperburuk citra agama Islam.309Asumsi lain,
karena mereka tahu bahwa selama ini kaum Muslim selalu berpecah
dan tidak bersatu. Setiap kali ada permasalahan tentang umat Islam,
para tokoh Muslim tidak pernah kompak. Bila mereka mengetahui
peta kekuatan umat yang mudah rapuh dengan gampang mereka akan
menyerang kita dari segala penjuru dan berbagai cara.310Kita tidak
bisa mengelak dari fakta yang ada kecuali nalar kita sedang “sakit”
bahwa fenomena umat Islam yang kejam adalah proyek besar dunia
yang ingin merusak citra Islam serta ingin memanipulasi sumber
nilai Islam berdasarkan tujuan proyek besarnya, yang kemudian
saya sebut sebagai “proyek besar rekontruksi riil atas nilai Islam ”
bagi pemeluk Islam dari “ramah” menjadi “bengis” kesetanan.
Era keterbukaan harus disadari sebagai domain yang tidak
kalah penting dalam mempertegas dan memperkuat pola serta
struktur rekontruksi riil atas nilai keislaman yang ada saat ini. Hasil
survai yang dilakukan oleh Yayasan Denny JA dan LSI Community
(MI:2012, menunjukkan bahwa trend intoleransi masyarakat
Indonesia terus meningkat. Masyarakat merasa semakin tak nyaman
akan keberadaan orang lain yang berbeda identitas (berbeda agama,
maupun berbeda aliran dalam satu agama) disekitarnya. Di tahu
2005, mereka yang keberatan hidup berdampingan dengan yang
berbeda agama mencakup 6,9 % dan mengalami kenaikan menjadi
15 % pada tahun 2012. Sedangkan mereka yang keberatan untuk
hidup berdampingan dengan orang yang berbeda aliran (Syiah)
sebesar 26,7 % pada tahun 2005, kemudian naik menjadi 41,8 %
pada tahun 2012. Publik yang keberatan untuk hidup berdampingan
dengan yang berbeda identitas tersebut, mayoritas adalah mereka
yang berpendidikan dan berpenghasilan rendah (SMA ke bawah),
yakni sekitar (67,8 %) keberatan untuk bertetangga dengan yang
berbeda agama dan (61,2 %) keberatan untuk bertetangga dengan
orang Syiah. Sedangkan mereka yang berpendidikan tinggi (SMA ke
309 Lihat Deepa Kumar, Islamophobia and the Politics of Emire. Chicago:
Haymarket Books, 2012 Hal. 12
310 Lihat Ahmad Fatoni el-Kaysi. Op cit Hal. 5
235
atas), (32,2 %) tak nyaman bertetangga dengan yang berbeda agama
dan (38,8 %) keberatan untuk bertetangga dengan orang Syiah.311
Fakta di atas, setidaknya melukiskan telah proses manipulasi
nilai dan ajaran Islam telah memperhadapkan umat Islam sebagai
penganut yang menolak hidup berdampingan antara sesama Islam
yang memiliki perbedaan aliran atau agama, menunjukkan bahwa
kesadaran berIslam umat Islam telah diujung tanduk yang rentang
konflik. Terlepas bahwa kita ingin menyebut gejala ini dengan sebutan
apapun, tetapi yang pastinya umat Islam hari ini, telah berbeda dengan
umat yang dinginkan oleh Islam itu sendiri. Tentu yang merasa cinta
dengan Islam, tidak boleh hanya diam dengan duduk bersantai ria
dengan sajak-sajak romantisnya sambil menunggu pengikutnya
melakukan sungkem. Diam tidak menyelesaikan masalah, karena ini
bukan persoalan yang datang secara alami, tetapi dibentuk sesuai
fakta yang telah dipaparkan sebelumnya. Para perekontruksi riil
atas keislaman tidak pernah diam menyuntikkan berbagai virus
yang menggrogoti nalar umat Islam, dan tidak akan berhenti sampai
mereka merasa dominan disetiap nalar umat Islam.
Gerakan manipulasi atau yang lebih tepat memalsukan ajaran
Islam, mudah diterima tidak terlepas dari beberapa pendekatan
yang dilakukan oleh kelompok Islam tersebut. Pertama, umat Islam
dipersempit interaksinya antar sesama umat Islam dan umat lainnya
dengan berbagai prasangka. Memanipulasi informasi dengan
berbagai prasangka-prasangka negatif terhadap sesama umat muslim
dan umat agama lainnya. Seperti prasangka anti Islam terhadap tokoh
tertentu sampai dengan umat yang berkeyakinan berbeda. Kedua,
generalisasi persoalan, satu agamawan yang memiliki masalah hukum
telah dijadikan sebagai persoalan umat Islam secara keseluruhan.
Ini terus dikampanyekan berulang-ulang dan terus menerus tentang
kriminalisasi terhadap ulama Islam. Generalisasi persoalan hukum
yang bisa saja menimpa siapapun termasuk figur agamawan tertentu
merambah menjadi masalah dalam Islam, kenapa kasus ini sangat
cepat diterima, karena standar keulamaan kita pun sangat general
311 Lihat Jurnal Maarif, Vol. 10, 2015. Op cit.
236
walaupun kadang mendramatisir. Ketiga, terjadinya pemasaran dan
indoktrinisasi karakteristik budaya tertentu menjadi budaya Islam.
Sehingga umat Islam terjebak dalam memperbandingkan perbedaan
budaya yang ada. Namun yang lebih penting diamati adalah fenomena
membenturkan budaya Arab dengan budaya lokal. Dimana budaya
Arab diinternalisasikan sebagai budaya Islam, yang harus digunakan
oleh umat Islam.
Ketiga faktor-faktor di atas sedikitnya, sangat determinant
memengaruhi nalar umat Islam mudah menerima begitu saja berbagai
hasutan. Transformasipesan keagamaan pun berubah menjadi penuh
dengan berbagai prasangka dan kebencian antar sesama umat Islam
menjadi ekspresi yang banyak ditemukan di group-group chat
internet. Telah mempersempit nalar umat Islam didasarkan pada
kelompoknya masing-masing, yang semakin menguatnya prasangka
dan kebencian sesama umat Islam. Newcom, menyatakan bahwa
prasangka adalah sikap yang tidak baik dan dapat dianggap sebagai
suatu predisposisi untuk mempersepsi, berfikir, merasa dan bertindak
dengan cara-cara yang “menentang” atau “mendekati” orang-orang
lain, terutama sebagai anggota-anggota kelompok.312
Ada empat elemen yang menjadi bagian penguat, sehingga
upaya merekontruksi riil atas menyatu dengan tindakan-tindakan
pembenaran kekerasan atasnama Islam. Keempat elemen tersebut
adalah penetrasi, yang memposisikan dirinya sebagai penganut Islam
yang dominan, tetapi sedang mengalami diskriminasi dari kelompok
minoritas, sehingga memungkinkan mereka leluasa mendapati
simpati dari umat Islam lainnya. Selanjutnya melakukan pembelahan
(segmentasi) kepada Islam selainnya dengan memberikan pandangan
yang sangat parsial mengenai apa yang terjadi. Kemudian melakukan
proses peminggiran (marjinalisasi) kepada kelompok Islam yang
notabene yang tepat untuk dijadikan rujukan pertimbangan, agar
dijauhi oleh umat Islam. Keempat, melakukan tindakan kekerasan
yang dialamatkan untuk dirinya sendiri, yang kemudian digunakan
312 Lihat Newcomb T.M. Psikologi Sosial. Bandung: Diponegoro, 1985 Hal.
564.
237
untuk melindungi dirinya dari kepercayaan umat Islam atas
kedzaliman yang dihadapi untuk membentuk fanatisme umat Islam
terhadap kelompok tersebut.
Jika ditelusuri secara mendalam mengapa kelompok Islam
dapat dengan mudah bermain mata dengan para aktor-aktor yang
memiliki kepentingan dalam merusak persatuan Islam, sekaligus
cenderung bermain api dengan konflik kekerasan yang bernuansa
agama, ini tidak lebih di dominasi oleh perseteruan menyangkut
nilai, klaim dan identitas tertentu, konflik bernuansa agama
merupakan perseteruan ladang kepentingan sosial dan politik
yang melibatkan isu-isu keagamaan atau isu-isu yang dibingkai
dalam slogan atau ungkapan keagamaan.Tidak bisa dinafikan pula,
kecenderungan ini yang membawa malapetaka terhadap dunia
Islam, karena heterogenitas kepentingan sepihak seperti kepentingan
nilai-nilai keyakinan, yang terpolarisasi dari berbagai kepentingan
atau keyakinan dari suatu kelompok yang merasa tidak terwadahi
aspirasinya dan cenderung merasa terdiskriminasi oleh kepentingankepentingan yang lebih besar.
Mungkin sudah saatnya, kalangan Islam menggodam nalar
dan kepentingannya dengan palu keadaban dengan pesan-pesan
suci kenabian, dengan meletakkan berbagai sekapur siripelecehan
dan pertikaian dengan kembali memperteguh nilai-nilai toleransi.
Seseorang apapun kelompoknya harus diberikan kebebasan untuk
meyakini dan memeluk aliran dan agama yang dipilihnya masingmasing serta memberikan penghormatan atas pelaksanaan ajaranajaran yang dianut atau diyakininya. Ketika komponen ini telah
menjadi riil atas umat Islam, sinyalemen-sinyalemen fenomena
kekerasan akan dapat dihindari.
Maka, kunci untuk menyelesaikan kondisi yang berbahaya
dan carut marut ini adalah kembali pada basis ontologis dan
fenomenalogis keislaman yang sesungguhnya, yang lebih menitik
beratkan pada nilai bersama, bahwa Islam adalah agama yang
berlandaskan keluruhan budi pekerti antara sesama manusia, apapun
aliran dan agama yang dianutnya. Kesadaran itulah yang harus
dimunculkan kembali, dengan cara menghilangkan kepentingan
238
partikularitisk kelompok keagamaan di atas kepentingan unversal
Islam. Kita memang tidak bisa menafikan bahwa setiap kelompok
Islam memiliki standar kebenaran yang dipahami masing-masing,
yang memang sejak awal hadir sebagai entitas khasanah dalam Islam,
tetapi perbedaan itu tidak di klaim sebagai kebenaran sejatinya, yang
menyudutkan kelompok lain kepada pojok kesalahan. Umat Islam
harus kembali ke ruh dasarnya sebagai penganut yang di dalamnya
terangkum kecerdasan baik basis eksoterik maupun esoterik untuk
membangun kehidupan umat Islam yang memiliki jejak spiritual dan
kultural.
Hal lain adalah perlunya reinterpretasi doktrin-doktrin dan
teks-teks keagamaan. Agar tidak saling menyalahkan antara seluruh
penafsir doktrin dan teks-teks keagamaan, karena memang proses
penafsiran kadang menjadi alasan terciptanya masalah-masalah dari
proses memahami teks-teks keagamaan yang tidaklah mudah, butuh
berbagai kualifikasi dalam memahaminya, dan kemudianumat
Islam harus lebih lebih memperdalam lagi ilmunya terutama yang
berkaitan dengan esensi ajaran Islam.
239
Daftar Pustaka
Ahnaf, M.I. “Local Elections and Intolerance: A Lesson from
Sampang,”Perspectives on Religious Life in Indonesia, 2014
Volume 3
Bagir, Zainal Abidin (et al.). Laporan Tahunan Kehidupan Beragama
di Indonesia. Yogyakarta: CRCS, 2012
Berger, Peter L. & Thomas Luckmann 1990. Tafsir Sosial
atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan
(diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Riil
ity oleh Hasan Basari). Jakarta: LP3ES
el-Kaysi, Ahmad Fatoni. Ayat Kursi Untuk Perlindungan Diri.
Yogyakarta: Mutiara Media, 2009
Effendy, Onong Uchjana. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung:
Alumni, 1981
Esposito, John L. Saatnya Muslim Bicara. Bandung: Mizan, 2008
Gerungan, W.A. Psichologi Sosial. PT Eresco, 1981
Haddad, Fanar. Sectarianisme in Irak: Antagonistic Vision of Unility,
New York: Oxford Unility Press, 2011.
Heryanto, Gun-gun. “Relasi Kuasa Media di Panggung Politik.
Yogyakarta: IRCiSoD, 2018
Hendropuspito. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius 1984
Jurnal Maarif, Arus Pemikiran Islam dan Sosial: Syiah, Sektrianisme,
dan Geopolitik, Vol.10, 2015.
Kumar, Deepa. Islam ophobia and the Politics of Emire. Chicago:
Haymarket Books, 2012
Maarif, Ahmad Syafii. Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme
Kita. Jakarat, Yayasan Abad Demokrasi, 2012
Maarif, Ahmad Syafii. Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam.
240
Jakarta: Bunyan, 2018
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dalam bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah. Jakarta: Mizan, 2015
Muzammil, Shofiyullah (dkk.). Revitalisasi Humanisme Religius
dan Kebangsaan KH. Wahid Hasyim. Yogyakarta: Pesantren
Tebu Ireng, 2011
Newcomb, Theodore M. Psikologi Sosial. Bandung: Diponegoro,
1985
Rubin, Jeffrey Z; Pruit, Dean G.; dan Kim, Sung Hee. Social
Conflict: Escalation, Stalemate and Settlement United States
of America: McGraw-Hill, Inc, 1994
Sardar. Information and the Muslim World: A Strategy fo the Twentyfirst Century, diterjemahkan Priyono dan Ilyas Hasan dengan
judul Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau Informasi
Cet. I; Bandung: Mizan, 1988
Shryock, Andrew. Islam Ophobia/Islam Ophilia Beyond the Politics
of Enemy and Friend. Bloomington: Indiana University Press,
2010
Suryana, A. Toto. Islam Pola Pikir, Perilaku dan Amal. Bandung:
CV. Mughni Sejahtera, 2008
Tim Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan Balai Litbang
Jakarta, “Mencari Solusi Konflik dan Kekerasan Internal Umat
Beragama,” Laporan Penelitian, 2003.
Yunis, Muhammad. Politik Pengkafiran dan Petaka Kaum Beriman:
Sejarah Politik, dan HAM. Terj. Dahyar Afkar. Yogyakarta:
Pilar Media, 2006
241
KEAGAMAAN DAN KEKUASAAN:
CITRA ISLAM DALAM ATURAN BERBUSANA MUSLIM
DI KABUPATEN AGAM, SUMATERA BARAT
Robby Kurniawan
Pendahuluan
Sumatera Barat adalah salah satu provinsi yang menerapkan
aturan bernuasa agama Islam (syariah) di Indonesia. Sampai hari ini
beberapa aturan pokok, berbentuk instruksi dan peraturan daerah
(Perda), masih dinyatakan berlaku dan legitimit mengatur urusan
hidup masyarakat. Jika dikelompokkan, aturan bernuasa agama
Islam di Sumatera Barat terdiri atas empat tema utama; kewajiban
pandai baca tulis al-Qur’an, zakat, berpakaian muslim, dan aturan
tentang perilaku muslim. Pengelompokkan ini berdasarkan tipologi
Perda syariah yang dilakukan Dani Muhatada. Ia mengatakan ada
tujuh tipologi Perda syariah di Indonesia,Pertama, Perda-perda
yang terkait dengan moralitas. Ini meliputi Perda-perda tentang
pelarangan minuman keras, prostitusi, atau perjudian. Kedua, Perdaperda yang terkait dengan kebijakan zakat, infaq, dan sadaqah.
Ketiga, Perda-perda yang terkait dengan pendidikan Islam. Ini
meliputiPerdatentang madrasah diniyah dan baca tulis al-Qur’an.
Keempat, Perda-perda yang terkait dengan pengembangan ekonomi
Islam. Ini mencakupPerdatentang Baitul Mal wat Tamwil (BMT)
dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Kelima, Perdaperda tentang keimanan seorang Muslim. Ini termasuk peraturan
tentang larangan kegiatan Ahmadiyah atau sekte-sekte Muslim
242
yang dianggap sesat lainnya. Keenam, Perda-perda tentang busana
Muslim, termasuk kewajiban mengenakan jilbab bagi perempuan.
Ketujuh, Perda-perdasyariah dalam kategori lain-lain. Perda-perda
dalam kategori ini misalnyaPerdatentang Masjid agung, pelayanan
haji, dan penyambutan Ramadhan.313
Meski masih terbatas pada empat tema pokok, tidak menutup
kemungkinan pemerintah Sumatera Barat mengembangkan aturan
hukum bernuansa syariah di kemudian hari. Indikasi atas penambahan
aturan dan pengembangan tersebut terlihat dalam pengawalan aturan
syariah yang telah dilakukan sebelumnya. Salah satu contoh, ketika
Menteri Dalam Negeri, pada 2016 lalu, melakukan peninjauan atas
berbagai aturan daerah di setiap provinsi, Sumatera Barat termasuk
reaktif menanggapi isu dihapuskannya Perda Syariah. Tindakan
reaktif menangkis Perda yang sering dikritisi mengandung muatan
intoleransi ini terlihat, salah satunya, dari statemen Walikota
Padang. Ia mengatakan, pemerintah Kota Padang siap melakukan
perlawanan jika aturan syariah yang berlaku di wilayahnya dihapus
oleh pemerintah pusat.314Dukungan atas pemberlakuan aturan
syariah tersebut juga dilakukan oleh para ulama. Tokoh agama ini
juga tak jarang berlaku reaktif atas upaya peninjauan kembali Perda
syariah. Baru-baru ini dapat dilihat bagaimana Ketua MUI Sumatera
Barat menjatuhkan fatwa haram memilih partai atau calon anggota
legislatif yang menolak Perda syariah.315
313 Dani Muhtada, Perda Syariah di Indonesia: Penyebaran, Problem, dan
Tantangannya, orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis VII Fakultas Hukum
Universitas Negeri Semarang pada tanggal 4 Desember 2014 di Semarang.
Dalam orasinya, dani mengatakan, Perda Syariah adalah ìsetiap peraturan
yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang secara langsung maupun
tidak langsung terkait, atau setidak-tidaknya dianggap terkait, dengan
hukum atau norma-norma ke-Islamanî.
314 Lihat laporan berjudul Jika PerdaSyariah Dicabut, Pemko Padang Siap
Melawan, https://www.harianhaluan.com diakses 14 Agustus 2018.
315 Sikap Ketua MUI ini muncul sebagai respon atas statemen pimpinan salah
satu partai Politik Indonesia atas perda syariah. GusrizalGazahar, Ketua
MUI Sumatera Barat, menyampaikan, “Bila berita itu benar adanya, maka
dengan berserah diri kepada Allah, saya GusrizalGazahar menyatakan
243
Pembicaraan tentang Perda syariah selalu bersisi problematik,
terlebih jika persoalan tersebut dilihat dari faktor kemunculannya.
Dani mengatakan setidaknya ada empat alasan yang mendasari
lahirnya Perda syariah, yaitu:
Pertama, untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari
kasus korupsi yang menimpa elit politik setempat. Kedua, untuk
mendapatkan dukungan politik dari masyarakat Islam. Ketiga,
adanya faktor kesejarahan, yaitu keterkaitan daerahPerdasyariah
dengan sejarah gerakan DI/TII di masa lampau. Keempat, kurangnya
kapasitas teknis pada birokrat di pemerintahan daerah. Dari empat
alasan tersebut, dua alasan bersifat politis, satu alasan bersifat
kultural, dan satu alasan lain bersifat administratif. Para peneliti lain
seperti Suaedy (2009), Buehler (2008), dan Ichwan (2007) lebih
menekankan aspek politis di balik kemunculan Perda-perdasyariah
di Indonesia. Buehler (2008), misalnya, berpendapat bahwa
lahirnyaPerdasyariah merupakan strategi politik para elit di daerah
untuk meraih kuasa di tengah kompetisi yang semakin ketat di antara
kelompok politik lokal.316
Faktor-faktor tersebut membuat keberadaan Perda syariah
tidak sebatas pada persoalan hukum semata. Perda syariah juga
terkait dengan kebudayaan, politik, dan juga persoalan keislaman.
Tulisan ini akan mencoba melihat satu sisi kecil saja dari fenomena
Perda syariah di Sumatera Barat, yakni Perda Berbusana Muslim.
Tulisan ini juga akan berfokus pada aturan di salah satu kabupaten
saja di Sumatera Barat, Kabupaten Agam. Pemilihan kabupaten ini
dikarenakan daerah tersebutmenggunakan Islam sebagai salah satu
visi pemerintahannya.317
kepada seluruh umat Islam di negeri ini khususnya di Ranah Minang:
Haram hukumnya memilih partai dan siapa pun yang diusung oleh partai
tersebut,” lihat laporan berjudul Tokoh Ulama Sumbar Haramkan Pilih PSI
di Pemilu 2019, https://www.viva.co.id
316 Dani Muhtada, PerdaSyariah di Indonesia: Penyebaran, Problem, dan
Tantangannya, orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis VII Fakultas Hukum
Universitas Negeri Semarang pada tanggal 4 Desember 2014 di Semarang.
317 Salah satu visi Kabupaten Agam adalah agamais. Dijelaskan lebih
244
Jika dilihat dari kemunculan Perda berbusana muslim di
Sumatera Barat, aturan tersebut pada mulanya hanyalah bersifat
anjuran. Dimulai di suatu kota kecil, Panjang Panjang, pada tahun
1998, himbauan tersebut kemudian hari diterapkan dengan aturan
yang legitimit dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).318 Kabupaten
Solok merupakan pelopor lahirnya Perda tentang wajib berbusana
muslim, melalui Perda No 6 tahun 2002 tentang berpakaian muslim
dan muslimah. Hingga kini tercatat hampir seluruh kabupaten dan
kota di Sumatera Barat menerapkan aturan tersebut.319
Kabupaten Agam menerapkan aturan wajib berbusana
muslim pada tahun 2005. Bupati Agam, Indra Catri, mengatakan
pemberlakukan kewajiban berbusana muslim adalah bentuk
penerapan visi Kabupaten Agam, yakni Agam Mandiri dan Madani.
Perda inipun selanjutnya dilengkapi dengan himbauan untuk
mengombinasikannya dengan pakaian adat bagi PNS dihari-hari
tertentu. Namun himbauan yang terakhir ini tidak menjadi kewajiban
legal, karena bupati ingin anjurannya itu berangkat dari keinginan
para PNS.320
lanjut, “Islam menjadi pedoman dan referensi utama yang membimbing
dan mengarahkan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Karena Islam
meberikan kita energi dan kekuatan untuk melakukan semua jenis
kebaikan, dan pada waktu yang sama, juga meberikan kekuatan yang dapat
mencegah kita dari semua jenis perbuatan buruk.” Lihat: https://agam.
go.id
318 Peraturan Daerah (Perda) adalah salah satu bagian dari kebijakan publik.
Perda adalah satu produk hukum yang diatur legalitasnya dalam Konstitusi,
disusun oleh DPRD atau Bupati daerah setempat.
319
Pada tahun 1998, himbauanberbusana muslim di Padang Panjang
ketika itu dirumuskan oleh DPRD dan Pemkot Padang Panjang. Aturan
Kota yang dikenal dengan sebutan kota serambi mekkah ini mendapat
apresiasi yang signifikan. Setelah Perda diberlakukan di Kabupen Solok,
diikuti oleh Kabupaten Pasaman,dan kabupaten lainnya, termasuk
Kabupaten Agam pada tahun 2005.Lihat harianhaluan.com, Fenomena di
Kalangan Pelajar Pakaian Muslim Sekedar Seragam (15/3/2016).
320 http://www.beritasatu.com/nasional/237847-pemkab-agaminstruksikan-pemakaian-pakaian-muslim-untuk-pns.html
245
Secara umum, meski belakangan hari Perda tentang kewajiban
berbusana muslim ini mendapat kritikan dari berbagai pihak,
mayoritas masyarakat Sumatera Barat tetap mendukung Perda ini.
Gubernur Sumbar pun mengatakan, Perda ini sebagai bentuk aplikasi
dari falsafah Minangakabau, “adat basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah”.321 Falsafah ini memang menjadi tonggak peradaban di
Minangkabau.322
Selain itu, Perda ini mengamini keinginan masyarakat untuk
kembali ke nagari323 pasca Otonomi Daerah. Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2005 tentang perubahan atas UU Nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan PP No 25 tahun 2000
tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai
321 http://m.republika.co.id/berita/pemilu/menuju-ri-1/14/06/09/n6ulikpenghapusan-perda-syariah-usulan-jokowijk-bertentangan-dengan-adatminang.
322 Falsafah Minangkabau yang dimanifestasikan dalam adagium Adat Basandi
Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalalah pondasi berpikir kebudayaan
Minangkabau, baik dalam menjalankan kehidupan sehari-hari maupun
dalam merumuskan kebijakan. Ia telah menjadi norma. Dalam falsafat ini,
dimensi agama/religiusitas/islam tidak dapat dilepaskan. Sejarah masuknya
Islam di Minangkabau, yang nantinya membesar dalam teritorial sumatera
Barat, ikut mewarnai perubahan sendi-sendi Minangkabau klasik. Lihat
Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: Panjimas, 1984), hlm. 1721. Dalam Kajian Akademis lainnya disebutkan Adagium ini telah menjadi
pandangan hidup yang menentukan keberhasilan-kegagalanan hidup di
alam Minangkabau. Lihat Suparman Khan, Etika Minangkabau: Suatu
Analisa Filosofis tentang pandangan hidup Minangkabau, Desertasi UI,
1996.
323 Kembali ke Nagari adalah seruan masyarakat Minangkabau yang resah
dengan adanya degradasi moral dan mental manusia minangkabau.
Otonomi daerah, dengan menguatnya peran pemerintah daerah, dan
pemerintahan nagari di Sumatera Barat, membuat seruan ini mendapatkan
ruang untuk dinegosiasikan dalam kebijakan publik. Banyak bentuk
turunan kebijakan dari seruan kembali ke nagari ini, selain perda-perda
bernuansa agama Islam, adanya ajakan untuk kembali ke Surau (sebuah
simbol keagamaan di Minangkabau), juga yang terakhir yang sempat
marak adanya keinginan untuk mendirikan Daerah Istimewa Minangkabau
yang dilontarkan tokoh senior Minangkabau, Mukhtar Naim.
246
Daerah Otonom membuat pemerintah daerah sibuk mengatur
dirinya. Terlebih lagi dengan adanya Perda Propinsi Sumatera
Barat Nomor 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan
Nagari, kewenangan aparatus adat yang selama ini dipandang
sebelah mata kembali menguat.
Otonomi daerah dapat dikatakan era baru dalam politik
kebijakan publik Masyarakat Minangkabau. Setiap era baru
memang menimbulkan gairah dan kegalauan. Keduanya terjadi
dalam masyarakat minangkabau. Dalam kebijakan publik hal itu
menjelma dalam banyak bentuk, salah satunya pada peninjauan
kembali peran religius di Sumatera Barat. Demikian amat erat
kaitannya dengan proses pembentukan identitas keminangkabauan
mereka.324
Lahirnya Perda Kabupaten Agam Nomor 6 tahun 2005 tentang
Berpakaian Muslim, tak dimungkiri adalah bagian dari proses
pembentukan citra identitas keminangkabauan tersebut. Perda ini
sekaligus ingin menjawab peran keislaman dalam relasi pembentukan
identitas orang Minangkabau. Namun Perda ini nyata bukanlah
jawaban yang selesai atas persoalan tersebut. Produk hukum yang
diciptakan dengan negosiasi budaya dan agama dalam masyarakat
yang beragam selalu meninggalkan persoalan. Masalah-masalah
baru tak jarang bermunculan karenanya, baik itu berupa persaingan
politik antar masing-masing pemilik kepentingan, ataupun pada
tataran yang lebih tinggi; berupa konflik terbuka. Identitas yang pada
mulanya ingin dibentuk secara permanen dan defenitif, acapkalikali
324 Disebutkan, Reformasi membuat proses identifikasi diri menjadi semakin
diperdebatkan, setidaknya ditemukan tiga poin persoalan yang sering
diperbincangkan yaitu; 1) Penataan kembali pemerintahan desa yang
dirangkum dalam istilah “kembali ke Nagari”, suatu unit tradisional dan
organisasi politik minangkabau, 2) Peninjauan kembali peran religiusitas
lembaga-lembaga yang ada di minangkabau, dan 3) Perdebatan atas
Pendefenisian menjadi orang minangkabau dalam negara Indonesia yang
multi etnik. Lebih lengkap lihat Franz Von Benda-Beckmann, Identitas
dalam perselisihan di Minangkau, dalam kumpulan esai Martin Ramstedt
(edt), Kegalauan Identitas, Agama Etnisitas, dan Kewarganegaraan pada
Masa Pasca Orde Baru, (Jakarta: Grasindo, 2011), hlm. 17.
247
terbentur dengan persoalan-persolan tersebut.325Pada bagian inilah
setiap analisa tentang Perda Syariah menjadi penting. Demikian
dilakukan agar masyarakat dapat mengurai persoalan tersebut. Bagi
masyarakat Sumatera Barat, kajian tentang Perda syariah ini dapat
juga berarti upaya untuk meninjau kembali aturan yang mengikat
mereka.
Diskursus Perda Syariah di Indonesia
Jika kita membuka literatur, pembahasan tentang Perda syariah
sudah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, dengan beragam
perspektif dan metode analisanya. Tulisan ini berhutang banyak pada
beberapa tulisan penting sebelumnya, seperti Robin Bush. Nama ini
menjadi sumber yang paling sering dikutip dalam diskursus Perda
syariah di Indonesia. Bush mengatakan organisasi Islam, termasuk
isu Islam, menjadi daya tarik tersendiri oleh para konstituen dan
politisi dalam meraup suara dalam kontestasi. Formalisasi syariah
Islam yang dilakukan oleh pemangku kebijakan sebagai bentuk
respon politik mereka atas tuntutan kelompok Islam. Namun tuntutan
itu tak selamanya berlaku, sebab fakta menunjukkan sebaliknya.
Kecendrungan untuk legalisasi syariah Islam jumlahnya cendrung
menurun. Dalam penelitianya itu, Ia juga menemukan adanya
korelasi daerah yang menerapkan Perda syariah dengan pengalaman
sejarah daerah yang memiliki gerakan Islam di masa lampau, seperti
Darul Islam dan negara Islam Indonesia. Daerah dan organisasi
tersebut memiliki pengalaman pemberontakan pada kuasa pusat.326
Selain Bush, penelitian Dani Muhtada tentang Penyebaran,
problem, dan tantangan Perda syariah adalah salah satu bahan yang
signifikan untuk penelitian ini. Muhtada menunjukkan Perda syariah
adalah efek tak terhindarkan dari desentralisasi dan otonomi daerah
325 Lebih lengkap penjelasan tentang hal ini lihat, Kuntowijoyo, Identitas
Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 150-152.
326 Robin Bush,Regional Sharia Regulations in Indonesia: Anomaly or
Sympton?” diambil dari Expressing Islam: Religious Life and Politics in
Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies), 2008.
248
yang dilakukan pasca orde baru. Menariknya, dalam makalahnya
tersebut, Muhtada melihat penyebaran Perda dan formalisasi syariah
ke berbagai wilayah di Indonesia lebih ditentukan oleh peran aktor
antara. Istilah yang terakhir ini merujuk pada salah satu aktor
dari tiga kuasa yang berpengaruh, diluar aktor eksternal, aktor
internal. Aktor internal adalah para pembuat kebijakan di daerah
bersangkutan, yang sekaligus menjadi eksekutor pengetok palu
formalisasi syariah. Aktor eksternal adalah para pembuat kebijakan
yang telah terlebih dahulu membuat kebijakan formalisasi syariah
di daerahnya, dan menginspirasi daerah-daerah lainnya. Sedangkan
aktor di luar pemerintah, seperti tokoh Masyarakat, akademisi, LSM,
media, dan kelompok kepentingan lainnya, dikelompokkan sebagai
aktor ketiga, aktor antara. Muhtada menyebutkan, aktor antara inilah
yang menjadi inisiator penggerakkan agenda Islamisasi peraturan
lokal di daerah. 327
Carool Kersten menyebutkan, ambisi memberlakukan syariah
Islam di daerah sebagai bentuk jalan baru dari gagalnya intelektual
muslim formalis memasukkan agenda Islamisasi dalam amandemen
Undang-Undang Dasar 1945. Kersten menyebut beberapa kelompok
–wacana- yang bergulat dalam diskusi Islam dalam hubungannya
dengan negara dan Pancasila, termasuk hukum. Di antara mereka
adalah kelompok Islam formalis, Islam sekuler, dan Islam religius.
Pelimpahan kekuasaan pusat ke daerah lewat agenda desentralisasi
memberi kesempatan kepada kelompok Islam formalis untuk
menjadikan hukum Islam sebagai aturan yang legitimit.328
Penelitian Kersten, meskipun mengangkat Aceh sebagai
studi kasusnya, terkesan melahirkan kesimpulan yang top-down.
Ia menggeneralisir fenomena daerah sebagai replika diskusi pusat.
Meski tidak dapat ditolak bahwa kekuasaan dan wacana pusat
mewarnai diskusi di daerah, beragam wacana –sebagaimana yang
327 Dani Muhtada, Perda Syariah di Indonesia: Penyebaran, Problem, dan
Tantangannya, Makalah orasi ilmiah Dies Natalis VII Fakultas Hukum
Universitas Semarang pada 2014.
328 Carool Kersten, Berebut Wacana: Pergulatan Wacana Umat Islam Indonesia
Era Reformasi, Bandung: Mizan, 2018.
249
disebutkan terdahulu- tidak persis sama terjadi di daerah. Artinya,
dominasi wacana Islam formalis, sekuler, ataupun esensalis dan
regilus yang semarak di tingkat pusat bisa jadi memiliki tendensi
yang berbeda dari apa yang sebelumnya dibicarakan di tingkat
nasional.
Penelitian lain juga turut memperkaya dan mengisi ruang-ruang
keutuhan topik ini. Q Jaman membahas tentang formalisasi hukum
Islam di Indonesia pasca reformasi. Ia menemukan bahwa geliat
pengaturan hukum Islam sebagai hukum nasional amat dipengaruhi
oleh kepentingan politik pemerintah dan kepentingan politik umat
Islam. Kesimpulan ini ditariknya, dengan didasarkan kenyataan
bahwa pemerintah selalu melibatkan atau memberikan kesempatan
partisipasi kelompok Islam untuk melakukan berbagai prakarsa,
tuntutan, dan masukan (input), baik secara lisan ataupun tertulis.
Pemerintah memperoleh masukan dari organisasi kemasyarakatan
Islam, partai politik Islam, dan LSM, sebagai wadah aspiratif umat
Islam. Serapan aspirasi tersebut selanjtunya diakomodir dan diproses
dalam sistem politk legislasi (political system).329
Hayatun Na’imah dan Bahjatul Mardiayah mengaji hubungan
antara Perda berbasis Syariah dan negara-agama dalam perspektif
Pancasila. Dalam penelitiannya tersebut diungkapkan bahwa dalam
negara Pancasila, peluang untuk melakukan formalisasi syariah
Islam selalu ada, selagi aturan tersebut tidak bertentangan dengan
aturan nasional yang lebih tinggi di atasnya. Pancasila dan konstitusi
Indonesia memberikan ruang hadirnya Perda-perdasyariah
tersebut.330
Penelitian normatif yuridis Emy Hajar Abra menguatkan
argumentasi Hayatun dan Bahjatul. Emy menuliskan, keberadaan
Perda syariah konstitusional dalam negara hukum Indonesia. Nuansa
329 Q Jaman, Formalisasi Hukum Islam Di Indonesia Pasca Reformasi, Tesis,
Pascasarjana Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012.
330 Hayatun Naimah dan Bahjatul Mardiayah, Perda Berbasis Syariah dan
Hubungan Negara Agama dalam Perspektif Pancasila, Mazahib, Jurnal
Pemikriran Hukum Islam, Vol Xv, No. 2, 2016. Hal. 151-167.
250
kontroversi yang mengitari penerapannya, tidak dapat menjadi alasan
untuk mengategorikan aturan tersebut tak berdasar. Emy, bahkan
menuliskan upaya untuk mengabaikan dan menghilangkan Perda
syariah berarti mengabaikan konstitusi dan dapat menghilangkan
nilai tradisi yang terlanjur diakui sebelumnya.331
Hal sebaliknya justru disampaikan Dewi Candraningrum. Ketika
ia mengulas Perda syariah, ia menemukan bahwa aturan tersebut
adalah bentuk pencarian identitas Islam yang semakin menguat,
namun penafsiran atas Islam yang dilakukan hanyalah bersifat
simbolis dan transkripsi. Dalam praktiknya pun, pemberlakuan Perda
Syariah juga banyak mengabaikan peran gender dan merugikan
perempuan. Lebih lanjut ia menuliskan, meskipun Islam adalah
agama mayoritas, namun non-Muslim juga menjadi warga negara di
Indonesia. Secara institusionalpun, Indonesia bukan negara Islam.
Sebab itu, ratifikasiPerdaSyariah mengkhianati konsensus nasional
yang disepakati oleh para pendiri negara-bangsa.332
Implikasi penerapan syariah Islam pada kelompok minoritas
juga disoroti Ahmad Fuad Fanani. Penelitiannya menunjukkan
pemberlakuan aturan syariah berdampak negatif pada kelompok
agama minoritas. Banyak dari kelompok minoritas dipaksa
mematuhi dan berlaku sama dengan peraturan yang digariskan
kelompok muslim arus utama. Fanani mengatakan, demikian
adalah bentuk diskriminasi. Ia bahkan menyebut salah satu instruksi
wali kota Padang, Sumatera Barat, sebagai contohnya. Instruksi
berpakaian muslim dan muslimah itu, meski telah diklarifikasi oleh
wali kota yang bersangkutan, tidak berlaku untuk non-muslim tetap
menimbulkan dampak psikologis.333
331 Emy Hajar Abra, Kontroversi Legalitas dan Penerapan Perda Syariah
dalam Sistem Hukum Indonesia, Jurnal Dimensi, Universitas Riau
Kepulauan, Vol. Iii No. 3, 2014.
332 Dewi Candraningrum, Unquestioned Gender Lens In Contemporary
Indonesian Shari‘a - Ordinances (Perda Syari’ah), Jurnal Al-Jamiah, Vol.
45, No. 2, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007.
333 Ahmad Fuad Fanani, Sharia Bylaw in Indonesia and Ther Implications for
Relgious Minorities, Journal of Indonesian Islam, Institute for The Study of
251
Azymardi Azra baru-baru ini pun mengangkat tema ini
dalam artikelnya di harian Kompas. Meski pendek, tulisannya
tersebut sangat penting menjelaskan fenomena diskurus Perda
syariah belakangan ini. Azra menuliskan, sebenarnya diskusi tema
ini cenderung menurun intensitasnya beberapa tahun belakangan.
Namun seiring dengan dinamika politik yang cenderung menguat,
topik ini kembali naik kepermukaan. Argumentasi Azra selain
menguatkan kembali kesimpulan-kesimpulan penelitian terdahulu
bahwa formalisasi sangat berkaitan dengan syariah. Nama ini cukup
familiar dalam diskusi formalisasi syariah, sekaligus menunjukkan
penelitian tentang tema ini belumlah basi untuk diangkat. Diskusi
formalisasi syariah di Indonesia juga belum menghasilkan kesimpulan
purna. Banyak hal yang mesti dibidik, dengan beragam pendekatan.
Azra menyebutkan, penelitian lebih lanjut tentang dinamika Perda
berbasis agama perlu diperhatikan. Demikian sangat berguna untuk
mengambil respon, langkah dan kebijakan yang nantinya akan
diambil pihak terkait.334
Nama yang barusan disebut, bukan kali pertama menyampaikan
perhatiannya dalam kasus ini. Pada tahun 2006 ia menyebutkan,
keberadaan Perda syariah yang semakin banyak diberlakukan
cenderung mengawatirkan. Selain mengancam pluralisme dan
keberagaman ideologi di Indonesia, Perda syariah juga bentuk
ketidaksanggupan pemerintah, termasuk aparat penegak hukum,
untuk mengatasi berbagai problem dan kejahatan di masyarakat.
Terlebih lagi munculnya kelompok-kelompok yang menggunakan
kekerasan, yang mengatasnamakan penegakan Perda syariah.335
Pada tulisan ini penulis akan melihat sisi berbeda, dengan
mempertanyakan, bagaimana wajah Islam yang ditampilkan dalam
Perda Kabupaten Agam Nomor 6 tahun 2005 tentang Berpakaian
Religion and Society (LSAS) and Postgraduate Program (PPS) IAIN Sunan
Ampel Surabaya, Vol. V. No. 01. 2011.
334 Azymardi Azra, Perda Agama, Opini KOMPAS, 29 November 2018.
335 https://news.detik.com/berita/606061/perda-syariah-islam-mencemaskan.
Diakses 11 Februari 2019, pukul 10.16 WIB.
252
Muslim tersebut? Pertanyaan ini didasari klaim banyak pihak yang
mengatakan bahwa Perda syariah –dan aturan yang bernuansa
agama- adalah bagian dari ajaran Islam. Dalam hal ini, penulis akan
menganalisa Perda tersebut dengan metodeanalisa wacana kritis
(critical discourse Analisis/CDA).
Metode ini dipilih karena beberapa alasan, diantaranya; 1)
CDA diharapkan dapat mengungkap makna -kepentingan/ideologiyang ada dibalik teks peraturan daerah berbusana muslim; 2) hasil
penelitian berbasis CDA dapat digunakan sebagai bahan analisa
lebih lanjut tentang konsekuensi peraturan ini dalam kehidupan
bermasyarakat, baik di Sumatera Barat ataupun Indonesia pada
umumnya.
Sekilas tentang Konsep Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana kritis (critical discourse Analisis/CDA)
adalah studi lanjut dari kajian kebahasaan. Dalam kajian ini, teks
tidak hanya dapat dibaca atau dianalisa dari segi linguistik semata.
CDA memberikan ruang yang lebih luas dalam membaca teks, yaitu
dengan memaksukkan “konteks” sebagai elemenyang perlu dikaji
dalam menganalisa teks. Konteks disini diartikan sebagai adanya
praktik tertentu yang berada dibalik bahasa untuk tujuan tertentu,
termasuk didalamnya praktik kekuasaan.336
Dalam studi CDA, beberapa hal perlu diperhatikan. Selain
teks dan konteks, faktor-faktor yang berkaitan, seperti tindakan,
sejarah, dan ideologi adalah hal-hal yang tidak boleh ditinggalkan.
Namun tidak seluruh peneliti CDA menggunakan seluruh faktor
tersebut. Ada yang menggunakan dua sampai tiga faktor saja sebagai
instrumen untuk menganalisa teks. Pemilihan instrumen tersebut
didasarkan pada signifikansi penelitiannya. Dalam hal ini, kita akan
menggunakan metode CDA versiSara Mills.
Sara Mills dikenal sebagai teoritikus representasi. Ia
336 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta:
LKIS: 2009). hlm. 7.
253
menggunakan dua pendekatan dalam mengaji teks. Dalam
penelitiannya, ia fokus melihat bagaimana posisi-posisi aktor
ditampilkan dalam teks. Posisi-posisi ini dalam arti siapa yang
menjadi subjek penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan.
Demikian dilakukan untuk menentukan bagaimana struktur teks
dan bagaimana makna diberlakukan dalam teks secara keseluruhan.
Disamping itu, Sara Mills juga menaruh perhatian pada bagaimana
pembaca dan penulis ditampilkan dalam teks.337
Sara Mills juga menyebutkan, wacana selalu merepresentasikan
sebuah kepentingan tertentu. Representasi subyek-objek dalam
teks dapat dibaca dengan tiga pendekatan; 1) Posisi menunjukkan
dalam batas tertentu sudut pandang penceritaan; 2) sebagai subyek
representasi adalah pihak dominan yang mempunyai otoritas
penuh dalam mengabsahkan atau penyampikan peristiwa kepada
pembacanya; dan 3) Proses pendefenisian bersifat subjektif.338lebih
lengkap tentang pendekatan ala Mills ini lihat tabelberikut:339
Poin Penting Analisis
Posisi Subyek-Obyek
Posisi Penulis-Pembaca
Metode Analisis
Bagaimana peristiwa dilihat, dari
kacamata siapa dilihat, siapa yang
diposisikan sebagai pencerita (subyek)
dan siapa yang menjadi obyek yang
diceritakan. Apakah masing-masing aktor
memiliki kesempatan untuk menampilkan
dirinya
sendiri,
gagasannya
atau
kehadirannya, gagasannya ditampilkan
kelompok lain.
Bagaimana posisi pembaca ditampilkan
dalam teks. Bagaimana pembaca
diposisikan dalam teks yang ditampilkan.
Kepada kelompok manakah pembaca
mengidentifikasi dirinya.
337 Ibid, hlm. 200.
338 Ibid, 202-203.
339 Tabel. Kerangka Analisis Wacana Sara Millsdiambil dari Eriyanto, Analisis
Wacana: Pengantar Analisis Teks Media... hlm 211.
254
Dalam penelitian Perda berbusana muslim ini, aktor-aktor yang
berperan adalah 1) Pemerintah, baik pemerintahan formal maupun
informal; 2) Masyarakat umum, terdiri dari pegawai negeri dan para
pelajar, dan masyarakat non-muslim. Pertanyaan-pertanyaan relevan
untuk diajukan dalam hal ini adalah, bagaimana relasi keduanya,
bagaimana representasi subyek-objek masing-masing aktor, dan
bagaimana subyek merepresentasikan aktor lain sebagi objeknya.
Dalam menganalisa hubungan penulis-pembaca, Mills
mengatakan, aspek pembaca sangatlah penting dalam sebuah teks.
Teks bukanlah milik penulis semata. Pembaca dan penulis adalah
pihak yang saling bernegosiasi dalam teks. Sebab itu, pembaca
tidak dapat ditinggalkan ketika menganalisa sebuah teks. Mereka
bukanlah pihak yang pasif. Sebaliknya, menurut Mills, dalam teks
penulis dan pembaca juga melakukan transaksi.340
Ketika menganalisa pembaca teks Perda, diketahui bahwa
pembaca utama yang dibidik teks tersebut adalah pembaca muslim.
Namun perlu dicatat, meski masyarakat kabupaten Agam adalah
mayoritas muslim, kita juga temukan masyarakat non-muslim.
Dalam hal ini, melalui cara pandang Mills, dapat disebut pembaca
muslim adalah pembaca dominan, dan non-muslim adalah pembaca
marginal. Guna menjawab hubungan penulis-pembaca ini pertanyaan
yang relevan dijawab adalah; 1) bagaimana teks Perda berbusana
muslim -yang menyasar pembaca muslim dominan- membicarakan
non-muslim; dan 2) bagaimana kelompok-kelompok pembaca
tersebut (muslim dan non-muslim) dihadirkan dalam Perda wajib
berbusana muslim.341
Representasi dan Relasi Kuasa dalam Teks
Dalam mengaji teks, representasi adalah salah satu poin
penting untuk mengungkap makna dan pesan yang terkandung di
dalam teks.Ketika kita mengaji hubungan antar aktor, baik subyek340 Ibid., hlm. 204.
341 Ibid., 209-210.
255
objek maupun penulis-pembaca, representasi menunjukkan adanya
muatan ideologis dan politis di balik hubungan tersebut.Representasi
juga menunjukkan adanya satu kelompok yang diunggulkan dari
kelompok lain. Hubungan antar kelompok ini selalu bersifat politis
dan menguasai.342
Kekuasaan bisa hadir dengan berbagai macam model.
Foucault, seorang filsuf Prancis yang mengaji perihal kekuasaan,
mengatakan kekuasaan pada jaman ini dikenal dengan ‘disiplin’. Ia
bersifat politis dan menyasar ke tubuh objek yang dikuasai. Model
pendisiplinan terjadi dalam beberapabentuk, yaitu:343
1.
Distribusi Ruang
Lokalisasi adalah bentuk pendisiplinan. Lokalisasi membuat
ekspresi individu menjadi tersumbat dan saling mengisolasikan
antara satu sama lain. Pengelompokan dengan lokalisasi
bertujuan untuk mendisiplikan kelompok-kelompok agar mudah
diawasi dan dipantau. Dalam studinya tentang penjara, Foucault
mengatakan distrubusi ruang menggunakan pendekatan
presences dan absences. Demikian adalah pembagian ruang
yang pemisahannya diatur sedemikian rupa agar individu di
dalam ruang jelas untuk diawasi, sedangkan si pengawas tidak
tampak oleh orang-orang yang diawasi.
2.
Time-Table
Disiplin dapat berbentuk regulasi waktu yang ketat. Kekuasaan
dalam hal ini hadir dalam bentuk hukuman atas pelanggaran
waktu yang telah diatur sedemikian rupa. Di sini disiplin berarti
sistematika waktu yang memaksa objek yang dikuasi untuk
merutinkan aktivitas-aktivitasnya, agar tidak melenceng sesuai
dengan keinginan si pengatur.
342 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media... hlm. 202.
343 Seno Joko Suyono, Tubuh yang Rasis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002),
hlm. 397-418
256
3.
Administrasi Kumulatif
Disiplin bentuk ini diaktualisasikan dalam sistem
pengadministrasian yang mengharuskan indvidu-individu agar
berkelompok dalam sebuah struktur taraf-taraf yang dapat
dievaluasi. Sebagaimana diketahui, kekuasaan dapat juga
berarti upaya politis untuk memaksimalkan nilai guna individu
utnuk kepentingan tertentu. Dengan melakukan administrasi
kumulatif kontrol atas target-target yang diberikat dapat dicapai
dengan perkiraan yang terstruktur.
4.
Komposisi dan Konfigurasi Tenaga
Model ini adalah disiplin yang mengharuskan objek mengikuti
prosedur yang bertendensi menyalurkan tenaganya, menjadi
bagian dari kombinasi antar tenaga lain. Pendisiplinan model
ini mengandaikan bahwa masyarakat adalah satu-kesatuan yang
utuh, dimana masing-masing individu di dalamnya menjadi
bagian yang mesti dikerahkan untuk membentuk kesatuan
masyarakat yang diinginkan tersebut.
Model-model pendisiplinan ini sebagai operasi kekuasaan
representasi akan digunakan untuk menggungkap hubungan antar
aktor dalam perda berbusana muslim, yang menjadi objek penelitian
ini. Seiring dengan metode CDA yang telah disebutkan sebelumya,
penelitian ini akan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama
membahas relasi antar aktor dalam Perda berbusana muslim. Bagian
keduamembahas bagaimana pembaca ditampilkan dalam teks Perda.
Bagian ketiga membahas model dan modus pendisiplinan yang
tersimpan di balik teks perda. Bagian-bagian ini selanjutnya akan
mengantarkan kita pada jawaban dari pertanyaan utama penelitian
ini, yakni bagaimana Islam direpresentasi dalam aturan berbusana
muslim di Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Bagian I: Relasi Antar Aktor dalam Teks Perda
1. Relasi Kuasa Pemerintah pada masyarakat
257
Pasal 6 ayat (1) berbunyi, “Pengawasan terhadap pelaksanan
peraturan Daerah dilakukan oleh masing-masing Kepala Organsiasi
Perangkat Daerah dan Kepala Instansi Vertikal”. Kata “pengawasan”
merepresentasikan pelaksananya sebagai pihak yang “berwenang”
untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu kepada pihak yang
diawasi. Dalam hal ini, Pemerintah daerah direpresentasikan sebagai
pihak yang paling berwenang dan mendominasi. Pemerintah Daerah,
dalam hal ini organisasi perangkat daerah dan kepala instansi vertikal
memiliki andil dalam memberikan sanksi.344
Sanksi adalah bentuk pendisiplinan.345 Dalam kamus bahasa
Indonesia, sanksi adalah tindakan atau hukuman untuk memaksa
orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan.346Teks Perda
tidak menjelaskan bagaimana model pengawasan yang dilakukan.
Namun sanksi yang boleh diberikan pemerintah daerah dapat
dikatakan cukup berat. Pasal 5 memberikan jalan pemerintah untuk
tidak melayani masyarakat yang dianggap melanggar.
Pemerintah boleh meninggalkan kewajibannya untuk melayani
masyarakat, jika masyarakat tersebut dinyatakan melanggar.
Sayangnya dalam Perda ini tidak disebutkan ukuran yang jelas untuk
menyatakan seseorang telah melakukan pelanggaran. Pemerintah
memiliki otoritas dalam menerapkan sanksi tersebut, sebagai sanksi
tingkat II setelah sanksi teguran. Namun sekali lagi tidak dijelaskan
teguran yang diberikan tersebut apakah berbentuk tertulis atau tidak
tertulis.
344 Pasal 5 ayat (3) poin a.
345 Pendsiplinan adalah bentuk dari kekuasaan. Makna kuasa, menurut
Foucoult, mengalami pergerseran dari waktu ke waktu. Pada abad modern,
hukuman tidak lagi ditujukan untuk merusak fisik, tapi mengubah orientasi
pihak yang melanggar, dari yang melanggar menjadi perbaikan integritas.
Dalam menjalankan kekuasaan, metode pendisiplinan dilakukan dengan
banyak cara, seperti pemisahan kelompok, sterilisasi, dan lain sebagainya.
Lebih lengkap lihat Michel Foucault, Power/Knowledge; Wacana Kuasa/
Pengetahuan, diterjemahkan Yudi santosa (Yogyakarta: Bentan Budaya,
2002), hlm. 70.
346 Kamus KBBI offline
258
Kewenangan untuk mengawasi dan memberikan sanksi, dengan
mekanisme yang tidak begitu jelas, membuat posisi pemerintah
menjadi subyek yang lepas melakukan dominasi. Tindakan
pemerintah berada pada tingkat tidak terbantahkan dibandingkan
masyarakat. Perda ini pun tidak menjelaskan mekanisme yangjelas
tentang bagaimana masyarakat meninjau setiap sanksi yang diberikan.
Otonomi daerah jelas ikut memberikan legitimasi. Peraturan
Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom memang menjadi
salah satu landasan dari Peraturan Daerah ini. Selain itu, PP otonomi
daerah ini juga membuat stuktur pemerintahan di minangkabau
cenderung berbeda dengan pemerintahan di daerah lain.
Dengan adanya otonomi Daerah, kekuasaan daerah menjadi
lebih terlihat, termasuk institusi kekuasaan khusus yang dimiliki
daerah tersebut. Minangkabau memiliki stuktur pemerintahan yang
unik. Selain dikenal pemerintahan formal-modern, seperti bupati
atau walikota, masyarakat minangkabau juga mengenal Wali Nagari
dan Niniak Mamak dalam tatanan sosial politik mereka. Wali nagari
adalah alat Pemerintah Nagari yang memimpin penyelenggaraan
Pemerintah Nagari.347
Seiring peran dan posisi kuasa pemerintah, Wali Nagari adalah
bagian dari pemilik kuasa tersebut. Jika ditelisik lebih jauh, peran
Wali Nagari dalam hal ini dapat jauh lebih kuat dibandingkan posisi
pemerintah, seperti bupati dan walikota. Wali nagari memiliki dua
kuasa sekaligus. Ia memiliki kuasa formal karena keberadaannya
diakui dalam undang-undang sebagai posisi politik tertentu. Dan Ia
juga memiliki kuasa adat dalam tata kehidupan sosial di minangkabau.
347 Untuk lebih jelas penjelasan dan ketentuan terkait tugas dan wewenang
walinagari lihat Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 31 Tahun
2001 Tentang Pemerintahan Nagari. Nagari sendiri adalah kesatuan
masyarakat hukum adat dalam suatu daerah, yang terdiri dari himpunan
beberapa suku di Minangkabau yang mempunyai wilayah dan batas -batas
tertentu dan mempunyai harta kekayaan sendiri, berwenang mengurus
rumah tangganya dan memilih pimpinan pemerintahannya
259
Adat Minangkabau yang termanifestasi dalam adagium adat
basandi syarak-syarak basandi kitabullah seolah ikut disertakan dalam
aturan daerah ini. Terlebih lagi, Perda ini memberikan kewenangan
kepada walinagari dan niniak mamak untuk memberikan sanksi
yang berlaku di masing-masing nagari. Disebutkan “Masyarakat
yang melanggar ketentuan pasal 3 ayat (2) dikenakan sanksi
berupa; (c) sanksi adat yangberlaku di salingka nagari.”348Kata yang
digarisbawahi merepresentasikan bahwa Subyek dapat menggunakan
hukuman khusus, di luar ketentuan admistrasi, untuk menghukum
pelanggar, termasuk hukuman-hukum simbolik.
Keikutsertaan Walinagari dalam mengawasi dan memberikan
sanksi kepada masyarakat yang “dianggap” melanggar perda, berarti
menyertakan “kuasa” adat dalam menjalankan hukum formal ini.
Melihat keikutsertaan banyak pemangku otoritas dalam Perda ini,
mengamini bahwa Sumatera Barat masih terikat pada pola otoritasotoritas Modern dan klasiknya349 masih kuat-berpengaruh, menjadi
subyek-subyek yang mendominasi.
Subyek-subyek di atas menjadikan masyarakat sebagai objek
yang perlu diawasi, dibentuk, dan akhirnya didominasi. Representasi
bahwa masyarakat didominasi jelas terwujud pada kata “Wajib” yang
ditulis pada pasal 3 ayat (2). Pasal itu berbunyi: Setiap masyarakat
muslim wajib berpakaian muslim dalam melakukan kegiatan seharihari dan pada acara resmi. Kata wajib bermaknaharus dilakukan;
tidak boleh tidak dilaksanakan.350
2. Relasi Dominasi Pemerintah atas Peserta Didik
Peserta didik sebagaimana disebutkan dalam peraturan adalah
anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri
348 Salingka adalah bahasa Minangkabau untuk “Selingkaran”, “sekitar”,
“lokus tertentu”. Terkait ketentuan ini lihat Pasal 5 ayat (3) poin c.
349 Perihal otoritas politik dan budaya Minangkabau lihat Hamka, Islam dan
Adat Minangkabau.... hlm. 61-66.
350 KBBI offline
260
melalui pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan tertentu.351Seiring dengan posisi masyarakat dalam perda,
peserta didik adalah objek yang akan dibentuk (diawasi) pemerintah.
Namun berbeda dengan masyarakat, peserta didik memiliki lebih
banyak tingkat hukuman. Peserta didik yang melanggar mendapat
teguran lisan, teguran tertulis, tidak diperbolehkan mengikuti
pelajaran, dan dikeluarkan dari sekolah. Sanksi-sanki ini diberikan
secara bertingkat.352 Dalam hal ini peserta didik diawasi oleh kepala
instansinya (sekolah).353
Aturan luar sekolah yang mengikat langsung ke dalam
sekolah, dengan menggunakan aparatus sekolah sebagai perpanjangtanganannya, menunjukkan bahwa upaya ini adalah pendisiplinan
menyeluruh. Terlebih lagi tidak adanya diksi “Guru”, “Pendidik” yang
disebutkan secara jelas dalam Perda ini, semakin merepresentasikan
bahwa Subyek ingin agar aturan ini tidak mendapatkan hambatan berarti
pada jajaran dibawahnya.Sekolah tidak lagi memiliki keleluasaan
untuk menentukan metode pendidikan bagi peserta didiknya.
Bagian II: Relasi Penulis - Pembaca
Dalam menganalisis posisi pembaca dalam sebuah teks Sara
Mills menggunakan beberapa metode, diantaranya Mediasi, Kode
Budaya, dan dominant reading. Ketiga metode ini digunakan karena
setiap teks tidak melulu menyapa pembaca secara langsung (direct
address), tetapi lebih banyak melalui penyapaan/penyebutan tidak
langsung (indirect address).354 Dalam Perda ini teks menyapa
pembacanya berupa;
351 Pasal 1 ayat (6) Perda Kab. Agam Nomor 6 tahun 2005 tentang Berpkaian
Muslim.
352 Pasal 5 ayat (2) Perda Kab. Agam Nomor 6 tahun 2005 tentang Berpakaian
Muslim.
353 Pasal 6 ayat (2) Perda Kab. Agam Nomor 6 tahun 2005 tentang Berpakaian
Muslim.
354 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media... hlm. 207208.
261
1.
Mediasi
Mediasi meniscayakan ada nilai kebenaran yang ditempatkan
secara hirarkis sehingga pembaca akan mensejajarkan dan
mengidentifikasi dirinya dalam nilai tersebut. Dalam Perda ini,
nilai mediasi dapat dilihat pada pasal 2, berbunyi, “Berpakaian
Muslim bertujuan untuk menutup aurat sesuai dengan kaidah
Islam dan menghindarkan diri dari perbuatan tercela.” Kata
bertujuan yang digarisbawahi menunjukkan bahwa pembaca
diposisikan sebagai orang yang akan mencapai nilai-nilai utama
dalam Islam.
2.
Kode Budaya
Diksi-diksi yang memposisikan pembaca dalam teks
kadangkala berbentuk nilai-nilai bersama, yang diakui dalam
kelompok identitas tertentu. Dalam Perda ini, kata “Islam”
dan “Muslim” amat mendominasi, dimulai pada judul Perda
hingga pada pelabelan pakaian yang pantas disebut baik dan
sopan. Artinya pembaca muslim adalah pembaca paling
dominan (Dominant reading) dalam Perda ini.
Bagian III: Model dan Modus Kekuasaan dalam Teks Perda
Setelah dijelaskan posisi pemerintah- masyarakat/peserta didik
sebagai relasi subyek-objek yang direpresentasikan dalam
perda, bagian ini akan menguraikan model-model kuasa yang
direpresentasikan dalam Perda berbusana muslim tersebut. Jika
dilihat berdasarkan pasal, pendisiplinan dihadirkan berupa:
262
Pasal
2
3
4
5
6
Model dan Modus Pendisiplinan
Tujuan politik pendisiplinan:Subyek menginginkan objek
untuk mengikuti kaidah Islam dan terhindar dari perbuatan
tercela.
Distribusi Ruang: Sekolah, tempat melakasankan tugas, dan
kegiatan resmi adalah tempat-tempat diskursus pendisiplinan.
Tempat-tempat tersebut selanjutnya menjadi simbol
(pengingat) bagi objek untuk melaksanakan kewajibannya.
Subyek menarasikan objek sebagai aktor yang mesti mengikuti
perintah-perintah simbolik tersebut.1
Komposisi dan Konfigurasi Tenaga: Subyek menarasikan
kriteria-kriteria, berupa prosedur, yang mesti diikuti oleh
objek. Pada pasal ini, kriteria berpakaian muslim dinarasikan
secara spesifik untuk objek laki-laki dan perempuan. Masingmasing merupakan unit terpisah dalam prosedur berpakaian
yang diterapkan Subjek. Meski merupakan unit terpisah,
keduanya berelasi konfigurasi dalam membentuk citra Islam
yang diinginkan subyek, sebagai tujuan politiknya.
Administrasi Komulatif: Pasal ini berisi bentuk-bentuk sanksi
dan hukuman yang dapat diberikan. Sebagaimana model
pendisiplinan Administrasi komulatif, subyek mengelompokan
objek-objeknya pada taraf dan tingkatan tertentu. Pada objek
peserta didik, subyek membagi hukuman menjadi empat
tingkatan, yang terendah dengan teguran lisan hingga terberat
dengan mengeluarkan objek dari ruang simboliknya (sekolah).
Hirarki ini menarasikan prosedur evaluasi pelanggaran kecil
hingga pelanggaran besar objek. Namun tidak dijelaskan objek
yang manakah yang menempati masing-masing hirarki.
Distribusi Ruang: pada pasal ini subyek merepresentasikan
dirinya sebagai pihak yang berbeda dari objek. Pasal ini
merepresentasikan garis demarkasi kuasa dan yang dikuasi.
Representasi dalam Teks Perda
Berdasarkan analisa langkah CDA Sara Mills di atas, dapat
ditemukan beberapa citra (representasi) Islam dalam Perda Berbusana
Muslim, yaitu:
1.
Representasi Subyek sebagai aktor yang berkuasa untuk
menerjemahkan nilai-nilai keislaman: Korelasi pasal 6 dan
pasal 2 merepresentasikan pemerintah sebagai pihak yang
paling berhak untuk menerjemahkan ketentuan-ketentuan
263
Islam. Bahkan pada pasal 4, Pemerintah—sebagai aktor—
menunjukkan dirinya sebagai subyek yang layak menentukan
apa yang pantas dan tidak pantas untuk kelompok lain, sebagai
objeknya. Perempuan adalah objek pendisiplinan paling kentara
dalam Perda ini dibandingkan laki-laki. Pada pasal 4, tubuh
perempuan ditulis/diatur lebih banyak dipandingkan laki-laki.
2.
Representasi masyarakat dan peserta didik sebagai
objek yang perlu di Islamkan dan dijaga simbol-simbol
keislamannya: Relasi hirarkis antaraSubyek dan objek
merepresentasikan bahwa yang diawasi dapat berbuat salah,
melanggar dan layak diberi sanksi. Objek pengawasan selalu
diposisikan sebagai kelompok yang rawan dan layak untuk
dijaga. Simbol-simbol keislaman dijadikan indikator oleh subjek
–dalam hal ini pemerintah dan pranta adat- untuk mengukur
kesesuaian dan ketidaksesuaian objek dalam mengikuti nilai
Islam.
3.
Representasi masyarakat non-muslim sebagai objek yang
semestinya mengikuti nilai pembacaan dominan (dominan
reading); Meski hanya satu ayat menarasikan non-muslim,
signifikansi wacana yang direpresentasikan amat kuat. Pembaca
non-Muslim pun tak dimungkiri ikut terlibat dalam mediasi
wacana dalam Perda ini. Pasal 3 ayat (3) berbunyi, “Bagi
masyarakat non-muslimdiharapkan untuk berpakaian yang
pantas dan sopan dalam melakukan kegiatan sehari-hari dan
pada acara resmi”. Kata “diharapkan” yang ditujukan kepada non
muslim mengindikasikan bahwa non-muslim hendaknya tidak
menyalahi kehendak pembaca dominan (dominan reading).
264
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, Perda Agama, Opini KOMPAS, 29 November
2018.
Abra, Emy Hajar, Kontroversi Legalitas dan Penerapan Perda
Syariah Dalam Sistem Hukum Indonesia, Jurnal Dimensi,
Universitas Riau Kepulauan, Vol. Iii No. 3, 2014.
Beckmann, Franz Von Benda,-Identitas dalam perselisihan di
Minangkau, dalam kumpulan esai Martin Ramstedt (edt),
Kegalauan Identitas, Agama Etnisitas, dan Kewarganegaraan
pada Masa Pasca Orde Baru, (Jakarta: Grasindo, 2011
Bush,Robin, Regional Sharia Regulations in Indonesia: Anomaly
or Sympton?” diambil dari Expressing Islam: Religious Life
and Politics in Indonesia (Singapore: Institute of Southeast
Asian Studies), 2008.
Candraningrum,Dewi, Unquestioned Gender Lens In
Contemporary Indonesian Shari‘a - Ordinances (Perda
Syari’ah), Jurnal Al-Jamiah, Vol. 45, No. 2, UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 2007.
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media,
Yogyakarta: LKIS: 2009.
Fanani, Ahmad Fuad, Sharia Bylaw in Indonesia and Ther
Implications for Relgious Minorities, Journal of Indonesian
Islam, Institute for The Study of Religion and Society
(LSAS) and Postgraduate Program (PPS) IAIN Sunan Ampel
Surabaya, Vol. V. No. 01. 2011.
Foucault, Michel, Power/Knowledge; Wacana Kuasa/Pengetahuan,
diterjemahkan Yudi santosa, Yogyakarta: Bentan Budaya,
2002.
Jaman, Q. Formalisasi Hukum Islam Di Indonesia Pasca
Reformasi, Tesis, Pascasarjana Uin Sunan Kalijaga
265
Yogyakarta, 2012.
Kersten, Carool, Berebut Wacana: Pergulatan Wacana Umat Islam
Indonesia Era Reformasi, Bandung: Mizan, 2018.
Khan, Suparman, Etika Minangkabau: Suatu Analisa Filosofis
tentang pandangan hidup Minangkabau, Desertasi UI, 1996.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997
Muhtada, Dani, PerdaSyariah di Indonesia: Penyebaran, Problem,
dan Tantangannya, orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis
VII Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada
tanggal 4 Desember 2014 di Semarang.
Naimah, Hayatun Dan Bahjatul Mardiayah, Perda Berbasis
Syariah Dan Hubungan negara Agama Dalam Perspektif
Pancasila, Mazahib, Jurnal Pemikriran Hukum Islam, Vol
Xv, No. 2, 2016.
Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 9 tahun 2000
tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari
Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 6 tahun 2005 tentang
Berpakaian Muslim
Peraturan Pemerintah No 25 tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah
Suyono, Seno Joko, Tubuh yang Rasis, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002.
Undang-Undang Nomor 3tahun 2005 tentang perubahan atas UU
Nomor 32 tahun 2004 Tentang Perintahan Daerah.
https://agam.go.id
https://www.harianhaluan.com.
https://www.viva.co.id
http://www.beritasatu.com
https://news.detik.com
https://republika.co
266
JUSTIFIKASI TAFSIR AL-QUR’AN TENTANG
PLURALISME BERAGAMA:
SEBUAH ALTERNATIF MERAWAT KEBINEKAAN
BANGSA
Ricko Imano Ganie
Pendahuluan
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia memiliki
peran yang sangat penting dalam pengentasan masalah intoleransi
atas nama agama. Perannya sebagai agama yang paling banyak
penganutnya di negara ini menjadi sangat vital, karena orang Islam
hampir menguasai setiap lini kehidupan di Indoneisa.Apabila
penganut agama mayoritas ini menjadi pemicu kesepakatan hidup
yang berazaskan pada perdamaian, maka damailah negara ini.
Salah satu ciri fundamental budaya Islam adalah
ketergantungannya yang sangat kuat terhadap nas atau teks.Hampir
seluruh kegiatan dan amalan sehari-hari, terlebih hal-hal yang
berkaitan dengan ibadah baik yang menyangkut keyakinan, atau
rukun iman, rukun Islam, ritual ibadah, serta hubungan sosial semua
berlandaskan nas atau teks. Tanpa adanya landasan dalil dari nas
atau teks tersebut maka semua tingkah laku peribadatan kita kita
akan tertolak. Sampai pada batas ini menurut Prof. Amin Abdullah
tidak ada masalah karena memang setiap agama memiliki aturan dan
regulasinya masing-masing.
267
Namun di lain pihak Prof. Amin Abdullah juga menegaskan
bahwa agama tidak terkait hanya dengan keyakinan dan ritual
ibadah semata, agama juga terkait dengan permasalahan yang
lain seperti kepemimpinan (leadership), yang berkaitan dengan
sistem ketatanegaraan dan pemerintahan, sistem moral (morality),
termasuk di dalamnya mengatur hubungan antar umat beragama,
kelembagaan (institution) sosial, pendidikan, ekonomi, dan hal-hal
yang berkaitan dengan alat-alat dan simbol dalam dunia seni (art
dan tools). Menurut Prof. Amin Abdullah kelompok yang terakhir
disebutkan agak sulit untuk menemukan kesesuaiannya dengan
nas atau teks keagamaan yang kita bahas di atas. Dalam istilah
agama Islam dikenal dengan “al-nushus al-mutanahiyah wa alwaqai’ ghairu mutanahiyah” (nas atau teks itu terbatas sedangkan
peristiwa-peristiwa sejarah kemanusiaan tidaklah terbatas).355 Hal
ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh John Esposito yaitu
tantangan terbesar bagi para pembaru Muslim di dunia menurutnya
adalah menjaga kesinambungan antara perubahan yang diusulkan
oleh jaman dengan keyakinan dan tradisi keislaman yang sudah lama
dipegang, hal serupa juga sedang dialami oleh agama-agama selain
Islam.356 Dalam konteks ini maka para ulama dan ilmuan Muslim
kontemporer harus terus berpacu untuk menghubungkan antara halhal yang diyakini atau yang dianggap tetap (al-tsawabit) yang dalam
hal ini adalah nas atau teks dan wilayah yang berubah-ubah (almutaghayyirat) yaitu perkembangan jaman.
Ada tiga prinsip dalam penafsiran al-Qur’an yang harus
diperhatikan.Pertama, setiap bagian al-Qur’an bisa dimaknai
dengan melihat masa turunnya wahyu tersebut.Asumsinya alQur’an tidaklah turun di ruang hampa, tetapi ada latar sosiohistoris yang membantu audiens wahyu agar mengerti maksud dari
355 Akhmad Sahal dan Munawir Aziz (Editor), Islam Nusantara Dari Ushul
Fiqh Hingga Paham Kebangsaan, (Bandung: PT Mizan Pustakan, 2015),
72. Lihat juga tulisan KH. Husein Muhammad, di buku yang sama halaman
101 dan 103.
356 John L. Esposito,The Future of Islam, (New York: Oxford University Press.
2010), 149.
268
wahyu tersebut.Kedua, setiap bagian al-Qur’an bisa dipahami dari
letak susunannya pada mushaf.Asumsinya sistematika tersebut
adalahbagian dari pewahyuan yang menyimpan makna dibalik
urutan ayat dan surat dalam al-Qur’an. Ketiga, setiap bagian dari
al-Qur’an ditafsirkan dengan menghubungkannya dengan bagian
lain dalam al-Qur’an yang relevan.Asumsinya struktur al-Qur’an
meniscayakan pendekatan ini, yang tanpanya penafsiran al-Qur’an
berpeluang menjadi tidak akurat.357
Berdasarkan pemaparan di atas, pembacaan nas atau teks
kaitannya dengan tindakan intoleransi pada sendi-sendi kehidupan
manusia akan selalu menarik untuk dikaji.pertanyaan-pertanyaan
mendasar dalam tema-tema urgen untuk didalami lebih lanjut.
Diantara pertanyaan-pertanyaan tersebut adalahapa pandangan para
penafsir tentang hubungan umat beragama dalam al-Qur’an, apakah
para penafsir menawarkan konsep yang humanis dan egaliter dalam
penafsirannya, atau justru sebaliknya, khususnya dalam hubungan
antar umat beragama, dan bagaimana kita menyikapi perbedaan
pandangan dalam penafsiran untuk menarik sebuah benang
merah kesimpulan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan
prinsipkehidupan yangrahmatan lil ‘alamin.
Diskursus Hubungan antar Umat Beragama
Berbicara mengenai agama, banyak pengertian yang coba
ditawarkan oleh para sarjana yang fokus dalam kajian tentangnya.
Diantaranya adalah pengertian agama yang diungkapkan
oleh professor Wallace, ia mengartikan agama adalah sebuah
kepercayaan tentang makna terakhir alam raya. Sedangkan ESP
Haynes mengatakan bahwa agama adalah suatu teori tentang
hubungan manusia dengan alam raya.Bagi John Morley agama
adalah sebuah perasaan tentang kekuatan-kekuatan tertinggi yang
menguasai nasib umat manusia.James Martineau mendefinisikannya
357 Muhammad Abdullah Darraz (Editor), Jihad, Khilafah, dan Terorisme,
(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2017), 404.
269
sebagai kepercayaan tentang Tuhan yang abadi, yaitu tentang jiwa
dan kemauan ilahi yang mengatur alam raya dan berpegang pada
hubungan-hubungan moral dengan umat manusia.Sedangkan
professor ahli filsafat McTaggart mengatakan bahwa agama adalah
suatu keadaan kejiwaan. Agama digambarkan sebagai perasaan yang
terletak di atas adanya keyakinan pada keserasian antara diri kita
sendiri dan alam raya secara keseluruhan.358
Di lain pihak Herbert Spencer mengatakan bahwa agama adalah
pengakuan atas segala sesuatu merupakan manifestasi dari kuasa
yang melampaui pengetahuan manusia. Mathew Arnold mengatakan
bahwa agama adalah sebuah etika yang ditingkatkan, dinyalakan dan
diterangi oleh perasaan.359Pendapat-pendapat tersebut memberikan
gambaran singkat kepada penulis mengenai definisi agama.Secara
sederhana penulis menyatakan bahwa agama merupakan kesaksian
atau pengakuan manusia terhadap sebuah kekuatan yang tidak bisa
dicapai melalui media panca indera dan pengetahuan apapun.Dengan
posisinya yang seperti itu, maka praktis hanya al-Qur’an (teks)
yang menghubungkan kekuatan yang di luar jangkauan tersebut
agar mampu mencapai logika manusia.Tentunya logika yang sesuai
dengan perkembangan jaman.
Pada kesempatan lain Nurcholish Madjid membagi definisi
agama menjadi dua bagian, yaitu inklusif dan ekslusif. Definisi
inklusif adalah konsep definisi agama yang dianut oleh para penganut
sistem sosial yang menekankan perlunya individu-individu dalam
masyarakat dikontrol oleh kesetiaan pada seperangkat kepercayaan dan
nilai.Definisi inklusif menjadikan agama hanya menjadi sekumpulan
manusia yang menjalankan praktik-praktik yang berhubungan
dengan hal-hal yang suci. Praktik-praktik tersebut menyatukan para
penganutnya ke dalam satu komunitas moral yang disebut umat, hal
ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Emile Durkheim.
358 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2013), 148.
359 Fauz Noor, Berpikir Seperti Nabi Perjalanan Menuju Kepasrahan
(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2009), 449.
270
Sedangkan pengertian ekslusif menekankan pengertian agama
sebagai konfigurasi dari representasi keagamaan yang membentuk
suatu alam kesucian, yaitu agama dalam bentuk khusus sosial-historis
dan sosial kulturalnya. Pengertian ini lebih terfokus pada sistem
agama sebagaimana dipahami oleh kebanyakan orang, pengertian
ini juga akan identik dengan nama Islam, Kristen, Yahudi, Hindu,
Buddha dan lain sebagainya.360
Berbicara mengenai agama, Albert Einstein dan Thomas
Jefferson memprediksikan bahwa kegiatan keagamaanakan
menjadi sebuah kegiatan yang marginal dan lambat laun akan
hilang dari muka bumi ini.361Tetapi pada kenyataannya mendekati
akhir abad ke-20 agama menjadi salah satu kekuatan yang harus
diperhitungkan.Dewasa ini umat beragama menuntut hak eksistensi
dalam menjalankan ritual-ritualnya.Bahkan sekarang telah
muncul penganut agama yang radikal, yang biasa disebut dengan
fundamentalisme, yaitu suatu bentuk keimanan yang bersifat politis,
dan mengancam dunia dan kedamaian sipil.362
Dalam hal ini agama harusnya tampil pada garda terdepan
sebagai perawat kerukunan dan kedamaian, tetapi faktanya justru
menjadi salah satu sumber perpecahan.Meskipun agama bukanlah
satu-satunya faktor yang menyebabkan ketidakharmonisan
360 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan (Bandung:
Mizan, 2008), 130-135.
361 Albert Einstein mengakui spiritualisme dalam kehidupan manusia, tetapi
sangat kritis terhadap agama-agama mapan dan bahkan menolaknya.
Thomas Jefferson juga mengaku percaya kepada Tuhan (Deisme), kepada
Kemaha-Esaan Tuhan (Unitarianisme), dan kepada kebenaran universal
(Universalisme), tanpa harus terikat kepada salah satu dari agama-agama
formal yang ada. Jefferson meramalkan bahwa pemahamannya itu akan
menjadi agama seluruh umat manusia, dan dalam jangka waktu dua ratus
tahun akan menggeser agama-agama formal. Lihat Nurcholish Madjid,
Islam Agama Kemanusiaan, 127, lihat juga Nurcholish Madjid, Tradisi
Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia (Jakarta:
Paramadina, 2008), 134.
362 Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis, terj.
Sirikit Syah (Surabaya: Risalah Gusti, 2011), vii.
271
dalam hubungan sosial, namun jelas sekali bahwa pertimbangan
keagamaan pada konflik-konflik tersebut dan dalam eskalasinya
banyak memainkan peranan.363Jika agama tidak bisa menghadirkan
hal tersebut maka ada problem yang menjadi pekerjaan rumah kita
bersama sebagai anak bangsa.
Mengkaji hubungan antar umat beragama dalam perspektif
Islam tak akan bisa terlepas dari jargon Islam rahamatan lil ‘alamin.
Secara substansial, topik tersebut meliputi beberapa hal, diantaranya
adalah menjunjung tinggi nilai hikmah yang dimaknai bijaksana, ‘adl
yang dimaknai dengan keadilan, tawasuth yang dimaknai moderat,
tasamuh yang dimaknai toleran, tawazun dimaknai seimbang, i’tidal
yang dimaknai konsisten, serta syura yang dimaknai musyawarah.
Fungsi Islam rahamatan lil ‘alamin diperkuat oleh sabda Nabi
Muhammad SAW yaitu innama bu’istu li utammima makaa rimal
akhlak” (Aku diutus Tuhan untuk menyempurnakan akhlak). Umat
Islam saat ini masih belum sepenuhnya mampu menunjukkan wajah
Islam rahamatan lil ‘alamin. Umat Islam masih jauh dari perilaku
dan akhlak Islami. Artinya masih banyak umat Islam yang belum
Islam.364
Umat Islam telah gagal memahami al-Qur’an sebagai pedoman
hidup.Perintah-perintah utamanya yang sangat sederhana dianggap
363 Konflik yang disebabkan sentimen keagamaan antara lain: konflik antara
Protestan dan Katolik di ujung utara Irandia, konflik rasialisme atau
kepentingan ekonomi para pekerja Muslim di Prancis dan Jerman, konflik
di Cyprus antara keturunan Turki dan Yunani yang berbeda agama, konflik
Palestina dan Israel yang melibatkan kaum Muslim, Yahudi dan Kristen,
konflik di Sudan antara Islam Arab dan Kristen kulit hitam, konflik Irak
dan Iran yang diwarnai oleh perbedaan antara Sunni dan Syi ‘ah, hal ini
juga terjadi di Pakistan, konflik Islam dan Hindu di India, konflik Islam dan
Buddha di Sri Lanka, Burma dan Thailand. Konflik diskriminasi Muslim
minoritas di Rohingya Myanmar, bom Bali, bom Kampung Melayu.
Kerusuhan Mako Brimob Depok, bom bunuh diri di gereja di Surabaya,
bom bunuh diri di Rusunawa Sidoarjo. Lihat Nurcholish Madjid, Islam
Agama Kemanusiaan, 125.
364 Nanat Fatah Natsir, The Next Civilization Menggagas Indonesia Sebagai
Puncak Peradaban Dunia (Bekasi: Media Maxima, 2012), 162-163.
272
angin lalu saja oleh umat yang mengaku beriman kepadanya. Umat
Islam yang sekarang jumlahnya kurang lebih 1,6 miliar adalah
bagian dari kemanusiaan universal, tetapi perannya masih berada
di buritan peradaban. Antara al-Qur’an dan umat Islam terbentang
jurang yang lebar sekali.365
Perbedaan sikap penerimaan masyarakat terhadap hubungan
antar umat beragama merupakan indikasi dari kompleksitas
problematika tersebut.Sikap ekslusif, inklusif dan pluralis adalah
bukti bahwa masyarakat dunia belum cukup siap untuk menghadapi
perbedaan yang ada, terutama perbedaan agama.Pertentangan
antar umat beragama yang membawa perpecahan, kekerasan,
anarkisme dan bahkan vandalisme merupakan kenyataan ironis
yang menyedihkan. Ditambah lagi dengan sebagian juru dakwah
keagamaan yang menjelek-jelekkan agama lain dan umatnya,
menghasut, menyulut emosi umat untuk membenci dan bahkan
menyerang agama lain. Permusuhan dan balas dendam adalah
tanda bahwa sebagian masyarakat dunia masih menjalankan konsep
ekslusifisme dan fanatisme dalam kehidupan antar umat beragama.
Globalisasi, migrasi, dan multikulturalisme makin menambah
persoalan hidup masyarakat majemuk.Perkembangan ideologi,
agama-agama dan bentuk spiritualitas baru banyak bermunculan
sesuai dengan berkembangnya jaman. Hal ini memerlukan sebuah
bentuk paradigma baru dalam pembacaan misi-misi agama. Menurut
Weinata Sairin, setidaknya ada tiga aspek yang selalu menjadi tekanan
dalam konteks hubungan antar umat beragama, 1. Kerukunan antara
pemerintah dan umat beragama; 2. Kerukunan antar umat beragama;
dan 3. Kerukunan antar umat seagama.366
365 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam,
(Yogyakarta: PT Bentang Pustaka, 2018), 135-137.
366 Weinata Sairin, Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan
bangsa: Butir-Butir Pemikiran (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2002),
136. Dalam hal ini Muhammad Ali mengatakan bahwa model trilogi
kerukunan seperti yang diungkapkan oleh Weinata Sairin tidak lagi
efektif dalam kehidupan nyata. Sebab model seperti itu tidak memberikan
kejelasan dan kepastian politik menyangkut pluralisme yang semakin
273
Dalam mengomentari aspek-aspek tersebut penulis menyatakan
bahwa perlu adanya hubungan yang harmonis antara penguasa
(pemerintah) dan umat beragama.Hubungan timbal balik antara
pemerintah dan umat beragama merupakan sebuah keniscayaan. Hal
ini sesuai dengan pendapat Farid Esack yang menyatakan bahwa
terdapat dialektika yang tak terelakan antara politik dan agama
(Islam).367 Pada kesempatan lain Muhammad Ali menegaskan bahwa
toleransi dan pluralisme agama tidak akan berjalan lancar tanpa
adanya sokongan dari negara (pemerintah).368
Kehidupan umat beragama dalam sebuah negara pada umumnya
memunculkan sebuah paradigma mayoritas-minoritas.Dalam hal
ini, kebanyakan penganut agama minoritas tidak diuntungkan
dalam kehidupan bernegara akibat kekerasan struktural. Sikap-sikap
semacam itu seringkali ditunjukkan oleh pihak pemerintahan di
satu sisi, dan di sisi lain oleh penganut agama arus utama. Masalah
tersebut menjadi semakin kompleks karena banyak bermunculannya
aliran-aliran baru dalam sebuah agama.
Dalam menghadapi fenomena tersebut ada yang berpendapat
bahwa negara tidak berhak mengintervensi keberagaman dan
spiritualitas warga negara, karena keduanya bersifat personal yang
tidak dapat dibendung oleh instansi manapun. Di pihak lain ada juga
yang berpendapat bahwa negara harus melakukan intervensi penuh
dalam menghadapi keberagaman dan spiritualitas masyarakatnya.
Dalam hal ini Muhammad Ali berpendapat bahwa kedua poin
di atas dianggap kurang relevan dalam menangani problematika
antara negara dan umat beragama.Ali menegaskan bahwa sebuah
negara harus memiliki pemerintahan berbasis pada kepedulian
berkembang.Lebih dari itu, model trilogi kerukunan hanya menyebutkan
pihak-pihak yang berinteraksi, bukan bagaimana seharusnya interaksi
itu berlangsung. Lihat Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural:
Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan (Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara, 2003), 48.
367 Farid Esack, Qur’an Liberation & Pluralism, 212.
368 Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural, 48.
274
yang demokratis.Hal ini menurut Ali dapat diimplementasikan ke
dalam beberapa poin, diantaranya adalah perhatian negara atas
pluralitas agama harus bersifat demokratis.Politik pluralisme agama
adalah pengakuan politik terhadap klaim-klaim yang berkompetisi
atas sumber-sumber dan kekuasaan negara, serta validitas semua
ideologi keagamaan. Pluralisme agama juga tidak di pahami sebagai
penguatan terhadap agama mayoritas (arus utama) dan di lain pihak
penganut agama minoritas dipinggirkan.
Pada kesempatan lain Ali juga menegaskan tentang kepekaan
negara terhadap kelemahan yang ditimbulkan oleh pluralisme.
Diantaranya adalah, pluralisme tidak bisa membenarkan segala
cara. Oleh karena itu, justifikasi pluralisme pada tataran individu
harus melibatkan value judgement mengenai manfaat kebebasan
individu dan kewajiban masyarakat. negara juga tidak bisa
mentolerir perbuatan publik yang dilakukan atas nama agama,
tetapi membahayakan masyarakat umum, seperti aksi bom bunuh
diri, jihad yang di salah artikan oleh penganut aliran-aliran radikal,
kebebasan seksual yang diusung oleh aliran-aliran tertentu, dan lain
sebagainya. Dalam permasalahan ini negara dituntut peduli untuk
menciptakan iklim politik yang kondusif bagi terciptanya pluralisme,
serta mencegah prasangka-prasangka teologis yang mengakibatkan
pertikaian, kekerasan, baik fisik maupun intelektual antar penganut
agama.369
Aspek kedua merupakan sebuah tuntutan kepada seluruh
penganut agama agar bisa bersikap dewasa, dingin, dan penuh
dengan toleransi. Sebuah hubungan yang baik antar umat beragama
tidak akan terjalin tanpa adanya sebuah dialog yang baik. Dalam
hal ini Hans Kung berpendapat bahwa tidak ada perdamaian sesama
manusia tanpa ada perdamaian antar agama, tidak ada perdamaian
antar agama tanpa ada dialog antar agama, dan tidak ada dialog antar
agama tanpa ada penelusuran dasar-dasar agama.370 Dialog dalam
369 Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural, 49-52.
370 Pendapat Hans Kung tersebut dikutip oleh Muhammad Ali dalam bukunya
Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin
275
konteks ini tidak hanya sebatas mengakui keberagaman agama yang
ada, tetapi harus melangkah lebih jauh ke dalam sebuah bentuk
kerjasama dan dialog yang intens diantara kemajemukan tersebut.
Pada kesempatan lain Diana L. Eck mengemukakan perbedaan
antara pluralisme dan pluralitas atau diversity. Ia mengatakan
bahwa pluralitas (diversity) adalah sesuatu yang sederhana,
basic, colorful, splendid, dan bersifat given, sesuatu yang bersifat
kebinekaan dan keberagaman. Sementara pluralisme adalah sebuah
proses pergumulan yang bertujuan menciptakan sebuah masyarakat
bersama (common society) yang dibangun atas dasar pluralitas
atau keberagaman tersebut. Tidak seperti pluralitas yang memang
alami pemberian dari Tuhan, pluralisme merupakan sebuah prestasi
bersama dari kelompok agama dan budaya yang berlainan untuk
menciptakan sebuah komunitas bersama.371
Aspek ketiga adalah sebuah keniscayaan bahwa dalam satu
agama terdapat berbagaimacam aliran dan mazhab.Hal ini merupakan
sebuah kewajaran dalam sebuah agama.Dalam permasalahan ini para
penganut internal sebuah agama dituntut arif dan bijaksana dalam
menyikapinya. Sebuah perbedaan tidak hanya ditinjau dari satu
sudut pandang saja, tetapi harus dilihat dari berbagaimacam aspek
sehingga bisa diketahui kenapa perbedaan tersebut muncul.Hal
ini dibutuhkan agar sikap terhadap perbedaan-perbedaan tersebut
tidak hanya dibangun atas dasar toleransi semata, tetapi melangkah
lebih jauh untuk menciptakan sebuah komunitas dalam bingkai
kebersamaan yang sama-sama aktif dalam mewujudkan kehidupan
yang baik.Hal ini tidak jauh berbeda dengan konsep pluralisme yang
terjadi pada hubungan antar umat beragama, dalam internal agama
pun konsep tersebut diperlukan.
Konsep toleransi tidak membutuhkan pengetahuan (knowledge)
dan pemahaman (understanding) atas komunitas lain, sementara
konsep pluralisme mensyaratkan keduanya, yaitu pengetahuan
Kebersamaan. Lihat Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural, 12.
371 Elza Peldi Taher (editor), Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai
Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi (Jakarta: ICRP, 2009), 181-183.
276
sekaligus pemahaman terhadap tradisi agama dan budaya komunitas
agama lain. Dengan demikian orang yang bersikap toleran belum
tentu bersikap pluralis, meskipun pada dasarnya toleransi itu
perlu dalam hubungan antar umat beragama, tetapi ia tidak cukup
kuat untuk menjadi landasan bagi terciptanya hubungan yang
langgeng, karena sikap toleransi bisa sewaktu-waktu disusupi dan
diprovokasi oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan
agama, ekonomi dan politik. Dalam banyak hal hubungan inter dan
antar agama di Indonesia dan di belahan negara manapun saat ini
masih pada level toleransi dan belum mencapai level pluralisme.
Oleh karena itu dibutuhkan dialog agama yang konstruktif dan
berkesinambungan sebagai jembatan dan jalan menuju mansyarakat
agama yang pluralis.372
Pemaparan-pemaparan singkat di atas menunjukkan bahwa
perlunya hubungan yang harmonis dan produktif diantara tiga
komponen dalam upaya menciptakan kehidupan majemuk yang
baik.Yaitu Pemerintah yang menaungi kehidupan masyarakatnya,
komunitas umat beragama, dan komunitas internal masing-masing
agama. Ketiga komponen tersebut harus bersinergi satu sama lain
dan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, karena dalam roda kehidupan
pluralitas merupakan sebuah keniscayaan.
Pandangan al-Qur’an terhadap Non-Muslim
1. Pandangan al-Qur’an Mengenai Pluralisme
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan pandangan
al-Qur’an tentang kemajemukan adalah ayat 48 dari surat al-Maidah.
Ayat ini menerangkan dengan jelas pandangan al-Qur’an tentang
kemajemukan umat manusia yang tergambar dalam tiga poin.
Pertama, anjuran untuk beriman kepada al-Qur’an yang
membenarkan dan menguatkan posisi kitab-kitab sebelumnya.
Kedua, Allah SWT telah menciptkan syariat dan manhaj bagi setiap
372 Elza Peldi Taher (editor), Merayakan Kebebasan Beragama, 186.
277
kaum.Hal ini menunjukkan bahwa kemajemukkan umat merupakan
fitrah yang sengaja diciptakan oleh Allah SWT. Ketiga, anjuran
untuk berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan walaupun
berbeda syariat dan manhaj. Ketiga poin tersebut yang menurut
penulis menjadi penguat bahwa surat al-Maidah ayat 48 merupakan
salah satu justifikasi al-Qur’an atas kemajemukan umat manusia.
Ayat tersebut berbunyi:
َ با
َ با
ّ صُم
ً ب اَمّل ا
ْ ك
ْ ي َن
ْ تِكْلا َنِم ِه
يَلإِ اَنْلَزْنأََو
َ تِكْلا
َ ب
َ قّد
َ ي
َ يَد
ِ قَحْلا
ِ
ّ ب
ُ ب ْم
َ ت
ْ يَلَع اًنِم
ْ ف ِه
ْ ب ْمهَُن
يهَُم َو
َ كْحا
َ ي
ِ ت اَلَو ُهللا َلَزْنأَ اَم
ِ ْمهَُءاَوْهأَ ْع
ُ كْنِم اَنْلَعَج ّل
ُ ش ْم
ّ كِل
كَءاَج اّمَع
َ قَحْلا َنِم
َ ُهللا َءا
ِ ش ْوَلَو اًجاهَْنِم َو ةًَعْر
ً
ْ
ُ حاَو ةًّمأُ ْم
ُ
ُ
ُ او
َ
َ ب
ْ
ْ
ْ
كَلَعَجَل
د
ة
و
ل
ك
ن
ل
ي
ب
ل
و
ك
م
ف
ي
م
ءا
تا
كا
م
ف
سا
ت
ُ
َ
َ
ْ
ِ ق
َ َ ِ ِ َ
َ ْ ِ
َ َ
ِ
ُ ف ْم
ُ ك
ُ يِمَج ْم
ُ ب ْم
ُ تْن
ْ تاَر
ْ ف اًع
ْ ِه
يَخْلا
ُ بَن
ُ ك
ّ ئ
َ ي
ِ ِجْرَم ِهللا ىَلإ
ِ ك اَم
ِ ي
ِ ع
ُ َنْو
َتْخت
َ فِل
Artinya: Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an
dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya),
terhadap kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara
mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang,
sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya
satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberianNya kepadamu, maka belomba-lombalah dalam
berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukanNya kepadamu apa yang telah
kamu perselisihkan itu.
Untuk mempermudah dalam menganilis surat al-Maidah ayat
48 ini, penulis berusaha membagi ayat tersebut dalam tiga bagian
pembahasan. Pertama, awal ayat, yaitu kepada siapa bagian awal
ayat tersebut ditujukkan.Kedua, apakah khitab (pihak kedua) pada
ayat tersebut hanya berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW,
278
atau berlaku juga bagi umat selain dari umat Nabi Muhammad
SAW Ketiga, apa yang dimaksud dengan umat yang satu (ummatan
wahidatan) dalam ayat tersebut.
Dalam mengomentari permulaan ayat ini para penafsir sepakat
bahwa ayat ini ditujukkan kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu
turunnya al-Qur’an dengan membawa kebenaran.373 Para penafsir
berbeda pendapat tentang siapa khitab (pihak kedua) yang melandasi
ayat tersebut setelahnya, apakah umat Nabi Muhammad SAW, apa
berlaku juga bagi umat agama lainnya?
Zamakhshari berpendapat bahwa kalimat wa likullin ja‘alna
minkum ditujukkan kepada manusia secara umum, dalam hal ini Allah
SWT memberikan kepada manusia seluruhnya syari’at dan manhaj
(Zamakhshari mengartikannya sebagai jalan agama yang lurus) agar
manusia bisa menjalankannya.374 Sedangkan al-Tabari mengartikan
ayat tersebut menjadi dua bagian, pertama ia mengatakan ada
373 Di antara para penafsir yang menyepakati bahwa khitabpada bagian awal
ayat ini ditujukkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah, Muqatil Ibn
Sulayman, lihat Muqatil Ibn Sulayman, Tafsir Muqatil Ibn Sulayman, jilid
1 (Beirut: Dar al- Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 304. Ibn Kathir, lihat Ibn
Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid 2(Kairo: Dar Misr li al-Tiba‘ah,
tt), 67. Al-Tabari, lihat Muhammad Ibn al-Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan
fi Ta’wil al-Qur’an, jilid 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 606.
Al-Zamakhshari. Lihat Al-Zamakhshari, Tafsir al-Kashshaf, jilid 1 (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995), 626. Fakhruddin al-Razi, lihat Fakhurddin
al-Razi, Tafsir Fakhr al-Razi, jilid 4 (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 2438.
M. Quraish Shihab, lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan,
kesan dan Keserasian Al-Qur’an, volume 3 (Ciputat: Penerbit Lentera
Hati, 2001), 104. Al-Tabataba’i, lihat Muhammad Husayn al-Tabataba’i,
Tafsir al-Mizan, jilid 5 (Beirut: Muasasah al-A‘lami li al-Matbu‘at, 1974),
348. Muhammad Rashid Ridha, lihat Muhammad Rashid Ridha, al-Tafsir
al-Manar, jilid 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Iliyyah, 1999), 340. Wahbah
al-Zuhayli, lihat Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa
al-Shari‘ah wa al-Manhaj, jilid 6 (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu‘asir, 1991),
216. ‘Abd al-Karim al-Khatib, lihat ‘Abd al-Karim al-Khatib, Al-Tafsir alQur’ani li al-Qur’an, jilid 3 (Kairo: Dar Fikr al-‘Arabi, tt). 1108.
374 Al-Zamakhshari, Tafsir al-Kashshaf, jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyah, 1995), 627.
279
sebagian ulama yang berpendapat bahwa Allah SWT memberikan
syariat dan manhaj kepada masing-masing kaum, dalam hal ini yaitu
umat Nabi Musa As, umat Nabi Isa As dan umat Nabi Muhammad
SAW.
Pendapat yang kedua menyatakan bahwa Allah SWT hanya
mengkhusukan syariat dan manhaj-Nya kepada umat Nabi Muhammad
SAW. Dalam hal ini al-Tabari cenderung kepada pendapat pertama
yang mengatakan bahwa syariat dan manhaj Allah SWT berlaku
bagi masing-masing umat. al-Tabari juga menambahkan bahwa hal
tersebut diperkuat dengan firman Allah SWT setelahnya, yaitu wa
law sha’a Allahu laja‘alakum ummatan wahidatan. Apabila Allah
SWT berkehendak maka akan Allah jadikan kalian satu umat.375
Fakhruddin al-Razi sependapat dengan apa yang diungkapkan
oleh al-Tabari. Ia mengartikan khitab pada ayat tersebut ditujukan
kepada umat Nabi Musa As, umat Nabi Isa As dan umat Nabi
Muhammad SAW. Fakhruddin al-Razi meyakini bahwa setiap
kitab yang Allah SWT turunkan mempunyai ajarannya masingmasing.376Pendapat yang lebih luas lagi diungkapkan oleh Muqatil
Ibn Sulayman yang mengatakan bahwa ayat tersebut tertuju kepada
kaum Muslim dan Ahl al-Kitab tanpa menjelaskan lebih lanjut siapa
saja yang termasuk dalam kategori Ahl al-Kitab.377
Dalam hal ini Ibn Kathir berbeda pendapat dengan para
mufassir yang tersebut di atas. Ibn Kathir mengatakan bahwa alQur’an merupakan satu-satunya jalan syariat dan manhaj yang
benar dan jelas. Sedangkan pandangan yang mengatakan bahwa ayat
tersebut tertuju kepada seluruh manusia sebagaimana yang dikatakan
375 Muhammad Ibn al-Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, jilid
4, 609-611.
376 Fakhruddin al-Razi, lihat Fakhurddin al-Razi, Tafsir Fakhr al-Razi, jilid 4,
2438.
377 Muqatil Ibn Sulayman, Tafsir Muqatil Ibn Sulayman, jilid 1, 304.
Pendapat Muqatil Ibn Sulayman dalam tafsirnya dikutip oleh Mun’m
Sirry dalam “Berlomba-lombalah Dalam Kebaikan: Tafsir 5: 48 dan
Diskursus Kontemporer Pluralisme Agama. Lihat Elza Peldi Taher (editor),
Merayakan Kebebasan Beragama, 147.
280
al-Zamakhshari, serta apa yang dikatakan oleh al-Tabari dan al-Razi
telah di-naskh dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW.378
Pada bagian ketiga tentang maksud dari ummatan wahidatan,
al-Zamakhshari mengatakan bahwa maksud dari kalimat tersebut
adalah sekumpulan manusia yang bersepakat terhadap syariat yang
satu atau umat yang satu yang hanya memiliki satu keyakinan,
tetapi keterangan dalam ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak
menjadikan kalian satu karena Allah hendak menguji manusia atas
apa yang Allah berikan. Perbedaan diantara manusia itu menurut alZamakhshari merupakan hikmah yang telah Allah berikan.379
Pendapat al-Zamakhshari tersebut senada dengan apa yang
diutarakan oleh al-Tabari, al-Razi dan Ibn Kathir. Sedangkan
yang dimaksud dengan hikmah dari kemajemukan umat manusia
adalah untuk mengetahui diantara umat manusia semua siapa saja
diantara mereka yang taat dan siapa saja yang bermaksiat terhadap
ajaran-ajaran Allah SWT.380Al-Razimenambahkan bahwa persatuan
merupakan kehendak Allah SWT, sedangkan perpecahan atau
penyimpangan merupakan hasil perbuatan manusia.381
Pendapat yang lebih luas lagi diungkapkan oleh Muqatil
Ibn Sulayman dalam tafsirnya.Ia mengatakan bahwa apabila Allah
berkehendak maka umat Nabi Muhammad SAW dan para Ahl alKitab akan dijadikan satu umat atas nama Islam. Dalam hal ini Muqatil
Ibn Sulayman tidak merinci siapa yang termasuk dalam kategori
Ahl al-Kitab. Muqatil Ibn Sulayman menambahkan bahwa maksud
dari itu semua adalah untuk mengambil hikmah dari kemajemukan
umat manusia.382Muhammad Rashid Ridha memperkuat pendapat
Muqatil Ibn Sulayman dengan mengatakan bahwa maksud hikmah
378 Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid 2, 67-68.
379 Al-Zamakhshari, Tafsir al-Kashshaf, jilid 1, 627.
380 Muhammad Ibn al-Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, jilid
4, 612.
381 Fakhruddin al-Razi, lihat Fakhurddin al-Razi, Tafsir Fakhr al-Razi, jilid 4,
2440.
382 Muqatil Ibn Sulayman, Tafsir Muqatil Ibn Sulayman, jilid 1, 304.
281
dalam ayat ini adalah agar manusia menggunakan akalnya untuk
berpikir. Ridha meyakini bahwa asas agama Islam adalah asas akal
dan kebebasan atau kemerdekaan (Istiqlal).383
Para mufassir yang tersebut diatas bersepakat bahwa Allah
SWT telah menciptakan untuk setiap kaum syariatnya masingmasing, dan Allah juga menganjurkan untuk setiap kaum berlombalomba untuk mengejar kebaikan (al-Khayrat) sesuai dengan ajaran
yang dibawa oleh Nabinya masing-masing. Dalam hal ini Muhammad
Rashid Ridha memperluas makna al-Khayrat daripada ayat tersebut.
Ia mengartikan sebagai anjuran untuk berbuat baik bagi seluruh
manusia tanpa melihat perbedaan dari agama masing-masing, karena
menurutnya semua agama di dunia ini pasti mengajarkan kebaikan.
Melihat sudut perbedaan antar agama merupakan tuntunan hawa
nafsu, sedangkan kebaikan adalah hal yang akan membawa manfaat
bagi kehidupan dunia dan akhirat.384
Dalam hal ini ‘Abd al-Karim al-Khatib mengatakan pendapat
yang hampir sama dengan Muhammad Rashid Ridha. Ia mengatakan
bahwa arti al-Istibaq pada ayat tersebut adalah al-Idrak atau alSabak yang berarti berlomba-lomba untuk meraih sesuatu. Maka ayat
tersebut menurut ‘Abd al-Karim al-Khatib menganjurkan kepada
setiap manusia untuk berlomba-lomba dalam meraih kebaikan sesuai
dengan apa yang diajarkan dalam kitabnya masing-masing tanpa
menjelaskan dan mengklasifikasikan lebih lanjut kitab dan agama
yang dimaksud dalam ayat tersebut.385
Sedangkan Ibn Kathir dalam menafsirkan ayat tersebut berbeda
pendapat dengan para penafsir sebelumnya.Ibn Kathir mengatakan
bahwa syariat-syariat yang Allah Swt ciptakan untuk para Nabi
terdahulu tidak berlaku lagi karena telah dinaskh oleh syariat Nabi
Muhammad SAW. Ibn Kathir mengartikan al-Khayrat sebagai
ketaatan, hal ini sependapat dengan apa yang dikatakan oleh al-
383 Muhammad Rashid Ridha, al-Tafsir al-Manar, jilid 6, 347.
384 Muhammad Rashid Ridha, al-Tafsir al-Manar, jilid 6, 348.
385 ‘Abd al-Karim al-Khatib, al-Tafsir al-Qur’ani li al-Qur’an, jilid 3, 1109.
282
Qurtubi, wahbah al-Zuhayli serta Muhammad Quraish Shihab.386 Ibn
Kathir memperkuat pendapatnya dengan riwayat dari al-Dahhak yang
mengatakan bahwa yang dimaksud berloma-lomba dalam kebaikan
pada ayat tersebut tertuju kepada umat Nabi Muhammad SAW.387
2. Toleransi dan Kebebasan dalam Beragama
Toleransi atau dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tasamuh
merupakan salah satu inti dari ajaran Islam. Sebagai ajaran yang
fundamental dalam Islam, al-Qur’an menganjurkan umat Islam agar
bertoleransi terhadap sesama. Perbedaan agama dan kepercayaan tidak
bisa menghalangi manusia untuk saling bertoleransi dan menghargai
manusia yang lain, karena Islam diturunkan bukan untuk suatu
komunitas atau golongan tertentu, tetapi untuk seluruh umat manusia
di dunia dengan prinsip rahmatan li al-‘alamin. Hal ini ditegaskan
dengan penghormatan Islam terhadap Nabi Isa As dan Nabi Musa
As yang begitu besar serta pengakuan keberadaan Taurat, Zabur dan
Injil di dalam al-Qur’an.388Toleransi yang ditunjukkan Islam terhadap
penganut agama lain sangatlah kuat, sehingga orang Muslim dilarang
mencaci maki Tuhan yang disembah oleh non-Muslim sebagaimana
dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-An‘am ayat 108.389
386 Al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, jilid 6(Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyyah, Tt), 137, lihat Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, jilid 6,
218, lihat juga M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, volume 3, 105.
387 Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid 2, 68.
388 Hal ini senada dengan pendapat Sayyid Qutb yang menyatakan bahwa
Islam adalah agama kasih sayang, aqidah yang lemah lembut, dan
mempunyai cita-cita untuk mengumpulkan umat manusia dibawah
kekuasaan Allah SWT dengan penuh cinta dan kasih sayang, Islam juga
bukan agama yang identik dengan kekerasan dan permusuhan. Lihat
Muhammad al-Ghazali, al-Islam al-Muftara ‘Alayhi (Kairo: Nahdatu Misr,
2008), 30, lihat juga Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilal al-Qur’an, jilid 4 (Kairo:
Dar al-Syuruq, 1982), 3544, lihat juga Muhammad al-Sayyid Yusuf,
Manhaj al-Qur’an, 225.
389 Ayat tersebut berbunyi هللا اوبسيف هللا نود نم نوعدي نيذلا اوبست الو
مهئبنيف مهعجرم مهبر ىلإ مث مهلمع ةمأ لكل انيز كلاذك ملع ريغب اودع
نولمعي اوناك امبdalam hal ini Ibn Kathir menegaskan bahwa ayat ini
283
Dengan demikian tidak dibenarkan seorang Muslim untuk
membenci orang lain hanya karena ia bukan penganut agama Islam.
Membiarkan orang memeluk agama selain Islam merupakan bagian
dari ajaran Islam itu sendiri, sebagaimana firman Allah SWT dalam
ُ يِد ْم
ُ يِلَو ْم
ْ كُن
ْ ِنArtinya: bagi kalian agama
surat al-Kafirun كَل
َ يِد
390
kalian, dan bagiku agamaku. Karena agama merupakan hidayah
dari Allah SWT dan bukan merupakan paksaan manusia, hal ini
sesuai dengan firman Allah SWT:
ّ غا
ُ تْو
ُ ب ْر
َ ب
ً ت ْد
ً ي ْنَم
ْ ق ِن
ْ يَغْلا َنِم ُد
ّ شّرلا َن
ف َهاَرْكاِ اَل
ّ ف
َ ي
َ فْك
ِ يّدلا ي
ِ طلا
ِ
ْ
ُ قثُوْلا ِةَوْر
َ سْم
ْ ت
يَو
ُ ب ْنِمْؤ
َ ق
َ سا ِد
َ ب
َ فْناَل ى
َ ك
َ ُهللاَو اهََل َما
ِ ف ِهللا
ِ عْلا
ِ ص
ٌ يِلَع
ْ ع
ْ ٌم
س
َ يِم
Artinya: Tidak ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata berbeda
kebenaran dan kesesatan, karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada
taghut dan beriman kepada Allah SWT, sesungguhnya ia telah berpegang
kepada tali yang amat kuat yang tak akan pernah putus. Allah SWT maha
mendengar dan maha mengetahui.391
merupakan larangan bagi umat Islam untuk mencaci maki Tuhan orang
Musyrik, karena jika umat Islam melakukan hal tersebut, maka hal yang
sama akan dilakukan oleh orang-orang Musyrik terhadap Tuhan umat
Islam, lihat Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid 2(Beirut: Dar alFikr, 1999), 188.
390 QS al-Kafirun, juz 30, ayat 6. Ayat lain yang memiliki substansi yang sama
dengan ayat tersebut adalah, (1) “bagi kami amal-amal kami, dan bagi
kalian amal-amal kalian”, QS al-Qasas, juz 20, ayat 55, QS al-Baqarah, juz
1, ayat 139, QS al-Syura, juz 25, ayat 15, (2) “jika mereka mendustakan
kamu, maka katakanlah: “bagiku pekerjaanku, dan bagi kalian pekerjaan
kalian, kalian terlepas dari apa yang aku kerjakan, dan aku juga terlepas
dari yang kalian kerjakan”, QS Yunus, juz 11, ayat 41.
391 QS al-Baqarah, juz 3, ayat 256, menurut Wahbah al-Zuhayli dan
Muhammad Rashid Ridha ayat tersebut memiliki substansi yang sama
dengan surat Yunus, juz 11, ayat 99, yang berbunyi نمأل كبر ءاش ولو
نينمؤم اونوكي ىتح سانلا هركت تنأـفأ اعيمج مهلك ضرألا يف نم, lihat
Muhammad Rashid Ridha, al-Tafsir al-Manar, jilid 3, 38, lihat juga Wahbah
al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir jilid 3, 21.
284
Dalam mengomentari surat al-Baqarah ayat 256, Wahbah alZuhayli berpendapat bahwa keimanan seseorang merupakan hasil
dari kesadaran dan hidayah dari Allah SWT dan bukan merupakan
paksaan atau tekanan. Oleh karena itu Wahbah al-Zuhayli meyakini
bahwa pemaksaan untuk masuk ke dalam suatu agama merupakan
tindakan yang tidak dibenarkan dalam Islam. Ayat ini juga menghapus
pandangan negatif sebagian kalangan terhadap agama Islam yang
disebarkan dengan pedang yang di implementasikan dalam bentuk
jihad.392 Hal ini senada dengan pendapat Muhammad Rashid Ridha
yang menyatakan bahwa agama merupakan hidayah dari Allah SWT
dan bukan merupakan pemaksaan atas manusia, dan Rasulullah
SAW tidak diutus untuk memaksa dan menundukkan manusia dalam
satu agama, tetapi Rasulullah SAW diutus sebagai pemberi kabar
gembira dan peringatan kepada manusia.393
Terkait ayat tersebut Jawdat Sa‘id memberikan beberapa
poin kesimpulan, pertama, ayat tersebut memberikan jaminan
kepada orang lain untuk tidak mendapatkan paksaan dari seseorang,
termasuk dalam urusan agama, kedua, ayat tersebut bisa dipahami
sebagai kalimat perintah (kalam insya’i) dan kalimat informatif
(kalam ikhbari). Dikatakan kalimat perintah karena memerintahkan
manusia untuk tidak melakukan pemaksaan terhadap orang lain, dan
dikatakan sebagai kalimat informatif karena memberitahukan bahwa
seseorang yang dipaksa masuk ke dalam suatu agama sementara
hatinya menolak, maka orang tersebut tidak bisa dikatakan telah
masuk ke dalam agama tersebut, ini karena agama merupakan
keyakinan dalam hati dan bukan hanya ucapan lisan semata, ketiga,
ayat tersebut melarang membunuh seseorang yang pindah agama,
karena ayat tersebut turun untuk melarang pemaksaan dalam
agama.394
392 Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, jilid 3,21.
393 Muhammad Rashid Ridha, al-Tafsir al-Manar, jilid 3, 38.
394 Jawdat Sa‘id, La Ikraha fi al-Din: Dirasat wa Abhath fi al-Fikr alIslami (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999), 26-36. Lihat juga alZamakhshari, Tafsir al-Kashshaf, jilid 1, 299.
285
Para ulama tafsir menyebutkan beberapa sebab yang
melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Al-Qurtubi sebagaimana
dikutip oleh Wahbah al-Zuhayli berpendapat bahwa ayat 256 dari
surat al-Baqarah telah dinasakh oleh ayat 73 surat al-Tawbah,395
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Mas‘ud yang menafikan ayat
tersebut turun pada tahun ke 3 atau ke 4 hijriyah setelah disyariatkan
jihad dan diperbolehkan membunuh orang-orang kafir.396 Pendapat
tersebut senada dengan apa yang diutarakan oleh Ibn ‘Arabi yang
menyatakan bahwa kalimat la ikraha merupakan lafadz umum untuk
menafikan pemaksaan dalam hal kebatilan, tetapi pemaksaan dalam
hal kebenaran merupakan perintah dari agama. Ibn ‘Arabi juga
mengungkapkan bahwa jihad terhadap orang-orang kafir merupakan
perintah agama sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah
SWT dan hadis Nabi Muhammad SAW.397
Di lain pihak sebagian ulama berpendapat bahwa ayat tersebut
tidak dinasakh, diantaranya adalah al-Sya‘bi, Qatadah, al-Hasan
al-Basari dan al-Dahhak. Para ulama tersebut menyatakan bahwa
ayat 256 surat al-Baqarah tidak dinasakh melainkan diturunkan
secara khusus kepada Ahl al-Kitab yang tidak bisa dipaksakan untuk
masuk Islam selama masih membayar jizyah. Sedangkan orang yang
diperangi adalah mereka yang memerangi Islam secara khusus,
dan mereka adalah para penyembah berhala dari Arab.Para ulama
tersebut memperkuat argumennya dengan riwayat dari Zayd ibn
Aslam dari bapaknya. Ia mendengar ‘Umar ibn Khatab berbincang
dengan perempuan tua beragama Nasrani, kemudian ‘Umar ibn
Khatab berkata “masuklah ke dalam agama Islam wahai perempuan
395 Ayat tersebut berbunyi مهيلع ظلغاو نيقفانملا و رافكلا دهاج يبنلا اهيأاي
ريصملا سئبو منهج مهاوأمو
396 Al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, jilid 2(Kairo: Dar al-Hadith,
2002), 239.
397 ةريره يبأ نع ةمئألا هاور: «وهو »هللاالا هلاال اولوقي ىتح سانلا لتاقأ نأ ترمأ
ىلاعت هلوق نم ذوخأم: « »هلل نيدلا نوكيو ةنتف نوكتال ىتح مهولتاقوtetapi
para ulama telah bersepakat bahwasanya yang diperangi di dalam ayat ini
adalah kaum musyrik Arab yang memerangi da’wah Nabi, lihat Wahbah
al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, 25.
286
tua, niscaya engkau akan selamat, karena Allah SWT telah mengutus
Nabi Muhammad SAW dengan membawa kebenaran.” Lalu
perempuan tua itu berkata, “saya sudah tua renta, dan sebentar lagi
kematian akan menjemput.” Kemudian ‘Umar ibn Khatab bersaksi,
“wahai Allah, saya bersaksi atas perempuan tua ini, lalu membaca
ayat ke 256 dari surat al-Baqarah.398
Sementara pendapat lain menyatakan bahwa turunnya ayat
tersebut disebabkan hal-hal sebagai berikut, pertama, diriwayatkan
dari Abu Dawud, al-Nasai, Ibn Hibban dari Ibn ‘Abbas berkata:
diceritakan ada seorang perempuan Ansar tidak mempunyai anak,
kemudian ia berjanji pada dirinya apabila ia kelak mempunyai
anak maka anaknya akan dijadikan seorang Yahudi. Kemudian
turunlah ayat tersebut sebagai bentuk penolakan dari pemaksaan
agama. Kedua, diriwayatkan dari Ibn Jarir al-Tabari dan Ibn ‘Abbas
berkata: turunnya ayat 256 surat al-Baqarah kepada seorang lakilaki dari Ansar dari Bani Salim bernama al-Husayn,399 yaitu seorang
Muslim yang mempunyai dua orang anak yang beragama Nasrani.
Kemudian ia mengadu kepada Nabi, apakah dirinya boleh memaksa
dua anaknya untuk masuk Islam, sementara anaknya cenderung
kepada Nasrani. Ia menegaskan kepada Nabi, apakah dirinya akan
membiarkan mereka masuk neraka. Dengan kejadian tersebut maka
turunlah firman Allah SWT yang melarang pemaksaan kehendak
terhadap agama.400
Setelah menelaah berbagai macam pandangan di atas penulis
menarik kesimpulan bahwa pemaksaan terhadap agama tidak
dibenarkan dalam ajaran Islam, sebagaiamana pendapat Muhammad
‘Abduh yang dikutip oleh muridnya Muhammad Rashid Ridha.
Dia berpendapat bahwa rahmat Allah SWT berlaku bagi semua
makhluknya, walaupun tidak beragama Islam. Memaksakan
398 Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, jilid 3,24.
399 Menurut al-Sudi nama laki-laki tersebut Abu al-Husayn, lihat Wahbah alZuhayli, al-Tafsir al-Munir, jilid 3,20.
400 Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid I(Beirut: Dar al-Fikr, 1999),
354, lihat juga Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, jilid 3, 20, lihat juga
Muhammad Rashid Ridha, al-Tafsir al-Manar, jilid 3, 36.
287
kehendak untuk memasukan seseorang ke dalam sebuah agama
tertentu merupakan hal yang terlarang dalam ajaran Islam, karena
iman timbul dari kesadaran hati dan bukan dengan paksaan.401
Agama yang dipaksakan menurut Jawdat Sa‘id, seperti cinta yang
dipaksakan, tidak akan tulus dan tidak akan ada manfaatnya.402Agama
harus dating dari lubuk hati yang paling dalam atas pencarianpencarian spiritualitasnya terhadap kebenaran yang paling hakiki.
3. Eksistensi dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain
Islam sebagai agama mengakui keberadaan dan eksistensi
beberapa prinsip-prinsip dasar agama lain. Pandangan ini bukan
berarti Islam menyamaratakan semua agama sebagaimana
prinsip-prinsip dasar pluralisme agama. Pada dasarnya al-Qur’an
memerintahkan umat Muslim untuk mengimani kebenaran wahyu
yang diturunkan kepada Ahl al-Kitab sebelum Islam, yaitu wahyu
yang diturunkan pada agama-agama yang memiliki hubungan khusus
dengan Islam yang disebut juga Abrahamic Faith atau Abrahamic
Religiuos, yaitu kepercyaan yang dibawa oleh Nabi Ibrahim As.403
Di dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang menunjukkan
keberadaan agama lain, yaitu ayat-ayat tentang pengakuan terhadap
eksistensi dan kebenaran kitab-kitab suci sebelum al-Qur’an. Selain
itu ada juga ayat al-Qur’an yang menegaskan tentang keselamatan
kaum Yahudi, Nasrani dan Sabi’in yang menyatakan iman kepada
Allah SWT dan hari akhir serta mengerjakan amal perbuatan saleh.
Diantara ayat-ayat tersebut adalah:
ّ ق
ّ س ْمهُْنَع اَنْر
َ با
ّ ئ
تِكْلا َلْهأَ ّنأَْوَلَو
َ كَل اْو
َ ف
َ ي
ِ َتاَو اْوُنَمأ
ِ مْهاَُنْلَخْدأََل ْمِه
ِ َ تا
ُ
َ
َ
ّ جْناِْلاَو َةاَرْو
ْ قأ ْمهُّنأْوَلَو ِم
ْ يَلاِ َلِزْنأ اَمَو َل
ْ ْنِم ْمِه
تاّنَج
َ تلا اْوُما
ِ عّنلا
ِ ي
ِ ي
401 Muhammad Rashid Ridha, al-Tafsir al-Manar, jilid 3, 37.
402 Jawdat Sa‘id, La Ikraha fi al-Din, 30.
403 Jerald F. Dirks, Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seteru Antara
Islam, Krsiten dan Yahudi, terj. Santi Indra Astuti (Jakarta: Penerbit
Serambi, 2006), 29.
288
َ تْح
َ ص
ْ ٌر
بَر
ّ كأََل ْمِه
َ ف ْنِم اْوُل
َ قْو
َ ث
ِ َتْقُم ةٌّمأُ ْمهُْنِم ْمِهِلُجْرأ
ِ ي
ِ ت ْنِمَو ْمِه
ِ كَو ةٌَد
َ
ْ
س ْمهُْنِم
ا
ء
م
يا
ع
م
ل
ُ
َ
َ َ َ َنْو
Artinya: Dan sekiranya Ahl al-Kitab itu beriman dan bertaqwa, nisacaya
kami hapus kesalahan-kesalahan mereka, dan mereka tentu kami masukkan
ke dalam surga-surga yang penuh dengan kenikmatan. sekiranya sungguhsungguh menegakkan Taurat, Injil dan apa yang diturunkan Tuhan kepada
mereka, niscaya mereka akan makan dan mendapatkan kemakmuran dari
atas mereka, langit dan dari bawah mereka, bumi, diantara mereka ada
umat yang lurus, dan kebanyakan mereka melakukan perbuatan-perbuatan
yang buruk.404
ْ يِذّلاَو اْوُنَماَء َن
ْ صلاَو اْوُداهَ َن
ّ با
ُ صّنلاَو َنْو
َ ب َنَماَء ْنَم ىَرا
ِيِذّلا ّنا
ِ ئ
ِ ِهللا
َ
ٌ يَلَع
ْ ي ْمهُ اَلَو ْمِه
يْلاَو
َ فْوَخ اَل
َ خأْلا ِمْو
َ ف اًحِلا
َ َنْوُنَزْح
ِ ص َلِمَعَو ِر
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang
mendapatkan petunjuk, orang-orang Yahudi, orang-orang Sabi’in dan
orang-orang Nasrani, barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT
dan hari akhir, kemudian melakukan amal kebaikan, maka tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.405
ْ يِذّلاَو اْوُنَماَء َن
ْ صّنلاَو اْوُداهَ َن
ْ ب َنَماَء ْنَم َن
ّ با
َ صلاَو ىَرا
ِيِذّلا ّنا
ِ ئ
ِ ِهللا
ِ ي
َ
َ
ٌ يَلَع
ْ اَلَو ْمِه
يْلاَو
ّ فْوَخ اَلَو ْمِه
َ ع ْمهُُرْجأ ْمهَُل
َ خأْلا ِمْو
َ ف اًحِلا
ِ ص َلِمَعَو ِر
ِ بَر َدْن
ي ْمُه
ح
َ ْ َنْوُنَز
Artinya: Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang yang
mendapatkan petunjuk, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan
orang-orang Sabi’in, barangsiapa diantara mereka benar-benar beriman
kepada Allah SWT, hari akhir, dan beramal saleh, mereka akan menerima
pahal dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan
tidak pula mereka bersedih hati.406
Muqatil Ibn Sulayman dalam hal ini mengatakan bahwa
apabila Ahl al-Kitab yang dalam ayat ini diartikan sebagai Yahudi
dan Nasrani yang beriman pada ketauhidan Allah SWT dan
404 QS al-Ma’idah, juz 6, ayat 65-66.
405 QS al-Ma’idah, juz 6, ayat 69.
406 QS al-Baqarah, juz 1, ayat 62.
289
menghindari kesyirikan maka akan dihapuskan segala kesalahankesalahannya dan dimasukkan ke dalam surga. Pada ayat selanjutnya
Muqatil Ibn Sulayman mengatakan bahwa barangsiapa dari Ahl alKitab yang mengerjakan ajaran pada kitab suci mereka tanpa ada
penyimpangan dari kitab-kitab yang Allah SWT turunkan maka akan
diberikan kenikamatan dari atas langit berupa hujan dan dari bumi
berupa tumbuh-tumbuhan. Diantara mereka ada umat yang lurus,
dari pengikut Taurat adalah Abdullah Ibn Salam dan pengikutnya,
sedangkan dari penganut Injil adalah pengikut Nabi Isa As yang
berjumlah tiga puluh dua orang.Tetapi kebanyakan dari mereka
menurut Muqatil Ibn Sulayman adalah orang-orang yang melakukan
perbuatan buruk.407
Dalam mengomentari surat al-Ma’idah ayat 65-66 al-Qurtubi
berpendapat bahwa akan dihapus kesalahan-kesalahan para Ahl alKitab ketika mereka mengerjakan perintah-perintah yang ada di dalan
Taurat dan Injil dengan sebenar-benarnya tanpa ada penyimpangan di
dalamnya. Ahl al-Kitab tersebut sebagaimana pendapat Ibn ‘Abbas
yang dikutip olehal-Qurtubi akan mendapatkan kemakmuran dengan
turunnya hujan dan tumbuhnya pepohonan yang lebat, dalam pendapat
lain Allah SWT akan memberikan makanan kepada mereka secara
terus menerus tanpa terputus.408Ibn Kathir dengan mengutip pendapat
Ibn ‘Abbas menambahkan bahwa yang dimaksud kitab-kitab dalam
ayat tersebut adalah al-Qur’an. Ibn Kathir menambahkan kembali
bahwa umat Nabi-Nabi terdahulu yang mengikuti kitab sebelum alQur’an tanpa ada penyimpangan dan perubahan maka mereka telah
mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. Ibn Kathir menyimpulkan
bahwa barangsiapa yang mengerjakan amalan-amalan yang
tercantum di dalam al-Qur’an maka kesalahan-kesalahannya akan
dihapuskan serta akan mendapatkan rizki dari langit dan tumbuhan
yang tumbuh dari muka bumi.409
Wahbah al-Zuhayli berpendapat bahwa apabila seorang Ahl
407 Muqatil Ibn Sulayman, Tafsir Muqatil Ibn Sulayman, jilid 1, 311.
408 Al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, jilid 3, 178.
409 Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid 2, 77-78.
290
al-Kitab beriman kepada Allah SWT dan RasulNya dengan sebenarbenarnya iman dan meninggalkan apa yang diharamkan, maka
mereka dihapus dari kesalahan-kesalahan mereka dan dimasukkan
ke dalam surga.410 Hal ini sependapat dengan apa yang diungkapkan
oleh Muhammad Rashid Ridha yang mengatakan bahwa apabila Ahl
al-Kitab beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT dan Nabi terakhir
maka kesalahan-kesalahannya akan dihapuskan, karena ketaqwaan
akan mensucikan jiwa dan membersihkan diri dari kesalahankesalahan yang lalu dan mereka berhak untuk berada di dalam
surga.411
Pendapat-pendapat di atas merupakan bukti nyata bahwa alQur’an menghargai eksistensi kepercayaan lain tanpa harus mencela
dan mengintimidasi kebenaran kitab suci mereka. Bagi umat Islam
mempercayai keberadaan kitab-kitab suci Allah SWT merupakan
salah satu bagian inti dari aqidah Islam itu sendiri, karena termasuk
ke dalam rukun iman yang enam.Sekurang-kurangnya umat Islam
wajib mengimani empat kitab suci, Taurat, Zabur, Injil dan al-Qur’an.
Dalam surat al-Baqarah ayat 62 al-Tabari berpendapat
bahwa kalimat walladhina hadu berarti umat Yahudi. Kesimpulan
tersebut diambil dari riwayat al-Qasim, al-Husayn, Hujaj, dari Ibn
Jurayj berkata “penamaan al-Yahud diambil dari surat al-A‘raf ayat
156.”412Sedangkan kata Al-Nasaradalam ayat tersebut berarti jamak,
bentuk tunggalnya adalah Nasran, tetapi yang mashur digunakan
dalam bahasa Arab dalam bentuk tunggalnya adalah Nasrani.
Pendapat ini dikutip dari riwayat al-Qasim, al-Husayn, Hujaj, dari
Ibn Jurayj berkata “penamaan al-Nasarakarena diturunkan pada
sebuah tempat yang dinamakan Nasirah. Sebagian pendapat lain
mengatakan penamaan tersebut diambil dari firman Allah SWT
410 Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, jilid 6, 253.
411 Muhammad Rashid Ridha, al-Tafsir al-Manar, jilid 6, 460.
412 Ayat tersebut berbunyi اندهانا ةرخألا يفو ةنسح ايندلا هذه يف انل بتكاو
اهبتكأسف ئيش لك تعسو يتمحرو ءاشأ نم هب بيصأ يباذع لاق كيلا
نونمؤي انتايأب مه نيذلاو ةاكزلا نوتؤيو نوقتي نيذلل
291
dalam surat al-Saf ayat 14.413 Dalam pendapat lain lagi Ibn ‘Abbas
mengatakan bahwa penamaan al-Nasaradalam ayat tersebut menjadi
Nasara dikarenakan Nabi Isa As terlahir di tempat bernama Nasirah
dan pengikut-pengikutnya dinamakan al-Nasirin dan Nabi Isa As
sendiri disebut al-Nasiri.
Sedangkan al-Sabi’un berarti jamak dari Sabi’un, yaitu
kepercayaan atau agama selain dari Yahudi dan Nasrani, atau
dikatakan juga yang keluar dari agama Islam, atau keluar dari semua
agama dan berpindah ke agama lain dalam bahasa Arab disebut
al-Sabi’un. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, ada yang
mengatakan al-Sabi’un adalah sekelompok orang yang masih
memiliki agama selain dari Islam, Yahudi dan Nasrani, sebagian yang
lain mengatakan al-Sabi’un adalah sekelompok orang yang keluar
dari sebuah agama dan tidak memiliki agama atau kepercayaan.414
Dalam penafsiran ayat 62 surat al-Baqarah, Wahbah alZuhayli berpendapat bahwa umat Yahudi, Nasrani dan kaum Sabi’in
yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir dan mengerjakan
amal saleh maka mereka akan mendapatkan pahala atas apa yang
mereka lakukan, dan janganlah takut atas hari kiamat, janganlah
bersedih atas harta dunia yang mereka tinggalkan karena mereka
akan mendapatkan kenikmatan yang luas di dalam surga. Hal ini
senada dengan pendapat al-Tabari dan al-Zamakhshari dalam tafsirtafsirnya.415
Ibn Kathir dalam hal ini berpendapat bahwa umat sebelum
Nabi Muhammad SAW akan selamat apabila mengikuti ajaran
413 Ayat tersebut berbunyiىسيع لاق امك هللا راصنأ اونوك اونمأ نيذلا اهيأاي
هللا راصنأ نحن نويراوحلا لاق هللا ىلا يراصنأ نم نييراوحلل ميرم نبا
مهودع ىلع اونمأ نيذلا انديأف ةفئاط ترفكو ليئارسا ينب نم ةفئاط تنمأف
نيرهاظ اوحبصأف
414 Muhammad Ibn al-Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, jilid
1, 358-360, lihat juga al-Zamakhshari, Tafsir al-Kashshaf, jilid 1, 148-149.
415 Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, jilid 1, 178, lihat juga al-Tabari,
Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, jilid 1, 361-362, lihat juga alZamakhshari, Tafsir al-Kashshaf,, jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1995), 149.
292
Nabi-Nabinya. Umat Nabi Musa As mengikuti perintah dalam
Taurat, umat Nabi Isa As mengikuti perintah dalam Injil, tetapi
ketika datang Nabi Muhammad SAW maka ajaran-ajaran tersebut
telah dihapuskan dengan kedatangan al-Qur’an, dan diharuskan
bagi mereka untuk mengimaninya.416 Hal ini senada dengan apa
yang diungkapkan oleh Sayyid Qutb, ia mengatakan bahwa hanya
keimanan yang terakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang
akan selamat, karena keimanan tersebut telah menghapus keimanankeimanan yang sebelumnya.417
Dalam penafsiran ayat ini Muhammad Rashid Ridha sedikit
berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh para penafsir yang
tersebut di atas. Dia mengatakan bahwasanya hukum Allah SWT
adalah hukum yang paling adil diantara hukum-hukum yang ada,
oleh karena itu Allah SWT tidak mengkhususkan satu golongan dan
merugikan golongan yang lain.
Muhammad Rashid Ridha juga tidak mensyaratkan
keimanan kepada Rasul sebagai kunci keselamatan, karena ayat
ini menunjukkan bahwa iman kepada Allah SWT mencakup juga
keimanan kepada Rasul, dan keselamatan di akhirat akan datang
bagi mereka yang beriman walau apapun agamanya, karena menurut
Muhammad Rashid Ridha, keselamatan bukan ditentukan dari
kewarganegaraan, budaya, suku atau agama, tetapi dari keimanan
kepada Allah SWT dan disertai amalan yang saleh. Ayat ini juga
menerangkan sunnatullah dalam tata cara bergaul dengan umat
sebelum dan sesudah kita, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT
dalam surat al-Nisa, juz 5 ayat 123-124.418
416 Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jilid 1, 103-104.
417 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilal al-Qur’an, jilid 1(Beirut: Dar al-‘Arabiyyah li
al-Tiba‘ah wa al-Nashr wa al-Tauzi’, tt), 94.
418 Ayat tersebut berbunyi اءوس لمعي نم باتكلا لها ينامأالو مكينامأب سيل
تاحلاصلا نم لمعي نمو اريصنالو ايلو هللا نود نم هل دجي الو هب زجي
اريقن نوملظي الو ةنجلا نولخدي كئلوأف نمؤم وهو ىثنأ وا ركذ نمAyat
ini diturunkan kepada sekumpulan orang Muslim, Yahudi dan Nasrani,
diriwayatkan dari Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim dari al-Sudi berkata: “Telah
bertemu sekumpulan orang Muslim, Yahudi dan Nasrani,” maka berkatalah
293
Pendapat tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh
‘Abd al-Karim al-Khatib. Ia mengatakan bahwa setiap manusia
dari aliran dan agama manapun yang mengimani Allah SWT,
beriman kepada hari akhir serta mengerjakan amalan saleh, maka
ia akan mendapatkan ganjaran dari Allah SWT seperti apa yang
diterima oleh orang-orang Mu’min.419 al-Tabataba’i mengatakan
bahwa yang menjadi sumber kebahagiaan dan keselamatan
adalah sebenar-benarnya iman keapda Allah SWT, hari akhir dan
mengimplementasikannya ke dalam amalan saleh.420
Muhammad Quraish Shihab dalam hal ini menurut penulis
menjadi penengah diantara konsep yang diusung oleh Ibn Khatir
dan Muhammad Rashid Ridha. Ia mengatakan bahwa sesungghunya
orang-orang yang beriman, yakni yang mengaku beriman kepada
Nabi Muhammad SAW. Orang-orang Yahudi yang beriman kepada
Nabi Musa As, orang-orang Nasrani yang beriman kepada Nabi Isa
As, serta orang-orang Shabi’in, kaum musyrik dan siapa saja dari
penganut agama dan kepercayaan lain, yang menegaskan keimanan
kepada Allah SWT dan hari akhir kemudian di amalkan ke dalam
amalan-amalan yang saleh, maka mereka akan mendapatkan pahala
dari Allah SWT, dan jangan khawatir atas apa yang akan datang
orang Yahudi kepada orang-orang Muslim: “kami lebih baik daripada
kalian, agama kami ada sebelum agama kalian, kitab kami ada sebelum
kitab kalian dan Nabi kami ada sebelum Nabi kalian, dan kami beragama
sesuai dengan agama Nabi Ibrahim As, dan tidak akan masuk surga kecuali
orang-orang yang mendapatkan petunjuk (Yahudi).” Kemudian berkata
juga orang-orang Nasrani seperti apa yang diucapkan oleh orang-orang
Yahudi. kemudian berkata orang-orang Muslim: “kitab kami setelah
kitab kalian, Nabi kami setelah Nabi kalian, agama kami setelah agama
kalian, dan kalian telah diperintahkan untuk mengikuti agama kami dan
meninggalkan kepercayaan kalian, dan kami lebih baik dari kalian, kami
beragama sesuai dengan agama Nabi Ibrahim As, Nabi Ismail As, dan Nabi
Ishak As, dan tidak akan masuk surga kecuali agama kami.” Maka Allah
SWT menurunkan مكينامأب سيل, lihat Muhammad Rashid Ridha, alTafsir al-Manar, jilid 1, 336.
419 ‘Abd al-Karim al-Khatib, al-Tafsir al-Qur’ani li al-Qur’an, jilid 1, 93.
420 Muhammad Husayn al-Tabataba’i, Tafsir al-Mizan. jilid 1 (Beirut:
Muasasah al-A‘lami li al-Matbu‘at, 1974), 193.
294
kepada mereka dan tidak pula bersedih hati menyangkut seseuatu
yang telah terjadi.421
Dalam penafsiran ayat ini juga terdapat beberapa permasalahan
yang berkaitan dengan Ahl al-Fitrah,422menurut Muhammad ‘Abduh
terdapat beberapa pendapat yang mengomentari permasalahan ini,
diantaranya adalah: Pertama, jumhur Ahl Sunnah wal al-Jama‘ah
yang mengatakan bahwa mereka akan selamat karena mereka tidak
dibebani dengan syari’at dan karena da’wah Rasul belum sampai
kepada mereka.
Kedua, Mu‘tazilah dan jama‘ah dari al-Hanafiyah, mengatakan
bahwa dengan akal manusia bisa membedakan baik dan buruk,
bagus dan jelek, wajib dan haram, ‘aqidah yang benar dan yang batil,
maka apabila mereka mengerjakan hal yang tidak baik maka mereka
tidak akan selamat walaupun da’wah syari’at belum sampai kepada
mereka.
Ketiga, pendapat al-Asya‘irah, bahwasanya tidak akan bisa
mengetahui baik dan buruk, serta ‘aqidah yang benar dan yang sesat
tanpa adanya da’wah tentang syari’at yang disampaikan oleh para
Rasul. Dalam permasalahan ini Muhammad ‘Abduh menarik benang
merah dan mengatakan bahwa apabila telah sampai da‘wah Rasul
kepada suatu golongan dan kemudian golongan tersebut mengimani
Allah SWT, hari akhir dan mengamalkan amalan saleh, maka golongan
tersebut akan selamat, tetapi apabila setelah menerima da‘wah tetapi
tidak mengimaninya dengan sebenar-benarnya iman maka golongan
tersebut tidak akan selamat, sedangkan bagi golongan yang tidak
sampai kepadanya da‘wah Rasul tidak masuk akal apabila mereka
mendapatkan keselamatan dengan derajat yang sama dengan mereka
421 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, volume 1, 206.
422 Ahl al-Fitrah adalah umat yang tidak sampai kepadanya da’wah Rasul
yang benar, atau umat yang telah diutus kepadanya para Rasul tetapi
belum sempurna da’wah yang sampai kepada mereka, dan mereka beriman
dengan keimanan secara global tanpa tahu isi da’wah secara lebih detail,
seperti al-Hunafayang mengimani Nabi Ibrahim As dan Nabi Ismail As
dan mereka tidak mengetahui selain daripada kedua Nabi itu secara lebih
terperinci. Lihat Muhammad Rashid Ridha, al-Tafsir al-Manar, jilid 1, 338.
295
yang menerima da‘wah Rasul dan kemudian mengamalkannya,
oleh karena itu golongan yang tidak sampai kepadanya da‘wah
Rasul akan dihisab sesuai dengan apa yang mereka lakukan dan
apa yang mereka yakini, karena mereka mempunyai akal untuk bisa
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.423
Dalam hal ini Rashid Ridha mengungkapkan statemen yang
mernarik. Ia tidak pernah membuang kemungkinan adanya hari
pembalasan bagi mereka yang tidak pernah menerima risalah
kenabian. Rashid Ridha mengambil sebuah contoh dari kehidupan
orang tua Rasulullah Saw yang menurutnya masuk dalam kategori
Ahl al-Fitrah sejati. Dalam beberapa hadis ada yang menganggap
salah satunya di dalam neraka, ada juga yang menganggap keduanya
di dalam neraka. Bagi Rashid Ridha ini hanya merupakan kedaan
ketikan meninggal saja, karena tidak ada yang masuk ke dalam surga
atau neraka sebelum kiamat tiba. Hal tersebut berarti bahwa masih
ada harapan keselamatan bagi mereka yang lulus ujian dari Rasulhari kebangkitan. Tetapi Rashid Ridha hanya menyebut hal tersebut
dalam konteks penebusan dosa orang tua Nabi.424
Sedangkan asbab al-nuzul dari ayat ini terdapat dua riwayat
yang berbeda sebagaimana dikutip oleh Wahbah al-Zuhayli.
Dikatakan ayat ini diturunkan kepada para pengikut Salman alFarisi, yaitu kalangan terkemuka dari penduduk Jundasabur, riwayat
yang pertamadari Ibn Abi Hatim dan ‘Adani dalam musnadnya dari
Mujahid berkata: “saya bertanya kepada Nabi SAW tentang para
penganut agama lain yang satu rumpun dengan saya dalam sholat dan
ibadahnya, maka turunlah ayat ini. Sedangkan riwayat yang kedua
adalah dari al-Wahidi dari Mujahid berkata: ketika Salman al-Farisi
bercerita kepada Rasulullah SAW tentang pengikut-pengikutnya, dia
berkata: “mereka di dalam neraka, berkata Salman: “maka saya telah
dholim terhadap mereka, maka turunlah ayat ini, kemudian berkata:
“seolah-olah telah terbuka kepadaku sebuah gunung” (atas turunnya
423 Muhammad Rashid Ridha, al-Tafsir al-Manar, jilid 1, 337-339.
424 Mohammad Hassan Khalil, Islam Dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain,
terj. Chandra Utama, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2016), 208.
296
ayat ini).425
Surat al-Ma’idah ayat 69 menurut Muhammad Rashid Ridha
memiliki substansi yang sama dengan surat al-Baqarah ayat 62,
yaitu jaminan keselamatan bagi umat Yahudi, Nasrani, dan Sabi’in
yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir serta mengerjakan
amal saleh. Muhammad Rashid Ridha juga menambahkan bahwa
munasabat ayat tersebut dengan ayat sebelum dan ayat sesudahnya
adalah menunjukkan bahwa Ahl al-Kitab tidak mendirikan agama
Allah SWT yang telah Allah SWT bebankan kepada mereka, para
Ahl al-Kitab tersebut juga dianggap tidak menjaga keaslian teks
kitab suci mereka dan tidak beriman kepada Allah SWT dan hari
akhir kecuali sebagian kecil dari mereka. Hal ini tidak seperti para
pendahulu mereka yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir
serta mengamalkan amalan saleh.426
Setelah membahas pandangan-pandangan di atas penulis
mengambil kesimpulan bahwa Islam menghargai keberadaan agamaagama lain (Ahl al-Kitab) serta mengakui kebenaran kitab sucinya,
karena beriman terhadap kitab-kitab suci mereka merupakan salah
satu dari rukun iman yang enam. Terlepas dari perbedaan pandangan
para penafsir al-Qur’an, pada dasarnya Islam juga mengakui
keselamatan mereka dengan cara mengimani Allah SWT dan hari
akhir serta mengamalkan amalan-amalan yang saleh sesuai dengan
apa yang diutarakan dalam surat al-Baqarah ayat 62 dan surat alMa’idah ayat 69.
Tercatat juga dalam sejarah bahwa hubungan antar Muslim
dan non-Muslim berjalan baik ketika jaman Nabi Muhammad SAW,
di mana Nabi pernah meminta bantuan dari seorang raja Abyssinia
yang beragama Nasrani, raja tersebut bernama raja Najasyi. Ketika itu
kaum Muslim Makah mendapat tekanan yang sangat buruk dari kafir
Quraisy sehingga akhirnya Nabi Muhammad SAW memerintahkan
425 Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, jilid 1, 177.
426 Muhammad Rashid Ridha, al-Tafsir al-Manar, jilid 6, 476-477, lihat juga
Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, jilid 6, 265.
297
sebagian pengikutnya untuk berhijrah ke Abyssinia.427
Berdasarkan kategorisasi penerimaan al-Qur’an terhadap
hubungan antar umat beragama di atas, penulis berusaha
menyimpulkannya ke dalam poin-poin berikut, yang kemudian
menjadi landasan teologis bagi terciptanya hubungan antar umat
beragama yang baik. Pertama, Islam merupakan agama universal
yang mengakui kebenaran ajaran yang dibawa oleh para Nabinya.
Hal ini sebagaimana tertulis dalam surat al-Maidah ayat 48 yang
menyatakan bahwa Allah SWT telah menciptkan ajaran-ajarannya
masing-masing bagi setiap kaum. Hal ini mengindikasikan bahwa
mustahil bagi Tuhan menganugerahkan kebenaran-kebenaran
wahyunya kepada satu komunitas saja dan tidak bagi komunitas
yang lain. Kebenaran-kebenaran Tuhan harus ada dan tersedia bagi
siapa saja. Kedua, banyak ayat-ayat al-Qur’an yang mengindikasikan
bahwa manusia diberi hak untuk memilih dalam mencari kebenaran
yang tersebar sesuai dengan kapasitasnya masing-masing agar
manusia dapat saling berlomba dalam menggapai kebaikan. Ketiga,
al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam
beragama.
Penutup
Ada banyak kajian yang ditulis oleh para sarjana dan peniliti
yang menawarkan solusi atas permasalahan yang telah kita bahas di
atas. Dalam hal ini penulis akan memfokuskan sekurang-kurangnya
dua solusi sesuai dengan keilmuan dan profesi penulis.
Pertama, Islam adalah agama yang identik denga teks, yaitu
al-Qur’an dan hadis sebagai rujukan utama umatnya.Tapi teks-teks
tersebut harus dimaknai agar hidup, bermakna dan kontekstual
dengan perubahan jaman.428 Ada banyak metodologi penafsiran
427 Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis, terj.
Sirikit Syah (Surabaya: Risalah Gusti, 2011), 160-161.
428 Kaidah Ushul Fiqh yang berbunyi “taghayyurul fatwa wa ikhtulafuha
bi hasabi taghayyur al-azminah wa al-ahwal wa al-niyyah wa al-‘awaid
298
al-Qur’an yang bisa mencerahkan, tetapi kita butuh perubahan
dan tidak hanya berhenti pada tataran teori. Agar agama ini tidak
menjadi fosil, membeku tanpa ada solusi bagi penyelesaian masalah
kemanusiaan. Diktum Islam rahmatan lil ‘alamin dikutip oleh
berbagai kalangan, tetapi kehilangan dinamika pemahaman yang
segar akibat telikungan yang demikian dahsyat dalam baju teologis,
paham politik, sukuisme, dan sektarianisme.429 Maka perlu dikaitkan
antara penafsiran teks yang kontekstual-progressif dengan praksis
perubahan nyata yang merupakan manifesto dari hidupnya teks
tersebut. Farid Esack beberapa waktu yang lalu memperkenalkan
metode penafsiran yang kemudian dikenal dengan hermeneutika
pembebasan.
Berdasarkan teori hermeneutikanya, Farid Esack berusaha
meminimalisir penghalang yang membuat para penganut agama
terkotak-kotak dan berusaha juga untuk menghilangkan tindakan
penindasan dan ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat.
Teori ini juga memberikan landasan teologis bagi terlaksananya
kerja sama antar umat beragama, khususnya antara Muslim dan nonMuslim. Lebih dari itu, Farid Esack mengorientasikan tafsirnya atas
teks suci al-Qur’an agar dapat menggerakan massa Muslim dan nonMuslim untuk bersama-sama melakukan perubahan menuju arah
yang lebih baik.
Berangkat dari latar belakang sosial yang penuh dengan
konflik pada rezim Apartheid di Afrika Selatan, Farid Esack berusaha
menghidupkan masyarakat majemuk yang damai berlandaskan nilainilai yang terkandung dalam al-Qur’an. Bagi Esack, penafsir adalah
seorang yang peka akan kondisi kehidupan di sekitarnya, karena
memang setiap generasi Muslim sejak jaman Nabi Muhammad Saw
menempatkan teks al-Qur’an sesuai dengan jamannya. Generasi
Muslim sekarang memiliki opsi untuk mereproduksi makna dari
(perubahan fatwa dan perbedaannya mengikuti perubahan situasi, kondisi,
niat, dan tradisi). Tulisan Akhmad Sahal, lihat Islam Nusantara: Dari Ushul
Fiqh Hingga Paham Kebangsaan, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), 18.
429 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, 109.
299
teks al-Qur’an berlandaskan apa yang telah dibawa oleh generasi
terdahulu atau mengkritisi makna dari generasi sebelumnya agar
sesuai dengan keadaan masyarakat sekarang.430
Teori hermeneutika Farid Esack mempunyai ciri khas yang
membuatnya berbeda dengan hermeneutika lainnya. Dalam teori
hermeneutikanya, Farid Esack menerapkan kunci-kunci dalam
memahami teks al-Qur’an. Kunci-kunci ini menjadikan para penafsir
tidak bisa seenaknya dalam menafsrikan al-Qur’an. Kemudian
gagasan-gagasan yang tersebut di atas dipadukan dengan kuncikunci hermeneutik (hermeneutical keys) yang kemudian disesuaikan
dengan situasi Afrika Selatan di bawah rezim Apartheid. Kunci-kunci
tersebut ialah taqwa (integritas dan kesadaran akan kehadiran Tuhan),
tawhid (keesaan Tuhan), al-nas (manusia), al-mustad‘afun fi al-ard
(orang-orang yang tertindas di bumi), ‘adl dan qist (keadilan dan
keseimbangan), dan jihad (perjuangan dan praksis). Karena Afrika
Selatan merupakan riil atas sosial yang dihadapi Farid Esack, maka
kinerja hermeneutikanya berawal dari konteks sosial yang ada di Afrika
Selatan, setelah itu dibawa kepada teks. Kemudian hasil pembacaan
terhadap teks tersebut dilanjutkan dengan praksis pembebasan.
Gagasan yang ditawarkan oleh Farid Esack dalam menghadapi
fenomena ini merupakan salah satu sumbangsih besar dalam ilmu
pengetahuan, khususnya dalam mengentaskan problematika
hubungan antar umat beragama di Indonesia dan dunia yang
dalam beberapa tahun yang semakin mengkhawatirkan. Metode
ini menghidupkan teks al-Qur’an sampai pada tahapan praksis di
dunia nyata. Kedua, Pembacaan teks tersebut harus ada aksi dalam
dunia nyata. Praksis harus dimaknai dengan aksi yang bersifat
produktif antar pemeluk agama. Dengan aksi kita bisa saling kenal
dan mengurangi tendensi negative yang berlebih antar pemeluk
agama yang berbeda. Aksi-aksi bersama ini bisa dilakukan dimana
saja, bisa dari institusi pendidikan, pemerintahan, swasta, maupun
430 Farid Esack, Qur’an Liberation & Pluralism; An Islamic Perspective
of Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford: Oneworld
Publications, 1997),50.
300
ormas-ormas yang bersifat umum. Jangan berhenti untuk berfikir
positif, bersuaralah dengan lantang, karena anda tidak sendiri dalam
menggalang solidaritas, masih banyak orang-orang di luar sana yang
punya visi yang sama untuk membangun Indonesia yang berbineka
secara utuh.
301
Daftar Pustaka
Ali, Muhammad. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai
Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara, 2003.
Armstrong, Karen. Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis,
terj. Sirikit Syah. Surabaya: Risalah Gusti, 2011.
Darraz, Muhammad Abdullah (Editor). Jihad, Khilafah, dan
Terorisme.Bandung: PT Mizan Pustaka, 2017.
Dirks, Jerald F. Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seteru
Antara Islam, Krsiten dan Yahudi. terj. Santi Indra Astuti.
Jakarta: Penerbit Serambi, 2006.
Esack, Farid. Qur’an Liberation & Pluralism; An Islamic Perspective
of Interreligious Solidarity Against Oppression. Oxford:
Oneworld Publications. 1997.
Esposito, John L. The Future of Islam. New York: Oxford University
Press. 2010.
al-Ghazali, Muhammad. al-Islam al-Muftara ‘Alayhi. Kairo:
Nahdatu Misr, 2008.
Ibn Kathir. Tafsir al-Qur’an al-‘Azim. Beirut: Dar al-Fikr. 1999.
Khalil, Mohammad Hassan. Islam dan Keselamatan Pemeluk Agama
Lain, terj. Chandra Utama. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2016.
al-Khatib, ‘Abd al-Karim. al-Tafsir al-Qur’ani li al-Qur’an. Kairo:
Dar Fikr al-‘Arabi. Tt.
Maarif, Ahmad Syafii. Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam.
Yogyakarta: PT Bentang Pustaka, 2018.
Madjid, Nurcholish. Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi
dan Visi Baru Islam Indonesia.Jakarta: Paramadina. 2003.
--------. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan.Bandung: PT Mizan
302
Pustaka, 2013.
Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di
Indonesia.Jakarta: Paramadina. 2008.
Natsir, Nanat Fatah. The Next Civilization Menggagas Indonesia
Sebagai Puncak Peradaban Dunia.Bekasi: Media Maxima,
2012.
Noor, Fauz.Berpikir Seperti Nabi Perjalanan Menuju Kepasrahan.
Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2009.
Al-Qurtubi. al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyyah, Tt.
Qutb, Sayyid. Tafsir Fi Zilal al-Qur’an. Kairo: Dar al-Syuruq, 1982.
al-Razi, Fakhruddin. Tafsir Fakhr al-Razi. Beirut: Dar al-Fikr. 2005.
Ridha, Muhammad Rashid. al-Tafsir al-Manar. Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyyah. 1999.
Sahal, Akhmad, dan Munawir Aziz (Editor). Islam Nusantara Dari
Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan.Bandung: PT Mizan
Pustakan, 2015.
Sa‘id, Jawdat. La Ikraha fi al-Din: Dirasat wa Abhath fi al-Fikr alIslami. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999.
Sairin, Weinata. Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan
bangsa: Butir-Butir Pemikiran. Jakarta: PT BPK Gunung
Mulia, 2002.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, kesan dan Keserasian
Al-Qur’an. Ciputat: Penerbit Lentera Hati. 2001.
Sulayman, Muqatil Ibn.Tafsir Muqatil Ibn Sulayman. Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyyah. 2003.
al-Tabari, Muhammad ibn al-Jarir. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil alQur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 1999.
al-Tabataba’i, Muhammad Husayn. Tafsir al-Mizan. Beirut:
Muasasah al-A‘lami li al-Matbu‘at, 1974.
Taher, Elza Peldi (editor). Merayakan Kebebasan Beragama Bunga
303
Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi.Jakarta: ICRP,
2009.
al-Zamakhshari. Tafsir al-Kashshaf. Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyah. 1995.
al-Zuhayli, Wahbah. al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Shari‘ah
wa al-Manhaj. Beirut: Dar al-Fikr al-Mu‘asir. 1991.
304
PESANTREN MAHASISWA:
UPAYA INTEGRASI AGAMA DAN SAIN DI PTU
M. Zainal A
Pendahuluan
Dikotomi antara sains (ilmu pengetahuan) dan agama
merupakan isu yang banyak diperbincangkan beberapa dekade
terakhir, utamanya seiring dengan dibukanya fakultas umum/
non agama di beberapa UIN di Indonesia. Menurut Ismail Raji alFaruqi, pemicu munculnya dikotomi ilmu agama dan ilmu umum
adalah masuknya pendidikan Barat yang sekuler ke dunia Islam.431
Masuknya pendidikan Barat kemudian melahirkan dua sistem
pendidikan yang membedakan antara sistem pendidikan Islam dan
sistem pendidikan sekuler.432 Pendapat lain mengatakan bahwa
dikotomi agama dan ilmu pengetahuan lebih disebabkan karena
adanya keyakinan akan perbedaan sumber antara ilmu agama dan
ilmu pengetahuan umum.433 Mulyadhi Kartanegara menilai bahwa
dikotomi ilmu dikenal di dunia Islam sejak diperkenalkannya
431 Norlaila, “Pemikiran Pendidikan Islam Ismail Raji al-Faruqi,” al-Banjari
Vol. 7, No.1, (Januari 2008): 34.
432 Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, Terj. Anas Mahyudin
(Bandung: Penerbit Pustaka, 1995), 21.
433 Ahmad Ludjito, “Pendekatan Integralistik Pendidikan Agama pada Sekolah
di Indonsia,” dalam Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, editor Chabib
Thoha dkk (Semarang: Pustaka Pelajar, 1996), 318.
305
ilmu sekuler ke dunia Islam melalui imperialisme Barat. Dikotomi
menjadi sangat tajam karena telah terjadi pengingkaran terhadap
validitas dan status ilmiah yang satu atas yang lain. Terdapat pihak,
utamanya pesantren, yang memandang ilmu pengetahuan modern
sebagai bid‘ah dan haram dipelajari karena berasal dari orang kafir.
Sementara para pendukung ilmu pengetahuan modern memadang
bahwa ilmu agama merupakan pseudo ilmiah atau sebagai mitologi
yang tidak akan sampai pada derajat ilmiah. Ilmu agama tidak
berbicara tentang fakta, tetapi lebih berbicara tentang makna yang
tidak bersifat empiris.434
Terlepas dari asal muasal dikotomi antara agama dan ilmu
pengetahuan, keadaan dikotomik ini menyebabkan pendidikan Islam
hanya dimaknai sebagai pemindahan pengetahuan (knowledge) dan
nilai-nilai (values) ajaran Islam yang tertuang dalam teks agama.
Sedangkan ilmu sosial dan ilmu alam dianggap bukan merupakan
bagian dari pengetahuan agama.435 Pendidikan Islam dengan
paradigma dikotomis akan menghasilkan lulusan yang terkaplingkapling serta membedakan, bahkan memisahkan, antara ilmu
agama dan ilmu pengetahuan.436 Oleh karenanya diperlukan upaya
mengintegrasikan agama dengan ilmu pengetahuan.
Integrasi ilmu agama dan ilmu umum, dalam konteks Indonesia,
telah dimulai sejak enam dasawarsa lalu, pada masa Kabinet Natsir.437
Pemerintah mewajibkan adanya pelajaran agama di sekolah-sekolah
434 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Bandung: Mizan Media Utama [MMU], 2005), 20.
435 Abuddin Nata, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Jakarta: Proyek
Peningkatan Perguruan Tinggi Agama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2003), 4.
436 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan,
2008), 325.
437 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu dan Pemikiran, 2001), 189. Baca pula Nurcholish Madjid, Tradisi
Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia (Jakarta:
Paramadina, 1997), 22.
306
sekuler dan mewajibkan pelajaran umum di madrasah.438 Keputusan
tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan SKB (Surat Keputusan
Bersama) tiga menteri, yaitu Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri
dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tertanggal 24 Maret 1975.
Madrasah diharuskan memberi pelajaran umum kepada para siswa
dengan porsi 70 % untuk materi umum dan 30 % materi agama.439
Kebijakan pemerintah tersebut merupakan sebuah terobosan
guna mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum
di lembaga pendidikan. Namun upaya pemerintah tersebut nampak
memperkokoh dikotomisasi pendidikan. Terbukti dengan adanya
dua departemen (kementerian) yang mengurusi masalah pendidikan.
Departemen Pendidikan Nasional mengelola pendidikan umum,
sementara Departemen Agama mengurusi pendidikan agama.
Kebijakan ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan tersendiri
setelah diberlakukannya desentralisasi pendidikan. Semenjak
diberlakukannya otonomi daerah, keberadaan lembaga pendidikan
Islam (madrasah) kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah
daerah.440 Hal ini dikarenakan madrasah masih tetap berada di bawah
naungan Departemen Agama yang sentralistik.
Pendidikan agama merupakan salah satu matakuliah penting
di perguruan tinggi. Pendidikan agama masuk dalam salah satu
Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK). Kompetensi dasar
matakuliah pendidikan agama adalah menjadikan ilmuwan dan
profesional yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, dan memiliki etos kerja, serta menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan.441 Walaupun termasuk
438 Lihat Nurcholish Madjid dalam A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan
Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), 21.
439 Santoso dalam Harapandi Dahri, “Mencari Relevansi; Gagasan Pendidikan
Nondikotomik”, Penamas Vol. XXI No. 2 - Tahun 2008, 199.
440 Abdul Wahab, “Dualisme Pendidikan Di Indonesia,” Lentera Pendidikan,
Vol. 16 No. 2 Desember 2013, 222.
441 Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor: 43/Dikti/Kep/2006, Tentang Rambu
Rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di
307
matakuliah pengembangan kepribadian, namun pendidikan agama
mendapat porsi yang sedikit di perguruan tinggi. Oleh karenanya
pendidikan agama di perguruan tinggi tidak dapat berjalan maksimal,
apalagi jika dikaitkan dengan wacana integrasi ilmu pengetahuan
dan agama atau wacana Islamisasi ilmu pengetahuan.
Integrasi ilmu pengetahuan dengan agama atau ilmu agama
belum banyak diupayakan oleh perguruan tinggi, utamanya
perguruan tinggi umum. Apabila ditemukan upaya menintegrasikan
keduanya di perguruan tinggi, maka hampir bisa dipastikan bahwa
hal tersebut dilakukan oleh perguruan tinggi Islam. Integrasi
dilakukan atas inisiatif lembaga/kampus karena kesadaran akan
pentingnya integrasi ilmu dan agama. Integrasi antara bidang ilmu
agama dengan bidang ilmu pengetahuan inilah yang kemudian
menjadi salah satu dasar pemikiran yang paling penting dalam
transformasi Institut Agama Islam Negeri menjadi Universitas Islam
Negeri di Indonesia.442 Hal ini sebagaimana terjadi di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan
beberapa perguruan tinggi Islam lain. Belum nampak upaya konkrit
pemerintah guna mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan agama
di PTU (Perguruan Tinggi Umum). Salah satu alternatif untuk
mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan agama di PTU adalah
melalui pendidikan di pesantren mahasiswa.443
Perguruan Tinggi, Tahun 2006, pasal 3.
442 Dasar pemikiran tranasformasi perguruan tinggi Islam ini adalah perubahan
status madrasah sebagai sekolah yang bercirikan agama sehingga tamatan
madrasah dapat melanjutkan pendidikan ke universitas. Selain itu alumni
UIN mempunyai kesempatan untuk mobilitas vertikal dibanding alumni
IAIN. Lihat Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan
Pendidikan Islam di Indonesia (Cet. II) (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2009), 141.
443 Salah satu pendekatan yang digunakan dalam integrasi ilmu pengetahuan
dan agama atau Islamisasi ilmu pengetahuan adalah mengislamkan
orang sebagai pengembang ilmu pengetahuan. Lihat Muhyarsyah,
“Islamisasi Ilmu Pengetahuan di Perguruan Tinggi” dalam Azuar Juliandi,
Islamisasi Pembangunan, (Medan: Umsu Press, 2014), 21. Abuddin Nata
mengistilahkan pendekatan ini dengan menjadikan Islam sebagai landasan
308
Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam asli Indonesia dan
telah mengakar di masyarakat, pesantren diharapkan dapat selalu
meningkatkan peranannya di masa mendatang dalam memberikan
pendidikan dan pengajaran serta penyebarluasan ilmu agama.444
Pesantren bisa dijadikan sebagai sebuah alternatif untuk mengawal
perkembangan keilmuan para pelajar, baik pelajar tingkat dasar,
menengah ataupun pendidikan tinggi. Bekal ilmu pengetahuan dari
madrasah, sekolah maupun kampus serta bekal ilmu dan pengamalan
agama dari pesantren akan mengantarkan pelajar menjadi manusia
yang intelek dan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Hal ini
sebagaimana dikatakan Imam Suprayogo, bahwa orang tua bangga
jika anak-anak mereka belajar di lembaga pendidikan Islam. Orang
tua berharap, anak-anaknya kelak menjadi manusia yang intelek dan
berakhlak mulia.445 Perguruan tinggi menjadi tempat untuk mengasah
sisi intelektualitas mahasiswa, sedangkan pesantren, selain menjadi
benteng moral dan akhlak, menjadi tempat untuk mengembangkan
keilmuan yang diperoleh di perguruan tinggi. Dikatakan bahwa
sistem pendidikan pesantren sangat bermanfaat dan masih relevan
dengan kondisi masyarakat Indonesia dewasa ini dalam rangka
melahirkan manusia yang beriman, berakhlak mulia dan bertakwa.446
penggunaan ilmu pengetahuan (aksiologi) tanpa mempersilahkan aspek
ontologi dan epistemologi. Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam
(Rajawali Pers: Jakarta, 1998), 419.
444 Ridlwan Nasir, Mencari Format Pendidikan Ideal: Perubahan Pesantren
di Tengah Arus Perubahan, Editor M, Adib Abdushomad (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), 80.
445 Edi Widiyanto, “Tingkatkan Pendidikan Islam”, Republika, Kamis 29
April 2010, Halaman 12. Lihat pula A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan
Pendidikan Islam (Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan
Penyusunan Naskah Indonesia (LP3NI), 1998), 126. Lihat Imam
Suprayogo, Membangun Integrasi Ilmu Dan Agama: Pengalaman Uin
Maulana Malik Ibrahim Malang. Sumber: http://uin-malang.ac.id:8080/
index.php?option=com_content&view=article&id=1203:membang
un-integrasi-ilmu-dan-agama-pengalaman-uin-maulana-malik-ibrahimmalang&catid=25:artikel-imam-suprayogo, diakses 18 Agustus 2015.
446 Saidun Fiddaroini dalam Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format
Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Editor
309
Paradigma Keilmuan Perspektif Pesantren
Sejak semula, Islam tidak mengenal pembedaan ilmu menjadi
ilmu pengetahuan atau ilmu sekuler dan ilmu agama. Klasifikasi
ilmu harus dimaknai sebagai spesialisasi ataupun takhassus bukan
diferensiasi ataupun tafriq baina al-ulum.447 Klasifikasi ilmu tidak
dimaksudkan sebagai bentuk dikotomi antara ilmu agama dan ilmu
umum.448 Pada dasarnya ilmu pengetahuan termasuk dalam kategori
ilmu agama, namun agama lebih cenderung mengatur kehidupan
manusia. Sedangkan ilmu pengetahuan mengatur kebutuhan untuk
hidup manusia.449 Klasifikasi terhadap ilmu pada sejarah Islam hanya
dimaksudkan untuk menuntun seseorang dalam memilih bidang
keilmuan yang ditekuni.450
Ilmu agama dan ilmu umum bersumber dari Allah. Ilmu
pengetahuan dangan seperangkat metodologi yang digunakan
merupakan sekumpulan teori ilmiah terkait ayat-ayat kawniyyah
Allah. Sementara ilmu agama adalah rumusan atas ayat-ayat Allah
yang lain, yaitu ayat-ayat qawliyyah atau tadwîniyyah (al-Qur’an).
Pandangan ini sebagaimana dinyatakan Osman Bakar, bahwa
Allah memberikan ilmu melalui dua jalan, yaitu melalui firmanNya dan melalui ciptaan-Nya.451 Konsep ilmu menurut pesantren
mahasiswa, sebagaimana diungkapkan Ziauddin Sardar, mencakup
hampir semua bentuk pengetahuan yang dihasilkan oleh observasi
447
448
449
450
451
310
Adib Abdushomad. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), xiii.
Hasyim Muzadi, Dokumentasi acara “Halaqoh Pesantren: Pengembangan
Kajian Al Qur’an Perspektif Sains dan Teknologi di Pesantren” di
Pesantren Al Hikam Depok. 18 Desember 2013.
Hadi Masruri dan Imron Rossidy, Filsafat Sains dalam Al Qur’an (Malang:
Penerbit UIN-Malang Press, 2007), 77.
Hasyim Muzadi, Dokumentasi TV One: Damai Indonesiaku: Pendidikan di
dalam Islam, Sabtu tanggal 14 Februari 2014.
Osman Bakar, Clasification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur:
Institute for Policy Research, 1992), xi.
Osman Bakar, Tauhid dan Sains (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), 1421. Lihat pula Hadi Masruri dan Imron Rossidy, Filsafat Sains dalam Al
Qur’an (Malang: Penerbit UIN-Malang Press, 2007), 76.
murni hingga pengetahuan metafisika yang paling tinggi.452 Ilmu
pengetahuan umum merupakan pengembangan dari ilmu agama.
Agama dalam hal ini memerintahkan penggalian ilmu pengetahuan
secara mendalam. Ilmu pengetahuan harus disemangati oleh ilmu
Ketuhanan. Ilmu Ketuhanan harus dilanjutkan dan dikembangkan
dengan ilmu tentang bukti kebesaran Tuhan. Pada dasarnya ilmu
agama dan ilmu umum konstruksinya sama, yang membedakan
adalah kontennya.
Semua ilmu, apabila digali dengan cara yang benar, proses
keilmuan yang benar dan penggunaanya benar, maka ilmu dîniyyah
maupun kawniyyah adalah sah dan keduanya harus diintegrasikan.
Ilmu agama lebih cenderung berfungsi sebagi norma, berfungsi
sebagai spirit, berfungsi sebagai dasar tauhid serta berfungsi pada
masalah etika.453 Hal ini yang dimaksudkan Osman Bakar dengan
istilah ilmu yang paling tinggi adalah ilmu mengenal Tuhan, yang
karena alasan ilmu inilah pencarian terhadap ilmu pengetahuan
lain dilakukan.454 Ilmu tentang segala sesuatu selain Tuhan secara
konseptual atau organis terkait dengannya.
Mendikotomikan pelajaran agama dan pelajaran umum
adalah sebuah kesalahan konseptual yang besar. Pelajaran agama
berangkat dari dînullâh (agama Allah) yang bersifat normatif dan
manusiawi. Sementara ilmu pengetahuan merupakan hasil penelitian
terhadap kawnillâh (benda-benda ciptaan Allah) dan sunnatullâh
(hukum-hukum alam yang diciptakan Allah). Keduanya berasal dari
452 Ziauddin Sardar, “Arguments for Islamic Science” in Quest for New
Science (Aligarh: Center For Studies On Science, 1984), 44.
453 Al-Qur’an menyebutkan iqra’ bi ismi rabbika. Tanpa iqra’ kita tidak bisa
mengadakan penelitian. Begitu pula tanpa bi ismi rabbika kita akan jauh
dari Tuhan. Iqra’ (ilmu pengetahuan) dan bi ismi rabbika (keimanan) harus
digabungkan agar hasil yang didapatkan tidak jauh dari kebenaran. Hasyim
Muzadi, Dokumentasi Acara “Halaqoh Pesantren: Pengembangan Kajian
Al Qur’an Perspektif Sains dan Teknologi di Pesantren” di Pesantren Al
Hikam Depok. 18 Desember 2013.
454 Osman Bakar, Clasification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur:
Institute for Policy Research, 1992), 124.
311
satu tangan, yaitu kekuasaan Allah Swt. Ilmu pengetahuan umum
haruslah bertauhid, sementara tauhid harus ditopang ilmu agama
dan ilmu pengetahuan tentang alam serta fenomena dimana Allah
menempatkan ilmu-Nya.455 Pesantren tidak menganggap bahwa
ilmu-ilmu umum lahir dari konstruksi pemikiran sekuler sehingga
perlu di Islamkan. Dengan demikian, maka yang menjadi fokus
persoalan adalah aksiologi ilmu.
Pendidikan agama di perguruan tinggi dewasa ini hanya
berjalan sebagai formalitas belaka. Keberadaan matakuliah
keagamaan hanya untuk memenuhi peraturan pendidikan yang ada,
di samping untuk persiapan menghadapi ujian demi mendapatkan
nilai. Oleh karenanya proses pendidikan agama hanya menjadi media
penyampaian informasi keagamaan. Pendidikan agama seperti ini
hanya akan mengantarkan mahasiswa untuk mengerti agama, namun
tidak mampu mempraktikannya dalam kehidupan nyata. Pemahaman
keagamaan perlu ditransformasikan dalam kehidupan modern
sehingga dapat memenuhi harapan esensial dari ajaran agama dan
dapat menyumbangkan sesuatu yang menyejukkan, menentramkan
dan tidak menjadi sumber keruwetan.456
Semua tindakan mahasiswa selaku agen perubahan (agent of
change) harus mengacu pada tri dharma perguruan tinggi, yaitu:
penelitian, pengajaran dan pengabdian masyarakat. Dalam konteks
negara berkembang seperti Indonesia, keluaran perguruan tinggi
akan mempunyai nilai strategis dalam perubahan masyarakat
Indonesia. Sehingga mahasiswa selaku agent of change diharapkan
mempunyai penguasaan ilmu pengetahuan di samping mempunyai
455 Hasyim Muzadi, Dokumentasi Acara ìHalaqoh Pesantren: Pengembangan
Kajian Al Qur’an Perspektif Sains dan Teknologi di Pesantrenî di Pesantren
Al Hikam Depok. 18 Desember 2013. Lihat pula Harian Kompas: News/
Nasional, Hasyim Muzadi: Revolusi Mental Memerlukan Keteladanan,
Diakses 23 September 2017 | 18:01 WIB http://nasional.kompas.com/
read/2014/09/23/18012951/Hasyim.Muzadi.Revolusi.Mental.Memerlukan.
Keteladanan
456 Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2008), 20.
312
jiwa kesantrian dan pengamalan ajaran agama Islam. Oleh karenanya
diperlukan wadah yang mampu menghadirkan lingkungan kondusif
bagi mahasiswa demi terciptanya generasi bangsa yang tidak hanya
memiliki kecerdasan intelektual, melainkan kecerdasan emosional
dan spiritual yang matang. Selain itu juga mampu menghasikan
kader-kader bangsa yang mampu membentengi diri dari kebobrokan
dunia serta memberi ruang mengkaji keilmuan dari sudut berbeda dari
kehidupan kampus. Hal ini sebagaimana fungsi utama pendidikan
di sebagian besar pondok pesantren yang lebih menekankan aspek
afektif dan psikomotorik (norma/nilai dan etika/akhlak).457
Konsep Integrasi Agama dan Sains
Dikotomi ilmu agama dan ilmu pengetahuan tidak dibenarkan
dalam pandangan pesantren mahasiswa.458 Selain karena secara
teologis Islam tidak mengakui adanya dikotomi, dikotomi yang
dilakukan hanya akan membawa kemunduran bagi umat Islam.
Dikotomi yang berkembang harus dipahami sebagai klasifikasi
keilmuan semata. Klasifikasi ilmu harus dimaknai sebagai
spesialisasi atau takhassus, bukan diferensiasi ataupun tafrîq baina
al-ulûm.459 Tujuan klasifikasi ilmu adalah untuk mempermudah para
pencari ilmu dan membedakan konten dari masing-masing disiplin
keilmuan.460 Ilmu pengetahuan merupakan pembacaan manusia
457 Imam Tholkhah, Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi
dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004) 84.
458 Hasyim Muzadi, Dokumentasi Acara “Halaqoh Pesantren: Pengembangan
Kajian Al Qur’an Perspektif Sains dan Teknologi di Pesantren” di
Pesantren Al Hikam Depok, 18 Desember 2013.
459 Hasyim Muzadi, Dokumentasi acara “Halaqoh Pesantren: Pengembangan
Kajian Al Qur’an Perspektif Sains dan Teknologi di Pesantren” di
Pesantren Al Hikam Depok. 18 Desember 2013. Lihat pula Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), xii.
460 Tujuan klasifikasi ilmu dalam pandangan al-Farabi adalah: Pertama,
sebagai petunjuk umum bagi para siswa sehingga mereka dapat memilih
subjek yang bermanfaat untuk dipelajari. Kedua, untuk mempelajari
313
atas ayat kawniyyah Allah. Sementara agama atau ilmu agama
berasal dan dari ayat qawliyyah Allah yang termaktub dalam kitab
suci. Pembedaan ilmu menjadi ilmu agama dan ilmu non-agama
tidak sampai menegasikan antara satu ilmu dengan ilmu yang lain.
Masing-masing ilmu diakui validitas atau keabsahannya. Ilmu agama
maupun ilmu pengetahuan modern sama-sama bersumber dari
Allah. Dengan demikian, menurut Mulyadhi Kartanegara, terdapat
titik temu dalam integrasi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan,
yaitu pada landasan ontologis.461 Pandangan pesantren ini berbeda
dengan pandangan dikotomik yang secara tegas membedakan
dan memisahkan ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum yang
digambarkan sebagai berikut:
Gambar: Pola Dikotomis antara Ilmu Umum dan Ilmu Agama
Ontologi
Observable/Fisik
Ontologi
Metafisik
Epistemologi
Observasi dan Nalar
Epistemologi
Nalar, Wahyu dan Intuisi
Aksiologi
Value Free
Aksiologi
Value Bound
Materi
Fisika, Kimia, Biologi
Tafsir, Hadits, Fiqih, Ushul
Lembaga
Sekolah dan Universitas
Lembaga
Pesantren & Madrasah
Materi
hierarki ilmu pengetahuan. Ketiga, berbagai macam divisi dan subdivisi
ilmu pengetahuan memberikan manfaat untuk menentukan spesialisasi.
Keempat, sebagai informasi tentang apa yang seharusnya dipelajari
sebelum menentukan keahlian dalam bidang ilmu tertentu. Lihat Hadi
Masruri dan Imron Rossidy, Filsafat Sains dalam Al Qur’an (Malang:
Penerbit UIN-Malang Press, 2007), 76.
461 Mulyadhi Kartanegara yang dikutip dalam Asnawi, Integrasi Ilmu Agama
dan Ilmu Umum (Studi Komparasi Pola Pembelajaran antara Pesantren
tradisional Plus dan Pesantren Modern).(Jakarta: Tesis SPs UIN Jakarta,
2010. 163.
314
Dua macam konstruksi keilmuan tersebut harus diintegrasikan
guna membentuk cendekiawan muslim seperti konsep pribadi
paripurna (insân kâmil) sebagaimana dalam al-Qur’an. Pribadi
paripurna dimaknai sebagai pribadi yang menguasai ilmu pengetahuan
serta memiliki pemahaman agama sehingga dapat menggunakan
ilmu yang dimilikinya sesuai dengan tuntunan agama Islam.
Integrasi ilmu agama dan ilmu pengetahuan model ini diupayakan
dengan menjadikan pesantren mahasiswa sebagai muara dari dua
iklim intelektual yang berbeda. Dunia intelektual perguruan tinggi
yang fokus pada pengembangan ilmu murni (sosial dan eksakta)
dipadukan dengan dunia intelektual pesantren yang normatif-religius.
Sistem pendidikan pesantren dimodifikasi sedemikian rupa sehingga
bisa memberikan integrated science secara keseluruhan maupun
sebagian kepada peserta didik yang bermukim di dalamnya.462 Proses
conditional engineering di pesantren diarahkan untuk membentuk
agamawan (santri) yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,
sekaligus membentuk para saintis yang berpegang teguh pada nilainilai Islam.463 Pola integrasi agama dan ilmu dapat diilustrasikan
sebagai berikut:
Gambar: Pola Integrasi Sains dan Agama dengan Memodifikasi Sistem
Pendidikan Pesantren
Ilmu Umum
Ilmu Agama
Pendidikan
Pesantren
Ilmuan
Peserta Didik
462 Kholilur Rahman, Konsep Pendidikan Ahmad Hasyim Muzadi (Tesis Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2012), 164.
463 Mohammad Shulthon, “Kemampuan Manajerial Kyai dalam Pengelolaan
Pondok Pondok Pesantren Mahasiswa, Studi Kasus Pesantren Mahasiswa
Al-Hikam Malang” (Tesis - Universitas Negeri Malang, 2001), 24-28.
315
Integrasi ilmu agama dan ilmu pengetahuan dimaknai sebagai
integrasi yang terjadi dalam diri ilmuan atau mahasiswa sebagai
agent of change. Mahasiswa sebagai seorang sarjana diharapkan
memiliki integritas ilmu pengetahuan umum sekaligus ilmu dan
pengamalan agama.464 Integrasi agama dan ilmu pengetahuan
yang dimaksudkan bertujuan agar pelaksanaan produk keilmuan
oleh masyarakat muslim berjalan secara bertanggungjawab, sesuai
etika keilmuan dan tuntunan agama Islam.465 Hal ini didapat dari
media pendidikan, melalui internalisasi nilai agama Islam kepada
penggiat keilmuan secara umum. Konsep integrasi agama dan
ilmu pengetahuan ini didasarkan pada sulitnya mempertemukan
nilai normatif Islam dengan materi ilmu pengetahuan, khususnya
ilmu yang berbasis eksak dan aplikasinya yang berupa teknologi.
Batang tubuh ilmu matematika, ilmu nuklir, ilmu atom dan ilmuilmu eksakta lain tidak mungkin untuk di Islamkan. Hal yang paling
mungkin untuk di Islamkan adalah semangat penggunaan ilmu
tersebut. Selain itu, penanaman nilai-nilai keislaman, dalam hal ini
moral dan etika, kepada pelaku keilmuan lebih menjamin munculnya
tanggungjawab keilmuan (knowledge responsibility). Contoh
sederhana adalah mahasiswa bidang sosial yang menyangkut norma
belum tentu memiliki tanggungjawab keilmuan dan tanggungjawa
terhadap masyarakat maupun agama. Seorang ahli hukum belum
tentu menegakkan hukum, seorang ahli ekonomi belum tentu
memperjuangkan ekonomi umat. Begitu pula seorang sarjana teknik
tidak ada jaminan untuk menerapkan ilmunya dengan benar dalam
pembangunan. Tanggungjawab keilmuan tidak ditentukan oleh
keilmuan seseorang, tapi tergantung pada karakter orang tersebut.
Ilmu dan pertanggungjawaban keilmuan merupakan dua hal
464 Muhammad Shodiq,”Kepemimpinan Kyai Nasib dalam Meningkatkan
Mutu Pesantren, Studi pada Pesantren Al-Hikam Malang, Pesantren
Luhur Al-Husna Surabaya, dan Pesantren Mahasiswa An-Nur Surabaya”
(Malang: Disertasi-Universitas Negeri Malang, 2011), 90.
465 Hasyim Muzadi, Dokumentasi Tanbih al-A@@m, Malang 3 November
2011.
316
yang berbeda.466 Termasuk pula di dalamnya ilmu agama. Seseorang
yang mengerti dan memahami ilmu agama belum tentu benar-benar
menjalankan ajaran agamanya. Orang yang mengetahui sebuah
larangan belum tentu meninggalkan larangan tersebut. Satu-satunya
yang dapat menjamin adalah hidayah Allah yang menciptakan
segala sesuatu.467 Untuk dapat disebut sebagai orang yang sholeh,
diperlukan ketersambungan antara hubungan dengan Allah dengan
ilmu pengetahuan dan ilmu agama. Proses menjadi sholeh harus
melalui disiplin, tadrîb dan dirâsah.468
Integrasi ilmu agama dan ilmu pengetahuan yang dimaksudkan
pesantren tidak mengarah pada struktur keilmuan, sebagaimana
yang dimaksud al-Faruqi maupun al-Attas. Integrasi ilmu agama
dan ilmu pengetahuan yang dikumandangkan kedua tokoh tersebut
lebih populer dengan istilah Islamisasi ilmu pengetahuan. Islamisasi
ilmu pengetahuan merupakan kritik terhadap tradisi keilmuan
yang cenderung bersifat materialistik sehingga kehilangan ruh
metafisikanya dan melupakan nilai transendental Ketuhanan dalam
ranah keilmuannya. Al-Faruqi dan al-Attas menganggap perlu untuk
melakukan rekonstruksi terhadap bangunan keilmuan sekuler yang
sudah ada, terkait dengan metodologi, tujuan dan aspek keilmuan
lainnya. Model integrasi ilmu pengetahuan ini lebih bersifat
normatif dengan cara memodifikasi struktur keilmuan yang telah ada
kemudian mengkontekstualisasikannya dengan nilai-nilai agama
dan sejarah Islam.469
466 Terdapat sebuah ungkapan: al-‘ilmu shai’un wa mas’ûliyyatu
al-ilmi sha’iun âkhar yang artinya ilmu adalah sesuatu dan
pertanggungjawabannya adalah suatu hal yang berbeda.
467 Ungkapan yang disampaikan Hasyim Muzadi adalah: man izdâda ‘ilman
wa lam yazdâd hudan, lam yazdâd ‘inda Allâhi illa bu‘dan. Artinya: barang
siapa bertambah ilmu tanpa diiringi hidayah Allah, maka ia tidak akan
mendapati Allah kecuali menjauh darinya. Hasyim Muzadi, Dokumentasi
Tanbih al-A@m, Malang 3 November 2011.
468 Hasyim Muzadi, Dokumentasi Tanbih al-A@m, Malang 3 November
2011.
469 Hamid Fahmy Zarkasyi, “Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam”
Islamia Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Thn II, No. 5, April-Juni
317
Upaya Islamisasi ilmu secara normatif, sebagai kritik ideologi,
merupakan perlawanan terhadap keilmuan barat (sekuler) yang tidak
Islami. Tujuan Islamisasi yang dilakukan kedua tokoh tersebut adalah
menghasilkan disiplin ilmu yang Islami, sebagai hasil akulturasi nilai
Islam dengan tradisi keilmuan sekuler yang selanjutnya dipelajari
oleh individu muslim.470 Oleh karena itu, model Islamisasi ilmu
pengetahuan tersebut cenderung mengarah pada pertentangan secara
face to face antara ilmu agama dengan tradisi keilmuan Barat. Dalam
taraf tertentu, hal ini membuat sekat dikotomi antara ilmu agama dan
ilmu umum menjadi semakin tebal.471
Integrasi ilmu agama dan ilmu pengetahuan dengan mengubah
struktur keilmuan hanya sesuai jika dilakukan terhadap disiplin ilmu
normatif. Hal ini karena nilai ajaran Islam, utamanya al-Qur’an,
lebih concern terhadap persoalan normatif-sosial. Sebagai contoh
adalah ilmu hukum dan ilmu ekonomi. Islamisasi ilmu pengetahuan
model al-Faruqi dan al-Attas bisa masuk pada kedua disiplin ilmu
tersebut, sehingga memunculkan ilmu hukum Islam ataupun ilmu
ekonomi Islam. Namun Islamisasi ilmu pengetahuan model ini tidak
akan relevan apabila diterapkan pada bidang ilmu biologi, fisika,
kimia serta beberapa disiplin keilmuan yang tidak bermuatan nilai
normatif.
Kritikan lain terhadap integrasi ilmu agama dan ilmu
pengetahuan secara normatif adalah kelemahan implementasi
praktisnya dalam kehidupan sehari-hari. Integrasi yang terfokus pada
2005, 11-12. Lihat pula Mohammad Muchlis Solichin, “Islamisasi Ilmu
Pengetahuan dan Aplikasinya dalam Pendidikan Islam,” Tadris, Volume 3.
No. 1, 2008, (Hal 14-29), 21. Lihat pula Chairil Anwar, “Islamisasi Ilmu,
Al-Qur’an dan Sains”, Tarbiyah Digital Journal Al-Mannar, Edisi 1, Tahun
2004, 3.
470 Alparslan Acik, Islamic Science: An Introduction (Kuala Lumpur: ISTAC,
1996), 2-7. dan 44. Lihat pula Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam
and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 42.
471 Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan,
Pengembangan Kurikulum, Hingga Redefinisi Islamisai Pengetahuan
(Bandung: Nuansa, 2003), 331-332.
318
pembenahan struktur keilmuan cenderung mengabaikan garansi
dilaksanakannya disiplin ilmu pengetahuan yang “Islami” tersebut.
Integrasi lebih terfokus agar ilmu berkembang sesuai dengan nilainilai Islam, tanpa memperhatikan implementasi ilmu tersebut oleh
para ilmuan dan masyarakat pada umumnya.472 Secara ekstrim,
dapat dicontohkan bahwa tidak ada jaminan bahwa seorang ulama
atau ahli ilmu agama Islam akan melaksanakan ilmu agama yang
dipahaminya sesuai tuntunan agama dengan penuh tanggungjawab.
Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam disiplin ilmu yang begitu
Islami, masih terbuka ruang untuk menjalankannya secara tidak
bermoral, tidak sesuai ajaran Islam.
Kelemahan integrasi ilmu agama dan ilmu umum secara
normatif tersebut dapat diminimalisir dengan model pendidikan
yang menekankan penanaman nilai-nilai keislaman terhadap pelaku
keilmuan atau Islamic knowledge agency dan semangat penggunaan
ilmu (aksiologi ilmu). Model integrasi ini dapat menampung disiplin
ilmu umum yang non-normatif atau eksak. Integrasi agama dan ilmu
ini dapat memberikan jaminan terhadap implementasi dari berbagai
disiplin ilmu secara bertanggungjawab oleh para ilmuan khususnya
dan masyarakat pada umumnya.
472 Hasyim Muzadi, Dokumentasi Tanbih al-A@m, Malang 3 November
2011.
319
Gambar: Perbandingan Pola Integrasi
Mengedepankan Islamic Knowledge Agency dengan Integrasi Normatif
Integrasi Mengedepankan Islamic
Knowledge Agency
Ilmu
Agama
Ilmu
Umum
Integrasi Normatif
Ilmu
Agama
Ilmu
Sekuler
Personal
Ilmuan
Ilmu
Islam
Tanggung
Jawab
Keilmuan
Personal
Umum
Integrasi yang mengarah pada subjek ilmu pengetahuan
ini merupakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam
menggambarkan praktik Islamisasi ilmu pengetahuan. Pendekatan
Islamisasi ilmu pengetahuan dapat dibedakan menjadi empat.473
Pertama, beranggapan bahwa Islamisasi ilmu merupakan ayatisasi
atau sekedar memberikan ayat-ayat yang sesuai dengan ilmu
pengetahuan yang berkembang. Kedua, Islamisasi ilmu dilakukan
dengan mengIslam kan orang sebagai pengembang ilmu pengetahuan.
Ketiga, Islamisasi yang dilakukan berdasar filsafat Islam dengan
473 Bandingkan dengan Mulyanto yang membagi pendekatan dalam praktik
Islamisasi ilmu pengetahuan menjadi lima. Pertama, Islamisasi dapat
dilakukan dengan menjadikan Islam sebagai landasan penggunaan ilmu
pengetahuan (aksiologi) tanpa mempermasalahkan aspek ontologi dan
epistemologi. Kedua, Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
cara memasukkan nilai-nilai Islami ke dalam konsep ilmu pengetahuan
dan teknologi. Ketiga, Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi melalui
penerapan konsep tauhid dalam arti seluas-luasnya. Keempat, Islamisasi
ilmu pengetahuan dilakukan dengan inisiatif pribadi melalui proses
pendidikan yang diberikan secara berjenjang dan berkesinambungan.
Kelima, Islamisasi ilmu pengetahuan dengan melakukan integrasi antara
dua paradigma agama dan ilmu. Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi
Islam (Rajawali Pers: Jakarta, 1998), 419.
320
mempelajari dasar metodologinya. Keempat, memahami Islamisasi
sebagai sebuah ilmu yang beretika dan beradab.474
Model integrasi ilmu agama dan ilmu pengetahuan yang
lebih mengedepankan Islamic knowledge agency setidaknya dapat
mengupayakan dua hal yang terabaikan oleh model integrasi
(Islamisasi ilmu pengetahuan) secara normatif.475 Pertama, Islamic
knowledge agency bisa menaungi tradisi keilmuan eksakta yang nonnormatif yang sama sekali tidak berkaitan dengan norma dan nilainilai Islam. Kedua, penanaman nilai moral dan etika Islam secara
intensif kepada calon sarjana, dalam hal ini mahasiswa dari berbagai
disiplin keilmuan, lebih menjamin penggunaan produk keilmuan
secara bertanggungjawab sesuai kode etik keilmuan serta nilai-nilai
Islam.
Tujuan dari model integrasi ilmu pengetahuan dan agama yang
lebih mengedepankan Islamic knowledge agency adalah terbentuknya
pribadi muslim yang memahami keilmuan secara mendalam serta
mengerti dan menjalankan amaliah agama secara baik dan benar.
Sedangkan tujuan akhir dari model integrasi ilmu pengetahuan
yang dikembangkan di pesantren mahasiswa ini adalah adanya
tanggungjawab keilmuan (knowledge responsibility) yang muncul
sebagai hasil dari penanaman nilai-nilai moral keislaman terhadap
pelaku keilmuan dalam bidangnya masing-masing. Penanaman
nilai-nilai moral keislaman inilah yang dilakukan kepada mahasiswa
di pesantren mahasiswa. Model integrasi ilmu dan agama ini
didasarkan akan netralitas ilmu pengetahuan. Pesantren tidak perlu
menganggapan bahwa ilmu pengetahuan umum lahir dari konstruksi
pemikiran sekuler sehingga perlu di Islamkan.
Pendidikan yang dilakukan bagi mahasiswa merupakan
salah satu upaya untuk meminimalisir problematika pendidikan
agama Islam di perguruan tinggi. Pendidikan agama di perguruan
tinggi hanya sampai pada taraf teori dan sebagai formalitas belaka.
474 Ummi, “Islamisasi Sains Perspektif UIN Malang”, Inovasi: Majalah
Mahasiswa UIN Malang, Edisi XXII, Tahun. 2005, hal. 25.
475 Lihat Hasyim Muzadi, Dokumentasi Tanbih al-A@m, 3 November 2011.
321
Ketiadaan media untuk mengartikulasikan pengetahuan agama yang
dimiliki mahasiswa merupakan salah satu alasan perlunya pendirian
pesantren bagi mahasiswa.476 Konsep pendidikan pesantren bagi
mahasiswa seperti ini yang kemudian diterapkan dalam kurikulum
integratif Ma‘had Sunan Ampel al-Aly dengan Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) Malang. UIN Maliki
Malang menjadikan sertifikat kelulusan ta‘lîm al-afkâr al-Islâmiy
dan ta‘lîm al-Qur’ân yang dilaksanakan di Ma‘had Sunan Ampel
Al-Aly sebagai prasarat untuk program studi keislaman dan prasarat
ujian komprehensif di UIN Maliki Malang.477
Pelaksanaan Pendidikan di Pesantren Mahasiswa
Pendidikan agama Islam di pesantren mahasiswa bukan
hanya berupa proses penyampaian informasi keagamaan kepada
para santri mahasiswa. Pendidikan Islam merupakan kegiatan yang
utuh dari serangkaian kegiatan yang meliputi ta‘lîm, ta’dîb dan
irshâd.478 Ta‘lîm merupakan elemen dasar pendidikan sebagai sarana
untuk menyampaikan informasi keagamaan kepada peserta didik.
Sedangkan ta’dîb merupakan serangkaian proses pengkondisian
peserta didik yang bertujuan untuk membentuk kerangka kognisi,
476 Kholilur Rahman, Konsep Pendidikan Ahmad Hasyim Muzadi (Tesis
- Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2012), 139.
477 Program ke-ma‘had-an seperti di UIN Maliki Malang ini kemudian
akan diprogramkan di seluruh Perguruan Tinggi Islam di Indonesia
untuk mendukung mahasiswa yang berlatar belakang Islam.
Program ini dimulai saat Maftuh Basyuni menjabat Menteri Agama
RI. Pembangunan Ma‘had tahap pertama dilaksanakan di 5 PTAI,
yaitu: UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, Makasar dan Medan. Lihat
GEMA Media Informasi dan Kebijakan Kampus edisi 25 NovemberDesember 2006, 7. Lihat pula Husniyatus Salamah Zainiyati, “Model
Kurikulum Integratif Pesantren Mahasiswa dan UIN Maliki Malang.”
Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 18 Nomor 1 (Juni) 2014,
153.
478 Hasyim Muzadi, “Saatnya Pondok pesantren Meng-INTELEK-kan
Santri” REPUBLIKA (Rabu 22 Juli 2009), 5. Lihat pula Hasyim
Muzadi, Wawancara, Malang 6 Desember 2014.
322
afeksi dan psikomotorik santri mahasiswa, sebagaimana telah
disampaikan dalam kegiatan ta‘lîm. Adapun irshâd merupakan
bimbingan rohani yang dilakukan oleh para pendidik kepada santri
mahasiswa.479
Integrasi nilai irshâd dalam proses pendidikan dipengaruhi
oleh konsep pendidikan Imam al-Ghazali.480 Hal ini juga bisa
dipahami sebagai relasi positif nilai tasawuf dalam dunia pendidikan,
sebagaimana pada awal sejarah Islam. Proses irshâd inilah yang
jarang dimasukkan dalam bagian integral pendidikan oleh para
tokoh pendidikan dalam mendefinisikan terminologi pendidikan.481
Sebagai contoh keterikatan dari ketiga elemen tersebut adalah terkait
dengan materi ibadah. Ta‘lîm sebagai media untuk menyampaikan
materi ibadah. Ta’dîb sebagai eleman untuk menjadikan peserta
didik mengaktualisasikan ibadah secara benar dalam kehidupan
sehari-hari. Adapun irshâd menjadi media bagi seorang guru untuk
membenahi niat para santri, bahwa pelaksanaan ibadah harus
dilaksanakan dengan ikhlas, bukan karena adanya paksaan maupun
kewajiban. Hubungan komponen pendidikan perspektif pesantren
mahasiswa diilustrasikan sebagai berikut:
479 Muhammad Shodiq, ”Kepemimpinan Kyai Nasib dalam
Meningkatkan Mutu Pesantren, Studi pada Pesantren Al-Hikam
Malang, Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya, dan Pesantren
Mahasiswa An-Nur Surabaya” (Disertasi-Universitas Negeri Malang,
2011). Lihat pula Hasyim Muzadi, Wawancara, Malang 11 Januari
2016.
480 Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Murshi@d al-Amin (Beirut: Dar al Fikr,
1996), 55.
481 Lihat Kholilur Rahman, Konsep Pendidikan Ahmad Hasyim Muzadi, (Tesis
- Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2012), 160.
323
Gambar: Hubungan Komponen Pendidikan Pesantren
Terminologi pendidikan Islam yang merupakan integrasi nilai
ta‘lîm, ta’dîb dan irshâd ini sedikit berbeda dengan terminologi
pendidikan Islam yang diungkapkan oleh para ahli pendidikan pada
umumnya yang lebih dikenal istilah ta‘lîm, ta’dîb dan tarbiyyah.482
Terminologi pendidikan perspektif pesantren mahasiswa memandang
peran dan posisi seorang kiyai di pesantren yang lebih mengarah
sebagai pengganti orang tua daripada sebagai sosok seorang guru.
Sosok kiyai di lingkungan pesantren memiliki peran yang sangat
besar guna memberikan bimbingan rohani (irshâd) kepada para
santri. Bimbingan yang diberikan oleh kiyai bisa bersifat sosial dan
bersifat seumur hidup. Bahkan bimbingan dari kiyai masih berlaku
ketika seorang santri sudah menjadi alumni pesantren.
Pola hubungan antara ta‘lîm, ta’dîb, dan irshâd akan
mengantarkan kepada sistem pendidikan Islam yang integral. Kultur
pesantren yang ada juga akan mengantarkan pendidikan Islam pada
long life education. Bimbingan yang diberikan oleh seorang kiyai
kepada santrinya akan terus menerus terjadi dalam setiap aspek
kehidupan santri, bahkan setelah santri menyelesaikan pendidikan di
pesantren. Pendidikan Islam sebagai perpaduan unsur ta‘lîm, ta’dîb,
dan irshâd ini terkait erat dengan pendidikan karakter. Karena
482 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jogjakarta: Logos, 2000), 5-8.
324
bagaimanapun juga tujuan pendidikan Islam, utamanya melalui
ta’dîb dan irshâd, adalah pembenahan karakter peserta didik.
Pesantren mahasiswa memiliki peran dan kesempatan
yang besar dalam pembinaan karakter muslim Indonesia, karena
pendidikan pesantren terkait erat dengan pendidikan karakter.
Pendidikan karakter yang dilaksanakan selama ini masih sebatas
penyampaian informasi tentang karakter. Karakter tidak bisa
dibentuk melalui penambahan wawasan (transfer of knowledge)
semata. Karakter juga bukan merupakan sebuah keterampilan yang
dapat dipelajari dengan kursus maupun pelatihan. Menurut Hasyim
Muzadi, selaku pendiri Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang,
pendidikan karakter dapat berjalan efektif di pesantren dengan
sistem asrama.483 Keberadaan asrama dalam sebuah sistem pesantren
merupakan media yang tepat untuk internalisasi nilai-nilai karakter
dalam diri santri mahasiswa. Dengan sistem ini penanaman karakter
bisa berlangsung terus menerus.
Pesantren, sebagai sebuah lembaga pendidikan, telah memiliki
elemen-eleman dasar dalam pembentukan karakter. Pertama,
dirâsah yaitu proses pengajaran yang dilakukan di pesantren.
Dirâsah berperan sebagai media penyampaian karakter oleh kiyai
ataupun ustad kepada santri. Kedua, uswah, yaitu contoh kehidupan
karakter dari ustad atau kiyai dalam kehidupan sehari-hari. Uswah
atau teladan dari ustad atau kiyai menjadi sarana untuk melihat
contoh riil kepribadian yang patut diteladani oleh para santri. Ketiga,
riyâdah / murâqabah yang merupakan upaya pengkondisian santri
dalam menginternalisasikan nilai-nilai karakter dalam kehidupan dan
pergaulan sehari-hari. Riyâdah sebagai instrumen dalam membentuk
483 Mukti Ali menilai bahwa sistem pengajaran dan pendidikan agama yang
paling baik di Indonesia adalah sistem pengajaran ala madrasah dan
pesantren. Hal ini dikarenakan corak dan isi pendidikan dan pengajaran
di madrasah dalam pesantren ini menghimpun seni, ilmu dan agama yang
merupakan tiga komponen pendidikan yang harus terkumpul dalam diri
seseorang, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok masyarakat.
Lihat A. Mukti Ali, Metode Mamahami Agama Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 1991), 9.
325
karakter di pesantren, dilakukan dengan proses disiplin yang ketat.
Pembentukan karakter tidak akan terjadi tanpa latihan dan disiplin.
Tanpa disiplin yang kuat dalam pembentukan karakter generasi
muda, sebenarnya kita sedang berjalan menuju bahaya yang besar.
Ketiga elemen dasar pembentukan karakter tersebut saling
terkait dalam proses pembentukan karakter di pesantren. Pesantren
kemudian menjadi alternatif solusi atas buntunya pendidikan
karakter di Indonesia. Kultur pendidikan yang penuh dengan disiplin
melalui model asrama menjadi kunci bagi peserta didik untuk tidak
hanya mengerti akan informasi karakter. Peserta didik juga dapat
mentransformasikan nilai karakter dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan karakter bukan hanya untuk mendidik agar para santri
mengetahui hal-hal yang baik, melakukan yang baik dan mencintai
yang baik sesuai dengan kecenderungan kultur suatu bangsa. Namun
lebih dari itu, karakter yang akan dibangun juga harus sesuai dengan
nilai-nilai agama Islam. Pendidikan karakter bukan lagi sekedar
menjadi kebutuhan, namun harus menjadi kewajiban pendidikan
Islam.
Upaya Integrasi dalam Strategi dan Pendekatan Pembelajaran
Proses pendidikan pesantren tidak lepas dari tiga unsur
pendidikan pesantren, yaitu ta‘lîm, ta’dîb dan irshâd. Ketiga unsur
pendidikan tersebut kemudian melembaga menjadi tiga bidang
pendidikan di pesantren. Unsur ta‘lîm sebagai sarana transformasi
keilmuan dalam pendidikan pesantren dilembagakan menjadi bidang
pengajaran atau dirâsah. Sedangkan unsur ta’dîb sebagai sarana
untuk pembentukan karakter di pesantren melembaga menjadi
bidang kesantrian. Adapun unsur irshâd sebagai sarana bimbingan
rohani para santri mahasiswa dalam pesantren menjadi bidang
kepengasuhan.484
Pertama, bidang pengajaran atau dirâsah (tadrîs wa alta‘lîm). Bidang pengajaran mengemban tugas merancang program
484 Lihat Profil Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang.
326
dan strategi pembelajaran serta pelaksanaannya dalam pembekalan
materi keilmuan dan keterampilan (life skill) yang bersifat klasikal.485
Program ini diarahkan pada pengembangan intelegensi (kognisi)
santri melalui kegaiatan pengajaran.
Kedua, bidang kepengasuhan (ri‘âyah wa al-irshâd). Bidang
kepengasuhan mengemban tugas menyampaikan tausiah, bimbingan
dan arahan kepada para santri mahasiswa terkait nilai dan norma
agama serta persoalan kehidupan kemasyarakatan. Tujuan program
kepengasuhan adalah untuk mengarahkan dan membentuk para santri
mahasiswa menjadi manusia beriman, berilmu dan beramal shaleh.
Nasehat, arahan dan bimbingan kepada santri lebih menitikberatkan
pada pembentukan jiwa santri, atau pada tataran afeksi santri.486
Ketiga, bidang kesantrian (ta’dîb wa al-tahdhîb). Bidang
kesantrian mengemban tugas mendampingi para santri mahasiswa
dalam transformasi dan aktualisasi diri. Ruang lingkup kegiatan bidang
kesantrian lebih menitik-beratkan pada pembekalan pengetahuan
dan keterampilan, utamanya aspek psikomotorik santri.487 Bidang
kesantrian merupakan bagian dari program pendidikan pesantren
yang dimaksudkan untuk pembentukan karakter santri mahasiswa.
Bentuk kegiatan program kesantrian bersifat harian, mingguan,
bulanan, tahunan dan kegiatan-kegiatan insidental jika diperlukan.
Pembentukan tiga bidang pendidikan di Pesantren MahasiswaAl
Hikam Malang merupakan perwujudan dari unsur-unsur pendidikan
pesantren. Pembentukan tiga bidang pendidikan di pesantren akan
memaksimalkan proses pendidikan yang dilaksanakan di pesantren
mahasiswa. Selain itu, tiga bidang pendidikan ini diharapkan akan
membantu mewujudkan cita-cita pesantren untuk mengintegrasikan
ilmu pengetahuan dan agama dalam diri santri mahasiswa. Ilmu
pengetahuan didapatkan santri mahasiswa melalui pendidikan di
perguruan tinggi masing-masing. Sementara ilmu dan pengamalan
agama didapatkan santri mahasiswa melalui pendidikan di pesantren.
485 Lihat Profil Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang.
486 Lihat Profil Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang.
487 Lihat Profil Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang.
327
Perpaduan pendidikan di perguruan tinggi dan pesantren tersebut
diharapkan akan dapat membentuk para sarjana yang memiliki
integritas ilmu umum dan agama, serta mampu mengamalkan ilmu
yang dimiliki sesuai tuntunan agama.
Pembentukan tiga bidang pendidikan pesantren harus
diikuti dengan beberapa langkah strategis untuk memaksimalkan
pelaksanaan program pendidikan. Langkah yang diambil antara lain:
Pertama, pemahaman konsep integrasi ilmu pengetahuan dan agama
bagi seluruh elemen pesantren, mulai dari pengelola pesantren sampai
dengan santri mahasiswa; Kedua, perekrutan tenaga pengajar yang
kompeten, baik dalam keilmuan agama maupun keilmuan umum.
Hal ini penting karena setiap pendidik harus menguasai materi
yang disampaikan. Dalam konteks pesantren mahasiswa pengajar
harus menguasai materi agama dan ilmu pengetahuan modern.488
Ketiga, pendekatan pembelajaran yang memadukan pendekatan
pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered approach)
dan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student
centered approach).489
Penutup
Konsep integrasi ilmu pengetahuan dan ilmu agama di pesantren
mahasiswa, dalam hal ini Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang,
berbeda dengan konsep integrasi yang disampaikan oleh para tokoh
pendidikan. Integrasi yang dimasudkan pesantren mahasiswa ini
adalah integrasi yang terjadi dalam diri pelaku keilmuan (Islamic
488 ‘Atiyah al-Abra@shi, Al-Tarbiyyah al-Islamiyyah (Mesir: Da@r al-Fikr,
1967), 135.
489 Dua pendekatan pendidikan ini digunakan untuk meningkatkan mutu
pendidikan secara komprehensif. Lihat Abuddin Nata, “Islam Rahmatan Lil
Alamin Sebagai Model Pendidikan Islam Memasuki Asean Community”,
Makalah disampaikan pada acara kuliah tamu Jurusan Pendidikan Agama
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Maulana Malik Ibrahim
MalangSenin, 7 Maret 2016, hal 13. Lihat pula Abuddin Nata, Perspektif
Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenada Group,
2014), cet. III, hal. 243-279.
328
knowledge agency) dan semangat penggunaan ilmu (aksiologi ilmu).
Tujuan akhir integrasi adalah terciptanya ilmuan atau sarjana yang
menguasai ilmu pengetahuan dan ilmu serta pengamalan agama
dalam diri seorang muslim. Munculnya tanggungjawab keilmuan
(knowledge responsibility) merupakan hasil dari internalisasi nilai
Islam kepada penggiat keilmuan. Alasan yang melatar belakangi
konsep integrasi ilmu pengetahuan dan ilmu agama ini adalah:
pertama, Islamic knowledge agency bisa menaungi tradisi keilmuan
eksakta yang non-normatif dan tidak berkaitan dengan norma dan
nilai-nilai Islam. Kedua, penanaman nilai moral dan etika Islam
kepada calon sarjana lebih menjamin penggunaan produk keilmuan
oleh masyarakat muslim secara bertanggungjawab sesuai kode etik
keilmuan serta nilai-nilai Islam.
Konsep integrasi ilmu pengetahuan dan ilmu agama ini
berbeda dengan integrasi yang bersifat bersifat normatif dengan
cara memodifikasi struktur keilmuan yang telah ada, sebagaimana
disampaikan Ismail Raji al-Faruqi dan Muhammad Naquib al-Attas.
Alasan menolak konsep integrasi yang bersifat normatif adalah
sulitnya mempertemukan nilai normatif Islam dengan materi ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu yang berbasis eksak dan aplikasinya
berupa teknologi. Selain itu, penanaman nilai-nilai keislaman (moral
dan etika) kepada pelaku keilmuan lebih menjamin munculnya
tanggungjawab keilmuan (knowledge responsibility).
Konsep integrasi ilmu pengetahuan dan ilmu agama
diimplementasikan dengan mengumpulkan mahasiswa non-fakultas
agama dari berbagai perguruan tinggi. Santri mahasiswa dididik
dengan ilmu dan pengamalan agama, utamanya etika dan moral
Islam (akhlak). Keterpaduan tiga unsur pendidikan pesantren (ta‘lîm,
ta’dîb, dan irshâd) tidak hanya mengantarkan santri mahasiswa
mengetahui ajaran agama Islam, tapi juga pengamalan ajaran Islam
dalam kehidupan sehari-hari. Ta‘lîm merupakan elemen dasar
pendidikan, yaitu sarana penyampaian informasi keagamaan. Ta’dîb
sebagai proses pengkondisian peserta didik yang bertujuan untuk
membentuk kerangka kognisi, afeksi dan psikomotorik. Sedangkan
irshâd merupakan bimbingan rohani kepada santri mahasiswa.
Ketiga unsur pendidikan pesantren tersebut melembaga menjadi tiga
329
bidang pendidikan, yaitu bidang pengajaran, bidang kesantrian dan
bidang kepengasuhan.
Pendidikan Islam di pesantren mahasiswa dimaksudkan untuk
mewujudkan integrasi ilmu pengetahuan dan ilmu agama dalam
diri santri mahasiswa. Pendidikan Islam di pesantren mahasiswa ini
merupakan salah satu upaya untuk menyediakan media aktualisasi
nilai-nilai agama Islam bagi para mahasiswa non-fakultas agama.
Oleh karenanya pendidikan di pesantren mahasiswa bisa dijadikan
sebagai salah satu alternatif untuk melengkapi pendidikan agama
Islam di perguruan tinggi, utamanya perguruan tinggi umum.
330
Daftar Pustaka
Al-Abra@shi, ‘Atiyah. Al-Tarbiyyah al-Islamiyyah. Mesir: Da@r
al-Fikr, 1967.
Acik, Alparslan. Islamic Science: An Introduction. Kuala Lumpur:
ISTAC, 1996
Ali, A. Mukti. Metode Mamahami Agama Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, 1991.
Anwar, Chairil. “Islamisasi Ilmu, Al-Qur’an dan Sains”, Tarbiyah
Digital Journal Al-Mannar, Edisi 1, Tahun 2004.
Asnawi, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Studi Komparasi
Pola Pembelajaran antara Pesantren tradisional Plus dan
Pesantren Modern). Tesis SPs UIN Jakarta, 2010.
Asrohah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu dan Pemikiran, 2001.
Al-Attas, Syed Naquib. Islam and Secularism. Kuala Lumpur:
ISTAC, 1993.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana ilmu dan
Pemikiran, 2000.
Bakar, Osman. Clasification of Knowledge in Islam. Kuala
Lumpur: Institute for Policy Research, 1992.
Tauhid dan Sains. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.
Buku Profil Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang.
Daulay, Haidar Putra. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan
Pendidikan Islam di Indonesia (Cet. II). Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2009.
Fadjar, A. Malik. Visi Pembaruan Pendidikan Islam. Jakarta:
Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan
331
Naskah Indonesia (LP3NI), 1998.
Al-Faruqi, Ismail Raji. Islamisasi Pengetahuan, Terj. Anas
Mahyudin. Bandung: PenerbitPustaka, 1995.
Fiddaroini, Saidun. dalam Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi
Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di Tengah Arus
Perubahan, Editor Adib Abdushomad. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005.
GEMA Media Informasi dan Kebijakan Kampus edisi 25
November-Desember 2006, 7.
Al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Murshi@d al-Amin, Mesir: Dar al-Fikr,
1996.
Harian Kompas: News/Nasional, Hasyim Muzadi: Revolusi
Mental Memerlukan Keteladanan, Diakses 23
September 2014. Sumber: http://nasional.kompas.com/
read/2014/09/23/18012951/Hasyim.Muzadi.Revolusi.Mental.
Memerlukan.Keteladanan
Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi
Holistik. Bandung: Mizan Media Utama [MMU], 2005.
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 43/Dikti/
Kep/2006, Tentang Rambu Rambu Pelaksanaan Kelompok
Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung:
Mizan, 2008.
Ludjito, Ahmad. “Pendekatan Integralistik Pendidikan Agama pada
Sekolah di Indonsia,” dalam Reformulasi Filsafat Pendidikan
Islam, editor Chabib Thoha dkk. Semarang: Pustaka Pelajar,
1996.
Madjid, Nucholish. Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam
Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1997.
Masruri, Hadi dan Imron Rossidy. Filsafat Sains dalam Al Qur’an.
Malang: Penerbit UIN-Malang Press, 2007.
332
Muhaimin. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam:
Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, Hingga
Redefinisi Islamisai Pengetahuan. Bandung: Nuansa, 2003.
Muhyarsyah. “Islamisasi Ilmu Pengetahuan di Perguruan Tinggi”
dalam Azuar Juliandi, Islamisasi Pembangunan, (Medan:
Umsu Press, 2014).
Muzadi, Hasyim. “Saatnya Pondok pesantren Meng-INTELEK-kan
Santri” Harian REPUBLIKA, Rabu 22 Juli 2009.
Dokumentasi Tanbih al-A@am, Malang 3 November 2011.
Dokumentasi acara ìHalaqoh Pesantren: Pengembangan Kajian
Al Qur’an Perspektif Sains dan Teknologi di Pesantrenî di
Pesantren Al Hikam Depok. 18 Desember 2013.
Dokumentasi TV One: Damai Indonesiaku: Pendidikan di dalam
Islam, Sabtu tanggal 14 Februari 2014.
Nasir, Ridlwan. Mencari Format Pendidikan Ideal: Perubahan
Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Editor M, Adib
Abdushomad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta: Logos, 2000.
Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008.
Metodologi Studi Islam, Cet. IX. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004.
Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana,
2009.
“Islam Rahmatan Lil Alamin Sebagai Model Pendidikan Islam
Memasuki Asean Community”, Makalah disampaikan pada
acara kuliah tamu Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Maulana Malik Ibrahim
MalangSenin, 7 Maret 2016.
Norlaila. “Pemikiran Pendidikan Islam Ismail Raji al-Faruqi.” alBanjari Vol. 7, No.1. Januari 2008. 38-52.
Rahman, Kholilur. Konsep Pendidikan Ahmad Hasyim Muzadi.
333
Surabaya: Tesis- Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya, 2012.
Santoso. “Mencari Relevansi: Gagasan Pendidikan Nondikotomik.”
Penamas Vol. XXI No. 2 - Tahun 2008. 180-203.
Sardar, Ziauddin. “Arguments for Islamic Science.” dalam Quest
for New Science. Aligarh: Center For Studies On Science,
1984.
Shodiq, Muhammad. Kepemimpinan Kyai Nasib dalam
Meningkatkan Mutu Pesantren, Studi pada Pesantren AlHikam Malang, Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya,
dan Pesantren Mahasiswa An-Nur Surabaya. Disertasi:
Universitas Negeri Malang, 2011.
Shulthon, Mohammad. Kemampuan Manajerial Kyai dalam
Pengelolaan Pondok Pondok Pesantren Mahasiswa, Studi
Kasus Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang. Tesis:
Universitas Negeri Malang, 2001.
Solichin, Mohammad Muchlis. “Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan
Aplikasinya dalam Pendidikan Islam.” Tadris, Volume 3.
Nomor 1. 2008. 14-29.
Suprayogo, Imam. Membangun Integrasi Ilmu Dan Agama:
Pengalaman Uin Maulana Malik Ibrahim Malang. Sumber:
http://uin-malang.ac.id:8080/Indeks.php?option=com_con
tent&view=article&id=1203:membangun-integrasi-ilmudan-agama-pengalaman-uin-maulana-malik-ibrahimmalang&catid=25:artikel-imam-suprayogo, diakses 18
Agustus 2015.
Tholkhah, Imam. Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar
Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Ummi. “Islamisasi Sains Perspektif UIN Malang.” Inovasi:
Majalah Mahasiswa UIN Malang, Edisi XXII, Tahun. 2005.
Wahab, Abdul. “Dualisme Pendidikan Di Indonesia.” Lentera
Pendidikan, Vol. 16 No. 2 Desember 2013: 220-229.
334
Widiyanto, Edi. “Tingkatkan Pendidikan Islam”, Republika, Kamis
29 April 2010, Halaman 12.
Zainiyati, Husniyatus Salamah. “Model Kurikulum Integratif
Pesantren Mahasiswa dan Uin Maliki Malang.” Ulumuna
Jurnal Studi Keislaman, Volume 18 Nomor 1 (Juni) 2014.
139-158.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. “Worldview Sebagai Asas Epistemologi
Islam.” Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam.
Thn II No.5, April-Juni 2005. 1-19.
335
ADVOKASI ISLAM GARAM VS KRISTEN GARAM
DI KOMUNITAS INSPIRATION HOUSE CIREBON
Cici Situmorang
Pendahuluan
Penganut agama terbesar di Indonesia adalah umat Islam.
Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia, karena memang
itulah kenyataannya. Namun, Indonesia tidak menganut negara
Islam, meskipun pada kenyataannya beberapa tahun belakang ini
banyak keunikan yang terjadi di Indonesia untuk bisa mendirikan
negara Islam. Islam yang dikenal ramah dan sangat santun, dipahami
para penganut agama lainnya di Indonesia. Indonesia juga dikenal
keramahan dan etika budaya timurnya kini membuat banyak orang
jadi sedikit takut, khususnya bagi kaum minoritas alias agama lain.
Agama Islam yang sangat ramah itu tiba-tiba terlihat sangat keras
dan banyak yang berfikir terlalu fundamental dan sangat radikal.
Islam dikenal lewat FPI atau moment besar 212 atau 414, yang
sangat berbeda dan tidak toleran terhadap agama lain atau kaum
minoritas—bahkan sesama Islam sendiri yang menganut aliran lain.
Namun Islam menjadi berbeda ketika kita melihat sosok Buya Syafii
Maarif melalui bukunya “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan”.
Pemikiran Buya Syafii Maarif ini menggugah Komunitas
Inspiration House yang foundernya adalah seorang Nasrani.
Mereka yang beragama Islam bisa berdampingan selama empat
tahun belakangan dengan visi dan misi yang sama untuk Indonesia.
336
Komunitas ini bergerak dalam benang merah yaitu Indonesia dan
kemanusiaan. Kemanusiaan yang memperhatikan hak –hak kaum
minoritas khususnya mereka anak- anak dari ekonomi lemah
dan anak jalanan. Anak jalanan dan fakir miskin yang harusnya
dipelihara oleh pemerintah pada kenyataannya tidak seperti itu, tapi
kita tidak bisa menyalahkan pemerintah. Justru peran komunitas bisa
membantu pemerintah—meskipun pemerintahan tidak sepenuhnya
tahu—dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa.
Untuk itu komunitas di Cirebon telah melakukan advokasi
dengan baik selama empat tahun ini, dalam upaya menjaga
keberagaman ini serta menanamkan pluralisme sejak dini. Advokasi
bukan revolusi, namun lebih merupakan suatu usaha perubahan
sosial melalui semua saluran dan piranti demokrasi perwakilan,
proses-proses politik dan legislasi yang terdapat dalam sistem yang
berlaku. Keberhasilannya diperoleh bila proses dilakukan secara
sistematis, terstruktur, terencana dan bertahap dengan tujuan yang
jelas, untuk memengaruhi perubahan kebijakan agar menjadi lebih
baik. Keterampilan advokasi merupakan sebuah ilmu dan seni, yang
tentunya sangat dipengaruhi oleh kemampuan berkomunikasi tim
peneliti. Peningkatan keterampilan komunikasi dapat membantu tim
untuk meningkatkan kinerja, khususnya dalam melakukan advokasi.
Advokasi dalam komunikasi yang tepat membuat komunitas
Inspiration House ini bertahan dengan sangat baik setelah melawati
berbagai tantangan yang salah satunya dikarenakan perbedaan agama.
Agama merupakan hal yang sangat sensitif, namun hubungan terkait
dengan agama mereflesikan hubungan kita secara sosial terhadap
orang lain. Menurut salah satu guru Agama Islam di Tomohon,
Semakin tinggi kadar pemahaman agama seseorang, maka makin
besar pula rasa toleransinya. Agama sejatinya hadir sebagai jawaban,
pencerahan, dan pembebasan atas setiap keragu-raguan.
Toleransi adalah sikap yang adil dan objektif terhadap semua
orang yang memiliki perbedaan gagasan, ras, atau keyakinan
dengan kita. (Lickona 2013:65). Toleransi merupakan sebuah
tindakan nyata dalam menghargai antar umat beragama, mereflesikan
atau membiarkan sesuatu memang apa adanya. Toleransi terkadang
337
lupa diajarkan di era milenial ini. Toleransi hanya sebatas pelajaran
singkat yang tidak sarat makna, padahal toleransi adalah nilai plus
yang membawa generasi sekarang lebih inklusif dan tidak eksklusif,
sebagai bagian dari pemeluk agama. Berdasarkan kajian-kajian
di era sekarang hanya sedikit kaum penggerak toleransi bergerak
karena dianggap tidak terlalu penting, namun ketika bangsa sedang
darurat toleransi maka kebingunganpun terjadi, panik dan saling
menyalahkan siapa yang seharusnya punya peran penting bagi
generasi, siapa yang bertanggungjawab untuk keberlangsungan
ketahanan bangsa.
Peran toleransi sangat besar bagi keberlangsungan suatu
bangsa yang majemuk, di mana peran ini harusnya digerakkan oleh
yang namanya komunitas. Peran komunitas tentunya sangat efektif
dalam melakukan suatu advokasi untuk menyebarluaskan suatu
nilai-nilai positif, jika strategi komunikasi yang menuntut perubahan
tak ada penolakan atau kebencian dalam menyebarkan hal-hal baik.
Komunitas Inspirasi House Cirebon yang dihuni teman-teman
Muslim dan Kristen benar-benar memberi rasa alias garamnya terasa
sesuai dengan ayat, Matius 5:13- 16, “Jadilah garam dan terang
dunia, karena garam tidak akan berfungsi jika hanya didiamkan saja.
Garam memilik banyak sekali fungsi dan bisa menjadi pembawa
pembaruan dalam moral kehidupan bermasyarakat jika kita
memahami maknanya.
Islam Garam vs Kristen Garam
Istilah Islam garam pertama sekali diperkenalkan Bung
Hatta. Saat itu terjadi penolakan terhadap pemikirannya yang
dilakukan oleh kelompok muda Muslim. Mereka menganggap
Hatta semakin sekuler karena melakukan pembiaran terhadap
Islam dan tidak ada ikhtiar serius untuk memformalisasikan ajaran
Islam. Hatta ingin agar Islam tidak mesti ditunjukkan via simbolsimbol, tapi disubstansialisasikan dalam konteks berbangsa dan
bernegara. Keberanian Hatta menggulirkan Islam garam tampak
jelas ketika ia mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”.
338
Sila pertama itu kemudian diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha
Esa”.
Hatta telah berhasil meletakkan nilai-nilai Islam dalam Pancasila
secara kontekstual. Berangkat dari situasi itu, Islam garam yang
ditawarkan Hatta mesti dilestarikan kembali. Menurut Buya Syafii,
gagasan Hatta ini sangat jelas, tujuannya mendidik umat Islam agar
pandai-pandai membawakan diri bilamana ingin memperjuangkan
ajaran Islam di Indonesia. Buya mengakui tajamnya penglihatan
Bung Hatta dalam merekatkan hubungan Islam dan keindonesiaan.
Bahkan, Buya mengaku belum menemukan nasihat yang semacam
ini dari siapa pun, termasuk dari pemimpin-pemimpin puncak partai
Islam masa lampau, apalagi sekarang.
Dalam Alkitab Matius 5:13-1, dijelaskan ; “Kamu adalah garam
dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan?
Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.” Makna ini
sangat dalam sekali bagi umat Kristen di mana Yesus mengajarkan
bahwa hidup kita berdampak itu sebuah kewajiban atau keharusan,
karena jika kita hidup tak menjadi dampak, maka sia- sia kita hidup
di dunia. Ibarat kata hidup kita “useless” alias tidak bermakna.
Kristen terlalu eksklusif sebagai kaum minoritas, merasa terkadang
tertindas, bahkan teraniaya dengan mengkaitan diri dengan proses
Yesus yang lebih dahulu menderita. Yesus memang menderita tapi
Yesus tidak “ Baper” dan “ stay “ artinya Yesus tidak jadi pribadi
yang terus- terusan menangisi rasa sakitnya atau berdiam diri, tapi
Yesus terus mengajarkan kebenaran dan kasih lewat perbuatannya.
Nah, garam yang dianggap hanya bumbu yang letaknya di dapur
ini sengaja Yesus jadikan perumpaaan yang diibaratkan umat kristen
yang sedikit alias minoritas seperti butir- butir garam bisa menjadi
rasa dan bermakna bagi masakan atau kata lainnya bagi orang
banyak. Mari kita korelasikan fungsi kristen garam:
1.
Memberi rasa yang nikmat (Ayub 6:6) Kristen harus membawa
damai, sukacita kepada banyak orang sekitar karena hidup
orang kristen ialah Alkitab berjalan yang setiap orang melihat
hidupnya.
339
2.
Mencegah kebusukan. Kristen harus menjadi teladan dalam
sikap baik di keluarga, di kantor di manapun Kristen berada harus
bersikap jujur, tidak melakukan kejahatan bahkan melanggar
Hak asasi manusia lainnya dan menjadi contoh teladan yang baik
dari segi kemanusiaan dan moralitas dunia yang kejam sekarang
ini.
3.
Rela berkorban. Garam ada unsur korban di dalamnya, di mana
Kristen juga harus siap berkorban untuk misi yang Tuhan berikan,
meski dihina, dianiaya, difitnah, dicurigai karena melakukan hal
yang baik untuk menunjukan kasih Yesus yang nyata.
Jika dilihat dari pemaknaan garam antara Islam dan Kristen
sangat jelas sekali bahwa fungsi garam itu sama dan tidak mungkin
berbeda hanya implementasinya dalam kajian teologi yang berbeda.
Pemaknaan yang sama inilah yang membuat Komunitas Inspiration
House Cirebon mampu bertahan selama empat tahun yang mungkin
masih dini berdiri, namun dampaknya sangat terasa. Dampak positif
ini terjadi melewati banyak tantangan dan rintangan yang lumayan
menguras air mata karena adanya perbedaan persepsi daya tangkap
tujuan. Namun hal tersebut bisa teratasi dikarenakan team yang solid
ini terdapat pemahaman dan aplikasi nyata akan fungsi garam bagi
para team yang mayoritas beragama muslim. Mereka melakukan atau
menjadi Islam garam yang sesungguhnya karena telah menjadi rasa dan
berkontribusi terhadap kota dan bangsa lewat pendidikan gratis yang
mereka berikan kepada anak-anak miskin dan jalanan di kota Cirebon.
Islam garam sudah berfungsi di Cirebon lewat Inspiration House,
namun mereka tidak tahu hanya karena belum familiar diucapkan dan
didengar. Demikian pula dengan founder Inspiration House Cirebon
sebagai satu-satunya Kristen yang pada awal mendirikan komunitas ini
dicurigai, bahkan mengalami hal yang tidak menyenangkan. Namun
tujuannya terlalu kuat untuk menjadi garam sehingga apapun yang sulit
serta menyakitkan tetap dijalaninya untuk menjadi Kristen garam yang
sesuai Yesus ajarkan. Tidak mudah menyampaikan tujuan yang sama
dari sudut pandang agama yang berbeda, butuh proses dan pengalaman
serta pemahaman yang tepat. Dan terjadilah sebuah kolaborasi yang
340
indah antara Islam garam dan Kristen garam karena memiliki fungsi
yang sama untuk menjadi dampak bagi sesama dalam kemanusiaan
serta kecerdasaan generasi di Indonesia. Komunitas ini sedikit kecil
memang, namun dampaknya yang paling utama dirasakan masyarakat
hingga kini.
Penutup
Peran kita sebagai warga negara sangat penting apapun agama
kita pasti ada nilai kebaikan yang terkait. Peran itu akan berfungsi
baik sebagai individu maupun kelompok. Cirebon mengambil sedikit
peran dengan adanya komunitas keberagaman yaitu Inspiration House
Cirebon yang di dalamnya terdapat satu founder Kristen dan empat
belas lainnya memeluk agama Islam. Komposisi dalam team mungkin
terdengar tidak seimbang namun bukan jumlah atau siapa yang paling
banyak atau siapa yang memiliki pengaruh namun bagaimana peran
dan fungsi mereka sebagai garam yang membawa dampak dan aksi
nyata bagi masyarakat di Cirebon, khususnya anak –anak tidak mampu
serta anak jalanan yang memang layak mendapatkan rasa itu dengan
cuma-cuma. Komunitas ini berjalan karena Islam garam dan Kristen
garam memberikan rasanya sangat pas dan tepat di mana advokasi
yang dilakukan dengan komunikasi ideologi yang tepat dengan
menanamkan nilai–nilai kebangsaan dan keberagaaman. Komunitas
inipun mampu memfungsikan branding dan image yang tepat serta
berjalannya public relations dalam komunitas sehingga komunitas ini
semakin dikenal.
Komunitas ini bisa berjalan dikarenakan visi dan misi yang sama
untuk menjadi rasa yang nikmat dan mampu membantu pemerintah
untuk bisa mengahadapi sejumlah tantangan di Indonesia. Komunikasi
dengan cara komunikasi Islam garam dan Kristen garam sama, dan
tidak ada bedanya yaitu memberikan dampak nyata kepada masyarakat
dan tidak eksklusif terhadap keadaan masyarakat yang sesungguhnya.
Biarlah tidak ada lagi perdebatan dan permusuhan dan kecurigaan di
antara Islam dan Kristen, namun mari warnai Bumi Pertiwi ini dengan
keberagaman yang membawa nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan
untuk masa depan Indonesia Jaya.
341
Daftar Pustaka
Firmanzah, Ph.D., Mengelola Partai Politik komunikasi dan
Positioning Ideologi Partai di Era Demokrasi, Yayasan Obor
Indonesia: Jakarta, 2009
Harun, Angkasa Reformasi Terus Bergerak, Cidesindo: Jakarta,
2005.
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan, Mizan: Bandung, 2009)
342
Tentang Penulis
Aan Arizandy, lahir di Lampung, 29 November 1992.
Menyelesaikan Strata 1 (S1) di Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Raden Intan Lampung pada Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI)
Fakultas Tarbiyah tahun 2014. Dan sekarang tengah menyelesaikan
pendidikan Strata II (S2) di Center for Religious and Cross-Cultural
Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Selain kuliah,
penulis juga menulis artikel di media massa, baik cetak maupun
online. Email
[email protected]
Amirullah, Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
Bidang Kader periode 2016-2018. Menyelesaikan studi masternya
di Sekolah Pasca Sarjana (SPS) UIN Syarifhidayatullah Jakarta
tahun 2018 pada Islamis Studies dengan konsentrasi Islamic
Education (Pendidikan Islam). Selain itu, Amir juga sedang
menyelesaikan studi masternya di Bidang Komunikasi Politik di
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).
Mantan Ketua Umum IMM Cabang Bima (2012-2013), Sekretaris
bidang kader DPD IMM NTB (2013-2014), Ketua Lembaga Kajian
Isu dan Kebijakan Publik DPP IMM dan merangkap Sekretaris
Ekesekutif (2014-2016) ini sangat tekun menulis. Beberapa tulisannya
telah diterbitkan baik dalam bentuk buku, jurnal, artikel maupun
opini lepas di berbagai media dan majalah, di antaranya; IMM untuk
Kemanusiaan Dari Nalar ke Aksi (Buku Terbit Mediatama Indonesia,
2016) ; Pendidikan, Agama, Politik, dan Multikulturalisme (Buku
Antologi, terbit 2016) ; Mengukir Sejarah Merawat Peradaban;
Ijtihad Berkemajuan IMM Untuk Kemanusiaan Universal (Sebagai
Editor, terbit Mediatama Indonesia 2016). ; Hubungan Islam dan
Politik di Indonesia serta Implikasinya Bagi Pendidikan Islam
(Jurnal Kreatif Volume XII Nomor 2 Juli 2015), dan ; Pendidikan
Humanis: Bercermin dari pemikiran Ahmad Syafii Maarif (Buku
343
terbit Pustakepedia 2018). Penulis dapat dihubungi melalui kontak:
081213548124.
Email:
[email protected]
Andi Muslimin, dilahirkan di Kolaka, Sulawesi Tenggara, pada
tanggal 9 Maret 1986. Anak ke tiga dari enam bersaudara pasangan
Bapak Andi Malluluang dan Ibu Nurtang. Ia memulai pendidikan
sekolah dasar di Negeri Malaasi tamat tahun 2002, kemudian
melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Negeri Kolaka tamat tahun
2004. Pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 01 Kolaka
tamat tahun 2007. Pendidikan berikutnya ditempuh di Universitas
Muhammadiyah Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Studi Ilmu Politik tamat tahun 2005. Kemudian melanjutkan
studi s2 di Universitas yang sama mengambil konsentrasi Komunikasi
Politik.
Cici Situmorang, lahir di Bandar Lampung. Anak pertama dari tiga
bersaudara. Ia adalah Founder Inspiration House Cirebon ; Founder
GYT Cirebon ; Founder KCKC Cirebon. Ia juga Alumni Undip
Semarang dan Sekolah Ekumenis Nasionalis Jakarta 2017. Kini,
masih berstatus sebagai Mahasiswa semester 7 Pendidikan Bahasa
Inggris STKIP Cirebon. Selain sebagai Aktivis, ia juga tercatat
sebagai Pegiat keberagaman Peace Train Indonesia 4&7 ; Volunteer
guru kebutuhan khusus Betesda Cirebon, dan ; Fungsionaris jaringan
doa pemuda Cirebon.
Destara Sati lahir di Jakarta pada 1 Desember 1991. Ia menamatkan
studi S1 di Fakultas Hukum UI pada tahun 2015. Saat ini tengah
menempuh studi Ilmu Magister Hukum di UI dengan program
kekhususan hukum lingkungan dan sumber daya alam. Bercitacita menjadi seorang ahli hukum yang membaktikan ilmunya pada
masyarakat.
344
Irfan L. Sarhindi, Pengasuh Salamul Falah, associate Researcher
Akar Rumput Strategic Consulting, kepala Program Studi Manajemen
Universitas Putra Indonesia. Tulisannya tersebar di pelbagai media
seperti Detikcom, Islami.co, Siperubahan, dan Alif.id. Pada tahun
2017, lulusan University College London ini mendapat Fellowship
untuk program Kader Bangsa, menjadi finalis Future Leaders Connect
British Council, serta menjadi satu dari 13 pembicara di Panggung
Indonesia 2045 yang diselenggarakan Tempo. Setiap Selasa dan
kamis menerbitkan tulisan di blog pribadinya: irfanlsarhindi.id.
Muhammad Alkaf adalah peserta Sekolah Kebudayaan dan
Kemanusiaan (SKK) Ahmad Syafii Maarif Angkatan Pertama.
Setelah menyelesaikan studi di UIN Ar-Raniry, dia bekerja di Aceh
Institute, 2005-2010, sebuah lembaga yang bergerak pada kajian
dan publikasi mengenai Aceh. Di lembaga tersebut, dia memupuk
minat terhadap topik-topik sejarah, politik, agama dan perubahan
sosial. Minatnya itu semakin tumbuh ketika mengambil studi di UIN
Sunan Kalijaga, karena berada di tengah iklim yang kondusif untuk
mengembangkan pengetahuan. Di luar studi formil, dia mengikuti
beberapa pelatihan, di antaranya pelatihan metodologi penelitian
keilmuwan sosial, yang diadakan oleh Aceh Research Training
Centre, di tahun 2008. Pada tahun 2017 mengikuti pelatihan menulis
Features yang diadakan oleh Tempo Institute. Lalu, di tahun 2018,
untuk memperdalam teknik menulis laporan panjang, dia mengikuti
Kursus Jurnalisme Sastrawi XXVI yang diadakan oleh Yayasan
Pantau. Sejak tahun 2014 menjadi pengajar di IAIN Langsa, dan kini
menjadi Direktur Pusat Studi Pancasila di kampus yang sama.
M. Zainal A. (biasa dipanggil Akhyar) lahir di Tulungagung, 25
September 1986. Menyelesaikan pendidikan Strata 1 di Sekolah
Tinggi Agama Islam, Mahad Ali Al-Hikam, Malang. Menyelesaikan
Studi S-2 konsentrasi Pendidikan Agama Islam di Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (2016). Selama
menempuh studi S-2, ia mengajar di pesantren di Depok dan membina
sebuah kelompok tani dan ternak di daerah Jonggol, Bogor. Sekarang
345
tinggal di Jatikramat, Jatiasih, Kota Bekasi dan menjadi pengajar di
Jurusan Pendidikan Bahasa Arab di Sekolah Tinggi Agama Islam,
Nurul Iman, Bogor.
Ricko Imano Ganie adalah seorang guru Pendidikan Agama Islam
dan studi al-Qur’an di Perguruan Islam Al Izhar Pondok Labu, dan
merupakan alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad
Syafii Maarif angkatan pertama. Penulis menyelesaikan S1 di
Universitas Al Azhar Kairo pada Fakultas Ushuluddin jurusan tafsir
dan ilmu al-Qur’an. Kemudian melanjutkan studi S2 di Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, program studi
pengkajian Islam dengan konsentrasi tafsir al-Qur’an. Email: ricko.
[email protected],
[email protected]
Robby Kurniawan, berasal dari Batipuh, Tanah Datar, Sumatera
Barat. Setelah menyelesaikan pendidikan pesantren selama tujuh
tahun di Canduang, Kab. Agam, pada 2010, ia melanjutkan pendidikan
Sarjana ke UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Saat ini terdaftar sebagai
mahasiswa program pascasarjana Interdiciplinary Islamic Studies di
kampus yang sama.
Saepullah, Lahir di Bogor 21 Oktober 1972. Kandidat Doktor pada
Sekolah Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Saat ini aktif sebagai Anggota MUI Komisi Pengkajian, Aktif di
LD-PBNU pada Divisi Pengkajian dan Pengembangan, dan sebagai
Direktr Program Rumah Daulat Bangsa untuk Mantan Napi Teroris.
Mengajar di sejumlah tempat ; IIQ Fak. KPI dan Ushuludin ; STAI
al-Aulia ; Akademi Kebidanan Pelita Ilmu. Judul buku yang pernah
ditulis, “Kohesi Sosial Antaragama; Agama Islam dan Buddha. Sedang
melakukan penelitian tentang “Islam dan Budaya Betawi”, dan juga
penelitian Uji Tindak ; “Pendidikan Layanan Khusus untuk Anak
Nelayan Miskin”, di bawah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia.
346
Taufani, lahir di Ujung Pandang, 17 April 1987. Ia sehari-hari bekerja
sebagai Dosen tetap di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado.
Selain aktif sebagai dosen, Taufani juga aktif dalam kegiatan lintas
iman di Sulawesi Utara bersama Gerakan Cinta Damai Sulawei
Utara (GCDS). Tulisan-tulisan lepasnya sering menghiasi media
online seperti qureta.com, geotimes.co.id, dll. Taufani bisa dihubungi
di email:
[email protected]
Zulfadli adalah dosen Ilmu Politik di Universitas Andalas
Padang, dengan peminatan dalam bidang pemikiran politik Islam.
Menyelesaikan strata satu di UIN Sunan Kalijaga dan Strata dua
jurusan Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam di UIN Sunan
Kalijaga. Beberapa publikasi diantaranya adalah Kontestasi Ormas
Islamis di Indonesia, Volume 18 No 1, 2018, (Jurnal Al Tahrir Stain
Ponorogo), Radikalisme Islam dan Motiv Terorisme di Indonesia,
Volume 22 no 1 tahun 2017, (Jurnal Akademika Pemikiran Islam),
Kuasa Ormas di Ranah Minang: Penolakan Ormas Islam terhadap
pembangunan Rumah Sakit Siloam di Kota Padang, Vol, 14 No 1
Tahun 2017, (Jurnal Sosial Budaya, Media Komunikasi Sosial dan
Budaya), Planning For Participative Development Based On Local
Values: Case Study of Kelurahan Lambuang Bukik, Kota Padang,
Vol,7, No 1 2018, (Jurnal Ilmu Sosial Mamangan STIKIP Padang).
347