Academia.eduAcademia.edu

Melawan Fenomena Populisme Islam dengan Moderasi Beragama

2021, Melawan Fenomena Populisme Islam dengan Moderasi Beragama

https://doi.org/10.2489/resolusi.v1i1.158

1. Pendahuluan Fenomena politik yang berkembang di Indonesia mengalami penurunan kualitas, bahkan indeks demokrasi pun mengalami penurunan. Terhitung pada tahun 2020, berdasarkan The Economist Intellegence Unit (EIU) menempatkan Indonesia di posisi ke 64 dengan skor 6,4 dan ini menjadi indeks terburuk selama 14 tahun terakhir. Hal ini terjadi bukan karena tanpa sebab, banyak hal yang menyebabkan indeks Demokrasi Indonesia turun drastis, mulai dari Pengesahan UU yang terkesan tidak mempertimbangakan kepentingan rakyat, Pemilu yang tidak transparan, represifitas yang dilakukan aparat saat pengawalan demonstrasi, hingga munculnya fenomena populisme agama. berbagai fenomena yang terjadi bahkan tidak sedikit menyebabkan integrasi bangsa terpecah, terhitung sejak tahun 2017 proses demokrasi di Indonesia dinilai semakin menurun, umat beragama pun tak ingin ketingggalan akan proses kontestasi politik, tak terkucuali umat islam yang tergabung dalam suatu organisasi masyarakat. Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 menjadi langkah awal munculnya kembali populisme agama (New Islamic Populism) 1 dalam hal ini adalah dilakukan oleh sebagian umat islam, Umat islam terpancing dengan salah satu pasangan calon yang menyingggung keyakinan umat islam, tindakan protes dan demontrasi dilakukan sebagai upaya menuntut keadilan hukum, sampai saat itu penulis menganggap hal ini masih wajar dan justru demonstrasi yang dilakukan bagian dari proses demokrasi. Hanya saja, demonstrasi yang dilakukan tidak berhenti pada moment itu, sehingga ada demonstrasi lanjutan yang membawa bebagai narasi, seperti ; kriminalisasi ulama, legalisasi prostitusi, miras, hingga narasi rezim komunis. Fenomena Populisme Islam tidak berhenti di tahun 2017, Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 juga diwarnai fenomena populisme islam. Di tahun 2019 Koalisi oposisi pemerintah memanfaatkan kekuatan yang dimiliki umat islam, untuk memuluskan kepentingan elektoralnya. Narasi yang digunakanpun tidak jauh beda dengan yang terjadi di tahun 2017, dan ditambahi 1 Vedi R Hadiz, Islamic Populism in Indonesia and the Middle East.

Melawan Fenomena Populisme Islam dengan Moderasi Beragama Oleh Muhammad Aidrus Asyabani 1. Pendahuluan Fenomena politik yang berkembang di Indonesia mengalami penurunan kualitas, bahkan indeks demokrasi pun mengalami penurunan. Terhitung pada tahun 2020, berdasarkan The Economist Intellegence Unit (EIU) menempatkan Indonesia di posisi ke 64 dengan skor 6,4 dan ini menjadi indeks terburuk selama 14 tahun terakhir. Hal ini terjadi bukan karena tanpa sebab, banyak hal yang menyebabkan indeks Demokrasi Indonesia turun drastis, mulai dari Pengesahan UU yang terkesan tidak mempertimbangakan kepentingan rakyat, Pemilu yang tidak transparan, represifitas yang dilakukan aparat saat pengawalan demonstrasi, hingga munculnya fenomena populisme agama. berbagai fenomena yang terjadi bahkan tidak sedikit menyebabkan integrasi bangsa terpecah, terhitung sejak tahun 2017 proses demokrasi di Indonesia dinilai semakin menurun, umat beragama pun tak ingin ketingggalan akan proses kontestasi politik, tak terkucuali umat islam yang tergabung dalam suatu organisasi masyarakat. Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 menjadi langkah awal munculnya kembali populisme agama (New Islamic Populism)1 dalam hal ini adalah dilakukan oleh sebagian umat islam, Umat islam terpancing dengan salah satu pasangan calon yang menyingggung keyakinan umat islam, tindakan protes dan demontrasi dilakukan sebagai upaya menuntut keadilan hukum, sampai saat itu penulis menganggap hal ini masih wajar dan justru demonstrasi yang dilakukan bagian dari proses demokrasi. Hanya saja, demonstrasi yang dilakukan tidak berhenti pada moment itu, sehingga ada demonstrasi lanjutan yang membawa bebagai narasi, seperti ; kriminalisasi ulama, legalisasi prostitusi, miras, hingga narasi rezim komunis. Fenomena Populisme Islam tidak berhenti di tahun 2017, Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 juga diwarnai fenomena populisme islam. Di tahun 2019 Koalisi oposisi pemerintah memanfaatkan kekuatan yang dimiliki umat islam, untuk memuluskan kepentingan elektoralnya. Narasi yang digunakanpun tidak jauh beda dengan yang terjadi di tahun 2017, dan ditambahi 1 Vedi R Hadiz, Islamic Populism in Indonesia and the Middle East. dengan narasi ketimpangan ekonomi, ketidakadilan hukum, hingga narasi melawan hegemoni ekonomi china. Gerakan Populisme yang kemudian dibawa menyebabkan polarisasi dan perpecahan pada masyarakat. Berbagai fenomena politik yang menyertai pelaksanaan Pemilu 2019, memberikan pelajaran berharga (lesson learned) betapa proses untuk sampai ke tahapan ideal demokrasi, yaitu konsolidasi demokrasi, masih memerlukan ikhtiar dan waktu yang lumayan panjang. Demokrasi di Indonesia, sebagaimana di negara-negara lain yang masuk dalam kategori negara demokratis, sebenarnya telah memerhatikan elemen-elemen penting dalam demokrasi yang berlaku secara universal seperti disebut ilmuwan politik dari Stanford University, Larry Diamond (Neheer Dasandi, 2018: 12-13), Lalu bagaimana Moderasi beragama hadir, apakah bisa menjawab tantangan politk umat islam ? disini penulis akan memberikan sebuah prespektif meninjau kembali gerakan islam di masa lalu dan memberikan gambaran masa depan, yang dalam hal ini adalah dalam rangka membumikan gagasan moderasi beragama dalam konteks politik atau demokrasi di Indonesia. 2. Islam dan Ideologi Politik Islam dalam dinamika politik dunia tidak pernah lepas, bahkan sejak Nabi Muhammad diutus menjadi seorang rasul, dunia saat itu memang masih dipenuhi dengan berbagai agenda politik, Politik dalam sejarah islam memiliki kedudukan yang penting, mulai pergantian khalifan hingga pergantian kekhilafahan dari khulafaurrasyidin beralih ke dinasti Muawiyyah, yang dimana peristiwa politik saat ini menimbulkan perpecahan dikalangan internal umat islam, sehingga terbagi dalam beberapa kelompok. Masa-masa klasik islam memunculkan berbagai kelompok aliran pemikiran, seperti khawarij, syiah, qoddariyah, jabariyah dan sebagainya. Aliran itu muncul salah satunya karena perbedaan pandangan politik. Masing-masing kelompok punya argument dan dasar atas ide yang mereka bawa, Hanya saja teologi islam klasik hanya berkutat pada pembahasan ketuhanan . Namun, aliran-aliran klasik inilah yang kemudian mendasari munculnya aliran-aliran islam Kontemporer yang dimana saat ini juga memiliki pemikiran dan atau gerakan yang beragam. Di era kontemporer saat ini, perkembangan ideologi islam lebih memiliki varian, mulai dari yang Konservatif/Tradisional hingga Modernis-Sekuler. Dan disini penulis mencoba menjelaskan beberapa Kelompok Islam yang berkembang hingga saat ini, mengapa perlu menjelaskan hal ini, karena pemikiran yang ada dalam kelompok tersebutlah yang mempengaruhi mereka dalam melakukan gerakan politiknya.  Fundamentalisme Islam Fundamentalis ini merupakan gerakan yang ingin mendirikan negara Islam dengan cara kekerasan, dan aksi tindakan kekerasan yang lain. Namun, umat Muslim menentang penggunaan istilah fundamentalis itu untuk kasus-kasus gerakan Islam kontemporer, karena fundamentalis memiliki dua sisi makna, bisa bermakna positif karena memahami islam secara mendasar, namun juga punya sisi pemaknaan islam yang penuh dengan kekerasan. Stereotyping dengan menggunakan istilah fundamentalis marak digunakan untuk gerakan Islam politik yang dituduh ingin mendirikan negara Islam. Fundamentalisme terjadi di Sunni dan juga Syiah. Fundamentalisme politik ini terjadi dalam sistem demokrasi yang berlangsung di beberapa negara, missal; kasus Mesir, Al-Jazair, dan Hamas (Palestina). Namun, tidak semua gerakan fundamentalisme Islam berkeinginan mendirikan negara Islam dan melakukan tindakan kekerasan. Banyak fenomena fundamentalisme Islam muncul, seperti fenomena beragama yang puritan, ada juga yang fokus dalam ekonomi, fenomena sosial, dan fenomena budaya. Stigma negatif fundamentalis Islam ini dilanjutkan dengan label-label radikalis dan teroris. Radikalis muncul dalam situasi sosial politik yang kacau; muncul karena tidak memiliki peran serta dalam memecahkan persoalan mereka sendiri; isolatif, reaktif dalam merespon persoalan, dan sering menggunakan kekerasan dalam memecahkan persoalan.  Islamis Dasar ideologi yang dibangun dari nilai-nilai ajaran Islam, kelompok Islamist yakin hukum Islam dan nilai-nilai Islam harus memainkan peran utama dalam kehidupan public, Mereka menyatakan bahwa Islam memiliki nilai dasar tentang bagaimana politik itu harus dijalankan, bagaimana hukum ditegakkan, dan bagaimana orang harus berprilaku berdasar nilai etika moral agama. Menjadi seorang Islamist merupakan tindakan sadar karena kesadaran politik, Mainstream Islamism: kelompok Islamist utama terdiri dari Ikhwanul Muslimin dan gerakan-gerakan yang terinspirasikan oleh Ikhwanul Muslimin. Mereka ini berbeda karena mengikuti proses (demokrasi) normal secara bertahap, mengikuti dinamika politik setempat, kesediaannya bekerja sama dengan sistem pemerintahan yang ada, bahkan dalam Negara sekular sekalipun., Ada juga Islamis ekstrim seperti ISIS, dan gerakan lain yang menggunakan kekerasan.  Salafi Kelompok salafis ini berpegang pada ajaran dan contoh generasi Islam awal (Salafus Sholeh), Dalam beribadah sangat hati-hati (puritanis), dan menjunjung tinggi nilai etika moral agama dalam berprilaku, dan berpenampilan sederhana seperti menggunakan celana cingkrang dan penggunaan siwak. Dalam kelompok salafi sediri terbagi menjadi dua, ada Salafi ekstrim dan salafi moderat. Biasanya kelompok salafi hanya mengajak orang berbuat baik, menghindari konfrontasi dengan penguasa/pemerintah, Namun, di Mesir dan Kuwait kaum salafi terlibat dalam politik elektoral dan mendirikan partai politik, mengutamakan lobi untuk keberhasilan kebijakan yang berdasarkan syari’ah. Lebih pada upaya menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, dari pada formalisasi dalam bentuk lembaga, contohnya ada Jamaah Tabligh.  Jihadis Salafi-Jihadis merupakan kelompok minoritas dari salafi, bagi kelompok Jihadis,Jihad merupakan kewajiban individu yang harus dilakukan, Kelompok Jihadis juga menilai pemimpin sekarang tidak sah, karena tidak memerintahkan jihad. Maka dari itu Jihad dengan kekuatan senjata harus dilakukan terhadap Toghut/non-Muslim (Al-Qaida dan ISIS). Kaum jihadis ini juga memandang bahwa pemahaman Islam mereka yang paling benar dan yang lainnya salah.  Revivalis Revivalis Islam hadir sebagai kelompok yang ingin menjawab kemerosotan Islam dan ingin mengembalikan kepada ajaran Islam yang murni. Contoh dari gerakan Islam revivalis adalah Wahhabiyyah yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Tujuan gerakan wahabi ini adalah melakukan pemurnian atau puritasnime atas ideologi islam yang telah banyak berubah dan menyimpang, kemudian disesuaikan dengan bentuk Islam di masa Nabi Muhammad Saw. Dalam mewujudkan gagasannya, Muhammad bin Abdul Wahab mendirikan sekolah untuk mencetak kader-kader. Salah satu kadernya adalah Su’ud yang memiliki pengaruh cukup mendominasi didunia Islam dan mampu merebut tanah Nejed dan Hejaz kemudian mendirikan negara Saudi Arabia. Revivalisme Islam juga memilik hubungan dengan fundamentalisme. Gerakan dan pemikiran ini muncul sebagai reaksi terhadap akibat-akibat yang ditimbulkan oleh modernisme dan sekularisme dalam kehidupan politik dan keagamaan. Peradaban modern-sekular menjadi sasaran kritik fundamentalisme Islam, dan di sini fundamentalsime memiliki fungsi kritik. Seperti ditipologikan oleh Fazlur Rahman, fundamentalisme Islam (atau revivalisme Islam) merupakan reaksi terhadap kegagalan modernisme Islam (klasik), karena ternyata yang disebut terakhir ini tidak mampu membawa masyarakat dan dunia Islam kepada kehidupan yang lebih baik, sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai gantinya, fundamentalisme Islam mengajukan tawaran solusi dengan kembali kepada sumber-sumber Islam yang murni dan otentik, dan menolak segala sesuatu yang berasal dari warisan modernisme Barat.Salah satu karakteristik atau ciri terpenting dari fundamentalisme Islam ialah pendekatannya yang literal terhadap sumber Islam (al-Qur’an dan alSunnah).[5] Jadi revivalis Islam merupakan kebangkitan kembali Islam ke ajaran yang murni dan bersumber pada al-Qur’an dan As-Sunnah.  Modernisme-Reformisme Islam Modernisme (modernis) biasanya diartikan sebagai cara berpikir dengan peradaban Barat, dengan merujuk upaya mengejar ketertinggalan melalui pencarian mendasar etik kepada Islam untuk kebangkitan politik dan budaya. Sementara untuk reformasi (reformis) diartikan sebagai pembaruan melalui pemurnian agama. Dalam hal ini kemudian reformasi islam dimaknai sebagai gerakan pembaruan dalam pola pikir dan cara hidup yang murni menurut islam itu sendiri. Tentang modernisme dan tradisionalisme dalam reformis sudah tidak perlu lagi dipertentangkan dan diperdebatkan lagi, dari golongan mana ataupun kelompok mana mereka berangkat, mereka mempunyai alasan, yaitu semangat keberagaaman dalam pembaharuan, tradisi di bidang akidah maupun syariah sudah cukup secara praktis bagi umat Islam. Tradisi-tradisi yang ada dapat dijadikan sebagai ijtihad yang baru ke arah produktif dan inovatif. Model ijtihad yang mengaitkan hubungan antara masa kini dan masa lampau dan bahkan melampauinya, berupa kandungan yang hakiki dari konsep “pembaharuan” dalam Islam (Hanafi & Al Jabiri, 2015, p.124) Dalam sejarah perkembangan Islam, modernisme sejalan dengan gerakan kebangkitan Islam, yang dikenal dengan al-Ashraniyah (modernisme) atau al-Ishlahiyah (reformisme), yang secara umum dikenal dengan pembaharuan di dunia Islam sebagaimana yang dikumandangkan oleh Jamaluddin Al-Afghani ataupun Muhammad Abduh. Di abad 19 di Sumatera Barat, Gerakan Reformasi Islam telah dirintis yang kemudian pengaruhnya berlanjut ke Jawa dan berbagai wilayah nusantara lainnya. Gerakan pembaharuan Islam tersebut diawali dengan kemunculan kerajaan Islam Samudera Pasai di pulau Sumatera. Pada abad 19 gerakan ini cenderung menekankan aspek salafi untuk melawan kaum adat. Kemudian pada abad selanjutnya, gerakan ini lebih cenderung menekankan aspek etika modernitas dalam rangka meng-counter tradisi dan kemunduran Islam serta melawan kaum penjajah atau Belanda. Reformisme dan modernisme Islam masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pikiran dan gerakan reformisme dan modernisme yang diterima oleh masyarakat Indonesia, dengan itu muncullah gerakan sosial atau gerakan keagamaan yang modern seperti Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (1926), ataupun yang lainnya. Walaupun secara legal formal seperti Muhammadiyah tidak mendeklarasikan dirinya sebagai gerakan yang reformis dan modernis. 3. Populisme Gerakan Umat Islam Populisme berkembang diberbagai negara di dunia, populisme diberbagai negara terbagi menjadi dua, populisme kanan dan juga populisme kiri, populisme kanan berkembang di negaranegara konservatif. Populisme kiri berkembang di negara negara yang berhaluan sosialis komunis, Fenomena populisme yang terjadi memiliki berbagai varian, karena beragamnya definisi populisme, kategorisasi partai atau politisi populis juga bisa diperdebatkan. Batas antara populisme dengan klasifikasi politik tradisional (kiri-tengah-kanan atau progresif-konservatif) juga bisa kabur dan dinamis. Beberapa menganggap Bernie Sanders sebagai populis kiri, sementara ada yang mengakategorikannya ke dalam kelompok progresif atau sosial demokrat. Di Amerika Latin, banyak literatur membedakan Chavez dan Morales yang populis dengan Lula dan Roussef di Brazil atau Michelle Bachelet di Chile yang berhaluan sosial demokrat. Populisme secara umum diartikan sebagai sebuah pandangan sekelompok orang yang meyakini bahwa mereka sedang dihadapkan pada kondisi politik bernegara yang korup, yang dikuasasi segelintir elit. Dalam hal ini elit diartikan sebagai para pejabat negara yang memiliki wewenang dalam membuat kebijakan politik terkait berbagai aspek, seperti ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan. Para pejabat tersebut dipersepsi membuat kebijakan yang merugikan kelompok mayoritas (rakyat), dan menguntungkan kelompoknya sendiri yang merupakan minoritas. Karena itu karakteristik yang melekat pada gerakan populis adalah adanya ideologi yang memandang diri mereka sebagai kelompok baik, homogen—meskipun mereka terdiri dari suku dan kelas sosial yang beragam—, dan mayoritas, yang sedang melawan elit politik yang dianggap membahayakan dan mengancam kedaulatan nasional, kepentingan ekonomi nasional, nilai-nilai budaya, dan identitas nasional. Berbagai pemikiran lain melihat populisme sebagai ekspresi politik yang memiliki beberapa elemen. Pertama, antikemapanan, dalam arti mewakili ekspresi kelompok yang merasa termarjinalkan, Kedua, adanya otoritas pemimpin, baik melalui kharisma atau figur personal maupun pesan yang bersifat apokaliptik (“Negara kita bangkrut, kita sedang menuju neraka”4 ). Ketiga perasaan in-group yang kuat, yang dalam banyak hal ditunjukkan dalam sentimen ‘kita vs mereka’ – garis pembatas bisa berdasarkan kelas atau status ekonomi (seperti di Thailand), penduduk vs imigran, bahkan ras dan agama. Di saat yang sama, ada bentuk populisme yang menguat salah satunya populisme Islam, dalam istilah yang dikemukakan Vedi Hadiz. Populisme islam lebih merupakan cara singkat untuk mendefinisikan sebuah tren yang memiliki anatomi mirip dengan populisme (spesifiknya, populisme kanan), sekaligus membawa Islam sebagai identitas kelompok. Istilah populis Islam juga bisa digunakan untuk membedakan dengan Islam radikal, atau Islam politik yang bergerak di jalur politik elektoral. Konflik yang terjadi pasca-Pemilu 2019 mengindisikasikan demokratisasi di Indonesia baru sebatas prosedural, yang tahapan ini juga masih diwarnai dengan sengkarut tata kelola, sementara demokrasi dalam arti substansial masih jauh dari ideal. Dikatakan mendekati ideal, bila demokrasi kita dibingkai oleh apa yang disebut Robert W. Hefner (1998) dengan democratic civility, yaitu demokrasi yang tegak antara lain di atas nilai-nilai toleransi supaya politik elektoral terhindari dari chaos. Jika keadaban demokrasi ini belum bisa ditegakkan, kita khawatir demokrasi kita bisa berakhir mengenaskan seperti judul beberapa buku yang terbit belakangan ini, di antaranya Is Democracy Failing? (2018), How Democracy Ends (2018), dan How Democracies Die (2018). Elite tentu memiliki modal, baik terlihat (tangible) maupun yang tidak terlihat (intangible). Modal yang terlihat berbentuk materi, terutama uang. Sedangkan yang tidak terlihat tetapi seringkali memiliki efek lebih dahsyat daripada materi, penting disebut adalah kemampuan elite dalam mengonstruksi suatu gagasan retoris yang memengaruhi emosi massa. Belakangan konsep populisme sering dipakai oleh beberapa akademisi di tanah air, misalnya Vedi R. Hadiz dan Burhanuddin Muhtadi, untuk menjelaskan menguatnya politik identitas utamanya pada diri umat Islam yang pada momen tertentu berhasil menciptakan solidaritas yang diarahkan pada pencapaian politik elektoral, kendati di sisi lain ikut memperkeruh pembelahan bahkan di kalangan umat Islam sendiri yang pada gilirannya menimbulkan konflik. 4. Muhammadiyah dan Moderasi Islam dalam Pembangunan Politik Muhammadiyah dan moderasi beragama dua hal yang tidak bisa dipisah. Sebagai organisasi dengan jargon ‘Islam berkemajuan’, menjadi salah satu dari subyek kajian tentang Islam Indonesia yang paling banyak dikaji baik oleh sarjana dan peneliti dalam dan luar negeri, Muhammadiyah sejak kelahirannya sudah menampilkan moderasi beragama. Moderasi beragama adalah salah satu karakter utama, yang membuat Muhammadiyah mampu bertahan, dan terus melangkah maju di tengah berbagai perubahan zaman yang menghadirkan beragam tantangan. Memang ada segelintir warga Muhammadiyah yang cenderung ketat atau konservatif pada satu pihak atau sebaliknya cenderung longgar pada pihak lain, tetapi mayoritas Muhammadiyun tetap berada ‘di tengah’, memegang dan mengamalkan moderasi beragama. Dalam dunia politik Muhammadiyah memiliki peran yang cukup sentral, Pergulatan Muhammadiyah dengan globalisasi bukanlah sesuatu yang bisa dihidari. Sebagai organisasi modern yang telah berusia 106 tahun pada tanggal 18 November 2018 lalu, Muhammadiyah diakui telah memiliki peran penting dalam membangun civil society (Sutikno, 2015). Peran dalam membangun Civil Ssociety terus dilakukan muhammadiyah melalui gerakan pendidikan, sosial, dan ekonominya. Di abad 21, kiprah politik Muhammadiyah bisa tergambar dari aktivitas politik Muhammadiyah yang berorientasi pada gerakan politik untuk memupuk semangat nasionalisme, toleransi, dan persatuan. Meskipun Muhammadiyah secara organisasi tidak bergelut langsung di dunia politik praktis, namun sumbangsih Muhammadiyah dalam membangun aktivitas politik di Indonesia begitu signifikan bagi pembangunan bangsa dan negara. Ketua Umum PP Muhammadiyah , Haedar Nashir menyampaikan bahwa aktivitas politik Muhammadiyah bukanlah untuk menduduki jabatan pemerintahan, melainkan internalisasi nilainilai kebangsaan agar semangat nasionalisme terawat dengan baik di dalam diri masyarakat Indonesia. Begitu juga dengan kiprah Muhammadiyah dalam membangun prekonomian ummat Islam di Indonesia, bergerak dengan spirit al-maun yang ditopang oleh nilai kebudayaan, gotongroyong, menjadikan Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam yang memiliki kepedulian terhadap kondisi perekonomian yang saat ini masih bisa dikatakan lemah karena kuatnya pengaruh kapitalisme. Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota perserikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai dengan hati nurani masing- masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus merupakan tanggungjawab sebagai warga negara yang dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan misi dan kepentingan Muhammadiyah demi kemaslahatan bangsa dan negara. Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam partai politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab (amanah), akhlak mulia (akhlakul karimah), keteladanan (uswah hasanah), dan perdamaian (ishlah). Aktivitas politik tersebut harus sejalan dengan upaya memperjuangkan misi perserikatan dan melaksanakan dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar.2 Dalam situasi yang seperti ini Muhammadiyah relatif beruntung karena secara umum kondisi internal dalam tubuh organisasi ini dapat terkendali sehingga tidak mengarah pada fragmentasi dan disintegrasi politik yang membahayakan keuntuhan Muhammadiyah. Keadaan ini didukung oleh: 1. Kedewasaan sikap politik pada umumnya elit dan warga Muhammadiyah untuk tetap memelihara keutuhan dan kepentingan Muhammadiyah di atas kepentingan pribadi dan kelompok politik 2. Kebijakan Muhammadiyah secara organisasi yang tetap menjaga jarak dan sikap netral dari kekuatan politik manapun sebagaimana ditunjukkan oleh edaran PP Muhammadiyah. 3. Munculnya kekuatan moderat di kalangan Muhammadiyah sendiri dari elit dan warga yang tidak terlibat langsung dalam partai politik sehingga menjadi salah satu faktor peredam dari berbagai konflik kepentingan politik. Dari penjelasan diatas, kita bisa melihat bahwa Muhammadiyah dalam menjalankan peran politiknya didasarkan pada nilai-nilai perjuangan yag murni. Dari apa yang dilakukan Muhammadiyah menunjukan bahwa populisme islam, bisa dilawan dengan moderasi beragama. 22 Penjelasan khittah perjuangan Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hasil tanwir 2002 di Bali Umat Islam harus hadir sebagai bagian yang mampu bersama-sama membangun negara dan bangsa. Pemahaman keagamaan yang modernis dan moderat mampu memberikan kontribusi nyata bagi negara, inilah yang dilakukan Muhammadiyah dengan berbagai pembangunan sumber daya manusia di berbagai sektor publik, seperti Sosial, Pendidikan, Ekonomi dan Kesehatan. Gerakan populisme yang masing berlangsung agaknya perlu belajar banyak dari Muhammadiyah, agar bagaimana kedepan Indonesia bisa mejadi negara yang berdaulat secara politik dan sektor lainnya. Saya kira itu yang bisa penulis sampaikan semoga bisa menjadi referensi mengenai problematika keberagamaan kita dan bisa menuju kea rah yang lebih baik. Daftar Pustaka Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; dari fundamentalisme, modernisme, hingga post-modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996). Ari A. Perdana, Populisme Kanan, Islam dan Konteks Indonesia, Maarif Institut Arifin, Syamsul ,Islam, Populisme dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia : Maarif Institut Noorhaidi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer; Konsep, Genealogi, dan Teori. SUKA Press, 2012. Vedi R Hadiz, Islamic Populism in Indonesia and the Middle East. SubandiY. Modernis. Resolusi: (2018, June 29). Jurnal Gerakan Pembaharuan Sosial Keagamaan Politik, 1(1), Reformis54-66. https://doi.org/https://doi.org/10.2489/resolusi.v1i1.158 Bahan untuk Seminar Munas Majelis Tarjih, PP Muhammadiyah, 13 Desember 2020. Sumber: JIBPost.id, Ahad, 13 Desember 2020. (mf).