PELESTARIAN BUDAYA
BAWEAN
Peran Kiai dalam Perspektif Praksis Sosial Pierre Bourdieu
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
PELESTARIAN BUDAYA
BAWEAN
Peran Kiai dalam Perspektif Praksis Sosial Pierre Bourdieu
Edisi Pertama
Copyright @ 2023
ISBN 978-623-130-246-5
15,5 x 23 cm
121 h.
cetakan ke-1, 2023
Penulis
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
Penerbit
Madza Media
Anggota IKAPI: No.273/JTI/2021
Kantor 1: Jl. Pahlawan, Simbatan, Kanor, Bojonegoro
Kantor 2: Jl. Bantaran Indah Blok H Dalam 4a Kota Malang
[email protected]
www.madzamedia.co.id
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi dengan cara apapun,
termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin sah
dari penerbit.
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah merupakan suatu kata yang paling layak
untuk diungkapkan karena dengan untaian rahmat dan maunah-Nya
buku ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat dan salamullah
semoga selalu tercurahkan ke haribaan sang manusia agung, Nabi
Muhammad SAW.
Buku ini merupakan hasil penelitian penulis tentang peran kiai,
pesantren dan pelestarian budaya ditinjau dari konsep praksis sosial
Pierre Bourdieu. Penelitian ini dilakukan di pondok pesantren
Nasy’atul Barokah yang lebih dikenal dengan sebutan “Penaber”
(penawar).
Penulis menyampaikan terimakasih yang tidak terhingga kepada
pimpinan di lembaga tempat penulis mengabdi, STAI Hasan Jufri
Bawean, Dr. Ali Asyhar, M.M.Pd., Abdul Halim, L.c., MH. dan Ibu Wiwin
Suryaningsih, S.E., M.HI., M.Pd. atas segala dukungan dan pemikiran
yang diberikan sehingga lebih memperluas wawasan penulis dalam
upaya pelestarian budaya. Terima kasih yang setinggi-tingginya
penulis sampaikan kepada Kiai Mustafa, S.Pd.I selaku pengasuh
pondok pesantren Penaber dan segenap dewan asatidz atas perkenan
ijin penelitian serta kesempatan yang diberikan. Semangat dan
kegigihan kiai Mustafa telah membuka cakrawala berpikir penulis
untuk ikut ambil bagian dalam upaya pelestarian budaya bawean.
Buku ini merupakan karya pertama penulis dalam penelitian
sosial yang ditulis dalam bentuk buku. Penulis persembahkan karya
Pelestarian Budaya Bawean
i
kecil ini untuk kedua orang tua, ayahanda H. Mukhlis (Alm.) semoga
Allah mengampuni segala kekhilafannya dan ibunda Hj. Khotijah.
Penulis sangat menyadari bahwa buku ini masih jauh dari kata
sempurna. Karenanya, adanya kritik dan saran yang membangun
sangatlah diperlukan untuk lebih menyempurnakan buku ini. Semoga
buku ini dapat memberikan manfaat kepada semua pembaca,
khususnya kepada para pecinta budaya dan setiap orang yang punya
ketertarikan untuk melestarikan budaya masyarakatnya. Akhirnya,
penulis berharap semoga Allah SWT. berkenan memberikan balasan
kebaikan yang berlipat kepada semua pihak yang ikut membantu
penulis dalam melakukan penelitian.
Bawean, 1 Mei 2023
Penulis,
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
ii
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
BAB II
BUDAYA ......................................................................................... 9
A. Pengertian Budaya ......................................................................... 9
B. Macam-macam Budaya ............................................................. 11
1. Budaya Benda ....................................................................... 12
2. Budaya Non Benda.............................................................. 12
C. Budaya dan Tantangan Masa Depan ................................... 13
D. Urgensi Pelestarian Budaya .................................................... 15
E. Teknik Pelestarian Budaya ...................................................... 19
BAB III
BUDAYA
BAWEAN
DALAM
PERSPEKTIF
KIAI
MUSTAFA ..................................................................................... 22
A. Sejarah Pondok Pesantren Penaber..................................... 22
B. Pandangan Kiai Mustafa terhadap Budaya Bawean ..... 27
BAB IV
PERAN
KIAI
DALAM
PELESTARIAN
BUDAYA
BAWEAN ...................................................................................... 35
A. Upaya Pelestarian Budaya ....................................................... 38
1. Mewujudkan Sadar Budaya ............................................ 39
2. Sanggar Seni Rasbuba ....................................................... 44
3. Museum Dhinggelan Kona ............................................... 45
4. Modifikasi Seni ..................................................................... 47
Pelestarian Budaya Bawean
iii
BAB V
BUDAYA BAWEAN .................................................................... 51
A. Budaya yang dilestarikan ......................................................... 51
1. Kercengan ............................................................................... 52
2. Saman ....................................................................................... 53
3. Dhungka................................................................................... 56
4. Pencak Silat Pengantin ...................................................... 58
5. Korcak....................................................................................... 60
6. Membatik ................................................................................ 63
B. Dukungan terhadap Upaya Pelestarian Budaya ............. 67
BAB VI
MOTIF
KIAI
DALAM
PELESTARIAN
BUDAYA
BAWEAN ...................................................................................... 71
A. Motif Internal ................................................................................. 72
B. Motif Eksternal.............................................................................. 79
BAB VII
PERAN KIAI DALAM PERSPEKTIF PRAKSIS SOSIAL
PIERRE BOURDIEU ................................................................... 83
A. Habitus ............................................................................................. 85
B. Modal ................................................................................................. 89
1. Modal Sosial ........................................................................... 90
2. Modal Ekonomi .................................................................... 91
3. Modal Budaya ....................................................................... 92
4. Modal Simbolik ..................................................................... 92
C. Ranah ................................................................................................ 95
D. Praktik .............................................................................................. 97
BAB VIII
PENUTUP .................................................................................. 101
A. Kesimpulan ...................................................................................101
B. Saran ................................................................................................102
REFERENSI ......................................................................................................................103
iv
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pondok pesantren merupakan sebuah sarana pendidikan asli
Indonesia bahkan yang tertua.1 Lembaga ini selain memiliki peran
pendidikan juga memberikan layanan bimbingan keagamaan,2
keilmuan, dakwah, dan pengembangan masyarakat. Saat ini
pondok pesantren telah menjadi salah satu simbol budaya
masyarakat muslim.3 Eksistensi pondok pesantren telah menyatu
dan tidak dapat dipisahkan dari histori berkembangnya agama
Islam di bumi nusantara. Karenanya, pondok pesantren menjadi
salah satu elemen penting bagi Indonesia dan budaya bangsa yang
bersifat agamis.4
Pondok pesantren adalah lembaga bimbingan keagamaan
Islam yang lahir dan berkembang di tengah-tengah masyarakat
muslim Indonesia serta mengambil peran besar dalam rangka
mendidik dan mencerdaskan masyarakat, serta memberikan
sumbangan yang sangat penting dalam menyajikan salah satu
1 Mahfudz Sidiq, “Pergeseran Pola Kepemimpinan Kiai dalam Mengembangkan Lembaga
Pesantren”, Falasifa, Vol. 11 Nomor 1 (Maret 2020), 144-156.
2 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai
Sistem Pendidikan pesantren (Jakarta: INIS, 1994), 21.
3 M. Dian Nafi, Praksis Pembelajaran Pesantren (Yogyakarta: Forum Pesantren Yayasan
Selasih, 2007), 11.
4 Imam Amrusi Jailani, “Pendidikan Pesantren Sebagai Potret Konsistensi Budaya Di Tengah
Himpitan Modernitas”, Karsa, vol. 20 No. 1 (Tahun 2012), 75-87.
Pelestarian Budaya Bawean
1
model pendidikan di negeri ini. Sebagai salah satu model
pendidikan yang kental dengan nuansa keagamaan pesantren
diharapkan dapat menanamkan nila-nilai luhur yang berada di
masyarakat.5 Model pendidikan pesantren memiliki ciri khas
tersendiri yang tidak dapat ditemukan pada sistem dan model
pendidikan lainnya. Hal ini dikarenakan, sistem pendidikan
pesantren selain berfungsi sebagai pendidikan keagamaan juga
berperan dalam membina karakter para santrinya. Inilah yang
menjadikan pesantren memiliki daya tarik yang sangat kuat.
Keberadaan dan peran lembaga pendidikan pesantren di
tengah masyarakat Indonesia tak dapat diragukan lagi. Antara
keduanya telah terbangun sebuah relasi yang cukup kuat, di mana
pesantren
memerlukan
masyarakat
sebagai
basis
untuk
berkembang dan masyarakat memerlukan pesantren sebagai
tempat untuk menanamkan nilai-nilai luhur ke dalam diri generasi
muda yang merupakan bagian dari masyarakat. Memperhatikan
pada hubungan yang terbentuk antara pesantren dan masyarakat
demikian erat ini, terutama peran pesantren dalam melawan
penjajah, maka dapat dikatakan bahwa pesantren dengan segenap
perannya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari histori
panjang bangsa Indonesia.6
Sebagai sebuah lembaga pendidikan, pesantren mempunyai
lima komponen inti. Lima komponen yang dimaksud adalah,
eksistensi kiai sebagai pengasuh, keberadaan santri sebagai
subyek pembelajar, masjid yang menjadi pusat kegiatan
5 Asyif Az Zafi, “Transformasi Budaya Melalui Lembaga Pendidikan”, Sosio-Humaniora, vol.
3 no. 2 (2017), 1– 16.
6 Imam Amrusi Jailani, “Pendidikan Pesantren…, 76
2
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
pembelajaran dan ibadah, pondok atau asrama yang menjadi
menginap bagi para santri, dan pembelajaran kitab kuning. Kelima
komponen ini saling berhubungan7 sehingga membentuk
kesatuan yang disebut sistem pendidikan pesantren. Dalam hal ini,
peran kiai merupakan faktor utama untuk memajukan lembaga
Pondok Pesantren. Seiring berkembangnya zaman saat ini, kiai di
Pondok Pesantren tidak hanya memfokuskan para santrinya
untuk belajar bidang agama saja, tetapi juga banyak kiai yang
mulai membuka kepekaan para santrinya untuk peduli terhadap
masyarakat lokal. Santri tidak hanya diajari mengenai ilmu agama
dan kitab-kitab kuning saja, tetapi juga mengabdi kepada
masyarakat. Salah satu bentuk pengabdian masyarakat yang dapat
dilakukan adalah dengan melestarikan budaya lokal.
Suatu masyarakat terbentuk dari pergumulan sejarah yang
panjang. Setiap fase sejarah memiliki warisan tersendiri yang
sebagiannya dapat ditemukan hingga sekarang dan dikenal
dengan warisan budaya.8 Sehubungan dengan hal tersebut Nurul
Iman menyatakan bahwa, budaya merupakan warisan masa lalu
dalam wujud benda dan nilai yang kemudian diterapkan dalam
kehidupan bermasyarakat dalam suatu bangsa.9 Sedangkan
kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan pandangan
hidup, sikap, aktivitas dan hasil karya manusia dalam kehidupan
7 B. M. Alwi, “Pondok Pesantren: Ciri Khas, Perkembangan, dan Sistem Pendidikannya”,
Lentera Pendidikan: Jurnal Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, vol. 16 no. 2 (tahun 2016), 205–219.
8 Agus Dono Karmadi, “Budaya Lokal Sebagai Warisan Budaya dan Upaya Pelestariannya”,
Makalah disampaikan pada dialog budaya daerah Jawa tengah, di Semarang 8-9 Mei 2007.
9 Nurul Iman, et.al., “Strategi Pelestarian dan Pengembangan Reyog Ponorogo”, Prosiding
Seminar nasional Hasil-hasil Penelitian 2016 (Ponorogo: UNMUH Press, 2016), 15.
Pelestarian Budaya Bawean
3
bermasyarakat yang kemudian menjadi milik individu melalui
proses pembelajaran.10
Masyarakat sejatinya tak dapat dipisahkan dari sistem nilai
serta budaya yang telah diwaris secara turun temurun.
Kebudayaan dan masyarakat tak ubahnya dua sisi mata uang, di
mana selalu hadir secara bersamaan dan tak dapat dipisahkan.11
Karenanya, ketika sistem nilai tradisi yang sudah terbentuk itu
kemudian terlepas dari akar budayanya, maka masyarakat
tersebut akan kehilangan identitas dan jati dirinya, yang pada saat
bersamaan juga kehilangan rasa kebangsaan dan rasa memiliki.12
Lebih ironis lagi, bila melihat kenyataan yang terjadi, bahwa
sebagian anggota masyarakat khususnya generasi muda,
terkadang tidak merasa bangga terhadap nilai-nilai tradisi dan
budayanya sendiri, identitas asli mulai luntur dan dilupakan.13
Mereka lebih bangga terhadap beberapa kebudayaan yang datang
dari luar meskipun sebenarnya apa yang terkandung dalam
kebudayaan tersebut tidaklah relevan dengan sistem nilai
masyarakat bangsa Indonesia. Akibatnya, suatu hal yang tak dapat
dihindari adalah kebudayaan masyarakat setempat mulai
terlupakan.14 Hal ini juga terjadi pada masyarakat Bawean.
Generasi muda di pulau ini mulai banyak yang tidak lagi menaruh
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Rineka Cipta: Jakarta, 2009), 144.
Hildigardis M. I. Nahak, “Upaya Melestarikan Budaya Indonesia di Era Globalisasi”, Jurnal
Sosiologi Nusantara, vol. 5 no. 1 (2019), 169.
12 Iin Wariin Basyari, “Menanamkan Identitas Kebangsaan Melalui Pendidikan Berbasis
Nilai-Nilai Budaya Lokal”, Edunomic, Vol. 1 No. 2, (September 2013), 112-118.
13 Irham Yuwanamu, “Program Melestarikan dan Mengembangkan Kearifan Lokal Dalam
Upaya
Menyelesaikan
Permasalahan
Sosial
Budaya”,
file:///E:/LITABDIMAS21/BAHAN/babbuku-program-dan-proyek-strategispembangunan-desa-231-238.pdf diakses
pada 8 Pebruari 2022.
14 Hildigardis M.I. Nahak, “Upaya Melestarikan Budaya Indonesia…, 171-172.
10
11
4
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
perhatian pada budaya lokal. Mereka lebih suka meniru budaya
yang datang dari luar. Oleh karenanya, maka diperlukan adanya
upaya-upaya untuk melestarikan budaya masyarakat setempat.
Tugas melestarikan budaya merupakan kewajiban bersama
semua komponen masyarakat agar budaya dan kebudayaan tidak
punah dan tidak terkikis oleh perkembangan zaman. Dengan
melihat kemajuan di bidang teknologi informasi dalam berbagai
aspek dan kehidupan masyarakat yang semakin pragmatis, maka
dirasa sangat penting untuk mewujudkan upaya-upaya di atas
agar warisan budaya masa lalu terjaga dengan baik. Harus diakui,
memang
sulit
untuk
mewujudkannya,
butuh
ketekunan,
ketenangan, ketulusan dan tanggung jawab yang tinggi untuk
mewujudkannya.15
Pesatnya arus globalisasi menimbulkan banyak masalah
dalam bidang kebudayaan.16 Perkembangan media elektronik
seperti internet diakui atau tidak telah banyak mendegradasi nilai
dan budaya.17 Banyak didapati generasi muda masyarakat
Bawean yang terlalu mengejar model hingga lupa pada nilai-nilai.
Sebagian besar generasi muda tidak lagi peduli terhadap
budayanya sendiri bahkan mereka lebih bangga dengan budaya
asing. Budaya lokal dianggap sebagai budaya yang kuno dan
ketinggalan zaman. Padahal budaya merupakan warisan masa lalu
yang tak ternilai harganya. Dengan adanya paradigma yang
15 Yolan Priatna, “Melek Informasi Sebagai Kunci Keberhasilan Pelestarian Budaya Lokal”
Jurnal Publish, Vol. 1 No.2, (2017), 37-43.
16 Dyah Satya Yoga Agustin, “Penurunan Rasa Cinta Budaya Dan Nasionalisme Generasi
Muda Akibat Globalisasi”, jsh Jurnal Sosial Humaniora, Vol 4 No. 2, (November 2011), 177-185.
17 Ryan prayogi dan Endang danial, “Pergeseran Nilai-Nilai Budaya Pada Suku Bonai
Sebagai Civic Culture Di Kecamatan Bonai Darussalam Kabupaten Rokan Hulu Provensi Riau”,
Humanika, vol. 23 no. 1 (2016), 61-79.
Pelestarian Budaya Bawean
5
seperti ini di kalangan generasi muda maka perlu adanya campur
tangan seseorang yang mempunyai kedudukan tinggi di
masyarakat untuk mengubah mindset para generasi muda
sehingga mereka dapat mencintai dan mengenali budaya lokalnya.
Sosok kiai adalah salah satu orang yang mempunyai kedudukan di
masyarakat dan diharapkan mampu memainkan peran ini. Karena
seorang kiai dengan posisinya sebagai pengasuh pondok
pesantren selain dapat mendidik para generasi muda, ia juga
memiliki kekuasaan penuh dalam membuat keputusan dan
kebijakan di lembaga yang diasuhnya.18 Bahkan kekuasaan yang
dimiliki oleh seorang kiai cenderung mutlak adanya yang
mengakibatkan apapun bentuk keputusan yang diambilnya tak
dapat diganggu gugat.19
Sehubungan dengan pelestarian budaya, pondok pesantren
merupakan lingkungan yang sangat tepat untuk membina
generasi muda agar peka dan peduli terhadap lingkungan sekitar,
yakni lingkungan tempat di mana mereka dibesarkan. Setiap
manusia pasti akan kembali ke tengah-tengah lingkungan
masyarakatnya. Maka penting bagi sebuah lembaga pondok
pesantren membekali para santrinya dan menanamkan rasa cinta
terhadap budaya masyarakat setempat yang tak lain di situlah
mereka dilahirkan dan dibesarkan, karena mereka akan kembali
ke tengah masyarakat setelah menyelesaikan belajarnya.20 Yang
18 Abdussalam, “Kepemimpinan Kiyai Sebagai Pemimpin Pendidikan Di Pondok Pesantren”,
Seminar Nasional Magister manajemen Pendikan UNISKA MAB, vol. 1 no. 1, (2021), 162-168.
19 Abdul Azis, “Kepemimpinan Kiyai Sebagai Pemimpin Pendidikan Di Pondok Pesantren
Nurulhuda Pakandangan Barat Sumenep”, El Idare: Journal of Islamic Education Management,
Vol. 3 No. 2, (Desember 2017), 65-79.
20 Widia Fithri, “Internalisasi Nilai Budaya Minangkabau Pada Santri Pondok Pesantren
Modern Diniyyah Pasia”, Jurnal Al-Aqidah, vol. 11 Edisi 1, (Juni 2019), 44-52.
6
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
demikian ini dikarenakan pondok pesantren sebagai lembaga
pendidikan yang memperdalam ilmu-ilmu keagamaan Islam
(tafaqquh fiddin), hingga saat ini ia masih menjadi tempat
melabuhkan segala asa dan harapan masyarakat.21 Pondok
Pesantren yang merupakan lembaga dakwah Islam memiliki dua
fungsi sekaligus, yaitu fungsi internal dan fungsi eksternal. Fungsi
internal pesantren berkaitan erat dengan apa yang dilakukan oleh
pesantren dalam upaya menyajikan pembelajaran keagamaan
terhadap para santrinya. Sementara terkait dengan peran
eksternal, adalah kemampuan pesantren dalam membangun
jaringan dan melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya
yang diwujudkan dalam bentuk pemberdayaan dan pengembangan masyarakat,22 Termasuk dalam hal ini adalah pelestarian
budaya lokal.
Pondok pesantren Penaber merupakan satu-satunya lembaga
pendidikan keagamaan di Pulau Bawean yang punya andil besar
dalam
melestarikan
budaya
lokal
masyarakat
Bawean.
Dilestarikannya budaya Bawean di pondok pesantren ini tentunya
tak lepas dari peran serta sosok kiai Mustafa sebagai pemimpin
tertinggi di lembaga tersebut. Terdapat banyak jenis budaya
Bawean yang dilestarikan di pondok pesantren Penaber mulai
dari budi pekerti, kesenian, benda-benda hingga logat bicara.
Selain itu pondok pesantren Penaber juga merupakan satusatunya pondok pesantren yang memproduksi batik dengan
21 H. Babun Suharto, dalam kata pengantar, Mahfidz, Model Kepemimpinan Kiyai Pesantren:
Dari Tradisi Hingga Membangun Budaya relegius, (Yogyakarta: Pustak Ilmu, 2020), viii.
22 Muhammad Jamaluddin, “Metamorfosis Pesantren Di Era Globalisasi”, KARSA, Vol. 20 No.
1 (Tahun 2012), 127-139.
Pelestarian Budaya Bawean
7
motif-motif khusus yang diambil dari budaya masyarakat Bawean
sesuai dengan perjalanan sejarahnya dari masa ke masa. Bahkan,
kini batik hasil buah tangan santri-santri penaber juga sudah
merambah ke tingkat nasional. Pesantren ini merupakan satusatunya pondok pesantren di Bawean yang memiliki museum
budaya. Di museum inilah kiai Mustofa mengumpulkan bendabenda bersejarah peninggalan orang-orang terdahulu.23
23 https://matasamudera.id/2021/08/03/melestarikan -dan -menjaga -adat -budaya lewat -batik -khas -pulaubawean/ diakses pada 23 Pebruari 2022.
8
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
BAB II
BUDAYA
A. Pengertian Budaya
Kata budaya menurut Koencjaraningrat memiliki asal dari
bahasa sansakerta buddhaya. Kata buddhaya sendiri merupakan
jamak dari kata buddhi memiliki arti pikiran atau akal.1 Sementara
Elly Setiadi menggarisbawahi bahwa budaya dapat dijelaskan
sebagai sesuatu yang berhubungan erat dengan daya berupa cipta,
karsa dan rasa.2 Budaya merupakan produk peninggalan masa lalu
yang terdiri dari nilai-nilai yang dijadikan sebagai acuan dalam
menjalani kehidupan bermasyarakat oleh suatu kelompok orang
atau bangsa tertentu.3 Sedangkan Tylor mengartikan budaya
sebagai sejumlah elemen yang mencakup segala bentuk
pengetahuan, sistem kepercayaan masyarakat, kesenian, moral,
dan tradisi.4 Budaya juga dapat didefinisikan sebagai kebiasaankebiasaan yang sudah menjadi ciri khas dan sudah sangat kental
terhadap suatu masyarakat. Sementara kebudayaan dapat
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT. Rineka Cipta 2005), 12.
Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial Budaya Dasar (Jakarta: Kencana Prenada, 2006), 27.
3 Nurul Iman, (et.al). 2016. “Strategi Pelestarian Dan Pengembangan Reyog Ponorogo
(Perspektif Praktisi Dan Pemerhati Budaya Ponorogo)”. Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil
Penelitian 2016: Bidang Agama Islam, Budaya, Ekonomi, Sosial Humaniora, Teknologi,
Kesehatan, Dan Pendidikan. (Ponorogo : Unmuh Press, 2016), 15.
4 EB tylor, Primitive Culture (London: T.P. 1871),
1
2
Pelestarian Budaya Bawean
9
diartikan sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa itu. Karenanya,
beberapa ahli membedakan antara budaya dan kebudayaan.
Kebudayaan menurut Maran ialah segala hal yang dilakukan
oleh manusia sebagai hasil pemikiran dan akal budinya.5
Sementara Kontjaraningrat menegaskan bahwa kebudayaan
merupakan seluruh ide, tindakan dan hasil cipta manusia yang
tampak dalam menjalani kehidupan bermasyarakat dan menjadi
konsep diri melalui proses pembelajaran.6 Kebudayaan juga dapat
disebut sebagai peradaban yang dalam bahasa ingris disebut
Civilization. 7
Selanjutnya, kata pelestarian memiliki asal kata “lestari” yang
berarti tetap sebagaimana keadaannya yang semula, tidak
mengalami perubahan, tetap bertahan dan kekal. Namun
demikian, jika kata lestari diberi tambahan awalan pe- dan akhiran
-an maka yang dikehendaki adalah suatu proses, upaya
pemanfaatan
secara
dinamis,
pengembangan
dan
dari
kemusnahan, baik dengan cara pengawetan maupun konservasi.8
Pelestarian adalah upaya yang didasarkan pada faktor-faktor
pendukung baik internal maupun eksternal sehingga faktor
pendukung tersebut dapat mendorong suatu budaya untuk
dilestarikan.9 Widjaja mengartikan bahwa pelestarian merupakan
upaya yang dilakukan secara terus menerus, pembinaan dan
pengintegrasian
guna
mencapai
tujuan
tertentu
yang
5 Rafael Raga Maran, Manusia dan Kebudayaan Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar
(Jakarta: Rineka Cipta, 1995), 50.
6 Suharta, Antropologi Budaya (Klaten: Lakeisha, 2020), 51.
7 Kecamatan Bonai Darussalam Kabupaten Rokan Hulu Provensi Riau”, Humanika, vol. 23
no. 1 (2016), 64.
8 Kamus Besar Bahasa Indonesia
9 Alwasilah, Pokoknya Kualitatif (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006), 18.
10
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
menggambarkan keberadaan hal-hal yang kekal bersifat dinamis,
fleksibel dan selektif.10
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa pelestarian budaya
merupakan kiat-kiat yang dilakukan dalam menjaga dan
melindungi tradisi kebiasaan-kebiasaan yang ada sejak dulu
hingga saat ini. Pelestarian budaya bukan hanya sebatas
memperkenalkan budaya agar diketahui orang, tetapi lebih
menekankan pada aspek eksistensi agar budaya tetap eksis
sampai kapan pun. Dalam rangka melindungi budaya, maka upaya
melestarikan suatu budaya tersebut harus dilakukan. Suatu
budaya
akan
terus
ada
sampai
kapan
pun
jika
digunakan, sebaliknya budaya akan hilang jika budaya tersebut
tidak lagi digunakan oleh masyarakatnya. Sehubungan dengan
upaya pelestarian budaya lokal, Ranjabar menyampaikan bahwa
pelestarian budaya lokal tak lain adalah upaya yang dilakukan
guna mempertahankan nilai-nilai seni budaya, nilai-nilai
tradisionalitas dalam wujud yang sifatnya selalu dinamis, yang
tentunya dengan tetap memperhatikan kesesuaiannya dengan
keadaan yang terus mengalami perubahan dan perkembangan.11
B. Macam-macam Budaya
Indonesia adalah negara kaya akan warisan budayanya,
warisan budaya Indonesia yang beragam ini dikarenakan
memiliki banyak faktor diantaranya karena suku bangsa yang
beraneka ragam dan produktivitas masyarakat di Indonesia yang
10 Widjaja, “Sistem Sosial Budaya Indonesia” dalam buku Jacobus (Bandung: Ghalia
Indonesia, 2006), 115.
11 Ranjabar Jacobus, Sistem Sosial Budaya Indonesia (Bandung: Ghalia Indonesia, 2006),
114.
Pelestarian Budaya Bawean
11
begitu tinggi dalam hal seni dan budaya, sampai membuahkan
warisan budaya benda ataupun warisan budaya non benda.12
1. Budaya Benda
Budaya benda (material culture) merupakan segala
bentuk kebudayaan yang diciptakan oleh masyarakat yang
bersifat nyata, konkret serta penemuan-penemuan yang
dihasilkan dari penggalian arkeolog zaman dahulu yakni
seperti perhiasan, mangkuk yang terbuat dari tanah liat,
pakaian,
gedung-gedung
pencakar
langit
dan
juga
senjata.13 Penjelasan yang hampir sama dikemukakan oleh
Hamzah, bahwa warisan budaya benda merupakan segala
hasil karya yang dibuat oleh manusia, baik itu bisa
dipindahkan ataupun tidak bisa dipindahkan termasuk juga
yaitu benda cagar budaya.14
2. Budaya Non Benda
Budaya non benda (non-material culture) merupakan
kebudayaan yang hasil ciptaannya bersifat abstrak dan hasil
dari warisan generasi ke generasi misal seperti tarian
tradisional, dogeng/cerita rakyat serta lagu-lagu tradisional
yang tetap dijaga kelestariannya.15 Definisi lain menjelaskan
mengenai kebudayaan non benda adalah warisan kebudayaan yang bisa ditangkap dengan panca indera selain dengan
12 M. Guntur Hamzah, “Peranan Hukum dalam Upaya Pelestarian Warisan Budaya”, Jurnal
Ilmu Hukum Amannagappa, vol. 12, no. 3 (September 2004), 244.
13 Laendatu Paembonan, Migran warga toraja di kota palu dari aspek budaya (Pasaman
Barat: CV Azka Pustaka, 2022), 33.
14 M. Guntur Hamzah, “Peranan Hukum dalam Upaya Pelestarian Warisan Budaya”, Jurnal
Ilmu Hukum Amannagappa, vol. 12, no. 3 (September 2004), 244.
15 Laendatu Paembonan, Migran warga toraja di kota palu dari aspek budaya (Pasaman
Barat: CV Azka Pustaka, 2022), 33.
12
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
indera peraba, juga warisan kebudayaan yang bersifat
abstrak/tidak bisa ditangkap dengan panca indera contohnya
yaitu konsepsi dan ilmu kebudayaan.16
Warisan budaya non benda yang dimiliki oleh Indonesia
misalnya Tari Piring, Reog Ponorogo, Lagu O Inani Keke, dan
lain sebagainya. Dengan begitu banyaknya kebudayaan non
benda yang dimiliki oleh Indonesia, maka tidak heran jika
negara asing menjadi kagum terhadap kekayaan budaya yang
ada di Indonesia.
C. Budaya dan Tantangan Masa Depan
Pada mulanya, bangsa Indonesia mempunyai amat banyak
warisan kebudayaan yang telah diwariskan oleh nenek
moyangnya, hal ini yang seharusnya masyarakat Indonesia sendiri
harus bangga. Akan tetapi, pada beberapa dekade terakhir budaya
yang dimiliki bangsa Indonesia mengalami penurunan, bahkan
banyak yang diakui oleh bangsa lain. Hal itu dikarenkan
kurangnya
sosialisasi
pada
tingkatan
nasional,
sehingga
mengakibatkan tidak sedikit masyarakat yang lupa dan bahkan
tidak tahu apa budaya Indonesia. Dengan bertambah majunya
arus globalisasi rasa kecintaan kepada budaya makin menurun,
dalam hal demikian amat mempengaruhi terhadap kebudayaan
lokal dan untuk masyarakat pribumi.
Tidak dipungkiri negara Indonesia kini terus menerus
memperkenalkan budayanya dalam ajang internasional, bukti
nyata bahwa negara asing lebih mengetahui budaya Indonesia
16 M. Guntur Hamzah, “Peranan Hukum dalam Upaya Pelestarian Warisan Budaya”, Jurnal
Ilmu Hukum Amannagappa, vol. 12, no. 3 (September 2004), 244.
Pelestarian Budaya Bawean
13
daripada warga negara Indonesia sendiri. Contohnya yaitu batik
yang tidak lain merupakan budaya Indonesia, batik sangat
diminati oleh masyarakat luar. Kemunculan tren ini disebabkan
oleh UNESCO yang sudah memutuskan bahwa batik menjadi
warisan budaya Indonesia pada hari Jum’at tanggal 02 bulan
Oktober tahun 2009, sehingga hari tersebut ditetapkan sebagai
hari batik nasional.17
Ada beberapa faktor pendorong yang menyebabkan lahirnya
sebuah perubahan sosial dan budaya pada masyarakat Indonesia
dewasa ini. Jika dikelompokkan terdapat 2 kekuatan yang
mengakibatkan terjadi transformasi sosial, yang pertama internal
factor yaitu suatu kekuatan yang bersumber dari dalam diri
masyarakat itu sendiri, misalnya revitalisasi penerus serta
beragam temuan dan perubahan sekitar. Yang kedua yaitu
external factor yang merupakan kekuatan yang bersumber dari
luar masyarakat, misalnya culture contact atau dampak dari
komunikasi antar budaya baik secara langsung ataupun
penyebaran (komponen) budaya, serta transformasi lingkungan
hidup yang nanti pada waktunya mampu mempercepat
pertumbuhan sosial budaya masyarakat yang mesti ditata ulang
aktivitas mereka.18
Pola kehidupan masyarakat yang sekarang dan yang dahulu
sangat memiliki perbedaan, keadaan ini adalah akibat dari
perkembangan globalisasi yang butuh kiranya tindakan yang baik.
17 Hildigardis M.I. Nahak, “Upaya Melestarikan Budaya Indonesia Di Era Globalisasi”
Sosiologi Nusantara, vol. 5 no. 1 (2019), 170-171.
18 Koendjaraningrat, Pengatar Ilmu Antropologi, Sejarah Teori Antropologi (Jakarta: Rineka
Cipta, 2015), 191.
14
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
Akibat lainnya adalah berkembangnya teknologi yang semakin
maju, yang bisa menolong kebutuhan manusia akan tetapi juga
dapat mencacati mental dan juga moral dari penerus bangsa.19
Dalam kenyataannya yakni masyarakat negara Indonesia
sekarang kian memilih dan lebih menyukai kebudayaan dari luar
negeri daripada budayanya sendiri, karena mereka menganggap
budaya asing lebih menarik, istimewa dan juga realistis. Budaya
masyarakat setempat sendiri semakin pudar dikarenakan
berkurangnya generasi sebagai penerus bangsa yang mempunyai
ketertarikan dan bakat untuk mempelajari serta melestarikan
budaya. Apalagi dalam zaman globalisasi teknologi dan informasi
sudah menjadi kekuatan hebat dalam memberikan dampak
terhadap mindset manusia. Budaya barat identik dengan
modernisasi sementara budaya timur identik dengan budaya
konvensional atau tradisional. Manusia bukan hanya mengadopsi
ilmu pengetahuan dan teknologi budaya barat akan tetapi juga
mengikuti bahkan meniru secara dominan gaya budaya orang
barat, bahkan beranggapan bahwa budaya barat merupakan
budaya yang tidak baik, namun sesudah dibawa ke timur lalu
mengadopsi dengan tanpa memikirkan hal apapun lagi dan tidak
peduli pada budayanya sendiri.20
D. Urgensi Pelestarian Budaya
Cagar budaya merupakan salah satu upaya bentuk pelestarian budaya. Generasi milineal mempunyai tugas dan bertanggung
19 Hildigardis M.I. Nahak, “Upaya Melestarikan Budaya Indonesia Di Era Globalisasi”
Sosiologi Nusantara, vol. 5 no. 1 (2019), (165-176).
20 Ibid
Pelestarian Budaya Bawean
15
jawab dalam upaya menjaga kelestarian suatu cagar budaya. Cagar
budaya sendiri di dalamnya terdapat nilai penting yang tidak bisa
lepas dari sebuah sejarah ekspedisi bangsa ini, maka dari itu cagar
budaya menjadi aset yang begitu berharga untuk generasi
mendatang. Sebagai warisan yang memiliki nilai budaya dan
sejarah, adanya cagar budaya bisa dimanfaatkan untuk
perkembangan ilmu pengetahuan. Di tengah arus mordenisasi ini
banyak budaya asing yang masuk dan mengurangi rasa
kepedulian masyarakat terhadap kelestarian budayanya sendiri.
Untuk menyikapi hal ini, generasi mudalah yang mengambil peran
untuk menjaga dan merawat kelestarian warisan budaya beserta
sejarah yang ada sehingga tidak mudah punah seiring dengan
berkembangnya teknologi.
Beragam bentuk perilaku yang dapat merusak kelestarian
warisan budaya menunjukkan bahwa usaha dalam melindungi
aset budaya yang dimiliki Indonesia masih terbilang lemah. Jika
dalam diri masyarakat sendiri tidak tumbuh kesadaran
pentingnya menjaga kelestarian cagar budaya, maka benda yang
memiliki nilai sejarah serta budaya akan punah sedikit demi
sedikit akibat tuntutan pembangunan saat ini. Hal tersebut
menandakan bahwa pelaksanaan UU tahun 2010 no. 11 tentang
pelestarian cagar budaya belum sepenuhnya optimal. karenanya
perlu adanya kepekaan dan rasa peduli masyarakat serta
banyaknya peran aktif dalam menjaga pelestarian cagar budaya.
Sebagaimana pendapat Wirastari dan Suprihardjo yang menyatakan upaya perlindungan cagar budaya dengan keikut-
16
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
sertaan masyarakat akan banyak lebih efektif dibandingkan
dengan sekedar melalui peraturan serta kebijakan saja.21
Generasi muda selaku penerus bangsa sudah seharusnya
mempunyai perhatian serius untuk menjaga dan melestarikan
semua bentuk aset budaya. Semua nilai yang ada dalam aset
budaya baik itu berbentuk benda ataupun non benda menggambarkan ciri khas bangsa yang harus dilestarikan dan diwariskan pada generasi berikutnya. Perihal ini sudah menjadi tugas dan
keharusan dari generasi muda sekarang untuk menciptakan
perkembangan bangsa yang mendatang. Menurut Sarkowi urgensi
peran generasi muda dalam menjaga pelestarian budaya adalah
generasi muda yang usianya masih produktif dianggap mampu
berpotensi
untuk
menciptakan
kemajuan
suatu
bangsa,
meneruskan rantai kepemimpinan dan selaku penunjuk jalan
bagaimana melestarikan budaya dimasa mendatang.22 Generasi
saat ini tumbuh dengan perkembangan teknologi sehingga
dianggap lebih mampu untuk menghadapi beragam tantangan ke
depannya. Oleh karena itu keikutsertaan generasi muda sangat
penting untuk memaksimalkan usaha perlindungan cagar budaya
dan warisan nilai budaya.
Pendayagunaan cagar budaya adalah bagian dari salah satu
usaha pelestarian yang dapat menjadi pilihan para generasi muda.
Keberadaan cagar budaya dapat memberikan banyak manfaat
bagi kehidupan masyarakat. Bukan saja memberikan manfaat
21 Volare Amanda Wirasati dan Rimadewi, “Pelestarian Kawasan Cagar Budaya Berbasis
Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus: Kawasan Cagar Budaya Bubutan)”, Jurnal ITS, vol. 1 no. 1
(2012), 64. (63-67).
22 Sarkowi, “Peran Generasi Milineal dalam Pemanfaatan dan Pelestarian Museum di Kota
Lubuklinggau”, Jurnal Pendidikan Sejarah, vol. 9 no. 2 (2020), 127-141.
Pelestarian Budaya Bawean
17
untuk pengembangan ilmu pengetahuan saja, akan tetapi cagar
budaya juga dapat dimanfaatkan secara optimal bagi keperluan
hajat sosial, dunia pendidikan, kebudayaan, keagamaan dan
tentunya pariwisata. Cagar budaya merupakan salah satu aset
kultural yang di dalamnya mengandung nilai-nilai kearifan lokal
(local wisdom), sehingga eksistensinya mempunyai makna yang
sangat berarti bagi kehidupan masyarakat sekarang dan yang
akan datang. Cagar budaya tak lain merupakan hasil kreasi
kebudayaan masyarakat setempat yang memiliki nilai historis
sebagai gambaran karakteristik lokal. Dengan segala kearifannya
budaya lokal menjelaskan karakter dan ciri khas bangsa yang
luhur.
Generasi milineal sudah seharusnya berperan aktif dalam
setiap upaya memelihara kelestarian cagar budaya. Dalam hal
menanggapi perkembangan zaman, generasi saat ini harus
mempunyai bekal yang cukup dalam mengembangkan bangsa
termasuk juga dalam hal budayanya. Dengan demikian generasi
mudalah yang memiliki tanggung jawab terhadap kelestarian
cagar budaya yang merupakan salah satu warisan yang
mengandung nilai-nilai budaya dan sejarah lokal yang amat tinggi.
Lewat generasi muda inilah cagar budaya dapat terus
dikembangkan melalui berbagai gaya inovasi sehingga bisa
menjadi trend untuk memperkenalkan budaya Indonesia kepada
seluruh dunia. Oleh karenanya cagar budaya dan nilai yang
terkandung di dalamnya dapat bermanfaat bagi masyarakat, nusa
dan bangsa. Dan juga nilai luhur yang ada di dalamnya diharapkan
18
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
bisa dipraktikkan dengan sebaik-baiknya untuk melahirkan
generasi yang mempunyai karakter budaya Indonesia.23
E. Teknik Pelestarian Budaya
Budaya perlu dilestarikan karena perkembangan zaman dan
kemajuan teknologi di berbagai aspek telah berdampak kepada
perubahan sosial.24 Dalam upaya agenda ini, menjadi satu
keharusan adanya wujud budaya yang akan dilestarikan. Agenda
pelestarian budaya akan berjalan secara efektif apabila benda
yang akan dilestarikan masih dipergunakan dan dijalankan. Satu
dari sekian banyak tujuan dalam melestarikan budaya adalah
untuk memberikan penguatan nilai-nilai budaya dalam diri
bangsa.25 Penguatan yang dimaksud meliputi hal, 1) wawasan
guna meningkatnya kesadaran, 2) perencanaan secara kolektif,
dan 3) membangkitkan kreasi budaya. Selain itu terdapat
beberapa Langkah yang bisa dipilih dan dilakukan dalam upaya
melestarikan budaya, yaitu:
1. Culture Experience
Culture Experience adalah upaya melestarikan budaya
yang dilakukan dengan cara seseorang terjun langsung ke
dalam sebuah pengalaman kultural. Di mana masyarakat
dilibatkan secara langsung dalam berbagai macam kegiatan
melestarikan budaya. Misalnya seperti budaya pencak silat
23 Dyah Kumalasari, et.al, “Urgensi Pelestarian Cagar Budaya Bagi Generasi Milineal”,
(2022), 110-117.
24 Suryani, “Strategi Pelestarian Budaya Lokal Dalam Mnejaga Kesetikawanan Sosial”, Media
Informa si Penelitian Kesejarahteraan Sosial, vol. 42 no. 2 (Agustus 2018), 187-195.
25 Encang Saepudin, et.al., “Model Leterasi Budaya Masyarakat Tatar Karang Di Kecamatan
Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya”, Berkala Ilmu Perpustakaan dan Informasi, vol. 14 no. 1 (Juni
2018), 1-10.
Pelestarian Budaya Bawean
19
atau tarian saman, agar kedua budaya tersebut tidak hilang
maka generasi muda –khususnya– dimotivasi agar mau
mengikuti pembelajaran dan latihan menguasai pencak silat
dan tarian tersebut.
2. Culture Knowledge
Culture Knowledge adalah upaya melestarikan budaya
dengan memberikan edukasi budaya pada generasi penerus.
Hal ini bisa dilakukan dengan membangun berbagai pusat
pembelajaran atau pusat informasi mengenai berbagi budaya
setempat,26 seperti museum dan perpustakaan sebagai center
of Culture.27 Dengan adanya edukasi dan pusat-pusat
kebudayaan diharapkan generasi muda dapat mengembangkan wawasan dan pengetahuan mereka tentang budayanya
sendiri.
Selain upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat baik itu
secara individu dan juga secara kelompok, instansi pemerintah
terkait baik pusat maupun daerah juga memiliki peran yang
sangat besar dalam upaya melestarikan budaya.28 Upaya tersebut
bisa dilakukan melalui cara meningkatkan sumber daya manusia
(SDM). Memberikan dorongan dan insentif kepada anggota
masyarakat yang mau meluangkan waktunya dalam mengelola
keanekaragaman budaya lokal.29
Ibid.
Ria Aprilia Pattileamonia, “Pusat Kebudayaan Maluku di Yogyakarta Landasan
Konseptual dan Perancangan”, e-Jurnal UAJY. Diakses dari http://e-journal.uajy.ac.id/10826/
pada 19 pebruari 2022.
28 Hildigardis, “Upaya Melestarikan Budaya Indonesia Di Era Globalisasi”, Jurnal Sosiologi
Nusantara, vol. 5 no. 1 (2019), 72.
29 Yunus Rasid, Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat Karakter Bangsa
(Yogyakarta, Budi Utama, 2014), 143.
26
27
20
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
Sangatlah perlu untuk masyarakat mengetahui dan juga
memahami apa saja kebudayaan yang dimiliki. Di samping itu
peran pemerintah juga sangat diperlukan agar memberikan
perhatiannya kepada pendidikan yang bermuatan kebudayaan
daerah. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam upaya
pelestarian budaya lokal adalah sebagai berikut:30
•
Mengoptimalkan kualitas sumber daya manusianya guna
mengembangkan budaya lokal.
•
Menggerakkan masyarakat agar mengoptimalkan kapasitas
budaya lokal serta dengan pemberdayaan dan pelestariannya.
•
Bergerak membangkitkan semangat baik toleransi, rasa
kekeluargaan dan keakraban serta solidaritas yang tinggi.
•
Tetap menjaga kebudayaan Indonesia sehingga tidak akan
mudah punah.
•
Selalu berusaha untuk mendorong masyarakat agar bisa
mengelola keanekaragaman budaya lokal yang ada.
Kebudayaan yang dimiliki oleh negara Indonesia merupakan
budaya yang harus kita jaga. Kita ketahui bahwasanya budaya
Indonesia sangat beragam, bahkan ciri khas budaya di setiap
daerah berbeda-beda. Dengan demikian pentingnya peran dari
pemuda sebagai penerus bangsa, sehingga budaya Indonesia tidak
gampang diakui dan bahkan diambil oleh negara luar.
30 Rasid Yunus, Nilai-nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat Karakter Bangsa,
Studi Empiris Tentang Hayula (Yogyakarta: Budi Utama, 2014), 123.
Pelestarian Budaya Bawean
21
BAB III
BUDAYA BAWEAN DALAM
PERSPEKTIF KIAI MUSTAFA
A. Sejarah Pondok Pesantren Penaber
Pondok Pesantren Nasy’atul Barokah di tengah masyarakat
bawean lebih dikenal dengan sebutan pondok pesantren Penaber.
Pesantren ini terletak di Dusun Pagindah Desa Sukaoneng
Kecamatan Tambak Kabupaten Gresik. Nama “Penaber” sendiri
adalah sebutan yang dipilih dan lebih dikenal oleh masyarakat
Bawean, nama tersebut memiliki latar belakang karena pada
waktu itu banyak para pemuda yang suka minum-minuman keras
dan perilakunya yang tidak baik bahkan melanggar aturan.
Sehingga diharapkan dengan berdirinya Pondok Pesantren
Nasy’atul Barokah ini dapat menjadi obat atau sebagai penawar
dari semua sikap dan perilaku generasi muda yang kurang baik.
Dengan demikian, digunakanlah nama Penaber (bahasa Bawean)
yang artinya adalah penawar.
Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Nasy’atul Barokah ini,
awal mulanya dari sebuah kegiatan pengajian yang dirintis dan
diasuh oleh kiai Maswadi yang bertempat di Mushalla dusun
Paginda. Selain mengasuh pengajian rutin, Kiai Maswadi juga
menampung belasan santri perempuan yang ditempatkan di
22
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
rumahnya sebelum adanya bangunan asrama. Dalam merintis
pengajian ini kiai Maswadi juga dibantu oleh menantunya, ustaz
Syahir bin Rowi dan ustazah Fikriyah, yang tak lain merupakan
anak kedua Kiai Maswadi. Selain mengasuh pengajian keagamaan,
Kiai Maswadi ikut serta menjadi pendamping Kiai Nasyari dalam
memperkenalkan dan menyebarkan ajaran Thoriqoh Qadariyah
Naqsyabandiyah Al-Ustmaniyah pada masyarakat pulau Bawean.1
Pada sekitar tahun 1980-an pengajian yang diasuh oleh Kiai
Maswadi juga diikuti para santri senior dari Pondok Pesantren
Mambaul Falah2 yang pada masa itu diasuh oleh K.H. Maksun. Kiai
Maswadi wafat pada tanggal 13 Maret 1987 yang kemudian
pengajian yang diasuhnya tidak berhenti disitu saja akan tetapi
dilanjutkan oleh menantunya ustaz Syahir bersama istrinya.
Hingga pada masa kepengasuhan ustaz Syahir belum mengalami
perkembangan yang signifikan, baik itu dari aspek jumlah santri
yang mukim maupun dari aspek fisik bangunannya, pengajian
keagamaan masih tetap berkelanjutan di musala. Pada perkembangan selanjutnya, setelah terjadi peralihan kepemimpinan
peran pengasuh diteruskan oleh menantu Kiai Maswadi yang lain,
yaitu Kiai Mustofa Rusydi. Beliau memimpin pengajian yang sudah
sejak lama ada mulai awal tahun 2000. Semenjak masa
kepemimpinan beliau pengajian ini mengalami perkembangan,
jumlah santri yang mukim semakin banyak. Semakin bertambahnya para santri yang mukim telah membuka lembaran baru dan
Ustadz Basri, wawancara,Pondok Pesantren Penaber, tanggal 20 Oktober 2022.
Pondok pesantren Mambaul Falah saat ini merupakan Yayasan Pendidikan pondok
pesantren terbesar di Kecamatan Tambak. Pondok pesantren Mambaul Falah terletak tidak jauh
dari pondok pesantren Nasy’atulbarokah. Jarak antara keduanya ± 200 meter.
1
2
Pelestarian Budaya Bawean
23
atas desakan serta kepercayaan dan dukungan dari para wali
santri sehingga membuat pengasuh semakin gencar untuk
mendirikan sebuah asrama, dengan dasar ini berdirilah secara
resmi sebuah asrama yang menjadi cikal bakal Pondok Pesantren
Nasy’atul Barokah. Asrama ini berdiri dengan bangunan yang
sederhana mungkin, hanya terdiri dari gubuk bambu yang
sebagian besar merupakan hasil jerih payah dari kerja anak santri
sendiri.3
Sejak tahun 2001 lembaga ini mulai beroperasi dengan nama
Asrama Penaber yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah
penawar. Penggunaan Penaber sebagai nama asrama dikarenakan pada waktu itu di dusun Paginda banyak kejadian-kejadian
yang kurang baik yang biasa dilakukan oleh masyarakat terutama
para generasi muda. Maka dengan hadirnya Asrama Penaber ini,
diharapkan dapat menjadi penawar bagi para generasi muda
untuk menjadi lebih baik, mau belajar dan mendalami pendidikan
agama melalui mengaji. Sejak berdirinya Asrama Penaber ini
proses belajar mengajar diadakan di surau yang berbentuk
asrama dan hanya diikuti oleh santri perempuan.
Kiai Mustofa melanjutkan perjuangan ustaz Syahir yang pada
awalnya asrama ini merupakan musala biasa dan berfungsi
sebagai tempat anak-anak mengaji. Pada saat itu sudah mulai ada
santri yang bermukim sehingga dengan ketekadannya sebuah
lumbung padi disulap menjadi asrama santri. Pada perkembangan selanjutnya asrama ini menjadi semakin besar dengan
mendapat dukungan dan kepedulian dari masyarakat setempat.
3Kiai
24
Mustofa, Pengasuh Pondok Pesantren Penaber, Wawancara, tanggal 21 Oktober 2022
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
Pada awalnya, pesantren penaber ini tidak Bernama pondok
pesantren, melainkan kiai Mustafa lebih memilih memberinya
nama asrama. Hal itu dikarenakan dalam pandangan beliau
sebuah pondok pesantren lumrahnya diasuh oleh seorang kiai
yang ilmu agamanya sangat mumpuni, sementara beliau tidak
pernah merasa menjadi seorang kiai. Sikap tawadlu’ ini lahir dari
kesadaran beliau tentang dirinya yang secara umur masih sangat
muda sehingga merasa sangat tidak layak jika lembaga pengajian
yang dipimpinnya ini disebut sebagai pondok pesantren.
Ditambah lagi, sebuah pondok pesantren penuh dengan nuansa
religi, sehingga ia memiliki beban moral yang sangat tinggi. Kiai
Mustafa merasa belum memiliki modal yang menjadi persyaratan
untuk sebuah pesantren.
Pondok Pesantren Nasy’atul Barokah semakin berkembang
dengan pesat dari tahun ketahun. Hal ini ditandai dengan
banyaknya santri yang mondok di pondok Pesantren ini serta
adanya lembaga pendidikan yang memadai seperti madrasah
diniyah wustho, MTs Penaber dan MA Penaber. Begitu juga
dengan perkembangan dalam segi sarana dan prasarana, fasilitas
serta pembangunannya. Sejak berdirinya hingga sekarang Pondok
Pesantren Nasy’atul Barokah ini telah mengalami dua kali
pergantian ketua yayasan, yaitu sebagai berikut.
Tabel 1. Periode Ketua Yayasan Pondok Pesantren Nasy’atul Barokah
No.
Pelestarian Budaya Bawean
Nama
Periode
25
1.
Ali Subhan, SH.
2010 – 2014
2.
Akhmad Sahe, S.Sos.
2014 – sekarang
Sumber: Dokumentasi Administrasi Kantor Pondok Pesantren Nasy’atul Barokah
Penaber Tahun Pelajaran 2021-2022
Di Desa Sukaoneng sendiri terdapat tiga pondok pondok
pesantren yang sama-sama berkembang. Dari ketiga pesantren
tersebut, pesantren Penaber merupakan yang paling muda secara
usia. Pesantren ini berada pada koordinat -5.750752994194176,
112.63281682452039. Dilihat dari letaknya, dusun Paginda
bersebelahan dengan beberapa dusun tetangga, perbatasannya
adalah sebagai berikut:
•
Sebelah utara
: Dusun Kotta dan Tambilung
•
Sebelah Selatan
: Dusun Kampung Baru
•
Sebelah Barat
: Laut Jawa
•
Sebelah Selatan
: Dusun Rujing
Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang bernuansa Islam,
Pondok pesantren Nasyatul Barokah Penaber memiliki cita-cita
agung yang ingin dicapai dan tertanam dalam diri setiap santri
maupun alumninya. Cita-cita agung tersebut digambarkan dalam
bentuk visi “Berilmu, Beradab, dan Berkhidmah”. Guna mencapai
visi tersebut pesantren Penaber melakukan berbagai upaya yang
dituangkan ke dalam misi sebagai berikut:
1. Menanamkan jiwa tauhid untuk menjadi perisai yang kokoh
dalam setiap kondisi.
2. Menanamkan akhlakul karimah berdasarkan tuntunan
syariah.
26
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
3. Menyelenggarakan Pendidikan formal dan non formal.
4. Memberikan bimbingan keterampilan sebagai keahlian
individu.
5. Menumbuhkan jiwa patriotism dengan semangat juang yang
tinggi.
B. Pandangan Kiai Mustafa terhadap Budaya Bawean
Indonesia memiliki beragam budaya dan segudang adat
istiadat yang dapat ditemukan mulai dari sabang sampai Merauke
yang sekaligus ia menjadi identitas bangsa.4 Kebudayaan lokal
Indonesia adalah suatu bentuk kebudayaan masyarakat yang
hanya terdapat dan dimiliki oleh bangsa Indonesia.5 Demikian
halnya dengan budaya Bawean, maka yang dimaksud adalah
budaya masyarakat yang ada bi Bawean atau dengan Bahasa yang
lain disebut dengan budaya lokal (local wisdom).
Budaya lokal (local wisdom) merupakan suatu kebiasaan
masyarakat setempat yang keberadaannya diakui sebagai bagian
cara masyarakat dalam menjalani kehidupannya. Keberadaan
budaya masyarakat setempat (local wisdom) akan menjadi ciri
khas yang dapat membedakan suatu daerah dengan daerah yang
lainnya. Kebudayaan yang ada di suatu daerah selalu diturunkan
dan diwariskan secara turun temurun dari suatu generasi ke
generasi yang berikutnya. Pewarisan budaya ini adalah cara yang
telah biasa dilakukan oleh suatu masyarakat agar generasi yang
4 Andriano Samartan, “Menumbuhkan Cinta Budaya Lokal Pada Generasi Milenial”, dalam
Azizah, et.al., Peran dan Tantangan Guru Dalam Membangun Peradaban Manusia: Upaya Strategis
dan Kongkret Seorang Guru (Surabaya: Global Aksara Pres, 2021), 61.
5 Nanik Suratmi, Multicultural: Karya Pelestarian Kearifan Lokal “Kesenian Barongsai-Lion”
(Malang: Media Nusa Creative, 2016), 27.
Pelestarian Budaya Bawean
27
akan datang dapat mengenal budaya yang pernah dimiliki oleh
para leluhurnya.
Masyarakat Bawean, di beberapa daerah lain atau bahkan di
luar negeri lebih dikenal dengan sebutan masyarakat Boyan,
adalah mereka tinggal di pulau Bawean dan menyebar diwilayah
Nusantara, Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand. Persebaran itu
tidak membuat orang Bawean lupa akan budayanya, mereka tetap
berusaha melestarikan dan memperkenalkan budayanya kepada
orang-orang baru yang mereka temui. Kebanggaan mempunyai
budaya khas tersebut membuat orang Bawean yang hidup di luar
pulau Bawean semakin solid dalam hubungan kekerabatannya.
Sedangkan orang Bawean yang tinggal di pulau Bawean saat ini
semakin lama semakin tidak mengenal tentang budayanya. Hal ini
nampak dari generasi ke generasi, dengan membandingkan
perilaku atau sikap, sopan santun, tata bahasa, yang dimiliki oleh
generasi 80an dengan generasi 2000 saat ini. Hampir sebagian
besar pemuda Bawean tidak mengenal adat istiadatnya. Hal inilah
yang membuat kekhawatiran bagi sejumlah seniman dan tokoh
yang mempunyai kepedulian terhadap budaya Bawean yang
setiap harinya serasa tergerus oleh budaya baru yang diciptakan
oleh teknologi.
Pesatnya kemajuan di bidang teknologi tak lagi dapat
dibendung. Media sosial dengan berbagai variannya tidak hanya
mampu memberikan dampak positif yang sangat besar, namun
juga meninggalkan sejumlah dampak negatif dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat. Tak terkecuali efek yang begitu
besar ini juga dirasakan dalam bidang pendidikan, moral dan
28
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
kebudayaan. Masuknya budaya asing yang belum pernah dikenal
sebelumnya telah ikut membidani terjadinya besar dalam
kehidupan masyarakatnya.6 Derasnya pengaruh kebudayaan
asing telah banyak menggeser kecintaan dan kebanggaan pada
kebudayaan sendiri, terlebih lagi bagi kalangan generasi muda.7
Pesantren Penaber adalah salah satu dari sekian banyak
pondok pesantren yang tersebar di pulau Bawean. Selain
mempelajari ilmu-ilmu keagamaan yang diambil dari pemahaman
terhadap al Quran, hadis dan kitab kuning sebagaimana pondok
pesantren pada umumnya, pesantren ini memiliki kepedulian
khusus di bidang pelestarian budaya Bawean. Pesantren Penaber
diasuh oleh seorang kiai yang mempunyai latar belakang seorang
pendidik murni namun ingin sekali melihat setiap santrinya
mengenal dan menghargai budaya yang dimilikinya (budaya
Bawean).
Kiai Mustafa berpandangan bahwa masyarakat harus
memikirkan ragam budaya yang ada, baik budaya yang bersifat
benda maupun budaya non benda seperti budaya yang
berhubungan dengan sikap dan perilaku. Budaya yang berupa
benda sudah banyak yang punah terkikis zaman. Budaya ini meski
sudah tidak ada lagi tapi sejumlah orang masih bisa mengingatnya sehingga dapat direka ulang dan dibuatkan yang baru untuk
bisa diperkenalkan kepada generasi penerus. Sementara budaya
yang berupa sikap dan perilaku sangat mudah diingat namun
6 Tedi Sutardi, Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya (Bandung: PT Setia Purna
Inves, 2007), 16.
7 Tim Deputi, Kebijakan Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan (Jakarta: Kementrian
Kebudayaan dan Pariwisata, 2004), 51.
Pelestarian Budaya Bawean
29
sangat sulit dipraktikkan. Kedua jenis budaya ini diupayakan
untuk tetap lestari dengan cara diperkenalkan dan diajarkan di
pondok pesantren Penaber. Lebih jauh mereka para santri
diharapkan benar-benar bisa menjiwai dan mampu memaknai
warisan para leluhurnya.8
Apa yang disampaikan oleh kiai di atas menunjukkan bahwa
ada banyak sekali benda-benda peninggalan nenek moyang yang
dimiliki oleh masyarakat Bawean yang menghilang entah kemana.
Saat ini hanya ada dalam ingatan saja jika dulu pernah ada
peninggalan berupa sebuah benda yang digunakan oleh
masyarakat Bawean tempo dulu saat ini hanya sebatas cerita dan
tidak tau bagaimana wujudnya. Oleh karena itu kiai berusaha
untuk mewujudkan benda-benda peninggalan nenek moyang
dengan cara membuat replika yang menyerupai benda tersebut,
dengan tujuan agar anak-anak muda Bawean ini mengenal dan
menghargai peninggalan budaya di masyarakatnya, Khususnya
bagi para santri yang sedang menimba ilmu di pondok pesantren
Penaber.
Ustaz Hanif mengibaratkan budaya sebagai sebuah lautan
yang luas, sesuai dengan filosofi yang dipegang oleh masyarakat
Bawean “jangan menikah sebelum kamu datang merantau”
maksudnya, budaya merupakan kekayaan yang dimiliki oleh
masyarakat Bawean yang tentunya harus dipelajari dan dipahami
oleh generasi muda Bawean.9 Tujuannya agar kelak ketika mereka
8
Kiai Mustafa, Pengasuh Pondok Pesantren Penaber, Wawancara, Bawean 22 November
2022.
9 Ust. Hanif, tenaga pendidik di Pondok Pesantren Penaber, Wawancara, Bawean, 30
November 2022.
30
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
sudah dewasa dan siap merantau, maka mereka selalu mengingat
akan budayanya di mana pun mereka berada sebagai jati dirinya.
Hal inilah yang diharapkan oleh para pendidik kepada para santri
di pondok pesantren Penaber.
Sedikitnya pemahaman generasi muda tentang budaya lokal,
membuat para asatidz yang ada di pondok pesantren Penaber ini
mengatur strategi agar santri dapat memahami macam-macam
budaya yang ada di Bawean yang Sebagian besar sudah punah.
Setiap kegiatan yang ada di pesantren Penaber dinamakan dengan
istilah ngaji. Istilah ngaji ini semakin familier dengan kegiatankegiatan santri, salah satu bentuk pengenalan budaya yaitu
melalui ngaji musik yang dipadukan dengan musik modern atau
mengaransemen lagu-lagu Bawean atau puji-pujian dengan
menggunakan alat musik modern yang banyak diminati santri.
Ngaji seni yang dibingkai dengan kegiatan pencak silat khas
Bawean, ngaji batik dengan mengeksplor tumbuh-tumbuhan dan
hewan endemik pulau Bawean sebagai motif khas yang diciptakan. Kesemuaannya itu merupakan upaya yang dilakukan oleh
Kiai Mustafa untuk mempertahankan budaya Bawean agar santrisantrinya kelak ikut menjaga budaya mereka.
Kehawatiran akan hilangnya budaya sopan santun dan budaya
tutur pun semakin terlihat di kehidupan masyarakat Bawean saat
ini. Banyak didapati generasi muda yang tidak bisa bertutur
bahasa dengan sopan dan baik dan tidak lagi mengenal adab
(sopan santun) yang dimiliki orang Bawean. Perlu diketahui
bahwa, masyarakat Bawean mempunyai budaya tutur bahasa
yang baik dan budaya adab yang sopan dalam bermasyarakat.
Pelestarian Budaya Bawean
31
Akan tetapi, sejalan degan perkembangan ilmu pengetahuan dan
media sosial serta masuknya budaya asing melalui berbagai
saluran yang tersedia telah membuat budaya masyarakat
setempat terkikis, perilaku dan tutur bahasa menjadi tidak sesuai
dengan tingkatan, perilaku sopan santun yang terabaikan saat
berbicara dengan orang tua khususnya atau orang yang lebih tua
dari mereka. Hal inilah yang saat ini terjadi di lingkungan
masyarakat Bawean, sebagai seorang pendidik juga Kiai Mustofa
pun juga sangat memperhatikan fenomena perubahan sikap sosial
semacam itu sebagai sebuah ancaman bagi generasi Bawean yang
akan datang, jika dibiarkan saja begitu akan semakin sulit untuk
diperbaiki dikemudian hari. Apa yang terjadi saat ini khususnya
kepada masyarakat Bawean sebagaimana digambarkan di atas
sesuai dengan pernyataan Bhaskara bahwa, “kebudayaan
masyarakat yang sudah tertanam sejak lama bisa saja luntur dan
punah akibat dampak dari globalisasi yang berlangsung secara
terus menerus dan dalam waktu yang lama”.10
Budaya masyarakat setempat memiliki dan sarat dengan nilainilai luhur yang mungkin saja tidak dimiliki oleh budaya lain atau
asing. Nilai-nilai luhur itu terdapat dalam beberapa aspek
kehidupan, mulai cara berpakaian, bersikap dan bertutur kata,
bahkan cara menyampaikan pesan dan berdakwah yang menjadi
ciri khas bagaimana masyarakat terdahulu berkomunikasi dan
berinteraksi antara sesama. Saat ini nilai-nilai luhur tersebut
mulai terkikis dan hampir tidak ditemukan di sebagian besar
kehidupan masyarakat modern yang merupakan dampak dari
10 Faridz Alfansa Bhaskara, Media Sosial Sebagai Wadah Penyebaran dan Pelestarian Budaya
(Malang: PIK UMM, 2020). 33.
32
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
masuknya budaya asing dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat saat ini. Berangkat dari kenyataan semacam ini, Kiai
Mustafa memandang bahwa saat ini masyarakat Bawean
sebenarnya sudah berada di ambang krisis budaya. Oleh
karenanya, ia menekankan dan mengampanyekan pentingnya
upaya melestarikan budaya masyarakat lokal Bawean.11
Alur pemikiran Kiai Mustafa dalam melihat adanya pengaruh
budaya asing dan upaya pelestarian budaya lokal sejalan dengan
Muhammad Hanif, bahwa kebudayaan asing baik cepat ataupun
lambat akan menyebabkan terjadinya keguncangan dan kerentanan terhadap budaya lokal.12 Karenanya budaya lokal yang
memiliki nilai luhur sudah seharusnya diinternalisasikan ke
dalam diri generasi muda -tak terkecuali para santri- agar
mereka memiliki kesadaran dan kemampuan untuk memfilternya.
Dari sini bisa dipahami betapa perlunya kepedulian
masyarakat terhadap degradasi budaya yang terjadi pada generasi
muda Bawean, yang semakin hari semakin terkikis oleh teknologi
yang tidak terfilter dengan baik oleh budaya. Sebagai salah satu
tokoh kiai Mustafa melihat bahwa budaya masyarakat Bawean
bisa saja terlupakan dengan mudah jika tidak pihak yang mau
menjaganya dengan baik, jika tidak diperkenalkan kepada
generasi muda, jika tidak diajarkan tutur yang baik, dan jika tidak
diberi contoh perilaku yang baik, maka lambat laun Bawean ini
akan kehilangan karakteristik dan identitas budaya masyarakat-
11
Kiai Mustafa, Pengasuh Pondok Pesantren Penaber, Wawancara, Bawean 22 Januari
2023.
12 Muhammad Hanif, et.al., Panduan Pelaksanaan Model Nampe (Yogyakarta: Deepublish,
2018), 43.
Pelestarian Budaya Bawean
33
nya. Karenanya, kebudayaan lokal atau daerah harus tetap
dilestarikan dan tentunya setiap komponen masyarakat harus
memberikan perhatian yang serius, karena ia menjadi tolok ukur
terhadap eksistensi kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional
akan menjadi kuat apabila didukung dengan kebudayaan daerah
yang kokoh.13
13 Tedi Sutardi, Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya (Bandung: PT Setia Purna
Inves, 2007), 20.
34
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
BAB IV
PERAN KIAI DALAM
PELESTARIAN BUDAYA BAWEAN
Sebelum lebih jauh membahas peran kiai dalam pelestarian
budaya, penulis ingin mengajak pembaca terlebih dahulu memahami
makna peran itu sendiri. Peran dapat diartikan sebagai rangkaian
tingkah laku yang diharapkan punya kesesuaian dengan posisi yang
diberikan.1 Hal yang hampir sama diungkapkan oleh Hastuti bahwa
peran merupakan perilaku yang dilakukan oleh setiap individu dalam
kehidupan bermasyarakat.2 Sedangkan Puspita mendefinisikan peran
sebagai bentuk keterlibatan secara aktif seseorang atau kelompok
dalam suatu kegiatan dan dalam pengambilan keputusan.3
Melihat pada beberapa definisi peran sebagaimana di atas, dapat
diambil satu benang merah bahwa peran merupakan serangkaian
perilaku dan seseorang sebagai individu atau anggota masyarakat
dalam melakukan kegiatan tertentu atau dalam mengambil kebijakan.
Bila dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dibahas di sini,
maka yang dimaksud dengan peran adalah keikutsertaan kiai baik
sebagai bagian dari masyarakat Bawean atau sebagai pengasuh yang
1 Tri Wahyuni, et.al., Buku Ajar Keperawatan Keluarga Dilengkapi Riset & Praktik
(Sukabumi: CV Jejak, 2021), 13.
2 Rahmah Hastusti, et.al., Peran Kesejahteraan Remaja Dalam Meningkatkan Nasionalisme
(Yogyakarta: CV ANDI Offset, 2020), 255.
3 Herien Puspitawati, Gender dan Keluarga: Konsep dan realita di Indonesia (Bogor: IPB
Press, 2019), 77.
Pelestarian Budaya Bawean
35
merupakan pimpinan tertinggi di pondok pesantren dalam membuat
kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan upaya pelestarian
budaya di pondok pesantren Penaber. Di mana pelestarian budaya
dapat diartikan sebagai suatu aktivitas atau penyelenggaraan kegiatan
yang bertujuan untuk melindungi, menjaga, mempertahankan,
memelihara dan mengembangkan4 budaya yang sudah ada.
Fakta yang berkembang di masyarakat telah menunjukkan bahwa
seorang kiai memiliki peran yang cukup luas, kiai tidak hanya
berkiprah di bidang pengajaran ilmu-ilmu agama saja, namun juga
bidang yang lain seperti sosial, politik, ekonomi, budaya dan
organisasi.5 Seorang kiai yang identik sebagai pemimpin kaum
sarungan memiliki kemampuan beraptasi yang cukup tinggi sehingga
mampu menempatkan diri dalam beberapa kondisi, bahkan dalam
dunia perpolitikan pun pengaruh yang dimiliki oleh kiai selalu
menjadi bahan pertimbangan tak terkecuali dalam upaya pelestarian
budaya.
Sudah menjadi tradisi di berbagai masyarakat menyampaikan
cerita tentang budaya yang dimiliki kepada anak cucu. Tradisi
bercerita ini menjadi kebiasaan secara turun temurun. Masyarakat
melakukan semua itu dengan tujuan agar kebudayaan yang dimiliki
dapat dikenal serta diketahui oleh generasi yang akan datang.
Sehingga dengan demikian kebudayaan yang terdapat di suatu daerah
dapat dilestarikan dan keberadaan daerah tersebut dapat diakui,
begitulah yang ada di masyarakat pulau Bawean. Pulau Bawean yang
4 Reny Triwardani dan Christina Rochayanti, “Implementasi Kebijakan Desa Dalam Upaya
Pelestarian Budaya”, Reformasi, Vol 4 No. 2 (2014), 102-110
5 Hadi Purnomo, Kiai Dan Trasformasi Sosial: Dinamika Kiai Dalam Masyarakat
(Yogyakarta: Absolute Media, 2020), 4-5.
36
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
terkenal dengan keindahan dan kekayaan alamnya telah dikenal luas
oleh wisatawan lokal dan mancanegara. Selain keindahan alamnya
juga dikenal dengan budaya warisan nenek moyang serta adat istiadat
yang melekat pada orang boyan.
Keindahan alam dan adat istiadat yang pernah ada sudah
seharusnya mendapat perhatian serius untuk tetap dilestarikan dan
dijaga dengan sebaik mungkin. Generasi penerus tentu memiliki
kewajiban untuk berupaya melestarikan sejumlah kebudayaan yang
dimiliki. Tujuan yang hendak dicapai dalam upaya pelestarian budaya
tak lain adalah agar para generasi muda dapat mengetahui
kebudayaan yang dimiliki, dengan harapan mereka dapat menjaga
serta melestarikannya. Menjaga dan melestarikan budaya yang ada
merupakan salah satu bentuk rasa cinta dan rasa memiliki terhadap
tanah air. Hal inilah yang sedang dilakukan oleh pengasuh pondok
pesantren Penaber yang berusaha untuk terus menjaga kelestarian
budaya yang dimiliki oleh masyarakat Bawean.
Kebijakan yang diambil oleh kiai ini dilatarbelakangi oleh fakta
yang terjadi bahwa beberapa budaya masyarakat Bawean terancam
punah jika saja tidak ada komponen masyarakat yang menaruh
perhatian serius terhadap eksistensinya. Meskipun ada beberapa
kelompok yang masih mempelajari budaya tersebut, akan tetapi
upaya yang dilakukannya belumlah maksimal. Yang demikian itu
selaras dengan pernyataan yang disampaikan oleh Triwardani dan
Rochayanti bahwa aktualisasi budaya lokal dalam kehidupan
bermasyarakat pada kenyataannya masih belum berjalan dengan
Pelestarian Budaya Bawean
37
baik.6 Karenanya, harus ada langkah-langkah yang bisa menjaga
eksistensi budaya masyarakat setempat.
A. Upaya Pelestarian Budaya
Dalam konteks pelestarian budaya terdapat banyak hal yang
bisa dilakukan oleh masyarakat setempat sebagai wujud rasa cinta
dan apresiasinya terhadap budayanya sendiri.7 Karenanya banyak
kalangan yang melakukan berbagai macam aktivitas yang ke
semuanya dimaksudkan untuk menjaga kebudayaannya dari
kepunahan. Pelestarian budaya dapat dilakukan oleh siapa saja,
baik dalam keluarga, sekolah dan masyarakat8 dan dalam bentuk
yang berbeda-beda pula seperti pengenalan kepada anak dan
siswa baik berupa pengajaran, pertunjukan dan pementasan.9
Kiai Mustafa merupakan salah satu tokoh masyarakat
-sekaligus tokoh agama- yang menaruh perhatian besar terhadap pelestarian budaya masyarakat Bawean. Walaupun beliau
tidak memiliki background pendidikan seni budaya, namun beliau
tergolong sangat gigih dalam upayanya melestarikan budaya
Bawean. Beberapa upaya yang dilakukannya terkait pelestarian
budaya adalah sebagai berikut:
6 Reny Triwardani dan Christina Rochayanti, “Implementasi Kebijakan Desa Dalam Upaya
Pelestarian Budaya”, Reformasi, Vol 4 No. 2 (2014), 102-110
7 Amos Neolaka dan Grace Amialia, Landasan Pendidikan: Dasar Pengenalan Diri Sendiri
Menuju Perubahan Hidup (Depok: Kencana, 2017), 554.
8 Andriano Simarmata, “Menumbuhkan Cinta Budaya Lokal Pada Generasi Milenial” dalam
Azizah, et.al., Peran dan Tantangan Guru Dalam Membangun Peradaban Manusia: Upaya Strategis
dan Kongkret Seorang Guru (Surabaya: Global Aksara Pres, 2021), 60.
9 Fabiola Desy, “Generasi Milenial Pewaris Budaya Leluhur” dalam Miranti, Campursari
Penguat Budaya Leluhur (Bogor: Langit Arbitter, 2019), 5.
38
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
1. Mewujudkan Sadar Budaya
Faktor yang menyebabkan terkikisnya budaya dapat
diklasifikasikan ke dalam dua bagian besar, yaitu: faktor
intern dan faktor ekster. Faktor intern adalah segala sesuatu
yang lahir dari masyarakat itu sendiri, seperti harapan,
kemauan, ketidakpuasan dan konflik. Termasuk juga dalam
hal ini adalah kesadaran masyarakat akan pentingnya
menjaga budaya yang merupakan warisan para leluhur.
Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang datang
dari luar diri masyarakat dan di luar batas kemampuannya,
seperti kemajuan teknologi, politik dan pembangunan.10
Kedua hal di atas memiliki dampak yang sangat besar
terhadap keberadaan budaya setempat. Faktor internal
menjadi motor penggerak bagi individu masyarakat untuk
melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi terjaganya warisan
budaya. Sedangkan faktor eksternal menjadi penentu mampu
dan tidaknya budaya setempat mempertahankan dirinya di
tengah arus perubahan yang terus melaju dengan pesat. Untuk
itu perlu adanya kesadaran dari berbagai elemen masyarakat
akan pentingnya menjaga eksistensi budaya.
Menumbuhkan kesadaran masyarakat tidak semudah
membalikkan kedua telapak tangan. Akan tetapi ia harus
dilakukan secara intens dan terus menerus melalui berbagai
bentuk saluran komunikasi. Komunikasi ialah salah satu
kegiatan yang pasti dilakukan oleh manusia setiap hari.
10 Pether Sobian, Model Pelestarian Budaya dan Kearifan Lokal Berbasis Sumber Daya Yang
Ada (Klaten: Penerbit Lakeisha, 2022), 8.
Pelestarian Budaya Bawean
39
Manusia sebagai makhluk hidup perlu selalu berkomunikasi
dengan orang lain untuk menyampaikan ide atau pesan agar
terjadi saling memahami dan mengerti.11 Hal ini menunjukkan
bahwa selalu ada motif tertentu yang melatarbelakangi
seseorang melakukan komunikasi dengan yang lainnya. 12
Dalam upaya mewujudkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya menjaga dan melestarikan budaya warisan leluhur
ini kiai Mustafa melakukan komunikasi dengan berbagai
pihak. Komunikasi yang dilakukan tidak sekedar untuk
memberikan informasi dan menyampaikan pesan yang
berhubungan dengan eksistensi budaya saja. Akan tetapi, yang
lebih penting adalah ia mencakup pada kegiatan persuasif.
Komunikasi persuasif merupakan suatu kegiatan atau upaya
untuk membujuk seseorang agar mau menerima gagasan yang
ditawarkan, dan pada gilirannya orang tersebut bersedia
melakukan suatu tindakan sesuai dengan yang ada dalam
harapan pemberi pesan.13
Ada dua bentuk komunikasi yang dilakukan oleh Kiai
Mustafa, yaitu internal dan eksternal. Komunikasi internal
dikenal
dengan
komunikasi
instruktif,
kontrol
dan
koordinatif14 merupakan bentuk komunikasi yang terjadi
11 Ratu Mutialela caropeboka, Konsep dan Aplikasi Ilmu Komunikasi (Yogyakarta: ANDI,
2017), 1. Lihat juga Teddy Dyatmika, Ilmu Komunikasi (Yogyakarta: Zahir Publishing, 2020), 5.
12 Yulinda Aswan, et.al., Komunikasi Dalam Praktik Kebidanan (Medan: Yayasan Kita
Menulis, 2022), 4.
13 Ratu Mutialela Caropeboka, Konsep dan Aplikasi Ilmu Komunikasi (Yogyakarta: ANDI,
2017), 2.
14 Juita Paujiah, Etika dan Filsafat Komunikasi Dalam Realitas Sosial (Jakarta: PT Mahakarya
Citra Utama Grup, 2023), 76.
40
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
antara atasan dan bawahan.15 Dalam hal ini kiai sebagai
pengasuh yang memiliki ide pelestarian budaya, dan para
pengurus dan pelatih yang mampu menerjemahkan ide dan
keinginan kiai, serta para santri sebagai komponen yang
menjadi obyek sekaligus subyek pembelajar dalam upaya
mewujudkan sadar budaya.
Dengan adanya komunikasi yang baik antara pengasuh,
pelatih dan para santri tentu akan menciptakan iklim yang
baik pula. Sehingga proses pembelajaran seni budaya yang
dilaksanakan di pondok pesantren Penaber akan mencapai
titik yang sangat efektif dan efisien. Yang demikian ini
dikarenakan komunikasi yang disertai dengan sentuhan yang
tepat akan dapat melunakkan perbedaan pendapat yang
terjadi,16
melahirkan
kesadaran
yang
mendalam
dan
membangun semangat baru dalam upaya pelestarian budaya.
Selanjutnya komunikasi eksternal, ia dapat diungkapkan
sebagai saluran komunikasi yang dilakukan oleh seseorang
dalam sebuah organisasi dengan orang lain yang berada di
luar organisasi,17 seperti stekholder dan pihak pemerintah.18
Komunikasi eksternal memiliki peran yang sangat penting19
dalam menjaga keberlangsungan suatu organisasi. Komunikasi jenis ini merupakan bagian dari aktivitas public relation
15 Sri Ayu Rayhaniah, Etika dan Komunikasi Organisasi (Pidie: Yayasan Penerbit Muhammad
Zaini, 2021), 111.
16 Desmon Ginting, Komunikasi Cerdas: Panduan Komunikasi Di Dunia Kerja (Jakarta: PT
Elex Media Komputindo, 2017), 2.
17 Maria Assumpta Rumanti, Dasar-dasar Paublic relations: Teori dan Praktik (Jakarta:
Grasindo, 2002), 97.
18 Budi, Komunikasi Organisasi Kontemporer (Medan: CV Pusdikra Mitra Jaya, 2021), 26.
19 Teddy Dyatmika, Ilmu Komunikasi (Yogyakarta: Zahir Publishing, 2020), 62.
Pelestarian Budaya Bawean
41
sebagai upaya yang berusaha menghubungkan antara sebuah
organisasi dengan publiknya.20
Pada dasarnya ada banyak manfaat yang bisa diambil dari
komunikasi eksternal, diantaranya adalah membangun
hubungan dengan masyarakat. Yaitu sebuah upaya untuk
mengkomunikasikan
citra
yang
dimiliki
oleh
sebuah
organisasi -pondok pesantren Penaber atau lembaga- kepada
warga
setempat.21
Kiai
Mustafa
selalu
membangun
komunikasi dan menjaga hubungan baik dengan berbagai
pihak.
Dampak positif yang diperoleh dari hubungan baik dan
keterbukaan pondok pesantren Penaber telah menjadikan
pesantren ini sebagai rujukan bagi siapa saja yang ingin
mempelajari atau sekedar ingin mengetahui budaya Bawean.
Sehingga tak heran jika banyak lembaga pendidikan dasar dan
menengah
yang
memperkenalkan
datang
ke
pesantren
kepada
siswanya
ini
tentang
untuk
budaya
masyarakat Bawean tempo dulu. Bahkan ada banyak
mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang datang ke
pesantren ini untuk melakukan penelitian terkait kebudayaan
masyarakat Bawean. Lebih dari itu, hampir setiap tahun
pesantren Penaber menerima kunjungan turis dari luar
negeri, seperti Inggris dan Jerman.22
20
Budi, Komunikasi Organisasi Kontemporer…, 26.
21 Irene Silviani, Komunikasi Organisasi (Surabaya: PT. Scopindo Media Pustaka, 2020), 141.
22
Kiai Mustafa, Pengasuh pondok pesantren Penaber, Wawancara, Bawean 22 Januari
2023.
42
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
Selain sebagai media membangun hubungan masyarakat,
komunikasi eksternal juga dapat digunakan sebagai saluran
untuk sosialisasi dan memperoleh umpan balik23 dari pihak
luar yang kemudian dapat digunakan sebagai acuan
pengembangan pelestarian. Dengan adanya komunikasi
model ini, di samping ide-ide cemerlang yang lahir dari
pemikiran kiai Mustafa, maka akan banyak masukan yang
disampaikan oleh tokoh masyarakat dan budayawan yang
menaruh
perhatian
pada
upaya
pelestarian
budaya
masyarakat Bawean.
Hal yang tidak kalah pentingnya yang telah dilakukan oleh
kiai Mustafa dalam upayanya melestarikan budaya Bawean
adalah melakukan sosialisasi. Pada setiap even besar yang
diadakan
oleh
organisasi
kemasyarakatan
maupun
pemerintah di Pulau Bawean, pondok pesantren Penaber
selalu diminta tampil sebagai salah satu pengisi acara. Ini
merupakan kesempatan untuk memperkenal seni dan budaya
Bawean kepada masyarakat dan tamu yang datang dari luar
Bawean.24 Kesempatan ini dimanfaaatkan sebaik mungkin
oleh kiai Mustafa dan untuk memperkenalkan seni budaya
Bawean, sekaligus menarik minat masyarakat Bawean
khususnya generasi mudanya bersamasama melestarikan
warisan budaya yang tidak terhingga nilainya. Adanya eveneven besar menjadi sarana yang efektif dalam memperkenalkan budaya lokal kepada masyarakat luas.
23
24
Irene Silviani, Komunikasi Organisasi…, 141.
Kiai Mustafa, Pengasuh pondok pesantren Penaber, Wawancara, Bawean 22 November
2022.
Pelestarian Budaya Bawean
43
Upaya membangun sadar budaya dan sosialisasi terus
dilakukan melalui berbagai macam cara. Target utama dari
upaya ini adalah para generasi muda yang dimulai dari para
santri yang belajar di pesantren Penaber memiliki kesadaran
dan kecintaan terhadap budaya Bawean. Jika generasi mudah
menyadari akan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam dan
mencintai budayanya sendiri, maka mereka tidak mudah
terbujuk oleh budaya baru yang datang dari luar. Karena
kesadaran seseorang akan pentingnya upaya pelestarian
budaya akan menggiringnya memiliki kemampuan menangkis
pengaruh budaya asing.25
2. Sanggar Seni Rasbuba
Untuk melestarikan kebudayaan masyarakat Bawean di
bidang seni maka dibentuklah sebuah sanggar seni26 yang
diberi nama Rasbuba, yaitu Racikan Seni Budaya Bawean.
Disebut Rasbuba karena dalam kelompok ini tidak hanya
fokus mempelajari pada satu bentuk seni saja, melainkan
sejumlah kesenian yang pernah ada di pulau Bawean
diajarkan dan dikembangkan. Bahkan beberapa di antaranya
diajarkan di sekolah sebagai bagian yang integral. Hal ini
sejalan dengan tujuan dibentuknya sanggar seni Rasbuba,
yaitu untuk menghidupkan kembali seni-seni Bawean.27
25 Tim Deputi, Kebijakan Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan (Jakarta: Kementrian
Kebudayaan dan Pariwisata, 2004), 48.
26 Sanggar seni adalah tempat atau sarana yang digunakan oleh sebuah komunitas untuk
kegiatan seni. Kegiatan yang ada dalam sanggar seni meliputi proses pembelajaran, penciptaan
hingga produksi. Lihat Dimas Rachmat Susilo, et.al, “Perkembangan Sanggar Seni Tari Topeng
Topeng Mulya Bhakti Di Desa Tambi”, Factum: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah, vol. 7 no.
1 (2018), 53-66.
27 Badruzzaini, guru di Pondok Pesantren Penaber. Wawancara, Bawean, 30 Desember
2022
44
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
Rasbuba sebagai Sanggar seni merupakan sarana
pendidikan luar sekolah yang berupaya memberikan keterampilan khusus kepada para peserta atau siswa siswinya
dengan memfasilitasi kegiatan pelestarian seni budaya
Bawean. Sanggar seni Rasbuba ini memberikan kesempatan
bagi setiap orang yang punya keinginan untuk belajar seni.
3. Museum Dhinggelan Kona
Ada banyak benda-benda peninggalan masyarakat
Bawean
tempo
dulu
yang
sudah
punah.
Sementara
masyarakat Bawean masa kini hanya mendengar cerita dan
sejarah benda-benda tersebut namun tidak pernah melihat
wujudnya. Hal ini menimbulkan keprihatinan yang sangat
mendalam bagi kiai Mustafa. Oleh karenanya, beliau berupaya
mengoleksi benda-benda tersebut dan membuat replikanya
jika yang asli sudah tidak ada.
Upaya ini dilakukan oleh kiai Mustafa dengan sepenuh hati
dan untuk mengabadikan benda-benda khas peninggalan
budaya Bawean itu maka beliau mendirikan museum mini
yang diberi nama “Dhinggelan Kona” (peninggalan masa lalu).
Pada museum ini dapat ditemukan banyak benda-benda kuno
yang merupakan identitas budaya masyarakat Bawean seperti
jhukong lajer28 atau perahu layar yang saat ini mulai tidak
digunakan para nelayan karena diganti dengan mesin. Ada
juga senduk carong, rangghepan, lancet-lancet, kor-koran.
28 Saat penulis melakukan pengamatan di museum Dhinggelan Kona didapati sebuah
Jhukong Lajer yang berusia lebih dari limapuluh tahun.
Pelestarian Budaya Bawean
45
Selain itu, masih banyak benda-benda bersejarah lainnya yang
digunakan oleh masyarakat Bawean pada zaman dulu.29
Gambar 1. Museum “Dhingghelan Kona” Penaber
Kiai Mustafa mengisahkan bahwa inisiatif didirikannya
Museum ini berawal dari wasiat Mbah Akkong yang di saat
mengalami sakit di akhir hayatnya beliau memberikan sebuah
biola kepada kiai Mustafa, yaitu sebuah biola yang dibuatnya
dengan tangan sendiri. Pada saat itu Mbah Akkong hanya
memberitahu bagaimana cara merawat biola tersebut dengan
baik, namun beliau tidak mengajari kiai Mustafa bagaimana
cara memainkannya. Setelah lama kepergian Mbah Akkong,
kia Mustafa berusaha mengingat kembali wasiat yang pernah
diterimanya
29
46
itu,
merenung
dan
mencoba
memahami
Observasi, Museum Dhingghelan Kona Pondok Pesantren Penaber, 15 Januari 2023.
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
maksudnya. Dan dalam perenungannya beliau sampai pada
satu kesimpulan bahwa benda-benda berharga warisan para
leluhur memang sudah selayaknya dirawat dengan baik,
dijaga
dan
dilestarikan
sebagai
penghargaan
kepada
pembuatnya dan informasi kepada generasi berikutnya.30 Dari
sinilah kemudian muncul ide untuk mendirikan museum mini
yang diberi nama “Dhingghelan Kona”.
Selain benda-benda kuno yang bisa ditemukan di dalam
museum Dhinggelan Kona, pesantren Penaber disetting
sedemikian rupa menjadi pesantren yang ramah lingkungan
dan bertema alam. Sehingga di pesantren ini sebagian besar
bangunannya tidak permanen dan hanya ada satu bangunan
yang permanen yaitu gedung Madrasah Tsanawiyah, itupun
karena keperluan akreditasi. Di halaman depan pesantren
dapat dilihat sejumlah tanaman yang mulai langka di Bawean
seperti gheddhung, polai, kaju bulu. Bahkan pohon keramat
asal Bawean yang diyakini memiliki segudang keistimewaan,
yaitu kayu santeghi atau setigi dapat ditemukan dan
dilestarikan di Green Area pesantren Penaber.
4. Modifikasi Seni
Selain tiga upaya di atas, kiai Mustafa juga melakukan
pengembangan
terhadap
beberapa
kesenian
dengan
memodifikasi dan memberi corak khusus. Kebijakan yang
diambil oleh Kiai Mustafa dengan pesantrennya ini
merupakan salah satu upayanya untuk tetap mengajarkan dan
30
Kiai Mustafa, Pengasuh pondok pesantren Penaber, Wawancara, Bawean 22 November
2022.
Pelestarian Budaya Bawean
47
memperkenalkan warisan budaya nenek moyang masyarakat
Bawean kepada generasi mudanya, agar para generasi muda
Bawean mengenal dan cinta terhadap budayanya sendiri, yang
pada gilirannya budaya Bawean akan tetap terjaga dan eksis
meski zaman telah berubah.
Untuk membuat seni Bawean lebih menarik dan tidak
kalah bersaing dengan seni lainnya yang sudah mengalami
modernisasi, maka seni budaya yang diajarkan di pondok
pesantren Penaber ini dilakukan sedikit modifikasi dari segi
alat yang digunakan. Hal ini seperti diungkapkan oleh kiai
Mustafa “….tetap dimodifikasi, dimodernisasi cuma jhek
sambhik kaelangan karakter na (jangan sampai kehilangan
karakter aslinya).31 Apa yang telah dilakukan oleh kiai Mustafa
dalam hubungannya dengan modifikasi seni ini sejalan dengan
pendapat Selo Sumardjan bahwa kesenian selalu mengalami
perubahan sesuai dengan dinamika perubahan yang terjadi
pada suatu masyarakat.32
Modifikasi seni yang dilakukan oleh kiai Mustafa dapat
dilihat pada seni kercengan yang ada sekarang ini. Pada
awalnya, kesenian kercengan yang berkembang di masyarakat
memiliki kemiripan dengan salah satu jenis hadrah yang ada
di Indonesia. Kesamaan tersebut dapat ditemukan pada
pemukul utama yang biasanya sekaligus berperan sebagai
vokalis, sedangkan penarinya adalah orang laki-laki. Selain itu,
pada seni kercengan juga tidak menggunakan baz. Dilihat dari
Kiai Mustafa, Pengasuh pondok pesantren Penaber, Wawancara, 22 November 2022
Selo Sumardjan, Kemiskinan Struktural Satu Bunga Rampai (Jakarta: Yayasan Ilmu
Persada, 1980), 47.
31
32
48
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
sisi ini sebenarnya kercengan memang lebih mirip kepada
hadrah Ishari33, bukan kepada tari Saman.34 Kemudian, sejak
tahun 2004 terjadi pergesaran bentuk atau lebih tepatnya
modifikasi. Para penari yang biasanya terdiri dari orang lakilaki sekarang berubah dan digantikan perempuan. Perubahan
lain yang terjadi dapat dilihat pada adanya penambahan
personil dan alat yang digunakan dibandingkan dengan
bentuk aslinya. Alat yang ditambahkan berupa penggunaan
bazz dan kiai Mustafa adalah orang yang pertama kali
menggunakan
bazz
dalam
seni
kercengan
Bawean.
Penggunaan bazz ini dimaksudkan agar dapat menghadirkan
bunyi yang lebih membangun semangat sehingga sangat cocok
untuk mengiringi para penari dan lebih menarik perhatian
serta minat masyarakat.
Ide awal penambahan bazz pada kesenian kercengan ini
diambil dari seni Zamroh. Keberadaan kiai Mustafa yang tidak
hanya sebagai pengasuh pondok pesantren, tetapi sekaligus
juga sebagai pelatih seni zamroh di pesantren Penaber
membuatnya sangat memahami dan merasakan adanya musik
yang dapat menggugah semangat dan menarik perhatian.
Karenanya, tiga unsur bazz yang terdapat dalam seni zamroh
dimasukkan ke dalam kesenian kercengan. Hasilnya dapat
dilihat bahwa performance kesenian kercengan yang ada
33 ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Indonesia) merupakan kelompok kesenian yang didirikan
oleh KH. Abdurrahim Pasuruan. ISHARI pada awalnya Bernama Jamiyah Hadrah, yaitu sebuah
kegiatan yang berfungsi untuk mengiringi seni shalawat Nabi Muhammad SAW.
34 Kiai Mustafa, Pengasuh Pondok Pesantren Nasyatul Barokah “Penaber”, Wawancara, 19
April 2023.
Pelestarian Budaya Bawean
49
sekarang jauh lebih baik bila dibandingkan dengan bentuk
aslinya.
Selain itu, modifikasi seni juga dilakukan oleh kiai Mustafa
ketika grup seni Rasbuba Penaber diminta tampil dalam eveneven besar. Modifikasi tersebut berupa penggabungan alat
seni baik yang tradisional maupun yang modern. Misalnya,
tari saman Bawean yang asli tanpa diiringi dengan alat musik
dan hanya mengandalkan irama suara zikir. Namun ketika
tampil dalam acara besar yang menghadirkan tamu dari luar
Bawean
maka
tari
saman
ini
dimodifikasi
dengan
memasukkan unsur alat musik berupa organ dan beberapa
instrumen yang lain.
Meskipun kiai Mustafa melalui sanggar seni Rasbuba telah
melakukan modifikasi dan modernisasi terhadap seni budaya
Bawean, namun keduanya tidaklah dengan cara yang ekstrem,
melainkan dengan tetap mempertahankan ciri khas aslinya.
Dengan adanya modifikasi yang kekinian membuat para santri
lebih bersemangat mengikuti pembelajaran seni di sanggar
seni
Rasbuba.
Sebagaimana
Fabiola
Desy
sangat
menganjurkan agar dilakukan pengemasan yang seunik dan
semenarik mungkin, sehingga akan membuat semakin banyak
masyarakat generasi milenial yang mau mengenal dan
mempunyai keinginan untuk mempelajari kebudayaannya
sendiri secara lebih mendalam lagi.35
35 Fabiola Desy, “Generasi Milenial Pewaris Budaya Leluhur” dalam Miranti, Campursari
Penguat Budaya Leluhur (Bogor: Langit Arbitter, 2019), 5.
50
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
BAB V
BUDAYA BAWEAN
Budaya merupakan semua hasil karya, cipta dan rasa manusia.1 Di
mana kehidupan manusia tak dapat dipisahkan dari budayanya.2
Suatu kebudayaan yang berkembang di masyarakat merupakan
komponen penting dalam kehidupan masyarakat luas dan dalam
konteks struktur sosial.3 Dilestarikannya budaya Bawean di Pondok
Pesantren
Penaber
merupakan
bentuk
kepedulian
dalam
menghadirkan kembali budaya-budaya Bawean yang sudah atau
hampir hilang.
A. Budaya yang dilestarikan
Secara umum ada dua jenis budaya yang dilestarikan di
pondok pesantren Penaber, yaitu budaya benda dan non benda.
Dari sisi budaya non benda dapat ditemukan tradisi lisan dan seni
pertunjukan.4 Kiai Mustafa sangat gigih dalam upayanya
melestarikan budaya Bawean, terutama yang bernuansa seni.
Beberapa budaya seni masyarakat Bawean yang masih
Ciek Julyati Hisyam, Sistem Sosial Budaya Indonesia (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2020), 3.
Toeti Heraty Noerhadi, Aku Dalam Budaya: Telaah Teori dan Metodologi filsafat Budaya
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), 1.
3 Yus darusman, Model Pewarisan Budaya Melalui Pendidikan Informal (Pendidikan
Tradisional) Pada Masyarakat Pengrajin Kayu (Madiun: CV. Bayfa Cendekia Indonesia, 2021), 4.
4 Rinitami Njatrijani, “Kearifan Lokal Dalam Perspektif Budaya kota Semarang”, Gema
Keadilan: Edisi Jurnal, vol. 5 edisi 1 (September 2018), 16-31.
1
2
Pelestarian Budaya Bawean
51
dilestarikan dan diajarkan di Pondok pesantren Penaber adalah
sebagai berikut:
1. Kercengan
Kercengan merupakan kesenian asli pulau Bawean yang
bernuansa relegius.5 Kesenian ini diciptakan oleh para
seniman asal Bawean yang pada waktu itu merasa khawatir
dengan masuknya budaya masyarakat modern yang terlalu
mengumbar goyangan yang erotis bahkan pornoaksi. Pada
tahun 2018 sedikitnya terdapat 42 grup seni kercengan di
pulau Bawean.6
Sepintas kercengan hampir sama dengan tari ISHARI.
Namun jika diteliti lebih lanjut akan didapati beberapa
perbedaan di antara keduanya. Kercengan menggabungkan
antara unsur musik, tarian khusus dan unsur keagamaan.
Unsur keagamaan pada seni kercengan dapat dilihat dari segi
lagu-lagu yang dibawakan yang mengandung pesan-pesan
moral menurut agama Islam. Lagu yang dinyanyikan biasanya
berbahasa Arab baik yang merupakan untaian shalawat
kepada Nabi Muhammad SAW. ataupun syair-syair yang berisi
pesan-pesan moral, dan terkadang juga menggunakan bahasa
Bawean sendiri atau Bahasa Indonesia.
Dari segi tarian khusus, seni kercengan sedikit berbeda
dengan seni hadrah yang tidak memiliki penari. Dalam seni
kercengan para penari umumnya terdiri dari para gadis yang
berjejer dalam satu baris atau beberapa baris. Sedangkan
5
6
52
Penulis kesulitan melacak sejarah diresmikannya kesenian kercengan ini.
https://budaya-indonesia.org/Tarian-Kercengan diakses pada tanggal Desember 2022.
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
unsur gerak yang menjadi dasar dalam tarian ini yaitu tepuk
tangan dan dada. Selain para penari yang berada di bagian
depan, di bagian belakang terdapat sejumlah personel yang
duduk sebagai penabuh musik mengiringi vokalis yang sedang
bernyanyi. Baik hadrah maupun kercengan, kedua kesenian
tersebut sama-sama dilestarikan dan dikembangkan di
pondok pesantren Penaber ini.
2. Saman
Tari Saman merupakan salah satu kesenian tradisional
masyarakat di Bawean. Belum ada sumber yang menyebutkan
secara pasti sejak kapan tari Saman ini mulai diperkenalkan
kepada masyarakat Bawean dan siapa penciptanya. Tidak
diketahui pula apakah tari Saman yang ada di Bawean ini
memang budaya asli masyarakat setempat ataukah ia berasal
dari budaya masyarakat Aceh. Hal ini karena banyaknya
literatur yang menyebutkan bahwa tari Saman berasal dari
kebudayaan Aceh. Konon tari Saman ini diciptakan dan
dikembangkan oleh seorang tokoh agama penyebar Islam
pada suku Gayo yang Bernama syeikh Saman sekitar abad ke
14 M.7 Tari saman yang menjadi kebanggaan masyarakat Aceh
ini terus mengalami perkembangan dan dikenal oleh berbagai
kalangan, baik masyarakat Indonesia sendiri maupun manca
negara. Bahkan Pada tanggal 24 November 2011 tari Saman
7 N. Fardhilah, Mengenal Kesenian Nasional 11: Tari Saman (Semarang: Alprin, 2010), 5.
Lihat juga Resi Septiana Dewi, Keanekaragaman Seni Tari Nusantara (Jakarta: Balai Pustaka,
2012), 2.
Pelestarian Budaya Bawean
53
Aceh (Saman dance) masuk dalam kategori “List of Intangible
Cultural Heritage in Need of Urgent Safeguard”.8
Namun yang pasti, meskipun sama-sama bernama saman,
akan tetapi terdapat perbedaan mendasar antara tari saman
Aceh dan tari saman Bawean. Tari saman Aceh murni seni
yang menghibur dengan nyanyian sajak yang diiringi dengan
musik, tepukan tangan, tepukan paha dan tepukan dada9
ditambah dengan penari yang terdiri dari beberapa orang
perempuan.
Berbeda dengan tari saman Bawean yang merupakan zikir
murni dan lebih dekat kepada ritual kesufian, walaupun
bentuknya tidak sama persis dengan tarian sufi timur tengah.
Dalam praktiknya, saman Bawean dimulai dengan membaca
tawasul terlebih dahulu kepada para masyaikh dan ulama
yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan ayat-ayat AlQuran. Setelah itu barulah masuk kepada inti tari saman yang
diisi dengan lantunan zikir dan diiringi dengan gerakangerakan pelan oleh para penari yang terdiri dari orang lakilaki. Gerakan tari yang ditampilkan mengikuti irama zikir
tanpa diiringi dengan alat musik. Selain zikir, di dalam tari
saman ini juga dilantunkan syair-syair yang mengungkapkan
kerinduan yang sangat berat dan mendalam kepada Allah
SWT. Di bagian akhir penampilan tari saman Bawean ada
simbol-simbol untuk mengingat mati dan biasanya ada atraksi
8
9
54
Pram, Suku Bangsa Dunia dan Kebudayaannya (Jakarta: Cerdas Interaktif, 2013), 80.
https://rimbakita.com/tari-saman/ diakses pada 16 April 2023.
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
di mana salah satu atau beberapa penari sangat larut dan
hanyut dalam berzikir sehingga mereka syok dan pingsan.10
Dari sini kita dapat melihat perbedaan yang sangat jauh
antara tari saman Aceh dengan tari saman Bawean. Meski
sama dalam namanya, namun esensi dari keduanya sangatlah
berbeda.
Bagi masyarakat Bawean tari Saman menjadi salah satu
hiburan tradisional karena kesenian ini memiliki tarian yang
dapat memukau hati orang-orang yang hadir. Selain itu, ia juga
menjadi media untuk menyampaikan pesan dakwah, karena
syair-syair yang dilantunkan berisi zikiran dan nasehatnasehat keagamaan. Pada masa kejayaannya, tari Saman ini
sangat diminati oleh masyarakat Bawean, tak terkecuali
generasi mudanya. Selain beberapa alasan di atas, maraknya
peminat tari Saman pada masa itu juga dikarenakan belum
banyaknya hiburan masyarakat bernuansa religi yang
tersedia di pulau Bawean.
Ironisnya, seiring dengan kemajuan teknologi dan
semakin banyaknya hiburan bagi masyarakat Bawean, baik
yang bernuansa religi maupun non religi, saat ini tari Saman
menjadi salah satu dari beberapa kesenian masyarakat
Bawean yang hampir punah. Sejak dua puluh tahun terakhir
hampir tidak ditemukan lagi komunitas masyarakat Bawean
yang menampilkan kesenian ini. Kesenian ini dengan bentuk
aslinya tidak lagi mampu menarik perhatian masyarakat dan
10 Kiai Mustafa, Pengasuh Pondok Pesantren Nasyatul Barokah “Penaber”, Wawancara, 19
April 2023.
Pelestarian Budaya Bawean
55
kalah bersaing dengan kesenian Mandiling.11 Untungnya, saat
ini sanggar budaya Rasbuba milik pondok pesantren Penaber
berupaya menghidupkan kembali kesenian ini dengan
melakukan sedikit modifikasi berupa tambahan instrumen
musik tradisional dan modern yang digunakan ketika tampil
dalam even-even besar dan tetap mempertahankan ciri khas
tarian dasarnya.
3. Dhungka
Dhungka atau Thungka merupakan salah satu kesenian
musik tradisional masyarakat Bawean. Alat musik utama yang
digunakan dalam seni Dhungka berupa ronjhengan dan
ghentong12 sebagai alat pemukulnya.13 Ronjhengan sendiri
pada dasarnya adalah sebuah alat yang dibuat dari kayu besar
yang memanjang dan di bagian tengahnya terdapat lubang
yang memanjang pula, mirip seperti perahu kayu. Alat ini
digunakan masyarakat Bawean pada masa dulu untuk
meletakkan padi yang akan dipisahkan isi dari kulitnya.
Sedangkan ghentong atau yang biasa disebut “alu” adalah alat
penumbuk padi. Kedua alat ini digunakan secara bersamaan
dengan cara memukul-mukulkan alu sehingga menghasilkan
alunan bunyi yang menjadi ciri khas masyarakat Bawean
11 Mandiling merupakan salah satu jenis kesenian masyarakat Bawean yang bernuasa non
religi. Mandiling sendiri adalah seni berbalas pantun khas Bawean yang diiringi dengan
instrument musik tradisional berupa jidor, gong, accordion (saat ini sudah jarang dipakai dan
digantikan dengan organ).
12 Ronjhengan dan Ghentong biasanya dibuat dari kayu jati yang sudah tua agar lebih kuat,
karena alat ini akan dipakai dalam waktu yang cukup lama. Jika bahanya bagus maka kedua alat
tersebut dapat bertahan hinggan belasan bahkan puluhan tahun. Ronjhengan dan Ghentong saat
ini dapat ditemukan pada museum mini milik pondok pesantren Penaber.
13 Hafi Hilmiah Almanda, “Kajian Pertunjukan Musik “Thungka” Dalam Tinjauan
Etnomusicologi”, Jurnal Pendidikan Sejarah dan Riset Sosial Humaniora (Kagawa), vol. 5 no. 2,
(Desember 2022), 190. (189-200).
56
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
dalam merayakan kegembiraan masa panen padi. Selain itu,
seni dhungka dimainkan sebagai tanda akan dimulainya
gotong royong di kampung maupun akan diadakannya pesta
pernikahan warga masyarakat.14
Dulu hampir setiap rumah memiliki ronjhengan dan
ghentong untuk menumbuk padi dan sagu. Namun, pada masa
sekarang, seiring dengan kemajuan teknologi di bidang
pertanian dan semakin canggihnya alat selep padi yang dapat
ditemukan hampir merata di setiap desa telah menyisakan
dampak tersendiri terhadap eksistensi alat tradisional ini.
Ronjhengan dan ghentong sulit ditemukan dan hampir tidak
ditemukan juga masyarakat Bawean yang masih menggunakan ronjhengan dan ghentong untuk memproses hasil panin
padi menjadi beras. Karena kedua alat ini selain dianggap
kurang efektif dan membutuhkan waktu yang lama, juga
hasilnya kurang bagus dan butir berasnya banyak yang
hancur. Kalaupun ada masyarakat yang memiliki kedua alat
ini, ia hanya difungsikan sebagai alat musik yang dimainkan
hanya pada waktu-waktu tertentu saja.15
14 Ade Irwansah, Dhungka: Seni Musik Tradisional Pulau Bawean, Memanfaatkan Lesung
dan Ghentong Penumbuk Padi - Gresik Today (pikiran-rakyat.com) diakses pada 3 Januari 2023.
15 https://www.beritabawean.com/dhungkah-tradisi-musik-kuno-pulau-bawean/ diakses
pada tanggal 29 Desember 2022.
Pelestarian Budaya Bawean
57
Gambar 2. Seni Dhungka Bawean
Kesenian dhungka ini sudah hampir hilang dan semakin
sedikit masyarakat yang masih mempertahankannya. Namun,
dengan inisiatif dari kiai Mustafa pengasuh pondok pesantren
Penaber, Dhungka mulai dihadirkan kembali ditengah-tengah
proses pembelajaran yang ada di pesantren, para santri
diperkenalkan dan diperlihatkan fungsi, bentuk dan makna
dari Dhungka itu sendiri, dengan usaha begitu diharapkan
dapat membantu dalam melestarikan budaya Bawean.
4. Pencak Silat Pengantin
Pencak silat merupakan seni bela diri asli Indonesia,16
bahkan jejaknya dapat dilacak pada masa kerajaan Sri
Wijaya.17 Bagi masyarakat Bawean pencak silat merupakan
warisan budaya turun-temurun. Bahkan ia menjadi identitas
pribadi masyarakat Bawean ketika berkumpul dengan
kelompok atau masyarakat lain.
Juli Candra, Pencak Silat (Yogyakarta: Penerbit Dee Publish, 2021), 3.
Ketut Sudiana dan Ni Luh Putu Sepyanawati, Keterampilan dasar Pencak Silat (Depok: PT
RajaGrafindo Persada, 2017),1.
16
17
58
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
Pencak silat menjadi icon bagi pulau Bawean yang
membuatnya dikenal sebagai pulau para pesilat. Maka tak
heran bila sering muncul sebuah sindiran “jika tidak bisa
pencak berarti bukanlah keturunan Bawean”. Selain sebagai
seni, hal lain yang mendorong pencak silat dilestarikan di
pondok pesantren Penaber adalah, ia dapat digunakan sebagai
perisai diri dalam keadaan terdesak. Hal ini diakui oleh ustaz
Badruzzaini bahwa, di pesantren Penaber ini santri juga
diajari pencak silat, karena pencak silat merupakan warisan
budaya yang membuat Bawean dikenal di mana-mana dan
dengan pencak silat ini pula santri dapat menjaga dirinya
sendiri”.18
Gambar 3. Santri Penaber Mempraktikkan Kembang Pencak Silat
Hal yang paling menarik, gerakan pembuka -kembang
dalam bahasa Bawean- pencak silat Bawean ini disebut-sebut
berasal dari jurus sahabat Nabi SAW, yaitu Sayyidina Ali ra.
18 Badruzzaini, Pelatih pencak silat di Pondok Pesantren Penaber. Wawancara, Bawean, 30
Desember 2022.
Pelestarian Budaya Bawean
59
Gambar 4. Santri Penaber Belajar Pencak Pengantin
Selain pencak silat yang berfungsi sebagai seni bela diri,
dalam tradisi masyarakat Bawean ada yang disebut pencak
pengantin. Sebenarnya pencak pengantin merupakan bagian
dari pencak silat. Namun berbeda dengan pencak silat biasa
yang pada umumnya digunakan sebagai perisai diri ketika
dalam keadaan terdesak. Pencak silat pengantin justru lebih
sebagai seni hiburan untuk menyambut pasangan pengantin
yang akan duduk bersanding di pelaminan dan juga untuk
menghibur para tamu undangan.
5. Korcak
Indonesia yang terdiri dari kepulauan dari sabang sampai
Merauke, jika diperhatikan, setiap daerah hampir semuanya
memiliki budaya musik kuno. Demikian juga halnya pulau
Bawean memiliki tradisi musik kuno yang bernama Korcak.
Korcak adalah kesenian asli pulau Bawean yang menggunakan alat musik tradisional. Seni tradisional Korcak
Bawean digolongkan dalam rumpun seni hadrah, karena ia
menggunakan alat yang hampir sama dengan seni hadrah.
60
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
Korcak memadukan antara alat musik rebana, dhundhung
dan tari rampak dari kalangan pemuda. Pada kesenian ini
semua pemainnya terdiri dari orang laki-laki. Musik
tradisional ini pada masanya dulu tergolong kesenian yang
mengandung
nilai
sakral
karena
syair-syair
yang
disenandungkan berisi puji-pujian terhadap Rasulullah,
manusia paling mulia pembawa rahmat bagi alam semesta dan
menjadi suri teladan dalam segala aspek kehidupan. Syairsyair berupa shalawat diambil dari kitab Barzanji19 dan
terkadang juga berupa pantun dan nasehat-nasehat dalam
Bahasa Bawean.
Seni korcak diciptakan pertama kali dan dikembangkan di
Dusun Sokela desa Patarselamat oleh Ahmad Qasidah, seorang
pendatang yang berasal dari Sumatra. Dalam penampilannya,
Korcak dapat dibedakan ke dalam dua bentuk pertunjukan.
Bentuk pertama, korcak sebagai musik tradisional yang
mengiringi arak-arakan pengantin. Dalam bentuk ini, para
penabuh gendang dan peruddat20 memainkan musiknya
sambil berjalan. Bentuk kedua, seni Korcak dimainkan pada
sebuah pentas atau halaman yang datar. Para penabuh
gendang duduk di bagian belakang, sedangkan para peruddat
(penari) duduk dalam dua baris dengan posisi saling
berhadapan sambil menabuh rebana dan melakukan tarian
dalam irama yang cenderung pelan.21
19
Asal muasal seni korcak hadroh Bawean, Chanel Lensa Bawean,
https://www.youtube.com/watch?v=kqKDXPdSzA0 diakses pada tanggal 30 Desember 2022
20 Peruddet adalah penari dalam Bahasa Bawean
21 Dewan Eskalasi Budaya "BEKU Bhei-Bhei": Seni Bawean (bekubawean.blogspot.com)
diakses pada tanggal 30 Desember 2022.
Pelestarian Budaya Bawean
61
Saat ini, Seni korcak Bawean semakin hari semakin sedikit
peminatnya. Bahkan menurut laporan sanggar budaya
Bekubhei-bhei di kecamatan Sangkapura hanya terdapat tiga
kelompok seni korcak, yaitu di dusun Sukila yang merupakan
tanah asal dari seni korcak sendiri dan dusun Kuduk-kuduk.
Kedua dusun tersebut berada dalam satu desa Patarselamat.
Sementara satu kelompok yang lainnya berada di dusun
Baratsawah Menara Desa Gunungteguh Sangkapura.22
Gambar 5. Santri Penaber Mempraktikkan Seni Korcak
Melihat pada seni korcak yang semakin kehilangan
peminatnya, maka kiai Mustafa melalui sanggar budaya
Rasbuba berupaya melestarikan seni musik tradisional ini
dengan mengajak para santri bergabung dalam kolompok seni
korcak Penaber. Latihan dilakukan secara kontinyu setiap
bulan dan jika ada permintaan untuk mengisi acara, maka
latihan dilaksanakan secara insidental.
22 Hatwi, Tokoh masyarakat Baratsawah Menara Gunungteguh Sangkapura, Wawancara,
Bawean 12 Januari 2023.
62
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
6. Membatik
Batik merupakan seni budaya asli bangsa Indonesia yang
kaya akan nilai-nilai kehidupan manusia dan lingkungan.23
Keberadaan seni batik di Indonesia dapat dilacak pada sejarah
kerajaan Majapahit yang berada di Mojokerto. Selain itu batik
juga dikembangkan oleh kabupaten Tulungagung. Dalam
perkembangannya, batik Mojokerto memiliki ciri khas yang
hampir sama dengan batik Yogyakarta, yaitu warna dasar
putih dan warna coraknya cokelat muda dan biru tua.24 Batik
Indonesia mulai di kenal masyarakat dunia sejak dipamerkan
pada Exposition Universille Paris pada tahun 1900, di mana
batik Indonesia dapat memukau publik dan para seniman.25
Pulau Bawean merupakan bagian dari wilayah kabupaten
Gresik dan terdiri dari dua kecamatan. Walaupun posisinya
yang terpencil dan jauh dari pusat kabupaten Gresik, namun
pulau ini memiliki sejumlah khazanah kearifan budaya lokal,
salah satunya adalah batik Bawean.26 Tak dapat dipungkiri
bahwa keberadaan batik di Bawean seiring dengan masuknya
tentara penakluk Majapahit yang terdapat di pulau ini sekitar
abad keempat belas, tahun 1350 M. Sejak itu batik mulai
dikenal oleh masyarakat dan terus berkembang hingga
memiliki motif dan ciri khas yang khusus Bawean. Namun
23 Agung Witjoro, et.al., “Pemberian Pelatihan Membuat batik Jumputan Kepada Ibu-ibu
PKK Untuk Upaya Pelestarian dan Meningkatkan Ekonomi Mayarakat di Lowokwaru Malang”,
Jurnal Karinov, vol. 2 no. 2 (Mei 2019), 76. (75-80)
24 Yeni Fisnani, et.al., Modul Batik monokromatik untuk SD Kelas V (Semarang: Pilar
Nusantara, 2020), 3.
25 Ibid. 5.
26
https://gresiksatu.com/camat-nur-syamsi-kenalkan-batik-penaber-khas-bawean-diajang-tim-penggerak-pkk-gresik/ diakses pada 3 Januari 2023.
Pelestarian Budaya Bawean
63
seiring dengan perkembangan gaya hidup masyarakat
modern dan masuknya budaya luar ke pulau Bawean,27 maka
lambat laun masyarakat Bawean mulai meninggalkannya dan
tidak ada lagi masyarakat yang menjadikannya sebagai
keterampilan seni.
Gambar 6. Pembuatan Batik Tulis dan Cap di Pesantren Penaber
Sebenarnya, sejumlah tokoh dan seniman Bawean juga
sadar, bahwa batik merupakan warisan kekayaan budaya
bangsa Indonesia yang harus dilestarikan. Namun demikian,
minimnya pengetahuan masyarakat terhadap seni batik
Bawean ini, membuat batik terlupakan begitu saja. Oleh
karenanya, melihat pada kenyataan yang mengenaskan ini kiai
Mustafa berusaha melestarikan batik Bawean melalui
kegiatan pembelajaran ngaji batik di Pondok Pesantren
Penaber.
27 Masyarakat Bawean banyak yang merantau ke luar negeri, seperti Malaysia, Siangapore,
dan beberapa negara lainnya, sehingga terjadi akulturasi budaya.
64
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
Gambar 7. Batik Buatan Santri Penaber
Pondok pesantren Penaber merupakan satu-satunya
lembaga pendidikan keagamaan yang punya andil besar
dalam melestarikan budaya lokal masyarakat Bawean.
Pondok Pesantren Penaber juga merupakan satu-satunya
pondok pesantren yang memproduksi batik dengan motifmotif khusus yang diambil dari budaya masyarakat Bawean
sesuai dengan perjalanan sejarahnya dari masa ke masa.
Bahkan, kini batik hasil buah tangan santri-santri penaber
juga sudah merambah ke tingkat nasional ditandai dengan
menjadi peserta pameran produk unggulan Indonesian
Product Expo (Inapro) 2021 di Grand City Surabaya.28 Seiring
dengan berjalannya waktu, dapat dilihat perkembangan batik
Penaber yang semakin dinamis. Dan hampir setiap tahun
pesantren penaber menerima kunjungan dari turis luar
28 https://klikjatim.com/bawa-motif-khas-bawean-batik-penaber-bawean-ikuti-pameraninapro-expo-2021/ dia - kses pada 23 Pebruari 2022.
Pelestarian Budaya Bawean
65
negeri. Beberapa di antara mereka memborong produk batik
buatan santri Penaber.
Selain budaya seni, di Pondok Pesantren Penaber ini juga
dilestarikan budaya Bahasa lokal, yakni bagaimana orang Bawean
pada zaman dulu berbicara. Karena nada bicara masyarakat
Bawean antara desa yang satu dengan lainnya berbeda.29 Peran
aktif kiai dalam melestarikan budaya Bawean sebagai bentuk
kepedulian dan ketertarikan beliau terhadap benda-benda
bersejarah yang syarat mempunyai nilai budaya dan sejarah
peradaban sosial masyarakat Bawean.
Saat ini ada banyak budaya Bawean yang sudah mulai tidak
digunakan oleh masyarakat Bawean sendiri. Bahkan generasi
muda banyak yang tidak mengenal budayanya sendiri, maka dari
itu perlu adanya upaya mempertahankan budaya Bawean agar
tidak punah. Selain itu pondok pesantren lahir dari masyarakat
maka salah satu bentuk pengabdian kepada masyarakat yaitu
dengan mempertahankan budaya Bawean. Pondok pesantren
merupakan tempat yang tepat untuk mengenalkan budaya
Bawean, karena di pondok pesantren terdapat banyak generasi
muda yang nantinya akan menjadi penerus.30
Setiap usaha pelestarian budaya yang ada di pesantren
Penaber dilakukan secara berkelanjutan, sehingga pesantren ini
sering mendapat kunjungan tamu dari berbagai wisatawan
domestik maupun manca Negara, yang biasanya mereka tertarik
akan benda-benda yang ada di museum pesantren penaber, serta
29
Kyai Mustofa, Pengasuh Pondok Pesantren Penaber, wawancara, Bawean 15 Desember
30
Ibid
2022
66
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
tata letak bangunan dhurung-dhurung yang ada di lingkungan
pesantren. Selain itu wisatawan atau tamu pemerintahan juga
biasanya disambut dengan kesenian khas pencak Bawean yang
dibawakan oleh santri-santri pesantren Penaber yang sudah
terlatih.31
B. Dukungan terhadap Upaya Pelestarian Budaya
Proses pelestarian budaya yang ada di pondok pesantren
Penaber ini didukung oleh semua pengurus dan santri. Setiap
aktivitas yang dilakukan oleh santri tidak lepas dari kegiatan
berlatih seni budaya disela-sela belajar ngaji kitab. dengan
menjadikan latihan sebagai sebuah rutinitas akan membuat para
santri semakin cepat menjiwai dan menguasai kesenian yang
dipelajari. Juga saat mendapatkan undangan tampil, perlombaan
atau festival santri sudah siap dengan ketrampilan yang
dimilikinya. Hal tersebutlah yang dimaksud dengan keberlanjutan
secara rutin. Dalam mempertahankan budaya Bawean, pondok
pesantren Penaber melakukannya secara terus menerus bukan
hanya ketika ada lomba dan sebagainya.32
Pondok pesantrem Penaber benar-benar berperan secara
aktif dalam upaya melestarikan budaya Bawean. Terdapat
beberapa budaya Bawean yang dipertahankan di pondok
Pesantren Penaber. Budaya yang dimaksud adalah budaya religi,
bahasa, kesenian, dan benda-benda atau peralatan. Dalam bidang
religi budaya Bawean yang turut dipertahankan di Pondok
31
Ust. Badruz Zaini, guru pondok pesantren Penaber, wawancara, Bawean 30 Desember
32
Ust. Hanif, guru pondok pesantren Penaber, wawancara, 15 Desember 2022
2022
Pelestarian Budaya Bawean
67
Pesantren Penaber yaitu manakiban. Sedangan dalam bidang seni
pondok pesantren Penaber mempertahankan identitas budaya
Bawean yang berupa dhungka, tari saman khas Bawean, dan
pencak silat.
Tidak hanya terlihat dalam bidang keseniannya saja bangunan Pondok Pesantren Penaberpun dibuat menyerupai rumahrumah pada zaman dulu, yaitu tidak menggunakan batu bata atau
beton tetapi menggunakan anyaman bambu. Selain itu Pondok
Pesantren
Penaber
juga
mengoleksi
dhurung.33
dhurung
merupakan tempat bercengkerama, bersantai, tempat bersosialisasi, bahkan dhurung juga kadang berfungsi ganda sebagai
tempat penyimpanan padi di atasnya. Saat ini dhurung sudah
mulai langka di Bawean.
Gambar 8. Dhurung Tempat Santri Mengaji Seni di Pondok Pesantren Penaber
33 Dhurung adalah bangunan dari kayu seperti Gazebo. Pada tradisi masyarakat Bawean
jaman dulu dhurung menjadi tempat menerima tamu, rapat terbatas (dalam Bahasa Bawean
disebut akompol). Di bagian atas dhurung terdapat ruangan yang kadang difungsikan sebagai
tempat penyimpanan padi atau sebagai kamar para remaja untuk beristirahat.
68
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
Dengan dihadirkannya atau dipertahankannya budayabudaya Bawean tersebut di Pondok Pesantren Penaber, telah
memberikan sumbangsih yang cukup besar untuk memperkenalkan budaya Bawean kepada generasi muda. Tujuan dari
pelestarian budaya Bawean di Pondok Pesantren Penaber adalah
agar budaya yang ada di Bawean tidak punah. Karena budaya
merupakan warisan yang sangat berharga.
Dengan dipertahankannya budaya Bawean di Pondok
Pesantren Penaber memberikan dampak positif khususnya bagi
masyarakat Paginda. Pada awalnya masyarakat dusun Paginda
sudah memiliki tradisi manakiban. Di mana setiap ada acara
kampung selalu diisi dengan manakiban. Namun seiring majunya
zaman generasi mudah sudah enggan dan gengsi untuk belajar
manakiban sehingga tidak ada generasi penerus. Di sinilah pondok
pesantren Penaber memainkan perannya dengan menghidupkan
kembali tradisi manakiban yang sudah mulai ditinggalkan oleh
masyarakat.
Upaya yang dilakukan oleh kiai Mustafa dengan pesantrennya
membuahkan hasil yang baik. Saat ini tradisi manakiban dusun
Paginda kembali semarak dan setiap ada acara kemasyarakat
selalu diisi dengan pembacaan manakib sebagaimana pada zaman
dulu. Hal membuktikan bahwa pondok pesantren Penaber
mempunyai peran yang besar dalam upaya melestarikan budaya
Bawean.
Pengasuh pondok pesantren Penaber juga mengadakan
outbond yang dilaksanakan pada setiap hari minggu dan diisi
dengan berlatih beberapa budaya Bawean seperti, pencak silat dan
Pelestarian Budaya Bawean
69
dhungka. Selain itu, ketika ada kegiatan warga seperti syukuran
atau hajatan biasanya minta dibacakan manakib oleh santri
pondok pesantren Penaber. Kebiasaan itu dapat meningkatkan
minat para santri dan pemuda sekitar pondok dalam memperkaya
pengetahuannya tentang kebudayaan dan tradisi.34
Disisi lain pengasuh juga sering memperkenalkan tentang
nama benda-benda yang merupakan peninggalan orang Bawean
pada masa dulu, yang saat ini benda-benda tersebut disimpan di
museum pesantren Penaber. Hal ini dikarenakan masih banyak
santri yang belum mengetahui nama dan fungsi dari benda
tersebut bahkan ada yang belum pernah melihat benda tersebut.
Selain itu juga tedapat beberapa koleksi yang ada dimuseum
pesantren Penaber yang hampir jarang ditemui saat ini
diantaranya Jhukong, senduk carong, rangghepan, lancet-lancet,
kor-koran, dan lain sebagainya. Apa yang dilakukannya ini
dilatarbelakangi oleh adanya harapan besar dalam diri kiai
Mustafa, yaitu ingin menanamkan rasa memiliki terhadap budaya
Bawean dalam diri setiap santrinya. Karena para santri inilah yang
akan menjadi penerus dan memperkenalkan budaya Bawean pada
generasi seterusnya.35
34 Badruzzaini, ustadz senior dan penggerak seni pondok pesantren Penaber, Wawancara,
Bawean 10 Januari 2023
35 Kiai Mustofa, Pengasuh Pondok Pesantren Nasy’atul Barokah Penaber, Wawancara,
Bawean 15 Januari 2023.
70
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
BAB VI
MOTIF KIAI DALAM
PELESTARIAN BUDAYA BAWEAN
Motif memiliki asal kata bahasa latin movere yang artinya
bergerak, atau to move to move yang memiliki arti suatu kekuatan
yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk
melakukan sesuatu.1 Motif adalah daya yang timbul dari dalam diri
seseorang yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu.2 Motif
muncul disebabkan adanya keinginan-keinginan yang belum
terpenuhi dan target yang hendak direalisasikan.3 Motif yang ada pada
setiap individu akan memunculkan suatu perilaku yang diarahkan
pada tujuan tercapainya sasaran kepuasan.4 Sehingga adanya
sejumlah motif itulah yang menjadi kekuatan dan faktor pendorong
bagi seseorang dalam melakukan sesuatu demi terpenuhinya berbagai
macam kebutuhan pokok dalam kehidupannya.
Pada dasarnya, seseorang melakukan suatu hal karena didorong
oleh motif tertentu.5 Motif merupakan keadaan internal yang terdapat
Bimo Walgito, Psikologi Umum (Yogyakarta: Ando, 2002), 5.
Intan Rachmawati, Pengantar Psikologi Sosial (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2022), 147. Lihat
juga Susy Yuliastanti dan Erpidawati, Perilaku Organisasi: Cara Mudah Menghadapi Perilaku SDM
Di Dalam Organisasi (Banyumas: CV. Pena Persada, 2021), 23-24. Bandingkan dengan Asmara
Indahingwati dan Novianto Eko Nugroho, Teori dan Praktek Sumberdaya Manusia (Surabaya: PT
Scopindo Media Pustaka, 2019), 158.
3 Yossie Risanty, et.al., Consumer Behaviour In Era Millennial (Medan: AQLI, 2018), 97.
4 M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita S, Teori Teori Psikologi (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), 83.
5 Sukatin, et.al., Manajemen dan Evaluasi Kerja (Yogyakarta: DeePublish, 2022), 122.
1
2
Pelestarian Budaya Bawean
71
dalam diri setiap individu dan mengarahkannya untuk berbuat
sesuatu berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, namun ia tak bisa
dilihat secara kasat mata dari perbuatan yang dilakukan. Motif yang
merupakan proses psikologis dalam diri seseorang bisa disebabkan
oleh banyak faktor.6 Berdasarkan pada penyebabnya, motif dapat
diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu: intrinsik dan ekstrinsik.
Intrinsik merupakan kekuatan dalam diri yang berhubungan dengan
kebutuhan tertentu. Sedangkan ekstrinsik adalah motif yang muncul
sebagai akibat adanya rangsangan dari luar.7 Demikian juga halnya
dengan kiai Mustafa, motif yang menjadi pendorong dalam upayanya
melestarikan budaya Bawean dapat dikelompokkan kedalam dua
kategori sebagai berikut:
A. Motif Internal
Motif internal meliputi keinginan untuk hidup, memilik, dan
memperoleh penghargaan. Dari sekian banyak bagian motif
internal ini yang ada dalam diri kia Mustafa adalah motif ingin
memiliki. Motif ingin memiliki tampak pada upaya yang
dilakukannya dalam mengumpulkan barang-barang peninggalan
masa lalu seperti rangghepan. Apa yang terbesit dalam benak kiai
Mustafa jauh dari sekedar apa yang tampak di hadapannya. Beliau
tidak melihat rangghepan itu hanya sebagai alat untuk panen padi
yang digunakan oleh masyarakat Bawean. Namun beliau
mengaguminya sebagai alat yang meskipun begitu kecil dan
6 Asmara Indahingwati dan Novianto Eko Nugroho, Teori dan Praktek Sumberdaya Manusia
(Surabaya: PT Scopindo Media Pustaka, 2019), 160.
7 Heri Zan Peter, et.al., Pengantar Psokopatologi Untuk Keperawatan (Jakarta: Kencana,
2011), 23. Para ahli berbeda dalam penggunaan istilah pembagian motif. Muarray misalnya lebih
memilih menggunakan istilah motif primer dan motif sekunder.
72
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
mungil tapi mampu memberi “kehidupan” kepada seluruh
masyarakat. Di samping itu, kiai Mustafa juga berusaha menelisik
filosofi dari alat tersebut dan siapa pembuatnya pertama kali. Jika
pembuatnya adalah seorang yang beragama Islam maka sudah
selayaknya kita berterima kasih dengan cara mendoakannya.8
Dari sisi internal, motif yang terdapat dalam diri kiai Mustafa
sehubungan upayanya melestarikan budaya Bawean dapat dibagi
menjadi tiga faktor. Pertama, diawali dari pribadi beliau yang
merindukan suasana saat masa mudanya.9 Kerinduan inilah yang
menjadi kekuatan pendorong sehingga mampu menciptakan
usaha yang dilakukan kiai untuk mewujudkannya kembali masa
lalunya dalam kehidupan masa kini di lingkungan pesantren
Penaber. Tentunya dengan mengajak orang-orang yang ada di
sekitarnya, yakni para santri.
Sejak kecil kiai Mustafa dikenal sebagai pecinta seni, terutama
seni budaya masyarakat Bawean. Keluarga kiai Mustafa dikenal
sebagai keluarga pengagum seni, maka tidak heran jika setelah
menjadi pengasuh pondok pesantren beliau tetap menjadi
pengagum seni, karena jiwa seninya telah terbentuk sejak kecil
dan dalam keluarganya sendiri. Beberapa kesenian yang pernah
ditekuni oleh kiai Mustafa sewaktu masih remaja adalah Hadrah,
samman, mandiling, zamrah, pelawak, bahkan dangdut.10
8 Kyai Mustofa, Pengasuh Pondok Pesantren Nasy’atul Barokah Penaber, Wawancara,
Bawean 15 Januari 2023
9 Ibid.
10 Ibid.
Pelestarian Budaya Bawean
73
Tidak hanya pecinta seni, keluarga kiai Mustafa ada yang ahli
bermain biola. Adalah Uwa11 Fathori, yang tak lain merupakan
kakek dari kiai Mustafa. Selain sangat lihai dalam memainkan alat
musik biola, ia juga punya keterampilan membuat biola sendiri.12
Sehingga banyak orang yang datang ke rumahnya sekedar untuk
mendengarkan Uwa Fathori bermain biola.
Gambar 9. Biola Hasil Buatan Tangan Uwa Fathori
Dari sini bisa dilihat bagaimana sebenarnya kecintaan kiai
Mustafa terhadap seni budaya Bawean terbentuk dan tertanam
dalam dirinya. Bukanlah suatu kebetulan jika kemudian beliau
menjadi seorang yang piawai dalam memainkan beberapa alat
musik tradisional, bahkan yang modern sekalipun. Hal itu tak lain
adalah hasil perjalanan yang panjang dari kakek moyangnya yang
merupakan pecinta sekaligus pelaku seni, yang kemudian bakat
itu menurun kepada dirinya.
11 Uwa dalam Bahasa Bawean memiliki arti “kakek”. Uwa fathori berarti kakek Fathori. Uwa
Fathori memiliki nama panggilanan keakraban, yaitu Akkong. Masyarakat sekitar lebih akrab
dan lebih mengenal beliau dengan nama “Akkong”. Ustadz Zainuddin, Tenaga Pengajar Pondok
Pesantren Penaber, wawancara, Bawean, 11 Januari 2023.
12 Biola hasil buatan tangan Uwa Fathori atau Akkong kini tersimpan di Museum
“Dhinggelan Kona” (peningggalan masa lalu) milik Pondok pesantren Penaber. Observasi,
Museum Pondok pesantren Penaber, 11 Januari 2023.
74
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
Kedua, Faktor Hobi. Hobi diserap dari Bahasa inggris hobby.
Hobi memiliki arti kegemaran atau kesenangan istimewa dalam
melakukan suatu kegiatan pada waktu senggang,13 dan bukan
menjadi pekerjaan utama.14 Sedangkan tujuan yang hendak
dicapai dari hobi adalah untuk memenuhi keinginan dan
mendapatkan kesenangan15 serta untuk menyegarkan kembali
badan dan pikiran yang telah lelah.
Hobi merupakan kegemaran. Kegemaran seseorang terhadap
sesuatu akan mendorongnya melakukan banyak hal untuk meraih
sesuatu tersebut. Rasa puas dan rasa senang yang dialami setelah
melakukan sesuatu yang disukai tidak dapat ditukar dengan
apapun. Bahkan hobi menjadi salah satu hal yang dapat
memunculkan minat.16 Hobi dapat dibagi menjadi beberapa jenis,
yaitu: a). Hobi membuat sesuatu, b). hobi memainkan sesuatu, c).
hobi mengumpulkan sesuatu, dan d). hobi yang tidak
berhubungan dengan tiga hal sebelumnya.
Disadari ataupun tidak, setiap orang pasti memiliki hobi.
Demikian juga halnya kiai Mustafa, memiliki hobi yang sangat
tinggi terhadap seni. Beliau hobi (gemar) untuk mengumpulkan
barang-barang antik peninggalan masyarakat Bawean yang
hampir hilang karena kemajuan zaman dan dilupakan oleh
13 Hani Widiatmoko, “Memanfatkan Hobi Sebagai Tambahan Penghasilan”, dalam Rara
Radianti, et.al., Kumpulan Artikel Finansial: Financial Tips For Mom (Bandung: Bitread, 2018), 66.
Bandingkan dengan Adi Surya Hutomo, et,al., “Peningkatan Keterampilan Tehnik Dasar Futsal
Melalui Penggunaan Media Video Pada Mahasiswa Putra Penghobi Futsal”, Prosiding Seminar
Nasional IPTEK Olahraga (2019), 23. (21-24)
14 https//kbbi.web.id/hobi
15 https://id.m.wikipedia.org/wiki/hobi.
16 Frylly Frycylya Warokka, et.al., “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Team Assisted
Individualization Terhadap Hasil Belajar Siswa Jaringan Dasar Siswa SMK”, EduTIK, vol. 2 no. 3
(Juni 2021), 277. (276-283)
Pelestarian Budaya Bawean
75
masyarakatnya. Selain mengumpulkan barang-barang kuno, ia
juga memainkan alat-alat musik.
Sejak kecil kiai Mustafa sudah memiliki hobi yang mendalam
terhadap seni dan budaya Bawean. Hobi ini terus mengalir dalam
dirinya hingga kini. Waktu luang yang dimilikinya dimanfaatkan
sebaik
mungkin
untuk
berlatih
dan
mengasah
kembali
keahliannya memainkan alat-alat musik, baik yang kuno maupun
yang sudah modern. Ia mengajak sejumlah santri untuk diajari
bermain alat-alat musik dan memberi mereka pemahaman akan
pentingnya menjaga warisan budaya nenek moyang yang tidak
ternilai
harganya.
Menurutnya
para
santri
perlu
diberi
pemahaman tentang kesenian sehingga mereka bisa cinta
budayanya sendiri.17
Dari sini kita melihat betapa besarnya semangat yang dimiliki
oleh kiai Mustafa, dan baginya tidak ada kata waktu luang, karena
sisa waktu yang digunakan melaksanakan kewajibannya sebagai
seorang guru dan kepala keluarga, beliau gunakan untuk
mengajari para santri memainkan alat-alat musik dan memberi
mereka motivasi agar lebih semangat dalam upaya melestarikan
budaya.
Ketiga, Ketenangan pribadi. Selain dua motif di atas, hal lain
yang mendorong kiai Mustafa dalam melestarikan budaya
masyarakat Bawean adalah keadaan internal yang berupa
ketenangan pribadi. Ketenangan dapat diartikan kondisi yang
tenang, tidak gusar dan berhubungan erat dengan hati seseorang,
17 Kiai Mustafa, Pengasuh Pondok Pesantren Nasy’atul Barokah Penaber, Wawancara,
Bawean 22 November 2022.
76
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
batin dan pikirannya. Ketenangan diciptakan agar seseorang
dapat merasakan kedamaian dalam dirinya. Ada banyak cara
untuk mendapat ketenangan jiwa, salah satunya adalah dengan
menikmati karya seni. Di antara karya seni yang paling banyak
diminati adalah seni musik. Dapat dikatakan bahwa seni musik
merupakan jenis seni yang dinikmati setiap hari oleh manusia di
seluruh dunia.18
Salah satu hal yang mendorong kiai Mustafa melestarikan
budaya Bawean adalah lahirnya ketenangan dalam dirinya yang
didapat ketika melihat benda-benda peninggalan jaman dulu, atau
ketika
mendengarkan
dan
memainkan
alat-alat
musik.
Ketenangan pribadi inilah yang kemudian memunculkan ide dan
memotivasi beliau untuk terus merawat benda-benda tersebut di
museum Dhingghelan Kona pesantren Penaber. Kiai Mustafa
merasakan adanya kedamaian yang mengalir dalam dirinya ketika
banyak orang yang ingin mengetahui serta mempelajari budaya
Bawean dan itu semua dapat mereka temukan di pondok
pesantren Penaber. Sehingga banyak orang mengatakan, “zaman
sekarang kalau mau mencari warisan budaya Bawean yang sudah
punah, cukuplah datang ke pesantren Penaber. Penaber adalah
miniature Bawean”.19
Semangat kiai Mustafa dalam upayanya melestarikan budaya
Bawean semakin bertambah kuat ketika jerih payahnya ini
mendapat sambutan dan dukungan moral dari masyarakat
18 Agus setyawan, “Seni Musik Islami: Cara Memahami Seni Musk Sayyed Hosein Nashr”,
artikel online https://fatcat.wiki/release/ysyjyz6tfja57iumqow6l3msvm diakses pada 10
Januari 2023.
19 Kyai Mustofa, Pengasuh Pondok Pesantren Penaber, wawancara, Bawean 22 November
2022.
Pelestarian Budaya Bawean
77
Bawean. Ketika masyarakat Bawean ingin mengetahui budayanya
sendiri, mereka akan datang dan menemukannya di pondok
pesantren ini. Saat itulah kiai Mustafa merasakan ketenangan
pribadi karena dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi
masyarakatnya. Rasa senang dan bahagia yang dialami ini
semakin memperteguh tekadnya mencapai tujuan pelestarian
budaya. Yang pada saat bersamaan juga memunculkan motivasi
yang mendalam pada diri kiai, sehingga ia merasa kembali muda.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Suhono bahwa, “makin besar
nilai tujuan bagi individu yang bersangkutan maka makin besar
pula motivasi dalam melakukan perbuatan”.20
Kebijakan yang diambil oleh kiai Mustafa dalam hubungannya
dengan mendirikan Museum Dhinggelan Kona, Abhesa dan ngaji
seni yang dilakukan dalam setiap minggu mempunyai tujuan agar
setiap santri yang belajar pondok pesantren Penaber mampu
mengenal, menghargai dan melestarikan kebudayaannya. Para
santri perlu mengenal budaya abhesa karena ia merupakan akhlak
santri dalam berbicara dengan orang yang lebih tua, baik itu kiai,
pengurus, orang tua, atau bahkan teman sesama santri. Dalam
budaya masyarakat Bawean orang yang belajar di pondok
pesantren namun belum mampu menggunakan bahasa abhesa
maka proses belajarnya dianggap belum selesai. Sehingga di
pesantren Penaber ini para santri sangat ditekankan untuk
menggunakan Bahasa abhesa dan dipraktikkan antar sesama
santri.
20 Suhono, Penggunaan Model Pembelajaran Make A Match Untuk Meningkatkan Motivasi
dan Hasil Belajar Sistem Reproduksi Manusia (Surakarta: UNISRI Press, 2022), 15.
78
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
Budaya abhesa ini sangat penting diketahui dan diamalkan
oleh para santri. Karena ia dianggap bagian dari akhlakul karimah.
Sehingga keberhasilan seseorang dalam belajar ilmu agama di
pondok pesantren tidak sekedar diukur dari segi kepandaiannya
membaca kitab-kitab kuning sebagai literatur warisan ulama
klasik. Namun juga dilihat dari segi bagaimana santri berinteraksi,
bersikap dan bertutur kata dengan sesama santri, santri dengan
para asatidz dan pengurus, serta antara santri dengan masyarakat
luas, termasuk sikap dengan orang tuanya.21 Kesadaran budaya
yang ditanamkan oleh kiai sudah mampu mempengaruhi santri
dan tenaga pendidik yang ada dilingkungan pesantren Penaber.
B. Motif Eksternal
Selain dari motif internal yang mampu memberikan dorongan
kepada kiai Mustafa dalam memelihara dan melestarikan budaya
Bawean, juga ada motif eksternal yang tidak kalah pentingnya
dalam mempengaruhi tindakannya tersebut. Di antara motif
eksternal yang dimaksud adalah tidak adanya dukungan dari
pemerintah setempat baik desa, kecamatan, maupun kabupaten
secara preventif untuk merawat kesenian-kesenian itu. Hal
tersebutlah yang menjadi kekecewaan kiai sehingga termotivasi
untuk semakin giat dan kuat mengajak santri-santrinya serta guru
yang ada di pesantren Penaber untuk ikut menjaga, mengembangkan dan melestarikan seni budaya Bawean. Kekecewaan kiai
Mustafa akan ketidakhadiran pemerintah dalam upaya pelestarian budaya yang dilakukan oleh pondok pesantren Penaber terlihat
21
Zaenal Arifin, santri senior, wawancara, Bawean 11 Desember 2022
Pelestarian Budaya Bawean
79
dari pernyataannya bahwa, “Tadeklah, tadek. Jangankan padena
museum seumpama, batik bhelekak tadek se ngadukung (tidak
adalah, tidak ada. Jangankan seperti museum seumpama, batik
saja tidak ada yang mendukung).22
Di lain kesempatan beliau juga mengungkapkan hanya
menunggu pemerintah sadar saja, karena beliau merasa lelah jika
berharap kepada pemerintah dalam melestarikan budaya. Merasa
terlalu sering dimanfaatkan dalam berbagai kegiatan kedinasan
tanpa adanya dukungan yang nyata. Hal ini terlihat dalam
beberapa kegiatan pariwisata yang sering melibatkan santri dari
pesantren Penaber untuk tampil dalam beberapa festival mengisi
acara untuk memeriahkannya. Namun ironisnya, pemerintah
setempat atau dinas lainnya tidak satupun yang memberikan
bantuan dan dukungan terhadap upaya yang dilakukannya ini.
Menurutnya, sebenarnya pemerintah -khususnya dinas
pariwisata dan kebudayaan- punya kewajiban untuk ikut andil
dalam upaya pelestarian budaya, karena budaya Bawean adalah
bagian dari warisan budaya Indonesia. Peran serta ini bisa
diwujudkan dalam banyak bentuk, seperti membuat flayer yang
bertujuan untuk memperkenalkan dan mempromosikan budaya
Bawean, mengarahkan para tamu dinas pariwisata yang datang ke
Bawean dan dibawa ke pondok pesantren Penaber, dan
memberikan dukungan dana agar pelestarian budaya dapat
dikelola dengan manajemen yang lebih baik. Namun semua itu
22
Kiai Mustofa, Pengasuh Pondok Pesantren Penaber, wawancara, Bawean 22 November
2022.
22 Zaenal Arifin, santri senior pondok pesantren Penaber, wawancara, Bawean 11
Desember 2022
80
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
tidak pernah dilakukan sehingga yang terjadi hanyalah sebuah
harapan yang tidak ada kejelasan.23
Dibandingkan dengan pemerintah, ternyata lembaga-lembaga
pendidikan jauh lebih tertarik untuk memperhatikan seni budaya
Bawean. Ini bisa dilihat dari seringnya lembaga pendidikan
setingkat SD dan MINU yang membawa siswanya ke pesantren ini
dan memperlihatkan warisan budaya yang ada di museum
Dhingghelan Kona. Sementara pemerintah setempat dengan
berbagai macam dinas yang ada sepertinya belum punya gairah
untuk ikut andil dalam upaya pelestarian budaya Bawean.
Beberapa kenyataan di atas itu telah melahirkan kekecewaan yang
mendalam bagi kiai Mustafa sekaligus menjadi salah satu kendala
dalam upaya yang ditekuninya. Sebagai akibat dari kekecewaan
tersebut maka pada saat launching atau peresmian museum
Dhingghelan Kona kiai Mustafa tidak ingin hal itu dilakukan oleh
pemerintah atau dinas pariwisata. Akan tetapi beliau lebih suka
jika hal itu bisa dilakukan oleh asosiasi atau organisasi swasta.
Sehingga akhirnya, beliau memilih PSB (Persatuan Saudagar
Bawean) yang meresmikan museum Dhingghelan Kona.24
Dengan mengacu pada penjelasan di atas dapat diketahui
bahwa
motif
kiai
dalam
pelestarian
budaya
Bawean
dilatarbelakangi oleh dua hal, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal, sebagai pengalaman yang sudah merawat dan
mengumpulkan benda-benda khas orang Bawean. Dalam
kenyataannya sedikitnya terdapat tiga hal yang bisa ditemukan
23
Kiai Mustofa, Pengasuh Pondok Pesantren Penaber, wawancara, Bawean 22 November
2022.
24
Ibid.
Pelestarian Budaya Bawean
81
dalam motif yaitu 1) Memberikan dorongan secara contineu, 2)
Memberikan kekuatan pada suatu perilaku, 3) Menyeleksi
tindakan mana yang akan atau tidak dilakukan. Di samping itu,
terkandung pula dua unsur mendasar dalam setiap motif, yaitu: 1)
harapan tinggi akan keberhasilan, dan 2) takut akan kegagalan.
Oleh karenanya, setiap tindakan yang lahir dari manusia selalu
terdapat suatu keinginan untuk mencapai harapan-harapan yang
menyenangkan serta terhindar dari suatu kegagalan yang
mungkin terjadi.25
Hal tersebut persis apa yang dialami oleh kiai dalam usaha
melestarikan budaya Bawean di pesantren Penaber, adanya
dorongan yang kuat dari diri pribadi dan faktor luar yang
menumbuhkan motivasi untuk bertindak atau mengambil sikap.
Selain itu adanya rasa kekecewaan yang mampu memberikan
kekuatan untuk terus mencari celah jaringan yang mampu
mendukung usahanya dalam mengenalkan dan melestarikan
budaya. Serta memahami perilaku dari hasil timbal balik yang
telah dialami ketika melakukan kerja sama, dari situ dapat
diketahui siapa yang dapat mendukung dan tidak berkenan
mendukung pelestarian budaya. Pengharapan yang berlebihan
terhadap dukungan dari pemerintah untuk pengembangan
budaya belum dapat diharapkan, namun tidak ada ketakutan
dalam membangun jaringan sendiri tanpa campur tangan
pemerintah dalam melestarikan budaya khas Bawean.
25 Monk, F,J, Knoer. A.M.P. dan Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan (Yokyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1982), 162-163.
82
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
BAB VII
PERAN KIAI DALAM PERSPEKTIF
PRAKSIS SOSIAL PIERRE
BOURDIEU
Suatu peran merupakan perpaduan antara posisi dan pengaruh.
Individu yang sedang menunaikan hak dan kewajibannya maka bisa
dikatakan bahwa ia telah suatu peran. Seringkali seseorang
menuliskan kata peran, akan tetapi terkadang ia kesulitan dalam
menjelaskan dan memaknai arti kata peran itu sendiri. Pada beberapa
kasus, peran biasanya sering dikaiteratkan dengan fungsi. Peran dan
status tidak dapat dipisahkan, karena pada kenyataannya tidak ada
peran tanpa suatu kedudukan ataupun status, demikian pula
sebaliknya tidak ada status tanpa diiringi dengan peran. Setiap
individu memiliki peran tersendiri dalam berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya. Peran yang dimiliki oleh seseorang akan sangat
menentukan seberapa besar ia dapat melakukan sesuatu untuk
masyarakatnya. Sebaliknya, peran yang dimainkan oleh seseorang
punya andil besar dalam memastikan berbagai kesempatan yang bisa
diberikan oleh masyarakat kepadanya.
Mengintip makna peran dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan
sebagai suatu hal yang dilakukan dan memiliki pengaruh besar
Pelestarian Budaya Bawean
83
terhadap suatu peristiwa.1 Peran merupakan serangkaian tindakan
yang seharusnya dilaksanakan oleh seseorang sesuai dengan status
dan kedudukan yang dimilikinya dalam kehidupan sosial, baik formal
maupun non formal. Soejono menjelaskan bahwa peran diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Peran Aktif
Yang dimaksud dengan peran aktif adalah sikap individu yang
selalu giat dan bersemangat dalam melakukan berbagai aktivitas
dalam sebuah organisasi. Keaktifan seseorang dapat dengan
mudah dilihat pada tingkat kehadirannya dalam mengikuti
berbagai kegiatan serta sejauh mana ia bisa memberikan
kontribusi pada organisasinya. Apabila seseorang memberikan
kontribusi penuh bagi lembaga yang dipimpinnya maka orang
tersebut dapat dikatakan sebagai pemimpin yang dapat
dikategorikan dalam jenis peran aktif.2
2. Peran Partisipasif
Yang dikehendaki dengan peran partisipasif adalah suatu
tindakan yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan pada tingkat
kebutuhan dan hanya pada waktu tertentu saja.3 Misalnya ketika
dalam suatu lembaga yang dipimpinnya terdapat suatu masalah
maka baru seorang pemimpin tersebut turun tangan.
Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap (Surabaya: Apolo, 1997), 487.
Rijal Maulana Ali & Muhammad Nurul Yakin, Peran Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan
Prestasi Siswa (Bandung: Haura Utama, 2022), 7.
3 Ki Sigit Sapto Nugroho, Punakawan: Penuntun Menuju Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Klaten:
Lakeisha, 2020), 55.
1
2
84
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
3. Peran Pasif
Peran pasif ialah sumbangan anggota kelompok yang bersifat
pasif, di mana anggota kelompok menahan diri dan tidak
menjalankan peran yang seharusnya. Peran jenis ini hanya
menjadi simbol bagi pemiliknya, karena pada kenyataannya ia
tidak pernah melakukannya.4
Dilihat dari segi peran sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat
dipahami bahwa peran yang dipilih oleh kiyai Mustafa dalam
kaitannya dengan pelestarian budaya Bawean adalah peran aktif. Hal
ini bisa dilihat dari sejumlah kebijakan yang diambilnya mulai dari
mendirikan museum dhingghelan kona, modifikasi seni, membentuk
sanggar budaya Rasbuba dan memberikan orientasi agar masyarakat
Bawean khususnya generasi mudanya memiliki kesadaran budaya.
A. Habitus
Habitus adalah keadaan metal seseorang atau sekelompok
orang yang menjadi acuan dalam menjalani kehidupan di
masyarakatnya. Sebuah habitus tidaklah lahir begitu saja,
melainkan ia dibentuk melalui sebuah proses yang sangat panjang
sehingga betul-betul menjadi jati diri dari pemiliknya. Habitus
setua usia manusia, artinya bahwa habitus ada sejak manusia
pertama
diciptakan
kemudian
berinteraksi
dengan
alam
sekitarnya.5
Pondok pesantren Penaber yang dikenal dengan pesantren
budaya ini juga mampu mempengaruhi habitus santri dalam
Soekamto soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 2012), 143.
Siti Muri’ah dan Gianto, Kekerasan Simbolik di Madrasah (Ponorogo: Myria Publisher,
2020), 52.
4
5
Pelestarian Budaya Bawean
85
kehidupannya. Berbagai macam bentuk kegiatan ekstrakurikuler
seni yang ada di pondok pesantren Penaber menyebabkan santrisantri di sana terbiasa dengan kegiatan kesenian. Keseniankesenian itu adalah kesenian khas masyarakat Bawean yang pada
masa sekarang sudah banyak ditinggalkan.
Ketersediaan kesenian inilah yang membiasakan para santri
untuk terus berkegiatan dan berlatih melestarikan budaya
Bawean di pesantren Penaber. Meski dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, namun kesenian yang ada di
pesantren Penaber masih tetap diminati oleh santrinya, adapun
kesenian yang ada di pesantren ini teraktualisasi dalam beberapa
kegiatan yaitu ngaji kitab, ngaji musik, ngaji seni, ngaji batik. Yang
awalnya para santri sebelum masuk ke pesantren belum
mengenal macam ragam seni Bawean, setelah masuk ke pesantren
Penaber mereka mulai mengenal dan membiasakan diri dengan
aktivitas yang dilakukannya setiap hari. Mereka memiliki
semangat dan nilai-nilai yang dipegang yang digunakan untuk
memahami setiap ragam seni. Habitus dibentuk melalui proses
yang panjang,6 sebagaimana semangat santri serta nilai yang
tertanam pada diri mereka untuk mencitai kebudayaan sesuai
dengan harapan dari kiai pesantren Penaber.
Bourdieu berpandangan bahwa habitus terbentuk dari hasil
interaksi dengan orang lain.7 Kebiasaan yang ditanamkan pada
santri merupakan sikap mental atau tindakan yang dilakukan
6 Tenriwaru, Kesejahteraan Tanpa Sekat: Sebuah Kritik Terhadap Akuntansi CSR (Gowa: CV.
Tohar Media, 2021), 73.
7 Eko Supriyanto, Ikat kait Impulsif Sarira: Gagasan Yang Mewujud Era 1990-2010
(Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca, 2018), 137. Lihat juga Suardi, et.al., Penguatan Pendidikan
Karakter Barbasis Integratif Moral Di Perguruan Tinggi (Banten: CV. AA. Rizky, 2020), 86.
86
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
secara tak langsung merupakan kontribusi dari hasil interaksi
dengan individu atau kelompok lain. Mereka menyerap
pengetahuan dan pengalaman orang lain untuk dapat bersikap
lebih baik di kehidupan sosialnya.
Masih dipercayainya bahwa berkah dan ridho kiai juga
mampu mempengaruhi pola pikir santri sehingga menghasilkan
nilai-nilai dalam diri mereka.8 Salah satu nila yang dipegang oleh
santri pesantren Penaber yaitu nilai menghargai budaya dan
menghormati setiap orang yang datang ke pondok pesantren
Penaber. Nilai menghargai budaya dan menghormati orang lain
inilah yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kesenian
budaya yang dipelajari di pesantren ini. Penanaman nilai-nilai ini
berlangsung dalam waktu yang cukup lama sehingga menjadi
sebuah habitus. Hal inilah yang dijelaskan oleh Bourdieu bahwa
habitus merupakan seperangkat pengetahuan untuk memahami
nilai-nilai yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.9
Pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya menjaga
kelestarian
budaya
bagi
generasi
muda
Bawean
mulai
mempengaruhi kebiasaan dalam kehidupan santri di pesantren
Penaber. Kegiatan ngaji seni, ngaji kitab, ngaji batik, ngaji musik
telah menjadi habitus baru yang tercipta karena pengambilan
keputusan untuk menjadi santri di pondok pesantren Penaber.
Tidak hanya bagi para santri namun juga bagi para tenaga
pengajar yang ada di pesantren ini, yang mulai terbiasa dengan
8 Aditya Firdaus & Rinda Fauzian, Pendidikan Akhlak Karimah Berbasis Kultur Pesantren
(Bandung: Alfabeta, 2018), 25.
9 Adi Nu Vianto, et.al., Seloprojo: Aktraksi Seni Dan Budaya Di Kaki Gunung Telomoyo
(Tasikmalaya: Langgam Pustaka, 2022), 24.
Pelestarian Budaya Bawean
87
aktivitas baru yang diciptakan oleh pengasuh pesantren Penaber
dalam usaha untuk melestarikan budaya Bawean. Ikut dalam
kegiatan ngaji seni, ngaji batik dan ngaji musik secara tidak
disadari mampu mempengaruhi pola pikir dan tindakan para
santri dan ustad yang ada di pesantren Penaber.
Segala nilai dan cara bertindak yang dilakukan oleh masingmasing individu telah dipengaruhi oleh kondisi objektif budaya
yang terdapat dalam aktivitas di pesantren. Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai Pelbagai sikap yang relatif permanen
yang menjadi landasan bagi seseorang dalam melihat, bertindak
dan berpikir.10 Habitus terbentuk dari praktik-praktik yang
dilakukan oleh individu atau agen dalam melaksanakan sesuatu
atau menyelesaikan masalah.
Dalam buku ini yang menjadi aktor utama adalah kiai Mustafa
pengasuh
pondok
pesantren
Penaber
yang
menciptakan
lingkungan pesantren sesuai dengan pola pikirnya, sehingga
semua orang yang ada di dalam lingkungan pesantren tersebut
terpengaruh dengan kondisi objek yang dibentuk. Hal ini yang
menciptakan habitus baru bagi setiap santri yang menentukan
pilihannya di pesantren Penaber. Yang demikian itu di karena
habitus
bekerja
di
bawah
kesadaran
individu11
secara
keseluruhan telah menyatu dalam nilai-nilai yang dianut oleh
semua civitas yang ada di lingkungan pondok pesantren Penaber.
Habitus tersebut disebabkan oleh praktik-praktik dan interaksi
10 Pierre Bourdieu, Habitus: Sebuah Perasaan Atas Tempat”, Terj. Anton Novenanto. Jurnal
Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 1 No. 2, (2018), 153-158.
11 Fitri Mutia, Antologi Teori Sosial: Kumpulan Karya-karya Pilihan (Surabaya: Airlangga
University Press, 2021), 151.
88
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
yang mereka lakukan dengan sesama santri, ustad dan kiai selama
belajar di pesantren Penaber. Hal ini sejalan dengan Prasetyawati
yang menyatakan bahwa habitus adalah disposisi yang tidak
terbentuk secara mendadak, tetapi melalui proses panjang
keterlibatan individu sebagai agen dalam pengalaman dunia
sosial.12
B. Modal
Istilah modal sering kali dikaitkan dengan kepemilikan materi.
Meski memiliki kesamaan, namun modal dalam pandangan
Bourdieu tidak sekedar diartikan sebagai akumulasi materi
(uang), melainkan ia mencakup makna yang jauh lebih luas. Modal
diartikan sebagai bentuk hasil kerja keras seseorang yang
termanifestasikan dalam bentuk kepemilikan benda ataupun nilai
yang tertanam dalam diri individu.13 Selain itu, modal juga dapat
berupa sesuatu yang dimiliki oleh setiap orang di tengah-tengah
masyarakatnya, di mana modal ini dapat dimanfaatkan dalam
memastikan kedudukannya dalam sebuah arena.14
Sebagai makhluk sosial, setiap orang dalam menjalani
kehidupannya sudah bisa dipastikan memiliki sejumlah modal
yang dapat dipergunakan untuk mencapai cita-citanya atau dalam
berinteraksi dengan anggota masyarakat yang lain. Namun
demikian, modal yang dikehendaki di sini tidak hanya terbatas
pada yang berbentuk materi saja, melainkan ia juga meliputi
12 Yuliana Riana Prasetyawati & Glen Ramli, Exposure: Jurnal of Advanced Communication,
vol. 2 no. 1 (Januari 2012), 265-406.
13 Nanang Martono, Kekerasan Simbolik DI Sekolah Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre
Bourdieu (Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2012), 33.
14 Siti Muri’ah dan Gianto, Kekerasan Simbolik di Madrasah (Ponorogo: Myria Publisher,
2020), 67.
Pelestarian Budaya Bawean
89
modal non materi yang tidak dapat diraba maupun dilihat dengan
mata telanjang. Secara umum modal dapat dimasukkan ke dalam
beberapa kategori, seperti modal sosial, modal ekonomi, modal
budaya dan modal simbolik.15
1. Modal Sosial
Modal sosial merupakan kumpulan dari sejumlah sumber
daya aktual yang dimiliki oleh seseorang dan erat kaitannya
dengan keluasan jaringan dalam interaksi sosial dengan pihak
lain.16 Dengan kata lain, kuat dan tidaknya modal sosial
seseorang ditentukan oleh posisi yang ditempati sehingga
mampu menguasai dan membangun relasi.17
Dalam modal sosial terdapat beberapa unsur yang saling
berkaitan, di antaranya adalah partisipasi, jaringan, hubungan
timbal balik, kepercayaan, nilai, norma dan tindakan proaktif.
Modal sosial (social modal) tak lain adalah kekuatan yang
didapatkan karena adanya jaringan serta pengaruh dalam
lingkup sosial.18 Kemampuan seorang kiai untuk berpartisipasi secara aktif dalam suatu entitas kelompok akan dapat
membangun kerja sama dalam suatu jaringan demi
tercapainya tujuan bersama. Karena dalam hubungan kerja
sama terdapat timbal balik yang saling menguntungkan satu
sama lain. Partisipasi dan hubungan timbal balik yang
15 Sa’diyah El Adawiyah, “Modal Sosial Kepemimpinan Perempuan Dalam Pembangunan”,
dalam Ade Fahrudin et.al., Dinamika Gender & Perubahan Sosial (Bandung: Widina Media Utama,
2022), 18. Lihat juga Nanang Martono, Kekerasan Simbolik DI Sekolah Sebuah Ide Sosiologi
Pendidikan Pierre Bourdieu (Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2012), 33.
16 Nanang Martono, Kekerasan Simbolik DI Sekolah Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre
Bourdieu (Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2012), 33.
17 Moh. Nizar & Wais Alqorni, Book Series: Demokrasi dan dan Otonomi Daerah Dinasti
Politik dan Demokrasi Lokal (Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 2021), 186.
18 Novri Susan, Sosiologi Konflik: Teori-teori Dan Analisis (Jakarta: Kencana, 2019), 64.
90
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
dilakukan oleh kiai terlihat dalam keikutsertaan kiai sebagai
pengurus atau ketua dari LESBUMI PCNU Bawean. Dari
keaktifan dan keikutsertaannya dalam organisasi kemasyarakatan tersebut akan mampu meningkatkan jaringan
dan interaksi. Dengan interaksi yang aktif maka muncullah
kepercayaan dari banyak pihak untuk menjalin bekerja sama
dengan pondok pesantren Penaber. Seperti diakui oleh Fitria
dan Yanto bahwa keterlibatan individu dalam suatu kelompok
akan memberinya akses untuk mendapatkan kepercayaan
kolektif.19
2. Modal Ekonomi
Bourdieu menyebutkan modal ekonomi sebagai modal
material. Maksud dari modal ekonomi yaitu segala sesuatu
yang bernilai ekonomi.20 Sesuatu yang dapat dikonversikan ke
dalam bentuk atau terinstitusionalisasi ke dalam bentuk
properti.21 Kendaraan, rumah, barang-barang lainnya disebut
sebagai modal ekonomi (finansial). Adapun modal ekonomi
yang dimiliki oleh kiai dalam pelestarian budaya Bawean ini
dapat diperoleh dari mengumpulkan uang SPP santri, gaji dari
profesi mengajar, dan sumbangan dari para dermawan yang
tidak mengikat. Termasuk juga dalam bagian ini adalah semua
gedung dan kepemilikan tanah pondok pesantren Penaber.
19 Umi Fitria & Bagus Endri Yanto, Urgensi Momdal Sosial Dalam Pembentukan Karakter
Wirausaha (Yogyakarta: K-Media, 2022), 9.
20 F. Ahmad Kurniawan, Kuasa Akuntan Publik Dan Eksistensi Laporan Audit Simbolik:
Boudieusian Perspective (Malang: Penerbit Peneleh, 2022), 41.
21 Muhaimin Zulhair, “Bourdieu dan Buhungan Internasional: Konsep, Aplikasi dan Filsafat
Ilmu”, Jurnal Transformasi Global, Vol. 3 No. 2 (2016), 131. (125-144).
Pelestarian Budaya Bawean
91
3. Modal Budaya
Bourdieu memberi pandangan bahwa modal budaya
merupakan keseluruhan kualifikasi intelektual yang diperoleh
secara formal maupun dari hasil warisan keluarga.22 Modal
budaya yang dimilik pengasuh pondok pesantren Penaber
yang diperoleh dari pendidikan, pengalaman, hobi, dan
keahlian yang dimilikinya. Pemanfaatan modal budaya
tersebut dapat digunakan sebagai modal dalam melestarikan
budaya Bawean. Pengetahuan dan pengalaman dari kiai ini
dapat memberikan kontribusi untuk memutuskan konsep
pengembangan
pesantren
yang
berkaitan
dengan
pengembangan budaya Bawean.
4. Modal Simbolik
Yang dimaksud dengan modal simbolik adalah suatu
modal yang erat kaitannya dengan kekuasaan, kewenangan
dan reputasi.23 Ia meliputi kekuasaan seseorang yang
disebabkan oleh kekuatan secara fisik maupun kelebihan di
bidang ekonomi. Karenanya, modal simbolik mencakup segala
bentuk prestis, kemasyhuran,24 status, nama baik keluarga,
otoritas dan legitimasi.25 Modal jenis ini sebenarnya dapat
diperoleh melalui legitimasi kehormatan dan garis nasab,
semisal keluarga bangsawan atau individu yang menempati
22 Tawakkal Baharuddin, Modalitas Dalam Pemilukada: Bupati Perempuan Pertama Di
Sulawisi Selatan (Metro: Gre Publishing, 2017), 38.
23 Moh. Nizar & Wais Alqorni, Book Series: Demokrasi dan dan Otonomi Daerah Dinasti
Politik dan Demokrasi Lokal (Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 2021), 188.
24 Tatik Hidayati, Nyai Madura: Modal Dan Patronase Perempuan Madura (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2022), 89.
25 Fauzi fashri, Pierre Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol (Yogyalarta: Jalasutra, 2016),
109.
92
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
posisi tertentu di masyarakat. Legitimasi sendiri merupakan
sebuah penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap
individu tertentu karena kelebihan yang dimilikinya.
Modal simbolik memiliki nilai tawar yang tinggi di tengahtengah masyarakat. Hal itu dikarenakan modal simbolik hanya
bisa dimiliki oleh sekelompok individu tertentu saja, tidak
dimiliki masyarakat pada umumnya. Namun demikian,
walaupun modal simbolik dapat diwariskan, ianya tetap
memerlukan adanya pengakuan dari masyarakat di mana
modal ini direproduksi.
Adapun modal simbolik yang dimiliki oleh kiai Mustafa
sebagai
pengasuh
pondok
pesantren
Penaber
dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: Pertama, modal
yang dapat dilihat oleh mata berupa pondok pesantren,
bangunan museum dan isinya. Dengan modal simbolik yang
pertama ini telah mampu menjadikan pesantren Penaber
mempunyai daya tarik yang dapat diperhitungkan. Sehingga
masyarakat luar bahkan masyarakat Bawean sendiri yang
ingin mengetahui budaya Bawean cukup datang ke pesantren
ini. Karena pesantren Penaber telah menjadi semacam
miniatur kehidupan masyarakat Bawean tempo dulu. Di mana
pesantren ini memiliki sebuah museum mini “Dhingghelan
Kona” dan di dalamnya dapat ditemukan berbagai barang
berharga sebagai warisan budaya masyarakat Bawean tempo
dulu. Banyak orang yang datang ke pesantren Penaber
sekedar untuk mengetahui budaya-budaya Bawean.
Pelestarian Budaya Bawean
93
Melihat pada pesantren Penaber yang banyak menyimpan
warisan budaya, maka tak heran jika pesantren ini sering
dikunjungi oleh beberapa Lembaga Pendidikan yang ada di
pulau Bawean, baik Pendidikan dasar maupun Pendidikan
menengah dan perguruan tinggi. Bahkan beberapa mahasiswa
dari perguruan tinggi yang ada di daratan Jawa juga datang ke
pesantren ini untuk melakukan penelitian yang berhubungan
dengan budaya masyarakat. Kenyataan ini menunjukkan
betapa kuatnya pengaruh modal simbolik yang dimiliki oleh
kiai Mustafa dalam upayanya melestarikan budaya Bawean.
Kedua, modal simbolik yang tidak kasat mata yaitu berupa
gelar dan kedudukan dalam struktur pondok pesantren,
organisasi keagamaan, dan sebagai kiai yang keberadaannya
benar-benar diakui di tengah masyarakat. Dengan modal
simbolis yang dimiliki sebagai kiai ini akan lebih mudah
memberikan instruksi kepada para santri dan tenaga pendidik
yang ada di lingkungan pesantren serta akan lebih mudah
diterima dan dilaksanakan. Namun demikian, sekalipun modal
simbolis berupa pengasuh dan gelar kiai telah memberikan
pengaruh yang sangat besar dan terbatas terutama di internal
pesantren Penaber, kiai Mustafa menggunakan pengaruhnya
ini secara bijak dan tanpa ada unsur tekanan. Kiai hanya
memperkenalkan budaya-budaya Bawean yang pernah ada
serta memberi pemahaman dan menanamkan cinta budaya
kepada para santrinya. Dalam upaya itu pula kiai memberi
kebebasan santri memilih ingin ikut andil di bagian apa.
Pemanfaatan modal simbolis ini hendaknya dilakukan secara
bijaksana agar berjalan optimal.
94
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
C. Ranah
Ranah atau arena adalah medan yang menjadi tempat bagi
para agen dan aktor sosial untuk saling mempengaruhi dan
bersama-sama
memperebutkan
modal.26
Dalam
menjalani
kehidupan di tengah masyarakatnya seseorang harus memahami
situasi dan kondisi yang terjadi selanjutnya menguasai keadaan
tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Bourdieu bahwa di dalam
suatu lingkungan sosial atau ranah, dengan segenap strategi yang
dimiliki setiap orang (agen) berada pada suatu keadaan dan saling
berkompetisi guna memperebutkan dan menguasai sumber
kepentingan dan modal-modal yang menjadi ciri khas wilayah
tersebut dengan dominasi strategi yang berbeda.27
Pondok pesantren Penaber merupakan pesantren yang memiliki berbagai macam kesenian baik itu seni secara fisik (benda)
maupun non fisik (tari-tarian dan pencak silat), pesantren ini
dijuluki dan terkenal sebagai pesantren seni, sehingga mengharuskan santrinya mampu menerapkan dan mengaplikasikan
kesenian yang dipelajari di pesantren tersebut dalam aktivitas
sehari-hari. Ranah yang dimaksud di sini adalah tempat di mana
semua santri, ustaz dan kiai tinggal. Dalam kaitannya hal ini ranah
mengerucut pada pesantren Penaber, di mana pesantren ini
merupakan salah satu sentra pelestarian budaya Bawean.
Pesantren Penaber merupakan tempat kiai, ustaz dan santrinya
untuk berjuang melestarikan dan mempertahankan budaya khas
Bawean.
26 Mangihut Siregar, “Teori “Gado-gado” Pierre Felix Bourdieu”, Jurnal Studi Kultural, Vol. 1
No. 2 (Juni 2016), 86. (84-87)
27 Aprinus Salam, et.al., Sastra Rempah (Yogyakarta: PT Kanisius, 2021), 68.
Pelestarian Budaya Bawean
95
Sejatinya, pesantren Penaber dengan semua fasilitas yang
dimiliki dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas untuk belajar
keterampilan, melakukan inovasi dan meningkatkan kreativitas
masyarakat untuk mengembangkan budaya Bawean. Karena
memang tujuan adanya sanggar budaya Rasbuba dan museum
Dhingghelan
Kona
adalah
untuk
memperkenalkan
dan
mewariskan kepada generasi selanjutnya. Sebagaimana hal ini
menjadi amanat bahwa pemeliharaan obyek kebudayaan dapat
dilakukan dengan cara mewariskan kebudayaan tersebut kepada
generasi berikutnya.28
Tetapi kenyataannya di ranah tersebut masyarakat Bawean
belum secara optimal memanfaatkan modal-modal yang bisa
memberikan
kontribusi
untuk
mendukung
pembangunan,
pengembangan dan pelestarian budaya Bawean. museum yang
telah dimiliki harusnya bisa menjadi modal untuk menarik
partisipasi masyarakat dalam mendukung pelestarian budaya.
Dengan terbentuknya museum budaya yang ada di pesantren
Penaber akan dapat memberikan pengaruh kepada masyarakat di
Bawean. Ide dan gagasan yang dimiliki oleh pemerhati budaya
dapat dikumpulkan dan disatukan di pesantren Penaber untuk
membantu meningkatkan modal sosial yang dimiliki. Ranah
pesantren penaber ini merupakan tempat hubungan relasional
seperti yang telah dijelaskan oleh Bourdieu bahwa ranah
merupakan
suatu
sistem
dan
hubungan-bubungan
yang
membentuk suatu jaringan relasi.
28
96
UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan pasal 24 ayat 4 huruf e.
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
Hal ini berarti pengasuh pesantren Penaber dapat bekerja
sama satu dengan lainnya untuk berusaha bersama-sama
melestarikan budaya yang masih ada. Hubungan relasional juga
dapat dilihat dari hubungan pengasuh, baik dengan organisasi
masyarakat, pemerintah desa, kecamatan baik kabupaten. Hal ini
dimaksudkan karena pesantren Penaber merupakan tempat yang
berdiri sendiri secara independen, namun menjadi satu kesatuan
yang memiliki satu tujuan yang sama dan harusnya saling
menguntungkan, sehingga harus bisa memanfaatkan habitus
positif dan modal yang dimiliki agar dapat menguasai dan
memanfaatkan ranah dengan baik.
D. Praktik
Menurut Bourdieu dalam dunia sosial tidak hanya berbicara
masalah perilaku yang dimunculkan oleh individu atau struktur.
Bourdieu berpendapat bahwa dunia sosial merupakan praktik
sosial. Menurutnya praktik merupakan akumulasi hasil dari
hubungan yang dinamis antara internalisasi eksternal dan
eksternalisasi
internal.
Eksternal
merupakan
unsur-unsur
obyektif yang terdapat di luar diri pelaku sosial. Sementara
internalitas adalah semua yang berada dalam diri pelaku sosial.29
Oleh
karenanya,
Bourdieu
mengemukakan
bahwa
untuk
memahami praktik sosial dapat dimulai dari persamaan sebagai
berikut: “(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik”.30 Dalam
29 Nanang Krisdinanto, “Pierre Bourdieu, Sang Juru Damai”, KANAL, Vol. 2 No. 2 (Maret
2014), 189-206.
30 Mangihut Siregar, “Teori “Gado-gado” Pierre Felix Bourdieu”, Jurnal Studi Kultural, Vol. 1
No. (Juni 2016), 87. (84-87) Lihat juga Wahyu Budi Nugroho, Sosiologi Kehidupan Sehari-hari
(Yogyakarta: Pustaka Egaliter, 2021), 141.
Pelestarian Budaya Bawean
97
pemikiran Bourdieu praktik tak lain merupakan produk relasi
habitus dan ranah yang di dalamnya terdapat pertaruhan dan
persaingan31 serta saling mempengaruhi.
Habitus yang dimiliki oleh kiai yang didukung oleh modal
budaya, modal sosial, modal simbolik dan modal ekonomi yang
terdapat di lingkungan pondok pesantren Penaber dikembangkan
secara maksimal dalam ranah yang sudah ditentukan yaitu di
pondok pesantren Penaber. Maka akan menghasilkan praktik
yang dapat mendukung pelestarian budaya. Habitus-habitus yang
memiliki nilai positif dimaksimalkan untuk memperoleh habitus
yang baik dan berkontribusi dalam pengembangan budaya. Latar
belakang pendidikan kiai dan ustaz yang mayoritas adalah lulusan
sarjana dan pernah nyantri merupakan salah satu modal
(budaya)32 yang akan membentuk habitus santri pesantren
Penaber. Habitus merupakan seperangkat pengetahuan yakni
yang berkaitan dengan cara bagaimana memahami dunia,
kepercayaan, nilai dalam kehidupan sehari-hari.33 Para ustaz dan
kiai yang ada di pesantren Penaber memiliki pengetahuan dan
pengalaman tentang bagaimana berpikir dan bertindak untuk
dapat melangsungkan proses pendidikan di lembaga ini.
Pesantren Penaber memilih kurikulum yang berkaitan dengan
budaya dalam ekstrakurikuler di sekolah formalnya. Dari
ekstrakurikuler itulah pesantren dapat menjalin hubungan
31 Tenriwaru, Kesejahteraan Tanpa Sekat: Sebuah Kritik Terhadap Akuntansi CSR (Gowa: CV.
Tohar Media, 2021), 70.
32 La Ode Machdana Afala, Rezim Adat Dalam Politik Lokal: Komunitas Adat Towani Tolotang
Dalam Arena Politik Lokal (Malang: UB Press, 2019), 49.
33 Harisan Boni Firmando, Sosiologi Kebudayaan: Dari Nilai Budaya Hingga Praktik Sosial
(Yogyakarta: CV. Bintang Semesta Media, 2022), 154. Lihat juga Vinita Susanti, Perempuan
Membunuh? Istri Sebagai Korban dan Pelaku KDRT (Jakarta: Bumi Aksara, 2020), 46.
98
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
dengan beberapa organisasi lainnya baik dari Bawean maupun
manca negara. Hal ini karena seringnya pesantren Penaber
didatangi oleh beberapa tamu dari luar negeri, di antaranya
Malaysia, Jepang, Singapura. Terjalinnya hubungan tersebut
menciptakan suatu kerja sama yang saling menguntungkan
sekaligus menambah relasi untuk kepentingan yang lainnya.
Terwujudnya jalinan semacam itu yang meningkat-kan modal
sosial dari pengasuh pesantren Penaber. Hal ini dikarenakan
modal sosial termanifestasi melalui hubungan atau jaringan yang
merupakan sumber daya yang berguna dalam menentukan
reproduksi sosial. Dengan modal sosial itulah pesantren Penaber
dapat menjalin hubungan dengan individu atau kelompok lain
untuk menambah relasi.
Habitus para santri-santri yang ada di pesantren Penaber yang
sangat
tawadhuk
kepada
kiainya
sebagai
modal
untuk
mengembangkan budaya. Dari adanya sikap tawaduk inilah maka
kemudian menimbulkan kepercayaan terhadap apa yang
dilakukan di pesantren. Sehingga setiap apa yang disarankan oleh
kiai akan selalu dilaksanakan oleh para santri dan ustaznya. Dari
kepercayaan inilah lahir sikap menghargai ilmu dan budaya.
Bentuk dari rasa menghargai ilmu dan budaya ini diwujudkan
dalam
kegiatan
ngaji
kitab
dalam
meningkatkan
ilmu
pengetahuan santri dan ngaji seni serta ngaji musik dalam wujud
menghargai budaya. Hal tersebut merupakan habitus yang telah
dibentuk kiai Mustafa bagi santri-santrinya. Pelestarian budaya ini
dapat dimanfaatkan dalam pengembangan budaya yang masih ada
dengan
melakukan
Pelestarian Budaya Bawean
sosialisasi
kepada
lembaga-lembaga
99
pendidikan dan masyarakat untuk ikut serta mencintai
budayanya.
Praktik-praktik yang dihasilkan dari akumulasi habitus dan
modal dalam ranah pondok pesantren Penaber merupakan fungsi
manifest yang diharapkan dapat mengembangkan pelestarian
budaya Bawean. Namun adanya kepentingan dan keegoisan dari
pemerintahan dan masyarakat yang tidak mendukung akan
menimbulkan perbedaan pemikiran dan pendapat. Seperti yang
pernah dialami dalam pengembangan pesantren kadang masih
ada segelintir masyarakat di sekitar pesantren yang kurang
sejalan dengan visi pesantren dalam pelestarian budaya. Beberapa
orang hanya memanfaatkan santri saja untuk tampil di acara
tertentu namun tidak memberikan support dalam bentuk materi
untuk kostum, transportasi, dan konsumsi. Perbedaan ini
merupakan fungsi laten yang memicu sulit untuk disatukannya
seluruh masyarakat Bawean dalam membentuk integritas
melestarikan budaya Bawean di pondok pesantren Penaber.
100
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
BAB VIII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pandangan kiai Mustafa terhadap Budaya masyarakat
Bawean,
diketahui
bahwa
betapa
perlunya
kepedulian
masyarakat tentang degradasi budaya pada generasi muda
Bawean yang semakin terkikis oleh teknologi yang tidak terfilter
dengan baik oleh budaya. Sebagai salah satu tokoh, kiai Mustafa
memandang bahwa budaya masyarakat bawean semakin hari
akan dapat terlupakan jika tidak dijaga dengan baik, jika tidak
diajarkan kepada anak muda, jika tidak disampaikan tutur yang
baik, dan jika tidak diberi contoh perilaku yang baik maka bawean
ini
akan
kehilangan
karakteristik
dan
identitas
budaya
masyarakatnya.
Peran kiai Mustafa dalam melestarikan budaya bawean di
pesantren Penaber, beliau memposisikan diri sebagai tokoh
utama yang menginovasikan pemikiran dan imajinasinya dalam
bentuk kegiatan kesenian di sela-sela aktivitas santri melalui ngaji
kitab, ngaji seni, ngaji batik dan ngaji musik. Dengan harapan
semua santrinya mampu menghargai dan menjiwai setiap tradisi
dan seni budaya Bawean. Selain itu, peran kiai dapat ditunjukkan
empat bentuk upaya, yaitu: sosialisasi dalam upaya membangun
Pelestarian Budaya Bawean
101
sadar budaya, membentuk sanggar seni Rasbuba, mendirikan
museum Dhingghelan Kona, dan modifikasi seni.
Motif Kiai dalam melestarikan budaya Bawean, terdapat dua
motif yang ditemukan yaitu motif internal dan motif eksternal.
Motif internal berangkat dari hobi, kerinduan masa muda, dan
kepedulian untuk mewujudkan nuansa kehidupan masyarakat
yang tradisional. Motif eksternal yang dipengaruhi oleh rasa
kekecewaan terhadap respon dari pemerintah yang minim
dukungan dalam pengembangan dan pelestarian budaya Bawean.
B. Saran
Bagi masyarakat Indonesia, budaya merupakan bagian yang
tak terpisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka
budaya yang baik yang mampu mengantarkan persatuan dan
kesatuan tidak menimbulkan gesekan antar masyarakat harus
dilestarikan.
Bagi masyarakat Bawean budaya yang dimiliki masyarakat
merupakan potret bahwa Bawean merupakan pulau yang
memiliki ragam seni budaya, namun di antara beberapa budaya
yang ada sudah mulai tergerus oleh zaman dan banyak yang
punah. Maka di sini diperlukan peran pemerintah dan elite dalam
ikut melestarikan budaya yang ada di masyarakat Bawean.
102
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
REFERENSI
Abdussalam. “Kepemimpinan Kiyai Sebagai Pemimpin Pendidikan Di
Pondok Pesantren”. Seminar Nasional Magister manajemen
Pendikan UNISKA MAB. vol. 1 no. 1, (2021). 162-168
Afala, La Ode Machdana. Rezim Adat Dalam Politik Lokal: Komunitas
Adat Towani Tolotang Dalam Arena Politik Lokal. Malang: UB
Press, 2019.
Agustin, Dyah Satya Yoga. “Penurunan Rasa Cinta Budaya Dan
Nasionalisme Generasi Muda Akibat Globalisasi”, jsh Jurnal
Sosial Humaniora, Vol 4 No. 2, (November 2011), 177-185
Amanda, Wirasati Volare dan Rimadewi. “Pelestarian Kawasan Cagar
Budaya Berbasis Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus: Kawasan
Cagar Budaya Bubutan)”. Jurnal ITS. vol. 1 no. 1 (2012), 63-67.
Almanda, Hafi Hilmiah. “Kajian Pertunjukan Musik “Thungka” Dalam
Tinjauan Etnomusicologi”. Jurnal Pendidikan Sejarah dan Riset
Sosial Humaniora (Kagawa). vol. 5 no. 2. (Desember 2022), 189200.
Alwasilah. Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya, 2006.
Alwi, B. M. “Pondok Pesantren: Ciri Khas, Perkembangan, dan Sistem
Pendidikannya”, Lentera Pendidikan: Jurnal Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, vol. 16 no. 2 (tahun 2016), 205–219.
Ardianto, Medi Romi & Ahmad Zamroni. “Implikasi Ketenagan Jiwa
Dan Ketentraman Hati Sebagai Faktor Yang Mempengaruhi
Pelestarian Budaya Bawean
103
Keberhasilan Pendidikan Bagi Remaja”. IEMU: Islamic Education
Management Journal. vol 1, no. 1 (2021), 20-35.
Aswan, Yulinda. et.al., Komunikasi Dalam Praktik Kebidanan. Medan:
Yayasan Kita Menulis, 2022.
Az Zafi, Asyif. “Transformasi Budaya Melalui Lembaga Pendidikan”,
Sosio-Humaniora, vol. 3 no. 2 (2017), 1-16.
Azis, Abdul. “Kepemimpinan Kiyai Sebagai Pemimpin Pendidikan Di
Pondok Pesantren Nurulhuda Pakandangan Barat Sumenep”. El
Idare: Journal of Islamic Education Management. Vol. 3 No. 2.
(Desember 2017), 65-79.
Baharuddin,
Tawakkal.
Modalitas
Dalam
Pemilukada:
Bupati
Perempuan Pertama Di Sulawisi Selatan. Metro: Gre Publishing,
2017.
Basyari, in Wariin. “Menanamkan Identitas Kebangsaan Melalui
Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Budaya Lokal”, Edunomic, Vol. 1
No. 2, (September 2013), 112-118
Bhaskara, Faridz Alfansa. Media Sosial Sebagai Wadah Penyebaran dan
Pelestarian Budaya. Malang: PIK UMM, 2020.
Bourdieu, Pierre. “Habitus: Sebuah Perasaan Atas Tempat”, Terj.
Anton Novenanto. Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 1 No.
2, (2018), 153-159
Budi. Komunikasi Organisasi Kontemporer. Medan: CV Pusdikra Mitra
Jaya, 2021.
Candra, Juli. Pencak Silat. Yogyakarta: Penerbit Dee Publish, 2021.
Caropeboka, Ratu Mutialela. Konsep dan Aplikasi Ilmu Komunikasi.
Yogyakarta: ANDI, 2017.
104
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
Darusman, Yus. Model Pewarisan Budaya Melalui Pendidikan Informal
(Pendidikan Tradisional) Pada Masyarakat Pengrajin Kayu.
Madiun: CV. Bayfa Cendekia Indonesia, 2021.
Daryanto. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Apolo, 1997.
Desy, Fabiola. “Generasi Milenial Pewaris Budaya Leluhur” dalam
Miranti. Campursari Penguat Budaya Leluhur. Bogor: Langit
Arbitter, 2019.
Dewan
Eskalasi
Budaya
"BEKU
Bhei-Bhei":
Seni
Bawean
(bekubawean.blogspot.com) diakses pada tanggal 30 Desember
2022.
Dewi, Resi Septiana. Keanekaragaman Seni Tari Nusantara. Jakarta:
Balai Pustaka, 2012.
Dyatmika, Teddy. Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Zahir Publishing,
2020.
El Adawiyah, Sa’diyah. “Modal Sosial Kepemimpinan Perempuan
Dalam Pembangunan”. dalam Ade Fahrudin. et.al., Dinamika
Gender & Perubahan Sosial. Bandung: Widina Media Utama,
2022.
Fardhilah, N. Mengenal Kesenian Nasional 11: Tari Saman. Semarang:
Alprin, 2010.
Fashri, Fauzi. Pierre Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyalarta:
Jalasutra, 2016.
Firdaus, Aditya & Rinda Fauzian. Pendidikan Akhlak Karimah Berbasis
Kultur Pesantren. Bandung: Alfabeta, 2018.
Firmando, Harisan Boni. Sosiologi Kebudayaan: Dari Nilai Budaya
Hingga Praktik Sosial. Yogyakarta: CV. Bintang Semesta Media,
2022.
Pelestarian Budaya Bawean
105
Fisnani, Yeni. et.al., Modul Batik monokromatik untuk SD Kelas V.
Semarang: Pilar Nusantara, 2020.
Fithri, Widia. “Internalisasi Nilai Budaya Minangkabau Pada Santri
Pondok Pesantren Modern Diniyyah Pasia”. Jurnal Al-Aqidah.
vol. 11 Edisi 1. (Juni 2019), 44-52.
Fitria, Umi & Bagus Endri Yanto. Urgensi Momdal Sosial Dalam
Pembentukan Karakter Wirausaha. Yogyakarta: K-Media, 2022.
Ghufron, M. Nur dan Rini Risnawita S, Teori Teori Psikologi.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
Ginting, Desmon. Komunikasi Cerdas: Panduan Komunikasi Di Dunia
Kerja. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2017.
Hamzah, M. Guntur, “Peranan Hukum dalam Upaya Pelestarian
Warisan Budaya”. Jurnal Ilmu Hukum Amannagappa. vol. 12, no.
3. (September 2004).
Hanif, Muhammad. et.al., Panduan Pelaksanaan Model Nampe.
Yogyakarta: Deepublish, 2018.
Hastusti, Rahmah. et.al. Peran Kesejahteraan Remaja Dalam
Meningkatkan Nasionalisme. Yogyakarta: CV ANDI Offset, 2020.
Hatwi,
Tokoh
masyarakat
Baratsawah
Menara
Gunungteguh
Sangkapura, Wawancara, Bawean 12 Januari 2023.
Hidayati, Tatik. Nyai Madura: Modal Dan Patronase Perempuan
Madura. Yogyakarta: IRCiSoD, 2022.
Hisyam, Ciek Julyati. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2020.
Hutomo, Adi Surya. et,al. “Peningkatan Keterampilan Tehnik Dasar
Futsal Melalui Penggunaan Media Video Pada Mahasiswa Putra
106
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
Penghobi Futsal”. Prosiding Seminar Nasional IPTEK Olahraga.
(2019).
Iman, Nurul. et.al., “Strategi Pelestarian dan Pengembangan Reyog
Ponorogo”, Prosiding Seminar nasional Hasil-hasil Penelitian
2016. Ponorogo: UNMUH Press, 2016.
Indahingwati, Asmara dan Novianto Eko Nugroho, Teori dan Praktek
Sumberdaya Manusia. Surabaya: PT Scopindo Media Pustaka,
2019.
Jacobus, Ranjabar. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bandung: Ghalia
Indonesia, 2006.
Jailani, Imam Amrusi. “Pendidikan Pesantren Sebagai Potret
Konsistensi Budaya Di Tengah Himpitan Modernitas”, Karsa,
vol. 20 No. 1 (Tahun 2012), 75-87.
Jamaluddin, Muhammad. “Metamorfosis Pesantren Di Era Globalisasi”.
KARSA. Vol. 20 No. 1. (Tahun 2012), 127-139
Karmadi, Agus Dono. “Budaya Lokal Sebagai Warisan Budaya dan
Upaya Pelestariannya”, Makalah disampaikan pada dialog
budaya daerah Jawa tengah, di Semarang 8-9 Mei 2007.
Kiai Mustofa, Pengasuh Pondok Pesantren Penaber, Wawancara,
tanggal 21 Oktober 2022
Koendjaraningrat.
Pengatar
Ilmu
Antropologi,
Sejarah
Teori
Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2015.
Krisdinanto, Nanang. “Pierre Bourdieu, Sang Juru Damai”. KANAL. vol.
2 vo. 2. (Maret 2014), 189-206.
Kumalasari, Dyah. et.al, “Urgensi Pelestarian Cagar Budaya Bagi
Generasi Milineal”. (2022), 110-117.
Pelestarian Budaya Bawean
107
Kurniawan, F. Ahmad. Kuasa Akuntan Publik Dan Eksistensi Laporan
Audit Simbolik: Boudieusian Perspective. Malang: Penerbit
Peneleh, 2022.
Mahfidz. Model Kepemimpinan Kiyai Pesantren: Dari Tradisi Hingga
Membangun Budaya relegius. Yogyakarta: Pustaka Ilmu. 2020.
Maran, Rafael Raga. Manusia dan Kebudayaan Dalam Perspektif Ilmu
Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta, 1995.
Martono, Nanang. Kekerasan Simbolik DI Sekolah Sebuah Ide Sosiologi
Pendidikan Pierre Bourdieu. Depok: PT Rajagrafindo Persada,
2012.
Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Suatu Kajian tentang
Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan pesantren. Jakarta: INIS, 1994.
Monk, F,J, Knoer. A.M.P. dan Siti Rahayu Haditono, Psikologi
Perkembangan. Yokyakarta: Gadjah Mada University Press,
1982.
Muri’ah, Siti dan Gianto. Kekerasan Simbolik di Madrasah. Ponorogo:
Myria Publisher, 2020.
Mutia, Fitri. Antologi Teori Sosial: Kumpulan Karya-karya Pilihan.
Surabaya: Airlangga University Press, 2021.
Nafi, M. Dian. Praksis Pembelajaran Pesantren. Yogyakarta: Forum
Pesantren Yayasan Selasih, 2007.
Nahak, Hildigardis M. I. “Upaya Melestarikan Budaya Indonesia di Era
Globalisasi”, Jurnal Sosiologi Nusantara, vol. 5 no. 1 (2019), 171172.
Neolaka, Amos dan Grace Amialia. Landasan Pendidikan: Dasar
Pengenalan Diri Sendiri Menuju Perubahan Hidup. Depok:
Kencana, 2017.
108
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
Nizar, Moh. & Wais Alqorni. Book Series: Demokrasi dan dan Otonomi
Daerah Dinasti Politik dan Demokrasi Lokal. Banda Aceh: Syiah
Kuala University Press, 2021.
Njatrijani, Rinitami. “Kearifan Lokal Dalam Perspektif Budaya kota
Semarang”. Gema Keadilan: Edisi Jurnal. vol. 5 edisi 1.
(September 2018), 16-31.
Noerhadi, Toeti Heraty. Aku Dalam Budaya: Telaah Teori dan
Metodologi filsafat Budaya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2013.
Nugroho, Wahyu Budi. Sosiologi Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta:
Pustaka Egaliter, 2021.
Paembonan, Laendatu. Migran warga toraja di kota palu dari aspek
budaya. Pasaman Barat: CV Azka Pustaka, 2022.
Pattileamonia, Ria Aprilia. “Pusat Kebudayaan Maluku di Yogyakarta
Landasan Konseptual dan Perancangan”. e-Jurnal UAJY. Diakses
dari http://e-journal.uajy.ac.id/10826/ pada 19 pebruari 2022.
Paujiah, Juita. Etika dan Filsafat Komunikasi Dalam Realitas Sosial.
Jakarta: PT Mahakarya Citra Utama Grup, 2023.
Peter, Heri Zan. et.al. Pengantar Psokopatologi Untuk Keperawatan.
Jakarta: Kencana, 2011.
Pram, Suku Bangsa Dunia dan Kebudayaannya. Jakarta: Cerdas
Interaktif, 2013.
Prasetyawati, Yuliana Riana & Glen Ramli. Exposure: Jurnal of
Advanced Communication. vol. 2 no. 1. (Januari 2012), 265-406.
Prayogi, Ryan dan Endang danial, “Pergeseran Nilai-Nilai Budaya Pada
Suku Bonai Sebagai Civic Culture Di Kecamatan Bonai
Pelestarian Budaya Bawean
109
Darussalam Kabupaten Rokan Hulu Provensi Riau”, Humanika,
vol. 23 no. 1 (2016), 61-79.
Priatna, Yolan. “Melek Informasi Sebagai Kunci Keberhasilan
Pelestarian Budaya Lokal” Jurnal Publish, Vol. 1 No.2, (2017), 3743.
Purnomo, Hadi. Kiai Dan Trasformasi Sosial: Dinamika Kiai Dalam
Masyarakat. Yogyakarta: Absolute Media, 2020.
Puspitawati, Herien. Gender dan Keluarga: Konsep dan realita di
Indonesia. Bogor: IPB Press, 2019.
Rachmawati, Intan. Pengantar Psikologi Sosial. Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2022.
Rasid, Yunus. Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat
Karakter Bangsa. Yogyakarta, Budi Utama, 2014.
Rayhaniah, Sri Ayu. Etika dan Komunikasi Organisasi. Pidie: Yayasan
Penerbit Muhammad Zaini, 2021.
Ridwan, M. dan Firda Fibrila. Buku Ajar Memahami Ilmu Ssosial Budaya
Dasar Dalam Kebidanan. Grobogan: CV. Sarnu Untung, 2023.
Risanty, Yossie. et.al. Consumer Behaviour In Era Millennial. Medan:
AQLI, 2018.
Rumanti, Maria Assumpta. Dasar-dasar Paublic relations: Teori dan
Praktik. Jakarta: Grasindo, 2002.
Saepudin, Encang. et.al., “Model Leterasi Budaya Masyarakat Tatar
Karang Di Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya”.
Berkala Ilmu Perpustakaan dan Informasi. vol. 14 no. 1 (Juni
2018), 1-10.
Salam, Aprinus. et.al. Sastra Rempah. Yogyakarta: PT Kanisius, 2021.
110
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
Samartan, Andriano. “Menumbuhkan Cinta Budaya Lokal Pada
Generasi Milenial”. dalam Azizah, et.al., Peran dan Tantangan
Guru Dalam Membangun Peradaban Manusia: Upaya Strategis
dan Kongkret Seorang Guru. Surabaya: Global Aksara Pres, 2021.
Sarkowi. “Peran Generasi Milineal dalam Pemanfaatan dan Pelestarian
Museum di Kota Lubuklinggau”. Jurnal Pendidikan Sejarah. vol.
9 no. 2 (2020), 127-141.
Setiadi, Elly M. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada,
2006.
Setyawan, Agus. “Seni Musik Islami: Cara Memahami Seni Musk
Sayyed
Hosein
Nashr”,
artikel
online
https://fatcat.wiki/release/ysyjyz6tfja57iumqow6l3msvm
diakses pada 10 Januari 2023.
Sidiq, Mahfudz. “Pergeseran Pola Kepemimpinan Kiai dalam
Mengembangkan Lembaga Pesantren”, Falasifa, Vol. 11 Nomor
1 (Maret 2020), 144-156.
Silviani, Irene. Komunikasi Organisasi. Surabaya: PT. Scopindo Media
Pustaka, 2020.
Simarmata, Andriano. “Menumbuhkan Cinta Budaya Lokal Pada
Generasi Milenial”. dalam Azizah, et.al., Peran dan Tantangan
Guru Dalam Membangun Peradaban Manusia: Upaya Strategis
dan Kongkret Seorang Guru. Surabaya: Global Aksara Pres, 2021.
Siregar, Mangihut. “Teori “Gado-gado” Pierre Felix Bourdieu”. Jurnal
Studi Kultural. Vol. 1 No. 2. (Juni 2016), 84-87.
Sobian, Pether. Model Pelestarian Budaya dan Kearifan Lokal Berbasis
Sumber Daya Yang Ada. Klaten: Penerbit Lakeisha, 2022.
Pelestarian Budaya Bawean
111
Soerjono, Soekamto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali
Press, 2012.
Suardi. et.al. Penguatan Pendidikan Karakter Barbasis Integratif Moral
Di Perguruan Tinggi. Banten: CV. AA. Rizky, 2020.
Sudiana, Ketut dan Ni Luh Putu Sepyanawati, Keterampilan dasar
Pencak Silat. Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2017.
Suharta. Antropologi Budaya. Klaten: Lakeisha, 2020.
Suhono. Penggunaan Model Pembelajaran Make A Match Untuk
Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Sistem Reproduksi
Manusia. Surakarta: UNISRI Press, 2022.
Sukatin. et.al. Manajemen dan Evaluasi Kerja. Yogyakarta: DeePublish,
2022.
Sumardjan, Selo. Kemiskinan Struktural Satu Bunga Rampai. Jakarta:
Yayasan Ilmu Persada, 1980.
Supriyanto, Eko. Ikat kait Impulsif Sarira: Gagasan Yang Mewujud Era
1990-2010. Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca, 2018.
Suratmi, Nanik. Multicultural: Karya Pelestarian Kearifan Lokal
“Kesenian Barongsai-Lion”. Malang: Media Nusa Creative, 2016.
Suryani. “Strategi Pelestarian Budaya Lokal Dalam Mnejaga
Kesetikawanan
Sosial”.
Media
Informa
si
Penelitian
Kesejarahteraan Sosial. vol. 42 no. 2 (Agustus 2018), 187-195
Susan, Novri. Sosiologi Konflik: Teori-teori Dan Analisis. Jakarta:
Kencana, 2019.
Susanti, Vinita. Perempuan Membunuh? Istri Sebagai Korban dan
Pelaku KDRT. Jakarta: Bumi Aksara, 2020.
112
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
Susilo, Dimas Rachmat. et.al, “Perkembangan Sanggar Seni Tari
Topeng Topeng Mulya Bhakti Di Desa Tambi”. Factum: Jurnal
Sejarah dan Pendidikan Sejarah. vol. 7 no. 1. (2018), 53-66.
Sutardi, Tedi. Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya. Bandung:
PT Setia Purna Inves, 2007.
Tenriwaru. Kesejahteraan Tanpa Sekat: Sebuah Kritik Terhadap
Akuntansi CSR. Gowa: CV. Tohar Media, 2021.
Tim Deputi. Kebijakan Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan.
Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004.
Triwardani, Reny dan Christina Rochayanti. “Implementasi Kebijakan
Desa Dalam Upaya Pelestarian Budaya”. Reformasi. Vol 4 No. 2.
(2014), 102-110.
Tylor, EB. Primitive Culture. London: T.P. 1871.
Ustaz Basri, wawancara,Pondok Pesantren Penaber, tanggal 20
Oktober 2022.
UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan pasal 24 ayat 4
huruf e.
Vianto, Adi Nu. et.al. Seloprojo: Aktraksi Seni Dan Budaya Di Kaki
Gunung Telomoyo. Tasikmalaya: Langgam Pustaka, 2022.
Wahyuni, Tri. et.al., Buku Ajar Keperawatan Keluarga Dilengkapi Riset
& Praktik. Sukabumi: CV Jejak, 2021.
Walgito, Bimo. Psikologi Umum. Yogyakarta: Ando, 2002.
Warokka, Frylly Frycylya. et.al. “Pengaruh Model Pembelajaran
Kooperatif Team Assisted Individualization Terhadap Hasil
Belajar Siswa Jaringan Dasar Siswa SMK”. EduTIK. vol. 2 no. 3.
(Juni 2021), 276-283.
Pelestarian Budaya Bawean
113
Widiatmoko,
Hani.
“Memanfatkan
Hobi
Sebagai
Tambahan
Penghasilan”. dalam Rara Radianti, et.al., Kumpulan Artikel
Finansial: Financial Tips For Mom. Bandung: Bitread, 2018.
Witjoro, Agung. et.al., “Pemberian Pelatihan Membuat batik Jumputan
Kepada
Ibu-ibu
PKK
Untuk
Upaya
Pelestarian
dan
Meningkatkan Ekonomi Mayarakat di Lowokwaru Malang”.
Jurnal Karinov. vol. 2 no. 2. (Mei 2019), 75-80.
Yuliastanti, Susy dan Erpidawati, Perilaku Organisasi: Cara Mudah
Menghadapi Perilaku SDM Di Dalam Organisasi. Banyumas: CV.
Pena Persada, 2021.
Yuwanamu, Irham. “Program Melestarikan dan Mengembangkan
Kearifan Lokal Dalam Upaya Menyelesaikan Permasalahan
Sosial Budaya”, file:///E:/LITABDIMAS-21/BAHAN/babbukuprogram-dan-proyek-strategispembangunan-desa-231-238.pdf
diakses pada 8 Pebruari 2022.
Zulhair, Muhaimin. “Bourdieu dan Buhungan Internasional: Konsep,
Aplikasi dan Filsafat Ilmu”. Jurnal Transformasi Global, Vol. 3 No.
2 (2016), 125-144.
Sumber Digital
Ade Irwansah, Dhungka: Seni Musik Tradisional Pulau Bawean,
Memanfaatkan Lesung dan Ghentong Penumbuk Padi - Gresik
Today (pikiran-rakyat.com) diakses pada 3 Januari 2023.
Chanel Lensa Bawean, https://www.youtube.com/watch?v=kqKDX
PdSzA0 diakses pada tanggal 30 Desember 2022.
https//kbbi.web.id/hobi
114
Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.
https://budaya-indonesia.org/Tarian-Kercengan
diakses
pada
tanggal Desember 2022.
https://gresiksatu.com/camat-nur-syamsi-kenalkan-batik-penaberkhas-bawean-di-ajang-tim-penggerak-pkk-gresik/
diakses
pada 3 Januari 2023.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/hobi.
https://klikjatim.com/bawa-motif-khas-bawean-batik-penaberbawean -ikuti-pameran-inapro-expo-2021/ dia - kses pada 23
Pebruari 2022.
https://www.beritabawean.com/dhungkah-tradisi-musik-kunopulau-bawean/ diakses pada tanggal 29 Desember 2022.
Https://matasamudera.id/2021/08/03/melestarikan -dan -menjaga
-adat -budaya -lewat -batik -khas -pulaubawean/ diakses pada
23 Pebruari 2022.
Pelestarian Budaya Bawean
115