Academia.eduAcademia.edu

PELESTARIAN BUDAYA BAWEAN

2023, Abd. Hadi Rohmani, M.Pd.

Syukur alhamdulillah merupakan suatu kata yang paling layak untuk diungkapkan karena dengan untaian rahmat dan maunah-Nya buku ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat dan salamullah semoga selalu tercurahkan ke haribaan sang manusia agung, Nabi Muhammad SAW. Buku ini merupakan hasil penelitian penulis tentang peran kiai, pesantren dan pelestarian budaya ditinjau dari konsep praksis sosial Pierre Bourdieu. Penelitian ini dilakukan di pondok pesantren Nasy'atul Barokah yang lebih dikenal dengan sebutan "Penaber" (penawar). Penulis menyampaikan terimakasih yang tidak terhingga kepada pimpinan di lembaga tempat penulis mengabdi, STAI Hasan Jufri

PELESTARIAN BUDAYA BAWEAN Peran Kiai dalam Perspektif Praksis Sosial Pierre Bourdieu Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. PELESTARIAN BUDAYA BAWEAN Peran Kiai dalam Perspektif Praksis Sosial Pierre Bourdieu Edisi Pertama Copyright @ 2023 ISBN 978-623-130-246-5 15,5 x 23 cm 121 h. cetakan ke-1, 2023 Penulis Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. Penerbit Madza Media Anggota IKAPI: No.273/JTI/2021 Kantor 1: Jl. Pahlawan, Simbatan, Kanor, Bojonegoro Kantor 2: Jl. Bantaran Indah Blok H Dalam 4a Kota Malang [email protected] www.madzamedia.co.id Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin sah dari penerbit. KATA PENGANTAR Syukur alhamdulillah merupakan suatu kata yang paling layak untuk diungkapkan karena dengan untaian rahmat dan maunah-Nya buku ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat dan salamullah semoga selalu tercurahkan ke haribaan sang manusia agung, Nabi Muhammad SAW. Buku ini merupakan hasil penelitian penulis tentang peran kiai, pesantren dan pelestarian budaya ditinjau dari konsep praksis sosial Pierre Bourdieu. Penelitian ini dilakukan di pondok pesantren Nasy’atul Barokah yang lebih dikenal dengan sebutan “Penaber” (penawar). Penulis menyampaikan terimakasih yang tidak terhingga kepada pimpinan di lembaga tempat penulis mengabdi, STAI Hasan Jufri Bawean, Dr. Ali Asyhar, M.M.Pd., Abdul Halim, L.c., MH. dan Ibu Wiwin Suryaningsih, S.E., M.HI., M.Pd. atas segala dukungan dan pemikiran yang diberikan sehingga lebih memperluas wawasan penulis dalam upaya pelestarian budaya. Terima kasih yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Kiai Mustafa, S.Pd.I selaku pengasuh pondok pesantren Penaber dan segenap dewan asatidz atas perkenan ijin penelitian serta kesempatan yang diberikan. Semangat dan kegigihan kiai Mustafa telah membuka cakrawala berpikir penulis untuk ikut ambil bagian dalam upaya pelestarian budaya bawean. Buku ini merupakan karya pertama penulis dalam penelitian sosial yang ditulis dalam bentuk buku. Penulis persembahkan karya Pelestarian Budaya Bawean i kecil ini untuk kedua orang tua, ayahanda H. Mukhlis (Alm.) semoga Allah mengampuni segala kekhilafannya dan ibunda Hj. Khotijah. Penulis sangat menyadari bahwa buku ini masih jauh dari kata sempurna. Karenanya, adanya kritik dan saran yang membangun sangatlah diperlukan untuk lebih menyempurnakan buku ini. Semoga buku ini dapat memberikan manfaat kepada semua pembaca, khususnya kepada para pecinta budaya dan setiap orang yang punya ketertarikan untuk melestarikan budaya masyarakatnya. Akhirnya, penulis berharap semoga Allah SWT. berkenan memberikan balasan kebaikan yang berlipat kepada semua pihak yang ikut membantu penulis dalam melakukan penelitian. Bawean, 1 Mei 2023 Penulis, Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. ii Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................................ i DAFTAR ISI ........................................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1 A. Latar Belakang ................................................................................. 1 BAB II BUDAYA ......................................................................................... 9 A. Pengertian Budaya ......................................................................... 9 B. Macam-macam Budaya ............................................................. 11 1. Budaya Benda ....................................................................... 12 2. Budaya Non Benda.............................................................. 12 C. Budaya dan Tantangan Masa Depan ................................... 13 D. Urgensi Pelestarian Budaya .................................................... 15 E. Teknik Pelestarian Budaya ...................................................... 19 BAB III BUDAYA BAWEAN DALAM PERSPEKTIF KIAI MUSTAFA ..................................................................................... 22 A. Sejarah Pondok Pesantren Penaber..................................... 22 B. Pandangan Kiai Mustafa terhadap Budaya Bawean ..... 27 BAB IV PERAN KIAI DALAM PELESTARIAN BUDAYA BAWEAN ...................................................................................... 35 A. Upaya Pelestarian Budaya ....................................................... 38 1. Mewujudkan Sadar Budaya ............................................ 39 2. Sanggar Seni Rasbuba ....................................................... 44 3. Museum Dhinggelan Kona ............................................... 45 4. Modifikasi Seni ..................................................................... 47 Pelestarian Budaya Bawean iii BAB V BUDAYA BAWEAN .................................................................... 51 A. Budaya yang dilestarikan ......................................................... 51 1. Kercengan ............................................................................... 52 2. Saman ....................................................................................... 53 3. Dhungka................................................................................... 56 4. Pencak Silat Pengantin ...................................................... 58 5. Korcak....................................................................................... 60 6. Membatik ................................................................................ 63 B. Dukungan terhadap Upaya Pelestarian Budaya ............. 67 BAB VI MOTIF KIAI DALAM PELESTARIAN BUDAYA BAWEAN ...................................................................................... 71 A. Motif Internal ................................................................................. 72 B. Motif Eksternal.............................................................................. 79 BAB VII PERAN KIAI DALAM PERSPEKTIF PRAKSIS SOSIAL PIERRE BOURDIEU ................................................................... 83 A. Habitus ............................................................................................. 85 B. Modal ................................................................................................. 89 1. Modal Sosial ........................................................................... 90 2. Modal Ekonomi .................................................................... 91 3. Modal Budaya ....................................................................... 92 4. Modal Simbolik ..................................................................... 92 C. Ranah ................................................................................................ 95 D. Praktik .............................................................................................. 97 BAB VIII PENUTUP .................................................................................. 101 A. Kesimpulan ...................................................................................101 B. Saran ................................................................................................102 REFERENSI ......................................................................................................................103 iv Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pondok pesantren merupakan sebuah sarana pendidikan asli Indonesia bahkan yang tertua.1 Lembaga ini selain memiliki peran pendidikan juga memberikan layanan bimbingan keagamaan,2 keilmuan, dakwah, dan pengembangan masyarakat. Saat ini pondok pesantren telah menjadi salah satu simbol budaya masyarakat muslim.3 Eksistensi pondok pesantren telah menyatu dan tidak dapat dipisahkan dari histori berkembangnya agama Islam di bumi nusantara. Karenanya, pondok pesantren menjadi salah satu elemen penting bagi Indonesia dan budaya bangsa yang bersifat agamis.4 Pondok pesantren adalah lembaga bimbingan keagamaan Islam yang lahir dan berkembang di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia serta mengambil peran besar dalam rangka mendidik dan mencerdaskan masyarakat, serta memberikan sumbangan yang sangat penting dalam menyajikan salah satu 1 Mahfudz Sidiq, “Pergeseran Pola Kepemimpinan Kiai dalam Mengembangkan Lembaga Pesantren”, Falasifa, Vol. 11 Nomor 1 (Maret 2020), 144-156. 2 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan pesantren (Jakarta: INIS, 1994), 21. 3 M. Dian Nafi, Praksis Pembelajaran Pesantren (Yogyakarta: Forum Pesantren Yayasan Selasih, 2007), 11. 4 Imam Amrusi Jailani, “Pendidikan Pesantren Sebagai Potret Konsistensi Budaya Di Tengah Himpitan Modernitas”, Karsa, vol. 20 No. 1 (Tahun 2012), 75-87. Pelestarian Budaya Bawean 1 model pendidikan di negeri ini. Sebagai salah satu model pendidikan yang kental dengan nuansa keagamaan pesantren diharapkan dapat menanamkan nila-nilai luhur yang berada di masyarakat.5 Model pendidikan pesantren memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dapat ditemukan pada sistem dan model pendidikan lainnya. Hal ini dikarenakan, sistem pendidikan pesantren selain berfungsi sebagai pendidikan keagamaan juga berperan dalam membina karakter para santrinya. Inilah yang menjadikan pesantren memiliki daya tarik yang sangat kuat. Keberadaan dan peran lembaga pendidikan pesantren di tengah masyarakat Indonesia tak dapat diragukan lagi. Antara keduanya telah terbangun sebuah relasi yang cukup kuat, di mana pesantren memerlukan masyarakat sebagai basis untuk berkembang dan masyarakat memerlukan pesantren sebagai tempat untuk menanamkan nilai-nilai luhur ke dalam diri generasi muda yang merupakan bagian dari masyarakat. Memperhatikan pada hubungan yang terbentuk antara pesantren dan masyarakat demikian erat ini, terutama peran pesantren dalam melawan penjajah, maka dapat dikatakan bahwa pesantren dengan segenap perannya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari histori panjang bangsa Indonesia.6 Sebagai sebuah lembaga pendidikan, pesantren mempunyai lima komponen inti. Lima komponen yang dimaksud adalah, eksistensi kiai sebagai pengasuh, keberadaan santri sebagai subyek pembelajar, masjid yang menjadi pusat kegiatan 5 Asyif Az Zafi, “Transformasi Budaya Melalui Lembaga Pendidikan”, Sosio-Humaniora, vol. 3 no. 2 (2017), 1– 16. 6 Imam Amrusi Jailani, “Pendidikan Pesantren…, 76 2 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. pembelajaran dan ibadah, pondok atau asrama yang menjadi menginap bagi para santri, dan pembelajaran kitab kuning. Kelima komponen ini saling berhubungan7 sehingga membentuk kesatuan yang disebut sistem pendidikan pesantren. Dalam hal ini, peran kiai merupakan faktor utama untuk memajukan lembaga Pondok Pesantren. Seiring berkembangnya zaman saat ini, kiai di Pondok Pesantren tidak hanya memfokuskan para santrinya untuk belajar bidang agama saja, tetapi juga banyak kiai yang mulai membuka kepekaan para santrinya untuk peduli terhadap masyarakat lokal. Santri tidak hanya diajari mengenai ilmu agama dan kitab-kitab kuning saja, tetapi juga mengabdi kepada masyarakat. Salah satu bentuk pengabdian masyarakat yang dapat dilakukan adalah dengan melestarikan budaya lokal. Suatu masyarakat terbentuk dari pergumulan sejarah yang panjang. Setiap fase sejarah memiliki warisan tersendiri yang sebagiannya dapat ditemukan hingga sekarang dan dikenal dengan warisan budaya.8 Sehubungan dengan hal tersebut Nurul Iman menyatakan bahwa, budaya merupakan warisan masa lalu dalam wujud benda dan nilai yang kemudian diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dalam suatu bangsa.9 Sedangkan kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan pandangan hidup, sikap, aktivitas dan hasil karya manusia dalam kehidupan 7 B. M. Alwi, “Pondok Pesantren: Ciri Khas, Perkembangan, dan Sistem Pendidikannya”, Lentera Pendidikan: Jurnal Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, vol. 16 no. 2 (tahun 2016), 205–219. 8 Agus Dono Karmadi, “Budaya Lokal Sebagai Warisan Budaya dan Upaya Pelestariannya”, Makalah disampaikan pada dialog budaya daerah Jawa tengah, di Semarang 8-9 Mei 2007. 9 Nurul Iman, et.al., “Strategi Pelestarian dan Pengembangan Reyog Ponorogo”, Prosiding Seminar nasional Hasil-hasil Penelitian 2016 (Ponorogo: UNMUH Press, 2016), 15. Pelestarian Budaya Bawean 3 bermasyarakat yang kemudian menjadi milik individu melalui proses pembelajaran.10 Masyarakat sejatinya tak dapat dipisahkan dari sistem nilai serta budaya yang telah diwaris secara turun temurun. Kebudayaan dan masyarakat tak ubahnya dua sisi mata uang, di mana selalu hadir secara bersamaan dan tak dapat dipisahkan.11 Karenanya, ketika sistem nilai tradisi yang sudah terbentuk itu kemudian terlepas dari akar budayanya, maka masyarakat tersebut akan kehilangan identitas dan jati dirinya, yang pada saat bersamaan juga kehilangan rasa kebangsaan dan rasa memiliki.12 Lebih ironis lagi, bila melihat kenyataan yang terjadi, bahwa sebagian anggota masyarakat khususnya generasi muda, terkadang tidak merasa bangga terhadap nilai-nilai tradisi dan budayanya sendiri, identitas asli mulai luntur dan dilupakan.13 Mereka lebih bangga terhadap beberapa kebudayaan yang datang dari luar meskipun sebenarnya apa yang terkandung dalam kebudayaan tersebut tidaklah relevan dengan sistem nilai masyarakat bangsa Indonesia. Akibatnya, suatu hal yang tak dapat dihindari adalah kebudayaan masyarakat setempat mulai terlupakan.14 Hal ini juga terjadi pada masyarakat Bawean. Generasi muda di pulau ini mulai banyak yang tidak lagi menaruh Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Rineka Cipta: Jakarta, 2009), 144. Hildigardis M. I. Nahak, “Upaya Melestarikan Budaya Indonesia di Era Globalisasi”, Jurnal Sosiologi Nusantara, vol. 5 no. 1 (2019), 169. 12 Iin Wariin Basyari, “Menanamkan Identitas Kebangsaan Melalui Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Budaya Lokal”, Edunomic, Vol. 1 No. 2, (September 2013), 112-118. 13 Irham Yuwanamu, “Program Melestarikan dan Mengembangkan Kearifan Lokal Dalam Upaya Menyelesaikan Permasalahan Sosial Budaya”, file:///E:/LITABDIMAS21/BAHAN/babbuku-program-dan-proyek-strategispembangunan-desa-231-238.pdf diakses pada 8 Pebruari 2022. 14 Hildigardis M.I. Nahak, “Upaya Melestarikan Budaya Indonesia…, 171-172. 10 11 4 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. perhatian pada budaya lokal. Mereka lebih suka meniru budaya yang datang dari luar. Oleh karenanya, maka diperlukan adanya upaya-upaya untuk melestarikan budaya masyarakat setempat. Tugas melestarikan budaya merupakan kewajiban bersama semua komponen masyarakat agar budaya dan kebudayaan tidak punah dan tidak terkikis oleh perkembangan zaman. Dengan melihat kemajuan di bidang teknologi informasi dalam berbagai aspek dan kehidupan masyarakat yang semakin pragmatis, maka dirasa sangat penting untuk mewujudkan upaya-upaya di atas agar warisan budaya masa lalu terjaga dengan baik. Harus diakui, memang sulit untuk mewujudkannya, butuh ketekunan, ketenangan, ketulusan dan tanggung jawab yang tinggi untuk mewujudkannya.15 Pesatnya arus globalisasi menimbulkan banyak masalah dalam bidang kebudayaan.16 Perkembangan media elektronik seperti internet diakui atau tidak telah banyak mendegradasi nilai dan budaya.17 Banyak didapati generasi muda masyarakat Bawean yang terlalu mengejar model hingga lupa pada nilai-nilai. Sebagian besar generasi muda tidak lagi peduli terhadap budayanya sendiri bahkan mereka lebih bangga dengan budaya asing. Budaya lokal dianggap sebagai budaya yang kuno dan ketinggalan zaman. Padahal budaya merupakan warisan masa lalu yang tak ternilai harganya. Dengan adanya paradigma yang 15 Yolan Priatna, “Melek Informasi Sebagai Kunci Keberhasilan Pelestarian Budaya Lokal” Jurnal Publish, Vol. 1 No.2, (2017), 37-43. 16 Dyah Satya Yoga Agustin, “Penurunan Rasa Cinta Budaya Dan Nasionalisme Generasi Muda Akibat Globalisasi”, jsh Jurnal Sosial Humaniora, Vol 4 No. 2, (November 2011), 177-185. 17 Ryan prayogi dan Endang danial, “Pergeseran Nilai-Nilai Budaya Pada Suku Bonai Sebagai Civic Culture Di Kecamatan Bonai Darussalam Kabupaten Rokan Hulu Provensi Riau”, Humanika, vol. 23 no. 1 (2016), 61-79. Pelestarian Budaya Bawean 5 seperti ini di kalangan generasi muda maka perlu adanya campur tangan seseorang yang mempunyai kedudukan tinggi di masyarakat untuk mengubah mindset para generasi muda sehingga mereka dapat mencintai dan mengenali budaya lokalnya. Sosok kiai adalah salah satu orang yang mempunyai kedudukan di masyarakat dan diharapkan mampu memainkan peran ini. Karena seorang kiai dengan posisinya sebagai pengasuh pondok pesantren selain dapat mendidik para generasi muda, ia juga memiliki kekuasaan penuh dalam membuat keputusan dan kebijakan di lembaga yang diasuhnya.18 Bahkan kekuasaan yang dimiliki oleh seorang kiai cenderung mutlak adanya yang mengakibatkan apapun bentuk keputusan yang diambilnya tak dapat diganggu gugat.19 Sehubungan dengan pelestarian budaya, pondok pesantren merupakan lingkungan yang sangat tepat untuk membina generasi muda agar peka dan peduli terhadap lingkungan sekitar, yakni lingkungan tempat di mana mereka dibesarkan. Setiap manusia pasti akan kembali ke tengah-tengah lingkungan masyarakatnya. Maka penting bagi sebuah lembaga pondok pesantren membekali para santrinya dan menanamkan rasa cinta terhadap budaya masyarakat setempat yang tak lain di situlah mereka dilahirkan dan dibesarkan, karena mereka akan kembali ke tengah masyarakat setelah menyelesaikan belajarnya.20 Yang 18 Abdussalam, “Kepemimpinan Kiyai Sebagai Pemimpin Pendidikan Di Pondok Pesantren”, Seminar Nasional Magister manajemen Pendikan UNISKA MAB, vol. 1 no. 1, (2021), 162-168. 19 Abdul Azis, “Kepemimpinan Kiyai Sebagai Pemimpin Pendidikan Di Pondok Pesantren Nurulhuda Pakandangan Barat Sumenep”, El Idare: Journal of Islamic Education Management, Vol. 3 No. 2, (Desember 2017), 65-79. 20 Widia Fithri, “Internalisasi Nilai Budaya Minangkabau Pada Santri Pondok Pesantren Modern Diniyyah Pasia”, Jurnal Al-Aqidah, vol. 11 Edisi 1, (Juni 2019), 44-52. 6 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. demikian ini dikarenakan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang memperdalam ilmu-ilmu keagamaan Islam (tafaqquh fiddin), hingga saat ini ia masih menjadi tempat melabuhkan segala asa dan harapan masyarakat.21 Pondok Pesantren yang merupakan lembaga dakwah Islam memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi internal dan fungsi eksternal. Fungsi internal pesantren berkaitan erat dengan apa yang dilakukan oleh pesantren dalam upaya menyajikan pembelajaran keagamaan terhadap para santrinya. Sementara terkait dengan peran eksternal, adalah kemampuan pesantren dalam membangun jaringan dan melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya yang diwujudkan dalam bentuk pemberdayaan dan pengembangan masyarakat,22 Termasuk dalam hal ini adalah pelestarian budaya lokal. Pondok pesantren Penaber merupakan satu-satunya lembaga pendidikan keagamaan di Pulau Bawean yang punya andil besar dalam melestarikan budaya lokal masyarakat Bawean. Dilestarikannya budaya Bawean di pondok pesantren ini tentunya tak lepas dari peran serta sosok kiai Mustafa sebagai pemimpin tertinggi di lembaga tersebut. Terdapat banyak jenis budaya Bawean yang dilestarikan di pondok pesantren Penaber mulai dari budi pekerti, kesenian, benda-benda hingga logat bicara. Selain itu pondok pesantren Penaber juga merupakan satusatunya pondok pesantren yang memproduksi batik dengan 21 H. Babun Suharto, dalam kata pengantar, Mahfidz, Model Kepemimpinan Kiyai Pesantren: Dari Tradisi Hingga Membangun Budaya relegius, (Yogyakarta: Pustak Ilmu, 2020), viii. 22 Muhammad Jamaluddin, “Metamorfosis Pesantren Di Era Globalisasi”, KARSA, Vol. 20 No. 1 (Tahun 2012), 127-139. Pelestarian Budaya Bawean 7 motif-motif khusus yang diambil dari budaya masyarakat Bawean sesuai dengan perjalanan sejarahnya dari masa ke masa. Bahkan, kini batik hasil buah tangan santri-santri penaber juga sudah merambah ke tingkat nasional. Pesantren ini merupakan satusatunya pondok pesantren di Bawean yang memiliki museum budaya. Di museum inilah kiai Mustofa mengumpulkan bendabenda bersejarah peninggalan orang-orang terdahulu.23 23 https://matasamudera.id/2021/08/03/melestarikan -dan -menjaga -adat -budaya lewat -batik -khas -pulaubawean/ diakses pada 23 Pebruari 2022. 8 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. BAB II BUDAYA A. Pengertian Budaya Kata budaya menurut Koencjaraningrat memiliki asal dari bahasa sansakerta buddhaya. Kata buddhaya sendiri merupakan jamak dari kata buddhi memiliki arti pikiran atau akal.1 Sementara Elly Setiadi menggarisbawahi bahwa budaya dapat dijelaskan sebagai sesuatu yang berhubungan erat dengan daya berupa cipta, karsa dan rasa.2 Budaya merupakan produk peninggalan masa lalu yang terdiri dari nilai-nilai yang dijadikan sebagai acuan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat oleh suatu kelompok orang atau bangsa tertentu.3 Sedangkan Tylor mengartikan budaya sebagai sejumlah elemen yang mencakup segala bentuk pengetahuan, sistem kepercayaan masyarakat, kesenian, moral, dan tradisi.4 Budaya juga dapat didefinisikan sebagai kebiasaankebiasaan yang sudah menjadi ciri khas dan sudah sangat kental terhadap suatu masyarakat. Sementara kebudayaan dapat Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT. Rineka Cipta 2005), 12. Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial Budaya Dasar (Jakarta: Kencana Prenada, 2006), 27. 3 Nurul Iman, (et.al). 2016. “Strategi Pelestarian Dan Pengembangan Reyog Ponorogo (Perspektif Praktisi Dan Pemerhati Budaya Ponorogo)”. Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian 2016: Bidang Agama Islam, Budaya, Ekonomi, Sosial Humaniora, Teknologi, Kesehatan, Dan Pendidikan. (Ponorogo : Unmuh Press, 2016), 15. 4 EB tylor, Primitive Culture (London: T.P. 1871), 1 2 Pelestarian Budaya Bawean 9 diartikan sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa itu. Karenanya, beberapa ahli membedakan antara budaya dan kebudayaan. Kebudayaan menurut Maran ialah segala hal yang dilakukan oleh manusia sebagai hasil pemikiran dan akal budinya.5 Sementara Kontjaraningrat menegaskan bahwa kebudayaan merupakan seluruh ide, tindakan dan hasil cipta manusia yang tampak dalam menjalani kehidupan bermasyarakat dan menjadi konsep diri melalui proses pembelajaran.6 Kebudayaan juga dapat disebut sebagai peradaban yang dalam bahasa ingris disebut Civilization. 7 Selanjutnya, kata pelestarian memiliki asal kata “lestari” yang berarti tetap sebagaimana keadaannya yang semula, tidak mengalami perubahan, tetap bertahan dan kekal. Namun demikian, jika kata lestari diberi tambahan awalan pe- dan akhiran -an maka yang dikehendaki adalah suatu proses, upaya pemanfaatan secara dinamis, pengembangan dan dari kemusnahan, baik dengan cara pengawetan maupun konservasi.8 Pelestarian adalah upaya yang didasarkan pada faktor-faktor pendukung baik internal maupun eksternal sehingga faktor pendukung tersebut dapat mendorong suatu budaya untuk dilestarikan.9 Widjaja mengartikan bahwa pelestarian merupakan upaya yang dilakukan secara terus menerus, pembinaan dan pengintegrasian guna mencapai tujuan tertentu yang 5 Rafael Raga Maran, Manusia dan Kebudayaan Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), 50. 6 Suharta, Antropologi Budaya (Klaten: Lakeisha, 2020), 51. 7 Kecamatan Bonai Darussalam Kabupaten Rokan Hulu Provensi Riau”, Humanika, vol. 23 no. 1 (2016), 64. 8 Kamus Besar Bahasa Indonesia 9 Alwasilah, Pokoknya Kualitatif (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006), 18. 10 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. menggambarkan keberadaan hal-hal yang kekal bersifat dinamis, fleksibel dan selektif.10 Dengan demikian bisa dikatakan bahwa pelestarian budaya merupakan kiat-kiat yang dilakukan dalam menjaga dan melindungi tradisi kebiasaan-kebiasaan yang ada sejak dulu hingga saat ini. Pelestarian budaya bukan hanya sebatas memperkenalkan budaya agar diketahui orang, tetapi lebih menekankan pada aspek eksistensi agar budaya tetap eksis sampai kapan pun. Dalam rangka melindungi budaya, maka upaya melestarikan suatu budaya tersebut harus dilakukan. Suatu budaya akan terus ada sampai kapan pun jika digunakan, sebaliknya budaya akan hilang jika budaya tersebut tidak lagi digunakan oleh masyarakatnya. Sehubungan dengan upaya pelestarian budaya lokal, Ranjabar menyampaikan bahwa pelestarian budaya lokal tak lain adalah upaya yang dilakukan guna mempertahankan nilai-nilai seni budaya, nilai-nilai tradisionalitas dalam wujud yang sifatnya selalu dinamis, yang tentunya dengan tetap memperhatikan kesesuaiannya dengan keadaan yang terus mengalami perubahan dan perkembangan.11 B. Macam-macam Budaya Indonesia adalah negara kaya akan warisan budayanya, warisan budaya Indonesia yang beragam ini dikarenakan memiliki banyak faktor diantaranya karena suku bangsa yang beraneka ragam dan produktivitas masyarakat di Indonesia yang 10 Widjaja, “Sistem Sosial Budaya Indonesia” dalam buku Jacobus (Bandung: Ghalia Indonesia, 2006), 115. 11 Ranjabar Jacobus, Sistem Sosial Budaya Indonesia (Bandung: Ghalia Indonesia, 2006), 114. Pelestarian Budaya Bawean 11 begitu tinggi dalam hal seni dan budaya, sampai membuahkan warisan budaya benda ataupun warisan budaya non benda.12 1. Budaya Benda Budaya benda (material culture) merupakan segala bentuk kebudayaan yang diciptakan oleh masyarakat yang bersifat nyata, konkret serta penemuan-penemuan yang dihasilkan dari penggalian arkeolog zaman dahulu yakni seperti perhiasan, mangkuk yang terbuat dari tanah liat, pakaian, gedung-gedung pencakar langit dan juga senjata.13 Penjelasan yang hampir sama dikemukakan oleh Hamzah, bahwa warisan budaya benda merupakan segala hasil karya yang dibuat oleh manusia, baik itu bisa dipindahkan ataupun tidak bisa dipindahkan termasuk juga yaitu benda cagar budaya.14 2. Budaya Non Benda Budaya non benda (non-material culture) merupakan kebudayaan yang hasil ciptaannya bersifat abstrak dan hasil dari warisan generasi ke generasi misal seperti tarian tradisional, dogeng/cerita rakyat serta lagu-lagu tradisional yang tetap dijaga kelestariannya.15 Definisi lain menjelaskan mengenai kebudayaan non benda adalah warisan kebudayaan yang bisa ditangkap dengan panca indera selain dengan 12 M. Guntur Hamzah, “Peranan Hukum dalam Upaya Pelestarian Warisan Budaya”, Jurnal Ilmu Hukum Amannagappa, vol. 12, no. 3 (September 2004), 244. 13 Laendatu Paembonan, Migran warga toraja di kota palu dari aspek budaya (Pasaman Barat: CV Azka Pustaka, 2022), 33. 14 M. Guntur Hamzah, “Peranan Hukum dalam Upaya Pelestarian Warisan Budaya”, Jurnal Ilmu Hukum Amannagappa, vol. 12, no. 3 (September 2004), 244. 15 Laendatu Paembonan, Migran warga toraja di kota palu dari aspek budaya (Pasaman Barat: CV Azka Pustaka, 2022), 33. 12 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. indera peraba, juga warisan kebudayaan yang bersifat abstrak/tidak bisa ditangkap dengan panca indera contohnya yaitu konsepsi dan ilmu kebudayaan.16 Warisan budaya non benda yang dimiliki oleh Indonesia misalnya Tari Piring, Reog Ponorogo, Lagu O Inani Keke, dan lain sebagainya. Dengan begitu banyaknya kebudayaan non benda yang dimiliki oleh Indonesia, maka tidak heran jika negara asing menjadi kagum terhadap kekayaan budaya yang ada di Indonesia. C. Budaya dan Tantangan Masa Depan Pada mulanya, bangsa Indonesia mempunyai amat banyak warisan kebudayaan yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya, hal ini yang seharusnya masyarakat Indonesia sendiri harus bangga. Akan tetapi, pada beberapa dekade terakhir budaya yang dimiliki bangsa Indonesia mengalami penurunan, bahkan banyak yang diakui oleh bangsa lain. Hal itu dikarenkan kurangnya sosialisasi pada tingkatan nasional, sehingga mengakibatkan tidak sedikit masyarakat yang lupa dan bahkan tidak tahu apa budaya Indonesia. Dengan bertambah majunya arus globalisasi rasa kecintaan kepada budaya makin menurun, dalam hal demikian amat mempengaruhi terhadap kebudayaan lokal dan untuk masyarakat pribumi. Tidak dipungkiri negara Indonesia kini terus menerus memperkenalkan budayanya dalam ajang internasional, bukti nyata bahwa negara asing lebih mengetahui budaya Indonesia 16 M. Guntur Hamzah, “Peranan Hukum dalam Upaya Pelestarian Warisan Budaya”, Jurnal Ilmu Hukum Amannagappa, vol. 12, no. 3 (September 2004), 244. Pelestarian Budaya Bawean 13 daripada warga negara Indonesia sendiri. Contohnya yaitu batik yang tidak lain merupakan budaya Indonesia, batik sangat diminati oleh masyarakat luar. Kemunculan tren ini disebabkan oleh UNESCO yang sudah memutuskan bahwa batik menjadi warisan budaya Indonesia pada hari Jum’at tanggal 02 bulan Oktober tahun 2009, sehingga hari tersebut ditetapkan sebagai hari batik nasional.17 Ada beberapa faktor pendorong yang menyebabkan lahirnya sebuah perubahan sosial dan budaya pada masyarakat Indonesia dewasa ini. Jika dikelompokkan terdapat 2 kekuatan yang mengakibatkan terjadi transformasi sosial, yang pertama internal factor yaitu suatu kekuatan yang bersumber dari dalam diri masyarakat itu sendiri, misalnya revitalisasi penerus serta beragam temuan dan perubahan sekitar. Yang kedua yaitu external factor yang merupakan kekuatan yang bersumber dari luar masyarakat, misalnya culture contact atau dampak dari komunikasi antar budaya baik secara langsung ataupun penyebaran (komponen) budaya, serta transformasi lingkungan hidup yang nanti pada waktunya mampu mempercepat pertumbuhan sosial budaya masyarakat yang mesti ditata ulang aktivitas mereka.18 Pola kehidupan masyarakat yang sekarang dan yang dahulu sangat memiliki perbedaan, keadaan ini adalah akibat dari perkembangan globalisasi yang butuh kiranya tindakan yang baik. 17 Hildigardis M.I. Nahak, “Upaya Melestarikan Budaya Indonesia Di Era Globalisasi” Sosiologi Nusantara, vol. 5 no. 1 (2019), 170-171. 18 Koendjaraningrat, Pengatar Ilmu Antropologi, Sejarah Teori Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), 191. 14 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. Akibat lainnya adalah berkembangnya teknologi yang semakin maju, yang bisa menolong kebutuhan manusia akan tetapi juga dapat mencacati mental dan juga moral dari penerus bangsa.19 Dalam kenyataannya yakni masyarakat negara Indonesia sekarang kian memilih dan lebih menyukai kebudayaan dari luar negeri daripada budayanya sendiri, karena mereka menganggap budaya asing lebih menarik, istimewa dan juga realistis. Budaya masyarakat setempat sendiri semakin pudar dikarenakan berkurangnya generasi sebagai penerus bangsa yang mempunyai ketertarikan dan bakat untuk mempelajari serta melestarikan budaya. Apalagi dalam zaman globalisasi teknologi dan informasi sudah menjadi kekuatan hebat dalam memberikan dampak terhadap mindset manusia. Budaya barat identik dengan modernisasi sementara budaya timur identik dengan budaya konvensional atau tradisional. Manusia bukan hanya mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi budaya barat akan tetapi juga mengikuti bahkan meniru secara dominan gaya budaya orang barat, bahkan beranggapan bahwa budaya barat merupakan budaya yang tidak baik, namun sesudah dibawa ke timur lalu mengadopsi dengan tanpa memikirkan hal apapun lagi dan tidak peduli pada budayanya sendiri.20 D. Urgensi Pelestarian Budaya Cagar budaya merupakan salah satu upaya bentuk pelestarian budaya. Generasi milineal mempunyai tugas dan bertanggung 19 Hildigardis M.I. Nahak, “Upaya Melestarikan Budaya Indonesia Di Era Globalisasi” Sosiologi Nusantara, vol. 5 no. 1 (2019), (165-176). 20 Ibid Pelestarian Budaya Bawean 15 jawab dalam upaya menjaga kelestarian suatu cagar budaya. Cagar budaya sendiri di dalamnya terdapat nilai penting yang tidak bisa lepas dari sebuah sejarah ekspedisi bangsa ini, maka dari itu cagar budaya menjadi aset yang begitu berharga untuk generasi mendatang. Sebagai warisan yang memiliki nilai budaya dan sejarah, adanya cagar budaya bisa dimanfaatkan untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Di tengah arus mordenisasi ini banyak budaya asing yang masuk dan mengurangi rasa kepedulian masyarakat terhadap kelestarian budayanya sendiri. Untuk menyikapi hal ini, generasi mudalah yang mengambil peran untuk menjaga dan merawat kelestarian warisan budaya beserta sejarah yang ada sehingga tidak mudah punah seiring dengan berkembangnya teknologi. Beragam bentuk perilaku yang dapat merusak kelestarian warisan budaya menunjukkan bahwa usaha dalam melindungi aset budaya yang dimiliki Indonesia masih terbilang lemah. Jika dalam diri masyarakat sendiri tidak tumbuh kesadaran pentingnya menjaga kelestarian cagar budaya, maka benda yang memiliki nilai sejarah serta budaya akan punah sedikit demi sedikit akibat tuntutan pembangunan saat ini. Hal tersebut menandakan bahwa pelaksanaan UU tahun 2010 no. 11 tentang pelestarian cagar budaya belum sepenuhnya optimal. karenanya perlu adanya kepekaan dan rasa peduli masyarakat serta banyaknya peran aktif dalam menjaga pelestarian cagar budaya. Sebagaimana pendapat Wirastari dan Suprihardjo yang menyatakan upaya perlindungan cagar budaya dengan keikut- 16 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. sertaan masyarakat akan banyak lebih efektif dibandingkan dengan sekedar melalui peraturan serta kebijakan saja.21 Generasi muda selaku penerus bangsa sudah seharusnya mempunyai perhatian serius untuk menjaga dan melestarikan semua bentuk aset budaya. Semua nilai yang ada dalam aset budaya baik itu berbentuk benda ataupun non benda menggambarkan ciri khas bangsa yang harus dilestarikan dan diwariskan pada generasi berikutnya. Perihal ini sudah menjadi tugas dan keharusan dari generasi muda sekarang untuk menciptakan perkembangan bangsa yang mendatang. Menurut Sarkowi urgensi peran generasi muda dalam menjaga pelestarian budaya adalah generasi muda yang usianya masih produktif dianggap mampu berpotensi untuk menciptakan kemajuan suatu bangsa, meneruskan rantai kepemimpinan dan selaku penunjuk jalan bagaimana melestarikan budaya dimasa mendatang.22 Generasi saat ini tumbuh dengan perkembangan teknologi sehingga dianggap lebih mampu untuk menghadapi beragam tantangan ke depannya. Oleh karena itu keikutsertaan generasi muda sangat penting untuk memaksimalkan usaha perlindungan cagar budaya dan warisan nilai budaya. Pendayagunaan cagar budaya adalah bagian dari salah satu usaha pelestarian yang dapat menjadi pilihan para generasi muda. Keberadaan cagar budaya dapat memberikan banyak manfaat bagi kehidupan masyarakat. Bukan saja memberikan manfaat 21 Volare Amanda Wirasati dan Rimadewi, “Pelestarian Kawasan Cagar Budaya Berbasis Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus: Kawasan Cagar Budaya Bubutan)”, Jurnal ITS, vol. 1 no. 1 (2012), 64. (63-67). 22 Sarkowi, “Peran Generasi Milineal dalam Pemanfaatan dan Pelestarian Museum di Kota Lubuklinggau”, Jurnal Pendidikan Sejarah, vol. 9 no. 2 (2020), 127-141. Pelestarian Budaya Bawean 17 untuk pengembangan ilmu pengetahuan saja, akan tetapi cagar budaya juga dapat dimanfaatkan secara optimal bagi keperluan hajat sosial, dunia pendidikan, kebudayaan, keagamaan dan tentunya pariwisata. Cagar budaya merupakan salah satu aset kultural yang di dalamnya mengandung nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom), sehingga eksistensinya mempunyai makna yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat sekarang dan yang akan datang. Cagar budaya tak lain merupakan hasil kreasi kebudayaan masyarakat setempat yang memiliki nilai historis sebagai gambaran karakteristik lokal. Dengan segala kearifannya budaya lokal menjelaskan karakter dan ciri khas bangsa yang luhur. Generasi milineal sudah seharusnya berperan aktif dalam setiap upaya memelihara kelestarian cagar budaya. Dalam hal menanggapi perkembangan zaman, generasi saat ini harus mempunyai bekal yang cukup dalam mengembangkan bangsa termasuk juga dalam hal budayanya. Dengan demikian generasi mudalah yang memiliki tanggung jawab terhadap kelestarian cagar budaya yang merupakan salah satu warisan yang mengandung nilai-nilai budaya dan sejarah lokal yang amat tinggi. Lewat generasi muda inilah cagar budaya dapat terus dikembangkan melalui berbagai gaya inovasi sehingga bisa menjadi trend untuk memperkenalkan budaya Indonesia kepada seluruh dunia. Oleh karenanya cagar budaya dan nilai yang terkandung di dalamnya dapat bermanfaat bagi masyarakat, nusa dan bangsa. Dan juga nilai luhur yang ada di dalamnya diharapkan 18 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. bisa dipraktikkan dengan sebaik-baiknya untuk melahirkan generasi yang mempunyai karakter budaya Indonesia.23 E. Teknik Pelestarian Budaya Budaya perlu dilestarikan karena perkembangan zaman dan kemajuan teknologi di berbagai aspek telah berdampak kepada perubahan sosial.24 Dalam upaya agenda ini, menjadi satu keharusan adanya wujud budaya yang akan dilestarikan. Agenda pelestarian budaya akan berjalan secara efektif apabila benda yang akan dilestarikan masih dipergunakan dan dijalankan. Satu dari sekian banyak tujuan dalam melestarikan budaya adalah untuk memberikan penguatan nilai-nilai budaya dalam diri bangsa.25 Penguatan yang dimaksud meliputi hal, 1) wawasan guna meningkatnya kesadaran, 2) perencanaan secara kolektif, dan 3) membangkitkan kreasi budaya. Selain itu terdapat beberapa Langkah yang bisa dipilih dan dilakukan dalam upaya melestarikan budaya, yaitu: 1. Culture Experience Culture Experience adalah upaya melestarikan budaya yang dilakukan dengan cara seseorang terjun langsung ke dalam sebuah pengalaman kultural. Di mana masyarakat dilibatkan secara langsung dalam berbagai macam kegiatan melestarikan budaya. Misalnya seperti budaya pencak silat 23 Dyah Kumalasari, et.al, “Urgensi Pelestarian Cagar Budaya Bagi Generasi Milineal”, (2022), 110-117. 24 Suryani, “Strategi Pelestarian Budaya Lokal Dalam Mnejaga Kesetikawanan Sosial”, Media Informa si Penelitian Kesejarahteraan Sosial, vol. 42 no. 2 (Agustus 2018), 187-195. 25 Encang Saepudin, et.al., “Model Leterasi Budaya Masyarakat Tatar Karang Di Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya”, Berkala Ilmu Perpustakaan dan Informasi, vol. 14 no. 1 (Juni 2018), 1-10. Pelestarian Budaya Bawean 19 atau tarian saman, agar kedua budaya tersebut tidak hilang maka generasi muda –khususnya– dimotivasi agar mau mengikuti pembelajaran dan latihan menguasai pencak silat dan tarian tersebut. 2. Culture Knowledge Culture Knowledge adalah upaya melestarikan budaya dengan memberikan edukasi budaya pada generasi penerus. Hal ini bisa dilakukan dengan membangun berbagai pusat pembelajaran atau pusat informasi mengenai berbagi budaya setempat,26 seperti museum dan perpustakaan sebagai center of Culture.27 Dengan adanya edukasi dan pusat-pusat kebudayaan diharapkan generasi muda dapat mengembangkan wawasan dan pengetahuan mereka tentang budayanya sendiri. Selain upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat baik itu secara individu dan juga secara kelompok, instansi pemerintah terkait baik pusat maupun daerah juga memiliki peran yang sangat besar dalam upaya melestarikan budaya.28 Upaya tersebut bisa dilakukan melalui cara meningkatkan sumber daya manusia (SDM). Memberikan dorongan dan insentif kepada anggota masyarakat yang mau meluangkan waktunya dalam mengelola keanekaragaman budaya lokal.29 Ibid. Ria Aprilia Pattileamonia, “Pusat Kebudayaan Maluku di Yogyakarta Landasan Konseptual dan Perancangan”, e-Jurnal UAJY. Diakses dari http://e-journal.uajy.ac.id/10826/ pada 19 pebruari 2022. 28 Hildigardis, “Upaya Melestarikan Budaya Indonesia Di Era Globalisasi”, Jurnal Sosiologi Nusantara, vol. 5 no. 1 (2019), 72. 29 Yunus Rasid, Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat Karakter Bangsa (Yogyakarta, Budi Utama, 2014), 143. 26 27 20 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. Sangatlah perlu untuk masyarakat mengetahui dan juga memahami apa saja kebudayaan yang dimiliki. Di samping itu peran pemerintah juga sangat diperlukan agar memberikan perhatiannya kepada pendidikan yang bermuatan kebudayaan daerah. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam upaya pelestarian budaya lokal adalah sebagai berikut:30 • Mengoptimalkan kualitas sumber daya manusianya guna mengembangkan budaya lokal. • Menggerakkan masyarakat agar mengoptimalkan kapasitas budaya lokal serta dengan pemberdayaan dan pelestariannya. • Bergerak membangkitkan semangat baik toleransi, rasa kekeluargaan dan keakraban serta solidaritas yang tinggi. • Tetap menjaga kebudayaan Indonesia sehingga tidak akan mudah punah. • Selalu berusaha untuk mendorong masyarakat agar bisa mengelola keanekaragaman budaya lokal yang ada. Kebudayaan yang dimiliki oleh negara Indonesia merupakan budaya yang harus kita jaga. Kita ketahui bahwasanya budaya Indonesia sangat beragam, bahkan ciri khas budaya di setiap daerah berbeda-beda. Dengan demikian pentingnya peran dari pemuda sebagai penerus bangsa, sehingga budaya Indonesia tidak gampang diakui dan bahkan diambil oleh negara luar. 30 Rasid Yunus, Nilai-nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat Karakter Bangsa, Studi Empiris Tentang Hayula (Yogyakarta: Budi Utama, 2014), 123. Pelestarian Budaya Bawean 21 BAB III BUDAYA BAWEAN DALAM PERSPEKTIF KIAI MUSTAFA A. Sejarah Pondok Pesantren Penaber Pondok Pesantren Nasy’atul Barokah di tengah masyarakat bawean lebih dikenal dengan sebutan pondok pesantren Penaber. Pesantren ini terletak di Dusun Pagindah Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Kabupaten Gresik. Nama “Penaber” sendiri adalah sebutan yang dipilih dan lebih dikenal oleh masyarakat Bawean, nama tersebut memiliki latar belakang karena pada waktu itu banyak para pemuda yang suka minum-minuman keras dan perilakunya yang tidak baik bahkan melanggar aturan. Sehingga diharapkan dengan berdirinya Pondok Pesantren Nasy’atul Barokah ini dapat menjadi obat atau sebagai penawar dari semua sikap dan perilaku generasi muda yang kurang baik. Dengan demikian, digunakanlah nama Penaber (bahasa Bawean) yang artinya adalah penawar. Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Nasy’atul Barokah ini, awal mulanya dari sebuah kegiatan pengajian yang dirintis dan diasuh oleh kiai Maswadi yang bertempat di Mushalla dusun Paginda. Selain mengasuh pengajian rutin, Kiai Maswadi juga menampung belasan santri perempuan yang ditempatkan di 22 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. rumahnya sebelum adanya bangunan asrama. Dalam merintis pengajian ini kiai Maswadi juga dibantu oleh menantunya, ustaz Syahir bin Rowi dan ustazah Fikriyah, yang tak lain merupakan anak kedua Kiai Maswadi. Selain mengasuh pengajian keagamaan, Kiai Maswadi ikut serta menjadi pendamping Kiai Nasyari dalam memperkenalkan dan menyebarkan ajaran Thoriqoh Qadariyah Naqsyabandiyah Al-Ustmaniyah pada masyarakat pulau Bawean.1 Pada sekitar tahun 1980-an pengajian yang diasuh oleh Kiai Maswadi juga diikuti para santri senior dari Pondok Pesantren Mambaul Falah2 yang pada masa itu diasuh oleh K.H. Maksun. Kiai Maswadi wafat pada tanggal 13 Maret 1987 yang kemudian pengajian yang diasuhnya tidak berhenti disitu saja akan tetapi dilanjutkan oleh menantunya ustaz Syahir bersama istrinya. Hingga pada masa kepengasuhan ustaz Syahir belum mengalami perkembangan yang signifikan, baik itu dari aspek jumlah santri yang mukim maupun dari aspek fisik bangunannya, pengajian keagamaan masih tetap berkelanjutan di musala. Pada perkembangan selanjutnya, setelah terjadi peralihan kepemimpinan peran pengasuh diteruskan oleh menantu Kiai Maswadi yang lain, yaitu Kiai Mustofa Rusydi. Beliau memimpin pengajian yang sudah sejak lama ada mulai awal tahun 2000. Semenjak masa kepemimpinan beliau pengajian ini mengalami perkembangan, jumlah santri yang mukim semakin banyak. Semakin bertambahnya para santri yang mukim telah membuka lembaran baru dan Ustadz Basri, wawancara,Pondok Pesantren Penaber, tanggal 20 Oktober 2022. Pondok pesantren Mambaul Falah saat ini merupakan Yayasan Pendidikan pondok pesantren terbesar di Kecamatan Tambak. Pondok pesantren Mambaul Falah terletak tidak jauh dari pondok pesantren Nasy’atulbarokah. Jarak antara keduanya ± 200 meter. 1 2 Pelestarian Budaya Bawean 23 atas desakan serta kepercayaan dan dukungan dari para wali santri sehingga membuat pengasuh semakin gencar untuk mendirikan sebuah asrama, dengan dasar ini berdirilah secara resmi sebuah asrama yang menjadi cikal bakal Pondok Pesantren Nasy’atul Barokah. Asrama ini berdiri dengan bangunan yang sederhana mungkin, hanya terdiri dari gubuk bambu yang sebagian besar merupakan hasil jerih payah dari kerja anak santri sendiri.3 Sejak tahun 2001 lembaga ini mulai beroperasi dengan nama Asrama Penaber yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah penawar. Penggunaan Penaber sebagai nama asrama dikarenakan pada waktu itu di dusun Paginda banyak kejadian-kejadian yang kurang baik yang biasa dilakukan oleh masyarakat terutama para generasi muda. Maka dengan hadirnya Asrama Penaber ini, diharapkan dapat menjadi penawar bagi para generasi muda untuk menjadi lebih baik, mau belajar dan mendalami pendidikan agama melalui mengaji. Sejak berdirinya Asrama Penaber ini proses belajar mengajar diadakan di surau yang berbentuk asrama dan hanya diikuti oleh santri perempuan. Kiai Mustofa melanjutkan perjuangan ustaz Syahir yang pada awalnya asrama ini merupakan musala biasa dan berfungsi sebagai tempat anak-anak mengaji. Pada saat itu sudah mulai ada santri yang bermukim sehingga dengan ketekadannya sebuah lumbung padi disulap menjadi asrama santri. Pada perkembangan selanjutnya asrama ini menjadi semakin besar dengan mendapat dukungan dan kepedulian dari masyarakat setempat. 3Kiai 24 Mustofa, Pengasuh Pondok Pesantren Penaber, Wawancara, tanggal 21 Oktober 2022 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. Pada awalnya, pesantren penaber ini tidak Bernama pondok pesantren, melainkan kiai Mustafa lebih memilih memberinya nama asrama. Hal itu dikarenakan dalam pandangan beliau sebuah pondok pesantren lumrahnya diasuh oleh seorang kiai yang ilmu agamanya sangat mumpuni, sementara beliau tidak pernah merasa menjadi seorang kiai. Sikap tawadlu’ ini lahir dari kesadaran beliau tentang dirinya yang secara umur masih sangat muda sehingga merasa sangat tidak layak jika lembaga pengajian yang dipimpinnya ini disebut sebagai pondok pesantren. Ditambah lagi, sebuah pondok pesantren penuh dengan nuansa religi, sehingga ia memiliki beban moral yang sangat tinggi. Kiai Mustafa merasa belum memiliki modal yang menjadi persyaratan untuk sebuah pesantren. Pondok Pesantren Nasy’atul Barokah semakin berkembang dengan pesat dari tahun ketahun. Hal ini ditandai dengan banyaknya santri yang mondok di pondok Pesantren ini serta adanya lembaga pendidikan yang memadai seperti madrasah diniyah wustho, MTs Penaber dan MA Penaber. Begitu juga dengan perkembangan dalam segi sarana dan prasarana, fasilitas serta pembangunannya. Sejak berdirinya hingga sekarang Pondok Pesantren Nasy’atul Barokah ini telah mengalami dua kali pergantian ketua yayasan, yaitu sebagai berikut. Tabel 1. Periode Ketua Yayasan Pondok Pesantren Nasy’atul Barokah No. Pelestarian Budaya Bawean Nama Periode 25 1. Ali Subhan, SH. 2010 – 2014 2. Akhmad Sahe, S.Sos. 2014 – sekarang Sumber: Dokumentasi Administrasi Kantor Pondok Pesantren Nasy’atul Barokah Penaber Tahun Pelajaran 2021-2022 Di Desa Sukaoneng sendiri terdapat tiga pondok pondok pesantren yang sama-sama berkembang. Dari ketiga pesantren tersebut, pesantren Penaber merupakan yang paling muda secara usia. Pesantren ini berada pada koordinat -5.750752994194176, 112.63281682452039. Dilihat dari letaknya, dusun Paginda bersebelahan dengan beberapa dusun tetangga, perbatasannya adalah sebagai berikut: • Sebelah utara : Dusun Kotta dan Tambilung • Sebelah Selatan : Dusun Kampung Baru • Sebelah Barat : Laut Jawa • Sebelah Selatan : Dusun Rujing Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang bernuansa Islam, Pondok pesantren Nasyatul Barokah Penaber memiliki cita-cita agung yang ingin dicapai dan tertanam dalam diri setiap santri maupun alumninya. Cita-cita agung tersebut digambarkan dalam bentuk visi “Berilmu, Beradab, dan Berkhidmah”. Guna mencapai visi tersebut pesantren Penaber melakukan berbagai upaya yang dituangkan ke dalam misi sebagai berikut: 1. Menanamkan jiwa tauhid untuk menjadi perisai yang kokoh dalam setiap kondisi. 2. Menanamkan akhlakul karimah berdasarkan tuntunan syariah. 26 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. 3. Menyelenggarakan Pendidikan formal dan non formal. 4. Memberikan bimbingan keterampilan sebagai keahlian individu. 5. Menumbuhkan jiwa patriotism dengan semangat juang yang tinggi. B. Pandangan Kiai Mustafa terhadap Budaya Bawean Indonesia memiliki beragam budaya dan segudang adat istiadat yang dapat ditemukan mulai dari sabang sampai Merauke yang sekaligus ia menjadi identitas bangsa.4 Kebudayaan lokal Indonesia adalah suatu bentuk kebudayaan masyarakat yang hanya terdapat dan dimiliki oleh bangsa Indonesia.5 Demikian halnya dengan budaya Bawean, maka yang dimaksud adalah budaya masyarakat yang ada bi Bawean atau dengan Bahasa yang lain disebut dengan budaya lokal (local wisdom). Budaya lokal (local wisdom) merupakan suatu kebiasaan masyarakat setempat yang keberadaannya diakui sebagai bagian cara masyarakat dalam menjalani kehidupannya. Keberadaan budaya masyarakat setempat (local wisdom) akan menjadi ciri khas yang dapat membedakan suatu daerah dengan daerah yang lainnya. Kebudayaan yang ada di suatu daerah selalu diturunkan dan diwariskan secara turun temurun dari suatu generasi ke generasi yang berikutnya. Pewarisan budaya ini adalah cara yang telah biasa dilakukan oleh suatu masyarakat agar generasi yang 4 Andriano Samartan, “Menumbuhkan Cinta Budaya Lokal Pada Generasi Milenial”, dalam Azizah, et.al., Peran dan Tantangan Guru Dalam Membangun Peradaban Manusia: Upaya Strategis dan Kongkret Seorang Guru (Surabaya: Global Aksara Pres, 2021), 61. 5 Nanik Suratmi, Multicultural: Karya Pelestarian Kearifan Lokal “Kesenian Barongsai-Lion” (Malang: Media Nusa Creative, 2016), 27. Pelestarian Budaya Bawean 27 akan datang dapat mengenal budaya yang pernah dimiliki oleh para leluhurnya. Masyarakat Bawean, di beberapa daerah lain atau bahkan di luar negeri lebih dikenal dengan sebutan masyarakat Boyan, adalah mereka tinggal di pulau Bawean dan menyebar diwilayah Nusantara, Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand. Persebaran itu tidak membuat orang Bawean lupa akan budayanya, mereka tetap berusaha melestarikan dan memperkenalkan budayanya kepada orang-orang baru yang mereka temui. Kebanggaan mempunyai budaya khas tersebut membuat orang Bawean yang hidup di luar pulau Bawean semakin solid dalam hubungan kekerabatannya. Sedangkan orang Bawean yang tinggal di pulau Bawean saat ini semakin lama semakin tidak mengenal tentang budayanya. Hal ini nampak dari generasi ke generasi, dengan membandingkan perilaku atau sikap, sopan santun, tata bahasa, yang dimiliki oleh generasi 80an dengan generasi 2000 saat ini. Hampir sebagian besar pemuda Bawean tidak mengenal adat istiadatnya. Hal inilah yang membuat kekhawatiran bagi sejumlah seniman dan tokoh yang mempunyai kepedulian terhadap budaya Bawean yang setiap harinya serasa tergerus oleh budaya baru yang diciptakan oleh teknologi. Pesatnya kemajuan di bidang teknologi tak lagi dapat dibendung. Media sosial dengan berbagai variannya tidak hanya mampu memberikan dampak positif yang sangat besar, namun juga meninggalkan sejumlah dampak negatif dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Tak terkecuali efek yang begitu besar ini juga dirasakan dalam bidang pendidikan, moral dan 28 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. kebudayaan. Masuknya budaya asing yang belum pernah dikenal sebelumnya telah ikut membidani terjadinya besar dalam kehidupan masyarakatnya.6 Derasnya pengaruh kebudayaan asing telah banyak menggeser kecintaan dan kebanggaan pada kebudayaan sendiri, terlebih lagi bagi kalangan generasi muda.7 Pesantren Penaber adalah salah satu dari sekian banyak pondok pesantren yang tersebar di pulau Bawean. Selain mempelajari ilmu-ilmu keagamaan yang diambil dari pemahaman terhadap al Quran, hadis dan kitab kuning sebagaimana pondok pesantren pada umumnya, pesantren ini memiliki kepedulian khusus di bidang pelestarian budaya Bawean. Pesantren Penaber diasuh oleh seorang kiai yang mempunyai latar belakang seorang pendidik murni namun ingin sekali melihat setiap santrinya mengenal dan menghargai budaya yang dimilikinya (budaya Bawean). Kiai Mustafa berpandangan bahwa masyarakat harus memikirkan ragam budaya yang ada, baik budaya yang bersifat benda maupun budaya non benda seperti budaya yang berhubungan dengan sikap dan perilaku. Budaya yang berupa benda sudah banyak yang punah terkikis zaman. Budaya ini meski sudah tidak ada lagi tapi sejumlah orang masih bisa mengingatnya sehingga dapat direka ulang dan dibuatkan yang baru untuk bisa diperkenalkan kepada generasi penerus. Sementara budaya yang berupa sikap dan perilaku sangat mudah diingat namun 6 Tedi Sutardi, Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya (Bandung: PT Setia Purna Inves, 2007), 16. 7 Tim Deputi, Kebijakan Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan (Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004), 51. Pelestarian Budaya Bawean 29 sangat sulit dipraktikkan. Kedua jenis budaya ini diupayakan untuk tetap lestari dengan cara diperkenalkan dan diajarkan di pondok pesantren Penaber. Lebih jauh mereka para santri diharapkan benar-benar bisa menjiwai dan mampu memaknai warisan para leluhurnya.8 Apa yang disampaikan oleh kiai di atas menunjukkan bahwa ada banyak sekali benda-benda peninggalan nenek moyang yang dimiliki oleh masyarakat Bawean yang menghilang entah kemana. Saat ini hanya ada dalam ingatan saja jika dulu pernah ada peninggalan berupa sebuah benda yang digunakan oleh masyarakat Bawean tempo dulu saat ini hanya sebatas cerita dan tidak tau bagaimana wujudnya. Oleh karena itu kiai berusaha untuk mewujudkan benda-benda peninggalan nenek moyang dengan cara membuat replika yang menyerupai benda tersebut, dengan tujuan agar anak-anak muda Bawean ini mengenal dan menghargai peninggalan budaya di masyarakatnya, Khususnya bagi para santri yang sedang menimba ilmu di pondok pesantren Penaber. Ustaz Hanif mengibaratkan budaya sebagai sebuah lautan yang luas, sesuai dengan filosofi yang dipegang oleh masyarakat Bawean “jangan menikah sebelum kamu datang merantau” maksudnya, budaya merupakan kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat Bawean yang tentunya harus dipelajari dan dipahami oleh generasi muda Bawean.9 Tujuannya agar kelak ketika mereka 8 Kiai Mustafa, Pengasuh Pondok Pesantren Penaber, Wawancara, Bawean 22 November 2022. 9 Ust. Hanif, tenaga pendidik di Pondok Pesantren Penaber, Wawancara, Bawean, 30 November 2022. 30 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. sudah dewasa dan siap merantau, maka mereka selalu mengingat akan budayanya di mana pun mereka berada sebagai jati dirinya. Hal inilah yang diharapkan oleh para pendidik kepada para santri di pondok pesantren Penaber. Sedikitnya pemahaman generasi muda tentang budaya lokal, membuat para asatidz yang ada di pondok pesantren Penaber ini mengatur strategi agar santri dapat memahami macam-macam budaya yang ada di Bawean yang Sebagian besar sudah punah. Setiap kegiatan yang ada di pesantren Penaber dinamakan dengan istilah ngaji. Istilah ngaji ini semakin familier dengan kegiatankegiatan santri, salah satu bentuk pengenalan budaya yaitu melalui ngaji musik yang dipadukan dengan musik modern atau mengaransemen lagu-lagu Bawean atau puji-pujian dengan menggunakan alat musik modern yang banyak diminati santri. Ngaji seni yang dibingkai dengan kegiatan pencak silat khas Bawean, ngaji batik dengan mengeksplor tumbuh-tumbuhan dan hewan endemik pulau Bawean sebagai motif khas yang diciptakan. Kesemuaannya itu merupakan upaya yang dilakukan oleh Kiai Mustafa untuk mempertahankan budaya Bawean agar santrisantrinya kelak ikut menjaga budaya mereka. Kehawatiran akan hilangnya budaya sopan santun dan budaya tutur pun semakin terlihat di kehidupan masyarakat Bawean saat ini. Banyak didapati generasi muda yang tidak bisa bertutur bahasa dengan sopan dan baik dan tidak lagi mengenal adab (sopan santun) yang dimiliki orang Bawean. Perlu diketahui bahwa, masyarakat Bawean mempunyai budaya tutur bahasa yang baik dan budaya adab yang sopan dalam bermasyarakat. Pelestarian Budaya Bawean 31 Akan tetapi, sejalan degan perkembangan ilmu pengetahuan dan media sosial serta masuknya budaya asing melalui berbagai saluran yang tersedia telah membuat budaya masyarakat setempat terkikis, perilaku dan tutur bahasa menjadi tidak sesuai dengan tingkatan, perilaku sopan santun yang terabaikan saat berbicara dengan orang tua khususnya atau orang yang lebih tua dari mereka. Hal inilah yang saat ini terjadi di lingkungan masyarakat Bawean, sebagai seorang pendidik juga Kiai Mustofa pun juga sangat memperhatikan fenomena perubahan sikap sosial semacam itu sebagai sebuah ancaman bagi generasi Bawean yang akan datang, jika dibiarkan saja begitu akan semakin sulit untuk diperbaiki dikemudian hari. Apa yang terjadi saat ini khususnya kepada masyarakat Bawean sebagaimana digambarkan di atas sesuai dengan pernyataan Bhaskara bahwa, “kebudayaan masyarakat yang sudah tertanam sejak lama bisa saja luntur dan punah akibat dampak dari globalisasi yang berlangsung secara terus menerus dan dalam waktu yang lama”.10 Budaya masyarakat setempat memiliki dan sarat dengan nilainilai luhur yang mungkin saja tidak dimiliki oleh budaya lain atau asing. Nilai-nilai luhur itu terdapat dalam beberapa aspek kehidupan, mulai cara berpakaian, bersikap dan bertutur kata, bahkan cara menyampaikan pesan dan berdakwah yang menjadi ciri khas bagaimana masyarakat terdahulu berkomunikasi dan berinteraksi antara sesama. Saat ini nilai-nilai luhur tersebut mulai terkikis dan hampir tidak ditemukan di sebagian besar kehidupan masyarakat modern yang merupakan dampak dari 10 Faridz Alfansa Bhaskara, Media Sosial Sebagai Wadah Penyebaran dan Pelestarian Budaya (Malang: PIK UMM, 2020). 33. 32 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. masuknya budaya asing dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat saat ini. Berangkat dari kenyataan semacam ini, Kiai Mustafa memandang bahwa saat ini masyarakat Bawean sebenarnya sudah berada di ambang krisis budaya. Oleh karenanya, ia menekankan dan mengampanyekan pentingnya upaya melestarikan budaya masyarakat lokal Bawean.11 Alur pemikiran Kiai Mustafa dalam melihat adanya pengaruh budaya asing dan upaya pelestarian budaya lokal sejalan dengan Muhammad Hanif, bahwa kebudayaan asing baik cepat ataupun lambat akan menyebabkan terjadinya keguncangan dan kerentanan terhadap budaya lokal.12 Karenanya budaya lokal yang memiliki nilai luhur sudah seharusnya diinternalisasikan ke dalam diri generasi muda -tak terkecuali para santri- agar mereka memiliki kesadaran dan kemampuan untuk memfilternya. Dari sini bisa dipahami betapa perlunya kepedulian masyarakat terhadap degradasi budaya yang terjadi pada generasi muda Bawean, yang semakin hari semakin terkikis oleh teknologi yang tidak terfilter dengan baik oleh budaya. Sebagai salah satu tokoh kiai Mustafa melihat bahwa budaya masyarakat Bawean bisa saja terlupakan dengan mudah jika tidak pihak yang mau menjaganya dengan baik, jika tidak diperkenalkan kepada generasi muda, jika tidak diajarkan tutur yang baik, dan jika tidak diberi contoh perilaku yang baik, maka lambat laun Bawean ini akan kehilangan karakteristik dan identitas budaya masyarakat- 11 Kiai Mustafa, Pengasuh Pondok Pesantren Penaber, Wawancara, Bawean 22 Januari 2023. 12 Muhammad Hanif, et.al., Panduan Pelaksanaan Model Nampe (Yogyakarta: Deepublish, 2018), 43. Pelestarian Budaya Bawean 33 nya. Karenanya, kebudayaan lokal atau daerah harus tetap dilestarikan dan tentunya setiap komponen masyarakat harus memberikan perhatian yang serius, karena ia menjadi tolok ukur terhadap eksistensi kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional akan menjadi kuat apabila didukung dengan kebudayaan daerah yang kokoh.13 13 Tedi Sutardi, Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya (Bandung: PT Setia Purna Inves, 2007), 20. 34 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. BAB IV PERAN KIAI DALAM PELESTARIAN BUDAYA BAWEAN Sebelum lebih jauh membahas peran kiai dalam pelestarian budaya, penulis ingin mengajak pembaca terlebih dahulu memahami makna peran itu sendiri. Peran dapat diartikan sebagai rangkaian tingkah laku yang diharapkan punya kesesuaian dengan posisi yang diberikan.1 Hal yang hampir sama diungkapkan oleh Hastuti bahwa peran merupakan perilaku yang dilakukan oleh setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat.2 Sedangkan Puspita mendefinisikan peran sebagai bentuk keterlibatan secara aktif seseorang atau kelompok dalam suatu kegiatan dan dalam pengambilan keputusan.3 Melihat pada beberapa definisi peran sebagaimana di atas, dapat diambil satu benang merah bahwa peran merupakan serangkaian perilaku dan seseorang sebagai individu atau anggota masyarakat dalam melakukan kegiatan tertentu atau dalam mengambil kebijakan. Bila dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dibahas di sini, maka yang dimaksud dengan peran adalah keikutsertaan kiai baik sebagai bagian dari masyarakat Bawean atau sebagai pengasuh yang 1 Tri Wahyuni, et.al., Buku Ajar Keperawatan Keluarga Dilengkapi Riset & Praktik (Sukabumi: CV Jejak, 2021), 13. 2 Rahmah Hastusti, et.al., Peran Kesejahteraan Remaja Dalam Meningkatkan Nasionalisme (Yogyakarta: CV ANDI Offset, 2020), 255. 3 Herien Puspitawati, Gender dan Keluarga: Konsep dan realita di Indonesia (Bogor: IPB Press, 2019), 77. Pelestarian Budaya Bawean 35 merupakan pimpinan tertinggi di pondok pesantren dalam membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan upaya pelestarian budaya di pondok pesantren Penaber. Di mana pelestarian budaya dapat diartikan sebagai suatu aktivitas atau penyelenggaraan kegiatan yang bertujuan untuk melindungi, menjaga, mempertahankan, memelihara dan mengembangkan4 budaya yang sudah ada. Fakta yang berkembang di masyarakat telah menunjukkan bahwa seorang kiai memiliki peran yang cukup luas, kiai tidak hanya berkiprah di bidang pengajaran ilmu-ilmu agama saja, namun juga bidang yang lain seperti sosial, politik, ekonomi, budaya dan organisasi.5 Seorang kiai yang identik sebagai pemimpin kaum sarungan memiliki kemampuan beraptasi yang cukup tinggi sehingga mampu menempatkan diri dalam beberapa kondisi, bahkan dalam dunia perpolitikan pun pengaruh yang dimiliki oleh kiai selalu menjadi bahan pertimbangan tak terkecuali dalam upaya pelestarian budaya. Sudah menjadi tradisi di berbagai masyarakat menyampaikan cerita tentang budaya yang dimiliki kepada anak cucu. Tradisi bercerita ini menjadi kebiasaan secara turun temurun. Masyarakat melakukan semua itu dengan tujuan agar kebudayaan yang dimiliki dapat dikenal serta diketahui oleh generasi yang akan datang. Sehingga dengan demikian kebudayaan yang terdapat di suatu daerah dapat dilestarikan dan keberadaan daerah tersebut dapat diakui, begitulah yang ada di masyarakat pulau Bawean. Pulau Bawean yang 4 Reny Triwardani dan Christina Rochayanti, “Implementasi Kebijakan Desa Dalam Upaya Pelestarian Budaya”, Reformasi, Vol 4 No. 2 (2014), 102-110 5 Hadi Purnomo, Kiai Dan Trasformasi Sosial: Dinamika Kiai Dalam Masyarakat (Yogyakarta: Absolute Media, 2020), 4-5. 36 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. terkenal dengan keindahan dan kekayaan alamnya telah dikenal luas oleh wisatawan lokal dan mancanegara. Selain keindahan alamnya juga dikenal dengan budaya warisan nenek moyang serta adat istiadat yang melekat pada orang boyan. Keindahan alam dan adat istiadat yang pernah ada sudah seharusnya mendapat perhatian serius untuk tetap dilestarikan dan dijaga dengan sebaik mungkin. Generasi penerus tentu memiliki kewajiban untuk berupaya melestarikan sejumlah kebudayaan yang dimiliki. Tujuan yang hendak dicapai dalam upaya pelestarian budaya tak lain adalah agar para generasi muda dapat mengetahui kebudayaan yang dimiliki, dengan harapan mereka dapat menjaga serta melestarikannya. Menjaga dan melestarikan budaya yang ada merupakan salah satu bentuk rasa cinta dan rasa memiliki terhadap tanah air. Hal inilah yang sedang dilakukan oleh pengasuh pondok pesantren Penaber yang berusaha untuk terus menjaga kelestarian budaya yang dimiliki oleh masyarakat Bawean. Kebijakan yang diambil oleh kiai ini dilatarbelakangi oleh fakta yang terjadi bahwa beberapa budaya masyarakat Bawean terancam punah jika saja tidak ada komponen masyarakat yang menaruh perhatian serius terhadap eksistensinya. Meskipun ada beberapa kelompok yang masih mempelajari budaya tersebut, akan tetapi upaya yang dilakukannya belumlah maksimal. Yang demikian itu selaras dengan pernyataan yang disampaikan oleh Triwardani dan Rochayanti bahwa aktualisasi budaya lokal dalam kehidupan bermasyarakat pada kenyataannya masih belum berjalan dengan Pelestarian Budaya Bawean 37 baik.6 Karenanya, harus ada langkah-langkah yang bisa menjaga eksistensi budaya masyarakat setempat. A. Upaya Pelestarian Budaya Dalam konteks pelestarian budaya terdapat banyak hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat setempat sebagai wujud rasa cinta dan apresiasinya terhadap budayanya sendiri.7 Karenanya banyak kalangan yang melakukan berbagai macam aktivitas yang ke semuanya dimaksudkan untuk menjaga kebudayaannya dari kepunahan. Pelestarian budaya dapat dilakukan oleh siapa saja, baik dalam keluarga, sekolah dan masyarakat8 dan dalam bentuk yang berbeda-beda pula seperti pengenalan kepada anak dan siswa baik berupa pengajaran, pertunjukan dan pementasan.9 Kiai Mustafa merupakan salah satu tokoh masyarakat -sekaligus tokoh agama- yang menaruh perhatian besar terhadap pelestarian budaya masyarakat Bawean. Walaupun beliau tidak memiliki background pendidikan seni budaya, namun beliau tergolong sangat gigih dalam upayanya melestarikan budaya Bawean. Beberapa upaya yang dilakukannya terkait pelestarian budaya adalah sebagai berikut: 6 Reny Triwardani dan Christina Rochayanti, “Implementasi Kebijakan Desa Dalam Upaya Pelestarian Budaya”, Reformasi, Vol 4 No. 2 (2014), 102-110 7 Amos Neolaka dan Grace Amialia, Landasan Pendidikan: Dasar Pengenalan Diri Sendiri Menuju Perubahan Hidup (Depok: Kencana, 2017), 554. 8 Andriano Simarmata, “Menumbuhkan Cinta Budaya Lokal Pada Generasi Milenial” dalam Azizah, et.al., Peran dan Tantangan Guru Dalam Membangun Peradaban Manusia: Upaya Strategis dan Kongkret Seorang Guru (Surabaya: Global Aksara Pres, 2021), 60. 9 Fabiola Desy, “Generasi Milenial Pewaris Budaya Leluhur” dalam Miranti, Campursari Penguat Budaya Leluhur (Bogor: Langit Arbitter, 2019), 5. 38 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. 1. Mewujudkan Sadar Budaya Faktor yang menyebabkan terkikisnya budaya dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian besar, yaitu: faktor intern dan faktor ekster. Faktor intern adalah segala sesuatu yang lahir dari masyarakat itu sendiri, seperti harapan, kemauan, ketidakpuasan dan konflik. Termasuk juga dalam hal ini adalah kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga budaya yang merupakan warisan para leluhur. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang datang dari luar diri masyarakat dan di luar batas kemampuannya, seperti kemajuan teknologi, politik dan pembangunan.10 Kedua hal di atas memiliki dampak yang sangat besar terhadap keberadaan budaya setempat. Faktor internal menjadi motor penggerak bagi individu masyarakat untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi terjaganya warisan budaya. Sedangkan faktor eksternal menjadi penentu mampu dan tidaknya budaya setempat mempertahankan dirinya di tengah arus perubahan yang terus melaju dengan pesat. Untuk itu perlu adanya kesadaran dari berbagai elemen masyarakat akan pentingnya menjaga eksistensi budaya. Menumbuhkan kesadaran masyarakat tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Akan tetapi ia harus dilakukan secara intens dan terus menerus melalui berbagai bentuk saluran komunikasi. Komunikasi ialah salah satu kegiatan yang pasti dilakukan oleh manusia setiap hari. 10 Pether Sobian, Model Pelestarian Budaya dan Kearifan Lokal Berbasis Sumber Daya Yang Ada (Klaten: Penerbit Lakeisha, 2022), 8. Pelestarian Budaya Bawean 39 Manusia sebagai makhluk hidup perlu selalu berkomunikasi dengan orang lain untuk menyampaikan ide atau pesan agar terjadi saling memahami dan mengerti.11 Hal ini menunjukkan bahwa selalu ada motif tertentu yang melatarbelakangi seseorang melakukan komunikasi dengan yang lainnya. 12 Dalam upaya mewujudkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga dan melestarikan budaya warisan leluhur ini kiai Mustafa melakukan komunikasi dengan berbagai pihak. Komunikasi yang dilakukan tidak sekedar untuk memberikan informasi dan menyampaikan pesan yang berhubungan dengan eksistensi budaya saja. Akan tetapi, yang lebih penting adalah ia mencakup pada kegiatan persuasif. Komunikasi persuasif merupakan suatu kegiatan atau upaya untuk membujuk seseorang agar mau menerima gagasan yang ditawarkan, dan pada gilirannya orang tersebut bersedia melakukan suatu tindakan sesuai dengan yang ada dalam harapan pemberi pesan.13 Ada dua bentuk komunikasi yang dilakukan oleh Kiai Mustafa, yaitu internal dan eksternal. Komunikasi internal dikenal dengan komunikasi instruktif, kontrol dan koordinatif14 merupakan bentuk komunikasi yang terjadi 11 Ratu Mutialela caropeboka, Konsep dan Aplikasi Ilmu Komunikasi (Yogyakarta: ANDI, 2017), 1. Lihat juga Teddy Dyatmika, Ilmu Komunikasi (Yogyakarta: Zahir Publishing, 2020), 5. 12 Yulinda Aswan, et.al., Komunikasi Dalam Praktik Kebidanan (Medan: Yayasan Kita Menulis, 2022), 4. 13 Ratu Mutialela Caropeboka, Konsep dan Aplikasi Ilmu Komunikasi (Yogyakarta: ANDI, 2017), 2. 14 Juita Paujiah, Etika dan Filsafat Komunikasi Dalam Realitas Sosial (Jakarta: PT Mahakarya Citra Utama Grup, 2023), 76. 40 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. antara atasan dan bawahan.15 Dalam hal ini kiai sebagai pengasuh yang memiliki ide pelestarian budaya, dan para pengurus dan pelatih yang mampu menerjemahkan ide dan keinginan kiai, serta para santri sebagai komponen yang menjadi obyek sekaligus subyek pembelajar dalam upaya mewujudkan sadar budaya. Dengan adanya komunikasi yang baik antara pengasuh, pelatih dan para santri tentu akan menciptakan iklim yang baik pula. Sehingga proses pembelajaran seni budaya yang dilaksanakan di pondok pesantren Penaber akan mencapai titik yang sangat efektif dan efisien. Yang demikian ini dikarenakan komunikasi yang disertai dengan sentuhan yang tepat akan dapat melunakkan perbedaan pendapat yang terjadi,16 melahirkan kesadaran yang mendalam dan membangun semangat baru dalam upaya pelestarian budaya. Selanjutnya komunikasi eksternal, ia dapat diungkapkan sebagai saluran komunikasi yang dilakukan oleh seseorang dalam sebuah organisasi dengan orang lain yang berada di luar organisasi,17 seperti stekholder dan pihak pemerintah.18 Komunikasi eksternal memiliki peran yang sangat penting19 dalam menjaga keberlangsungan suatu organisasi. Komunikasi jenis ini merupakan bagian dari aktivitas public relation 15 Sri Ayu Rayhaniah, Etika dan Komunikasi Organisasi (Pidie: Yayasan Penerbit Muhammad Zaini, 2021), 111. 16 Desmon Ginting, Komunikasi Cerdas: Panduan Komunikasi Di Dunia Kerja (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2017), 2. 17 Maria Assumpta Rumanti, Dasar-dasar Paublic relations: Teori dan Praktik (Jakarta: Grasindo, 2002), 97. 18 Budi, Komunikasi Organisasi Kontemporer (Medan: CV Pusdikra Mitra Jaya, 2021), 26. 19 Teddy Dyatmika, Ilmu Komunikasi (Yogyakarta: Zahir Publishing, 2020), 62. Pelestarian Budaya Bawean 41 sebagai upaya yang berusaha menghubungkan antara sebuah organisasi dengan publiknya.20 Pada dasarnya ada banyak manfaat yang bisa diambil dari komunikasi eksternal, diantaranya adalah membangun hubungan dengan masyarakat. Yaitu sebuah upaya untuk mengkomunikasikan citra yang dimiliki oleh sebuah organisasi -pondok pesantren Penaber atau lembaga- kepada warga setempat.21 Kiai Mustafa selalu membangun komunikasi dan menjaga hubungan baik dengan berbagai pihak. Dampak positif yang diperoleh dari hubungan baik dan keterbukaan pondok pesantren Penaber telah menjadikan pesantren ini sebagai rujukan bagi siapa saja yang ingin mempelajari atau sekedar ingin mengetahui budaya Bawean. Sehingga tak heran jika banyak lembaga pendidikan dasar dan menengah yang memperkenalkan datang ke pesantren kepada siswanya ini tentang untuk budaya masyarakat Bawean tempo dulu. Bahkan ada banyak mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang datang ke pesantren ini untuk melakukan penelitian terkait kebudayaan masyarakat Bawean. Lebih dari itu, hampir setiap tahun pesantren Penaber menerima kunjungan turis dari luar negeri, seperti Inggris dan Jerman.22 20 Budi, Komunikasi Organisasi Kontemporer…, 26. 21 Irene Silviani, Komunikasi Organisasi (Surabaya: PT. Scopindo Media Pustaka, 2020), 141. 22 Kiai Mustafa, Pengasuh pondok pesantren Penaber, Wawancara, Bawean 22 Januari 2023. 42 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. Selain sebagai media membangun hubungan masyarakat, komunikasi eksternal juga dapat digunakan sebagai saluran untuk sosialisasi dan memperoleh umpan balik23 dari pihak luar yang kemudian dapat digunakan sebagai acuan pengembangan pelestarian. Dengan adanya komunikasi model ini, di samping ide-ide cemerlang yang lahir dari pemikiran kiai Mustafa, maka akan banyak masukan yang disampaikan oleh tokoh masyarakat dan budayawan yang menaruh perhatian pada upaya pelestarian budaya masyarakat Bawean. Hal yang tidak kalah pentingnya yang telah dilakukan oleh kiai Mustafa dalam upayanya melestarikan budaya Bawean adalah melakukan sosialisasi. Pada setiap even besar yang diadakan oleh organisasi kemasyarakatan maupun pemerintah di Pulau Bawean, pondok pesantren Penaber selalu diminta tampil sebagai salah satu pengisi acara. Ini merupakan kesempatan untuk memperkenal seni dan budaya Bawean kepada masyarakat dan tamu yang datang dari luar Bawean.24 Kesempatan ini dimanfaaatkan sebaik mungkin oleh kiai Mustafa dan untuk memperkenalkan seni budaya Bawean, sekaligus menarik minat masyarakat Bawean khususnya generasi mudanya bersamasama melestarikan warisan budaya yang tidak terhingga nilainya. Adanya eveneven besar menjadi sarana yang efektif dalam memperkenalkan budaya lokal kepada masyarakat luas. 23 24 Irene Silviani, Komunikasi Organisasi…, 141. Kiai Mustafa, Pengasuh pondok pesantren Penaber, Wawancara, Bawean 22 November 2022. Pelestarian Budaya Bawean 43 Upaya membangun sadar budaya dan sosialisasi terus dilakukan melalui berbagai macam cara. Target utama dari upaya ini adalah para generasi muda yang dimulai dari para santri yang belajar di pesantren Penaber memiliki kesadaran dan kecintaan terhadap budaya Bawean. Jika generasi mudah menyadari akan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam dan mencintai budayanya sendiri, maka mereka tidak mudah terbujuk oleh budaya baru yang datang dari luar. Karena kesadaran seseorang akan pentingnya upaya pelestarian budaya akan menggiringnya memiliki kemampuan menangkis pengaruh budaya asing.25 2. Sanggar Seni Rasbuba Untuk melestarikan kebudayaan masyarakat Bawean di bidang seni maka dibentuklah sebuah sanggar seni26 yang diberi nama Rasbuba, yaitu Racikan Seni Budaya Bawean. Disebut Rasbuba karena dalam kelompok ini tidak hanya fokus mempelajari pada satu bentuk seni saja, melainkan sejumlah kesenian yang pernah ada di pulau Bawean diajarkan dan dikembangkan. Bahkan beberapa di antaranya diajarkan di sekolah sebagai bagian yang integral. Hal ini sejalan dengan tujuan dibentuknya sanggar seni Rasbuba, yaitu untuk menghidupkan kembali seni-seni Bawean.27 25 Tim Deputi, Kebijakan Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan (Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004), 48. 26 Sanggar seni adalah tempat atau sarana yang digunakan oleh sebuah komunitas untuk kegiatan seni. Kegiatan yang ada dalam sanggar seni meliputi proses pembelajaran, penciptaan hingga produksi. Lihat Dimas Rachmat Susilo, et.al, “Perkembangan Sanggar Seni Tari Topeng Topeng Mulya Bhakti Di Desa Tambi”, Factum: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah, vol. 7 no. 1 (2018), 53-66. 27 Badruzzaini, guru di Pondok Pesantren Penaber. Wawancara, Bawean, 30 Desember 2022 44 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. Rasbuba sebagai Sanggar seni merupakan sarana pendidikan luar sekolah yang berupaya memberikan keterampilan khusus kepada para peserta atau siswa siswinya dengan memfasilitasi kegiatan pelestarian seni budaya Bawean. Sanggar seni Rasbuba ini memberikan kesempatan bagi setiap orang yang punya keinginan untuk belajar seni. 3. Museum Dhinggelan Kona Ada banyak benda-benda peninggalan masyarakat Bawean tempo dulu yang sudah punah. Sementara masyarakat Bawean masa kini hanya mendengar cerita dan sejarah benda-benda tersebut namun tidak pernah melihat wujudnya. Hal ini menimbulkan keprihatinan yang sangat mendalam bagi kiai Mustafa. Oleh karenanya, beliau berupaya mengoleksi benda-benda tersebut dan membuat replikanya jika yang asli sudah tidak ada. Upaya ini dilakukan oleh kiai Mustafa dengan sepenuh hati dan untuk mengabadikan benda-benda khas peninggalan budaya Bawean itu maka beliau mendirikan museum mini yang diberi nama “Dhinggelan Kona” (peninggalan masa lalu). Pada museum ini dapat ditemukan banyak benda-benda kuno yang merupakan identitas budaya masyarakat Bawean seperti jhukong lajer28 atau perahu layar yang saat ini mulai tidak digunakan para nelayan karena diganti dengan mesin. Ada juga senduk carong, rangghepan, lancet-lancet, kor-koran. 28 Saat penulis melakukan pengamatan di museum Dhinggelan Kona didapati sebuah Jhukong Lajer yang berusia lebih dari limapuluh tahun. Pelestarian Budaya Bawean 45 Selain itu, masih banyak benda-benda bersejarah lainnya yang digunakan oleh masyarakat Bawean pada zaman dulu.29 Gambar 1. Museum “Dhingghelan Kona” Penaber Kiai Mustafa mengisahkan bahwa inisiatif didirikannya Museum ini berawal dari wasiat Mbah Akkong yang di saat mengalami sakit di akhir hayatnya beliau memberikan sebuah biola kepada kiai Mustafa, yaitu sebuah biola yang dibuatnya dengan tangan sendiri. Pada saat itu Mbah Akkong hanya memberitahu bagaimana cara merawat biola tersebut dengan baik, namun beliau tidak mengajari kiai Mustafa bagaimana cara memainkannya. Setelah lama kepergian Mbah Akkong, kia Mustafa berusaha mengingat kembali wasiat yang pernah diterimanya 29 46 itu, merenung dan mencoba memahami Observasi, Museum Dhingghelan Kona Pondok Pesantren Penaber, 15 Januari 2023. Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. maksudnya. Dan dalam perenungannya beliau sampai pada satu kesimpulan bahwa benda-benda berharga warisan para leluhur memang sudah selayaknya dirawat dengan baik, dijaga dan dilestarikan sebagai penghargaan kepada pembuatnya dan informasi kepada generasi berikutnya.30 Dari sinilah kemudian muncul ide untuk mendirikan museum mini yang diberi nama “Dhingghelan Kona”. Selain benda-benda kuno yang bisa ditemukan di dalam museum Dhinggelan Kona, pesantren Penaber disetting sedemikian rupa menjadi pesantren yang ramah lingkungan dan bertema alam. Sehingga di pesantren ini sebagian besar bangunannya tidak permanen dan hanya ada satu bangunan yang permanen yaitu gedung Madrasah Tsanawiyah, itupun karena keperluan akreditasi. Di halaman depan pesantren dapat dilihat sejumlah tanaman yang mulai langka di Bawean seperti gheddhung, polai, kaju bulu. Bahkan pohon keramat asal Bawean yang diyakini memiliki segudang keistimewaan, yaitu kayu santeghi atau setigi dapat ditemukan dan dilestarikan di Green Area pesantren Penaber. 4. Modifikasi Seni Selain tiga upaya di atas, kiai Mustafa juga melakukan pengembangan terhadap beberapa kesenian dengan memodifikasi dan memberi corak khusus. Kebijakan yang diambil oleh Kiai Mustafa dengan pesantrennya ini merupakan salah satu upayanya untuk tetap mengajarkan dan 30 Kiai Mustafa, Pengasuh pondok pesantren Penaber, Wawancara, Bawean 22 November 2022. Pelestarian Budaya Bawean 47 memperkenalkan warisan budaya nenek moyang masyarakat Bawean kepada generasi mudanya, agar para generasi muda Bawean mengenal dan cinta terhadap budayanya sendiri, yang pada gilirannya budaya Bawean akan tetap terjaga dan eksis meski zaman telah berubah. Untuk membuat seni Bawean lebih menarik dan tidak kalah bersaing dengan seni lainnya yang sudah mengalami modernisasi, maka seni budaya yang diajarkan di pondok pesantren Penaber ini dilakukan sedikit modifikasi dari segi alat yang digunakan. Hal ini seperti diungkapkan oleh kiai Mustafa “….tetap dimodifikasi, dimodernisasi cuma jhek sambhik kaelangan karakter na (jangan sampai kehilangan karakter aslinya).31 Apa yang telah dilakukan oleh kiai Mustafa dalam hubungannya dengan modifikasi seni ini sejalan dengan pendapat Selo Sumardjan bahwa kesenian selalu mengalami perubahan sesuai dengan dinamika perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat.32 Modifikasi seni yang dilakukan oleh kiai Mustafa dapat dilihat pada seni kercengan yang ada sekarang ini. Pada awalnya, kesenian kercengan yang berkembang di masyarakat memiliki kemiripan dengan salah satu jenis hadrah yang ada di Indonesia. Kesamaan tersebut dapat ditemukan pada pemukul utama yang biasanya sekaligus berperan sebagai vokalis, sedangkan penarinya adalah orang laki-laki. Selain itu, pada seni kercengan juga tidak menggunakan baz. Dilihat dari Kiai Mustafa, Pengasuh pondok pesantren Penaber, Wawancara, 22 November 2022 Selo Sumardjan, Kemiskinan Struktural Satu Bunga Rampai (Jakarta: Yayasan Ilmu Persada, 1980), 47. 31 32 48 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. sisi ini sebenarnya kercengan memang lebih mirip kepada hadrah Ishari33, bukan kepada tari Saman.34 Kemudian, sejak tahun 2004 terjadi pergesaran bentuk atau lebih tepatnya modifikasi. Para penari yang biasanya terdiri dari orang lakilaki sekarang berubah dan digantikan perempuan. Perubahan lain yang terjadi dapat dilihat pada adanya penambahan personil dan alat yang digunakan dibandingkan dengan bentuk aslinya. Alat yang ditambahkan berupa penggunaan bazz dan kiai Mustafa adalah orang yang pertama kali menggunakan bazz dalam seni kercengan Bawean. Penggunaan bazz ini dimaksudkan agar dapat menghadirkan bunyi yang lebih membangun semangat sehingga sangat cocok untuk mengiringi para penari dan lebih menarik perhatian serta minat masyarakat. Ide awal penambahan bazz pada kesenian kercengan ini diambil dari seni Zamroh. Keberadaan kiai Mustafa yang tidak hanya sebagai pengasuh pondok pesantren, tetapi sekaligus juga sebagai pelatih seni zamroh di pesantren Penaber membuatnya sangat memahami dan merasakan adanya musik yang dapat menggugah semangat dan menarik perhatian. Karenanya, tiga unsur bazz yang terdapat dalam seni zamroh dimasukkan ke dalam kesenian kercengan. Hasilnya dapat dilihat bahwa performance kesenian kercengan yang ada 33 ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Indonesia) merupakan kelompok kesenian yang didirikan oleh KH. Abdurrahim Pasuruan. ISHARI pada awalnya Bernama Jamiyah Hadrah, yaitu sebuah kegiatan yang berfungsi untuk mengiringi seni shalawat Nabi Muhammad SAW. 34 Kiai Mustafa, Pengasuh Pondok Pesantren Nasyatul Barokah “Penaber”, Wawancara, 19 April 2023. Pelestarian Budaya Bawean 49 sekarang jauh lebih baik bila dibandingkan dengan bentuk aslinya. Selain itu, modifikasi seni juga dilakukan oleh kiai Mustafa ketika grup seni Rasbuba Penaber diminta tampil dalam eveneven besar. Modifikasi tersebut berupa penggabungan alat seni baik yang tradisional maupun yang modern. Misalnya, tari saman Bawean yang asli tanpa diiringi dengan alat musik dan hanya mengandalkan irama suara zikir. Namun ketika tampil dalam acara besar yang menghadirkan tamu dari luar Bawean maka tari saman ini dimodifikasi dengan memasukkan unsur alat musik berupa organ dan beberapa instrumen yang lain. Meskipun kiai Mustafa melalui sanggar seni Rasbuba telah melakukan modifikasi dan modernisasi terhadap seni budaya Bawean, namun keduanya tidaklah dengan cara yang ekstrem, melainkan dengan tetap mempertahankan ciri khas aslinya. Dengan adanya modifikasi yang kekinian membuat para santri lebih bersemangat mengikuti pembelajaran seni di sanggar seni Rasbuba. Sebagaimana Fabiola Desy sangat menganjurkan agar dilakukan pengemasan yang seunik dan semenarik mungkin, sehingga akan membuat semakin banyak masyarakat generasi milenial yang mau mengenal dan mempunyai keinginan untuk mempelajari kebudayaannya sendiri secara lebih mendalam lagi.35 35 Fabiola Desy, “Generasi Milenial Pewaris Budaya Leluhur” dalam Miranti, Campursari Penguat Budaya Leluhur (Bogor: Langit Arbitter, 2019), 5. 50 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. BAB V BUDAYA BAWEAN Budaya merupakan semua hasil karya, cipta dan rasa manusia.1 Di mana kehidupan manusia tak dapat dipisahkan dari budayanya.2 Suatu kebudayaan yang berkembang di masyarakat merupakan komponen penting dalam kehidupan masyarakat luas dan dalam konteks struktur sosial.3 Dilestarikannya budaya Bawean di Pondok Pesantren Penaber merupakan bentuk kepedulian dalam menghadirkan kembali budaya-budaya Bawean yang sudah atau hampir hilang. A. Budaya yang dilestarikan Secara umum ada dua jenis budaya yang dilestarikan di pondok pesantren Penaber, yaitu budaya benda dan non benda. Dari sisi budaya non benda dapat ditemukan tradisi lisan dan seni pertunjukan.4 Kiai Mustafa sangat gigih dalam upayanya melestarikan budaya Bawean, terutama yang bernuansa seni. Beberapa budaya seni masyarakat Bawean yang masih Ciek Julyati Hisyam, Sistem Sosial Budaya Indonesia (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2020), 3. Toeti Heraty Noerhadi, Aku Dalam Budaya: Telaah Teori dan Metodologi filsafat Budaya (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), 1. 3 Yus darusman, Model Pewarisan Budaya Melalui Pendidikan Informal (Pendidikan Tradisional) Pada Masyarakat Pengrajin Kayu (Madiun: CV. Bayfa Cendekia Indonesia, 2021), 4. 4 Rinitami Njatrijani, “Kearifan Lokal Dalam Perspektif Budaya kota Semarang”, Gema Keadilan: Edisi Jurnal, vol. 5 edisi 1 (September 2018), 16-31. 1 2 Pelestarian Budaya Bawean 51 dilestarikan dan diajarkan di Pondok pesantren Penaber adalah sebagai berikut: 1. Kercengan Kercengan merupakan kesenian asli pulau Bawean yang bernuansa relegius.5 Kesenian ini diciptakan oleh para seniman asal Bawean yang pada waktu itu merasa khawatir dengan masuknya budaya masyarakat modern yang terlalu mengumbar goyangan yang erotis bahkan pornoaksi. Pada tahun 2018 sedikitnya terdapat 42 grup seni kercengan di pulau Bawean.6 Sepintas kercengan hampir sama dengan tari ISHARI. Namun jika diteliti lebih lanjut akan didapati beberapa perbedaan di antara keduanya. Kercengan menggabungkan antara unsur musik, tarian khusus dan unsur keagamaan. Unsur keagamaan pada seni kercengan dapat dilihat dari segi lagu-lagu yang dibawakan yang mengandung pesan-pesan moral menurut agama Islam. Lagu yang dinyanyikan biasanya berbahasa Arab baik yang merupakan untaian shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. ataupun syair-syair yang berisi pesan-pesan moral, dan terkadang juga menggunakan bahasa Bawean sendiri atau Bahasa Indonesia. Dari segi tarian khusus, seni kercengan sedikit berbeda dengan seni hadrah yang tidak memiliki penari. Dalam seni kercengan para penari umumnya terdiri dari para gadis yang berjejer dalam satu baris atau beberapa baris. Sedangkan 5 6 52 Penulis kesulitan melacak sejarah diresmikannya kesenian kercengan ini. https://budaya-indonesia.org/Tarian-Kercengan diakses pada tanggal Desember 2022. Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. unsur gerak yang menjadi dasar dalam tarian ini yaitu tepuk tangan dan dada. Selain para penari yang berada di bagian depan, di bagian belakang terdapat sejumlah personel yang duduk sebagai penabuh musik mengiringi vokalis yang sedang bernyanyi. Baik hadrah maupun kercengan, kedua kesenian tersebut sama-sama dilestarikan dan dikembangkan di pondok pesantren Penaber ini. 2. Saman Tari Saman merupakan salah satu kesenian tradisional masyarakat di Bawean. Belum ada sumber yang menyebutkan secara pasti sejak kapan tari Saman ini mulai diperkenalkan kepada masyarakat Bawean dan siapa penciptanya. Tidak diketahui pula apakah tari Saman yang ada di Bawean ini memang budaya asli masyarakat setempat ataukah ia berasal dari budaya masyarakat Aceh. Hal ini karena banyaknya literatur yang menyebutkan bahwa tari Saman berasal dari kebudayaan Aceh. Konon tari Saman ini diciptakan dan dikembangkan oleh seorang tokoh agama penyebar Islam pada suku Gayo yang Bernama syeikh Saman sekitar abad ke 14 M.7 Tari saman yang menjadi kebanggaan masyarakat Aceh ini terus mengalami perkembangan dan dikenal oleh berbagai kalangan, baik masyarakat Indonesia sendiri maupun manca negara. Bahkan Pada tanggal 24 November 2011 tari Saman 7 N. Fardhilah, Mengenal Kesenian Nasional 11: Tari Saman (Semarang: Alprin, 2010), 5. Lihat juga Resi Septiana Dewi, Keanekaragaman Seni Tari Nusantara (Jakarta: Balai Pustaka, 2012), 2. Pelestarian Budaya Bawean 53 Aceh (Saman dance) masuk dalam kategori “List of Intangible Cultural Heritage in Need of Urgent Safeguard”.8 Namun yang pasti, meskipun sama-sama bernama saman, akan tetapi terdapat perbedaan mendasar antara tari saman Aceh dan tari saman Bawean. Tari saman Aceh murni seni yang menghibur dengan nyanyian sajak yang diiringi dengan musik, tepukan tangan, tepukan paha dan tepukan dada9 ditambah dengan penari yang terdiri dari beberapa orang perempuan. Berbeda dengan tari saman Bawean yang merupakan zikir murni dan lebih dekat kepada ritual kesufian, walaupun bentuknya tidak sama persis dengan tarian sufi timur tengah. Dalam praktiknya, saman Bawean dimulai dengan membaca tawasul terlebih dahulu kepada para masyaikh dan ulama yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan ayat-ayat AlQuran. Setelah itu barulah masuk kepada inti tari saman yang diisi dengan lantunan zikir dan diiringi dengan gerakangerakan pelan oleh para penari yang terdiri dari orang lakilaki. Gerakan tari yang ditampilkan mengikuti irama zikir tanpa diiringi dengan alat musik. Selain zikir, di dalam tari saman ini juga dilantunkan syair-syair yang mengungkapkan kerinduan yang sangat berat dan mendalam kepada Allah SWT. Di bagian akhir penampilan tari saman Bawean ada simbol-simbol untuk mengingat mati dan biasanya ada atraksi 8 9 54 Pram, Suku Bangsa Dunia dan Kebudayaannya (Jakarta: Cerdas Interaktif, 2013), 80. https://rimbakita.com/tari-saman/ diakses pada 16 April 2023. Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. di mana salah satu atau beberapa penari sangat larut dan hanyut dalam berzikir sehingga mereka syok dan pingsan.10 Dari sini kita dapat melihat perbedaan yang sangat jauh antara tari saman Aceh dengan tari saman Bawean. Meski sama dalam namanya, namun esensi dari keduanya sangatlah berbeda. Bagi masyarakat Bawean tari Saman menjadi salah satu hiburan tradisional karena kesenian ini memiliki tarian yang dapat memukau hati orang-orang yang hadir. Selain itu, ia juga menjadi media untuk menyampaikan pesan dakwah, karena syair-syair yang dilantunkan berisi zikiran dan nasehatnasehat keagamaan. Pada masa kejayaannya, tari Saman ini sangat diminati oleh masyarakat Bawean, tak terkecuali generasi mudanya. Selain beberapa alasan di atas, maraknya peminat tari Saman pada masa itu juga dikarenakan belum banyaknya hiburan masyarakat bernuansa religi yang tersedia di pulau Bawean. Ironisnya, seiring dengan kemajuan teknologi dan semakin banyaknya hiburan bagi masyarakat Bawean, baik yang bernuansa religi maupun non religi, saat ini tari Saman menjadi salah satu dari beberapa kesenian masyarakat Bawean yang hampir punah. Sejak dua puluh tahun terakhir hampir tidak ditemukan lagi komunitas masyarakat Bawean yang menampilkan kesenian ini. Kesenian ini dengan bentuk aslinya tidak lagi mampu menarik perhatian masyarakat dan 10 Kiai Mustafa, Pengasuh Pondok Pesantren Nasyatul Barokah “Penaber”, Wawancara, 19 April 2023. Pelestarian Budaya Bawean 55 kalah bersaing dengan kesenian Mandiling.11 Untungnya, saat ini sanggar budaya Rasbuba milik pondok pesantren Penaber berupaya menghidupkan kembali kesenian ini dengan melakukan sedikit modifikasi berupa tambahan instrumen musik tradisional dan modern yang digunakan ketika tampil dalam even-even besar dan tetap mempertahankan ciri khas tarian dasarnya. 3. Dhungka Dhungka atau Thungka merupakan salah satu kesenian musik tradisional masyarakat Bawean. Alat musik utama yang digunakan dalam seni Dhungka berupa ronjhengan dan ghentong12 sebagai alat pemukulnya.13 Ronjhengan sendiri pada dasarnya adalah sebuah alat yang dibuat dari kayu besar yang memanjang dan di bagian tengahnya terdapat lubang yang memanjang pula, mirip seperti perahu kayu. Alat ini digunakan masyarakat Bawean pada masa dulu untuk meletakkan padi yang akan dipisahkan isi dari kulitnya. Sedangkan ghentong atau yang biasa disebut “alu” adalah alat penumbuk padi. Kedua alat ini digunakan secara bersamaan dengan cara memukul-mukulkan alu sehingga menghasilkan alunan bunyi yang menjadi ciri khas masyarakat Bawean 11 Mandiling merupakan salah satu jenis kesenian masyarakat Bawean yang bernuasa non religi. Mandiling sendiri adalah seni berbalas pantun khas Bawean yang diiringi dengan instrument musik tradisional berupa jidor, gong, accordion (saat ini sudah jarang dipakai dan digantikan dengan organ). 12 Ronjhengan dan Ghentong biasanya dibuat dari kayu jati yang sudah tua agar lebih kuat, karena alat ini akan dipakai dalam waktu yang cukup lama. Jika bahanya bagus maka kedua alat tersebut dapat bertahan hinggan belasan bahkan puluhan tahun. Ronjhengan dan Ghentong saat ini dapat ditemukan pada museum mini milik pondok pesantren Penaber. 13 Hafi Hilmiah Almanda, “Kajian Pertunjukan Musik “Thungka” Dalam Tinjauan Etnomusicologi”, Jurnal Pendidikan Sejarah dan Riset Sosial Humaniora (Kagawa), vol. 5 no. 2, (Desember 2022), 190. (189-200). 56 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. dalam merayakan kegembiraan masa panen padi. Selain itu, seni dhungka dimainkan sebagai tanda akan dimulainya gotong royong di kampung maupun akan diadakannya pesta pernikahan warga masyarakat.14 Dulu hampir setiap rumah memiliki ronjhengan dan ghentong untuk menumbuk padi dan sagu. Namun, pada masa sekarang, seiring dengan kemajuan teknologi di bidang pertanian dan semakin canggihnya alat selep padi yang dapat ditemukan hampir merata di setiap desa telah menyisakan dampak tersendiri terhadap eksistensi alat tradisional ini. Ronjhengan dan ghentong sulit ditemukan dan hampir tidak ditemukan juga masyarakat Bawean yang masih menggunakan ronjhengan dan ghentong untuk memproses hasil panin padi menjadi beras. Karena kedua alat ini selain dianggap kurang efektif dan membutuhkan waktu yang lama, juga hasilnya kurang bagus dan butir berasnya banyak yang hancur. Kalaupun ada masyarakat yang memiliki kedua alat ini, ia hanya difungsikan sebagai alat musik yang dimainkan hanya pada waktu-waktu tertentu saja.15 14 Ade Irwansah, Dhungka: Seni Musik Tradisional Pulau Bawean, Memanfaatkan Lesung dan Ghentong Penumbuk Padi - Gresik Today (pikiran-rakyat.com) diakses pada 3 Januari 2023. 15 https://www.beritabawean.com/dhungkah-tradisi-musik-kuno-pulau-bawean/ diakses pada tanggal 29 Desember 2022. Pelestarian Budaya Bawean 57 Gambar 2. Seni Dhungka Bawean Kesenian dhungka ini sudah hampir hilang dan semakin sedikit masyarakat yang masih mempertahankannya. Namun, dengan inisiatif dari kiai Mustafa pengasuh pondok pesantren Penaber, Dhungka mulai dihadirkan kembali ditengah-tengah proses pembelajaran yang ada di pesantren, para santri diperkenalkan dan diperlihatkan fungsi, bentuk dan makna dari Dhungka itu sendiri, dengan usaha begitu diharapkan dapat membantu dalam melestarikan budaya Bawean. 4. Pencak Silat Pengantin Pencak silat merupakan seni bela diri asli Indonesia,16 bahkan jejaknya dapat dilacak pada masa kerajaan Sri Wijaya.17 Bagi masyarakat Bawean pencak silat merupakan warisan budaya turun-temurun. Bahkan ia menjadi identitas pribadi masyarakat Bawean ketika berkumpul dengan kelompok atau masyarakat lain. Juli Candra, Pencak Silat (Yogyakarta: Penerbit Dee Publish, 2021), 3. Ketut Sudiana dan Ni Luh Putu Sepyanawati, Keterampilan dasar Pencak Silat (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2017),1. 16 17 58 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. Pencak silat menjadi icon bagi pulau Bawean yang membuatnya dikenal sebagai pulau para pesilat. Maka tak heran bila sering muncul sebuah sindiran “jika tidak bisa pencak berarti bukanlah keturunan Bawean”. Selain sebagai seni, hal lain yang mendorong pencak silat dilestarikan di pondok pesantren Penaber adalah, ia dapat digunakan sebagai perisai diri dalam keadaan terdesak. Hal ini diakui oleh ustaz Badruzzaini bahwa, di pesantren Penaber ini santri juga diajari pencak silat, karena pencak silat merupakan warisan budaya yang membuat Bawean dikenal di mana-mana dan dengan pencak silat ini pula santri dapat menjaga dirinya sendiri”.18 Gambar 3. Santri Penaber Mempraktikkan Kembang Pencak Silat Hal yang paling menarik, gerakan pembuka -kembang dalam bahasa Bawean- pencak silat Bawean ini disebut-sebut berasal dari jurus sahabat Nabi SAW, yaitu Sayyidina Ali ra. 18 Badruzzaini, Pelatih pencak silat di Pondok Pesantren Penaber. Wawancara, Bawean, 30 Desember 2022. Pelestarian Budaya Bawean 59 Gambar 4. Santri Penaber Belajar Pencak Pengantin Selain pencak silat yang berfungsi sebagai seni bela diri, dalam tradisi masyarakat Bawean ada yang disebut pencak pengantin. Sebenarnya pencak pengantin merupakan bagian dari pencak silat. Namun berbeda dengan pencak silat biasa yang pada umumnya digunakan sebagai perisai diri ketika dalam keadaan terdesak. Pencak silat pengantin justru lebih sebagai seni hiburan untuk menyambut pasangan pengantin yang akan duduk bersanding di pelaminan dan juga untuk menghibur para tamu undangan. 5. Korcak Indonesia yang terdiri dari kepulauan dari sabang sampai Merauke, jika diperhatikan, setiap daerah hampir semuanya memiliki budaya musik kuno. Demikian juga halnya pulau Bawean memiliki tradisi musik kuno yang bernama Korcak. Korcak adalah kesenian asli pulau Bawean yang menggunakan alat musik tradisional. Seni tradisional Korcak Bawean digolongkan dalam rumpun seni hadrah, karena ia menggunakan alat yang hampir sama dengan seni hadrah. 60 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. Korcak memadukan antara alat musik rebana, dhundhung dan tari rampak dari kalangan pemuda. Pada kesenian ini semua pemainnya terdiri dari orang laki-laki. Musik tradisional ini pada masanya dulu tergolong kesenian yang mengandung nilai sakral karena syair-syair yang disenandungkan berisi puji-pujian terhadap Rasulullah, manusia paling mulia pembawa rahmat bagi alam semesta dan menjadi suri teladan dalam segala aspek kehidupan. Syairsyair berupa shalawat diambil dari kitab Barzanji19 dan terkadang juga berupa pantun dan nasehat-nasehat dalam Bahasa Bawean. Seni korcak diciptakan pertama kali dan dikembangkan di Dusun Sokela desa Patarselamat oleh Ahmad Qasidah, seorang pendatang yang berasal dari Sumatra. Dalam penampilannya, Korcak dapat dibedakan ke dalam dua bentuk pertunjukan. Bentuk pertama, korcak sebagai musik tradisional yang mengiringi arak-arakan pengantin. Dalam bentuk ini, para penabuh gendang dan peruddat20 memainkan musiknya sambil berjalan. Bentuk kedua, seni Korcak dimainkan pada sebuah pentas atau halaman yang datar. Para penabuh gendang duduk di bagian belakang, sedangkan para peruddat (penari) duduk dalam dua baris dengan posisi saling berhadapan sambil menabuh rebana dan melakukan tarian dalam irama yang cenderung pelan.21 19 Asal muasal seni korcak hadroh Bawean, Chanel Lensa Bawean, https://www.youtube.com/watch?v=kqKDXPdSzA0 diakses pada tanggal 30 Desember 2022 20 Peruddet adalah penari dalam Bahasa Bawean 21 Dewan Eskalasi Budaya "BEKU Bhei-Bhei": Seni Bawean (bekubawean.blogspot.com) diakses pada tanggal 30 Desember 2022. Pelestarian Budaya Bawean 61 Saat ini, Seni korcak Bawean semakin hari semakin sedikit peminatnya. Bahkan menurut laporan sanggar budaya Bekubhei-bhei di kecamatan Sangkapura hanya terdapat tiga kelompok seni korcak, yaitu di dusun Sukila yang merupakan tanah asal dari seni korcak sendiri dan dusun Kuduk-kuduk. Kedua dusun tersebut berada dalam satu desa Patarselamat. Sementara satu kelompok yang lainnya berada di dusun Baratsawah Menara Desa Gunungteguh Sangkapura.22 Gambar 5. Santri Penaber Mempraktikkan Seni Korcak Melihat pada seni korcak yang semakin kehilangan peminatnya, maka kiai Mustafa melalui sanggar budaya Rasbuba berupaya melestarikan seni musik tradisional ini dengan mengajak para santri bergabung dalam kolompok seni korcak Penaber. Latihan dilakukan secara kontinyu setiap bulan dan jika ada permintaan untuk mengisi acara, maka latihan dilaksanakan secara insidental. 22 Hatwi, Tokoh masyarakat Baratsawah Menara Gunungteguh Sangkapura, Wawancara, Bawean 12 Januari 2023. 62 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. 6. Membatik Batik merupakan seni budaya asli bangsa Indonesia yang kaya akan nilai-nilai kehidupan manusia dan lingkungan.23 Keberadaan seni batik di Indonesia dapat dilacak pada sejarah kerajaan Majapahit yang berada di Mojokerto. Selain itu batik juga dikembangkan oleh kabupaten Tulungagung. Dalam perkembangannya, batik Mojokerto memiliki ciri khas yang hampir sama dengan batik Yogyakarta, yaitu warna dasar putih dan warna coraknya cokelat muda dan biru tua.24 Batik Indonesia mulai di kenal masyarakat dunia sejak dipamerkan pada Exposition Universille Paris pada tahun 1900, di mana batik Indonesia dapat memukau publik dan para seniman.25 Pulau Bawean merupakan bagian dari wilayah kabupaten Gresik dan terdiri dari dua kecamatan. Walaupun posisinya yang terpencil dan jauh dari pusat kabupaten Gresik, namun pulau ini memiliki sejumlah khazanah kearifan budaya lokal, salah satunya adalah batik Bawean.26 Tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan batik di Bawean seiring dengan masuknya tentara penakluk Majapahit yang terdapat di pulau ini sekitar abad keempat belas, tahun 1350 M. Sejak itu batik mulai dikenal oleh masyarakat dan terus berkembang hingga memiliki motif dan ciri khas yang khusus Bawean. Namun 23 Agung Witjoro, et.al., “Pemberian Pelatihan Membuat batik Jumputan Kepada Ibu-ibu PKK Untuk Upaya Pelestarian dan Meningkatkan Ekonomi Mayarakat di Lowokwaru Malang”, Jurnal Karinov, vol. 2 no. 2 (Mei 2019), 76. (75-80) 24 Yeni Fisnani, et.al., Modul Batik monokromatik untuk SD Kelas V (Semarang: Pilar Nusantara, 2020), 3. 25 Ibid. 5. 26 https://gresiksatu.com/camat-nur-syamsi-kenalkan-batik-penaber-khas-bawean-diajang-tim-penggerak-pkk-gresik/ diakses pada 3 Januari 2023. Pelestarian Budaya Bawean 63 seiring dengan perkembangan gaya hidup masyarakat modern dan masuknya budaya luar ke pulau Bawean,27 maka lambat laun masyarakat Bawean mulai meninggalkannya dan tidak ada lagi masyarakat yang menjadikannya sebagai keterampilan seni. Gambar 6. Pembuatan Batik Tulis dan Cap di Pesantren Penaber Sebenarnya, sejumlah tokoh dan seniman Bawean juga sadar, bahwa batik merupakan warisan kekayaan budaya bangsa Indonesia yang harus dilestarikan. Namun demikian, minimnya pengetahuan masyarakat terhadap seni batik Bawean ini, membuat batik terlupakan begitu saja. Oleh karenanya, melihat pada kenyataan yang mengenaskan ini kiai Mustafa berusaha melestarikan batik Bawean melalui kegiatan pembelajaran ngaji batik di Pondok Pesantren Penaber. 27 Masyarakat Bawean banyak yang merantau ke luar negeri, seperti Malaysia, Siangapore, dan beberapa negara lainnya, sehingga terjadi akulturasi budaya. 64 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. Gambar 7. Batik Buatan Santri Penaber Pondok pesantren Penaber merupakan satu-satunya lembaga pendidikan keagamaan yang punya andil besar dalam melestarikan budaya lokal masyarakat Bawean. Pondok Pesantren Penaber juga merupakan satu-satunya pondok pesantren yang memproduksi batik dengan motifmotif khusus yang diambil dari budaya masyarakat Bawean sesuai dengan perjalanan sejarahnya dari masa ke masa. Bahkan, kini batik hasil buah tangan santri-santri penaber juga sudah merambah ke tingkat nasional ditandai dengan menjadi peserta pameran produk unggulan Indonesian Product Expo (Inapro) 2021 di Grand City Surabaya.28 Seiring dengan berjalannya waktu, dapat dilihat perkembangan batik Penaber yang semakin dinamis. Dan hampir setiap tahun pesantren penaber menerima kunjungan dari turis luar 28 https://klikjatim.com/bawa-motif-khas-bawean-batik-penaber-bawean-ikuti-pameraninapro-expo-2021/ dia - kses pada 23 Pebruari 2022. Pelestarian Budaya Bawean 65 negeri. Beberapa di antara mereka memborong produk batik buatan santri Penaber. Selain budaya seni, di Pondok Pesantren Penaber ini juga dilestarikan budaya Bahasa lokal, yakni bagaimana orang Bawean pada zaman dulu berbicara. Karena nada bicara masyarakat Bawean antara desa yang satu dengan lainnya berbeda.29 Peran aktif kiai dalam melestarikan budaya Bawean sebagai bentuk kepedulian dan ketertarikan beliau terhadap benda-benda bersejarah yang syarat mempunyai nilai budaya dan sejarah peradaban sosial masyarakat Bawean. Saat ini ada banyak budaya Bawean yang sudah mulai tidak digunakan oleh masyarakat Bawean sendiri. Bahkan generasi muda banyak yang tidak mengenal budayanya sendiri, maka dari itu perlu adanya upaya mempertahankan budaya Bawean agar tidak punah. Selain itu pondok pesantren lahir dari masyarakat maka salah satu bentuk pengabdian kepada masyarakat yaitu dengan mempertahankan budaya Bawean. Pondok pesantren merupakan tempat yang tepat untuk mengenalkan budaya Bawean, karena di pondok pesantren terdapat banyak generasi muda yang nantinya akan menjadi penerus.30 Setiap usaha pelestarian budaya yang ada di pesantren Penaber dilakukan secara berkelanjutan, sehingga pesantren ini sering mendapat kunjungan tamu dari berbagai wisatawan domestik maupun manca Negara, yang biasanya mereka tertarik akan benda-benda yang ada di museum pesantren penaber, serta 29 Kyai Mustofa, Pengasuh Pondok Pesantren Penaber, wawancara, Bawean 15 Desember 30 Ibid 2022 66 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. tata letak bangunan dhurung-dhurung yang ada di lingkungan pesantren. Selain itu wisatawan atau tamu pemerintahan juga biasanya disambut dengan kesenian khas pencak Bawean yang dibawakan oleh santri-santri pesantren Penaber yang sudah terlatih.31 B. Dukungan terhadap Upaya Pelestarian Budaya Proses pelestarian budaya yang ada di pondok pesantren Penaber ini didukung oleh semua pengurus dan santri. Setiap aktivitas yang dilakukan oleh santri tidak lepas dari kegiatan berlatih seni budaya disela-sela belajar ngaji kitab. dengan menjadikan latihan sebagai sebuah rutinitas akan membuat para santri semakin cepat menjiwai dan menguasai kesenian yang dipelajari. Juga saat mendapatkan undangan tampil, perlombaan atau festival santri sudah siap dengan ketrampilan yang dimilikinya. Hal tersebutlah yang dimaksud dengan keberlanjutan secara rutin. Dalam mempertahankan budaya Bawean, pondok pesantren Penaber melakukannya secara terus menerus bukan hanya ketika ada lomba dan sebagainya.32 Pondok pesantrem Penaber benar-benar berperan secara aktif dalam upaya melestarikan budaya Bawean. Terdapat beberapa budaya Bawean yang dipertahankan di pondok Pesantren Penaber. Budaya yang dimaksud adalah budaya religi, bahasa, kesenian, dan benda-benda atau peralatan. Dalam bidang religi budaya Bawean yang turut dipertahankan di Pondok 31 Ust. Badruz Zaini, guru pondok pesantren Penaber, wawancara, Bawean 30 Desember 32 Ust. Hanif, guru pondok pesantren Penaber, wawancara, 15 Desember 2022 2022 Pelestarian Budaya Bawean 67 Pesantren Penaber yaitu manakiban. Sedangan dalam bidang seni pondok pesantren Penaber mempertahankan identitas budaya Bawean yang berupa dhungka, tari saman khas Bawean, dan pencak silat. Tidak hanya terlihat dalam bidang keseniannya saja bangunan Pondok Pesantren Penaberpun dibuat menyerupai rumahrumah pada zaman dulu, yaitu tidak menggunakan batu bata atau beton tetapi menggunakan anyaman bambu. Selain itu Pondok Pesantren Penaber juga mengoleksi dhurung.33 dhurung merupakan tempat bercengkerama, bersantai, tempat bersosialisasi, bahkan dhurung juga kadang berfungsi ganda sebagai tempat penyimpanan padi di atasnya. Saat ini dhurung sudah mulai langka di Bawean. Gambar 8. Dhurung Tempat Santri Mengaji Seni di Pondok Pesantren Penaber 33 Dhurung adalah bangunan dari kayu seperti Gazebo. Pada tradisi masyarakat Bawean jaman dulu dhurung menjadi tempat menerima tamu, rapat terbatas (dalam Bahasa Bawean disebut akompol). Di bagian atas dhurung terdapat ruangan yang kadang difungsikan sebagai tempat penyimpanan padi atau sebagai kamar para remaja untuk beristirahat. 68 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. Dengan dihadirkannya atau dipertahankannya budayabudaya Bawean tersebut di Pondok Pesantren Penaber, telah memberikan sumbangsih yang cukup besar untuk memperkenalkan budaya Bawean kepada generasi muda. Tujuan dari pelestarian budaya Bawean di Pondok Pesantren Penaber adalah agar budaya yang ada di Bawean tidak punah. Karena budaya merupakan warisan yang sangat berharga. Dengan dipertahankannya budaya Bawean di Pondok Pesantren Penaber memberikan dampak positif khususnya bagi masyarakat Paginda. Pada awalnya masyarakat dusun Paginda sudah memiliki tradisi manakiban. Di mana setiap ada acara kampung selalu diisi dengan manakiban. Namun seiring majunya zaman generasi mudah sudah enggan dan gengsi untuk belajar manakiban sehingga tidak ada generasi penerus. Di sinilah pondok pesantren Penaber memainkan perannya dengan menghidupkan kembali tradisi manakiban yang sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Upaya yang dilakukan oleh kiai Mustafa dengan pesantrennya membuahkan hasil yang baik. Saat ini tradisi manakiban dusun Paginda kembali semarak dan setiap ada acara kemasyarakat selalu diisi dengan pembacaan manakib sebagaimana pada zaman dulu. Hal membuktikan bahwa pondok pesantren Penaber mempunyai peran yang besar dalam upaya melestarikan budaya Bawean. Pengasuh pondok pesantren Penaber juga mengadakan outbond yang dilaksanakan pada setiap hari minggu dan diisi dengan berlatih beberapa budaya Bawean seperti, pencak silat dan Pelestarian Budaya Bawean 69 dhungka. Selain itu, ketika ada kegiatan warga seperti syukuran atau hajatan biasanya minta dibacakan manakib oleh santri pondok pesantren Penaber. Kebiasaan itu dapat meningkatkan minat para santri dan pemuda sekitar pondok dalam memperkaya pengetahuannya tentang kebudayaan dan tradisi.34 Disisi lain pengasuh juga sering memperkenalkan tentang nama benda-benda yang merupakan peninggalan orang Bawean pada masa dulu, yang saat ini benda-benda tersebut disimpan di museum pesantren Penaber. Hal ini dikarenakan masih banyak santri yang belum mengetahui nama dan fungsi dari benda tersebut bahkan ada yang belum pernah melihat benda tersebut. Selain itu juga tedapat beberapa koleksi yang ada dimuseum pesantren Penaber yang hampir jarang ditemui saat ini diantaranya Jhukong, senduk carong, rangghepan, lancet-lancet, kor-koran, dan lain sebagainya. Apa yang dilakukannya ini dilatarbelakangi oleh adanya harapan besar dalam diri kiai Mustafa, yaitu ingin menanamkan rasa memiliki terhadap budaya Bawean dalam diri setiap santrinya. Karena para santri inilah yang akan menjadi penerus dan memperkenalkan budaya Bawean pada generasi seterusnya.35 34 Badruzzaini, ustadz senior dan penggerak seni pondok pesantren Penaber, Wawancara, Bawean 10 Januari 2023 35 Kiai Mustofa, Pengasuh Pondok Pesantren Nasy’atul Barokah Penaber, Wawancara, Bawean 15 Januari 2023. 70 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. BAB VI MOTIF KIAI DALAM PELESTARIAN BUDAYA BAWEAN Motif memiliki asal kata bahasa latin movere yang artinya bergerak, atau to move to move yang memiliki arti suatu kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu.1 Motif adalah daya yang timbul dari dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu.2 Motif muncul disebabkan adanya keinginan-keinginan yang belum terpenuhi dan target yang hendak direalisasikan.3 Motif yang ada pada setiap individu akan memunculkan suatu perilaku yang diarahkan pada tujuan tercapainya sasaran kepuasan.4 Sehingga adanya sejumlah motif itulah yang menjadi kekuatan dan faktor pendorong bagi seseorang dalam melakukan sesuatu demi terpenuhinya berbagai macam kebutuhan pokok dalam kehidupannya. Pada dasarnya, seseorang melakukan suatu hal karena didorong oleh motif tertentu.5 Motif merupakan keadaan internal yang terdapat Bimo Walgito, Psikologi Umum (Yogyakarta: Ando, 2002), 5. Intan Rachmawati, Pengantar Psikologi Sosial (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2022), 147. Lihat juga Susy Yuliastanti dan Erpidawati, Perilaku Organisasi: Cara Mudah Menghadapi Perilaku SDM Di Dalam Organisasi (Banyumas: CV. Pena Persada, 2021), 23-24. Bandingkan dengan Asmara Indahingwati dan Novianto Eko Nugroho, Teori dan Praktek Sumberdaya Manusia (Surabaya: PT Scopindo Media Pustaka, 2019), 158. 3 Yossie Risanty, et.al., Consumer Behaviour In Era Millennial (Medan: AQLI, 2018), 97. 4 M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita S, Teori Teori Psikologi (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 83. 5 Sukatin, et.al., Manajemen dan Evaluasi Kerja (Yogyakarta: DeePublish, 2022), 122. 1 2 Pelestarian Budaya Bawean 71 dalam diri setiap individu dan mengarahkannya untuk berbuat sesuatu berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, namun ia tak bisa dilihat secara kasat mata dari perbuatan yang dilakukan. Motif yang merupakan proses psikologis dalam diri seseorang bisa disebabkan oleh banyak faktor.6 Berdasarkan pada penyebabnya, motif dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu: intrinsik dan ekstrinsik. Intrinsik merupakan kekuatan dalam diri yang berhubungan dengan kebutuhan tertentu. Sedangkan ekstrinsik adalah motif yang muncul sebagai akibat adanya rangsangan dari luar.7 Demikian juga halnya dengan kiai Mustafa, motif yang menjadi pendorong dalam upayanya melestarikan budaya Bawean dapat dikelompokkan kedalam dua kategori sebagai berikut: A. Motif Internal Motif internal meliputi keinginan untuk hidup, memilik, dan memperoleh penghargaan. Dari sekian banyak bagian motif internal ini yang ada dalam diri kia Mustafa adalah motif ingin memiliki. Motif ingin memiliki tampak pada upaya yang dilakukannya dalam mengumpulkan barang-barang peninggalan masa lalu seperti rangghepan. Apa yang terbesit dalam benak kiai Mustafa jauh dari sekedar apa yang tampak di hadapannya. Beliau tidak melihat rangghepan itu hanya sebagai alat untuk panen padi yang digunakan oleh masyarakat Bawean. Namun beliau mengaguminya sebagai alat yang meskipun begitu kecil dan 6 Asmara Indahingwati dan Novianto Eko Nugroho, Teori dan Praktek Sumberdaya Manusia (Surabaya: PT Scopindo Media Pustaka, 2019), 160. 7 Heri Zan Peter, et.al., Pengantar Psokopatologi Untuk Keperawatan (Jakarta: Kencana, 2011), 23. Para ahli berbeda dalam penggunaan istilah pembagian motif. Muarray misalnya lebih memilih menggunakan istilah motif primer dan motif sekunder. 72 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. mungil tapi mampu memberi “kehidupan” kepada seluruh masyarakat. Di samping itu, kiai Mustafa juga berusaha menelisik filosofi dari alat tersebut dan siapa pembuatnya pertama kali. Jika pembuatnya adalah seorang yang beragama Islam maka sudah selayaknya kita berterima kasih dengan cara mendoakannya.8 Dari sisi internal, motif yang terdapat dalam diri kiai Mustafa sehubungan upayanya melestarikan budaya Bawean dapat dibagi menjadi tiga faktor. Pertama, diawali dari pribadi beliau yang merindukan suasana saat masa mudanya.9 Kerinduan inilah yang menjadi kekuatan pendorong sehingga mampu menciptakan usaha yang dilakukan kiai untuk mewujudkannya kembali masa lalunya dalam kehidupan masa kini di lingkungan pesantren Penaber. Tentunya dengan mengajak orang-orang yang ada di sekitarnya, yakni para santri. Sejak kecil kiai Mustafa dikenal sebagai pecinta seni, terutama seni budaya masyarakat Bawean. Keluarga kiai Mustafa dikenal sebagai keluarga pengagum seni, maka tidak heran jika setelah menjadi pengasuh pondok pesantren beliau tetap menjadi pengagum seni, karena jiwa seninya telah terbentuk sejak kecil dan dalam keluarganya sendiri. Beberapa kesenian yang pernah ditekuni oleh kiai Mustafa sewaktu masih remaja adalah Hadrah, samman, mandiling, zamrah, pelawak, bahkan dangdut.10 8 Kyai Mustofa, Pengasuh Pondok Pesantren Nasy’atul Barokah Penaber, Wawancara, Bawean 15 Januari 2023 9 Ibid. 10 Ibid. Pelestarian Budaya Bawean 73 Tidak hanya pecinta seni, keluarga kiai Mustafa ada yang ahli bermain biola. Adalah Uwa11 Fathori, yang tak lain merupakan kakek dari kiai Mustafa. Selain sangat lihai dalam memainkan alat musik biola, ia juga punya keterampilan membuat biola sendiri.12 Sehingga banyak orang yang datang ke rumahnya sekedar untuk mendengarkan Uwa Fathori bermain biola. Gambar 9. Biola Hasil Buatan Tangan Uwa Fathori Dari sini bisa dilihat bagaimana sebenarnya kecintaan kiai Mustafa terhadap seni budaya Bawean terbentuk dan tertanam dalam dirinya. Bukanlah suatu kebetulan jika kemudian beliau menjadi seorang yang piawai dalam memainkan beberapa alat musik tradisional, bahkan yang modern sekalipun. Hal itu tak lain adalah hasil perjalanan yang panjang dari kakek moyangnya yang merupakan pecinta sekaligus pelaku seni, yang kemudian bakat itu menurun kepada dirinya. 11 Uwa dalam Bahasa Bawean memiliki arti “kakek”. Uwa fathori berarti kakek Fathori. Uwa Fathori memiliki nama panggilanan keakraban, yaitu Akkong. Masyarakat sekitar lebih akrab dan lebih mengenal beliau dengan nama “Akkong”. Ustadz Zainuddin, Tenaga Pengajar Pondok Pesantren Penaber, wawancara, Bawean, 11 Januari 2023. 12 Biola hasil buatan tangan Uwa Fathori atau Akkong kini tersimpan di Museum “Dhinggelan Kona” (peningggalan masa lalu) milik Pondok pesantren Penaber. Observasi, Museum Pondok pesantren Penaber, 11 Januari 2023. 74 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. Kedua, Faktor Hobi. Hobi diserap dari Bahasa inggris hobby. Hobi memiliki arti kegemaran atau kesenangan istimewa dalam melakukan suatu kegiatan pada waktu senggang,13 dan bukan menjadi pekerjaan utama.14 Sedangkan tujuan yang hendak dicapai dari hobi adalah untuk memenuhi keinginan dan mendapatkan kesenangan15 serta untuk menyegarkan kembali badan dan pikiran yang telah lelah. Hobi merupakan kegemaran. Kegemaran seseorang terhadap sesuatu akan mendorongnya melakukan banyak hal untuk meraih sesuatu tersebut. Rasa puas dan rasa senang yang dialami setelah melakukan sesuatu yang disukai tidak dapat ditukar dengan apapun. Bahkan hobi menjadi salah satu hal yang dapat memunculkan minat.16 Hobi dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu: a). Hobi membuat sesuatu, b). hobi memainkan sesuatu, c). hobi mengumpulkan sesuatu, dan d). hobi yang tidak berhubungan dengan tiga hal sebelumnya. Disadari ataupun tidak, setiap orang pasti memiliki hobi. Demikian juga halnya kiai Mustafa, memiliki hobi yang sangat tinggi terhadap seni. Beliau hobi (gemar) untuk mengumpulkan barang-barang antik peninggalan masyarakat Bawean yang hampir hilang karena kemajuan zaman dan dilupakan oleh 13 Hani Widiatmoko, “Memanfatkan Hobi Sebagai Tambahan Penghasilan”, dalam Rara Radianti, et.al., Kumpulan Artikel Finansial: Financial Tips For Mom (Bandung: Bitread, 2018), 66. Bandingkan dengan Adi Surya Hutomo, et,al., “Peningkatan Keterampilan Tehnik Dasar Futsal Melalui Penggunaan Media Video Pada Mahasiswa Putra Penghobi Futsal”, Prosiding Seminar Nasional IPTEK Olahraga (2019), 23. (21-24) 14 https//kbbi.web.id/hobi 15 https://id.m.wikipedia.org/wiki/hobi. 16 Frylly Frycylya Warokka, et.al., “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Team Assisted Individualization Terhadap Hasil Belajar Siswa Jaringan Dasar Siswa SMK”, EduTIK, vol. 2 no. 3 (Juni 2021), 277. (276-283) Pelestarian Budaya Bawean 75 masyarakatnya. Selain mengumpulkan barang-barang kuno, ia juga memainkan alat-alat musik. Sejak kecil kiai Mustafa sudah memiliki hobi yang mendalam terhadap seni dan budaya Bawean. Hobi ini terus mengalir dalam dirinya hingga kini. Waktu luang yang dimilikinya dimanfaatkan sebaik mungkin untuk berlatih dan mengasah kembali keahliannya memainkan alat-alat musik, baik yang kuno maupun yang sudah modern. Ia mengajak sejumlah santri untuk diajari bermain alat-alat musik dan memberi mereka pemahaman akan pentingnya menjaga warisan budaya nenek moyang yang tidak ternilai harganya. Menurutnya para santri perlu diberi pemahaman tentang kesenian sehingga mereka bisa cinta budayanya sendiri.17 Dari sini kita melihat betapa besarnya semangat yang dimiliki oleh kiai Mustafa, dan baginya tidak ada kata waktu luang, karena sisa waktu yang digunakan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang guru dan kepala keluarga, beliau gunakan untuk mengajari para santri memainkan alat-alat musik dan memberi mereka motivasi agar lebih semangat dalam upaya melestarikan budaya. Ketiga, Ketenangan pribadi. Selain dua motif di atas, hal lain yang mendorong kiai Mustafa dalam melestarikan budaya masyarakat Bawean adalah keadaan internal yang berupa ketenangan pribadi. Ketenangan dapat diartikan kondisi yang tenang, tidak gusar dan berhubungan erat dengan hati seseorang, 17 Kiai Mustafa, Pengasuh Pondok Pesantren Nasy’atul Barokah Penaber, Wawancara, Bawean 22 November 2022. 76 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. batin dan pikirannya. Ketenangan diciptakan agar seseorang dapat merasakan kedamaian dalam dirinya. Ada banyak cara untuk mendapat ketenangan jiwa, salah satunya adalah dengan menikmati karya seni. Di antara karya seni yang paling banyak diminati adalah seni musik. Dapat dikatakan bahwa seni musik merupakan jenis seni yang dinikmati setiap hari oleh manusia di seluruh dunia.18 Salah satu hal yang mendorong kiai Mustafa melestarikan budaya Bawean adalah lahirnya ketenangan dalam dirinya yang didapat ketika melihat benda-benda peninggalan jaman dulu, atau ketika mendengarkan dan memainkan alat-alat musik. Ketenangan pribadi inilah yang kemudian memunculkan ide dan memotivasi beliau untuk terus merawat benda-benda tersebut di museum Dhingghelan Kona pesantren Penaber. Kiai Mustafa merasakan adanya kedamaian yang mengalir dalam dirinya ketika banyak orang yang ingin mengetahui serta mempelajari budaya Bawean dan itu semua dapat mereka temukan di pondok pesantren Penaber. Sehingga banyak orang mengatakan, “zaman sekarang kalau mau mencari warisan budaya Bawean yang sudah punah, cukuplah datang ke pesantren Penaber. Penaber adalah miniature Bawean”.19 Semangat kiai Mustafa dalam upayanya melestarikan budaya Bawean semakin bertambah kuat ketika jerih payahnya ini mendapat sambutan dan dukungan moral dari masyarakat 18 Agus setyawan, “Seni Musik Islami: Cara Memahami Seni Musk Sayyed Hosein Nashr”, artikel online https://fatcat.wiki/release/ysyjyz6tfja57iumqow6l3msvm diakses pada 10 Januari 2023. 19 Kyai Mustofa, Pengasuh Pondok Pesantren Penaber, wawancara, Bawean 22 November 2022. Pelestarian Budaya Bawean 77 Bawean. Ketika masyarakat Bawean ingin mengetahui budayanya sendiri, mereka akan datang dan menemukannya di pondok pesantren ini. Saat itulah kiai Mustafa merasakan ketenangan pribadi karena dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakatnya. Rasa senang dan bahagia yang dialami ini semakin memperteguh tekadnya mencapai tujuan pelestarian budaya. Yang pada saat bersamaan juga memunculkan motivasi yang mendalam pada diri kiai, sehingga ia merasa kembali muda. Hal ini sejalan dengan pernyataan Suhono bahwa, “makin besar nilai tujuan bagi individu yang bersangkutan maka makin besar pula motivasi dalam melakukan perbuatan”.20 Kebijakan yang diambil oleh kiai Mustafa dalam hubungannya dengan mendirikan Museum Dhinggelan Kona, Abhesa dan ngaji seni yang dilakukan dalam setiap minggu mempunyai tujuan agar setiap santri yang belajar pondok pesantren Penaber mampu mengenal, menghargai dan melestarikan kebudayaannya. Para santri perlu mengenal budaya abhesa karena ia merupakan akhlak santri dalam berbicara dengan orang yang lebih tua, baik itu kiai, pengurus, orang tua, atau bahkan teman sesama santri. Dalam budaya masyarakat Bawean orang yang belajar di pondok pesantren namun belum mampu menggunakan bahasa abhesa maka proses belajarnya dianggap belum selesai. Sehingga di pesantren Penaber ini para santri sangat ditekankan untuk menggunakan Bahasa abhesa dan dipraktikkan antar sesama santri. 20 Suhono, Penggunaan Model Pembelajaran Make A Match Untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Sistem Reproduksi Manusia (Surakarta: UNISRI Press, 2022), 15. 78 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. Budaya abhesa ini sangat penting diketahui dan diamalkan oleh para santri. Karena ia dianggap bagian dari akhlakul karimah. Sehingga keberhasilan seseorang dalam belajar ilmu agama di pondok pesantren tidak sekedar diukur dari segi kepandaiannya membaca kitab-kitab kuning sebagai literatur warisan ulama klasik. Namun juga dilihat dari segi bagaimana santri berinteraksi, bersikap dan bertutur kata dengan sesama santri, santri dengan para asatidz dan pengurus, serta antara santri dengan masyarakat luas, termasuk sikap dengan orang tuanya.21 Kesadaran budaya yang ditanamkan oleh kiai sudah mampu mempengaruhi santri dan tenaga pendidik yang ada dilingkungan pesantren Penaber. B. Motif Eksternal Selain dari motif internal yang mampu memberikan dorongan kepada kiai Mustafa dalam memelihara dan melestarikan budaya Bawean, juga ada motif eksternal yang tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi tindakannya tersebut. Di antara motif eksternal yang dimaksud adalah tidak adanya dukungan dari pemerintah setempat baik desa, kecamatan, maupun kabupaten secara preventif untuk merawat kesenian-kesenian itu. Hal tersebutlah yang menjadi kekecewaan kiai sehingga termotivasi untuk semakin giat dan kuat mengajak santri-santrinya serta guru yang ada di pesantren Penaber untuk ikut menjaga, mengembangkan dan melestarikan seni budaya Bawean. Kekecewaan kiai Mustafa akan ketidakhadiran pemerintah dalam upaya pelestarian budaya yang dilakukan oleh pondok pesantren Penaber terlihat 21 Zaenal Arifin, santri senior, wawancara, Bawean 11 Desember 2022 Pelestarian Budaya Bawean 79 dari pernyataannya bahwa, “Tadeklah, tadek. Jangankan padena museum seumpama, batik bhelekak tadek se ngadukung (tidak adalah, tidak ada. Jangankan seperti museum seumpama, batik saja tidak ada yang mendukung).22 Di lain kesempatan beliau juga mengungkapkan hanya menunggu pemerintah sadar saja, karena beliau merasa lelah jika berharap kepada pemerintah dalam melestarikan budaya. Merasa terlalu sering dimanfaatkan dalam berbagai kegiatan kedinasan tanpa adanya dukungan yang nyata. Hal ini terlihat dalam beberapa kegiatan pariwisata yang sering melibatkan santri dari pesantren Penaber untuk tampil dalam beberapa festival mengisi acara untuk memeriahkannya. Namun ironisnya, pemerintah setempat atau dinas lainnya tidak satupun yang memberikan bantuan dan dukungan terhadap upaya yang dilakukannya ini. Menurutnya, sebenarnya pemerintah -khususnya dinas pariwisata dan kebudayaan- punya kewajiban untuk ikut andil dalam upaya pelestarian budaya, karena budaya Bawean adalah bagian dari warisan budaya Indonesia. Peran serta ini bisa diwujudkan dalam banyak bentuk, seperti membuat flayer yang bertujuan untuk memperkenalkan dan mempromosikan budaya Bawean, mengarahkan para tamu dinas pariwisata yang datang ke Bawean dan dibawa ke pondok pesantren Penaber, dan memberikan dukungan dana agar pelestarian budaya dapat dikelola dengan manajemen yang lebih baik. Namun semua itu 22 Kiai Mustofa, Pengasuh Pondok Pesantren Penaber, wawancara, Bawean 22 November 2022. 22 Zaenal Arifin, santri senior pondok pesantren Penaber, wawancara, Bawean 11 Desember 2022 80 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. tidak pernah dilakukan sehingga yang terjadi hanyalah sebuah harapan yang tidak ada kejelasan.23 Dibandingkan dengan pemerintah, ternyata lembaga-lembaga pendidikan jauh lebih tertarik untuk memperhatikan seni budaya Bawean. Ini bisa dilihat dari seringnya lembaga pendidikan setingkat SD dan MINU yang membawa siswanya ke pesantren ini dan memperlihatkan warisan budaya yang ada di museum Dhingghelan Kona. Sementara pemerintah setempat dengan berbagai macam dinas yang ada sepertinya belum punya gairah untuk ikut andil dalam upaya pelestarian budaya Bawean. Beberapa kenyataan di atas itu telah melahirkan kekecewaan yang mendalam bagi kiai Mustafa sekaligus menjadi salah satu kendala dalam upaya yang ditekuninya. Sebagai akibat dari kekecewaan tersebut maka pada saat launching atau peresmian museum Dhingghelan Kona kiai Mustafa tidak ingin hal itu dilakukan oleh pemerintah atau dinas pariwisata. Akan tetapi beliau lebih suka jika hal itu bisa dilakukan oleh asosiasi atau organisasi swasta. Sehingga akhirnya, beliau memilih PSB (Persatuan Saudagar Bawean) yang meresmikan museum Dhingghelan Kona.24 Dengan mengacu pada penjelasan di atas dapat diketahui bahwa motif kiai dalam pelestarian budaya Bawean dilatarbelakangi oleh dua hal, yaitu faktor internal dan faktor eksternal, sebagai pengalaman yang sudah merawat dan mengumpulkan benda-benda khas orang Bawean. Dalam kenyataannya sedikitnya terdapat tiga hal yang bisa ditemukan 23 Kiai Mustofa, Pengasuh Pondok Pesantren Penaber, wawancara, Bawean 22 November 2022. 24 Ibid. Pelestarian Budaya Bawean 81 dalam motif yaitu 1) Memberikan dorongan secara contineu, 2) Memberikan kekuatan pada suatu perilaku, 3) Menyeleksi tindakan mana yang akan atau tidak dilakukan. Di samping itu, terkandung pula dua unsur mendasar dalam setiap motif, yaitu: 1) harapan tinggi akan keberhasilan, dan 2) takut akan kegagalan. Oleh karenanya, setiap tindakan yang lahir dari manusia selalu terdapat suatu keinginan untuk mencapai harapan-harapan yang menyenangkan serta terhindar dari suatu kegagalan yang mungkin terjadi.25 Hal tersebut persis apa yang dialami oleh kiai dalam usaha melestarikan budaya Bawean di pesantren Penaber, adanya dorongan yang kuat dari diri pribadi dan faktor luar yang menumbuhkan motivasi untuk bertindak atau mengambil sikap. Selain itu adanya rasa kekecewaan yang mampu memberikan kekuatan untuk terus mencari celah jaringan yang mampu mendukung usahanya dalam mengenalkan dan melestarikan budaya. Serta memahami perilaku dari hasil timbal balik yang telah dialami ketika melakukan kerja sama, dari situ dapat diketahui siapa yang dapat mendukung dan tidak berkenan mendukung pelestarian budaya. Pengharapan yang berlebihan terhadap dukungan dari pemerintah untuk pengembangan budaya belum dapat diharapkan, namun tidak ada ketakutan dalam membangun jaringan sendiri tanpa campur tangan pemerintah dalam melestarikan budaya khas Bawean. 25 Monk, F,J, Knoer. A.M.P. dan Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan (Yokyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982), 162-163. 82 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. BAB VII PERAN KIAI DALAM PERSPEKTIF PRAKSIS SOSIAL PIERRE BOURDIEU Suatu peran merupakan perpaduan antara posisi dan pengaruh. Individu yang sedang menunaikan hak dan kewajibannya maka bisa dikatakan bahwa ia telah suatu peran. Seringkali seseorang menuliskan kata peran, akan tetapi terkadang ia kesulitan dalam menjelaskan dan memaknai arti kata peran itu sendiri. Pada beberapa kasus, peran biasanya sering dikaiteratkan dengan fungsi. Peran dan status tidak dapat dipisahkan, karena pada kenyataannya tidak ada peran tanpa suatu kedudukan ataupun status, demikian pula sebaliknya tidak ada status tanpa diiringi dengan peran. Setiap individu memiliki peran tersendiri dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Peran yang dimiliki oleh seseorang akan sangat menentukan seberapa besar ia dapat melakukan sesuatu untuk masyarakatnya. Sebaliknya, peran yang dimainkan oleh seseorang punya andil besar dalam memastikan berbagai kesempatan yang bisa diberikan oleh masyarakat kepadanya. Mengintip makna peran dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu hal yang dilakukan dan memiliki pengaruh besar Pelestarian Budaya Bawean 83 terhadap suatu peristiwa.1 Peran merupakan serangkaian tindakan yang seharusnya dilaksanakan oleh seseorang sesuai dengan status dan kedudukan yang dimilikinya dalam kehidupan sosial, baik formal maupun non formal. Soejono menjelaskan bahwa peran diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu: 1. Peran Aktif Yang dimaksud dengan peran aktif adalah sikap individu yang selalu giat dan bersemangat dalam melakukan berbagai aktivitas dalam sebuah organisasi. Keaktifan seseorang dapat dengan mudah dilihat pada tingkat kehadirannya dalam mengikuti berbagai kegiatan serta sejauh mana ia bisa memberikan kontribusi pada organisasinya. Apabila seseorang memberikan kontribusi penuh bagi lembaga yang dipimpinnya maka orang tersebut dapat dikatakan sebagai pemimpin yang dapat dikategorikan dalam jenis peran aktif.2 2. Peran Partisipasif Yang dikehendaki dengan peran partisipasif adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan pada tingkat kebutuhan dan hanya pada waktu tertentu saja.3 Misalnya ketika dalam suatu lembaga yang dipimpinnya terdapat suatu masalah maka baru seorang pemimpin tersebut turun tangan. Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap (Surabaya: Apolo, 1997), 487. Rijal Maulana Ali & Muhammad Nurul Yakin, Peran Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Prestasi Siswa (Bandung: Haura Utama, 2022), 7. 3 Ki Sigit Sapto Nugroho, Punakawan: Penuntun Menuju Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Klaten: Lakeisha, 2020), 55. 1 2 84 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. 3. Peran Pasif Peran pasif ialah sumbangan anggota kelompok yang bersifat pasif, di mana anggota kelompok menahan diri dan tidak menjalankan peran yang seharusnya. Peran jenis ini hanya menjadi simbol bagi pemiliknya, karena pada kenyataannya ia tidak pernah melakukannya.4 Dilihat dari segi peran sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat dipahami bahwa peran yang dipilih oleh kiyai Mustafa dalam kaitannya dengan pelestarian budaya Bawean adalah peran aktif. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah kebijakan yang diambilnya mulai dari mendirikan museum dhingghelan kona, modifikasi seni, membentuk sanggar budaya Rasbuba dan memberikan orientasi agar masyarakat Bawean khususnya generasi mudanya memiliki kesadaran budaya. A. Habitus Habitus adalah keadaan metal seseorang atau sekelompok orang yang menjadi acuan dalam menjalani kehidupan di masyarakatnya. Sebuah habitus tidaklah lahir begitu saja, melainkan ia dibentuk melalui sebuah proses yang sangat panjang sehingga betul-betul menjadi jati diri dari pemiliknya. Habitus setua usia manusia, artinya bahwa habitus ada sejak manusia pertama diciptakan kemudian berinteraksi dengan alam sekitarnya.5 Pondok pesantren Penaber yang dikenal dengan pesantren budaya ini juga mampu mempengaruhi habitus santri dalam Soekamto soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 2012), 143. Siti Muri’ah dan Gianto, Kekerasan Simbolik di Madrasah (Ponorogo: Myria Publisher, 2020), 52. 4 5 Pelestarian Budaya Bawean 85 kehidupannya. Berbagai macam bentuk kegiatan ekstrakurikuler seni yang ada di pondok pesantren Penaber menyebabkan santrisantri di sana terbiasa dengan kegiatan kesenian. Keseniankesenian itu adalah kesenian khas masyarakat Bawean yang pada masa sekarang sudah banyak ditinggalkan. Ketersediaan kesenian inilah yang membiasakan para santri untuk terus berkegiatan dan berlatih melestarikan budaya Bawean di pesantren Penaber. Meski dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun kesenian yang ada di pesantren Penaber masih tetap diminati oleh santrinya, adapun kesenian yang ada di pesantren ini teraktualisasi dalam beberapa kegiatan yaitu ngaji kitab, ngaji musik, ngaji seni, ngaji batik. Yang awalnya para santri sebelum masuk ke pesantren belum mengenal macam ragam seni Bawean, setelah masuk ke pesantren Penaber mereka mulai mengenal dan membiasakan diri dengan aktivitas yang dilakukannya setiap hari. Mereka memiliki semangat dan nilai-nilai yang dipegang yang digunakan untuk memahami setiap ragam seni. Habitus dibentuk melalui proses yang panjang,6 sebagaimana semangat santri serta nilai yang tertanam pada diri mereka untuk mencitai kebudayaan sesuai dengan harapan dari kiai pesantren Penaber. Bourdieu berpandangan bahwa habitus terbentuk dari hasil interaksi dengan orang lain.7 Kebiasaan yang ditanamkan pada santri merupakan sikap mental atau tindakan yang dilakukan 6 Tenriwaru, Kesejahteraan Tanpa Sekat: Sebuah Kritik Terhadap Akuntansi CSR (Gowa: CV. Tohar Media, 2021), 73. 7 Eko Supriyanto, Ikat kait Impulsif Sarira: Gagasan Yang Mewujud Era 1990-2010 (Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca, 2018), 137. Lihat juga Suardi, et.al., Penguatan Pendidikan Karakter Barbasis Integratif Moral Di Perguruan Tinggi (Banten: CV. AA. Rizky, 2020), 86. 86 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. secara tak langsung merupakan kontribusi dari hasil interaksi dengan individu atau kelompok lain. Mereka menyerap pengetahuan dan pengalaman orang lain untuk dapat bersikap lebih baik di kehidupan sosialnya. Masih dipercayainya bahwa berkah dan ridho kiai juga mampu mempengaruhi pola pikir santri sehingga menghasilkan nilai-nilai dalam diri mereka.8 Salah satu nila yang dipegang oleh santri pesantren Penaber yaitu nilai menghargai budaya dan menghormati setiap orang yang datang ke pondok pesantren Penaber. Nilai menghargai budaya dan menghormati orang lain inilah yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kesenian budaya yang dipelajari di pesantren ini. Penanaman nilai-nilai ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama sehingga menjadi sebuah habitus. Hal inilah yang dijelaskan oleh Bourdieu bahwa habitus merupakan seperangkat pengetahuan untuk memahami nilai-nilai yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.9 Pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian budaya bagi generasi muda Bawean mulai mempengaruhi kebiasaan dalam kehidupan santri di pesantren Penaber. Kegiatan ngaji seni, ngaji kitab, ngaji batik, ngaji musik telah menjadi habitus baru yang tercipta karena pengambilan keputusan untuk menjadi santri di pondok pesantren Penaber. Tidak hanya bagi para santri namun juga bagi para tenaga pengajar yang ada di pesantren ini, yang mulai terbiasa dengan 8 Aditya Firdaus & Rinda Fauzian, Pendidikan Akhlak Karimah Berbasis Kultur Pesantren (Bandung: Alfabeta, 2018), 25. 9 Adi Nu Vianto, et.al., Seloprojo: Aktraksi Seni Dan Budaya Di Kaki Gunung Telomoyo (Tasikmalaya: Langgam Pustaka, 2022), 24. Pelestarian Budaya Bawean 87 aktivitas baru yang diciptakan oleh pengasuh pesantren Penaber dalam usaha untuk melestarikan budaya Bawean. Ikut dalam kegiatan ngaji seni, ngaji batik dan ngaji musik secara tidak disadari mampu mempengaruhi pola pikir dan tindakan para santri dan ustad yang ada di pesantren Penaber. Segala nilai dan cara bertindak yang dilakukan oleh masingmasing individu telah dipengaruhi oleh kondisi objektif budaya yang terdapat dalam aktivitas di pesantren. Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai Pelbagai sikap yang relatif permanen yang menjadi landasan bagi seseorang dalam melihat, bertindak dan berpikir.10 Habitus terbentuk dari praktik-praktik yang dilakukan oleh individu atau agen dalam melaksanakan sesuatu atau menyelesaikan masalah. Dalam buku ini yang menjadi aktor utama adalah kiai Mustafa pengasuh pondok pesantren Penaber yang menciptakan lingkungan pesantren sesuai dengan pola pikirnya, sehingga semua orang yang ada di dalam lingkungan pesantren tersebut terpengaruh dengan kondisi objek yang dibentuk. Hal ini yang menciptakan habitus baru bagi setiap santri yang menentukan pilihannya di pesantren Penaber. Yang demikian itu di karena habitus bekerja di bawah kesadaran individu11 secara keseluruhan telah menyatu dalam nilai-nilai yang dianut oleh semua civitas yang ada di lingkungan pondok pesantren Penaber. Habitus tersebut disebabkan oleh praktik-praktik dan interaksi 10 Pierre Bourdieu, Habitus: Sebuah Perasaan Atas Tempat”, Terj. Anton Novenanto. Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 1 No. 2, (2018), 153-158. 11 Fitri Mutia, Antologi Teori Sosial: Kumpulan Karya-karya Pilihan (Surabaya: Airlangga University Press, 2021), 151. 88 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. yang mereka lakukan dengan sesama santri, ustad dan kiai selama belajar di pesantren Penaber. Hal ini sejalan dengan Prasetyawati yang menyatakan bahwa habitus adalah disposisi yang tidak terbentuk secara mendadak, tetapi melalui proses panjang keterlibatan individu sebagai agen dalam pengalaman dunia sosial.12 B. Modal Istilah modal sering kali dikaitkan dengan kepemilikan materi. Meski memiliki kesamaan, namun modal dalam pandangan Bourdieu tidak sekedar diartikan sebagai akumulasi materi (uang), melainkan ia mencakup makna yang jauh lebih luas. Modal diartikan sebagai bentuk hasil kerja keras seseorang yang termanifestasikan dalam bentuk kepemilikan benda ataupun nilai yang tertanam dalam diri individu.13 Selain itu, modal juga dapat berupa sesuatu yang dimiliki oleh setiap orang di tengah-tengah masyarakatnya, di mana modal ini dapat dimanfaatkan dalam memastikan kedudukannya dalam sebuah arena.14 Sebagai makhluk sosial, setiap orang dalam menjalani kehidupannya sudah bisa dipastikan memiliki sejumlah modal yang dapat dipergunakan untuk mencapai cita-citanya atau dalam berinteraksi dengan anggota masyarakat yang lain. Namun demikian, modal yang dikehendaki di sini tidak hanya terbatas pada yang berbentuk materi saja, melainkan ia juga meliputi 12 Yuliana Riana Prasetyawati & Glen Ramli, Exposure: Jurnal of Advanced Communication, vol. 2 no. 1 (Januari 2012), 265-406. 13 Nanang Martono, Kekerasan Simbolik DI Sekolah Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu (Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2012), 33. 14 Siti Muri’ah dan Gianto, Kekerasan Simbolik di Madrasah (Ponorogo: Myria Publisher, 2020), 67. Pelestarian Budaya Bawean 89 modal non materi yang tidak dapat diraba maupun dilihat dengan mata telanjang. Secara umum modal dapat dimasukkan ke dalam beberapa kategori, seperti modal sosial, modal ekonomi, modal budaya dan modal simbolik.15 1. Modal Sosial Modal sosial merupakan kumpulan dari sejumlah sumber daya aktual yang dimiliki oleh seseorang dan erat kaitannya dengan keluasan jaringan dalam interaksi sosial dengan pihak lain.16 Dengan kata lain, kuat dan tidaknya modal sosial seseorang ditentukan oleh posisi yang ditempati sehingga mampu menguasai dan membangun relasi.17 Dalam modal sosial terdapat beberapa unsur yang saling berkaitan, di antaranya adalah partisipasi, jaringan, hubungan timbal balik, kepercayaan, nilai, norma dan tindakan proaktif. Modal sosial (social modal) tak lain adalah kekuatan yang didapatkan karena adanya jaringan serta pengaruh dalam lingkup sosial.18 Kemampuan seorang kiai untuk berpartisipasi secara aktif dalam suatu entitas kelompok akan dapat membangun kerja sama dalam suatu jaringan demi tercapainya tujuan bersama. Karena dalam hubungan kerja sama terdapat timbal balik yang saling menguntungkan satu sama lain. Partisipasi dan hubungan timbal balik yang 15 Sa’diyah El Adawiyah, “Modal Sosial Kepemimpinan Perempuan Dalam Pembangunan”, dalam Ade Fahrudin et.al., Dinamika Gender & Perubahan Sosial (Bandung: Widina Media Utama, 2022), 18. Lihat juga Nanang Martono, Kekerasan Simbolik DI Sekolah Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu (Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2012), 33. 16 Nanang Martono, Kekerasan Simbolik DI Sekolah Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu (Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2012), 33. 17 Moh. Nizar & Wais Alqorni, Book Series: Demokrasi dan dan Otonomi Daerah Dinasti Politik dan Demokrasi Lokal (Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 2021), 186. 18 Novri Susan, Sosiologi Konflik: Teori-teori Dan Analisis (Jakarta: Kencana, 2019), 64. 90 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. dilakukan oleh kiai terlihat dalam keikutsertaan kiai sebagai pengurus atau ketua dari LESBUMI PCNU Bawean. Dari keaktifan dan keikutsertaannya dalam organisasi kemasyarakatan tersebut akan mampu meningkatkan jaringan dan interaksi. Dengan interaksi yang aktif maka muncullah kepercayaan dari banyak pihak untuk menjalin bekerja sama dengan pondok pesantren Penaber. Seperti diakui oleh Fitria dan Yanto bahwa keterlibatan individu dalam suatu kelompok akan memberinya akses untuk mendapatkan kepercayaan kolektif.19 2. Modal Ekonomi Bourdieu menyebutkan modal ekonomi sebagai modal material. Maksud dari modal ekonomi yaitu segala sesuatu yang bernilai ekonomi.20 Sesuatu yang dapat dikonversikan ke dalam bentuk atau terinstitusionalisasi ke dalam bentuk properti.21 Kendaraan, rumah, barang-barang lainnya disebut sebagai modal ekonomi (finansial). Adapun modal ekonomi yang dimiliki oleh kiai dalam pelestarian budaya Bawean ini dapat diperoleh dari mengumpulkan uang SPP santri, gaji dari profesi mengajar, dan sumbangan dari para dermawan yang tidak mengikat. Termasuk juga dalam bagian ini adalah semua gedung dan kepemilikan tanah pondok pesantren Penaber. 19 Umi Fitria & Bagus Endri Yanto, Urgensi Momdal Sosial Dalam Pembentukan Karakter Wirausaha (Yogyakarta: K-Media, 2022), 9. 20 F. Ahmad Kurniawan, Kuasa Akuntan Publik Dan Eksistensi Laporan Audit Simbolik: Boudieusian Perspective (Malang: Penerbit Peneleh, 2022), 41. 21 Muhaimin Zulhair, “Bourdieu dan Buhungan Internasional: Konsep, Aplikasi dan Filsafat Ilmu”, Jurnal Transformasi Global, Vol. 3 No. 2 (2016), 131. (125-144). Pelestarian Budaya Bawean 91 3. Modal Budaya Bourdieu memberi pandangan bahwa modal budaya merupakan keseluruhan kualifikasi intelektual yang diperoleh secara formal maupun dari hasil warisan keluarga.22 Modal budaya yang dimilik pengasuh pondok pesantren Penaber yang diperoleh dari pendidikan, pengalaman, hobi, dan keahlian yang dimilikinya. Pemanfaatan modal budaya tersebut dapat digunakan sebagai modal dalam melestarikan budaya Bawean. Pengetahuan dan pengalaman dari kiai ini dapat memberikan kontribusi untuk memutuskan konsep pengembangan pesantren yang berkaitan dengan pengembangan budaya Bawean. 4. Modal Simbolik Yang dimaksud dengan modal simbolik adalah suatu modal yang erat kaitannya dengan kekuasaan, kewenangan dan reputasi.23 Ia meliputi kekuasaan seseorang yang disebabkan oleh kekuatan secara fisik maupun kelebihan di bidang ekonomi. Karenanya, modal simbolik mencakup segala bentuk prestis, kemasyhuran,24 status, nama baik keluarga, otoritas dan legitimasi.25 Modal jenis ini sebenarnya dapat diperoleh melalui legitimasi kehormatan dan garis nasab, semisal keluarga bangsawan atau individu yang menempati 22 Tawakkal Baharuddin, Modalitas Dalam Pemilukada: Bupati Perempuan Pertama Di Sulawisi Selatan (Metro: Gre Publishing, 2017), 38. 23 Moh. Nizar & Wais Alqorni, Book Series: Demokrasi dan dan Otonomi Daerah Dinasti Politik dan Demokrasi Lokal (Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 2021), 188. 24 Tatik Hidayati, Nyai Madura: Modal Dan Patronase Perempuan Madura (Yogyakarta: IRCiSoD, 2022), 89. 25 Fauzi fashri, Pierre Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol (Yogyalarta: Jalasutra, 2016), 109. 92 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. posisi tertentu di masyarakat. Legitimasi sendiri merupakan sebuah penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap individu tertentu karena kelebihan yang dimilikinya. Modal simbolik memiliki nilai tawar yang tinggi di tengahtengah masyarakat. Hal itu dikarenakan modal simbolik hanya bisa dimiliki oleh sekelompok individu tertentu saja, tidak dimiliki masyarakat pada umumnya. Namun demikian, walaupun modal simbolik dapat diwariskan, ianya tetap memerlukan adanya pengakuan dari masyarakat di mana modal ini direproduksi. Adapun modal simbolik yang dimiliki oleh kiai Mustafa sebagai pengasuh pondok pesantren Penaber dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: Pertama, modal yang dapat dilihat oleh mata berupa pondok pesantren, bangunan museum dan isinya. Dengan modal simbolik yang pertama ini telah mampu menjadikan pesantren Penaber mempunyai daya tarik yang dapat diperhitungkan. Sehingga masyarakat luar bahkan masyarakat Bawean sendiri yang ingin mengetahui budaya Bawean cukup datang ke pesantren ini. Karena pesantren Penaber telah menjadi semacam miniatur kehidupan masyarakat Bawean tempo dulu. Di mana pesantren ini memiliki sebuah museum mini “Dhingghelan Kona” dan di dalamnya dapat ditemukan berbagai barang berharga sebagai warisan budaya masyarakat Bawean tempo dulu. Banyak orang yang datang ke pesantren Penaber sekedar untuk mengetahui budaya-budaya Bawean. Pelestarian Budaya Bawean 93 Melihat pada pesantren Penaber yang banyak menyimpan warisan budaya, maka tak heran jika pesantren ini sering dikunjungi oleh beberapa Lembaga Pendidikan yang ada di pulau Bawean, baik Pendidikan dasar maupun Pendidikan menengah dan perguruan tinggi. Bahkan beberapa mahasiswa dari perguruan tinggi yang ada di daratan Jawa juga datang ke pesantren ini untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan budaya masyarakat. Kenyataan ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh modal simbolik yang dimiliki oleh kiai Mustafa dalam upayanya melestarikan budaya Bawean. Kedua, modal simbolik yang tidak kasat mata yaitu berupa gelar dan kedudukan dalam struktur pondok pesantren, organisasi keagamaan, dan sebagai kiai yang keberadaannya benar-benar diakui di tengah masyarakat. Dengan modal simbolis yang dimiliki sebagai kiai ini akan lebih mudah memberikan instruksi kepada para santri dan tenaga pendidik yang ada di lingkungan pesantren serta akan lebih mudah diterima dan dilaksanakan. Namun demikian, sekalipun modal simbolis berupa pengasuh dan gelar kiai telah memberikan pengaruh yang sangat besar dan terbatas terutama di internal pesantren Penaber, kiai Mustafa menggunakan pengaruhnya ini secara bijak dan tanpa ada unsur tekanan. Kiai hanya memperkenalkan budaya-budaya Bawean yang pernah ada serta memberi pemahaman dan menanamkan cinta budaya kepada para santrinya. Dalam upaya itu pula kiai memberi kebebasan santri memilih ingin ikut andil di bagian apa. Pemanfaatan modal simbolis ini hendaknya dilakukan secara bijaksana agar berjalan optimal. 94 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. C. Ranah Ranah atau arena adalah medan yang menjadi tempat bagi para agen dan aktor sosial untuk saling mempengaruhi dan bersama-sama memperebutkan modal.26 Dalam menjalani kehidupan di tengah masyarakatnya seseorang harus memahami situasi dan kondisi yang terjadi selanjutnya menguasai keadaan tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Bourdieu bahwa di dalam suatu lingkungan sosial atau ranah, dengan segenap strategi yang dimiliki setiap orang (agen) berada pada suatu keadaan dan saling berkompetisi guna memperebutkan dan menguasai sumber kepentingan dan modal-modal yang menjadi ciri khas wilayah tersebut dengan dominasi strategi yang berbeda.27 Pondok pesantren Penaber merupakan pesantren yang memiliki berbagai macam kesenian baik itu seni secara fisik (benda) maupun non fisik (tari-tarian dan pencak silat), pesantren ini dijuluki dan terkenal sebagai pesantren seni, sehingga mengharuskan santrinya mampu menerapkan dan mengaplikasikan kesenian yang dipelajari di pesantren tersebut dalam aktivitas sehari-hari. Ranah yang dimaksud di sini adalah tempat di mana semua santri, ustaz dan kiai tinggal. Dalam kaitannya hal ini ranah mengerucut pada pesantren Penaber, di mana pesantren ini merupakan salah satu sentra pelestarian budaya Bawean. Pesantren Penaber merupakan tempat kiai, ustaz dan santrinya untuk berjuang melestarikan dan mempertahankan budaya khas Bawean. 26 Mangihut Siregar, “Teori “Gado-gado” Pierre Felix Bourdieu”, Jurnal Studi Kultural, Vol. 1 No. 2 (Juni 2016), 86. (84-87) 27 Aprinus Salam, et.al., Sastra Rempah (Yogyakarta: PT Kanisius, 2021), 68. Pelestarian Budaya Bawean 95 Sejatinya, pesantren Penaber dengan semua fasilitas yang dimiliki dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas untuk belajar keterampilan, melakukan inovasi dan meningkatkan kreativitas masyarakat untuk mengembangkan budaya Bawean. Karena memang tujuan adanya sanggar budaya Rasbuba dan museum Dhingghelan Kona adalah untuk memperkenalkan dan mewariskan kepada generasi selanjutnya. Sebagaimana hal ini menjadi amanat bahwa pemeliharaan obyek kebudayaan dapat dilakukan dengan cara mewariskan kebudayaan tersebut kepada generasi berikutnya.28 Tetapi kenyataannya di ranah tersebut masyarakat Bawean belum secara optimal memanfaatkan modal-modal yang bisa memberikan kontribusi untuk mendukung pembangunan, pengembangan dan pelestarian budaya Bawean. museum yang telah dimiliki harusnya bisa menjadi modal untuk menarik partisipasi masyarakat dalam mendukung pelestarian budaya. Dengan terbentuknya museum budaya yang ada di pesantren Penaber akan dapat memberikan pengaruh kepada masyarakat di Bawean. Ide dan gagasan yang dimiliki oleh pemerhati budaya dapat dikumpulkan dan disatukan di pesantren Penaber untuk membantu meningkatkan modal sosial yang dimiliki. Ranah pesantren penaber ini merupakan tempat hubungan relasional seperti yang telah dijelaskan oleh Bourdieu bahwa ranah merupakan suatu sistem dan hubungan-bubungan yang membentuk suatu jaringan relasi. 28 96 UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan pasal 24 ayat 4 huruf e. Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. Hal ini berarti pengasuh pesantren Penaber dapat bekerja sama satu dengan lainnya untuk berusaha bersama-sama melestarikan budaya yang masih ada. Hubungan relasional juga dapat dilihat dari hubungan pengasuh, baik dengan organisasi masyarakat, pemerintah desa, kecamatan baik kabupaten. Hal ini dimaksudkan karena pesantren Penaber merupakan tempat yang berdiri sendiri secara independen, namun menjadi satu kesatuan yang memiliki satu tujuan yang sama dan harusnya saling menguntungkan, sehingga harus bisa memanfaatkan habitus positif dan modal yang dimiliki agar dapat menguasai dan memanfaatkan ranah dengan baik. D. Praktik Menurut Bourdieu dalam dunia sosial tidak hanya berbicara masalah perilaku yang dimunculkan oleh individu atau struktur. Bourdieu berpendapat bahwa dunia sosial merupakan praktik sosial. Menurutnya praktik merupakan akumulasi hasil dari hubungan yang dinamis antara internalisasi eksternal dan eksternalisasi internal. Eksternal merupakan unsur-unsur obyektif yang terdapat di luar diri pelaku sosial. Sementara internalitas adalah semua yang berada dalam diri pelaku sosial.29 Oleh karenanya, Bourdieu mengemukakan bahwa untuk memahami praktik sosial dapat dimulai dari persamaan sebagai berikut: “(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik”.30 Dalam 29 Nanang Krisdinanto, “Pierre Bourdieu, Sang Juru Damai”, KANAL, Vol. 2 No. 2 (Maret 2014), 189-206. 30 Mangihut Siregar, “Teori “Gado-gado” Pierre Felix Bourdieu”, Jurnal Studi Kultural, Vol. 1 No. (Juni 2016), 87. (84-87) Lihat juga Wahyu Budi Nugroho, Sosiologi Kehidupan Sehari-hari (Yogyakarta: Pustaka Egaliter, 2021), 141. Pelestarian Budaya Bawean 97 pemikiran Bourdieu praktik tak lain merupakan produk relasi habitus dan ranah yang di dalamnya terdapat pertaruhan dan persaingan31 serta saling mempengaruhi. Habitus yang dimiliki oleh kiai yang didukung oleh modal budaya, modal sosial, modal simbolik dan modal ekonomi yang terdapat di lingkungan pondok pesantren Penaber dikembangkan secara maksimal dalam ranah yang sudah ditentukan yaitu di pondok pesantren Penaber. Maka akan menghasilkan praktik yang dapat mendukung pelestarian budaya. Habitus-habitus yang memiliki nilai positif dimaksimalkan untuk memperoleh habitus yang baik dan berkontribusi dalam pengembangan budaya. Latar belakang pendidikan kiai dan ustaz yang mayoritas adalah lulusan sarjana dan pernah nyantri merupakan salah satu modal (budaya)32 yang akan membentuk habitus santri pesantren Penaber. Habitus merupakan seperangkat pengetahuan yakni yang berkaitan dengan cara bagaimana memahami dunia, kepercayaan, nilai dalam kehidupan sehari-hari.33 Para ustaz dan kiai yang ada di pesantren Penaber memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang bagaimana berpikir dan bertindak untuk dapat melangsungkan proses pendidikan di lembaga ini. Pesantren Penaber memilih kurikulum yang berkaitan dengan budaya dalam ekstrakurikuler di sekolah formalnya. Dari ekstrakurikuler itulah pesantren dapat menjalin hubungan 31 Tenriwaru, Kesejahteraan Tanpa Sekat: Sebuah Kritik Terhadap Akuntansi CSR (Gowa: CV. Tohar Media, 2021), 70. 32 La Ode Machdana Afala, Rezim Adat Dalam Politik Lokal: Komunitas Adat Towani Tolotang Dalam Arena Politik Lokal (Malang: UB Press, 2019), 49. 33 Harisan Boni Firmando, Sosiologi Kebudayaan: Dari Nilai Budaya Hingga Praktik Sosial (Yogyakarta: CV. Bintang Semesta Media, 2022), 154. Lihat juga Vinita Susanti, Perempuan Membunuh? Istri Sebagai Korban dan Pelaku KDRT (Jakarta: Bumi Aksara, 2020), 46. 98 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. dengan beberapa organisasi lainnya baik dari Bawean maupun manca negara. Hal ini karena seringnya pesantren Penaber didatangi oleh beberapa tamu dari luar negeri, di antaranya Malaysia, Jepang, Singapura. Terjalinnya hubungan tersebut menciptakan suatu kerja sama yang saling menguntungkan sekaligus menambah relasi untuk kepentingan yang lainnya. Terwujudnya jalinan semacam itu yang meningkat-kan modal sosial dari pengasuh pesantren Penaber. Hal ini dikarenakan modal sosial termanifestasi melalui hubungan atau jaringan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam menentukan reproduksi sosial. Dengan modal sosial itulah pesantren Penaber dapat menjalin hubungan dengan individu atau kelompok lain untuk menambah relasi. Habitus para santri-santri yang ada di pesantren Penaber yang sangat tawadhuk kepada kiainya sebagai modal untuk mengembangkan budaya. Dari adanya sikap tawaduk inilah maka kemudian menimbulkan kepercayaan terhadap apa yang dilakukan di pesantren. Sehingga setiap apa yang disarankan oleh kiai akan selalu dilaksanakan oleh para santri dan ustaznya. Dari kepercayaan inilah lahir sikap menghargai ilmu dan budaya. Bentuk dari rasa menghargai ilmu dan budaya ini diwujudkan dalam kegiatan ngaji kitab dalam meningkatkan ilmu pengetahuan santri dan ngaji seni serta ngaji musik dalam wujud menghargai budaya. Hal tersebut merupakan habitus yang telah dibentuk kiai Mustafa bagi santri-santrinya. Pelestarian budaya ini dapat dimanfaatkan dalam pengembangan budaya yang masih ada dengan melakukan Pelestarian Budaya Bawean sosialisasi kepada lembaga-lembaga 99 pendidikan dan masyarakat untuk ikut serta mencintai budayanya. Praktik-praktik yang dihasilkan dari akumulasi habitus dan modal dalam ranah pondok pesantren Penaber merupakan fungsi manifest yang diharapkan dapat mengembangkan pelestarian budaya Bawean. Namun adanya kepentingan dan keegoisan dari pemerintahan dan masyarakat yang tidak mendukung akan menimbulkan perbedaan pemikiran dan pendapat. Seperti yang pernah dialami dalam pengembangan pesantren kadang masih ada segelintir masyarakat di sekitar pesantren yang kurang sejalan dengan visi pesantren dalam pelestarian budaya. Beberapa orang hanya memanfaatkan santri saja untuk tampil di acara tertentu namun tidak memberikan support dalam bentuk materi untuk kostum, transportasi, dan konsumsi. Perbedaan ini merupakan fungsi laten yang memicu sulit untuk disatukannya seluruh masyarakat Bawean dalam membentuk integritas melestarikan budaya Bawean di pondok pesantren Penaber. 100 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. BAB VIII PENUTUP A. Kesimpulan Pandangan kiai Mustafa terhadap Budaya masyarakat Bawean, diketahui bahwa betapa perlunya kepedulian masyarakat tentang degradasi budaya pada generasi muda Bawean yang semakin terkikis oleh teknologi yang tidak terfilter dengan baik oleh budaya. Sebagai salah satu tokoh, kiai Mustafa memandang bahwa budaya masyarakat bawean semakin hari akan dapat terlupakan jika tidak dijaga dengan baik, jika tidak diajarkan kepada anak muda, jika tidak disampaikan tutur yang baik, dan jika tidak diberi contoh perilaku yang baik maka bawean ini akan kehilangan karakteristik dan identitas budaya masyarakatnya. Peran kiai Mustafa dalam melestarikan budaya bawean di pesantren Penaber, beliau memposisikan diri sebagai tokoh utama yang menginovasikan pemikiran dan imajinasinya dalam bentuk kegiatan kesenian di sela-sela aktivitas santri melalui ngaji kitab, ngaji seni, ngaji batik dan ngaji musik. Dengan harapan semua santrinya mampu menghargai dan menjiwai setiap tradisi dan seni budaya Bawean. Selain itu, peran kiai dapat ditunjukkan empat bentuk upaya, yaitu: sosialisasi dalam upaya membangun Pelestarian Budaya Bawean 101 sadar budaya, membentuk sanggar seni Rasbuba, mendirikan museum Dhingghelan Kona, dan modifikasi seni. Motif Kiai dalam melestarikan budaya Bawean, terdapat dua motif yang ditemukan yaitu motif internal dan motif eksternal. Motif internal berangkat dari hobi, kerinduan masa muda, dan kepedulian untuk mewujudkan nuansa kehidupan masyarakat yang tradisional. Motif eksternal yang dipengaruhi oleh rasa kekecewaan terhadap respon dari pemerintah yang minim dukungan dalam pengembangan dan pelestarian budaya Bawean. B. Saran Bagi masyarakat Indonesia, budaya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka budaya yang baik yang mampu mengantarkan persatuan dan kesatuan tidak menimbulkan gesekan antar masyarakat harus dilestarikan. Bagi masyarakat Bawean budaya yang dimiliki masyarakat merupakan potret bahwa Bawean merupakan pulau yang memiliki ragam seni budaya, namun di antara beberapa budaya yang ada sudah mulai tergerus oleh zaman dan banyak yang punah. Maka di sini diperlukan peran pemerintah dan elite dalam ikut melestarikan budaya yang ada di masyarakat Bawean. 102 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. REFERENSI Abdussalam. “Kepemimpinan Kiyai Sebagai Pemimpin Pendidikan Di Pondok Pesantren”. Seminar Nasional Magister manajemen Pendikan UNISKA MAB. vol. 1 no. 1, (2021). 162-168 Afala, La Ode Machdana. Rezim Adat Dalam Politik Lokal: Komunitas Adat Towani Tolotang Dalam Arena Politik Lokal. Malang: UB Press, 2019. Agustin, Dyah Satya Yoga. “Penurunan Rasa Cinta Budaya Dan Nasionalisme Generasi Muda Akibat Globalisasi”, jsh Jurnal Sosial Humaniora, Vol 4 No. 2, (November 2011), 177-185 Amanda, Wirasati Volare dan Rimadewi. “Pelestarian Kawasan Cagar Budaya Berbasis Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus: Kawasan Cagar Budaya Bubutan)”. Jurnal ITS. vol. 1 no. 1 (2012), 63-67. Almanda, Hafi Hilmiah. “Kajian Pertunjukan Musik “Thungka” Dalam Tinjauan Etnomusicologi”. Jurnal Pendidikan Sejarah dan Riset Sosial Humaniora (Kagawa). vol. 5 no. 2. (Desember 2022), 189200. Alwasilah. Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya, 2006. Alwi, B. M. “Pondok Pesantren: Ciri Khas, Perkembangan, dan Sistem Pendidikannya”, Lentera Pendidikan: Jurnal Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, vol. 16 no. 2 (tahun 2016), 205–219. Ardianto, Medi Romi & Ahmad Zamroni. “Implikasi Ketenagan Jiwa Dan Ketentraman Hati Sebagai Faktor Yang Mempengaruhi Pelestarian Budaya Bawean 103 Keberhasilan Pendidikan Bagi Remaja”. IEMU: Islamic Education Management Journal. vol 1, no. 1 (2021), 20-35. Aswan, Yulinda. et.al., Komunikasi Dalam Praktik Kebidanan. Medan: Yayasan Kita Menulis, 2022. Az Zafi, Asyif. “Transformasi Budaya Melalui Lembaga Pendidikan”, Sosio-Humaniora, vol. 3 no. 2 (2017), 1-16. Azis, Abdul. “Kepemimpinan Kiyai Sebagai Pemimpin Pendidikan Di Pondok Pesantren Nurulhuda Pakandangan Barat Sumenep”. El Idare: Journal of Islamic Education Management. Vol. 3 No. 2. (Desember 2017), 65-79. Baharuddin, Tawakkal. Modalitas Dalam Pemilukada: Bupati Perempuan Pertama Di Sulawisi Selatan. Metro: Gre Publishing, 2017. Basyari, in Wariin. “Menanamkan Identitas Kebangsaan Melalui Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Budaya Lokal”, Edunomic, Vol. 1 No. 2, (September 2013), 112-118 Bhaskara, Faridz Alfansa. Media Sosial Sebagai Wadah Penyebaran dan Pelestarian Budaya. Malang: PIK UMM, 2020. Bourdieu, Pierre. “Habitus: Sebuah Perasaan Atas Tempat”, Terj. Anton Novenanto. Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 1 No. 2, (2018), 153-159 Budi. Komunikasi Organisasi Kontemporer. Medan: CV Pusdikra Mitra Jaya, 2021. Candra, Juli. Pencak Silat. Yogyakarta: Penerbit Dee Publish, 2021. Caropeboka, Ratu Mutialela. Konsep dan Aplikasi Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: ANDI, 2017. 104 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. Darusman, Yus. Model Pewarisan Budaya Melalui Pendidikan Informal (Pendidikan Tradisional) Pada Masyarakat Pengrajin Kayu. Madiun: CV. Bayfa Cendekia Indonesia, 2021. Daryanto. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Apolo, 1997. Desy, Fabiola. “Generasi Milenial Pewaris Budaya Leluhur” dalam Miranti. Campursari Penguat Budaya Leluhur. Bogor: Langit Arbitter, 2019. Dewan Eskalasi Budaya "BEKU Bhei-Bhei": Seni Bawean (bekubawean.blogspot.com) diakses pada tanggal 30 Desember 2022. Dewi, Resi Septiana. Keanekaragaman Seni Tari Nusantara. Jakarta: Balai Pustaka, 2012. Dyatmika, Teddy. Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Zahir Publishing, 2020. El Adawiyah, Sa’diyah. “Modal Sosial Kepemimpinan Perempuan Dalam Pembangunan”. dalam Ade Fahrudin. et.al., Dinamika Gender & Perubahan Sosial. Bandung: Widina Media Utama, 2022. Fardhilah, N. Mengenal Kesenian Nasional 11: Tari Saman. Semarang: Alprin, 2010. Fashri, Fauzi. Pierre Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyalarta: Jalasutra, 2016. Firdaus, Aditya & Rinda Fauzian. Pendidikan Akhlak Karimah Berbasis Kultur Pesantren. Bandung: Alfabeta, 2018. Firmando, Harisan Boni. Sosiologi Kebudayaan: Dari Nilai Budaya Hingga Praktik Sosial. Yogyakarta: CV. Bintang Semesta Media, 2022. Pelestarian Budaya Bawean 105 Fisnani, Yeni. et.al., Modul Batik monokromatik untuk SD Kelas V. Semarang: Pilar Nusantara, 2020. Fithri, Widia. “Internalisasi Nilai Budaya Minangkabau Pada Santri Pondok Pesantren Modern Diniyyah Pasia”. Jurnal Al-Aqidah. vol. 11 Edisi 1. (Juni 2019), 44-52. Fitria, Umi & Bagus Endri Yanto. Urgensi Momdal Sosial Dalam Pembentukan Karakter Wirausaha. Yogyakarta: K-Media, 2022. Ghufron, M. Nur dan Rini Risnawita S, Teori Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012. Ginting, Desmon. Komunikasi Cerdas: Panduan Komunikasi Di Dunia Kerja. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2017. Hamzah, M. Guntur, “Peranan Hukum dalam Upaya Pelestarian Warisan Budaya”. Jurnal Ilmu Hukum Amannagappa. vol. 12, no. 3. (September 2004). Hanif, Muhammad. et.al., Panduan Pelaksanaan Model Nampe. Yogyakarta: Deepublish, 2018. Hastusti, Rahmah. et.al. Peran Kesejahteraan Remaja Dalam Meningkatkan Nasionalisme. Yogyakarta: CV ANDI Offset, 2020. Hatwi, Tokoh masyarakat Baratsawah Menara Gunungteguh Sangkapura, Wawancara, Bawean 12 Januari 2023. Hidayati, Tatik. Nyai Madura: Modal Dan Patronase Perempuan Madura. Yogyakarta: IRCiSoD, 2022. Hisyam, Ciek Julyati. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2020. Hutomo, Adi Surya. et,al. “Peningkatan Keterampilan Tehnik Dasar Futsal Melalui Penggunaan Media Video Pada Mahasiswa Putra 106 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. Penghobi Futsal”. Prosiding Seminar Nasional IPTEK Olahraga. (2019). Iman, Nurul. et.al., “Strategi Pelestarian dan Pengembangan Reyog Ponorogo”, Prosiding Seminar nasional Hasil-hasil Penelitian 2016. Ponorogo: UNMUH Press, 2016. Indahingwati, Asmara dan Novianto Eko Nugroho, Teori dan Praktek Sumberdaya Manusia. Surabaya: PT Scopindo Media Pustaka, 2019. Jacobus, Ranjabar. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bandung: Ghalia Indonesia, 2006. Jailani, Imam Amrusi. “Pendidikan Pesantren Sebagai Potret Konsistensi Budaya Di Tengah Himpitan Modernitas”, Karsa, vol. 20 No. 1 (Tahun 2012), 75-87. Jamaluddin, Muhammad. “Metamorfosis Pesantren Di Era Globalisasi”. KARSA. Vol. 20 No. 1. (Tahun 2012), 127-139 Karmadi, Agus Dono. “Budaya Lokal Sebagai Warisan Budaya dan Upaya Pelestariannya”, Makalah disampaikan pada dialog budaya daerah Jawa tengah, di Semarang 8-9 Mei 2007. Kiai Mustofa, Pengasuh Pondok Pesantren Penaber, Wawancara, tanggal 21 Oktober 2022 Koendjaraningrat. Pengatar Ilmu Antropologi, Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2015. Krisdinanto, Nanang. “Pierre Bourdieu, Sang Juru Damai”. KANAL. vol. 2 vo. 2. (Maret 2014), 189-206. Kumalasari, Dyah. et.al, “Urgensi Pelestarian Cagar Budaya Bagi Generasi Milineal”. (2022), 110-117. Pelestarian Budaya Bawean 107 Kurniawan, F. Ahmad. Kuasa Akuntan Publik Dan Eksistensi Laporan Audit Simbolik: Boudieusian Perspective. Malang: Penerbit Peneleh, 2022. Mahfidz. Model Kepemimpinan Kiyai Pesantren: Dari Tradisi Hingga Membangun Budaya relegius. Yogyakarta: Pustaka Ilmu. 2020. Maran, Rafael Raga. Manusia dan Kebudayaan Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta, 1995. Martono, Nanang. Kekerasan Simbolik DI Sekolah Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu. Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2012. Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan pesantren. Jakarta: INIS, 1994. Monk, F,J, Knoer. A.M.P. dan Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan. Yokyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982. Muri’ah, Siti dan Gianto. Kekerasan Simbolik di Madrasah. Ponorogo: Myria Publisher, 2020. Mutia, Fitri. Antologi Teori Sosial: Kumpulan Karya-karya Pilihan. Surabaya: Airlangga University Press, 2021. Nafi, M. Dian. Praksis Pembelajaran Pesantren. Yogyakarta: Forum Pesantren Yayasan Selasih, 2007. Nahak, Hildigardis M. I. “Upaya Melestarikan Budaya Indonesia di Era Globalisasi”, Jurnal Sosiologi Nusantara, vol. 5 no. 1 (2019), 171172. Neolaka, Amos dan Grace Amialia. Landasan Pendidikan: Dasar Pengenalan Diri Sendiri Menuju Perubahan Hidup. Depok: Kencana, 2017. 108 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. Nizar, Moh. & Wais Alqorni. Book Series: Demokrasi dan dan Otonomi Daerah Dinasti Politik dan Demokrasi Lokal. Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 2021. Njatrijani, Rinitami. “Kearifan Lokal Dalam Perspektif Budaya kota Semarang”. Gema Keadilan: Edisi Jurnal. vol. 5 edisi 1. (September 2018), 16-31. Noerhadi, Toeti Heraty. Aku Dalam Budaya: Telaah Teori dan Metodologi filsafat Budaya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013. Nugroho, Wahyu Budi. Sosiologi Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta: Pustaka Egaliter, 2021. Paembonan, Laendatu. Migran warga toraja di kota palu dari aspek budaya. Pasaman Barat: CV Azka Pustaka, 2022. Pattileamonia, Ria Aprilia. “Pusat Kebudayaan Maluku di Yogyakarta Landasan Konseptual dan Perancangan”. e-Jurnal UAJY. Diakses dari http://e-journal.uajy.ac.id/10826/ pada 19 pebruari 2022. Paujiah, Juita. Etika dan Filsafat Komunikasi Dalam Realitas Sosial. Jakarta: PT Mahakarya Citra Utama Grup, 2023. Peter, Heri Zan. et.al. Pengantar Psokopatologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Kencana, 2011. Pram, Suku Bangsa Dunia dan Kebudayaannya. Jakarta: Cerdas Interaktif, 2013. Prasetyawati, Yuliana Riana & Glen Ramli. Exposure: Jurnal of Advanced Communication. vol. 2 no. 1. (Januari 2012), 265-406. Prayogi, Ryan dan Endang danial, “Pergeseran Nilai-Nilai Budaya Pada Suku Bonai Sebagai Civic Culture Di Kecamatan Bonai Pelestarian Budaya Bawean 109 Darussalam Kabupaten Rokan Hulu Provensi Riau”, Humanika, vol. 23 no. 1 (2016), 61-79. Priatna, Yolan. “Melek Informasi Sebagai Kunci Keberhasilan Pelestarian Budaya Lokal” Jurnal Publish, Vol. 1 No.2, (2017), 3743. Purnomo, Hadi. Kiai Dan Trasformasi Sosial: Dinamika Kiai Dalam Masyarakat. Yogyakarta: Absolute Media, 2020. Puspitawati, Herien. Gender dan Keluarga: Konsep dan realita di Indonesia. Bogor: IPB Press, 2019. Rachmawati, Intan. Pengantar Psikologi Sosial. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2022. Rasid, Yunus. Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat Karakter Bangsa. Yogyakarta, Budi Utama, 2014. Rayhaniah, Sri Ayu. Etika dan Komunikasi Organisasi. Pidie: Yayasan Penerbit Muhammad Zaini, 2021. Ridwan, M. dan Firda Fibrila. Buku Ajar Memahami Ilmu Ssosial Budaya Dasar Dalam Kebidanan. Grobogan: CV. Sarnu Untung, 2023. Risanty, Yossie. et.al. Consumer Behaviour In Era Millennial. Medan: AQLI, 2018. Rumanti, Maria Assumpta. Dasar-dasar Paublic relations: Teori dan Praktik. Jakarta: Grasindo, 2002. Saepudin, Encang. et.al., “Model Leterasi Budaya Masyarakat Tatar Karang Di Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya”. Berkala Ilmu Perpustakaan dan Informasi. vol. 14 no. 1 (Juni 2018), 1-10. Salam, Aprinus. et.al. Sastra Rempah. Yogyakarta: PT Kanisius, 2021. 110 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. Samartan, Andriano. “Menumbuhkan Cinta Budaya Lokal Pada Generasi Milenial”. dalam Azizah, et.al., Peran dan Tantangan Guru Dalam Membangun Peradaban Manusia: Upaya Strategis dan Kongkret Seorang Guru. Surabaya: Global Aksara Pres, 2021. Sarkowi. “Peran Generasi Milineal dalam Pemanfaatan dan Pelestarian Museum di Kota Lubuklinggau”. Jurnal Pendidikan Sejarah. vol. 9 no. 2 (2020), 127-141. Setiadi, Elly M. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada, 2006. Setyawan, Agus. “Seni Musik Islami: Cara Memahami Seni Musk Sayyed Hosein Nashr”, artikel online https://fatcat.wiki/release/ysyjyz6tfja57iumqow6l3msvm diakses pada 10 Januari 2023. Sidiq, Mahfudz. “Pergeseran Pola Kepemimpinan Kiai dalam Mengembangkan Lembaga Pesantren”, Falasifa, Vol. 11 Nomor 1 (Maret 2020), 144-156. Silviani, Irene. Komunikasi Organisasi. Surabaya: PT. Scopindo Media Pustaka, 2020. Simarmata, Andriano. “Menumbuhkan Cinta Budaya Lokal Pada Generasi Milenial”. dalam Azizah, et.al., Peran dan Tantangan Guru Dalam Membangun Peradaban Manusia: Upaya Strategis dan Kongkret Seorang Guru. Surabaya: Global Aksara Pres, 2021. Siregar, Mangihut. “Teori “Gado-gado” Pierre Felix Bourdieu”. Jurnal Studi Kultural. Vol. 1 No. 2. (Juni 2016), 84-87. Sobian, Pether. Model Pelestarian Budaya dan Kearifan Lokal Berbasis Sumber Daya Yang Ada. Klaten: Penerbit Lakeisha, 2022. Pelestarian Budaya Bawean 111 Soerjono, Soekamto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press, 2012. Suardi. et.al. Penguatan Pendidikan Karakter Barbasis Integratif Moral Di Perguruan Tinggi. Banten: CV. AA. Rizky, 2020. Sudiana, Ketut dan Ni Luh Putu Sepyanawati, Keterampilan dasar Pencak Silat. Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2017. Suharta. Antropologi Budaya. Klaten: Lakeisha, 2020. Suhono. Penggunaan Model Pembelajaran Make A Match Untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Sistem Reproduksi Manusia. Surakarta: UNISRI Press, 2022. Sukatin. et.al. Manajemen dan Evaluasi Kerja. Yogyakarta: DeePublish, 2022. Sumardjan, Selo. Kemiskinan Struktural Satu Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Ilmu Persada, 1980. Supriyanto, Eko. Ikat kait Impulsif Sarira: Gagasan Yang Mewujud Era 1990-2010. Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca, 2018. Suratmi, Nanik. Multicultural: Karya Pelestarian Kearifan Lokal “Kesenian Barongsai-Lion”. Malang: Media Nusa Creative, 2016. Suryani. “Strategi Pelestarian Budaya Lokal Dalam Mnejaga Kesetikawanan Sosial”. Media Informa si Penelitian Kesejarahteraan Sosial. vol. 42 no. 2 (Agustus 2018), 187-195 Susan, Novri. Sosiologi Konflik: Teori-teori Dan Analisis. Jakarta: Kencana, 2019. Susanti, Vinita. Perempuan Membunuh? Istri Sebagai Korban dan Pelaku KDRT. Jakarta: Bumi Aksara, 2020. 112 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. Susilo, Dimas Rachmat. et.al, “Perkembangan Sanggar Seni Tari Topeng Topeng Mulya Bhakti Di Desa Tambi”. Factum: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah. vol. 7 no. 1. (2018), 53-66. Sutardi, Tedi. Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya. Bandung: PT Setia Purna Inves, 2007. Tenriwaru. Kesejahteraan Tanpa Sekat: Sebuah Kritik Terhadap Akuntansi CSR. Gowa: CV. Tohar Media, 2021. Tim Deputi. Kebijakan Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan. Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004. Triwardani, Reny dan Christina Rochayanti. “Implementasi Kebijakan Desa Dalam Upaya Pelestarian Budaya”. Reformasi. Vol 4 No. 2. (2014), 102-110. Tylor, EB. Primitive Culture. London: T.P. 1871. Ustaz Basri, wawancara,Pondok Pesantren Penaber, tanggal 20 Oktober 2022. UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan pasal 24 ayat 4 huruf e. Vianto, Adi Nu. et.al. Seloprojo: Aktraksi Seni Dan Budaya Di Kaki Gunung Telomoyo. Tasikmalaya: Langgam Pustaka, 2022. Wahyuni, Tri. et.al., Buku Ajar Keperawatan Keluarga Dilengkapi Riset & Praktik. Sukabumi: CV Jejak, 2021. Walgito, Bimo. Psikologi Umum. Yogyakarta: Ando, 2002. Warokka, Frylly Frycylya. et.al. “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Team Assisted Individualization Terhadap Hasil Belajar Siswa Jaringan Dasar Siswa SMK”. EduTIK. vol. 2 no. 3. (Juni 2021), 276-283. Pelestarian Budaya Bawean 113 Widiatmoko, Hani. “Memanfatkan Hobi Sebagai Tambahan Penghasilan”. dalam Rara Radianti, et.al., Kumpulan Artikel Finansial: Financial Tips For Mom. Bandung: Bitread, 2018. Witjoro, Agung. et.al., “Pemberian Pelatihan Membuat batik Jumputan Kepada Ibu-ibu PKK Untuk Upaya Pelestarian dan Meningkatkan Ekonomi Mayarakat di Lowokwaru Malang”. Jurnal Karinov. vol. 2 no. 2. (Mei 2019), 75-80. Yuliastanti, Susy dan Erpidawati, Perilaku Organisasi: Cara Mudah Menghadapi Perilaku SDM Di Dalam Organisasi. Banyumas: CV. Pena Persada, 2021. Yuwanamu, Irham. “Program Melestarikan dan Mengembangkan Kearifan Lokal Dalam Upaya Menyelesaikan Permasalahan Sosial Budaya”, file:///E:/LITABDIMAS-21/BAHAN/babbukuprogram-dan-proyek-strategispembangunan-desa-231-238.pdf diakses pada 8 Pebruari 2022. Zulhair, Muhaimin. “Bourdieu dan Buhungan Internasional: Konsep, Aplikasi dan Filsafat Ilmu”. Jurnal Transformasi Global, Vol. 3 No. 2 (2016), 125-144. Sumber Digital Ade Irwansah, Dhungka: Seni Musik Tradisional Pulau Bawean, Memanfaatkan Lesung dan Ghentong Penumbuk Padi - Gresik Today (pikiran-rakyat.com) diakses pada 3 Januari 2023. Chanel Lensa Bawean, https://www.youtube.com/watch?v=kqKDX PdSzA0 diakses pada tanggal 30 Desember 2022. https//kbbi.web.id/hobi 114 Abd. Hadi Rohmani, M.Pd. https://budaya-indonesia.org/Tarian-Kercengan diakses pada tanggal Desember 2022. https://gresiksatu.com/camat-nur-syamsi-kenalkan-batik-penaberkhas-bawean-di-ajang-tim-penggerak-pkk-gresik/ diakses pada 3 Januari 2023. https://id.m.wikipedia.org/wiki/hobi. https://klikjatim.com/bawa-motif-khas-bawean-batik-penaberbawean -ikuti-pameran-inapro-expo-2021/ dia - kses pada 23 Pebruari 2022. https://www.beritabawean.com/dhungkah-tradisi-musik-kunopulau-bawean/ diakses pada tanggal 29 Desember 2022. Https://matasamudera.id/2021/08/03/melestarikan -dan -menjaga -adat -budaya -lewat -batik -khas -pulaubawean/ diakses pada 23 Pebruari 2022. Pelestarian Budaya Bawean 115