Academia.eduAcademia.edu

Dinamika Perjuangan Agraria Kontemporer

2012, Dian Aries Mujiburohman, Dianah Karmilah, M. Nazir Salim, Taufik, PPPM-STPN

Daftar Isi Sambutan Kepala PPPM .................................................................. iii Pengantar Penyunting ...................................................................... iv BAGIAN I: PENELITIAN LAPANGAN KEBIJAKAN PERTANAHAN PADA TANAH-TANAH PASCA TAMBANG TIMAH DI PROVINSI BANGKA BELITUNG (Studi di Kabupaten Bangka Tengah) .............................................. 1 PERJUANGAN UNTUK MENJADI BAGIAN DARI PROSES PERUBAHAN AGRARIA YANG MENGUNTUNGKAN (Studi Kasus Perkebunan Sawit di Kabupaten Sarolangun, Jambi)... 36 BAGIAN II: PENELITIAN LITERATUR DINAMIKA PERJUANGAN AGRARIA KONTEMPORER DI INDONESIA ............................................................................ 72 KEBIJAKAN PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA KONTEMPORER ......................................................................... 109 BAGIAN III: PENELITIAN ANOTASI BIBLIOGRAFI Sejarah Konflik dan Perjuangan Agraria Indonesia Abad XXI .......... 140 - Menukik ke Persoalan Tanah di Daerah: Kasus Sumatera Barat 159 PERAMPASAN TANAH GLOBAL PADA ABAD XXI ................. 182 xii BAGIAN II PENELITIAN LITERATUR DINAMIKA PERJUANGAN AGRARIA KONTEMPORER DI INDONESIA Dian Aries Mujiburohman, Dianah Karmilah, M. Nazir Salim, Taufik A. Pendahuluan Perjuangan Agraria dalam dimensi sejarah dimulai sejak masa kolonial belanda yang menciptakan ketidakadilan dan penindasan pada masayarakat Indonesia, eksploitasi yang mengakibatkan terkurasnya sumber daya alam serta ketimpangan sturktur penguasaan dan pemilikan sumber daya agraria, sampai masa penjajahan berakhir persoalan agraria masih belum dapat diselesaikan karena sistim hukum, sosial, ekonominya diterapkan berbeda-beda tergantung sistim golongan, rakyat Indonesia sebagai golongan pribumi dibawah golongan eropa, dan timur asing hanya sebagai bahan eksploitasi dari sumber-sumber agrarianya serta sengketa agraria sekarang yang terjadi sebagai mewarisi penjajahan pada masa kolonial.1 Ketimpangan penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria dengan terakumulasinya modal pada sedikit orang sebagai bagian dari kuatnya korporasi antar relasi yang menghasilkan penumpukan sumber-sumber agraria pada kelompok tertentu yang dominan2. Fakta menunjukkan, 70 persen petani di negeri ini hanya menguasai 13 persen dari total lahan pertanian, sementara 30 persen sisanya justru menguasai 1 2 Sebab-sebab sengketa agraria menurut Achmad Sodiki, Pertama, karena kebijaksanaan negara masa lalu; Kedua, masalah kesenjangan social; Ketiga, lemahnya penegakan hokum; Keempat, karena tanah terlantar; Kelima, reclaiming sebagai tanah adat. Achmad Sodiki, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema “ Penanganan dan Penyelesaian Konflik Agraria sebagai Kewajiban Konstitusi”, yang diselenggarakan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jakarta, tanggal 13 Maret 2012. Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi, Enam Dekade Ketimpangan. (Jakarta: Bina Desa, ARC, KPA, 2011). Noer Fauzi Rahman, “Karakterisasi Konflik Agraria”. Paper disampaikan pada Kursus Agraria di STPN, Juni 2012. 87 persen lahan yang ada3. Ketimpangan-ketimpangan ini yang disinyalir banyak pihak sebagai sumber persoalan, sehingga tuntutan yang selalu didengungkan adalah reforma agraria, perubahan pola dan struktur penguasaan sumber-sumber agraria. Setelah Indonesia merdeka, usaha-usaha yang dilakukan adalah pengawasan dan nasionalisasi, pengawasan karena banyak perusahaan peninggalan penjajah yang ditinggal pergi oleh pemiliknya4, kemudian setelah melakukan pengawasan, dilakukan usaha-usaha penguasaan oleh pemerintah terhadap perusahaan industri, perkebunan dan pertambangan dengan pertimbangan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara harus dikuasai oleh negara sesuai dengan ketentuan pasal 33 UUD 1945.5 Setelah melakukan pengawasan dan nasionalisasi, kemudian menata struktur keagrariaan Indonesia, dibuktikan dengan berbagai usaha kepanitiaan UUPA (Jogja–Jakarta), akhirnya lahirlah UUPA 1960 yang bercita-cita sosialis, lebih tepat mungkin UU yang sangat pancasilais. UUPA ini dapat menjadikan sebuah negara yang adil sebagaimana dicita-citakan bersama. Niat ini sekaligus mengoreksi secara tegas politik kebijakan kolonial dalam persoalan agraria, mengawali hadirnya UUPA negara menegaskan terlebih dahulu dengan semangat mencabut UU kolonial yang mengatur persoalan agraria,6 baru kemudian diberlakukan 3 4 5 6 Elisa Kartini E. Samon dan Syahroni, Tanah untuk Kehidupan: Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi. (Jakarta: Petani Press & FSPI, 2007). Mahklumat Kementrian Kemakmuran No.4 tanggal 5 Oktober 1945 tentang “Hal perlunja diadakan pengawasan atas Perusahaan: (Berita RI tahun I N0.1 hal.6 kolom 3). Perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi seperti: (1) 38 perusahaan perkebunan tembakau (PP No.4 Tahun 1959, LN 1959 No.7); (2)11 Perusahaan Peternakan (PP No.12/1959,LN1959 No.22); (3) 9 Perusahaan Listrik dan Gas (PP No.18/1959,LN 1959 No.30) (4).205 Perusahaan Pertanian/Perkebunan (PP No.19/1959, LN 1959 No.31. Dalam konsideran UUPA 1960 ditegaskan dalam putusannya untuk memberlakukan UU tersebut dengan mencabut: 1. “Agrarische Wet” (Staatsblad 1870 No. 55) sebagai yang termuat dalam pasal 51 “Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie” (Staatsblad 1925 No. 447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu; 2. a. “Domeinverklaring” tersebut dalam pasal 1 “Agrarisch Besluit” (Staatsblad 1870 No. 118); b. “Algemene Domeinverklaring” tersebut dalam Staatsblad 1875 No. 119A; c. “Domeinverklaring untuk Sumatera” tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1874 No. 94f; d. “Domeinverklaring untuk keresidenan Menado” tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1877 No. 55; e. “Domeinverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo” Penelitian Literatur 73 UUPA secara penuh. Implementasi dan kebijakan UUPA jelas berbasis pada kepentingan masyarakat petani, karena ia menjadi sebuah UU yang sangat sosialis-populis. Namun sayang, UU ini tidak berlaku lama, pasca 1965 ia dikubur oleh Soeharto dan “menggantinya” dengan UU Kehutanan 1967 sebagai pintu “penguasaan baru” sumber agraria. UU Kehutanan secara khusus mengatur dan menguasai lebih dari 70% wilayah hutan Indonesia sebagai hutan negara atau tanah negara.7 Penetapan itu menimbulkan masalah baru bagi Indonesia pasca kolonial, yakni tumpang tindih penguasaan (masing-masing sektor), perebutan dan perampasan, dan ketimpangan struktur agraria yang semakin meluas. Sampai dengan berakhirnya pemerintahan Soeharto, masih banyak sisa persoalan-persoalan agraria yang belum terselesaikan, masa reformasi bahkan semakin maraknya aksi-aksi protes untuk memperjuangkan hakhak agrarianya, aksi protes dengan cara demo/turun jalan, dialog, okupasi, reklaming, dengan berbagai alasan, misalnya karena tanah tersebut dulu milik nenek moyang mereka, atau tanah perkebunan tersebut milik mereka yang secara paksa diambil oleh pihak perkebunan, atau batas perkebunan yang dianggap tidak benar, atau kebun tidak memberi kontribusi kemakmuran pada rakyat sekitarnya, dan sebagainya. Beberapa contoh konflik agraria yang terjadi diberbagai daerah dan menjadi isu nasional dengan berbagai dinamika perjuanganya, antara lain konflik ganti rugi tanah pembangunan Waduk Gedung Ombo di Jawa Tangah, Konflik Badega di Garut Jawa Barat, konflik Pulo Panggung di Lampung, konflik Cimacan, Konflik Jenggawa di Jawa Timur dan Tanah Jaluran di Deli Sumatera Utara, konflik Tanah Adat Suku Anungme di Irian Jaya (Papua), konflik terminal Daya dan Perluasan Bandara Hasanudin di Makasar Sulawesi Selatan serta konflik Tanah Paguyaman di Gorontalo (Fauzi,1997:116-117, Bachriadi, 1997:130-135).8 Konflik 7 8 74 tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1888 No. 58; 3. Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Staatsblad 1872 No. 117) dan peraturan pelaksanaannya; 4. Buku ke-II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-undang ini. Suraya Afiff, dkk, “Redefining Agrarian Power: Resurgent Agrarian Movements in West Java, Indonesia”. Center for Southeast Asia Studies, UC Berkeley. Anton Lucas dan Carol Warren, op.cit. Dalam H. Hambali Thalib, Sanksi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan; Kebijakan Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 mesuji, dan masih banyak konflik-konflik agraria yang tidak terangkat menjadi isu nasional. Dengan melihat beberapa permasalahan diatas, penelitian ini ingin mengetahui dan menganilisi: (1) konflik agraria di Polongbangkeng Takalar; (2) Potret Perempuan dalam Perjuangan Agraria; (3) Perjuangan Agraria di Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini dengan melihat siapa aktor perjuangan agraria, bagaimana pola atau strategi perjuanganya, apa hasil dari perjuangan para aktor agraria. B. KETIKA TEBU TAK MANIS LAGI: Konflik Agraria di Polongbangkeng Takalar Penelitian ini merupakan monografi yang dimaksudkan untuk mencari kerangka dinamika perjuangan agraria di Polongbangkeng Kabupaten Takalar yang menjurus kepada konflik agraria antara petani Polongbangkeng dengan Pabrik Gula Takalar. Untuk sekedar memperoleh persepktif sejarah, bagian pertama dari tulisan ini menyangkut akar konflik di mana ruang pembahasan dimulai dari kontrol atas tanah di Polongbangkeng sampai pembukaan lahan perkebunan tebu yang telah banyak menuai masalah sejak awal sebagai sumber utama konflik. Kedua,diuraikan sengketa lahan antara petani dengan Pabrik Gula Takalar yang berlanjut sampai di era reformasi. bagian ini akan diuraikan aktor dan strategi perjuangan petani dan negosiasi yang dianggap sebagai alternatif penyelesian konflik 1. Kontrol Terhadap Tanah Struktur pemilikan tanah secara tradisional di Polongbangkeng menempatkan penguasa atau karaeng merupakan pemilik atas tanah. Seseorang dapat menggarap tanah menjadi lahan pertanian apabila mendapat izin dari karaeng atau memperoleh lahan sebagai warisan untuk digarap. Namun penguasa dapat menarik hak penggarapan tanah jika petani tidak menjalankan kewajiban kepada raja, baik karena melanggar aturan kerajaan, menelantarkan tanah atau karena meninggalkan negerinya bertahun-tahun. Setelah Indonesia merdeka, Alternatif Penyelesaian Konflik Pertanahan di Luar Kondifikasi Hukum Pidana, cet kedua (kencana:Jakarta,1999) hal 3-4 Penelitian Literatur 75 muncul hubungan-hubungan baru karena adanya perubahan hubungan luar atau supra desa berubah pula. Pelaksanaan politik nasional disaluran lewat hubungan petani dengan pejabat sebagai pemegang kekuasaan dalam berbagai bentuknya dan bertindak selaku perantara pemerintahan dengan supra desa. Mereka memiliki hubungan patronase baik kepada rakyat, petani maupun sponsornya yang biasa disebut tokoh tradisional. Hubungan patron-klien di Polongbangkeng mulai mendapat ancaman pada saat pembebasan lahan untuk pengembangan perkebunan tebu di Polongbangkeng. Petani secara terang-terangan menyampaikan keluhan-keluhan mereka karena diperdaya oleh pejabat desa. Beberapa data arsip memperlihatkan bahwa petani Polongbangkeng merasa dirinya dirugikan karena ganti rugi yang diterima tidak sesuai dengan luas tanahnya dan merasa ditipu oleh kepala desa karena memungut bayaran uang tunai kepada petani pada saat tanah mereka diokkupasi. Nampaknya, petani mulai menyadari bahwa patron yang selama ini mereka hormati telah memanipulasi hak-hak mereka. Sebuah kondisi yang belum pernah terlihat sebelum kemerdekaan.Petani Polongbangkeng adalah pemilik sah atas lahan yang digarapnya, tetapi kontrol terhadap lahan tersebut masih dibawah bayang-bayang karaeng, yang biasanya menjabat sebagai kepala desa. Kepala desa juga keturunan karaeng memiliki pengaruh sangat besar terhadap warganya. Sebagian besar kepala desa di Polongbangkeng termasuk dalam satu kelompok kerabat, dan mereka cenderung mewariskan kepemimpinan kepada sanak keluarganya. Biasanya kepala desa juga masih memiliki hubungan kekerabatan dengan beberapa kepala desa lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa “kontrol atas tanah di Polongbangkeng bertumpuh pada satu kekerabatan besar dalam satu jaringan keluarga karaeng”. 2. Kisruh Pembebasan Lahan Pembebasan lahan petani Polongbangkeng melibatkan berbagai pihak, antara lain, elit lokal (karaeng), kepala desa setempat, pemerintah daerah, dan PT. Madu Baru. PT. Madu Baru yang memiliki hak melakukan eksploitasi industri gula di Takalar. PT. Madu Baru melibatkan pemimpinpemimpin lokal dalam rangka pembebasan lahan milik petani. Para aktor lokal ini memungut biaya bayaran uang tunai dari petani sebesar Rp. 5.000,- per Ha tanah negara yang telah diokkupasinya. Keterlibatan aktor lokal dalam pembebasan lahan memberi ruang eksploitasi bagi 76 Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 petani itu sendiri. Aktor-aktor lokal yang bermain memanipulasi laporan penyelidikan atas tanah petani, seperti menambah jumlah material yang akan dibayarkan, meliputi jenis tanaman dan fungsi lahan. Modus kerjanya adalah merekayasa jenis-jenis tanaman yang ada dalam lokasi pembebasan lahan agar mendapatkan ganti rugi lebih banyak dan mendaftarkan tanah yang tidak produktif sebagai tanah produktif sehingga nilai ganti ruginya lebih tinggi. Keuntungan dari manipulasi ini jatuh ke tangan para aktor tersebut. Pada tanggal 3 Oktober 1978, para petani melakukan protes dan menyampaikan langsung keluhan kepada Bupati Takalar. Pada tanggal 9 Oktober 1978, sekitar 83 petani dari desa Parappunganta Polongbangkeng Utara mengajukan protes karena belum mendapatkan hak ganti rugi, sementara lahan mereka telah digarap oleh PT. Madu.9 Mereka juga mempertanyakan pembayaran mereka sebesar Rp. 5.000,perhektar kepada kepala desa pada saat pengukuran tanah. Sementara itu, para pejabat pemerintah sehubungan dengan kasus ini menyatakan bahwa uang yang telah diterima dari PPIG sebagai uang pembayar pajak. Sebuah pandangan yang sama sekali berbeda dari janji kepada petani sebelumnya ketika pengukuran tanah mereka. Persoalan petani akhirnya ditangani oleh Koordinator Operasi Tertip Pusat (OPSTIPSUS) Jakarta. Seminggu berikutnya petugas Opstippus dari Jakartamelakukan penyelidikan di Polongbangkeng. Hasil penyelidikan menyimpulkan bahwa terjadi manipulasi dan korupsi yang dilakukan beberapa pejabat. Akhirnya beberapa elit desa ditangkap, antar lain Nanrang Daeng Nai, Kepala desa Parapunganta,Kalle Daeng Gassing, Kepala desa Longko, Rajab Daeng Sikki Kepala Desa Bontomarannu dan Rahmad Daeng Ropu pembantu kepala desa Parapunganta. Penyelidikan Opstippus berlanjut kepada pejabat pemerintah daerah, namun persoalan kasus ini kemudian menjadi samar atau tidak tertuntaskan. Penangkapan sejumlah karaeng (elit desa) tersebut semakin menimbulkan ketidakpercayaan petani terhadap proses pembebasan lahan mereka. Petani Polobangkeng kemudian mengajukan tuntutan kepada pemerintaha dan PT. Madu Baru, meliputi; pertama, melakukan 9 Surat Anggota Panitia Pembebasan Lahan, Djuma Sarro BBA tanggal 9 Oktober 1978 kepada Ketua Panitia Pembebasan Tanah Kabupaten Daerah Tingkat II Takalar tentang pengiriman daftar nama-nama pemilik tanah yang belum terbayar lunas, Reg. 402, Arsip Kabupaten Takalar Penelitian Literatur 77 pengukuran kembali tanah yang telah dibebaskan sesuai persil; kedua, menentukan kembali jumlah ganti rugi ditentukan berdasarkan kelas tanah dan luasnya, ketigapengukuran mengikuti prosedur yang dapat diketahui pemilik tanah, dan keempat,menangkap dan mengadili aparat pemerintah yang korup dan memanipulasi data.10 Hubungan antara masyarakat Polongbangkeng dengan PT. Madu Baru semakin tidak harmonis ketika petani Polongbangkeng tidak memiliki akses terhadap eksloitasi perkebunan dibanding dengan para pendatang yang datangkan dari Jawa sebagai tenaga kerja di perkebunan. Pada tanggal 11 Agustus 1981 Menteri Pertanian mengalihkan kegiatan eksploitasi dari PT. Madu Baru kepada PTPN XIV Takalar.11Gubernur mendukung kebijakan Menteri dengan memberi wewenang pengolahan lahan seluas 11.500 hektar yang tersebar di Kabupaten Takalar ( 6.000 Ha), Gowa (3.500 Ha), Jeneponto (2.000 Ha). Peletakan batu pertama pada pembangunan pabrik pada tanggal 19 November 1982 di lakukan oleh Gubernur Sulawesi Selatan dan selesai pada bulan Agustus 1984 dengan menghabiskan dana sebesar Rp. 63.5 milyar. Pada tahun 1985 pabrik gula Takalar telah mampu menghasilkan gula kualitas superior high super (SHS 1). Pelimpahan ekspoloitasi ini bukannya menyentuh perubahan-perubahan mendasar terhadap persoalan petani Polongbangkeng malah semakin mempertajam sosial 3. PTPN XXIV Takalar dan Warisan Konflik Setelah mengambil alih eksploitasi perkebunan tebuh dari PPIG dan PT. Madu Baru, maka pihak PT. PN XXIV-XXV harus mewarisi sejumlah persoalan yang berhubungan dengan petani di Polongbangkeng. Oleh karena itu, perhatian pertama PT. PN XXIV-XXV adalah menyelesaikan masalah ganti rugi di tingkat kabupaten, kecamatan, maupun desa. Bupati Takalar, sebagai ketua Panitia Pebebasan Tanah untuk Pabrik Gula dan PTP XXIV-XXV, bertanggungjawab atas korupsi dan manipulasi 10 Penangkapan kepala desa disebabkan karena ditemukan petani yang tidak menerima ganti rugi sementara dalam daftar penerimaan PT. Madu Baru petani bersangkutan telah menerima gantir rugi. Lihat Surat – Kawat Bupati Kepala Daerah TK I Takalar tanggal 9 September 1980 kepada Menteri Dalam Negeri, Reg 402, Arsip Kabupaten Takalar 11 Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 689/Kpts/81 tanggal 11 Agustus 1981 tentang pembentukan proyek pabrik gula takalar PT. Perkebunan XXIV-XXV (Persero). Reg. 402, Arsip Kabupaten Takalar. 78 Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 yang dilakukan para aparatnya sehingga meminta pinjaman uang tunai Rp.52.000.000,- kepada PTP XXIV-XXV.12 Pada tahun berikutnya ternyata jumlah itu belum mencukup, maka PT Perkebunanan XXV-XXV atas izin Menteri Pertanian menambah pinjaman kepada Pemda Takalar sehingga seluruhnya pinjamannya berjumlah Rp.75.000.000,-, dan pada tahun 1983 pinjaman Pemda Takalar mencapai Rp. 200.000.000,Hutang ini akan dibayarkan dari pajak iuran Pembanguan Daerah. Persoalan yang muncul seperti adanya pemilikan tanah yang berlapis, yakni tuan tanah dan penggarap tanah. Kareang secara tradisional adalah pemimpin dan tuan tanah sekaligus memiliki akses untuk mendapatkan sertifikat tanah, sedangkan petani adalah penggarap tanah, yang menguasai tanah secara turun temurun. Pada tahun 1983, terdapat 1.011 petani menuntut Pemerintah Daerah Tingkat II dan PT P XXIV-XXV agar menaikkan jumlah ganti rugi yang telah diterima petani. (Tuntutan meliputi juga tanah yang diserahkan pada PPIG sebelum tahun 1981). Di antara mereka terdapat 418 orang, yang tuntutannya berjumlah Rp.1.128.067.000,- untuk areal perkebunan seluas 191,32 hektar. Jumlah yang sangat besar sehingga sukar dipenuhi oleh pihak perusahaan. Untuk mengatasi persoalan tersebut maka perusahaan memenuhi permintaan petani secara selektif. Selain itu pihak perusahaan memberi bantuan kepada pemerintah daerah sebesar Rp.171.000.000,- untuk pembangunan rumah petani. Pihak perusahaan juga mengangkat Daeng Sibali dan Kareang Temba sebagai penasehat dan penanggung jawab keamanan perusahaan. Pihak perusahaan menggunakan pengaruh tokoh lokal sebagai patron dalam masyarakat selama ini untuk mengatasi gejolak petani. Akhitnya permusuhan petani berangsur surut. Petani bersedia bergabung dengan pada Pabrik Gula. Hasilnya Sekretaris Dewan Gula Indonesia-Jakarta dalam Temu Lapang Proyek Pabrik Gula Takalar 1984, telah melaporkan bahwa di Takalar terdapat 5.090 keluarga atau 18,05 persen dari penduduknya yang menggantungkan kehidupannya pada Pabrik Gula Takalar sebagai buruh tani.13 Konflik antara petani dengan pihak Pabrik Gula Takalar mengalami pengendapan sampai era reformasi. Tahun-tahun yang sepi dari konflik tidak berarti persoalan petani telah selesai. Hubungan-hubungan yang 12 13 Bambang Sulistiyo, Konflik-konflik Tanah di Perkebunan Tebu Pabrik Gula Takalar, 2011 Ibid Penelitian Literatur 79 tidak harmonis hanya tersembunyi dari aktivitas perkebunan. Apabila ditelaah lebih jauh dan dilihat dari perspektif Scottian, resistensi petani dalam dilihat dari kehidupan sehari-hari mereka secara tersamar. Mencuri tebu dari perkebunan untuk konsumsi sehari-hari, melepaskan ternak di areal perkebunan dan memperlambat proses pemupukan adalah politik sehari-hari petani Polongbangkeng yang tersamar yang dapat dikategorikan sebagai resisntensi petani. Keadaan ini merupakan endapanendapan emosional yang kelak dapat meledak setiap saat. Setelah Orde Baru berakhir dan bermulanya era reformasi, seiring dengan perubahan iklim demokrasi dan semakin longgarnya hubungan patronase petani membuka ruang perlawanan ke arah yang lebih praktis dan frontal. 4. Perjuangan Agraria Era Reformasi Pada dasarnya keresahan petani juga bermula tahun 1999 ketika manajamen Pabrik Gula Takalar menghadapi persoalan internal yang berhubungan dengan desakan peningkatan kesejahteraan pegawai, sementara PTPN XIV mengalami kegagalan dan income menurun akibat tekanan krisis. Masyarakat mulai resah akan pendapatannya, disamping itu pula manajemen yang buruk sehingga pembayaran upah kepada warga yang bekerja sebagau buruh tersendat-sendat, mengindikasikan adanya ketidakberesan di dalam perusahaan. Karenanya, PTPN XIV mulai membuka jalur pada perusahaan swasta lain untuk menanamkan sahamnya. PT. Rajawali mulai mengambil alih dengan kontrak 5 tahun dimulai dari tahun 2009. Disinilah pintu sengketa tanah jilid II di mulai. Di tengah usaha PT. Rajawali meningkatkan produksi Pabrik Gula Takalar, para petani di Moncongkomba justru telah memperlihatkan gejala resistensi. Petani yang mendapat dukungan dari H. Ranggong Daeng Nai, seorang tokoh masyarakat di Moncongkomba, petani mulai mengumpulkan bukti-bukti kepemilikan lahan mereka. Sepanjang Januari sampai Maret 2008 terdapat pertemuan-pertemuan secara berkala yang dipelopori oleh Daeng Bani, Kepala Desa Moncongkomba, Polongbangkeng Selatan. Berawal dari sinilah gerakan petani Polongbangkeng menyebar ke berbagai desa sehingga terbentuk simpulsimpul gerakan. Pada tanggal 25 Maret 2008,aksi petani Polongbangkeng berhasil memobilisasi sekitara seribu petani, bergerak ke kantor DPRD Takalar. Terdapat dua tuntutan petani, pertama, meminta PTPN XIV Takalar 80 Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 mengembalikan lahan petani yang telah dikontrak 25 tahun. Kedua, kalaupun PTPN XIV Takalar masih ingin menggunakan lahan petani supaya melakukan kontrak ulang.14 Gerakan massa petani menghasilkan negosiasi dengan pihak DPRD Takalar untuk melakukan pertemuan antara perwakilan petani, pemerintah daerah Takalar, Dinas Pertanahan Takalar dan perwakilan PTPN XIV Takalar. Akan tetapi perwakilan dari PTPN XIV Takalar tidak menghadiri pertemuan tersebut. Dalam pertemuan tersebut Dinas Pertanahan Kabuapten Takalar tidak dapat membuktikan bahwa tanah perkebunan seluas 6000 hektar yang berada di Polobangkeng Utara dan Polongbangkeng Selatan adalah milik PTPN XIV Takalar. Dinas Pertanahan menganggap gerakan petani yang mengancam melakukan boikot lahan tidak dapat diterima. Sementara Pemerintah Daerah Takalar mengklaim bahwa tanah tersebut merupakan milik pemerintah karena telah dibebaskan sejak tahun 1980. Aksi petani berlanjut dengan menduduki lahan perkebunan PTPN XIV Takalar yang terdapat di daerah Polongbangkeng. Selama aksi boikot aktivitas perkebunan petani mendapatkan intimidasi dari aparat (TNIPolri) dalam hal ini Batalin 726 dan Brimob makassar. Apri 2008, aksi petani berlanjut dilakukan secara serentak memboikot lokasi pabrik dan melakukan pengepungan selama sehari penuh sehingga menimbulkan kegangan antara aparat keamanan dengan petani. Perjuangan petani Polobangkeng pada akhirnya harus berhadapan dengan aparat keamanan. Bulan Juni 2009, petani Polongbangkenamg kembali melakukan unjuk rasa ke Pemerintah daerah untuk mempertanyakan status lahan dan menuntut ketegasan pemerintah daerah untuk melakukan evaluasi ulang terhadap keberadaan pabrik gula takalar. Menanggapi aksi petani Polongbangkeng yang menuntut hak atas tanah mereka, pihak perusahaan perkebunan menggunakan jasa aparat keamanan untuk menjamin keberlangsungan aktivitas perkebunan. Aparat keamanan ditempatkan di perkebunan untuk menjagai proses penanaman dan pemupukan tanaman tebu. Petani Polongbangkeng yang telah melakukan reklaiming atas tanah mereka mendapat dukungan dari warga lain dari desa masingmasing. Mereka kemudian bergerak menuju lokasi perkebunan sehingga menambah jumlah petani yang menduduki perkebunan. 14 Catatan pribadi Safaruddin Penelitian Literatur 81 5. Negosiasi: Siapa yang Diuntungkan? Persoalan petani Polongbangkeng melahirkan sejumlah pertanyaan besar ketika dikaitkan dengan aktor dibalik konflik, upaya dan hasil negaosiasi yang tidak menyelesaikan persoalan petani, dan momentum gerakan petani itu sendiri yang memiliki keterkaitan kuat dengan kepentingan politik lain. Mengapa gerakan petani Polongbangkeng justru mereduk ketika negosiasi tidak menjawab persoalan hukum menyangkut hak petani atas lahan mereka? Saya cenderung memandang bahwa perjuangan petani Polongbangkeng telah berkontradiksi dengan kepentingan lain yang tidak tampak dalam segala aksi petani. Ketika perjuangan agraria Polongbangkeng menjadi bagian agenda terselubung oleh aktor lain maka akan melahirkan gerakan-gerakan baru yang saling berseberangan. Hal ini terlihat ketika perjuangan agraria petani Polobangkeng terpecah dalam dua aliansi, yaitu petani Polobangkeng Selatan dan Polongbangkeng Utara. Konflik agraria antara petani dengan Pabrik Gula Takalar terus berlanjut sehingga penyelesaiannya diserahkan kepada pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Sulawesi Selatan, mengundang sejumlah tokoh masyarakat Polobangkeng dalam pertemuan segitiga antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Pabrik Gula Takalar dan perwakilan petani Polongbangkeng.15 Hasil pertemuan tersebut menghasilkan sebuah solusi yang dapat diterima antara perwakilan petani dengan pihak Pabrik Gula Takalar, antara lain; pertama pihak petani akan membentuk kelompok-kelompok tani untuk mempersiapkan program tebu rakyat, kedua, pihak Pabrik Gula Takalar menyerahkan kepada petani 10 persen dari luas lahan perkebunan yang ada di Polongbangkeng. Berdasarkan hasil pertemuan tersebut, terdapat sekitar 356 hektar lahan perkebunan diserahkan kepada petani untuk dikelolah sebagai tebu rakyat. Daeng Bani mempelopori terbentuknya kelompok-kelompok tani dan mulai melaksanakan program tebu rakyat. Sistem kerja dari program ini adalah petani mengelolah secara mandari lahan perkebunan yang telah diberikan, kemudian pihak Pabrik Gula Takalar membeli tebu dari petani. 15 82 Pada dasarnya beberapa kelompok petani yang lain tidak merasa terwakili dalam pertemuan tersebut, terutama mereka yang berasal dari Polongbangkeng Utara. Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 Pelaksanaan program tebu rakyat di Polongbangkeng Selatan ditanggapi berbeda oleh petani Polongbangkeng Utara. Sebagian besar petani dari Polobangkeng Utara menolak hasil negosiasi antara Pabrik Gula dengan petani yang difasilitasi oleh Gubernur Sulawesi Selatan. Dalam pandang petani Polongbangkeng Utara bahwa negosiasi tersebut hanya menguntungkan sepihak dan tidak mengembalikan hak tanah petani. Perjuangan petani untuk mendapatkan hak atas tanahnya justru tersesatkan oleh program tebu rakyat karena hak milik atas tanah petani menjadi semakin kabur. Negosiasi antara aktor (yang mewakili petani) dengan pihak perusahaan dalam pandangan sebagian petani hanya menguntungkan golongan tertentu dan tidak menyentuh persoalan petani. Gerakan petani Polongbangkeng seakan senyap sesaat dan sewaktu-waktu akan meledak kembali. Karenanya, dalam pandangan analisis aktor memperlihatkan gejala “siapa mendapatkan apa, dan bagaimana mendapatkan?” keadaan ini melumpuhkan gerakan petani dan malahirkan dualisme gerakan petani, antara petani yang mendukung program tebu rakyat hasil negosiasi dan petani yang masih menuntut hak atas tanah mereka. C. POTRET PEREMPUAN DALAM PERJUANGAN AGRARIA Menelusuri jejak perempuan dalam gerakan agraria, ada baiknya menerapkan teori Scoutt16 perlawanan sehari-hari (everyday form of resistence) sebagai reaksi terhadap tekanan sehari-hari (everyday forms of repression) dalam membaca narasi perjuangan perempuan. Kehidupan petani menurut Scout, ditandai dengan hubungan moral. Sehingga melahirkan moral ekonomi yang lebih menutamakan “dahulukan selamat” dan menjauhkan garis bahaya. Moralitas mendahulukan keselamatan inilah yang dijadikan faktor kunci oleh pendekatan moral ekonomi dalam menjelaskan gerakan perlawanan petani.17 Scout menunjukkan bahwa everyday form of resitence merupakan bentuk perlawanan terselubung bagi petani sebagai reaksi terhadap everyday form of repression yang dilakukan para tuan tanah, sebagai musuh bersama mereka. Apa yang digambarkan Scoutt, tentang petani Sedaka di Malaysia, tidak jauh berbeda dengan kondisi perempuan yang juga akan mengedepankan penyelamatan 16 17 James C. Soutt, 2000, Senjatanya orang-orang yang kalah, Yayasan obor Indonesia, jakarta Mustain, petani v.s. Negara hal: 26 Penelitian Literatur 83 keberlangsungan kehidupan keluarga. Sebagai pengelola rumah tangga yang tinggal di dalam rumah. Perempuan akan menerima dampak paling berat dari tekanan hidup akibat sengketa tanah. Ketiadaan penghasilan utama akibat hilangnya lahan mengharuskan perempuan mencari siasat menyediakan kebutuhan pangan sehari-hari. Menghadapi kekerasan dari aparat yang mencari anggota keluarga laki-laki yang dikriminalkan, entah itu anak atau suami. Perempuan lah yang pertama menghadapi kekerasan karena tujuan pertama yang akan dicari adalah rumah. Siang, 29 Oktober 2009, di Desa Meranti Labuhan Batu Sumatera Utara, para ibu menghadang petugas dan berteriak memprotes penggusuran lahan garapan mereka. Ada yang sambil menggendong anaknya, ada juga seorang ibu yang baru melahirkan dua bulan mengalami perdarahan. Aksi itu juga diwarnai kenekatan para ibu membuka pakaian. Sejumlah petugas yang semuanya laki-laki berbalik badan melihat para ibu hanya mengenakan pakaian dalam. Para perempuan itu berhasil mengusir petugas.18 Peristiwa di atas dapat dibaca sebagai berikut: Pertama, partisipasi perempuan menuntut hak dalam konflik agraria sebagai warga negara yang merasa dibaikan negara. Kedua, menempatkan perempuan di garda depan sebagai strategi mengusir petugas. Dengan asumsi para petugas yang mayoritas laki-laki merasa terganggu dengan “kelelakian” mereka harus menghadapi perempuan. ketiga, tindakan menelanjangi diri adalah tindakan yang dianggap luar biasa dan gila bagi orang awam, karena bertentangan dengan akal sehat, adat dan agama. Dan keempat, perempuan mengolah tabu menjadi senjata, tabu karena baik bagi perempuan yang menanggalkan baju, maupun laki-laki (petugas: pen) yang malu menyaksikan perempuan telanjang, entah itu karena mereka punya ibu yang juga perempuan atau karena pengalaman mereka bahwa tidak berbaju adalah saru (memalukan: pen), hingga para petugas membalikkan badan melihat para ibu hanya mengenakan pakaian dalam. 1. Strategi perjuangan Cara konfrontatif adalah pendekatan dimana pihak-pihak saling berhadapan. Saling menuntut, mempertahankan posisi dan berusaha meyakinkan lawannya akan “kebenaran” posisinya atau bahakan 18 84 Laporan Headline News, Metro TV, 29 Oktober 2009 Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 “memaksakan” posisi itu pada “lawannya.” Pendekatan ini mencakup pendekatan seperti aksi politik, demontrasi, sabotase, kekerasan atau ancaman kekerasan, penggunaan media massa, litigasi dan aksi legislative. Sedangkan Kooperasi adalah usaha kerjasama dalam menyelesaikan konflik. Cara-cara ini meliputi tawar-menawar (bargaining),perwasitan (arbitase), dann berunding (negosiasi) dengan atau tanpa mediasi.19 Petani perempuan dan kelompok perempuan dalam memperjuangkan haknya menggabungkan strategi konfrontatif dan kooperatif tergantung situasi dan wilayah kerja. Yaitu aksi politik, demontrasi, menggunakan media massa, litigasi dan aksi legislatif, bargaining dan negosiasi. Kelompok perempuan20 yang berada di tingkatan kelas menengah biasanya mereka yang mengambil peran aksi politik dengan menyuarakan kepentingan perempuan di ranah politik, yang dalam prosenya juga melakukan bargaining dengan pemangku kepentingan, melakukan litigasi dan menggunakan media massa. Adapun petani perempuan yang berada di pedesaan memperjuangkan dengan cara menggalang kekuatan dengan berserikat, demontrasi, menguasai lahan, bargaining dengan pihak lawan maupun petani laki-laki untuk menyuarakan kepentingannya. 2. Tonggak perjuangan Inisiatif perempuan terlibat dalam perjuangan pembaruan agraria beberapa telah didokumentasikan, namun demikian, belum banyak yang mengupas sejauhmana keterlibatan tersebut. Siapa aktornya, apa yang dilakukan bagaimana strategi perempuan dalam mempertahankan haknya. Jika di masa lalu pasca kemerdekaan gerakan pembaruan agraria oleh perempuan tercatat pernah dilakukan Gerwani, seperti laporan Komnas Perempuan; Kampanye Gerwani agar perempuan terlibat dalam kegiatan politik nasional mengusik organisasi-organisasi yang ingin berkonsentrasi pada kegiatan social kemasyarakatan. Secara khusus, kedekatan Gerwani dengan PKI menimbulkan kecurigaan bahwa Gerwani lebih mementingkan politik partai daripada program-program yang berkaitan langsung dengan 19 20 ibid Kelompok yang mendukung kesetaraan dan keadilan jender, tidak terbatas hanya perempuan namun kelompok yang peduli untuk mewujudkan keadilan jender baik dari individu, ormas, LSM, lembaga kajian, komisi naisonal yang terkait dengan kerja-kerja mewujudkan keadilan jender. Penelitian Literatur 85 kemandirian dan kesejahteraan perempuan pada umumnya. Salah satu tindakan Gerwani yang dianggap merupakan dukungan bagi politik PKI, adalah pada saat PKI menerapkan Undang-undang pokok agraria dan undang-undang bagi hasil dalam bentuk “aksi sepihak,” yaitu tindakan pematokan tanah perorangan oleh petani-petani tak bertanah. Bagi organisasi-organisasi perempuan yang berazaskan agama, seperti Aisyah dan Wanita Katolik, gerwani membawa prinsip-prinsip atheisme dan komunisme yang sangat bertentangan dengan ajaran agama sehingga sulit bagi organisasi-organisasi ini untuk bekerja sama21. Salah satu yang terdokumentasi justru terjadi pada peristiwa perebutan lahan di Indonesia pasca `65 yang dianggap sebagai tonggak perlawanan pada masa orde baru. Adalah peristiwa Jenggawah di Jember dan Siria ria di Tapanuli Utara pada tahun 197722 Penangkapan dan kekerasan terhadap petani yang dilakukan oleh Negara dilakukan secara sewenang-wenang dan tidak memandang jenis kelamin, usia dan kondisi. Dalam kasus Siria-ria; “Naiturpia boru Togatorop (50 tahun) turut berdemonstrasi kekantor camat Dolok Sanggul menuntut pembebasan Jamedan dan Boni Siregar yang ditangkap Kodim Tapanuli Utara dengan tuduhan melakukan pungli. Wanita setengah baya ini dua hari mendekam dalam tahanan. Mereka demonstrasi karena Jamedan dan Boni Siregar ditahan, dituduh melakukan pungli. “Padahal kami ikhlas mengumpulkan uang bergotong-royong membayar pengacara untuk memperjuangkan tanah kami,” ujar Naensas boru Lumbangaol (40 tahun). Wanita beranak sembilan inilah yang sempat merampas senapan seorang anggota Polri dan kandungannya keguguran dalam tahanan23”. Di alinea berikutnya, digambarkan perempuan yang berperan dalam perjuangan agraria dan paling berkepentingan terhadap tanahnya; “Di sebagian daerah Tapanuli Utara ini kaum wanita memang lebih berperanan menggarap sawah ladang ketimbang pria yang lebih banyak melewatkan waktu di kedai, main gitar atau catur sambil menikmati parmitu (tuak). Jangan mengharap bisa bertemu para ibu di rumah jika mengunjungi 21 22 23 86 Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965, Laporan Pemantauan HAM Perempuan, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender, Komnas Perempuan, tanpa tahun, hal: 48 Tempo Online, 25 Agustus 1979 ibid Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 Siria-ria di siang hari. “Kami yang lebih merasa perlu dengan kebun kopi itu daripada suami kami,” tukas Naensar boru Lumbangaol. Itulah sebabnya mengapa para wanita yang bergerak berjuang mempertahankan tanah mereka tatkala merasa hak mereka terancam.”24 3. Dari “Tubuh” Menuju Perubahan Teknik-teknik yang digunakan petani untuk menghadapi penggusuran lahan yang melibatkan perempuan diantaranya: menempatkan ibu-ibu di garis depan bahkan di depan buldozer untuk menunjukkan petugas yang biasanya laki-laki mengingat ibunya, neneknya, atau saudara peremuannya, seandainya mereka berada dalam posisi siap mati demi mempertahankan tanahnya, karena eksekutor adalah manusia bukan robot yang tidak punya hati. Jika tekhnik ini tidak berhasil, selanjutnya para ibu membuka pakaian didepan para petugas. Teknik membuka pakaian yang dilakukan petani perempuan dalam aksi demontrasi mampu membuat petugas eksekusi menunda penggusuran. Penundaan juga berarti keputusan politik. Tekhnik ini mampu mngubah keputusan politik, meskipun hanya sementara. Teknik tersebut adalah contoh skala ruang privat yang mempengaruhi ruang publik. Dengan tubuhnya para petani perempuan ingin mengingatkan dan menunjukkan kepada para petugas bahwa dari tubuh perempuanlah manusia lahir. Dan menyusu pada payudara perempuanlah manusia bergantung. Apakah ketika manusia dewasa mengenakan seragam lalu mengubah asal usulnya sebagai bayi yang lemah dan memperbolehkan petugas berbuat sewenang-wenang kepada petani khususnya perempuan. Teknik membuka pakaian tidak selalu berhasil mengusir petugas. Hanya manusia yang tidak memiliki nurani yang tidak tergugah melihat situasi perempuan tanpa pakaian, seperti yang dialami petani perempuan di Pasir mandoge Sumatera Utara saat menghadang penggusuran yang dilakukan oleh PT Bakrie Sumatera Plantations (PT BSP). Sebagaimana disebutkan dalam kronologis penganiayaan petani di pasir mandoge Sumatera Utara yang dimuat Pembaruan Tani (2006):25 24 25 ibid Kronologis penganiayaan petani Pasir Mandoge sumatera Utara; (Pukul 08.30 WIB) Berdasarkan surat dari Fraksi Keadilan Sejahtera DPRD Asahan No. 87/F-PKS/DPRD-AS/2006 tentang himbauan agar PT BSP tidak melakukan Penelitian Literatur 87 4. Dari Pribadi menuju Perjuangan Bersama Adalah Juniar Br. Tampubolon26, penerima penghargaan Pejuang Petani Perempuan yang diberikan SPI dia adalah seorang ibu berusia 47 tahun memiliki 12 anak yang salah satunya diberi nama Campesina yang berarti petani perempuan. Juniar sudah bergabung sejak Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) yang kini masuk dalam ormas Serikat Petani Inonesia (SPI). Juniar Br. Tampubolon selalu aktif dalam perjuangan untuk merebut kembali hak atas tanah yang dikuasai oleh PT Bakrie Sumatera Plantation (PT BSP). Seperti tercatat dalam kronologis pengerjaan lahan dilahan yang diklaim oleh masyarakat Sei Kopas sampai ada pembicaraan lebih lanjut di DPRD Asahan, maka sekelompok ibu-ibu dari Sei Kopas, yaitu: Juniar Tampubolon, Tetti Tampubolon, Herlina Marbun, Nannaria Manurung, Lina Manurung, Nursinah Manurung, Duna Samosir dan Br. Manalu, melakukan diskusi ringan sekaligus memantau kondisi lahan di posko yang mereka bangun di lahan konflik tersebut; (Pukul 14.00 WIB) Masuk dua buldoser ke lokasi lahan dikawal ± 50 orang berpakaian petugas keamanan (seragam lengkap berwarna biru-biru); (Pukul 14.30 WIB) Tujuh orang ibu-ibu menerobos ke depan untuk menghadang buldoser, tapi mereka dipukul, ditendang, dan diseret oleh petugas keamanan tersebut. Melihat strategi yang mereka lakukan tidak berhasil, mereka memakai strategi aksi buka baju yaitu: Juniar Tampubolon, Tetti Tampubolon,Duma Samosir, Rukiah, Lina Manurung dan Herliana Marbun. Aksi ini tetap tidak berhasil menghadapi orang-orang dari PT BSP mereka adalah: Satpam (± 50 orang), Brimob Polisi (5 orang) dan TNI (1 orang); (Pukul 15.45 WIB) Dua belas orang ibu-ibu masuk dari Sei Kopas karena mendengar kawan-kawan mereka dianiaya. Mereka datang secara bertahap sampai pukul 16.00 WIB. Kedua belas ibu-ibu tersebut adalah: Priska Sihombing, Romenna Manurung, Kamariah Manurung, Eilin Saragih, Minta Uli Sinaga, Rasmi Sirait, Rospita Hutauruk, Mariana Marbun, Risma Uli, Neli Silalahi, Rusti dan Rukiah. Perlawanan tetap tidak seimbang, karena pihak PT BSP mengejar ke segala arah sampai ke atas pohon pun mereka kejar. Selama lebih setengah jam, kelompok ibu-ibu ini memutuskan meninggalkan lahan karena kondisi benar-benar tidak seimbang dan di tubuh penuh luka dan memar. Sampai mereka meninggalkan lahan buldoser terus beraksi mengerjakan lahan; (Pukul 17.00 WIB) Lima belas orang ibu-ibu melakukan pengaduan ke Polsek Bandar Pasir Mandoge dengan nomor surat: STPL/05/II/2006/SPK atas nama Herliana Marbun. Pasal yang mereka adukan adalah 352 KUHP. Sebagian lagi tidak ikut karena mereka masih trauma dengan aparat. Kelima belas orang tersebut yaitu: Juniar Tampubolon, Tetti Tampubolon, Herliana Marbun, Manaria Manurung, Cendi Maria, Rukiah, Rumenna, Rasmi ,Rospita, Bimberi, Tiruma, Nurhini, Rusti, Teruma, Duma. Tiga orang juga divisum et repertum yaitu Juniar Tampubolon, Herliana Marbun dan Tetti Tampubolon. Sayangnya sampai sekarang belum ada respon yang memuaskan oleh pihak kepolisian; (Asahan, 17 Februari 2006) Serikat Petani Sumatera Utara 26 88 Pembaruan tani, (2006), (2012) Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 2006 ibu ini sering mendapat tindak kekerasan dari aparat kepolisian ketika terjadi bentrok di lapangan. Namun hal ini tidak menyurutkan semangatnya untuk terus berjuang. Bersama dengan petani perempuan lainnya dia selalu berada di garis terdepan dalam setiap aksi-aksi baik aksi di lahan perjuangan maupun aksi demostrasi menyuarakan hak-hak sebagai petani. Saat ini, Mak Incet, begitu sapaan akrab perempuan ini, juga sedang dikriminalisasi sebagai tahanan luar selama satu bulan dan masa percobaan selama tiga bulan atas tuduhan menguasai lahan tanpa ijin oleh Pengadilan Negeri Asahan. Tuduhan ini ditujukan kepadanya karena mengelola lahan yang selama ini dikuasai oleh PT BSP.27 Kisah Sakiyem dari Blora28 memiliki strategi tersendiri menghadapi para pihak Perhutani yang sangat ditakuti oleh masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Namun dia memberikan contoh perlawanan yang dianggap luar biasa bagi penduduk setempat. menghadapi polisi hutan saat suaminya harus lari karena akan ditangkap. Dan dengan caranya mampu mengusi petugas yang akan mendatangi rumahnya karena diangga telah mencuri kayu hutan untuk membangun rumah. Lalu melarang anakanaknya untuk menjadi polisi sebagai simbol perlawanan. Perjuangan perempuan dalam menegakkan reforma agraria juga ditempuh dengan cara memperkuat ekonomi keluarga. Dengan membentuk koperasi di desa-desa. Mengembangkan pengetahuan pertanian dengan tidak bergantung pada pupuk dan pestisida buatan berbahan kimia. Ernatati29 dari dari Sumatera Barat. Ernatati adalah Ketua Dewan Pengurus Basis (DPB) SPI Solok Bio-Bio, yang beranggotakan perempuan. Ernatati menginisiasi terbentuknya koperasi Bundo Saiyo tahun 2001. Koperasi simpan pinjam ibentuk untuk mengurangi kecenderungan ketergantungan petani kepada tengkulak. Dan memudahkan petani gambir di kampungnya yang membutuhkan modal besar mulai dari proses pembukaan lahan sampai pada masa panen. Yasinan menjadi media berkumpulnya perempuan yang lalu dilanjutkan kegiatan koperasi yang juga menciptakan ruang bagi perempuan mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi. 27 28 29 ibid Lihat Rahma Mery (2007) Lihat Pembaruan tani (2012) Penelitian Literatur 89 5. Dari Kelompok Sektor Menuju Kepentingan Perempuan Kamis, 17-18 Desember 1998 sekitar limaratus perempuan dari berbagai kalangan30, termasuk kelompok petani, masyarakat miskin desa dan wakil masyarakat adat perempuan berkumpul Aula UC UGM Yogyakarta mendeklarasikan organisasi Koalisi perempuan Indonesia31. Bercita-cita menghidupkan kembali gerakan perempuan berpolitik yang pernah dihancurkan rezim orde Baru32. Dengan harapan bahwa kelompok petani perempuan bersama dengan kelompok perempuan lainnya, bisa ikut berpartisipasi menyuarakan berbagai permasalahn bangsa termasuk konflik-konflik agraria. Saat itu Ning Sutiah seorang aktivis agraria dari Malang terpilih sebagai Presidium nasional Kelompok Kepentingan petani perempuan yang pertama. Inilah moment untuk pertama kalinya pasca runtuhnya orde baru, perempuan berkumpul menyikapi situasi politik saat itu, setelah sebelumnya menjadi bagian integral masyarakat pro demokrasi melawan runtuhnya orde baru.33 Pada proses selanjutnya Koalisi Perempuan Indonesia adalah gerakan yang bekerja di wilayah kebijakan. Konsentrasi arah gerakan pada isu partisipasi perempuan dalam politik, anggaran berkeadilan jender dan trafficking. Muara tiga isu ini dianggap sebagai celah untuk menyatukan berbagai kepentingan kelompok perempuan yang tergabung saat itu. Dengan asumsi bahwa ketimpangan yang terjadi selama ini karena ketiadaan perempuan dan perspektif perempuan dalam pengambilan kebijakan. Anggaran yang tidak sensitif jender serta pemiskinan perempuan yang kemudian terjebak pada trafficking. Perubahan struktur rupanya mengubah arah kebijakan di tingkatan nasional. Peleburan kelompok kepentigan dengan menciutkan jumlah wakil dalam presidium nasionl menjadi 5 orang membuat konsentrasi 30 31 32 33 90 Selain petani, perempuan yang berkumpul dari Masyarakat Adat, Lansia, Jompo dan Cacat , Profesional , Pekerja Sektor Informal, Masyarakat Miskin Kota, Masyarakat Miskin Desa, Pemuda dan Mahasiswa, Pekerja Seks, Buruh, Janda, Perempuan Kepala Rumah Tangga dan Tidak Menikah, Anak Marjinal, Nelayan , Ibu Rumah Tangga, Lesbian, Biseksual dan Transeksual. Koalisi Perempuan idonesia untuk keadilan dan Demokrasi, 1999, AD/ART Koalisi Perempuan idonesia untuk keadilan dan Demokrasi, Jakarta Runtut Raut, 2008, film documenter Koalisi Perempuan Indonesia Saskia Eleonora Wieringa, “Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia”, Garda Budaya & Kalyanamitra, Jakarta, 1999. Dian kartika sari dkk, 2010: 12 Balai Perempuan sebagai Organisasi Akar Rumput dalam Menghadapi Tantangan Pemberdayaan di Padang Pariaman, Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 untuk isu reforma agraria terabaikan. Selain ketergantungan pada donor yang diakui atau tidak mengarahkan tujuan program. Menyadari hal tersbut kini koalisi perempuan berencana mengembalikan struktur berdasarkan kelomok kepentingan. Pemberdayaan kelompok kepentingan menjadi prioritas. Dan isu agrarian reform kembali disuarakan dengan mengadakan temu petani perempuan se-NTB, serta advokasi memberi masukan untuk RUU Desa, RUU pembangunan Pedesaan dan RUU pangan yang tanggal 18 Oktober 2012 kemarin telah disahkan. Perlunya memberi masukan terhadap RUU terkait peroalan agraria. RUU desa misalnya, bagi koalisi perempuan dianggap belum menyentuh problem social secara social, ekonomi, budaya dan politik. Di sisi lain, peran serta masyarakat dalam pembahasan RUU Pedesaan, peran serta organisasi perempuan / gerakan perempuan dalam pembahasan RUU Desa masih sangat rendah, padahal lebih dari setengah penduduk desa adalah perempuan, yang hidup dalam berbagai bentuk ketidakadilan. Aliansi masyarakat Adat (AMAN) dalam kongres terakhir di Tobelo juga melahirkan perempuan AMAN untuk menyuarakan kepentingan perempuan dalam mayarakat adat. Wadah ini dibentuk dengan harapan mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik dan bermartabat secara budaya. Dalam siaran persnya Para perempuan adat ini juga telah menunjuk wakil-wakil mereka, yakni Romba Marannu Sombolinggi’ (mewakili region Sulawesi), Aleta Baun (Bali-Nusa Tenggara), Surti Handayani (Jawa), Sulasmi (Sumatera), Mardiana (Kalimantan), Yosefina Efun (Papua), dan Badriah Fadel (Maluku), untuk duduk di Dewan Nasional PEREMPUAN AMAN.34 D. PERJUANGAN AGRARIA DI MAHKAMAH KOSTITUSI Pengujian UU terkait dengan sumber daya alam di MK adalah salah satu strategi perjuangan agraria, perjuangan untuk membatalkan UU yang dianggap merugikan hak-hak konstituisonal petani/warga negara, strategi perjuangan agraria melalui pengujian UU memliki karakter tersendiri dan berbeda dengan peradilan biasa, karena ada kepentingan umum dalam putusan Mahkamah Konstitusi, misalnya yang mengajukan permohonan adalah satu orang akan membawa akibat hukum pada orang 34 http://www.kongres4.aman.or.id/2012/04/perempuan-aman-menunjuk-para-wakilnya.asp Penelitian Literatur 91 lain, lembaga negara, aparatur pemerintah dan masyarakat pada umum Mahkamah Konstitusi Sejak menjalankan kewenangannya pada tahun 2003 s/d 12 Juli 2012 berjumlah 166 UU yang telah di uji, jumlah putusan 406, putusan yang dikabulkan 111, yang ditolak 128, yang tidak diterima 126, yang ditarik kembali 41.35 ada cukup banyak permohonan yang berkaitan dengan jucial review. Termasuk juga pengujian undang-undang dibidang sumber daya alam/agraria, Dilihat dari putusannya, tidak semua permohonan pengujian undang-undang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. pengujian undang-undang dikabulkan baik dikabulkan seluruhnya maupun dikabulkan sebagian, ditolak atau tidak diterima karena tidak memenuhi legal standing sebagai pemohon. 35 92 Rekapitulasi Perkaran Pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Tahun 2003-2012. Lihat www. Mahkamahkonstitusi.go.id Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERKAIT DENGAN AGRARIA N0 Pemohon No perkara Judul Perkara Putusan Pengujian UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara 1 2 3 Penelitian Literatur 4 1. Asosiasii Pengusaha Timah Indonesia (APTI) 2. Asosiasi pertambangan Rakyat Indonesia (ASTRADA) Prov. Kepulauan bangka Belitung 1. Fatriansyah Aria 2. Fahrizan 1. WALHI; 2. PBHI; 3. KPA; 4. KIARA; 5. Solidaritas Perempuan; 6. Nur Wenda dkk 1. Nunik Elizabeth Merukh 2. Yusuf Merukh dkk 30/PUUVIII/2010 Pasal 22 huruf f, Pasal 38, Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 75 ayat (4), Pasal 172,dan Pasal 173 ayat (2) 25/PUUVIII/2010 32/PUUVIII/2010 Pasal 22 huruf f dan Pasal 52 ayat (1) 121/PUUVII/2009 Pasal 6 ayat (1) huruf e jo. Pasal 9 ayat (2), pasal 10 huruf b Pasal 172 Di kabulkan Sebagian DiKabulkan Dikabulkan Sebagian Ditolak Pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah dengan UU No 9 Tahun 2004 tentang Perpu No 1 Tahun 2004 5 1. H. Muhammad Mawardi; 2. Hambit Bintih; 3. Duwel Rawing dkk 45/PUUIX/2011 Pasal 1 angka 3 Dikabulkan 93 94 Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 6 Hendra Sugiharto (PT. Astra Sedaya Finance), Bahrul Ilmi Yakup, S.H., dkk. 021/PUUII/2005 7 H. Andi Harahap 8 Pemohon: Mustav Sjab Kuasa Pemohon: DR. Eddy Wirawan, S.H., dkk Hendra Sugiharto (PT. Astra Sedaya Finance), Bahrul Ilmi Yakup, S.H., dkk. 72/PUUIII/2010 54/PUUVIII/2010 9 021/PUUIII/2005 10 DPP Persatuan Pengusaha Pelayaran Rakyat (DPP LRA) HM.Yunus& Drs H.Abd.Rasyid Gani Kuasa Hukum: Dedi M.Lawe,SH, dkk 013/PUUIII/2005 11 ICEL, WALHI, YLBHI Lembaga Advokasi Satwa, dkk. (Tim Advokasi Penyelamatan Hutan Lindung) 003/PUUIII/2005 Pengujian UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang telah diubah berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peraturan Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g DITOLAK Perpu No.1 Tahun 2004 tentang Kehutanan Pasal 83B Penarikan Kembali Pengujian UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang telah diubah berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peraturan Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Pengujian UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang terhadap UUD 1945 Pengujian UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang terhadap UUD 1945 Ditolak Ditolak Tidak dapt diterima Ditolak Pengujian UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria 12 Lembaga Swadaya Masyarakat «Wira Dharma» 54/PUUIX/2011 13 Pemohon : A. Fince Sondakh Kuasa Pemohon : Shinta Marghiyana, S.H., dkk 20/PUUIX/2011 Pengujian UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria [Pasal 27] UU No. 5 Tahun 1960: Pasal 19 ayat (1), (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 40 huruf e; PP No. 40 Tahun 1996: Pasal 30 huruf b, huruf c, dan Pasal 35 ayat (1) huruf e; PP No. 24 Tahun 1997 [Pasal 24 ayat (1) huruf k dan huruf m Tidak Dapat Diterima Ketetapan Pengujian UU No. 18 Tahun 2004 tentang perkebunan 14. 1. Japin; 2. Vitalis Andi; 3. Sakri; dan 4. Ngatimin Alias Keling 15 Johnson Panjaitan,SH dkk (WALHI,PBHI,dll) unarman, SH dkk (Tim Advokasi Rakyat untuk Hak atas Air) Suta Widhya., dkk 55/PUUIII/2010 Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan (2) Dikabulkan Pengujian UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air Penelitian Literatur 16 17 18 95 Tim Advokasi Keadilan Sumberdaya Alam ) Suyanto, Bambang Widjojanto, SH.,LLM 060/PUUII/2004 058/PUUII/2004 063/PUUII/2004 008/PUUIII/2005 Pengujian UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air Pengujian UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air Pengujian UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air Pengujian UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air DITOLAK DITOLAK DITOLAK DITOLAK 96 19 Johnson Panjaitan,SH dkk (WALHI,PBHI,dll) Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 16 Dorma H. Sinaga, SH, Ketua Umum APHI Cs 1) Zainal Arifin, 2) Sonny Keraf, 3) Alvin Lie, 4) Ismayatun, 5) Hendarso Hadiparmono, 6) Bambang Wuryanto, 7) Dradjad Wibowo, 8) Tjatur Sapto Edy 059/PUUII/2004 Pengujian UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya DITOLAK Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas 17 002/ PUU-I/2003 20/ PUU-V/2007 Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas Pengujian UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap UUD 1945 Mengabulkan Sebagian Tidak Dapat Diterima Pengujian UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah 18 Uung Gunawan 70/PUUVIII/2010 Pasal 6 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b Ditolak Pengujian UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Keci 19 : (1) KIARA; (2) IHCS; (3) KP2PM; (4) KPA; (5) SPI; (6) Yayasan Bina Desa Sadawija; (7) YLBHI; (8) WALHI; (9) API; (10) Tiharom; (11) Waun, dkk 3/PUUVIII/2010 Pasal 1 angka 4, 7, 18, Pasal 14 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 18, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23 ayat (2), (4), (5), (6), dan Pasal 60 ayat (1) Dikabulkan Sebagian Bila di lihat tabel diatas, terlihat siapa saja para aktor perjuangan agraria, bagaimana mereka berjuang, strategi apa yang mereka perjuangkan, dan apa hasil dari perjuangan itu. Di bawah ini akan diuraikan hanya perjuangan para petani untuk membatalkan pasal 21 junto 47 UU No 19 Tahun 2004 tentang Perkebunan. 1. Perjuangan Petani atas hak-hak konstitusional dibidang perkebunan Sejak disahkan pada 11 Agustus 2004 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan selalu saja memunculkan kontroversi dalam kehidupan masyarakat. Menurut catatan SPI (Serikat Petani Indonesia) sejak diberlakukannya UndangUndang (UU) Perkebunan No 18 Tahun 2004, Eskalasi kekerasan terhadap petani di Indonesia berbanding lurus dengan ekspansi lahan perkebunan, baik itu milik swasta maupun pemerintah. dalam empat tahun terakhir sedikitnya 23 petani tewas dalam 183 kasus bentrok bersenjata. Insiden tersebut menyeret 668 petani dikriminalkan dan 82.726 keluarga tergusur. Konflik agraria di awal 2011 telah menyebabkan 11 petani meninggal, 44 orang mengalami luka, baik ringan maupun berat, tujuh orang ditahan, dan ratusan rumah serta tanaman masyarakat dirusak.36 Banyaknya kriminalisasi petani yang diakibatkan ketentuan dalam UU Perkebunan pada akhirnya memicu empat petani mengajukan Pengujian Pasal 21 jo. Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan terhadap UUD1945 di Mahkamah Konstitusi. Keempat petani ini merupakan korban akibat adanya ketentuan pasal 21UUPerkebunan. Adalah Japin dan Vitalis Andi, dua petani dari Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Japin yang memiliki tanah yang mana tanahnya digunakan oleh perusahaan perkebunan swasta sebagai lahan perkebunan. Japin bersama-sama dengan masyarakat lainnya telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan menghentikan pengambilalihan tanahnya, namun tidak berhasil, dalam rangka menuntut dikembalikannya hak atas tanahnya Japin seringkali melakukan upaya-upaya untuk mengembalikan hak atas tanahnya yang dipergunakan perkebunan, antara lain dengan dialog dan aksi-aksi demonstrasi. Sedangkan Vitalis Andi bersama36 Pembaharuan Tani EDISI 88 JUNI 2011. Hal 2 Penelitian Literatur 97 sama giat memimpin dikembalikannya tanah-tanah yang dirampas dan digunakan perusahaan perkebunan swasta sebagai lahan perkebunan serta bersama-sama dengan masyarakat lainnya telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan menghentikan pengrusakan dan penggusuran tanah adat masyarakat Silat Hulu, baik melalui musyawarah, audiensi, tuntutan langsung ataupun laporan kepada pemerintah daerah serta Komnas HAM, namun tidak pernah dihiraukan, dengan dilakukannya upayaupaya untuk mengembalikan hak atas tanah yang digunakan perusahaan perkebunan. Bahkan kedua petani tersebut justru dijerat kriminalisasi seperti diatur dalam Pasal 21 UU Perkebunan. Keduanya telah diputus terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: “Turut serta dengan sengaja melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan” dan dipidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun oleh Pengadilan Negeri Ketapang.37 Sakri, merupakan petani Desa Soso, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur yang menggarap lahan tanah negara bekas hak erfpacht yang dikuasai PT. Kismo Handayani—yang berlokasi di Desa Soso, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar. Sakri menggarap lahan tersebut atas dasar Surat Keputusan Menteri Agraria tanggal 26 Mei 1964 Nomor 49/KA/64, yang menyatakan perkebunan Nyunyur harus meredistribusikan tanah seluas 100 Ha kepada masyarakat yang pernah menduduki dan menggarap dan dalam rangka meminta kejelasan status lahan yang digarapnya Sakri seringkali melakukan usaha-usaha dan kegiatan untuk mendapatkan hak atas tanah yang digarapnya, antara lain melalui dialog, audiensi, mediasi, dan aksi-aksi demonstrasi di wilayah kantor perusahaan perkebunan PT. Kismo Handayani dan lahan perkebunannya. Aksi ini bertujuan untuk meminta perhatian yang lebih dari PT. Kismo Handayani untuk duduk bersama membahas dan mendiskusikan upaya penyelesaian atas sengketa yang terjadi. Karena lahan yang menjadi sengketa tersebut sudah lama tidak ditanami dan tidak diurus, namun dirinya justru dilaporkan oleh PT. Kismo Handayani. Sakri pun telah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Blitar juga dengan Pasal 21 Jo. Pasal 47 UU Perkebunan, pada tahun 2009. Sakri sebenarnya cuma ingin menuntut kejelasan status lahan yang digarapnya dengan jalan mediasi, dialog, dan demonstrasi. Namun kenyataan berkata lain. 37 98 Putusan perkara pidana nomor 151/Pid.B/2010/PN.KTP, tertanggal 28 Februari 2011 Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 Ngatimin alias Keling merupakan petani yang tinggal di Dusun III Suka Rakyat Desa Pergulaan, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara, serta salah satu pemilik tanah yang diklaim dan masuk menjadi bagian HGU perusahaan PT. PP. London Sumatera (Lonsum) Tbk. Ngatimin alias Keling menganggap ada hak yang dirampas oleh PT. PP Lonsum Tbk. Sakri sendiri menggarap lahan tersebut berdasarkan SK Menteri Agraria tanggal 26 Mei 1964. No. 49/ KA/64, namun dirinya justru dilaporkan oleh PP. London Sumatera (Lonsum) Tbk. Ngatimin alias Keling pun telah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Blitar juga dengan Pasal 21 Jo. Pasal 47 UU Perkebunan. Pada 20 Agustus 2010 keempat petani tersebut mendaftarkan permohonan pengujian Pasal 21 jo. Pasal 47 UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi. Para Petani melalui kuasa hukumnya, Public Interest Lawyers Network (PILNet) meminta agar Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan Pasal 21 dan Pasal 47UUPerkebunan. Karena bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28C Ayat (1), dan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945. Memang tidak dapat dipungkiri Perkebunan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan nasional, terutama dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, penerimaan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, perolehan nilai tambah dan daya saing, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku industri dalam negeri serta optimalisasi pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Untuk mendukung dan mendorong sektor perkebunan pemerintah telah melakukan berbagai upaya yang mempermudah peningkatan investasi modal dalam bidang perkebunan, antara lain dengan dikeluarkannya kebijakan yang pro investasi dan penyediaan lahan yang cukup untuk perkebunan. Namun dari keberhasilan dari perkebunan, menurut Stepanus Djuweng juga menciptakan dampak negatif proyek perkebunan; 1). Rusaknya Lingkungan; 2) Rusaknya kehidupan masyarakat adat, ketergantungan ekonomi; 3). Pemusatan perolehan lahan; 4)Monopoli dan korupsi.38 38 Indonesia: Demokratisasi di Era Globalisasi, Konferensi INFID ke-11, Bornn-Jerman, 4-6 Mei 1998. Hal. 103-106 Penelitian Literatur 99 Dengan lahirnya UU perkebunan memicu berbagai permasalahan; pertama pengawasan pemerintah yang tidak memadai terhadap praktik perusahaan perkebunan dalam mengelola usaha perkebunannya yang seringkali melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan hak asasi manusia, khususnya petani dan masyarakat adat di sekitar wilayah perkebunan, kedua, aparat penegak hukum yang seringkali tidak peka terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat dan petani di sekitar wilayah perkebunan. Konflik pertanahan antara masyarakat/ petani dengan perusahaan perkebunan seringkali ditindaklanjuti dengan penangkapan dan penahanan, bahkan pengajuan masyarakat/petani ke pengadilan, tanpa melihat latar belakang permasalahan yang muncul, yaitu ketimpangan dalam hal pemilikan, penguasaan, dan pengelolaan sumber daya alam. Akibatnya, banyak sekali kriminalisasi terhadap masyarakat/petani sebagai akibat dari konflik pertanahan di sekitar wilayah perkebunan, ketiga, UU 18/2004 membuka ruang yang luas bagi pelestarian eksploitasi secara besarbesaran pengusaha perkebunan terhadap lahan perkebunan dan rakyat, serta menciptakan adanya ketergantungan rakyat terhadap pengusaha perkebunan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pengaturan mengenai luas maksimum dan luas minimum tanah yang dapat dijadikan sebagai lahan perkebunan, yang pada akhirnya menimbulkan adanya konsentrasi hak penggunaan tanah yang berlebihan oleh pihak pengusaha. Implikasi lebih lanjutnya adalah sebagian besar hak guna usaha yang dimiliki pengusaha perkebunan lambat laun menggusur keberadaan masyarakat adat atau petani yang berada di sekitar atau di dalam lahan perkebunan. Akibatnya masyarakat adat atau petani tersebut tidak lagi memiliki akses terhadap hak milik yang telah turun temurun mereka kuasai atau bahkan kehilangan lahannya; Undang-Undang Perkebunan juga dinilai sangat menguntungkan pihak pengusaha atau perusahaan perkebunan, terutama dengan adanya pengakuan bersyarat terhadap tanah masyarakat adat yang tanahnya diperlukan untuk lahan perkebunan, dimana masyarakat hukum adat tersebut baru diakui apabila masyarakat adat dapat membuktikan bahwa menurut kenyataannya (masyarakat adat tersebut) masih ada; 100 Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 Para petani mengugat UU no 18 tahun 2004 pasal 21 jo 47 Pasal 21 Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan Pejelasan: Yang dimaksud dengan tindakan yang mengakibatkan pada kerusakan kebun adalah suatu perbuatan yang menimbulkan kerusakan pada tanaman, antara lain, penebangan pohon, panen paksa, atau pembakaran sehingga kebun tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Yang dimaksud dengan penggunaan tanah perkebunan tanpa izin adalah tindakan okupasi tanah tanpa seizin pemilik hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan tindakan lain yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan adalah, antara lain, tindakan yang mengganggu pekerja sehingga tidak dapat melakukan panen atau pemeliharaan kebun sebagaimana mestinya. Unsur-unsur ketentuan pidana Pasal 21 tersebut ialah: a. setiap orang; b. Dilarang; melakukan tindakan yang berakibat kerusakan kebun dan/atau aset lainnya; c. penggunaan tanah perkebunan tanpa izin; d. dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan. Unsur dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, merupakan rumusan pasal yang terlalu luas. Sehingga dapat ditafsirkan secara terbuka dan luas oleh penguasa dan perusahaan perkebunan. Sedangkan dalam Penjelasannya menyatakan, “Yang dimaksud dengan penggunaan tanah perkebunan tanpa izin adalah tindakan okupasi tanah tanpa izin pemilik sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Tindakan okupasi tanah tanpa izin pemilik merupakan peristiwa atau kasus yang sudah terjadi sejak zaman Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda telah memberikan banyak konsesi tanah kepada pemilik modal yang diberikan dalam bentuk hak erfpach. Tanah yang menjadi objek hak erfpacht tersebut diberikan tanpa batas yang jelas, sehingga seringkali melanggar hak atas tanah-tanah yang dikuasai (hak ulayat) atau dimiliki rakyat berdasarkan hukum adat (erfelijk individueel bezitrecht), sehingga menimbulkan konflik antara pemilik hak erfpacht dengan masyarakat adat yang menguasai hak ulayat. Penelitian Literatur 101 Undang-Undang Nomor 51/Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya juga menekankan jalan musyawarah untuk menyelesaikannya. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 11 Tahun 1962, mengecualikan pemberian hak guna usaha kepada swasta nasional atas bagian tanah bekas areal perkebunan besar yang sudah merupakan perkampungan rakyat, diusahakan rakyat secara tetap, dan tidak diperlukan oleh Pemerintah. Malahan, Pasal 10 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979 menyatakan tanah-tanah perkebunan yang diduduki rakyat tersebut dengan pertimbangan teknis dan seterusnya, akan diberikan suatu hak baru kepada rakyat; Dengan demikian penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud Pasal 47 ayat (1) dan (2) Undang-Undang a quo tidak tepat jika hal tersebut dikenakan terhadap orang yang menduduki tanah berdasarkan hukum adat karena timbulnya hak-hak adat adalah atas dasar ipso facto. Artinya seseorang membuka, mengerjakan dan memanen hasilnya atas kenyataan bahwa ia telah mengerjakan tanah tersebut secara intensif dalam waktu yang lama, sehingga hubungan seseorang dengan tanah semakin intensif, sebaliknya hubungan tanah dengan hak ulayat semakin lemah. Adapun pemberian hak-hak baru dalam bentuk hak guna usaha atau hak pakai berdasarkan ipso jure, yang mendasarkan diri pada ketentuan perundangundangan Pasal 47 Ayat (1): Ayat (2): 102 Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya,penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 Unsur-unsur Pasal 47 UU a quo: (1) Setiap orang dengan sengaja dan/atau kelalaiannya; (2) Melanggar Iarangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun atau aset lainnya; (3) Penggunaan lahan tanpa izin; (4) Tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan; (5) Unsur pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) bagi yang sengaja melanggar Iarangan, dan pidana paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah); Rumusan delik dalam Pasal 47 ayat (1), dan ayat (2) juncto Pasal 21 Undang-Undang a quo berpotensi disalahgunakan secara sewenangwenang. Hal demikian bertentangan dengan prinsip negara hukum yang adil, kepastian hukum (legal certainty), asas legalitas dan asas prediktabilitas, serta perlindungan terhadap hak asasi manusia pada umumnya. Sebagai suatu rumusan perundangundangan, pembuat Undang-Undang harus merumuskannya secara rinci mengenai perbuatan pidananya (nullum crimen sine lege stricta); 2. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan Nomor 55/PUUVIII/2010 yang substansi dasar dari putusn tersebut telah membatalkan pasal 21 and 47 Undang-Undang Perkebunan No.18 Tahun 2004, karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempuyai kekuatan hukum yang mengikat. Pasal tersebut merupakan pasal atau ketentuan pidana yang ada pada UU No. 18 Tahun 2004, yang dalam prakteknya telah menjadi pasal yang ampuh bagi aparat penegak hukum dalam melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang melakukan aktivitas disekitar perkebunan. Berkenaan dengan implikasi putusan MK terhadap UU Perkebunan tersebut, sesungguhnya hanya menyangkut keberadaan merekamereka yang oleh aparat penegak hukum diperiksa berkenaan dengan pelanggara pasal 21 jo. 47 UU No. 18 Tahun 2004. Pertanyaan yang muncul berkenaan dengan implikasi dibatalkannya pasal 21 jo. 47 UU No. 18 tahun 2004 adalah bagaimana status hukum masyarakat yang telah ditahan, diperiksa atau yang sudah dihukum baik sebelum maupun Penelitian Literatur 103 sesudah tanggal 19 Sept 2011, terhadap hal ini kiranya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah: 1. 2. Bahwa semua kasus yang telah diputus oleh pengadilan dan sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka terhadapnya tetap harus menghormati putusan peradilan umum tersebut, hal ini dikarenakan putusan mahkamah konstitusi tidak berlaku surut, artinya setelah tanggal tersebut, maka orang/masyarakat tidak lagi dapat dikenakan pasal 21 jo. 47 UU No. 18 Tahun 2004. Lalu bagaimana kemudian terhadap kasus dimana sampai dengan tanggal tersebut bulan juga memperoleh kekuatan hukum tetap, maka terhadap kasus tersebut harus dihentikan/melepaskan tuntutan karena landasan atau pijakan hukum yang menjadi dasar diperiksanya masyarakat dinyatakan tidak berlaku lagi. Misalnya Eko Kristiawan, SH. bin Kristiono pendamping warga Desa Damar Makmur, Kotawaringin Timur, Kalteng pada tanggal 5 Agustus 2011 divonis bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja menyuruh melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan secara berlanjut” sebagaimana diatur Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan dan dihukum penjara 10 bulan dan denda sebanyak Rp 5.000.000,- oleh Pengadilan Negeri Sampit. Yang memiliki konflik lahan dengan PT. Hutan Sawit Lestari sejak 2008, Atas putusan PN Sampit, Eko pun mengajukan Banding kepada Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah pada tanggal 5 Agustus 2011, sesaat setelah Putusan dibacakan. Dalam memori Banding yang dibuat Eko tertanggal 13 Agustus 2011 dan tambahan memori banding pada tertanggal 19 September yang diserahkan pada 26 September 2011 (berisi putusan MK tentang Pengujian Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan), memberikan alasan bahwa Pasal yang digunakan PN Sampit untuk menghukumnya telah dibatalkan oleh MK. pada tanggal 17 Oktober 2011 pun memutus perkara Eko dengan putusan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Sampit tanggal 5 Agustus 2011 Nomor: 212/Pid.Sus/2011/PN.Spt.39 39 104 http://www.elsam.or.id/new/elsam_v2.php?id=1694&lang=en&act=view&cat=c/101. diakses tanggal 4 Juli 2012 Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 E. KESIMPULAN 1. Pembukaan lahan perkebunan tebu di Takalar yang diawali dengan pembebasan lahan petani melibatkan karaeng sebagai elit lokal yang mengontrol. Akibatnya terjadi manipulasi laporan pembebasan lahan yang dilakukan oleh kareng (elit desa) merugikan petani. Walaupun protes-protes petani muncul dan tidak mempengaruhi proses pembebasan lahan tetapi setidaknya menimbulkan dampak yang lebih jauh menyangkut hubungan petani dengan perusahaan yang tidak harmonis. Dengan demikian, sejak pembukaan Pabrik Gula Takalar telah melahirkan distorsi yang tajam antara petani dengan perusahaan perkebunan. Aktor konflik agraria di Polombangkeng sejak periode awal telah melibatkan kareang (elit desa) sebagai kelompok yang diuntungkan (selain pihak perusahaan) dalam pembukaan Pabrik Gula Takalar. Resistensi petani terhadap Pabrik Gula Takalar pada perode Orde Baru hanya memperlihatkan gejala perlawatan perspektif Scottian, berupa perlawanan bersifat terselubung. Ini disebabkan karena ruang protes yang hampir tidak ada akibat dari sikap represif negara yang mendominasi di era Orde Baru. Namun sikap-sikap petani yang diluar pagar perusahaan sangat nyata memperlihatkan kekecewan terhadap perusahaan menyangkut masalah ketenagakerjaan, perhatian sarana pedesaan yang tidak mendapat dukungan perusahaan, limbah perusahaan dan lain sebagainya. Di era reformasi gerakan petani untuk menuntut hak atas tanah mereka justru dipelopori oleh elit desa. Suatu keadaan berbanding terbalik pada periode pembukaan lahan perkebunan. Semakin keras gerakan petani menyentuh perusahaan dan struktur kekuasaan politik di Takalar maka semakin tinggi pula intensitas tawaran negosiasi kepada elit desa untuk meredam aksi petani. Dalam konteks ini, ruang munculnya kontradiksi kepentingan antara pentai dengan elit desa (aktor) semakin terbuka lebar namun tersamar. Gerakan petani Polobangkeng sejak periode pembukaan Pabrik Gula Takalar memperlihatkan perubahan-perubahan pola dan strategi. Pada periode pembukaan lahan perkebunan, petani melakukan protes terhadap elit lokal yang telah memanipulasi hak atas tanah mereka. Konflik antara petani dengan perusahaan yang bersifat samar mulai tampak pada era reformasi. Akan tetapi, aktor konflik agraria antara petani dengan perusahaan tetap melibatkan elit lokal walaupun ruang dan posisi yang berbeda. Pada periode pembukaan Penelitian Literatur 105 2. 3. 106 lahan, elit lokal berkualisi dengan pihak perusahaan untuk meredam protes petani. Elit lokal memanfaatkan posisi mereka dalam struktur sosial dalam mengekslpoitasi petani. Pada era refomasi elit lokal (desa) menjadi pelopor gerakan dan berdiri bersama petani melawan perushaan untuk mendapatkan hak atas tanah mereka. Perjuangan Perempauan mewujudkan reforma agraria dalam skala kecil atau besar, di ruang sempit atau luas, baik yang terang-terangan atau yang tersembunyi patut untuk diapresiasi. Memperjuagkan tanah adalah memperjuangkan kemerdekaan. Dan merdeka adalah jalan menuju kesejahteraan. Menyejahterakan bangsa berarti menyejahterakan perempuan. Karena dari perempuanlah generasi bangsa dilahirkan. Orang sering menilai bahwa penghambat pembangunan adalah, kemiskinan, kebodohan, pendidikan rendah, kerusakan lingkungan, kepandatan penduduk namun sering di lupakan bahwa timbulnya kemiskinan dan kebodohan dan lain sebagainya itu sumber nya adalah dampak dari berlakunya hukum yang tidak berpihak kepada rakyat, dampak negatif dari berlakunya hukum yang menyebabkan ketimpangan sumber daya alam, baik dengan alasan pembangunan maupun dengan alasan pertumbuhan ekonomi nasional, hal ini yang mengakibatkan petani semakin jauh dengan tanah sebagai sumber penghidupan dirinya. Dampak negatif belakunya hukum tentu harus di perjuangkan untuk dibatalkan, dengan cara melakukan uji maeri ke mahkamah konstitusi. Mahkamah Konstitusi Sejak menjalankan kewenangannya pada tahun 2003 s/d 12 Juli 2012 berjumlah 166 UU yang telah di uji, jumlah putusan 406, putusan yang dikabulkan 111, yang ditolak 128, yang tidak diterima 126, yang ditarik kembali 41. ada cukup banyak permohonan yang berkaitan dengan jucial review. Termasuk juga pengujian undang-undang dibidang sumber daya alam/agraria, Dilihat dari putusannya, tidak semua permohonan pengujian undang-undang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. pengujian undang-undang dikabulkan baik dikabulkan seluruhnya maupun dikabulkan sebagian, ditolak atau tidak diterima karena tidak memenuhi legal standing sebagai pemohon. Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 DAFTAR PUSTAKA Buku Bachriadi, dan Gunawan Wiradi, Enam Dekade Ketimpangan. Jakarta: Bina Desa, ARC, KPA, 2011. Kartini E, Elisa. Samon dan Syahroni, Tanah untuk Kehidupan: Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi. Jakarta: Petani Press & FSPI, 2007. Mary, Rahma, Dhani Armanto, Lukito, Dominasi dan Resistensi Pegelolaan Hutan di Jawa tengah, Jakarta: Huma, LBH Semarang, 2007. Mustain, Petani VS Negara; Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara, Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2007 Sari, Dian kartika dkk, Balai Perempuan sebagai Organisasi Akar Rumput dalam Menghadapi Tantangan Pemberdayaan di Padang Pariaman, 2010 Sulistiyo, Bambang, Konflik-konflik Tanah di Perkebunan Tebu Pabrik Gula Takalar, 2011 Soutt, James C. Senjatanya orang-orang yang kalah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2000. Thalib, H. Hambali, Sanksi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan; Kebijakan Alternatif Penyelesaian Konflik Pertanahan di Luar Kondifikasi Hukum Pidana, cet kedua, kencana:Jakarta,1999. Wieringa, Saskia Eleonora, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta: Garda Budaya & Kalyanamitra, 1999. Makalah, Jurnal dan Internet Achmad Sodiki, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema “ Penanganan dan Penyelesaian Konflik Agraria sebagai Kewajiban Konstitusi”, yang diselenggarakan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jakarta, tanggal 13 Maret 2012. Noer Fauzi Rahman, “Karakterisasi Konflik Agraria”. Paper disampaikan pada Kursus Agraria di STPN, Juni 2012. Penelitian Literatur 107 Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965, Laporan Pemantauan HAM Perempuan, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender, Komnas Perempuan, tanpa tahun, http://www.kongres4.aman.or.id/2012/04/perempuan-amanmenunjuk-para-wakilnya.asp http://www. Mahkamahkonstitusi.go.id http://www.elsam.or.id/new/elsam_v2.php?id=1694&lang=en&act=vie w&cat=c/101 Peraturan PP No.4 Tahun 1959, LN 1959 No.7 PP No.12Tahun 1959,LN1959 No.22 PP No.18 Tahun 1959,LN 1959 No.30 PP No.19/1959, LN 1959 No.31. Mahklumat Kementrian Kemakmuran No.4 tanggal 5 Oktober 1945 tentang “Hal perlunja diadakan pengawasan atas Perusahaan: (Berita RI tahun I N0.1 hal.6 kolom 3). Keputusan Menteri Pertanian No. 689/Kpts/81 tanggal 11 Agustus 1981 tentang pembentukan proyek pabrik gula takalar PT. Perkebunan XXIV-XXV (Persero). Reg. 402, Arsip Kabupaten Takalar. Putusan perkara pidana nomor 151/Pid.B/2010/PN.KTP, tertanggal 28 Februari 2011 108 Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21