Daftar Isi
Sambutan Kepala PPPM .................................................................. iii
Pengantar Penyunting ...................................................................... iv
BAGIAN I: PENELITIAN LAPANGAN
KEBIJAKAN PERTANAHAN PADA TANAH-TANAH PASCA
TAMBANG TIMAH DI PROVINSI BANGKA BELITUNG
(Studi di Kabupaten Bangka Tengah) ..............................................
1
PERJUANGAN UNTUK MENJADI BAGIAN DARI PROSES
PERUBAHAN AGRARIA YANG MENGUNTUNGKAN
(Studi Kasus Perkebunan Sawit di Kabupaten Sarolangun, Jambi)... 36
BAGIAN II: PENELITIAN LITERATUR
DINAMIKA PERJUANGAN AGRARIA KONTEMPORER
DI INDONESIA ............................................................................ 72
KEBIJAKAN PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA
KONTEMPORER ......................................................................... 109
BAGIAN III: PENELITIAN ANOTASI BIBLIOGRAFI
Sejarah Konflik dan Perjuangan Agraria Indonesia Abad XXI .......... 140
- Menukik ke Persoalan Tanah di Daerah: Kasus Sumatera Barat 159
PERAMPASAN TANAH GLOBAL PADA ABAD XXI ................. 182
xii
BAGIAN II
PENELITIAN LITERATUR
DINAMIKA PERJUANGAN AGRARIA KONTEMPORER
DI INDONESIA
Dian Aries Mujiburohman, Dianah Karmilah, M. Nazir Salim, Taufik
A. Pendahuluan
Perjuangan Agraria dalam dimensi sejarah dimulai sejak masa
kolonial belanda yang menciptakan ketidakadilan dan penindasan pada
masayarakat Indonesia, eksploitasi yang mengakibatkan terkurasnya
sumber daya alam serta ketimpangan sturktur penguasaan dan pemilikan
sumber daya agraria, sampai masa penjajahan berakhir persoalan agraria
masih belum dapat diselesaikan karena sistim hukum, sosial, ekonominya
diterapkan berbeda-beda tergantung sistim golongan, rakyat Indonesia
sebagai golongan pribumi dibawah golongan eropa, dan timur asing
hanya sebagai bahan eksploitasi dari sumber-sumber agrarianya serta
sengketa agraria sekarang yang terjadi sebagai mewarisi penjajahan pada
masa kolonial.1
Ketimpangan penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria
dengan terakumulasinya modal pada sedikit orang sebagai bagian
dari kuatnya korporasi antar relasi yang menghasilkan penumpukan
sumber-sumber agraria pada kelompok tertentu yang dominan2. Fakta
menunjukkan, 70 persen petani di negeri ini hanya menguasai 13 persen
dari total lahan pertanian, sementara 30 persen sisanya justru menguasai
1
2
Sebab-sebab sengketa agraria menurut Achmad Sodiki, Pertama, karena kebijaksanaan
negara masa lalu; Kedua, masalah kesenjangan social; Ketiga, lemahnya penegakan hokum;
Keempat, karena tanah terlantar; Kelima, reclaiming sebagai tanah adat. Achmad Sodiki,
Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema “ Penanganan dan Penyelesaian
Konflik Agraria sebagai Kewajiban Konstitusi”, yang diselenggarakan oleh Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA), Jakarta, tanggal 13 Maret 2012.
Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi, Enam Dekade Ketimpangan. (Jakarta: Bina Desa,
ARC, KPA, 2011). Noer Fauzi Rahman, “Karakterisasi Konflik Agraria”. Paper disampaikan
pada Kursus Agraria di STPN, Juni 2012.
87 persen lahan yang ada3. Ketimpangan-ketimpangan ini yang disinyalir
banyak pihak sebagai sumber persoalan, sehingga tuntutan yang selalu
didengungkan adalah reforma agraria, perubahan pola dan struktur
penguasaan sumber-sumber agraria.
Setelah Indonesia merdeka, usaha-usaha yang dilakukan adalah
pengawasan dan nasionalisasi, pengawasan karena banyak perusahaan
peninggalan penjajah yang ditinggal pergi oleh pemiliknya4, kemudian
setelah melakukan pengawasan, dilakukan usaha-usaha penguasaan
oleh pemerintah terhadap perusahaan industri, perkebunan dan
pertambangan dengan pertimbangan bahwa perusahaan-perusahaan
tersebut menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
harus dikuasai oleh negara sesuai dengan ketentuan pasal 33 UUD 1945.5
Setelah melakukan pengawasan dan nasionalisasi, kemudian menata
struktur keagrariaan Indonesia, dibuktikan dengan berbagai usaha
kepanitiaan UUPA (Jogja–Jakarta), akhirnya lahirlah UUPA 1960 yang
bercita-cita sosialis, lebih tepat mungkin UU yang sangat pancasilais.
UUPA ini dapat menjadikan sebuah negara yang adil sebagaimana
dicita-citakan bersama. Niat ini sekaligus mengoreksi secara tegas politik
kebijakan kolonial dalam persoalan agraria, mengawali hadirnya UUPA
negara menegaskan terlebih dahulu dengan semangat mencabut UU
kolonial yang mengatur persoalan agraria,6 baru kemudian diberlakukan
3
4
5
6
Elisa Kartini E. Samon dan Syahroni, Tanah untuk Kehidupan: Perjuangan Reforma
Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur, Jambi. (Jakarta: Petani Press & FSPI,
2007).
Mahklumat Kementrian Kemakmuran No.4 tanggal 5 Oktober 1945 tentang “Hal perlunja
diadakan pengawasan atas Perusahaan: (Berita RI tahun I N0.1 hal.6 kolom 3).
Perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi seperti: (1) 38 perusahaan perkebunan
tembakau (PP No.4 Tahun 1959, LN 1959 No.7); (2)11 Perusahaan Peternakan (PP
No.12/1959,LN1959 No.22); (3) 9 Perusahaan Listrik dan Gas (PP No.18/1959,LN 1959
No.30) (4).205 Perusahaan Pertanian/Perkebunan (PP No.19/1959, LN 1959 No.31.
Dalam konsideran UUPA 1960 ditegaskan dalam putusannya untuk
memberlakukan UU tersebut dengan mencabut: 1. “Agrarische Wet” (Staatsblad
1870 No. 55) sebagai yang termuat dalam pasal 51 “Wet op de Staatsinrichting
van Nederlands Indie” (Staatsblad 1925 No. 447) dan ketentuan dalam ayat-ayat
lainnya dari pasal itu; 2. a. “Domeinverklaring” tersebut dalam pasal 1 “Agrarisch
Besluit” (Staatsblad 1870 No. 118); b. “Algemene Domeinverklaring” tersebut
dalam Staatsblad 1875 No. 119A; c. “Domeinverklaring untuk Sumatera”
tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1874 No. 94f; d. “Domeinverklaring
untuk keresidenan Menado” tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1877 No. 55;
e. “Domeinverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo”
Penelitian Literatur
73
UUPA secara penuh. Implementasi dan kebijakan UUPA jelas berbasis
pada kepentingan masyarakat petani, karena ia menjadi sebuah UU
yang sangat sosialis-populis. Namun sayang, UU ini tidak berlaku lama,
pasca 1965 ia dikubur oleh Soeharto dan “menggantinya” dengan UU
Kehutanan 1967 sebagai pintu “penguasaan baru” sumber agraria. UU
Kehutanan secara khusus mengatur dan menguasai lebih dari 70%
wilayah hutan Indonesia sebagai hutan negara atau tanah negara.7
Penetapan itu menimbulkan masalah baru bagi Indonesia pasca kolonial,
yakni tumpang tindih penguasaan (masing-masing sektor), perebutan
dan perampasan, dan ketimpangan struktur agraria yang semakin meluas.
Sampai dengan berakhirnya pemerintahan Soeharto, masih banyak
sisa persoalan-persoalan agraria yang belum terselesaikan, masa reformasi
bahkan semakin maraknya aksi-aksi protes untuk memperjuangkan hakhak agrarianya, aksi protes dengan cara demo/turun jalan, dialog, okupasi,
reklaming, dengan berbagai alasan, misalnya karena tanah tersebut dulu
milik nenek moyang mereka, atau tanah perkebunan tersebut milik
mereka yang secara paksa diambil oleh pihak perkebunan, atau batas
perkebunan yang dianggap tidak benar, atau kebun tidak memberi
kontribusi kemakmuran pada rakyat sekitarnya, dan sebagainya.
Beberapa contoh konflik agraria yang terjadi diberbagai daerah dan
menjadi isu nasional dengan berbagai dinamika perjuanganya, antara lain
konflik ganti rugi tanah pembangunan Waduk Gedung Ombo di Jawa
Tangah, Konflik Badega di Garut Jawa Barat, konflik Pulo Panggung di
Lampung, konflik Cimacan, Konflik Jenggawa di Jawa Timur dan Tanah
Jaluran di Deli Sumatera Utara, konflik Tanah Adat Suku Anungme
di Irian Jaya (Papua), konflik terminal Daya dan Perluasan Bandara
Hasanudin di Makasar Sulawesi Selatan serta konflik Tanah Paguyaman
di Gorontalo (Fauzi,1997:116-117, Bachriadi, 1997:130-135).8 Konflik
7
8
74
tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1888 No. 58; 3. Koninklijk Besluit tanggal
16 April 1872 No. 29 (Staatsblad 1872 No. 117) dan peraturan pelaksanaannya;
4. Buku ke-II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang
mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali
ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai
berlakunya Undang-undang ini.
Suraya Afiff, dkk, “Redefining Agrarian Power: Resurgent Agrarian Movements
in West Java, Indonesia”. Center for Southeast Asia Studies, UC Berkeley. Anton
Lucas dan Carol Warren, op.cit.
Dalam H. Hambali Thalib, Sanksi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan; Kebijakan
Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21
mesuji, dan masih banyak konflik-konflik agraria yang tidak terangkat
menjadi isu nasional.
Dengan melihat beberapa permasalahan diatas, penelitian ini ingin
mengetahui dan menganilisi: (1) konflik agraria di Polongbangkeng
Takalar; (2) Potret Perempuan dalam Perjuangan Agraria; (3) Perjuangan
Agraria di Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini dengan melihat siapa
aktor perjuangan agraria, bagaimana pola atau strategi perjuanganya, apa
hasil dari perjuangan para aktor agraria.
B.
KETIKA TEBU TAK MANIS LAGI: Konflik Agraria di
Polongbangkeng Takalar
Penelitian ini merupakan monografi yang dimaksudkan untuk
mencari kerangka dinamika perjuangan agraria di Polongbangkeng
Kabupaten Takalar yang menjurus kepada konflik agraria antara petani
Polongbangkeng dengan Pabrik Gula Takalar. Untuk sekedar memperoleh
persepktif sejarah, bagian pertama dari tulisan ini menyangkut akar
konflik di mana ruang pembahasan dimulai dari kontrol atas tanah
di Polongbangkeng sampai pembukaan lahan perkebunan tebu yang
telah banyak menuai masalah sejak awal sebagai sumber utama konflik.
Kedua,diuraikan sengketa lahan antara petani dengan Pabrik Gula
Takalar yang berlanjut sampai di era reformasi. bagian ini akan diuraikan
aktor dan strategi perjuangan petani dan negosiasi yang dianggap sebagai
alternatif penyelesian konflik
1.
Kontrol Terhadap Tanah
Struktur pemilikan tanah secara tradisional di Polongbangkeng
menempatkan penguasa atau karaeng merupakan pemilik atas tanah.
Seseorang dapat menggarap tanah menjadi lahan pertanian apabila
mendapat izin dari karaeng atau memperoleh lahan sebagai warisan
untuk digarap. Namun penguasa dapat menarik hak penggarapan
tanah jika petani tidak menjalankan kewajiban kepada raja, baik
karena melanggar aturan kerajaan, menelantarkan tanah atau karena
meninggalkan negerinya bertahun-tahun. Setelah Indonesia merdeka,
Alternatif Penyelesaian Konflik Pertanahan di Luar Kondifikasi Hukum Pidana, cet
kedua (kencana:Jakarta,1999) hal 3-4
Penelitian Literatur
75
muncul hubungan-hubungan baru karena adanya perubahan hubungan
luar atau supra desa berubah pula. Pelaksanaan politik nasional disaluran
lewat hubungan petani dengan pejabat sebagai pemegang kekuasaan
dalam berbagai bentuknya dan bertindak selaku perantara pemerintahan
dengan supra desa. Mereka memiliki hubungan patronase baik kepada
rakyat, petani maupun sponsornya yang biasa disebut tokoh tradisional.
Hubungan patron-klien di Polongbangkeng mulai mendapat
ancaman pada saat pembebasan lahan untuk pengembangan perkebunan
tebu di Polongbangkeng. Petani secara terang-terangan menyampaikan
keluhan-keluhan mereka karena diperdaya oleh pejabat desa. Beberapa
data arsip memperlihatkan bahwa petani Polongbangkeng merasa dirinya
dirugikan karena ganti rugi yang diterima tidak sesuai dengan luas
tanahnya dan merasa ditipu oleh kepala desa karena memungut bayaran
uang tunai kepada petani pada saat tanah mereka diokkupasi. Nampaknya,
petani mulai menyadari bahwa patron yang selama ini mereka hormati
telah memanipulasi hak-hak mereka. Sebuah kondisi yang belum pernah
terlihat sebelum kemerdekaan.Petani Polongbangkeng adalah pemilik sah
atas lahan yang digarapnya, tetapi kontrol terhadap lahan tersebut masih
dibawah bayang-bayang karaeng, yang biasanya menjabat sebagai kepala
desa. Kepala desa juga keturunan karaeng memiliki pengaruh sangat
besar terhadap warganya. Sebagian besar kepala desa di Polongbangkeng
termasuk dalam satu kelompok kerabat, dan mereka cenderung
mewariskan kepemimpinan kepada sanak keluarganya. Biasanya kepala
desa juga masih memiliki hubungan kekerabatan dengan beberapa
kepala desa lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa “kontrol atas tanah
di Polongbangkeng bertumpuh pada satu kekerabatan besar dalam satu
jaringan keluarga karaeng”.
2.
Kisruh Pembebasan Lahan
Pembebasan lahan petani Polongbangkeng melibatkan berbagai
pihak, antara lain, elit lokal (karaeng), kepala desa setempat, pemerintah
daerah, dan PT. Madu Baru. PT. Madu Baru yang memiliki hak melakukan
eksploitasi industri gula di Takalar. PT. Madu Baru melibatkan pemimpinpemimpin lokal dalam rangka pembebasan lahan milik petani. Para aktor
lokal ini memungut biaya bayaran uang tunai dari petani sebesar Rp.
5.000,- per Ha tanah negara yang telah diokkupasinya. Keterlibatan
aktor lokal dalam pembebasan lahan memberi ruang eksploitasi bagi
76
Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21
petani itu sendiri. Aktor-aktor lokal yang bermain memanipulasi laporan
penyelidikan atas tanah petani, seperti menambah jumlah material yang
akan dibayarkan, meliputi jenis tanaman dan fungsi lahan. Modus kerjanya
adalah merekayasa jenis-jenis tanaman yang ada dalam lokasi pembebasan
lahan agar mendapatkan ganti rugi lebih banyak dan mendaftarkan tanah
yang tidak produktif sebagai tanah produktif sehingga nilai ganti ruginya
lebih tinggi. Keuntungan dari manipulasi ini jatuh ke tangan para aktor
tersebut.
Pada tanggal 3 Oktober 1978, para petani melakukan protes
dan menyampaikan langsung keluhan kepada Bupati Takalar. Pada
tanggal 9 Oktober 1978, sekitar 83 petani dari desa Parappunganta
Polongbangkeng Utara mengajukan protes karena belum mendapatkan
hak ganti rugi, sementara lahan mereka telah digarap oleh PT. Madu.9
Mereka juga mempertanyakan pembayaran mereka sebesar Rp. 5.000,perhektar kepada kepala desa pada saat pengukuran tanah. Sementara
itu, para pejabat pemerintah sehubungan dengan kasus ini menyatakan
bahwa uang yang telah diterima dari PPIG sebagai uang pembayar pajak.
Sebuah pandangan yang sama sekali berbeda dari janji kepada petani
sebelumnya ketika pengukuran tanah mereka.
Persoalan petani akhirnya ditangani oleh Koordinator Operasi Tertip
Pusat (OPSTIPSUS) Jakarta. Seminggu berikutnya petugas Opstippus
dari Jakartamelakukan penyelidikan di Polongbangkeng. Hasil
penyelidikan menyimpulkan bahwa terjadi manipulasi dan korupsi yang
dilakukan beberapa pejabat. Akhirnya beberapa elit desa ditangkap, antar
lain Nanrang Daeng Nai, Kepala desa Parapunganta,Kalle Daeng Gassing,
Kepala desa Longko, Rajab Daeng Sikki Kepala Desa Bontomarannu dan
Rahmad Daeng Ropu pembantu kepala desa Parapunganta. Penyelidikan
Opstippus berlanjut kepada pejabat pemerintah daerah, namun persoalan
kasus ini kemudian menjadi samar atau tidak tertuntaskan.
Penangkapan sejumlah karaeng (elit desa) tersebut semakin
menimbulkan ketidakpercayaan petani terhadap proses pembebasan
lahan mereka. Petani Polobangkeng kemudian mengajukan tuntutan
kepada pemerintaha dan PT. Madu Baru, meliputi; pertama, melakukan
9
Surat Anggota Panitia Pembebasan Lahan, Djuma Sarro BBA tanggal 9 Oktober 1978
kepada Ketua Panitia Pembebasan Tanah Kabupaten Daerah Tingkat II Takalar tentang
pengiriman daftar nama-nama pemilik tanah yang belum terbayar lunas, Reg. 402, Arsip
Kabupaten Takalar
Penelitian Literatur
77
pengukuran kembali tanah yang telah dibebaskan sesuai persil; kedua,
menentukan kembali jumlah ganti rugi ditentukan berdasarkan kelas
tanah dan luasnya, ketigapengukuran mengikuti prosedur yang dapat
diketahui pemilik tanah, dan keempat,menangkap dan mengadili aparat
pemerintah yang korup dan memanipulasi data.10
Hubungan antara masyarakat Polongbangkeng dengan PT. Madu
Baru semakin tidak harmonis ketika petani Polongbangkeng tidak
memiliki akses terhadap eksloitasi perkebunan dibanding dengan para
pendatang yang datangkan dari Jawa sebagai tenaga kerja di perkebunan.
Pada tanggal 11 Agustus 1981 Menteri Pertanian mengalihkan
kegiatan eksploitasi dari PT. Madu Baru kepada PTPN XIV
Takalar.11Gubernur mendukung kebijakan Menteri dengan memberi
wewenang pengolahan lahan seluas 11.500 hektar yang tersebar di
Kabupaten Takalar ( 6.000 Ha), Gowa (3.500 Ha), Jeneponto (2.000
Ha). Peletakan batu pertama pada pembangunan pabrik pada tanggal 19
November 1982 di lakukan oleh Gubernur Sulawesi Selatan dan selesai
pada bulan Agustus 1984 dengan menghabiskan dana sebesar Rp. 63.5
milyar. Pada tahun 1985 pabrik gula Takalar telah mampu menghasilkan
gula kualitas superior high super (SHS 1). Pelimpahan ekspoloitasi
ini bukannya menyentuh perubahan-perubahan mendasar terhadap
persoalan petani Polongbangkeng malah semakin mempertajam sosial
3.
PTPN XXIV Takalar dan Warisan Konflik
Setelah mengambil alih eksploitasi perkebunan tebuh dari PPIG dan
PT. Madu Baru, maka pihak PT. PN XXIV-XXV harus mewarisi sejumlah
persoalan yang berhubungan dengan petani di Polongbangkeng. Oleh
karena itu, perhatian pertama PT. PN XXIV-XXV adalah menyelesaikan
masalah ganti rugi di tingkat kabupaten, kecamatan, maupun desa.
Bupati Takalar, sebagai ketua Panitia Pebebasan Tanah untuk Pabrik Gula
dan PTP XXIV-XXV, bertanggungjawab atas korupsi dan manipulasi
10
Penangkapan kepala desa disebabkan karena ditemukan petani yang tidak menerima
ganti rugi sementara dalam daftar penerimaan PT. Madu Baru petani bersangkutan telah
menerima gantir rugi. Lihat Surat – Kawat Bupati Kepala Daerah TK I Takalar tanggal 9
September 1980 kepada Menteri Dalam Negeri, Reg 402, Arsip Kabupaten Takalar
11
Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 689/Kpts/81 tanggal 11 Agustus
1981 tentang pembentukan proyek pabrik gula takalar PT. Perkebunan
XXIV-XXV (Persero). Reg. 402, Arsip Kabupaten Takalar.
78
Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21
yang dilakukan para aparatnya sehingga meminta pinjaman uang tunai
Rp.52.000.000,- kepada PTP XXIV-XXV.12 Pada tahun berikutnya
ternyata jumlah itu belum mencukup, maka PT Perkebunanan XXV-XXV
atas izin Menteri Pertanian menambah pinjaman kepada Pemda Takalar
sehingga seluruhnya pinjamannya berjumlah Rp.75.000.000,-, dan
pada tahun 1983 pinjaman Pemda Takalar mencapai Rp. 200.000.000,Hutang ini akan dibayarkan dari pajak iuran Pembanguan Daerah.
Persoalan yang muncul seperti adanya pemilikan tanah yang berlapis,
yakni tuan tanah dan penggarap tanah. Kareang secara tradisional adalah
pemimpin dan tuan tanah sekaligus memiliki akses untuk mendapatkan
sertifikat tanah, sedangkan petani adalah penggarap tanah, yang
menguasai tanah secara turun temurun. Pada tahun 1983, terdapat 1.011
petani menuntut Pemerintah Daerah Tingkat II dan PT P XXIV-XXV
agar menaikkan jumlah ganti rugi yang telah diterima petani. (Tuntutan
meliputi juga tanah yang diserahkan pada PPIG sebelum tahun 1981).
Di antara mereka terdapat 418 orang, yang tuntutannya berjumlah
Rp.1.128.067.000,- untuk areal perkebunan seluas 191,32 hektar. Jumlah
yang sangat besar sehingga sukar dipenuhi oleh pihak perusahaan.
Untuk mengatasi persoalan tersebut maka perusahaan memenuhi
permintaan petani secara selektif. Selain itu pihak perusahaan memberi
bantuan kepada pemerintah daerah sebesar Rp.171.000.000,- untuk
pembangunan rumah petani. Pihak perusahaan juga mengangkat Daeng
Sibali dan Kareang Temba sebagai penasehat dan penanggung jawab
keamanan perusahaan. Pihak perusahaan menggunakan pengaruh tokoh
lokal sebagai patron dalam masyarakat selama ini untuk mengatasi gejolak
petani. Akhitnya permusuhan petani berangsur surut. Petani bersedia
bergabung dengan pada Pabrik Gula. Hasilnya Sekretaris Dewan Gula
Indonesia-Jakarta dalam Temu Lapang Proyek Pabrik Gula Takalar 1984,
telah melaporkan bahwa di Takalar terdapat 5.090 keluarga atau 18,05
persen dari penduduknya yang menggantungkan kehidupannya pada
Pabrik Gula Takalar sebagai buruh tani.13
Konflik antara petani dengan pihak Pabrik Gula Takalar mengalami
pengendapan sampai era reformasi. Tahun-tahun yang sepi dari konflik
tidak berarti persoalan petani telah selesai. Hubungan-hubungan yang
12
13
Bambang Sulistiyo, Konflik-konflik Tanah di Perkebunan Tebu Pabrik Gula Takalar,
2011
Ibid
Penelitian Literatur
79
tidak harmonis hanya tersembunyi dari aktivitas perkebunan. Apabila
ditelaah lebih jauh dan dilihat dari perspektif Scottian, resistensi petani
dalam dilihat dari kehidupan sehari-hari mereka secara tersamar. Mencuri
tebu dari perkebunan untuk konsumsi sehari-hari, melepaskan ternak
di areal perkebunan dan memperlambat proses pemupukan adalah
politik sehari-hari petani Polongbangkeng yang tersamar yang dapat
dikategorikan sebagai resisntensi petani. Keadaan ini merupakan endapanendapan emosional yang kelak dapat meledak setiap saat. Setelah Orde
Baru berakhir dan bermulanya era reformasi, seiring dengan perubahan
iklim demokrasi dan semakin longgarnya hubungan patronase petani
membuka ruang perlawanan ke arah yang lebih praktis dan frontal.
4.
Perjuangan Agraria Era Reformasi
Pada dasarnya keresahan petani juga bermula tahun 1999 ketika
manajamen Pabrik Gula Takalar menghadapi persoalan internal yang
berhubungan dengan desakan peningkatan kesejahteraan pegawai,
sementara PTPN XIV mengalami kegagalan dan income menurun akibat
tekanan krisis. Masyarakat mulai resah akan pendapatannya, disamping
itu pula manajemen yang buruk sehingga pembayaran upah kepada
warga yang bekerja sebagau buruh tersendat-sendat, mengindikasikan
adanya ketidakberesan di dalam perusahaan. Karenanya, PTPN XIV
mulai membuka jalur pada perusahaan swasta lain untuk menanamkan
sahamnya. PT. Rajawali mulai mengambil alih dengan kontrak 5 tahun
dimulai dari tahun 2009. Disinilah pintu sengketa tanah jilid II di mulai.
Di tengah usaha PT. Rajawali meningkatkan produksi Pabrik Gula
Takalar, para petani di Moncongkomba justru telah memperlihatkan
gejala resistensi. Petani yang mendapat dukungan dari H. Ranggong
Daeng Nai, seorang tokoh masyarakat di Moncongkomba, petani mulai
mengumpulkan bukti-bukti kepemilikan lahan mereka. Sepanjang
Januari sampai Maret 2008 terdapat pertemuan-pertemuan secara
berkala yang dipelopori oleh Daeng Bani, Kepala Desa Moncongkomba,
Polongbangkeng Selatan. Berawal dari sinilah gerakan petani
Polongbangkeng menyebar ke berbagai desa sehingga terbentuk simpulsimpul gerakan.
Pada tanggal 25 Maret 2008,aksi petani Polongbangkeng berhasil
memobilisasi sekitara seribu petani, bergerak ke kantor DPRD Takalar.
Terdapat dua tuntutan petani, pertama, meminta PTPN XIV Takalar
80
Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21
mengembalikan lahan petani yang telah dikontrak 25 tahun. Kedua,
kalaupun PTPN XIV Takalar masih ingin menggunakan lahan petani
supaya melakukan kontrak ulang.14 Gerakan massa petani menghasilkan
negosiasi dengan pihak DPRD Takalar untuk melakukan pertemuan
antara perwakilan petani, pemerintah daerah Takalar, Dinas Pertanahan
Takalar dan perwakilan PTPN XIV Takalar. Akan tetapi perwakilan
dari PTPN XIV Takalar tidak menghadiri pertemuan tersebut. Dalam
pertemuan tersebut Dinas Pertanahan Kabuapten Takalar tidak dapat
membuktikan bahwa tanah perkebunan seluas 6000 hektar yang berada
di Polobangkeng Utara dan Polongbangkeng Selatan adalah milik
PTPN XIV Takalar. Dinas Pertanahan menganggap gerakan petani yang
mengancam melakukan boikot lahan tidak dapat diterima. Sementara
Pemerintah Daerah Takalar mengklaim bahwa tanah tersebut merupakan
milik pemerintah karena telah dibebaskan sejak tahun 1980.
Aksi petani berlanjut dengan menduduki lahan perkebunan PTPN
XIV Takalar yang terdapat di daerah Polongbangkeng. Selama aksi boikot
aktivitas perkebunan petani mendapatkan intimidasi dari aparat (TNIPolri) dalam hal ini Batalin 726 dan Brimob makassar. Apri 2008, aksi
petani berlanjut dilakukan secara serentak memboikot lokasi pabrik dan
melakukan pengepungan selama sehari penuh sehingga menimbulkan
kegangan antara aparat keamanan dengan petani. Perjuangan petani
Polobangkeng pada akhirnya harus berhadapan dengan aparat keamanan.
Bulan Juni 2009, petani Polongbangkenamg kembali melakukan
unjuk rasa ke Pemerintah daerah untuk mempertanyakan status lahan
dan menuntut ketegasan pemerintah daerah untuk melakukan evaluasi
ulang terhadap keberadaan pabrik gula takalar. Menanggapi aksi petani
Polongbangkeng yang menuntut hak atas tanah mereka, pihak perusahaan
perkebunan menggunakan jasa aparat keamanan untuk menjamin
keberlangsungan aktivitas perkebunan. Aparat keamanan ditempatkan
di perkebunan untuk menjagai proses penanaman dan pemupukan
tanaman tebu. Petani Polongbangkeng yang telah melakukan reklaiming
atas tanah mereka mendapat dukungan dari warga lain dari desa masingmasing. Mereka kemudian bergerak menuju lokasi perkebunan sehingga
menambah jumlah petani yang menduduki perkebunan.
14
Catatan pribadi Safaruddin
Penelitian Literatur
81
5.
Negosiasi: Siapa yang Diuntungkan?
Persoalan petani Polongbangkeng melahirkan sejumlah pertanyaan
besar ketika dikaitkan dengan aktor dibalik konflik, upaya dan hasil
negaosiasi yang tidak menyelesaikan persoalan petani, dan momentum
gerakan petani itu sendiri yang memiliki keterkaitan kuat dengan
kepentingan politik lain. Mengapa gerakan petani Polongbangkeng
justru mereduk ketika negosiasi tidak menjawab persoalan hukum
menyangkut hak petani atas lahan mereka? Saya cenderung memandang
bahwa perjuangan petani Polongbangkeng telah berkontradiksi dengan
kepentingan lain yang tidak tampak dalam segala aksi petani. Ketika
perjuangan agraria Polongbangkeng menjadi bagian agenda terselubung
oleh aktor lain maka akan melahirkan gerakan-gerakan baru yang
saling berseberangan. Hal ini terlihat ketika perjuangan agraria petani
Polobangkeng terpecah dalam dua aliansi, yaitu petani Polobangkeng
Selatan dan Polongbangkeng Utara.
Konflik agraria antara petani dengan Pabrik Gula Takalar terus
berlanjut sehingga penyelesaiannya diserahkan kepada pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan. Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Sulawesi
Selatan, mengundang sejumlah tokoh masyarakat Polobangkeng
dalam pertemuan segitiga antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan,
Pabrik Gula Takalar dan perwakilan petani Polongbangkeng.15 Hasil
pertemuan tersebut menghasilkan sebuah solusi yang dapat diterima
antara perwakilan petani dengan pihak Pabrik Gula Takalar, antara lain;
pertama pihak petani akan membentuk kelompok-kelompok tani untuk
mempersiapkan program tebu rakyat, kedua, pihak Pabrik Gula Takalar
menyerahkan kepada petani 10 persen dari luas lahan perkebunan yang
ada di Polongbangkeng.
Berdasarkan hasil pertemuan tersebut, terdapat sekitar 356 hektar
lahan perkebunan diserahkan kepada petani untuk dikelolah sebagai tebu
rakyat. Daeng Bani mempelopori terbentuknya kelompok-kelompok
tani dan mulai melaksanakan program tebu rakyat. Sistem kerja dari
program ini adalah petani mengelolah secara mandari lahan perkebunan
yang telah diberikan, kemudian pihak Pabrik Gula Takalar membeli tebu
dari petani.
15
82
Pada dasarnya beberapa kelompok petani yang lain tidak merasa terwakili dalam pertemuan
tersebut, terutama mereka yang berasal dari Polongbangkeng Utara.
Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21
Pelaksanaan program tebu rakyat di Polongbangkeng Selatan
ditanggapi berbeda oleh petani Polongbangkeng Utara. Sebagian besar
petani dari Polobangkeng Utara menolak hasil negosiasi antara Pabrik
Gula dengan petani yang difasilitasi oleh Gubernur Sulawesi Selatan.
Dalam pandang petani Polongbangkeng Utara bahwa negosiasi tersebut
hanya menguntungkan sepihak dan tidak mengembalikan hak tanah
petani. Perjuangan petani untuk mendapatkan hak atas tanahnya justru
tersesatkan oleh program tebu rakyat karena hak milik atas tanah petani
menjadi semakin kabur. Negosiasi antara aktor (yang mewakili petani)
dengan pihak perusahaan dalam pandangan sebagian petani hanya
menguntungkan golongan tertentu dan tidak menyentuh persoalan
petani. Gerakan petani Polongbangkeng seakan senyap sesaat dan
sewaktu-waktu akan meledak kembali. Karenanya, dalam pandangan
analisis aktor memperlihatkan gejala “siapa mendapatkan apa, dan
bagaimana mendapatkan?” keadaan ini melumpuhkan gerakan petani
dan malahirkan dualisme gerakan petani, antara petani yang mendukung
program tebu rakyat hasil negosiasi dan petani yang masih menuntut hak
atas tanah mereka.
C.
POTRET PEREMPUAN DALAM PERJUANGAN AGRARIA
Menelusuri jejak perempuan dalam gerakan agraria, ada baiknya
menerapkan teori Scoutt16 perlawanan sehari-hari (everyday form of
resistence) sebagai reaksi terhadap tekanan sehari-hari (everyday forms of
repression) dalam membaca narasi perjuangan perempuan. Kehidupan
petani menurut Scout, ditandai dengan hubungan moral. Sehingga
melahirkan moral ekonomi yang lebih menutamakan “dahulukan selamat”
dan menjauhkan garis bahaya. Moralitas mendahulukan keselamatan
inilah yang dijadikan faktor kunci oleh pendekatan moral ekonomi dalam
menjelaskan gerakan perlawanan petani.17 Scout menunjukkan bahwa
everyday form of resitence merupakan bentuk perlawanan terselubung bagi
petani sebagai reaksi terhadap everyday form of repression yang dilakukan
para tuan tanah, sebagai musuh bersama mereka. Apa yang digambarkan
Scoutt, tentang petani Sedaka di Malaysia, tidak jauh berbeda dengan
kondisi perempuan yang juga akan mengedepankan penyelamatan
16
17
James C. Soutt, 2000, Senjatanya orang-orang yang kalah, Yayasan obor Indonesia, jakarta
Mustain, petani v.s. Negara hal: 26
Penelitian Literatur
83
keberlangsungan kehidupan keluarga. Sebagai pengelola rumah tangga
yang tinggal di dalam rumah. Perempuan akan menerima dampak paling
berat dari tekanan hidup akibat sengketa tanah. Ketiadaan penghasilan
utama akibat hilangnya lahan mengharuskan perempuan mencari siasat
menyediakan kebutuhan pangan sehari-hari. Menghadapi kekerasan dari
aparat yang mencari anggota keluarga laki-laki yang dikriminalkan, entah
itu anak atau suami. Perempuan lah yang pertama menghadapi kekerasan
karena tujuan pertama yang akan dicari adalah rumah.
Siang, 29 Oktober 2009, di Desa Meranti Labuhan Batu Sumatera
Utara, para ibu menghadang petugas dan berteriak memprotes
penggusuran lahan garapan mereka. Ada yang sambil menggendong
anaknya, ada juga seorang ibu yang baru melahirkan dua bulan mengalami
perdarahan. Aksi itu juga diwarnai kenekatan para ibu membuka pakaian.
Sejumlah petugas yang semuanya laki-laki berbalik badan melihat para
ibu hanya mengenakan pakaian dalam. Para perempuan itu berhasil
mengusir petugas.18
Peristiwa di atas dapat dibaca sebagai berikut: Pertama, partisipasi
perempuan menuntut hak dalam konflik agraria sebagai warga negara
yang merasa dibaikan negara. Kedua, menempatkan perempuan di
garda depan sebagai strategi mengusir petugas. Dengan asumsi para
petugas yang mayoritas laki-laki merasa terganggu dengan “kelelakian”
mereka harus menghadapi perempuan. ketiga, tindakan menelanjangi
diri adalah tindakan yang dianggap luar biasa dan gila bagi orang
awam, karena bertentangan dengan akal sehat, adat dan agama. Dan
keempat, perempuan mengolah tabu menjadi senjata, tabu karena baik
bagi perempuan yang menanggalkan baju, maupun laki-laki (petugas:
pen) yang malu menyaksikan perempuan telanjang, entah itu karena
mereka punya ibu yang juga perempuan atau karena pengalaman mereka
bahwa tidak berbaju adalah saru (memalukan: pen), hingga para petugas
membalikkan badan melihat para ibu hanya mengenakan pakaian dalam.
1.
Strategi perjuangan
Cara konfrontatif adalah pendekatan dimana pihak-pihak saling
berhadapan. Saling menuntut, mempertahankan posisi dan berusaha
meyakinkan lawannya akan “kebenaran” posisinya atau bahakan
18
84
Laporan Headline News, Metro TV, 29 Oktober 2009
Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21
“memaksakan” posisi itu pada “lawannya.” Pendekatan ini mencakup
pendekatan seperti aksi politik, demontrasi, sabotase, kekerasan atau
ancaman kekerasan, penggunaan media massa, litigasi dan aksi legislative.
Sedangkan Kooperasi adalah usaha kerjasama dalam menyelesaikan
konflik. Cara-cara ini meliputi tawar-menawar (bargaining),perwasitan
(arbitase), dann berunding (negosiasi) dengan atau tanpa mediasi.19
Petani perempuan dan kelompok perempuan dalam memperjuangkan
haknya menggabungkan strategi konfrontatif dan kooperatif tergantung
situasi dan wilayah kerja. Yaitu aksi politik, demontrasi, menggunakan
media massa, litigasi dan aksi legislatif, bargaining dan negosiasi.
Kelompok perempuan20 yang berada di tingkatan kelas menengah
biasanya mereka yang mengambil peran aksi politik dengan menyuarakan
kepentingan perempuan di ranah politik, yang dalam prosenya juga
melakukan bargaining dengan pemangku kepentingan, melakukan litigasi
dan menggunakan media massa. Adapun petani perempuan yang berada
di pedesaan memperjuangkan dengan cara menggalang kekuatan dengan
berserikat, demontrasi, menguasai lahan, bargaining dengan pihak lawan
maupun petani laki-laki untuk menyuarakan kepentingannya.
2.
Tonggak perjuangan
Inisiatif perempuan terlibat dalam perjuangan pembaruan agraria
beberapa telah didokumentasikan, namun demikian, belum banyak
yang mengupas sejauhmana keterlibatan tersebut. Siapa aktornya, apa
yang dilakukan bagaimana strategi perempuan dalam mempertahankan
haknya. Jika di masa lalu pasca kemerdekaan gerakan pembaruan agraria
oleh perempuan tercatat pernah dilakukan Gerwani, seperti laporan
Komnas Perempuan;
Kampanye Gerwani agar perempuan terlibat dalam kegiatan politik
nasional mengusik organisasi-organisasi yang ingin berkonsentrasi pada
kegiatan social kemasyarakatan. Secara khusus, kedekatan Gerwani dengan
PKI menimbulkan kecurigaan bahwa Gerwani lebih mementingkan
politik partai daripada program-program yang berkaitan langsung dengan
19
20
ibid
Kelompok yang mendukung kesetaraan dan keadilan jender, tidak terbatas hanya perempuan
namun kelompok yang peduli untuk mewujudkan keadilan jender baik dari individu,
ormas, LSM, lembaga kajian, komisi naisonal yang terkait dengan kerja-kerja mewujudkan
keadilan jender.
Penelitian Literatur
85
kemandirian dan kesejahteraan perempuan pada umumnya. Salah satu
tindakan Gerwani yang dianggap merupakan dukungan bagi politik PKI,
adalah pada saat PKI menerapkan Undang-undang pokok agraria dan
undang-undang bagi hasil dalam bentuk “aksi sepihak,” yaitu tindakan
pematokan tanah perorangan oleh petani-petani tak bertanah. Bagi
organisasi-organisasi perempuan yang berazaskan agama, seperti Aisyah
dan Wanita Katolik, gerwani membawa prinsip-prinsip atheisme dan
komunisme yang sangat bertentangan dengan ajaran agama sehingga sulit
bagi organisasi-organisasi ini untuk bekerja sama21.
Salah satu yang terdokumentasi justru terjadi pada peristiwa
perebutan lahan di Indonesia pasca `65 yang dianggap sebagai tonggak
perlawanan pada masa orde baru. Adalah peristiwa Jenggawah di Jember
dan Siria ria di Tapanuli Utara pada tahun 197722 Penangkapan dan
kekerasan terhadap petani yang dilakukan oleh Negara dilakukan secara
sewenang-wenang dan tidak memandang jenis kelamin, usia dan kondisi.
Dalam kasus Siria-ria;
“Naiturpia boru Togatorop (50 tahun) turut berdemonstrasi kekantor
camat Dolok Sanggul menuntut pembebasan Jamedan dan Boni Siregar
yang ditangkap Kodim Tapanuli Utara dengan tuduhan melakukan pungli.
Wanita setengah baya ini dua hari mendekam dalam tahanan. Mereka
demonstrasi karena Jamedan dan Boni Siregar ditahan, dituduh melakukan
pungli. “Padahal kami ikhlas mengumpulkan uang bergotong-royong
membayar pengacara untuk memperjuangkan tanah kami,” ujar Naensas
boru Lumbangaol (40 tahun). Wanita beranak sembilan inilah yang sempat
merampas senapan seorang anggota Polri dan kandungannya keguguran
dalam tahanan23”.
Di alinea berikutnya, digambarkan perempuan yang berperan dalam
perjuangan agraria dan paling berkepentingan terhadap tanahnya;
“Di sebagian daerah Tapanuli Utara ini kaum wanita memang lebih
berperanan menggarap sawah ladang ketimbang pria yang lebih banyak
melewatkan waktu di kedai, main gitar atau catur sambil menikmati parmitu
(tuak). Jangan mengharap bisa bertemu para ibu di rumah jika mengunjungi
21
22
23
86
Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965, Laporan Pemantauan HAM
Perempuan, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender, Komnas Perempuan, tanpa
tahun, hal: 48
Tempo Online, 25 Agustus 1979
ibid
Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21
Siria-ria di siang hari. “Kami yang lebih merasa perlu dengan kebun kopi itu
daripada suami kami,” tukas Naensar boru Lumbangaol. Itulah sebabnya
mengapa para wanita yang bergerak berjuang mempertahankan tanah
mereka tatkala merasa hak mereka terancam.”24
3.
Dari “Tubuh” Menuju Perubahan
Teknik-teknik yang digunakan petani untuk menghadapi penggusuran
lahan yang melibatkan perempuan diantaranya: menempatkan ibu-ibu
di garis depan bahkan di depan buldozer untuk menunjukkan petugas
yang biasanya laki-laki mengingat ibunya, neneknya, atau saudara
peremuannya, seandainya mereka berada dalam posisi siap mati demi
mempertahankan tanahnya, karena eksekutor adalah manusia bukan
robot yang tidak punya hati.
Jika tekhnik ini tidak berhasil, selanjutnya para ibu membuka
pakaian didepan para petugas. Teknik membuka pakaian yang dilakukan
petani perempuan dalam aksi demontrasi mampu membuat petugas
eksekusi menunda penggusuran. Penundaan juga berarti keputusan
politik. Tekhnik ini mampu mngubah keputusan politik, meskipun
hanya sementara. Teknik tersebut adalah contoh skala ruang privat yang
mempengaruhi ruang publik. Dengan tubuhnya para petani perempuan
ingin mengingatkan dan menunjukkan kepada para petugas bahwa
dari tubuh perempuanlah manusia lahir. Dan menyusu pada payudara
perempuanlah manusia bergantung. Apakah ketika manusia dewasa
mengenakan seragam lalu mengubah asal usulnya sebagai bayi yang
lemah dan memperbolehkan petugas berbuat sewenang-wenang kepada
petani khususnya perempuan.
Teknik membuka pakaian tidak selalu berhasil mengusir petugas.
Hanya manusia yang tidak memiliki nurani yang tidak tergugah melihat
situasi perempuan tanpa pakaian, seperti yang dialami petani perempuan
di Pasir mandoge Sumatera Utara saat menghadang penggusuran yang
dilakukan oleh PT Bakrie Sumatera Plantations (PT BSP). Sebagaimana
disebutkan dalam kronologis penganiayaan petani di pasir mandoge
Sumatera Utara yang dimuat Pembaruan Tani (2006):25
24
25
ibid
Kronologis penganiayaan petani Pasir Mandoge sumatera Utara; (Pukul 08.30
WIB) Berdasarkan surat dari Fraksi Keadilan Sejahtera DPRD Asahan No.
87/F-PKS/DPRD-AS/2006 tentang himbauan agar PT BSP tidak melakukan
Penelitian Literatur
87
4.
Dari Pribadi menuju Perjuangan Bersama
Adalah Juniar Br. Tampubolon26, penerima penghargaan Pejuang
Petani Perempuan yang diberikan SPI dia adalah seorang ibu berusia 47
tahun memiliki 12 anak yang salah satunya diberi nama Campesina yang
berarti petani perempuan. Juniar sudah bergabung sejak Serikat Petani
Sumatera Utara (SPSU) yang kini masuk dalam ormas Serikat Petani
Inonesia (SPI). Juniar Br. Tampubolon selalu aktif dalam perjuangan
untuk merebut kembali hak atas tanah yang dikuasai oleh PT Bakrie
Sumatera Plantation (PT BSP). Seperti tercatat dalam kronologis
pengerjaan lahan dilahan yang diklaim oleh masyarakat Sei Kopas sampai ada
pembicaraan lebih lanjut di DPRD Asahan, maka sekelompok ibu-ibu dari Sei
Kopas, yaitu: Juniar Tampubolon, Tetti Tampubolon, Herlina Marbun, Nannaria
Manurung, Lina Manurung, Nursinah Manurung, Duna Samosir dan Br. Manalu,
melakukan diskusi ringan sekaligus memantau kondisi lahan di posko yang mereka
bangun di lahan konflik tersebut; (Pukul 14.00 WIB) Masuk dua buldoser ke
lokasi lahan dikawal ± 50 orang berpakaian petugas keamanan (seragam lengkap
berwarna biru-biru); (Pukul 14.30 WIB) Tujuh orang ibu-ibu menerobos ke
depan untuk menghadang buldoser, tapi mereka dipukul, ditendang, dan diseret
oleh petugas keamanan tersebut. Melihat strategi yang mereka lakukan tidak
berhasil, mereka memakai strategi aksi buka baju yaitu: Juniar Tampubolon, Tetti
Tampubolon,Duma Samosir, Rukiah, Lina Manurung dan Herliana Marbun.
Aksi ini tetap tidak berhasil menghadapi orang-orang dari PT BSP mereka
adalah: Satpam (± 50 orang), Brimob Polisi (5 orang) dan TNI (1 orang); (Pukul
15.45 WIB) Dua belas orang ibu-ibu masuk dari Sei Kopas karena mendengar
kawan-kawan mereka dianiaya. Mereka datang secara bertahap sampai pukul
16.00 WIB. Kedua belas ibu-ibu tersebut adalah: Priska Sihombing, Romenna
Manurung, Kamariah Manurung, Eilin Saragih, Minta Uli Sinaga, Rasmi Sirait,
Rospita Hutauruk, Mariana Marbun, Risma Uli, Neli Silalahi, Rusti dan Rukiah.
Perlawanan tetap tidak seimbang, karena pihak PT BSP mengejar ke segala arah
sampai ke atas pohon pun mereka kejar. Selama lebih setengah jam, kelompok
ibu-ibu ini memutuskan meninggalkan lahan karena kondisi benar-benar tidak
seimbang dan di tubuh penuh luka dan memar. Sampai mereka meninggalkan
lahan buldoser terus beraksi mengerjakan lahan; (Pukul 17.00 WIB) Lima belas
orang ibu-ibu melakukan pengaduan ke Polsek Bandar Pasir Mandoge dengan
nomor surat: STPL/05/II/2006/SPK atas nama Herliana Marbun. Pasal yang
mereka adukan adalah 352 KUHP. Sebagian lagi tidak ikut karena mereka masih
trauma dengan aparat. Kelima belas orang tersebut yaitu: Juniar Tampubolon,
Tetti Tampubolon, Herliana Marbun, Manaria Manurung, Cendi Maria, Rukiah,
Rumenna, Rasmi ,Rospita, Bimberi, Tiruma, Nurhini, Rusti, Teruma, Duma. Tiga
orang juga divisum et repertum yaitu Juniar Tampubolon, Herliana Marbun dan
Tetti Tampubolon. Sayangnya sampai sekarang belum ada respon yang memuaskan
oleh pihak kepolisian; (Asahan, 17 Februari 2006) Serikat Petani Sumatera Utara
26
88
Pembaruan tani, (2006), (2012)
Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21
2006 ibu ini sering mendapat tindak kekerasan dari aparat kepolisian
ketika terjadi bentrok di lapangan. Namun hal ini tidak menyurutkan
semangatnya untuk terus berjuang. Bersama dengan petani perempuan
lainnya dia selalu berada di garis terdepan dalam setiap aksi-aksi baik
aksi di lahan perjuangan maupun aksi demostrasi menyuarakan hak-hak
sebagai petani.
Saat ini, Mak Incet, begitu sapaan akrab perempuan ini, juga
sedang dikriminalisasi sebagai tahanan luar selama satu bulan dan masa
percobaan selama tiga bulan atas tuduhan menguasai lahan tanpa ijin
oleh Pengadilan Negeri Asahan. Tuduhan ini ditujukan kepadanya karena
mengelola lahan yang selama ini dikuasai oleh PT BSP.27
Kisah Sakiyem dari Blora28 memiliki strategi tersendiri menghadapi
para pihak Perhutani yang sangat ditakuti oleh masyarakat sekitar tempat
tinggalnya. Namun dia memberikan contoh perlawanan yang dianggap
luar biasa bagi penduduk setempat. menghadapi polisi hutan saat
suaminya harus lari karena akan ditangkap. Dan dengan caranya mampu
mengusi petugas yang akan mendatangi rumahnya karena diangga telah
mencuri kayu hutan untuk membangun rumah. Lalu melarang anakanaknya untuk menjadi polisi sebagai simbol perlawanan.
Perjuangan perempuan dalam menegakkan reforma agraria juga
ditempuh dengan cara memperkuat ekonomi keluarga. Dengan
membentuk koperasi di desa-desa. Mengembangkan pengetahuan
pertanian dengan tidak bergantung pada pupuk dan pestisida buatan
berbahan kimia.
Ernatati29 dari dari Sumatera Barat. Ernatati adalah Ketua Dewan
Pengurus Basis (DPB) SPI Solok Bio-Bio, yang beranggotakan perempuan.
Ernatati menginisiasi terbentuknya koperasi Bundo Saiyo tahun 2001.
Koperasi simpan pinjam ibentuk untuk mengurangi kecenderungan
ketergantungan petani kepada tengkulak. Dan memudahkan petani
gambir di kampungnya yang membutuhkan modal besar mulai dari
proses pembukaan lahan sampai pada masa panen. Yasinan menjadi media
berkumpulnya perempuan yang lalu dilanjutkan kegiatan koperasi yang
juga menciptakan ruang bagi perempuan mendiskusikan permasalahan
yang mereka hadapi.
27
28
29
ibid
Lihat Rahma Mery (2007)
Lihat Pembaruan tani (2012)
Penelitian Literatur
89
5.
Dari Kelompok Sektor Menuju Kepentingan Perempuan
Kamis, 17-18 Desember 1998 sekitar limaratus perempuan dari
berbagai kalangan30, termasuk kelompok petani, masyarakat miskin
desa dan wakil masyarakat adat perempuan berkumpul Aula UC UGM
Yogyakarta mendeklarasikan organisasi Koalisi perempuan Indonesia31.
Bercita-cita menghidupkan kembali gerakan perempuan berpolitik yang
pernah dihancurkan rezim orde Baru32. Dengan harapan bahwa kelompok
petani perempuan bersama dengan kelompok perempuan lainnya, bisa
ikut berpartisipasi menyuarakan berbagai permasalahn bangsa termasuk
konflik-konflik agraria. Saat itu Ning Sutiah seorang aktivis agraria dari
Malang terpilih sebagai Presidium nasional Kelompok Kepentingan
petani perempuan yang pertama. Inilah moment untuk pertama kalinya
pasca runtuhnya orde baru, perempuan berkumpul menyikapi situasi
politik saat itu, setelah sebelumnya menjadi bagian integral masyarakat
pro demokrasi melawan runtuhnya orde baru.33
Pada proses selanjutnya Koalisi Perempuan Indonesia adalah gerakan
yang bekerja di wilayah kebijakan. Konsentrasi arah gerakan pada isu
partisipasi perempuan dalam politik, anggaran berkeadilan jender dan
trafficking. Muara tiga isu ini dianggap sebagai celah untuk menyatukan
berbagai kepentingan kelompok perempuan yang tergabung saat itu.
Dengan asumsi bahwa ketimpangan yang terjadi selama ini karena
ketiadaan perempuan dan perspektif perempuan dalam pengambilan
kebijakan. Anggaran yang tidak sensitif jender serta pemiskinan
perempuan yang kemudian terjebak pada trafficking.
Perubahan struktur rupanya mengubah arah kebijakan di tingkatan
nasional. Peleburan kelompok kepentigan dengan menciutkan jumlah
wakil dalam presidium nasionl menjadi 5 orang membuat konsentrasi
30
31
32
33
90
Selain petani, perempuan yang berkumpul dari Masyarakat Adat, Lansia, Jompo dan
Cacat , Profesional , Pekerja Sektor Informal, Masyarakat Miskin Kota, Masyarakat Miskin
Desa, Pemuda dan Mahasiswa, Pekerja Seks, Buruh, Janda, Perempuan Kepala Rumah
Tangga dan Tidak Menikah, Anak Marjinal, Nelayan , Ibu Rumah Tangga, Lesbian,
Biseksual dan Transeksual. Koalisi Perempuan idonesia untuk keadilan dan Demokrasi,
1999, AD/ART Koalisi Perempuan idonesia untuk keadilan dan Demokrasi, Jakarta
Runtut Raut, 2008, film documenter Koalisi Perempuan Indonesia
Saskia Eleonora Wieringa, “Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia”, Garda
Budaya & Kalyanamitra, Jakarta, 1999.
Dian kartika sari dkk, 2010: 12 Balai Perempuan sebagai Organisasi Akar Rumput dalam
Menghadapi Tantangan Pemberdayaan di Padang Pariaman,
Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21
untuk isu reforma agraria terabaikan. Selain ketergantungan pada donor
yang diakui atau tidak mengarahkan tujuan program. Menyadari hal
tersbut kini koalisi perempuan berencana mengembalikan struktur
berdasarkan kelomok kepentingan. Pemberdayaan kelompok kepentingan
menjadi prioritas. Dan isu agrarian reform kembali disuarakan dengan
mengadakan temu petani perempuan se-NTB, serta advokasi memberi
masukan untuk RUU Desa, RUU pembangunan Pedesaan dan RUU
pangan yang tanggal 18 Oktober 2012 kemarin telah disahkan. Perlunya
memberi masukan terhadap RUU terkait peroalan agraria. RUU desa
misalnya, bagi koalisi perempuan dianggap belum menyentuh problem
social secara social, ekonomi, budaya dan politik. Di sisi lain, peran serta
masyarakat dalam pembahasan RUU Pedesaan, peran serta organisasi
perempuan / gerakan perempuan dalam pembahasan RUU Desa masih
sangat rendah, padahal lebih dari setengah penduduk desa adalah
perempuan, yang hidup dalam berbagai bentuk ketidakadilan.
Aliansi masyarakat Adat (AMAN) dalam kongres terakhir di Tobelo
juga melahirkan perempuan AMAN untuk menyuarakan kepentingan
perempuan dalam mayarakat adat. Wadah ini dibentuk dengan harapan
mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik dan bermartabat secara
budaya. Dalam siaran persnya Para perempuan adat ini juga telah
menunjuk wakil-wakil mereka, yakni Romba Marannu Sombolinggi’
(mewakili region Sulawesi), Aleta Baun (Bali-Nusa Tenggara), Surti
Handayani (Jawa), Sulasmi (Sumatera), Mardiana (Kalimantan), Yosefina
Efun (Papua), dan Badriah Fadel (Maluku), untuk duduk di Dewan
Nasional PEREMPUAN AMAN.34
D. PERJUANGAN AGRARIA DI MAHKAMAH KOSTITUSI
Pengujian UU terkait dengan sumber daya alam di MK adalah salah
satu strategi perjuangan agraria, perjuangan untuk membatalkan UU
yang dianggap merugikan hak-hak konstituisonal petani/warga negara,
strategi perjuangan agraria melalui pengujian UU memliki karakter
tersendiri dan berbeda dengan peradilan biasa, karena ada kepentingan
umum dalam putusan Mahkamah Konstitusi, misalnya yang mengajukan
permohonan adalah satu orang akan membawa akibat hukum pada orang
34
http://www.kongres4.aman.or.id/2012/04/perempuan-aman-menunjuk-para-wakilnya.asp
Penelitian Literatur
91
lain, lembaga negara, aparatur pemerintah dan masyarakat pada umum
Mahkamah Konstitusi Sejak menjalankan kewenangannya pada
tahun 2003 s/d 12 Juli 2012 berjumlah 166 UU yang telah di uji,
jumlah putusan 406, putusan yang dikabulkan 111, yang ditolak 128,
yang tidak diterima 126, yang ditarik kembali 41.35 ada cukup banyak
permohonan yang berkaitan dengan jucial review. Termasuk juga
pengujian undang-undang dibidang sumber daya alam/agraria, Dilihat
dari putusannya, tidak semua permohonan pengujian undang-undang
dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. pengujian undang-undang
dikabulkan baik dikabulkan seluruhnya maupun dikabulkan sebagian,
ditolak atau tidak diterima karena tidak memenuhi legal standing
sebagai pemohon.
35
92
Rekapitulasi Perkaran Pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Tahun 2003-2012. Lihat www. Mahkamahkonstitusi.go.id
Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERKAIT DENGAN AGRARIA
N0
Pemohon
No perkara
Judul Perkara
Putusan
Pengujian UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
1
2
3
Penelitian Literatur
4
1. Asosiasii Pengusaha Timah
Indonesia (APTI)
2. Asosiasi pertambangan Rakyat
Indonesia (ASTRADA) Prov.
Kepulauan bangka Belitung
1. Fatriansyah Aria
2. Fahrizan
1. WALHI; 2. PBHI; 3. KPA; 4.
KIARA; 5. Solidaritas Perempuan;
6. Nur Wenda dkk
1. Nunik Elizabeth Merukh
2. Yusuf Merukh dkk
30/PUUVIII/2010
Pasal 22 huruf f, Pasal 38, Pasal 52 ayat (1),
Pasal 55 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 61 ayat
(1), Pasal 75 ayat (4), Pasal 172,dan Pasal 173
ayat (2)
25/PUUVIII/2010
32/PUUVIII/2010
Pasal 22 huruf f dan Pasal 52 ayat (1)
121/PUUVII/2009
Pasal 6 ayat (1) huruf e jo. Pasal 9 ayat (2),
pasal 10 huruf b
Pasal 172
Di kabulkan Sebagian
DiKabulkan
Dikabulkan Sebagian
Ditolak
Pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah dengan UU No 9 Tahun 2004 tentang Perpu No 1 Tahun
2004
5
1. H. Muhammad Mawardi; 2.
Hambit Bintih; 3. Duwel Rawing
dkk
45/PUUIX/2011
Pasal 1 angka 3
Dikabulkan
93
94
Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21
6
Hendra Sugiharto (PT. Astra Sedaya
Finance), Bahrul Ilmi Yakup, S.H.,
dkk.
021/PUUII/2005
7
H. Andi Harahap
8
Pemohon: Mustav Sjab Kuasa
Pemohon: DR. Eddy Wirawan,
S.H., dkk
Hendra Sugiharto (PT. Astra Sedaya
Finance), Bahrul Ilmi Yakup, S.H.,
dkk.
72/PUUIII/2010
54/PUUVIII/2010
9
021/PUUIII/2005
10
DPP Persatuan Pengusaha Pelayaran
Rakyat (DPP LRA) HM.Yunus&
Drs H.Abd.Rasyid Gani Kuasa
Hukum: Dedi M.Lawe,SH, dkk
013/PUUIII/2005
11
ICEL, WALHI, YLBHI Lembaga
Advokasi Satwa, dkk. (Tim Advokasi
Penyelamatan Hutan Lindung)
003/PUUIII/2005
Pengujian UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang telah diubah berdasarkan
UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peraturan
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun
2004
Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g
DITOLAK
Perpu No.1 Tahun 2004 tentang Kehutanan
Pasal 83B
Penarikan Kembali
Pengujian UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang telah diubah berdasarkan
UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peraturan
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun
2004
Pengujian UU No. 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menjadi Undang-undang terhadap UUD 1945
Pengujian UU No. 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menjadi Undang-undang terhadap UUD 1945
Ditolak
Ditolak
Tidak dapt diterima
Ditolak
Pengujian UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
12
Lembaga Swadaya Masyarakat «Wira
Dharma»
54/PUUIX/2011
13
Pemohon : A. Fince Sondakh Kuasa
Pemohon : Shinta Marghiyana, S.H.,
dkk
20/PUUIX/2011
Pengujian UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria [Pasal
27]
UU No. 5 Tahun 1960: Pasal 19 ayat (1), (2)
huruf c, Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 40 huruf
e; PP No. 40 Tahun 1996: Pasal 30 huruf b,
huruf c, dan Pasal 35 ayat (1) huruf e; PP No.
24 Tahun 1997 [Pasal 24 ayat (1) huruf k dan
huruf m
Tidak Dapat Diterima
Ketetapan
Pengujian UU No. 18 Tahun 2004 tentang perkebunan
14.
1. Japin; 2. Vitalis Andi; 3. Sakri; dan
4. Ngatimin Alias Keling
15
Johnson Panjaitan,SH dkk
(WALHI,PBHI,dll)
unarman, SH dkk (Tim Advokasi
Rakyat untuk Hak atas Air)
Suta Widhya., dkk
55/PUUIII/2010
Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan (2)
Dikabulkan
Pengujian UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
Penelitian Literatur
16
17
18
95
Tim Advokasi Keadilan Sumberdaya
Alam ) Suyanto, Bambang
Widjojanto, SH.,LLM
060/PUUII/2004
058/PUUII/2004
063/PUUII/2004
008/PUUIII/2005
Pengujian UU No. 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air
Pengujian UU No. 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air
Pengujian UU No. 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air
Pengujian UU No. 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air
DITOLAK
DITOLAK
DITOLAK
DITOLAK
96
19
Johnson Panjaitan,SH dkk
(WALHI,PBHI,dll)
Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21
16
Dorma H. Sinaga, SH, Ketua
Umum APHI Cs
1) Zainal Arifin, 2) Sonny Keraf,
3) Alvin Lie, 4) Ismayatun, 5)
Hendarso Hadiparmono, 6)
Bambang Wuryanto, 7) Dradjad
Wibowo, 8) Tjatur Sapto Edy
059/PUUII/2004
Pengujian UU No. 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya
DITOLAK
Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas
17
002/
PUU-I/2003
20/
PUU-V/2007
Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang
Migas
Pengujian UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi terhadap UUD 1945
Mengabulkan Sebagian
Tidak Dapat Diterima
Pengujian UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah
18
Uung Gunawan
70/PUUVIII/2010
Pasal 6 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b
Ditolak
Pengujian UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Keci
19
: (1) KIARA; (2) IHCS; (3) KP2PM;
(4) KPA; (5) SPI; (6) Yayasan Bina
Desa Sadawija; (7) YLBHI; (8)
WALHI; (9) API; (10) Tiharom;
(11) Waun, dkk
3/PUUVIII/2010
Pasal 1 angka 4, 7, 18, Pasal 14 ayat (1), Pasal
16 ayat (1), Pasal 18, Pasal 20, Pasal 21, Pasal
23 ayat (2), (4), (5), (6), dan Pasal 60 ayat (1)
Dikabulkan Sebagian
Bila di lihat tabel diatas, terlihat siapa saja para aktor perjuangan
agraria, bagaimana mereka berjuang, strategi apa yang mereka perjuangkan,
dan apa hasil dari perjuangan itu. Di bawah ini akan diuraikan hanya
perjuangan para petani untuk membatalkan pasal 21 junto 47 UU No 19
Tahun 2004 tentang Perkebunan.
1.
Perjuangan Petani atas hak-hak konstitusional dibidang
perkebunan
Sejak disahkan pada 11 Agustus 2004 oleh Presiden Megawati
Soekarnoputri, UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan selalu saja
memunculkan kontroversi dalam kehidupan masyarakat. Menurut
catatan SPI (Serikat Petani Indonesia) sejak diberlakukannya UndangUndang (UU) Perkebunan No 18 Tahun 2004, Eskalasi kekerasan
terhadap petani di Indonesia berbanding lurus dengan ekspansi lahan
perkebunan, baik itu milik swasta maupun pemerintah. dalam empat
tahun terakhir sedikitnya 23 petani tewas dalam 183 kasus bentrok
bersenjata. Insiden tersebut menyeret 668 petani dikriminalkan dan
82.726 keluarga tergusur. Konflik agraria di awal 2011 telah menyebabkan
11 petani meninggal, 44 orang mengalami luka, baik ringan maupun
berat, tujuh orang ditahan, dan ratusan rumah serta tanaman masyarakat
dirusak.36 Banyaknya kriminalisasi petani yang diakibatkan ketentuan
dalam UU Perkebunan pada akhirnya memicu empat petani mengajukan
Pengujian Pasal 21 jo. Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 18 tahun
2004 tentang Perkebunan terhadap UUD1945 di Mahkamah Konstitusi.
Keempat petani ini merupakan korban akibat adanya ketentuan pasal
21UUPerkebunan.
Adalah Japin dan Vitalis Andi, dua petani dari Kabupaten Ketapang,
Kalimantan Barat, Japin yang memiliki tanah yang mana tanahnya
digunakan oleh perusahaan perkebunan swasta sebagai lahan perkebunan.
Japin bersama-sama dengan masyarakat lainnya telah melakukan berbagai
upaya untuk mencegah dan menghentikan pengambilalihan tanahnya,
namun tidak berhasil, dalam rangka menuntut dikembalikannya hak atas
tanahnya Japin seringkali melakukan upaya-upaya untuk mengembalikan
hak atas tanahnya yang dipergunakan perkebunan, antara lain dengan
dialog dan aksi-aksi demonstrasi. Sedangkan Vitalis Andi bersama36
Pembaharuan Tani EDISI 88 JUNI 2011. Hal 2
Penelitian Literatur
97
sama giat memimpin dikembalikannya tanah-tanah yang dirampas dan
digunakan perusahaan perkebunan swasta sebagai lahan perkebunan serta
bersama-sama dengan masyarakat lainnya telah melakukan berbagai upaya
untuk mencegah dan menghentikan pengrusakan dan penggusuran tanah
adat masyarakat Silat Hulu, baik melalui musyawarah, audiensi, tuntutan
langsung ataupun laporan kepada pemerintah daerah serta Komnas
HAM, namun tidak pernah dihiraukan, dengan dilakukannya upayaupaya untuk mengembalikan hak atas tanah yang digunakan perusahaan
perkebunan. Bahkan kedua petani tersebut justru dijerat kriminalisasi
seperti diatur dalam Pasal 21 UU Perkebunan. Keduanya telah diputus
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana:
“Turut serta dengan sengaja melakukan tindakan yang mengakibatkan
terganggunya usaha perkebunan” dan dipidana penjara masing-masing
selama 1 (satu) tahun oleh Pengadilan Negeri Ketapang.37
Sakri, merupakan petani Desa Soso, Kecamatan Gandusari,
Kabupaten Blitar, Jawa Timur yang menggarap lahan tanah negara bekas
hak erfpacht yang dikuasai PT. Kismo Handayani—yang berlokasi di
Desa Soso, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar. Sakri menggarap
lahan tersebut atas dasar Surat Keputusan Menteri Agraria tanggal 26 Mei
1964 Nomor 49/KA/64, yang menyatakan perkebunan Nyunyur harus
meredistribusikan tanah seluas 100 Ha kepada masyarakat yang pernah
menduduki dan menggarap dan dalam rangka meminta kejelasan status
lahan yang digarapnya Sakri seringkali melakukan usaha-usaha dan kegiatan
untuk mendapatkan hak atas tanah yang digarapnya, antara lain melalui
dialog, audiensi, mediasi, dan aksi-aksi demonstrasi di wilayah kantor
perusahaan perkebunan PT. Kismo Handayani dan lahan perkebunannya.
Aksi ini bertujuan untuk meminta perhatian yang lebih dari PT. Kismo
Handayani untuk duduk bersama membahas dan mendiskusikan upaya
penyelesaian atas sengketa yang terjadi. Karena lahan yang menjadi
sengketa tersebut sudah lama tidak ditanami dan tidak diurus, namun
dirinya justru dilaporkan oleh PT. Kismo Handayani. Sakri pun telah
divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Blitar juga dengan Pasal 21 Jo.
Pasal 47 UU Perkebunan, pada tahun 2009. Sakri sebenarnya cuma ingin
menuntut kejelasan status lahan yang digarapnya dengan jalan mediasi,
dialog, dan demonstrasi. Namun kenyataan berkata lain.
37
98
Putusan perkara pidana nomor 151/Pid.B/2010/PN.KTP, tertanggal 28 Februari 2011
Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21
Ngatimin alias Keling merupakan petani yang tinggal di Dusun III
Suka Rakyat Desa Pergulaan, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang
Bedagai, Provinsi Sumatera Utara, serta salah satu pemilik tanah yang
diklaim dan masuk menjadi bagian HGU perusahaan PT. PP. London
Sumatera (Lonsum) Tbk. Ngatimin alias Keling menganggap ada hak
yang dirampas oleh PT. PP Lonsum Tbk. Sakri sendiri menggarap lahan
tersebut berdasarkan SK Menteri Agraria tanggal 26 Mei 1964. No. 49/
KA/64, namun dirinya justru dilaporkan oleh PP. London Sumatera
(Lonsum) Tbk. Ngatimin alias Keling pun telah divonis bersalah oleh
Pengadilan Negeri Blitar juga dengan Pasal 21 Jo. Pasal 47 UU Perkebunan.
Pada 20 Agustus 2010 keempat petani tersebut mendaftarkan
permohonan pengujian Pasal 21 jo. Pasal 47 UU No. 18 tahun 2004
tentang Perkebunan terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi. Para
Petani melalui kuasa hukumnya, Public Interest Lawyers Network (PILNet) meminta agar Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan Pasal
21 dan Pasal 47UUPerkebunan. Karena bertentangan dengan Pasal 1
Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28C Ayat (1), dan Pasal 28G Ayat (1)
UUD 1945.
Memang tidak dapat dipungkiri Perkebunan mempunyai peranan
yang penting dan strategis dalam pembangunan nasional, terutama
dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, penerimaan
devisa negara, penyediaan lapangan kerja, perolehan nilai tambah dan
daya saing, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan
baku industri dalam negeri serta optimalisasi pengelolaan sumber
daya alam secara berkelanjutan. Untuk mendukung dan mendorong
sektor perkebunan pemerintah telah melakukan berbagai upaya yang
mempermudah peningkatan investasi modal dalam bidang perkebunan,
antara lain dengan dikeluarkannya kebijakan yang pro investasi dan
penyediaan lahan yang cukup untuk perkebunan.
Namun dari keberhasilan dari perkebunan, menurut Stepanus
Djuweng juga menciptakan dampak negatif proyek perkebunan;
1). Rusaknya Lingkungan; 2) Rusaknya kehidupan masyarakat adat,
ketergantungan ekonomi; 3). Pemusatan perolehan lahan; 4)Monopoli
dan korupsi.38
38
Indonesia: Demokratisasi di Era Globalisasi, Konferensi INFID ke-11, Bornn-Jerman, 4-6
Mei 1998. Hal. 103-106
Penelitian Literatur
99
Dengan lahirnya UU perkebunan memicu berbagai permasalahan;
pertama pengawasan pemerintah yang tidak memadai terhadap praktik
perusahaan perkebunan dalam mengelola usaha perkebunannya yang
seringkali melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan
hak asasi manusia, khususnya petani dan masyarakat adat di sekitar
wilayah perkebunan, kedua, aparat penegak hukum yang seringkali
tidak peka terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat dan petani
di sekitar wilayah perkebunan. Konflik pertanahan antara masyarakat/
petani dengan perusahaan perkebunan seringkali ditindaklanjuti dengan
penangkapan dan penahanan, bahkan pengajuan masyarakat/petani ke
pengadilan, tanpa melihat latar belakang permasalahan yang muncul,
yaitu ketimpangan dalam hal pemilikan, penguasaan, dan pengelolaan
sumber daya alam. Akibatnya, banyak sekali kriminalisasi terhadap
masyarakat/petani sebagai akibat dari konflik pertanahan di sekitar
wilayah perkebunan, ketiga, UU 18/2004 membuka ruang yang luas bagi
pelestarian eksploitasi secara besarbesaran pengusaha perkebunan terhadap
lahan perkebunan dan rakyat, serta menciptakan adanya ketergantungan
rakyat terhadap pengusaha perkebunan. Hal ini disebabkan karena tidak
adanya pengaturan mengenai luas maksimum dan luas minimum tanah
yang dapat dijadikan sebagai lahan perkebunan, yang pada akhirnya
menimbulkan adanya konsentrasi hak penggunaan tanah yang berlebihan
oleh pihak pengusaha. Implikasi lebih lanjutnya adalah sebagian besar hak
guna usaha yang dimiliki pengusaha perkebunan lambat laun menggusur
keberadaan masyarakat adat atau petani yang berada di sekitar atau di
dalam lahan perkebunan. Akibatnya masyarakat adat atau petani tersebut
tidak lagi memiliki akses terhadap hak milik yang telah turun temurun
mereka kuasai atau bahkan kehilangan lahannya; Undang-Undang
Perkebunan juga dinilai sangat menguntungkan pihak pengusaha atau
perusahaan perkebunan, terutama dengan adanya pengakuan bersyarat
terhadap tanah masyarakat adat yang tanahnya diperlukan untuk lahan
perkebunan, dimana masyarakat hukum adat tersebut baru diakui apabila
masyarakat adat dapat membuktikan bahwa menurut kenyataannya
(masyarakat adat tersebut) masih ada;
100
Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21
Para petani mengugat UU no 18 tahun 2004 pasal 21 jo 47
Pasal 21
Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada
kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan
tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya
usaha perkebunan
Pejelasan:
Yang dimaksud dengan tindakan yang mengakibatkan pada kerusakan
kebun adalah suatu perbuatan yang menimbulkan kerusakan pada
tanaman, antara lain, penebangan pohon, panen paksa, atau pembakaran
sehingga kebun tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Yang
dimaksud dengan penggunaan tanah perkebunan tanpa izin adalah
tindakan okupasi tanah tanpa seizin pemilik hak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Yang dimaksud dengan tindakan lain yang
mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan adalah, antara lain,
tindakan yang mengganggu pekerja sehingga tidak dapat melakukan
panen atau pemeliharaan kebun sebagaimana mestinya.
Unsur-unsur ketentuan pidana Pasal 21 tersebut ialah: a. setiap
orang; b. Dilarang; melakukan tindakan yang berakibat kerusakan kebun
dan/atau aset lainnya; c. penggunaan tanah perkebunan tanpa izin; d.
dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha
perkebunan. Unsur dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada
kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, merupakan rumusan pasal yang
terlalu luas. Sehingga dapat ditafsirkan secara terbuka dan luas oleh
penguasa dan perusahaan perkebunan. Sedangkan dalam Penjelasannya
menyatakan, “Yang dimaksud dengan penggunaan tanah perkebunan
tanpa izin adalah tindakan okupasi tanah tanpa izin pemilik sesuai dengan
peraturan perundang-undangan”. Tindakan okupasi tanah tanpa izin
pemilik merupakan peristiwa atau kasus yang sudah terjadi sejak zaman
Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda telah memberikan banyak
konsesi tanah kepada pemilik modal yang diberikan dalam bentuk hak
erfpach. Tanah yang menjadi objek hak erfpacht tersebut diberikan tanpa
batas yang jelas, sehingga seringkali melanggar hak atas tanah-tanah
yang dikuasai (hak ulayat) atau dimiliki rakyat berdasarkan hukum adat
(erfelijk individueel bezitrecht), sehingga menimbulkan konflik antara
pemilik hak erfpacht dengan masyarakat adat yang menguasai hak ulayat.
Penelitian Literatur
101
Undang-Undang Nomor 51/Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian
Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya juga menekankan jalan
musyawarah untuk menyelesaikannya. Peraturan Menteri Pertanian dan
Agraria Nomor 11 Tahun 1962, mengecualikan pemberian hak guna
usaha kepada swasta nasional atas bagian tanah bekas areal perkebunan
besar yang sudah merupakan perkampungan rakyat, diusahakan rakyat
secara tetap, dan tidak diperlukan oleh Pemerintah. Malahan, Pasal
10 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979
menyatakan tanah-tanah perkebunan yang diduduki rakyat tersebut
dengan pertimbangan teknis dan seterusnya, akan diberikan suatu hak
baru kepada rakyat;
Dengan demikian penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud Pasal
47 ayat (1) dan (2) Undang-Undang a quo tidak tepat jika hal tersebut
dikenakan terhadap orang yang menduduki tanah berdasarkan hukum
adat karena timbulnya hak-hak adat adalah atas dasar ipso facto. Artinya
seseorang membuka, mengerjakan dan memanen hasilnya atas kenyataan
bahwa ia telah mengerjakan tanah tersebut secara intensif dalam waktu
yang lama, sehingga hubungan seseorang dengan tanah semakin
intensif, sebaliknya hubungan tanah dengan hak ulayat semakin lemah.
Adapun pemberian hak-hak baru dalam bentuk hak guna usaha atau
hak pakai berdasarkan ipso jure, yang mendasarkan diri pada ketentuan
perundangundangan
Pasal 47
Ayat (1):
Ayat (2):
102
Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan
tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset
lainnya,penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan tindakan yang
berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya
yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp.
2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21
Unsur-unsur Pasal 47 UU a quo: (1) Setiap orang dengan sengaja
dan/atau kelalaiannya; (2) Melanggar Iarangan melakukan tindakan yang
berakibat pada kerusakan kebun atau aset lainnya; (3) Penggunaan lahan
tanpa izin; (4) Tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya
usaha perkebunan; (5) Unsur pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) bagi
yang sengaja melanggar Iarangan, dan pidana paling lama 2 (dua) tahun 6
(enam) bulan dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar
lima ratus juta rupiah);
Rumusan delik dalam Pasal 47 ayat (1), dan ayat (2) juncto Pasal
21 Undang-Undang a quo berpotensi disalahgunakan secara sewenangwenang. Hal demikian bertentangan dengan prinsip negara hukum
yang adil, kepastian hukum (legal certainty), asas legalitas dan asas
prediktabilitas, serta perlindungan terhadap hak asasi manusia pada
umumnya. Sebagai suatu rumusan perundangundangan, pembuat
Undang-Undang harus merumuskannya secara rinci mengenai perbuatan
pidananya (nullum crimen sine lege stricta);
2.
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU 18 Tahun
2004 tentang Perkebunan
Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan Nomor 55/PUUVIII/2010 yang substansi dasar dari putusn tersebut telah membatalkan
pasal 21 and 47 Undang-Undang Perkebunan No.18 Tahun 2004, karena
dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak
mempuyai kekuatan hukum yang mengikat. Pasal tersebut merupakan
pasal atau ketentuan pidana yang ada pada UU No. 18 Tahun 2004, yang
dalam prakteknya telah menjadi pasal yang ampuh bagi aparat penegak
hukum dalam melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang
melakukan aktivitas disekitar perkebunan.
Berkenaan dengan implikasi putusan MK terhadap UU Perkebunan
tersebut, sesungguhnya hanya menyangkut keberadaan merekamereka yang oleh aparat penegak hukum diperiksa berkenaan dengan
pelanggara pasal 21 jo. 47 UU No. 18 Tahun 2004. Pertanyaan yang
muncul berkenaan dengan implikasi dibatalkannya pasal 21 jo. 47 UU
No. 18 tahun 2004 adalah bagaimana status hukum masyarakat yang
telah ditahan, diperiksa atau yang sudah dihukum baik sebelum maupun
Penelitian Literatur
103
sesudah tanggal 19 Sept 2011, terhadap hal ini kiranya ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah:
1.
2.
Bahwa semua kasus yang telah diputus oleh pengadilan dan sudah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka terhadapnya tetap
harus menghormati putusan peradilan umum tersebut, hal ini
dikarenakan putusan mahkamah konstitusi tidak berlaku surut,
artinya setelah tanggal tersebut, maka orang/masyarakat tidak lagi
dapat dikenakan pasal 21 jo. 47 UU No. 18 Tahun 2004.
Lalu bagaimana kemudian terhadap kasus dimana sampai dengan
tanggal tersebut bulan juga memperoleh kekuatan hukum tetap,
maka terhadap kasus tersebut harus dihentikan/melepaskan tuntutan
karena landasan atau pijakan hukum yang menjadi dasar diperiksanya
masyarakat dinyatakan tidak berlaku lagi.
Misalnya Eko Kristiawan, SH. bin Kristiono pendamping warga
Desa Damar Makmur, Kotawaringin Timur, Kalteng pada tanggal 5
Agustus 2011 divonis bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja
menyuruh melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya
usaha perkebunan secara berlanjut” sebagaimana diatur Pasal 21 dan
Pasal 47 UU Perkebunan dan dihukum penjara 10 bulan dan denda
sebanyak Rp 5.000.000,- oleh Pengadilan Negeri Sampit. Yang memiliki
konflik lahan dengan PT. Hutan Sawit Lestari sejak 2008, Atas putusan
PN Sampit, Eko pun mengajukan Banding kepada Pengadilan Tinggi
Kalimantan Tengah pada tanggal 5 Agustus 2011, sesaat setelah Putusan
dibacakan. Dalam memori Banding yang dibuat Eko tertanggal 13
Agustus 2011 dan tambahan memori banding pada tertanggal 19
September yang diserahkan pada 26 September 2011 (berisi putusan MK
tentang Pengujian Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan), memberikan
alasan bahwa Pasal yang digunakan PN Sampit untuk menghukumnya
telah dibatalkan oleh MK. pada tanggal 17 Oktober 2011 pun memutus
perkara Eko dengan putusan membatalkan putusan Pengadilan Negeri
Sampit tanggal 5 Agustus 2011 Nomor: 212/Pid.Sus/2011/PN.Spt.39
39
104
http://www.elsam.or.id/new/elsam_v2.php?id=1694&lang=en&act=view&cat=c/101.
diakses tanggal 4 Juli 2012
Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21
E. KESIMPULAN
1.
Pembukaan lahan perkebunan tebu di Takalar yang diawali dengan
pembebasan lahan petani melibatkan karaeng sebagai elit lokal yang
mengontrol. Akibatnya terjadi manipulasi laporan pembebasan lahan
yang dilakukan oleh kareng (elit desa) merugikan petani. Walaupun
protes-protes petani muncul dan tidak mempengaruhi proses
pembebasan lahan tetapi setidaknya menimbulkan dampak yang lebih
jauh menyangkut hubungan petani dengan perusahaan yang tidak
harmonis. Dengan demikian, sejak pembukaan Pabrik Gula Takalar
telah melahirkan distorsi yang tajam antara petani dengan perusahaan
perkebunan. Aktor konflik agraria di Polombangkeng sejak periode
awal telah melibatkan kareang (elit desa) sebagai kelompok yang
diuntungkan (selain pihak perusahaan) dalam pembukaan Pabrik
Gula Takalar. Resistensi petani terhadap Pabrik Gula Takalar pada
perode Orde Baru hanya memperlihatkan gejala perlawatan perspektif
Scottian, berupa perlawanan bersifat terselubung. Ini disebabkan
karena ruang protes yang hampir tidak ada akibat dari sikap represif
negara yang mendominasi di era Orde Baru. Namun sikap-sikap petani
yang diluar pagar perusahaan sangat nyata memperlihatkan kekecewan
terhadap perusahaan menyangkut masalah ketenagakerjaan, perhatian
sarana pedesaan yang tidak mendapat dukungan perusahaan, limbah
perusahaan dan lain sebagainya. Di era reformasi gerakan petani untuk
menuntut hak atas tanah mereka justru dipelopori oleh elit desa.
Suatu keadaan berbanding terbalik pada periode pembukaan lahan
perkebunan. Semakin keras gerakan petani menyentuh perusahaan
dan struktur kekuasaan politik di Takalar maka semakin tinggi pula
intensitas tawaran negosiasi kepada elit desa untuk meredam aksi
petani. Dalam konteks ini, ruang munculnya kontradiksi kepentingan
antara pentai dengan elit desa (aktor) semakin terbuka lebar namun
tersamar. Gerakan petani Polobangkeng sejak periode pembukaan
Pabrik Gula Takalar memperlihatkan perubahan-perubahan pola
dan strategi. Pada periode pembukaan lahan perkebunan, petani
melakukan protes terhadap elit lokal yang telah memanipulasi hak atas
tanah mereka. Konflik antara petani dengan perusahaan yang bersifat
samar mulai tampak pada era reformasi. Akan tetapi, aktor konflik
agraria antara petani dengan perusahaan tetap melibatkan elit lokal
walaupun ruang dan posisi yang berbeda. Pada periode pembukaan
Penelitian Literatur
105
2.
3.
106
lahan, elit lokal berkualisi dengan pihak perusahaan untuk meredam
protes petani. Elit lokal memanfaatkan posisi mereka dalam struktur
sosial dalam mengekslpoitasi petani. Pada era refomasi elit lokal
(desa) menjadi pelopor gerakan dan berdiri bersama petani melawan
perushaan untuk mendapatkan hak atas tanah mereka.
Perjuangan Perempauan mewujudkan reforma agraria dalam skala
kecil atau besar, di ruang sempit atau luas, baik yang terang-terangan
atau yang tersembunyi patut untuk diapresiasi. Memperjuagkan
tanah adalah memperjuangkan kemerdekaan. Dan merdeka adalah
jalan menuju kesejahteraan. Menyejahterakan bangsa berarti
menyejahterakan perempuan. Karena dari perempuanlah generasi
bangsa dilahirkan.
Orang sering menilai bahwa penghambat pembangunan adalah,
kemiskinan, kebodohan, pendidikan rendah, kerusakan lingkungan,
kepandatan penduduk namun sering di lupakan bahwa timbulnya
kemiskinan dan kebodohan dan lain sebagainya itu sumber nya
adalah dampak dari berlakunya hukum yang tidak berpihak kepada
rakyat, dampak negatif dari berlakunya hukum yang menyebabkan
ketimpangan sumber daya alam, baik dengan alasan pembangunan
maupun dengan alasan pertumbuhan ekonomi nasional, hal ini yang
mengakibatkan petani semakin jauh dengan tanah sebagai sumber
penghidupan dirinya. Dampak negatif belakunya hukum tentu harus
di perjuangkan untuk dibatalkan, dengan cara melakukan uji maeri
ke mahkamah konstitusi. Mahkamah Konstitusi Sejak menjalankan
kewenangannya pada tahun 2003 s/d 12 Juli 2012 berjumlah 166
UU yang telah di uji, jumlah putusan 406, putusan yang dikabulkan
111, yang ditolak 128, yang tidak diterima 126, yang ditarik kembali
41. ada cukup banyak permohonan yang berkaitan dengan jucial
review. Termasuk juga pengujian undang-undang dibidang sumber
daya alam/agraria, Dilihat dari putusannya, tidak semua permohonan
pengujian undang-undang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
pengujian undang-undang dikabulkan baik dikabulkan seluruhnya
maupun dikabulkan sebagian, ditolak atau tidak diterima karena tidak
memenuhi legal standing sebagai pemohon.
Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bachriadi, dan Gunawan Wiradi, Enam Dekade Ketimpangan. Jakarta:
Bina Desa, ARC, KPA, 2011.
Kartini E, Elisa. Samon dan Syahroni, Tanah untuk Kehidupan:
Perjuangan Reforma Agraria di Suka Maju, Tanjung Jabung Timur,
Jambi. Jakarta: Petani Press & FSPI, 2007.
Mary, Rahma, Dhani Armanto, Lukito, Dominasi dan Resistensi Pegelolaan
Hutan di Jawa tengah, Jakarta: Huma, LBH Semarang, 2007.
Mustain, Petani VS Negara; Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni
Negara, Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2007
Sari, Dian kartika dkk, Balai Perempuan sebagai Organisasi Akar Rumput
dalam Menghadapi Tantangan Pemberdayaan di Padang Pariaman,
2010
Sulistiyo, Bambang, Konflik-konflik Tanah di Perkebunan Tebu Pabrik
Gula Takalar, 2011
Soutt, James C. Senjatanya orang-orang yang kalah, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta 2000.
Thalib, H. Hambali, Sanksi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan;
Kebijakan Alternatif Penyelesaian Konflik Pertanahan di Luar
Kondifikasi Hukum Pidana, cet kedua, kencana:Jakarta,1999.
Wieringa, Saskia Eleonora, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia,
Jakarta: Garda Budaya & Kalyanamitra, 1999.
Makalah, Jurnal dan Internet
Achmad Sodiki, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan
tema “ Penanganan dan Penyelesaian Konflik Agraria sebagai
Kewajiban Konstitusi”, yang diselenggarakan oleh Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA), Jakarta, tanggal 13 Maret 2012.
Noer Fauzi Rahman, “Karakterisasi Konflik Agraria”. Paper disampaikan
pada Kursus Agraria di STPN, Juni 2012.
Penelitian Literatur
107
Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965, Laporan
Pemantauan HAM Perempuan, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Berbasis Jender, Komnas Perempuan, tanpa tahun,
http://www.kongres4.aman.or.id/2012/04/perempuan-amanmenunjuk-para-wakilnya.asp
http://www. Mahkamahkonstitusi.go.id
http://www.elsam.or.id/new/elsam_v2.php?id=1694&lang=en&act=vie
w&cat=c/101
Peraturan
PP No.4 Tahun 1959, LN 1959 No.7
PP No.12Tahun 1959,LN1959 No.22
PP No.18 Tahun 1959,LN 1959 No.30
PP No.19/1959, LN 1959 No.31.
Mahklumat Kementrian Kemakmuran No.4 tanggal 5 Oktober 1945
tentang “Hal perlunja diadakan pengawasan atas Perusahaan:
(Berita RI tahun I N0.1 hal.6 kolom 3).
Keputusan Menteri Pertanian No. 689/Kpts/81 tanggal 11 Agustus 1981
tentang pembentukan proyek pabrik gula takalar PT. Perkebunan
XXIV-XXV (Persero). Reg. 402, Arsip Kabupaten Takalar.
Putusan perkara pidana nomor 151/Pid.B/2010/PN.KTP, tertanggal 28
Februari 2011
108
Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21