LASEM
DALAM RONA SEJARAH NUSANTARA
ISBN: 978-623-91488-6-7
Sebuah Kajian Arkeologis
SUGENG RIYANTO - AGNI SESARIA MOCHTAR
HERY PRISWANTO - ALIFAH - PUTRI NOVITA TANIARDI
LASEM
DALAM RONA SEJARAH NUSANTARA
Sebuah Kajian Arkeologis
SUGENG RIYANTO
AGNI SESARIA MOCHTAR
HERY PRISWANTO
ALIFAH
PUTRI NOVITA TANIARDI
ii
Sambutan Kepala Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
SAMBUTAN
KEPALA BALAI ARKEOLOGI
PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
LASEM DALAM RONA SEJARAH NUSANTARA
Sebuah Kajian Arkeologis
ISBN: 978-623-91488-6-7
Penanggung jawab
Kepala Balai Arkeologi Provinsi Daerah lstimewa Yogyakarta
Drs. Sugeng Riyanto, M.Hum
Lasem, yang masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Rembang, Jawa
Tengah, memiliki riwayat yang panjang; Lasem juga memiliki data arkeologi
Editor
Novida Abbas
sebagai cagar budaya yang mencerminkan riwayatnya. Oleh karenanya, Lasem
dapat ditempatkan sebagai salah satu mata rantai lintasan sejarah Nusantara,
bagian integral dari sejarah dan pengalaman panjang bangsa Indonesia. Itulah
Penulis
Sugeng Riyanto
Agni Sesaria Mochtar
Hery Priswanto
Alifah
Putri Novita Taniardi
sebagian gambaran isi buku yang berjudul “Lasem dalam Rona Sejarah
Nusantara”. Terbitnya buku yang berisi hasil penelitian Balai Arkeologi Provinsi
D.I. Yogyakarta di Lasem ini sungguh patut disyukuri dan karenanya saya tidak
lupa untuk memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sebagai materi publikasi yang ditulis berdasarkan hasil penelitian, topik ini
Layout
Hari Wibowo
Tedy Setiadi
Shoim Abdul Aziz
Jentera Intermedia
memiliki beberapa dimensi yang strategis, sangat mungkin terdapat informasi
yang belum banyak diketahui oleh masyarakat. Sesungguhnya, di dalam
informasi hasil penelitian terdapat kandungan pengetahuan yang harus
dipresentasikan kepada publik. Selain sebagai tanggung jawab para peneliti
dan lembaga, presentasi itu dapat menjadi acuan untuk membangun gagasan,
Fotografer
Akunnas Pratama
Kurnia Satrio Adi
seperti pelindungan data arkeologi, pengembangan, bahkan konsep
pemanfaatannya. Masyarakat, Pemerintah, maupun kalangan akademisi dapat
menggunakan presentasi yang dikemas dalam buku yang diterbitkan ini untuk
bersama-sama berkontribusi terhadap masa depan Lasem.
Penerbit
Balai Arkeologi Provinsi Daerah lstimewa Yogyakarta
JI. Gedongkuning 1741 Yogyakarta 55171
Telp/fax: 0274-377913
E-mail
Laman
:
[email protected]
: arkeologijawa.kemdikbud.go.id
rpbalarjogja.kemdikbud.go.id
berkalaarkeologi.kemdikbud.go.id
perpusbalarjogja.kemdikbud.go.id
Dapat dikatakan buku ini merupakan karya integral dari beberapa peneliti yang
terlibat dalam pelaksanaan penelitian di Lasem. Sehubungan dengan hal itu,
sebagai Kepala Balai Arkeologi Provinsi D.I. Yogyakarta, saya memberi apresiasi
yang tinggi kepada para Penulis atas perjuangan dan upayanya dalam
(Kantor)
(Rumah Peradaban)
(Jurnal)
(Perpustakaan)
mempresentasikan hasil penelitian menjadi materi informasi melalui
penerbitan buku. Tak lupa, saya juga mengucapkan terima kasih kepada tim
penerbitan atas dukungan dalam proses penerbitannya. Untuk pembaca yang
budiman, saya ucapkan selamat menyimak buku ini, semoga bermanfaat
khususnya terkait dengan informasi hasil penelitian yang dilaksanakan oleh
Balai Arkeologi Provinsi D.I. Yogyakarta.
Cetakan Pertama, November 2020
© Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Tidak Untuk Diperjualbelikan
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk
apapun tanpa izin tertulis dari Penerbit
Sugeng Riyanto
iii
iv
v
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Kata Pengantar
KATA PENGANTAR
memberikan informasi lebih mendalam mengenai sejarah budaya Lasem dan
bagaimana strategi pengelolaan dan pelestariannya.
Sebagai terbitan awal, tentu saja buku ini masih memiliki banyak kekurangan.
Oleh karena itu upaya perbaikan akan terus dilakukan guna menyajikan
informasi yang lebih runtut dan lengkap mengenai tinggalan budaya Lasem
Banyak orang mengenal Lasem hanya sebagai sebuah kota perlintasan kecil di
dan maknanya bagi perkembangan sejarah Indonesia.
jalur pesisir utara Jawa Tengah. Memang Lasem “hanya” merupakan sebuah
kota kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Namun demikian
sebenarnya Lasem sudah cukup terkenal―terutama karena batiknya―dan
sebagai kota kuno bernuansa Cina, sehingga Lasem sering juga disebut sebagai
Yogyakarta, Agustus 2020
Tiongkok Kecil. Penyebutan itu didasarkan atas dominasi etnik Cina yang
bermukim di Lasem sejak beberapa abad yang lalu lengkap dengan berbagai
bangunan tempat tinggal mereka yang bernuansa Cina. Sebenarnya sejarah
Lasem tidak dimulai dari titik itu saja, melainkan Lasem memiliki jejak sejarah
yang lebih panjang dari itu. Setidaknya sejak masa Majapahit nama Lasem
sudah disebut-sebut di berbagai catatan sejarah. Penelitian arkeologi pernah
dilakukan di wilayah Lasem, yaitu di antaranya di Caruban dan Bonang,
sementara penelitian arsitektur juga pernah dilakukan terhadap bangunanbangunan etnis Cina.
Menilik riwayat Lasem yang cukup panjang dalam kerangka sejarah Indonesia
dan membandingkannya dengan hasil sejumlah penelitian yang pernah
dilakukan di Lasem, terlihat bahwa penelitian yang pernah dilakukan di Lasem
masih sporadis sifatnya dan belum memperlihatkan potensi sumber daya
arkeologi yang terkandung di wilayah Lasem secara menyeluruh. Atas dasar
tersebut, Balai Arkeologi Provinsi D.I. Yogyakarta pada tahun 2011 kemudian
melakukan penelitian eksploratif di Kecamatan Lasem dengan tujuan untuk
memperoleh data dan gambaran sumber daya arkeologi Lasem dari masa ke
masa. Penelitian ini menghasilkan pengetahuan yang cukup lengkap berupa
ragam tinggalan budaya materi dari berbagai masa yang menjadi bukti
eksistensi Lasem sejak masa Klasik.
Pada perkembangan selanjutnya, sumber daya arkeologi yang telah terdata
tersebut terus mengalami pengurangan dan kerusakan. Salah satu
penyebabnya adalah laju pembangunan Lasem yang semakin menggeliat
sebagai kota transit. Buku ini coba mendokumentasikan bagaimana kekayaan
sumber daya arkeologi Lasem sebagai bukti dinamika Lasem dari masa ke masa.
Penulisan buku ini menggunakan bahasa ilmiah popular dan dilengkapi
dengan dokumentasi foto hasil pemotretan tahun 2011. Buku ini diharapkan
menjadi pemantik untuk terbitnya buku-buku berikutnya yang dapat
Tim Penulis
vi
vii
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
PERNYATAAN KESETARAAN
DALAM PROSES PENULISAN
DAFTAR ISI
Buku ini adalah pemutakhiran dari hasil penelitian Balai Arkeologi Provinsi D.I.
SAMBUTAN KEPALA BALAI ARKEOLOGI PROVINSI DIY .............................................................
iii
Yogyakarta di Lasem yang di antaranya beranggotakan kelima penulis. Di dalam
KATA PENGANTAR ....................................................................................................................................................
iv
pemutakhiran hasil penelitian hingga dijadikan buku ini, Sugeng Riyanto
PERNYATAAN KESETARAAN DALAM PROSES PENULISAN .....................................................
vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................................................................................
xi
PROLOG ............................................................................................................................................................................
1
SEJARAH LASEM ........................................................................................................................................................
A. Sejarah Geomorfologi Lasem dan Pantai Utara Jawa ................................................
B. Posisi Strategis Lasem dalam Jalur Pelayaran Internasional ...............................
C. Lasem Sebagai Kerajaan Vassal ....................................................................................................
9
10
11
14
LANSKAP BUDAYA LASEM .................................................................................................................................
A. Lingkungan Fisik Lasem ....................................................................................................................
B. Distribusi Tinggalan Arkeologi Pada Lanskap di Lasem .........................................
B.1. Lanskap Gunung ...........................................................................................................................
B.2. Lanskap Bertopografi Rendah ............................................................................................
B.3. Lanskap Pesisir ................................................................................................................................
C. Lanskap Budaya Lasem ......................................................................................................................
17
18
20
21
22
23
25
DINAMIKA SEJARAH DAN BUDAYA LASEM ..........................................................................................
A. Masa Awal dan Berkembangnya Lasem ................................................................................
B. Lasem Pada Awal Masa Islam .........................................................................................................
C. Lasem Pada Masa Islam – Kolonial .............................................................................................
27
28
32
34
RAGAM SUMBER DAYA ARKEOLOGI LASEM .........................................................................................
A. ARTEFAK .........................................................................................................................................................
A. 1. Kursi Batu ............................................................................................................................................
A.2. Lumpang Batu Dan Fragmen Keramik .......................................................................
A.3. Batu Andesit Bertapak Manusia .........................................................................................
A.4. Lingga ...................................................................................................................................................
B. BANGUNAN IBADAH ..............................................................................................................................
B.1. Kelenteng ...........................................................................................................................................
C. BANGUNAN PEMERINTAH .................................................................................................................
C.1. Gudang Stasiun (Gudang Klungsu) ..................................................................................
C.2. Perum PTKA 1 ...................................................................................................................................
C.3. Perum PTKA 2 (couple) ..............................................................................................................
D. BANGUNAN PENDUKUNG .................................................................................................................
D.1. Sumur Kuna ......................................................................................................................................
D.2. Tandon Air ..........................................................................................................................................
E. BANGUNAN PRODUKSI ........................................................................................................................
E.1. Bangunan Rumah .........................................................................................................................
E.2. Pabrik tegel ........................................................................................................................................
37
39
40
41
41
41
43
43
47
47
48
48
48
49
50
50
51
memberikan kontribusinya mengenai Lasem di bagian Epilog dan Prolog. Agni
Sesaria Mochtar memberikan kontribusi tulisannya dengan judul Sejarah
Lasem, sedangkan Hery Priswanto memberikan sumbangan tulisannya
dengan tajuk Lanskap Budaya Lasem. Alifah memberikan kontribusi tulisan
dengan judul Dinamika Sejarah dan Budaya Lasem dan Putri Novita Taniardi
memberikan kontribusi tulisannya dengan judul Lasem Menapak Masa Depan.
Sedangkan tulisan dengan judul Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem
merupakan narasi yang disusun bersama-sama oleh kelima penulis.
Seluruh isi buku telah melalui proses review dan revisi melalui masukan dari
editor. Proses penulisan buku dilakukan oleh satu tim dengan peran penulis
yang setara.
viii
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
ix
Daftar Isi
F. BANGUNAN PUBLIK ................................................................................................................................
F.1. Stasiun Kereta Api Lasem ........................................................................................................
F. 2. Jembatan Kereta Api .................................................................................................................
F. 3. Bangunan rumah untuk usaha VCO “ Pantura Raya VCO” ..............................
G. KATEGORI MAKAM ..................................................................................................................................
G.1. Makam Islam .....................................................................................................................................
G.2. Makam Cina ......................................................................................................................................
G.3. Perabuan ............................................................................................................................................
H. KATEGORI PETILASAN ..........................................................................................................................
H.1. Batu Pasujudan ..............................................................................................................................
H.2. Bongkah Batu Alam ....................................................................................................................
H.3. Kompleks Bangunan .................................................................................................................
H.4. Makam ..................................................................................................................................................
I. RUMAH TINGGAL .......................................................................................................................................
I.1.
Rumah Cina ......................................................................................................................................
I.2. Rumah Cina – Geladak .............................................................................................................
I.3. Rumah Cina – Indis .......................................................................................................................
I.4. Rumah Indis ......................................................................................................................................
I.5. Rumah Indis – Jawa .....................................................................................................................
I.6. Rumah Geladak ..............................................................................................................................
I.7.
Rumah Joglo .....................................................................................................................................
J. TOPONIM
.................................................................................................................................................
J.1.
Pelabuhan ...........................................................................................................................................
J.2. Kolam .....................................................................................................................................................
J.3. Alun-alun .............................................................................................................................................
J.4. Rumah Pejabat ................................................................................................................................
K. UNSUR BANGUNAN ................................................................................................................................
K.1. Bekas Dermaga .............................................................................................................................
K.2. Sisa Galangan Kapal ....................................................................................................................
K. 3. Unsur Bangunan Candi ............................................................................................................
K.4. Umpak Batu ....................................................................................................................................
52
52
53
53
54
54
55
56
56
56
57
57
58
59
59
60
61
61
62
63
63
64
64
64
65
65
68
68
69
69
71
LASEM MENATAP MASA DEPAN ...................................................................................................................
Menjaga Lasem Untuk Masa Depan ..............................................................................................
Pelestarian Lasem dan Harapan yang Dititipkan ................................................................
•
Nilai Penting Sejarah .................................................................................................................
•
Nilai Penting Ilmu Pengetahuan ........................................................................................
•
Nilai Penting Pendidikan ........................................................................................................
•
Nilai Penting Agama ...................................................................................................................
•
Nilai Penting Kebudayaan ......................................................................................................
Strategi Pengelolaan Kawasan Lasem ..........................................................................................
Analisis SWOT Kendala dan Peluang dalam Pengelolaan Kawasan Lasem ......
Analisis peluang dan hambatan .....................................................................................................
Faktor Internal Objek ..............................................................................................................................
Faktor Eksternal Objek ...........................................................................................................................
Formulasi Strategi SWOT Kawasan Lasem ...............................................................................
75
76
76
77
77
78
78
78
79
80
81
82
83
84
EPILOG ...............................................................................................................................................................................
85
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................................................................
91
LAMPIRAN .......................................................................................................................................................................
95
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................................................................................
96
GLOSARIUM ...................................................................................................................................................................
97
x
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Situs Galangan Kapal di sungai Dasun, Desa Dasun, berada tidak
jauh dari pantai Lasem, bukti eratnya peran sungai dan laut dalam dunia
maritim ..............................................................................................................................................................................
Gambar 2. Terik siang di Bledug Kuwu, Grobogan. Seorang ibu sedang
menampung air yang mengandung garam untuk diolah menjadi butiran
garam di rumahnya; di latar belakang tampak blědug yang menyembur
terus-menerus ..............................................................................................................................................................
xi
Daftar Gambar
7
Gambar 27. Variasi Sumur-Sumur Kuna di Lasem ...............................................................................
49
Gambar 28. Tandon Air di Desa Kajar (kiri) dan Desa Selopuro (kanan) ...............................
50
Gambar 29. Bangunan rumah di Gang II No. 17 di Desa Karangturi .......................................
50
Gambar 30. Bangunan rumah Pondok Pesantren Kauman Lasem di
Karangturi ........................................................................................................................................................................
51
Gambar 31. Bangunan rumah di Jalan Raya Lasem No. 83 di Desa Karangturi ..............
51
Gambar 32. Bekas Stasiun Kereta Api di Desa Dorokandang ......................................................
52
Gambar 33. Jembatan KA Lasem di antara Desa Jolotundho dan Babagan ....................
53
Gambar 34. Bangunan rumah untuk usaha VCO “Pantura Raya VCO” .................................
54
Gambar 35. Beberapa makam Islam yang terletak di Desa Bonang, Lasem ...................
55
7
Gambar 36. Makam Cina yang terletak di Rumah Jangkar, Jl. Dasun, Lasem ................
55
Gambar 3. Ilustrasi topografi Lasem ...............................................................................................................
19
Gambar 37. Perabuan Mbah Lebo di Desa Bonang, Lasem .........................................................
56
Gambar 4. Keletakan desa-desa pada satuan lanskap .....................................................................
21
Gambar 38. Petilasan Pasujudan Sunan Bonang, di Desa Bonang ........................................
57
Gambar 5. Tinggalan Arkeologi pada satuan lanskap bertopografi tinggi .........................
21
Gambar 6. Tinggalan Arkeologi pada satuan lanskap bertopografi rendah ....................
22
Gambar 39. Petilasan Waru Ebek di Desa Ngargomulyo dan Watu Tapak di
Desa Kajar ........................................................................................................................................................................
57
Gambar 7. Tinggalan Arkeologi pada satuan lanskap pesisir ......................................................
23
Gambar 40. Situs Daleman, Desa Bonang, Lasem .............................................................................
58
Gambar 8. Sisa tatanan bata dan batu di Situs Jembatan Regol .............................................
30
Gambar 41. Petilasan makam Sunan Bonang yang berada di kompleks
Pasujudan Bonang di Desa Bonang, Lasem ............................................................................................
58
Gambar 9. Lingga di Situs Mbah Ponyo dan beberapa sisa batu di situs
Gunung Bata .................................................................................................................................................................
31
Gambar 42. Pintu depan ganda pada rumah Cina di Desa Sumbergirang .......................
59
Gambar 10. Lanskap situs Candi Caruban yang hanya menyisakan beberapa
sisa batu, Kanan: sisa umpak-umpak di situs Candi Selopuro ....................................................
Gambar 43. Rumah Cina di Desa Gedong Mulyo .................................................................................
60
31
Gambar 11. Perbandingan temuan data arkeologi di Lasem ........................................................
39
Gambar 44. Rumah Cina – Jawa di Desa Soditan (kiri) dan Desa Karangturi
(kanan) ...............................................................................................................................................................................
60
Gambar 12. Sebaran fragmen keramik di Desa Gedong Mulyo ..................................................
40
Gambar 45. Rumah Cina – Indis di Desa Babagan (kiri) dan Desa Soditan
(kanan) ...............................................................................................................................................................................
61
Gambar 13. Temuan kursi batu di Desa Kajar, Lasem ........................................................................
40
Gambar 14. Temuan lumping batu di Desa Kajar .................................................................................
41
Gambar 46. Rumah Indis di Desa Sumbergirang (kiri) dan Desa Ngemplak
(kanan) ...............................................................................................................................................................................
62
Gambar 15. Fitur tapak kaki pada batu andesit di Desa Kajar ......................................................
41
Gambar 47. Rumah bergaya Indis – Jawa di Desa Soditan ............................................................
62
Gambar 16. Lingga Mbah Ponyo di Desa Kajar .......................................................................................
42
Gambar 17. Lumpang Batu di Desa Jalatundha .....................................................................................
42
Gambar 48. Rumah geladak di Desa Karang Turi (kiri) dan Desa Bonang
(kanan) ................................................................................................................................................................................
63
Gambar 18. Kelenteng Gie Yong Bio di Desa Babagan .....................................................................
43
Gambar 49. Rumah joglo di pinggir Jln. Daendels di Desa Bonang ..........................................
63
Gambar 19. Kelenteng Poo An Bio di Desa Karangturi .....................................................................
44
Gambar 50. Aliran Sungai Slontho di Desa Bonang ...........................................................................
64
Gambar 20. Mak Co/Kelenteng Co Ang Kion di Desa Soditan ...................................................
44
Gambar 51. Lokasi bekas Balekambang di Desa Sumbergirang ...............................................
65
Gambar 21. Vihara Karunia Dharma di Desa Soditan .........................................................................
45
Gambar 52. Pasar Kawak, bekas alun-alun Lasem di Desa Sumbergirang ........................
65
Gambar 22. Gua Pemujaan (Gua Pinatah) di Desa Kajar ................................................................
46
Gambar 53. Bekas Kepatihan di Desa Ngemplak ................................................................................
66
Gambar 54. Toponim Secolegowo di Desa Soditan ............................................................................
66
Gambar 23. Mihrab (kiri) dan Saka Guru/tiang utama (kanan) Masjid Jami'
Lasem di Desa Karangturi .....................................................................................................................................
46
Gambar 55. Lokasi bekas Puri Tejokusumo III di Desa Soditan ...................................................
67
Gambar 24. Gudang Stasiun (Gudang Klungsu) di Desa Dorokandang ...............................
47
Gambar 25. Perum PTKA 1 di Desa Gedongmulyo ...............................................................................
47
Gambar 56. Lokasi bekas Puri Tejokusomo I bersebelahan dengan bekas Puri
Widyaningrat ...................................................................................................................................................................
67
Gambar 26. Perum PTKA 2 di Desa Gedongmulyo .............................................................................
48
Gambar 57. Batu-batu andesit dan sisa struktur bata di Jembatan Regol di
Desa Bonang ...................................................................................................................................................................
68
xii
xiii
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Gambar 58. Bekas dermaga Caruban di Desa Gedongmulyo ....................................................
68
Gambar 59. Bekas galangan kapal di Desa Dasun ..............................................................................
69
Gambar 60. Lingga di Desa Sendangcoyo ................................................................................................
70
Gambar 61. Gundukan batu di Candi Pucangan, Desa Sriombo ..............................................
71
Gambar 62. Umpak di stasiun pengawasan lalu lintas laut di Desa Dasun .......................
72
Gambar 63. Umpak batu di Desa Selopuro ..............................................................................................
72
Gambar 64. Watu gambir di Desa Argomulyo .......................................................................................
73
Gambar 65. Kerangka perencanaan konservasi Warisan Budaya
...........................................
79
Gambar 66. Hubungan antar sektor dalam pengelolaan warisan budaya ........................
90
Gambar 67. Kelompok 1:Desa Babagan, Dasun, Dorokandang, Gedongmulyo,
Jolotunda, Karasgede ...............................................................................................................................................
95
Gambar 68. Kelompok 2: Desa Karangturi, Ngemplak, Selopura, Sumbergirang ........
95
Gambar 69. Kelompok 3: Desa Kajar, Ngargomulyo, Sendangcoyo ........................................
95
Gambar 70. Kelompok 4: Desa Binangun, Bonang, Gowak, Soditam, Sriombo ..............
95
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Distribusi Tinggalan arkeologi pada Lanskap Budaya Lasem ...................................
Tabel 2. Sejarah Kemunculan Lasem ...........................................................................................................
Tabel 3. Beberapa tinggalan arkeologi yang menjadi penanda dinamika Lasem
pada masa Klasik berupa bangunan pemujaan, fasilitas umum, dan tempat
perabuan ..........................................................................................................................................................................
Tabel 4. Tinggalan arkeologi masa Islam yang masih dapat ditemukan di Lasem .....
Tabel 5. Beberapa temuan bukti arkeologi perkembangan Lasem masa Kolonial
dan Kemerdekaan ....................................................................................................................................................
24
29
31
33
35
xiv
1
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
PROLOG
2
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Prolog
“... raja senang sekali pergi ke Gunung Lasem untuk menikmati pemandangan
Mataram Kuno. Lebih menarik lagi dengan disebutnya Kerajaan Tolomo yang
laut. Mungkin saja sebenarnya bukan pemandangan laut yang ia nikmati,
diserang oleh Sriwijaya pada tahun 686 M. Jika Tolomo adalah Taruma, maka
tetapi kesibukan di pelabuhan itu yang diperhatikan, untuk memastikan
waktu itu Kerajaan Taruma di Jawa Barat masih berdiri (Edy Sedyawati et al.,
semua dalam kendalinya; ...”
2012, p. 179). Artinya, pada pertengahan abad ke-7 ada tiga kerajaan besar di
Nusantara, yaitu Sriwijaya di Sumatera bagian selatan, Taruma di Jawa bagian
Di Lasem, bangunan dengan atap (berbentuk) ekor walet dan pelana nyaris
selalu terlihat ke mana pun pandangan kita arahkan. Keduanya adalah ciri
u m u m b a n g u n a n m i l i k e t n i s C i n a . S a n g a t ku a t m e m a n g a ro m a
Tiongkok–berbagai bangunan berarsitektur khas Cina tadi menjadi
tandanya–sehingga Lasem memiliki julukan yang unik, yaitu Tiongkok Kecil.
Abad ke-19 merupakan titik kulminasi terbentuknya Tiongkok Kecil di Lasem.
Pedagang kaya dari Cina banyak mendiami pesisir Lasem; waktu itu Lasem
merupakan kawasan bandar yang ditopang oleh beberapa pelabuhan, seperti
Bonang dan Binangun. Mereka mendominasi saudagar dari belahan Asia
lainnya seperti Arab dan India. Meskipun di akhir abad ke-19 akhirnya laju
perkembangannya mandek, rona Tiongkok di Lasem tidak serta-merta luntur,
setidaknya selama beberapa dekade. Secara berangsur bangunan bernuansa
Eropa (Indis) turut hadir sehingga Lasem semakin berwarna-warni.
Kemajemukan aromanya semakin terasa karena ternyata unsur peradaban
Islam dan Hindu-Buddha juga ditemukan di Kecamatan Lasem.
Sejak abad ke-17 pedagang Tiongkok mulai mendominasi Lasem di bidang
perdagangan. Kehadirannya menjadi bagian dari dinamika perekonomian
kerajaan-kerajaan yang sebelumnya menguasai pesisir Lasem seperti Mataram
(Islam), Demak, Mataram Kuno, bahkan sebelumnya, yaitu Ho-ling. Pantainya
yang ramah dengan muara-muara sungai yang berhulu di pedalaman
menjadikan Lasem sebagai lokasi yang sempurna untuk berniaga. Komoditi
diambil di pedalaman dan dikirim ke luar pulau-pulau di Nusantara dan keluar
Nusantara; barang dagangan dari luar juga dapat masuk hingga pedalaman.
Tidak mengherankan jika ada industri kapal atau perahu di Lasem.
Sejarah panjang Lasem tidak terlepas dari kondisi alami itu, sejak berabad-abad
yang lalu. Temuan perahu kuno Punjulharjo, abad ke-7 M, melengkapi jejak
panjang sejarah tersebut. Dalam kerangka sejarah dan dinamika peradaban
Nusantara, kedudukan dan peran Lasem memang tidak boleh dipandang
sebelah mata. Simak beberapa catatan berikut ini.
Terkait dengan hasil dating perahu Punjulharjo yang berasal dari abad ke-7 atau
abad ke-8 Masehi, ada catatan menarik dari berita Cina yang juga dari abad ke-7,
yaitu penobatan Ratu Hsimo dari kerajaan Ho-ling pada tahun 674 M.
Disebutkan bahwa Ratu Hsimo adalah leluhur Raja Sañjaya, raja pertama
barat dan Ho-ling di Jawa bagian tengah. Tidak heran jika perairan Nusantara
sudah sangat sibuk pada waktu itu, bukan hanya karena berlalu-lalangnya
perahu-perahu asing, tetapi juga dinamika kehidupan maritim kerajaankerajaan besar di Nusantara sendiri. Mungkinkah perahu Punjulharjo
merupakan salah satu di antaranya?
Bukan hal yang mustahil perahu Punjulharjo selama bertahun-tahun telah
turut meramaikan perairan Nusantara pada waktu itu, sebelum akhirnya
didamparkan karena sudah tidak dapat digunakan untuk berlayar lagi. Berita
Cina dari tahun 640 M, Ch'iu-T'ang shu dan Hsin T'ang shu sudah begitu akrab
dengan kerajaan Ho-ling, sehingga dapat menggambarkan cukup detail
tentang kerajaan di Jawa Tengah ini. Disebutkan bahawa Ho-ling terletak di
lautan selatan. Di sebelah timurnya terletak P'o-li dan di sebelah baratnya
terletak To-p'o-teng. Di sebelah selatan adalah lautan, sedang di sebelah
utaranya terletak Chen-la. Tembok kota dibuat dari tonggak-tonggak kayu. Raja
tinggal di sebuah bangunan besar bertingkat, beratap daun palem (?), dan ia
duduk di atas bangku yang terbuat dari gading. Tikar yang dibuat dari kulit
bambu juga digunakan. Orang Ho-ling makan dengan menggunakan tangan,
bukan sendok atau sumpit. Mereka juga sudah mengenal tulisan dan juga ilmu
perbintangan meskipun masih sedikit (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, p.
118–119).
Lebih jauh diberitakan bahwa kerajaan Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas
dan perak, cula badak, serta gading gajah. Penduduk Ho-ling membuat
benteng-benteng kayu, rumahnya beratap daun kelapa, dan mereka pandai
membuat minuman keras dari bunga kelapa. Kerajaan ini makmur; memiliki
gua (?) yang selalu mengeluarkan air garam (Jawa: blědug). Raja sering pergi ke
Lang-pi-ya yang terletak di pegunungan untuk menikmati pemandangan laut.
Para sarjana menyamakan Ho-ling dengan Kalinga yang diduga terletak di Jawa
Tengah Utara, di daerah Walaing (Poesponegoro & Notosusanto, 2011,p. 54–55,
119).
Sementara itu lokasi Lang-pi-ya diidentifikasi berada di dekat Gunung Lasem,
Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Meskipun sering disebut dalam pelbagai
prasasti, Walaing bukanlah pusat kerajaan karena tidak pernah ada sebutan
Mědang i Walaing; artinya, ibu kota kerajaan tidak terletak di pesisir utara Jawa
Tengah, kemungkinan justru di pedalaman. Nama Mědang cukup banyak
3
4
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Prolog
digunakan sebagai nama desa, mulai dari daerah Bagelen (Kabupaten
adalah temuan berupa lingga dan batu candi di situs Gunung Bata, Dusun
Purworejo) di Jawa Tengah hingga sekitar Madiun di Jawa Timur, namun di
Sukolilo, Desa Sendangcoyo.
poros (Kabupaten) Grobogan-Blora yang paling banyak dijumpai. Lokasi poros
Setelah era Majapahit berakhir, Lasem masih tetap eksis, walaupun tidak lagi
ini sesuai dengan deskripsi dari berita Cina yang menerangkan adanya gua yang
selalu mengeluarkan air garam (blědug). Di Desa Kuwu (Grobogan) memang
ada blědug, (lokasinya disebut Bledug Kuwu), dan hingga kini masih ada orang
yang membuat garam dari semburan blědug di sana (Poesponegoro &
Notosusanto, 2011, p. 119).
sebagai sebuah kerajaan, tetapi menjadi Kadipaten Binangun pada
pertengahan abad ke-15. Seiring dengan berdirinya Kerajaan Demak, Lasem
diperintah oleh Pangeran Santipuspa. Ia menggantikan Nyi Ageng Malokah
yang wafat pada tahun 1490 M. Pangeran Santipuspa adalah anak sulung
Pangeran Santibadra, Temenggung Wilwatikta, adik dari Pangeran Wirabajra
Dapat dibayangkan sekarang hubungan resiprokal antara pesisir dan
pendiri Kadipaten Binangun Lasem. Pangeran Santipuspa pernah menjabat
pedalaman, antara kesibukan bandar-bandar di muara sungai dengan rutinitas
Dampoawang di pelabuhan Caruban Lasem sehingga kawasan Caruban
di pedalaman pada waktu yang bersamaan; mestinya juga antara Lasem
menjelma sebagai daerah penting dalam bidang perdagangan dan kelautan.
dengan Ho-ling. Jika perahu Punjulharjo menjadi penanda bahwa di muara Kali
Kadipaten Lasem–seperti halnya Tuban dan Gresik–menjadi kekuatan utama
Lasem merupakan bandar yang ramai pada abad ke-7 M, ini cocok secara
perekonomian hingga berakhirnya Kerajaan Demak (Unjiya, 2008, p. 67–70).
kronologis dengan kerajaan Ho-ling yang diduga berpusat di poros Grobogan-
Sebagian bukti fisik dari eksistensi Lasem pada masa ini juga masih dapat dilihat
Blora. Berita Cina yang menerangkan adanya blědug di pusat kerajaan juga
sampai sekarang dan menjadi data penting dalam penelitian arkeologi. Mesjid
sesuai dalam hal waktunya karena juga berasal dari abad ke-7. Menurut berita
Sunan Bonang di Desa Bonang merupakan jejak sejarah masa ini yang paling
itu, raja senang sekali pergi ke Gunung Lasem untuk menikmati pemandangan
terkenal, selain situs Pasujudan.
laut. Mungkin saja sebenarnya bukan pemandangan laut yang ia nikmati, tetapi
Di daerah Lasem pernah berkembang industri perkapalan. Albuquerque
kesibukan di pelabuhan itu yang diperhatikan, untuk memastikan semua
dalam kendalinya; memastikan bahwa perniagaan di kawasan bandar dalam
menyebutkan bahwa galangan kapal di Jawa sudah terkenal di Asia Tenggara
pada abad ke-16. Albuquerque tidak menyebutkan nama tempat galangan
situasi yang baik-baik saja.
kapal Jawa tersebut tetapi orang-orang Belanda yang pertama-tama datang ke
Setelah cerita tentang perahu kuno Punjulharjo serta kaitan antara Lasem
Indonesia memberitahukan bahwa Lasem yang terletak di antara dua
dengan Ho-ling, selanjutnya dapat dicatat bahwa sejarah Lasem dapat
pelabuhan penting, yaitu Tuban dan Jepara itulah yang dimaksud (Zakaria,
dikelompokkan ke dalam tiga pembabakan, yaitu masa pra-Islam, masa awal
1993, p. 19).
perkembangan Islam, dan masa Islam–pengaruh Eropa (kolonial). Berikut ini
Hingga awal abad ke-16 Lasem menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Islam
rangkuman perjalanan yang disarikan dari Laporan Penelitian Arkeologi:
Identifikasi Potensi Sumberdaya Arkeologi di Kecamatan Lasem, Kabupaten
yang menandai tumbuhnya era baru, yaitu masa Islam–pengaruh Eropa
(kolonial). Di masa ini Lasem tetap menjadi kadipaten yang dipimpin oleh
Rembang, Jawa Tengah.
seorang bupati. Lasem menjadi bagian dari Mataram Islam mulai tahun 1616 M.
Pada masa pra-Islam Lasem banyak dikaitkan dengan kerajaan Majapahit.
Penguasa Lasem pada waktu itu adalah Ngabehi Martanata. Ngabehi
Diasumsikan bahwa Lasem pada masa itu (sekitar abad ke-14 sampai abad ke-
Martanata adalah bekas penguasa Jepara dan Pati. Ia menjadi penguasa yang
15) merupakan sebuah kerajaan di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Tahun
membawahi wilayah Kendal dan Lasem pada tahun 1664 (Graff, 1987, p. 169). Di
1273 S (1351 M) Lasem diperintah oleh Dewi Indu, adik sepupu Hayam Wuruk dari
abad ke-17 Lasem semakin berkembang dengan hadirnya etnik Cina yang
Wilwatikta. Suaminya bernama Pangeran Rajasawardana, seorang
mendominasi Kota Lasem. Di pertengahan abad ke-18 Lasem berada di bawah
Dampuhawang di Pelabuhan Regol, Lasem, merangkap sebagai Adipati
kekuasaan VOC. Seiring dengan pembangunan jalan raya pos atau jalan
Matahun, dengan gelar Raden Panji Maladresmi (Satari, 1983, p. 116). Raja Hayam
Daendels, Lasem pun semakin berkembang sampai akhir abad ke-19.
Wuruk pernah mengunjungi Lasem pada tahun 1276 S (1354 M), dan dalam
Tinggalan-tinggalan dari masa inilah yang paling banyak dijumpai di Lasem.
kesempatan itu mungkin pula mengunjungi tempat-tempat suci (Satari, 1983,
Ragam tinggalan arkeologis masa ini antara lain meliputi bangunan ibadah
p. 119). Hasil penelitian arkeologi juga membuktikan adanya tinggalan-tinggalan
(kelenteng dan vihara), bangunan pemerintah, bangunan publik, bangunan
dari masa pra-Islam di Lasem. Sebagai contoh situs Jembatan Regol 1 di Dusun
produksi, makam cina, dan rumah tinggal.
Bonang, Desa Bonang berupa struktur bata dan batu andesit. Contoh lainnya
5
6
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Prolog
Abad ke-19 Masehi, Desa Bonang ditinggali saudagar-saudagar atau golongan
menengah (pedagang kain, tembakau, ikan, dan candu). Rumah tinggal
beratap limas dan berdinding kayu jati (geladak) yang besar dan megah.
Rumah seperti ini dapat dipindah-pindah. Pelabuhan Bonang dan Binangun
merupakan pelabuhan yang ramai, sampai meletusnya Gunung Krakatau
(tahun 1883) (Rangkuti, 1996, p. 18).
Sejak akhir abad ke-19 hingga kini tidak terjadi lagi perkembangan yang
signifikan di Lasem, justru yang terjadi adalah kemandekan dan bahkan
kemunduran, baik dari sisi administratif kewilayahan maupun kualitas dan
kuantitas potensi sumber daya arkeologinya. Sekarang, Lasem adalah nama
kecamatan di Kabupaten Rembang; telah banyak terjadi perubahan di sana
bahkan hancurnya bangunan-bangunan kuno yang merupakan ciri khas
Lasem. Itulah fenomena terjadinya degradasi kuantitas dan kualitas sumber
daya arkeologi seiring dengan laju perkembangan kota.
Akankah, tidak lama lagi, jejak kejayaan Lasem sejak berabad-abad yang lalu
hanya dapat disaksikan melalui gambar dan tulisan? Mungkinkah Tiongkok
Kecil akan semakin kecil, terus mengecil, hingga nantinya menjadi bahan
Gambar 1. Situs Galangan Kapal di sungai Dasun, Desa Dasun, berada tidak jauh dari
perbincangan yang selalu diawali dengan kata “konon”? Yang jelas,
pantai Lasem, bukti eratnya peran sungai dan laut dalam dunia maritim.
dibandingkan riwayatnya yang panjang dan penuh dengan dinamika, Lasem
(Dok. Balai Arkeologi Prov. DIY)
sekarang tidak lagi sentosa.
Gambar 2. Terik siang di Bledug Kuwu, Grobogan. Seorang ibu sedang menampung
air yang mengandung garam untuk diolah menjadi butiran garam di rumahnya; di
latar belakang tampak blědug yang menyembur terus-menerus.
(Dok. Sugeng Riyanto – Balai Arkeologi Prov. DIY)
7
8
9
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
SEJARAH
LASEM
10
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
A. Sejarah Geomorfologi Lasem dan Pantai Utara Jawa
Nama Lasem muncul pertama kali dalam sejarah Nusantara dalam
kesusastraan era Majapahit yang ditulis pada abad ke-14 Masehi (Satari, 1983, p.
119). Namun demikian, bukan berarti kehidupan dan kebudayaan di wilayah
Lasem baru muncul pada saat itu. Situs-situs dari era yang jauh lebih tua cukup
banyak ditemukan di sekitar Kota Lasem sekarang, seperti di Plawangan, Leran,
Sejarah Lasem
jalur sungai ini ke daerah pedalaman. Dengan demikian, wilayah yang tidak
langsung bersentuhan dengan garis pantai tidak mengalami kesulitan untuk
mendapat barang yang datang dari wilayah luar Lasem. Demikian pula
sebaliknya, barang-barang dari pedalaman dapat dijual hingga ke luar daerah,
dengan memanfaatkan jalur sungai yang meneruskan komoditas tersebut ke
pelabuhan bandar.
Binangun, dan Terjan. Situs-situs tersebut menunjukkan bahwa manusia telah
Kemajuan Lasem dan sekitarnya tidak hanya didukung oleh wilayah pesisir saja.
tinggal di wilayah pesisir utara Jawa Tengah sisi timur sebelum pergantian
Seperti disebutkan dalam Babad Lasem, Lasem pada masa Kerajaan Majapahit
millennium menuju era Masehi (Kasnowihardjo et al., 2013). Hal ini menunjukkan
adalah sebuah wilayah yang subur dan makmur. Hal ini dikarenakan Lasem
bahwa wilayah sekitar Lasem telah dihuni sejak masa prasejarah. Diperkirakan
terletak di pesisir utara Pulau Jawa, dan berbatasan dengan hutan jati di sisi
para penghuni pertama wilayah sekitar Lasem tersebut adalah para penutur
selatannya. Sementara itu di sisi timur berbatasan dengan pegunungan, dan di
Austronesia yang datang melalui jalur laut (Noerwidi, 2017). Wilayah sepanjang
sisi barat berbatasan dengan area persawahan (Satari, 1983, p. 117). Kawasan
Rembang hingga Plawangan terdiri dari teluk dan semenanjung kecil, sebuah
hutan di selatan Lasem juga merupakan salah satu faktor pendukung utama
lokasi yang terhitung ideal sebagai tempat berlabuh kapal. Rembang, Lasem,
majunya Lasem, karena hutan tersebut memasok bahan utama untuk industri
Bonang dan Binangan yang berada di sisi barat semenanjung Bonang, serta
pembuatan kapal di Lasem dan Rembang. Data sejarah tentang pembuatan
Plawangan di sisi timur secara bergantian menjadi wilayah yang terlindung dari
kapal di daerah ini ditemukan dalam catatan bangsa Eropa yang datang ke
angin dan gelombang laut. Posisi keletakan ini membuat wilayah ini cocok
wilayah Nusantara, yaitu catatan Portugis dan Belanda yang menyebutkan
untuk dijadikan pelabuhan.
bahwa industri pembuatan kapal di Lasem sangat maju setidaknya sejak abad
Bentang lahan di wilayah pesisir utara Jawa sebenarnya tidak selalu seperti yang
tampak seperti sekarang. Dahulu Pegunungan Muria dan pesisir Pulau Jawa
dipisahkan oleh sebuah selat yang dikenal sebagai Selat Muria. Selat Muria ini
merupakan jalur lalu lintas yang cukup ramai dilalui kapal-kapal yang melewati
ke-16 M (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, p. 118). Akan tetapi, dari tinggalan
arkeologi perahu kuno di Desa Punjulharjo (Abbas, 2013; Mochtar, 2018) di
sebelah barat Lasem diketahui bahwa tradisi maritim sudah dikenal oleh
masyarakat Lasem setidaknya sejak abad ke-7 Masehi.
pesisir utara Jawa. Akan tetapi, sebagai akibat dari endapan fluvial, selat ini
perlahan berubah menjadi daratan yang akhirnya menyatukan Jawa dengan
Pegunungan Muria. Daratan baru ini sepenuhnya terbentuk pada sekitar abad
ke-17 Masehi. Semenjak itu, Selat Muria sudah tidak bisa lagi dilayari (Rejeki,
2019, p. 177). Pada masa Selat Muria masih menjadi rute pelayaran yang ramai,
Lasem diuntungkan karena banyak kapal yang berlabuh di Semarang dapat
lanjut berlayar ke Rembang melalui rute tersebut. Setelah Selat Muria tidak lagi
dapat dilayari, posisi Lasem tetap aman karena pesisirnya tidak ikut tertutup
daratan baru seperti Demak dan Jepara.
Posisi Lasem dan sekitarnya yang selalu berbatasan dengan laut merupakan
salah satu faktor yang mendukung kemajuan daerah tersebut, terutama di
bidang perdagangan. Situasi pesisir Lasem sangat mendukung untuk tidak
hanya menjadi tempat berlabuh kapal, tetapi juga memungkinkan kapal-kapal
pengangkut barang komoditas untuk merapat dan melakukan bongkar muat.
Hal ini diperkuat dengan adanya Sungai Lasem yang langsung terhubung
dengan Laut Jawa (Handinoto, 2015, p. 52). Barang komoditas yang dibawa oleh
kapal asing yang merapat di pelabuhan dapat kemudian didistribusikan melalui
B. Posisi Strategis Lasem dalam Jalur Pelayaran Internasional
Sejak awal perkembangannya sebagai sebuah permukiman, Lasem terbentuk
dari interaksi dengan orang-orang yang datang dari tempat lain. Lasem yang
menjadi bagian dari pesisir utara Jawa tidak dapat dilepaskan dari jalur
pelayaran dan perdagangan regional dan internasional yang melewati Laut
Jawa. Situs-situs kapal tenggelam di Laut Jawa, salah satunya situs kapal
Cirebon (Liebner, 2014), menunjukkan bahwa kapal-kapal besar berlalu-lalang di
Laut Jawa membawa barang-barang komoditas dari wilayah Asia Timur, Asia
Selatan, hingga Asia Barat untuk melakukan perdagangan dengan wilayah
Nusantara. Raffles (2008, p. 110) mencatat bahwa pesisir utara Jawa berkembang
menjadi bandar perdagangan internasional karena posisi yang strategis dan
didukung oleh ketersediaan bahan kayu untuk pembuatan kapal-kapal.
Salah satu interaksi dengan orang asing yang sangat dikenal dalam narasi
sejaral Lasem adalah kedatangan Laksanama Cheng Ho dari Cina pada sekitar
abad ke-15 Masehi (A. A. P. Utomo, 2017, p. 143). Pelayaran Cheng Ho berlangsung
11
12
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Sejarah Lasem
sebanyak tujuh kali selama tahun 1405-1433 Masehi, pada masa Dinasti Ming di
Lasem terus menjadi kota pelabuhan yang penting pada masa tumbuhnya
bawah kepemimpinan Kaisar Zhu Di. Setiap kali pelayaran bisa melibatkan 300
kerajaan-kerajaan Islam di pesisir Jawa, salah satunya Kerajaan Demak. Ketika
kapal, dengan awak kapal tidak kurang dari 28.000 orang. Misi pelayaran ini,
Kerajaan Pajang dan Kerajaan Mataram Islam kemudian berdiri, Lasem menarik
meski bertujuan untuk membuat wilayah lain mengakui kekuasaan Dinasti
perhatian para penguasa kerajaan agraris di pedalaman Jawa karena dapat
Ming, bukan merupakan upaya kolonisasi tetapi merupakan sebuah misi
menjadi salah satu pasar bagi komoditas mereka, sekaligus sebagai pemasok
pendekatan diplomatik melalui perdagangan. Komoditas yang dibawa meliputi
barang-barang yang datang dibawa oleh para pedagang asing (A. A. P. Utomo,
sutra, sulaman, katun, emas, besi, garam, teh, minuman anggur, minyak,
2017, p. 143). Hingga sekitar abad ke-19 M, Pelabuhan Bonang dan Binangun
keramik, dan lilin. Jawa adalah bagian dari rute pelayaran Cheng Ho yang
yang terletak di sebelah timur Lasem masih merupakan dua pelabuhan yang
berakhir di India, bahkan hingga pantai timur Afrika, sebelum kembali lagi ke
ramai, terutama dengan aktivitas perdagangan. Tercatat bahwa banyak
Cina (Wei, 2014).
pedagang yang tinggal di Desa Bonang, di antaranya pedagang ikan, candu,
Pada masa Kerajaan Majapahit, Lasem menjadi bandar yang memiliki peran
kain, dan tembakau (Rangkuti, 1996, p. 18).
penting sebagai salah satu pintu masuk utama (Aziz, 2014, p. 59). Setelah
Kedekatan masyarakat Lasem dengan budaya maritim juga tercermin pada
kedatangan Cheng Ho, Lasem banyak didatangi oleh beberapa gelombang
tokoh Dampu Awang dalam cerita rakyat Lasem. Cerita rakyat Dampu Awang
pendatang dari Cina, yang di kemudian hari berperan besar dalam membentuk
sesungguhnya tidak hanya terkenal di Lasem, tetapi juga di pesisir utara Jawa.
wajah kota Lasem. Wilayah Lasem juga menarik perhatian orang-orang
Meski di beberapa daerah terdapat perbedaan versi cerita, kisah Dampu Awang
Champa, yang kemudian tidak hanya singgah tetapi juga menetap. Salah satu
selalu digambarkan berkaitan dengan pedagang, nahkoda, ataupun kehidupan
bukti kehadiran mereka dalam kurun waktu yang cukup lama di Lasem adalah
maritim di daerah pesisir (Budiyanto & Latifah, 2019, pp. 90–95). Asal-usul tokoh
munculnya akulturasi budaya seperti tampak pada corak batik Laseman
ini masih menjadi perdebatan, tetapi beberapa peneliti arkeologi mengkaitkan
(Unjiya, 2008, p. 5). Selain orang Cina dan orang Champa yang datang dan
Dampu Awang dengan prasasti Dang Puhawang Gelis 827 M, ataupun
menetap di Lasem, cukup banyak juga orang Bugis yang tinggal di Lasem yang
Puhawang yang disebut dalam Prasasti Kamalagyan 1037 M (Manguin, 1991,
permukimannya kemudian disebut dengan Bugisan (Rangkuti, 1996, p. 186).
p. 46).
Orang-orang asing yang mendarat di pesisir Lasem, kemudian menggunakan
Cerita Dampu Awang yang dikenal oleh masyarakat Rembang dan Lasem terdiri
Sungai Babagan sebagai jalur lalu lintas perdagangan yang menghubungkan
dari setidaknya 2 (dua) versi. Budiyanto dan Latifah (2019, pp. 97-99)
wilayah pesisir dengan daratan Lasem. Hal ini yang kemudian membuat
mengkompilasi berbagai sumber tentang cerita-cerita tersebut. Dalam cerita
permukiman pecinan didirikan dekat dengan jalur sungai ini (Unjiya, 2008, p. 4).
versi pertama, Dampu Awang adalah nama sebutan untuk Cheng Ho, seorang
Selain Sungai Babagan, Sungai Kiringan dan Sungai Lasem juga memiliki
saudagar dari Cina, yang kapalnya berlabuh di Pelabulan Lasem di Desa Dasun,
peranan dalam pertumbuhan wilayah Lasem. Di sepanjang Sungai Kiringan dan
dekat Sungai Babagan. Dia kemudian tinggal di Lasem dan menguasai
Sungai Lasem ditemukan sebaran situs-situs arkeologi yang mengindikasikan
perdagangan di Lasem. Akan tetapi, kemudian Dampu Awang berselisih
bahwa jaman dahulu Lasem ditopang oleh dua buah bandar (harbour) di
dengan Sunan Bonang dan terjadi pertempuran. Diceritakan bahwa Sunan
Sungai Kiringan dan Teluk Bonang-Binangun, serta sebuah pelabuhan (port) di
Bonang kemudian mengalahkan Dampu Awang setelah berdoa sehingga
Sungai Lasem. Bandar biasanya berlokasi di teluk yang dapat melindungi kapal
jangkar kapal Dampu Awang tidak dapat tenggelam. Sementara itu, cerita versi
dari terpaan angin dan gelombang, serta biasanya merupakan daerah muara
kedua menyebutkan bahwa Dampu Awang dan saudara-saudaranya adalah
yang kedalaman airnya mencukupi untuk tempat kapal merapat dan tidak
kakak-beradik keturunan Cina yang tinggal di pesisir Rembang–Lasem, yang
kandas. Bandar digunakan sebagai tempat kapal berlabuh, mengisi bahan
kemudian menjadi pegadang. Kakak-beradik tersebut merantau ke tempat
bakar, atau melakukan perbaikan. Sementara itu, pelabuhan biasanya
yang berbeda-beda, dan Dampu Awang merantau ke negeri Cina dan menjadi
dilengkapi dengan infrastruktur dan bangunan-bangunan yang lebih lengkap,
kerabat kaisar.
seperti dermaga beserta tambatan-tambatan kapal, serta gudang-gudang
Sementara itu, data sejarah Pustaka Badrasanti, atau yang kemudian dikenal
penyimpanan barang. Aktivitas bongkar muat kapal biasanya dilakukan di
pelabuhan (Rangkuti, 1998).
sebagai Babad Lasem, menyebutkan seorang bernama Pangeran
Rajasawardana adalah Dampu Awang di Pelabuhan Regol di Lasem pada masa
13
14
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Sejarah Lasem
Majapahit, yang merupakan penguasa pelabuhan. Dua generasi setelah
Meski selalu berada di bawah kerajaan-kerajaan yang lebih besar, Lasem adalah
Rajasawardana, pada tahun 1413 M seorang Dampu Awang dari Champa yang
sebuah wilayah yang memiliki kemandirian secara ekonomi dan budaya.
bernama Bi Nang Un datang ke Lasem dengan merapatkan kapal-kapal jung
Kemandirian ekonomi ini menjadikan Lasem sebagai salah satu prioritas daerah
miliknya di Teluk Regol. Disebutkan kemudian bahwa cucu dari Bi Nang Un juga
yang perlu ditaklukkan oleh para penguasa kerajaan. Selain posisinya yang
menjadi Dampu Awang di Bandar Keringan (Satari, 1983, pp. 116117).
strategis untuk menjadi bandar dagang dan juga pangkalan pertahanan,
Lasem sendiri menjadi penghasil kapal dan barang komoditas yang dapat
diperdagangkan dengan bangsa asing. Secara budaya, Lasem berhasil
C. Lasem Sebagai Kerajaan Vassal
membentuk identitas budaya akulturasi yang unik, yang tidak terpengaruh oleh
Sejak disebut pertama kali dalam data sejarah Nusantara, Lasem selalu
pergantian kerajaan-kerajaan yang membawahinya.
berkedudukan sebagai bagian dari kerajaan-kerajaan besar, tidak pernah
sebagai sebuah otoritas besar tersendiri. Hingga kini, Lasem “hanyalah” salah
satu kecamatan di Kabupaten Rembang. Pada masa Majapahit, Lasem adalah
salah satu kota pelabuhan, bersama Gresik, Surabaya, dan Tuban, yang
merupakan wilayah bebas pajak bagi para pedagang Cina yang datang dan
menetap. Pada kurun waktu 1466–1468 M, Lasem berada di bawah
kepemimpinan Bhre Lasem. Sebagai penguasa Lasem, Bhre Lasem diberi
kepercayaan untuk membawahi wilayah-wilayah pesisir yang mengakui
kekuasaan Kerajaan Majapahit (Aziz, 2014, p. 59).
Ketika menjadi kerajaan vassal dari Kerajaan Majapahit, Lasem memiliki dua
pelabuhan, yaitu Bandar Regol dan Kairingan, yang digunakan sebagai tempat
tambatan kapal. Selain itu, Lasem memiliki dua galangan kapal, yaitu di Dasun
dan Bancar. Pada tahun 1832 setidaknya tercatat bahwa galangan-galangan
kapal di Lasem menghasilkan 15 kapal berik, 15 sekunar, 8 pencalang, 2
paduakang, 232 perahu mayang, 41 perahu complang, 102 dukut, 353 sentek,
346 jukung, dan 13 bessi jeropian (A. A. P. Utomo, 2017, p. 145).
Setelah kejatuhan Kerajaan Majapahit, Lasem menjadi kadipaten yang menjalin
hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam yang mulai bermunculan (A. A. P.
Utomo, 2017, p. 143). Setelah menjadi sebuah kadipaten, Lasem mengalami dua
kali perpindahan pusat pemerintahan, yaitu ke Bonang di sebelah timur kota
Lasem, sebelum kemudian dikembalikan ke Lasem (Satari, 1983, p. 117).
Kemudian, pada awal abad ke-17 M Lasem menjadi bagian dari Kerajaan
Mataram Islam. Lasem berperan sebagai pesisir yang menghubungkan pusat
kerajaan Mataram yang berada di wilayah pedalaman dengan wilayah-wilayah
luar Jawa. Serat Kandha menyebutkan bahwa Sultan Agung yang berhasil
menaklukkan Lasem. Kemudian Lasem menjadi pintu gerbang Kerajaan
Mataram ketika berhubungan dengan kerajaan lain, bahkan dengan bangsa
asing. Tercatat bahwa Lasem menjadi tempat berlabuh kapal-kapal Belanda,
serta menjadi pangkalan armada perang Mataram sebelum melakukan
penyerangan ke wilayah timur (Graff, 1986, pp. 31-32, 42; 1987, p. 113).
15
16
17
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
LANSKAP
BUDAYA LASEM
18
Lanskap Budaya Lasem
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
A. Lingkungan Fisik Lasem
Lasem yang terletak pada 6°38'27,6800”-6°43'25,6440” Lintang Selatan dan
111°25'03,1440”-111°30'45,6120” Bujur Timur merupakan salah satu kecamatan dari
14 kecamatan yang terdapat di Kabupaten Rembang. Kabupaten Rembang
yang terletak di pantai utara Pulau Jawa memiliki luas 1.014,08 km2 dengan
topografi, yaitu daerah pantai, dataran rendah, dataran tinggi dan pegunungan,
dengan jenis tanah terdiri atas kandungan Mediterial, Grumosal, Aluvial,
Andosal dan Regasal. Garis pantai terletak di sisi bagian utara yang berbatasan
langsung dengan perairan Laut Jawa (BPS Kabupaten Rembang, 2012).
Lasem merupakan salah satu kecamatan di pesisir pantai Laut Jawa di
Kabupaten Rembang, berjarak lebih kurang 12 km ke arah timur dari ibukota
Kabupaten Rembang, dengan batas-batas wilayah:
Ÿ
Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa
Ÿ
Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Sluke
Ÿ
Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pancur
Ÿ
Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Rembang Kota.
Gambar 3. Ilustrasi topografi Lasem.
Kecamatan Lasem mempunyai luas wilayah mulai dari pesisir Laut Jawa hingga
ke selatan. Luas wilayah Kecamatan Lasem adalah 4.504 ha. Letaknya yang
dilewati oleh jalur pantura, menjadikan kota ini sebagai tempat yang strategis
dalam perdagangan pada masa lalu. Kecamatan Lasem terdiri atas 20 desa
dengan ibukota kecamatan di desa Soditan. Desa-desa tersebut adalah:
Babagan
Ÿ
Ÿ
Binangun
Ÿ
Kajar
Ÿ
Sendangcoyo
Ÿ
Bonang
Ÿ
Karangturi
Ÿ
Soditan
Ÿ
Dasun
Ÿ
Karasgede
Ÿ
Sriombo
Ÿ
Jolotundho
Ÿ
Sendangsari
Ÿ
Dorokandang
Ÿ
Ngargomulyo
Ÿ
Sumbergirang
Ÿ
Gedongmulyo
Ÿ
Ngemplak
Ÿ
Tasiksono
Ÿ
Gowak
Ÿ
Selopuro
Secara lanskap budaya, Lasem sangat menarik untuk menjadi kajian karena
semua elemen lanskap dapat dijumpai di wilayah ini. Wilayah Lasem mencakup
daerah pesisir di sisi utara, daerah bertopografi datar di tengah, dan di sisi timur
Lasem merupakan daerah pegunungan dengan Gunung Lasem yang berdiri di
sisi timur wilayah ini. Empat desa di antara 20 desa di kecamatan ini berada di
lereng Gunung Lasem, yaitu desa Gowak, Kajar, Sendangcoyo, dan
Ngargomulyo; sedangkan 5 desa merupakan desa pesisir yang berbatasan
langsung dengan Laut Jawa, yaitu Bonang, Dasun, Binangun, Gedongmulyo,
dan Tasiksono.
(Sumber: Google Image, 2020)
Tinggi Gunung Lasem dengan puncaknya yang dinamakan Argopuro adalah
806 mdpl. Kondisinya berbatu dan sebagian bertebing yang berbatasan dengan
pantai Laut Jawa. Secara umum, kondisi topografi di kawasan Gunung Lasem
sebagian besar adalah lereng berbukit sampai pegunungan. Jenis tanah terdiri
dari asosiasi litosol dan mediteran coklat kemerahan. Vegetasi yang tumbuh
dan tersebar adalah jenis yang biasa ditemukan di hutan hujan dataran rendah,
termasuk tanaman pengayaan yang sengaja ditanam untuk perlindungan
lahan dari erosi (Tim Penelitian, 2011, pp. 1415). Menurut van Bammelen (1949),
Gunung Lasem termasuk dalam fisiografi Gunung Api Muria–Lasem. Batuan
penyusun Gunung Lasem antara lain breksi, konglomerat, batupasir tufaan, lava
andesit berumur Plestosen, yang menumpang diatas batuan dasar sedimen
laut dan transisi (Abdillah et al., 2019, p. 363).
Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001) lanskap budaya (cultural landscape)
merupakan model atau bentuk dari lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu
nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat yang dikaitkan dengan
sumber daya alam dan lingkungan yang ada pada tempat tersebut. Lanskap
tipe ini merupakan hasil interaksi manusia dan lingkungan yang ada di
sekitarnya. Lanskap budaya merefleksikan adaptasi manusia serta perasaan
dan ekspresinya dalam menggunakan dan mengelola sumber daya alam dan
lingkungan yang terkait erat dengan kehidupannya. Bentuk dari refleksi
adaptasi tersebut terlihat dalam pola permukiman dan perkampungan, pola
penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan dan struktur lainnya.
Elemen lanskap dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu elemen lanskap
19
20
Lanskap Budaya Lasem
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
makro, mikro dan buatan manusia (man
made). Elemen lanskap makro
meliputi iklim dan kualitas tapak. Elemen mikro meliputi topografi, jenis dan
karakter tanah, vegetasi, satwa, dan hidrologi. Sementara, elemen lanskap
binaan (man made) meliputi jaringan transportasi, tata guna lahan, pola
permukiman , dan struktur bangunan (Gold, 1980).
Mengacu hasil identifikasi Sumberdaya Arkeologi Di Kecamatan Lasem yang
dilakukan oleh Balai Arkeologi tahun 2011 dengan melakukan survei arkeologi
secara objektif terbagi dalam tiga sasaran besar, yaitu 1) sasaran umum berupa
data arkeologi di seluruh wilayah kecamatan, 2) sasaran khusus berupa
distribusi dan densitas artefak di area Caruban, dan 3) pendataan ulang
keberadaan sumur-sumur kuna di Bonang untuk melengkapi atribut lokasional
secara astronomis. Dari kegiatan tersebut diperoleh hasil hasil survei arkeologi
berupa potensi data arkeologi yang berjumlah 537 titik potensi, terdiri atas 352
titik potensi data arkeologi monumental dan artefak penyerta, 41 titik potensi
sebaran artefak di Caruban, dan 144 titik sumur di Bonang. Titik potensi
sejumlah 352 berupa data arkeologi monumental dan artefak penyerta hasil
survei, dapat dikelompokkan berdasarkan 11 kategori (Tim Penelitian, 2011, p. 46),
Gambar 4. Keletakan desa-desa pada satuan lanskap.
yaitu:
1)
artefak (12)
7)
makam (32)
2)
bangunan ibadah (7)
8)
petilasan (6)
3)
bangunan pemerintah (3)
9)
rumah tinggal (243)
4)
bangunan pendukung (21)
10) toponim (10)
5)
bangunan produksi (3)
11)
6)
bangunan publik (3)
(Sumber: Peta Balai Arkeologi Prov. DIY, 2020)
Berikut deskripsi distribusi tinggalan arkeologi di Lasem mengacu pada satuan
lanskapnya:
unsur bangunan (13)
B.1. Lanskap Gunung
ke-11 kategori tersebut dijumpai di 18 Desa di wilayah Lasem dan 2 desa yang
tidak dijumpai tinggalan arkeologi, yaitu Tasiksono dan Sendangsari.
B. Distribusi Tinggalan Arkeologi pada Lanskap di Lasem
Seperti yang telah sampaikan diatas topografi Lasem yang terbagi 3, yaitu
daerah pesisir di sisi utara, daerah bertopografi datar di tengah, dan di sisi timur
Lasem merupakan daerah pegunungan. Ketiga topografi ini akan
memperlihatkan distribusi tinggalan arkeologi di Lasem sehingga akan terlihat
densitas dan ragam tinggalan arkeologi yang berada pada masing-masing
lanskap dengan mengacu pada batasan kronologis secara imajiner yang dapat
dijadikan dasar dalam penyusunan pembabakan kronologis Lasem. Gambaran
batasan tersebut adalah 1) Lasem masa pra-Islam, 2) Lasem pada awal masa
Islam, dan 3) Lasem pada masa Islam – Kolonial.
Gambar 5. Tinggalan Arkeologi pada satuan lanskap bertopografi tinggi.
(Sumber: Peta & Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2020)
21
22
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Lanskap Budaya Lasem
Tinggalan arkeologi pada satuan lanskap ini berada di Desa Gowak, Kajar,
Pada masa Islam-Kolonial, tinggalan arkeologi pada satuan lanskap ini
Sendangcoyo, dan Ngargomulyo yang mencakup pada batasan kronologis,
didominasi berupa bangunan monumental dan struktur seperti rumah tinggal,
yaitu masa pra-Islam, masa awal masa Islam, dan masa Islam–kolonial. Lokasi
rumah ibadah, stasiun, gudang, makam, jembatan, sumur kuna, dan tandon air.
tinggalan arkeologi pada masa pra Islam dengan batasan kronologis pengaruh
Tinggalan arkeologi berupa rumah tinggal seperti bangunan cina, bangunan
Hindu-Buddha di Lasem, yaitu berupa Lingga, bangunan candi, gua (pertapaan)
indis, dan rumah geladak ditemukan di Desa Karangturi, Babagan, Soditan,
dan sumur kuna ditemukan di Desa Gowak, Kajar, dan Sendangcoyo. Pada
Ngemplak, Selopuro, dan Sumbergirang. Tinggalan arkeologi berupa rumah
satuan lanskap ini tinggalan arkeologi menuju ke periodesasi yang lebih muda
ibadah atau vihara/kelenteng dijumpai di Desa Karangturi, Babagan, dan
jenis dan jumlahnya semakin sedikit. Hal ini terlihat dengan tinggalan arkeologi
Soditan. Tinggalan arkeologi berupa makam, yaitu makam cina dijumpai di
hanya berupa makam Islam di Desa Gowak dan sendangcoyo serta tandon air di
Desa Karasgede, Babagan, Selopuro, dan Dorokandang. Tinggalan arkeologi
Desa Kajar.
berupa bangunan lainnya seperti Stasiun Lasem dan gudang di Desa Doro
Kandang, jembatan kereta di Desa Jolotunda dan Tandon Air di Desa Selopuro.
B.2. Lanskap Bertopografi Rendah
Tinggalan arkeologi pada satuan lanskap bertopografi rendah dijumpai di desa
B.3. Lanskap Pesisir
Karanggede, Karangturi, Babagan, Soditan, Ngemplak, Selopuro, Sriombo,
Tinggalan arkeologi pada satuan lanskap pesisir ini dijumpai di Desa Bonang,
Sumbergirang, Dorokandang, dan Jolotundho. Hanya ada satu desa di satuan
Dasun, Binangun, dan Gedongmulyo. Tinggalan arkeologi di satuan lanskap ini
lanskap ini yang tidak dijumpai tinggalan arkeologi yaitu di Desa Sendangsari.
sangat beragam dari artefaktual hingga monumental yang mana kuantitas dan
Tinggalan arkeologis pada masa pra-Islam di satuan lanskap ini dijumpai di Desa
kualitas ragam tinggalan arkeologi itu dijumpai pada masa awal Islam. Pada
Sriombo, yaitu berupa Candi Selopuro di Desa Sumbergirang berupa taman,
makam (bata kuna), dan Balekambang (petirtaan). Ragam tinggalan arkeologi
di Lasem pada masa berikutnya lebih bervariasi dan jumlahnya banyak.
masa pra-Islam tinggalan arkeologi yang ditemukan berupa jembatan regol,
pelabuhan regol, dan makam putri cempo di desa Bonang, sisa galangan kapal
di desa Dasun' dan Candi caruban di Desa Gedongmulyo.
Tinggalan arkeologi pada masa Islam di satuan lanskap ini berupa sumur kuna
Eksistensi Desa Bonang dan Gedongmulyo pada satuan lanskap ini
dijumpai di Desa Karasgede, Doro Kandang, dan Jalotundo; makam Islam
berlangsung pada masa awal Islam hingga Islam - Kolonial. Tinggalan arkeologi
dijumpai di Desa Karangturi, Sriombo, Dorokandang, dan Jolotundho; dan
pada masa awal Islam di Desa Bonang berupa Masjid Sunan Bonang, Pasujudan
sebuah masjid kuna (Masjid Lasem) dijumpai di Desa KarangTuri.
Sunan Bonang, Rumah Geladak, sumur kuno, dan makam Islam; serta di Desa
Gedongmulyo berupa sumur Caruban dan makam Islam. Di Desa Binangun
dijumpai beberapa sumur kuna. Pada masa Islam-Kolonial ini tinggalan
Gambar 6. Tinggalan Arkeologi pada satuan lanskap bertopografi rendah.
(Sumber: Peta & Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2020)
Gambar 7. Tinggalan Arkeologi pada satuan Lanskap pesisir.
(Sumber: Balai Arkeologi Prov. DIY, 2020)
23
24
25
Lanskap Budaya Lasem
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
arkeologi yang dijumpai di desa Bonang berupa bangunan indis dan di Desa
Ngemplak
Selopuro
Gedongmulyo berupa bangunan rumah, makam Cina, dan sebaran fragmen
Bangunan indis
Tando Air 3, makam
cina 1-5, bangunan
indis
keramik asing.
Berikut rekapitulasi dan tabulasi tinggalan arkeologi di Lasem menurut
kronologi pada satuan lanskap Lasem, yaitu:
LANSEKAP
DESA
1.
Gunung
TINGGALAN ARKEOLOGI
Pra Islam
Awal Islam
Gowak
Makam Mbah
Lebo, Sumur
Tegal Jludang,
Makam islam
Kajar
Gua Pinata, Mbah
Ponyo (Lingga),
Sendangcoyo
Gunung Boto 1,
Gunung boto 2
Ngargomulyo
2.
Pesisir
Bonang
Dasun
Makam islam
Bangunan indis
Topografi
rendah
(alluvial)
Jolotundho
Lumpang batu,
sumur kuna 1-2,
makam islam
Jembatan,
makam cina
C. Lanskap Budaya Lasem
beberapa antropolog bahwa determinisme geografis mempengaruhi arah
terhadap budaya dan perkembangannya. Kondisi lingkungan mempengaruhi
hal tersebut, kondisi geografis Lasem berpengaruh pada pembentukan
kebudayaan masyarakatnya. Lasem terletak di dataran rendah yang berdekatan
dengan laut. Garis pantai yang sangat mudah untuk diakses menyebabkan
Sumur caruban
1-3, makam islam
banyak pendatang melabuhkan kapal-kapalnya di Lasem. Wilayah Lasem sisi
Bangunan rumah
pegawai KA 1
dan 2,
Bangunan Indis,
sebaran keramik,
makam cina,
bangunan cina
utara berupa daerah pesisir, sisi timur merupakan daerah pegunungan dan
bagian tengah bertopografi datar. Lasem seperti halnya kota-kota Pantai Utara
Jawa yang di masa lampau pernah mengalami masa kejayaannya. Oleh karena
itu, elemen pendukung kota juga dimiliki Lasem, yakni sungai (sungai Lasem),
pelabuhan yang bisa untuk mendarat kapal-kapal kecil maupun jalan darat
Sumur kuna 1-2
Makam cina
Karangturi
Makam Adipati
Tejokusumo I,
Masjid lasem,
makam islam
Kelenteng,
bangunan cina,
bangunan indis
Soditan
Stasiun Lasem,
Gudang, makam
cina 1-2
perkembangan budaya. Lokasi, topografi, kondisi tanah, dan iklim menjadi
Karasgede
Babagan
Sumur ombe,
makam islam
faktor yang menentukan budaya dalam tahap yang sederhana. Terkait dengan
Tasiksono
3.
Bangunan cina,
bangunan indis,
Sumur kuna 1 -4
terjadi di Lasem. Teori ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan
Sumur kuna
binangun 1-3
Candi Caruban
Makam Islam
Kondisi geografis Lasem secara teoritis berpengaruh pada dinamika yang
Sisa galangan
kapal
Binangun
Gedongmulyo
Tandon air 1,
2, dan 5
Masjid Sunan
Bonang,
pasujudan sunan
bonang, rumah
geladak bonang 2,
sumur kuno,
makam Islam 1-2,
Taman
Kamalapuri,
Makam Kutho,
Balekambang
Sendangsari
Islam Kolonial
Makam islam,
watu gambir
Jembatan regol 1
dan 2, makam
putri cempo,
pelabuhan regol
Candi Selopuro
Doro
Kandang
Tabel 1. Distribusi Tinggalan arkeologi pada Lanskap Budaya Lasem.
NO.
Sriombo
Sumbergirang
Kelenteng,
Bangunan cina,
bangunan indis,
makam cina 1-3
Rumah geladak,
bangunan indis,
vihara karuna
dharma, bangunan
cina, kelenteng
yang menghubungkan wilayah tersebut dengan daerah lainnya (Nurhajarini et
al., 2015, p. 18).
Lasem merupakan bandar pelabuhan besar sejak zaman Kerajaan Majapahit
sampai pada penjajahan Belanda dan Jepang. Pada saat itu Lasem menyimpan
warisan sejarah yang sangat penting sebagai kota pemerintahan di daerah
pesisir utara Jawa dan perpaduan budaya yang terjadi merupakan representasi
dan percampuran budaya pendatang dan budaya lokal yang terbentuk melalui
perjalanan panjang sejarah budaya pesisir Jawa sejak abad ke-14 dan
membentuk karakteristik arsitektur yang khas yang menjadi bagian penting
dari kebudayaan pesisir utara Jawa. Kota Lasem sangat unik bukan hanya
26
27
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
karena arsitektur, batik dan ritualnya memiliki karakter yang berbeda, tetapi
kota itu sendiri memainkan peran penting dalam sejarah Tionghoa yang lahir di
Indonesia, yaitu pada abad ke-13 ketika orang Cina pertama kali tiba dan
menetap di Lasem, jauh sebelum penjajahan Belanda dimulai di Jawa. Pada
abad ke-15, mereka membangun pemukiman permanen di dataran rendah
bagian timur sungai Lasem, di mana sebuah pelabuhan terletak sebagai pusat
perdagangan (Pratiwo, 2010).
Berdasarkan hasil identifikasi Sumberdaya Arkeologi Di Kecamatan Lasem yang
dilakukan oleh Balai Arkeologi tahun 2011 diperoleh informasi salah satunya
adalah dominasi tinggalan arkeologi berupa bangunan rumah cina sejumlah
243 buah yang terletak Desa Karangturi, Desa Babagan, Desa Soditan, Desa
Sumbergirang, dan Desa Gedongmulyo yang kemudian kawasan tersebut
dikenal dengan nama Kawasan Pecinan Lasem. Menurut Jackson (1975), ada tiga
karakteristik pecinan di Asia Tenggara. Pertama, adalah batas batas daerahnya
yang jelas, yakni di pusat kota dengan karakter yang berbeda dengan
lingkungan sekitarnya. Selain itu pecinan memiliki kepadatan penduduk
tertinggi dibandingkan dengan daerah lain di kota yang sama; kedua, terdiri
atas kelompok penduduk Tionghoa yang sangat solid dan tidak ada etnis lain
yang tinggal di dalamnya. Hampir semua pecinan di Asia Tenggara memiliki
pola jalan grid yang teratur dan garis bangunan ruko yang menerus; ketiga,
merupakan bagian kota yang mana pola hidup dan bermukim terfokus pada
tradisi masyarakat Tionghoa sehingga menjadi dunia tersendiri di kota
(Jackson, 1975, p. 51). Kawasan pecinan Lasem tersebut berada di desa-desa yang
terletak pada satuan lanskap bertopografi rendah. Berkembangnya peradaban
dan kebudayaan Lasem di satuan lanskap ini dikarenakan memberikan daya
dukung sumber alam yang memadai dan dan mudah diakses seperti kondisi
lahan yang landai, tanahnya subur, dan adanya sungai-sungai.
Hal ini memberikan kesimpulan bahwa adaptasi manusia terhadap alam dapat
dihubungkan dengan tindakan manusia sebagai pendukung kebudayaan
untuk kehidupan dan penghidupan jasmaniah ataupun dapat juga
dihubungkan dengan suatu bentuk yang bersifat filosofis atau estetis untuk
kebutuhan rohaninya (Hakim, 2002, p. 5). Adaptasi manusia terhadap alam yang
mengekspresikan kebutuhan rohaniah (filosofis dan estetis) dapat dilihat
dengan adanya ragam dan karakteristik tinggalan arkeologi pada lanskap
budaya Lasem tersebut.
DINAMIKA SEJARAH
DAN BUDAYA LASEM
28
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
A. Masa Awal dan Berkembangnya Lasem
Lasem sebagai suatu wilayah stategis memiliki dinamika yang cukup panjang
dalam sejarah perkembangan Indonesia. Seperti yang telah disinggung dalam
bab sebelumnya, keberadaan Lasem sudah mulai dikenal sejak masa Majapahit
dan terus berkembang hingga masa Islam Kolonial dan akhirnya mengalami
kemunduran sejak era kemerdekaan. Beberapa temuan arkeologi dan sumber
sejarah yang membahas tentang Lasem telah memberi gambaran bagaimana
pasang surut Lasem sebagai bagian dari sejarah Nusantara. Sumber-sumber
sejarah yang memuat tentang Lasem pada masa Klasik adalah prasasti dan
babad atau kakawin. Sumber-sumber tersebut menunjukkan kapan
munculnya Lasem dan bagaimana perannya dalam satu wilayah kerajaan.
29
Dinamika Sejarah dan Budaya Lasem
Tahun 1273 S (1351 M). Kala itu Lasem diperintah oleh Dewi Indu, adik sepupu
Hayam Wuruk dari Wilwatikta. Suaminya bernama Pangeran Rajasawardana,
seorang Dampuhawang di Pelabuhan Regol, Lasem. Rajawardana juga
merangkap sebagai Adipati Matahun, dengan gelar Raden Panji Maladresmi
(Satari, 1983, p. 116). Sementara analisis Djafar mengatakan bahwa Pada masa
Hayam Wuruk, penguasa Lasem adalah Rajasaduhitatundudewi yang
bersuamikan Bhre Matahun (Rajasawarddhana) (Djafar, 2009, p. 168). Selain
informasi mengenai kemunculan dan para penguasa Lasem, kedua kitab
tersebut juga memberi informasi mengenai kehidupan sosial masyarakat, di
mana rakyat Lasem pada masa itu memeluk agama Siwa dan Budha.
Keberadaan Lasem semakin tampak jelas ketika disebut dalam sumber prasasti
Secara kronologis, kemunculan Lasem tertua dapat dicermati dari Naskah
di antaranya adalah Prasasti Karangbogem atau Prasasti Trowulan V dan
Negarakartagama dimana Lasem disebut telah muncul pada masa Kerajaan
Prasasti Waringin. Prasati Karangbogem dikeluarkan pada tahun 1209 Caka
Singasari. Nama Ra Lasem sebagai tokoh penguasa merupakan pengikut setia
(1387 M) oleh Bhre Lasem menyebutkan adanya orang-orang Gresik yang
dari Raden Wijaya (Unjiya, 2008). Data ini memang belum dapat kita buktikan
dipekerjakan di perusahaan tambak (perikanan) di Karangbogem (B. B. Utomo,
secara arkeologis maupun dikroscek dengan sumber sejarah lainnya. Namun
2009, p. 7). Secara khusus nama Lasem tidak disebut namun keberadaan
demikian hal ini dapat diterima mengingat beberapa penyebutan nama Lasem
penguasanya, yaitu Bhre Lasem yang mampu mengeluarkan prasasti ini
pada Kitab tersebut telah menunjukan bahwa Lasem merupakan satu wilayah
tentunya sangan menarik perhatian. Sementara Prasasti Waringin Pitu 1369 S
yang telah memiliki penguasa, tentunya hal ini tidak muncul secara tiba-tiba.
Nama Lasem disebut pula dalam kitab Nagarakrtagama yang menceritakan
tentang perjalanan Hayam Wuruk pada tahun 1276 Caka atau 1354 Masehi ketika
mengelilingi wilayah Kerajaan Majapahit dan kemudian singgah di Lasem
(1464 M), yang isinya tidak lagi menyebut Lasem sebagai salah satu kerajaan
vassal Majapahit. Namun pada tahun 1466 ketika Bhre Pandan Salas berkuasa,
kembali Lasem tercatat sebagai salah satu kerajaan vassal Majapahit, dengan
rajanya putri Bhre Pandan Salas atau Bhre Lasem V.
(Satari, 1983, p. 119; Zakaria, 1993, p. 15). Sebagai satu tempat yang menjadi
Berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada, dapat disusun sejarah
persinggahan raja, tentunya Lasem tidak hanya sekedar wilayah bawahan
kemunculan Lasem sebagai berikut:
namun pastinya memiliki arti penting bagi kerajaan Majapahit. Jawaban itu
dapat ditemukan juga dalam Nagarakrtagama yang menyebutkan bahwa
Lasem merupakan daerah perdikan yang dipimpin oleh adik sepupu raja
Majapahit yang bernama Dewi Indu (Satari, 1983).
Kitab Pararaton sebagai satu kitab Majapahit juga menyebut nama Lasem, yaitu
adanya gelar Bhre Lasem Sang Ahayu yang diberikan kepada putri Hayam
Wuruk yang bernama Kusumawardani (Padmopuspito, 1966; Satari, 1983;
Zakaria, 1993, p. 16). Hadirnya putri penguasa utama Majapahit di Lasem semakin
mempertegas akan pentingnya Lasem bagi kerajaan pada masa puncak
jayanya.
Tabel 2. Sejarah Kemunculan Lasem.
PENYEBUTAN
MASA
SUMBER
Mucul nama Ra Lasem
Kerajaan Kadiri
Nagarakretagama
Lasem digunakan sebagai
tempat singgah raja
Kerajaan Majapahit
masa Hayam Wurug
Nagarakertagama
Dipimpin oleh adik sepupu
raja bergelar Bhre Lasem
Kerajaan Majapahit
Pararaton, Babad Lasem
Putri Kusuma Wardani diberi
gelar Bhre Lasem Sang Ahayu
Kerajaan Majapahit
masa Hayam Wurug
Pararaton
Sumber: disusun oleh penulis dari beberapa referensi
Sumber sejarah lain yang menyebutkan Lasem adalah Babad Lasem, sebuah
catatan kesejarahan yang ditulis oleh Kamzah seorang pujangga keturunan
Dinamika Lasem pada masa Klasik juga dapat diketahui dari bukti arkeologi
Panji Lasem yang hidup tahun 1805-1900 Masehi. Babad Lasem ditulis pada
yang ditemukan, baik berupa sisa bangunan maupun artefak. Beberapa nama
tahun 1825. Tulisan ini kemudian dianalisis oleh Satari yang menyimpulkan
tempat yang disebutkan dalam Babad Lasem masih dapat kita jumpai sisa-
bahwa Lasem telah menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit setidaknya sejak
sisanya hingga sekarang. Salah satunya adalah Jembatan Regol yang
30
31
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Dinamika Sejarah dan Budaya Lasem
Gambar 8. Sisa tatanan bata dan batu di situs Jembatan Regol.
Gambar 9. Lingga di Situs Mbah Ponyo dan beberapa sisa batu di situs Gunung Bata.
(Sumber: Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011).
(Sumber: Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
menyisakan tatanan bata dan batu andesit di Dusun Bonang, Desa Bonang
Kecamatan Lasem serta Pelabuhan Regol yang saat ini masih berfungsi (Tim
Penelitian, 2011). Jembatan Regol merupakan bagian dari fasilitas Pelabuhan
Kaeringan. Pelabuhan ini telah ada sejak masa Dewi Indu. Salah satu fungsi dari
pelabuhan ini adalah untuk menempatkan jung-jung perang. Sampai masa
Islam masuk di pantai utara Jawa, Kaeringan masih berfungsi sebagai
pelabuhan. Teluk Regol merupakan pelabuhan yang juga sebagai tempat
menambatkan jung-jung perang yang dikuasai oleh Rajasawardana. Selain itu
juga sebagai tempat berlabuh jung-jung Champa milik saudagar Bi Nang Un.
Dari nama Bi Nang Un, nama Regol kemudian berubah menjadi Binangun, desa
Gambar 10. Lanskap situs Candi Caruban yang hanya menyisakan beberapa sisa
batu. Kanan: sisa umpak-umpak di situs Candi Selopuro.
di sekitar 4 km menuju arah timur Lasem (B. B. Utomo, 2009, p. 10).
Selain bangunan monumental terdapat pula beberapa temuan arkeologi lain
yang menjadi bukti dinamika Lasem pada masa Klasik. Terdapat temuan lingga
baik lingga lepas maupun lingga yang berkonteks dengan temuan struktur bata
yang terdapat di Situs Mbah Ponyo dan Situs Gunung Bata. Beberapa stuktur
(Sumber: Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
Sukhotai, Sawankhalok, Vietnam, Jepang dan Eropa (Rangkuti, 1996; Zakaria,
1993, p. 7). Temuan ini membuktikan luasnya jaringan perdaganan dan
pelayaran yang terjadi di Pelabuhan Lasem.
candi baik berbahan batu andesit maupun bata juga ditemukan di Lasem.
Tabel 3. Beberapa tinggalan arkeologi yang menjadi penanda dinamika Lasem pada
Temuan tersebut terdapat di situs Candi Caruban, Gunung Bata, Candi Selopuro,
masa Klasik berupa bangunan pemujaan, fasilitas umum, dan tempat perabuan.
Taman Kamalapuri dan Makam Kutho serta beberapa struktur lain yang
menunjukan fungsi sebagai situs perabuan dan kolam (lihat tabel).
NAMA SITUS
SISA YANG DAPAT DIJUMPAI
DUSUN
DESA
Jembatan Regol 1
Struktur bata dan batu andesit
Bonang
Bonang
Jembatan Regol 2
Struktur bata candi
Bonang
Bonang
Pelabuhan Regol
Pelabuhan
Bonang
Bonang
memahami bagaimana kehidupan social ekonomi Lasem. Tahun 1940-1942,
Galangan Kapal Dasun
Sisa galangan kapal
-
Dasun
Orsoy de Flines (keramolog Belanda) meneliti sebaran keramik asing di pantai
Caruban Candi
Gundukan dan runtuhan bata candi
Caruban
Gedong mulyo
utara Jawa Tengah bagian timur. Hasil dari penelitian ini mendapatkan keramik
Makam Mbah Lebo
Perabuan
Gowak
Gowak
Sumur Tegal Jludang
Sumur
Gowak
Gowak
Gua Piñata
Gua pemujaan
Kajar
Kajar
Mbah Ponyo
Lingga
Kajar
Kajar
Hasil analisis terhadap temuan fragmen keramik yang ditemukan di sepanjang
Sungai Caruban (bekas pelabuhan Lasem) juga dapat digunakan untuk
dari masa Dinasti Tang (IX-X M) hingga Dinasti Q'ing (XVIII-XX M) (Rangkuti, 1996,
p. 1). Selain keramik Cina juga ditemukan keramik asing lain, yaitu keramik
32
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
33
Dinamika Sejarah dan Budaya Lasem
Gunung Bata
Lingga dan batu candi
Sukolilo
Sendangcoyo
Pada awal kerajaan Islam di Jawa, Lasem menjadi bagian dari kerajaan Pajang.
Gunung Bata
Sebaran batu candi dan bata
Sukolilo
Sendangcoyo
Sama halnya dengan Tuban dan Gresik, kala itu Lasem merupakan daerah yang
Candi Selopuro
Sebaran bata candi
Sulo
Sriombo
Taman Kamalapuri
Sebaran bata candi
Pandeyan
Sumbergirang
berdiri sendiri dan menjadi bagian dari satu kerajaan besar. Beberapa tinggalan
Makan Kutho
Sebaran bata candi
Pandeyan
Sumbergirang
Balekambang
Kolam
Pandeyan
Sumbergirang
Sumber: Tim Penelitian, 2011
arkeologis yang mencirikan budaya masa Islam di antaranya adalah kompleks
makam Nyi Ageng Maloko, Kompleks Masjid Pasujudan, Masjid Lasem dan
Makam tokoh penguasa Lasem. Kompleks makam Nyai Ageng Maloko adalah
pemakaman yang salah satunya merupakan tokoh penyebaran agama Islam,
yaitu kakak Sunan Bonang. Pada kompleks makam tersebut terdapat salah satu
B. Lasem Pada Awal Masa Islam
Keberadaan nama Lasem sempat menghilang pada akhir masa Klasik. Setelah
berakhirnya masa kekuasaan Bhre Pandan Salas, yaitu 1466 -1468 M, maka
selesai pula kekuasaan atas Lasem. Dyah Wijayakusuma pengganti tahta
Majapahit menghapus Lasem dari kerajaan vassal Majapahit. Terhapusnya
Kerajaan Lasem kemudian melahirkan Kadipaten Binangun di dekat Pelabuhan
Regol pada tahun 1469 M. Kadipaten Binangun didirikan oleh Pangeran
Wirabraja, putra Pangeran Badranala cicit dari Rajasawardhana dan Duhitendu
Dewi (Unjiya, 2008, p. 62). Seiring dengan berdirinya Kerajaan Demak, Lasem
diperintah oleh Pangeran Santipuspa. Ia menggantikan Nyi Ageng Malokah
yang wafat pada tahun 1490 M. Pangeran Santipuspa adalah anak sulung
Pangeran Santibadra, Temenggung Wilwatikta, adik dari Pangeran Wirabajra
pendiri Kadipaten Binangun Lasem. Pangeran Santipuspa pernah menjabat
Dampoawang di Pelabuhan Caruban Lasem sehingga kawasan Caruban
menjelma sebagai daerah penting dalam bidang perdagangan dan kelautan.
Adipati Santipuspa meninggal pada tahun 1501 M dan dimakamkan di Caruban,
Gedongmulyo. Dia kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Kusuma
Badra. Kadipaten Lasem seperti Tuban dan Gresik dengan pelabuhan sebagai
kekuatan utama perekonomian negeri hingga berakhirnya Kerajaan Demak
(Unjiya, 2008, pp. 67–70).
Beberapa peneliti asing juga membahas tentang keberadaan Lasem di
antaranya adalah Graaf dan Pigeud. Beliau mengulas sebuah catatan asing The
Malay Annals of Semarang and Cirebon yang banyak memberikan informasi
tentang perjalanan utusan Cina dari dinasti Ming pada abad ke-15 Masehi
(antara tahun 1411–1416 M) yang berada di Majapahit. Utusan tersebut
merupakan muslim Cina yang bermazab Hanafi dan kemudian membentuk
masyarakat Cina di Ku-Kang (Palembang). Kemudian mereka bermukim dan
mendirikan masjid di Ancol (Jakarta), Sembung (Cirebon), Lasem, Tuban, TseTsun (Gresik), Jiatung (Jaratan), Cangki (Mojokerto) (Graff & Pigeaud, 1984).
Lasem ternyata merupakan salah satu wilayah penting di pesisir utara Jawa
pada masa itu.
makam yang menggunakan nisan berbentuk lingga, sedangkan makam
lainnya dihias dengan nisan berbentuk kenong (kempul) (Satari, 1983, p. 120).
Pada masa Kerajaan Mataram Islam, status Kota Lasem pada waktu itu adalah
kabupaten. Seperti yang tertera dalam Babad Tanah Jawi, disebutkan bahwa Ki
Ageng Mataram (Pemanahan) ikut ke Giri ketika Sultan Pajang bersama seluruh
tentaranya memohon restu Sunan Prapen. Ketika itu bupati dari timur hadir,
yaitu dari Japan, Wirasaba, Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem,
Tuban, dan Pati (Graff, 1985, p. 62). Serat Kandha (salah satu sumber sejarah) juga
menyebutkan bahwa telah terjadi perang penaklukan daerah Jawa bagian
timur oleh pasukan Mataram dibawah pimpinan Sultan Agung. Pada waktu itu
Lasem berada dibawah kekuasaan Surabaya. Pada penyerangan tersebut
dimenangkan oleh pasukan Mataram dan kemudian pulang dengan
membawa barang rampasan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1614 yang lebih
dikenal dengan pertempuran di Sungai Andaka (Graff, 1986, pp. 31–32).
Beberapa tinggalan monumental masa Islam yang saat ini menjadi salah satu
ikon Lasem adalah Situs Pasujudan Bonang. berdasarkan sumber sejarah, situs
Bonang merupakan tempat Sunan Bonang melakukan perenungan yang
berada di Alas Kemuning. Di situs tersebut terdapat bangunan masjid, Makam
Sunan Bonang serta sumur persegi berjumlah 2 buah (Rangkuti, 1996, p. 17).
Selain situs Bonang, terdapat pula Bekas tempat pembuatan kapal yang telah
berkembang sejak abad ke-16. Menurut catatan Albuquerque, tempat
pembuatan kapal atau galangan kapal Jawa sangat terkenal hingga wilayah
Asia Tenggara (Zakaria, 1993).
Tabel 4. Tinggalan arkeologi masa Islam yang masih dapat ditemukan di Lasem
SITUS
OBJEK
ABAD
DUSUN
DESA
Masjid Sunan Bonang
Masjid
15
Bonang
Bonang
Pasujudan Sunan Bonang
Batu Pasujudan
15
Bonang
Bonang
Rumah Geladak Bonang 2
Rumah Geladak
15
Bonang
Bonang
Makam Adipati Tejokusumo I
Makam Islam
16
Kauman
Karang Turi
Masjid Jami Lasem
Masjid
16
Kauman
Karang Turi
Sumber: Tim Penelitian, 2011
34
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
C. Lasem Pada Masa Islam–Kolonial
Setelah kekuasaan Pajang digantikan Mataram Islam, maka Lasem pun menjadi
bagian dari Mataram Islam mulai tahun 1616 M. Penguasa Lasem pada waktu itu
adalah Ngabehi Martanata. Ngabehi Martanata adalah bekas penguasa Jepara
35
Dinamika Sejarah dan Budaya Lasem
berkembang karena kedatangan imigran Cina yang datang dari kota-kota di
Jawa setelah terjadi pemberontakan Cina pada abad ke-18 Masehi. Pemukiman
pribumi di bagian dalam kota terdapat di Kauman dan Sumbergirang
(Rangkuti, 1998, p. 9).
dan Pati. Ia menjadi penguasa yang membawahi wilayah Kendal dan Lasem
Pasca abad ke-19 Masehi, Desa Bonang ditinggali saudagar-saudagar atau
pada tahun 1664 (Graff, 1987, p. 169). Pada masa pemerintahan Sultan Agung,
golongan menengah (pedagang kain, tembakau, ikan, dan candu). Rumah
Lasem memiliki peran penting dalam perlawanan Kerajaan Mataram Islam
tinggal beratap limas dan berdinding kayu jati (geladak) yang besar dan megah.
melawan Belanda di Batavia. Pelabuhan Lasem merupakan tempat
Rumah seperti ini dapat dipindah-pindah (Rangkuti, 1996, p. 18).
pemberangkatan pasukan laut Mataram sebelum melakukan penyerangan
(Graff, 1987).
Sejak akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-21, boleh dikatakan tidak terjadi
perkembangan yang signifikan pada Kota Lasem. Bahkan boleh dikatakan
Pada masa berikutnya, yaitu era Raja Amangkurat I, Lasem masih memiliki
mengalami kemandegan atau bahkan kemunduran. Penghancuran bangunan
peranan penting. Saat itu Lasem telah menjadi wilayah kadipaten yang
serta lingkungan kuno yang khas Cina-Lasem terus dilakukan terutama selama
dipimpin oleh seorang bupati. Pada saat terjadi penyerangan Jawa oleh orang-
'orde baru'. Kelenteng sudah tidak populer lagi bagi angkatan muda Lasem
orang Makasar, daerah Lasem menjadi salah satu pendaratan (Graff, 1987, p. 100).
(Hartono & Handinoto, n.d.).
Pada tanggal 24 April 1676 pelabuhan Lasem menjadi tempat pemberangkatan
Hasil survei potensi data arkeologi masa kolonial meliputi 284 titik potensi, yang
sejumlah kapal pasukan Mataram menuju wilayah timur. Kapal-kapal ini
memiliki misi untuk melakukan pertempuran dengan tentara Makasar dan
Madura. Pada bulan september 1676, Pelabuhan Lasem menjadi salah satu
lokasi pendaratan para tentara Madura yang ingin bergabung dengan
Trunojoyo yang berencana untuk melakukan pemberontakan terhadap
terdiri atas: bangunan ibadah, bangunan pemerintah, bangunan pendukung
(tandon air dan sumur), bangunan publik (stasiun, jembatan, warung),
bangunan produksi, makam Cina, rumah tinggal, toponim dan unsur
bangunan. Beberapa tinggalan arkeologis tersebut ditemukan di dekat muara
Sungai Lasem (Sungai Babagan). Selain itu ditemukan pula tiga buah sisa
Amangkurat I (Graff, 1987, p. 113).
bangunan galangan kapal beserta sumur dan sisa bangunan lainnya. Bentuk
Pada abad ke-17 pelabuhan di Lasem semakin berkembang dengan hadirnya
galangan kapal ada yang berbentuk persegi panjang (50 m x 13,5 m) dan
etnik Cina yang mendominasi Kota Lasem (Rangkuti, 2000, p. 126). Pada tahun
berbentuk ladam kuda (50 x 13 m), dibuat dari batu-batu yang disemen. Dilihat
1679 terjadi pertempuran besar-besaran di Lasem antara pasukan Adipati
dari bentuk, teknik, dan bahan bangunannya, sisa-sisa galangan kapal tersebut
Tejokusumo II, Raden Wingit (Panembahan Romo) dan Trunojoyo berhadapan
kemungkinan berasal dari awal abad ke-20 (Rangkuti, 1998, p. 8).
dengan tentara Mataram dan Kompeni Belanda. Kota Lasem menjadi lautan api
dan darah. Peperangan berlangsung hingga tahun 1680 di mana Lasem benar-
Tabel 5. Beberapa temuan bukti arkeologi perkembangan Lasem masa Kolonial dan
benar takluk oleh senjata api dan meriam VOC. Pada peristiwa ini Adipati
Kemerdekaan
Tejokusumo III gugur dalam usaha mempertahankan kadipaten Lasem (Unjiya,
DESA
2008, pp. 100–101). Pada tahun 1751, VOC mutlak menguasai Lasem yang
SITUS
OBJEK
KATEGORI
TH
kemudian mengangkat Tumenggung Citrasoma IV dari Tuban sebagai bupati
Gang III No. 3
Desa Babagan
Bangunan Cina
Rumah Tinggal
1678
Babagan
Menggolo III sebagai bupati Magersari Rembang, serta mengangkat kembali
Gang III No. 4
Desa Babagan
Bangunan Cina
Rumah Tinggal
-
Babagan
Hangabei Honggojoyo sebagai Bupati Rembang. Pada tahun inilah pertama
Jl Raya Lasem No 132
Bangunan Indis
Rumah Tinggal
1718
Soditan
Jl Raya Lasem No 130
Bangunan Indis
Rumah Tinggal
1718
Soditan
Belanda membangun jalan pos Deandels dan jalan-jalan yang melintang utara
Gang Iv No 4
Desa Babagan
Bangunan Cina
Rumah Tinggal
-
Babagan
selatan sejajar dengan Sungai Lasem. Jaringan jalan yang membentuk blok-
Jl Raya Lasem) No 136
Rumah Geladak
Rumah Tinggal
-
Soditan
Jalan Raya Lasem 92
Bangunan Indis
Rumah Tinggal
1800
Soditan
Lasem yang berkedudukan di Binangun dan memberhentikan Suro Adi
kali Lasem dan Rembang terpisah menjadi pemerintahan yang berbeda secara
de facto (Unjiya, 2008, pp. 111–113). Pada tahun 1808-1811 pemerintah Hindia
blok pemukiman di kota Lasem mungkin dibangun setelah Kota Lasem
36
37
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
DESA
SITUS
OBJEK
KATEGORI
TH
Vihara Karuna Dharma
Vihara
Bangunan Ibadah
-
Soditan
Sumur Kuna 1
Sumbergirang
Sumur
Bangunan Pendukung
1818
Sumbergirang
Jl Raya Lasem
No. 35 Desa
Bangunan
Cina - Indis
Rumah Tinggal
1923
Babagan
Gang VI No. 10
Desa Babagan
Bangunan Indis
Rumah Tinggal
1919
Babagan
Stasiun Lasem
Stasiun
Bangunan Publik
1912
Dorokandang
Gudang Klungsu
Gudang
Bangunan Pemerintah
1912
Dorokandang
Perum PTKA 1
Rumah Dinas PTKAI
Bangunan Pemerintah
1912
Gedong Mulyo
Perum PTKA 2
Rumah Dinas PTKAI
Bangunan Pemerintah
1912
Gedong Mulyo
Jl Raya Lasem No. 15
Bangunan Indis
Rumah Tinggal
1925
Gedong Mulyo
Tandon Air 1
Tandon
Penampungan Air
Bangunan Pendukung
-
Kajar
Tandon Air 2
Tandon
Penampungan Air
Bangunan Pendukung
1928
Kajar
Tandon Air 4
Tandon
Penampungan Air
Bangunan Pendukung
-
Kajar
Tandon Air 5
Tandon
Penampungan Air
Bangunan Pendukung
-
Kajar
Tandon Air 3
Tandon
Penampungan Air
Bangunan Pendukung
-
Selopuro
Jalan Dasun No 1
Bangunan Cina
Rumah Tinggal
1926
Soditan
Jalan Dasun No 2
Bangunan Cina
Rumah Tinggal
1926
Soditan
Jl Raya Lasem 118
Bangunan Cina
Rumah Tinggal
-
Soditan
Sumber: Tim Penelitian, 2011
RAGAM SUMBER DAYA
ARKEOLOGI LASEM
38
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem
Penelitian yang dilakukan Balai Arkeologi Provinsi DI Yogyakarta tahun 2011
menunjukkan bahwa tinggalan arkeologi yang berhasil dijaring dalam
penelitian ini seluruhnya berjumlah 537, baik yang berupa tinggalan
monumental maupun tinggalan artefaktual. Seluruhnya dapat dikelompokkan
dalam 4 kelompok besar, yaitu bangunan, artefak, toponim, dan petilasan.
Bangunan dan artefak dapat dikelompokkan lagi dalam sub-sub kelompok,
misalnya bangunan peribadatan, bangunan perkantoran, lingga, lumpang
batu, f ragmen keramik, dan seterusnya seperti yang dapat di tulisan
sebelumnya. Ke-537 tinggalan arkeologi di Lasem tersebut yang terbanyak
berupa bangunan rumah tinggal, yaitu sebanyak 68,84% dari keseluruhan
temuan, sementara tinggalan lainnya ditemukan dalam kisaran 0,85% - 9,07%.
Bangunan rumah tinggal yang mendominasi tinggalan arkeologi di Lasem
sebagian besar merupakan bangunan bernuansa Cina dan bangunan bergaya
Indis, serta sejumlah kecil bangunan tradisional (Jawa) yang dikenal dengan
nama rumah geladak dan bangunan yang menunjukkan gaya campuran
antara Cina-Indis maupun Indis-Jawa. Bangunan-bangunan rumah tinggal
tersebut di atas berasal dari masa kejayaan Lasem di sekitar akhir abad ke-19
hingga awal abad ke-20.
Ragam tinggalan berikutnya adalah bangunan makam, yang ditemukan
berjumlah 32 atau 9,07% dari temuan keseluruhan. Makam-makam yang
Gambar 11. Perbandingan temuan data arkeologi di Lasem hasil
(Sumber: Tim Penelitian, 2011)
terdapat di Lasem berasal dari masa klasik (abad ke-14), masa Islam (abad ke-18),
hingga masa Kolonial (abad ke-20). Mayoritas merupakan makam Islam dan
makam Cina. Makam-makam Islam tersebut umumnya merupakan makam
para tokoh, baik tokoh kenegaraan maupun tokoh keagamaan pada masanya.
Sementara makam Cina umumnya merupakan makam etnis Cina yang dulunya
merupakan penduduk Lasem.
Selanjutnya adalah bangunan pendukung yang berupa sumur kuna dan
tandon air kuna, yang ditemukan sejumlah 21 atau 5,95%. Sumur-sumur kuna ini
(sejumlah 16) berasal dari periode Klasik, Islam, sampai Kolonial, sementara 5
A. ARTEFAK
Kategori data arkeologi yang diperoleh dari kegiatan Identifikasi Sumberdaya
Arkeologi di Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang salah satunya adalah
artefak. Melalui kegiatan ini, diperoleh sebaran data artefak di empat desa.
Keempat desa tersebut adalah Desa Gedong Mulyo, Kajar, Soditan, dan
Jalatundha. Data arkeologi berupa artefak yang ditemukan di Desa Gedong
Mulyo berupa sebaran keramik yang berada di Dusun Pabean dan Dusun Layur.
tandon air berasal dari masa kolonial, yaitu dari awal abad ke-20.
Sebaran keramik tersebut berupa keramik asing dan dimasukkan dalam
Ragam tinggalan monumental lainnya adalah bangunan peribadatan, yang
periodesasi masa Kolonial.
terdiri atas kelenteng, masjid, vihara, dan gua pemujaan; bangunan pemerintah,
berupa gudang dan perumahan PT. KAI; bangunan produksi berupa bekas
pabrik; bangunan publik berupa stasiun, jembatan, dan bekas warung;
petilasan; serta unsur bangunan berupa bekas dermaga, sisa galangan kapal,
unsur bangunan candi, dan umpak batu. Di samping itu, ragam tinggalan
berupa artefak yang ditemukan adalah lingga, lumpang batu, kursi batu, batu
andesit bertapak kaki manusia, serta sebaran fragmen keramik. Sementara
data toponim yang diperoleh adalah toponim pelabuhan, kolam, alun-alun,
serta rumah pejabat.
39
40
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem
A.2. Lumpang Batu dan Fragmen Keramik
Temuan keramik berjumlah dua buah, selain itu juga ditemukan lumpang
batu berjumlah 1 buah.
Gambar 12. Sebaran fragmen keramik dan tembikar di Desa Gedong Mulyo.
(Sumber : Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
Gambar 14. Temuan lumpang batu di Desa Kajar.
(Sumber : Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
Data artefaktual juga ditemukan di Desa Kajar, tepatnya di Dusun Kajar. Di Desa
A.3. Batu Andesit Bertapak Manusia
ini terdapat data artefaktual berupa kursi batu; lumpang batu dan fragmen
Berupa bongkah batu andesit pada sisi selatan batu terdapat tapak kaki
keramik; batu andesit bertapak kaki manusia; fragmen keramik; dan lingga.
Uraian mengenai data artefaktual di Dusun Kajar adaalah sebagai berikut.
manusia dewasa sebelah kanan. Batu tersebut memiliki ukuran panjang 560
cm, lebar 480 cm, tinggi 156 cm. Sedangkan ukuran tapak kaki panjang 24 cm,
lebar 10 cm.
A. 1. Kursi Batu
Kursi batu ini berupa kursi batu dengan kondisi sudah tertimbun oleh tanah
dan sampah. Ukuran dari batu tersebut lebar 100 cm, tebal 20 cm, tinggi 60 cm.
Gambar 15. Fitur tapak kaki pada batu andesit di Desa Kajar.
(Sumber : Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
A.3. Lingga
Berupa kumpulan lingga berjumlah 5 buah, 4 diantaranya berupa lingga semu
atau mungkin lingga yang belum jadi dan hanya satu yang berujud lingga
Gambar 13. Temuan kursi batu di Desa Kajar, Lasem.
(Sumber : Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
sempurna (memiliki tiga bagian, yaitu bagian bawah berbentuk kubus, bagian
41
42
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
tengah berbentuk segi delapan dan bagian atas berbentuk silindris). Lingga
berukuran lebar 25 cm, tebal 25 cm, tinggi keseluruhan 72 cm. Masyarakat
masing menghargai keberadaan situs tersebut dengan melakukan ritual
sedekah bumi setiap tahun sehabis masa panen.
Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem
B. BANGUNAN IBADAH
Kategori bangunan ibadah ini adalah bangunan yang diperuntukkan kegiatan
ibadah di area Lasem. Dari hasil identifikasi yang dilakukan, terdapat tujuh titik
sebaran bangunan ibadah di wilayah Kecamatan Lasem. Ketujuh bangunan
ibadah tersebut terdapat di Desa Babagan, Bonang, Kajar, Karang Turi, dan
Soditan. Bila dikelompokkan dalam peruntukan ibadahnya, bangunanbangunan tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut.
B.1. Kelenteng
B.1.1. Kelenteng Gie Yong Bio di Jalan Babagan no. 7
Arah hadap adalah utara dengan bentuk denah empat persegi panjang
berukuran 11,60 x 16 meter. Didirikan tahun 1780 untuk menghormati pahlawanpahlawan Lasem pada Perang Cina.
Gambar 16. Lingga mbah Ponyo di Desa Kajar.
(Sumber : Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
Data artefaktual yang ditemukan di Desa Soditan berupa lumpang batu.
Lumpang batu ini berada di dekat sumur Jalatundha. Ukuran sumur
Jalatundha: diameter 120 cm, kedalaman 140 cm, tinggi luar 8 meter, tebal bibir
20 cm. Ukuran lumpang batu: diameter lubang 16 cm, kedalaman 16 cm, tebal
batu 30 cm. Sumur Jalatundha dan punden Sungging Hadimulyo (lumpang
batu) berada di halaman kantor kepala Desa Jalatundha. Di atas lumpang batu
terdapat pohon beringin dan sampai sekarang lumpang batu ini masih
digunakan untuk tirakat dan ziarah. Sumur Jalatundha berbentuk lingkaran,
pada bagian sumur terdapat spiral yang berjumlah 9 lingkaran ke bawah.
Gambar 18. Kelenteng Gie Yong Bio di Desa Babagan.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
B.1.2. Kelenteng POO AN BIO di Jalan Karangturi Gang VII No. 5
Gambar 17. Lumpang Batu di Desa Jalatundha.
(Sumber : Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
Merupakan kelenteng termuda di Lasem dari tiga kelenteng yang ada.
Kelenteng yang tertua di Babagan, yang kedua terletak di Dasun.
43
44
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem
B.1.4. Vihara Karunia Dharma
Bangunan berarsitektur Cina dan Indis menghadap ke selatan. Bagian depan
terdapat tembok benteng. Pada bagian depan pintu masuk memiliki lantai dari
batu alam (slate). Sebelum memasuki bangunan inti terdapat semacam teras
bergaya Indis. Bangunan utama brrgaya Cina, dinding dan lantai berbahan
kayu, teras ditopang oleh dua tiang kayu. Ruang utama terdiri dari pada ruang
utama terdapat meja altar dan terdapat arca Budha, di bagian kanan kiri ruang
utama terdapat 2 kamar. Pada bagian belakang ruang utama terdapat ruangan
besar yang pada sisi kanan terdapat tangga ke lantai atas. Di bagian belakang
juga terdapat dua kamar. Dibelakang bangunan utama terdapat teras dan
setelah teras terdapat bangunan tanpa diding yang bergaya Indis, yaitu
ditopang oleh tiang bergaya doria. Pada bagian bawah bangunan inti terdapat
rongga berbentuk lorong (bangunan inti merupakan rumah panggung). Di sisi
Gambar 19. Kelenteng Poo An Bio di Desa Karangturi.
selatan bangunan inti terdapat bangunan bergaya Indis yang berkamar-kamar.
(Sumber : Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
Lantai antara bangunan inti dan bangunan pendukung yang ada disebelah kiri
bangunan terdiri atas lantai teracota dan slate.
B.1.3. Kelenteng Mak Co/ Kelenteng Co Ang Kion
Bangunan menghadap ke barat. Pada bagian depan terdapat arca singa, pagar
tembok, dan gapura. Bangunan inti berlantai tegel dan berdinding kayu berukir.
Ruang utama dikelilingi oleh dinding berbahan bata yang berornamen lukisan
Dewa. Di sebelah kanan bangunan inti terdapat pintu yang menghubungkan ke
arah ruang samping yang digunakan sebagai tempat penempatan joli.
Bangunan ini digunakan sebagai tempat peribadatan bagi umat TITD (Taoisme,
Budhisme, Konghucu)
Gambar 21. Vihara Karunia Dharma di Desa Soditan.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
B.1.5. Gua Pemujaan (Gua Pinatah)
Ceruk alam yang dipahat membentuk relung-relung. Berdasarkan informasi
dari narasumber di relung tersebut pernah ditemukan arca emas namun saat ini
sudah tidak ada. Di tempat ini juga pernah ditemukan tablet bergambar arca
Gambar 20. Mak Co/Kelenteng Co Ang Kion di Desa Soditan.
(Sumber : Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
siwa. Tablet tersebut saat ini tersimpan di museum Ronggowarsito. Relungrelung tersebut menghadap kearah lembah atau ke arah utara. Ceruk pertama
45
46
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
terletak di bagian barat terdapat dua relung yang menghadap ke utara dan ke
barat. Ukuran relung yang pertama lebar 65 cm.
Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem
C. BANGUNAN PEMERINTAH
C.1. Gudang Stasiun (Gudang Klungsu)
Nama “klungsu” adalah nama yang diberikan masyarakat setempat untuk
Gudang Stasiun. Denah bangunan empat persegi panjang, bangunan
menghadap ke arah utara (dahulu) sekarang timur. Bangunan berukuran 28 x
17,7 meter dengan bahan bata dan tiang dari besi. Jarak antara stasiun dengan
gudang sejauh 150 meter. Bangunan bagian bawah sudah direnovasi dengan
tambahan pintu sebelah timur.
Gambar 22. Gua Pemujaan (Gua Pinatah) di Desa Kajar.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
B.1.6. Masjid Jami Lasem
Pada bagian ruang induk masjid terdapat 4 soko guru yang masih asli. Ukuran
soko guru adalah 34 cm x 34 cm. Pada waktu pemugaran, soko guru tersebut
ditinggikan setinggi 2 meter. Selain soko guru, yang masih asli adalah mimbar
masjid. Di sekitar masjid selain makam Adipati Tejokusumo I dan Syekh Maulana
Gambar 24. Gudang Stasiun (Gudang Klungsu) di Desa Dorokandang.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
Syam Bwa Smarakandi juga dijumpai beberapa makam lainnya antara lain
makam keluarga takmir masjid jami serta tokoh ulama di wilayah Lasem.
Menurut informasi dari narasumber di lokasi sebelah utara masjid pernah
didirikan bangunan madrasah. Pada saat dilakukan survei hanya dijumpai
bagian pondasinya saja.
C.2. Perum PTKA 1
Perum PTKA 1 berlokasi di Dusun Pabean, RT 03, RW 01, Desa Gedongmulyo.
Denah bangunan empat persegi panjang, bangunan menghadap ke arah utara.
Bangunan berukuran 11 x 14 meter dengan bahan bata. Di samping kiri belakang
bangunan utama terdapat bangunan dapur yang dihubungkan dengan jalan
khusus (doorloop).
Gambar 23. Mihrab(kiri) dan Saka Guru/tiang utama (kanan) Masjid Jami' Lasem di
Desa Karangturi.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
Gambar 25. Perum PTKA 1 di Desa Gedongmulyo.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
47
48
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
C.3. Perum PTKA 2 (couple)
Perum PTKA 2 berlokasi di Dusun Pabean, RT 03, RW 01, Desa Gedongmulyo
Denah bangunan empat persegi panjang, bangunan menghadap ke arah utara.
Bangunan berukuran 10,5 x 20 meter dengan bahan bata. rumah dinas no. 1a
(Perum 1) merupakan rumah dinas untuk sinder dan 1b (Perum 2) untuk
wakilnya. Jarak 15 meter di depan rumah tersebut terdapat tanda patok
kepemilikan lahan dari BPN.
Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem
Sumbergirang; sedangkan sumur kuna pada periodesasi pra-Islam dijumpai di
Desa Gowak dan Binangun. Mengenai variasi bentuk sumur kuna didominasi
bentuk persegi dan bulat, namun juga dijumpai bentuk sumur oval yang berada
di Desa Jalatundho. Bahan yang digunakan sebagai penyusun sumur-sumur
kuna tersebut sebagian besar adalah berbahan bata, namun di Desa Gowak
dijumpai sumur kuna menggunakan bahan batu andesit.
a
b
c
d
Gambar 26. Perum PTKA 2 di Desa Gedongmulyo.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
D. BANGUNAN PENDUKUNG
Berdasarkan kegiatan identifikasi potensi sumber daya arkeologi di Kecamatan
Lasem diperoleh informasi kategori bangunan pendukung sejumlah 21 titik
terdiri atas 16 obyek sumur dan 5 obyek tandon penampungan air. Dari ke 21 titik
tersebut 12 obyek sumur termasuk dalam periodesasi Pra-Islam di Lasem dan 4
obyek sumur termasuk dalam periodesasi masa Islam-Kolonial di Lasem;
sedangkan 5 obyek berupa tandon penampungan air berada pada masa IslamKolonial.
Berikut deskripsi singkat bangunan pendukung yang terdiri atas sumur dan
Gambar 27. Variasi Sumur-Sumur Kuna di Lasem.
(a) Sumur Ombe di Desa Dorokandang, (b) Sumur Jolotundho
di Desa Jolotundho (c) Gambar.. Sumur Binangun 1
di Desa Binangun (d) Sumur Tegal Jludang di Desa Gowak
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
tandon air, yaitu:
D.2. Tandon Air
D.1 Sumur Kuna
Keberadaan sumur-sumur kuna di Lasem tersebar di beberapa desa, yaitu
Dorokondang (1 titik), Gedongmulyo (3 titik), Jolotundho (2 titik), Karasgede (2
titik), Sumbergirang (4 titik), Binangun (3 titik), dan Gowak (1 titik). Mengacu
pada periodesasi relatif sumur kuna tersebut sebagian besar pada masa Islam
yang berada di desa Dorokandang, Gedongmulyo, Jolotundho, Karasgede, dan
Bangunan Tandon air yang dibangun pada masa Kolonial ini berfungsi terminal
atau penampung air yang kemudian disalurkan ke berbagai lokasi. Bangunan
tandon air ini dijumpai di lokasi yang lebih tinggi dari sekitarnya dan dijumpai di
Desa Kajar (4 titik) dan Selopuro (1 titik). Bentuk bangunan didominasi
berbentuk persegi panjang dengan penyusun bangunan berupa bata. Tandon
air yang berukuran besar dengan dimensi panjang 21,70, lebar 20 meter, dan
49
50
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem
tinggi 2,25 meter dijumpai di Desa Kajar. Keberadaan semua bangunan tandon
Bangunan rumah yang sekarang menjadi sebuah pondok pesantren, yaitu
air tersebut di bawah penguasaan PDAM.
“Pondok Pesantren Kauman Lasem” milik Kiai Zaim Ahmad. Bangunan rumah
induk masih asli, hanya bagian lantai yang sudah diganti dan gapura sudah
tidak dapat dirunut kembali. Hanya bagian pintu gapura yang masih tersisa
dengan tulisan lautan dan gunung. Menurut narasumber sebagai pembeli
rumah, bahwa seritifikat rumah bertahun 1880 dengan nama pemilik pertama
Goo Ban San, dan generasi terakhir bernama Goo Teng Kim. Dan selanjutnya
pada 21 November 2003, bangunan rumah ini dibeli oleh Zaim Ahmad dan
digunakan sebagai rumah tinggal. Pada tahun 2006, rumah tinggal ini
digunakan sebagai pondok pesantren hingga saat. Pada masa Goo Ban San
tempat tersebut digunakan sebagai tempat pembuatan Ciu (arak), dan pada
Gambar 28. Tandon Air di Desa Kajar (kiri) dan Desa Selopuro (kanan).
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
masa Goo Teng Kim, istrinya yang bernama Kwee Nio sebagai pengrajin batik.
Lima tahun Sebelum rumah dibeli oleh Zaim Ahmad, bangunan rumah tinggal
ini dibiarkan kosong.
E. BANGUNAN PRODUKSI
Berdasarkan hasil kegiatan identifikasi potensi sumber daya arkeologi di
Kecamatan Lasem diperoleh informasi 3 lokasi yang diidentifikasikan sebagai
lokasi pembuatan batik tradisional Lasem dan tegel, yaitu:
E.1. Bangunan Rumah
Bangunan Rumah yang beralamat di jalan Karangturi Gang II no. 17 dengan
pemiliknya bernama Liem Yoe Ko – Sie Djan Hwie. Beberapa komponen
bangunan rumah masih masih asli terbuat dari kayu yang disebut tipe rumah
geladak yang menunjukkan modifikasi rumah Cina dan Jawa. Di bagian
belakang terdapat 3 buah sumur dibangun sekitar 160 tahun yang lalu. Menurut
informasi narasumber bangunan rumah pernah dimanfaatkan untuk
Gambar 30. Bangunan rumah Pondok Pesantren Kauman Lasem di Karangturi.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
E.2. Pabrik tegel
membuat batik.
Gambar 31. Bangunan rumah di Jalan Raya Lasem no. 83 di Desa Karangturi.
(a) tampak depan (b) teras belakang.
Gambar 29. Bangunan rumah di Gang II no. 17 di Desa Karangturi.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
51
52
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem
Bangunan rumah yang berada di Jalan Raya Lasem no. 83 di Karangturi milik Ibu
bangunan sebelah timur terbakar, kemudian direhab dengan membawa
Lioe, menurut informasi narasumber Bangunan ini dahulu merupakan pabrik
bangunan stasiun dari Purwodadi. Rute kereta pada waktu itu Rembang –
pembuatan tegel Lasem. Kondisi bangunan masih asli, bergaya Indis, berlantai 1.
Lasem – Pamotan – Salih – Jatirogo – Bojonegoro.
Di teras terdapat tiang Doria. Gevel berhias motif bunga dan daun. Fasad
bangunan bertipe mansion tetapi pavillion hanya terdapat di sisi kanan (barat)
bangunan induk. Bagian belakang terdapat 7 sumur.
F. 2.Jembatan Kereta Api
Obyek jembatan KA ini berada di antara Desa Jolotundho dan Babagan yang
F. BANGUNAN PUBLIK
Berdasarkan kegiatan identifikasi potensi sumber daya arkeologi di Kecamatan
Lasem diperoleh informasi kategori bangunan publik sejumlah 3 titik, yaitu
Bekas Stasiun Lasem, Jembatan KA, dan bangunan untuk tempat usaha
sekarang dimanfaatkan sebagai jembatan penghubung. Jembatan KA ini
diperkirakan dibangun pada awal abad ke-20 M kondisinya masih utuh hingga
saat ini. Dimensi bangunan KA yang berbahan besi ini mempunyai panjang: 36
meter, lebar: 4 meter. Di tengah-tengah jembatan terdapat rel kereta dengan
lebar 115 cm yang membujur arah utara-selatan.
(warung). ketiga obyek tersebut masuk dalam kronologi masa Islam–Kolonial.
Berikut deskripsi singkat ketiga bangunan publik tersebut, yaitu:
F.1. Stasiun Kereta Api Lasem
Bangunan yang berada di Dusun Karangpelem, RT 10, RW 03, Desa
Dorokandang ini merupakan bekas bangunan Stasiun KA. Status bangunan ini
masih dimiliki oleh PT KAI. Bangunan bekas Stasiun Lasem ini mempunyai
denah bangunan empat persegi panjang, bangunan menghadap ke arah timur.
Bangunan terdiri atas kantor, ruang tunggu, dan WC. Kantor berukuran 18,5 x 4,1
meter dengan bahan bata, ruang tunggu berukuran 47 x 5 meter dengan bahan
dominasi kayu jati, dan WC berukuran 4 x 4 meter dengan bahan bata. Di Bekas
Stasiun KA Lasem ini masih dijumpai jaringan rel, yaitu berada di sebelah utara
dan selatan stasiun. Pada bantalan rel di sebelah selatan stasiun terdapat angka
tahun 1912. Dahulu stasiun terbuat dari besi dan kereta bisa masuk. Setelah
Gambar 33. Jembatan KA Lasem di antara Desa Jolotundho dan Babagan.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
F. 3. Bangunan rumah untuk usaha VCO “Pantura Raya VCO”
Bangunan rumah yang berada di Jalan Kajar (Jl. KH Baidowi) no. 15 di Desa
Ngemplak bergaya indis ini dengan kondisi rumah induk, gapura, dan lantai
masih asli. Bangunan bertingkat 2 beratap limasan. Tingkat atas terdapat
jendela dengan lukisan flora (bunga). Bangunan induk berpagar langkan
bertiang dengan 3 buah pintu utama. Atap gapura bergaya cina. Dijumpai 1
Gambar 32. Bekas Stasiun Kereta Api di Desa Dorokandang.
(a) Bagian depan Stasiun KA Lasem, (b) Bagian dalam Stasiun KA Lasem.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
buah sumur dan kamar mandi disebelah barat bangunan induk. Pada saat
dilakukan survei pemilik rumah adalah Bapak Suyudi, pemilik yang sebelumnya
bernama Bapak Hartono.
53
54
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem
Gambar 34. Bangunan rumah untuk usaha VCO “Pantura Raya VCO”.
(a) bagian depan dengan gapura rumahnya, (b) bagian fasad depan rumah.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
G. KATEGORI MAKAM
Gambar 35. Beberapa makam Islam yang terletak di Desa Bonang, Lasem.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
Makam merupakan tempat disemayamkan atau dikuburkannya orang yang
Dorokandang (1), Gedongmulyo (3), Gowak (1), Jalatundha (2), Karangturi (2),
sudah meninggal. Berdasarkan hasil survei arkeologi yang dilakukan pada
Karangturi (2), Sendangcoyo (1) dan Sriombo (2). Secara kronologis makam Islam
tahun 2011, temuan arkeologis berupa makam di Lasem sejumlah 32 situs yang
di Lasem sudah ada sejak masa Klasik diantaranya adalah makam Putri Cempo
terdiri dari makam Cina (15 situs), makam Islam (16 situs), dan perabuan (1 situs).
atau Putri Champa yang terletak di Desa Bonang.
Berikut adalah deskripsi singkat temuan makam di Lasem:
G.1. Makam Islam
G.2. Makam Cina
Makam Cina memiliki bentuk nisan dan kompleks bangunan yang khas.
Keberadaan makam Islam dapat teridentifikasi berdasarkan bentuk nisan dan
sebaran makam Cina di Lasem lebih banyak terkonsentrasi di pusat pemukiman
nama tokoh yang dimakamkan. Keberadaan makam di Lasem jika dilihat dari
yaitu Desa Babagan (4), Dorokandang (2), Gedongmulyo (1), Jolotundho (1),
kronologis tokoh yang dimakamkan didominasi pada masa Islam, yaitu
Karasgede (1), Selopuro (5) dan Soditan (1). Secara kronologis makam Cina di
banyaknya makam para tokoh agama dan para tokoh pemimpin Lasem seperti
Lasem sudah ada sejak masa Islam dan semakin marak pada masa Kolonial.
makam Pangeran Tejakusumo, Pangeran Wironegoro, Pangeran Wirabraja,
Pangeran Panji Suryokusumo, Pangeran Santi Puspa, Putri Cempo atau Putri
Champa, dan beberapa tokoh lainnya. Berdasarkan hasil survei, temuan makan
Islam tersebar di seluruh wilayah taitu di Desa Ngargomulyo (1), Bonang (3),
Gambar 36. Makam Cina yang terletak di Rumah Jangkar, Jl. Dasun, Lasem.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
55
56
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem
G.3. Perabuan
Situs perabuan merupakan lokasi ditempatkannya abu dari tokoh tertentu. Situs
perabuan di Lasem ada satu, yaitu Perabuan Mbah Lebo. Situs ini oleh
masyarakat dianggap sebagai tempat perabuan dari Bre Lasem (tentu saja
masih memerlukan pembuktian lebih lanjut) dan masih dilakukan pemujaan
hingga saat ini. Secara kronologis, perabuhan Mbah Lebo ini masuk pada masa
Klasik.
Gambar 38. Petilasan Pasujudan Sunan Bonang, di Desa Bonang.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
H. 2. Bongkah Batu Alam
Kategori petilasan batu alam merupakan beberapa batu alam yang diyakini
memiliki keterkaitan dengan tokoh tertentu yang dipercaya oleh masyarakat.
Tokoh yang dikaikan dengan bongkah batu alam ini umumnya merupakan
tokoh lokal yang dianggap sebagai pendahulu atau leluhur dari masyarakat
sekitar. Dari hasil survei terdapat 3 situs yang terletak di Desa Ngargopura (2) dan
Gambar 37. Perabuan Mbah Lebo di Desa Bonang, Lasem.
Selopura (1).
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
H. KATEGORI PETILASAN
Petilasan merupakan tempat yang diyakini sebagai lokasi yang pernah
disinggahi atau ditinggali atau disemayamkannya tokoh tertentu atau tempat
yang dihormati oleh masyarakat sekitar karena dianggap memiliki kekuatan
supranatural. Berdasarkan hasil survei arkeologi tahun 2011 petilasan berjumlah
6 situs, yaitu: batu pasujudan (1), bongkah batu alam (3), kompleks bangunan (1),
makam (1). Berikut deskripsi singkatnya:
Gambar 39. Petilasan Waru Ebek di Desa Ngargomulyo
dan Watu Tapak di Desa Kajar.
H.1 Batu Pasujudan
Petilasan Batu Pasujudan merupakan tempat yang dianggap memiliki
keterkaitan dengan aktifitas syi'ar agama oleh Sunan Bonang. Situs ini berupa 4
bongkah batu alam yang dua di antaranya mengalami pemangkasan. Pada
salah satu batu terdapat cap tapak kaki. Situs ini terletak di kompleks Pasujudan
Bonang, Desa Bonang, Lasem.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
H.3. Kompleks Bangunan
Kategori petilasan dalam bentuk kompleks bangunan berupa bangunan
berpagar keliling yang terbagi dalam beberapa bagian di dalam kompleks
terdapat 17 makam dan bangunan pendopo. Situs ini lebih dikenal dengan
nama Situs Daleman yang berada Desa Bonang. Keberadaan kompleks
57
58
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
bangunan ini menjadi bagian dari petilasan Sunan Bonang dan diyakini sebagai
bekas kompleks pesantren Sunan Bonang.
Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem
I. RUMAH TINGGAL
Secara keseluruhan tercatat ada 242 bangunan rumah tinggal di seluruh
Kecamatan Lasem pada tahun 2011. Rumah-rumah tersebut tersebar di 8 desa,
yaitu Desa Babagan (36), Desa Bonang (7), Desa Gedongmulyo (32), Desa
Karangturi (70), Desa Ngemplak (6), Desa Selopuro (1), Desa Soditan (68), Desa
Sumbergirang (22). Secara gaya arsitektural, rumah-rumah tinggal tersebut
terbagi dalam 3 gaya, yaitu gaya rumah Cina, gaya rumah Jawa, dan gaya rumah
Indis. Akan tetapi, terdapat beberapa rumah yang menggunakan campuran
dua gaya, menjadi gaya rumah Cina-Jawa, gaya rumah Cina-Indis, dan gaya
rumah Indis-Jawa. Gaya arsitektural yang mendominasi rumah tinggal di Lasem
adalah gaya rumah Cina. Pada saat pengumpulan data dilakukan, masih ada 111
rumah tinggal bergaya Cina yang dapat diamati. Rumah dengan gaya Indis
menduduki posisi kedua terbanyak, dengan jumlah 96 rumah. Sementara itu,
Gambar 40. Situs Daleman, Desa Bonang, Lasem.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
H.4. Makam
rumah bergaya Jawa yang disebut dengan tipe geladak jumlahnya hanya 19
rumah.
I.1. Rumah Cina
Makam yang dimasukan dalam kategori petilasan adalah tempat yang diyakini
sebagai makam satu tokoh namun belum dapat dibuktikan kebenarannya
karena terdapat makam/atau petilasan tokoh yang sama di tempat lain. Situs
Rumah bergaya Cina adalah model rumah yang paling banyak ditemukan di
Kecamatan Lasem, dengan jumlah mencapai 111 bangunan. Rumah-rumah
yang dimasukan dalam kategori ini adalah Petilasan Sunan Bonang yang
terletak di Desa Bonang. Situs ini berupa sepetak tanah yang diberi pagar, tanpa
nisan.
Gambar 41. Petilasan makam Sunan Bonang yang berada di kompleks Pasujudan
Bonang di Desa Bonang, Lasem.
Gambar 42. Pintu depan ganda pada rumah Cina di Desa Sumbergirang.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY 2011)
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
59
60
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem
Gambiran no. 10, Desa Soditan, dan satu lainnya berada di Jl. Karang Turi no.6,
Desa Karang Turi. Percampuran corak arsitektur pada rumah di Desa Soditan
tampak pada bangunan induk rumah, sementara bagian depan berupa daun
pintu yang dihiasi huruf Cina. Sementara itu, rumah di Desa Karang Turi
merupakan rumah bergaya Cina yang menggunakan atap gaya Jawa. Rumah
ini dibangun pada tahun 1920-an.
I.3. Rumah Cina-Indis
Rumah tipe ini memadukan gaya arsitektur khas bangunan Cina dengan unsurunsur arsitektur Eropa. Biasanya unsur arsitektur Cina tampak jelas pada bagian
atap berbentuk pelana, dengan kedua ujung bubungan yang meruncing.
Sementara unsur arsitektur Eropa tampak pada penggunaan kolom-kolom
Gambar 43. Rumah Cina di Desa Gedong Mulyo.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
besar pada bagian depan rumah. Setidaknya terdapat 11 (sebelas) rumah di
Kecamatan Lasem yang dibangun dengan percampuran gaya Cina-Indis
seperti ini.
tersebut biasanya berkelompok membentuk kelompok di masing-masing desa.
Ciri khas yang mudah dikenali dari rumah bergaya Cina adalah bubungan
atapnya yang meruncing di kedua ujungnya, terkadang bahkan bubungan
tersebut dibuat melengkung. Banyak rumah Cina yang dilengkapi dengan
gerbang di bagian depannya. Pintu depan rumah Cina seringkali dihiasi dengan
huruf Cina. Tidak jarang pintu depan menggunakan pintu ganda, dengan pintu
pertama hanya berukuran tiga seperempat dari pintu kedua yang merupakan
pintu utama.
I.2. Rumah Cina – Geladak
Tercatat terdapat 2 (dua) rumah yang dibangun dengan mencampur gaya
arsitektur Cina dengan arsitektur rumah lokal. Satu rumah berada di Jl.
Gambar 45. Rumah Cina–Indis di Desa Babagan (kiri) dan Desa Soditan (kanan).
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
I.4. Rumah Indis
Rumah Indis adalah tipe rumah yang dibangun dengan dominasi gaya
arsitektur Eropa, namun dengan beberapa penyesuain dengan kondisi tropis di
Indonesia. Ciri khas rumah Indis adalah penggunaan kolom-kolom untuk
menopang rumah yang sengaja dibangun cukup tinggi untuk memaksimalkan
sirkulasi udara. Selain itu rumah Indis juga biasanya dihiasi dengan banyak
jendela-jendela besar. Ciri khas lain adalah penggunaan lengkung-lengkung
Gambar 44. Rumah Cina-Jawa di Desa Soditan (kiri) dan Desa Karangturi (kanan).
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
pada arsitekturnya. Atap yang banyak digunakan pada rumah Indis adalah atap
limasan. Sebanyak 96 bangunan rumah Indis masih tercatat di Kecamatan
61
62
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Lasem, dengan kondisi yang berbeda-beda, ada yang masih terawat baik.
Namun, ada juga yang sudah tidak digunakan lagi.
Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem
I.6. Rumah Geladak
Rumah Geladak adalah rumah tradisional di wilayah Lasem. Rumah tipe ini
dibangun dengan model panggung, dengan bagian bawah ditopang dengan
talud berstruktur bata. Atap yang digunakan biasanya adalah model kampung.
Hampir seluruh bagian rumah terbuat dari kayu, mulai dinding bahkan hingga
bagian gunungan rumah. Bagian depan rumah biasanya berupa gebyok kayu
berukir. Pada bagian ruang utama masih terdapat 4 (empat) soko guru. Rumah
geladak di Lasem masih cukup banyak ditemukan di Desa Soditan dan Desa
Bonang. Secara keseluruhan masih ada 19 rumah yang tercatat dalam proses
pengumpulan data.
Gambar 46. Rumah Indis di Desa Sumbergirang (kiri) dan Desa Ngemplak (kanan).
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
I.5. Rumah Indis–Jawa
Rumah bergaya Indis–Jawa berada di Jl. Soditan 22 di Desa Soditan. Rumah ini
terdiri dari 2 (dua) bangunan yang dibangun dengan gaya arsitektur yang
berbeda. Rumah ini adalah satu-satunya di Lasem yang menggabungkan
arsitektur Indis dengan arsitektur Jawa. Bangunan dengan gaya Jawa ditandai
dengan penggunaan atap limasan, dinding bata, ubin tegel, serta jendelajendela kuno. Sementara bangunan Indis telah mengalami renovasi, meski
Gambar 48. Rumah geladak di Desa Karang Turi (kiri) dan Desa Bonang (kanan).
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
masih terlihat bagian-bagian asli seperti atap limasan, dinding bata, serta ubin
I.7. Rumah Joglo
tegel.
Rumah tipe joglo yang ada di Kecamatan Lasem hanya tercatat
sebanyak 1 bangunan saja, yaitu yang terletak di Dusun Bonang, Desa Bonang,
Gambar 47. Rumah bergaya Indis-Jawa di Desa Soditan.
Gambar 49. Rumah joglo di pinggir Jl. Daendels di Desa Bonang.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
63
64
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem
di pinggir Jl. Daendels. Bagian depan atau fasade rumah ini sudah mengalami
renovasi dan berubah menjadi etalase toko. Namun demikian, bagian dalam
rumah masih mempertahankan bentuk aslinya. Atap rumah menggunakan
atap joglo yang dilengkapi dengan soko guru dan tumpang sari. Lantai rumah
masih menggunakan bata berukuran 30 x 30cm. Selain itu, pembagian ruang
utama di dalam rumah menjadi 3 senthong juga masih terlihat.
J. TOPONIM
J.1. Pelabuhan
Toponim bekas pelabuhan yang masih dikenal oleh masyarakat adalah
Gambar 51. Lokasi bekas Balekambang di Desa Sumbergirang.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
Pelabuhan Regol yang terletak di Dusun Bonang, Desa Bonang. Lokasi tersebut
terletak dekat dengan Sungai Slontho. Sudah tidak lagi ditemukan tinggalan
arkeologis yang menunjukkan unsur-unsur bangunan. Pelabuhan Regol adalah
J.3. Alun-alun
salah satu pelabuhan di Lasem sejak masa Kerajaan Majapahit. Berdasarkan
Lokasi bekas alun-alun Lasem terletak di Dusun Kranggan, Desa Sumbergirang,
Babad Badrasanti, Pelabuhan Regol merupakan tempat Rajasawardhana,
tepatnya di sebelah timur Masjid Jamik Lasem. Fungsinya saat ini sudah
suami Bhre Lasem, menjadi dampuhawang. Selain itu di tempat ini pula,
berubah menjadi pasar, yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Pasar
pertama kali Bi Nang Un menambatkan jung-jungnya.
Kawak. Kata kawak sendiri berarti lama atau kuno. Pada lokasi bekas alun-alun
ini saat ini masih merupakan ruang terbuka, dengan sebuah tiang lampu
penerangan di tengahnya.
Gambar 50. Aliran Sungai Slontho di Desa Bonang.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
J.2. Kolam
Keberadaaan kolam kuno di Lasem diindikasikan oleh adanya toponim
Gambar 52. Pasar Kawak, bekas alun-alun Lasem di Desa Sumbergirang.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
Balekambang di Dusun Pandeyan, Desa Sumbergirang. Lokasinya dekat
J.4. Rumah Pejabat
dengan Gunung Bugel. Menurut informasi narasumber, dahulu Balekambang
Toponim rumah pejabat terdiri dari kepatihan, Puri Secolegowo dan rumah
merupakan sebuah petirtaan. Kondisi toponim pada saat pengumpulan data
adipati. Toponim kepatihan berada di Dusun Patihan, Desa Ngemplak. Lokasi ini
adalah sebuah kolam yang dipenuhi oleh tanaman eceng gondok dan tidak lagi
diperkirakan sebagai bekas rumah tinggal Patih di Lasem pada masa klasik. Saat
ditemukan sisa struktur bangunan kuno.
ini sudah tidak ditemukan lagi tinggalan arkeologis, baik artefaktual maupun
65
66
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem
monumental, di lokasi yang telah berubah menjadi tanah persawahan tersebut.
Selain toponim Secolegowo, di Jl. Untung Surapati, Desa Soditan juga terdapat 3
Lokasi tersebut dibelah oleh sebuah sungai yang dikenal sebagai Sungai
(tiga) toponim yang menunjukkan lokasi bekas rumah tinggal Adipati Lasem
Patihan.
pada zaman dahulu. Toponim tersebut terdiri atas Puri Tejokusumo I, Puri
Tejokusumo III, dan Puri Widyaningrat. Ketiganya adalah adipati-adipati yang
pernah berkuasa memimpin Lasem. Saat ini ketiga toponim tersebut telah
berubah menjadi bangunan bergaya kolonial yang difungsikan sebagai
pertokoan.
Gambar 53. Bekas Kepatihan di Desa Ngemplak.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
Toponim Secolegowo berada di Jl. Untung Suropati, Desa Soditan. Lokasi ini
diperkirakan dahulu merupakan sebuah puri yang dikenal dengan sebutan Puri
Secolegowo, yang didirikan oleh Nyai Ageng Maloka pada sekitar abad ke-14 M.
Akan tetapi, bangunan asli sudah tidak ditemukan lagi dan di lokasi toponim
tersebut berdiri bangunan Indis yang digunakan sebagai pertokoan.
Gambar 55. Lokasi bekas Puri Tejokusumo III di Desa Soditan.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
Gambar 56. Lokasi bekas Puri Tejokusomo I bersebelahan dengan bekas
Gambar 54. Toponim Secolegowo di Desa Soditan.
Puri Widyaningrat.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
67
68
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
K. UNSUR BANGUNAN
Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem
Bekas dermaga Caruban terletak di Dusun Caruban, Desa Gedongmulyo. Jika
dermaga Jembatan Regol berada di sisi timur Lasem, dermaga Caruban ini
K.1. Bekas Dermaga
Bekas dermaga di Lasem berada di dua lokasi, yaitu di Jembatan Regol dan
Dermaga Caruban. Situs Jembatan Regol terletak di Dusun Bonang, Desa
Bonang. Situs ini terletak satu garis lurus dengan toponim Pelabuhan Regol.
berada di sisi barat Lasem. Saat ini lokasi bekas dermaga difungsikan sebagai
tambak di pinggir laut. Namun, masih ditemukan tinggalan arkeologi berupa
fragmen keramik dan gerabah yang melimpah di lokasi ini.
Tinggalan arkeologis yang masih bisa diamati adalah 2 (dua) struktur bata kuno,
yang disebut sebagai pundung oleh masyarakat sekitar. Pada salah satu
K.2. Sisa Galangan Kapal
struktur bata tersebut ditemukan “altar” yang terbuat dari tatatan batu-batu
Sisa galangan kapal di Lasem ditemui di Dusun Kampung Baru, Desa Dasun.
andesit yang telah mengalami pemaprasan.
Masih terdapat talud-talud batu dengan cekungan-cekungan yang
mengindikasikan sisa bagian dari sebuah galangan kapal. Lasem, beserta
Rembang dahulu terkenal sebagai penghasil kapal-kapal dengan kualitas baik.
Sekarang lokasi ini tidak lagi digunakan.
Gambar 57. Batu-batu andesit dan sisa struktur bata di Jembatan Regol
di Desa Bonang.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
Gambar 59. Bekas galangan kapal di Desa Dasun.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
K. 3. Unsur Bangunan Candi
Unsur bangunan candi di Lasem ditemukan di Gunung Bata dan Candi
Pucangan. Situs Gunung Bata terletak di Dusun Sukolilo, Desa Sendangcoyo.
Gambar 58. Bekas dermaga Caruban di Desa Gedongmulyo.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
Situs ini merupakan sebuah bukit dengan sebaran fragmen batu candi serta
69
70
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem
sebaran fragmen bata berukuran besar. Fragmen-fragmen batu candi banyak
yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai talud jalan. Menurut informasi dari
masyarakat, masih banyak batu dan bata candi yang terpendam di bawah
tanah. Di sisi barat Gunung bata ditemukan lingga berukuran 20 x 20 x 45 cm
dan berbahan batu andesit. Lokasinya sudah tidak in situ, diletakkan bersama
sekitar dua puluh fragmen batu candi yang juga berbahan andesit. Lingga ini
terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian bawah berbentuk kubus, bagian tengah
berbentuk prisma segidelapan dan bagian atas berbentuk silinder. Bagian atas
lingga ini sudah patah dan lingga diletakkan secara terbalik.
Gambar 61. Gundukan bata di Candi Pucangan, Desa Sriombo.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
Ganesha yang sekarang disimpan di museum Jawa Tengah, arca Nandi, gelanggelang emas, serta batu giok. Selain itu ditemukan pula keramik asing dan batu
bertakik. Menariknya, dikabarkan bahwa masyarakat juga pernah menemukan
kapak perimbas di lokasi ini. Candi Pucangan sekarang terletak di tengah hutan
jati dan persawahan. Selain di Desa Sriombo, masih terdapat lokasi lain dengan
beberapa fragmen bata yang diduga sebagai bekas bagian dari bangunan
candi, seperti di Taman Kamalapuri dan Makam Kutho yang berada di Dusun
Pandeyan, Desa Sumbergirang.
Gambar 60. Lingga di Desa Sendangcoyo.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
K.4. Umpak Batu
Umpak batu ditemukan di tiga lokasi di Kecamatan Lasem, yaitu di stasiun
pengawasan lalu lintas laut, Punden Topar dan Watu Gambir. Bagian yang
Sementara itu, Candi Pucangan terletak di Dusun Sulo, Desa Sriombo. Di situs ini
terdapat 2 gundukan pecahan bata yang dikelilingi oleh sebaran fragmen bata
dan fragmen keramik. Secara keseluruhan luas sebaran mencapai 5 x 5 m.
Berdasarkan informasi dari narasumber, dahulu di lokasi ini ditemukan arca
tersisa di stasiun pengawasan lalu lintas laut adalah 9 (sembilan) umpak batu
andesit yang tertata tiga berbanjar di muara Sungai Lasem. Sisa bangunan
stasiun pengawasan ini terletak di Desa Dasun, di tengah area tambak.
Sekarang lokasi ini sudah tidak digunakan untuk aktivitas apapun.
71
72
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem
Di Dusun Topar, Desa Selopuro terdapat sebuah punden yang masih
dikeramatkan oleh masyarakat sekitar. Setiap tanggal 15 bulan Sura masyarakat
mengadakan ritual sedekah bumi yang dilengkapi dengan pementasan
ketoprak. Punden tersebut berada di bekas makam dan terdapat 4 (empat)
umpak batu andesit, 1 (satu) lumping batu, 1 (satu) terakota, dan 1 (satu) bata
panjang. Umpak batu yang ditemukan berdimensi 29 x 36 x 30 cm.
Umpak batu juga ditemukan di situs Watu Gambir di Dusun Argomulyo, Desa
Argomulyo. Enam umpak batu yang terdapat di situs ini dipercaya oleh
masyarakat sekitar sebagai umpak dari mushola yang didirikan oleh Mbak Gafar.
Mbah Gafar adalah tokoh yang dianggap sebagai pendiri perkampungan
Argomulyo. Rata-rata umpak batu di Situs Watu Gambir ini berukuran 30 x 32 x
33cm, kecuali satu umpak yang berukuran lebih besar dari yang lain, dengan
lebar 37cm dan panjang 39cm.
Gambar 62. Umpak di stasiun pengawasan lalu lintas laut di Desa Dasun.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
Gambar 64. Watu Gambir di Desa Argomulyo.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
Gambar 63. Umpak batu di Desa Selopuro.
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
73
74
75
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
LASEM MENATAP
MASA DEPAN
76
Lasem Menatap Masa Depan
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Menjaga Lasem Untuk Masa Depan
Daya tarik Lasem sebagai sebuah potret kehidupan masyarakat Tionghoa di
pesisir Jawa seolah tidak ada habisnya. Dari tahun ke tahun, penelitian tentang
Lasem masih terus dilakukan. Bukan saja penelitian arkeologi masih sangat
kepunahan, apresiasi publik terhadap tinggalan-tinggalan di Lasem perlu
ditumbuhkan, agar masyarakat dapat lebih menghargai dan berapresiasi
terhadap tinggalan-tinggalan budaya dari masa lalu Lasem yang pada akhirnya
membentuk wajah Kota Lasem seperti sekarang.
terbatas kuantitasnya yang pernah dilakukan di Lasem, tetapi juga kuantitas
Langkah awal yang dapat dilakukan dalam upaya pelestarian ini adalah dengan
data arkeologi yang terkandung di Lasem hingga tahun 2011 masih sangat
melakukan pendataan objek secara menyeluruh, untuk kemudian ditentukan
banyak yang belum diungkapkan. Di wilayah Lasem, yang sudah dikenal
tinggalan-tinggalan mana saja yang perlu diprioritaskan. Setelah itu dapat
setidak-tidaknya sejak abad ke-14 dan mencapai puncak kejayaannya pada
dibuat tanda, misalnya berupa papan informasi yang komunikatif pada
abad ke-19, tentunya pernah terjadi berbagai dinamika dalam berbagai aspek
tinggalan-tinggalan tersebut. Di samping itu perlu dilakukan penyuluhan atau
kehidupan, baik dalam aspek politik, ekonomi, sosial, keagamaan, dan lain
sosialisasi mengenai tinggalan-tinggalan tersebut. Hal ini diharapkan dapat
sebagainya di masa lalu.
membuat publik lebih mengenali kekayaan budaya mereka dan sekaligus
Penelitian arkeologi yang pernah dilakukan di wilayah Lasem sebelumnya
hingga tahun 2011 baru terbatas pada Caruban dan Bonang. Penelitian lain
menumbuhkan kecintaan dan apresiasi mereka terhadap tinggalan-tinggalan
tersebut.
adalah tentang arsitektur bangunan rumah tinggal maupun bangunan
Semangat pelestarian sumber daya arkeologi yang ada di Lasem tentu harus
peribadatan (kelenteng). Sementara itu data mengenai sumber daya arkeologi
diselaraskan dengan UU RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Kecamatan
yang berhasil dikumpulkan pada penelitian tahun 2011 ini menunjukkan bahwa
Lasem yang di dalamnya terdapat sebaran sumber daya arkeologi layak untuk
Lasem memiliki potensi yang sangat besar yang belum banyak diungkapkan
ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya. Upaya pelestariannya kemudian
oleh para ahli maupun para pelaku riset. Data yang dihimpun dari penelitian
disesuaikan dengan kesatuan cagar budaya yang ada di kawasan tersebut. Di
Balai Arkeologi DIY ini diharapkan dapat memberi gambaran yang lebih
dalam UU RI No. 11 Tentang Cagar Budaya, sebelum cagar budaya ditetapkan
lengkap dan menyeluruh mengenai potensi sumber daya arkeologi di wilayah
melalui proses penetapan, terdapat lima nilai penting cagar budaya yang
Lasem. Selain itu, himpunan data tersebut juga diharapkan dapat digunakan
dipenuhi. Kelima nilai penting tersebut adalah nilai penting sejarah, ilmu
sebagai acuan dasar bagi pengembangan penelitian-penelitian selanjutnya,
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan. Kelima nilai penting
yang diharapkan dapat mengungkapkan secara lebih jelas dan menyeluruh
ini dapat dimiliki semuanya atau sebagian saja.
mengenai peran dan dinamika Lasem di masa lalu.
Ÿ
Nilai Penting Sejarah
Pelestarian Lasem dan Harapan yang Dititipkan
Lasem tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan pesisir Jawa.
Sumber daya arkeologi di Lasem yang berhasil dihimpun dari penelitian ini
Tinggalan arkeologi di Lasem menunjukkan adanya dinamika kehidupan
manusia dari mulai periode prasejarah, Hindu-Budha, Islam, kolonial, hingga
terdiri atas bangunan, artefak, toponim, maupun petilasan. Seluruh sumber
masa sekarang ini. Lasem juga mencatatkan sejarah tentang dinamika
daya arkeologi tersebut tentunya diharapkan dapat terjaga kelestariannya
kehidupan orang-orang Tionghooa sejak masa kolonial hingga sekarang.
supaya dapat terus dinikmati di masa depan nanti. Meskipun dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti pasca tahun 2011, diketahui
bahwa perubahan kondisi sumber daya arkeologi di Lasem cukup dinamis.
Seluruh data tersebut perlu ditempatkan sebagai warisan budaya yang harus
dilestarikan. Secara fisik, tinggalan-tinggalan arkeologi di Lasem, terutama yang
berasal dari masa kejayaan Lasem di akhir abad ke-19, masih dapat disaksikan
hingga kini, meskipun telah mengalami berbagai penurunan dalam kualitas
maupun kuantitas. Untuk dapat melestarikan tinggalan-tinggalan yang masih
ada tersebut, sebelum semakin mengalami penurunan maupun terancam
Ÿ
Nilai Penting Ilmu Pengetahuan
Lasem merupakan media pengembangan ilmu pengetahuan karena
menyediakan ruang yang luas untuk diuraikan secara akademis. Lasem
berpotensi untuk diteliti oleh beragam bidang ilmu pengetahuan dengan
keragaman data yang dimilikinya.
77
78
-
Arkeologi
Lasem kaya akan tinggalan cagar budaya yang berpotensi untuk dikaji
secara arkeologis. Di Lasem, kita dapat menerapkan ilmu pengetahuan
arkeologi untuk mengungkap aspek tangible heritage di dalamnya.
-
79
Lasem Menatap Masa Depan
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Strategi Pengelolaan Kawasan Lasem
Berdasarkan penelusuran sejarah, identifikasi objek, dan penentuan nilai
penting kawasan Lasem, perlu kiranya untuk ditentukan strategi
pengelolaannya. Salah satu upaya untuk penentuan strategi pengelolaan
Antropologi
adalah dengan melakukan analisis SWOT, sebagaimana tampak pada bagan
Lasem menyediakan ruang pembelajaran antropologis, seperti misalnya
berikut:
bagaimana interaksi kehidupan masyarakat Lasem dari masa ke masa
pembelajaran tentang bagaimana latarbelakang budaya dapat melebur
menjadi satu dan hidup berdampingan dengan harmonis.
Identification of the heritage place or object
Teknik Arsitektur
Kajian arsitektur tentu tidak dapat dipisahkan dari Lasem. Bangunan khas
Tionghoa dan Indis merupakan media pembelajaran yang masih dapat
Ÿ
Nilai Penting Pendidikan
Menyoal perihal nilai penting pendidikan, di Lasem ini kita dapat
mengembangkan nilai-nilai kultural dan filosofis sebagai landasan
pembelajaran. Salah satu aspek dari pendidikan adalah bagaimana
seseorang dapat mengambil pembelajaran akan suatu kejadian. Misalnya,
kita dapat belajar bagaimana dinamika sejarah Lasem ini mewarnai
kehidupan dan interaksi masyarakat di dalamnya.
Ÿ
Decision Making
ditemui hingga sekarang ini. Di Lasem ini dapat dijumpai bangunanbangunan kuno dari abad ke-17 yang masih utuh hingga sekarang ini.
Assessment of cultural
significance
Assessment of management
contra and opportunities
Design of management policy for the place based on cultural
Significance and management confront
Analisis SWOT
-
Analisis Bombay
dan penerapan toleransi di dalamnya. Lasem juga menjadi media
Design of management policy for the place based on cultural
Significance to and achieve the conservation policy
Nilai Penting Agama
Lasem mengajarkan bagaimana Indonesia memberikan ruang untuk
kebebasan beragama secara merdeka. Sejarah mencatat bahwa dalam
perjalanannya, kebebasan berekspresi beragama ini pernah menemui titik
Setting up a management monitoring system which
allows reassessment of any system of the process and
consequent revision of the plan
kelamnya pada masa tertentu. Kini, Lasem bahkan menjadi destinasi wisata
khusus perayaan keagaman, misalnya saja perayaan Imlek setiap tahunnya.
Ÿ
Nilai Penting Kebudayaan
Nilai penting kebudayaan kawasan Lasem merupakan aspek yang paling
menonjol di antara nilai penting lainnya. Di Lasem ini, kita dapat merasakan
nuansa budaya Jawa berdampingan dengan budaya Tionghoa yang sarat
akan filosofi dan simbol. Kedua budaya ini saling melengkapi dan mewarnai
perjalanan Lasem dari masa ke masa.
Gambar 65. Kerangka perencanaan konservasi warisan budaya, disadur dari Parson,
M & Sullivan, S (1995)
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011)
80
Lasem Menatap Masa Depan
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Analisis SWOT Kendala dan Peluang dalam Pengelolaan Kawasan Lasem
Ÿ
Strengths
Ÿ
Ÿ
Ÿ
Kawasan Lasem merupakan
kawasan yang kaya akan
tinggalan cagar budaya. Di
dalamnya terdapat objekobjek cagar budaya:
bangunan rumah tinggal,
tempat peribadatan, gudang,
sekolah, bangunan publik,
dan tinggalan masa klasik
hingga kolonial lainnya.
Kawasan Lasem merupakan
kawasan yang kaya akan
filosofi.
Ÿ
Kawasan Lasem yang kaya
akan tinggalan cagar budaya
berpeluang untuk
dikembangkan ke arah sektor
wisata.
Ÿ
KCB Lasem berpeluang
untuk menjadi “learning
area” sebagai media
pembelajaran tata ruang kota
berbasis filosofi.
Ÿ
Selain cagar budaya yang
bersifat tangible, di Lasem
KCB yang intangible.
Weaknesses
Ÿ
KCB Lasem yang kaya akan
tinggalan cagar budaya
belum dimanfaatkan secara
maksimal oleh stakeholders
terkait.
Ÿ
Rendahnya kesadaran
masyarakat untuk ikut
menjaga KCB, seperti
misalnya banyaknya
perubahan bentuk
bangunan
Ÿ
Opportunities
Banyaknya bangunan yang
sudah berubah bentuk dan
fungsi seiring kuatnya
tekanan pertambahan
jumlah penduduk.
Cagar budaya yang bersifat
intangible merupakan aspek
p e n d u ku n g u n t u k
dikembangkan menjadi
sebuah “cultural city” yang
dipadukan dengan cagar
budaya yang tangible.
Threats
Ÿ
Ÿ
Kurang ditangkapnya potensi
K C B L a s e m o l e h
stakeholders, sehingga
pengembangan wilayah di
KCB Lasem luput melibatkan
tinggalan-tinggalan cagar
budaya tersebut.
Di masa mendatang, bila
masyarakat tidak dilibatkan
untuk peduli terhadap
kelestarian KCB Lasem,
kerusakan simultan tidak
hanya pada aspek tangible
tetapi berpengaruh pada
aspek intangible.
Serbuan gelombang
ko n s u m e r i s m e p a d a e r a
global mendesak “lepasnya”
beberapa komponen di KCB
Lasem untuk kemudian
berorientasi pasar dengan
mendirikan bangunanbangunan berorientasi
“leisure”.
Analisis peluang dan hambatan
Ÿ
Analisis peluang: mencakup analisis terhadap strengths dan opportunities,
Ÿ
Analisis hambatan: mencakup analisis terhadap weaknesses dan threats.
Ÿ
Strengths dan weaknesses merupakan faktor internal yang dimiliki objek.
Ÿ
Opportunities dan threats adalah faktor eksternal yang harus dihadapi
objek.
Analisis Peluang
Strengths
Ÿ
Kawasan Lasem merupakan
kawasan yang kaya akan
tinggalan cagar budaya. Di
dalamnya terdapat objekobjek cagar budaya:
bangunan rumah tinggal,
tempat peribadatan, gudang,
sekolah, bangunan publik,
dan tinggalan masa klasik
hingga kolonial lainnya.
Ÿ
Kawasan Lasem merupakan
kawasan yang kaya akan
filosofi.
Ÿ
Selain cagar budaya yang
bersifat tangible, di Lasem
KCB yang intangible.
Opportunities
Ÿ
Kawasan Lasem yang kaya
akan tinggalan cagar budaya
berpeluang untuk
dikembangkan ke arah sektor
wisata.
Ÿ
KCB Lasem berpeluang
untuk menjadi “learning
area” sebagai media
pembelajaran tata ruang kota
berbasis filosofi.
Ÿ
Cagar budaya yang bersifat
intangible merupakan aspek
p e n d u ku n g u n t u k
dikembangkan menjadi
sebuah “cultural city” yang
dipadukan dengan cagar
budaya yang tangible.
81
82
Lasem Menatap Masa Depan
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Analisis Hambatan
Weaknesses
Ÿ
Ÿ
Ÿ
KCB Lasem yang kaya akan
tinggalan cagar budaya
belum dimanfaatkan secara
maksimal oleh stakeholders
terkait.
Rendahnya kesadaran
masyarakat untuk ikut
menjaga KCB, seperti
misalnya banyaknya
perubahan bentuk
bangunan.
Banyaknya bangunan yang
sudah berubah bentuk dan
fungsi seiring kuatnya
tekanan pertambahan
jumlah penduduk.
Ÿ
Kawasan Lasem merupakan
kawasan yang kaya akan
tinggalan cagar budaya. Di
dalamnya terdapat objekobjek cagar budaya:
bangunan rumah tinggal,
tempat peribadatan, gudang,
sekolah, bangunan publik,
dan tinggalan masa klasik
hingga kolonial lainnya.
Ÿ
Kawasan Lasem merupakan
kawasan yang kaya akan
filosofi.
Threats
Ÿ
Ÿ
Ÿ
Kurang ditangkapnya potensi
K C B L a s e m o l e h
stakeholders, sehingga
pengembangan wilayah di
KCB Lasem luput melibatkan
tinggalan-tingalan cagar
budaya tersebut.
Di masa mendatang, bila
masyarakat tidak dilibatkan
untuk peduli terhadap
kelestarian KCB Lasem,
kerusakan simultan tidak
hanya pada aspek tangible,
tetapi berpengaruh pada
aspek intangible.
Serbuan gelombang
ko n s u m e r i s m e p a d a e r a
global mendesak “lepasnya”
beberapa komponen di KCB
Lasem untuk kemudian
berorientasi pasar dengan
mendirikan bangunanbangunan berorientasi
“leisure”.
Faktor Internal Objek
Strengths
Ÿ
Ÿ
Ÿ
Ÿ
KCB Lasem yang kaya akan
tinggalan cagar budaya
belum dimanfaatkan secara
maksimal oleh stakeholders
terkait.
Rendahnya kesadaran
masyarakat untuk ikut
menjaga KCB, seperti
misalnya banyaknya
perubahan bentuk
bangunan.
Ÿ
Banyaknya bangunan yang
sudah berubah bentuk dan
fungsi seiring kuatnya
tekanan pertambahan
jumlah penduduk.
Selain cagar budaya yang
bersifat tangible, di Lasem
KCB yang intangible.
Faktor Eksternal Objek
Opportunities
Ÿ
Kawasan Lasem yang kaya
akan tinggalan CB
berpeluang untuk
dikembangkan ke arah sektor
wisata
Ÿ
KCB Lasem berpeluang
untuk menjadi “learning
area” sebagai media
pembelajaran tata ruang kota
berbasis filosofi
Ÿ
Weaknesses
Ÿ
CB yang bersifat intangible
m e r u p a k a n a s p e k
p e n d u ku n g u n t u k
dikembangkan menjadi
sebuah “cultural city” yang
dipadukan dengan CB yang
tangible
Threats
Ÿ
Kurang ditangkapnya potensi
K C B L a s e m o l e h
stakeholders, sehingga
pengembangan wilayah di
KCB Lasem luput melibatkan
tinggalan-tingalan CB
tersebut
Ÿ
Di masa mendatang, bila
masyarakat tidak dilibatkan
untuk peduli terhadap
kelestarian KCB Lasem,
kerusakan simultan tidak
hanya pada aspek tangible
tetapi berpengaruh pada
aspek intangible
Ÿ
Serbuan gelombang
ko n s u m e r i s m e p a d a e r a
global mendesak “lepasnya”
beberapa komponen di KCB
Lasem untuk kemudian
berorientasi pasar dengan
mendirikan bangunanbangunan berorientasi
“leisure”
83
84
85
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Formulasi Strategi SWOT Kawasan Lasem
Analisis SWOT digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman di Kawasan Lasem secara sistematis.
Dengan melakukan analisis SWOT, sebuah rumusan strategi pengelolaan KCB
Lasem dapat disusun. Setidaknya terdapat empat formulasi strategi yang dapat
disusun berdasarkan analisis SWOT yang telah dilakukan:
1.
Strategi SO, adalah strategi yang menggunakan faktor kekuatan untuk
memanfaatkan atau meraih peluang
2.
Strategi ST, adalah strategi yang menggunakan faktor kekuatan untuk
mengatasi ancaman
3.
Strategi WO, adalah strategi yang meminimalkan faktor kelemahan untuk
meraih peluang
4.
Strategi WT adalah strategi yang meminimalkan faktor kelemahan untuk
lolos dari ancaman (Siswanto, 2011, pp. 115-123)
Kawasan Lasem merupakan kawasan yang kaya akan tinggalan-tinggalan
cagar budaya. Sebagai kawasan yang telah berkembang sejak lebih dari 300
tahun yang lalu, Kawasan Lasem menjadi saksi sejarah perkembangan kota di
pesisir Jawa. Untuk itulah, pelestarian cagar budaya di Kawasan Lasem ini sudah
sepatutnya menjadi agenda penting stakeholders terkait. Pemerintah melalui
isntitusi di daerah sebagai perpanjangan tangan harus serius dalam mengelola
Kawasan Lasem ini karena saat ini sudah banyak tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh masyarakat mengakibatkan rusaknya cagar budaya di wilayah
tersebut. seperti misalnya pengubahan bentuk dan struktur bangunan yang
tidak selaras dengan semangat pelestarian.
Langkah-langkah konkret pelestarian cagar budaya di Kawasan Lasem harus
segera dilakukan demi mewujudkan Kawasan Lasem sebagai pusat
pembelajaran tata ruang kota berikut filosofinya. Aspek yang tidak boleh
dilewatkan adalah pelibatan stakeholders dan masyarakat. Bagaimanapun,
masyarakat perlu dilibatkan karena cagar budaya adalah milik masyarakat dan
menjadi bagian dari keseharian mereka.
EPILOG
86
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Epilog
Frasa bergaya pesimis yang ditulis di akhir Prolog tentu harus disikapi. Bab demi
pertanian, serta kegiatan yang kurang disadari, yaitu pariwisata. Selain itu,
bab dalam buku ini membuka cakrawala bahwa Lasem ternyata memiliki
secara khusus Haryono (2003a, p. 9) mengingatkan bahwa perkembangan
kekayaan kultural yang tidak biasa-biasa saja, setidaknya dari perspektif
pariwisata yang secara langsung berkaitan dengan perkembangan ekonomi
arkeologi. Kekayaan data cagar budaya, benda dan tak-benda, ditambah
sebagai salah satu sumber devisa negara, tidak akan ada artinya jika
kekayaan filosofi yang dimiliki Lasem dapat menjadi bekal untuk menjaga
keselamatan warisan budaya tersebut tidak terjaga.
optimisme akan eksistensi Tiongkok Kecil di masa depan. Unsur peradaban
Peningkatan pendapatan melalui sektor pariwisata berbasis cagar budaya
lainnya yang berakar jauh hingga peradaban masa Hindu-Buddha ditambah
unsur Eropa, semakin menyempurnakan kekayaan kultural Lasem. Apa pun
unsur yang melekat pada kekuatan dan peluang, memang perlu diramu
dengan cara yang tepat agar Lasem kembali sentosa; setidaknya dalam konteks
mutakhir.
memang menjadi kebutuhan dan tuntutan, tetapi pelestarian warisan budaya
merupakan prioritas utama yang harus dilakukan (Adrisijanti & Istiyanto, 2000,
p. 10). Memang, dalam batasan tertentu cagar budaya dipandang memberi
manfaat lebih apabila dapat mendatangkan kesejahteraan nyata kepada
masyarakat secara ekonomis (Atmosudiro, 2004, p. 17). Lebih jauh dijelaskan
Mari mulai dengan bertanya pada “langit”, melalui search engine tentunya. Apa
bahwa minat masyarakat yang sangat besar terhadap artefak serta benda-
hasilnya jika kita mengetik “tiongkok kecil” di search engine ? Hasilnya, dari lima
benda antik dan seni diketahui telah menyebabkan munculnya pasar yang
tautan teratas –abaikan video dan foto–semuanya berkaitan dengan perjalanan
menjanjikan. Minat masyarakat tersebut di satu sisi mendorong terciptanya
wisata. Apa pula hasilnya jika kita mengganti kata kunci dengan mengetik
peluang untuk mengelola sumber daya arkeologi sehingga dapat
“lasem”? Dari lima tautan teratas, tiga di antaranya berhubungan dengan
dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomik. Selain itu, suburnya peluang
perjalanan wisata, dua tautan lainnya berupa informasi Lasem sebagai wilayah
semacam ini juga didorong oleh kecenderungan tren pariwisata yang
administrasi. Lalu, apa makna “petunjuk” dari langit ini? Kira-kira seperti ini
berorientasi pada pariwisata budaya. Namun demikian, sifat dan nilai yang
maknanya. Pertama, Tiongkok Kecil dan Lasem adalah lokasi yang sama, sudah
terkandung di dalam sumberdaya arkeologi seharusnya menjadi rambu-rambu
banyak orang yang mengetahui. Kedua, Lasem dikelola sebagai destinasi bagi
dalam mengemas dan memasarkan sumberdaya arkeologi sehingga
pelancong dan dipromosikan secara sistematis, karena potensi eksotis kultural
pemanfaatannya berasaskan perlindungan dan pelestarian (Atmosudiro,
Lasem sudah disadari. Lebih penting dari kedua hal itu adalah pemahaman
2004, p. 18).
bahwa Lasem ditempatkan sebagai kawasan kultural, bukan sekadar spot-spot,
Sifat dan nilai yang terkandung pada sumber daya arkeologi Lasem sudah
karena satu bagian terkait dengan bagian lainnya.
diuraikan dengan jelas dalam buku ini. Sebagai warisan budaya, secara
Lasem sudah “dijajakan”, apakah itu salah? Tentu saja tidak, justru dengan cara
akademis Lasem memenuhi syarat menjadi kawasan cagar budaya. Dalam
memanfaatkan itulah seharusnya ada jaminan kelestarian, karena jika cagar
kerangka peraturan perundangan pun sesuai, karena Lasem berada pada
budaya di Lasem sampai musnah, apa lagi yang akan dijajakan? Pelestarian dan
satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang
pemanfaatan, khususnya pariwisata, pada dasarnya memiliki hubungan yang
letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas (Pasal 1
sifatnya resiprokal, sekaligus merupakan dua kepentingan yang strategis
ayat (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 tentang
(Haryono, 2003b, p. 9). Beberapa kerangka pemikiran untuk mendekati
Cagar Budaya). Namun demikian, status Lasem sebagai kawasan cagar budaya
persoalan yang resiprokal ini antara lain adalah konsep peddle or perish
harus diperjuangkan hingga penetapan, jika belum disahkan. Proses dan
(Macleod, 1977, pp. 63–72) yang pada intinya menyatakan bahwa cagar budaya
prosedur pengesahan disesuaikan dengan uraian yang ada pada UU tersebut.
dapat terancam kelestariannya apabila tidak dimanfaatkan, “jajakan atau
musnah”.
Status sebagai cagar budaya dalam banyak hal akan memberi keleluasaan
dalam pengelolaannya dan yang lebih penting adalah jaminan kelestariannya.
Pemanfaatan secara ekonomik dengan menjadikan cagar budaya sebagai
Oleh karena itu dalam pengelolaan juga harus mengacu pada UU. Menurut
objek wisata, di sisi lain kadang memang dianggap sebagai ancaman bagi
Pasal 1 ayat (21) UU RI Nomor 11 Tahun 2010, pengelolaan adalah upaya terpadu
kelestarian. Colin Renfrew dan Paul Bahn (1996, p. 521) menyatakan bahwa
untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya
banyak faktor yang dapat merusak situs, tetapi faktor manusia adalah yang
melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
paling kompleks dan rumit, seperti pembangunan (jalan, gedung, dsb.),
untuk sebesar besarnya kesejahteraan rakyat. Artinya, Lasem dapat
87
88
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Epilog
dimanfaatkan melalui tahap pelindungan dan tahap pengembangan terlebih
yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem
dahulu, sesuai UU; semangatnya adalah agar pemanfaatannya dapat
Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Terkait dengan penelitian dan
berkesinambungan dan terjaga kelestariannya.
pengembangan, dijelaskan dalam Pasal 1 UU tersebut, sebagai berikut.
Siapa yang mengelola? Seharusnya seluruh stakeholder secara sinergi, oleh
Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut metodologi ilmiah untuk
karena itu di dalam UU dinyatakan sebagai “upaya terpadu”. Seperti apa aspek
manajerialnya? Tentunya melalui berbagai kebijakan pada setiap tahapannya.
Dalam hal pengaturan terkait dengan perencanaan pengelolaannya, misalnya
ke arah mana, berbentuk apa, dan bagaimana mengemas kawasan Lasem;
kebijakan dalam pengaturan juga berlaku pada proses pelaksanaan dan
pengawasan pengelolaan. Sesungguhnya, untuk apa pengelolaan cagar
budaya diperuntukkan? Menurut UU RI Nomor 11 Tahun 2010, untuk sebesar
memperoleh data dan informasi yang berkaitan dengan pemahaman tentang
fenomena alam dan/atau sosial, pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran
suatu asumsi dan/atau hipotesis, dan penarikan kesimpulan ilmiah (Ayat 6).
Pengembangan adalah kegiatan untuk peningkatan manfaat dan daya dukung
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah terbukti kebenaran dan
keamanannya untuk meningkatkan fungsi dan manfaat Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (Ayat 7).
besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya
Berkaitan dengan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, dalam UU
(Pasal 1, Ayat 33).
disebutkan tujuan Sistem Nasioal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi adalah
Artinya, jika pengelolaan kawasan Lasem sebagai cagar budaya tidak
membawa rakyat menjadi sejahtera, pengelolaannya perlu dievaluasi dan
diperbaiki. Demikian pula apabila pemanfaatan cagar budaya di Lasem ternyata
mengancam kelertarian cagar budaya itu sendiri, maka mekanisme
pengelolaannya juga wajib ditinjau kembali untuk dibetulkan.
Kedudukan dan peran penelitian arkeologi tidak sebatas menghadirkan nilai
penting saja, karena seharusnya interpretasi hasil penelitian menjadi fondasi
meningkatkan pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk
pembangunan nasional berkelanjutan, kualitas hidup, dan kesejahteraan
masyarakat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 butir (c). Tidak kalah
pentingnya adalah Kedudukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang
tercantum pada Pasal 6, khususnya Ayat (1), yaitu Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi berkedudukan sebagai modal dan investasi jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang pembangunan nasional untuk:
dan kerangka bagi pelestarian. Dalam hal ini, sebagaimana diterangkan secara
a. meningkatkan kualitas hidup manusia;
lengkap dalam buku ini, Lasem berada dalam rona sejarah Nusantara; bagian
b. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
dari pengalaman panjang bangsa Indonesia. Data arkeologi sebagai cagar
c. meningkatkan kemandirian;
budaya ditambah kekayaan budaya non-bendawi yang dimiliki Lasem menjadi
pijakannya.
Menurut Howard (2003, p. 244), interpretasi merupakan salah satu dari tiga
d. memajukan daya saing bangsa;
e. memajukan peradaban bangsa;
bagian utama heritage selain konservasi dan manajemen. Namun demikian,
f.
interpretasi harus dipresentasikan kepada masyarakat agar nilai-nilainya dapat
g. melindungi dan melestarikan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
dipahami dan meningkatkan apresiasi terhadap cagar budaya. Berkaitan
dengan hal tersebut, menurut Tilden sebagaimana dikutip oleh Nuryanti (1996,
p. 253) ada beberapa prinsip dasar dalam interpretasi, antara lain adalah:
interpretasi meliputi informasi; interpretasi adalah seni; tujuan utama
menjaga kelestarian alam;
Indonesia; dan
h. menjadi dasar dalam perumusan kebijakan dan menjadi solusi masalah
pembangunan.
interpretasi adalah sebagai pancingan; interpretasi dikemas menurut segmen
dalam arti “beda segmen beda kemasan”. Tentu saja diperlukan usaha dan
perjuangan untuk itu, sehingga … to be successful, interpretation require a
range of method, media, material and management… (Nuryanti, 1996, p. 253,
2004, p. 16).
Kerangka penelitian arkeologi juga tidak terlepas dari peraturan perundangan,
Kemanfaatan hasil penelitian arkeologi bagi masyarakat sebenarnya bukan hal
yang sama sekali baru. Kerangka penelitian arkeologi dalam batasan tertentu
dapat didasarkan pada gagasan Macleod (1977) tentang hubungan resiprokal
antara kalangan akademik, pemerintah, dan masyarakat. Gambaran kerangka
tersebut setelah dimodifikasi oleh Tanudirjo dkk. dapat dilihat di Gambar 66
(Tanudirjo et al., 1994, p. 15):
89
90
91
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
DAFTAR PUSTAKA
AKADEMIA
Gagasan-Gagasan Baru
Perencanaan
Lingkungan
Program
Pendidikan
Prioritas
Pemanfaatan
Sumberdaya
Pengkajian
Ilmiah
Prediksi
Sumberdaya
Museum
Program
Rekreasi
Publikasi
PEMERINTAH
Ÿ Koordinasi
Ÿ Penegakan Hukum
Ÿ Dana
Ÿ Pendidikan Masyarakat
MASYARAKAT
Ÿ Kesadaran dan Kepedulian
Ÿ Penyediaan Dana
Ÿ Pemanfaatan
Gambar 66. Hubungan antar sektor dalam pengelolaan warisan budaya.
(Sumber: Tanudirjo, et.al. 1994: 15)
Kerangka yang disampaikan oleh Macleod sejak tahun 1977 dan dikembangkan
oleh Tanudirjo dkk. tahun 1994 barangkali juga perlu dimodifikasi dan
disesuaikan dengan situasi mutakhir. Namun demikian, pada dasarnya tidak
ada pertentangan antara UU No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, UU No. 11
Tahun 2019 Tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan
kerangka penelitian arkeologi. Oleh karena itu semangat untuk “menjajakan”
kawasan Lasem sebagai destinasi bagi pelancong perlu didukung secara nyata
oleh kalangan akademia, Pemerintah, dan masyarakat sendiri. Dengan begitu
pemanfaatan akan dapat berjalan beriringan dengan penelitian untuk
membangun interpretasi yang lebih luas lagi kokoh dan pelestarian untuk
menjamin Kawasan Lasem terlindungi, dapat dikembangkan, dan dapat
dimanfaatkan secara integral. Lebih penting dari itu semua adalah upaya
terpadu untuk melestarikan citra Lasem sebagai bagian dari rona sejarah
Nusantara.
Abbas, N. (2013). Perahu kuno Punjulharjo: Sebuah hasil penelitian. In I.
Andrisijanti (Ed.), Perahu Nusantara (pp. 55–74). Yogyakarta: Kepel Press.
Abdillah, M. Y., Harijoko, A., & Wibowo, H. E. (2019). Karakteristik Endapan Aliran
Piroklastik Gunung Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Prosiding
Seminar Nasional Kebumian Ke-12. Departemen Teknik Geologi, Faluktas
Teknik, Universitas Gadjah Mada.
Adrisijanti, I., & Istiyanto, J. E. (2000). Pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Pengelolaan Warisan Budaya dalam Pengembangan Pariwisata.
Makalah disampaikan dalam Lokakarya Terbatas Pemanfaatan Teknologi
Informasi dalam Pengelolaan Warisan Budaya dan Pengembangan
Pariwisata, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1 April 2000.
Atmosudiro, S. (2004). Khasanah Sumberdaya Arkeologi Indonesia: Peluang
dan Kendala Pemanfaatannya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
pada Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Aziz, M. (2014). Lasem Kota Tiongkok Kecil: Intaraksi Cina, Arab, dan Jawa dalam
silang budaya pesisiran. Penerbit Ombak.BPS Kabupaten Rembang.
(2012). Rembang dalam Angka 2012.
Budiyanto, A., & Latifah. (2019). Dampu Awang legends and its contemporary
perception of the Indonesian (Javanese) Muslim againts Chinese. Journal
of Integrative International Relations, 4(1), 83–106.
Djafar, H. (2009). Masa Akhir Majapahit Girindrawarddhana dan Masalahnya.
Komunitas Bambu.
Gold, S. M. (1980). Recreation Planning and Design. The McGraw-Hill Companies,
Inc. USA.
Graff, H. J. de. (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa : Peralihan Dari
Majapahit Ke Mataram. Grafiti Press.
Graff, H. J. de. (1986). Puncak Kekuasaan Mataram Politik Ekspansi Sultan
Agung. Grafiti Press.
Graff, H. J. de. (1987). Runtuhnya Istana Mataram. Grafiti Press.
Graff, H. J. de, & Pigeaud, Y. G. T. (1984). Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan
Sejarah Politik Abad XV-XVI. Penerbit Mata Bangsa & Universiteit Leiden.
Hakim, R. (2002). Arsitektur Lansekap: Manusia, Alam, dan Lingkungan.
Universitas Trisakti.
92
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
Daftar Pustaka
Handinoto. (2015). Lasem Kota Tua Bernuansa Cina di Jawa Tengah. Penerbit
Ombak.Hartono, S., & Handinoto. (n.d.). Lasem: Kota Kuno di Pantai Utara
Jawa yang Bernuansa China. Unpublished Paper.
Nuryanti, W. (1996). Heritage and Postmodern Tourism. Annals of Tourism
Research, 23(2), 249–260.
Haryono, T. (2003a). Pelestarian Warisan Budaya Dunia. Makalah disampaikan
dalam Seminar Pelestarian Candi Prambanan sebagai Warisan Budaya
Dunia di Prambanan, Yogyakarta, 10-11 September 2003.
Haryono, T. (2003b). Pengembangan dan Pemanfaatan Aset Budaya dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah. Makalah disampaikan pada Rapat
Koordinasi Kebudayaan dan Pariwisata diselenggarakan oleh Kementrian
Kebudayaan dan Pariwisata di Jakarta pada tanggal 25-27 Maret 2003.
Nuryanti, W. (2004). The Role of Interpretation in Ecotourism Development. The
Role of Interpretation in Ecotourism Development. Makalah disampaikan
dalam Seminar International Kerjasama antara Osaka City University,
Intitute Seni Indonesia dan Universitas Gadjah Mada, 3 November 2004 di
Yogyakarta.
Padmopuspito. (1966). Pararaton: Teks Bahasa Kawi Terjemahan Bahasa
Indonesia. Taman Siswa Yogyakarta.
Howard, P. (2003). Heritage, Management, Interpretation, Identity. Continuum.
Pearson, M., & Sullivan, S. (1995). Looking After Heritage Places. Melbourne
University Press.
Jackson, J. C. (1975). The China town of Southeast Asia: Traditional component of
city’s central area. Pacific Viewpoint, 16(1), 45–77.
Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (2011). Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II
Zaman Kuno. Edisi Pemutakhiran. Balai Pustaka.
Kasnowihardjo, G., Suriyanto, R. A., Koesbardiati, T., & Murti, D. B. (2013). Modifikasi
gigi manusia Binangun dan Leran: temuan baru di kawasan Pantai Utara
Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Berkala Arkeologi, 33(2), 169–184.
Pratiwo, M. N. (2010). Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota.
Penerbit Ombak.
Liebner, H. (2014). The Siren of Cirebon: A Tenth-Century Trading Vessel Lost in
the Java Sea [The University of Leeds]. http://etheses.whiterose.ac.uk/
6912/1/SirenOfCirebonFinal.pdf
Macleod, D. G. (1977). Peddle or Perish: Archaeological Marketing from Concept
to Product Delivery. In M. B. Schiffer & G. J. Gumerman (Eds.), Conservation
Archaeology A Guide for Cultural Resources Management Studies (pp.
63–72). Academic Press.
Raffles, T. S. (2008). The History of Java. Penerbit Narasi.
Rangkuti, N. (1996). Pasang Naik dan Pasang Surut Kota-kota Pantai di Pesisir
Utara Pulau Jawa (Studi kasus di Situs Bonang, Lasem, Rembang, Jawa
Tengah). Laporan Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Yogyakarta.
Rangkuti, N. (1998). Struktur dan Proses Keruangan Kota-kota Pantai Utara Jawa,
Kasus Kota Lasem di Rembang, Jawa Tengah. EHPA Cipayung, 16-19
Februari 1998.
Manguin, P.-Y. (1991). The merchant and the king: Political myths of Southeast
Asian coastal polities. Indonesia, 52, 41–54.
Rangkuti, N. (2000). Pola Pemukiman Desa Masa Majapahit, Kajian Situs
Arkeologi Di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur (Tahap III). Laporan
Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Yogyakarta.
Mochtar, A. S. (2018). The Seventh-Century Punjulharjo Boat from Indonesia: A
study of the early Southeast Asian lashed-lug boatbuilding tradition.
Flinders University.
Rejeki, S. K. (2019). Peranan Ratu Kalinyamat dalam Perkembangan Kota Jepara
(1549-1579). Sosio E-Kons, 11(2), 174–182.
Noerwidi, S. (2017). Globalisasi, pelayaran-perdagangan, dan diversitas populasi:
studi sisa manusia Situs Leran, Rembang, Jawa Tengah. Berkala Arkeologi,
37(2), 103–124.
Nurhajarini, D., Purwaningsih, R., & Fibiona, I. (2015). Akulturasi Lintas Zaman di
Lasem: Perspektif Sejarah dan Budaya (Kurun Niaga – Sekarang).
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta.
Nurisjah, S., & Pramukanto, Q. (2001). Perencanaan Kawasan untuk Pelestarian
Lanskap dan Taman Sejarah. Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Renfrew, C., & Bahn, P. (1996). Archaeology. Theories, Method, and Practise.
Second Edition. Thames and Hudson Ltd.
Satari, S. S. (1983). Caruban, Lasem: Suatu situs peralihan Klasik-Islam. In Analisis
Kebudayaan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sedyawati, Edy, Wurjantoro, E., & Julianto, N. S. (2012). Dinasti, Agama, dan
Monumen. In E Sedyawati & H. Djafar (Eds.), Indonesia dalam Arus
Sejarah, Kerajaan Hindu-Buddha. PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Siswanto. (2011). Pengelolaan Situs Hominid Patiayam Kudus, Jawa Tengah.
Universitas Gadjah Mada.
93
94
95
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
LAMPIRAN
Tanudirjo, D. A., Prasodjo, T., Yuwono, J. S. E., & Nugrahani, D. S. (1994). Kualitas
Penyajian Warisan Budaya Kepada Masyarakat: Studi Kasus
Manajemen Sumberdaya Budaya Candi Borobudur. Laporan Penelitian.
Pusat Antar Universitas Studi Sosial, Universitas Gadjah Mada.
Tim Penelitian. (2011). Identifikasi Potensi Sumberdaya Arkeologi di Kecamatan
Lasem, Kecamatan Rembang, Jawa Tengah. Laporan Penelitian
Arkeologi. Balai Arkeologi Yogyakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 tentang Cagar
Budaya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Sistem
Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Unjiya, M. A. (2008). Lasem: Negeri Dampoawang, Sejarah yang Terlupakan. Eja
Publisher & FOKMAS.
Utomo, A. A. P. (2017). Potensi bahari Lasem sebagai sejarah maritim lokal.
Sejarah Dan Budaya, 11(2), 141–150.
Utomo, B. B. (2009). Majapahit Dalam Lintas Pelayaran dan Perdagangan
Nusantara. Berkala Arkeologi, 29(2), 1–14.
Van Bemmelen, R. van. (1949). The Geology of Indonesia. Vol. IA. The Hague.
Gambar 67. Kelompok 1: Desa
Gambar 68. Kelompok 2: Desa
Babagan, Dasun, Dorokandang,
Karangturi, Ngemplak, Selopura,
Gedongmulyo, Jolotunda, Karasgede.
Sumbergirang.
(Sumber: Dokumentasi Balai
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi
Arkeologi Prov. DIY, 2011)
Prov. DIY, 2011)
Wei, Y. (2014). Admiral Zheng He’s voyages to the “West Oceans.” Education
A b o u t A s i a , 1 9 ( 2 ) , 2 6 – 3 0 . h t t p s : //w w w. a s i a n s t u d i e s . o r g /w p content/uploads/admiral-zheng-hes-voyages-to-the-west-oceans.pdf
Zakaria, Y. H. (1993). Arsitektur Kota Lasem (Tinjauan Mengenai Pengaruh
Masyarakat Cina). Universitas Gadjah Mada.
Gambar 69. Kelompok 3: Desa Kajar,
Gambar 70. Kelompok 4: Desa
Ngargomulyo, Sendangcoyo.
Binangun, Bonang, Gowak, Soditan,
(Sumber: Dokumentasi Balai
Sriombo.
Arkeologi Prov. DIY, 2011)
(Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi
Prov. DIY, 2011)
96
97
UCAPAN TERIMAKASIH
Seperti telah disampaikan dalam dalam pengantar bahwa buku ini merupakan
GLOSARIUM
akulturasi
hasil pemutakhiran dari penelitian yang dilakukan pada tahun 2011. Kontribusi
seluruh anggota tim yang telah dituangkan dalam dokumen laporan penelitian
sangat berperan sebagai materi dalam penyusunan buku ini. Ucapan terima
kasih disampaikan kepada seluruh anggota tim penelitian: Drs. Novida Abbas,
bertemu dan saling memengaruhi
alluvial
: jenis tanah yang terbentuk karena endapan
altar
: umumnya berbentuk meja yang berkaitan dengan
kegiatan keagamaan
M.A., Drs. Siswanto, M.Hum, Dra. Indah Asikin Nurani, M.Hum., Drs Sambung
Widodo, Drs. Masyhudi, M.A., Drs. Gunadi, M.Hum., Drs. M. Chawari, M.Hum., Dra.
andosol
membantu Tedy Setiadi, alm. Hadi Sunaryo, alm. Dekon Suyanto, Andreas Eka
terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman FOKMAS yang turut
membantu dalam proses penelitian.
Penulisan buku ini juga sangat dibantu oleh tim yang banyak memberikan
kontribusi berupa masukan dan saran berkaitan dengan layout, grafis dan hal
: jenis tanah berwarna hitam yang merupakan tanah
vulkanis
T.M. Rita Istari, Drs. Priyatno Hadi Sulistiarto, dan seluruh teknisi yang telah
Admaja, Adji Satrio, Didik Santosa, Slamet Widodo, Jiono, dan Ngadimin. Ucapan
: percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling
artefak
: benda-benda dari masa lampau yang dibuat oleh
manusia atau memiliki ciri modifikasi oleh manusia
Austronesia
: mengacu pada wilayah geografis yang penduduknya
menuturkan bahasa Austronesia
Babad Tanah Jawi
: kumpulan naskah berbahasa Jawa yang berisi
tentang sejarah raja-raja yang pernah berkuasa di
teknis lain. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Hari Wibowo, Shoim
Pulau Jawa
Abdul Aziz, Tedy Setiadi, Akunnas Pratama, dan Kurnia Satrio Adi.
Batavia
: koloni dagang yang Belanda yang sekarang menjadi
Jakarta
batik Laseman
: ragam batik pesisiran dengan corak yang khas, yaitu
perpaduan budaya Tiongkok dan Jawa
breksi
: batuan yang umumnya tersusun fragmen mineral
yang tersementasi
bubungan
: penutup sisi antara pertemuan bidang atap pada
puncak atap
Champa
: kerajaan yang pernah menguasai daerah yang
sekarang termasuk Vietnam Tengah dan Selatan
antara abad ke-7 hingga 19
candu
: getah kering pahit berwarna cokelat kekuningkuningan yang diambil dari buah Papaver
somniferum, mempunyai daya memabukkan dan
membius, biasanya dimakan atau diisap dengan pipa
Cina Kecil
: penamaan satu tempat dengan corak budaya Cina
yang dominan
98
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
cultural landscape
: suatu bentang alam yang terbentuk oleh aktivitas
Glosarium
lingga
manusia atau memiliki arti penting manusia
dating
: penentuan umur tinggalan arkeologi dengan
dari batu berbentuk silinder panjang
litosol
menggunakan metode tertentu
fasade
: sisi luar dari arsitektur sebuah bangunan
fitur
: sesuatu yang tidak dapat dipindahkan tanpa
merubah bentuk seperti lapisan batuan, bekas
: objek pemujaan umat Hindu yang umumnya terbuat
: tanah yang terbentuk dari proses pelapukan batuan
beku dan batuan sedimen
lumpang batu
: alat penumbuk biji atau bahan lain yang berbuat dari
batu yang dilubangi
masa Islam
lubang pondasi
: pembabagan sejarah budaya Indonesia sesudah
masuknya pengaruh budaya Arab dan Timur Tengah
galangan
: tempat memperbaiki atau membuat kapal
Matahun
: nama salah satu kerajaan bagian dari Majapahit
geomorfologi
: bidang ilmu yang mempelajari bentuk permukaan
mediterial
: jenis tanah dengan tingkat kesuburan yang rendah,
bumi
grumosol
: tanah yang terbentuk dari batuan induk kapur dan
berwarna merah kekuningan dan abu-abu
mihrab
tufa vulkanik
in situ
: artefak yang belum dipindahkan dari lokasi
tempat imam
Nagarakrtagama
pengendapan/penempatannya
Indis
intangible heritage
: warisan budaya tak benda yang merupakan praktik,
yang banyak menguraikan keadaan Majapahit pada
nisan
: penanda kubur yang biasanya terbuat dari batu
orde baru
: penyebutan pembabakan sejarah Indonesia yang
representasi, ekspresi, pengetahuan, atau
keterampilan, serta instrumen, objek, artefak, dan
ruang budaya yang dianggap oleh UNESCO sebagai
bagian dari warisan budaya suatu tempat
Kerajaan Vassal
: kerajaan bawahan
keramik asing
: keramik yang diproduksi oleh negara luar umumnya
dari Cina, Vietnam, Thailand, Eropa
Kelenteng
: bangunan tempat memuja (berdoa,
bersembahyang) dan melakukan upacara
keagamaan bagi penganut Konghucu
Kolonial (masa)
: pembabagan sejarah budaya Indonesia sesudah
masuknya kolonialisme
konglomerat (geologi) : batuan sedimen berbutir kasar
landmark
: fitur geografis baik alami maupun buatan manusia
berlangsung antara tahun 1966–1998
Pararaton
: bentukan wilayah yang tersusun atas bentuk tanah,
vegetasi dan struktur buatan manusia
: naskah kesusastraan berbahasa Jawa kuna yang
berisi tentang kisah kerajaan Singasari dan Majapahit
pesisir
: wilayah daratan yang berbatasan dengan laut
Pra-Islam
: pembabagan sejarah budaya Indonesia sebelum
masuknya pengaruh budaya Arab dan Timur Tengah
pundung
: penyebutan masyarakat untuk temuan struktur bata
kuna
regosol
: jenis tanah berbutir kasar berasal dari material
gunung api
senthong
: kosakata Jawa untuk menyebut kamar tidur
soko guru
: tiang utama penopang bangunan
stakeholder
: adalah pihak yang berkepentingan atau pemangku
kepentingan suatu perusahaan atau organisasi
yang digunakan sebagai penanda suatu tempat
lanskap
: naskah kesusastraan pujangga kerajaan Majapahit
masa pemerintahan Hayam Wuruk
: gaya bangunan gabungan antara gaya budaya lokal
dengan gaya bangunan kolonial
: bagian dari bangunan masjid yang berfungsi sebagai
talud
: bagian bangunan yang berfungsi untuk
meningkatkan kestabilan tanah
99
100
Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara
tangible heritage
: hasil budaya manusia yang dapat dipindahkan
tiang doria
: jenis penyangga atap berbentuk bulat dan melebar
pada bagian tengah
topografi
: istilah yang berkaitan dengan kemiringan dan kontur
lahan
toponim
: nama tempat yang mengacu pada asal-usul dan
sejarah penamaannya
tumpang sari (atap)
: susunan rangka atap bertingkat yang diletakkan di
atas empat tiang utama
ubin
: penutup lantai yang umumnya terbuat dari
campuran pasir, bebatuan, semen, dan dicetak
vegetasi
: ragam tanaman dan tumbuhan yang menempati
suatu bentang lahan
Wilwatikta
: nama lain dari Majapahit