Academia.eduAcademia.edu

Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara: Sebuah Kajian Arkeologi

2020, Balai Arkeologi Provinsi D.I. Yogyakarta

LASEM DALAM RONA SEJARAH NUSANTARA ISBN: 978-623-91488-6-7 Sebuah Kajian Arkeologis SUGENG RIYANTO - AGNI SESARIA MOCHTAR HERY PRISWANTO - ALIFAH - PUTRI NOVITA TANIARDI LASEM DALAM RONA SEJARAH NUSANTARA Sebuah Kajian Arkeologis SUGENG RIYANTO AGNI SESARIA MOCHTAR HERY PRISWANTO ALIFAH PUTRI NOVITA TANIARDI ii Sambutan Kepala Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta SAMBUTAN KEPALA BALAI ARKEOLOGI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA LASEM DALAM RONA SEJARAH NUSANTARA Sebuah Kajian Arkeologis ISBN: 978-623-91488-6-7 Penanggung jawab Kepala Balai Arkeologi Provinsi Daerah lstimewa Yogyakarta Drs. Sugeng Riyanto, M.Hum Lasem, yang masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, memiliki riwayat yang panjang; Lasem juga memiliki data arkeologi Editor Novida Abbas sebagai cagar budaya yang mencerminkan riwayatnya. Oleh karenanya, Lasem dapat ditempatkan sebagai salah satu mata rantai lintasan sejarah Nusantara, bagian integral dari sejarah dan pengalaman panjang bangsa Indonesia. Itulah Penulis Sugeng Riyanto Agni Sesaria Mochtar Hery Priswanto Alifah Putri Novita Taniardi sebagian gambaran isi buku yang berjudul “Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara”. Terbitnya buku yang berisi hasil penelitian Balai Arkeologi Provinsi D.I. Yogyakarta di Lasem ini sungguh patut disyukuri dan karenanya saya tidak lupa untuk memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebagai materi publikasi yang ditulis berdasarkan hasil penelitian, topik ini Layout Hari Wibowo Tedy Setiadi Shoim Abdul Aziz Jentera Intermedia memiliki beberapa dimensi yang strategis, sangat mungkin terdapat informasi yang belum banyak diketahui oleh masyarakat. Sesungguhnya, di dalam informasi hasil penelitian terdapat kandungan pengetahuan yang harus dipresentasikan kepada publik. Selain sebagai tanggung jawab para peneliti dan lembaga, presentasi itu dapat menjadi acuan untuk membangun gagasan, Fotografer Akunnas Pratama Kurnia Satrio Adi seperti pelindungan data arkeologi, pengembangan, bahkan konsep pemanfaatannya. Masyarakat, Pemerintah, maupun kalangan akademisi dapat menggunakan presentasi yang dikemas dalam buku yang diterbitkan ini untuk bersama-sama berkontribusi terhadap masa depan Lasem. Penerbit Balai Arkeologi Provinsi Daerah lstimewa Yogyakarta JI. Gedongkuning 1741 Yogyakarta 55171 Telp/fax: 0274-377913 E-mail Laman : [email protected] : arkeologijawa.kemdikbud.go.id rpbalarjogja.kemdikbud.go.id berkalaarkeologi.kemdikbud.go.id perpusbalarjogja.kemdikbud.go.id Dapat dikatakan buku ini merupakan karya integral dari beberapa peneliti yang terlibat dalam pelaksanaan penelitian di Lasem. Sehubungan dengan hal itu, sebagai Kepala Balai Arkeologi Provinsi D.I. Yogyakarta, saya memberi apresiasi yang tinggi kepada para Penulis atas perjuangan dan upayanya dalam (Kantor) (Rumah Peradaban) (Jurnal) (Perpustakaan) mempresentasikan hasil penelitian menjadi materi informasi melalui penerbitan buku. Tak lupa, saya juga mengucapkan terima kasih kepada tim penerbitan atas dukungan dalam proses penerbitannya. Untuk pembaca yang budiman, saya ucapkan selamat menyimak buku ini, semoga bermanfaat khususnya terkait dengan informasi hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Balai Arkeologi Provinsi D.I. Yogyakarta. Cetakan Pertama, November 2020 © Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Tidak Untuk Diperjualbelikan Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari Penerbit Sugeng Riyanto iii iv v Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Kata Pengantar KATA PENGANTAR memberikan informasi lebih mendalam mengenai sejarah budaya Lasem dan bagaimana strategi pengelolaan dan pelestariannya. Sebagai terbitan awal, tentu saja buku ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu upaya perbaikan akan terus dilakukan guna menyajikan informasi yang lebih runtut dan lengkap mengenai tinggalan budaya Lasem Banyak orang mengenal Lasem hanya sebagai sebuah kota perlintasan kecil di dan maknanya bagi perkembangan sejarah Indonesia. jalur pesisir utara Jawa Tengah. Memang Lasem “hanya” merupakan sebuah kota kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Namun demikian sebenarnya Lasem sudah cukup terkenal―terutama karena batiknya―dan sebagai kota kuno bernuansa Cina, sehingga Lasem sering juga disebut sebagai Yogyakarta, Agustus 2020 Tiongkok Kecil. Penyebutan itu didasarkan atas dominasi etnik Cina yang bermukim di Lasem sejak beberapa abad yang lalu lengkap dengan berbagai bangunan tempat tinggal mereka yang bernuansa Cina. Sebenarnya sejarah Lasem tidak dimulai dari titik itu saja, melainkan Lasem memiliki jejak sejarah yang lebih panjang dari itu. Setidaknya sejak masa Majapahit nama Lasem sudah disebut-sebut di berbagai catatan sejarah. Penelitian arkeologi pernah dilakukan di wilayah Lasem, yaitu di antaranya di Caruban dan Bonang, sementara penelitian arsitektur juga pernah dilakukan terhadap bangunanbangunan etnis Cina. Menilik riwayat Lasem yang cukup panjang dalam kerangka sejarah Indonesia dan membandingkannya dengan hasil sejumlah penelitian yang pernah dilakukan di Lasem, terlihat bahwa penelitian yang pernah dilakukan di Lasem masih sporadis sifatnya dan belum memperlihatkan potensi sumber daya arkeologi yang terkandung di wilayah Lasem secara menyeluruh. Atas dasar tersebut, Balai Arkeologi Provinsi D.I. Yogyakarta pada tahun 2011 kemudian melakukan penelitian eksploratif di Kecamatan Lasem dengan tujuan untuk memperoleh data dan gambaran sumber daya arkeologi Lasem dari masa ke masa. Penelitian ini menghasilkan pengetahuan yang cukup lengkap berupa ragam tinggalan budaya materi dari berbagai masa yang menjadi bukti eksistensi Lasem sejak masa Klasik. Pada perkembangan selanjutnya, sumber daya arkeologi yang telah terdata tersebut terus mengalami pengurangan dan kerusakan. Salah satu penyebabnya adalah laju pembangunan Lasem yang semakin menggeliat sebagai kota transit. Buku ini coba mendokumentasikan bagaimana kekayaan sumber daya arkeologi Lasem sebagai bukti dinamika Lasem dari masa ke masa. Penulisan buku ini menggunakan bahasa ilmiah popular dan dilengkapi dengan dokumentasi foto hasil pemotretan tahun 2011. Buku ini diharapkan menjadi pemantik untuk terbitnya buku-buku berikutnya yang dapat Tim Penulis vi vii Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara PERNYATAAN KESETARAAN DALAM PROSES PENULISAN DAFTAR ISI Buku ini adalah pemutakhiran dari hasil penelitian Balai Arkeologi Provinsi D.I. SAMBUTAN KEPALA BALAI ARKEOLOGI PROVINSI DIY ............................................................. iii Yogyakarta di Lasem yang di antaranya beranggotakan kelima penulis. Di dalam KATA PENGANTAR .................................................................................................................................................... iv pemutakhiran hasil penelitian hingga dijadikan buku ini, Sugeng Riyanto PERNYATAAN KESETARAAN DALAM PROSES PENULISAN ..................................................... vi DAFTAR ISI ....................................................................................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ............................................................................................................................................................ xi PROLOG ............................................................................................................................................................................ 1 SEJARAH LASEM ........................................................................................................................................................ A. Sejarah Geomorfologi Lasem dan Pantai Utara Jawa ................................................ B. Posisi Strategis Lasem dalam Jalur Pelayaran Internasional ............................... C. Lasem Sebagai Kerajaan Vassal .................................................................................................... 9 10 11 14 LANSKAP BUDAYA LASEM ................................................................................................................................. A. Lingkungan Fisik Lasem .................................................................................................................... B. Distribusi Tinggalan Arkeologi Pada Lanskap di Lasem ......................................... B.1. Lanskap Gunung ........................................................................................................................... B.2. Lanskap Bertopografi Rendah ............................................................................................ B.3. Lanskap Pesisir ................................................................................................................................ C. Lanskap Budaya Lasem ...................................................................................................................... 17 18 20 21 22 23 25 DINAMIKA SEJARAH DAN BUDAYA LASEM .......................................................................................... A. Masa Awal dan Berkembangnya Lasem ................................................................................ B. Lasem Pada Awal Masa Islam ......................................................................................................... C. Lasem Pada Masa Islam – Kolonial ............................................................................................. 27 28 32 34 RAGAM SUMBER DAYA ARKEOLOGI LASEM ......................................................................................... A. ARTEFAK ......................................................................................................................................................... A. 1. Kursi Batu ............................................................................................................................................ A.2. Lumpang Batu Dan Fragmen Keramik ....................................................................... A.3. Batu Andesit Bertapak Manusia ......................................................................................... A.4. Lingga ................................................................................................................................................... B. BANGUNAN IBADAH .............................................................................................................................. B.1. Kelenteng ........................................................................................................................................... C. BANGUNAN PEMERINTAH ................................................................................................................. C.1. Gudang Stasiun (Gudang Klungsu) .................................................................................. C.2. Perum PTKA 1 ................................................................................................................................... C.3. Perum PTKA 2 (couple) .............................................................................................................. D. BANGUNAN PENDUKUNG ................................................................................................................. D.1. Sumur Kuna ...................................................................................................................................... D.2. Tandon Air .......................................................................................................................................... E. BANGUNAN PRODUKSI ........................................................................................................................ E.1. Bangunan Rumah ......................................................................................................................... E.2. Pabrik tegel ........................................................................................................................................ 37 39 40 41 41 41 43 43 47 47 48 48 48 49 50 50 51 memberikan kontribusinya mengenai Lasem di bagian Epilog dan Prolog. Agni Sesaria Mochtar memberikan kontribusi tulisannya dengan judul Sejarah Lasem, sedangkan Hery Priswanto memberikan sumbangan tulisannya dengan tajuk Lanskap Budaya Lasem. Alifah memberikan kontribusi tulisan dengan judul Dinamika Sejarah dan Budaya Lasem dan Putri Novita Taniardi memberikan kontribusi tulisannya dengan judul Lasem Menapak Masa Depan. Sedangkan tulisan dengan judul Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem merupakan narasi yang disusun bersama-sama oleh kelima penulis. Seluruh isi buku telah melalui proses review dan revisi melalui masukan dari editor. Proses penulisan buku dilakukan oleh satu tim dengan peran penulis yang setara. viii Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara ix Daftar Isi F. BANGUNAN PUBLIK ................................................................................................................................ F.1. Stasiun Kereta Api Lasem ........................................................................................................ F. 2. Jembatan Kereta Api ................................................................................................................. F. 3. Bangunan rumah untuk usaha VCO “ Pantura Raya VCO” .............................. G. KATEGORI MAKAM .................................................................................................................................. G.1. Makam Islam ..................................................................................................................................... G.2. Makam Cina ...................................................................................................................................... G.3. Perabuan ............................................................................................................................................ H. KATEGORI PETILASAN .......................................................................................................................... H.1. Batu Pasujudan .............................................................................................................................. H.2. Bongkah Batu Alam .................................................................................................................... H.3. Kompleks Bangunan ................................................................................................................. H.4. Makam .................................................................................................................................................. I. RUMAH TINGGAL ....................................................................................................................................... I.1. Rumah Cina ...................................................................................................................................... I.2. Rumah Cina – Geladak ............................................................................................................. I.3. Rumah Cina – Indis ....................................................................................................................... I.4. Rumah Indis ...................................................................................................................................... I.5. Rumah Indis – Jawa ..................................................................................................................... I.6. Rumah Geladak .............................................................................................................................. I.7. Rumah Joglo ..................................................................................................................................... J. TOPONIM ................................................................................................................................................. J.1. Pelabuhan ........................................................................................................................................... J.2. Kolam ..................................................................................................................................................... J.3. Alun-alun ............................................................................................................................................. J.4. Rumah Pejabat ................................................................................................................................ K. UNSUR BANGUNAN ................................................................................................................................ K.1. Bekas Dermaga ............................................................................................................................. K.2. Sisa Galangan Kapal .................................................................................................................... K. 3. Unsur Bangunan Candi ............................................................................................................ K.4. Umpak Batu .................................................................................................................................... 52 52 53 53 54 54 55 56 56 56 57 57 58 59 59 60 61 61 62 63 63 64 64 64 65 65 68 68 69 69 71 LASEM MENATAP MASA DEPAN ................................................................................................................... Menjaga Lasem Untuk Masa Depan .............................................................................................. Pelestarian Lasem dan Harapan yang Dititipkan ................................................................ • Nilai Penting Sejarah ................................................................................................................. • Nilai Penting Ilmu Pengetahuan ........................................................................................ • Nilai Penting Pendidikan ........................................................................................................ • Nilai Penting Agama ................................................................................................................... • Nilai Penting Kebudayaan ...................................................................................................... Strategi Pengelolaan Kawasan Lasem .......................................................................................... Analisis SWOT Kendala dan Peluang dalam Pengelolaan Kawasan Lasem ...... Analisis peluang dan hambatan ..................................................................................................... Faktor Internal Objek .............................................................................................................................. Faktor Eksternal Objek ........................................................................................................................... Formulasi Strategi SWOT Kawasan Lasem ............................................................................... 75 76 76 77 77 78 78 78 79 80 81 82 83 84 EPILOG ............................................................................................................................................................................... 85 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................................................... 91 LAMPIRAN ....................................................................................................................................................................... 95 UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................................................................................... 96 GLOSARIUM ................................................................................................................................................................... 97 x Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Situs Galangan Kapal di sungai Dasun, Desa Dasun, berada tidak jauh dari pantai Lasem, bukti eratnya peran sungai dan laut dalam dunia maritim .............................................................................................................................................................................. Gambar 2. Terik siang di Bledug Kuwu, Grobogan. Seorang ibu sedang menampung air yang mengandung garam untuk diolah menjadi butiran garam di rumahnya; di latar belakang tampak blědug yang menyembur terus-menerus .............................................................................................................................................................. xi Daftar Gambar 7 Gambar 27. Variasi Sumur-Sumur Kuna di Lasem ............................................................................... 49 Gambar 28. Tandon Air di Desa Kajar (kiri) dan Desa Selopuro (kanan) ............................... 50 Gambar 29. Bangunan rumah di Gang II No. 17 di Desa Karangturi ....................................... 50 Gambar 30. Bangunan rumah Pondok Pesantren Kauman Lasem di Karangturi ........................................................................................................................................................................ 51 Gambar 31. Bangunan rumah di Jalan Raya Lasem No. 83 di Desa Karangturi .............. 51 Gambar 32. Bekas Stasiun Kereta Api di Desa Dorokandang ...................................................... 52 Gambar 33. Jembatan KA Lasem di antara Desa Jolotundho dan Babagan .................... 53 Gambar 34. Bangunan rumah untuk usaha VCO “Pantura Raya VCO” ................................. 54 Gambar 35. Beberapa makam Islam yang terletak di Desa Bonang, Lasem ................... 55 7 Gambar 36. Makam Cina yang terletak di Rumah Jangkar, Jl. Dasun, Lasem ................ 55 Gambar 3. Ilustrasi topografi Lasem ............................................................................................................... 19 Gambar 37. Perabuan Mbah Lebo di Desa Bonang, Lasem ......................................................... 56 Gambar 4. Keletakan desa-desa pada satuan lanskap ..................................................................... 21 Gambar 38. Petilasan Pasujudan Sunan Bonang, di Desa Bonang ........................................ 57 Gambar 5. Tinggalan Arkeologi pada satuan lanskap bertopografi tinggi ......................... 21 Gambar 6. Tinggalan Arkeologi pada satuan lanskap bertopografi rendah .................... 22 Gambar 39. Petilasan Waru Ebek di Desa Ngargomulyo dan Watu Tapak di Desa Kajar ........................................................................................................................................................................ 57 Gambar 7. Tinggalan Arkeologi pada satuan lanskap pesisir ...................................................... 23 Gambar 40. Situs Daleman, Desa Bonang, Lasem ............................................................................. 58 Gambar 8. Sisa tatanan bata dan batu di Situs Jembatan Regol ............................................. 30 Gambar 41. Petilasan makam Sunan Bonang yang berada di kompleks Pasujudan Bonang di Desa Bonang, Lasem ............................................................................................ 58 Gambar 9. Lingga di Situs Mbah Ponyo dan beberapa sisa batu di situs Gunung Bata ................................................................................................................................................................. 31 Gambar 42. Pintu depan ganda pada rumah Cina di Desa Sumbergirang ....................... 59 Gambar 10. Lanskap situs Candi Caruban yang hanya menyisakan beberapa sisa batu, Kanan: sisa umpak-umpak di situs Candi Selopuro .................................................... Gambar 43. Rumah Cina di Desa Gedong Mulyo ................................................................................. 60 31 Gambar 11. Perbandingan temuan data arkeologi di Lasem ........................................................ 39 Gambar 44. Rumah Cina – Jawa di Desa Soditan (kiri) dan Desa Karangturi (kanan) ............................................................................................................................................................................... 60 Gambar 12. Sebaran fragmen keramik di Desa Gedong Mulyo .................................................. 40 Gambar 45. Rumah Cina – Indis di Desa Babagan (kiri) dan Desa Soditan (kanan) ............................................................................................................................................................................... 61 Gambar 13. Temuan kursi batu di Desa Kajar, Lasem ........................................................................ 40 Gambar 14. Temuan lumping batu di Desa Kajar ................................................................................. 41 Gambar 46. Rumah Indis di Desa Sumbergirang (kiri) dan Desa Ngemplak (kanan) ............................................................................................................................................................................... 62 Gambar 15. Fitur tapak kaki pada batu andesit di Desa Kajar ...................................................... 41 Gambar 47. Rumah bergaya Indis – Jawa di Desa Soditan ............................................................ 62 Gambar 16. Lingga Mbah Ponyo di Desa Kajar ....................................................................................... 42 Gambar 17. Lumpang Batu di Desa Jalatundha ..................................................................................... 42 Gambar 48. Rumah geladak di Desa Karang Turi (kiri) dan Desa Bonang (kanan) ................................................................................................................................................................................ 63 Gambar 18. Kelenteng Gie Yong Bio di Desa Babagan ..................................................................... 43 Gambar 49. Rumah joglo di pinggir Jln. Daendels di Desa Bonang .......................................... 63 Gambar 19. Kelenteng Poo An Bio di Desa Karangturi ..................................................................... 44 Gambar 50. Aliran Sungai Slontho di Desa Bonang ........................................................................... 64 Gambar 20. Mak Co/Kelenteng Co Ang Kion di Desa Soditan ................................................... 44 Gambar 51. Lokasi bekas Balekambang di Desa Sumbergirang ............................................... 65 Gambar 21. Vihara Karunia Dharma di Desa Soditan ......................................................................... 45 Gambar 52. Pasar Kawak, bekas alun-alun Lasem di Desa Sumbergirang ........................ 65 Gambar 22. Gua Pemujaan (Gua Pinatah) di Desa Kajar ................................................................ 46 Gambar 53. Bekas Kepatihan di Desa Ngemplak ................................................................................ 66 Gambar 54. Toponim Secolegowo di Desa Soditan ............................................................................ 66 Gambar 23. Mihrab (kiri) dan Saka Guru/tiang utama (kanan) Masjid Jami' Lasem di Desa Karangturi ..................................................................................................................................... 46 Gambar 55. Lokasi bekas Puri Tejokusumo III di Desa Soditan ................................................... 67 Gambar 24. Gudang Stasiun (Gudang Klungsu) di Desa Dorokandang ............................... 47 Gambar 25. Perum PTKA 1 di Desa Gedongmulyo ............................................................................... 47 Gambar 56. Lokasi bekas Puri Tejokusomo I bersebelahan dengan bekas Puri Widyaningrat ................................................................................................................................................................... 67 Gambar 26. Perum PTKA 2 di Desa Gedongmulyo ............................................................................. 48 Gambar 57. Batu-batu andesit dan sisa struktur bata di Jembatan Regol di Desa Bonang ................................................................................................................................................................... 68 xii xiii Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Gambar 58. Bekas dermaga Caruban di Desa Gedongmulyo .................................................... 68 Gambar 59. Bekas galangan kapal di Desa Dasun .............................................................................. 69 Gambar 60. Lingga di Desa Sendangcoyo ................................................................................................ 70 Gambar 61. Gundukan batu di Candi Pucangan, Desa Sriombo .............................................. 71 Gambar 62. Umpak di stasiun pengawasan lalu lintas laut di Desa Dasun ....................... 72 Gambar 63. Umpak batu di Desa Selopuro .............................................................................................. 72 Gambar 64. Watu gambir di Desa Argomulyo ....................................................................................... 73 Gambar 65. Kerangka perencanaan konservasi Warisan Budaya ........................................... 79 Gambar 66. Hubungan antar sektor dalam pengelolaan warisan budaya ........................ 90 Gambar 67. Kelompok 1:Desa Babagan, Dasun, Dorokandang, Gedongmulyo, Jolotunda, Karasgede ............................................................................................................................................... 95 Gambar 68. Kelompok 2: Desa Karangturi, Ngemplak, Selopura, Sumbergirang ........ 95 Gambar 69. Kelompok 3: Desa Kajar, Ngargomulyo, Sendangcoyo ........................................ 95 Gambar 70. Kelompok 4: Desa Binangun, Bonang, Gowak, Soditam, Sriombo .............. 95 DAFTAR TABEL Tabel 1. Distribusi Tinggalan arkeologi pada Lanskap Budaya Lasem ................................... Tabel 2. Sejarah Kemunculan Lasem ........................................................................................................... Tabel 3. Beberapa tinggalan arkeologi yang menjadi penanda dinamika Lasem pada masa Klasik berupa bangunan pemujaan, fasilitas umum, dan tempat perabuan .......................................................................................................................................................................... Tabel 4. Tinggalan arkeologi masa Islam yang masih dapat ditemukan di Lasem ..... Tabel 5. Beberapa temuan bukti arkeologi perkembangan Lasem masa Kolonial dan Kemerdekaan .................................................................................................................................................... 24 29 31 33 35 xiv 1 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara PROLOG 2 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Prolog “... raja senang sekali pergi ke Gunung Lasem untuk menikmati pemandangan Mataram Kuno. Lebih menarik lagi dengan disebutnya Kerajaan Tolomo yang laut. Mungkin saja sebenarnya bukan pemandangan laut yang ia nikmati, diserang oleh Sriwijaya pada tahun 686 M. Jika Tolomo adalah Taruma, maka tetapi kesibukan di pelabuhan itu yang diperhatikan, untuk memastikan waktu itu Kerajaan Taruma di Jawa Barat masih berdiri (Edy Sedyawati et al., semua dalam kendalinya; ...” 2012, p. 179). Artinya, pada pertengahan abad ke-7 ada tiga kerajaan besar di Nusantara, yaitu Sriwijaya di Sumatera bagian selatan, Taruma di Jawa bagian Di Lasem, bangunan dengan atap (berbentuk) ekor walet dan pelana nyaris selalu terlihat ke mana pun pandangan kita arahkan. Keduanya adalah ciri u m u m b a n g u n a n m i l i k e t n i s C i n a . S a n g a t ku a t m e m a n g a ro m a Tiongkok–berbagai bangunan berarsitektur khas Cina tadi menjadi tandanya–sehingga Lasem memiliki julukan yang unik, yaitu Tiongkok Kecil. Abad ke-19 merupakan titik kulminasi terbentuknya Tiongkok Kecil di Lasem. Pedagang kaya dari Cina banyak mendiami pesisir Lasem; waktu itu Lasem merupakan kawasan bandar yang ditopang oleh beberapa pelabuhan, seperti Bonang dan Binangun. Mereka mendominasi saudagar dari belahan Asia lainnya seperti Arab dan India. Meskipun di akhir abad ke-19 akhirnya laju perkembangannya mandek, rona Tiongkok di Lasem tidak serta-merta luntur, setidaknya selama beberapa dekade. Secara berangsur bangunan bernuansa Eropa (Indis) turut hadir sehingga Lasem semakin berwarna-warni. Kemajemukan aromanya semakin terasa karena ternyata unsur peradaban Islam dan Hindu-Buddha juga ditemukan di Kecamatan Lasem. Sejak abad ke-17 pedagang Tiongkok mulai mendominasi Lasem di bidang perdagangan. Kehadirannya menjadi bagian dari dinamika perekonomian kerajaan-kerajaan yang sebelumnya menguasai pesisir Lasem seperti Mataram (Islam), Demak, Mataram Kuno, bahkan sebelumnya, yaitu Ho-ling. Pantainya yang ramah dengan muara-muara sungai yang berhulu di pedalaman menjadikan Lasem sebagai lokasi yang sempurna untuk berniaga. Komoditi diambil di pedalaman dan dikirim ke luar pulau-pulau di Nusantara dan keluar Nusantara; barang dagangan dari luar juga dapat masuk hingga pedalaman. Tidak mengherankan jika ada industri kapal atau perahu di Lasem. Sejarah panjang Lasem tidak terlepas dari kondisi alami itu, sejak berabad-abad yang lalu. Temuan perahu kuno Punjulharjo, abad ke-7 M, melengkapi jejak panjang sejarah tersebut. Dalam kerangka sejarah dan dinamika peradaban Nusantara, kedudukan dan peran Lasem memang tidak boleh dipandang sebelah mata. Simak beberapa catatan berikut ini. Terkait dengan hasil dating perahu Punjulharjo yang berasal dari abad ke-7 atau abad ke-8 Masehi, ada catatan menarik dari berita Cina yang juga dari abad ke-7, yaitu penobatan Ratu Hsimo dari kerajaan Ho-ling pada tahun 674 M. Disebutkan bahwa Ratu Hsimo adalah leluhur Raja Sañjaya, raja pertama barat dan Ho-ling di Jawa bagian tengah. Tidak heran jika perairan Nusantara sudah sangat sibuk pada waktu itu, bukan hanya karena berlalu-lalangnya perahu-perahu asing, tetapi juga dinamika kehidupan maritim kerajaankerajaan besar di Nusantara sendiri. Mungkinkah perahu Punjulharjo merupakan salah satu di antaranya? Bukan hal yang mustahil perahu Punjulharjo selama bertahun-tahun telah turut meramaikan perairan Nusantara pada waktu itu, sebelum akhirnya didamparkan karena sudah tidak dapat digunakan untuk berlayar lagi. Berita Cina dari tahun 640 M, Ch'iu-T'ang shu dan Hsin T'ang shu sudah begitu akrab dengan kerajaan Ho-ling, sehingga dapat menggambarkan cukup detail tentang kerajaan di Jawa Tengah ini. Disebutkan bahawa Ho-ling terletak di lautan selatan. Di sebelah timurnya terletak P'o-li dan di sebelah baratnya terletak To-p'o-teng. Di sebelah selatan adalah lautan, sedang di sebelah utaranya terletak Chen-la. Tembok kota dibuat dari tonggak-tonggak kayu. Raja tinggal di sebuah bangunan besar bertingkat, beratap daun palem (?), dan ia duduk di atas bangku yang terbuat dari gading. Tikar yang dibuat dari kulit bambu juga digunakan. Orang Ho-ling makan dengan menggunakan tangan, bukan sendok atau sumpit. Mereka juga sudah mengenal tulisan dan juga ilmu perbintangan meskipun masih sedikit (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, p. 118–119). Lebih jauh diberitakan bahwa kerajaan Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas dan perak, cula badak, serta gading gajah. Penduduk Ho-ling membuat benteng-benteng kayu, rumahnya beratap daun kelapa, dan mereka pandai membuat minuman keras dari bunga kelapa. Kerajaan ini makmur; memiliki gua (?) yang selalu mengeluarkan air garam (Jawa: blědug). Raja sering pergi ke Lang-pi-ya yang terletak di pegunungan untuk menikmati pemandangan laut. Para sarjana menyamakan Ho-ling dengan Kalinga yang diduga terletak di Jawa Tengah Utara, di daerah Walaing (Poesponegoro & Notosusanto, 2011,p. 54–55, 119). Sementara itu lokasi Lang-pi-ya diidentifikasi berada di dekat Gunung Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Meskipun sering disebut dalam pelbagai prasasti, Walaing bukanlah pusat kerajaan karena tidak pernah ada sebutan Mědang i Walaing; artinya, ibu kota kerajaan tidak terletak di pesisir utara Jawa Tengah, kemungkinan justru di pedalaman. Nama Mědang cukup banyak 3 4 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Prolog digunakan sebagai nama desa, mulai dari daerah Bagelen (Kabupaten adalah temuan berupa lingga dan batu candi di situs Gunung Bata, Dusun Purworejo) di Jawa Tengah hingga sekitar Madiun di Jawa Timur, namun di Sukolilo, Desa Sendangcoyo. poros (Kabupaten) Grobogan-Blora yang paling banyak dijumpai. Lokasi poros Setelah era Majapahit berakhir, Lasem masih tetap eksis, walaupun tidak lagi ini sesuai dengan deskripsi dari berita Cina yang menerangkan adanya gua yang selalu mengeluarkan air garam (blědug). Di Desa Kuwu (Grobogan) memang ada blědug, (lokasinya disebut Bledug Kuwu), dan hingga kini masih ada orang yang membuat garam dari semburan blědug di sana (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, p. 119). sebagai sebuah kerajaan, tetapi menjadi Kadipaten Binangun pada pertengahan abad ke-15. Seiring dengan berdirinya Kerajaan Demak, Lasem diperintah oleh Pangeran Santipuspa. Ia menggantikan Nyi Ageng Malokah yang wafat pada tahun 1490 M. Pangeran Santipuspa adalah anak sulung Pangeran Santibadra, Temenggung Wilwatikta, adik dari Pangeran Wirabajra Dapat dibayangkan sekarang hubungan resiprokal antara pesisir dan pendiri Kadipaten Binangun Lasem. Pangeran Santipuspa pernah menjabat pedalaman, antara kesibukan bandar-bandar di muara sungai dengan rutinitas Dampoawang di pelabuhan Caruban Lasem sehingga kawasan Caruban di pedalaman pada waktu yang bersamaan; mestinya juga antara Lasem menjelma sebagai daerah penting dalam bidang perdagangan dan kelautan. dengan Ho-ling. Jika perahu Punjulharjo menjadi penanda bahwa di muara Kali Kadipaten Lasem–seperti halnya Tuban dan Gresik–menjadi kekuatan utama Lasem merupakan bandar yang ramai pada abad ke-7 M, ini cocok secara perekonomian hingga berakhirnya Kerajaan Demak (Unjiya, 2008, p. 67–70). kronologis dengan kerajaan Ho-ling yang diduga berpusat di poros Grobogan- Sebagian bukti fisik dari eksistensi Lasem pada masa ini juga masih dapat dilihat Blora. Berita Cina yang menerangkan adanya blědug di pusat kerajaan juga sampai sekarang dan menjadi data penting dalam penelitian arkeologi. Mesjid sesuai dalam hal waktunya karena juga berasal dari abad ke-7. Menurut berita Sunan Bonang di Desa Bonang merupakan jejak sejarah masa ini yang paling itu, raja senang sekali pergi ke Gunung Lasem untuk menikmati pemandangan terkenal, selain situs Pasujudan. laut. Mungkin saja sebenarnya bukan pemandangan laut yang ia nikmati, tetapi Di daerah Lasem pernah berkembang industri perkapalan. Albuquerque kesibukan di pelabuhan itu yang diperhatikan, untuk memastikan semua dalam kendalinya; memastikan bahwa perniagaan di kawasan bandar dalam menyebutkan bahwa galangan kapal di Jawa sudah terkenal di Asia Tenggara pada abad ke-16. Albuquerque tidak menyebutkan nama tempat galangan situasi yang baik-baik saja. kapal Jawa tersebut tetapi orang-orang Belanda yang pertama-tama datang ke Setelah cerita tentang perahu kuno Punjulharjo serta kaitan antara Lasem Indonesia memberitahukan bahwa Lasem yang terletak di antara dua dengan Ho-ling, selanjutnya dapat dicatat bahwa sejarah Lasem dapat pelabuhan penting, yaitu Tuban dan Jepara itulah yang dimaksud (Zakaria, dikelompokkan ke dalam tiga pembabakan, yaitu masa pra-Islam, masa awal 1993, p. 19). perkembangan Islam, dan masa Islam–pengaruh Eropa (kolonial). Berikut ini Hingga awal abad ke-16 Lasem menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Islam rangkuman perjalanan yang disarikan dari Laporan Penelitian Arkeologi: Identifikasi Potensi Sumberdaya Arkeologi di Kecamatan Lasem, Kabupaten yang menandai tumbuhnya era baru, yaitu masa Islam–pengaruh Eropa (kolonial). Di masa ini Lasem tetap menjadi kadipaten yang dipimpin oleh Rembang, Jawa Tengah. seorang bupati. Lasem menjadi bagian dari Mataram Islam mulai tahun 1616 M. Pada masa pra-Islam Lasem banyak dikaitkan dengan kerajaan Majapahit. Penguasa Lasem pada waktu itu adalah Ngabehi Martanata. Ngabehi Diasumsikan bahwa Lasem pada masa itu (sekitar abad ke-14 sampai abad ke- Martanata adalah bekas penguasa Jepara dan Pati. Ia menjadi penguasa yang 15) merupakan sebuah kerajaan di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Tahun membawahi wilayah Kendal dan Lasem pada tahun 1664 (Graff, 1987, p. 169). Di 1273 S (1351 M) Lasem diperintah oleh Dewi Indu, adik sepupu Hayam Wuruk dari abad ke-17 Lasem semakin berkembang dengan hadirnya etnik Cina yang Wilwatikta. Suaminya bernama Pangeran Rajasawardana, seorang mendominasi Kota Lasem. Di pertengahan abad ke-18 Lasem berada di bawah Dampuhawang di Pelabuhan Regol, Lasem, merangkap sebagai Adipati kekuasaan VOC. Seiring dengan pembangunan jalan raya pos atau jalan Matahun, dengan gelar Raden Panji Maladresmi (Satari, 1983, p. 116). Raja Hayam Daendels, Lasem pun semakin berkembang sampai akhir abad ke-19. Wuruk pernah mengunjungi Lasem pada tahun 1276 S (1354 M), dan dalam Tinggalan-tinggalan dari masa inilah yang paling banyak dijumpai di Lasem. kesempatan itu mungkin pula mengunjungi tempat-tempat suci (Satari, 1983, Ragam tinggalan arkeologis masa ini antara lain meliputi bangunan ibadah p. 119). Hasil penelitian arkeologi juga membuktikan adanya tinggalan-tinggalan (kelenteng dan vihara), bangunan pemerintah, bangunan publik, bangunan dari masa pra-Islam di Lasem. Sebagai contoh situs Jembatan Regol 1 di Dusun produksi, makam cina, dan rumah tinggal. Bonang, Desa Bonang berupa struktur bata dan batu andesit. Contoh lainnya 5 6 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Prolog Abad ke-19 Masehi, Desa Bonang ditinggali saudagar-saudagar atau golongan menengah (pedagang kain, tembakau, ikan, dan candu). Rumah tinggal beratap limas dan berdinding kayu jati (geladak) yang besar dan megah. Rumah seperti ini dapat dipindah-pindah. Pelabuhan Bonang dan Binangun merupakan pelabuhan yang ramai, sampai meletusnya Gunung Krakatau (tahun 1883) (Rangkuti, 1996, p. 18). Sejak akhir abad ke-19 hingga kini tidak terjadi lagi perkembangan yang signifikan di Lasem, justru yang terjadi adalah kemandekan dan bahkan kemunduran, baik dari sisi administratif kewilayahan maupun kualitas dan kuantitas potensi sumber daya arkeologinya. Sekarang, Lasem adalah nama kecamatan di Kabupaten Rembang; telah banyak terjadi perubahan di sana bahkan hancurnya bangunan-bangunan kuno yang merupakan ciri khas Lasem. Itulah fenomena terjadinya degradasi kuantitas dan kualitas sumber daya arkeologi seiring dengan laju perkembangan kota. Akankah, tidak lama lagi, jejak kejayaan Lasem sejak berabad-abad yang lalu hanya dapat disaksikan melalui gambar dan tulisan? Mungkinkah Tiongkok Kecil akan semakin kecil, terus mengecil, hingga nantinya menjadi bahan Gambar 1. Situs Galangan Kapal di sungai Dasun, Desa Dasun, berada tidak jauh dari perbincangan yang selalu diawali dengan kata “konon”? Yang jelas, pantai Lasem, bukti eratnya peran sungai dan laut dalam dunia maritim. dibandingkan riwayatnya yang panjang dan penuh dengan dinamika, Lasem (Dok. Balai Arkeologi Prov. DIY) sekarang tidak lagi sentosa. Gambar 2. Terik siang di Bledug Kuwu, Grobogan. Seorang ibu sedang menampung air yang mengandung garam untuk diolah menjadi butiran garam di rumahnya; di latar belakang tampak blědug yang menyembur terus-menerus. (Dok. Sugeng Riyanto – Balai Arkeologi Prov. DIY) 7 8 9 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara SEJARAH LASEM 10 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara A. Sejarah Geomorfologi Lasem dan Pantai Utara Jawa Nama Lasem muncul pertama kali dalam sejarah Nusantara dalam kesusastraan era Majapahit yang ditulis pada abad ke-14 Masehi (Satari, 1983, p. 119). Namun demikian, bukan berarti kehidupan dan kebudayaan di wilayah Lasem baru muncul pada saat itu. Situs-situs dari era yang jauh lebih tua cukup banyak ditemukan di sekitar Kota Lasem sekarang, seperti di Plawangan, Leran, Sejarah Lasem jalur sungai ini ke daerah pedalaman. Dengan demikian, wilayah yang tidak langsung bersentuhan dengan garis pantai tidak mengalami kesulitan untuk mendapat barang yang datang dari wilayah luar Lasem. Demikian pula sebaliknya, barang-barang dari pedalaman dapat dijual hingga ke luar daerah, dengan memanfaatkan jalur sungai yang meneruskan komoditas tersebut ke pelabuhan bandar. Binangun, dan Terjan. Situs-situs tersebut menunjukkan bahwa manusia telah Kemajuan Lasem dan sekitarnya tidak hanya didukung oleh wilayah pesisir saja. tinggal di wilayah pesisir utara Jawa Tengah sisi timur sebelum pergantian Seperti disebutkan dalam Babad Lasem, Lasem pada masa Kerajaan Majapahit millennium menuju era Masehi (Kasnowihardjo et al., 2013). Hal ini menunjukkan adalah sebuah wilayah yang subur dan makmur. Hal ini dikarenakan Lasem bahwa wilayah sekitar Lasem telah dihuni sejak masa prasejarah. Diperkirakan terletak di pesisir utara Pulau Jawa, dan berbatasan dengan hutan jati di sisi para penghuni pertama wilayah sekitar Lasem tersebut adalah para penutur selatannya. Sementara itu di sisi timur berbatasan dengan pegunungan, dan di Austronesia yang datang melalui jalur laut (Noerwidi, 2017). Wilayah sepanjang sisi barat berbatasan dengan area persawahan (Satari, 1983, p. 117). Kawasan Rembang hingga Plawangan terdiri dari teluk dan semenanjung kecil, sebuah hutan di selatan Lasem juga merupakan salah satu faktor pendukung utama lokasi yang terhitung ideal sebagai tempat berlabuh kapal. Rembang, Lasem, majunya Lasem, karena hutan tersebut memasok bahan utama untuk industri Bonang dan Binangan yang berada di sisi barat semenanjung Bonang, serta pembuatan kapal di Lasem dan Rembang. Data sejarah tentang pembuatan Plawangan di sisi timur secara bergantian menjadi wilayah yang terlindung dari kapal di daerah ini ditemukan dalam catatan bangsa Eropa yang datang ke angin dan gelombang laut. Posisi keletakan ini membuat wilayah ini cocok wilayah Nusantara, yaitu catatan Portugis dan Belanda yang menyebutkan untuk dijadikan pelabuhan. bahwa industri pembuatan kapal di Lasem sangat maju setidaknya sejak abad Bentang lahan di wilayah pesisir utara Jawa sebenarnya tidak selalu seperti yang tampak seperti sekarang. Dahulu Pegunungan Muria dan pesisir Pulau Jawa dipisahkan oleh sebuah selat yang dikenal sebagai Selat Muria. Selat Muria ini merupakan jalur lalu lintas yang cukup ramai dilalui kapal-kapal yang melewati ke-16 M (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, p. 118). Akan tetapi, dari tinggalan arkeologi perahu kuno di Desa Punjulharjo (Abbas, 2013; Mochtar, 2018) di sebelah barat Lasem diketahui bahwa tradisi maritim sudah dikenal oleh masyarakat Lasem setidaknya sejak abad ke-7 Masehi. pesisir utara Jawa. Akan tetapi, sebagai akibat dari endapan fluvial, selat ini perlahan berubah menjadi daratan yang akhirnya menyatukan Jawa dengan Pegunungan Muria. Daratan baru ini sepenuhnya terbentuk pada sekitar abad ke-17 Masehi. Semenjak itu, Selat Muria sudah tidak bisa lagi dilayari (Rejeki, 2019, p. 177). Pada masa Selat Muria masih menjadi rute pelayaran yang ramai, Lasem diuntungkan karena banyak kapal yang berlabuh di Semarang dapat lanjut berlayar ke Rembang melalui rute tersebut. Setelah Selat Muria tidak lagi dapat dilayari, posisi Lasem tetap aman karena pesisirnya tidak ikut tertutup daratan baru seperti Demak dan Jepara. Posisi Lasem dan sekitarnya yang selalu berbatasan dengan laut merupakan salah satu faktor yang mendukung kemajuan daerah tersebut, terutama di bidang perdagangan. Situasi pesisir Lasem sangat mendukung untuk tidak hanya menjadi tempat berlabuh kapal, tetapi juga memungkinkan kapal-kapal pengangkut barang komoditas untuk merapat dan melakukan bongkar muat. Hal ini diperkuat dengan adanya Sungai Lasem yang langsung terhubung dengan Laut Jawa (Handinoto, 2015, p. 52). Barang komoditas yang dibawa oleh kapal asing yang merapat di pelabuhan dapat kemudian didistribusikan melalui B. Posisi Strategis Lasem dalam Jalur Pelayaran Internasional Sejak awal perkembangannya sebagai sebuah permukiman, Lasem terbentuk dari interaksi dengan orang-orang yang datang dari tempat lain. Lasem yang menjadi bagian dari pesisir utara Jawa tidak dapat dilepaskan dari jalur pelayaran dan perdagangan regional dan internasional yang melewati Laut Jawa. Situs-situs kapal tenggelam di Laut Jawa, salah satunya situs kapal Cirebon (Liebner, 2014), menunjukkan bahwa kapal-kapal besar berlalu-lalang di Laut Jawa membawa barang-barang komoditas dari wilayah Asia Timur, Asia Selatan, hingga Asia Barat untuk melakukan perdagangan dengan wilayah Nusantara. Raffles (2008, p. 110) mencatat bahwa pesisir utara Jawa berkembang menjadi bandar perdagangan internasional karena posisi yang strategis dan didukung oleh ketersediaan bahan kayu untuk pembuatan kapal-kapal. Salah satu interaksi dengan orang asing yang sangat dikenal dalam narasi sejaral Lasem adalah kedatangan Laksanama Cheng Ho dari Cina pada sekitar abad ke-15 Masehi (A. A. P. Utomo, 2017, p. 143). Pelayaran Cheng Ho berlangsung 11 12 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Sejarah Lasem sebanyak tujuh kali selama tahun 1405-1433 Masehi, pada masa Dinasti Ming di Lasem terus menjadi kota pelabuhan yang penting pada masa tumbuhnya bawah kepemimpinan Kaisar Zhu Di. Setiap kali pelayaran bisa melibatkan 300 kerajaan-kerajaan Islam di pesisir Jawa, salah satunya Kerajaan Demak. Ketika kapal, dengan awak kapal tidak kurang dari 28.000 orang. Misi pelayaran ini, Kerajaan Pajang dan Kerajaan Mataram Islam kemudian berdiri, Lasem menarik meski bertujuan untuk membuat wilayah lain mengakui kekuasaan Dinasti perhatian para penguasa kerajaan agraris di pedalaman Jawa karena dapat Ming, bukan merupakan upaya kolonisasi tetapi merupakan sebuah misi menjadi salah satu pasar bagi komoditas mereka, sekaligus sebagai pemasok pendekatan diplomatik melalui perdagangan. Komoditas yang dibawa meliputi barang-barang yang datang dibawa oleh para pedagang asing (A. A. P. Utomo, sutra, sulaman, katun, emas, besi, garam, teh, minuman anggur, minyak, 2017, p. 143). Hingga sekitar abad ke-19 M, Pelabuhan Bonang dan Binangun keramik, dan lilin. Jawa adalah bagian dari rute pelayaran Cheng Ho yang yang terletak di sebelah timur Lasem masih merupakan dua pelabuhan yang berakhir di India, bahkan hingga pantai timur Afrika, sebelum kembali lagi ke ramai, terutama dengan aktivitas perdagangan. Tercatat bahwa banyak Cina (Wei, 2014). pedagang yang tinggal di Desa Bonang, di antaranya pedagang ikan, candu, Pada masa Kerajaan Majapahit, Lasem menjadi bandar yang memiliki peran kain, dan tembakau (Rangkuti, 1996, p. 18). penting sebagai salah satu pintu masuk utama (Aziz, 2014, p. 59). Setelah Kedekatan masyarakat Lasem dengan budaya maritim juga tercermin pada kedatangan Cheng Ho, Lasem banyak didatangi oleh beberapa gelombang tokoh Dampu Awang dalam cerita rakyat Lasem. Cerita rakyat Dampu Awang pendatang dari Cina, yang di kemudian hari berperan besar dalam membentuk sesungguhnya tidak hanya terkenal di Lasem, tetapi juga di pesisir utara Jawa. wajah kota Lasem. Wilayah Lasem juga menarik perhatian orang-orang Meski di beberapa daerah terdapat perbedaan versi cerita, kisah Dampu Awang Champa, yang kemudian tidak hanya singgah tetapi juga menetap. Salah satu selalu digambarkan berkaitan dengan pedagang, nahkoda, ataupun kehidupan bukti kehadiran mereka dalam kurun waktu yang cukup lama di Lasem adalah maritim di daerah pesisir (Budiyanto & Latifah, 2019, pp. 90–95). Asal-usul tokoh munculnya akulturasi budaya seperti tampak pada corak batik Laseman ini masih menjadi perdebatan, tetapi beberapa peneliti arkeologi mengkaitkan (Unjiya, 2008, p. 5). Selain orang Cina dan orang Champa yang datang dan Dampu Awang dengan prasasti Dang Puhawang Gelis 827 M, ataupun menetap di Lasem, cukup banyak juga orang Bugis yang tinggal di Lasem yang Puhawang yang disebut dalam Prasasti Kamalagyan 1037 M (Manguin, 1991, permukimannya kemudian disebut dengan Bugisan (Rangkuti, 1996, p. 186). p. 46). Orang-orang asing yang mendarat di pesisir Lasem, kemudian menggunakan Cerita Dampu Awang yang dikenal oleh masyarakat Rembang dan Lasem terdiri Sungai Babagan sebagai jalur lalu lintas perdagangan yang menghubungkan dari setidaknya 2 (dua) versi. Budiyanto dan Latifah (2019, pp. 97-99) wilayah pesisir dengan daratan Lasem. Hal ini yang kemudian membuat mengkompilasi berbagai sumber tentang cerita-cerita tersebut. Dalam cerita permukiman pecinan didirikan dekat dengan jalur sungai ini (Unjiya, 2008, p. 4). versi pertama, Dampu Awang adalah nama sebutan untuk Cheng Ho, seorang Selain Sungai Babagan, Sungai Kiringan dan Sungai Lasem juga memiliki saudagar dari Cina, yang kapalnya berlabuh di Pelabulan Lasem di Desa Dasun, peranan dalam pertumbuhan wilayah Lasem. Di sepanjang Sungai Kiringan dan dekat Sungai Babagan. Dia kemudian tinggal di Lasem dan menguasai Sungai Lasem ditemukan sebaran situs-situs arkeologi yang mengindikasikan perdagangan di Lasem. Akan tetapi, kemudian Dampu Awang berselisih bahwa jaman dahulu Lasem ditopang oleh dua buah bandar (harbour) di dengan Sunan Bonang dan terjadi pertempuran. Diceritakan bahwa Sunan Sungai Kiringan dan Teluk Bonang-Binangun, serta sebuah pelabuhan (port) di Bonang kemudian mengalahkan Dampu Awang setelah berdoa sehingga Sungai Lasem. Bandar biasanya berlokasi di teluk yang dapat melindungi kapal jangkar kapal Dampu Awang tidak dapat tenggelam. Sementara itu, cerita versi dari terpaan angin dan gelombang, serta biasanya merupakan daerah muara kedua menyebutkan bahwa Dampu Awang dan saudara-saudaranya adalah yang kedalaman airnya mencukupi untuk tempat kapal merapat dan tidak kakak-beradik keturunan Cina yang tinggal di pesisir Rembang–Lasem, yang kandas. Bandar digunakan sebagai tempat kapal berlabuh, mengisi bahan kemudian menjadi pegadang. Kakak-beradik tersebut merantau ke tempat bakar, atau melakukan perbaikan. Sementara itu, pelabuhan biasanya yang berbeda-beda, dan Dampu Awang merantau ke negeri Cina dan menjadi dilengkapi dengan infrastruktur dan bangunan-bangunan yang lebih lengkap, kerabat kaisar. seperti dermaga beserta tambatan-tambatan kapal, serta gudang-gudang Sementara itu, data sejarah Pustaka Badrasanti, atau yang kemudian dikenal penyimpanan barang. Aktivitas bongkar muat kapal biasanya dilakukan di pelabuhan (Rangkuti, 1998). sebagai Babad Lasem, menyebutkan seorang bernama Pangeran Rajasawardana adalah Dampu Awang di Pelabuhan Regol di Lasem pada masa 13 14 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Sejarah Lasem Majapahit, yang merupakan penguasa pelabuhan. Dua generasi setelah Meski selalu berada di bawah kerajaan-kerajaan yang lebih besar, Lasem adalah Rajasawardana, pada tahun 1413 M seorang Dampu Awang dari Champa yang sebuah wilayah yang memiliki kemandirian secara ekonomi dan budaya. bernama Bi Nang Un datang ke Lasem dengan merapatkan kapal-kapal jung Kemandirian ekonomi ini menjadikan Lasem sebagai salah satu prioritas daerah miliknya di Teluk Regol. Disebutkan kemudian bahwa cucu dari Bi Nang Un juga yang perlu ditaklukkan oleh para penguasa kerajaan. Selain posisinya yang menjadi Dampu Awang di Bandar Keringan (Satari, 1983, pp. 116117). strategis untuk menjadi bandar dagang dan juga pangkalan pertahanan, Lasem sendiri menjadi penghasil kapal dan barang komoditas yang dapat diperdagangkan dengan bangsa asing. Secara budaya, Lasem berhasil C. Lasem Sebagai Kerajaan Vassal membentuk identitas budaya akulturasi yang unik, yang tidak terpengaruh oleh Sejak disebut pertama kali dalam data sejarah Nusantara, Lasem selalu pergantian kerajaan-kerajaan yang membawahinya. berkedudukan sebagai bagian dari kerajaan-kerajaan besar, tidak pernah sebagai sebuah otoritas besar tersendiri. Hingga kini, Lasem “hanyalah” salah satu kecamatan di Kabupaten Rembang. Pada masa Majapahit, Lasem adalah salah satu kota pelabuhan, bersama Gresik, Surabaya, dan Tuban, yang merupakan wilayah bebas pajak bagi para pedagang Cina yang datang dan menetap. Pada kurun waktu 1466–1468 M, Lasem berada di bawah kepemimpinan Bhre Lasem. Sebagai penguasa Lasem, Bhre Lasem diberi kepercayaan untuk membawahi wilayah-wilayah pesisir yang mengakui kekuasaan Kerajaan Majapahit (Aziz, 2014, p. 59). Ketika menjadi kerajaan vassal dari Kerajaan Majapahit, Lasem memiliki dua pelabuhan, yaitu Bandar Regol dan Kairingan, yang digunakan sebagai tempat tambatan kapal. Selain itu, Lasem memiliki dua galangan kapal, yaitu di Dasun dan Bancar. Pada tahun 1832 setidaknya tercatat bahwa galangan-galangan kapal di Lasem menghasilkan 15 kapal berik, 15 sekunar, 8 pencalang, 2 paduakang, 232 perahu mayang, 41 perahu complang, 102 dukut, 353 sentek, 346 jukung, dan 13 bessi jeropian (A. A. P. Utomo, 2017, p. 145). Setelah kejatuhan Kerajaan Majapahit, Lasem menjadi kadipaten yang menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam yang mulai bermunculan (A. A. P. Utomo, 2017, p. 143). Setelah menjadi sebuah kadipaten, Lasem mengalami dua kali perpindahan pusat pemerintahan, yaitu ke Bonang di sebelah timur kota Lasem, sebelum kemudian dikembalikan ke Lasem (Satari, 1983, p. 117). Kemudian, pada awal abad ke-17 M Lasem menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Islam. Lasem berperan sebagai pesisir yang menghubungkan pusat kerajaan Mataram yang berada di wilayah pedalaman dengan wilayah-wilayah luar Jawa. Serat Kandha menyebutkan bahwa Sultan Agung yang berhasil menaklukkan Lasem. Kemudian Lasem menjadi pintu gerbang Kerajaan Mataram ketika berhubungan dengan kerajaan lain, bahkan dengan bangsa asing. Tercatat bahwa Lasem menjadi tempat berlabuh kapal-kapal Belanda, serta menjadi pangkalan armada perang Mataram sebelum melakukan penyerangan ke wilayah timur (Graff, 1986, pp. 31-32, 42; 1987, p. 113). 15 16 17 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara LANSKAP BUDAYA LASEM 18 Lanskap Budaya Lasem Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara A. Lingkungan Fisik Lasem Lasem yang terletak pada 6°38'27,6800”-6°43'25,6440” Lintang Selatan dan 111°25'03,1440”-111°30'45,6120” Bujur Timur merupakan salah satu kecamatan dari 14 kecamatan yang terdapat di Kabupaten Rembang. Kabupaten Rembang yang terletak di pantai utara Pulau Jawa memiliki luas 1.014,08 km2 dengan topografi, yaitu daerah pantai, dataran rendah, dataran tinggi dan pegunungan, dengan jenis tanah terdiri atas kandungan Mediterial, Grumosal, Aluvial, Andosal dan Regasal. Garis pantai terletak di sisi bagian utara yang berbatasan langsung dengan perairan Laut Jawa (BPS Kabupaten Rembang, 2012). Lasem merupakan salah satu kecamatan di pesisir pantai Laut Jawa di Kabupaten Rembang, berjarak lebih kurang 12 km ke arah timur dari ibukota Kabupaten Rembang, dengan batas-batas wilayah: Ÿ Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa Ÿ Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Sluke Ÿ Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pancur Ÿ Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Rembang Kota. Gambar 3. Ilustrasi topografi Lasem. Kecamatan Lasem mempunyai luas wilayah mulai dari pesisir Laut Jawa hingga ke selatan. Luas wilayah Kecamatan Lasem adalah 4.504 ha. Letaknya yang dilewati oleh jalur pantura, menjadikan kota ini sebagai tempat yang strategis dalam perdagangan pada masa lalu. Kecamatan Lasem terdiri atas 20 desa dengan ibukota kecamatan di desa Soditan. Desa-desa tersebut adalah: Babagan Ÿ Ÿ Binangun Ÿ Kajar Ÿ Sendangcoyo Ÿ Bonang Ÿ Karangturi Ÿ Soditan Ÿ Dasun Ÿ Karasgede Ÿ Sriombo Ÿ Jolotundho Ÿ Sendangsari Ÿ Dorokandang Ÿ Ngargomulyo Ÿ Sumbergirang Ÿ Gedongmulyo Ÿ Ngemplak Ÿ Tasiksono Ÿ Gowak Ÿ Selopuro Secara lanskap budaya, Lasem sangat menarik untuk menjadi kajian karena semua elemen lanskap dapat dijumpai di wilayah ini. Wilayah Lasem mencakup daerah pesisir di sisi utara, daerah bertopografi datar di tengah, dan di sisi timur Lasem merupakan daerah pegunungan dengan Gunung Lasem yang berdiri di sisi timur wilayah ini. Empat desa di antara 20 desa di kecamatan ini berada di lereng Gunung Lasem, yaitu desa Gowak, Kajar, Sendangcoyo, dan Ngargomulyo; sedangkan 5 desa merupakan desa pesisir yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa, yaitu Bonang, Dasun, Binangun, Gedongmulyo, dan Tasiksono. (Sumber: Google Image, 2020) Tinggi Gunung Lasem dengan puncaknya yang dinamakan Argopuro adalah 806 mdpl. Kondisinya berbatu dan sebagian bertebing yang berbatasan dengan pantai Laut Jawa. Secara umum, kondisi topografi di kawasan Gunung Lasem sebagian besar adalah lereng berbukit sampai pegunungan. Jenis tanah terdiri dari asosiasi litosol dan mediteran coklat kemerahan. Vegetasi yang tumbuh dan tersebar adalah jenis yang biasa ditemukan di hutan hujan dataran rendah, termasuk tanaman pengayaan yang sengaja ditanam untuk perlindungan lahan dari erosi (Tim Penelitian, 2011, pp. 1415). Menurut van Bammelen (1949), Gunung Lasem termasuk dalam fisiografi Gunung Api Muria–Lasem. Batuan penyusun Gunung Lasem antara lain breksi, konglomerat, batupasir tufaan, lava andesit berumur Plestosen, yang menumpang diatas batuan dasar sedimen laut dan transisi (Abdillah et al., 2019, p. 363). Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001) lanskap budaya (cultural landscape) merupakan model atau bentuk dari lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat yang dikaitkan dengan sumber daya alam dan lingkungan yang ada pada tempat tersebut. Lanskap tipe ini merupakan hasil interaksi manusia dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Lanskap budaya merefleksikan adaptasi manusia serta perasaan dan ekspresinya dalam menggunakan dan mengelola sumber daya alam dan lingkungan yang terkait erat dengan kehidupannya. Bentuk dari refleksi adaptasi tersebut terlihat dalam pola permukiman dan perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan dan struktur lainnya. Elemen lanskap dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu elemen lanskap 19 20 Lanskap Budaya Lasem Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara makro, mikro dan buatan manusia (man made). Elemen lanskap makro meliputi iklim dan kualitas tapak. Elemen mikro meliputi topografi, jenis dan karakter tanah, vegetasi, satwa, dan hidrologi. Sementara, elemen lanskap binaan (man made) meliputi jaringan transportasi, tata guna lahan, pola permukiman , dan struktur bangunan (Gold, 1980). Mengacu hasil identifikasi Sumberdaya Arkeologi Di Kecamatan Lasem yang dilakukan oleh Balai Arkeologi tahun 2011 dengan melakukan survei arkeologi secara objektif terbagi dalam tiga sasaran besar, yaitu 1) sasaran umum berupa data arkeologi di seluruh wilayah kecamatan, 2) sasaran khusus berupa distribusi dan densitas artefak di area Caruban, dan 3) pendataan ulang keberadaan sumur-sumur kuna di Bonang untuk melengkapi atribut lokasional secara astronomis. Dari kegiatan tersebut diperoleh hasil hasil survei arkeologi berupa potensi data arkeologi yang berjumlah 537 titik potensi, terdiri atas 352 titik potensi data arkeologi monumental dan artefak penyerta, 41 titik potensi sebaran artefak di Caruban, dan 144 titik sumur di Bonang. Titik potensi sejumlah 352 berupa data arkeologi monumental dan artefak penyerta hasil survei, dapat dikelompokkan berdasarkan 11 kategori (Tim Penelitian, 2011, p. 46), Gambar 4. Keletakan desa-desa pada satuan lanskap. yaitu: 1) artefak (12) 7) makam (32) 2) bangunan ibadah (7) 8) petilasan (6) 3) bangunan pemerintah (3) 9) rumah tinggal (243) 4) bangunan pendukung (21) 10) toponim (10) 5) bangunan produksi (3) 11) 6) bangunan publik (3) (Sumber: Peta Balai Arkeologi Prov. DIY, 2020) Berikut deskripsi distribusi tinggalan arkeologi di Lasem mengacu pada satuan lanskapnya: unsur bangunan (13) B.1. Lanskap Gunung ke-11 kategori tersebut dijumpai di 18 Desa di wilayah Lasem dan 2 desa yang tidak dijumpai tinggalan arkeologi, yaitu Tasiksono dan Sendangsari. B. Distribusi Tinggalan Arkeologi pada Lanskap di Lasem Seperti yang telah sampaikan diatas topografi Lasem yang terbagi 3, yaitu daerah pesisir di sisi utara, daerah bertopografi datar di tengah, dan di sisi timur Lasem merupakan daerah pegunungan. Ketiga topografi ini akan memperlihatkan distribusi tinggalan arkeologi di Lasem sehingga akan terlihat densitas dan ragam tinggalan arkeologi yang berada pada masing-masing lanskap dengan mengacu pada batasan kronologis secara imajiner yang dapat dijadikan dasar dalam penyusunan pembabakan kronologis Lasem. Gambaran batasan tersebut adalah 1) Lasem masa pra-Islam, 2) Lasem pada awal masa Islam, dan 3) Lasem pada masa Islam – Kolonial. Gambar 5. Tinggalan Arkeologi pada satuan lanskap bertopografi tinggi. (Sumber: Peta & Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2020) 21 22 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Lanskap Budaya Lasem Tinggalan arkeologi pada satuan lanskap ini berada di Desa Gowak, Kajar, Pada masa Islam-Kolonial, tinggalan arkeologi pada satuan lanskap ini Sendangcoyo, dan Ngargomulyo yang mencakup pada batasan kronologis, didominasi berupa bangunan monumental dan struktur seperti rumah tinggal, yaitu masa pra-Islam, masa awal masa Islam, dan masa Islam–kolonial. Lokasi rumah ibadah, stasiun, gudang, makam, jembatan, sumur kuna, dan tandon air. tinggalan arkeologi pada masa pra Islam dengan batasan kronologis pengaruh Tinggalan arkeologi berupa rumah tinggal seperti bangunan cina, bangunan Hindu-Buddha di Lasem, yaitu berupa Lingga, bangunan candi, gua (pertapaan) indis, dan rumah geladak ditemukan di Desa Karangturi, Babagan, Soditan, dan sumur kuna ditemukan di Desa Gowak, Kajar, dan Sendangcoyo. Pada Ngemplak, Selopuro, dan Sumbergirang. Tinggalan arkeologi berupa rumah satuan lanskap ini tinggalan arkeologi menuju ke periodesasi yang lebih muda ibadah atau vihara/kelenteng dijumpai di Desa Karangturi, Babagan, dan jenis dan jumlahnya semakin sedikit. Hal ini terlihat dengan tinggalan arkeologi Soditan. Tinggalan arkeologi berupa makam, yaitu makam cina dijumpai di hanya berupa makam Islam di Desa Gowak dan sendangcoyo serta tandon air di Desa Karasgede, Babagan, Selopuro, dan Dorokandang. Tinggalan arkeologi Desa Kajar. berupa bangunan lainnya seperti Stasiun Lasem dan gudang di Desa Doro Kandang, jembatan kereta di Desa Jolotunda dan Tandon Air di Desa Selopuro. B.2. Lanskap Bertopografi Rendah Tinggalan arkeologi pada satuan lanskap bertopografi rendah dijumpai di desa B.3. Lanskap Pesisir Karanggede, Karangturi, Babagan, Soditan, Ngemplak, Selopuro, Sriombo, Tinggalan arkeologi pada satuan lanskap pesisir ini dijumpai di Desa Bonang, Sumbergirang, Dorokandang, dan Jolotundho. Hanya ada satu desa di satuan Dasun, Binangun, dan Gedongmulyo. Tinggalan arkeologi di satuan lanskap ini lanskap ini yang tidak dijumpai tinggalan arkeologi yaitu di Desa Sendangsari. sangat beragam dari artefaktual hingga monumental yang mana kuantitas dan Tinggalan arkeologis pada masa pra-Islam di satuan lanskap ini dijumpai di Desa kualitas ragam tinggalan arkeologi itu dijumpai pada masa awal Islam. Pada Sriombo, yaitu berupa Candi Selopuro di Desa Sumbergirang berupa taman, makam (bata kuna), dan Balekambang (petirtaan). Ragam tinggalan arkeologi di Lasem pada masa berikutnya lebih bervariasi dan jumlahnya banyak. masa pra-Islam tinggalan arkeologi yang ditemukan berupa jembatan regol, pelabuhan regol, dan makam putri cempo di desa Bonang, sisa galangan kapal di desa Dasun' dan Candi caruban di Desa Gedongmulyo. Tinggalan arkeologi pada masa Islam di satuan lanskap ini berupa sumur kuna Eksistensi Desa Bonang dan Gedongmulyo pada satuan lanskap ini dijumpai di Desa Karasgede, Doro Kandang, dan Jalotundo; makam Islam berlangsung pada masa awal Islam hingga Islam - Kolonial. Tinggalan arkeologi dijumpai di Desa Karangturi, Sriombo, Dorokandang, dan Jolotundho; dan pada masa awal Islam di Desa Bonang berupa Masjid Sunan Bonang, Pasujudan sebuah masjid kuna (Masjid Lasem) dijumpai di Desa KarangTuri. Sunan Bonang, Rumah Geladak, sumur kuno, dan makam Islam; serta di Desa Gedongmulyo berupa sumur Caruban dan makam Islam. Di Desa Binangun dijumpai beberapa sumur kuna. Pada masa Islam-Kolonial ini tinggalan Gambar 6. Tinggalan Arkeologi pada satuan lanskap bertopografi rendah. (Sumber: Peta & Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2020) Gambar 7. Tinggalan Arkeologi pada satuan Lanskap pesisir. (Sumber: Balai Arkeologi Prov. DIY, 2020) 23 24 25 Lanskap Budaya Lasem Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara arkeologi yang dijumpai di desa Bonang berupa bangunan indis dan di Desa Ngemplak Selopuro Gedongmulyo berupa bangunan rumah, makam Cina, dan sebaran fragmen Bangunan indis Tando Air 3, makam cina 1-5, bangunan indis keramik asing. Berikut rekapitulasi dan tabulasi tinggalan arkeologi di Lasem menurut kronologi pada satuan lanskap Lasem, yaitu: LANSEKAP DESA 1. Gunung TINGGALAN ARKEOLOGI Pra Islam Awal Islam Gowak Makam Mbah Lebo, Sumur Tegal Jludang, Makam islam Kajar Gua Pinata, Mbah Ponyo (Lingga), Sendangcoyo Gunung Boto 1, Gunung boto 2 Ngargomulyo 2. Pesisir Bonang Dasun Makam islam Bangunan indis Topografi rendah (alluvial) Jolotundho Lumpang batu, sumur kuna 1-2, makam islam Jembatan, makam cina C. Lanskap Budaya Lasem beberapa antropolog bahwa determinisme geografis mempengaruhi arah terhadap budaya dan perkembangannya. Kondisi lingkungan mempengaruhi hal tersebut, kondisi geografis Lasem berpengaruh pada pembentukan kebudayaan masyarakatnya. Lasem terletak di dataran rendah yang berdekatan dengan laut. Garis pantai yang sangat mudah untuk diakses menyebabkan Sumur caruban 1-3, makam islam banyak pendatang melabuhkan kapal-kapalnya di Lasem. Wilayah Lasem sisi Bangunan rumah pegawai KA 1 dan 2, Bangunan Indis, sebaran keramik, makam cina, bangunan cina utara berupa daerah pesisir, sisi timur merupakan daerah pegunungan dan bagian tengah bertopografi datar. Lasem seperti halnya kota-kota Pantai Utara Jawa yang di masa lampau pernah mengalami masa kejayaannya. Oleh karena itu, elemen pendukung kota juga dimiliki Lasem, yakni sungai (sungai Lasem), pelabuhan yang bisa untuk mendarat kapal-kapal kecil maupun jalan darat Sumur kuna 1-2 Makam cina Karangturi Makam Adipati Tejokusumo I, Masjid lasem, makam islam Kelenteng, bangunan cina, bangunan indis Soditan Stasiun Lasem, Gudang, makam cina 1-2 perkembangan budaya. Lokasi, topografi, kondisi tanah, dan iklim menjadi Karasgede Babagan Sumur ombe, makam islam faktor yang menentukan budaya dalam tahap yang sederhana. Terkait dengan Tasiksono 3. Bangunan cina, bangunan indis, Sumur kuna 1 -4 terjadi di Lasem. Teori ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan Sumur kuna binangun 1-3 Candi Caruban Makam Islam Kondisi geografis Lasem secara teoritis berpengaruh pada dinamika yang Sisa galangan kapal Binangun Gedongmulyo Tandon air 1, 2, dan 5 Masjid Sunan Bonang, pasujudan sunan bonang, rumah geladak bonang 2, sumur kuno, makam Islam 1-2, Taman Kamalapuri, Makam Kutho, Balekambang Sendangsari Islam Kolonial Makam islam, watu gambir Jembatan regol 1 dan 2, makam putri cempo, pelabuhan regol Candi Selopuro Doro Kandang Tabel 1. Distribusi Tinggalan arkeologi pada Lanskap Budaya Lasem. NO. Sriombo Sumbergirang Kelenteng, Bangunan cina, bangunan indis, makam cina 1-3 Rumah geladak, bangunan indis, vihara karuna dharma, bangunan cina, kelenteng yang menghubungkan wilayah tersebut dengan daerah lainnya (Nurhajarini et al., 2015, p. 18). Lasem merupakan bandar pelabuhan besar sejak zaman Kerajaan Majapahit sampai pada penjajahan Belanda dan Jepang. Pada saat itu Lasem menyimpan warisan sejarah yang sangat penting sebagai kota pemerintahan di daerah pesisir utara Jawa dan perpaduan budaya yang terjadi merupakan representasi dan percampuran budaya pendatang dan budaya lokal yang terbentuk melalui perjalanan panjang sejarah budaya pesisir Jawa sejak abad ke-14 dan membentuk karakteristik arsitektur yang khas yang menjadi bagian penting dari kebudayaan pesisir utara Jawa. Kota Lasem sangat unik bukan hanya 26 27 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara karena arsitektur, batik dan ritualnya memiliki karakter yang berbeda, tetapi kota itu sendiri memainkan peran penting dalam sejarah Tionghoa yang lahir di Indonesia, yaitu pada abad ke-13 ketika orang Cina pertama kali tiba dan menetap di Lasem, jauh sebelum penjajahan Belanda dimulai di Jawa. Pada abad ke-15, mereka membangun pemukiman permanen di dataran rendah bagian timur sungai Lasem, di mana sebuah pelabuhan terletak sebagai pusat perdagangan (Pratiwo, 2010). Berdasarkan hasil identifikasi Sumberdaya Arkeologi Di Kecamatan Lasem yang dilakukan oleh Balai Arkeologi tahun 2011 diperoleh informasi salah satunya adalah dominasi tinggalan arkeologi berupa bangunan rumah cina sejumlah 243 buah yang terletak Desa Karangturi, Desa Babagan, Desa Soditan, Desa Sumbergirang, dan Desa Gedongmulyo yang kemudian kawasan tersebut dikenal dengan nama Kawasan Pecinan Lasem. Menurut Jackson (1975), ada tiga karakteristik pecinan di Asia Tenggara. Pertama, adalah batas batas daerahnya yang jelas, yakni di pusat kota dengan karakter yang berbeda dengan lingkungan sekitarnya. Selain itu pecinan memiliki kepadatan penduduk tertinggi dibandingkan dengan daerah lain di kota yang sama; kedua, terdiri atas kelompok penduduk Tionghoa yang sangat solid dan tidak ada etnis lain yang tinggal di dalamnya. Hampir semua pecinan di Asia Tenggara memiliki pola jalan grid yang teratur dan garis bangunan ruko yang menerus; ketiga, merupakan bagian kota yang mana pola hidup dan bermukim terfokus pada tradisi masyarakat Tionghoa sehingga menjadi dunia tersendiri di kota (Jackson, 1975, p. 51). Kawasan pecinan Lasem tersebut berada di desa-desa yang terletak pada satuan lanskap bertopografi rendah. Berkembangnya peradaban dan kebudayaan Lasem di satuan lanskap ini dikarenakan memberikan daya dukung sumber alam yang memadai dan dan mudah diakses seperti kondisi lahan yang landai, tanahnya subur, dan adanya sungai-sungai. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa adaptasi manusia terhadap alam dapat dihubungkan dengan tindakan manusia sebagai pendukung kebudayaan untuk kehidupan dan penghidupan jasmaniah ataupun dapat juga dihubungkan dengan suatu bentuk yang bersifat filosofis atau estetis untuk kebutuhan rohaninya (Hakim, 2002, p. 5). Adaptasi manusia terhadap alam yang mengekspresikan kebutuhan rohaniah (filosofis dan estetis) dapat dilihat dengan adanya ragam dan karakteristik tinggalan arkeologi pada lanskap budaya Lasem tersebut. DINAMIKA SEJARAH DAN BUDAYA LASEM 28 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara A. Masa Awal dan Berkembangnya Lasem Lasem sebagai suatu wilayah stategis memiliki dinamika yang cukup panjang dalam sejarah perkembangan Indonesia. Seperti yang telah disinggung dalam bab sebelumnya, keberadaan Lasem sudah mulai dikenal sejak masa Majapahit dan terus berkembang hingga masa Islam Kolonial dan akhirnya mengalami kemunduran sejak era kemerdekaan. Beberapa temuan arkeologi dan sumber sejarah yang membahas tentang Lasem telah memberi gambaran bagaimana pasang surut Lasem sebagai bagian dari sejarah Nusantara. Sumber-sumber sejarah yang memuat tentang Lasem pada masa Klasik adalah prasasti dan babad atau kakawin. Sumber-sumber tersebut menunjukkan kapan munculnya Lasem dan bagaimana perannya dalam satu wilayah kerajaan. 29 Dinamika Sejarah dan Budaya Lasem Tahun 1273 S (1351 M). Kala itu Lasem diperintah oleh Dewi Indu, adik sepupu Hayam Wuruk dari Wilwatikta. Suaminya bernama Pangeran Rajasawardana, seorang Dampuhawang di Pelabuhan Regol, Lasem. Rajawardana juga merangkap sebagai Adipati Matahun, dengan gelar Raden Panji Maladresmi (Satari, 1983, p. 116). Sementara analisis Djafar mengatakan bahwa Pada masa Hayam Wuruk, penguasa Lasem adalah Rajasaduhitatundudewi yang bersuamikan Bhre Matahun (Rajasawarddhana) (Djafar, 2009, p. 168). Selain informasi mengenai kemunculan dan para penguasa Lasem, kedua kitab tersebut juga memberi informasi mengenai kehidupan sosial masyarakat, di mana rakyat Lasem pada masa itu memeluk agama Siwa dan Budha. Keberadaan Lasem semakin tampak jelas ketika disebut dalam sumber prasasti Secara kronologis, kemunculan Lasem tertua dapat dicermati dari Naskah di antaranya adalah Prasasti Karangbogem atau Prasasti Trowulan V dan Negarakartagama dimana Lasem disebut telah muncul pada masa Kerajaan Prasasti Waringin. Prasati Karangbogem dikeluarkan pada tahun 1209 Caka Singasari. Nama Ra Lasem sebagai tokoh penguasa merupakan pengikut setia (1387 M) oleh Bhre Lasem menyebutkan adanya orang-orang Gresik yang dari Raden Wijaya (Unjiya, 2008). Data ini memang belum dapat kita buktikan dipekerjakan di perusahaan tambak (perikanan) di Karangbogem (B. B. Utomo, secara arkeologis maupun dikroscek dengan sumber sejarah lainnya. Namun 2009, p. 7). Secara khusus nama Lasem tidak disebut namun keberadaan demikian hal ini dapat diterima mengingat beberapa penyebutan nama Lasem penguasanya, yaitu Bhre Lasem yang mampu mengeluarkan prasasti ini pada Kitab tersebut telah menunjukan bahwa Lasem merupakan satu wilayah tentunya sangan menarik perhatian. Sementara Prasasti Waringin Pitu 1369 S yang telah memiliki penguasa, tentunya hal ini tidak muncul secara tiba-tiba. Nama Lasem disebut pula dalam kitab Nagarakrtagama yang menceritakan tentang perjalanan Hayam Wuruk pada tahun 1276 Caka atau 1354 Masehi ketika mengelilingi wilayah Kerajaan Majapahit dan kemudian singgah di Lasem (1464 M), yang isinya tidak lagi menyebut Lasem sebagai salah satu kerajaan vassal Majapahit. Namun pada tahun 1466 ketika Bhre Pandan Salas berkuasa, kembali Lasem tercatat sebagai salah satu kerajaan vassal Majapahit, dengan rajanya putri Bhre Pandan Salas atau Bhre Lasem V. (Satari, 1983, p. 119; Zakaria, 1993, p. 15). Sebagai satu tempat yang menjadi Berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada, dapat disusun sejarah persinggahan raja, tentunya Lasem tidak hanya sekedar wilayah bawahan kemunculan Lasem sebagai berikut: namun pastinya memiliki arti penting bagi kerajaan Majapahit. Jawaban itu dapat ditemukan juga dalam Nagarakrtagama yang menyebutkan bahwa Lasem merupakan daerah perdikan yang dipimpin oleh adik sepupu raja Majapahit yang bernama Dewi Indu (Satari, 1983). Kitab Pararaton sebagai satu kitab Majapahit juga menyebut nama Lasem, yaitu adanya gelar Bhre Lasem Sang Ahayu yang diberikan kepada putri Hayam Wuruk yang bernama Kusumawardani (Padmopuspito, 1966; Satari, 1983; Zakaria, 1993, p. 16). Hadirnya putri penguasa utama Majapahit di Lasem semakin mempertegas akan pentingnya Lasem bagi kerajaan pada masa puncak jayanya. Tabel 2. Sejarah Kemunculan Lasem. PENYEBUTAN MASA SUMBER Mucul nama Ra Lasem Kerajaan Kadiri Nagarakretagama Lasem digunakan sebagai tempat singgah raja Kerajaan Majapahit masa Hayam Wurug Nagarakertagama Dipimpin oleh adik sepupu raja bergelar Bhre Lasem Kerajaan Majapahit Pararaton, Babad Lasem Putri Kusuma Wardani diberi gelar Bhre Lasem Sang Ahayu Kerajaan Majapahit masa Hayam Wurug Pararaton Sumber: disusun oleh penulis dari beberapa referensi Sumber sejarah lain yang menyebutkan Lasem adalah Babad Lasem, sebuah catatan kesejarahan yang ditulis oleh Kamzah seorang pujangga keturunan Dinamika Lasem pada masa Klasik juga dapat diketahui dari bukti arkeologi Panji Lasem yang hidup tahun 1805-1900 Masehi. Babad Lasem ditulis pada yang ditemukan, baik berupa sisa bangunan maupun artefak. Beberapa nama tahun 1825. Tulisan ini kemudian dianalisis oleh Satari yang menyimpulkan tempat yang disebutkan dalam Babad Lasem masih dapat kita jumpai sisa- bahwa Lasem telah menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit setidaknya sejak sisanya hingga sekarang. Salah satunya adalah Jembatan Regol yang 30 31 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Dinamika Sejarah dan Budaya Lasem Gambar 8. Sisa tatanan bata dan batu di situs Jembatan Regol. Gambar 9. Lingga di Situs Mbah Ponyo dan beberapa sisa batu di situs Gunung Bata. (Sumber: Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011). (Sumber: Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) menyisakan tatanan bata dan batu andesit di Dusun Bonang, Desa Bonang Kecamatan Lasem serta Pelabuhan Regol yang saat ini masih berfungsi (Tim Penelitian, 2011). Jembatan Regol merupakan bagian dari fasilitas Pelabuhan Kaeringan. Pelabuhan ini telah ada sejak masa Dewi Indu. Salah satu fungsi dari pelabuhan ini adalah untuk menempatkan jung-jung perang. Sampai masa Islam masuk di pantai utara Jawa, Kaeringan masih berfungsi sebagai pelabuhan. Teluk Regol merupakan pelabuhan yang juga sebagai tempat menambatkan jung-jung perang yang dikuasai oleh Rajasawardana. Selain itu juga sebagai tempat berlabuh jung-jung Champa milik saudagar Bi Nang Un. Dari nama Bi Nang Un, nama Regol kemudian berubah menjadi Binangun, desa Gambar 10. Lanskap situs Candi Caruban yang hanya menyisakan beberapa sisa batu. Kanan: sisa umpak-umpak di situs Candi Selopuro. di sekitar 4 km menuju arah timur Lasem (B. B. Utomo, 2009, p. 10). Selain bangunan monumental terdapat pula beberapa temuan arkeologi lain yang menjadi bukti dinamika Lasem pada masa Klasik. Terdapat temuan lingga baik lingga lepas maupun lingga yang berkonteks dengan temuan struktur bata yang terdapat di Situs Mbah Ponyo dan Situs Gunung Bata. Beberapa stuktur (Sumber: Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) Sukhotai, Sawankhalok, Vietnam, Jepang dan Eropa (Rangkuti, 1996; Zakaria, 1993, p. 7). Temuan ini membuktikan luasnya jaringan perdaganan dan pelayaran yang terjadi di Pelabuhan Lasem. candi baik berbahan batu andesit maupun bata juga ditemukan di Lasem. Tabel 3. Beberapa tinggalan arkeologi yang menjadi penanda dinamika Lasem pada Temuan tersebut terdapat di situs Candi Caruban, Gunung Bata, Candi Selopuro, masa Klasik berupa bangunan pemujaan, fasilitas umum, dan tempat perabuan. Taman Kamalapuri dan Makam Kutho serta beberapa struktur lain yang menunjukan fungsi sebagai situs perabuan dan kolam (lihat tabel). NAMA SITUS SISA YANG DAPAT DIJUMPAI DUSUN DESA Jembatan Regol 1 Struktur bata dan batu andesit Bonang Bonang Jembatan Regol 2 Struktur bata candi Bonang Bonang Pelabuhan Regol Pelabuhan Bonang Bonang memahami bagaimana kehidupan social ekonomi Lasem. Tahun 1940-1942, Galangan Kapal Dasun Sisa galangan kapal - Dasun Orsoy de Flines (keramolog Belanda) meneliti sebaran keramik asing di pantai Caruban Candi Gundukan dan runtuhan bata candi Caruban Gedong mulyo utara Jawa Tengah bagian timur. Hasil dari penelitian ini mendapatkan keramik Makam Mbah Lebo Perabuan Gowak Gowak Sumur Tegal Jludang Sumur Gowak Gowak Gua Piñata Gua pemujaan Kajar Kajar Mbah Ponyo Lingga Kajar Kajar Hasil analisis terhadap temuan fragmen keramik yang ditemukan di sepanjang Sungai Caruban (bekas pelabuhan Lasem) juga dapat digunakan untuk dari masa Dinasti Tang (IX-X M) hingga Dinasti Q'ing (XVIII-XX M) (Rangkuti, 1996, p. 1). Selain keramik Cina juga ditemukan keramik asing lain, yaitu keramik 32 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara 33 Dinamika Sejarah dan Budaya Lasem Gunung Bata Lingga dan batu candi Sukolilo Sendangcoyo Pada awal kerajaan Islam di Jawa, Lasem menjadi bagian dari kerajaan Pajang. Gunung Bata Sebaran batu candi dan bata Sukolilo Sendangcoyo Sama halnya dengan Tuban dan Gresik, kala itu Lasem merupakan daerah yang Candi Selopuro Sebaran bata candi Sulo Sriombo Taman Kamalapuri Sebaran bata candi Pandeyan Sumbergirang berdiri sendiri dan menjadi bagian dari satu kerajaan besar. Beberapa tinggalan Makan Kutho Sebaran bata candi Pandeyan Sumbergirang Balekambang Kolam Pandeyan Sumbergirang Sumber: Tim Penelitian, 2011 arkeologis yang mencirikan budaya masa Islam di antaranya adalah kompleks makam Nyi Ageng Maloko, Kompleks Masjid Pasujudan, Masjid Lasem dan Makam tokoh penguasa Lasem. Kompleks makam Nyai Ageng Maloko adalah pemakaman yang salah satunya merupakan tokoh penyebaran agama Islam, yaitu kakak Sunan Bonang. Pada kompleks makam tersebut terdapat salah satu B. Lasem Pada Awal Masa Islam Keberadaan nama Lasem sempat menghilang pada akhir masa Klasik. Setelah berakhirnya masa kekuasaan Bhre Pandan Salas, yaitu 1466 -1468 M, maka selesai pula kekuasaan atas Lasem. Dyah Wijayakusuma pengganti tahta Majapahit menghapus Lasem dari kerajaan vassal Majapahit. Terhapusnya Kerajaan Lasem kemudian melahirkan Kadipaten Binangun di dekat Pelabuhan Regol pada tahun 1469 M. Kadipaten Binangun didirikan oleh Pangeran Wirabraja, putra Pangeran Badranala cicit dari Rajasawardhana dan Duhitendu Dewi (Unjiya, 2008, p. 62). Seiring dengan berdirinya Kerajaan Demak, Lasem diperintah oleh Pangeran Santipuspa. Ia menggantikan Nyi Ageng Malokah yang wafat pada tahun 1490 M. Pangeran Santipuspa adalah anak sulung Pangeran Santibadra, Temenggung Wilwatikta, adik dari Pangeran Wirabajra pendiri Kadipaten Binangun Lasem. Pangeran Santipuspa pernah menjabat Dampoawang di Pelabuhan Caruban Lasem sehingga kawasan Caruban menjelma sebagai daerah penting dalam bidang perdagangan dan kelautan. Adipati Santipuspa meninggal pada tahun 1501 M dan dimakamkan di Caruban, Gedongmulyo. Dia kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Kusuma Badra. Kadipaten Lasem seperti Tuban dan Gresik dengan pelabuhan sebagai kekuatan utama perekonomian negeri hingga berakhirnya Kerajaan Demak (Unjiya, 2008, pp. 67–70). Beberapa peneliti asing juga membahas tentang keberadaan Lasem di antaranya adalah Graaf dan Pigeud. Beliau mengulas sebuah catatan asing The Malay Annals of Semarang and Cirebon yang banyak memberikan informasi tentang perjalanan utusan Cina dari dinasti Ming pada abad ke-15 Masehi (antara tahun 1411–1416 M) yang berada di Majapahit. Utusan tersebut merupakan muslim Cina yang bermazab Hanafi dan kemudian membentuk masyarakat Cina di Ku-Kang (Palembang). Kemudian mereka bermukim dan mendirikan masjid di Ancol (Jakarta), Sembung (Cirebon), Lasem, Tuban, TseTsun (Gresik), Jiatung (Jaratan), Cangki (Mojokerto) (Graff & Pigeaud, 1984). Lasem ternyata merupakan salah satu wilayah penting di pesisir utara Jawa pada masa itu. makam yang menggunakan nisan berbentuk lingga, sedangkan makam lainnya dihias dengan nisan berbentuk kenong (kempul) (Satari, 1983, p. 120). Pada masa Kerajaan Mataram Islam, status Kota Lasem pada waktu itu adalah kabupaten. Seperti yang tertera dalam Babad Tanah Jawi, disebutkan bahwa Ki Ageng Mataram (Pemanahan) ikut ke Giri ketika Sultan Pajang bersama seluruh tentaranya memohon restu Sunan Prapen. Ketika itu bupati dari timur hadir, yaitu dari Japan, Wirasaba, Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem, Tuban, dan Pati (Graff, 1985, p. 62). Serat Kandha (salah satu sumber sejarah) juga menyebutkan bahwa telah terjadi perang penaklukan daerah Jawa bagian timur oleh pasukan Mataram dibawah pimpinan Sultan Agung. Pada waktu itu Lasem berada dibawah kekuasaan Surabaya. Pada penyerangan tersebut dimenangkan oleh pasukan Mataram dan kemudian pulang dengan membawa barang rampasan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1614 yang lebih dikenal dengan pertempuran di Sungai Andaka (Graff, 1986, pp. 31–32). Beberapa tinggalan monumental masa Islam yang saat ini menjadi salah satu ikon Lasem adalah Situs Pasujudan Bonang. berdasarkan sumber sejarah, situs Bonang merupakan tempat Sunan Bonang melakukan perenungan yang berada di Alas Kemuning. Di situs tersebut terdapat bangunan masjid, Makam Sunan Bonang serta sumur persegi berjumlah 2 buah (Rangkuti, 1996, p. 17). Selain situs Bonang, terdapat pula Bekas tempat pembuatan kapal yang telah berkembang sejak abad ke-16. Menurut catatan Albuquerque, tempat pembuatan kapal atau galangan kapal Jawa sangat terkenal hingga wilayah Asia Tenggara (Zakaria, 1993). Tabel 4. Tinggalan arkeologi masa Islam yang masih dapat ditemukan di Lasem SITUS OBJEK ABAD DUSUN DESA Masjid Sunan Bonang Masjid 15 Bonang Bonang Pasujudan Sunan Bonang Batu Pasujudan 15 Bonang Bonang Rumah Geladak Bonang 2 Rumah Geladak 15 Bonang Bonang Makam Adipati Tejokusumo I Makam Islam 16 Kauman Karang Turi Masjid Jami Lasem Masjid 16 Kauman Karang Turi Sumber: Tim Penelitian, 2011 34 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara C. Lasem Pada Masa Islam–Kolonial Setelah kekuasaan Pajang digantikan Mataram Islam, maka Lasem pun menjadi bagian dari Mataram Islam mulai tahun 1616 M. Penguasa Lasem pada waktu itu adalah Ngabehi Martanata. Ngabehi Martanata adalah bekas penguasa Jepara 35 Dinamika Sejarah dan Budaya Lasem berkembang karena kedatangan imigran Cina yang datang dari kota-kota di Jawa setelah terjadi pemberontakan Cina pada abad ke-18 Masehi. Pemukiman pribumi di bagian dalam kota terdapat di Kauman dan Sumbergirang (Rangkuti, 1998, p. 9). dan Pati. Ia menjadi penguasa yang membawahi wilayah Kendal dan Lasem Pasca abad ke-19 Masehi, Desa Bonang ditinggali saudagar-saudagar atau pada tahun 1664 (Graff, 1987, p. 169). Pada masa pemerintahan Sultan Agung, golongan menengah (pedagang kain, tembakau, ikan, dan candu). Rumah Lasem memiliki peran penting dalam perlawanan Kerajaan Mataram Islam tinggal beratap limas dan berdinding kayu jati (geladak) yang besar dan megah. melawan Belanda di Batavia. Pelabuhan Lasem merupakan tempat Rumah seperti ini dapat dipindah-pindah (Rangkuti, 1996, p. 18). pemberangkatan pasukan laut Mataram sebelum melakukan penyerangan (Graff, 1987). Sejak akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-21, boleh dikatakan tidak terjadi perkembangan yang signifikan pada Kota Lasem. Bahkan boleh dikatakan Pada masa berikutnya, yaitu era Raja Amangkurat I, Lasem masih memiliki mengalami kemandegan atau bahkan kemunduran. Penghancuran bangunan peranan penting. Saat itu Lasem telah menjadi wilayah kadipaten yang serta lingkungan kuno yang khas Cina-Lasem terus dilakukan terutama selama dipimpin oleh seorang bupati. Pada saat terjadi penyerangan Jawa oleh orang- 'orde baru'. Kelenteng sudah tidak populer lagi bagi angkatan muda Lasem orang Makasar, daerah Lasem menjadi salah satu pendaratan (Graff, 1987, p. 100). (Hartono & Handinoto, n.d.). Pada tanggal 24 April 1676 pelabuhan Lasem menjadi tempat pemberangkatan Hasil survei potensi data arkeologi masa kolonial meliputi 284 titik potensi, yang sejumlah kapal pasukan Mataram menuju wilayah timur. Kapal-kapal ini memiliki misi untuk melakukan pertempuran dengan tentara Makasar dan Madura. Pada bulan september 1676, Pelabuhan Lasem menjadi salah satu lokasi pendaratan para tentara Madura yang ingin bergabung dengan Trunojoyo yang berencana untuk melakukan pemberontakan terhadap terdiri atas: bangunan ibadah, bangunan pemerintah, bangunan pendukung (tandon air dan sumur), bangunan publik (stasiun, jembatan, warung), bangunan produksi, makam Cina, rumah tinggal, toponim dan unsur bangunan. Beberapa tinggalan arkeologis tersebut ditemukan di dekat muara Sungai Lasem (Sungai Babagan). Selain itu ditemukan pula tiga buah sisa Amangkurat I (Graff, 1987, p. 113). bangunan galangan kapal beserta sumur dan sisa bangunan lainnya. Bentuk Pada abad ke-17 pelabuhan di Lasem semakin berkembang dengan hadirnya galangan kapal ada yang berbentuk persegi panjang (50 m x 13,5 m) dan etnik Cina yang mendominasi Kota Lasem (Rangkuti, 2000, p. 126). Pada tahun berbentuk ladam kuda (50 x 13 m), dibuat dari batu-batu yang disemen. Dilihat 1679 terjadi pertempuran besar-besaran di Lasem antara pasukan Adipati dari bentuk, teknik, dan bahan bangunannya, sisa-sisa galangan kapal tersebut Tejokusumo II, Raden Wingit (Panembahan Romo) dan Trunojoyo berhadapan kemungkinan berasal dari awal abad ke-20 (Rangkuti, 1998, p. 8). dengan tentara Mataram dan Kompeni Belanda. Kota Lasem menjadi lautan api dan darah. Peperangan berlangsung hingga tahun 1680 di mana Lasem benar- Tabel 5. Beberapa temuan bukti arkeologi perkembangan Lasem masa Kolonial dan benar takluk oleh senjata api dan meriam VOC. Pada peristiwa ini Adipati Kemerdekaan Tejokusumo III gugur dalam usaha mempertahankan kadipaten Lasem (Unjiya, DESA 2008, pp. 100–101). Pada tahun 1751, VOC mutlak menguasai Lasem yang SITUS OBJEK KATEGORI TH kemudian mengangkat Tumenggung Citrasoma IV dari Tuban sebagai bupati Gang III No. 3 Desa Babagan Bangunan Cina Rumah Tinggal 1678 Babagan Menggolo III sebagai bupati Magersari Rembang, serta mengangkat kembali Gang III No. 4 Desa Babagan Bangunan Cina Rumah Tinggal - Babagan Hangabei Honggojoyo sebagai Bupati Rembang. Pada tahun inilah pertama Jl Raya Lasem No 132 Bangunan Indis Rumah Tinggal 1718 Soditan Jl Raya Lasem No 130 Bangunan Indis Rumah Tinggal 1718 Soditan Belanda membangun jalan pos Deandels dan jalan-jalan yang melintang utara Gang Iv No 4 Desa Babagan Bangunan Cina Rumah Tinggal - Babagan selatan sejajar dengan Sungai Lasem. Jaringan jalan yang membentuk blok- Jl Raya Lasem) No 136 Rumah Geladak Rumah Tinggal - Soditan Jalan Raya Lasem 92 Bangunan Indis Rumah Tinggal 1800 Soditan Lasem yang berkedudukan di Binangun dan memberhentikan Suro Adi kali Lasem dan Rembang terpisah menjadi pemerintahan yang berbeda secara de facto (Unjiya, 2008, pp. 111–113). Pada tahun 1808-1811 pemerintah Hindia blok pemukiman di kota Lasem mungkin dibangun setelah Kota Lasem 36 37 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara DESA SITUS OBJEK KATEGORI TH Vihara Karuna Dharma Vihara Bangunan Ibadah - Soditan Sumur Kuna 1 Sumbergirang Sumur Bangunan Pendukung 1818 Sumbergirang Jl Raya Lasem No. 35 Desa Bangunan Cina - Indis Rumah Tinggal 1923 Babagan Gang VI No. 10 Desa Babagan Bangunan Indis Rumah Tinggal 1919 Babagan Stasiun Lasem Stasiun Bangunan Publik 1912 Dorokandang Gudang Klungsu Gudang Bangunan Pemerintah 1912 Dorokandang Perum PTKA 1 Rumah Dinas PTKAI Bangunan Pemerintah 1912 Gedong Mulyo Perum PTKA 2 Rumah Dinas PTKAI Bangunan Pemerintah 1912 Gedong Mulyo Jl Raya Lasem No. 15 Bangunan Indis Rumah Tinggal 1925 Gedong Mulyo Tandon Air 1 Tandon Penampungan Air Bangunan Pendukung - Kajar Tandon Air 2 Tandon Penampungan Air Bangunan Pendukung 1928 Kajar Tandon Air 4 Tandon Penampungan Air Bangunan Pendukung - Kajar Tandon Air 5 Tandon Penampungan Air Bangunan Pendukung - Kajar Tandon Air 3 Tandon Penampungan Air Bangunan Pendukung - Selopuro Jalan Dasun No 1 Bangunan Cina Rumah Tinggal 1926 Soditan Jalan Dasun No 2 Bangunan Cina Rumah Tinggal 1926 Soditan Jl Raya Lasem 118 Bangunan Cina Rumah Tinggal - Soditan Sumber: Tim Penelitian, 2011 RAGAM SUMBER DAYA ARKEOLOGI LASEM 38 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem Penelitian yang dilakukan Balai Arkeologi Provinsi DI Yogyakarta tahun 2011 menunjukkan bahwa tinggalan arkeologi yang berhasil dijaring dalam penelitian ini seluruhnya berjumlah 537, baik yang berupa tinggalan monumental maupun tinggalan artefaktual. Seluruhnya dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok besar, yaitu bangunan, artefak, toponim, dan petilasan. Bangunan dan artefak dapat dikelompokkan lagi dalam sub-sub kelompok, misalnya bangunan peribadatan, bangunan perkantoran, lingga, lumpang batu, f ragmen keramik, dan seterusnya seperti yang dapat di tulisan sebelumnya. Ke-537 tinggalan arkeologi di Lasem tersebut yang terbanyak berupa bangunan rumah tinggal, yaitu sebanyak 68,84% dari keseluruhan temuan, sementara tinggalan lainnya ditemukan dalam kisaran 0,85% - 9,07%. Bangunan rumah tinggal yang mendominasi tinggalan arkeologi di Lasem sebagian besar merupakan bangunan bernuansa Cina dan bangunan bergaya Indis, serta sejumlah kecil bangunan tradisional (Jawa) yang dikenal dengan nama rumah geladak dan bangunan yang menunjukkan gaya campuran antara Cina-Indis maupun Indis-Jawa. Bangunan-bangunan rumah tinggal tersebut di atas berasal dari masa kejayaan Lasem di sekitar akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Ragam tinggalan berikutnya adalah bangunan makam, yang ditemukan berjumlah 32 atau 9,07% dari temuan keseluruhan. Makam-makam yang Gambar 11. Perbandingan temuan data arkeologi di Lasem hasil (Sumber: Tim Penelitian, 2011) terdapat di Lasem berasal dari masa klasik (abad ke-14), masa Islam (abad ke-18), hingga masa Kolonial (abad ke-20). Mayoritas merupakan makam Islam dan makam Cina. Makam-makam Islam tersebut umumnya merupakan makam para tokoh, baik tokoh kenegaraan maupun tokoh keagamaan pada masanya. Sementara makam Cina umumnya merupakan makam etnis Cina yang dulunya merupakan penduduk Lasem. Selanjutnya adalah bangunan pendukung yang berupa sumur kuna dan tandon air kuna, yang ditemukan sejumlah 21 atau 5,95%. Sumur-sumur kuna ini (sejumlah 16) berasal dari periode Klasik, Islam, sampai Kolonial, sementara 5 A. ARTEFAK Kategori data arkeologi yang diperoleh dari kegiatan Identifikasi Sumberdaya Arkeologi di Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang salah satunya adalah artefak. Melalui kegiatan ini, diperoleh sebaran data artefak di empat desa. Keempat desa tersebut adalah Desa Gedong Mulyo, Kajar, Soditan, dan Jalatundha. Data arkeologi berupa artefak yang ditemukan di Desa Gedong Mulyo berupa sebaran keramik yang berada di Dusun Pabean dan Dusun Layur. tandon air berasal dari masa kolonial, yaitu dari awal abad ke-20. Sebaran keramik tersebut berupa keramik asing dan dimasukkan dalam Ragam tinggalan monumental lainnya adalah bangunan peribadatan, yang periodesasi masa Kolonial. terdiri atas kelenteng, masjid, vihara, dan gua pemujaan; bangunan pemerintah, berupa gudang dan perumahan PT. KAI; bangunan produksi berupa bekas pabrik; bangunan publik berupa stasiun, jembatan, dan bekas warung; petilasan; serta unsur bangunan berupa bekas dermaga, sisa galangan kapal, unsur bangunan candi, dan umpak batu. Di samping itu, ragam tinggalan berupa artefak yang ditemukan adalah lingga, lumpang batu, kursi batu, batu andesit bertapak kaki manusia, serta sebaran fragmen keramik. Sementara data toponim yang diperoleh adalah toponim pelabuhan, kolam, alun-alun, serta rumah pejabat. 39 40 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem A.2. Lumpang Batu dan Fragmen Keramik Temuan keramik berjumlah dua buah, selain itu juga ditemukan lumpang batu berjumlah 1 buah. Gambar 12. Sebaran fragmen keramik dan tembikar di Desa Gedong Mulyo. (Sumber : Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) Gambar 14. Temuan lumpang batu di Desa Kajar. (Sumber : Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) Data artefaktual juga ditemukan di Desa Kajar, tepatnya di Dusun Kajar. Di Desa A.3. Batu Andesit Bertapak Manusia ini terdapat data artefaktual berupa kursi batu; lumpang batu dan fragmen Berupa bongkah batu andesit pada sisi selatan batu terdapat tapak kaki keramik; batu andesit bertapak kaki manusia; fragmen keramik; dan lingga. Uraian mengenai data artefaktual di Dusun Kajar adaalah sebagai berikut. manusia dewasa sebelah kanan. Batu tersebut memiliki ukuran panjang 560 cm, lebar 480 cm, tinggi 156 cm. Sedangkan ukuran tapak kaki panjang 24 cm, lebar 10 cm. A. 1. Kursi Batu Kursi batu ini berupa kursi batu dengan kondisi sudah tertimbun oleh tanah dan sampah. Ukuran dari batu tersebut lebar 100 cm, tebal 20 cm, tinggi 60 cm. Gambar 15. Fitur tapak kaki pada batu andesit di Desa Kajar. (Sumber : Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) A.3. Lingga Berupa kumpulan lingga berjumlah 5 buah, 4 diantaranya berupa lingga semu atau mungkin lingga yang belum jadi dan hanya satu yang berujud lingga Gambar 13. Temuan kursi batu di Desa Kajar, Lasem. (Sumber : Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) sempurna (memiliki tiga bagian, yaitu bagian bawah berbentuk kubus, bagian 41 42 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara tengah berbentuk segi delapan dan bagian atas berbentuk silindris). Lingga berukuran lebar 25 cm, tebal 25 cm, tinggi keseluruhan 72 cm. Masyarakat masing menghargai keberadaan situs tersebut dengan melakukan ritual sedekah bumi setiap tahun sehabis masa panen. Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem B. BANGUNAN IBADAH Kategori bangunan ibadah ini adalah bangunan yang diperuntukkan kegiatan ibadah di area Lasem. Dari hasil identifikasi yang dilakukan, terdapat tujuh titik sebaran bangunan ibadah di wilayah Kecamatan Lasem. Ketujuh bangunan ibadah tersebut terdapat di Desa Babagan, Bonang, Kajar, Karang Turi, dan Soditan. Bila dikelompokkan dalam peruntukan ibadahnya, bangunanbangunan tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut. B.1. Kelenteng B.1.1. Kelenteng Gie Yong Bio di Jalan Babagan no. 7 Arah hadap adalah utara dengan bentuk denah empat persegi panjang berukuran 11,60 x 16 meter. Didirikan tahun 1780 untuk menghormati pahlawanpahlawan Lasem pada Perang Cina. Gambar 16. Lingga mbah Ponyo di Desa Kajar. (Sumber : Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) Data artefaktual yang ditemukan di Desa Soditan berupa lumpang batu. Lumpang batu ini berada di dekat sumur Jalatundha. Ukuran sumur Jalatundha: diameter 120 cm, kedalaman 140 cm, tinggi luar 8 meter, tebal bibir 20 cm. Ukuran lumpang batu: diameter lubang 16 cm, kedalaman 16 cm, tebal batu 30 cm. Sumur Jalatundha dan punden Sungging Hadimulyo (lumpang batu) berada di halaman kantor kepala Desa Jalatundha. Di atas lumpang batu terdapat pohon beringin dan sampai sekarang lumpang batu ini masih digunakan untuk tirakat dan ziarah. Sumur Jalatundha berbentuk lingkaran, pada bagian sumur terdapat spiral yang berjumlah 9 lingkaran ke bawah. Gambar 18. Kelenteng Gie Yong Bio di Desa Babagan. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) B.1.2. Kelenteng POO AN BIO di Jalan Karangturi Gang VII No. 5 Gambar 17. Lumpang Batu di Desa Jalatundha. (Sumber : Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) Merupakan kelenteng termuda di Lasem dari tiga kelenteng yang ada. Kelenteng yang tertua di Babagan, yang kedua terletak di Dasun. 43 44 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem B.1.4. Vihara Karunia Dharma Bangunan berarsitektur Cina dan Indis menghadap ke selatan. Bagian depan terdapat tembok benteng. Pada bagian depan pintu masuk memiliki lantai dari batu alam (slate). Sebelum memasuki bangunan inti terdapat semacam teras bergaya Indis. Bangunan utama brrgaya Cina, dinding dan lantai berbahan kayu, teras ditopang oleh dua tiang kayu. Ruang utama terdiri dari pada ruang utama terdapat meja altar dan terdapat arca Budha, di bagian kanan kiri ruang utama terdapat 2 kamar. Pada bagian belakang ruang utama terdapat ruangan besar yang pada sisi kanan terdapat tangga ke lantai atas. Di bagian belakang juga terdapat dua kamar. Dibelakang bangunan utama terdapat teras dan setelah teras terdapat bangunan tanpa diding yang bergaya Indis, yaitu ditopang oleh tiang bergaya doria. Pada bagian bawah bangunan inti terdapat rongga berbentuk lorong (bangunan inti merupakan rumah panggung). Di sisi Gambar 19. Kelenteng Poo An Bio di Desa Karangturi. selatan bangunan inti terdapat bangunan bergaya Indis yang berkamar-kamar. (Sumber : Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) Lantai antara bangunan inti dan bangunan pendukung yang ada disebelah kiri bangunan terdiri atas lantai teracota dan slate. B.1.3. Kelenteng Mak Co/ Kelenteng Co Ang Kion Bangunan menghadap ke barat. Pada bagian depan terdapat arca singa, pagar tembok, dan gapura. Bangunan inti berlantai tegel dan berdinding kayu berukir. Ruang utama dikelilingi oleh dinding berbahan bata yang berornamen lukisan Dewa. Di sebelah kanan bangunan inti terdapat pintu yang menghubungkan ke arah ruang samping yang digunakan sebagai tempat penempatan joli. Bangunan ini digunakan sebagai tempat peribadatan bagi umat TITD (Taoisme, Budhisme, Konghucu) Gambar 21. Vihara Karunia Dharma di Desa Soditan. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) B.1.5. Gua Pemujaan (Gua Pinatah) Ceruk alam yang dipahat membentuk relung-relung. Berdasarkan informasi dari narasumber di relung tersebut pernah ditemukan arca emas namun saat ini sudah tidak ada. Di tempat ini juga pernah ditemukan tablet bergambar arca Gambar 20. Mak Co/Kelenteng Co Ang Kion di Desa Soditan. (Sumber : Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) siwa. Tablet tersebut saat ini tersimpan di museum Ronggowarsito. Relungrelung tersebut menghadap kearah lembah atau ke arah utara. Ceruk pertama 45 46 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara terletak di bagian barat terdapat dua relung yang menghadap ke utara dan ke barat. Ukuran relung yang pertama lebar 65 cm. Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem C. BANGUNAN PEMERINTAH C.1. Gudang Stasiun (Gudang Klungsu) Nama “klungsu” adalah nama yang diberikan masyarakat setempat untuk Gudang Stasiun. Denah bangunan empat persegi panjang, bangunan menghadap ke arah utara (dahulu) sekarang timur. Bangunan berukuran 28 x 17,7 meter dengan bahan bata dan tiang dari besi. Jarak antara stasiun dengan gudang sejauh 150 meter. Bangunan bagian bawah sudah direnovasi dengan tambahan pintu sebelah timur. Gambar 22. Gua Pemujaan (Gua Pinatah) di Desa Kajar. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) B.1.6. Masjid Jami Lasem Pada bagian ruang induk masjid terdapat 4 soko guru yang masih asli. Ukuran soko guru adalah 34 cm x 34 cm. Pada waktu pemugaran, soko guru tersebut ditinggikan setinggi 2 meter. Selain soko guru, yang masih asli adalah mimbar masjid. Di sekitar masjid selain makam Adipati Tejokusumo I dan Syekh Maulana Gambar 24. Gudang Stasiun (Gudang Klungsu) di Desa Dorokandang. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) Syam Bwa Smarakandi juga dijumpai beberapa makam lainnya antara lain makam keluarga takmir masjid jami serta tokoh ulama di wilayah Lasem. Menurut informasi dari narasumber di lokasi sebelah utara masjid pernah didirikan bangunan madrasah. Pada saat dilakukan survei hanya dijumpai bagian pondasinya saja. C.2. Perum PTKA 1 Perum PTKA 1 berlokasi di Dusun Pabean, RT 03, RW 01, Desa Gedongmulyo. Denah bangunan empat persegi panjang, bangunan menghadap ke arah utara. Bangunan berukuran 11 x 14 meter dengan bahan bata. Di samping kiri belakang bangunan utama terdapat bangunan dapur yang dihubungkan dengan jalan khusus (doorloop). Gambar 23. Mihrab(kiri) dan Saka Guru/tiang utama (kanan) Masjid Jami' Lasem di Desa Karangturi. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) Gambar 25. Perum PTKA 1 di Desa Gedongmulyo. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) 47 48 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara C.3. Perum PTKA 2 (couple) Perum PTKA 2 berlokasi di Dusun Pabean, RT 03, RW 01, Desa Gedongmulyo Denah bangunan empat persegi panjang, bangunan menghadap ke arah utara. Bangunan berukuran 10,5 x 20 meter dengan bahan bata. rumah dinas no. 1a (Perum 1) merupakan rumah dinas untuk sinder dan 1b (Perum 2) untuk wakilnya. Jarak 15 meter di depan rumah tersebut terdapat tanda patok kepemilikan lahan dari BPN. Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem Sumbergirang; sedangkan sumur kuna pada periodesasi pra-Islam dijumpai di Desa Gowak dan Binangun. Mengenai variasi bentuk sumur kuna didominasi bentuk persegi dan bulat, namun juga dijumpai bentuk sumur oval yang berada di Desa Jalatundho. Bahan yang digunakan sebagai penyusun sumur-sumur kuna tersebut sebagian besar adalah berbahan bata, namun di Desa Gowak dijumpai sumur kuna menggunakan bahan batu andesit. a b c d Gambar 26. Perum PTKA 2 di Desa Gedongmulyo. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) D. BANGUNAN PENDUKUNG Berdasarkan kegiatan identifikasi potensi sumber daya arkeologi di Kecamatan Lasem diperoleh informasi kategori bangunan pendukung sejumlah 21 titik terdiri atas 16 obyek sumur dan 5 obyek tandon penampungan air. Dari ke 21 titik tersebut 12 obyek sumur termasuk dalam periodesasi Pra-Islam di Lasem dan 4 obyek sumur termasuk dalam periodesasi masa Islam-Kolonial di Lasem; sedangkan 5 obyek berupa tandon penampungan air berada pada masa IslamKolonial. Berikut deskripsi singkat bangunan pendukung yang terdiri atas sumur dan Gambar 27. Variasi Sumur-Sumur Kuna di Lasem. (a) Sumur Ombe di Desa Dorokandang, (b) Sumur Jolotundho di Desa Jolotundho (c) Gambar.. Sumur Binangun 1 di Desa Binangun (d) Sumur Tegal Jludang di Desa Gowak (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) tandon air, yaitu: D.2. Tandon Air D.1 Sumur Kuna Keberadaan sumur-sumur kuna di Lasem tersebar di beberapa desa, yaitu Dorokondang (1 titik), Gedongmulyo (3 titik), Jolotundho (2 titik), Karasgede (2 titik), Sumbergirang (4 titik), Binangun (3 titik), dan Gowak (1 titik). Mengacu pada periodesasi relatif sumur kuna tersebut sebagian besar pada masa Islam yang berada di desa Dorokandang, Gedongmulyo, Jolotundho, Karasgede, dan Bangunan Tandon air yang dibangun pada masa Kolonial ini berfungsi terminal atau penampung air yang kemudian disalurkan ke berbagai lokasi. Bangunan tandon air ini dijumpai di lokasi yang lebih tinggi dari sekitarnya dan dijumpai di Desa Kajar (4 titik) dan Selopuro (1 titik). Bentuk bangunan didominasi berbentuk persegi panjang dengan penyusun bangunan berupa bata. Tandon air yang berukuran besar dengan dimensi panjang 21,70, lebar 20 meter, dan 49 50 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem tinggi 2,25 meter dijumpai di Desa Kajar. Keberadaan semua bangunan tandon Bangunan rumah yang sekarang menjadi sebuah pondok pesantren, yaitu air tersebut di bawah penguasaan PDAM. “Pondok Pesantren Kauman Lasem” milik Kiai Zaim Ahmad. Bangunan rumah induk masih asli, hanya bagian lantai yang sudah diganti dan gapura sudah tidak dapat dirunut kembali. Hanya bagian pintu gapura yang masih tersisa dengan tulisan lautan dan gunung. Menurut narasumber sebagai pembeli rumah, bahwa seritifikat rumah bertahun 1880 dengan nama pemilik pertama Goo Ban San, dan generasi terakhir bernama Goo Teng Kim. Dan selanjutnya pada 21 November 2003, bangunan rumah ini dibeli oleh Zaim Ahmad dan digunakan sebagai rumah tinggal. Pada tahun 2006, rumah tinggal ini digunakan sebagai pondok pesantren hingga saat. Pada masa Goo Ban San tempat tersebut digunakan sebagai tempat pembuatan Ciu (arak), dan pada Gambar 28. Tandon Air di Desa Kajar (kiri) dan Desa Selopuro (kanan). (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) masa Goo Teng Kim, istrinya yang bernama Kwee Nio sebagai pengrajin batik. Lima tahun Sebelum rumah dibeli oleh Zaim Ahmad, bangunan rumah tinggal ini dibiarkan kosong. E. BANGUNAN PRODUKSI Berdasarkan hasil kegiatan identifikasi potensi sumber daya arkeologi di Kecamatan Lasem diperoleh informasi 3 lokasi yang diidentifikasikan sebagai lokasi pembuatan batik tradisional Lasem dan tegel, yaitu: E.1. Bangunan Rumah Bangunan Rumah yang beralamat di jalan Karangturi Gang II no. 17 dengan pemiliknya bernama Liem Yoe Ko – Sie Djan Hwie. Beberapa komponen bangunan rumah masih masih asli terbuat dari kayu yang disebut tipe rumah geladak yang menunjukkan modifikasi rumah Cina dan Jawa. Di bagian belakang terdapat 3 buah sumur dibangun sekitar 160 tahun yang lalu. Menurut informasi narasumber bangunan rumah pernah dimanfaatkan untuk Gambar 30. Bangunan rumah Pondok Pesantren Kauman Lasem di Karangturi. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) E.2. Pabrik tegel membuat batik. Gambar 31. Bangunan rumah di Jalan Raya Lasem no. 83 di Desa Karangturi. (a) tampak depan (b) teras belakang. Gambar 29. Bangunan rumah di Gang II no. 17 di Desa Karangturi. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) 51 52 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem Bangunan rumah yang berada di Jalan Raya Lasem no. 83 di Karangturi milik Ibu bangunan sebelah timur terbakar, kemudian direhab dengan membawa Lioe, menurut informasi narasumber Bangunan ini dahulu merupakan pabrik bangunan stasiun dari Purwodadi. Rute kereta pada waktu itu Rembang – pembuatan tegel Lasem. Kondisi bangunan masih asli, bergaya Indis, berlantai 1. Lasem – Pamotan – Salih – Jatirogo – Bojonegoro. Di teras terdapat tiang Doria. Gevel berhias motif bunga dan daun. Fasad bangunan bertipe mansion tetapi pavillion hanya terdapat di sisi kanan (barat) bangunan induk. Bagian belakang terdapat 7 sumur. F. 2.Jembatan Kereta Api Obyek jembatan KA ini berada di antara Desa Jolotundho dan Babagan yang F. BANGUNAN PUBLIK Berdasarkan kegiatan identifikasi potensi sumber daya arkeologi di Kecamatan Lasem diperoleh informasi kategori bangunan publik sejumlah 3 titik, yaitu Bekas Stasiun Lasem, Jembatan KA, dan bangunan untuk tempat usaha sekarang dimanfaatkan sebagai jembatan penghubung. Jembatan KA ini diperkirakan dibangun pada awal abad ke-20 M kondisinya masih utuh hingga saat ini. Dimensi bangunan KA yang berbahan besi ini mempunyai panjang: 36 meter, lebar: 4 meter. Di tengah-tengah jembatan terdapat rel kereta dengan lebar 115 cm yang membujur arah utara-selatan. (warung). ketiga obyek tersebut masuk dalam kronologi masa Islam–Kolonial. Berikut deskripsi singkat ketiga bangunan publik tersebut, yaitu: F.1. Stasiun Kereta Api Lasem Bangunan yang berada di Dusun Karangpelem, RT 10, RW 03, Desa Dorokandang ini merupakan bekas bangunan Stasiun KA. Status bangunan ini masih dimiliki oleh PT KAI. Bangunan bekas Stasiun Lasem ini mempunyai denah bangunan empat persegi panjang, bangunan menghadap ke arah timur. Bangunan terdiri atas kantor, ruang tunggu, dan WC. Kantor berukuran 18,5 x 4,1 meter dengan bahan bata, ruang tunggu berukuran 47 x 5 meter dengan bahan dominasi kayu jati, dan WC berukuran 4 x 4 meter dengan bahan bata. Di Bekas Stasiun KA Lasem ini masih dijumpai jaringan rel, yaitu berada di sebelah utara dan selatan stasiun. Pada bantalan rel di sebelah selatan stasiun terdapat angka tahun 1912. Dahulu stasiun terbuat dari besi dan kereta bisa masuk. Setelah Gambar 33. Jembatan KA Lasem di antara Desa Jolotundho dan Babagan. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) F. 3. Bangunan rumah untuk usaha VCO “Pantura Raya VCO” Bangunan rumah yang berada di Jalan Kajar (Jl. KH Baidowi) no. 15 di Desa Ngemplak bergaya indis ini dengan kondisi rumah induk, gapura, dan lantai masih asli. Bangunan bertingkat 2 beratap limasan. Tingkat atas terdapat jendela dengan lukisan flora (bunga). Bangunan induk berpagar langkan bertiang dengan 3 buah pintu utama. Atap gapura bergaya cina. Dijumpai 1 Gambar 32. Bekas Stasiun Kereta Api di Desa Dorokandang. (a) Bagian depan Stasiun KA Lasem, (b) Bagian dalam Stasiun KA Lasem. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) buah sumur dan kamar mandi disebelah barat bangunan induk. Pada saat dilakukan survei pemilik rumah adalah Bapak Suyudi, pemilik yang sebelumnya bernama Bapak Hartono. 53 54 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem Gambar 34. Bangunan rumah untuk usaha VCO “Pantura Raya VCO”. (a) bagian depan dengan gapura rumahnya, (b) bagian fasad depan rumah. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) G. KATEGORI MAKAM Gambar 35. Beberapa makam Islam yang terletak di Desa Bonang, Lasem. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) Makam merupakan tempat disemayamkan atau dikuburkannya orang yang Dorokandang (1), Gedongmulyo (3), Gowak (1), Jalatundha (2), Karangturi (2), sudah meninggal. Berdasarkan hasil survei arkeologi yang dilakukan pada Karangturi (2), Sendangcoyo (1) dan Sriombo (2). Secara kronologis makam Islam tahun 2011, temuan arkeologis berupa makam di Lasem sejumlah 32 situs yang di Lasem sudah ada sejak masa Klasik diantaranya adalah makam Putri Cempo terdiri dari makam Cina (15 situs), makam Islam (16 situs), dan perabuan (1 situs). atau Putri Champa yang terletak di Desa Bonang. Berikut adalah deskripsi singkat temuan makam di Lasem: G.1. Makam Islam G.2. Makam Cina Makam Cina memiliki bentuk nisan dan kompleks bangunan yang khas. Keberadaan makam Islam dapat teridentifikasi berdasarkan bentuk nisan dan sebaran makam Cina di Lasem lebih banyak terkonsentrasi di pusat pemukiman nama tokoh yang dimakamkan. Keberadaan makam di Lasem jika dilihat dari yaitu Desa Babagan (4), Dorokandang (2), Gedongmulyo (1), Jolotundho (1), kronologis tokoh yang dimakamkan didominasi pada masa Islam, yaitu Karasgede (1), Selopuro (5) dan Soditan (1). Secara kronologis makam Cina di banyaknya makam para tokoh agama dan para tokoh pemimpin Lasem seperti Lasem sudah ada sejak masa Islam dan semakin marak pada masa Kolonial. makam Pangeran Tejakusumo, Pangeran Wironegoro, Pangeran Wirabraja, Pangeran Panji Suryokusumo, Pangeran Santi Puspa, Putri Cempo atau Putri Champa, dan beberapa tokoh lainnya. Berdasarkan hasil survei, temuan makan Islam tersebar di seluruh wilayah taitu di Desa Ngargomulyo (1), Bonang (3), Gambar 36. Makam Cina yang terletak di Rumah Jangkar, Jl. Dasun, Lasem. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) 55 56 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem G.3. Perabuan Situs perabuan merupakan lokasi ditempatkannya abu dari tokoh tertentu. Situs perabuan di Lasem ada satu, yaitu Perabuan Mbah Lebo. Situs ini oleh masyarakat dianggap sebagai tempat perabuan dari Bre Lasem (tentu saja masih memerlukan pembuktian lebih lanjut) dan masih dilakukan pemujaan hingga saat ini. Secara kronologis, perabuhan Mbah Lebo ini masuk pada masa Klasik. Gambar 38. Petilasan Pasujudan Sunan Bonang, di Desa Bonang. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) H. 2. Bongkah Batu Alam Kategori petilasan batu alam merupakan beberapa batu alam yang diyakini memiliki keterkaitan dengan tokoh tertentu yang dipercaya oleh masyarakat. Tokoh yang dikaikan dengan bongkah batu alam ini umumnya merupakan tokoh lokal yang dianggap sebagai pendahulu atau leluhur dari masyarakat sekitar. Dari hasil survei terdapat 3 situs yang terletak di Desa Ngargopura (2) dan Gambar 37. Perabuan Mbah Lebo di Desa Bonang, Lasem. Selopura (1). (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) H. KATEGORI PETILASAN Petilasan merupakan tempat yang diyakini sebagai lokasi yang pernah disinggahi atau ditinggali atau disemayamkannya tokoh tertentu atau tempat yang dihormati oleh masyarakat sekitar karena dianggap memiliki kekuatan supranatural. Berdasarkan hasil survei arkeologi tahun 2011 petilasan berjumlah 6 situs, yaitu: batu pasujudan (1), bongkah batu alam (3), kompleks bangunan (1), makam (1). Berikut deskripsi singkatnya: Gambar 39. Petilasan Waru Ebek di Desa Ngargomulyo dan Watu Tapak di Desa Kajar. H.1 Batu Pasujudan Petilasan Batu Pasujudan merupakan tempat yang dianggap memiliki keterkaitan dengan aktifitas syi'ar agama oleh Sunan Bonang. Situs ini berupa 4 bongkah batu alam yang dua di antaranya mengalami pemangkasan. Pada salah satu batu terdapat cap tapak kaki. Situs ini terletak di kompleks Pasujudan Bonang, Desa Bonang, Lasem. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) H.3. Kompleks Bangunan Kategori petilasan dalam bentuk kompleks bangunan berupa bangunan berpagar keliling yang terbagi dalam beberapa bagian di dalam kompleks terdapat 17 makam dan bangunan pendopo. Situs ini lebih dikenal dengan nama Situs Daleman yang berada Desa Bonang. Keberadaan kompleks 57 58 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara bangunan ini menjadi bagian dari petilasan Sunan Bonang dan diyakini sebagai bekas kompleks pesantren Sunan Bonang. Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem I. RUMAH TINGGAL Secara keseluruhan tercatat ada 242 bangunan rumah tinggal di seluruh Kecamatan Lasem pada tahun 2011. Rumah-rumah tersebut tersebar di 8 desa, yaitu Desa Babagan (36), Desa Bonang (7), Desa Gedongmulyo (32), Desa Karangturi (70), Desa Ngemplak (6), Desa Selopuro (1), Desa Soditan (68), Desa Sumbergirang (22). Secara gaya arsitektural, rumah-rumah tinggal tersebut terbagi dalam 3 gaya, yaitu gaya rumah Cina, gaya rumah Jawa, dan gaya rumah Indis. Akan tetapi, terdapat beberapa rumah yang menggunakan campuran dua gaya, menjadi gaya rumah Cina-Jawa, gaya rumah Cina-Indis, dan gaya rumah Indis-Jawa. Gaya arsitektural yang mendominasi rumah tinggal di Lasem adalah gaya rumah Cina. Pada saat pengumpulan data dilakukan, masih ada 111 rumah tinggal bergaya Cina yang dapat diamati. Rumah dengan gaya Indis menduduki posisi kedua terbanyak, dengan jumlah 96 rumah. Sementara itu, Gambar 40. Situs Daleman, Desa Bonang, Lasem. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) H.4. Makam rumah bergaya Jawa yang disebut dengan tipe geladak jumlahnya hanya 19 rumah. I.1. Rumah Cina Makam yang dimasukan dalam kategori petilasan adalah tempat yang diyakini sebagai makam satu tokoh namun belum dapat dibuktikan kebenarannya karena terdapat makam/atau petilasan tokoh yang sama di tempat lain. Situs Rumah bergaya Cina adalah model rumah yang paling banyak ditemukan di Kecamatan Lasem, dengan jumlah mencapai 111 bangunan. Rumah-rumah yang dimasukan dalam kategori ini adalah Petilasan Sunan Bonang yang terletak di Desa Bonang. Situs ini berupa sepetak tanah yang diberi pagar, tanpa nisan. Gambar 41. Petilasan makam Sunan Bonang yang berada di kompleks Pasujudan Bonang di Desa Bonang, Lasem. Gambar 42. Pintu depan ganda pada rumah Cina di Desa Sumbergirang. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY 2011) (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) 59 60 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem Gambiran no. 10, Desa Soditan, dan satu lainnya berada di Jl. Karang Turi no.6, Desa Karang Turi. Percampuran corak arsitektur pada rumah di Desa Soditan tampak pada bangunan induk rumah, sementara bagian depan berupa daun pintu yang dihiasi huruf Cina. Sementara itu, rumah di Desa Karang Turi merupakan rumah bergaya Cina yang menggunakan atap gaya Jawa. Rumah ini dibangun pada tahun 1920-an. I.3. Rumah Cina-Indis Rumah tipe ini memadukan gaya arsitektur khas bangunan Cina dengan unsurunsur arsitektur Eropa. Biasanya unsur arsitektur Cina tampak jelas pada bagian atap berbentuk pelana, dengan kedua ujung bubungan yang meruncing. Sementara unsur arsitektur Eropa tampak pada penggunaan kolom-kolom Gambar 43. Rumah Cina di Desa Gedong Mulyo. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) besar pada bagian depan rumah. Setidaknya terdapat 11 (sebelas) rumah di Kecamatan Lasem yang dibangun dengan percampuran gaya Cina-Indis seperti ini. tersebut biasanya berkelompok membentuk kelompok di masing-masing desa. Ciri khas yang mudah dikenali dari rumah bergaya Cina adalah bubungan atapnya yang meruncing di kedua ujungnya, terkadang bahkan bubungan tersebut dibuat melengkung. Banyak rumah Cina yang dilengkapi dengan gerbang di bagian depannya. Pintu depan rumah Cina seringkali dihiasi dengan huruf Cina. Tidak jarang pintu depan menggunakan pintu ganda, dengan pintu pertama hanya berukuran tiga seperempat dari pintu kedua yang merupakan pintu utama. I.2. Rumah Cina – Geladak Tercatat terdapat 2 (dua) rumah yang dibangun dengan mencampur gaya arsitektur Cina dengan arsitektur rumah lokal. Satu rumah berada di Jl. Gambar 45. Rumah Cina–Indis di Desa Babagan (kiri) dan Desa Soditan (kanan). (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) I.4. Rumah Indis Rumah Indis adalah tipe rumah yang dibangun dengan dominasi gaya arsitektur Eropa, namun dengan beberapa penyesuain dengan kondisi tropis di Indonesia. Ciri khas rumah Indis adalah penggunaan kolom-kolom untuk menopang rumah yang sengaja dibangun cukup tinggi untuk memaksimalkan sirkulasi udara. Selain itu rumah Indis juga biasanya dihiasi dengan banyak jendela-jendela besar. Ciri khas lain adalah penggunaan lengkung-lengkung Gambar 44. Rumah Cina-Jawa di Desa Soditan (kiri) dan Desa Karangturi (kanan). (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) pada arsitekturnya. Atap yang banyak digunakan pada rumah Indis adalah atap limasan. Sebanyak 96 bangunan rumah Indis masih tercatat di Kecamatan 61 62 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Lasem, dengan kondisi yang berbeda-beda, ada yang masih terawat baik. Namun, ada juga yang sudah tidak digunakan lagi. Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem I.6. Rumah Geladak Rumah Geladak adalah rumah tradisional di wilayah Lasem. Rumah tipe ini dibangun dengan model panggung, dengan bagian bawah ditopang dengan talud berstruktur bata. Atap yang digunakan biasanya adalah model kampung. Hampir seluruh bagian rumah terbuat dari kayu, mulai dinding bahkan hingga bagian gunungan rumah. Bagian depan rumah biasanya berupa gebyok kayu berukir. Pada bagian ruang utama masih terdapat 4 (empat) soko guru. Rumah geladak di Lasem masih cukup banyak ditemukan di Desa Soditan dan Desa Bonang. Secara keseluruhan masih ada 19 rumah yang tercatat dalam proses pengumpulan data. Gambar 46. Rumah Indis di Desa Sumbergirang (kiri) dan Desa Ngemplak (kanan). (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) I.5. Rumah Indis–Jawa Rumah bergaya Indis–Jawa berada di Jl. Soditan 22 di Desa Soditan. Rumah ini terdiri dari 2 (dua) bangunan yang dibangun dengan gaya arsitektur yang berbeda. Rumah ini adalah satu-satunya di Lasem yang menggabungkan arsitektur Indis dengan arsitektur Jawa. Bangunan dengan gaya Jawa ditandai dengan penggunaan atap limasan, dinding bata, ubin tegel, serta jendelajendela kuno. Sementara bangunan Indis telah mengalami renovasi, meski Gambar 48. Rumah geladak di Desa Karang Turi (kiri) dan Desa Bonang (kanan). (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) masih terlihat bagian-bagian asli seperti atap limasan, dinding bata, serta ubin I.7. Rumah Joglo tegel. Rumah tipe joglo yang ada di Kecamatan Lasem hanya tercatat sebanyak 1 bangunan saja, yaitu yang terletak di Dusun Bonang, Desa Bonang, Gambar 47. Rumah bergaya Indis-Jawa di Desa Soditan. Gambar 49. Rumah joglo di pinggir Jl. Daendels di Desa Bonang. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) 63 64 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem di pinggir Jl. Daendels. Bagian depan atau fasade rumah ini sudah mengalami renovasi dan berubah menjadi etalase toko. Namun demikian, bagian dalam rumah masih mempertahankan bentuk aslinya. Atap rumah menggunakan atap joglo yang dilengkapi dengan soko guru dan tumpang sari. Lantai rumah masih menggunakan bata berukuran 30 x 30cm. Selain itu, pembagian ruang utama di dalam rumah menjadi 3 senthong juga masih terlihat. J. TOPONIM J.1. Pelabuhan Toponim bekas pelabuhan yang masih dikenal oleh masyarakat adalah Gambar 51. Lokasi bekas Balekambang di Desa Sumbergirang. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) Pelabuhan Regol yang terletak di Dusun Bonang, Desa Bonang. Lokasi tersebut terletak dekat dengan Sungai Slontho. Sudah tidak lagi ditemukan tinggalan arkeologis yang menunjukkan unsur-unsur bangunan. Pelabuhan Regol adalah J.3. Alun-alun salah satu pelabuhan di Lasem sejak masa Kerajaan Majapahit. Berdasarkan Lokasi bekas alun-alun Lasem terletak di Dusun Kranggan, Desa Sumbergirang, Babad Badrasanti, Pelabuhan Regol merupakan tempat Rajasawardhana, tepatnya di sebelah timur Masjid Jamik Lasem. Fungsinya saat ini sudah suami Bhre Lasem, menjadi dampuhawang. Selain itu di tempat ini pula, berubah menjadi pasar, yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Pasar pertama kali Bi Nang Un menambatkan jung-jungnya. Kawak. Kata kawak sendiri berarti lama atau kuno. Pada lokasi bekas alun-alun ini saat ini masih merupakan ruang terbuka, dengan sebuah tiang lampu penerangan di tengahnya. Gambar 50. Aliran Sungai Slontho di Desa Bonang. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) J.2. Kolam Keberadaaan kolam kuno di Lasem diindikasikan oleh adanya toponim Gambar 52. Pasar Kawak, bekas alun-alun Lasem di Desa Sumbergirang. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) Balekambang di Dusun Pandeyan, Desa Sumbergirang. Lokasinya dekat J.4. Rumah Pejabat dengan Gunung Bugel. Menurut informasi narasumber, dahulu Balekambang Toponim rumah pejabat terdiri dari kepatihan, Puri Secolegowo dan rumah merupakan sebuah petirtaan. Kondisi toponim pada saat pengumpulan data adipati. Toponim kepatihan berada di Dusun Patihan, Desa Ngemplak. Lokasi ini adalah sebuah kolam yang dipenuhi oleh tanaman eceng gondok dan tidak lagi diperkirakan sebagai bekas rumah tinggal Patih di Lasem pada masa klasik. Saat ditemukan sisa struktur bangunan kuno. ini sudah tidak ditemukan lagi tinggalan arkeologis, baik artefaktual maupun 65 66 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem monumental, di lokasi yang telah berubah menjadi tanah persawahan tersebut. Selain toponim Secolegowo, di Jl. Untung Surapati, Desa Soditan juga terdapat 3 Lokasi tersebut dibelah oleh sebuah sungai yang dikenal sebagai Sungai (tiga) toponim yang menunjukkan lokasi bekas rumah tinggal Adipati Lasem Patihan. pada zaman dahulu. Toponim tersebut terdiri atas Puri Tejokusumo I, Puri Tejokusumo III, dan Puri Widyaningrat. Ketiganya adalah adipati-adipati yang pernah berkuasa memimpin Lasem. Saat ini ketiga toponim tersebut telah berubah menjadi bangunan bergaya kolonial yang difungsikan sebagai pertokoan. Gambar 53. Bekas Kepatihan di Desa Ngemplak. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) Toponim Secolegowo berada di Jl. Untung Suropati, Desa Soditan. Lokasi ini diperkirakan dahulu merupakan sebuah puri yang dikenal dengan sebutan Puri Secolegowo, yang didirikan oleh Nyai Ageng Maloka pada sekitar abad ke-14 M. Akan tetapi, bangunan asli sudah tidak ditemukan lagi dan di lokasi toponim tersebut berdiri bangunan Indis yang digunakan sebagai pertokoan. Gambar 55. Lokasi bekas Puri Tejokusumo III di Desa Soditan. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) Gambar 56. Lokasi bekas Puri Tejokusomo I bersebelahan dengan bekas Gambar 54. Toponim Secolegowo di Desa Soditan. Puri Widyaningrat. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) 67 68 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara K. UNSUR BANGUNAN Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem Bekas dermaga Caruban terletak di Dusun Caruban, Desa Gedongmulyo. Jika dermaga Jembatan Regol berada di sisi timur Lasem, dermaga Caruban ini K.1. Bekas Dermaga Bekas dermaga di Lasem berada di dua lokasi, yaitu di Jembatan Regol dan Dermaga Caruban. Situs Jembatan Regol terletak di Dusun Bonang, Desa Bonang. Situs ini terletak satu garis lurus dengan toponim Pelabuhan Regol. berada di sisi barat Lasem. Saat ini lokasi bekas dermaga difungsikan sebagai tambak di pinggir laut. Namun, masih ditemukan tinggalan arkeologi berupa fragmen keramik dan gerabah yang melimpah di lokasi ini. Tinggalan arkeologis yang masih bisa diamati adalah 2 (dua) struktur bata kuno, yang disebut sebagai pundung oleh masyarakat sekitar. Pada salah satu K.2. Sisa Galangan Kapal struktur bata tersebut ditemukan “altar” yang terbuat dari tatatan batu-batu Sisa galangan kapal di Lasem ditemui di Dusun Kampung Baru, Desa Dasun. andesit yang telah mengalami pemaprasan. Masih terdapat talud-talud batu dengan cekungan-cekungan yang mengindikasikan sisa bagian dari sebuah galangan kapal. Lasem, beserta Rembang dahulu terkenal sebagai penghasil kapal-kapal dengan kualitas baik. Sekarang lokasi ini tidak lagi digunakan. Gambar 57. Batu-batu andesit dan sisa struktur bata di Jembatan Regol di Desa Bonang. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) Gambar 59. Bekas galangan kapal di Desa Dasun. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) K. 3. Unsur Bangunan Candi Unsur bangunan candi di Lasem ditemukan di Gunung Bata dan Candi Pucangan. Situs Gunung Bata terletak di Dusun Sukolilo, Desa Sendangcoyo. Gambar 58. Bekas dermaga Caruban di Desa Gedongmulyo. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) Situs ini merupakan sebuah bukit dengan sebaran fragmen batu candi serta 69 70 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem sebaran fragmen bata berukuran besar. Fragmen-fragmen batu candi banyak yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai talud jalan. Menurut informasi dari masyarakat, masih banyak batu dan bata candi yang terpendam di bawah tanah. Di sisi barat Gunung bata ditemukan lingga berukuran 20 x 20 x 45 cm dan berbahan batu andesit. Lokasinya sudah tidak in situ, diletakkan bersama sekitar dua puluh fragmen batu candi yang juga berbahan andesit. Lingga ini terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian bawah berbentuk kubus, bagian tengah berbentuk prisma segidelapan dan bagian atas berbentuk silinder. Bagian atas lingga ini sudah patah dan lingga diletakkan secara terbalik. Gambar 61. Gundukan bata di Candi Pucangan, Desa Sriombo. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) Ganesha yang sekarang disimpan di museum Jawa Tengah, arca Nandi, gelanggelang emas, serta batu giok. Selain itu ditemukan pula keramik asing dan batu bertakik. Menariknya, dikabarkan bahwa masyarakat juga pernah menemukan kapak perimbas di lokasi ini. Candi Pucangan sekarang terletak di tengah hutan jati dan persawahan. Selain di Desa Sriombo, masih terdapat lokasi lain dengan beberapa fragmen bata yang diduga sebagai bekas bagian dari bangunan candi, seperti di Taman Kamalapuri dan Makam Kutho yang berada di Dusun Pandeyan, Desa Sumbergirang. Gambar 60. Lingga di Desa Sendangcoyo. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) K.4. Umpak Batu Umpak batu ditemukan di tiga lokasi di Kecamatan Lasem, yaitu di stasiun pengawasan lalu lintas laut, Punden Topar dan Watu Gambir. Bagian yang Sementara itu, Candi Pucangan terletak di Dusun Sulo, Desa Sriombo. Di situs ini terdapat 2 gundukan pecahan bata yang dikelilingi oleh sebaran fragmen bata dan fragmen keramik. Secara keseluruhan luas sebaran mencapai 5 x 5 m. Berdasarkan informasi dari narasumber, dahulu di lokasi ini ditemukan arca tersisa di stasiun pengawasan lalu lintas laut adalah 9 (sembilan) umpak batu andesit yang tertata tiga berbanjar di muara Sungai Lasem. Sisa bangunan stasiun pengawasan ini terletak di Desa Dasun, di tengah area tambak. Sekarang lokasi ini sudah tidak digunakan untuk aktivitas apapun. 71 72 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Ragam Sumber Daya Arkeologi Lasem Di Dusun Topar, Desa Selopuro terdapat sebuah punden yang masih dikeramatkan oleh masyarakat sekitar. Setiap tanggal 15 bulan Sura masyarakat mengadakan ritual sedekah bumi yang dilengkapi dengan pementasan ketoprak. Punden tersebut berada di bekas makam dan terdapat 4 (empat) umpak batu andesit, 1 (satu) lumping batu, 1 (satu) terakota, dan 1 (satu) bata panjang. Umpak batu yang ditemukan berdimensi 29 x 36 x 30 cm. Umpak batu juga ditemukan di situs Watu Gambir di Dusun Argomulyo, Desa Argomulyo. Enam umpak batu yang terdapat di situs ini dipercaya oleh masyarakat sekitar sebagai umpak dari mushola yang didirikan oleh Mbak Gafar. Mbah Gafar adalah tokoh yang dianggap sebagai pendiri perkampungan Argomulyo. Rata-rata umpak batu di Situs Watu Gambir ini berukuran 30 x 32 x 33cm, kecuali satu umpak yang berukuran lebih besar dari yang lain, dengan lebar 37cm dan panjang 39cm. Gambar 62. Umpak di stasiun pengawasan lalu lintas laut di Desa Dasun. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) Gambar 64. Watu Gambir di Desa Argomulyo. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) Gambar 63. Umpak batu di Desa Selopuro. (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) 73 74 75 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara LASEM MENATAP MASA DEPAN 76 Lasem Menatap Masa Depan Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Menjaga Lasem Untuk Masa Depan Daya tarik Lasem sebagai sebuah potret kehidupan masyarakat Tionghoa di pesisir Jawa seolah tidak ada habisnya. Dari tahun ke tahun, penelitian tentang Lasem masih terus dilakukan. Bukan saja penelitian arkeologi masih sangat kepunahan, apresiasi publik terhadap tinggalan-tinggalan di Lasem perlu ditumbuhkan, agar masyarakat dapat lebih menghargai dan berapresiasi terhadap tinggalan-tinggalan budaya dari masa lalu Lasem yang pada akhirnya membentuk wajah Kota Lasem seperti sekarang. terbatas kuantitasnya yang pernah dilakukan di Lasem, tetapi juga kuantitas Langkah awal yang dapat dilakukan dalam upaya pelestarian ini adalah dengan data arkeologi yang terkandung di Lasem hingga tahun 2011 masih sangat melakukan pendataan objek secara menyeluruh, untuk kemudian ditentukan banyak yang belum diungkapkan. Di wilayah Lasem, yang sudah dikenal tinggalan-tinggalan mana saja yang perlu diprioritaskan. Setelah itu dapat setidak-tidaknya sejak abad ke-14 dan mencapai puncak kejayaannya pada dibuat tanda, misalnya berupa papan informasi yang komunikatif pada abad ke-19, tentunya pernah terjadi berbagai dinamika dalam berbagai aspek tinggalan-tinggalan tersebut. Di samping itu perlu dilakukan penyuluhan atau kehidupan, baik dalam aspek politik, ekonomi, sosial, keagamaan, dan lain sosialisasi mengenai tinggalan-tinggalan tersebut. Hal ini diharapkan dapat sebagainya di masa lalu. membuat publik lebih mengenali kekayaan budaya mereka dan sekaligus Penelitian arkeologi yang pernah dilakukan di wilayah Lasem sebelumnya hingga tahun 2011 baru terbatas pada Caruban dan Bonang. Penelitian lain menumbuhkan kecintaan dan apresiasi mereka terhadap tinggalan-tinggalan tersebut. adalah tentang arsitektur bangunan rumah tinggal maupun bangunan Semangat pelestarian sumber daya arkeologi yang ada di Lasem tentu harus peribadatan (kelenteng). Sementara itu data mengenai sumber daya arkeologi diselaraskan dengan UU RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Kecamatan yang berhasil dikumpulkan pada penelitian tahun 2011 ini menunjukkan bahwa Lasem yang di dalamnya terdapat sebaran sumber daya arkeologi layak untuk Lasem memiliki potensi yang sangat besar yang belum banyak diungkapkan ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya. Upaya pelestariannya kemudian oleh para ahli maupun para pelaku riset. Data yang dihimpun dari penelitian disesuaikan dengan kesatuan cagar budaya yang ada di kawasan tersebut. Di Balai Arkeologi DIY ini diharapkan dapat memberi gambaran yang lebih dalam UU RI No. 11 Tentang Cagar Budaya, sebelum cagar budaya ditetapkan lengkap dan menyeluruh mengenai potensi sumber daya arkeologi di wilayah melalui proses penetapan, terdapat lima nilai penting cagar budaya yang Lasem. Selain itu, himpunan data tersebut juga diharapkan dapat digunakan dipenuhi. Kelima nilai penting tersebut adalah nilai penting sejarah, ilmu sebagai acuan dasar bagi pengembangan penelitian-penelitian selanjutnya, pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan. Kelima nilai penting yang diharapkan dapat mengungkapkan secara lebih jelas dan menyeluruh ini dapat dimiliki semuanya atau sebagian saja. mengenai peran dan dinamika Lasem di masa lalu. Ÿ Nilai Penting Sejarah Pelestarian Lasem dan Harapan yang Dititipkan Lasem tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan pesisir Jawa. Sumber daya arkeologi di Lasem yang berhasil dihimpun dari penelitian ini Tinggalan arkeologi di Lasem menunjukkan adanya dinamika kehidupan manusia dari mulai periode prasejarah, Hindu-Budha, Islam, kolonial, hingga terdiri atas bangunan, artefak, toponim, maupun petilasan. Seluruh sumber masa sekarang ini. Lasem juga mencatatkan sejarah tentang dinamika daya arkeologi tersebut tentunya diharapkan dapat terjaga kelestariannya kehidupan orang-orang Tionghooa sejak masa kolonial hingga sekarang. supaya dapat terus dinikmati di masa depan nanti. Meskipun dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti pasca tahun 2011, diketahui bahwa perubahan kondisi sumber daya arkeologi di Lasem cukup dinamis. Seluruh data tersebut perlu ditempatkan sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan. Secara fisik, tinggalan-tinggalan arkeologi di Lasem, terutama yang berasal dari masa kejayaan Lasem di akhir abad ke-19, masih dapat disaksikan hingga kini, meskipun telah mengalami berbagai penurunan dalam kualitas maupun kuantitas. Untuk dapat melestarikan tinggalan-tinggalan yang masih ada tersebut, sebelum semakin mengalami penurunan maupun terancam Ÿ Nilai Penting Ilmu Pengetahuan Lasem merupakan media pengembangan ilmu pengetahuan karena menyediakan ruang yang luas untuk diuraikan secara akademis. Lasem berpotensi untuk diteliti oleh beragam bidang ilmu pengetahuan dengan keragaman data yang dimilikinya. 77 78 - Arkeologi Lasem kaya akan tinggalan cagar budaya yang berpotensi untuk dikaji secara arkeologis. Di Lasem, kita dapat menerapkan ilmu pengetahuan arkeologi untuk mengungkap aspek tangible heritage di dalamnya. - 79 Lasem Menatap Masa Depan Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Strategi Pengelolaan Kawasan Lasem Berdasarkan penelusuran sejarah, identifikasi objek, dan penentuan nilai penting kawasan Lasem, perlu kiranya untuk ditentukan strategi pengelolaannya. Salah satu upaya untuk penentuan strategi pengelolaan Antropologi adalah dengan melakukan analisis SWOT, sebagaimana tampak pada bagan Lasem menyediakan ruang pembelajaran antropologis, seperti misalnya berikut: bagaimana interaksi kehidupan masyarakat Lasem dari masa ke masa pembelajaran tentang bagaimana latarbelakang budaya dapat melebur menjadi satu dan hidup berdampingan dengan harmonis. Identification of the heritage place or object Teknik Arsitektur Kajian arsitektur tentu tidak dapat dipisahkan dari Lasem. Bangunan khas Tionghoa dan Indis merupakan media pembelajaran yang masih dapat Ÿ Nilai Penting Pendidikan Menyoal perihal nilai penting pendidikan, di Lasem ini kita dapat mengembangkan nilai-nilai kultural dan filosofis sebagai landasan pembelajaran. Salah satu aspek dari pendidikan adalah bagaimana seseorang dapat mengambil pembelajaran akan suatu kejadian. Misalnya, kita dapat belajar bagaimana dinamika sejarah Lasem ini mewarnai kehidupan dan interaksi masyarakat di dalamnya. Ÿ Decision Making ditemui hingga sekarang ini. Di Lasem ini dapat dijumpai bangunanbangunan kuno dari abad ke-17 yang masih utuh hingga sekarang ini. Assessment of cultural significance Assessment of management contra and opportunities Design of management policy for the place based on cultural Significance and management confront Analisis SWOT - Analisis Bombay dan penerapan toleransi di dalamnya. Lasem juga menjadi media Design of management policy for the place based on cultural Significance to and achieve the conservation policy Nilai Penting Agama Lasem mengajarkan bagaimana Indonesia memberikan ruang untuk kebebasan beragama secara merdeka. Sejarah mencatat bahwa dalam perjalanannya, kebebasan berekspresi beragama ini pernah menemui titik Setting up a management monitoring system which allows reassessment of any system of the process and consequent revision of the plan kelamnya pada masa tertentu. Kini, Lasem bahkan menjadi destinasi wisata khusus perayaan keagaman, misalnya saja perayaan Imlek setiap tahunnya. Ÿ Nilai Penting Kebudayaan Nilai penting kebudayaan kawasan Lasem merupakan aspek yang paling menonjol di antara nilai penting lainnya. Di Lasem ini, kita dapat merasakan nuansa budaya Jawa berdampingan dengan budaya Tionghoa yang sarat akan filosofi dan simbol. Kedua budaya ini saling melengkapi dan mewarnai perjalanan Lasem dari masa ke masa. Gambar 65. Kerangka perencanaan konservasi warisan budaya, disadur dari Parson, M & Sullivan, S (1995) (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) 80 Lasem Menatap Masa Depan Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Analisis SWOT Kendala dan Peluang dalam Pengelolaan Kawasan Lasem Ÿ Strengths Ÿ Ÿ Ÿ Kawasan Lasem merupakan kawasan yang kaya akan tinggalan cagar budaya. Di dalamnya terdapat objekobjek cagar budaya: bangunan rumah tinggal, tempat peribadatan, gudang, sekolah, bangunan publik, dan tinggalan masa klasik hingga kolonial lainnya. Kawasan Lasem merupakan kawasan yang kaya akan filosofi. Ÿ Kawasan Lasem yang kaya akan tinggalan cagar budaya berpeluang untuk dikembangkan ke arah sektor wisata. Ÿ KCB Lasem berpeluang untuk menjadi “learning area” sebagai media pembelajaran tata ruang kota berbasis filosofi. Ÿ Selain cagar budaya yang bersifat tangible, di Lasem KCB yang intangible. Weaknesses Ÿ KCB Lasem yang kaya akan tinggalan cagar budaya belum dimanfaatkan secara maksimal oleh stakeholders terkait. Ÿ Rendahnya kesadaran masyarakat untuk ikut menjaga KCB, seperti misalnya banyaknya perubahan bentuk bangunan Ÿ Opportunities Banyaknya bangunan yang sudah berubah bentuk dan fungsi seiring kuatnya tekanan pertambahan jumlah penduduk. Cagar budaya yang bersifat intangible merupakan aspek p e n d u ku n g u n t u k dikembangkan menjadi sebuah “cultural city” yang dipadukan dengan cagar budaya yang tangible. Threats Ÿ Ÿ Kurang ditangkapnya potensi K C B L a s e m o l e h stakeholders, sehingga pengembangan wilayah di KCB Lasem luput melibatkan tinggalan-tinggalan cagar budaya tersebut. Di masa mendatang, bila masyarakat tidak dilibatkan untuk peduli terhadap kelestarian KCB Lasem, kerusakan simultan tidak hanya pada aspek tangible tetapi berpengaruh pada aspek intangible. Serbuan gelombang ko n s u m e r i s m e p a d a e r a global mendesak “lepasnya” beberapa komponen di KCB Lasem untuk kemudian berorientasi pasar dengan mendirikan bangunanbangunan berorientasi “leisure”. Analisis peluang dan hambatan Ÿ Analisis peluang: mencakup analisis terhadap strengths dan opportunities, Ÿ Analisis hambatan: mencakup analisis terhadap weaknesses dan threats. Ÿ Strengths dan weaknesses merupakan faktor internal yang dimiliki objek. Ÿ Opportunities dan threats adalah faktor eksternal yang harus dihadapi objek. Analisis Peluang Strengths Ÿ Kawasan Lasem merupakan kawasan yang kaya akan tinggalan cagar budaya. Di dalamnya terdapat objekobjek cagar budaya: bangunan rumah tinggal, tempat peribadatan, gudang, sekolah, bangunan publik, dan tinggalan masa klasik hingga kolonial lainnya. Ÿ Kawasan Lasem merupakan kawasan yang kaya akan filosofi. Ÿ Selain cagar budaya yang bersifat tangible, di Lasem KCB yang intangible. Opportunities Ÿ Kawasan Lasem yang kaya akan tinggalan cagar budaya berpeluang untuk dikembangkan ke arah sektor wisata. Ÿ KCB Lasem berpeluang untuk menjadi “learning area” sebagai media pembelajaran tata ruang kota berbasis filosofi. Ÿ Cagar budaya yang bersifat intangible merupakan aspek p e n d u ku n g u n t u k dikembangkan menjadi sebuah “cultural city” yang dipadukan dengan cagar budaya yang tangible. 81 82 Lasem Menatap Masa Depan Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Analisis Hambatan Weaknesses Ÿ Ÿ Ÿ KCB Lasem yang kaya akan tinggalan cagar budaya belum dimanfaatkan secara maksimal oleh stakeholders terkait. Rendahnya kesadaran masyarakat untuk ikut menjaga KCB, seperti misalnya banyaknya perubahan bentuk bangunan. Banyaknya bangunan yang sudah berubah bentuk dan fungsi seiring kuatnya tekanan pertambahan jumlah penduduk. Ÿ Kawasan Lasem merupakan kawasan yang kaya akan tinggalan cagar budaya. Di dalamnya terdapat objekobjek cagar budaya: bangunan rumah tinggal, tempat peribadatan, gudang, sekolah, bangunan publik, dan tinggalan masa klasik hingga kolonial lainnya. Ÿ Kawasan Lasem merupakan kawasan yang kaya akan filosofi. Threats Ÿ Ÿ Ÿ Kurang ditangkapnya potensi K C B L a s e m o l e h stakeholders, sehingga pengembangan wilayah di KCB Lasem luput melibatkan tinggalan-tingalan cagar budaya tersebut. Di masa mendatang, bila masyarakat tidak dilibatkan untuk peduli terhadap kelestarian KCB Lasem, kerusakan simultan tidak hanya pada aspek tangible, tetapi berpengaruh pada aspek intangible. Serbuan gelombang ko n s u m e r i s m e p a d a e r a global mendesak “lepasnya” beberapa komponen di KCB Lasem untuk kemudian berorientasi pasar dengan mendirikan bangunanbangunan berorientasi “leisure”. Faktor Internal Objek Strengths Ÿ Ÿ Ÿ Ÿ KCB Lasem yang kaya akan tinggalan cagar budaya belum dimanfaatkan secara maksimal oleh stakeholders terkait. Rendahnya kesadaran masyarakat untuk ikut menjaga KCB, seperti misalnya banyaknya perubahan bentuk bangunan. Ÿ Banyaknya bangunan yang sudah berubah bentuk dan fungsi seiring kuatnya tekanan pertambahan jumlah penduduk. Selain cagar budaya yang bersifat tangible, di Lasem KCB yang intangible. Faktor Eksternal Objek Opportunities Ÿ Kawasan Lasem yang kaya akan tinggalan CB berpeluang untuk dikembangkan ke arah sektor wisata Ÿ KCB Lasem berpeluang untuk menjadi “learning area” sebagai media pembelajaran tata ruang kota berbasis filosofi Ÿ Weaknesses Ÿ CB yang bersifat intangible m e r u p a k a n a s p e k p e n d u ku n g u n t u k dikembangkan menjadi sebuah “cultural city” yang dipadukan dengan CB yang tangible Threats Ÿ Kurang ditangkapnya potensi K C B L a s e m o l e h stakeholders, sehingga pengembangan wilayah di KCB Lasem luput melibatkan tinggalan-tingalan CB tersebut Ÿ Di masa mendatang, bila masyarakat tidak dilibatkan untuk peduli terhadap kelestarian KCB Lasem, kerusakan simultan tidak hanya pada aspek tangible tetapi berpengaruh pada aspek intangible Ÿ Serbuan gelombang ko n s u m e r i s m e p a d a e r a global mendesak “lepasnya” beberapa komponen di KCB Lasem untuk kemudian berorientasi pasar dengan mendirikan bangunanbangunan berorientasi “leisure” 83 84 85 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Formulasi Strategi SWOT Kawasan Lasem Analisis SWOT digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman di Kawasan Lasem secara sistematis. Dengan melakukan analisis SWOT, sebuah rumusan strategi pengelolaan KCB Lasem dapat disusun. Setidaknya terdapat empat formulasi strategi yang dapat disusun berdasarkan analisis SWOT yang telah dilakukan: 1. Strategi SO, adalah strategi yang menggunakan faktor kekuatan untuk memanfaatkan atau meraih peluang 2. Strategi ST, adalah strategi yang menggunakan faktor kekuatan untuk mengatasi ancaman 3. Strategi WO, adalah strategi yang meminimalkan faktor kelemahan untuk meraih peluang 4. Strategi WT adalah strategi yang meminimalkan faktor kelemahan untuk lolos dari ancaman (Siswanto, 2011, pp. 115-123) Kawasan Lasem merupakan kawasan yang kaya akan tinggalan-tinggalan cagar budaya. Sebagai kawasan yang telah berkembang sejak lebih dari 300 tahun yang lalu, Kawasan Lasem menjadi saksi sejarah perkembangan kota di pesisir Jawa. Untuk itulah, pelestarian cagar budaya di Kawasan Lasem ini sudah sepatutnya menjadi agenda penting stakeholders terkait. Pemerintah melalui isntitusi di daerah sebagai perpanjangan tangan harus serius dalam mengelola Kawasan Lasem ini karena saat ini sudah banyak tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masyarakat mengakibatkan rusaknya cagar budaya di wilayah tersebut. seperti misalnya pengubahan bentuk dan struktur bangunan yang tidak selaras dengan semangat pelestarian. Langkah-langkah konkret pelestarian cagar budaya di Kawasan Lasem harus segera dilakukan demi mewujudkan Kawasan Lasem sebagai pusat pembelajaran tata ruang kota berikut filosofinya. Aspek yang tidak boleh dilewatkan adalah pelibatan stakeholders dan masyarakat. Bagaimanapun, masyarakat perlu dilibatkan karena cagar budaya adalah milik masyarakat dan menjadi bagian dari keseharian mereka. EPILOG 86 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Epilog Frasa bergaya pesimis yang ditulis di akhir Prolog tentu harus disikapi. Bab demi pertanian, serta kegiatan yang kurang disadari, yaitu pariwisata. Selain itu, bab dalam buku ini membuka cakrawala bahwa Lasem ternyata memiliki secara khusus Haryono (2003a, p. 9) mengingatkan bahwa perkembangan kekayaan kultural yang tidak biasa-biasa saja, setidaknya dari perspektif pariwisata yang secara langsung berkaitan dengan perkembangan ekonomi arkeologi. Kekayaan data cagar budaya, benda dan tak-benda, ditambah sebagai salah satu sumber devisa negara, tidak akan ada artinya jika kekayaan filosofi yang dimiliki Lasem dapat menjadi bekal untuk menjaga keselamatan warisan budaya tersebut tidak terjaga. optimisme akan eksistensi Tiongkok Kecil di masa depan. Unsur peradaban Peningkatan pendapatan melalui sektor pariwisata berbasis cagar budaya lainnya yang berakar jauh hingga peradaban masa Hindu-Buddha ditambah unsur Eropa, semakin menyempurnakan kekayaan kultural Lasem. Apa pun unsur yang melekat pada kekuatan dan peluang, memang perlu diramu dengan cara yang tepat agar Lasem kembali sentosa; setidaknya dalam konteks mutakhir. memang menjadi kebutuhan dan tuntutan, tetapi pelestarian warisan budaya merupakan prioritas utama yang harus dilakukan (Adrisijanti & Istiyanto, 2000, p. 10). Memang, dalam batasan tertentu cagar budaya dipandang memberi manfaat lebih apabila dapat mendatangkan kesejahteraan nyata kepada masyarakat secara ekonomis (Atmosudiro, 2004, p. 17). Lebih jauh dijelaskan Mari mulai dengan bertanya pada “langit”, melalui search engine tentunya. Apa bahwa minat masyarakat yang sangat besar terhadap artefak serta benda- hasilnya jika kita mengetik “tiongkok kecil” di search engine ? Hasilnya, dari lima benda antik dan seni diketahui telah menyebabkan munculnya pasar yang tautan teratas –abaikan video dan foto–semuanya berkaitan dengan perjalanan menjanjikan. Minat masyarakat tersebut di satu sisi mendorong terciptanya wisata. Apa pula hasilnya jika kita mengganti kata kunci dengan mengetik peluang untuk mengelola sumber daya arkeologi sehingga dapat “lasem”? Dari lima tautan teratas, tiga di antaranya berhubungan dengan dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomik. Selain itu, suburnya peluang perjalanan wisata, dua tautan lainnya berupa informasi Lasem sebagai wilayah semacam ini juga didorong oleh kecenderungan tren pariwisata yang administrasi. Lalu, apa makna “petunjuk” dari langit ini? Kira-kira seperti ini berorientasi pada pariwisata budaya. Namun demikian, sifat dan nilai yang maknanya. Pertama, Tiongkok Kecil dan Lasem adalah lokasi yang sama, sudah terkandung di dalam sumberdaya arkeologi seharusnya menjadi rambu-rambu banyak orang yang mengetahui. Kedua, Lasem dikelola sebagai destinasi bagi dalam mengemas dan memasarkan sumberdaya arkeologi sehingga pelancong dan dipromosikan secara sistematis, karena potensi eksotis kultural pemanfaatannya berasaskan perlindungan dan pelestarian (Atmosudiro, Lasem sudah disadari. Lebih penting dari kedua hal itu adalah pemahaman 2004, p. 18). bahwa Lasem ditempatkan sebagai kawasan kultural, bukan sekadar spot-spot, Sifat dan nilai yang terkandung pada sumber daya arkeologi Lasem sudah karena satu bagian terkait dengan bagian lainnya. diuraikan dengan jelas dalam buku ini. Sebagai warisan budaya, secara Lasem sudah “dijajakan”, apakah itu salah? Tentu saja tidak, justru dengan cara akademis Lasem memenuhi syarat menjadi kawasan cagar budaya. Dalam memanfaatkan itulah seharusnya ada jaminan kelestarian, karena jika cagar kerangka peraturan perundangan pun sesuai, karena Lasem berada pada budaya di Lasem sampai musnah, apa lagi yang akan dijajakan? Pelestarian dan satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang pemanfaatan, khususnya pariwisata, pada dasarnya memiliki hubungan yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas (Pasal 1 sifatnya resiprokal, sekaligus merupakan dua kepentingan yang strategis ayat (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 tentang (Haryono, 2003b, p. 9). Beberapa kerangka pemikiran untuk mendekati Cagar Budaya). Namun demikian, status Lasem sebagai kawasan cagar budaya persoalan yang resiprokal ini antara lain adalah konsep peddle or perish harus diperjuangkan hingga penetapan, jika belum disahkan. Proses dan (Macleod, 1977, pp. 63–72) yang pada intinya menyatakan bahwa cagar budaya prosedur pengesahan disesuaikan dengan uraian yang ada pada UU tersebut. dapat terancam kelestariannya apabila tidak dimanfaatkan, “jajakan atau musnah”. Status sebagai cagar budaya dalam banyak hal akan memberi keleluasaan dalam pengelolaannya dan yang lebih penting adalah jaminan kelestariannya. Pemanfaatan secara ekonomik dengan menjadikan cagar budaya sebagai Oleh karena itu dalam pengelolaan juga harus mengacu pada UU. Menurut objek wisata, di sisi lain kadang memang dianggap sebagai ancaman bagi Pasal 1 ayat (21) UU RI Nomor 11 Tahun 2010, pengelolaan adalah upaya terpadu kelestarian. Colin Renfrew dan Paul Bahn (1996, p. 521) menyatakan bahwa untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya banyak faktor yang dapat merusak situs, tetapi faktor manusia adalah yang melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan paling kompleks dan rumit, seperti pembangunan (jalan, gedung, dsb.), untuk sebesar besarnya kesejahteraan rakyat. Artinya, Lasem dapat 87 88 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Epilog dimanfaatkan melalui tahap pelindungan dan tahap pengembangan terlebih yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem dahulu, sesuai UU; semangatnya adalah agar pemanfaatannya dapat Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Terkait dengan penelitian dan berkesinambungan dan terjaga kelestariannya. pengembangan, dijelaskan dalam Pasal 1 UU tersebut, sebagai berikut. Siapa yang mengelola? Seharusnya seluruh stakeholder secara sinergi, oleh Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut metodologi ilmiah untuk karena itu di dalam UU dinyatakan sebagai “upaya terpadu”. Seperti apa aspek manajerialnya? Tentunya melalui berbagai kebijakan pada setiap tahapannya. Dalam hal pengaturan terkait dengan perencanaan pengelolaannya, misalnya ke arah mana, berbentuk apa, dan bagaimana mengemas kawasan Lasem; kebijakan dalam pengaturan juga berlaku pada proses pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan. Sesungguhnya, untuk apa pengelolaan cagar budaya diperuntukkan? Menurut UU RI Nomor 11 Tahun 2010, untuk sebesar memperoleh data dan informasi yang berkaitan dengan pemahaman tentang fenomena alam dan/atau sosial, pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis, dan penarikan kesimpulan ilmiah (Ayat 6). Pengembangan adalah kegiatan untuk peningkatan manfaat dan daya dukung Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah terbukti kebenaran dan keamanannya untuk meningkatkan fungsi dan manfaat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Ayat 7). besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya Berkaitan dengan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, dalam UU (Pasal 1, Ayat 33). disebutkan tujuan Sistem Nasioal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi adalah Artinya, jika pengelolaan kawasan Lasem sebagai cagar budaya tidak membawa rakyat menjadi sejahtera, pengelolaannya perlu dievaluasi dan diperbaiki. Demikian pula apabila pemanfaatan cagar budaya di Lasem ternyata mengancam kelertarian cagar budaya itu sendiri, maka mekanisme pengelolaannya juga wajib ditinjau kembali untuk dibetulkan. Kedudukan dan peran penelitian arkeologi tidak sebatas menghadirkan nilai penting saja, karena seharusnya interpretasi hasil penelitian menjadi fondasi meningkatkan pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk pembangunan nasional berkelanjutan, kualitas hidup, dan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 butir (c). Tidak kalah pentingnya adalah Kedudukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang tercantum pada Pasal 6, khususnya Ayat (1), yaitu Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berkedudukan sebagai modal dan investasi jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang pembangunan nasional untuk: dan kerangka bagi pelestarian. Dalam hal ini, sebagaimana diterangkan secara a. meningkatkan kualitas hidup manusia; lengkap dalam buku ini, Lasem berada dalam rona sejarah Nusantara; bagian b. meningkatkan kesejahteraan rakyat; dari pengalaman panjang bangsa Indonesia. Data arkeologi sebagai cagar c. meningkatkan kemandirian; budaya ditambah kekayaan budaya non-bendawi yang dimiliki Lasem menjadi pijakannya. Menurut Howard (2003, p. 244), interpretasi merupakan salah satu dari tiga d. memajukan daya saing bangsa; e. memajukan peradaban bangsa; bagian utama heritage selain konservasi dan manajemen. Namun demikian, f. interpretasi harus dipresentasikan kepada masyarakat agar nilai-nilainya dapat g. melindungi dan melestarikan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik dipahami dan meningkatkan apresiasi terhadap cagar budaya. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Tilden sebagaimana dikutip oleh Nuryanti (1996, p. 253) ada beberapa prinsip dasar dalam interpretasi, antara lain adalah: interpretasi meliputi informasi; interpretasi adalah seni; tujuan utama menjaga kelestarian alam; Indonesia; dan h. menjadi dasar dalam perumusan kebijakan dan menjadi solusi masalah pembangunan. interpretasi adalah sebagai pancingan; interpretasi dikemas menurut segmen dalam arti “beda segmen beda kemasan”. Tentu saja diperlukan usaha dan perjuangan untuk itu, sehingga … to be successful, interpretation require a range of method, media, material and management… (Nuryanti, 1996, p. 253, 2004, p. 16). Kerangka penelitian arkeologi juga tidak terlepas dari peraturan perundangan, Kemanfaatan hasil penelitian arkeologi bagi masyarakat sebenarnya bukan hal yang sama sekali baru. Kerangka penelitian arkeologi dalam batasan tertentu dapat didasarkan pada gagasan Macleod (1977) tentang hubungan resiprokal antara kalangan akademik, pemerintah, dan masyarakat. Gambaran kerangka tersebut setelah dimodifikasi oleh Tanudirjo dkk. dapat dilihat di Gambar 66 (Tanudirjo et al., 1994, p. 15): 89 90 91 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara DAFTAR PUSTAKA AKADEMIA Gagasan-Gagasan Baru Perencanaan Lingkungan Program Pendidikan Prioritas Pemanfaatan Sumberdaya Pengkajian Ilmiah Prediksi Sumberdaya Museum Program Rekreasi Publikasi PEMERINTAH Ÿ Koordinasi Ÿ Penegakan Hukum Ÿ Dana Ÿ Pendidikan Masyarakat MASYARAKAT Ÿ Kesadaran dan Kepedulian Ÿ Penyediaan Dana Ÿ Pemanfaatan Gambar 66. Hubungan antar sektor dalam pengelolaan warisan budaya. (Sumber: Tanudirjo, et.al. 1994: 15) Kerangka yang disampaikan oleh Macleod sejak tahun 1977 dan dikembangkan oleh Tanudirjo dkk. tahun 1994 barangkali juga perlu dimodifikasi dan disesuaikan dengan situasi mutakhir. Namun demikian, pada dasarnya tidak ada pertentangan antara UU No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, UU No. 11 Tahun 2019 Tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan kerangka penelitian arkeologi. Oleh karena itu semangat untuk “menjajakan” kawasan Lasem sebagai destinasi bagi pelancong perlu didukung secara nyata oleh kalangan akademia, Pemerintah, dan masyarakat sendiri. Dengan begitu pemanfaatan akan dapat berjalan beriringan dengan penelitian untuk membangun interpretasi yang lebih luas lagi kokoh dan pelestarian untuk menjamin Kawasan Lasem terlindungi, dapat dikembangkan, dan dapat dimanfaatkan secara integral. Lebih penting dari itu semua adalah upaya terpadu untuk melestarikan citra Lasem sebagai bagian dari rona sejarah Nusantara. Abbas, N. (2013). Perahu kuno Punjulharjo: Sebuah hasil penelitian. In I. Andrisijanti (Ed.), Perahu Nusantara (pp. 55–74). Yogyakarta: Kepel Press. Abdillah, M. Y., Harijoko, A., & Wibowo, H. E. (2019). Karakteristik Endapan Aliran Piroklastik Gunung Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-12. Departemen Teknik Geologi, Faluktas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Adrisijanti, I., & Istiyanto, J. E. (2000). Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Pengelolaan Warisan Budaya dalam Pengembangan Pariwisata. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Terbatas Pemanfaatan Teknologi Informasi dalam Pengelolaan Warisan Budaya dan Pengembangan Pariwisata, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1 April 2000. Atmosudiro, S. (2004). Khasanah Sumberdaya Arkeologi Indonesia: Peluang dan Kendala Pemanfaatannya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya UGM. Aziz, M. (2014). Lasem Kota Tiongkok Kecil: Intaraksi Cina, Arab, dan Jawa dalam silang budaya pesisiran. Penerbit Ombak.BPS Kabupaten Rembang. (2012). Rembang dalam Angka 2012. Budiyanto, A., & Latifah. (2019). Dampu Awang legends and its contemporary perception of the Indonesian (Javanese) Muslim againts Chinese. Journal of Integrative International Relations, 4(1), 83–106. Djafar, H. (2009). Masa Akhir Majapahit Girindrawarddhana dan Masalahnya. Komunitas Bambu. Gold, S. M. (1980). Recreation Planning and Design. The McGraw-Hill Companies, Inc. USA. Graff, H. J. de. (1985). Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa฀ : Peralihan Dari Majapahit Ke Mataram. Grafiti Press. Graff, H. J. de. (1986). Puncak Kekuasaan Mataram Politik Ekspansi Sultan Agung. Grafiti Press. Graff, H. J. de. (1987). Runtuhnya Istana Mataram. Grafiti Press. Graff, H. J. de, & Pigeaud, Y. G. T. (1984). Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV-XVI. Penerbit Mata Bangsa & Universiteit Leiden. Hakim, R. (2002). Arsitektur Lansekap: Manusia, Alam, dan Lingkungan. Universitas Trisakti. 92 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara Daftar Pustaka Handinoto. (2015). Lasem Kota Tua Bernuansa Cina di Jawa Tengah. Penerbit Ombak.Hartono, S., & Handinoto. (n.d.). Lasem: Kota Kuno di Pantai Utara Jawa yang Bernuansa China. Unpublished Paper. Nuryanti, W. (1996). Heritage and Postmodern Tourism. Annals of Tourism Research, 23(2), 249–260. Haryono, T. (2003a). Pelestarian Warisan Budaya Dunia. Makalah disampaikan dalam Seminar Pelestarian Candi Prambanan sebagai Warisan Budaya Dunia di Prambanan, Yogyakarta, 10-11 September 2003. Haryono, T. (2003b). Pengembangan dan Pemanfaatan Aset Budaya dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Makalah disampaikan pada Rapat Koordinasi Kebudayaan dan Pariwisata diselenggarakan oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata di Jakarta pada tanggal 25-27 Maret 2003. Nuryanti, W. (2004). The Role of Interpretation in Ecotourism Development. The Role of Interpretation in Ecotourism Development. Makalah disampaikan dalam Seminar International Kerjasama antara Osaka City University, Intitute Seni Indonesia dan Universitas Gadjah Mada, 3 November 2004 di Yogyakarta. Padmopuspito. (1966). Pararaton: Teks Bahasa Kawi Terjemahan Bahasa Indonesia. Taman Siswa Yogyakarta. Howard, P. (2003). Heritage, Management, Interpretation, Identity. Continuum. Pearson, M., & Sullivan, S. (1995). Looking After Heritage Places. Melbourne University Press. Jackson, J. C. (1975). The China town of Southeast Asia: Traditional component of city’s central area. Pacific Viewpoint, 16(1), 45–77. Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (2011). Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II Zaman Kuno. Edisi Pemutakhiran. Balai Pustaka. Kasnowihardjo, G., Suriyanto, R. A., Koesbardiati, T., & Murti, D. B. (2013). Modifikasi gigi manusia Binangun dan Leran: temuan baru di kawasan Pantai Utara Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Berkala Arkeologi, 33(2), 169–184. Pratiwo, M. N. (2010). Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota. Penerbit Ombak. Liebner, H. (2014). The Siren of Cirebon: A Tenth-Century Trading Vessel Lost in the Java Sea [The University of Leeds]. http://etheses.whiterose.ac.uk/ 6912/1/SirenOfCirebonFinal.pdf Macleod, D. G. (1977). Peddle or Perish: Archaeological Marketing from Concept to Product Delivery. In M. B. Schiffer & G. J. Gumerman (Eds.), Conservation Archaeology A Guide for Cultural Resources Management Studies (pp. 63–72). Academic Press. Raffles, T. S. (2008). The History of Java. Penerbit Narasi. Rangkuti, N. (1996). Pasang Naik dan Pasang Surut Kota-kota Pantai di Pesisir Utara Pulau Jawa (Studi kasus di Situs Bonang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah). Laporan Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Yogyakarta. Rangkuti, N. (1998). Struktur dan Proses Keruangan Kota-kota Pantai Utara Jawa, Kasus Kota Lasem di Rembang, Jawa Tengah. EHPA Cipayung, 16-19 Februari 1998. Manguin, P.-Y. (1991). The merchant and the king: Political myths of Southeast Asian coastal polities. Indonesia, 52, 41–54. Rangkuti, N. (2000). Pola Pemukiman Desa Masa Majapahit, Kajian Situs Arkeologi Di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur (Tahap III). Laporan Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Yogyakarta. Mochtar, A. S. (2018). The Seventh-Century Punjulharjo Boat from Indonesia: A study of the early Southeast Asian lashed-lug boatbuilding tradition. Flinders University. Rejeki, S. K. (2019). Peranan Ratu Kalinyamat dalam Perkembangan Kota Jepara (1549-1579). Sosio E-Kons, 11(2), 174–182. Noerwidi, S. (2017). Globalisasi, pelayaran-perdagangan, dan diversitas populasi: studi sisa manusia Situs Leran, Rembang, Jawa Tengah. Berkala Arkeologi, 37(2), 103–124. Nurhajarini, D., Purwaningsih, R., & Fibiona, I. (2015). Akulturasi Lintas Zaman di Lasem: Perspektif Sejarah dan Budaya (Kurun Niaga – Sekarang). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta. Nurisjah, S., & Pramukanto, Q. (2001). Perencanaan Kawasan untuk Pelestarian Lanskap dan Taman Sejarah. Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Renfrew, C., & Bahn, P. (1996). Archaeology. Theories, Method, and Practise. Second Edition. Thames and Hudson Ltd. Satari, S. S. (1983). Caruban, Lasem: Suatu situs peralihan Klasik-Islam. In Analisis Kebudayaan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sedyawati, Edy, Wurjantoro, E., & Julianto, N. S. (2012). Dinasti, Agama, dan Monumen. In E Sedyawati & H. Djafar (Eds.), Indonesia dalam Arus Sejarah, Kerajaan Hindu-Buddha. PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Siswanto. (2011). Pengelolaan Situs Hominid Patiayam Kudus, Jawa Tengah. Universitas Gadjah Mada. 93 94 95 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara LAMPIRAN Tanudirjo, D. A., Prasodjo, T., Yuwono, J. S. E., & Nugrahani, D. S. (1994). Kualitas Penyajian Warisan Budaya Kepada Masyarakat: Studi Kasus Manajemen Sumberdaya Budaya Candi Borobudur. Laporan Penelitian. Pusat Antar Universitas Studi Sosial, Universitas Gadjah Mada. Tim Penelitian. (2011). Identifikasi Potensi Sumberdaya Arkeologi di Kecamatan Lasem, Kecamatan Rembang, Jawa Tengah. Laporan Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Yogyakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 tentang Cagar Budaya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Unjiya, M. A. (2008). Lasem: Negeri Dampoawang, Sejarah yang Terlupakan. Eja Publisher & FOKMAS. Utomo, A. A. P. (2017). Potensi bahari Lasem sebagai sejarah maritim lokal. Sejarah Dan Budaya, 11(2), 141–150. Utomo, B. B. (2009). Majapahit Dalam Lintas Pelayaran dan Perdagangan Nusantara. Berkala Arkeologi, 29(2), 1–14. Van Bemmelen, R. van. (1949). The Geology of Indonesia. Vol. IA. The Hague. Gambar 67. Kelompok 1: Desa Gambar 68. Kelompok 2: Desa Babagan, Dasun, Dorokandang, Karangturi, Ngemplak, Selopura, Gedongmulyo, Jolotunda, Karasgede. Sumbergirang. (Sumber: Dokumentasi Balai (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Arkeologi Prov. DIY, 2011) Prov. DIY, 2011) Wei, Y. (2014). Admiral Zheng He’s voyages to the “West Oceans.” Education A b o u t A s i a , 1 9 ( 2 ) , 2 6 – 3 0 . h t t p s : //w w w. a s i a n s t u d i e s . o r g /w p content/uploads/admiral-zheng-hes-voyages-to-the-west-oceans.pdf Zakaria, Y. H. (1993). Arsitektur Kota Lasem (Tinjauan Mengenai Pengaruh Masyarakat Cina). Universitas Gadjah Mada. Gambar 69. Kelompok 3: Desa Kajar, Gambar 70. Kelompok 4: Desa Ngargomulyo, Sendangcoyo. Binangun, Bonang, Gowak, Soditan, (Sumber: Dokumentasi Balai Sriombo. Arkeologi Prov. DIY, 2011) (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Prov. DIY, 2011) 96 97 UCAPAN TERIMAKASIH Seperti telah disampaikan dalam dalam pengantar bahwa buku ini merupakan GLOSARIUM akulturasi hasil pemutakhiran dari penelitian yang dilakukan pada tahun 2011. Kontribusi seluruh anggota tim yang telah dituangkan dalam dokumen laporan penelitian sangat berperan sebagai materi dalam penyusunan buku ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh anggota tim penelitian: Drs. Novida Abbas, bertemu dan saling memengaruhi alluvial : jenis tanah yang terbentuk karena endapan altar : umumnya berbentuk meja yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan M.A., Drs. Siswanto, M.Hum, Dra. Indah Asikin Nurani, M.Hum., Drs Sambung Widodo, Drs. Masyhudi, M.A., Drs. Gunadi, M.Hum., Drs. M. Chawari, M.Hum., Dra. andosol membantu Tedy Setiadi, alm. Hadi Sunaryo, alm. Dekon Suyanto, Andreas Eka terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman FOKMAS yang turut membantu dalam proses penelitian. Penulisan buku ini juga sangat dibantu oleh tim yang banyak memberikan kontribusi berupa masukan dan saran berkaitan dengan layout, grafis dan hal : jenis tanah berwarna hitam yang merupakan tanah vulkanis T.M. Rita Istari, Drs. Priyatno Hadi Sulistiarto, dan seluruh teknisi yang telah Admaja, Adji Satrio, Didik Santosa, Slamet Widodo, Jiono, dan Ngadimin. Ucapan : percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling artefak : benda-benda dari masa lampau yang dibuat oleh manusia atau memiliki ciri modifikasi oleh manusia Austronesia : mengacu pada wilayah geografis yang penduduknya menuturkan bahasa Austronesia Babad Tanah Jawi : kumpulan naskah berbahasa Jawa yang berisi tentang sejarah raja-raja yang pernah berkuasa di teknis lain. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Hari Wibowo, Shoim Pulau Jawa Abdul Aziz, Tedy Setiadi, Akunnas Pratama, dan Kurnia Satrio Adi. Batavia : koloni dagang yang Belanda yang sekarang menjadi Jakarta batik Laseman : ragam batik pesisiran dengan corak yang khas, yaitu perpaduan budaya Tiongkok dan Jawa breksi : batuan yang umumnya tersusun fragmen mineral yang tersementasi bubungan : penutup sisi antara pertemuan bidang atap pada puncak atap Champa : kerajaan yang pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam Tengah dan Selatan antara abad ke-7 hingga 19 candu : getah kering pahit berwarna cokelat kekuningkuningan yang diambil dari buah Papaver somniferum, mempunyai daya memabukkan dan membius, biasanya dimakan atau diisap dengan pipa Cina Kecil : penamaan satu tempat dengan corak budaya Cina yang dominan 98 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara cultural landscape : suatu bentang alam yang terbentuk oleh aktivitas Glosarium lingga manusia atau memiliki arti penting manusia dating : penentuan umur tinggalan arkeologi dengan dari batu berbentuk silinder panjang litosol menggunakan metode tertentu fasade : sisi luar dari arsitektur sebuah bangunan fitur : sesuatu yang tidak dapat dipindahkan tanpa merubah bentuk seperti lapisan batuan, bekas : objek pemujaan umat Hindu yang umumnya terbuat : tanah yang terbentuk dari proses pelapukan batuan beku dan batuan sedimen lumpang batu : alat penumbuk biji atau bahan lain yang berbuat dari batu yang dilubangi masa Islam lubang pondasi : pembabagan sejarah budaya Indonesia sesudah masuknya pengaruh budaya Arab dan Timur Tengah galangan : tempat memperbaiki atau membuat kapal Matahun : nama salah satu kerajaan bagian dari Majapahit geomorfologi : bidang ilmu yang mempelajari bentuk permukaan mediterial : jenis tanah dengan tingkat kesuburan yang rendah, bumi grumosol : tanah yang terbentuk dari batuan induk kapur dan berwarna merah kekuningan dan abu-abu mihrab tufa vulkanik in situ : artefak yang belum dipindahkan dari lokasi tempat imam Nagarakrtagama pengendapan/penempatannya Indis intangible heritage : warisan budaya tak benda yang merupakan praktik, yang banyak menguraikan keadaan Majapahit pada nisan : penanda kubur yang biasanya terbuat dari batu orde baru : penyebutan pembabakan sejarah Indonesia yang representasi, ekspresi, pengetahuan, atau keterampilan, serta instrumen, objek, artefak, dan ruang budaya yang dianggap oleh UNESCO sebagai bagian dari warisan budaya suatu tempat Kerajaan Vassal : kerajaan bawahan keramik asing : keramik yang diproduksi oleh negara luar umumnya dari Cina, Vietnam, Thailand, Eropa Kelenteng : bangunan tempat memuja (berdoa, bersembahyang) dan melakukan upacara keagamaan bagi penganut Konghucu Kolonial (masa) : pembabagan sejarah budaya Indonesia sesudah masuknya kolonialisme konglomerat (geologi) : batuan sedimen berbutir kasar landmark : fitur geografis baik alami maupun buatan manusia berlangsung antara tahun 1966–1998 Pararaton : bentukan wilayah yang tersusun atas bentuk tanah, vegetasi dan struktur buatan manusia : naskah kesusastraan berbahasa Jawa kuna yang berisi tentang kisah kerajaan Singasari dan Majapahit pesisir : wilayah daratan yang berbatasan dengan laut Pra-Islam : pembabagan sejarah budaya Indonesia sebelum masuknya pengaruh budaya Arab dan Timur Tengah pundung : penyebutan masyarakat untuk temuan struktur bata kuna regosol : jenis tanah berbutir kasar berasal dari material gunung api senthong : kosakata Jawa untuk menyebut kamar tidur soko guru : tiang utama penopang bangunan stakeholder : adalah pihak yang berkepentingan atau pemangku kepentingan suatu perusahaan atau organisasi yang digunakan sebagai penanda suatu tempat lanskap : naskah kesusastraan pujangga kerajaan Majapahit masa pemerintahan Hayam Wuruk : gaya bangunan gabungan antara gaya budaya lokal dengan gaya bangunan kolonial : bagian dari bangunan masjid yang berfungsi sebagai talud : bagian bangunan yang berfungsi untuk meningkatkan kestabilan tanah 99 100 Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara tangible heritage : hasil budaya manusia yang dapat dipindahkan tiang doria : jenis penyangga atap berbentuk bulat dan melebar pada bagian tengah topografi : istilah yang berkaitan dengan kemiringan dan kontur lahan toponim : nama tempat yang mengacu pada asal-usul dan sejarah penamaannya tumpang sari (atap) : susunan rangka atap bertingkat yang diletakkan di atas empat tiang utama ubin : penutup lantai yang umumnya terbuat dari campuran pasir, bebatuan, semen, dan dicetak vegetasi : ragam tanaman dan tumbuhan yang menempati suatu bentang lahan Wilwatikta : nama lain dari Majapahit