Academia.eduAcademia.edu

BERBAHASA, BERFIKIR, DAN PROSES MENTAL DALAM KAJIAN PSIKOLINGUISTIK

2020, Jurnal al-takdir

https://doi.org/10.19109/taqdir.v6i1.5858

Abstrak Bahasa merupakan alat komunikasi manusia. Manusia di beri anugrah akal oleh Allah untuk mengolah bahasanya. Berbahasa berarti melakukan kegiatan yang melibatkan otak dan psikis. Dalam berbahasa manusia menghasilkan suara, simbol-simbol, dan tanda-tanda kebahasaan. Dengan akalnya manusia memikirkan struktur ungkapan-ungkapan yang akan diucapkan. Ini berarti ada hubungan antara berbahasa dan berfikir. Manusia menggunakan indra ucapnya untuk mengungkapkan isi pikirannya menghasilkan pola kata, ungkapan, dan kalimat. Manusia dengan pikirannya mengatur struktur kebahasaannya yang akan diucapkan. Dua kegiatan ini melibatkan perilaku mental atau psikis. Dalam rumpun keilmuan, hal-hal yang berhubungan dengan unsur kebahasaan di kaji dalam ilmu linguistik, proses kebahasaan dalam otak dikaji dalam ilmu neurolinguistik, proses mental dikaji dalam ilmu psikolinguistik. Dengan interkoneksi ketiga rumpun ilmu itu muncullah ilmu psikolinguistik yang mengkaji gejala-gejaja berbahasa manusia, proses pemerolehannya, dan problem-problem yang mempengaruhi perkembangannya pada manusia dan lain-lainnya. Psikolinguistik dalam rumpun mata kuliah diperguruan tinggi, menurut standar KKNI masuk pada ranah ilmu kebahasaan dan interdisipliner. Dalam kajian perkembangan ilmu kebahasaan masuk pada pembahasan makro linguistik. artinya ada hal-hal eksternal kebahasaan yang mempengaruhi perkembangannya.

BERBAHASA, BERFIKIR, DAN PROSES MENTAL DALAM KAJIAN PSIKOLINGUISTIK Oleh : Cahya Edi Setyawan Dosen STAI Masjid Syuhada Abstrak Bahasa merupakan alat komunikasi manusia. Manusia di beri anugrah akal oleh Allah untuk mengolah bahasanya. Berbahasa berarti melakukan kegiatan yang melibatkan otak dan psikis. Dalam berbahasa manusia menghasilkan suara, simbol-simbol, dan tanda-tanda kebahasaan. Dengan akalnya manusia memikirkan struktur ungkapan-ungkapan yang akan diucapkan. Ini berarti ada hubungan antara berbahasa dan berfikir. Manusia menggunakan indra ucapnya untuk mengungkapkan isi pikirannya menghasilkan pola kata, ungkapan, dan kalimat. Manusia dengan pikirannya mengatur struktur kebahasaannya yang akan diucapkan. Dua kegiatan ini melibatkan perilaku mental atau psikis. Dalam rumpun keilmuan, hal-hal yang berhubungan dengan unsur kebahasaan di kaji dalam ilmu linguistik, proses kebahasaan dalam otak dikaji dalam ilmu neurolinguistik, proses mental dikaji dalam ilmu psikolinguistik. Dengan interkoneksi ketiga rumpun ilmu itu muncullah ilmu psikolinguistik yang mengkaji gejala-gejaja berbahasa manusia, proses pemerolehannya, dan problem-problem yang mempengaruhi perkembangannya pada manusia dan lainlainnya. Psikolinguistik dalam rumpun mata kuliah diperguruan tinggi, menurut standar KKNI masuk pada ranah ilmu kebahasaan dan interdisipliner. Dalam kajian perkembangan ilmu kebahasaan masuk pada pembahasan makro linguistik. artinya ada hal-hal eksternal kebahasaan yang mempengaruhi perkembangannya. Kata kunci: Berbahasa, Berfikir, Psikolinguistik. ‫مستخلص‬ .‫ التحدث يعين القيام ابألنشطة تنطوي على الدماغ والنفسية‬.‫جلة اللغة‬ ‫ مينح هللا البشر هداية العقل ملعا‬.‫اللغة هي أداة التواصل البشري‬ .‫ يعتقد البشر بنية التغيًنات اليت سيتم التحدث هبا‬,‫ وابلعقل‬.‫يف اللغة البشرية تنتج األصوات والرموز والعالمات اللغوية‬ ‫ يستخدم البشر حواسهم للتعبًن عن حمتوايت عقوهلم إلنتاج أمناط الكلمات والتعابًن‬.‫غة والتفكًن‬ ‫هذا يعين أن هناك عالقة بٌن الل‬ ‫ يف األسرة‬.‫ ينطوي هذان النشاطان على سلوك عقلي أو نفسي‬.‫ حيدد البشر بعقوهلم البنية اللغوية اليت سيتم التحدث هبا‬.‫واجلمل‬ ‫ ويتم‬،‫ ويتم دراسة العمليات اللغوية يف الدماغ يف علم اللغة العصيب‬،‫ يتم فحص األمور املتعلقة ابلعناصر اللغوية يف علم اللغة‬،‫العلمية‬ ‫ مع الرتابط بٌن جمموعات املعرفة الثالث أييت علم اللغة النفسي الذي يفحص مع الرتابط‬.‫دراسة العمليات العقلية يف علم اللغة النفسي‬ ‫ واملشاكل اليت تؤثر على‬,‫ وعملية اكتساهبا‬,‫لثالث أييت علم اللغة النفسي الذي يفحص أعراض اللغة البشرية‬ ‫بٌن جمموعات املعرفة ا‬ ‫ ينتمي إىل عامل العلوم‬، KKNI ‫ وف ًقا ملعايًن‬،‫ علم اللغة النفسي يف جمموعة من مؤسسات التعليم العايل‬.‫تطورها يف البشر وغًنهم‬ ‫ مبعىن أن هناك أشياء لغوية خارجية تؤثر‬.‫اللغوايت املدرجة يف مناقشة اللغوايت الكلية‬ ‫ يف دراسة رتطو‬.‫اللغوية ومتعددة التخصصات‬ .‫على تطوره‬ .‫ اللغوايت النفسية‬،‫ التفكًن‬،‫ التحدث‬:‫الكلمات املفتاحية‬ PENDAHULUAN George H. Lewis mengatakan: “Manusia berbahasa ibarat burung bersayap”. Bahasa tak terlepas dari hakikat keberadaan manusia karena itulah bahasa menjadi peralatan komunikasi antar manusia. Pada ungkapan di atas nampak bahwa manusia tanpa bahasa sama seperti burung tanpa sayap. Namun faktanya, sedikit dari manusia yang menyadari akan hal ini, dikarenakan tidak semuanya manusia mendalami keilmuaan kebahasaan (linguistik). Bagi kebanyakan manusia bahasa dan berbahasa merupakan hal yang alamiyah mengalir seperti pergerakan tubuh dan bernafas. Bahasa memiliki peran penting dalam kehidupan yaitu sebagai alat untuk berkomunikasi manusia dan makhluk hidup lainnya (Chaer, 2003). Bahasa bisa didefinisikan suara yang diucapkan yang memiliki makna. Bahasa juga bisa disebut isyarat, gerak tubuh, kode, simbol yang merupakan sarana untuk berkomunikasi dalam sebuah komunitas manusia dan makhluk hidup (Kinayati D, 2007). Namun dalam hal ini bahasa yang dimaksud adalah suara manusia, simbol-simbol, dan maknanya. Manusia menggunakan bahasa untuk berinterkasi sosial, bernegosiasi, serta mengungkapkan pikirannya. Soenjono Dardjowijodjo mengatakan bahwasannya bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbiterer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya berlandaskan pada budaya yang mereka. System disini merujuk pada adanya elemen yang berhubungan satu sama lain yang akhirnya membentuk sesuatu yang kosisten yang sifatnya hirarki (Soenjono, 2005). Pasiak menegaskan bahwa bahasa memungkinkan manusia mengekspresikan dirinya, membuat dia menjadi dirinya, membuat dia dapat mengenal dirinya sekalipun bahasa memiliki keterbatasan dalam menjelaskan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh manusia (Taufik P, 2004). John B. Carrol (1953) seorang linguis Amerika mengartikan bahasa sebagai berikut: “language is an arbitrary system of speech sounds or sequences of speech sounds which is used or can be used in interpersonal communication by an aggregation of human beings, and which rather exhaustively catalogs things, processes and events in the human environment environment” bahasa adalah sistem bunyi ujaran atau rangkaian bunyi ujaran yang bersifat manasuka yang digunakan atau dapat digunakan dalam komunikasi. Pakar bahasa jerman Wilhelm Von Humboldt (abad ke-19) mengemukakan bahwa bahasa merupakan suatu sintesis (gabungan) bunyi sebagai bentuk luarnya pikiran sebagai bentuk dalamnya, menurutnya bahasa merupakan suatu kegiatan yang dapat diuraikan menurut seperangkat prinsip yang jumlahnya terbatas dan berdasarkan hal itu bahasa dapat membangkitkan berbagai ujaran (kalimat) yang tidak terbatas jumlahnya. Dalam proses berbahasa (gerak mulut) manusia melibatkan pikiran (akal) dan mentalnya (psikis). Maka dari itu, berbahasa merupakan serangkaian kegiatan manusia alami dalam perjalanan kehidupannya yang melibatkan akal dan psikisnya. Secara alamiah manusia sudah di berikan kemampuan oleh Allah untuk berbahasa. Dalam surat AlBaqarah Ayat 31, menjelaskan bahwa; Allah mengajarkan nama-nama kepada Adam, namanama tersebut dapat dikatakan sebagai bagian dari simbol bahasa. Tidak disertai keterangan bagaimana terjadinya proses pembelajaran tersebut antara Allah dan Nabi Adam a.s, namun yang jelas bahwa manusia pertama yaitu Nabi Adam a.s belajar bahasa melalui proses pembelajaran (M Thariq A, 2006). Namun begitu, perangkat bahasa yang sudah diciptakan oleh Allah dan terpasang dalam tubuh manusia, diantaranya: akal pikiran, pendengaran, penglihatan, mulut, lidah, pita suara dan lain sebagainya. Dalam proses berbahasa atau dalam istilah psikolinguistiknya “pemerolehan kebahasaan”, manusia sudah dibekali kemampuan untuk mampu mengucapkan suara dan simbol-simbol kebahasaan. Dalam perjalanannya, perkembangan berbahasa dan pengucapan simbol-simbol itu dipengaruhi oleh lingkungan dan kecerdasan linguistiknya. Dalam kajian lingustik, beberapa pakar psikologi membahas tentang perkembangan berbahasa manusia. Mulai dari aliran behaviorisme, nativisme, kognitifisme serta interaksionisme. Dalam kajiannya-kajiannya menunjukkan bahwa seseorang memperoleh dan mengembangkan bahasanya melibatkan perkembangan psikisnya pula, disamping melibatkan “daya nalar” dan pikirnya. Pemerolehan bahasa manusia diiawali dari pemerolehan fonologi (bunyi-bunyi) /‫فونولوغيا‬, morfologi (susuna kata)/ ‫اشتماق‬, sintaksis (susunan kalimat)/ ‫نحو‬, hingga makna (semantik)/ ‫ داللة‬dan wacana (literasi)/ ‫خطاب‬. Ini masuk dalam kajian ilmu bahasa (ilmu linguistik)/ ‫علم اللغة‬. Ada beberapa kajian membahas pula, bahwa proses berbahasa seseorang di pengaruhi perkembangan mentalnya. Manusia yang mengalami gangguan mental mengalami kesulitan dalam berbahasa. Ini masuk ranah kajian psikolinguistik/ ‫ علم اللغة النفسي‬. Berbicara tentang berbahasa dan berfikir, ada beberapa penelitian yang membahas tentang hal tersebut, diantaranya: 1) artikelyang ditulis oleh Alif Cahya Setyadi dengan judul, “Bahasa dan Berbahasa Perspektif Psikolinguistik”. Artikel ini adalah membahas tentang perbedaan istilag bahasa dan berbahasa serta penjelasannya (alif. C.S, 2009). 2) Artikel yang kedua ditulis oleh Siti Shalihah dengan judul, “Otak, Bahasa, dan Pikiran Dalam Mind Map”. Artikel ini membahas tentang proses berfikir dalam otak dan organ-organnya serta gambaran mind mappingnya (Siti S, 2014). Perbedaan artikel tersebut sebagai studi pendahulu dengan artikel yang ditulis ini adalah terletak pada pembahasan tentang trilogi organ berbahasa manusia yaitu otak, alat bicara, dan psikis serta posisi ketiganya dalam rumpun keilmuan. Dari pembukaan diatas, penulis ingin memberikan informasi dan ingatan kembali kepada para pembaca bahwa bahasa tidak sekedar membahas tentang ucapannya perkataannya, dan maksudnya, namun juga membahas bagaimana seseorang yang berbahasa mengalami sederetan kegiatan yang melibatkan pikiran dan mentalnya. Agar pembaca mendapatkan pemahaman bahwa sesungguhnya proses berbahasa juga dipengaruhi oleh kemampuan pikiran dan kemampuan psikologisnya. Maka dari itu penulis merumuskan pokok pembahasan pada dua hal, yaitu: 1) Apa hubungan berbahasa, berfikir, dan proses mental, 2) Bagaimana trilogi organ yaitu otak, indra bicara, dan psikis dalam rumpun keilmuan. KAJIAN TEORI Untuk memahami pengertian berbahasa, berfikir dan proses mental secara umum sebagai berikut: 1. Pemahaman “berbahasa” Secara Etimologi, berbahasa memiliki arti dalam kelas verba atau kata kerja/ ‫فعل‬sehingga berbahasa dapat menyatakan suatu tindakan, keberadaan, pengalaman, َ ‫حد‬ ُ ‫يحد‬-‫َث‬ atau pengertian dinamis lainnya. Dalam bahasa Arab, berbahasa berarti ‫ُث‬ َ ‫تحد‬ ُ ‫يَت ً َحد‬-‫َّث‬ hadatsa-yahdutsu, kata dasar tersebut dalam ilmu sharf berkembang menjadi ‫َّث‬ yang artinya menjadi berbincang-bincang. Ada kata lain yaitu ‫ يتكلم‬-‫ تكلَّ َم‬takallamayatakallamu yang artinya saling berbicara, kata itu akarnya adalah ‫يكلم‬-‫كلم‬. Ada lagi yait ‫ك‬ ُ ‫ينط‬ ِ َ‫ ن َطك‬nathaqa-yanthiqu yang artinya mengucap. Maka dalam bahasa Arab ada istilah ‫ اللغة المنطولة‬artinya bahasa lisan. Dari beberapa kata diatas dapat disimpulkan bahwa berbahasa adalah berucap kata atau kalimat yang melibatkan indera pengucap untuk mengungkapkan apa yang ada di pikiran. Ini berarti bahwa berbahasa adalah mengandung makna. Mana kala manusia berbahasa biasanya adalah berkomunikasi dengan manusia lain dengan tujuan tertentu dalam pikirannya. Maka berbincang-bincang dan berbicara melibatkan dua manusia atau lebih. Ini berarti bahwa berucap, berbicang-bincang, berbicara, dan berkomunikasi merupakan jenjang manusia dalam berbahasa. Ada unsur pikiran/ ‫العمل‬, fisik/ ‫الجسم‬, dan psikis/ ‫ النفس‬dalam kegiatannya. 2. Pemahaman “berfikir” Menurut J.M. Bochenski berfikir adalah perkembangan ide dan konsep yang merupakan kegiatan fisik namun juga merupakan kegiatan mental, bila seseorang secara mental sedang mengikatkan diri dengan sesuatu dan sesuatu itu terus berjalan dalam ingatannya, maka orang tersebut bisa dikatakan sedang berfikir (Bochenski, J. M, 1965). Jujus S. S mengemukakan bahwa berfikir merupakan suatu proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan (Jujun S. S, 2005). Alquran menyebutkan tentang “berfikir” banyak sekali dalam ayat-ayat. Inti dari “konsep berfikir” yang disebutkan dalam ayat al-Quran adalah sebuah tindakan nyata dalam berbuat kebaikan dari rasa kesyukuran atas karunia Allah kepada manusia berupa akal. Dalam beberapa ayatnya, Allah menggunakan kata “Tatafakkarûn” yang artinya kalian berpikir. Kata ini disebutkan dalam al-Qur`an sebanyak tiga kali. Di antaranya dalam surat al-Baqarah ayat 219, yaitu: ‫كذالك ي ب ٌّن هللا لكم األايت لعلكم ت ت فكرون‬......... Artinya: Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian supaya kalian berfikir. Solso (1988) mengatakan bahwa berfikir merupakan proses yang menghasilkan representasi mental yang baru melalui transformasi informasi yang melibatkan interaksi yang kompleks antara berbagai proses mental, seperti penilaian, abstraksi, penalaran, imajinasi, dan pemecahan masalah. Menurut Khodijah, berfikir adalah memproses informasi secara mental atau secara kognitif. Secara lebih formal, berfikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol yang disimpan dalam long term memory. Partap Sing Mehra menyatakan bahwa proses berfikir mencakup hal-hal sebagai berikut yaitu : a) Conception (pembentukan gagasan), b) Judgement (menentukan sesuatu), c) Reasoning (Pertimbangan pemikiran/penalaran) (Sing M, Partap, Jazir B, 1968). Menurut Rummel, pada dasarnya proses berpikir yang dilakukan manusia telah terjadi dalam empat periode, yaitu : a) periode mencoba-Coba. Pada jaman dahulu, orang menggunakan proses berpikir mencoba-coba (trial and error), b) periode otoritas. Periode otoritas dalam proses berpikir manusia ditandai dengan pengaruh besar pada pemegang otoritas (kekuasaan) terhadap cara berpikir manusia. Pemegang otoritas menjadi sandaran kebenaran suatu ilmu pengetahuan, c) periode argumentasi. Proses berpikir manusia adalah jaman periode argumentasi. Pada masa ini, kebenaran (ilmu pengetahuan) dipegang oleh para pemikir. Sumber pengetahuan manusia pada jaman ini adalah para pemikir tersebut, d) periode hipotesis dan eksperimen. Pada masa ini kebenaran adalah milik semua orang karena semua orang dapat melakukan pembuktian (Loib K, N Rummel, 2014). Menurut Dewey dalam bukunya, “How We Think” proses berpikir dari manusia normal mempunyai urutan berikut: a) Timbul rasa sulit, baik dalam bentuk adaptasi terhadap alat, sulit mengenal sifat, ataupun dalam menerangkan hal-hal yang muncul secara tiba-tiba, b) Kemudian rasa sulit tersebut diberi definisi dalam bentuk permasalahan, c) Timbul suatu kemungkinan pemecahan yang berupa reka-reka, hipotesa, inferensi atau teori, d) Ide-ide pemecahan diuraikan secara rasional melalui pembentukan implikasi dengan jalan mengumpulkan bukti-bukti (data), e) Menguatkan pembuktian tentang ide-ide di atas dan menyimpulkannya baik melalui keteranganketerangan ataupun percobaan-percobaan (Dewer, 1993). Hal ini senada dengan pernyataan Kelly dalam bukunya, “The Scientific Versus The Philosophic Approach to The Novel Problem” (Kelly R, Barrera, J, 2010). Pendapat-pendapat diatas menunjukkan bahwa akal dan berfikir merupakan “sumber kekuatan” manusia yang dianugrahkan oleh sang Khalik. Dengan akal dan berfikir manusia mampu membedakan, mengelompokkan, memilih, dan menganalisa. Senada dengan hal itu, Ibnu Sina (980 -1037 M) mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk yang mempunyai kesanggupan : 1) makan, 2) tumbuh, 3) ber-kembang biak, 4) pengamatan hal-hal yang istimewa, 5) pergerakan di bawah kekuasaan, 6) ketahuan (pengetahuan tentang) hal-hal yang umum, dan 7) kehendak bebas (Abdullah N, 2009). Menurut dia, tumbuhan hanya mempunyai kesanggupan 1, 2, dan 3, serta hewan mempunyai kesanggupan 1, 2, 3, 4, dan 5. Ibnu Khaldun (1332–1406) mengatakan bahwa manusia adalah hewan dengan kesanggupan berpikir, kesanggupan ini merupakan sumber dari kesempurnaan dan puncak dari segala kemulyaan dan ketinggian di atas makhluk-makhluk lain (Abdurrahman K, 2014). Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai kekuatan-kekuatan yaitu: 1) al-Quwwatul Aqliyah (kekuatan berfikir/akal), 2) al-Quwwatul Godhbiyyah (Marah, 3) al-Quwwatu Syahwiyah (sahwat)(Syamsul B, 2018). 3. “Proses Mental” Dalam Berbahasa Language relativistics melihat bahwa kategori yang ada di dalam bahasa menjadi dasar dalam aktivitas mental seperti kategorisasi, ingatan dan pengambilan keputusan. Kata-kata merupakan bentuk pemberian realita faktual yang terjadi secara nyata. Pemberian ini dipengaruhi oleh faktor subjektifitas kebudayaan dan individu. Subjektifitas terlihat ketika manusia dari latar belakang yang berbeda memotong realita menurut kehendaknya sendiri. Konsep pemikiran ini berdasar pada cara pandang Albrecht dalam Widhiarso, tiap budaya dalam memotong realitas adalah dengan subjektif (arbitrary) seperti halnya memotong sebuah kue sehingga fenomena ini terkenal dengan nama “cookie cutter effect” (JG Herder, 1803, WV Humboldt, 1835). Dalam proses pengambilan keputusan berbahasa, seseorang mengalami proses mental. Proses mental tersebut dipengaruhi oleh rasa berbahasa dan kemampuan berbahasa otaknya. Sehingga dia mampu mengungkapan kebahasaannya baik terhadap dirinya sendiri, orang lain, maupun orang banyak (komunitas dan masyarakat). Macam-macam kegiatan psikis pada umumnya dibagi menjadi 4 kategori, yaitu: 1) pengenalan atau kognisi, 2) perasaan atau emosi, 3) kemauan atau konasi, 4) gejala campuran. Berbicara tentang “mental” tak bisa dipisahkan dari kajian psikologi. Kajian psikologi dan kaitannya pemerolehan kebahasan disebut ilmu psikolinguistik. Dalam ilmu psikolingistik disebutkan bahwa pemerolehan bahasa manusia tak bisa lepas dari perilakunya. Perilaku inilah ada kaitannya dengan proses mental dalam kajian ilmu psikologi. Psikolinguistik cenderung bersifat mentalistik dan bukan behavouristik, karena berhubungan faktor-faktor penggunaan bahasa dengan factor-faktor diluar bahasa di dalam masyarakat bahasa. Faktor-faktor itu misalnya: sopan santun, kepantasan, kejelasan (tidak ambigu), kelayakan (cukup tidaknya ekspresi bahasa), kelucuan, dan sebagainya. Sejumlah konsep pendapat-pendapat para teorisi mengenai bagaimana seseorang memahami dan merespons terhadap apa-apa yang ada di alam semesta ini. Kita telah berbicara mengenai pandangan-pandangan kaum mentalis dan kaum bahavioris, terutama dalam kaitan dengan keterhubungan antara bahasa, ujaran dan pikiran. Menurut kaum mentalis, seorang manusia dipandang memiliki sebuah akal (mind) yang berbeda dari badan (body) orang tersebut. Artinya bahwa badan dan akal dianggap sebagai dua hal yang berinteraksi satu sama lain, yang salah satu di antaranya mungkin menyebabkan atau mungkin mengontrol peristiwa-peristiwa yang terjadi pada bagian lainnya. Dalam kaitan dengan perilaku secara keseluruhan, pandangan ini berpendapat bahwa seseorang berperilaku seperti yang mereka lakukan itu bisa merupakan hasil perilaku badan secara tersendiri, seperti bernapas atau bisa pula merupakan hasil interaksi antara badan dan pikiran. Teori Mentalisme dapat dibagi menjadi dua, yakni empirisme dan rasionalisme. HASIL DAN PEMBAHASAN Keterkaitan Antara Berbahasa, Berfikir, dan Proses Mental Berbicara tentang keterkaitan berbahasa, berfikir dan proses mental pada hakekatnya adalah berbicara tentang kealamiahan penciptaan mahkluk, termasuk manusia. Dalam al-Quran banyak sekali disebutkan ayat-ayatnya. Contohnya, dalam surat al-Qashash ayat 7, di jelaskan bahwa wahyu bermakna pesan fitrah kepada manusia. Allah memerintahkan kepada ibunya Musa untuk menyusuinya. surat al-Anfal ayat 12 juga menyebutkan bahwa wahyu bermakna pesan yang Allah sampaikan kepada malaikat berupa perintah supaya dikerjakan oleh mereka. Dalamsurat an-Nahl ayat 67, wahyu bermakna pesan naluri kepada binatang, seperti wahyu Allah kepada lebah (Ade W, 2010). Dalam konsep “komunikasi vertikal”, bahwa “Wahyu Allah” digambarkan sebagai pesan. “Pesan” inilah merupakan bentuk berbahasa sang Khalik kepada mahkluknya. Pesan ini lalu kemudian dipahami oleh manusia dan disampaikan menurut kemampuan kebahasaan mereka, tentunya melalui perantara akal (berfikir). Karena akal adalah “organ sentral” yang mengatur gerak-gerik dan tingkah laku manusia. Akal sebagai bentuk representatif karunia Allah kepada manusia sebagai “ahsanu taqwim”. Dan konsep akal dan berbahasa yang disebutkan dalam akal manusia inilah, menjadi bukti awal tentang perkembangan teori-teori yang di ciptakan oleh pakar-pakar psikolinguistik dari Barat. Meskipun secara “Agama” mereka tidak bisa ditemukan. Namun secara “perkembangan ilmu pengetahuan” dapat disambungkan. Aristoteles pada tahun 384-322 Sebelum Masehi telah berbicara soal hati yang melakukan hal-hal yang kini diketahui dilakukan juga oleh otak. Otak sebagai alat produksi bahasa, sedangkan bahasa sebagai produknya. Berbahasa dan berfikir merupakan bentuk dalam proses kegiatannya. Berikut akan dijelaskan tentang pendapat beberapa pakar tentang hubungan berbahasa dan berfikir: a. Pakar yang berpendapat bahwa “kemampuan berbahasa” lebih dominan mempengaruhi “kemampuan berfikir” manusia Benyamin Whorf, Lenneberg, dan Von Humboldt adalah pakar yang berpendapat tentang hal ini. Menurut mereka pemahaman terhadap kata (morf) mempengaruhi pandangannya terhadap realitas (fakta atau kenyataan). Whorf menyatakan bahwa struktur bahasa menentukan struktur pikiran. Pikiran kita dapat terkondisikan oleh kata yang kita gunakan. Whorf mengatakan bahwa keterkaitan antara bahasa dengan pikiran terletak pada asumsi bahwa bahasa mempengaruhi cara pandang manusia terhadap dunia, serta mempengaruhi pemikiran individu pemakai bahasa itu. Sebagai contoh Bangsa Jepang, orang Jepang mempunyai pikiran yang sangat tinggi karena orang Jepang mempunyai banyak kosa kata dalam menjelaskan sebuah realitas. Hal ini membuktikan bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail tentang realitas (Chaer, 2002: 53). Kekayaan kosakata dan makna sebuah bahasa tertentu mampu menjadikan manusia merangkai bahasanya dengan terstruktur dan sistematis untuk mengungkapkan pikirannya tentang realitas kehidupan. Lenneberg mengatakan manusia telah menerima warisan biologi ketika dilahirkan, berupa kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang khusus untuk manusia, dan tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pikiran. Kemampuan berbahasa ini mempunyai korelasi rendah dengan IQ manusia. Bruner menyatakan bahwa bahasa adalah alat bagi manusia untuk berpikir, untuk menyempurnakan dan mengembangkan pemikirannya itu (Abdul Chaer, 2003). Senada dengan itu, Von Humboldt mengatakan bahwa adanya pandangan hidup yang bermacam-macam adalah karena adanya keragaman sistem bahasa dan adanya sistem universal yang dimiliki oleh bahasa-bahasa yang ada di dunia ini. b. Pakar yang berpendapat bahwa “kemampuan berfikir” lebih dominan mengatur “kemampuan bahasa” manusia Tokoh psikologi kognitif, Jean Piaget yang merekontruksi dan mengembangkan teori ini. Piaget melakukan “micro research” terhadap perkembangan aspek kognitif anak. Dia melihat bahwa perkembangan aspek kognitif anak akan mempengaruhi bahasa yang digunakannya. Semakin tinggi aspek tersebut semakin tinggi bahasa yang digunakannya. Dua hal penting berhubungan bahasa dan pikiran menurut Piaget, yaitu : a) Sumber kegiatan intelek tidak terdapat pada pikiran, tetapi dalam periode sensomotorik, b) Pembentukan pikiran terjadi pada waktu yang bersamaan dengan pemerolehan bahasa. Ini berarti perkembangan bahasa seseorang di pengaruhi dan dibentuk oleh pikiran pada periode sensomotorik. Manusia akan berbahasa (merespon) jika ada “stimulus” yang memberikan rangsangan unsur-unsur dalam bahasa. Hal ini di pengaruhi kualitas kinerja sensomotorik dan kecerdasan kognitif manusianya. Hal itu senada dengan Bickerton (1995), dia menegaskan bahwa pesan-pesan tidak mengalir lansung dari pancaindera ke sel-sel motorik, tetapi ke dalam unit pemrosesan khusus dan bersaing dengan pesan-pesan lain. Pikiran adalah proses yang berlangsung dalam domain represantasi utama, sebuah proses perhitungan (computational process). Sekitar 2500 tahun yang lalu Aristoteles berargumen bahwa kategori pikiran menentukan kategori bahasa. Sebagian orang berpendapat bahwa orang dapat berpikir tanpa bahasa. Pikiran manusia dapat muncul tanpa harus didahului oleh peran bahasa. Inti dari pernyataan para pakar diatas adalah bahwa kemampuan kebahasaan seseorang yang berupa ungkapan-ungkapan, pola-pola kata dan kalimat serta makna yang dirangkai akan berkembang dalam proses berfikir manusia. c. Pakar yang berpendapat bahwa bahasa dan pikiran “saling mempengaruhi” dan “seimbang” Hubungan timbal balik antara kata-kata dan pikiran secara seimbang dikemukakan oleh Benyamin Vigotsky, seorang ahli semantik berkebangsaan Rusia yang teorinya dikenal sebagai pembaharu teori Piaget mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Penggabungan Vigotsky terhadap kedua pendapat di atas banyak diterima oleh kalangan ahli psikologi kognitif. Vigotsky berpendapat bahwa adanya satu tahap perkembangan bahasa sebelum adanya pikiran, dan adanya satu tahap perkembangan pikiran sebelum adanya bahasa. Kemudian, kedua garis bertemu, maka terjadilah secara serentak pikiran berbahasa dan bahasa berpikir (Vigotsky, 2002). Muller menegaskan bahwa bahasa dan pikiran selalu terkait. Ada beberapa teori dan hipotesis tentang bahasa dan pikiran yang dikaji dalam relativitas bahasa (linguistic relativity) (Muller, 1887). Sangat Jelas bahwa dari pendapat pakar diatas, menunjukkan tentang keterkaitan antara berbahasa dan berfikir. Terlepas aspek mana yang lebih dominan, dapat disimpulkan bahwa ketika manusia berbahasa maka melibatkan fikiran. Perkembangan bahasa manusia dipengaruhi oleh kecerdasan pikiran (kognitif) mereka. Secara lebih jauh, pakar linguistik “Alamiyah-Naluriyah”, Noam Chomsky, menyebutkan bahwa mempelajari bahasa hakikatnya adalah mempelajari salah satu dari esensi manusia. Manusia dirancang untuk berjalan, tetapi tidak diajari agar mampu berjalan. Demikian pula dalam berbahasa, tanpa diajari bahasa mereka juga tetap akan berbahasa, karena pada hakekatnya manusia diciptakan untuk berbahasa. Dan semua itu tak lain karena manusia berakal dan menggunakan akalnya untuk berfikir. Dalam Ajaran Islam juga terdapat pemahaman bahwa hakekatnya manusia adalah mahkluk sempurna yang mempunyai akal, maka secara alamiah manusia akan mampu berbahasa meskipun tidak diajari berbahasa secara detail. Manusia diciptakan spesial oleh Allah, salah satunya karena bahasa dan berbahasanya. Dari esensi manusia ini dapat diketahui bahwa berbahasa itu mengandung makna. Karena akal mampu menggerakkan mulut menciptakan ucapan-ucapan yang bermakna dan bertujuan. Sebagai makhluk sosial, manusia menduduki posisi yang lebih baik dan mulia. Karena manusia merupakan makhluk yang diberi karunia bisa berbahasa lewat berbicara. Dengan kemampuan berbicara itulah, memungkinkan manusia membangun interaksi sosialnya sebagaimana yang dipahami dari surat ar-Rahman (55: 4) (M. Shabuni, 1981). Pendapat ini senada dengan Ibnu Katsir bahwa kata al-bayān pada ayat ini ditafsirkan dengan berbicara (al-nuthq). Untuk membuktikan kemampuan alami makhluk dalam berbahasa, tentunya tidak hanya manusia saja yang mampu menggunakan bahasanya (berkomunikasi). Binatang tidak berbahasa namun bersuara dan menggunakan suaranya untuk berkomunikasi dan menggunakan kode-kode atau tanda-tanda tertentu. Dalam Al-Quran surat An-Naml ayat 17-18, disebutkan tentang bagaimana Nabi Sulaiman berkomunikasi dengan binatang. Ayat itu menunjukkan perumpaan semut yang berkomunikasi dengan bahan kimiawi, foromon, suara, dan ekspresi tubuh dengan perubahan warna (Kemenag, 2012). Ocehan burung kakatua yang bisa menyerupai ucapan manusia, kemampuan monyet untuk memahami perintah ujaran manusia, nyanyian burung yang berirama, tempo bunyi yang didengungkan lebah, suara-suara yang dikeluarkan ikan paus, semua itu adalah cara komunikasi binatang. Cara ini tidak bisa disebut bahasa walaupun memang menyerupai bahasa. Menurut ilmu linguistik berbahasa merupakan gabungan berurutan antara dua proses yaitu proses proses produktif dan reseptif. Proses produktif berlangsung pada diri pembicara yang menghasilkan kode-kode bahasa yang bermakna dan berguna. Sedangkan proses reseptif berlangsung pada diri pendengar yang menerima kode-kode bahasa yang bermakna dan berguna yang disampaikan oleh pembicara melalui alat-alat artikulasi dan diterima melalui alat-alat pendengaran. Proses produksi disebut enkode sedangkan proses penerimaan, perekaman, dan pemahaman disebut dekode. G. kempem telah mengembangkan suatu model yang menjelaskan system bagian-bagian yang membentuk system penggunaan bahasa. System-sistem tersebut memiliki hubungan yang erat antara yang satu dengan yang lainnya. System-sistem tersebut diantaranya adalah the speech recognizer (mengenal bunyi-bunyi), parser (analisis kalimat), the conceptual system (system konseptual), the sentences generators (generator kalimat), articulator dan leksikon. Dalam kajian psikolingustik, bahasa bersifat dinamis, namun kedinamisannya di pengaruhi oleh penggunanya manusia (berbahasa) yang mengucapkannya baik dalam ruang kelompok kecil maupun rumpun kelompok besar. Berbahasa melibatkan seperangkat kegiatan yang dilakukan oleh otak, lisan, dan mental. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Aminudin bahwa dalam kehidupan manusia bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan juga menyertai proses berpikir manusia dalam usaha memahami dunia luar, baik secara objektif maupun imajinatif. Oleh sebab itu bahasa selain memiliki fungsi komunikatif juga memiliki fungsi kognitif dan fungsi emotif (Aminuddin, 2003). Kemampuan berbahasa menurut Chomsky merupakan cermin pikir dan hasil kecendikiawanan manusia yang selalu dihasilkan secara baru oleh setiap individu dengan operasi-operasi yang mengatasi jangkauan keinginan dan kesadaran manusia. Menurutnya, setiap manusia normal yang dilahirkan kedunia sudah dilengkapi dengan piranti pemerolehan bahasa. Piranti itu lazim disebut LAD (language acquisition device) atau LAS ( language acquisition system)(Djoko Saryono, 2010). Sedangkan keterkaitan bahasa dan pikiran, dari hasil studi yang dilakukan oleh Smith, Brown, Toman, dan Goodman ditemukan bahwa tampaknya berpikir dapat berlangsung disertai dengan aktifitas motorik (Goodman, 1947). Mengenai Hubungan Bahasa dengan kegiatan intelek (berpikir), Piaget menemukan dua hal penting, yaitu: a) Sumber kegiatan intelek tidak terdapat dalam bahasa tetapi dalam periode sensomotorik, yaitu satu sistem skema yang dikembangkan secara penuh dan membuat lebih dahulu gambaran-gambaran dari aspek-aspek struktur dan bentukbentuk dasar penyimpanan dan oprasi pemakaian kembali, b) Pembentukan pikiran yang tepat dikemukakan dan terbentuk terjadi bersamaan dengan waktu pemerolehan bahasa. Keduanya milik proses yang lebih umum, yaitu konstitusi fungsi lambang pada umumnya. Awal terjadinya fungsi lambang ini ditandai oleh bermacammacam perilaku yang terjadi serentak perkembangannya. Piaget juga menegaskan bahwa kegiatan intelek (berpikir) sebenarnya adalah aksi atau perilaku yang telah dinuranikan dalam kegiatan-kegiatan sensomotorik termasuk juga perilaku bahasa (Chaer, 2010). Untuk memperjelas hubungan berbahasa, berfikir, dan proses mental bisa dilihat gambar berikut ini: BERBAHASA AKAL/OTAK LIDAH, MULUT, PITA SUARA PSIKIS BERFIKIR PROSES MENTAL Mengembangkan Bahasa dengan Pikiran Menggunakan Bahasa Untuk Mengungkapkan Pikiran Otak (serebrum dan serebelum) adalah satu komponen dalam system saraf manusia (Sloane, Ethel, 2004). Otak memiliki fungsi kortikal ini antara lain terdiri dari isi pikiran manusia, ingatan atau memori, emosi, persepsi, organisasi gerak dan aksi, dan juga fungsi bicara (bahasa) (Chaer, 2009). Otak bertanggung jawab terhadap pengalaman-pengalaman berbagai macam sensasi atau rangsangan terhadap kemampuan manusia untuk melakukan gerakan-gerakan yang menuruti kemauan (disadari), dan kemampuan untuk melaksanakan berbagai macam proses mental, seperti ingatan atau memori, perasaan emosional, intelegensia, berkomunikasi, sifat atau kepribadian dan ramalan (Ida H, 2012). Proses berbahasa, Berfikir dan Proses Mental Dalam Rumpun Keilmuan Membahas dan mengkaji tiga elemen ini, maka sebenarnya berbicara tentang oyek bahasa, otak, dan psikis. Dalam proses berbahasa manusia tiga hal itu tidak akan terpisahkan. Manusia berbahasa melibatkan alat pengucapan, akal dan terjadi proses psikis. Manusia memilik ekpresi-ekspresi emosional yang terkadang harus diungkapkan. Melalui bahasalah ekspresi-ekspresi itu bisa diungkapkan. Dalam berbahasa manusia memilih kosakata dan kalimat yang tepat untuk diucapkan pada ruang tertentu dan waktu tertentu. Kajian ini berhubang dengan perilaku bahasa. Perilaku tidak bisa lepas dari unsur psikis. Dalam rumpun keilmuan, tiga hal diatas sudah menjadi kajian penting dalam ilmu kebahasaan. Sebab berhubungan dengan manusianya yang berbahasa, tidak hanya berhubungan dengan bahasa itu sendiri dan lewat apa dan mana bahasa itu dikeluarkan seseorang. Dalam kajian keilmuan, linguistik membahas tentang bahasa itu sendiri. Psikolinguistik membahasa tentang gejala bahasa, perilaku bahasa dan sebagainya. Sedangkan neurolinguistik membahas tentang proses bahasa yang diolah dalam otak manusia. Menurut Malmkjaer neurolinguistik, merupakan kajian hubungan antara bahasa dengan dasar-dasar neurologis, dengan tiga bagian utama, yaitu: linguistik, psikolinguistik dan neurolinguistik (Malmkjaer, 1996). Psikolinguistik, kajian utama berkaitan dengan pemakaian bahasa, yaitu proses pemerolehan, produksi dan pemerolehan bahasa; strategi proses informasi; faktor ingatan atau memori; dan proses kontrol motorik. Sedangkan neurolinguistik, berkaitan dengan sistem dan operasional secara neurologis, struktur dan fungsi sistem pendengaran beserta elemen yang terkait; dasar dan sistem neurologis yang berkaitan dengan perilaku berbahasa, sistem dan struktur yang mengendalikan organ artikulatoris. Menurut Ahlsen, neurolinguistik mengkaji hubungan bahasa dan komunikasi pada aspek lain fungsi otak, dengan kata lain mengekplorasi proses otak untuk produksi bahasa dan komunikasi (Ahlsen, 2006). Kajian ini melibatkan usaha untuk mengkombinasikan teori neurologis (struktur otak dan fungsinya) dengan teori linguistik (struktur bahasa dan fungsinya). Selain neurologi dan linguistik, psikologi merupakan sumber kajian neurolinguistik. Neurolinguistik mempunyai hubungan dekat dengan psikolinguistik, namun lebih memusatkan pada otak. Studi umum neurolinguistik adalah kajian bahasa dan komunikasi setelah kerusakan otak. Metode yang banyak dipakai sekarang untuk kajian neurolinguistik adalah eksperimen, konstruksi model dan neuroimaging. Ingram memaparkan neurolinguistik merupakan istilah teknis dari Harry Whitaker (1971), yang membuat jurnal yang berkaitan dengan neurolinguistik (ingram, 2007). Whitaker, mencatat tentang asumsi kunci neurolinguistik merupakan ‘pemahaman yang cukup dan tepat tentang bahasa yang berkaitan dengan informasi berkaitan dengan struktur dan fungsi bahasa dan otak, minimal neurologi dan linguistik’. Namun, sekarang dengan perkembangan neurolinguistik, perlu menambahkan ‘kognisi’ atau kajian kognitif untuk kajian ini. Kajian kognitif merupakan perpaduan untuk tambahan kajian ini yaitu bahasa dan neurobiologi. Fernandez and Cairns memaparkan neurolinguistik merupakan kajian representasi bahasa di otak dan penemuan afasia merupakan kelahiran kajian interdisipliner ini (Fernadez, C, 2011). Meski ada perdebatan antara psikolinguistik, linguistik dan neurolinguistik tentang proses bahasa merupakan proses dari sistem neurologis manusia. Beberapa orang yakin bahwa bahasa merupakan proses otak, sedangkan yang lain bahasa merupakan hasil reorganisasi kapasitas otak saat mencapai berat tertentu pada proses perkembangan manusia. Memang sulit untuk mencari jawaban tentang ini, namun bukti-bukti fosil pra manusia lewat hasil penelitian antropologi menunjukkan bahwa hemisfer kiri lebih besar daripada hemisfer kanan. Kajian neurolinguistik mendapatkan banyak teori dan konsep dari gangguan berbahasa atau afasia, dengan kajiannya yaitu afasiologi. Dari berbagai kajian tentang gangguan berbahasa didapatkan daerah atau area yang dominan memegang perilaku berbahasa. Ini merupakan hasil evolusi manusia. Teori dan konsep kedua kajian yang menyusun neurolinguistik, saling melengkapi. Teori dan konsep neurologi menyumbangkan proses perilaku berbahasa di otak, sedang teori dan konsep linguistik menyumbangkan pemahaman linguistik. Akhirnya, melahirkan proses perilaku berbahasa manusia. Perilaku berbahasa inilah merupakan salah satu dari bahan kajian psikolingusistik. OBYEK KAJIAN KEILMUAN BERBAHASA OTAK ALAT UCAP PSIKIS KAJIAN KEILMUAN NEUROLINGUISTIK KAJIAN KEILMUAN LINGUISTIK KAJIAN KEILMUAN PSIKOLOGI PERILAKU BERBAHASA DI OTAK PEMAHAMAN SIMBOL DAN TANDA BAHASA BAHABAKEBAHSAAN PERILAKU MENTAL KAJIAN KEILMUAN PSIKOLINGUISTIK Psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia (Slobin, 1974; Meller, 1964; Slama Cazahu, 1973). Maka secara teoretis tujuan utama psikolinguistik adalah mencari satu teori bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakikat bahasa dan pemerolehannya. Dengan kata lain, psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan bagaimana struktur ini diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami kalimat-kalimat dalam pertuturan itu. Psikolinguistik mencoba menerapkan pengetahuan linguistik dan psikologi pada masalah-masalah seperti pengajaran dan pembelajaran bahasa. Dalam pembelajaran bahasa Arab, linguistik menjadi salah satu ilmu yang penting untuk di pelajari. Ilmu psikolinguistik memberikan pemahaman dan pengantar tentang bagaimana pemerolehan bahasa dalam rumpun keilmuan pembelajaran bahasa Arab. Secara umum psikolinguistik memberikan pemahaman tentang proses pemerolehan bahasa mulai dari usia dini sampai dewasa. Pemerolehan bahasa berupa unsur fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan sebagainya. Psikolinguistik juga memberikan pemahaman bagaimana perilaku berbahasa manusia mulai dari dalam pikiran sampai yang diucapkan. Psikolingustik juga membahasa bagaimana manusia mengalami problem dan kendala dalam pemerolehan bahasa. Kendala tersebut baik dari dalam maupun dari luar manusianya. Menurut Muhbib Abdul Wahab, Psikolinguistik masuk dalam rumpun keilmuan interdisipliner dalam prodi pembelajaran bahasa Arab. Dalam artikelnya disebutkan bahwa taksonomi dan hirarki ilmu bahasa Arab terbagi menjadi tiga rumpun ilmu yaitu 1) ulum allughoh al-arabiyah, 2) ulum al-adab al-arabi, 3) lughawiyat dan interdisipliner (Muhbib A. W, 2016). Psikolingistik menjadi salah satu bagian dari mata kuliah berbasis KKNI dan bagian dari esensi standar kompetensi. Standar kompetensi yang termuat didalamnya psikolingistik adalah agar mampu menguasai bidang kajian bahasa dalam berbagai aspeknya. Dari paparan beberapa pemahaman diatas, dapat disimpulkan bahwa psikolinguistik merupakan kajian ilmu dalam pembelajaran bahasa Arab yang terkoneksi dan terintegrasi dengan aspek luar bahasa Arab. Dalam rumpun keilmuan kebahasaan disebut dalam kajian makro linguistik. KESIMPULAN Hubungan antara berbahasa, berfikir, dan proses mental tergambar dalam trilogi organ yaitu otak, indera ucap, dan psikis. Dalam berbahasa mencakup kegiatan yang melibatkan tiga organ itu. Dalam berbahasa, manusia mengungkapkan apa yang ada dipikirannya yang akhirnya terangkai dalam ungkapan pola kata, pola ungkapan, dan pola kalimat. Dalam berfikir, manusia mampu mengembangkan kemampuan berbahasanya dan menata struktur dan gaya bahasanya. Dalam kegiatan berbahasa dan berfikir manusia mengalami perilaku mental yang melibatkan perasaan (psikisnya). DAFTAR PUSTAKA Ardi, M., & Tulungagung, I. (n.d.). HERMENEUTIKA FUNDAMENTAL : Memahami Fenomenologi Sebagai Orientasi Hermeneutika. Ayat-ayat, P. A. L. I. A. T., Fatahilah, A., Izzan, A., & Isnaeniah, E. (2016). Penafsiran ali alshabuni tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan teologi. Studi Al-Qur’an Dan Tfsir, 2(Desember), 165–175. Haryono, A. (2017). Analisis Metode Tafsir Muhammad Ash-Shabuni dalam Kitab rawâiu ’ al - Bayân. Wardah, 18(1), 56–67. IBNU SINA: PEMIKIRAN FISAFATNYA TENTANG AL-FAYD , AL-NAFS, AL-NUBUWWAH, DAN AL-WUJÛD Abdullah Nur. (2009). Hunafa, 6, 105–116. Ida Untari, SKM., M. K. (2012). KESEHATAN OTAK MODAL DASAR HASILKAN SDM HANDAL. 08(September), 1–7. Kemuhammadiyahan, D. A. (n.d.). ASAL USUL BAHASA DALAM PRESEPEKTIF AL-QUR’AN DAN SAINS MODERN. Utitle, 125–131. Mahmud, A. H. (n.d.). WAHYU DAN AKAL DALAM PRESPEKTIF AL-QUR’AN. Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, 262–291. Muh. Busro. (2016). KAJIAN DALAM PSIKOLINGUISTIK; PERANGKAT PENELITIAN, STRATEGI, DAN PENGGUNAAN METODE PENELITIAN. AL-HIKMAH, 6(September), 1– 10. Muhammad Thoriqussu’ud. (n.d.). Pengantar psikolinguistik. 1–155. Nature, O. (n.d.). Language and Mind. Prasetiawan, D. (2017). PEMEROLEHAN BAHASA PADA ANAK SUKU SASAK DALAM PERSPEKTIF PSIKOLINGUISTIK. Pendidikan Bahasa Dan Sastra, 17 Nomer 1(April), 72– 80. Psikolinguistik, P. (n.d.). bahasa, berbahasa, system bahasa dan struktur bahasa. Bahasa Dan Berbahasa Presepektif Psikolinguistik, 167–189. Saputro, M. E., & Surakarta, I. (2018). AL-A’RAF jurnal pemikiran islam dan filsafat. XV(1). Sejarah, D. A. N. F. (2014). PEMIKIRAN IBNU SINA KHALDUN DALAM PRESEPEKTIF SOSIOLOGI DAN FILSAFAT SEJARAH. Abdurrahman Kasdi, 2(1), 291–307. Shalihah S. (2014). OTAK, BAHASA DAN PIKIRAN DALAM MIND MAP. AL FAZ, 2 No 1(JnauariJuni), 186–199. Sutarman, H. O. (2008). Educare jurnal pendidikan dan budaya. Educare, 6(1), 1–17. Wahab, M. A. (2016). STANDARISASI KURIKULUM PENDIDIKAN BAHASA ARAB DI PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM NEGERI. Arabiyat, 3(1), 32–51.