PENGERTIAN dan DEFINISI DARI PSIKOLINGUISTIK
Secara etimologis, istilah Psikolinguistik berasal dari dua kata, yakni Psikologi dan Linguistik. Seperti kita ketahui kedua kata tersebut masing-masing merujuk pada nama sebuah disiplin ilmu. Secara umum, Psikologi sering didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia dengan cara mengkaji hakikat stimulus, hakikat respon, dan hakikat prosesproses pikiran sebelum stimulus atau respon itu terjadi. Pakar psikologi sekarang ini cenderung menganggap psikologi sebagai ilmu yang mengkaji proses berpikir manusia dan segala manifestasinya yang mengatur perilaku manusia itu. Tujuan mengkaji proses berpikir itu ialah untuk memahami, menjelaskan, dan meramalkan perilaku manusia.
Linguistik secara umum dan luas merupakan satu ilmu yang mengkaji bahasa
(Bloomfield, 1928:1). Bahasa dalam konteks linguistik dipandang sebagai sebuah sistem bunyi yang arbriter, konvensional, dan dipergunakan oleh manusia sebagai sarana komunikasi. Hal ini berarti bahwa linguistik secara umum tidak mengaitkan bahasa dengan fenomena lain. Bahasa dipandang sebagai bahasa yang memiliki struktur yang khas dan unik. Munculnya ilmu yang bernama psikolinguistik tidak luput dari perkembangan kajian linguistik
Pada mulanya istilah yang digunakan untuk psikolinguistik adalah linguistic psychology (psikologi linguistik) dan ada pula yang menyebutnya sebagai psychology of language (psikologi bahasa). Kemudian sebagai hasil kerja sama yang lebih terarah dan sistematis, lahirlah satu ilmu baru yang kemudian disebut sebagai psikolinguistik (psycholinguistic).
Psikolinguistik merupakan ilmu yang menguraikan prosesproses psikologis yang terjadi apabila
seseorang menghasilkan kalimat dan memahami kalimat yang didengarnya waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh manusia (Simanjuntak, 1987: 1). Aitchison (1984), membatasi psikolinguistik sebagai studi tentang bahasa dan pikiran. Psikolinguistik merupakan bidang studi yang menghubungkan psikologi dengan linguistik. Tujuan utama seorang psikolinguis ialah menemukan struktur dan proses yang melandasi kemampuan manusia untuk berbicara dan memahami bahasa. Psikolinguis tidak tertarik pada interaksi bahasa di antara para penutur bahasa. Yang mereka kerjakan terutama ialah menggali apa yang terjadi ketika individu yang berbahasa.
Pakar psikologi maupun pakar linguistik samasama terlibat mempelajari psikolinguistik. Kedua pakar itu termasuk pakar ilmu sosial. Oleh sebab itu, pendekatan yang mereka gunakan dalam bidang ilmu ini hampir sama atau mirip. Semua ilmuwan ilmu sosial bekerja dengan menyusun dan menguji hipotesis. Misalnya, seorang psikolinguis berhipotesis bahwa tuturan seseorang yang mengalami gangguan sistem sarafnya akan berdisintegrasi dalam urutan tertentu, yaitu konstruksi terakhir yang dipelajarinya merupakan unsur yang lenyap paling awal. Kemudian ia akan menguji hipotesisnya itu dengan mengumpulkan data dari orangorang yang mengalami kerusakan otak. Dalam hal ini seorang ahli psikologi dan linguis agak berbeda. Ahli psikologi menguji hipotesisnya terutama dengan cara eksperimen yang terkontrol secara cermat. Seorang linguis, dalam sisi yang lain, menguji hipotesisnya terutama dengan mengeceknya melalui tuturan spontan. Linguis menganggap bahwa keketatan situasi eksperimen kadangkadang membuahkan hasil yang palsu.
Psikolinguistik jika diilustrasikan bagaikan seekor bydra, yakni monster dengan jumlah kepala yang tak terhingga. Tampaknya tidak ada batas yang akan dikaji oleh psikolinguistik. Benarkah begitu? Simanjuntak (1987) menyatakan bahwa masalahmasalah yang dikaji oleh psikolinguistik berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini, yakni:
(1) Apakah sebenarnya bahasa itu? Apakah bahasa itu bawaan ataukah hasil belajar? Apakah ciriciri bahasa manusia itu? Unsurunsur apa sajakah yang tercakup dalam bahasa itu?
(2) Bagaimanakah bahasa itu ada dan mengapa ia harus ada? Di manakah bahasa itu berada dan disimpan?
(3) Bagaimanakah bahasa pertama (bahasa ibu) itu diperoleh oleh seorang anak? Bagaimana bahasa itu berkembang? Bagaimana bahasa kedua itu dipelajari? Bagaimana seseorang menguasai dua, tiga bahasa, atau lebih?
(4) Bagaimana kalimat dihasilkan dan dipahami? Proses apa yang berlangsung di dalam otak ketika manusia berbahasa?
(5) Bagaimana bahasa itu tumbuh, berubah, dan mati? Bagaimana suatu dialek muncul dan berubah menjadi bahasa yang baru?
(6) Bagaimana hubungan bahasa dengan pikiran manusia? Bagaimana pengaruh kedwibahasaan terhadap pikiran dan kecerdasan seseorang?
(7) Mengapa seseorang menderita afasia? Bagaimana mengobatinya?
(8) Bagaimana bahasa itu sebaiknya diajarkan agar benarbenar dapat dikuasai dengan baik oleh pembelajar bahasa?
Jika Anda memperhatikan betapa banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh psikolinguistik itu, maka pernyataan bahwa psikolinguistik bagaikan seekor bydra mungkin benar. Tetapi, sebenarnya pernyataan bahwa psikolinguistik itu sebagai seekor bydra tidak memuaskan. Oleh sebab itu, menurut Aicthison (1984) perlulah kiranya objek kajian psikolinguistik itu dibatasi secara jujur. Pertanyaanpertanyaan yang diajukan oleh Simanjuntak di atas disederhanakan lagi oleh Aitchison menjadi tiga pertanyaan saja. Menurut Aitchison (1984) ada tiga hal sebenarnya yang menarik perhatian psikolinguistik, yakni (1) masalah pernerolehan bahasa, (2) hubungan antara pengetahuan bahasa dan penggunaan bahasa, dan (3) proses produksi dan pemahaman tuturan.
1) Masalah pemerolehan
Apakah manusia memperoleh bahasa karena dia dilahirkan dengan dilengkapi pengetahuan khusus tentang kebahasaan? Atau mereka dapat belajar bahasa karena mereka adalah binatang yang sangat pintar sehingga mampu memecahkan berbagai macam masalah?
2) Hubungan antara pengetahuan bahasa dan penggunaan bahasa
Linguis sering menyatakan bahwa dirinya adalah orang yang memerikan representasi bahasa internal seseorang (pengetahuan bahasanya). Ia kurang tertarik untuk memerikan bagaimana penutur menggunakan bahasanya. Kemudian bagaimanakah hubungan antara penggunaan dengan pengetahuan bahasa tersebut? Seseorang yang belajar bahasa melakukan tiga hal:
(a) Memahami kalimat (dekode)
>
penggunaan bahasa
(b) Menghasilkan kalimat (enkode)
>
penggunaan bahasa
(c) Menyimpan pengetahuan bahasa
>
pengetahuan bahasa
Linguis lebih tertarik pada butir c daripada butir (a) dan (b). Apa yang perlu diketahui seseorang psikolinguis ialah sebagai berikut: benarkah mengasumsikan bahwa tipe tata bahasa yang disampaikan oleh linguis sesungguhnya mencerminkan pengetahuan individual yang terinternalisasikan tentang bahasanya? Bagaimanakah pengetahuan itu digunakan ketika seseorang menghasilkan tuturan (enkode) atau memahami tuturan (dekode)?
3). Menghasilkan dan memahami tuturan
Dengan mengasumsikan bahwa penggunaan bahasa tidak berbeda dengan pengetahuan bahasa, apakah sesungguhnya yang terjadi ketika seseorang itu menghasilkan tuturan (berenkode) atau memahami tuturan (berdekode)?
Tiga pertanyaan itulah yang dikaji dalam psikolinguistik dengan mempertimbangkan empat tipe bukti, yakni:
(a) komunikasi binatang
(b) bahasa anakanak
(c) bahasa orang dewasa yang normal
(d) tuturan disfasik (orang yang terganggu tuturannya).
Perhatikan diagram berikut ini. Kotakkotak dalam diagram itu tidak merupakan kotak yang tersekat dan terpisah ketat satu dengan yang lainnya. Tetapi, antara kotakkotak itu ada unsurunsur yang menghubungkannya. Komunikasi binatang dihubungkan dengan bahasa anak oleh kera yang berbicara. Hubungan antara bahasa anak dan bahasa orang dewasa yang normal dihubungkan oleh tuturan anak usia 814 tahun. Bahasa orang dewasa yang normal dengan bahasa orang disfasik dihubungkan oleh “keseleo lidah” (slip of tounge).
Sebelum kita berbicara tentang masalah lain dalam psikolinguistik, kita sebaiknya memahami dulu penggunaan istilah tata bahasa. Kita berasumsi bahwa agar dapat berbicara, setiap orang yang tahu bahasanya memiliki tata bahasa yang telah diinternalisasikan dalam benaknya. Linguis yang menulis tata bahasa membuat hipotesis tentang sistem yang terinternalisasikan itu.
Istilah tata bahasa digunakan secara bergantian untuk maksud representasi internal bahasa dalam benak seseorang dan model linguis atau dugaan atas representasi itu.
Lebih jauh lagi, ketika kita berbicara tentang tata bahasa seseorang yang terinternalisasikan itu, istilah tata bahasa digunakan dalam pengertian yang lebih luas daripada makna tata bahasa yang kita temukan dalam berbagai buku ajar. Tata bahasa itu mengacu pada keseluruhan pengetahuan bahasa seseorang. Tata bahasa tidak hanya menyangkut masalah tata kalimat, tetapi juga fonologi dan semantik.
TATA BAHASA
FONOLOGI
SINTAKSIS
SEMANTIK
Pola bunyi
pola kalimat
pola makna
Karena sintaksis itu merupakan dasar yang paling penting, maka kajian utama psikolinguistik ini akan banyak bertumpu pada kaidah sintaktik. Secara teoretis, tujuan utama psikolinguistik ialah mencari satu teori bahasa yang tepat dan unggul dari segi linguistik dan psikologi yang mampu menerangkan hakikat bahasa dan pemerolehannya. Dengan kata lain, psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa dan bagaimana struktur ini diperoleh dan digunakan pada waktu bertutur dan memahami kalimatkalimat (ujaranujaran). Secara praktis, psikolinguistik mencoba menerapkan pengetahuan linguistik dan psikologi pada masalahmasalah seperti pengajaran dan pembelajaran bahasa, pengajaran membaca permulaan dan membaca lanjut, kedwibahasaan, penyakit bertutur seperti afasia, gagap dan sebagainya, komunikasi, pikiran manusia, dialek-dialek, pijinisasi, dan kreolisasi, dan masalahmasalah sosial lain yang menyangkut bahasa seperti bahasa dan pendidikan, bahasa, dan pembangunan bangsa.
Dari definisidefinisi itu, jelaslah bahwa psikolinguistik adalah ilmu antardisiplin yang dilahirkan sebagai akibat adanya kesadaran bahwa kajian bahasa merupakan sesuatu yang sangat rumit. Dengan demikian, satu disiplin ilmu saja tidaklah dapat dan tidak mampu menerangkan hakikat bahasa. Kerja sama antardisiplin semacam itu tidaklah merupakan hal yang baru dalam bidang ilmu. Ilmu antardisiplin yang lain telah lama ada seperti neuropsikologi, sosiolinguistik, psikofisiologi, psikobiologi, psikofarmakologi, dan sebagainya.
BAB I
PENDAHULUAN
Pembelajaran bahasa, sebagai salah satu masalah kompleks manusia, selain berkenaan dengan masalah bahasa, juga berkenaan dengan masalah kegiatan berbahasa. Sedangkan kegiatan berbahasa itu bukan hanya berlangsung secara makanistik, tetapi juga berlangsung secara mentalistik. Artinya, kegiatan berbahasa itu berkaitan juga dengan proses atau kegiatan mental (otak). Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa, studi linguistik perlu dilengkapi dengan studi antardisiplin antara linguistik dan psikologi, yang lazim disebut psikolinguistik.
A. Psikologi
Secara etimologi kata psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno psyche dan logos. kata psyche berarti jiwa, roh, atau sukma, sedangkan kata logos berarti ilmu. Jadi, secara harfiah berarti ilmu jiwa atau ilmu yang objek kajiannya adalah jiwa. dulu ketika psikologi adalah ilmu yang mengkaji jiwa masih bisa dipertahankan. Dalam kepustakaan pada tahun 50an nama ilmu jiwa lazim digunakan sebagai padanan kata psikologi. Namun, kini istilah ilmu jiwa tidak digunakan lagi karena bidang ilmu ini memang tidak meneliti jiwa, roh, atau sukma, sehingga istilah itu kurang tepat.
Dalam perkembangan lebih lanjut, psikologi lebih membahas atau mengkaji sisi – sisi manusia dari segi yang bisa diamati. Kareba jiwa itu bersifat abstrak, sehingga tidak dapat diamati secara empiris, padahal objek kajian setiap ilmu harus dapat diobservasi secara indrawi. Dalam hal ini jiwa atau keadaan jiwa hanya bisa diamati melalui gejala – gejalanya seperti orang yang sedih akan berlaku murung, dan orang yang gembira tampak dari gerak – geriknya yang riang atau dari wajahnya yang binar – binar. Meskipun demikian, kita juga sering mendapat kesulitan untuk mengetahui keadaan jiwa seseorang dengan hanya melihat tingkah lakunya saja. Tidak jarang kita jumpai seseorang yang sebenarnya sedih tetapi tetap tersenyum. Atau seseorang yang sebenarnya jengkel atau marah tetapi tetap tenang atau malah tertawa.
Walaupun besar gerak – gerik lahir seseorang belum tentu menggambarkan keadaan jiwa yang sebanarnya, namun, secara tradisional, psikologi lazim diartikan sebagai satu bidang ilmu yang mencoba mempelajari perilaku manusia. Caranya adalah dengan mengkaji hakikat rangsangan, hakikat reaksi terhadap rangsangan itu dan mengkaji hakikat proses – proses akal yang berlaku sebelum reaksi itu terjadi. Para ahli psikologi belakangan ini juga cenderung untuk menganggap psikologi sebagai suatu ilmu yang mecoba mengkaji proses akal manusia dan segala manifestasinya yang mengatur perilaku manusia itu. Tujuan pengkajian akal ini adalah untuk menjelaskan, memprediksikan, dan mengontrol perilaku manusia.
Dalam perkembangannya, psikologi telah menjadi beberapa aliran sesuai dengan paham filsafat yang dianut. Karena itulah dikenal adanya psikologi yang mentalistik, yang bahavioristik, dan yang kognitifistik.
Psikologi yang mentalistik melahirkan aliran yang disebut psikologi kesadaran. Tujuan utama psikologi kesadaran adalah mencoba mengkaji proses – proses akal manusia dengan cara mengintrospeksi atau mengkaji diri. Oleh karena itu, psikologi kesadaran lazim juga disebut psikologi introspeksionisme. Psikologi ini merupakan suatu proses akal dengan cara melihat kedalam diri sendiri setelah suatu rangsangan terjadi.
Psikologi yang behavioristik melahirkan aliran yang disebut psikologi perilaku. Tujuan utama psikologo perilaku ini adalah mencoba mengkaji perilaku manusia yang berupa reaksi apabila suatu rangsangan terjadi, dan selanjutnya bagaimana mengawasi dan mengontrol perilaku itu. Para pakar psikologi behavioristik ini tidak berminat mengkaji proses – proses akal yang membangkitkan perilaku tersebut karena proses – proses akal ini tidak dapat diamati atau diobservasi secara langsung. Jadi, para pakar psikologi perilaku ini tidak mengkaji ide – ide, pengertian, kemauan, keinginan, maksud, pengharapan, dan segala mekanisme fisiologi. Yang dikaji hanyalah peristiwa – peristiwa yang dapat diamati, yang nyata dan konkret, yaitu kelakuan atau tingkah laku manusia.
Psikologi yang kognitifistik dan lazim disebut psikologi kognitif mencoba mengkaji proses – proses kognitif manusia secara ilmiah. Yang dimaksud kognitif adalah proses – proses akal (pikiran, berpikir) manusia yang bertanggung jawab mengatur pengalaman dan perilaku manusia. Hal utama yang dikaji oleh psikologi kognitif adalah bagaimana cara manusia memperoleh, menafsirkan, mengatur, menyimpan, mengeluarkan, dan menggunakan pengetahuannya, termasuk perkembangan dan penggunaan pengetahuan bahasa. Perbedaannya dengan psikologi kesadaran adalah bahwa menurut paham mentalisme proses – proses akal itu berlangsung setelah terjadinya rangsangan. Sedangkan menurut psikologi kognitif proses – proses akal itu dapat terjadi karena adanya kekuatan dari dalam, tanpa adanya rangsangan terlebih dahulu.kekuatan dari dalam, tanpa adanya rangsangan terlebih dahulu. Perilaku yang muncul sebagai hasil proses akal seperti ini disebut perilaku atau tindakan bertujuan sebagai hasil kreativitas organisme manusia itu sendiri.
Psikologi sangat berkaitan erat dengan kehidupan manusia dalam segala kegiatannya yang sangat luas. Oleh karena itu, muncullah berbagai cabang psikologi yang diberi nama sesuai dengan penarapannya. Diantara cabang – cabang itu adalah psikologi sosial, psikologi perkembangan, psikologi klinik, psikologi komunikasi, dan psikologi bahasa.
B. Linguistik
Secara umum linguistik lazim diartikan sebagai ilmu bahasa atau ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Pakar linguistik disebut lingui, dalam bahasa inggris juga berarti orang yang mahir menggunakan beberapa bahasa, selain bermakna pakar linguistik. Seseorang linguis mempelajari bahasa bukan dengan tujuan utama untuk mahir menggunakan bahasa itu, melainkan untuk mengetahui secara mendalam mengenai kaidah – kaidah struktur bahasa, beserta dengan berbagai aspek dan segi yang menyangkut bahasa itu. Andaikata si linguis ingin memahirkan penggunaan bahasa bahasa itu tentu juga tidak ada salahnya. Bahkan akan menjadi lebih baik. Sebaiknya, seseorang yang mahir dan lancar dalam menggunakan beberapa bahasa, belum tentu dia seorang linguis kalau dia tidak mendalami teori tentang bahasa. Orang seperti ini lebih tepat disebut seorang poliglot ”berbahasa banyak”, sebagai dikotomi dari monoglot ”berbahasa satu”.
Kalau dikatakan bahwa linguistik atu adalah ilmu yang objek kajiannya adalah bahaasa, sedangkan bahasa itu sendiri merupakan fenomena yang hadir dalam segala aktivitas kehidupan manusia, maka linguistik itu pun menjadi sangat luas bidang kajiannya. Oleh karena itu, kita bisa lihat adanya berbagai cabang linguistik yang dibuat berdasarkan berbagai kriteria atau pandangan. Secara umum pembidangan linguistik itu adalah sebagai berikut :
Menurut objek kajian, linguistik dapat dibagi atas dua cabang besar, yaitu linguistik mikro dan linguistik makro. Objek kajian linguistik mikro adalah struktur internal bahasa itu sendiri, mencakup struktur fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Sedangkan objek kajian linguistik makro adlah bahasa dalam hubungannya dengan faktor di luar bahasa seperti faktor sosiologis, psikologis, antropologi, dan neurologi. Berkaitan dengan faktor – faktor di luar bahasa itu muncullah bidang – bidang seperti sosiologistik, psikologistik, neurolinguistik dan etnolinguistik. Disini, linguistik dipandang sebagai disiplin utama, sedangkan ilmu-ilmu lain sebagai disiplin bawahan.
Menurut tujuan kajiannya, linguistik dapat dibedakan atas dua bidang besaar yaitu linguistik teoteris dan linguistik terapan. Kajian teoteris hanya ditujukan untuk mencari atau menentukan teori – teori linguistik. Hanya untuk membuat kaidah – kaidah linguistik secara deskriptif. Sedangkan kajian terapan ditujukan untuk menerapkan kaidah – kaidah linguistik dalam kegiatan praktis, seperti dalam pengajaran bahasa, penerjemahan, penyusunan kamus, dan sebagainya.
Adanya yang disebut linguistik sejarah dan sejarah linguistik. Linguistik sejarah mengkaji perkembangan dan perubahan suatu bahasa atau sejumlah bahasa, baik dengan diperbandingkan maupun tidak. Sejarah linguiatik mengkaji perkembangan ilmu linguistik, baik mengenai tokoh – tokohnya, aliran – aliran teorinya, maupun hasil – hasil kerjanya.
Dalam kaitannya dengan psikologi, linguistik lazim diartikan sebagai ilmu yang muncoba mempelajari hakikat bahasa, atruktur bahasa, bagaimana bahasa itu diperoleh, bagaimana bahasa itu bekerja, dan bagaimana bahasa itu berkembang. Dalam konsep ini tampak bahwa yang namanya psikolinguistik dianggap sebagai cabang dari linguistik, sedangkan linguistik itu sendiri dianggap sebagai cabang dari psikologi.
C. Psikolinguistik
Psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan kata linguistic, yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing – masing berdiri sendiri, dengan prosedur dan metode yang berlainan. Namun, keduanya sama – sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Hanya materinya yang berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji perilaku berbahasa atau proses berbahasa. Dengan demikian cara dan tujuannya juga berbeda.
Meskipun cara dan tujuan berbeda, tetapi banyak juga bagian – bagian objeknya yang dikaji dengan cara yang sama dan dengan tujuan yang sama, tetapi dengan teori yang berlainan. Hasil kajian kedua disiplin ini pun banyak yang sama, meskipun tidak sedikit yang berlainan. Oleh karena itulah, telah lama dirasakan perlu adanya kerja sama di antara kedua disiplin ini untuk mengkaji bahasa dan hakikat bahasa. Dengan kerja sama kedua disiplin itu diharapkan akan diperoleh hasil kajian yang lebih baik dan lebih bermanfaat.
Sebagai hasil kerjasama yang baik, lebih terarah, dan lebih sistematis diantara kedua ilmu itu, lahirlah satu disiplin ilmu baru yang disebut psikolinguistik, sebagai ilmu antardisiplin antara psikologi dan linguistik. Istilah psikolinguistik itu sendiri baru lahir tahun 1945, yakni tahun terbitnya buku psycholinguistics : A Survey of Theory and Reserch Problems yang disunting oleh Charles E. Osgood dan Thomas A. sebeok, di Bloomington, Amerika Serikat.
Psikolinguistik mencoba menguraikan proses – proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat – kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia (Slobin, 1974; Meller, 1964; Slama Cazahu, 1973). Maka secara teoteris tujuan utama psikolinguistik adalah mencari satu teori bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakikat bahasa dan pemeerolehannya. Dengan kata lain, psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan bagaimana struktur ini diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami kalimat– kalimat dalam pertuturan itu. Dalam prakteknya psikolinguistik mencoba menerapkan pengetahuan linguistik dan psikologi pada masalah – masalah seperti pengajaran dan pembelajaran bahasa, pengajaran membaca permulaan dan membaca lanjut, kedwibahasaan dan kemultibahasaan, penyakit bertutur seperti afasia, gagap, dan sebagainya; serta masalah – masalah sosial lain yang menyangkut bahasa, seperti bahasa dan pendidikan, bahasa dan pembangunan nusa dan bangsa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Psikolnguistik
Istilah psikolinguistik baru muncul pada tahun 1954 dalam buku Thomas A. Sebeok dan Charles E. Osgood yang berjudul Pshycolinguiatics: A Survey of Theory and Research Problems, namun sebenarnya sejak zaman panini, ahli bahasa dari India, dan Sokrates ahli filsafat dari Yunani, pengkajian bahasa telah dilakukan orang. Kajian mereka tidak terlepas dari paham/aliran filsafat yang mereka anut, karena filsafat merupakan induk dari semua disiplin ilmu.
Pada abad yang lalu terdapat dua aliran filsafat yang saling bertentangan dan saling mempengaruhi perkembangan linguistik dan psikologi. Yang pertama adalah aliran empirisme yang erat kaitannya dengan psikologi asosiasi. Aliran empirisme melakukan kajian terhadap data empiris atau objek yang dapat diobservasi dengan cara menganalisis unsur – unsur pembentukannya sampai yang sekecil – kecilnya. Oleh karena itu, aliran ini disebut bersifat atomistik, dan lazim dikaitkan dengan asosianisme dan positivisme. Aliran kedua dikenal dengan nama rasionalisme. Aliran ini mengkaji akal sebagai satu keseluruhan dan menyatakan bahwa faktor – faktor yang ada dalam akal inilah yang patut diteliti untuk bisa memahami perilaku manusia itu. Oleh karena itu, aliran ini disebut bersifat holistik, dan biasa dikaitkan dengan paham nativisme, idealisme, dan mentalisme.
Psikolinguistik bermula dari adanya pakar linguistik yang berminat pada psikologi, dan adanya pakar psikologi yang berkecimpung dalam linguistik. Dilanjutkan dengan adanya kerjasama antara pakar linguistik dan pakar psikologi, dan kemudian muncullah pakar – pakar psikolinguistik sebagai disiplin mandiri.
a. Psikologi dalam Linguistik
Dalam sejarah linguistik ada sejumlah pakar linguistik yang menaruh perhatian besar pada psikologi. Von Humboldt (1767-1835), pakar linguistik berkebangsaan Jerman telah mencoba mengkaji hubungan antara bahasa (linguistik) dengan pemikiran manusia (psikologi). Caranya, dengan membandingkan tata bahasa dari bahasa – bahasa yang berlainan dengan tabiat – tabiat bangsa – bangsa penutur itu. Von Humboldt sangat dipengaruhi oleh aliran rasionalisme. Dia menganggap bahasa bukanlah sesuatu yang sudah siap untuk dipotong – potong dan diklasifikasikan seperti aliran empirisme. Menurut Von Humboldt bahasa itu merupakan satu kegiatan yang memiliki prinsip – prinsip sendiri.
Ferdinand de Saussure (1858-1913), pakar linguistik berkembangsaan Swiss, telah berusaha menerangkan apa sebenarnya bahassa itu (linguistik) dan bagaimana keadaan bahasa itu dalam otak (psikologi). Beliau memperkenalkan tiga istilah tentang bahasa yaitu langage (bahasa pada umumnya yang bersifat abstrak), langue (bahasa tertentu yang bersifat abstrak), dan parole (bahasa sebagai tuturan yang bersifat konkret). Dia menegaskan objek kajian linguistik adalah langue., sedangkan objek kajian psikologi adalah parole. Ini berarti, kalau ingin mengkaji bahasa secara lengkap, maka kedua disiplin, yakni linguistik dan psikologi harus digunakan. Hal ini dikatakannya karena dia menganggap segala sesuatu yang ada dalam bahasa itu pada dasarnya bersifat psikologis.
Edward Sapir (1884-1939), pakar linguistik dan antropologi bangsa Amerika, telah mengikutsertakan psikologi dalam pengkajian bahasa. Menurut Sapir, psikologi dapat memberikan dasar ilmiah yang kuat dalam pengkajian bahasa. Beliau juga mencoba mengkaji hubungan bahasa (linguistik) dengan pemikiran (psikologi). Dari kajian itu beliau berkesimpulan bahwa bahasa, terutama strukturnya, merupakan unsur yang menentukan struktur pemikiran manusia. Beliau juga menekankan bahwa linguistik dapat memberikan sumbangan yang penting kepada psikologi Gestalt, dan sebaliknya psikologi Gestalt dapat membantu disiplin linguistik.
b. Linguistik dalam Psikologi
Dalam sejarah perkembangan psikologi ada sejumlah pakar psikologi yang menaruh perhatian pada linguistik. John Dewey (1859-1952), pakar psikologi berkebangsaan Amerika, seorang empirisme murni. Beliau telah mengkaji bahasa dan perkembangannya dengan cara menafsirkan analisis linguistik bahasa kanak – kanak berdasarkan prinsip – prinsip psikologi. Umpamanya, beliau menyarankan agar penggolongan psikologi akan kata – kata yang diucapkan kanak – kanak dilakukan berdasarkan makna seperti yang dipahami kanak – kanak, dan bukan seperti yang dipahami orang dewasa dengan bentuk – bentuk tata bahasa orang dewasa. Dengan cara ini, maka berdassarkan prinsip – prinsip psikologi akan dapat ditentukan hubungan antara kata – kata berkelas adverbia dan preposisi disatu pihak dengan kata – kata berkelas nomina dan adjektiva dipihak lain. Jadi, dengan pengkajian kelas kata berdasarkan pemahaman kanak – kanak kita akan dapat menentukan kecenderungan akal (mental) kanak – kanak yang dihubungkan dengan perbedaan – perbedaan linguistik. Pengkajian seperti ini, menurut Dewey, akan memberi bantuan yang besar kepaada psikologi bahasa pada umumnya.
Watson (1878-1958), ahli psikologi behaviorisme berkebangsaan Amerika. Beliau menempatkan perilaku atau kegiatan berbahasa sama dengan perilaku atau kegiatan lainnya, seperti makan, berjalan, dan melompat. Pada mulanya Watson hanya menghubungkan perilaku berbahasa yang implisit, yakni yang terjadi didalam pikiran, dengan yang eksplisit, yakni yang berupa tuturan. Namun, kemudian dia menyamakan perilaku berbahasa itu dengan teori stimulus-respons yang dikembangkan oleh Povlov. Maka, penyamaan ini memperlakukan kata – kata sama dengan benda – benda lain sebagai respons dari suatu stimulus.
Weiss, ahli psikolodi behaviorisme Amerika. Beliau mengakui adanya aspek mental dalm bahasa. Namun, karena wujudnya tidak memiliki kekuatan bentuk fisik, maka wujudnya itu sukar dikaji atau ditunjukkan. Oleh karena itu, Weiss lebih cenderung mengatakan bahwa bahasa itu sebagai satu bentuk perilaku apabila seseorang menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya. Weiss adalah salah seorang tokoh yang terkemuka yang telah merintis jalan kearah lahirnya psikolinguistik. Karena dialah yang telah berhasil mengubah Bloomfield dari penganut aliran mentalistik menjadi penganut aliran behaviorisme. Weiss juga telah mengemukakan sejumlah masalah yang harus dipecahkan oleh linguistik dan psikologi yang dilihat dari sudut behaviorisme. Di antara masalah – masalah itu adalah sebagai berikut :
Bahasa merupakan satu kumpulan respons yang jumlahnya tidak terbatas terhadap suatu stimulus.
Pada dasarnya perilaku bahasa menyatukan anggota suatu masyarakat ke alam organisasi gerak saraf.
Perilaku bahasa adalah sebuah alat untuk mengubah dan meragam-ragamkan kegiatan seseorang sebagai hasil warisan dan hasil perolehan.
Bahasa dapat merupakan stimulus terhadap satu respons, atau merupakan satu respons terhadap satu stimulus.
Respons bahasa sebagai satu stimul pengganti untuk benda dan keadaan yang sebenarnya memungkinkan kita untuk memunculksn kembali suatu hal yang pernah terjadi, dan menganalisis kejadian ini dalam bagian – bagiannya.
c. Kerjasama Psikologi dan Linguistik
Kerjasama secara langsung antara linguistik dan psikologi sebanarnya sudah dimulai sejak 1860 yaitu, oleh Heyman Steintthal, seorang ahli psikologi yang beralih menjadi ahli linguistik, dan Moriz Lazarus seorang ahli linguistik yang beralih menjadi ahli psikologi dengan menrbitkan sebuah jurnal yang khusus membicarakan masalh psikologi bahasa dari sudut linguistik dan psikologi.
Dasar – dasar psikolinguistik menurut beberapa pakar didalam buku yang disunting oleh Osgood dan Sebeok diatas adalah berikut ini :
Psikolinguistik adalah satu teori linguistik berdasarkan bahasa yang dianggap sebagai sebuah sistem elemen yang saling berhubungan erat.
Psokolinguistik adalah satu teori pembelajaran (menurut teori behaviorisme) berdasarkan bahasa yang dianggapnsebagainsatu sistem tabiat dan kemampuan yang menghubungkan isyarat dengan perilaku.
Psikolinguistik adalah satu teori informasi yang menganggap bahasa sebagai sebuah alat untuk menyampaikan suatu benda.
d. Tiga Generasi dalam Psikolinguistik
1. Psikolinguistik Generasi pertama
Psikolinguistik generasi pertama adalah psikolinguistik dengan para pakar yang menulis artikel dalam kumpulan karangan berjudul psycholinguistics : A Survey of Theory and Reserch Problems yang disunting oleh Charles E. Osgood dan Thomas A. Sebeok. Titik pandang Osgood dan Sebeok berkaitan erat dengan aliran behaviorisme (aliran perilaku) atau lebih tepat lagi aliran neobehaviorisme. Teori – teori ini mengidentifikasikan bahasa sebagai stu sistem respon yang langsung dan tidak langsung terhadap stimulus verbal dan nonverbal. Orientasi stimulus respons ini adalah orientasi psikologi.
Tokoh lain dari generasi pertama ini adalah L. Bloomfield. Beliau adalah tokoh linguistik Amerika yang menerima dan menerapkan teori – teori behaviorisme dalam analisis bahaa. Teknik analisis bahasa dan pandangannya tentang hakikat bahasa sama dengan pandangan dan teori psikolinguistik perilaku.
Manusia yang normal sejak lahir telah dilengkapi dengan kemampuan belajar. Oleh sebab itu, kemampuan berbahasa didapat atau dicapai melalui proses belajar. Hal ini menunjukkan bahwa itu harus dipelajari. Dengan kata lain, kemampuan berbahasa adalah satu kemampuan hasil belajar, dan bukan sebagai sesuatu yang diwarisi.
Tokoh lain dari psikolinguistik generasi pertama, dan yang dianggap sebagai tokoh utama adalah B. F. Skonner. Beliau menjadi tokoh yang kemudian ditentang oleh Noam Chomsky yang menganut aliran kognitif dalam proses berbahasa. Namun, teori – teori Skinner inilah yang dianut oleh teori – teori linguistik aliran Bloomfield.
2. Psikolinguistik Generasi Kedua
Karena pada psikolinguiatik generasi pertama tidak menjawab banyak masalah proses berbahasa, dan teori – teori itu kekurangan daya penjelas, maka diperlukan teori yang lain dalam psikolinguistik. Lahirlah teori –teori psikolinguiatik generasi kedua, dengan dua tokoh utamanya yakni Noam Chomsky dan George Miller.
Menurut Mehler dan Noizet, psikolinguistik generasi kedua telah dapat mengatasi ciri – ciri atomistik dari psikolinguistik Osgood-Sebeok. Psikolinguistik generasi kedua berpendapat bahwa dalam proses berbahasa bukanlah butir – butir bahasa yang diperoleh, melainkan kaidah dan sistem kaidahlah yang diperoleh.
3. Psikolinguistik Generasi Ketiga
Kelahiran psikolinguistik generasi ketiga ini oleh G. Werstch dalam bukunya Two Problems for the New Psycholinguistics diberi nama New Psycholinguistics. Ciri – ciri psikolinguistik generasi ketiga ini adalah sebagai berikut :
Pertama, orientasi mereka kepada psikologi, tetapi bukan psikologi perilaku. Mereka berorientasi kepada psikologi seperti yang dikemukakan oleh Fresse dan Al Vallon dari perancis, dan mungkin juga kepada psikologi aktivitas dari Uni Sovyet atau seperti ditekankan oleh G. Werstch bahwa terjadi proses yang serempak dari informasi linguistik dan psikologi.
Kedua, keterlepasan mereka dari kerangka psikolinguistik kalimat dan keterlibatan dalam psikolinguistik yang berdasarkan situasi dan konteks. Ini berarti, analisis psikolinguistik bbukan lagi menentukan kalimat hubungan antara struktur gramatikal dan kaidah semantik model Noam Chomsky dengan teori generatif transformasinya, tetapi hubungan ini diperluas dengan memperhitungkan situasi dan konteks.
Ketiga, adanya satu pergeseran dari analisis mengenai proses ujaran yang abstrak ke satu analisis psikologis mengenai komunikasi dan pikiran. Pergeseran dari ujaran yang abstrak ke komunikasi dan pikiran ini dikemukakan oleh J. S. Bruner dalam artikelnya berjudul Frol Communication to Language yang dimuat dalam Cognition tahun 1974-5.
Ketiga ciri utama dari psikolinguistik generasi ketiga ini menunjukkan telah terjadinya satu peningkatan kualitatif dalam perkembangan psikolinguistik di negara – negara Barat. Namun, menurut Leontive (1981) dibandingkan dengan perkembangan linguistik di Eropa, maka osikolinguistik di Rusia sudah lebih dulu berkembang karena sejak awal psikolinguistik di Rusia telah memperhitungkan jurus komunikasi dan pikiran dalam analisas psikolinguistik.
B. Bahasa dan Berbahasa
Bahasa dan berbahasa, adalah dua hal yang berbeda. Bahasa adalah alat verbal yang digunakan untuk berkomunikasi, sedangkan berbahasa adalah proses penyampaian informasi dalam berkomunikasi itu. Pada bagian awal telah dikatakan bahwa bahasa adalah objek kajian linguistik, sedangkan berbahasa adalah objek kajian psikologi.
Para pakar linguistik deskriptif biasanya mendenifisikan bahasa sebagai satu sistem lambang bunyi yang bersisaf arbitrer. Yang kemudian lazim ditambah dengan yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan menidentifikasikan diri. (Chaer,1994).
Bagian pertama definisi diatas menyatakan bahwa bahasa itu adalah satu sistem, sama dengan sistem – sistem lain, yang sekaligus berifat sistematis dan bersifat sistemis. Jadi, bahasa itu bukan merupakan satu sistem tunggal melainkan dibangun oleh sejumlah subsistem (subsistem fonologi, sintaksis, leksikon). Sistem bahasa ini merupakan sistem lambang, sama dengan sistem lambang lalu lintas, atau sistem lambang lainnya. Hanya, sistem lambang bahasa ini adalah bunyi, bukan gambar atau tanda lain, dan bunyi adalah bunyi bahasa yang dilahirkan oleh alat ucap manusia. Sama dengan lambang lain. Sistem lambang bahasa ini juga bersifat atbitrer. Artinya, antara lambang yang berupa bunyi itu tidak memiliki hubungan wajib dengan konsep yang dilambangkannya.
Bahasa dilihat dari segi sosial yaitu, bahwa bahasa itu adalah alat interaksi atau alat komunikasi didalam masyarakat. Tentu saja konsep linguiatik ddeskriptif tentang bahasa itu tidak lengkap, sebab bahasa bukan hanya alat interaksi sosial, melainkan juga memiliki fungsi dalam berbagai bidang lain. Oleh karena itu psikologi, antripologi, etnologi, neurologi, dan filologi juga menjadikan bahasa sebagai salah satu objek kajiannya dari sudut atau segi yang berbeda – beda.
a. Gangguan Berbahasa
Manusia yang normal fungsi otak dan alt bicaranya, tentu dapat berbahasa dengan baik. Namun, meraka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat berbicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif mauoun reseptif. Jadi, kemempuan berbahasanya terganggu.
Gangguan berbahasa ini secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu :
1. Gangguan akibat faktor medis, adalah gangguan baik akibat gangguan otak maupun akibat kelainan alat – alat bicara.
2. Gangguan akibat faktor lingkungan sosial, adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya.
Secara medis menurut Sidharta (1984) gangguan berbahasa dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu :
− Gangguan berbicara
− Gangguan berbahasa
− Gangguan berpikir
Ketiga gangguan ini masih dapat diatasi kalau penderita gangguan itu mempunyai daya dengar yang normal, bila tidak tentu menjadi sukar atau sangat sukar.
b. Gangguan Berbicara
Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Oleh karena itu, gangguan berbicara ini dapat dikelompokan ke dalam dua kategori, yaitu :
1. Gangguan Mekanisme Berbicara
Mekanisme berbicara adlah suatu proses produksi ucapan (perkataan) oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot – otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan paru – paru. Maka gangguan berbicara berdasarkan mekanismenya ini dapat dirinci menjadi gangguan berbicara akibat kelainan pada paru – paru (pulmonal), pada pita suara (laringal), pada lidah (lingual), dan pada rongga mulut dan kerongkongan (resonantal).
− Gangguan Akibat Faktor Pulmonal
Gangguan berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit paru – paru. Para penderita penyakit paru – paru ini kekuatan bernafasnya sangat kurang, sehingga cara berbicaranya diwarnai oleh nada yang monoton, volume suara yang kecil sekali, dan berputus – putus, meskipun dari semantik dan sintaksis tidak ada masalah.
− Gangguan Akibat Faktor Laringal
Gangguan pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang sama sekali. Gangguan berbicara akibat faktor laringal ini ditandai oleh suara yang serak atau hilang, tanpa kelainan semantik dan sintaksis. Artinya, dilihat dari segi semantik dan sintaksis ucapannya bisa diterima.
− Gangguan akibat Faktor Lingual
Lidah yang sariawan atau terluka akan terasa pedih kalau digerakkan. Untuk mencegah timbulnya rasa padih ini ketika berbicara maka gerak aktivitas lidah itu dikurangi secara semaunya. Dalam keadaan sepperti ini maka pengucapan sejumlah fonem menjadi tidak sempurna. Pada orang yang terkena stroke dan badannya lumpuh sebelah maka lidahnya pu lmpauk sebelah. Oleh karena itu, cara berbicaranya juga akan terganggu, yaitu menjadi pelo atau cadel. Istilah medisnya disatria (yang berarti tergangguanya artikulasi).
− Gangguan Akibat Faktor Resonansi
Gangguan akibat faktor resonansi ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau. Pada orang sumbing, misalnya, suaranya menjadi bersengau (bindeng) karena rongga mulut dan rongga hidung yang digunakan untuk berkomunikasi melalui defek di langit – langit keras (palatum), sehingga resonansi yang seharusnya menjadi terganggu. Hal ini trjadi juga pada orang yang mengalami kelumpuhan pada langit – langit lunak (velum). Rongga langit – langit itu tidak memberikan resonansi yang seharusnya, sehingga suarnya menjadi besengau. Penderita penyakit miastenia gravis (gangguan yang menyebabkan otot menjadi lemah dan cepat lelah) sering dikenali secara langsung karena kengauan ini.
2. Gangguan Akibat Multifaktorial
Akibat gangguan multifaktorial atau berbagai faktor bisa mnyebabkan terjadinya berbagai gangguan berbicara. Antara lain adalah :
− Berbicara Serampangan
Berbicara serampangan atau sembrono adalah berbicara denga cepat sekali, dengan artikulasi yang rusak, ditambah dengan menelan sejumlah suku kata, sehingga apa yang di ucapkan sukar dipahami. Dalam kehidupan sehari – hari kasus ini memang jarang dijumpai, tetapi di dalam praktek kedokteran sering ditemui. Umpamanya kalimat ”kemarin pagi saya sudah beberapa kali ke sini ” diucapkan dengan cepat menjadi ”kemary sdada brali ksni”. Berbicara serampangan ini karena kerusakan di serebelum atau bisa jug terjadi sehabis terkena kelumpuhan ringan sebelah badan.
− Berbicara Propulsif
Gangguan berbicara propulsif biassanya terdapat pada para penderita penyakit parkinson (kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku, dan lemah). Para penderita penyakit ini biasanya bermasalah dalam melakukan geraka – gerakan. Mereka sukar sekali untuk memulai suatu gerakan. Namun, bila sudah bergerak maka ia dapat terus – menerus tanpa henti. Gerak yang laju terus itu disebut propulsi. Pada waktu berbicara ciri khas ini akan tampak pula. Artikulasi sangat terganggu karena elastisitas otot lidah, otot wajah, dan pita suara, sebagaian besar lenyap. Dalam pada itu volume suaranya kecil, iramanya datar (monoton). Suaranya mula – mula tersendat – sendat, kemudian terus – menerus, dan akhirnya tersendat – sendat kembali. Oleh karena itu, cara berbicara seperti ini disebut prupilsif.
− Berbicara Mutis (Mutisme)
Penderita gangguan mutisme ini tidak berbicara sama sekali. Sebagian dari meraka mungkin dapat dianggap membisu, yakni memang sengaja tidak mau berbicara. Mutisme ini sebenarnya bukan hanya tidak dapat berkomunikasi secara verbal saja, tetapi juga tiak dapat berkomunikasi secara visual maupun isyarat, seperti dengan gerak – gerik dan sebagainya.
Mutisme tidak bisa disamakan dengan orang bisu, apalagi dengan bisu – tuli. Dalam hal kebisuan ini sebenarnya perlu dibedakan adnya tiga macam penderita. Pertama, orang yang bisu karena kerusakan ataua kelainan alat artikulasi, sehingga dia tidak bisa memproduksi ujaran-bahasa, tetapi alat dengarnya normal sehingga dia dapat mendengar suara-bahasa orang lain. Kedua, orang yang bisu karena kerusakan atau kelainan alat artikulasi dan alat pendengarnya, sehingga dia tidak bisa memproduksi ujaran-bahasa dan juga tidak bisa mendengar ujaran-bahasa orang lain. Ketiga, orang bisu yang sebenarnya alat artikulasinya normal tidak ada kelainan, tetapi alat pendengarannya rusak atau ada kelainan. Orang golongan ketiga iini menjadi bisu karena dia tidak pernah mendengar ujaran-bahasa orang lain, sehingga dia tidak bisa menirukan ujaran-bahasa itu.
3. Gangguan Psikogenik
Ganguan berbicara psikogenik ini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai suatu gangguan berbicara. Mungkin lebih tepat disebut sebagai variasi cara berbicara yang normal, tetapi yang merupakan ungkapan dari gangguan di bidang mental. Modalitas mental yang terungkap oleh cara berbicara sebagaian besar ditentukan oleh nada, inotonassi, dan intensitas suara, lafal, dan pilihan kata. Ujaran yanng berirama lancar atau tersendat –sendat dapat juga mencerminkan sikap mental si pembicara. Gangguan berbicara psikogenetik ini antara lain sebagai berikut :
Berbicara Manja
Disebut berbicara manja karena ada kesan anak (orang) yang melkaukanya meminta perhatian untuk dimanja. Umpamanya kanak yang baru terjatu, terluka, atau mendapat kecelakaan, terdengar adanya perubahan pada cara berbicaranya. Fonem atau bunyi [s] dilafalkan sebagai bunyi [c] sehinga kalimat ”saya sakit, jadi tidak suka makan, sudah saja ya” akan diucapkan menjadi ”caya cakit, jadi tidak cuka makan, cudah saja ya”. Dengan berbicara demikian dia mengungkapkan keinginannya untuk dimanja. Gejala seperti ini kita dapati juga pada orang tua pikun atau jompo (biasanya wanita). Gejala ini memberikan kesan bahwa struktur bahasa memiliki substrat serebral. Namun, bagaimana struktur organisasinya belum diketahui dengan jelas. Masih dalam penelitian.
Berbicara Kemayu
Berbicara kemayu berkaitan dengan perangai kewanitaan yang berlebihan. Jika seorang pria bersifat atau bertingkah laku kemayu jelas sekali gambaran yang dimaksudkan oleh istilah tersebut. Berbicara kemayu dicirikan oleh gerak bibir dan lidah yang menarik perhatian dan lafal yang dilakukan secara ekstra menonjok atau ekstra lemah gemulai dan ekstra memanjang. Meskipun berbicara seperti ini bukan suatu gangguan ekspresi bahasa, tetapi dapat dipandang sebagai sindrom fonologik yang mengungkapakan gangguan identitas kelamin terutama jika yang dilanda adalah kaum pria.
Berbicara Gagap
Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat – sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang – ulang suku kata pertama, kata – kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata – kata itu kalimat dapat diselesaikan. Acapkali si pembicara tidak berhasil mengucapkan suku kata awal, hanya dengan susah payah berhasil mengucapkan konsonan atau vokal awalnya saja. Lalu dia memilih kata lain, dan berhasil menyelesaikan kalimat tersebut meskipun dengan susah payah juga. Dalam usahanya mengucapkan kata pertama yang barangkali gagal, si pembicara menampakkan rasa letih dan rasa kecewanya. Beberapa hal dianggap mempunyai peranan dalam menyebabkan terjadinya kegagapan, yaitu :
Faktor – faktor stres dalam kehidupan berkeluarga
Pendidikan anak yang dilakukan secara keras dan ketat, dengan membentak-bentak, serta tidak mengizinkan anak berargumentasi dan membantah.
Adanya faktor kerusakan pada belahan otak yang dominan
Faktor neurotik famial
Berbicara Latah
Latah sering disamakan dengan ekolalla, yaitu perbuatan membeo atau menirukan apa yang dikatakan orang lain, tetapi sebenarnya latah adalah sindrom yang terdiri atas curah verbal repetitif yang bersifat jorok (kaprolalla) dan gangguan lokomotorik yang dapat dipancing. Kaprolalla pada latah ini beroriantaasi pada alat kelaminlaki – laki. Yang sering dihinggapi penyakit latah adalah orang perempuan berumur 40 tahun ke atas. Awal mula timbulnya latah ini, menurut mereka yang terserang latah, adalah setelah bermimpi melihat banyak sekali penis lelaki besar dan sepanjang belut. Latah ini punya cuse atau alasan untuk dapat berbicara dan bertingkah laku porno, yang hakikatnya berimplikasi invitasi seksual.
Gangguan Berbahasa
Berbahasa, berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan kata – kata. Ini berarti, daerah Broca dan Wernicke harus berfungsi dengan baik. Kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut afasia.
a. Afasia Motorik Kortikal
Tempat menyimpan sandi – sandi perkataan adalah di korteks daerah Broca. Maka apabila gudang penyimpanan itu musnah, tidak akan ada lagi perkataan yang dapat dikeluarkan. Jadi, afasia motorik kortikal ini masih bisa mengerti bahasa lisan dan bahasa tulisan. Namun, ekspresi verbal tidak bisa sama sekali, sedangkan ekspresi visual masih dilakukan.
b. Afasia Motorik Subkortikal
Sandi – sandi perkataan disimpan di lapisan permukaan daerah Broca, maka apabila kerusakan terjadi pada bagian bawahnya semua perkataan masih tersimpan utuh di dalam gudang. Namun, perkataan itu tidak dapat dikeluarkan karena hubungan terputus, sehingga perintah untuk mengeluarkan perkataan tidak dapat disampaikan. Melalui jalur lain tampaknya perintah untuk mengeluarkan perkataan masih dapat disampaikan ke gudang penyimpanan perkataan itu (gudang Broca) sehingga ekspresi verbal masih mungkin dengan mengeluarkan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan, tetapi masih bisa mengeluarkan perkataan dengan cara membeo. Selain itu, pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu, dan ekspresi visual pun berjalan normal.
c. Afasia Motorik Transkortikal
Afasia motorik trankortikal terjadi karena terganggunya hubungan antara daerah Broca dan Wernicke. Ini berarti, hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa terganggu. Pada umumnya afasia motorik transkortikal ini merupakan lesikortikal yang merusak sebagian daerah Broca. Jadi, penderita afasia motorik transkortikal dapat mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat, tetapi masih mungkin menggunakan perkataan substitusinya.
Semua penderita afasia motorik jenis apapun bersikap tidak berdaya, karena keinginan untuk mengutarakan isi pikirannya besar sekali, tetapi kemampuan untuk melakukannya tidak ada sama sekali. Mereka pun sering jengkel karena apa yang diekspressikantidak dipahami sama sekali oleh orang disekelilingnya, padahal untuk menghasilkan curah verbal yang tidak dipahami itu, mereka sudah berusaha keras.
d. Afasia Sensorik
Penyebab terjadinya afasia sensorik adalah akibat adanya kerusakan pada lesikortikal didaerah Wernicke pada hemisferium yang dominan. Daerah itu terletak di kawasan asosiatif antara daerah visual, daerah sensorik, daerah motorik, dan daerah pendengaran. Keruskan di daerah Wernicke ini menyebabkan bukan saja pengertian dari apa yang dilihatikut terganggu. Jadi, penderita afasia sensorik ini kehilangan pengertian bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun, diamasih memiliiki curah verbal meskipun hal ini tidak dipahami oleh dirinya sendiri, maupun oleh orang lain.
Curah verbalnya itu merupakan bahasa baru (neologisme) yang tidak dipakami oleh siapapun. Curah verbalnya itu sendiri terdiri dari kata – kata, ada yang mirip, ada yang tepat dengan perkataan suatu bahasa., tetapi kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan perkataan bahasa apa pun.
Neologismenya itu diucapkannya dengan irama, nada, dan melodi yang sesuai dengan bahasa asing yang ada. Sikap mereka pun wajar – wajar saja, seakan – akan dia berdialog dalam bahasa yang saling dimengerti. Dia bersikap biasa, tidak tegang, marah, atau depresi. Sesungguhnya apa yang diucapkannya maupun apa yang didengarnya keduanya sama sekali tidak dipahaminya.
4. Gangguan Berpikir
Dalam sosiolinguistik ada dikatakan bahwa setisp orang mempunyai kecenderungan untuk menggunakan perkataan – perkataan yang disukainya sehingga corak bahasanya adalah khas bagi dirinya. Hal ini dalam sosiolinguistik disebut idiolek, atau ragam bahasa perseorangan.
Dalam memilih dan menggunakan unsur leksikal, sintaksis, dan semantik tertentu seseotang menyiratkan afeksi dan nilai pribadinya pada kata – kata dan kalimat – kalimat yang dibuatnya. Hal ini berarti, setiap orang memproyeksikan kepribadiannya pada gaya bahasanya. Lalu kalau diingat bahwa ekspresi verbal merupakan pengutaraan isi pikiran, maka yang tersirat dalam gaya bahasa tentu adalah isi pikiran itu. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa ekspresi verbal yang terganggu bersumber atau disebabkan oleh pikiran yang terganggu pikiran berupa hal – hal berikut :
a. Pikun (Demensia)
Orang yang pikun menunjukkan bnyak sekali gangguan seperti agnosia, apraksia, amnesia, perubahan kepribadian, perubhan perilaku, dan kemunduran dalam segala macam fungsi intelektual. Semua gangguan itu menyebabkan kurangnya berfikir, sehingga ekspresi verbalnya diwarnai dengan kesukaran menemukan kata – kata yang tepat. Kalimat seringkali terputus karena arah pembicaraan tidak teringat atau tidak diketahui lagi, sehingga berpindah ke topik lain.
Dr. Martina Wiwie S. Nasrun mengtakan bahwa kepikunan atau demensia adalah suatu penurunan fungsi memori atau daya ingat dan daya pikir lainnya yang dari hari ke hari semakin buruk. Gangguan kognitif ini meliputi tergangguanya ingatan jangka pendek, kekeliruan mengetahui tempat, orang, dan waktu. Juga gangguan kelancaran bicara.
Penyebab pikun ini antara lain karena terganggunya fungsi otak dalam jumlah besar, termasuk menurunnya jumlah zat – zat kimia dalam otak. Biasanya volime otak akan mengecil atau menyusut, sehingga rongga – rongga dalam otak melebar. Selai itu dapat pula disebabkan oleh penyakit seperti stroke, tumor otak, depresi dan gangguam sistemik. Pikun yang disebabkan oleh depresi dan gangguan sistemik dapat pulih kembali, tetapi kebanyakan kasus demensia lainnya tidak dapat kembali ke kondisi sebelumnya.
b. Sisofrenik
Sisofrrenik adalah gangguan berbahasa akibat gangguan berpikir. Dulu pada para penderita sisofrenik kronik juga dikenal istilah schizophrenik word salad. Para penderita ini dapat mengucapkan word salad ini dengan lancar. Dengan volume yang cukup, ataupun lemeh sekali. Curah verbalnya penuh dengan kata – kata neologisme. Irama serta intonasinya menghasilkan curah verbal yang melodis.
Penderita sisifrenia dapat berbicara terus – menerus. Ocehanya hanya merupakan ulangan curah verbal semula dengan tambahan sedikit – sedikit atau dikurangi beberapa kalimat. Gya bahasa sisifren dapat dibedakan dalam beberapa tahap dan menurut berbagai kriteria. Yang utama adalah diferensiasi dalam gaya bahasa sisofrenia halusinasi dan pasca halusinasi.
Sebelum diganggu halisinasi, bahasa para penderita sisofrenik ini tampak terganggu. Pada tahap awal penderita sisofrenia ini mengisolasi pikirannya. Tidak banyak berkomunikasi dengan dunia luar, tetapi banyak berdialog dengan diri sendiri. Ekspresi verbal terbatas, tetapi kegiatan dalam dunia bahasa internal (berbahasa dalam pikiran diri sendiri)sangat ramai. Oleh karena itu, gangguan ekspresi verbal sisofrenia tahap awal ini menyerupai mutisme efektif.
c. Depresif
Orang yang tertekan jiwanya memproyeksikan penderitaannya pada gaya bahasanya dan makna curah verbalnya. Volume curah verbalnya lemah lembut dan kelancarannya terputus – putus oleh interval yang cukup panjang. Namun, arah arus isi pikiran tidak terganggu. Kelancaran bicaranya terputus oleh tarikan nafas dalam, serta pelepasan napas keluar yang panjang. Perangai emosional yang terasosiasi dengan depresi itu adalah universal. Curah verbal yang depresif dicoraki oleh topik yang menyedihkan, menyalahi dan mengutuk diri sendiri, kehilangan gairah bekerja dan gairah hidup, tidak mampu menikmati kehidupan. Malah cenderung mengakhirinya.
d. Gangguan Lingkungan Sosial
Yang dimaksud dengan faktor lingkungan adalah terasingnya seorang anak manusia, yang aspek biologis bahasanya normal dari lingkungan kehidupan manusia. Keterasingannya bisa disebabkan karena diperlakkukan dengan sengaja (sebagai eksperimen) bisa juga karena hidup bukan dalam alam lingkungan manusia, melainkan dipelihara oleh binatang serigala, seperti kasus Kamala dan Mougli.
Anak terasing tidak sama dengan kasus anak tuli. Anak tuli masih hidup dalam masyarakat manusia. Maka, meskipun dia terassing dari kontak bahasa, tetapi dia masih dapat berkomunikasi dengan orang disekitarnya. Sedangkan anak terasing menjadi tidak bisa berkomunikasi dengan manusia karena dia tidak pernah mendengar suara-ujaran manusia. Beda antara anak terasing yang tidak pernah mendengar suara orang dan anak tuli adalah bahwa anak tuli dirugikan karena tidak bisa mendengar suaranya sendiri maupun suara orang lain. Suara – suaranya sendiri hanya bisa dirasakan sebagai gerak – gerak urat dan otot ddaging mulut. Suara anak tuli tidak seberapa kuat jika dibandingkan dengan anak yang tidak tuli. Suara – suara anak tuli lekas sekali berhenti, meskipun ia tetap mampu merasakan gerakan mulut dan suara – suaranya waktu sedang mengeluarkan suara itu. Dia merassakan gerak mulut itu karena adanya rasa akan getaran – getaran organ – organ pembentuk suara, atau karena dia melihat gerak mulut oranng lain dan lalu dia menirukannya. Pada anak tuli ini tidak ada cukup motivasi agar suara – suaranya bisa berkembang. Hal ini berbeda dengan anak normal yang tercerai dari masyarakat. Dia dapat mengeluarkan suaranya, tetapi ia tidak pernah mendengar suara 9perkataan) orang dari sekeliling anak itu sangat berperan dalam mengembangkan kemampuan berbicara. Tanpa mendengar suara-bahasa orang sekeliling tidak mungkin kemampuan berbahasa dapat berkembang. Jadi anak terasing karena tidak ada orang yang mengajak dan diajak berbicara, tidak mungkin dapat berbahasa. Karena dia sama sekali terasing dari kehidupan sodial masyarakat, maka dengan cepat ia menjadi sama sekali tak dapat berbahasa. Otaknya menjadi tidak lagi berfungsi secara manusiawi karena tidak ada yang membuatnya atau memungkinkannya berfungsi demikian. Maka, sebenarnya anak terasing, yang tidak punya kontak dengan manusia, bukan lagi manusia, sebab manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Meskipun bentuk badannya adalah manusia tetapi dia tidak bermatabat sebagai manusia. Otaknya tidak berkembang sepenuhnya, tidak dapat berfungsi dalam masyarakat manusia, dan akhirnya menjadi tidak mampu sebagai manusia setelah beberapa tahun. Anak terasing tidak sama dengan anak primitif, sebab orang primitif masih hidup dalam suatu masyarakat. Meskipun taraf kebudayaannya sangat rendah, tetapi tetap dalam suatu lingkungan sosial. Kanak – kanak mempunyai segala kemungkinan untuk menjadi manusia hanya selama masa kanak – kanak, selepas umur tujuh tahun anak itu tak dapat dididik untuk mempelajari kebudayaan yang lebih tinggi.
Dalam sejarah tercatat sejumlah kasus anak terasing, baik yang diasuh oleh hewan (serigala) maupun yang teraasingkan oleh keluarganya, berikut akan dikemukakan dua contoh kasus:
1. Kasus Kamala
Ketika baru ditemukan Kamala diperkirakan berumur 8 tahun, dan adiknya berumur 2 tahun. Kamala masih hidup sampai 9 tahun kemudian sedangkan adiknya tak lama ditemukan meninggal. Karena hidup di tengah serigala, ia sangat mirip dengan serigala. Ia berlari cepat sekali dengan kedua kaki dan tangan, mengaum-aum, lebih sering bergaul dengan serigala, tidak bercakap satu patah kata pun, dan tidak terlihat adanya mimik emosi di wajahnya. Sangat sukar untuk mengajar dia berdiri, berjalan, menggunakan tangan, apalagi bercakap – cakap. Dia mencium – cium, dan mengendus – endus makanan. Dia memeriksa segala sesuatu dengan alat penciuman, mempunyai penglihatan malam yang tajam, dan memiliki pendengaran yang tajam pula. Dia tidak tersenyum maupun tertawa.
Hidup ditengah binatang membuat manusia bukan manusia lagi. Namun, hal ini membuktikan kemampuan anak manusia dapat menyelaraskan diri hidup dengan serigala secara mengagumkan. Berbeda halnya dengan binatang yang dijinakkan dan dimanusiakan, binatang tetap tidak dapat mempelajari bahasa yang sebenarnya.
Tingkat kecerdasan Kamala tidak diketahui hingga dia meninggal, sebab dia tidak pernah dites dengan tes – tes objektif yang memungkinkan kita mengetahui apakah kecerdasan praktis Kamala yang terbahasakan itu lebih tinggi atau tidak dari kecerdasan seorang anak yang tidak bercakap atau dari seekor kera. Namun, bagaimana pun Kamala tidak lagi mempunyai pikiran yang sebenarnya, pikiran yang reflektif.
2. Kasus Genie
Kalau Kamala terasing dari masyarakat manusia, dan lalu dipelihara atau dibesarkan di tengah – tengah serigala, maka Genie tetap berada dalam asuhan orang tuanya, tetapi dengan cra yang terlepas dari kehidupan manusia yang wajar. Sejak berusis 20 bulan sampai berusia 13 tahun 9 bulan Genie hidup terkucil dalam ruang yang sempit dan gelap dalam posisi duduk dan kaki terikat. Pintu ruangan itu selalu tertutup dan jendela berkelambu tebal. Tidak ada radio atau televisi dirumah itu, dan ayahnya membenci suara apapun. Ayahnya tidak mengizinkannya mendengar suara apa pun, dia akan dihukum secara fisik bila membuat suara. Satu –saatunya orang yang sering ditemuinya adalah ibunya. Namun, si ibu pun dilarang untuk tinggal lama – lama dengan Genie saat memberinya makan. Tanpa berbicara apa – apa si ibu memberi makan Genie dengan selalu tergesa – gesa.
Ketika ditemukan tahun 1970, Genie berada dalam kondisi yang kurang terlibat secara sosial, primitif, terganggu secara emosional, dan tak dapat berbahasa (berbicara). Dia dikirim ke rumah anak – anak Los Angeles dengan diagnosis awal sebagai anak yang menderita kurang gizi yang parah.
Pertama kali mendapat perawatan Genie tidak mampu menggunakan bahasa. Namun, dari evaluasi perawatan bulan – bulan pertama didapat kesimpulan bahwa Genie adalah anak yang terbelakang, tetapi perilakunya tidak seperti anak lemah mental. Meskipun dia mengalami gangguan secara emisional, tetapi dia tidak mengalami gangguan fisik atau mental yang dapat memperkuat ketrbelakangannya. Jadi, keterbelakangannya adalah karena lamanya tekanan psikososial dan fisik yang dialaminya.
Kemampuan berbahasa Genie, yang jelas ketika ditemukan dia tidak dapat berbicara, meskipun telah berumur hampir 14 tahun. Untuk mengetahui apakah dia sudah mengenal bahasa Inggris sebelum dikucilkan, kepadanya diberikan sebagian tes. Dari tes awal diketahui bahwa Genie memahami sejumlah kata – kata lepas yang diucapkan orang lain, tetapi dia hanya memahami sedikit sekali gramatika. Maka dalam hal ini tampaknya dia mendapat tugas yang sulit dan rumit, yakni memperoleh bahasa pertama dengan otak yang sudah masa puber. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa Genie mampu memperoleh bahasa itu meski dalam usia yang sudah melewati masa kritis pemerolehan bahasa.
Seperti teori sebelumnya mengatakan bahwa otak berada dalam kondisi paling siap untuk mempelajari bahasa tertentu adalah selama masa kanak – kanak hingga masa puber, atau seperti kata Lenneberg antara usia dua tahun sampai masa akil balig. Namun, disini Genie yang baru belajar bahasa pertama, setelah masa kritisnya dilalui ternyata dapat memperoleh kemampuan berbahasa itu. Dalam banyak hal perkembangan bahasa Genie sama dengan pemerolehan bahasa pertama kanak – kanak yang normal.
Dari sejumlah tes diperoleh informasi bahwa Genie tidak mamiliki fasilitas bahasa pada hemisfer kiri melainkan menggunakan hemisfer kanan, baik untuk fungsi bahasa maupun fungsi nonbahasa. Dalam tes menyimak rangkap dia mempunyai keunggulan telinga kiri yang sangat kuat untuk isyarat – isyarat verbal maupun nonverbal. Hasil tes menyimak rangkap ini memperkuat hipotesis bahwa Genie menggunakan hemisfer kanan untuk berbahasa. Temuan ini juga memperkuat hipotesis mengenai adanya hemisfer yang dominan dan yang tidak dominan.
Dari kasus Kamala dan Genie sebagai contoh kanak – kanak yang mendapat kesulitan berbahasa karena terasingkan dari lingkungannya, memang bisa dilihat adanya satu hal yang sangat berbeda. Kamala terasing dari lingkungan sosial manusia sejak bayi, sehingga dia tidak lagi mempunyai kemampuan untuk berbahasa. Sedangkan Genie memang terasing tetapi masih berada dalam lingkungan sosial manusia, maka meskipun dengan sangat sukar dia kemudian masih memiliki kemampuan berbahasa meskipun sebagai kemampuan permulaan.
C. Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seseorang kanak – kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak – kanak sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu, Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performasi yang terdiri dari dua buah proses, yakni :
− Proses pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian mengamati atau kemampuan mempersepsikan kalimat – kalimat yang didengar.
− Penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan kalimat – kalimat sendiri.
Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan dan apabila telah dikuasai kanak – kanak akan menjadi kemampuan linguistik kanak – kanak itu. Jadi, kemampuan linguistik terdiri dari kemampuan memahami dan kemampuanmelahirkan atau menerbitkan kalimat – kalimat baru yang dalam linguistik transpormasi generatis disebut perlakuan, atau pelaksanaan bahasa, atau performasi.
Sejalan dengan teori Chomsky, kompetensi itu mencakup tiga buah komponen tata bahasa, yaitu :
a. Komponen Sintaksis, merupakan komponen sentral dalam pembentukan kalimat. Sintaksis adalah urutan dan organisasi kata – kata (leksikon) yang membentuk frase atau kalimat dalam suatu bahasa.tugas utama komponen ini adalah menentukan hubungan antara pola – pola bunyi bahasa itu dengan makna – maknanya dengan cara mengatur urutan kata – kata yang membentuk frase atau kalimat itu agar sesuai dengan makna yang diinginan oleh penuturnya,
b. Komponen Semantik, sebagai komponen dalam otak yang terpisah dari komponen sintaksis dengan garis yang tegas. Namun, sejumlah pakar pengikut generatif transformasi yang lain menganggap kedua komponen itu, sintaksis dan semantik, tidak mempunyai garis pemisah yang tegas.
c. Komponen Fonologi, adalah sistem bunyi suatu bahasa. Komponen fonologi ini, sebagai komponen ketiga dalam tata bahasa generatif transformasi memiliki rumus – rumus fonologi yang bertugas mengubah struktur luar sintaksis menjadi representasi fonetik yaitu bunyi – bunyi bahasa yang kita dengar yang diucapkan oleh seorang penutur.
Oleh karena itu, pemerolehan bahasa ini lazim juga dibagi menjadi pemerolehan sintaksis, pemerolehan semntik, dan pemerolehan fonologi.
1. Hipotesis Nurani
Hipotesis nurani dari beberapa pengamatan yang dilakukan para pakar terhadap pemerolehan bahasa kanak – kanak (Lenneberg, 1967, Chomsky, 1970). Diantara pengamatan itu adalah :
− Semua kanak – kanak yang normak akan memperoleh bahasa ibunya asal saja ”diperkenalkan” pada bahasa ibunya itu. Maksudnya, dia tidak diasingkan dari kehidupan ibunya (keluarganya).
− Pemerolehan bahasa tidak ada hubungannya dengan keceerdasan kanak – kanak. Artinya, baik anak yang cerdas maupun yang tidak cerdas akan memperoleh bahasa itu.
− Kalimat – kalimat yang diajarkan kanak – kanak seringkali tidak lengkap, dan jumlahnya sedikit.
− Bahasa tidak dapat diajarkan kepada mekhluk lain, hanya manusia yang dapat berbahasa.
− Proses pemerolehan bahasa oleh kanak – kanak di mana pun sesuai dengan jadwal yang erat kaitannya dengan proses pematangan jiwa kanak – kanak.
− Struktur bahasa sangat rumit, kompleks, dan bersifat universal. Namun, dapat dikuasai kanak – kanak dalam waktu yang relatif singkat, yaitu dalam waktu antara tiga atau empat tahun saja.
Berdasarkan pengamatan di atas dapat disimpulkan bahwa manusia berbahasa dengan mudah dan cepat. Mengenai hipotesis nurani bahasa, Chomsky dan Miller (1957) mengatakan adanya alat khusus yang dimiliki setiap kanak – kanak sejak lahir untuk dapat berbahasa. Alat itu namanya language acquisition device (LAD), yang berfungsi untuk memungkinkan seorang kanak – kanak memperoleh bahasa ibunya.
2. Hipotesis Tabularasa
Tabularas secara harfiah berarti ”kertas kosong”, dalam arti belum diisi apa – apa. Lalu, hipotesis tabularas ini menyatakan bahwa otak bayi pada waktu dilahirkan sama seperti kertas kosong, yang nanti akan ditulis atau diisi dengan pengalaman – pengalaman. Hipotesis ini dengan pada mulanya dikemukakan oleh Jhon Locke seorang tokom empiris yang sangat terkenal, kemudian dianut dan disebarluskan oleh Jhon Watson seorang tokoh terkemuka aliran behaviorisme dalam psikologi.
Dalam hal ini, menurut hipotesis tabularasa, semua pengetahuan dalam bahasa manusia yang tampak dalam perilaku berbahasa adalah merupakan hasil dari integrasi peristiwa – peristiwa linguiatik yang dialami dan diamati oleh manusia itu. Sejalan dengan hipotesis ini, behaviorisme menganggap bahwa pengetahuan linguitik terdiri hanya dari rangkaian hubungan – hubungan yang dibentuk dengan cara pembelajaran stimulus – respons.
3. Hipotesis Kesemestaan Kognitif
Dalam kognitifisme hipotesis kesemestaan kognitif yang diperkenalkan oleh Piaget telah digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan proses – proses pemerolehan bahasa kanak – kanak. Piaget sendiri sebenarnya tidak pernah secara khusus mengeluarkan satu teori mengenai pemerolehan bahasa karena beliau menganggap bahasa merupakan satu bagian dari perkembangan kognitif (intelek)secara umum.
Menurut teori yang didasarkan pada kesemestaan kognitif, bahasa diperoleh berdasarkan struktur – struktur kognitif deriamor. Struktur – struktur ini diperoleh kanak – kanak melalui interaksi dengan benda – benda atau orang – orang di sekitarnya.
D. Pembelajaran Bahasa
Digunakannya istilah pembelajaran bahasa karena diyakini bahwa bahasa kedua dapat dikuasai hanya dengan proses belajar, dengan cara sengaja dan sadar. Hal ini berbeda dengan penguasaan bahasa pertama atau bahasa ibu yang diperoleh secara alamiah, secara tidak sadar didalam lingkungan keluarga pengasuh kanak – kanak itu. Bahasa kedua juga merupakan sesuatu yang dapat diperoleh, baik secara formal dalam pendidikan formal, maupun informal dalam lingkungan kehidupan.
a. Dua tipe pembelajaran bahasa
Ellis (1986:215) menyebutkan adanya dua tipe pembelajaran bahsa yaitu:
− Tipe Naturalistik, bersifat alamiah tanpa guru dan tanpa kesengajaan. Pembelajaran berlangsung didalam lingkungan kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat bilingual atau multilingual tipe naturalistik banyak dijumpai.seorang kanak – kanak yang didalam lingkungan keluarganya menggunakan B1, misalnya bahasa X, begitu keluar dari rumah berjumpa dengan teman – teman lain yang berbahasa lain, misalnya bahasa Y, akan mencoba dan berusaha menggunakan bahsaa Y.
− Tipe formal berlangsung di dalam kelas dengan guru, materi, dan alat – alat bantu belajar yang sudah dipersiapkan. Seharusnya hasil yang diperoleh secara formal dalam kelas ini jauh lebih baik daripada hasil secara naturalistik.
b. Hipotesis – hipotesis pembelajaran bahasa
Hasil yang telah dicapai oleh para pakar pembelajaran bahasa sampai saat ini belum secara mantap bisa disebut sebagai teori karena belum teruji dengan mantap. Oleh karena itu, masih lebih umum disebut sebagai suatu hipotesis. Diantara hipotesis – hipotesia yang diketengahkan adalah :
1 Hipotesis Kesamaan Antara B1 dan B2
Hipotesis ini menyatakan adanya kesamaan dalam proses belajar B1 dan belajar B2. kesamaan itu terletak pada urutan pemerolehan struktur bahasa, seperti modus interogasi, negasi, dan moorfem – morfem grgamatikal. Hipotesis ini menyatakan bahwa unsur – unsur bahasa bahasa diperoleh terlebih dahulu, sementara unsur kebahasaan lain diperoleh baru kemudian. Studi tentang ururtan pemerolehan morfem gramatika bahasa Inggris telah membuktikan hal ini (Nurhadi, 1990:5). Namun, dalam hal penguasaan lafal, kanak – kanak dapat menguasai B1 denan pelafalan yang baik dan secara alami, ssedangkan B2 dapat dikuasai dengan pelafalan yang kurang sempurna.
2 Hipotesis Kontrastif
Hipotesis ini juga menyatakan bahwa seorang pembelajaran bahasa kedua seringkali melakukan transfer B1 ke dalam B2 dalam menyampaikan suatu gagasan. Transfer ini dapat terjadi pada semua tingkat kebahasaan : tata bunyi, tata bentuk, tata kalimat, maupun tata kata (leksikon). Dalam hal ini bisa terjadi transfer positif, yakni kalau struktur B1 dan B2 itu sama, dan ini akan menimbulkan kemudahan. Dapat juga terjadi transfer negatif, yakni kalau struktur B1 dan B2 itu tidak sama dan ini akan menimbulkan kesuliatan.
3 Hipotesis Krashen
Berkenaan dengan proses pemerolehan bahasa, Stephen Ktashen mengajukan sembilan buah hipotesis yang saling berkaitan, yaitu :
− Hipotesis Pemerolehan dan Belajar
Menurut hipotesis ini dalam penguasaan suatu bahasa perlu dibedakan adanya pemerolehan (acquisition) dan belajaar (learning). Pemerolehan adalah penguasaan suatu bahasa melalui cara bawah sadar atau alamiah, dan terjaadi tanpa kehendak yang terencana. Proses pemerolehan tidak melaui usaha belajar adalah uusaha sadar untuk secara formal dan eksplisit menguasai bahasa yang dipelajari, terutama yang berkenan dengan kaidah – kaidah bahasa. Belajar terutama terjadi atau berlangsung dalam kelas.
− Hipotesis Urutan Alamiah
Hippotesis ini menyatakan bahwa dalam proses pemerolehan bahasa kanak – kanak memperolsh unsur - unsur bahasa menurut urutan tertentu yang dapat diprediksikan. Ururtan ini bersifat alamiah. Hasil penelitian menunjukan adanya pola pemerolehan unsur – unsur bahasa yang relatif stabil untuk bahasa pertama, bahasa kedua, maupun bahasa asing.
− Hipotesis Monitor
Hipotesis monitor ini menyatakan adanya hubungan antara proses sadar dalam pemerolehan bahasa. Proses sadar menghasilkan hasil belajar dan proses bawah sadar menghasilkan pemerolehan. Kita dapat berbicara dalam bahasa tertentu adalah karena sistem yang kita miliki sebagai hasil dari pemerolehan, dan bukan dari hasil belajar. Semua kaidah tata bahasa yang dihafalkan tidak semua membantu kelancaran dalam berbicara. Kaidah tata bahasa yang kita kuasai hanya berfungsi sebagai monitor saja dalam pelaksanaan (performasi) berbahasa.
− Hipotesis Masukan
Hipotesis ini menyatakan bahwa seseorang menguasai bahasa melaui masukan yang dapat dipahami yaitu dengan memusatkan perhatian pada pesan atau isi, dan bukannya pada bentuk. Hal ini berlaku bagi semua orang dewasa maupun kanak – kanak, yang sedang belajar bahasa. Hipotesis ii menyatakan bahwa kegiatan mendengarkan untuk memehami isi wacana sangat penting dalam proses n dengngpemerolehan bahasa, dan penguasaan bahasa secara aktif akan datang pada waktunya nanti.
− Hipotesis Afektif (sikap)
Hipotesis ini menyatakan bahwa orang dengan kepribadian dan motivasi tertentu dapat memperoleh bahasa kedua dengan lebih baik dibandingkan orang dengan kepribasian yang agak tertutup.
− Hipotesis Pembawaan
Hipotesis ini menyatakan bahwa bakat bahasa mempunyai hubungan yang jekas dengan keberhasilan belajar bahasa kedua. Krashen menyatakan bahwa sikap secara langsung berhubungan dengan pemerolehan bahasa kedua, sedangkan bakat berhubungan dengan belajar. Mereka yang menda[at nilai tinggi dalam tes bakat bahasa, pada umumnya berhasil baik dalam tes tata bahasa. Jadi, asprk ini banyak berkaitan dengan belajar, dan bukan dengan pemerolehan.
− Hipotesis Filter Afektif
Hipotesis ini menyatakan bahwa sebuah filter yang bersifat afektif dapat menahan masukan sehinngga seseorang tidak atau kurang berhasil dalam usahanya untuk memperileh bahasa kedua. Filter itu dapat berupa kepercayaan diri yang kurang, situasi yang menegangkan, sikap defensi dan sebagainya, yang dapat mengurangu kesempatan bagi masukan untuk masuk kedalam sistem bahasa yang dimiliki seseorang. Filter afektif ini lazim juga disebut menal block.
− Hipotesis Bahasa Pertama
Hipotesis ini menyatakan bahwa bahasa pertama anak akan digunakan untuk mengawali ucapan dalam bahasa kedua, selagi penguasaan bahasa kedua belum tampak. Jika seseorang anak pada tahap permulaan belajar bahasa kedua dipaksa untuk menggunakan atau berbicara dalam bahasa kedua, maka dia akan menggunakan kosa kata dan aturan tata bahasa kedua, maka dia akan menggunakan kosa kata dan aturan tata bahasa pertamanya. Oleh karena itu, sebaiknya guru tidak memaksa siswanya untuk menggunakan bahasa kedua yang sedang dipelajarinya. Berilah kesempatan pada anak untuk mendapatkan input yang bermakna dan untuk mengurangi filter afektifnya. Dengan demikian, penguassan bahasa kedua dengan sendirinya akan berkembang pada waktunya.
− Hipotesis Variasi Individual Penggunaan Monitor
Hipotesis ini menyatakan bahwa cara seseorang memoonitor penggunaan bahasa yang dipelajarinya ternyata bervariasi. Ada yang erus – menerus menggunakannya secara sistematis, tetapi ada pula yang tidak pernah menggunakannya. Namun, di antara keduanya ada pula yang menggunakan monitor itu sesuai dengan keperluan atau kesempatan untuk menggunakannya.
4 Hipotesis Bahasa-Antara
Bahasa antara (interlanguage) adalah bahasa/ujaran yang digunakan seseorang yang sedang belajar bahassa kedua pada satu tahap tertentu, sewaktu dia belum dapat menguasai dengan baik dan sempurna bahasa kedua itu. Bahsa antara ini memiliki ciri bahasa pertama dan ciri bahassa kedua. Bahsa ini bersifat khas dan mempunyai karakteristik tersendiri yang tidak sama dengan bahasa pertama dan bahasa kedua. Tampaknya semacam perpindahan dari bahasa ke bahasa kedua.
5 Hipotesis Pijinisasi
Hipotesis ini menyatakan bahwa dalam proses belajar bahasa kedua, bisa saja selain terbentuknya bahasa antara terbentuk juga yangg disebut bahasa pijin, yaitu sejenis bahasa yang digunakan oleh satu kelompok masyarakat dalam wilayah tertentu yang berada didalam dua bahasa tertentu. Bahasa pijin ini digunakan untuk keperluan singkat dalam masyarakat yang masing – masing memiliki bahasa sendiri. Jadi, bisa dikatakan bahasa pijin ini tidak memiliki penutur asli (Chaer dan Agustina, 1995)
c. Faktor – Faktor Penentu dalam Pembelajaran Bahasa Kedua
1. Faktor Motivasi
Dalam kaitannya dengn pembelajaran bahasa kedua, motivasi itu mempunyai dua fungsi yaitu, fungsi integritas adalah mendorong seseorang untuk mempelajari suatu bahasa karena adanya keinginan untuk berkomunikasi dengan mempelajari suatu bahasa karena addanya keinginan untuk berkomunikasi dengan masyarakat penutur bahasa itu atau menjadi anggota masyarakat bahasa tersebut. Sedangkan motivasi berfungsi instrumental adalah kalau motivasi itu mendorong seseorang untuk memiliki kamauan untuk mempelajari bahasa kedua itu karena tujuan yang bermanfaat atau karena dorongan ingin memperoleh suatu pekerjaan atau mobilitas sosial pada lapisan atas masyarakat tersebut (Gardner dan Lambert, 1972:3)
2. Faktor usia
Ada anggapan umum dalm pembelajar bahasa kedua bahwa abak – anak lebih baik dan lebih berhasil dalam pembelajaran bahasa kedua dibandingkan dengan orang dewasa. Anak – anak tampaknya lebih mudah dalam memperolah bahasa baru, sedangkan orang tua tampaknya mendapat kesulitan dalam memperolah tingkat kemahiran bahasa kedua.
3. Faktor Penyajian Formal
Pembelajaran atau penyajian pembelajaran bahasa secara formal tentu memiliki pengaruh terhadap kecepatan dan keberhasilan dalam memperoleh bahassa kedua karena berbagai faktor dan variabel telah disiapkan dan diadakan dengan sengaja. Demikian juga keadaan lingkungan pembelajar bahasa kedua secara formal, didalam kelas, sangat berbeda dengan lingkungan pembelajaran bahasa kedua secara naturalistik atau alami.
4. Faktor bahasa pertama
Para pakar pembelajar bahasa kedua pada umumnya percaya bahwa bahasa pertama mempunyai pengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua pembelajaran. Bahasa pertama ini telah lama dianggap menjadi pengganggu di alam proses pembelajaran bahsa kedua. Hal ini karena biasa terjadi seorang pembelajar secara sadar atau tidak melakukan transfer unsur – unsur bahasa pertamanya ketika menggunakan bahasa kedua. Akibatnya, terjadilah yang disebut interferensi, alih kode, campur kode, atau kekhilafan.