Academia.eduAcademia.edu

Omnibus Law

2020, Radar Tambora

OMNIBUS LAW UNTUK SIAPA? Muammar Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Malang Lembaga bantuan hukum yayasan lembaga bantuan hukum Indonesia (YLBHI) melakukan diskusi publik dengan tema Omnibus Law Untuk Siapa? (19/01). Konsep omnibus law kembali mencuat kepermukaan setelah presiden Joko Widodo dalam pidato pertama kemenangannya mencanangkan konsep tersebut guna meningkatkan nilai investasi dan ekonomi dalam negeri yang masih manggrak dan dinilai rendah dibandingkan negara lain. Indeks dari bank dunia yang mengukur kemampuan tersebut memperlihatkan regulasi Indonesia sejak 1996 sampai 2017 selalu berada di bawah Nol. Bahkan di kawasan asia tenggara hanya menepati posisi kelima dangan skor -0,11, tertinggal jauh dari negara sahabat singapura yang memiliki skor 2,12 di peringkat pertama. Berdasarkan data hasil penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada masa periode pertama presiden Joko Widodo saja Indonesia telah kebanjiran Peraturan dengan angka 10.180 regulasi, dengan rincian 131 Undang-Undang. 526 Peraturan Pemerintah, 839 Peraturan Presiden dan 8,684 Peraturan Menteri. Melihat fakta-fakta tersebut, maka tidaklah heran apabila presiden Joko Widodo berkeingin untuk memangkas regulasi di berbagai sector terkhusus dibidang ekonomi dan investasi melalui pendekatan omnibus law (mencabut banyak peraturan perundang-undangan dengan satu undang-undang). Akan tetapi apakah penyederhanaan regulasi disegala sector harus dan mesti dilakukan melalui pendekatan omnibus law? Dan sangatlah wajar pula apabila kita bertanya omnibus law untuk siapa? Di karenakan dengan banyaknya regulasi yang dipangkas maka ini juga sangatlah banyak pula resiko yang akan dihadapi dikemudian hari, baik dari sector lingkungan hidup, kesejahteraan pekerja hingga di khawatirkan ini akan memunculkan PHK masal dibanyak perusahaan. Sebenarnya konsep omnibus law dalam sistem hukum Indonesia bukanlah barang yang baru, Indonesia pernah menerapkan konsep yang hampir serupa dengan konsep omnibus law ketika membentuk ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003. Akan tetapi pemmentukan ketetapan MPR tersebut di niali tidak partisipatif dan ramah dengan alam demokrasi serta hal tersebut juga menjadi jalan peraturan perundang-undangan menajdi alat monopoli di sector legislasi. Kelebihan perundang-undangan dengan konsep omnibus law ini terletak pada sifatnya yang multisector dan waktu pembahasan yang bisa lebih cepat dari pada pembentukan peraturan pada yang biasanya. Kelebihan inilah yang mengandung banyak bahaya apabila dipaksa terapkan di negara yang menganut civil law demokratis seperti di Indonesia. Kekhawatiran terhadap omnibus law yang akan merusak dan bahaya terhadap tatanan alam demokrasi beralaskan tiga faktor. Pertama, omnibus law mempersempit keterbukaan dan partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang. Dalam praktik di beberapa negara, pembentukan undang-undang omnibus law didominasi oleh pemerintah atau DPR. Materi dan waktu pengerjaannya pun bergantung pada instansi tersebut. Biasanya undang-undang diusahakan selesai secepat mungkin, bahkan hanya dalam satu kesempatan pengambilan keputusan. Akibatnya, ruang partisipasi publik menjadi kecil, bahkan hilang. Padahal prinsip keterbukaan dan partisipasi dalam membuat undang-undang adalah roh utama dalam negara demokratis. Kedua, omnibus law berpotensi mengabaikan ketentuan formal pembentukan undang-undang. Sifatnya yang cepat dan merambah banyak sektor dikhawatirkan akan menerobos beberapa tahapan dalam pembentukan undang-undang, baik di tingkat perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, maupun pengundangan. Pelanggaran ini bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menghendaki segala tindakan pemerintah didasari hukum. Ketiga, omnibus law bisa menambah beban regulasi jika gagal diterapkan. Dengan sifatnya yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang, pembahasan undang-undang omnibus law dikhawatirkan tidak komprehensif. Pembahasan akan berfokus pada undang-undang omnibus law dan melupakan undang-undang yang akan dicabut, yang akan menghadirkan beban regulasi lebih kompleks. Misalnya, bagaimana dampak turunan dari undang-undang yang dicabut, dampak terhadap aturan pelaksanaannya, dan implikasi praktis di lapangan. Belum lagi jika undang-undang omnibus law ini gagal diterapkan dan membuat persoalan regulasi semakin runyam. Dalih lex posterior derogat legi priori (hukum baru mengesampingkan hukum lama) saja tidak cukup karena menata regulasi tidak bisa dengan pendekatan satu asas. (tempo/12 Desember)